1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor

advertisement
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sektor industri logam berkembang pesat di Indonesia karena meningkatnya
kebutuhan logam dalam pembangunan. Bahan-bahan yang digunakan dalam industri
logam baik bahan baku maupun bahan tambahan, sisa produksi, alat dan sarana yang
digunakan dalam proses produksi dapat menyebabkan penyakit akibat kerja dan
bahaya keselamatan kerja. Salah satu proses dalam industri ini adalah proses
pengelasan yaitu proses menyambung besi dengan bahan logam menggunakan alat
dengan suhu tinggi.
Menurut Pedoman Penerapan Hiperkes dan Keselamatan Kerja untuk sektor
industri besi baja, faktor bahaya lingkungan kerja pada proses pengelasan meliputi
uap logam berat, debu, pencahayaan dan tekanan panas. Bahaya lingkungan kerja
tersebut dapat menyebabkan penyakit akibat kerja antara lain dehidrasi karena
tekanan panas, keracunan logam berat, penyakit paru kronis, dermatosis dan
keganasan. Uap logam berat yang dapat menyebabkan penyakit akibat kerja pada
proses pengelasan di antaranya logam berat Pb, Mn, Fe, Cd dan Cr.
Kadmium (Cd) merupakan logam berat bersifat karsinogenik pada manusia
(golongan IA) menurut International Agency of Research on Cancer (IARC).
Lingkungan kerja yang dapat menjadi sumber paparan Cd antara lain industri
pertambangan dan metalurgi, pembakaran bahan bakar fosil, pewarnaan tekstil,
1
2
penggunaan pupuk dan fungisida, daur ulang limbah besi, serta pembuangan dan
pembakaran produk yang mengandung Cd seperti proses pengelasan.
Kadmium bersifat karsinogenik pada manusia berdasarkan penelitian pada
manusia dan hewan coba. Beberapa penelitian pada pekerja terpapar Cd menyatakan
adanya peningkatan kanker paru secara signifikan, meskipun masih terdapat
kontroversi adanya faktor paparan lain yang mengganggu seperti arsen atau nikel.
Kadmium juga dicurigai sebagai penyebab kanker prostat pada manusia.
Menurut Palar (2008), hasil penelitian yang dilakukan dari tahun 1940 sampai
tahun 1974 terhadap 92 kasus kematian pekerja industri peleburan Cd didapatkan 4
kematian karena kanker prostat dengan waktu paparan selama 20 tahun. Penelitian
lain pada pekerja pabrik baterai Cd-alkalin didapatkan dari 74 orang responden yang
diobservasi, delapan orang mengalami kematian akibat terpapar uap Cd. Tiga orang
diantaranya meninggal karena kanker prostat dan satu orang meninggal karena kanker
paru setelah terpapar Cd selama lebih dari 10 tahun.
Kadmium diduga sebagai penyebab kanker prostat karena selain di ginjal dan
hati, Cd juga terakumulasi di prostat dan testis. Jumlah Cd yang terakumulasi kurang
lebih 50% dari total jumlah Cd yang ada dalam tubuh. Penelitian Lacorte et al. (2011)
menunjukkan adanya peningkatan Cd dalam darah dan peningkatan Cd pada prostat
tikus yang disuntik Cd. Menurut Piscastor (1981) jumlah Cd yang terakumulasi di
prostat berhubungan linear dengan jumlah Cd yang terakumulasi di hepar dan testis.
Registrasi kanker prostat di Indonesia telah dilakukan oleh 13 laboratorium
patologi anatomi pada tahun 1992. Kanker prostat menempati urutan ke-9 dengan 310
3
kasus baru (4.07%) dari 10 kanker terbanyak. Pada laki-laki di atas usia 65 tahun,
kanker prostat menempati urutan ke-2 dengan 202 kasus (12.31%) (Mulawan dan
Arizal, 2007). Menurut Umbas (2013), angka kejadian kanker prostat di Indonesia
diperkirakan 7 per 100.000 penduduk dengan jumlah stadium lanjut sekitar 65% yang
terjadi karena keterlambatan diagnosis. Saat ini diagnosis dini pada umumnya hanya
ditujukan pada penderita dengan keluhan.
Faktor risiko kanker prostat meliputi umur, status endokrin, kerentanan genetik,
pekerjaan, etnis, ras dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan sebagai penyebab
kanker prostat didukung oleh fakta adanya peningkatan insidensi pada orang Asia
yang bermigrasi ke Amerika (Martin et al., 2002).
Kadmium terdapat dalam lingkungan berupa debu dan fume logam. Tingginya
kadar Cd pada pekerja terpapar Cd dibuktikan oleh Lei et al. (2007) yang
mendapatkan adanya perbedaan signifikan kadar Cd darah dan urin pada pekerja
pengecoran logam (Cd darah = 7,58 (6,24–9,23) μg/L, Cd urin = 3,09 (2,49–3,84)
μg/g kreatinin) dan pekerja rumah sakit yang tidak terpapar Cd (Cd darah = 3,22
(2,31–4,47) μg/L, Cd urin = 1,67 (1,26–2,22) μg/g kreatinin). Penelitian lain oleh
Moitra et al. (2014) menunjukkan adanya perbedaan signifikan kadar Cd darah dan
urin pada pekerja pabrik perhiasan (5,8 µg/dL) dengan pekerja yang tidak terpapar
Cd seperti karyawan penjualan perhiasan (0,41 µg/dL).
Kerusakan akibat Cd merupakan penjumlahan dari efek akut dalam waktu
beberapa bulan dengan waktu paruh 2-3 bulan yang menggambarkan paparan jangka
pendek dan efek kronik beberapa tahun dengan waktu paruh 10-30 tahun yang
4
menggambarkan paparan jangka panjang. Efek akut Cd meliputi demam dan sesak
nafas (demam uap logam), penumonitis, gagal ginjal dan gangguan intestinal. Efek
kronik Cd antara lain proteinuria, sindrom Fanconi, osteomalasia, emfisema, anemia,
anosmia, kanker paru dan kanker prostat. Gejala yang banyak dikeluhkan pekerja
bengkel las meliputi sesak nafas dan gangguan intestinal. Laporan penyakit akibat
kerja untuk pekerja bengkel las di Indonesia belum ada data yang tercatat.
Untuk mencegah timbulnya penyakit akibat kerja karena faktor lingkungan
International Labour Office (ILO) menetapkan konsentrasi rata-rata Cd dalam udara
lingkungan kerja tidak boleh melebihi 0,01 mg/m3. Sementara Occupational Safety
and Health Administration (OSHA) merekomendasikan monitoring biologik setiap
tahun sekali untuk pekerja dengan kadar Cd darah < 5 µg/dL (Wittman and Hu,
2002). Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk paparan Cd di udara tempat kerja
adalah 10 µg/m3 untuk Cd logam dan 2 µg/m3 untuk Cd dalam bentuk senyawa.
Penelitian Idham (2004) pada 40 pekerja bagian pengelasan PT. YIMM mendapatkan
hasil pengukuran udara lingkungan kerja untuk Cd 3 µg /m3 hingga 10 µg/m3 dengan
rata-rata 7 µg/m3. Hasil pengukuran Cd darah berkisar antara 1,28 µg/L hingga 43,33
µg/L dengan rata-rata 14,29 µg/L dan berhubungan signifikan dengan kadar Cd udara
lingkungan kerja.
Kadmium menyebabkan kanker prostat melalui beberapa mekanisme, yaitu
inisiasi transformasi keganasan, androgenik, mitogenik dan antiapoptotik. Beberapa
penelitian mendapatkan adanya lesi proliferatif berupa intraepithelial hiperplasia
tanpa invasi pada stroma lobus dorsolateral prostat tikus setelah paparan Cd yang
5
dianggap lebih relevan dengan kanker prostat manusia (Waalkes et al., 1999; Arriazu
et al., 2006). Transformasi keganasan pada sel line epithel prostat manusia RWPE-1
yang disebabkan oleh paparan kronik Cd juga ditemukan oleh Achanzar et al. (2001).
Pertumbuhan dan diferensiasi prostat dikendalikan oleh testosteron dan 5αdihydrotestosteron (DHT). Kadmium mempunyai sifat seperti androgen yang
mengatur ekspresi gen yang berperan dalam pertumbuhan dan sekresi kelenjar. Efek
Cd yang seperti androgen ini diperantarai oleh androgen receptor (AR). Hal ini
diperkuat oleh Martin et al. (2002) yang mendapatkan hasil adanya ikatan Cd dengan
AR dengan konstanta disosiasi 1.19 x 10(-10) M. Kadmium menghambat ikatan
androgen ke reseptor tetapi tidak mengubah afinitasnya (konstanta disosiasi = 2.8 x
10(-10) M). Hal tersebut menunjukkan Cd adalah inhibitor ikatan hormon.
Mekanisme antiapoptotik Cd pada sel prostat didukung oleh penelitian Qu et al.
(2007) yang mendapatkan hasil adanya peningkatan ratio Bcl-2/Bax sebesar 4 kali
lipat pada Cd-transformed human prostate epithelial cell (CTPE). Selain indikator
Bax dan BCl-2, adanya sifat antiapoptotik Cd juga dapat dilihat dari indikator p53
dan caspase-3. Penelitian Arriazu et al. (2006) mendapatkan adanya peningkatan p53
dan densitas caspase-3 pada acini displasia kelompok perlakuan dibanding dengan
acini non-displasia kelompok perlakuan dan kontrol.
Salah satu indikator laboratorium untuk kanker prostat adalah Prostate Spesific
Antigen (PSA). Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan Cd dengan PSA
sebagai uji skrining untuk kanker prostat. Peningkatan PSA ditemukan pada
penelitian Martin et al. (2002) pada sel kanker prostat, LNCaP, yang diberi Cd.
6
Ekspresi gen PSA meningkat 6 kali lipat setelah perlakuan. Hubungan antara Cd
dengan PSA juga dilaporkan oleh De Coster et al. (2008) di Belgia
yang
mendapatkan hasil adanya hubungan yang signifikan antara kadar Cd urin p ≥ 90
(1,24 μg/L) dengan kadar PSA pada penduduk berusia 50-65 tahun yang tinggal di 9
area dengan tingkat polusi udara yang berbeda. Penelitian Zeng et al. (2004) pada
laki-laki yang berasal dari daerah terkontaminasi Cd di China menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara kadar Cd urin dengan prevalensi kanker prostat dan
kadar Prostate Spesific Antigen (PSA) yang abnormal.
Penelitian terbaru mengenai terjadinya kanker prostat menunjukkan bahwa
kejadian kanker prostat secara molekuler melibatkan banyak ekspresi gen seperti
HPC1, PCAP. HPCX, HPC20, dan lain sebagainya. Selain itu kanker prostat juga
melibatkan mutasi gen supresor tumor seperti p53, PTEN, CDKN1B, MX11,
NKX3.1, gen glutathion S-transferase (GSTP-1) dan beberapa onkogen (Mazaris et
al., 2013). Onkogen yang sedang banyak diteliti terkait kejadian kanker prostat saat
ini adalah Insuline-like growth factor-1 (IGF-1). Senyawa yang bersirkulasi dalam
aliran darah ini, dihasilkan oleh hepar dan berbagai jaringan lokal dalam tubuh
(Clemmons, 2007).
Pada studi meta-analisis dari 9 studi prospektif yang dilakukan oleh Morris et
al. (2006) menunjukkan adanya peningkatan kadar IGF-1 serum berhubungan dengan
risiko kejadian kanker prostat (OR : 1,31 95% CI : 1,03-1,71). Adanya hasil
signifikan tersebut menjadikan pemeriksaan IGF-1 juga disarankan sebagai indikator
dalam hal penegakan diagnosis kanker prostat. Hal ini didukung oleh penelitian
7
Chokkalingam et al. (2001) yang mendapatkan adanya peningkatan risiko 2,6 kali
menderita kanker prostat pada laki-laki dengan kadar IGF-1 kuartil tertinggi.
Penelitian lebih lanjut mempertimbangkan rasio PSA/IGF-1 sebagai indikator
kanker prostat. Hasil penelitian Koliakos et al. (2000) mendapatkan sensitivitas yang
lebih baik pada PSA/IGF-1 dibandingkan PSA sebagai indikator kanker prostat.
Faktor risiko terjadinya kanker prostat selain Cd adalah faktor genetik. Salah
satu gen yang diduga berhubungan dengan kejadian kanker prostat adalah gen PSA
yang terdapat pada kromosom 19. Gen PSA mengandung androgen receptor effector
(ARE) yang mengatur ikatan promoter ke reseptor androgen. Androgen receptor
effector I yang berlokasi pada daerah proksimal promotor PSA berpusat di -170 bp
memiliki afinitas tinggi pada reseptor androgen. Polimorfisme genetik di ARE I yang
berhubungan dengan kadar PSA adalah -158 G/A. Salah satu Single Nucleotide
Polimorfism (SNP) AREI yang berhubungan dengan kadar PSA saat diagnosis adalah
rs266882. Hasil ini didukung oleh Song et al. (2013) yang mendapatkan hubungan
signifikan antara G/A polimorfisme rs266882 dengan kadar PSA hanya pada
kelompok sehat (PSA < 2,0 ng/ml).
Faktor risiko lain dari kanker prostat adalah kebiasaan merokok. Beberapa
penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan merokok dengan
beberapa tumor, namun hubungan merokok dengan kanker prostat masih menjadi
perdebatan. Rokok mengandung banyak zat karsinogenik termasuk N-nitroso (dikenal
sebagai karsinogen pada hewan). Rokok juga mengandung Cd sebagai faktor risiko
terjadinya kanker prostat. Setiap 1 batang rokok rata-rata mengandung ± 1,5-2,0 µg
8
Cd, dimana 70% dari kadar tersebut akan dilepaskan kembali ke udara melalui asap
yang dihembuskan perokok (Yu et al., 2011). Hubungan merokok dengan kanker
prostat juga dapat dijelaskan secara hormonal. Pria yang memiliki kebiasaan merokok
ternyata memiliki kadar androsteron dan testoteron yang lebih tinggi yang dapat
meningkatkan terjadinya kanker prostat.
Hasil penelitian Huncharek (2010) mendapatkan adanya peningkatan risiko
kanker prostat pada pria berdasarkan jumlah rokok yang dihisap setiap hari/tahun
(jumlah batang rokok per hari RR = 1,22; 95% CI = 1,01 - 146; jumlah bungkus per
hari RR = 1,11; 95% CI = 1,01 – 1,22). Penderita kanker prostat yang memiliki
kebiasaan merokok lebih berisiko menjadi fatal (RR = 1,14; 95% CI = 1,06 – 1,19).
Perokok berat yang merokok minimal satu bungkus sehari memiliki risiko 24%
hingga 30% lebih besar terjadi kematian akibat kanker prostat dibandingkan bukan
perokok.
Berdasarkan teori dan hasil-hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, pekerja
bengkel las termasuk pekerja yang berisiko terpapar Cd. Sumber paparan Cd pada
pekerja bengkel las berasal dari fume Cd yang dihasilkan dari proses pengelasan.
Kadar Cd di udara lingkungan kerja tergantung pada logam pengisi untuk pengelasan,
tehnik pengelasan yang digunakan dan kondisi ruangan tempat kerja. Tingginya kadar
Cd lingkungan menyebabkan tingginya kadar Cd dalam darah yang dapat
menyebabkan terjadinya kanker prostat pada pekerja.
9
B. Perumusan Masalah
Masalah utama yang menjadi pertanyaan penelitian secara umum adalah :
bagaimana hubungan kadar Cd dalam darah dengan karsinogenesis prostat pada
kelompok pekerja terpapar Cd dan tidak terpapar Cd?
Permasalahan penelitian secara rinci adalah :
1. Adakah perbedaan kadar Cd, PSA, IGF-1 dan rasio PSA/IGF-1 pada kelompok
terpapar Cd dan tidak terpapar Cd?
2. Adakah korelasi kadar Cd dengan PSA?
3. Adakah korelasi kadar Cd dengan IGF-1?
4. Adakah korelasi kadar Cd dengan rasio PSA/IGF-1?
5. Adakah pengaruh polimorfisme gen PSA rs266882 pada kadar Cd, PSA, IGF-1
dan rasio PSA/IGF-1?
6. Adakah pengaruh kebiasaan merokok pada kadar Cd, PSA, IGF-1 dan rasio
PSA/IGF-1?
C. Keaslian Penelitian
Akumulasi kadmium di prostat dicurigai dapat menyebabkan kanker prostat.
Hasil penelitian eksperimen pada hewan coba telah membuktikan adanya
transformasi keganasan pada prostat akibat paparan Cd, antara lain Waalkes et al.
(1988) yang menemukan adanya tumor adenoma pada lobus ventral prostat tikus
yang diawali munculnya lesi yang mengarah ke keganasan berupa hiperplasia.
Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Arriazu et al. (2006) dengan
10
pemeriksaan proliferating cell nuclear antigen (PCNA) pada tikus menunjukkan
adanya peningkatan yang signifikan pada kelompok terpapar Cd dibandingkan
dengan kelompok kontrol.
Transformasi keganasan pada prostat akibat paparan Cd berpengaruh pada
kadar PSA. Hal ini dibuktikan dengan penelitian oleh Achanzar et al. (2001) secara in
vitro pada sel line epithel prostat manusia RWPE-1 yang menunjukkan adanya hasil
positif pada pewarnaan kuat menggunakan antibodi spesifik untuk manusia Prostate
Spesific Antigen (PSA). Adanya peningkatan PSA ditemukan juga pada penelitian
Martin et al. (2002) pada sel kanker prostat, LNCaP, yang diberi Cd. Ekspresi gen
PSA meningkat 6 kali lipat setelah perlakuan.
Hasil penelitian epidemiologi menunjukkan adanya hubungan antara Cd dengan
PSA seperti dilaporkan oleh De Coster et al. (2008) yang mendapatkan hasil adanya
hubungan yang signifikan antara kadar Cd urin p ≥ 90 (1,24 μg/L) dengan kadar PSA
pada penduduk berusia 50-65 tahun yang tinggal di 9 area dengan tingkat polusi
udara yang berbeda. Hasil sebaliknya ditemukan oleh Pizent et al. (2008), tidak
ditemukan hubungan signifikan antara Cd darah (median = 0,33 μg/L) dan PSA pada
laki-laki dengan riwayat pekerjaan tidak terpapar Cd. Hal ini menunjukkan pada
kadar Cd rendah tidak didapatkan hubungan antara Cd dengan PSA, apabila kadar Cd
tinggi akan terlihat hubungan Cd dan PSA. Kadar Cd yang tinggi dalam tubuh
dipengaruhi oleh faktor lingkungan pekerjaan, makanan/minuman dan rokok.
Kelompok pekerja yang terpapar Cd antara lain polisi, pekerja pabrik peleburan,
pengecoran dan pengelasan logam. Beberapa penelitian menunjukkan adanya
11
perbedaan signifikan kadar Cd darah dan urin pada polisi dan pekerja pabrik
pengecoran logam dan pekerja yang tidak terpapar Cd seperti pekerja RS (Lei et al.,
2007; Moitra et al., 1014; Idham, 2004)
Indikator lain untuk menilai pengaruh Cd pada terjadinya kanker prostat yaitu
IGF-1 yang memiliki sifat mitogenik dan antiapoptotik pada sel prostat. Menurut
Clemmons (2007) dan Ungvari et al. (2011) dengan adanya stress oksidatif yang
disebabkan oleh paparan Cd dalam darah, akan menyebabkan kerusakan sel, sehingga
sel pada jaringan perifer mensintesis IGF-1 untuk meningkatkan ketahanan terhadap
stress oksidatif dan meregulasi produksi Reactive Oxygen Species (ROS) seluler.
Dengan demikian semakin tinggi Cd akan semakin tinggi IGF-1.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan signifikan antara gen PSA
dan kadar PSA. Penelitian Cramer et al (2003) menunjukkan adanya hubungan
signifikan -4643G/A SNP (alel G) dengan peningkatan serum PSA. Hubungan
signifikan juga didapatkan antara -5412C/T SNP (alel G) dengan peningkatan serum
PSA. Hasil penelitian oleh Song
et al. (2013) mendapatkan adanya hubungan
signifikan antara G/A polimorfisme rs266882 dengan kadar PSA hanya pada
kelompok sehat (PSA < 2,0 gn/ml).
Selain pada lingkungan kerja, paparan Cd dapat juga terjadi di lingkungan
umum. Salah satu sumber terbesar paparan Cd di lingkungan umum adalah rokok,
karena di dalam rokok terkandung berbagai macam logam, salah satunya adalah Cd.
Setiap 1 batang rokok rata-rata mengandung ± 1,5-2,0 µg Cd, dimana 70% dari kadar
12
tersebut akan dilepaskan kembali ke udara melalui asap yang dihembuskan perokok
(Yu et al., 2011).
Dari penelitian di atas belum ada yang menggambarkan :
1.
Gambaran genotipe gen PSA rs266882 di Indonesia.
2.
Korelasi polimorfisme gen PSA rs266882 dengan kadar Cd dalam tubuh.
3.
Korelasi Cd dengan IGF-1 sebagai indikator kerusakan sel akibat paparan Cd
pada pekerja bengkel las.
4.
Korelasi Cd dengan rasio PSA/IGF-1 yang memiliki sensitifitas dan spesifisitas
lebih baik dibandingkan PSA dan rasio PSA bebas/total sebagai indikator kanker
prostat.
5.
Korelasi polimorfisme gen PSA rs266882 dengan IGF-1 dan rasio PSA/IGF-1.
6.
Interaksi polimorfisme gen PSA rs266882 dengan Cd sebagai faktor risiko
terjadinya kanker prostat.
D. Tujuan Penelitian
D.1. Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan kadar kadmium dalam
darah dengan karsinogenesis prostat pada kelompok terpapar Cd dan tidak terpapar
Cd.
D.2. Tujuan khusus
1.
Mengkaji perbedaan kadar Cd, PSA, IGF-1 dan rasio PSA/IGF-1 pada kelompok
terpapar Cd dan tidak terpapar Cd.
13
2.
Mengkaji korelasi kadar Cd dengan PSA.
3.
Mengkaji korelasi kadar Cd dengan IGF-1.
4.
Mengkaji korelasi kadar Cd dengan rasio PSA/IGF-1.
5.
Mengkaji pengaruh polimorfisme gen PSA rs266882 pada kadar Cd, PSA, IGF-1
dan rasio PSA/IGF-1.
6.
Mengkaji pengaruh kebiasaan merokok pada kadar Cd, PSA, IGF-1 dan rasio
PSA/IGF-1.
E. Manfaat penelitian
E.1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan
sumbangan
informasi
ilmiah pada
aspek pengetahuan
dasar molekular pengaruh Cd pada karsinogenesis prostat.
b. Menentukan gambaran PSA, IGF-1, rasio PSA/IGF-1 yang berkorelasi
dengan Cd pada pekerja bengkel las
c. Memberikan sumbangan informasi ilmiah aspek genetik polimorfisme gen
PSA rs266882.
d. Memberikan sumbangan informasi ilmiah interaksi polimorfisme gen PSA
rs266882 dengan Cd.
14
E.2. Manfaat Praktis
a. Adanya pengaruh Cd pada PSA dan IGF-1 dapat dijadikan rekomendasi untuk
melakukan pemeriksaan pra kerja, pemeriksaan berkala dan pemeriksaan
khusus guna deteksi dini penyakit akibat kerja terutama akibat paparan Cd.
b. Adanya pengaruh Cd pada PSA dan IGF-1 dapat dijadikan rekomendasi untuk
melakukan upaya penanggulangan dan pengendalian potensi bahaya
lingkungan kerja terutama akibat paparan Cd.
c. Adanya pengaruh faktor genetik terhadap kerentanan pekerja dan kebiasaan
merokok pada kanker prostat dapat dijadikan pertimbangan pada skrining pra
kerja guna mencegah penyakit akibat kerja terutama akibat paparan Cd.
Download