Penanganan Terkini Malaria Falciparum

advertisement
Penanganan Terkini Malaria Falciparum
Umar Zein
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
I. Pendahuluan
Malaria merupakan masalah kesehatan dibanyak negara diseluruh dunia. Tiga ratus juta
penduduk diserang setiap tahunnya dan 2-4 juta meninggal dunia 1. Indonesia merupakan
daerah endemis malaria, walaupun telah dilakukan program pelaksanaan dan
pemberantasan penyakit malaria sejak tahun 1959, namun hingga saat ini angka kesakitan
dan kematian masih cukup tinggi 2.
Malaria adalah suatu penyakit protozoa dari genus plasmodium yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk anopheles betina. Malaria dapat juga ditularkan secara langsung melalui
transfusi darah, jarum suntik serta dari ibu hamil kepada bayinya 3,4. Pada manusia
terdapat 4 spesis Plasmodium yaitu falciparum, vivax, malariae dan ovale. 1,3
Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodik, anemia, trombositopeni, dan
splenomegali. Berat ringannya manifestasi malaria tergantung jenis plasmodium yang
menyebabkan infeksi dan imunitas penderita5.
Diagnostik malaria sebagaimana penyakit pada umumnya didasarkan pada gejala klinis,
penemuan fisik diagnostik, laboratorium darah, uji imunoserologis dan ditemukannya
parasit (plasmodium) di dalam darah tepi penderita sebagai gold standard6,7
II. Siklus hidup Plasmodium Malaria 8,9
Dalam siklus hidupnya plasmodium mempunyai dua hospes yaitu pada manusia dan
nyamuk. Siklus aseksual yang berlangsung pada manusia disebut skizogoni dan siklus
seksual yang membentuk sporozoit didalam nyamuk disebut sporogoni.
II.1. Siklus aseksual
Sporozoit infeksius dari kelenjar ludah nyamuk anopheles betina dimasukkan kedalam
darah manusia melalui tusukan nyamuk tersebut. Dalam waktu tiga puluh menit jasad
tersebut memasuki sel-sel parenkim hati dan dimulai stadium eksoeritrositik dari pada
daur hidupnya. Didalam sel hati parasit tumbuh menjadi skizon dan berkembang menjadi
merozoit. Sel hati yang mengandung parasit pecah dan merozoit keluar dengan bebas,
sebagian di fagosit. Oleh karena prosesnya terjadi sebelum memasuki eritrosit maka
1
e-USU Repsository ©2005 Universitas Sumatera Utara
disebut stadium preeritrositik atau eksoeritrositik. Siklus eritrositik dimulai saat merozoit
memasuki sel-sel darah merah. Parasit tampak sebagai kromatin kecil, dikelilingi oleh
sitoplasma yang membesar, bentuk tidak teratur dan mulai membentuk tropozoit,
tropozoit berkembang menjadi skizon muda, kemudian berkembang menjadi skizon
matang dan membelah banyak menjadi merozoit. Dengan selesainya pembelahan tersebut
sel darah merah pecah dan merozoit, pigmen dan sisa sel keluar dan memasuki plasma
darah. Parasit memasuki sel darah merah lainnya untuk mengulangi siklus skizogoni.
Beberapa merozoit memasuki eritrosit dan membentuk skizon dan lainnya membentuk
gametosit yaitu bentuk seksual.
II.2. Siklus seksual
Terjadi dalam tubuh nyamuk. Gametosit yang bersama darah tidak dicerna oleh sel-sel
lain. Pada makrogamet (jantan) kromatin membagi menjadi 6-8 inti yang bergerak
kepinggir parasit. Dipinggir ini beberapa filamen dibentuk seperti cambuk dan bergerak
aktif disebut mikrogamet. Pembuahan terjadi karena masuknya mikrogamet kedalam
makrogamet untuk membentuk zigot. Zigot berubah bentuk seperti cacing pendek
disebut ookinet yang dapat menembus lapisan epitel dan membran basal dinding
lambung. Ditempat ini ookinet membesar dan disebut ookista. Didalam ookista dibentuk
ribuan sporozoit dan beberapa sporozoit menembus kelenjar nyamuk dan bila nyamuk
menggigit/ menusuk manusia maka sporozoit masuk kedalam darah dan mulailah siklus
pre eritrositik. (Gambar 1)
2
e-USU Repsository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Gambar 1 : Skema siklus hidup Plasmodium Malaria (Dikutip dari 9)
III. Resistensi Plasmodium
Meningkatnya insidens malaria disebabkan oleh berbagai macam faktor, salah satu
adanya kasus malaria yang resisten terhadap obat anti malaria.2 Resistensi parasit malaria
terhadap klorokuin muncul pertama kali di Thailand pada tahun 1961 dan di Amerika
Serikat pada tahun 1962. Dari kedua fokus ini resistensi meluas keseluruh dunia. Di
Indonesia resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin ditemukan pertama kali
di daerah Kalimantan Timur pada tahun 1974, kemudian resistensi ini terus meluas dan
pada tahun 1996 kasus-kasus malaria yang resisten klorokuin sudah ditemukan diseluruh
provinsi di Indonesia.10,11,12
Kecepatan penyebaran resistensi plasmodium terhadap obat anti malaria tidak sama pada
masing-masing daerah atau Negara. Menurut White, ada 3 faktor yang menimbulkan
resistensi, yaitu Faktor Operasional, seperti dosis subterapeutik, kepatuhan penderita
yang kurang, Faktor Farmakologik, dan Faktor Transmisi Malaria, termasuk intensitas,
drug pressure dan imunitas. Untuk mencegah atau memperlambat laju resistensi, maka
terapi kombinasi anti malaria yang rasional sangat dianjurkan.13 Berbagai penelitian terus
3
e-USU Repsository ©2005 Universitas Sumatera Utara
dilakukan dalam rangka mengatasi resistensi obat anti malaria. Salah satu usaha yang
dilakukan dengan pengobatan kombinasi.14,15
IV. Obat antimalaria di Indonesia
Saat ini obat antimalaria yang tersedia di Indonesia terdiri dari obat-obat lama seperti,
klorokuin, pirimetamin- sulfadoksin, kina dan primaquin14 , juga sudah ada beberapa obat
baru yang penggunaannya masih terbatas didaerah tertentu dan belum direkomendasi
secara luas oleh Depkes. Contoh obat baru tersebut adalah Kombinasi Artesunate dengan
Amodiakuin, Kombinasi Artesunate dengan Meflokuin, Kombinasi Artemisinin dengan
Naftokuin, dan Artemeter injeksi.
Antibiotika yang bersifat antimalaria seperti derivat Tetrasiklin, Doksisiklin,
Klindamisin, Eritromisin, Kloramfenikol, Eritromisin, Sulfametoksazol - trimetropin dan
Quinolon. Obat ini umumnya bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum, kerjanya
sangat lambat dan kurang efektif. Oleh sebab itu, obat ini digunakan bersama obat
antimalaria lain yang kerjanya cepat dan menghasilkan efek potensiasi yaitu antara lain
dengan kina.15
IV.1. Klorokuin
Klorokuin adalah 4 aminoquinolin bersifat skizontosida darah. Secara farmakologis
bekerja dengan mengikat feriprotoporfirin IX yaitu suatu cincin hematin yang merupakan
hasil metabolisme hemoglobin didalam parasit. Ikatan feriprotoporfirin IX-klorokuin ini
bersifat melisiskan membran parasit sehingga parasit mati.16 Klorokuin tersedia dalam
bentuk tablet dan sirup klorokuin sulfat atau difosfat untuk pemberian per oral, dan
larutan 8% atau 10% klorokuin difosfat untuk pemberian parentral (intramuskular). Satu
tablet klorokuin mengandung 250 mg difosfat atau 204 mg klorokuin sulfat yang setara
150 mg basa. Pada pemakaian per oral, konsentrasi puncak didalam plasma dicapai dalam
2-3 jam dengan waktu paruh sebenarnya adalah 6-10 hari.14
Klorokuin adalah obat anti malaria yang paling luas pemakaiannya karena mudah
diperoleh, efek samping yang minimal disamping itu harganya murah. Dosis total
klorokuin adalah 25 mg basa/ kg berat badan diberi dalam 3 hari yaitu hari pertama dan
kedua masing-masing 10 mg basa /kg berat badan dan pada hari ketiga 5 mg basa/kg
berat dan saat ini klorokuin merupakan obat pilihan utama (fisrt line drug) untuk
pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi .14, 16
Efek samping yang ditemukan adalah ringan dari yaitu pusing, vertigo, diplopia, mual,
muntah dan sakit perut. Gangguan neurologis (kelemahan otot, pusing, sakit kepala,
pandangan kabur dan kejang-kejang ).14
Namun pemberantasan malaria falciparum menghadapi kendala yang serius sejak
ditemukan pertama kalinya kasus resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin
di Kalimantan Timur pada tahun 1974, kemudian resistensi ini terus meluas dan pada
4
e-USU Repsository ©2005 Universitas Sumatera Utara
tahun 1996 kasus-kasus malaria yang resisten klorokuin sudah ditemukan diseluruh
provinsi di Indonesia.3 Berdasarkan pedoman WHO, bila ditemukan resistensi
palsmodium terhadap klorokuin disuatu daerah > 25%, maka dianjurkan untuk tidak lagi
menggunakan klorokuin sebagai antimalaria, kecuali dikombinasi dengan antimalaria
lain.
IV.2. Pirimetamin- sulfadoksin
Pirimetamin-sulfadoksin (PS) adalah obat anti malaria kombinasi antara golongan
sulfonamide / sulfon dengan diaminopirimidine yang bersifat skizontosida jaringan,
skizontosida darah dan sporontosidal.14 Obat ini sangat praktis karena dapat diberi dalam
dosis tunggal namun obat ini mempunyai kelemahan karena mudah mengalami resisten.
Oleh karena itu kombinasi obat ini digunakan secara selektif untuk pengobatan radikal
malaria falciparum didaerah yang resisten terhadap antimalaria klorokuin. Secara
farmakologis pirimetamin bekerja sebagai inhibitor enzim tetrahidrofolat, akibatnya
parasit tidak mampu melanjutkan siklus hidupnya dan akhirnya difagosit sedangkan
sulfadoksin bekerja berkompetisi dengan PABA (para amino benzoic acid) dalam
memperebutkan enzim dihidrofolat sintetase sehingga pembentukan asam dihidropteroat
terganggu dan asam folat yang diperlukan parasit tidak terbentuk. Di Indonesia obat ini
tersedia hanya dalam bentuk tablet untuk pemberian peroral dan satu tablet mengandung
500 mg sulfadoksin dan 25 mg pirimetamin. Konsentrasi puncak didalam darah dicapai
dalam 2-4 jam dengan waktu paruh sulfonamida adalah 180 jam dan pirimetamin adalah
90 jam. Dosis yang digunakan untuk sulfadoksin adalah 25mg/ kg BB dan pirimetamin
1,25 mg/kg BB. Saat ini kombinasi pirimetamin-sulfadoksin merupakan pilihan pertama
(first line drug) untuk kasus malaria falciparum tanpa komplikasi yang resisten klorokuin
atau daerah yang telah dinyatakan resisten klorokuin. Efek samping yang pernah
dilaporkan adalah kulit kemerahan dengan gatal dan sindroma Steven Johnson 14,16
IV.3. Kina
Kina merupakan obat anti malaria kelompok alkaloida kinkona yang bersifat skizontosida
darah untuk semua jenis plasmodium manusia dan gametosida P. vivax dan P. malariae.
Obat ini merupakan obat anti malaria alternatif untuk pengobatan radikal malaria
falciparum tanpa komplikasi yang resisten terhadap klorokuin dan pirimetaminsulfadoksin (multidrug). Mekanisme kerja kina sebagai obat antimalaria belum jelas,
kina dapat membentuk ikatan hidrogen dengan DNA yang akan menghambat sintesa
protein sehingga pembelahan DNA dan perubahan menjadi RNA tidak terjadi. Di
Indonesia obat ini tersedia dalam bentuk tablet kina sulfat untuk pemberian peroral pada
pengobatan radikal malaria falciparum tanpa komplikasi . Satu tablet kina mengandung
220 mg kina sulfat . konsentrasi puncak di dalam plasma dicapai dalam waktu 1-3 jam
setelah dosis pertama sedangkan konsentrasi di dalam eritrosit lebih kurang seperlima
konsentrasi dalam plasma.14 Waktu paruh kina pada orang sehat adalah dalam 11 jam
sedangkan penderita malaria tanpa komplikasi 16 jam dan setelah 48 jam konsentrasi
kina dijumpai sangat sedikit sekali di dalam darah. Dosis kina sulfat untuk pengobatan
radikal malaria falciparum tanpa komplikasi yang resistensi klorokuin dan pirimetaminsulfadoksin ( multidrug ) adalah 10 mg/Kg BB / dosis 3 kali sehari selama 7 hari dan
5
e-USU Repsository ©2005 Universitas Sumatera Utara
beberapa kepustakaan menyatakan bahwa dosis kina untuk Plasmodium falciparum
harus dengan dosis yang cukup dan lebih besar dibanding strain lain, dimana kadarnya
diperlukan sebesar 5 mg/L untuk membasmi parasit aseksual dalam darah sedang dengan
konsentrasi kurang dari 2 mg/L efeknya sedikit sekali 14,16
Bunnag dkk, menemukan angka penyembuhan kina hanya sekitar 70 -75 % terhadap
plasmodium falciparum pada pemberian 7 hari,17
Efek samping yang telah dilaporkan adalah hipoglikemia, urtikaria, buta, pendengaran
menurun, anemia hemolitik, nyeri perut, nausea, muntah dan lain-lain.14, 16
IV.4. Primakuin
Primakuin merupakan obat antimalaria kelompok 8 amino kuinolin yang bersifat
skizontosida jaringan, gametosida dan sporontosida untuk plasmodium manusia. Obat ini
merupakan obat antimalaria pelengkap atau tambahan pada pengobatan malaria klinis,
pengobatan radikal dan pengobatan malaria berat dengan komplikasi. Primakuin
mempunyai efek dengan menghambat proses respirasi mitokhondrial didalam parasit
malaria melalui metabolitnya yang bersifat sebagai oksidan. Di Indonesia obat ini
tersedia dalam bentuk tablet primakuin difosfat untuk pemberian peroral. Satu tablet
primakuin difosfat setara dengan 15 mg basa primakuin. Konsentrasi puncak dalam
plasma dicapai dalam waktu 1 jam setelah pemberian pertama.14,16
Dosis primakuin sebagai pelengkap pengobatan malaria klinis, dan pengobatan radikal
malaria falciparum adalah 0,5 0,75 mg basa/kgbb, dosis tunggal pada hari pertama
pengobatan. Untuk pengobatan radikal malaria vivax, malariae dan ovale adalah 0,25 mg
/ kgbb, dosis tunggal selama 5 – 14 hari atau 0,75 mg /kgbb, dosis tunggal tiap minggu
selama 8 – 12 minggu. Efek samping yang dilaporkan adalah mual, muntah, sakit perut,
anemia, leukopenia, sakit kepala, pruritus, aritmia, dan kontra indikasi pada penderita
defisiensi G6PD.9,14
V. Terapi Kombinasi
V.1. Klorokuin dan pirimetamin sulfadoksin
Klorokuin dan pirimetamin-sulfadoksin merupakan obat antimalaria yang sering
digunakan sebagai pilihan pertama pengobatan Plasmodium falciparum. Di Afrika
resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin telah meningkat dengan cepat dan
intensif sejak tahun 1979. Bersamaan dengan itu resistensi Plasmodium falciparum
terhadap pirimetamin-sulfadoksin sejak tahun 1980.14,18 Di Indonesia pertama kali kasus
plasmodium falciparum resisten terhadap klorokuin pada tahun 1974 di Kalimantan
Timur. Di Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal provinsi Sumatera Utara pada
tahun 1994 telah dinyatakan oleh Departemen Kesehatan RI sebagai daerah yang
resisten terhadap klorokuin dengan penyebaran yang tidak merata. 19
6
e-USU Repsository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Ginting dkk, pada tahun 2001 pada daerah tersebut dimana penelitian dilakukan secara
invivo terhadap 61 pasien yang menderita malaria falciparum menemukan ada 29 orang
(47,5%) yang resistensi klorokuin dan dari 58 pasien yang diteliti terhadap pirimetaminsulfadoksin menemukan ada 29 orang ( 50 %) yang resisten.20
Beberapa penelitian yang telah dilakukan seperti pada penelitian Hutapea, melaporkan
pertama kali resistensi Plasmodium falciparum terhadap pirimetamin-sulfadoksin pada 9
kasus di Irian Jaya, yang mana sebelumnya daerah itu telah dinyatakan resisten terhadap
klorokuin pada tahun 1981.21
Studi di Gambia dan Papua New Guinea yang membandingkan efikasi dan keamanan
kombinasi klorokuin dan pirimetamin-sulfadoksin dibandingkan
pirimetaminsulfadoksin sendiri menunjukkan bahwa efikasi kombinasi tergantung pada tingkatan
resistensi. Kombinasi klorokuin dan pirimetamin-sulfadoksin merupakan standard pilihan
pertama pengobatan di Malaysia sejak tahun 1977, dan Papua New Guinea sejak tahun
2000, dimana keduanya merupakan daerah infeksi Plasmodium falciparum dan
Plasmodium vivax. 18
Bastanta dkk pada tahun 2001 di Kabupaten Mandailing Natal yang membandingkan
efikasi kombinasi klorokuin dan pirimetamin-sulfadoksin dibandingkan pirimetaminsulfadoksin sendiri menunjukkan bahwa kombinasi klorokuin dan pirimetaminsulfadoksin lebih efektif dalam menghilangkan parasit dalam darah dan lebih cepat
menghilangkan demam dibandingkan pirimetamin-sulfadoksin sendiri pada penderita
malaria falciparum tanpa komplikasi.22
V.2. Kombinasi kina dan tetrasiklin
Kina dan tetrasiklin merupakan pilihan terapi pada daerah dengan resistensi klorokuin
dan pirimetamin-sulfadoksin (multidrug). Dimana penambahan tetrasiklin tersebut
berguna untuk memberikan efek potensiasi terhadap kina. Resistensi terhadap kina
belum ada dilaporkan secara invivo di Indonesia namun secara invitro telah ditemukan di
6 provinsi ( Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Tengah, dan Irian Jaya)3,14
Bunnag dkk, menemukan pemakaian kombinasi kina 600 mg 3x sehari selama 7 hari tetrasiklin 250 mg 4 x sehari selama 7 hari efikasinya sangat berbeda bermakna dibanding
kina 600 mg 3 x sehari selama 5 hari - tetrasiklin 250 mg 4 x sehari selama 7 hari tanpa
dijumpai efek samping yang bermakna.17
VI. Terapi Terkini Malaria falciparum
Pengobatan kombinasi dilakukan bila sudah ada studi tentang pola resistensi di suatu
daerah melalui survei resistensi. Bila suatu obat sudah mengalami resistensi > 25% maka
obat tersebut tidak dianjurkan digunakan. Tujuan dari terapi kombinasi adalah untuk
7
e-USU Repsository ©2005 Universitas Sumatera Utara
meningkatkan efikasi antimalaria maupun
aktivitas sinergestik antimalaria, dan
memperlambat progresifitas resistensi parasit terhadap obat-obat yang baru.23,24
Terapi kombinasi merupakan pengobatan dengan menggunakan lebih dari satu macam
obat antimalaria yang bersifat skizontosida darah. Obat ini dapat dalam bentuk formulasi
atau gabungan, dimana mempunyai mekanisme kerja yang bebas dan target biokimia
yang berbeda pada parasit malaria. Bukan dianggap suatu terapi kombinasi jika
komponen obat yang dikombinasikan tidak mempunyai efek skizontosida darah, bila
dipakai tunggal seperti pirimetamin sulfadoksin, maupun obat-obat skizontosida darah
dengan obat skizontosida jaringan, atau dengan obat-obat yang bukan antimalaria.24,25
Artemisinin dipilih sebagai basis terapi kombinasi malaria yang penting saat ini,
dikarenakan 26 :
- Kemampuan menurunkan parasitemia lebih cepat 10 kali dari pada obat-obat anti
malaria lainnya
- Mempunyai efek samping yang minimal
- 2 juta kasus dilaporkan telah diobati dengan basis artemisinin tanpa adanya efek
toksis.
- Artemisinin diabsorpsi cepat melalui oral
- Dapat diberi melalui intravena maupun intramuskuler, dengan pemberian 1 kali
sehari
- Dapat mengurangi karier gametosit pada manusia
- Belum ada dilaporkan resistensi terhadap artemisinin, walaupun sudah lama
digunakan di negara China.
Artemisinin, artesunate, artemether dan dihidroartemisinin telah digunakan dalam
kombinasi dengan obat antimalaria lain. Kesemua obat-obat ini telah memiliki informasi
klinis. Studi pre-klinis artemisinin dan derivatnya tidak menghambat aktivitas mutagen
dan teratogenik, namun obat ini telah menyebabkan resorpsi pada fetus hewan pengerat
pada dosis yang relatif rendah > 10 mg/kgbb, bila diberikan setelah 6 hari masa gestasi.
Laporan pengunaan obat ini pada wanita hamil sangat terbatas. Oleh karena, disebabkan
efek yang terjadi pada hewan pengerat tersebut dan sangat terbatasnya data pada manusia,
maka derivat artemisinin tidak direkomendasikan untuk digunakan pada trimester
pertama kehamilan18
WHO, pada tahun 2001 telah merekomendasikan pilihan terapi kombinasi malaria terkini
yang berbasis derivat artemisinin, yang meliputi 18,27
1. Kombinasi Artemether dengan Lumefantrine
2. Kombinasi Artesunat dengan Amodiaquine
3. Kombinasi Artesunat dengan Pirimetamin Sulfadoksin (pada daerah dimana
pirimetamin-sulfadoksin efikasinya tinggi)
4. Kombinasi Amodiaquine dengan Pirimetamin Sulfadoksin (pada daerah dimana
amodiaquine dan pirimetamin-sulfadoksin efikasinya tinggi)
5. Kombinasi Artesunat dengan
meflokuin (direkomendasikan pada daerah
penyebaran malaria yang rendah).
VI.1. Kombinasi Artemether dengan Lumefantrine
8
e-USU Repsository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Lumefantrin merupakan suatu aryl amino alkohol yang menyerupai kina, meflokuin dan
halofantrin. Secara biokimia efek anti malarianya melibatkan proses pengikatan
lysosomal terhadap obat pada parasit intra-eritrosit, yang diikuti dengan pengikatan hem
yang diproduksi selama proses pembentukan hemoglobin. Pengikatan ini untuk
mencegah polimerisasi hem terhadap pigmen malaria yang tidak toksis.28
Sebanyak 16 studi yang melibatkan lebih dari 3000 pasien, termasuk 600 orang anak
dibawah 5 tahun, telah dilakukan di Eropa, Asia tenggara, dan Afrika. Pada daerah
penyebaran malaria yang rendah atau tidak ada sama sekali, angka penyembuhan dengan
regimen 4 dosis adalah 95,1 % di luar Thailand dan 76,5 % di Thailand, dimana
kebanyakan pasien datang dari daerah resisten multidrug malaria. Di Thailand regimen 6
dosis selama 28 hari yang dilengkapi dengan studi PCR untuk membedakan reinfeksi
dengan rekrudensi memperlihatkan perbaikan angka penyembuhan 92,7 %. Suatu studi di
Thailand memperlihatkan betapa pentingnya banyaknya dosis dari pada kadar dosis
terhadap efikasi kombinasi obat ini. Studi ini juga menunjukkan bahwa angka
penyembuhan 97 % pada pasien yang mendapatkan dosis ≥ 50 mg/kgbb tanpa
memandang tingkatan parasitemia, tetapi angka penyembuhan secara signifikan lebih
rendah dengan kepadatan parasit ≥ 20.000 / ml, bila dosis total lumefantrin < 50
mg/kgbb.18,29
Kombinasi Artemether dengan Lumefantrine dapat digunakan untuk pengobatan malaria
P. falciparum, tanpa komplikasi, termasuk strain dari daerah resisten multidrug.
Walaupun regimen 4 dosis efektif pada pasien dewasa semi imun dari Afrika, Untuk
memastikan efikasi yang lebih tinggi dan kemanjuran yang lebih tinggi dengan obat ini
sebaiknya dipakai regimen 6 dosis untuk keseragaman pengobatan. Dosisnya (80 mg
Arthemeter + 480 mg Lumefantrin) diberikan selama 48 jam dimulai pada saat adanya
gejala atau diagnosa ditegakkan, kemudian diikuti pada jam ke 8,24,48, dosis regimen ini
memiliki angka pengobatan yang lebih efektif > 95 % pada daerah penyebaran malaria
yang tinggi dan dimana P. falciparum lebih sensitif terhadap obat ini. Di Thailand dengan
penyebaran malaria yang rendah tetapi resisten multidrug P. falciparum banyak muncul,
diberikan 6 dosis regimen selama 3 hari, efikasinya > 95 %. 28, 29
VI.2. Kombinasi Artesunat dengan Amodiaquine
Amodiaquin
merupakan suatu 4 aminoquinolin mirip dengan klorokuin telah
dipergunakan secara luas untuk pengobatan dan pencegahan malaria. Amodiaquin telah
dilakukan studi kombinasi dengan artesunat dan pirimetamin-sulfadoksin, selanjutnya
kombinasi ini merupakan salah satu pilihan yang direkomendasikan oleh WHO untuk
program kontrol malaria. Beberapa negara terutama di Afrika telah menggunakan
kombinasi terapi yang mengandung amodiaquin.30
Terapi kombinasi berbasis derivat artemisinin seperti direkomendasikan oleh WHO
berdasarkan adanya argumentasi 31 :
- Obat-obat dengan mekanisme kerja yang berbeda dapat meningkatkan efikasi
9
e-USU Repsository ©2005 Universitas Sumatera Utara
-
Obat-obat ini dapat meningkatkan efikasi yang lebih tinggi dan penurunan jumlah
gametosit dan menurunkan penyebaran malaria.
Obat-obat ini dapat memperlambat resistensi oleh karena kemungkinan resistensi
parasit terhadap obat-obat ini lebih rendah dan oleh karena artesunat dengan cepat
mengurangi resistensi multidrug parasit, dapat membunuh parasit dengan
konsentrasi yang tinggi dari obat kombinasi ini.
Hasil studi Adjuik tahun 1999 di Gabon, menunjukkan bahwa kombinasi artesunat dan
amodiaquin dapat meningkatkan efikasi pengobatan di Gabon dan Kenya dan juga di
Senegal. Kombinasi artesunat dan amodiaquin merupakan kombinasi yang efektif dan
ditoleransi dengan baik. Angka kesembuhan parasit selama 14 hari pemberian kombinasi
> 90 % pada semua tempat studi. Kombinasi artesunat dengan amodiaquine merupakan
pilihan pada daerah dimana efikasi klorokuin sudah diketahui 18, 31
VI.3. Kombinasi Artesunat dengan Pirimetamin Sulfadoksin
Pirimetamin Sulfadoksin sebagai penghambat enzim folate telah dipakai untuk
menggantikan klorokuin sebagai lini pertama bagi pengobatan malaria falciparum tanpa
komplikasi di beberapa negara. Keuntungan pemakaian pirimetamin-sulfadoksin antara
lain harga terjangkau, dosis tunggal dan efek samping yang sedikit, namun sudah
mengalami resistensi, dimana keadaan ini berkembang cepat di Asia tenggara dan
sekarang ini meningkat di Afrika Timur.
Derivat artemisinin, artesunat merupakan anti malaria yang poten dan relatif aman dan
belum ada hubungan dengan resistensi, walaupun begitu bila artesunat digunakan dalam
waktu yang singkat maka akan muncul rekrudensi yang lambat, dan obat ini terlalu
mahal. Suatu studi di Afrika kombinasi pirimetamin-sulfadoksin dengan amodiaquin dan
pirimetamin-sulfadoksin dengan artesunat dapat meningkatkan efektifitas bila
dibandingkan dengan pirimetamin-sulfadoksin sendiri 18.30
VI.4. Kombinasi Amodiaquin dengan Pirimetamin Sulfadoksin
Amodiaquin suatu 4 aminoquinolin yang sama dengan klorokuin telah digunakan
dengan luas dan sudah dimasukkan sebagai program malaria kontrol oleh WHO pada
tahun 1990. Di Afrika amodiaquin sebagai suatu obat alternatif pengganti klorokuin.
Walaupun adanya resistensi silang antara 4 aminoquinolin ini yang menyebabkan
mengganti klorokuin dengan amodiaquin. Banyak data yang menunjukkan bahwa
amodiaquin efektif pada daerah resistensi klorokuin, yang mempunyai efek samping yang
sama dengan klorokuin dan pirimetamin-sulfadoksin.
Pada studi Staedke di Kampala-Uganda pada tahun 1999-2000, menunjukkan bahwa
pirimetamin-sulfadoksin, amodiaquin keduanya efektif untuk pengobatan malaria
falciparum tanpa komplikasi. Kombinasi amodiaquin-pirimetamin-sulfadoksin lebih
efektif dan dapat sebagai alternatif pengganti klorokuin dengan biaya yang rendah.18,32
10
e-USU Repsository ©2005 Universitas Sumatera Utara
VI.5. Kombinasi Artesunat dengan meflokuin
Regimen pemakaian kombinasi artesunat dengan meflokuin pertama kali dipergunakan
dinegara Thailand. Hal ini telah menjadi standar pengobatan terhadap malaria falciparum
tanpa komplikasi pada tahun 1995. Rekomendasi regimen artesunat terkini 4 mg/kgbb
sekali sehari selama 3 hari tambah meflokuin (25 mg/kgbb) diberikan dengan dosis
terpisah 15 mg/kgbb pada hari kedua pada hari kedua diikuti 10 mg/kgbb pada hari
ketiga. 18, 33
Laporan tentang kasus malaria / tahun di Thailand ± 60% disebabkan plasmodium
falciparum yang terdistribusi di provinsi Tak, selama tahun 1993 – 1999 dimana rata-rata
25.000 kasus / tahun diantara penduduk Thailand dan 40.000 kasus / tahun diantara
imigran dari Myanmar. Selama lebih dari 5 tahun, problem resistensi obat didaerah
Maesod telah dapat diatasi. Sejauh ini belum ada resistensi pada kombinasi obat ini.33, 34
VI.6. Kombinasi Atovaquone dan Proguanil35
Salah satu kombinasi tetap obat antimalaria yang sudah beredar dalam bentuk obat paten
adalah Malarone yang terdiri dari kombinasi Atovaquone 250 mg dan Proguanil 100 mg.
Malarone merupakan kombinasi baru antimalaria yang dikatakan mempunyai efektifitas
yang tinggi untuk mencegah malaria dan pengobatan malaria, bahkan terhadap
p.falciparum yang sudah resisiten terhadap banyak obat (Multi Drugs Resistence
p.falciparum). Atovaquone mempunyai mekanisme kerja baru dan tidak mempunyai efek
cross resisten terhadap obat antimalaria yang lain. Kedua jenis obat ini secara aktif dapat
mengatasi hepatic stage dari p.falciparum, sehingga dapat digunakan sebagai profilaksis
dan penggunaannya dapat dihentikan setelah 7 hari meninggalkan daerah endemik
malaria. Atovaquone menghambat p.falciparum melalui inhibisi transport elektron pada
mitokondria dan menggagalkan membarane potensial mitokondria. Hambatan transport
elektrone mitokondria ini pada level cytochrome bc1 complex. Pada malaria, biosintesis
pyrimidine dan transport elektron dirangkaikan melalui ubiquinone/ubiquinol.
Atovaquone juga menggagalkan membrane potensial dari p.yoelii dan p.falciparum.
Salah satu mekanisme kerja dari proguanil adalah melalui metabolitnya, yaitu cycloguanil
adalah menghambat enzim dihydrofolate reductase (DHFR). Tetapi pada dosis proguanil
yang lebih besar, tidak terjadi penghambatan enzim DHFR plasmodium. Dengan
dihambatnya GHFR parasit, maka terjadi deplesi dari kofaktor tetrahydrofolate yang
dibutuhkan oleh metabolisme seluler, terutama sintesa DNA dan akan mencegah
pertumbuhan parasit. Disamping itu, mekanisme kerja proguanil juga melalui aktifitas
yang tidak bergantung pada metabolit cycloguanil. Parasit yang resisten terhadap
cycloguanil masih tetap dapat dihambat oleh konsentrasi tinggi dari proguanil. Hal ini
merupakan kekuatan dari kombinasi kedua obat ini, dan membuktikan bahwa adanya
mekanisme aktifitas intrinsik dari parent compoud disamping melalui enzim DHFR.
Mekanisme lain dari proguanil masih belum dapat dijelaskan, tetapi nampaknya melalui
toksisitas terhadap mitokondria. Proguanil secara potensial dengan atovaquone akan
menggagalkan membrane potensial dari mitokondria parasit plasmodium. Studi
farmakokinetik menunjukkan bahwa tidak diperlukan penyesuaian dosis pada penderita
lanjut usia, ganguan fungsi hati ringan atau sedang, dan gangguan fungsi ginjal ringan
11
e-USU Repsository ©2005 Universitas Sumatera Utara
sampai sedang. Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal yang berat (Kreatinin
klirens < 30 ml/menit), akan mempengaruhi klirens dari proguanil dan cycloguanil,
sehingga waktu paruh eliminasinya akan memanjang dibandingkan orang normal.
Konsentrasi plasma dari malarone pada dosis ulangan penderita dengan gangguan fungsi
ginjal berat menun jukkan 2 kali lipat pada proguanil dan 6 kali lipat pada cycloguanil.
Oleh karena itu, malarone dikontra indikasikan untuk profilaksis malaria pada penderita
gangguan fungsi ginjal berat.
Pemberian bersamaan atovaquone dengan anti baklteri seperti rifampisin dan rifabutin
menyebabkan menurunnya keadaan steady state atovaquone AUC sebesar 52% dan 34%.
Atovaquone meningkatkan konsentrasi steady state rata-rata rifampisin sebasar 37%.
Pemberian bersama metoklopramide menurunkan AUC konsentrasi atovaquone sebesar
50%, tetapi efikasi malarone terhadap pengobatan malaria tidak menunjukkan penurunan
yang signifikans. Pemberian bersama tetrasiklin menurunkan AUC atovaquone 40%,
tetapi kombinasi atovaquone dengan tetrasiklin terhadap pengobatan malaria lebih efektif
dibandingkan atovaquone sendiri.
Uji klinis malarone menunjukkan efikasi untuk preventif malaria falciparum sebesar 97%
dan untuk pengobatan malaria akut tanpa komplikasi sebesar 99% pada orang-orang
yang berada didaerah endemik atau populasi immune.
Pada populasi non immune, efikasi preventif terhadap p.falciparum 96% dan p.vivax 84%
Efek samping yang dapat terjadi berupa ganguan gastrointestinal seperti mual, muntah,
nyeri perut, dan diare. Dapat juga timbul gangguan neuropsikiatrik, seperti mimpi yang
menakutkan, insomnia, pusing, ansietas, gangguan penglihatan, dan depresi.
Efek samping serius yang dapat terjadi berupa hipotensi, urtikaria, dan reaksi anafilaktik.
Ruam kulit eksfoliatif dapat terjadi setelah hari ke 19 pengobatan profilaksis..
Kelainan laboratorium yang dapat terjadi adalah peningkatan enzim transaminase hati
ALT dan AST
Dosis yang dianjurkan untuk profilaksis malaria : dimulai 1-2 hari sebelum memasuki
daerah endemik malaria, selama berada didaerah endemik, dan sampai 7 hari setelah
meninggalkan daerah endemik. Untuk malaria akut tanpa komplikasi : dewasa : 4 tablet
malarone dewasa perhari selama 3 hari berturut-turut
VII. Kesimpulan :
Pengobatan malaria, terutama malaria falciparum saat ini telah mengalami
perkembangan, sehubungan dengan makin meluasnya resistensi plasmodium falciparum
terhadap obat-obat antimalaria yang sudah lama digunakan. Dianjurkan untuk
memberikan pengobatan kombinasi dengan obat antimalaria yang baru maupun dengan
antimalaria yang lama, bergantung pada kondisi daerah, status resistensi, dan obat-obatan
yang tersedia.
Terapi kombinasi bertujuan untuk meningkatkan efikasi antimalaria maupun aktivitas
sinergestik antimalaria dan memperlambat progresifitas resistensi parasit terhadap obat12
e-USU Repsository ©2005 Universitas Sumatera Utara
obat yang baru. Untuk
keseragaman pilihan obat kombinasi mengacu kepada
rekomendasi dari WHO tahun 2001 tentang panduan pemakaian obat kombinasi untuk
malaria. Walaupun WHO sudah memberikan rekomendasi, namun masalah resistensi
obat-obat antimalaria masih menjadi kendala, terutama untuk daerah yang berbeda
epidemiologi serta pada kondisi daerah dimana monoterapi masih efektif.
VIII. KEPUSTAKAAN
1. Pribadi W, Sungkar S: Malaria, Jakarta : Balai Penerbit FK UI;1994.
2. Simanjuntak C.H, Arbani P.R.: Status Malaria di Indonesia, Cermin Dunia
Kedokteran,1999;55:3-11.
3. White NJ, Breman JG: Malaria and Babesiosis. In; Isselbacher KJ, Braundwald E, Wilson JD,
Martin JB, (eds). Harrison’s principles of internal medicine. 13 th ed. New york: Megraw-hill;
1994:887-99.
4. Gunawan S: Epidemioliogi Malaria, Dalam : Harijanto PN, (ed). Malaria Epidemiologi,
Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan. Jakarta: EGC;2000:l-16.
5. Harijanto PN: Gejala Klinik Malaria Berat, Dalam: Harijanto PN, (ed). Malaria
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan. Jakarta: EGC;2000:l66-84.
6. White NJ: Malaria. In: Cook G, Bahr M(eds). Mansons Tropical Diseases 12 th ed. London.
WB Saunders Company; 1996:1087-.1165.
7. Purwaningsih S: Diagnosis Malaria. Dalam : Harijanto P N, (ed). Malaria Epidemiologi,
Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan. Jakarta: EGC;2000:185-93.
8. Nugroho A, Wagey MT. Siklus hidup Plasmodium Malaria. Dalam : Harijanto PN (editor)
Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 2000; 38-53
9. Taylor TE, Strickland GT. Malaria. In : Strickland GT (Ed). Hunter’s
Tropical Medicine and Emerging Infectious Diseases, 8th ed. W.B.
10. Acang N. Kasus malaria resisten klorokuin di Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. M.
Djamil, Padang. Majalah Kedokteran Indonesia, 2002; 52; 11: 383-9.
11. Depkes RI. Malaria. Test resistensi untuk plasmodium falsiparum. Jakarta. Dirjen P2M dan
PLP, 1995; 3-29.
12. Laihad FJ, Gunawan S. Malaria di Indonesia. Dalam : Harijanto PN (Editor) Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, 2000; 17-25.
13. Report Meeting on Anti Malaria Drug Development, WHO Regional Office
for The Western Pacific, Shanghai, China, 2001; 1-5
14. Tjitra E . Obat anti-malaria, Dalam : Harijanto PN (editor) Malaria, Epidemiologi,
Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
2000; 194-223.
15. Radlofi PD, Philips J, Nkeyi M, Hutchinson D, Kremsher PG. Atavaquone and
proguanil for Plasmodium falciparum malaria. Lancet, 1990; 347 :1695-1701.
16. WHO Expert Committee on Malaria. Twentieth report. Drug resistance of malaria parasites.
WHO, Geneva, 2000; 27-34. Saunders Company, Philadelphia, 2000, 614- 43.
17. Bunnag D, Karbwang J, Na Bangchang K, Thanabul A, Chittamas
S, Harinasuta T. Quinine-Tetracycline for multidrug resistant falciparum malaria
South East Asian. J Trop Med Public Health, 1996; 27:15-8.
18. Antimalarial Drug Combination Therapy Report of a WHO Technical Consultation.
WHO, Geneva ; 2001; 6 – 23.
13
e-USU Repsository ©2005 Universitas Sumatera Utara
19. Depkes RI. Malaria. Test resistensi untuk plasmodium falsiparum. Jakarta. Dirjen P2M dan
PLP, 1995; 3-29.
20. GintingY, Tarigan MB, Umar Zein, Pandjaitan B. The Comparison of Resistance of
Chloroquine and Pyrimethamine-Sulfadoxin in Uncomplicated Malaria falciparum in Siabu
District, Mandailing Natal Regency Sumatera Utara province. Kongres Bersama PETRI,
Yogyakarta; 2001.
21. Sungkar S, Pribadi W. Resistensi Plasmodium falciparum terhadap obat-obat malaria.
Majalah Kedokteran Indonesia,1992; 42: 3; 155-62.
22. Tarigan MB, Umar Zein, Ginting Y, Pandjaitan B. Manfaat Kombinasi Klorokuin –
Pirimetamin-sulfadoksin dibandingkan dengan Pirimetamin-sulfadoksin pada malaria
falciparum tanpa komplikasi. Kongres Bersama PETRI, Yogyakarta; 2001.
23. Rosenthal PJ, Antimalarial drug discovery: old and new approaches. The Journal of
Experimental Biology, 2003 ; 206;3735-44
24. Konsensus Penanganan Malaria 2003. PAPDI, 2003; 27-30
25. Antimalarial combination therapy in Africa. Available from URL. :
http://www.gtz.de/malaria/downloads/rbm-combination-therapy.doc
26. Malaria & what works: Artemisinin-based combination therapy– the prescription for
Africa..Available from URL: http://www.msf.org/content/page.cfm?articleid=2F1698564D66-4E90-B49E02C3EAE4F496
27. Position of WHO's Roll Back Malaria Department on malaria treatment policy. Available
from URL. : http://www.emro.who.int/RBM/WHOPositionStatement.pdf
28. The use antimalarial drugs. Available from URL. :
http://www.rbm.who.int/cmc_upload/0/000/014/923/am_toc.htm
29. Lefevre G, Looareesuwan S, Treeprasertsuk S, Krudsood S, Silachamroon U,Gathmann I. A
clinical and pharmacokinetic trial of six dosis of artemether-lumefantrine for multidrugresistant Plasmodium falciparum malaria in Thailand. Am J Trop med Hyg, 2001; 64; 5; 247
–56.
30. Dorsey G, Njama D, Kamya MR, Cattamanchi A, Kyabayinze D, Staedke SG. Sulfadoxine /
pyrimethamine alone or with amodiaquine or artesunate for treatment of uncomplicated
malaria: a longitudinal randomized trial. The Lancet, 2002; 360, 9350; 2031 – 8.
31. Adjuik M, Agnamey P, Babiker A, Bormann S, Brasseur P, Cisse M. Amodiaquineartesunate versus amodiaquine for uncomplicated Plasmodium falciparum malaria in African
children; a randomized, multicentre trial. The Lancet 2002, 359, 9315; 1365 – 71
32. Staedke SG, Kamya MR, Dorsey G, Gassasina A, Ndeezi G, Charlebois ED. Amodiaquine,
sulfadoxine / pyrimethamine, and combination therapy for treatment of uncomplicated
falciparum malaria in Kampala-Uganda: a randomized trial. The Lancet 2001, 358, 9279;
368 – 71.
33. Wongsrichanalai Ch, Thimasam K, Sirichaisinthop J . Antimalarial drug combination policy:
A caveat. Lancet, 2000; 355; 9222; 2245 – 3.
34. Price RN, Nosten F, Luxemburger C. Artesunate / mefloquine treatment of multidrug
resistant falciparum malaria. Trans R Soc Trop Med Hyg, 1997; 91; 5; 574 (abstract)
35. Malarone. Pruduct Monograph GlaxoSmithKline, February 2001.
14
e-USU Repsository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Download