5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inovasi Rogers (2003) mengartikan inovasi sebagai ide, praktik atau objek yang dirasa baru oleh individu atau unit adopsi lain. Sifat dalam inovasi tidak hanya pengetahuan baru. Seseorang mungkin telah mengetahui tentang inovasi untuk suatu waktu tetapi belum mengembangkan sikap baik atau tidak baik terhadap inovasi tersebu, atau belum adopsi atau menolaknya. Secara lebih jelas Lionberger dan Gwin dikutip Mardikanto (1996) mengartikan inovasi tidak sekedar sebagai sesuatu yang dirasa baru, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat. Pengertian “baru” disini mengandung makna bukan sekedar “baru diketahui” oleh pikiran (cognitive) tetapi juga “baru” karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat dalam arti sikap (attitude) dan juga “baru” dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan atau diterapkan oleh seluruh warga masyarakat setempat. Lebih dari itu, pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil produksi saja, tetapi mencakup ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku atau gerakan-gerakan menuju proses perubahan di dalam segala bentuk tata kehidupan masyarakat, oleh karena itu Mardikanto (1996), menjelaskan lebih luas pengertian inovasi sebagai suatu ide, perilaku, produk, informasi, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui/diterima/ diterapkan/dilaksanakan oleh sebagaian besar masyarakat dalam lokalitas tertentu, 6 yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan. 2.2 Adopsi Inovasi Menurut Soekartawi (1988) adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks dan dinamis. Hal ini disebabkan karena proses adopsi inovasi sebenarnya adalah menyangkut proses pengambilan keputusan, dimana dalam proses ini banyak faktor yang mempengaruhinya. Rogers dan Soemaker dikutip Soekartawi (1988) memberikan definisi tentang proses pengambilan keputusan untuk melakukan adopsi inovasi sebagai proses mental sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya. Lebih lanjut, menurut Soekartawi (1988) karena dalam proses adopsi inovasi diperlukan informasi yang cukup, maka calon adopter biasanya senantiasa mencari informasi dari sumber informasi yang relevan. Ada tiga hal yang diperlukan bagi calon adopter dalam kaitannya dengan proses adopsi inovasi ini, yaitu: (a) adanya pihak lain yang telah melaksanakan adopsi inovasi dan berhasil dengan sukses. Pihak yang tergolong criteria ini dimaksudkan sebagai sumber informasi yang relevan, (b) adanya suatu proses adopsi inovasi yang berjalan secara sistematis, sehingga dapat diikuti dengan mudah oleh calon adopter, (c) adanya hasil adopsi inovasi yang sukses dalam artian telah memberikan keuntungan, sehingga dengan demikian informasi seperti ini akan memberikan dorongan kepada calon adopter untuk melaksanakan adopsi inovasi. 7 2.3 Pengambilan Keputusan Inovasi Dalam banyak kenyataan petani biasanya tidak menerima begitu saja ide- ide baru (teknologi baru) pada saat pertama kali mereka mendengarnya. Waktu pertama kali itu, mereka mungkin hanya “mengetahui” saja tetapi untuk sampai tahapan mereka mau “menerima” ide-ide baru tersebut diperlukan waktu yang relatif lama. Suatu keputusan untuk melakukan “perubahan” dari yang semula hanya “mengetahui” sampai sadar dan mengubah sikapnya untuk melaksankan suatu ide baru tersebut, biasanya juga merupakan hasil dari urut-urutan kejadian dan pengaruh-pengaruh tertentu berdasarkan dimensi waktu. Dengan kata lain, suatu “perubahan” sikap yang dilakukan oleh petani adalah merupakan proses yang memerlukan waktu dimana tiap-tiap petani memerlukan waktu berbeda satu sama lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh berbagai hal yang melatarbelakangi petani itu sendiri, misalnya kondisi petani itu sendiri, kondisi lingkungannya, dan karakteristik dari teknologi baru yang mereka adopsi (Soekartawi, 1988). Adapun tahapan-tahapan proses pengambilan keputusan inovasi menurut Rogers (2003) adalah sebagai berikut: (1) Pengenalan (knowledge), terjadi ketika individu atau unit pembuat keputusan lain membuka diri terhadap keberadaan inovasi dan memperoleh beberapa pengertian mengenai bagaimana inovasi tersebut berfungsi. Informasi yang diterima oleh individu ataupun unit pembuat keputusan ini masih bersifat umum. (2) Persuasi (persuasion), tahap ini terjadi ketika individu atau unit pembuat keputusan lain membentuk sikap senang atau tidak senang terhadap inovasi. 8 Pada tahap ini seseorang terlibat secara psikologis dengan inovasi dan giat mencari keterangan atau informasi mengenai inovasi. (3) Keputusan (decisions), terjadi bila individu atau unit pembuat keputusan lain dihadapkan pada situasi untuk menentukan pilihan apakah akan menerima atau menolak inovasi. (4) Implementasi (implementation), tahap ini terjadi ketika individu atau unit pembuat keputusan lain mulai menjalankan atau melaksanakan apa yang telah diputuskannya pada tahap keputusan. (5) Konfirmasi (confirmation), tahap ini terjadi ketika individu atau unit pembuat keputusan lain mencoba memperkuat keputusan inovasi atau sebaliknya menarik keputusan inovasi. Seseorang dapat berubah pikiran dari yang sudah menerima keputusan adopsi inovasi menjadi menolak adopsi inovasi dan sebaliknya. Inovasi baru dapat diterima atau ditolak oleh individu-individu anggota dari sistem sosial tersebut atau oleh keseluruhan sistem sosial, keputusan untuk menginovasi diambil (ditentukan) secara kolektif atau dengan keputusan yang diambil oleh penguasa (authority decisions). Berdasarkan penentu keputusan inovasi, menurut Rogers (2003) terdapat tiga model keputusan inovasi, yaitu (1) keputusan inovasi oleh individu anggota sistem sosial, (2) keputusan inovasi kolektif, dan (3) keputusan inovasi otoritas. Keputusan inovasi oleh individu anggota sistem sosial (optional innovation decisions), merupakan keputusan untuk adopsi atau menolak sebuah inovasi yang dibuat atau diputuskan oleh individu tersebut tidak tergantung kepada anggota lain dari sistem sosial. Keputusan yang diputuskan oleh individu 9 ini mungkin dipengaruhi oleh norma-norma dalam sistem dan oleh komunikasi, terutama melalui jaringan komunikasi interpersonal. Aspek khusus dalam tipe keputusan inovasi ini bertumpu pada individu sebagai unit pengambil keputusan daripada sistem sosial, sedangkan keputusan inovasi kolektif (collective innovation decisions) merupakan pilihan untuk adopsi atau menolak sebuah inovasi yang dibuat berdasarkan konsensus diantara anggota-anggota sistem sosial. Semua unit di dalam sistem biasanya harus menyesuaikan diri ke dalam keputusan kolektif yang sudah dibuat. Berbeda dengan dua model keputusan inovasi di atas, keputusan inovasi otoritas (authority innovation decisions), adalah keputusan untuk adopsi atau menolak inovasi yang dibuat oleh sedikit orang yang memiliki kekuatan (kekuasaan), status sosial yang tinggi, ataupun orang yang memiliki keahlian teknik tertentu. 2.4 Program Rintisan dan Akselarasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani) 6 Misi utama Badan Litbang Pertanian adalah menemukan atau menciptakan inovasi pertanian (teknologi, kelembagaan dan kebijakan) yang maju dan strategis, mengadaptasikannya menjadi tepat guna spesifik pemakai dan lokasi, serta menginformasikan dan menyediakan materi dasarnya, namun demikian, evaluasi eksternal dan internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi tersebut cenderung melambat, bahkan menurun. Disadari sepenuhnya bahwa kinerja dan citra publik terhadap Badan Litbang amat 6 http://primatani.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=206&Itemid =66 [diakses tanggal 1 Maret 2009] 10 ditentukan oleh pemanfaatan dan dampak inovasi yang dihasilkannya. Oleh karena itu, Badan Litbang merasa terpanggil harus melakukan segala upaya yang mungkin agar inovasi yang telah dihasilkan tidak saja diketahui oleh para pengguna (beneficiaries), tetapi juga dimanfaatkan secara luas dan tepat guna oleh praktisi agribisnis khususnya petani. Untuk itu, mulai tahun 2005, Badan Litbang melaksanakan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Ini adalah suatu model atau konsep baru diseminasi teknologi yang dipandang dapat mempercepat penyampaian informasi dan penyebaran inovasi teknologi pertanian, beserta umpan baliknya. Prima Tani diharapkan dapat berfungsi sebagai jembatan penghubung langsung antara Badan Litbang sebagai penghasil inovasi dengan lembaga penyampaian (delivery system) maupun pelaku agribisnis (receiving system) pengguna inovasi. Selain sebagai wahana diseminasi, Prima Tani juga merupakan wahana pengkajian partisipatif, yang berarti merupakan implementasi dari paradigma baru Badan Litbang, yakni Penelitian untuk Pembangunan (Research for Development) menggantikan paradigma lama Penelitian dan Pengembangan (Research and Development). Prima Tani pada dasarnya merupakan strategi baru dalam melaksanakan TUPOKSI Badan Litbang Pertanian. Prima Tani mengandung dua unsur pembaruan: (a) Inovasi teknologi tepat guna siap terap dan manajemen usaha agribisnis, (b) Inovasi kelembagaan yang memadukan sistem atau rantai pasok inovasi (innovation system) dan system agribisnis (agribusiness system). Dalam implementasinya Prima Tani menggunakan lima pendekatan, yaitu: agroekosistem, agribisnis, wilayah, kelembagaan dan kesejahteraan, yang 11 mengarah kepada pembangunan suatu laboratorium agribisnis menjadi suatu unit agribisnis industrial pedesaan. Pada tahap awal tahun 2005 Prima Tani dilaksanakan di empat belas propinsi, mencakup 21 Laboratorium Agribisnis, dan pada tahun 2006 bertambah menjadi 25 provinsi yang meliputi tiga puluh desa, sedangkan pada tahun 2007 pelaksanaan Prima Tani diperluas ke 200 kabupaten di seluruh provinsi di Indonesia. Selanjutnya kegiatan Prima Tani akan dimasalkan atau direplikasikan di lokasi-lokasi lain yang memiliki sub-agroekosistem yang sama. 2.5 Faktor yang Mempengaruhi Inovasi Menurut Rogers (2003), proses pengambilan keputusan inovasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu variabel penerima inovasi, sistem sosial, dan karakteristik inovasi. Variabel penerima inovasi meliputi: (1) sifat-sifat pribadi seperti sikap terhadap perubahan, (2) sifat-sifat sosial seperti sifat kekosmopolitan, dan (3) kebutuhan nyata terhadap inovasi. Variabel sistem sosial meliputi: (1) norma-norma sistem sosial, (2) toleransi terhadap penyimpangan, dan (3) kesatuan komunikasi. Variabel karakteristik inovasi terdiri dari: (1) keuntungan relatif yaitu tingkatan dimana suatu inovasi dirasakan lebih memberikan keuntungan dibandingkan dengan inovasi sebelumnya, (2) kompabilitas yaitu sejauhmana suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilainilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan penerima, (3) kompleksitas yaitu tingkat dimana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan digunakan, (4) triabilitas yaitu tingkat dimana suatu inovasi dapat dicoba dalam 12 skala kecil, dan (5) observabilitas yaitu tingkat dimana hasil-hasil suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Menurut Lionberger dikutip Eriyani (1999), kecepatan seseorang adopsi dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut: (1) pendapatan, (2) umur, (3) tingkat pendidikan, (4) partisipasi dalam kelompok atau organisasi di luar lingkungan, dan (5) sumber informasi yang dapat dimanfaatkan. Faktor lain dari seseorang yang dipandang memberikan pengaruh terhadap keputusan inovasi adalah tipe/jenis pengambilan keputusan terhadap inovasi yang ditawarkan. Sistem sosial memiliki peran penting yang berpengaruh terhadap difusi ide-ide baru. 2.6 Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian Lestari (1994) yang bertopik hubungan status sosial ekonomi petani dengan tingkat adopsi inovasi sapta usaha pertaniaan mengungkapkan bahwa luas lahan petani, tingkat pendapatan petani, dan pendidikan mempunyai hubungan positif nyata dengan tingkat adopsi teknologi sapta usaha pertanian. Ini berarti semakin luas penguasaan lahan petani, semakin tinggi tingkat pendapatan petani, dan semakin tinggi tingkat pendidikan formal petani maka semakin tinggi pula tingkat adopsi, sedangkan umur dan pengalaman berusaha tani memiliki hubungan negatif nyata dengan tingkat adopsi. Ini berarti semakin tinggi umur petani dan semakin lama pengalaman berusaha taninya maka semakin rendah tingkat adopsinya, sementara besar tanggungan keluarga berhubungan tidak nyata dengan tingkat adopsi, berarti tidak terdapat keeratan hubungan antara besar tanggungan keluarga dengan tingkat adopsi teknologi sapta usaha pertanian. 13 Pada penelitian Novarianto (1999) yang bertopik adopsi inovasi teknologi TABELA bagi petani padi sawah, faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi tidak hanya status sosial ekonomi petani seperti penelitian Lestari di atas. Secara garis besar, faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi terdiri dari karakteristik internal petani dan karakteristik eksternal petani. Karakteristik internal petani terpilih antara lain: umur, lama pendidikan formal, pengalaman berusaha tani, jumlah tanggungan keluarga, penghasilan usahatani, motivasi petani mengikuti TABELA, frekuensi mengunjungi sumber informasi, dan pandangan petani terhadap sifat-sifat inovasi. Karakteristik internal petani terpilih pada penelitian ini hampir sama dengan status sosial ekonomi petani pada penelitian Lestari, hanya saja ditambah dengan motivasi petani mengikuti TABELA, frekuensi mengunjungi sumber informasi, dan pandangan petani terhadap sifat-sifat inovasi. Adapun karakteristik eksternal petani terpilih adalah tingkat ketersedian informasi tentang TABELA, intensitas penyuluhan, dan ketersedian saprodi. Berdasarkan hasil uji korelasi rank Spearman, karakteristik internal petani yang berhubungan nyata dengan tingkat penerapan teknologi TABELA adalah lama pendidikan formal, frekuensi mengunjungi sumber informasi, tingkat keuntungan, dan tingkat kesesuaian sedangkan karakteristik eksternal petani yang berhubungan nyata dengan tingkat penerapan teknologi TABELA adalah intensitas penyuluhan. Lama pendidikan formal berhubungan nyata dengan tingkat adopsi inovasi pada dua penelitian di atas, namun pada penelitian Lestari (1994) berhubungan positif nyata sedangkan pada penelitian Novarianto (1999) berhubungan negatif nyata. Hal ini dikarenakan pada penelitian Lestari (1994), pendidikan bagi 14 responden akan membuka jalan pikiran seseorang sehingga memudahkan menerima sesuatu yang baru yang dirasakan bermanfaat, dengan kata lain bersedia adopsi inovasi. Pada penelitian Novarianto (1999), hubungan negatif nyata menunjukkan lamanya pendidikan satu tahun dan dua tahun sampai dengan enam tahun tidak memberikan pengaruh pada penerapan teknologi TABELA. Tingkat pendidikan mungkin hanya menciptakan suatu dorongan agar mental untuk menerima inovasi yang menguntungkan dapat diciptakan. Faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi pada penelitian Sadono (1999) yang bertopik tingkat adopsi inovasi pengendalian hama terpadu oleh petani, hampir sama dengan penelitian Novarianto (1999), yaitu internal petani dan eksternal petani akan tetapi karakteristik terpilih dari kedua faktor tersebut berbeda khususnya pada faktor eksternal petani, yaitu status keanggotaan dalam kelompok tani dan pemandu, sedangkan karakteristik terpilih pada faktor internal petani terdiri dari: luas lahan garapan, tingkat pendidikan formal, pekerjaan utama, dan persepsi terhadap PHT. Dari empat karakteristik terpilih faktor internal petani hanya dua karakteristik yang sama dengan penelitian Novarianto (1999), yaitu luas lahan garapan dan tingkat pendidikan formal. Faktor internal petani yang berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan PHT adalah pendidikan formal dan persepsi petani terhadap PHT, sementara luas lahan dan pekerjaan utama sebagai petani tidak berhubungan nyata dengan tingkat penerapan PHT. Faktor eksternal petani yang meliputi status keanggotaan dalam kelompok tani dan pemandu berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan PHT. Roswita (2003), dalam penelitiannya yang bertopik tahapan proses keputusan inovasi pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen hayati, 15 menambah satu faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi dari penelitian Sadono (1999) yaitu sifat inovasi sehingga faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi menjadi tiga faktor sebagai berikut: karakteristik internal petani, karakteristik eksternal petani, dan sifat inovasi. Faktor yang ditambahkan oleh Roswita, sebenarnya bukanlah faktor baru. Faktor ini dalam penelitian Novarianto (1999) merupakan bagian dari faktor internal. Karakteristik internal petani terpilih pada penelitian ini lebih banyak dibandingkan tiga penelitian di atas, yang terdiri atas: tingkat pendidikan formal, pengalaman berusaha tani, luas lahan usahatani, kekosmopolitan, keinovatifan usahatani, sikap kepemimpinan, sikap kewirausahaan, dan keanggotaan dalam kelompok tani. Faktor karakteristik eksternal petani terdiri atas: ketersediaan sumber informasi, intensitas penyuluhan, ketersediaan sarana, peluang pasar, dan intensitas promosi pestisida. Faktor lainnya adalah sifat inovasi yang terdiri atas: keuntungan relatif (relative advantage), kesesuaian (compatibility), kerumitan (complexity), kemudahan dicoba (triability), dan kemudahan diamati (observability). Penelitian Roswita (2003) mengungkapkan terdapat beberapa faktor karakteristik internal petani, karakteristik eksternal dan sifat inovasi agen hayati yang berhubungan nyata dengan tahapan proses keputusan adopsi inovasi pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen hayati, dengan rincian pertahapnya sebagai berikut: a) Pada tahap pengenalan, faktor yang berhubungan nyata, diurut dari yang paling erat hubungannya adalah: keinovatifan usaha tani, sikap kewirausahaan, ketersediaan sarana, ketersediaan sumber informasi, 16 kemudahan dicoba, kemudahan diamati, kerumitan (berhubungan negatif), intensitas penyuluhan, tingkat kesesuaian, keuntungan relatif, tingkat pendidikan formal, sikap kepemimpinan, kekosmopolitan, dan peluang pasar. b) Pada tahap persuasi, faktor yang berhubungan nyata diurut dari yang paling erat adalah: kemudahan dicoba, keinovatifan usahatani, kerumitan (berhubungan negatif), ketersediaan sumner informasi, ketersediaan sarana, sikap kewirausahaan, sikap kepemimpinan, intensitas penyuluhan, keuntungan relatif, tingkat pendidikan formal, kemudahan diamati, kesesuaian, kekosmopolitan, peluang pasar, dan intensitas promosi pestisida (berhubungan negatif). c) Pada tahap keputusan, faktor-faktor yang berhubungan, diurut berdasarkan nilai 2 hitung adalah: keinovatifan usahatani, kerumitan, sikap kepemimpinan, sikap kewirausahaan, peluang pasar, kemudahan diamati, keuntungan relatif, ketersediaan sumber informasi, intensitas penyuluhan, kekosmopolitan, ketersedian sarana, tingkat pendidikan formal, kemudahan dicoba, keanggotaan dalam kelompok tani, dan kesesuaian. d) Pada tahap implementasi, faktor yang berhubungan nyata, diurut dari yang paling erat hubungannya adalah kemudahan diamati, intensitas penyuluhan, keinovatifan usahatani, tingkat pendidikan formal, kesesuain, kekosmopolitan, ketersediaan sumber informasi, keuntungan relatif, kerumitan (berhubungan negatif), ketersediaan sarana, sikap kewirausahaan, dan peluang pasar. 17 e) Pada tahap konfirmasi, faktor-faktor yang berhubungan, diurut berdasarkan 2 hitung adalah: keuntungan relatif, kesesuaian, dan ketersediaan sumber informasi. Tiga tahun setelah Roswita (2003) mengadakan penelitian, Nardono (2006) mengadakan penelitian dengan topik faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi pada pertanian lahan pasir pantai. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi dalam penelitian ini yaitu: faktor internal, faktor eksternal, dan karakteristik inovasi. Faktor-Faktor ini sama dengan faktor-faktor yang berpengaruh dengan tingkat adopsi inovasi pada penelitian Roswita (2003) hanya berbeda redaksional saja, begitu pula dengan karakteristik dari setiap faktor, namun setelah penelitian karakteristik (variabel) yang berkorelasi berbeda. Faktor internal yang berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi dalam penelitian ini adalah keinovatifan dalam berusahatani, sementara variabel lain tidak menunjukkan adanya korelasi dengan tingkat adopsi inovasi. Variabel eksternal yang berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi ini adalah variabel intensitas penyuluhan dan penggunaan sarana. Penyuluhan yang dilakukan oleh tim penyuluh memiliki peran utama dalam mengembangkan sistem pertanian lahan pasir pantai. Penyuluhan ini memiliki tujuan untuk mensosialisasikan hasil penelitian (terutama yang berkaitan dengan pertanian lahan pasir) kepada masyarakat dan sekaligus mengajak masyarakat untuk mengoptimalkan hasil pertanian lahan pasirnya, sementara penggunaan sarana lebih didasarkan pada kelengkapan sarana prasarana yang digunakan oleh petani dalam melaksanakan 18 pertanian lahan pasir pantai. Variabel ketersediaan sumber informasi dan peluang pasar tidak menunjukkan adanya hubungan dengan tingkat adopsi inovasi. Variabel pada karakteristik inovasi yang berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi adalah tingkat keuntungan relatif, tingkat kesesuaian, tingkat kerumitan, dan tingkat kemudahan dicoba. Hasil pertanian lahan pasir memberikan keuntungan kepada petani yang menggarap pertanian lahan pasir. Hasil panen yang dijual dengan sistem lelang mampu memberikan harga beli di atas harga pasar. Sistem pertanian lahan pasir juga sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat di Dusun Bugel II. Kerumitan yang dirasakan oleh petani adalah masalah penyiraman yang harus dilakukan setiap hari, namun secara keseluruhan tidak ada kerumitan yang berarti karena sistem pertanian ini hampir sama dengan sestem pertanian pada medium tanah. Sistem pertanian ini juga mudah dicoba pada lahan yang relatif sempit.