5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inovasi Rogers

advertisement
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Inovasi
Rogers (2003) mengartikan inovasi sebagai ide, praktik atau objek yang
dirasa baru oleh individu atau unit adopsi lain. Sifat dalam inovasi tidak hanya
pengetahuan baru. Seseorang mungkin telah mengetahui tentang inovasi untuk
suatu waktu tetapi belum mengembangkan sikap baik atau tidak baik terhadap
inovasi tersebu, atau belum adopsi atau menolaknya. Secara lebih jelas Lionberger
dan Gwin dikutip Mardikanto (1996) mengartikan inovasi tidak sekedar sebagai
sesuatu yang dirasa baru, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai
baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat.
Pengertian “baru” disini mengandung makna bukan sekedar “baru diketahui” oleh
pikiran (cognitive) tetapi juga “baru” karena belum dapat diterima secara luas oleh
seluruh warga masyarakat dalam arti sikap (attitude) dan juga “baru” dalam
pengertian belum diterima dan dilaksanakan atau diterapkan oleh seluruh warga
masyarakat setempat.
Lebih dari itu, pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau
barang hasil produksi saja, tetapi mencakup ideologi, kepercayaan, sikap hidup,
informasi, perilaku atau gerakan-gerakan menuju proses perubahan di dalam
segala bentuk tata kehidupan masyarakat, oleh karena itu Mardikanto (1996),
menjelaskan lebih luas pengertian inovasi sebagai suatu ide, perilaku, produk,
informasi, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui/diterima/
diterapkan/dilaksanakan oleh sebagaian besar masyarakat dalam lokalitas tertentu,
6
yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan di segala aspek
kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup
setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan.
2.2
Adopsi Inovasi
Menurut Soekartawi (1988) adopsi inovasi mengandung pengertian yang
kompleks dan dinamis. Hal ini disebabkan karena proses adopsi inovasi
sebenarnya adalah menyangkut proses pengambilan keputusan, dimana dalam
proses ini banyak faktor yang mempengaruhinya. Rogers dan Soemaker dikutip
Soekartawi (1988) memberikan definisi tentang proses pengambilan keputusan
untuk melakukan adopsi inovasi sebagai proses mental sejak seseorang
mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau
menolaknya kemudian mengukuhkannya.
Lebih lanjut, menurut Soekartawi (1988) karena dalam proses adopsi
inovasi diperlukan informasi yang cukup, maka calon adopter biasanya senantiasa
mencari informasi dari sumber informasi yang relevan. Ada tiga hal yang
diperlukan bagi calon adopter dalam kaitannya dengan proses adopsi inovasi ini,
yaitu: (a) adanya pihak lain yang telah melaksanakan adopsi inovasi dan berhasil
dengan sukses. Pihak yang tergolong criteria ini dimaksudkan sebagai sumber
informasi yang relevan, (b) adanya suatu proses adopsi inovasi yang berjalan
secara sistematis, sehingga dapat diikuti dengan mudah oleh calon adopter, (c)
adanya hasil adopsi inovasi yang sukses dalam artian telah memberikan
keuntungan, sehingga dengan demikian informasi seperti ini akan memberikan
dorongan kepada calon adopter untuk melaksanakan adopsi inovasi.
7
2.3
Pengambilan Keputusan Inovasi
Dalam banyak kenyataan petani biasanya tidak menerima begitu saja ide-
ide baru (teknologi baru) pada saat pertama kali mereka mendengarnya. Waktu
pertama kali itu, mereka mungkin hanya “mengetahui” saja tetapi untuk sampai
tahapan mereka mau “menerima” ide-ide baru tersebut diperlukan waktu yang
relatif lama. Suatu keputusan untuk melakukan “perubahan” dari yang semula
hanya “mengetahui” sampai sadar dan mengubah sikapnya untuk melaksankan
suatu ide baru tersebut, biasanya juga merupakan hasil dari urut-urutan kejadian
dan pengaruh-pengaruh tertentu berdasarkan dimensi waktu. Dengan kata lain,
suatu “perubahan” sikap yang dilakukan oleh petani adalah merupakan proses
yang memerlukan waktu dimana tiap-tiap petani memerlukan waktu berbeda satu
sama lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh berbagai hal yang melatarbelakangi
petani itu sendiri, misalnya kondisi petani itu sendiri, kondisi lingkungannya, dan
karakteristik dari teknologi baru yang mereka adopsi (Soekartawi, 1988). Adapun
tahapan-tahapan proses pengambilan keputusan inovasi menurut Rogers (2003)
adalah sebagai berikut:
(1)
Pengenalan (knowledge), terjadi ketika individu atau unit pembuat
keputusan lain membuka diri terhadap keberadaan inovasi dan memperoleh
beberapa pengertian mengenai bagaimana inovasi tersebut berfungsi.
Informasi yang diterima oleh individu ataupun unit pembuat keputusan ini
masih bersifat umum.
(2)
Persuasi (persuasion), tahap ini terjadi ketika individu atau unit pembuat
keputusan lain membentuk sikap senang atau tidak senang terhadap inovasi.
8
Pada tahap ini seseorang terlibat secara psikologis dengan inovasi dan giat
mencari keterangan atau informasi mengenai inovasi.
(3)
Keputusan (decisions), terjadi bila individu atau unit pembuat keputusan lain
dihadapkan pada situasi untuk menentukan pilihan apakah akan menerima
atau menolak inovasi.
(4)
Implementasi (implementation), tahap ini terjadi ketika individu atau unit
pembuat keputusan lain mulai menjalankan atau melaksanakan apa yang
telah diputuskannya pada tahap keputusan.
(5)
Konfirmasi (confirmation), tahap ini terjadi ketika individu atau unit
pembuat keputusan lain mencoba memperkuat keputusan inovasi atau
sebaliknya menarik keputusan inovasi. Seseorang dapat berubah pikiran dari
yang sudah menerima keputusan adopsi inovasi menjadi menolak adopsi
inovasi dan sebaliknya.
Inovasi baru dapat diterima atau ditolak oleh individu-individu anggota
dari sistem sosial tersebut atau oleh keseluruhan sistem sosial, keputusan untuk
menginovasi diambil (ditentukan) secara kolektif atau dengan keputusan yang
diambil oleh penguasa (authority decisions). Berdasarkan penentu keputusan
inovasi, menurut Rogers (2003) terdapat tiga model keputusan inovasi, yaitu (1)
keputusan inovasi oleh individu anggota sistem sosial, (2) keputusan inovasi
kolektif, dan (3) keputusan inovasi otoritas.
Keputusan inovasi oleh individu anggota sistem sosial (optional
innovation decisions), merupakan keputusan untuk adopsi atau menolak sebuah
inovasi yang dibuat atau diputuskan oleh individu tersebut tidak tergantung
kepada anggota lain dari sistem sosial. Keputusan yang diputuskan oleh individu
9
ini mungkin dipengaruhi oleh norma-norma dalam sistem dan oleh komunikasi,
terutama melalui jaringan komunikasi interpersonal. Aspek khusus dalam tipe
keputusan inovasi ini bertumpu pada individu sebagai unit pengambil keputusan
daripada sistem sosial, sedangkan keputusan inovasi kolektif (collective
innovation decisions) merupakan pilihan untuk adopsi atau menolak sebuah
inovasi yang dibuat berdasarkan konsensus diantara anggota-anggota sistem
sosial. Semua unit di dalam sistem biasanya harus menyesuaikan diri ke dalam
keputusan kolektif yang sudah dibuat.
Berbeda dengan dua model keputusan inovasi di atas, keputusan inovasi
otoritas (authority innovation decisions), adalah keputusan untuk adopsi atau
menolak inovasi yang dibuat oleh sedikit orang yang memiliki kekuatan
(kekuasaan), status sosial yang tinggi, ataupun orang yang memiliki keahlian
teknik tertentu.
2.4
Program Rintisan dan Akselarasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi
Pertanian (Prima Tani) 6
Misi utama Badan Litbang Pertanian adalah menemukan atau menciptakan
inovasi pertanian (teknologi, kelembagaan dan kebijakan) yang maju dan
strategis, mengadaptasikannya menjadi tepat guna spesifik pemakai dan lokasi,
serta menginformasikan dan menyediakan materi dasarnya, namun demikian,
evaluasi eksternal dan internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat
pemanfaatan inovasi tersebut cenderung melambat, bahkan menurun. Disadari
sepenuhnya bahwa kinerja dan citra publik terhadap Badan Litbang amat
6
http://primatani.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=206&Itemid
=66 [diakses tanggal 1 Maret 2009]
10
ditentukan oleh pemanfaatan dan dampak inovasi yang dihasilkannya. Oleh
karena itu, Badan Litbang merasa terpanggil harus melakukan segala upaya yang
mungkin agar inovasi yang telah dihasilkan tidak saja diketahui oleh para
pengguna (beneficiaries), tetapi juga dimanfaatkan secara luas dan tepat guna oleh
praktisi agribisnis khususnya petani.
Untuk itu, mulai tahun 2005, Badan Litbang melaksanakan Program
Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima
Tani). Ini adalah suatu model atau konsep baru diseminasi teknologi yang
dipandang dapat mempercepat penyampaian informasi dan penyebaran inovasi
teknologi pertanian, beserta umpan baliknya. Prima Tani diharapkan dapat
berfungsi sebagai jembatan penghubung langsung antara Badan Litbang sebagai
penghasil inovasi dengan lembaga penyampaian (delivery system) maupun pelaku
agribisnis (receiving system) pengguna inovasi.
Selain sebagai wahana diseminasi, Prima Tani juga merupakan wahana
pengkajian partisipatif, yang berarti merupakan implementasi dari paradigma baru
Badan Litbang, yakni Penelitian untuk Pembangunan (Research for Development)
menggantikan paradigma lama Penelitian dan Pengembangan (Research and
Development). Prima Tani pada dasarnya merupakan strategi baru dalam
melaksanakan TUPOKSI Badan Litbang Pertanian. Prima Tani mengandung dua
unsur pembaruan: (a) Inovasi teknologi tepat guna siap terap dan manajemen
usaha agribisnis, (b) Inovasi kelembagaan yang memadukan sistem atau rantai
pasok inovasi (innovation system) dan system agribisnis (agribusiness system).
Dalam implementasinya Prima Tani menggunakan lima pendekatan, yaitu:
agroekosistem, agribisnis, wilayah, kelembagaan dan kesejahteraan, yang
11
mengarah kepada pembangunan suatu laboratorium agribisnis menjadi suatu unit
agribisnis industrial pedesaan.
Pada tahap awal tahun 2005 Prima Tani dilaksanakan di empat belas
propinsi, mencakup 21 Laboratorium Agribisnis, dan pada tahun 2006 bertambah
menjadi 25 provinsi yang meliputi tiga puluh desa, sedangkan pada tahun 2007
pelaksanaan Prima Tani diperluas ke 200 kabupaten di seluruh provinsi di
Indonesia. Selanjutnya kegiatan Prima Tani akan dimasalkan atau direplikasikan
di lokasi-lokasi lain yang memiliki sub-agroekosistem yang sama.
2.5
Faktor yang Mempengaruhi Inovasi
Menurut
Rogers
(2003),
proses
pengambilan
keputusan
inovasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu variabel penerima inovasi, sistem sosial,
dan karakteristik inovasi. Variabel penerima inovasi meliputi: (1) sifat-sifat
pribadi seperti sikap terhadap perubahan, (2) sifat-sifat sosial seperti sifat
kekosmopolitan, dan (3) kebutuhan nyata terhadap inovasi. Variabel sistem sosial
meliputi: (1) norma-norma sistem sosial, (2) toleransi terhadap penyimpangan,
dan (3) kesatuan komunikasi. Variabel karakteristik inovasi terdiri dari: (1)
keuntungan relatif yaitu tingkatan dimana suatu inovasi dirasakan lebih
memberikan keuntungan dibandingkan dengan inovasi sebelumnya,
(2)
kompabilitas yaitu sejauhmana suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilainilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan penerima, (3) kompleksitas
yaitu tingkat dimana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan
digunakan, (4) triabilitas yaitu tingkat dimana suatu inovasi dapat dicoba dalam
12
skala kecil, dan (5) observabilitas yaitu tingkat dimana hasil-hasil suatu inovasi
dapat dilihat oleh orang lain.
Menurut Lionberger dikutip Eriyani (1999), kecepatan seseorang adopsi
dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut: (1) pendapatan, (2) umur, (3)
tingkat pendidikan, (4) partisipasi dalam kelompok atau organisasi di luar
lingkungan, dan (5) sumber informasi yang dapat dimanfaatkan. Faktor lain dari
seseorang yang dipandang memberikan pengaruh terhadap keputusan inovasi
adalah tipe/jenis pengambilan keputusan terhadap inovasi yang ditawarkan.
Sistem sosial memiliki peran penting yang berpengaruh terhadap difusi ide-ide
baru.
2.6
Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian Lestari (1994) yang bertopik hubungan status sosial ekonomi
petani dengan tingkat adopsi inovasi sapta usaha pertaniaan mengungkapkan
bahwa luas lahan petani, tingkat pendapatan petani, dan pendidikan mempunyai
hubungan positif nyata dengan tingkat adopsi teknologi sapta usaha pertanian. Ini
berarti semakin luas penguasaan lahan petani, semakin tinggi tingkat pendapatan
petani, dan semakin tinggi tingkat pendidikan formal petani maka semakin tinggi
pula tingkat adopsi, sedangkan umur dan pengalaman berusaha tani memiliki
hubungan negatif nyata dengan tingkat adopsi. Ini berarti semakin tinggi umur
petani dan semakin lama pengalaman berusaha taninya maka semakin rendah
tingkat adopsinya, sementara besar tanggungan keluarga berhubungan tidak nyata
dengan tingkat adopsi, berarti tidak terdapat keeratan hubungan antara besar
tanggungan keluarga dengan tingkat adopsi teknologi sapta usaha pertanian.
13
Pada penelitian Novarianto (1999) yang bertopik adopsi inovasi teknologi
TABELA bagi petani padi sawah, faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi
tidak hanya status sosial ekonomi petani seperti penelitian Lestari di atas. Secara
garis besar, faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi terdiri dari karakteristik
internal petani dan karakteristik eksternal petani. Karakteristik internal petani
terpilih antara lain: umur, lama pendidikan formal, pengalaman berusaha tani,
jumlah tanggungan keluarga, penghasilan usahatani, motivasi petani mengikuti
TABELA, frekuensi mengunjungi sumber informasi, dan pandangan petani
terhadap sifat-sifat inovasi. Karakteristik internal petani terpilih pada penelitian
ini hampir sama dengan status sosial ekonomi petani pada penelitian Lestari,
hanya saja ditambah dengan motivasi petani mengikuti TABELA, frekuensi
mengunjungi sumber informasi, dan pandangan petani terhadap sifat-sifat inovasi.
Adapun karakteristik eksternal petani terpilih adalah tingkat ketersedian informasi
tentang TABELA, intensitas penyuluhan, dan ketersedian saprodi.
Berdasarkan hasil uji korelasi rank Spearman, karakteristik internal petani
yang berhubungan nyata dengan tingkat penerapan teknologi TABELA adalah
lama pendidikan formal, frekuensi mengunjungi sumber informasi, tingkat
keuntungan, dan tingkat kesesuaian sedangkan karakteristik eksternal petani yang
berhubungan nyata dengan tingkat penerapan teknologi TABELA adalah
intensitas penyuluhan.
Lama pendidikan formal berhubungan nyata dengan tingkat adopsi inovasi
pada dua penelitian di atas, namun pada penelitian Lestari (1994) berhubungan
positif nyata sedangkan pada penelitian Novarianto (1999) berhubungan negatif
nyata. Hal ini dikarenakan pada penelitian Lestari (1994), pendidikan bagi
14
responden akan membuka jalan pikiran seseorang sehingga memudahkan
menerima sesuatu yang baru yang dirasakan bermanfaat, dengan kata lain
bersedia adopsi inovasi. Pada penelitian Novarianto (1999), hubungan negatif
nyata menunjukkan lamanya pendidikan satu tahun dan dua tahun sampai dengan
enam tahun tidak memberikan pengaruh pada penerapan teknologi TABELA.
Tingkat pendidikan mungkin hanya menciptakan suatu dorongan agar mental
untuk menerima inovasi yang menguntungkan dapat diciptakan.
Faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi pada penelitian Sadono
(1999) yang bertopik tingkat adopsi inovasi pengendalian hama terpadu oleh
petani, hampir sama dengan penelitian Novarianto (1999), yaitu internal petani
dan eksternal petani akan tetapi karakteristik terpilih dari kedua faktor tersebut
berbeda khususnya pada faktor eksternal petani, yaitu status keanggotaan dalam
kelompok tani dan pemandu, sedangkan karakteristik terpilih pada faktor internal
petani terdiri dari: luas lahan garapan, tingkat pendidikan formal, pekerjaan
utama, dan persepsi terhadap PHT. Dari empat karakteristik terpilih faktor internal
petani hanya dua karakteristik yang sama dengan penelitian Novarianto (1999),
yaitu luas lahan garapan dan tingkat pendidikan formal.
Faktor internal petani yang berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan
PHT adalah pendidikan formal dan persepsi petani terhadap PHT, sementara luas
lahan dan pekerjaan utama sebagai petani tidak berhubungan nyata dengan tingkat
penerapan PHT. Faktor eksternal petani yang meliputi status keanggotaan dalam
kelompok tani dan pemandu berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan PHT.
Roswita (2003), dalam penelitiannya yang bertopik tahapan proses
keputusan inovasi pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen hayati,
15
menambah satu faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi dari penelitian Sadono
(1999) yaitu sifat inovasi sehingga faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi
menjadi tiga faktor sebagai berikut: karakteristik internal petani, karakteristik
eksternal petani, dan sifat inovasi. Faktor yang ditambahkan oleh Roswita,
sebenarnya bukanlah faktor baru. Faktor ini dalam penelitian Novarianto (1999)
merupakan bagian dari faktor internal.
Karakteristik internal petani terpilih pada penelitian ini lebih banyak
dibandingkan tiga penelitian di atas, yang terdiri atas: tingkat pendidikan formal,
pengalaman berusaha tani, luas lahan usahatani, kekosmopolitan, keinovatifan
usahatani, sikap kepemimpinan, sikap kewirausahaan, dan keanggotaan dalam
kelompok tani. Faktor karakteristik eksternal petani terdiri atas: ketersediaan
sumber informasi, intensitas penyuluhan, ketersediaan sarana, peluang pasar, dan
intensitas promosi pestisida. Faktor lainnya adalah sifat inovasi yang terdiri atas:
keuntungan relatif (relative advantage), kesesuaian (compatibility), kerumitan
(complexity),
kemudahan
dicoba
(triability),
dan
kemudahan
diamati
(observability).
Penelitian Roswita (2003) mengungkapkan terdapat beberapa faktor
karakteristik internal petani, karakteristik eksternal dan sifat inovasi agen hayati
yang berhubungan nyata dengan tahapan proses keputusan adopsi inovasi
pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen hayati, dengan rincian
pertahapnya sebagai berikut:
a)
Pada tahap pengenalan, faktor yang berhubungan nyata, diurut dari yang
paling
erat
hubungannya
adalah:
keinovatifan
usaha
tani,
sikap
kewirausahaan, ketersediaan sarana, ketersediaan sumber informasi,
16
kemudahan dicoba, kemudahan diamati, kerumitan (berhubungan negatif),
intensitas penyuluhan, tingkat kesesuaian, keuntungan relatif, tingkat
pendidikan formal, sikap kepemimpinan, kekosmopolitan, dan peluang
pasar.
b)
Pada tahap persuasi, faktor yang berhubungan nyata diurut dari yang paling
erat adalah: kemudahan dicoba, keinovatifan usahatani, kerumitan
(berhubungan negatif), ketersediaan sumner informasi, ketersediaan sarana,
sikap
kewirausahaan,
sikap
kepemimpinan,
intensitas
penyuluhan,
keuntungan relatif, tingkat pendidikan formal, kemudahan diamati,
kesesuaian, kekosmopolitan, peluang pasar, dan intensitas promosi pestisida
(berhubungan negatif).
c)
Pada tahap keputusan, faktor-faktor yang berhubungan, diurut berdasarkan
nilai
2
hitung
adalah:
keinovatifan
usahatani,
kerumitan,
sikap
kepemimpinan, sikap kewirausahaan, peluang pasar, kemudahan diamati,
keuntungan relatif, ketersediaan sumber informasi, intensitas penyuluhan,
kekosmopolitan, ketersedian sarana, tingkat pendidikan formal, kemudahan
dicoba, keanggotaan dalam kelompok tani, dan kesesuaian.
d)
Pada tahap implementasi, faktor yang berhubungan nyata, diurut dari yang
paling erat hubungannya adalah kemudahan diamati, intensitas penyuluhan,
keinovatifan
usahatani,
tingkat
pendidikan
formal,
kesesuain,
kekosmopolitan, ketersediaan sumber informasi, keuntungan relatif,
kerumitan (berhubungan negatif), ketersediaan sarana, sikap kewirausahaan,
dan peluang pasar.
17
e)
Pada tahap konfirmasi, faktor-faktor yang berhubungan, diurut berdasarkan
2
hitung adalah: keuntungan relatif, kesesuaian, dan ketersediaan sumber
informasi.
Tiga tahun setelah Roswita (2003) mengadakan penelitian, Nardono
(2006) mengadakan penelitian dengan topik faktor-faktor yang berhubungan
dengan tingkat adopsi inovasi pada pertanian lahan pasir pantai. Faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi dalam penelitian ini yaitu:
faktor internal, faktor eksternal, dan karakteristik inovasi. Faktor-Faktor ini sama
dengan faktor-faktor yang berpengaruh dengan tingkat adopsi inovasi pada
penelitian Roswita (2003) hanya berbeda redaksional saja, begitu pula dengan
karakteristik dari setiap faktor, namun setelah penelitian karakteristik (variabel)
yang berkorelasi berbeda.
Faktor internal yang berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi dalam
penelitian ini adalah keinovatifan dalam berusahatani, sementara variabel lain
tidak menunjukkan adanya korelasi dengan tingkat adopsi inovasi. Variabel
eksternal yang berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi ini adalah variabel
intensitas penyuluhan dan penggunaan sarana. Penyuluhan yang dilakukan oleh
tim penyuluh memiliki peran utama dalam mengembangkan sistem pertanian
lahan pasir pantai. Penyuluhan ini memiliki tujuan untuk mensosialisasikan hasil
penelitian (terutama yang berkaitan dengan pertanian lahan pasir) kepada
masyarakat dan sekaligus mengajak masyarakat untuk mengoptimalkan hasil
pertanian lahan pasirnya, sementara penggunaan sarana lebih didasarkan pada
kelengkapan sarana prasarana yang digunakan oleh petani dalam melaksanakan
18
pertanian lahan pasir pantai. Variabel ketersediaan sumber informasi dan peluang
pasar tidak menunjukkan adanya hubungan dengan tingkat adopsi inovasi.
Variabel pada karakteristik inovasi yang berhubungan dengan tingkat
adopsi inovasi adalah tingkat keuntungan relatif, tingkat kesesuaian, tingkat
kerumitan, dan tingkat kemudahan dicoba. Hasil pertanian lahan pasir
memberikan keuntungan kepada petani yang menggarap pertanian lahan pasir.
Hasil panen yang dijual dengan sistem lelang mampu memberikan harga beli di
atas harga pasar. Sistem pertanian lahan pasir juga sesuai dengan nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat di Dusun Bugel II. Kerumitan yang dirasakan oleh
petani adalah masalah penyiraman yang harus dilakukan setiap hari, namun secara
keseluruhan tidak ada kerumitan yang berarti karena sistem pertanian ini hampir
sama dengan sestem pertanian pada medium tanah. Sistem pertanian ini juga
mudah dicoba pada lahan yang relatif sempit.
Download