BAB IV PENERAPAN DAN PELAKSANAAN KETENTUAN KONVENSI NEW YORK 1958 SEHUBUNGAN DENGAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 A. Pelaksanaan UU Nomor 30 Tahun 1999 Tidak Sesuai Dengan Ketentuan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan Pembatalan Putusan Arbitrase Asing dalam Perkara Pertamina melawan KBC Pada dasarnya, para investor asing yang hendak menanamkan modalnya di Indonesia membutuhkan adanya kepastian hukum yang diwujudkan melalui kepatuhan terhadap kontrak atau kerjasama yang telah disepakati dan adanya kepastian tentang mekanisme penyelesaian jika terjadi sengketa.1 Bagi Negara berkembang yang bermaksud menarik investor dari Negara maju untuk berinvestasi di Negaranya, ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk menarik arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat berubah dan dapat menjamin adanya kepastian hukum, karena ketiadaan kepastian hukum akan menyulitkan perencanaan usaha jangka panjang mereka. 2. Prosedur perizinan yang tidak berbelit yang dapat menyebabkan high cost economy. 1 Erman Rajagukguk, Hukum Investasi Di Indonesia, op.cit., hlm. 39 2 Camelia Malik, “Jaminan Kepastian Hukum Dalam Kegiatan Penanaman Modal Di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis Volume 26 , (Nomor 4 Tahun 2007): 16, hlm. 16 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. 3. Jaminan terhadap investasi mereka dan proteksi hukum mengenai hak atas kekayaan investor. 4. Sarana dan prasarana yang dapat menunjang terlaksananya investasi mereka dengan baik, antara lain meliputi komunikasi, transportasi atau pengangkutan, perbankan dan perasuransian. Selain itu, terdapat beberapa hal penting yang seringkali menjadi perhatian calon investor dan ditujukan agar mereka dapat meminimalisir resiko dalam berinvestasi sebelum mereka menanamkan modalnya disuatu Negara. Hal-hal yang seringkali menjadi perhatian bagi investor antara lain:3 1. Keamanan investasi yang sering berkaitan dengan stabilitas politik suatu Negara. 2. Bahaya tindakan nasionalisasi dan berkaitan dengan ganti kerugian. 3. Penghindaran pajak berganda. 4. Masuk dan tinggalnya staf atau ahli yang diperlukan. 5. Penyelesaian sengketa. 6. Perlakuan yang sama terhadap investor asing atau tidak adanya pembedaan dari investor domestik. 7. Insentif untuk penanaman modal. 8. Transparency yaitu kejelasan mengenai peraturan perundangundangan, prosedur dan administrasi yang berlaku, serta kebijakan investasi, dan 9. Kepastian hukum, termasuk enforcement putusan-putusan pengadilan. Secara umum diketahui bahwa PMA khususnya yang berlokasi di negara berkembang sering merasa khawatir akan begitu banyak resiko. Hal ini disebabkan oleh keadaan politik, sosial, ekonomi negara-negara berkembang atau negara-negara yang kurang berkembang dimana PMA membutuhkan iklim yang 3 Ibid, hlm 17. Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. kondusif, seperti rasa aman dan tertib, serta adanya suatu kepastian atau jaminan hukum dari negara penerima modal. Kepastian hukum meliputi ketentuan peraturan perundang-undangan yang dalam banyak hal masih ada ketidakjelasan atau bahkan bertentangan dan juga mengenai pelaksanaan keputusan pengadilan. Kesulitan-kesulitan tersebut dapat dikatakan merupakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Negara berkembang yang mengundang penanaman modal asing untuk membantu pertumbuhan ekonomi.4 Kepastian hukum di satu sisi merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pelaksanakan kegiatan penanaman modal asing serta bisnis dan perdagangan disuatu negara, karena pada dasarnya kepastian hukum tersebut mengandung arti konsistensi antara peraturan dan penegakan hukum yang dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum. Menurut Soerjono Soekanto, fungsi dari hukum adalah untuk mengatur hubungan antara Negara dan masyarakat atau hubungan antara masyarakat yang bertujuan untuk membuat kehidupan masyarakat sehari-hari berjalan tertib dan tenang. Selanjutnya untuk mencapai ketertiban umum, harus dikuti dengan penegakan hukum, karena dengan eksistensi dari penegakan hukum, maka kepastian akan dapat dicapai. Oleh karena itu, tugas dari hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum untuk menciptakan ketertiban umum dan keadilan di masyarakat.5 Guna mencapai kepastian hukum tersebut, hukum dan penegakan hukum harus sejalan dan harmonis satu sama lain untuk mencegah kontradiksi dan inkonsistensi dalam menjalankan hukum dan penegakan hukum. Kepastian hukum juga berarti hukum dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah, yang mana hukum dan peraturan tersebut harus jelas, sejalan, menciptakan harmonisasi dan tidak tumpang tindih atau berkontradiksi satu sama lain. Tidak adanya jaminan kepastian hukum hanya akan menyebabkan munculnya berbagai macam permasalahan yang kemudian 4 Ibid, hlm 18 5 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta: Bina Cipta, 1981), hlm 42-43 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. akan mengakibatkan kurangnya minat pelaku usaha maupun investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sejak terjadi krisis ekonomi, sistem hukum Indonesia tidak mampu menciptakan predictability, stability, dan fairness, dimana hal ini dapat dilihat dari substansi peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron, aparatur penegak hukum yang tidak mendukung perbaikan iklim investasi dan kualitas budaya hukum yang rendah.6 Hal ini juga dibuktikan dengan adanya penurunan jumlah investor yang signifikan sejak era reformasi yang disebabkan beberapa haambatan bila dibandingkan dengan jumlah investor sebelum terjadinya krisis moneter.7 Washington Post bahkan menerbitkan artikel yang menyatakan bahwa kurangnya sistem hukum yang pasti di Indonesia merupakan faktor utama mengapa investor pergi. Kurangnya kepercayaan investor membuat perginya modal asing yang sebenarnya sangat dibutuhkan Indonesia untuk memperbaiki kondisi perekonomian yang belum pulih sepenuhnya akibat krisis finansial Asia tahun 1997-1998. Disamping itu, investor asing juga sering mengeluh bahwa mereka sering dijadikan subjek tuntutan sewenang-wenang oleh pejabat pemerintah, petugas pajak, dan mitra lokal. Kasus tersebut jika diajukan ke 6 Suparji, Penanaman Modal Asing Di Indonesia: Insentif v. Pembatasan, Cet-1, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2008), hlm.146 7 Dalam era reformasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal mengatakan bahwa ada dua hambatan yang dihadapi dalam menggerakkan investasi di Indonesia, sebagaimana telah diinventarisasi, yaitu kendala internal dan eksternal. Kendala internal meliputi: (1) kesulitan perusahaan mendapatkan lahan atau lokasi proyek yang sesuai; (2) kesulitan memperoleh bahan baku; (3) kesulitan dana/pembiayaan; (4) kesulitan pemasaran; dan (5) adanya sengketa atau perselisihan di antara pemegang saham. Kendala eksternal meliputi: (1) faktor lingkungan bisnis, baik nasional, regional dan global yang tidak mendukung serta kurang menariknya insentif atau fasilitas investasi yang diberikan pemerintah; (2) masalah hukum; (3) keamanan maupun stabilitas politik; adanya peraturan daerah, keputusan menteri, undang-undang yang turut mendistorsi kegiatan penanaman modal; (5) masalah perburuhan; (6) kenaikan beberapa bahan-bahan untuk sektor produksi; dan (7) harmonisasi tariff pajak. Dhaniswara K. Harjono pun menyatakan bahwa ada beberapa hambatan dalam Penanaman Modal di Indonesia, yaitu: (1) beberapa permasalahan yang mempengaruhi iklim investasi Indonesia, seperti ketidakstabilan politik, dll; (2) tidak adanya jaminan kepastian hukum dan keamanan; (3) masalah rekrutmen (hiring) and pemecatan (firing) tenaga kerja yang bersifat kompleks dan menciptakan suatu bottlenecking; (4) masalah perpajakan dan kepabeanan; (5) masalah infrastruktur; dan (6) masalah penyederhanaan sistem perizinan, didapat dari Salim HS. Dan Budi Sutrisno. Hukum Investasi di Indonesia, Ed. 1, (Jakarta:Rajawali Press, 2008), hlm. 96-98; Dhaniswara K. Harjono, op.cit., hlm. 14 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. pengadilan hanya akan berdampak sedikit. Hal ini dikarenakan budaya suap yang merajalela dan standar hukum yang memihak.8 Telah dipaparkan diatas bahwa kepastian hukum dalam hal penyelesaian sengketa merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian investor. Sehubungan dengan kepastian hukum penyelesaian sengketa, Indonesia memiliki catatan yang kurang mengesankan, dalam hal ini yaitu penyelesaian sengketa melalui arbitrase, dimana dalam prakteknya, putusan arbitrase asing sangatlah sulit untuk diakui dan dilaksanakan di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih ada beberapa kekurangan dalam pengaturan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab-Bab sebelumnya. Kekurangankekurangan dalam pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Tidak adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang arbitrase sejak masa kemerdekaan Indonesia. 2. Peraturan perundang-undangan yang berlaku di bawah ketentuan sistem tata hukum Indonesia hanya mengakomodir ketentuan arbitrase yang sengketanya diperiksa, diselesaikan serta diputus dalam konteks hukum nasional Indonesia dan oleh Pengadilan serta Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). 3. Peraturan pelaksana yang khusus membahas tentang putusan arbitrase internasional yang diakui dan dilaksanakan setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional (Konvensi New York) baru diterbitkan setelah 9 (Sembilan) tahun diratifikasinya Konvensi New York. 4. Peraturan pelaksana yang secara khusus membahas tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia masih tumpang tindih dengan hukum acara perdata yang diadopsi Indonesia semasa kemerdekaan Indonesia, yang secara nyata menolak dan tidak menerima suatu putusan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang diselesaikan bukan di 8 Camelia Malik, loc.cit. Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. Indonesia. Pada akhirnya suatu putusan arbitrase asing yang dimohonkan pelaksanaannya di Indonesia tidak dapat dilaksanakan dan harus diperiksa ulang sebagai kasus baru. Kekurangan-kekurangan yang menyebabkan suatu putusan arbitrase asing yang diputus oleh badan arbitrase asing menjadi sangat sulit untuk dilaksanakan di Indonesia pada dasarnya dilandasi oleh adanya suatu larangan pelaksanaan putusan asing di wilayah Republik Indonesia yang muncul karena dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap asas kedaulatan dari Negara Republik Indonesia sebagai suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Terdapat suatu “prinsip teritorialitas” atau “asas kedaulatan territorial” (Principle of Territorial Sovereignty) yang mengisyaratkan bahwa putusan yang ditetapkan di luar negeri tidak dapat secara langsung dilaksanakan dalam wilayah lain atas kekuatannya sendiri. Agar supaya putusan luar negeri dapat dilaksanakan di Indonesia diperlukan adanya perjanjian (treaty, verdrag) antara Indonesia dengan Negara lain, serta adanya klausula tentang tempat putusan tersebut diambil, untuk menyatakan secara resiprositas bahwa putusan dapat dilaksanakan dalam wilayah masing-masing seperti halnya suatu putusan domestik.9 UU 30/1999 sendiri, merupakan undang-undang yang diterbitkan Pemerintah Republik Indonesia setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997/1998 yang memang ditujukan untuk memberikan suatu rangsangan dan dorongan terhadap kepastian hukum dalam hal penyelesaian sengketa penanaman modal kepada para investor di Indonesia.10 Kehadiran dari UU 30/1999 memang didasari keinginan untuk membenahi hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang 9 Tineke Louise, op.cit., hlm. 226-227 10 Penyempurnaan berbagai produk hukum dengan mengeluarkan peraturan perundangundangan baru untuk menjamin iklim investasi sehat dan penyempurnaan proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang efektif dan adil merupakan kebijakan yang memberikan rangsangan dan jaminan penanaman modal yang dikeluarkan pemerintah yang dimaksudkan untuk mengakomodir investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sebagaimana tertulis dalam Hulman Panjaitan, Hukum Penanaman Modal Asing, (Jakarta: Ind-Hill Co, 2003), hlm. 17 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. sebelumnya sangat tidak bersahabat terhadap putusan arbitrase asing dan kurang dapat mengakomodir kepastian serta perlindungan hukum bagi pelaku usaha investasi serta bisnis dan dagang internasional. UU 30/1999 dalam 82 pasalnya telah secara spesifik memberikan pengaturan-pengaturan terhadap arbitrase, untuk mengakomodir kekurangan-kekurangan yang tidak diatur sebelumnya dengan mengaturnya secara lebih rinci, khususnya dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana telah diamanatkan Konvensi New York 1958 yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1981. Pada kenyataannya diundangkannya UU 30/1999 belum dapat memberikan angin segar, karena UU 30/1999 belum dapat memberikan suatu kepastian hukum pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. UU 30/1999 bahkan masih menyisakan beberapa pertanyaan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari adanya fakta yang diungkapkan Karen Mills dalam catatan pentingnya terhadap pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing di bawah UU 30/1999 yaitu,11 “since the enactment of the New Law (August, 1999) there have been sixteen foreign-rendered arbitral awards registered with the District Court of Central Jakarta, and judicial enforcement has been sought with respect only to nine of these, as at mid-February, 2005. Of these nine, exequatur was issued quite promptly for five. Four related cases were granted cassation (appeal) to the Supreme Court, and later judicial review by that court, with the final outcome still pending. Of the five awards for which exequatur was issued, a contest was lodged with respect to one, at least one award has already been satisfied through court-ordered auction of assets of the losing party and the others seem to have been satisfied voluntarily by the parties because there was no further court involvement after judicial reminders were issued to the losing parties. One award was never registered by the successful party, but the losing party subsequently deemed it necessary to register the award itself in order to seek annulment thereof, which annulment was granted by the District Court of Central Jakarta.” 11 Karen Mills, “Enforcement of Arbitral Awards in Indonesia…”, op.cit., hlm. 8 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. Sebagaimana bukti statistik diatas, kurang mengakomodirnya UU 30/1999 dapat dilihat dari beberapa putusan arbitrase asing yang telah dibatalkan ataupun tidak diproses. Dimana, salah satunya ditunjukkan dengan adanya perkara yang cukup terkenal dan cukup rumit posisi kasusnya serta perkara ini dapat menambah daftar sejarah tidak efektifnya dan kurang mengakomodirnya hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia. Perkara tersebut adalah perkara Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) melawan Karaha Bodas Company L.L.C., (KBC). Perkara ini (berkorelasi dengan penjabaran dalam bab I) bermula dari adanya peristiwa dimana KBC membuat perjanjian Joint Operation Contract (JOC) dengan Pertamina dan KBC menunjuk Pertamina sebagai kontraktor untuk pembangunan pembangkit tenaga listrik. KBC dan Pertamina kemudian membuat perjanjian Energy Sales Contract (ESC) dengan PLN, dimana PLN akan membeli listrik dari Pertamina yang dihasilkan oleh pembangkit tenaga listrik milik KBC yang akan dibangun oleh Pertamina. Seiring berjalannya waktu, terjadi krisis moneter di Indonesia yang membuat Internasional Monetary Fund (IMF) dimana KBC meminta kepada Pemerintah RI untuk meninjau kembali proyek-proyek pembangunan. Kemudian Pemerintah RI mengeluarkan Keppres No. 39 Tahun 1997 yang berisi antara lain tentang penundaan pelaksanaan proyek KBC. KBC meminta Pertamina dan PLN untuk melakukan lobi terhadap Pemerintah RI agar proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik dapat dilanjutkan. Tetapi hal itu tidak berhasil, kemudian Pemerintah Indonesia mengeluarkan Keppres No 5 Tahun 1998 yang isinya menegaskan bahwa proyek-proyek yang memakan biaya besar harus dihentikan. Atas dasar Keppres No. 5 Tahun 1998 Pertamina tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan dengan KBC dalam JOC dengan alasan telah berlakunya Force Majeur, kemudian KBC menuntut Pertamina dan PLN karena dianggap melanggar kontrak dan syarat Force Majeur tidak berlaku. Syarat Force Majeur hanya berlaku untuk pihak KBC dan KBC menuntut Pertamina dan PLN melalui Arbitrase karena KBC, Pertamina dan PLN terikat oleh perjanjian Arbitrase. Tuntutan KBC terhadap Pertamina dan PLN berupa ganti rugi terhadap pelanggaran kontrak berupa kerugian atas biaya yang telah dikeluarkan sebesar US$ 96.000.000 (Sembilan puluh enam Juta Dollar Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. Amerika Serikat) dan kerugian atas kompensasi akibat kehilangan keuntungan sebesar US$ 512.000.000 (lima ratus dua belas juta Dollar Amerika Serikat) dan kerugian akibat diperolehnya harta yang tidak wajar dan adil (unjust enrichment) digabung dengan kerugian yang diderita KBC dengan bunga diperhitungkan KBC sejumlah US$ 58.600.000 (lima puluh delapan juta enam ratus ribu Dollar Amerika Serikat) serta denda yang harus dibayarkan kepada KBC sejumlah US$ 608.500 (enam ratus delapan ribu lima ratus Dollar Amerika Serikat) atau secara alternatif sebesar US$ 51.300.000 (lima puluh satu juta tiga ratus ribu Dollar Amerika Serikat) apabila majelis arbitrase memutuskan bahwa KBC berhak memperoleh US$ 837.000.000 (delapan ratus tiga puluh tujuh juta Dollar Amerika Serikat). Dalam perjanjian arbitrase disepakati bahwa choice of law adalah hukum Indonesia dan arbitrase diselenggarakan di Jenewa, Swiss berdasarkan ketentuan UNCITRAL. Dalam JOC disepakati bahwa Pertamina akan menunjuk seorang arbiter dan KBC juga akan menunjuk seorang arbiter. Kemudian para arbiter yang telah ditunjuk tersebut akan menunjuk seorang arbiter lagi untuk menjadi ketua majelis arbitrase. Setelah melalui proses penyelesaian sengketa arbitrase, majelis arbitrase memutuskan untuk menghukum Pertamina dan PLN secara tanggung renteng, untuk: a. Membayar US$ 111.000.000 (seratus sebelas juta Dollar Amerika Serikat) untuk biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh KBC ditambah dengan bunga 4% pertahun. b. Membayar US$ 150.000 (seratus lima puluh juta Dollar Amerika Serikat) untuk kehilangan keuntungan yang diharapkan ditambah dengan bunga 4% pertahun. c. Membayar US$ 66.654 (enam puluh enam ribu Dollar Amerika Serikat untuk biaya arbitrase). Terhadap putusan arbitrase tersebut, Pertamina sangat berkeberatan dan kemudian mengajukan gugatan pembatalan terhadap putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan alasan putusan telah melanggar konvensi New York dan UU No. 30 Tahun 1999. Dalam putusannya No. 86/PN/Jkt.Pst/2001, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya mengabulkan gugatan Pertamina dengan membatalkan putusan arbitrase internasional, Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. UNCITRAL di Jenewa, Swiss. Adapun beberapa alasannya antara lain pengangkatan arbiter tidak dilakukan seperti apa yang diperjanjikan dan tidak diangkat arbiter yang dikehendaki oleh para pihak berdasarkan perjanjian, sementara Pertamina tidak diberikan proper notice mengenai arbitrase ini dan tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Majelis Arbitrase telah salah menafsirkan Force Majeur, sehingga semestinya Pertamina tidak dipertanggungjawabkan atas sesuatu diluar kemampuannya. Disamping itu majelis arbitrase dianggap telah melampaui kewenangannya karena tidak menggunakan hukum Indonesia, padahal hukum Indonesia adalah yang harus dipakai menurut kesepakatan para pihak. Majelis Arbitrase hanya menggunakan hati nuraninya berdasarkan pertimbangan ex aequeo et bono. Salah satu pertimbangan penting Pengadilan Jakarta Pusat dalam kasus ini menyatakan bahwa: “dengan adanya penyebutan kata ‘antara lain’ dapat ditafsirkan bahwa untuk mengajukan pembatalan dimungkinkan digunakan alasan lain”, alasan lain yang dimaksud adalah alasan-alasan diluar ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase. Dalam perkembangan di tingkat Mahkamah Agung, putusan Pengadilan Negeri dibatalkan pada tingkat banding (kasasi) di Mahkamah Agung dengan alasan bahwa berdasarkan Pasal V (1) e Konvensi New York,12 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus kasus ini, mengingat putusan arbitrase yang dipersoalkan adalah putusan arbitrase yang dijatuhkan di Swiss. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tersebut, pertimbangan dan penerapan pasal 70 UU Arbitrase sama sekali tidak ditentang dan dikoreksi oleh Mahkamah Agung,13 namun akhirnya, oleh Mahkamah Agung, diputuskanlah 12 Pasal V ayat 1 (e) United Nation Convention on the Recognation and Enforcement of Foreign Arbital Awards : Recognation and enforcement of the award may be refused, at the request of the party against whom it is revoked, only if the party furnishes to the competent authority where the recognation and enforcement is sought, proof that: (e) the awars has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, the award was made. Gunawan Widjaja dan Michael Adrian, Peran Pengadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Oleh Arbitrase, Cet I, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm 384. 13 Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Cet.I, (Yogyakarta: Citra Media, 2006), hlm 145 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk menjatuhkan putusan pembatalan tersebut. Pertamina kemudian mengajukan permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, namun pada akhirnya Mahkamah Agung menyatakan untuk menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Pertamina terhadap Putusan Banding Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 444 PK/Pdt/2007. Sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut tentang perkara ini, pertamatama mari kita melihat bahwa terdapat setidaknya tiga hukum yang terkait dengan proses arbitrase yaitu: (i) substantive law (hukum materil), hukum yang digunakan untuk memutus perkara oleh arbitrer; (ii) hukum acara (procedural law) yang mengikat bagi para arbiter dan para pihak dalam proses pemeriksaan hingga adanya putusan; (iii) hukum dari suatu Negara yang mendasari penyelesaian sengketa melalui arbitrase (lex arbitri).14 Selanjutnya, perlulah terminologi competent authority yang diatur dalam Konvensi New York 1958 untuk dipahami secara mendalam. Pada dasarnya, terdapat dua pengertian terhadap competent authority dibawah Konvensi New York 1958, yaitu, (i) Pengadilan dari Negara dimana putusan tersebut dibuat; (ii) Pengadilan dari Negara yang hukumnya digunakan sebagai dasar pembuatan putusan arbitrase.15 Berdasar kepada perkara tersebut diatas, adalah benar apabila Pertamina tidak mendapatkan haknya untuk dapat membatalkan putusan arbitrase yang telah dijatuhkan oleh Badan Arbitrase Swiss. Hal ini dikarenakan, dibawah Konvensi New York dan UNCITRAL Arbitration Rules, Alasan-alasan penolakan dan pembatalan sebagaimana tercantum dalam Konvensi New York maupun UNCITRAL Model Law, seperti ketiadaan perjanjian arbitrase yang sah, pelanggaran terhadap prinsip kepatutan dan keadilan dalam berperkara (due process of law), misalnya: ketidakwajaran dalam pemilihan arbiter atau proses arbitrase, tidak adanya pemberitahuan yang patut atau pemberian kesempatan 14 Hikmahanto Juwana, “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan Nasional”, dalam Arbitrase Dan Mediasi, Jakarta, 08 & 09 Oktober 2002, hlm. 138 15 ibid, hlm. 141-142 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. membela diri yang adil/berimbang, proses pemilihan arbiter yang bertentangan dengan perjanjian, arbiter yang bertindak diluar kewenangan (excess of authority) dan sengketa yang diputus tidak dapat diarbitrasekan (non arbitrable), maupun alasan pelanggaran atas ketertiban umum (public policy), sepatutnya dibuktikan oleh pihak pemohon pembatalan. Terkait juga dengan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang didasarkan pada Pasal 70 UU arbitrase, pemohon pembatalan seharusnya membuktikan adanya “dugaan” yang sah bahwa putusan arbitrase tesebut mengandung “unsur” pemalsuan, tipu muslihat, atau penyembunyian fakta/dokumen. UU Arbitrase tidak secara tegas menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata “dugaan” ataupun kata “unsur” sebagaimana disebut dalam Pasal 70 tersebut. UU Arbitrase juga tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan kata “pemalsuan, tipu muslihat, atau penyembunyian fakta/dokumen” sebagaimana yang termuat dalam Pasal 70. Mengingat UU Arbitrase belum mengatur alasan-alasan yang dapat digunakan oleh Pengadilan untu membatalkan putusan arbitrase, maka nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat sehubungan dengan pembatalan putusan arbitrase dapat digali, dipahami dan diikuti. Terhadap pembatalan tersebut, Noah Rubbins mengatakan bahwa,16 “it seems eminently clear that the Indonesian Court was not the proper location in which to lodge an annulment of the Swiss Award. The Indonesian Court made two initial errors with regard to the applicability and interpretation of the New York Convention. First, while the Jakarta district court could have applied the Convention to an enforcement proceeding in Indonesia, the Convention has no place in an action to vacate an award. Second, even assuming the Convention governs annulment proceedings, the court erred in concluding that the Indonesian court is a “competent authority” to vacate the Swiss Award under the Convention.” Pernyataan tersebut merupakan fakta yang benar, Albert Jan Van Den Berg mengatakan bahwa, “telah diterima secara umum bahwa pembatalan putusan 16 Noah Rubbins, op.cit., hlm. 385 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. arbitrase asing merupakan jurisdiksi eksklusif yang dimiliki oleh Pengadilan dimana arbitrase tersebut diadakan serta berdasar kepada hukum arbitrase nasional Negara tersebut.” Pengadilan di Negara anggota Konvensi New York 1958 lainnya (competent authority) hanya dapat menentukan dapat atau tidaknya putusan tersebut dilaksanakan. Terhadap dijatuhkannya pembatalan putusan arbitrase asing tersebut oleh Pengadilan country of origin adalah berdampak luas terhadap pelaksanaannya di Negara-Negara anggota lainnya.17 Dasar dari pernyataan tersebut adalah Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New York yang mengatur bahwa,18 “the award has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law which, that award was made.” Landasan pembatalan putusan arbitrase asing oleh Pengadilan Negeri Indonesia selain mengacu kepada ketentuan ketertiban umum, juga berlandaskan kepada Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New York yang mengatur ketentuan bahwa “(under the law which), the award was made”, dimana hukum Indonesia digunakan sebagai lex arbitri dalam persidangan arbitrase Swiss ini. Ketentuan tersebut membuat Indonesia mengakui kompetensinya sebagai competent authority dan country of origin serta berhak atas pembatalan terhadap putusan arbitrase asing tersebut karena digunakannya hukum Indonesia sebagai lex arbitri. Perlu diperhatikan lebih lanjut bahwa, pada dasarnya, Pasal V ayat 1 Konvensi ini, tidak mengatur bahwa competent authority dapat membatalkan putusan dan Pasal tersebut, Pasal V(1)(e) pada dasarnya mengacu kepada hukum acara dan bukanlah hukum materiil (substantive law) maupun lex arbitri,19 dan definisi dari “law of 17 Albert Jan Van Den Berg, “Annulments of Awards in International Arbitration”, dalam Richard B. Lillich dan Charles N. Brower, International Arbitration in The 21st Century: Towards “Judicialization” and Uniformity?, (New York: Transational Publishers INC, 1994), loc.cit. 18 Pasal V ayat 1 (e), Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (New York Convention) 19 Noah Rubbins, op.cit., hlm. 382 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. which” tersebut tetap mengaku kepada hukum Negara lain yang digunakan, tapi kompetensinya dimiliki oleh “competent authorit in which the award was made.” Adanya pembatalan terhadap putusan arbitrase asing yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Indonesia tersebut melanggar ketentuan Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New York. Pada dasarnya adalah benar bahwa, dalam perkara ini hukum arbitrase Indonesia digunakan sebagai lex arbitri karena digunakan sebagai choice of law untuk menyelesaikan sengketa antara Pertamina dan KBC, namun hal tersebut tidaklah membuat Indonesia menjadi country of origin karena putusan tersebut tidak dijatuhkan di Indonesia. Pengadilan Negeri Indonesia, oleh karena itu, bukanlah merupakan “country of origin” yang dapat membatalkan putusan arbitrase tersebut, karena tempat diselenggarakannya dan dijatuhkannya putusan dalam perkara tersebut adalah di Swiss dan bukan di Indonesia. Jadi, unsur Indonesia sebagai “country of origin” tidaklah dipenuhi dalam perkara ini, dan pada akhirnya, Pengadilan Negeri Indonesia tidak memiliki hak untuk membatalkan suatu putusan. Pengadilan Negeri Indonesia hanya memiliki hak sebatas menjatuhkan dapat atau tidaknya putusan arbitrase Swiss tersebut dilaksanakan di Indonesia atau tidak, karena Pengadilan Negeri Indonesia adalah competent authority dan bukan sebagai country of origin. Prof. Hikmahanto Juwana, memberikan suatu fakta bahwa pada dasarnya, banyak pihak yang kerap salah menafsirkan bahkan menyamakan antara pembatalan dengan penolakan putusan arbitrase. Dimana terdapat perbedaan mendasar antara kedua konsep ini, yaitu:20 1. Dilihat dari segi istilah, pembatalan dalam bahasa inggris diistilahkan sebagai annulment atau set aside, sementara penolakan dalam bahasa inggris diistilahkan sebagai refusal. 2. Dari segi pengaturan proses dan alasan, dimana proses dan pembatalan putusan arbitrase diatur dalam peraturan perundangundangan suatu Negara dan tidak diatur dalam sebuah perjanjian internasional. Sementara penolakan putusan arbitrase asing justru mendapat pengaturan dalam bentuk perjanjian internasional yang 20 Hikmahanto Juwana, op.cit., 137-138 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. kemudian ditransformasikan dalam bentuk peraturan perundangundangan nasional. 3. Dari segi konsekuensi hukumnya, pembatalan putusan arbitrase berakibat pada dinafikannya (seolah tidak pernah dibuat) suatu putusan arbitrase. Terhadap putusan arbitrase asing yang dibatalkan, Pengadilan dapat meminta agar para pihak mengulang proses arbitrase. Sementara penolakan putusan arbitrase asing oleh pengadilan tidak berarti menafikan putusan tersebut. Penolakan mempunyai konsekuensi tidak dapatnya putusan arbitrase dilakukan di yurisdiksi pengadilan yang telah menolaknya. Apabila ternyata di Negara lain terdapat asset dari pihak yang dikalahkan, pihak yang dimenangkan masih dapat meminta eksekusi di Pengadilan Negara tersebut. Melihat kepada perkara diatas, pembatalan Pengadilan Negeri Indonesia terhadap putusan arbitrase asing yang dijatuhkan Badan Arbitrase Asing Swiss berdasarkan suatu landasan bahwa, putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan di Indonesia dikarenakan tidak sesuai dengan ketertiban umum dan sendi-sendi hukum Indonesia sebagaimana diatur dalam Konvensi New York 1958, dan dengan diterimanya permohonan pembatalan pelaksanaan oleh Pengadilan Negeri Indonesia pun, pada dasarnya, merupakan suatu hal yang menarik. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Hikmahanto tersebut diatas, perkara ini pada dasarnya telah disalah artikan, dimana pihak Pertamina memohonkan pembatalan, dan Pengadilan pun menyalah artikan ketertiban umum sebagai landasan pembatalan putusan arbitrase asing, dimana ketertiban umum tersebut merupakan landasan penolakan putusan arbitrase asing dibawah UU 30/1999. Menanggapi pernyataan Prof. Hikmahantor tersebut, barulah terlihat dimana letak kesalahpahaman penerapan penolakan dan pembatalan oleh Pengadilan Negeri Indonesia tersebut bila kita memperhatikan dasar penolakan dan pembatalan yang diatur dalam UU 30/1999. Dasar penolakan tersebut diatur dalam Pasal 66 (c) dan landasan pembatalan putusan arbitrase asing diatur dalam Pasal 70, UU 30/1999. Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. Sebagaimana Pasal 66 (c) mengatur bahwa:21 “Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat… (c) Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum” Selanjutnya Pasal 70:22 “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.” Selanjutnya, sehubungan dengan perkara ini, kalaupun Pengadilan Negeri Indonesia memiliki hak untuk menolak dan membatalkan putusan arbitrase asing Swiss, UU 30/1999 tidaklah mengatur secara komprehensif tentang ketentuan pembatalan putusan arbitrase asing. Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahwa, pertama, UU arbitrase Indonesia mengatur ketertiban umum sebagai dasar penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang kewenangan penolakannya dipegang secara penuh oleh Pengadilan Negeri Indonesia. Dalam hal ini, bila dilihat dalam ketentuan pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang diatur oleh UU arbitrase Indonesia, ketertiban umum bukanlah suatu ketentuan yang dapat melandasi pembatalan putusan arbitrase asing. Pasal 70, UU 30/1999 21 Pasal 66, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872 22 Pasal 70, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. diatas tidaklah mengatur tentang ketertiban umum sebagai landasan pembatalan putusan arbitrase asing. Kedua, UU 30/1999 tidaklah mengatur tentang adanya permohonan yang dapat diajukan oleh pihak yang menginginkan penolakan maupun pembatalan sebagaimana diatur oleh Konvensi New York 1958. UU arbitrase Indonesia hanyalah mengakomodir ketentuan Pasal V ayat 2 Konvensi New York sebagai landasan pengajuan keberatan terhadap pelaksanaan arbitrase asing di wilayah Negaranya yang kewenangannya hanya dimiliki oleh Pengadilan Negeri. Pihak yang bersengketa tidak dapat mengajukan permohonan penolakan pelaksanaan, karena UU 30/1999 tidak mengaturnya. Pertamina sehubungan dengan perkara ini pada dasarnya, memiliki beberapa kesempatan untuk memperoleh pembatalan terhadap putusan arbitrase asing tersebut, namun, Pertamina tidak memanfaatkan kesempatan-kesempatan tersebut dengan tepat. Hal ini dibuktikan dengan: 1. Ditolaknya permohonan banding oleh Mahkamah Agung Swiss karena tidak membayar deposit. 2. Tidak mengajukan pembuktian terhadap dasar-dasar pembatalan yang diajukannya pada saat KBC mengajukan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase Swiss di Pengadilan Negeri Amerika Serikat, dimana dasar-dasar pembatalan tersebut sangatlah dijunjung tinggi dalam hukum arbitrase Amerika Serikat. Kesempatan-kesempatan tersebut dapat membantu Indonesia memperoleh pembatalan, mengingat: (i) Mahkamah Agung Swiss merupakan forum yang paling tepat, karena Swiss merupakan country of origin; (ii) Pengadilan Negeri Amerika Serikat memiliki suatu dasar pembatalan putusan arbitrase asing yang didasari: (a) dalam penjatuhan putusan tersebut terdapat unsur korupsi, penipuan dan tidak berdasar kepada Hukum; (b) pihak arbiter secara sendiri atau bersamasama (bila lebih dari satu dewan arbiter) melaksanakan tindak pidana korupsi; (c) pihak arbiter melakukan kesalahan dengan menolak penundaan persidangan atau menolak untuk mendengarkan bukti atau materi perselisihan atau kesalahan lainnya yang menyebabkan salah satu pihak dirugikan; arbiter melampaui Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. kewenangannya atau secara sengaja menjatuhkan putusan yang tidak adil, final ataupun pasti; (d) apabila putusan arbitrase telah dibatalkan sebelumnya dimana waktu yang diatur dalam perjanjian terhadap putusan arbitrase tersebut belum kadaluarsa, Pengadilan Federal dalam hal ini dapat meminta pengakuan dari arbiter; (e) Pengadilan Negeri Amerika Serikat telah membatalkan putusan arbitrase asing tersebut atas dasar permohonan salah satu pihak diluar pihak yang bersengketa dalam arbitrase yang secara tidak langsung dirugikan oleh putusan arbitrase asing tersebut.23 Kesempatan lainnya yang sebenarnya dapat ditempuh untuk menyelesaikan perkara ini adalah dengan menyelesaikan perkara sengketa ini berdasarkan BIT (Bilateral Investment Treaty) yang telah dibentuk antara Indonesia dengan Inggris, (United Kingdom of Great Britain) yang mempersyaratkan bahwa adanya sengketa terhadap penanaman modal dapat diselesaikan dibawah International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID).24 Terhadap perkara ini, Profesor Hikmahanto Juwana memberikan komentar lanjutan sehubungan dengan pendirian majelis hakim untuk menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang melakukan pembatalan putusan arbitrase Jenewa, antara lain:25 1. Dasar hukum yang dirujuk oleh majelis hakim untuk menyatakan dirinya berwenang melakukan pembatalan. Dimana Majelis hakim kerap merujuk kepada Konvensi New York 1958 sebagai alasan kewenangan PN Jakarta Pusat melakukan pembatalan. Padahal Konvensi New York 1958 tidak mengatur masalah pembatalan, 23 United States Code §§10, United States Federal Arbitration Act 24 Pasal 7, Agreement Between The Government of The Republic Of Indonesia And The Government of The United Kingdom of Great Britain And Nothern Ireland For The Promotion And Protection of Investments 1976 25 Hikmahanto Juwana, op.cit., hlm. 143-145 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. melainkan mengatur tentang pelaksanaan putusan arbitrase. Kalaupun ada ketentuan tentang pembatalan putusan arbitrase, Konvensi New York 1958 membicarakan dalam konteks pengadilan yang diminta untuk melakukan eksekusi dapat menolaknya atas dasar adanya proses pembatalan putusan arbitrase sebagai competent authority. 2. Penafsiran Majelis Hakim terhadap putusan arbitrase yang dibatalkan oleh pengadilan Indonesia. Pengaturan pembatalan putusan arbitrase dalam UU 30/1999 seharusnya ditafsirkan sebagai lex arbitri yang mengatur proses dari pemeriksaan hingga pelaksanaan. Namun karena di UU 30/1999 tidak jelas pengaturan pasal 70, apakah pembatalan tersebut berlaku untuk putusan arbitrase asing atau tidak, serta dalam prakteknya lex arbitri hanyalah mengatur dalam konteks pelaksanaan putusan arbitrase tersebut dan tidak mengatur konteks pembatalan putusan. 3. Dibenarkannya tindakan Pertamina oleh majelis hakim sebagai pihak yang kalah untuk mendaftarkan pelaksanaan putusan arbitrase Jenewa. Prof. Hikmahanto Juwana memberikan suatu komentar terhadap berdasarkan logika apakah bisa diterima bahwa pihak yang dikalahkan secara sukarela melakukan pendaftaran putusan arbitrase asing untuk dilaksanakan di Indonesia. 4. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidaklah memberikan amar putusan yang menentukan apa yang harus dilakukan oleh para pihak setelah putusan arbitrase Jenewa tersebut dibatalkan. Dalam perkara ini, Pertamina, Pengadilan Negeri Indonesia dan UU 30/1999 tidaklah menjunjung tinggi Konvensi New York 1958 dimana Indonesia sendiri merupakan Negara anggota Konvensi tersebut. Adanya upaya pembatalan putusan yang dilakukan oleh Pertamina dan Pengadilan Negeri Indonesia tidaklah mencerminkan wujud keterikatan Indonesia yang pada dasarnya menjunjung tinggi final dan mengikatnya putusan arbitrase asing yang diputus oleh Badan Arbitrase Negara lain. Pertamina juga tidak menjunjung tinggi pelaksanaan Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. putusan arbitrase asing tersebut dengan mengajukan beberapa pengajuan banding yang mengindikasikan keberatan pelaksanaan putusan dan bahkan mengajukan permohonan pembatalan di Negara-Negara lain (forum shopping). Pertamina sudah seharusnya berhenti memohon pembatalan putusan dan banding terhadap pelaksanaan putusan tersebut setelah dijatuhkan putusan pelaksanaannya oleh Pengadilan Negeri Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan UU arbitrase Amerika Serikat menganut doktrin anti-suit injunction untuk menjaga litigasi internasional, mencegah adanya forum shopping yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa atau mencegah terjadinya kerugian lebih lanjut yang akan dialami oleh pihak yang mengajukan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase.26 Hal ini dikarenakan putusan tentang pelaksanaan putusan arbitrase asing oleh suatu Negara merupakan putusan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap,27 dan sangat dihormati esensi putusannya. Terlebih lagi, dengan adanya permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Pertamina kepada Mahkamah Agung Indonesia pada tahun 2007 dalam perkara ini,28 serta dengan diprosesnya Peninjauan Kembali tersebut oleh Mahkamah Agung, secara tidak lanjut, telah telah menyalahi Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 karena UU 30/1999 tidak mengatur ketentuan Peninjauan Kembali. Dalam hal ini, dasar hukum diprosesnya Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung adalah, yaitu Pasal 16, UU 4/2004 26 Daniel S. Tan, “Enforcing International Arbitration Agreements in Federal Courts: Rethinking the Court's Remedial Powers”, Virginia Journal of International Law, Vol. 47, Spring 2007, didapat dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=942853, diakses pada 4 Januari 2011, 12:27 WIB 27 Keren Tweeddale, op.cit., hlm. 177 28 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 444 PK/Pdt/2007 tentang Putusan Peninjauan Kembali Perkara Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Pertamina) melawan Karaha Bodas Company L.L.C., dan Perusahaan Listrik Negara (PLN), 9 September 2008, didapat dari www. http://putusan.mahkamahagung. go.id/putusan/53470896b4ed 5c05212ca1aa874fc609, diakses pada 16 Desember 2010, 13:00 WIB Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. yang mengatur bahwa,29 “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Dalam hal ini, Mahkamah Agung telah melakukan kesalahan yang sama dengan Pengadilan Negeri, Pertamina dan UU 30/1999 itu sendiri, dimana Mahkamah Agung tidak menjunjung tinggi esensi hukum arbitrase internasional. Tidak komprehensifnya serta tidak mengakomodirnya kepastian hukum dalam pengaturan UU arbitrasenya, tidak berkompetennya perangkat hukumnya dalam melaksanakan UU arbitrase Negaranya sendiri dengan baik dan benar membuat kondisi-kondisi pelaksanaan hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia sangatlah memprihatinkan, mengingat Indonesia merupakan Negara yang meratifikasi Kovensi New York. B. UU 30 Tahun 1999 Tidak Menerapkan Secara Utuh Pasal V Konvensi New York 1958 Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab sebelumnya bahwa, putusan arbitrase dibawah Konvensi New York 1958 adalah final dan mengikat bagi para pihak yang bersengketa dan pihak Negara anggota Konvensi tersebut telah memberikan suatu pengakuan terhadap final dan mengikatnya putusan arbitrase yang dijatuhkan oleh badan arbitrase asing yang berada didalam wilayah Negara anggota Konvensi New York lainnya.30 Fakta tersebut kemudian, membuat para pihak yang bersengketa memperhatikan kepentingannya sendiri-sendiri, dimana, Pihak yang dimenangkan dalam putusan arbitrase akan memohon pelaksanaan putusan kepada Pengadilan wilayah Negara Anggota lainnya agar putusan tersebut dapat menimbulkan kewajiban hukum untuk dilaksanakan oleh para pihak khususnya pihak yang tidak dimenangkan, sedangkan di satu sisi, pihak yang 29 Pasal 16, Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kuasa Kehakiman, UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 8, TLN Nomor 4358 30 Pasal III, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (New York Convention) Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. tidak dimenangkan tersebut akan melakukan berbagai cara agar putusan arbitrase yang mewajibkan dia melakukan kewajiban hukum tidak dapat dilaksanakan dan bila perlu, dibatalkan. Mengacu pada ketentuan Konvensi New York 1958, pada dasarnya, dalam Pasal V, telah secara jelas ditetapkan dan diatur landasan-landasan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang dapat diadopsi oleh Negara-Negara anggotanya yang mengatur bahwa:31 1. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dapat ditolak, berdasarkan permohonan dari salah satu pihak yang mengajukan, apabila pihak tersebut telah melengkapi atau membuktikan kepada pejabat yang berwenang (competent authority) dimana pengakuan dan pelaksanaan tersebut dimintakan/dimohonkan dengan alasan-alasan: a. Menurut hukum yang berlaku, para pihak tidak berwenang membuat perjanjian arbitrase, yang disebut sebagai incapacity atau onbevoegd. Ketidakwenangan tersebut mungkin oleh karena salah satu pihak masih dibawah umur. Atau salah satu pihak berada dibawah kuratela. Atau menurut hukum yang berlaku pada Negara tempat mana permohonan eksekusi diminta dianggap tidak berwenang untuk membuat perjanjian. b. Salah satu pihak tidak diberitahu atas penunjukkan arbiter ataupun atas adanya persidangan arbitrase maupun tidak memperoleh kesempatan yang wajar untuk melakukan pembelaan dalam mempertahankan kepentingannya. c. Putusan arbitrase yang dijatuhkan tidak sesuai dengan penegasan yang diberikan, putusan yang dimohon eksekusinya tidak sesuai dengan penegasan yang dilimpahkan, atau putusan menyimpang dari pokok sengketa yang diperjanjikan. d. Pengangkatan arbiter atau prosedur persidangan arbitrase menyimpang dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang bersengketa atau gagal dalam perjanjian tersebut dan tidak sesuai dengan hukum nasional dari Negara dimana putusan arbitrase dijatuhkan. e. Putusan arbitrase yang bersangkutan belum mengikat atau putusan tersebut telah dikesampingkan maupun telah ditunda eksekusinya oleh Pengadilan di Negara mana putusan tersebut diajukan. 31 Pasal V, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (New York Convention) Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. 2. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dapat pula ditolak apabila Pejabat yang berwenang dalam suatu Negara dimana pengakuan dan pelaksanaan tersebut dicari/dimintakan menemukan bahwa: a. Masalah yang disengketakan menurut hukum dari Negara di tempat mana permohonan diajukan, tidak boleh diselesaikan melalui forum arbitrase. b. Pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing yang bersangkutan akan menimbulkan pertentangan dengan “ketertiban umum”. Berdasarkan kepada pengaturan diatas, dapatlah dilihat bahwa, Konvensi New York mengatur dua macam penolakan pelaksanaan putusan arbitrase yaitu, penolakan yang didasari oleh adanya permohonan penolakan yang diajukan oleh salah satu pihak dan penolakan yang diberikan secara khusus kepada kewenangan Pengadilan Nasional berdasarkan pelaksanaan putusan yang tidak sesuai dengan hukum Negara tersebut, serta adanya ketertiban umum yang akan dilanggar dengan pelaksanaan putusan tersebut.32 Terhadap penolakan yang diajukan oleh salah satu pihak yang keberatan terhadap pelaksanaan putusan arbitrase tersebut, Konvensi telah mengakomodir hak dari pihak yang tidak dimenangkan dalam putusan arbitrase untuk dapat mengajukan keberatan dalam bentuk penolakan pelaksanaan putusan arbitrase dalam Pasal V ayat 1-nya. Sesuai dengan ketentuan tersebut, perlu untuk digarisbawahi bahwa, adanya permohonan penolakan terhadap suatu putusan arbitrase asing haruslah memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal V ayat 1 tersebut, dimana, penolakan terhadap pengakuan dan pelaksanan putusan arbitrase tersebut harus memenuhi unsur pembuktian yang mendukung alasan yang diajukan tersebut.33 Sehubungan dengan penolakan yang diatur oleh Konvensi New York, di bawah UU arbitrase Indonesia, yaitu UU 30/1999, suatu putusan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan berdasarkan tiga hal yaitu: 32 Albert Jan Van Den Berg, “The New York Convention of 1958: An Overview”, op.cit., hlm. 13-14 33 Noah Rubbins, op.cit., hlm. 386; Susan Choi, op.cit., hlm. 189 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. 1. Putusan arbitrase internasional yang dijatuhkan bukan berasal dari badan arbitrase di Negara anggota Konvensi New York. Merupakan persyaratan dan kesepakatan awal ratifikasi Konvensi New York 1958 yang harus dipenuhi oleh Negara anggotanya. 2. Putusan arbitrase internasional bukan merupakan sengketa dagang internasional. Serupa dengan poin pertama, ini merupakan suatu persyaratan dan kesepakatan awal yang harus dipenuhi dibawah Konvensi New York 1958. Untuk suatu putusan arbitrase dapat diakui dan dilaksanakan oleh suatu Pengadilan Nasional Negara yang dimohonkan pelaksanaannya memang harus berupa sengketa dagang.34 Ketentuan Pasal ini tidaklah bertentangan dengan ketentuan Konvensi New York 1958 dan telah dipertegas dalam Lampiran Perpres 34/1981 yang mengatur bahwa, “pelaksanaan penerapan Konvensi hanya terbatas mengenai perselisihan yang timbul secara sah dari perjanjian yang berkenaan dengan bidang Hukum Perdagangan menurut Hukum Dagang Indonesia.”35 Pasal 66 UU 30/1999 juga telah mengatur bahwa perniagaan; perbankan; keuangan; penanaman modal; industri; dan hak kekayaan intelektual termasuk kedalam unsur Hukum Dagang Indonesia.36 3. Putusan bertentangan dengan ketertiban umum. Poin ini yang mengatur tentang ketertiban umum yang terdapat dalam Pasal 66 (c) UU 30/1999. UU 30/1999 akan tetapi, hanya 34 Pasal I (c), Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (New York Convention) 35 M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 50 36 Penjelasan Pasal 66 (b), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. memberikan suatu pembatasan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak bertentangan terhadap ketertiban umum, dimana, definisi terhadap terminologi “ketertiban umum” itu sendiri tidaklah diberikan oleh UU 30/1999. 37 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya serta mengacu kepada perkara Pertamina melawan KBC, UU 30/1999 tidaklah komprehensif dalam pengaturan arbitrasenya dan salah satunya dibuktikan dengan melihat kepada ketentuan diatas, dimana UU arbitrase Indonesia hanya menerapkan sebagian dari ketentuan Pasal V Konvensi New York 1958. UU arbitrase Indonesia hanya mengenal ketertiban umum sebagai landasan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing di dalam wilayah Negara Republik Indonesia (karena dua poin sebelumnya sudah merupakan persyaratan dan kesepakatan yang diatur dalam ratifikasi Konvensi New York 1958) dan pada kenyataannya, definisi terhadapnya pun tidak diatur dalam UU ini. Tidak diaturnya definisi tentang ketertiban umum dibawah UU 30/1999 berbeda dengan Perma 1/1990 yang secara khusus telah mengatur definisinya dalam Pasal 4 (2)-nya yang mengatur bahwa,38 “Exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase Asing itu nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum).” Ketertiban umum sebagaimana diartikan dalam Perma 1/1990 ini kemudian, secara umum telah diterima sebagai definisi universal oleh masyarakat hukum Indonesia, walaupun, UU 30/1999 tidak mengatur didalamnya. 37 Pasal 66 (c), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872 38 Pasal 4 (2), Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. Ketentuan penolakan berdasarkan prinsip ketertiban umum pada dasarnya, telah diterima secara universal oleh masyarakat internasional khususnya dalam lingkup pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing menurut Konvensi New York 1958. Definisi ketertiban umum merupakan suatu perlindungan terhadap kepentingan nasional dan merupakan suatu konsep yang samar-samar yang berbeda-beda antara Negara dan Pengadilan Negara-Negara anggota telah menerima suatu pandangan bahwa penentuan karakter dari definisi “ketertiban umum” merupakan kebijakan masing-masing negara, dikarenakan setiap negara bebas dalam menentukan definisi ketertiban umum dalam konteks sistem tata hukum negara mereka.39 Sebagaimana kita lihat dalam perbandingan pengaturan ketentuan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing antara kedua perangkat hukum (Konvensi New York 1958 dan UU 30/1999) diatas dan sebagaimana telah dijelaskan pada Sub-Bab sebelumnya, dapatlah diambil kesimpulan bahwa sebenarnya Indonesia benar-benar hanya menerapkan sebagian ketentuan Konvensi New York 1958 dan pengaturan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang diatur dalam UU 30/1999 tersebut kurang memadai serta tidak jelas dan tegas, terutama ketentuan yang mengatur ketertiban umum sebagai landasan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Terlebih lagi ketentuan “ketertiban umum” dengan tidak boleh bertentangannya pelaksanaan putusan arbitrase asing dengan sendi-sendi asasi hukum nasional Negara ditempat putusan tersebut dimohonkan, pada dasarnya, telah diatur dalam Pasal V ayat 2 (a) Konvensi New York 1958. Dalam hal ini berarti, penolakan pelaksanaan putusan arbitrase di Negara Republik Indonesia yang diatur dibawah UU 30/1999 hanya menerapkan Pasal V ayat 2 Konvensi New York tanpa mengikutsertakan ketentuan Pasal V ayat 1 Konvensi tersebut untuk dapat diterapkan di dalamnya. UU 30/1999 yang hanya menerapkan Pasal V ayat 2 tersebut, mengatur ketertiban umum yang prosedur penolakan hanya dapat terjadi pada suatu putusan 39 Erman Rajagukguk, “Implementation of The 1958 New York Convention in Several Asian Countries: The Refusal of Foreign Arbitral Awards Enforcement On The Grounds of Public Policy”, op.cit., hlm. 11 & 3 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. yang telah didaftarkan namun setelah diperiksa ulang, putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan di Indonesia oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. UU 30/1999 , maka dari itu, tidaklah memberikan hak kepada pihak yang memohon penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia dibawah Pasal V ayat 1 Konvensi New York, karena UU 30/1999 tidak mengaturnya. Dengan kata lain, penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing dipegang sepenuhnya oleh wewenang Pengadilan Negeri tanpa mengakui adanya prosedur permohonan penolakan yang dapat diajukan oleh pihak yang tidak dimenangkan dalam putusan arbitrase asing tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Sub-bab sebelumnya, tidak diaturnya ketentuan permohonan tersebut akan tetapi, sangatlah berbeda dengan praktek pelaksanaan UU arbitrase di Indonesia, dimana Pihak yang tidak dimenangkan dalam putusan arbitrase kerap kali mengajukan permohonan keberatan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Fakta yang menarik lainnya sehubungan dengan banyaknya permohonan penolakan putusan arbitrase asing ini adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun menerima dan memeriksanya, dimana pada dasarnya, pihak Pengadilan seharusnya tidak berwenang untuk melakukan penerimaan dan pemeriksaan permohonan tersebut terhadap tidak adanya ketentuan yang diatur dalam suatu perundang-undangan. Adanya fakta-fakta ini dikarenakan (i) Baik para pelaku usaha maupun perangkat hukum arbitrase Indonesia kerap menyalahartikan antara penolakan dan pembatalan; (ii) dikarenakan adanya landasan hukum yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 (“UU 4/2004”) tentang Kuasa Kehakiman yang mengatur bahwa,40 “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” UU 30/1999 mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase dimana hal tersebut secara nyata berbeda dengan penolakan pembatalan pelaksanaan putusan 40 Pasal 16, Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kuasa Kehakiman, UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 8, TLN Nomor 4358 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. arbitrase asing. Ketentuan tersebut secara lebih lanjut diatur dalam Pasal 70-nya yang menentukan bahwa: “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.” Selanjutnya, Pasal 71 mengatur bahwa:41 “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.” Serta Pasal 72:42 1. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. 2. Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. 3. Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima. 4. Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. 41 Pasal 71, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872 42 Pasal 72, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. 5. Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung. Melihat kepada ketentuan pembatalan tersebut, pada dasarnya bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Konvensi New York karena pada dasarnya, Konvensi New York tidak mengatur tentang adanya unsur pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase asing, Konvensi New York 1958 mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.43 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya juga bahwa, pembatalan/pengesampingan terhadap putusan arbitrase asing terdapat dalam Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New York 1958 dan Pasal tersebut mengatur secara lebih lanjut terhadap adanya pengesampingan pelaksanaan putusan arbitrase asing bila putusan arbitrase yang bersangkutan belum mengikat atau putusan tersebut telah dikesampingkan maupun telah ditunda eksekusinya oleh Pengadilan di Negara mana putusan tersebut diajukan. Konvensi New York dalam hal ini, secara khusus mengatur adanya suatu pembatalan putusan arbitrase asing yang hanya bisa diajukan kepada dan hanya diputus oleh Pengadilan Negara anggota dimana penyelesaian sengketa arbitrase tersebut diadakan (country of origin). Mengacu pernyataan Albert Jan Van Den Berg pada sub-bab sebelumnya yang mengatakan bahwa, Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New York 1958 memberikan dua pendekatan terhadap pembatalan putusan arbitrase asing:44 1. Telah diterima secara umum bahwa pembatalan putusan arbitrase asing merupakan jurisdiksi eksklusif yang dimiliki oleh Pengadilan dimana arbitrase tersebut diadakan serta berdasar kepada hukum arbitrase nasional Negara tersebut. Pengadilan di Negara anggota Konvensi New York 1958 lainnya hanya dapat menentukan dapat atau tidaknya putusan tersebut dilaksanakan. 43 Terhadap Albert Jan Van Den Berg mengatakan bahwa, “The actions governed by the Convention do not include the setting aside (vacatur, annulment) of anarbitral award,” sebagaimana tertulis dalam Albert Jan Van Den Berg, “The New York Convention of 1958: An Overview”, op.cit., hlm. 4; Werner Melis, “Considering the advisability of preparing an additional Convention, complementary to the New York Convention,” dalam “Enforcing Arbitration Awards under the New York Convention”, (New York: United Nations Publications, 1999), hlm. 45 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. dijatuhkannya pembatalan putusan arbitrase asing tersebut oleh Pengadilan country of origin adalah berdampak luas terhadap pelaksanaannya di Negara-Negara anggota lainnya. 2. Negara anggota lainnya dapat mengadopsi seluruh atau sebagian dasar penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah Negaranya. Sebagai contoh, UNCITRAL Model Law 1985 yang menyediakan ketentuan penolakan tersebut dalam Pasal 34-nya yang mengatur bahwa Pengadilan Negara anggota Konvensi New York 1958 yang telah mengadopsi Model Law dapat mengesampingkan putusan arbitrase asing yang dijatuhkan berdasarkan Konvensi New York 1958 dengan dasar yang pengaturannya hampir mirip dengan dasar penolakan yang diatur dalam Pasal V Konvensi tersebut. Selanjutnya mengacu kepada pernyataan Albert Jan Van Den Berg, UNCITRAL Model Law 1985 mengatur dalam Pasal 34-nya, beberapa kriteria pengesampingan putusan arbitrase asing yang serupa dengan Konvensi New York serta yang dapat diajukan kepada Pengadilan Nasional dalam jangka waktu 3 bulan setelah putusan arbitrase asing diterima dengan syarat bahwa pihak tersebut telah melengkapi atau membuktikan kepada pejabat yang berwenang (Pengadilan) 44 Albert Jan Van Den Berg, mengatakan bahwa, “First, it is a generally accepted rule that the setting aside of an arbitral award pertains to the exclusive jurisdiction of the courts in the country of origin (i.e., the country in which, or – rather theoretically - under the law of which, the award was made) and is to be adjudicated on the basis of the arbitration law of that country. This rule appears to underlie the ground for refusal of enforcement set forth in Article V(1)(e) of the Convention (“The award ... has been set aside ... by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made”). The courts in the other Contracting States may only decide under the Convention whether or not to grant enforcement of the award within their jurisdiction; Second, a country may adopt all or most of the grounds for refusal of enforcement set forth in Article V of the Convention as grounds for setting aside arbitral awards made within its jurisdiction. An example is the UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration of 1985 which provides in Article 34 that a court of a country that has adopted the Model Law may set aside an arbitral award rendered under that Law (as implemented) on grounds that are virtually identical to the grounds for refusal of enforcement listed in Article V of the Convention (except for ground (1)(e)), sebagaimana tertulis dalam Albert Jan Van Den Berg, op.cit., hlm. 138-156 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. dimana pengakuan dan pelaksanaan tersebut dicari/dimintakan dengan alasanalasan, yaitu:45 a. Bahwa pihak dalam arbitrase tidak berkapasitas terhadap putusan. b. Perjanjian arbitrase tidak valid dibawah hukum yang diterapkan. c. Pengumuman atau pemberitahuan terhadap penunjukkan Pengadilan arbitrase ataupun persidangannya. d. Salah satu pihak tidak dapat mempertahankan kepentingannya dalam pembelaan. e. Komposisi panel arbiter tidak sesuai dengan perjanjian para pihak yang bersengketa. f. Bahwa subjek sengketa tidak dapat diselesaikan dibawah arbitrase berdasarkan hukum nasional dari tempat diadakannya persidangan arbitrase tersebut atau bertentangan dengan ketertiban umum dari Negara tersebut. Berdasarkan kepada penjelasan diatas, perlu digarisbawahi bahwa, Konvensi New York tidak mengatur tentang pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase yang dapat dilakukan oleh Pengadilan Negara anggotanya, kecuali pembatalan tersebut dilakukan oleh Negara tempat dimana arbitrase tersebut diselenggarakan (country of origin). Selanjutnya, Konvensi New York mengatur bahwa Pengadilan-Pengadilan Negara anggota lainnya yang bukan merupakan country of origin dan competent authority hanya berfungsi sebagai forum yang dapat memberikan exequatur terhadap pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut di wilayah Negaranya. Sehubungan dengan ketentuan pembatalan yang diatur oleh UNCITRAL Model Law diatas, Negara-Negara anggota Konvensi New York pada dasarnya, diberikan hak untuk mengadopsi sebagian atau keseluruhan ketentuan-ketentuan pengesampingan/pembatalan sebagaimana diatur dalam UNCITRAL Model Law sebagai acuan terhadap pengesampingan/pembatalan putusan arbitrase asing 45 Pasal 34, United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Model Law 1985 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. maupun penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing di wilayah Negara yang mengadopsinya tersebut. Perlulah digarisbawahi bahwa dasar pembatalan dan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam UNCITRAL Model Law yang dapat diadopsi oleh Negara-Negara anggota Konvensi New York tersebut, serta diperbolehkannya penerapan dasar pembatalan dan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing di wilayahnya, tetap tidak melandasi pemberian hak kepada Pengadilan suatu Negara untuk dapat membatalkan putusan arbitrase asing yang dijatuhkan oleh badan arbitrase ketika Negara tersebut tidak menjadi tempat diselenggarakannya penyelesaian sengketa arbitrase tersebut. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, dibawah Pasal V ayat 1 (e) (yang tidak diadopsi dan diterapkan Indonesia) Pengadilan Negara anggota yang bukan merupakan country of origin (competent authority but not country of origin) hanyalah memperoleh hak untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing terlepas Negara tersebut mengadopsi UNCITRAL Model Law atau tidak. Pada dasarnya, adopsi dasar-dasar pembatalan/pengesampingan putusan arbitrase asing dibawah UNCITRAL Model Law hanyalah dapat digunakan sesuai dengan ketentuan Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New York, yaitu apabila Negara anggota yang mengadopsi ketentuan tersebut merupakan country of origin, dimana badan arbitrase nasional yang didirikan berdasarkan hukum nasional Negaranya, ditunjuk oleh para pihak investor maupun pelaku usaha bisnis dan perdagangan internasional sebagai forum penyelesaian sengketa mereka. Negara anggota yang telah mengadopsi ketentuan pembatalan putusan arbitrase asing dilarang mempergunakan ketentuan tersebut untuk melindungi kepentingan nasionalnya apabila pihak pelaku usaha Negaranya terlibat dalam sengketa tersebut. Selanjutnya, terhadap Competent authority yang bukan merupakan country of origin, putusan arbitrase asing yang hanya dapat diajukan pelaksanaan ataupun penolakan sebagai perlawanan (challenge) terhadap kewenangan badan arbitrase terhadap penjatuhan putusan arbitrase yang telah diputuskan dan salinannya telah diberikan kepada para pihak. Konvensi New York hanya memberikan hak kepada Negara anggotanya sebatas penolakan pelaksanaan Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. putusan arbitrase asing yang disertai dengan adanya pembuktian yang konkret dalam persidangan arbitrase nantinya. Alan Redfern dan Martin Hunter memberikan beberapa dasar untuk dapat mengajukan keberatan terhadap penjatuhan putusan arbitrase oleh badan arbitrase asing:46 1. Badan arbitrase asing tersebut kurang memiliki jurisdiksi untuk menjatuhkan putusan arbitrase (arbitrability). Ketentuan ini mengacu kepada adanya fakta yang didasari oleh perjanjian antara pihak yang bersengketa, dimana kemudian perjanjian tersebut dapat membuktikan bahwa Badan arbitrase tersebut: (i) tidak dibentuk secara tepat, (ii) tidak berkompetensi untuk menjatuhkan putusan terhadap subjek sengketanya; dan (iii) subjek sengketa tersebut dapat diajukan penyelesaian sengketa di hadapan arbitrase. 2. Kurangnya asas due process of law. Dalam ketentuan ini, pihak yang bersengketa tidak diberitahukan terhadap adanya pembentukan panel arbiter ataupun terhadap adanya persidangan arbitrase itu sendiri 3. Perjanjian yang dibentuk para pihak yang bersengketa tidak valid. Perjanjian yang dibentuk oleh para pihak tidak menyebutkan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa diantara mereka. 4. Permasalahan jurisdiksi Pengadilan arbitrase melampaui kewenangannya dalam memutus sengketa antara para pihak dimana sengketa tersebut tidak didaftarkan kepada Pengadilan. 5. Ketertiban Umum Adanya ketertiban umum yang dilanggar dapat diajukan pengesampingan atau pembatalan berdasarkan definisi dari ketertiban umum tersebut dimana setiap Negara menentukan definisi dari ketertiban umum itu sendiri. 46 Alan Redfern, op.cit., hlm. 425-431 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. berhak Melihat kepada penjelasan-penjelasan diatas, dapatlah disimpulkan bahwa, Konvensi New York tidaklah memberikan pengaturan terhadap pembatalan putusan arbitrase internasional. Konvensi New York hanyalah memberikan suatu gambaran kepada Negara anggotanya tentang siapa yang berwenang untuk menjatuhkan pembatalan. Prof. Hikmahanto Juwana menambahkan bahwa, pembatalan biasanya tidak diatur dalam konteks perjanjian internasional, tetapi diatur dalam konteks hukum nasional suatu Negara.47 Bila melihat kepada pengaturan dan praktek pelaksanaan penolakan putusan arbitrase di Indonesia merupakan fakta yang sangat memprihatinkan mengingat Hal ini merupakan suatu fakta yang memprihatinkan mengingat, (i) Konvensi New York tidak mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase asing di wilayah Negara yang bukan merupakan Country of Origin; (ii) berdasarkan Konvensi New York 1958, Indonesia yang pada faktanya, sering menjadi Negara yang bukan merupakan country of origin, sering melakukan pembatalan terhadap putusan arbitrase asing yang dijatuhkan oleh badan arbitrase Negara anggota Konvensi New York lainnya; (ii) ketertiban umum digunakan sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik Indonesia, pada kenyataannya, tidak jelas pengaturan definisinya; (iii) tidak ada definisi pasti tentang ketertiban umum (iv) dasar ketertiban umum tersebut bukanlah dasar pembatalan putusan arbitrase asing, melainkan sebagai dasar penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing; dan (v) dimana, dasar ketertiban umum yang merupakan dasar penolakan pelaksanaan (bukan pembatalan) dibawah UU arbitrase Indonesia tersebut, kewenangan penolakan putusan arbitrase asingnya sepenuhnya dimiliki oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (tidak dimohonkan). Berdasar kepada tidak sesuainya ketentuan UU arbitrase Indonesia, maka, perlulah dilakukan amandemen terhadapnya, khususnya amandemen terhadap penerapan ketentuan penolakan dan pembatalan dengan mengadopsi ketentuan pasal pembatalan dan penolakan yang telah diterima oleh dunia internasional secara universal. 47 Hikmahanto Juwana, op.cit., hlm. 84 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. Indonesia pada dasarnya, dapat mengatur UU arbitrasenya secara lebih detail dan dapat mengadopsi sebagian atau seluruh ketentuan UNCITRAL Model Law 1985 sebagai landasan pengaturan UU arbitrase Indonesia, dan terhadap ketentuan yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional Negara Indonesia, dapat dilakukan perubahan demi tercapainya aspek hukum penyelesaian sengketa secara keseluruhan. Cara lainnya yang dapat ditempuh oleh Indonesia adalah dengan merubah secara keseluruhan ketentuan penolakan dan pembatalan yang diatur dalam UU 30/1999 sehingga menjadi komprehensif sehingga seperti ketentuan yang diatur UNCITRAL Model Law tanpa harus mengadopsinya seperti Inggris. Sebagai suatu Negara yang telah meratifikasi Konvensi New York 1958 seharusnya Indonesia lebih aware dan careful dalam pembentukan UndangUndangnya agar dapat melaksanakan kewajiban internasionalnya yang diatur dalam Konvensi yang telah diratifikasinya tersebut, oleh karena itu, maka UU 30/1999 perlu diamandemen. Setiawan menambahkan bahwa, “di dalam kesempatan ini, kalau kita memang mau konsisten masuk ke dunia global, memang kita tidak bisa menghindarkan diri untuk mengikuti apa yang sudah disepakati di dunia luar.”48 C. Penerapan dan Pelaksanaan Konvensi New York dalam UU 30 Tahun 1999 mengalami Banyak Hambatan Sebagaimana telah dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya, sebelum hukum arbitrase Indonesia yaitu UU 30/1999 diundangkan, pada dasarnya Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang membahas arbitrase secara khusus terutama arbitrase internasional. Perma 1/1990 merupakan satu-satunya perangkat hukum diluar Undang-Undang yang secara khusus telah mengatur tata cara pelaksanaan arbitrase asing di Indonesia, hanya saja dalam pelaksanaannya, Perma ini masih tumpang tindih dengan hukum acara perdata Indonesia yang tidak menerima putusan luar negeri untuk dapat dilaksanakan di Indonesia. Belum adanya peraturan khusus tersebut membawa Indonesia ke dalam suatu kondisi dimana pihak investor asing maupun pelaku usaha transaksi bisnis serta 48 Winata E. Kusnandar, op.cit., hlm. 81 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. perdagangan internasional tidak percaya dengan penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di Indonesia. Hal tersebut sudah dibuktikan dengan banyaknya putusan-putusan perkara arbitrase yang diputuskan oleh badan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Diundangkannya UU 30/1999 sebagai UU arbitrase pertama Indonesia, dimana di dalamnya, pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dibahas secara khusus dalam Bab terpisah dan komprehensif, diharapkan dapat memperbaiki pengaturan terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak secara khusus membahas tentang arbitrase sebelum UU tersebut diundangkan, serta berdasar kepada fakta bahwa meskipun Pemerintah Indonesia telah terikat peraturan-peraturan internasional yang berkaitan dengan arbitrase. Pada kenyataannya, akan tetapi, UU tersebut belumlah dapat mengakhiri kesulitan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia.49 Berdasar kepada fakta-fakta diatas. dapat dikatakan bahwa, UU 30/1999 belum dapat mengakomodir pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing secara efektif di Indonesia. Ketidakefektifan hukum arbitrase yang diatur dalam UU 30/1999 akan berakibat kepada suatu ketidakpastian serta ketiadaan jaminan hukum yang dapat diberikan kepada suatu subjek dan objek hukum yang diaturnya. Oleh karena itu, UU 30/1999 dapat dikatakan belum dapat memberikan suatu jaminan dan kepastian hukum sehubungan dengan putusan arbitrase asing yang dijatuhkan oleh badan arbitrase asing untuk dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia. Beberapa hambatan dalam pelaksanaan UU 30/1999 disebabkan karena substansi UU 30/1999 yang tidak serupa dengan ketentuan Konvensi New York, aparat Hukum kurang mendukung pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia, serta budaya Hukum masyarakat terhadap arbitrase asing Lemah karena Landasan Prinsip Teritorial. C.1. Substansi Hukum Arbitrase Indonesia tidak Serupa dengan Ketentuan Konvensi New York 49 Wisnu Aryo Dewanto, “Tinjauan Hukum Mengenai Sulitnya Melaksanakan Putusan Arbitrase,” Jurnal Yustika, Volume 7 Nomor 2, Desember 2004, hlm. 361 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. Pada dasarnya, Konvensi New York 1958 telah memberikan suatu pengaturan yang spesifik tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam lingkup hukum internasional untuk kemudian diterapkan ke dalam hukum nasional negara anggotanya. Ketentuan-ketentuan mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang diatur Konvensi ini telah menjadi universalitas ketentuan yang digunakan oleh banyak negara di dunia internasional. Sehubungan dengan penerapan ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dibawah Konvensi New York 1958, substansi hukum arbitrase Indonesia dalam UU 30/1999 yang merupakan unsur yang sangat penting dalam sistem hukum, telah mengatur pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang cukup jelas dan tegas, bila dibandingkan dengan masa sebelum adanya pengaturan yang secara khusus mengatur tentang arbitrase asing (sebelum adanya UU No. 30 Tahun 1999). Hal tersebut ternyata masih belum dapat memberikan suatu titik tolak kepastian hukum penyelesaian sengketa yang dapat membuktikan bahwa UU arbitrase Indonesia sudah dapat menerima suatu putusan arbitrase yang dijatuhkan oleh badan arbitrase asing. Terdapat beberapa hal yang menunjukkan bahwa substansi UU 30/1999 sebagai UU yang khusus mengatur tentang arbitrase kurang dapat mengakomodir pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah Negara Republik Indonesia. C.1.a. UU 30/1999 tidak Menerapkan Ketentuan Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Konvensi New York 1958 Diratifikasinya Konvensi New York 1958 oleh Indonesia pada dasarnya telah menunjukkan penerimaan Indonesia terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya serta menunjukkan kesiapan Indonesia dalam menerapkan ketentuan-ketentuannya dalam UU arbitrase sehingga memiliki dampak pelaksanaan Konvensi dalam lingkup hukum internasional. Namun pada kenyataannya, UU 30/1999 tidak menerapkan ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana diamanatkan Konvensi New York 1958. Sebelum memasuki pembahasan tentang UU 30/1999 tidak menerapkan ketentuan Konvensi New York 1958, kita perlu melihat dasar-dasar penerapan Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. ketentuan-ketentuan arbitrase asing yang dibahas dalam UU 30/1999. Dapat kita lihat ketentuan yang mengatur tentang definisi putusan arbitrase asing di UU 30/1999, yaitu pada Pasal 1 ayat 9 yang menyatakan bahwa,50 “putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional,” cukup membuktikan bahwa, suatu putusan arbitrase internasional akan diakui sebagai suatu putusan arbitrase asing, apabila ketentuan hukum Republik Indonesia mengatur tentang hal tersebut. Hal ini membuktikan serta memberikan garis batas yang jelas bahwa apabila hukum Indonesia mengatur bahwa putusan tersebut merupakan suatu putusan arbitrase internasional, maka putusan tersebut diakui oleh hukum Indonesia sebagai putusan arbitrase asing yang dapat dilaksanakan di Indonesia, namun sebaliknya, bila hukum Indonesia tidak mengatur putusan tersebut sebagai putusan arbitrase asing didasarkan oleh beberapa alasan, maka putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Selanjutnya, melihat definisi tentang “putusan arbitrase asing” yang diatur dibawah Konvensi New York mengacu kepada dua definisi yaitu: 1. Putusan yang dijatuhkan dalam teritori Negara lain diluar dari Negara dimana pengakuan dan pelaksanaan putusan dimohonkan.51 Menurut ketentuan ini, pihak Negara anggota menyetujui terhadap putusan yang dibuat di negara manapun. 2. Putusan yang dijatuhkan dalam teritori negara anggota Konvensi New York lainnya.52 50 Pasal 1 ayat 9, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872 51 Pasal I ayat 1, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (New York Convention) Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. Ketentuan ini merupakan permohonan reservasi yang disediakan oleh Konvensi ini untuk diterapkan dalam hukum nasional mereka berdasarkan pasal XIV, dimana, ketika reservasi ini dibuat, maka pihak negara yang melakukan reservasi tersebut hanya mengakui pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase asing yang dijatuhkan oleh badan arbitrase yang terletak di Negara anggota Konvensi New York (Asas Resiprositas). Definisi putusan arbitrase asing dalam UU 30/1999 serta pengaturan definisi dibawah Konvensi New York, kemudian secara lebih lanjut dijelaskan dalam Bab VI, UU 30/1999 (bab yang secara khusus mengatur tentang arbitrase internasional) dalam Pasal 66-nya yang mengatur bahwa:53 “Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional; b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.” Pasal ini menandakan bahwa Indonesia mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase asing dalam wilayahnya apabila Indonesia memiliki hubungan yang terikat melalui perjanjian bilateral maupun multilateral dengan negara lain sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional (asas resiprositas), serta yang termasuk dalam lingkup hukum dagang. Adanya ketentuan pasal tersebut, berarti 52 Pasal I ayat 3, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (New York Convention) 53 Pasal 66, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. Indonesia telah menjalankan ketentuan asas resiprositas yang dianut Konvensi New York 1958. Telah dijelaskan pada Bab-Bab sebelumnya, Indonesia telah menjadi negara anggota Konvensi New York dan mengikatkan diri kepada Konvensi tersebut dengan diundangkannya Keppres 34/1981 sebagai wujud ratifikasi Indonesia terhadap Konvensi tersebut. Diterbitkannya Keppres 34/1981 yang menganut asas resiprositas kemudian diikuti oleh penerbitan Perma 1/1990 yang berlandaskan asas yang sama pula. Kehadiran UU 30/1999 sendiri, pada dasarnya merupakan suatu penerapan asas resiprositas yang ada dalam Keppres 34/1981 dan Perma 1/1990, akan tetapi, terdapat suatu hal yang menarik dalam UU 30/1999 ini yang kemudian menimbulkan beberapa pertanyaan terhadap konsistensi Indonesia sebagai negara anggota Konvensi New York 1958 dan kompetensi UU 30/1999 sebagai UU penerapan ketentuan Konvensi tersebut. Pada kenyataannya, UU 30/1999 tidak mendasari ketentuan pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asingnya sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi New York 1958, walaupun Undang - Undang ini telah mengakomodir pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing sebagaimana diatur dalam Konvensi New York 1958. Hal ini dapat dibuktikan pada sedikitnya ketentuan Konvensi New York yang diadopsi dan diterapkan serta yang paling krusial terletak di bagian Konsideran UU 30/1999 dimana bagian Konsideran UU 30/1999 tidak mempertimbangkan adanya Konvensi New York sebagai landasan pengaturan arbitrase asing dalam Pasal-pasalnya. UU 30/1999 bahkan tidak mempertimbangkan adanya beberapa peraturan yang telah ada sebelumnya sebagai peraturan yang melaksanakan ketentuan Konvensi New York, yaitu Keppres 34/1981 dan Perma 1/1990. Adapun bagian Konsideran yang dimaksud dalam UU 30/1999 tersebut mempertimbangkan bahwa:54 a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa; 54 Konsideran, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. b. bahwa peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu membentuk Undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Konsideran yang tidak merunut kepada pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana dimaksud dalam Konvensi New York 1958 serta Keppres 34/1981 dan Perma 1/1990, menunjukkan bahwa Indonesia tidak mempertimbangkan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dibawah Konvensi New York 1958. Ketentuan mengenai Konsideran sebagai dasar pertimbangan diundangkannya UU 30/1999 adalah sangat berbeda dengan Konsideran yang digunakan dalam Perma 1/1990. Dimana, Konsideran Perma 1/1990 tersebut menimbang:55 1. Bahwa dengan disahkan "Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards " (New York Convention 1958) dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981, dipandang perlu untuk menetapkan peraturan tentang tata cara pelaksanaan suatu putusan Arbitrase Asing. 2. Bahwa ketentuan-ketentuan hukum acara perdata Indonesia sebagaimana terdapat dalam Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Stbl. 1914 No. 44), Reglemen Daerah-daerah Luar Jawa dan Madura (S. 1927-227) maupun ketentuan-ketentuan Reglement op de Rechtsvordering (S. 1847-52 yo 1849-63) tidak memuat ketentuan mengenai pelaksanaan suatu putusan Arbritase Asing. 3. Bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk menuangkan ketentuan-ketentuan tentang tata cara pelaksanaan suatu putusan Arbitse Asing itu dalam suatu peraturan Mahkamah Agung.” Merupakan suatu hal yang sangat menarik apabila kita melihat kepada Konsideran UU 30/1999, dan menganggap UU 30/1999 sebagai Undang - Undang yang secara khusus mengatur tentang arbitrase asing dan secara pasti telah mengakomodir ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang diamanatkan Konvensi New 55 Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. York dalam Pasal-Pasalnya. Undang - Undang ini, pada dasarnya tidak melandasi Konvensi New York 1958 sebagai landasan pertimbangan pengundangannya, serta tidak memperhatikan dan menimbang Keppres 34/1981 yang secara khusus telah mengatur tentang pengakuan dan pengesahan Konvensi New York 1958 dan Perma 1/1990 yang telah secara khusus mengatur tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Berdasar kepada fakta tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa konsistensi Indonesia sebagai negara anggota Konvensi New York adalah tidak jelas, serta UU 30/1999 bukanlah Undang - Undang yang berkompeten untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase asing dibawah Konvensi New York 1958 karena tidak mengadopsi dan menerapkan ketentuan Konvensi tersebut dalam pengaturannya terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Pertanyaan yang selanjutnya muncul dari pemaparan diatas adalah apakah kemudian putusan arbitrase asing yang diputus oleh badan arbitrase asing yang memiliki perjanjian dengan Indonesia tetap diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah Negara Republik Indonesia. Berdasar kepada persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 66, Penulis menyatakan bahwa putusan-putusan tersebut tetap diakui dan dapat dilaksanakan di Indonesia, hanya saja ketentuan yang terdapat dalam UU 30/1999 tidak dapat dikatakan sebagai peraturan yang khusus mengatur pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi New York 1958. C.1.b. UU 30/1999 tidak friendly dengan Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Sama halnya dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang arbitrase sebelumnya, UU 30/1999 juga dianggap tidak friendly dengan putusan arbitrase asing. Serupa dengan pembahasan sebelumnya, dimana UU 30/1999 tidak menerapkan ketentuan-ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang komprehensif dalam Pasal-Pasalnya sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi New York 1968. Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. Tidak friendly-nya UU 30/1999 ditunjukkan dalam Pasal 67 yang mengatur bahwa:56 1. Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 2. Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan: a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia; b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. Ketentuan pengakuan dan pelaksanaan dalam UU 30/1999 sangatlah berbeda bila dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi New York 1958 dan UNCITRAL Model Law 1985, dimana ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dibawah Pasal-Pasal mereka sangatlah mudah dan tegas. Sebagaimana ketentuan Pasal IV Konvensi New York mengatur bahwa:57 1. Untuk memperoleh pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase asing yang diatur dalam pasal-pasal sebelum ini, pihak yang memohon pengakuan dan pelaksanaan, pada saat mengajukan permohonan harus menyediakan: a. melampirkan/menyerahkan putusan asli arbitrase atau salinan yang telah disahkan secara resmi sesuai dengan aslinya. 56 Pasal 67, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872 57 Pasal IV, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (New York Convention) Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. b. melampirkan/menyerahkan asli surat perjanjian atau salinan yang telah disahkan secara resmi. 2. Sekiranya putusan maupun perjanjian tersebut belum dibuat atau diterjemahkan ke dalam bahasa resmi Negara tempat dimana permohonan diajukan, yang bersangkutan harus menyampaikan terjemahannya yang harus dibuat oleh penerjemah tersumpah atau badan resmi maupun pejabat diplomatik atau konsuler. Selanjutnya dalam Pasal 35 Model Law 1985 yang menentukan bahwa:58 1. Sebuah putusan arbitrase, terlepas dari tempat dijatuhkannya putusan tersebut, harus dianggap mengikat dan terhadap adanya permohonan dalam bentuk tertulis yang ditujukan kepada suatu Negara, harus dilaksanakan sesuai dengan Pasal ini dan Pasal 36. 2. Pihak yang memohon pelaksanaan putusan arbitrase asing harus menyerahkan atau melampirkan putusan asli arbitrase atau salinan yang telah disahkan secara resmi sesuai dengan aslinya serta melampirkan/menyerahkan asli surat perjanjian atau salinan yang telah disahkan secara resmi. Sekiranya putusan ataupun perjanjian tersebut tidak dibuat dalam bahasa resmi Negara yang dimohonkan pelaksanaannya, pihak yang memohon pelaksanaan tersebut harus menyerahkan terjemahan yang resmi (penerjemah tersumpah atau badan resmi maupun pejabat diplomatik atau konsuler) ke dalam bahasa resmi tersebut. Melihat ketentuan tentang permohonan pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana diatur oleh ketiga perangkat hukum diatas, dapatlah disimpulkan bahwa UU 30/1999 tidak bersahabat terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di dalam wilayah Negara Republik Indonesia karena mengatur persyaratan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam konteks yang sulit dan/atau merepotkan pihak yang ingin memohon pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut. Konvensi New York dan UNCITRAL Model Law 1985 yang mengatur hal yang serupa, telah membuktikan bahwa prosedur pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing pada dasarnya adalah simple, tidak merepotkan dan pasti. C.1.c. Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing dalam UU 30/1999 Tidak Konsekuen 58 Pasal 35, United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Model Law 1985 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. Bila kita melihat ketentuan yang diatur dalam Pasal 66 (d), UU 30/1999, dijelaskan bahwa,59 “putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.” Dengan adanya ketentuan tersebut, maka putusan arbitrase internasional/asing dalam ketentuan ini dapat dilaksanakan setelah memperoleh exequatur oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini disatu sisi akan sangat berbeda dengan putusan arbitrase asing ketika melibatkan Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihaknya, dimana ketentuan tersebut menambah sisi tidak friendly-nya UU 30/1999. Pasal 66 (e) mengatur bahwa,60 “putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.” Berdasarkan kepada kedua ketentuan diatas, maka sebenernya, siapakah yang menjatuhkan exequatur terhadap pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah hukum Negara Indonesia, mengapa hal ini dibedakan ketika melibatkan Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihaknya. Hal ini berakibat kepada ketidakadilan kepada pelaku usaha asing yang ingin memohon pelaksanaan putusan arbitrase asing dan kemungkinan suatu permohonan tersebut ditolak adalah sangat tinggi, mengingat pihak Negara Indonesia terlibat disini, dan permohonan pelaksanaan kemungkinan akan ditolak demi untuk melindungi kepentingan nasional. Sebagaimana telah terjadi dalam perkara-perkara arbitrase yang melibatkan pihak pelaku usaha Indonesia, (Nizwar Case, Bakrie Brother Case, dll), dimana ketertiban umum diberlakukan demi melindungi kepentingan nasional.61 Walaupun kedua perkara 59 Pasal 66 (d), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872 60 Pasal 66 (e), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. tersebut merupakan contoh ketika UU 30/1999 belum diberlakukan, namun terlihat jelas bahwa kepentingan nasional dalam hal ini sangatlah dilindungi. Pada dasarnya, Indonesia dapat melindungi kepentingan nasional dengan mengaturnya kedalam UU arbitrasenya secara jelas dengan tetap tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap pelaku usaha asing. Hal ini mengakibatkan Indonesia tidak menjunjung tinggi asas penanaman modal, yaitu asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal Negara, asas efisiensi berkeadilan, asas kepastian hukum; asas transparansi / keterbukaan; asas akuntabilitas.62 C.1.d. Pengaturan Landasan Penolakan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Indonesia sangatlah Sempit Cakupannya dan Tidak Jelas Sebagaimana telah dijelaskan dalam Sub-bab sebelumnya, bahwa pada kenyataannya, ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang diamanatkan oleh Konvensi New York belum sepenuhnya diterapkan dalam lingkup sistem tata hukum nasional Indonesia, khususnya dalam UU 30/1999. Belum diterapkannya ketentuan Konvensi tersebut dapat dilihat dari adanya ketentuan dalam UU 30/1999 mengenai penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah Republik Indonesia yang cakupannya sangat sempit bila dibandingkan dengan ketentuan yang diatur dalam Konvensi New York 1958. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pula bahwa, Konvensi New York telah secara jelas menetapkan dan mengatur landasan-landasan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang dapat diadopsi oleh Negara-Negara anggotanya dalam Pasal V-nya yang mengatur bahwa:63 61 Lihat Bab III 62 Pasal 3 (1), Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Penanaman Modal, UU Nomor 25 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724 Tahun 2007 63 Pasal V, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (New York Convention) Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. 1. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dapat ditolak, berdasarkan permohonan dari salah satu pihak yang mengajukan, apabila pihak tersebut telah melengkapi atau membuktikan kepada pejabat yang berwenang (Pengadilan) dimana pengakuan dan pelaksanaan tersebut dicari/dimintakan dengan alasan-alasan: a. Menurut hukum yang berlaku, para pihak tidak berwenang membuat perjanjian arbitrase, yang disebut sebagai incapacity atau onbevoegd. Ketidakwenangan tersebut mungkin oleh karena salah satu pihak masih dibawah umur. Atau salah satu pihak berada dibawah kuratela. Atau menurut hukum yang berlaku pada Negara tempat mana permohonan eksekusi diminta dianggap tidak berwenang untuk membuat perjanjian. b. Salah satu pihak tidak diberitahu atas penunjukkan arbiter ataupun atas adanya persidangan arbitrase maupun tidak memperoleh kesempatan yang wajar untuk melakukan pembelaan dalam mempertahankan kepentingannya. c. Putusan arbitrase yang dijatuhkan tidak sesuai dengan penegasan yang diberikan, putusan yang dimohon eksekusinya tidak sesuai dengan penegasan yang dilimpahkan, atau putusan menyimpang dari pokok sengketa yang diperjanjikan. d. Pengangkatan arbiter atau prosedur persidangan arbitrase menyimpang dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang bersengketa atau gagal dalam perjanjian tersebut dan tidak sesuai dengan hukum nasional dari Negara dimana putusan arbitrase dijatuhkan. e. Putusan arbitrase yang bersangkutan belum mengikat atau putusan tersebut telah dikesampingkan maupun telah ditunda eksekusinya oleh Pengadilan di Negara mana putusan tersebut diajukan. 2. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dapat pula ditolak apabila Pejabat yang berwenang dalam suatu Negara dimana pengakuan dan pelaksanaan tersebut dicari/dimintakan menemukan bahwa: a. Masalah yang disengketakan menurut hukum dari Negara di tempat mana permohonan diajukan, tidak boleh diselesaikan melalui forum arbitrase. b. Pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing yang bersangkutan akan menimbulkan pertentangan dengan “ketertiban umum”. Selanjutnya, sebagai perbandingan tambahan, UNCITRAL Model Law 1985 juga telah mengatur secara jelas alasan-alasan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing kepada Negara yang mengadopsinya dalam Pasal 36-nya, yang menentukan bahwa: Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. 1. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing, terlepas dari tempat di Negara mana putusan tersebut dijatuhkan, hanya dapat ditolak:64 a. berdasarkan permohonan dari salah satu pihak yang mengajukan, apabila pihak tersebut telah melengkapi atau membuktikan kepada pejabat yang berwenang (Pengadilan) dimana pengakuan dan pelaksanaan tersebut dicari/dimintakan dengan alasan-alasan: a. Menurut hukum yang berlaku, para pihak tidak berwenang membuat perjanjian arbitrase, yang disebut sebagai incapacity; atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak adalah tidak valid dibawah hukum dimana putusan arbitrase tersebut dijatuhkan; b. Pihak yang mengajukan permohonan tidak diberitahu atas penunjukkan arbiter ataupun atas adanya persidangan arbitrase maupun tidak memperoleh kesempatan yang wajar untuk melakukan pembelaan dalam mempertahankan kepentingannya. c. Apabila putusan yang dijatuhkan tidak sesuai dengan ketentuan sengketa yang diatur dalam penegasan penyelesaian sengketa arbitrase yang diberikan, atau mengandung putusan terhadap subjek sengketa tidak sesuai dengan dengan penegasan yang dilimpahkan atau Putusan yang dijatuhkan tidak sesuai dengan atau diluar kompetensi jurisdiksi penanganan subjek sengketa Pengadilan arbitrase yang memutus. d. Komposisi panel arbiter tidak sesuai dengan perjanjian para pihak yang bersengketa. e. Putusan arbitrase belum mengikat atau telah dikesampingkan atau ditunda pelaksanaannya oleh Pengadilan Nasional yang berada di satu teritori dengan tempat diselenggarakannya persidangan arbitrase. b. Apabila Pengadilan tersebut menemukan bahwa: i. Masalah yang disengketakan tidak dapat diselesaikan melalui forum arbitrase menurut hukum dari Negara di tempat mana permohonan diajukan. ii. Pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing yang bersangkutan akan menimbulkan pertentangan dengan “ketertiban umum”. 2. Apabila permohonan terhadap pengesampingan atau penundaan pelaksanaan putusan arbitrase telah diajukan kepada Pengadilan yang diatur dalam Pasal (1)(a)(v) UNCITRAL Model Law, Pengadilan yang dimintakan pengakuan dan pelaksanaan putusan dapat, apabila dianggap pantas, menunda putusannya dan juga, berdasar kepada permohonan pihak yang memohon pengakuan dan pelaksanaan 64 Pasal 36, United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Model Law 1985 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. putusan arbitrase tersebut, memerintahkan pihak yang tidak memohonkan pelaksanaan untuk memberikan jaminan yang pantas. Sehubungan dengan penolakan yang diatur oleh Konvensi New York dan UNCITRAL Model Law 1985, di bawah UU arbitrase Indonesia, yaitu UU 30/1999, diatur bahwa suatu putusan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan berdasarkan tiga hal yaitu: 1. Putusan arbitrase internasional yang dijatuhkan bukan berasal dari badan arbitrase di negara anggota Konvensi New York. 2. Putusan arbitrase internasional bukan merupakan sengketa dagang internasional. Dibawah Konvensi New York 1958, suatu putusan arbitrase untuk dapat diakui dan dilaksanakan oleh suatu Pengadilan Nasional Negara yang dimohonkan pelaksanaannya memang harus berupa sengketa dagang.65 Ketentuan Pasal ini tidaklah bertentangan dengan ketentuan Konvensi New York 1958 dan telah dipertegas dalam Lampiran Perpres 34/1981 yang mengatur bahwa, “pelaksanaan penerapan Konvensi hanya terbatas mengenai perselisihan yang timbul secara sah dari perjanjian yang berkenaan dengan bidang Hukum Perdagangan menurut Hukum Dagang Indonesia.”66 Pasal 66 UU 30/1999 juga telah mengatur bahwa perniagaan; perbankan; keuangan; penanaman modal; industri; dan hak kekayaan intelektual termasuk kedalam unsur Hukum Dagang Indonesia.67 65 Pasal I (c), Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (New York Convention) 66 M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 50 67 Penjelasan Pasal 66 (b), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. 3. Putusan bertentangan dengan ketertiban umum. Poin yang mengatur tentang ketertiban umum terdapat dalam Pasal 66 (c) UU 30/1999. UU 30/1999 hanya memberikan suatu pembatasan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak bertentangan terhadap ketertiban umum, dimana, definisi terhadap terminologi “ketertiban umum” itu sendiri tidaklah diberikan oleh UU 30/1999.68 Melihat kepada landasan penolakan yang diatur dalam UU 30/1999, dapatlah dilihat bahwa, UU arbitrase Indonesia hanya mengatur sedikit ketentuan tentang penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayahnya. Ditambah dengan tidak adanya ketentuan yang mengatur tentang definisi dari “ketertiban umum” sangatlah menunjukkan bahwa UU arbitrase Indonesia tidak mengatur secara jelas dan tegas pelaksanaan putusan arbitrase asing di Negara Indonesia. Berdasarkan kepada fakta-fakta diatas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa UU 30/1999 pada dasarnya, tidak menerapkan ketentuan penolakan sepenuhnya dan mencerminkan semangat Konvensi New York, walaupun Indonesia telah meratifikasi Konvensi tersebut. Dalam prakteknya, pelaksanaan dan interpretasi terhadap UU 30/1999 pun menimbulkan beberapa kontroversi bahkan sengketa-sengketa antara para pihak, dan pada akhirnya, Pengadilan Negeri berperan kembali terhadap pelaksanaan dan penafsiran hukum arbitrase tersebut.69 68 Pasal 66 (c), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872 69 Huala Adolf mengatakan bahwa, “The Law however does not embody or even reflect the spirit of the New York Convention, despite Indonesia ratified the Convention. In practice, as one may envisage, the implementation and the interpretation of the Law yield controversies or even dispute between the parties. In the face of it, the district court, again, play its role in enforcing and interpreting the Arbitration Law,” sebagaimana tertulis dalam “Improving the Enforcement of International Arbitration Awards in ASEAN Countries”, op.cit., hlm. 5 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. C.2. Aparat Hukum Kurang Mendukung Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia Unsur dari sistem hukum yang turut menentukan terciptanya kepastian hukum adalah aparatur hukum. Menurut Friedman, aparatur hukum atau structure sebagai bagian dari sistem hukum meliputi institusi-institusi eksekutif, judikatif dan legislatif. Komponen struktur hukum merupakan representasi dari aspek institusional yang memerankan pelaksanaan hukum dan pembuatan undang-undang. Struktur dalam implementasinya merupakan sebuah keseragaman yang berkaitan satu dengan yang lain dalam suatu sistem hukum.70 Pada saat krisis ekonomi, aparatur hukum Indonesia kurang mendukung peningkatan investasi, hal ini dapat dilihat dari sisi legislatif, eksekutif dan yudikatif, antara lain:71 1. Sejak era reformasi, telah terjadi pergeseran kekuasaan dimana legislatif lebih dominan dibandingkan dengan eksekutif pada masa orde baru. 2. Undang-Undang yang dilahirkan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) tidak dapat menciptakan stability karena tidak dapat menyeimbangkan kepentingan yang saling bersaing di masyarakat. 3. Undang-Undang menciptakan yang dilahirkan predictability, oleh sehingga DPR setiap juga kurang dapat orang tidak dapat memperkirakan langkah-langkah atau perbuatan yang dilakukan. 4. Pada tahap implementasi, Undang-Undang yang dilahirkan DPR tidak disertai norma-norma pelaksanaannya, tidak diikuti dengan perintah kepada institusi atau tidak dilengkapi dengan prosedur dan prasarana yang seharusnya menjadi bagian dari Undang-Undang tersebut, hingga akhirnya 70 Lawrence M. Friedman, Legal Theory, (London: Macmillan Press, 1998), hlm. 5, sebagaimana tertulis dalam Suparji, op.cit., hlm. 152 71 Suparji, op.cit., hlm. 152-155 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. berakibat kepada Undang-Undang yang dilahirkan tidak dirumuskan dengan bahasa yang dimengerti masyarakat. 5. Dari sisi eksekutif, adanya perebutan kewenangan dalam penyelenggaraan penanaman modal, terutama berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah yang cenderung memperburuk daya saing investasi di Indonesia. 6. Pemerintah daerah cenderung untuk berorientasi untuk memperoleh keuntungan jangka pendek dan melihat investor sebagai sumber penghasilan daerah. Serta pejabat di daerah semakin birokratis, tidak efisien serta peraturan daerah yang dibuat hanya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah yang diperburuk dengan banyaknya pungutanpungutan dalam prakteknya di lapangan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Konvensi New York mengatur tentang universalitas pengaturan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam konteks hukum nasional negara anggotanya. Peran hukum arbitrase nasional dan Pengadilan Negeri sangatlah berperan terhadap pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayahnya. Albert Jan Van Den Berg, mengatakan pentingnya peran Pengadilan Nasional terutama para hakim-hakim dalam pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing sebagaimana diamanatkan Konvensi New York 1958. Pernyataannya adalah,72 “The Convention is widely acclaimed as being an incredible success. I would like to use this occasion to express my gratitude for this to one group of persons in particular: the judges in most countries around the world who have supported the Convention so strongly. Without them, we would not be celebrating here the most successful international convention in international private law of this century.” Terhadap peran penting Pengadilan dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana telah disampaikan oleh Albert Jan Van Den Berg diatas, Timur Sukirno memberikan gambaran terhadap pelaksanaan putusan arbitrase di Indonesia bahwa,73 “in 72 Albert Jan Van Den Berg, “Striving for Uniform Interpretation”, dalam “Enforcing Arbitration Awards under the New York Convention”, (New York: United Nations Publications, 1999), hlm. 41 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. Indonesia, certain issues in arbitration are court-dependent… Enforcement of arbitral awards is conducted through the judiciary system.” Diundangkannya UU 30/1999 sebagai UU arbitrase pertama Indonesia, dimana di dalamnya, pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dibahas secara khusus dalam Bab terpisah dan komprehensif, diharapkan dapat memperbaiki pengaturan terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak secara khusus membahas tentang arbitrase sebelum UU tersebut diundangkan, serta berdasar kepada fakta bahwa meskipun Pemerintah Indonesia telah terikat peraturan-peraturan internasional yang berkaitan dengan arbitrase, belumlah dapat mengakhiri kesulitan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia.74 Pengadilan Negeri Indonesia sebagai tempat dimohonkannya pelaksanaan putusan arbitrase asing belumlah dapat mengakomodir permohonan pihak yang dimenangkan dalam arbitrase. Pengadilan Negeri Indonesia seperti tidak berkeinginan untuk memberikan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik Indonesia. Thomas E. Carbonneau mengatakan bahwa,75 “the willingness of any national legal system to endorse the process of arbitral adjudication can be measured by whether its governing statutory law and accompanying case law sustain the validity of arbitration agreements and limit judicial supervision of arbitral proceedings and awards.” Pengadilan Negeri Indonesia memang terlihat seperti tidak berkeinginan untuk memberikan exequatur terhadap putusan arbitrase asing di Indonesia, semenjak UU 30/1999 belum diundangkan hingga setelah diundangkannya UU tersebut. Noah Rubbins 73 Timur Sukirno & Reno Hirdarisvita, “Indonesia”, Baker Mckenzie Internatinal Arbitration Yearbook, Jakarta, hlm. 29, didapat dari http://www.bakermckenzie.com/files /Uploads/Documents/Global %20Dispute%20Resolution/Dispute%20Resolution%20Around%20the %20World/dratw_indonesia_2009.pdf, diakses pada 3 Januari 2011, 14:57 WIB 74 Wisnu Aryo Dewanto, “Tinjauan Hukum Mengenai Sulitnya Melaksanakan Putusan Arbitrase,” Jurnal Yustika, Volume 7 Nomor 2, Desember 2004, hlm. 361 75 Thomas E. Carbonneau, “The Reception of Arbitration in United States Law,” didapat dari Wisnu Aryo Dewanto, op.cit., hlm. 358 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. mengatakan bahwa,76 “historically, Indonesian courts have engendered little confidence among foreign investors that the dispute resolution systems they and their Indonesian partners devise in their contracts will be given full effect when a conflict ultimately arises.” Noah menambahkan bahwa,77 “in the decade following ratification, local courts remained reluctant to enforce foreign arbitral award.” Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa perkara yang telah dibahas dalam Bab-Bab sebelumnya, seperti Trading Corporation of Pakistan Limited v. PT Bakrie Brothers, Navigation Maritime Bulgare v. PT Nizwar, E.D. Dan F.MAN (SUGAR) Ltd. v. Yani Harianto, PT Batu Mulia Utama v. Sainrapt et Brice Societe Auxiliarre d’ Enterprises Societe Routiere Colas (SSC). Adapun setelah diundangkannya UU 30/1999, kesulitan pemberian exequatur terhadap putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik Indonesia tetap berlangsung. Hal ini disebabkan masih tidak berkeinginannya Pengadilan Negeri Indonesia dalam memberikan exequatur terhadap pelaksanaan putusan arbitrase asing di wilayah Negara Indonesia serta Hakim-Hakim yang memeriksa serta mengutus perkara pelaksanaan putusan arbitrase yang didasarkan pada permohonan pelaksanaan yang diajukan pihak yang menang dalam arbitrase maupun permohonan pembatalan yang diajukan pihak yang tidak dimenangkan tidaklah berkompeten dan tidak fasih terhadap hukum arbitrase, ditambah ketidakoptimalan pengetahuannya tentang arbitrase tersebut, membawa kepada suatu penjatuhan putusan yang salah. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perkara Pertamina melawan KBC diatas serta adanya beberapa contoh perkara lainnya yang menambah daftar yang memalukan bagi reputasi Indonesia dalam dunia arbitrase internasional.78 Beberapa perkara yang dapat dijadikan contoh untuk membuktikan masih kurang efektifnya pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Negara Indonesia pasca diundangkannya UU 30/1999, salah satunya adalah Perkara Bankers Trust Company & Bankers Trust 76 Noah Rubbins, op.cit., hlm. 361-362 77 Noah Rubbins, op.cit., hlm. 367 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. International v. Mayora Indah yang perkaranya adalah serupa dengan Bankers Trust Company & Bankers Trust International v. PT. Jakarta International Hotels and Development, Tbk.79 Kedua perkara ini bermula dengan adanya transaksi derivatif pertukaran mata uang dan bunga (currency and interest swaps) antara pihak Bank Bankers Trust (“Bank”) dengan PT Jakarta International Hotels and Development (“Konsumen”) dan Mayora Indah (“Konsumen”) dibawah suatu perjanjian dengan nama, International Swaps and Derivatives Association Master Agreement (“ISDA”) yang dilakukan oleh kedua belah pihak pada tahun 1995 dan diatur dengan Hukum Inggris. Mengacu kepada adanya krisis ekonomi pada tahun 1997 – 1998 yang menyebabkan nilai mata uang rupiah turun hingga 15% - 25% dari nilai sebelumnya, pihak konsumen pada akhirnya tidak dapat melakukan kewajibannya untuk melakukan pembayaran dibawah perjanjian. Ketika permasalahan tersebut masih berada dibawah negosiasi antar pihak, konsumen menggugat pihak Bank di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk membatalkan perjanjian ISDA dengan dasar bahwa perjanjian tersebut bertentangan dengan ketertiban umum (dengan menyatakan bahwa swap trading merupakan perbuatan hukum yang dilarang di Indonesia) dan dengan menandatangani dan terlibat dalam perjanjian tersebut adalah diluar kekuasaan kemampuan corporate pihak konsumen. Pihak bank di satu sisi membawa perkara ini ke London Court of International Arbitration (“LCIA”) untuk menyelesaikan sengketa yang muncul di bawah Perjanjian ISDA ini. LCIA kemudian memenangkan pihak Bank serta kemudian didaftarkan oleh 78 Karen Mills mengatakan bahwa perkara Bankers Trust Company & Bankers Trust International v. Mayora Indah yang perkaranya adalah serupa dengan Bankers Trust Company & Bankers Trust International v. PT. Jakarta International Hotels and Development, Tbk merupakan perkara yang memalukan bangsa Indonesia di mata hukum arbitrase internasional. Sebagaimana pernyataannya, “Once again, the first applications for exequatur under new legislation, this time under the New Law, have brought further embarrassment to Indonesia’s reputation in the world of arbitration,” sebagaimana tertulis dalam Karen Mills, “Enforcement of Arbitral Awards in Indonesia …”, op.cit., hlm. 28 79 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan No. 454/Pdt.G/1999/PN.Jak.Sel, 30 May, 2000; dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan terhadap Arbitrase Internasional No.. 001/Pdt/Arb.Int/1999 dan No. 8199 tertanggal 18 Juni 1999; serta No. 004/Pdt/Arb.Int/1999 sehubungan dengan putusan arbitrase yang diputus oleh LCIA No. 9128 tertanggal 19 October, 1999, didapat dari Karen Mills, “Enforcement of Arbitral Awards in Indonesia…”, op.cit., hlm. 28-30; Tony Budidjaja, op.cit., hlm. 85-90 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. pihak Bank ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk pelaksanaannya. Sementara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan pihak Konsumen. Pihak Bank kemudian mengajukan pembelaan bahwa pihak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak memiliki jurisdiksi untuk memutuskan perkara ini, karena di dalam klausula Perjanjian ISDA, penyelesaian sengketa yang muncul dari Perjanjian ini akan diajukan kepada badan arbitrase internasional LCIA. Pihak Pengadilan mengatakan bahwa klausula tersebut tidak tercantum dalam Perjanjian ISDA oleh karena itu tidak mengikat kepada para pihak, dimana pada kenyataannya, para pihak yang bersengketa telah sepakat dalam Perjanjian tersebut. Pihak Bank kemudian mengajukan banding kepada keputusan Pengadilan tinggi dan pada saat yang bersamaan memohon pelaksanaan putusan arbitrase kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pihak Bank menyatakan bahwa keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidaklah mengikat hingga putusan tersebut adalah bersifat tetap dan putusan arbitrase tersebut adalah final dan mengikat dan juga mengatakan bahwa putusan tersebut adalah untuk dilaksanakan dan tidak perlu diperiksa ulang. Adanya kontradiksi penjatuhan putusan oleh Pengadilan Negeri, LCIA membawa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berkeinginan untuk memutuskan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase yang dijatuhkan oleh LCIA. Pihak Bank kemudian mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap putusan Jakarta Pusat tersebut, namun hingga saat ini belum ditentukan lebih lanjut tentang adanya putusan terbaru mengenai kasus ini. Perkara lainnya adalah Permohonan Pembatalan terhadap putusan arbitrase internasional terdapat pada kasus PT. Bungo Raya Nusantara dengan PT. Jambi Resources.80 Dalam keputusan pengadilan permohonan pembatalan ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena keputusan arbitrase yang dimohonkan pembatalan adalah keputusan arbitrase internasional. Kasus ini bermula kerja sama antara PT Nusantara Termal Coal (NTC) dengan PT Bungo Raya Nusantara (BRN) pada tahun 2006. NTC adalah kontraktor Pemerintah RI berdasarkan Perjanjian 80 Karya Pengusahaan Curi batubara, warga korea menjadi tersangka, http://www.indonesia-monitor. com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=3492&Itemid=37, Diakses pada 1 Desember 2009, 15:00 WIB Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. Pertambangan Batubara (PKP2B) tertanggal 19 Januari 1998 dengan lokasi seluas 2.832 hektar, sekitar 31 km sebelah barat Muara Bungo, Provinsi Jambi. BRN melalui perjanjian tanggal 28 Juli 2006, menjadi subkontraktor penambangan, pengangkutan dan pemasaran batubara dari wilayah NTC. Pada tanggal yang sama (28/07/06), direksi BRN menandatangani perjanjian dan mengalihkan hak penambangan, pengangkutan dan pemasarannya kepada PT Jambi Resources Limited. (semula bernama PT Basmal Utama Internasional atau BUI). Perjanjian itu berisi uraian mengenai hak dan kewajiban masingmasing pihak dan disebutkan jika ada sengketa dipilih arbitrase atau SIAC (Singapore International Arbritation Centre). Setelah berkali-kali melakukan teguran dan peringatan keras karena menilai BUI tidak memenuhi kewajiban (royalti fee kepada BRN selama tiga bulan berturut-turut) sebagaimana disepakati dalam kontrak, akhirnya BRN, September 2007 melakukan pemutusan kontrak atau perjanjian. Pihak JR tidak sependapat dan menilai terundanya pembayaran adalah masalah perdata, bukan menyangkut hubungan kontrak penambangan, pengangkutan dan pemasaran batubara. Sengketa JR dan BRN itu 31 Oktober 2007 dibawa ke arbritase Singapura. Sementara kasus itu di proses di Singapura, pihak Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral melakukan peninjauan ke wilayah konsesi pertambangan PT NTC dan mendapatkan berbagai kekurangan dalam perjanjian karya. Di antaranya, PT NTC dinilai keliru karena mengalihkan kontrak pengangkutan dan pemasaran batubara di wilayah PKP2B-nya. Dalam ketentuan PKP2B, yang boleh disubkontrakan hanya kegiatan penambangannya saja. Akibatnya, tanggal 10 Juli 2008 Direktorat Pembinaan Pengusahaan Minerba Departemen ESDM menerbitkan surat No 1634/30.01/DBM/2008 yang isinya melarang NTC menerbitkan SPK penambangan maupun mengalihkan hak jual, karena menilai SPK itu tidak sesuai dengan ketentuan PKP2B. Tanggal 1 September 2008, Gubernur Jambi menerbitkan surat No 541.13/3638/Dispertamben, memerintahkan agar NTC tidak menerbitkan SPK penambangan dan tidak melimpahkan hak jual batubara kepada pihak lain. Berdasarkan surat Direktorat Pembinaan Pengusahaan Minerba dan surat Gubernur Jambi tersebut, tanggal 25 September 2008 pihak NTC dan BRN sepakat mengakhiri perjanjian kerja tertanggal 28 Juli 2006. Direktorat Pembinaan Pengusahaan Minerba menerbitkan surat No 681/37.08/DBT/2008 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. tertanggal 27 Oktober 2008, yang isinya antara lain memerintahkan NTC menghentikan kegiatan penambangan, disusul surat No2562/30.01/DBM/2008 yang menegaskan pertimbangan larangan kegiatan penambangan di wilayah NTC. Direksi PT NTC kemudian meminta agar BRN menghentikan semua kegiatan di wilayah PKP2B tersebut melalui surat tanggal 25 September 2008. Menindaklanjuti permintaan NTC sebagai pemegang konsesi, pihak BRN menerbitkan surat No 067/Dir03-01/BRN/XI/2008 tertanggal 13 November 2008 kepada seluruh subkontraktornya, menegaskan penghentian kegiatan penambangan di wilayah konsesi NTC. Kembali kepada sengketa antara PT. BRN dan JR, berdasarkan final award pada tanggal 6 Agustus 2009, SIAC memutuskan pemutusan kontrak antara PT. BRN dan PT. JR tidak sah dan tidak berlaku. Perjanjian antara kedua perusahaan dinyatakan sah dan berlaku sehingga PT. JR berhak untuk menambang. Setelah ditinjau ulang oleh BRN, keseluruhan perjanjian seharusnya tidak lahir. Sebab menabrak sejumlah aturan tentang pertambangan. Karena itu BRN akhirnya mengajukan pembatalan putusan SIAC ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhir September 2009. Perkaranya teregister No. 03/PembatalanArbitrase/2009/PN.JKT.PST. Dasar yang digunakan BRN sebagai pembatalan putusan arbitrase adalah Ketika proses arbitrase berlangsung, Direktorat Pembinaan Pengusahaan Minerba Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melarang PT NTC menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) Penambangan maupun mengalihkan hak jualnya. Departemen ESDM menilai SPK Penambangan kepada PT BRN bertentangan dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tertanggal 19 Februari 1998 antara pemerintah dengan PT NTC. Sebab, yang disubkontrakan tidak hanya penambangan, melainkan termasuk mereklamasi, mengangkut, memasarkan dan menjual batu bara. Padahal seharusnya terbatas pada penambangan. Selanjutnya Gubernur Jambi juga memerintahkan PT NTC tidak menerbitkan SPK penambangan dan tidak melimpahkan hak jual batu bara ke pihak lain. Karena itu pada 25 September 2008, PT NTC dan PT BRN sepakat menghentikan perjanjian kerja, lalu meminta PT BRN untuk menghentikan kegiatan penambangan. Lalu sebulan kemudian, Departemen ESDM kembali memerintahkan PT NTC untuk Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. menghentikan kegiatan penambangan di wilayah konsesi PT NTC. Pada 13 November 2008, PT BRN memerintahkan seluruh subkontraktornya agar menghentikan kegiatan penambangan di wilayah konsesi PT Nusantara. Berdasarkan keterangan diatas, dapat diketahui bahwa sebenarnya perjanjian antara PT. BRN dan PT. JR batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada, karena bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan ketertiban umum. Selain itu pihak PT. BRN juga menggunakan ketentuan Pasal 70 huruf c bahwa putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa, karena PT Jambi tidak memberitahukan pada arbiter bahwa perjanjian subkontraktor antara PT Bungo dan PT Nusantara sendiri bertentangan dengan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Nusantara, PKP2B dan perundang-undangan yang berlaku. Dalam keputusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat81, menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang, dalam putusan selanya pengadilan menyatakan bahwa putusan SIAC dalam perkara PT. BRN vs PT. JR adalah putusan arbitrase internasional sehingga tidak bisa dibatalkan di pengadilan Indonesia. Putusan majelis hakim itu sekaligus mengabulkan eksepsi kuasa hukum PT Jambi. Dalam eksepsi disebutkan, putusan arbitrase internasional hanya bisa diajukan di Negara atau berdasarkan hukum dimana putusan dijatuhkan. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dinilai tidak berwenang mengadili permohonan pembatalan arbitrase. Seharusnya di Singapura, tempat SIAC berkedudukan. Penilaian majelis hakim bahwa putusan SIAC sebagai putusan internasional itu merujuk pada Pasal 1 angka 9 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Definisi putusan arbitrase internasional menurut pasal itu adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan diluar wilayah hukum RI, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan menurut ketentuan hukum RI dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional. 81 Putusan SIAC tidak bisa dibatalkan di Indonesia, http://www.hukumonline. com/berita/baca/lt4b03edd17320c/putusan-siac-tidak-bisa-dibatalkan-di-indonesia, diakses pada 15 Desember 2009, 20:00 WIB Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. Selain itu mengacu kepada Pasal 70 UU Arbitrase tentang alasan-alasan permohonan pembatalan arbitrase hanya menyebutkan para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Tidak disebut permohonan pembatalan arbitrase internasional. Majelis hakim menyimpulkan bahwa permohonan pembatalan arbitrase di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase nasional, bukan putusan arbitrase internasional. Berdasarkan putusan PN Jakarta Pusat ini dapat dilihat bahwa penafsiran hakim atas Pasal 70 ini hanya berlaku untuk arbitrase nasional. Berdasarkan kepada kedua perkara diatas, dapatlah dilihat bahwa pelaksanaan UU 30/1999 yang pada dasarnya substansi hukumnya sendiri tersebut sudah tidak jelas, keputusan Pengadilannya pun pada akhirnya tegak lurus dengan substansi UU yang tidak jelas pengaturannya, karena tidak dilandasi oleh suatu landasan hukum yang pasti. Selain tidak berkeinginannya Pengadilan Negeri dalam memberikan putusan pelaksanaan serta tidak kompetennya Hakim-Hakim seperti disebutkan diatas, pihak pelaku usaha juga sering salah dalam memahami serta menginterpretasikan esensi penolakan dan pembatalan. Wisnu Aryo Dewanto menambahkan gambaran yang lebih luas terhadap sulitnya melaksanakan putusan arbitrase asing di Indonesia dilihat dari sistem hukum aparaturnya, antara lain:82 1. Hakim, sebagai ujung tombak hukum, tidak berperan secara optimal karena seringkali menerima kasus-kasus yang memiliki klausula arbitrase, tanpa mempertimbangkan kompetensitasnya terhadap kasus tersebut. Selain itu, istilah kebebasan seorang hakim diartikan terlalu luas, sehingga seringkali putusan pengadilan negeri dan tinggi bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung, padahal bebas disini harusnya dipahami sebagai bebas dari intervensi badan eksekutif maupun legislatif. Lebih lanjut, hakim di Indonesia kurang memiliki wawasan internasional, sehingga banyak aturan-aturan internasional yang telah diratifikasi 82 Wisnu Aryo Dewanto, op.cit., hlm. 361-362 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. Pemerintah Indonesia tidak dijadikan bahan pertimbangan hukum dalam memutus perkara. 2. Pengusaha dan pengacara juga menjadi bagian kebobrokan hukum di Indonesia karena mereka seringkali memanfaatkan kelemahan hakim untuk melakukan penyuapan agar putusan hakim sesuai dengan keinginan dan kepentingan mereka. Dan pengusaha Indonesia seringkali tidak memiliki itikad baik untuk mematuhi dan melaksanakan putusan arbitrase, padahal dasar adanya klausula arbitrase adalah adanya itikad baik dari para pihak untuk melaksanakan kesepakatan yang mereka setujui. Fakta-fakta tersebut diatas sangatlah memprihatinkan Indonesia karena inkonsistensi pihak-pihak Indonesia untuk mematuhi aturan-aturan arbitrase yang pada akhirnya menyebabkan citra Indonesia di mata pengusaha asing tidak bertambah baik, sekalipun Pemerintah Indonesia telah bersedia mengakui dan melaksanakan keputusan arbitrase asing melalui Keppres 34/1981 dan Perma 1/1990,83 dimana, kesuksesan arbitrase komersial internasional sebagai sistem bergantung kepada bagian terbesar dalam prediktabilitas pada tahap pelaksanaannya.84 C.3. Budaya Hukum Masyarakat terhadap Arbitrase Asing Lemah karena Landasan Prinsip Teritorial Legal culture menurut Friedman meliputi pandangan, nilai, ide dan sikap yang menentukan bekerjanya sistem hukum. Pandangan dan sikap masyarakat terhadap budaya hukum dipengaruhi oleh sub-culture. Pandangan dan sikap ini yang dapat mempengaruhi tegaknya hukum. Tanpa budaya hukum, suatu sistem hukum tidak akan berdaya.85 83 ibid, hlm. 359 84 Noah Rubbins mengatakan bahwa, “the success of international commercial arbitration law as a system depends in large part on predictability at the enforcement stage,” sebagaimana tertulis dalam Noah Rubbins, op.cit., hlm. 363 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. Pada saat terjadinya krisis ekonomi, budaya hukum (legal culture) masyarakat Indonesia belum mampu mendukung sistem hukum yang baik. Rendahnya kualitas budaya hukum tersebut sangat dipengaruhi tingkat pemahaman masyarakat yang beragam, termasuk para investor. Setidak-tidaknya ada dua budaya yang menunjukkan bahwa budaya hukum Indonesia belum mampu mendukung investasi, yaitu:86 1. Berdasarkan hasil survei Transparancy internasional, lembaga anti korupsi Indonesia, menemukan fakta bahwa pengusaha asing terbiasa menyuap para pejabat Negara, terutama Negara berkembang. 2. Penyelenggaraan perizinan penanaman modal belum efisien, dimana, kebijakan perizinan usaha merupakan salah satu bentuk birokrasi dalam bidang ekonomi. Dalam hukum penanaman modal yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, penyelesaian sengketa diatur dalam Pasal 32-nya yang menentukan bahwa: 1. Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat. 2. Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan. 4. Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak. 85 Lawrence M. Friedman, op.cit., hlm. 6-7 86 Suparji, op.cit., hlm. 173 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. Dapatlah dilihat dalam ketentuan Pasal tersebut bahwa, Indonesia merupakan Negara yang sangat menjunjung tinggi penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Indonesia sendiri sangat menganut prinsip teritorial Negara, dimana, lebih mementingkan peraturan dalam negerinya dibandingkan dengan dunia internasional. Hal ini dibuktikan juga dengan banyaknya ketentuan yang mengatur tentang konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli serta arbitrase nasional dalam UU 30/1999, dan ketentuan dari arbitrase internasional sangatlah sedikit diatur dalam UU 30/1999. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pula, bahwa kekurangan-kekurangan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia sebelum dikeluarkannya UU 30/1999 dikarenakan oleh adanya “prinsip teritorialitas” atau “asas kedaulatan territorial” (Principle of Territorial Sovereignty) yang mengisyaratkan bahwa putusan yang ditetapkan di luar negeri tidak dapat secara langsung dilaksanakan dalam wilayah lain atas kekuatannya sendiri. Hal ini dikarenakan putusan yang dijatuhkan diluar wilayah Negara Indonesia dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap asas kedaulatan Negara Republik Indonesia sebagai suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Adapun asas prinsip teritorialitas tersebut merupakan pembentukan perilaku hukum Negara Indonesia yang terletak di antara dualisme paham yaitu, pada teori liberal (liberal theory) dimana Indonesia di satu sisi sangatlah membutuhkan adanya penanaman modal asing ataupun transaksi bisnis dan perdagangan dengan perusahaan lain, namun di satu sisi, Indonesia juga menganut paham ketergantungan (dependency theory) dimana selalu membatasi pihak asing dalam melakukannya. Merupakan hal yang dapat dipahami apabila Indonesia melindungi kepentingan nasionalnya dalam hal pembatasan dominasi pihak asing dalam lingkup perekonomian Indonesia, tetapi perlu diperhatikan juga bahwa Indonesia tetap membutuhkan modal asing tersebut untuk perkembangan perekonomiannya. Dualisme paham inilah yang membatasi budaya hukum Negara Indonesia untuk memberikan perlakuan yang adil kepada pihak asing dalam wilayah jurisdiksi hukum Negaranya karena pembatasan ini dimaksudkan untuk membatasi dominasi asing di Indonesia. Adanya Pembatasan terhadap dominasi bila dihubungkan dengan kepentingan nasional dan kedaulatan pada dasarnya adalah sah. Suatu Negara berhak melakukan Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. pembatasan terhadap pihak asing melalui hukum nasionalnya, namun, akan lebih baik apabila pembatasan tersebut diakomodir oleh adanya suatu kepastian hukum khususnya hukum penyelesaian sengketa karena akan lebih memberikan jaminan dan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang berhubungan dalam suatu perjanjian, khususnya dalam penyelesaian sengketa. Belum terakomodirnya ketentuan mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam UU 30/1999 tidak memberikan kepastian hukum kepada para investor asing atau pelaku usaha bisnis maupun perdagangan internasional. Unsur lain yang harus dipenuhi untuk tercapainya kepastian hukum dalam hukum penyelesaian sengketa yang menjamin perlindungan kepada pihak perusahaan PMA yaitu, Indonesia haruslah memiliki sistem hukum yang terdiri dari tiga unsur,87 yaitu structure, substance dan legal culture yang efektif karena sistem hukum yang efektif tersebut akan memperluas kesempatan berusaha, mengundang investasi dan membangun ekonomi. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa,88 materi muatan suatu Peraturan Perundangundangan harus mengandung asas: (1) pengayoman; (2) kemanusiaan; (3) kebangsaan; (4) kekeluargaan; (5) kenusantaraan; (6) bhinneka tunggal ika; (7) keadilan; (8) persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; (9) ketertiban dan kepastian hukum; (10) keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menganut asas-asas tersebut merupakan salah satu syarat dalam rangka perwujudan hukum nasional yang berkoordinasi satu sama lain. Berdasar kepada Undang-Undang tersebut diatas, Indonesia sebagai Negara anggota Konvensi New York, seharusnya dapat memberikan kepastian hukum dengan mengikuti dan menerapkan ketentuan yang diamanatkan Konvensi yang diratifikasi 87 Lawrence M. Friedman, op.cit., hlm. 5-6 88 Pasal 6, Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 53, TLN Nomor 4389 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. kedalam lingkup hukum nasional. Konvensi sebagai sumber hukum utama internasional dan perjanjian, mengikat Negara anggotanya. Sifat mengikat ini berarti Negara pihak suatu perjanjian harus menaati dan menghormati pelaksanaan perjanjian tersebut karena perjanjian ini mengikat para pihak yang termasuk didalamnya.89 Sebagai Negara yang sangat menjunjung tinggi perjanjian sebagai peraturan perundang-undangan yang mengatur para pihak yang terlibat, sudah sepantasnya dan seharusnya Indonesia menerapkan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing ke dalam hukum nasionalnya secara jelas dan pasti serta dapat memberikan kepastian hukum kepada pihak yang bersengketa, khususnya pihak asing. Kepastian hukum mempunyai arti penting bagi suatu kegiatan pembangunan, dalam hal ini kegiatan investasi. Bagi investor sendiri, arti penting kepastian hukum adalah tolak ukur utama, dimana pentingnya hukum tersebut dikaitkan dengan investasi adalah investor membutuhkan adanya kepastian hukum dalam menjalankan usahanya. Artinya, para investor membutuhkan satu ukuran yang menjadi pegangan dalam menjalankan kegiatan investasinya. Ukuran inilah yang disebut aturan yang dibuat oleh yang mempunyai otoritas untuk itu karena aturan tersebut berlaku untuk semua pihak. 90 Ketiadaan suatu kepastian dan perlindungan hukum yang dapat disediakan oleh peraturan perundang-undangan, membuat para investor tidak akan berinvestasi di Indonesia baik dalam bentuk fortfolio, apalagi dalam bentuk direct investment.91 Oleh karena itu, untuk mengundang modal asing masuk ke Indonesia diperlukan perilaku hukum yang mendukung kegiatan penanaman modal asing serta diperlukan suatu sistem hukum yang 89 Dr. Boermauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, cetakan ketiga, (Bandung: Alumni, 2003), hlm. 135 90 Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, cet. I, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), hlm. 37. 91 Ridwan Khairandy, “Iklim Investasi dan Jaminan Kepastian Hukum Dalam Era Otonomi Daerah”, dalam Seminar Nasional Sinkronisasi Kebijakan Pusat dan Daerah Mengenai Investasi, Kepastian Hukum dan Peluang Kerja di Era Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Ikatan Keluarga Mahasiswa Palawan Indonesia dan PT. Riau Pulp Paper, 15 April 2006), hlm 6 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. memberikan kepastian hukum, yang mana didalamnya terdapat satu paket lengkap yaitu produk-produk hukum yang responsif, perilaku aparat hukum yang mampu melaksanakan law enforcement, dan budaya hukum masyarakat maupun budaya hukum dari aparat hukum yang baik.92 Salah satu cara yang dapat ditempuh Indonesia untuk memberikan kepastian hukum terhadap penyelesaian sengketa adalah dengan melakukan amandemen terhadap UU 30/1999 sehingga Indonesia dapat memberikan suatu pengaturan hukum yang pasti dengan mengadopsi ketentuan yang diatur dalam UNCITRAL Model Law. Lengkapnya pengaturan arbitrase yang diatur oleh UNCITRAL Model Law sebagai hukum arbitrase internasional telah diterima sebagai universalitas hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase khususnya dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing oleh para Negara anggotanya. Indonesia sendiri telah menandatangani resolusi UNCITRAL Arbitration Rules pada tahun 1976, dimana penandatanganan ini telah membuktikan bahwa Indonesia siap dengan ketentuan yang diatur dalam UNCITRAL Arbitration Rules. Penerapan UNCITRAL Model Law dalam konteks hukum arbitrase nasional Indonesia dapat memberikan suatu kepastian hukum yang dapat menjamin serta memberikan perlindungan hukum kepada para investor atau pelaku usaha bisnis dan perdagangan internasional. Indonesia dapat menerapkan beberapa perubahan dalam pengadopsian ketentuan-ketentuan UNCITRAL Model Law tersebut kedalam hukum arbitrase nasional Indonesia. Mengingat UNCITRAL Model Law tersebut telah diterima secara luas, penerapan UNCITRAL Model Law dalam hukum arbitrase Indonesia akan 92 Mengacu kepada pendapat Erman Rajagukguk, bahwa usaha untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif penanaman modal juga dapat melalui penegakan hukum dalam arti dihilangkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty), kekusutan hukum (legal entanglement), penyelundupan hukum (legal encirlement), dan tidak terlaksananya hukum (legal enforcibility). Bagi investor-investor Amerika yang sudah terbiasa hidup dalam budaya hukum yang demokratis, berbagai deregulasi di bidang Penanaman Modal Asing bisa menjadi begitu tidak berarti, manakala tidak diikuti oleh kepastian hukum. Salah satu yang perlu dilaksanakan adalah pembaharuan hukum diberbagai bidang seperti Perseroan Terbatas, Pasar Modal, eksekusi barang jaminan, persaingan usaha yang sehat. Begitu juga dengan penyempurnaan aparatur hukum, suatu pengadilan yang bersih perlu ditegakkan karena sebagian sengketasengketa dagang dalam penyelesaiannya bergantung kepada kepercayaan kepada pengadilan tersebut, sebagaimana tertulis dalam Erman Rajagukguk, “Masalah Investasi Dalam Pembangunan Lima Tahun Ke VI: Suatu Tinjauan Hukum dan Ekonomi”, dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, op.cit., hlm 550 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. menjamin harmonisasi hukum pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional serta akan dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para subjek dan objek yang diaturnya. Serupa dengan Amerika Serikat, bahwa Pengadilan Amerika Serikat merupakan forum yang paling banyak dimohonkan pelaksanaan putusan arbitrase asing di wilayahnya. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat memberikan suatu pengaturan hukum arbitrase yang sangat lengkap serta dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pemohon pelaksanaan putusan arbitrase asing di wilayahnya. Salah satu cara lainnya adalah Indonesia dapat melakukan amandemen UU 30/1999 dengan lebih lengkap dan tanpa harus mengadopsi UNCITRAL Model Law, sebagaimana telah dilakukan oleh Inggris (United Kingdom of Great Britain). Inggris sebagai Negara yang memiliki hukum arbitrase tertua di dunia tidak mengadopsi ketentuan UNCITRAL Model Law, namun, ketentuan yang diatur didalam UU arbitrasenya (AA 1996) telah mengakomodir ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi New York 1958. Bahkan hampir keseluruhan ketentuan yang diaturnya, hampir menyerupai ketentuan UNCITRAL Model Law tanpa harus mengadopsinya. Adanya suatu hukum yang pasti tersebut pasti akan dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap penyelesaian sengketa kepada pihak-pihak pelaku usaha, dan dengan adanya kepastian dan perlindungan hukum dalam penyelesaian sengketa tersebut, Indonesia dapat memperoleh kembali kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dalam mewujudkan suatu hukum yang dapat meningkatkan perekonomian dan perkembangan pembangunan suatu Negara, suatu hukum haruslah mampu menciptakan kepastian (predictability), stabilitas (stability), dan keadilan (fairness) untuk dapat berperan dalam pembangunan ekonomi.93 Dimana, prediktabilitas mengandung arti bahwa hukum harus dapat menciptakan kepastian, yaitu kepastian hukum dan dengan adanya kepastian hukum, investor dapat mengukur tindakan-tindakan yang akan 93 Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, loc.cit. Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011. dilakukannya dan mampu memprediksikan kemungkinan pelanggaran yang terjadi dan perkembangan ekonomi pasar.94 Hukum juga harus dapat menciptakan stabilitas karena hukum harus mencerminkan keseimbangan kepentingan para pihak yang terlibat didalamnya. Sesuai dengan ini, hukum haruslah dapat menciptakan keterpaduan antara para pihak. Fungsi hukum yang terakhir adalah hukum selain harus dapat menciptakan prediktabilitas dan stabilitas, hukum juga harus dapat menciptakan nilai-nilai keadilan bagi para pihak dan mencegah terjadinya praktek-praktek diskriminasi atau ketidakadilan bagi para pihak yang terlibat didalamnya. 94 Siti Anisah, loc.cit. Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.