2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan

advertisement
3 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tuna (Thunnus sp)
Tuna digunakan sebagai nama group dari beberapa jenis ikan yang terdiri
dari jenis tuna besar (Thunnus spp, seperti yellowfin tuna, bigeye tuna, southern
bluefin tuna, dan albacore) dan jenis ikan mirip tuna (tuna-like species) yaitu
marlins, sailfish, dan swordfish. Skipjack tuna sering digolongkan sebagai
“cakalang”, sedangkan “tongkol” umumnya digunakan untuk jenis eastern little
tuna (Euthynnus spp), frigate and bullet tuna (Auxis spp) dan longtail tuna
(Thunnus tonggol). Potensi pelagis besar (termasuk tuna) secara nasional
mencapai 1.165.360 ton. Sumberdaya tersebut sangat berpotensi untuk
dikembangkan di masa mendatang bagi kepentingan pembangunan perikanan
nasional (DKP 2005).
Klasifikasi ikan tuna menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Teleostei
Subkelas
: Actinopterygi
Ordo
: Perciformes
Subordo
: Scombridae
Genus
: Thunnus
Spesies
: Thunnus albacores
Thunnus allalunga
Thunnus maccoyii
Thunnus obesus
Thunnus tonggol
Menurut Tampubolon (1983) ikan tuna meliputi13 jenis yang terdiri dari 7
jenis tuna besar dan 6 jenis tuna kecil (small tuna).
1. Albacore (Thunnus allalunga) biasanya hidup di laut lepas dan berada di
bawah thermoklin (lapisan air yang perbedaan suhunya mencolok).
Panjang ikan bisa mencapai 137 cm, namun yang umum antara
40–100 cm. Pemakan segala macam organisme, khususnya ikan, cumi-
4 cumi dan udang. Terdapat di perairan barat Sumatera, selatan Jawa dan
selatan Sumbawa.
2. Madidihang atau yellowfin (Thunnus albacore) hidup di laut lepas dan
dekat dengan permukaan. Panjang maksimum mencapai 195 cm tetapi
umumnya antara 50–150 cm. Pemakan ikan, cumi-cumi dan udang.
Banyak terdapat di parairan selatan Makasar, utara Sulawesi, Laut Banda,
dan utara Irian Jaya.
3. Tuna mata besar atau bigeye tuna (Thunnus obesus) hidup di perairan laut
lepas mulai dari permukaan sampai kedalaman 250 cm. Panjang ikan tuna
mata besar bisa mencapai 236 cm, namun yang umum antara 60–180 cm.
ikan ini pemakan cumi-cumi dan udang. Banyak terdapat di perairan barat
Sumatera, Laut Banda, utara Sulawesi dan utara Irian Jaya.
4. Tuna sirip biru atau southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii) hidup di
perairan lepas pantai di bawah thermoklin. Panjang maksimum 222 cm
tetapi kebanyakan antara 40–180 cm. Pemakan binatang berkulit lunak
seperti cumi-cumi, udang serta bebagai jenis ikan mackerel. Daerah
penyebarannya meliputi Samudera Hindia.
Migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur
migrasi tuna dunia, karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan
perairan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Migrasi kelompok tuna
yang melintasi wilayah perairan pantai dan teritorial terjadi karena perairan
tersebut berhubungan langsung dengan perairan kedua samudera tersebut.
Beberapa wilayah perairan pantai dan teritorial memiliki sumberdaya perikanan
tuna yang besar. Kelompok tuna merupakan jenis kelompok ikan pelagis besar,
yang secara komersial dibagi atas kelompok tuna besar dan tuna kecil. Tuna besar
terdiri dari jenis ikan tuna mata besar (Thunnus obesus), madidihang (Thunnus
albacores), albacore (Thunnus allalunga), dan tuna sirip biru selatan (Thunnus
maccoyii) dan tuna abu-abu (Thunnus tonggol), sedangkan yang termasuk tuna
kecil adalah cakalang (Katsuwonus pelamis) (DKP 2003).
2.2 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)
Cakalang termasuk ikan perenang cepat dan mempunyai sifat yang rakus.
Ikan jenis ini sering bergerombol dan hampir bersamaan melakukan ruaya di
5 sekitar pulau dan jarak jauh. Gerombolan ikan cakalang dapat mencapai 300 ton,
cakalang dapat hidup pada kisaran suhu 9–130C, tetapi lebih menyukai suhu
antara 26–280C. Oleh karena itu, cakalang banyak ditemukan di daerah
khatulistiwa sepanjang tahun. Ukuran ikan cakalang maksimum dapat mencapai
108 cm dengan berat 32,5–45,5 kg, sedangkan ukuran yang umum tertangkap
adalah 40–80 cm dengan berat 8–10 kg (Collete dan Nauen 1983).
Klasifikasi ikan cakalang menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Dercomorphi
Ordo
: Percomorphi
Subordo
: Scombroidea
Divisi
: Perciformes
Subdivisi
: Scombroid
Family
: Scombridae
Genus
: Katsuwonus
Spesies
: Katsuwonus pelamis
Ciri-ciri ikan cakalang yaitu bentuk tubuh fusiform, memanjang dan agak
bulat, tapis insang (gill rakers) berjumlah 53-63 pada helai insang pertama. Ikan
cakalang mempunyai dua sirip punggung terpisah. Pada sirip punggung yang
pertama terdapat 14-16 jari-jari keras, jari-jari lemah pada sirip punggung kedua
diikuti oleh 7-8 finlet. Badan tidak bersisik kecuali pada barut badan (corselets)
dan lateral line terdapat sisik kecil. Bagian punggung berwarna biru kehitaman
(gelap), sisi bawah dan perut keperakan dengan 4-6 buah ban (garis-garis) warna
yang membujur. Morfologi ikan cakalang dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1: Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Sumber: Anonim (2007)
6 2.3 Histamin
Histamin merupakan komponen amin biogenik yaitu bahan aktif yang
diproduksi secara biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas
serta terdapat pada berbagai bahan pangan, seperti ikan, daging merah, keju dan
makanan fermentasi (Keer et al. 2002). Indriati et al. (2006) menyatakan bahwa
histamin merupakan salah satu senyawa biogenik amin yang dianggap sebagai
penyebab utama keracunan makanan yang berasal dari ikan, terutama dari
kelompok scombroid. Histamin merupakan komponen yang kecil, mempunyai
berat molekul rendah yang terdiri dari cincin imidazol dan sisi rantai etilamin.
Histamin juga merupakan komponen yang tidak larut air. Histamin merupakan
salah satu amin biogenik yang mempunyai pengaruh terhadap fisiologis manusia.
Struktur kimia histamin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur kimia histamin
Sumber: Keer et al. (2002)
2.3.1 Histamin pada ikan
Histamin
merupakan
indikator
utama
keracunan
scombrotoxin.
Scombrotoxin adalah toksin yang dihasilkan terutama oleh ikan-ikan famili
scombridae, seperti tuna, cakalang, tongkol, marlin, mackerel, dan jenisnya
(Lehane dan Olley 2000).
Ikan-ikan golongan scombridae biasanya memiliki kandungan histidin
dengan level tinggi yang akan diubah menjadi histamin oleh bakteri pembentuk
histamin yang memiliki enzim histidin dekarboksilase jika kondisi penyimpanan
tidak dapat mengontrol pertumbuhan bakteri (McLauchlin et al. 2005). Ada dua
macam histidin pada daging ikan, yaitu histidin bebas yang akan diubah menjadi
histamin dan histidin yang terikat oleh protein. Faktor-faktor yang mempengaruhi
7 perombakan histidin menjadi histamin adalah faktor waktu, temperatur, jenis dan
banyaknya mikroflora bakteri yang terdapat pada tubuh ikan.
Satuan kadar histamin dalam daging ikan dapat dinyatakan dalam
mg/100g atau ppm (mg/1000g). Kandungan histidin bebas pada jaringan ikan tuna
lebih tinggi dibandingkan dengan spesies ikan lainnya sehingga meningkatkan
potensi peningkatan kadar histamin, khususnya untuk penyimpanan dan
penanganan yang salah (Keer et al. 2002).
Proses dekarboksilase histidin menjadi histamin dapat terjadi melalui dua
cara yaitu autolisis dan aktivitas bakteri. Proses dekarboksilase histidin menjadi
histamin dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Proses dekarboksilase histidin menjadi histamin
Sumber: Keer et al (2002)
(1) Histamin yang terbentuk selama autolisis
Pembentukan histamin dalam tubuh ikan dapat terjadi akibat adanya enzim
yang terdapat secara alami dalam jaringan ikan, pembentukan berlangsung selama
proses autolisis. Jumlah histamin yang dihasilkan melalui aktivitas enzim selama
proses autolisis sangat rendah bila dibandingkan dengan histamin yang dihasilkan
oleh aktivitas bakteri selama proses pembusukan berlangsung. Pada kondisi
optimum jumlah maksimum histamin yang dapat diproduksi melalui proses
autolisis tidak dapat melebihi 10–15 mg/100 gram daging ikan. Pembentukan
histamin berbeda untuk setiap spesies ikan, hal ini tergantung pada kandungan
histidin, tipe dan banyaknya bakteri yang menunjang pertumbuhan dan reaksi
mikroba serta dipengaruhi oleh pH lingkungan (Kimata 1961).
8 (2) Histamin yang terbentuk karena aktivitas bakteri
Setelah ikan mati, sistem pertahanan tubuhnya tidak bisa lagi melindungi
dari serangan bakteri, dan bakteri pembentuk histamin mulai tumbuh dan
memproduksi enzim dekarboksilase yang akan menyerang histidin dan asam
amino bebas lainnya menjadi histamin yang mempunyai karakter lebih bersifat
alkali. Histamin umumnya dibentuk pada temperatur tinggi (>20 0C). Pendinginan
dan pembekuan yang cepat, segera setelah ikan mati merupakan tindakan yang
sangat penting dalam upaya mencegah pembentukan scombrotoxin (histamin).
Histamin tidak akan terbentuk bila ikan selalu disimpan dibawah suhu 5 0C.
Pembekuan yang terlalu lama (24 minggu) diduga akan menginaktifkan bakteri
pembentuk enzim dekarboksilase dan diduga pula dapat mengurangi pembentukan
histamin. Penelitian lebih lanjut menyebutkan bahwa kenaikan pembentukan
histamin dapat terus berjalan walaupun dalam keadaan penyimpanan beku
(Taylor dan Alasalvar 2002).
Selama
proses
kemunduran
mutu,
bakteri
memproduksi
enzim
dekarboksilase yang akan mengubah histidin bebas dan asam amino lain pada
daging ikan menjadi histamin dan amin biogenik lain seperti putresin (dari
ornitin), kadaverin (dari lisin), serta spermidin dan spermin (dari arginin)
(Lehane dan Olley 2000).
Bakteri pembentuk histamin secara alami terdapat pada otot, insang dan isi
perut ikan. Kemungkinan besar insang dan isi perut merupakan sumber bakteri ini
karena jaringan otot ikan segar biasanya bebas dari mikroorganisme. Bakteri ini
akan menyebar ke seluruh bagian tubuh selama proses penanganan. Penyebaran
bakteri biasanya terjadi pada saat proses pembuangan insang (gilling) dan
penyiangan (gutting) (Sumner et al. 2004). Banyak penelitian menyebutkan
bahwa bakteri pembentuk histamin adalah bakteri termofilik, tetapi bakteri
pembentuk histamin dapat tumbuh pada ikan sardin pada temperatur <5 0C
( Shahidi dan Botta 1994 diacu dalam Arisman 2009).
Berbagai jenis bakteri yang mampu menghasilkan enzim histidin
dekaroksilase (Hdc) termasuk bakteri Enterobacteriaceae dan Bacillaceae
(Staruszkiewicz 2002 dalam Allen 2004). Umumnya genus Bacillus, Citrobacter,
Clostridium, Escherichia, Klebsiella, Lactobacillus,Pediacoccus, Photobacterium,
9 Proteus, Pseudomonas, Salmonella, Shigella dan Streptococcus menunjukkan
aktvitas dekarboksilase asam amino (Kanki et al. 2002 diacu dalam Allen 2004).
Bakteri pembentuk histamin dapat tumbuh pada kisaran suhu yang luas.
Pertumbuhan bakteri pembentuk histamin berlangsung lebih cepat pada
temperatur yang tinggi (21,1 0C) dari pada temperatur rendah (7,2 0C) (FDA
2001). Laporan mengenai suhu optimum dan batas suhu terendah untuk
pembentukan histamin sangat bervariasi. Huhu optimum pembentukan histamin
adalah pada suhu 25 0C (Kim et al. 1991 diacu dalam Keer et al. 2002).
Penyimpanan pada suhu 25 0C selama 24 jam dapat meningkatkan kandungan
histamin hingga 120 mg/100 g (Yoghuci et al. 1990 diacu dalam Dwiyitno et al.
2004). Menurut Fletcher et al. (1996) pembentukan histamin pada suhu 0–5 0C
sangat kecil bahkan dapat diabaikan. Hasil penelitian Price et al. (1991) juga
menunjukkan bahwa pembentukan histamin akan terhambat pada suhu 0 0C atau
lebih rendah. Oleh karena itu, Food And Drug Administration (FDA) menetapkan
batas kritis suhu untuk pertumbuhan histamin pada tubuh ikan yaitu 4,4 0C (FDA
2001).
Perbedaan dari jenis bakteri pembentuk histamin pada ikan golongan
scombroid disebabkan oleh spesies ikan, prosedur penanganan dan temperatur.
Karakteristik mikroflora yang ada dapat dipengaruhi oleh kebiasaan makan, lokasi
geografis, musim, temperatur air, dan lain-lain (Lopez -Sabater et al. 1996). Jenisjenis bakteri pembentuk histamin yang terdapat pada ikan laut dan spesifikasinya
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis-jenis dan spesifikasi bakteri pembentuk histamin yang terdapat
pada ikan laut
Bakteri
Hafnia sp
Klebsiella sp
Escherichia coli
Clostridium sp
Lactobacillus sp
Enterobacter spp
Proteus sp
Spesifikasi
Gram negatif, fakultatif anaerobik (Hafnia alvei)
Gram negatif, fakultatif anaerobik (Klebsiella
pneumonia)
Gram negatif, Fakultatif anaerobik
Gram positif, anaerobik (Clostridium perfringens)
Gram positif, fakultatif anaerobik (Lactobacillus 30a)
Gram negatif, fakultatif anaerobik (Enterobacter
aerogenes)
Gram negatif, fakultatif anaerobik (Proteus morganii)
Sumber: Eitenmiller et al. (1982)
10 2.3.2 Reaksi fisiologis histamin
Keracunan histamin disebabkan oleh konsumsi ikan yang mengandung
histamin dengan level yang tinggi (Bremer et al. 2003). Gejala keracunan
histamin meliputi sakit kepala, kejang, mual, wajah dan leher kemerah-merahan,
tubuh gatal-gatal, mulut dan kerongkongan terasa terbakar, bibir membengkak,
badan lemas dan muntah-muntah (Eitenmiller et al. 1982). Gejala keracunan
histamin dapat terjadi sangat cepat, sekitar 30 menit setelah mengkonsumsi ikan
yang mengandung histamin tinggi. Kemudian gejala agak menurun antara 3
hingga 24 jam setelah konsumsi, tetapi mungkin juga hingga beberapa hari
(Bremer et al. 2003).
Histamin pada ikan yang busuk dapat menimbulkan keracunan jika
terdapat sekitar 100 mg dalam 100g sampel daging ikan yang diuji (Kimata 1961).
Food And Drug Administration (FDA) menetapkan bahwa untuk ikan tuna, mahimahi dan ikan sejenis, 5 mg histamin/100 g daging ikan merupakan level yang
harus diwaspadai sebagai indikator terjadinya dekomposisi, sedangkan 50 mg
histamin/100g daging ikan merupakan level yang membahayakan atau dapat
menimbulkan keracunan. Oleh karena itu, jika ditemukan ikan dengan kandungan
5 mg histamin/100 g daging ikan pada satu unit, maka kemungkinan pada unit
yang lain, level histamin dapat mencapai lebih dari 50 mg/100 g (FDA 2002).
Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan
Kadar histamin per 100 g
< 5 mg
5-20 mg
20-100 mg
> 100 mg
Tingkatan bahaya
Aman dikonsumsi
Kemungkinan toksik
Berpeluang toksik
Toksik
Sumber: Shalaby (1996) diacu dalam Sumner et al. (2004)
2.4 Deoxyribonucleic Acid (DNA)
Asam deoksiribonukleat, lebih dikenal dengan DNA adalah sejenis asam
nukleat yang tergolong biomolekul utama penyusun setiap organisme. Di dalam
sel, DNA umumnya terletak di dalam inti sel. Secara garis besar, peran DNA di
dalam sebuah sel adalah sebagai materi genetik. Artinya, DNA menyimpan cetak
11 biru bagi segala aktivitas sel. Ini berlaku umum bagi setiap organisme. Diantara
perkecualian yang menonjol adalah beberapa jenis virus (Gregory et al. 2006).
Asam deoksiribonukleat (DNA) merupakan persenyawaan kimia yang
paling penting pada mahkluk hidup, yang membawa keterangan genetik dari sel
khususnya atau dari mahkluk dalam keseluruhannya dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Molekul DNA pertama kali diisolasi oleh F. Miescher (1869) dari sel
spermatozoa dan dari nukleus sel-sel darah merah burung (Suryo 2008).
Banyaknya DNA biasanya diukur dengan pikogram, yaitu suatu mikrounit
dari berat. Satu pikogram (1 pg) adalah sama dengan 10-12 gram. Ukuran molekul
DNA berbeda-beda dari satu spesies ke spesies lainnya. Pada mitokondria,
molekul DNA mempunyai ukuran 5µm, pada virus lebih panjang, sedangkan
molekul DNA tunggal pada sel bakteri berukuran 1,4 mm (Suryo 2008).
DNA merupakan susunan kimia makromolekul yang kompleks dan terdiri
dari tiga macam molekul yaitu:
1.
Gula pentosa, yang dikenal sebagai deoksiribosa
2.
Asam fosfat
3.
Basa nitrogen, yang dapat dibedakan atas dua tipe dasar
a. Pirimidin, basa ini dibedakan atas sitosin (C) dan timin (T)
b. Purin, basa ini dibedakan atas adenin (A) dan guanin (G)
Pirimidin (sitosin dan timin) dan purin (adenin dan guanin) membentuk
rangkain kimiawi dengan deoksiribosa. Atom C 1’ dari gula deoksiribosa akan
berhubungan dengan atom nitrogen pada sisi 1 dari pirimidin atau pada posisi 9
dari purin. Molekul seperti ini disebut nukleosida atau deoksiribosa dan mereka
ini dapat berlaku sebagai prekursor elementer untuk sintesa DNA. Akan tetapi
sebelum suatu nukleosida dapat menjadi bagian dari suatu molekul DNA, mereka
harus bergabung dengan gugus fosfat untuk membentuk suatu nukleotida atau
deoksiribosanukleotida (Suryo 2008). Struktur kimia basa purin (adenin dan
guanin) dan pirimidin (sitosin) dapat dilihat pada Gambar 4.
12 Guanine
Adenine
Cytosine
Thymine
Gambar 4. Struktur kimia basa purin dan pirimidin
Sumber: Keer et al. (2002)
Telah diketahui bahwa DNA adalah bahan genetik yang memberi
informasi genetik dari sel ke sel dan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sesungguhnya informasi genetik itu letaknya di dalam molekul DNA. Tulang
punggung fosfat-deoksiribosa selalu sama untuk berbagai segmen dari molekul
DNA. Tetapi basa nitrogennya berbeda. Hal ini yang menyebabkan informasi
genetik tergantung dari urutan basa nitrogen yang menyusun segmen molekul
DNA (Suryo 2008). Struktur molekul DNA dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur molekul DNA
Sumber: Doherty (2007)
13 2.5 Metode isolasi bakteri
Bakteri merupakan organisme prokariot yang paling luas penyebarannya
di alam. Bakteri tersusun atas dinding sel dan inti sel. Di sebelah luar dinding sel
terdapat selubung atau kapsul. Di dalam sel bakteri terdapat membran dalam dan
organel membran seperti kloroplas dan mitokondria. Semua jenis bakteri memiliki
beragam bentuk dan tipe sel. Terdapat tiga bentuk dasar bakteri, yaitu batang
(bacillus), bulat (coccus), dan spiral (spiral). Beberapa jenis bakteri tertentu
menunjukkan adanya penataan sel seperti berpasangan, gerombol, rantai atau
filamen. Bakteri yang biasa diteliti di laboratorium berukuran antara 0,5-2 µm dan
panjang 1-5 µm (Irianto 2007).
Berdasarkan perbedaan komposisi dan dinding sel, bakteri dibedakan
menjadi bakteri gram positif dan gram negatif. Bakteri gram positif mempunyai
struktur dinding sel yang tebal (15-80 µm) dan berlapis tunggal, dengan kompisisi
dinding sel terdiri dari lipid, peptidoglikan dan asam tekoat. Kandungan lipid pada
gram positif relatif rendah (1-4%), peptidoglikan sebagai lapisan tunggal memiliki
jumlah lebih dari 50% berat kering sel bakteri. Bakteri gram positif rentan
terhadap penisilin, namun lebih resisten gangguan fisik. Persyaratan nutriennya
relatif lebih rumit pada banyak spesies (Pelczar dan Chan 2006).
Untuk dapat mencirikan dan mengidentifikasi suatu spesies bakteri, maka
spesies tersebut harus dapat dipisahkan dari organisme lain yang selanjutnya
ditumbuhkan menjadi biakan murni. Biakan murni adalah biakan yang sel-selnya
berasal dari pembelahan satu sel tunggal. Semua metode mikrobiologis yang
digunakan untuk menelaah dan mengidentifikasi mikroorganisme termasuk
penelaahan ciri-ciri kultural, morfologis dan fisiologis memerlukan suatu populasi
yang terdiri dari satu macam mikroorganisme saja (Hadioetomo 1993).
Sesungguhnya ada beberapa metode untuk memperoleh biakan murni dari
suatu biakan campuran. Dua diantaranya yang paling sering digunakan adalah
teknik cawan gores dan cawan tuang. Kedua metode ini berdasarkan pada prinsip
yang sama yaitu mengencerkan organisme sedemikian sehingga dapat dipisahkan
dari organisme lainnya, dengan anggapan bahwa setiap koloni terpisah yang
tampak pada cawan petri setelah inkubasi berasal dari satu sel tunggal
(Hadioetomo 1993).
14 Mikroorganisme dibiakkan pada bahan nutrien yang disebut medium.
Banyak jenis medium yang tersedia, namun pemakainnya bergantung pada
banyak faktor salah satunya adalah jenis mikroorganisme yang akan ditumbuhkan.
Bahan
yang
diinokulasikan
pada
medium
disebut
inokulum.
Setelah
menginokulasikan mikroorganisme pada medium agar dengan metode cawan
gores dan cawan tuang, maka sel-sel bakteri akan terpisah dengan sendirinya.
Setelah inkubasi, sel-sel bakteri memperbanyak diri sedemikian cepatnya
sehingga dalam jangka waktu 18–24 jam terbentuk massa sel yang dapat dilihat
dan dinamakan koloni. Setiap koloni yang berlainan dapat mewakili jenis
organisme yang berbeda-beda. Setiap koloni merupakan biakan murni satu macam
mikroorganisme (Pelczar dan Chan 2006).
Semua bentuk kehidupan dari mikroorganisme sampai kepada manusia,
mempunyai persamaan dalam hal persyaratan nutrisi dalam bentuk zat-zat
kimiawi yang diperlukan untuk pertumbuhan. Tipe nutrisi yang dibutuhkan oleh
bakteri diantaranya adalah energi, karbon, nitrogen, belerang, unsur logam,
vitamin dan air. Selain menyediakan nutrien yang sesuai untuk kultivasi bakteri,
juga diperlukan kondisi fisik yang memungkinkan pertumbuhan optimum. Bakteri
tidak hanya bervariasi dalam persyaratan nutrisinya, tetapi juga menunjukkan
respon yang berbeda-beda terhadap kondisi fisik di dalam lingkungannya. Untuk
keberhasilan kultivasi berbagai tipe bakteri, dibutuhkan suatu kombinasi nutrien
serta lingkungan fisik yang sesuai seperti suhu dan derajat keasaman (pH)
(Pelczar dan Chan 2006).
Semua proses pertumbuhan bergantung pada reaksi kimiawi. Karena laju
reaksi-reaksi ini dipengaruhi oleh suhu, maka pola pertumbuhan bakteri sangat
dipengaruhi oleh suhu. Suhu juga mempengaruhi laju pertumbuhan dan jumlah
total pertumbuhan organisme. Keragaman suhu dapat juga mengubah prosesproses metabolik tertentu serta morfologi sel. Setiap spesies bakteri tumbuh pada
suatu kisaran suhu tertentu. Atas dasar ini maka bakteri dapat diklasifikasikan
sebagai: psikrofil yang tumbuh pada suhu 00-300C; mesofil yang tumbuh pada
250-400C; dan termofil yang tumbuh pada suhu di atas 400C. Respon pertumbuhan
bakteri terhadap suhu bergantung pada jenis bakterinya. Suhu inkubasi yang
memungkinkan pertumbuhan tercepat selama periode waktu yang singkat
15 (12 sampai 24 jam) dikenal sebagai suhu pertumbuhan optimum (Pelczar dan
Chan 2006).
Derajat keasaman (pH) optimum pertumbuhan bagi kebanyakan bakteri
terletak antara 6.5 sampai 7.5. Namun, beberapa spesies dapat tumbuh dalam
keadaan sangat asam atau sangat alkalin. Bagi kebanyakan spesies, nilai pH
minimum dan maksimum adalah 4 dan 9 (Pelczar dan Chan 2006).
2.6 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah metode untuk memperbanyak
sekuen spesifik dari nukleotida (Singleton dan Sainbury 2006). Proses enzimatik
tersebut
terjadi
secara
in
vitro
melalui
penggunaan
sepasang
primer
oligonukleotida yang menghibridisasi pita berlawanan dan mengapit DNA target.
Potongan yang diperbanyak akan ditentukan oleh primer tersebut, dan merupakan
sekuen dari DNA target yang diapit oleh kedua primer. Proses PCR juga
menggunakan enzim DNA polymerase yang stabil terhadap suhu (thermostable
DNA polymerase) untuk perbanyakan fragmen DNA secara eksponensial dari
cetakan (template) yang lebih panjang. Taq polymerase adalah salah satu DNA
polymerase yang stabil suhu dan semula diisolasi dari bakteri Thermophilus
aquaticus. Bakteri tersebut berkembang di mata air panas pada suhu yang
mendekati titik didih air, sehingga semua enzim pada organisme ini telah
berevolusi untuk toleran terhadap suhu tinggi. Reaksi sintesis pada PCR diulang
beberapa kali (siklus). Produk dari siklus sintesis sebelumnya bertindak sebagai
cetakan untuk berikutnya, mengakibatkan perbanyakan eksponensial terhadap
daerah target DNA (Dale dan Schantz 2002).
Empat komponen utama pada proses PCR adalah: (1) DNA cetakan
(template), yaitu fragmen (potongan) DNA yang akan dilipatgandakan; (2)
pasangan primer oligonukleotida, yang akan melewati sintesis rantai DNA; (3)
deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP; dan
(4) enzim DNA polymerase, sebagai katalis reaksi sintesis DNA. Komponen
lainnya yang juga penting adalah MgCl2 dan senyawa buffer. Setiap siklus sintesis
terdiri dari tiga tahapan yaitu denaturasi, annealing (penempelan atau hibridisasi
primer pada DNA cetakan) dan ekstensi/elongasi (perpanjangan atausintesis untai
komplemen dari DNA target). Masing-masing tahapan tersebut akan ditentukan
16 oleh suhu dan lama waktu yang dibutuhkan (Dale dan Schantz 2002). Mekanisme
reaksi PCR dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Mekanisme reaksi PCR
Sumber: Keer et al. (2002)
2.7 Analisis Produk PCR (Elektroforesis)
Elektroforesis adalah proses migrasi dari fragmen DNA di dalam gel yang
direndam dalam larutan penyangga. Fragmen DNA yang lebih kecil berat
molekulnya akan berjalan lebih cepat dari DNA yang lebih besar. Perjalanan
molekul DNA di dalam gel mengikuti arus listrik dari kutub negatif menuju kutub
positif. Semakin besar tegangan arus listrik, perjalanan molekul DNA semakin
cepat, demikian pula sebaliknya (Sulandari dan Zein 2003).
Ada bermacam-macam zat kimia yang digunakan sebagai gel di dalam
proses elektroforesis. Penggunaan jenis gel disesuaikan dengan tujuan yang akan
dicapai. Jenis gel yang biasa digunakan adalah elektroforesis gel agarosa dengan
visualisasi menggunakan ethidium bromida dan elektroforesis gel poliakrilamida
dengan visualisasi menggunakan silver staining. Kedua cara elektroforesis ini
banyak digunakan dalam visualisasi produk PCR (Sulandari dan Zein 2003).
Teknik ini sederhana, cepat terbentuk dan mampu memisahkan campuran
potongan DNA sesuai dengan ukurannya secara akurat bila dibandingkan dengan
densitas gradien sentrifugasi. Selanjutnya, lokasi DNA dalam gel tersebut dapat
diidentifikasi secara langsung dengan pewarna berfluoresen. Untuk mendeteksi
17 potongan-potongan DNA berupa pita DNA pada gel agarosa digunakan pewarna
yang mengandung fluoresen dengan konsentrasi rendah, seperti intercalating
agent ethidium bromida (EtBr). Hanya sedikit DNA ± 1ng dapat dideteksi secara
langsung dengan cara gel diletakkan pada media UV-transilluminator (Fatchiyah
2006).
Rentang ukuran yang efektif dari gel ditentukan oleh komposisinya. Gel
agarosa dapat digunakan untuk memisahkan molekul asam nukleat yang memiliki
perbedaan beberapa ratus pasang basa. Sedangkan untuk molekul-molekul lebih
kecil yang ukurannya sama, hingga hanya berbeda beberapa puluh pasang basa,
dapat digunakan gel polyacrylamide (Dale dan Schantz 2002).
Elektroforesis gel agarosa dapat digunakan untuk menganalisis komposisi
dan kualitas dari sampel asam nukleat. Secara khusus, hal ini sangat membantu
untuk menentukan ukuran fragmen DNA dari pendekatan restriksi (restriction
digest) untuk produk reaksi PCR. Untuk tujuan ini diperlukan kalibrasi terhadap
gel dengan menjalankan (running) penanda (marker) standar yang mengandung
fragmen dari ukuran DNA yang diketahui (Dale dan Schantz 2002).
Pewarna seperti ethidium bromida biasanya digunakan untuk mendeteksi
maupun mengkuantitasi asam nukleat. Ethidium bromida memiliki struktur cincin
datar yang mampu menumpuk (stack) diantara basa-basa dalam asam nukleat; hal
ini dikenal sebagai intercalation. Selanjutnya, pewarna dapat dideteksi melalui
pendarannya
(fluorosence),
pada
daerah
spektrum
merah-oranye
ketika
dipaparkan pada iradiasi UV. Hal ini merupakan metode yang paling luas
digunakan untuk pewarnaan gel elektroforesis dan juga dapat digunakan untuk
menduga jumlah DNA (atau RNA) dalam sampel dengan membandingkan
intensitas dari peredaran sampel yang telah diketahui konsentrasinya dan
dimuatkan pada gel yang sama (Dale dan Schantz 2002).
2.8 DNA Sequencing
Satu dari terobosan utama dalam genetika molekuler adalah perkembangan
metode mensekuens potongan DNA secara cepat. Pada dasarnya ada dua metode
yang telah dikembangkan, yaitu metode Maxam-Gilbert dan metode Sanger.
Metode Sanger lebih sering digunakan karena lebih mudah, praktis dan efisien.
Metode Sanger menggunakan pendekatan sintesis molekul DNA baru dan
18 pemberhentian sintesis tersebut pada basa tertentu. Untuk mensintesis molekul
DNA, diperlukan dNTPs (Deoxynucleoside Triphosphates) sebagai bahan
utamanya, sedangkan untuk menghentikan proses sintesis diperlukan ddNTP
(Dideeoxynucleoside Triphosphates). Hasil akhir dari reaksi tersebut adalah
sejumlah potongan DNA yang panjangnya bervariasi tetapi semuanya berakhir
dengan nukleotida A (jika dNTP dicampur dengan dATP), berakhir dengan
nukleotida C (jika dNTP dicampur dengan dCTP), berakhir dengan nukleotida G
(jika dNTP dicampur dengan dGTP), berakhir dengan nukleotida T (jika dNTP
dicampur dengan dTTP) (Sulandari dan Zein 2003).
Download