BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kulit merupakan bagian terluar tubuh manusia yang berfungsi untuk melindungi
dari berbagai macam gangguan dari luar, terutama paparan sinar matahari yang dapat
menimbulkan bercak hitam atau coklat pada kulit (hiperpigmentasi). Hiperpigmentasi
merupakan kondisi dimana jumlah melanin berlebihan. Hiperpigmentasi ini dapat
dicegah dengan suatu penghambat atau inhibitor enzim tirosinase (Hartanti dan
Setiyawan, 2009).
Penghambat enzim tirosinase yang sering digunakan untuk mengatasi
hiperpigmentasi adalah hidrokuinon. Hidrokuinon mampu menurunkan jumlah melanin
hingga 90% (Baumann dan Alleman, 2009). Namun, hidrokuinon yang digunakan terusmenerus dapat menimbulkan dampak negatif bagi kulit, yaitu iritasi, kulit menjadi merah
(eritema), dan rasa terbakar. Efek ini terjadi segera setelah pemakaian hidrokuinon
konsentrasi tinggi, yaitu diatas 4%. Pemakaian hidrokinon di bawah 2% dalam jangka
waktu lama secara terus-menerus dapat mengakibatkan leukoderma kontak dan okronosis
eksogen (Baumann dan Alleman, 2009) sehingga mendorong para peneliti untuk
menemukan penghambat enzim tirosinase dari bahan alam yang lebih aman. Menurut
Chang (2009) senyawa inhibitor tirosinase yang banyak terdapat pada tumbuhan adalah
golongan flavonoid. Selain senyawa flavonoid, asam askorbat atau vitamin C, asam
linoleat, alkaloid, saponin, dan juga tanin dapat menghambat aktivitas enzim tirosinase
(Fithria, 2015; Badreshia dan Draelos, 2007; Shaheen, dkk., 2005; Hindritiani, dkk., 2013;
Zhang dan Zhou, 2013).
161
2
Menurut Leelaprakash, dkk (2011) ekstrak etanol daun pare mengandung
senyawa flavonoid. Senyawa
melanogenesis
flavonoid mempunyai efek menghambat
proses
sebagai inhibitor tirosinase, melindungi kulit dari radiasi UV dan
memperbaiki fungsi sel (Pandel, dkk., 2013). Flavonoid merupakan kelompok tirosinase
inhibitor terbesar sampai sekarang (Chang, 2009). Senyawa flavonoid seperti liquiritin
dalam sediaan krim liquiritin 2% terbukti mampu mengurangi hiperpigmentasi pada kulit
manusia lebih baik dibandingkan dengan krim hidrokuinon 4% (Zubair dan Mujtaba,
2009). Berdasarkan uraian tersebut maka menarik untuk membuktikan aktivitas
antihiperpigmentasi ekstrak etanol daun pare (Momordica charantia L.) pada kulit
marmut belanda (Cavia porcellus).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka dapat disusun rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Apakah ekstrak etanol daun pare (Momordica charantia L.) memiliki aktivitas
antihiperpigmentasi secara in vivo pada kulit marmut belanda (Cavia porcellus) yang
dipapar sinar UVB?
2. Apakah ekstrak etanol daun pare (Momordica charantia L.) memiliki aktivitas
antihiperpigmentasi yang lebih tinggi daripada krim farma (hidrokuinon 4%, tretinoin
0,05% dan fluosinolon asetonid 0,01%) ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :
1. Membuktikan aktivitas antihiperpigmentasi secara in vivo ekstrak etanol daun pare
(Momordica charantia L.) pada kulit marmut belanda (Cavia porcellus) yang dipapar
sinar UVB.
3
2. Membandingkan aktivitas antihiperpigmentasi ekstrak etanol daun pare (Momordica
charantia L.) dengan krim farma (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05% dan fluosinolon
asetonid 0,01%).
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan bukti ilmiah bahwa ekstrak etanol daun pare
(Momordica charantia L.) memiliki khasiat antihiperpigmentasi secara in vivo sehingga
dapat dimanfaatkan oleh peneliti selanjutnya dalam penemuan antihiperpigmentasi
dari bahan alam.
E. Tinjauan Pustaka
A. Daun Pare (Momordica charantia L.)
Tanaman pare (paria) adalah tanaman herba berumur satu tahun atau
lebih yang tumbuh menjalar dan merambat. Tanaman ini (gambar 1)
merupakan tanaman tropis sehingga mudah tumbuh di indonesia, hidup di
dataran rendah dan dapat dibudidayakan atau tumbuh sebagai tanaman liar di
tanah kosong. Tanaman pare sangat mudah dibudidayakan dan tumbuhnya
tidak tergantung pada musim sehingga dapat ditanam kapan saja (Hernawati,
2009).
a. Klasifikasi
Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan jenis tanaman
obat-obatan, salah satunya adalah tanaman pare (Momordica charantia
L.) (gambar 1). Sistematika taksonomi tanaman pare menurut Dasuki
(1991) sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
4
Sub Divisi
: Magnoliopsida
Kelas
: Dycotiledonae
Famili
: Cucurbitaceae
Genus
: Momordica
Spesies
: Momordica charantia
Gambar 1. Daun Pare (Mutiara dan wildan, 2014)
b. Morfologi
Tanaman pare memiliki akar tunggang dan akar serabut yang sangat
lembut berwarna putih. Batang tanaman ini berwarna hijau tua (medium
green), beruas-ruas batangnya, tidak berkayu dan bentuk cabang dari tanaman
pare merambat dengan sulur berbentuk spiral yang berfungsi sebagai pengait
sehingga tanaman tidak mudah roboh. Bentuk daun menjari dengan
permukaan atas berwarna hijau tua (lay green) dan permukaan bawah
berwarna hijau muda (medium green). Daun pare memiliki tajuk yang bergigi
kasar sampai berlekuk menyirip, Panjangnya 10-20 cm dengan lebar 10-15 cm
dengan pangkal daun berbentuk jantung dengan warna hijau tua (lay green).
Tanaman pare mempunyai dua jenis bunga yang terpisah antara bunga jantan
dan bunga betima. Buah pare berbentuk bulat agak panjang berwarna hijau
5
tua dengan rusuk buah yang tegas dan daging buah yang tebal, panjang 27-30
cm dan diameter 8-13 cm serta mamiliki berat 0,25 kg. Biji buah pare berwarna
coklat, permukaan benih kasar, betuk biji terkesan kotak agak lonjong
dan pada buah yang sudah tua biji diselaputi pembungkus berwarna merah
(Triwiyatno, 2003).
c. Kandungan Kimia
Menurut
Dalimartha
(2008)
daun
pare
memiliki
kandungan
momordicine; momordin; charantine; asam trikosanik; resin; asam resinat;
saponin; vitamin A dan C; serta minyak lemak yang terdiri atas asam oleat,
asam linoleat, asam stearat dan lemak oleostearat. Menurut Leelaprakash, dkk
(2011) kandungan kimia daun pare yaitu alkaloid, flavonoid, dan tanin. Redha
(2010) menyatakan flavonoid tergolong senyawa fenolik dan memiliki peran
sebagai antioksidan. Senyawa flavonoid dalam daun pare diketahui dapat
mencegah terjadinya hiperpigmentasi. Hal ini sesuai dengan penelitian in vitro
yang dilakukan Tsai, dkk (2014) bahwa ekstrak daun pare dapat mengurangi
produksi melanin dengan jalan menghambat kerja enzim tirosinase.
Flavonoid berperan sebagai antioksidan dengan cara mendonasikan
atom hidrogennya atau melalui kemampuannya mengkhelat logam, berada
dalam bentuk glukosida (mengandung rantai samping glukosa) atau dalam
bentuk bebas yang disebut aglikon. Flavonoid flavonol memiliki lebih banyak
khasiat antioksidan dibandingkan jenis yang lainnya (Cuppett, dkk., 1954).
d. Khasiat Tanaman
Pare (Momordica charantia L.) merupakan tanaman yang
memiliki banyak khasiat. Salah satu bagian tanaman pare yang memiliki
6
banyak khasiat adalah daun pare. Beberapa penelitian menyebutkan daun
pare memiliki khasiat sebagai mukolitik, antipiretik, antifertilitas, anti
hama, memperlancar ASI, dan anthelmentik. Penelitian Tsai, dkk (2014)
juga menyebutkan bahwa daun pare memiliki khasiat sebagai antioksidan
yang signifikan.
B. Senyawa Alam sebagai Antihiperpigmentasi
Senyawa alam dalam daun pare yang dapat menghambat enzim tirosinase
diantaranya vitamin C, asam linoleat, alkaloid, saponin, dan tanin (Fithria, 2015;
Badreshia dan Draelos, 2007; Shaheen, dkk., 2005; Hindritiani, dkk., 2013; Zhang
dan Zhou, 2013). Masing-masing senyawa memiliki mekanisme yang berbeda.
Vitamin C merubah melanin bentuk oksidasi menjadi bentuk reduksi dan mencegah
pembentukan melanin dengan cara merubah DOPAquinone menjadi DOPA (Fithria,
2015). Asam linoleat bekerja mempengaruhi degradasi enzim, mengubah
kandungan protein tirosinase di melanosit, dan juga mempengaruhi pigmentasi
kulit dengan merangsang pergantian epidermal serta meningkatkan deskuamasi
pigmen melanin dari epidermis (Badreshia dan Draelos, 2007). Shaheen, dkk (2005)
menyatakan bahwa pada penelitian terhadap likotonin, salah satu jenis
norditerpeoid alkaloid memiliki aktivitas sebagai inhibitor tirosinase. Selain alkaloid
yang bersifat terpenoid, beberapa jenis alkaloid oxindole yang diisolasi dari Isatis
costata juga dianggap signifikan sebagai inhibitor tirosinase, dengan nilai IC50
berkisar antara 7,21 hingga 17,34 µM (Loizzo, dkk., 2012).
Zhang dan Zhou (2013) melaporkan bahwa saponin yang diisolasi dari
Xanthoceras sorbifolia mampu menghambat aktivitas tirosinase sebesar 52,9%.
Selain itu dinyatakan bahwa penghambatan saponin kemungkinan merupakan
7
kombinasi antara penghambatan kompetitif dan ankompetitif terhadap tirosinase.
Tanin diduga dapat menurunkan sintesis melanin dengan menghambat superoxide
anion radikal, dimana Superoxide anion radikal ini dapat meningkatkan proses
oksidasi L-tirosin menjadi L-DOPA sebanyak 40 kali lipat (Chaudhuri, dkk., 2007;
Wood dan Schallreuter, 1991).
C. Dampak Sinar UV Terhadap Melanogenesis pada Kulit Manusia
Melanin diproduksi oleh melanosom yang dihasilkan oleh melanosit.
Melanosit berada di lapisan stratum germinativum. Melanin yang terbentuk akan
menyebar mengisi keratinosit (Fithria, 2015). Sel melanosit terdapat pada lapisan
epidermis tepatnya di lapisan basal. Melanosit adalah sel dendritik yang
membentuk melanin. Melanin berfungsi untuk melindungi kulit terhadap sinar
matahari terutama sinar UV. Dermis berada di bawah epidermis yang jauh lebih
tebal daripada epidermis. Dermis terdiri dari lapisan elastis dan fibrosa padat
dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Lapisan dermis dibagi menjadi
dua bagian yaitu pars papilare dan pars retikulare yang mengandung pembuluh
darah, saraf, rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea (Djuanda, 2007).
Sumber radiasi UV alam menurut De Grujl (2000) adalah matahari.
Spektrum sinar UV adalah elektromagnetik yang memiliki rentang panjang
gelombang 100 – 400 nm, dibagi menjadi sinar ultraviolet A atau UV-A (λ 320400nm), sinar UV-B (λ 280-320nm) dan sinar UV-C (λ 100-280 nm) (WHO, 2009).
Panjang gelombang dari radiasi sinar matahari yang paling berisiko dalam
pencapaiannya ke bumi menurut Pandel, dkk (2013) adalah UVB 280-320 nm dan
UVA 320-400 nm. Semakin kuat radiasi UVB yang dipancarkan maka semakin
menimbulkan reaksi di epidermis, dengan perkiraan 10% dapat mencapai dermis.
8
Radiasi UVA 50% akan mencapai dermis, sedangkan UVC hampir diserap sempurna
oleh lapisan ozon sehingga tidak menimbulkan efek pada kulit. UVC dapat sangat
merusak kulit, bahkan pada paparan yang sangat singkat. Sinar UV akan merusak
gugus sulfhidril yang merupakan penghambat tirosinase. Dengan adanya sinar UV,
enzim tirosinase bekerja secara maksimal dalam memicu proses melanogenesis.
Kulit kemudian akan merespon melalui mekanisme perlindungan alami, ditandai
dengan peningkatan melanosit dan perubahan fungsi melanosit sehingga timbul
proses tanning sebagai respon terhadap radiasi UV (Damayanti dan Listiawan,
2004).
Sinar UVB dapat mencapai bumi dengan mewakili 10% dari jumlah total
sinar UV. UVB dapat menembus lapisan epidermis kulit (160-180 nm) dan
merupakan konstituen yang paling aktif dari cahaya matahari. UVB 1000 kali lebih
kuat membakar kulit dibanding UVA. Efek negatif yang terbentuk adalah efek
langsung dan tidak langsung, termasuk pembentukan photoproducts pirimidin
(Katiyar 2005), isomerisasi trans asam cis-urocanic (Capote, dkk., 2006), induksi
aktivitas dekarboksilase ornithine (Ahmad dan Gilliam, 2001), stimulasi sintesis DNA
(Andley, dkk., 1996), produksi radikal bebas (Aitken, dkk., 2007), photoaging dan
foto-karsinogenesis (Gruijl, 2000). Sinar UVB kemungkinan besar dapat
menyebabkan kanker kulit (karsinoma sel skuamosa dan basal) dan imunosupresi
(Clydesdale, dkk., 2001).
UVA dikenal sebagai sinar penuaan, mewakili lebih dari 90% dari radiasi UV
yang mencapai permukaan bumi (Koesoema, 2009). UVA dapat menembus lebih
dalam ke dalam epidermis dan dermis kulit (sekitar 1 mm) dan meningkatkan
pembentukan spesies oksigen reaktif (ROS) (Wondrak, dkk., 2006). Dibandingkan
9
dengan UVB, UVA 1000 kali lebih efektif memberi efek tanning langsung yang
disebabkan adanya melanin di epidermis (Brenner dan Hearing, 2008). Paparan
UVA kronis dapat merusak struktur penting dalam dermis dan menyebabkan
photoaging pada kulit (Ichihashi, dkk., 2009), terutama menyebabkan kulit kendur
daripada kulit berkerut (Krutmann, 2001). UVA dapat menghasilkan kerusakan
struktural pada DNA, merusak sistem kekebalan tubuh, dan menyebabkan kanker.
Situasi ini telah dikaitkan dengan 67% kasus melanoma maligna (Duthie, dkk.,
1999).
Melanogenesis (gambar 2) merupakan proses pembentukan melanin oleh
sel melanosit pada stratum germinativum. Sintesis melanin dimulai dengan sintesis
tyrosinase dalam retikulum endoplasma kasar, yang kemudian diakumulasi dalam
kompleks golgi. Tyrosinase ini membutuhkan oksigen dan tembaga (Cu) untuk
mengoksidasi asam amino menjadi 3,4 dihydroxyphenylalanine (L-DOPA) melalui
jalur Raper Mason dan selanjutnya dioksidasi menjadi DOPAquinone, kemudian
keduanya dikatalisis oleh tirosinase. DOPAquinone kemudian akan diubah menjadi
DOPAchrome, lalu proses berikutnya diubah menjadi 5,6-dihydroxyindole (DHI) dan
5,6-dihydroxyindole-2-carboxylic acid (DHICA) yang akan membentuk eumelanin
yaitu melanin berwarna hitam dan coklat. DOPA quinine yang berikatan dengan
glutathione atau cysteine, kemudian membentuk cysteinyl DOPA atau feomelanin
yang berwarna kuning kemerahan. Melanin yang terbentuk kemudian ditransfer
dan didistribusikan ke keratinosit epidermal (Fithria, 2015).
Melanogenesis pada kulit manusia tersebut dipengaruhi oleh faktor
internal maupun eksternal. Faktor eksternal yang utama adalah paparan sinar UV,
sinar ultraviolet yang sampai ke kulit akan diserap oleh kromofor endogen yaitu
10
melanin. Lalu akan terjadi reaksi fotokimiawi dan menghasilkan Photoproduct
antara lain ROS (Reactive Oxygen Species), di mana ROS tersebut akan
mengaktifkan phopholipase-C (PLC) dan membebaskan diacetyl glycerol (DAG) serta
inositoltriphosphat. DAG dan inositoltriphosphat berfungsi sebagai second
messenger yang dapat mengaktifkan faktor nuklear sehingga akan memacu
transkripsi DNA di inti sel. Transkripsi DNA tersebut akan meningkatkan
pembentukan enzim tyrosinase dan selanjutnya terjadilah melanogenesis yang
berlebihan. Selain itu, paparan sinar UV mampu merusak gugus sulfihidril pada
epidermis. Gugus sulfihidril ini mampu menghambat enzim tyrosinase dengan jalan
mengikat ion Cu dari enzim tersebut. Gugus sulfihidril yang rusak dapat membuat
kerja enzim tyrosinase semakin meningkat dan memacu proses melanogenesis yang
berlebihan (Fithria, 2015).
Gambar 2. Melanogenesis (Gillbro dan Olsson, 2011)
D. Kelainan hiperpigmentasi yang sering dijumpai adalah melasma
(chloasma) dan freckles (epheliede) (Plensdorf dan Martinez, 2009). Melasma
11
(chloasma) merupakan bercak berwarna cokelat muda atau hitam berukuran
besar pada area wajah (pipi, dahi, dagu, dan bibir atas) yang dapat meluas ke
daerah leher. Melasma dapat terjadi pada pria (10%) maupun wanita,
terutama di masa subur wanita, yaitu pada usia 30-34 tahun. Sementara itu,
freckles (epheliede) atau dikenal dengan flek hitam pada wajah merupakan
bercak berukuran kecil yang terdapat pada wajah, leher, lengan, punggung
tangan, atau tungkai. Freckles berwarna cokelat muda sampai cokelat tua,
dapat muncul sejak usia 2-5 tahun, dan bisa terjadi pada pria dan wanita
(Fithria, 2015).
E. Hidrokuinon sebagai Produk Antihiperpigmentasi
Hiperpigmentasi kulit dapat diobati dengan sediaan krim farma, yaitu krim
yang mengandung obat. Menurut Taylor, dkk (2005) krim farma untuk mengatasi
hiperpigmentasi terdiri dari 3 kombinasi (triple combination therapy) yaitu
hidrokuinon 4% (HQ), tretinoin 0.05% (RA), dan fluosinolon asetonid 0.01% (FA).
Triple combination therapy tersebut terbukti aman dan efektif dalam pengobatan
melasma dalam jangka waktu 8 minggu. Ketiga senyawa kombinasi ini memiliki
mekanisme yang berbeda dalam mengatasi hiperpigmentasi. Hidrokuinon
merupakan senyawa hidroksifenolik yang dapat menginhibisi perubahan DOPA
menjadi melanin melalui penghambatan enzim tirosinase, menghambat sintesa
DNA dan RNA, degradasi melanosom, dan penghancuran melanosit. Tretinoin dapat
mengganggu transfer pigmen, dan mempercepat transfer epidermis, sehingga
pigmen melanin hilang lebih cepat. Tretinoin mempercepat pergantian (turnover)
lapisan epidermis, mempersingkat lama transit (transit time) di lapisan basal
sehingga terjadi proses epidermopoesis dan pigmen melanin hilang lebih cepat.
12
Mekanisme lain tretinoin yaitu menurunkan proses melanogenesis dengan jalan
mereduksi melanin epidermis sehingga jumlah transfer melanosom ke keratinosit
menurun, selanjutnya terjadi peningkatan proliferasi epidermis dan penghambatan
enzim tirosinase (Fithria, 2015; Kligman dan Willis, 1975). Fluosinolon asetonid
merupakan kortikosteroid potensi lemah (grup VI), mampu menghambat sintesis
melanin melalui penurunan aktivitas sel secara umum, dapat juga mereduksi iritasi
atau inflamasi yang disebabkan HQ dan tretinoin, antagonis terhadap efek
penipisan stratum korneum akibat penggunaan tretinoin dan mereduksi iritasi yang
diinduksi oleh retinoid. Menurut Kligman dan Willis (1975), kortikosteroid dapat
menekan fungsi biosintetik dan sekresi melanosit sehingga menekan produksi
melanin tanpa menghancurkan melanosit.
F. Dimetil Sulfoksida sebagai Penetrant Enhancer
DMSO merupakan bahan alami dari serat kayu dan tidak berbahaya, dapat
berfungsi sebagai pelarut yang cepat meresap di dalam epitel ekstrak tanpa
merusak sel-sel tersebut dan sering digunakan dalam bidang kedokteran dan
kesehatan. DMSO digunakan sebagai peningkat penetrasi yang larut lemak.
DMSO bekerja dengan cara memodifikasi atau melemahkan susunan lipid
interseluler stratum corneum sehingga transfer zat aktif melalui kulit dapat
ditingkatkan (Fatmawaty, dkk., 2012). Penelitian Fatonah (2006) menyebutkan
bahwa laju permeasi gel piroksikam dengan penambahan zat peningkat penetrasi
(enhancer) DMSO hampir lima kali lebih cepat
dalam melepaskan zat aktif
dibanding dengan formula tanpa DMSO. DMSO dapat meningkatkan fluks obat
melalui interaksinya dengan lipid pada stratum corneum dengan cara memodifikasi
membran atau berpengaruh terhadap ketebalan membran, terutama sel-sel mati;
13
serta merubah struktur protein, yang menyebabkan terjadinya perubahan nilai
koefisien partisi membran (Shembale, dkk., 2010).
G. Marmut Belanda Sebagai Hewan Uji Antihiperpigmentasi
H. Marmut belanda (Cavia porcellus) (gambar 3) atau juga disebut
sebagai tikus belanda merupakan hewan pengerat yang sering dipelihara
manusia. Marmut belanda adalah hewan percobaan yang telah sering
digunakan pada percobaan sebelumnya karena memiliki banyak persamaan
secara biologis terhadap manusia, salah satunya yaitu distribusi melanin
marmut belanda hampir sama dengan distribusi melanin pada manusia
(Jindra dan Imholte, 2009). Karakter marmut lebih penakut daripada mencit
dan kelinci (Suryanto, 2012). Walaupun satu spesies, marmut belanda (Cavia
porcellus) berbeda dari marmut, ukuran marmut belanda ini lebih kecil dari
marmut. Karakteristik dari marmut belanda yaitu memiliki mantel (rambut)
yang bervariasi dalam warna, panjang dan tekstur. Beberapa warna yang
umum adalah putih, hitam, merah, krem, nila, dan coklat atau kombinasi.
Marmut belanda dewasa panjangnya 200-500 mm. Hewan ini tidak
mempunyai ekor eksternal, mempunyai empat jari pada kaki depan dan tiga
jari belakang serta mempunyai kuku yang tajam (Ragland, 1988). Marmut
belanda jarang menggigit, proporsi berat badan dan kaki yang tidak
sebanding membuat marmut belanda umumnya tidak dapat melompat atau
memanjat (Suryanto, 2012). Badan marmut gemuk, pendek mudah
menyimpan panas dengan baik, tetapi pelepasannya kurang baik sehingga
marmut dapat bertahan baik dalam suhu rendah. Pemeliharaan marmut
14
belanda relatif mudah, tahan pada kondisi lingkungan yang terbatas (Ragland,
1988).
I.
J.
K.
L.
M. Gambar 3. Marmut belanda (Yamamoto, 2015)
N. Pengklasifikasian marmut belanda (Cavia porcellus) menurut
Yamamoto (2015) adalah sebagai berikut :
O. Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mammal
Ordo
: Rodent
Upaordo
: Hystricomorpha
Famili
: Caviidae
Genus
: Cavia
Spesies
: Cavia porcellus
P.
F. Landasan Teori
Daun pare (Momordica charantia L.) memiliki aktivitas antioksidan. Daun pare
mengandung senyawa flavonoid, dimana menurut Rice-Evans, dkk (1996) flavonoid
merupakan senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan. Pembuktian aktifitas
antioksidan ekstrak etanol daun pare
yang dilakukan oleh Fidrianny, dkk (2015)
15
didapatkan nilai IC50 sebesar 77,10 µg/mL dan nilai ini dikategorikan sebagai antioksidan
yang kuat.
Tsai, dkk (2014) mengatakan bahwa daun pare (Momordica charantia L.)
memiliki aktifitas antimelanogenik dengan jalan menghambat enzim tirosinase pada
konsentrasi 200 µg/mL secara invitro. Zubair dan Mujtaba (2009) membuktikan dalam
penelitiannya, bahwa senyawa flavonoid liquiritin dalam bentuk sediaan topikal krim
liquiritin 2% memiliki aktivitas antihiperpigmentasi yang lebih tinggi dibandingkan krim
hidrokuinon 4%.
G. Hipotesis
1. Ekstrak etanol daun pare (Momordica charantia L.) memiliki aktivitas
antihiperpigmentasi pada kulit marmut belanda (Cavia porcellus) jantan.
2. Ekstrak etanol daun pare (Momordica charantia L.) memiliki aktivitas
antihiperpigmentasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan krim farma
(hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05% dan fluosinolon asetonid 0,01%).
Download