BAB IV

advertisement
BAB IV
PENERAPAN DAN PELAKSANAAN KETENTUAN
KONVENSI NEW YORK 1958 SEHUBUNGAN DENGAN
HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI
ARBITRASE DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30
TAHUN 1999
A.
Pelaksanaan UU Nomor 30 Tahun 1999 Tidak Sesuai Dengan
Ketentuan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan Pembatalan
Putusan Arbitrase Asing dalam Perkara Pertamina melawan KBC
Pada dasarnya, para investor asing yang hendak menanamkan modalnya di
Indonesia membutuhkan adanya kepastian hukum yang diwujudkan melalui
kepatuhan terhadap kontrak atau kerjasama yang telah disepakati dan adanya
kepastian tentang mekanisme penyelesaian jika terjadi sengketa.1 Bagi Negara
berkembang yang bermaksud menarik investor dari Negara maju untuk
berinvestasi di Negaranya, ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk menarik
arus modal asing, antara lain:2
1.
Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak
terlalu cepat berubah dan dapat menjamin adanya kepastian hukum,
karena ketiadaan kepastian hukum akan menyulitkan perencanaan
usaha jangka panjang mereka.
2.
Prosedur perizinan yang tidak berbelit yang dapat menyebabkan
high cost economy.
1
Erman Rajagukguk, Hukum Investasi Di Indonesia, op.cit., hlm. 39
2
Camelia Malik, “Jaminan Kepastian Hukum Dalam Kegiatan Penanaman Modal Di
Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis Volume 26 , (Nomor 4 Tahun 2007): 16, hlm. 16
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
3.
Jaminan terhadap investasi mereka dan proteksi hukum mengenai
hak atas kekayaan investor.
4.
Sarana dan prasarana yang dapat menunjang terlaksananya
investasi mereka dengan baik, antara lain meliputi komunikasi,
transportasi atau pengangkutan, perbankan dan perasuransian.
Selain itu, terdapat beberapa hal penting yang seringkali menjadi perhatian
calon investor dan ditujukan agar mereka dapat meminimalisir resiko dalam
berinvestasi sebelum mereka menanamkan modalnya disuatu Negara. Hal-hal
yang seringkali menjadi perhatian bagi investor antara lain:3
1.
Keamanan investasi yang sering berkaitan dengan stabilitas politik
suatu Negara.
2.
Bahaya tindakan nasionalisasi dan berkaitan dengan ganti kerugian.
3.
Penghindaran pajak berganda.
4.
Masuk dan tinggalnya staf atau ahli yang diperlukan.
5.
Penyelesaian sengketa.
6.
Perlakuan yang sama terhadap investor asing atau tidak adanya
pembedaan dari investor domestik.
7.
Insentif untuk penanaman modal.
8.
Transparency yaitu kejelasan mengenai peraturan perundangundangan, prosedur dan administrasi yang berlaku, serta kebijakan
investasi, dan
9.
Kepastian
hukum,
termasuk
enforcement
putusan-putusan
pengadilan.
Secara umum diketahui bahwa PMA khususnya yang berlokasi di negara
berkembang sering merasa khawatir akan begitu banyak resiko. Hal ini
disebabkan oleh keadaan politik, sosial, ekonomi negara-negara berkembang atau
negara-negara yang kurang berkembang dimana PMA membutuhkan iklim yang
3
Ibid, hlm 17.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
kondusif, seperti rasa aman dan tertib, serta adanya suatu kepastian atau jaminan
hukum dari negara penerima modal. Kepastian hukum meliputi ketentuan
peraturan perundang-undangan yang dalam banyak hal masih ada ketidakjelasan
atau bahkan bertentangan dan juga mengenai pelaksanaan keputusan pengadilan.
Kesulitan-kesulitan tersebut dapat dikatakan merupakan kesulitan-kesulitan yang
dihadapi oleh Negara berkembang yang mengundang penanaman modal asing
untuk membantu pertumbuhan ekonomi.4
Kepastian hukum di satu sisi merupakan salah satu faktor yang sangat
penting dalam pelaksanakan kegiatan penanaman modal asing serta bisnis dan
perdagangan disuatu negara, karena pada dasarnya kepastian hukum tersebut
mengandung arti konsistensi antara peraturan dan penegakan hukum yang dapat
memberikan kepastian dan perlindungan hukum. Menurut Soerjono Soekanto,
fungsi dari hukum adalah untuk mengatur hubungan antara Negara dan
masyarakat atau hubungan antara masyarakat yang bertujuan untuk membuat
kehidupan masyarakat sehari-hari berjalan tertib dan tenang. Selanjutnya untuk
mencapai ketertiban umum, harus dikuti dengan penegakan hukum, karena
dengan eksistensi dari penegakan hukum, maka kepastian akan dapat dicapai.
Oleh karena itu, tugas dari hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum untuk
menciptakan ketertiban umum dan keadilan di masyarakat.5 Guna mencapai
kepastian hukum tersebut, hukum dan penegakan hukum harus sejalan dan
harmonis satu sama lain untuk mencegah kontradiksi dan inkonsistensi dalam
menjalankan hukum dan penegakan hukum. Kepastian hukum juga berarti hukum
dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah, yang mana hukum dan peraturan
tersebut harus jelas, sejalan, menciptakan harmonisasi dan tidak tumpang tindih
atau berkontradiksi satu sama lain. Tidak adanya jaminan kepastian hukum hanya
akan menyebabkan munculnya berbagai macam permasalahan yang kemudian
4
Ibid, hlm 18
5
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta: Bina Cipta, 1981), hlm 42-43
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
akan mengakibatkan kurangnya minat pelaku usaha maupun investor untuk
menanamkan modalnya di Indonesia.
Sejak terjadi krisis ekonomi, sistem hukum Indonesia tidak mampu
menciptakan predictability, stability, dan fairness, dimana hal ini dapat dilihat dari
substansi peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron, aparatur penegak
hukum yang tidak mendukung perbaikan iklim investasi dan kualitas budaya
hukum yang rendah.6 Hal ini juga dibuktikan dengan adanya penurunan jumlah
investor yang signifikan sejak era reformasi yang disebabkan beberapa haambatan
bila dibandingkan dengan jumlah investor sebelum terjadinya krisis moneter.7
Washington Post bahkan menerbitkan artikel yang menyatakan bahwa
kurangnya sistem hukum yang pasti di Indonesia merupakan faktor utama
mengapa investor pergi. Kurangnya kepercayaan investor membuat perginya
modal asing yang sebenarnya sangat dibutuhkan Indonesia untuk memperbaiki
kondisi perekonomian yang belum pulih sepenuhnya akibat krisis finansial Asia
tahun 1997-1998. Disamping itu, investor asing juga sering mengeluh bahwa
mereka sering dijadikan subjek tuntutan sewenang-wenang oleh pejabat
pemerintah, petugas pajak, dan mitra lokal. Kasus tersebut jika diajukan ke
6
Suparji, Penanaman Modal Asing Di Indonesia: Insentif v. Pembatasan, Cet-1, (Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2008), hlm.146
7
Dalam era reformasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal mengatakan bahwa ada dua
hambatan yang dihadapi dalam menggerakkan investasi di Indonesia, sebagaimana telah
diinventarisasi, yaitu kendala internal dan eksternal. Kendala internal meliputi: (1) kesulitan
perusahaan mendapatkan lahan atau lokasi proyek yang sesuai; (2) kesulitan memperoleh bahan
baku; (3) kesulitan dana/pembiayaan; (4) kesulitan pemasaran; dan (5) adanya sengketa atau
perselisihan di antara pemegang saham. Kendala eksternal meliputi: (1) faktor lingkungan bisnis,
baik nasional, regional dan global yang tidak mendukung serta kurang menariknya insentif atau
fasilitas investasi yang diberikan pemerintah; (2) masalah hukum; (3) keamanan maupun stabilitas
politik; adanya peraturan daerah, keputusan menteri, undang-undang yang turut mendistorsi
kegiatan penanaman modal; (5) masalah perburuhan; (6) kenaikan beberapa bahan-bahan untuk
sektor produksi; dan (7) harmonisasi tariff pajak. Dhaniswara K. Harjono pun menyatakan bahwa
ada beberapa hambatan dalam Penanaman Modal di Indonesia, yaitu: (1) beberapa permasalahan
yang mempengaruhi iklim investasi Indonesia, seperti ketidakstabilan politik, dll; (2) tidak adanya
jaminan kepastian hukum dan keamanan; (3) masalah rekrutmen (hiring) and pemecatan (firing)
tenaga kerja yang bersifat kompleks dan menciptakan suatu bottlenecking; (4) masalah perpajakan
dan kepabeanan; (5) masalah infrastruktur; dan (6) masalah penyederhanaan sistem perizinan,
didapat dari Salim HS. Dan Budi Sutrisno. Hukum Investasi di Indonesia, Ed. 1, (Jakarta:Rajawali
Press, 2008), hlm. 96-98; Dhaniswara K. Harjono, op.cit., hlm. 14
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
pengadilan hanya akan berdampak sedikit. Hal ini dikarenakan budaya suap yang
merajalela dan standar hukum yang memihak.8
Telah dipaparkan diatas bahwa kepastian hukum dalam hal penyelesaian
sengketa merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian investor. Sehubungan
dengan kepastian hukum penyelesaian sengketa, Indonesia memiliki catatan yang
kurang mengesankan, dalam hal ini yaitu penyelesaian sengketa melalui arbitrase,
dimana dalam prakteknya, putusan arbitrase asing sangatlah sulit untuk diakui dan
dilaksanakan di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih ada beberapa kekurangan
dalam pengaturan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di
Indonesia sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab-Bab sebelumnya. Kekurangankekurangan dalam pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di
Indonesia tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1.
Tidak adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus
mengatur tentang arbitrase sejak masa kemerdekaan Indonesia.
2.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku di bawah ketentuan
sistem tata hukum Indonesia hanya mengakomodir ketentuan
arbitrase yang sengketanya diperiksa, diselesaikan serta diputus
dalam konteks hukum nasional Indonesia dan oleh Pengadilan serta
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
3.
Peraturan pelaksana yang khusus membahas tentang putusan
arbitrase internasional yang diakui dan dilaksanakan setelah
Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional (Konvensi New
York) baru diterbitkan setelah 9 (Sembilan) tahun diratifikasinya
Konvensi New York.
4.
Peraturan pelaksana yang secara khusus membahas tentang
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia
masih tumpang tindih dengan hukum acara perdata yang diadopsi
Indonesia semasa kemerdekaan Indonesia, yang secara nyata
menolak dan tidak menerima suatu putusan pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase asing yang diselesaikan bukan di
8
Camelia Malik, loc.cit.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Indonesia. Pada akhirnya suatu putusan arbitrase asing yang
dimohonkan pelaksanaannya di Indonesia tidak dapat dilaksanakan
dan harus diperiksa ulang sebagai kasus baru.
Kekurangan-kekurangan yang menyebabkan suatu putusan arbitrase asing
yang diputus oleh badan arbitrase asing menjadi sangat sulit untuk dilaksanakan
di Indonesia pada dasarnya dilandasi oleh adanya suatu larangan pelaksanaan
putusan asing di wilayah Republik Indonesia yang muncul karena dianggap
sebagai suatu pelanggaran terhadap asas kedaulatan dari Negara Republik
Indonesia sebagai suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Terdapat suatu
“prinsip teritorialitas” atau “asas kedaulatan territorial” (Principle of Territorial
Sovereignty) yang mengisyaratkan bahwa putusan yang ditetapkan di luar negeri
tidak dapat secara langsung dilaksanakan dalam wilayah lain atas kekuatannya
sendiri. Agar supaya putusan luar negeri dapat dilaksanakan di Indonesia
diperlukan adanya perjanjian (treaty, verdrag) antara Indonesia dengan Negara
lain, serta adanya klausula tentang tempat putusan tersebut diambil, untuk
menyatakan secara resiprositas bahwa putusan dapat dilaksanakan dalam wilayah
masing-masing seperti halnya suatu putusan domestik.9
UU 30/1999 sendiri, merupakan undang-undang yang diterbitkan
Pemerintah Republik Indonesia setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997/1998
yang memang ditujukan untuk memberikan suatu rangsangan dan dorongan
terhadap kepastian hukum dalam hal penyelesaian sengketa penanaman modal
kepada para investor di Indonesia.10 Kehadiran dari UU 30/1999 memang didasari
keinginan untuk membenahi hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang
9
Tineke Louise, op.cit., hlm. 226-227
10
Penyempurnaan berbagai produk hukum dengan mengeluarkan peraturan perundangundangan baru untuk menjamin iklim investasi sehat dan penyempurnaan proses penegakan
hukum serta penyelesaian sengketa yang efektif dan adil merupakan kebijakan yang memberikan
rangsangan dan jaminan penanaman modal yang dikeluarkan pemerintah yang dimaksudkan untuk
mengakomodir investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sebagaimana tertulis dalam
Hulman Panjaitan, Hukum Penanaman Modal Asing, (Jakarta: Ind-Hill Co, 2003), hlm. 17
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
sebelumnya sangat tidak bersahabat terhadap putusan arbitrase asing dan kurang
dapat mengakomodir kepastian serta perlindungan hukum bagi pelaku usaha
investasi serta bisnis dan dagang internasional. UU 30/1999 dalam 82 pasalnya
telah secara spesifik memberikan pengaturan-pengaturan terhadap arbitrase, untuk
mengakomodir kekurangan-kekurangan yang tidak diatur sebelumnya dengan
mengaturnya secara lebih rinci, khususnya dalam hal pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase asing sebagaimana telah diamanatkan Konvensi New York 1958
yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1981.
Pada
kenyataannya
diundangkannya
UU
30/1999
belum
dapat
memberikan angin segar, karena UU 30/1999 belum dapat memberikan suatu
kepastian hukum pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia.
UU 30/1999 bahkan masih menyisakan beberapa pertanyaan tentang pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah Negara Republik
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari adanya fakta yang diungkapkan Karen Mills
dalam catatan pentingnya terhadap pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing di
bawah UU 30/1999 yaitu,11 “since the enactment of the New Law (August, 1999)
there have been sixteen foreign-rendered arbitral awards registered with the
District Court of Central Jakarta, and judicial enforcement has been sought with
respect only to nine of these, as at mid-February, 2005. Of these nine, exequatur
was issued quite promptly for five. Four related cases were granted cassation
(appeal) to the Supreme Court, and later judicial review by that court, with the
final outcome still pending. Of the five awards for which exequatur was issued, a
contest was lodged with respect to one, at least one award has already been
satisfied through court-ordered auction of assets of the losing party and the others
seem to have been satisfied voluntarily by the parties because there was no
further court involvement after judicial reminders were issued to the losing
parties. One award was never registered by the successful party, but the losing
party subsequently deemed it necessary to register the award itself in order to
seek annulment thereof, which annulment was granted by the District Court of
Central Jakarta.”
11
Karen Mills, “Enforcement of Arbitral Awards in Indonesia…”, op.cit., hlm. 8
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Sebagaimana bukti statistik diatas, kurang mengakomodirnya UU 30/1999
dapat dilihat dari beberapa putusan arbitrase asing yang telah dibatalkan ataupun
tidak diproses. Dimana, salah satunya ditunjukkan dengan adanya perkara yang
cukup terkenal dan cukup rumit posisi kasusnya serta perkara ini dapat menambah
daftar sejarah tidak efektifnya dan kurang mengakomodirnya hukum penyelesaian
sengketa melalui arbitrase di Indonesia. Perkara tersebut adalah perkara
Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) melawan
Karaha Bodas Company L.L.C., (KBC).
Perkara ini (berkorelasi dengan penjabaran dalam bab I) bermula dari
adanya peristiwa dimana KBC membuat perjanjian Joint Operation Contract
(JOC) dengan Pertamina dan KBC menunjuk Pertamina sebagai kontraktor untuk
pembangunan pembangkit tenaga listrik. KBC dan Pertamina kemudian membuat
perjanjian Energy Sales Contract (ESC) dengan PLN, dimana PLN akan membeli
listrik dari Pertamina yang dihasilkan oleh pembangkit tenaga listrik milik KBC
yang akan dibangun oleh Pertamina. Seiring berjalannya waktu, terjadi krisis
moneter di Indonesia yang membuat Internasional Monetary Fund (IMF) dimana
KBC meminta kepada Pemerintah RI untuk meninjau kembali proyek-proyek
pembangunan. Kemudian Pemerintah RI mengeluarkan Keppres No. 39 Tahun
1997 yang berisi antara lain tentang penundaan pelaksanaan proyek KBC. KBC
meminta Pertamina dan PLN untuk melakukan lobi terhadap Pemerintah RI agar
proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik dapat dilanjutkan. Tetapi hal itu
tidak berhasil, kemudian Pemerintah Indonesia mengeluarkan Keppres No 5
Tahun 1998 yang isinya menegaskan bahwa proyek-proyek yang memakan biaya
besar harus dihentikan. Atas dasar Keppres No. 5 Tahun 1998 Pertamina tidak
menjalankan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan dengan KBC dalam
JOC dengan alasan telah berlakunya Force Majeur, kemudian KBC menuntut
Pertamina dan PLN karena dianggap melanggar kontrak dan syarat Force Majeur
tidak berlaku. Syarat Force Majeur hanya berlaku untuk pihak KBC dan KBC
menuntut Pertamina dan PLN melalui Arbitrase karena KBC, Pertamina dan PLN
terikat oleh perjanjian Arbitrase. Tuntutan KBC terhadap Pertamina dan PLN
berupa ganti rugi terhadap pelanggaran kontrak berupa kerugian atas biaya yang
telah dikeluarkan sebesar US$ 96.000.000 (Sembilan puluh enam Juta Dollar
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Amerika Serikat) dan kerugian atas kompensasi akibat kehilangan keuntungan
sebesar US$ 512.000.000 (lima ratus dua belas juta Dollar Amerika Serikat) dan
kerugian akibat diperolehnya harta yang tidak wajar dan adil (unjust enrichment)
digabung dengan kerugian yang diderita KBC dengan bunga diperhitungkan KBC
sejumlah US$ 58.600.000 (lima puluh delapan juta enam ratus ribu Dollar
Amerika Serikat) serta denda yang harus dibayarkan kepada KBC sejumlah US$
608.500 (enam ratus delapan ribu lima ratus Dollar Amerika Serikat) atau secara
alternatif sebesar US$ 51.300.000 (lima puluh satu juta tiga ratus ribu Dollar
Amerika Serikat) apabila majelis arbitrase memutuskan bahwa KBC berhak
memperoleh US$ 837.000.000 (delapan ratus tiga puluh tujuh juta Dollar Amerika
Serikat). Dalam perjanjian arbitrase disepakati bahwa choice of law adalah hukum
Indonesia dan arbitrase diselenggarakan di Jenewa, Swiss berdasarkan ketentuan
UNCITRAL. Dalam JOC disepakati bahwa Pertamina akan menunjuk seorang
arbiter dan KBC juga akan menunjuk seorang arbiter. Kemudian para arbiter
yang telah ditunjuk tersebut akan menunjuk seorang arbiter lagi untuk menjadi
ketua majelis arbitrase. Setelah melalui proses penyelesaian sengketa arbitrase,
majelis arbitrase memutuskan untuk menghukum Pertamina dan PLN secara
tanggung renteng, untuk:
a.
Membayar US$ 111.000.000 (seratus sebelas juta Dollar Amerika
Serikat) untuk biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh KBC
ditambah dengan bunga 4% pertahun.
b.
Membayar US$ 150.000 (seratus lima puluh juta Dollar Amerika
Serikat) untuk kehilangan keuntungan yang diharapkan ditambah
dengan bunga 4% pertahun.
c.
Membayar US$ 66.654 (enam puluh enam ribu Dollar Amerika
Serikat untuk biaya arbitrase).
Terhadap putusan arbitrase tersebut, Pertamina sangat berkeberatan dan
kemudian mengajukan gugatan pembatalan terhadap putusan arbitrase ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan alasan putusan telah melanggar konvensi
New
York
dan
UU
No.
30
Tahun
1999.
Dalam
putusannya
No. 86/PN/Jkt.Pst/2001, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya mengabulkan
gugatan Pertamina dengan membatalkan putusan arbitrase internasional,
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
UNCITRAL di Jenewa, Swiss. Adapun beberapa alasannya antara lain
pengangkatan arbiter tidak dilakukan seperti apa yang diperjanjikan dan tidak
diangkat arbiter yang dikehendaki oleh para pihak berdasarkan perjanjian,
sementara Pertamina tidak diberikan proper notice mengenai arbitrase ini dan
tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Majelis Arbitrase telah salah
menafsirkan
Force
Majeur,
sehingga
semestinya
Pertamina
tidak
dipertanggungjawabkan atas sesuatu diluar kemampuannya. Disamping itu
majelis arbitrase dianggap telah melampaui kewenangannya karena tidak
menggunakan hukum Indonesia, padahal hukum Indonesia adalah yang harus
dipakai menurut kesepakatan para pihak. Majelis Arbitrase hanya menggunakan
hati nuraninya berdasarkan pertimbangan ex aequeo et bono. Salah satu
pertimbangan penting Pengadilan Jakarta Pusat dalam kasus ini menyatakan
bahwa: “dengan adanya penyebutan kata ‘antara lain’ dapat ditafsirkan bahwa
untuk mengajukan pembatalan dimungkinkan digunakan alasan lain”, alasan lain
yang dimaksud adalah alasan-alasan diluar ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase.
Dalam perkembangan di tingkat Mahkamah Agung, putusan Pengadilan Negeri
dibatalkan pada tingkat banding (kasasi) di Mahkamah Agung dengan alasan
bahwa berdasarkan Pasal V (1) e Konvensi New York,12 Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus kasus ini, mengingat
putusan arbitrase yang dipersoalkan adalah putusan arbitrase yang dijatuhkan di
Swiss. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tersebut, pertimbangan dan
penerapan pasal 70 UU Arbitrase sama sekali tidak ditentang dan dikoreksi oleh
Mahkamah Agung,13 namun akhirnya, oleh Mahkamah Agung, diputuskanlah
12
Pasal V ayat 1 (e) United Nation Convention on the Recognation and Enforcement of
Foreign Arbital Awards : Recognation and enforcement of the award may be refused, at the
request of the party against whom it is revoked, only if the party furnishes to the competent
authority where the recognation and enforcement is sought, proof that: (e) the awars has not yet
become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the
country in which, or under the law of which, the award was made. Gunawan Widjaja dan Michael
Adrian, Peran Pengadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Oleh Arbitrase, Cet I, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008), hlm 384.
13
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Cet.I, (Yogyakarta: Citra Media,
2006), hlm 145
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk menjatuhkan
putusan pembatalan tersebut. Pertamina kemudian mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, namun pada akhirnya Mahkamah
Agung menyatakan untuk menolak permohonan Peninjauan Kembali yang
diajukan Pertamina terhadap Putusan Banding Mahkamah Agung melalui Putusan
Mahkamah Agung Nomor 444 PK/Pdt/2007.
Sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut tentang perkara ini, pertamatama mari kita melihat bahwa terdapat setidaknya tiga hukum yang terkait dengan
proses arbitrase yaitu: (i) substantive law (hukum materil), hukum yang
digunakan untuk memutus perkara oleh arbitrer; (ii) hukum acara (procedural
law) yang mengikat bagi para arbiter dan para pihak dalam proses pemeriksaan
hingga adanya putusan; (iii) hukum dari suatu Negara yang mendasari
penyelesaian sengketa melalui arbitrase (lex arbitri).14 Selanjutnya, perlulah
terminologi competent authority yang diatur dalam Konvensi New York 1958
untuk dipahami secara mendalam. Pada dasarnya, terdapat dua pengertian
terhadap competent authority dibawah Konvensi New York 1958, yaitu, (i)
Pengadilan dari Negara dimana putusan tersebut dibuat; (ii) Pengadilan dari
Negara yang hukumnya digunakan sebagai dasar pembuatan putusan arbitrase.15
Berdasar kepada perkara tersebut diatas, adalah benar apabila Pertamina
tidak mendapatkan haknya untuk dapat membatalkan putusan arbitrase yang telah
dijatuhkan oleh Badan Arbitrase Swiss. Hal ini dikarenakan, dibawah Konvensi
New York dan UNCITRAL Arbitration Rules, Alasan-alasan penolakan dan
pembatalan sebagaimana tercantum dalam Konvensi New York maupun
UNCITRAL Model Law, seperti ketiadaan perjanjian arbitrase yang sah,
pelanggaran terhadap prinsip kepatutan dan keadilan dalam berperkara (due
process of law), misalnya: ketidakwajaran dalam pemilihan arbiter atau proses
arbitrase, tidak adanya pemberitahuan yang patut atau pemberian kesempatan
14
Hikmahanto Juwana, “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan
Nasional”, dalam Arbitrase Dan Mediasi, Jakarta, 08 & 09 Oktober 2002, hlm. 138
15
ibid, hlm. 141-142
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
membela diri yang adil/berimbang, proses pemilihan arbiter yang bertentangan
dengan perjanjian, arbiter yang bertindak diluar kewenangan (excess of authority)
dan sengketa yang diputus tidak dapat diarbitrasekan (non arbitrable), maupun
alasan pelanggaran atas ketertiban umum (public policy), sepatutnya dibuktikan
oleh pihak pemohon pembatalan.
Terkait juga dengan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang
didasarkan pada Pasal 70 UU arbitrase, pemohon pembatalan seharusnya
membuktikan adanya “dugaan” yang sah bahwa putusan arbitrase tesebut
mengandung
“unsur”
pemalsuan,
tipu
muslihat,
atau
penyembunyian
fakta/dokumen. UU Arbitrase tidak secara tegas menjelaskan apa yang dimaksud
dengan kata “dugaan” ataupun kata “unsur” sebagaimana disebut dalam Pasal 70
tersebut. UU Arbitrase juga tidak memberikan definisi mengenai apa yang
dimaksud dengan kata “pemalsuan, tipu muslihat, atau penyembunyian
fakta/dokumen” sebagaimana yang termuat dalam Pasal 70. Mengingat UU
Arbitrase belum mengatur alasan-alasan yang dapat digunakan oleh Pengadilan
untu membatalkan putusan arbitrase, maka nilai-nilai hukum yang hidup di
masyarakat sehubungan dengan pembatalan putusan arbitrase dapat digali,
dipahami dan diikuti.
Terhadap pembatalan tersebut, Noah Rubbins mengatakan bahwa,16 “it
seems eminently clear that the Indonesian Court was not the proper location in
which to lodge an annulment of the Swiss Award. The Indonesian Court made two
initial errors with regard to the applicability and interpretation of the New York
Convention. First, while the Jakarta district court could have applied the
Convention to an enforcement proceeding in Indonesia, the Convention has no
place in an action to vacate an award. Second, even assuming the Convention
governs annulment proceedings, the court erred in concluding that the Indonesian
court is a “competent authority” to vacate the Swiss Award under the
Convention.”
Pernyataan tersebut merupakan fakta yang benar, Albert Jan Van Den Berg
mengatakan bahwa, “telah diterima secara umum bahwa pembatalan putusan
16
Noah Rubbins, op.cit., hlm. 385
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
arbitrase asing merupakan jurisdiksi eksklusif yang dimiliki oleh Pengadilan
dimana arbitrase tersebut diadakan serta berdasar kepada hukum arbitrase nasional
Negara tersebut.” Pengadilan di Negara anggota Konvensi New York 1958
lainnya (competent authority) hanya dapat menentukan dapat atau tidaknya
putusan tersebut dilaksanakan. Terhadap dijatuhkannya pembatalan putusan
arbitrase asing tersebut oleh Pengadilan country of origin adalah berdampak luas
terhadap pelaksanaannya di Negara-Negara anggota lainnya.17
Dasar dari pernyataan tersebut adalah Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New
York yang mengatur bahwa,18 “the award has not yet become binding on the
parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the
country in which, or under the law which, that award was made.”
Landasan pembatalan putusan arbitrase asing oleh Pengadilan Negeri
Indonesia selain mengacu kepada ketentuan ketertiban umum, juga berlandaskan
kepada Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New York yang mengatur ketentuan bahwa
“(under the law which), the award was made”, dimana hukum Indonesia
digunakan sebagai lex arbitri dalam persidangan arbitrase Swiss ini. Ketentuan
tersebut membuat Indonesia mengakui kompetensinya sebagai competent
authority dan country of origin serta berhak atas pembatalan terhadap putusan
arbitrase asing tersebut karena digunakannya hukum Indonesia sebagai lex arbitri.
Perlu diperhatikan lebih lanjut bahwa, pada dasarnya, Pasal V ayat 1 Konvensi ini,
tidak mengatur bahwa competent authority dapat membatalkan putusan dan Pasal
tersebut, Pasal V(1)(e) pada dasarnya mengacu kepada hukum acara dan bukanlah
hukum materiil (substantive law) maupun lex arbitri,19 dan definisi dari “law of
17
Albert Jan Van Den Berg, “Annulments of Awards in International Arbitration”, dalam
Richard B. Lillich dan Charles N. Brower, International Arbitration in The 21st Century: Towards
“Judicialization” and Uniformity?, (New York: Transational Publishers INC, 1994), loc.cit.
18
Pasal V ayat 1 (e), Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Awards 1958 (New York Convention)
19
Noah Rubbins, op.cit., hlm. 382
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
which” tersebut tetap mengaku kepada hukum Negara lain yang digunakan, tapi
kompetensinya dimiliki oleh “competent authorit in which the award was made.”
Adanya pembatalan terhadap putusan arbitrase asing yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Negeri Indonesia tersebut melanggar ketentuan Pasal V ayat 1 (e)
Konvensi New York. Pada dasarnya adalah benar bahwa, dalam perkara ini
hukum arbitrase Indonesia digunakan sebagai lex arbitri karena digunakan
sebagai choice of law untuk menyelesaikan sengketa antara Pertamina dan KBC,
namun hal tersebut tidaklah membuat Indonesia menjadi country of origin karena
putusan tersebut tidak dijatuhkan di Indonesia. Pengadilan Negeri Indonesia, oleh
karena itu, bukanlah merupakan “country of origin” yang dapat membatalkan
putusan arbitrase tersebut, karena tempat diselenggarakannya dan dijatuhkannya
putusan dalam perkara tersebut adalah di Swiss dan bukan di Indonesia. Jadi,
unsur Indonesia sebagai “country of origin” tidaklah dipenuhi dalam perkara ini,
dan pada akhirnya, Pengadilan Negeri Indonesia tidak memiliki hak untuk
membatalkan suatu putusan. Pengadilan Negeri Indonesia hanya memiliki hak
sebatas menjatuhkan dapat atau tidaknya putusan arbitrase Swiss tersebut
dilaksanakan di Indonesia atau tidak, karena Pengadilan Negeri Indonesia adalah
competent authority dan bukan sebagai country of origin.
Prof. Hikmahanto Juwana, memberikan suatu fakta bahwa pada dasarnya,
banyak pihak yang kerap salah menafsirkan bahkan menyamakan antara
pembatalan dengan penolakan putusan arbitrase. Dimana terdapat perbedaan
mendasar antara kedua konsep ini, yaitu:20
1.
Dilihat dari segi istilah, pembatalan dalam bahasa inggris
diistilahkan sebagai annulment atau set aside, sementara penolakan
dalam bahasa inggris diistilahkan sebagai refusal.
2.
Dari segi pengaturan proses dan alasan, dimana proses dan
pembatalan putusan arbitrase diatur dalam peraturan perundangundangan suatu Negara dan tidak diatur dalam sebuah perjanjian
internasional. Sementara penolakan putusan arbitrase asing justru
mendapat pengaturan dalam bentuk perjanjian internasional yang
20
Hikmahanto Juwana, op.cit., 137-138
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
kemudian ditransformasikan dalam bentuk peraturan perundangundangan nasional.
3.
Dari segi konsekuensi hukumnya, pembatalan putusan arbitrase
berakibat pada dinafikannya (seolah tidak pernah dibuat) suatu
putusan
arbitrase. Terhadap
putusan
arbitrase
asing
yang
dibatalkan, Pengadilan dapat meminta agar para pihak mengulang
proses arbitrase. Sementara penolakan putusan arbitrase asing oleh
pengadilan tidak berarti menafikan putusan tersebut. Penolakan
mempunyai
konsekuensi
tidak
dapatnya
putusan
arbitrase
dilakukan di yurisdiksi pengadilan yang telah menolaknya. Apabila
ternyata di Negara lain terdapat asset dari pihak yang dikalahkan,
pihak yang dimenangkan masih dapat meminta eksekusi di
Pengadilan Negara tersebut.
Melihat kepada perkara diatas, pembatalan Pengadilan Negeri Indonesia
terhadap putusan arbitrase asing yang dijatuhkan Badan Arbitrase Asing Swiss
berdasarkan suatu landasan bahwa, putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan di
Indonesia dikarenakan tidak sesuai dengan ketertiban umum dan sendi-sendi
hukum Indonesia sebagaimana diatur dalam Konvensi New York 1958, dan
dengan diterimanya permohonan pembatalan pelaksanaan oleh Pengadilan Negeri
Indonesia pun, pada dasarnya, merupakan suatu hal yang menarik.
Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Hikmahanto tersebut diatas, perkara ini
pada dasarnya telah disalah artikan, dimana pihak Pertamina memohonkan
pembatalan, dan Pengadilan pun menyalah artikan ketertiban umum sebagai
landasan pembatalan putusan arbitrase asing, dimana ketertiban umum tersebut
merupakan landasan penolakan putusan arbitrase asing dibawah UU 30/1999.
Menanggapi pernyataan Prof. Hikmahantor tersebut, barulah terlihat dimana letak
kesalahpahaman penerapan penolakan dan pembatalan oleh Pengadilan Negeri
Indonesia tersebut bila kita memperhatikan dasar penolakan dan pembatalan yang
diatur dalam UU 30/1999. Dasar penolakan tersebut diatur dalam Pasal 66 (c) dan
landasan pembatalan putusan arbitrase asing diatur dalam Pasal 70, UU 30/1999.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Sebagaimana Pasal 66 (c) mengatur bahwa:21
“Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah
hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat… (c) Putusan Arbitrase
Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di
Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum”
Selanjutnya Pasal 70:22
“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan
apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan,
diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan ; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.”
Selanjutnya, sehubungan dengan perkara ini, kalaupun Pengadilan Negeri
Indonesia memiliki hak untuk menolak dan membatalkan putusan arbitrase asing
Swiss, UU 30/1999 tidaklah mengatur secara komprehensif tentang ketentuan
pembatalan putusan arbitrase asing. Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahwa,
pertama, UU arbitrase Indonesia mengatur ketertiban umum sebagai dasar
penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang kewenangan penolakannya
dipegang secara penuh oleh Pengadilan Negeri Indonesia. Dalam hal ini, bila
dilihat dalam ketentuan pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang
diatur oleh UU arbitrase Indonesia, ketertiban umum bukanlah suatu ketentuan
yang dapat melandasi pembatalan putusan arbitrase asing. Pasal 70, UU 30/1999
21
Pasal 66, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN
Nomor 3872
22
Pasal 70, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN
Nomor 3872
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
diatas tidaklah mengatur tentang ketertiban umum sebagai landasan pembatalan
putusan arbitrase asing.
Kedua, UU 30/1999 tidaklah mengatur tentang adanya permohonan yang
dapat diajukan oleh pihak yang menginginkan penolakan maupun pembatalan
sebagaimana diatur oleh Konvensi New York 1958. UU arbitrase Indonesia
hanyalah mengakomodir ketentuan Pasal V ayat 2 Konvensi New York sebagai
landasan pengajuan keberatan terhadap pelaksanaan arbitrase asing di wilayah
Negaranya yang kewenangannya hanya dimiliki oleh Pengadilan Negeri. Pihak
yang bersengketa tidak dapat mengajukan permohonan penolakan pelaksanaan,
karena UU 30/1999 tidak mengaturnya.
Pertamina sehubungan dengan perkara ini pada dasarnya, memiliki
beberapa kesempatan untuk memperoleh pembatalan terhadap putusan arbitrase
asing tersebut, namun, Pertamina tidak memanfaatkan kesempatan-kesempatan
tersebut dengan tepat. Hal ini dibuktikan dengan:
1.
Ditolaknya permohonan banding oleh Mahkamah Agung Swiss
karena tidak membayar deposit.
2.
Tidak mengajukan pembuktian terhadap dasar-dasar pembatalan
yang diajukannya pada saat KBC mengajukan permohonan
pelaksanaan putusan arbitrase Swiss di Pengadilan Negeri Amerika
Serikat,
dimana
dasar-dasar
pembatalan
tersebut
sangatlah
dijunjung tinggi dalam hukum arbitrase Amerika Serikat.
Kesempatan-kesempatan tersebut dapat membantu Indonesia memperoleh
pembatalan, mengingat: (i) Mahkamah Agung Swiss merupakan forum yang
paling tepat, karena Swiss merupakan country of origin; (ii) Pengadilan Negeri
Amerika Serikat memiliki suatu dasar pembatalan putusan arbitrase asing yang
didasari: (a) dalam penjatuhan putusan tersebut terdapat unsur korupsi, penipuan
dan tidak berdasar kepada Hukum; (b) pihak arbiter secara sendiri atau bersamasama (bila lebih dari satu dewan arbiter) melaksanakan tindak pidana korupsi; (c)
pihak arbiter melakukan kesalahan dengan menolak penundaan persidangan atau
menolak untuk mendengarkan bukti atau materi perselisihan atau kesalahan
lainnya yang menyebabkan salah satu pihak dirugikan; arbiter melampaui
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
kewenangannya atau secara sengaja menjatuhkan putusan yang tidak adil, final
ataupun pasti; (d) apabila putusan arbitrase telah dibatalkan sebelumnya dimana
waktu yang diatur dalam perjanjian terhadap putusan arbitrase tersebut belum
kadaluarsa, Pengadilan Federal dalam hal ini dapat meminta pengakuan dari
arbiter; (e) Pengadilan Negeri Amerika Serikat telah membatalkan putusan
arbitrase asing tersebut atas dasar permohonan salah satu pihak diluar pihak yang
bersengketa dalam arbitrase yang secara tidak langsung dirugikan oleh putusan
arbitrase asing tersebut.23
Kesempatan
lainnya
yang
sebenarnya
dapat
ditempuh
untuk
menyelesaikan perkara ini adalah dengan menyelesaikan perkara sengketa ini
berdasarkan BIT (Bilateral Investment Treaty) yang telah dibentuk antara
Indonesia
dengan
Inggris,
(United
Kingdom
of
Great
Britain)
yang
mempersyaratkan bahwa adanya sengketa terhadap penanaman modal dapat
diselesaikan dibawah International Centre for Settlement of Investment Disputes
(ICSID).24
Terhadap perkara ini, Profesor Hikmahanto Juwana memberikan komentar
lanjutan sehubungan dengan pendirian majelis hakim untuk menyatakan bahwa
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang melakukan pembatalan putusan
arbitrase Jenewa, antara lain:25
1. Dasar hukum yang dirujuk oleh majelis hakim untuk menyatakan
dirinya berwenang melakukan pembatalan. Dimana Majelis hakim
kerap merujuk kepada Konvensi New York 1958 sebagai alasan
kewenangan PN Jakarta Pusat melakukan pembatalan. Padahal
Konvensi New York 1958 tidak mengatur masalah pembatalan,
23
United States Code §§10, United States Federal Arbitration Act
24
Pasal 7, Agreement Between The Government of The Republic Of Indonesia And The
Government of The United Kingdom of Great Britain And Nothern Ireland For The Promotion
And Protection of Investments 1976
25
Hikmahanto Juwana, op.cit., hlm. 143-145
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
melainkan mengatur tentang pelaksanaan putusan arbitrase.
Kalaupun ada ketentuan tentang pembatalan putusan arbitrase,
Konvensi New York 1958
membicarakan dalam konteks
pengadilan yang diminta untuk melakukan eksekusi dapat
menolaknya atas dasar adanya proses pembatalan putusan arbitrase
sebagai competent authority.
2. Penafsiran Majelis Hakim terhadap putusan arbitrase yang
dibatalkan oleh pengadilan Indonesia. Pengaturan pembatalan
putusan arbitrase dalam UU 30/1999 seharusnya ditafsirkan
sebagai lex arbitri yang mengatur proses dari pemeriksaan hingga
pelaksanaan. Namun karena di UU 30/1999 tidak jelas pengaturan
pasal 70, apakah pembatalan tersebut berlaku untuk putusan
arbitrase asing atau tidak, serta dalam prakteknya lex arbitri
hanyalah mengatur dalam konteks pelaksanaan putusan arbitrase
tersebut dan tidak mengatur konteks pembatalan putusan.
3. Dibenarkannya tindakan Pertamina oleh majelis hakim sebagai
pihak yang kalah untuk mendaftarkan pelaksanaan putusan
arbitrase Jenewa. Prof. Hikmahanto Juwana memberikan suatu
komentar terhadap berdasarkan logika apakah bisa diterima bahwa
pihak yang dikalahkan secara sukarela melakukan pendaftaran
putusan arbitrase asing untuk dilaksanakan di Indonesia.
4. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidaklah memberikan amar
putusan yang menentukan apa yang harus dilakukan oleh para
pihak setelah putusan arbitrase Jenewa tersebut dibatalkan.
Dalam perkara ini, Pertamina, Pengadilan Negeri Indonesia dan UU
30/1999 tidaklah menjunjung tinggi Konvensi New York 1958 dimana Indonesia
sendiri merupakan Negara anggota Konvensi tersebut. Adanya upaya pembatalan
putusan yang dilakukan oleh Pertamina dan Pengadilan Negeri Indonesia tidaklah
mencerminkan wujud keterikatan Indonesia yang pada dasarnya menjunjung
tinggi final dan mengikatnya putusan arbitrase asing yang diputus oleh Badan
Arbitrase Negara lain. Pertamina juga tidak menjunjung tinggi pelaksanaan
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
putusan arbitrase asing tersebut dengan mengajukan beberapa pengajuan banding
yang mengindikasikan keberatan pelaksanaan putusan dan bahkan mengajukan
permohonan pembatalan di Negara-Negara lain (forum shopping).
Pertamina sudah seharusnya berhenti memohon pembatalan putusan dan
banding terhadap pelaksanaan putusan tersebut setelah dijatuhkan putusan
pelaksanaannya oleh Pengadilan Negeri Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan UU
arbitrase Amerika Serikat menganut doktrin anti-suit injunction untuk menjaga
litigasi internasional, mencegah adanya forum shopping yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang bersengketa atau mencegah terjadinya kerugian lebih lanjut
yang akan dialami oleh pihak yang mengajukan permohonan pelaksanaan putusan
arbitrase.26 Hal ini dikarenakan putusan tentang pelaksanaan putusan arbitrase
asing oleh suatu Negara merupakan putusan yang memiliki kekuatan hukum yang
tetap,27 dan sangat dihormati esensi putusannya.
Terlebih lagi, dengan adanya permohonan Peninjauan Kembali yang
diajukan Pertamina kepada Mahkamah Agung Indonesia pada tahun 2007 dalam
perkara ini,28 serta dengan diprosesnya Peninjauan Kembali tersebut oleh
Mahkamah Agung, secara tidak lanjut, telah telah menyalahi Pasal 72 ayat (4)
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 karena UU 30/1999 tidak mengatur
ketentuan Peninjauan Kembali. Dalam hal ini, dasar hukum diprosesnya
Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung adalah, yaitu Pasal 16, UU 4/2004
26
Daniel S. Tan, “Enforcing International Arbitration Agreements in Federal Courts:
Rethinking the Court's Remedial Powers”, Virginia Journal of International Law, Vol. 47, Spring
2007, didapat dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=942853, diakses pada 4
Januari 2011, 12:27 WIB
27
Keren Tweeddale, op.cit., hlm. 177
28
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 444 PK/Pdt/2007 tentang
Putusan Peninjauan Kembali Perkara Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
(Pertamina) melawan Karaha Bodas Company L.L.C., dan Perusahaan Listrik Negara (PLN), 9
September 2008, didapat dari www. http://putusan.mahkamahagung. go.id/putusan/53470896b4ed
5c05212ca1aa874fc609, diakses pada 16 Desember 2010, 13:00 WIB
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
yang mengatur bahwa,29 “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Dalam hal ini, Mahkamah Agung telah melakukan kesalahan yang sama
dengan Pengadilan Negeri, Pertamina dan UU 30/1999 itu sendiri, dimana
Mahkamah Agung tidak menjunjung tinggi esensi hukum arbitrase internasional.
Tidak komprehensifnya serta tidak mengakomodirnya kepastian hukum dalam
pengaturan UU arbitrasenya, tidak berkompetennya perangkat hukumnya dalam
melaksanakan UU arbitrase Negaranya sendiri dengan baik dan benar membuat
kondisi-kondisi pelaksanaan hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase di
Indonesia sangatlah memprihatinkan, mengingat Indonesia merupakan Negara
yang meratifikasi Kovensi New York.
B.
UU 30 Tahun 1999 Tidak Menerapkan Secara Utuh Pasal V Konvensi
New York 1958
Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab sebelumnya bahwa, putusan
arbitrase dibawah Konvensi New York 1958 adalah final dan mengikat bagi para
pihak yang bersengketa dan pihak Negara anggota Konvensi tersebut telah
memberikan suatu pengakuan terhadap final dan mengikatnya putusan arbitrase
yang dijatuhkan oleh badan arbitrase asing yang berada didalam wilayah Negara
anggota Konvensi New York lainnya.30 Fakta tersebut kemudian, membuat para
pihak yang bersengketa memperhatikan kepentingannya sendiri-sendiri, dimana,
Pihak yang dimenangkan dalam putusan arbitrase akan memohon pelaksanaan
putusan kepada Pengadilan wilayah Negara Anggota lainnya agar putusan tersebut
dapat menimbulkan kewajiban hukum untuk dilaksanakan oleh para pihak
khususnya pihak yang tidak dimenangkan, sedangkan di satu sisi, pihak yang
29
Pasal 16, Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kuasa Kehakiman, UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 8, TLN Nomor 4358
30
Pasal III, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards
1958 (New York Convention)
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
tidak dimenangkan tersebut akan melakukan berbagai cara agar putusan arbitrase
yang mewajibkan dia melakukan kewajiban hukum tidak dapat dilaksanakan dan
bila perlu, dibatalkan.
Mengacu pada ketentuan Konvensi New York 1958, pada dasarnya, dalam
Pasal V, telah secara jelas ditetapkan dan diatur landasan-landasan penolakan
pelaksanaan putusan arbitrase asing yang dapat diadopsi oleh Negara-Negara
anggotanya yang mengatur bahwa:31
1. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dapat ditolak, berdasarkan
permohonan dari salah satu pihak yang mengajukan, apabila pihak tersebut telah
melengkapi atau membuktikan kepada pejabat yang berwenang (competent
authority) dimana pengakuan dan pelaksanaan tersebut dimintakan/dimohonkan
dengan alasan-alasan:
a. Menurut hukum yang berlaku, para pihak tidak berwenang membuat perjanjian
arbitrase, yang disebut sebagai incapacity atau onbevoegd. Ketidakwenangan
tersebut mungkin oleh karena salah satu pihak masih dibawah umur. Atau salah
satu pihak berada dibawah kuratela. Atau menurut hukum yang berlaku pada
Negara tempat mana permohonan eksekusi diminta dianggap tidak berwenang
untuk membuat perjanjian.
b. Salah satu pihak tidak diberitahu atas penunjukkan arbiter ataupun atas adanya
persidangan arbitrase maupun tidak memperoleh kesempatan yang wajar untuk
melakukan pembelaan dalam mempertahankan kepentingannya.
c. Putusan arbitrase yang dijatuhkan tidak sesuai dengan penegasan yang diberikan,
putusan yang dimohon eksekusinya tidak sesuai dengan penegasan yang
dilimpahkan, atau putusan menyimpang dari pokok sengketa yang diperjanjikan.
d. Pengangkatan arbiter atau prosedur persidangan arbitrase menyimpang dari
perjanjian yang dibuat oleh pihak yang bersengketa atau gagal dalam perjanjian
tersebut dan tidak sesuai dengan hukum nasional dari Negara dimana putusan
arbitrase dijatuhkan.
e. Putusan arbitrase yang bersangkutan belum mengikat atau putusan tersebut telah
dikesampingkan maupun telah ditunda eksekusinya oleh Pengadilan di Negara
mana putusan tersebut diajukan.
31
Pasal V, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards
1958 (New York Convention)
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
2. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dapat pula ditolak apabila
Pejabat yang berwenang dalam suatu Negara dimana pengakuan dan pelaksanaan
tersebut dicari/dimintakan menemukan bahwa:
a. Masalah yang disengketakan menurut hukum dari Negara di tempat mana permohonan
diajukan, tidak boleh diselesaikan melalui forum arbitrase.
b. Pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing yang bersangkutan akan menimbulkan
pertentangan dengan “ketertiban umum”.
Berdasarkan kepada pengaturan diatas, dapatlah dilihat bahwa, Konvensi
New York mengatur dua macam penolakan pelaksanaan putusan arbitrase yaitu,
penolakan yang didasari oleh adanya permohonan penolakan yang diajukan oleh
salah satu pihak dan penolakan yang diberikan secara khusus kepada kewenangan
Pengadilan Nasional berdasarkan pelaksanaan putusan yang tidak sesuai dengan
hukum Negara tersebut, serta adanya ketertiban umum yang akan dilanggar
dengan pelaksanaan putusan tersebut.32
Terhadap penolakan yang diajukan oleh salah satu pihak yang keberatan
terhadap pelaksanaan putusan arbitrase tersebut, Konvensi telah mengakomodir
hak dari pihak yang tidak dimenangkan dalam putusan arbitrase untuk dapat
mengajukan keberatan dalam bentuk penolakan pelaksanaan putusan arbitrase
dalam Pasal V ayat 1-nya. Sesuai dengan ketentuan tersebut, perlu untuk
digarisbawahi bahwa, adanya permohonan penolakan terhadap suatu putusan
arbitrase asing haruslah memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal V ayat 1
tersebut, dimana, penolakan terhadap pengakuan dan pelaksanan putusan arbitrase
tersebut harus memenuhi unsur pembuktian yang mendukung alasan yang
diajukan tersebut.33
Sehubungan dengan penolakan yang diatur oleh Konvensi New York, di
bawah UU arbitrase Indonesia, yaitu UU 30/1999, suatu putusan arbitrase asing
tidak dapat dilaksanakan berdasarkan tiga hal yaitu:
32
Albert Jan Van Den Berg, “The New York Convention of 1958: An Overview”, op.cit.,
hlm. 13-14
33
Noah Rubbins, op.cit., hlm. 386; Susan Choi, op.cit., hlm. 189
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
1.
Putusan arbitrase internasional yang dijatuhkan bukan berasal dari
badan arbitrase di Negara anggota Konvensi New York.
Merupakan persyaratan dan kesepakatan awal ratifikasi Konvensi
New York 1958 yang harus dipenuhi oleh Negara anggotanya.
2.
Putusan arbitrase internasional bukan merupakan sengketa dagang
internasional.
Serupa dengan poin pertama, ini merupakan suatu persyaratan dan
kesepakatan awal yang harus dipenuhi dibawah Konvensi New
York 1958. Untuk suatu putusan arbitrase dapat diakui dan
dilaksanakan oleh suatu Pengadilan Nasional Negara yang
dimohonkan pelaksanaannya memang harus berupa sengketa
dagang.34 Ketentuan Pasal ini tidaklah bertentangan dengan
ketentuan Konvensi New York 1958 dan telah dipertegas dalam
Lampiran Perpres 34/1981 yang mengatur bahwa, “pelaksanaan
penerapan Konvensi hanya terbatas mengenai perselisihan yang
timbul secara sah dari perjanjian yang berkenaan dengan bidang
Hukum Perdagangan menurut Hukum Dagang Indonesia.”35 Pasal
66 UU 30/1999 juga telah mengatur bahwa perniagaan; perbankan;
keuangan; penanaman modal; industri; dan hak kekayaan
intelektual termasuk kedalam unsur Hukum Dagang Indonesia.36
3.
Putusan bertentangan dengan ketertiban umum.
Poin ini yang mengatur tentang ketertiban umum yang terdapat
dalam Pasal 66 (c) UU 30/1999. UU 30/1999 akan tetapi, hanya
34
Pasal I (c), Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral
Awards 1958 (New York Convention)
35
M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 50
36
Penjelasan Pasal 66 (b), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor
138, TLN Nomor 3872
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
memberikan suatu pembatasan pelaksanaan putusan arbitrase asing
dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak bertentangan
terhadap ketertiban umum, dimana, definisi terhadap terminologi
“ketertiban umum” itu sendiri tidaklah diberikan oleh UU 30/1999.
37
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya serta mengacu kepada perkara
Pertamina melawan KBC, UU 30/1999 tidaklah komprehensif dalam pengaturan
arbitrasenya dan salah satunya dibuktikan dengan melihat kepada ketentuan
diatas, dimana UU arbitrase Indonesia hanya menerapkan sebagian dari ketentuan
Pasal V Konvensi New York 1958. UU arbitrase Indonesia hanya mengenal
ketertiban umum sebagai landasan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing
di dalam wilayah Negara Republik Indonesia (karena dua poin sebelumnya sudah
merupakan persyaratan dan kesepakatan yang diatur dalam ratifikasi Konvensi
New York 1958) dan pada kenyataannya, definisi terhadapnya pun tidak diatur
dalam UU ini.
Tidak diaturnya definisi tentang ketertiban umum dibawah UU 30/1999
berbeda dengan Perma 1/1990 yang secara khusus telah mengatur definisinya
dalam Pasal 4 (2)-nya yang mengatur bahwa,38 “Exequatur tidak akan diberikan
apabila putusan Arbitrase Asing itu nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi
asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum).”
Ketertiban umum sebagaimana diartikan dalam Perma 1/1990 ini kemudian,
secara umum telah diterima sebagai definisi universal oleh masyarakat hukum
Indonesia, walaupun, UU 30/1999 tidak mengatur didalamnya.
37
Pasal 66 (c), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN
Nomor 3872
38
Pasal 4 (2), Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990
tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Ketentuan penolakan berdasarkan prinsip ketertiban umum pada dasarnya,
telah diterima secara universal oleh masyarakat internasional khususnya dalam
lingkup pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing menurut Konvensi
New York 1958. Definisi ketertiban umum merupakan suatu perlindungan
terhadap kepentingan nasional dan merupakan suatu konsep yang samar-samar
yang berbeda-beda antara Negara dan Pengadilan Negara-Negara anggota telah
menerima suatu pandangan bahwa penentuan karakter dari definisi “ketertiban
umum” merupakan kebijakan masing-masing negara, dikarenakan setiap negara
bebas dalam menentukan definisi ketertiban umum dalam konteks sistem tata
hukum negara mereka.39
Sebagaimana kita lihat dalam perbandingan pengaturan ketentuan
penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing antara kedua perangkat hukum
(Konvensi New York 1958 dan UU 30/1999) diatas dan sebagaimana telah
dijelaskan pada Sub-Bab sebelumnya, dapatlah diambil kesimpulan bahwa
sebenarnya Indonesia benar-benar hanya menerapkan sebagian ketentuan
Konvensi New York 1958 dan pengaturan penolakan pelaksanaan putusan
arbitrase asing yang diatur dalam UU 30/1999 tersebut kurang memadai serta
tidak jelas dan tegas, terutama ketentuan yang mengatur ketertiban umum sebagai
landasan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Terlebih
lagi ketentuan “ketertiban umum” dengan tidak boleh bertentangannya
pelaksanaan putusan arbitrase asing dengan sendi-sendi asasi hukum nasional
Negara ditempat putusan tersebut dimohonkan, pada dasarnya, telah diatur dalam
Pasal V ayat 2 (a) Konvensi New York 1958. Dalam hal ini berarti, penolakan
pelaksanaan putusan arbitrase di Negara Republik Indonesia yang diatur dibawah
UU 30/1999 hanya menerapkan Pasal V ayat 2 Konvensi New York tanpa
mengikutsertakan ketentuan Pasal V ayat 1 Konvensi tersebut untuk dapat
diterapkan di dalamnya.
UU 30/1999 yang hanya menerapkan Pasal V ayat 2 tersebut, mengatur
ketertiban umum yang prosedur penolakan hanya dapat terjadi pada suatu putusan
39
Erman Rajagukguk, “Implementation of The 1958 New York Convention in Several
Asian Countries: The Refusal of Foreign Arbitral Awards Enforcement On The Grounds of Public
Policy”, op.cit., hlm. 11 & 3
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
yang telah didaftarkan namun setelah diperiksa ulang, putusan tersebut tidak dapat
dilaksanakan di Indonesia oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. UU 30/1999 ,
maka dari itu, tidaklah memberikan hak kepada pihak yang memohon penolakan
pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia dibawah Pasal V ayat 1
Konvensi New York, karena UU 30/1999 tidak mengaturnya. Dengan kata lain,
penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing dipegang sepenuhnya oleh
wewenang Pengadilan Negeri tanpa mengakui adanya prosedur permohonan
penolakan yang dapat diajukan oleh pihak yang tidak dimenangkan dalam putusan
arbitrase asing tersebut.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Sub-bab sebelumnya, tidak diaturnya
ketentuan permohonan tersebut akan tetapi, sangatlah berbeda dengan praktek
pelaksanaan UU arbitrase di Indonesia, dimana Pihak yang tidak dimenangkan
dalam putusan arbitrase kerap kali mengajukan permohonan keberatan penolakan
pelaksanaan putusan arbitrase kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Fakta
yang menarik lainnya sehubungan dengan banyaknya permohonan penolakan
putusan arbitrase asing ini adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun menerima
dan memeriksanya, dimana pada dasarnya, pihak Pengadilan seharusnya tidak
berwenang untuk melakukan penerimaan dan pemeriksaan permohonan tersebut
terhadap tidak adanya ketentuan yang diatur dalam suatu perundang-undangan.
Adanya fakta-fakta ini dikarenakan (i) Baik para pelaku usaha maupun
perangkat hukum arbitrase Indonesia kerap menyalahartikan antara penolakan dan
pembatalan; (ii) dikarenakan adanya landasan hukum yang diatur dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 (“UU 4/2004”) tentang Kuasa Kehakiman
yang mengatur bahwa,40 “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
UU 30/1999 mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase dimana hal
tersebut secara nyata berbeda dengan penolakan pembatalan pelaksanaan putusan
40
Pasal 16, Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kuasa Kehakiman, UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 8, TLN Nomor 4358
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
arbitrase asing. Ketentuan tersebut secara lebih lanjut diatur dalam Pasal 70-nya
yang menentukan bahwa:
“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan
apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan ; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa.”
Selanjutnya, Pasal 71 mengatur bahwa:41
“Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase
kepada Panitera Pengadilan Negeri.”
Serta Pasal 72:42
1.
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri.
2.
Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua
Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau
sebagian putusan arbitrase.
3.
Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diterima.
4.
Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke
Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
41
Pasal 71, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN
Nomor 3872
42
Pasal 72, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN
Nomor 3872
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
5.
Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
Melihat
kepada
ketentuan
pembatalan
tersebut,
pada
dasarnya
bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Konvensi New York karena
pada dasarnya, Konvensi New York tidak mengatur tentang adanya unsur
pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase asing, Konvensi New York 1958
mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.43
Sebagaimana
telah
dijelaskan
sebelumnya
juga
bahwa,
pembatalan/pengesampingan terhadap putusan arbitrase asing terdapat dalam
Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New York 1958 dan Pasal tersebut mengatur secara
lebih lanjut terhadap adanya pengesampingan pelaksanaan putusan arbitrase asing
bila putusan arbitrase yang bersangkutan belum mengikat atau putusan tersebut
telah dikesampingkan maupun telah ditunda eksekusinya oleh Pengadilan di
Negara mana putusan tersebut diajukan. Konvensi New York dalam hal ini, secara
khusus mengatur adanya suatu pembatalan putusan arbitrase asing yang hanya
bisa diajukan kepada dan hanya diputus oleh Pengadilan Negara anggota dimana
penyelesaian sengketa arbitrase tersebut diadakan (country of origin).
Mengacu pernyataan Albert Jan Van Den Berg pada sub-bab sebelumnya
yang mengatakan bahwa, Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New York 1958
memberikan dua pendekatan terhadap pembatalan putusan arbitrase asing:44
1.
Telah diterima secara umum bahwa pembatalan putusan arbitrase
asing merupakan jurisdiksi eksklusif yang dimiliki oleh Pengadilan
dimana arbitrase tersebut diadakan serta berdasar kepada hukum
arbitrase nasional Negara tersebut. Pengadilan di Negara anggota
Konvensi New York 1958 lainnya hanya dapat menentukan dapat
atau
tidaknya
putusan
tersebut
dilaksanakan.
43
Terhadap
Albert Jan Van Den Berg mengatakan bahwa, “The actions governed by the Convention
do not include the setting aside (vacatur, annulment) of anarbitral award,” sebagaimana tertulis
dalam Albert Jan Van Den Berg, “The New York Convention of 1958: An Overview”, op.cit., hlm.
4; Werner Melis, “Considering the advisability of preparing an additional Convention,
complementary to the New York Convention,” dalam “Enforcing Arbitration Awards under the
New York Convention”, (New York: United Nations Publications, 1999), hlm. 45
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
dijatuhkannya pembatalan putusan arbitrase asing tersebut oleh
Pengadilan country of origin adalah berdampak luas terhadap
pelaksanaannya di Negara-Negara anggota lainnya.
2.
Negara anggota lainnya dapat mengadopsi seluruh atau sebagian
dasar penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah
Negaranya. Sebagai contoh, UNCITRAL Model Law 1985 yang
menyediakan ketentuan penolakan tersebut dalam Pasal 34-nya
yang mengatur bahwa Pengadilan Negara anggota Konvensi New
York
1958
yang
telah
mengadopsi
Model
Law
dapat
mengesampingkan putusan arbitrase asing yang dijatuhkan
berdasarkan Konvensi New York 1958 dengan dasar yang
pengaturannya hampir mirip dengan dasar penolakan yang diatur
dalam Pasal V Konvensi tersebut.
Selanjutnya mengacu kepada pernyataan Albert Jan Van Den Berg,
UNCITRAL Model Law 1985 mengatur dalam Pasal 34-nya, beberapa kriteria
pengesampingan putusan arbitrase asing yang serupa dengan Konvensi New York
serta yang dapat diajukan kepada Pengadilan Nasional dalam jangka waktu 3
bulan setelah putusan arbitrase asing diterima dengan syarat bahwa pihak tersebut
telah melengkapi atau membuktikan kepada pejabat yang berwenang (Pengadilan)
44
Albert Jan Van Den Berg, mengatakan bahwa, “First, it is a generally accepted rule that
the setting aside of an arbitral award pertains to the exclusive jurisdiction of the courts in the
country of origin (i.e., the country in which, or – rather theoretically - under the law of which, the
award was made) and is to be adjudicated on the basis of the arbitration law of that country. This
rule appears to underlie the ground for refusal of enforcement set forth in Article V(1)(e) of the
Convention (“The award ... has been set aside ... by a competent authority of the country in which,
or under the law of which, that award was made”). The courts in the other Contracting States may
only decide under the Convention whether or not to grant enforcement of the award within their
jurisdiction; Second, a country may adopt all or most of the grounds for refusal of enforcement set
forth in Article V of the Convention as grounds for setting aside arbitral awards made within its
jurisdiction. An example is the UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration
of 1985 which provides in Article 34 that a court of a country that has adopted the Model Law may
set aside an arbitral award rendered under that Law (as implemented) on grounds that are virtually
identical to the grounds for refusal of enforcement listed in Article V of the Convention (except for
ground (1)(e)), sebagaimana tertulis dalam Albert Jan Van Den Berg, op.cit., hlm. 138-156
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
dimana pengakuan dan pelaksanaan tersebut dicari/dimintakan dengan alasanalasan, yaitu:45
a.
Bahwa pihak dalam arbitrase tidak berkapasitas terhadap putusan.
b.
Perjanjian arbitrase tidak valid dibawah hukum yang diterapkan.
c.
Pengumuman
atau
pemberitahuan
terhadap
penunjukkan
Pengadilan arbitrase ataupun persidangannya.
d.
Salah satu pihak tidak dapat mempertahankan kepentingannya
dalam pembelaan.
e.
Komposisi panel arbiter tidak sesuai dengan perjanjian para pihak
yang bersengketa.
f.
Bahwa subjek sengketa tidak dapat diselesaikan dibawah arbitrase
berdasarkan hukum nasional dari tempat diadakannya persidangan
arbitrase tersebut atau bertentangan dengan ketertiban umum dari
Negara tersebut.
Berdasarkan kepada penjelasan diatas, perlu digarisbawahi bahwa,
Konvensi New York tidak mengatur tentang pembatalan pelaksanaan putusan
arbitrase yang dapat dilakukan oleh Pengadilan Negara anggotanya, kecuali
pembatalan tersebut dilakukan oleh Negara tempat dimana arbitrase tersebut
diselenggarakan (country of origin). Selanjutnya, Konvensi New York mengatur
bahwa Pengadilan-Pengadilan Negara anggota lainnya yang bukan merupakan
country of origin dan competent authority hanya berfungsi sebagai forum yang
dapat memberikan exequatur terhadap pelaksanaan putusan arbitrase asing
tersebut di wilayah Negaranya.
Sehubungan dengan ketentuan pembatalan yang diatur oleh UNCITRAL
Model Law diatas, Negara-Negara anggota Konvensi New York pada dasarnya,
diberikan hak untuk mengadopsi sebagian atau keseluruhan ketentuan-ketentuan
pengesampingan/pembatalan sebagaimana diatur dalam UNCITRAL Model Law
sebagai acuan terhadap pengesampingan/pembatalan putusan arbitrase asing
45
Pasal 34, United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL)
Model Law 1985
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
maupun penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing di wilayah Negara yang
mengadopsinya tersebut.
Perlulah
digarisbawahi
bahwa
dasar
pembatalan
dan
penolakan
pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam UNCITRAL Model Law yang dapat
diadopsi oleh Negara-Negara anggota Konvensi New York tersebut, serta
diperbolehkannya penerapan dasar pembatalan dan penolakan pelaksanaan
putusan arbitrase asing di wilayahnya, tetap tidak melandasi pemberian hak
kepada Pengadilan suatu Negara untuk dapat membatalkan putusan arbitrase asing
yang dijatuhkan oleh badan arbitrase ketika Negara tersebut tidak menjadi tempat
diselenggarakannya penyelesaian sengketa arbitrase tersebut. Sesuai dengan
penjelasan sebelumnya, dibawah Pasal V ayat 1 (e) (yang tidak diadopsi dan
diterapkan Indonesia) Pengadilan Negara anggota yang bukan merupakan country
of origin (competent authority but not country of origin) hanyalah memperoleh
hak untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing terlepas Negara tersebut
mengadopsi UNCITRAL Model Law atau tidak.
Pada dasarnya, adopsi dasar-dasar pembatalan/pengesampingan putusan
arbitrase asing dibawah UNCITRAL Model Law hanyalah dapat digunakan sesuai
dengan ketentuan Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New York, yaitu apabila Negara
anggota yang mengadopsi ketentuan tersebut merupakan country of origin,
dimana badan arbitrase nasional yang didirikan berdasarkan hukum nasional
Negaranya, ditunjuk oleh para pihak investor maupun pelaku usaha bisnis dan
perdagangan internasional sebagai forum penyelesaian sengketa mereka. Negara
anggota yang telah mengadopsi ketentuan pembatalan putusan arbitrase asing
dilarang mempergunakan ketentuan tersebut untuk melindungi kepentingan
nasionalnya apabila pihak pelaku usaha Negaranya terlibat dalam sengketa
tersebut.
Selanjutnya, terhadap Competent authority yang bukan merupakan
country of origin, putusan arbitrase asing yang hanya dapat diajukan pelaksanaan
ataupun penolakan sebagai perlawanan (challenge) terhadap kewenangan badan
arbitrase terhadap penjatuhan putusan arbitrase yang telah diputuskan dan
salinannya telah diberikan kepada para pihak. Konvensi New York hanya
memberikan hak kepada Negara anggotanya sebatas penolakan pelaksanaan
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
putusan arbitrase asing yang disertai dengan adanya pembuktian yang konkret
dalam persidangan arbitrase nantinya.
Alan Redfern dan Martin Hunter memberikan beberapa dasar untuk dapat
mengajukan keberatan terhadap penjatuhan putusan arbitrase oleh badan arbitrase
asing:46
1.
Badan arbitrase asing tersebut kurang memiliki jurisdiksi untuk
menjatuhkan putusan arbitrase (arbitrability).
Ketentuan ini mengacu kepada adanya fakta yang didasari oleh
perjanjian antara pihak yang bersengketa, dimana kemudian
perjanjian tersebut dapat membuktikan bahwa Badan arbitrase
tersebut: (i) tidak dibentuk secara tepat, (ii) tidak berkompetensi
untuk menjatuhkan putusan terhadap subjek sengketanya; dan (iii)
subjek sengketa tersebut dapat diajukan penyelesaian sengketa di
hadapan arbitrase.
2.
Kurangnya asas due process of law.
Dalam ketentuan ini, pihak yang bersengketa tidak diberitahukan
terhadap adanya pembentukan panel arbiter ataupun terhadap
adanya persidangan arbitrase itu sendiri
3.
Perjanjian yang dibentuk para pihak yang bersengketa tidak valid.
Perjanjian yang dibentuk oleh para pihak tidak menyebutkan
arbitrase sebagai penyelesaian sengketa diantara mereka.
4.
Permasalahan jurisdiksi
Pengadilan arbitrase melampaui kewenangannya dalam memutus
sengketa antara para pihak dimana sengketa tersebut tidak
didaftarkan kepada Pengadilan.
5.
Ketertiban Umum
Adanya
ketertiban
umum
yang
dilanggar
dapat
diajukan
pengesampingan atau pembatalan berdasarkan definisi dari
ketertiban
umum
tersebut
dimana
setiap
Negara
menentukan definisi dari ketertiban umum itu sendiri.
46
Alan Redfern, op.cit., hlm. 425-431
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
berhak
Melihat kepada penjelasan-penjelasan diatas, dapatlah disimpulkan bahwa,
Konvensi New York tidaklah memberikan pengaturan terhadap pembatalan
putusan arbitrase internasional. Konvensi New York hanyalah memberikan suatu
gambaran kepada Negara anggotanya tentang siapa yang berwenang untuk
menjatuhkan pembatalan. Prof. Hikmahanto Juwana menambahkan bahwa,
pembatalan biasanya tidak diatur dalam konteks perjanjian internasional, tetapi
diatur dalam konteks hukum nasional suatu Negara.47
Bila melihat kepada pengaturan dan praktek pelaksanaan penolakan
putusan arbitrase di Indonesia merupakan fakta yang sangat memprihatinkan
mengingat Hal ini merupakan suatu fakta yang memprihatinkan mengingat, (i)
Konvensi New York tidak mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase asing di
wilayah Negara yang bukan merupakan Country of Origin;
(ii) berdasarkan
Konvensi New York 1958, Indonesia yang pada faktanya, sering menjadi Negara
yang bukan merupakan country of origin, sering melakukan pembatalan terhadap
putusan arbitrase asing yang dijatuhkan oleh badan arbitrase Negara anggota
Konvensi New York lainnya; (ii) ketertiban umum digunakan sebagai dasar
pembatalan putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik Indonesia, pada
kenyataannya, tidak jelas pengaturan definisinya; (iii) tidak ada definisi pasti
tentang ketertiban umum (iv) dasar ketertiban umum tersebut bukanlah dasar
pembatalan putusan arbitrase asing, melainkan sebagai dasar penolakan
pelaksanaan putusan arbitrase asing; dan (v) dimana, dasar ketertiban umum yang
merupakan dasar penolakan pelaksanaan (bukan pembatalan) dibawah UU
arbitrase Indonesia tersebut, kewenangan penolakan putusan arbitrase asingnya
sepenuhnya dimiliki oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (tidak dimohonkan).
Berdasar kepada tidak sesuainya ketentuan UU arbitrase Indonesia, maka,
perlulah dilakukan amandemen terhadapnya, khususnya amandemen terhadap
penerapan ketentuan penolakan dan pembatalan dengan mengadopsi ketentuan
pasal pembatalan dan penolakan yang telah diterima oleh dunia internasional
secara universal.
47
Hikmahanto Juwana, op.cit., hlm. 84
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Indonesia pada dasarnya, dapat mengatur UU arbitrasenya secara lebih
detail dan dapat mengadopsi sebagian atau seluruh ketentuan UNCITRAL Model
Law 1985 sebagai landasan pengaturan UU arbitrase Indonesia, dan terhadap
ketentuan yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional Negara Indonesia, dapat
dilakukan perubahan demi tercapainya aspek hukum penyelesaian sengketa secara
keseluruhan. Cara lainnya yang dapat ditempuh oleh Indonesia adalah dengan
merubah secara keseluruhan ketentuan penolakan dan pembatalan yang diatur
dalam UU 30/1999 sehingga menjadi komprehensif sehingga seperti ketentuan
yang diatur UNCITRAL Model Law tanpa harus mengadopsinya seperti Inggris.
Sebagai suatu Negara yang telah meratifikasi Konvensi New York 1958
seharusnya Indonesia lebih aware dan careful dalam pembentukan UndangUndangnya agar dapat melaksanakan kewajiban internasionalnya yang diatur
dalam Konvensi yang telah diratifikasinya tersebut, oleh karena itu, maka UU
30/1999 perlu diamandemen. Setiawan menambahkan bahwa, “di dalam
kesempatan ini, kalau kita memang mau konsisten masuk ke dunia global,
memang kita tidak bisa menghindarkan diri untuk mengikuti apa yang sudah
disepakati di dunia luar.”48
C.
Penerapan dan Pelaksanaan Konvensi New York dalam UU 30 Tahun
1999 mengalami Banyak Hambatan
Sebagaimana telah dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya, sebelum
hukum arbitrase Indonesia yaitu UU 30/1999 diundangkan, pada dasarnya
Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang membahas arbitrase secara
khusus terutama arbitrase internasional. Perma 1/1990 merupakan satu-satunya
perangkat hukum diluar Undang-Undang yang secara khusus telah mengatur tata
cara pelaksanaan arbitrase asing di Indonesia, hanya saja dalam pelaksanaannya,
Perma ini masih tumpang tindih dengan hukum acara perdata Indonesia yang
tidak menerima putusan luar negeri untuk dapat dilaksanakan di Indonesia. Belum
adanya peraturan khusus tersebut membawa Indonesia ke dalam suatu kondisi
dimana pihak investor asing maupun pelaku usaha transaksi bisnis serta
48
Winata E. Kusnandar, op.cit., hlm. 81
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
perdagangan internasional tidak percaya dengan penyelesaian sengketa yang
dilaksanakan di Indonesia. Hal tersebut sudah dibuktikan dengan banyaknya
putusan-putusan perkara arbitrase yang diputuskan oleh badan arbitrase asing
tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.
Diundangkannya UU 30/1999 sebagai UU arbitrase pertama Indonesia,
dimana di dalamnya, pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dibahas
secara khusus dalam Bab terpisah dan komprehensif, diharapkan dapat
memperbaiki pengaturan terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak
secara khusus membahas tentang arbitrase sebelum UU tersebut diundangkan,
serta berdasar kepada fakta bahwa meskipun Pemerintah Indonesia telah terikat
peraturan-peraturan internasional yang berkaitan dengan arbitrase. Pada
kenyataannya, akan tetapi, UU tersebut belumlah dapat mengakhiri kesulitan
pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia.49
Berdasar kepada fakta-fakta diatas. dapat dikatakan bahwa, UU 30/1999
belum dapat mengakomodir pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing
secara efektif di Indonesia. Ketidakefektifan hukum arbitrase yang diatur dalam
UU 30/1999 akan berakibat kepada suatu ketidakpastian serta ketiadaan jaminan
hukum yang dapat diberikan kepada suatu subjek dan objek hukum yang
diaturnya. Oleh karena itu, UU 30/1999 dapat dikatakan belum dapat memberikan
suatu jaminan dan kepastian hukum sehubungan dengan putusan arbitrase asing
yang dijatuhkan oleh badan arbitrase asing untuk dapat diakui dan dilaksanakan di
Indonesia. Beberapa hambatan dalam pelaksanaan UU 30/1999 disebabkan karena
substansi UU 30/1999 yang tidak serupa dengan ketentuan Konvensi New York,
aparat Hukum kurang mendukung pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
asing di Indonesia, serta budaya Hukum masyarakat terhadap arbitrase asing
Lemah karena Landasan Prinsip Teritorial.
C.1. Substansi Hukum Arbitrase Indonesia tidak Serupa dengan Ketentuan
Konvensi New York
49
Wisnu Aryo Dewanto, “Tinjauan Hukum Mengenai Sulitnya Melaksanakan Putusan
Arbitrase,” Jurnal Yustika, Volume 7 Nomor 2, Desember 2004, hlm. 361
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Pada dasarnya, Konvensi New York 1958 telah memberikan suatu
pengaturan yang spesifik tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
asing dalam lingkup hukum internasional untuk kemudian diterapkan ke dalam
hukum nasional negara anggotanya. Ketentuan-ketentuan mengenai pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang diatur Konvensi ini telah menjadi
universalitas ketentuan yang digunakan oleh banyak negara di dunia internasional.
Sehubungan dengan penerapan ketentuan pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase asing dibawah Konvensi New York 1958, substansi hukum
arbitrase Indonesia dalam UU 30/1999 yang merupakan unsur yang sangat
penting dalam sistem hukum, telah mengatur pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase asing yang cukup jelas dan tegas, bila dibandingkan dengan masa
sebelum adanya pengaturan yang secara khusus mengatur tentang arbitrase asing
(sebelum adanya UU No. 30 Tahun 1999). Hal tersebut ternyata masih belum
dapat memberikan suatu titik tolak kepastian hukum penyelesaian sengketa yang
dapat membuktikan bahwa UU arbitrase Indonesia sudah dapat menerima suatu
putusan arbitrase yang dijatuhkan oleh badan arbitrase asing. Terdapat beberapa
hal yang menunjukkan bahwa substansi UU 30/1999 sebagai UU yang khusus
mengatur tentang arbitrase kurang dapat mengakomodir pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
C.1.a.
UU
30/1999
tidak
Menerapkan
Ketentuan
Pengakuan
dan
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Konvensi New York 1958
Diratifikasinya Konvensi New York 1958 oleh Indonesia pada dasarnya
telah menunjukkan penerimaan Indonesia terhadap ketentuan-ketentuan yang
diatur didalamnya serta menunjukkan kesiapan Indonesia dalam menerapkan
ketentuan-ketentuannya dalam UU arbitrase sehingga memiliki dampak
pelaksanaan Konvensi dalam lingkup hukum internasional. Namun pada
kenyataannya, UU 30/1999 tidak menerapkan ketentuan pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana diamanatkan Konvensi New
York 1958.
Sebelum memasuki pembahasan tentang UU 30/1999 tidak menerapkan
ketentuan Konvensi New York 1958, kita perlu melihat dasar-dasar penerapan
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
ketentuan-ketentuan arbitrase asing yang dibahas dalam UU 30/1999. Dapat kita
lihat ketentuan yang mengatur tentang definisi putusan arbitrase asing di UU
30/1999, yaitu pada Pasal 1 ayat 9 yang menyatakan bahwa,50 “putusan Arbitrase
Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau
arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu
lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum
Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional,”
cukup membuktikan bahwa, suatu putusan arbitrase internasional akan diakui
sebagai suatu putusan arbitrase asing, apabila ketentuan hukum Republik
Indonesia mengatur tentang hal tersebut. Hal ini membuktikan serta memberikan
garis batas yang jelas bahwa apabila hukum Indonesia mengatur bahwa putusan
tersebut merupakan suatu putusan arbitrase internasional, maka putusan tersebut
diakui oleh hukum Indonesia sebagai putusan arbitrase asing yang dapat
dilaksanakan di Indonesia, namun sebaliknya, bila hukum Indonesia tidak
mengatur putusan tersebut sebagai putusan arbitrase asing didasarkan oleh
beberapa alasan, maka putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.
Selanjutnya, melihat definisi tentang “putusan arbitrase asing” yang diatur
dibawah Konvensi New York mengacu kepada dua definisi yaitu:
1.
Putusan yang dijatuhkan dalam teritori Negara lain diluar dari
Negara dimana pengakuan dan pelaksanaan putusan dimohonkan.51
Menurut ketentuan ini, pihak Negara anggota menyetujui terhadap
putusan yang dibuat di negara manapun.
2.
Putusan yang dijatuhkan dalam teritori negara anggota Konvensi
New York lainnya.52
50
Pasal 1 ayat 9, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN
Nomor 3872
51
Pasal I ayat 1, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral
Awards 1958 (New York Convention)
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Ketentuan ini merupakan permohonan reservasi yang disediakan oleh
Konvensi ini untuk diterapkan dalam hukum nasional mereka berdasarkan
pasal XIV, dimana, ketika reservasi ini dibuat, maka pihak negara yang
melakukan reservasi tersebut hanya mengakui pengakuan dan pelaksanaan
terhadap putusan arbitrase asing yang dijatuhkan oleh badan arbitrase yang
terletak di Negara anggota Konvensi New York (Asas Resiprositas).
Definisi putusan arbitrase asing dalam UU 30/1999 serta pengaturan definisi
dibawah Konvensi New York, kemudian secara lebih lanjut dijelaskan dalam Bab VI, UU
30/1999 (bab yang secara khusus mengatur tentang arbitrase internasional) dalam Pasal
66-nya yang mengatur bahwa:53
“Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum
Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral
maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional;
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada
putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum
perdagangan.”
Pasal ini menandakan bahwa Indonesia mengakui dan melaksanakan putusan
arbitrase asing dalam wilayahnya apabila Indonesia memiliki hubungan yang terikat
melalui perjanjian bilateral maupun multilateral dengan negara lain sehubungan dengan
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional (asas resiprositas), serta yang
termasuk dalam lingkup hukum dagang. Adanya ketentuan pasal tersebut, berarti
52
Pasal I ayat 3, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards
1958 (New York Convention)
53
Pasal 66, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Indonesia telah menjalankan ketentuan asas resiprositas yang dianut Konvensi New York
1958. Telah dijelaskan pada Bab-Bab sebelumnya, Indonesia telah menjadi negara
anggota Konvensi New York dan mengikatkan diri kepada Konvensi tersebut dengan
diundangkannya Keppres 34/1981 sebagai wujud ratifikasi Indonesia terhadap Konvensi
tersebut. Diterbitkannya Keppres 34/1981 yang menganut asas resiprositas kemudian
diikuti oleh penerbitan Perma 1/1990 yang berlandaskan asas yang sama pula. Kehadiran
UU 30/1999 sendiri, pada dasarnya merupakan suatu penerapan asas resiprositas yang
ada dalam Keppres 34/1981 dan Perma 1/1990, akan tetapi, terdapat suatu hal yang
menarik dalam UU 30/1999 ini yang kemudian menimbulkan beberapa pertanyaan
terhadap konsistensi Indonesia sebagai negara anggota Konvensi New York 1958 dan
kompetensi UU 30/1999 sebagai UU penerapan ketentuan Konvensi tersebut.
Pada kenyataannya, UU 30/1999 tidak mendasari ketentuan pengakuan dan
pelaksanaan arbitrase asingnya sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi New York
1958, walaupun Undang - Undang ini telah mengakomodir pengakuan dan pelaksanaan
arbitrase asing sebagaimana diatur dalam Konvensi New York 1958. Hal ini dapat
dibuktikan pada sedikitnya ketentuan Konvensi New York yang diadopsi dan diterapkan
serta yang paling krusial terletak di bagian Konsideran UU 30/1999 dimana bagian
Konsideran UU 30/1999 tidak mempertimbangkan adanya Konvensi New York sebagai
landasan pengaturan arbitrase asing dalam Pasal-pasalnya. UU 30/1999 bahkan tidak
mempertimbangkan adanya beberapa peraturan yang telah ada sebelumnya sebagai
peraturan yang melaksanakan ketentuan Konvensi New York, yaitu Keppres 34/1981 dan
Perma 1/1990. Adapun bagian Konsideran yang dimaksud dalam UU 30/1999 tersebut
mempertimbangkan bahwa:54
a.
bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa
perdata di samping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan
melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa;
54
Konsideran, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
b.
bahwa peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk penyelesaian sengketa
melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum
pada umumnya;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu
membentuk Undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Konsideran yang tidak merunut kepada pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase asing sebagaimana dimaksud dalam Konvensi New York 1958 serta Keppres
34/1981 dan Perma 1/1990, menunjukkan bahwa Indonesia tidak mempertimbangkan
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dibawah Konvensi New York 1958.
Ketentuan mengenai Konsideran sebagai dasar pertimbangan diundangkannya UU
30/1999 adalah sangat berbeda dengan Konsideran yang digunakan dalam Perma 1/1990.
Dimana, Konsideran Perma 1/1990 tersebut menimbang:55
1. Bahwa dengan disahkan "Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Awards " (New York Convention 1958) dengan Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981, dipandang perlu untuk menetapkan
peraturan tentang tata cara pelaksanaan suatu putusan Arbitrase Asing.
2. Bahwa ketentuan-ketentuan hukum acara perdata Indonesia sebagaimana terdapat dalam
Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Stbl. 1914 No. 44), Reglemen Daerah-daerah Luar
Jawa dan Madura (S. 1927-227) maupun ketentuan-ketentuan Reglement op de
Rechtsvordering (S. 1847-52 yo 1849-63) tidak memuat ketentuan mengenai pelaksanaan
suatu putusan Arbritase Asing.
3. Bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk menuangkan ketentuan-ketentuan
tentang tata cara pelaksanaan suatu putusan Arbitse Asing itu dalam suatu peraturan
Mahkamah Agung.”
Merupakan suatu hal yang sangat menarik apabila kita melihat kepada Konsideran
UU 30/1999, dan menganggap UU 30/1999 sebagai Undang - Undang yang secara
khusus mengatur tentang arbitrase asing dan secara pasti telah mengakomodir ketentuan
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang diamanatkan Konvensi New
55
Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
York dalam Pasal-Pasalnya. Undang - Undang ini, pada dasarnya tidak melandasi
Konvensi New York 1958 sebagai landasan pertimbangan pengundangannya, serta tidak
memperhatikan dan menimbang Keppres 34/1981 yang secara khusus telah mengatur
tentang pengakuan dan pengesahan Konvensi New York 1958 dan Perma 1/1990 yang
telah secara khusus mengatur tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing di
Indonesia.
Berdasar kepada fakta tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa konsistensi
Indonesia sebagai negara anggota Konvensi New York adalah tidak jelas, serta UU
30/1999 bukanlah Undang - Undang yang berkompeten untuk mengakui dan
melaksanakan putusan arbitrase asing dibawah Konvensi New York 1958 karena tidak
mengadopsi dan menerapkan ketentuan Konvensi tersebut dalam pengaturannya terhadap
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.
Pertanyaan yang selanjutnya muncul dari pemaparan diatas adalah apakah
kemudian putusan arbitrase asing yang diputus oleh badan arbitrase asing yang memiliki
perjanjian dengan Indonesia tetap diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah Negara
Republik Indonesia. Berdasar kepada persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 66,
Penulis menyatakan bahwa putusan-putusan tersebut tetap diakui dan dapat dilaksanakan
di Indonesia, hanya saja ketentuan yang terdapat dalam UU 30/1999 tidak dapat
dikatakan sebagai peraturan yang khusus mengatur pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase asing sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi New York 1958.
C.1.b.
UU 30/1999 tidak friendly dengan Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing
Sama halnya dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
arbitrase sebelumnya, UU 30/1999 juga dianggap tidak friendly dengan putusan arbitrase
asing. Serupa dengan pembahasan sebelumnya, dimana UU 30/1999 tidak menerapkan
ketentuan-ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang
komprehensif dalam Pasal-Pasalnya sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi New York
1968.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Tidak friendly-nya UU 30/1999 ditunjukkan dalam Pasal 67 yang mengatur
bahwa:56
1. Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut
diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
2. Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
disertai dengan:
a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal
otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase
Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan
resminya dalam bahasa Indonesia; dan
c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan
Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon
terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik
Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Ketentuan pengakuan dan pelaksanaan dalam UU 30/1999 sangatlah berbeda bila
dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi New York 1958
dan UNCITRAL Model Law 1985, dimana ketentuan pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase asing dibawah Pasal-Pasal mereka sangatlah mudah dan tegas.
Sebagaimana ketentuan Pasal IV Konvensi New York mengatur bahwa:57
1. Untuk memperoleh pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase asing yang diatur
dalam pasal-pasal sebelum ini, pihak yang memohon pengakuan dan pelaksanaan, pada saat
mengajukan permohonan harus menyediakan:
a. melampirkan/menyerahkan putusan asli arbitrase atau salinan yang telah disahkan secara
resmi sesuai dengan aslinya.
56
Pasal 67, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872
57
Pasal IV, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958
(New York Convention)
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
b. melampirkan/menyerahkan asli surat perjanjian atau salinan yang telah disahkan secara
resmi.
2. Sekiranya putusan maupun perjanjian tersebut belum dibuat atau diterjemahkan ke dalam
bahasa resmi Negara tempat dimana permohonan diajukan, yang bersangkutan harus
menyampaikan terjemahannya yang harus dibuat oleh penerjemah tersumpah atau badan
resmi maupun pejabat diplomatik atau konsuler.
Selanjutnya dalam Pasal 35 Model Law 1985 yang menentukan bahwa:58
1. Sebuah putusan arbitrase, terlepas dari tempat dijatuhkannya putusan tersebut, harus
dianggap mengikat dan terhadap adanya permohonan dalam bentuk tertulis yang ditujukan
kepada suatu Negara, harus dilaksanakan sesuai dengan Pasal ini dan Pasal 36.
2. Pihak yang memohon pelaksanaan putusan arbitrase asing harus menyerahkan atau
melampirkan putusan asli arbitrase atau salinan yang telah disahkan secara resmi sesuai
dengan aslinya serta melampirkan/menyerahkan asli surat perjanjian atau salinan yang telah
disahkan secara resmi. Sekiranya putusan ataupun perjanjian tersebut tidak dibuat dalam
bahasa resmi Negara yang dimohonkan pelaksanaannya, pihak yang memohon pelaksanaan
tersebut harus menyerahkan terjemahan yang resmi (penerjemah tersumpah atau badan resmi
maupun pejabat diplomatik atau konsuler) ke dalam bahasa resmi tersebut.
Melihat ketentuan tentang permohonan pelaksanaan putusan arbitrase asing
sebagaimana diatur oleh ketiga perangkat hukum diatas, dapatlah disimpulkan bahwa UU
30/1999 tidak bersahabat terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di
dalam wilayah Negara Republik Indonesia karena mengatur persyaratan pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam konteks yang sulit dan/atau merepotkan pihak
yang ingin memohon pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut. Konvensi New York
dan UNCITRAL Model Law 1985 yang mengatur hal yang serupa, telah membuktikan
bahwa prosedur pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing pada dasarnya adalah
simple, tidak merepotkan dan pasti.
C.1.c.
Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing dalam UU
30/1999 Tidak Konsekuen
58
Pasal 35, United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Model Law
1985
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Bila kita melihat ketentuan yang diatur dalam Pasal 66 (d), UU 30/1999,
dijelaskan bahwa,59 “putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia
setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.” Dengan
adanya ketentuan tersebut, maka putusan arbitrase internasional/asing dalam ketentuan
ini dapat dilaksanakan setelah memperoleh exequatur oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
Hal ini disatu sisi akan sangat berbeda dengan putusan arbitrase asing ketika
melibatkan Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihaknya, dimana ketentuan
tersebut menambah sisi tidak friendly-nya UU 30/1999. Pasal 66 (e) mengatur bahwa,60
“putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut
Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat
dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.”
Berdasarkan kepada kedua ketentuan diatas, maka sebenernya, siapakah yang
menjatuhkan exequatur terhadap pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah
hukum Negara Indonesia, mengapa hal ini dibedakan ketika melibatkan Negara Republik
Indonesia sebagai salah satu pihaknya. Hal ini berakibat kepada ketidakadilan kepada
pelaku usaha asing yang ingin memohon pelaksanaan putusan arbitrase asing dan
kemungkinan suatu permohonan tersebut ditolak adalah sangat tinggi, mengingat pihak
Negara Indonesia terlibat disini, dan permohonan pelaksanaan kemungkinan akan ditolak
demi untuk melindungi kepentingan nasional.
Sebagaimana telah terjadi dalam perkara-perkara arbitrase yang melibatkan pihak
pelaku usaha Indonesia, (Nizwar Case, Bakrie Brother Case, dll), dimana ketertiban
umum diberlakukan demi melindungi kepentingan nasional.61 Walaupun kedua perkara
59
Pasal 66 (d), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872
60
Pasal 66 (e), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
tersebut merupakan contoh ketika UU 30/1999 belum diberlakukan, namun terlihat jelas
bahwa kepentingan nasional dalam hal ini sangatlah dilindungi.
Pada dasarnya, Indonesia dapat melindungi kepentingan nasional dengan
mengaturnya kedalam UU arbitrasenya secara jelas dengan tetap tidak membeda-bedakan
perlakuan terhadap pelaku usaha asing. Hal ini mengakibatkan Indonesia tidak
menjunjung tinggi asas penanaman modal, yaitu asas perlakuan yang sama dan tidak
membedakan asal Negara, asas efisiensi berkeadilan, asas kepastian hukum; asas
transparansi / keterbukaan; asas akuntabilitas.62
C.1.d. Pengaturan Landasan Penolakan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Indonesia
sangatlah Sempit Cakupannya dan Tidak Jelas
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Sub-bab sebelumnya, bahwa pada
kenyataannya, ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang
diamanatkan oleh Konvensi New York belum sepenuhnya diterapkan dalam lingkup
sistem tata hukum nasional Indonesia, khususnya dalam UU 30/1999. Belum
diterapkannya ketentuan Konvensi tersebut dapat dilihat dari adanya ketentuan dalam UU
30/1999 mengenai penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah
Republik Indonesia yang cakupannya sangat sempit bila dibandingkan dengan ketentuan
yang diatur dalam Konvensi New York 1958.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pula bahwa, Konvensi New York telah
secara jelas menetapkan dan mengatur landasan-landasan penolakan pelaksanaan putusan
arbitrase asing yang dapat diadopsi oleh Negara-Negara anggotanya dalam Pasal V-nya
yang mengatur bahwa:63
61
Lihat Bab III
62
Pasal 3 (1), Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Penanaman Modal, UU Nomor 25
Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724 Tahun 2007
63
Pasal V, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958
(New York Convention)
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
1. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dapat ditolak, berdasarkan permohonan dari
salah satu pihak yang mengajukan, apabila pihak tersebut telah melengkapi atau
membuktikan kepada pejabat yang berwenang (Pengadilan) dimana pengakuan dan
pelaksanaan tersebut dicari/dimintakan dengan alasan-alasan:
a. Menurut hukum yang berlaku, para pihak tidak berwenang membuat perjanjian arbitrase,
yang disebut sebagai incapacity atau onbevoegd. Ketidakwenangan tersebut mungkin
oleh karena salah satu pihak masih dibawah umur. Atau salah satu pihak berada dibawah
kuratela. Atau menurut hukum yang berlaku pada Negara tempat mana permohonan
eksekusi diminta dianggap tidak berwenang untuk membuat perjanjian.
b. Salah satu pihak tidak diberitahu atas penunjukkan arbiter ataupun atas adanya
persidangan arbitrase maupun tidak memperoleh kesempatan yang wajar untuk
melakukan pembelaan dalam mempertahankan kepentingannya.
c. Putusan arbitrase yang dijatuhkan tidak sesuai dengan penegasan yang diberikan, putusan
yang dimohon eksekusinya tidak sesuai dengan penegasan yang dilimpahkan, atau
putusan menyimpang dari pokok sengketa yang diperjanjikan.
d. Pengangkatan arbiter atau prosedur persidangan arbitrase menyimpang dari perjanjian
yang dibuat oleh pihak yang bersengketa atau gagal dalam perjanjian tersebut dan tidak
sesuai dengan hukum nasional dari Negara dimana putusan arbitrase dijatuhkan.
e. Putusan arbitrase yang bersangkutan belum mengikat atau putusan tersebut telah
dikesampingkan maupun telah ditunda eksekusinya oleh Pengadilan di Negara mana
putusan tersebut diajukan.
2. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dapat pula ditolak apabila Pejabat yang
berwenang
dalam
suatu
Negara
dimana
pengakuan
dan
pelaksanaan
tersebut
dicari/dimintakan menemukan bahwa:
a.
Masalah yang disengketakan menurut hukum dari Negara di tempat mana permohonan
diajukan, tidak boleh diselesaikan melalui forum arbitrase.
b.
Pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing yang bersangkutan akan menimbulkan
pertentangan dengan “ketertiban umum”.
Selanjutnya, sebagai perbandingan tambahan, UNCITRAL Model Law 1985 juga
telah mengatur secara jelas alasan-alasan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing
kepada Negara yang mengadopsinya dalam Pasal 36-nya, yang menentukan bahwa:
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
1.
Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing, terlepas dari tempat di Negara mana
putusan tersebut dijatuhkan, hanya dapat ditolak:64
a.
berdasarkan permohonan dari salah satu pihak yang mengajukan, apabila pihak tersebut
telah melengkapi atau membuktikan kepada pejabat yang berwenang (Pengadilan)
dimana pengakuan dan pelaksanaan tersebut dicari/dimintakan dengan alasan-alasan:
a.
Menurut hukum yang berlaku, para pihak tidak berwenang membuat perjanjian arbitrase,
yang disebut sebagai incapacity; atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak adalah tidak valid
dibawah hukum dimana putusan arbitrase tersebut dijatuhkan;
b.
Pihak yang mengajukan permohonan tidak diberitahu atas penunjukkan arbiter ataupun atas
adanya persidangan arbitrase maupun tidak memperoleh kesempatan yang wajar untuk melakukan
pembelaan dalam mempertahankan kepentingannya.
c.
Apabila putusan yang dijatuhkan tidak sesuai dengan ketentuan sengketa yang diatur dalam
penegasan penyelesaian sengketa arbitrase yang diberikan, atau mengandung putusan terhadap subjek
sengketa tidak sesuai dengan dengan penegasan yang dilimpahkan atau Putusan yang dijatuhkan tidak
sesuai dengan atau diluar kompetensi jurisdiksi penanganan subjek sengketa Pengadilan arbitrase
yang memutus.
d.
Komposisi panel arbiter tidak sesuai dengan perjanjian para pihak yang bersengketa.
e.
Putusan arbitrase belum mengikat atau telah dikesampingkan atau ditunda pelaksanaannya
oleh Pengadilan Nasional yang berada di satu teritori dengan tempat diselenggarakannya persidangan
arbitrase.
b.
Apabila Pengadilan tersebut menemukan bahwa:
i.
Masalah yang disengketakan tidak dapat diselesaikan melalui forum arbitrase
menurut hukum dari Negara di tempat mana permohonan diajukan.
ii. Pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing yang bersangkutan akan
menimbulkan pertentangan dengan “ketertiban umum”.
2. Apabila permohonan terhadap pengesampingan atau penundaan pelaksanaan putusan arbitrase telah
diajukan kepada Pengadilan yang diatur dalam Pasal (1)(a)(v) UNCITRAL Model Law, Pengadilan
yang dimintakan pengakuan dan pelaksanaan putusan dapat, apabila dianggap pantas, menunda
putusannya dan juga, berdasar kepada permohonan pihak yang memohon pengakuan dan pelaksanaan
64
Pasal 36, United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Model Law
1985
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
putusan arbitrase tersebut, memerintahkan pihak yang tidak memohonkan pelaksanaan untuk
memberikan jaminan yang pantas.
Sehubungan dengan penolakan yang diatur oleh Konvensi New York dan
UNCITRAL Model Law 1985, di bawah UU arbitrase Indonesia, yaitu UU 30/1999,
diatur bahwa suatu putusan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan berdasarkan tiga hal
yaitu:
1.
Putusan arbitrase internasional yang dijatuhkan bukan berasal dari badan
arbitrase di negara anggota Konvensi New York.
2.
Putusan arbitrase internasional bukan merupakan sengketa dagang
internasional.
Dibawah Konvensi New York 1958, suatu putusan arbitrase untuk dapat
diakui dan dilaksanakan oleh suatu Pengadilan Nasional Negara yang
dimohonkan pelaksanaannya memang harus berupa sengketa dagang.65
Ketentuan Pasal ini tidaklah bertentangan dengan ketentuan Konvensi
New York 1958 dan telah dipertegas dalam Lampiran Perpres 34/1981
yang mengatur bahwa, “pelaksanaan penerapan Konvensi hanya terbatas
mengenai perselisihan yang timbul secara sah dari perjanjian yang
berkenaan dengan bidang Hukum Perdagangan menurut Hukum Dagang
Indonesia.”66 Pasal 66 UU 30/1999 juga telah mengatur bahwa perniagaan;
perbankan; keuangan; penanaman modal; industri; dan hak kekayaan
intelektual termasuk kedalam unsur Hukum Dagang Indonesia.67
65
Pasal I (c), Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958
(New York Convention)
66
M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 50
67
Penjelasan Pasal 66 (b), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor
3872
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
3.
Putusan bertentangan dengan ketertiban umum.
Poin yang mengatur tentang ketertiban umum terdapat dalam Pasal 66 (c)
UU 30/1999. UU 30/1999 hanya memberikan suatu pembatasan
pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah Negara Republik
Indonesia yang tidak bertentangan terhadap ketertiban umum, dimana,
definisi terhadap terminologi “ketertiban umum” itu sendiri tidaklah
diberikan oleh UU 30/1999.68
Melihat kepada landasan penolakan yang diatur dalam UU 30/1999, dapatlah
dilihat bahwa, UU arbitrase Indonesia hanya mengatur sedikit ketentuan tentang
penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayahnya. Ditambah dengan
tidak adanya ketentuan yang mengatur tentang definisi dari “ketertiban umum” sangatlah
menunjukkan bahwa UU arbitrase Indonesia tidak mengatur secara jelas dan tegas
pelaksanaan putusan arbitrase asing di Negara Indonesia.
Berdasarkan kepada fakta-fakta diatas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa UU
30/1999 pada dasarnya, tidak menerapkan ketentuan penolakan sepenuhnya dan
mencerminkan semangat Konvensi New York, walaupun Indonesia telah meratifikasi
Konvensi tersebut. Dalam prakteknya, pelaksanaan dan interpretasi terhadap UU 30/1999
pun menimbulkan beberapa kontroversi bahkan sengketa-sengketa antara para pihak, dan
pada akhirnya, Pengadilan Negeri berperan kembali terhadap pelaksanaan dan penafsiran
hukum arbitrase tersebut.69
68
Pasal 66 (c), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872
69
Huala Adolf mengatakan bahwa, “The Law however does not embody or even reflect the spirit
of the New York Convention, despite Indonesia ratified the Convention. In practice, as one may envisage,
the implementation and the interpretation of the Law yield controversies or even dispute between the
parties. In the face of it, the district court, again, play its role in enforcing and interpreting the Arbitration
Law,” sebagaimana tertulis dalam “Improving the Enforcement of International Arbitration Awards in
ASEAN Countries”, op.cit., hlm. 5
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
C.2. Aparat Hukum Kurang Mendukung Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing di Indonesia
Unsur dari sistem hukum yang turut menentukan terciptanya kepastian hukum
adalah aparatur hukum. Menurut Friedman, aparatur hukum atau structure sebagai bagian
dari sistem hukum meliputi institusi-institusi eksekutif, judikatif dan legislatif.
Komponen struktur hukum merupakan representasi dari aspek institusional yang
memerankan pelaksanaan hukum dan pembuatan undang-undang. Struktur dalam
implementasinya merupakan sebuah keseragaman yang berkaitan satu dengan yang lain
dalam suatu sistem hukum.70
Pada saat krisis ekonomi, aparatur hukum Indonesia kurang mendukung
peningkatan investasi, hal ini dapat dilihat dari sisi legislatif, eksekutif dan yudikatif,
antara lain:71
1.
Sejak era reformasi, telah terjadi pergeseran kekuasaan dimana legislatif
lebih dominan dibandingkan dengan eksekutif pada masa orde baru.
2.
Undang-Undang yang dilahirkan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) tidak
dapat menciptakan stability karena tidak dapat menyeimbangkan
kepentingan yang saling bersaing di masyarakat.
3.
Undang-Undang
menciptakan
yang
dilahirkan
predictability,
oleh
sehingga
DPR
setiap
juga
kurang
dapat
orang
tidak
dapat
memperkirakan langkah-langkah atau perbuatan yang dilakukan.
4.
Pada tahap implementasi, Undang-Undang yang dilahirkan DPR tidak
disertai norma-norma pelaksanaannya, tidak diikuti dengan
perintah
kepada institusi atau tidak dilengkapi dengan prosedur dan prasarana yang
seharusnya menjadi bagian dari Undang-Undang tersebut, hingga akhirnya
70
Lawrence M. Friedman, Legal Theory, (London: Macmillan Press, 1998), hlm. 5, sebagaimana
tertulis dalam Suparji, op.cit., hlm. 152
71
Suparji, op.cit., hlm. 152-155
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
berakibat kepada Undang-Undang yang dilahirkan tidak dirumuskan
dengan bahasa yang dimengerti masyarakat.
5.
Dari sisi eksekutif, adanya perebutan kewenangan dalam penyelenggaraan
penanaman modal, terutama berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi
daerah yang cenderung memperburuk daya saing investasi di Indonesia.
6.
Pemerintah daerah cenderung untuk berorientasi untuk memperoleh
keuntungan jangka pendek dan melihat investor sebagai sumber
penghasilan daerah. Serta pejabat di daerah semakin birokratis, tidak
efisien serta peraturan daerah yang dibuat hanya untuk meningkatkan
pendapatan asli daerah yang diperburuk dengan banyaknya pungutanpungutan dalam prakteknya di lapangan.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Konvensi New York mengatur tentang
universalitas pengaturan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam
konteks hukum nasional negara anggotanya. Peran hukum arbitrase nasional dan
Pengadilan Negeri sangatlah berperan terhadap pelaksanaan putusan arbitrase asing
dalam wilayahnya.
Albert Jan Van Den Berg, mengatakan pentingnya peran Pengadilan Nasional
terutama para hakim-hakim dalam pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing
sebagaimana diamanatkan Konvensi New York 1958. Pernyataannya adalah,72 “The
Convention is widely acclaimed as being an incredible success. I would like to use this
occasion to express my gratitude for this to one group of persons in particular: the
judges in most countries around the world who have supported the Convention so
strongly. Without them, we would not be celebrating here the most successful
international convention in international private law of this century.”
Terhadap peran penting Pengadilan dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing
sebagaimana telah disampaikan oleh Albert Jan Van Den Berg diatas, Timur Sukirno
memberikan gambaran terhadap pelaksanaan putusan arbitrase di Indonesia bahwa,73 “in
72
Albert Jan Van Den Berg, “Striving for Uniform Interpretation”, dalam “Enforcing Arbitration
Awards under the New York Convention”, (New York: United Nations Publications, 1999), hlm. 41
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Indonesia, certain issues in arbitration are court-dependent… Enforcement of arbitral
awards is conducted through the judiciary system.”
Diundangkannya UU 30/1999 sebagai UU arbitrase pertama Indonesia, dimana di
dalamnya, pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dibahas secara khusus
dalam Bab terpisah dan komprehensif, diharapkan dapat memperbaiki pengaturan
terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak secara khusus membahas tentang
arbitrase sebelum UU tersebut diundangkan, serta berdasar kepada fakta bahwa meskipun
Pemerintah Indonesia telah terikat peraturan-peraturan internasional yang berkaitan
dengan arbitrase, belumlah dapat mengakhiri kesulitan pelaksanaan putusan arbitrase
asing di Indonesia.74
Pengadilan Negeri Indonesia sebagai tempat dimohonkannya pelaksanaan putusan
arbitrase asing belumlah dapat mengakomodir permohonan pihak yang dimenangkan
dalam arbitrase. Pengadilan Negeri Indonesia seperti tidak berkeinginan untuk
memberikan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik
Indonesia. Thomas E. Carbonneau mengatakan bahwa,75 “the willingness of any national
legal system to endorse the process of arbitral adjudication can be measured by whether
its governing statutory law and accompanying case law sustain the validity of arbitration
agreements and limit judicial supervision of arbitral proceedings and awards.”
Pengadilan Negeri Indonesia memang terlihat seperti tidak berkeinginan untuk
memberikan exequatur terhadap putusan arbitrase asing di Indonesia, semenjak UU
30/1999 belum diundangkan hingga setelah diundangkannya UU tersebut. Noah Rubbins
73
Timur Sukirno & Reno Hirdarisvita, “Indonesia”, Baker Mckenzie Internatinal Arbitration
Yearbook, Jakarta, hlm. 29, didapat dari http://www.bakermckenzie.com/files /Uploads/Documents/Global
%20Dispute%20Resolution/Dispute%20Resolution%20Around%20the
%20World/dratw_indonesia_2009.pdf, diakses pada 3 Januari 2011, 14:57 WIB
74
Wisnu Aryo Dewanto, “Tinjauan Hukum Mengenai Sulitnya Melaksanakan Putusan Arbitrase,”
Jurnal Yustika, Volume 7 Nomor 2, Desember 2004, hlm. 361
75
Thomas E. Carbonneau, “The Reception of Arbitration in United States Law,” didapat dari
Wisnu Aryo Dewanto, op.cit., hlm. 358
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
mengatakan bahwa,76 “historically, Indonesian courts have engendered little confidence
among foreign investors that the dispute resolution systems they and their Indonesian
partners devise in their contracts will be given full effect when a conflict ultimately
arises.”
Noah menambahkan bahwa,77 “in the decade following ratification, local courts
remained reluctant to enforce foreign arbitral award.” Hal tersebut dapat dilihat dari
beberapa perkara yang telah dibahas dalam Bab-Bab sebelumnya, seperti Trading
Corporation of Pakistan Limited v. PT Bakrie Brothers, Navigation Maritime Bulgare v.
PT Nizwar, E.D. Dan F.MAN (SUGAR) Ltd. v. Yani Harianto, PT Batu Mulia Utama v.
Sainrapt et Brice Societe Auxiliarre d’ Enterprises Societe Routiere Colas (SSC).
Adapun setelah diundangkannya UU 30/1999, kesulitan pemberian exequatur
terhadap putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik Indonesia tetap
berlangsung. Hal ini disebabkan masih tidak berkeinginannya Pengadilan Negeri
Indonesia dalam memberikan exequatur terhadap pelaksanaan putusan arbitrase asing di
wilayah Negara Indonesia serta Hakim-Hakim yang memeriksa serta mengutus perkara
pelaksanaan putusan arbitrase yang didasarkan pada permohonan pelaksanaan yang
diajukan pihak yang menang dalam arbitrase maupun permohonan pembatalan yang
diajukan pihak yang tidak dimenangkan tidaklah berkompeten dan tidak fasih terhadap
hukum arbitrase, ditambah ketidakoptimalan pengetahuannya tentang arbitrase tersebut,
membawa kepada suatu penjatuhan putusan yang salah.
Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perkara Pertamina melawan KBC diatas
serta adanya beberapa contoh perkara lainnya yang menambah daftar yang memalukan
bagi reputasi Indonesia dalam dunia arbitrase internasional.78 Beberapa perkara yang
dapat dijadikan contoh untuk membuktikan masih kurang efektifnya pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase asing di Negara Indonesia pasca diundangkannya UU
30/1999, salah satunya adalah Perkara Bankers Trust Company & Bankers Trust
76
Noah Rubbins, op.cit., hlm. 361-362
77
Noah Rubbins, op.cit., hlm. 367
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
International v. Mayora Indah yang perkaranya adalah serupa dengan Bankers Trust
Company & Bankers Trust International v. PT. Jakarta International Hotels and
Development, Tbk.79
Kedua perkara ini bermula dengan adanya transaksi derivatif pertukaran mata
uang dan bunga (currency and interest swaps) antara pihak Bank Bankers Trust (“Bank”)
dengan PT Jakarta International Hotels and Development (“Konsumen”) dan Mayora
Indah (“Konsumen”) dibawah suatu perjanjian dengan nama, International Swaps and
Derivatives Association Master Agreement (“ISDA”) yang dilakukan oleh kedua belah
pihak pada tahun 1995 dan diatur dengan Hukum Inggris. Mengacu kepada adanya krisis
ekonomi pada tahun 1997 – 1998 yang menyebabkan nilai mata uang rupiah turun hingga
15% - 25% dari nilai sebelumnya, pihak konsumen pada akhirnya tidak dapat melakukan
kewajibannya untuk melakukan pembayaran dibawah perjanjian.
Ketika permasalahan tersebut masih berada dibawah negosiasi antar pihak,
konsumen menggugat pihak Bank di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk
membatalkan perjanjian ISDA dengan dasar bahwa perjanjian tersebut bertentangan
dengan ketertiban umum (dengan menyatakan bahwa swap trading merupakan perbuatan
hukum yang dilarang di Indonesia) dan dengan menandatangani dan terlibat dalam
perjanjian tersebut adalah diluar kekuasaan kemampuan corporate pihak konsumen.
Pihak bank di satu sisi membawa perkara ini ke London Court of International
Arbitration (“LCIA”) untuk menyelesaikan sengketa yang muncul di bawah Perjanjian
ISDA ini. LCIA kemudian memenangkan pihak Bank serta kemudian didaftarkan oleh
78
Karen Mills mengatakan bahwa perkara Bankers Trust Company & Bankers Trust International
v. Mayora Indah yang perkaranya adalah serupa dengan Bankers Trust Company & Bankers Trust
International v. PT. Jakarta International Hotels and Development, Tbk merupakan perkara yang
memalukan bangsa Indonesia di mata hukum arbitrase internasional. Sebagaimana pernyataannya, “Once
again, the first applications for exequatur under new legislation, this time under the New Law, have
brought further embarrassment to Indonesia’s reputation in the world of arbitration,” sebagaimana tertulis
dalam Karen Mills, “Enforcement of Arbitral Awards in Indonesia …”, op.cit., hlm. 28
79
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan No. 454/Pdt.G/1999/PN.Jak.Sel, 30 May, 2000; dan
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan terhadap Arbitrase Internasional No.. 001/Pdt/Arb.Int/1999
dan No. 8199 tertanggal 18 Juni 1999; serta No. 004/Pdt/Arb.Int/1999 sehubungan dengan putusan
arbitrase yang diputus oleh LCIA No. 9128 tertanggal 19 October, 1999, didapat dari Karen Mills,
“Enforcement of Arbitral Awards in Indonesia…”, op.cit., hlm. 28-30; Tony Budidjaja, op.cit., hlm. 85-90
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
pihak Bank ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk pelaksanaannya. Sementara
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan pihak Konsumen. Pihak Bank
kemudian mengajukan pembelaan bahwa pihak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak
memiliki jurisdiksi untuk memutuskan perkara ini, karena di dalam klausula Perjanjian
ISDA, penyelesaian sengketa yang muncul dari Perjanjian ini akan diajukan kepada
badan arbitrase internasional LCIA. Pihak Pengadilan mengatakan bahwa klausula
tersebut tidak tercantum dalam Perjanjian ISDA oleh karena itu tidak mengikat kepada
para pihak, dimana pada kenyataannya, para pihak yang bersengketa telah sepakat dalam
Perjanjian tersebut.
Pihak Bank kemudian mengajukan banding kepada keputusan Pengadilan tinggi
dan pada saat yang bersamaan memohon pelaksanaan putusan arbitrase kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pihak Bank menyatakan bahwa keputusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan tidaklah mengikat hingga putusan tersebut adalah bersifat tetap
dan putusan arbitrase tersebut adalah final dan mengikat dan juga mengatakan bahwa
putusan tersebut adalah untuk dilaksanakan dan tidak perlu diperiksa ulang. Adanya
kontradiksi penjatuhan putusan oleh Pengadilan Negeri, LCIA membawa Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tidak berkeinginan untuk memutuskan pelaksanaan terhadap
putusan arbitrase yang dijatuhkan oleh LCIA. Pihak Bank kemudian mengajukan kasasi
kepada Mahkamah Agung terhadap putusan Jakarta Pusat tersebut, namun hingga saat ini
belum ditentukan lebih lanjut tentang adanya putusan terbaru mengenai kasus ini.
Perkara lainnya adalah Permohonan Pembatalan terhadap putusan arbitrase
internasional terdapat pada kasus PT. Bungo Raya Nusantara dengan PT. Jambi
Resources.80 Dalam keputusan pengadilan permohonan pembatalan ditolak Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat karena keputusan arbitrase yang dimohonkan pembatalan adalah
keputusan arbitrase internasional. Kasus ini bermula kerja sama antara PT Nusantara
Termal Coal (NTC) dengan PT Bungo Raya Nusantara (BRN) pada tahun 2006. NTC
adalah
kontraktor
Pemerintah
RI
berdasarkan
Perjanjian
80
Karya
Pengusahaan
Curi batubara, warga korea menjadi tersangka, http://www.indonesia-monitor.
com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=3492&Itemid=37, Diakses pada 1 Desember
2009, 15:00 WIB
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Pertambangan Batubara (PKP2B) tertanggal 19 Januari 1998 dengan lokasi seluas 2.832
hektar, sekitar 31 km sebelah barat Muara Bungo, Provinsi Jambi. BRN melalui
perjanjian tanggal 28 Juli 2006, menjadi subkontraktor penambangan, pengangkutan dan
pemasaran batubara dari wilayah NTC. Pada tanggal yang sama (28/07/06), direksi BRN
menandatangani perjanjian dan mengalihkan hak penambangan, pengangkutan dan
pemasarannya kepada PT Jambi Resources Limited. (semula bernama PT Basmal Utama
Internasional atau BUI). Perjanjian itu berisi uraian mengenai hak dan kewajiban masingmasing pihak dan disebutkan jika ada sengketa dipilih arbitrase atau SIAC (Singapore
International Arbritation Centre).
Setelah berkali-kali melakukan teguran dan peringatan keras karena menilai BUI
tidak memenuhi kewajiban (royalti fee kepada BRN selama tiga bulan berturut-turut)
sebagaimana disepakati dalam kontrak, akhirnya BRN, September 2007 melakukan
pemutusan kontrak atau perjanjian. Pihak JR tidak sependapat dan menilai terundanya
pembayaran
adalah
masalah
perdata,
bukan
menyangkut
hubungan
kontrak
penambangan, pengangkutan dan pemasaran batubara. Sengketa JR dan BRN itu 31
Oktober 2007 dibawa ke arbritase Singapura.
Sementara kasus itu di proses di Singapura, pihak Departemen Energi dan
Sumberdaya Mineral melakukan peninjauan ke wilayah konsesi pertambangan PT NTC
dan mendapatkan berbagai kekurangan dalam perjanjian karya. Di antaranya, PT NTC
dinilai keliru karena mengalihkan kontrak pengangkutan dan pemasaran batubara di
wilayah PKP2B-nya. Dalam ketentuan PKP2B, yang boleh disubkontrakan hanya
kegiatan penambangannya saja. Akibatnya, tanggal 10 Juli 2008 Direktorat Pembinaan
Pengusahaan Minerba Departemen ESDM menerbitkan surat No 1634/30.01/DBM/2008
yang isinya melarang NTC menerbitkan SPK penambangan maupun mengalihkan hak
jual, karena menilai SPK itu tidak sesuai dengan ketentuan PKP2B. Tanggal 1 September
2008,
Gubernur
Jambi
menerbitkan
surat
No
541.13/3638/Dispertamben,
memerintahkan agar NTC tidak menerbitkan SPK penambangan dan tidak melimpahkan
hak jual batubara kepada pihak lain. Berdasarkan surat Direktorat Pembinaan
Pengusahaan Minerba dan surat Gubernur Jambi tersebut, tanggal 25 September 2008
pihak NTC dan BRN sepakat mengakhiri perjanjian kerja tertanggal 28 Juli 2006.
Direktorat Pembinaan Pengusahaan Minerba menerbitkan surat No 681/37.08/DBT/2008
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
tertanggal 27 Oktober 2008, yang isinya antara lain memerintahkan NTC menghentikan
kegiatan penambangan, disusul surat No2562/30.01/DBM/2008 yang menegaskan
pertimbangan larangan kegiatan penambangan di wilayah NTC.
Direksi PT NTC kemudian meminta agar BRN menghentikan semua kegiatan di
wilayah PKP2B tersebut melalui surat tanggal 25 September 2008. Menindaklanjuti
permintaan NTC sebagai pemegang konsesi, pihak BRN menerbitkan surat No
067/Dir03-01/BRN/XI/2008
tertanggal
13
November
2008
kepada
seluruh
subkontraktornya, menegaskan penghentian kegiatan penambangan di wilayah konsesi
NTC.
Kembali kepada sengketa antara PT. BRN dan JR, berdasarkan final award pada
tanggal 6 Agustus 2009, SIAC memutuskan pemutusan kontrak antara PT. BRN dan PT.
JR tidak sah dan tidak berlaku. Perjanjian antara kedua perusahaan dinyatakan sah dan
berlaku sehingga PT. JR berhak untuk menambang. Setelah ditinjau ulang oleh BRN,
keseluruhan perjanjian seharusnya tidak lahir. Sebab menabrak sejumlah aturan tentang
pertambangan.
Karena itu BRN akhirnya mengajukan pembatalan putusan SIAC ke Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
akhir
September
2009.
Perkaranya
teregister
No.
03/PembatalanArbitrase/2009/PN.JKT.PST. Dasar yang digunakan BRN sebagai
pembatalan putusan arbitrase adalah Ketika proses arbitrase berlangsung, Direktorat
Pembinaan Pengusahaan Minerba Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) melarang PT NTC menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) Penambangan
maupun mengalihkan hak jualnya. Departemen ESDM menilai SPK Penambangan
kepada PT BRN bertentangan dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara (PKP2B) tertanggal 19 Februari 1998 antara pemerintah dengan PT NTC.
Sebab,
yang
disubkontrakan
tidak
hanya
penambangan,
melainkan
termasuk
mereklamasi, mengangkut, memasarkan dan menjual batu bara. Padahal seharusnya
terbatas pada penambangan. Selanjutnya Gubernur Jambi juga memerintahkan PT NTC
tidak menerbitkan SPK penambangan dan tidak melimpahkan hak jual batu bara ke pihak
lain. Karena itu pada 25 September 2008, PT NTC dan PT BRN sepakat menghentikan
perjanjian kerja, lalu meminta PT BRN untuk menghentikan kegiatan penambangan. Lalu
sebulan kemudian, Departemen ESDM kembali memerintahkan PT NTC untuk
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
menghentikan kegiatan penambangan di wilayah konsesi PT NTC. Pada 13 November
2008, PT BRN memerintahkan seluruh subkontraktornya agar menghentikan kegiatan
penambangan di wilayah konsesi PT Nusantara. Berdasarkan keterangan diatas, dapat
diketahui bahwa sebenarnya perjanjian antara PT. BRN dan PT. JR batal demi hukum dan
dianggap tidak pernah ada, karena bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan
ketertiban umum.
Selain itu pihak PT. BRN juga menggunakan ketentuan Pasal 70 huruf c bahwa
putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa, karena PT Jambi tidak memberitahukan pada arbiter bahwa
perjanjian subkontraktor antara PT Bungo dan PT Nusantara sendiri bertentangan dengan
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Nusantara, PKP2B dan perundang-undangan
yang berlaku.
Dalam keputusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat81, menyatakan bahwa
pengadilan tidak berwenang, dalam putusan selanya pengadilan menyatakan bahwa
putusan SIAC dalam perkara PT. BRN vs PT. JR adalah putusan arbitrase internasional
sehingga tidak bisa dibatalkan di pengadilan Indonesia. Putusan majelis hakim itu
sekaligus mengabulkan eksepsi kuasa hukum PT Jambi. Dalam eksepsi disebutkan,
putusan arbitrase internasional hanya bisa diajukan di Negara atau berdasarkan hukum
dimana putusan dijatuhkan. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dinilai tidak berwenang
mengadili permohonan pembatalan arbitrase. Seharusnya di Singapura, tempat SIAC
berkedudukan.
Penilaian majelis hakim bahwa putusan SIAC sebagai putusan internasional itu
merujuk pada Pasal 1 angka 9 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Definisi putusan arbitrase internasional menurut pasal itu adalah
putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan diluar
wilayah hukum RI, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan
menurut ketentuan hukum RI dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.
81
Putusan SIAC tidak bisa dibatalkan di Indonesia, http://www.hukumonline.
com/berita/baca/lt4b03edd17320c/putusan-siac-tidak-bisa-dibatalkan-di-indonesia, diakses pada 15
Desember 2009, 20:00 WIB
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Selain itu mengacu kepada Pasal 70 UU Arbitrase tentang alasan-alasan permohonan
pembatalan arbitrase hanya menyebutkan para pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan putusan arbitrase. Tidak disebut permohonan pembatalan arbitrase
internasional. Majelis hakim menyimpulkan bahwa permohonan pembatalan arbitrase di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase
nasional, bukan putusan arbitrase internasional. Berdasarkan putusan PN Jakarta Pusat ini
dapat dilihat bahwa penafsiran hakim atas Pasal 70 ini hanya berlaku untuk arbitrase
nasional.
Berdasarkan kepada kedua perkara diatas, dapatlah dilihat bahwa pelaksanaan UU
30/1999 yang pada dasarnya substansi hukumnya sendiri tersebut sudah tidak jelas,
keputusan Pengadilannya pun pada akhirnya tegak lurus dengan substansi UU yang tidak
jelas pengaturannya, karena tidak dilandasi oleh suatu landasan hukum yang pasti. Selain
tidak berkeinginannya Pengadilan Negeri dalam memberikan putusan pelaksanaan serta
tidak kompetennya Hakim-Hakim seperti disebutkan diatas, pihak pelaku usaha juga
sering salah dalam memahami serta menginterpretasikan esensi penolakan dan
pembatalan.
Wisnu Aryo Dewanto menambahkan gambaran yang lebih luas terhadap sulitnya
melaksanakan putusan arbitrase asing di Indonesia dilihat dari sistem hukum aparaturnya,
antara lain:82
1.
Hakim, sebagai ujung tombak hukum, tidak berperan secara optimal
karena seringkali menerima kasus-kasus yang memiliki klausula arbitrase,
tanpa mempertimbangkan kompetensitasnya terhadap kasus tersebut.
Selain itu, istilah kebebasan seorang hakim diartikan terlalu luas, sehingga
seringkali putusan pengadilan negeri dan tinggi bertentangan dengan
putusan Mahkamah Agung, padahal bebas disini harusnya dipahami
sebagai bebas dari intervensi badan eksekutif maupun legislatif. Lebih
lanjut, hakim di Indonesia kurang memiliki wawasan internasional,
sehingga banyak aturan-aturan internasional yang telah diratifikasi
82
Wisnu Aryo Dewanto, op.cit., hlm. 361-362
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Pemerintah Indonesia tidak dijadikan bahan pertimbangan hukum dalam
memutus perkara.
2.
Pengusaha dan pengacara juga menjadi bagian kebobrokan hukum di
Indonesia
karena mereka seringkali memanfaatkan kelemahan hakim
untuk melakukan penyuapan agar putusan hakim sesuai dengan keinginan
dan kepentingan mereka. Dan pengusaha Indonesia seringkali tidak
memiliki itikad baik untuk mematuhi dan melaksanakan putusan arbitrase,
padahal dasar adanya klausula arbitrase adalah adanya itikad baik dari para
pihak untuk melaksanakan kesepakatan yang mereka setujui.
Fakta-fakta
tersebut
diatas
sangatlah
memprihatinkan
Indonesia
karena
inkonsistensi pihak-pihak Indonesia untuk mematuhi aturan-aturan arbitrase yang pada
akhirnya menyebabkan citra Indonesia di mata pengusaha asing tidak bertambah baik,
sekalipun Pemerintah Indonesia telah bersedia mengakui dan melaksanakan keputusan
arbitrase asing melalui Keppres 34/1981 dan Perma 1/1990,83 dimana, kesuksesan
arbitrase komersial internasional sebagai sistem bergantung kepada bagian terbesar dalam
prediktabilitas pada tahap pelaksanaannya.84
C.3. Budaya Hukum Masyarakat terhadap Arbitrase Asing Lemah karena
Landasan Prinsip Teritorial
Legal culture menurut Friedman meliputi pandangan, nilai, ide dan sikap yang
menentukan bekerjanya sistem hukum. Pandangan dan sikap masyarakat terhadap budaya
hukum dipengaruhi oleh sub-culture. Pandangan dan sikap ini yang dapat mempengaruhi
tegaknya hukum. Tanpa budaya hukum, suatu sistem hukum tidak akan berdaya.85
83
ibid, hlm. 359
84
Noah Rubbins mengatakan bahwa, “the success of international commercial arbitration law as
a system depends in large part on predictability at the enforcement stage,” sebagaimana tertulis dalam
Noah Rubbins, op.cit., hlm. 363
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Pada saat terjadinya krisis ekonomi, budaya hukum (legal culture) masyarakat
Indonesia belum mampu mendukung sistem hukum yang baik. Rendahnya kualitas
budaya hukum tersebut sangat dipengaruhi tingkat pemahaman masyarakat yang
beragam, termasuk para investor. Setidak-tidaknya ada dua budaya yang menunjukkan
bahwa budaya hukum Indonesia belum mampu mendukung investasi, yaitu:86
1.
Berdasarkan hasil survei Transparancy internasional, lembaga anti korupsi
Indonesia, menemukan fakta bahwa pengusaha asing terbiasa menyuap
para pejabat Negara, terutama Negara berkembang.
2.
Penyelenggaraan perizinan penanaman modal belum efisien, dimana,
kebijakan perizinan usaha merupakan salah satu bentuk birokrasi dalam
bidang ekonomi.
Dalam hukum penanaman modal yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal, penyelesaian sengketa diatur dalam Pasal 32-nya yang
menentukan bahwa:
1. Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam
modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan
mufakat.
2. Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai,
penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian
sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam
modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase
berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak
disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.
4. Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam
modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional
yang harus disepakati oleh para pihak.
85
Lawrence M. Friedman, op.cit., hlm. 6-7
86
Suparji, op.cit., hlm. 173
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Dapatlah dilihat dalam ketentuan Pasal tersebut bahwa, Indonesia merupakan
Negara yang sangat menjunjung tinggi penyelesaian sengketa diluar pengadilan.
Indonesia sendiri sangat menganut prinsip teritorial Negara, dimana, lebih mementingkan
peraturan dalam negerinya dibandingkan dengan dunia internasional. Hal ini dibuktikan
juga dengan banyaknya ketentuan yang mengatur tentang konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli serta arbitrase nasional dalam UU 30/1999, dan ketentuan
dari arbitrase internasional sangatlah sedikit diatur dalam UU 30/1999.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pula, bahwa kekurangan-kekurangan
dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia sebelum dikeluarkannya UU
30/1999 dikarenakan oleh adanya “prinsip teritorialitas” atau “asas kedaulatan territorial”
(Principle of Territorial Sovereignty) yang mengisyaratkan bahwa putusan yang
ditetapkan di luar negeri tidak dapat secara langsung dilaksanakan dalam wilayah lain
atas kekuatannya sendiri. Hal ini dikarenakan putusan yang dijatuhkan diluar wilayah
Negara Indonesia dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap asas kedaulatan Negara
Republik Indonesia sebagai suatu Negara yang merdeka dan berdaulat.
Adapun asas prinsip teritorialitas tersebut merupakan pembentukan perilaku
hukum Negara Indonesia yang terletak di antara dualisme paham yaitu, pada teori liberal
(liberal theory) dimana Indonesia di satu sisi sangatlah membutuhkan adanya penanaman
modal asing ataupun transaksi bisnis dan perdagangan dengan perusahaan lain, namun di
satu sisi, Indonesia juga menganut paham ketergantungan (dependency theory) dimana
selalu membatasi pihak asing dalam melakukannya. Merupakan hal yang dapat dipahami
apabila Indonesia melindungi kepentingan nasionalnya dalam hal pembatasan dominasi
pihak asing dalam lingkup perekonomian Indonesia, tetapi perlu diperhatikan juga bahwa
Indonesia
tetap
membutuhkan
modal
asing
tersebut
untuk
perkembangan
perekonomiannya.
Dualisme paham inilah yang membatasi budaya hukum Negara Indonesia untuk
memberikan perlakuan yang adil kepada pihak asing dalam wilayah jurisdiksi hukum
Negaranya karena pembatasan ini dimaksudkan untuk membatasi dominasi asing di
Indonesia. Adanya Pembatasan terhadap dominasi bila dihubungkan dengan kepentingan
nasional dan kedaulatan pada dasarnya adalah sah. Suatu Negara berhak melakukan
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
pembatasan terhadap pihak asing melalui hukum nasionalnya, namun, akan lebih baik
apabila pembatasan tersebut diakomodir oleh adanya suatu kepastian hukum khususnya
hukum penyelesaian sengketa karena akan lebih memberikan jaminan dan perlindungan
hukum kepada pihak-pihak yang berhubungan dalam suatu perjanjian, khususnya dalam
penyelesaian sengketa. Belum terakomodirnya ketentuan mengenai pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam UU 30/1999 tidak memberikan kepastian
hukum kepada para investor asing atau pelaku usaha bisnis maupun perdagangan
internasional.
Unsur lain yang harus dipenuhi untuk tercapainya kepastian hukum dalam hukum
penyelesaian sengketa yang menjamin perlindungan kepada pihak perusahaan PMA
yaitu, Indonesia haruslah memiliki sistem hukum yang terdiri dari tiga unsur,87 yaitu
structure, substance dan legal culture yang efektif karena sistem hukum yang efektif
tersebut akan memperluas kesempatan berusaha, mengundang investasi dan membangun
ekonomi.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mengatur bahwa,88 materi muatan suatu Peraturan Perundangundangan harus mengandung asas: (1) pengayoman; (2) kemanusiaan; (3) kebangsaan;
(4) kekeluargaan; (5) kenusantaraan; (6) bhinneka tunggal ika; (7) keadilan; (8)
persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; (9) ketertiban dan kepastian
hukum; (10) keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang menganut asas-asas tersebut merupakan salah satu syarat
dalam rangka perwujudan hukum nasional yang berkoordinasi satu sama lain.
Berdasar kepada Undang-Undang tersebut diatas, Indonesia sebagai Negara
anggota Konvensi New York, seharusnya dapat memberikan kepastian hukum dengan
mengikuti dan menerapkan ketentuan yang diamanatkan Konvensi yang diratifikasi
87
Lawrence M. Friedman, op.cit., hlm. 5-6
88
Pasal 6, Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 53, TLN Nomor 4389
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
kedalam lingkup hukum nasional. Konvensi sebagai sumber hukum utama internasional
dan perjanjian, mengikat Negara anggotanya. Sifat mengikat ini berarti Negara pihak
suatu perjanjian harus menaati dan menghormati pelaksanaan perjanjian tersebut karena
perjanjian ini mengikat para pihak yang termasuk didalamnya.89 Sebagai Negara yang
sangat menjunjung tinggi perjanjian sebagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur para pihak yang terlibat, sudah sepantasnya dan seharusnya Indonesia
menerapkan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing ke dalam hukum
nasionalnya secara jelas dan pasti serta dapat memberikan kepastian hukum kepada pihak
yang bersengketa, khususnya pihak asing.
Kepastian hukum mempunyai arti penting bagi suatu kegiatan pembangunan,
dalam hal ini kegiatan investasi. Bagi investor sendiri, arti penting kepastian hukum
adalah tolak ukur utama, dimana pentingnya hukum tersebut dikaitkan dengan investasi
adalah investor membutuhkan adanya kepastian hukum dalam menjalankan usahanya.
Artinya, para investor membutuhkan satu ukuran yang menjadi pegangan dalam
menjalankan kegiatan investasinya. Ukuran inilah yang disebut aturan yang dibuat oleh
yang mempunyai otoritas untuk itu karena aturan tersebut berlaku untuk semua pihak. 90
Ketiadaan suatu kepastian dan perlindungan hukum yang dapat disediakan oleh peraturan
perundang-undangan, membuat para investor tidak akan berinvestasi di Indonesia baik
dalam bentuk fortfolio, apalagi dalam bentuk direct investment.91 Oleh karena itu, untuk
mengundang modal asing masuk ke Indonesia diperlukan perilaku hukum yang
mendukung kegiatan penanaman modal asing serta diperlukan suatu sistem hukum yang
89
Dr. Boermauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global, cetakan ketiga, (Bandung: Alumni, 2003), hlm. 135
90
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, cet. I, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), hlm. 37.
91
Ridwan Khairandy, “Iklim Investasi dan Jaminan Kepastian Hukum Dalam Era Otonomi
Daerah”, dalam Seminar Nasional Sinkronisasi Kebijakan Pusat dan Daerah Mengenai Investasi,
Kepastian Hukum dan Peluang Kerja di Era Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Ikatan Keluarga Mahasiswa
Palawan Indonesia dan PT. Riau Pulp Paper, 15 April 2006), hlm 6
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
memberikan kepastian hukum, yang mana didalamnya terdapat satu paket lengkap yaitu
produk-produk hukum yang responsif, perilaku aparat hukum yang mampu melaksanakan
law enforcement, dan budaya hukum masyarakat maupun budaya hukum dari aparat
hukum yang baik.92
Salah satu cara yang dapat ditempuh Indonesia untuk memberikan kepastian
hukum terhadap penyelesaian sengketa adalah dengan melakukan amandemen terhadap
UU 30/1999 sehingga Indonesia dapat memberikan suatu pengaturan hukum yang pasti
dengan mengadopsi ketentuan yang diatur dalam UNCITRAL Model Law. Lengkapnya
pengaturan arbitrase yang diatur oleh UNCITRAL Model Law sebagai hukum arbitrase
internasional telah diterima sebagai universalitas hukum penyelesaian sengketa melalui
arbitrase khususnya dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing oleh
para Negara anggotanya. Indonesia sendiri telah menandatangani resolusi UNCITRAL
Arbitration Rules pada tahun 1976, dimana penandatanganan ini telah membuktikan
bahwa Indonesia siap dengan ketentuan yang diatur dalam UNCITRAL Arbitration
Rules.
Penerapan UNCITRAL Model Law dalam konteks hukum arbitrase nasional
Indonesia dapat memberikan suatu kepastian hukum yang dapat menjamin serta
memberikan perlindungan hukum kepada para investor atau pelaku usaha bisnis dan
perdagangan internasional. Indonesia dapat menerapkan beberapa perubahan dalam
pengadopsian ketentuan-ketentuan UNCITRAL Model Law tersebut kedalam hukum
arbitrase nasional Indonesia. Mengingat UNCITRAL Model Law tersebut telah diterima
secara luas, penerapan UNCITRAL Model Law dalam hukum arbitrase Indonesia akan
92
Mengacu kepada pendapat Erman Rajagukguk, bahwa usaha untuk menciptakan iklim investasi
yang kondusif penanaman modal juga dapat melalui penegakan hukum dalam arti dihilangkan
ketidakpastian hukum (legal uncertainty), kekusutan hukum (legal entanglement), penyelundupan hukum
(legal encirlement), dan tidak terlaksananya hukum (legal enforcibility). Bagi investor-investor Amerika
yang sudah terbiasa hidup dalam budaya hukum yang demokratis, berbagai deregulasi di bidang
Penanaman Modal Asing bisa menjadi begitu tidak berarti, manakala tidak diikuti oleh kepastian hukum.
Salah satu yang perlu dilaksanakan adalah pembaharuan hukum diberbagai bidang seperti Perseroan
Terbatas, Pasar Modal, eksekusi barang jaminan, persaingan usaha yang sehat. Begitu juga dengan
penyempurnaan aparatur hukum, suatu pengadilan yang bersih perlu ditegakkan karena sebagian sengketasengketa dagang dalam penyelesaiannya bergantung kepada kepercayaan kepada pengadilan tersebut,
sebagaimana tertulis dalam Erman Rajagukguk, “Masalah Investasi Dalam Pembangunan Lima Tahun Ke
VI: Suatu Tinjauan Hukum dan Ekonomi”, dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, op.cit.,
hlm 550
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
menjamin harmonisasi hukum pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
serta akan dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para subjek dan
objek yang diaturnya. Serupa dengan Amerika Serikat, bahwa Pengadilan Amerika
Serikat merupakan forum yang paling banyak dimohonkan pelaksanaan putusan arbitrase
asing di wilayahnya. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat memberikan suatu pengaturan
hukum arbitrase yang sangat lengkap serta dapat memberikan kepastian dan perlindungan
hukum kepada para pemohon pelaksanaan putusan arbitrase asing di wilayahnya.
Salah satu cara lainnya adalah Indonesia dapat melakukan amandemen UU
30/1999 dengan lebih lengkap dan tanpa harus mengadopsi UNCITRAL Model Law,
sebagaimana telah dilakukan oleh Inggris (United Kingdom of Great Britain). Inggris
sebagai Negara yang memiliki hukum arbitrase tertua di dunia tidak mengadopsi
ketentuan UNCITRAL Model Law, namun, ketentuan yang diatur didalam UU
arbitrasenya (AA 1996) telah mengakomodir ketentuan pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase asing sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi New York 1958.
Bahkan hampir keseluruhan ketentuan yang diaturnya, hampir menyerupai ketentuan
UNCITRAL Model Law tanpa harus mengadopsinya.
Adanya suatu hukum yang pasti tersebut pasti akan dapat memberikan kepastian
dan perlindungan hukum terhadap penyelesaian sengketa kepada pihak-pihak pelaku
usaha, dan dengan adanya kepastian dan perlindungan hukum dalam penyelesaian
sengketa tersebut, Indonesia dapat memperoleh kembali kepercayaan investor untuk
menanamkan modalnya di Indonesia.
Dalam mewujudkan suatu hukum yang dapat meningkatkan perekonomian dan
perkembangan pembangunan suatu Negara, suatu hukum haruslah mampu menciptakan
kepastian (predictability), stabilitas (stability), dan keadilan (fairness) untuk dapat
berperan dalam pembangunan ekonomi.93 Dimana, prediktabilitas mengandung arti
bahwa hukum harus dapat menciptakan kepastian, yaitu kepastian hukum dan dengan
adanya kepastian hukum, investor dapat mengukur tindakan-tindakan yang akan
93
Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, loc.cit.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
dilakukannya dan mampu memprediksikan kemungkinan pelanggaran yang terjadi dan
perkembangan ekonomi pasar.94
Hukum juga harus dapat menciptakan stabilitas karena hukum harus
mencerminkan keseimbangan kepentingan para pihak yang terlibat didalamnya. Sesuai
dengan ini, hukum haruslah dapat menciptakan keterpaduan antara para pihak. Fungsi
hukum yang terakhir adalah hukum selain harus dapat menciptakan prediktabilitas dan
stabilitas, hukum juga harus dapat menciptakan nilai-nilai keadilan bagi para pihak dan
mencegah terjadinya praktek-praktek diskriminasi atau ketidakadilan bagi para pihak
yang terlibat didalamnya.
94
Siti Anisah, loc.cit.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Download