BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
!
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (PSYCHOLOGICAL WELL BEING)
1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis
Kesejahteraan psikologis atau psychological well being merupakan
pembahasan yang penting dalam kesehatan mental manusia (Huppert, 2009).
Secara tradisional, kesejahteraan psikologis diartikan sebagai suatu kondisi
yang bebas dari rasa cemas, depresi, dan gejala distres lainnya. Namun seiring
dengan berkembangnya zaman, kesejahteraan psikologis telah didefinisikan
menjadi lebih positif, yakni meliputi kualitas positif yang dimiliki oleh seorang
individu sehingga mampu mencapai kesehatan mental yang baik (Keyes &
Magyar-Moe, 2003).
Menurut Ryff dan Singer (1998), kesehatan positif merupakan kondisi
dimana seseorang tidak hanya terhindari dari penyakit-penyakit. Hal ini sejalan
dengan yang dinyatakan oleh Cacioppo dan Bernston (dalam Ryan & Deci,
2001) bahwa afek positif bukan merupakan sesuatu yang berlawanan dengan
afek negatif. Huppert (2009) juga menyatakan bahwa kesejahteraan seseorang
dilihat lebih dari ketidakhadiran dari penyakit-penyakit. Selain itu, beberapa
penelitian terkini telah berpindah fokus dari penekanan akan gangguan dan
disfungsional sebelumnya, menuju fokus kesejahteraan dan kesehatan mental
positif. Hal ini dapat juga dilihat dari definisi kesehatan yang dirumuskan oleh
WHO (2013), yakni merupakan suatu kondisi yang lengkap akan kesejahteraan
$(!
!
$)!
!
fisik, mental, dan sosial, sehingga kesehatan bukan hanya sebatas
ketidakhadiran dari penyakit-penyakit.
Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001) menyatakan bahwa kesejahteraan
psikologis tidak hanya sebatas perolehan akan kesenangan, namun merupakan
usaha individu untuk mencapai kesempurnaan yang menggambarkan kesadaran
akan potensi dalam dirinya. Ryff dan Singer (1996) selanjutnya merumuskan
enam dimensi dari kesejahteraan psikologis yang mana enam dimensi
tersebutlah yang mendefinisikan kesejahteraan psikologis, yakni kondisi
dimana individu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri ataupun
penerimaan diri yang baik, mampu membangun hubungan yang positif dengan
orang lain, tidak tergantung kepada orang lain dalam pengambilan keputusan,
memiliki kemampuan untuk mengontrol lingkungan di sekitarnya, memiliki
tujuan hidup yang jelas dan mampu mengembangkan dirinya sendiri.
Huppert
merupakan
(2009)
kehidupan
menambahkan
seseorang
bahwa
yang
kesejahteraan
berlangsung
psikologis
dengan
baik.
Keberlangsungan kesejahteraan psikologis seseorang tidak membutuhkan
individu untuk merasa positif akan hidupnya untuk setiap saat, namun berbagai
pengalaman emosi yang menyakitkan, seperti kekecewaan dan kegagalan, juga
merupakan hal yang esensial untuk kesejahteraan psikologis. Pengalaman
emosi negatif hanya akan menganggu kesejahteraan psikologis seseorang
ketika pengalaman tersebut dialami untuk waktu yang cukup lama dan
menganggu keberfungsian seseorang dalam kehidupannya. Secara umum,
!
!
$*!
!
Jarden (2012) mendefenisikan kesejahteraan psikologis sebagai kebahagiaan,
kepuasan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
Berdasarkan uraian di atas, maka kesejahteraan psikologis dapat
diartikan sebagai suatu kondisi dimana individu memaksimalkan potensi
dirinya demi mencapai tujuan yang diharapkan dengan menyadari kemampuan
yang ada di dalam dirinya.
2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis
Terdapat
enam
dimensi
dalam
kesejahteraan
psikologis
yang
diungkapkan oleh Ryff dan Singer (1996), diantaranya yaitu:
a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)
Penerimaan diri menekankan pada adanya sikap positif terhadap diri
sendiri, menerima berbagai bagian dalam diri sendiri, dan juga memiliki
pandangan positif terhadap masa lalu. Individu yang memiliki tingkat
penerimaan diri yang baik ditandai dengan sikap yang positif baik terhadap
diri sendiri maupun terhadap kehidupannya di masa lalu serta mengetahui
dan menerima segala kelebihan maupun kekurangan dalam diri.
Sebaliknya, individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang
kurang baik ditandai dengan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri dan
kehidupan masa lalu, serta memiliki keinginan untuk tidak menjadi dirinya.
b. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relation with Others)
Ryff menyimpulkan bahwa dimensi ini menekankan seseorang untuk
memiliki kehangatan, hubungan yang memuaskan dengan orang lain,
memperhatikan kesejahteraan orang lain, empati, perhatian, membangun
!
!
$+!
!
hubungan dekat dengan orang lain, dan memahami hubungan timbal balik
dari suatu hubungan. Individu yang memiliki nilai positif pada dimensi ini
digambarkan sebagai seseorang yang mampu memiliki hubungan yang
hangat atau intim dengan orang lain, mampu membangun kepercayaan
dalam suatu hubungan, memiliki rasa empati, serta perhatian kepada orang
lain.
Sebaliknya, individu dengan dimensi hubungan positif yang rendah
dengan orang lain cenderung kurang cakap dalam membangun hubungan
interpersonal, terisolasi, susah untuk terbuka dan peduli terhadap orang lain,
tertutup dan tidak berkeinginan untuk mempertahankan hubungan dengan
orang lain.
c. Otonomi (Autonomy)
Dimensi ini mencerminkan kemandirian, menentukan jalan hidup
sendiri, mampu untuk menhadapi tekanan sosial untuk berpikir ataupun
bertindak dengan cara atau pola tertentu, serta mampu untuk bebas dari
norma atau aturan yang mendasari kehidupan sehari-harinya. Individu yang
memiliki tingkatan otonomi yang baik ditunjukkan dengan pribadi yang
mandiri, mampu bertahan dari tekanan sosial, menentukan sendiri perilaku
yang akan dimunculkan, dan memiliki kemampuan untuk mengevaluasi diri
sendiri.
Sebaliknya, individu yang rendah pada dimensi ini cenderung
mempertimbangkan penilaian orang lain ketika memutuskan sesuatu, tidak
!
!
$,!
!
mandiri, mudah melakukan konformitas, mudah terpengaruh oleh tekanan
sosial ketika mengambil keputusan.
d. Penguasaan Lingkungan (Enviromental Mastery)
Dimensi ini menekankan kemampuan untuk menciptakan ataupun
mengatur lingkungan sekitarnya agar sesuai dengan keinginan atau
kebutuhannya. Ryff menyatakan bahwa individu yang memiliki penguasaan
lingkungan yang baik akan menunjukkan kemampuan untuk memanipulasi,
mengontrol, dan dapat menggunakan sumberdaya dan kesempatan yang ada
dengan efektif.
Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi ini akan mengalami
kesulitan mengatur lingkungan di sekitarnya agar sesuai dengan kebutuhan
dirinya, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan apa yang
ada diluar dirinya, serta tidak menyadari adanya peluang di sekitarnya.
e. Tujuan Hidup (Purpose in Life)
Dimensi ini menekankan pada adanya tujuan yang ingin dicapai dalam
kehidupan, adanya sense of direction dalam kehidupan seseorang, merasa
bahwa kehidupan sekarang dan masa lalu bermakna, dan memiliki alasan
untuk tetap hidup. Individu dengan tujuan hidup yang tinggi telah
menentukan target dan cita-cita yang akan ia capai serta merasa bahwa baik
kehidupan masa lalu maupun kini adalah kehidupan yang bermakna.
Sebaliknya, individu dengan tujuan hidup yang rendah tidak memiliki
target dan cita-cita yang ingin dicapai, tidak mengetahui arah yang akan
!
!
%-!
!
dituju, serta tidak melihat adanya makna dari kehidupannya di masa lalu
maupun masa kini.
f. Pertumbuhan Diri (Personal Growth)
Dimensi pengembangan personal merujuk kepada sejauh mana individu
mampu menyadari potensi yang dimilikinya, dan memiliki keinginan untuk
terus mengembangkan dirinya ke arah yang lebih positif. Individu yang
tinggi pada dimensi ini akan menunjukkan adanya rasa akan keperluan
untuk melanjutkan peningkatkan diri, melihat diri sendiri dengan pandangan
yang lebih baik dan terbuka untuk pengalaman baru, dan berkembangnya
self-knowledge dan efektivitas diri.
Sebaliknya, individu yang rendah pada dimensi ini memandang dirinya
sebagai seseorang yang tidak dapat berkembang, mengalami stagnasi,
kehilangan keinginan untuk mempelajari hal-hal baru yang dapat
memperkaya dirinya.
Dengan demikian, berdasarkan pemaparan di atas maka dapat dilihat
bahwa terdapat enam aspek dalam kesejahteraan psikologis, yakni penerimaan
diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan,
tujuan hidup, dan pertumbuhan diri.
!
!
%$!
!
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis
seseorang, diantaranya yaitu:
a. Usia
Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa usia dapat mempengaruhi
kesejahteraan psikologis seseorang. Aspek tertentu dari kesejahteraan
psikologis, yakni penguasaan lingkungan, otonomi, dan hubungan positif
menunjukkan pola peningkatan sejalan dengan bertambahnya usia
seseorang. Aspek pertumbuhan diri dan tujuan hidup menunjukkan pola
penurunan, terutama pada masa lansia. Sedangkan, pada aspek penerimaan
diri, tidak ditemukan adanya perbedaan antar kelompok usia dewasa awal,
madya, dan akhir.
b. Jenis Kelamin
Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa terdapat perbedaan
kesejahteraan psikologis antara wanita dan pria. Wanita cenderung akan
memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi pada dimensi hubungan
positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan diri. Hal tersebut dapat
dijelaskan dari pengaruh stereotype gender yang telah tertanam dalam diri
individu, bahwa sejak kecil, anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang
agresif dan mandiri, sementara anak perempuan digambarkan sebagai sosok
yang pasif dan bergantung pada orang lain, serta sensitif terhadap perasaan
orang lain (Matlin, 2008). Selain itu, diketahui pula bahwa wanita
cenderung mengalami tingkat depresi yang lebih tinggi. Namun, dengan
!
!
%%!
!
tingkat depresi yang lebih tinggi, wanita ditemukan memiliki kemampuan
untuk coping dengan lebih baik. Hal inilah yang menyebabkan wanita
memiliki nilai yang lebih tinggi pada dimensi pertumbuhan diri (Ryff &
Singer, 1996).
c. Status Sosial Ekonomi
Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa status sosial ekonomi, yakni
pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan seseorang berhubungan dengan
kesejahteraan psikologis. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang
lebih tinggi memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi
pula, khususnya pada dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan diri. Selain
itu, status pekerjaan juga turut mempengaruhi tingkat kesejahteraan
psikologis seseorang. Ryff (dalam Ryan dan Deci, 2001) menemukan
bahwa status sosial ekonomi seseorang dapat berdampak pada kesejahteraan
psikologis, khususnya pada dimensi penerimaan diri, tujuan hidup,
penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Meskipun begitu, Ryan dan
Deci (2001) menyatakan bahwa hubungan status sosial ekonomi dengan
kesejahteraan seseorang masih rendah. Namun, tidak dapat disangkal pula
bahwa dukungan materi dapat meningkatkan akses seseorang ke sumber
daya yang penting untuk mencapai kebahagiaan.
d. Budaya
Kesejahteraan psikologis dapat dipengaruhi oleh budaya setempat. Pada
masyarakat individualistik yang sangat berfokus pada diri sendiri, maka
dimensi penerimaan diri dan otonomi akan lebih menonjol dalam konteks
!
!
%&!
!
budaya barat yang lebih individualistik (Ryff & Singer, 1996). Sebaliknya,
pada masyarakat kolektivistik yang sangat bergantung satu sama lain, maka
dimensi hubungan positif dengan orang lain akan lebih menonjol dalam
konteks budaya timur yang cenderung kolektif.
e. Kepribadian
Kepribadian
seseorang
merupakan
prediktor
terbesar
dalam
menentukan tipe emosi yang akan ia munculkan. Individu dengan
kepribadian neuroticism selalu identik dengan tipe emosi yang negatif.
Sebaliknya, individu extraversion identik dengan emosi yang lebih positif
(Diener, Suh, Lucas & Smith, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Abbott,
Croudace, Ploubidis, Kuh, Wadsworth, Richards, dan Huppert (2008)
menemukan bahwa kepribadian extraversion memiliki pengaruh positif
yang besar terhadap kesejahteraan psikologis, sedangkan neuroticism
memiliki efek negatif terhadap kesejahteraan psikologis yang dimediasi oleh
distres psikologis.
f. Status Marital
Seseorang yang telah menikah cenderung memiliki kepuasan hidup dan
kesehatan psikologis yang lebih tinggi (Dolan, Peasgood, & White, dalam
Huppert, 2009). Bierman, Fazio dan Milkie (2006) meneliti mengenai salah
satu dimensi dalam kesejahteraan psikologis, yaitu tujuan hidup. Mereka
menemukan bahwa individu yang telah menikah memiliki nilai yang lebih
tinggi pada dimensi tersebut dibandingkan dengan individu yang tidak
menikah.
!
!
%'!
!
g. Multiple Roles
Ahrens dan Ryff (2006) menemukan bahwa ketika seseorang memiliki
keterlibatan peran yang lebih besar, maka hal tersebut akan berpengaruh
terhadap
kesejahteraan
seseorang.
Hal
ini
dikarenakan
dengan
meningkatnya jumlah peran seseorang maka ia akan memperoleh koneksi
sosial yang lebih luas, power, prestige, kepuasan emosi, dan juga dapat
meningkatkan sumber daya seseorang. Oleh sebab itulah, peningkatan
jumlah peran seseorang akan berhubungan dengan rendahnya tingkat
psychological distress.
h. Relatedness
Relatedness dianggap sebagai need dasar yang penting bagi tiap
manusia (Baumeister & Leary, 1995). Kebutuhan akan relatedness dapat
diwujudkan melalui kedekatan atau hubungan seseorang dengan orang lain
yang dianggap penting dalam hidupnya (Deci & Ryan, 1991). Kasser dan
Ryan (1996) juga menemukan bahwa relatedness berhubungan dengan
meningkatnya kesejahteraan seseorang. Individu yang terjalin dalam
interaksi sosial dan merasa puas akan hubungannya dengan orang lain
cenderung hidup lebih lama dan memiliki kesehatan mental dan fisik yang
lebih baik (Reis, Sheldon, Gable, Roscoe, & Ryan, 2000). Sebaliknya,
kesepian yang diakibatkan oleh kurangnya interaksi individu dengan orang
lain juga secara konsisten behubungan negatif dengan kepuasan hidup
seseorang (Lee & Ishii-Kuntz, dalam Ryan & Deci, 2001). Relatedness
dapat terwujud dalam berbagai bentuk, seperti di dalam hubungan
!
!
%(!
!
pertemanan, keluarga, atau lingkup sosial yang lebih luas (Kasser & Ryan,
1999; Furrer & Skinner, 2003; Kagitcibasi, 2005).
i. Generativity
Generativity merupakan suatu tahapan normatif yang diungkapkan oleh
Erikson, yang mana umumnya lebih sering dicapai pada masa dewasa
madya (Papalia dkk., 2007). Individu yang mencapai tahapan generativity
akan mengembangkan sebuah minat untuk memandu dan memberi
pengaruh pada generasi selanjutnya. Lawan dari generativity adalah
stagnation. Individu yang tidak menemukan sarana untuk melakukan
generativity akan menjadi self-absorbed atau stagnan. Nilai utama dari
tahapan generativity adalah care. Individu akan memiliki komitmen yang
semakin tinggi untuk menjaga orang-orang, produk-produk, dan ide-ide,
serta memandu generasi selanjutnya untuk melihat potensi diri mereka di
masa depan. Berbagai peneliti menemukan bahwa individu dewasa madya
cenderung memiliki tingkat generativity yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu dewasa awal dan akhir. Selain itu, dari hasil penelitian
tersebut juga ditemukan bahwa wanita cenderung memiliki generativity
yang lebih tinggi dibandingkan pria (Papalia dkk., 2007).
Generativity dapat muncul pada dewasa madya karena adanya
keinginan akan imortalitas, keinginan untuk merasa diperlukan, dan juga
digabungkan dengan permintaan eksternal untuk memberikan perhatian
kepada generasi selanjutnya. Ketika seseorang telah mencapai tahapan
generativity, maka akan muncul perasaan dalam diri individu bahwa ia telah
!
!
%)!
!
melakukan kontribusi yang bermanfaat bagi lingkungannya, sehingga pada
akhirnya dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu (Papalia
dkk., 2007).
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang,
yakni faktor demografis (usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan
budaya), faktor kepribadian, status marital, orientasi religius, multiple roles,
relatedness, dan generativity.
B. GRANDPARENTING STYLE
1. Grandparenting
Sekarang ini, gambaran stereotipe mengenai kakek nenek telah berubah
yang mana dulunya orang-orang cenderung berasumsi bahwa seorang kakek
nenek merupakan individu yang lemah, namun kini gambaran mengenai kakek
nenek telah menjadi lebih muda, aktif, energetik, penuh dengan ide, sehat, dan
penuh antusiasme (Troll, dalam Craig, 1996; DeGenova, 2008). Selain itu,
rentang usia dalam memperoleh peran kakek nenek pun telah meluas
dikarenakan kemajuan dalam bidang teknologi dan nutrisi (Szinovacz, dalam
DeGenova, 2008). Conner (dalam Sigelmen & Rider, 2003) menyatakan
bahwa rata-rata usia seseorang memperoleh peran kakek nenek yaitu pada usia
47. Dengan demikian, seseorang akan memperoleh peran kakek nenek pada
masa dewasa madya (Botwinick, dalam Lemme, 1995).
!
!
%*!
!
Pentingnya peran kakek nenek telah menjadi perhatian yang meningkat
sekarang ini. Berbagai ilmuwan sosial menganggap kakek nenek sebagai pusat
dari dinamika keluarga dan sumberdaya dalam suatu keluarga (IngersollDayton & Neal, dalam DeGenova, 2008). Ketika seseorang telah menjadi
kakek nenek maka hal tersebut merepresentasikan adanya perolehan akan
peran baru. Pada umumnya, pengalaman ini dianggap sebagai pengalaman
yang menyenangkan untuk sebagian orang (Somary & Stricker; Szinovacz,
dalam Cavanaugh, 2006). Hal ini dikarenakan berbagai manfaat yang dapat
diperoleh kakek nenek dari peran tersebut, antara lain seperti keterlibatan
dalam kehidupan dan aktivitas anak dan cucu, menyediakan dukungan
extended family, menjadi seorang kakek nenek yang lebih baik dibandingkan
ketika menjadi orangtua, dan memberi kesinambungan nilai yang dianut
keluarga pada generasi selanjutnya (Mader, 2007). Peran kakek nenek juga
dapat memberikan rasa bangga pada diri mereka ketika cucu berhasil meraih
suatu pencapaian (Albrecht; Kahana & Kahana, dalam Pruchno & Johnson,
1996).
Mayoritas dari kakek nenek menemukan peran mereka sangat
menyenangkan (Peterson, dalam Sigelmen & Rider, 2003). Meskipun begitu,
terdapat perbedaan gender pada tingkat kepuasan yang dialami seseorang
dalam menjalankan peran kakek nenek. Thomas (dalam Hoyer, Rybash, &
Roodie, 1999) menemukan bahwa seorang nenek akan memiliki tingkat
kepuasan yang lebih tinggi akan peran mereka dibandingkan seorang kakek.
Selain itu, seorang nenek pun akan lebih cenderung untuk menganggap
!
!
%+!
!
grandparenting sebagai kesempatan kedua untuk mengasuh dibandingkan
dengan seorang kakek, sehingga nenek akan cenderung lebih bersedia untuk
menjaga dan merawat cucu, serta mentransmisikan nilai-nilai, tradisi, dan
sejarah keluarga kepada sang cucu dibandingkan dengan seorang kakek. Troll
(dalam Hoyer dkk., 1999) menyatakan bahwa seorang kakek cenderung
berperan sebagai kepala keluarga, sedangkan seorang nenek cenderung
berperan sebagai pengasuh keturunan (Cohler & Grunebaum, dalam Hoyer
dkk., 1999).
Peran dalam pengasuhan cucu dapat mempengaruhi kesejahteraan
psikologis seseorang. Hal ini dapat disebabkan oleh cucu yang berperan sebagi
sumber emosional positif yang penting bagi kakek nenek, seperti kesenangan
yang dialami ketika menghabiskan waktu bersama cucu (Bass & Caro;
Brandon; Treoir; Silverstein dkk., dalam Arpino & Bordone, 2014). Selain itu,
kemungkinan gejala stress juga dapat meningkat pada kakek nenek yang
memiliki berbagai beban dan tanggung jawab dalam mengasuh cucu (Franklin,
1999; Szinovacz, DeViney, & Atkinson, 1999). Namun, Giarusso, Feng,
Wang, dan Silverstein (1996) menemukan bahwa kakek nenek yang bersedia
menerima beban dan tanggung jawab yang besar dalam mengasuh cucu dapat
saja meningkatkan kesejahteraan psikologis. Hal ini dikarenakan hal tersebut
dapat meningkatkan tujuan hidup kakek nenek sehingga membuat hidup
mereka menjadi lebih bermakna (Giarusso dkk., 1996; Statham, 2011).
Beberapa makna hidup yang dapat diperoleh pada kakek nenek yang
mengasuh cucu (Neugarten & Weinstein, dalam Santrock, 2009), yaitu
!
!
%,!
!
pertama, sebagai sumber akan reward biologis dan tanda dari kontinuitas
seseorang. Disini, seorang kakek atau nenek dapat merasa kembali menjadi
muda ataupun merasa hidupnya kembali bermanfaat demi masa depan cucu
dan keluarga. Kedua, sebagai sumber pemenuhan emosional diri sendiri.
Disini, seorang kakek atau nenek dapat memperoleh perasaan kepuasan dan
kedekatan yang telah hilang sebelumnya semasa hubungannya dengan anaknya
yang telah memasuki masa dewasa. Kivnick (dalam Hoyer & Roodin, 2009)
juga menyatakan bahwa beberapa orang dapat mengalami tingkat kepuasan
dengan peran kakek nenek karena mereka dapat melakukan kembali hal yang
sering terlewatkan ketika mereka berperan sebagai orangtua dalam pengasuhan
anaknya.
2. Grandparenting Style
Neugarten dan Weinstein (dalam Cavanaugh, 2006) mendefinisikan
grandparenting style sebagai cara bagaimana seseorang berinteraksi dengan
cucunya yang dapat diklasifikasikan oleh seberapa sering kontak yang terjadi
dan jumlah pengaruh yang dapat terjadi antara kakek nenek terhadap cucu.
Terdapat tiga grandparenting style yang diungkapkan oleh Cherlin dan
Furstenberg (dalam Sigelman & Rider, 2003) yang mana dapat dilihat sebagai
sebuah kontinum, dengan ujung kontinum kiri berupa tipe yang tidak terlalu
terlibat dengan cucu hingga pada ujung kontinum kanan dengan tipe yang
sangat terlibat dengan cucu, diantaranya yakni:
!
!
&-!
!
a. Remote
Merupakan figur simbolik yang mana kakek nenek jarang bertemu
dengan cucunya. Kakek nenek pada tipe ini tidak terlalu terlibat dengan
kehidupan cucu. Kebanyakan kakek nenek jarang mengunjungi cucu
dikarenakan faktor geografis. Kakek nenek pun berharap agar bisa tinggal
lebih dekat dengan cucunya (Sigelman & Rider, 2003). Meskipun jarang
bertemu, ketika sekali berkunjung, kakek nenek dapat menghabiskan waktu
yang cukup intens dengan cucunya, misalnya selama sebulan liburan
sekolah (Cherlin & Furstenberg, 1986). Beberapa kakek nenek pada tipe
karena tidak tinggal dekat dengan cucunya, maka dapat menyebabkan
kurangnya kedekatan emosional atau afeksi terhadap cucu. Namun,
beberapa kakek nenek lainnya dapat saja memiliki kedekatan emosional
dengan cucu yang muncul dari kunjungan yang dilakukan. Selain itu, kakek
nenek pun dapat mempertahankan hubungan dengan cucunya, misalnya
melalui telepon yang rutin (Smith, 2005).
Dengan demikian, kakek nenek pada tipe remote memiliki tanggung
jawab untuk menjaga cucu yang relatif rendah, memiliki kedekatan
emosional yang tidak terlalu tinggi, namun beberapa kakek nenek lainnya
bisa saja membangun kedekatan emosional yang cukup tinggi ketika
menghabiskan waktu untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan
dengan cucu selama berkunjung.
!
!
&$!
!
b. Companionate
Pada umumnya, tipe ini dapat digambarkan dengan hubungan kakek
nenek yang dekat, perhatian, dan sering melakukan aktivitas yang
menyenangkan dengan cucu. Kakek nenek companionate cenderung tinggal
dekat dengan cucunya sehingga sering berinteraksi dengan cucu. Tipe ini
merupakan tipe yang paling umum yang sesuai dengan gambaran
kebanyakan orang akan peran kakek nenek, yakni hadir ketika diperlukan,
misalnya menjaga cucu ketika orangtua memiliki urusan, dekat dengan
cucunya, sering bermain bersama, memberi bantuan ketika diperlukan,
namun tidak terlalu ikut campur dalam hal mendisiplinkan cucu ataupun
mengatur kehidupan cucu (Sigelman & Rider, 2003).
Dengan demikian, kakek nenek pada tipe companionate mengalami
kesenangan dan kedekatan emosional dengan cucu, serta tanggung jawab
untuk menjaga cucu yang tidak terlalu tinggi.
c. Involved
Pada tipe ini, kakek nenek juga sering bertemu dengan cucunya dan
bermain-main dengan sang cucu, namun disini kakek nenek memiliki
keterlibatan yang lebih besar dalam kehidupan cucu. Kakek nenek
memainkan peran aktif dalam mengasuh cucu, seperti menjaga atau
merawat cucu, menerapkan beberapa aturan yang harus dipatuhi, mendidik
cucu agar mematuhi aturan tersebut, mendisiplinkan dan mengatur
kehidupan cucu, seperti mengatur perkembangan intelektual, misalnya
dalam masalah pendidikan, ataupun dalam hal menyediakan dukungan
!
!
&%!
!
finansial, tempat tinggal, makanan, permainan. Peran kakek nenek pada tipe
ini hampir tidak berbeda dengan peran orangtua. Pada tipe involved, kakek
nenek sering berperan sebagai pengganti orangtua sehingga kesejahteraan
kakek nenek dapat terganggu karena stress yang muncul apabila tanggung
jawab yang harus dijalankan terlalu besar (Sigelman & Rider, 2003).
Meskipun begitu, apabila terdapat kesediaan kakek nenek untuk terlibat
dalam peran tersebut, maka tanggung jawab yang harus dijalankan pun tidak
menjadi masalah karena hal tersebut dapat meningkatkan tujuan hidup
kakek nenek (Giaruso dkk., 1996).
Dengan demikian, pada tipe ini kakek nenek akan memiliki kedekatan
emosional dengan cucu, mengalami kesenangan, dan di satu sisi juga
memiliki tanggung jawab yang cukup tinggi untuk menjaga serta merawat
cucu.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dilihat bahwa grandparenting style
terdiri atas tiga tipe, yakni remote, companionate, dan involved.
C. DEWASA MADYA
1. Pengertian Dewasa Madya
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa seseorang telah mencapai tahap
dewasa apabila pertumbuhan fisiknya telah sempurna serta mencapai
kematangan psikologis sehingga mampu hidup dan berperan bersama dengan
orang dewasa lainnya (Mubin & Cahyadi, 2006). Umumnya, masa dewasa
dibagi menjadi tiga fase, yakni masa dewasa awal, madya, dan akhir. Masa
!
!
&&!
!
dewasa madya biasanya ditandai dengan semakin sempitnya pilihan hidup dan
juga jenjang karir yang menjadi semakin jelas (Berk, 2007). Masa dewasa
madya dapat didefinisikan secara kontekstual, yakni usia dimana individu
memiliki anak yang telah memasuki masa dewasa dan orangtua lanjut usia.
Hurlock (2003) menyatakan bahwa masa dewasa madya dimulai dari usia 40
hingga 60 tahun. Menurut Feldman (dalam Mubin & Cahyadi, 2006), masa
dewasa madya berlangsung dari sekitar usia 40 sampai sekitar usia 65 tahun.
Berk (2007) dan Papalia dkk. (2007) juga berpendapat sama bahwa masa
dewasa madya dimulai dari usia 40 hingga 65 tahun.
Individu dewasa madya rata-rata memiliki kepuasan hidup yang cukup
tinggi (Myers; Myers & Diener; Walker, Skowronski, & Thompson, dalam
Papalia, 2007). Hal ini dapat dijelaskan karena segala emosi positif yang
berhubungan dengan pengalaman yang menyenangkan akan cenderung
bertahan, sedangkan emosi negatif yang berhubungan dengan pengalaman
tidak menyenangkan akan memudar.
Selain itu, individu yang telah memasuki masa dewasa madya pada
umumnya telah beradaptasi dengan berbagai rintangan, sehingga kesejahteraan
psikologis individu pun akan semakin baik (Lucas; Diener, dalam Papalia,
2007). Dukungan sosial, religius, pekerjaan, aktivitas luang, dan hubungan
dengan orang lain merupakan faktor penting bagi kesejahteraan individu
dewasa madya.
!
!
&'!
!
2. Tugas Perkembangan Dewasa Madya
Tugas perkembangan merupakan tanggung jawab yang ditetapkan secara
kultural yang menandakan kompetensi atau pencapaian yang penting bagi
kebahagiaan
dan
penyesuaian
individu
(Lefrançois,
1990).
Tugas
perkembangan berbeda untuk setiap tahapan rentang kehidupan. Newman dan
Newman (2006) mengungkapkan beberapa tugas perkembangan masa dewasa
madya, yakni:
a. Mengatur Karir
Pekerjaan merupakan konteks yang cukup luas dalam masa
perkembangan dewasa. Masa dewasa madya membawa tantangan baru,
serta reformulasi ambisi dan tujuan-tujuan, sehingga individu dewasa
madya perlu mengatur karirnya agar mencapai tingkat kompetensi baru
dalam dunia pekerjaannya. Individu dewasa madya juga perlu untuk
menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan keluarga, fleksibel dengan
perubahan karir yang dialami, dan mampu menyesuaikan diri dari dampak
pengangguran.
b. Menjaga Hubungan Intimasi
Kebahagiaan yang diperoleh dari hubungan intimasi merupakan
prediktor yang lebih kuat bagi kesejahteraan individu dibandingkan dengan
kepuasan dalam pekerjaan. Pernikahan dan hubungan intimasi yang lainnya
merupakan hubungan yang dinamis, yang mana dapat berubah seiring
dengan semakin dewasanya kedua pasangan, ataupun karena berubahnya
susunan anggota keluarga.
!
!
&(!
!
c. Mengatur Rumah Tangga
Individu dewasa madya perlu mengatur sumber daya dan memenuhi
kebutuhan yang diperlukan dalam keluarga. Mengatur rumah tangga
berhubungan dengan segala perencanaan, pemecahan masalah, dan aktivitas
yang harus dilaksanakan oleh individu untuk mengurus diri sendiri serta
orang lain yang dipercayakan kepada diri individu.
d. Memperluas Hubungan Caring
Individu dewasa madya memiliki kesempatan untuk mengekspresikan
caring dalam berbagai peran, diantaranya adalah parenting, menjaga
orangtua yang telah menua, serta grandparenthood. Berbagai peran tersebut
dapat menantang sumber daya intelektual, emosional, serta fisik dari
individu dewasa madya.
Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 2003), terdapat beberapa tugas
perkembangan yang harus dipenuhi pada masa dewasa madya:
a. Mencapai tanggung jawab sosial dan dewasa sebagai warga negara.
b. Membantu anak-anak remaja belajar untuk menjadi orang dewasa yang
bertanggung jawab dan bahagia.
c. Mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu senggang untuk orang
dewasa.
d. Menghubungkan diri sendiri dengan pasangan hidup sebagai seorang
individu.
e. Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan fisiologis
yang terjadi.
!
!
&)!
!
f. Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam
pekerjaan.
g. Menyesuaikan diri dengan orang tua yang semakin tua.
D. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA WANITA DEWASA MADYA
DITINJAU DARI GRANDPARENTING STYLE
Kesejahteraan psikologis pada dasarnya merujuk kepada keberfungsian
psikologis dan pengalaman yang optimal pada manusia (Ryan & Deci, 2001).
Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001) menyatakan kesejahteraan psikologis tidak
hanya sebatas perolehan akan kesenangan, namun merupakan usaha individu
untuk mencapai kesempurnaan yang menggambarkan kesadaran akan potensi
dalam dirinya. Ryff dan Singer (1996) selanjutnya merumuskan enam dimensi
dari kesejahteraan psikologis yang mana enam dimensi tersebutlah yang
mendefinisikan kesejahteraan psikologis, yakni kondisi dimana individu memiliki
sikap positif terhadap diri sendiri ataupun penerimaan diri yang baik, mampu
membangun hubungan yang positif dengan orang lain, tidak tergantung kepada
orang lain dalam pengambilan keputusan, memiliki kemampuan untuk
mengontrol lingkungan di sekitarnya, memiliki tujuan hidup yang jelas dan
mampu mengembangkan dirinya sendiri.
Penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Keyes (1995) menjelaskan bahwa
usia dan jenis kelamin seseorang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis.
Selanjutnya, Ryff dan Singer (1996) juga menyatakan bahwa status sosial
ekonomi seseorang dapat turut mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Beberapa
!
!
&*!
!
penelitian lainnya pun telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kesejahteraan psikologis, diantaranya faktor kepribadian (Abbott
dkk., 2008; Diener dkk., 1999), faktor relatedness (Baumeister & Leary, 1995;
Nezlek, dalam Ryan & Deci, 2001), faktor multiple roles (Ahrens & Ryff, 2006),
faktor status marital (Bierman dkk., 2006; Dolan dkk., dalam Huppert, 2009),
serta tahapan generativity yang diungkapkan oleh Erikson (Papalia dkk., 2007).
Dalam usia dewasa madya, individu dapat mencapai suatu tahapan
normatif yang disebut dengan generativity. Generativity merupakan sebuah
tahapan dimana seseorang mengembangkan perhatiannya untuk memandu dan
memberi pengaruh kepada generasi selanjutnya (Erikson dalam Papalia dkk.,
2007). Nilai utama dari tahapan generativity adalah care. Individu akan memiliki
komitmen yang semakin tinggi untuk menjaga orang-orang, produk-produk, dan
ide-ide, serta memandu generasi selanjutnya untuk melihat potensi diri mereka di
masa depan. Lawan dari generativity adalah stagnation. Individu yang tidak
menemukan sarana untuk melakukan generativity akan menjadi self-absorbed
atau stagnan.
Ketika seseorang telah mencapai tahapan generativity, maka akan muncul
perasaan dalam diri individu bahwa ia telah melakukan kontribusi yang
bermanfaat bagi lingkungannya, sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi
kesejahteraan psikologis individu (Papalia dkk., 2007). Selain itu, generativity
dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis dewasa madya karena usia madya
sangat dipengaruhi oleh hubungan seseorang dengan orang lain (Markus dkk.,
!
!
&+!
!
2004 dalam Papalia dkk., 2007). Generativity dapat diwujudkan melalui berbagai
hal, salah satunya yaitu melalui grandparenting atau pengasuhan cucu.
Dalam menjalankan peran grandparenting akan terdapat beberapa pola
interaksi yang dapat terjadi antara seorang nenek dengan cucunya, yang mana
disebut sebagai grandparenting style. Terdapat tiga grandparenting style yang
diungkapkan oleh Cherlin dan Furstenberg (1986), diantaranya yaitu remote,
companionate, dan involved.
Tipe remote merupakan figur simbolik yang mana nenek jarang bertemu
dengan cucunya. Hal ini biasanya disebabkan oleh kejauhan geografis tempat
tinggal antar nenek dengan cucunya. Meskipun jarang bertemu, nenek dapat
membangun kedekatan emosional yang dapat muncul ketika menghabiskan waktu
dengan cucu selama berkunjung ataupun melaui telepon yang rutin. Tipe kedua,
companionate, merupakan tipe yang paling umum dari grandparenting. Pada tipe
ini, nenek sering bertemu dengan cucunya dan menikmati melakukan aktivitas
bersama. Nenek pada tipe ini hadir ketika diperlukan, namun tidak terlalu ikut
campur dalam hal mendisiplinkan cucu. Tipe ketiga, involved, merupakan tipe
yang mana nenek juga sering bertemu dengan cucunya dan melakukan aktivitas
menyenangkan dengan sang cucu, namun disini nenek lebih terlibat dalam
kehidupan cucu sehingga sering memberikan bantuan untuk menjaga cucu, serta
memainkan peran aktif dalam mendisiplinkan cucu. Pada tipe involved, nenek
sering berperan sebagai pengganti orangtua.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada tipe companionate
nenek cenderung mengalami kesenangan dan kedekatan emosional dengan cucu,
!
!
&,!
!
dan disisi lain memiliki tanggung jawab yang tidak terlalu tinggi untuk menjaga
cucu. Pada tipe involved, nenek mengalami kesenangan, kedekatan emosional,
serta tanggung jawab yang tinggi untuk menjaga cucu. Sedangkan pada tipe
remote, nenek memiliki tanggung jawab yang cukup rendah dan kedekatan
emosional yang tidak terlalu tinggi, namun mereka dapat menikmati kesenangan
selama menghabiskan waktu dengan sang cucu selama berkunjung sehingga dapat
membangun kedekatan emosional antar kakek nenek dan cucu.
Berdasarkan pemaparan di atas, dengan adanya pola pengasuhan terhadap
cucu atau grandparenting style yang berbeda, maka memungkinkan generativity
yang dapat disalurkan dari nenek kepada cucu pun akan berbeda, yang mana
generativity merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan
psikologis seseorang. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk melihat gambaran
kesejahteraan psikologis ditinjau grandparenting style pada wanita dewasa
madya.
!
!
Download