BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kulit merupakan bagian terluar tubuh manusia yang berfungsi untuk melindungi dari berbagai macam gangguan dari luar, terutama paparan sinar matahari yang dapat menimbulkan bercak hitam atau coklat pada kulit (hiperpigmentasi). Hiperpigmentasi merupakan kondisi dimana jumlah melanin berlebihan. Hiperpigmentasi ini dapat dicegah dengan suatu penghambat atau inhibitor enzim tirosinase (Hartanti dan Setiyawan, 2009). Penghambat enzim tirosinase yang sering digunakan untuk mengatasi hiperpigmentasi adalah hidrokuinon. Hidrokuinon mampu menurunkan jumlah melanin hingga 90% (Baumann dan Alleman, 2009). Namun, hidrokuinon yang digunakan terusmenerus dapat menimbulkan dampak negatif bagi kulit, yaitu iritasi, kulit menjadi merah (eritema), dan rasa terbakar. Efek ini terjadi segera setelah pemakaian hidrokuinon konsentrasi tinggi, yaitu diatas 4%. Pemakaian hidrokinon di bawah 2% dalam jangka waktu lama secara terus-menerus dapat mengakibatkan leukoderma kontak dan okronosis eksogen (Baumann dan Alleman, 2009) sehingga mendorong para peneliti untuk menemukan penghambat enzim tirosinase dari bahan alam yang lebih aman. Menurut Chang (2009) senyawa inhibitor tirosinase yang banyak terdapat pada tumbuhan adalah golongan flavonoid. Selain senyawa flavonoid, asam askorbat atau vitamin C, asam linoleat, alkaloid, saponin, dan juga tanin dapat menghambat aktivitas enzim tirosinase (Fithria, 2015; Badreshia dan Draelos, 2007; Shaheen, dkk., 2005; Hindritiani, dkk., 2013; Zhang dan Zhou, 2013). 161 2 Menurut Leelaprakash, dkk (2011) ekstrak etanol daun pare mengandung senyawa flavonoid. Senyawa melanogenesis flavonoid mempunyai efek menghambat proses sebagai inhibitor tirosinase, melindungi kulit dari radiasi UV dan memperbaiki fungsi sel (Pandel, dkk., 2013). Flavonoid merupakan kelompok tirosinase inhibitor terbesar sampai sekarang (Chang, 2009). Senyawa flavonoid seperti liquiritin dalam sediaan krim liquiritin 2% terbukti mampu mengurangi hiperpigmentasi pada kulit manusia lebih baik dibandingkan dengan krim hidrokuinon 4% (Zubair dan Mujtaba, 2009). Berdasarkan uraian tersebut maka menarik untuk membuktikan aktivitas antihiperpigmentasi ekstrak etanol daun pare (Momordica charantia L.) pada kulit marmut belanda (Cavia porcellus). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah ekstrak etanol daun pare (Momordica charantia L.) memiliki aktivitas antihiperpigmentasi secara in vivo pada kulit marmut belanda (Cavia porcellus) yang dipapar sinar UVB? 2. Apakah ekstrak etanol daun pare (Momordica charantia L.) memiliki aktivitas antihiperpigmentasi yang lebih tinggi daripada krim farma (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05% dan fluosinolon asetonid 0,01%) ? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan : 1. Membuktikan aktivitas antihiperpigmentasi secara in vivo ekstrak etanol daun pare (Momordica charantia L.) pada kulit marmut belanda (Cavia porcellus) yang dipapar sinar UVB. 3 2. Membandingkan aktivitas antihiperpigmentasi ekstrak etanol daun pare (Momordica charantia L.) dengan krim farma (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05% dan fluosinolon asetonid 0,01%). D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat memberikan bukti ilmiah bahwa ekstrak etanol daun pare (Momordica charantia L.) memiliki khasiat antihiperpigmentasi secara in vivo sehingga dapat dimanfaatkan oleh peneliti selanjutnya dalam penemuan antihiperpigmentasi dari bahan alam. E. Tinjauan Pustaka A. Daun Pare (Momordica charantia L.) Tanaman pare (paria) adalah tanaman herba berumur satu tahun atau lebih yang tumbuh menjalar dan merambat. Tanaman ini (gambar 1) merupakan tanaman tropis sehingga mudah tumbuh di indonesia, hidup di dataran rendah dan dapat dibudidayakan atau tumbuh sebagai tanaman liar di tanah kosong. Tanaman pare sangat mudah dibudidayakan dan tumbuhnya tidak tergantung pada musim sehingga dapat ditanam kapan saja (Hernawati, 2009). a. Klasifikasi Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan jenis tanaman obat-obatan, salah satunya adalah tanaman pare (Momordica charantia L.) (gambar 1). Sistematika taksonomi tanaman pare menurut Dasuki (1991) sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta 4 Sub Divisi : Magnoliopsida Kelas : Dycotiledonae Famili : Cucurbitaceae Genus : Momordica Spesies : Momordica charantia Gambar 1. Daun Pare (Mutiara dan wildan, 2014) b. Morfologi Tanaman pare memiliki akar tunggang dan akar serabut yang sangat lembut berwarna putih. Batang tanaman ini berwarna hijau tua (medium green), beruas-ruas batangnya, tidak berkayu dan bentuk cabang dari tanaman pare merambat dengan sulur berbentuk spiral yang berfungsi sebagai pengait sehingga tanaman tidak mudah roboh. Bentuk daun menjari dengan permukaan atas berwarna hijau tua (lay green) dan permukaan bawah berwarna hijau muda (medium green). Daun pare memiliki tajuk yang bergigi kasar sampai berlekuk menyirip, Panjangnya 10-20 cm dengan lebar 10-15 cm dengan pangkal daun berbentuk jantung dengan warna hijau tua (lay green). Tanaman pare mempunyai dua jenis bunga yang terpisah antara bunga jantan dan bunga betima. Buah pare berbentuk bulat agak panjang berwarna hijau 5 tua dengan rusuk buah yang tegas dan daging buah yang tebal, panjang 27-30 cm dan diameter 8-13 cm serta mamiliki berat 0,25 kg. Biji buah pare berwarna coklat, permukaan benih kasar, betuk biji terkesan kotak agak lonjong dan pada buah yang sudah tua biji diselaputi pembungkus berwarna merah (Triwiyatno, 2003). c. Kandungan Kimia Menurut Dalimartha (2008) daun pare memiliki kandungan momordicine; momordin; charantine; asam trikosanik; resin; asam resinat; saponin; vitamin A dan C; serta minyak lemak yang terdiri atas asam oleat, asam linoleat, asam stearat dan lemak oleostearat. Menurut Leelaprakash, dkk (2011) kandungan kimia daun pare yaitu alkaloid, flavonoid, dan tanin. Redha (2010) menyatakan flavonoid tergolong senyawa fenolik dan memiliki peran sebagai antioksidan. Senyawa flavonoid dalam daun pare diketahui dapat mencegah terjadinya hiperpigmentasi. Hal ini sesuai dengan penelitian in vitro yang dilakukan Tsai, dkk (2014) bahwa ekstrak daun pare dapat mengurangi produksi melanin dengan jalan menghambat kerja enzim tirosinase. Flavonoid berperan sebagai antioksidan dengan cara mendonasikan atom hidrogennya atau melalui kemampuannya mengkhelat logam, berada dalam bentuk glukosida (mengandung rantai samping glukosa) atau dalam bentuk bebas yang disebut aglikon. Flavonoid flavonol memiliki lebih banyak khasiat antioksidan dibandingkan jenis yang lainnya (Cuppett, dkk., 1954). d. Khasiat Tanaman Pare (Momordica charantia L.) merupakan tanaman yang memiliki banyak khasiat. Salah satu bagian tanaman pare yang memiliki 6 banyak khasiat adalah daun pare. Beberapa penelitian menyebutkan daun pare memiliki khasiat sebagai mukolitik, antipiretik, antifertilitas, anti hama, memperlancar ASI, dan anthelmentik. Penelitian Tsai, dkk (2014) juga menyebutkan bahwa daun pare memiliki khasiat sebagai antioksidan yang signifikan. B. Senyawa Alam sebagai Antihiperpigmentasi Senyawa alam dalam daun pare yang dapat menghambat enzim tirosinase diantaranya vitamin C, asam linoleat, alkaloid, saponin, dan tanin (Fithria, 2015; Badreshia dan Draelos, 2007; Shaheen, dkk., 2005; Hindritiani, dkk., 2013; Zhang dan Zhou, 2013). Masing-masing senyawa memiliki mekanisme yang berbeda. Vitamin C merubah melanin bentuk oksidasi menjadi bentuk reduksi dan mencegah pembentukan melanin dengan cara merubah DOPAquinone menjadi DOPA (Fithria, 2015). Asam linoleat bekerja mempengaruhi degradasi enzim, mengubah kandungan protein tirosinase di melanosit, dan juga mempengaruhi pigmentasi kulit dengan merangsang pergantian epidermal serta meningkatkan deskuamasi pigmen melanin dari epidermis (Badreshia dan Draelos, 2007). Shaheen, dkk (2005) menyatakan bahwa pada penelitian terhadap likotonin, salah satu jenis norditerpeoid alkaloid memiliki aktivitas sebagai inhibitor tirosinase. Selain alkaloid yang bersifat terpenoid, beberapa jenis alkaloid oxindole yang diisolasi dari Isatis costata juga dianggap signifikan sebagai inhibitor tirosinase, dengan nilai IC50 berkisar antara 7,21 hingga 17,34 µM (Loizzo, dkk., 2012). Zhang dan Zhou (2013) melaporkan bahwa saponin yang diisolasi dari Xanthoceras sorbifolia mampu menghambat aktivitas tirosinase sebesar 52,9%. Selain itu dinyatakan bahwa penghambatan saponin kemungkinan merupakan 7 kombinasi antara penghambatan kompetitif dan ankompetitif terhadap tirosinase. Tanin diduga dapat menurunkan sintesis melanin dengan menghambat superoxide anion radikal, dimana Superoxide anion radikal ini dapat meningkatkan proses oksidasi L-tirosin menjadi L-DOPA sebanyak 40 kali lipat (Chaudhuri, dkk., 2007; Wood dan Schallreuter, 1991). C. Dampak Sinar UV Terhadap Melanogenesis pada Kulit Manusia Melanin diproduksi oleh melanosom yang dihasilkan oleh melanosit. Melanosit berada di lapisan stratum germinativum. Melanin yang terbentuk akan menyebar mengisi keratinosit (Fithria, 2015). Sel melanosit terdapat pada lapisan epidermis tepatnya di lapisan basal. Melanosit adalah sel dendritik yang membentuk melanin. Melanin berfungsi untuk melindungi kulit terhadap sinar matahari terutama sinar UV. Dermis berada di bawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Dermis terdiri dari lapisan elastis dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Lapisan dermis dibagi menjadi dua bagian yaitu pars papilare dan pars retikulare yang mengandung pembuluh darah, saraf, rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea (Djuanda, 2007). Sumber radiasi UV alam menurut De Grujl (2000) adalah matahari. Spektrum sinar UV adalah elektromagnetik yang memiliki rentang panjang gelombang 100 – 400 nm, dibagi menjadi sinar ultraviolet A atau UV-A (λ 320400nm), sinar UV-B (λ 280-320nm) dan sinar UV-C (λ 100-280 nm) (WHO, 2009). Panjang gelombang dari radiasi sinar matahari yang paling berisiko dalam pencapaiannya ke bumi menurut Pandel, dkk (2013) adalah UVB 280-320 nm dan UVA 320-400 nm. Semakin kuat radiasi UVB yang dipancarkan maka semakin menimbulkan reaksi di epidermis, dengan perkiraan 10% dapat mencapai dermis. 8 Radiasi UVA 50% akan mencapai dermis, sedangkan UVC hampir diserap sempurna oleh lapisan ozon sehingga tidak menimbulkan efek pada kulit. UVC dapat sangat merusak kulit, bahkan pada paparan yang sangat singkat. Sinar UV akan merusak gugus sulfhidril yang merupakan penghambat tirosinase. Dengan adanya sinar UV, enzim tirosinase bekerja secara maksimal dalam memicu proses melanogenesis. Kulit kemudian akan merespon melalui mekanisme perlindungan alami, ditandai dengan peningkatan melanosit dan perubahan fungsi melanosit sehingga timbul proses tanning sebagai respon terhadap radiasi UV (Damayanti dan Listiawan, 2004). Sinar UVB dapat mencapai bumi dengan mewakili 10% dari jumlah total sinar UV. UVB dapat menembus lapisan epidermis kulit (160-180 nm) dan merupakan konstituen yang paling aktif dari cahaya matahari. UVB 1000 kali lebih kuat membakar kulit dibanding UVA. Efek negatif yang terbentuk adalah efek langsung dan tidak langsung, termasuk pembentukan photoproducts pirimidin (Katiyar 2005), isomerisasi trans asam cis-urocanic (Capote, dkk., 2006), induksi aktivitas dekarboksilase ornithine (Ahmad dan Gilliam, 2001), stimulasi sintesis DNA (Andley, dkk., 1996), produksi radikal bebas (Aitken, dkk., 2007), photoaging dan foto-karsinogenesis (Gruijl, 2000). Sinar UVB kemungkinan besar dapat menyebabkan kanker kulit (karsinoma sel skuamosa dan basal) dan imunosupresi (Clydesdale, dkk., 2001). UVA dikenal sebagai sinar penuaan, mewakili lebih dari 90% dari radiasi UV yang mencapai permukaan bumi (Koesoema, 2009). UVA dapat menembus lebih dalam ke dalam epidermis dan dermis kulit (sekitar 1 mm) dan meningkatkan pembentukan spesies oksigen reaktif (ROS) (Wondrak, dkk., 2006). Dibandingkan 9 dengan UVB, UVA 1000 kali lebih efektif memberi efek tanning langsung yang disebabkan adanya melanin di epidermis (Brenner dan Hearing, 2008). Paparan UVA kronis dapat merusak struktur penting dalam dermis dan menyebabkan photoaging pada kulit (Ichihashi, dkk., 2009), terutama menyebabkan kulit kendur daripada kulit berkerut (Krutmann, 2001). UVA dapat menghasilkan kerusakan struktural pada DNA, merusak sistem kekebalan tubuh, dan menyebabkan kanker. Situasi ini telah dikaitkan dengan 67% kasus melanoma maligna (Duthie, dkk., 1999). Melanogenesis (gambar 2) merupakan proses pembentukan melanin oleh sel melanosit pada stratum germinativum. Sintesis melanin dimulai dengan sintesis tyrosinase dalam retikulum endoplasma kasar, yang kemudian diakumulasi dalam kompleks golgi. Tyrosinase ini membutuhkan oksigen dan tembaga (Cu) untuk mengoksidasi asam amino menjadi 3,4 dihydroxyphenylalanine (L-DOPA) melalui jalur Raper Mason dan selanjutnya dioksidasi menjadi DOPAquinone, kemudian keduanya dikatalisis oleh tirosinase. DOPAquinone kemudian akan diubah menjadi DOPAchrome, lalu proses berikutnya diubah menjadi 5,6-dihydroxyindole (DHI) dan 5,6-dihydroxyindole-2-carboxylic acid (DHICA) yang akan membentuk eumelanin yaitu melanin berwarna hitam dan coklat. DOPA quinine yang berikatan dengan glutathione atau cysteine, kemudian membentuk cysteinyl DOPA atau feomelanin yang berwarna kuning kemerahan. Melanin yang terbentuk kemudian ditransfer dan didistribusikan ke keratinosit epidermal (Fithria, 2015). Melanogenesis pada kulit manusia tersebut dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor eksternal yang utama adalah paparan sinar UV, sinar ultraviolet yang sampai ke kulit akan diserap oleh kromofor endogen yaitu 10 melanin. Lalu akan terjadi reaksi fotokimiawi dan menghasilkan Photoproduct antara lain ROS (Reactive Oxygen Species), di mana ROS tersebut akan mengaktifkan phopholipase-C (PLC) dan membebaskan diacetyl glycerol (DAG) serta inositoltriphosphat. DAG dan inositoltriphosphat berfungsi sebagai second messenger yang dapat mengaktifkan faktor nuklear sehingga akan memacu transkripsi DNA di inti sel. Transkripsi DNA tersebut akan meningkatkan pembentukan enzim tyrosinase dan selanjutnya terjadilah melanogenesis yang berlebihan. Selain itu, paparan sinar UV mampu merusak gugus sulfihidril pada epidermis. Gugus sulfihidril ini mampu menghambat enzim tyrosinase dengan jalan mengikat ion Cu dari enzim tersebut. Gugus sulfihidril yang rusak dapat membuat kerja enzim tyrosinase semakin meningkat dan memacu proses melanogenesis yang berlebihan (Fithria, 2015). Gambar 2. Melanogenesis (Gillbro dan Olsson, 2011) D. Kelainan hiperpigmentasi yang sering dijumpai adalah melasma (chloasma) dan freckles (epheliede) (Plensdorf dan Martinez, 2009). Melasma 11 (chloasma) merupakan bercak berwarna cokelat muda atau hitam berukuran besar pada area wajah (pipi, dahi, dagu, dan bibir atas) yang dapat meluas ke daerah leher. Melasma dapat terjadi pada pria (10%) maupun wanita, terutama di masa subur wanita, yaitu pada usia 30-34 tahun. Sementara itu, freckles (epheliede) atau dikenal dengan flek hitam pada wajah merupakan bercak berukuran kecil yang terdapat pada wajah, leher, lengan, punggung tangan, atau tungkai. Freckles berwarna cokelat muda sampai cokelat tua, dapat muncul sejak usia 2-5 tahun, dan bisa terjadi pada pria dan wanita (Fithria, 2015). E. Hidrokuinon sebagai Produk Antihiperpigmentasi Hiperpigmentasi kulit dapat diobati dengan sediaan krim farma, yaitu krim yang mengandung obat. Menurut Taylor, dkk (2005) krim farma untuk mengatasi hiperpigmentasi terdiri dari 3 kombinasi (triple combination therapy) yaitu hidrokuinon 4% (HQ), tretinoin 0.05% (RA), dan fluosinolon asetonid 0.01% (FA). Triple combination therapy tersebut terbukti aman dan efektif dalam pengobatan melasma dalam jangka waktu 8 minggu. Ketiga senyawa kombinasi ini memiliki mekanisme yang berbeda dalam mengatasi hiperpigmentasi. Hidrokuinon merupakan senyawa hidroksifenolik yang dapat menginhibisi perubahan DOPA menjadi melanin melalui penghambatan enzim tirosinase, menghambat sintesa DNA dan RNA, degradasi melanosom, dan penghancuran melanosit. Tretinoin dapat mengganggu transfer pigmen, dan mempercepat transfer epidermis, sehingga pigmen melanin hilang lebih cepat. Tretinoin mempercepat pergantian (turnover) lapisan epidermis, mempersingkat lama transit (transit time) di lapisan basal sehingga terjadi proses epidermopoesis dan pigmen melanin hilang lebih cepat. 12 Mekanisme lain tretinoin yaitu menurunkan proses melanogenesis dengan jalan mereduksi melanin epidermis sehingga jumlah transfer melanosom ke keratinosit menurun, selanjutnya terjadi peningkatan proliferasi epidermis dan penghambatan enzim tirosinase (Fithria, 2015; Kligman dan Willis, 1975). Fluosinolon asetonid merupakan kortikosteroid potensi lemah (grup VI), mampu menghambat sintesis melanin melalui penurunan aktivitas sel secara umum, dapat juga mereduksi iritasi atau inflamasi yang disebabkan HQ dan tretinoin, antagonis terhadap efek penipisan stratum korneum akibat penggunaan tretinoin dan mereduksi iritasi yang diinduksi oleh retinoid. Menurut Kligman dan Willis (1975), kortikosteroid dapat menekan fungsi biosintetik dan sekresi melanosit sehingga menekan produksi melanin tanpa menghancurkan melanosit. F. Dimetil Sulfoksida sebagai Penetrant Enhancer DMSO merupakan bahan alami dari serat kayu dan tidak berbahaya, dapat berfungsi sebagai pelarut yang cepat meresap di dalam epitel ekstrak tanpa merusak sel-sel tersebut dan sering digunakan dalam bidang kedokteran dan kesehatan. DMSO digunakan sebagai peningkat penetrasi yang larut lemak. DMSO bekerja dengan cara memodifikasi atau melemahkan susunan lipid interseluler stratum corneum sehingga transfer zat aktif melalui kulit dapat ditingkatkan (Fatmawaty, dkk., 2012). Penelitian Fatonah (2006) menyebutkan bahwa laju permeasi gel piroksikam dengan penambahan zat peningkat penetrasi (enhancer) DMSO hampir lima kali lebih cepat dalam melepaskan zat aktif dibanding dengan formula tanpa DMSO. DMSO dapat meningkatkan fluks obat melalui interaksinya dengan lipid pada stratum corneum dengan cara memodifikasi membran atau berpengaruh terhadap ketebalan membran, terutama sel-sel mati; 13 serta merubah struktur protein, yang menyebabkan terjadinya perubahan nilai koefisien partisi membran (Shembale, dkk., 2010). G. Marmut Belanda Sebagai Hewan Uji Antihiperpigmentasi H. Marmut belanda (Cavia porcellus) (gambar 3) atau juga disebut sebagai tikus belanda merupakan hewan pengerat yang sering dipelihara manusia. Marmut belanda adalah hewan percobaan yang telah sering digunakan pada percobaan sebelumnya karena memiliki banyak persamaan secara biologis terhadap manusia, salah satunya yaitu distribusi melanin marmut belanda hampir sama dengan distribusi melanin pada manusia (Jindra dan Imholte, 2009). Karakter marmut lebih penakut daripada mencit dan kelinci (Suryanto, 2012). Walaupun satu spesies, marmut belanda (Cavia porcellus) berbeda dari marmut, ukuran marmut belanda ini lebih kecil dari marmut. Karakteristik dari marmut belanda yaitu memiliki mantel (rambut) yang bervariasi dalam warna, panjang dan tekstur. Beberapa warna yang umum adalah putih, hitam, merah, krem, nila, dan coklat atau kombinasi. Marmut belanda dewasa panjangnya 200-500 mm. Hewan ini tidak mempunyai ekor eksternal, mempunyai empat jari pada kaki depan dan tiga jari belakang serta mempunyai kuku yang tajam (Ragland, 1988). Marmut belanda jarang menggigit, proporsi berat badan dan kaki yang tidak sebanding membuat marmut belanda umumnya tidak dapat melompat atau memanjat (Suryanto, 2012). Badan marmut gemuk, pendek mudah menyimpan panas dengan baik, tetapi pelepasannya kurang baik sehingga marmut dapat bertahan baik dalam suhu rendah. Pemeliharaan marmut 14 belanda relatif mudah, tahan pada kondisi lingkungan yang terbatas (Ragland, 1988). I. J. K. L. M. Gambar 3. Marmut belanda (Yamamoto, 2015) N. Pengklasifikasian marmut belanda (Cavia porcellus) menurut Yamamoto (2015) adalah sebagai berikut : O. Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammal Ordo : Rodent Upaordo : Hystricomorpha Famili : Caviidae Genus : Cavia Spesies : Cavia porcellus P. F. Landasan Teori Daun pare (Momordica charantia L.) memiliki aktivitas antioksidan. Daun pare mengandung senyawa flavonoid, dimana menurut Rice-Evans, dkk (1996) flavonoid merupakan senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan. Pembuktian aktifitas antioksidan ekstrak etanol daun pare yang dilakukan oleh Fidrianny, dkk (2015) 15 didapatkan nilai IC50 sebesar 77,10 µg/mL dan nilai ini dikategorikan sebagai antioksidan yang kuat. Tsai, dkk (2014) mengatakan bahwa daun pare (Momordica charantia L.) memiliki aktifitas antimelanogenik dengan jalan menghambat enzim tirosinase pada konsentrasi 200 µg/mL secara invitro. Zubair dan Mujtaba (2009) membuktikan dalam penelitiannya, bahwa senyawa flavonoid liquiritin dalam bentuk sediaan topikal krim liquiritin 2% memiliki aktivitas antihiperpigmentasi yang lebih tinggi dibandingkan krim hidrokuinon 4%. G. Hipotesis 1. Ekstrak etanol daun pare (Momordica charantia L.) memiliki aktivitas antihiperpigmentasi pada kulit marmut belanda (Cavia porcellus) jantan. 2. Ekstrak etanol daun pare (Momordica charantia L.) memiliki aktivitas antihiperpigmentasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan krim farma (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05% dan fluosinolon asetonid 0,01%).