BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gagal Jantung Kongestif 2.1.1. Pengertian gagal jantung kongestif Jantung merupakan organ yang terpenting dalam sirkulasi. Pekerjaan jantung adalah memompa darah ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh pada setiap saat, baik saat istirahat maupun saat bekerja atau menghadapi beban. Dengan bertambahnya kemajuan teknologi kedokteran, sejak tahun 1968 kematian karena penyakit jantung menurun. Hal ini menurut Rilantino, dkk, (2002) disebabkan karena sebagian besar penderita hidup setelah serangan jantung tapi kemudian menderita gagal jantung. Gagal jantung kongestif adalah suatu kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi sistolik atau diastolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien (Mariyono & Santoso, 2008). 2.1.2. Klasifikasi gagal jantung Klasifikasi gagal jantung kongestif berdasarkan tampilan klinis dari New York Heart Association (NYHA) yaitu : a. Kelas I : tidak ada gejala bila melakukan kegiatan fisik biasa 12 Universitas Sumatera Utara 13 b. Kelas II : timbul gejala bila melakukan kegiatan fisik biasa. c. Kelas III : timbul gejala sewaktu melakukan kegiatan fisik ringan. d. Kelas IV : timbul gejala pada saat istirahat. (Price & Wilson, 1994). b. Klasifikasi Stevenson Klasifikasi menurut Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena jugularis, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver valsava. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah, dan yang tidak mengalami kongesti disebut kering. Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin dan yang tidak mengalami gangguan perfusi disebut panas (Price & Wilson, 1994). 2.1.3. Etiologi Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologis cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung. Di negara maju penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak, sedangkan di negara berkembang, yang menjadi penyebab terbanyak dari gagal jantung adalah penyakit katup jantung dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada negara industri maju, penyakit jantung koroner (PJK) merupakan suatu penyebab dominan pada pria dan wanita dan terjadi pada 60-75% kasus gagal jantung. Hipertensi berperan pada perkembangan gagal jantung pada 75% pasien, termasuk Universitas Sumatera Utara 14 pasien dengan PJK. Baik PJK dan hipertensi dapat bekerja sama untuk meningkatkan resiko gagal jantung, begitu pula dengan diabetes mellitus. Berdasarkan hasil penelitian Framingham cit Lipp, Gibbs & Beevers (2000), menyimpulkan bahwa penyakit jantung koroner merupakan penyebab dari gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu, berat badan dan tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga merupakan faktor risiko independen perkembangan gagal jantung (Smeltzer & Bare, 2002). Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa hasil penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri berkaitan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan terjadinya aritmia baik aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Penyebab lain dari gagal jantung adalah minum minuman beralkohol (Smeltzer & Bare, 2002). Alkohol dapat menyebabkan gagal jantung sekitar 2-3% dari kasus. Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (yang paling sering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik). Selain alkohol, obat-obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek Universitas Sumatera Utara 15 toksik langsung terhadap otot jantung (Smeltzer & Bare, 2002). 2.1.4. Penatalaksanaan gagal jantung Menurut Smeltzer & Bare, (2002), penatalaksanaan pasien gagal jantung terdiri dari : a. Penatalaksanaan non farmakologis 1. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya, pengobatan dan pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. 2. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita kegemukan. 3. Pembatasan asupan garam dan pembatasan asupan cairan. 4. Menghentikan perilaku minum minuman beralkohol. 5. Dianjurkan untuk berolah raga, karena mempunyai efek yang positif terhadap otot skeletal, fungsi saraf otonom, endotel serta neuro hormonal dan juga terhadap sensitifitas terhadap insulin. b. Penatalaksanaan farmakologis Obat-obat yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung antara lain: diuretik (loop dan thiazid), ACE-inhibitor, β-blocker (carvedilol, bisoprolol, metaprolol), digoksin, spironolakton, vasodilator (hydralazine, nitrat), anti koagulan, anti aritmia, serta obat inotropik positif. Universitas Sumatera Utara 16 2.2. Rehospitalisasi Pasien Gagal Jantung Kongestif Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali kerumah. Selama proses tersebut, anak dan orang tua harus dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh stress (Wong, 2000). Gagal jantung kongestif merupakan penyakit yang bersifat progresif dengan gejala yang sangat mempengaruhi kondisi vital pasien gagal jantung kongestif. Kondisi ini mengharuskan pasien gagal jantung kongestif untuk menjalani rawat inap. Pasien gagal jantung kongestif rentan untuk mengalami rehospitalisasi, yaitu pasien dirawat ulang di rumah sakit setelah pernah mengalami hospitalisasi (Smeltzer & Bare, 2002). Rawat inap ulang atau readmission pada penyakit gagal jantung kongestif diakibatkan oleh eksaserbasi dari gejala klinis gagal jantung kongestif. Beberapa dipicu oleh faktor concomitant kardiovaskular seperti takiaritmia, unstable coronary syndrome. Selain itu juga bisa disebabkan oleh gangguan Serebrovaskular dan ketidakpatuhan dalam diet dan terapi (AHA, 2009). Rawat inap menjadi salah satu pilihan terapi bagi pasien gagal jantung kongestif. Berdasarkan hasil National Institute for Cardiovascular Outcomes Research (NICOR) tahun 2011 disebutkan bahwa periode April hingga Maret 2011 diperoleh 36.901 pasien yang menjalani rawat inap. Dari 36.901 pasien yang menjalani rawat inap, 30.099 pasien menjalani rawat inap yang pertama dengan Universitas Sumatera Utara 17 durasi rata-rata 11 hari, sedangkan 6.802 pasien menjalani rawat inap ulang atau rehospitalisasi dengan durasi rata-rata 13 hari. Menurut penelitian Tsuchihashi et. al. tahun 1999 sekitar 40% pasien gagal jantung kongestif menjalani rawat inap ulang dalam 1 tahun setelah rawat inap sebelumnya. 10 tahun berikutnya menurut penelitian Majid (2010) persentase pasien gagal jantung yang menjalani rawat inap ulang sebesar 52%. Rehospitalisasi menjadi salah satu faktor yang menentukan prognosis gagal jantung kongestif. Pasien yang mengalami rehospitalisasi, 50% meninggal pada 6 bulan setelah rehospitalisasi dan 25-35% meninggal pada 12 bulan setelah rehospitalisasi (AHA, 2009). Menurut studi yang dilakukan Zaya (2012) bahwa setelah menjalani rawat inap yang ke dua atau ketiga resiko kematian bagi pasien gagal jantung kongestif sebesar 30%. Setelah menjalani perawatan di rumah sakit dan gagal jantung dapat terkontrol, maka pasien diupayakan secara bertahap untuk kembali keaktivitas seperti sebelum sakit sedini mungkin. Aktivitas kegiatan hidup seharí-hari harus direncanakan untuk meminimalkan timbulnya gejala yang diakibatkan kelelahan, dan setiap aktivitas yang dapat menimbulkan gejala harus dihindari atau dilakukan adaptasi. Berbagai penyesuaian kebiasaan, pekerjaan dan hubungan interpersonal harus dilakukan. Pasien harus dibantu untuk mengidentifikasi stres emosional dan menggali cara-cara untuk menyelesaikannya. Pasien datang ke klinik atau rumah sakit biasanya diakibatkan adanya kekambuhan episode gagal jantung. Kebanyakan kekambuhan gagal jantung dan dirawat kembali di rumah sakit terjadi karena pasien tidak memenuhi terapi yang dianjurkan, misalnya karena Universitas Sumatera Utara 18 ketidakmampuan secara ekonomi. Pasien sering kembali melaksanakan terapi pengobatan yang kurang tepat, melanggar pembatasan diet, tidak mematuhi tindak lanjut medis, melakukan aktivitas fisik yang berlebihan, dan tidak dapat mengenali gejala kekambuhan (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut Dharma (2007), yang harus dilakukan untuk membantu penyembuhan gagal jantung adalah menghindari makanan yang terlalu banyak garam dan makanan-makanan bergaram lainnya seperti sayuran atau sup kalengan, pizza dan keripik. Makanan-makanan tersebut dapat menyebabkan retensi cairan dalam tubuh. Jagalah agar tekanan darah selalu terkontrol. Tekanan darah tinggi memberikan beban berlebihan pada jantung dan lama kelamaan berakibat pada lemahnya jantung. Menurut Harmilah (2001) di dalam skripsinya disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara ketaatan berobat klien gagal jantung kongestif dengan rawat inap ulang, yaitu sebanyak 5,88% responden tidak taat berobat dan mengalami rawat inap ulang. Sedangkan penelitian yang dilakukan Subroto (2002) dalam skripsinya disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor ketaatan diet, ketaatan berobat dan intake cairan dengan rehospitalisasi klien dekompensasi kordis. Menurut Philbin & DiSalvo (2004), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pasien dirawat ulang di rumah sakit adalah : 1. Riwayat sebelum masuk rumah sakit dan lama dirawat di rumah sakit. Semakin lama dirawat di rumah sakit menunjukkan tingkat keparahan atau kompleksitas dari penyakit tersebut. Universitas Sumatera Utara 19 2. Hipertensi. Hipertensi memberikan kontribusi dalam morbiditas pasien CHF, dengan meningkatkan after load jantung. Hipertensi merupakan faktor risiko didalam perkembangan gagal jantung, karena hipertensi menyebabkan perkembangan hipertrofi ventrikel kiri dan perkembangan penyakit jantung koroner. Risiko relatif gagal jantung pada pasien dengan hipertensi adalah 1,4 dibandingkan dengan populasi umum. Hipertensi merupakan prediktor kelangsungan hidup pada pasien dengan gagal jantung kongestif (Kaplan & Rose, 2006). Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel (Mariyono & Santoso, 2008). 3. Usia. Semakin tua usia pasien CHF, maka diprediksi semakin tinggi terhadap rawat ulang di rumah sakit. Gagal jantung merupakan penyebab paling banyak dirawat di rumah sakit di Amerika Serikat. Peningkatan tersebut berkaitan erat dengan semakin bertambahnya usia seseorang. Menurut Rahman di dalam Farid (2006), orang dengan usia lanjut mengalami perubahan anatomis, fisiologis dan patologi anatomis. Perubahan anatomis yang dimaksud adalah terjadinya penebalan dinding ventrikel kiri, meski tekanan darah relatif normal. Begitupun fibrosis dan kalsifikasi katup jantung terutama pada anulus mitral dan katup aorta. Selain itu terdapat pengurangan jumlah sel pada nodus sinoatrial (SA Node) yang menyebabkan hantaran Universitas Sumatera Utara 20 listrik jantung mengalami gangguan. Hanya sekitar 10% sel yang tersisa ketika manusia berusia 75 tahun ketimbang jumlahnya pada usia 20 tahun lalu. Sementara itu, pada pembuluh darah terjadi kekakuan arteri sentral dan perifer akibat proliferasi kolagen, hipertrofi otot polos, kalsifikasi, serta kehilangan jaringan elastik. Meski seringkali terdapat aterosklerosis pada manula, secara normal pembuluh darah akan mengalami penurunan debit aliran akibat peningkatan situs deposisi lipid pada endotel. Lebih jauh, terdapat pula perubahan arteri koroner difus yang pada awalnya terjadi di arteri koroner kiri ketika muda, kemudian berlanjut pada arteri koroner kanan dan posterior di atas usia 60 tahun. Perubahan fisiologis yang paling umum terjadi seiring bertambahnya usia adalah perubahan pada fungsi sistolik ventrikel. Sebagai pemompa utama aliran darah sistemik, perubahan sistolik ventrikel akan sangat mempengaruhi keadaan umum pasien. Parameter utama yang terlihat ialah detak jantung, preload dan afterload, performa otot jantung, serta regulasi neurohormonal kardiovaskular. Oleh karenanya, orang-orang tua menjadi mudah deg-degan. Akibat terlalu sensitif terhadap respon tersebut, isi sekuncup menjadi bertambah menurut kurva Frank-Starling. Efeknya, volume akhir diastolik menjadi bertambah dan menyebabkan kerja jantung yang terlalu berat dan lemah jantung. Awalnya, efek ini diduga terjadi akibat efek blokade reseptor β-adrenergik, namun setelah diberi β-agonis ternyata tidak memberikan perbaikan efek. Di lain sisi, terjadi perubahan kerja diastolik terutama pada pengisian awal diastolik lantaran otot-otot jantung sudah mengalami Universitas Sumatera Utara 21 penurunan kerja. Secara otomatis, akibat kurangnya kerja otot atrium untuk melakukan pengisian diastolik awal, akan terjadi pula fibrilasi atrium, sebagaimana sangat sering dikeluhkan para lansia. Masih berhubungan dengan diastolik, akibat ketidakmampuan kontraksi atrium secara optimal, akan terjadi penurunan komplians ventrikel ketika menerima darah yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel ketika istirahat dan exercise. Hasilnya, akan terjadi edema paru dan kongesti sistemik vena yang sering menjadi gejala klinis utama pasien lansia. Secara umum, yang sering terjadi dan memberikan efek nyata secara klinis ialah gangguan fungsi diastolik. Adapun perubahan patologi anatomis pada penyakit jantung degeneratif umumnya berupa degeneratif dan atrofi. Perubahan ini dapat mengenai semua lapisan jantung terutama endokard, miokard, dan pembuluh darah. Umumnya perubahan patologi anatomis merupakan perubahan mendasar yang menyebabkan perubahan makroskopis, meskipun tidak berhubungan langsung dengan fisiologis. Seperti halnya di organ-organ lain, akan terjadi akumulasi pigmen lipofuksin di dalam sel-sel otot jantung sehingga otot berwarna coklat dan disebut brown atrophy. Begitu juga terjadi degenerasi amiloid alias amiloidosis, biasa disebut senile cardiacamiloidosis. Perubahan demikian yang cukup luas dan akan dapat mengganggu faal pompa jantung. Terdapat pula kalsifikasi pada tempat-tempat tertentu, terutama mengenai lapisan dalam jantung dan aorta. Universitas Sumatera Utara 22 Kalsifikasi ini secara umum mengakibatkan gangguan aliran darah sentral dan perifer. Ditambah lagi dengan adanya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah besar dan degenerasi mukoid terutama mengenai daun katup jantung, menyebabkan seringnya terjadi kelainan aliran jantung dan pembuluh darah. Akibat perubahan anatomis pada otot-otot dan katup-katup jantung menyebabkan pertambahan sel-sel jaringan ikat (fibrosis) menggantikan sel yang mengalami degenerasi, terutama mengenai lapisan endokard termasuk daun katup. Tidak heran, akibat berbagai perubahanperubahan mikroskopis seperti tersebut di atas, keseluruhan kerja jantung menjadi rusak. 4. Jenis Kelamin. Menurut Grossman & Brown (2009), pasien gagal jantung kongestif dengan jenis kelamin laki-laki prevalensinya lebih besar daripada perempuan pada usia 40-75 tahun. Menurut Hsich (2009) yang dikutip dari Journal of the American Collegeof Cardiology, edisi 4 April 2009, bahwa faktor-faktor risiko dalam perkembangan gagal jantung dan prognosis pasien memperlihatkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Hipertensi dan penyakit vaskula menjadi penyebab utama gagal jantung pada wanita. Pada pria penyebab mendasarnya adalah coronary artery disease (CAD). Wanita dengan gagal jantung, cenderung memiliki kualitias hidup lebih rendah daripada pria, dalam hal ini dikaitkan dengan aktivitas fisik. Begitu juga bila dilihat saat diagnosis dimana nilai "normal" natriuretic peptide otak pada wanita lebih besar dibanding pria. Dan nilai abnormal dengan BNP >500 pg/ml bisa menjadi sebuah prediktor kematian yang lebih kuat pada wanita Universitas Sumatera Utara 23 gagal jantung dibanding pria. Natriuretic peptide otak merupakan sebuah biomarker yang digunakan dengan frekuensi lebih untuk mengindetifikasi pasien dengan gejala-gejala gagal jantung dan menstratifikasi pasien dengan risiko tersebut. 5. Dukungan keluarga dan sosial. Dukungan keluarga dan sosial dapat menurunkan kemungkinan terjadinya rehospitalisasi pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Faktor-faktor sosial juga telah terbukti penting sebagai prediktor morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit arteri koroner. Pentingnya dukungan sosial telah dikonfirmasi oleh sebuah studi baru-baru ini bahwa tidak adanya dukungan emosional yang kuat, dapat meningkatkan mortalitas dan tingkat rehospitalisasi pada pasien dengan CHF. Menurut Niven (2002) bahwa dukungan keluarga dapat membantu meningkatkan mekanisme koping individu dengan memberikan dukungan emosi dan saran-saran mengenai strategi alternatif yang didasarkan pada pengalaman sebelumnya dan mengajak orang lain berfokus pada aspek-aspek yang lebih positif. Selain mendapat dukungan dari keluarga, pasien gagal jantung kongestif yang mengalami kecemasan sedang juga melakukan pendekatan religius dengan cara berdzikir, berdoa sesuai dengan keyakinan masing-masing dan melakukan sholat meskipun dengan berbaring. Dengan melakukan pendekatan religius tersebut, kebanyakan pasien dapat merasakan ketenangan batin sehingga mampu mengendalikan kecemasannya dan melakukan mekanisme koping yang adaptif. 6. Perawatan tindak lanjut di rumah. Semakin minim perawatan tindak lanjut Universitas Sumatera Utara 24 maka semakin tinggi kemungkinan terjadinya rehospitalisasi. 7. Kunjungan ke klinik secara rutin, Kunjungan ke klinik secara rutin dapat meningkatkan kepatuhan pasien CHF, terutama dalam perawatan medis. Sedangkan menurut Peg Bradke (2009), faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya rehospitalisasi pada pasien gagal jantung kongestif adalah kurangnya pendidikan kesehatan tentang bagaimana perawatan diri di rumah, penggunaan obat-obatan yang tidak tepat, kurangnya komunikasi dari pemberi pelayanan kesehatan (care giver), kurangnya perencanaan tindak lanjut saat pasien pulang dari rumah sakit. 2.3. Kepatuhan Diet Rendah Garam Pasien Gagal Jantung Kongestif Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehinga pasien mengerti rencana dengan segala konsekwensinya dan menyetujui rencana tersebut serta melaksanakanya (Kemenkes R.I, 2001). Kepatuhan didefinisikan sebagai seberapa baik perilaku seseorang dalam menggunakan obat, mengikuti diit atau mengubah gaya hidup sesuai dengan tata laksana terapi. Pasien dan tenaga kesehatan dapat mempengaruhi kepatuhan. Hubungan baik antara dokter dan pasien merupakan faktor penting untuk meningkatkan kepatuhan (WHO, 2003). Tujuan manajemen nutrisi pada pasien gagal jantung adalah untuk mengurangi natrium dan retensi cairan. Pembatasan natrium ditujukan untuk mencegah, mengatur atau mengurangi edema. Banyak pasien dengan gagal jantung hanya membatasi garam pada makanannya berkisar 3 gram sehari atau Universitas Sumatera Utara 25 1000-2000 miligram natrium. Garam itu tidak 100% mengandung natrium, tetapi setiap 1 gram garam mengandung 393 miligram natrium. Nutrisi pada gagal jantung berkaitan dengan kadar kolesterol. Peningkatan kadar kolesterol pada penderita gagal jantung akan menyebabkan kerusakan dan pengerasan pada pembuluh darah sehingga beban jantung yang sudah mengalami kegagalan akan memperparah kerja jantung (Kasron, 2012). Menurut Kasron, 2012, Syarat-syarat Diet Rendah Garam Penyakit Jantung adalah sebagai berikut: 1. Energi cukup, untuk mencapai dan mempertahankan berat badan normal 2. Protein cukup yaitu 0,8g/kg BB 3. Lemak sedang, yaitu 25-30% dari kebutuhan energi total, 10% berasal dari lemak jenuh, dan 10-15% lemak tidak jenuh. 4. Kolesterol rendah, terutama jika disertai dengan dislipidemia. 5. Vitamin dan mineral cukup. Hindari penggunaan suplemen kalium, kalsium, dan magnesium jika dibutuhkan. 6. Garam rendah, 2-3 g/hari, jika disertai hipertensi atau edema 7. Makanan mudah cerna dan tidak menimbulkan gas 8. Serat cukup untuk menghindari konstipasi. 9. Cairan cukup ±2 liter/hari sesuai dengan kebutuhan. 10. Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan penyakit, diberi dalam porsi kecil. Bila kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan dapat diberikan tambahan berupa makanan enteral, parenteral, atau suplemen gizi. Universitas Sumatera Utara 26 2.3.1.Jenis Diet dan Indikasi Pemberian Diet Jantung I Diet jantung 1 diberikan kepada pasien penyakit jantung akut seperti Myocard Infarct (MCI) atau Dekompensasio Kordis berat. Diet diberikan berupa 1-1,5 liter cairan/hari selama 1-2 hari pertama bila pasien dapat menerimanya. Diet sangat rendah energi dan semua zat gizi, sehingga sebaiknya hanya diberikan selama 1-3 hari. Diet Jantung II Diet Jantung II diberikan dalam bentuk makanan saring atau lunak. Diet diberikan sebagai perpindahan diet jantung I, atau setelah fase akut dapat diatasi. Jika disertai hipertensi dan/atau edema, diberikan sebagai diet jantung H garam rendah. Diet ini rendah energi, protein, kalsium, tiamin. Diet Jantung III Diet Jantung III diberikan dalam bentuk makanan lunak atau biasa. Diet diberikan sebagai perpindahan dari diet jantung II atau kepada pasien jantung denga kondisi yang tidak terlalu barat. Jika disertai hipertensi dan/atau edema, diberikan sebagai diet jantung III garam rendah. Diet ini rendah energi dan kalsium, tetapi cukup zat gizi lain. Diet Jantung IV Diet Jantung IV diberikan dalam bentuk makanan biasa. Diet diberikan sebagai perpindahan diet jantung III atau kepada pasien jantung dengan keadaan ringan. Jika disertai hipertensi dan/atau edema, diberikan sebagai Universitas Sumatera Utara 27 sebagai diet jantung IV garam rendah. Diet ini cukup energi dan zat gizi lain, kecuali kalsium. Bahan Makanan Sehari Tabel 2.1. Bahan Makanan Sehari Bahan Diet Jantung Diet Jantung Makanan I II Berat Urt Berat Urt (g) (g) Beras 100 3 gls bubur Daging - - 100 Telur Ayam Tempe - - 50 - Sayuran Buah 400 300 400 Minyak - 2 gls sari buah - Margarin tidak bergaram Gula Pasir 10 1 sdm 80 Susu skim bubuk 100 8 sdm 20 sdm Diet Jantung III Berat Urt (g) 200 4 gls tim Diet Jantung IV Berat Urt (g) 250 31/4 gls nasi 100 2 ptg sdg 50 1 btr 125 5 ptg sdg 300 3 gls 400 4 ptg sdg papaya 25 2½ sdm - 2 ptg sdg 1 btr - 100 300 400 - 3 gls 4 ptg sdg papaya 1½ sdm - - 2 ptg sdg 1 btr 3 ptg sdg 3 gls 4 ptg sdg papaya 1½ sdm - 20 2 sdm 30 3 sdm 30 3 sdm 20 4 sdm - - - - 15 50 75 15 Universitas Sumatera Utara 28 2.3.2. Diet Garam Rendah Yang dimaksud dalam diet garam rendah adalah garam natrium seperti yang terdapat di garam dapur (NaCl), soda kue (NaHCO3), baking powder, natrium benzoat, dan vetsin (mono sodium glutamat). Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler tubuh yang mempunyai fungsi menjaga keseimbangan cairan dan asam basa tubuh, serta berperan dalam transmisi saraf dan kontraksi otot. Asupan makanan sehari-hari umumnya mengandung lebih banyak natrium daripada yang dibutuhkan tubuh. Dalam keadaan normal, jumlah natrium yang dikeluarkan tubuh melalui urin sama dengan jumlah yang dikonsumsi sehingga terdapat keseimbangan (Kasron, 2012). Makanan sehari hari biasanya cukup mengandung natrium yang dibutuhkan, sehingga tidak ada penetapan kebutuhan natrium sehari. WHO (1990) menganjurkan pembatasan konsumsi garam dapur hingga 6 gram sehari (ekivalen dengan 2400 mg natrium). Asupan natrium yang berlebihan, teutama dalam bentuk natrium klorida, dapat menyebabkan gangguan keseimbangan cairan tubuh, sehingga menyebabkan edema atau asites dan/atau hipertensi. Penyakitpenyakit tertentu seperti sirosis hati, penyakit ginjal tertentu, dekompensasio kordis, toksemia pada kehamilan dan hipertensi esensial dapat menyebabkan gejala edema atau asites dan/atau hipertensi. Dalam keadaan demikian asupan garam natrium perlu dibatasi (Kasron, 2012). Diet garam rendah diberikan kepada pasien dengan edema atau asites dan/ atau hipertensi seperti yang terjadi pada penyakit dekompensasio kordis, sirosis hati, penyakit ginjal tertentu, toksemia pada kehamilan, dan hipertensi esensial. Universitas Sumatera Utara 29 Diet ini mengandung zat-zat gizi. Sesuai dengan keadaan penyakit dapat diberikan berbagai tingkat diet garam rendah (Kasron, 2012). Diet Garam Rendah I (200-400 mg Na) Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan edema, asites dan/atau hipertensi berat. Pada pengolahan makanannya tidak ditambahkan garam dapur. Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya. Diet Garam Rendah II (600-800 mg Na) Diet garam rendah diberikan kepada pasien dengan edema, asites, dan atau hipertensi tidak terlalu berat. Pemberian makanan sehari sama dengan diet rendah I. Pada pengolahan makanannya boleh menggunakan ½ garam (2g). Hindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya. Diet Garam Rendah III (1000-1200 mg Na) Diet garam rendah III diberikan kepada pasien dengan edema dan/atau hipertensi ringan. Pemberian makanan sehari sama dengan diet garam rendah pengolahan makanannya boleh menggunakan 1 sdt (4g) garam dapur. Batasi penggunaan garam pada masakan jangan lebih dari 1 sendok teh (2400mg/hari). Cara pertama adalah diet rendah garam, yang terdiri dari diet ringan (konsumsi garam 3,75-7,5 gram per hari), menengah (1,25-3,75 gram per hari, dan berat (kurang dari 1,25 gram perhari) (Wahdah, 2011). Universitas Sumatera Utara 30 2.4. Kepatuhan Minum Obat Pasien Gagal Jantung Kongestif Kepatuhan (compliance) juga dikenal sebagai ketaatan (adherence) adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya. Pada umumnya sekitar sepertiga dari semua pasien patuh pada pengobatan (Kaplan & Sadock, 1997). Definisi kepatuhan dalam mengkonsumsi obat adalah ketaatan melaksanakan anjuran petugas kesehatan untuk mengkonsusmsi obat. Kepatuhan menurut Sackett pada pasien sebagai “Sejauh mana perilaku individu sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan”. Kepatuhan mengkonsumsi obat diukur dari ketepatan jumlah obat yang dikonsumsi, ketepatan cara mengkonsumsi obat, frekuensi konsumsi perhari (Afnita, 2004). Kepatuhan minum obat adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan dan menggambarkan penggunaan obat sesuai dengan petunjuk pada resep serta mencakup penggunaannya pada waktu yang benar (Siregar, 2006). Kepatuhan merupakan suatu hal yang penting agar dapat mengembangkan rutinitas (kebiasaan) yang dapat membantu dalam mengikuti jadwal yang kadang kala rumit dan mengganggu kegiatan sehari-hari. Kepatuhan dapat sangat sulit dan membutuhkan dukungan agar menjadi biasa dengan perubahan. Dengan mengatur, meluangkan waktu dan kesempatan yang dibutuhkan untuk menyesuaikan diri. Kepatuhan terjadi bila aturan pakai obat yang diresepkan serta pemberiannya diikuti dengan benar (Tambayong, 2006). Jenis ketidakpatuhan pada minum obat, mencakup kegagalan menembus resep, melalaikan dosis, kesalahan , kesalahan dalam waktu pemberian / konsumsi Universitas Sumatera Utara 31 obat dan penghentian obat sebelum waktunya. Ketidakpatuhan akan mengakibatkan penggunaan suatu obat yang kurang (Siregar, 2006). Mengukur kepatuhan dapat menggunakan dua metode baik secara langsung maupun tidak langsung (Osterberg & Blaschke, 2005). Salah satu metode pengukuran kepatuhan secara tidak langsung adalah dengan menggunakan kuesioner. Metode ini dinilai cukup sederhana, murah dan mudah dalam pelaksanaannya. Salah satu model kuesioner yang telah tervalidasi untuk menilai kepatuhan minum obat jangka panjang adalah Morisky scale 8-items. Pada mulanya Morisky mengembangkan beberapa pertanyaan singkat dengan 4 butir pertanyaan untuk mengukur kepatuhan minum obat. Namun saat ini kuesioner Morisky Scale telah dimodifikasi menjadi delapan pertanyaan dengan modifikasi beberapa pertanyaan sehingga lebih lengkap dalam penilaian kepatuhan. Modifikasi kuesioner Morisky tersebut saat ini telah dapat digunakan untuk pengukuran kepatuhan minum obat yang memerlukan terapi jangka panjang (Morisky, et al, 2008). Berdasarkan hasil penelitian dari Bohachick, Burke, Sereika, Murali & Jacob (2002), tentang kepatuhan terhadap minum obat pada pasien gagal jantung, terdapat 71% patuh dengan terapi medis, dan 19% kurang patuh dengan terapi medis. Hasil penelitian Wal et al (2006), kepatuhan responden terhadap minum obat terdapat 5-10% pasien tidak patuh dengan minum obat, 50-60% patuh dan sisanya kurang patuh. Menurut Wal et al (2006), ketidakpatuhan meningkatkan mortalitas, morbiditas dan perawatan di rumah sakit. Kepatuhan adalah tanggung jawab pasien sendiri untuk mengikuti program Universitas Sumatera Utara 32 terapi medis. Kepatuhan adalah fenomena multidimensi yang saling berinteraksi, saling berhubungan dan saling mempengaruhi diantara beberapa faktor. Faktorfaktor tersebut adalah faktor pasien, kondisi atau keadaan, terapi, pelayanan kesehatan dan sosial ekonomi. Dari faktor-faktor tersebut, faktor pasien adalah yang paling besar pengaruhnya. Filosofi yang mendasari kepatuhan adalah penyakit itu dapat dikendalikan (dikontrol) jika pasien mematuhi tindakan atau terapi yang telah ditentukan. Komponen penting untuk mempengaruhi kepatuhan terhadap terapi dan mempengaruhi perilaku perawatan diri pada pasien gagal jantung kongestif adalah pendidikan pasien, kolaborasi dengan tim pelayanan kesehatan dan dukungan psikososial (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut Smeltzer & Bare (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien dalam mengikuti minum obat adalah: 1. Faktor demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status sosio ekonomi dan pendidikan. 2. Faktor penyakit seperti keparahan penyakit. 3. Faktor program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek samping yang tidak menyenangkan. 4. Faktor psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya dan biaya/finansial. Sedangkan menurut Notoatmodjo (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan terhadap program terapi adalah : Universitas Sumatera Utara 33 1. Pengetahuan Pengetahuan (knowledge), merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. 2. Tingkat Ekonomi Tingkat ekonomi atau penghasilan yang rendah akan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau membayar transportasi. Tingkat ekonomi dapat mempengaruhi pemilihan metode terapi yang akan digunakan oleh klien. 3. Sikap Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. 4. Usia Usia berpengaruh terhadap cara pandang seseorang dalam kehidupan, masa depan dan pengambilan keputusan. Penderita yang dalam usia produktif merasa terpacu untuk sembuh mengingat dia masih muda mempunyai harapan hidup yang tinggi, sebagai tulang punggung keluarga. Universitas Sumatera Utara 34 5. Dukungan Keluarga Didalam melaksanakan program terapi, klien tidak bisa melakukannya sendiri, dia butuh orang yang selalu mendampingi selama pelaksanaan program terapi. Dalam hal pengaturan diet, pembatasan cairan, obatobatan, dan pengecekan laboratorium juga memerlukan keluarga untuk mencapai target. 6. Jarak dari Pusat Pelayanan Mereka yang tinggal di daerah yang belum ada fasilitas pelayanan kesehatan tentu saja akan lebih sulit dan memerlukan biaya lebih besar untuk mencapai lokasi. Nilai dan keyakinan, nilai-nilai dan keyakinan individu dalam mengambil suatu keputusan, dalam hal ini untuk mendapatkan kesehatan yang optimal merupakan keyakinan dasar yang digunakan oleh individu untuk memotivasi dirinya selama menjalani terapi. Individu yang pada awalnya sudah memiliki cara pandang yang negatif, tidak memiliki keyakinan untuk hidup lebih baik cenderung tidak menjalani terapi dengan sungguh-sungguh, bahkan sering absen atau tidak mau datang lagi untuk menjalani terapi. Universitas Sumatera Utara 35 2.5. Hipertensi 2.5.1. Defenisi Hipertensi dapat didefenisikan sebagai tekanan darah tinggi persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg (Smeltzer & Bare, 2001). Wiryowidagdo (2002) mengatakan bahwa hipertensi merupakan suatu keadaan tekanan darah seseorang berada pada tingkatan di atas normal. Jadi tekanan di atas dapat diartikan sebagai peningkatan secara abnormal dan terus menerus pada tekanan darah yang disebabkan satu atau beberapa faktor yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam mempertahankan tekanan darah secara normal (Hayens, 2003). Hipertensi dapat dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu hipertensi esensial (primer) dan hipertensi skunder. Hipertensi esensial (primer) merupakan tipe yang hampir sering terjadi 95 persen dari kasus terjadinya hipertensi. Hipertensi esensial (primer) dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan. Sedangkan hipertensi sekunder berkisar 5 persen dari kasus hipertensi. Hipertensi sekunder disebabkan oleh kondisi medis lain (misalnya penyakit jantung) atau reaksi terhadap obat-obatan tertentu (Palmer, 2007). Hipertensi adalah faktor utama penyebab kematian karena stroke dan faktor yang memperberat infark miokard (serangan jantung). Kondisi tersebut merupakan gangguan yang paling umum pada tekanan darah. Diagnosa hipertensi pada orang dewasa dibuat saat bacaan diastolik rata-rata dua atau lebih, paling sedikit dua kunjungan berikut adalah 90 mmHg atau lebih tinggi atau tekanan Universitas Sumatera Utara 36 darah multipel sistolik rerata pada dua atau lebih kunjungan berikut secara konsisten lebih tinggi dari 140 mmHg. 2.5.2. Klasifikasi Hipertensi Klasifikasi hipertensi dilihat berdasarkan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik dalam satuan mmHg dibagi menjadi beberapa stadium. Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah untuk Usia Dewasa 18 Tahun dan Lansia Kategori Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik Normal Di bawah 130 mmHg Di bawah 85 mmHg Normal Tinggi 130-139 mmHg 85-89 mmHg Hipertensi Ringan 140-159 mmHg 90-99 mmHg (stadium 1) Hipertensi Sedang 160-179 mmHg 100-109 mmHg (stadium 2) Hipertensi Berat 180-209 mmHg 110-119 mmHg (stadium 3) Hipertensi Maligna 210 mmHg atau lebih 120 mmHg atau lebih (stadium 4) 2.6. Landasan Teori 2.6.1. Konsep Keperawatan Menurut Dorothy Orem Model keperawatan menurut Orem dikenal dengan model self care. Model self care ini memberi pengertian bahwa dalam bentuk pelayanan keperawatan dipandang dari suatu pelaksanaan kegiatan yang dapat dilakukan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar dengan tujuan untuk mempertahankan kehidupan, kesehatan, kesejahteraan sesuai dengan keadaan sehat dan sakit. Model keperawatan ini berkembang sejak tahun 1959-2001. Model self care ini memiliki keyakinan dan nilai yang ada dalam keperawatan diantaranya dalam pelaksanaan berdasarkan tindakan atas kemampuan. Self care didasarkan atas kesengajaan serta dalam pengambilan Universitas Sumatera Utara 37 keputusan dijadikan sebagai pedoman dalam tindakan. Model Orem ini sudah ditetapkan sebagai model konseptual untuk praktik keperawatan karena tujuan utama dari model ini adalah sebagai panduan praktis (Riehl & Roy dalam Wagnil, et al, 1987). Pemahaman konsep keperawatan khususnya dalam pandangan mengenai pemenuhan kebutuhan dasar, Orem membagi dalam konsep kebutuhan dasar yang terdiri dari (udara) yaitu berupa pemeliharaan dalam pengambilan udara, water (air): pemeliharaan dalam pengambilan air, food (makanan): pemeliharaan dalam mengkonsumsi makanan, elimination (eliminasi): pemeliharaan kebutuhan proses eliminasi, rest and activity (istirahat dan kegiatan): keseimbangan antara istirahat dan aktivitas, solitude and social interaction (kesendirian dan interaksi sosial): pemeliharaan dalam keseimbangan antara kesendirian dan interaksi sosial, hazard prevention (pencegahan resiko): kebutuhan akan pencegahan risiko pada kehidupan manusia dalam keadaan sehat dan promotion of normality (Wagnil, et al, 1987). Orem (1991 dalam Andriany, 2007) menyatakan ketiga tipe keperluan perawatan diri yang dikemukakan Orem adalah universal, perkembangan, dan penyimpangan kesehatan. Keperluan perawatan diri universal ditemukan pada seluruh indonesia dan dihubungkan dengan proses kehidupan dan kesejahteraan umum mereka. Kebutuhan perkembangan berhubungan dengan tahapan-tahapan yang berbeda yang dialami manusia. Orem mengoperasionalkan masing-masing dari kebutuhan-kebutuhan, yang menjadi fokus keperawatan adalah Universitas Sumatera Utara 38 pengidentifikasian kebutuhan perawatan diri, perancangan metode tindakan untuk memenuhi kebutuhan, dan totalitas kebutuhan untuk tindakan perawatan diri. Pemberian perawatan diri, apakah diri sendiri maupun orang lain, disebut ‘agen perawatan diri’. Hal ini merupakan suatu kesatuan yang digambarkan dalam perkembangan dan dapat dioperasionalkan, yang dipengaruhi oleh beberapa variabel dan latar belakang genetik, kultural, dan pengalaman, dan dalam istilah keadekuatan. Hal yang paling terakhir dapat evaluasi dengan mempertimbangkan kemampuan dan kebutuhan perawatan diri, Orem (1991 dalam Andriany, 2007). 2.6.2. Pengertian Self Care Self Care dalam hai ini merupakan istilah yang lebih luas dari hanya sekedar seperti self-care behaviors, self-care performance, self-care ability, selfcare activity, self-care compliance, self-care skills, dan self-care practice. Self care adalah suatu proses kognitif yang aktif dimana seseorang berupaya untuk mempertahankan kesehatan atau mengatasi penyakitnya (Rockwell & Riegel, 2001). Self care meliputi gabungan antara self-care behavior dan self-care ability. Definisi self care menurut Riegel et al, (2004) adalah sebuah proses pengambilan keputusan secara naturalistik terhadap pemilihan tingkah laku untuk mempertahankan stabilitas fisiologis (self care maintenance) dan respon terhadap gejala yang dialami (self-care management). Universitas Sumatera Utara 39 2.6.3. Dimensi Self Care Riegel et al, (2004) membagi self care ke dalam 3 (tiga) dimensi yaitu: a. Self Care Maintenence Aktivitas yang dinilai dalam self maintenence pasien Heart Failure meliputi: 1) Terapi pengobatan sesuai indikasi 2) Diet makanan rendah garam 3) Mempertahankan aktivitas fisik yang teratur 4) Monitoring tanda vital dan berat badan setiap hari 5) Upaya untuk berhenti merokok 6) Menghindari konsumsi alkohol b. Self Care management Self Care Management meliputi upaya untuk mempertahankan kesehatan atau gaya hidup sehat. Aktivitas yang dapat dilakukan dalam dimensi ini meliputi: 1) Kemampuan mengenal perubahan yang terjadi (misalnya terjadi edema) 2) Mengevaluasi perubahan yang dialami, mengambil keputusan yang tepat untuk penanganan 3) Melaksanakan strategi pengobatan (misalnya ekstra terapi diuretik) 4) Mengevaluasi respon terhadap tindakan yang telah dilakukan Universitas Sumatera Utara 40 c. Self Care Confidence Dimensi Self Care Confidence ini menentukan bagaimana kepercayaan diri pasien dalam mengikuti semua petunjuk tentang self care, yaitu meliputi: 1) Kepercayaan diri terhadap perasaan bebas dari gejala penyakit 2) Kepercayaan diri mengikuti petunjuk pengobatan 3) Kepercayaan diri mengenal secara dini perubahan kesehatan yang dialami 4) Kepercayaan diri melakukan sesuatu untuk mengatasi gejala penyakit 5) Kepercayaan diri mengevaluasi keberhasilan tindakan yang telah dilakukan. 2.6.4. Self Care Pada Pasien Heart Failure Self care pada pasien heart failure digambarkan sebagai suatu proses dimana pasien berpartisipasi secara aktif dalam melakukan managemen heart failure baik secara mandiri maupun dengan bantuan keluarga maupun petugas kesehatan. Aktifitas yang dilakukan dalam self care pasien heart failure ini meliputi self care maintenance, self care management dan self care confidence (Riegel et al, 2004). Universitas Sumatera Utara 41 2.6.5. Aplikasi Teori Self Care Orem’s Kemampuan self care pasien heart failure dalam penelitian ini mengacu pada teori self care Orem. Pemahaman tentang konsep self care menurut Dorothea Orem adalah tindakan yang mengupayakan orang lain memiliki kemampuan untuk dikembangkan ataupun mengembangkan kemampuan yang dimiliki agar dapat digunakan sevara tepat untuk mempertahankan fungsi optimal (Orem, dalam Tomey & Alligood, 2006). Self Care Requisites merupakan bagian dari teori self care Orem yang didefenisikan sebagai tindakan yang ditujukan pada upaya perawatan diri yang bersifat universal dan berhubungan dengan proses kehidupan manusia serta dalam upaya untuk mempertahankan fungsi tubuh. Orem mengembangkan self care requisites ke dalam tiga jenis yaitu universal self care requisites (kebutuhan perawatan diri secara umum mencakup kebutuhan dasar manusia), developmentself care requisites (kebutuhan yang berhubungan perkembangan individu) dan health deviation requisites (kebutuhan yang timbul sebagai akibat dari kondisi yang dialami pasien). Universal self care requisites merupakan bagian utama dalam kehidupan yang dijalani setiap individu. Aktivitas yang dilakukan terkait universal self care requisites ditujukan untuk memelihara kecukupan akan udara, air, dan makanan yang berguna untuk metabolisme dan menghasilkan energi. Universal self care requisites secara langsung mempengaruhi pasien heart failure, sebagai contoh pasien yang mengalami keluhan sesak nafas yang diakibatkan oleh edema pulmonal akan berupaya memenuhi kebutuhan akan oksigen (Orem, dalam Tomey & Alligood, 2006). Universitas Sumatera Utara 42 Developmentself care requisites merupakan upaya yang dilakukan untuk mendukung proses perkembangan. Kebutuhan akan perawatan diri tersebut secara langsung sebagai akibat proses perkembangan atau dihubungkan dengan kejadian yang terjadi selama proses perkembangan tersebut. Sedangkan health deviation requisites sering dikaitkan dengan kondisi sakit yang dialami pasien, yaitu bagaimana kemampuan pasien merasakan kondisi sakitnya atau ketidakmampuan melaksanakan fungsi normal. Pada pasien heart failure terdapat enam kategori health deviation requisites self care requisites yaitu (a) kemampuan untuk mencari pertolongan medis, (b) kesadaran diri untuk mengenal efek atau kondisi patologis, (c) upaya yang efektif untuk mengikuti prosedur diagnostik, program terapi dan rehabilitasi, (d) mampu mengelola kondisi tidak nyaman akibat pengobatan yang dijalani, (e) memodifikasi konsep diri bahwa kondisi kesehatan yang dialami merupakan bagian dari intervensi pelayanan kesehatan, dan (f) belajar untuk memahami bahwa kehidupan yang dijalani saat ini adalah akibat dari kondisi patologis dan efek dari pengobatan merupakan gaya hidup dalam upaya untuk meningkatkan perkembangan personal (Orem, dalam Tomey & Alligood, 2006). Universitas Sumatera Utara 43 2.7. Kerangka Konsep Kerangka konseptual ini menggambarkan hubungan antara kepatuhan diet rendah garam, kepatuhan minum obat, riwayat hipertensi dengan kejadian rehospitalisasi pada pasien gagal jantung kongestif di RSUP H. Adam Malik Medan. Kepatuhan diet rendah garam, kepatuhan minum obat, riwayat hipertensi pada penelitian ini menjadi variabel bebas (independent) sedangkan kejadian rehospitalisasi pasien dengan gagal jantung kongestif menjadi variabel terikat (dependent). Kerangka konsep penelitian ini digambarkan sebagai berikut: Variabel Bebas Kepatuhan Diet Rendah Garam Variabel Terikat Kejadian Rehospitalisasi : Kepatuhan Minum Obat a. Frekuensi Rendah b. Frekuensi Tinggi Riwayat Hipertensi Faktor-faktor Perancu • Umur • Jenis kelamin • Tingkat pendidikan • Pekerjaan • Penghasilan • Lama Rawatan Di RS • Klasifikasi Gagal Jantung Gambar 2.1 Kerangka Konsep Hubungan Antara Kepatuhan Diet Rendah Garam, Kepatuhan Minum Obat, Riwayat Hipertensi dengan Kejadian Rehospitalisasi pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Universitas Sumatera Utara