BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bentonit Bentonit adalah clay yang sebagian besar terdiri dari montmorillonit dengan mineral-mineral minor seperti kwarsa, kalsit, dolomit, feldspars, dan mineral minor lainnya. Montmorillonit merupakan bagian dari kelompok smectit dengan komposisi kimia secara umum (Mg,Ca)O.Al2O3.5SiO2.nH2O. Bentonit berbeda dari clay lainnya karena hampir seluruhnya (75%) merupakan mineral montmorillonit. Mineral montmorillonit terdiri dari partikel yang sangat kecil sehingga hanya dapat diketahui melalui studi mengunakan XRD (X-Ray Diffraction). Struktur montmorillonit memiliki konfigurasi 2:1 yang terdiri dari dua silikon oksida tetrahedral dan satu alumunium oksida oktahedral. Pada tetrahedral, 4 atom oksigen berikatan dengan atom silikon di ujung struktur. Empat ikatan silikon terkadang disubtitusi oleh tiga ikatan alumunium. Pada oktahedral atom alumunium berkoordinasi dengan enam atom oksigen atau gugusgugus hidroksil yang berlokasi pada ujung oktahedron. Al3+ dapat digantikan oleh Mg2+, Fe2+, Zn2+, Ni+, Li+ dan kation lainnya. Subtitusi isomorphous dari Al3+ untuk Si4+ pada tetrahedral dan Mg2+ atau Zn2+ untuk Al3+ pada oktahedral menghasilkan muatan negatif pada permukaan clay, hal ini diimbangi dengan adsorpsi kation di lapisan interlayer (Alemdar, et. al., 2005). 5 6 Gambar 2.1 Struktur Monmorillonit (Othmer, 1964) Adanya atom-atom yang terikat pada masing-masing lapisan struktur montmorillonit memungkinkan air atau molekul lain masuk di antara unit lapisan. Akibatnya kisi akan membesar pada arah vertikal. Selain itu karena adanya pergantian atom Si oleh Al menyebabkan terjadinya penyebaran muatan negatif pada permukaan bentonit. Bagian inilah yang disebut sisi aktif (active site) dari bentonit dimana bagian ini dapat menyerap kation dari senyawa-senyawa organik atau dari ion-ion senyawa logam. 2.1.1 Tipe Bentonit dan Pemanfaatannya Berdasarkan pada sifat penyerapan dan sifat katalis yang dimiliki oleh bentonit, bentonit banyak digunakan dalam berbagai aplikasi industri sebagai adsorben pestisida, adsorben kotoran binatang, katalis dan penunjang katalis, bahan pemucat (bleaching earth) dalam industri minyak sawit dan berbagai industri farmasi. Penggunaan ini didasarkan oleh ketersediaan bentonit yang ada di alam. 7 Di alam, bentonit terdiri atas dua jenis, yaitu natrium bentonit dan kalsium bentonit yang keduanya dapat dibedakan dari sifat mengembang (swelling) bila dicelupkan ke dalam air. 1. Natrium bentonit Memiliki kemampuan mengembang delapan kali lipat bila dicelupkan ke dalam air dan membentuk suspensi kental setelah bercampur air dengan pH 8.5 - 9.8. Dapat dimanfaatkan sebagai pengisi (filler), lumpur pemboran, bahan pencampur dalam pembuatan cat, bahan baku farmasi dan sebagainya. 2. Kalsium bentonit Kurang mengembang bila dicelupkan ke dalam air dan suspensinya memiliki pH 3 - 7. Kalsium bentonit digunakan sebagai bahan pemucat warna (bleaching earth) pada industri minyak sawit, zat pemisah pada pengilangan minyak bumi, perusahaan bir dan sebagainya. 2.1.2 Sifat Fisik dan Kimia Bentonit Dalam keadaan kering bentonit mempunyai sifat fisik berupa partikel butiran yang halus berbentuk rekahan-rekahan atau serpihan yang khas seperti tekstur pecah kaca (concoidal fracture), kilap lilin, lunak, plastis, berwarna kuning muda hingga abu-abu, bila lapuk berwarna coklat kekuningan, kuning merah atau coklat, bila diraba terasa licin, dan bila dimasukan ke dalam air akan menghisap air. Sifat fisik lainnya berupa : massa jenis : 2,2-2,8 g/L indeks bias : 1,547-1,557 titik lebur : 1330-1430oC 8 Bentonit termasuk mineral yang memiliki gugus aluminosilikat. Unsurunsur kimia yang terkandung dalam bentonit diperlihatkan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Komposisi Kimia Bentonit Senyawa Na-Bentonit (%) Ca-Bentonit (%) SiO2 61,3-61,4 62,12 Al2O3 19,8 17,33 Fe2O3 3,9 5,30 CaO 0,6 3,68 MgO 1,3 3,30 Na2O 2,2 0,50 K2O 0,4 0,55 H2O 7,2 7,22 Sumber: Puslitbang Tekmira, 2002 Partikel bentonit bermuatan negatif yang diimbangi dengan kation yang dapat dipertukarkan dan terikat lemah (Na, Ca, Mg, atau K). Adanya kation yang dapat dipertukarkan ini memungkinkan bentonit memisahkan logam berat dari air, dan juga memisahkan senyawa organik kationik melalui mekanisme pertukaran ion. 2.1.3 Organobentonit Bentonit yang dimodifikasi (bentonit termodifikasi) oleh senyawa organik disebut sebagai organobentonit. Organobentonit adalah bentonit yang menyerap molekul kation dari senyawa-senyawa organik. Ada banyak pemanfaatan yang diperoleh dengan disintesisnya organobentonit. Pestisida dan makanan hewan merupakan sebagian kecil dari pemanfaatan organobentonit (Othmer, 1964). 9 Penambahan kation organik yang berasal dari garam organik dapat pula menghasilkan organobentonit yang memiliki sifat tertentu (Walid, et al., 2003). Salah satu sifat yang merupakan suatu hal yang penting dalam pembentukan organobentonit adalah kestabilan termal yang dimiliki oleh garam organik. Dengan kestabilan termal yang dimiliki oleh garam organik yang selanjutnya digunakan untuk memodifikasi sifat bentonit, diharapkan akan terbentuk bentonit termodifikasi atau organobentonit yang memiliki kestabilan termal yang tinggi. Salah satu sifat yang menarik dari bentonit adalah memiliki kemampuan menyerap kation tertentu yang selanjutnya diubah menjadi kation lain dengan menggunakan suatu pereaksi ion tertentu. Reaksi pertukaran kation ini terjadi pada bagian sisi dari unit struktur silika aluminat sehingga tidak merubah struktur mineral dari bentonit. Pertukaran kation adalah reaksi reversibel dengan transfer energi rendah dari ion antara fasa padat dan fasa cair. Metode pertukaran kation banyak digunakan pada proses-proses yang berkaitan dengan tanah, seperti pada pemisahan mineral tanah, adsorpsi nutrisi tanah, pemisahan senyawa elektrolit, dan untuk mempertahankan pH tanah. Proses pertukaran kation menyebabkan terjadinya netralisasi dari muatan negatif koloid tanah melawan muatan kation. Kation berikatan dengan permukaan koloid melalui ikatan Van-der-Waals. Gerakan kation pada permukaan koloid tidak terlalu kaku, tetapi karena ada energi panas yang mempengaruhi gerakan dan menyebabkan lebih mudah bergerak dari permukaannya, seperti gerakan belahan yang memberikan kombinasi khusus dari ion dan permukaan koloid. Ada dua tipe permukaan, pertama yang sukar terikat 10 sehingga sulit terjadi pertukaran atau fixed cation dan yang kedua adalah tidak terlalu sukar untuk berikatan sehingga terjadi pertukaran kation. Gambar 2.2 Kation yang mengalami pertukaran dan tidak mengalami pertukaran Pertukaran kation terjadi ketika ion ( ) berada dalam suatu larutan, kemudian bergerak ke daerah belahan kation pada permukaan ( ), sehingga terjadi proses pertukaran kation (Gambar 2.3.a). Namun apabila ion yang ada pada permukaan terlalu sulit untuk mengalami pertukaran kation, maka pertukaran kation tidak akan terjadi (Gambar 2.3.b). 11 Gambar 2.3 Mekanisme Pertukaran Kation Harga kapasitas pertukaran kation dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis mineral, pH larutan, jenis kation, dan konsentrasi mineral. Ada beberapa penyebab yang mengakibatkan bentonit memiliki kapasitas pertukaran kation yaitu: 1. Karena adanya ikatan yang terputus disekeliling sisi silika-alumina sehingga menimbulkan muatan yang tidak seimbang, dan untuk menyeimbangkannya kembali diperlukan penyerapan kation. 2. Terjadinya substitusi alumina bervalensi tiga didalam kristal bentonit. Proses pertukaran kation terjadi bersamaan dengan proses swelling dari bentonit. Pada saat bentonit berada pada lingkungan air, maka ion-ion positif akan meninggalkan matrik bentonit. Karena molekul air bermuatan polar maka molekul air akan tertarik pada matrik bentonit dan kation akan terlepas dari bentonit. Apabila terjadi proses balik yaitu penarikan kation oleh bentonit, molekul air yang 12 bermuatan positif akan tertarik menuju bentonit. Sehingga terjadi proses mengembang dari bentonit yang lebih dikenal dengan sebutan swelling. 2.2 Cairan Ionik Sejalan dengan makin kuatnya tuntutan dunia industri atas penyediaan material baru yang handal, aman, dan ramah untuk berbagai keperluan, maka perhatian komunitas sains internasional pada penggunaan cairan ionik sebagai generasi baru pelarut green, material elektrolit, dan fluida teknik pada tahun-tahun terakhir ini nampak semakin besar (Earle, et al., 2000; dan Brennecke, et al., 2001). Sebagai elektrolit, cairan ionik digunakan pada baterai, proses pelapisan logam dan sistem sensor (Blomgren, 2003; Bhatt, 2003; dan Buzzeo, et al., 2004). Penggunaan cairan ionik sebagai pelarut green dapat ditemukan pada sintesis kimia, katalisis dan biokatalisis (Olivier, et al., 2002; Vidis, et al., 2005; dan Miao, et al., 2005). Pada bidang teknik proses, cairan ionik digunakan sebagai fluida teknik seperti sebagai cairan pengemban panas, pelumas, pemodifikasi organik dan kristal cair (Blake, et al., 2002; Ye, et al., 2001; Merrigan, et al., 2000; Walid, et al., 2004; Hollbrey, 1999; dan Gordon, 1998). 2.2.1 Sejarah Cairan Ionik Sejarah dari cairan ionik bermula dari laporan pertama pada tahun 1914 melalui preparasi etilammonium nitrat, [EtNH3]+[NO3]-. Garam ini dibentuk dari penambahan asam nitrat ke dalam etilamin, kemudian didestilasi untuk menghilangkan air yang terkandung dalam garam tersebut agar garam yang dihasilkan berupa garam murni berbentuk cair pada temperatur ruangan. 13 Kebanyakan cairan ionik dibentuk dari kation yang tidak mengandung proton asam, dan kation-kation yang umum digunakan adalah kation-kation imidazolium, komplek polikationik amina, alkilammonium, benzotriazolium, dan sebagainya. Pada akhir abad 1940, Frank Hurley dan Tom Weir di Rice Institute Texas mengemukakan bahwa mereka mampu membuat semacam garam yang cair pada suhu mendekati suhu ruangan. Mereka mencampurkan bubuk garam organik yang dipanaskan, alkilpiridinium klorida, dengan garam aluminium klorida lain dan menemukan bahwa kedua bubuk tersebut tercampur secara cepat dan membentuk cairan tidak berwarna yang disebut sebagai cairan ionik. 2.2.2 Definisi Cairan Ionik Cairan ionik adalah material yang hanya terdiri atas spesies ionik (kation dan anion), tidak mengandung molekul netral tertentu, dan mempunyai titik leleh relatif rendah, terletak pada suhu < 100-150 oC, walaupun umumnya pada suhu kamar (Hagiwara, et al., 2000). Berbeda dengan garam cair (molten salt) yang biasanya mempunyai titik leleh dan viskositas tinggi, juga sangat korosif, cairan ionik umumnya berwujud cair pada suhu kamar, mempunyai viskositas relatif lebih rendah dan relatif tidak mempunyai sifat korosif (Toma, et al., 2000). Cairan ionik mempunyai rentang cair yang sangat lebar; tidak menguap (non volatile); tidak terbakar (non flammable); stabilitas panas, kimia, dan elektrokimia yang tinggi (dalam beberapa kasus mempunyai stabilitas termal sampai 400 °C); nilai tekanan uap yang dapat diabaikan; kemampuan melarutkan banyak senyawa organik dan anorganik; serta sifat kedapatlarutan (miscibility) yang beragam dengan pelarut air dan pelarut organik (Davis, et al., 2003). 14 Sistem kation pada cairan ionik umumnya merupakan kation organik dengan sifat ruah, seperti P-alkilposfonium, N-alkil-piridinium, S-alkilsulfo-nium, N-alkilpirolidinium, N,N-dialkilpirazolium dan N,N-dialkilimidazolium (Olivier, et al., 2002). Perhatian terbesar fokus riset selama ini diarahkan pada kation N,Ndialkilimidazolium, karena begitu beragamnya sifat fisikokimia yang dapat disediakan (Olivier, et al., 2002). Bank data dari Royal Society of Chemistry (RSC), American Chemical Society (ACS), dan publikasi dari Elsevier menunjukkan hal ini. Dari sekitar 83 publikasi RSC pada tahun 2002 yang berkaitan dengan cairan ionik, 74-nya menyangkut garam imidazolium, dan persentase yang sama didapatkan dari data publikasi pada ACS dan Elsevier (Davis, et al., 2003). 2.2.3 Jenis - Jenis Cairan Ionik Pada umumnya kation cairan ionik merupakan kation organik yang ruah seperti diperlihatkan pada gambar 2.4. [N R X H (4-X ) ] + [SR X H (3-X ) ] + [PR X H (4-X ) ] + Am onium Sulfonium Posfonium R2 R3 R N C2 N+ + R2 N R3 R3 R3 R4 R2 N Thiazolium Picolinium Pyridinium R4 N N R5 + N + R2 N R1 O Oxazolium R2 + R4 N R5 R1 R1 Triazolium R4 S R1 R1 Im idazolium N + R1 N + R2 Pyrazolium Gambar 2.4 Beberapa Jenis Kation Cairan Ionik 15 Sedangkan anion yang paling utama digunakan berupa spesi poliatomik anorganik, biasanya PF6-, sebuah anion yang dipasangkan pada cairan ionik yang akan stabil terhadap air, hidrofobik. Anion PF6- dan BF4- mungkin merupakan anion yang selalu digunakan pada penelitian cairan ionik. Anion lain yang sering digunakan diantaranya adalah triflouroasetat ([CF3CO2]-), heksafluoro antimonat ([SbF6]-), nitrat ([NO3]-), tosilat ([OTs]-), triflat ([OTf]-), bromida (Br-), klorida (Cl-), iodida (I-), perklorat ([ClO4]-), germanium klorida ([GeCl3]-), bis(trifluorometil-sulfonil) imida ([NTf2]-), dialuminium heptaklorida ([Al2Cl7]-), aluminium tetraklorida ([AlCl4]-), asetat ([CH3CO2]-), benzoat ([C6H5CO2]-), dan sebagainya. 2.2.4 Sifat – Sifat Cairan Ionik Cairan ionik bersifat konduktif dan memiliki tekanan uap yang sangat rendah dibandingkan garam ionik biasanya. Sifat-sifat ini sangat berbeda dengan material lainnya dan sangat unik. Sebagian besar cairan ionik memiliki kestabilan termal yang tinggi, tidak mudah terbakar, rentang cair yang lebar, dan yang paling disukai adalah kemampuannya sebagai pelarut untuk berbagai senyawa. Banyak reaksi kimia seperti reaksi Diels-Alder dan reaksi Friedel-Crafts dapat menggunakan cairan ionik sebagai pelarutnya. Belakangan ini, cairan ionik dapat digunakan sebagai pelarut dalam proses biokatalisis. Kemampuannya bercampur dengan air ataupun pelarut organik bergantung pada variasi panjangnya rantai alkil pada kation ataupun mengganti berbagai jenis anionnya, oleh karena itu cairan ionik sering disebut sebagai tailor made solvents. Cairan ionik dapat pula 16 difungsikan sebagai asam, basa atau ligan, dan sebagai garam prekursor dalam preparasi senyawa karben. Sifat kestabilan termal dan titik leleh dari cairan ionik bergantung pada komponen penyusunnya (kation dan anion). Sebagai contoh, kestabilan termal untuk betain bis(trifluorometansulfonil)imida terprotonasi sekitar 534 K sedangkan N-butil-N-metil pitolidinium bis(trifluorometansulfonil)imida berkisar diatas 640 K. 2.2.5 Toksisitas Cairan Ionik Berhubung sifatnya yang non-volatil (tidak mudah menguap), sehingga penggunaan cairan ionik sangat efektif dalam mereduksi komponen atau kontaminan yang lepas ke lingkungan. Cairan ionik memiliki dampak yang kecil terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, sehingga cairan ionik dinobatkan sebagai green chemistry. Adapun untuk menentukan sifat toksisitas ini digunakan nematoda yaitu Caenorhabditis elegans. C. Berbagai macam cairan ionik diamati. [C4mim]Cl tidak memberikan efek merugikan terhadap C. Elegans dengan konsentrasi 1-5 mg/mL. Selain itu juga didapatkan bahwa [C4mim]Cl bukan racun akut. 2.2.6 Aplikasi Potensial Cairan Ionik Banyak sekali penggunaan cairan ionik dalam proses kimia. Beberapa diantaranya akan diuraikan pada bagian ini. 2.2.6.1 Reaksi Kimia Cairan ionik dapat digunakan dalam reaksi hidrogenasi, hidroformilasi, isomerisasi, dimerisasi, alkilasi, reaksi Diels-Alder, dan reaksi koupling Heck- 17 Suzuki. Beberapa dari kajian tersebut bisa didapatkan dari review Welton (1999), dan banyak lagi (Seddon, 1999). Para peneliti menemukan bahwa kecepatan reaksi dan selektivitasnya menjadi lebih baik dengan digunakannya cairan ionik sebagai pelarut ketimbang pelarut organik konvensional. Bahkan ditemukan juga cairan ionik yang digunakan dalam reaksi biokatalisis. Kemudian juga digunakan sebagai katalis homogen. Katalis homogen memiliki selektifitas yang lebih baik dari pada yang heterogen, tetapi pemisahannya selalu menjadi masalah. Namun dengan cairan ionik akan lebih mudah memisahkannya karena pelarut ini tidak mudah menguap. Cairan ionik juga bisa digunakan sebagai kontrol reaksi, menstabilkan kepolaran dalam reaksi. Banyak senyawa, baik polar maupun nonpolar, larut baik dalam cairan ionik (Blanchard dan Brennecke, 2001). Hal itu yang membuat cairan ionik berpotensi digunakan dalam reaksi multifasa menjadi hanya dalam satu fasa. Semua hal di atas adalah alasan-alasan yang mendukung cairan ionik digunakan sebagai pelarut. 2.2.6.2 Pemisahan Cairan Pengaturan kation, anion dan substituennya bisa digunakan untuk merancang kelarutan senyawa dalam cairan ionik. Hal ini bisa digunakan dalam pemisahan cairan. Konsep ini disampaikan oleh Fadeev dan Meagher (2001), yang memisahkan alkohol dari media fermentasi. 2.2.6.3 Elektrolit/Sel Bahan Bakar Cairan ionik memiliki sifat-sifat yang menarik sehingga bisa diterapkan dalam baterai atau sel bahan bakar, termasuk juga jendela elektrokimia dengan 18 konduktivitas tinggi dan operasi pada rentang suhu luas, serta konstanta dielektrik yang rendah. Kemudian juga kesukaran menyala dan ketidak-mudahan menguap membuatnya aman. Terapan ini adalah yang paling banyak diteliti tentang cairan ionik. Beberapa peneliti meneliti penggunaan cairan ionik dan gel polimer – elektrolit cairan ionik, baterai lithium-cairan ionik dan juga penggunaan sebagai sel fotovolta. 2.2.6.4 Pelumas Ditemukan bahwa cairan ionik bisa melapisi logam, polimer dan permukaan anorganik. Dengan kestabilan pada suhu tinggi maka cairan ionik bisa digunakan sebagai pelumas pada proses suhu tinggi dan atau tekanan rendah. Namun baru sedikit peneliti yang mengaplikasikan cairan ionik sebagai pelumas. 2.2.6.5 Fluida Penghantar Panas Karakteristik dari fluida penghantar panas adalah rentang cair yang besar dan kestabilan termal yang baik. Beberapa cairan ionik, contohnya garam dialkilimidazolium, memiliki karakteristik itu. Lalu, cairan ionik memiliki potensi untuk bersaing dengan fluida penghantar panas yang berbasis organik sintesis atau senyawa berbasis silikon yang ada dipasaran. Parameter penting dalam fluida penghantar panas adalah bilangan Prandtl, contohnya rasio viskositas kinematik sampai difusitas termal. Bedasarkan hasil pengukuran menunjukkan bahwa kapasitas kalor cairan ionik sama dengan minyak hidrokarbon dan pelarut organik konvensional (contohnya 1-2 Jg-1K-1). Tetapi secara umum kerja dari kapasitas 19 kalor harus didukung konduktivitas termal, korosifitas, toksisitas, kecepatan dekomposisi sebagai fungsi temperatur dan efek ketidakmurnian (seperti air). 2.2.6.6 Cairan Ionik sebagai Pemodifikasi Organik Cairan ionik bisa juga digunakan sebagai pemodifikasi organik. Pemodifikasi organik cairan ionik ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pemodifikasi-pemodifikasi yang lainnya. Hal ini dikarenakan sifat dari cairan ionik dapat disesuaikan dengan mengubah struktur kation dan anionnya. Sifatsifat cairan ionik seperti sifat termal, kestabilan elektrokimia, daya hantar ionik, dan kekentalan bisa diatur tergantung dari kation maupun anion yang menyusunnya. Pemodifikasi organik biasa digunakan untuk memodifikasi bentonit secara organik. Pada sistem ini, pemodifikasi dengan rantai alkil panjang dapat terikat bagian ujungnya pada permukaan bentonit melalui interaksi gaya Coulomb dengan layer yang bermuatan negatif (Hackett dkk., 1998). 2.2.7 Pemodifikasi Organik Berbasis garam Fatty Imidazolinium Kation N-kuartener berbasis amonium yang selama ini digunakan sebagai pemodifikasi organik mempunyai banyak kelemahan karena mengalami dekomposisi pada suhu sekitar 200 °C, jauh di bawah suhu pemrosesan kebanyakan nanokomposit polimer-silikat yakni pada suhu di atas 250 oC (Wang, et al., 2003). Didasari oleh stabilitas termalnya yang rendah, peneliti dan praktisi dewasa beralih pada kation dari cairan ionik seperti kation imidazolium tersubstitusi yang memiliki kestabilan termal relatif lebih tinggi (Kato dan Usuki, 2000). Kation imidazolium juga mudah untuk dimodifikasi strukturnya, sehingga 20 akan didapatkan beragam struktur dengan beragam sifat hidrofobisitas dan kompatibilitasnya dengan polimer (Wang, et al., 2003). Kation imidazolinium 2 mempunyai struktur dan fungsi yang sangat mirip dengan kation imidazolium 1, berbeda hanya pada gugus substituen pada N3 dan adanya ikatan rangkap pada sistem lingkar imidazolium. Garam imidazolinium ini dapat disintesis dari asam lemak (Bajpai, dan Tyagi, 2006; Tyagi, et al., 2007) dan pada penelitian ini akan digunakan sebagai pemodifikasi organik yang memiliki sifat fisikokimia (terutama stabilitas termal) yang unggul untuk pemrosesan nanokomposit polimer-silikat. Gambar 2.5 Struktur Kation Imidazolium 1 dan Imidazolinium 2 2.3 Nanokomposit Tuntutan membuat segala sesuatu menjadi ringan dan kuat adalah hal yang wajar di era teknologi seperti saat ini. Misalnya, tuntutan menghasilkan mobil berbobot ringan. Hal ini mendorong produsen komponen mencari material baru 21 yang lebih ringan dari logam, tapi memiliki kekuatan lebih baik. Untuk itu, material komposit dipandang sebagai alternatif pengganti material logam karena bobotnya sangat ringan tetapi superkuat. Bidang material nanokomposit akhir-akhir ini mendapat perhatian serius dari para ilmuwan. Berbagai penelitian pun terus dilakukan, mengacu pada ide yang sangat sederhana, yaitu menyusun sebuah material yang terdiri atas blokblok partikel homogen dengan ukuran nanometer. Hasil penelitian tersebut sungguh mengejutkan. Sebuah material baru lahir dengan sifat-sifat fisis yang jauh lebih baik dari material penyusunnya. Hal ini memicu perkembangan material nanokomposit di segala bidang dengan memanfaatkan ide yang sederhana itu. Salah satu contoh yang terkenal dan terjadi dengan sendirinya di alam adalah tulang. Tulang memiliki ’’bangunan’’ nanokomposit yang bertingkattingkat, yang terbuat dari tablet keramik dan ikatan-ikatan organik. Partikelpartikel nanokomposit tersebut memiliki struktur, komposisi, dan sifat yang berbeda-beda. Hal ini memberikan fungsi yang beragam. Dengan demikian, material ini menjadi multiguna, yang pada akhirnya didapatkan material baru yang memiliki beberapa fungsi dalam waktu sama dan dapat digunakan dalam beberapa aplikasi. Dari sinilah para ilmuwan mulai memikirkan berbagai cara untuk memperoleh material nanokomposit, karena material tersebut memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan material konvensional. 22 Kata komposit memiliki pengertian luas dan berbeda-beda, mengikuti situasi dan perkembangan bahan itu sendiri. Gabungan dua atau lebih bahan merupakan suatu konsep yang diperkenalkan untuk menerangkan definisi komposit. Meski demikian, definisi ini terlalu umum. Pasalnya komposit merangkum semua bahan termasuk plastik yang diperkuat dengan serat, logam alloy, keramik, kopolimer, plastik berpengisi, atau apa saja campuran dua bahan atau lebih untuk mendapatkan bahan baru. Sedangkan nanokomposit dapat dianggap struktur padat dengan dimensi berskala nanometer yang berulang pada jarak antarbentuk penyusun struktur yang berbeda. Material-material dengan jenis seperti itu terdiri atas padatan anorganik yang tersusun atas komponen organik. Selain itu, material nanokomposit dapat pula terdiri atas dua atau lebih molekul anorganik/organik, dalam beberapa bentuk kombinasi dengan pembatas antarkeduanya minimal satu molekul atau memiliki ciri berukuran nano. Contoh nanokomposit yang ekstrim adalah media berporos, koloid, gel, dan kopolimer. Ikatan antarpartikel yang terjadi pada material nanokomposit memainkan peran penting dalam peningkatan dan pembatasan sifat material. Partikel-partikel yang berukukuran nano itu mempunyai luas permukaan interaksi yang tinggi. Makin banyak partikel yang berinteraksi, makin kuat pula material. Inilah yang membuat ikatan antarpartikel makin kuat, sehingga sifat mekanik materialnya bertambah. Namun penambahan partikel-partikel nano tidak selamanya akan meningkatkan sifat mekaniknya. Ada batas tertentu yang mana saat dilakukan penambahan, kekuatan material justru makin berkurang. Aplikasi 23 baru kemajuan kini telah mendorong peningkatan permintaan bahan komposit. Perkembangan iptek mulai menyulitkan bahan konvensional seperti logam untuk memenuhi keperluan aplikasi baru. Bidang angkasa luar, perkapalan, otomotif, maupun industri pengangkutan merupakan contoh aplikasi yang memerlukan bahan-bahan yang memiliki density rendah, tahan karat, kuat, kokoh, dan tegar. Pembuatan material nanokomposit dapat dilakukan dengan melakukan pendekatan-pendekatan yang mudah dan kompleks. Salah satunya adalah menggunakan pendekatan simple mixing. 2.4 Nanokomposit Polimer-Silikat Nanokomposit adalah kombinasi antara beberapa material dengan perbedaan sifat pada skala nanometer. Nanometer (nm) adalah satu per seribu juta meter. Sebagai perbandingan, satu helai rambut manusia berukuran 80 nm, sel darah merah berukuran sekitar 7 nm dan molekul air berukuran 0,3 nm (Kornmann, et al,. 1998; Xie, et al,. 2003). Kajian tentang skala nano berada pada rentang 100 nm sampai dengan ukuran atom (0,2 nm). Pada skala tersebut sifat dari suatu material akan sangat berbeda dengan material pada skala yang lebih besar. Beberapa meterial dengan sifat-sifat tertentu dapat dipadukan manjadi suatu material yang memiliki sifat tertentu. Berbagai macam material yang dipadukan memiliki sifat yang unik, seperti meningkatnya kestabilan termal dan meningkatnya sifat mekanik. Pada umumnya perubahan sifat yang terjadi pada proses pembentukan nanokomposit adalah sifat kimia dan sifat fisika. Ada 24 beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghasilkan suatu nanokomposit yaitu interkalasi lelehan, interkalasi in situ, dan eksfoliasi atau adsorpsi. (Aphiwantrakul, et al,. 2005). Polimer nanokomposit merupakan paduan polimer dengan sejumlah kecil material yang berada pada rentang ukuran nanometer. Polimer nanokomposit disintesis dengan tujuan meningkatkan sifat penghalang (terhadap gas oksigen misalnya), tahan terhadap api, dan meningkatkan kekuatan mekaniknya. Sifat-sifat tersebut dapat diaplikasikan dalam penggunan panel listrik, material pelapis pada kendaraan-kendaraan mewah (Kornmann, et al,. 1998), barang-barang elektronik (Xie, et al,. 2003; dan Mohanty, et al,. 2007)), bahan bangunan, serta dalam industri pengemasan. Salah satu polimer nanokomposit yang sangat menarik yaitu nanokomposit polimer-silikat. Nanokomposit polimer-silikat telah dikenal sebagai salah satu dari material teknik yang sangat menarik karena memiliki sifat yang unik. Sifat dasar nanokomposit seperti sifat mekanik dan sifat termalnya dapat ditingkatkan melebihi sifat polimer murninya. Pembentukan nanokomposit polimer-silikat dapat diklasifikasikan kedalam tiga jenis utama yang didasarkan pada perbedaan dispersi bentonit di dalam matriks polimer seperti diperlihatkan pada gambar 2.6. 25 Silikat Berlapis Polimer a. Mikrokomposit Polimer Polimer b.Nanokomposit Eksfoliasi c Nanokomposit Interkalasi Gambar 2.6 Morfologi dari Mikrokomposit, Nanokomposit Tereksfoliasi, dan Nanokomposit Terinterkalasi Tipe yang pertama adalah komposit konvensional (Gambar 2.6.a), dimana bentuk dari komposit ini berupa lapisan–lapisan bentonit yang membentuk suatu kumpulan mikropartikel atau taktoid. Tipe yang kedua adalah nanokomposit terinterkalasi (Gambar 2.6.c). Dalam tipe ini jarak lapisan dalam dari lapisan bentonit diperluas oleh penyisipan polimer ketika lapisan bentonit tersebut masih memiliki sifat asalnya. Tipe yang terakhir yaitu nanokomposit tereksfoliasi (exfoliated nanocomposite) (Gambar 2.6.b). Tipe nanokomposit ini merupakan lapisan bentonit yang dilepaskan sebagai suatu lapisan individu dan tersebar secara acak dalam matriks polimer. 26 Untuk menghasilkan suatu nanokomposit polimer-silikat yang memiliki kestabilan termal yang tinggi, diperlukan silikat yang telah termodifikasi. Salah satu modifikasi silikat untuk menghasilkan silikat termodifikasi dengan kestabilan termal yang tinggi yaitu menggunakan pemodifikasi organik yang juga memiliki kestabilan termal yang tinggi (Walid, et al, 2003).