karakteristik warna dan mikrobiologis serta

advertisement
KARAKTERISTIK WARNA DAN MIKROBIOLOGIS SERTA
PALATABILITAS DENDENG SAPI YANG DIBERI
PERLAKUAN METODE CURING BERBEDA
SKRIPSI
YENI RAHMAWATI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
i
RINGKASAN
YENI RAHMAWATI. D14080108. 2012. Karakteristik Warna dan
Mikrobiologis serta Palatabilitas Dendeng Sapi yang Diberi Metode Perlakuan
Curing Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si.
Pemibmbing Anggota : Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si.
Dendeng merupakan salah satu produk olahan daging yang cukup digemari
oleh banyak masyarakat. Dendeng merupakan salah satu makanan tradisional
Indonesia dengan menggunakan rempah-rempah sebagai bumbu. Dendeng pada
umumnya berwarna kecoklatan karena adanya penambahan gula merah dalam proses
pembuatannya. Penambahan gula membuat dendeng memiliki warna yang lebih
gelap, sedangkan konsumen menyukai dendeng yang memiliki warna coklat
kemerahan. Curing merupakan salah satu proses yang dilakukan dalam pembuatan
dendeng. Curing dengan penambahan natrium nitrit bertujuan untuk memfiksasi
warna daging sehingga akan menimbulkan warna dendeng yang coklat kemerahan.
Ada dua macam proses curing yang dapat dilakukan yaitu curing basah dan curing
kering. Kedua proses curing yang berbeda tersebut kemungkinan menimbulkan
beberapa pengaruh yang berbeda pada dendeng yang dihasilkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh perlakuan curing yang
berbeda terhadap karakteristik warna, mutu mikrobiologis dan palatabilitas dendeng
sapi. Penelitian dilakukan selama 8 bulan di Laboratorium Terpadu, Laboratorium
Teknologi Hasil Ternak dan Laboratorium Organoleptik, Departemen Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian menggunakan daging sapi bagian knuckle. Parameter warna yang
diuji meliputi nilai kecerahan (L), kromatik warna merah-hijau (a), kromatik warna
biru-kuning (b), dan °HUE. Parameter kimia yang diuji meliputi kadar air, aktivitas
air (a w ), dan nilai pH. Pengujian karakteristik mikrobiologis dilakukan secara
kuantitatif dengan menghitung banyaknya cemaran mikroba pada dendeng. Hasil
dibandingkan dengan standar kualitas dendeng menurut SNI. Pengujian organoleptik
yang dilakukan adalah uji hedonik yang bertujuan untuk penentuan tingkat kesukaan
terhadap produk. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak
lengkap dengan tiga perlakuan dan tiga kali ulangan. Perlakuan yang digunakan yaitu
dendeng dengan perlakuan non-curing, dendeng dengan perlakuan curing basah dan
dendeng dengan perlakuan curing kering.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan curing yang berbeda
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai L, a, b, dan °HUE pada dendeng. Tingkat
kecerahan paling tinggi terdapat pada dendeng non-curing, walaupun secara umum,
dendeng yang dihasilkan berwarna coklat gelap. Nilai °HUE yang diperoleh
menunjukkan bahwa warna dendeng yang diperoleh berada pada kisaran warna
merah. Dendeng curing basah memiliki intensitas warna merah yang paling tinggi
dibandingkan dendeng non-curing dan dendeng curing basah. Dendeng non-curing
berada pada kisaran warna kuning merah.
Perlakuan curing yang berbeda pada pembuatan dendeng tidak berpengaruh
nyata terhadap nilai kadar air, aktivitas air (a w ) dan nilai pH pada dendeng. Hasil
ii
analisis mikrobiologis menunjukkan bahwa curing cukup efektif menghambat
pertumbuhan bakteri E. coli dan Salmonella spp. Penggunaan bumbu selain
menambah citarasa dendeng juga mampu bersifat bakteriostatik terhadap
pertumbuhan bakteri patogen E.coli dan Salmonella pada dendeng. Hasil uji hedonik
menunjukkan bahwa dendeng curing basah lebih disukai dibandingkan dendeng non
curing dan dendeng curing kering.
Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah dendeng yang dibuat
melalui proses curing memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dendeng noncuring. Berdasarkan kualitas mikrobiologis dendeng curing kering memiliki hasil
yang lebih bagus. Namun, hal tersebut tidak didukung oleh uji hedonik dan kualitas
warna yang menunjukkan bahwa dendeng curing basah memiliki tingkat kesukaan
yang lebih tinggi dan memiliki tingkat kemerahan warna yang lebih merah
dibandingkan dendeng curing kering dan dendeng non-curing.
Kata-kata kunci : dendeng sapi, curing, warna, organoleptik
iii
ABSTRACT
Color Characteristics and Microbiological also Palatabilities of Beef Dendeng
Treated with Different Curing Methods
Rahmawati, Y., T. Suryati and Z. Wulandari
Curing was done in meat process to fixed the color of meat, therefore meat products
have bright red color. The compound that used in the curing process was salt of
nitrate or nitrite. There were several ways of curing process that can be done such as
dry cured and wet cured. The difference method in the curing process could resulted
different characteristic on the final product. The aim of this study was to determine
the difference effect of curing method on the color, microbial and palatabilities
characteristics of dendeng. The results of this study showed that the different curing
method influenced color of dendeng (P<0,05) and did not influence water activity,
moisture and pH. The color of dendeng with wet curing was redder (P<0,05) than
dendeng without curing and dry curing dendeng. Microbial analytical showed that
curing can prevented the growth of Escherichia coli and Salmonella sp bacteria.
Organoleptic test showed that wet curing dendeng has better acceptability than
dendeng without curing and dry curing dendeng.
Keywords : beef dendeng, curing, color, organoleptic
iv
KARAKTERISTIK WARNA DAN MIKROBIOLOGIS SERTA
PALATABILITAS DENDENG SAPI YANG DIBERI
PERLAKUAN METODE CURING BERBEDA
YENI RAHMAWATI
D14080108
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
v
Judul
: Karakteristik Warna dan Mikrobiologis serta Palatabilitas
Dendeng Sapi yang Diberi Perlakuan Metode Curing Berbeda
Nama : Yeni Rahmawati
NIM
: D14080108
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
Tuti Suryati S.Pt., M.Si.
NIP: 197205161997022001
Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si.
NIP: 197502071998022001
Mengetahui :
Ketua Departemen,
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc.
NIP. 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian : 12 Oktober 2012
Tanggal Lulus :
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1990 di Banyuwangi, Jawa Timur.
Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Yunus Huda dan
Sriningsih.
Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1996 di Sekolah Dasar
Negeri III Benculuk dan diselesaikan pada tahun 2002. Pendidikan lanjutan tingkat
pertama dimulai tahun 2002 dan diselesaikan pada tahun 2005 di Sekolah Menengah
Pertama Negeri I Cluring. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah
Atas Negeri I Genteng pada tahun 2005 dan diselesaikan pada tahun 2008.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Penulis aktif dalam organisasi
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan sebagai staf Biro
Kewirausahaan pada periode 2010-2011. Penulis juga aktif dalam Organisasi
Mahasiswa Daerah Lare Blambangan (LB) dan Organisasi Ikatan Mahasiswa Jawa
Timur (IMAJATIM) pada periode 2008-2010. Penulis pernah mengikuti magang di
PT Ajinomoto Indonesia pada tahun 2010. Selama masa pendidikan penulis
berkesempatan menjadi penerima beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik)
pada tahun 2009-2012. Penulis pada tahun ajaran 2010/2011 menjadi asisten mata
kuliah Dasar Teknologi Hasil Ternak dan pada tahun 2011/2012 menjadi asisten
mata kuliah Ilmu dan Teknologi Pengolahan Susu.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
mencurahkan karunia dan hidayatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi
syarat kelulusan dari Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini
berjudul “Karakteristik Warna dan Mikrobiologis serta Palatabilitas Dendeng Sapi
yang Diberi Perlakuan Metode Curing Berbeda”.
Skripsi ini disusun untuk dapat memberikan informasi mengenai pengaruh
perlakuan curing yang berbeda terhadap karakteristik warna, mikrobiologis dan
palatabilitas pada dendeng sapi mentah. Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan.
Informasi yang diperoleh melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan
referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya dan juga memberikan informasi
kepada masyarakat tentang dendeng dan keamanan pangan ditinjau dari segi
mikrobiologis pada produk dendeng.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih
banyak terdapat kekurangan yang perlu dibenahi. Penulis berharap semoga skripsi ini
dapat memberikan manfaat dan sumber informasi kepada pembaca.
Bogor, Desember 2012
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ..............................................................................................
ii
ABSTRACT .................................................................................................
iv
LEMBAR PERNYATAAN .........................................................................
v
LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................
vi
RIWATAT HIDUP ......................................................................................
vii
KATA PENGANTAR .................................................................................
viii
DAFTAR ISI .................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xii
PENDAHULUAN ........................................................................................
1
Latar Belakang ..................................................................................
Tujuan ...............................................................................................
1
2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
3
Daging Sapi .......................................................................................
Dendeng ............................................................................................
Curing Daging ...................................................................................
Bahan Curing ....................................................................................
Garam ..........................................................................................
Nitrat dan Nitrit ...........................................................................
Gula .............................................................................................
Penyedap dan Bumbu ........................................................................
Bawang Putih ..............................................................................
Lengkuas .....................................................................................
Ketumbar ....................................................................................
Merica .........................................................................................
Asam Jawa ..................................................................................
Pengeringan .......................................................................................
Karakteristik Dendeng ......................................................................
Nilai Aktivitas Air (a w ) ...............................................................
Nilai pH ...................................................................................... `
Warna ..........................................................................................
Tekstur ........................................................................................
Flavor dan Aroma .......................................................................
Bakteri Patogen Pada Daging ...........................................................
Staphylococcus aures ....................................................................
Escherichia coli .............................................................................
Salmonella spp ..............................................................................
3
3
5
6
6
7
8
8
8
9
9
10
10
10
11
11
11
12
12
12
13
13
14
14
MATERI DAN METODE ............................................................................
15
x
Lokasi dan Waktu .............................................................................
Metode ..............................................................................................
Prosedur ............................................................................................
Perlakuan ....................................................................................
Pembuatan Dendeng ...................................................................
Prosedur Analisis ........................................................................
Analisis Fisik Sampel .................................................................
Analisis Kimia Sampel ...............................................................
Analisis Kuantitatif Mikrobiologis ............................................
Analisis Sensori ...........................................................................
Rancangan dan Analisis Data ...........................................................
Rancangan ..................................................................................
Analisis Data ..............................................................................
15
15
15
15
16
18
18
19
19
21
21
21
22
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................
23
Karakteristik Warna Dendeng Sapi ...................................................
Nilai L ........................................................................................
Nilai a .........................................................................................
Nilai b .........................................................................................
Nilai °HUE .................................................................................
Karakteristik Mikrobiologis Dendeng Sapi ......................................
Total plate count (TPC) .............................................................
Staphylococcus aures .................................................................
Escherichia coli ..........................................................................
Salmonella spp ............................................................................
Pengaruh Kadar Air dan Aktivitas Air Terhadap
Karakteristik Mikrobiologis .......................................................
Pengaruh Nilai pH terhadap Karakteristik Mikrobiologis .........
Uji Hedonik .......................................................................................
Warna ........................................................................................
Aroma ........................................................................................
Tekstur .......................................................................................
Penampilan Umum .....................................................................
23
23
24
25
26
26
27
28
29
30
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
37
Kesimpulan .......................................................................................
Saran ................................................................................................
37
37
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................
38
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
39
LAMPIRAN ..................................................................................................
43
30
32
33
34
35
35
36
x
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng ...........................................
4
2. Batas Cemaran Mikroba pada Produk Dendeng ..............................
4
3. Komposisi Bahan yang Digunakan pada Pembuatan Dendeng .......
16
4. Pembagian Warna °HUE .................................................................
18
5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan °HUE) Dendeng Sapi dengan
Metode Perlakuan Curing yang Berbeda .......................................
23
6. Karakteristik Mikrobiologis Dendeng Sapi dengan Metode
Metode Curing yang Berbeda ..........................................................
27
7. Kadar Air dan Aktivitas Air Dendeng Sapi dengan Metode
Metode Curing yang Berbeda ...........................................................
30
8. Nilai pH Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing
yang Berbeda ....................................................................................
32
9. Rataan Uji Hedonik Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan
Curing yang Berbeda .......................................................................
34
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Formulir Uji Hedonik ........................................................................
44
2. Analisis Ragam Tingkat Kecerahan L Dendeng Sapi
dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ............................
45
3. Uji Banding LSD Tingkat Kecerahan L Dendeng Sapi dengan
Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ...........................................
45
4. Analisis Ragam Tingkat Warna a Dendeng Sapi dengan
Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ...........................................
45
5. Uji Banding LSD Tingkat Warna a Dendeng Sapi dengan
Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ...........................................
45
6. Analisis Ragam Tingkat Warna b Dendeng Sapi dengan
Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ...........................................
46
7. Uji Banding LSD Tingkat Warna b Dendeng Sapi dengan
Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ...........................................
46
8. Analisis Ragam °HUE Dendeng Sapi dengan Metode
Perlakuan Curing yang Berbeda .......................................................
46
9. Uji Banding LSD °HUE Dendeng Sapi dengan Metode
Perlakuan Curing yang Berbeda ........................................................
46
10. Analisis Ragam Kadar Air Dendeng Sapi dengan Metode
Perlakuan Curing yang Berbeda .......................................................
47
11. Analisis Ragam Aktivitas Air (a w ) Dendeng Sapi dengan
Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ..........................................
47
12. Analisis Ragam Nilai pH Dendeng Sapi dengan Metode
Perlakuan Curing yang Berbeda .......................................................
47
13. Analisis Ragam Data Hasil Uji Hedonik Warna Dendeng Sapi
dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ............................
47
14. Uji Banding Data Hasil Uji Hedonik Warna Dendeng Sapi
dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ..............................
48
15. Analisis Ragam Data Hasil Uji Hedonik Aroma Dendeng Sapi
dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ............................
48
16. Uji Banding Data Hasil Uji Hedonik Aroma Dendeng Sapi
Dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda .............................
48
17. Analisis Ragam Data Hasil Uji Hedonik Tekstur Dendeng Sapi
dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ............................
48
18. Uji Banding Data Hasil Uji Hedonik Tekstur Dendeng Sapi
dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ..............................
49
xiii
19. Analisis Ragam Data Hasil Uji Hedonik Penampilan Umum
Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ......
49
20. Uji Banding Data Hasil Uji Hedonik Penampilan Umum
Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda .......
49
21. Analisis Mikrobiologis Total Plate Count (TPC) Dendeng
Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda .....................
50
22. Analisis Mikrobiologis Staphylococcus aures Dendeng Sapi
dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda .............................
51
23. Analisis Mikrobiologis Escherichia coli Dendeng Sapi
dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda .............................
52
24. Analisis Mikrobiologis Salmonella Dendeng Sapi dengan
Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ..........................................
53
25. Produk Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing
yang Berbeda ....................................................................................
54
xiii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dendeng merupakan salah satu produk olahan daging yang cukup digemari
oleh banyak masyarakat. Dendeng merupakan salah satu makanan tradisional
Indonesia dengan menggunakan rempah-rempah sebagai bumbu. Dendeng dengan
variasi tambahan berbagai jenis bumbu memberikan aroma dan rasa yang berbeda.
Konsumsi dendeng di kalangan masyarakat semakin meningkat tiap tahunnya. Hal
ini dapat terjadi karena makin populernya dendeng sebagai makanan khas.
Masyarakat menyukai produk yang memiliki rasa yang cukup enak dan tampilan
produk dengan warna yang cukup menarik. Penambahan bumbu pada pembuatan
dendeng meningkatkan cita rasa dan aroma dari produk dendeng yang dibentuk.
Tampilan fisik produk dendeng yang baik dapat diperoleh dari tahapan
pengolahannya sebelum pemasakan, saat pemasakan, dan setelah pemasakan.
Salah satu proses atau tahapan yang dilalui dalam pembuatan dendeng adalah
tahapan curing pada daging sebelum daging diolah menjadi dendeng. Bahan-bahan
yang digunakan pada saat curing adalah garam nitrit atau nitrat, garam, gula dan
bumbu-bumbu. Penambahan garam nitrit atau nitrat memberikan efek yang
menguntungkan bagi daging yaitu sebagai bahan pengawet dan pemfiksasi warna
daging. Fiksasi daging berarti mempertahankan warna merah pada daging. Dendeng
yang telah melalui proses curing akan memiliki warna merah yang cerah. Garam
nitrit atau nitrat merupakan senyawa kimia yang dapat bersifat bakteriostatik
terhadap pertumbuhan bakteri. Oleh karena itu, garam nitrit atau nitrat memiliki
fungsi sebagai bahan pengawet terhadap produk dendeng.
Beberapa teknik curing yang berbeda pada saat prapengolahan daging yang
telah dikenal seperti curing yang dilakukan dengan pelarutan garam nitrit atau nitrat
dalam air kemudian daging direndam dalam larutan curing tersebut, teknik ini
disebut dengan curing basah. Teknik curing lainnya adalah curing kering. Teknik ini
dilakukan dengan langsung mencampurkan garam nitrit atau nitrat dengan daging.
Kadar garam nitrit atau nitrat yang terserap daging pada kedua teknik curing tersebut
kemungkinan berbeda. Hal ini dapat memberikan pengaruh pada produk akhir
dendeng yang dihasilkan.
2
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh perlakuan curing yang
berbeda yaitu curing kering, curing basah dan non-curing terhadap karakteristik
mutu dendeng yang meliputi warna, mikrobiologis dan palatabilitas.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Daging Sapi
Daging sapi adalah urat daging yang melekat pada kerangka, kecuali urat
daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari sapi yang sehat
sewaktu dipotong (Standar Nasional Indonesia, 1995). Demikian halnya dengan
Soeparno (2005) yang mendefinisikan daging sebagai semua jaringan hewan dan
semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk
dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsi
atau memakannya. Organ-organ seperti hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa,
pankreas, dan jaringan otot lainnya termasuk dalam definisi daging. Lawrie (2003)
menyatakan bahwa komposisi daging terdiri atas 75% air, 19% protein, 3,5%
substansi nonprotein yang larut, dan 2,5% lemak. Substansi nonprotein yang larut
terdiri dari karbohidrat, vitamin dan mineral dalam daging. Protein memiliki fungsi
untuk memperbaiki dan membantu pertumbuhan struktur jaringan dan jaringan aktif
yang ada didalam tubuh.
Dendeng
Dendeng adalah produk tradisional dari Indonesia dan dari negara-negara
seluruh Asia Tenggara. Dendeng dapat dibuat dari daging sapi, ayam, babi atau
kambing, tetapi yang paling banyak dijumpai di pasar-pasar di Indonesia adalah
dendeng sapi (Buckle et al., 1985). Definisi dendeng sapi menurut Standar Nasional
Indonesia 01-2908-1992 adalah produk makanan berbentuk lempengan yang terbuat
dari irisan atau gilingan daging sapi segar yang berasal dari sapi sehat yang telah
diberi bumbu dan dikeringkan. Dendeng sapi dapat disajikan dalam dua bentuk yaitu
dendeng sapi irisan dan dendeng sapi giling. Dendeng merupakan salah satu produk
daging kering yang memiliki masa simpan lebih dari 6 bulan dengan kadar air kirakira 15% sampai 20% dan pH 4,5-5,1. Warna dendeng yang coklat kehitaman
disebabkan oleh reaksi pencoklatan selama proses pemanasan. Reaksi tersebut dapat
menimbulkan rasa atau flavor yang pahit (Soeparno, 2005). Tabel 1 merupakan
persyaratan mutu dendeng berdasarkan Standar Nasional Indonesia.
3
Tabel 1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng
No.
Persyaratan
Jenis Uji
Mutu I
Mutu II
Khas dendeng sapi
Khas dendeng sapi
1
Warna dan bau
2
Kadar air (bobot-/bobot)
Maks 12 %
Maks 12 %
3
Kadar protein (bobot/bobot
kering)
Min 30 %
Min 25 %
4
Abu tak larut dalam asam
(bobot/bobot kering)
Maks 1 %
Maks 1 %
5
Benda asing (bobot-bobot
kering)
Maks 1 %
Maks 1 %
6
Kapang dan serangga
Tidak nampak
Tidak Nampak
Sumber : Dewan Standardisasi Nasional (1992)
Batas cemaran mikroba pada produk dendeng disebutkan dalam Standar
Nasional Indonesia (2009). Tabel dibawah ini (Tabel 2) menunjukkan beberapa jenis
cemaran mikroba pada produk dendeng, serta batas maksimum dari batas cemaran
mikroba tersebut.
Tabel 2. Batas Cemaran Mikroba pada Produk Dendeng
Nama Produk
Jenis Cemaran Mikroba
Batas Maksimum
Dendeng sapi
ALT (30oC, 72 jam)
1x105 koloni/g
APM Escherichia coli
< 3/g
Salmonella sp.
Negatif/25 g
Staphylococcus aureus
1x102 koloni/g
Bacillus cereus
1x103 koloni/g
Sumber : Dewan Standardisasi Nasional (2009)
Dendeng merupakan produk daging olahan khas Indonesia yang tergolong
dalam bahan pangan semi basah yang mengandung gula merah, garam dan bumbu
rempah-rempah. Dendeng dapat dibuat dari bentuk sayatan tipis (dendeng sayat) atau
daging giling (dendeng giling). Dendeng memiliki rasa yang manis yang dikarenakan
karena kandungan gulanya yang tinggi dan bersamaan dengan flavor yang kuat yang
berasal dari bumbu rempah-rempah memberikan karakteristik aroma yang berbeda
4
dengan produk lainnya. Komposisi nutrisi dalam dendeng, kadar air 26%; protein
35%; lemak 10%; garam 8% dan gula 35% (Huang dan Nip, 2001).
Produk daging semi basah memiliki kandungan kadar air sebesar 15% sampai
50%, dan daging yang dikeringkan mengandung kadar air yang lebih rendah. Nilai
aktivitas air (a w ) berkisar 0,60-0,92. Produk dendeng lebih tahan lama tanpa
pendinginan atau dengan proses pemanasan, dan beberapa dapat langsung
dikonsumsi tanpa harus dimasak terlebih dahulu. Produk daging kering ini biasanya
lebih resisten terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh bakteri karena rendahnya
aktivitas air (a w ) dan kandungan garam yang cukup tinggi (Huang dan Nip, 2001).
Curing Daging
Secara umum curing didefinisikan sebagai penambahan garam pada
pengolahan daging dengan tujuan untuk pengawetan (Bard dan Townsend, 1971;
Mike Martin, 2001). Soeparno (2005) menyatakan bahwa curing adalah suatu proses
pengolahan daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam NaCl, Nanitrit atau Na-nitrat dan gula (dekstrosa atau sukrosa atau pati hodrolisis), serta
dengan penambahan bumbu-bumbu. Tujuan dilakukan curing adalah untuk
mendapatkan warna yang stabil, aroma, tekstur, dan kelezatan yang baik dan juga
mengurangi pengerutan daging selama pengolahan serta memperpanjang masa
simpan produk (Soeparno, 2005). Curing pada masa dahulu dilakukan untuk
mengawetkan daging dan ikan dari jamur dan mikroba (Honikel, 2008). Harris dan
Karmas (1989) menyatakan bahwa curing yang dilakukan dengan berbagai metode
bergantung pada jenis bahan baku, perlengkapan yang ada dan adat istiadat. Cara
pemasukan bahan curing ke dalam daging terdiri atas 5 metode yang berbeda : (1)
curing kering atau penggosokan kering, (2) perendaman atau curing basah atau
curing larutan garam, (3) pemompaan arteri, (4) penyuntikan jarum atau pemompaan
jahit, (5) modifikasi dan gabungan dari keempat metode di atas.
Curing kering dilakukan dengan cara mencampurkan garam, gula, bumbubumbu dan natrium nitrit pada daging. Pencampuran dilakukan dengan cara
meratakan agen curing ke seluruh permukaan daging (Pegg dan Sahidi, 2006). Proses
curing kering terdiri dari beberapa tahapan yaitu : (1) tahap penggaraman, penetrasi
garam ke dalam produk dengan cara larut melalui kandungan air yang terdapat dalam
daging, (2) tahap pasca penggaraman adalah tahap pendifusian garam ke seluruh
5
bagian daging, (3) tahap pengeringan terjadi kehilangan air dan pembentukan
berbagai macam reaksi biokimia yang mempengaruhi perkembangan warna, tekstur
dan flavor daging (Toldra, 2004). Kerugian dari curing kering adalah penetrasi
garam yang lambat ke dalam jaringan otot dan pada potongan daging yang tipis akan
mengakibatkan pertumbuhan jamur pada permukaan daging sebelum proses
preservasi pada seluruh daging selesai (Pegg dan Sahidi, 2006).
Curing basah dilakukan dengan cara merendam daging ke dalam larutan
curing (Martin, 2001). Larutan curing terdiri atas garam, agen curing dan bumbubumbu yang dilarutkan dalam air (Pegg, 2004). Penetrasi garam ke dalam jaringan
otot pada curing basah lebih cepat dibandingan dengan curing kering. Pertumbuhan
mikroba dan jamur dapat terjadi selama perendaman pada curing basah meskipun
daging disimpan dalam suhu dingin dan terdapat kandungan garam dalam larutan
curing. Hal ini terjadi karena adanya kandungan air yang tinggi selama perendaman
daging dalam larutan curing (Pegg dan Sahidi, 2006).
Bahan Curing
Proses curing memerlukan beberapa bahan-bahan yang harus dicampurkan
untuk meng-curing daging. Bahan-bahan dasar yang umumnya digunakan dalam
proses curing adalah garam, gula, dan garam nitrat atau nitrit.
Garam
Garam merupakan bahan paling dasar yang digunakan dalam proses curing.
Garam memberikan flavor utama dan sangat penting dalam pelarutan protein otot,
dan penambahan garam juga mempengaruhi dan meningkatkan karakteristik tekstur
daging (Martin, 2001). Garam dalam proses curing memiliki beberapa fungsi
diantaranya adalah sebagai pengawet, penghambat pertumbuhan mikroba, penambah
aroma dan cita rasa atau flavor. Garam dapat meningkatkan tekanan osmotik pada
daging sehingga akan menurunkan aktivitas air dalam daging. Konsentrasi garam
sekitar 2% dapat menghambat pertumbuhan sejumlah bakteri. Penetrasi larutan
garam dalam curing dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : (1)
konsentrasi garam dalam larutan dan lamanya waktu berkontak dengan daging, (2)
struktur mikrokopis otot, (3) suhu (Soeparno, 2005). Garam pada konsentrasi yang
rendah memberikan sumbangan pada citarasa, namun pada konsentrasi yang lebih
tinggi dapat menunjukkan kerja bakteriostatik (Harris dan Karmas, 1989).
6
Kandungan metal dalam garam seperti tembaga (copper), besi (iron), dan krom
mempercepat oksidasi lemak dan menimbulkan bau tengik (rancidity) pada daging
curing (Martin, 2001).
Nitrit dan Nitrat
Natrium nitrat umum ditambahkan dalam formula curing. Karakteristik dari
natrium nitrat adalah kristal berwarna kuning pucat dan sangat mudah larut di dalam
air. Ion nitrit merupakan ion yang sangat reaktif dan dapat memiliki peran sebagai
agen pereduksi dan agen pengoksidasi (Martin, 2001). Penambahan nitrit dan nitrat
atau yang sering disebut dengan sendawa pada daging curing memiliki tujuan
sebagai berikut (1) untuk mengembangkan warna daging menjadi merah muda terang
(2) mempercepat proses curing (3) preservatif mikrobial yang mempunyai pengaruh
bakteriostatik (4) sebagai agensia yang mampu mempengaruhi memperbaiki flavor
dan antioksidan (Soeparno, 2005). Menurut Martin (2001), fungsi utama
penambahan nitrit adalah untuk menstabilkan warna daging curing, selain itu juga
berfungsi sebagai bahan antibakterial, dan dapat memperlambat ketengikan oksidatif.
Reaksi yang terjadi selama proses curing adalah interaksi antara senyawa
nitrit dengan mioglobin yang membentuk nitrosomioglobin (NOMb) dan
metmioglobin (MetMb) (Chasco et al., 1996). Metmioglobin adalah senyawa yang
terbentuk karena adanya ikatan antara mioglobin dengan ion Fe3+. Metmioglobin
yang terbentuk memiliki warna merah coklat (Honikel, 2008). Metmioglobin akan
tereduksi membentuk senyawa nitrosomioglobin (NOMb) selama proses pemanasan
(Chasco et al., 1996). Nitrosomioglobin (NOMb) atau NO-mioglobin merupakan
senyawa yang berperan dalam pembentukan warna merah cerah pada daging curing
(Honikel, 2008).
Nitrit dapat bereaksi dengan amin-amin sekunder dan tersier yang terkandung
dalam daging menghasilkan senyawa nitrosamin yang bersifat karsinogenik bagi
tubuh (Lawrie, 2003). Kadar nitrit yang diizinkan pada produk akhir daging curing
adalah 200 ppm, dan jumlah kadar nitrat maksimum yang diizinkan adalah 500 ppm.
Jumlah maksimum nitrit yang ditambahkan dalam proses curing daging adalah 239,7
g/100 l larutan garam, 62,8 g/100 kg daging untuk daging curing kering atau 15,7
g/100 kg daging cacahan (Soeparno, 2005).
7
Gula
Fungsi utama gula pada proses curing adalah untuk memodifikasi rasa dan
menurunkan kadar air yang sangat diperlukan bagi mikroba untuk tumbuh dan
berkembang. Konsentrasi gula yang tinggi pada saat curing berfungsi sebagai bahan
pengawet (Soeparno, 2003; Martin, 2001). Pemanis yang sering digunakan adalah
jenis sukrosa dan glukosa. Fungsi utamanya adalah untuk peningkat cita rasa dan
menurunkan kekerasan garam (Bard dan Townsend, 1971). Martin (2001) juga
menyebutkan bahwa fungsi gula adalah menetralkan kekerasan garam dan
memberikan peningkatan flavor.
Penyedap dan Bumbu
Bahan penyedap dan bumbu memiliki pengaruh mengawetkan terhadap
produk daging proses karena mengandung lemak (minyak esensial, substansi yang
bersifat bakteriostatik). Beberapa bumbu juga memiliki sifat antioksidan, sehingga
mampu menghambat ketengikan. Penambahan bahan penyedap dan bumbu terutama
ditujukan untuk meningkatkan flavor. Karena bahan penyedap dapat meningkatkan
dan memodifikasi flavor, maka formulasi bahan penyedap dan bumbu yang berbeda
akan menghasilkan produk daging dengan flavor yang juga berbeda (Soeparno,
2005).
Bawang Putih
Bawang putih memiliki nama latin Allium sativum. Bawang putih banyak
digunakan sebagai bumbu, pangan fungsional dan obat tradisional (Ichikawa et al.,
2006). Bawang putih memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan
mikroba. Senyawa allisin yang terkandung dalam bawang putih mampu menghambat
pertumbuhan bakteri gram negatif dan jamur patogen. Selain senyawa allisin, di
dalam bawang putih juga terkandung senyawa fenol seperti eugenol, timol eugenol,
dan timol karvakrol yang juga mampu menghambat pertumbuhan mikroba (Darmadji
et al., 1994). Bawang putih memiliki nilai aktivitas antioksidan sebesar 8,77 ± 1,93
mg VCE/100 g dan nilai total fenol sebesar 63,51 ± 3,67 mg GAE/100 g
(Tangkanakul et al., 2009)
8
Lengkuas
Lengkuas atau tanaman yang memiliki nama latin Alpinia galanga L.
termasuk tanaman dengan familia Zingiberaceae (Handajani dan Purwoko, 2008).
Minyak atsiri dan fraksi metanol yang terkandung dalam rimpang lengkuas diketahui
mampu menghambat aktivitas pertumbuhan mikroba pada beberapa jenis bakteri dan
jamur (Yuharmen et al., 2002). Minyak atsiri rimpang lengkuas mengandung
beberapa turunan fenol dan terpen. Beberapa senyawa yang aktif sebagai antibakteri
adalah D- limonen; eukaliptol; 3- sikloheksen-1-ol, 4-metil-1- (1-metiletil); fenol, 4(2-propenil) asetat; 2,6-oktadien-1-ol, 3,7-dimetil asetat; 1,6,10- dodekatrien, 7,11dimetil-3-metilen; pentadesen; sikloheksen, 1-metil-4-(5-metil- 1-metilen-4-heksenil)
(Parwata dan Dewi, 2008). Lengkuas selain mengandung minyak atsiri juga
mengandung golongan senyawa flavonoid, fenol dan terpenoid. Berdasarkan
penelitian yang sudah dilakukan minyak atsiri pada rimpang lengkuas mengandung
senyawa eugenol, sineol dan metil sinamat (Buchbaufr et al., 2003). Lengkuas
memiliki nilai aktivitas antioksidan sebesar 98,61 ± 2,13 mg VCE/100 g dan nilai
total fenol sebesar 216,63 ± 3,33 mg GAE/100 g (Tangkanakul et al.,
2009). Lengkuas mengandung asetoksi kavikol asetat dan asetoksi eugenol asetat
yang bersifat antiradang dan antitumor (Buchbaufr et al., 2003).
Ketumbar
Ketumbar merupakan sejenis tanaman yang memiliki fungsi sebagai rempahrempah dan bumbu (Saeed dan
Tariq, 2007). Ketumbar memiliki nama latin
Corriandrum sativum L. yang termasuk dalam famili Apiaceae (Umbelliferae).
Minyak esensial ketumbar memiliki karakteristik aroma linalool, mild, manis,
hangat, dan cita rasa aromatik. Ketumbar dalam industri makanan biasanya
digunakan sebagai agen penyedap (Burdock dan Carabin, 2009). Komponen utama
dari ketumbar adalah linalool sebesar 64,5% dan (E)-anethole sebesar 59,2%
(Cantore et al., 2004). Aktivitas antimikroba pada minyak ketumbar dapat
menghambat pertumbuhan mikroba patogen, bakteri pembusuk makanan dan jamur
(Cantore et al., 2004). Biji ketumbar
memiliki nilai aktivitas antioksidan
sebesar 53,54 ± 6,97 mg VCE/100 g dan nilai total fenol sebesar 97,26 ± 2,50 mg
GAE/100 g (Tangkanakul et al., 2009).
9
Merica
Merica adalah sejenis tanaman yang termasuk golongan familia Piperacea.
Merica memiliki nama latin Piper ningrum Linn. Kandungan minyak atsiri dalam
merica diketahui memiliki aktivitas antimikroba (Karsha dan Lakshmi, 2009).
Komponen alkaloid dalam merica seperti piperine dan piperidine memiliki fungsi
sebagai zat antibakterial bagi bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif.
Kadar 250 ppm piperine dalam merica mampu menghambat pertumbuhan bakteri
gram positif dan gram negatif (Karsha dan Lakshmi, 2009). Merica memiliki nilai
aktivitas antioksidan sebesar 108,47 ± 5,46 mg VCE/100 g dan nilai total fenol
sebesar 447,23 ± 10,38 mg GAE/100 g (Tangkanakul et al., 2009).
Asam Jawa
Asam jawa memiliki komponen bioaktif yang berpotensi sebagai obat. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa komponen kimia yang terdapat di dalam asam jawa
adalah gula, mineral, aktivitas antioksidan dan zat fenolik. Asam jawa memiliki
kapasitas antioksidan dan level fenolik yang tinggi, hal ini dapat memberikan
manfaat bagi kesehatan (Soemardji, 2007).
Pengeringan
Pengeringan pangan berarti pemindahan air dengan sengaja dari bahan
pangan. Alasan utama dilakukannya pengeringan adalah untuk pengawetan (Earle,
1982). Pengeringan atau dehidrasi memiliki pengaruh pengawet karena mampu
menurunkan aktivitas air sampai taraf yang rendah (Soeparno, 2005). Tujuan
dilakukannya pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas
perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan
pembusukan terhambat atau bahkan terhenti sama sekali (Adawyah, 2008). Produk
daging kering memiliki masa simpan yang cukup lama. Faktor yang mempengaruhi
kualitas produk daging yang dikeringkan antara lain adalah suhu, ukuran partikel dan
gerakan udara panas. Produk daging kering memiliki kandungan kadar air antara 5%
sampai 6% (Soeparno, 2005). Penghilangan kandungan air melalui pengeringan
dalam bentuk uap air (Harris dan Karmas, 1989). Selama proses pengeringan, daging
mengalami perubahan fisik dan kimia (Xiong dan Mikel, 2001).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan ada dua yaitu, faktor yang
berhubungan dengan udara pengering seperti suhu, kecepatan aliran udara pengering
10
dan kelembaban udara, sedangkan faktor yang berhubungan dengan sifat bahan yang
dikeringkan berupa ukuran bahan, kadar air awal dan tekanan parsial dalam bahan.
Suhu yang semakin tinggi dan kecepatan udara pengering cepat mengakibatkan
proses pengeringan berlangsung lebih cepat. Semakin tinggi suhu udara pengering
semakin besar jumlah energi yang dibawa udara, sehingga semakin banyak jumlah
masa cairan yang diuapkan dari permukaan bahan yang dikeringkan. Kecepatan
aliran udara pengering semakin tinggi akan mengakibatkan semakin cepat pula masa
uap air yang dipindahkan dari bahan ke atmosfer (Adawyah, 2008).
Buckle et al. (1985) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kecepatan pengeringan antara lain :
a. Sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk ukuran, komposisi, kadar air)
b. Pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat atau media
perantara pemindah panas (seperti nampan untuk pengeringan).
c. Sifat-sifat fisik dari lingkungan alat pengering (suhu, kelembaban dan
kecepatan udara).
d. Karakteristik alat pengering (efisiensi pemindahan panas).
Karakteristik Dendeng
Nilai Aktivitas air
Aktivitas air (a w ) adalah batas terendah jumlah air yang tersedia untuk
pertumbuhan mikroba. Sebagian besar bakteri tidak dapat tumbuh pada nilai aktivitas
air (a w ) 0,91 dan sebagian besar jamur tidak tumbuh pada nilai aktivitas air (a w ) di
bawah 0,8. Beberapa jamur xerofilik mampu tumbuh pada nilai aktivitas air (a w ) di
bawah 0,7 tetapi kisaran nilai aktivitas air (a w ) 0,7-0,75 umumnya dinyatakan
sebagai batas terendah nilai aktivitas air (a w ) untuk pertumbuhan jamur (Buckle et
al., 1985). Dendeng sayat
memiliki nilai aktivitas air (a w ) antara 0,52-0,67
sedangkan dendeng giling memiliki nilai aktivitas air (a w ) sekitar 0,62-0,66 (Huang
dan Nip, 2001).
Nilai pH
Dendeng giling daging sapi memiliki nilai pH rata-rata 5,83±0,03
(Suharyanto et al., 2008). Sementara itu, Huang dan Nip (2001) menyatakan bahwa
dendeng memiliki pH rata-rata 5,6. Penurunan pH diasumsikan terjadi pada saat
11
proses postrigor pada daging. Penurunan nilai pH dapat menghambat proses
pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan selama proses pertama pengolahan
(Bennani et al., 2000)
Warna
Bahan pangan yang dikeringkan dengan menggunakan oven akan memiliki
penampakan yang lebih gelap, lebih rapuh dan aroma menjadi berkurang. Ketika
bahan pangan dikeringkan, warna dan tekstur secara signifikan akan berbeda dari
saat bahan masih mentah. Atribut warna pada dendeng dipengaruhi bumbu-bumbu
seperti gula merah, asam jawa, ketumbar dan lengkuas yang digunakan dalam
formulasi bumbu (Dewi et al., 2011). Secara umum, warna dendeng yang dihasilkan
cenderung kecoklatan atau kehitaman. Hal ini dapat terjadi karena adanya reaksi
pencoklatan Maillard selama pengeringan dan reaksi karamelisasi selama
penggorengan dendeng (Legowo et al., 2002). Kusnandar (2010) menyatakan bahwa
reaksi Maillard menghasilkan pigmen melanoidin yang bertanggung jawab pada
pembentukan warna coklat dan reaksi karamelisasi menghasilkan warna coklat
melalui reaksi kimia yang terjadi pada gula sederhana karena adanya proses
pemanasan.
Tekstur
Tekstur merupakan faktor yang penting dalam proses seleksi dan konsumsi
bahan pangan. Tekstur sebuah bahan pangan menentukan faktor yang mempengaruhi
penerimaan bahan pangan tersebut (Guerrero et al., 1999). Permukaan daging yang
dikeringkan akan mengeras karena daging kehilangan kandungan air selama
pemanasan (Soeparno, 2005). Tekstur suatu produk yang dihasilkan tergantung pada
banyaknya protein miofibrillar yang terdegradasi, tingkat pengeringan, tingkat
degadrasi jaringan penghubung dalam daging dan kandungan lemak intramuskular
dalam daging (Toldra, 2004)
Flavor dan Aroma
Flavor daging berkembang selama pemasakan. Flavor serta aroma daging
masak dipengaruhi oleh umur ternak, tipe pakan, spesies, jenis kelamin, lemak,
bangsa, lama waktu dan kondisi penyimpanan daging setelah pemotongan, serta
jenis, lama dan suhu pemasakan. Lemak banyak mempengaruhi flavor daging
12
(Soeparno, 2005). Rasa dendeng dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain yaitu
rasa daging, bumbu, perpaduan bumbu dan daging selama proses curing, pengaruh
pengeringan dan penggorengan dendeng (Legowo et al., 2002).
Bakteri Patogen Pada Daging
Bahan pangan dapat berperan sebagai agen penularan penyakit dari
mikroorganisme ke manusia. Bahan pangan tersebut bertindak sebagai vektor dari
beberapa jenis mikroorganisme patogenik yang mencemari bahan pangan.
Mikroorganisme patogenik dapat berasal dari jenis bakteri, kapang dan virus (Buckle
et al., 1985). Bakteri patogen yang berhubungan dengan bahan pangan tidak dapat
tumbuh di luar kisaran suhu antara 4 ºC – 60 ºC, sehingga bahan pangan yang
disimpan pada suhu dibawah 4 ºC atau diatas 60 ºC akan aman (Buckle et al., 1985).
Bakteri patogen merupakan indikator keamanan pangan. Bakteri patogen dapat
menyebabkan intoksikasi atau infeksi. Intoksikasi yaitu keracunan yang disebabkan
oleh toksin yang dihasilkan oleh bakteri patogen yang tumbuh dan berkembang
dalam bahan pangan. Infeksi adalah bakteri yang menghasilkan racun setelah masuk
ke dalam saluran pencernaan (Fardiaz, 1989). Beberapa bakteri patogen yang sering
dijadikan sebagai standar mutu cemaran mikroba dalam bahan pangan asal ternak
adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Salmonella sp, Bacillus cereus, dan
Coliform.
Staphylococcus aureus
Staphylococcus merupakan bakteri berbentuk bulat yang terdapat dalam
bentuk tunggal, berpasangan, tetrad, atau berkelompok seperti buah anggur.
Staphylococcus aureus adalah salah satu bakteri penyebab keracunan yang
memproduksi enterotoksin. Bakteri ini sering ditemukan pada makanan-makanan
yang mengandung protein tinggi (Fardiaz, 1989). Bakteri ini mampu bertahan
dengan baik pada kondisi beku. Staphylococcus aureus mudah dihilangkan dengan
menggunakan pemanasan dengan suhu yang umumnya digunakan untuk memproses
produk daging dan ikan. Pertumbuhan mikroba yang melebihi 5,0 log CFU/g akan
menghasilkan enterotoksin yang tahan panas (Thipparedi dan Sanchez, 2006).
Enterotoksin yang tahan panas panas tersebut akan masih aktif setelah dipanaskan
pada suhu 100 ºC selama 30 menit (Fardiaz, 1989).
13
Escherichia coli
Escherichia coli adalah suatu bakteri gram negatif berbentuk batang, bersifat
anaerobik fakultatif dan mempunyai flagella peritrikat (Fardiaz, 1989). Escherichia
coli ditemukan di saluran usus hewan dan manusia, sehingga sering terdapat di dalam
feses. Bakteri ini sering digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran (Fardiaz,
1989). Selama proses pengolahan daging, proses pemanasan didesain untuk
menghilangkan bakteri ini. Karakteristik pertumbuhan dan kematian bakteri
Escherichia coli memiliki kemiripan dengan bakteri Salmonella sp (Thipparedi dan
Sanchez, 2006). Organisme ini berada di dapur dan tempat-tempat persiapan bahan
pangan melalui bahan baku dan selanjutnya masuk ke makanan yang telah dimasak
melalui tangan, permukaan alat-alat, tempat-tempat masakan dan peralatan lainnya
(Buckle et al., 1985)
Salmonella sp
Salmonella adalah jenis bakteri gram negatif yang tergolong kelompok
bakteri Enterobacteriaceae, berbentuk batang bergerak (Buckle et al., 1985).
Salmonella merupakan bakteri patogen yang berbahaya. Selain menyebabkan gejala
gastrointestinal (gangguan perut), juga dapat menyebabkan demam tifus (Salmonella
typhi) dan paratifus (Salmonella paratyphi) (Fardiaz, 1989). Laju pertumbuhan
Salmonella umumnya akan menurun pada suhu dibawah 15 ºC. Pertumbuhan
Salmonella dapat dicegah pada suhu dibawah 7 ºC. Laju pertumbuhan optimum
Salmonella terjadi pada saat suhu 49,5 ºC. Standar kematian yang dipersyaratkan
untuk produk olahan daging sebesar 6,5 log 10 Salmonella, dan untuk produk olahan
daging unggas sebesar 7,0 log 10 (Thipparedi dan Sanchez, 2006).
14
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan yaitu dari bulan Oktober 2011 sampai
Mei 2012. Lokasi penelitian di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Laboratorium
Terpadu dan Laboratorium Uji Organoleptik, Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Materi
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi,
natrium nitrit, bumbu-bumbu seperti garam, gula merah, gula putih, lengkuas,
ketumbar, bawang merah, bawang putih, asam jawa dan merica. Larutan pengencer
yang digunakan untuk uji mikrobiologi yaitu BPW (buffer pepton water). Media
yang digunakan untuk pemupukan yaitu PCA (plate count agar), XLDA (xylose
lysine deoxycholate agar), BPA (baird-parker agar) dan EMBA (eosin methylen blue
agar). Bahan-bahan lain yang digunakan yaitu kuning telur bebek segar, tellurit,
akuades, serta alkohol.
Peralatan yang digunakan meliputi peralatan uji fisik seperti pH meter, aw
meter dan kromameter. Peralatan pembuatan dendeng antara lain baskom, timbangan
digital, gelas ukur, nampan, oven, dan lap kain. Peralatan untuk uji mikrobiologi
seperti cawan petri, tabung reaksi, pipet mikro, labu erlenmeyer, botol schott, hockey
stick, colony counter, pembakar bunsen, pengocok tabung (vortex), inkubator,
magnetic stirrer dan laminar air flow.
Prosedur
Perlakuan
Perlakuan yang dicobakan pada penelitian ini adalah perlakuan teknik curing.
Perlakuan teknik curing terdiri atas: 1) tanpa penambahan nitrit; 2) penambahan nitrit
dengan teknik curing kering ; 3) penambahan nitrit dengan teknik curing basah.
Jumlah nitrit yang digunakan adalah 150 ppm berdasarkan jumlah daging yang
digunakan. Larutan nitrit dibuat dengan melarutkan 0,15 gram nitrit ke dalam 1 liter
air dingin.
15
Pembuatan Dendeng
Dendeng dibuat dengan komposisi bumbu yag terdiri atas garam, lengkuas,
ketumbar, bawang putih, gula putih, gula merah, asam jawa dan merica. Tabel 3
menunjukkan persentase jumlah bumbu yang digunakan dalam pembuatan dendeng.
Tabel 3. Komposisi Bahan yang Digunakan pada Pembuatan Dendeng
Komposisi*
Jenis Bahan
Non-Curing
Curing Kering
Curing Basah
Daging
100
100
100
Bumbu**
17,6
17,6
17,6
Gula Putih
16,5
16,5
16,5
Gula Merah
16,5
16,5
16,5
NaNO 2 (nitrit)
-
0,15 g
0,15 g
*dalam persentase dari jumlah daging yang digunakan
** Bumbu terdiri atas garam, lengkuas, ketumbar, bawang putih, asam jawa, merica
Daging yang digunakan adalah daging beku yang sudah disegarkan kembali.
Daging yang digunakan berasal dari sapi dengan bangsa, umur dan bagian daging
yang sama. Pembuatan diawali dengan penghilangan lemak ekstramuskuler dan
jaringan ikat daging, kemudian diiris tipis (5 mm) menggunakan slicer daging.
Daging yang digunakan untuk dendeng yang di-curing basah, setelah diiris tipis
direndam dalam larutan nitrit selama 12 jam dalam suhu ruang, kemudian dicampur
dengan bumbu yang sudah dihaluskan selama 12 jam. Daging kemudian dikeringkan
menggunakan oven dengan suhu 60 ºC selama 3 jam. Setelah itu daging dibalik dan
selanjutnya suhu dinaikkan menjadi 70 ºC dan dipanaskan selama 5 jam. Selama 5
jam pemanasan dilakukan perputaran papan alas pengeringan setiap satu jam sekali.
Proses pembuatan dendeng yang tidak diberi nitrit sama dengan dendeng
yang diberi nitrit dengan teknik curing kering. Irisan daging dicampur dengan
bumbu. Setelah dicampur rata irisan daging disimpan dalam suhu ruang selama 12
jam untuk meresapkan bumbu pada daging. Pembuatan dendeng dengan curing
kering, diawali dengan pencampuran daging dengan adonan bumbu, ditambahkan
nitrit, kemudian disimpan dalam suhu ruang selama 12 jam. Daging kemudian
dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 60 ºC selama 3 jam. Setelah itu daging
dibalik dan pemanasan dilanjutkan pada suhu 70 ºC selama 5 jam. Selama 5 jam
16
pemanasan dilakukan perputaran papan alas pengeringan. Selain dendeng yang
berbumbu dibuat pula dendeng tanpa bumbu (daging kering sebagai kontrol), baik
yang tanpa diberi nitrit, maupun yang diberi nitrit dengan teknik curing basah,
maupun curing kering, sesuai dengan rancangan percobaan yang digunakan. Tahapan
proses pembuatan dendeng dapat dilihat pada Gambar 1.
Daging sapi diiris dengan ukuran 5 mm
Tanpa Curing
Irisan daging
dicampur dengan
bumbu selama 12 jam
Curing Basah
Irisan daging direndam
ke dalam larutan curing
selama 12 jam
Curing Kering
Irisan daging dicampur dengan
bumbu yang telah ditambahkan
nitrit selama 12 jam
Dicampur dengan
bumbu selama 12 jam
Daging dikeringkan dengan oven pada suhu 60 ºC selama 3
Daging dibalik
Suhu dinaikkan menjadi 70 ºC. Daging dikeringkan selama 5
jam dengan pembalikan alas pengeringan tiap 1 jam
Dendeng sapi
Gambar 1. Tahapan Proses Pembuatan Dendeng Sapi
17
Prosedur Analisis
Analisis dilakukan terhadap beberapa peubah yang meliputi aktivitas air (a w ),
kadar air, nilai pH dan sensori. Selain itu dianalisis pula mutu mikrobiologis berupa
cemaran mikroba pada dendeng mentah, yaitu TPC (total plate count),
Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Salmonella sp.
Analisis Fisik Sampel
Analisis Warna (Hutching, 1999). Analisis warna menggunakan alat Chromameter
minolta CR-310. Sebelum dilakukan pengukuran nilai L, a dan b perlu dilakukan
kalibrasi terlebih dahulu terhadap alat dengan menggunakan pelat standar warna
putih (L=97.51; a=5.35; b=-3.37). Proses pengukuran dilakukan dengan meletakkan
sampel pada tempat yang tersedia, kemudian tombol “start” ditekan dan akan
diperoleh nilai L, a, dan b dari sampel. Notasi L melambangkan kecerahan, notasi a
melambangkan warna kromatik merah dan hijau, dan notasi b melambangkan
kromatik warna biru dan kuning. Nilai a dan b digunakan untuk penentuan °HUE.
°HUE berfungsi untuk menentukan warna produk. Rumus °HUE adalah :
𝑏
°𝐻𝑈𝐸 = 𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑔 ( )
𝑎
Tabel 4. Pembagian Warna °HUE
Warna
°HUE
Red Purple
342° - 18°
Red
18° - 54°
Yellow Red
54° - 90°
Yellow
90° - 126°
Yellow Green
126° - 162°
Green
162° - 198°
Blue Green
198° - 234°
Blue
234° - 270°
Blue Purple
270° - 306°
Purple
306° - 342°
Sumber : Febriyanti (2003)
18
Pengukuran Nilai Aktivitas Air (a w ) (Syarief dan Halid, 1992). Aktivitas air (a w )
diukur dengan menggunakan a w meter. Alat dikalibrasikan dengan larutan NaCl
jenuh sebelum digunakan. Larutan NaCl jenuh dimasukkan ke dalam chamber
pengukuran, kemudian alat dinyalakan dengan menekan tombol start dan ditunggu
sampai aktivitas air (a w ) terbaca 0,750-0,752. Sebanyak 5 g sampel dendeng mentah
yang dipotong kecil-kecil kemudian dimasukkan ke dalam chamber sampel, tombol
start ditekan dan sampel akan terukur dan terbaca oleh alat.
Analisis Kimia Sampel
Pengukuran Nilai pH. Pengukuran menggunakan alat pH daging. Sampel dendeng
dipotong-potong menjadi ukuran persegi dengan ukuran kurang lebih 2x2 cm2.
Sampel dendeng ditumpuk menjadi satu sekitar 6 tumpukan potongan dendeng,
kemudian pH daging ditusukkan pada tumpukan dendeng. Nilai pH dicatat setelah
alat menunjukkan nilai yang stabil.
Kadar Air (AOAC, 1995). Sampel sebanyak
5 g dimasukkan dalam cawan
aluminium berbobot tetap. Cawan beserta isinya dipanaskan dalam oven dengan suhu
105oC hingga diperoleh berat konstan. Setelah itu dimasukkan dalam desikator dan
ditimbang beratnya. Kadar air dihitung dengan rumus :
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑖𝑟 =
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙 (𝑔𝑟𝑎𝑚) − 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟(𝑔𝑟𝑎𝑚)
𝑥100%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙 (𝑔𝑟𝑎𝑚)
Analisis Kuantitatif Mikrobiologi
Total Plate Count (TPC) (Standar Nasional Indonesia 2897, 2008). Sampel
ditimbang sebesar 25 g kemudian dimasukkan ke dalam 225 ml larutan BPW dan
dihomogenkan selama 1 menit sampai 2 menit. Larutan yang dihasilkan merupakan
pengenceran 100. 1 ml suspensi dipindahkan dengan menggunakan pipet steril ke
dalam larutan
9 ml BPW untuk mendapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran
dilanjutkan sampai pada pengenceran 10-5 dengan cara yang sama. 1 ml suspensi dari
pengenceran 10-1 sampai 10-5 dimasukkan ke dalam cawan petri secara duplo. Media
PCA (plate count agar) yang sudah didinginkan hingga mencapai suhu 45oC ± 1oC
kemudian dituangkan pada masing-masing cawan yang sudah berisi suspensi
sebanyak 15 ml sampai 20 ml. Pemutaran cawan dilakukan dengan cara membentuk
19
angka delapan untuk menghomogenkan larutan suspensi dengan media PCA (plate
count agar). Cawan didiamkan sampai agar menjadi padat dan kemudian
diinkubasikan pada suhu 34 ºC sampai 36 ºC selama 24 jam sampai dengan 48 jam
dengan meletakkan cawan pada posisi terbalik.
Staphylococcus aureus (Standar Nasional Indonesia 2897, 2008). Sampel
ditimbang sebesar 25 g kemudian dimasukkan ke dalam 225 ml larutan BPW dan
dihomogenkan selama 1 menit sampai 2 menit. Larutan yang dihasilkan merupakan
pengenceran 100. 1 ml suspensi dipindahkan dengan menggunakan pipet steril ke
dalam larutan
9 ml BPW untuk mendapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran
dilanjutkan sampai pada pengenceran 10-3 dengan cara yang sama. Sebanyak 15 ml
sampai 20 ml media BPA (baird-parker agar) yang sudah ditambah dengan egg yolk
tellurite emulsion (5 ml ke dalam 95 ml media BPA) dituangkan pada masingmasing cawan yang akan digunakan dan dibiarkan sampai memadat. 0,1 ml suspensi
dari pengenceran 10-1 sampai 10-3 dipipet dan diinokulasikan pada cawan petri yang
telah berisi media dan kemudian suspensi diratakan pada permukaan agar dengan
menggunakan hockey stick. Cawan kemudian diinkubasikan pada suhu 35 ºC selama
45 jam sampai 48 jam pada posisi terbalik.
Escherichia coli. Sampel ditimbang sebesar 25 g kemudian dimasukkan ke dalam
225 ml larutan BPW dan dihomogenkan selama 1 menit sampai 2 menit. Larutan
yang dihasilkan merupakan pengenceran 100. 1 ml larutan pengenceran 100
dipindahkan dengan menggunakan pipet steril ke dalam 9 ml larutan BPW untuk
mendapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran dilanjutkan sampai pada pengenceran
10-3. 1 ml suspensi dari pengenceran 10-1 sampai 10-3 dimasukkan ke dalam cawan
petri secara duplo. Sebanyak 15 ml sampai 20 ml media EMBA (eosin methylen blue
agar) yang sudah didinginkan dituangkan ke dalam cawan yang telah berisi suspensi
contoh. Suspensi larutan dan media dihomogenkan dengan cara cawan digerakkan ke
depan dan ke belakang membentuk angka delapan. Cawan didiamkan hingga media
menjadi padat kemudian diinkubasi dengan posisi terbalik pada temperatur 35 ºC
selama 24 jam sampai 48 jam
Salmonella sp. Sampel ditimbang sebesar 25 g kemudian dimasukkan ke dalam 225
ml larutan BPW dan dihomogenkan selama 1 menit sampai 2 menit. Larutan yang
20
dihasilkan merupakan pengenceran 100. 1 ml larutan pengenceran 100 dipindahkan
dengan menggunakan pipet steril ke dalam 9 ml larutan BPW untuk mendapatkan
pengenceran 10-1. Pengenceran dilanjutkan sampai pada pengenceran 10-3. 1 ml
suspensi dari pengenceran 10-1 sampai 10-3 dimasukkan ke dalam cawan petri secara
duplo. Sebanyak 15 ml sampai 20 ml media XLDA (xylose lysine deoxycholate
agar) yang sudah didinginkan dituangkan ke dalam cawan yang telah berisi suspensi
contoh. Suspensi larutan dan media dihomogenkan dengan cara cawan digerakkan ke
depan dan ke belakang membentuk angka delapan. Cawan didiamkan hingga media
menjadi padat kemudian diinkubasi dengan posisi terbalik pada temperatur 37 ºC
selama 24 jam sampai 48 jam.
Analisis Sensori
Pengujian sifat sensori dilakukan secara hedonik menggunakan uji skoring,
yang meliputi warna, aroma, tekstur (kelembutan), dan rasa yang melibatkan 25
orang panelis. Pengujian dilakukan pada dendeng mentah.
Rancangan dan Analisis Data
Model
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
dengan 3 kali ulangan dan 3 perlakuan yang berbeda. Rancangan tersebut digunakan
untuk semua jenis peubah, kecuali nilai pH dan analisis sensori. Analisis sensori
terhadap 3 jenis dendeng yang dibuat dengan teknik curing yang berbeda
menggunakan analisis acak lengkap pola searah dengan 25 orang panelis sebagai
ulangan. Model analisis untuk rancangan acak lengkap yaitu (Steel dan Torrie, 1995)
Keterangan :
𝑌𝑖𝑗 = 𝜇 + 𝑎𝑖 + 𝜀𝑖𝑗
Yij
= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j, i=1,2,3 dan j=1,2,3
μ
= nilai rataan umum
αi
= pengaruh perlakuan curing ke-i, i=1,2,3
εij
= galat percobaan
21
Analisis Data
Data parametrik diuji dengan analisis ragam (ANOVA). Apabila didapatkan
hasil yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji banding LSD. Data non parametrik
berupa nilai pH dan hasil uji hedonik diolah dengan menggunakan metode KruskalWallis. Apabila didapatkan hasil yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji
perbanding berganda (Steel dan Torrie, 1995).
22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Warna Dendeng Sapi
Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi
konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat
warna suatu produk yang diukur dengan alat kromameter yang memiliki standar
ukuran warna yang baku. Tabel 5 berikut menunjukkan rataan nilai warna (L, a, b,
dan °HUE) pada dendeng sapi dengan perlakuan curing yang berbeda.
Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan °HUE) Dendeng Sapi dengan Metode
Perlakuan Curing yang Berbeda
Perlakuan
Notasi
Non-Curing
Curing Basah
Curing Kering
L
27,10±0,63a
25,99±0,18b
27,17±0,58a
a+
4,62±1,08a
8,50±0,39b
5,68±1,06a
b+
6,24±0,06a
5,45±0,53b
5,68±0,29ab
°HUE
54,00±6,61a
32,62±3,73b
45,33±4,24a
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0,05).
Nilai L
Nilai L melambangkan tingkat kecerahan dari produk. Nilai L menyatakan
cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu dan hitam. Nilai L
memiliki kisaran nilai dari 0 sampai 100. Semakin tinggi nilai L maka produk
memiliki tingkat kecerahan yang semakin cerah (Setianingtias, 2005). Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa tingkat kecerahan dendeng non-curing tidak berbeda
nyata dengan dendeng curing kering. Namun, keduanya menunjukkan hasil yang
berbeda nyata dengan dendeng curing basah. Tingkat kecerahan kedua dendeng
tersebut lebih tinggi daripada tingkat kecerahan dendeng curing basah.
Tingkat kecerahan curing basah yang rendah dapat disebabkan oleh kadar air
yang tinggi pada dendeng (Tabel 8). Esteban et al. (2003) menyatakan bahwa faktor
yang mempengaruhi tingkat kecerahan pada produk daging adalah persentase
kandungan metmioglobin (MetMb) dan oksimioglobin (MbO) serta kandungan
garam dan kadar air yang tinggi dalam daging. Oksimioglobin adalah senyawa yang
terbentuk karena adanya reaksi antara oksigen dengan mioglobin. Rendahnya
23
oksimioglobin yang terbentuk terjadi karena mioglobin bereaksi dengan senyawa
nitrit membentuk senyawa nitrosomioglobin. Nitrosomioglobin merupakan pigmen
yang berperan dalam pembentukan warna merah cerah pada daging curing.
Keberadaan oksimioglobin berpengaruh pada nilai b (Alvarez et al., 1999). Nilai b
akan meningkat seiiring dengan peningkatan kandungan oksimioglobin dalam
daging. Tingkat kecerahan dendeng non-curing lebih tinggi ditunjukkan oleh nilai b
pada dendeng non-curing lebih tinggi dibandingkan dengan curing basah dan
kandungan air dendeng non-curing yang lebih rendah (Tabel 8) dibandingkan dengan
dendeng curing basah.
Nilai a
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat beda nyata nilai a
pada dendeng non-curing dengan dendeng curing kering. Namun kedua nilai a
tersebut berbeda nyata dengan dendeng curing basah. Nilai a dendeng curing basah
menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan nilai lainnya. Hal ini
membuktikan perlakuan curing basah mampu menghasilkan warna merah daging
yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan curing kering dan non-curing.
Nilai a menunjukkan warna kromatik campuran merah sampai hijau. Nilai +a
(positif) memiliki kisaran nilai 0 sampai 100 untuk warna merah dan nilai –a
(negatif) mempunyai kisaran nilai dari -80 sampai 0 untuk warna hijau
(Setianingtias, 2005). Nilai a yang dihasilkan pada produk dendeng menunjukkan
hasil yang positif, hal ini berarti produk dendeng tersebut berada pada kisaran warna
akromatik merah. Semakin tinggi nilai a maka warna akromatik pada produk
semakin meningkat. Berdasarkan skala kromatik warna merah (1 sampai 100) maka
produk dendeng yang dihasilkan memiliki kromatik warna merah yang rendah.
Penambahan nitrit saat curing pada pembuatan dendeng memberikan dampak
yang cukup signifikan terhadap kemerahan warna dendeng. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Martin (2001) bahwa fungsi utama penambahan nitrit adalah untuk
menstabilkan warna daging curing. Stabilisasi atau fiksasi warna daging terjadi
karena reaksi antara nitrit dengan mioglobin yang menghasilkan warna merah cerah
pada daging curing. Chasco et al. (1996) menyatakan bahwa interaksi antara nitrit
dengan mioglobin akan membentuk nitrosomioglobin (NOMb) dan metmioglobin
(MetMb). Nitrosomioglobin (NOMb) atau NO-mioglobin merupakan senyawa yang
24
berperan dalam pembentukan warna merah cerah pada daging curing (Honikel,
2008). Metmioglobin akan tereduksi membentuk senyawa nitrosomioglobin selama
proses pemanasan (Chasco et al., 1996).
Perendaman daging dalam larutan curing membuat larutan nitrit dapat
terserap sempurna kedalam setiap serabut otot daging, sehingga proses fiksasi warna
berlangsung secara menyeluruh pada setiap permukaan daging. Hal inilah yang
menyebabkan tingkat kemerahan warna akhir lebih tinggi pada dendeng yang
diproses dengan curing basah. Dendeng yang diolah dengan curing kering dan noncuring tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Penambahan nitrit pada curing
kering tidak dilarutkan terlebih dahulu dengan air, namun langsung ditambahkan
dengan daging dan diaduk bersamaan dengan bumbu dan daging sebelum
dikeringkan. Saat pengadukan dimungkinkan nitrit tidak tercampur secara merata
pada setiap permukaan daging, sehingga ada bagian-bagian permukaan daging yang
tidak terfikasasi oleh nitrit. Hal ini yang menyebabkan tingkat kemerahan warna
akhir dendeng curing kering lebih rendah dibandingkan dengan dendeng curing
basah. Dendeng yang diolah tanpa proses curing memiliki warna merah yang rendah.
Hal ini dapat terjadi karena tidak ada penambahan nitrit sehingga tidak ada agen
pemfiksasi warna daging.
Nilai b
Hasil analisis ragam menunjukkan adanya beda nyata nilai b pada dendeng
non-curing dengan dendeng curing basah. Namun kedua nilai b tersebut tidak
menunjukkan beda nyata dengan nilai b pada dendeng curing kering. Nilai
kekuningan lebih tinggi pada dendeng non-curing dibandingkan dengan dendeng
curing basah dan curing kering. Nilai b menyatakan warna kromatik campuran biru
sampai kuning dengan kisaran 0 sampai 70 untuk warna kuning dan nilai -70 sampai
0 untuk warna biru (Setianingtias, 2005). Nilai b yang diperoleh menunjukkan nilai
yang positif, hal ini berarti bahwa produk dendeng yang dihasilkan berada pada
kisaran warna kromatik kuning. Semakin tinggi nilai yang diperoleh berarti bahwa
semakin tinggi pula tingkat warna kekuningan pada produk. Berdasarkan skala
kromatik warna kuning (1 sampai 70) maka produk dendeng dendeng yang
dihasilkan memiliki kromatik warna kuning yang rendah.
25
Oksimioglobin merupakan pigmen merah daging yang berperan dalam nilai
b. Nitrit dapat bereaksi dengan mioglobin membentuk nitrosomioglobin. Reaksi
tersebut dapat menurunkan konsentrasi mioglobin dan oksimioglobin (Alvarez et al.,
1999). Oksimioglobin terbentuk karena adanya interaksi antara oksigen dengan
mioglobin. Reaksi antara nitrit dengan mioglobin menyebabkan penurunan
pembentukan pigmen oksimioglobin. Penurunan kandungan oksimioglobin dalam
daging menyebabkan nilai b menurun. Hal inilah yang menyebabkan nilai b pada
curing basah lebih rendah dibandingkan dengan non-curing. Nilai b pada dendeng
non-curing teridentifikasi lebih tinggi karena tidak terdapat nitrit yang bereaksi
dengan mioglobin, sehingga mioglobin dapat bebas bereaksi dengan oksigen
membentuk pigmen oksimioglobin.
Nilai °HUE
Derajat HUE menunjukkan warna dari produk. Nilai °HUE diperoleh melalui
perhitungan yang melibatkan nilai a dan b. Berdasarkan Tabel 4 maka warna
dendeng sapi yang dihasilkan adalah merah. Warna merah memiliki kisaran nilai
°HUE 18 – 54. Nilai 54 pada dendeng non-curing juga berada pada kisaran warna
kuning merah yang memiliki kisaran °HUE 54 – 90. Semakin tinggi nilai °HUE
dendeng yang diperoleh, maka semakin mendekati warna kuning merah. Nilai °HUE
dendeng curing basah lebih rendah dibandingkan nilai °HUE kedua dendeng lainnya.
Hal ini berarti bahwa derajat warna kemerahan pada dendeng curing basah lebih
tinggi dari kedua dendeng lainnya. Perlakuan curing basah terbukti mampu
meningkatkan warna merah pada dendeng. Indikasi dendeng curing basah memiliki
warna kemerahan yang lebih tinggi terlihat pada nilai a yang tinggi pada dendeng
curing basah. Pada dendeng non curing warna yang terbaca adalah kuning merah.
Hal ini dapat terlihat pada nilai b dendeng non-curing yang tinggi dan nilai a yang
rendah pada dendeng non-curing. Warna kuning merah menunjukkan adanya
penggabungan warna kuning dan merah (Setianingtias, 2005).
Karakteristik Mikrobiologis
Dendeng merupakan salah satu produk olahan daging yang selain bertujuan
untuk menghasilkan variasi produk baru juga untuk meningkatkan daya simpan dan
26
keawetan produk daging. Tabel 6 menunjukkan analisis deskriptif karakteristik
mikrobiologis dendeng sapi dengan perlakuan curing yang berbeda.
Tabel 6. Karakteristik Mikrobiologis Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan
Curing yang Berbeda
Parameter
Non Curing
Curing Basah
Curing Kering
------------ log 10 CFU/g ----------Total Plate Count
2,93±1,64
6,31±2,84
2,03±0,32
Staphylococcus aureus
1,92±2,71
4,92±3,76
2,29±0,86
Escherichia coli
2,11±2,98
negatif
negatif
negatif
negatif
negatif
Salmonella sp
Total Plate Count (TPC)
Total plate count (TPC) menunjukkan jumlah koloni bakteri yang tumbuh
pada produk dendeng. Populasi total mikroba maksimal pada produk dendeng
menurut standar nasional Indonesia (SNI) (2009) adalah 5 log 10 CFU/g. Total
mikroba pada dendeng non-curing dan dendeng curing kering memiliki nilai yang
lebih rendah dibandingkan dengan standar nasional Indonesia (SNI), sedangkan
untuk dendeng curing basah memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan
standar nasional Indonesia (SNI).
Proses curing pada dendeng curing kering mampu mereduksi pertumbuhan
mikroba dalam pembuatan dendeng. Hal ini dapat terlihat pada rendahnya total
mikroba yang terdapat pada dendeng. Nitrit yang ditambahkan dalam proses curing
memiliki fungsi preservatif mikrobial yang bersifat bakteriostatik pada bakteri
(Martin, 2001). Penambahan bumbu pada pembuatan dendeng juga berpengaruh
dalam proses preservasi. Garam memiliki fungsi sebagai pengawet dan penghambat
pertumbuhan mikroba. Garam dapat meningkatkan tekanan osmotik pada daging
sehingga akan menurunkan aktivitas air dalam daging (Soeparno, 2005).
Total mikroba dendeng curing basah yang diperoleh menunjukkan hasil yang
lebih besar daripada standar nasional Indonesia (SNI). Hal ini dapat disebabkan
karena terjadi pertumbuhan mikroba selama proses perendaman daging dalam larutan
curing. Meskipun dalam larutan curing terdapat bahan yang bersifat preservatif
seperti garam nitrit, namun pertumbuhan bakteri masih dapat terjadi karena selama
27
perendaman kondisi kadar air pada daging yang tinggi. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Pegg dan Sahidi (2006) yang menyatakan bahwa pertumbuhan mikroba
dan jamur dapat terjadi selama perendaman pada curing basah meskipun daging
disimpan dalam suhu dingin dan terdapat kandungan garam dalam larutan curing, hal
tersebut terjadi karena adanya kandungan air yang tinggi selama perendaman daging
dalam larutan curing.
Staphylococcus aureus
Hasil penelitian menunjukkan adanya Staphylococcus aureus yang cukup
tinggi pada produk dendeng curing basah dan dendeng curing kering. Standar
Nasional Indonesia menyatakan batas maksimum jumlah Staphylococcus aureus
pada produk dendeng adalah 2 log 10 CFU/g. Dendeng non-curing memiliki jumlah
total bakteri sebesar 1,92 log 10 CFU/g. Nilai tersebut berada dibawah batas standar
yang ditetapkan oleh standar nasional Indonesia (SNI). Penggunaan bumbu-bumbu,
garam serta gula pada proses pembuatan dendeng non-curing terbukti mampu
menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Jumlah total mikroba
pada dendeng curing basah dan dendeng curing kering adalah 4,92 log 10 CFU/g dan
2,92 log 10 CFU/g. Kedua nilai tersebut melebihi batas standar yang ditetapkan oleh
standar nasional Indonesia (SNI).
Jumlah Staphylococcus aures paling tinggi terdapat pada dendeng curing
basah. Nilai tersebut berkaitan dengan nilai total plate count (TPC) yang
menunjukkan curing basah memiliki jumlah mikroba paling tinggi. Nilai yang tinggi
tersebut disebabkan oleh tingginya kadar air dalam daging selama proses curing
basah karena daging direndam dalam larutan curing sehingga memungkinkan
mikroba dapat tumbuh dan berkembang. Jumlah Staphylococcus aures pada dendeng
non-curing yang lebih rendah dari standar nasional Indonesia (SNI) membuktikan
bahwa penambahan bumbu, gula dan garam dalam pembuatan dendeng mampu
menurunkan pertumbuhan mikroba dalam selama proses pembuatan dendeng. Hal
yang berlawanan terdapat pada dendeng curing kering. Jumlah Staphylococcus aures
tinggi melebihi standar SNI meskipun dalam proses pembuatannya tidak hanya
terdapat bumbu-bumbu tetapi juga nitrit. Penyimpangan hasil yang diperoleh
memberikan petunjuk bahwa dalam proses pengolahan perlu peningkatan sanitasi
28
dan higyene serta pengujian terhadap bahan-bahan baku sebelum proses pengolahan
dilakukan.
Bakteri Staphylococcus aures mampu bertahan dengan baik pada kondisi
beku (Thipparedi dan Sanchez, 2006), sehingga penyimpanan beku pada dendeng
masih memungkinkan bakteri ini untuk bertahan. Staphylococcus aures mudah
dihilangkan dengan menggunakan pemanasan dengan suhu yang umumnya
digunakan untuk memproses produk daging dan ikan (Thipparedi dan Sanchez,
2006). Enterotoksin yang dihasilkan oleh bakteri ini masih dapat bertahan pada suhu
100 ºC meskipun bakteri ini mudah mati pada suhu 60 ºC (Gaman dan Sherrington,
1992). Meskipun bakteri Staphylococcus aures mudah mati pada pemanasan 60 ºC
tidak berarti bahwa bakteri ini akan seluruhnya mati pada pemanasan tersebut.
Pengolahan dendeng dengan penggorengan dimungkinkan dapat mematikan bakteri
ini dan juga dapat menginaktifkan enterotoksin yang dihasilkan oleh bakteri ini.
Metode penggorengan yang baik digunakan adalah metode deep frying, pada proses
penggorengan dengan metode tersebut bahan pangan yang digoreng direndam dalam
minyak dan suhu minyak dapat mencapai 200-205 ºC (Ketaren, 2005). Suhu
penggorengan yang tinggi tersebut akan dapat menginkatifkan enterotoksin dan
mematikan bakteri Staphylococcus aures.
Escherichia coli
Keberadaan Escherichia coli dijumpai pada dendeng non-curing dengan
jumlah populasi bakteri sebesar 2,11 log 10 CFU/g. Nilai tersebut melebihi SNI untuk
batas maksimum cemaran Escherichia coli terhadap produk dendeng sebesar
<3 CFU/g. Hal sebaliknya terjadi pada dua produk lainnya yaitu dendeng curing
basah dan dendeng curing kering yang menunjukkan hasil negatif terhadap
keberadaan Escherichia coli. Proses curing efektif menghambat pertumbuhan bakteri
Escherichia coli pada produk dendeng. Penambahan natrium nitrit pada proses
curing memiliki fungsi sebagai agen antimikrobial terhadap mikroba (Martin, 2001).
Selain natrium nitrit, bumbu-bumbu juga berperan aktif dalam penghambatan
Escherichia coli karena adanya kandungan senyawa-senyawa aktif dalam bumbu
yang dapat berfungsi sebagai antimikroba. Selama proses pengolahan daging, proses
pemanasan dirancang untuk menghilangkan bakteri ini (Thipparedi dan Sanchez,
2006).
29
Pengolahan lebih lanjut berupa penggorengan dapat membunuh bakteri
Escherichia coli. Metode penggorengan yang baik digunakan adalah metode deep
frying. Suhu minyak pada penggorengan deep frying dapat mencapai 200-205 ºC
(Ketaren, 2005). Karakteristik suhu pertumbuhan bakteri Escherichia coli yang
merupakan kelompok bakteri gram negatif anaerobik fakultatif memiliki suhu
optimum pertumbuhan 10-40 ºC (Fardiaz, 1992). Pertumbuhan bakteri tersebut akan
menurun pada suhu di luar suhu optimum pertumbuhannnya. Penggorengan secara
deep frying dengan suhu yang tinggi akan mampu membunuh bakteri Escherichia
coli.
Salmonella sp
Analisis Salmonella pada produk dendeng dihasilkan data yang negatif
Salmonella. Nilai tersebut sesuai dengan standar nasional indonesia (SNI) produk
dendeng yang mengharuskan kandungan Salmonella yang harus negatif. Tingkat
bahaya yang cukup tinggi pada Salmonella menjadikan standar nilai negatif untuk
Salmonella pada semua jenis produk pangan olahan hasil ternak. Penggunaan
natrium nitrit serta bumbu-bumbu dalam pembuatan dendeng terbukti dapat
mempertahankan kondisi produk tetap negatif terhadap pertumbuhan Salmonella.
Pengaruh Kadar Air dan Aktivitas Air terhadap Karakteristik Mikrobiologis
Pengukuran kadar air dan aktivitas air yang dilakukan terhadap dendeng
mentah bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan curing yang berbeda
terhadap kadar air dan aktivitas air serta untuk mengetahui pengaruh kedua faktor
tersebut terhadap karakteristik mikrobiologis dendeng. Tabel 7 menunjukkan nilai
kadar air dan aktivitas air pada dendeng sapi dengan metode perlakuan curing
berbeda.
Tabel 7. Kadar Air dan Aktivitas Air Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan
Curing yang Berbeda
Peubah
Perlakuan
Non Curing
Curing Basah
Curing Kering
Kadar air (%)
30,48±1,95
32,87±4,42
31,72±1,73
Aw
0,59±0,03
0,65±0,05
0,69±0,09
30
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kadar air dan aktivitas air dendeng
dengan tiga perlakuan curing yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata. Hal ini berarti bahwa perlakuan curing yang berbeda tidak berpengaruh
terhadap kadar air produk dendeng, sehingga tidak mempengaruhi komposisi
kandungan air dalam daging. Penggunaan nitrit pada proses curing secara langsung
bereaksi secara kimia dengan pigmen merah daging. Pigmen merah daging yaitu
mioglobin selama proses curing bereaksi dengan Nitrit Oksida (NO) dari nitrit
membentuk Nitrosomioglobin (MbNO) yang menghasilkan warna merah yang stabil.
Proses pengeringan mampu menurunkan kadar air pada dendeng meskipun
kadar air yang diperoleh belum memenuhi standar nasional indonesia (SNI) (1992)
yaitu 12%, akan tetapi kadar air yang diperoleh masih berada pada kisaran nilai
produk daging semi basah dan juga tergolong dalam nilai kadar air yang beredar di
pasaran. Huang dan Nip (2001) yang menyatakan bahwa dendeng adalah produk
daging semi basah, dan nilai kadar air untuk produk semi basah adalah berkisar 15%
sampai 50%. Nilai kadar air dendeng sayat yang beredar di pasaran menurut
Purnomo (1995) memiliki kisaran 9,9% sampai 35,5%. Beberapa penelitian
sebelumnya juga mendapatkan hasil nilai kadar air yang belum sesuai dengan SNI,
seperti penelitian Setianingtias (2005) yang meneliti tentang dendeng giling daging
domba dengan suhu dan waktu pengeringan yang berbeda memiliki kisaran kadar air
17,81% sampai 30,56%. Begitu pula dengan penelitian Annasry (2006) tentang
dendeng sapi giling dengan subsitusi madu terhadap gula merah mendapat nilai kadar
air dengan kisaran 18,68% sampai 20,67%.
Penurunan kadar air berimplikasi pada penurunan aktivitas air dalam bahan
pangan. Perlakuan curing yang berbeda tidak berpengaruh terhadap kadar air, hal
tersebut juga berlaku sama terhadap aktivitas air. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai aktivitas air (a w ) yang diperoleh pada ketiga sampel dendeng dengan
perlakuan curing yang berbeda tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata.
Nilai aktivitas air (a w ) yang diperoleh sesuai dengan pernyataan Huang dan Nip
(2001) yang menyatakan bahwa nilai aktivitas air (a w ) dendeng sayat memiliki
kisaran 0,52-0,67. Perlakuan curing yang berbeda pada penelitian ini tidak
berpengaruh terhadap nilai aktivitas air (a w ) produk dendeng yang dihasilkan.
31
Nilai aktivitas air produk dendeng yang dihasilkan berada pada kisaran 0,59
sampai 0,69. Sebagian besar bakteri tidak dapat tumbuh pada nilai aktivitas air (a w )
0,91 dan sebagian besar jamur tidak tumbuh pada nilai aktivitas air (a w ) di bawah 0,8
(Huang dan Nip, 2001). Berdasarkan nilai kisaran aktivitas air (a w ), produk dendeng
berada pada kisaran aman terhadap pertumbuhan mikroba. Penambahan garam
selama proses pembuatan dendeng memiliki peran dalam menurunkan aktivitas air,
karena garam dapat meningkatkan tekanan osmotik pada daging yang membuat
aktivitas air dalam daging menurun (Soeparno, 2005). Proses penurunan aktivitas air
tersebut merupakan peran garam yang bersifat preservatif terhadap pertumbuhan
mikroba. Selain garam, penggunaan gula yang cukup tinggi dalam pembuatan
dendeng juga berperan dalam proses preservasi terhadap pertumbuhan mikroba. Gula
mampu menurunkan kadar air (Soeparno, 2003; Martin, 2001) karena gula bersifat
higroskopis yang mampu menyerap air. Kadar air yang menurun akan
mengakibatkan aktivitas air di dalam bahan pangan juga ikut menurun. Nilai
aktivitas air yang rendah pada produk mengakibatkan mikroba tidak dapat
bermetabolisme sehingga hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangbiakan mikroba.
Pengaruh Nilai pH terhadap Karakteristik Mikrobiologis
Nilai pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroba. Sebagian besar mikroba tidak dapat tumbuh pada kisaran nilai pH yang
rendah. Pengukuran nilai pH dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan curing
yang berbeda terhadap nilai pH dendeng sapi. Tabel 8 menunjukkan nilai pH pada
dendeng sapi dengan metode perlakuan curing berbeda.
Tabel 8. Nilai pH Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda
Peubah
Perlakuan
Non-Curing
5,42±0,12
Curing Basah
5,40±0,05
Curing Kering
5,47±0,13
Nilai pH pada suatu produk menunjukkan derajat keasaman suatu produk
tersebut. Hasil analisis ragam nilai pH pada penelitian ini menunjukkan bahwa nilai
32
pH pada dendeng dengan metode perlakuan curing yang berbeda tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan curing yang berbeda
tidak mempengaruhi nilai pH akhir produk dendeng. Nilai pH yang dihasilkan sesuai
dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan. Huang dan Nip
(2001) menyatakan bahwa rata-rata nilai pH pada dendeng adalah 5,6. Soeparno
(2005) juga menyatakan bahwa kisaran nilai pH pada produk dendeng adalah 4,55,1. Penelitian lain yang dilakukan oleh Suharyanto et al. (2008) menyebutkan
bahwa rataan nilai pH pada produk dendeng giling adalah 5,83.
Reaksi kimia selama proses curing tidak menghasilkan senyawa-senyawa
asam yang mampu menurunkan nilai pH. Oleh karena itu, tidak terdapat perbedaan
nilai pH pada produk dendeng yang dihasilkan. Nilai pH yang rendah pada produk
dendeng terjadi karena proses rigor mortis pada daging (Bennani et al., 2000). Proses
postrigor merupakan proses pelayuan pada daging, selama proses pelayuan terjadi
metabolism anaerobik di dalam otot. Glikogen otot yang termetabolisme akan
berubah menjadi asam laktat. Penimbunan asam laktat di dalam otot menyebabkan
penurunan pH pada otot. Penurunan pH terus terjadi sampai tercapai pH ultimat
(Soeparno, 2005).
Nilai pH yang rendah akan membuat produk lebih aman dari pertumbuhan
berbagai macam mikroba. Sebagian besar mikroba tumbuh baik pada kisaran pH 6,6
sampai 7,5 (Gaman dan Sherrington, 1992). Nilai pH dendeng menunjukkan kisaran
nilai 5,4 sampai 5,47. Hal ini menunjukkan bahwa dendeng berada pada kisaran nilai
pH aman terhadap pertumbuhan mikroba. Beberapa mikroba patogen masih dapat
tumbuh pada kisaran nilai pH tertentu. Bakteri Salmonella masih dapat tumbuh
sampai pada pH 4,5 dan bakteri Escherichia coli masih dapat tumbuh sampai pada
pH 4,4 (Gaman dan Sherrington, 1992). Nilai pH dendeng menunjukkan bahwa
kedua bakteri tersebut masih dapat tumbuh pada kisaran nilai pH yang dihasilkan.
Namun, hasil analisis mikroba menunjukkan bahwa penambahan nitrit mampu
menghambat pertumbuhan kedua mikroba tersebut.
Uji Hedonik
Uji hedonik dilakukan untuk menyatakan tingkat kesukaan konsumen
terhadap mutu produk yang dihasilkan. Uji hedonik yang dilakukan dalam pengujian
dendeng sapi ini meliputi beberapa ciri sensori seperti warna, aroma, tekstur dan
33
penampilan umum. Tabel 9 menunjukkan nilai rataan uji hedonik dendeng sapi yang
diberi perlakuan metode curing yang berbeda.
Tabel 9. Rataan Uji hedonik Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang
Berbeda
Warna
Non-Curing
5,44±1,66b
Perlakuan
Curing Basah
6,72±1,10a
Curing Kering
5,96±1,54ab
Aroma/ Bau
6,08±1,52b
7,00±0,87a
6,24±1,27ab
Tekstur
5,04±1,57b
6,36±0,95a
6,08±0,99ab
Penampilan Umum
5,32±1,50b
6,60±1,15a
6,20±1,26ab
Parameter
Keterangan : 1=amat sangat tidak suka
2=sangat tidak suka
3=tidak suka
4=agak tidak suka
5=netral
6=agak suka
7=suka
8=sangat suka
9=amat sangat suka
Warna
Rataan nilai warna hasil uji hedonik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
tingkat kesukaan yang nyata antara dendeng non-curing dengan dendeng curing
basah. Dendeng yang diberi perlakuan curing kering mempunyai tingkat kesukaan
yang sama dengan dendeng non-curing dan dendeng curing basah. Tingkat kesukaan
tertinggi terhadap warna dendeng didapatkan pada dendeng curing basah,
selanjutnya dendeng curing kering, dan terakhir pada dendeng non-curing. Panelis
menyukai warna merah pada dendeng curing basah karena dendeng tersebut
mendapat penambahan nitrit selama proses curing yang berfungsi untuk memfiksasi
warna merah daging sehingga dihasilkan dendeng dengan warna merah yang cerah.
Proses curing basah memungkinkan larutan nitrit dapat terserap sempurna ke seluruh
permukaan daging. Hal tersebut menyebabkan proses fiksasi warna nitrit terhadap
daging menjadi optimal dan merata ke seluruh permukaan daging. Meratanya proses
fiksasi yang terjadi membuat warna merah menjadi merata. Hal ini berbeda dengan
dendeng non-curing yang tidak ditambahkan nitrit dalam proses curing-nya,
sehingga menyebabkan warna dendeng non-curing lebih gelap daripada dendeng
curing kering dan curing basah. Curing kering memiliki tingkat kesukaan dibawah
curing basah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat warna merah yang dihasilkan lebih
rendah dibandingkan dengan curing basah. Tingkat kemerahan yang lebih rendah
34
tersebut dapat disebabkan karena tidak meratanya nitrit memfiksasi seluruh
permukaan daging selama proses curing kering berlangsung.
Aroma
Aroma atau bau merupakan salah satu kriteria penerimaan suatu produk oleh
konsumen. Dendeng adalah salah satu jenis olahan produk asal daging yang memiliki
aroma yang khas karena adanya penambahan rempah-rempah dalam proses
pembuatannya. Rataan uji hedonik pada penelitian ini menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata tingkat kesukaan terhadap aroma antara dendeng non-curing
dengan dendeng curing basah, namun kedua jenis dendeng tersebut tidak berbeda
nyata dengan dendeng curing kering. Tingkat kesukaan yang lebih tinggi dijumpai
pada dendeng curing basah dibandingkan pada kedua jenis dendeng lainnya. Hal ini
membuktikan bahwa perlakuan curing basah mampu meningkatkan aroma pada
dendeng menjadi lebih baik.
Perkembangan karakteristik aroma pada produk curing sebagian besar
merupakan gabungan sensasi aroma yang berasal dari kontribusi senyawa-senyawa
volatil yang tinggi, misalnya seperti bumbu-bumbu dan bahan tambahan lainnya.
Mekanisme pengaruh nitrit dalam pengembangan aroma suatu produk diduga melalui
efek antioksidatif akibat penambahan nitrit pada proses pembuatan produk (Pegg dan
Sahidi, 2002). Penambahan nitrit pada kadar tertentu dapat menghambat terjadinya
ketengikan oksidatif (Rahman, 2006) karena beberapa komponen senyawa karbonil
akan menurun konsentrasinya setelah penambahan nitrit melalui proses curing.
Akibatnya aroma khas dendeng yang diberi perlakuan curing akan lebih terasa kuat
dibandingkan dendeng non-curing. Nitrit pada curing basah bereaksi secara
menyeluruh pada setiap permukaan daging. Pengaruh antioksidatif nitrit melalui
proses penghambatan oksidasi lemak terjadi lebih besar pada saat curing basah. Oleh
karena itu, perkembangan aroma dendeng curing basah lebih tinggi dibandingkan
dendeng lainnya. Proses pengeringan akan membuat aroma dendeng menjadi lebih
kuat karena selama proses pengeringan terjadi penguapan air yang membuat
komponen-komponen volatil yang terdapat pada daging, bumbu dan perpaduan antar
keduanya turut menguap dan menciptakan aroma khas pada dendeng.
35
Tekstur
Hasil rataan uji hedonik menunjukkan bahwa terdapat beda nyata antara
tekstur dendeng non-curing dengan dendeng curing basah, namun kedua dendeng
tersebut menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan produk dendeng curing
kering. Tingkat kesukaan terhadap tekstur dendeng curing basah lebih tinggi
dibandingkan dengan dendeng curing kering dan non-curing. Hal tersebut
kemungkinan terjadi karena selama proses curing basah daging direndam dalam
larutan curing dalam waktu yang lama sehingga menjadikan tekstur daging lebih
lunak karena daging menyerap lebih banyak air dari larutan curing.
Penampilan Umum
Penampilan umum mencakup segala variabel yang mencakup produk seperti
warna, aroma, dan tekstur. Secara garis besar penampilan umum suatu produk akan
mempengaruhi tingkat penerimaan produk oleh konsumen. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis pada dendeng non-curing dengan
dendeng curing basah adalah berbeda nyata, namun tingkat kesukaan kedua jenis
dendeng tersebut tidak berbeda nyata dengan dendeng curing kering. Secara
keseluruhan, panelis lebih menyukai produk dendeng yang diberi perlakuan curing
basah. Perlakuan curing basah terbukti mampu meningkatkan warna, aroma, tekstur
dan penampilan umum pada produk dendeng yang dihasilkan.
36
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Curing basah menghasilkan dendeng sapi dengan intensitas warna merah dan
tingkat kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan dendeng curing kering dan dendeng
non-curing. Namun, hal tersebut tidak didukung oleh kualitas mutu mikrobiologis
yang
menunjukkan
bahwa
dendeng
curing
kering
menghasilkan
kualitas
mikrobiologis yang lebih bagus dibandingkan dendeng curing basah dan dendeng
non-curing.
Saran
Dendeng yang memiliki warna merah cerah dapat diperoleh melalui curing
basah, tetapi dalam proses pembuatannya memerlukan persyaratan hygiene yang baik
untuk mencegah kontaminasi.
37
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas limpahan
karunia dan rahmat-Nya yang tiada terhingga. Hanya dengan kehendak dan
pertolongan-Nya lah penulis mampu menyelesaikan penelitian dan skripsi ini.
Shalawat serta salam tak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Agung Muhammad
SAW hingga akhir zaman.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. dan
Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. yang senantiasa membimbing dan mengarahkan
penulis dalam penyusunan proposal hingga tahap akhir penyusunan skripsi. Selain
itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Rarah Ratih Adjie
Maheswari, D.E.A dan Ir. Anita S. Tjakradidjaja, M.Rur.Sc. selaku dosen penguji.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir. Rini Herlina Mulyono, M.Si.
sebagai dosen pembimbing akademik yang selalu membimbing penulis selama
menempuh studi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Devi Murtini, S.Pt., Dwi
Febriantini dan Cucu Diana, S.Pt. selaku teknisi laboratorium yang telah membantu
penulis selama penelitian dan juga kepada teman-teman satu penelitian Nur Laili
Indasari dan Novita Latifatuz Zahro. Kepada teman-teman wisama Queen Castle
serta teman-teman terdekat penulis, Friesgina W., Nurhayati, Fitria L., Angritia V.,
Rarastiti H. W., Dwi Wahyu N., Mubandini D.W., Sita A.P., Ika A., Fitria S.U. dan
Hibatuz Z. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman IPTP 45 dan
semua pihak-pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan pada penelitian
ini. Kepada seluruh civitas akademika Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Terakhir penulis sampaikan terima kasih kepada ayah (Yunus Huda) dan ibu
(Sriningsih) serta kedua saudara penulis (Rina Lutfianingrum dan Yudi Anggara P.)
atas limpahan doa, kasih sayang dan dukungan yang tiada henti. Semoga skripsi ini
memberikan manfaat dan pengetahuan bagi pembacanya.
Bogor, Desember 2012
Penulis
38
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah, R. 2008. Buku Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Penerbit Bumi Aksara,
Jakarta.
Alvarez, J.A.P, M.E.S. Barbera, J.F. Lopez & V.A. Catala. Physicochemical
chracterictics of Spanish-type dry cured sausage. Food Res. Intl. 32 : 599-607.
Annasry, I. A. 2006. Sifat fisikokimia dan organoleptik dendeng daging sapi giling
dengan subsitusi madu terhadap gula merah. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil
Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Association of Official Analytical Chemistry. 1995. Official Methods of Analysis.
Association of Official Chemist Int., Washington D. C.
Bard, J. & W.E. Townsend. 1971. Cured meat. In : Price J.P. & Schweigert B.S.
(Eds). The Science of Meat and Meat Product 2nd Edition. W.H. Freeman and
Company, San Francisco.
Bennani, L., M. Faid, & A. Bouseta. 2000. Experimental manufacturing of kaddid, a
salted dried meat product : control of the microorganisms. Eur. Food Res.
Tech. 211 : 153-157.
Buchbauer, G., L. Jirovetz, M. P. Shafi, & N. K. Leela. 2003. Analysis of the
essential oils of the leaves, stems, rhizomes and roots of the medicinal plant
Alpinia galanga from southern India. Acta Pharm. 53 :73-81.
Buckle,K.A., R.A. Edward, G.H. Fleet, & M. Wootton. 1985. Ilmu Pangan.
Terjemahan. H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Burdock, G. A. & I. G. Carabin. 2009. Safety assessment of coriander (Coriandrum
sativum L.) essential oil as food ingredient. Food and Chemical Toxicology
47:22-34.
Cantore, P.L., N. S. Iacobellis, A. D. Marco, F. Capasso, & F. Senatore. 2004.
Antibacterial activity of Coriandrum sativum L. and Foeniculum vulgare
Miller Var. vulgare (Miller) essentials oils. J. Agric. Food Chem 52 : 78627866.
Chasco, J., G. Lizaso & M.J. Beriain. 1996. Cured color development during sausage
processing. Meat Sci. 44(3) : 203-211.
Darmadji, P., Masatoshi, I., & Kei, K. 1994. Antibacterial effects of spices on
fermented meat. Departemen of Agricultural Technology. Okayama
University, Japan.
Dewan Standardisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia 7388:2009. Batas
Cemaran Mikroba dalam Bahan Pangan. Badan Standar Nasional, Jakarta.
Dewan Standardisasi Nasional. 2008. Standar Nasional Indonesia 2897:2008.
Metode Pengujian Cemaran Mikroba dalam Daging, Telur, dan Susu serta
Hasil Olahannya. Badan Standar Nasional, Jakarta.
Dewan Standardisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia 01-3947-1995.
Daging Sapi. Badan Standar Nasional, Jakarta.
39
Dewan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia 01-2908-1992.
Dendeng Sapi. Badan Standar Nasional, Jakarta.
Dewi, R.S., N. Huda, & R. Ahmad. 2011. Changes in the physicochemical
properties, microstructure and sensory characteristic of shark dendeng using
different drying methods. Am. J. Food Technol. 6(2) : 149-157.
Earle, R. L. 1982. Satuan Operasi dalam Pengolahan Pangan. Terjemahan. Zein
Nasution. Penerbit PT Sastra Hudaya, Jakarta.
Esteban M.G., D. Ansorena, O. Gimeno & I. Astiasaran. 2003. Optimization of
instrumental color analysis in dry cured ham. Meat Sci. 63 : 287-292.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi
Institut Pertanian Bogor. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Fardiaz, S. 1989. Penunjuk Laboratorium Analisis Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Febriayanti. 2003. Formulasi minuman instan markisa (Passiflora edulis) – terung
belanda (Chiphomandra betacea) effervescent. Skripsi. Teknologi Pangan dan
Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gaman, P.M. & K.B. Sherrington. 1992. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi ke-2. Terjemahan: M. Gardjito, S. Nuruki, A.
Murdiati & Sardjono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Guerrero, L., P. Gou, & J. Arnau. 1999. The influence of meat pH on mechanical and
sensory textural properties of dry cured ham. Meat Sci. 52 : 267-273.
Handajani, N.S. & T. Purwoko. 2008. Aktivitas ekstrak rimpang lengkuas (Alpinia
galanga L.) terhadap pertumbuhan jamur Aspergillus spp. penghasil aflatoksin
dan Fusarium moniliforme. J. Biodiversitas 9(3) : 161-164.
Harris, R. S. & E. Karmas. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan.
Terjemahan : Achmadi S. Penerbit ITB Press, Bandung.
Honikel, K.O. 2008. The use and control of nitrate and nitrite for the processing of
meat products. Meat Sci. 78 : 68-76.
Huang, T.C. & W. K. Nip. 2001. Intermediate-moisture meat and dehydrated meat.
In : Y.H. Hui, Wai-Kit Nip, R. W. Rogers, & O. A. Young. Ed. Meat Science
and Applications. Marcel Dekker, Inc., New York.
Hutching, J. B. 1999. Food Color and Appearance. 2nd Edition. Aspen Publishing,
Inc., Gaitersburg, Maryland.
Ichikawa, M., J. Yoshida, N. Ide, T. Sasaoka, H. Yamaguchi, & K. Ono. 2009.
Tetrahydro-β-carboline derivates in aged food extract show antioxidant
properties. J. Nutr. 136 : 726S-731S.
40
Karsha, V. P. & O. B. Lakshmi. 2009. Antibacterial activity of black pepper (Piper
ningrum Linn.) with special reference to its mode of action on bacteria. J.
Indian of Nat. Prod. and Res. 1 (2) : 213-215.
Ketaren, S. 2005. Minyak dan Lemak. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Kusnandar, F. 2010, Kimia Pangan Komponen Makro. PT Dian Rakyat. Jakarta.
Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan A. Parakkasi. Universitas Indonesia
Press, Jakarta.
Legowo, A.M., Soepardi, R.Miranda, I. S. N. Anisa, & Y. Rohidayah. 2002.
Pengaruh perendaman daging pra kyuring dalam jus daun sirih terhadap
ketengikan dan sifat organoleptik dendeng sapi selama penyimpanan. J.
Teknologi dan Industri Pangan 8 (1) : 64-69.
Martin, M. 2001. Meat curing technology. In : Y.H. Hui, Wai-Kit Nip, R. W. Rogers,
& O. A. Young (Eds). Meat Science and Applications. Marcel Dekker, Inc.,
New York.
Parwata, I. M.O. A. & P. F. S. Dewi. 2008. Isolasi uji aktivitas antibaktei minyak
atsiri dari rimpng lengkuas (Alpinia galanga L.). J. Kim. 2 (2) : 100-104.
Pegg, R.B. & F. Sahidi. 2006. Processing of Nitrite-Free Cured Meats. In : Nollet,
L.M.L & F. Toldra. Ed. Advance Technologies for Meat Processing. Taylor &
Francis Group CRC Press, Boca Raton.
Pegg, R.B. 2004. Curing. In : Jensen, W.K., C. Devine & M. Dikeman. Ed.
Encyclopedia of Meat Science. Elseveier Academic Press. UK.
Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan.
Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Rahman, M.S. 2006. Nitrite in Food Preservation. In : Nollet, L.M.L & F. Toldra.
Ed. Advance Technologies for Meat Processing. Taylor & Francis Group CRC
Press, Boca Raton.
Saeed, S. & P. Tariq. 2007. Antimicrobial activities of Emblica officinalis dan
Coriandrum sativum against gram positive bacteria and Candida albicans. Pak.
J. Bot. 39(3): 913-917.
Setianingtias, P. A. 2005. Sifat fisik dan organoleptik dendeng giling daging domba
dengan suhu dan waktu pengeringan yang berbeda. Skripsi. Jurusan Teknologi
Hasil Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Soemardji, A.A. 2007. Tamarindus indica L. or “Asam Jawa”: The Sour but Sweet
and Useful. The Institute of Natural Medicine, University of Toyama, Japan.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada Universitity Press,
Yogyakarta.
Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu
Pendekatan Biometrik. Terjemahan : B. Soematri. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
41
Suharyanto, R. Priyantoi, & E. Gurnadi. 2008. Sifat fisikokimia dendeng daging
giling terkait cara pencucian (leaching) dan jenis daging yang berbeda. Med.
Pet. 31 (2) : 99-106.
Syarif, R & H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan,
Jakarta.
Tangkanakul, P., Auttaviboonkul, P., Niyomit, B., Lowvitoon, N., Charoenthamawat,
P., & Trakoontivakorn, G. 2009. Antioxidant capacity, total phenolic content
and nutritional composition of Asian foods after thermal processing. J. Intl.
Food Res. 16 : 571-580.
Thippareddi, H. & M. Sanchez. 2006. Thermal processing of meat product In : Sun,
D. W. Ed. Thermal Food Processing New Technologies and Quality Issue.
Taylor & Francis, New York.
Toldra, F. 2004. Dry Curing. In : Jensen, W.K., C. Devine & M. Dikeman. Ed.
Encyclopedia Of Meat Science. Elseveier Academic Press. UK.
Xiong, Y.L. & W. B. Mikel. Meat and meat product. In : Y.H. Hui, Wai-Kit Nip, R.
W. Rogers, & O. A. Young. Ed. Meat Science and Applications. Marcel
Dekker, Inc., New York.
Yuharmen, Y. Eryanti, & Nurbalatif. 2002. Uji aktivitas antimikroba minyak atsiri
dan ekstrak methanol lengkuas (Alpinia galanga). Jurusan Kimia. Fakultas
Ilmu Pengetahuan Alam dan Matematika, Universitas Riau, Riau.
42
LAMPIRAN
43
Lampiran 1. Formulir Uji Hedonik
FORMULIR UJI HEDONIK
Nama Panelis :
Tanggal
:
Produk
:
Dendeng Sapi
Instruksi
:
Berilah penilaian pada produk dendeng sapi yang disajikan tanpa
membandingkan satu sampel dengan sampel lainnya, kemudian
isikan kolom-kolom di bawah ini dengan skor yang telah
ditentukan.
Atribut Mutu
Kode Sampel
635
239
764
Warna
Aroma
Tekstur
Penampilan Umum
Keterangan : 1=amat sangat tidak suka
2=sangat tidak suka
3=tidak suka
4=agak tidak suka
5=netral
6=agak suka
7=suka
8=sangat suka
9=amat sangat suka
44
Lampiran 2. Analisis Ragam Tingkat Kecerahan L Dendeng Sapi dengan Metode
Perlakuan Curing yang Berbeda
Sumber
db
JK
KT
F Hit
P
Perlakuan
2
2,64469
1,32234
5,16
0,0496*
Galat
6
1,53687
0,25614
Total
8
4,18156
Keragaman
Keterangan : *P<0,05 = Nyata
Lampiran 3. Uji Banding LSD Tingkat Kecerahan L Dendeng Sapi dengan Metode
Perlakuan Curing yang Berbeda
Perlakuan
Rataan
Homogenous Group
Non-Curing
27,1
A
Curing Basah
25,987
B
Curing Kering
27,17
A
Lampiran 4. Analisis Ragam Tingkat Warna a Dendeng Sapi dengan Metode
Perlakuan Curing yang Berbeda
Sumber
db
JK
KT
F Hit
P
Perlakuan
2
24,1751
12,0875
14,96
0,0047*
Galat
6
4,8479
0,8080
8
29,0230
Keragaman
Total
*
Keterangan : P<0,05 = Nyata
Lampiran 5. Uji Banding LSD Tingkat Warna a Dendeng Sapi dengan Metode
Perlakuan Curing yang Berbeda
Perlakuan
Rataan
Homogenous Group
Non-Curing
4,6167
A
Curing Basah
8,5
B
Curing Kering
5,6767
A
45
Lampiran 6. Analisis Ragam Tingkat Warna b Dendeng Sapi dengan Metode
Perlakuan Curing yang Berbeda
Sumber
db
JK
KT
F Hit
P
Perlakuan
2
0,99060
0,49530
4,04
0,0773
Galat
6
0,73500
0,12250
Total
8
1,72560
Keragaman
Keterangan : P<0,05 = Nyata
Lampiran 7. Uji Banding LSD Tingkat Warna b Dendeng Sapi dengan Metode
Perlakuan Curing yang Berbeda
Perlakuan
Rataan
Homogenous Group
Non-Curing
6,24
A
Curing Basah
5,45
B
Curing Kering
5,68
AB
Lampiran 8. Analisis Ragam °HUE Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing
yang Berbeda
Sumber
db
JK
KT
F Hit
P
Perlakuan
2
693,844
346,922
13,77
0,0057*
Galat
6
151,197
25,199
Total
8
845,041
Keragaman
Keterangan : *P<0,05 = Nyata
Lampiran 9. Uji Banding LSD °HUE Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan
Curing yang Berbeda
Perlakuan
Rataan
Homogenous Group
Non-Curing
54
A
Curing Basah
45,333
B
Curing Kering
32,62
A
46
Lampiran 10. Analisis Ragam Kadar Air Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan
Curing yang Berbeda
Sumber
db
JK
KT
F Hit
P
Perlakuan
2
8,5964
4,29821
0,49
0,6355
Galat
6
52,6955
8,78259
Total
8
61,2920
Keragaman
Keterangan : P<0,05 = Nyata
Lampiran 11. Analisis Ragam Aktivitas Air (A w ) Dendeng Sapi dengan Metode
Perlakuan Curing yang Berbeda
Sumber
db
JK
KT
F Hit
P
Perlakuan
2
0,01390
0,00695
1,85
0,2360
Galat
6
0,02249
0,00375
Total
8
0,03639
Keragaman
Keterangan : P<0,05 = Nyata
Lampiran 12. Analisis Ragam pH Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing
yang Berbeda
Sumber
db
JK
KT
F Hit
P
Perlakuan
2
5,1667
2,58333
0,29
0,7615
Galat
6
54,3333
9,05556
Total
8
59,5000
Keragaman
Keterangan : P<0,05 = Nyata
Lampiran 13. Analisis Ragam Data Hasil Uji Hedonik Warna Dendeng Sapi dengan
Metode Perlakuan Curing yang Berbeda
Sumber
db
JK
KT
F Hit
P
Perlakuan
2
3429,4
1714,72
4,23
0,0183*
Galat
72
29174,6
405,20
Total
72
32604,0
Keragaman
Keterangan : *P<0,05 = Nyata
47
Lampiran 14. Uji Banding Data Hasil Uji Hedonik Warna Dendeng Sapi dengan
Metode Perlakuan Curing yang Berbeda
Perlakuan
Rataan
Homogenous Group
Non-Curing
30,24
B
Curing Basah
46,72
AB
Curing Kering
37,04
A
Lampiran 15. Analisis Ragam Data Hasil Uji Hedonik Aroma Dendeng Sapi dengan
Metode Perlakuan Curing yang Berbeda
Sumber
db
JK
KT
F Hit
P
Perlakuan
2
3061,0
1530,49
3,79
0,0273*
Galat
72
29098,5
404,15
Total
74
32159,5
Keragaman
Keterangan : *P<0,05 = Nyata
Lampiran 16. Uji Banding Data Hasil Uji Hedonik Aroma Dendeng Sapi dengan
Metode Perlakuan Curing yang Berbeda
Perlakuan
Rataan
Homogenous Group
Non-Curing
32,4
B
Curing Basah
46,94
AB
Curing Kering
34,66
A
Lampiran 17. Analisis Ragam Data Hasil Uji Hedonik Tekstur Dendeng Sapi dengan
Metode Perlakuan Curing yang Berbeda
Sumber
db
JK
KT
F Hit
P
Perlakuan
2
4787,5
2393,76
6,32
0,0030*
Galat
72
27287,5
378,99
Total
74
32075,0
Keragaman
Keterangan : *P<0,05 = Nyata
48
Lampiran 18. Uji Banding Data Hasil Uji Hedonik Tekstur Dendeng Sapi dengan
Metode Perlakuan Curing yang Berbeda
Perlakuan
Rataan
Homogenous Group
Non-Curing
27,12
B
Curing Basah
46,08
AB
Curing Kering
40,8
A
Lampiran 19. Analisis Ragam Data Hasil Uji Hedonik Penampilan Umum Dendeng
Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda
Sumber
db
JK
KT
F Hit
P
Perlakuan
2
4175,8
2087,89
5,27
0,0073*
Galat
72
28531,7
396,27
Total
74
32707,5
Keragaman
Keterangan : *P<0,05 = Nyata
Lampiran 20. Uji Banding Data Hasil Uji Hedonik Penampilan Umum Dendeng Sapi
dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda
Perlakuan
Rataan
Homogenous Group
Non-Curing
27,86
B
Curing Basah
45,6
AB
Curing Kering
40,54
A
49
Lampiran 21. Hasil Analisis Mikrobiologi Total Plate Count (TPC) Dendeng Sapi
dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda
Non-Curing
Curing Basah
Curing Kering
Pengenceran 2
Pengenceran 2
Pengenceran 2
Pengenceran 3
Pengenceran 3
Pengenceran 3
Pengenceran 4
Pengenceran 4
Pengenceran 4
Pengenceran 5
Pengenceran 5
Pengenceran 5
50
Lampiran 22. Hasil Analisis Mikrobiologi Staphylococcus aureus Dendeng Sapi
dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda
Non Curing
Curing Basah
Curing Kering
Pengenceran 1
Pengenceran 1
Pengenceran 1
Pengenceran 2
Pengenceran 2
Pengenceran 2
Pengenceran 3
Pengenceran 3
Pengenceran 3
51
Lampiran 23. Hasil Analisis Mikrobiologi Escherichia coli Dendeng Sapi dengan
Metode Perlakuan Curing yang Berbeda
Non Curing
Curing Basah
Curing Kering
Pengenceran 1
Pengenceran 1
Pengenceran 1
Pengenceran 2
Pengenceran 2
Pengenceran 2
Pengenceran 3
Pengenceran 3
Pengenceran 3
52
Lampiran 24. Hasil Analisis Mikrobiologi Salmonella Dendeng Sapi dengan Metode
Perlakuan Curing yang Berbeda
Non Curing
Curing Basah
Curing Kering
Pengenceran 1
Pengenceran 1
Pengenceran 1
Pengenceran 2
Pengenceran 2
Pengenceran 2
Pengenceran 3
Pengenceran 3
Pengenceran 3
53
Lampira 25. Produk Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda
Non-Curing
Curing Basah
Curing Kering
54
Download