BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Salam 2.1.1 Klasifikasi Tanaman Berdasarkan taksonomi, klasifikasi tanaman salam adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Sub Kelas : Dialypetalae Bangsa : Myrtales Suku : Myrtaceae Marga : Syzygium Jenis : Syzygium polyanthum Wight (Tjitrosoepomo, 1988). 2.1.2 Deskripsi Tanaman Tinggi pohon mencapai 25 m, batang bulat, permukaan licin, bertajuk rimbun dan berakar tunggang. Daun salam berupa warna kecoklatan, bau aromatik lemah, rasa kelat. Daun tunggal bertangkai pendek, panjang tangkai daun 5-10 mm. helai daun berbentuk jorong memanjang, panjang 7-15 cm; ujung daun dan pangkal daun meruncing, tepi rata; permukaan atas berwarna cokelat kehijauan, licin, mengkilat; permukaan bawah berwarna coklat tua; tulang daun menyirip, 5 6 dan menonjol pada permukaan bawah dan tulang cabang halus. Bunga majemuk tersusun dalam malai yang keluar dari ujung ranting, berwarna putih, baunya harum, Biji bulat, diameter sekitar 1 cm berwarna cokelat. Buahnya buah buni, bulat berdiameter 8-9 mm, buah muda berwarna hijau, setalah masak menjadi merah gelap, rasa agak sepat (DepkesRI, 2008; Dalimartha, 2000). Tanaman, simplisia kering, daun, bunga dan buah salam dapat dilihat pada gambar 2.1. Gambar 2.1 Gambar tanaman salam (A), simplisia kering daun salam (B), daun salam (C), bunga tanaman salam (D), dan buah tanaman salam (E) (Arum, 2014). 2.1.3 Kandungan Kimia Tanaman salam (Syzygium polyanthum Wight) mengandung banyak senyawa. Bagian tanaman salam yang paling banyak dimanfaatkan adalah bagian 7 daunnya. Daun salam mengandung tanin, minyak atsiri (salamol dan eugenol), flavonoid (kuersetin, kuersitrin, mirsetin dan mirsitrin), seskuiterpen, triterpenoid, fenol, steroid, sitral, lakton, saponin dan karbohidrat (Fitri, 2007). Kandungan tanaman salam lainnya adalah saponin, polifenol dan alkaloid (Adrianto, 2012). Uji fitokimia dari daun salam menunjukkan adanya beberapa senyawa metabolit sekunder yaitu fenolik, dan kumarin (Hermansyah, 2008). 2.1.4 Khasiat dan Kegunaan Daun salam efektif menurunkan kadar gula darah, menurunkan tekanan darah, menurunkan kadar kolesterol darah, menurunkan kadar asam urat, mengobati sakit maag (gastritis), gatal-gatal (pruritis), kudis (scabies), dan eksim (Enda, 2009). Minyak atsiri yang terkandung dalam daun salam yaitu sitral dan eugenol berfungsi sebagai anestetik dan antiseptik (Adrianto, 2012). Flavonoid dalam daun salam memiliki efek antimikroba, antiinflamasi, merangsang pembentukkan kolagen, melindungi pembuluh darah, antioksidan dan antikarsinogenik (Sabir, 2003). 2.2 Kuersitrin Kuersitrin adalah senyawa pembanding (marker) yang digunakan dalam identifikasi komponen kimia daun salam (Depkes RI, 2008). Kuersitrin adalah senyawa metabolit sekunder dan secara kimia termasuk golongan flavonoid flavonol O-glikosida. Kuersitrin memiliki nama lain kuersetin 3-O-rhamnosida dengan rumus molekul C21H20O11 dan berat molekul 448,38 (Harborne et al., 8 1999). Memiliki nilai nilai Rf ± 0,65 dengan menggunakan sistem fase gerak etil asetat P-asam format P-asam asetat P- air (10:0,5:0,5:1) dan fase diam silika gel 60 GF254 (Depkes RI, 2008). Kuersitrin biasanya tersebar luas pada kulit batang Quercus tinctoria (Fagaceae) dan dalam Polygonum spp. (Polygonaceae) (Harborne et al., 1999). Struktur kuersitrin dapat dilihat gambar 2.2 dan pola kromatografi lapis tipis ekstrak etanol daun salam dapat dilihat pada gambar 2.3. Gambar 2.2 Struktur kimia kuersitrin (Depkes RI, 2008) Gambar 2.3 Pola Kromatografi Lapis Tipis larutan uji ekstrak etanol daun salam (S), larutan pembanding kuersitrin (P), dan senyawa yang diduga sebagai kuersitrin (K) dengan nilai Rf 0,65 dengan menggunakan sistem fase gerak etil asetat P-asam format P-asam asetat P- air (10:0,5:0,5:1) dan fase diam silika gel 60 GF254 (Depkes RI, 2008). 9 2.3 Metode Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu cara penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam senyawa non polar (like dissolves likes). Pada ekstraksi diharapkan terjadinya kesetimbangan antara linarut dan pelarut. Kecepatan untuk mencapai kesetimbangan umumnya tergantung pada suhu, pH, ukuran partikel dan gerakan partikel. Secara umum ekstraksi dapat dilakukan dengan metode maserasi, perkolasi, refluks dan sokletasi. Masing-masing metode tersebut memiliki keuntungan dan kerugian yang dapat disesuaikan menurut kebutuhan ekstraksi yang akan dilakukan (Depkes RI, 2000). 2.3.1 Maserasi Metode maserasi dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dengan pelarut yang sesuai dan ditempatkan dalam wadah tertutup serta dibiarkan pada suhu kamar (Handa, 2008). Proses ekstraksi berhenti ketika terjadi kesetimbangan antara konsentrasi metabolit dalam pelarut dan serbuk simplisia. Keuntungan dari metode ini adalah penggunaan peralatan yang sederhana dan mudah diperoleh serta pengerjaannya yang mudah (Seidel, 2006). 2.3.2 Metode Ekstraksi dengan Sonikasi Metode ekstraksi sonikasi memanfaatkan gelombang ultrasonik yang dapat mempercepat waktu kontak antara sampel dan pelarut meskipun pada suhu ruang. Hal ini menyebabkan proses perpindahan massa senyawa dari dalam sel tanaman ke pelarut menjadi lebih cepat. Sonikasi mengandalkan energi gelombang yang 10 menyebabkan proses kavitasi, yaitu proses pembentukan gelembung-gelembung kecil akibat adanya transmisi gelombang ultrasonik untuk membantu difusi pelarut ke dalam dinding sel tanaman (Ashley et al. 2001). 2.4 Kromatografi Fingerprint Kromatogram fingerprint dari suatu produk herbal adalah suatu bentuk kromatografi dari senyawa aktif dan juga zat kimia lain yang terkandung dalam produk herbal tersebut. Profil kromatografi tersebut harus mengandung beberapa informasi penting tentang produk herbal tersebut seperti kejelasan, kesamaan, atau perbedaan dengan senyawa pembanding dari produk herbal yang diteliti (MacLennan et al., 2002). Kromatografi fingerprint adalah metode yang digunakan untuk identifikasi dan kuantifikasi komponen aktif dalam bahan tanaman herbal. Namun, banyaknya komponen kimia yang terdapat pada tanaman obat memungkinkan sulitnya untuk menjamin keamanan, kendali mutu, dan konsistensi produknya dibandingkan dengan obat sintetis (Palanisamy and Natesan, 2012). Kromatografi fingerprint mencirikan pola kimia yang terdiri dari puncakpuncak yang menyajikan komposisi yang unik dari suatu sampel dalam kromatogram, dengan memanfaatkan semua komponen kimia yang terdeteksi oleh instrumen untuk dianalisis. Hal ini juga ditetapkan bahwa sampel dengan pola kimia yang sama mungkin memiliki sifat yang mirip (Luo et al., 2003). Syaratsyarat suatu fingerprint adalah kompak, reprodusible, serta repeatable. Beberapa metode kromatografi seperti kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), 11 kromatografi gas, elektroforesis kapiler, dan kromatografi lapis tipis (KLT) dapat digunakan untuk analisis fingerprint (Liang et al., 2004). 2.4.1 Fingerprint Kromatografi Lapis Tipis Spektrofotodensitometri Kromatografi fingerprint dapat diperoleh dengan metode KLT- Spektrofotodensitometri. Prinsip KLT yaitu pemisahan campuran karena adanya pergerakan fase gerak melewati permukaan datar, komponen-komponen tersebut akan bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda-beda tergantung dari kelarutannya, adsorpsi, ukuran molekul, muatan dan elusi (Fifield and Kealey, 2000). Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah pada lapis tipis diperoleh dari Rf, yaitu dengan membandingkan jarak yang ditempuh oleh senyawa terlarut dengan jarak tempuh pelarut (Palleros, 2000). Spektrofotodensitometri merupakan metode yang umum digunakan untuk mendapatkan infomasi pada setiap spot pada KLT. Evaluasi plat KLT didasarkan atas perbedaan pengukuran oleh refleksi sinar dari plat dan senyawa pada spot plat (Deinstrop, 2007). Detektor akan memberikan respon terhadap konsentrasi analit dalam spot-spot dari plat setelah pemisahan. Sinyal yang didapat kemudian diplotkan sebagai sebuah fungsi dari jarak yang ditempuh analit dan konsentrasi analit dalam spot, sehingga didapatkan suatu rangkaian puncak-puncak yang disebut kromatogram (Skoog and West, 1980). 2.4.2 Kromatogram dan Spektrum pada KLT Fingerprint Data fingerprint pada KLT adalah pola puncak kromatogram yang diperoleh. Pola kromatogram tersebut dapat menentukan tingkat kesamaan sampel herbal yang dianalisis. Pola kromatogram tersebut merupakan data yang jauh 12 lebih objektif dibandingkan dengan estimasi visual pada KLT. Setiap puncak pada kromatogram memiliki rasio luas puncak yang berperan penting dalam fingerprint. Banyak faktor yang mempengaruhi pola kromatogram dan rasio puncak kromatogram, seperti kondisi analisis dan faktor geografis. Perbedaan kondisi analisis seperti suhu dan kelembaban akan menghasilkan perbedaan data fingerprint, meskipun berasal dari sampel yang sama (Feng and Runyi, 2006). Gambar 2.4 Kromatogram simplisia bunga (Bu), biji (Bj), daun (Dn), dan batang (Bt) Cannabis Sp. pada variasi metode ekstraksi maserasi (M), sokletasi (S) dan cairan penyari (Paramita dan Wirasuta, 2013). Paramita dan Wirasuta (2013) telah melakukan melakukan penelitian tentang pengaruh metode ekstraksi terhadap fingerprint Cannabis sp. Hasil penelitian tersebut menunjukkan metode ekstraksi dan jenis pelarut yang digunakan akan berpengaruh terhadap pola kromatogram yang dihasilkan. Gambar pola Kromatogram Canabis sp. dapat dilihat pada gambar 2.4. Setiap senyawa memiliki spektrum yang spesifik. Spektrum merupakan hubungan yang menunjukkan penyerapan energi pada panjang gelombang UV- 13 visibel untuk menghasilkan transisi elektronik. Senyawa yang mampu menyerap energi tersebut adalah senyawa yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. Spektrum dapat memberikan informasi mengenai identitas suatu senyawa. Karakteristik spektrum suatu senyawa meliputi panjang gelombang maksimum, rasio absorbansi dan jumlah puncak yang muncul (Feng and Runyi, 2006). 2.4.3 Parameter Kromatogram Dalam suatu sistem kromatografi akan diperoleh data berupa kromatogram. Parameter baik atau tidaknya suatu kromatogram umumnya didasarkan pada beberapa faktor diantaranya adalah daya pisah atau resolusi (Rs) dan faktor asimetri atau tailling factor (Tf). A. Resolusi (Rs) Tingkat pemisahan komponen dalam suatu campuran dengan metode kromatografi direfleksikan dalam kromatogram yang dihasilkan. Untuk hasil pemisahan yang baik, puncak-puncak dalam kromatogram harus terpisah secara sempurna dari puncak lainnya dengan sedikit tumpang tindih (overlapping) atau tidak ada tumpang tindih sama sekali. Tingkat pemisahan antara puncak-puncak kromatografi yang bersebelahan merupakan fungsi jarak antara puncak maksima dan lebar puncak yang berhubungan. Untuk puncak Gaussian, hal ini cukup digambarkan dengan resolusi atau daya pisah puncak (Gandjar dan Rohman, 2008). Rumus untuk menghitung resolusi (Rs) : 2∆𝑡 𝑅 Rs=(𝑊 +𝑊 ............................................................................................... (1) ) 1 2 14 Sebagaimana ditunjukkan oleh persamaan (1), resolusi komponenkomponen dalam kromatografi tergantung pada waktu retensi relatif (tR) atau jarak tambat (Rf) pada sistem kromatografi dan tergantung pada lebar puncak (Wb). B. Faktor Asimetri (Tailling Factor) Suatu situasi yang menunjukkan kinerja kromatografi yang kurang baik adalah ketika ditemukan suatu puncak yang mengalami pengekoran (tailing) sehingga menyebabkan puncak tidak simetris. Jika puncak yang akan dikuantifikasi tidak simetris (asimetri), maka suatu perhitungan asimetrisitas merupakan cara yang berguna untuk mengontrol atau mengkarakterisasi sistem kromatografi. Puncak asimetri muncul karena berbagai faktor. Peningkatan nilai tailling factor (Tf) akan menyebabkan penurunan resolusi, batas deteksi, dan presisi. Perhitungan Tailling Factor (Tf) dapat dilihat pada gambar 2.5. Gambar 2.5 Perhitungan tailling factor (Tf) (Ahuja and Dong, 2005). 15 Dalam kondisi ideal, puncak kromatografi akan memiliki bentuk puncak Gaussian yaitu puncak simetri sempurna. Pada kenyataannya, sebagian besar puncak dapat mengalami tailing. Seperti ditunjukkan dalam gambar 2.5, Tailling factor (Tf) adalah ukuran dari puncak asimetri. Dalam perhitungan ini digunakan lebar puncak pada ketinggian puncak 5% (W0,05). Tailling factor dengan nilai 1,0 mengindikasikan puncak simetris sempurna. Puncak tailing biasanya disebabkan oleh adsorpsi atau interaksi kuat lain dari analit dengan fase diamnya (Ahuja and Dong, 2005). 2.5 Analisis Data 2.5.1 Fungsi Cosinus Fungsi cosinus ditentukan untuk menyatakan hubungan kedekatan antara dua vektor dalam hal ini adalah hubungan kedekatan antara dua buah sampel. Fungsi cosinus ini diterapkan dalam kromatografi fingerprint untuk menentukan hubungan kedekatan sampel yang satu dengan sampel yang lainnya. Nilai korelasi antara dua kromatogram dapat dihitung dengan persamaan (2). 𝐶 = 100 𝑥 (𝑎 1 𝑏1 + 𝑎 2 𝑏2 + …+ 𝑎 𝑛 𝑏𝑛 )2 2 𝑎 1 + 𝑎 22 + … 𝑎 𝑛2 𝑥 𝑏12 + 𝑏22 + …+ 𝑏𝑛2 ………………..................……… (2) Dimana a1, a2, a3, …, an menyatakan besaran/ nilai dari variabel 1 – n untuk kromatogram a, dan b1, b2, …, bn menyatakan besaran variabel 1 – n untuk kromatogram b. Fungsi kosinus memiliki keuntungan yaitu mudah memproses hasil dari perhitungan dan memberikan nilai data tunggal dibandingkan nilai hasil grafik. Hasil perhitungan fungsi kosinus ini secara langsung akan menunjukkan hubungan antara suatu sampel dengan sampel yang lainnya (Esseiva et al., 2003). 16 2.5.2 Analisis Data dengan Cross Correlation Function Dalam membandingkan bentuk spektrum dari tiga daerah asal digunakan analisis fungsi korelasi silang “cross correlation function”. Koefisien korelasi r dihitung dengan persamaan (3) 𝑟= 𝑥𝑖 𝑦𝑖 𝑥 𝑖2 𝑦 𝑖2 ……………………………………………………….................. (3) Dimana xi dan yi adalah harga Absorban Unit dari dua spektrum yang dibandingkan pada suatu panjang gelombang, penjumlahan dilakukan pada rentang panjang gelombang yang sesuai dengan analit (Harmita, 2004). .