Yang masih Tersisa di Sunda Kelapa

advertisement
6 | Heritage
MINGGU, 17 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA
Yang masih
Tersisa
di Sunda Kelapa
Konsesi perdagangan antarbangsa Eropa, Kerajaan
Pajajaran, dan pelaut Bugis membuat dermaga ini
pernah menjadi jantung ekonomi rempah-rempah dunia.
Iwan Kurniawan
S
ENJA merah ranum
mulai meredup di Pelabuhan Sunda Kelapa,
Jakarta, pertengahan
pekan ini. Satu per satu kapal
tradisional yang sudah bermesin motor mulai melepas
sauh.
Pelabuhan tua yang terletak
di Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta
Utara, ini dulunya menjadi
incaran dan tempat pertama
kalinya bangsa Eropa menginjakkan kaki ke Nusantara.
Meski kini fungsi utamanya
sebagai pelabuhan di Jakarta
sudah digantikan pelabuhan
modern Tanjung Priok, kenyataan bahwa tempat ini
bertautan dengan perjalanan
sejarah bangsa, terutama Kota
Jakarta, tak disangsikan lagi.
Daerah ini sangat penting
karena desa di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa adalah cikal
bakal Kota Jakarta yang hari
jadinya ditetapkan pada 22 Juni
1527. Kala itu Sunda Kelapa
merupakan pelabuhan Kerajaan Sunda yang beribu kota di
Pakuan Pajajaran atau Pajajaran
(sekarang Kota Bogor) yang
direbut pasukan Demak dan
Cirebon.
Keberadaan Sunda Kelapa
juga sebagai bukti bahwa nenek
moyang bangsa Indonesia adalah pelaut tangguh.
Kini untuk menelusuri warisan budaya suku-suku pendatang di sekitar Pelabuhan
Sunda Kelapa butuh kesabaran.
Itu karena mayoritas warga
di sekitar pelabuhan seperti
suku Bugis, Makassar, Madura,
Jawa, Sunda, Batak, hingga Betawi sudah berasimilasi cukup
lama.
Bukti autentik keberadaan
suku Bugis, misalnya, dapat
dilihat pada hasil kebudayaan
berupa kapal tradisional pinisi.
Begitu pula, pada bahasa dan
tata cara bermasyarakat yang
masih mereka pegang teguh.
“Silakan masuk, mari manre
cedde (makan sedikit),” ujar
Da sim, 66, salah satu tokoh
suku Bugis, saat Media Indonesia
bertandang ke rumahnya di
Daerah ini sangat
penting karena desa
di sekitar Pelabuhan
Sunda Kelapa adalah
cikal bakal
Kota Jakarta.”
Suku Bugis yang sudah menetap di Penjaringan masih
mempertahankan bahasa moyang. Namun, proses asimilasi
juga sedikit-banyak sudah memengaruhi pergaulan mereka.
Dasim juga menggunakan
bahasa Indonesia berdialek
Betawi. “Ya, warga yang tinggal di sini sudah bermacammacam. Namun, saat bertemu
dengan sesama suku, kami
menggunakan bahasa daerah,”
tuturnya lagi.
Selain suku Bugis, suku Madura juga telah lama menggunakan jalur pelayaran dari Jawa
Timur menuju Sunda Kelapa
untuk mengantarkan rempahrempah dari kawasan timur.
Ujang Sumaidi, 51, misalnya,
menuturkan keberadaan suku
Madura dan Jawa juga cukup
banyak di sekitar Pelabuhan
Sunda Kelapa. “Ya begitulah,
entah saya generasi keberapa
di sini,” katanya.
Kini, suku Bugis, Madura,
dan Jawa masih melestarikan
budaya masing-masing. Selain
bahasa, mereka juga mempertahankan pakaian tradisional,
mata pencaharian, dan kesenian.
Dalam perayaan khitanan
hingga pernikahan, misalnya,
pakaian tradisonal mutlak
digunakan. “Kami tetap melestarikan budaya yang telah
berlangsung sejak ratusan tahun itu,” ujar Ujang.
sejarah kejayaan suku Bugis di
sini dapat dilihat dari ratusan
kapal pinisi mereka yang dengan mudah dapat ditemukan
di dermaga.
Namun, pinisi-pinisi itu tidak
lagi menggunakan layar seperti zaman dahulu. Semuanya
sudah memanfaakan mesin
sebagai penggerak.
Pinisi merupakan kapal layar
tradisional khas suku Bugis dan
Makassar di Sulawesi Selatan.
Kapal itu memiliki dua tiang
layar utama dan tujuh layar,
yaitu tiga di ujung depan, dua
di depan, dan dua di belakang
yang biasa disebut layar sekunar. Layar sekunar bagi suku
Bu gi punya makna mampu
mengarungi tujuh samudra
besar di dunia.
Jalur strategis
Mencuatnya Pelabuhan Sunda Kelapa dalam kancah internasional diawali pada 1522.
Bangsa Portugis pertama kali
berlabuh di pelabuhan ini.
Mereka mengadakan konsensi
dagang dengan Kerajaan Pajajaran.
Namun dasar imperialis,
bangsa Portugis bernafsu untuk
menguasai pelabuhan tersebut
karena dinilai sangat strategis
dilalui kapal-kapal dagang dari
seluruh dunia.
Kehadiran Portugis mendapatkan perlawanan dari kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa,
salah satunya adalah perlawanan Fatahillah dari Kerajaan
Cirebon. Hingga pada 1527,
Fatahillah berhasil mengusir
kawasan Pasar Ikan, Penjaringan.
Menuju rumah Dasim tidaklah mudah. Gapura kecil
menjadi gerbang utama. Saya
pun harus melewati setiap
gang-gang dengan cara sedikit
memiringkan badan ke samping kiri atau kanan.
“Berdasarkan penuturan
orang-orang sepuh, dahulu
keberadan suku Bugis di Pelabuhan Sunda Kelapa hanya
un tuk mengantar kayu dan
rempah-rempah dari kawasan
timur,” tutur Dasim yang merunut keberadaan warga Bugis
yang sudah menetap di sana.
Keberadaan suku Bugis di
sekitar wilayah Pelabuhan Sunda Kelapa diperkirakan sejak
abad XII. Dengan kapal pinisi
mereka mengarungi samudra
dan menemukan pelabuhan
kecil Sunda Kelapa.
Meski pergantian waktu
ratusan tahun terus berjalan,
FOTO-FOTO: MI / RAMDANI
Portugis ke Malaka. Untuk
memeringati kemenangan itu,
dia mengganti Sunda Kelapa
menjadi Jayakarta.
Pada 1598, ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin
Cornellius de Houtman tiba
di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Mereka mencoba menguasai
pelabuhan itu, tetapi gagal.
Barulah pada 1610, armada
bersenjata Belanda dipimpin
Jan Pieterszoon Coen mengalahkan Fatahillah, Kota Jayakarta dihancurkan, dan dibangun kota baru, New Horn.
Kemudian Belanda mengganti namanya menjadi Batavia, diambil dari Batavier yang
merupakan nenek moyang
orang Belanda. Penduduk setempat dinamakan Betawi.
Semasa pendudukan Belanda, pelabuhan ini menjadi
lebih dikenal sebagai Pelabuhan Pasar Ikan. Lalu, pascakemerdekaan, tepatnya pada 1
April 1974, Pemerintah Kota
Jakarta menggantikan kembali
menjadi Sunda Kelapa. Dan, ia
berada di bawah pengawasan
PT Pelabuhan Indonesia II
(persero).
Tingginya nilai sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa ini
me nuntut pengelola untuk
mempertahankan keasliannya.
Terutama bagian bangunan dan
fasilitas-fasilitas pelabuhan.
Namun, peran strategis pelabuhan ini jauh berkurang
dibanding perannya terdahulu.
“Dalam sebulannya, ada 170
kapal yang berangkat dari sini
menuju pelabuhan-pelabuhan
rakyat di luar Jawa,” papar
Santoso, staf Humas Pelabuhan
Sunda Kelapa.
Tidak itu saja, dalam pengoperasian distribusi barang
ke daerah hanya berupa semen dan barang kelontongan.
Pengembangan pelabuhan
masih terbatas untuk melayani
kapal-kapal interinsuler.
Kontruksi dermaga yang ada
tidak memungkinkan dilaku-
kan pendalaman alur sehingga
kapal berukuran besar diarahkan ke Pelabuhan Tanjung
Priok. Tapi, yang jelas dari jejak
sejarah itu, Pelabuhan Sunda
Kelapa membuktikan Indonesia pernah menjadi pusat
pelayaran dunia, yang kini dipegang Singapura. Keberadaan
suku Bugis dengan kapal pinisinya membuktikan nenek
moyang kita adalah pelaut
tangguh. (M-1)
CIKAL BAKAL JAKARTA:
Searah jarum jam, Menara
dan Museum Bahari yang
menyimpan bukti sejarah
bangsa Indonesia adalah
negara maritim. Gedung ini
merupakan bekas gudang
yang digunakan VOC
untuk menyimpan hasil
rempah-rempah. Hingga
saat ini Pelabuhan Sunda
Kelapa masih menjadi jalur
distribusi barang
ke Ibu Kota.
miweekend
@mediaindonesia.com
Museum Bahari Menyimpan Kejayaan
BUKTI-BUKTI bahwa di masa
silam Indonesia sebagai negara
dengan tradisi maritim yang
tinggi setidaknya dapat dijumpai di Museum Bahari,
Jakarta.
Di situ tersimpan berbagai
benda-benda peninggalan sejarah pelayaran Nusantara
dan milik bangsa Eropa yang
tertinggal di beberapa wilayah
pelabuhan. Mulai dari peralatan navigasi hingga perahu
tradisional.
Dalam museum berlantai
dua itu, terdapat 11 ruangan
pameran. Meliputi ruang sejarah dan bahari, ruang kapal
dan perahu, ruang pelayaran
dan pelabuhan serta ruang teknologi perkapalan dan penangkapan ikan. Ada juga ruang
na vigasi, ruang Vereenigde
Oostindische Compagnie/
VOC (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur Belanda),
ruang biota laut, ruang model
perahu Nusantara serta ruang
foto-foto.
Sementara itu, di luar mu-
seum bisa dijumpai Menara
Syahbandar (Uitkijk Tower),
Gerbang Museum Bahari, dan
Benteng.
Sayang, kini Museum Bahari
tengah direnovasi sehingga
sebagian besar koleksi tidak
dipajang sebagaimana lazimnya. “Untuk sementara kami
belum bisa memasang setiap
koleksi karena sedang dalam
perbaikan,” ujar Wakil Kepala
Museum Bahari Saur Sitorus
di Jakarta, pertengahan pekan
ini.
Hingga kapan? Dia pun hanya meyakinkan akhir tahun
ini semua sudut ruangan akan
kembali terisi benda-benda
koleksi.
Kendati tengah dalam perbaikan dan sebagian besar ruangan museum masih berdebu,
terlihat beberapa wisatawan
asing tetap meluangkan waktu
untuk memerhatikan beberapa
koleksi. Di antaranya, kapal
pinisi, perahu, hingga foto-foto
pelayaran zaman dahulu.
Kapal pinisi dan foto-foto
sejarah pelayaran menjadi daya
tarik mereka. Mungkin mereka
baru melihatnya bahwa kapal
pinisi adalah bukti keorisinalan
teknologi kelautan Nusantara
yang tidak dijumpai di negaranya.
Pada saat didirikan Belanda
pada 1652, Gedung Museum
Bahari ini merupakan dua
buah bangunan bekas gedung
rempah-rempah VOC dalam
kompleks Westzjidsche Pakhuizen (gudang-gudang bagian
barat sungai), di dekat Pelabu-
han Sunda Kelapa.
Corak bangunannya masih
terlihat keeropaan. Namun,
warna cat di setiap bangunan
sudut terkelupas dan tidak
sedap dipandang mata.
“Setiap bangunan tetap pada
aslinya. Kami hanya melakukan pergantian pada atap hingga pengecatan ruangan yang
sudah dimakan usia,” kilah
Saur.
Pelabuhan Sunda Kelapa
mungkin adalah masa lalu, tapi
jejaknya jelas membekas dan
mewarnai perjalanan bangsa
ini. Keberadaan Museum Bahari tentu memiliki peran penting.
Apalagi bagi para generasi
muda terutama siswa hingga mahasiswa. Mereka bisa
memanfaatkan museum dan
nuansa sosiologis warga di
kawasan Sunda Kelapa untuk menggali informasi dan
pengetahuan tentang sejarah
bangsanya dan ketamakan
bangsa Eropa di Nusantara.
(Iwa/M-1)
Download