http://medlinux.blogspot.com/2008/12/apendisitis.html Apendisitis undefined undefined Appendicitis merupakan penyakit yang sering dijumpai sehingga harus dicurigai sebagai keadaan yang paling mungkin menjadi penyebab nyeri akut abdomen. Penyakit ini sering ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Insidensi pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Insidensi tertinggi pada laki-laki pada usia 10-14 tahun, sedangkan pada perempuan pada usia 15-19 tahun. Penyakit ini jarang ditemukan pada anak-anak usia di bawah 2 tahun.(1) Diagnosis appendicitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data-data tersebut. Tak jarang kasus-kasus appendicitis yang lolos dari diagnosis bahkan ada yang salah didiagnosis. Kadang-kadang untuk menegakkan diagnosis appendicitis sulit karena letak appendix di abdomen sangat bervariasi.(2,3) Penatalaksanaan appendicitis dilakukan dengan appendectomi, yaitu suatu tindakan bedah dengan mengangkat appendix. Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyulit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas, seperti dapat menyebabkan terjadinya perforasi atau ruptur pada appendix.(1) A. Definisi Appendicitis adalah suatu peradangan pada appendix. Peradangan ini pada umumnya disebabkan oleh infeksi yang akan menyumbat appendix.(3,4) B. Anatomi Appendix adalah suatu pipa tertutup yang sempit yang melekat pada secum (bagian awal dari colon). Bentuknya seperti cacing putih.Secara anatomi appendix sering disebut juga dengan appendix vermiformis atau umbai cacing.(3) Appendix terletak di bagian kanan bawah dari abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli. Muara appendix berada di sebelah postero-medial secum.Dari topografi anatomi, letak pangkal appendix berada pada titik Mc.Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.(4,5) Seperti halnya pada bagian usus yang lain, appendix juga mempunyai mesenterium. Mesenterium ini berupa selapis membran yang melekatkan appendix pada struktur lain pada abdomen. Kedudukan ini memungkinkan appendix dapat bergerak. Selanjutnya ukuran appendix dapat lebih panjang daripada normal. Gabungan dari luasnya mesenterium dengan appendix yang panjang menyebabkan appendix bergerak masuk ke pelvis (antara organ-organ pelvis pada wanita). Hal ini juga dapat menyebabkan appendix bergerak ke belakang colon yang disebut appendix retrocolic.(3) Appendix dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterica superior dan a. appendicularis. Sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. thoracalis X. Karena itu nyeri viseral pada appendicitis bermula disekitar umbilicus.Vaskularisasinya berasal dari a.appendicularis cabang dari a.ileocolica, cabang dari a. mesenterica superior.(2) C. Fisiologi Fungsi appendix pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix menghasilkan lendir. Lendir ini secara normal dialirkan ke appendix dan secum. Hambatan aliran lendir di muara appendix berperan pada patogenesis appendicitis.(1,3,5) Dinding appendix terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yaitu Ig A. Immunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.(2,3) D. Patofisiologi Appendicitis pada umumnya disebabkan oleh obstruksi dan infeksi pada appendix. Beberapa keadaan yang dapat berperan sebagai faktor pencetus antara lain sumbatan lumen appendix oleh mukus yang terbentuk terus menerus atau akibat feses yang masuk ke appendix yang berasal dari secum. Feses ini mengeras seperti batu dan disebut fecalith. (3) Adanya obstruksi berakibat mukus yang diproduksi tidak dapat keluar dan tertimbun di dalam lumen appendix. Obstruksi lumen appendix disebabkan oleh penyempitan lumen akibat hiperplasia jaringan limfoid submukosa. Proses selanjutnya invasi kuman ke dinding appendix sehingga terjadi proses infeksi. Tubuh melakukan perlawanan dengan meningkatkan pertahanan tubuh terhadap kuman-kuman tersebut. Proses ini dinamakan inflamasi. Jika proses infeksi dan inflamasi ini menyebar sampai dinding appendix, appendix dapat ruptur. Dengan ruptur, infeksi kuman tersebut akan menyebar mengenai abdomen, sehingga akan terjadi peritonitis. Pada wanita bila invasi kuman sampai ke organ pelvis, maka tuba fallopi dan ovarium dapat ikut terinfeksi dan mengakibatkan obstruksi pada salurannya sehingga dapat terjadi infertilitas. Bila terjadi invasi kuman, tubuh akan membatasi proses tersebut dengan menutup appendix dengan omentum, usus halus atau adnexsa, sehingga terbentuk massa peri-appendicular. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Appendix yang ruptur juga dapat menyebabkan bakteri masuk ke aliran darah sehingga terjadi septicemia. (1,3,6,7) Appendix yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang lagi dan disebut mengalami eksaserbasi akut (2). E. Gejala Klinis Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain (4,5,6,7): 1. Nyeri abdominal. Nyeri ini merupakan gejala klasik appendicitis. Mula-mula nyeri dirasakan samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc. Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritoneum biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk. 2. Mual-muntah biasanya pada fase awal. 3. Nafsu makan menurun. 4. Obstipasi dan diare pada anak-anak. 5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,7°-38,3° C. Gejala appendicitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis appendicitis diketahui setelah terjadi perforasi (1,2). F. Pemeriksaan Fisik 1. Inspeksi Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendiculer (2,6). 2. Palpasi Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal yaitu: - Nyeri tekan di Mc. Burney. - Nyeri lepas. - Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal (2,5,6) . Pada appendix letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang (2,5,6) . 3. Auskultasi Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendicitis perforata (2). Pemeriksaan Colok Dubur Akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12. Pada appendicitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur (5). Tanda-Tanda Khusus 1. Psoas Sign Dilakukan dengan rangsangan m.psoas dengan cara penderita dalam posisi terlentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, penderita disuruh hiperekstensi atau fleksi aktif. Psoas sign (+) bila terasa nyeri di abdomen kanan bawah (5,6). 2. Rovsing Sign Perut kiri bawah ditekan, akan terasa sakit pada perut kanan bawah (5,6). 3. Obturator Sign Dilakukan dengan menyuruh penderita tidur terlentang, lalu dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul. Obturator sign (+) bila terasa nyeri di perut kanan bawah (5,6). G. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium - Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat (4,7). - Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendicitis (4). 2. Abdominal X-Ray Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendicitis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak (4). 3. USG Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya (4). 4. Barium enema Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.(4) 5. CT-Scan Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses.(4,5) 6. Laparoscopi Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.(4) H. Diagnosis Banding 1. Gastroenteritis Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendicitis.(2) 2. Limfadenitis mesenterica Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut yang samarsamar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan perasaan mual dan muntah. (2) 3. Peradangan pelvis Tuba Fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendix. Radang kedua oergan ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnecitis.Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak sexsual. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendicitis dannyeri perut bagian bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus diayunkan maka akan terasa nyeri. (2,3) 4. Kehamilan Ektopik Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu. Jika terjadi ruptur tuba atau abortus diluar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan kavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan darah. (2) 5. Diverticulitis Meskipun diverticulitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-kadang dapat juga terjadi disebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala appendicitis. (3) 6. Batu Ureter atau Batu Ginjal Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalarr ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memestikan penyakit tersebut. (2) H. Penatalaksanaan Bila diagnosis appendicitis akut telah ditegakkan, maka harus segera dilakukan appendektomi. Hal ini disebabkan perforasi dapat terjadi dalam waktu < 24 jam setelah onset appendicitis.Penundaan tindakan pembedahan ini sambil diberikan antibiotik dapat mengakibatkan terjadinya abses atau perforasi (1,5,7) Appendectomi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara terbuka dan laparoscopi. Dengan cara terbuka dilakukan insisi di abdomen kanan bawah kemudian ahli bedah mengeksplorasi dan mencari appendix yang meradang.Setelah itu dilakukan pengangkatan appendix, dan abdomen ditutup kembali. Tindakan laparoscopi merupakan suatu tehnik baru untuk mengangkat appendix dengan menggunakan lapariscop.Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus yang meragukan dalam menegakkan diagnosis appendicitis. Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya tidak diperlukan pemberian antibiotik, kecuali pada appendicitis perforata.(1,2,3,4) DAFTAR PUSTAKA 1. Helwick, CA, Appendicitis, Gale Encytopedia of medicine. htm. 2. Hamami, AH, dkk, Usus Halus Appendiks, Kolon, dan Anorektum, dalam Sjamsuhidajat, R, De jong. W, Buku Ajar Ilmu bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997, hal 865-75. 3. Anonim, Appendectomy, Medicine Net. Com. 4. Anonim, Appendicitis, Medicine Net. Com. 5. Anonim, Appendicitis, The Merck Manual Sec 3, htm. 6. O’rourke. R, Acute Appendicitis, The Iowaclinic. Com. 7. Anonim, Appendicitis, The Merck Manual, Sec 9, htm. Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook http://dc396.4shared.com/doc/XNg4iTDj/preview.html BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Seiring dengan kemajuan teknologi dan peningkatan status sosial ekonomi yang semakin meningkat, masalah kesehatan juga semakin meningkat di masyarakat yang disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuan terutama tentang pola hidup yang sehat sehingga berbagai macam masalah mulai timbul dari saluran pernapasan, system sirkulasi dan system pencernaan. Penyakit dari saluran pencernaan yang salah satunya adalah appendiksitis. Appendiksitis atau inflamasi pada usus buntu adalah merupakan suatu peradangan pada daerah umbai cacing di saluran pencernaan. Dampak yang terjadi akibat dari appendiksitis adalah muncul berbagai macam gejala yang dapat membuat penderita tidak merasa nyaman, yaitu: gejala-gejala yang mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari seperti nyeri dengan tiba-tiba didaerah abdomen dan ulu hati, bila dibiarkan terus menerus appendiksitis dapat terjadi obstruksi lumen usus. Jika Appendiksitis tidak dilakukan penanganan segera akan terjadinya infeksi berat, bisa menyebabkan pecahnya lumen usus sehingga memerlukan penanganan yang khusus yaitu Laparatomi. Appendiksitis merupakan kasus gawat bedah abdomen yang paling sering terjadi. Kejadian paling tinggi ditemukan pada usia dekade kedua dan ketiga, appendiksitis didapatkan 1,3-1,6 kali lebih sering pada laki-laki dari pada wanita. Penyebab appendiksitis yaitu berupa fekalit, cacing ascariasis, dan hyperplasia jaringan limfe. Prevalensi di Inggris, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Douglas et al terdapat 302 pasien yang terkena suspek appendiksitis setelah dilakukan pemeriksaan ultrasonografi. Dan untuk mengatasi appendiksitis tersebut telah dilakukan apendiktomi dengan angka kegagalan sekitar 9 – 11%, dan 89% berhasil untuk mengatasi apendiksitis. Dan penelitian lain yang dilakukan oleh Zielke et al, sekitar 2000 pasien mengatakan bahwa sekitar 6% ultrasonografi mendeteksi appendiksitis (Sari Wirya Netty, 2009). 2. Tujuan 1. Tujuan Umum Membantu mahasiswa dalam memahami materi dari pengertian sampai pada asuhan keperawatan 2. Tujuan Khusus Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang: • Pengertian appediksitis • Etiologi appediksitis • Anatomi dan fisiologinya • Patofisiologi • Pathway • Pemeriksaan penunjang • Penatalaksanaan • Asuhan keperawatan BAB II ISI 1. Pengertian Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), melekat pada sekum tepat dibawah katup ileosekal. Appendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur kedalam sekum. Karena pengosongan tidak efektif, dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi (appendiksitis) (Smeltzer, 2001). Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering1. Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan digunakan di masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus buntu sebenarnya adalah sekum. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa fungsi apendiks sebenarnya. Namun demikian, organ ini sering sekali menimbulkan masalah kesehatan (Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D, 2005). 2. Etiologi Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras ( fekalit), hipeplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid (Mansjoer Arif et all, 2000) . 3. Anatomi dan Fisiologi 1. Anatomi Appendiks adalah suatu pipa tertutup yang sempit yang melekat pada secum (bagian awal dari colon). Bentuknya seperti cacing putih.Secara anatomi appendiks sering disebut juga dengan appendiks vermiformis atau umbai cacing. Appendiks terletak di bagian kanan bawah dari abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli. Muara appendiks berada di sebelah posteromedial secum. Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks berada pada titik Mc.Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan. Seperti halnya pada bagian usus yang lain, appendiks juga mempunyai mesenterium. Mesenterium ini berupa selapis membran yang melekatkan appendiks pada struktur lain pada abdomen. Kedudukan ini memungkinkan appendiks dapat bergerak. Selanjutnya ukuran appendiks dapat lebih panjang daripada normal. Gabungan dari luasnya mesenterium dengan appendiks yang panjang menyebabkan appendiks bergerak masuk ke pelvis (antara organ-organ pelvis pada wanita). Hal ini juga dapat menyebabkan appendiks bergerak ke belakang colon yang disebut appendiks retrocolic. Appendiks dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterica superior dan a. appendicularis. Sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. thoracalis X. Karena itu nyeri viseral pada appendicitis bermula disekitar umbilicus.Vaskularisasinya berasal dari a.appendicularis cabang dari a.ileocolica, cabang dari a. mesenterica superior. 2. Fisiologi Fungsi appendiks pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendiks menghasilkan lendir. Lendir ini secara normal dialirkan ke appendiks dan secum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks berperan pada patogenesis appendicitis. Dinding appendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yaitu IgA. Immunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi (http://medlinux.blogspot.com ) 4. Patofisisologi Appendicitis pada umumnya disebabkan oleh obstruksi dan infeksi pada appendiks. Beberapa keadaan yang dapat berperan sebagai faktor pencetus antara lain sumbatan lumen appendiks oleh mukus yang terbentuk terus menerus atau akibat feses yang masuk ke appendiks yang berasal dari secum. Feses ini mengeras seperti batu dan disebut fecalith. Adanya obstruksi berakibat mukus yang diproduksi tidak dapat keluar dan tertimbun di dalam lumen appendiks. Obstruksi lumen appendiks disebabkan oleh penyempitan lumen akibat hiperplasia jaringan limfoid submukosa. Proses selanjutnya invasi kuman ke dinding appendiks sehingga terjadi proses infeksi. Tubuh melakukan perlawanan dengan meningkatkan pertahanan tubuh terhadap kuman-kuman tersebut. Proses ini dinamakan inflamasi. Jika proses infeksi dan inflamasi ini menyebar sampai dinding appendiks, appendiks dapat ruptur. Dengan ruptur, infeksi kuman tersebut akan menyebar mengenai abdomen, sehingga akan terjadi peritonitis. Pada wanita bila invasi kuman sampai ke organ pelvis, maka tuba fallopi dan ovarium dapat ikut terinfeksi dan mengakibatkan obstruksi pada salurannya sehingga dapat terjadi infertilitas. Bila terjadi invasi kuman, tubuh akan membatasi proses tersebut dengan menutup appendiks dengan omentum, usus halus atau adnexsa, sehingga terbentuk massa peri-appendicular. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Appendiks yang ruptur juga dapat menyebabkan bakteri masuk ke aliran darah sehingga terjadi septicemia. Appendix yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang lagi dan disebut mengalami eksaserbasi akut (Price, SA, Wilson,LM. 2005). 5. Pathway 6. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium • Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat. • Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendicitis. 2. Abdominal X-Ray Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendicitis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak. 3. USG Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya. 4. Barium Enema Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding. 5. Laporoscopi Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendiks. 6. CT-Scan Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses. (Mansjoer Arif et all, 2000) 7. Diagnosa Banding 1. Gastroenteritis Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendicitis. 2. Limfadenitis mesenterica Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan perasaan mual dan muntah. 3. Peradangan pelvis Tuba Fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua oergan ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnecitis.Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak sexsual. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendicitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus diayunkan maka akan terasa nyeri. 4. Kehamilan Ektopik Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu. Jika terjadi ruptur tuba atau abortus diluar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan kavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan darah. 5. Diverticulitis Meskipun diverticulitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-kadang dapat juga terjadi disebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala appendicitis. 6. Batu Ureter atau Batu Ginjal Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. (Price, SA, Wilson,LM. 2005) 9. Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan Medis • Appendektomi dilakukan jika diagnose appendicitis sudah ditegakkan. • Laparatomi yaitu dengan melakukan insisi di abdomen dan mencari appediks yang meradang, dan dilalukan pengangkatan appendiks kemudian abdomen ditutup kembali. Laparatomi dilakukan dengan menggunakan alat lapariscop. 2. Penatalaksanaan farmakologi • Antibiotic 1. Sefalosporin generasi III: sefotaksim dan sefriakson 2. Sefalosporin generasi IV: sefpirom 3. Metronidazol 4. Aminoglikosida (gentamisin) 5. Penisilin (ampisilin) 6. Karbapenem (meropenem) • Analgetik (ketorolak trometamin, metamizol Na, dan tramadol HCl) • Terapi cairan infuse sesuai advis dokter • Antiulser • antiemetika (Price, SA, Wilson,LM. 2005) 10. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian • Identitas klien (Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat, dan nomor register). • Identitas penanggung • Riwayat kesehatan sekarang. • Keluhan utama: Klien mengatakan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium. • Sifat keluhan Nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai Biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas. • Riwayat kesehatan masa lalu Biasanya berhubungan dengan masalah kesehatan klien sekarang. • Pemeriksaan fisik Keadaan umum Klien tampak sakit ringan/sedang/berat. Berat badan Sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat. • Sirkulasi : Klien mungkin takikardia • Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal • Aktivitas/istirahat : Malaise • Eliminasi: konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising usus. • Nyeri/kenyamanan: nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak. • Keamanan: Demam, biasanya rendah • Data psikologis: Klien nampak gelisah. Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan. Ada perasaan takut. Penampilan yang tidak tenang. 2. Diagnosa Keperawatan • Infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh, perforasi,peritonitis sekunder terhadap proses inflamasi. • Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal. • Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi • Konstipasi berhubungan dengan peningkatan flora usus 3. Intervensi Keperawatan • Diagnosa keperawatan: Infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh, perforasi,peritonitis sekunder terhadap proses inflamasi. Tujuan: tidak terjadi infeksi Kriteria Hasil: 1. Penyembuhan luka berjalan baik 2. Tidak ada tanda infeksi seperti eritema, demam, drainase purulen 3. Tekanan darah >90/60 mmHg 4. Nadi lebih 100x/menit dengan pola dan kedalaman normal 5. Abdomen lunak, tidak ada distensi 6. Bising usus 5-34 x/menit Intervensi Intervensi Rasional • Kaji dan catat kualitas, lokasi dan durasi nyeri. Waspadai nyeri yang menjadi hebat. • Awasi dan catat tanda vital terhadap peningkatan suhu, nadi, adanya pernapasan cepat dan dangkal. Lakukan perawatan luka dengan tehnik aseptic. Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka/drain, eriitema. • • • • • • Kolaborasi: antibiotic • • Untuk mengetahui sejauh mana tingkat nyeri dan merupakan indiaktor secara dini untuk dapat memberikan tindakan selanjutnya. Dugaan adanya infeksi/terjadinya sepsis, abses, peritonitis. Menurunkan resiko penyebaran bakteri. Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi dan/atau pengawasan penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya. Untuk menurunkan jumlah mikroorganisme penyebab infeksi. Diagnosa keperawatan: Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal Tujuan: nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x24 jam. Kriteria hasil: 1. Persepsi subyektif tentang nyeri menurun 2. Tampak rileks 3. Pasien dapat istirahat dengan cukup Intervensi: Intervensi • Beri penjelasan pada klien tentang sebab dan akibat nyeri. Rasional • Penjelasan yang benar membuat klien mengerti • • Ajarkan teknik relaksasi dan destraksi. • • Bantu klien menentukan posisi yang nyaman bagi klien. • • • • Rawat luka secara teratur daan aseptic. sehingga dapat diajak bekerja sama. Dapat mengurangi ketegangan atau mengalihkan perhatian klien agar dapat mengurangi rasa nyeri. Penderita sendiri yamg merasakan posisi yang lebih menyenangkan untuk mengurangi rasa nyeri. Perawatan luka yang teratur dan aseptik dapat menghindari sekecil mungkin invasi kuman pada luka operasi. Analgesik dapat mengurangi rasa nyeri Kolaborasi dengan dokter utuk pemberian obat analgesic Diagnosa keperawatan: Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi Tujuan: tidak terjadi infeksi dan hipertermia Kriteria hasil: 1. Suhu kembali normal 35.5-37,5oC 2. Mengidentifiksi faktor-faktor resiko hipertermia 3. Menurunkan faktor-faktor risiko hipertermia Intervensi Intervensi • Pantau masukan dan haluaran dan berikan minuman kesukaan untuk Rasional • Mencegah terjadinya dehidrasi • • • mempertahankan keseimbangan masukan dan haluaran Pantau tanda-tanda terjadinya infeksi Monitor TTV Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti panas • • Panas/ kolor merupakan salah satu tanda dari infeksi Dugaan adanya infeksi/terjadinya sepsis, abses, peritonitis Menurunkan panas yang di derita oleh klien. • Diagnosa keperawatan: Konstipasi berhubungan dengan peningkatan flora usus Tujuan: BAB lancar dan tidak terjadi konstipasi Kriteria hasil: mendapatkan kembali pola fungsi usus yang normal. Intervensi: Intervensi • Auskultasi bising usus Rasional • Kembalinya fungsi GI mungkin terlambat oleh efek inflamasi • • • Selidiki keluhan nyeri abdomen • • Observasi gerakan usus, perhatikan warna, konsistensi dan jumlah. • Anjurkan makanan/cairan yang tidak mengiritasi bila masukan oral • Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian pelunak feses, supositorial gliserin sesuai indikasi • intraperitoneal Mungkin berhubungan dengan distensi abdomen atau terjadinya komplikasi. Indikator kembalinya fungsi GI, mengidentifikasi ketepatan intervensi Menurunkan resiko iritasi mukosa Mungkin perlu untuk merangsang peristaltik dengan perlahan/ evakuasi feses. REFERENSI Apendiksiti. 2008. In: http://medlinux.blogspot.com/2008/12/apendisitis.html Doenges, Marylinn E. 1997. Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Mansjoer Arif et all, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Media Aesculapius. Price, SA, Wilson,LM. 2005. Patofisiologi Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. Vol 1. Jakarta. EGC Sari Wirya Netty. 2009. Appendiksitis. In: http://sariwiryanetty.blogspot.com/2009/10/appendik.html Smeltzer, Bare (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC. http://id.netlog.com/genk_easther/blog/blogid=53018#blog PENDAHULUAN A. Latar Belakang Appendisitis (radang usus buntu) merupakan penyakit yang sering dijumpai sehingga harus dicurigai sebagai keadaan yang paling mungkin menjadi penyebab nyeri akut abdomen. Penyakit ini sering ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Insidensi pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Insidensi tertinggi pada laki-laki pada usia 10-14 tahun, sedangkan pada perempuan pada usia 15-19 tahun. Penyakit ini jarang ditemukan pada anak-anak usia di bawah 2 tahun (Helwick,1997). Radang usus buntu (appendisitas) diawali dengan adanya obstruksi pada bagian mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks mulai dari submukosa, lamina muskularis dan lamina serosa. Obstruksi pada bagian yang lebih proksimal dari lumen akan menyebabkan stasis bagian distal appendiks, sehingga mucus yang terbentuk secara terus-menerus akan terakumulasi dan selanjutnya akan menyebabkan tekanan intraluminer meningkat. Kondisi ini akan menyebabkan adanya invasi flora normal usus seperti Bacteriodes Fragilis dan E.coli dan menyebabkan infeksi. Adanya infeksi akan membut tubuh melakukan perlawanan dengan meningkatkan pertahanan tubuh dan menyebabkan radang (Sjamsuhidajat R, de Jong W, 2005). Penatalaksanaan appendisitis dilakukan dengan appendiktomi, yaitu suatu tindakan bedah dengan mengangkat appendiks. Hal ini harus segera dilakukan tindakan bedah karena setiap keterlambatan akan berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas, yaitu dapat menyebabkan terjadinya perforasi atau ruptur pada appendiks. Bedah appendik juga memiliki dampak yang dapat membahayakan bagi pasien pasca operasi khususnya pada luka sayatan. Namun demikian, bahaya tersebut dapat dicegah dengan menggunakan antibiotik profilaksis untuk penyembuhan luka (Helwick,1997). Dalam penggunaan antibiotik indikasinya harus tepat pada pasien, untuk itu kerasionalan obat perlu diperhatikan. Hal tersebut ditujukan untuk mencegah timbulnya resistensi agen infeksi terhadap antibiotik. Kerasionalan obat adalah penggunaan obat yang tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat dosis, waspada efek samping serta kontraindikasi. Ketidakrasionalan penggunaan obat dapat memberikan dampak pada mutu pelayanan kesehatan (pengobatan) dan terhadap pemakaian sumber data kesehatan. Bentuk ketidakrasionalan pemakaian obat antara lain peresepan kurang (under prescribing), peresepan boros (extravagant), peresepan berlebih (overprescribing), peresepan yang salah (incorrect prescribing), peresepan majemuk (multiple prescribing) (Santoso dkk, 2003). Sekarang ini, kerasionalan penggunaan obat di Indonesia masih sangat rendah. Hal ini disebabkan karena kurangnya informasi para praktisi medis terhadap pemilihan obat. Obat yang diresepkan harus aman dan efikasinya tepat bagi pasien. Akan tetapi, proses pengambilan keputusan dalam pemilihan obat saat ini sering tidak didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang terkini dan valid. Perlu adanya pedoman penggunaan obat di setiap rumah sakit untuk meningkatkan kerasionalan oabt dan keberhasilan terapi. Penggunaan obat di rumah sakit diatur dalam Standar Pelayanan Medis (SPM) dan Formularium Rumah Sakit (FRS). Standar pelayanan medis adalah dokumen sistematis untuk membantu praktisi kesehatan dalam membuat keputusan guna pemberian pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kondisi medis tertentu suatu pasien. Standar pelayanan medis ini digunakan oleh praktisi medis di rumah sakit sebagai standar tearp terhadap pasien. Sedangkan formularium rumah sakit merupakan daftar produk obat yang telah disepakati untuk digunakan di rumah sakit yang bersangkutan, beserta informasi yang relevan mengenai indikasi, cara penggunaan, dan informasi lin mengenai tiap produk (Depkes RI,2000). Namun, kadang terjadi peresepan obat untuk penyakit tertentu yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medis dan formularium rumah sakit, padahal tujuan pengembangan dan penerapan formularium rumah sakit sebenarnya adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan melalui penggunaan obat yang aman, efektif, rasional dan juga dalam rangka efisiensi biaya pengobatan. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui kesesuaian peresepan antibiotik profilaksis pada pasien bedah Appendik terhadap standar pelayanan medis dan formularium Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Sleman. RSUD Kota Sleman merupakan rumah sakit umum kelas C, menjadi salah satu tempat pelayanan kesehatan masyarakat kota Sleman. Melihat banyaknya kasus pembedahan pada poli bedah, yaitu bedah appendik dan mengingat semakin meningkatnya jumlah pasien serta pentingnya kerasionalan penggunaan obat khususnya antibiotik profilaksis dalam rangka menurunkan risiko infeksi pasca operasi appendik, maka perlu dilakukan analisis kesesuaian penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah appendik terhadap standar pelayanan medis dan formularium rumah sakit di instalasi rawat inap RSUD Kota Sleman. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Seperti apa pola penggunaan antibiotik sebagai profilaksis pada pasien bedah appendik di RSUD Kota Sleman periode 2009? b. Bagaimana kesesuaian peresepan antibiotik sebagai profilaksis pada pasien bedah appendik dengan pedoman pengobatan di RSUD Kota Sleman? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a. Mengetahui pola penggunaan antibiotik sebagai terapi profilaksis pada pasien bedah appendik di RSUD Kota Sleman Periode 2009. b. Mengetahui kesesuaian peresepan obat antibiotik dengan pedoman pengobatan Standar Pelayanan Medis (SPM) dan standar terapi lain untuk terapi profilaksis pada pasien bedah appendik di RSUD Kota Sleman selama periode 2009. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini ditujukan agar dapat menjadi salah satu sumber informasi tentang kesesuaian peresepan antibiotik pada pasien bedah Appendik di RSUD Sleman terhadap Standar Pelayanan Medis dan Formularium Rumah Sakit, sehingga informasi ini dapat digunakan untuk melakukan evaluasi (menambah wawasan) pada terapi profilaksis pasien bedah Appendik yang telah dilakukan sebelumnya dan sebagai bahan pertimbangan untuk terapi berikutnya. E. Tinjauan Pustaka 1. Peresepan Obat Pengertian obat Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No 193/Kab/B.VII/71 adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit. Obat berperan penting dalam pelayanan serta peningkatan kesehatan. Obat akan diresepkan oleh dokter sesuai dengan diagnosis pada pasien (Joenoes,1990). Resep merupakan dokumen legal, sebagai sarana komunikasi professional dari dokter dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam bentuk sediaan tertentu dan menyerahkan kepada pasien sesuai dengan kebutuhan medis yang telah ditentukan. Peresepan obat adalah tindakan terakhir dari dokter untuk pasiennya, yaitu setelah menentukan anamnesis, diagnosis dan prognosis serta terapi yang akan diberikan. Terapi tersebut dapat merupakan terapi profilaksis, terapi kausal atau simtomatik (Joenoes,1990). 2. Penggunaan Obat Rasional Penggunaan obat rasional adalah pola pemberian obat yang tepat yaitu pemilihan obat sesuai dengan diagnosis penyakitnya, tepat konsumsinya, tepat dosisnya, tepat jangka waktu pemberiannya, dan aman, dengan harga semurah mungkin serta dengan pemberian informasi yang obyektif. Penggunaan obat rasional merupakan pola pemakaian obat yang aman dan efektif (costeffective), efisien dengan hasil yang baik. Penggunaan obat rasional akan meminimalkan medikal error serta efek samping suatu obat (Depkes RI,2000). Penggunaan obat yang tidak rasional seperti definisi diatas kan menyebabkan beberapa dampak yang merugikan, terutama pada pasien. Dampak merugikan dari penggunaan obat yang tidak rasional adalah : 1. Dampak pada mutu terapi obat dan perawatan medik Praktik penulisan obat yang tidak tepat baik secara langsung maupun tidak langsung dapat membahayakan mutu perawatan pasien dan secara negative mempengaruhi hasil pengobatan (Siregar, 2004). 2. Dampak pada biaya Penggunaan obat yang berlebihan bahkan obat yang tidak diperlukan, menyebabkan pembelanjaan sediaan obat yang berlebihan dan penghamburan biaya, baik oleh pasien maupun system pelayanan kesehatan (Siregar, 2004). 3. Dampak psikologis Penulisan obat yang berlebihan mengkomunikasikan pada pasien bahwa mereka membutuhkan obat untuk setiap dan semua kondisi, bahkan untuk kondisi yang ringan. Konsep bahwa ada obat untuk setiap rasa sakit adalah berbahaya (Siregar, 2004). 3. Standar Pelayanan Medis Standar Pelayanan Medis adalah dokumen sistematis untuk membantu praktisi kesehatan dalam membuat keputusan guna pemberian pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kondisi medis tertentu suatu pasien. Standar pelayanan medis digunakan sebagai pedoman pengobatan bagi para praktisi medis dalam memberikan layanan medis kepada pasien. Standar pelayanan medis dibuat dengan tujuan untuk meminimalkan terjadinya kasus-kasus malpraktek (Depkes RI,2000). Undang Undang No. 29 tahun 2004 pasal 44 menyebutkan bahwa dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi. Dokter dalam melaksanakan praktek kedokteran mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Dengan adanya peraturan tersebut diharapkan pasien akan terhindar dari kesalahan pelayanan medis. Rumah sakit harus memiliki standar pelayanan medis yang menjadi acuan dalam memberikan layanan medis kepada pasien. Dengan demikian, kebutuhan dasar masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan patient safety dapat terpenuhi. Selain itu, standar pelayanan medis akan menjadi tolak ukur mutu pelayanan medis suatu rumah sakit dan menghindarkan rumah sakit dari kemungkinan tuntutan hukum jika terjadi medikal error. 4. Formularium Rumah Sakit Formularium adalah daftar obat baku yang dipakai oleh Rumah Sakit yang dipilih secara rasional dan dilenkapi dengan penjelasan sehingga merupakan informasi obat yang lengkap untuk pelayanan medik Rumah Sakit, yang terdiri dari obat-obatan yang tercantum dalam Daftar Obat Essensial Nasional (DOEN) dan beberapa jenis obat yang sangat diperlukan oleh Rumah Sakit (Daftar obat supplement/tambahan) yang dapat ditinjau kembali sesuai dengan perkembangan bidang kefarmasian dan terapi serta keperluan Rumah Sakit yang bersangkutan (Anonim, 2009a). Formularium Rumah Sakit adalah daftar obat yang terseleksi yang digunakan sebagai pedoman pemilihan obat dalam peresepan dokter di rumah sakit beserta informasi yang relevan mengenai indikasi, cara penggunaan, dan informasi lain mengenai tiap produk. Formularium memberikan alternatif pilihan obat untuk terapi suatu penyakit pada pasien. Sistem formularium menetapkan pengadaan, penulisan, dispensing, dan pemberian suatu obat dengan nama dagang atau obat dengan nama generik apabila obat itu tersedia dalam dua nama (Depkes RI,2000). Formularium berisi pilihan obat yang tepat pada kasus-kasus penyakit. Seorang praktisi medis harus menjalankan formularium dalam pelayanan bagi pasien. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalkan ketidakrasionalan penggunaan obat. Agar dokter dapat tetap konsisten memanfaatkan formularium dalam penulisan resep, maka sistem formularium harus dikelola dengan optimal dan terus-menerus direvisi serta memuat tambahan penting lainnya yang merefleksikan pertimbangan klinik terbaru. Dalam formularium rumah sakit yang ada, biasanya tidak dimanfaatkan secara optimal dalam peresepan dokter dan pemanfaatan formularium cenderung tidak konsisten. Pemanfaatan formularium yang tidak optimal dalam peresepan dokter, berdampak menurunkan mutu dan kualitas pelayanan kesehatan (Depkes RI,2000). Formularium disusun dengan alasan untuk penyempurnaan pengobatan, penurunan risiko, penurunan biaya, serta sebagai penyempurnaan suplai (Aslam dkk., 2003). 5. Rumah Sakit Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan alat ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personil terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik. Rumah sakit sebagai suatu fungsi organisasi akan selalu mengalami perkembangan. Sesuai perkembangan yang dialaminya, rumah sakit dibedakan menjadi rumah sakit umum dan rumah sakit umum (Azwar, 1996). Pengertian rumah sakit umum menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 983/Menkes/SK/XI/1992 tentang pedoman organisasi rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialis, dan subspesialis yang mempunyai tugas melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara terpadu dan serasi dengan peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan (Anonim, 1992 . Rumah sakit umum biasanya merupakan fasilitas yang mudah ditemui di suatu negara, dengan kapasitas rawat inap sangat besar untuk perawatan intensif ataupun jangka panjang. Rumah sakit jenis ini juga dilengkapi dengan fasilitas bedah, bedah plastik, ruang bersalin, laboratorium, dan sebagainya. Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang hanya melayani satu bentuk pelayanan kesehatan saja. Rumah sakit jenis ini mencakup trauma center, rumah sakit anak, rumah sakit manula, atau rumah sakit yang melayani kepentingan khusus seperti psychiatric (psychiatric hospital), penyakit pernapasan, dan lain-lain. Klasifikasi rumah sakit berdasarkan kemampuan yang dimiliki terkait sarana dan prasarana antara lain Rumah Sakit tipe A, Rumah Sakit tipe B, Rumah Sakit tipe C, Rumah Sakit tipe D, dan Rumah Sakit tipe E.Contohnya RSUD Sleman yang termasuk ke dalam tipe C. Rumah sakit umum ini hanya memiliki pelayanan medis spesialistik dasar, dan kapasitas tempat tidur 250-500 buah. Rumah sakit tipe ini minimal harus mempunyai pelayanan spesialis terbatas, yaitu spesialis penyakit dalam, bedah, pelayanan kesehatan anak, dan spesialis kebidanan dan kandungan. 6. Antibiotik Profilaksis Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan/atau bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tan dan Rahardja, 2007). Sedangkan antibiotik profilaksis bedah merupakan antibiotik yang diberikan sebelum adanya kontaminasi pada jaringan atau tubuh. Tujuan dari pemberian antibitik profilaksis adalah untuk mencegah terkenanya infeksi pada daerah yang dibedah (Dipiro dkk., 2005). Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik digolongkan menjadi lima kelompok: 1. antibiotik yang mengganggu metabolisme sel mikroba, 2. antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel, 3. antibiotik yang mengganggu permeabilitas membran sel, 4. antibiotik yang menghambat sintesis protein, dan 5. antibiotik yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat Penggunaan antibiotik harus sesuai dengan indikasi yang tepat pada pasien. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi mikroba oleh pemberian antibiotik. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya resistensi adalah penggunaan antibiotik yang terlalu sering, irasional, berlebih, serta penggunaan jangka waktu yang lama (Anonim,1998). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila suatu antibiotik digunakan untuk mencegah infeksi kuman tertentu (yang peka terhadap antibiotik tersebut) sebelum terjadinya kolonisasi dan multiplikasi, maka profilaksis ini seringkali berhasil. Tetapi bila profilaksis dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan infeksi oleh segala macam mikroba yang ada disekitar pasien, maka profilaksis ini biasanya gagal (Sulistia dkk., 2007). Untuk profilaksis kasus bedah berlaku prinsip sebagai berikut : 1. Penggunaan antibiotik untuk profilaksis selalu harus dibedakan dari penggunaan untuk terapi. 2. Pemberian profilaksis antibiotik hanya diindikasikan untuk tindakan bedah tertentu yang disertai infeksi pascabedah, atau yang membawa akibat berat bila terjadi infeksi pascabedah. 3. Antibiotik yang dipakai harus sesuai dengan jenis kuman/bakteri yang potensial menimbulkan infeksi pascabedah. 4. Cara pemberian biasanya intravena atau intramuskular 5. Pemberian dilakukan pada saat induksi anestesi, tidak dibenarkan pemberian yang lebih dini dan biasanya hanya diberikan 1-2 dosis. Pemberian profilaksis lebih dari 24 jam tidak dibenarkan (Sulistia dkk., 2007). Profilaksis untuk bedah hanya dibenarkan untuk kasus dengan risiko infeksi pascabedah yang tinggi yaitu yang tergolong clean-contaminated dan contaminated. Tindakan-tindakan bedah yang bersih (clean) tidak memerlukan profilaksis antibiotik, kecuali bila dikhawatirkan akan terjadi infeksi pascabedah yang berat sekali (Sulistia dkk., 2007). Kejadian infeksi pada apendiktomi adalah 5-15%. Dalam kaitannya dengan profilaksis, jenis operasi digolongkan ke dalam 4 kategori, yaitu : a. Operasi bersih Operasi bersih adalah operasi yang dilakukan pada daerah kulit pada kondisi prabedah tanpa peradangan dan tidak membuka traktus respiratorius, traktus gastrointestinal, orofaring, traktus urinarius, atau traktus bilier ataupun operasi yang berencana dengan penutupan kulit primer dengan atau tanpa pemakaian drain tertutup. b. Operasi bersih terkontaminasi Operasi bersih terkontaminasi adalah operasi yang membuka traktus digestivus, traktus bilier, traktus urinarius, traktus respiratorius sampai orofaring, tarktus reproduksi kecuali ovarium ataupun operasi tanpa pencemaran nyata (Gross Spilage). Antibiotik profilaksis disii dianjurkan seperti pada diseksi leher dan masuk orofaring; diseksi lambung, membuka kolon, ileum bagian distal; operasi kolon atau usus kecil dengan gangguan vaskularisasi dari usus; operasi yang menembus saluran empedu (ekstra hepatal); operasi saluran kemih dan operasi yang melalui vagina. Sehingga, untuk apendiktomi digolongkan sebagai operasi bersih terkontaminasi. c. Operasi terkontaminasi Operasi terkontaminasi adalah operasi yang membuka traktus digestivus, traktus bilier, traktus urinarius, traktus respiratorius sampai dengan orofaring atau traktus reproduksi kecuali ovarium dengan pencemaran yang nyata ataupun operasi pada luka karena kecelakaan dalam waktu kurang dari 6 jam (Golden period). Antibiotik profilaksis disini dianjurkan seperti pada operasi yang menembus saluran empedu yang terinfeksi; operasi yang menembus saluran kemih yang terinfeksi; operasi radang akut tanpa pembentukan nanah dan operasi pada fraktur (patah tulang) terbuka. d. Operasi kotor dengan infeksi Operasi kotor dengan infeksi adalah operasi pada perforasi traktus digestivus, traktus urogenitalis atau traktus respiratorius yang terinfeksi ataupun operasi yang melewati daerah purulen (inflamasi bacterial). Dapat pula operasi pada luka lebih dari enam jam setelah kejadian atau terdapat jaringan non vital yang luas atau nyata kotor. Antibiotik disini dianjurkan seperti pada pemberian antibiotik terapetik dan bukan lagi profilaksis, terutama bila operasi dilakukan pada jaringan sehat akan dilalui oleh nanah; pemberian antibiotik profilaksis dengan tujuan mencegah penyebaran intrakaviter, penyebaran ke tempat yang jauh atau ke jaringan yang sebelumnya tidak terkontaminasi. (Anonim, 1992a) Prinsip Penggunaan Antibiotik Profilaksis 1. Tepat Indikasi Antibiotik profilaksis diberikan pada pembedahan dengan klasifkasi bersih kontaminasi (lihat tabel 1), yang mempunyai kemungkinan terjadi ILO sebesar 10,1% Dengan pemberian antibiotik profilaksis maka angka kejadian ILO dapat diturunkan menjadi 1,3% . Antibiotik profilaksis juga diberikan pada pembedahan kriteria bersih yang memasang bahan prostesis. Juga diberikan pada operasi bersih yang jika sampai terjadi infeksi akan menimbulkan dampak yang serius seperti operasi bedah syaraf, bedah jantung, dan mata. Antibiotik profilaksis tidak tepat digunakan pada operasi kontaminasi atau kotor karena telah terjadi kolonisasi kuman dalam jumlah besar atau sudah ada infeksi yang secara klinis belum manifest. 2. Tepat Obat Antibiotik yang digunakan untuk untuk tujuan profilaksis berbeda dengan obat yang digunakan untuk tujuan terapi. Pada umumnya dipilih antibiotik dengan spektrum sempit, generasi yang lebih tua dibandingkan antibiotik untuk tujuan terapi. Dengan memperhatikan spektrum, antibiotik ditujukan pada kuman yang potensial menimbulkan ILO, dan antibiotik tersebut dapat melakukan penetrasi ke jaringan yang dilakukan pembedahan dengan konsentrasi yang cukup. Walaupun disatu bidang pembedahan kadang didapatkan banyak macam kuman normoflora, namun tidak semuanya potensial menimbulkan infeksi dan jumlah koloninya tidak banyak. Dalam pemilihan antibiotik harap diperhatikan faktor alergi, efektivitas, toksisitas, serta kemudahan cara pemberiannya. Pada umumnya untuk berbagai macam pembedahan masih digunakan sefalosporin generasi I yaitu sefazolin, sedangkan sefalosporin generasi III tidak dianjurkan untuk antibiotik profilaksis. 3. Tepat dosis Untuk tujuan profilaksis diperlukan antibiotika dosis tinggi, agar didalam sirkulasi dan didalam jaringan tubuh dicapai kadar diatas MIC (minimal inhibitory concentration) antibiotik terhadap kuman yang potensial menimbulkan infeksi. Untuk itu kadang diperlukan loading-dose yang takarannya 2-4 kali dosis normal. Dosis yang kurang adekwat, tidak hanya tidak mampu menghambat pertumbuhan kuman tetapi justru merangsang terjadinya resistensi kuman. 4. Tepat rute Agar antibiotik dapat segera didistribusikan ke jaringan maka pemberiannya dilakukan secara intravena 5. Tepat waktu pemberian Pemberian antibiotik profilaksis dilakukan pada 30 menit (intravena) atau 1 jam (intramuskular) sebelum insisi dengan maksud agar pada saat insisi maka kadar antibiotik didalam jaringan sudah mecapai puncaknya. Pemberian antibiotik profilaksis lebih baik dilakukan di dalam kamar operasi, pada waktu anestesi melakukan induksi, untuk itu dapat minta tolong anaestesis untuk memberikannya. Antibiotik tersebut harus mencapai kadar puncak didalam jaringan sebelum terjadinya inokulasi kuman kedalam jaringan di lapangan operasi. Antibiotik tidak bermanfaat untuk mencegah terjadinya ILO jika diberikan sebelum 2 jam atau sesudah 3 jam dilakukan insisi. Pada operasi kolon, diberikan juga antibiotik peroral yaitu neomisin dan eritromisin masingmasing 1g pada jam 13.00, 14.00 dan 23.00. obat lain yang dapat diberikan juga ialah metronidazole + kanamycin/ neomycin. 6. Tepat lama pemberian Pada operasi yang lama > 3 jam atau perdarahan selama operasi > 1500 ml akan terjadi penurunan dosis antibiotik didalam jaringan, oleh karena itu pada kondisi tersebut dapat diberikan dosis tambahan. Jika operasi sangat memanjang maka pemberian dosis tambahan dapat diberikan setiap 2 jam untuk sefoksitin atau setiap 4 jam untuk sefazolin. Pada beberapa operasi yang sederhana seperti apendiktomi atau herniotomi menggunakan mesh maka antibiotik profilaksis cukup diberikan sekali preoperatif saja. Pada umumnya pemberian antibiotik profilaksis tambahan sebanyak 1 dosis setiap 8 jam diberikan hanya selama 1 hari saja, karena pemberian lebih dari 1 hari tidak memberikan manfaat lebih. Macam Antibiotik untuk profilkasis 1. Penisilin Cara kerja : i. Menghambat pembelahan karena terjadi pertumbuhan dinding sel abnormal ii. Menghambat fase 3 sintesis dinding sel Resistensi : i. Mempengaruhi pecillin-binding protein ii. Tidak mampu menembus dinding sel iii. Enzim hidrolisa molekul protein Spektrum : i. Cocci Gram-positif ( Streptococcus A dan ii. Bacilli Gram-positif ( Corynebacterium diphtheria) iii. Cocci Gram negatif (Neisseria meningitidis) iv. Bacilli Gram-negatif (Streptobacillus moniliformis) v. Anaerob(Clostridium,Fusobacterium,Peptostreptococc- us sp) vi. Lain (Treponema pallidum, Leptospira, Enterobacter, Acinebacter sp.) Efek samping : i. Hipersensitivitas (1-5%) ( iritasi yang mengenai sistem syaraf perifer) ii. nefropati (reaksi alergi berupa nefritis interstisial dan hipokalemia) 2. Sefalosporin Cara kerja : i. Menghambat fase 3 sintesis dinding sel ii. Mengikat protein spesifik pada membran sel iii. Mempengaruhi permeabilitas sel iv. Melepaskan autolisin Resistensi : i. Menurunkan permeabilitas dinding sel ii. Membentuk beta-laktamase Spektrum : i. Generasi I ( mis. Ancef, Keflin, Kefzol) organisme Gram positif (Staphylococcus, Stretococcus), Gram negatif, Bacilli anaerob dan erob. ii. Generasi II (mis. Ceclor, Zinacef, Mefoxin) Kurang efektif terhadap kuman Gram positif Hemophilus influenzae, baksil Gram negatif, Proteus, Enterobacter sp. iii. Generasi III (mis. Ceftazidime, Cefotaxim, Cefoperazone) Aerob Gram negatif, Pseudomonas Efek samping : i. Hipersensitivitas terutama bila alergi penisilin ii. Hematologi (neutropenia, leukopenia, trombopenia) iii. Traktus digestivus (mual, muntah, anoreksia, diare) 3. Eritromisin Cara kerja : i. Menghambat sintesa protein bakteri dengan binding pada 50s subunit ribosom Resistensi : i. Mempengaruhi komponen protein 50s subunit ribosom ii. Melalui plasmid Spektrum : i. Sama dengan penisilin G ii. Mycoplasma, Legionella, Actinomyces sp. iii. Hemophilus influenzae Efek samping : i. Gangguan traktus digestivus ii. Hipersensitivitas iii. Cholestatic hepatitis 4. Clindamycin Cara kerja : i. Menghambat sintesa protein bakteri dengan binding pada 50s subunit ribosom Resistensi : i. Mempengaruhi komponen protein 50s subunit ribosom ii. Melalui plasmid Spektrum : i. Aerob dan anaerob Gram positif ii. Anaerob Gram negatif ( beberapa Staphylococcus resisten) Efek samping : i. Kolitis pseudomembran ii. Nausea, diare iii. Hipersensitivitas iv. Leukopenia v. Hepatotoksik transien (jarang) 5. Metronidazole Cara kerja : i. Menurunkan aktivitas metabolit intraseluler kuman Efek samping : i. Toksis pada SSP ii. Gangguan traktus digestivus iii. Neutropenia iv. Drug fever v. aPTT memenjang vi. Efek sinergis dengan alkohol Efek samping penggunaan antibiotik profilaksis Penggunaan antibiotik profilaksis yang tidak tepat dapat memicu terjadinya resistensi kuman. Hal ini karena pemilihan penderita yang tidak tepat, pemberiannya terlalu lama, atau digunakannya obat generasi terbaru. Komplikasi yang jarang tetapi serius ialah terjadinya enterokolitis pseudomembran akibat pemberian klindamisin, sefalosporin, dan ampisilin. Diare dan panas badan dapat terjadi setelah pemberian satu dosis antibiotik profilaksis Rute pemberian antibiotik profilaksis biasanya melalui parenteral, baik intravena maupun intramuskular, tetapi dapat juga melalui rektal atau per oral (Anonim, 1996). Pemberian antibiotik secara intravena pada waktu induksi anestesi, intramuskular pada waktu premedikasi, suppositoria pada 2-4 jam sebelum pembedahan, dan per oral pada 6-12 jam sebelum pembedahan. Pemberian larutan antibiotik intravena dalam volume yang lebih kecil untuk jangka waktu yang pendek (bolus IV) akan menghasilkan kadar serum yang tinggi yang dicerminkan oleh lebih cepatnya masuk dan lebih tingginya konsentrasi dini antibiotik ke dalam cairan luka (Sabiston, 1995). Antibiotik yang sering digunakan sebagai antibiotik profilaksis adalah antibiotik golongan Sefalosporin. Mekanisme kerja Sefalosporin adalah menghambat sintesis dinding sel mikroba. Sefalosporin memiliki struktur, khasiat, dan sifat yang mirip dengan penicillin, tetapi dengan keuntungan-keuntungan lain seperti spektrumantibakteri yang luas namun tidak mencakup enterococcus dan kuman-kuman anaerob, dan resisten terhadap penisilinase. Spektrum kerjanya luas dan meliputi banyak kuman Gram positif dan Gram negative, termasuk E.Coli, Klebsiella dan Proteus (Tan dan Rahardja, 2007). 7. Bedah Appendik Appendisitis adalah suatu peradangan pada appendiks. Peradangan ini pada umumnya disebabkan oleh infeksi yang akan menyumbat appendiks. Appendiks adalah suatu pipa tertutup yang sempit yang melekat pada secum (bagian awal dari colon). Bentuknya seperti cacing putih.Secara anatomi appendiks sering disebut juga dengan appendiks vermiformis atau umbai cacing. Appendiks terletak di bagian kanan bawah dari abdomen. Fungsi appendiks pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendiks menghasilkan lendir. Lendir ini secara normal dialirkan ke appendiks dan secum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks berperan pada patogenesis appendisitis (Helwick,1997). Appendisitis pada umumnya disebabkan oleh obstruksi dan infeksi pada appendiks. Beberapa keadaan yang dapat berperan sebagai faktor pencetus antara lain sumbatan lumen appendiks oleh mukus yang terbentuk terus menerus atau akibat feses yang masuk ke appendiks yang berasal dari secum. Feses ini mengeras seperti batu dan disebut fecalith. Adanya obstruksi berakibat mukus yang diproduksi tidak dapat keluar dan tertimbun di dalam lumen appendiks. Obstruksi lumen appendiks disebabkan oleh penyempitan lumen akibat hiperplasia jaringan limfoid submukosa. Proses selanjutnya invasi kuman ke dinding appendiks sehingga terjadi proses infeksi. Tubuh melakukan perlawanan dengan meningkatkan pertahanan tubuh terhadap kuman-kuman tersebut. Proses ini dinamakan inflamasi. Jika proses infeksi dan inflamasi ini menyebar sampai dinding appendiks, appendiks dapat ruptur. Dengan ruptur, infeksi kuman tersebut akan menyebar mengenai abdomen, sehingga akan terjadi peritonitis. Pada wanita bila invasi kuman sampai ke organ pelvis, maka tuba fallopi dan ovarium dapat ikut terinfeksi dan mengakibatkan obstruksi pada salurannya sehingga dapat terjadi infertilitas. Bila terjadi invasi kuman, tubuh akan membatasi proses tersebut dengan menutup appendiks dengan omentum, usus halus atau adnexsa, sehingga terbentuk massa peri-appendicular. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Appendiks yang ruptur juga dapat menyebabkan bakteri masuk ke aliran darah sehingga terjadi septicemia. Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang lagi dan disebut mengalami eksaserbasi akut /appendisitis akut telah ditegakkan, maka harus segera dilakukan appendektomi. Hal ini disebabkan perforasi dapat terjadi dalam waktu < 24 jam setelah onset appendisitis. Penundaan tindakan pembedahan ini sambil diberikan antibiotik dapat mengakibatkan terjadinya abses atau perforasi (Hamami dkk,1997). Appendektomi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara terbuka dan laparoscopi. Dengan cara terbuka dilakukan insisi di abdomen kanan bawah kemudian ahli bedah mengeksplorasi dan mencari appendiks yang meradang. Setelah itu dilakukan pengangkatan appendiks, dan abdomen ditutup kembali. Tindakan laparoscopi merupakan suatu tehnik baru untuk mengangkat appendiks dengan menggunakan lapariscop.Tindakan ini dilakukan pada kasuskasus yang meragukan dalam menegakkan diagnosis appendisitis. Pada appendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak diperlukan pemberian antibiotik, kecuali pada appendicitis perforate (Hamami dkk,1997). F. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai pola penggunaan antibiotik sebagai profilaksis pada kasus bedah Apendiks, mengetahui kesuaian peresepan antibiotik dengan pedoman pengobatan Standar Pelayanan Medis (SPM) dan pedoman terapi lain di RSUD Kota Sleman selama periode 2009.