! BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (PSYCHOLOGICAL WELL BEING) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis atau psychological well being merupakan pembahasan yang penting dalam kesehatan mental manusia (Huppert, 2009). Secara tradisional, kesejahteraan psikologis diartikan sebagai suatu kondisi yang bebas dari rasa cemas, depresi, dan gejala distres lainnya. Namun seiring dengan berkembangnya zaman, kesejahteraan psikologis telah didefinisikan menjadi lebih positif, yakni meliputi kualitas positif yang dimiliki oleh seorang individu sehingga mampu mencapai kesehatan mental yang baik (Keyes & Magyar-Moe, 2003). Menurut Ryff dan Singer (1998), kesehatan positif merupakan kondisi dimana seseorang tidak hanya terhindari dari penyakit-penyakit. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Cacioppo dan Bernston (dalam Ryan & Deci, 2001) bahwa afek positif bukan merupakan sesuatu yang berlawanan dengan afek negatif. Huppert (2009) juga menyatakan bahwa kesejahteraan seseorang dilihat lebih dari ketidakhadiran dari penyakit-penyakit. Selain itu, beberapa penelitian terkini telah berpindah fokus dari penekanan akan gangguan dan disfungsional sebelumnya, menuju fokus kesejahteraan dan kesehatan mental positif. Hal ini dapat juga dilihat dari definisi kesehatan yang dirumuskan oleh WHO (2013), yakni merupakan suatu kondisi yang lengkap akan kesejahteraan $(! ! $)! ! fisik, mental, dan sosial, sehingga kesehatan bukan hanya sebatas ketidakhadiran dari penyakit-penyakit. Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis tidak hanya sebatas perolehan akan kesenangan, namun merupakan usaha individu untuk mencapai kesempurnaan yang menggambarkan kesadaran akan potensi dalam dirinya. Ryff dan Singer (1996) selanjutnya merumuskan enam dimensi dari kesejahteraan psikologis yang mana enam dimensi tersebutlah yang mendefinisikan kesejahteraan psikologis, yakni kondisi dimana individu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri ataupun penerimaan diri yang baik, mampu membangun hubungan yang positif dengan orang lain, tidak tergantung kepada orang lain dalam pengambilan keputusan, memiliki kemampuan untuk mengontrol lingkungan di sekitarnya, memiliki tujuan hidup yang jelas dan mampu mengembangkan dirinya sendiri. Huppert merupakan (2009) kehidupan menambahkan seseorang bahwa yang kesejahteraan berlangsung psikologis dengan baik. Keberlangsungan kesejahteraan psikologis seseorang tidak membutuhkan individu untuk merasa positif akan hidupnya untuk setiap saat, namun berbagai pengalaman emosi yang menyakitkan, seperti kekecewaan dan kegagalan, juga merupakan hal yang esensial untuk kesejahteraan psikologis. Pengalaman emosi negatif hanya akan menganggu kesejahteraan psikologis seseorang ketika pengalaman tersebut dialami untuk waktu yang cukup lama dan menganggu keberfungsian seseorang dalam kehidupannya. Secara umum, ! ! $*! ! Jarden (2012) mendefenisikan kesejahteraan psikologis sebagai kebahagiaan, kepuasan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Berdasarkan uraian di atas, maka kesejahteraan psikologis dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana individu memaksimalkan potensi dirinya demi mencapai tujuan yang diharapkan dengan menyadari kemampuan yang ada di dalam dirinya. 2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis Terdapat enam dimensi dalam kesejahteraan psikologis yang diungkapkan oleh Ryff dan Singer (1996), diantaranya yaitu: a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance) Penerimaan diri menekankan pada adanya sikap positif terhadap diri sendiri, menerima berbagai bagian dalam diri sendiri, dan juga memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan sikap yang positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap kehidupannya di masa lalu serta mengetahui dan menerima segala kelebihan maupun kekurangan dalam diri. Sebaliknya, individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik ditandai dengan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri dan kehidupan masa lalu, serta memiliki keinginan untuk tidak menjadi dirinya. b. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relation with Others) Ryff menyimpulkan bahwa dimensi ini menekankan seseorang untuk memiliki kehangatan, hubungan yang memuaskan dengan orang lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, empati, perhatian, membangun ! ! $+! ! hubungan dekat dengan orang lain, dan memahami hubungan timbal balik dari suatu hubungan. Individu yang memiliki nilai positif pada dimensi ini digambarkan sebagai seseorang yang mampu memiliki hubungan yang hangat atau intim dengan orang lain, mampu membangun kepercayaan dalam suatu hubungan, memiliki rasa empati, serta perhatian kepada orang lain. Sebaliknya, individu dengan dimensi hubungan positif yang rendah dengan orang lain cenderung kurang cakap dalam membangun hubungan interpersonal, terisolasi, susah untuk terbuka dan peduli terhadap orang lain, tertutup dan tidak berkeinginan untuk mempertahankan hubungan dengan orang lain. c. Otonomi (Autonomy) Dimensi ini mencerminkan kemandirian, menentukan jalan hidup sendiri, mampu untuk menhadapi tekanan sosial untuk berpikir ataupun bertindak dengan cara atau pola tertentu, serta mampu untuk bebas dari norma atau aturan yang mendasari kehidupan sehari-harinya. Individu yang memiliki tingkatan otonomi yang baik ditunjukkan dengan pribadi yang mandiri, mampu bertahan dari tekanan sosial, menentukan sendiri perilaku yang akan dimunculkan, dan memiliki kemampuan untuk mengevaluasi diri sendiri. Sebaliknya, individu yang rendah pada dimensi ini cenderung mempertimbangkan penilaian orang lain ketika memutuskan sesuatu, tidak ! ! $,! ! mandiri, mudah melakukan konformitas, mudah terpengaruh oleh tekanan sosial ketika mengambil keputusan. d. Penguasaan Lingkungan (Enviromental Mastery) Dimensi ini menekankan kemampuan untuk menciptakan ataupun mengatur lingkungan sekitarnya agar sesuai dengan keinginan atau kebutuhannya. Ryff menyatakan bahwa individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang baik akan menunjukkan kemampuan untuk memanipulasi, mengontrol, dan dapat menggunakan sumberdaya dan kesempatan yang ada dengan efektif. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi ini akan mengalami kesulitan mengatur lingkungan di sekitarnya agar sesuai dengan kebutuhan dirinya, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan apa yang ada diluar dirinya, serta tidak menyadari adanya peluang di sekitarnya. e. Tujuan Hidup (Purpose in Life) Dimensi ini menekankan pada adanya tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupan, adanya sense of direction dalam kehidupan seseorang, merasa bahwa kehidupan sekarang dan masa lalu bermakna, dan memiliki alasan untuk tetap hidup. Individu dengan tujuan hidup yang tinggi telah menentukan target dan cita-cita yang akan ia capai serta merasa bahwa baik kehidupan masa lalu maupun kini adalah kehidupan yang bermakna. Sebaliknya, individu dengan tujuan hidup yang rendah tidak memiliki target dan cita-cita yang ingin dicapai, tidak mengetahui arah yang akan ! ! %-! ! dituju, serta tidak melihat adanya makna dari kehidupannya di masa lalu maupun masa kini. f. Pertumbuhan Diri (Personal Growth) Dimensi pengembangan personal merujuk kepada sejauh mana individu mampu menyadari potensi yang dimilikinya, dan memiliki keinginan untuk terus mengembangkan dirinya ke arah yang lebih positif. Individu yang tinggi pada dimensi ini akan menunjukkan adanya rasa akan keperluan untuk melanjutkan peningkatkan diri, melihat diri sendiri dengan pandangan yang lebih baik dan terbuka untuk pengalaman baru, dan berkembangnya self-knowledge dan efektivitas diri. Sebaliknya, individu yang rendah pada dimensi ini memandang dirinya sebagai seseorang yang tidak dapat berkembang, mengalami stagnasi, kehilangan keinginan untuk mempelajari hal-hal baru yang dapat memperkaya dirinya. Dengan demikian, berdasarkan pemaparan di atas maka dapat dilihat bahwa terdapat enam aspek dalam kesejahteraan psikologis, yakni penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan diri. ! ! %$! ! 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang, diantaranya yaitu: a. Usia Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa usia dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Aspek tertentu dari kesejahteraan psikologis, yakni penguasaan lingkungan, otonomi, dan hubungan positif menunjukkan pola peningkatan sejalan dengan bertambahnya usia seseorang. Aspek pertumbuhan diri dan tujuan hidup menunjukkan pola penurunan, terutama pada masa lansia. Sedangkan, pada aspek penerimaan diri, tidak ditemukan adanya perbedaan antar kelompok usia dewasa awal, madya, dan akhir. b. Jenis Kelamin Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa terdapat perbedaan kesejahteraan psikologis antara wanita dan pria. Wanita cenderung akan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan diri. Hal tersebut dapat dijelaskan dari pengaruh stereotype gender yang telah tertanam dalam diri individu, bahwa sejak kecil, anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara anak perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan bergantung pada orang lain, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Matlin, 2008). Selain itu, diketahui pula bahwa wanita cenderung mengalami tingkat depresi yang lebih tinggi. Namun, dengan ! ! %%! ! tingkat depresi yang lebih tinggi, wanita ditemukan memiliki kemampuan untuk coping dengan lebih baik. Hal inilah yang menyebabkan wanita memiliki nilai yang lebih tinggi pada dimensi pertumbuhan diri (Ryff & Singer, 1996). c. Status Sosial Ekonomi Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa status sosial ekonomi, yakni pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan seseorang berhubungan dengan kesejahteraan psikologis. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi pula, khususnya pada dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan diri. Selain itu, status pekerjaan juga turut mempengaruhi tingkat kesejahteraan psikologis seseorang. Ryff (dalam Ryan dan Deci, 2001) menemukan bahwa status sosial ekonomi seseorang dapat berdampak pada kesejahteraan psikologis, khususnya pada dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Meskipun begitu, Ryan dan Deci (2001) menyatakan bahwa hubungan status sosial ekonomi dengan kesejahteraan seseorang masih rendah. Namun, tidak dapat disangkal pula bahwa dukungan materi dapat meningkatkan akses seseorang ke sumber daya yang penting untuk mencapai kebahagiaan. d. Budaya Kesejahteraan psikologis dapat dipengaruhi oleh budaya setempat. Pada masyarakat individualistik yang sangat berfokus pada diri sendiri, maka dimensi penerimaan diri dan otonomi akan lebih menonjol dalam konteks ! ! %&! ! budaya barat yang lebih individualistik (Ryff & Singer, 1996). Sebaliknya, pada masyarakat kolektivistik yang sangat bergantung satu sama lain, maka dimensi hubungan positif dengan orang lain akan lebih menonjol dalam konteks budaya timur yang cenderung kolektif. e. Kepribadian Kepribadian seseorang merupakan prediktor terbesar dalam menentukan tipe emosi yang akan ia munculkan. Individu dengan kepribadian neuroticism selalu identik dengan tipe emosi yang negatif. Sebaliknya, individu extraversion identik dengan emosi yang lebih positif (Diener, Suh, Lucas & Smith, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Abbott, Croudace, Ploubidis, Kuh, Wadsworth, Richards, dan Huppert (2008) menemukan bahwa kepribadian extraversion memiliki pengaruh positif yang besar terhadap kesejahteraan psikologis, sedangkan neuroticism memiliki efek negatif terhadap kesejahteraan psikologis yang dimediasi oleh distres psikologis. f. Status Marital Seseorang yang telah menikah cenderung memiliki kepuasan hidup dan kesehatan psikologis yang lebih tinggi (Dolan, Peasgood, & White, dalam Huppert, 2009). Bierman, Fazio dan Milkie (2006) meneliti mengenai salah satu dimensi dalam kesejahteraan psikologis, yaitu tujuan hidup. Mereka menemukan bahwa individu yang telah menikah memiliki nilai yang lebih tinggi pada dimensi tersebut dibandingkan dengan individu yang tidak menikah. ! ! %'! ! g. Multiple Roles Ahrens dan Ryff (2006) menemukan bahwa ketika seseorang memiliki keterlibatan peran yang lebih besar, maka hal tersebut akan berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang. Hal ini dikarenakan dengan meningkatnya jumlah peran seseorang maka ia akan memperoleh koneksi sosial yang lebih luas, power, prestige, kepuasan emosi, dan juga dapat meningkatkan sumber daya seseorang. Oleh sebab itulah, peningkatan jumlah peran seseorang akan berhubungan dengan rendahnya tingkat psychological distress. h. Relatedness Relatedness dianggap sebagai need dasar yang penting bagi tiap manusia (Baumeister & Leary, 1995). Kebutuhan akan relatedness dapat diwujudkan melalui kedekatan atau hubungan seseorang dengan orang lain yang dianggap penting dalam hidupnya (Deci & Ryan, 1991). Kasser dan Ryan (1996) juga menemukan bahwa relatedness berhubungan dengan meningkatnya kesejahteraan seseorang. Individu yang terjalin dalam interaksi sosial dan merasa puas akan hubungannya dengan orang lain cenderung hidup lebih lama dan memiliki kesehatan mental dan fisik yang lebih baik (Reis, Sheldon, Gable, Roscoe, & Ryan, 2000). Sebaliknya, kesepian yang diakibatkan oleh kurangnya interaksi individu dengan orang lain juga secara konsisten behubungan negatif dengan kepuasan hidup seseorang (Lee & Ishii-Kuntz, dalam Ryan & Deci, 2001). Relatedness dapat terwujud dalam berbagai bentuk, seperti di dalam hubungan ! ! %(! ! pertemanan, keluarga, atau lingkup sosial yang lebih luas (Kasser & Ryan, 1999; Furrer & Skinner, 2003; Kagitcibasi, 2005). i. Generativity Generativity merupakan suatu tahapan normatif yang diungkapkan oleh Erikson, yang mana umumnya lebih sering dicapai pada masa dewasa madya (Papalia dkk., 2007). Individu yang mencapai tahapan generativity akan mengembangkan sebuah minat untuk memandu dan memberi pengaruh pada generasi selanjutnya. Lawan dari generativity adalah stagnation. Individu yang tidak menemukan sarana untuk melakukan generativity akan menjadi self-absorbed atau stagnan. Nilai utama dari tahapan generativity adalah care. Individu akan memiliki komitmen yang semakin tinggi untuk menjaga orang-orang, produk-produk, dan ide-ide, serta memandu generasi selanjutnya untuk melihat potensi diri mereka di masa depan. Berbagai peneliti menemukan bahwa individu dewasa madya cenderung memiliki tingkat generativity yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu dewasa awal dan akhir. Selain itu, dari hasil penelitian tersebut juga ditemukan bahwa wanita cenderung memiliki generativity yang lebih tinggi dibandingkan pria (Papalia dkk., 2007). Generativity dapat muncul pada dewasa madya karena adanya keinginan akan imortalitas, keinginan untuk merasa diperlukan, dan juga digabungkan dengan permintaan eksternal untuk memberikan perhatian kepada generasi selanjutnya. Ketika seseorang telah mencapai tahapan generativity, maka akan muncul perasaan dalam diri individu bahwa ia telah ! ! %)! ! melakukan kontribusi yang bermanfaat bagi lingkungannya, sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu (Papalia dkk., 2007). Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang, yakni faktor demografis (usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan budaya), faktor kepribadian, status marital, orientasi religius, multiple roles, relatedness, dan generativity. B. GRANDPARENTING STYLE 1. Grandparenting Sekarang ini, gambaran stereotipe mengenai kakek nenek telah berubah yang mana dulunya orang-orang cenderung berasumsi bahwa seorang kakek nenek merupakan individu yang lemah, namun kini gambaran mengenai kakek nenek telah menjadi lebih muda, aktif, energetik, penuh dengan ide, sehat, dan penuh antusiasme (Troll, dalam Craig, 1996; DeGenova, 2008). Selain itu, rentang usia dalam memperoleh peran kakek nenek pun telah meluas dikarenakan kemajuan dalam bidang teknologi dan nutrisi (Szinovacz, dalam DeGenova, 2008). Conner (dalam Sigelmen & Rider, 2003) menyatakan bahwa rata-rata usia seseorang memperoleh peran kakek nenek yaitu pada usia 47. Dengan demikian, seseorang akan memperoleh peran kakek nenek pada masa dewasa madya (Botwinick, dalam Lemme, 1995). ! ! %*! ! Pentingnya peran kakek nenek telah menjadi perhatian yang meningkat sekarang ini. Berbagai ilmuwan sosial menganggap kakek nenek sebagai pusat dari dinamika keluarga dan sumberdaya dalam suatu keluarga (IngersollDayton & Neal, dalam DeGenova, 2008). Ketika seseorang telah menjadi kakek nenek maka hal tersebut merepresentasikan adanya perolehan akan peran baru. Pada umumnya, pengalaman ini dianggap sebagai pengalaman yang menyenangkan untuk sebagian orang (Somary & Stricker; Szinovacz, dalam Cavanaugh, 2006). Hal ini dikarenakan berbagai manfaat yang dapat diperoleh kakek nenek dari peran tersebut, antara lain seperti keterlibatan dalam kehidupan dan aktivitas anak dan cucu, menyediakan dukungan extended family, menjadi seorang kakek nenek yang lebih baik dibandingkan ketika menjadi orangtua, dan memberi kesinambungan nilai yang dianut keluarga pada generasi selanjutnya (Mader, 2007). Peran kakek nenek juga dapat memberikan rasa bangga pada diri mereka ketika cucu berhasil meraih suatu pencapaian (Albrecht; Kahana & Kahana, dalam Pruchno & Johnson, 1996). Mayoritas dari kakek nenek menemukan peran mereka sangat menyenangkan (Peterson, dalam Sigelmen & Rider, 2003). Meskipun begitu, terdapat perbedaan gender pada tingkat kepuasan yang dialami seseorang dalam menjalankan peran kakek nenek. Thomas (dalam Hoyer, Rybash, & Roodie, 1999) menemukan bahwa seorang nenek akan memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi akan peran mereka dibandingkan seorang kakek. Selain itu, seorang nenek pun akan lebih cenderung untuk menganggap ! ! %+! ! grandparenting sebagai kesempatan kedua untuk mengasuh dibandingkan dengan seorang kakek, sehingga nenek akan cenderung lebih bersedia untuk menjaga dan merawat cucu, serta mentransmisikan nilai-nilai, tradisi, dan sejarah keluarga kepada sang cucu dibandingkan dengan seorang kakek. Troll (dalam Hoyer dkk., 1999) menyatakan bahwa seorang kakek cenderung berperan sebagai kepala keluarga, sedangkan seorang nenek cenderung berperan sebagai pengasuh keturunan (Cohler & Grunebaum, dalam Hoyer dkk., 1999). Peran dalam pengasuhan cucu dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Hal ini dapat disebabkan oleh cucu yang berperan sebagi sumber emosional positif yang penting bagi kakek nenek, seperti kesenangan yang dialami ketika menghabiskan waktu bersama cucu (Bass & Caro; Brandon; Treoir; Silverstein dkk., dalam Arpino & Bordone, 2014). Selain itu, kemungkinan gejala stress juga dapat meningkat pada kakek nenek yang memiliki berbagai beban dan tanggung jawab dalam mengasuh cucu (Franklin, 1999; Szinovacz, DeViney, & Atkinson, 1999). Namun, Giarusso, Feng, Wang, dan Silverstein (1996) menemukan bahwa kakek nenek yang bersedia menerima beban dan tanggung jawab yang besar dalam mengasuh cucu dapat saja meningkatkan kesejahteraan psikologis. Hal ini dikarenakan hal tersebut dapat meningkatkan tujuan hidup kakek nenek sehingga membuat hidup mereka menjadi lebih bermakna (Giarusso dkk., 1996; Statham, 2011). Beberapa makna hidup yang dapat diperoleh pada kakek nenek yang mengasuh cucu (Neugarten & Weinstein, dalam Santrock, 2009), yaitu ! ! %,! ! pertama, sebagai sumber akan reward biologis dan tanda dari kontinuitas seseorang. Disini, seorang kakek atau nenek dapat merasa kembali menjadi muda ataupun merasa hidupnya kembali bermanfaat demi masa depan cucu dan keluarga. Kedua, sebagai sumber pemenuhan emosional diri sendiri. Disini, seorang kakek atau nenek dapat memperoleh perasaan kepuasan dan kedekatan yang telah hilang sebelumnya semasa hubungannya dengan anaknya yang telah memasuki masa dewasa. Kivnick (dalam Hoyer & Roodin, 2009) juga menyatakan bahwa beberapa orang dapat mengalami tingkat kepuasan dengan peran kakek nenek karena mereka dapat melakukan kembali hal yang sering terlewatkan ketika mereka berperan sebagai orangtua dalam pengasuhan anaknya. 2. Grandparenting Style Neugarten dan Weinstein (dalam Cavanaugh, 2006) mendefinisikan grandparenting style sebagai cara bagaimana seseorang berinteraksi dengan cucunya yang dapat diklasifikasikan oleh seberapa sering kontak yang terjadi dan jumlah pengaruh yang dapat terjadi antara kakek nenek terhadap cucu. Terdapat tiga grandparenting style yang diungkapkan oleh Cherlin dan Furstenberg (dalam Sigelman & Rider, 2003) yang mana dapat dilihat sebagai sebuah kontinum, dengan ujung kontinum kiri berupa tipe yang tidak terlalu terlibat dengan cucu hingga pada ujung kontinum kanan dengan tipe yang sangat terlibat dengan cucu, diantaranya yakni: ! ! &-! ! a. Remote Merupakan figur simbolik yang mana kakek nenek jarang bertemu dengan cucunya. Kakek nenek pada tipe ini tidak terlalu terlibat dengan kehidupan cucu. Kebanyakan kakek nenek jarang mengunjungi cucu dikarenakan faktor geografis. Kakek nenek pun berharap agar bisa tinggal lebih dekat dengan cucunya (Sigelman & Rider, 2003). Meskipun jarang bertemu, ketika sekali berkunjung, kakek nenek dapat menghabiskan waktu yang cukup intens dengan cucunya, misalnya selama sebulan liburan sekolah (Cherlin & Furstenberg, 1986). Beberapa kakek nenek pada tipe karena tidak tinggal dekat dengan cucunya, maka dapat menyebabkan kurangnya kedekatan emosional atau afeksi terhadap cucu. Namun, beberapa kakek nenek lainnya dapat saja memiliki kedekatan emosional dengan cucu yang muncul dari kunjungan yang dilakukan. Selain itu, kakek nenek pun dapat mempertahankan hubungan dengan cucunya, misalnya melalui telepon yang rutin (Smith, 2005). Dengan demikian, kakek nenek pada tipe remote memiliki tanggung jawab untuk menjaga cucu yang relatif rendah, memiliki kedekatan emosional yang tidak terlalu tinggi, namun beberapa kakek nenek lainnya bisa saja membangun kedekatan emosional yang cukup tinggi ketika menghabiskan waktu untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan dengan cucu selama berkunjung. ! ! &$! ! b. Companionate Pada umumnya, tipe ini dapat digambarkan dengan hubungan kakek nenek yang dekat, perhatian, dan sering melakukan aktivitas yang menyenangkan dengan cucu. Kakek nenek companionate cenderung tinggal dekat dengan cucunya sehingga sering berinteraksi dengan cucu. Tipe ini merupakan tipe yang paling umum yang sesuai dengan gambaran kebanyakan orang akan peran kakek nenek, yakni hadir ketika diperlukan, misalnya menjaga cucu ketika orangtua memiliki urusan, dekat dengan cucunya, sering bermain bersama, memberi bantuan ketika diperlukan, namun tidak terlalu ikut campur dalam hal mendisiplinkan cucu ataupun mengatur kehidupan cucu (Sigelman & Rider, 2003). Dengan demikian, kakek nenek pada tipe companionate mengalami kesenangan dan kedekatan emosional dengan cucu, serta tanggung jawab untuk menjaga cucu yang tidak terlalu tinggi. c. Involved Pada tipe ini, kakek nenek juga sering bertemu dengan cucunya dan bermain-main dengan sang cucu, namun disini kakek nenek memiliki keterlibatan yang lebih besar dalam kehidupan cucu. Kakek nenek memainkan peran aktif dalam mengasuh cucu, seperti menjaga atau merawat cucu, menerapkan beberapa aturan yang harus dipatuhi, mendidik cucu agar mematuhi aturan tersebut, mendisiplinkan dan mengatur kehidupan cucu, seperti mengatur perkembangan intelektual, misalnya dalam masalah pendidikan, ataupun dalam hal menyediakan dukungan ! ! &%! ! finansial, tempat tinggal, makanan, permainan. Peran kakek nenek pada tipe ini hampir tidak berbeda dengan peran orangtua. Pada tipe involved, kakek nenek sering berperan sebagai pengganti orangtua sehingga kesejahteraan kakek nenek dapat terganggu karena stress yang muncul apabila tanggung jawab yang harus dijalankan terlalu besar (Sigelman & Rider, 2003). Meskipun begitu, apabila terdapat kesediaan kakek nenek untuk terlibat dalam peran tersebut, maka tanggung jawab yang harus dijalankan pun tidak menjadi masalah karena hal tersebut dapat meningkatkan tujuan hidup kakek nenek (Giaruso dkk., 1996). Dengan demikian, pada tipe ini kakek nenek akan memiliki kedekatan emosional dengan cucu, mengalami kesenangan, dan di satu sisi juga memiliki tanggung jawab yang cukup tinggi untuk menjaga serta merawat cucu. Berdasarkan pemaparan di atas dapat dilihat bahwa grandparenting style terdiri atas tiga tipe, yakni remote, companionate, dan involved. C. DEWASA MADYA 1. Pengertian Dewasa Madya Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa seseorang telah mencapai tahap dewasa apabila pertumbuhan fisiknya telah sempurna serta mencapai kematangan psikologis sehingga mampu hidup dan berperan bersama dengan orang dewasa lainnya (Mubin & Cahyadi, 2006). Umumnya, masa dewasa dibagi menjadi tiga fase, yakni masa dewasa awal, madya, dan akhir. Masa ! ! &&! ! dewasa madya biasanya ditandai dengan semakin sempitnya pilihan hidup dan juga jenjang karir yang menjadi semakin jelas (Berk, 2007). Masa dewasa madya dapat didefinisikan secara kontekstual, yakni usia dimana individu memiliki anak yang telah memasuki masa dewasa dan orangtua lanjut usia. Hurlock (2003) menyatakan bahwa masa dewasa madya dimulai dari usia 40 hingga 60 tahun. Menurut Feldman (dalam Mubin & Cahyadi, 2006), masa dewasa madya berlangsung dari sekitar usia 40 sampai sekitar usia 65 tahun. Berk (2007) dan Papalia dkk. (2007) juga berpendapat sama bahwa masa dewasa madya dimulai dari usia 40 hingga 65 tahun. Individu dewasa madya rata-rata memiliki kepuasan hidup yang cukup tinggi (Myers; Myers & Diener; Walker, Skowronski, & Thompson, dalam Papalia, 2007). Hal ini dapat dijelaskan karena segala emosi positif yang berhubungan dengan pengalaman yang menyenangkan akan cenderung bertahan, sedangkan emosi negatif yang berhubungan dengan pengalaman tidak menyenangkan akan memudar. Selain itu, individu yang telah memasuki masa dewasa madya pada umumnya telah beradaptasi dengan berbagai rintangan, sehingga kesejahteraan psikologis individu pun akan semakin baik (Lucas; Diener, dalam Papalia, 2007). Dukungan sosial, religius, pekerjaan, aktivitas luang, dan hubungan dengan orang lain merupakan faktor penting bagi kesejahteraan individu dewasa madya. ! ! &'! ! 2. Tugas Perkembangan Dewasa Madya Tugas perkembangan merupakan tanggung jawab yang ditetapkan secara kultural yang menandakan kompetensi atau pencapaian yang penting bagi kebahagiaan dan penyesuaian individu (Lefrançois, 1990). Tugas perkembangan berbeda untuk setiap tahapan rentang kehidupan. Newman dan Newman (2006) mengungkapkan beberapa tugas perkembangan masa dewasa madya, yakni: a. Mengatur Karir Pekerjaan merupakan konteks yang cukup luas dalam masa perkembangan dewasa. Masa dewasa madya membawa tantangan baru, serta reformulasi ambisi dan tujuan-tujuan, sehingga individu dewasa madya perlu mengatur karirnya agar mencapai tingkat kompetensi baru dalam dunia pekerjaannya. Individu dewasa madya juga perlu untuk menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan keluarga, fleksibel dengan perubahan karir yang dialami, dan mampu menyesuaikan diri dari dampak pengangguran. b. Menjaga Hubungan Intimasi Kebahagiaan yang diperoleh dari hubungan intimasi merupakan prediktor yang lebih kuat bagi kesejahteraan individu dibandingkan dengan kepuasan dalam pekerjaan. Pernikahan dan hubungan intimasi yang lainnya merupakan hubungan yang dinamis, yang mana dapat berubah seiring dengan semakin dewasanya kedua pasangan, ataupun karena berubahnya susunan anggota keluarga. ! ! &(! ! c. Mengatur Rumah Tangga Individu dewasa madya perlu mengatur sumber daya dan memenuhi kebutuhan yang diperlukan dalam keluarga. Mengatur rumah tangga berhubungan dengan segala perencanaan, pemecahan masalah, dan aktivitas yang harus dilaksanakan oleh individu untuk mengurus diri sendiri serta orang lain yang dipercayakan kepada diri individu. d. Memperluas Hubungan Caring Individu dewasa madya memiliki kesempatan untuk mengekspresikan caring dalam berbagai peran, diantaranya adalah parenting, menjaga orangtua yang telah menua, serta grandparenthood. Berbagai peran tersebut dapat menantang sumber daya intelektual, emosional, serta fisik dari individu dewasa madya. Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 2003), terdapat beberapa tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada masa dewasa madya: a. Mencapai tanggung jawab sosial dan dewasa sebagai warga negara. b. Membantu anak-anak remaja belajar untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia. c. Mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu senggang untuk orang dewasa. d. Menghubungkan diri sendiri dengan pasangan hidup sebagai seorang individu. e. Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi. ! ! &)! ! f. Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam pekerjaan. g. Menyesuaikan diri dengan orang tua yang semakin tua. D. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA WANITA DEWASA MADYA DITINJAU DARI GRANDPARENTING STYLE Kesejahteraan psikologis pada dasarnya merujuk kepada keberfungsian psikologis dan pengalaman yang optimal pada manusia (Ryan & Deci, 2001). Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001) menyatakan kesejahteraan psikologis tidak hanya sebatas perolehan akan kesenangan, namun merupakan usaha individu untuk mencapai kesempurnaan yang menggambarkan kesadaran akan potensi dalam dirinya. Ryff dan Singer (1996) selanjutnya merumuskan enam dimensi dari kesejahteraan psikologis yang mana enam dimensi tersebutlah yang mendefinisikan kesejahteraan psikologis, yakni kondisi dimana individu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri ataupun penerimaan diri yang baik, mampu membangun hubungan yang positif dengan orang lain, tidak tergantung kepada orang lain dalam pengambilan keputusan, memiliki kemampuan untuk mengontrol lingkungan di sekitarnya, memiliki tujuan hidup yang jelas dan mampu mengembangkan dirinya sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Keyes (1995) menjelaskan bahwa usia dan jenis kelamin seseorang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Selanjutnya, Ryff dan Singer (1996) juga menyatakan bahwa status sosial ekonomi seseorang dapat turut mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Beberapa ! ! &*! ! penelitian lainnya pun telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis, diantaranya faktor kepribadian (Abbott dkk., 2008; Diener dkk., 1999), faktor relatedness (Baumeister & Leary, 1995; Nezlek, dalam Ryan & Deci, 2001), faktor multiple roles (Ahrens & Ryff, 2006), faktor status marital (Bierman dkk., 2006; Dolan dkk., dalam Huppert, 2009), serta tahapan generativity yang diungkapkan oleh Erikson (Papalia dkk., 2007). Dalam usia dewasa madya, individu dapat mencapai suatu tahapan normatif yang disebut dengan generativity. Generativity merupakan sebuah tahapan dimana seseorang mengembangkan perhatiannya untuk memandu dan memberi pengaruh kepada generasi selanjutnya (Erikson dalam Papalia dkk., 2007). Nilai utama dari tahapan generativity adalah care. Individu akan memiliki komitmen yang semakin tinggi untuk menjaga orang-orang, produk-produk, dan ide-ide, serta memandu generasi selanjutnya untuk melihat potensi diri mereka di masa depan. Lawan dari generativity adalah stagnation. Individu yang tidak menemukan sarana untuk melakukan generativity akan menjadi self-absorbed atau stagnan. Ketika seseorang telah mencapai tahapan generativity, maka akan muncul perasaan dalam diri individu bahwa ia telah melakukan kontribusi yang bermanfaat bagi lingkungannya, sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu (Papalia dkk., 2007). Selain itu, generativity dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis dewasa madya karena usia madya sangat dipengaruhi oleh hubungan seseorang dengan orang lain (Markus dkk., ! ! &+! ! 2004 dalam Papalia dkk., 2007). Generativity dapat diwujudkan melalui berbagai hal, salah satunya yaitu melalui grandparenting atau pengasuhan cucu. Dalam menjalankan peran grandparenting akan terdapat beberapa pola interaksi yang dapat terjadi antara seorang nenek dengan cucunya, yang mana disebut sebagai grandparenting style. Terdapat tiga grandparenting style yang diungkapkan oleh Cherlin dan Furstenberg (1986), diantaranya yaitu remote, companionate, dan involved. Tipe remote merupakan figur simbolik yang mana nenek jarang bertemu dengan cucunya. Hal ini biasanya disebabkan oleh kejauhan geografis tempat tinggal antar nenek dengan cucunya. Meskipun jarang bertemu, nenek dapat membangun kedekatan emosional yang dapat muncul ketika menghabiskan waktu dengan cucu selama berkunjung ataupun melaui telepon yang rutin. Tipe kedua, companionate, merupakan tipe yang paling umum dari grandparenting. Pada tipe ini, nenek sering bertemu dengan cucunya dan menikmati melakukan aktivitas bersama. Nenek pada tipe ini hadir ketika diperlukan, namun tidak terlalu ikut campur dalam hal mendisiplinkan cucu. Tipe ketiga, involved, merupakan tipe yang mana nenek juga sering bertemu dengan cucunya dan melakukan aktivitas menyenangkan dengan sang cucu, namun disini nenek lebih terlibat dalam kehidupan cucu sehingga sering memberikan bantuan untuk menjaga cucu, serta memainkan peran aktif dalam mendisiplinkan cucu. Pada tipe involved, nenek sering berperan sebagai pengganti orangtua. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada tipe companionate nenek cenderung mengalami kesenangan dan kedekatan emosional dengan cucu, ! ! &,! ! dan disisi lain memiliki tanggung jawab yang tidak terlalu tinggi untuk menjaga cucu. Pada tipe involved, nenek mengalami kesenangan, kedekatan emosional, serta tanggung jawab yang tinggi untuk menjaga cucu. Sedangkan pada tipe remote, nenek memiliki tanggung jawab yang cukup rendah dan kedekatan emosional yang tidak terlalu tinggi, namun mereka dapat menikmati kesenangan selama menghabiskan waktu dengan sang cucu selama berkunjung sehingga dapat membangun kedekatan emosional antar kakek nenek dan cucu. Berdasarkan pemaparan di atas, dengan adanya pola pengasuhan terhadap cucu atau grandparenting style yang berbeda, maka memungkinkan generativity yang dapat disalurkan dari nenek kepada cucu pun akan berbeda, yang mana generativity merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk melihat gambaran kesejahteraan psikologis ditinjau grandparenting style pada wanita dewasa madya. ! !