pengaruh penambahan bio adenosin tri phosphat

advertisement
PENGARUH PENAMBAHAN BIO ADENOSIN TRI PHOSPHAT
TERHADAP PROFIL KINETIK DAN EFEKTIVITAS
ENROFLOKSASIN DALAM MENGATASI
COXIELLA BURNETII
ANDRIYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Penambahan Bio
Adenosin Tri Phosphat terhadap Profil Kinetik dan Efektivitas Enrofloksasin dalam
Mengatasi Coxiella burnetii adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2010
Andriyanto
B151070021
ABSTRACT
ANDRIYANTO. The Effect of Bio Adenosin Triphosphate Supplementation on
Kinetic Profile and Effectivity of Enrofloxacine Against Coxiella burnetii. Under the
supervisions of MIN RAHMINIWATI, AGUS SETIYONO, and UNANG
PATRIANA.
Coxiella burnetii belongs to rickettsia group living obligate intracellularly and
as the agent of zoonosis Q fever. Enrofloxacine is an antibiotic in quinolon group
used to treat infection of C. burnetii in chicken, goat, calve, pig, dog, cat, and horse.
From ruminant practical experience, enrofloxacine if be combined with BioATP can
enhance the enrofloxacine activity. Research for the effectivity of enrofloxacine and
BioATP to treat C. burnetii has never been carried out. Enrofloxacine
pharmacokinetic study was carried out by using simental beef as an experimental
animals. The effectivity of BioATP supplementation on enrofloxacine activity to treat
C. burnetii was tested by using Vero cell tissue culture. The results showed that
combination of enrofloxacine and BioATP increased kinetic profile of enrofloxacine
in term of onset, duration, pharmacology intensity, and bioavailaibility.
Enrofloxacine had activity to treat C. burnetii with value of minimal inhibitory
concentration (MIC) at 1-2 ppm and value of minimal bactericidal concentration at 4
ppm. Supplementation of BioATP improved the effectivity of enrofloxacine in
treating C. burnetii.
Keywords : BioATP, enrofloxacine, kinetics profile, Vero cell, Coxiella burnetii
RINGKASAN
ANDRIYANTO. Pengaruh Penambahan Bio Adenosin Tri Phosphat terhadap Profil
Kinetik dan Efektivitas Enrofloksasin dalam Mengatasi Coxiella burnetii. Di bawah
bimbingan MIN RAHMINIWATI, AGUS SETIYONO, dan UNANG PATRIANA.
Coxiella burnetii (C. burnetii) merupakan bakteri golongan Rickettsia yang
hidup intraseluler obligat, menjadi agen penyebab penyakit Q fever yang bersifat
zoonosis. Penyakit Q fever pada manusia terdapat dalam dua bentuk yaitu bentuk
akut dan kronis. Gejala klinis bentuk akut adalah demam mirip influenza, nyeri pada
sendi, sakit kepala, muntah, diare, serta rasa sakit pada bagian abdomen dan dada.
Sebaliknya, manifestasi bentuk kronis adalah pneumonia, endokarditis, dan hepatitis
yang bisa berakhir kematian. Perantara utama penularan Q fever pada manusia adalah
sapi, domba, kambing, unggas, rodensia, caplak, dan satwa liar. Laporan
epidemiologi dari banyak negara menyebutkan bahwa orang yang sering kontak
langsung dengan ternak seperti peternak, pekerja rumah potong, dan juga masyarakat
yang tinggal di daerah kumuh berpeluang besar tertular Q fever dari hewan ternak
ataupun rodensia. Cara penularan Q fever adalah melalui kontak langsung, bahan
pangan asal hewan, susu segar, partikel yang terkontaminasi, luka yang
terkontaminasi, dan transfusi darah. Oleh karena itu, kejadian penyakit Q fever pada
hewan penting untuk dipelajari mengingat peranannya sebagai perantara penularan
penyakit ini pada manusia. C. burnetii sampai saat ini masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat di banyak negara seperti Amerika, Eropa, Thailand, Taiwan,
Malaysia, dan beberapa negara lainnya di Asia tidak terkecuali Indonesia. Kasus Q
fever pada hewan di Indonesia sampai saat ini jarang sekali dilaporkan. Hal ini
bukanlah karena tidak ada kasus Q fever, tetapi lebih disebabkan oleh gejala klinis
bentuk akut Q fever yang tidak begitu menciri, seperti terjadinya pneumonia dan
keguguran. Gejala ini bisa ditemukan pada penyakit infeksi lainnya sehingga kurang
mendapat perhatian pemerintah dan masyarakat. Enrofloksasin adalah antibiotik
golongan quinolon yang digunakan untuk mengatasi C. burnetii pada ayam, domba,
kambing, sapi, babi, anjing, kucing, serta kuda. Pengalaman para praktisi ternak
ruminansia menunjukkan kombinasi enrofloksasin dan BioATP dapat digunakan
untuk meningkatkan efektivitas enrofloksasin. Sampai saat ini, penelitian tentang
penggunaan kombinasi enrofloksasin dan BioATP terhadap C. burnetii belum pernah
dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang kombinasi
enrofloksasin dan BioATP mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh C. burnetii.
Dengan demikian, jika terdapat kasus maka langkah persiapan dalam pengambilan
tindakan akan lebih terencana. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh penambahan BioATP terhadap efektivitas enrofloksasin dalam mengatasi
C. burnetii. Kajian profil kinetik enrofloksasin serta kombinasi enrofloksasin dan
BioATP dilakukan dengan menggunakan sapi Simental. Sementara itu, pengaruh
penambahan BioATP terhadap efektivitas enrofloksasin dalam mengatasi C. burnetii
dilakukan pada kultur jaringan sel Vero. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
pemberian kombinasi enrofloksasin dan BioATP meningkatkan profil kinetik
enrofloksasin (onset, durasi, intensitas farmakologi, dan ketersediaan hayati).
Enrofloksasin memiliki aktivitas terhadap C. burnetii dengan nilai minimum
inhibitory concentration (MIC) sebesar 1 sampai dengan 2 ppm dan nilai minimum
bactericidal concentration (MBC) sebesar 4 ppm. Penambahan BioATP terbukti
mampu meningkatkan efektivitas enrofloksasin terhadap C. burnetii.
Kata kunci : BioATP, Enrofloksasin, Profil kinetik, Sel Vero, Coxiella burnetii
@ Hak cipta milik IPB, Tahun 2010
Hak cipta dilindungi Undang-Udang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian
Bogor.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh hasil karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH PENAMBAHAN BIO ADENOSIN TRI PHOSPHAT
TERHADAP PROFIL KINETIK DAN EFEKTIVITAS
ENROFLOKSASIN DALAM MENGATASI
COXIELLA BURNETII
ANDRIYANTO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Judul Penelitian
:
Nama
:
Pengaruh Penambahan Bio Adenosin Tri Phosphat
terhadap Profil Kinetik dan Efektivitas Enrofloksasin
dalam Mengatasi Coxiella burnetii
Andriyanto
NRP
:
B151070021
Program Studi
:
Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat
Disetujui
drh. Min Rahminiwati, MS. PhD.
Ketua
drh. H. Agus Setiyono, MS. PhD.
Anggota
drh. Unang Patriana, MSi
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Nastiti Kusumorini
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian:
Tanggal lulus:
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Coxiella burnetii (C. burnetii) adalah bakteri golongan Rickettsia yang menjadi agen
penyebab penyakit Q fever yang bersifat zoonosis, yaitu menular dari hewan ke manusia atau
sebaliknya. Penularan Q fever pada manusia terjadi melalui hewan ternak seperti sapi, domba,
dan kambing. Manusia dapat tertular hanya oleh satu atau beberapa bakteri saja. C. burnetii
hidup intraseluler dan bersifat obligat pada sel inangnya. Bakteri C. burnetii sangat mudah
menginfeksi dan dalam jumlah sedikit sudah mampu menyebabkan sakit, mempunyai daya tahan
tinggi pada kurun waktu yang lama, tahan pada pH rendah, serta tahan terhadap beberapa
desinfektan dan antiseptik.
Coxiella burnetii sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di banyak
negara seperti Amerika, Eropa, Thailand, Taiwan, Malaysia, dan beberapa negara lainnya di Asia
tidak terkecuali Indonesia. Penelitian seroepidemologi terhadap Spotted Fever Group Rickettsia
(SFGR) di Indonesia yang dilakukan oleh Richard et al. (2003) di kepulauan Gag wilayah Papua
menunjukkan seroprevalensi positif SFGR penduduk pulau ini sekitar 2,1 sampai 20,4%.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Farzeli et al. (2008) menunjukkan bahwa dari 37
lokasi pengambilan sampel yang berasal dari 4 pulau besar di Indonesia berdasarkan uji PCR
diperoleh hasil 10,2% Xenopsylla cheopis terinfeksi Rickettsiae tiphy, 2,7% Xenopsylla cheopis
terinfeksi Rickettsiae felis, dan 2,7% Xenopsylla cheopis terinfeksi bukan Rickettsiae typhi dan
Rickettsiae felis (Spotted Group Fever Rickettsiae). Penyakit Q fever pada manusia terdapat
dalam dua bentuk yaitu bentuk akut dan kronis (Hamzic et al. 2003). Gejala klinis bentuk akut
adalah demam mirip influenza, nyeri pada sendi, sakit kepala, muntah, diare, serta rasa sakit
pada bagian abdomen dan dada. Sebaliknya, manifestasi bentuk kronis adalah pneumonia,
endokarditis, dan hepatitis yang bisa berakhir kematian.
Perantara utama penularan Q fever pada manusia adalah sapi, domba, kambing, unggas,
rodensia, caplak, dan satwa liar (Htwe et al. 1992). Laporan epidemiologi dari banyak negara
menyebutkan bahwa orang yang sering kontak langsung dengan ternak seperti peternak, pekerja
rumah potong, dan juga masyarakat yang tinggal di daerah kumuh berpeluang besar tertular Q
fever dari hewan ternak ataupun rodensia (Scrimgeour et al. 2003). Cara penularan Q fever
adalah melalui kontak langsung, bahan pangan asal hewan, susu segar, partikel yang
2
terkontaminasi, luka yang terkontaminasi, dan transfusi darah (Fournier et al. 1998). Oleh karena
itu, kejadian penyakit Q fever pada hewan penting untuk dipelajari mengingat peranannya
sebagai perantara penularan penyakit ini pada manusia.
Kasus Q fever pada hewan di Indonesia sampai saat ini jarang sekali dilaporkan. Hal ini
bukanlah karena tidak ada kasus Q fever, tetapi lebih disebabkan oleh gejala klinis bentuk akut Q
fever yang tidak begitu menciri, seperti terjadinya pneumonia dan keguguran. Gejala ini bisa
ditemukan pada penyakit infeksi lainnya sehingga kurang mendapat perhatian pemerintah dan
masyarakat.
Indonesia sangat berpotensi terserang penyakit Q fever. Penelitian terbaru yang dilakukan
oleh Mahatmi (2006) berhasil mendeteksi keberadaan C. burnetii pada sapi Brahman Cross dan
domba yang berasal dari wilayah Bogor dan sapi Bali yang berasal dari Bali. Selanjutnya, sapi di
Bogor dan Bali sebanyak 15 (6,12%) dari 245 ekor sapi, dan 6 (5,71%) dari 105 ekor domba
positif terinfeksi C. burnetii, sedangkan pada kambing tidak ditemukan agen infeksi tersebut
(Mahatmi et al. 2007). Setiyono et al. (2007) juga melaporkan bahwa seroprevalensi Q fever di
Jawa Barat pada domba sebesar 31,88% (22 ekor dari 69 ekor domba yang diteliti seropositif)
dan pada kambing 20,18% (14 ekor dari 69 ekor seropositif). Kenyataan ini memperlihatkan
bahwa C. burnetii telah menginfeksi dan menyebar di wilayah tersebut.
Indonesia dengan jumlah penduduk yang sebagian besar adalah petani dan peternak
sangat rentan terhadap penyakit Q fever. Selain itu, Indonesia merupakan negara pengimpor
ternak, daging, serta susu dari Amerika, Australia, Selandia Baru, dan negara lain. Impor sapi
hidup mencapai 700.000 ekor pada tahun 2005 selain dalam bentuk daging beku (Raswa 2005).
Indonesia juga mengimpor susu dari Australia serta negara-negara lain untuk memenuhi
kebutuhan susu domestik (Sabana 2005). Meskipun selama ini Indonesia hanya membuka impor
dari negara bebas (Country Free Zone), adanya rencana pemerintah untuk mengimpor ternak dan
daging sapi dari negara yang tidak bebas, membuka peluang yang lebih besar terhadap masuknya
penyakit-penyakit ternak yang bersifat zoonosis seperti Q fever dan penyakit ternak lainnya,
yang berdampak pada kerugian ekonomi yang tak ternilai.
Hewan ternak yang terlanjur terserang Q fever dapat diobati untuk meminimalisir
kerugian yang ditimbulkan. Pengobatan Q fever dapat dilakukan dengan menggunakan
antibiotik. Sampai saat ini, sediaan antibiotik yang sering digunakan untuk mengobati Q fever
pada hewan ternak adalah co-trimoxasole, tetrasiklin, dan enrofloksasin. Kesulitan dalam
3
mengatasi infeksi C. burnetii adalah hidupnya yang intraseluler dan bersifat obligat, yang berarti
bahwa bakteri ini bersifat seperti virus. Dengan demikian, antibiotik yang digunakan pun harus
mampu menembus sampai ke dalam sel bakteri dan harus yang langsung membunuh bakteri
tersebut mengingat antibiotik dapat menimbulkan resistensi jika pemberiannya kurang tepat.
Enrofloksasin merupakan antibiotik golongan quinolon yang mampu menembus sel
bakteri dan bekerja pada DNA gyrase (Giguere et al. 2006). Enrofloksasin masuk ke dalam sel
melalui kanal natrium berikatan dengan ion natrium. Ion natrium merupakan ion yang secara
fisiologis berada di luar sel dan bergerak masuk ke dalam sel. Jika di dalam sel jumlah ion
natrium melebihi ambang batas normal maka ion tersebut akan dikeluarkan melalui pompa
natrium dan kalium. Proses pemompaan ini membutuhkan energi dalam bentuk ATP.
Enrofloksasin biasanya digunakan untuk mengatasi infeksi Mycoplasma Sp. dan
Haemophillus Sp. Enrofloksasin telah banyak digunakan pada berbagai hewan. Penggunaan
enrofloksasin pada sapi, kambing, dan domba biasanya untuk mengatasi infeksi saluran
pernafasan dan otitis media (Francoz 2004; Rosenbusch 2005). Pada ayam, enrofloksasin
digunakan untuk mengatasi salmonelosis, colibasilosis, dan chronic respiratory disease (Luo
2003; Humphrey 2005). Enrofloksasin juga digunakan untuk mengatasi penyakit saluran
pernafasan dan mastitis pada sapi dan babi (Giguere et al. 2006). Sementara itu, pada anjing dan
kucing enrofloksasin digunakan untuk mengatasi rhinitis, pneumonia, superfisial pyoderma, dan
otitis eksterna atau media (Speakman 1997; Speakman 2000). Enrofloksasin pada kuda
digunakan sebagai pilihan untuk mengatasi kronik pleuritis dan kebengkakan pada tendon kaki
(Heath 1989; Kaartinen 1997).
Para praktisi ternak ruminansia di Boyolali, Klaten, Sumedang, dan Lembang telah
memberikan enrofloksasin yang dikombinasikan dengan BioATP untuk menanggulangi infeksi
saluran pencernaan, pernapasan, dan mastitis. BioATP merupakan multivitamin yang terdiri atas
natrium selenit, magnesium aspartat, kalium selenit, dan vitamin B12. Natrium selenite yang
terdapat dalam sediaan BioATP yang diberikan bersamaan dengan enrofloksasin akan
memperkaya ion natrium di dalam tubuh. Selanjutnya, ion natrium ini akan membentuk
kompleks ikatan natrium-enrofloksasin. Ikatan ini akan masuk ke dalam sel melalui kanal
natrium sel. Dengan bertambahnya jumlah ion natrium yang berasal dari BioATP, maka
enrofloksasin yang terikat oleh ion tersebut akan semakin banyak. Dengan demikian, jumlah
enrofloksasin yang diabsorbsi mencapai plasma darah pun akan semakin banyak. Ikatan natrium-
4
enrofloksasin setelah sampai ke dalam sel
akan diuraikan kembali menjadi ion natrium dan
enrofloksasin. Enrofloksasin akan bekerja di dalam DNA gyrase sedangkan ion natrium akan
dikeluarkan jika jumlahnya melebihi ambang batas melalui kanal natrium kalium dengan energi
yang berasal dari ATP. Ketersediaan ATP dalam sediaan BioATP akan membantu sirkulasi
natrium sehingga makin banyak enrofloksasin yang terangkut ke dalam sel.
Selama ini BioATP, sudah digunakan pada hewan dan manusia. Penggunaan BioATP
pada manusia biasanya dilakukan secara intramuskular atau diberikan bersama dengan cairan
infus intravena. Sediaan ini biasanya diberikan pada penderita diare akut dan pada kondisi
dimana kehilangan banyak cairan. Sementara itu, BioATP pada hewan diberikan pada saat
hewan mengalami gejala umum lemas dan mengalami penurunan nafsu makan. Adakalanya,
praktisi hewan kesayangan dan ternak ruminansia memberikan BioATP ini bersama dengan
antibiotik.
Sampai saat ini, penelitian tentang penggunaan kombinasi enrofloksasin dan BioATP
terhadap C. burnetii belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang
kombinasi enrofloksasin dan BioATP mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh C. burnetii.
Dengan demikian, jika terdapat kasus maka langkah persiapan dalam pengambilan tindakan akan
lebih terencana.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian BioATP terhadap
profil kinetik dan efektivitas enrofloksasin dalam mengatasi C. burnetii.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan data tentang penggunaan enrofloksasin yang
lebih efektif untuk menanggulangi C. burnetii. Selain itu, penelitian ini diharapkan memberikan
informasi dasar tentang profil kinetik kombinasi enrofloksasin dan BioATP.
5
Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut.
H0
:
Pemberian enrofloksasin dan BioATP akan meningkatkan efektivitas
enrofloksasin terhadap C. burnetii secara in vitro.
H1
:
Pemberian enrofloksasin dan BioATP tidak akan meningkatkan efektivitas
enrofloksasin terhadap C. burnetii secara in vitro.
H0
:
Penambahan BioATP akan mempengaruhi profil kinetik enrofloksasin.
H1
:
Penambahan BioATP tidak akan mempengaruhi profil kinetik enrofloksasin.
TINJAUAN PUSTAKA
Coxiella burnetii dan Q Fever
Coxiella burnetii (C. burnetii) adalah bakteri golongan Rickettsia. Bakteri ini merupakan
agen penyebab penyakit Q fever yang bersifat zoonosis, yaitu menular dari hewan ke manusia
atau sebaliknya. Mikroorganisme ini hidup intraseluler dan bersifat obligat pada sel inangnya.
Bakteri C. burnetii sangat menular dan dalam jumlah sedikit sudah mampu menyebabkan sakit,
mempunyai daya tahan tinggi pada kurun waktu yang lama, tahan pada pH rendah, serta tahan
terhadap beberapa bahan kimia pembasmi bakteri, seperti lisol dan 5% sodium hipoklorit
(Maurin dan Raoult 1999).
Coxiella burnetii merupakan bakteri gram negatif, berbentuk coccobacillus dan non
motile (tidak bergerak). Bakteri ini menurut Ho et al. (1995) terdiri atas beberapa strain yaitu
yaitu strain nine mile, 1M, 3M, 27M, 60M, 82M, 53U, 50F, 57T, 58T, TK-1, 605, dan 307. C.
burnetii memiliki sifat unik karena sifat hidupnya seperti virus. Oleh karena itu, pengujian
efektivitas in vitro terhadap bakteri ini hanya dapat dilakukan dengan menggunakan kultur sel.
Sel kultur yang digunakan biasanya adalah sel Vero dan fibroblas. Infeksi C. burnetii secara in
vitro pada monolayer sel Vero ditandai dengan sel Vero menjadi jarang, terdapat lubang dan
bulatan hitam pada monolayer sel Vero. Sementara itu, manifestasi C. burnetii pada hewan
terinfeksi dapat ditemukan pada paru-paru, hati, dan jantung (Hamzic et al. 2003).
Hewan ternak yang umum terinfeksi bakteri C. burnetii adalah sapi, domba, kambing,
unggas, dan satwa liar. Perantara penyakit Q fever pada hewan adalah caplak, serangga, dan
rodensia (Htwe et al. 1992). Penyakit ini ditularkan melalui kontak langsung, bahan pangan asal
hewan, susu segar, partikel yang terkontaminasi, luka yang terkontaminasi, dan transfusi darah
(Fournier et al. 1998). Gejala pada hewan umumnya adalah subklinis dan hanya sebagian kecil
ditemukan pada keadaan klinis, yang ditandai dengan penurunan nafsu makan, gangguan napas,
serta gangguan reproduksi berupa abortus pada sapi dan domba (Ho et al. 1995).
Penularan Q fever pada manusia melibatkan induk semang antara, hewan ternak seperti
sapi, domba, dan kambing. Manusia dapat tertular hanya oleh satu atau beberapa bakteri saja.
Manifestasi penyakit Q fever pada manusia terdapat dua bentuk, yaitu bentuk akut dan kronis.
Gejala klinis bentuk akut adalah demam mirip influenza, nyeri pada sendi, sakit kepala, muntah,
diare, serta rasa sakit pada bagian abdomen dan dada. Sebaliknya, manifestasi bentuk kronis
7
adalah pneumonia, endokarditis, dan hepatitis yang bisa berakhir dengan kematian (Hamzic et al.
2003).
Laporan WHO berdasarkan pemeriksaan serologis menyatakan bahwa Q fever pertama
kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1955. Ketika itu, dari 188 serum sapi yang diperiksa
25% diantaranya mengandung antibodi C. burnetii. Penelitian selanjutnya yang pernah
dilaporkan adalah studi seroepidemiologi tentang Q fever di Indonesia pada tahun 1978 (Van
Peenen et al. 1978). Setelah lebih dari 20 tahun tidak ada laporan, Miyashita et al. (2001)
menemukan adanya kasus pneumonia yang terbukti disebabkan oleh infeksi C. burnetii dari
seorang penderita yang mempunyai riwayat pernah tinggal di Indonesia.
Penelitian seroepidemologi terhadap Spotted Fever Group Rickettsia (SFGR) di
Indonesia dilakukan oleh Richard et al. (2003) di kepulauan Gag wilayah Papua. Hasilnya
menunjukkan persentasi seroprevalensi positif SFGR pada penduduk setempat adalah sekitar 2,1
sampai 20,4%. Selain itu, Mahatmi et al. (2007) menyebutkan bahwa sapi di Bogor dan Bali
sebanyak 6,12% (15 dari 245 ekor sapi) dan 5,71% (6 dari 105 ekor domba) positif terinfeksi
C. burnetii, sedangkan pada kambing tidak ditemukan agen infeksi tersebut. Setiyono et al.
(2007) juga melaporkan bahwa seroprevalensi Q fever di Jawa Barat pada domba sebesar
31,88% (22 ekor dari 69 ekor domba yang diteliti seropositif) dan pada kambing 20,18% (14
ekor dari 69 ekor seropositif). Laporan epidemiologi dari banyak negara menyebutkan bahwa
orang yang sering kontak langsung dengan ternak seperti peternak, pekerja rumah potong, dan
juga masyarakat yang tinggal di daerah kumuh (urban area) berpeluang besar tertular Q fever
dari hewan ternak ataupun rodensia (Scrimgeour et al. 2003).
Menurut laporan Giguere et al. (2006), C. burnetii telah mengalami resistensi terhadap
beberapa antibiotik seperti penisilin dan sepalosporin. Laporan penelitian Gikas et al. (1998)
menunjukkan bahwa minimum inhibitory concentration (MIC) trovafloxacin dan ofloxasin
terhadap C. burnetii dengan menggunakan sel Vero pada kisaran 1 sampai dengan 2 ppm,
sedangkan siprofloksasin memiliki MIC sebesar 4 sampai dengan 8 ppm. Selain itu, penelitian
yang dilakukan oleh Yeaman et al. (1987) dengan menggunakan kultur jaringan sel fibroblas
L929 menyebutkan bahwa 1 ppm rifampin dan 2 sampai 5 ppm difloxasin mampu menghambat
pertumbuhan C. burnetii.
8
Enrofloksasin
Sampai saat ini, sediaan yang digunakan untuk mengobati Q fever pada hewan ternak
adalah co-trimoxasole, tetrasiklin, dan enrofloksasin. Kesulitan dalam mengatasi infeksi C.
burnetii adalah hidupnya yang intraseluler dan bersifat obligat, yang berarti bahwa bakteri ini
bersifat seperti virus. Dengan demikian, antibiotik yang digunakan pun harus mampu menembus
sampai ke dalam sel bakteri dan harus yang langsung membunuh bakteri tersebut mengingat
antibiotik dapat menimbulkan resistensi jika pemberiannya kurang tepat.
Penggunaan co-trimoxasole menurut Raoult et al. (2002), hanya mengurangi keguguran
tetapi tidak dapat mencegah perkembangan Q fever menjadi kronis. Sementara itu, pengobatan
dengan tetrasiklin memiliki kelemahan tidak boleh diberikan ke hewan laktasi, hewan bunting,
dan anak hewan yang sedang menyusui. Hal ini dikarenakan tetrasiklin akan diekskresikan lewat
air susu dan dapat membentuk ikatan dengan kalsium yang menyebabkan tetrasiklin di deposit
pada tulang sehingga ikatan kalsium tulang akan terganggu dan lemah (Tjay dan Raharja 2000).
Enrofloksasin merupakan antibiotik golongan quinolon yang mampu menembus sel bakteri dan
bekerja pada DNA gyrase.
Struktur kimia quinolon didasarkan pada ring 4-quinolon. Struktur ring tersebut telah
dimodifikasi untuk merubah daya antibakterial dan meningkatkan volume distribusi (Vancutsem
et al. 1989). Substitusi ring piperazinyl pada posisi 7 telah meningkatkan aktivitas antibakterial
terhadap Pseudomonas sp. dan penambahan atom fluorin pada posisi 6, menambah aktivitas
antibakterial terhadap sebagian besar bakteri gram positif (Neer 1988). Penambahan rantai alkyl
pada posisi para ring piperazin dan nitrogen pada posisi 1, akan meningkatkan kelarutan dalam
lemak dan volume distribusi dalam tubuh. Substitusi atom hydrogen oleh fluorin pada posisi 8
methyl dari rantai alkyl akan mengurangi tingkat degradasi dan meningkatkan tingkat eliminasi.
Secara umum dipercaya bahwa senyawa 3-carboxylic acid dan 4-carbonyl diperlukan untuk
aktivitas bakteridal
Enrofloksasin merupakan antibakteri golongan quinolon yang pertama kali digunakan
secara khusus untuk bidang kesehatan hewan dengan nama dagang Baytril (Babish et al. 1990).
Antibiotik quinolon terdiri atas nalidixic acid, oxolinic acid, norfloksasin, enrofloksasin, dan
siprofloksasin. Nalidixic acid dan oxolinic acid banyak digunakan untuk pengobatan infeksi
oleh bakteri gram negatif dan gram positif. Sementara itu, norfloksasin menurut laporan Giguere
et al. (2006) lebih baik dari nalidixic acid dan oxolinix acid. Enrofloksasin banyak digunakan
9
untuk pengobatan bakteri gram positif dan negatif. Enrofloksasin dan siprofloksasin lebih kuat
daya kerjanya dari norfloksasin. Di samping itu, enrofloksasin dan siprofloksasin merupakan
obat alternatif dari obat yang lebih toksik seperti golongan aminoglikosida.
Enrofloksasin memiliki aktivitas bakterisidal dan mempunyai spektrum yang luas
terhadap bakteri gram positif dan gram negatif (Anadon dan Laranaga 1995). Enrofloksasin
berkhasiat terhadap organisme yang resisten terhadap antibiotik beta laktam, aminoglikosid,
tetrasiklin, folat antagonis, dan makrolida. Mekanisme kerja enrofloksasin adalah menghambat
replikasi bakteri dengan cara menghambat kerja enzim DNA gyrase (Vancutsem et al. 1989).
Selanjutnya, dilaporkan bahwa enrofloksasin aktif terhadap bakteri gram negatif, gram positif,
bakteri patogen intraceluller yang kebal terhadap trimetoprim dan sulfonamide (Giguere et al.
2006).
Enrofloksasin telah banyak digunakan pada berbagai hewan. Penggunaan enrofloksasin
pada sapi, kambing, dan domba biasanya untuk mengatasi infeksi saluran pernapasan, mastitis,
metritis, dan otitis media (Francoz 2004; Rosenbusch 2005). Pada hewan ternak ini,
enrofloksasin sangat efektif dalam menanggulangi Histophilus somni, Pasteurella multocida,
Mycoplasma sp., dan Mannheimia haemolytica. Selain itu, enrofloksasin juga efektif pada
beberapa bakteri gram negatif seperti E. coli dan Salmonella Sp. (Giguere et al. 2006).
Enrofloksasin telah digunakan juga pada ayam untuk mengatasi salmonelosis, colibasilosis,
dan CRD (Luo 2003; Humphrey 2005). Pada unggas, enrofloksasin sensitif pada beberapa
bakteri seperti Mycoplasma gallisepticum, Salmonella sp., Pasteurella multocida, dan
Haemophilus paragallinarum (Bauditz 1987). Penggunaan enrofloksasin pada ayam menjadi
pilihan utama untuk menanggulangi infeksi saluran pernapasan dan pencernaan sehingga
penggunaan kadang-kadang tidak terkendali. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya
peningkatan resistensi terhadap beberapa bakteri seperti E. coli dan Champhylobacter sp. (van
Boven 2003). Pemakaian enrofloksasin pada ayam secara per oral melalui air minum dengan
konsentrasi 50 ppm yang setara dengan dosis
8-10
mg/kgBB (Vancutsem et al. 1989).
Selanjutnya dilaporkan, bahwa dosis yang direkomendasikan adalah 25 ppm untuk pengobatan
infeksi oleh E. coli, Salmonella arizonae dan Pasteurella multocida. Untuk pengobatan terhadap
Mycoplasma gallisepticum dengan dosis 12,5-50 ppm selama 3-5 hari. Konsentrasi 50 ppm
selama 5-10 hari dapat digunakan untuk pengobatan infeksi E. coli, Salmonella typhimurium dan
10
Haemophillus paragallinarum. Pengobatan infeksi Salmonella pullorum dengan konsentrasi 25100 ppm memberikan hasil yang memuaskan.
Enrofloksasin digunakan untuk mengatasi penyakit saluran pernapasan dan mastitis pada
babi (Giguere et al. 2006). Antibakteri ini sensitif terhadap Mycoplasma hypneumoniae,
Actinobacillus pleuropneumoniae, E. coli, dan Pasteurella multocida. Sementara itu, pada anjing
dan kucing enrofloksasin digunakan untuk mengatasi rhinitis, pneumonia, superfisial pyoderma,
dan otitis eksterna atau media (Speakman 1997; Speakman 2000). Enrofloksasin pada anjing dan
kucing digunakan untuk menanggulangi Bordotella bronchiseptica (Giguere et al. 2006).
Enrofloksasin pada kuda digunakan sebagai pilihan untuk mengatasi kronik pleuritis dan
kebengkakan tendon kaki (Heath 1989; Kaartinen 1997). Pada kuda enrofloksasin dapat
diberikan IV, IM, dan oral, serta digunakan untuk menanggulangi pleuritis kronis.
Efek samping dari enrofloksasin, secara umum sama dengan qiunolon lain, yaitu tidak
banyak menimbulkan efek samping yang merugikan dibandingkan dengan keuntungan yang
diperoleh. Efek samping yang ditimbulkan oleh enrofloksasin terjadi pada tulang rawan (juvenile
cartilage), saluran kencing, dan saluran pencernaan. Beberapa erupsi kulit pernah dilaporkan
pada manusia (Ball 1986). Pada dosis 800 mg/kg, enrofloksasin dapat menyebabkan kematian
embryo kera. Sementara itu, pada kelinci dan tikus obat ini bersifat teratogenik (Neer 1988).
Pada tikus dan anjing obat ini menyebabkan lesi pada lambung dan usus jika digunakan secara
terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Adanya lesi tersebut menyebabkan kelemahan
dan menimbulkan rasa sakit yang kuat. Dengan kejadian tersebut, maka enrofloksasin tidak
boleh diberikan pada anjing muda dibawah umur 8 bulan (McQueen dan William 1987; Berg
1988). Selain itu, pada anjing muda penggunaan enrofloksasin pada dosis yang berlebihan akan
mengakibatkan lesi pada kartilago pesendian (Bukhardt 1992).
Pada unggas, babi, dan sapi enrofloksasin pada dosis tinggi akan menyebabkan arthropati
sedangkan pada anak kuda pemberian enrofloksasin dosis 10 mg/kgBB akan menyebabkan
kelainan tendon (Vivrette 2001; Yoon 2004). Akan tetapi arhtropati pada kuda dewasa tidak
terlihat sampai pemberian enrofloksasin diatas 25 mg/kgBB secara IV selama 3 minggu atau 15
mg/kgBB secara peroral setiap 12 jam selam 3 minggu (Bertone 2000). Pada kucing
enrofloksasin pada dosis tinggi (20 mg/kgBB setiap 24 jam) akan mengakibatkan degenerasi
retina (Wiebe dan Hamilton 2002).
11
Schluter (1987) melaporkan bahwa konsentrasi yang tinggi pada urin dan rendahnya
tingkat kelarutan enrofloksasin pada suasana asam menyebabkan terbentuknya kristal pada
saluran kencing. Kristal tersebut yang bertanggung jawab terhadap adanya lesi pada ginjal.
Tidak pernah ada laporan toksisitas pada syaraf untuk berbagai spesies selama penggunaan
percobaan enrofloksasin secara laboratorium dan klinik. Pemberian bersamaan obat dengan
antagonis sintesa protein seperti chloramphenicol tidak direkomendasikan, karena akan
menimbulkan efek hambatan aktivitas antibakterial.
Sampai saat ini, penelitian untuk menentukan dosis efektif enrofloksasin pada hewan
masih belum pernah dilakukan di Indonesia apalagi kombinasi enrofloksasin dan BioATP. Oleh
karena itu, penelitian tentang hal tersebut perlu dilakukan mengingat bahaya bakteri C. burnetii.
Namun di Indonesia sangat berpotensi terserang penyakit ini, bahkan penelitian terbaru yang
dilakukan oleh Mahatmi et al. (2006) telah mendeteksi C. burnetii dengan menggunakan metode
nested-PCR pada sapi Brahman Cross dan domba yang berasal dari wilayah Bogor, dan sapi Bali
yang berasal dari Bali.
Farmakokinetika Enrofloksasin
Farmakokinetika merupakan bagian ilmu farmakologi yang mempelajari liberasi,
absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eksresi obat. Salah satu cara pengukuran kinetika obat
biasanya dilakukan dengan mengukur konsentrasi obat pada plasma darah pada berbagai rentang
waktu setelah pemberian suatu produk obat. Pada umumnya, absorbsi suatu obat terjadi lebih
cepat daripada eliminasi. Selama obat diabsorbsi ke dalam sirkulasi sistemik, obat
didistribusikan ke semua jaringan dalam tubuh dan juga serentak dieliminasi. Eliminasi suatu
sediaan obat dapat terjadi melalui ekskresi atau biotransformasi atau keduanya. Konsentrasi obat
dalam plasma darah pada posisi tertinggi akan menggambarkan konsentasi obat yang digunakan
oleh reseptor untuk menghasilkan efek farmakologi. Efek yang ditimbulkan ini akan sebanding
dengan jumlah reseptor obat yang ditempati obat tersebut. Intensitas efek farmakologi suatu obat
sangat berhubungan dengan konsentrai obat pada reseptor, yang biasanya terdapat dalam sel-sel
jaringan. Oleh karena sebagian sel-sel jaringan diperfusi oleh plasma, maka pemeriksaan kadar
obat dalam plasma merupakan suatu metode yang sesuai untuk pemantauan suatu kinetika obat
di dalam tubuh (Shargel dan Yu 2005).
12
Pemberiaan enrofloksasin secara oral untuk kelompok monogastrik, mempunyai
ketersediaan hayati yang tinggi, volume distribusi yang besar, konsentrasi yang tinggi pada
jaringan dan cairan radang, serta dieliminasi melalui urin (Jenkins dan Friedlander 1988).
Enrofloksasin di dalam tubuh baru akan bekerja setelah dimetabolisme oleh tubuh menjadi
metabolit aktif. Metabolit aktif enrofloksasin adalah siprofloksasin. Demikian juga dengan
perfloksasin. Perfloksasin juga baru akan bekerja setelah dimetabolisme tubuh menjadi metabolit
aktif yaitu norfloksasin (Berg 1988; Giguere et al. 2006).
Dengan karakteristik yang demikian, enrofloksasin mempunyai keunggulan untuk
digunakan pada unggas dan secara luas digunakan untuk pengobatan infeksi Mycoplasma sp. dan
infeksi sekunder pada saluran pernapasan seperti colibacillosis dan pasteurelosis (Anadon dan
Laranaga 1995). Selain itu, enrofloksasin secara empiris juga digunakan untuk menanggulangi
sebagian besar penyakit pada ruminansia dengan gejala utama demam (fever) termasuk di
dalamnya Q fever (Giguere et al. 2006).
Penyerapan enrofloksasin dari saluran pencernaan sangat cepat dengan tingkat
ketersediaan hayati sampai 80%.
Puncak konsentrasi dalam serum dicapai dalam waktu 1
sampai dengan 2 jam setelah pemberian. Puncak konsentrasi dalam serum setelah pemberian
dosis tunggal peroral untuk enrofloksasin pada ayam, kalkun, sapi, anjing dan kuda adalah 0,5;
0,9; 5,4; 1.4 dan 2,5 jam setelah pemberian. Selain itu, enrofloksasin memiliki karakteristik yang
menarik, yaitu nilai volume distribusi yang besar dan ikatan dengan protein yang rendah. Hal ini
yang menjadikan pertimbangan bahwa enrofloksasin merupakan pilihan utama untuk pengobatan
infeksi pada jaringan yang dalam, perifer, dan kasus pyoderma (Babish et al. 1990).
Ekskresi enrofloksasin melalui ginjal dan hati.
Konsentrasi yang tinggi pada urin
diperoleh karena filtrasi glomerular. Ekskresi akan menurun pada kasus gangguan ginjal dan
harus hati-hati untuk pemberian obat. Pada beberapa spesies, enrofloksasin mempunyai waktu
paruh yang berbeda masing-masing 7,3; 1,4; 1,2; 2,1; dan 3,3 jam untuk ayam, kalkun, sapi,
anjing, dan kuda (Babish et al. 1990).
Anadon and Laranaga (1995) melaporkan bahwa farmakokinetik enrofloksasin pada
ayam pedaging dengan dosis tunggal 10 mg/kg berat badan per oral dan intravena dengan
menggunakan model dua kompartemen memperlihatkan waktu paruh eliminasi dan waktu
tertahan dalam plasma adalah 10,29±0,45 dan 9,65±0,48 jam untuk intra vena sedangkan per oral
adalah 14,23±0,46 dan 15,30±0,53 jam. Sementara itu, pada pemberian dosis tunggal peroral
13
puncak konsentrasi maksimum yaitu 2,44±0,06 μg/mL dalam waktu 1,64±0,04 jam dengan
ketersediaan hayati pada kisaran 64,0±0,2%. Residu enrofloksasin dan siprofloksasin dalam
lemak, ginjal, hati, paru, otot dan kulit pada hari ke 12 ditemukan antara 0,020 dan 0,075μg/g .
Penelitian farmakokinetik enrofloksasin pada anak kuda yang baru lahir telah dipelajari
oleh Vivrette et al. (2001). Hasilnya, pada penyuntikan IV dengan dosis 5 mg/KgBB adalah
waktu paruh 17,10±0,09 jam dengan volume distribusi 2,49±0,43 L/Kg. Sementara itu, pada
pemberian dosis peroral 10 mg/kgBB diperoleh hasil konsentrasi maksimum 212±0,051 μg/mL,
waktu paruh 18,39±0,06 jam dengan rata-rata absorbsi 2,09±0,5 jam, klirens 103±0,06
ml/kg/jam, dan bioavailabilitas 42±0,42%.
Kajian farmakokinetika pada sapi India (Bos grunnien L) dilaporkan oleh Khargharia et
al. (2008). Penelitian ini dilakukan dengan penyuntikan IV dosis 5 mg/kgBB. Hasil yang
diperoleh adalah waktu paruh 1,28±0,32 jam, volume distribusi 1,61 ± 0,50 L/kg, dan klirens
872,42±223,98 ml/jam/kg. Sebelumnya Khargharia et al. (2005) juga telah melakukan penelitian
dengan hewan dan dosis yang sama tetapi dengan rute pemberian IM. Hasilnya adalah waktu
paruh 2,79±0,60 jam, volume distribusi 3,76±0,83 L/kg, dan klirens 935,09±236,45 ml/jam/kg.
Penelitian Elmas et al. (2001) menunjukkan bahwa pada domba anggora yang diberikan
enrofloksasin IV dengan dosis 5 mg/kg BB memiliki waktu paruh 3,98±0,18 jam, volume
distribusi 1,22±0,06 L/kg/jam, klirens 0,24±0,01 L/kg, konsentrasi maksimun 9,24±1,20 μg/mL.
Sementara itu, pada kambing dengan dosis yang sama secara IM memiliki waktu paruh
4,70±0,44 jam, volume distribusi 1,51±0,16 L/kg/jam, klirens 0,26±0,01 L/kg, konsentrasi
maksimun 3,25±0,29 μg/mL.
Bio Adenosin Tri Phosphat
Bio Adenosin Tri Phosphat (BioATP) pertama kali ditemukan pada tahun 1929. BioATP
terdiri atas ATP, magnesium aspartat, natrium selenit, kalium selenit, dan vitamin B12. Adenosin
tri phosphat adalah suatu nukleotida yang dikenal sebagai satuan molekular pertukaran energi
intraseluler. Molekul ATP digunakan untuk menyimpan energi yang dihasilkan. Molekul ini
mempunyai struktur kimia yang terdiri atas adenosin dan tiga gugus fosfat. Rumus empiris ATP
adalah C 10 H 16 N 5 O 13 P 3 dan rumus kimianya C 10 H 8 N 4 O 2 NH 2 (OH) 2 (PO 3 H) 3 H.
Bio Adenosin Tri Phosphat dapat dihasilkan dari berbagai proses seluler diantaranya
melalui proses fosforilasi oksidatif dengan bantuan ensim pengkatalis ATP sintetase. Bahan
14
bakar utama sintesis ATP adalah glukosa dan asam lemak. ATP berfungsi sebagai pembawa
energi dalam tubuh mikroorganisme hidup mulai dari bakteri, jamur, tumbuhan, hewan, dan
termasuk manusia. Kemudian, ATP akan diuraikan menjadi ADP dan phosphate. Selanjutnya,
ADP ini akan menangkap energi yang dilepaskan oleh pembakaran nutrisi dan mentransfernya
untuk reaksi-reaksi yang membutuhkan energi seperti membangun komponen sel, kontraksi otot,
transmisi pesan syaraf, dan pengaturan energi di dalam sel (Guyton 1997).
Bio Adenosin Tri Phosphat merupakan energi siap pakai yang digunakan bersama
multivitamin dan ion esensial pada hewan ruminansia termasuk sapi. Beberapa produk Bio ATP
yang beredar di Indonesia antara lain Biosalamin, BiosanTP, dan Biomin (IOHI 2008). ATP
akan mempercepat perbaikan fungsi tubuh dengan menyediakan energi yang siap pakai.
Ketersediaan energi ini akan membantu obat bekerja lebih optimal dan mempercepat
persembuhan terhadap penyakit tertentu (Katzung 2001).
Para praktisi ternak ruminansia di Boyolali, Klaten, Sumedang, dan Lembang biasanya
selalu menggunakan kombinasi enrofloksasin dan BioATP untuk menanggulangi infeksi saluran
pencernaan, pernafasan, dan mastitis. Para praktisi ternak ruminansia di Boyolali, Klaten,
Sumedang, dan Lembang telah memberikan enrofloksasin yang dikombinasikan dengan BioATP
untuk menanggulangi infeksi saluran pencernaan, pernapasan, dan mastitis. Natrium selenite
yang terdapat dalam sediaan BioATP yang diberikan bersamaan dengan enrofloksasin di dalam
tubuh akan membentuk kompleks ikatan natrium-enrofloksasin. Selanjutnya, enrofloksasin akan
masuk ke dalam sel bersamaan dengan natrium melalui kanal natrium sel (Walker 1992; Gootz
dan Brightly 1996; Giguere dan Belanger 1997). Ikatan ini diduga akan menyebabkan
konsentrasi enrofloksasin di dalam plasma darah akan meningkat. Selain itu, BioATP
diperkirakan akan memberikan energi kepada enrofloksasin sehingga enrofloksasin akan lebih
mudah bekerja terhadap bakteri target. Selain itu, adanya kalium selenit dalam sediaan BioATP
akan menyatabilkan membran sel sehingga fungsi sel berjalan secara fisiologis (Cunningham
1997). Sementara itu, Vitamin B12 akan mendukung optimalisasi ATP dan reaksi ensimatis di
dalam tubuh. Hal inilah yang menjadi landasan pemberian BioATP yang dikombinasikan dengan
enrofloksasin diduga akan meningkatkan ketersediaan hayati enrofloksasin di dalam plasma
darah.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan Agustus 2009 di Fakultas
Kedokteran Hewan, IPB dan di Balai Besar Pengujian Mutu Sertifikasi Obat Hewan
(BBPMSOH), Gunung Sindur, Bogor.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah spoit 5 ml, tabung EDTA 5 ml, termos es,
ice pack, dan HPLC. Peralatan lain yang digunakan adalah peralatan untuk kultur jaringan yang
terdiri atas plate 96 lubang, mikropipet, tube pipet, seperangkat clean ben, inkubator CO 2 ,
rerfrigerator, sentrifuse, mikroskop, kamera digital, autoclave, shaker, dan peralatan lainnya.
Bahan yang digunakan adalah sel Vero, stok C. burnetii, minimal esensial media 1 (MEM 1),
growth medium (GM), PBS, etanol, tripan blue, enrofloksasin (BaytrilR), BioATP (BiosalaminR),
air DW, sediaan murni siprofloksasin, flask 25 ml, tripsin EDTA. Coxiella burnetii yang
digunakan dalam penelitian ini adalah isolat standar American Type Tissue Culture (ATTC)
dengan strain nine mile yang berasal dari National Institute of Infectious Disease, (NIID) Jepang.
Pembuatan Monolayer Sel Vero.
Sel yang digunakan pada penelitian ini ialah sel Vero. Tahap awal pembuatan monolayer
sel Vero dimulai dengan penyiapan minimun essential medium (MEM). Medium ini terdiri atas
eagle medium, fetal bovine serum (FBS), natrium bikarbonat, antibiotik penisilin-streptomisin,
tryptose phosphat broth (TPB), dan fungizone. Medium yang sudah dibuat disimpan dalam
refrigerator dan ketika akan digunakan dihangatkan 37οC terlebih dahulu.
Sel Vero stock yang disimpan pada frezer bersuhu -80oC, sebelum digunakan sel Vero dithawing dan disentrifuse dengan kecepatan 2.000 rpm selama 10 menit. Supernatannya
kemudian dibuang dan pelet sel yang tersisa adalah sel Vero. Sel Vero inilah yang siap
digunakan untuk kultur jaringan.
Sel Vero ini selanjutnya diperbanyak (passage) dengan memasukan sel tersebut ke dalam
flask 25 ml yang ditambahkan 6 ml MEM 1. Kultur sel Vero selanjutnya diinkubasi pada suhu
16
37oC 5% CO 2 . Setiap 4 hari, setelah terbentuk monolayer, sel Vero di-passage. Perbanyakan sel
Vero dilakukan sebanyak 4 sampai 6 kali sampai sel siap digunakan untuk pengujian.
Perbanyakan sel Vero dilakukan dengan cara sebagai berikut. Langkah pertama adalah
membuang medium lama, lalu sel Vero dilepaskan dari flask dengan menambahkan tripsin
EDTA. Kemudian, sel Vero yang sudah rontok dicuci dengan menambahkan phosphat buffered
saline (PBS) sebanyak 5 ml. Pencucian diulang sebanyak 2 kali.
Langkah berikutnya adalah menambahkan medium MEM 1 sebanyak 18 ml ke dalam
tabung flask yang berisi sel Vero. Kemudian, kultur sel Vero ini dibagi ke dalam 3 flask yang
masing-masing berisi 6 ml MEM 1. Selanjutnya, subkultur diinkubasi pada 37oC 5% CO 2 selama
4 sampai 5 hari. Setiap hari perkembangan sel Vero diamati dengan menggunakan mikroskop.
Tabung flask yang telah terisi penuh sel Vero (monolayer) siap dipanen dengan scraper.
Pemanenan sel Vero dimulai dengan mengambil supernatan dari tabung flask. Kemudian, sel
Vero tersebut dibilas dengan PBS 5 ml sebanyak 2 kali. Langkah selanjutnya adalah
menambahkan tripsin EDTA ke dalam tabung flask untuk melepas sel Vero dari perlekatannya
pada flask. Jika sel Vero ini akan dijadikan stok yang akan disimpan, ke dalam sel Vero ini
dimasukkan DMSO 1% dan PBS 9%. Setelah itu, stok ini disimpan di frezer suhu -84oC atau N 2
cair.
Sebelum digunakan untuk penelitian, stok sel Vero hidup dihitung jumlahnya.
Penghitungan dilakukan dengan mengambil 10 µl stok sel Vero yang ditambah 90 µl tripan blue
(10 kali pengenceran). Pewarna tripan blue digunakan untuk mewarnai sel yang mati.
Perhitungan dilakukan dengan menggunakan hemositometer di bawah mikroskop. Jumlah total
sel Vero hidup dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
Jumlah total sel Vero = A x 10 x 104 sel/ml
Keterangan :
A
: Jumlah total sel Vero yang ditemukan pada hemositometer
10
: Faktor pengenceran
104
: Volume hemositometer
17
Propagasi Coxiella burnetii.
Propagasi C. burnetii dilakukan karena C. burnetii yang digunakan baru dibangunkan
dari stok yang disimpan pada suhu -80oC. Perbanyakan dimulai dengan membuat monolayer sel
Vero pada flask 25 ml. Isolat C. burnetii yang ada di stok di-thawing, kemudiaan C. burnetii
tersebut dinokulasikan ke dalam monolayer sel Vero sebanyak 0,5 ml dengan terlebih dahulu
membuang media yang ada di dalam flask. Tahap berikutnya adalah flask yang sudah diinokulasi
C. burnetii digoyang pada suhu 37οC selama 60 menit untuk memastikan C. burnetii
menginfeksi sel Vero. Setelah itu, pada monolayer sel Vero yang telah diinokulasi C. burnetii
ditambahkan maintenance medium (MM) yang terdiri atas minimun esensial medium (MEM),
fetal bovine serum (FBS), natrium bicarbonat, antibiotik penisilin-streptomisin, tryptose
phosphat broth (TPB), dan fungizone. Setiap hari, pertumbuhan C. burnetii pada monolayer sel
Vero diamati perkembangannya. Pemanenan C. Burnetii dilakukan setelah ditemukan kerusakan
atau sitopatik efek pada monolayer sel Vero.
Pemanenan C. burnetii dilakukan dengan cara freeze-thawing. Metode freeze thawing
dilakukan dengan membekukan flask yang berisi sel Vero yang terinfeksi C. burnetii pada suhu 80οC selama 10 menit, kemudian flask yang sudah membeku tadi dicairkan kembali. Proses ini
diulang sebanyak 3 kali. Selanjutnya, cairan yang ada di dalam flask disentrifuse 3000 rpm
selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh dari cairan hasil sentrifuse merupakan stok C.
burnetii yang segar dan siap untuk digunakan.
Penghitungan Tissue Culture Infectious Dose 50 (TCID 50 ) Coxiella burnetii.
Tissue Culture Infectious Dose 50 (TCID 50 ) merupakan konsentrasi C. burnetii yang
menyebabkan 50% sel Vero terinfeksi C. burnetii. Penentuan TCID 50 dilakukan dengan
menggunakan 5 lubang pada plate 96 lubang. Langkah pertama penentuan TCID 50 adalah
mengisi 5 lubang tersebut dengan 500.000 sel Vero/lubang. Kemudian, lubang yang sudah berisi
sel Vero diinkubasi pada temperatur 37oC 5% CO 2 sampai terbentuk monolayer. Selanjutnya, ke
dalam monolayer sel Vero ini dimasukkan berbagai tingkat pengenceran C. burnetii.
Pengenceran C. burnetii dilakukan dengan maintenance medium (MM). Tingkat pengenceran C.
burnetii tersebut disajikan sebagai berikut.
18
Tabel 1. Tingkat pengenceran C. burnetii untuk TCID 50
Pengenceran
1
Perlakuan
10
0,2 ml stok C. burnetii ditambahkan 1,8ml MM
102
0,2 ml pada pengenceran 101 ditambahkan 1,8ml MM
103
0,2 ml pada pengenceran 102 ditambahkan 1,8ml MM
104
0,2 ml pada pengenceran 103 ditambahkan 1,8ml MM
105
0,2 ml pada pengenceran 104 ditambahkan 1,8ml MM
106
0,2 ml pada pengenceran 105 ditambahkan 1,8ml MM
107
0,2 ml pada pengenceran 106 ditambahkan 1,8ml MM
108
0,2 ml pada pengenceran 107 ditambahkan 1,8ml MM
Kemudian plate yang telah berisi monoleyer sel Vero dan C. burnetii pada berbagai
tingkat pengenceran tadi ditambahkan media MM. Selanjutnya, plate ini dimasukan ke dalam
inkubator 5% CO 2, suhu 37oC sambil digoyang selama 60 menit . Setiap hari, dilakukan
pengamatan terhadap sel Vero tersebut. Kematian sel Vero dijadikan dasar penghitungan
TCID 50 . Selanjutnya, data yang diperoleh dihitung dengan menggunakan formula SpearmanKarber sebagai berikut.
Log 10 pengenceran terakhir = -(Xo–d/2+dΣ(r 1 /n1 )
Keterangan :
Xo
: Log 10 perbandingan terkecil pengenceran yang menimbulkan efek kerusakan sel
d
: Log 10 Faktor pengenceran
n1
: Jumlah sel kultur yang terinfeksi dibagi dengan jumlah lubang yang digunakan
r1
: Jumlah sel kultur yang terinfeksi
19
Pengujian Efektivitas Enrofloksasin dalam Mengatasi C. burnetii
Pengujian ini dimulai dengan menyiapkan monolayer sel Vero. Selanjutnya, ke dalam
monolayer tersebut dimasukkan C. burnetii sebanyak 102TCID 50 dan enrofloksasin pada
berbagai tingkat konsentrasi yang didasarkan pada penghitungan profil kinetika yang telah
dilakukan sebelumnya. Pengujian sensitivitas ini menggunakan plate 96 lubang dan diulang
sebanyak 3 kali. Selanjutnya, rancangan pengujian diuraikan sebagai berikut.
Perlakuan A (PA)
:
Monolayer sel Vero diberikan C. burnetii dan enrofloksasin 1 ppm
Perlakuan B (PB)
:
Monolayer sel Vero diberikan C. burnetii dan enrofloksasin 2 ppm
Perlakuan C (PC)
:
Monolayer sel Vero diberikan C. burnetii dan enrofloksasin 4 ppm
Perlakuan D (PD)
:
Monolayer sel Vero diberikan C. burnetii dan enrofloksasin 6 ppm
Perlakuan E (PE)
:
Monolayer sel Vero diberikan C. burnetii dan enrofloksasin 8 ppm
Perlakuan F (PF)
:
Monolayer sel Vero diberikan C. burnetii dan enrofloksasin 10 ppm
Perlakuan G (PG)
:
Monolayer sel Vero
Perlakuan H (PH)
:
Monolayer sel Vero diberikan C. burnetii
Perlakuan I (PI)
:
Monolayer sel Vero diberikan enrofloksasin 10 ppm
Pengamatan dilakukan setiap hari sampai terlihat adanya efek kerusakan sel (cytophatic
effect). Efek kerusakan sel yang ditimbulkan oleh infeksi C. burnetii pada monolayer sel Vero
adalah sel terlihat keriput, sel menjadi jarang dan tidak rata, terdapat lubang dan ditemukan
adanya bulatan pada monolayer sel Vero (Spyridaki et al. 2002). Hasil pengamatan positif, sel
Vero yang terinfeksi, supernatannya diambil untuk ditanam kembali pada monolayer sel Vero
yang baru. Hal ini dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil penglihatan mata. Kemudian, setiap
hari sel Vero tersebut diamati. Selain itu, plate yang berisi sel Vero
yang sudah diambil
supernatannya tadi diwarnai dengan tripan blue guna mengetahui tingkat kerusakan sel tersebut.
Kajian Mekanisme Kerja Enrofloksasin terhadap C. burnetii.
Kajian ini menggunankan plate 96 lubang dan diulang sebanyak 2 kali. Selanjutnya,
kajian mekanisme kerja enrofloksasin dan C. burnetii disajikan sebagai berikut.
Perlakuan a (Pa)
:
Enrofloksasin 4 ppm direndam bersama C. burnetii 102 TCID 50
selama 30 menit kemudian baru ditanam ke dalam monoloyer sel
Vero
20
Perlakuan b (Pb)
:
Enrofloksasin 4 ppm dimasukkan bersamaan dengan C. burnetii
102 TCID 50 ke dalam monolayer sel Vero
Perlakuan c (Pc)
:
Monolayer sel Vero diberikan enrofloksasin 4 ppm pada satu hari
sebelum inokulasi C. burnetii 102 TCID 50
Perlakuan d (Pd)
:
Monolayer sel Vero
Perlakuan e (Pe)
:
Monolayer sel Vero diberikan C. burnetii
Perlakuan f (Pf)
:
Monolayer sel Vero diberikan enrofloksasin 4 ppm
Kajian Waktu Pemberian Enrofloksasin Terhadap C. burnetii.
Kajian ini menggunakan plate 96 lubang dan diulang sebanyak 3 kali. Selanjutnya,
rancangan pengujian disajikan sebagai berikut.
Perlakuan I (PI)
:
Monolayer sel Vero diberikan enrofloksasin 4 ppm. Satu hari
kemudian diinfeksi C. burnetii.
Perlakuan II (PII)
:
Monolayer sel Vero diberikan enrofloksasin 4 ppm. Tiga hari
kemudian diinfeksi C. burnetii.
Perlakuan III (PIII)
:
Monolayer sel Vero diinfeksi C. burnetii. Tiga hari kemudian
diberikan enrofloksasin 4 ppm
Perlakuan IV (PIV)
:
Monolayer sel Vero
Perlakuan V (PV)
:
Monolayer sel Vero diberikan C. burnetii
Perlakuan V (PVI)
:
Monolayer sel Vero diberikan enrofloksasin 4 ppm
Penghitungan Konsentrasi Enrofloksasin dalam Darah.
Penghitungan ini dilakukan dengan menggunakan sampel plasma darah sapi simental
yang berasal dari Klaten, Jawa Tengah. Sapi-sapi tersebut memiliki umur 1 sampai dengan 1,5
tahun dengan bobot 150-200 kg. Sampel darah diambil dengan spoit dari vena coxigea pada
menit ke-30 , 60, 120, 240, 480, dan 960 setelah pemberian enrofloksasin serta kombinasi
enrofloksasin dan BioATP. BioATP yang diberikan sebanyak 20 ml secara IM. Selanjutnya,
sampel darah disentrifuse untuk memperoleh plasmanya. Antikoagulan yang digunakan adalah
EDTA. Setelah itu, sampel plasma darah tersebut dianalisis dengan High Performance Liquid
Chromathography (HPLC) di BBPMSOH Gunungsindur, Bogor. Ekstraksi plasma daran
21
dilakukan dengan methanol. Selanjutnya, cairan hasil ekstraksi dianalisis dengan HPLC yang
dibandingkan dengan standar.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak
lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut.
Kontrol (K)
:
Sapi tidak diberi enrofloksasin (kontrol)
Perlakuan 5
:
Sapi diberi enrofloksasin dengan dosis 5 mg/kgBB secara IM
Perlakuan 5 BioATP
:
Sapi yang diberi enrofloksasin dengan dosis 5 mg/kgBB dan
BioATP sebanyak 20 ml secara IM
Perlakuan 10
:
Sapi yang diberi enrofloksasin dengan dosis 10 mg/kgBB secara
IM
Perlakuan 10 BioATP
:
Sapi yang diberi enrofloksasin dengan dosis 10 mg/kgBB dan
BioATP sebanyak 20 ml secara IM
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis kinetika obat dan analisis of varian
(Anova), serta untuk melihat perbedaan untuk melihat perbedaan nyata diantara perlakuan
dilakukan uji Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan BioATP terhadap
efektivitas enrofloksasin dalam mengatasi C. burnetii dan profil kinetik obat tersebut.
Selanjutnya, secara lengkap hasil penelitian ini disajikan sebagai berikut.
Efektivitas Enrofloksasin dalam mengatasi C. burnetii
Sebelum melakukan pengujian efektivitas enrofloksasin terhadap C. burnetii secara in
vitro, terlebih dahulu dilakukan penghitungan tissue culture infectious dose 50 (TCID 50 ). Nilai
TCID 50 merupakan konsentrasi C. burnetii yang mampu menginfeksi 50% kultur sel Vero.
Penghitungan TCID 50 dilakukan menggunakan mikroplate 96 lubang dengan metode SpearmanKarber. Berdasarkan pengujian TCID 50 yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa konsentrasi
TCID 50 C. burnetii yang digunakan dalam penelitian ini adalah 104 (penghitungan terlampir).
Nilai TCID 50 selanjutnya digunakan sebagai dasar inokulasi C. burnetii. Pada perlakuan
selanjutnya inokulasi C. burnetii biasanya dilakukan pada 102 TCID 50 (FOHI 2007).
Setelah pengujian TCID 50 , penelitian dilanjutkan dengan pengujian
efektivitas
enrofloksasin terhadap C. burnetii secara in vitro menggunakan kultur jaringan sel Vero.
Selanjutnya, grafik pengujian efektivitas enrofloksasin terhadap C. burnetii secara in vitro
disajikan pada Gambar 1.
Persentase sel Vero (%)
100
100
100
100
100
80
80
60
62,5
50
40
100
100
62,5
55
45
37,5
20
7,5
0
0
1
2
3
Hari ke-
4
5
6
Gambar 1. Grafik pengujian efektivitas enrofloksasin terhadap C. burnetii secara in vitro.
Keterangan : (♦ : 1 p pm enroflok sasin, ■ : 2 p pm enroflok sasin, ▲ : 4 p pm
enrofloksasin, × : 6 ppm enrofloksasin,
Ж : 8 ppm enrofloksasin,
● : 10 ppm
enrofloksasin, | : sel Vero, - : sel Vero dan enrofloksasin 10 ppm, _ : sel Vero dan C.
burnetii) pada hari ke-1 sampai dengan hari ke-6.
23
Berdasarkan Gambar 1 diperoleh hasil bahwa hari ke-1 sampai dengan hari ke-3 sel Vero
masih dalam keadaan normal, berbentuk monolayer, dan belum terlihat adanya kerusakan sel.
Pada hari ke-1 sampai dengan hari ke-3 tersebut, C. burnetii masih dalam proses menginfeksi sel
Vero. Setelah itu, pada hari ke-4 mulai ditemukan adanya efek kerusakan sel yang diakibatkan
oleh adanya infeksi C. burnetii yang ditandai dengan sel Vero menjadi jarang, terdapat lubanglubang, dan bulatan hitam pada monolayer sel Vero. Selanjutnya, gambaran monolayer sel Vero
normal dan monolayer sel Vero yang rusak akibat terinfeksi C. burnetii pada perbesaran 10 kali
disajikan pada Gambar 2.
(a)
(b)
Gambar 2. Gambaran monolayer sel Vero normal dan monolayer sel Vero yang rusak akibat
terinfeksi C. burnetii pada perbesaran 10 kali. Keterangan : (a) monolayer sel Vero
normal (b) monolayer sel Vero yang terinfeksi C. burnetii.
Pengambilan keputusan untuk mengetahui efektivitas enrofloksasin terhadap C. burnetii
pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data pengamatan pada hari ke-6. Hal ini
didasarkan pada hari ke-6 keadaan sel Vero kontrol yang diinfeksi C. burnetii semuanya telah
rusak dan kontrol sel yang tidak diinfeksi C. burnetii masih utuh seluruhnya. Selain itu,
pengambilan keputusan juga diperkuat dengan pewarnaan monolayer sel Vero pada hari ke-6
dengan tripan blue. Monolayer sel Vero yang tidak diinfeksi C. burnetii terlihat rata dan kompak
dengan sitoplasma sel yang utuh. Sebaliknya, monolayer sel Vero yang diinfeksi C. burnetii
sitoplasma sel Veronya mengalami keriput dan menjadi jarang, serta berlubang. Selanjutnya,
hasil gambar pewarnaan monolayer sel Vero pada perbesaran 10 kali disajikan pada Gambar 3.
24
(a)
(b)
Gambar 3. Pewarnaan monolayer sel Vero pada hari ke-6 dengan menggunakan tripan blue
pada perbesaran 10 kali. Keterangan : (a) monolayer sel Vero normal (b) monolayer
sel Vero yang terinfeksi C. burnetii.
Berdasarkan Gambar 1, pada hari ke-6 diperoleh hasil minimum inhibitory concentration
(MIC) dan minimum bactericidal concentration (MBC) secara berurutan sebesar 1 sampai 2 ppm
dan 4 ppm. Nilai MIC merupakan konsentrasi minimal suatu antibiotik dimana mulai
menunjukkan adanya efek penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri (Rolain et al. 2001;
Spyridaki et al. 2002). Sementara itu, MBC merupakan konsentrasi minimal suatu antibiotik
yang mampu mematikan keseluruhan pertumbuhan bakteri (Giguere et al. 2006).
Penelitian mengenai MIC beberapa antibakteri golongan quinolon terhadap C. burnetii
menggunakan kultur jaringan telah dilakukan. Antibakteri golongan quinolon diantaranya adalah
siprofloksasin, difloksasin, trovafloksasin, ofloksasin, dan enrofloksasin. Penelitian Gikas et al.
(1998) menyebutkan bahwa dengan menggunakan kultur jaringan sel Vero nilai MIC
trovafloksasin dan ofloksasin berada pada kisaran 1 sampai dengan 2 ppm, sedangkan
siprofloksasin memiliki MIC sebesar 1 sampai dengan 2 ppm. Sementara itu, penelitian yang
dilakukan oleh Yeaman et al. (1987) dengan menggunakan kultur jaringan sel fibroblas L929
menyebutkan bahwa konsentrasi rifampin 1 ppm dan difloksasin 2 sampai dengan 5 ppm
mampu menghambat pertumbuhan C. burnetii.
Enrofloksasin merupakan antibiotik golongan quinolon yang pertama kali digunakan
secara khusus untuk bidang kesehatan hewan dengan nama dagang Baytril (Babish et al. 1990).
Mekanisme kerja enrofloksasin adalah menghambat replikasi bakteri dengan cara menghambat
kerja enzim DNA gyrase (Vancutsem
et al. 1989). Daya kerja enrofloksasin bersifat
bakteriostatis dan bakterisidal pada beberapa bakteri serta memiliki spektrum yang luas terhadap
25
bakteri gram positif dan gram negatif (Anadon dan Laranaga 1995). Enrofloksasin berkhasiat
terhadap organisme yang resisten terhadap antibiotik betalaktam, aminoglikosida, tetrasiklin,
folat antagonis, dan makrolida. Enrofloksasin mampu diserap dengan baik pada pemberian oral
maupun parenteral (Tjay dan Raharja 2000).
Kajian Mekanisme Kerja Enrofloksasin terhadap C. burnetii
Setelah dilakukan pengujian efektivitas enrofloksasin terhadap C. burnetii, selanjutnya
dilakukan kajian reseptor enrofloksasin terhadap C. burnetii. Kajian ini dilakukan dengan variasi
pemberian enrofloksasin. Konsentrasi yang digunakan adalah konsentrasi yang mampu
mengatasi C. burnetii. Parameter yang diamati pada kajian ini adalah persentase sel Vero utuh.
Sel Vero utuh menunjukkan bahwa sel tersebut tidak terinfeksi C. burnetii. Selanjutnya, data
hasil kajian ini disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil kajian mekanisme kerja enrofloksasin terhadap C. burnetii
Perlakuan
Persentase sel Vero utuh (%)
Perlakuan a (Pa)
100 ± 0
Perlakuan b (Pb)
100 ± 0
Perlakuan c (Pc)
80 ± 4,42
Sel Vero (Pd)
100 ± 0
Sel Vero + enrofloksasin 10ppm (Pe)
100 ± 0
Sel Vero + C. burnetii (Pf)
0±0
Pa: enrofloksasin 4 ppm direndam bersama C. burnetii 102 TCID 50 selama 30 menit kemudian baru ditanam ke dalam
monolayer sel Vero; Pb: enrofloksasin 4 ppm dimasukkan bersamaan dengan C. burnetii 102 TCID 50 ke dalam monolayer sel
Vero; Pc : Monolayer sel Vero diberikan enrofloksasin pada satu hari sebelum inokulasi C. burnetii.
Pada perlakuan a menunjukkan sel Vero 100% dalam keadaan utuh. Ini berarti bahwa
sel Vero tidak terinfeksi C. burnetii (reaksi netralisasi). Hal ini juga mengindikasikan bahwa C.
burnetii memiliki reseptor terhadap enrofloksasin sehingga pada proses perendaman
enrofloksasin menempati reseptor tersebut. Hasil yang diperoleh pada perlakuan b menunjukkan
sel Vero 100% dalam keadaan utuh. Ini berarti bahwa reseptor C. burnetii dengan cepat akan
ditempati oleh enrofloksasin, sebelum C. burnetii tersebut menginfeksi sel Vero. Pada perlakuan
c diperoleh 80% sel Vero dalam keadaan utuh dan sisanya, 20% sel Vero, terinfeksi C. burnetii.
Keadaan ini mengindikasikan bahwa C. burnetii disamping memiliki reseptor terhadap
enrofloksasin, juga memiliki reseptor terhadap sel Vero (2 reseptor).
26
Persentase sel Vero utuh yang lebih banyak dibandingkan dengan sel Vero terinfeksi C.
burnetii menunjukkan bahwa enrofloksasin yang menempel pada reseptor C. burnetii lebih cepat
menimbulkan efek terapeutik. Sementara itu, reseptor C. burnetii yang menempel pada sel Vero
memiliki kerja yang lebih lambat dibandingkan kerja enrofloksasin yang menempel C. burnetii.
Kenyataan ini juga diperkuat dengan fakta bahwa 100% sel Vero masih utuh pada perlakuan b,
enrofloksasin akan lebih cepat menempati reseptor C. burnetii dan bekerja lebih cepat
dibandingkan ikatan reseptor C. burnetii dan sel Vero.
Berdasarkan data pada Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa C.
burnetii kemungkinan
memiliki 2 reseptor dengan tempat kedudukan yang berbeda yaitu reseptor yang spesifik
terhadap enrofloksasin dan reseptor yang spesifik terhadap sel Vero. Hampir semua antibakteri,
termasuk enrofloksasin memiliki reseptor yang spesifik (Giguere et al. 2006). Kespesifikan
reseptor inilah yang mengakibatkan obat mampu bekerja selektif pada target yang dituju
(Katzung 2001). Reseptor merupakan makromolekul (biopolimer) khas tempat dimana obat
terikat untuk menimbulkan efek (Mutschler 1991). Kekuatan ikatan reseptor tergantung pada
afinitas obat terhadap reseptor tersebut. Kespesifikan reseptor juga akan menentukan dosis yang
diberikan, makin spesifik reseptornya dosis yang diperlukan semakin kecil.
Kajian Waktu Pemberian Enrofloksasin terhadap C. burnetii
Berdasarkan Gambar 4 diperoleh hasil bahwa kelompok monolayer sel Vero tanpa
inokulasi C. burnetii dan monolayer sel Vero yang diberikan enrofloksasin 4 ppm mulai hari
pertama sampai dengan hari ke-6 masih 100% utuh dan dalam keadaan yang normal. Keadaan
ini menunjukkan sel Vero yang digunakan pada penelitian ini dalam kondisi baik dan
enrofloksasin pada konsentrasi tersebut tidak menyebabkan gejala toksik pada monolayer sel
Vero.
Perlakuan I (monolayer sel Vero yang diberikan enrofloksasin 4 ppm. Satu hari kemudian
diinfeksi C. burnetii) menunjukkan persentase jumlah sel Vero utuh yang lebih banyak
dibandingkan kelompok lain. Hal ini berarti bahwa enrofloksasin efektif bekerja dalam
mengatasi pertumbuhan C. burnetii. Sementara itu, perlakuan II (monolayer sel Vero yang
diberikan enrofloksasin 4 ppm, tiga hari kemudian diinfeksi C. burnetii) karena potensi
enrofloksasin yang diberikan telah mengalami penurunan sehingga hasil persentase sel Vero utuh
yang diperoleh mengalami penurunan. Enrofloksasin mudah terabsorbsi, terdistribusi ke hampir
27
semua jaringan, dan relatif cepat dimetabolisme tubuh (Ball 2000). Selain itu, enrofloksasin di
dalam jaringan mampu masuk sampai ke dalam sel dan dieliminasi 64 jam setelah pemberian
(Martinez 2005). Perlakuan III (monolayer sel Vero yang diinfeksi C. burnetii. Tiga hari
kemudian diberikan enrofloksasin 4 ppm) memiliki persentase monolayer sel Vero utuh paling
sedikit. Hal ini berarti bahwa sel Vero yang sudah terinfeksi C. burnetii sulit untuk dapat pulih
kembali. Selanjutnya, data hasil kajian waktu pemberian enrofloksasin terhadap C. burnetii
Persentase sel Vero utuh (%)
disajikan pada Gambar 4.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
100
100
100
100
97,5
90
100
100
85
80
50
77,5
75
45
37,5
35
0
1
2
3
4
5
6
Hari ke-
Gambar 4. Persentase sel Vero utuh
♦ :( perlakuan I/monolayer sel Vero yang diberikan
enrofloksasin 4 ppm. Satu hari kemudian diinfeksi C. burnetii, ■ : perlakuan II/
monolayer sel Vero yang diberikan enrofloksasin 4 ppm. Tiga hari kemudian
diinfeksi C. burnetii, ▲ : p erlak u na III/monolayer sel Vero yang diin feksi C.
burnetii. Tiga hari kemudian diberikan enrofloksasin 4 ppm, x : sel Vero, Ж : sel
Vero dan enrofloksasin 4 ppm,● : sel Vero dan C. burnetii) pada hari ke-1 sampai
dengan hari ke-6.
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dapat ditarik kesimpulan bahwa enrofloksasin
efektif digunakan untuk terapi preventif terhadap C. burnetii. Tindakan preventif atau
pencegahan seyogyanya dilakukan pada daerah dimana terjadi kejadian luar biasa penyakit
tertentu seperti Q fever, lokasi dan tempat yang rentan terhadap Q fever seperti lokasi kumuh dan
rumah pemotongan hewan, dan orang yang berpotensi terinfeksi Q fever seperti peneliti dan
pegawai rumah potong hewan. Fungsi antibiotik di bidang kesehatan hewan dikelompokan
menjadi 3 hal, yaitu mengobati hewan yang terinfeksi bakteri, sediaan pemacu tumbuh, dan
28
dapat digunakan sebagai preventif terapi pada keadaan yang diperlukan seperti out break suatu
penyakit (Giguere et al. 2006).
Pengaruh Pemberian BioATP terhadap Profil Kinetik Enrofloksasin
Profil kinetik suatu sedian obat digunakan sebagai acuan untuk mempelajari liberasi,
absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eksresi sediaan tersebut. Penghitungan kinetika obat
dilakukan dengan mengukur konsentrasi obat di dalam plasma darah pada berbagai selang
waktu setelah pemberian obat. Konsentrasi obat tertinggi di dalam plasma darah merupakan
gambaran konsentasi obat yang dapat mengikat reseptor untuk menghasilkan efek tertentu
(Shargel dan Yu 2005). Efek yang ditimbulkan ini biasanya akan sebanding dengan jumlah
reseptor obat yang ditempati oleh obat tersebut. Intensitas efek farmakologi suatu obat sangat
berhubungan dengan konsentrasi obat yang berikatan dengan reseptor. Oleh karena sebagian selsel jaringan diperfusi oleh plasma, maka pemeriksaan kadar obat dalam plasma merupakan suatu
metode yang sesuai untuk pemantauan suatu kinetika obat di dalam tubuh. Selanjutnya, hasil
perhitungan profil kinetik yang didasarkan pada konsentrasi enrofloksasin di dalam plasma darah
pada penelitian ini disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil perhitungan profil kinetik enrofloksasin
Parameter
K
5
5 BioATP
10
10 BioATP
C maks (ppm)
0
2,14
3,1*
5,62
7,14*
t maks (menit)
0
60
60
60
60
Vd (liter/jam)
0
339,51
206,52*
260,27
213,48*
K absorbsi (Jam-1)
0
0,28
0,39
0,25
0,30
-1
K eleminasi (Jam )
0
0,18
0,12
0,07
0,05
t 1/2 (Jam)
0
3,77
5,78*
10,4
15,06*
K 12 (Jam-1)
0
1,66
1,33
0,90
0,60
K 21 (Jam-1)
0
0,11
0,07
0,08
0,05
AUC
0
1369,36
4325,01*
2002,21
5666,56*
*: menunjukkan perbedaan nyata pada dosis perlakuan yang sama (P<0.05)
Berdasarkan Tabel 3 diperoleh hasil bahwa semua kelompok perlakuan yang memperoleh
enrofloksasin, konsentrasi enrofloksasin tertinggi di dalam plasma darah (t maks) terjadi pada
menit ke-60. Waktu konsentrasi enrofloksasin tertinggi di dalam plasma darah (t maks) merupakan
waktu yang diperlukan obat untuk mencapai konsentrasi maksimum di plasma darah setelah
29
pemberian obat (Sarkozy 2001). Pada saat t maks, jumlah obat yang diabsorbsi mencapai
maksimum dan pada kondisi tersebut laju absorbsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Setelah
t maks tercapai, absorbsi obat masih terus berjalan, hanya saja laju absorbsi terjadi lebih lambat
dibandingkan dengan laju ekskresi (Shargel dan Yu 2005).
Sementara itu, konsentrasi enrofloksasin tertinggi (C maks) pada plasma darah sapi yang
memperoleh enrofloksasin dosis 5 mg/kgBB dan 10 mg/kgBB dikombinasikan dengan BioATP,
lebih tinggi dibandingkan dengan enrofloksasin saja pada dosis yang sama. Konsentrasi plasma
puncak (C maks) merupakan konsentrasi obat maksimum dalam plasma setelah pemberian obat.
Konsentrasi plasma puncak (C maks ) dapat digunakan sebagai petunjuk kecukupan absorbsi obat
secara sistemik untuk menghasilkan respons terapeutik. Pemberian BioATP mampu
meningkatkan konsentrasi plasma puncak. Natrium selenite yang ada dalam sediaan BioATP di
dalam tubuh terikat pada enrofloksasin sehingga akan membentuk kompleks ikatan natriumenrofloksasin. Selanjutnya, enrofloksasin akan masuk ke dalam sel bersamaan dengan natrium
melalui kanal natrium sel (Walker 1992; Gootz dan Brightly 1996; Giguere dan Belanger 1997).
Kompleks inilah yang diduga akan meningkatkan laju absorbsi sehingga konsentrasi
enrofloksasin di dalam plasma darah akan mengalami peningkatan pula. Natrium merupakan ion
yang senantiasa bergerak dari luar sel menuju ke dalam sel. Enrofloksasin masuk ke dalam sel
melalui kanal natrium bersama dengan ion natrium. Dengan adanya natrium yang lebih banyak
akan mengakibatkan enrofloksasin yang diabsorbsi lebih banyak pula. Magnesium di dalam sel
akan meningkatkan efektivitas kerja enrofloksasin pada DNA gyrase sel. Magnesium ini di
dalam sel akan mengkatalisis reaksi ensimatis. Selain itu, adanya kalium selenite dalam sediaan
BioATP akan menstabilkan membran sel agar fungsi sel berjalan secara fisiologis. Hal inilah
yang membuat pemberian BioATP yang dikombinasikan dengan enrofloksasin akan
meningkatkan ketersediaan hayati enrofloksasin di dalam plasma darah.
Pengkajian tentang profil kinetik enrofloksasin sudah pernah dilakukan, hanya saja pada
hewan yang berbeda. Menurut laporan Haines et al. (2000) pemberian enrofloksasin secara IM
7,5 mg/kgBB pada kuda, t maks akan tercapai dalam waktu 50 sampai 70 menit setelah aplikasi
obat. Sementara itu, t maks pemberian enrofloksasin pada anjing sehat 5 mg/kgBB IM tercapai
pada menit ke-45 sampai 50. Sebaliknya, t maks pemberian enrofloksasin 5 mg/kgBB secara IM
pada kelinci tercapai pada menit ke-10 (Cabanes et al. 1992). Perbedaan t maks antara berbagai
hewan diduga dipengaruhi oleh ukuran luas permukaan tubuh dan banyaknya cairan tubuh.
30
Semakin besar ukuran tubuh hewan akan mengakibatkan semakin lama obat untuk terdistribusi
secara merata (Sarkozy 2001).
Peningkatan ketersediaan hayati (Tabel 3) juga terdapat pada pemberian enrofloksasin
dosis 5 mg/kgBB dan 10 mg/kgBB yang dikombinasikan dengan BioATP. Pada kelompok
enrofloksasin yang dikombinasikan dengan BioATP memiliki nilai ketersediaan hayati (AUC)
lebih tinggi dibandingkan kelompok yang diberikan enrofloksasin saja pada dosis yang sama.
Penghitungan AUC berguna sebagai ukuran untuk jumlah total obat yang utuh dan tidak berubah
yang sampai ke dalam sirkulasi sistemik (Sargel dan Yu 2005). AUC merupakan dasar
penentuan ketersediaan hayati obat di dalam darah. Pada kombinasi enrofloksasin dan BioATP
dosis 5 mg/KgBB ketersesediaan hayati enrofoksasin mengalami peningkatan sebanyak 3,16 kali
(4325,01/1369,36) jika dibandingkan pemberian enrofloksasin pada dosis yang sama sedangkan
pada dosis 10 mg/KgBB mengalami peningkatan sebesar 2,83 kali (5666,56/2002,21) jika
dibandingkan pemberian enrofloksasin pada dosis yang sama. Ini berarti bahwa pemberian
kombinasi BioATP dan enrofloksasin akan meningkatkan ketersediaan hayati enrofloksasin di
dalam darah.
Berdasarkan Tabel 3 diperoleh nilai waktu paruh (t 1/2 ) kelompok perlakuan yang
memperoleh enrofloksasin dan BioATP lebih lama baik pada dosis 5 mg/kgBB maupun 10
mg/kgBB jika dibandingkan dengan kelompok yang memperoleh enrofloksasin saja pada dosis
yang sama. Kenyataan yang sama terlihat pada parameter Kabsorbsi yang mengalami peningkatan
pada kelompok yang dikombinasikan dengan BioATP baik pada dosis 5 mg/kgBB maupun 10
mg/kgBB. Sebaliknya, parameter K eleminasi pada kelompok enrofloksasin yang dikombinasikan
dengan BioATP mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kelompok yang diberikan
enrofloksain saja. Kecenderungan penurunan ini terlihat juga pada parameter K12 , K 21 , dan Vd.
Hal ini dikarenakan kelompok enrofloksasin yang dikombinasikan dengan BioATP, kadar
natrium di ginjal akan lebih tinggi sehingga natrium akan direabsorbsi kembali. Dengan
demikian natrium yang direabsorbsi akan mengikat enrofloksasin kembali.
Hasil yang diperoleh sebagaimana terdapat pada Tabel 3 menunjukkan bahwa volume
distribusi (Vd) pada kelompok enrofloksasin yang dikombinasikan dengan BioATP baik pada
dosis 5 mg/kg BB maupun 10 mg/kgBB mengalami penurunan. Volume distribusi suatu obat
tergantung pada laju aliran darah pada suatu jaringan, tipe jaringan, tingkat kelarutan obat dalam
31
lemak, ukuran partikel obat, pH, dan ikatan material biologi yang terdapat di dalam tubuh
(Ritschel 1980).
Suatu sediaan obat dengan Vd yang besar memiliki sifat terpusat dalam jaringan dan
sedikit dalam intravaskular. Suatu sediaan obat yang terikat oleh protein plasma dalam jumlah
besar (di dalam vaskular) maka akan memiliki C maks yang lebih tinggi sehingga akan
menghasilkan Vd yang lebih kecil. Dengan kata lain, Vd merupakan petunjuk untuk jumlah obat
di luar kompartemen sentral, biasanya darah, sehingga makin besar nilai Vd maka makin besar
pula pula jumlah obat dalam jaringan atau ekstravaskular.
Menurut (Ritschel 1980), seseorang yang memiliki Vd 5% dari bobot tubuh menunjukkan
bahwa obat tersebut tertahan dan dilepaskan dengan lambat oleh sistem sirkulasi. Sementara itu,
individu yang mempunyai nilai volume distribusi 15 sampai dengan 27% bobot tubuh memiliki
arti bahwa obat tersebut didistribusikan sampai cairan ekstraseluler. Nilai Vd diantara 35 sampai
dengan 42% dari bobot tubuh menunjukkan bahwa obat didistribusikan sampai ke cairan
intraseluler sedangkan nilai Vd diatas 60% dari bobot tubuh mengindikasikan bahwa obat
terdistribusi ke seluruh cairan tubuh. Adakalanya nilai Vd suatu obat mencapai 100 sampai 200%
dari bobot tubuh. Ini berarti bahwa obat didistribusikan dan mampu menjangkau jaringan perifer.
Nilai Vd pada semua perlakuan baik enrofloksasin serta kombinasi enrofloksasin dan
BioATP (Tabel 3) memperoleh hasil diatas 100% dari bobot tubuh. Ini berarti bahwa
enrofloksasin tunggal maupun dalam bentuk kombinasi dengan BioATP didistribusikan
keseluruh cairan tubuh dan mampu menjangkau jaringan perifer. Dengan kemampuan
menjangkau jaringan perifer dan mencapai seluruh cairan tubuh memungkinkan penggunaan
enrofloksasin dan kombinasi enrofloksasin BioATP untuk terapi C. burnetii. Hal ini mengingat
bakteri C. burnetii memiliki sifat intraseluler obligat dengan manifestasi makrofage (Ho et al.
1995; Hamzic et al. 2003). Dengan sifat dan manifestasi yang demikian ini, tindakan terapi
terhadap C. burnetii harus menggunakan obat yang mampu menjangkau makrofage tersebut.
Enrofloksasin merupakan antibakteri yang memiliki mekanisme kerja menghambat
pertumbuhan bakteri melalui hambatan pada DNA gyrase dan memiliki spektrum aktivitas luas.
Pemberian enrofloksasin mempunyai ketersediaan hayati yang tinggi, volume distribusi yang
besar, konsentrasi yang tinggi pada jaringan, serta cairan radang dengan eliminasi melalui urin
(Jenkins dan Friedlander 1988).
32
Selanjutnya, untuk mengetahui interaksi antara enrofloksasin dan BioATP dilakukan
kajian interaksi farmakologi. Interaksi farmakologi beberapa sediaan obat yang diberikan secara
bersamaan terdiri atas interaksi sinergis adiksi, sinegis potensiasi, dan antagonistik (Shargel dan
Yu 2005). Kajian interaksi pemberian BioATP dan enrofloksasin dalam mengatasi C. burnetii
dilakukan dengan membandingkan enrofloksasin serta kombinasi enrofloksasin dan BioATP.
Hasil kajian interaksi enrofloksasin serta kombinasinya dengan BioATP pada dosis 5 mg/kgBB
terhadap C. burnetii disajikan pada gambar berikut.
Konsentrasi enrofloksasin (ppm)
5
4
3
2
1
0
0
100
200
300
400
500
600
Waktu (menit)
700
800
900
1000
Gambar 5. Kajian interaksi enrofloksasin dosis 5 mg/kgBB ♦)
( serta kombinasi enrofloksasin
dosis 5 mg/kgBB dan BioATP (■) terhadap C. burnetii
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 5 diketahui bahwa enrofloksasin dosis 5
mg/kgBB dan kombinasinya dengan BioATP pada dosis tersebut memiliki nilai konsentrasi
plasma puncak (C maks) dibawah nilai MBC terhadap C. burnetii, yaitu 4 ppm. Suatu sediaan
antibakteri akan efektif membunuh bakteri jika memiliki konsentrasi plasma puncak diatas nilai
MBC tersebut (Giguere et al. 2006). Dengan demikian pemberian enrofloksasin pada dosis 5
mg/kgBB dan kombinasinya dengan BioATP tidak efektif terhadap C. burnetii karena
konsentrasi plasma puncak belum melampaui ambang MBC. Selanjutnya, kajian interaksi
enrofloksasin serta kombinasinya dengan BioATP pada dosis 10 mg/kgBB disajikan pada
gambar berikut.
33
Gambar 6. Kajian interaksi enrofloksasin (♦) serta kombinasinya dengan BioATP (■) terhadap C.
burnetii pada dosis 10 mg/kgBB
Sementara itu, pada perlakuan enrofloksasin dosis 10 mg/kgBB dan kombinasinya
dengan BioATP pada dosis tersebut memiliki nilai konsentrasi plasma puncak melampaui nilai
MBC terhadap C. burnetii (Gambar 6). Ini menunjukkan perlakuan tersebut terbukti efektif
mengatasi C. burnetii. Suatu sediaan antibakteri mampu bekerja mengatasi bakteri tertentu jika
konsentrasinya melebihi konsentrasi yang dibutuhkan untuk membunuh bakteri dan kerja
antibakteri ini akan hilang jika konsentrasinya dalam darah berada dibawah konsentrasi yang
dibutuhkan tersebut (Shargel dan Yu 2005). Konsentrasi yang dibutuhkan oleh antibakteri yang
mampu membunuh bakteri target disebut dengan minimum bactericidal concentration (MBC).
Selanjutnya, data onset, durasi, dan intensitas farmakologi dapat disajikan pada tabel berikut.
Tabel 4. Data onset, durasi, dan intensitas farmakologi (menit) pada dosis 10 mg/kgBB
10 mg/kgBB
Parameter
Enrofloksasin
Enrofloksasin dan Bio ATP
Onset
51,67±2,89
42,33±2,51*
Durasi
78,33±2,89
141±2,89*
Intensitas farmakologi
1,62±0,23
3,14±0,08*
*: menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)
34
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian BioATP terbukti meningkatkan
efektivitas enrofloksasin terutama pada dosis 10 mg/kgBB. Hal ini juga dapat dilihat pada
Gambar 7 yang menunjukkan onset yang lebih cepat dan durasi yang lebih lama pada perlakuan
enrofloksasin yang dikombinasikan dengan BioATP. Onset suatu obat adalah waktu yang
dibutuhkan oleh obat tersebut untuk mulai menimbulkan efek farmakologi sedangkan durasi
merupakan lamanya obat bekerja (Tjay dan Raharja 2000). Selanjutnya, gambar onset, durasi,
dan intensitas farmakologi enrofloksasin serta kombinasinya dengan BioATP pada dosis 10
mg/kgBB disajikan pada gambar berikut.
Gambar 7. Onset, durasi, dan intensitas farmakologi enrofloksasin
♦) serta
( kombinasinya
dengan BioATP (■) pada dosis 10 mg/kgBB terhadap C. burnetii
Onset suatu antibakteri hendaknya cepat sehingga efisiensi waktu bekerja antibakteri
tersebut dalam membunuh bakteri target akan meningkat. Sementara itu, durasi antibakteri
hendaknya lebih lama mengingat durasi ini menggambarkan antibakteri tersebut berkontak
dengan bakteri target (Ritschel 1980). Waktu kontak akan memberikan kesempatan kepada
antibakteri untuk bertemu reseptor pada bakteri target yang selanjutnya akan bekerja membunuh
bakteri tersebut. Berdasarkan Gambar 7 juga terlihat adanya kenaikan intensitas farmakologi
pada enrofloksasin yang dikombinasikan dengan BioATP. Intensitas farmakologi merupakan
selisih antara C maks dan konsentrasi MBC. Intensitas farmakologi biasanya sebanding dengan
jumlah reseptor bakteri yang ditempati oleh suatu antibakteri sedangkan MBC merupakan
35
konsentrasi minimal antibakteri yang berikatan dengan reseptor untuk dapat membunuh bakteri
target (Shargel dan Yu 2005).
Selain onset, durasi, dan intensitas farmakologi, efektivitas pemberian kombinasi
BioATP dan enrofloksasin dapat diketahui melalui parameter Kabsorbsi , K eleminasi , K 12 , K 21 , dan
AUC. K absorbsi merupakan gambaran laju penyerapan enrofloksasin. Berdasarkan hasil yang
diperoleh pada Tabel 3 menunjukkan terjadi peningkatan laju penyerapan pada kelompok
enrofloksasin yang dikombinasikan dengan BioATP baik pada dosis 5 mg/kgBB maupun 10
mg/kgBB. Dengan bertambah cepatnya laju absorbsi ini akan mengakibatkan enrofloksasin
semakin cepat pula mencapai reseptor target sehingga sesegera mungkin menimbulkan efek
terapi terhadap bakteri target.
Bio Adenosin Tri Phosphat merupakan kombinasi energi siap pakai yang diformulasikan
bersama multivitamin dan ion esensial untuk hewan umumnya dan ternak ruminansia termasuk
sapi khususnya. BioATP terdiri atas ATP, magnesium aspartat, natrium selenite, kalium selenite
dan vitamin B12. Sementara itu, ATP di dalam sediaan BioATP berfungsi sebagai pembawa
energi dalam tubuh hewan dan manusia dengan cara menangkap energi yang dilepaskan oleh
pembakaran nutrisi dan mentransfernya untuk reaksi-reaksi yang membutuhkan energi seperti
membangun komponen sel, kontraksi otot, transmisi pesan syaraf, pengaturan energi di dalam
sel, dan proses menuju kembali ke keadaan fisiologis atau homeostasis (Guyton 1997).
Ketersediaan energi ini akan membantu obat bekerja lebih optimal dan mempercepat
persembuhan terhadap penyakit tertentu (Katzung 2001).
Natrium di dalam tubuh merupakan senyawa yang mudah diserap dan dimetabolisme
tubuh (Res 2003). Natrium di dalam tubuh terikat pada enrofloksasin sehingga akan membentuk
kompleks ikatan natrium-enrofloksasin.
Kompleks inilah yang diduga akan mempermudah
enrofloksasin masuk ke dalam sel sehingga konsentrasi enrofloksasin di dalam plasma darah
akan meningkat. Enrofloksasin masuk ke dalam sel melalui kanal natrium. Selain itu, adanya
magnesium aspartate dan kalium selenite dalam sediaan BioATP akan menstabilkan membran
sel. Dengan demikian fungsi sel berjalan sebagaimana mestinya atau fisiologis (Cunningham
1997). Sementara itu, Vitamin B12 akan mendukung optimalisasi kerja ATP dan reaksi ensimatis
di dalam tubuh (Northrup et al. 1981). Hal inilah yang membuat pemberian BioATP yang
dikombinasikan dengan enrofloksasin akan meningkatkan ketersediaan hayati enrofloksasin di
dalam plasma darah.
36
Sebaliknya, nilai K eleminasi pada kelompok kombinasi enrofloksasin dan BioATP
mengalami penurunan baik 5 mg/kgBB maupun 10 mg/kgBB. Ini berarti bahwa terjadi
penurunan eleminasi enrofloksasin di dalam tubuh. Penurunan laju eleminasi mengakibatkan
obat semakin lama berada di dalam tubuh. Keberadaan obat di dalam tubuh ini sangat penting
dalam terapi suatu bakteri. Semakin lama obat berada di dalam tubuh maka semakin lama pula
obat tersebut berkontak dengan bakteri.
Konsekuensi lain dari penurunan laju eleminasi adalah kenaikan waktu paruh (t 1/2 )
enrofloksasin. Kelompok enrofloksasin yang diberikan BioATP baik pada dosis 5 mg/kgBB
maupun 10 mg/kgBB mengalami kenaikan nilai waktu paruhnya. Waktu paruh menyatakan
waktu yang diperlukan obat atau konsentrasi obat untuk menjadi separuhnya (Tjay dan Raharja
2000). Waktu paruh sangat menentukan frekuensi pemberian obat. Semakin pendek waktu paruh
suatu sediaan obat maka semakin sering obat tersebut harus diaplikasikan. Ini berarti pada
pemberian BioATP akan memperpanjang selang pemberian enrofloksasin. Selain itu, pemberian
kombinasi BioATP dan enrofloksasin membuat efisien penggunaan enrofloksasin. Suatu
antibakteri dapat mengatasi infeksi bakteri target di dalam tubuh jika konsentrasinya di dalam
plasma darah melebihi nilai MBC bakteri tersebut (Giguere et al. 2006). Oleh karena itu, pada
saat terapi konsentrasi antibakteri harus dipertahankan diatas ambang MBC.
K 12 merupakan distribusi tetap dari kompartemen sentral ke jaringan perifer. Sementara
itu, K21 merupakan distribusi tetap dari kompartemen perifer ke sentral. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa terjadi penurunan K12 dan K 21 . Hal ini berarti bahwa telah terjadi
penurunan penetrasi dari kompartemen sentral ke perifer ataupun sebaliknya. Kompartemen
sentral biasanya merupakan jaringan-jaringan dengan perfusi obat yang tinggi. Contoh
kompartemen sentral adalah darah dan cairan ekstraseluler. Sementara itu, kompartemen perifer
merupakan jaringan yang berkesetimbangan lebih lambat dengan obat atau terdifusi lambat oleh
obat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Pemberian kombinasi enrofloksasin dan BioATP meningkatkan profil kinetik
enrofloksasin.
2. Enrofloksasin memiliki aktivitas terhadap C. burnetii dengan nilai MIC terhadap bakteri
tersebut sebesar 1 sampai dengan 2 ppm dan MBC sebesar 4 ppm.
Saran
Perlu dilakukan penelitian in vivo kombinasi enrofloksasin dan BioATP dalam mengatasi
C. burnetii. Selain itu, perlu dilakukan juga penelitian tentang pengaruh berbagai tingkatan dosis
BioATP terhadap efektivitas enrofloksasin dalam mengatasi C. burnetii.
38
DAFTAR PUSTAKA
Anadon A, Larranaga M. 1995. Pharmacokinetics and Residues of Enrofloxacin in Chickens.
Am. J. Vet. Res, Vol 56, No 4
Babish JG, Wilder J, Davidson JN. 1990. The Comparative Pharmacokinetics of a New
Quinolone, Enrofloxacin in Dogs, Horses, Calves, Chickens, and Turkey. J. Vet.
Pharmacol.
Ball P. 1986. Ciprofloxacin : An Overview of Adverse Experiments. J. Antimicrob. Chemother.
1986; 18 (Suppl D): 187-193
Ball P. 2000. Quinolon Generation: Natural History or Natural Selection. J. Antimicrob.
Chemother 46. (Suppl T1):17
Bauditz R. 1987. Result of Clinical Studies with Baytril in Poultry. Vet. Med. Rev. 2:122
Berg J. 1988. Clinical Indications for Enrofloxacin in Domestic Animals and Poultry. In:
Quinolones: a New Class of Antimicrobials Agents for Use in Veterinary Medicine. Proc
West Vet Conf, Las Vegas, Nevada: Mobay Corporation Animal Health Division,
Shawnee, Kansas, h:25-34
Bertone AL. 2000. Effect of Longterm Administration of an Injectable Enrofloxacine Solution
on Physical and Musculoskeletal Variables in Adult Horses. J. Am. Vet. Med. Assoc.
217:1514.
Bukhardt JE. 1992. Ultrastructural Changes in Catilages of Immatures Beagle Dogs with
Difloxacin, a Flouroquinolon. Vet. Pathol. 29:230.
Cabanes A, Arboix M, Anton JMG, Reig F. 1992. Pharmacokinetics of Enrofloxacin after
Intravenous and Intramuscular Injection in Rabbits. Am. J. Vet. Res. Vol 53, No
11:2090-2093
Cunningham W. 1997. Text Book of Veterinary Physiology. WB Sounders. 123-142
Elmas M, Tras B, Kaya S, Bas AL, Yazar E, Yarsan E. 2001. Pharmacokinetics of Enrofloxacin
after Intravenous and Intramuscular Administration in Angora Goats. Can. J. Vet. Res.
65:64-67.
Farzeli A, Barbara KA, Ibrahim IN, Antonjaya U, Yunianto A, Winoto I, Esther, Widjaja S,
Richards AS, Stoop CA, Williams M, Blair PJ. 2008. Rickettsial infection in Xenopsylla
cheopis Collected from Fuor Island in Indonesia. Makalah Presentasi Ilmiah Rutin.
Fournier PE, Thomas JM, Reoult D. 1998. Diagnosis of Q fever. J. Clin. Microbiol. 36 (7) :18231834.
39
FOHI. 2007. Farmakope Obat Hewan Indonesia. Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Jakarta.
Francoz D. 2004. Otitis Media in Dairy Calves:Retrospective Study of 15 Cases (1987 to 2002).
Can. Vet. J. 45:661
Giguere S, Belanger M. 1997. Concentration of Enrofloxacine in Equine Tissues after Long
Term Oral Administration. J. Vet. Pharm. Ther. 20:402
Giguere S, Presscot JS, Baggot JD, Walker RD, Dowling PM. 2006. Antimicrobial Therapy in
Veterinary Medicine. Edisi ke-4. Blackwell Publishing. 243-300
Gikas A, Spyridaki I, Psaroulaki A, Kofterthis D, Tselentis Y. 1998. In Vitro Susceptibility of
Coxiella burnetii to Trovafloxacin in Comparison with Susceptibilities to Pefloxacin,
Ciprofloxacin, Ofloxacin, Doxycycline, and Clarithromycin. Antimicrob. Agents and
Chemother. October 1998, p. 2747-2748, Vol. 42, No. 10
Gootz TD, Brightly KE. 1996. Fluoroquinolone Antibacterials: Mechanism of Action, Resistance
and Clinical Aspects. Medicinal Research Reviews 16(5): 433-486.
Guyton W. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta. 98-153
Haines GR, Murray PB, Ronald R, Gronwall KA, Merritt. 2000. Serum Concentrations and
Pharmacokinetics Enrofloxacin after Intravenous and Intragastric Administration to
Mares. Can. J. Vet. Res. 49 (10) : 171:178
Hamzic S, Beslagic E, Zvisdic S. 2003. Significance of Q Fever Serologic Diagnosis in
Clinically Suspect Patients. Annals of the New York of Sciences. 990:365.
Heath SE. 1989. Chronic Pleuritis in a Horse. Can. Vet. J. 30:69
Ho T, Htwe KK, Yamasaki N, Zhang GQ, Ogawa M, Yamaguchi T, Fukushi H, Hirai K. 1995.
Isolation of Coxiella burnetii from Cattle and Thicks, and Some Characteristics of the
Isolates in Japan. Microbiol. Immunol. 39 (9):663-671.
Htwe KK, Amano K, Sugiyama Y, Yagami K, Minamoto N, Hashimoto A, Yamaguchi T,
Fukushi H, Hirai K. 1992. Seroepidemiology of Coxiella burnetii in Domestic and
Comparanion Animals in Japan. Vet. Record. 131:490.
Humphrey TJ. 2005. Prevalence and Subtypes of Ciprofloxacine Resisitant Champhylobacter
spp. in Commercial Poultry Flocks before, during, and after Treatment with
Flouroquinolon. Antimicrob. Agents Chemother. 49:690
Indeks Obat Hewan Indonesia (IOHI). 2008. Direktorat Jenderal Peternakan-Asosiasi Obat
Hewan Indonesia, PT. Gallus Indonesia Utama.
40
Jenkins W, Friedlander L.1988. The Pharmacology of the Quinolone Antibacterial Agents. In:
Quinolone: a New Class of Antimicrobial Agents for Use in Veterinary Medicine. Proc
West Vet Conf, Las Vegas, Nevada: Mobay Corperation Animal Health Division,
Shawnee, Kansas, h:5-16
Kaartinen L. 1997. Pharmacokinetics on Enrofloxacine in Horse after Single Intravenous and
Intramuscular Administration. Equine Vet. J. 29:378
Katzung BG. 2001. Basic and Clinical Pharmacology. Eighth Edition. McGraw-Hill Companies
Inc USA.(Edisi Bahasa Indonesia)
Khargharia S, Barua CC, Mohan P, Bhattacharya M. 2005. Pharmacokinetic Studies
Enrofloxacin in Yak after Intramuscular Administration. Iranian Journal of Pharmacology
& Therapeutics, Vol. 4, No. 2, 2005, pp. 91-94
Khargharia S, Barua CC, Khanikar HN, Mohan P. 2008. Kinetic Studies of Enrofloxacin after
Intravenous Administration in Yak. Pharmacologyonline 3: 545-551 (2008)
Luo N. 2003. In Vivo Selection of Camphylobacter Isolates with High Levels of
Flouroquinolone Resistance Associated with GyrA Mutation and the Function of the Cm
ABC efflux pump. Antimicrob. Agents Chemother. 47:390
Mahatmi H. 2006. Studi Q Fever Pada Ruminansia di Wilayah Bogor dan Provinsi Bali
Menggunakan Nested PCR dan Uji Indirect Immunoflourocent Antibody. Desertasi.
Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Mahatmi H, Setiyono A, Soejoedono RD, Pasaribu FH. 2007. Deteksi Coxiella burnetii
Penyebab Q Fever Pada Sapi, Domba, dan Kambing di Bogor dan Bali. J. Vet. Vol 8. no.
4:180-187.
Martinez M. 2005. Pharmacology of the Flouroquinolon: a Propective for the Use of Domestic
Animals. Vet. J. (in press)
Maurin M, Raoult D. 1999. Q Fever. J. Clin. Microbiol. Rev. 12 (4) : 518-553.
McQueen C, William G. 1987. Effects of Quinolone Antibiotics in Test for Genotoxicity. Am J.
Med; 82: (Supl 4A): 94-6
Miyashita N, Fukano H, Hara F, Nakajima T, Niki Y, Matsushima T. 2001. A case of Coxiella
burnetii Pneumonia in Adult. (abstract). Nihon Kokyuki Gakai Zasshi. 39 (6):446.
Mutschler E. 1991. Buku Ajar. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Edisi ke-5. Institut
Teknologi Bandung. Bandung
41
Neer TM. 1988. Clinical Pharmacologic Features of Fluoroquinolon. Antimicrob Drugs. J. Am.
Vet. Med. Assoc. 193: 577-580
Northrup RS, Asdie AH, Santoso B. (Penyunting). 1981. Pedoman Pengobatan. Edisi Indonesia.
Departement of medicine St. Louis, Missouri dan Yayasan Essentia Medica, Yogyakarta.
Raoult D, Fenollar F, Stein A. 2002. Q Fever During Pragnancy. Arch. Intern. Med. 162(6):70
Raswa
E.
2005.
Kadin
Minta
Impor
Daging
Masuk
Jalur
Merah.
http://www.Tempointeractif.com. Kadin Minta Impor Daging Masuk Jalur Merah. Htm.
(11032008).
Res M. 2003. Magnesium Citrate and Magnesium Aspartate Benefits. Hugh Sinclair Unit of
Human Nutrition, School of Food Biosciences, The University of Reading, Whiteknights,
Reading, UK. Sep;16(3):183-91.
Richard A, Ratiwayanto S, Raharjo E, Kelly DJ, Dasch GA, Ryauf DJ, Bangs MJ. 2003.
Serologic Evidence of Infection with Erliceae and Spotted Fever Group of Rickettsiae
among Residents of Gag Island, Indonesia. Am J. Trop. Med Hyg. 68 (4):480-484.
Ritschel A. 1980. Handbook of Basic Pharmacokinetics. Second Edition. Drug Intelligience
Publication, Inc. Hamilton.
Rolain JM, Maurin M, Raoult D. 2001. Bacteriostatic and Bactericidal Activities of
Moxifloxacin against Coxiella burnetii. Antimicrob. Agents and Chemother. January
2001, p. 301-302, Vol. 45, No. 1
Rosenbusch RF. 2005. In Vitro Antimicrobial Inhibition Profiles of Mycoplasma bovis Isolated
Recovered from Various Region of the United States from 2002-2003. J. Vet. Invest.
17:436
Sabana A. 2005. Kebutuhan Susu di Indonesia. Asosiasi Industri Pengolahan Susu Sapi. Harian
Kompas. 21 September 2005. Hlm. 22.
Sarkozy G. 2001. Quinolones : a Class Antimicrobial Agents. Vet Med Czech. 46 (9-10): 257274.
Schluter G. 1987. Ciprofloxacin: Review of Potential Toxicologic Effects. The Am. J. Med. 82
(Suppl 4A): 91-3
Scrimgeour EM, Al-Ismaily SIN, Rolain JM, Al-Dhahry HS, EL-Khatim HS. Raoult D. 2003. Q
Fever in Human and Livestock Populations in Oman. Annals of the New York of
Sciences. 990:221.
42
Setiyono A, Handharyani E, Mahatmi H. 2007. Seroprevalensi Q Fever pada Domba dan
Kambing di Wilayah Jawa Barat. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol. 13 No. 8:61-66
Shargel L, Yu ABC. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga University
Press. Surabaya.
Speakman AJ. 1997. Antimicrobial Susceptibility of Bordotella bronchioseptica Isolates from
Cats and Comparison of the Agar Dilution and E Test Methods. Vet. Mcrobiol. 54:63
Speakman AJ. 2000. Antimicrobial Susceptibility of Canine Bordotella bronchioseptica Isolates.
Vet. Mcrobiol. 71:193
Spyridaki I, Psaroulaki A, Kokkinakis E, Gikas A, Tselentis Y. 2002. Mechanisms of resistance
to Fluoroquinolones in Coxiella burnetii. J. Antimicrob. Chemother. 49, 379-382
Tjay TH, Raharja K. 2000. Obat-Obat Penting. Depkes RI. Gramedia. Jakarta.
Van Boven M. 2003. Rapid Selection of Quinolone Resistance in Camphylobacter but Not in E.
coli in Individual Housed Broiler. J. Antimicrob. Chemother.
Vancutsem PM, Babish JG, and WS Scchwark, 1989. The Fluoroquinolone Antimicrobials:
Structure, Antimicrobial, Activity, Pharmacokinetics, Clinical Use in Domestic Animals
and Toxicity. Cornell Vet. 80:173-186
Van Peneen PF, Gundelfinger BF, Kusharjono C. 1978. Seroepidemiological Evedence for
Occupational Exposure to Q Fever in Indonesia. J. Occup. Med. 20 (7):448-489.
Vivrette SL, Bostian A, Bermingham E, Papich MG. 2001. Quinolone-Induced Arthropathy in
Neonatal Foals. Proceedings of the Annual Convention of the AAEP. 47:376-377.
Walker RD. 1992. Pharmacokinetic Evaluation of Enrofloxacine Administered Orally to Healthy
Dogs. Am. J. Vet. Res. 53:2315
Wiebe V, Hamilton V. 2002. Flouroquinolon Induced Retinal Degeneration in Cats. J. Am. Vet.
Med. Assoc. 221:1568.
Yeaman MR, Mitscher LA, Baca OG. 1987. In Vitro Susceptibility of Coxiella burnetii to
Antibiotics, Including Several Quinolones. Antimicrob. Agents Chemother. 31(7): 10791084
Yoon JH. 2004. The Effect of Enrofloxacin on Cell Proliferation and Proteoglycans in Horse
Tendon Cells. Cell. Biol. Toxicol. 20:41
Download