Dampak Peningkatan Produksi Beras dan Harga

advertisement
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Dimensi Ekonomi Mikro Beras dan Kemiskinan
Dimensi ekonomi mikro dari kemiskinan, mencoba memahami gejala
kemiskinan sebagai salah satu hasil interaksi antara sisi permintaan dan
penawaran beras, seperti yang dapat digambarkan di bawah ini.
Produksi Padi
Domestik:
Pasokan
Beras
Nasional
-Harga Riil Beras
-Faktor Produksi
-Kapasitas Produksi
Kuantitas
-Rendemen padi
dan Harga
Beras
Impor Beras :
Daya Beli
Rakyat
Jumlah
Penduduk
Miskin Di
Pedesaan
Permintaan Beras :
- Harga Beras Impor
-Daya Beli
- Perkiraan Defisit
Beras
-Jumlah Penduduk
-Harga Riil Beras
- Kebijakan
Gambar 4. Kerangka Pikir Penelitian
Hubungan antara produksi beras dengan
pengentasan kemiskinan di
pedesaan dapat dipahami dengan terlebih dahulu memahami faktor-faktor yang
mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran, serta tingkat sensitivitas terhadap
faktor-faktor tersebut.
Jumlah
penduduk
miskin
di
pedesaan,
secara
sederhana
dapat
dikelompokkan menjadi dua besar, yaitu petani padi dan non petani padi. Bila
dikaitkan dengan komoditi beras, maka jumlah penduduk miskin di pedesaan
dapat dikurangi bila daya beli rakyat diperbaiki dan pasokan beras dijaga
21 kelangsungannya (menjamin keamanan/kedaulatan pangan). Daya beli rakyatnon
petani padi yang umumnya adalah konsumen neto, dapat diperbaiki sekalipun
pendapatan nominal tidak meningkat, asal harga beras eceran dapat dikendalikan.
Sementara itu daya beli petani padi sangat ditentukan oleh pendapatan sebagai
petani padi.
Pasokan beras dan harga beras merupakan hasil interaksi antara
permintaan dan penawaran beras. Tingkat pasokan beras ditentukan oleh pasokan
padi domestik dan impor beras. Pasokan padi domestik ditentukan oleh jumlah
faktor produksi, seperti lahan sawah dan pupuk, harga faktor produksi dan juga
harga padi itu sendiri (harga gabah kering panen). Untuk memotivasi petani,
pemerintah dapat menetapkan harga dasar gabah. Jika harga dasar gabah makin
tinggi, ceteris paribus pasokan akan meningkat. Pasokan padi juga ditentukan oleh
kapasitas produksi padi yang dipengaruhi oleh luas dan kualitas lahan, irigasi,
distribusi penguasan lahan dan kemampuan manajerial.
Bagi petani padi, pasokan padi memberikan gambaran tentang tingkat
pendapatan. Ceteris paribus, makin besar produksi beras sampai batas tertentu
akan meningkatkan pendapatan petani, yang berarti akan memperbaiki daya beli
petani.
Besarnya sumbangsih produksi padi domestik terhadap pasokan beras
nasional sangat ditentukan oleh tingkat efisiensi transformasi padi menjadi beras.
Tingkat efisiensi transformasi dapat dinilai dari tingkat rendemen padi beras,
dimana makin tinggi tingkat rendemennya, efisiensi transformasinya semakin
tinggi. Efisiensi transformasi padi ke beras juga membutuhkan dukungan
institusional, seperti badan penyangga (BULOG), struktur pasar, sistem keuangan
dan kepastian hukum atau peraturan-peraturan. Selain berpengaruh terhadap
pasokan beras, efisiensi transformasi juga berpengaruh secara tidak langsung
terhadap daya beli rakyat dan pasokan pangan.
3.1.1. Permintaan Beras
Di sisi permintaan faktor-faktor yang memengaruhi adalah daya beli, yang
dapat diukur dengan upah riil atau pendapatan per kapita, harga riil beras, yaitu
22 harga nominal beras dibagi IHK dan harga substitusi beras. Jika daya beli
meningkat, ceteris paribus konsumsi beras akan meningkat. Tetapi karena beras
merupakan kebutuhan pokok, maka pengaruh kenaikan pendapatan terhadap
kenaikan konsumsi beras tidaklah besar. Dengan kata lain, permintaan beras tidak
sensitif (inelastis) terhadap perubahan pendapatan. Jika harga riil beras makin
rendah, maka ceteris paribus konsumsi beras meningkat. Tetapi juga konsumsi
beras tidak sensitif terhadap perubahan harga riil beras. Jadi bila harga riil beras
turun satu persen, maka jumlah beras yang diminta bertambah, namun lebih kecil
dari satu persen. Sedangkan jika harga substitusi beras bertambah mahal maka
konsumsi beras meningkat. Pada bagian dibawah ini akan dijelaskan parameter
yang menggambarkan sensitivitas permintaan terhadap perubahan factor-faktor
yang mempengaruhinya. Setelah itu, secara ringkas dijelaskan keterkaitan
parameter tersebut dengan angka kemiskinan.
a.
Elastisitas Permintaan Beras
Konsep elastisitas mengacu pada tingkat sensifitas sebuah variabel sebagai
respon atas variabel-variabel yang mempengaruhinya. Dalam analisis ekonomi,
Konsep elastisitas amat luas penggunaannya karena dapat memberi pemahaman
terhadap reaksi para pelaku ekonomi sebagai respon atas perubahan-perubahan
yang dihadapinya. Pemahaman ini amat berguna terutama dalam merancang,
melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan pemerintah.
Elastisitas permintaan beras adalah berapa persen permintaan beras
berubah bila faktor-faktor yang mempengaruhinya berubah satu persen. Dalam
analisis ekonomi mikro, tiga variabel utama yang umumnya dianggap sebagai
faktor yang paling berpengaruh terhadap permintaan terhadap satu komiditi adalah
harga
komoditi
itu
sendiri,
harga
komoditi
substitusi
dan
tingkat
pendapatan.Secara matematis, dapat dinyatakan sebagai berikut:
Qd = f(PX, PY, I, ...)
Keterangan :
Qd = jumlah komoditi X yang diminta
23 PX = Harga komoditi X per unit
PY = Harga komoditi Y per unit, dimana Y merupakan komoditi substitusi atau
komplemen
Elastisitas Harga (Price Elasticity)
Jika yang diamati adalah senvititas Qd terhadap PX maka konsep yang
digunakan adalah elastisitas harga (price elasticities) yaitu berapa persen jumlah
komoditi X yang diminta berubah, bila harga X berubah satu persen.
Hubungan antara Qd dengan PX adalah berlawanan arah (ΔX/ΔPX < 0),
maka angka elastisitas harga dapat dipastikan memiliki nilai negatif, karena itu
angka elastisitas harga dapat ditulis angka absolutnya saja. Jika angka elastisitas
harga lebih kecil dari satu, maka permintaan dikatakan inelastis atau tidak sensitif
terhadap perubahan harga, misalkan harga turun 10%, jumlah yang diminta hanya
naik kurang dari 10%. Sebaliknya jika
angka elastisitas harga lebih besar dari
satu, maka permintaan dikatakan elastis atau sensitif terhadap perubahan harga,
misalkan harga turun 10%, jumlah yang diminta naik lebih besar dari 10%.
Elastisitas harga dapat berubah sepanjang kurva permintaan (movement
along curve). Pada titik tengah kurva permintaan angka elastisitas adalah sama
dengan satu, yang artinya jika harga X berubah satu persen, maka jumlah X yang
diminta juga berubah satu persen. Areal di atas titik tengah merupakan daerah
elastis, karena angka elastisitas harga lebih besar dari satu. Pada areal ini jika
harga komoditi X turun satu persen, maka jumlah komoditi X yang diminta akan
bertambah lebih besar dari satu persen. Sebaliknya jika harga komoditi X naik
satu persen, maka jumlah komoditi X yang diminta akan berkurang lebih besar
dari satu persen. Selanjutnya areal di bawah titik tengah kurva permintaan
merupakan daerah inelastis, karena angka elastisitas harga lebih kecil dari satu.
Pada areal ini jika harga komoditi X turun satu persen, maka jumlah komoditi X
yang diminta akan bertambah, namun lebih kecil dari satu persen. Sebaliknya jika
harga komoditi X naik satu persen, maka jumlah komoditi X yang diminta akan
berkurang lebih besar dari satu persen.
24 Elastisitas harga juga dapat dibandingkan antar kurva permintaan. Jika
sudut kemiringan (slope) kurva permintaan semakin landai (datar) permintaan
dikatakan makin elastis. Kondisi ekstrim secara teoritis adalah pada saat kurva
permintaan berbentuk garis tegak lurus sejajar dengan sumbu vertikal (inelastis
sempurna) dan berbentuk garis lurus sejajar sumbu horisontal (elastis sempurna).
Inelastis sempurna artinya jumlah yang diminta sama sekali tidak responsif
terhadap perubahan harga ( Ε P =0) . Sedangkan elastis sempurna artinya jumlah
yang diminta sama sekali responsif sempurna terhadap perubahan harga ( Ε P = ∞). Elastisitas Silang (Cross Elasticity)
Sensitivitas Qd terhadap PY dikenal sebagai elastisitas silang (cross
elasticity) yaitu berapa persen jumlah X yang diminta berubah jika harga barang
Y berubah 1%. Nilai angka elastisitas silang (EC) menunjukkan sifat hubungan
antara komoditi X dan Y. Angka elastisitas silang yang negatif menunjukkan
hubungan antara komoditi X dan Y adalah komplemen. Jika harga Y naik, maka
jumlah Y yang diminta akan turun, sehingga jumlah komoditi X yang diminta
juga ikut berkurang. Bila Y merupakan substitusi X maka pada saat harga Y naik,
permintaan X akan naik pula, sebab konsumen mengurangi konsumi Y dan
menambah konsumsi X. Dengan demikian angka elastisitas silang komoditi
substitusi adalah positif (lebih besar dari nol).
Elastistas Pendapatan
Sensitivitas Qd terhadap I dikenal sebagai elastisitas pendapatan (cross
elasticity) yaitu berapa persen jumlah X yang diminta berubah jika pendapatan
berubah 1%. Nilai elastisitas pendapatan menunjukkan jenis komoditi. Jika angka
elastisitas pendapatan lebih kecil dari nol, maka barang tersebut dikatakan barang
inferior (inferior goods). Hal ini menunjukkan bahwa ada komoditi yang pada
saat tingkat pendapatan meningkat, jumlah yang diminta justru berkurang.
Jika angka elastisitas pendapatan lebih besar dari nol, maka barang
tersebut dikatakan barang normal (normal goods).
Untuk barang normal jika
elastisitas pendapatan lebih kecil dari satu, maka komoditi tersebut merupakan
25 komoditi kebutuhan pokok (primary goods). Sebaliknya,
jika elastisitas
pendapatan lebih besar dari satu, maka komoditi tersebut merupakan komoditi
kebutuhan luksurius (luxurious goods).
b.
Elastisitas Permintaan Beras di Indonesia: Prespektif Teoritis
Elastisitas permintaan beras adalah elastisitas harga, elastisitas silang dan
elastisitas pendapatan. Dari sudut pandang teori, elastisitas permintaan harga
komoditi beras adalah lebih kecil dari satu. Hal ini disebabkan dalam konteks
Indonesia, beras masih sulit dicari substitusinya dan konsumen beras di Indonesia
sangat banyak (sekitar 90% penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagai
kebutuhan pokok).
Elastisitas silang untuk komoditi beras di Indonesia, relatif kecil
khususnya untuk komoditi substitusi seperti jagung dan ubi-ubian. Harga beras
mempunyai pengaruh yang besar bagi konsumsi komoditas pangan lainnya.
Sebaliknya perubahan harga-harga komoditas non beras berpengaruh relatif kecil
terhadap konsumsi beras. Perubahan harga komoditas pangan non beras
tidak
memiliki dampak yang besar terhadap perubahan konsumsi beras. Elastisitas
pendapatan beras juga adalah lebih kecil dari satu, dalam arti jika pendapatan
tumbuh satu persen maka ceteris paribus konsumsi beras tumbuh kurang dari
satu persen.
c.
Hubungan Antara Elastisitas Permintaan Beras dengan Kemiskinan
Pengaruh elastisitas permintaan terhadap kemiskinan dapat dilihat dari
sisi konsumen dan produsen beras. Permintaan beras adalah tidak sensitif terhadap
perubahan pendapatan dan harga beras. Jika pendapatan konsumen beras,
meningkat maka konsumsi beras, kenaikannya tidak akan besar. Bagi petani, hal
ini menyebabkan petani tidak dapat berharap banyak terhadap peningkatan
pendapatan. Dengan kata lain, dalam jangka panjang, pertumbuhan permintaan
beras akan relatif rendah, sekalipun pendapatan nasional terus meningkat.
Karena permintaan beras, tidak sensitif terhadap perubahan harga beras,
maka dampak penurunan harga beras terhadap kesejahteraan rakyat tidaklah
besar. Menurunnya harga beras sebesar satu persen, hanya menaikkan jumlah
26 beras yang diminta kurang dari satu persen. Bagi konsumen beras, penurunan
harga beras, tidak terlalu mempengaruhi peningkatan kesejahteraan. Sebaliknya
bagi produsen, penurunan harga beras tidak mempunyai dampak yang besar
terhadap pendapatannya.
Jika harga beras naik, maka ceteris paribus konsumen beras, tidak akan
menurunkan konsumsi berasnya dalam jumlah besar. Hal ini menyebabkan
belanja konsumen untuk beras dapat meningkat. Bagi kelompok miskin, kenaikan
belanja tersebut dapat menurunkan kesejahteraan mereka, karena semakin
besarnya porsi pendapatan yang dikeluarkan untuk belanja beras. Bagi produsen
beras kenaikan belanja konsumen beras, merupakan peningkatan pendapatan
mereka.
3.1.2. Penawaran Beras
Sisi penawaran beras ditentukan oleh impor beras dan produksi beras
domestik. Jika impor beras makin tinggi maka pasokan beras domestik makin
besar. Sementara itu impor beras ditentukan terutama oleh harga beras impor,
kebijakan pemerintah dan perkiraan tentang defisit beras yang akan terjadi.
Sumber utama pasokan beras di Indonesia adalah pasokan padi. Besarnya
pengaruh pasokan padi nasional, terhadap pasokan beras ditentukan oleh angka
rendemen. Bila angka rendemen padi makin membaik, maka ceteris paribus
pasokan beras juga akan meningkat.
Produksi padi nasional ditentukan oleh harga riil beras, kapasitas produksi
nasional yang dihitung dengan mengalikan luas lahan dengan produktivitas lahan,
harga substitusi beras dan kebijakan pemerintah. Jika harga beras riil makin tinggi
maka ceteris paribus pasokan padi akan bertambah. Jika kapasitas produksi makin
tinggi, ceteris paribus produksi padi akan semakin tinggi. Demikian juga bila
harga substitusi beras, semakin tinggi maka produksi padi ceteris paribus akan
semakin besar. Sebaliknya bila harga faktor produksi, khususnya tenaga kerja,
sewa barang modal dan sewa lahan, semakin tinggi, maka ceteris paribus pasokan
padi berkurang.
27 Dilihat dari sifat beras sebagai komoditi primer, rendahnya tingkat
pertumbuhan penduduk, maka laju pertumbuhan konsumsi beras di Indonesia,
sebenarnya relatif rendah dan stabil. Faktor yang menimbulkan gejolak harga
beras adalah sisi penawaran. Karena itu stabilitas sisi penawaran, khususnya
peningkatan produksi beras diharapkan memperbaiki stabilitas harga dan pasokan
beras di Indonesia, yang pada saat bersamaan diharapkan dapat menurunkan
jumlah penduduk miskin di desa, terutama yang merupakan produsen padi. Faktor
utama yang menyebabkan lambannya pertumbuhan produksi beras adalah lahan
sawah yang semakin berkurang dan sebagai akibatnya Indonesia harus mengimpor
beras dalam jumlah yang besar setiap tahun.
3.1.3. Struktur Pasar Padi
Secara teoritis struktur pasar padi adalah persaingan sempurna (perfect
competition).
Struktur pasar persaingan sempurna mempunyai beberapa ciri
pokok, antara lain, produk homogen (homogenity) yang artinya fungsi dan
kualitas beras yang dihasilkan adalah sama, informasi sempurna (perfect
information) tidak ada produsen yang dominan (small relatively output), sehingga
posisi mereka adalah penerima harga (price taker) dan tidak ada kendala yang
menghalangi produsen baru yang ingin memasuki pasar, sebaliknya jika produsen
tidak mampu bersaing dia harus keluar dari pasar (free entry free exit). Struktur
pasar ini, secara teoritis seharusnya menghasilkan alokasi sumber daya yang
efisien, dimana dalam jangka panjang setiap produsen hanya menikmati laba
normal. Konsumen membayar harga beras per unit sama besar dengan biaya
marjinalnya saja atau tidak ada eksploitasi konsumen.
Tetapi tidak ada satupun asumsi-asumsi pasar persaingan sempurna yang
dapat dipenuhi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh banyak
faktor seperti perbedaan tingkat kesuburan tanah, perbedaan kepemilikan awal
(initial endowment) dan perbedaan kemajuan teknologi, maupun akses terhadap
informasi. Akibatnya struktur pasar padi dalam kehidupan nyata khususnya pada
level lokal, amat sulit diidentifikasi. Dalam kasus tertentu, jika distribusi lahan
28 sawah dan kesuburan lahan, relatif sama, maka pasar padi lebih mengarah ke
persaingan sempurna. Tetapi
jika dalam satu wilayah, lahan dikuasai oleh
kelompok atau keluarga tertentu, maka struktur pasar mengarah kepada non
kompetisi sempurna. Faktor lain yang menyebabkan struktur pasar padi pada
level lokal sulit diidentifikasi, adalah perbedaan lokasi produksi dan konsumsi.
Namun demikian, secara keseluruhan khususnya pada tingkat nasional dan
global, produsen padi posisinya adalah penerima harga, karena secara individu
tidak
mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengendalikan pasar.
Karena itu daya tahan produsen sangat ditentukan oleh efisiensi internal. Hal ini
menjadi masalah besar, bagi petani kecil karena tidak mampu mencapai efisiensi
yang tinggi dengan perluasan skala produksi (economies of scale).
3.1.4. Luas Lahan dan Dampaknya Bagi Pendapatan Petani
Seberapa besar peningkatan produksi beras, dapat mengurangi jumlah
penduduk miskin, ditentukan oleh luas lahan yang dimiliki atau dikelola petani
serta kualitas atau produktivitas lahan. Struktur pasar padi kalangan petani
khususnya petani kecil cenderung menempatkan petani sebagai penerima harga
(price taker). Berdasarkan hal tersebut, maka analisis hubungan antara luas lahan
dengan pendapatan petani padi dapat dilakukan pada tingkat individu. Pendapatan
petani dari usahanya dipengaruhi oleh besaran penerimaan dikurangi biaya yang
dikeluarkan, yaitu:
Keuntungan = Penerimaan – Biaya Produksi
Tinggi rendahnya penerimaan usahatani ditentukan oleh harga yang diterima bagi
produknya dikalikan dengan jumlah produksi yang dihasilkan:
Penerimaan = Harga Output X Jumlah produksi
Petani bertindak sebagai penerima harga (price taker), sehingga sisi penerimaan
yang dapat dikontrol petani lebih ditentukan oleh jumlah produksi. Jumlah
produksi adalah produktivitas dikalikan dengan luas lahan usahatani yang
diusahakan.
29 Jumlah Produksi = Produktivitas X Luas Lahan
(a)
Y (b)
Sawah Irigasi
Sawah Non Irigasi
Y Y1 Y2 MP, AP MP, AP AP AP S S0
Sumber : Nicholson, 1995
S1 S MP S2
S3 MP Gambar 5. Hubungan antara Kualitas Lahan, Skala Produksi dengan Pendapatan
Petani
Dengan demikian untuk meningkatkan jumlah produksi dari sisi penerimaan,
upaya
yang
dapat
dilakukan
adalah
meningkatkan
produktivitas
atau
meningkatkan luas lahan atau kedua-duanya. Produktivitas dapat ditingkatkan
melalui perbaikan teknologi dan akses petani terhadap input-input usahtani,
seperti pupuk, pestisida dan benih unggul. Pada tingkat petani, pembatas yang
utama biasanya adalah luas lahan yang dikuasai. Oleh sebab itu penguasaan luas
lahan oleh petani akan berhubungan langsung (positif) dengan pendapatan petani.
30 Secara teoritis produktivitas lahan sawah ditentukan oleh tingkat kesuburan tanah,
kuantitas dan kualitas irigasi, serta kualitas pengelolaan lahan. Bila diasumsikan
tingkat kesuburan sawah dan kualitas pengelolaan sawah di antara petani adalah
sama maka pendapatan petani ditentukan oleh jenis lahan sawah yang dimiliki
yang dalam konteks Indonesia umumnya dibedakan dengan lahan sawah irigasi
dan non irigas (termasuk ladang padi). Selanjutnya bila diasumsikan harga padi
dan harga input adalah konstan, maka hubungan antara luas lahan dan dampaknya
bagi pendapatan petani dapat dijelaskan dengan menggunakan Gambar 5.yang
menunjukkan hubungan antara kualitas lahan, skala produksi dan pendapatan
petani pada dalam satu musim panen.
Kurva pada bagian atas
menggambarkan hubungan antara luas lahan
sawah (S) dengan produksi padi yaitu gabah kering panen (Y). Panel (a) adalah
lahan sawah irigasi, panel (b) adalah lahan sawah non irigasi. Kurva produksi
(kurva Y) lahan sawah irigasi lebih besar dibanding kurva lahan sawah non
irigasi. Hal ini menunjukkan untuk luas lahan yang sama, produksi GKP yang
dihasilkan sawah irigasi adalah lebih banyak dibanding dengan non rigasi.
Kurva bagian bawah menggambarkan produktivitas kedua jenis lahan.
Lahan sawah irigasi maksimal yang bisa dikelola adalah S1 dimana hasil GKP
yang diperoleh Y1. Sedangkan luas lahan sawah non irigasi yang optimal adalah
S3 dimana GKP yang diperoleh Y2.
Luas lahan maksimal adalah pada saat
produktivitas marjinal (MP) sudah sama dengan nol. Lebih rendahnya skala
optimal
lahan sawah non irigasi menunjukkan lebih cepat terjadinya the law of
diminishing return. Bila masing-masing petani dapat mengelola lahannya sampai
luas maksimal, maka pendapatan petani yang mengelola lahan sawah irigasi
adalah lebih besar dari petani yang mengelola lahan sawah non irigasi.
Sawah irigasi umumnya dapat dipanen minimal dua kali setahun,
sedangkan sawah non rigasi rata-rata dipanen setahun sekali. Dengan demikian
bila analisis dilakukan dalam dimensi waktu per tahun, maka penghasilan petani
yang mengelola sawah jauh lebih besar lagi dibanding dengan petani yang
mengelola sawah non irigasi.
31 Analisis dampak .luas lahan atau distribusi penguasaan lahan terhadap
pendapatan petani dapat dilihat di Gambar 5, Misalkan semua lahan sawah yang
tersedia adalah sawah irigasi dan misalkan lahan optimal seluas S1 adalah sama
dengan dua hektar. Diasumsikan juga luas lahan yang menghasilkan AP tertinggi
pada S0 adalah seluas 1 hektar. Maka secara teoritis luas lahan yang efisien untuk
diolah adalah 1 sampai dengan dua hektar. Berapa luas lahan yang akan digarap
petani, ceteris paribus ditentukan oleh harga Gabah Kering Panen, namun interval
luas yang digarap adalah antara satu sampai dengan dua hektar.
Asumsi-asumsi yang disusun pada paragraf di atas, dapat disimpulkan
bahwa petani-petani yang memiliki lahan kurang dari satu hektar, selain
penghasilannya lebih rendah, namun juga efisiensi usahanya lebih rendah.
Demikian halnya dengan petani-petani yang memiliki sawah lebih luas dari dua
hektar. Hal ini secara implisit menunjukkan petingnya distribusi penguasaan lahan
yang adil, tetapi juga memenuhi syarat luas yang efisien. Analisis untuk petani
yang mengelola sawah non irigasi adalah analogis dengan analisis petani
pengelola lahan irigasi. Misalkan bila S2 adalah 0,5 hektar dan S3 adalah 1 hektar,
maka luas lahan swah non irigasi yang optimal adalah antara 0,5 sampai dengan 1
hektar. Analisis yang lebih komprehensif membawa kepada kesimpulan bahwa
petani yang mengelola lahan sawah non irigasi dengan luas (skala usaha) yang
sangat kecil, akan memperoleh pendapatan yang sangat kecil dan mengalamai
inefiensi usaha.
3.2.
Dimensi Ekonomi Makro Beras dan Kemiskinan
Dimensi ekonomi makro tentang beras dan kemiskinan diuraikan
berdasarkan pemikiran bahwa kemiskinan adalah salah satu hasil interaksi antara
permintaa agregat dengan penawaran agregat, seperti dapat divisualisasikan dalam
bentuk Gambar 6..
32 Permintaan Agregat:
-Tingkat Harga Umum
- Pendapatan Riil
Perkapita
- Distribusi Pendapatan
- Kebijakan pemerintah
- Kejutan Eksternal
Penawaran Agregat :
-Harga input
-Stok Barang Modal
-Jumlah Tenaga Kerja
-Teknologi
-Manajemen
-Kebijakan
Pemerintah
-Kejutan Eksternal
Kinerja Makro:
-Pertumbuhan Ekonomi
-Stabilitas Harga Umum
-Pengangguran
Jumlah
Penduduk
Miskin
Gambar 6. Dimensi Ekonomi Makro dan Penduduk Miskin
Gambar 6. menunjukkan bahwa pengaruh interaksi antara permintaan dan
penawaran agregat terhadap pengentasan kemiskinan terjadi melalui perbaikan
kinerja ekonomi makro yang diukur dari pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga
umum dan tingkat pengangguran.
Pertumbuhan ekonomi yang relatif
tinggi dan stabil dalam jangka
panjang, terkendalinya laju inflasi pada level yang rendah dan perluasan
kesempatan kerja yang menurunkan tingkat pengangguran, dipercaya dapat
menurunkan atau mengurangi jumlah penduduk miskin. Seberapa cepat ekonomi
dapat tumbuh, tanpa disertai inflasi yang tinggi dan sebaliknya disertai dengan
perluasan kesempatan kerja, sangat ditentukan oleh kemampuan mengelola sisi
permintaan dan penawaran agregat.
3.2.1. Permintaan Agregat
Permintaan agregat (agregat demand) adalah total barang/jasa yang
diminta pada berbagai tingkat harga umum. Permintaan agregat ditentukan oleh
33 internal dan eksternal perekonomian. Faktor-faktor internal antara lain adalah
tingkat harga umum, pendapatan per kapita, distribusi pendapatan dan kebijakan
pemerintah. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada diluar kemampuan
kendali perekonomian internal, seperti resesi dunia.
Hubungan antara tingkat harga umum dengan jumlah output agregat yang
diminta adalah berlawanan arah. Jika indeks harga umum menurun (deflasi)
ceteris paribus akan meningkatkan jumlah agregat yang diminta. Sebaliknya jika
terjadi inflasi, jumlah agregat yang diminta akan meningkat. Membaiknya
pendapatan per kapita dan distribusi pendapatan, akan menyebabkan permintaan
agregat bertambah.
Kebijakan ekspansif pemerintah, baik kebijakan fiskal (perpajakan) dan
atau moneter akan meningkatkan permintaan agregat. Misalkan, bila pemerintah
menambah belanjanya, maka permintaan agregat akan bertambah. Sebaliknya
kebijakan kontraktif akan mengurangi permintaan agregat.
Komponen utama permintaan agregat adalah konsumsi rumah tangga
(consumption), konsumsi pemerintah (government consumption) dan investasi
swasta
(investment).
Jika
perekonomian
melakukan
hubungan
dengan
perekonomian luar negeri atau dunia, maka komponen permintaan agregat
ditambah dengan ekspor neto (net export) yaitu selisih antara ekspor dengan
impor barang dan jasa.
Pada saat perekonomian semakin maju, biasanya terjadi perubahan
struktur permintaan agregat. Pada awalnya, komponen permintaan agregat
didominasi oleh konsumsi. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa pada saat
pendapatan nasional per kapita masih rendah, sekitar 75% permintaan agregat
adalah konsumsi. Bila diamati lebih seksama, pada saat itu komponen konsumsi
didominasi oleh konsumsi pangan.
Ketika pendapatan per kapita semakin tinggi, nilai absolut konsumsi
semakin besar, namun porsi relatif terhadap PDB semakin mengecil. Sekalipun
demikian, porsi konsumsi dalam permintaan agregat tetap yang paling dominan.
Ketika pendapatan nasional meningkat, struktur konsumsi juga mengalami
34 perubahan, dimana porsi pengeluaran untuk pangan mengalami penurunan.
Konsumsi non pangan yang meningkat terutama adalah jasa pendidikan,
kesehatan, perumahan, transportasi dan informasi.
Pada saat perekonomian terus tumbuh, maka porsi investasi dalam
permintaan agregat terus meningkat. Beberapa bukti empiris menunjukkan porsi
tersebut dapat mencapai sekitar 30% sampai dengan 40% permintaan agregat.
Besar porsi investasi dalam permintaan agregat dalam jangka panjang, sangat
menentukan kecepatan pertumbuhan kapasitas produksi perekonomian. Jika
investasi terus meningkat, maka dalam jangka pendek permintaan agregat akan
terus meningkat, tetapi dalam jangka panjang kapasitas produksi akan terus
meningkat.
3.2.2. Penawaran Agregat
Penawaran agregat adalah jumlah total barang/jasa yang ditawarkan pada
berbagai tingkat harga umum. Penawaran agregat ditentukan oleh faktor-faktor
tingkat harga umum, tingkat harga input, stok barang modal, jumlah tenaga kerja,
tingkat kemajuan teknologi, manajemen, kebijakan pemerintah dan kejutan
eksternal.
Penawaran agregat dalam jangka pendek, mengacu kepada tingkat
response jumlah output agregat ketika harga umum pengalami kenaikan. Jika
jumlah output agregat yang ditawarkan memiliki respon yang besar terhadap
perubahan tingkat harga umum, maka penawaran agregat dikatakan elastis. Jika
penawaran agregat bersifat elastis, maka peningkatan permintaan agregat akan
menstimulir pertumbuhan ekonomi, tetapi laju inflasi relatif rendah.
Dalam jangka panjang, pengertian penawaran agregat mengacu kepada
kapasitas produksi, yaitu berapa output agregat yang dapat dihasilkan ketika
seluruh faktor produksi telah digunakan.
Kapasitas produksi agregat sebuah
perekonomian, besarnya ditentukan oleh stok barang modal yang tersedia, jumlah
35 tenaga kerja, kemajuan teknologi dan manajemen yang mempunyai pengaruh
terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja dan barang modal.
3.2.3. Perkembangan
Struktur
Produksi
dan
Dampaknya
terhadap
Kemiskinan
Struktur
produksi
juga
mengalami
perubahan
seiring
dengan
perkembangan ekonomi. Pada tahap awal perkembangan perekonomian sangat
mengandalkan sektor pertanian, khususnya pangan. Ketika
perekonomian
mengalami kemajuan, maka terjadi pergeseran struktur produksi, dimana peran
sektor pertanian menurun, digantikan oleh sektor industri. Selanjutnya ketika
perekonomian terus berkembang, sektor yang menjadi andalan adalah sektor jasa.
Saat ini peran sektor pertanian di negara-negara maju hanya 3% PDB, sedangkan
peran sektor industri sekitar 30%-35% PDB. Dengan demikian peran sektor jasa
mencapai lebih dari 60% PDB.
Dampak perubahan struktur produksi terhadap pengentasan kemiskinan
bersifat mendua. Di satu sisi, perubahan struktur produksi dapat mengentaskan
kemiskinan khususnya di desa, melalui perluasan kesempatan kerja dan
peningkatan pendapatan. Di sisi lain, perubahan struktur produksi dapat
menambah kemiskinan, bila modernisasi perekonomian, menutup akses bagi
angkatan kerja yang berasal dari sektor pertanian untuk masuk ke sektor industri
dan atau jasa.
3.3. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam analisis pada tulisan ini adalah data sekunder
yang dikumpulkan dari lembaga-lembaga pemerintah seperti BPS, Bulog, dan
Departemen Perdaganghan. Data yang dikumpulkan tersebut merupakan data
panel dengan time series dari tahun 2000 - 2008 dan cross-section yang terdiri
dari 23 provinsi. Data ke-23 propinsi ini merupakan propinsi penghasil deras
terbesar yang ada di Indonesia. Jumlah amatan dalam data panel tercatat sebanyak
36 7 × 23 = 161 amatan. Data tersebut terdiri dari variabel-variabel sebagai berikut:
jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, produk domestik
regional bruto (PDRB) perkapita, share PDRB tanaman pangan, rata-rata
produktifitas, rasio ketahanan pangan minimum dan harga riil beras, serta variabel
dummy yang menyatakan rejim kebijakan harga BBM. Keseluruhan variabel
tersebut di rangkum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Variabel-variabel yang Digunakan dalam Model
No
Variabel
Keterangan
Satuan
Sumber
1
LMISD
Log. Jumlah penduduk miskin desa
Orang
BPS
2
LAVPRO
Log Produksi per hektar
Ribu ton
Deptan
3
LYC
Log. PDRB riil per kapita
Ribu rupiah
BPS
4
LPBRS
Log. Harga riil beras
Rupiah
5
BBM
Dummi kebijakan
0 dan 1
6
LSPANGAN
Log. Share pangan
Persen
BPS
7
HBE
Harga Beras eceran
Rupiah
Bulog
8
HDG
Harga Dasar gabah
Rupiah
Bulog
9
HPU
Harga Pupuk urea
Rupiah
Bulog
10
PIM
Harga beras impor
Rupiah
Dep.Perdag
11
VIB
Volume Impor Beras
Ribu ton
Dep.Perdag
12
LPP
Log. Prpduksi padi
Ribu ton
BPS
13
LLAI
Log. Luas lahan sawah irigasi
Ribu hektar BPS
14
LNONIR
Log. Luas lahan non irigasi
Ribu hektar BPS
15
LLADANG
Log Luas lahan ladang
Ribu hektar BPS
16
LVPU
Log. Volume pupuk urea
Ribu hektar BPS
Dep.Perdag
37 
Download