153 BAB V PENUTUP Penelitian ini berangkat dari permasalahan pelestarian situs gua prasejarah di kawasan karst Maros-Pangkep yang selama ini hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Pada sisi lain, kondisi kelestarian situs gua prasejarah kawasan karst Maros-Pangkep dan lingkungannya mengalami degradasi yang cukup tinggi selama beberapa dekade terakhir. Kebutuhan akan pembiayaan yang besar menjadi kendala selama ini, terutama dalam mendukung upaya-upaya konservasi, baik sumberdaya budaya maupun sumberdaya alam di dalamnya. Sebagai stakeholder utama, atau yang paling dominan hingga saat ini, pemerintah juga dihadapkan pada minimnya anggaran yang dialokasikan untuk bidang kebudayaan. Porsi pembiayaan bidang kebudayaan, baik melalui APBN oleh pemerintah pusat melalui UPT-nya, maupun APBD oleh pemda, masih sangat kecil dibandingkan porsi untuk bidang lain. Permasalahan lain yang terjadi di kawasan karst Maros-Pangkep adalah adanya konflik kepentingan antara pelestarian dengan eksploitasi. Pihak atau stakeholder seperti BPCB Makassar, Balar Makassar, Balai TN Babul, pemda (disbudpar), institusi akademik, dan elemen masyarakat (LSM) mewakili kepentingan pelestarian kawasan. Kepentingan stakeholder-stakeholder tersebut, baik sebagai bagian dari tupoksi lembaganya, maupun untuk kepentingan yang ideal (akademik dan keseimbangan ekosistem), adalah lestarinya kawasan karst Maros-Pangkep dalam jangka waktu panjang. Kepentingan eksploitasi, terutama pemanfaatan kawasan karst sebagai bahan galian tambang, terdiri dari perusahaan 154 tambang dan pemda (Dinas ESDM atau Distamben) sebagai salah satu sumber PAD. Konflik kepentingan ini muncul akibat adanya perbedaan persepsi dan motif dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya. Konflik ini masih bertahan sampai sekarang dan belum ada upaya masing-masing pihak untuk mencari solusi yang kolaboratif dalam mengelola dan memanfaatkan kawasan karst Maros-Pangkep. Kesenjangan pembiayaan dan konflik kepentingan kemudian menjadi fokus utama dalam penelitian ini, terutama untuk menghasilkan solusi yang diterima semua pihak (win-win solution). Agar bisa tercapai, penulis menggunakan pendekatan Public-Private Partnerships (PPP), sebuah pola kemitraan atau kerjasama antara pemerintah, swasta dan elemen masyarakat. Pendekatan ini penulis pilih dengan pertimbangan bahwa tanggung jawab pelestarian bukan hanya dibebankan pada pemerintah saja, dengan kondisi pembiayaan yang minim. Tanggung jawab pelestarian juga menjadi beban semua pihak yang berkepentingan atas sumberdaya, baik alam dan budaya, di kawasan karst MarosPangkep. Pertimbangan lain, dengan pola kemitraan yang sejajar, diharapkan semua pihak yang terlibat dapat berkontribusi secara maksimal sesuai dengan tupoksi dan perannya masing-masing. PPP yang pada awalnya hadir untuk mengisi kesenjangan pembiayaan di bidang seperti infrastruktur dan fasilitas publik oleh pemerintah, dengan melibatkan pihak swasta, kemudian berkembang dan diterapkan pada bidang lain. Penerapan PPP pada bidang pelestarian warisan budaya juga mulai dilakukan, terutama di kawasan Eropa, Amerika, Australia dan sebagian kecil wilayah Asia dan Afrika. 155 Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya pelestarian masih didominasi oleh pemerintah, terutama pemerintah pusat melalui UPT-nya, dan pemda melalui Disbudpar masing-masing. Selain itu, koordinasi maupun kerjasama dengan pihak terkait masih belum dilakukan, sehingga terkesan parsial. Program-program baik itu yang direncanakan atau yang telah dilaksanakan, belum ada yang berusaha melakukan kemitraan atau kerjasama dengan pihak lain yang berkepentingan. Sebagian besar program tersebut hanya untuk memenuhi tuntutan menjalankan tupoksi masing-masing. Pihak lain terutama swasta, masih jarang dilibatkan, baik untuk pembahasan program maupun pelaksanaannya. Sementara upaya pelestarian situs gua prasejarah kawasan karst Maros-Pangkep membutuhkan upaya yang kolaboratif dengan melibatkan semua pihak yang terkait. Upaya pelestarian kawasan yang kolaboratif dibutuhkan mengingat kawasan ini merupakan wilayah yang luas dan banyak kepentingan di dalamnya serta membutuhkan pembiayaan yang besar dalam pelaksanaannya. Hasil analisis data penelitian kemudian mengarah pada usulan penerapan salah satu model PPP yang sesuai dengan karakter situs gua prasejarah kawasan Karst Maros-Pangkep. Model PPP yang diusulkan merupakan modifikasi oleh Macdonald dan Cheong (2014) dari PPP tipe umum, yaitu conserve-buildfinance-operate (CBFO). Penerapannya membutuhkan sebuah Special Purpose Vehicle (SPV), semacam lembaga khusus yang terdiri dari pihak pemerintah, swasta, dan pihak ketiga (elemen masyarakat). SPV ini kemudian dianggap sebagai badan pengelola yang diberi nama Badan Warisan Karst Maros-Pangkep (BWKMP). Model CBFO dipilih dengan pertimbangan kesetaraan posisi masing- 156 masing stakeholder. Keuntungan dari penyetaraan posisi dalam model CBFO membuat stakeholder yang terlibat tidak ada yang dominan, sehingga diharapkan semakin banyak pihak yang bersedia terlibat di dalamnya. Selain itu, model CBFO dapat diaplikasikan pada kawasan yang luas seperti kawasan karst MarosPangkep yang menjadi lokasi penelitian ini. Badan pengelola bekerja secara independen, baik dalam pengelolaan keuangan, dan perencanaan hingga pelaksanaan programnya. Pendanaan bersumber dari investasi masing-masing pihak yang nantinya dikonversi menjadi persentase kepemilikan modal atau saham. Program yang dijalankan fokus pada upaya pelestarian yang meliputi pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Kegiatan pemanfaatan dalam rangka menghasilkan keuntungan, dilakukan dengan tetap mengedepankan prinsip pelestarian kawasan. Monitoring dan evaluasi dilakukan baik oleh pihak yang bermitra maupun lembaga lain yang independen. Penerapan model kemitraan ini tentu saja membutuhkan studi kelayakan (feasibility study) lebih lanjut yang komprehensif dan penyesuaian secara teknis administrasi, mengingat untuk wilayah Indonesia belum pernah dilakukan. Namun dengan adanya keinginan bersama, terutama dukungan kebijakan dari pemerintah terkait regulasi, bukan tidak mungkin model ini dapat menjadi sebuah solusi yang bisa diterapkan pada situs atau kawasan lain di wilayah Indonesia. Demikianlah penelitian ini sebagai salah satu solusi melestarikan warisan budaya, sebagai hasil budaya material manusia yang memiliki nilai penting dan manfaat lingkungan, pada situs gua prasejarah kawasan karst Maros-Pangkep.