PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL TENTANG TINDAK PIDANA MURTAD Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Syari'ah dan Hukum Disusun Oleh : Yusuf Mahdani 103045128166 JURUSAN KEPIDANAAN ISLAM FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL TENTANG TINDAK PIDANA MURTAD (RIDDAH) Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam Oleh: Yusuf Mahdani NIM : 103045128166 Pembimbing Dr. H. Abdurrahman Dahlan, MA. NIP. 150 234 496 KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL TERHADAP TINDAK PIDANA MURTAD (Riddah) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 28 Maret 2008. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam. Jakarta, 28 Maret 2008 Mengesahkan Dekan, Prof. DR. H. M. Amin Suma SH., MA., MM. NIP: 150.210.422 ) ( : Asmawi, M.Ag NIP. 150.282.394 Ketua ) ( : Sri Hidayati, M.Ag NIP. 150.282.403 Sekretaris ) ( : Asmawi, M.Ag NIP. 150.282.394 Penguji I : DR. H. Mujar Ibnu Syarif. M. Ag ( NIP. 150.275.509 Penguji II ) ) ( : DR. H. Abdurrahman M.A Pembimbing NIP. 150.282.403 ﺑﺴﻢ ا ﷲ ا اﻟﺮ ﺣﻤﻦ ا ﻟﺮ ﺣﻴﻢ KATA PENGANTAR Segala puja puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, shalawat beserta salam semoga tercurah atas utusan yang paling utama dan mulia, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan taufiknya, sehingga penulisan skripsi dengan judul, PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL TENTANG TINDAK PIDANA MURTAD, dapat diselesaikan dengan baik. Munculnya berbagai hambatan dan kesulitan seakan terasa ringan berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak tertentu, tanpa mengurangi penghormatan penulis bagi pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam pengantar yang singkat ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Prof. DR. H. M. Amin Suma SH., MA., MM., Dekan fakultas Syari’ah dan Hukum beserta para pembantu Dekan. 2. Bapak Asmawi M.Ag. selaku Ketua Jurusan SJS/Pidana Islam, beserta Ibu Sri Hidayati M.Ag. selaku Sekretaris Jurusan SJS/Pidana Islam yang selalu memberikan semangat kepada penulis dan banyak membantu penulis dalam menyelesaikan persoalan akademis dan administrasi 3. Bapak Dr. H. Abdurahman Dahlan MA, yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan rela meluangkan waktu ditengah kesibukannya untuk memberikan pengarahan dan mengoreksi penyusunan skripsi ini sehingga tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. 4. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum syarif Hidayatullah, pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Al-Marhum Abah dan Emah tercinta serta kakak-kakak dan saudara-saudara yang slalu memberikan semangat, motivasi, nasehat dan dorongan doa, moral dan moril kepada penulis. 6. Seluruh pengurus Jaringan Islam Liberal yang telah banyak membantu dan memberikan data serta informasi dalam penyusunan skripsi. 7. Sahabat-sahabat mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum angkatan 2003, khususnya temen-temen Jurusan SJS/PI (Ma'rufudin, Wildan, Margana, Lina, Mansiah, lela, Anita, Adien, Jabar, One’al, Adjhon, Katon, afandi, beben) dan yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Mudah-mudahan jasa dan amal baik tersebut mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Sebagai amal saleh dan senantiasa berada dalam maghfirah-Nya. Akhirnya penulis hanya bisa mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah SWT, semoga skripsi yang sederhana ini dapat memenuhi harapan dalam ikut serta membantu ke arah kemajuan pendidikan, khususnya masalah hukum Islam. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, hal ini merupakan keterbatasan dan kekhilafan penulis sebagai seorang hamba, maka untuk itu, saran, komentar dan kritik dari semua pihak amat diharapkan bagi penyempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi orang banyak dan membawa keberkahan di dunia dan akhirat. Semoga Allah SWT. memberikan petuntuk ke jalan yang benar dan mencurahkan taufik serta hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin. Jakarta, 25 Maret 2008 Penulis DAFTAR ISI .... i ............................................................................... KATA PENGANTAR iv ................................................................................................... DAFTAR ISI PENDAHULUAN BAB I A. Latar Belakang Masalah..................................................... 1 B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............ 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 8 D. Tinjauan Pustaka ................................................................ 9 E. Metode Penelitian ............................................................. 10 F. Sitematika Penulisan ......................................................... 13 GAMBARAN UMUM TENTANG ISLAM LIBERAL BAB II A. Pengertian........................................................................... 15 B. Akar Islam Liberal ............................................................ 18 C. Bentuk-bentuk Islam Liberal ............................................. 22 D. Tema-tema Pemikiran Islam Liberal................................. 25 E. Peta pemikiran Islam Liberal ............................................. 33 MURTAD MENURUT HUKUM ISLAM SECARA UMUM BAB III A. Definisi dan Dasar Hukum Murtad .................................... 36 B. Konsep Kebebasan Menurut Islam ................................... 44 C. Sanksi Hukum Bagi Pelaku Murtad. Dan Anjuran Bertaubat Menurut Para Ulama Mazhab Fiqih................................... 47 a. Hukuman Pokok........................................................... 47 b. Hukuman Tambahan .................................................... 49 D. Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Orang Yang Murtad ........................................................... 51 KORELASI PEMIKIRAN KEBEBASAN BERAGAMA BAB IV TERHADAP KEMURTADAN A. Konsep Kebebasan beragama Islam Liberal ...................... 56 B. Pandangan Islam Liberal Terhadap Orang Yang Murtad .. 69 C. Implikasi Kebebasan Beragama Terhadap Kemurtadan. ... 79 D. Hukum Murtad di Negara-negara Islam ............................ 82 E. Analisis Kritis Terhadap Hukuman Murtad……………… 87 PENUTUP BAB V A. Kesimpulan ........................................................................ 92 B. Saran-saran......................................................................... 93 94 .................................................................................... DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam lahir sebagai agama penegak keadilan dan pembebasan manusia dari berbagai bentuk dehumanisasi seperti perbudakan, penindasan, kemiskinan, kebodohan. Dengan semangat Rahmatan lil alamin, Islam selalu mengajak pengikutnya untuk selalu bisa dan mampu menjawab tantangan kehidupan dan membangun peradaban Islam pada masa dan tempat dimanapun Islam berada. Konsekuensi logis dari prinsip tersebut adalah terbukanya ruang ijtihad secara luas, bagi umat Islam sebgai upaya perenungan kembali secara mendalam atas doktrin keagamaan, teologi, ajaran moral, sosial, politik, ekonomi dan hukum untuk bisa menempatkan Islam sebagai ajaran yang selalu aktual dan relevan dengan zaman dan tempat dimana Islam hidup. Tetapi, tetap tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang ingin dicapai Islam sejak pertama diturunkan. Dewasa ini, Negara-negara Barat dengan mengusung globalisasi berusaha mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat dunia, mulai dari kehidupan politik, hukum, ekonomi, budaya, bahkan agama. Maka Islam sebagai agama yang menyejarah berupaya merespon persoalan globalisasi dengan serius supaya umat Islam tidak menjadi umat yang terbelakang. Sebagai agama yang sangat besar, agama Islam membuka ruang interpretasi atas doktrin keagamaannya (ijtihad) yang menyebabkan pandangan umat Islam menjadi beragam1. Sebenarnya, dalam dunia Islam telah mengalami perdebatan-perdebatan yang pararel, selama lebih dari dua abad yang lalu yang menjadikan umat Islam berkelompok-kelompok dan tentunya dengan tradisi yang berbeda. Diantaranya terdapat tiga tradisi interpretasi sosio-religius, tradisi ini saling melengkapi, dan memberikan sudut pandang yang cukup signifikan bagi sejarah wacana Islam masa kini. Ketiga tradisi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tradisi pertama adalah tradisi "Islam Adat" (Costommary Islam), yang ditandai oleh kombinasi kebiasaan kedaerahan dan kebiasaan yang juga dilakukan di seluruh dunia Islam. Seperti, tradisi penghormatan terhadap tokoh-tokoh yang dianggap suci dimana sebagian umat Muslim merasa tidak mengetahui pengetahuan dasar tentang Al-Qur'an. Di Indonesia tradisi-tradisi seperti ini mencakup juga pertunjukan pertunjukan ritual keagamaan dan kekuatan yang mengekspresikan tradisi-tradisi budaya-budaya daerah,2 suara bedug di Islam Afrika Selatan, dan kepercayaan orang-orang Kurdi dan umat Islam lainnya terhadap roh-roh, perayaan tahun baru Islam dan hari-hari besar Islam lainnya di Iran. Tradisi-tradisi tersebut merepersentasikan mayoritas terbesar umat Islam diberbagai tempat. Namun. Tradisi seperti yang telah dikutip diatas tadi bukan merupakan sebuah fenomena pemersatu, karena 1 Dikutip dari http://www..Islamlib. com tentang Islam Liberal 02 Desember 2007 Cliford Geertz, Islam Observed: Religius Devlopment in Morocco and Indonesian (Chicago: University of Chicago Press, 1968) 2 setiap wilayah daerah Islam memiliki budaya dan tradisi yang berbeda-beda maka, tradisi adat semacam ini cenderung dijustifikasi pada tingkat lokal saja, tidak pada tingkat global. berbeda dengan prilaku yang dibenarkan secara global, seperti, kehati-hatian, kebijaksanaan, adil dan sebagainya.3 2. Tradisi kedua, dan alternatif terpenting dari Islam adat, adalah "Islam revivalis" juga bisa dikenal dengan Islamisme, fundamentalisme, atau wahabisme. Tradisi ini menyerang interpretasi adat yang kurang memberi perhatian terhadap inti doktrin Islam. Menghadapi penyimpangan lokal, kelompok revivalis ini menginginkan penekanan yang paling penting kepada kemurnian ajaran Islam tanpa ada campuran adat dan budaya lokal, menghilangkan kurafat-kurafat yang berkembang pada masyarakat Islam.4 Kebangkitan prakti-praktik keagamaan pada priode awal Islam ditandai dengan Gerakan Muhammad Ibnu Abdul Wahab pada abad ke18, gerakan ini merupakan prototipe untuk semua gerakan yang bertujuan membersihkan pusat-pusat strategis Islam adat, dan memberantas praktik yang tidak Islami yang berkembang setelah Islam diwahyukan. Mengembalikan kemurnian Islam dan ajaran-ajarannya sebagaimana masa Islam berjaya.5 3. Banyak analisis Islam terfokus pada dua kelompok diatas, Islam tradisional dan Islam Revivalis, dan mengabaikan kelompok ketiga, yaitu "Islam Liberal" 3 Charlez Khurzman, Islam Liberal dan konteks keislmannya-Wacana Islam Liberal :Pemikiriran Islam Tentang Isu-isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2001) cet. II, hal. xv-xvii 4 Charlez Khurzman, Islam Liberal dan konteks keislmannya-Wacana Islam Liberal :Pemikiriran Islam Tentang Isu-isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2001) cet. II, hal xv-xvii 5 Greg, Barton, Gagasan Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 1999),cet. 1, h. 20 (Liberal Islam), dimana kelompok ini mendefinisikan dirinya berbeda secara kontras dengan Islam Adat dan kaum Revivalis yang menyerukan keutamaan priode paling awal Islam, dan menegaskan ketidak absahan praktik-praktik keagamaan masa kini. Tetapi, Islam liberal menghadirkan masa lalu untuk kepentingan modernitas. Berbeda dengan revivalis yang menyebutkan bahwa moderenitas dalam Islam adalah kembali kepada masa lalu, yang oleh kaum Liberal disebut "keterbelakangan" (backwardness). Kaum Revivalis hanya menghalangi dunia Islam untuk menikmati buah modernitas yaitu kemajuan ekonomi, demokrasi, hak asasi manusia, hukum, dan sebagainya. Disamping itu Islam Liberal berpendapat bahwa jika difahami secara benar, Islam Liberal adalah printis jalan bagi Liberalime barat.6 Ketiga bentuk pemahaman dalam Islam ini berupaya merespon globalisasi dan kemoderenan supaya Islam tidak kehilangan identitasnya sebagai rahmatan lil alamin. Dari ketiga model pemikiran Islam yang disebut diatas, pemikiran Islam Liberal lebih berani memasuki area teologis yang oleh sebagian umat Islam adalah hal yang masih dianggap tabu. Islam Liberal pun berani melakukan penafsiran kontekstual atas doktrin sejarah dan ajara-ajaran Islam yang terkadang terlihat aneh bagi sebagian muslim. Sering kali gagasan-gagasan yang di bawa kelompok ini jauh berbeda dari pemikiran-pemikiran yang sudah sangat mengakar dan di sakralkan oleh sebagaian umat Islam seperti tidak perlu menegakan syari'at 6 Charlez khurzman, Islam Liberal dan konteks keislmannya-Wacana Islam Liberal :Pemikiriran Islam Tentang Isu-isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2001) cet. II, hal. xv-xvii Islan secara inplisit, pemikiran tentang kebebasan beragama, Islam Liberal melakukan penafsiran liberal untuk memaknai pluralisme dan kebebasan beragama. Berbagai ayat suci Al-Qur'an yang menjelaskan kebebasan beragama dikaji secara mendalam, semua itu dilakukan sebagai upaya untuk melahirkan konsep kesetaraan antar pemeluk agama untuk mewujudkan keadilan sebagai salah satu nilai universal yang diajarkan Islam. Karena Islam adalah agama yang relevan untuk zaman manapun. Panadangan pluralisme agama dan kebebasan beragama ini yang menjadi topik hangat yang dibicarakan sebab menyangkut wilayah yang cukup fundamental bagi kalangan umat Islam secara umum. Dengan konsep Tauhid, dan konsep Syari'ah yang liberal, identitas muslim dan keselamatan yang ditawarkan Islam Liberal sangat terbuka, wajar jika kemudian muncul pro dan kontra di kalangan umat Islam secara umum. karena pandangan Islam secara umum bahwa orang yang murtad hukumannya adalah hukuman mati.7 Islam Liberal melihat bahwa semua agama itu setara. Sebuah agama, selama mempunyai konsep ketuhanan, mengajarkan kebaikan dan percaya pada hari akhir. Maka, tidak bisa dikatakan salah atau sesat. Jadi, menurut mereka bahwa agama yang telah memenuhi tiga kriteria tadi akan membawa penganutnya pada keselamatan. 7 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, Fiqih Jinayah, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), cet. 1, h. 103 Terdapat dua pandangan masyarakat muslim tentang hal ini, yaitu sebagai berikut: a. Bagi kalangan Muslim inklusif pemikiran seperti ini memberikan jalan keluar terhadap problem diskriminasi atas eksistensi non Muslim dan sebagai teologi baru dan menyelesaikan konflik dan ketegangan antara pemeluk agama b. Kalangan Muslim ekslusif melihat gagasan ini sebagai upaya untuk mengacaukan tauhid, mengaburkan identitas muslim dan menggugat otoritas fiqih. Dalam hal ini kelompok Islam Liberal memiliki pandangan fiqih yang berbeda dengan pandangan yang selama ini berkembang dalam tradisi fiqih Islam secara umum. Menurut hukum Islam secara umum, seseorang yang keluar dari agama Islam tanpa paksaan kepada kekafiran dengan menyatakan atau melakukan sesuatu yang menyebabkan seseorang itu kafir, umpamanya mengingkari adanya Tuhan, mendustakan Rasulullah dan lain-lain, maka orang tersebut telah melakukan tindak pidana murtad dan hukumannya adalah hukuman mati 8. Jika pandangan Islam Liberal tentang kebebasan beragama artinya tidak ada paksaan untuk memeluk agama, maka apakah pandangan ini akan mendekonstruksi hukum bagi pelaku murtad yang selama ini menjadi kajian 8 Hasanudin, Murtad persepektif Islam Pidana Islam di Indonesia peluang, prospek, dan tantanga. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), cet. 1, h. 64 dalam fiqih jinayah dan bagaimana respon para pemikir hukum Islam mengenai hal ini secara umum. Maka dari itu, sebagai mahasiswa fakultas Syari'ah penulis merasa berkepentingan untuk membahas persoalan ini, dan dari itu menjadi alasan bagi penulis untuk untuk memberi judul "Pemikiran Islam Liberal Terhadap Tindak Pidana Murtad" dalam sebuah sekripsi yang menjadi tugas akhir dari jenjang S1 yang ditempuh penulis. B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah sebelum beranjak lebih jauh penulis mencoba mengidentifikasi permasalah-permasalahan yang akan muncul pada kajian ini secara luas. Yang menjadi objek kajian skripsi ini adalah Islam Liberal dan Hukum Islam secara umum, akan banyak sekali masalah menyangkut Islam Liberal dan hukum Islam secara umum, diantaranya sebagai berikut: a. Bagaimana konsep hak asasi manusia menurut Islam Liberal dan hukum Islam secara umum? b. Bagaimana menurut Islam Liberal tentang demokrasi? c. Apakah kaum Islam Liberal dihukumi murtad oleh hukum Islam secara umum? d. Apa yang dimaksud dengan murtad menurut faham Liberal? e. Bagaimana konsep kebebasan beragama dalam Islam Liberal? f. Bagaimana pemikiran Islam tentang murtad? g. Bagaimana hukum Islam secara umum memandang pluralisme? h. Bagaimana pandangan Islam Liberal tentang komunisme dan ateisme? Untuk memudahkan pembuatan skripsi ini, penulis mengidentifikasi hanya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini, yaitu sebagai berikut: a. Bagaimana pemikiran Islam Liberal tehadap murtad? b. Apa yang dimaksud murtad murtad menurut Islam Liberal? Agar jangkauan pembuatan sekripsi ini lebih terarah, maka penulis akan membatasi masalah pada : 1. Islam Liberal, dibatasi pada tema konsep kebebasan beragama, dan pandangannya terhadap murtad 2. Hukum Islam secara umum dibatasi hanya pada kajian tindak pidana murtad dan hukumannya. Maka kemudian, untuk memperjelas masalah yang akan dibahas penulis merumuskan masalah-masalah tersebut sebagai berikut : 1. Bagaimana pandangan hukum Islam secara umum terhadap konsep kebebasan beragama dikaitkan dengan tindak pidana murtad? 2. Bagaimana pandangan Islam Liberal tentang murtad? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Dalam penulisan ini ada dua signifikansi yang akan di capai, yaitu sebagai berikut: a. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran Islam Liberal tentang murtad b. Untuk menambah wawasan keilmuan. c. Sebagai syarat untuk memenuhi gelar sarjana di Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Menambah kasanah keilmuan hukum Islam. b. Diharapkan menjadi alternatif lain untuk menyelesaikan konflik antar agama, karena ketika konsep teologisnya yang keliru, maka dalam mengaplikasikannya pun akan salah. c. Untuk menegaskan kembali bahwa betapa luasnya ilmu Allah Swt. D. Tinjauan Pustaka Sepanjang pengetahuan penulis, ada beberapa individu yang telah melakukan kajian dan penelitian terhadap pemikiran-pemikiran Islam Liberal, dari sejumlah tulisan yang ada itu, penulis belum mendapatkan satu karya pun yang membahas secara khusus tentang konsep kebebasan beragama yang dikaitkan pada murtad persepektif hukum Islam pada umumnya. Salah satu dari mereka yang menelaah pemikiran Islam Liberal ialah skripsi milik Muhammad Ismail di Fakultas Syari'ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Pemikiran Islam Liberal Tentang pluralisme Agama dan Implikasinya terhadap Pernikahan Beda agama. Skripsi ini mengemukakan hanya pada pemikiran pluralisme dalam Islam Liberal yang akan berpengaruh pada kebolehannya nikah beda agama di Indonesia, yang notabennya undang-undang di Indonesia tidak memperbolehkan pernikahan beda agama. Masih dalam pemikiran Islam Liberal salah satu skripsi milik Hasanudin mahasiswa syiasah syari'ah di UIN Syarif Hidayatullah yaitu tentang penafsiran Islam Liberal terhadap ayat-ayat politik, skripsi ini coba menjelaskan bagaiman Islam Liberal memandang satu kekuasaan dalam Islam. Jadi sejauh pengamatan penulis sejauh ini, sampai saat ini belum ada satu tulisan yang membahas tentang konsep kebebasan beragama Islam Liberal yang dikaitkan dengan tindak pidana murtad. E. Metode Penelitian 1. Metode dan Jenis Data Metode yang digunakan penulis pada dasarnya metode deskriptif dalam hal pengungkapan secara jelas masalah-masalah yang akan dibahas. Yang mana metode deskriptif ini bertujuan untuk menjelaskan secara sistematis fakta tertentu secara faktual dan cermat. Metode deskirptif adalah menjelaskan secara cermat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala kelompok tertentu atau untuk menentukn suatu frekuensi atau juga penyebab suatu gejala, frekuensi yang berhubungan tertentu suatu gejala dengan gejala yang lain dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini penulis mencoba menjelaskan secara cermat pemikiran Islam Liberal tentang kebebasan beragama yang dihubungkan dengan kemurtadan yang telah menjadi kajian dalam fiqih Islam secara umum. Adapun jenis data yang dikumpulkan adalah data yang bersifat kualitatif yaitu berupa kata-kata atau ungkapan, norma-norma atau aturan dari objek fenomena yang akan diteliti. Yaitu Al-Qur’an, kitab-kitab Hadis, kitab fiqih empat mazhab, buku-buku Islam Liberal, Undang-undang dan lain sebagainya. Oleh karena itu penulis berupaya untuk mengupas secara cermat dan ilmiah mengenai pemikiran Islam Liberal tentang kebebasan beragama yang di hubungkan dengan tindak pidana Murtad menurut hukum Islam secara umum. 2. Sumber Data Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Sumber data primer, yaitu sumber data pokok yang akan memaparkan masalah yang akan dikaji, sumber data ini dihasilkan dengan cara wawancara secara langsung pada objek kajian, yaitu wawancara pribadi penulis dengan ibu Novirianti dan Ulil Abasr Abdalah mereka adalah salah satu koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Indonesia, dan kajian terhadap buku-buku yang relevan dengan masalah yang akan diangkat, seperti buku-buku atau artikel tentang pemikiran Islam Liberal, kitab-kitab fiqih, dan lain sebagainya. b. Sumber data skunder, yaitu data yang dihasilkan dari kajian literatur seperti dari Al-Qur'an, Al-Hadits, kamus bahasa Arab dan Inggris, KUHP, artikelartikel yang relevan dengan objek kajian dan lain sebagainya. 3. Teknik Analisi Data Ada pun teknik analisi data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis domain yaitu mencoba menggambarkan objek penelitian pada tingkat permukaan. Jadi dalam penelitian ini hanya bersifat Analisis deskrptif, artinya, analisis hasil penelitian hanya ditargetkan untuk mendeskripsikan objek, hanya penelitian secara global tanpa menyelam lebih dalam dan terperinci pada objek kajian. Alasan mengapa penulis menggunakan metode analisis ini adalah karena metode ini relevan dengan objek kajian yang akan diteliti dan akan lebih memudahkan penulis, yaitu menggambarkan secara umum mengenai pemikiran kebebasan beragama Islam Liberal dan pengaruhnya terhadap tindak pidana murtad. Mengenai teknik penulisan, metode penelitian penulis berpedoman pada buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari'ah dan Hukum", terbitan Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2008. F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini akan disusun dalam beberapa bab. Tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub-bab sesuai dengan kebutuhan kajian yang akan dilakukan. Yakni sebagai berikut: PENDAHULUAN. Mencakup latar belakang masalah, yaitu hal-hal BAB I apa saja yang melatar belakangi permasalahan yang dibahas, identifikasi, pembatasan, perumusan masalah, yaitu mengidentifikasi masalah yang dibahas agar tidak melebar pemaparannya, tujuan penulisan, yaitu menjelaskan tujuan mengangkat permasalahan Pemikiran Islam Liberal Terhadap Murtad, metode penelitian dan sistematika penulisan, dalam suatu penelitian harus adanya metode penelitian agar penelitian tersebut dapat terarah dan sistematik. BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG ISLAM LIBERAL. Bab ini berawal membahas tentang apa itu Islam Liberal, diteruskan dengan membahas Akar Islam Liberal, dari mana kelompok ini lahir dan apa yang melatar belakangi kemunculannya, Macam-macam Islam Liberal, Pemikiran-pemikirannya, dan diakhiri dengan Peta pemikiran Islam Liberal. BAB III MURTAD MENURUT HUKUM ISLAM SECARA UMUM. Bab tiga ini Terdiri dari: Definisi Murtad, konsep kebebasan menurut Islam, sanksi hukum bagi pelaku murtad dan anjuran bertaubat sebelum di hukum mati, menyangkut hukuman pokok dan tambahan, dan yang terakhir perbedaan pendapat ulama mazhab fikih tentang kemurtadan dan syarat-syarat hukuman mati bagi pelaku murtad. BAB IV KORELASI PEMIKIRAN KEBEBASAN BERAGAMA TERHADAP KEMURTADAN. Bab ini dimulai dari menjelaskan Konsep Kebebasan beragama Islam Liberal, Pandangan Kaum Islam Liberal Terhadap orang yang murtad dan yang terakhir membahas tentang Implikasi Pemikiran Kebebasan Beragama Terhadap Kemurtadan secara umum, bagaimana Negaranegara Islam merespon atas problematika kemurtadan. Dan penulis berupaya menganalisis terhadap dua pemikiran Islam tentang Murtad. BAB V PENUTUP, Bab ini merupakan sebuah Kesimpulan dari bab-bab sebelumnya atau konklusi dari penelitian tentang pemikiran Islam Liberal "kebebasan beragama" dan implikasinya terhadap konsep tindak pidana murtad secara umum dan bab terakhir ini pun berisi Saran-saran penulis, dengan apa yang telah penulis simpulkan. BAB II GAMBARAN UMUM ISLAM LIBERAL A. Pengertian Istilah Islam Liberal secara eksplisit muncul dalam karya Greg Barton yang dterbitkan oleh Paramadina pada tahun 1999, dan setelah itu muncul buku Charles Khuzman, yang diterbitkan oleh Paramadina pada tahun 2001, yang berjudul "Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, isu Islam Liberal kian marak, termasuk kontroversinya. Kontroversi yang keras dipuncaki dengan fatwa hukuman mati terhadap kaum Islam Liberal oleh beberapa ulama yang menganggap sesat terhadap ajaran dan pemikiran Islam Liberal dan setelah itu juga muncul buku-buku yang mendukung dan mengkritik Islam Liberal9 Terdapat beberapa terminologi yang menjelaskan tentang Islam Liberal. Charles Khurzman dalam pengantar editorialnya dalam buku "Liberal Islam: A Sourcebook" menjelaskan bahwa Islam Liberal merupakan sebuah penafsiran 9 Buku-buku yang mendukung diantaranya : buku yang disunting oleh Luthfi Asaukani dengan judul Wajah Islam Liberal di Indonesia, dan disertasi abd A'la, MA, dengan judul Dari Neo Moderenisme ke Islam Liberal, Jejak Fazlurahman dalam Wacana Islam Liberal. Sementara buku-buku yang mengkritik adalah : Buku Hartono Ahmad Jaiz yang berjudul Bahaya Islam Liberal dan juga buku Aliran dan Faham Sesat di Indonesia. Dan buku Adian Husaini yang berjudul: Penyesatan Opini dalam Islam Liberal : sejarah, konsepsi, penyimpangan. Dan jawabannya. progresif terhadap teks Islam yang secara otentik berangkat dari kasanah tradisi awal Islam untuk berdialog agar dapat menikmati kemajuan moderenitas, seperti kemajuan ekonomi, demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan lain lainya. Pandangan ini mempercayai bahwa Islam apabila secara otentik sejalan dengan Liberalisme bahkan printis bagi Liberalisme barat.10 Berbeda dengan terminologi yang disebut diatas Leonard Binder memahami bahwa terminologi Islam Liberal berbeda dengan terminologi Islam Tradisionalis. Dalam penelitiannya, Islam Tradisional menjadikan bahasa AlQur'an sebagai basis pengetahuan yang absolut tentang dunia, sedangkan Islam Liberal memahami bahwa wahyu berkoordinasi dengan esensi dari wahyu, namun isi dari wahyu tidak bersifat harfiah verbal. Mengingat kata-kata dari Al-Qur'an tidak mencakup dari seluruh pemahman makna tentang wahyu Tuhan, sehingga perlu upaya untuk memahami apa yang disajikan dan menjadi dasar dalam bahasa Al-Qur'an, melampauinya, mencari apa yang direpersentasikan dan ditampakan oleh bahasa wahyu, tetapi tetap tidak bertentangan dengan semangat dasar Islam itu sendiri.11 Diskursus rasional yang radikal dalam Islam yang disebut dengan wacana Islam Liberal berupaya untuk membawa pada level praksis penafsiran terhadap 10 Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta:Paramadina, 2001), cet. 1, h. xxxiixxxiii. 11 Leonard Binder, Islam Liberal, Kritik Terhadap Ideologi Pembangunan, Penerjemah, Imam Mutaqien: dari buku yang berjudul: Islam Liberalism: a Critique of Development Ideologies (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001), cet. 1, h. 36. Islam secara integral berhubungan dengan esensi wahyu, konteks historis, ruang dan waktu berdasarkan atas penafsiran yang bersifat liberalitatif dan rasionalistik untuk mencapai dialog bagi pencarian terhadap kebenaran Al-Qur'an.12 Lutfy Asyaukani mengatakan: Bahwa Islam Liberal adalah perlawanan atau pemberontakan, dan atau Islam yang bebas dari otoritas masa silam dan bebas menafsirkan secara kritis atas otoritas tersebut.13 Menurut Ulil Abasr Abdalah beliau adalah salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal di Indonesia. Ia mengatakan bahwa: Dengan membubuhkan kata "Liberal" pada "Islam", sesungguhnya ia hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan Islam yang jangkarnya adalah "niat" atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri.14 Sebaiknya dan seharusnya kata "Liberal" dipahami dengan objektif dan tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sifat-sifat permisif yang melawan kecendrungan "intrinsik" (hakiki) dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka sesungguhnya itu semua telah menghidupkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri. Mohammad Nasih berpendapat bahwa Islam Liberal merupakan suatu bentuk penafsiran baru terhadap agama Islam dan keterbukaan pintu ijtihad pada 12 Leonard Binder, Islam Liberal-kritik terhadap ideologi pembangnan , penerjemah Imam Mutaqien: dari buku: Islam Liberalism: a Critique of Development Ideologies (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001), cet ke-1, h. 5-6. 13 http://www.islamlib.com, tentang Islam Liberal, 16 oktober 2007 14 Hasil wawancara langsung dengan Ulil Absahar Abdalah, 20 September 2007 semua bidang juga penekanan pada semangat penafsiran kontekstual, bukan pada makna literal teks, kebenaran yang relatif, terbuka, pluralistik, dan keberpihakan pada minoritas dan tertindas.15 Jadi Islam Liberal menurut Mohammad Nasih suatu bentuk ijtihad yang kaya akan ijtihad, penyelaman kembali pada bunyi teks Al-Quran dan hadis, yang pada kenyataannya Islam adalah agama bagi seluruh alam, agama penyelamat manusia. Bukan hanya diperuntukan untuk kaum Islam saja, tetapi untuk semua manusia didunia ini. B. Akar Islam Liberal Islam liberal hadir diantara kaum revivalis dibawah komando Abdullah bin Wahab, dan kaum Islam Tradisionalis pada abad ke 18, masa ini adalah masa yang subur bagi perdebatan Islam. Secara politis saat itu kerajaan Islam dilembah sungai Meditrania (Kerajaan Turki Usmani), Asia Barat-Daya (Dinasti Safawi), dan Asia Selatan (Dinasti Mongol), berada pada masa kerutuhan secara teragis, pada saat itu pula Islam mengalami kemenangan berkelanjutan diwilayah Afrika Barat, dan Asia Tenggara diwilayah Timur. Secara teologis, pengalihan pengetahuan ilmiah mengalami percepatan, dan melahirkan suatu komunikasi ulama internasional, baik yang belajar dipusat-pusat pengajaran di Arabia ataupun yang dibawah bimbingan seseorang yang telah belajar disana. 15 Mohammad Nasih, Memahami Konsep Islam Liberal, http://www.islamlib.com, 16 Oktober 2007 Dari sinilah bibit Islam Liberal lahir melalui pintu seorang revivalis yaitu Syeh Waliyullah yang pemikirannya cukup maju dibandingkan dengan tokoh revivalis lainnya, dia memberikan tanggapan yang lebih humanistik terhadap tradisi Islam adat. Beliau menunjukan dukungannya terhadap revivlaisme yang dikumandangkan kemudian oleh kaum Liberal belakangan sebagai "nenek moyang" intelektual Islam Liberal. Perkembangan yang sama dialami oleh Islam Syi'ah, dimana Aqa Muhammad Baqir Bihbihani (Iran, 1790) memainkan peran yang sama seperti Waliyullah, Bihbihani juga menganut sikap yang terbuka yang kemudian dikenal dengan mazhab usul'i, ia menekankan pentingnya ijtihad, seperti juga Waliyullah, Bihbihani juga menggabungkan konsep taklid yang konservatif dengan konsep ijtihad yang liberal dengan cara membatasi praktik-praktik ijtihad hanya pada ulama yang berkemampuan untuk itu. Tetapi pandangan seperti ini akan berkembang menjadi pandangan bahwa setiap zaman harus mematuhi seorang ulama saja (Marja'i Taklid).16 Akan tetapi, baru pada abad ke-19 Islam Liberal mulai membedakan dirinya secara lebih jelas dari revivalisme, baik secara intelektual maupun institusional. Pada tataran intelektual Islam Liberal mulai memisahkan ijtihad dari taklid, akal dari otoritas. Taklid menjadi tema yang tidak populer bagi kaum Islam Liberal pada awal abad ke-20, dan pada abad inilah kaum Islam Liberal mencapai puncak kekuasaannya. Reformasi Liberal di mulai oleh printah raja-raja yang 16 http://www.islamlib.com, tentang Islam Liberal, 16 oktober 2007 berpandangan modern, seperti Raja Mahmet di Mesir, Mahmud II di kerajaan Utsmani, Ahmad Bey di Tunisia, dan reformasi berlanjut oleh perdana menteri diberbagai daerah seperti Perdana Menteri Amir Kabir di Persia, Mithat di Kerajaan Utsmani, dan Khairudin di Tunisia. Ia yang memperkenalkan reformasi dibidang pendidikan dan politik yang liberal, tetapi hanya bertahan beberapa tahun saja. Akan tetapi pada abad ke-20 Islam Liberal mencapai kesuksesan yang cukup signifikan. Di wilayah-wilayah yang terjajah, komunitas muslim kemudian direfersentasikan oleh organisasi liberal seperti Itifaq Almuslimin di Rusia, dan pendirian Ali garh di India, sedangkan ditanah-tanah yang merdeka kaum liberal memproleh kekuasaan Negara melalui revolusi konstitutional di Iran tahun 1906, dan kerajaan Utsmani tahun 1908. diantara pendukung utama gerakan revolusi konstitutional adalah Sayyid Muhammad Tabataba'I di Iran tahun 1843-1921, Sayid Abdullah Behbehani di Iran Tahun 1846-1910. dan para ulama yang turut dalam mobilitas revulusioner yang penting bagi pemerintahan parlementer.17 Di tempat lain kaum revivalis menuduh kaum Islam Liberal sebagai golongan yang ingkar terhadap agama Islam (murtad), sebagaimana terlihat dalam ucapan pemimpin Islam Rusia yang menyebutkan "Siapapun yang mempercayai Tuhan dan Muhammad mestilah ia musuh kelompok moderenis, syari'ah menuntut mereka dengan hukuman mati". Tuduhan-tuduhan seperti itu memang tidak bisa dihindarkan, karena upaya-upaya kaum liberal yang belajar tentang dan dari orang Barat membuat 17 Janet Afary, The Iranian Constitutional Revolution, 1906-1911 (new york: Columbia University perss, 1996).cet. 1 h. 145 mereka dituduh tidak otentik dan mengkhianati tradisi kultural mereka sendiri. Menurut Fazlur Rahman:18 "kaum moderenis memunculkan kecurigaan bahkan menyangkut loyalitas mereka terhadap Islam, dan mereka dituding sebagai revleksi barat yang lemah dengan mengorbankan Islam dialtarnya.” Memang ironis bahwa Islam Liberal dituduh sebagai sekularisme, karena sekularisme bertanggung jawab seluruhnya atas penyusutan dunia Islam, dimulai pada tahun 1920, sejumlah besar kaum muslim terpelajar yang dulunya menganut Islam Liberal beralih pada ideologi-ideologi sekular, seperti Ideologi Nasionalisme dan Sosialisme. Pada saat inilah kelompok Islam liberal mulai menyusut meskipun banyak upaya yang telah dilakukan untuk mencegah keadaan seperti ini. Namun sejak tahun 1970-an, Islam liberal memperoleh popularitas baru, mungkin waktunya bertepatan dengan kaum revivalisme juga memperoleh banyak penganut. Maka kedua tradisi itu berbenturan dalam banyak kesempatan, biasanya dalam perdebatan intelektual yang berlangsung keras. Tetapi optimisme kaum Islam Liberal makin meningkat karena meningkatnya taraf pendidikan dalam dunia Islam, literatur telah memungkinkan umat Islam untuk membaca AlQuran dan sumber-sumber lainya yang mendukung pemikiran liberal, dari pada harus tergantung pada ulama dan karena mazhab-mazhab telah kehilangan monopolinya terhadap dunia pendidikan dengan meningkatnya jumlah muslim 18 Charlez Khurzman (Ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tehadap Isu-isu Global. (Jakarta: Paramadina, 2001). Cet, 1 h.xxv-xxvi. yang yang menerapkan pendidikan non-agama untuk meningkatkan pendekatanpendekatan baru terhadap Islam. Dan penyebab optimisme Islam Liberal juga adalah kemunculan infrastuktur organisasi bagi Islam Liberal.19 Hamid Basyaid salah seorang tokoh pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia menyebutkan: “Bahwa, akar Islam Liberal dapat kita temukan pada diri Umar bin Khattab, kaum Mu'tazilah, bahkan Nabi Muhammad Saw pun merupakan sosok yang liberal.” Karena banyak sekali contoh-contoh bagaimana Umar Bin Khattab berijtihad, bagaimana pemikiran liberalnya kaum Mu’tazilah. sebenarnya benih Islam Liberal terdapat pada Islam itu sendiri, bahwa Islam adalah agama yang liberal yaitu agama yang membebaskan kaumnya untuk memilih, bersikap, yang bebas, sebab semua akan dipertanggungjawabkan dihari akhir.20 C. Bentuk-bentuk Islam Liberal Islam Liberal berjalan dalam dua konteks intelektual, yaitu Islam dan Barat. Banyak literatur akademis tentang Islam Liberal dengan mengambil pendekatan, pertama: seberapa liberalkah kaum Liberal Islam? apakah varianvarian Islam liberal sesuai dengan standar liberalisme Barat? Analisis Leonard Binder dalam bukunya Islamic Liberalism, menggunakan pendekatan ini secara luas dengan mempertimbangkan unsur-unsur para penulis Mesir 19 terkemuka www.islamlib.com, tentang sejarah Islam Liberal, 25 Oktober 2007. Luthfi Asyaukani, (Ed). Wajah-wajah Islam Liberal di Indonesia, (Jakarat, Teater Utan Kayu, 2002), cet ke-1, h 162-164. 20 dalam menghadapi tradisi-tradisi barat, dan analisis ini sebaliknya menguji pemikiran Muslim Liberal dipandang dari sudut tradisi Islam. Dengan menggunakan pendekatan-pendekatan diatas sebagai konteks, Islam Liberal dapat diidentifikasi pada tiga bentuk (modus) utama Islam Liberal, hal ini melibatkan liberalisme dan sumber-sumber utama Islam, Al-Qur'an dan Sunnah, yang secara bersamaan menetapkan hukum Islam (Syari'ah). 1. Bentuk pertama, menggunakan posisi atau sikap liberal sebagai sesuatu yang secara eksplisit didukung oleh Syari'ah, bentuk ini menyatakan bahwa Syari'ah itu bersifat liberal pada dirinya sendiri jika difahami secara tepat. Sebagai contoh adalah Piagam Madina, dimana Rasulullah menjamin hak-hak non-Muslim untuk hidup dibawah pemerintahan Muslim. 21 2. Menyatakan bahwa kaum Muslim bebas mengadopsi sikap liberal dalam halhal yang oleh Syari'ah dibiarkan terbuka untuk difahami oleh akal budi dan kecerdasan manusia, bentuk argumentasi Islam Liberal yang kedua ini berpandangan bahwa Syari'ah tidak memberi jawaban jelas terhadap satu persoalan seperti tidak adanya perintah dalam Al-Qur'an ataupun Sunnah untuk memberlakukan bentuk pemerintahan tertentu, hal ini mengisyaratkan bahwa Syari'ah memberikan peluang pada akal budi manusia dan kecerdasan pemikiranya untuk menentukan mana yang terbaik dan yang maslahat. Dalam hal ini, Al-Qur'an dan hadis memang tidak secara konkrit, menjelaskan 21 Charlez Khurzman (Ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tehadap Isu-isu Global. (Jakarta, Paramadina, 2001). Cet, 1 h.xxvii-xxviii. tentang bentuk Negara. Tetapi, garis besarnya Al-Qur'an telah memaparkan tentang tata Negara ini. Karena semua persoalan yang ada didunia ini, jawabannya terdapat dalam sumber dasar Islam. 3. Memberikan kesan bahwa Syari'ah, yang bersifat Ilahiyah, di tujukan bagi berbagai penafsiran manusia yang sangat beragam. Bentuk Islam Liberal ini memandang bahwa Syari'ah ditengahi oleh penafsiran manusia yang memang rentan pada perpecahan dan menimbulkan konflik, namun, menurut kaum liberal banyak dasar hukum yang menyatakan tentang perbedaan pendapat seperti hadis Rasulullah Saw. "Perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan umatku yang terpelajar adalah rahmat". Oleh karena itu tafsirkanlah menurut kemungkinan cara yang terbaik".22 Tiga bentuk ini disebut juga, syari'ah Liberal, Syari'ah yang diam, dan Syari'ah yang ditafsirkan.23 Dari ketiga bentuk liberal dalam Islam ini bentuk Syari’ah Islam yang ditafsirkan inilah yang rentan akan perpecahan, walaupun Rasulullah telah menyatakan bahwa perbedaan adalah rahmat tetapi disisi lain perbedaan pendapat juga akan menimbulkan perpecahan dalam umat Islam. Sebab tidak semua umat Islam faham dan mengerti akan keIslamannya. 22 Mahmoud Ayoub, the Al-Qur'an and it's Interpreters, Volume 1 (Albany: State University Of New York Press, 1998), h. 23 23 Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta:Paramadina, 2001), cet ke -1, h. xxxiixxxiii D. Tema-tema Pemikiran Islam Liberal 1. Menentang Teokrasi Kaum Muslim Liberal sangat keberatan dengan pemberlakuan Syari'at Islam, karena beberapa alasan, argumen traditional yang diplopori oleh Ali Abdul al-Raziq dengan menerapkan bentuk silent shari'a: wahyu ilahi menyerahkan bentuk pemerintahan pada konstruksi pemikiran manusia. Nabi Muhammad merupakan pimpinan pemerintahan, sekligus pemimpin agama, tetapi tidak membangun prinsip-prinsip tertentu bagi pemerintahan selanjutnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Khaldun Society: "karena Al-Qur'an lebih menekankan pada penciptaan masyarakat yang adil ketimbang ideologi Negara, bentuk Negara yang dipilih bukanlah sesuatu yang diamanatkan". Menurut Islam Liberal bahwa, kaum Muslim seharusnya memandang Al-Qur'an sebagai sebuah bangunan moral yang besar ketimbang sebuah kitab hukum, dengan demikian Negara Muslim sesungguhnya Negara Sekular, dengan ketentuan bahwa istilah Negara sekular tidak difahami dengan pengertian yang negatif, karena demikian dapat melindungi agama dari manipulasi politik oleh kekuasaan negara.24 Keberatan lain dengan teokrasi tertuju pada pengaruh pada kekuatan politik yang bersifat merusak bagi mereka yang memerintah atas nama Tuhan, seperti yang diungkapkan oleh Taleqani seorang pemimpin revolusi Iran mengatakan bahwa "larangan-larangan kepolisian yang dibebankan pada rakyat 24 Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta:Paramadina, 2001), cet ke -1, h. xIiv atas nama agama adalah suatu yang menakutkan". Sama halnya dengan pendapat matori Abdul Jalil seorang tokoh politik Islam Indonesia mengatakan bahwa "kapanpun manusia bertindak sebagai wakil Tuhan, disitu tidak akan ada demokrasi dan teokrasi akan merusaknya, sekelompok orang telah mengatakan sudah mendapat legitimasi Tuhan untuk memerintah, maka mereka akan menggunakan Tuhan sebagai alat untuk melawan kelompok lainnya, dan pada dasarnya hal ini jauh dari kemaslahatan."25 Keberatan lain menegaskan bahwa tuntutan hukum Syari'ah mengalihkan perhatian kaum Muslim dari isu-isu yang substantif, dan Keberatan terakhir kaum Islam Liberal terhadap keberlakuan Syari'at Islam adalah bahwa orang-orang yang ingin memberlakukan syari'at Islam pada dasarnya salah dalam memahami status Syari'ah. Karena menurut Islam Liberal keberlakuan Syari'at Islam selalu didukung oleh pemerintahan Teokrasi.26 2. Demokrasi Tema kedua Demokrasi, secara luas diperdebatkan dalam model "liberal sharia", dengan penekanan pada konsep musyawarah, yang dipakai untuk memberikan kesempatan atau menuntut pernyataan kehendak umum dalam masalah-masalah kenegaraan. Demokrasi tidak hanya dibatasi dengan bentuk- 25 Pengantar ini ditulis, charles khurzman pada tahun 1998, dimana Matori Abdul Jalil masih menjadi pemimpin Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Pasca reformasi di Indonesia. 26 Artikel Muhammad Sa'id al-Ashmawi. Islam and the political order, disunting oleh George F. McLean, D.C:Council for Research in Values Philosophy, 1993, h 95-110. Diterbitkan pertama kali dengan judul Al-Islam as-I-siyasi (Politik Islam)di Mesir tahun 1997. bentuk institusional khusus yang telah dipakai oleh Amerika Serikat atau ditempat lain. Pendekatan mengenai demokrasi adalah sebuah versi "silent shair'a" yang pragmatis, sebagaimana dicontohkan Muhammad Natsir di Indonesia, (19081993), dan Dimasancay A. Pundato (Pilipina, 1947). Semuanya mengutip AlQur'an, tetapi argumen utama mereka adalah pentingnya demokrasi dalam kondisi-kondisi nasional tertentu. Bagi Natsir prasyarat itu adalah pembentukan republik Indonesia karena melihat keberagaman daerah suku, budaya bekas jajahan Belanda itu. Pundato melihat koalisi-koalisi demokratis dan oarng-orang Kristen sebagai cara terbaik untuk mengawal hak-hak minoritas muslim di kepulauan Philipina.27 Pendekatan terakhir Islam Liberal terhadap demokrasi adalah melibatkan bentuk "interpreted shari'a", Zaky Ahmad misalnya mengidentifikasi empat macam tradisi pluralisme didalam Islam, pertama peraktik dari generasi Islam paling awal, perdebatan para cendikiawan selama beberapa abad tentang yurisprudensi Islam, ajaran-ajaran kebebasan dalam Syari'ah, dan seruan pragmatis untuk hidup berdamai dan berdampingan dengan non muslim dalam masyarakat plural.28. 27 Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta:Paramadina, 2001), cet ke -1, h. xIv 28 Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta:Paramadina, 2001), cet ke -1, h. xIviii 3. Hak-hak Kaum Perempuan Posisi Islam Liberal tentang hak-hak perempuan tidak seperti demokrasi, jika hak-hak perempuan harus berhadapan dengan pernyataan Al-Qur'an dan sunnah yang kelihatanya menunjukan kotradiksi langsung. Seperti ayat-ayat tentang poligami hak unilateral kaum pria untuk bercerai, hak-hak kewarisan, dan otoritas kesaksian hukum pria lebih besar, hadits-hadits yang berbicara tentang jilbab, pemisahan gender, dan ketidak sesuaian kaum perempuan untuk menjadi pemimpin dalam sebuah komunitas Muslim. Para cendikiawan liberal menentang kebijakan Al-Qur'an dan Sunnah dengan berbagai cara. Pertama mereka memeriksa kembali pernyataan-pernyataan tersebut dan menyimpulkan bahwa pernyataan tersebut tidak mengurangi hak-hak perempuan sebagaimana anggapapan sebelumnya. Pendekatan ini mengaitkan eksploitasi kaum perempuan dalam Islam dengan adat istiadat sebelum dan sesudah pristiwa pewahyuan, bukan dengan pesan Islam itu sendiri.29 Pendekatan ini terkadang dikombinasi dengan argumen lain yang menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan yang anti perempuan merujuk pada Arabia abad ke-7 dan tidak cocok diterapkan pada waktu dan tempat yang lain. Nazira Zein-en-Din (Libanon, lahir 1905), dalam artikelnya dia mengungkapkan bahwa Al-Qur'an memperbolehkan kelangsungan kebiasaan-kebiasaan Arab praIslam, seperti poligami dan perbudakan itu hanya untuk mempermudah transisi 29 Dikutp dari http:// www islamlib.com, 15 November 2007 masyarakat Arab kedalam Islam, dan bahwa Nabi Muhammad saw wafat sebelum ia memberantas kebiasaan-kebiasaan ini secara tuntas.30 Sebuah pendekatan yang lebih lanjut, versi silen shari'a, menerima pernyataan pernyataan anti perempuan, tetapi berpendapat bahwa pernyataan tersebut tidak melarang kaum perempuan untuk mengorganisir perlindungan terhadap hak-hak mereka. Sebagai contoh kaum Feminis di republik Islam Iran telah berhasil mewujudkan legislasi yang menghendaki setiap pasangan untuk menyetujui sebuah kesepakatan pra-perkawinn yang menjamin kesamaan hak-hak perceraian kaum wanita yang sama dengan kaum pria. Asghar Ali Engineer mengkritik para pemimpin Islam yang berpegang pada unsur-unsur Syari'ah yang tidak liberal demi keberlangsungan komunal karena Islam memperbolehkan ijtihad (penafsiran kreatif).31 Pendekatan terakhir Islam Liberal adalah pernyataan-pernyataan tentang perempuan dalam Syari'ah selalu menimbulkan penafsiran ganda dari pada menggantikan penafsiran yang tidak benar dengan penafsiran yang lebih dapat dipercaya, pendekatan ini lebih menekankan asumsi bahwa semua penafsiaran bersifat manusiawi dan memiliki kemungkinan untuk salah.32 30 Artikel Nazira Zein-en-Din. Univeiling and Veiling: On the Liberation of the Women and social Renewal in the Islamic World, diterjemahkan oleh Ali Badran dan Margot Badran, dalam opening the Gates: Acentury of Arab Feminist Writing, disunting oleh Margot Badran dan Miriam cooke (London Virago Press; Bloomington : Indiana University Press, 1990), h. 272-276 31 Asghar Ali Engineer, The Right of Women in Islam (New York: St. Martin's Press, 1992) h.170 32 Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta:Paramadina, 2001), cet ke -1, h xIix 4. Hak-hak Non Muslim Isu tentang hubungan antar agama muncul ditahun pertama Islam dalam konteks penaklukan Muslim terhadap Non-Muslim, Syari'ah menjamin hak-hak non-Muslim, terutama Ahlul Kitab untuk tetap menjalankan agama mereka, sepanjang mereka memberikan kesetiaan dan membayar pajak pada pimpinan Muslim yang berkuasa. Hal ini merupakan semangat perlakuan yang humanis terhadap non-Muslim diwilayah Muslim untuk dunia kontemporer. Muhammad Talbi (Tunisia, lahir 1921), menggunakan pendekatan teoritis terhadap masalah hubungan antar agama, dan mengemukakan pendapatnya menurut tiga model Islam Liberal, : Talbi mengutip ajaran-ajaran positif mengenai perlakuan yang baik terhadap Non-Muslim. Dia berpendapat bahwa ajaran tentang toleransi yang memungkinkan pembentukan dialog antar komunikasi, tanpa memperhatikan contoh-contoh masa lalu. Dan dia sangat menentang unsur-unsur Syari'ah yang tidak toleran, khususnya mengenai hukuman mati terhadap orang yang murtad, sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan keragu-raguan. Sebagaimana Pundato dan yang lainnya Talbi pun menerjemahkan pandangan-pandangannya terhadap aksi politik, yang bergabung dengan kaum liberal agama lain dalam dialog umum dan menyerukan untuk mengurangi ketegangan antar agama.33 33 Mumammad Talbi, Religius liberty: A Muslim Perspective, liberty and Conscience.Aldershot, Inggris :Comunitteefor the Defense of religious liberty, musim semi 1989, Volume. 1, h. 12 5. Kebebasan Berfikir Tema ini mencakup semua topik mengenai ketidak sepakatan intelektual, yang merupakan inti persoalan Islam Liberal. Kebebasan berfikir tentu saja, secara logis merupakan pangkal dari prinsip-prinsip Liberal lainnya, sebab kaum liberal harus mempertahankan kebebasan berfikir agar dapat memberikan dasar pembenaran terhadap pengungkapan pemikiran-pemikiran yang lain. Pembicaraan tentang kebebasan berfikir berarti membicarakan ijtihad. Maka siapa yang boleh berbicara dan apa yang boleh dibicarakan? Pertanyaan siapa yang boleh bicara merupakan orang yang sah melakukan ijtihad ini merupakan hal yang sangat penting bagi kaum liberal yang tidak mengecap pendidikan agama yang ortodoks. Misalnya seorang ahli kimia pun bisa menafsirkan Al-Quran dengan metode ilmiah. Para kaum liberal mengklaim bahwa Islam adalah agama yang rasional, sebuah klaim yang membuktikan bahwa Islam itu terbuka terhadap ide-ide, kreativitas dan kemajuan baru. Ini merupakan hasil dari tekanan kebutuhan untuk meyakinkan kebudayan manusia modern, yang meragukan kemampuan Islam sebagai pembingbing kehidupan modern, karena itu, mereka menulis karya-karya yang menempatkan rasionalitas pada posisi penting dalam pembahasanpembahasan teologis.34 Pendekatan liberal syari'a tentang kebebasan berfikir menyatakan bahwa Tuhan mencipatakan manusia untuk menjadi pemikir, dan bahwa syari'ah 34 Thoha Hamim, Paham Keagmaan Kaum Reformis, penyunting Imron Rosyidi, (Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya 2000), Cet. 1, h. 19 mendorong kaum Muslim untuk melakukan refleksi dan penyelidikan. Kata "kebebasan" ini merupaka kata yang dipilih Tuhan bagi orang-orang yang diberkahi di surga.35 Pendekatan silent shari'a, berdasakan alasan-alasan pragmatis memperlihatkan bahwa kebebasan-kebebasan berfikir berguna bagi kemajuan intelektual dunia Muslim karena ajaran-ajaran yang bersifat umum yang berkaitan dengan wujud komunikasi Mukmin yang baik. Bentuk ini berargumen bahwa berfikir adalah sumber dari kemajuan dalam hal apapun dan Syari'ah tidak pernah melarang atau membatasi pemikiran seseorang. Jika dilihat dari Model interpreted shari'a, dengan pemikiran bahwa penafsiran keagamaan boleh jadi merupakan produk dari kondisi-kondisi historis tertentu, menurut Husain Ahmad Amin (mesir, lahir 1932), para ulama hukum Muslim pada abad-abad permulaan Islam telah melangkah begitu jauh untuk menemukan hadits-hadits yang memperkuat pendapat mereka dan dapat mengatasi perkembngan-perkembangan saat itu, dan kemudian menghubungkannya dengan Rasulallah.36 6. Gagasan Tentang Kemajuan Memaksakan penyeragaman penafsiran secara absolut adalah tidak mungkin dan tidak diperlukan, perbedaan pendapat yang keberadaannya sangatlah 35 36 Dikutip dari http://www.islamlib.com tentang Islam Liberal, 07 Desember 2007 Dikutip dari www.islamlib.com tentang Islam Liberal, 07 Desember 2007 berarti, maka harus diberi nilai positif yang tinggi, tidak seperti pemikiran tradisional yang lebih terikat pada penafsiran-penafsiran masa lalu ketimbang menghadapi tantangan perubahan. Islam Liberal cenderung mengembangkan penafsiran baru atas sumber-sumber asli, saat mempelajari penafsiran masa lalu, baik untuk mengambil wawasan maupun untuk memahaminya sebagai produk dari konteks historisnya sendiri. Islam Liberal begitu menyadari kesulitankesulitan yang menyertai proses pembaharuan pemikiran Islam dan kegagalan kaum reformis pertama. Islam Liberal mengusulkan agar reformasi itu dilakukan fokus pada Institusi-institusi pendidikan, ini merupakan pekerjaan besar yang membutuhkan ide-ide dan reformis yang kritis.37 E. Peta Pemikiran Islam Liberal Pemahaman yang hanya menyandarkan pada teks-teks dengan ketentuan normatif agama dan pada bentuk-bentuk formalisme sejarah Islam paling awal jelas sangat kurang memadai, dan dikalangan sebagian besar umat Islam, pola semacam inilah yang berkembang dengan sangat subur. Jika ini terus-menerus dipertahankan, Islam akan membayarnya dengan harga yang sangat mahal, karena dengan pola pikir seperti ini, Islam akan menjadi agama yang ahistoris dan eksklusif. Inilah yang menjadi keprihatinan Islam liberal.38 37 38 Dikutip dari, www islamlib.com, tentang Islam Liberal, 07 Desember 2007 Dikutip dari www. Islamlib.com. tentang Islam Liberal, 24 Desember 2007 Islam dalam perkembangan dan perjalanan sejarahnya yang sudah sedemikian lama menyejarah, seringkali Islam hadir dengan adjektif, tanpa kata sifat, dan karena itu tidak ada Islam saja. Sebab pada kenyataannya Islam mengalami penafsiran yang dinamis dan berbeda-beda sesuai dengan konteks sosio-historis yang melingkupinya dan siapa yang menjadi penafsirnya. Karena itu, kemudian muncul Islam dengan seabrek nama dibelakangnya seperti Islam modern, neo-modern, post-modern, tradisional, post-tradisional, konservatif, lunak, garis keras, Islam kiri, kanan, tengah, atau bahkan nanti - bukan tidak mungkin - akan muncul lagi Islam kiri luar atau Islam kanan luar.39 Dengan demikian, tak perlu heran kalau yang menempel menjadi adjektif sangat beragam dan aneh-aneh atau bahkan bisa jadi terasa kontradiktif. Dalam Islam sejarah yang lebih awal saja sudah muncul sekte-sekte yang cukup banyak. Ada Khawarij, Syari'ah, Murji'ah, Mu'tazilah dan lain sebagainya. Paham tentang kebebasan sekte-sekte tersebut secara diametral dapat ditarik ke dalam dua kutub Jabariyah (fatalisme) dan Qadariyah (kebebasan). Karena itu, tidak salah kalau untuk memahami Islam, seseorang atau sebuah komunitas mengambil adjektif tertentu. Dalam konteks seperti ini ada beberapa aktivis Islam yang menghendaki adanya pembaharuan dengan cara mengibarkan bendera dengan adjektif liberal dibelakang Islam untuk menegaskan identitas guna membungkus misi yang diembannya.40 39 40 Muhammad Nasih, Aktivis Jaringan Islam Liberal, wawancara pribadi, 09 Januari 2008 Dikutip dari www. Islamlib.com. tentang Islam Liberal, 24 Desember 2007 Misi Islam liberal, menurut Charles Kurzman, bertitik tolak pada suatu rasionalitas untuk selalu menjaga kesinambungan Ssyariah Islam dengan tuntutan sejarah. Dengan kerangka seperti ini, perkembangan diseminasi pemikiran Islam yang diproduksi oleh Islam liberal sebenarnya tak perlu dianggap aneh, apalagi dicurigai. Sebab meskipun dalam Islam melekat watak universalitas, tetapi pada dataran praktisnya, Islam tetap memerlukan sebuah kerangka pandang, epistem, yang selaras dan senafas dengan semangat zaman.41 41 Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta:Paramadina, 2001), cet ke -1, h. xIix BAB III MURTAD MENURUT HUKUM ISLAM A. Dasar Hukum dan Pengertian Murtad (al-Riddah) Dasar hukum yang menjadikan murtad sebagai tindak pidana adalah ayat Al-Qur'an yang dengan tegas menyebutkan bahwa, orang yang keluar dari agama Islam (murtad), adalah orang kafir, dan terhapuslah seluruh amal ibadahnya, dan mereka kekal didalam Neraka. Sebagaimana surat Al-Baqarah ayat 217, menyebutkan: ⌦ ☺ ☺ ( ٢١٧ : )اﻟﺒﻘﺮة. Artinya: barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya didunia dan diakhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.(QS. Al-Baqarah: 217). Bukan hanya itu, Al-Qur'an juga mendefinisikan Murtad dengan kembali kepada kekafiran setelah orang tersebut beriman, dan orang tersebut akan mendapatkan azab dan kemurkaan dari Allah Swt. Seperti yang telah disebut dalam dalam firman Allah Swt, sebagai berikut: ⌧ ☺ ☺ ☺ ⌧ . ⌧ (١٠٦ )اﻟﻨﺤﻞ Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.(Q.S. AlNahl: 106) ☺ (٥٤ :)اﻟﻤﺎ ﺋﺪة Artinya: Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki- Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.(QS. Al-Maa'idah: 54) Dari ayat-ayat Al-Qur'an diatas, disebut dengan jelas bahwa Al-Qur'an menjelaskan tentang murtad yaitu orang yang berpindah agama atau orang yang kafir setelah mereka beriman. Walaupun Al-Qur'an tidak menjelaskan dengan tegas hukuman bagi orang yang murtad, tetapi Al-Qur'an menyebutkan bahwa orang yang keluar dari agama Islam adalah orang yang kafir, yaitu orang yang akan membahayakan Islam dan menjadi musuh Islam secara jelas. Bukan hanya Al-Qur'an yang mendasari murtad sebagai tindak pidana, tetapi Hadis Rasulullah dengan tegas menyebutkan bahwa murtad termasuk tindak pidana dan hukumannya adalah hukuman mati, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, sebagai berikut: ) . ﻣﻦ ﺑﺪل دﻳﻨﻪ ﻓﺎﻗﺘﻠﻮﻩ: ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻲ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ 42 (رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى Artinya: Dari Ibnu Abbas Rasullah Saw bersabda: Barang siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah ia. (HR. Muslim). Dan hadis yang berbunyi: ﺣ ﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒ ﺪ:ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ وﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ اﻟﻤﺜﻨ ﻰ )واﻟﻠﻔ ﻆ ﻻﺣﻤ ﺪ( ﻗ ﺎل ﻋ ﻦ, ﻋ ﻦ ﻋﺒ ﺪاﷲ ﺑ ﻦ ﻣ ﺮة, ﻋ ﻦ اﻻﻋﻤ ﺶ, ﻋﻦ ﺳﻔﻴﺎن,اﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﻣﻬﺪي ))واﻟﺬي ﻻاﻟ ﻪ: ﻓﻘﺎل.م. ﻗﺎم ﻓﻴﻨﺎ رﺳﻮل اﷲ ص: ﻗﺎل, ﻋﻦ ﻋﺒﺪاﷲ,ﻣﺴﺮوق اﻻ,ﻏﻴﺮﻩ! ﻻﻳﺤ ﻞ دم رﺟ ﻞ ﻣ ﺴﻠﻢ ﻳ ﺸﻬﺪ ان ﻻاﻟ ﻪ اﻻاﷲ واﻧ ﻲ رﺳ ﻮل اﷲ 42 Muhammad Ibn Ismail Al-Khalani, Subulus Salam, (Mesir: Mustafa al-Babi, Al-Halabi Awladuhu, 1950), h. 265 و اﻟﺜﻴﺐ اﻟﺰاﻧ ﻲ, اﻟﻤﻔﺎرق ﻟﻠﺠﻤﺎﻋﺔ او اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ, اﻟﺘﺎرك اﻻﺳﻼم:ﺛﻼﺛﺔ ﻧﻔﺮ ( ّ)رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ.((واﻟﻨﻔﺲ ﺑﺎﻟﻨﻔﺲ Artinya : Telah berbicara pada kami Ahmad Bin Hanbal, dan Muhammad Bin Mutsanna, telah berbicara: Abdurrahman Bin Mahdy, dari Sufyan, dari A'mas, dari Abdullah Bin Murrah, dari Masruk, dari Abdullah, telah berbicara: telah berdiri Rasulullah Saw dan bersabda: Demi Allah tiada Tuhan selain Allah, Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Aku (Muhammad) utusan Allah, kecuali tiga golongan: orang yang meninggalkan Islam yang memecah belah masyarakat, zinnah muhsan, dan orang yang membunuh orang lain.(H.R. Muslim)43 Bukan hanya itu, tetapi ada Hadis Nabi dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ada seorang yang buta, ibu kandungnya seorang hamba sahaya, dia menghina Rasulullah, sudah diperingatkan tetapi tetap saja orang tersebut melakukannya, dan pada suatu malam anaknya yang buta tersebut mengambil benda tanjam yang ditaruh diperut ibunya dan anaknya yang buta tersebut membunuh ibunya, pada waktu itu Rasul menyaksikan, lalu Rasul berkata: lihatlah wanita itu halal darahnya. Hadis lain yang yang menjelaskan tentang orang yang murtad adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nas'I yang menyebutkan bahwa "tidak halal darah orang muslim kecuali tiga: orang yang berzinah Muhsan, orang yang membunuh dan laki-laki yang keluar dari Islam dan memerangi Allah dan 43 Imam Abi Husen Muslim Bin Hajaji, Sahih Muslim, (Libanon. Bairut,: Daar Ihya AlThurasi Al-Arabi), h. 751 Rasulnya maka dibunh ia atau disalib ia atau dibuang dari tanah airnya (HR. Abu Dawud dan Nasa'i).44 Sahabat Abu Bakar mendefinisikan orang yang murtad bukan hanya orang yang meninggalkan agama Islam, tetapi orang yang tidak mengerjakan apa-apa yang telah diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya pun oleh Abu Bakar dianggap murtad, terbukti ketika Abu Bakar memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat, pada waktu ia menjadi khalifah pertama setelah Nabi wafat. Maka pembahasan murtad terus berkembang melalui para ulama-ulama ahli fiqih. Menurut para ulama, secara etimologis, kata Murtad merupakan isim fa'il dari kata sebagai berikut: ارﺗﺪ ﻳﺮﺗﺪ ﻣﺮﺗﺪ yang berarti mundur, kembali ke belakang, menurut sayyid sabiq pengertian riddah secara etimologis adalah 45 اﻟﺮدة هﻮ اﻟﺮﺟﻮع ﻋﻦ اﻟﻄﺮﻳﻖ اﻟﺬي ﺟﺎء ﻣﻨﻪ Artinya : Riddah (Murtad) adalah kembali atau mundur dari jalan dimana dia datang. Dan Wahbah al-Zuhaili juga mendefinisikan Murtad secara etimologis sebagai berikut: اﻟﻰ اﻟﺸﺊ ااﻟﺮدة هﻮ اﻟﺮﺟﻮع 44 ﻋﻦ ﻏﻴﺮﻩ Ahmad Hasan, Bulughul Maram (terjemahan), (Bandung: CV. Diponegoro1967), jilid. II, h. 164 45 46 Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, (Bairut: Darul Al-Fikri, 1977), h. 451 Artinya : Riddah adalah kembali dari sesuatu kepada yang lainya. Sementara secara terminologi, para ulama sebagai berikut: اﻟﺮﺟﻮع ﻋﻦ دﻳﻦ اﻻﺳﻼم اﻟﻰ اﻟﻜﻔﺮ ﺳﻮاء ﺑﺎﻟﻨﻴﺔ او ﺑﺎﻟﻔﻌﻞ اﻟﻜﻔﺮ او ﺑﺎﻟﻘﻮل Artinya : keluar dari agama Islam menjadi kafir , baik dengan niat, atau dengan perbuatan yang menunjukan kekafiran atau dengan ucapan.47 48 رﺟﻮع اﻟﻤﺴﻠﻢ اﻟﻌﺎﻗﻞ اﻟﺒﺎﻟﻎ ﻋﻦ اﻻﺳﻼم اﻟﻰ اﻟﻜﻔﺮ ﺑﺎﺧﺘﻴﺎرﻩ دون اآﺮاﻩ ﻣﻦ اﺣﺪ Artinya : keluarnya seorang Muslim yang telah dewasa dan berakal sehat dari agama Islam pada kekafiran, dengan kehendak sendiri tanpa paksaan dari siapapun. Dengan demikian, yang dimaksud dengan Murtad adalah keluarnya seorang muslim dari agama yang dianutnya (agama Islam) kepada kekafiran dengan menyatakan atau melakukan sesuatu yang menyebabkan orang tersebut kafir, misalnya mengingkari adanya Tuhan, mendustakan Rasulallah, menghalalkan yang jelas-jelas haram, menyembah pada berhala, atau juga melemparkan kitab suci Al-Qur'an pada kotoran dengan maksud penghinaan.49 Dari definisi diatas dapat di tarik benang merah, bahwa tidak semenamena orang dapat dikatakan murtad tetapi ada syarat tertentu yang dapat menyebabkan kemurtadan, yaitu sebagai berikut : 46 Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuh, (Bairut: Darul Al-Fikri, 1977), juz. VII, h. 183 47 Muhammad Ibn Ismail Al-Khalani, Subulus Salam, (Mesir: Mustafa al-Babi, AlHalabi Awladuhu, 1950), h. 261 48 Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, (Bairut: Darul Al-Fikri, 1977), h. 451 49 Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuh, (Bairut: Darul Al-Fikri, 1977), juz. VII, h. 183 1. Orang yang berakal, karena tidak sah murtadnya orang gila. 2. Mencapai usia baligh (dewasa), sebab anak dibawah umur belum ada pertanggung jawaban hukum, dan juga tidak sah murtadnya anak kecil yang telah mencapai usia mumayyiz menurut ulama Syafi'iyyah, sementara jumhur ulama berpendapat sebaliknya. 3. Dilakukan atas kehendak sendiri, sebab tidak sah murtad seseorang karena paksaan, dengan catatan hati orang tersebut bersiteguh dalam keimanan. Dalam hal ini seorang sahabat Nabi yang bernama Ammar Ibn Yasir pernah dipaksa mengucapkan kata-kata kekufuran, sehingga dia terpaksa mengucapkannya, maka sesudah kejadian tersebut turunlah ayat 106, surat alNahl : ⌧ ☺ ☺ ☺ ⌧ . ⌧ (١٠٦ )اﻟﻨﺤﻞ Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.(Q.S. Al-Nahl: 106) Seorang muslim tidak dianggap keluar dari agama Islam kecuali apabila yang bersangkutan menyatakan atau melakukan sesuatu yang menyebabkan dia kufur serta diyakini dalam hatinya, atau dengan terang-terangan dia berpindah agama pada agama lain.50 Adapun pernyataan atau perbuatan yang menyebabkan kekufuran seorang muslim antara lain:51 1. Mengingkari keesaan Allah Swt, mengingkari adanya malaikat atau kenabian Muhammad Saw, mengingkari hari kiamat, mengingkari wajibnya shalat, zakat puasa, dan haji. 2. Menghalalkan yang haram, seperti menghalalkan minuman khamar (minuman keras), zina, riba, dan menghalalkan makan daging babi dan anjing. 3. Mengharamkan yang halal, seperti mengharamkan makanan yang sudah jelas kehalalannya. 4. Mencaci dan menghina Nabi Muhammad Saw, atau para Nabi sebelumnya. 5. Menghina atau melecehkan kitab suci Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. 6. Mengaku bahwa dirinya telah menerima wahyu. 7. dan Berpindah agama kepada agama lain. Orang-orang yang terbukti melakukan hal-hal tersebut dengan syaratsyarat tertentu diatas tadi, maka orang tersebut telah termasuk melakukan 50 Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuh, (Bairut: Darul Al-Fikri, 1977), juz. VII, h. 183 51 Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, (Bairut: Darul Al-Fikri, 1977), h. 454. kemurtadan. Tentu saja, hal ini melalui proses pembuktian apakah orang tersebut terbukti ataupun tidak melakukan tindak pidana murtad, karena dalam hukum Islam menganut asas praduga tidak bersalah.52 B. Konsep Kebebasan dalam Islam Sejak pertama, Islam menghargai kebebasan berakidah, dan Rasul tidak berdakwah kepada kaum kafir Makkah dengan kekerasan, tetapi Beliau berdakwah dengan didasarkan pada hujjah (argumentasi yang jelas), bersifat memuaskan akal dan fitrah kemanusiaan, dan melalui nasihat kebaikan dan petunjuk kebenaran, bukan dengan peperangan. Seandainya Islam memaklumkan kekerasan tidak mungkin mayoritas kaum paganis di India hidup berdampingan dengan Muslim selama hampir delapan abad, juga tidak mungkin minoritas Kristen dapat hidup di Negara-negara Islam sampai saat ini. Hal ni menunjukan bahwa Islam sangat menghargai perbedaan.53 Islam adalah agama yang jauh dari sikap fanatik dan memaksakan umat agama lain untuk menjadi seorang Muslim, (sebagaimana yang telah dituntun oleh Al-Qur'an) yang menegaskan bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk agama. Dan apabila melihat Negara-negara muslim mulai dari Arab Saudi, Iran, Turki, dan Negara-negara muslim lainnya yang telah menganut Islam selama 14 abad, disana tetap ada masyarakat Non-Muslim, disana ada penganut Budha, 52 30 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam.(Jakarta, Bulan bintang 2005) cet. 6, h.202 53 Abdul Halim Uways, Fiqih statis Dinamis, (Jakarta, Pustaka Hidayah, 1998), cet, 1. h. Hindu, Keristen, bahkan Yahudi yang telah hidup di Negara Islam tersebut berabad-abad. Ini membuktikan bahwa Islam tidak pernah memaksakan manusia untuk menganut agama Islam. Dengan demikian siapapun yang mengatakan bahwa orang yang tidak memeluk agama Islam halal darahnya, itu bukan datang dari Islam karena Rasulullah pun hidup berdampingan dengan agama lain di Makkah dan di Madinah. Kita dapat menemukan ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur'an mengenai hal ini, dalam surat Al- Baqarah ayat 256 : ☺ ⌧ ☺ ⌧ Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karna itu barang siapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS, 2:256) Bukan hanya itu Allah menjelaskan dalam Al-Qur'an, ada ayat lain yang menunjukan bahwa Islam tidak pernah memaksa satu orang untuk memeluk agama Islam seperti yang tertulis dalam Al-Qur'an : ⌧ ☯ Artinya : "Dan tidak ada seorangpun yang beriman kecuali dengan iziin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak menggunakan akalnya" (Q.S. 10: 100) Ayat ini dengan tegas mengatakan bahwa seandainya Allah hendak menjadikan manusia seluruhnya muslim, Allah pasti dan yakin bisa, tapi Allah tidak berkehendak, artinya Allah tidak ingin menjadikan manusia seluruhnya Iman kepada Allah, sebab kalaupun manusia di bumi ini menjadi muslim mereka tetap akan berkelahi dan berbeda pendapat. Karena itu, Allah menciptakan manusia dengan berbeda-beda, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, berbagai macam bahasa, ras, ini bertujuan untuk saling mengenal satu sama lain.54 Dengan memberikan jaminan terhadap kebebasan dalam keyakinan kepada semua manusia, ini berarti Syari'ah telah menunjukan tingkat tertinggi dari kesempurnaannya. Syari'ah Islam memberi kebebasan kepada Non-Muslim untuk menjalankan ritual agamanya dan mengekspresikan keyakinannya, menjaga tempat beribadah dan sarana untuk belajar agama non-Muslim tersebut. Tetapi, tidak lantas kebebasan diartikan tanpa ada batasan, Islam tentunya, memberikan batasan yaitu bagi umat Islam sendiri tidak boleh keluar dari agama Islam, jika umat Islam keluar dari agama Islam dan memeluk agama lain, maka harus dikenakan hukuman mati, karena oarng tersebut telah dianggap murtad dan 54 Ayang Utriza, Kebebasan Beragama Dalam Islam dan Praktiknya di Negara-negara Islam, (mimbar agama dan budaya, vol 2) No 4 h. 2 th 2005 menjadi musuh Islam, dan pula akan membahayakan Islam sendiri ketika orang tersebut berbelot pada musuh Islam sebab ditakutkan akan membocorkan rahasia Islam. Hal inilah yang menyebabkan orang yang keluar dari ajaran Islam harus di hukum mati. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Saw.55 ﻣﻦ ﺑﺪل دﻳﻨﻪ ﻓﺎﻗﺘﻠﻪ رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى Artinya : Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia. (HR. Bukhari). C. Sanksi Hukuman Pelaku Murtad (Riddah,) Menurut Para Ulama Mazhab Fiqih. Ada dua sanksi pidana yang ditimpakan pada orang yang melakukan kemurtadan, yaitu sebagai berikut: 56 a. Hukuman Pokok. Syari'at Islam menghukum perbuatan murtad, karena perbuatan tersebut ditujukan terhadap agama Islam yang sekaligus sebagai sistem sosial bagi masyarakat Islam. Maka ketidak tegasan menghukum jarimah murtad tersebut akan berakibat pada goncangnya tatanan sistem sosial masyarakat Islam dan oleh karena itu pelakunya harus ditumpas sama sekali, artinya pelaku harus dihukum mati untuk melindungi masyarakat umum dan sistem kehidupan secara Islami, 55 Djazuli, Fiqih Jinayah, Upaya Menamggulangi Kejahatan Dalam Islam,( Jakarta, Raja Grafindo Persada), cet 1. h. 114 56 .Hasanuddin, Pidana Islam Di Indonesia. Peluang, Prospek dan Tantangan. (Jakarta, Pustaka Pirdaus, 2001)cet 1, h, 66 dan akan menjadi alat pencegahan umum, sudah barang tentu hanya hukuman mati saja yang mencapai tujuan tersebut.57 Para ulama sepakat bahwa pelaku murtad wajib dikenakan hukuman mati sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Saw, (ﻣﻦ ﺑﺪل دﻳﻨﻪ ﻓﺎﻗﺘﻠﻮﻩ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى Artinya : Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia. (HR. Bukhari). Bukan hanya itu tetapi ada riwayat lain yang menyatakan hukuman bagi pelaku murtad adalah di hukum mati seperti apa yang telah dipaparkan oleh sahabat Nabi yaitu Mu'adz bin Jabal yang menceritakan tentang adanya seorang laki-laki yang masuk agama Islam kemudian dia kembai pada agama Yahudi, (lalu Mu'adz berkata) aku tidak akan duduk sampai orang tersebut di hukum mati, itulah ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Lalu orang tersebut diperintah di hukum mati.58 Ada juga hadis yang menjadi salah satu dasar hukum bagi pelaku murtad, yaitu sebagai berikut: ﻻﻳﺤﻞ: ﻋﻦ اﺑﻰ ﻣﺴﻌﻮد رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ان رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎل اﻟﺜﻴﺐ: اﻻ ﺑﺈ ﺣﺪا ﺛﻼث,دام ﻣﺴﻠﻢ ﻳﺸﻬﺪ ان ﻻاﻟﻪ اﻻاﷲ وان ﻣﺤﻤﺪ رﺳﻮل اﷲ ( )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ.اﻟﺰاﻧﻲ واﻟﻨﻔﺲ ﺑﺎﻟﻨﻔﺲ واﻟﺘﺎرك ﻟﺪﻳﻨﻪ Artinya : Dari Abi Masud, sesungguhnya Rasulullah bersabda, tidak halal darah seorang muslim yang mengucapkan shadah tiada Tuhan selain Allah 57 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam.(Jakarta, Bulan bintang 2005) cet. 6, h.207 Hasanuddin. Pidana Islam Di Indonesia. Peluang, Prospek dan Tantangan. (Jakarta, Pustaka Pirdaus, 2001)cet 1, h, 66 58 dan Nabi Muhammad Saw adalah utusan Allah, kecuali dengan salah satu yang tiga: orang yang melakukan zinah muhsan, orang yang membunuh dan orang yang meninggalkan agamanya.(HR. Muslim). Sementara itu, ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukuman apabila pelaku murtad itu seorang wanita, Abu Hanifah berpendapat tidak dikenakan hukuman mati apabila pelaku murtad tersebut adalah wanita. Dia hanya wajib dikurung dan wajib bertaubat sampai dia kembali Iman. karena Abu Hanifah memakai dasar Hadits Nabi yang menyatakan larangan membunuh wanita tatkala Rasul melihat wanita terbunuh, lalu Nabi berkata : kenapa wanita ini harus dibunuh?. Disamping itu juga Abu Hanifah beralasan bahwa diwajibkannya hukuman mati itu terhadap pelaku murtad bukan disebabkan kekufuran, melainkan menghindari kejahatan atau perlawanannya terhadap kaum muslimin.59 Tetapi Jumhur ulama berpendapat bahwa pelaku murtad yang notabennya kaum wanita itu tetap di hukum mati, alasannya dampak madharat riddah kaum wanita sama dampak madaratnya riddah kaum laki-laki Dalam pada itu, ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa seorang yang beragama Yahudi yang keluar dari agamanya dan memeluk agama Nasrani contohnya itu pun dikatakan Murtad berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang 59 Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuh, (Bairut: Darul Al-Fikri, 1977), juz V., h. 187 menyebutkan bahwa yang dikategorikan murtad disini adalah orang yang keluar dari agama Islam saja. 60 b. Hukuman Tambahan Adapun sanksi tambahan terhadap pelaku murtad adalah hilangnya kepemilikan terhadap hartanya.61 Para ulama telah bersepakat bahwa apabila pelaku murtad kembali memeluk agama Islam, setatus kepemilikan hartanya seperti semula ketika dia muslim. Demikian pula, para ulama juga sepakat bahwa apabila pelaku murtad meninggal dunia, atau telah di hukum mati, atau bergabung pada pihak musuh Islam, maka hilanglah hak kepemilikan hartanya. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat apakah hilangnya kepemilikan harta tersebut terhitung sejak yang bersangkutan murtad atau setelah orang tersebut di hukum mati. Abu Hanifah, Malik dan Syafi'i berpendapat bahwa hilangnya kepemilikan harta tersebut terhitung sejak, pelaku berbuat murtad. Oleh karena itu ketika ia dinyatakan murtad maka hartanya harus disita, Tetapi, apabila ia bertaubat dan kembali masuk agama Islam, kepemilikan hartanya kembali seperti semula, dan apabila ia meninggal dunia karena hukuman mati, maka hak kepemilikan hartanya hilang sebab semata-mata ia murtad, dan karenanya menjadi hilang pula keterpeliharaan akan hartanya.62 60 Muhammad Ibn Ismail Al-Khalani, Subulus Salam, (Mesir: Mustafa al-Babi, Al-Halabi Awladuhu, 1950), h. 265 61 Abdul Qodir Audah Al-Tasyri' Al-Jina'I Al-Islami, (Maktabah: Dar Al-Urubah, 1963) juz I h. 662 62 Syekh al-'Allamah Muhammad bin abdurahman ad-Dimasyiqi, diterjemahkan oleh: Abdullah Zaky Alkaf, Fiqih Empat Mazhab (Hasyimi, Bandung,2004), cet ke, 2 h. 451 Sementara itu, ulama Hanabilah berpendapat, bahwa hilangnya hak kepemilikan hartanya bukanlah semata-mata karena perbuatan murtad, oleh sebab itu batas hilangnya kepemilikan hartanya setelah ia di hukum mati, menurut Imam Hambali hilangnya keterpelihraan dirinya tidak semata-mata menghilangkan kepemilikannya terhadap hartanya. Bandingannya seperti muslim yang dihukum rajam karena zina tidak menghilangkan kepemilikan hartanya, akan tetapi jika orang murtad yang kembali pada musuh Islam kepemilikannya hartanya tidak hilang tetapi boleh disita (dirampas) jika orang tersebut tergolong kafir harbi. Dan menurut Imam Hambali ia boleh di bunuh tanpa diberi kesempatan untuk bertaubat.63 Dalam pada itu, Imam Malik dan Syafi'i berpendapat, hilangnya kepemilikan pelaku murtad terhadap hartanya berlaku terhadap seluruh hartanya, sementara pendapat Abu Hanifah bahwa hilangnya kepemilikan harta orang yang melakukan tindak pidana murtad hanya berlaku pada harta yang dihasilkan setelah ia murtad adapun hartaS yang dihasilkan sebelum ia murtad, menjadi hak ahli warisnya.64 D. Perbedaan Pendapat para ulama Tentang Orang Yang Murtad 63 Syekh al-'Allamah Muhammad bin abdurahman ad-Dimasyiqi, diterjemahkan oleh: Abdullah Zaky Alkaf, Fiqih Empat Mazhab (Hasyimi, Bandung,2004), cet ke, 2 h. 451 64 Abdul Qodir Audah, al-Tasyrii' al-Jinai al-Islami. (Maktabah, Dar Al-Urubah, 1963) Juz I h. 662 Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang keluar dari Islam wajib di hukum mati. Tetapi, mereka berbeda pendapat, tentang apakah kewajiban hukuman mati bagi pelaku murtad itu harus segera dilakukan ataukah disuruh bertaubat terlebih dahulu. apakah perintah bertaubat itu wajib hukumnya atau sunnah, Apabila pelaku murtad meminta ditangguhkan untuk bertaubat, tetapi ia tetap tidak bertaubat, apakah boleh diberi kesempatan untuk ditangguhkan kembali, hal ini yang menjadi perdebatan para ulama mazhab fiqih. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa, pelaku murtad dianjurkan untuk diberi kesempatan bertaubat sebelum di eksekusi mati. Sementara jumhur ulama menyatakan, wajib hukumnya memberi kesempatan untuk bertaubat pada pelaku murtad.65 Mengenai tenggang waktunya, ulama Malikiyyah memberi tempo selama tiga hari. Sementara menurut Imam Abu Hanifah tidak membatasinya, hanya secara berulang-ulang menyuruh pelaku murtad untruk bertaubat sampai ada dugaan kuat bahwa pelaku tetap teguh dalam kemurtadannya dan pada saat itulah hukuman mati dilaksanakan. Taubatnya orang yang murtad cukup dengan mengucapkan dua kalimah Syahadah. Selain itu, ia harus mengakui bahwa apa yang dilakukannya ketika ia murtad sangat bertentangan dengan agama Islam.66 65 Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahidin Wa Nihayah Al-Muktasid, (Mesir,: Mustafa Albabi-Halabi, 1966), Juz II h. 343. 66 Djazuli, Fiqih Jinayah, Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam.( Jakarta: Raja Grafindo Persada) cet. 1 h. 116 Imam Malik berpendapat, wajib hukumnya pelaku murtad untuk bertobat, dan jika ia segera tobat maka diterima tobatnya. Sedangkan jika ia tidak mau bertobat, lalu ia bertaubat, maka diterima tobatnya, tetapi jika ia tidak mau bertobat maka wajib dihukum mati. Imam Syafi'i dalam hal ini mempunyai dua pendapat, pendapat yang lebih kuat yaitu wajib di perintah berobat sebelum di hukum mati. Dalam masalah pemberian penangguhan pendapat Imam Syafi'i ialah tidak boleh diberikan penangguhan walaupun pelaku memintanya, melainkan harus dihukum mati dengan segera jika ia sudah terbukti murtad dan bersikeras untuk keluar dari Islam. Dari Imam Hambali diperoleh dua riwayat, pertama, seperti pendapat Imam Malik. Kedua, tidak wajib diperintah bertobat terlebih dahulu. Mengenai pemberian penangguhan, dari mazhab Hanbali diperoleh tiga pendapat yang berbeda, pertama Al-Hasan Al-Bashri berkata: orang yang murtad tidak disuruh bertaubat terlebih dahulu, melainkan wajib di hukum mati dengan segera, tetapi 'Atha' berkata jika ia dilahirkan dalam keadaan Islam, lalu ia murtad maka ia tidak diperintahkan untuk bertaubat melainkan harus segera di hukum mati, sedangkan jika ia asalnya kafir, lalu menjadi Islam kemudin murtad, maka ia diperintahkan bertaubat sebelum di hukum mati. Menurut Ats-Tsawuri bahwa semua orang yang murtad hendaknya diperintahkan untuk bertaubat.67 67 Syekh al-'Allamah Muhammad bin abdurahman ad-Dimasyiqi, diterjemahkan oleh: Abdullah Zaky Alkaf,Fiqih Empat Mazhab, (Bandung,: Hasyimi, 2004), cet ke, 2 h. 451 Menurut pendapat Maliki, Syafi'I dan Hambali perempuan yang murtad hukumannya sama dengan laki-laki yang murtad yaitu dihukum mati, sedangkan menurut pendapat Hanafi hukuman perempuan yang murtad tidak sama dengan hukuman lak-laki yang murtad, jika perempuan yang murtad hukumannya dipenjarakan, tidak di hukum mati. Kemurtadan anak kecil yang telah mumayyiz menurut Imam Hanafi dan Maliki serta pendapat Hambali kemurtadannya sah, tetapi menurut Imam Syafi'I tidak sah kemurtadan anak kecil yang sudah mumayyiz. 68 Para Imam Mazhab sepekat bahwa orang Zindiq, yaitu orang yang penampilan lahiriahnya Islam tetapi hatinya kafir, orang seperti ini harus dihukum mati. Para Iman Mazhab berbeda pendapat tentang taubatnya orang zindiq, menurut pendapat Hanafi dari riwayat yang paling jelas, diterima taubat oarng zindiq, hal ini sama dengan apa yang di sebutkan oleh Imam Syafi'i, tetapi menurut Maliki dan Hambali, dibunuh, tidak diperintah untuk bertaubat. Jika penduduk satu wilayah semuanya murtad, dan berlaku hukuman mati bagi mereka, menurut Hanafi berkata: satu daerah baru bias di katakana dar alharab (negeri yang diperangi) ketika terpenuhi tiga Syarat, yaitu: 1. sudah nyata dan jelas di wilayah tersebut hukum-hukum kekufuran 2. tidak ada seorangpun yang Islam atau dzimmi yang terjamin kehidupannya didaerah tersebut. 68 Abdul Qodir Audah, al-Tasyrii' al-Jinai al-Islami. (Maktabah: Dar Al-Urubah, 1963) Juz I h. 662 3. berbatasan dengan dar alharab Sedangkan menurut pendapat yang jelas dari Maliki, jika sudah jelas bahwa penduduk didaerah tersebut semuanya murtad, maka daerah tersebut menjadi dar al-harab.demikian pula pendapat Syafi'i dan hambali.69 Para Imam mazhab sepakat bahwa harta orang yang murtad dihukumi sebagai harta rampasan, Imam Hanafi dan Maliki mengatakan, bahwa anak-anak yang orang tuanya murtad tidak boleh dijadikan hamba sahaya. Tetapi, mereka harus masuk Islam ketika usinya sudah baligh, jika mereka menolak masuk Islam Imam Hanafi dan Maliki mengatakan mereka harus dipenjarakan dan diancam dipukuli jika tidak mau masuk Islam. Tetapi menurut Imam Hmbali bahwa anakanak yang orang tuanya murtad sah untuk dijadikan budak, dan menurut Imam Syafi'i anak-anak yang orang tuanya murtad tidak boleh dijadikan budak karena mereka dianggap tidak bersalah atas kemurtadan orang tuanya, masih ada kesempatan untuk mendidik anak-anak tersebut menjadi anak-anak yang baik secara Islam.70 69 Muhammad Ibn Ismail Al-Khalani, Subulus Salam, (Mesir: Mustafa al-Babi, Al-Halabi Awladuhu, 1950), h. 266 70 Syekh al-'Allamah Muhammad bin abdurahman ad-Dimasyiqi, diterjemahkan oleh: Abdullah Zaky Alkaf, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung : Hasyimi, , 2004), cet ke, 2, h. 452-453 BAB IV KORELASI PEMIKIRAN KEBEBASAN BERAGAMA ISLAM LIBERAL TERHADAP MURTAD (APOSTASY) A. Konsep Kebebasan beragama Islam Liberal Kebebasan beragama, sebagai sebuah kepedulian umum umat manusia dan perhatian internasional, masih relatif baru. Pada zaman dahulu, problematika ini tidak relevan. Sepanjang zaman itu, semua orang terbiasa menyembah dewadewa dikampungnya, merupakan tugas dewa untuk menjaga keluarga, menjaga rumah, menysejahterakan Negara. Dewa chartage71 sebagai contoh secara alami merupakan musuh bagi dewa-dewa Roma.dalam konteks itu penolakan terhadap dewa-dewa sama artinya pembangkangan terhadap Negara. Situasi ini hampir sama dalam tradisi Injil, dalam injil Yahweh, bertindak sebagai Tuhan orang-orang Yahudi, ia terus menerus mengingatkan umatnya agar tidak menyembah Tuhan yang lain dan agar mematuhi hukumnya. Umat yang ber-Tuhan satu itu, juga merupakan berentitas fisik. Seperti dua belas suku berasal dari Ibrahim melalui Ishaq dan Ya'qub dengan satu negeri yaitu Palestina, 71 Peter L Berger, Sisi lain Tuhan, Polaritas dalam Agama-Agama Dunia,(Yogyakarta, CV Qalam,2003), cet,1 h. 244 kelompok Yahudi merupakan prototipe kesatuan yang ideal mereka mematuhi hukum darah, tempat dan agama. Yudaisme adalah prototipe sempurna dari suatu komunitas dengan keseragaman etnis yang berakar pada agama yang dibentuk dalam suatu negeri. Maka, adalah suatu yang absurd untuk berbicara kebebasan beragama dalam kasus seperti ini, atau melepaskan sama sekali. Orang-orang Yahudi yang keluar dan memeluk agama lain berarti dia sudah kehilangan identitas komunitas dalam negaranya. Konversi mereka dianggap sebagai penghianatan dan, dengan demikian, dapat di pastikan mendapatkan vonis mati. jika kita mengangkat kasus komunitas Yahudi ini sebagai sebuah prototipe, kasus tersebut bukan tanpa kemiripan dengan kasus ummat Islam klasik, sebagaimana yang telah di bentuk oleh teologi tradisional. Karena alasan-alasan historis, sitiuasi ini berubah dengan penyebaran Kristen. Sejak semula, penyebaran ini tidak berhubungan dengan Negara, dan para pengikut Yesus, komunitas Yahudi, menolak dakwahnya. Yesus memerintahkan murid-muridnya untuk mempersembahkan pada kaisar sesuatu yang milik kaisar, dan kepada Tuhan yang adalah milik Tuhan.72 Ini merupakan usaha revolusioner untuk memisahkan agama dengan Negara dan untuk memastikan kebebasan individual, ini gagal, karena waktunya belum matang. Dan konsekuensinya Negara Roma menganggap orang-orang Kristen yang awal adalah sebagai pembangkang, karena penolakan mereka untuk menyembah dewadewa kampung dan kelompok sosial mereka. Oleh karena itu mereka 72 Injil Matius, Pasal 22, ayat 21 diperlakukan seperti pemberontak terhadap Negara. Hak untuk menentukan diri sendiri dan hak kebebasan beragama telah diabaikan oleh mereka. Dan mereka tidak dapat bergerak bebas sesuai kesadaran mereka.73 Singkatnya, gereja dan Negara segera menyadari bahwa mereka saling membutuhkan satu sama lain. Intoleransi kelompok sosial atau keagamaan yang dominan segera menegaskan dirinya dimana-mana dengan berbagai macam perang intren maupun ekstern, segala bentuk diskriminasi dan kekerasan. Tak terkecuali dunia Islam, ada pelanggaran hak-hak fundamentalis tersebut. Tetapi, Dalam dunia Islam terdapat masa-masa yang penuh hormat, inklusif dan penuh dialog. Seperti sebelum abad ke-19, ada klaim bahwa atas hak berpikiran bebas, liberalisme politik dan studi-studi filosofis sedang menjadi trend, tetapi tetap kebebasan beragama menjadi sinonim sekularisme dan ateisme. Konsekuensinya perang melawan kebebasan beragama yang tak kenal kompromi dilancarkan yang ditunggangi oleh kesalah pahaman, maka untuk membicarakan hal ini kita harus terlepas dari konsepsi palsu tersebut.74 Harus diakui bahwa kebebasan beragama saat ini mengakar pada kehidupan sosial kita. Sejak deklarasi hak asasi manusia pada tahun 1945, konsep ini telah muncul sebagai bagian esensial dari hukum internasional.75 73 Peter L Berger, Sisi lain Tuhan, Polaritas dsalam Agama-Agama Dunia,(Yogyakarta: CV Qalam,2003), cet,1 h. 256 74 Noviriantoni, Anggota Jaringan Islam Liberal, Wawancara Peribadi, Jakarta, 20 Januari 2008 75 Ayang Utriza, Kebebasan Beragama Dalam Islam dan Praktiknya di Negara-negara Islam, (mimbar agama dan budaya, vol 2, 2005) No 4 h. 1 Di lain pihak kita hidup dalam dunia pluralistik yang ditakdirkan untuk semakin maju dan berbudaya, manusia mempunyai hak untuk berbeda dan planet bumi ini telah sedemikian kecil untuk ambisi-mbisi dan mimpi-mimipi kita. Maka sebetulnya didunia ini sudah tidak ada ruang lagi untuk ekslusif, dan kita harus mengakui satu sama lain sebagaimana adanya kita. Bahwa keanekaragaman adalah hukum zaman kita, setiap manusia adalah tetangga bagi manusi yang lain. Di negeri-negeri Islam, telah sejak lama terbiasa hidup berdampingan dengan komunitas-komunitas yang berlainan iman. Hal ini tidak mudah sebagaimana telah dibuktikan oleh peristiwa-peristiwa masa laludan sekarang. Hanya belakangan ini kita dihapkan dengan sekularisme.inilah giliran kita merasakan agnostisisme dan ateisme. Kita harus menyadari perubahan dalam masyrakat kita yang membingungkan dan menerapkan teologis kita yang dalam konteks baru dan belum pernah terjadi.76 Tetapi, sebelum beranjak lebih jauh kita harus tahu apa kebebasan Bergama itu? Apakah ini hanya hak untuk tidak percaya (menjadi kafir)? Seorang mungkin memang berkata bahwa kebebasan beragama hanya lah satu aspek bagi pertanyaan itu. Akan tetapi kebebasan beragama yang sesungguhnya adalah hak untuk menentukan bagi diri sendiri, tanpa segala bentuk teknan, paksaan, rasa takut dan was-was, dan untuk percaya atau tidak, hak untuk memikul dengan penuh kesadaraan takdir sendiri, bahkan hak untuk mengekspresikan pilihan 76 http://www islamlib.com, Tentang Islam Liberal, 23 januari 2008 keyakinannya, untuk menyembah dan bersaksi dengan bebas. Maka timbul pertanyaan apakah definisi ini sesuai dengan ajaran-ajaran dasar Al-Qur'an. Sebetulnya kebebasan beragama dibangun dari persepektif Al-Qur'an, pertama dan seterusnya, atas dasar tabi'at manusia yang kodrati, manusia bukanlah sesuatu ditengah-tengah yang lain, diantara seluruh jajaran makhluk, hanya manusia yang memiliki tugas dan kewajiban. Manusia merupakn makhluk pengeculian. Yang tidak bisa disederhanakan dengan bentuk fisik saja, karena manusia sebelum makhluk lain adalah sebuah spirit. Spirit yang diberi kekuatan untuk mengetahui yang absolut dan naik mencapai Tuhan, jika manusia menjadi makhluk yang istimewa di alam semesta itu karena Tuhan menghembuskan sesuatu dari spirit-Nya. Seperti ungkapan Al-Qur'an sebagai berikut: ⌧ ☺ ⌧ (٩ :)اﻟﺴﺠﺪﻩ Artinya: Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS.AsSajadah: 9) Seperti halnya makhluk lainnya tentu saja manusia adalah materi, mereka di ciptakan dari tanah liat yang baik, dan dari tanah yang mudah dibentuk. ☺ (٢٨ :)اﻟﺤﺠﺮ ☺ Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, (QS.AlHijr:28) Manusia memiliki dua sisi, pertama sisi tanah yang membuat manusia rendah dan sisi Ruh Tuhan yang membuat manusia tinggi. Menurut A Yusuf Ali (1827-1052) "Jika digunakan dengan tepat, akan memberikan manusia keunggulan dari makhluk-makhluk yang lain".77 Posisi istimewa dalam tatanan alam, digambarkan Tuhan dalam AlQur'an dimana malaikat diperintahkan untuk sujud pada Adam. ⌧ (٢٩ :)اﻟﺤﺠﺮ Artinya : Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.(QS. Hijr: 29).78 Prototipe surgawi manusia, agaknya, dan asalkan manusia diposisikan sebagai makhluk, kita dapat mengatakan bahwa Islam sejalan dengan pewaris spiritual Ibrahim lainnya, yaitu umat Yahudi dan Kristen. Karena Tuhan menciptakan manusia dalm citra-Nya. Maka manusia bagaimanapun kemampuan, kecakapan fisik dan intelektualnya serta kecerdasannya, semua manusia sungguh77 Mohamed Talbi, Religius Liberty: A Muslim Persepective Liberty and conscience, (Inggris: Committee for the defense of Religious Liberty, Musim Semi, 1998), penerjemah: Bahrul Ulum, Heri Junaedi, Kebebasan beragama, (Jakarta:Paramadina,2003), cet 1, h. 252-253 78 dimaksud dengan sujud disini bukan menyembah, tetapi sebagai penghormatan kepada Adam As. sungguh setara, karena manusia memiliki hembusan Ruh yang sama dari Tuhan. Dan dengan Ruh ini pula manusia mampu mencapai Tuhan dan menjawab panggiln-Nya dengan bebas. Konsekuensinya manusia memiliki martabat dan kesucian yang sama, dan oleh sebab itu manusia berhak menentukan dirinya sendiri di dunia dan di akhirat nanti. Dari perspektif Al-Qur'n bahwa hak asasi manusia berakar pada sifat natural manusia, dan hal ini disebabkan oleh rencana dan ciptaan Tuhan. Jadi dari penjelasan diatas bahwa landasan bagi hak asasi manusia adalah kebebasan beragama.79 Dari persepektif Islam, manusia diciptakan bukan hanya hasil dari "rasio dan keniscayaan" tetapi penciptaan mereka berdasarkan rencana dan tujuan. Melalui "hembusan", mereka menerima kemampuan untuk menjdi satu dengan Tuhan manusia adalah makhluk yang istimewa dengan keunggulan sepiritual, seperti dikatakan dalam Al-Qur'an sebagai berikut: ⌧ ⌧ ☺ (٧٠ : )اﻻﺳﺮء.⌧ 79 Mohamed Talbi, Religius Liberty: A Muslim Persepective Liberty and conscience, (Inggris, Committee for the defense of Religious Liberty, Musim Semi, 1998), penerjemah: Bahrul Ulum, Heri Junaedi, Kebebasan beragama, (Jakarta Paramadina,2003), cet 1, h. 252-253 Artinya: Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan,*80kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.(QS.17:70) Manusia diciptakan tidak main-main, mereka mengemban misi dari Tuhan dan mereka wakil Tuhan dibumi ini. Dan dengan demikian Tuhan membebaskan manusia untuk memilih jalan hidupnya sendiri karena manusia adalah makhluk yang mampu berfikir dan mempunyai hati, untuk membedakan yang mana yang baik dan yang buruk, seperti yang telah diungkap oleh Al-Qur'an: ☯ ☺ (١٥ : )اﻟﺠﺎ ﺛﻴﻪ. Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, Maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, Maka itu akan menimpa dirinya sendiri, Kemudian kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan.(QS. Al-Jaatsiah: 15). Ini sudah jelas bahwa manusia mesti memilih jalan hidupnya dengan bebas, tanpa paksaan, semua harus menjalankan takdir mereka secara sadar, AlQur'an dengan tegas menyatakan bahwa paksaan tidak sesuai dengan agama Islam: ☺ ⌧ ☺ 80 Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan. (١٥٦ : )اﻟﺒﻘﺮ ﻩ ⌧ Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut 81 dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS. Al-Baqarah:256). Menurut Mohammed Talbi bahwa hanya teks Al-Qur'an saja diantara wahyu-wahyu yang Tuhan kirimkan yang secara tegas menyatakan kebebasan beragama. Alasannya adalah iman agar benar dan diyakini, harus merupakan tindakan yang ikhlas. Dalam hubungan ini, bukanlah kesia-siaan untuk menggaris bawahi bahwa ayat yang telah dikutip telah digunakan untuk menegur beberapa orang Yahudi dan Keristen, yang baru saja memeluk Islam di Madinah yang juga hendak mengislamkan anak-anak mereka, sehingga semakin jelas bahwa iman urusan dan komitmen individual, dan bahwa orang tua pun tidak bisa mencampuri urusan ini. Iman sebagaimana dijelaskan dalam konteks dasar Islam dengan katakata yang jelas dan tidak dapat diragukan lagi, merupakan tindakan sukarela yang lahir dari keyakinan dan kebebasan.82 Sesungguhnya, Tuhan pun tidak memaksakan kehendak-Nya. Hal ini juga dengan jelas digambarkan dalam Al-Qur'an. Iman adalah pemberian bebas, hidayah Tuhan kepada siapa saja, manusia hanya dapat menerima atau 81 Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t. Mohamed Talbi, Religius Liberty: A Muslim Persepective Liberty and conscience, (Inggris, Committee for the defense of Religious Liberty, Musim Semi, 1998), penerjemah: Bahrul Ulum, Heri Junaedi, Kebebasan beragama, (Jakarta Paramadina,2003), cet 1, h. 254 82 menolaknya, manusia mempunyai kekuatan untuk membuka hati dan menerima pemberian Tuhan jika petunjuk (hudan) telah dikirimkan kepada mereka, dengan hangat, mereka diajak untuk mendengarkan panggilan Tuhan. Tuhan juga mengingatkan manusia dengan bahasa yang tegas dan jelas, sebagaimana telah digaris bawahi dalam teks Al-Qur'an yang telah dikutip yang menekankan kebebasan manusia, "telah jelas perbedaan jalan yang benar dari yang salah." Maka terserah manusia untuk memilih jalan yang mana, dan inilah harga dan martbat manusia, bukan menjadi hal yang tabu bahwa manusia bisa melakukan kekeliruan dan kesalahan dalam memilih jalan yang menyimpang dari jalan yang lurus. Singkatnya, manusia mempunyai kapasitas untuk tidak menjawab panggilan Tuhan. Dan kapasitas ini menjadi kriteria kebebasan yang hakiki manusia. Bahkan Rasul saja yang misi dan tugasnya menyampaikan wahyu dari Tuhan tidak dapat membantu dalam masalah ini, karena memang manusia mempunyai kebebasan penuh, Rasul dengan jelas dan tegas diingatkan untuk menghormati kebebasan manusia dan misteri Tuhan dibalik hal tersebut, seperti yang telah diungkap oleh Al-Qur’an sebagai berikut: ⌧ (٩٩ : )ﻳﻮﻧﺲ Artinya: Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya (QS. Yunus: 99) Dalam terjemahannya, A Yusuf Ali, berkomentar: "orang-orang yang beriman harus bersabar dan tidak marah, jika mereka harus berjuang melawan orang-orang kafir, dan yang paling penting mereka harus bertahan dari godaan untuk memaksakan iman, yaitu dengan paksaan pisik, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain seperti tekanan social, atau rayuan-rayuan kesejahteraan atau jabatan, tau rayuan-rayuanlainnya kepada oarng lain. Karena iman yang dipaksakan bukanlah iman." Misi rasul, memperingati, dan semua umatnya menyampaikan ditekankan pesan, dan untuk menegur menasihati, tanpa paksaan. Ia diperintahkan seperti itu dalam Al-Qur'an: ☺ ⌧ .⌦ ⌧ ☺ (٢٢-٢١ :)اﻟﻐﺎ ﺷﻴﻪ Artinya: 21. Maka berilah peringatan, Karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. 22. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.(QS. AlGaasiyyah:21-22). Dengan kata lain, Tuhan telah merancang manusia menjadi makhluk yang bebas dari apa yang dia inginkan, dengan kebebasan dan kesadaran yang penuh, keinginan dan jawaban yang patuh pada panggilan-Nya, dan itulah makna paling dasar dari "Islam". Menurut Noviriantoni anggota Jaringan Islam Liberal, menyatakan bahwa manusia diciptakan dengan akal budi, yang bisa menentukan jalannya sendiri dengan pikiran dan hati nuraninya. Maka dengan demikian manusia menjadi makhluk yang bebas untuk menentukan jalan yang benar dan yang salah, tetapi Hal ini bukan berarti kita sebagai manusia menjadi tidak peduli dengan manusia disekitar kita, justru Al-Qur'an mengajarkan dan memerintahkan untuk menyampaikan pesan dari Tuhan (dakwah Islamiyah), meneruskan apa yang telah Rasulullah Saw kerjakan. Bukan menjadi manusia yang acuh terhadap orang lain, tetapi menjadi manusia yang peduli atas orang lain, dengan tidak memaksa orang lain. selanjutnya Tuhan menyuruh manusia untuk bersosialisasi dengan manusia yang lain, agar terjadi ineraksi yang harmonis antara manusia. Seperti yang telah di ungkap Al-Qur'an sebagai berikut:83 ⌧ (١٣ :)اﻟﺤﺠﺮاﻩ Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. Al-Hujrah: 13) Yusuf Ali menafsirkan, sebagai berikut: "ini ditujukan pada semua umat manusia, tentunya tidak hanya pada umat Islam, walaupun dipahami didunia yang sempurna, keduanya akan menjadi sinonim, manusia diturunkan dari sepasang orang tua. Suku, ras dan bangsa-bangsa adalah label untuk memudahkan, yang dengannya kita dapat mengetahui karakteristik tertentu yang berbeda. Dihadapan Tuhan mereka adalah satu, dan 83 Noviriantoni, Anggota Jaringan Islam Liberal, Wawancara Peribadi, Jakarta, 20 Januari 2008 orang-orang yang mendapat kemulyaan tertinggi adalah manusia yang paling bertaqwa."84 Dengan kata lain, manusia diciptakan tidak untuk individualitas, tetapi mereka diciptakan untuk komunitas, ibadah manusia terletak pada rekonsiliasi manusia dengan Tuhan dan dengan sesama manusia. Kita harus mendapatkan jalan, pada setiap kasus kehidupan, untuk mewujudkan dua rekonsiliasi tersebut, tanpa mengkhianati Tuhan dan tanpa merusak hubungan dengan orang lain. Yaitu dengan berdialog secara baik dengan sesama manusia, seperti yang telah diungkap dalam Al-Qur'an, sebagai berikut: ☺ ☺ (٤٦ : )اﻟﻌﻨﻜﺒﺖ Artinya: Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka,85dan Katakanlah: "Kami Telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami Hanya kepada-Nya berserah diri".(QS. Al-Ankabut:46). 84 Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta:Paramadina, 2001), cet ke -1, h. 257 85 yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim ialah: orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan cara yang paling baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan. yang digunakan dalam ayat ini dan diterjemahkan menjadi ﻣ ﺴﻠﻤﻮنKata kata kerja (kalimah fi'il), "berserah" adalah "muslim", kerena seorang muslim adalah orang yang berserah diri kepada Allah Swt. Maka umat Islam bisa menjadi muslim sejati apabila hidup dalam hubungan dialog dengan cara terbaik dengan orang-orang yang berbeda iman dan ideologi, kecuali dengan orang-orang yang zalim dari golongan Ahlul kitab, karena pada ayat tersebut terdapat illa (lil isti’na), “pengecualian”, sebab tidak semua Ahlul Kitab itu zalim dan tidak semua yang seiman tidak zalim. Akhirnya berserah diri pada Tuhan, dan kita harus memperlihatkan kepedulian kita terhadap tetangga karena manusia adalah makhluk sosial. Dari segi keislaman Islam Liberal, bahwa kebebasan manusia adalah mutlak yang diberikan Tuhan pada manusia yang harus dijungjung tinggi dan tidak boleh diabaikan, dan saling menghormati kebebasan-kebebasan manusia disekitar kita, apalagi kebebasan menyangkut agama dan keyakinan, karena AlQur'an telah dengan jelas menyatakan tidak ada paksaan dalam beragama, ini menjadi dasar pemikiran Islam Liberal dalam menyikapi masalah yang berbenturan dengan keyakinan seseorang. Kita harus ingat dengan sebuah hadits Nabi: "orang yang beriman tidak pernah berhenti mencari kebijaksanaan, dan ketika ia mendapatkannya maka ia akan mengambilnya." 86 Dan sebuah teks Al-Qur'an menyatakan : 86 Mohamed Talbi, Religius Liberty: A Muslim Persepective Liberty and conscience, (Inggris, Committee for the defense of Religious Liberty, Musim Semi, 1998), penerjemah: Bahrul Ulum, Heri Junaedi, Kebebasan beragama, (Jakarta: Paramadina,2003), cet. 1, h. 256 ☺ ⌧ :)اﻟﺰﻣﺮ ⌧ (٤٦ Artinya: Katakanlah: "Wahai Allah, Pencipta langit dan bumi, yang mengetahui barang ghaib dan yang nyata, Engkaulah yang memutuskan antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka perselisihkannya."(QS. Azumar: 46). B. Pandangan Islam Liberal Terhadap Orang yang Murtad Meskipun seluruh umat Islam terikat dengan ajaran-ajaran dasar AlQur'an, tetapi para teologi muslim tradisional, dengan alasan-alasan historis, terkadang tidak merefleksikan semangat Al-Qur'an, mereka terlalu mengekang kebebasan manusia padahal sudah jelas-jelas Tuhan menciptakan manusia yang bebas dalam segala hal karena manusia bisa mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Sebgai contoh, mari kita buktikan dalam kasus dzimmi, yaitu penganut minoritas dalam kerajaan Islam pada abad pertengahan, dan kasus Riddah(Murtad).87 Pertama. Orang-orang dzimmi, kalaupun semua wilayah Islam dikuasai dengan kekuatan atau jihad, untuk memberi jalan bagi Islam, Islam sendiri tidak pernah dikemukakan dengan pemaksaan. Dari sudut pandang ini Al-Qur'an 87 Ayang Utriza, Kebebasan Beragama Dalam Islam dan Praktiknya di Negara-negara Islam, (mimbar agama dan budaya, vol 2, 2005) No 4 h. 1 dicermati bahwa, ajaran-ajaran Al-Qur'an tersebut melindungi kaum dzimmi dari bentuk intoleransi agama. Yaitu dengan dua atau tiga pengecualian, kaum dzimmi tidak pernah dihalang-halangi untuk mengikuti keyakinan agamanya, dari segi ibadah, atau mengatur komunitasnya dengan hukum mereka sendiri. Keadaan merekapun ditingkatkan oleh penaklukan Islam, mereka lama menikmati perlakuan baik dan kesejahteraan yang nyata, bahkan ada yang menduduki posisi penting dalam administrasi, diperadilan dan dalam kegitan ekonomi. Akan tetapi, adalah fakta bahwa mereka pernah mengalami perlakuanperlakuan yang diskriminatif, dari sebagian masa kejayaan Islam, keadaan terburuk bagi mereka setelah masa pemerintahan Al-Mutawakkil (847-861). Diskriminasi, khususnya dalam berpakaian. Dan pada masa pemerintahan AlHakim (66-1021) di Mesir, dizaman ini banyak terdapat penindasan terhadap kaum dzimmi.88 Dan pada zaman abad pertengahan ini, diskriminasi penguasa terhadap kaum dzimmi selalu didukung oleh atau didukung kuat oleh para teolog. Tetapi, kita harus ingat tidak lantas menjadi baik, menurut mentalitas abad pertengahan manapun untuk menganggap semua manusia setara, maka bagaimana menganggap yang benar dan yang salah sama, dan bagaimana menganggap orang yang beriman dan orang-orang yang berbuat bid'ah adalah benar. 88 Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta:Paramadina, 2001), cet ke -1, h. 257 Oleh karena itu, dalam menilai masa lalu, kita harus mempertimbangkan situasi, yang tepenting kita harus berjuang menjauhi situai-situasi kesalahankesalahan yang sama. Sebetulnya pada kasus apapun Al-Qur'an telah menetapkan garis yang jelas dan benar, dan pada perisipnya ajaran tersebut mengajarkan kita untuk menghormati martabat dan kebebasan orang lain.89 Kembali pada masalah pokok, yaitu kasus Riddah (murtad). Pada aspek ini teolog tradisional juga tidak bersandar pada prinsip dasar Al-Qur'an, karena telah membatasi kebebasan seseorang untuk menentukan agamanya sendiri. Berdasarkan teolog ini, umat Islam tidak boleh mengkonversi agamanya, meskipun Al-Qur'an menyebutkan tidak ada paksaan dalam beragama, tetapi pada prakteknya tidak mungkin sekali, didalam Islam, untuk keluar dari Islam, artinya konversi dari Islam menuju agama lain dianggap sebagai pengkhiantan, dan pelakunya dijatuhi hukuman mati. Untuk masalah interpretasi teolog tradisional mengemukakan dalil-dalil dari khalifah pertama Islam, yaitu Abu Bakar (memerintah, 632-634), yang dengan semangat memerangi suku-suku yang menolak otoritasnya setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, dan memerangi mereka yang tidak membayar zakat. Abu Bakar menyamakan pembangkangan suku-sukunya tersebut dengan kemurtadan (apostasy). Dan para teolog mengutip hadits Nabi yang tidak cukup kuat: "Siapapun yang mengubah agamanya, maka bunuhlah ia". Padahal pada kenyataannya mereka masih melakukan shalat, puasa, 89 Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta: Paramadina, 2001), cet ke -1, h. 257 haji dan lain-lainnya. Pembangkangan terhadap Khalifah Abu Bakar dapat ditafsirkan. 1. Sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni suku Qurais dan kepada Abu Bakar secara individu. 2. Mereka masuk Islam hanya dibibir saja, karena keterpaksaan oleh keadaan saat itu, oleh karena itu, hukuman mati pada kasus murtad adalah tak lebih dari fenomena politik dari pada Khalifah pada saat itu.90 Analisis ini, menunjukan hukuman murtad lebih kearah politik ketimbang agama, dipertegas dengan kenyataan bahwa dalam kitab-kitab fiqih klasik tidak ada teks tentang bagaimana prosedur dan pembuktian kasus murtad, bahkan menurut ulama mazhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa kita tidak bisa membedakan kafir atau tidak seseorang. Hanya Allah yang tahu dalam hati seseorang kafir atau pun tidak.91 Tetapi, mengapa orang yang murtad harus dihukum mati. Mazhab Hanafi, yang lebih rasional dalam memberikan alasan, berdasarkan alasan sosiologis dan politis, kenapa orang murtad harus dihukum mati, tidak lain alasannya adalah orang yang murtad mempunyai akibat yang berbahaya bagi masyarakat Islam yaitu keteraturan sosial akan kacau, oleh karena itu, membunuh satu orang lebih baik dari pada masyarakat menjadi berantakan. 90 39-56 91 Fazlur Rahman, Hukum dan Etika Dalam Islam, (Jakarta: Al-Hikmah, 1993), cet. 1, h. Syekh al-'Allamah Muhammad bin abdurahman ad-Dimasyiqi, diterjemahkan oleh: Abdullah Zaky Alkaf, Fiqih Empat Mazhab, (Hasyimi, Bandung,2004), cet ke. 2, h. 450 Lagi-lagi alasan untuk membunuh orang murtad bukan pada Al-Qur'an tetapi alasan politis dan sosiologis. Seperti, tahun1970-an di Mesir, para Islamis telah gagal menerapkan hukuman ini bagi kelompok koptik yang masuk Islam, yang hanya untuk mengawini wanita-wanita muslim, dan yang jika gagal artinya berbalik pada agama sebelumnya (koptik). Padahal alasan para pemikir Islam Mesir untuk keteraturan sosial. 92 Jadi, kasus apostasi dalam Islam, meskipun umumnya bersifat teoritis perlu untuk diperjelas. Hadis yang digunakan para teolog dalam hubungannya dengan hukuman mati sedikit banyak telah tercampur, dalam kitab-kitab hadis, dengan masalah pemberontakan dan perampokan. Kasus-kasus orang-orang murtad yang dibunuh pada zaman Nabi ataupun pada zaman sesudah Nabi wafat, adalah, tanpa terkecuali, orang-orang yang sebgai konsekuensi kemurtadan mereka yang memerangi umat Islam yang pada masa itu umat Islam merupakan komunitas kecil dan lemah, jika kita cermati hukuman mati dalam kasus seperti ini adalah hukuman bela diri. Maka, tak mengherankan bahwa mazhab fiqih Hanafi tidak menetapkan hukuman mati pada kaum wanita yang murtad. Alasannya karena wanita tidak sama dengan laki-laki wanita tidak cocok untuk berperang.93 92 Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta:Paramadina, 2001), cet ke -1, h. 259. 93 Syekh al-'Allamah Muhammad bin abdurahman ad-Dimasyiqi, diterjemahkan oleh: Abdullah Zaky Alkaf, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung : Hasyimi, ,2004), cet ke. 2, h. 450 Ketika ayat Al-Qur'an tidak ada yang jelas dalam hukuman mati bagi pelaku murtad, Fuqaha mencari landasan hukuman mati orang murtad pada hadis, a. Pada hadis 'Ikl dan 'Arinah yang murtad setelah masuk Islam. Tetapi sebenarnya mereka dibunuh karena memerangi Islam, b. Hadis Aisyah dan Ibn Abbas "Tiga orang yang darahnya halal, orang yang membunuh, zinah muhshan, dan orang yang murtad"(HR. Bukhari Muslim, Nasa'i, Ibn Madjah, dan Abu Dawud), menurut Ibnu Taimiyah hadis ini bukan membicarakan orang yang murtad, tetapi mereka yang memerangi Islam. c. Hadis "Barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah ia", (HR. Bukhari, Ibn Madjah, Nasa'I, Malik Tirmizi, Abu Dawud dan Hanbal), hadis ini hanya diriwayatkan oleh Ibn Abbas, yang terkenal dengan hadis ahad, (hadis yang diriwayatkan oleh satu orang),94 menurut mantan Syekh AlAzhar, Mahmud Syaltut, mengatakan bahwa kebanyakan ahli hukum Islam berpendapat, hadis ahad tidak dapat diterima sebagai landasan hukum dan hadis seperti ini tidak bisa menjadi landasan untuk menghalalkan darah seseorang. Yang lebih meragukan lagi Ibnu Abbas pada waktu meriwayatkan hadis ini berumur 13 tahun.95 Oleh sebab itu, hadis-hadis diatas tidak sah dijadikan landasan hukuman mati bagi orang murtad. Dan alasan-alasan kenapa hadis tersebut tidak bisa 94 Muhammad Salim Alwwa, fi Usul Anizam al-Jina'I al-Islami ( Kairo: Daar Al-Ma'ruf ,1979) cet, 1. h. 146. 95 Muhammad Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syari'ah(Mesir: Dar Al-Kalam t.t), cet. 1, h. 293 dijadikan dasar hukum, apalagi dijadikan dasar untuk menghalalkan darah seseorang, adalah sebagai berikut: a. Menurut al-Shawkani dalam Nayl Al-Autar, Sanad (mata rantai) hadis tersebut tidak sah (valid), dan tidak ada kepastian dari Rasulullah telah menghukum orang murtad dengan hukuman mati. b. Terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim mengatakan bahwa ada seorang Arab, Qayis Ibn Hazim yang menyatakan keluar dari Islam pada Rasulullah, tetapi Rasulullah tidak menghukumnya. Sehingga ia bebas keluar dari Madinah tanpa sedikitpun hukuman. c. Dan ada juga sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas Ibn Malik yang menyatakan bahwa ada seorang Nasrani yang masuk Islam, lalu keluar lagi (murtad), tapi, Rasul tidak menghukumnya. d. Sebab turunya surat Ali Imran ayat 72, karena Murtadnya orang-orang Yahudi di Madinah, ketika itu, pemerintah Islam sudah tegak dan Rasulullah bertindak sebagai kepala Negara. Namun, Rasul tidak menghukum orang murtad tersebut.96 e. Dari sudut pandang modern, hadis tersebut bisa dan harus dipertanyakan. Menurut pendapat Mohammed Talbi kita mempunyai beberapa alasan yang baik untuk mengnggap hadis itu palsu. Hadis tersebut mungkin dipalsukan dibawah pengaruh Leviticus, pasal 24, ayat 16, dan Deuteronomi, pasal 13, 96 Muhammad Salim Alwwa, fi Usul Anizam al-Jina'I al-Islami( Kairo, Daar Al-Ma'ruf ,1979) cet, 1, h. 152-153 ayat 2-19, dimana orang-orang Israil diperintahkan untuk merajam orang yang murtad sampai mati, hal ini sama dengan hadis yang menjadi dasar dari pemidanaan murtad bagi para teolog tradisional.97 Bagimanapun, hadis tersebut tidak sejalan dengan ajaran-ajaran AlQur'an, karena dalam Al-Qur'an tidak pernah disebutkan perintah hukuman mati, terhadap orang-orang yang murtad. Sepanjang masa Nabi, Apostasi muncul di berbagai daerah, Al-Qur'an menyebutkan hal ini, vonis terhadap orang yang murtad yang bersiteguh menolak Islam diserahkan sepenuhnya pada hukuman Tuhan dihari akhir. Kasus-kasus yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan para penafsirnya menyangkut, disatu sisi, individu-individu dan suku-suku yang berubah haluan, dan dipihak lain orang-orang yang tertarik pada Ahli Kitab (ahl al-kitab), Yahudi dan Kristen. Tertarik pada Iman mereka dan masuk pada ajaran ahli kitab, hal ini disebutkan dalam AL-Qur'an: ☺ ⌧ ⌧ ⌦ Artinya: Sebahagian besar ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, Karena 97 Charlez Khurzman (ed), Wacana Islam Liberal : pemikiran Islam kontemorer tentang Isu-isu Global, Penerjemah, Bahrul Ulum, et, al,. (Jakarta:Paramadina, 2001), cet ke -1, h. 259 dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya98Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan dalam Surat Ali-Imran ayat 99-100, mnyebutkan: ☯ ☺ (١٠٠-٩٩ :ال ﻋﻤﺮان ⌧ ) Artinya: Katakanlah: "Hai ahli kitab, Mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang Telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan?". Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.(Ali Imron: 99-100). Dengan mempertimbangkan situasi-situasi khusus Al-Qur'an memperingatkan, menyatakan, atau merekomendasikan sikap yang harus diambil ketika berhadapan dengan kasus murtad, tetapi Al-Qur'an tidak memerintahkan hukuman mati yang mutlak bagi pelaku murtad tersebut. Banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang dengan bahasa yang baik menasihati agar kaum muslim tidak terpengaruh untuk mengganti agamanya 98 Maksudnya: keizinan memerangi dan mengusir orang Yahudi seperti mengganti pakaianya, karena zaman demi zaman atmosfir ketegangan antara umat beragama sangat tajam, dalam keadaan seperti ini Al-Qur'an memerintahkan orang-orang yang menganut Islam untuk berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam hingga mati. Dan bagi mereka pelaku apostasi telah diingatkan, bahwa mereka yang memilih murtad setelah meyakini dengan ikhlas bahwa Islam adalah kebenaran, lalu mereka keluar dari Islam, maka mereka adalah orang-orang yang zalim, dan dengan demikian mereka kehilangan petunjuk Tuhan, karena Tuhan tidak akan memberikan petunjuk pada orang-orang yang zalim, bagaimana Tuhan memberikan petunjuk pada suatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, dan bersaksi bahwa Rasul itu nyata dan bukti-bukti yang jelas telah datang kepada mereka. Maka Tuhan tidak akan memberikan petunjuk (hudan), pada orang-orang yang zalim, (Q. 3: 86-87 dan 91). Karena orang murtad itu bisa bertaubat dan tidak ada sanksi hukuman mati baginya, sebab Tuhan telah memberikan kebebasan sepenuhnya kepada individu.99 C. Implikasi Pemikiran Islam Liberal Terhadap Kemurtadan Sudah sejak awal, bahwa Islam harus sangat menghormati kebebasan orang lain, yang telah diberikan Tuhan pada manusia, yang menjadi pengganti Tuhan dimuka bumi ini, manusia mempunyai akal, pikiran juga hati yang 99 Mahmoud Ayoub, Religious Freedom And The Law of Apostasy in Islam (Roma, Islamochistiana,1994), h. 27-39 tentunya bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Maka dari itu, kebebasan manusia menjadi dasar dari hak asasi manusia itu sendiri. Jadi, ketika kita dihadapkan dengan persoalan riddah (apostasy), kita harus bersifat seperti Al-Qur'an telah mencontohkan, perlu digaris bawahi bahwa Al-Qur'an tidak pernah menyebutkan hukuman bagi pelaku Murtad, termasuk hukuman mati. Dalam istilah fiqih jinayah, kita dapat mengatakan tidak ada hadd (hukuman) yang spesifik dalam masalah murtad.100 Dalam kasus murtad, umat Islam dianjurkan untuk menasihati, memaafkan dan berlapang dada, ketika sudah tidak bisa dinasihati, karena manusia tidak ada kapasitas untuk menghukumi orang yang murtad. Dengan kata lain, tidak ada hukuman didunia bagi pelaku murtad. Hukuman bukan jawaban pada kasus murtad, Karena tidak ada dasar hukum dari Tuhan untuk menghukum orang yang melakukan perbuatan murtad, perdebatan ini adalah antara Tuhan dan kesadaran orang yang murtad itu sendiri. Dan hal ini bukan kapasitas manusia untuk mencampurinya.101 Umat Islam diberi kekuasaan angkat senjata hanya dalam satu kasus, yaitu bela diri. Ketika mereka diserang dan iman mereka benar-benar dalam keadaan bahaya. Dalam kasus seperti ini, "perang" (qital), ditetapkan oleh Tuhan 100 Mohamed Talbi, Religius Liberty: A Muslim Persepective Liberty and conscience, (Inggris, Committee for the defense of Religious Liberty, Musim Semi, 1998), penerjemah: Bahrul Ulum, Heri Junaedi, Kebebasan beragama, (Jakarta Paramadina,2003), cet 1, h. 262 101 Noviriantoni, Anggota Jaringan Islam Liberal, Wawancara Peribadi, Jakarta, 20 Januari 2008. meskipun mereka tidak menyukainya, seperti yang diungkapkan dalam AlQur'an: ☺ ☺ ☺ ☺ Artinya: Bulan Haram102 dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. Singkatnya, umat Islam diperintahkan untuk tidak mengalah, apalagi mundur dari peperangan, ketika kesadaran mereka dijadikan taruhan, dan agar angkat senjata untuk melawan dan membela diri. Dan akhirnya, orang-orang yang berpaling dari petunjuk Tuhan adalah orang-orang yang zalim, dan tidak akan mendapatkan petunjuk kembali, meski demikian, Tuhan dan umat Islam tidak akan gagal dan lelah dalam berdakwah. Jika kaum murtad meninggalkan Allah, maka akan ada kaum yang baru yang datang pada Allah dan ajarannya dengan penuh kasih sayang. Seperti yang diungkapkan dalam sebuah ayat berikut: 102 maksudnya antara lain ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan ihram. ☺ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.(Q. 5: 54). Singkatnya, dari uraian panjang diatas, bahwa para fuqaha yang menyatakan murtad termasuk jarimah hudud dan hukumannya adalah mati, hal ini tidak benar dan tidak beralasan logis, karena seperti sudah dijelaskan diatas bahwa, tidak ada satu ayat pun dalam teks dasar Al-Qur'an yang menyatakan, hukuman mati bagi pelaku murtad, malah Al-Qur'an menegaskan "tidak ada paksan dalam beragama", hadis-hadis yang dijadikan dasar hukum untuk menghukum mati orang murtad itu tidak mutlak, karena orang murtad yang dibunuh pada masa itu bukan karena murtadnya, tapi karena perbuatannya setelah murtad. Jadi tegasnya tidak ada hukuman bagi pelaku apostasi didunia, hukumannya diserahkan kepada Tuhan dihari akhirat nanti.103 D. Hukuman Murtad di Negara-negara Islam. Hampir seluruh Negara-negara Muslim Arab dalam konstitusinya mereka menjamin kebebasan beragama. Undang-undang pertama Mesir tahun 1923, pasal 12 disebutkan "kebebasan beragama adalah mutlak." Pasal 46 UU 1947 yang sekarang berlaku di Mesir, berbunyi "Negara menjamin kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan ibadah." Pasal 35, alinea pertama, Undang-undang Syiria Tahun 1973 menyebutkan "kebebasan beragama itu dijamin dan Negara menghormati semua agama." Pasal 14 UU Yordania tahun 1952 menyatakan "Negara melindungi kebebasan memperaktikan agama dan kepercayaan sesuai dengan tradisi kerajaan dengan ukuran semua itu tidak mengganggu keteraturan masyarakat atau kesusilaan." Bunyi pasal ini hamper sama dengan bunyi pasal 9 UU Libanon, pasal 35 UU Kuwait, pasal 25 UU Irak (sebelum perang Irak), pasal 32 Uni Emirat Arab, dan pasal 22 UU Bahrain.104 Konstitusi terbaru Negara-negara Arab tidak secara tegas menyebutkan kebebasan beragama, hanya secara tersirat saja, seperti pasal 35 UU Aljazair 103 Mahmoud Ayoub, Religious Freedom And The Law of Apostasy in Islam (Roma, Islamochistiana,1994), h. 39 104 Ayang Utriza, Kebebasan Beragama Dalam Islam dan Praktiknya di Negara-negara Islam, (mimbar agama dan budaya, vol 2, 2005) No 4 h. 364 menyebutkan "kebebasan berfikir dan kebebasan berpendapat tidak bisa diganggu gugat." Pasal 35 UU Yaman tahun 1990 menyatakan "tempat ibadah tidak boleh diganggu demikian juga rumah dan tempat-tempat penelitian ilmu pengetahuan, dan dilarang mengontrolnya atau menggeledah diluar hal-hal yang telah diatur dalam undang-undang." Pasal 10 UU Mauritania 1991, "Negara menjamin semua warga Negara, umum dan pribadi, kebebasan berpendapat, berfikir, dan kebebasan berekspresi." Pasal 6 UU Maroko, menyatakan "Islam adalah agama Negara yang menjamin menjalankan semua bentuk ibadah." Dan posisi Indonesia dalam kebebasan beragma adalah dalam pasal 28 UUD 1945 ayat 1 dan 2, menyatakan "bahwa Negara menjamin warga negaranya dalam beragama."105 Hampir semua Negara-negara Islam Timur Tengah dalam konstitusinya menyatakan kebebasan beragama, walaupun ada beberapa Negara yang tidak secara eksplisit menyebutkan kebebasan beragama dalam konstitusinya. Tetapi, apakah murtad termasuk dalam delik pidana dalam Undang-undang Negaranegara Islam tersebut. Negara-negara muslim Arab tidak memasukan delik murtad dalam UU pidana mereka, kecuali tiga Negara, Sudan, Mauritania, dan Maroko. Seperti pasal 126, ayat 1,2 dan 3, UU pidan Sudan tahun 1991, menyebutkn bahwa "orang-orang murtad dari Islam dihukum mati," pasal 36 UU pidana Mauritania 105 Moeljatno, Undang-undang Dasar Negara Repoblik Indonesia.,(Jakarta, Bumi Aksara, 2006), cet ke 20, h. 15 tahun 1988 mnyebutkan " semua kelakun baik perkatan maupun perbuatan yang mengandung kemurtadan diancam dengan hukuman mati." Bahkan mereka yang menolak kewajiban shalat, jika tidak taubat diancam hukuman mati pula, dalam pasal-pasal berikutnya.106 Sementara pasal 220, Alinea 2, UU pidana Maroko tidak menyebutkan secara langsung hukuman orang murtad, tetapi, bagi mereka yang menyebabkan murtadnya seseorang dikenai hukuman penjara 6 bulan hingga 3 tahun dan denda 100 hingga 500 Dirham.107 Tampak jelas dalam Undang-undang pidana Sudan dan Mauritania hukuman pidana murtad adalah hukuman mati, sementara di Maroko hukumannya hanya dipenjarakan dan didenda, jelas ini sudah menjadi perbedaan dalam menghukum pelaku murtad, ini artinya tidak adanya hukuman yang konkrit dari sumber-sumber asli Islam tentang Murtad. Indonesia, hingga hari ini tidak ada pasal mengenai murtad dalam undangundang pidana Indonesia, jika ada tentu akan sangat mengerikan bagi kebebasan beragama, tidak ada UU pidana tentang murtad saja kelompok-kelompok Islam radikal-fundamentalis sudah banyak menghalalkan darah orang, yang mungkin hanya berbeda faham tentang keagamaan, dianggap keluar dari Islam dan dihakimi secara radikal hal ini banyak terjadi dinegara-negara Islam, diIndonesia 106 Ayang Utriza, Kebebasan Beragama Dalam Islam dan Praktiknya di Negara-negara Islam, (mimbar agama dan budaya, vol 2, 2005) No 4 h. 364 107 Ayang Utriza, Kebebasan Beragama Dalam Islam dan Praktiknya di Negara-negara Islam, (mimbar agama dan budaya, vol 2, 2005) No 4 h. 365 hanya ada pasal tentang penghinaan dan penistaan agama dalam pasal 156 UU Pidana Indonesia, yang menyebutkan bahwa: "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun, barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. Yang ada pada pokoknya bersifat permusuhan, penylahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. b. Dengan maksud agar orang tidak menganut agam apapun juga yang bersendikan keTuhanan yang maha-Esa."108 Walau kebebasan berfikir dan beragama sudah ada dalam konstitusi Negara-negara Islam. Tetapi, pada kenyataannya banyak kasus-kasus murtad yang ditujukan pada pemikir-pemikir Islam yang dianggap sesat dan menyeleweng dari Al-Qur'an dan Asunnah, dan dengan mengatas namakan Tuhan mereka membunuh saudaranya sendiri hanya karena tidak sependapat dengan kelompok yang massif, seperti kasus meninggalnya pemikir Islam Libanon Mustafa Guha, pada 1992. Ia membayar keberanian dan kecerdasan dalam berfikir dengan tembakan dikepalanya yang ditembakan oleh Islam fundamentalis Libanon.109 Yang paling teragis dari semua kasus di Mesir, adalah kasus Farag Fawda, pemikir sekuler Mesir, tokoh partai Wafd dan seorang dosen di Universitas Kairo. Fawda dituduh murtad karena pemikirannya dalam buku Al-Haqiqah Al-Gaibah (kenyataan yang tersembunyi), yang isinya mengkritik politikus Islam dan praktiknya sepanjang masa Khalifah. Ia ditembak didekat rumahnya oleh seorang 108 Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, KUHP(Jakarta, Bumi Aksara 2006), cet ke, 25, h. 59 109 http://www islamlib.com, Tentang Islam Liberal, 23 januari 2008 muslim radikal. Al-Gazali ulama yang disegani di Mesir pada saat itu, dan beliau mengatakan "membunuh orang yang murtad adalah kewajiban seorang muslim ketika Negara tidak memenuhi tugas ini!).110 Di Indonesia kasus tuduhan murtad pernah menimpa Nurcholish Madjid, pada tahun 1970-80-an, kasus Ulil Absar Abdalah tahun 2003, Kasus Musdah Mulia yang terkena ancaman murtad karena memasukan kesamaan hukum lakilaki dan perempuan, membolehkan pernikahan beda agama, legislasi nikah kontrak dan lain-lain yang dituangkan dalam legal draf KHI di Indonesia.111 Kebebasan beragama dan kebebasan berfikir memang adalah problem klasik yang terus muncul dimasyarakat Islam, tantangan yang dihadapi kaum muslim adalah bagaimana mereka dapat menghargai pilihan keberagamaan seseorang dan menghargai pendapat orang lain. Sehingga mereka tidak dengan cepat menuduh murtad kepada orang yang punya pendapat lain. Tidak ada kebenaran tunggal dan pasti. Hanya pemilik alam, akhir dari sebuah kebenaran. Dan seperti yang dikatakan oleh Bertrand Russel,112 seorang filosof dan juga ilmuan yang humanis, "Pertumpahan darah dan kekerasan bukan sarana untuk meningkatkan keyakinan." Karena keyakinan dibentuk oleh pemikiran, pengetahuan, ketulusan, dan keiklasan. 110 http://www islamlib.com, Tentang Islam Liberal, 23 januari 2008 Majalah Mingguan Tempo edisi 11-17 Oktober 2006. 112 Bertrand Russel, Serpih-serpih Pemikiran, Ed. Robert E. Egner, (Yogyakarta, Sadasiva, 2003), cet. 1, h. 36. 111 E. Analisis Kritis terhadap Hukuman Murtad. Dalam pembahasan diatas, terdapat dua pendapat atas hukuman orang yang melakukan kemurtadan, yaitu sebagai berikut: 1. Pendapat para ulama mazhab fiqih. Pendapat ini menyatakan bahwa hukuman orang yang melakukan kemurtadan adalah hukuman mati. Hal ini didasari atas hadis nabi yang berbunyi : ”Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia." (HR. Bukhari). Dan hadis dari Nabi, yang berbunyi: "Sesungguhnya Rasulullah bersabda, tidak halal darah seorang muslim yang mengucapkan shadah tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad Saw adalah utusan Allah, kecuali dengan salah satu yang tiga: orang yang melakukan zinah muhsan, orang yang membunuh dan orang yang meninggalkan agamanya." (HR. Muslim). Hukum Islam secara umum, menghukum orang murtad dengan hukuman mati tanpa terkecuali bagi orang yang keluar dari agama Islam dan tidak melakukan kerusakan dan tidak memusuhi Islam, karena menurut pendapat ini hukuman mati bagi orang yang melakukan tindak pidana murtad adalah mutlak dari nash hadis dan Al-Qur'an alasannya adalah untuk menghindari kerusakan tatanan sosial masyarakat muslim. 2. Pendapat Islam Liberal Pendapat ini, seperti yang telah dibahas diatas, menyatakan bahwa hukuman mati bagi pelaku murtad adalah bertentangan dengan teks dasar AlQur'an, karena dalam Al-Qur'an tidak ada satu ayat pun yang menyatakan tentang hukuman orang yang murtad. Bahkan Al-Qur'an menyatakan kebebasan dalam beragama, dan tidak ada paksaan dalam agama. Karena manusia diciptakan dengan akal budi yang bisa membedakan jalan yang salah dan benar dan menerima hidayah Tuhan dengan sadar dan bebas. Selanjutnya, Islam Liberal mengkritik hukum Islam secara umum pada masalah murtad, sebab dasar hukum yang digunakan oleh para ulama empat mazhab fiqih adalah pertama hadis dari Ibnu Abbas yang berbunyi "barang siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah ia", hadis ini diriwayatkan hanya oleh satu orang yaitu Ibnu Abbas yang dinamakan hadis ahad. Dan sebagaimana telah diketahui bahwa hadis ahad tidak dapat dijadikan dasar hukum, apalagi untuk menghalalkan darah seseorang. Terdapat juga hadis dari Aisyah dan Ibnu Masud "Tiga orang yang darahnya halal, orang yang membunuh, zinah muhshan, dan orang yang murtad" (HR. Bukhari Muslim, Nasa'i, Ibn Madjah, dan Abu Dawud), menurut Ibnu Taimiyah hadis ini bukan membicarakan orang yang murtad, tetapi mereka yang memerangi Islam. Hukuman mati bagi pelaku murtad dizaman dahulu itu didasari oleh politik khalifah pada saat itu, bukan nash Al-Qur'an ataupun hadis, karena orang yang dihukum mati pada zaman itu adalah orang yang memberontak terhadap Negara Islam. Jadi tidak ada hukuman apapun bagi pelaku murtad didunia semua hukumannya diserahkan kepada Tuhan dihari akhir nanti. Kedua pendapat diatas tadi sangat bertentangan secara kontras dalam pengambilan hukum terhadap orang murtad. Sebab menurut hukum Islam secara umum hukuman orang yang murtad adalah hukuman mati tanpa terkecuali, dan Islam Liberal menyatakan tidak ada hukuman sama sekali terhadap orang yang murtad didunia semua diserahkan kepada Tuhan diakhirat nanti. Tetapi jika kita analisis lebih dalam pada dasar pengambilan hukum terhadap kasus murtad ini, memang tidak ada teks Al-Qur'an yang menyebutkan tentang hukuman murtad dan hadis yang menyebutkan "barang siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah ia", adalah hadis ahad yang tidak valid menjadi dasar hukum. Tetapi dalam hadis Nabi dari Abdullah yang menjadi dasar pengambilan hukum para imam mazhab yang berbunyi sebagai berikut: ﺣ ﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒ ﺪ اﻟ ﺮﺣﻤﻦ:ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ وﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ اﻟﻤﺜﻨ ﻰ )واﻟﻠﻔ ﻆ ﻻﺣﻤ ﺪ( ﻗ ﺎل ﻋ ﻦ, ﻋ ﻦ ﻣ ﺴﺮوق, ﻋ ﻦ ﻋﺒ ﺪاﷲ ﺑ ﻦ ﻣ ﺮة, ﻋ ﻦ اﻻﻋﻤ ﺶ, ﻋ ﻦ ﺳ ﻔﻴﺎن,ﺑ ﻦ ﻣﻬ ﺪي ))واﻟ ﺬي ﻻاﻟ ﻪ ﻏﻴ ﺮﻩ! ﻻﻳﺤ ﻞ دم: ﻓﻘ ﺎل.م. ﻗ ﺎم ﻓﻴﻨ ﺎ رﺳ ﻮل اﷲ ص: ﻗ ﺎل,ﻋﺒ ﺪاﷲ , اﻟﺘ ﺎرك اﻻﺳ ﻼم: اﻻ ﺛﻼﺛ ﺔ ﻧﻔ ﺮ,رﺟﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﻳﺸﻬﺪ ان ﻻاﻟ ﻪ اﻻاﷲ واﻧ ﻲ رﺳ ﻮل اﷲ ( ّ)رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ.(( و اﻟﺜﻴﺐ اﻟﺰاﻧﻲ واﻟﻨﻔﺲ ﺑﺎﻟﻨﻔﺲ,اﻟﻤﻔﺎرق ﻟﻠﺠﻤﺎﻋﺔ او اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ Artinya : Telah berbicara pada kami Ahmad Bin Hanbal, dan Muhammad Bin Mutsanna, telah berbicara: Abdurrahman Bin Mahdy, dari Sufyan, dari A'mas, dari Abdullah Bin Murrah, dari Masruk, dari Abdullah, telah berbicara: telah berdiri Rasulullah Saw dan bersabda: Demi Allah tiada Tuhan selain Allah, Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Aku (Muhammad) utusan Allah, kecuali tiga golongan: orang yang meninggalkan Islam yang memecah belah masyarakat, zinnah muhsan, dan orang yang membunuh orang lain.(H.R. Muslim)113 113 Imam Abi Husen Muslim Bin Hajaji, Sahih Muslim, (Libanon, Bayrouth, Daar Ihya Al-Thurasi Al-Arabi), h. 751 Berarti hadis diatas, menyebutkan bahwa orang-orang yang halal darahnya adalah zinah muhsan, orang yang membunuh orang lain, dan orang murtad yang memecah belah tatanan sosial masyarakat muslim. Maka terdapat syarat tertentu bagi orang yang murtad bisa dihukum mati, yaitu jika membuat kerusakan, memecah belah Islam dan merusak tatanan sosial masyarakat. Tetapi apabila orang yang murtad tersebut tidak melakukan hal-hal yang disebut diatas tadi, maka tidak ada hukuman didunia dan hukumannya diserahkan kepada Tuhan. Hal ini bukan hanya didasari oleh faktor sosiologis atau politik ﻣ ﺎ ﻳﺒ ﺎح ﺑ ﻪ دمtetapi semata, berdasar pada hadis Nabi dalam kitab Sahih Muslim, bab , halaman 751, yang menyatakan dengan jelas dan tegas dalam masalah اﻟﻤ ﺴﻠﻢ murtad ini. Dengan demikian, berdasar pada hadis diatas, maka hukuman bagi orang yang murtad itu adalah hukum mati jika orang murtad tersebut memecah belah umat Islam, dan orang tersebut menjadi musuh Islam. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan. Kesimpulan dari pembahasan yang cukup panjang diatas, yang penulis simpulkan adalah sebagai berikut: 1. Murtad menurut hukum Islam secara umum, yaitu murtad termasuk kepada jarimah hudud, dengan dasar hukum yang telah disebutkan dalam pembahasan diatas. Dan terdapat dua hukuman bagi pelaku murtad tersebut yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman pokok bagi pelaku murtad adalah hukuman mati dan hukuman tambahannya yaitu perampasan harta milik orang yang murtad tersebut. 2. Dan murtad menurut pandangan Islam Liberal yaitu murtad tidak termasuk kepada jarimah, dan tidak ada hukuman apapun bagi pelakunya di dunia, hukumannya diserahkan kepada Tuhan di Akhirat nanti, karena tidak ada dasar hukum dalam Al-Qur'an dan Al-Hadis yang menyebutkan tentang hukuman bagi pelaku murtad, dan alasan-alasan lain yang telah penulis sebutkan diatas. B. Saran-saran. Dari pembahasan diatas, penulis mencoba memberikan sedikit kontribusi saran bagi masyarakat umum dan bagi kepentingan keilmuan, sebagai berikut: 1. Tidak melakukan tindakan-tindakan anarkis terhadap, orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita. Karena kebenaran hakiki hanya milik Tuhan semata. 2. Mengupayakan penyuluhan tentang bagaimana menghormati agama lain dan keyakinan sesorang. Agar tidak terjadi kesalah fahaman persepsi. 3. Meredam sekecil mungkin ketegangan antar umat beragama, karena hal ini akan membahayakan ketentraman umum. 4. Menjadikan pemikiran Islam Liberal sebagai salah satu wacana keilmuan, dan tidak hanya dipandang sebelah mata. Bagaimanapun sumbangsih kelompok ini, dalam segi pemikiran hanya untuk tatanan masyarakat yang baik dan toleran. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur'anul Karim A'la, Abd, Dari Neo-Moderenisme ke Islam Liberal, Jakarta, Paramadina, 2003 Abdalah, Ulil Abshar, Tentang Islam Liberal, Wawancara pribadi, 20 September 2007. Afary, Janet, The Iranian Contitutional Revolution, 1906-1911, New York, Columbia University Press, 1996. Ali Engineer, Asghar, The Right of Women in Islam, New York:St. Martin's Press, 1992. Al-Kahlani, Muhammad Ibn Ismail, Subul al-Salam, Mesir, Mustafa Al-Babi, AlHalabi Awladuhu, 1950. Alwa, Muhammad Salim, fi Usul Anizam al-Jina'I al-Islami. Kairo, Daar Al-Ma'ruf, 1979. Al-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuh, juz VII , Beirut, Darul Al-Fikri, 1977. Artikel Muhammad Sa'id al-Ashmawi. Islam and the political order, disunting oleh George F. McLean, D.C:Council for Research in Values Philosophy, 1993, h 95-110. Diterbitkan pertama kali dengan judul Al-Islam as-I-siyasi (Politik Islam), di Mesir tahun 1997. Artikel Nazira Zein-en-Din. Univeiling and Veiling: On the Liberation of the Women and social Renewal in the Islamic World, diterjemahkan oleh Ali Badran dan Margot Badran, dalam opening the Gates: Acentury of Arab Feminist Writing, disunting oleh Margot Badran dan Miriam cooke (London Virago Press; Bloomington : Indiana University Press, 1990) Audah, Abd Al-Qodir, al-Tasyrii' al-Jinai al-Islami.Maktabah Dar Al-Urubah, Juz I, 1963. Ayoub, Mahmoud, Religious Freedom And The Law of Apostasy in Islam, Roma, Islamochistiana,1994. Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal, Jakarta, Paramadina, 1999. Binder, Leonard, Islam Liberal, Kritik Terhadap Ideologi Pembangunan, Penerjemah, Imam Mutaqien, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2001. Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari'ah dan Hukum, Jakarta: Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Jakarta, 2008. Cliford, Geertz, Islam Observed: Religius Devlopment in Morocco and Indonesian, Chicago: University of Chicago Press, 1968. Djazuli, Ahmad, Fiqih Jinayah, Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1996. Fakih, Mansur, Jalan Lain, Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta:Pustaka pelajar, 2002. Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung, CV Pustaka Setia, 2000. Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta, PT Bulan Bintang, 2005. Hasanudin, Makar dan Murtad Sebuah Perbandingan, Pidana Islam Di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. http//www.islamlib.com, tentang Islam Liberal, 2007. Injil Matius. Jaringan Islam Liberal (JIL), Syari'at Islam Pandangan Muslim Liberal, Jakarta, Paramadina, 2003. Khaldun, Ibn, Society- Common Ground, Trans State Islam, Volume 03, 1997. Khurzman, Charlez, Wacana Islam Liberal, Jakarta, Paramadina, 2001. Luthfi, Assyaukani, wajah-wajah Islam Liberal Di Indonesia, Jakarta, Teater Utan Kayu, 2002. Majalah Mingguan Tempo. Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, KUHP, Jakarta, Bumi Aksara 2006. Muslim Bin Hajaji, Imam Abi Husen, Sahih Muslim, Libanon, Bayrouth, Daar Ihya Al-Thurasi Al-Arabi, 1420 h Nasih, Mohammad, Memahami Konsep Islam Liberal, http://www.islamlib.com, 16 Oktober 2007 Noviriantoni, Anggota Jaringan Islam Liberal. Wawancara Pribadi. 2008. Rahman, Fazrul, Hukum dan Etika Dalam Islam, Jakarta, Al-Hikmah, 1993. Russel, Bertrand, Serpih-serpih Pemikiran, Ed, Robert E. Egner, Yogyakarta, Sadasiva, 2003. Rusyd, Ibn, Bidayat al-Mujtahidin Wa Nihayah Al-Muqtasid, Mesir, Mustafa AlBabai-Halabi, Juz II, 1966. Sabiq, As-Sayid, Fiqih al-Sunnah, Beirut, Darul Al-Fikri, 1977. Syaltut, Muhammad, Al-Islam Aqidah wa Syari'ah. Mesir, Dar Al-Kalam t.t. Syekh al-'Allamah Muhammad bin abdurahman ad-Dimasyiqi, Fiqih Empat Mazhab, diterjemahkan oleh: Abdullah Zaky Alkaf, Hasyimi, Bandung,2004. Talbi, Mohamed, Religius Liberty: A Muslim Persepective Liberty and conscience, (Inggris, Committee for the defense of Religious Liberty, Musim Semi, 1998), penerjemah: Bahrul Ulum, Heri Junaedi, Kebebasan beragama, Jakarta Paramadina,2003. Thoha, Hamim, Paham Keagmaan Kaum Reformis, penyunting Imron Rosyidi, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya 2000. Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, Penerapan Syari'at dalam Konteks Moderenitas, Bandung, Assy Syaamil, 2000. Utriza, Ayang, Kebebasan Beragama Dalam Islam dan Praktiknya di Negaranegara Islam, (mimbar agama dan budaya, vol 2) No 4 h. 2 th 2005 Uways, Abd, Halim, Fiqih statis Dinamis, Jakarta, Pustaka Hidayah, 1998.