BAB IV

advertisement
BAB IV
ANALISIS PRAKTEK PERDAMAIAN DALAM PEMBAGIAN WARIS DI
DESA KALIBEBER KECAMATAN MOJOTENGAH
A. ANALISIS PRAKTEK PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS
Idealisme kehidupan manusia akan tercapai apabila kedamaian dapat terealisasi
dalam kehidupan. Tidak adanya persoalan yang membelenggu dalam kehidupan
keseharian merupakan prasyarat bagi kehidupan yang diidamkan seseorang (ideal).
Pencapaian hal ini bukan merupakan suatu hal yang mudah, melainkan susah untuk
direalisasikan.
Hukum Islam melingkupi seluruh segi kehidupan manusia di dunia, baik untuk
mewujudkan kebahagiaan di atas dunia ini, maupun untuk mencari kebahagiaan di
akhirat kelak. Hukum-hukum yang ad terdapat hal-hal yang menjadi persoalan umum,
yaitu pahala dan dosa. Hukum-hukum yang ada mengandung sanksi yang dirasakan di
dunia dan ada juga yang dirasakan di akhirat dalam bentuk dosa dan balasan atas dosa
tersebut. Jadi hukum Islam mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah
dalam segala lini kehidupan.
Di antara aturan tentang hubungan manusia adalah tentang harta warisan. Harta
yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal diperlukan pengaturan
tentang, siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya dan bagaimana cara
mendapatkannya. Aturan yang ada tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadits. Namun,
penerapan hukum waris Islam masih bersifat wacana pemikiran dan selalu menjadi
bahasan di kalangan pakar hukum Islam dalam bentuk ajaran yang bersifat normatif.
Hasil pemikiran tersebut akhirnya dituangkan dalam kitab fiqh yang kemudian
dijadikan pedoman bagi setiap muslim dalam menyelesaikan permasalahan yang
berkenaan dengan warisan.
Salah satu masalah pokok yang banyak dibicarakan oleh Al-Qur’an adalah
persoalan kewarisan. Kewarisan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari hukum. Sedang hukum adalah bagian dari aspek ajaran Islam yang
pokok.1 Dengan demikian dalam mengaktualisasikan hukum kewarasan dalam AlQur’an eksistensinya harus dipraktekkan dalam bentuk faktual. Maksudnya hukum
Islam dijadikan sebagai landasan praktek pembagian kewarisan.
Sudah lazim diketahui bahwa harta warisan akan dibagi setelah seseorang
meninggal dunia. Adapun pembagiannya dikembalikan kepada kesepakatan masingmasing ahli waris. Dalam perspektif hukum adat, harta warisan dibagi setelah acara
nujuh hari, empat puluh hari, nyeratus hari atau bahkan seribu hari. Hal ini
dikarenakan biasanya pada acara tersebut para anggota keluarga / ahli waris
berkumpul, sehingga pembagian waris dapat dilaksanakan2.
Dalam pembagian waris menurut hukum adat tidak dikenal pembagian dengan
perhitungan matematika. Dalam hukum adat didasarkan pada pertimbangan mengingat
wujud benda kebutuhan ahli waris. Jadi walaupun dalam hukum adat mengenal azas
kesamaan, namun tidak menutup kemungkinan perbedaan bagian dalam pendapatan
waris sering terjadi.3
1
Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur’an, Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, (Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada) 1995, hlm 1
2
Prof.H.Hilman Hadikusuma, SH, Hukum Waris Adat, (Bandung, Citra Aditya Bakti) 1993, hlm
104
3
Prof.H.Hilman Hadikusuma, Ibid, hlm 105
Adapun dalam pembagian menurut hukum waris Islam mengacu pada tingkat
status kedekatan seorang ahli waris dengan muwaris. Bagian-bagian seperti yang telah
digambarkan dalam bab III (1/2,1/3,1/4,1/6,1/8, 2/3). Yang perlu diperhatikan dalam
hukum waris Islam adalah bahwa waris Islam menggambarkan bahwa maksud dan
tujuan adanya pembagian waris adalah untuk kepentingan kehidupan individu ahli
waris dan sosial. Disisi lain hukum waris Islam memperhatikan kepentingan orang
yang miskin. Salah satu ayat yang perlu dimunculkan kaitannya dengan hal ini adalah
QS. Al-Nisa’ ayat 7-8;
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
keluarganya dan bagi orang wanita ada hak (pula) dari harta peninggalan ibu
bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditentukan” (QS.4:7) “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak
yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harata itu sekedarnya dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik” (QS.4;8)4
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum waris Islam tetap
mempertimbangkan aspek kemaslahatan umat yang tidak hanya terfokus pada ahli
waris semata, melainkan lingkungan sekitarnya juga. Singkatnya dalam hukum waris
Islam menanamkan kecintaan pada persaudaraan dan manajemen kebersamaan.
B. ANALISIS PRAKTEK PERDAMAIAN DALAM PEMBAGIAN WARIS
Syari’at Islam bukan syari’at bangsa Arab, walaupun yang membawanya adalah
orang Arab yang menggunakan bahasa Arab. Posisi syari’at Islam bersifat universal
yang diproyeksikan secara humanis bagi kehidupan seluruh manusia. Humanities
4
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan dan Penterjemah
Al-Qur’an) 1990, hlm 116
merupakan pandangan moral yang akan mengangkat derajat manusia dan akan
mencegah segala hal yang bisa membuatnya hina, rendah dan terjajah serta dapat
merusak kehormatan dan kaidahnya.5
Berdasarkan pengertian ini, suatu tindakan, peraturan, norma dan Undangundang yang bersifat humanities tidak mesti universal. Nilai humanities dari sebuah
hukum dapat dilihat dari kandungan-kandungan hukum yang memperhatikan aspek
kemanusiaan. Sedangkan universalitas menyangkut ruang lingkup yang sangat luas,
tidak hanya pada satu komunitas tertentu, melainkan dapat “dinikmati” oleh
masyarakat secara makro.
Mengingat kedua hal di atas dapat dikatakan bahwa hukum Islam mempunyai
kedua sifat di atas, yaitu humanis dan universal. Hal ini pada akhirnya memberikan
perbedaan antara hukum Islam dengan hukum-hukum lain yang terkandung dalam
nilai-nilai universalitas. Lebih lanjut sudah sepantasnya apabila penilaian hukum
didasarkan pada penilaian universalitas dan humanitas secara totalitas.
Berkaitan dengan hal mendasar di atas, dengan demikian karakter Islam yang
humanities menjadi dasar karakter universalitasnya. Islam bersifat universal karena
humanities, dengan kata lain Islam tidak membeda-bedakan manusia dalam satu
kesatuan sosial/tanah air, kecuali dengan ketaqwaan dan kemampuannya mencegah
kejahatan, atau dengan amal shaleh. Di sini jelas terlihat sisi universalitas Islam
ditinjau dari perspektif hukum Islam.
Jadi, syari’at Islam merupakan aturan-aturan Ilahi yang diperuntukkan bagi
manusia. Keberadaannya dapat membimbing manusia menuju keselamatan dan
5
hlm 148
Lihat Dr. Yusuf Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam, (Bandung; Mizan Media Utama) 2003,
kebahagiaan. Fakta sejarah menunjukkan bahwa penerapan syari’at Islam pada masa
awal kelahiranya berhasil mengubah tatanan masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat
muslim yang beradab. Tatanan masyarakat yang setiap individualnya mendapatkan
hak-hak yang adil dan merata. Syari’at Islam berhasil membawa umat kepada
kemapanan
dan
kesejahteraan
karena
memiliki
karakteristik
yang
teistis
(rabbaniyyah), etis (ahlaqiyyah), realistis (waqi’iyyah), humanities (insaniyyah),
sistematis (tanasuqiyyah) dan komprehensif (syumuliyyah). Dengan karakteristik yang
demikian, syari’at ini tetap relevan bagi setiap situasi dan kondisi zaman.6
Yang dimaksud proses kewarisan atau jalannya pewarisan adalah cara
bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang
akan ditinggalkan kepada pewaris ketika ia masih hidup dan bagaimana cara warisan
itu diteruskan penguasaan dan pemakaiannya atau cara bagaimana melaksanakan
pembagian warisan kepada para waris setelah pewaris wafat.7
Melengkapi pembahasan tentang praktek perdamaian dalam pembagian waris
jelas tidak dapat dilepaskan dari hukum waris Islam. Hukum waris Islam yang bersifat
humanities cenderung memberikan koridor perdamaian dalam pembagian waris.
Celah-celah perdamaian selalu dijadikan starting point untuk kemudian menerapkan
pembagian waris sesuai dengan waris Islam. Yang menjadi persoalan seringkali
pembagian waris dilakukan tanpa mengindahkan bagian-bagian sesuai kaidah waris
Islam. Mereka hanya berpegang kepada aspek perdamaian. Inilah tantangan hukum
waris Islam terhadap pencapaian perdamaian.
6
7
Lihart dalam catatan Akhir, Dr. Yusuf Qardhawi, Ibid
Prof.H.Hilman Hadikusuma, Op-Cit , hlm 95
Benang merah yang dapat ditarik dari fenomena ini adalah bagaimana
menciptakan sinergitas antara praktek perdamaian dengan pelaksanaan hukum waris
Islam. Hukum waris Islam dijadikan sebagai pedoman yang mengantarkan kepada
pembagian menuju ibadah illahiyah dan sosial, sementara perdamaian dijadikan
sebagai tolok ukur keberhasilan pembagian waris. Apabila ini dapat dilakukan yang
terjadi adalah hubungan yang baik antara idealitas penjalanan konsep waris Islam dan
realitas kebutuhan masyarakat akan perdamaian.
C. KONSEP PERDAMAIAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM
Hukum Islam yang menyangkut persoalan keluarga termasuk hukum warisnya
telah lama dikenal dan dugunakan dibelantara negara ini. Hal yang mendasari
masyarakat menggunakan hukum ini sangat terkait dengan kemauan sendiri sebagai
konsekuensi imani dan penerimaannya terhadap hukum Islam. Untuk itu kiranya perlu
hukum Islam dijadikan sandaran sebagai dasar pembentukan hukum nasional. Asumsi
ini dapat dikatakan terlalu subyektif dan ngoyoworo, namun kemungkinan hal ini
dapat direalisasikan.
Di Indonesia sampai sekarang belum tersusun kitab hukum Fiqh Islam yang
lengkap tentang al-akhwal al-syahsiyah termasuk hukum waris, yang tidak
berorientasi pada mazhab, tetapi berorientasi terhadap kemaslahatan dan kemajuan
bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, baik yang dilakukan oleh lembaga
pemerintah, swasta maupun perorangan (ulama).8
Terkait dengan animo masyarakat terhadap pelaksanaan hukum Islam menurut
penelitian yang telah dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama
8
Lihat Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta, CV.Haji
Masagung, 1994, Hlm 198
dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1977/1978 yang
mengadakan penelitian di lima daerah besar (Aceh, Jambi, Palembang, DKI Jaya dan
Jawa Barat) terlihat bahwa sebanyak 91, 35 % masyarakat di lima daerah tersebut
menginginkan menggunakan hukum waris Islam dan selebihnya 6,65 % memilih
menggunakan hukum waris adat setempat.9
Penyebab timbulnya bermacam-macam fatwa
dan pendapat hukum dalam
masalah waris cukup banyak. Akan tetapi ada dua hal utama yang menyebabkan
terjadinya perbedaan tersebut; pertama metode dan perbedaan pendekatan yang
digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad, kedua kondisi masyarakat (sosial,
budaya, ekonomi, politik dan sebagainya) dan perbedaan ruang dan waktu.10
Mengenai boleh tidaknya melakukan modifikasi atau penyesuaian atau
penyimpangan dari hukum faraid, menurut penulis hal ini diperbolehkan selama yang
dijadikan referensi atau landasannya adalah persoalan kemaslahatan dan kedamaian
antara ahli waris. Artinya pertimbangan yang digunakan adalah pertimbangan
perdamaian antar ahli waris.
Perlu disadari bahwa negara Indonesia belum memiliki kitab atau himpunan
hukum Islam yang lengkap, terutama hukum yang menyangkut persoalan keluarga
Islam yang pada akhirnya dapat dirasakan oleh seluruh warga Indonesia. Untuk itu
kiranya tidak berlebihan apabila para ulama dan cendekia muslim berbaur dan
merumuskan bersama kitab hukum keluarga yang bersifat netral dan non golongan
9
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta, CV.Haji Masagung,
1994, Hlm 200
10
Mengenai sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat secara lengkap dapat dilihat dalam
Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya Dalam Memasuki Abad XV Hijriyah, Surabaya, Bina Ilmu,
1981, hlm 16-26. Lihat Juga Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta,
CV.Haji Masagung, 1994, Hlm 197
mazhab yang kemudian dapat dijadikan referensi bagi kehidupan pelaksanaan hukum
nasional. Yang perlu digaris bawahi bahwa kitab hukum yang disusun tersebut harus
sesuai dan berlandaskan pada prinsip keadilan dan kemaslahatan umat serta demi
kesesuaian antara hukum yang dihasilkan dan zaman yang berkembang (fleksibel).
Merealisasikan hal ini merupakan tugas berat yang diemban oleh para pihak yang
berkompeten pada hukum dan perkembangan masalah-masalah sosial. Namun apabila
hal ini dapat direalisasikan berarti secara langsung atau tidak langsung kontribusi
hukum Islam terhadap pembentukan hukum Nasional dapat dirasakan manfaatnya bagi
seluruh masyarakat.
Hukum Islam, terutama hukum warisnya telah lama dikenal dan dilaksanakan
oleh masyarakat Indonesia atas dasar kehendak sendiri yang dilandasi oleh kesadaran
akan keimanan yang dimilikinya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hukum Islam
dijadikan sumber pelaksanaan hukum waris. Dalam sisi lainnya dapat dikaranya
dijadikan sebagai wacana, dimana hukum waris Islam yang berembrio dari hukum
Islam dijadikan sebagai salah satu sumber utama terhadap hukum waris nasional. Oleh
karena demikian jelas bahwa ternyata konsep Islam rahmatan li al ’alamin
berimplikasi juga terhadap prospek penggalian hukum nasional yang pada akhirnya
dikembalikan kepada citra hukum Islam itu sendiri.
Dari kacamata sejarah diketahui bahwa salah satu penyebab terkikisnya nilai
hukum Islam yang telah berjalan di Indonesia adalah berawal dari adanya politik
hukum Belanda yang merajalela di Indonesia. Lama kelamaan hukum Belanda
mencabut hukum Islam dari tata hukum Hindia Belanda. Hal ini masih dapat dirasakan
sampai sekarang, dimana sadar atau tidak sadar dan mau tidak mau kita masih
terkungkung dalam hukum Hindia Belanda tersebut. Untuk itu kedepan harus
dipikirkan bagaimana menciptakan hukum Nasional yang dapat memenuhi rasa
keadilan dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia secara mayoritas, tidak
berdasarkan pada politik negara Belanda yang secara jelas hukum dibuat untuk
kepentingan Belanda yang berkehendak menjajah masyarakat Indonesia dalam
berbagai aspek, termasuk hukum.
Hukum Islam merupakan bagian dari hukum positif di Indonesia. Beberapa
bidang hukum Islam yang tercakup dalam hukum positif tersebut antara lain;
1.
Hukum Perkawinan
Berlakunya hukum perkawinan bagi orang Islam bersifat memaksa. Oleh
karenanya hukum perkawinan yang mengacu pada UU No. 1 Tahun 1974, harus
dilaksanakan dalam konteks ke-Indonesiaan.
2.
Hukum Kewarisan
Sifat berlakunya tidak memaksa. Hal ini disadari atau tidak disandarkan
pada sejarah hukum Islam, berlakunya hukum Islam pada masa raja-raja Islam di
kepulauan Nusantara, lambat laun hukum kewarasan masih mengacu pada hal ini.
Lebih lanjut pembahasan pelaksanaan hukum kewarasan berubah dengan
munculnya pakar-pakar hukum Islam seperti Prof. Hazairin, Sajuti Thalib, Prof.
Mohammad Daud Ali, Ahmad Azhar Basir, dan sebagainya (#13#p.v-vii)
3.
Hukum Perwakafan
Sifat hukum perwakafan secara substansial sama dengan kedua hukum di
atasnya, yang membedakan adalah konteks permasalahan yang dihadapi masingmasing
Dari sini dapat dikatakan bahwa hukum Islam yang ada di Indonesia
mempunyai tendensi yang penerapannya dikembalikan dalam konteks keIndonesiaan. Dengan ini sudah sewajarnya apabila pembahasan perkembangan
pemikiran, terhadap konsep awal mutlak dilakukan11
Sebagai umat Islam Indonesia seyogyanya harus berbesar hati, karena
aturan Allah tentang kewarisan telah menjadi hukum positif yang dipergunakan di
Pengadilan Agama dalam memutuskan pembagian / persengketaan waris. Dengan
demikian, hukum Allah telah dilaksanakan, sehingga dengan ini secara otomatis
umat Islam Indonesia telah melaksanakan ibadah. Pepatah mengatakan
“menyelam sambil minum air” terealisasi dalam praktek pembagian waris dengan
konsep hukum Islam. Nilai inilah yang dirasa strategis untuk dikembangkan
dalam persoalan-persoalan lainnya. Hubungan antara persoalan dunia dan akhirat
termanifestasikan dalam dialektika dan sinergi pembagian waris dalam hukum
Islam.
Dalam mencari jalan penyelesaian mengenai sengketa harta warisan pada
umumnya menyangkut menghendaki adanya pewarisan pada umumnya
masyarakat menghendaki adanya penyelesaian yang rukun, damai dan tidak
terbatas pada pihak-pihak yang berselisih, tapi juga semua anggota keluarga
semafhum. Masyarakat secara umum tidak menghendaki adanya keputusan
kalah/menang, sehingga salah satu pihak merasa dikecewakan / merasa tidak adil
dan menyebabkan hubungan kekeluargaan menjadi renggang. Yang diperlukan
11
A.Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Bandung; PT.Citra
Aditya Bakti) 1999, hlm v-vii.
adalah bagaimana sebuah perselisihan mengenai waris dapat dipecahkan secara
damai, sehingga kekeluargaan dapat dijaga dan rukun sebagaimana sedia kala.
Dalam persoalan waris sering muncul polemik yang seringkali
mengancam keutuhan hubungan persaudaraan. Hal ini terjadi dilatarbelakangi
berbagai hal yang terkait dalam psikologi ahli waris. Kurang sadarnya ahli waris
bahwa harta warisan bukanlah segalanya menjadi penyebab terjadinya konflik di
kalangan ahli waris. Di sisi lain, bicara harta merupakan persoalan “riskan” yang
rawan konflik. Harta dibutuhkan oleh seseorang dan pada umumnya mereka tidak
merasa cukup dengan apa-apa yang telah dimilikinya. Manusia cenderung akan
memburu harta tanpa mengenal batas, untuk itu, benteng keimanan untuk nerimo
(qona’ah) sangat dibutuhkan.
Persoalan yang perlu dicari solusinya adalah bagaimana penyelesaian
damai dapat ditempuh dalam pembagian waris? Penyelesaian damai ini dapat
dilakukan dengan cara musyawarah, baik musyawarah yang terbatas dalam
lingkungan keluarga dan musyawarah perdamaian adat yang disaksikan oleh
kalangan tua adat (sesepuh). Hal ini paling tidak dapat memberikan kelonggaran
berfikir dan dirasa efektif untuk dijadikan cermin bagi para ahli waris dalam
menerima keputusan musyawarah. Ini penting mengingat dalam sebuah
musyawarah dibutuhkan eksplorasi sejarah terhadap kondisi harta, almarhum, dan
sebagainya sebagai bahan pertimbangan para ahli waris.
Memang masyarakat terkadang juga menemui jalan buntu untuk
menyelesaikan sengketa warisan. Hal ini terjadi apabila di antara anggota
keluarga yang bersangkutan sudah terpengaruh faktor kepentingan pribadi dan
kebendaan. Apabila memang sudah tidak dapat diselesaikan dengan jalan damai,
salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah membawa persoalan ini di depan
pengadilan negeri.12
D. Perdamaian Dalam Pembagian Waris Di Desa Kalibeber Kecamatan Mojotengah
1. Pengertian Perdamaian
Perdamaian dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berasal dari kata
damai. Artinya adalah penghentian permusuhan.13 Maksud dari kata damai berarti
suatu kesepakatan atau permufakatan untuk menghentikan permusuhan. Jadi
syarat adanya perdamaian adalah apabila terdapat dua orang atau lebih yang
tadinya bermusuhan menjadi “teman”, bukan “lawan”.
Membincangkan persoalan perdamaian merupakan pembicaraan panjang
yang harus didasarkan pada kemauan bersama yang mengarah kepada persoalan
kemasyarakatan. Terkait dengan persoalan perdamaian, satu pertanyaan umum
yang muncul dalam era sekarang ini adalah, mungkinkah perdamaian dapat
tercipta / terselenggara tanpa kekerasan dalam kondisi yang tidak stabil ?.
Menengarai hal ini langkah pertama yang harus dilakukan adalah perlunya
pembedaan terminologi perdamaian, antara perdamaian dalam konteks politik
kenegaraan dan perdamaian dalam konteks waris (tanpa konflik). Beberapa
perbedaan tentang konsep perdamaian terkadang dijadikan sebagai alat legitimasi
terhadap sesuatu yang pada akhirnya memberikan kesan yang variatif.
“Perbedaan” pola pikir antara NU dan Muhammadiyah, Munculnya GAM di
12
Prof.H.Hilman Hadikusuma, Loc-Cit, hlm 116-118
W.J.S Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2003) Edisi III,
hlm 259-260
13
Aceh, perseteruan antara suku Dayak dan Madura dan sebagainya merupakan
contoh tidak adanya perdamaian antar masyarakat Indonesia. Sementara itu
perdamaian dalam konteks waris adalah tidak munculnya persoalan baru setelah
pembagian waris dilakukan (tanpa konflik).
Islam juga mempunyai konsep tentang perdamaian. Disinyalir terdapat
beberapa konsep perdamaian dalam Islam. As-salam (perdamaian) merupakan
salah satu prinsip perdamaian yang ditanamkan Islam di dalam jiwa kaum
muslimin, sehingga menjadi bagian dari kepribadian muslim.14 Dari sini terlihat
bahwa Islam merupakan agama yang mencintai kehidupan yang damai. Islam
memberikan jalan yang terbaik agar kehidupan manusia mengarah pada
keluhuran dan kemajuan di bawah keamanan yang mengayomi.
Membicarakan kata al-salam itu sendiri menarik apabila diteruskan
dengan pembahasan kata Islam yang terkandung dalam kata Islam secara
etimologi. Kata Islam berasal dari al-salam yang berarti perdamaian. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa kedatangan Islam merupakan pencipta
kedamaian, keamanan dan ketenangan. Jadi jelas makna yang terkandung dalam
perdamaian juga terkandung dalam Islam sebagai agama pembawa pesan
perdamaian.
Selain terminologi di atas, perdamaian dalam Islam juga diartikan dengan
al-sulhu, yang mengandung pengertian “memutus pertengkaran/perselisihan”.
Secara syari’at al-sulhu didefinisikan “suatu akad (perjanjian) untuk mengakhiri
perlawanan (perselisihan) antara dua orang yang berlawanan.15
14
15
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 11, (Bandung; Al- Ma’arif,, 1987) Cet-I, hlm 9
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 13, (Bandung, Al-Ma’arif, 1988) Cet I, hlm 189
Adapun perdamaian dalam konteks hukum memiliki persamaan dengan
arbitrase. Diketahui bahwa arbitrase adalah suatu penyelesaian perkara di luar
pengadilan (lihat pasal 3 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970). Singkatnya arbitrase
merupakan peradilan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak dibebani
kewajiban untuk melakukan peradilan.16
Dengan ini maka dapat diketahui bahwa esensi dari arbitrase merupakan
pemutusan perkara yang dilakukan di luar pengadilan. Persoalannya yang perlu
dilakukan adalah memunculkan sosok arbiter yang betul-betul tidak memihak.
Jadi mekanisme arbitrase dapat disimpulkan memunculkan memiliki kesamaan
dengan proses peradilan. Keputusan arbitrase mengikat dua belah pihak yang
berseteru.
Adapun untuk dapat menyerahkan penyelesaian sengketa pada arbitrase
paling tidak ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu;
1. Pengikatan diri sebelum kemungkinan terjadi sengketa di masa yang akan
datang.
2. Membuat perjanjian sendiri yang berisikan penetapan untuk penyelesaian
sengketa yang telah ada kepada arbiter.17
Dari dua macam mekanisme arbitrase, dapat diketahui bahwa secara
substansial arbitrase merupakan kesepakatan yang disusun / disepakati antara
orang yang mempunyai hubungan untuk menyelesaikan sesuatu. Yang terpenting
dari hal tersebut adalah agar menciptakan sebuah kondisi yang strategis dalam
kerangka menciptakan situasi damai. Jadi terdapat hubungan antara arbitrase dan
hlm. 4
16
Setiawan, S.H., Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung, Alumni, 1992),
17
Setiawan, S.H, Ibid, hlm. 12-13
perdamaian. Hubungan arbitrase dan perdamaian ini dapat dilihat dalam konteks
menciptakan situasi dan kondisi damai. Singkatnya, arbitrase merupakan ajang /
proses menuju terciptanya perdamaian antara orang/seseorang yang berserikat /
berhubungan dalam suatu urusan.
Senada dengan mekanisme arbitrase yang ditendensikan pada persoalan
perjanjian, Islam datang dengan konsep untuk menghormati perjanjian yang telah
dibuat. Perjanjian wajib dihormati dan ditegakkan dalam persoalan yang positif
demi terciptanya perdamaian. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad perjanjianmu”. (QS: 5:1).
Dalam konsep Islam yang namanya menghormati terhadap perjanjian
adalah hukumnya wajib. Hal ini dikarenakan melihat sisi positif dan peranannya
dalam memelihara perdamaian dan untuk menyelesaikan perselisihan, sehingga
tercipta suatu kerukunan.18 Disisi lain bahwa yang namanya mengingkari janji
merupakan perbuatan tercela yang akan mendapatkan sanksi dari norma yang ada
dan kemurkaan dari Allah.
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa untuk menghindari sebuah
persengketaan
dibutuhkan
keselarasan
hubungan.
Keselarasan
hubungan
merupakan bukti konkrit dari sebuah perdamaian. Dan perdamaian dapat
dilakukan melalui arbitrase.
Islam bukanlah agama untuk yang tidak menghormati perdamaian. Islam
berdimensi sosial. Dengan ini maka umat Islam merupakan umat yang harus
mempunyai pandangan berdimensi transendental terhadap dunia dan eksistensi
18
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 11, Op-Cit, hlm. 173
kemanusiannya.19 Maksudnya seorang umat Islam harus mengenali dirinya
dengan keseimbangan visi keduniaan dan visi akhirat. Keseimbangan ini penting
mengingat manusia diciptakan untuk urusan perdamaian antar manusia,
disamping untuk beribadah dan mengabdi kepadaNya.
2. Tujuan Perdamaian
Telah dikatakan bahwa salah satu esensi dari perdamaian adalah untuk
mewujudkan kerukunan dan kehidupan yang nyaman. Perdamaian berkehendak
untuk tercipatanya tatanan masyarakat yang memiliki pandangan berdimensi
sosial
dan
keagamaan.
Mustahil
kedamaian
terwujud
tanpa
adanya
keseimbangan pandangan sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Untuk itu
dalam kerangka merealisasikan tujuan perdamaian langkah yang harus ditempuh
adalah bagaimana menyadarkan manusia terhadap pentingnya perdamaian
dalam kehidupan.20
3. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Perdamaian
Membicarakan faktor-faktor yang menyebabkan perdamaian tak lepas dari
tujuan perdamaian itu sendiri. Kaitannya dengan faktor yang menyebabkan
timbulnya perdamaian paling tidak ada dua hal yang melatarbelakangi hal
tersebut. Pertama faktor internal, kedua faktor eksternal.
Faktor internal adalah faktor yang muncul dalam diri manusia, seperti
keinginan kedamaian, kerukunan. Faktor internal lebih pada faktor psikologi
manusia beserta fitrahnya, dimana kedamaian merupakan cita-cita luhur manusia.
19
20
Abdurrahman wahid dkk, Islam Tanpa Kekerasan, (Yogyakarrta; LKIS, 1998) hlm. 174
Ibid, hlm 75-88
Faktor eksternal adalah adanya pengaruh yang muncul dari luar manusia,
dimana faktor ini berimplikasi pada manusia untuk belajar dari pengalaman
sejarah yang ada. Adanya konflik di seputar wilayah dengan kejadian korban di
sana sini merupakan faktor pendukung, dimana kedamaian merupakan ultimate
goal dari kehidupan manusia.
Berangkat dari dua faktor tersebut di atas membersitkan dalam diri manusia
sebuah tantangan untuk merealisasikan perdamaian dalam segala lini kehidupan.
Lini kehidupan seperti, keluarga, masyarakat dan sosial – politik merupakan hal
ihwal perdamaian yang berusaha untuk direalisasikan. Pertanyannya adalah
mungkinkah perdamaian akan terwujud selamanya dalam segala lini kehidupan ?.
4. Pelaksanaan Pembagian Waris Berdasarkan Perdamaian
Hubungan manusia dengan yang lain adalah sunatullah. Adanya
ketergantungan dengan manusia lainnya merupakan fitrah manusia sebagai
makhluk sosial. Dengan ini dapat dikatakan bahwa manusia mempunyai hak
dibawanya. Salah satu hak yang dimiliki manusia adalah hak untuk menerima
warisan. Namun karena manusia hidup selalu bersinggungan dengan ketentuanketentuan, maka sudah seyogyanya walaupun menerima waris merupakan hak,
tetapi membutuhkan rule of the game dalam pembagiannya.
Dalam pembagian waris sebagai realitas kehidupan banyak dijumpai
adanya waris yang dibagi dengan tidak menggunakan kaidah atau ketentuan yang
berlaku. Banyak anggota masyarakat yang membagi tidak menggunakan hukum
Islam, melainkan hukum adat. Tidak sedikit pula masyarakat yang dalam
pembagian waris hanya berdasarkan pada keputusan bersama keluarga. Lantas
bagaimana mensikapi persoalan tersebut ?
Membincangkan hal yang perlu dikedepankan adalah bagaimana tujuan
pembagian waris dilakukan. Apabila tujuan waris dibagi adalah untuk mengatur
harta peninggalan, maka sudah sepantasnya apabila pengaturannya dikembalikan
kepada hukum Allah (waris Islam). Persoalan yang muncul kemudian adalah,
bahwa hukum waris Islam belum tentu dapat diaktualisasikan oleh umat
dikarenakan konteks persoalan yang variatif. Maksudnya tidak semua umat selalu
“setuju” menggunakan hukum waris Islam.
Melihat studi kasus yang berkembang dalam pembagian waris di desa
Kalibeber di atas terlihat banyaknya fenomena dimana ahli waris yang merasa
telah mampu tidak meminta harta warisan. Apakah mereka salah ?. Lebih lanjut
adanya ahli waris yang tidak mau menerima warisan dikarenakan telah merasa
menggunakan harta orang tuanya untuk sekolah dan sebagainya apakah juga
dipersalahkan ?.
Mencermati hal ini yang perlu untuk dikedepankan adalah pandangan
positif tentang dampak yang ditimbulkan dalam pembagian waris dan kondisi
sosial ahli waris. Maksudnya dalam pembagian waris sudah sepantasnya
menggunakan hukum waris Islam secara ideal. Adapun nantinya akan
berpandangan pada kehidupan sosial ahli waris lainnya merupakan kebijaksanaan
ahli waris yang merasa telah mampu.
Dalam kaitannya dengan hal ini yang perlu juga diperhatikan adalah
bahwa dalam pembagian waris yang ada seyogyanya membawa kedamaian para
ahli waris. Dengan diberlakukannya hukum waris Islam apabila terdapat konflik
diantara ahli waris juga bukan dikatakan pilihan yang terbaik. Namun penggunaan
hukum waris Islam adalah hal yang ideal dalam pembagian waris selam tidak
memiliki efek yang negatif. Singkatnya pembagian waris yang ideal adalah
pembagian yang waris yang berdasarkan perdamaian, terlepas dengan kacamata
hukum Islam atau hukum adat atau yang lainnya. Yang perlu digaris bawahi
adalah pelaksanaan hukum waris Islam akan terlaksana dengan baik apabila telah
menjadi kesepakatan bersama antar ahli waris. Semoga hal ini dapat selalu
dikedepankan.
Download