98 BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, dapat dilihat bahwa penelitian yang berlandaskan pendekatan strukturalisme genetik Lucien Goldmann mampu menunjukan beberapa fenomena kesusastraan di dalam roman TSL karya Nathaniel Hawthorne. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap analisis yang dilakukan guna menjawab pertanyaan penelitian yang sudah dirumuskan dan juga untuk saling mendukung masing-masing analisis berdasarkan konsep pemahaman dan penjelasan di dalam strukturalisme genetik. Analisis pertama dilakukan terhadap struktur bangunan imajiner dari objek material yang diteliti, yaitu roman TSL. Berdasarkan analisis terhadap objek material tersebut, ditemukan bahwa roman tersebut memiliki semesta imajiner yang membentuk tiga relasi oposisional. Oposisi pertama berupa oposisi sosial yang menggambarkan oposisi antara masyarakat Puritan perkotaan dengan masyarakat primitif yang bermukim di alam bebas. Oposisi yang kedua adalah oposisi budaya antara budaya ketuhanan dengan budaya duniawi yang dijembatani oleh tokoh Hester dan Dimmesdale, budaya patriarki dengan budaya matriarki, juga budaya memandang tanda “A” merah secara negatif dengan pandangan secara positif. Sementara itu, oposisi yang terakhir adalah oposisi manusia yang menggambarkan 99 oposisi antara tokoh-tokoh pemuka agama berusia tua dengan pemuka agama yang berusia muda, dan tokoh-tokoh utama laki-laki yang lemah dan emosional dengan tokoh utama wanita yang tegar, berani, dan rasional. Hasil dari analisis tersebut dipergunakan untuk melangkah ke dalam analisis selanjutnya, yaitu untuk memahami pandangan dunia yang diekspresikan di dalam roman TSL ini. Di sini, analisis tersebut diselaraskan dengan konteks sosio-kultural yang berupa kecenderungan intelektual ataupun pemikiran yang muncul pada masa roman TSL diciptakan. Berdasarkan penelusuran dan analisis tersebut, dapat dipahami bahwa pandangan dunia yang diekspresikan oleh Nathaniel Hawthorne di dalam roman TSL adalah pandangan dunia Romantisisme, yang mana ekspresi pandangan dunia ini dilakukan dengan mengadaptasi sub-genre dari pandangan dunia tersebut, yaitu Transendentalisme dan Dark Romantic. Di dalam roman tersebut, di satu sisi Hawthorne mengekspresikan pandangan Transendentalisme dengan menggambarkan aspek positif dari keberadaan individu beserta intuisi yang dimilikinya, dan juga memberikan gambaran penyatuan diri dengan alam sebagai representasi dari sifat ketuhanan. Di sisi lain, Hawthorne juga mengekspresikan pandangan Dark Romantic dengan menggambarkan aspek negatif atau sisi gelap dari keberadaan individu beserta intuisi yang dimilikinya. Dalam hal ini, seiring dengan pemahaman terhadap pandangan dunia yang diekspresikan di dalam roman TSL ini, tentu saja penjelasan mengenai alasan terbentuknya struktur bangunan imajiner yang telah diungkapkan sebelumnya telah bisa dipahami dengan baik. Di sini, pemahaman terhadap pandangan dunia yang diekspresikan di dalam 100 roman ini dapat digunakan sebagai penjelasan tarbentuknya tiga oposisi imajiner yang telah disebutkan sebelumnya. Artinya, pandangan dunia yang dimiliki Nathaniel Hawthorne sebagai representasi dari kelompok sosialnya ini memiliki pengaruh yang sangat signifikan di dalam penciptaan semesta imajiner roman ini, terutama dalam penciptaan hero-hero problematik di dalamnya. Selain itu, pemahaman terhadap pandangan dunia Romantisisme tersebut juga dipergunakan untuk melangkah ke dalam analisis selanjutnya, yaitu untuk memahami kelompok sosial yang memiliki pandangan dunia semacam itu dalam konteks sosiobudaya di Amerika pada pertengahan abad ke-19. Berdasarkan tahap analisis ini, dapat diketahui bahwa struktur roman TSL ini memiliki persamaan (berhomologi) dengan struktur masyarakat yang terbentuk pada waktu diciptakannya roman ini. Struktur tersebut terdiri dari kelompok elitis dan sebagian besar pendeta yang tergabung dalam Unitarianisme, kelompok pekerja seperti petani, pengrajin dan mekanik yang menciptakan gerakan separatis, dan di tengah-tengah kedua kelompok tersebut adalah kelompok penulis atau sastrawan, teolog, dan sebagainya. Dalam hal ini, kaum Transendentalis dan Dark Romantic tergabung di dalam teologi Edwardean. Di sini, Nathaniel Hawthorne yang memiliki kesadaran terhadap Transendentalisme dan Dark Romantic tergabung di dalam kelompok sastrawan bersama dengan tokohtokoh lainnya. Pemahaman terhadap struktur masyarakat Amerika pada pertengahan abad ke19 dan kelompok sosial Nathaniel Hawthorne selaku sastrawan pada zaman itu pada gilirannya juga mampu menjelaskan terbentuknya pandangan dunia Romantisisme 101 yang terdiri dari dua sub-genre yaitu Transendentalisme dan Dark Romantic di Amerika. Pandangan dunia ini mampu diserap dan berkembang dengan baik seiring dengan arus teologi Edwardean yang telah berkembang sejak pertengahan abad ke-18 di Amerika. Dalam hal ini, pertautan antara karya sastra sebagai produk budaya dan konteks sosialnya memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Melalui penelitian ini, homologi antara struktur sebuah karya sastra, yang dalam hal ini adalah roman TSL, dan struktur sosialnya, yaitu Amerika pada pertengahan abad ke-19, dapat terlihat secara jelas. 5.2 Saran Terlepas dari signifikansi hasil penelitian ini yang telah mampu mengungkapkan homologi antara struktur TSL dan struktur sosialnya, terdapat beberapa permasalahan tersisa untuk dikaji lebih jauh lagi. Permasalahan yang paling mendasar, berkaitan dengan kerumitan kelas sosial masyarakat Amerika pada periode tersebut, yang menyebabkan penelitian ini hanya mampu mengidentifikasi struktur masyarakat Amerika pada pertengahan abad ke-19 berdasarkan kelompok sosialnya saja. Dalam hal ini, penyebab kerumitan kelas sosial itu merupakan sebuah pertanyaan besar yang nampaknya patut dikaji lebih jauh lagi. Tentu saja keberadaan kelas sosial di dalam lingkup sosial tertentu layaknya dua sisi mata uang. Di satu sisi, konsep kelas sosial mampu menyeimbangkan kehidupan masyarakat dalam lingkup sosial tertentu, namun di sisi lain juga mampu 102 memberikan ketimpangan. Ketimpangan tersebut pada umumnya terjadi karena adanya usaha-usaha mendominasi dan mengekalkan eksistensi kelas sosial yang diuntungkan dengan struktur sosial semacam itu. Akan tetapi, upaya dominasi tersebut tidak akan mampu menghilangkan potensi untuk terjadinya perubahan sosial, karena pada dasarnya, kelas sosial lain akan tetap berusaha melawan dan mengambil alih kekuasaan dari kelas yang dominan tersebut. Hal itulah yang pada dasarnya mampu menciptakan suatu struktur sosial yang baru sesuai dengan lingkungan yang baru pula. Berdasarkan pemahaman tersebut, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, kerumitan kelas sosial yang terjadi di Amerika pada petengahan abad ke-19 merupakan hasil dari perlawanan kelas sosial yang terdominasi, atau justru merupakan hasil dari usaha penguatan kekuasaan yang dilakukan oleh kelas yang mendominasi. Dua kemungkinan semacam itulah yang pada dasarnya penting untuk dikaji lebih jauh lagi. Dalam hal ini, kerumitan kelas sosial itu berpotensi sebagai manifestasi dari sebuah ideologi yang lebih besar dari pada apa yang telah dipaparkan dalam penelitian ini. Pengetahuan semacam itulah yang diyakini sangat penting untuk dikaji lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar penelitian berikutnya yang akan dilakukan rekan-rekan peneliti atau bahkan diri penulis sendiri untuk terfokus kepada permasalahan tersebut. Ada dua fungsi penting dari fokus penelitian itu; pertama untuk melengkapi pengetahuan yang belum mampu diberikan oleh tesis ini, dan yang 103 kedua adalah sebagai media klarifikasi atau bahkan revisi dari pengetahuanpengetahuan yang telah diungkapkan di dalam tesis ini. Penulis meyakini bahwa tidak ada pengetahuan yang absolut, oleh karenanya langkah-langkah konkret yang berkesinambungan semacam itu sangat perlu dilakukan untuk menggapai pengetahuan-pengetahuan yang lebih baik lagi di kemudian hari.