IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tanaman Teratai Teratai yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis Nymphaea pubescens Willd. dari suku Nymphaeaceae (hasil identifikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lampiran 1). Tanaman ini berdaun tebal dan bergerigi banyak dengan warna bunga putih dan luar kelopaknya berwarna merah muda (Gambar 7). Selama ini, tanaman teratai tumbuh secara liar di rawa dan sawah di daerah Hulu Sungai Utara. Pada musim hujan, sawah digenangi air dan saat itu tanaman teratai hampir menutupi perairan. Pada awal musim tanam dimana air mulai surut, tanaman ini dibersihkan dan sawah mulai ditanami padi. Setelah musim tanam dimana sawah mulai digenangi air, tanaman ini tumbuh kembali. 2 3 1 Gambar 7. Tanaman teratai (Nymphaea pubescens Willd) 1= bunga 2= buah 3= akar (‘rootstock’) Bagian dari tanaman ini yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai bahan makanan adalah bagian biji, bunga, batang dan umbinya. Akan tetapi yang paling banyak pemanfaatannya adalah bagian biji. Biji yang terdapat dalam buah biasanya dipanen dengan cara memetik buahnya yang sudah tua. Masyarakat setempat biasanya menggunakan sampan untuk memetik buah teratai. Buah yang sudah tua biasanya dibusukkan dan buah akan pecah, biji dipisahkan d daging buah dan dicuci. dari d Biji yang sudah h bersih akann mengendaap di dasar w wadah penccucian. k kering. Sellanjutnya biiji dijemur di bawah ssinar matahhari hingga B yang keering biasannya berwarnna hijau tuaa atau kecok Biji klatan dan k kulitnya kerras. Agar biisa dibuat teepung, biasannya kulit bijji dibuang dengan d cara m menumbukn nya atau meenggunakan alat pembuuang kulit padi. p Biji yang y sudah d dibuang kuliit luarnya dittumbuk dijaadikan tepungg untuk bahaan membuatt kue. (a) (b) 2 1 (c) Gambaar 8. Buah teeratai (a), buuah yang peccah (b) dan bbiji teratai (c)) c1 = biji dengan d kulit c2 c = biji tanpa kulit Umbi teratai t (Gam mbar 9) jaranng dimanfaaatkan sebagaai bahan pangan karena s sulit mendaapatkan umbbi ketika saw wah digenanngi air (um mbi terbenam m di dalam lumpur). Masyarakat mendapatkan umbi hanya sewaktu mereka membersihkan sawah, sebelum ditanami padi dan air sudah surut. Umbi teratai berukuran diameter rata-rata 3 cm dengan tinggi rata-rata 5 cm. Kulitnya keras, pada bagian luar diselimuti rambut-rambut halus, sedangkan pada bagian dalamnya dilapisi lilin (Gambar 9). Daging umbi berwarna kekuningan, sedikit bergetah. Gambar 9. Umbi Teratai (Nymphaea pubescens Willd) Insert: penampang membujur umbi teratai Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui wawancara diketahui bahwa masyarakat setempat belum pernah memanfaatkan biji dan umbi teratai sebagai bahan obat-obatan tradisional. Selama ini hanya dikenal sebagai bahan pangan. Selain teratai jenis Nymphaea pubescens, ada teratai jenis lain yang terdapat di rawa di Hulu Sungai Utara yaitu Nymphaea nouchali Burm.f. dari suku Nymphaeaceae. Teratai ini berbunga putih dengan ukuran lebih kecil dibandingkan dengan Nymphaea pubescens, daunnya tipis sedikit bergerigi. Teratai jenis ini bijinya tidak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai bahan makanan karena ukurannya yang jauh lebih kecil dibanding jenis Nymphaea pubescens dan rasanya yang pahit. Umumnya dimanfaatkan sebagai pakan burung. Oleh masyarakat setempat, teratai jenis Nymphaea nouchali ini dinamakan “tanding burung” Tanaman air lainnya yang mirip dengan teratai yang juga terdapat di rawa di Hulu Sungai Utara adalah Limnanthemum indicum Thwn dari suku Gentianaceae dengan bunga yang berukuran sangat kecil berwarna putih dan Nelumbo atau lotus dengan bunga merah muda dan putih. Akan tetapi kedua tanaman tersebut juga belum dimanfaatkan sebagai bahan pangan oleh masyarakat setempat. B. Komposisi Kimia Biji dan Umbi Teratai Biji dan umbi teratai yang digunakan sebagai sampel pada penelitian ini memiliki komposisi kimia seperti terlihat pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi kimia biji dan umbi teratai No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7 Komposisi kimia (%) Air Protein Lemak Abu Karbohidrat Serat pangan : a.Serat pangan larut b.Serat pangan tidak larut c. Serat pangan total Pati Keterangan : Biji Umbi (bb) (bk) (bb) (bk) 15.48 8.78 0.49 0.56 74.68 10.39 0.58 0.67 88.36 51.25 6.16 0.09 1.37 41.12 12.64 0.19 2.81 84.36 1.66 5.08 7.74 53.27 1.97 6.01 7.98 63.03 2.08 1.04 3.12 35.00 4.27 2.14 6.41 71.79 bb = berat basah bk = berat kering Pada Tabel 6 terlihat biji teratai memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi tetapi lemaknya rendah. Komponen asam lemak tertinggi adalah linoleat dan stearat (Khairina dan Fitrial 2002). Biji teratai juga mengandung asam amino esensial yang lengkap (Khairina dan Fitrial 2002). Kadar serat pangan pada biji teratai cukup tinggi sehingga memungkinkannya sebagai sumber serat pangan. Umbi teratai juga memiliki kadar air yang rendah, karbohidrat yang tinggi dengan lemak yang rendah. Jika dibandingkan dengan ubi jalar, kadar air ubi jalar lebih tinggi (68.50 % bb), kadar karbohidratnya lebih tinggi (88.57 % bk), kadar proteinnya lebih rendah (5.71 % bk), dan kadar lemaknya lebih tinggi (2.22 % bk) (Depkes 1992). Umbi teratai memiliki kadar pati yang tinggi dan serat pangan yang cukup tinggi. Hal ini sangat memungkinkan biji dan umbi teratai sebagai sumber pangan baru yang bisa dikembangkan potensinya. C. Antimikroba Ekstrak Biji dan Umbi Teratai Untuk mendapatkan ekstrak biji teratai yang memiliki aktivitas antimikroba, pertama-tama biji teratai diolah dalam bentuk tepung, selanjutnya tepung diekstrak secara bertingkat berdasarkan tingkat polaritasnya yaitu dengan pelarut heksana (tidak polar), kemudian dilanjutkan dengan etil asetat (semi polar) dan etanol (polar) secara maserasi masing-masing selama 24 jam. Tahapan ekstraksi pada umbi teratai sama dengan biji teratai. Sebelum diekstrak dengan pelarut, umbi terlebih dahulu dikeringbekukan. Rendemen dan sifat fisik dari masing-masing ekstrak dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Sifat fisik dan rendemen ekstrak biji dan umbi teratai Biji Umbi Jenis ekstrak Ekstrak heksana Ekstrak etilasetat Ekstrak etanol Ekstrak heksana Ekstrak etil asetat Ekstrak etanol Keterangan : Fisik ekstrak Jingga, cair (oily) Jingga kecoklatan, kental Coklat kemerahan, kental Kuning kecoklatan, cair (oily) Kuning jingga, cair Jingga kecoklatan, cair Rendemen (%) 0.84 0.95 7.34 0.46 0.70 6.69 kadar air tepung umbi (kering beku) = 8% Kadar air tepung biji = 13% Aktivitas antimikroba dari ekstrak (etil asetat) biji dan umbi teratai terhadap EPEC K.1.1 dan S.Typhimurium dengan metode difusi sumur pada Nutrient agar ditunjukkan pada Gambar 10 dan 11. Hasil pengukuran diameter penghambatan terhadap EPEC K.1.1 dan S. Typhimurium dari ekstrak heksana, etil asetat dan etanol biji dan umbi teratai ditunjukkan pada Tabel 8. Secara umum ekstrak etil asetat mempunyai penghambatan lebih tinggi daripada ekstrak heksana dan etanol terhadap kedua bakteri uji. Ekstraksi dengan menggunakan heksana biasanya untuk menghilangkan senyawa-senyawa non polar alami, terutama senyawa-senyawa lilin tanaman, lemak-minyak nabati dan/atau sebagian minyak atsiri (Houghton dan Raman, 1998). Tabel 11 menunjukkan bahwa ekstrak heksana biji dan umbi teratai mengandung alkaloid yang umumnya memiliki aktivitas antimikroba. 10% 10% K 30% K 30% 20% 20% 20% Umbi Biji Gambar 10. Penghambatan ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai dengan konsentrasi 10, 20 dan 30% terhadap S. Typhimurium. K= kontrol pelarut 5% 30% Biji 5% K 10% 10% K 30% 20% 20% Umbi Gambar 11. Penghambatan ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai dengan konsentrasi 5, 10, 20 dan 30% terhadap EPEC K1.1 K= kontrol pelarut Menurut Kanasawa et al.(1995) senyawa minyak dan lipida lainnya mempunyai ukuran molekul besar sehingga tidak dapat masuk ke dalam dinding sel dan menjadi penghalang masuknya minyak atsiri dan komponen fitokimia lainnya ke dalam sel bakteri uji, akibatnya sel tetap akan tumbuh. Hal yang sama juga terjadi pada ekstrak heksana Helianthemum glomeratum yang menunjukkan tidak adanya aktivitas penghambatan terhadap bakteri patogen penyebab diare seperti Shigella sp, Salmonella sp., Vibrio cholera, E.coli EIEC dan ETEC (Meckes et al. 1997). Demikian pula pada ekstrak heksana andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) terhadap B. cereus, S. Typhimurium, S. aureus (Parhusip 2006) dan ekstrak heksana bunga kecombrang terhadap B. cereus, S. Typhimurium, L. monocytogenes, E. coli, A. hydrophila dan P. aeruginosa (Naufalin 2005). Pada Tabel 8 terlihat ekstrak etil asetat memiliki aktivitas antimikroba yang lebih tinggi dibanding ekstrak etanol dan heksana, baik pada biji maupun umbi. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa aktif yang berperan sebagai antimikroba adalah senyawa semi polar. Ekstrak etil asetat memberikan penghambatan yang tinggi (Gambar 10 dan 11). Kemampuan senyawa semi polar untuk menghambat pertumbuhan bakteri berkaitan dengan komponen dinding sel bakteri yang tidak bersifat absolut hidrofobik maupun absolut hidrofilik. Kanazawa et al.(1995) menyatakan bahwa suatu senyawa yang mempunyai polaritas optimum akan mempunyai aktivitas antimikroba yang maksimum, karena untuk interaksi suatu senyawa antimikroba dengan bakteri diperlukan imbangan hidrofilik-hidrofobik. Diduga senyawa semi polar mempunyai afinitas lebih tinggi untuk berinteraksi dengan dinding sel, sehingga ekstrak semi polar lebih efektif menghambat pertumbuhan EPEC K1.1 dan S.Typhimurium daripada ekstrak etanol (polar) dan heksana (non polar). Pada mikroba gram negatif seperti pada E.coli dan S.Typhimurium, memiliki struktur dinding sel yang kompleks. mengandung 5-10% peptidoglikan, Lapisan luar dinding selnya selebihnya terdiri dari protein, lipopolisakarida dan lipoprotein. Lapisan ini merupakan lapisan lipid kedua, yang disebut lapisan lipopolisakarida (LPS). LPS merupakan lapisan tambahan yang merupakan membran terluar dari dinding sel bakteri gram negatif. Lapisan LPS ini terikat satu sama lain dengan kation divalent Ca2+ dan Mg2+ (Murray et al. 1998).. Membran luar ini berfungsi sebagai penghalang masuknya senyawasenyawa yang tidak diperlukan sel (seperti bakteriosin, enzim dan senyawa hidrofobik). Asam-asam organik seperti EDTA (etilen diamin tetraacetic acid), asam sitrat, asam malat, asam laktat dan asam klorida dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif dengan cara mengkelat kation bivalen tersebut. Selain itu, molekul tanin juga dapat mengkelat ion-ion bivalen (Scalbert 1991). Terlepasnya kation-kation tersebut dari membran terluar bakteri, akan memudahkan masuknya senyawa antibakteri ke dalam sel (Stratford 2000). Sebagai upaya mencapai sasaran, senyawa antibakteri dapat menembus LPS dinding sel bakteri tersebut, molekul-molekul yang bersifat hidrofilik lebih mudah dibandingkan yang hidrofobik. melewati LPS Meskipun demikian pada bakteri gram negatif terdapat pula sisi hidrofilik yaitu karboksil, asam amino dan hidroksil (Gorman 1991), sehingga senyawa hidrofobik pun dapat menembus dinding sel. Lapisan LPS ini tidak semata-mata tersusun oleh fosfolipid saja, seperti pada membran sitoplasma, tetapi juga mengandung polisakarida dan protein (Madigan 2000). Lipopolisakarida dinding sel gram negatif terdiri atas lipid kompleks yang disebut lipid A. Lipid A ini terdiri atas suatu rantai satuan disakarida glukosamin yang dihubungkan dengan ikatan pirofosfat, tempat melekatnya sejumlah asam lemak rantai panjang. Mikroba gram negatif juga memiliki selaput khusus berupa molekul protein (porin) yang memudahkan difusi pasif senyawa hidrofilik dengan berat molekul rendah, sepeti gula, asam amino dan ion-ion tertentu. Porin pada S.Typhimurium dan E. coli yaitu OmpC, D dan F dan PhoE, merupakan protein trimer yang menembus kedua permukaan membran luar (Moat et al. 2002). Protein ini membentuk pori-pori yang relatif tidak spesifik yang memungkinkan difusi bebas zat-zat hidrofil kecil menembus membran. Porin dari spesies yang berbeda mempunyai kemampuan berdifusi yang berbeda pula, dari berat molekul 600 kda pada E.coli dan S. Typhimurium sampai lebih dari 3000 kda pada P aeruginosa (Jawetz et al. 1996; Murray et al. 1998). Semakin tinggi berat molekul protein semakin sulit menembus permukaan membran luar. Umumnya dinding sel bakteri gram negatif mengandung membran luar yang dapat menghalangi lewatnya molekul-molekul besar (Jawetz et al. 1996). Tabel 8. Diameter penghambatan (mm) ekstrak heksana, etil asetat dan etanol biji dan umbi teratai Jenis ekstrak Biji Umbi Konsentrasi (% b/v) EPEC K1.1 Diameter penghambatan (mm) S. B. Lactobacillus Typhimurium bifidum acidophilus Heksana 0 10 20 30 0 0 0 0 0 0 0 0 - - Etil asetat 0 10 20 30 0 19.33±0.91 25.50±1.27 29.57±1.00 0 17.90±1.08 23.18±0.23 26.40±0.48 0 0 0 0 0 0 0 0 Etanol 0 10 20 30 0 12.36±0.28 14.08±1.02 15.79±0.53 0 12.47±2.38 13.43±1.10 15.49±0.21 0 0 0 0 0 0 0 0 Heksana 0 10 20 30 0 0 0 0 0 0 0 0 - - Etil asetat 0 10 20 30 0 15.30±0.12 19.68±0.59 23.01±0.67 0 11.60±0.28 14.63±0.13 19.65±0.51 0 0 0 0 0 0 0 0 Etanol 0 10 20 30 0 8.88±1.52 11.23±0.07 14.40±0.85 0 9.14±1.04 10.38±2.37 11.81±1.94 0 0 0 0 0 0 0 0 Keterangan : 0% = tanpa ekstrak (hanya pelarut yang digunakan) 0 = tidak ada penghambatan - = tidak diamati Pada ekstrak etanol yang bersifat polar baik pada biji maupun umbi terlihat aktivitas antimikroba lebih rendah dibandingkan ekstrak etil asetat terhadap EPEC K1.1 dan S. Typhimurium. Beberapa peneliti melapokan bahwa keberadaan minyak dalam ekstrak non polar dan protein dalam ekstrak polar merupakan faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba dari senyawa fenolik (Nychas, 1995). Pada Tabel 11 terlihat bahwa ekstrak etanol biji mengandung tanin, dimana tanin dapat berikatan dengan protein biji sehingga aktivitas tanin sebagai antimikroba menjadi terganggu. Ekstrak etil asetat dan etanol, baik biji maupun umbi, tidak menunjukkan penghambatan pada bakteri asam laktat (Lactobacillus acidophilus) dan Bifidobacterium. Hal ini diduga karena permukaan dinding selnya mengandung asam teikoat yang terdiri dari satu polimer glukosilgliserol fosfat dan dua polimer diglukosilgliserol fosfat dengan gugus alkil berupa alanin, sehingga bersifat non polar (Moat et al. 2002). Lavlinesia (2004) dan Naufalin (2005) juga melaporkan bahwa Lactobacillus plantarum merupakan bakteri yang paling resisten terhadap ekstrak etil asetat biji atung dan bunga kecombrang. Ekstrak etil asetat, baik pada biji maupun umbi, memiliki aktivitas penghambatan yang lebih tinggi dibanding ekstrak heksana dan etanol. Oleh karena itu penelitian aktivitas antimikroba dari biji dan umbi teratai selanjutnya diarahkan kepada ekstrak etil asetat. Pengujian aktivitas antimikroba dari ekstrak etil asetat biji dan umbi dilakukan menggunakan metode kontak langsung antara bakteri uji dengan ekstrak. Metode ini dilakukan untuk mendapatkan nilai MIC dan MBC dari suatu ekstrak antimikroba. Nilai MIC dan MBC ekstrak etil asetat biji dan umbi terhadap pertumbuhan bakteri EPEC K1.1 dan S. Typhimurium dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa nilai MIC ekstrak etil asetat biji terhadap EPEC K1.1 dan S. Typhimurium adalah 0.1% (b/v) ekstrak dengan pelarut etil asetat atau 0,89 mg/ml, sedangkan nilai MBC ekstrak terhadap EPEC K1.1 adalah 0.150% (b/v) atau 1.33 mg/ml. Nilai MIC dan MBC terhadap S. Typhimurium adalah 0.125% (b/v) atau 1.11 mg/ml dan 0.150% (b/v) atau 1.33 mg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa EPEC K1.1 lebih sensitif terhadap ekstrak etil asetat biji dibandingkan dengan S.Typhimurium. Pada ekstrak etil asetat umbi, terlihat pengaruh ekstrak terhadap pertumbuhan EPEC K1.1 dan S. Typhimurium adalah sama dilihat dari nilai MIC yaitu sebesar 0.125% (b/v) atau 1.11 mg/ml dan MBC 0.175% (b/v) atau 1.55 mg/ml terhadap S.Typhimurium. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri uji lebih tahan terhadap ekstrak etil asetat umbi dibandingkan ekstrak etil asetat biji. Nilai MIC dan MBC senyawa antimikroba ekstrak tanaman berbeda-beda tergantung pada jenis mikroba. Nilai MIC senyawa antimikroba yang lebih rendah menunjukkan bakteri lebih rentan terhadap komponen tersebut. Tabel 9. Pertumbuhan bakteri EPEC K1.1 dan Salmonella Typhimurium pada media NB yang mengandung ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai Jenis ekstrak Jenis bakteri Konsentrasi Ekstrak etil asetat (% b/v) 0 0.075 0.1* EPEC K1.1 0.125 0.150** Ekstrak 0.175 etil 0 asetat 0.075 biji 0.1 S.Typhimurium 0.125* 0.150** 0.175 0 0.100 EPEC K1.1 0.125* 0.150 Ekstrak 0.175 etil asetat 0 umbi 0.100 0.125* S.Typhimurium 0.150 0.175** Keterangan : * MIC ekstrak etil asetat **MBC ekstrak etil asetat Jumlah bakteri (CFU/ml) Inkubasi Inkubasi 0 jam 24 jam (No) (Nt) 4.1x105 3.3x109 5 4.1x10 3.4x105 5 3.0x104 4.1x10 5 4.1x10 1.4x101 5 0 4.1x10 4.1x105 0 3.3x109 4.9x105 4.9x105 9.7x104 5 4.9x10 7.0x104 5 3.8x102 4.9x10 5 4.9x10 0 5 4.9x10 0 4.1x105 2.8x109 4.1x105 6.9x104 5 4.1x10 3.9x104 5 4.1x10 7.7x102 4.1x101 4.1x105 5 5.2x10 3.1x109 5 5.2x10 8.1x104 5 5.2x10 1.4x104 3.1x101 5.2x105 5 5.2x10 0 % Penghambatan relatif terhadap jumlah bakteri awal [100-(Ntx100/No)] 17.07 92.68 99.99 100 100 80.20 85.71 99.92 100 100 83.17 90.49 99.81 99.99 84.42 97.31 99.99 100.00 Log penghambatan -3.91 0.83 1.14 4.47 5.61 5.61 -3.83 0.70 0.84 3.11 5.69 5.69 -3.79 0.81 1.06 2.77 4.04 -3.78 0.81 1.57 4.22 5.72 Jika dibandingkan dengan nilai MIC ekstrak tanaman lain, seperti ekstrak etil asetat bunga kecombrang nilai MIC ekstrak terhadap E. coli dan S.Typhimurium adalah 4 mg/ml (Naufalin 2005); ekstrak jahe terhadap E. coli dan S.Typhi adalah 10 mg/ml (Radiati 2002),dan ekstrak daun sirih terhadap E. coli dan S.Typhimurium adalah 2 mg/ml (Sugiastuti 2002). Aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat biji dan umbi dibandingkan dengan aktivitas beberapa antibiotik terhadap S.Typhimurium dan terhadap EPEC K1.1., diameter penghambatannya disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Diameter penghambatan (mm) ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai dibandingkan dengan antibiotik terhadap EPEC K1.1 dan S.Typhimurium Antibiotik (2% b/v) Ekstrak etil asetat (2% b/v) Amoksilin Ampisilin Diameter penghambatan (mm) EPEC K1.1 S.Typhimurium 0 23.94±0.78 0 23.65±1.48 Kloramfenikol 1.72±0.39 25.14±2.49 Biji 14.98±0.60 14.00±1.20 Umbi 13.68±0.81 13.43±0.60 Keterangan : 0 = tidak ada penghambatan Pada Tabel 10, terlihat bahwa dengan konsentrasi yang sama (2%) aktivitas antimikroba ekstrak biji dan umbi terhadap S. Typhimurium lebih kecil dibandingkan dengan antibiotik (kloramfenicol, amoksilin dan ampisilin). Akan tetapi terhadap EPEC K1.1, aktivitas antimikroba dari antibiotik lebih rendah dibanding ekstrak biji dan umbi. Diketahui bahwa EPEC K1.1 resisten terhadap ketiga antibiotik yang diuji, sedangkan terhadap ekstrak biji dan umbi teratai dengan konsentrasi yang sama terlihat adanya penghambatan. Diduga ekstrak biji dan umbi mempunyai mekanisme penghambatan yang berbeda dengan ketiga antibiotik yang diuji terhadap mikroba uji. Beragamnya komponen antimikroba yang berperan pada ekstrak mengakibatkan cara penghambatannya terhadap bakteri juga berbeda. Berbeda dengan antibiotik yang memiliki senyawa tunggal dengan mekanisme penghambatan terhadap bakteri yang spesifik. Jika antibiotik diberikan terus-menerus atau secara berlebihan maka bakteri akan membuat pertahanan diri terhadap senyawa tersebut, yang akhirnya membuat bakteri tersebut menjadi resisten. Menurut Madigan (2000), beberapa mikroorganisme secara alami resisten untuk beberapa antibiotik, yang disebabkan karena : (1) mikroorganisme tersebut tidak mempunyai struktur yang dapat dihambat antibiotik (tidak mempunyai dinding sel bakteri dan tahan terhadap penicilin, seperti mycoplasma); (2) mikroorganisme tersebut mungkin tidak permeabel terhadap antibiotik (sebagian bakteri gram negatif tidak permeabel terhadap penicilin); (3) mikroorganisme tersebut mungkin dapat merubah antibiotik menjadi bentuk yang tidak aktif (seperti Staphylococcus mengandung β-lactamase yang dapat memutus cincin β-lactam dari penicilin); (4) mikroorganisme tersebut mungkin memodifikasi target dari antibiotik; (5) terjadi perubahan genetik pada mikroorganisme tersebut sehingga dapat bertahan terhadap kerja antibiotik; dan (6) mikroorganisme tersebut dapat memompa keluar antibiotik yang masuk ke dalam sel (efflux). Kloramfenikol adalah antibiotik yang bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein mikroba. Yang dihambat adalah enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatan-ikatan peptida pada proses sintesis protein mikroba. Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik, tetapi pada konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisidal terhadap mikroba yang peka (Gan et al. 1980). Menurut Gan et al. (1980), E.coli dapat resisten terhadap kloramfenikol dengan mengasetilasi antibiotik tersebut. Ampisilin dan amoksilin adalah jenis penisilin yang berspektrum antimikroba luas, efektif terhadap mikroba gram positif dan negatif. Kejadian resistensi terhadap penisilin pada umumnya didasarkan pada produksi penisilinase, yang dapat memecah ikatan atom N dengan C pada cicin laktam, dengan menghasilkan asam penisiloat. Asam penisiloat, tidak memiliki lagi sifat antibakteri (Gan et al.1980). D. Komponen Fitokimia Ekstrak Biji dan Umbi Teratai Analisis fitokimia secara kualitatif terhadap tepung biji, umbi dan masingmasing ekstrak dilakukan untuk melihat komponen-komponen fitokimia yang diduga berperan sebagai antimikroba. Pada Tabel 11 terlihat komponen fitokimia yang terdapat pada tepung biji. Tepung biji teratai mengandung hampir semua komponen fitokimia seperti alkaloid, tanin, saponin, glikosida, flavonoid, steroid/triterpenoid. Komponen fitokimia tersebut tersebar pada masing-masing ekstrak (Tabel 11). Sementara tepung umbi mengandung komponen fitokimia yang utama adalah alkaloid, tanin dan saponin (Tabel 11). Glikosida, flavonoid dan steroid juga terdapat pada ekstrak umbi (Tabel 11), sementara pada tepungnya tidak terdeteksi. Hal ini diduga komponen tersebut konsentrasinya kecil dalam umbi dan menjadi terdeteksi setelah tepung diekstrak dengan pelarut yang bertingkat (tidak polar, semipolar dan polar) yang sesuai dengan kelarutan komponen fitokimia tersebut. Tabel 11. Komponen fitokimia ekstrak biji dan umbi teratai Biji Komponen fitokimia Umbi Biji Ekstrak heksana Ekstrak etil asetat Alkaloid ++++ ++ ++ ++ ++++ ++ ++ + Saponin + ++ + +++ + - + ++ Tanin + - ++ +++ + - + +++ Glikosida ++ ++ ++ - - ++ +++ - Flavonoid +++ - + +++ - - ++ - Steroid +++ ++ - - - + + ++ + - ++ + - - - - Triterpenoid Keterangan : Ekstrak etanol Umbi Ekstrak heksana Ekstrak etil asetat Ekstrak etanol + : positif lemah , ++ : positif, +++ : positif kuat, ++++ : positif kuat sekali - : tidak terdapat pada sampel Ahmad & Beg (2001) melakukan analisis fitokimia terhadap 40 ekstrak tanaman yang memiliki aktivitas antimikroba. Komponen fitokimia yang terdapat pada ekstrak tersebut adalah fenol (79%), epi/gallotanin atau tanin terkondensasi (77%), glikosida (49%), saponin (38%), flavonoid (28%) dan alkaloid (25%). Secara umum alkaloid merupakan metabolit basa yang mengandung nitrogen dan banyak sekali ragam maupun struktur kimianya. Sebagian besar alkaloid dibentuk dari asam-asam amino seperti lisin, ornitin, fenilalanin, tirosin dan triftofan. Kerangka asam-asam amino tersebut sebagian besar masih tetap asli di dalam struktur senyawa-senyawa alkaloid yang diturunkannya (Herbert 1988). Banyak jenis alkaloid bersifat terpenoid atau sebagai terpenoid termodifikasi. Jenis alkaloid yang terdapat pada umbi dari spesies Nymphaea alba adalah nymphaeine dan nupharine, dimana umbi ini digunakan untuk mengobati disentri atau diare yang disebabkan oleh iritasi sindrom usus besar (Anonim 2004). Rhizome tersebut selain mengandung alkaloid juga, resin, glikosida dan tanin. Menurut Aguwa dan Lawal (1988) saponin terutama triterpen menunjukkan anti-ulcer melalui pembentukan perlindungan pada mukus permukaan mukosa usus. Aktifitas tanin sebagai antimikroba menurut Scalbert (1991) ada tiga mekanisme, yaitu (1) bersifat astringen (zat yang menciutkan), dimana tanin dapat membentuk kompleks dengan enzim mikroba ataupun substrat, (2) mekanisme terhadap membran mikroba, untuk mencapai membran tanin harus melewati dinding sel mikroba. Dinding sel terbuat dari polisakarida dan protein yang berbeda yang memungkinkan bagian dari tanin masuk. (3) tanin mengkompleks ion metal. Kebanyakan tanin memiliki lebih dari dua grup o-difenol pada molekulnya, yang dapat membentuk kelat dengan ion-ion metal seperti Cu dan Fe. Tanin mereduksi ketersediaan ion metal esensial untuk mikroorganisme. Tanin dan asam tanin mendenaturasi protein melalui pembentukan komplek (protein-tannate). Kompleks tersebut membentuk lapisan pada mukosa usus dan membuatnya lebih tahan, sedangkan sekresi gastrik berkurang secara simultan (Aniagu et al. 2005). Tanin, pada konsentrasi rendah dapat membuat lapisan pada permukaan lambung, sehingga menjadi kurang permiabel dan lebih tahan terhadap kerusakan kimia, mekanik atau iritasi (Aguwa &Lawal 1988; Otshudi et al. 2000). Tanin juga menyebabkan ‘vasocontriction’ lokal pembuluh darah mukosa usus dan akibatnya dapat mereduksi jumlah sekresi asam lambung oleh mukosa (Ramstad (1969) di dalam Aguwa & Lawal 1988). Selain itu tanin juga memiliki aktivitas sitotoksik dan antineoplastik (Otshudi et al. 2000). Menurut Otshudi et al. (2000) flavonoid diketahui memiliki aktivitas antivirus, antiinflamasi, dan sitotoksik. Flavonoid memiliki aktivitas antioksidan dan memperkuat sistem pertahanan mukosa melalui stimulasi sekresi mukus gastrik (Martin et al. (1994) di dalam Aniagu et al. (2005). Flavonoid dapat berperan sebagai penangkap spesies oksigen reaktif (seperti anion super-oksida) dan radikal bebas (Aniagu et al. 2005). E. Fraksinasi Ekstrak Etil Asetat Biji dan Umbi Teratai dan Uji Aktivitas Fraksi Ekstrak etil asetat pada biji dan umbi memiliki aktivitas antimikroba yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak etanol. Oleh karena itu hanya ekstrak tersebut yang dilanjutkan untuk melihat fraksi-fraksi yang berperan sebagai antimikroba. Fraksinasi ekstrak etil asetat menggunakan KLT (Kromatografi Lapis Tipis) silika G60 F245 dengan fase gerak heksana dan etil asetat dengan perbandingan 7:3. Berdasarkan kombinasi fase gerak tersebut pada ekstrak etil asetat biji diperoleh 11 fraksi dan ekstrak etil asetat umbi 10 fraksi dengan nilai Rf disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Nilai Rf fraksi ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai Ekstrak etil asetat biji No. Fraksi Rf 11 0.930 10 0.892 9 0.820 8 0.720 7 6 5 4 3 2 0.540 0.510 0.466 0.431 0.376 0.320 1 Ekstrak etil asetat umbi No. Fraksi Rf 10 0.925 9 0.871 8 0.805 7 6 0.665 0.545 5 4 3 0.448 0.416 0.393 2 1 0.292 0.197 0.076 Berdasarkan nilai Rf, terlihat ada enam fraksi yang memiliki nilai Rf yang berdekatan antara ekstrak biji dan umbi. Hal ini diduga ada beberapa senyawa aktif yang terdapat pada biji dan terdapat pula pada umbi. Pola pengembangan hasil fraksinasi ekstrak etil aetat biji dapat dilihat pada Gambar 12 dan ekstrak etil asetat umbi pada Gambar 13. Pada masing-masing fraksi yang telah dipisahkan dengan menggunakan KLT, dilakukan uji aktivitas antimikroba secara kualitatif menggunakan metode bioautografi. Hasil uji aktivitas masing-masing fraksi dengan bioautografi dapat dilihat pada Gambar 12 untuk ekstrak etil asetat biji dan Gambar 13 untuk ekstrak etil asetat umbi. Secara kualitatif terlihat bahwa semua fraksi yang terpisah dengan KLT, baik pada ekstrak etil asetat biji maupun umbi dengan bakteri uji EPEC K1.1 dan S.Typhimurium, mempunyai aktivitas penghambatan. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi-fraksi tersebut memiliki aktivitas antimikroba yang berkerja secara sinergis. 11 10 9 8 Daerah n penghambatan Daerah ditumbbuhi mikroba 7 6 Daerah penghambatann 5 4 3 2 Daerah penghambatann Daerah penghambataan 1 UV 36 66 nm S.Typhim murium 11 Daerah penghambbatan 10 9 8 Daerah dittumbuhi mikroba 7 6 5 4 Daerah penghambbatan 3 2 Daerah penghambbatan 1 UV 366 6 nm EPEC K.1.1 K Gambar 12 2. Bioautograam menunjuukkan penghhambatan eksstrak etil aseetat biji terhadap EPEC E K1.1 ddan S.Typhim murium aerahh Daerah penghambattan 10 9 8 Daerah penghambattan 7 Daerah penghambattan 6 5 4 Daerah penghambattan 3 2 Daerah penghambattan 1 UV 366 nm Sa almonella Tyyphimurium EPEC K.1.1 K Gambar 13 3. Bioautograam yang meenunjukkan penghambata p an ekstrak etil asetat umbi terhaddap S.Typhim murium dan E EPEC K1.1 Penghambatan oleh masing-masing fraksi setelah diinkubasi dengan mikroba uji ditunjukkan oleh adanya daerah bening (terang) yang terbentuk pada fraksi-fraksi tersebut dibandingkan dengan KLT yang dielusi dengan antimikroba (diamati di bawah sinar UV 366 nm) yang tidak diinkubasi dengan bakteri uji. Pada bioautogram terlihat mikroba uji berwarna ungu setelah diberi pewarna sel p-iodonitrotetrazolium violet, yang menunjukkan bahwa daerah yang ditumbuhi mikroba tidak ada penghambatan oleh fraksi antimikroba. Sebagian besar fraksi-fraksi yang terdapat pada ekstrak etil asetat, baik biji maupun umbi, setelah diberi pewarna p-iodonitrotetrazolium violet menimbulkan warna pada fraksi tersebut. Walaupun daerah penghambatan tidak terlihat berwarna bening, tetapi daerah yang terdapat fraksi yang memiliki aktivitas antimikroba menunjukkan tidak ditumbuhi oleh mikroba yang berwana ungu (setelah disemprot pewarna). Pengujian secara kuantitatif terhadap aktivitas masing-masing fraksi dilakukan dengan mengerok spot-spot fraksi pada KLT, kemudian dimaserasi dengan pelarut etil asetat dan diambil filtratnya dengan cara sentrifugasi. Filtrat diuapkan pelarutnya dengan N2 dan diperoleh fraksi-fraksi ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai. Fraksi-fraksi tersebut diuji aktivitas antimikrobanya dengan menggunakan difusi sumur. Hasil pengujian dengan menggunakan difusi sumur untuk fraksi eksrak etil asetat biji dan umbi dapat dilihat pada Tabel 13 dan Tabel 14. Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa semua fraksi mempunyai aktivitas antimikroba, dimana fraksi 10 dan 11 memiliki aktivitas penghambatan yang paling besar terhadap EPEC K1.1. Berdasarkan pengembang (eluen) yang digunakan yaitu heksana dan etil asetat (7:3) menunjukkan semakin besar nomor fraksi maka fraksi tersebut semakin tidak polar (penomoran fraksi dimulai dari awal laju eluen pada KLT). Hal ini menunjukkan bahwa fraksi yang lebih tidak polar pada ekstrak etil asetat biji teratai memiliki aktivitas penghambatan yang lebih besar terhadap EPEC K1.1. Akan tetapi sebaliknya terhadap S. Typhimurium, fraksi yang lebih rendah (yang lebih polar) memiliki aktivitas antimikroba yang lebih besar. Tabel 13. Diameter penghambatan (mm) dari ekstrak etil asetat biji (2%) dan fraksi-fraksinya (2%) terhadap EPEC K1.1 dan S. Typhimurium Ekstrak biji teratai Ekstrak etil asetat Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 Fraksi 4 Fraksi 5 Fraksi 6 Fraksi 7 Fraksi 8 Fraksi 9 Fraksi 10 Fraksi 11 Diameter penghambatan (mm) EPEC K1.1 S. Typhimurium 14.98 14.00 5.13 Tidak ada penghambatan 2.15 7.78 6.85 6.22 5.70 2.98 4.48 4.93 7.95 8.15 7.33 2.0 7.18 3.98 7.38 3.20 10.6 3.30 11.65 2.35 Aktivitas masing-masing fraksi dari ekstrak etil asetat biji terhadap S. Typhimurium terlihat lebih rendah dibandingkan terhadap EPEC K1.1, hanya fraksi 2,3 dan 6 mempunyai aktivitas yang lebih besar terhadap S. Typhimurium. Fraksi 1 terlihat tidak mempunyai aktivitas penghambatan terhadap S Typhimurium, sedangkan pada bioautogram terlihat adanya penghambatan. Hal tersebut diduga fraksi tersebut jumlahnya terlalu kecil pada ekstrak, sehingga untuk pengujian difusi sumur konsentrasinya tidak mencukupi untuk menunjukkan adanya penghambatan. Tabel 14. Diameter penghambatan (mm) dari ekstrak etil asetat umbi (2%) dan fraksi-fraksinya (2%) terhadap EPEC K1.1 dan S. Typhimurium Ekstrak umbi teratai Ekstrak etil asetat Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 Fraksi 4 Fraksi 5 Fraksi 6 Fraksi 7 Fraksi 8 Fraksi 9 Fraksi 10 Diameter penghambatan (mm) EPEC K1.1 S. Typhimurium 13.68 13.43 5.44 2.89 6.69 2.88 8.50 2.61 9.04 3.49 9.54 4.16 12.12 2.38 9.88 Tidak ada penghambatan 6.31 3.92 3.94 3.91 10.57 3.46 Pada Tabel 14 terlihat semua fraksi dari ekstrak etil asetat umbi memiliki aktivitas penghambatan terhadap EPEC K1.1. aktivitas yang terbesar. Fraksi 6 dan 10 mempunyai Sementara terhadap S.Typhimurium, semua fraksi menunjukkan adanya penghambatan kecuali pada fraksi 7. Hal ini diduga fraksi 7 jumlahnya sangat kecil pada ekstrak sehingga konsentrasinya tidak cukup untuk melakukan penghambatan. Berbeda dengan bioautogram, fraksi 7 menunjukkan adanya penghambatan karena pada metode bioautografi fraksi tidak diambil melainkan tetap pada KLT yang kemudian langsung diinkubasi dengan mikroba. F. Identifikasi Senyawa Antimikroba Beberapa Fraksi Ekstrak Biji dan Umbi Teratai Identifikasi senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba dari beberapa fraksi ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai dengan menggunakan GCMS ditujukan untuk senyawa-senyawa yang mudah menguap (volatil). Penentuan senyawa menggunakan library Wiley229, dengan nilai SI (simillarities index) di atas 80. Hasil identifikasi terhadap senyawa dugaan yang terdapat pada beberapa fraksi dari ekstrak etil asetat biji dapat dilihat pada Tabel 15 Untuk senyawasenyawa yang muncul pada kromatogram tetapi nilai SI < 80 tidak dicantumkan pada Tabel 15. Kromatogram dari masing-masing fraksi dapat di lihat pada Lampiran 2. Pada Tabel 15 terlihat secara umum, fraksi ektrak etil asetat, baik biji maupun umbi memiliki senyawa yang mengandung asam karboksilat, alkohol, keton, ester, fenol dan terpene yang diketahui memiliki aktivitas antimikroba. Menurut Kabara (1993), sabun yang mengandung garam dari asam lemak miristat, palmitat dan stearat efektif menghambat E.coli. Pada asam lemak, posisi dan jumlah ikatan rangkap mempengaruhi aktivitas antimikroba terutama untuk asam lemak rantai panjang (> C12) dibandingkan rantai pendek (<C12), Senyawa fenolik diantaranya dapat bereaksi dengan komponen fosfolipid dari membran sel sehingga terjadi peningkatan permeabilitas membran sel atau dapat menyebabkan perubahan pada komponen asam lemak dan kandungan fosfolipid. Selanjutnya menimbulkan kekacauan pada sistem membran sitoplasma, yang menyebabkan terbebasnya sitoplasma (Nychas 1995). Selain itu, menurut Davidson (1993), senyawa fenol dan golongan halogen dapat merusak secara fisik membran sel dan permeabilitas membran sel mikroba. Senyawa dengan cincin aromatik dan yang disubstitusi oleh keton sangat reaktif, dimana memiliki aktivitas antimikroba terhadap polipeptida dinding sel bakteri dan enzim yang terikat pada membran sel mikroba (Cowan 1999). Letak dan jumlah grup hidroksil pada grup fenol bersifat toksik terhadap mikroba, meliputi penghambatan enzim oleh senyawa-senyawa yang teroksidasi. Diduga melalui reaksi dengan grup sulfhidril atau melalui interaksi tidak spesifik dengan protein. Terpena adalah jenis minyak atsiri yang aktivitasnya terhadap mikroba adalah merusak membran sel karena sifatnyanya yang lipofilik (Cowan 1999). Nummularine (C29H38N4O5) yang terdapat pada fraksi 11 diduga adalah jenis alkaloid. Demikian pula pada beberapa fraksi yang senyawanya mengandung N, diduga adalah jenis alkaloid yang terdiferensiasi akibat panas oleh GCMS. Jenis alkaloid yang ditemukan pada genus Nymphaea adalah nymphaeine (C14H23NO2) (Raffauf 1970). Meskipun belum banyak diketahui bahwa alkaloid memiliki aktivitas antimikroba. Menurut Cowan (1999), alkaloid sebagai antimikroba pada berberine melakukan interkelat ke dalam dinding sel dan atau membran mikroba. Senyawa alkaloid lainnya yang memiliki aktivitas antimikroba adalah alkaloid karbazol. Alkaloid karbazol yang terbukti memiliki aktivitas antimikroba antara lain, 3-metil-6,7-metilenadioksidakarbazol (C14H11NO2), 1,8-dimetoksi-3-formilkarbazol (C15H13NO3). Senyawa 3-metil- 6,7-metilenadioksidakarbazol, yang diisolasi dari ekstrak dietil eter kulit kayu tanaman Clausena heptaphylla bersifat antibakteri kuat terhadap B. subtilis, E.coli dan S. aureus (Bhattacharyya et al. 1993). Sementara senyawa 1,8-dimetoksi-3formilkarbazol, yang diisolasi dari ekstrak etanol daun tanaman Clausena heptaphylla bersifat antimikroba terhadap S. aureus, C.albicans, P.aeruginosa dan S. Typhimurium (Chakraborty et al. 1995). Adanya hidrokarbon dengan ikatan rangkap (alkena), yang bersifat lifofilik, dapat meningkatkan permeabilitas dinding sel bakteri yang cenderung hidrofobik, sehingga memudahkan senyawa antimikroba yang berukuran molekul besar untuk menembus dinding sel (Kabara 1993). Tabel 15. Senyawa-senyawa dugaan yang terdapat pada fraksi ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai No. fraksi Nama senyawa Nummularine Hexadecanoic acid (CAS) Palmitic acid 11 Ekstrak 10 etil asetat biji teratai 9 8 7 5 10 Ekstrak etil 9 asetat umbi teratai 11,14-Eicosadienoic acid, methyl ester Phenol, 4-bromo-2-(1,2-dimethyl-3methylenecyclo) 1,2-Benzenedicarboxylic acid, dioctyl ester C21H38O2 C15H18BrIO δ-tocopherol 4-Heptanone,2-methyl-(CAS)2-Methyl-4heptanone 1,2-Benzenedicarboxylic acid, diisoctyl ester C27H46O2 C8H16O 1,2-Dimethyl 3-(3-Bromo-4-methoxy-2Hpyran-2-on-6-yl) indolizidinedicarboxylate Diacetin Benzenaminium,3-carboxy-N,N,Ntrimethyl-,hydroxyide, inner salt Benzene,(1-bromoethyl)(CAS) 1-Phenylethyl bromide 3-(2,6-Dimethylphenyl)-1,2-benzisoxazole (4-tolyl)pyrimido[1,2,5]benzo (5-amino) triazinium dibromide 4-T-Butyl-2isopropoxymethylenecyclohexanone 2-methyl-6-beta-d-ribofuranosylimidazol (1,2)pyrimidin-5(6H)-one Di-(2-ethylhexyl)ester of Adipic acid Diacetin C18H14BrNO7 C24H38O4 C24H38O4 Golongan senyawa Asam karboksilat ester Fenol, halogen Aromatik, ester Keton C14H24O2 Aromatik, ester Asam karboksilat Alkohol Aromatik, amida Aromatik, halogen Fenol, Amida Aromatik, amina Keton C12H15N3O5 Keton C22H42O4 C7H12O5 Ester Alkohol Phenol, 4-bromo-2-(1,2-dimethyl-3methylenecyclo) Acetic acid, cyano C15H18BrIO Fenol, halogen C3H3 NO2 1,2-Benzenedicarboxylic acid, bis(2ethylhexyl)ester 3-Octadecene 1-Hexadecene(CAS) Cetene 1-Pentadecanol 1-Nonadecene 2,6,10,14,18,22-Tetracosahexaene, 2,6,10,15,19,23-hexamethyl Dodecane,2,6,22-trimethyl p-Terphenyl,2,4,4”,6-tetachloro Hexadecanoic acid(CAS) Palmitic acid C24H38O4 Asam karboksilat Aromatik, Ester Alkena Alkena Akohol Alkena Alkena C15H32 C18H10Cl4 C16H32O2 9-Hexadecenoic acid C16H30O2 Diisoamylene 2-methyl-6-beta-d-ribofuranosylimidazo [1,2-c] pyrimidin-5(6H)-one Eicosyl acetate C10H20 C12H15N3O5 Alkena Terpena Asam karboksilat Asam karboksilat Alkena Keton C22H44O2 Ester 8 6 Rumus senyawa C29H38N4O5 C16H32O2 C7H12O5 C10H13NO2 C8H9Br C15H13NO C17H15Br2N5 C18H36 C16H32 C15H32O C19H38 C30H50 G. Analisis Fraksi Karbohidrat dari Biji dan Umbi Teratai Analisis fraksi karbohidrat yang terdapat pada tepung biji dan umbi dilakukan dengan menggunakan HPLC menggunakan kolom Aminex Ion Exclusion HPX-87H (300 mm x 7.8 mm, BioRAD). Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Kadar gula yang terdapat pada biji dan umbi teratai (mg/g bk) Biji Umbi Stakiosa Rafinosa Sukrosa Glukosa Fruktosa 10.42 0.60 0.27 1.34 8.60 2.26 7.37 1.51 0.85 Keterangan : bk= berat kering; Pada biji, peak stakiosa tidak terpisah dengan rafinosa Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan biji maupun umbi, mengandung oligosakarida dari keluarga Rafinosa (rafinosa & stakiosa). Kadarnya pada umbi lebih besar dibandingkan biji. Hal ini menunjukkan bahwa karbohidrat baik pada biji maupun umbi, mempunyai kandidat sebagai prebiotik. Untuk mengetahui apakah oligosakarida tersebut dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat dan Bifidobakteria, maka dilakukan pengujian dengan memodifikasi media pertumbuhan mikroba tersebut, dimana media komersial yang mengandung glukosa diganti dengan oligosakarida. Hasil pengujian dengan menggunakan gula rafinosa + stakiosa standar sebagai pengganti glukosa pada media menunjukkan hasil yang positif. Oligosakarida tersebut dapat difermentasi oleh mikroba uji yaitu L.acidophilus untuk mikroba aerob dan Bifidobacterium bifidum untuk anaerob. Hal ini ditunjukkan dengan tumbuhnya koloni yang dikelilingi zona kuning (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa rafinosa dan stakiosa dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat dan Bifidobakteria, sehingga rafinosa dan stakiosa dapat berperan sebagai prebiotik. Meskipun demikian perlu penelitian lanjutan, untuk mengetahui seberapa besar oligosakarida dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat dan Bifidobakteria. Pada media yang gulanya diganti dengan gula dari biji dan umbi juga menunjukkan adanya pertumbuhan koloni yang dikelilingi zona kuning (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa gula yang terdapat dalam biji dan umbi teratai d dapat diferm mentasi oleeh mikroba uji, yang berarti baiik biji mauupun umbi m mengansung g gula yang memiliki kaandidat sebaagai prebiotik. Meskipunn demikian p perlu penelitian lanjutaan, untuk melihat m sebberapa besarr oligosakaarida dapat m menstimulas si pertumbuhhan bakteri aasam laktat. Koloni Lactobacillus L acidophiilus yang memferm mentasi raffinosaa murni Koloni Biffidobacterium bifidum yaang memfermeentasi gula/oligossakarida umbi Koloni Lactobacillus K accidophilus yanng glukosa m memfermentasi Kooloni Lactobacillus aciidophilus yangg meemfermentasi gula/oligosakaridda biji Gambar 14. Koloni Bifidobacter B ium bifidum dan Lactobaacillus acidoophilus yang dap pat memferm mentasi gulaa (glukosa, olligosakaridaa) H . Evaluasi Aktivitas Biologis Biji Teratai dan Ekstrak Biji Teratai 1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan untuk penelitian secara in vivo dilakukan dua tahap. Tahap pertama menentukan konsentrasi EPEC K1.1 yang diberikan pada tikus percobaan sehingga diare. Tahap kedua adalah menentukan konsentrasi tepung teratai yang disubstitusi pada ransum tikus yang berpengaruh terhadap penurunan jumlah E.coli pada isi sekum dari sekum tikus percobaan. Pada penelitian pendahuluan tahap pertama mengacu pada penelitian Oyetayo (2004) dengan melakukan pengujian menggunakan dua konsentrasi EPEC K.1.1 yang diberikan pada tikus percobaan yaitu 300 µL 106 CFU/ml dan 107 CFU/ml. Penentuan konsentrasi yang akan digunakan untuk penelitian selanjutnya adalah berdasarkan kecepatan menimbulkan diare dengan mengamati penampakan feses setelah diberikan EPEC K.1.1. Penentuan konsentrasi EPEC K1.1 yang dapat menimbulkan diare dilihat dari tekstur feses yaitu berukuran lebih besar dari feses tikus sehat, lembek, berair, berlendir dan lengket. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian EPEC K1.1 dengan konsentrasi 300 µL 106 CFU/ml sudah dapat menimbulkan diare pada tikus percobaan. Pada pemberian 106, hari ke-2 setelah intervensi pertama ada satu ekor tikus sudah mulai menunjukkan gejala diare dan setelah 3 hari intervensi empat ekor tikus pada perlakuan yang sama menunjukkan gejala yang sama. Munculnya gejala diare ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan mikroba patogen untuk melekat pada epitelium usus dan menimbulkan sakit pada inang. Selain itu juga dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi pada sisi kolonisasi dan mekanisme pertahanan inang. Nutrisi yang terbatas mempengaruhi sensitifitas mikroorganisme terhadap antibiotik, fagositosis, lisozim dan faktor lainnya (Boyd & Marr 1980). Menurut Boyd & Marr (1980), pada kondisi tertentu, meskipun mikroorganisme patogen dalam jumlah besar dapat bertahan terhadap respon imun inang dan dapat berkembangbiak dalam waktu yang cepat dalam tubuh inang akan tetapi tidak menimbulkan penyakit pada inang. Pada kondisi ini mikroorganisme tersebut disebut carrier, menjadi berperan seperti mikroflora normal. Adanya kemampuan mikroflora usus untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem usus juga menjadi pertimbangan dalam hal ini (Tannock 1999). Oleh karena itu pada konsentrasi tertentu mungkin berpengaruh terhadap kecepatan timbulnya gejala diare, akan tetapi jika konsentrasinya ditingkatkan menjadi tidak berarti. Oyetayo (2004) melakukan penelitian untuk membuat tikus percobaan jenis albino menjadi diare dengan E.coli strain Enterotoxigenic pada konsentrasi 0.3 ml dari 105 CFU/ml E.coli. Pada penelitian pendahuluan tahap kedua dilakukan pengujian terhadap jumlah tepung teratai yang ditambahkan pada ransum berdasarkan nilai MIC (minimum inhibitory concentration) dari ekstrak biji teratai yang paling tinggi aktivitasnya. Berdasarkan hasil penelitian secara in vitro diperoleh hasil ekstrak biji teratai yang paling tinggi aktivitas penghambatannya terhadap mikroba uji (EPEC K1.1) adalah ekstrak etil asetat dengan nilai MIC 0.1% (b/v) ekstrak. Nilai MIC tersebut dikonversi menjadi berat per gram biji teratai sehingga diperoleh nilai ≈ 93.29 mg biji teratai dalam bentuk tepung. Dengan mempertimbangkan bahwa tepung teratai ini akan diberikan dalam bentuk utuh (bukan ekstrak) maka pemberian pada tikus percobaan dikalikan 10 kalinya, 20 kalinya dan 30 kalinya, dengan notasi 10 MIC, 20 MIC dan 30 MIC. Tepung teratai tersebut disubstitusikan ke dalam ransum secara isokalori. Pada penelitian ini, tikus percobaan dicekok EPEC K1.1 dengan konsentrasi 300 µL dari 106 CFU/ml sesuai konsentrasi yang diperoleh pada tahap pertama. Tikus percobaan dicekok EPEC K1.1 selama 17 hari percobaan. Setelah 7 hari dicekok EPEC K1.1 dimana tikus percobaan sudah menunjukkan gejala diare, ransum perlakuan diberikan. Ransum perlakuan berupa substitusi ransum standar dengan tepung biji teratai dengan konsentrasi 10, 20 dan 30 MIC. Pada saat pemberian ransum, tikus percobaan tetap dicekok dengan EPEC K1.1. Pemberian ransum perlakuan tersebut selama 10 hari, setelah itu tikus dibedah dan dianalisis total mikroba, total E.coli dan total bakteri asam laktat (BAL) dari isi sekum dan mukosa sekum. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar 15. Pada Gambar 15 terlihat pemberian ransum yang disubstitusi tepung biji teratai 20 MIC mampu menurunkan total E.coli isi sekum lebih dari 1 unit log dibandingkan kontrol yang tidak diberi tepung biji teratai (P<0.05) (Lampiran 3c). Hal yang sama terlihat pula pada total E. coli pada mukosa sekum (Gambar 16). Pada kondisi terinfeksi, pemberian tepung biji teratai selama 10 hari mampu mengobati diare (setelah 1 minggu diintervensi dengan EPEC K 1.1). Hal ini dapat dilihat dari tekstur feses yang agak kering, tidak berlendir dan tidak lengket. Hal ini diduga karena aktivitas antimikroba dari biji teratai bekerja menghambat pertumbuhan EPEC K1.1 dan efek dari komponen fitokimianya seperti alkaloid yang diketahui memiliki aktivitas terhadap waktu transit dalam usus halus (Cowan 1999). Berdasarkan hasil penelitian dari Budiarti dan Mubarik (2007), EPEC K1.1 menghasilkan enzim protease ekstraseluler yang dapat mendegradasi mucin sehingga dapat melekat pada sel epitel usus dan menimbulkan diare pada inang. Adanya tanin pada tepung biji teratai yang diketahui dapat mengendapkan protein (Scalbert 1991), dapat menghambat aktivitas protease ekstraseluler yang diproduksi oleh EPEC K1.1 untuk mendegradasi mucin. Akibatnya, EPEC K1.1 tidak dapat melekat pada epitel usus dan diare pada tikus percobaan dapat dicegah. Selain itu, tanin yang terkandung di dalam biji teratai diketahui bekerja mengendapkan protein sehingga terjadi penurunan sekresi yang membuat mukosa usus lebih resisten (Tripathi 1994 yang dikutip oleh Adzu et al. 2004). E.coli isi sekum (Log10 CFU/g isi sekum) 8 7 6 5 b b a ab Kontrol 10Mic 20Mic 30Mic 4 3 Perlakuan Gambar 15. E.coli dari isi sekum tikus percobaan dengan perlakuan pemberian tepung biji teratai dosis 10, 20 dan 30 MIC. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) Pada Gambar 15 terlihat ransum yang disubstitusi tepung biji teratai 20 MIC mampu menurunkan total E.coli mukosa sekum lebih dari 1 unit log dibandingkan kontrol yang tidak diberi tepung biji teratai (P<0.05)(Lampiran 3d). Pada tikus percobaan yang diberi ransum 30 MIC tepung biji teratai terlihat total E.coli pada mukosa sekum lebih tinggi dibandingkan 20 MIC (Gambar 16). Hal yang sama ditunjukkan oleh hasil penelitian dari Agunu et al. (2005), dimana dosis berpengaruh terhadap aktivitas antidiare dari ekstrak tanaman Acacia nilotica, Parkia biglobosa, Vitex doniana, Acanthospermun hispidum dan Gmelina arborea. Pada dosis rendah ekstrak tersebut menunjukkan aktivitas antidiare yang sangat kuat, akan tetapi pada dosis yang lebih tinggi hampir kehilangan aktivitasnya. Hal ini diduga pada konsentrasi rendah masing-masing komponen antimikroba yang terdapat pada bahan bekerja secara sinergis akan tetapi pada konsentrasi yang lebih tinggi, efek sinergis tersebut menjadi saling menutupi satu sama lainnya. Akibatnya pada konsentrasi yang lebih tinggi aktivitas antimikroba dari bahan tersebut menjadi berkurang. E.coli mukosa sekum (Log10 CFU) 9 8 7 6 5 4 b ab a b Kontrol 10Mic 20Mic 30Mic 3 Perlakuan Gambar 16. E.coli dari mukosa sekum tikus percobaan dengan perlakuan pemberian tepung biji teratai dosis 10, 20 dan 30 MIC. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) Selain hal tersebut di atas, mekanisme lain yang mungkin berperan adalah kandungan tepung biji teratai yang lebih tinggi mampu menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat lebih baik. Fermentasi yang cepat dari prebiotik yang terdapat dalam biji teratai menyebabkan kondisi usus menjadi lebih asam akibat produksi asam organik oleh BAL, yang mengakibatkan iritasi pada mukosa usus atau terjadinya inflamasi (Ten Bruggencate et al. 2003). Iritasi pada mukosa mengakibatkan rusaknya fungsi pertahanan usus, sehingga E.coli tetap bertahan. Pada kondisi tikus diare, komponen antimikroba dari tepung biji teratai yang bekerja, sedangkan komponen karbohidrat yang dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat tidak berperan secara nyata. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis total bakteri asam laktat dari isi sekum dan mukosa sekum. Total bakteri asam laktat pada semua perlakuan konsentrasi tepung biji teratai yang dicobakan menunjukkan tidak berbeda nyata dengan kontrol (Gambar 17 dan 18). BAL aerob isi sekum (Log10CFU/g isi sekum) 10 9 8 7 a a a a 6 5 Kontrol 10Mic 20Mic 30Mic Perlakuan Gambar 17. BAL aerob isi sekum tikus percobaan dengan perlakuan pemberian tepung biji teratai dosis 10, 20 dan 30 MIC. Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) BAL aerob mukosa sekum (Log10CFU) 10 9 8 7 6 a a a a Kontrol 10Mic 20Mic 30Mic 5 Perlakuan Gambar 18. BAL aerob mukosa sekum tikus percobaan dengan perlakuan pemberian tepung biji teratai dosis 10, 20 dan 30 MIC. Berdasarkan penelitian pendahuluan ini diperoleh konsentrasi E.coli yang lebih cepat menimbulkan diare pada tikus percobaan yaitu 300 µL dari 106 CFU/ml EPEC K.1.1 dan jumlah tepung teratai yang mampu menurunkan total E.coli dari isi sekum tikus percobaan yaitu 20 MIC (≈ 1,866 g tepung biji teratai). Hasil tersebut digunakan untuk penelitian selanjutnya. 2. Penelitian Lanjutan 2.1 Pengaruh pemberian tepung dan ekstrak biji teratai terhadap konsumsi ransum dan berat badan tikus percobaan Penyusunan ransum yang disubstitusi dengan tepung biji teratai dilakukan secara isokalori dengan mempertimbangkan zat gizi yang terdapat pada tepung biji teratai yang mempengaruhi pertumbuhan tikus percobaan, seperti kadar protein, lemak dan karbohidrat. Pada perlakuan dengan FOS (Fruktooligosakarida), FOS diberikan sebanyak 6% dari ransum dan diberikan dengan cara dicekok. Kurva kenaikkan berat badan tikus percobaan selama masa perlakuan 28 hari dan total konsumsi ransum pada masing-masing grup tikus percobaan dapat dilihat pada Gambar 19. Pada kelompok tikus percobaan yang sehat, konsumsi rata-rata ransum tepung biji teratai lebih tinggi dibandingkan kontrol, grup ekstrak biji teratai, dan FOS (Gambar 19). Meskipun demikian, analisis ragam menunjukkan pemberian ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap total konsumsi ransum tikus percobaan (P>0.05) (Lampiran 4). Pada Gambar 19 terlihat terjadi kenaikan berat badan pada semua tikus percobaan. Analisis ragam menunjukkan perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap kenaikkan berat badan rata-rata tikus percobaan (P<0.05) (Lampiran 4). Kenaikan berat badan rata-rata tikus percobaan yang diberi perlakuan ekstrak biji teratai lebih rendah dibanding grup lain, dan berdasarkan analisis ragam berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, tepung biji teratai dan FOS. Hal ini diduga pemberian ekstrak biji teratai dapat menghambat pertambahan berat badan pada tikus percobaan yang berkorelasi dengan rendahnya nilai efisiensi ransum. Berdasarkan efisiensi penggunaan ransum, yang merupakan perbandingan antara kenaikan berat badan dengan total konsumsi, nilainya dapat dilihat pada Gambar 19. Pada kelompok tikus yang sehat, pengaruh perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap nilai efisiensi ransum. Berdasarkan uji Duncan menunjukkan, pemberian ransum yang disubstitusi dengan tepung biji teratai dan FOS berbeda nyata dengan perlakuan ekstrak biji teratai. Sementara nilai efisiensi ransum pada perlakuan tepung biji teratai dan FOS tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini menunjukkan substitusi tepung biji teratai dan FOS tidak berpengaruh terhadap nilai efisiensi ransum, pada kondisi sehat. Sebaliknya pada perlakuan ekstrak biji teratai, karena pertambahan beratnya lebih rendah dari grup lain, akibatnya nilai efisiensi ransum juga lebih rendah. gram (g) 20 b b b 16 a 12 a a a a 8 b b a b persen (%) 300 275 250 225 200 175 150 125 100 75 50 25 0 4 0 Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak biji teratai FOS Gambar 19. Konsumsi ransum ratra-rata (g) , kenaikan berat badan rata-rata (g) dan efisiensi ransum (%) tikus percobaan kelompok yang sehat. Huruf yang sama pada histogram dengan warna yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% Banyaknya konsumsi rata-rata tikus percobaan selama masa pemberian perlakuan (28 hari) pada kondisi tikus percobaan diintervensi EPEC K1.1 dapat dilihat pada Gambar 20. Pada grup ekstrak biji teratai terlihat konsumsi rata-rata per ekor tikus percobaan lebih rendah dibandingkan grup biji teratai dan FOS. Demikian pula pada grup kontrol yang mengalami diare akibat intervensi EPEC K1.1, konsumsi rata-rata per ekor tikus lebih rendah dibanding grup biji teratai dan FOS. Meskipun demikian, berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan banyaknya konsumsi rata-rata tikus percobaan selama masa pemberian perlakuan (28 hari) pada grup tikus yang mendapat ransum tepung biji teratai dan FOS tidak berbeda nyata dengan grup ekstrak biji teratai dan grup kontrol yang diare setelah diintervensi EPEC K1.1 (Gambar 20) (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan bahwa diare pada tikus percobaan tidak berpengaruh nyata terhadap banyaknya konsumsi ransum. gram (g) 20 b b a a 16 12 a a a a 8 ab b a b persen (%) 300 275 250 225 200 175 150 125 100 75 50 25 0 4 0 Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak biji teratai FOS Gambar 20. Konsumsi ransum rata-rata (g) , , kenaikan berat badan rata-rata (g) dan efisiensi ransum (%) tikus percobaan yang diintervensi EPEC K1.1. Huruf yang sama pada histogram dengan warna yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% Kenaikan berat badan rata-rata tikus percobaan selama 28 hari pada kondisi tikus percobaan yang diintervensi EPEC K1.1, dapat dilihat pada Gambar 20. Kenaikan berat badan tikus percobaan pada grup ekstrak biji teratai dan kontrol terlihat sedikit lebih rendah dibandingkan grup tepung biji teratai dan FOS. Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap kenaikkan berat badan tikus percobaan yang diintervensi EPEC K1.1 (P<0.05) (Lampiran 4). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan ekstrak biji teratai berbeda nyata dengan perlakuan biji teratai dan FOS, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan kontrol. Pada kelompok tikus yang diintervensi EPEC K1.1 menunjukkan perlakuan ransum berpengaruh terhadap nilai efisiensi ransum (Gambar 20). Berdasarkan uji lanjut Duncan, perlakuan tepung biji teratai dan FOS berbeda nyata dengan kontrol dan ekstrak biji teratai. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian FOS dapat mengefisienkan penggunaan nitrogen yang diperlukan untuk sintesis protein mikroba, yang umumnya diperoleh dari hasil perombakan protein atau asam amino ransum. Sehingga asam amino dari protein ransum lebih banyak diserap oleh tubuh untuk pertambahan berat badan. Pemberian prebiotik (FOS) dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat dan Bifidobakteria (probiotik). Menurut Winarsih (2005) pemberian probiotik menyebabkan efisiensi penggunaan ransum menjadi lebih baik, terutama pada ayam yang diinfeksi dengan Salmonella, dimana akibat infeksi tersebut terjadi lesio pada usus yang menyebabkan terganggunya proses pencernaan dan penyerapan. Berdasarkan penelitian Sofjan (2003) yang dikutip oleh Winarsih (2005) menunjukkan bahwa pemberian probiotik Bacillus sp pada ayam petelur dapat meningkatkan asam amino dalam usus. Adanya peningkatan jumlah asam amino maka jumlah asam amino yang diserap mengalami peningkatan, sehingga memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan dan kesehatan ayam. Pemberian probiotik juga dapat memperbaiki daya cerna protein ransum, dimana Bacillus apiarius dan B. coagulans diketahui dapat menghasilkan enzim pencernaan seperti amilase, protease dan lipase yang akan membantu pemecahan molekul kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana yang dapat diserap usus. Adanya penambahan enzim pencernaan yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut akan meningkatkan penyerapan zat gizi dari ransum yang berkorelasi dengan pertambahan berat badan pada hewan percobaan. Dengan demikian, pemberian FOS dan tepung biji teratai juga dapat mengefisienkan penggunaan nitrogen yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroba dan asam amino yang diperlukan untuk sintesis protein mikroba, yang umumnya diperoleh dari hasil perombakan protein ransum. Sehingga asam amino dari protein ransum lebih banyak diserap oleh tubuh untuk pertambahan berat badan. Pada grup yang diberi perlakuan ekstrak biji teratai, meskipun setelah intervensi EPEC K1.1 tidak menunjukkan gejala diare seperti halnya pada grup kontrol, tetapi kenaikkan berat badannya lebih rendah dibandingkan dengan grup tepung biji teratai dan FOS. Adanya hubungan antara total konsumsi ransum dan kenaikkan berat badan, dimana pada grup ekstrak biji teratai total konsumsi ransum rata-rata per ekor tikus percobaan selama 28 hari lebih rendah dibandingkan dengan grup lain. Akibatnya total kenaikkan berat badan rata-rata juga lebih rendah. Hal ini menunjukkan efisiensi ransum juga lebih rendah dibanding grup yang lain. Adanya komponen aktif dari ekstrak biji teratai diduga mempengaruhi konsumsi ransum pada grup ini, yang berpengaruh pada berat badan. Pada grup kontrol yang diintervensi EPEC K1.1 dimana tikus percobaan mengalami diare akibat intervensi EPEC K1.1, meskipun total konsumsi ransumnya tidak berbeda dengan grup perlakuan lainnya akan tetapi kenaikkan berat badannya lebih rendah. Kondisi ini berpengaruh terhadap nilai efisiensi ransum yang juga lebih rendah dibandingkan grup tepung biji teratai dan FOS. Hal ini menunjukkan bahwa diare mengakibatkan terganggunya penyerapan zat gizi yang berkorelasi dengan berat badan. 2.2 Pengaruh pemberian tepung dan ekstrak biji teratai terhadap total mikroba pada kelompok tikus sehat dan diintervensi EPEC K1.1 Pengamatan terhadap mikrobiota usus pada penelitian ini dilakukan pada bagian sekum, baik isi sekum maupun mukosa sekum, karena sekum merupakan bagian proksimal usus besar. Pada hewan non-ruminansia seperti tikus, proses fermentasi oleh mikrobiota sebagian besar terjadi di bagian sekum (Le Blay et al. 1999). Pengamatan terhadap isi sekum dan mukosa sekum dengan pertimbangan bahwa, menurut Surono (2004), ekosistem mikroba pada bagian bawah saluran pencernaan dibagi menjadi dua sub ekosistem. Pertama adalah bakteri luminal, dimana komposisi bakteri saluran pencernaan lumen hanya ditentukan oleh ketersediaan nutrisi dan pengaruh senyawa antimikroba. Kedua, bakteri mukosal, yang ditentukan oleh laju produksi mukus, produksi imunoglobulin yang disekresikan, ekstrusi bahan seluler dari membran ke mukus dan ekspresi inang tempat pelekatan. Oleh karena itu pada penelitian ini diamati kedua bagian tersebut (isi sekum dan mukosa sekum). Pengamatan pengaruh substitusi tepung biji teratai pada ransum pada kelompok tikus yang sehat dan yang diintervensi EPEC K1.1 (sehingga menjadi diare dan setelah 1 minggu intervensi) dihentikan dilakukan dengan menghitung total mikroba isi sekum dan mukosa sekum. Pada Tabel 17terlihat jumlah awal total mikroba adalah 8.5 log CFU/g isi sekum, setelah diberi perlakuan selama 2 minggu terjadi peningkatan total mikroba pada isi sekum dan mukosa sekum grup tepung biji teratai. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan pemberian biji teratai pada ransum berpengaruh nyata terhadap total mikroba isi sekum dan mukosa sekum (Lampiran 5a dan 5f). Tabel 17. Total mikroba isi sekum dan mukosa sekum pada tikus percobaan yang sehat dan yang diintervensi EPEC K1.1 Kondisi tikus percobaan Waktu Perlakuan Sehat 0 Minggu Sehat 2 Minggu Sehat 3 Minggu Sehat 4 Minggu Setelah intervensi EPEC K1.1 3 Minggu 1 minggu setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan 4 Minggu Perlakuan Bagian sekum yang diamati Isi sekum (Log Mukosa sekum CFU/g) (Log CFU/cm2) 8.57±0.39 4.94±0.41 5.88±0.63b Kontrol 8.43±0.30ab Biji teratai 9.25±0.53b 6.04±0.53b a Ekstrak biji teratai 8.22±0.74 4.57±0.49a a 4.92±0.19a FOS 8.14±0.14 a Kontrol 8.64±0.35 6.36±0.61b a Biji teratai 8.65±0.46 6.63±0.42b a 4.82±0.92a Ekstrak biji teratai 8.10±0.22 a FOS 8.22±0.30 4.92±0.27a a Kontrol 8.70±0.47 4.54±0.38a a Biji teratai 8.58±0.41 5.65±1.30a a Ekstrak biji teratai 8.16±0.16 4.51±0.51a a 4.57±0.47a FOS 8.24±0.46 Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai FOS Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai 8.01±0.06a 8.54±0.25a 8.16±0.53a 8.53±0.44a 8.76±0.23a 8.23±0.59a 7.53±1.24a 4.39±0.34a 5.22±0.43a 4.16±0.59a 4.55±0.51a 4.64±0.38a 5.49±0.50a 4.34±0.92a FOS 9.05±0.80a 4.94±0.23a Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing-masing waktu perlakuan dan kondisi tikus percobaan menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05) Setelah 3 minggu dan 4 minggu perlakuan, pemberian ransum perlakuan pada tikus percobaan yang sehat menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata terhadap total mikroba isi sekum (P>0.05) (Lampiran 5b dan 5c). Akan tetapi pada total mikroba mukosa sekum, perlakuan ransum selama 3 minggu berpengaruh nyata terhadap total mikroba mukosa sekum (P<0.05) (Lampiran 5g). Berdasarkan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pemberian tepung biji teratai berbeda nyata dengan grup FOS dan ekstrak biji teratai, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan grup kontrol (Lampiran 5g). Pemberian FOS tidak berpengaruh terhadap jumlah total mikroba baik isi sekum maupun mukosa sekum, dibandingkan dengan jumlah total mikroba awal dari hewan coba. Menurut Gibson et al. (1995) penambahan oligofruktosa (FOS) ke dalam ransum tidak mengubah total bakteri, akan tetapi menurunkan jumlah bacteriodes, clostridia dan fusobacteria. Demikian pula menurut Bielecka et al. (2002) pemberian FOS tidak mengubah total mikroba, akan tetapi meningkatkan Bifidobacterium dan menurunkan coliform. Pengamatan terhadap total mikroba isi sekum saat intervensi EPEC K1.1dan setelah intervensi EPEC K1.1dapat dilihat pada Tabel 17. Pada Tabel 17 terlihat jumlah awal total mikroba adalah 8.5 log CFU/g isi sekum, setelah diintervensi EPEC K1.1 pada grup yang diberi perlakuan tepung biji teratai terjadi sedikit peningkatan total mikroba isi sekum dan setelah intervensi dihentikan, total mikroba isi sekum grup tepung biji teratai mengalami sedikit penurunan. Demikian pula pada grup ekstrak biji teratai, total mikroba isi sekum setelah diintervensi EPEC K1.1 cenderung tidak berbeda dengan grup tepung biji teratai. Analisis ragam menunjukkan perlakuan ransum tidak berpengaruh nyata (P>0.05) (Lampiran 5d dan 5e) terhadap total mikroba isi sekum tikus percobaan yang diintervensi EPEC K1.1. Hal ini menunjukkan intervensi EPEC K1.1 tidak menyebabkan peningkatan total mikroba isi sekum, baik pada grup tepung biji teratai, FOS maupun ekstrak biji teratai. 2.3 Pengaruh pemberian tepung dan ekstrak biji teratai terhadap total E.coli pada kelompok tikus sehat dan diintervensi EPEC K1.1 Pengamatan pengaruh substitusi tepung biji teratai pada ransum kelompok tikus yang sehat dan yang diintervensi EPEC K1.1 dan setelah 1 minggu intervensi dihentikan, dilakukan dengan menghitung total E.coli isi sekum dan mukosa sekum, yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 18. Pemberian ransum yang disubstitusi tepung biji teratai selama dua minggu dan tiga minggu tidak berpengaruh terhadap penurunan jumlah E.coli isi sekum. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ransum dua minggu dan tiga minggu tidak memberi pengaruh yang nyata terhadap total E.coli isi sekum pada kelompok tikus yang sehat (P>0.05) (Lampiran 6a dan 6b). Perlakuan substitusi tepung biji teratai pada ransum setelah 4 minggu mampu menurunkan jumlah E.coli isi sekum, dimana secara statistik substitusi tepung teratai secara nyata dapat menurunkan jumlah E.coli isi sekum dibandingkan dengan kontrol (P<0.05) (Lampiran 6c). Demikian pula dengan pemberian ekstrak biji teratai setelah empat minggu pemberian, dapat menurunkan jumlah E.coli isi sekum dibandingkan dengan kontrol (P<0.05) (Lampiran 6c). Pada kondisi sehat, pemberian FOS baik selama 2, 3 maupun 4 minggu pada penelitian ini, tidak berpengaruh terhadap penurunan jumlah E.coli isi sekum dibandingkan dengan kontrol (P>0.05) (Tabel 18). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian prebiotik dapat meningkatkan jumlah E.coli karena E.coli merupakan bakteri yang dapat tumbuh dengan nutrisi yang minim. Bakteri ini dapat menghasilkan sendiri faktor pertumbuhan yang diperlukannya, asalkan ada sumber karbon (Todar 2005). Rossoeu et al. (2004) menemukan bahwa E.coli dapat mengkonsumsi FOS (DP 3-5) meskipun pada tingkat yang amat rendah yaitu sebesar 14-21% (setelah inkubasi 48 jam dengan konsentrasi FOS 10g/L media). Substitusi tepung biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS pada ransum ternyata tidak dapat menurunkan secara nyata jumlah E.coli yang terdapat pada mukosa sekum (Tabel 18) tikus yang sehat, baik setelah dua minggu perlakuan maupun tiga dan empat minggu perlakuan. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan ransum baik 2, 3 maupun 4 minggu tidak berpengaruh nyata terhadap total E.coli mukosa sekum (Lampiran 6d, e dan f). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ransum yang diberikan tidak berpengaruh terhadap jumlah E.coli yang melekat pada mukosa sekum yang merupakan mikroflora alami yang menempati mukosa sekum (P>0.05). Pada grup FOS, setelah dua minggu perlakuan terlihat peningkatan jumlah E.coli (Tabel 18). Hal ini menunjukkan bahwa FOS juga dapat difermentasi oleh E.coli. Hasil penelitian dari Morisse et al. (1993) di dalam Hartemink et al. (1997) menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah E.coli saprofit pada kelinci yang diberi ransum yang mengandung FOS. Meningkatnya jumlah E.coli saprofit ini mengakibatkan E.coli strain patogenik tidak dapat hidup. Menurut Hartemink et al. (1997) enterobacteria merupakan grup bakteri anaerob fakultatif yang dominan di ileum dan kolon (usus besar) yang juga berkontribusi terhadap fermentasi FOS. FOS juga cepat didegradasi oleh Bifidobacteria, Bacteroides dan beberapa grup lainnya, sehingga secara in vivo sangat sulit untuk ditentukan mana yang lebih dominan. Tabel 18. Total E.coli isi sekum dan mukosa sekum pada tikus percobaan yang sehat dan yang di intervensi EPEC K1.1 Kondisi tikus percobaan Waktu Perlakuan 0 Minggu Sehat 2 Minggu Sehat 3 Minggu Sehat 4 Minggu Setelah Intervensi EPEC K1.1 3 Minggu 1 minggu setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan 4 Minggu Perlakuan Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai FOS Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai FOS Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai FOS Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai FOS Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai FOS Bagian sekum yang diamati Isi sekum Mukosa (Log CFU/g) (Log CFU/cm2) 6.91 ± 0.49 3.38±0.53 3.86±0.70a 6.16±0.57a 4.04±2.98a 3.30±2.04a a 6.87±0.60 3.10±0.60a a 6.68±0.38 3.37±0.69a a 3.50±0.67a 6.63±1.16 a 5.96±1.19 4.02±0.58a a 5.60±0.62 2.76±0.26a a 3.97±0.93a 5.53±1.51 b 3.33±1.50a 7.03±0.48 a 5.84±0.31 2.99±0.42a a 6.19±0.60 2.06±0.66a b 3.30±0.97a 7.02±0.16 6.84±0.38b 4.66±1.31a 6.32±0.10b 6.66±0.91b 6.94±0.13c 5.13±0.52a 5.89±0.33b 4.75±0.32a 3.28±0.38a 2.83±0.30a 2.48±0.40a 3.73±0.40a 3.20±0.50a 2.73±1.04a 2.83±0.69a 1.88±0.84a Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing-masing waktu perlakuan dan kondisi tikus percobaan menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05) Pada kelompok yang diintervensi EPEC K1.1 menunjukkan bahwa perlakuan ransum berpengaruh terhadap total E.coli isi sekum, baik setelah intervensi maupun setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan ransum pada saat tikus diintervensi EPEC K1.1 dan setelah intervensi dihentikan berpengaruh nyata terhadap total E.coli isi sekum (Lampiran 6g dan 6h). Uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan substitusi biji teratai pada saat intervensi EPEC K1.1, total E.coli isi sekum berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, ekstrak biji teratai dan FOS. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 16 dimana terlihat perbedaan jumlah E.coli antara grup tepung teratai dan kontrol mencapai 2 unit log. Demikian pula setelah intervensi dihentikan (ransum yang disubstitusi tepung biji teratai tetap diberikan) menunjukkan jumlah E.coli yang tidak berbeda dengan kondisi intervensi. Hal ini menunjukkan tepung biji teratai dapat menghambat atau mencegah tumbuhnya E.coli patogen yang dicekokkan pada saluran pencernaan hewan percobaan. Pada grup ekstrak biji teratai juga terjadi penurunan jumlah E.coli isi sekum terutama setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan, walaupun tidak sebesar grup tepung biji teratai. Secara statistik terlihat perbedaan yang nyata antara jumlah E.coli isi sekum pada grup tikus percobaan yang diberi tepung biji teratai dan ekstrak biji teratai, dibandingkan dengan grup kontrol setelah intervensi dihentikan (minggu ke-4) (P<0.05) (Lampiran 6h). Pada grup FOS, setelah intervensi EPEC K1.1 (minggu ke-3) terjadi penurunan jumlah E.coli, akan tetapi tidak sebesar grup tepung biji teratai. Secara statistik setelah intervensi EPEC K1.1, pemberian FOS tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah E.coli isi sekum dibandingkan dengan grup kontrol (P>0.05) (Lampiran 6g). Setelah 4 minggu pemberian FOS atau setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan, efek penurunan terhadap jumlah E.coli isi sekum pada grup ini terlihat nyata dibandingkan dengan grup kontrol yaitu mencapai 2 unit log (P<0.05) (Lampiran 6h). Menurut Hartemink (1997), enterobakter (seperti E.coli) mempunyai enzim yang dapat mendegradasi FOS. Meskipun E.coli dapat memfermentasi oligofruktosa pada kultur bersama dengan B. infantis secara in vitro, akan tetapi setelah 25 jam fermentasi terjadi penurunan jumlah E.coli dan setelah 35 jam sudah tidak ada pertumbuhan, sebaliknya pada B. infantis yang jumlahnya stabil dari awal fermentasi hingga 60 jam fermentasi (Wang & Gibson 1993). Hal tersebut menunjukkan FOS secara tidak langsung dapat mencegah berkembangnya bakteri patogen dan mempertahankan kondisi tersebut setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan. Pemberian FOS sebelum hewan diinfeksi dengan patogen, mampu mencegah patogen berkembang pada inang melalui stimulasi bakteri asam laktat yang mampu memfermentasi gula/oligosakarida menjadi asam laktat, sehingga media tumbuh ber-pH rendah, dimana pada kondisi ini patogen tidak dapat tumbuh dan berkembang biak. Setelah intervensi dihentikan terjadi penurunan total E.coli isi sekum pada grup FOS. Hal ini menunjukkkan bahwa pemberian FOS setelah intervensi dihentikan mampu menurunkan jumlah patogen. Diketahui bakteri asam laktat menghasilkan hidrogen peroksida yang memiliki efek bakterisidal. Hidrogen peroksida merupakan senyawa yang tidak stabil dan terurai menjadi radikal superoksida dan hidroksil. Adanya gugus sulfhidril pada protein dinding sel akan berinteraksi dengan radikal superoksida sehingga meningkatkan permeabilitas membran dan mendenaturasi sejumlah enzim sel. H2O2 juga dapat bertindak sebagai prekursor bagi pembentukan radikal bebas yang dapat merusak DNA. Disamping itu, reaksi pembentukan H2O2 akan mengikat oksigen sehingga membentuk suasana anaerob yang tidak nyaman bagi bakteri aerob (Surono 2004). Oleh karena itu jumlah patogen semakin menurun setelah intervensi dihentikan. Pada perlakuan tepung biji teratai, mekanisme penghambatan terhadap EPEC K1.1 ada dua yaitu penghambatan oleh komponen antimikroba yang diketahui dapat menghambat pertumbuhan EPEC K1.1 dan adanya komponen prebiotik yaitu oligosakarida rafinosa/stakiosa. Komponen prebiotik ini dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat dan bifidobakteria sehingga menimbulkan kondisi yang asam. Pada kondisi asam, pertumbuhan E.coli dapat dihambat, sehingga diare pada inang dapat dicegah dan inang terlindungi dari patogen. Adanya tanin pada tepung biji teratai dapat menghambat aktivitas protease (Scalbert 1991) yang diproduksi oleh EPEC K1.1 (Budiarti & Mubarik 2007) untuk mendegradasi mucin yang merupakan salah satu mekanisme pertahanan inang untuk mencegah melekatnya patogen pada sel epitel usus. Hal yang sama diduga terjadi juga pada perlakuan ekstrak biji teratai sehingga diare pada tikus percobaan dapat dicegah. Selain itu, dari dalam tubuh hewan coba itu sendiri mempunyai pertahanan untuk melawan adanya patogen yang masuk ke dalam tubuh. Viabilitas bakteri dalam saluran pencernaan dipengaruhi oleh sekresi sel seperti mucus, lisozim dan fosfolipase yang dapat memberi dampak negatif maupun positif. Selain itu, sel epitel usus hewan coba juga dapat mengeksresikan antimikroba berupa peptida/protein yang dapat membuat membran sel bakteri menjadi permiabel dan mengalami kebocoran (Wilson 2005). Pengaruh pemberian ransum perlakuan terhadap total E.coli yang menempel pada mukosa sekum tikus percobaan pada kondisi sehat dapat dilihat pada Tabel 16. Analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian ransum perlakuan selama 2, 3 dan 4 minggu tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap total E.coli yang menempel pada mukosa sekum dibandingkan kontrol (P>0.05) (Lampiran 6d, 6e dan 6f). Demikian pula pada grup yang diintervensi EPEC K1.1. Perlakuan ransum pada kondisi setelah intervensi EPEC K1.1 maupun setelah intervensi dihentikan menunjukkan tidak berpengaruh nyata terhadap total E.coli mukosa sekum (P>0.05) (Lampiran 6i dan 6j). Menurut Scheinbach (1998) mikroflora indigenus dengan jumlah yang amat tinggi telah beradaptasi dengan baik dengan lingkungan flora inang, menyebabkan organisme pendatang akan sangat sulit untuk berkompetisi dalam sisi penempelan maupun nutrisi. Pada grup FOS, terlihat jumlah E.coli pada mukosa sekum tidak berbeda dengan kontrol pada saat intervensi EPEC K1.1, sedangkan setelah intervensi dihentikan jumlah E.coli pada mukosa menurun > 1 unit log. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme penghambatan terhadap pertumbuhan E.coli oleh FOS tidak secara langsung dan waktunya lebih lama. Berbeda kondisinya dengan perlakuan tepung biji teratai dan ekstrak biji teratai yang efek penghambatan terhadap EPEC K1.1 bersifat langsung dan dalam waktu yang singkat. Pada kondisi tersebut EPEC K1.1 tidak diberi kesempatan untuk tumbuh ketika intervensi diberikan, sehingga setelah intervensi dihentikan jumlah E.coli yang hidup pada mukosa usus tidak berbeda dengan sebelumnya. Sementara itu, E.coli yang menempel pada mukosa usus merupakan mikroflora usus yang normal (Tabel 18). Pada grup kontrol walaupun total E.coli mukosa sekum minggu ke-3 perlakuan (sewaktu intervensi EPEC K1.1) tidak berbeda nyata (P>0.05) jumlahnya dengan grup perlakuan yang lain, akan tetapi terjadi diare pada grup kontrol. Hal ini menunjukkan EPEC K1.1 yang dicekokkan telah mampu menempel pada mukosa usus dengan menggantikan daerah pelekatan pada mukosa usus dengan E.coli yang merupakan mikroflora normal usus sehingga menimbulkan diare pada inang (tikus percobaan). 2.4 Pengaruh pemberian tepung dan ekstrak biji teratai terhadap BAL aerob dan anaerob pada kelompok tikus sehat dan diintervensi EPEC K1.1 Pengamatan terhadap total BAL aerob diharapkan dapat mewakili pengamatan terhadap BAL aerob, terutama Lactobacillus. Pengamatan terhadap total BAL anaerob, diharapkan dapat mewakili pengamatan terhadap BAL anaerob terutama Bifidobakteria. Penambahan prebiotik pada makanan bertujuan untuk meningkatkan mikrobiota probiotik endogenous. Kebanyakan prebiotik yang telah dipelajari merupakan jenis oligosakarida yang tidak dapat dicerna di usus halus. Beberapa galaktooligosakarida seperti rafinosa dimetabolisme oleh bakteri asam laktat dan Bifidobakteria, yang memiliki alfa-galaktosidase (Matteuzzi et al. 2004). Pada kelompok tikus yang sehat pengaruh pemberian ransum perlakuan terhadap total BAL aerob dan anaerob isi sekum dapat dilihat pada Tabel 19. Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ransum selama dua minggu memberi pengaruh yang nyata terhadap total BAL aerob isi sekum tikus percobaan (P<0.05) (Lampiran 7a). Uji lanjut Duncan menunjukkan total BAL aerob isi sekum pada grup tikus yang disubstitusi tepung biji teratai secara nyata berbeda dengan BAL aerob isi sekum grup kontrol (P<0.05). Setelah tiga minggu perlakuan, terlihat perlakuan ransum tidak berpengaruh nyata terhadap total BAL aerob isi sekum (P>0.05) (Lampiran 7b). Setelah empat minggu perlakuan, terlihat perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap total BAL aerob isi sekum tikus percobaan (P<0.05) (Lampiran 7c). Pada grup yang diberi FOS terlihat peningkatan jumlah BAL aerob isi sekum terjadi setelah empat minggu perlakuan. Total BAL aerob isi sekum grup FOS menunjukkan tidak berbeda nyata dengan grup tepung biji teratai dan ekstrak biji teratai, tapi berbeda nyata dengan kontrol (P<0.05). Pada kondisi tikus sehat, perlakuan ransum selama 2 dan 3 minggu berpengaruh nyata terhadap total BAL aerob mukosa sekum tikus percobaan (P<0.05) (Lampiran 7f dan 7g) Akan tetapi setelah empat minggu perlakuan, ransum tidak berpengaruh nyata terhadap total BAL aerob mukosa (P>0.05) (Lampiran 7h). Setelah 4 minggu pemberian ransum perlakuan menunjukkan jumlah BAL aerob yang lebih rendah atau menurun mendekati jumlah BAL pada kondisi awal percobaan. Menurut Ballongue (2004), keseimbangan ekosistem saluran gastrointestinal dapat terjaga melalui beberapa faktor berupa mekanisme secara fisik, kimia dan pengaturan biologis seperti gerakan peristaltik usus yang dapat menyebabkan eliminasi mikroorganisme dan interaksi-interaksi yang terjadi antara berbagai macam spesies bakteri yang terdapat dalam usus baik simbiosis maupun antagonis. Mekanisme dan kandungan mikroflora yang amat kompleks dalam saluran pencernaan hewan percobaan dapat menyebabkan BAL aerob tidak dapat beradaptasi dan bersaing dalam saluran pencernaan hewan. Tabel 19. Total BAL aerob dan anaerob isi sekum dan mukosa sekum pada tikus percobaan yang sehat dan yang diintervensi EPEC K1.1 Kondisi tikus percobaan BAL aerob sekum Waktu Perlakuan Perlakuan 0 minggu Sehat 2 Minggu Sehat 3 Minggu Sehat 4 Minggu Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai FOS Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai FOS Kontrol Biji teratai Ekstrak biji teratai FOS Isi sekum Mukosa (logCFU/g) 8.66±0.48 8.73±0.55ab 9.54±0.06b (logCFU/cm2) 5.13±0.38 5.92±0.71b 6.04±0.84b 7.61±0.85a BAL anaerob sekum Mukosa Isi sekum (logCFU/g) (logCFU/cm2) 8.34±0.47 8.56±0.60a 9.60±0.08a 5.08±0.41 5.89±0.76b 6.10±0.92b 3.96±1.56a 8.34±1.47a 4.04±1.20a 8.61±0.60ab 8.62±0.59a 9.07±0.28a 5.69±0.38ab 6.62±0.67b 6.96±0.58b 8.63±0.57a 8.56±0.53a 9.22±0.28a 5.63±0.35ab 6.39±0.68b 6.83±0.12b 8.61±0.67a 5.35±0.5a 8.66±0.70a 5.33±0.57a 8.61±0.50a 8.58±0.68a 9.16±0.41ab 5.71±0.93ab 4.52±1.50a 5.41±0.42a 8.13±0.37a 8.41±0.69a 9.18±0.52ab 5.24±0.26a 4.69±0.11a 6.04±0.03c 8.49±0.33a 4.42±0.52a 8.74±0.22a 4.68±0.49a 9.30±0.14b 5.24±0.97a 9.44±0.12b 5.49±0.03b 4.52±0.52a 7.56±0.35a 4.46±0.54ab Kontrol 7.89±0.41a Biji teratai 8.68±0.29a 5.36±0.48a 8.85±0.47b 5.56±0.53c 3 Minggu Ekstrak 4.13±0.46a 8.01±0.33a 3.97±0.44a 7.79±0.33a biji teratai 4.84±0.99a 8.88±0.47b 5.14±0.65bc FOS 8.60±0.47a ab a ab 4.60±0.13 8.20±0.35 4.69±0.25ab 1 minggu Kontrol 8.57±0.21 b a b Biji teratai 8.95±0.32 5.61±0.60 8.99±0.58 5.64±0.63c setelah Ekstrak intervensi 4 Minggu 3.55±1.96a 7.39±1.34a 4.29±0.57a 7.42±1.30a biji teratai EPEC K1.1 FOS 8.86±0.07b 5.00±0.28a 8.96±0.13b 5.21±0.15bc dihentikan Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing-masing waktu perlakuan dan kondisi tikus percobaan menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05). Setelah Intervensi EPEC K1.1 Substitusi tepung teratai ke dalam ransum ternyata dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat dari tikus percobaan. Hal ini ditunjukkan dengan Tabel 19, dimana setelah 14 hari pemberian ransum yang disubstitusi tepung biji teratai, cenderung terjadi peningkatan jumlah bakteri asam laktat anaerob isi sekum dibandingkan kontrol. Meskipun demikian, analisis ragam menunjukkan pemberian ransum perlakuan selama 2 dan 3 minggu tidak berpengaruh nyata terhadap total BAL anaerob isi sekum (P>0.05) (Lampiran 8a dan 8b). Perlakuan ransum selama empat minggu menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap total BAL anaerob isi sekum (P<0.05) (Lampiran 8c). Uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan FOS berbeda nyata dengan kontrol. Pada grup tikus yang diberi FOS terjadi peningkatan jumlah bakteri asam laktat anaerob setelah 4 minggu pemberian (Tabel 19). Hal ini menunjukkan bahwa FOS lebih lambat dapat menstimulasi pertumbuhan BAL dibandingkan gula (rafinosa) yang terkandung di dalam tepung biji teratai. Dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa tepung biji teratai mengandung oligosakarida jenis rafinosa. Rafinosa merupakan trisakarida yang terdiri dari monomer fruktosa, galaktosa dan glukosa. Rafinosa tersebut dapat difermentasi oleh Lactobasillus sp., Bifidobacterium bifidum dan B. longum. Hasil penelitian Smiricky et al. (2003) secara in vitro menujukkan rafinosa/stakiosa lebih cepat difermentasi menghasilkan asam lemak rantai pendek dibandingkan dengan FOS. Penambahan oligosakarida famili rafinosa pada susu meningkatkan populasi Bifidobacterium lactis Bb-12 dan L. acidophilus pada susu fermentasi, serta menurunkan waktu fermentasi dari 12 jam menjadi 10 jam (Martinez-Villaluenga et al. 2005). Pada kultur murni yang ditambahkan rafinosa dan stakiosa hasilnya menunjukkan bahwa rafinosa dan stakiosa dapat dimetabolisme dengan baik oleh Bifidobacterium dan Lactobacillus. Selain itu juga dapat dimetabolisme oleh bakteri enterik lainnya, kecuali E.coli (Rastal 2000). Rastal (2000) juga menjelaskan bahwa pemberian rafinosa 15 g/hari pada manusia, secara nyata meningkatkan Bifidobacterium 0,6 log dan menurunkan Bacteriodes spp (0,6 log) dan Clostridium spp (1,6 log). Adapun FOS yang digunakan pada penelitian ini mengandung unit fruktosa atau glukosa dari oligofruktosa dengan derajat polimerisasi antara 2 dan 8 sebesar ≥ 93.2% dan glukosa+fruktosa+sukrosa <6.8% (ORAFTI 2006). Oleh karena struktur FOS yang lebih kompleks dibandingkan rafinosa, maka waktu yang diperlukan oleh mikroba untuk memotong-motong FOS menjadi monomer sebagai substrat pertumbuhannya memerlukan waktu yang lebih lama. Menurut Nilsson et al. (1988) pencernaan FOS adalah 100% pada tikus percobaan yang diberi ransum FOS sekitar 1 g/hari selama 4-9 hari. Hasil penelitian Le Blay et al.(1999) menunjukkan waktu transit dari FOS pada tikus percobaan lebih lama dibanding kontrol (ransum standar). Selain itu, adanya kompetisi dengan bakteri selain yang memproduksi asam laktat, yang juga dapat menggunakan FOS sebagai substrat seperti Bacteroides sp., Clostridium sp. dan Enterobacteriaceae (Hartemingk et al.1997). Kompetisi ini dapat menghasilkan penekanan terhadap jumlah bakteri penghasil asam laktat (Le Blay et al. 1999). Hal ini menjelaskan mengapa pemberian FOS selama 2 dan 3 minggu menunjukkan jumlah BAL yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Substitusi tepung biji teratai pada ransum selama tiga minggu secara nyata dapat menstimulai pertumbuhan BAL anaerob yang melekat pada mukosa tikus percobaan yang sehat sehingga jumlahnya lebih tinggi dibandingkan grup yang diberi FOS maupun ekstrak biji teratai (P<0.05) (Lampiran 8g) (Tabel 17). Pemberian ransum yang disubstitusi tepung biji teratai dan FOS selama empat minggu pada kelompok tikus sehat, mampu menstimulasi pertumbuhan BAL anaerob yang melekat pada mukosa. Dengan demikian terlihat perbedaan yang nyata antara BAL anaerob pada mukosa sekum tikus percobaan yang diberi perlakuan biji teratai dan FOS dengan kontrol dan ekstrak biji teratai (P<0.05) (Lampiran 8h). Menurut Tortuero et al. (1997) yang dikutip oleh Matteuzzi et al. (2004), rafinosa adalah substrat yang sangat efektif untuk fermentasi di dalam usus besar tikus percobaan dan makanan yang mengandung rafinosa dapat menurunkan pH fecal, meningkatkan total volatile asam lemak dan konsentrasi Lactobacillus. Pengaruh intervensi EPEC K1.1 terhadap pertumbuhan BAL aerob isi sekum pada hewan coba yang diberi ransum yang disubstitusi tepung biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS dapat dilihat pada Tabel 19. BAL aerob pertumbuhannya tidak terpengaruh dengan adanya intervensi EPEC K1.1 pada grup tikus yang diberi ransum yang disubstitusi tepung biji teratai dan FOS. Meskipun terjadi sedikit penurunan jumlah BAL aerob jika dibandingkan dengan kondisi sehat (tidak diintervensi EPEC K1.1), akan tetapi jumlahnya masih lebih tinggi dibandingkan dengan grup kontrol teratai. (>1 unit log) dan grup ekstrak biji Hal ini menunjukkan pemberian tepung biji teratai sebelum inang terinfeksi bakteri patogen mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen yang masuk ke dalam tubuh inang dan pemberian perlakuan dilanjutkan terus setelah terinfeksi patogen, mampu mempertahankan kondisi yang sama dengan sebelum terinfeksi. BAL aerob yang distimulasi oleh biji teratai mampu bertahan akibat adanya intervensi patogen. Demikian pula pada grup FOS, pertumbuhan BAL aerobnya tidak terpengaruh dengan adanya intervensi EPEC K1.1 dan jumlahnya tidak berbeda dengan jumlah pada kondisi sehat (tanpa intervensi) (Tabel 19). Meskipun demikian, análisis ragam menunjukan pemberian ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah BAL aerob pada isi sekum setelah intervensi EPEC K1.1 (P>0.05) (Lampiran 7d). Setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan (4 minggu pemberian ransum perlakuan) menunjukkan perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap jumlah BAL aerob isi sekum (Lampiran 7e). Uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan substitusi biji teratai dan FOS mampu mempertahankan jumlah BAL aerob isi sekum pada kondisi intervensi EPEC K1.1 dihentikan. Pengaruh perlakuan ransum terhadap pertumbuhan BAL aerob mukosa sekum tikus percobaan yang diintervensi dengan EPEC K1.1 dapat dilihat pada Tabel 19. Jika dibandingkan dengan kondisi yang sehat, terjadi penurunan jumlah BAL aerob pada grup kontrol, dan sedikit penurunan pada grup FOS. Meskipun demikian terhadap grup tepung biji teratai tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Bakteri asam laktat aerob pada grup kontrol lebih rendah dibandingkan dengan grup tepung biji teratai dan grup FOS, baik sewaktu intervensi EPEC K1.1 maupun setelah intervensi EPEC K1.1. Intervensi EPEC K1.1 menyebabkan penurunan jumlah BAL aerob yang menempel pada mukosa sekum grup kontrol, baik sewaktu intervensi maupun setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan. Hal ini menunjukkan menurunnya pertahanan mukosa usus akibat intervensi EPEC K1.1 yang patogen pada grup kontrol. Pengaruh intervensi EPEC K1.1 terhadap pertumbuhan BAL anaerob pada hewan coba yang diberi ransum yang disubstitusi tepung biji teratai dan ekstrak biji teratai dapat dilihat pada Tabel 19. Pada Tabel 19 terlihat sedikit penurunan jumlah BAL anaerob jika dibandingkan dengan kondisi sehat (tidak diintervensi EPEC K1.1). Meskipun demikian jumlahnya masih lebih tinggi dibandingkan dengan grup kontrol (lebih dari 1 unit log). Analisis ragam menunjukkan perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap total BAL anaerob isi sekum (P<0.05) (Lampiran 8d). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan total BAL anaerob isi sekum pada perlakuan biji teratai dan FOS berbeda nyata dengan kontrol dan ekstrak biji teratai. Intervensi EPEC K1.1 pada hewan coba tidak berpengaruh terhadap BAL anaerob, baik pada grup yang disubstitusi tepung biji teratai dan FOS. Sebaliknya pada grup kontrol, intervensi EPEC K1.1 mengakibatkan penurunan jumlah BAL anaerob. Hal ini berkaitan dengan persaingan nutrisi dan sisi penempelan pada mukosa. Pada grup FOS, pertumbuhan BAL anaerobnya tidak terpengaruh dengan adanya intervensi EPEC K1.1 dan jumlahnya tidak berbeda dengan jumlah pada kondisi sehat (tanpa intervensi) (Tabel 19). Secara statistik, saat intervensi EPEC K1.1 diberikan (minggu ke-3) jumlah BAL anaerob pada isi sekum dari grup tikus yang diberi FOS tidak berbeda nyata dengan grup tikus yang ransumnya disubstitusi tepung biji teratai (P>0.05) (Lampiran 8d). Pemberian baik FOS ataupun tepung biji teratai dan ekstrak biji teratai sebelum intervensi EPEC K1.1 hingga setelah intervensi EPEC K1.1, mampu mencegah hewan coba dari timbulnya diare akibat bakteri patogen. Setelah intervensi dihentikan, terjadi sedikit peningkatan jumlah BAL anaerob pada grup kontrol, akan tetapi pada grup biji teratai dan FOS menunjukkan jumlah yang tidak berbeda dengan sewaktu intervensi EPEC K1.1. Hal yang sama juga dapat dilihat pada BAL anaerob mukosa (Tabel 19) dimana intervensi EPEC K1.1 menyebabkan menurunnya jumlah BAL anaerob mukosa grup kontrol (jika dibandingkan dengan kondisi sehat). Intervensi EPEC K1.1 tidak mempengaruhi jumlah BAL anaerob yang menempel pada mukosa sekum hewan coba yang diberi perlakuan tepung biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS. Secara statistik perlakuan tepung biji teratai dan FOS menyebabkan jumlah BAL anaerob mukosa berbeda nyata dengan grup kontrol (P<0.05) (Lampiran 8i dan 8j). Penurunan jumlah BAL anaerob mukosa sekum pada grup kontrol mencerminkan penurunan pertahanan mukosa usus akibat intervensi EPEC K1.1 yang patogen, karena sisi penempelan BAL anaerob mampu digantikan oleh E.coli. Oleh karena itu pada grup kontrol timbul diare akibat menurunnya sistem pertahanan pada mukosa usus. Pada grup yang diberi ekstrak biji teratai, intervensi EPEC K1.1 berpengaruh terhadap total BAL anaerob mukosa sekum. Meskipun jumlah total BAL anaerob lebih rendah dari grup lain, akan tetapi pada grup tersebut tidak terjadi diare. Hal ini menunjukkan perlakuan ekstrak biji teratai tidak dapat menstimulasi pertumbuhan BAL anaerob yang melekat pada mukosa sekum. Meskipun demikian, ekstrak biji teratai mampu mencegah melekatnya EPEC K1.1 patogen pada mukosa sekum sehingga tidak terjadi diare. Berdasarkan identifikasi dengan cara menguji karakteristik biokimia dan morfologi dari bakteri asam laktat aerob dan anaerob yang hidup pada isi sekum maupun mukosa sekum tikus percobaan pada penelitian ini, menunjukkan bahwa BAL bersifat katalase negatif dan dengan pewarnaan gram termasuk jenis gram positif. BAL tersebut ada yang berbentuk batang, seperti huruf Y dan ada yang berbentuk cocus. Bakteri asam laktat yang tumbuh pada kondisi aerob adalah jenis Lactobacillus spp, mikroba ini gram positif berbentuk batang dan katalase negatif. Bakteri asam laktat yang hidup pada kondisi obligat anaerob adalah Bifidobacterium spp. Bakteri tersebut merupakan gram positif berbentuk batang dengan karakteristik membentuk huruf Y, V atau X. Sementara E.coli yang terdapat pada isi sekum hewan percobaan bersifat anaerob fakultatif, sel berbentuk batang, gram negatif dan katalase positif. 3. Histologi tebal mukosa usus halus tikus percobaan Tebal mukosa usus halus tikus percobaan pada kelompok tikus yang sehat dapat dilihat pada Tabel 20. Analisis ragam menunjukkan perlakuan ransum pada kelompok tikus yang sehat menunjukkan berpengaruh nyata pada duodenum dan jejenum setelah dua minggu perlakuan ransum (P<0.05). Tebal duodenum mukosa usus tikus percobaan yang mendapat ransum biji teratai terlihat lebih tebal, dibandingkan perlakuan ransum yang lainnya. Demikian pula pada ileum tikus percobaan yang diberi ransum yang disubstitusi biji teratai dan ekstrak biji teratai terlihat lebih tebal dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan FOS. Setelah tiga dan empat minggu terlihat perlakuan ransum tidak berpengaruh nyata terhadap ketebalan mukosa usus halus (duodenum, jejunum dan ileum) (P>0.05) (Lampiran 9). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan pada kondisi sehat (normal) tidak menimbulkan efek yang merugikan terhadap ketebalan mukosa usus halus yang berkaitan dengan penyerapan nutrisi makanan. Tabel 20. Tebal mukosa (µm) usus halus tikus percobaan kelompok sehat Perlakuan Minggu ke-0 Kontrol Minggu ke- 2 Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak etil asetat biji FOS Minggu ke-3 Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak etil asetat biji FOS Minggu ke-4 Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak etil asetat biji FOS Duodenum Tebal mukosa usus halus (µm) Jejunum Ileum 663.26±53.63 563.08±42.83 499.97±53.99 597.88±54.33ab 779.39±31.93c 554.40±54.32a 678.58±76.22bc 477.48±79.91a 567.67±46.22a 497.24±70.89a 500.82±22.44a 350.83±53.99a 492.00±13.09b 503.01±58.63b 367.68±32.68a 622.46±27.06a 682.21±14.31a 681.90±87.68a 716.56±71.58a 623.64±50.58a 645.35±23.89a 677.48±75.68a 558.42±71.77a 432.03±51.32a 468.22±90.32a 421.16±88.51a 400.00±22.32a 716.00±70.66a 693.34±51.42a 769.44±40.66a 738.70±42.84a 527.86±96.83a 640.28±73.07a 686.80±86.04a 558.14±93.54a 424.46±44.31a 382.01±27.71a 403.18±35.79a 379.24±39.35a Keterangan : angka yang dikuti dengan huruf yang sama pada satu kolom untuk masing-masing minggu pengamatan menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% Tebal mukosa usus halus pada kelompok tikus yang diintervensi EPEC K1.1, dapat dilihat pada Tabel 21. Pada Tabel 21 terlihat tebal mukosa jejunum dan ileum hewan percobaan pada dua minggu perlakuan (sebelum intervensi EPEC K1.1) tidak menunjukkan perbedaan pada semua perlakuan ransum, kecuali duodenum pada perlakuan biji teratai yang terlihat lebih tebal. Pada kondisi setelah diintervensi dengan EPEC K1.1, hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ransum berpengaruh nyata terhadap tebal mukosa (P<0.05) (Lampiran 10c). Uji lanjut Duncan menunjukkan perbedaan yang nyata antara tebal mukosa duodenum dan jejunum pada perlakukan FOS, ekstrak etil asetat biji teratai dan tepung biji teratai terhadap kontrol. Grup kontrol terlihat mengalami penurunan ketebalan mukosa yang menunjukkan terjadinya kerusakan/hilangnya mikrovili usus akibat intervensi EPEC K1.1. Mikrovili yang rusak berpengaruh terhadap ketebalan mukosa, menyebabkan vili-vili usus menjadi pendek dan jarang (Gambar 21). Tabel 21. Tebal mukosa (µm) usus halus tikus percobaan kelompok yang diintervensi EPEC K1.1 Perlakuan Duodenum (µm) Minggu ke-0 663.26 ± 53.63 Minggu ke-2 (Sebelum intervensi EPEC K1.1) Kontrol 597.88 ± 54.33ab Tepung biji teratai 779.39 ± 31.93c Ekstrak etil asetat biji 554.40 ± 54.31a FOS 678.58 ± 76.22bc Minggu ke-3 (setelah intervensi EPEC K1.1) Kontrol 366.49± 122.96a 667.44± 28.54b Tepung biji teratai Ekstrak etil asetat biji 656.74± 77.11b FOS 610.29± 12.10b Jejunum (µm) 563.08 ± 42.83 Ileum (µm) 499.97 ± 70.27 477.48 ± 79.91a 567.67 ± 46.22a 497.24 ± 70.89a 500.82±22.44a 350.83±53.99a 492.00±13.09b 503.01±58.63b 367.68±32.68a 399.44±5.36a 511.69± 30.43b 628.43± 11.85c 629.11± 56.06c 322.26±124.66a 334.08±68.13a 381.50±83.52a 406.62±18.49a Minggu ke-4 (1 minggu setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan) Kontrol 179.69±21.30a 171.77±24.19a Tepung biji teratai 756.29±22.16b 680.23±113.01b b 774.84±20.80 574.61±61.75b Ekstrak etil asetat biji b FOS 801.09±33.03 557.38±109.28b 115.49±37.93a 532.09±50.60c 290.51±73.71b 429.71±62.92c Keterangan : angka yang dikuti dengan huruf yang sama pada satu kolom untuk masing-masing minggu pengamatan menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% Setelah satu minggu intervensi EPEC K1.1 dihentikan (perlakuan ransum yang sama tetap diberikan) terlihat perbedaan pada tebal mukosa, baik pada duodenum, jejunum maupun ileum antara perlakuan biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS terhadap kontrol. Analisis ragam menunjukkan pemberian ransum perlakuan pada kondisi setelah satu minggu intervensi EPEC K1.1 dihentikan, berpengaruh nyata terhadap tebal mukosa usus halus (Lampiran 10b, 10d dan 10f). Pada kontrol terjadi kerusakan mukosa yang terus berlanjut, vili usus halus hewan percobaan cenderung pendek. Kerusakan vili usus tersebut akibat serangan EPEC K1.1 dan menimbulkan diare. Sebaliknya pada grup tepung biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS, vili usus halusnya lebih tinggi dibanding dengan grup kontrolnya dan tidak terjadi kerusakan pada mikrovili (Gambar 21). Hal ini menunjukkan perlakuan substitusi biji teratai, FOS dan ekstrak biji teratai dapat mencegah dan mempertahankan mukosa usus dari serangan mikroba patogen Biji teratai dan ekstrak etil asetat biji teratai mengandung komponen antimikroba yang dapat mencegah melekat dan berkembangnya E.coli pada mukosa usus. Pada grup FOS dimana komposisi oligofruktosanya ≥ 93.2% yang merupakan serat pangan yang dapat difermentasi menjadi asam lemak rantai pendek dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon oleh sel-sel epitel usus sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan mukosa usus. Selain itu, FOS dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat dan Bifidobacterium, sehingga dapat menghambat pertumbuhan patogen (E.coli) (Manning & Gibson 2004). Hal ini diduga juga terjadi pada perlakuan biji teratai. 4. Pengaruh pemberian tepung biji teratai dan ekstrak etil asetat biji teratai terhadap kandungan imunoglobulin A(IgA) usus halus tikus percobaan Pengaruh pemberian tepung biji teratai dan ekstrak etil asetat biji teratai terhadap kandungan imunoglobulin A (IgA) usus halus tikus percobaan kelompok sehat dapat dilihat pada Tabel 22. Pada Tabel 22 terlihat pemberian tepung biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS selama tiga minggu tidak berpengaruh terhadap kandungan IgA pada mukosa usus halus dibandingkan dengan kontrol. Akan tetapi setelah empat minggu perlakuan terlihat peningkatan kandungan IgA pada bagian duodenum tikus percobaan yang diberi tepung biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS. Sementara pada jejunum peningkatan hanya terlihat pada perlakuan tepung biji teratai dan FOS. Hal ini diduga akibat peranan prebiotik pada tepung biji teratai dan FOS yang mampu menstimulasi bakteri asam laktat yang mampu menstimulasi sistem imun pada saluran pencernaan inang. Grup yang diberi ekstrak biji teratai menunjukkan kandungan Ig A yang tidak berbeda dengan kontrol. Hal ini disebabkan ekstrak etil asetat biji teratai tersebut tidak mempunyai aktivitas prebiotik. Kandungan immunoglobulin A yang terdapat pada mukosa usus halus kelompok tikus percobaan yang diintervensi oleh EPEC K1.1, dapat dilihat pada Tabel 22 dan Gambar 22. Pada Tabel 22 terlihat pengaruh intervensi EPEC K1.1 pada tikus percobaan mengakibatkan rendahnya kandungan imunoglobulin A (IgA) pada mukosa usus halus tikus kontrol. Hal ini berkaitan dengan menurunnya sistem pertahanan pada mukosa usus halus akibat dari intervensi EPEC K1.1. Sebaliknya pada grup tikus yang diberi perlakuan ransum yang disubstitusi dengan biji teratai, ekstrak biji teratai dan FOS, pemberian ransum perlakuan mengakibatkan kandungan IgA pada mukosa usus halus dapat dipertahankan (Gambar 22). Menurut Roller et al. (2003), suplementasi prebiotik (inulin yang diperkaya dengan oligofruktosa) dapat meningkatkan produksi interleukin-10 di dalam Peyer’s patch dan produksi imunoglobulin A sekretori di dalam sekum tikus percobaan. Di dalam Peyer’s patch, terutama interferon (IFN) dan IL-10 diproduksi oleh limfosit T helper (yaitu IFN) dan sel dendritik (yaitu IL-10). Hubungan yang erat antara produksi dari kedua sitokin ini menunjukkan bahwa perlakuan prebiotik secara simultan mengaktifkan limfosit T dan atau sel dendritik. Meningkatnya produksi sitokin menunjukkan bahwa prebiotik dan atau metabolitnya ikut campur terutama pada pengaturan produksi sitokin. IFN menstimulasi ekspresi komponen IgA sekretori oleh sel epitel. Menurut Roller et al. (2003), konsumsi prebiotik rafinosa meningkatkan produksi IL-12 dari Peyer’s patch. Peyer’s patch sensitif terhadap perlakuan prebiotik (terutama pada produksi sitokin dan sIgA). Menurut Manhart et al. (2003), Peyer’s patch sangat sensitif pada kondisi stres dan bervariasinya substrat imunomodulator merupakan stimulator yang efektif dari limfosit Peyer’s patch. Adanya korelasi antara meningkatnya jumlah limfosit pada Peyer’s patch dengan peningkatan pertahanan pada mukosa. Pencegahan atropi oleh limfosit Peyer’s patch menurunkan rata-rata kematian tikus percobaan yang terinfeksi Pseudomonas. Menurut Roller et al. (2003) pemberian FOS pada tikus percobaan meningkatkan konsentrasi IgA fecal. Meskuipun demikian, mekanisme efek dari peningkatan IgA sekretori pada tikus percobaan yang diberi ransum FOS masih belum diketahui. Tabel 22. Kandungan Imunoglobulin A (Ig A) secara imunohistokimia pada usus halus tikus percobaan yang sehat dan yang diintervensi EPEC K1.1 Kondisi tikus percobaan Sehat Perlakuan Kontrol Sehat Sehat Sehat Duodenum Minggu ke-0 ++++ Minggu ke- 2 Usus halus Jejunum Ileum ++++ ++++ Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak biji teratai FOS +++ ++++ +++ +++ Minggu ke-3 +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak biji teratai FOS +++ +++ +++ +++ Minggu ke-4 +++ +++ +++ +++ +++ +++ ++ +++ Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak biji teratai FOS +++ ++++ ++++ ++++ ++ ++++ +++ ++++ + ++++ ++ + Minggu ke-3 setelah intervensi EPEC K1.1 1 minggu setelah intervensi EPEC K1.1 dihentikan Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak biji teratai FOS ++ +++ +++ +++ Minggu ke-4 ++ +++ +++ +++ ++ +++ +++ +++ Kontrol Tepung biji teratai Ekstrak biji teratai FOS ++ ++++ +++ +++ + +++ +++ +++ + +++ + +++ Tanda (+) menunjukkan keberadaan IgA (yang ditunjukkan oleh warna coklat). Semakin banyak tanda + berarti semakin banyak kandungan IgA-nya Selain itu, menurut Manhart et al.( 2003) makanan yang diperkaya dengan FOS (prebiotik) dapat meningkatkan limfosit B, baik pada tikus percobaan yang sehat maupun yang mengalami endotoxemic, sementara pemberian FOS dapat meningkatkan jumlah limfosit T hanya pada kondisi endotoxemic. FOS dapat meningkatkan jumlah bakteri penghasil asam laktat, terutama Bifidobacteria. Bifidobacteria dapat meningkatkan IgA pada mukosa usus halus (Takahashi et al. 1998). Mekanisme yang sama dengan FOS diduga ada pada perlakuan biji teratai, dimana biji teratai mengandung prebiotik yang dapat meningkatkan jumlah bakteri asam laktat anaerob dan juga menstimulasi produksi IgA. Sementara ekstrak biji teratai tidak dapat meningkatkan jumlah bakteri asam laktat. Diduga ekstrak biji teratai mempunyai mekanisme yang berbeda dengan FOS dalam meningkatkan produksi imunoglobulin A pada mukosa usus halus. Beberapa komponen aktif yang berperan sebagai antimikroba pada biji teratai dan ekstrak biji teratai, diketahui berperan pula sebagai imunomodulator, seperti saponin (Shahidi 2002) dan alkaloid (Kim et al. 2003) yang diketahui dapat meningkatkan sistem imun. Mekanisme pencegahan diare pada biji teratai dan ekstrak biji teratai adalah karena adanya aktivitas antimikroba dan atau adanya efek imunomodulator dari komponen aktif yang terkandung di dalamnya.