analisis fluktuasi nilai tukar rupiah dan inflasi

advertisement
ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI
INDONESIA PERIODE 1999 - 2006
MUHAMMAD ILHAM RIYADH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
ABSTRAK
MUHAMMAD ILHAM RIYADH. Analisis Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah dan
Inflasi Indonesia Periode 1999 – 2006 (RINA OKTAVIANI, sebagai ketua,
HERMANTO SIREGAR, sebagai anggota Komisi Pembimbing).
Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah menyebabkan rupiah
terdepresiasi secara tajam terhadap dollar Amerika. Nilai rupiah yang sebelum krisis
berada pada kisaran Rp. 2500/US dollar menurun drastis hingga pernah mencapai
Rp. 15000/US dollar dan saat ini bekisar 9300/US dollar. Keadaan ini menyebabkan
otoritas moneter lebih mengefektifkan kebijakan moneter dalam menstabilkan nilai
tukar rupiah dan meredam tingkat pertumbuhan inflasi.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respon variabel Industrial
Production Index (IPI), uang beredar dan perbedaan suku bunga apabila terjadi shock
terhadap variabel nilai tukar dan inflasi. Menganalisis apakah IPI, tingkat inflasi,
uang beredar dan perbedaan sukubunga dapat menjelaskan fluktuasi nilai tukar
rupiah dan inflasi dan merumuskan implikasi kebijakan moneter dalam menstabilkan
nilai tukar rupiah dan inflasi.
Berdasarkan hasil analisis impuls respon dapat disimpulkan bahwa depresiasi
dari guncangan nilai tukar rupiah akan direspon dengan meningkatnya jumlah uang
beredar, kenaikan tingkat harga, penurunan industrial production index. Oleh karena
itu, untuk menyeimbangkan besarnya laju depresiasi yang terjadi, bank sentral
seyogyanya melakukan kebijakan moneter berupa peningkatan sukubunga SBI
sehingga mendorong terjadinya capital inflow yang pada akhirnya dapat
menstabilkan nilai tukar rupiah. Sedangkan Guncangan harga akan direspon oleh
bank sentral, dengan menaikan sukubunga SBI sehingga terjadi penurunan jumlah
uang beredar, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi dan menurunnya industrial
production index.
Hasil forecast error variance decomposition menunjukkan bahwa nilai tukar
rupiah (DLER) secara dominan ditentukan oleh shock terhadap dirinya sendiri, yaitu
mencapai sebesar 95.49 persen. Inflasi juga secara dominan ditentukan oleh shock
terhadap dirinya sendiri, yaitu sebesar 75.15 persen, diikuti dengan Sukubunga SBI
memberikan kontribusi sebesar 9.88 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai
tukar rupiah cenderung bersifat eksogen sehingga sulit untuk dapat dikendalikan
secara langsung, sedangkan inflasi masih relatif memungkinkan dikendalikan melalui
guncangan sukubunga SBI.
Implikasi kebijakannya adalah berdasarkan hasil analisis Impulse Response
Functions dan Forecast Error Variance Decomposition, instrumen kebijakan
moneter untuk pencapaian kestabilan nilai tukar rupiah dan inflasi adalah sukubunga
SBI. Dengan demikian, dalam rangka pencapaian target inflasi, Bank Indonesia dapat
melaksanakannya dengan instrumen sukubunga SBI sebagaimana yang memang
telah digunakan selama ini akan menjadi lebih baik apabila Bank Indonesia dapat
menciptakan stabilitas fundamental ekonomi, terutama mengurangi kesenjangan
permintaan dan penawaran valuta asing, sekaligus menumbuhkan kepercayaan
masyarakat terhadap mata uang rupiah dan mengendalikan terjadinya aliran modal
keluar (capital outflow).
Keyword : Monetary Policy, Rupiah Exchange Rate, Inflation Rate, Industrial
Production Index, Vector Autoregressive.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis
saya yang berjudul :
ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI
INDONESIA PERIODE 1999-2006
merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan pembimbingan
para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis
ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan
secara jelas dan dapat diperiksa kebenaranya.
Bogor, September 2007
MUHAMMAD ILHAM RIYADH
Nrp. A 151040111
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2007
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI
INDONESIA PERIODE 1999 - 2006
MUHAMMAD ILHAM RIYADH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
Judul Tesis
:
Analisis Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah Dan
Inflasi Indonesia Periode 1999 - 2006
Nama Mahasiswa
:
Muhammad Ilham Riyadh
Nomor Pokok
:
A. 151040111
Program Studi
:
Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS
Ketua
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec
Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga,MA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,MS
Tanggal Ujian : 14 September 2007
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi Pembimbing : Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim MEc.
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir tanggal 05 Pebruari 1979 di Medan, Sumatera Utara. Penulis
merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Kamalluddin M Noer
dan Hanifah. Pada tahun 1991 Penulis menyelesaikan pendidikan dasarnya pada
SDN 060884, di Medan, dan tiga tahun kemudian menamatkan sekolah lanjutan
pertamanya pada SMPN 6 Medan. Pada tahun 1997, Penulis lulus dari SMU
SWASTA KARTIKA I-1 di Medan dan pada tahun yang sama diterima sebagai
mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di
Medan. Gelar Sarjana Pertanian diperoleh pada tahun 2001 pada program studi
Sosial Ekonomi Pertanian. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa
pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Selama kuliah program magister, penulis memperoleh dana bantuan
penelitian dari Bank Indonesia dan pada tahun 2004, penulis bekerja sebagai dosen
tetap Yayasan di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas
Islam Sumatera Utara, Medan hingga sekarang.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul
”Analisis Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah dan Inflasi Indonesia Periode 1999-2006.
Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam penulisan Tesis Program
Magister (S2) di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan, arahan dan dorongan
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis me ngucapkan terima kasih dan
rasa hormat yang mendalam terutama kepada Ibu Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS selaku
ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc selaku anggota
komisi pembimbing, yang telah memberikan berbagai masukan dan arahan yang
sangat konstruktif bagi penyempurnaan tulisan ini.
Selanjutnya pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc, sebagai dosen penguji luar komisi
pada ujian tesis, selalu menekankan kelayakan sebuah tesis. Terima kasih atas
segala saran dan kritikan yang diberikan.
2. Pimpinan
Sekolah
Pascasarjana
IPB,
beserta
jajarannya
yang
telah
mempermudah dalam kelancaran urusan akademik.
3. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian beserta staf
yang telah
memberikan berbagai kemudahan selama mengikuti kegiatan akademis.
4. Bapak/Ibu staf pengajar pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah
mengajarkan ilmu yang sangat berguna dan bermanfaat.
5. Pimpinan dan staf Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Pusat
Penelitian dan Studi Kebanksentralan (PPSK), dan Perpustakaan Bank Indonesia,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bahanbahan (literatur) dan memberikan data yang penulis perlukan serta bantuan dana
penelitian untuk dapat menyelesaikan tesis pada studi program Magister Sains.
6. Sahabat-sahabatku yang sangat baik terutama Iwan Hermawan, Mbak Herny
Kartika Wati, Aristo Edward P, Ria Kusumaningrum, Mbak Handayani Boa, Adi
Hadiyanto, Mas Yuhka Sundaya, Enny (TPP), Wiwin (STK), Budi Darmansyah
(TIP) dan David Talumewo yang telah memberi masukan, kritikan, semangat dan
bantuan serta wawasan yang luas terhadap penyelesaian penyusunan tesis ini.
7. Ayahnda Kamalluddin M.Noer/ Ibunda Hanifah, kakaknda Devy Kemala Sari
ST, dan adik-adiku dr.Rahmat Ghazali, Sked dan Sri Rezekika, Ssi yang telah
memberikan dukungan, perhatian, kasih sayang dan doa yang tulus ikhlas
sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.
8.
Rekan – rekan di Sekolah Pascasarjana IPB, Khususnya rekan-rekan EPN yang
telah memberikan dukungan dan motivasinya.
Besar harapan penulis agar berbagai pemikiran yang tertuang dalam tesis ini
dapat bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah, khususnya dalam menyikapi
berbagai fenomena moneter di Indonesia. Penulis menyadari, sebagai bagian dari
suatu proses tentunya dalam tesis ini masih ditemui berbagai kekurangan.
Bogor, September 2007
Muhammad Ilham Riyadh
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................... ...........
iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................... ...........
iv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................. ...........
vi
I. PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1.
Latar Belakang ........................................................................
1
1.2.
Perumusan Masalah ................................................................
8
1.3.
Tujuan Penelitian ...................................................................
11
1.4.
Kegunaan Penelitian ...............................................................
11
1.5.
Batasan Penelitian ..................................................................
12
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
14
2.1.
Dasar Pertimbangan Penetapan Nilai Tukar ...........................
14
2.2.
Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas ................................
15
2.3.
Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia ................
18
2.4.
Pendekatan Moneter ................................................................
20
2.4.1. Teori Keseimbangan Pasar Uang ................................
20
2.4.2. Paritas Daya Beli ..........................................................
21
2.4.2.1. Hukum Satu Harga ........................................
21
2.4.2.2. Purchasing Power Parity ..............................
21
2.4.3. Teori Paritas Suku Bunga ............................................
24
2.4.4. Ekspektasi Rasional ...................................................
27
Kebijakan Moneter ..................................................................
29
2.5.1. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter ..................
29
2.5.2. Instrumen Kebijakan Moneter .....................................
30
2.5.3. Sasaran Operasional ....................................................
33
2.5.4. Sasaran Antara .............................................................
35
2.5.5. Sasaran Akhir ...............................................................
36
Hasil Penelitian Terdahulu .......................................................
37
2.5.
2.6.
III. KERANGKA PEMIKIRAN ...............................................................
46
3.1. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ................................
46
3.2. Pasar Uang .................................................................................
47
3.3. Hipotesis Penelitian ....................................................................
53
IV. METODE PENELITIAN ...................................................................
56
4.1. Data ............................................................................................
56
4.1.1. Sumber Data ...................................................................
56
4.1.2. Jenis Data .......................................................................
56
4.1.3. Sampel Data ...................................................................
56
4.1. Metode Analisis .........................................................................
57
4.2.1. Uji Stasioneritas Data .....................................................
59
4.2.2. Pemilihan Panjang Lag Sistem Vector Autoregressive ..
61
4.2.3. Uji Unit Root ...................................................................
61
4.3. Analisis Vector Autoregressive ...................................................
66
4.4. Granger Causality Test ...............................................................
70
4.5. Analisis Impulse Response Function dan Forecast Error
Variance Decomposition ............................................................
71
4.5.1. Impulse Response Function ...........................................
71
4.5.2. Forecast Error Variance Decomposition ......................
72
V. PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH DAN
MAKROEKONOMI INDONESIA ....................................................
74
5.1. Awal Krisis Asia ........................................................................
74
5.2. Sekilas Kondisi Perekonomian di Asia ......................................
77
5.3. Gambaran Umum Perekonomian Indonesia ..............................
78
5.4. Gambaran Perkembangan Makroekonomi Indonesia .................
80
VI. PENGUJIAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN .....................
86
6.1. Uji Sifat Time Series Data .........................................................
86
6.2. Kestasioneran Data .....................................................................
86
6.3. Pengujian Lag Optimum .............................................................
88
6.4. Uji Kausalitas Granger ................................................................
90
6.5. Analisis Impulse Response Function dan Forecast Error
Variance Decomposition .............................................................
91
6.5.1. Impulse Response Function.............................................
92
6.5.1.1. Respon Variabel Makroekonomi Terhadap
Nilai Tukar Rupiah ..........................................
92
6.5.1.2. Respon Variabel Makroekonomi Terhadap
Inflasi................................................................
99
6.5.2. Forecast Error Variance Decomposition........................ 105
6.6. Rumusan Implikasi Kebijakan Terhadap Nilai Tukar Rupiah
dan Inflasi
.......................................................................... 108
VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .................................. 112
7.1. Simpulan
.......................................................................... 112
7.2. Implikasi Kebijakan ................................................................... 113
7.3. Saran
.......................................................................... 115
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 117
LAMPIRAN
.......................................................................... 121
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Kerangka Secara Umum Sistem Operasi Kebijakan Moneter ..........
33
2.
Variabel, Indikator dan Satuan Data ................................................
57
3.
Sistem Nilai Tukar Negara ASEAN+3 ............................................
76
4.
Beberapa Indikator Makroekonomi Indonesia ..................................
81
5.
Uji Akar Unit Level ...........................................................................
87
6.
Uji Akar Unit First Different ............................................................
88
7.
Pemilihan Panjang Lag Sistem Vector Autoregressive ....................
88
8.
Granger Causality Test .....................................................................
90
9.
Pengaruh Cholesky (d.f. adjusted) One Standard Deviation
Nilai Tukar Rupiah (DLER) Innovation ...........................................
93
10.
Pengaruh Cholesky (d.f. adjusted) One Standard Deviation
Inflasi (DLCPI) Innovation ............................................................... 100
11 . Dekomposisi Variasi Makroekonomi Terhadap Nilai Tukar
Rupiah ............................................................................................. 106
12.
Dekomposisi Variasi Makroekonomi Terhadap Tingkat Inflasi ...... 107
DAFTAR GAMBAR
Nomor
1.
Halaman
Perkembangan Nilai Tukar Bulan Juli Tahun 1993 – Desember
Tahun 2006 .......................................................................................
5
Perkembangan Consumer Price Index Bulan Januari Tahun 1999 –
Desember Tahun 1999 ......................................................................
7
3.
Time Path Asumsi Tingkat Harga Fleksibel ....................................
28
4.
Time Path Asumsi Tingkat Harga Sticky ..........................................
29
5.
Skema Kerangka Pemikiran ..............................................................
52
6.
Respon Sukubunga Dunia Terhadap Nilai Tukar Rupiah ...............
94
7.
Respon Industrial Production Index Terhadap Nilai Tukar
Rupiah .............................................................................................
95
8.
Respon Inflasi Terhadap Nilai Tukar Rupiah ..................................
96
9.
Respon Nilai Tukar Rupiah ..............................................................
97
10.
Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Nilai Tukar Rupiah ..........
98
11.
Respon Sukubunga SBI Terhadap Nilai Tukar Rupiah ...................
99
12.
Respon Sukubunga Dunia Terhadap Inflasi...................................... 100
13.
Respon Industrial Production Index Terhadap Tingkat Inflasi ..... 101
14.
Respon Inflasi .................................................................................. 102
15.
Respon Nilai Tukar Terhadap Tingkat Inflasi................................... 103
16.
Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Tingkat Inflasi ................. 104
17.
Respon Sukubunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Tingkat
Inflasi ............................................................................................... 105
18.
Dekomposisi Variasi Nilai Tukar Rupiah ........................................ 107
19.
Dekomposisi Variasi Tingkat Inflasi ................................................ 108
2.
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Data Asli yang telah di Logaritma .................................................... 121
2.
Data First Difference......................................................................... 123
4.
Uji Stasioner Pada Level .................................................................. 127
5.
Hasil Vector Autoregressive Pada Tingkat Lag Optimal ................. 131
6.
Analisis Impulse Respon Function.................................................... 135
7.
Forecast Error Variance Decomposition.......................................... 137
8.
Granger Causality Test ..................................................................... 139
1
I. PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang
Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah
diterapkannya kebijakan sistem nilai tukar mengambang bebas di Indonesia pada
tanggal 14 Agustus 1998 telah membawa dampak dalam perkembangan
perekonomian nasional baik dalam sektor moneter maupun sektor riil. Depresiasi
nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika menjadi sangat besar pada awal
penerapan sistem tersebut. Hal ini membuat meningkatnya derajat ketidakpastian
pada aktivitas bisnis dan ekonomi di Indonesia. Banyak faktor, baik yang bersifat
non
ekonomi
maupun
ekonomi,
yang
diduga
menjadi penyebab dari
bergejolaknya nilai tukar tersebut.
Nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama dollar Amerika
merupakan salah satu indikator penting dalam menganalisis perekonomian
Indonesia, karena dampaknya yang luas terhadap makroekonomi agregat, seperti
pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing, tingkat bunga dan
tingkat inflasi, oleh karena itu pergerakan nilai tukar selalu menjadi perhatian
serius oleh otoritas moneter untuk selalu memantau dan mengendalikannya. Oleh
karena itu untuk mengurangi gejolak nilai tukar yang berlebihan, bank sentral
sebagai otoritas moneter merasa perlu untuk melaksanakan stabilisasi agar dapat
memberikan kepastian bagi dunia usaha, dan pada gilirannya dapat memberikan
kemantapan bagi pengendalian perekonomian secara makro (Samiun, 1998).
Dalam rangka mendukung program pemulihan ekonomi dibidang moneter,
dan sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tujuan Bank Indonesia adalah
2
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7). Amanat ini
memberikan kejelasan peran bank sentral dalam perekonomian, sehingga dalam
pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia dapat lebih fokus dalam pencapaian single
objective-nya.
Menurut Haryono (2000), Kestabilan nilai rupiah tersebut mencakup
pengertian; (1) kestabilan secara internal, yaitu kestabilan nilai rupiah terhadap
harga barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi, dan (2)
kestabilan secara eksternal, yaitu kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang
negara lain yang diukur dengan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata
uang negara lain tersebut. Karenanya undang-undang tersebut mengamanatkan
bahwa pengendalian inflasi dan nilai tukar harus dilakukan sebagai suatu paket
kebijakan.
Kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang
terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang secara umum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu
tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Dalam
hal ini, Bank Indonesia hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan
inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan tekanan inflasi dari sisi
penawaran (bencana alam, musim kemarau, distribusi tidak lancar, dan lain-lain)
sepenuhnya berada diluar pengendalian Bank Indonesia.
Namun demikian, pencapaian laju inflasi yang rendah dan stabil melalui
kebijakan mo neter bukanlah hal yang sederhana. Adanya ketidakpastian yang
tinggi mengenai jenis dan besarnya shock yang dihadapi dimasa mendatang, serta
ketidakpastian
mengenai
mekanisme
transmisi
dan
parameter
yang
membentuknya menjadi permasalah utama dalam perumusan kebijakan moneter.
3
Memahami kebijakan moneter merupakan suatu pengetahuan yang sangat penting
karena kebijakan moneter tersebut mempengaruhi variabel – variabel nominal
seperti jumlah uang beredar, suku bunga, nilai tukar dan output yang kesemuanya
itu kemudian mempengaruhi inflasi dan tingkat aktivitas perekonomian. Semakin
besar pengaruh suatu variabel moneter terhadap perilaku perekonomian secara
runtun waktu, maka kebijakan moneter akan semakin efektif.
Dengan telah ditentukan tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan
memelihara kestabilan harga, maka proses selanjutnya adalah menentukan sasaran
antara, apakah menggunakan aggregat moneter ataukah tingkat suku bunga.
Kebutuhan akan variabel sasaran antara semakin meningkat, karena instrumen dan
sasaran akhir dari suatu kebijakan mo neter tidak memiliki hubungan secara
langsung. Hal ini berarti bahwa otoritas moneter tidak memiliki kemampuan
langsung untuk mengontrol pencapaian sasaran kebijakan moneter oleh karena itu
muncul kebutuhan akan adanya variabel sasaran antara yang memadai untuk
melakukan berbagai kebijakan moneter.
Sasaran operasional sebaiknya memiliki pengaruh yang lebih dapat
diprediksi terhadap sasaran antara yang dipilih. Apabila sasaran antara yang
dipilih adalah tingkat suku bunga, maka sasaran operasional yang lebih tepat
adalah variabel tingkat suku bunga seperti bunga overnight. Hal tersebut karena
suku bunga memiliki ikatan yang sangat kuat antara suku bunga dengan suku
bunga lainnya. Sebaliknya apabila sasaran antara yang dipilih adalah aggregat
moneter. Maka besaran moneter merupakan sasaran operasi yang tepat. Dengan
demikian terdapat beberapa variabel yang dapat dijadikan sebagai besaran antara
kebijakan moneter seperti uang beredar, kredit domestik, pendapatan nominal,
tingkat inflasi, nilai tukar dan suku bunga. Berkaitan dengan pemilihan sasaran
4
antara, terdapat suatu fitur utama dari strategi kebijakan moneter yakni nominal
anchor. Nominal anchor adalah suatu variabel nominal yang dipergunakan oleh
pembuat kebijakan sebagai sasaran antara untuk mencapai sasaran akhir.
Pada tahun 1999 hingga sekarang, Bank Indonesia mulai menentapkan
suatu kerangka Inflation targetting di Indonesia. Inflation targetting adalah
kebijakan moneter dengan menjadikan inflasi sebagai sasaran tunggal atau sasaran
akhir. Maksud dari Inflation targetting adalah bahwa Bank Indonesia mempunyai
tujuan tunggal yaitu mencapai laju inflasi yang rendah dan stabil sehingga
diharapkan dapat mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Disisi lain, framework inflation targetting yang bersifat forward looking,
mensyaratkan kemampuan bank sentral untuk memprediksi perkembangan inflasi
kedepan. Dalam hal ini perlu dilakukan identifikasi dan analisis terhadap sejumlah
indikator yang paling dominan (the best indicator) mempengaruhi tingkat inflasi
kedepan. Berdasarkan hasil studi Yuda Agung (2002), nilai tukar merupakan the
best indicator. Nilai tukar memberikan efek langsung terhadap inflasi oleh karena
itu volatilitas nilai tukar merupakan salah satu tantangan utama bagi Indonesia
yang menjalankan kebijakan inflation targetting.
Tingkat inflasi yang tinggi dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
perekonomian nasional diantaranya dapat menurunkan daya beli masyarakat
berpendapatan tetap dan rendah, dapat menurunkan gairah investor untuk
berinvestasi, dapat menimbulkan alokasi sumber daya yang tidak efisien dan lain
sebagainya. Inflasi ini tidak hanya berasal dari faktor dalam negeri (internal
pressure) namun juga faktor luar negeri (external pressure), faktor eksternal dapat
bersumber dari kenaikan harga-harga komoditi diluar negeri (world price)
5
maupun dari fluktuasi nilai tukar misalnya dengan adanya depresiasi rupiah akan
mengakibatkan harga barang impor menjadi lebih mahal didalam negeri.
Perkembangan ekonomi Indonesia beberapa tahun terakhir terutama
setelah terjadinya krisis keuangan pada tahun 1997 di tandai dengan terjadinya
depresiasi rupiah yang sangat besar sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Dari
gambar dibawah terlihat bahwa nilai tukar Indonesia sejak pertengah tahun 1997
diwarnai dengan gejolak yang sangat tajam dan disertai dengan tekanan depresiasi
yang sangat kuat. Menyebarnya pengaruh krisis nilai tukar di Thailand ke negaranegara
ASEAN
lainnya
termasuk
Indonesia
menyebabkan
merosotnya
kepercayaan asing terhadap Indonesia sehingga terjadi pelarian modal ke luar
negeri. Akibat hilangnya kepercayaan investor asing terhadap prospek
perekonomian Indonesia.
16000
Rp/Dollar US
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
Tahun
0
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Sumber : Bank Indonesia 2006
Exchange Rate
Gambar 1. Perkembangan Nilai Tukar Bulan Juli Tahun 1993 – Desember
Tahun 2006
6
Selain itu memburuknya kondisi fundamental ekonomi dalam negeri dan
munculnya krisis kepercayaan terhadap perbankan juga menjadi pemicu utama
merosotnya rupiah hingga menembus batas atas kisaran intervensi Bank Indonesia
yang menyebabkan semakin maraknya kegiatan spekulatif, semakin kuatnya
tekanan terhadap rupiah menyebabkan pemerintah memutuskan untuk mengubah
sistem nilai tukar dari sistem mengambang terkendali menjadi sistem
mengambang bebas.
Dengan sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar rupiah terlihat
semakin bergejolak hingga me ncapai titik terendah Rp. 15 000 per US$ pada
bulan Juni 1998, Meskipun kemudian mulai bergerak menguat kembali karena
adanya bantuan finansial dari International Monetary Fund dan lembaga
internasional lain serta mulai membaiknya kondisi makro ekonomi, namun
kondisinya masih sangat rawan terhadap berbagai sentimen negatif dipasar.
Pada tahun 1999 Indonesia melakukan Pemilihan Umum. Gejolak nilai
tukar selama periode tersebut cenderung apresiatif. Nilai tukar rupiah dari Januari
sebesar Rp 8 000/US$ menguat terus hingga mencapai Rp 6 500/US$. Setelah itu
nilai tukar mengalami depresiasi yang cukup besar pada akhir tahun 1999 hingga
tahun 2000. Fluktuasi nilai tukar rupiah yang tajam mempunyai dampak yang luas
terhadap kondisi perekonomian. Hal tersebut juga mempengaruhi kebijakan
moneter yang diterapkan oleh Bank Indonesia mengingat dampak pergerakan nilai
tukar terhadap inflasi baik secara langsung maupun tidak langsung (direct and
indirect pass-through effect).
Secara implisit undang-undang memerintahkan agar Bank Indonesia
melalui kebijakan moneternya mengusahakan pencapaian sasaran inflasi yang
rendah dan stabil. Selaras dengan tujuan tersebut, maka stabilisasi inflasi dalam
7
jangka panjang merupakan agenda utama yang perlu diupayakan secara sungguhsungguh oleh Bank Indonesia hal tersebut bertolak dari argumen bahwa inflasi
yang tinggi dan tidak stabil akan meningkatkan biaya yang harus ditanggung oleh
perekonomian. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.
150
index
140
130
120
110
100
90
80
Tahun
70
99
00
01
Sumber : Bank Indonesia 2006
02
03
04
05
06
CPI
Gambar 2. Perkembangan Consumer Price Index Bulan Januari
Tahun 1999 - Desember Tahun 2006
Framework inflation tergetting yang diterapkan, masih menggunakan
besaran moneter sebagai sasaran antara, dalam praktek, sasaran inflasi yang
diumumkan tersebut digunakan untuk menghitung target uang primer dengan
menggunakan quantity theory of money (MV=PY) secara spesifik implementasi
kebijakan moneter Bank Indonesia dilakukan dengan menetapkan sasaran
operasional, yaitu uang primer dan mengendalikan jumlah uang beredar (M1 dan
M2)
sebagai
sasaran
antara.
Langkah
selanjutnya
adalah
mengamati
perkembangan indikator-indikator yang memberikan tekanan terhadap tingkat
harga dan nilai tukar rupiah melalui piranti instrumen moneter seperti operasi
8
pasar terbuka (OPT)
penentuan tingkat diskonto dan penetapan Giro Wajib
Minimum bagi perbankan (Haryono, 2000).
Berkaitan dengan penawaran uang, otoritas moneter melalui instrumen
kebijakan moneter mempunyai kekuasaan dalam mengendalikan jumlah uang
beredar, kebijakan moneter yang ekspansif, menyebabkan tingkat inflasi domestik
meningkat dan jumlah uang beredar meningkat, selanjutnya nilai tukar rupiah
mengalami penurunan sedangkan berkaitan dengan permintaan uang pendapatan
dan tingkat bunga merupakan faktor yang mempengaruhui nilai tukar. Aktivitas
ekonomi domestik yang meningkat dapat menyebabkan permintaan uang
domestik meningkat dan selanjutnya rupiah menguat sementara kenaikan dalam
tingkat bunga menyebabkan jumlah uang beredar menurun dan selanjutnya tingkat
inflasi domestik menurun.
Studi dari penelitian ini adalah untuk menganalisis nilai tukar dan inflasi
selama periode tahun 1999-2006 dimana model yang lebih tepat untuk ini adalah
menggunakan
pendekatan
moneter.
Perubahan
dalam
variabel
moneter
menyebabkan efek penting terhadap nilai tukar dan inflasi. Kebijakan
pengendalian terhadap pergerakan nilai tukar rupiah yang dilakukan oleh
pemerintah melalui otoritas moneter. Sejak pemerintah menetapkan penggunaan
sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate).
1.2. Perumusan Masalah
Dalam perekonomian terbuka ini, memungkinkan terjadinya mobilisasi
modal yang tinggi antar negara. Persepsi investor tentang kondisi kesehatan
ekonomi suatu negara sangat berpengaruh terhadap aliran modal masuk ataupun
keluar di suatu negara. Sejak tahun 1997 Bank Indonesia menerapkan regim nilai
9
tukar mengambang sebagai pengganti regim nilai tukar terkendali (crawling peg).
Perubahan sistem nilai tukar tersebut, diikuti dengan ketidakstabilan nilai tukar
dan berakibat pada pergerakan indeks harga di dalam negeri yang tajam. Dampak
fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap laju inflasi tercermin pada perkembangan
inflasi kelompok barang yang diperdagangkan secara internasional (traded) yang
terus mengalami peningkatan seiiring depresiasi rupiah. Selain itu fluktuasi
perubahan nilai tukar (nominal dan riil), suku bunga maupun inflasi di Indonesia
kurun waktu bulan Januari 1999 sampai Desember 2000 masih sangat tinggi
dibandingkan dengan Korea, Malaysia dan Thailand. Begitu juga, dampak
depresiasi nilai tukar rupiah terhadap inflasi tahun 2001 mengalami depresiasi
sebesar 17.7 persen, index harga traded mencapai 11.73 persen (y-o-y) (Bank
Indonesia, 2002).
Menurut Winata (2006) Indonesia sebagai salah satu small open economy
masih memiliki tingkat inflasi yang lebih tinggi dibanding negara – negara
disekitarnya. Rata-rata inflasi Indonesia selama periode tahun 2000-2004 adalah
sekitar 8.08 persen. Sementara itu, pada periode yang sama tingkat inflasi rata-rata
di Malaysia, Singapura dan Thailand adalah masing-masing 1.62 persen, 1.23
persen dan 1.66 persen.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengendalian
tingkat inflasi dan stabilitas makroekonomi merupakan tantangan bagi pemerintah
dan bank sentral.
Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa
inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi
sosial ekonomi masyarakat. Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan
pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari
masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin,
10
bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan
ketidakpastian (uncertainly) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan.
Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan
menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi dan
produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga,
tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di
negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif
sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.
Dengan adanya tekanan pada nilai rupiah dan perubahan rezim nilai tukar
serta pelaksanaan kebijakan inflation targetting yang telah dijalani oleh Bank
Indonesia, maka menarik untuk menganalisis kebijakan moneter perihal uang
beredar, suku bunga dan nilai tukar adalah variabel yang dapat dipengaruhi oleh
instrumen kebijakan moneter dan bertindak sebagai sasaran antara sedangkan
tingkat harga atau output dipertimbangkan sebagai sasaran akhir dari kebijakan
moneter di Indonesia Oleh karena itu dalam studi ini, permasalahan yang akan
diuji adalah :
1.
Bagaimanakah respon variabel industrial production index, uang beredar
dan perbedaan suku bunga apabila terjadi shock terhadap variabel nilai
tukar dan inflasi.
2.
Sejauh mana variabel – variabel makro dapat menjelaskan fluktuasi nilai
tukar rupiah dan inflasi
3.
Bagaimana implikasi kebijakan moneter dari hasil penelitian dalam rangka
menstabilkan nilai tukar rupiah dan inflasi.
11
I.3. Tujuan Penelitian
Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui fluktuasi nilai tukar dan
inflasi di Indonesia dengan tujuan sebagai berikut :
1.
Menganalisis respon variabel industrial production index, uang beredar dan
perbedaan suku bunga apabila terjadi shock terhadap variabel nilai tukar dan
inflasi.
2.
Menjelaskan
secara empiris variabel-variabel makro yaitu industrial
production index, tingkat inflasi, uang beredar dan perbedaan suku bunga
dapat menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah dan inflasi di Indonesia
3.
Merumuskan implikasi kebijakan moneter dari hasil-hasil analisis dalam
rangka menstabilkan nilai tukar rupiah dan inflasi.
I.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat dalam memberikan
sumbangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan studi empiris pendekatan
moneter di Indonesia. Karena jika penelitian
ini menghasilkan suatu hasil
estimasi yang dapat dipercaya secara statistik dan didukung oleh teori yang tepat,
maka pendekatan moneter dapat di gunakan dalam mencapai dan memelihara
kestabilan nilai tukar dan harga.
Dengan melakukan estimasi terhadap mata uang Amerika Serikat
diharapkan kita dapat memperkirakan perubahan yang terjadi pada sektor moneter
khususnya dan indikator ekonomi makro lainnya secara keseluruhan dari negara –
tersebut.
Dengan mendapatkan hasil estimasi dari masing-masing faktor-faktor yang
mempengaruhi fluktuasi nilai tukar, maka kita dapat mengetahui faktor yang
12
paling dominan dan paling signifikan dalam mempengaruhi nilai tukar. Dengan
demikian otoritas moneter dapat melakukan kebijakan yang bersifat antisipasi
lebih awal. Apabila kondisi ini terjadi, maka biaya pengendalian moneter dapat
diminimalkan.
1.5. Batasan Penelitian
1.
Penelitian menggunakan data bulanan periode Januari 1999 – Desember
2006. Alasan utamanya dimana pada saat itu Indonesia menerapkan sistem
nilai tukar mengambang bebas.
2.
Nilai tukar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai tukar nominal
rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat yang dilihat secara bulanan
(monthly).
3.
Pendapatan Nasional riil yang digunakan di Indonesia di proxy ke Industrial
Production Index dimana metode ini mengukur output dari industri-industri
suatu negara yang diukur dalam bulanan. Indikatornya adalah peningkatan
jumlah produksi dibanding periode sebelumnya yang dinyatakan dalam
index.
4.
Tingkat inflasi yang digunakan Indonesia adalah Consumer Price Index
dengan tahun dasar 2002:100.
5.
Suku bunga sebagai instrumen kebijakan moneter dalam penelitian ini
adalah suku bunga SBI jangka waktu satu bulan dalam persen, sedangkan
Amerika Serikat menggunakan US Prime 1 bulan karena pasar uang lebih
mudah dalam menangkap sinyal kebijakan moneter melalui suku bunga.
6.
Data yang digunakan dalam bentuk nominal dan data yang tidak dalam
bentuk persen ditulis dalam bentuk logaritma natural.
13
7.
Dalam penelitian ini tidak melihat faktor pengaruh langsung maupun tidak
langsung baik dari impor maupun ekspor.
8.
Pemodelan dilakukan untuk melihat pengaruh variabel moneter terhadap
perekonomian dengan analisis Impulse Response Function (IRF)
dan
Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) serta uji Granger
Causality
14
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Dasar Pertimbangan Penetapan Nilai Tukar
Pemilihan rezim nilai tukar pada umumnya didasarkan atas beberapa
pertimbangan, (Goeltom dan Zulverdi, 1998) antara lain preferensi suatu negara
terhadap keterbukaan ekonominya, apakah suatu negara lebih cenderung
menerapkan kebijakan ekonomi yang terbuka atau tertutup. Jika suatu negara
lebih cenderung menganut ekonomi yang lebih tertutup dan mengisolasikan
gejolak keuangan dari negara lain (contagion effect) maka fixed exchange rate
merupakan prioritas utama, sementara apabila suatu negara lebih condong
terbuka, pilihan nilai tukar yang lebih fleksibel merupakan pilihan utama karena
dengan sistem ini capital inflow dapat disterilisasi melalui sistem tersebut.
Tingkat kemandirian suatu negara dalam melaksanakan kebijakan
ekonomi misalnya dalam hal melaksanakan kebijakan moneter yang independen
maka sistem nilai tukar fleksibel merupakan pilihan utama. Kegiatan
perekonomian suatu negara jika kegiatan suatu negara semakin besar, maka
kegiatan volume transaksi ekonomi semakin meningkat, sehingga menyebabkan
permintaan uang juga semakin bertambah. Dalam hal ini, sistem yang tepat
digunakan adalah sistem nilai tukar fleksibel karena jika negara tersebut memiliki
sistem nilai tukar tetap maka dibutuhkan cadangan devisa yang sangat besar untuk
menjaga kredibilitas sistem nilai tukar tersebut.
Sementara itu dasar pertimbangaan pemilihan nilai tukar dalam konteks
terjadinya underlying shock pada pasar uang dan barang (LM dan IS) dalam hal
gejolak yang terjadi di pasar uang (LM) relatif lebih besar dari gejolak yang
terjadi dipasar barang (IS) maka pilihannya yang lebih baik adalah floating
exchange rate, Bila kasus sebaliknya, gejolak dipasar barang (IS) relatif lebih
15
besar dari gejolak di pasar uang (LM) maka pilihannya yang lebih baik adalah
fixed exchange rate. Dalam hal keduanya tidak ada yang dominan maka kebijakan
yang terbaik adalah managed floating.
2.2.
Sistem Nilai Tukar Mangambang Bebas
Sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate system)
adalah sistem nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing yang nilai
tukarnya ditentukan melalui mekanisme pasar, yaitu melalui kekuatan tarik
menarik antara permintaan dan penawaran terhadap valuta asing di pasar valuta
asing pada waktu tertentu. Dengan kata lain, melalui sistem ini kecenderungan
suatu mata uang mengalami apresiasi ataupun depresiasi relatif terhadap mata
uang lainnya. Hal tersebut akan sangat tergantung pada minat pasar untuk
memegang mata uang yang bersangkutan, tanpa adanya pembatasan maupun
intervensi secara langsung dari pihak-pihak tertentu, termasuk intervensi langsung
dari pemegang otoritas moneter suatu negara. Jadi dengan sistem nilai tukar
mengambang bebas, nilai tukar mata uang terhadap mata uang lainnya akan
dibiarkan mengambang bebas, dalam arti fluktuasinya dibiarkan bebas tanpa
dibatasi atau dikendalikan secara langsung. Sama seperti sistem nilai tukar yang
lain, sistem nilai tukar mengambang bebas ini memiliki berbagai konsekuensi
yang khas, baik yang positif maupun negatif, bagi perekonomian negara yang
menerapkannya. Adapun konsekuensi positif (kelebihan) yang akan didapat oleh
perekonomian suatu negara akibat menerapkan sistem nilai tukar mengambang
bebas adalah sebagai berikut, (Sloman and Sutcliffe, 1998):
1. Terjadi koreksi otomatis terhadap ketimpangan neraca pembayaran nasional,
sehingga seringkali disebut stabilisator otomatis (automatic stabilizer).
Otoritas moneter suatu negara membiarkan kurs mata uangnya berfluktuasi
16
secara bebas menuju tingkat keseimbangannya di pasar valuta asing. Dalam
hal ini ketidakseimbangan neraca pembayaran secara otomatis terkoreksi
tanpa memerlukan kebijakan ekonomi pemerintah secara khusus.
2. Cadangan valuta asing suatu negara relatif utuh, dalam arti tidak digunakan
untuk melakukan intervensi di pasar valuta asing demi stabilisasi kurs.
Karena, nilai tukar mata uang nasional secara otomatis akan segera
disesuaikan dengan tingkat nilai tukar di pasar valuta asing.
3. Relatif lebih memiliki daya lindung terhadap fluktuasi perekonomian dunia.
Negara yang menerapkan sistem ini tidak akan terikat secara langsung
terhadap suatu kemungkinan munculnya gejolak inflasi dunia yang tinggi. Hal
ini juga merupakan suatu perlindungan yang lebih luas dari goncangan dan
fluktuasi ekonomi dunia.
4. Pemerintah memiliki kebebasan (otonomi) yang lebih besar dalam
menentukan kebijaksanaan ekonomi di dalam negerinya. Artinya, pemerintah
dapat secara bebas memilih berapapun tingkat permintaan domestik yang
dikehendaki, dan dengan mudah membiarkan pergerakan nilai tukar
menyelesaikan
berbagai
permasalahan
yang
terdapat
pada
neraca
pembayarannya.
5. Kondisi asimetri dan ketidakadilan ala Bretton Wood dapat dihilangkan.
Setiap negara memiliki peluang dan kedudukan yang relatif sama, paling tidak
menurut hitungan teoritis, untuk mempengaruhi nilai tukar mata uang nasional
terhadap mata uang – mata uang asing lainnya.
Sedangkan, beberapa konsekuensi negatif (kekurangan) yang mungkin
muncul dari penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas adalah sebagai
berikut, (Krugman and Obstfeld, 2003):
17
1. Para pembuat keputusan, dalam hal ini bank sentral dan pemerintah, tidak lagi
dibebani oleh kekuatiran terhadap berkurangnya cadangan devisa untuk
mempertahankan
nilai
tukar,
dengan
demikian
dapat
menyebabkan
diterapkannya kebijaksanaan fiskal dan moneter yang terlalu ekspansif, yang
bisa berakibat jatuhnya negara tersebut ke dalam perangkap inflasi. Atau
dengan kata lain, dapat menyebabkan timbulnya kekurangan disiplinan
pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan ekonominya.
2. Munculnya destabilizing speculation (spekulasi perusak stabilitas) dan
gangguan terhadap pasar uang. Spekulasi perusak stabilitas ini cenderung
memperbesar gejolak nilai tukar mata uang dalam jangka panjang daripada
yang seharusnya terjadi sebagai akibat dari gangguan ekonomi yang tidak
terduga. Hal ini akan membawa ketidakpastian pada bidang perdagangan dan
investasi, khususnya dalam segala hal yang berkaitan dengan pembayaran luar
negeri.
3. Timbulnya kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak terkoordinasi dengan
baik. Masing-masing negara akan lebih berpeluang untuk menerapkan
kebijaksanaan ekonomi sepihak yang menguntungkan dirinya sendiri, tanpa
menghiraukan dampak negatif kebijakan tersebut terhadap negara lainnya.
4. Timbulnya ilusi tentang otonomi yang lebih besar. Para pembuat kebijakan
ekonomi tidak dapat mengabaikan pengaruh pelaksanaan kebijakan ekonomi
terhadap kondisi nilai tukar valuta asing, dan sebaliknya. Suatu depresiasi
yang meningkatkan harga barang-barang impor akan mendorong kenaikkan
upah tenaga kerja. Hal ini akan meningkatkan harga jual komoditi, sehingga
merangsang inflasi, yang selanjutnya menyebabkan tuntutan kenaikkan upah
yang lebih tinggi lagi. Oleh karena itu, pada akhirnya sistem nilai tukar
18
mengambang bebas dapat mempercepat reaksi harga terhadap kenaikan
penawaran uang (sistem nilai tukar mengambang bebas tidak benar-benar
memperkuat pengendalian terhadap tingkat penawaran riil uang).
Mengingat konsekuensi negatif yang mungkin terjadi, terutama dalam
menghadapi destabilizing speculation (spekulasi perusak stabilitas) dan gangguan
terhadap pasar uang domestik, maka wajar saja bila dalam praktek belum pernah
ada sistem nilai tukar mengambang bebas yang diterapkan secara murni, dalam
arti benar-benar terbebas dari intervensi yang sifatnya tidak langsung dari
pemegang otoritas moneter.
2.3.
Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia
Penentuan sistem nilai tukar merupakan suatu hal penting bagi
perekonomian suatu negara karena hal tersebut merupakan satu alat yang dapat
digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengisolasikan
perekonomian suatu negara dari gejolak perekonomian global.
Sesuai dengan undang-undang No 13 tahun 1968 tentang bank sentral
salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur, menjaga, dan memelihara
kestabilan nilai tukar rupiah secara garis besar, sejak tahun 1970 Indonesia telah
menerapkan sistem nilai tukar yaitu, (Goeltom dan Zulverdi, 1998):
1.
Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rates 1970-1978)
Sesuai dengan undang-undang No. 32 tahun 1964, Indonesia menganut
sistem nilai tukar tetap dengan kurs resmi Rp. 250/USD (sebelum
Rp. 45/USD) sementara kurs mata uang lainnya dihitung berdasarkan nilai
tukar rupiah terhadap USD di bursa valuta asing Jakarta dan dipasar
international. Pada periode ini pemerintah melakukan devaluasi sebanyak 3
kali, masing-masing pada 17 April 1970 dengan kurs sebesar Rp. 378/USD,
19
tanggal 23 Agustus 1971 dengan kurs sebesar Rp. 415/USD, pada tanggal 15
November 1978 dengan kurs sebesar Rp. 625/USD.
2.
Sistem Nilai tukar Mengambang Terkendali (1978-Juli 1997)
Pada sistem ini nilai tukar dilambangkan terhadap sekeranjang mata uang
(basket of currencies) negara – negara mitra dagang utama Indonesia.
Kebijakan ini diimplimentasikan bersamaan dengan dilakukan devaluasi
rupiah pada tahun 1978 sebesar 33.6 persen Dengan sistem tersebut
pemerintah menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak dipasar
dengan spreed tertentu. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah,
pemerintah melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas
atau batas bawah dari spreed.
3.
Sistem nilai tukar mengambang bebas (14 Agustus 1997)
Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar mengalami tekanan – tekanan yang
menyebabkan semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD.
Tekanan tersebut berawal dari currency turnmoil yang melanda Thailand
yang dengan segera menyebar ke Indonesia dan negara ASEAN
sehubungan
dengan
karakteristik
perekonomian
yang
mempunyai
kemiripan. Sejak awal bulan Juli 1997. Nilai tukar rupiah selalu berada
disekitar batas bawah rentang intervensi, walaupun pada tangga 11 Juli 1997
band intervensi telah diperlebar dari sebesar 8 persen menjadi 12 persen.
Langkah-langkah yang dilakukan Bank Indonesia antara lain dengan
melakukan intervensi baik secara spot maupun forward untuk sementara
memang dapat menstabilkan nilai tukar rupiah.
20
2.4.
Pendekatan Moneter
2.4.1. Teori Keseimbangan Pasar Uang
Didalam pendekatan moneter diasumsikan bahwa tingkat harga secara
penuh ditentukan oleh perubahan permintaaan dan penawaran uang didalam
perekonomian, dan dinyatakan sebagai berikut :
PIN =
MS
L (i, Y )
...........................................................................................(2.1)
Atau
MS
P
= L(i, Y ) ........................................................................................(2.2)
dimana :
P
= tingkat harga domestik
MS
= uang beredar domestik
L
= permintaan uang domestik
i
= suku bunga nominal domestik
Y
= pendapatan nasional riil domestik
Persamaan (2.1) menunjukkan bahwa tingkat harga itu ditentukan oleh
suku bunga, tingkat penawaran uang domestik dan tingkat output riil.
Keseimbangan tingkat harga jangka panjang adalah nilai Pd yang memenuhi
kondisi yang ditunjukkan oleh persamaan (2.1) dimana suku bunga dan output
berada pada tingkat jangka panjang yang konsisten dengan full employment. Bila
pasar uang berada pada kondisi keseimbangan, maka tingkat harga akan tetap
bertahan apabila penawaran uang, fungsi permintaan uang dan nilai – nilai jangka
panjang i dan Y tidak berubah.
Salah satu unsur prediktif yang terkandung dalam persamaan (2.1) diatas
adalah menyangkut hubungan antara tingkat harga dan tingkat penawaran uang.
21
Jika semua kondisi lainya tetap, kenaikan jumlah penawaran uang akan
mengakibatkan kenaikan tingkat harga secara proposional.
Dengan demikian persamaan (2.2) dapat menjelaskan bahwa permintaan
uang riil tidak akan meningkat sehubungan dengan kenaikan uang beredar (MS)
yang tidak mengubah suku bunga (i) dan tingkat output (Yd), apabila penawaran
uang riil juga tetap, agar penawaran uang riil (MS/P) tetap maka tingkat harga (P)
harus mengalami kenaikan secara proposional dengan kenaikan uang beredar
(MS).
2.4.2. Paritas Daya Beli
2.4.2.1.Hukum Satu Harga
Hukum satu harga (The law of one prices) menyatakan bahwa harga
produk yang sama/ identik di dua negara yang berbeda akan sama pula bila dinilai
dalam currency atau mata uang yang sama. Teori ini dikenal sebagai Purchasing
Power Parity (PPP) absolut. Misalnya harga barang di Amerika adalah Pusa harga
barang tersebut dalam rupiah dapat dituliskan P IN = P US x Rp/USD dengan
demikian nilai tukar adalah Rp/USD = P IN/P US.
2.4.2.2. Purchasing Power Parity
Teori ini dikemukakan oleh Gustav Cassel, seorang ekonom swedia, yang
memperkenalkan teori Purchasing Power Parity pada tahun 1918. Menurut
Krugman (2003) menyebutkan bahwa salah satu teori mengenai penentuan nilai
tukar adalah teori Purchasing Power Parity. Teori ini mengatakan bahwa nilai
tukar antara dua negara akan berubah sesuai dengan perubahan harga di kedua
negara. Jika misalnya, tingkat harga di suatu negara mengalami kenaikan yang
berarti, maka terjadi penurunan daya beli mata uang domestik, menurut teori ini
mata uang negara tersebut akan mengalami depresiasi. Sedangkan nilai mata uang
22
negara lain akan mengalami apresiasi, ceteris paribus. Demikian sebaliknya,
penurunan tingkat harga disuatu negara (kenaikan daya beli mata uang domestik)
akan dibarengi dengan apresiasi secara proprosional, cateris paribus. Sedangkan
nilai mata uang negara lainnya mengalami depresiasi.
Asumsi utama yang mendasari teori Purchasing Power Parity adalah
bahwa pasar komoditi merupakan pasar yang efisien dilihat dari alokasi,
operasional, penentuan harga, dan informasi (Tucker, et al, 1991). Secara implisit
ini berarti: (1) semua barang merupakan barang yang diperdagangkan di pasar
internasional (tradable goods) tanpa dikenal biaya transportasi sepersen pun, (2)
tidak ada bea masuk, kuota, ataupun hambatan lain dalam perdagangan
internasional, (3) barang luar negeri dan barang domestik adalah homogen secara
sempurna untuk masing-masing barang, dan (4) adanya kesamaan indeks harga
yang digunakan untuk menghitung daya beli mata uang asing dan domestik,
terutama tahun dasar yang digunakan dan elemen indeks harga.
Oleh karena itu bila indeks harga di kedua negara identik, hukum satu
harga menjustifikasi Purchasing Power Parity (Bailie and Mac Mahon, 1990)
artinya bila produk/ jasa yang sama dapat dijual dipasar yang berbeda dan tidak
ada hambatan dalam penjualan maupun biaya transportasi, maka harga produk/
jasa cenderung sama di kedua pasar tersebut. Bila kedua pasar tersebut adalah dua
negara yang berbeda, harga produk/jasa tersebut biasanya dinyatakan dalam mata
uang yang berbeda, namun harga produk /jasa tetap masih sama. Perbandingan
harga hanya memerlukan satu konversi satu mata uang ke mata uang lain
misalnya.
P * x S = P ..............................................................................................(2.3)
23
Dimana P* adalah harga produk luar negeri, dikalikan kurs spot/konversi (S)
misalnya rupiah perdollar US), sama dengan harga produk dalam negeri (P)
sebaliknya, bila harga kedua produk dinyatakan dalam mata uang lokal, dan pasar
adalah efisien. Maka kurs valas dapat dinyatakan dalam harga lokal produk
tersebut;
S = P / P * ...............................................................................................(2.4)
Dimana S adalah kurs spot dollar AS per rupiah. Bila hukum satu harga berlaku
untuk segala jenis barang dan jasa, kurs Purchasing Power Parity dapat dijumpai
pada sejumlah harga. Dalam teori PPP dikenal dua versi Purchasing Power
Parity, yaitu : versi absolut dan versi relatif. Purchasing Power Parity versi
absolut mengatakan bahwa kurs valas dinyatakan dalam nilai harga di dua negara
S t = Pt / Pt * .............................................................................................(2.5)
Dimana Pt dan Pt* masing-masing adalah harga rata-rata tertimbang dari komoditi
di dua negara (tanda * menunjukkan luar negeri) dengan kata lain, Purchasing
Power Parity absolut menerangkan bahwa kurs spot ditentukan oleh harga relatif
dari sejumlah barang yang sama (ditunjukkan oleh indeks harga) misalnya,
katakanlah tingkat harga saat ini di Indonesia Rp. 110/USD sedang di AS sebesar
Rp. 105/USD. Jika kurs awal dollar adalah Rp. 2 500 maka menurut Purchasing
Power Parity, kurs rupiah yang dinilai dalam dollar AS seharusnya meningkat
menjadi Rp. 2 619 yang diperoleh dari (2 500 x 110/105), atau mengalami sebesar
4.76 persen. Dilain pihak, bila tingkat harga di AS sekarang menjadi Rp. 115
maka
rupiah akan mengalami apresiasi sekitar 4.36 persen atau menjadi
Rp. 2 391 yang diperoleh dari (2 500 x 110/115) jadi dapat di simpulkan pesan
dari PPP adalah bahwa negara yang mata uangnya mengalami tingkat inflasi yang
24
tinggi seharusnya mengurangi nilai mata uangnya relatif terhadap mata uang
dengan tingkat inflasi yang lebih rendah.
Sementara itu Purchasing Power Parity yang relatif
mengatakan
persentase perubahan kurs nominal akan sama dengan perbedaan inflasi diantara
kedua negara, dinyatakan dalam konteks mendatang (ex ante terms), harapan
perubahan kurs valas sama dengan harapan perbedaan inflasi
∆S te = ∆pt − ∆pte* ....................................................................................(2.6)
Dimana ? Ste = harapan perubahan kurs spot (Set+1-St) ; ? pte = harapan perubahan
inflasi, (pet+1 - pt) notasi yang dinyatakan dalam huruf kecil berarti dinyatakan
dalam bentuk logaritma natural (misal ; S = Ln S ) tanda * diatas variabel
menunjukkan negara asing. Baik Purchasing Power Parity versi absolut maupun
relatif dapat dinyatakan dalam nilai kurs Purchasing Power Parity riil (real
exchange rate, StPPP) sebagai berikut:
S tPPP = S t Pt * / Pt .....................................................................................(2.7)
Dimana mendefenisikan kurs riil dalam nilai daya beli antara dua kelompok
konsumsi barang
dengan kata lain, Purchasing Power Parity absolut dapat
dinyatakan sebagai StPPP =1 ; dan Purchasing Power Parity relatif dapat nyatakan
dalam = St+1 PPP = StPPP.
2.4.3. Teori Paritas Suku Bunga
Teori berikutnya adalah berlakunya teori paritas suku bunga (Interest Rate
Parity), yang menyatakan bahwa pasar valuta asing berada dalam kondisi
keseimbangan apabila semua simpanan dalam berbagai valuta menawarkan
imbalan yang sama, artinya perbedaan suku bunga simpanan domestik dengan
suku bunga simpanan luar negeri sama dengan tingkat swap yaitu perbedaan
25
antara kurs dimasa mendatang dengan nilai tukar spot relatif terhadap nilai tukar
spot. Kondisi demikian menunjukkan bahwa masyarakat tidak akan memperoleh
keuntungan apapun bila menginvestasi dananya diluar negeri secara matematis,
teori Interest Rate Parity dinyatakan sebagai berikut :
e
S Rp
/ $ − S Rp / $
S Rp / $
= iIN − iUS ..........................................................................(2.8)
Pada bagian kanan persamaan (2.8) menunjukkan keuntungan atau
kerugian yang diperolehkan bila menyimpan aset dalam mata uang domestik jika
suku bunga rupiah lebih tinggi daripada suku bunga dollar (iIN>iUS) berarti ada
keuntungan yang akan diperoleh bila menyimpan aset domestik. Dengan demikian
akan banyak investor berusaha untuk mengalihkan portofolio asetnya kedalam
rupiah, sehingga akan terjadi capital inflow. Adanya capital inflow nantinya akan
menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar mengalami apresiasi. Sebaliknya
apabila iIN < iUS, berarti ada keuntungan yang akan diperoleh bila menyimpan aset
dalam dollar Amerika Serikat. Hal ini akan mendorong terjadinya capital outflow
sehingga rupiah nantinya mengalami depresiasi terhadap dollar Amerika Serikat.
Sedangkan bagian kiri persamaan (2.9) menunjukkan adanya resiko yang akan
ditanggung ataupun keuntungan yang akan diperoleh bila terjadi perubahan nilai
tukar. Apabila (iIN >iUS) > (SeRp/$ > SRp/$), maka akan lebih menguntungkan bila
menyimpan aset domestik, demikian pula sebaliknya.
Berdasarkan persamaan (2.8) diatas maka rate of return rupiah atas
simpanan dollar kurang lebih sama dengan suku bunga dollar Amerika Serikat
ditambah dengan tingkat depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Jika
tingkat bunga domestik diatas tingkat bunga luar negeri, maka akan terjadi
apresiasi dalam mata uang domestik atau depresiasi mata uang Amerika Serikat,
26
yang harus diimbangi dengan penurunan tingkat bunga dalam negeri. Persamaan
(2.8) selanjutnya dituliskan kembali sebagai berikut:
iIN = iUS +
e
S Rp
/ $ − S Rp / $
S Rp / $
≡ iUS + ∆e ........................................................(2.9)
dimana :
iIN
= suku bunga simpanan rupiah (domestik) pertahun
iUS
= suku bunga simpanan dollar (luar negeri) pertahun
SeRp/$ = perkiraan nilai tukar pada waktu yang akan datang (Forward)
SRp/$ = nilai tukar yang berlaku saat ini (Spot)
?e
= ekspektasi depresiasi nilai tukar
Sedangkan penentuan nilai tukar antara rupiah dan dollar berdasarkan
pendekatan moneter dimulai dengan fungsi permintaan uang nominal dari
Indonesia (MdIN) dan Amerika Serikat (MdUS) dalam keseimbangan, jumlah uang
yang diminta sama dengan jumlah uang yang ditawarkan. Jadi MdIN=Ms US.
Kemudian persamaan (2.9) tersebut dapat kita subtitusikan kedalam persamaan
money market equilibrium (2.10) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut :
M INS
PIN =
..........................................................................(2.10)
L (iUS + ∆e, YIN )
PUS =
S
M US
...................................................................................(2.11)
L(iUS , YUS )
Selanjutnya menurut teori Purchasing Power Parity pada persamaan (2.5) maka
persamaan nilai tukar dapat diturunkan sebagai berikut :
S Rp / $ =
M INS L(iUS , YUS )
..................................................................(2.12)
S
M US
(iUS + ∆e , YIN )
Didalam keseimbangan jangka panjang ?e =0, dimana nilai tukar diharapkan
tidak lagi berubah, tetapi dalam jangka pendek ?e ? 0, sehingga memungkinkan
27
untuk melihat hubungan antara nilai tukar, jumlah uang beredar, output, suku
bunga dan tingkat harga.
2.4.4. Ekspektasi Rasional
Asumsi lain untuk melengkapi analisis ini adalah berlakunya Rational
Expectation yaitu bahwa semua agen ekonomi mengetahui bekerjanya mekanisme
perekonomian. Dalam hal ini apabila dinyatakan
e adalah nilai tukar
keseimbangan, maka dapat diasumsikan bahwa S e Rp / $ = ~
e hal ini dapat
menggambarkan arah perkembangan perekonomian yaitu dengan menganalisis
hubungan antara tingkat harga dan nilai tukar yang memenuhi persamaan (2.9 dan
2.10) (Ickes,2004)
Dalam jangka panjang ?e=0, maka persamaan (2.9) dapat dituliskan
menjadi sebagai berikut :
S
M IN
= L(iUS ,YIN ) ..................................................................................(2.13)
PIN
Berapapun besarnya nilai tukar akan selalu konsisten dengan money market
equilibrium, sebaliknya dalam jangka pendek ?e ? 0 misalnya apabila ?e > 0
dimana nilai tukar diharapkan akan mengalami depresiasi sesuai dengan
persamaan (2.8) maka suku bunga di Indonesia lebih tinggi daripada suku bunga
di Amerika Serikat, sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan permintaan
uang agregat. Untuk menjaga kondisi keseimbangan pasar uang pada jumlah uang
beredar yang tertentu, maka tingkat harga domestik harus mengalami penurunan
jadi dalam hal ini untuk menjaga money market equilibrium terdapat hubungan
negatif antara nilai tukar dengan tingkat harga.
Dalam situasi dimana perubahan moneter merupakan penyebab dominan
dari suatu fluktuasi ekonomi, maka prediksi terhadap kebijakan moneter menjadi
28
sangat penting. Berdasarkan pendekatan moneter, dapat diperoleh gambaran
mengenai hubungan antara uang beredar, suku bunga, nilai tukar, output, tingkat
harga didalam perekonomian.
Apabila tingkat harga di asumsikan fleksibel (Holod D ,2000), dimana
tingkat harga merespon secara langsung atau on impact perubahan jumlah uang
beredar. Ekspansi moneter akan mengarahkan terjadinya kenaikan tingkat harga
dengan berlakunya Purchasing Power Parity dalam jangka pendek. Maka
kenaikkan tingkat harga pada gilirannya kemudian akan me nyebabkan terjadinya
depresiasi nilai tukar. Time path tingkat harga dan nilai tukar yang di harapkan
mengikuti adanya kebijakan ekspansi moneter pada asumsi tingkat harga fleksibel
dapat digambarkan sebagai berikut :
e Rp/$
P IN
a) Time Path Tingkat Harga Setelah
Terjadinya Ekspansi Moneter
b) Time Path Nilai Tukar setelah
Terjadinya Ekspansi Moneter
Gambar 3. Time Path Asumsi Tingkat Harga Fleksibel
Sebaliknya, apabila tingkat harga sticky dimana Purchasing Power Parity
tidak berlaku dalam jangka pendek, kebijakan moneter beroperasi melalui jalur
suku bunga. Positif shock pada kebijakan moneter domestik akan meningkatkan
real money supply, karena tingkat harga sticky dalam jangka pendek maka
peningkatan jumlah uang beredar ini akan menurunkan suku bunga domestik
dengan berlakunya Interest Rate Parity, maka pembuat kebijakan melakukan
29
antisipasi dengan apresiasi mata uang domestik didalam jangka panjang dengan
turunya suku bunga domestik dan terjadinya apresiasi mata uang domestik
menyebabkan nilai aset domestik tidak menarik, sehingga terjadi aliran modal
domestik keluar dan mata uang domestik terdepresiasi.
P IN
e Rp/$
a) Time Path Tingkat Harga Setelah
Terjadinya Ekspansi Moneter
b) Time Path Nilai Tukar Setelah
Terjadinya Ekspansi Moneter
Gambar 4. Time Path Asumsi Tingkat Harga Sticky
2.5.
Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank
sentral
dalam
bentuk
pengendalian
besaran
moneter
untuk
mencapai
perkembangan kegiatan perekonomian yang di inginkan yaitu stabilitas ekonomi
makro yang antara lain dicerminkan oleh stabilitas harga (laju inflasi) dan
pertumbuhan ekonomi (Warjiyo, 2003).
2.5.1. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter
Kerangka operasional kebijakan moneter yang diterapkan oleh bank
sentral di berbagai negara pada dasarnya memiliki konsep yang sama. Di satu sisi,
bank sentral ingin mencapai sasaran – sasaran akhir yang menjadi tugas pokok
nya seperti laju inflasi, laju pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan neraca
pembayaran. Namun di sisi lain, bank sentral hanya mampu mempengaruhi
beberapa instrumen kebijakan yang secara langsung di bawah pengendaliannya.
30
Karena itu diperlukan sasaran operasional sebagai sasaran segera yang hendak
dicapai dari penggunaan instrumen tersebut dan dengan suatu mekanisme tertentu
yang diasumsikan dapat mempengaruhi sasaran antara. Pada dasarnya pencapaian
sasaran antara ini diharapkan dapat mempengaruhi pencapaian sasaran akhir yang
di inginkan. Jadi alur mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia adalah
instrumen kebijakan moneter, kemudian sasaran operasional, sasaran antara, dan
terakhir adalah sasaran akhir (Hascaryo, 2003).
2.5.2. Instrumen Kebijakan Moneter
Dalam mencapai tujuannya, bank sentral memiliki beberapa instrumen
kebijakan moneter yaitu operasi pasar terbuka (open market operation), cadangan
minimum (reserve requirement), dan kebijakan diskonto (discount policy).
1. Operasi Pasar Terbuka
Operasi pasar terbuka (Miskhin, 2001) merupakan intervensi yang
dilakukan bank sentral untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar dengan
membeli atau menjual surat berharga seperti Sertifikat Bank Indonesia dan Surat
Berharga Pasar Uang . Sertifikat Bank Indonesia merupakan surat berharga yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sedangkan Surat Berharga Pasar Uang diterbitkan
oleh perusahaan atau bank. Kedua instrumen ini dikeluarkan pada saat bank
sentral ingin membekukan likuiditas.
Sertifikat Bank Indonesia sebagai surat berharga yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia digunakan untuk melakukan operasi moneter secara tidak
langsung. Selain itu, Sertifikat Bank Indonesia dapat digunakan untuk mengatur
likuiditas jangka pendek dari bank, perusahaan ataupun masyarakat. Suku bunga
Sertifikat Bank Indonesia merupakan indikator yang terbaik dalam kebijakan
31
moneter dan terkadang digunakan sebagai alternatif investasi (Agung, 1998).
Bank sentral akan melakukan kebijakan moneter yang bersifat kontraksi dengan
menjual surat berharga dan melakukan kebijakan ekspansif dengan membeli surat
berharga.
Terdapat beberapa keuntungan kebijakan moneter dengan menggunakan
instrumen pasar terbuka, (Miskhin, 2001) diantaranya : (1) Operasi Pasar Terbuka
merupakan kebijakan moneter yang muncul atas inisiatif dari bank sentral untuk
mengontrol jumlah uang beredar, (2) Operasi Pasar Terbuka dapat digunakan
secara luas, fleksibel dan tepat, (3) Operasi Pasar Terbuka sangat mudah dikoreksi
atau dibetulkan jika terdapat kesalahan dalam pengambilan suatu kebijakan, dan
(4) Operasi Pasar Terbuka dapat diterapkan secara cepat.
2. Giro Wajib Minimum
Giro Wajib Minimum atau cadangan minimum bank merupakan dana yang
harus disimpan oleh perbankan pada bank sentral. Besarnya Giro Wajib Minimum
merupakan cerminan dari kebijakan bank sentral dalam menentukan besarnya
jumlah uang uang beredar. Giro Wajib Minimum jarang digunakan sebagai
instrumen kebijakan.
Kelebihan menggunakan instrumen Giro Wajib Minimum (Miskhin, 2001)
adalah memiliki dampak yang sama ke semua bank dan sangat berpengaruh
terhadap jumlah uang beredar. Kekurangan penggunaan Giro Wajib Minimum
adalah peningkatan Giro Wajib Minimum secara cepat akan mengakibatkan
masalah likuiditas bagi bank – bank yang memiliki excess reserves yang rendah.
3. Tingkat Diskonto
Tingkat diskonto merupakan suatu kebijakan untuk mengendalikan uang
beredar dengan merubah tingkat suku bunga, namun kebijakan ini jarang
32
digunakan. Kebijakan ini hanya bisa dipakai oleh bank, berkaitan dengan fungsi
bank sentral sebagai lender of the last resort, artinya bank sentral sebagai
alternatif terakhir bagi bank untuk memperoleh dana jika kekurangan likuiditas.
Biasanya Bank Indonesia akan mengenakan suku bunga di atas rata-rata.
Kekurangan menggunakan instrumen ini sebagai kebijakan moneter
(Miskhin, 2001) yaitu; (1) menimbulkan kebingungan bagi bank sentral untuk
menetapkan tujuan ketika perubahan tingkat diskonto diumumkan, dan (2) ketika
bank sentral menetapkan tingkat diskonto pada level tertentu, akan terjadi
fluktuasi antara suku bunga pasar dengan tingkat diskonto (i-id)
sebagai
perubahan suku bunga pasar.
Secara umum, kebijakan moneter yang sehat memiliki karakteristik –
karakteristik sebagai berikut, (Nugroho, 2002):
1. Bersifat antisipatif (forward looking) karena adanya lag kebijakan moneter
2. Hanya memiliki satu nominal anchor, sehingga sasaran kebijakan akan lebih
terfokus.
3. Mengikatkan
diri
pada
suatu
rule
namun
cukup
fleksibel
dalam
operasionalnya (constrained discretion).
4. Sesuai dengan prinsip-prinsip good corporate government, yaitu memiliki
tujuan yang jelas, transparan dan berakuntabilitas.
Kebijakan moneter dapat mempengaruhi stabilitas harga, pertumbuhan
ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan keseimbangan neraca pembayaran.
Secara ideal, semua sasaran akhir tersebut bisa dicapai secara bersamaan. Namun,
sering kali pencapaian sasaran – sasaran akhir tersebut mengandung unsur
kontradiktif. Oleh karena itu, dalam undang-undang bank sentral ada
33
kecenderungan bahwa sasaran akhir kebijakan moneter adalah kestabilan harga
yang artinya memfokuskan pada sasaran tunggal.
Kebijakan moneter dengan sasaran tunggal pada umumnya menggunakan
pendekatan harga (price-based structure), sementara kebijakan moneter dengan
sasaran multi menggunakan pendekatan kuantitas (quantitas-base structure).
Tugas pokok Bank Indonesia sebagai otoritas moneter adalah merencanakan dan
membuat program moneter (moneter programming) yang intinya adalah
melakukan perencanaan kebijakan pengendalian uang beredar (moneter) seperti
yang diterangkan pada Tabel 1. Dalam penyusunan program moneter, penentuan
sasaran operasional dilakukan dengan memperhitungkan beberapa asumsi berikut:
1. Kebijakan dan perkembangan sektor-sektor lain (fiskal, perdagangan dan
investasi, dan lain-lain) akan berjalan seperti ditetapkan.
2. Adanya hubungan yang stabil antara uang primer (sebagai sasaran
operasional) dengan uang beredar (sebagai sasaran antara). Kondisi ini
mensyaratkan adanya stabilitas perkembangan money multiplier.
Tabel 1. Kerangka Secara Umum Sistem Operasi Kebijakan Moneter
Pendekatan
Sistem Operational
a. Pendekatan harga
Instrumen
Sasaran Operasional
- Langsung
- Suku bunga PUAB
- Tidak langsung
b. Pendekatan
Kuantitas
Intrumen
Sasaran Akhir
- Stabilitas harga
Sasaran
Sasaran Antara
Sasaran Akhir
Operasional
- Langsung
- monetary base -Besaran moneter - Stabilitas harga
- Tidak Langsung seperti:
seperti :
- Pertumb.Ekonomi
• Uang Primer o MI,M2
- Kesemptan Kerja
• Reserve bank o Suku bunga
- Keseimbangan
o Nilai Tukar
BOP
0
Kredit Perbankan
Sumber : Ascarya, 2002
2.5.3. Sasaran Operasional
Pemilihan variabel yang dijadikan sasaran operasi adalah hal pertama yang
harus ditentukan. Dalam hal ini, suku bunga Pasar Ua ng Antar Bank (PUAB),
34
suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan tingkat diskonto surat Berharga
Pasar Uang (SBPU) merupakan tiga pilihan suku bunga jangka pendek yang dapat
digunakan sebagai sasaran operasional. Pemilihannya didasarkan pada
dua
pertimbangan. Pertama, seberapa cepat perubahan masing-masing suku bunga
jangka pendek tersebut ditransmisikan ke perubahan suku bunga deposito atau
kredit dan perubahan nilai tukar. Kedua, seberapa jauh perubahan suku bunga
jangka pendek tersebut dapat dipengaruhi oleh instrumen kebijakan moneter yang
dilakukan oleh Bank Indonesia.
Ketiga jenis suku bunga jangka pendek tersebut mempunyai kelebihan
sekaligus kekurangan masing-masing. Suku bunga SBI dan tingkat diskonto
SBPU mempunyai kelebihan karena dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia.
Bahkan kedua suku bunga ini dapat sekaligus menjadi instrumen dan sasaran
operasional kebijakan moneter. Perbedaanya terletak pada pandangan perbankan
bahwa SBI sebagai alternatif investasi, sementara SBPU sebagai alternatif
pendanaan. Karena itu tingkat diskonto SBPU sering diyakini lebih dekat
hubungannya dengan suku bunga deposito dan kredit.
Sementara itu, suku bunga PUAB mempunyai kelebihan karena lebih
menggambarkan kondisi pasar uang sebagai salah satu alternatif pendanaan dan
penanaman modal jangka pendek perbankan. Karena langsung mempengaruhi
return dan risk perbankan maka perubahan suku bunga ini diperkirakan lebih
cepat ditransmisikan ke suku bunga dan kredit. Selain itu, PUAB sering pula
dipergunakan sebagai alternatif sumber pendanaan bagi transaksi dipasar valuta
asing karena eratnya keterkaitan antara kedua pasar uang ini. Dengan demikian
diperkirakan perubahan suku bunga PUAB lebih cepat pula ditransmisikan ke
pergerakan nilai tukar rupiah.
35
2.5.4. Sasaran Antara
Tercapainya sasaran akhir kebijakan moneter seperti laju inflasi dan
pertumbuhan ekonomi akan sangat bergantung pada kemampuan Bank Indonesia
dalam mempengaruhi permintaan agregat baik konsumsi, investasi, maupun
transaksi berjalan. Untuk itu bank Indonesia dapat menggunakan model ekonomi
makro yang telah ada untuk memperkirakan seberapa besar permintaan agregat
yang dianggap aman dan sesuai dengan laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi
yang diinginkan. sasaran tersebut diperlukan untuk dipergunakan sebagai acuan
dalam memperkirakan besarnya demand pressure atau output gap yang dapat
ditolerir dan perlu dikendalikan melalui kebijakan moneter yang dilakukan.
Langkah selanjutnya adalah merumuskan suatu indikator yang dapat
dipergunakan sebagai sasaran antara dalam pengendalian permintaan agregat
tersebut. Dalam hubungan ini, Indikator Kondisi Moneter (IKM) yang ditempuh
oleh Kanada, Selandia Baru, dan Australia kiranya dapat digunakan sebagai acuan
penerapannya di Indonesia. IKM pada dasarnya mengukur pengaruh suku bunga
dan nilai tukar terhadap aggregate demand pressures yang dicerminkan pada
besarnya output gap sebagai berikut:
IKM(v)
=
a(sukubunga(t)-sukubunga
(base))+ß(REER(t)-REER(base))100
dimana IKM (v) mencerminkan aggregate demand pressures, t menunjukkan
periode sekarang, base adalah periode dasar, dan angka 100 untuk menunjukkan
indeks. suku bunga yang berpengaruh pada permintaan agregat pada umumnya
adalah sukubunga menengah panjang. Untuk Indonesia, suku bunga deposito atau
sukubunga kredit dapat dipergunakan sebagai proksi mengingat tidak adanya suku
bunga menengah panjang. REER adalah real efective exchange rate.
36
Parameter a dan ß diperoleh melalui penaksiran fungsi permintaan agregat
dengan variabel suku bunga dan REER sebagai varaibel bebas. Dengan demikian
suatu rasio IKM yang dicerminkan dengan a/ß menunjukkan seberapa kuatnya
pengaruh sukubunga terhadap permintaan agregat relatif terhadap pengaruh
REER. Rasio IKM ½ artinya bahwa 1 persen pengaruh kenaikkan suku bunga
sama dengan 2 persen apresiasi nilai tukar dalam mempengaruhi permintaan
agregat. Dengan kata lain, agar permintaan agregat tidak mengalami perubahan
maka kenaikan suku bunga sebesar 1 persen harus diimbangi dengan depresiasi
nilai tukar sebesar 2 persen. Semakin rendah rasio IKM berarti bahwa untuk
mempengaruhi permintaan agregat diperlukan fluktuasi nilai tukar yang lebih
besar.
Karena IKM dinyatakan dalam perubahan relatif terhadap periode dasar
maka perkembangan IKM dari waktu ke wkatu menunjukkan semakin
besar/tidaknya agregate demand pressures. Kenaikan IKM menggambarkan
semakin besarnya pengaruh suku bunga dan nilai tukar dalam mengurangi tekanan
permintaan agregat tersebut. Dengan kata lain, gerakan IKM menunjukkan
ketat/tidaknya stance dari kebijakan moneter yang ditempuh. Apabila bank
Indonesia ingin mengetatkan pengendalian untuk mengantisipasi tekanan
permintaan agregat yang semakin besar maka IKM diupayakan untuk dapat
ditingkatkan dari waktu kewaktu.
2.5.5. Sasaran Akhir
Selama ini manajemen moneter di Indonesia diarahkan untuk mencapai
sasaran akhir kestabilan ekonomi makro, yaitu laju inflasi yang cukup rendah, laju
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan kemantapan neraca pembayaran.
37
Berbagai perubahan mendasar terutama perubahan sistem nilai tukar tetap menjadi
sistem nilai tukar yang fleksibel mengharuskan Indonesia untuk memikirkan
kembali tentang bagaimana kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mencapai
sasaran-sasaran tersebut. Suatu hal yang pasti adalah dalam sistem nilai tukar
fleksibel, gerakan nilai tukar akan berfluktuasi sesuai dengan kekuatan pasar
sehingga tidak lagi dapat diarahkan untuk mencapai suatu sasaran tingkat
depresiasi tertentu untuk mendorong ekspor.
Dengan demikian, dalam sistem nilai tukar fleksibel, kebijakan moneter
lebih difokuskan pada pengendalian permintaan agregat. Lebih jelasnya bahwa
kebijakan moneter diarahkan untuk mengendalikan tekanan-tekanan permintaan
(aggregate demand pressures) yang disebabkan oleh tingginya kesenjangan antara
permintaan agregat dengan output potensial (output gap). Hal ini mengingat
besarnya output gap tersebut menentukan tingkat laju inflasi dan laju
pertumbuhan dalam ekonomi. Semakin tinggi output gap, laju pertumbuhan
ekonomi dapat lebih tinggi, akan tetapi akan dibarengi dengan laju inflasi yang
lebih tinggi pula. Bank Indonesia harus menentukan seberapa jauh output gap
tersebut akan diperkecil untuk menentukan imbangan antara sasaran laju inflasi
dan laju pertumbuhan ekonomi yang dianggap paling optimal.
2.6.
Hasil Penelitian Terdahulu
Santoso dan Iskandar (1999), dalam penelitian mengenai pengendalian
moneter dalam sistem nilai tukar yang fleksibel menjelaskan bahwa pengujian
empiris dengan menggunakan vector autoregression dan granger causality test
versi Hsiao menunjukkan bahwa kebijakan moneter dengan inflation targetting
dapat digunakan di Indonesia khususnya setelah era sistem nilai tukar fleksibel.
38
Pengendalian moneter dalam kerangka inflation targetting dapat dilakukan
dengan menggunakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank overnight sebagai
kandidat utama sasaran operasional dan (Monetary Condition Index) sebagai
sasaran antara, sementara underlying inflation sebagai sasaran akhir tunggal.
Sementara penggunaan Monetary Condition Index sebagai sasaran antara tidak
dilakukan secara kaku (policy rules) tetapi dimungkinkan terjadinya discretionary
policy sepanjang shock terhadap inflasi dan nilai tukar berasal dari supply shock
dan bersifat sementara. Disamping itu masih kuatnya hubungan langsung antara
monetary
aggregate dengan inflasi maka pengalihan kebijakan moneter dari
quantity targetting ke price targeting
bukan merupakan substitusi penuh.
Monetary aggregate masih tetap digunakan sebagai variabel indikator untuk
mendeteksi tekanan terhadap inflasi.
Studi empiris mengenai mekanisme transmisi moneter di Indonesia yang
menjelaskan mengenai sumber – sumber fluktuasi makroekonomi di Indonesia
telah dilakukan oleh Siregar and Ward (2002). Penelitian ini mengemukakan
bahwa shock kebijakan moneter mempengaruhi output melalui suku bunga
domestik kepada nilai tukar. Namun shock nilai tukar lebih penting dan
menandakan bahwa adanya keterbatasan dari kebijakan moneter dalam upaya
menstabilkan fluktuasi makroekonomi Indonesia. Selain itu, diinformasikan pula
bahwa shock General Spending Balance atau nilai tukar rupiah riil terhadap nilai
tukar riil dan permintaan uang ternyata mempunyai pengaruh nyata sehingga efek
guncangan tersebut terhadap output lebih besar.
Studi mengenai pentargetan inflasi di Indonesia yang juga dilakukan oleh
Chowdhury dan Siregar (2002). Studi tersebut menggaris bawah adanya kendala
yang serius dalam pembuatan kebijakan makroekonomi di Indonesia. Pada sisi
39
fiskal kendala utamanya adalah pemerintah menanggung beban hutang dan
tekanan memperbaiki pengeluaran pembangunan. Sementara pada sisi moneter
bagaimana mengupayakan tingkat inflasi yang rendah dan kebutuhan bagaimana
memelihara likuiditas untuk mendorong perekonomian yang resesi. Didukung
dengan adanya kompleksitas permasalahan moneter dan fiskal menyebabkan
pengambilan kebijakan saling bertolak belakang dan sulit terkoordinasi dengan
baik. Kajian mengenai hal tersebut menghasilkan suatu model trade off antara
inflasi dengan pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan bahwa inflasi yang
tinggi namun sampai pada batas tertentu masih berdampak positif terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Pendekatan moneter dalam perekonomian terbuka telah memperluas
analisisnya terhadap sistem nilai tukar fleksibel yang telah diadopsi negara negara
didunia sejak tahun 1979. Model moneter untuk nilai tukar telah diformulasikan
Dornbusch (1976). Model moneter Dornbusch telah melakukan suatu penyesuaian
harga yang kaku (Sluggish price adjustment) dalam pasar barang, Frangkel (1976)
ia telah mengembangkan suatu pandangan moneter tentang faktor-faktor yang
menentukan nilai tukar. Pendekatan terbarunya menekankan pada pertimbangan
yang berkaitan dengan permintaan uang dan the interest parity theory. Frangkel
juga menekankan peranan ekspektasi dan menemukan suatu ukuran yang dapat di
observasi secara langsung yang dibangun atas informasi yang termuat dalam data
dari pasar dimuka (forward market) nilai tukar dan ditunjukkan secara konsisten
dengan hipotesa sentral dari pendekatan moneter. Dalam model ini, analisis
terdahulu telah menunjukkan asosiasi tertutup antara perkembangan moneter dan
nilai tukar. Dari permintaan keseimbangan kas riil, md = g ( ? *) dan kondisi The
Purchasing Power Parity, P = sP*, nilai tukar dapat ditulis seperti e = M/g (? *)
40
dimana P* adalah tingkat harga luar negeri, ? * adalah expected rate of inflation,
M adalah stok uang nominal dan e adalah nilai tukar.
Model ini menyatakan bahwa inflasi yang terlalu diantisipasi dapat
meningkatkan tingkat bunga nominal yang selanjutnya menyebabkan nilai tukar
spot menurun, yang berarti mata uang domestik mengalami apresiasi, interpretasi
lain untuk pendekatan ini menyatakan bahwa tingkat bunga tinggi menurunkan
pengeluaran dan menyebabkan surplus dalam neraca pembayaran, yang
selanjutnya menurunkan nilai tukar spot.
Dornbusch (1976) telah menunjukkan bahwa nilai tukar fleksibel tidak
memberikan penyekatan dari gangguan harga luar negeri, dalam jangka pendek,
harga atau ekspektasi adalah lambat untuk menyesuaikan. Ia juga membedakan
antara komoditi yang diperdagangkan dan yang tidak diperdagangkan. Dornbusch
memberikan fungsi logaritmik sebagai berikut :
e = (M − M *) + ( L − L*)(φ − φ*) .........................................................(2.14)
dimana:
M
= pertumbuhan kuantitas nominal uang domestik
M* = pertumbuhan kuantitas nominal uang luar negeri
L
= permintaan keseimbangan riil domestik
L*
= permintaan keseimbangan luar negeri
φ − φ * = Harga relatif barang yang diperdagangkan domestik dan asing.
Bentuk pertama dari tingkat harga ini mencakup efek perubahan moneter
atas nilai tukar, dengan asumsi faktor-faktor lain konstan, maka pertumbuhan
moneter yang tinggi dalam suatu negara dapat menyebabkan depresiasi dalam
mata uangnya. Bentuk khususnya ini mencakup perbedaan pengaruh dalam inflasi
jangka panjang antara negara-negara dan refleksinya dalam nilai tukar. Bentuk
41
kedua menjelaskan efek perubahan permintaan uang riil. Jadi kenaikan dalam
permintaan uang riil akan menyebabkan apresiasi dalam mata uang domestik.
Bentuk terakhir menjelaskan efek perubahan dalam harga struktur relatif atas nilai
tukar.
Frangkel (1979) menemukan faktor untuk versi harga kaku (the sticky
price). Frangkel (1984), kembali mengestimasi suatu variasi struktur model nilai
tukar yang berbeda dari versi harga fleksibel dan kaku dari pendekatan moneter.
Ia menemukan beberapa point kritik dalam model moneter seperti pergeseran
dalam fungsi permintaan uang dan nilai tukar dalam jangka panjang.
Dibawah pendekatan moneter, proses penyesuaian dimana pendekatan
tingkat keseimbangan nilai tukar aktual didefenisikan dengan baik untuk sistem
nilai tukar tetap dan fleksibel. Untuk mengantisipasi gangguan terhadap neraca
pembayaran, suatu negara dapat : 1) meng-peg kan nilai tukarnya dari pengaruh
fluktuasi pasar valas, atau 2) ia dapat membolehkan nilai tukar untuk
menyesuaikan dan menjaga tingkat cadangan konstan atau 3) ia dapat melakukan
beberapa kombinasi perubahan cadangan dan nilai tukar.
Kombinasi model nilai tukar nominal dan riil memberikan suatu kerangka
yang luas untuk menganalisa perekonomian terbuka. Tetapi disebabkan upah dan
harga adalah fleksibel ia dapat menjelaskan deviasi dari purchasing power parity
hanya untuk memperluas gangguan yang berasal dalam sektor riil. Cagan (1984)
telah memodifikasi modelnya dengan memperkenalkan harga dinamis. Dengan
harga secara sesaat kaku, gangguan moneter dapat menyebabkan deviasi sesaat
dari Purchasing Power Parity dan overshooting nilai tukar akan terjadi.
Untuk membentuk blok terakhir dari pendekatan moneter adalah perkiraan
rasional (rational expectations) yang tanpanya tidak dapat menjamin efisiensi
42
pasar pertukaran luar negeri
dalam konteks ini perkiraan rasional dapat
didefenisikan sebagai penggunaan penuh dari semua informasi yang tersedia. Hal
ini tidak dibutuhkan berkaitan dengan tinjauan kemasa depan yang sempurna
(perfect forsight) diatas periode waktu yang terbatas tetapi jika pasar aset
keuangan adalah proses informasi yang tidak efisien, maka tidak ada alasan untuk
memperkirakan pasar ini daripada aliran pasar barang-barang dan jasa-jasa untuk
memainkan peranan penting dalam penyesuaian nilai tukar terhadap exogenous
shock. Pertimbangan ini mendukung bahwa suatu fungsi ekspektasi yang tepat
suatu model harus memulai dengan perkiraan bahwa nilai tukar akan ceteris
paribus, merespon satu persatu perubahan dalam perbedaan inflasi yang
diperkirakan secara rasional (the rationally expected inflation differential).
Validasi model moneter harga fleksibilitas tergantung dari realistis
tidaknya asumsi – asumsi yang mendasarinya. Pertama, Purchasing Power Parity
dalam banyak kasus studi empiris tidak dipenuhi dalam jangka pendek, kedua,
model harga fleksibel tidak memasukkan peranan harapan sehingga model ini
gagal, menangkap karakteristik dinamik dari perilaku nilai tukar, ketiga, sampai
taraf tertentu, suplai uang dan suku bunga merupakan faktor endogen, tergantung
dari kebijakan moneter yang dianut dan perilaku perbankan. Pendekatan moneter
tidak secara eksplisit membuat perbedaan ini dan keempat, obligasi domestik dan
luar negeri diasumsikan saling mengganti secara sempurna. Oleh karena itu
perbedaan suku bunga dihilangkan oleh harapan perubahan kurs.
McNown dan Wallace (1994), menggunakan metodologi kontemporer dari
kontegrasi Johansen, menguji pendekatan moneter terhadap determinasi nilai
tukar bagi tiga negara industri inflasi tinggi dalam periode yang berbeda: Israel
(1979;01-1988;10), Chili (1973;06-1985;06) dan Argentina (1977;03-1986;12).
43
Dibawah sistem nilai tukar mengambang mereka menemukan bukti yang
mendukung dalil purchasing power parity pada ketiga negara Amerika Latin
tersebut dengan karakteristik tinggi pertumbuhan uang beredar dan besarnya
perubahan nilai tukar nominal relatif terhadap AS. Untuk Chili, satu vektor
kointegrasi diindikasikan oleh kriteria rasio kemungkinan maksimum (maximum
likelihood) dengan spesifikasi uang Amerika M1 dan dua vektor kointegrasi
ditemukan ketika variabel moneter Amerika M2. Sedangkan untuk Argentina, dua
vektor kointegrasi dan untuk Israel tepat satu vektor kointegrasi. Namun bagi
Israel kointegrasi tidak ditemukan dalam model reduksi.
Penelitian mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur
suku bunga pernah dilakukan oleh Warjiyo dan Zulverdi (1998). Studi ini
mengadopsi mekanisme transmisi kebijakan moneter di Australia dan Selandia
Baru yang disesuaikan dengan instrumen – instrumen pasar keuangan yang ada di
Indonesia. Warjiyo dan Zulverdi menggunakan metode Granger Causality Test
dalam penelitiannya dan menggunakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank
sebagai sasaran operasional, suku bunga deposito dan nilai tukar sebagai sasaran
antara, serta tingkat inflasi sebagai sasaran akhir.
Perubahan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia/Suku Bunga Pasar Uang
akan ditransmisikan ke suku bunga Pasar Uang Antar Bank, selanjutnya
diteruskan ke suku bunga deposito dan nilai tukar. Dengan asumsi Indonesia
menggunakan sistem nilai tukar mengambang, suku bunga deposito dan nilai
tukar akan ditransmisikan ke sektor riil melalui tingkat output nasional. Perbedaan
antara output aktual dengan output potensial akan mempengaruhi laju inflasi.
Disamping itu penelitian mengenai transmisi kebijakan moneter di Indonesia
melalui jalur nilai tukar pernah dilakukan oleh Benny Siswanto et al (2001)
44
dengan menggunakan metode analisis VAR. Hasil estimasi VAR menunjukkan
bahwa selama periode sebelum krisis, mekanisme transmisi kebijakan moneter
melalui jalur nilai tukar tidak bekerja dengan baik, namun sebaliknya sejak
diterapkannya sistem nilai tukar fleksibel ternyata peranan jalur transmisi ini
menjadi sangat penting.
Atmadja (2001) menganalisis pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat dengan non ekonomi seperti politik, hankam, konsistensi, dalam
penegakan hukum, sosial budaya dan sebagainya dan variabel ekonomi seperti
tingkat inflasi, tingkat suku bunga, jumlah uang beredar, pendapatan nasional di
Indonesia dan Amerika Serikat serta posisi neraca pembayaran internasional
Indonesia dalam mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika. Dari analisis diperoleh bahwa hanya variabel jumlah uang beredar yang
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika sedangkan variabel – variabel yang lainnya tidak.
Nuryadin dan Santoso (2004), menganalisis variabel – variabel yang
menentukan nilai tukar rupiah selama periode tahun 1980;1-2000;4. Dalam
mengaplikasikan
model
neraca
pembayaran
dan
model
moneter
yang
dikembangkan oleh Fullerton Calderon (2001), mereka menambahkan dua
variabel dummy: variabel kebijakan (devaluasi) dan variabel krisis. Hasil uji
kointegrasi berdasarkan Augmented Dickey Fuller (ADF) menunjukkan bahwa
variabel – variabel yang dipilih pada kedua model mempunyai hubungan jangka
panjang. Sementara hasil uji kointegrasi dalam kerangka analisis Vector
Autoregression/ VAR (devaluasi dan krisis sebagai variabel eksogen) pada model
moneter menunjukkan adanya vektor kointegrasi diantara variabel – variabel
45
dalam model tersebut, tetapi pada model neraca pembayaran tidak menunjukkan
adanya vektor kointegrasi.
Namun demikian setelah dilakukan koreksi Reimers dalam penelitian
tersebut tidak di temukan adanya vektor kointegrasi antar variabel pada kedua
model. Secara umum variabel – variabel yang digunakan menunjukkan koefisien
regresi dengan arah yang sesuai harapan teori, atau kesesuaian hipotesis pada
model neraca pembayaran dan model moneter terpenuhi. Namun variabel
cadangan internasional dan pendapatan nasional mengalami perbedaan arah
hubungan antara masa sebelum krisis dan masa krisis. Pada masa sebelum krisis
variabel cadangan internasional menunjukkan arah yang tidak konsisten dengan
teori dan berubah arah pada masa krisis. Sedangkan variabel pendapatan nasional
menunjukkan arah hubungan yang konsisten dengan teori pada masa sebelum
krisis dan berubah arah pada masa krisis. Selanjutnya hasil estimasi Engle
Granger – Error
Correction Model
(EG-ECM) pada kedua model
mengindikasikan bahwa dampak dari perubahan variabel – variabel dalam
mempengaruhi nilai tukar memerlukan koreksi antar waktu yang berbeda. Proses
penyesuaian dari ketidakseimbangan menuju keseimbangan pada model neraca
pembayaran lebih besar, 17.51 persen daripada model moneter 12.47 persen.
46
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Mekanisme transmisi moneter merupakan proses ditransmisikannya
kebijakan moneter terhadap kegiatan ekonomi secara riil dan harga – harga
dimasa yang akan datang. Berdasarakan hasil empiris, dalam jangka pendek
jumlah uang beredar hanya mempengaruhi perkembangan output riil. Selanjutnya
jangka menengah pertumbuhan jumlah uang beredar akan mendorong pada
kenaikan harga yang pada gilirannya menyebabkan penurunan perkembangan
output riil menuju posisi semula. Dalam jangka panjang pertumbuhan jumlah
uang beredar tidak berpengaruh pada perkembangan output riil tetapi mendorong
kenaikkan laju inflasi secara proporsional. Proses transmisi kebijakan moneter
sangat tergantung pada pendekatan yang dipilih sehingga tujuan kebijakan
tercapai.
Mekanisme transmisi melalui jalur suku bunga menekankan bahwa
kebijakan moneter dapat mempengaruhi permintaan agregat melalui perubahan
suku bunga, dalam hal ini perubahan suku bunga jangka pendek ditransmisikan
pada suku bunga jangka menengah dan jangka panjang melalui mekanisme
penyeimbangan sisi permintaaan dan penawaran di pasar.
Apabila perubahan harga bersifat kaku (sticky price), perubahan suku
bunga nominal jangka pendek yang dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral akan
mendorong perubahan suku bunga riil jangka pendek dan panjang. Dengan
kekakuan harga tersebut, jika bank sentral melakukan kebijakan moneter
ekspansif, hal itu akan mendorong penurunan suku bunga riil jangka pendek, yang
selanjutnya akan mendorong penurunan suku bunga riil jangka panjang.
Begitupun jika kebijakan bank sentral bersifat kontraktif, kekakuan harga akan
47
menyebabkan meningkatnya suku bunga riil jangka pendek dan jangka panjang.
Perkembangan suku bunga tersebut akan mempengaruhi cost of capital yang pada
giliranya akan mempengaruhi pengeluaran investasi dan konsumsi yang
merupakan komponen dari permintaan agregat.
Mekanisme transmisi melalui jalur nilai tukar menekankan bahwa
pergerakan nilai tukar dapat mempengaruhi perkembangan permintaan dan
penawaran agregat, dan selanjutnya akan mempengaruhi output dan harga. Besar
kecilnya pengaruh pergerakan nilai tukar tergantung pada sistem nilai tukar yang
dianut oleh suatu negara.
Mekanisme transmisi melalui jalur ekspektasi menekankan bahwa
kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mempengaruhi pembentukan ekspektasi
mengenai inflasi dan kegiatan ekonomi. Kondisi tersebut mempengaruhi perilaku
agen-agen ekonomi dalam melakukan keputusan konsumsi dan investasi, yang
pada gilirannya akan mendorong perubahan permintaan agregat dan inflasi.
3.2.
Pasar Uang
Secara umum yang dimaksud dengan pasar uang adalah pasar dimana
uang dana jangka pendek diperdagangkan dan merupakan tempat dimana
terjadinya interaksi antara permintaan dan penawaran uang yang pada akhirnya
menentukan tingkat bunga.
Dalam perekonomian terbuka, uang primer (Mo) terdiri dari dua
komponen utama net foreign asset (NFA) dan net domestik credit (NDC)
sehingga dapat dinyatakan sebagai berikut, (Dornbusch et.al, 2001):
M 0 = NFA + NDC ................................................................................(3.1)
∆M 0 = ∆NFA + ∆NDC ..........................................................................(3.2)
48
Persamaan (3.2) menyatakan bahwa, perubahan uang stok primer sama dengan
perubahan kepemilikan bank sentral atas foreign Asset ditambah dengan
perubahan domestic credit expansion.
Perubahan kepemilikan bank sentral atas foreign asset (? NFA) merupakan
equivalen rupiah dari perubahan international reserve (Kamin et al. 1997) dan
dituliskan sebagai berikut :
∆NFA = E∆R .........................................................................................(3.3)
Selanjutnya perubahan international reserve dapat dih itung dari neraca
pembayaran, yaitu sebagai penjumlahan dari current account
balance (CA)
dengan capital account balance (KA) sebagai berikut :
∆R = CA + KA ........................................................................................(3.4)
∆NFA = E (CA + KA) .............................................................................(3.5)
Dengan mensubtitusikan persamaan (3.5) kedalam persamaan (3.3) maka
diperoleh persamaan uang primer sebagai berikut:
∆M 0 = E (CA + KA) + ∆ NDC ................................................................(3.6)
dimana:
CA = Current Account Balance
KA = Capital Account Balance
E
= nilai tukar nominal
Penawaran uang atau uang beredar (Ms = Money Supply) adalah jumlah
uang yang tersedia dalam suatu perekonomian. Pengertian uang beredar biasanya
dibedakan sebagai uang beredar dalam arti sempit (M1) dan uang beredar dalam
arti luas (M2). Uang beredar dalam arti sempit terdiri atas uang kartal dan uang
giral (C) sedangkan uang beredar dalam arti luas adalah uang beredar dalam arti
uang sempit ditambah dengan simpanan (D), di Indonesia terdiri dari tabungan
49
dan deposito, Dalam penelitian ini di pergunakan uang beredar dalam arti luas,
sehingga dapat dinyatakan sebagai berikut :
M S = C + D ...........................................................................................(3.7)
Uang beredar juga dikaitkan dengan uang primer melalui money multiplier (mm),
sebagai berikut :
M S = mm M 0 .........................................................................................(3.8)
Sehingga perubahan jumlah uang beredar yang merupakan pencerminan adanya
perubahan didalam money multiplier dan uang primer, dapat dinyatakan sebagai :
∆M S = M 0 ∆ mm + mm∆M 0 ..................................................................(3.9)
∆M S = M 0 ∆mm + mm[ E (CA) + E ( KA) + ∆NDC ] .............................(3.10)
Sedangkan yang dimaksud dengan permintaan uang adalah jumlah uang
yang diminta ( Md = Money Demand) oleh masyarakat untuk dipegang pada suatu
waktu dan keadaan tertentu. Permintaan uang agregat dapat dirumuskan sebagai
berikut :
M d = P * L (i, Y ) ..................................................................................(3.11)
Persamaan (3.11) me nyatakan tingkat uang agregat dalam perekonomian
ditentukan oleh tingkat harga, suku bunga dan pendapatan nasional rill.
Kondisi keseimbangan dalam pasar uang terjadi apabila panawaran uang
sama dengan permintaan uang, sehingga implikasi dari asumsi (i) dapat
dinyatakan sebagai berikut :
M S = M d = P * L (i, Y ) ........................................................................(3.12)
Apabila kedua sisi persamaan (3.12) dibagi dengan tingkat harga, maka
keseimbangan pasar uang dalam bentuk persamaan permintaan uang riil agregat,
sebagai berikut :
50
MS Md
=
= L (i Y ) .............................................................................(3.13)
P
P
Terlepas dari tingkat harga (P) yang berlaku dan tingkat output (Y) yang ada,
pasar senantiasa bergerak menuju suku bunga (i) dimana penawaran uang riil
sama dengan permintaan uang riil. Jika pada awalnya terjadi kelebihan penawaran
uang, maka suku bunga segera menurun, sedangkan bila pada awalnya terdapat
kelebihan permintaan uang, suku bunga akan meningkat.
Namun pasar uang selalu bergerak menuju suatu keseimbangan, dimana
tingkat harga (P), suku bunga (i) dan tingkat output (Y) berubah-ubah, sehingga
persamaan keseimbangan pasar uang (3.13) dapat dituliskan kembali menjadi:
P=
MS
...........................................................................................(3.14)
L (i, Y )
Persamaan (3.14)
merupakan persamaan keseimbangan tingkat harga jangka
panjang menunjukkan tingkat harga ditentukan oleh jumlah uang beredar, suku
bunga dan tingkat output riil, bila pasar uang berada kondisi keseimbangan dan
semua faktor produksi terdaya gunakan secara penuh, maka tingkat harga akan
tetap bertahan apabila penawaran uang, permintaan uang agregat dan nilai jangka
panjang suku bunga dan tingkat output tetap. Bila semua kondisi lainya tetap,
kenaikan tingkat peawaran uang akan mengakibatkan kenaikan tingkat harga
secara proposional.
Sedangkan asumsi (ii) dan (iii) mengandung implikasi bahwa penurunan
daya beli mata uang domestik, yang ditunjukkan oleh kenaikan tingkat harga
domestik akan diikuti oleh depresiasi mata uangnya secara proposional dalam
pasar valuta asing. Begitu juga sebaliknya, kenaikan daya beli mata uang
51
domestik akan disusul adanya apresiasi mata uangnya secara proposional.
Purchasing Power Parity memprediksi kurs rupiah/dollar adalah
S Rp / $ =
PIN
PUS
......................................................................................(3.15)
Berdasarkan persamaan (3.14) tersebut, maka tingkat harga di Indonesia dan di
Amerika Serikat dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut :
PIN =
M INS
.................................................................................(3.16)
L (iIN ,YIN )
P$ =
M $S
………………........................…………………………(3.17)
L(i$ , Y$ )
Dengan mensubtitusi persamaan (3.16) dan (3.17) kedalam persamaan (3.15)
maka diperoleh persamaan nilai tukar sebagai berikut :
S Rp / $ =
$
M IN
L(iUS , YUS )
.......................................................................(3.18)
S
M US L(iIN , YIN )
Persamaan (3.18) menunjukkan nilai tukar ditentukan oleh penawaran –
penawaran relatif mata uang rupiah terhadap dolar serta permintaan- permintaan
uang riil relatif dollar terhadap rupiah.
Terakhir asumsi (iv) menyatakan pasar valuta asing berada dalam kondisi
keseimbangan apabila semua simpanan dalam berbagai valuta asing menawarkan
imbalan yang sama secara matematis teori dapat dinyatakan sebagai berikut :
e
S Rp
/ $ − S Rp / $
S Rp / $
= iIN − iUS ........................................................................(3.19)
Atau
iIN = iUS +
e
S Rp
/ $ − S Rp / $
S Rp / $
= iUS + ∆ e .......................................................(3.20)
dimana ?e = ekspektasi depresiasi nilai tukar
52
Selanjutnya dengan mensubtitusi persamaan (3.20) kedalam persamaan (3.16)
maka diperoleh persamaan keseimbangan pasar uang di Indonesia sebagai berikut:
M INS
PIN =
...........................................................................(3.21)
L (iUS + ∆e, YIN )
Berdasarkan hubungan –
hubungan antara variabel-variabel pada
persamaan diatas maka hubungan antara nilai Suku bunga Dunia (SBW),
Industrial Production Index (IPI), Harga (CPI), Nilai tukar Rupiah (ER) uang
beredar (M2,) suku bunga (SBI), dinyatakan dalam bagan sebagai berikut :
Instrumen Kebijakan Moneter
P=Ms/L(iY) MV=PY
Suku bunga SBI
SBW
Ms=M*M0
Uang Beredar
(M2)
Capital Flow
UIP
Nilai Tukar
(ER)
PPP
Tingkat Harga
Domestik (CPI)
Keterangan :
SBW: Sukubunga Dunia
UIP : Uncover Interest Parity
IPI : Industrial Production Index
PPP : Purchasing Power Parity
= Faktor Eksternal
= Faktor Internal
= Variabel yang tidak dianalisis
Gambar 5: Skema Kerangka Pemikiran
IPI
53
3.3. Hipotesis Penelitian
Hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
1. Hipotesis pengaruh Industrial Production Index meliputi
Semakin tinggi Industrial Production Index dan harga – harga yang berlaku
disuatu negara maka akan semakin besar pula jumlah uang beredar dinegara
tersebut karena setiap individu dan perusahaan memerlukan lebih banyak uang
untuk transaksi
(
IPI
M2
P
).
2. Hipotesis pengaruh shock tingkat harga yang meliputi :
a. Kenaikan tingkat harga akan mengarahkan pada terjadinya depresiasi nilai
tukar (Teori PPP : P
ER)
b. Kenaikan tingkat harga akan mendorong terjadinya peningkatan jumlah
uang beredar ( P
M2), apabila money velocity dan tingkat output
tertentu (quantity theory of money, MV=PY) dalam hal ini terdapat one to
one corrrelation antara jumlah uang beredar dengan harga, sehingga teori
kuantitas uang klasik ini merupakan teori inflasi.
3. Hipotesis pengaruh jumlah uang beredar yang meliputi.
Ekspansi
moneter
melalui
peningkatan
jumlah
uang
beredar
akan
mengarahkan pada terjadinya pada kenaikan tingkat harga (teori money market
equilibrium ( M2
CPI).
4. Hipotesis pengaruh shock nilai tukar meliputi :
a. Depresiasi nilai tukar akan mendorong kenaikan tingkat harga
( ER
P) . Kenaikan tingkat harga dapat terjadi secara langsung (direct
pass throught effect) karena harga barang impor dan komoditi yang
menggunakan bahan baku impor menjadi lebih mahal dan secara langsung
masuk dalam perhitungan Consumer Price Index. Disamping itu, kenaikan
54
tingkat harga dapat juga terjadi secara tidak langsung (Indirect Pass
throught) yaitu
depresiasi nilai tukar mempengaruhi permintaan net
export, pada akhirnya tingkat harga (inflasi).
b. Depresiasi nilai tukar akan meningkatkan jumlah uang beredar, secara
langsung ( ER
M2). Peningkatan jumlah uang beredar terjadi karena
simpanan dalam nominasi mata uang dollar juga termasuk dalam
perhitungan jumlah uang beredar (M2), sehingga depresiasi nilai tukar
secara otomatis akan meningkat nilai rupiah dari simpanan di maksud dan
pada gilirannya akan meningkatkan jumlah uang beredar.
Disamping itu, nilai tukar juga akan mempengaruhi jumlah uang beredar
melalui perusahaan kepemilikan bank sentral atas foreign asset merupakan
perubahan atas international reserve dan dipengaruhi oleh perubahan nilai
tukar apabila terjadi depresiasi nilai tukar, maka international reserve dan
net foreign asset akan meningkat yang mengakibatkan terjadinya
peningkatan uang primer dan secara otomatis akan meningkat jumlah uang
beredar
( ER
?R
NFA
M0
? MS).
5. Hipotesis pengaruh tingkat bunga meliputi :
Ekspansi
moneter
melalui
peningkatan
jumlah
uang
beredar
akan
mengarahkan pada terjadinya depresiasi nilai tukar. Hal ini terjadi karena
peningkatan jumlah uang beredar akan mendorong turunya tingkat bunga
dalam regim dibawah tingkat bunga luar negeri. Tingkat bunga dalam negeri
yang lebih rendah akan mendorong terjadinya capital outflow, selanjutnya
capital outflow pada gilirannya akan mengarahkan pada terjadiya depresiasi
nilai tukar (teori IRP: M2
i
ER).
55
Namun dalam penelitian ini uang beredar dianggap sebagai sasaran antara
bagi otoritas moneter, dalam upayanya untuk mencapai dan memelihara
kestabilan harga. Oleh karena itu, apabila terjadi kenaikan tingkat harga lebih
lanjut, maka bank Indonesia dalam kerangka penerapan kebijakan inflation
targetting dapat melakukan kontraksi moneter (
P
M2). Uang beredar
digunakan sebagai sasaran antara untuk mengontrol inflasi, bukan sebagai sasaran
akhir. Disamping itu, uang beredar juga cukup flexible untuk bereaksi apabila
terjadi perubahan tingkat harga.
56
IV. METODE PENELITIAN
4.1.
Data
4.1.1. Sumber Data
Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder dalam bentuk
deret waktu (time series) yang bersumber dari International Financial Statistic
(IFS) yang dipublikasikan oleh International Monetery fund (IMF) ; buku statistik
Indonesia yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS);
Laporan Bulanan Keuangan Bank Indonesia dan juga Laporan Mingguan yang
dipublikasikan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya berasal dari literatur – literatur
lain yang berkaitan dengan topik penelitian.
4.1.2. Jenis Data
Data yang digunakan adalah :
1. Tingkat Suku Bunga Dunia (SBW)
2. Industrial Production Index di Indonesia (IPI)
3. Consumer Price Index di Indonesia (CPI)
4. Nilai Tukar Rupiah di Indonesia (ER)
5. Money Supply dalam arti luas di Indonesia (M2)
6. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
4.1.3. Sampel Data
Tesis ini didasarkan atas data yang diobservasi selama periode waktu dari
tahun 1999 – 2006. Data yang digunakan umumnya dalam bentuk bulanan (96
observasi) dari periode bulan Januari 1999 sampai bulan Desember 2006. Data
tingkat IPI, CPI, SBI, SBW menggunakan data bulanan dari waktu 1999 – 2006.
57
Data untuk persamaan uang beredar (M2) menggunakan data bulanan dari periode
waktu 1999-2006. Terakhir data untuk model nilai tukar nominal rupiah dengan
dollar Amerika Serikat (ER). Semua variabel dapat dianalisis dengan mudah, pada
waktu bersamaan dan dapat dipercaya.
Tabel 2. Variabel, Indikator dan Satuan Data
Variabel
SBW
IPI
CPI
ER
M2
SBI
Indikator
Suku Bunga Dunia
Industrial Production Index
Consumer Price Index
Nilai Tukar
Money Supply
Sertifikat Bank Indonesia
Satuan
Persen
Index
Index
Rupiah/Dollar
Rupiah
Persen
Sumber : Data untuk diolah
4.2.
Metode Analisis
Metode analisis yang akan digunakan adalah model Structural Vector
Autoregresive (SVAR). Enam variabel yaitu, Suku Bunga Dunia (SBW),
Industrial Production Index (IPI), Tingkat Harga (CPI), Money Supply (M2),
Nilai Tukar (ER),
Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan. Sketsa kerangka
konseptual metode SVAR ini dapat dinyatakan sebagai berikut :
 a11

a 21
a31

a 41
a51

a 61
0
0
0
0
a 22
a 32
0
a33
0
0
0
0
a 42
a 52
a 43
a53
a 44
a54
0
a 55
a 62
a 63
a 64
a 65
0   SBW t  b11 0

 
0   IPI t   0 b22
0   CPI t   0
0

=
0
0   ERt   0
0  M 2t   0
0

 
a66   SBI t   0
0
0
0
0
0
b33
0
0
0
0
0
0
b44
0
0
b55
0
0
0
0   SBW t−1  ε SBWt 

 

0   IPIt −1   ε IPIt 
0   CPIt −1   ε CPIt 

+

0   ERt −1   ε ERt 
0   M 2 t−1   ε M 2t 

 

b66   SBI t −1   ε SBIt 
................................................................................................................(4.1)
Dimana eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM2t , eSBIt merupakan uncorrelated white noise
disturbance dengan standar deviasi s SBWt, s IPIt, s CPIt, s ERt, s M2t, s SBIt Untuk lebih
sederhana, dalam hal ini variabel disebelah kanan hanya untuk satu lag, tapi
dalam analisis dimungkinkan untuk menggunakan lag lebih dari satu. Selanjutnya
58
hubungan tersebut diatas dapat direpresentasikan secara sederhana sebagai
berikut:
AYt = BYt −1 + Dvt ....................................................................................(4.2)
Dimana Yt adalah (n x 1) vector variable endogeneus dan vt adalah suatu vector
white noise structural shock. Matrik A dalam persamaan (4.1) menunjukkan
contemporaneous response atau immediate response dari masing-masing variabel
terhadap perubahan variabel lainnya. Matriks B dalam persamaan merupakan lag
dari masing-masing variabel dan D merupakan uncorrelated white noise
disturbance.
Untuk menjalankan proses regresi, maka diperlukan suatu variabel
dependent disebelah kiri dan variabel independent disebelah kanan. Persaman
(4.2) dapat dinyatakan dalam reduced form sebagai berikut :
Yt = A −1 BYt −1 + A −1 Dvt ............................................................................(4.3)
Selanjutnya apabila A-1B=? dan ut = A-1Dvt, maka diperoleh persamaan regresi
sebagai berikut :
Yt = ΓYt −1 + ut ........................................................................................(4.4)
Karena eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM 2t, eSBIt merupakan uncorrelated white noise
distrubance akan memiliki rata-rata 0, variance yang konstan dan tidak memiliki
otokorelasi serial.
Apabila persamaan (4.3) ini diesksekusi maka akan muncul permasalahan,
yaitu matriks A dan B tidak dapat dipisahkan karena yang dapat dilakukan adalah
memperkirakan matriks ? solusi terhadap permasalahan ini adalah dengan
membuat restriksi secara eksplisit terhadap koefisien matriks A dan D, dan
biasanya dengan menetapkan koefisien matrik A atau D sama dengan 1 atau 0.
59
secara umum dalam model SVAR diasumsikan bahwa D =1, sehingga dengan
demikian terdapat n (n+1)/2 restriksi yang perlu di imposed pada matriks A.
Restriksi dibuat berdasarkan teori atau judgement tertentu. Sehingga, apabila
matriks A dapat diidentifikasikan dan matriks ? diketahui, maka matrik B dapat
ditentukan sebagai :
B = A?.
Setelah identikasi matriks, selanjutnya dapat dibangun Impulse Response
Function yang menunjukkan bagaimana goncangan pada salah satu variabel
mempengaruhi variabel lainya. Berdasarkan Impulse Response Function, dapat
dibuktikan apakah suatu variabel akan berlaku sesuai teori atau tidak. Apabila
Impulse Response Function tidak sesuai dengan teori atau tidak logis, maka
matrik A harus direstriksi kembali dan kemudian Impulse Response Function
baru di rekontruksi kembali. Proses ini dilakukan terus sampai diperoleh Impulse
Response Function yang logis.
Jadi esensi dari penelitian ini adalah kombinasi antara pengolahan statistik
dan pengetahuan teoritis, untuk membangun model yang menunjukkan bagaimana
monetary shock akan mempengaruhi nilai tukar rupiah dan inflasi dan bagaimana
nilai tukar rupiah dan inflasi mempengaruhi monetary policy. Meskipun model ini
merupakan penyederhanaan dari model sebenarnya, namun diharapkan model ini
dapat menunjukkan beberapa skema identifikasi yang melibatkan matriks A
sebagai contemporaneus effect.
4.2.1. Uji Stasioneritas Data
Isu statistik model dinamis digunakan untuk melihat kemungkinan adanya
hubungan keseimbangan jangka panjang antara variabel – variabel ekonomi
60
sebagaimana yang diharapkan dalam teori ekonomi. Dalam hal data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kuantitatif dengan model
ekonometrik standar seperti Ordinary Least Squares (OLS), jika
datanya
memungkinkan teknik ini dapat diterapkan. Teknik analisis dengan OLS hanya
dapat dipakai jika datanya stasioner, baik variabel dependent maupun
independentnya. Untuk mengetahui stasioneritas data, digunakan Uji Augmented
Dickey –Fuller (ADF). Jika hasil uji menolak hipotesis adanya unit root yang
berarti bahwa data adalah stasioner, estimasi akan dilakukan dengan
menggunakan regresi linier biasa (OLS). Residu dari hasil estimasi ini akan
dilakukan uji stasioneritasnya. Jika residu adalah stasioner, berarti diantara
variabel – variabel terjadi kointergrasi, sehingga estimasi akan dilakukan dengan
menggunakan teknik kointegrasi. Jika hasil uji unit root terhadap level dari
variabel – variabel menerima hipotesis adanya unit root berarti data adalah tidak
stasioner atau data yang termasuk random walk, maka dilakukan pengecekan
terhadap orde integrasi dari masing-masing variabel. Jika semua variabel yang
tidak stasioner memiliki orde integration yang sama, maka dilakukan cointegrasi
test dengan Johansen Test for Cointegration. Jika hasil uji menunjukkan variabel
cointegrated, maka regresi bisa dilakukan. jika tidak variabel diturunkan untuk
mencari stasionernya. Jika semua variabel yang memiliki orde integrasi yang
berbeda-beda (sebagaimana disampaikan diatas) sudah diturunkan (differensiasi),
uji kembali variabel tersebut dengan Augmented Dickey-Fuller (ADF) untuk
mengetahui apakah terdapat unit root atau tidak, dan lakukan kembali prosedur
yang sama jika stasioneritas dari data belum dicapai.
61
4.2.2. Pemilihan Panjang Lag Sistem Vector Autoregressive
Spesifikasi model Vector Autoregresive (VAR) meliputi pemilihan
variabel dan jumlah lag yang akan digunakan didalam model VAR. Sehingga
terlebih dahulu harus ditentukan jumlah lag untuk pembentukan sistem VAR yang
stabil (Enders, 2004) menyarankan untuk memilih model VAR yang memiliki
Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwartz Bayesian Criterion (SBC) yang
paling kecil. AIC dinyatakan sebagai berikut :
AIC ( p) = T log | ∑ | + 2 N .....................................................................(4.5)
Sedangkan SBC dinyatakan sebagai :
SBC ( p ) = T log | ∑ | + N log(T ) ............................................................(4.6)
dimana :
T =
jumlah observasi
|S| =
determinan dari varian – varian matriks residual
N =
jumlah parameter yang diestimasi dalam semua persamaan
P =
jumlah lag, dipilih sedemikian sehingga AIC dan SBC adalah
minimum.
4.2.3. Uji Unit Root
Uji akar unit dipandang sebagai uji stasionaritas, karena pada intinya uji
tersebut dimaksudkan untuk mengamati apakah koefisien tertentu dan model
otoregresif yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Dalam kasus dimana
data runtun waktu (time series) yang digunakan tidak stasioner, maka kesimpulan
yang diperoleh akan menghasilkan pola hubungan regresi yang lancung/palsu
(spurious regression relationship), selanjutnya langkah awal yang harus
dilakukan dalam pengujian ini adalah menaksir model otoregresif dari masing-
62
masing variabel yang akan digunakan dalam penelitian dengan OLS (Ordinary
Least Square).
Perbedaan lain antara data series yang stasioner dan yang non stasioner
yaitu shock yang terjadi pada data series yang stasioner bersifat sementara.
Sejalan dengan waktu, dampak dari shock akan berkurang dari series data akan
kembali ke long run mean levelnya. Secara umum, prilaku dari data series yang
stasioner adalah sebagai berikut : (Enders, 2004)
1. Mean dari data stationer menunjukkan perilaku yang konstan
2. Data stasioner menunjukkan variance yang konstan
3. Data stasioner menunjukkan correlogram yang menyempit (deminishing)
seiring dengan penambahan waktu (lag).
Sebaliknya, data yang non stasioner adalah time dependent, atau
cenderung mengalami perubahan yang mendasar seiring dengan jalannya waktu,
secara umum, prilaku dari non stasioner time series adalah sebagai berikut
(Enders, 2004):
1. Data series yang non stasioner tidak memiliki longrun mean
2. Data series yang non stasioner memiliki ketergantungan terhadap waktu,
variance dari data semacam ini akan membesar tanpa batas seiring dengan
waktu
3. Correlogram dari data ini cendrung akan melebar
Apakah suatu data series bersifat stasioner atau non stasioner dapat dilihat
dari bentuk correlogramnya, apakah menyempit atau melebar. Pengamatan
dengan cara ini sudah mulai ditinggalkan. Dewasa ini pendekatan yang lebih
bersifat spurious mulai banyak digunakan. Pendekatan ini disebut unit root test.
Pengujian unit root dilaksanakan untuk melihat apakah datanya mengandung unit
63
root atau tidak, apabila datanya mengandung unit root maka berarti data tersebut
tidak stasioner. Salah satu bentuk pengujiannya adalah Dickey-fuller Test yang
diperkenankan pada tahun 1979. Pengujian ini dilaksanakan melalui regresi suatu
variabel terhadap lagnya.
Analisa stasionaritas pada persamaan Autoregressive 1 atau AR(1)
ditunjukkan dengan:
yt = a0 + γyt −1 + ε t ..................................................................................(4.7)
dimana et adalah white noise
Jika diasumsikan bahwa parameter ? akan positif (? = 1) maka variabel yt
nonstasioner dan jika parameter ? lebih kecil dari 1 (? < 1) maka variabel yt
stasioner yang diringkas melalui hipotesa berikut :
H0 : ? = 1 Nonstasioner, ada unit root
HA : ? < 1 Stasioner, tidak ada unit root
Dengan aplikasi OLS maka didapat γˆ (estimasi dari ?) dan S γˆ (estimasi standar
error ) maka test statistik adalah :
 γˆ − 1 
TS = 
 ..........................................................................................(4.8)
 Sγˆ ï£¸
Apabila nilai tes statistik lebih kecil dari nilai kritis maka tolak H0,
mengimplikasikan bahwa variabel tidak mengandung unit root artinya stasioner.
Namun permasalahan yang muncul dalam proses tersebut adalah estimasi OLS
untuk γˆ akan bias jika jumah sampel kecil (Thomas, 1997).
Dickey-fuller menganjurkan untuk melakukan transformasi data ke dalam
tiga persamaan regresi dibawah ini (Enders,2004):
yt – yt-1 = ? yt = ?yt -1 + et
................................................................(4.9)
64
yt – yt-1 = ? yt = a0 + ?yt-1 + et .........................................................(4.10)
yt – yt-1 = ? yt = a0 + ?yt-1 + a2t + et.................................................(4.11)
dimana t = variabel trend, ? = a1 – 1.
Hipotesa menjadi :
H0 : ? = 0
Nonstasioner, ada unit root jika TS > t
HA : ? < 0 Stasioner, tidak ada unit root jika TS < t
Test statistik untuk hipotesis ini menjadi :
 γˆ ï£¶
TS =   ...........................................................................................(4.12)
 Sγˆ ï£¸
Namun permasalahan bias juga direfleksikan pada γˆ dan dengan null hyphotesis
non stasioner, t rasio memiliki distribusi tidak standar bahwa untuk jumlah contoh
yang besar, artinya bahwa tabel normal t tidak dapat digunakan untuk
mendapatkan nilai kritis untuk t ratio.
Dickey dan Fuller (1997) dalam Thomas (1997) dan (Sedighi, 2000)
berdasarkan simulasi Monte Carlo, jika hipotesis menunjukkan bahwa H0 tidak
dapat ditolak artinya ada unit root dalam proses menghasilkan data, memiliki nilai
kritis untuk TS yaitu t(tau) statistik. Nilai kritis ini telah digunakan oleh
Mackinnon melalui simulasi Monte Carlo. Aplikasinya adalah jika data time
series stasioner maka nilai TS harus lebih negatif dari nilai kritis.
Pengujian
Dickey-Fuller
(DF)
mengasumsikan
bahwa
variabel
diformulasikan sebagai proses first order AR dengan disturbance white noise.
Namun jika asumsi tersebut tidak terpenuhi maka terjadi permasalahan
autokorelasi pada error dari estimasi OLS sehingga Dickey Fuller Test tidak
65
valid. Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut yaitu
memodifikasi prosedur uji dengan menggenaralisasikan persamaan.
Modifikasi dari Dickey-Fuller Test itu adalah Augmented Dickey-Fuller
Test (Enders, 2004). Disini dilaksanakan pengujian atas persamaan regresi yang
memiliki order lebih dari first order difference, representasi matematis dari
Augmented Dickey-Fuller Test ini adalah :
yt = α + a1 yt −1 + a2 yt −2 + ... + a r yt −i + ε t …………....…..……………(4.13)
direparameterisasi menjadi :
p
∆yt = α 0 + γyt −1 + ∑ β i ∆y t −i +1 + ε t ………......……………………….(4.14)
i =2
dimana :
? = -[1-Sai]; i = 1,2,...,P dan ßi = Sa j; j = 1,2,...,P
Hipotesis
H0 : ? = 0
Nonstasioner, ada unit root jika TS > t
HA : ? < 0 Stasioner, tidak ada unit root jika TS < t
Penyisipan dalam persamaan awal DF dengan Lagged dari variabel
dependent (lagged difference) adalah untuk mengeliminasi kemungkinan
autokorelasi pada error. Untuk menentukan lagged yang harus dimasukkan dalam
persamaan maka digunakan kriteria Akaike’s Information Criterion (AIC) dan
Schwartz Criterion (SC) (Seddighi, 2000).
Philips-Perron Test merupakan pengembangan dari Dickey-Fuller Test.
Dalam pengujian ini tidak diperlukan adanya asumsi error yang homogen dan
independent seperti dalam Dickey Fuller Test, sehingga kondisi error yang
dependent dan heterogen juga dapat diakomodasi dalam pengujian ini. Kelebihan
lain dari Philips-Perron Test dibandingkan dengan Dickey-Fuller Test adalah
66
tidak adanya masalah dalam pemilihan jumlah lag, sementara dalam DickeyFuller Test jumlah lag merupakan hal yang kritis yang dapat mempengaruhi
hasil pengujian kesalahan dalam penentuan jumlah lag bisa berakibat hasil
pengujian menjadi bias.
Phillips-Perron Test juga mengadopsi adanya perubahan yang signifikan
dalam data series seperti misalnya structural break sebagai akibat dari oil shock,
financial deregulation, atau intervensi dari bank sentral terhadap kebijakan
moneter, structural break ini seringkali mengakibatkan berubahnya struktur data
secara permanen (Abimanyu, 1998). Model yang digunakan dalam Phillip-Perron
Test adalah :
Yt – yt-1 = ? yt = ?*yt-1 + et ...................................................................(4.15)
Pengujian kemudian dilakukan terhadap Ho : ?* = ? – 1 = 0. Hasilnya kemudian
dibandingkan dengan tabel yang disajikan oleh Mckinnon Critical Value.
4.3.
Analisis Vector Autoregressive
Vector Autoregressive (VAR) merupakan metode lebih lanjut dari sebuah
sistem persamaan yang bercirikan pada penggunaan sejumlah variabel dalam
model secara bersama-sama. Jika didalam persamaan simultan terdapat variabel
endogen dan eksogen, maka dalam VAR setiap variabel dianggap simetris karena
sulit untuk menentukan secara pasti apakah suatu variabel bersifat endogen atau
eksogen.
Endogenitas tingkat harga menyatakan bahwa harga merupakan hasil
interaksi antara permintaan dan penawaran harga, model VAR secara umum dapat
menggambarkan apakah suatu variabel seperti uang beredar mempengaruhi
tingkat harga atau tidak. Apabila sebaliknya, dimana tingkat harga mempengaruhi
67
uang beredar, maka model VAR memungkinkan untuk melakukan uji causalitas
terhadap kemungkinan tersebut. Model VAR juga memungkinkan untuk memilih
struktur selang (lag) yang fleksibel dan menangani pengaruh causalitas
Secara umum bentuk hubungan dalam persamaan (4.1) tersebut diatas
dapat direpresentasikan sebagai berikut, (Gottschalk, 2001):
AYt = B ( L)Yt + ε t ................................................................................(4.16)
Sistem persamaan diatas dikenal sebagai Structural VAR (SVAR) atau bentuk
sistem primitif, dimana Yt adalah vector variabel endogenous dan et adalah suatu
vector structural shock, dengan rata-rata nol dan matrik variance covariance
konstan.
Untuk menjalankan proses regresi, maka di perlukan satu variabel
dependent sebelah kiri dan variabel independent disebelah kanan, selanjutnya
persamaan (4.16) dapat dinyatakan dalam bentuk reduced form sebagai berikut :
Yt = A −1 B ( L)Yt + A −1ε t .........................................................................(4.17)
Atau representasi model Vector Autoregressive (VAR) sebagai berikut :
Yt = Γ ( L)Yt −1 + et ..................................................................................(4.18)
Sedangkan representasi model Moving Average (MA) dapat diturunkan sebagai
berikut dibawah ini.
(1 − Γ( L ))Yt = et ...................................................................................(4.19)
Yt = (1 − Γ( L)) −1 et ................................................................................(4.20)
Yt = C ( L)et ...........................................................................................(4.21)
dimana :
Γ = A −1 B ..............................................................................................(4.22)
et = A −1et ..............................................................................................(4.23)
68
C = (1 − Γ ) ...........................................................................................(4.25)
Dari representasi model AR (4.18) dan MA (4.21) terlihat bahwa dalam model
AR variabel harga dinyatakan sebagai fungsi dari nilai masa lalu dari dirinya
sendiri, nilai tukar dan jumlah uang beredar. Sebaliknya dalam representasi model
MA variabel harga dinyatakan sebagai fungsi dari structural shock. Model VAR
dinamis pada persamaan (4.18) disebut sebagai unrestricted VAR karena tidak
ada pembatasan linier. Dalam penelitian ini fokus penelitiannya adalah restriksi
linier akan di imposed berdasarkan prediksi teoritis yang sudah ada sebelumnya.
Orthogonalitas VAR
Restriksi yang membedakan model SVAR dengan model persamaan
simultan adalah asumsi bahwa structural innovation adalah orthogonal, yaitu
inovasi eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM2t, eSBIt tidak berkorelasi secara formal hal ini
mensyaratkan matriks variance-covariance Se memiliki bentuk
σ SBW 2
 0

 0
∑e =  0

 0

 0
0
0
0
0
0
0
0
0
σ CPI2
0
0
0
0
0
0
σ ER 2
0
0
σ M 22
0
0
0
0
σ IPI 2
0 
0 

0 

0 
0 

σ SBI 2 
Karena residu dari reduce form terhubung dengan structural innovation melalui
et=A-1et. Maka matriks variace –covariance bentuk struktural dan reduce form
terhubung melalui ASeA'.
Normalisasi VAR
Model SVAR didasarkan atas respresentrasi model MA (4.21) dari model
struktural, selanjutnya analisa empiris mencoba untuk memperkirakan impulse
response function (IRF) yang diberikan oleh matriks C (L). IRF dihitung untuk
69
menunjukkan respon model struktural terhadap shock structural innovation
sebesar satu standar deviasi, Normalitas model SVAR dilakukan dengan
menentapkan varian s SBWt, s IPIt, s CPIt, s ERt, s M2t, dan s SBIt sama dengan satu. Oleh
karena shock standar deviasi berhubungan dengan unit inovasi dari eSBWt, eIPIt,
eCPIt, eERt, eM2t, dan eSBIt secara berurutan, maka matrik variance covariance dari
innovasi struktural diasumsikan memiliki bentuk :
1
0

0
∑ e = 0

0

0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0

0
0

1
Atau Se= I secara teknis, karena struktural innovation hubungan dengan gangguan
pada reduce form dalam bentuk et=A-1et, maka matrik A di normalisasi
sedemikian rupa sehingga A Se A = Se=I
Identifikasi Matrik A
Model SVAR bertujuan untuk mengidentifikasi structural innovation e
dan melacak respon variabel lain dalam model dinamis terhadap shock tersebut.
Model SVAR memberikan fokus perhatian terhadap gubungan et = A-1et dan
mengidentifikasikan struktural innovation e dengan menetapkan restriksi pada
matriks A. Dengan kata lain, Dalam model SVAR hubungan dinamis dalam
perekonomian di modelkan dalam bentuk suatu hubungan antar shock.
Secara umum persamaan (4.23) menyatakan bahwa error reduce form
terhubung dengan struktural shock semata-mata melalui struktur matrik A apabila
matrik A-1 dinyatakan sebagai berikut :
70
γ 11

γ 21
γ 31
A−1 = 
γ 41
γ 51

γ 61
γ 12
γ 13
γ 14
γ 15
γ 22
γ 23
γ 24
γ 25
γ 32
γ 33
γ 34
γ 35
γ 42
γ 43
γ 44
γ 45
γ 52
γ 62
γ 53
γ 63
γ 54
γ 64
γ 55
γ 65
γ 16 

γ 26 
γ 36 
 ................................................(4.26)
γ 46 
γ 56 

γ 66 
Sehingga error reduce form terhubung dengan struktural shock melalui struktur
matrik A dapat dinyatakan sebagai berikut :
et = A −1ε t .............................................................................................(4.27)
eSBW ,t 


e
 IPI ,t 
 eCPI,t 
=

e
ER
,
t


 e M 2 ,t 


 eSBI ,t 
γ 11

γ 21
γ 31

γ 41
γ 51

γ 61
γ 12
γ 13
γ 14
γ 15
γ 22
γ 23 γ 24
γ 25
γ 32
γ 33 γ 34
γ 35
γ 42
γ 43 γ 44
γ 45
γ 52
γ 62
γ 53 γ 54
γ 63 γ 64
γ 55
γ 65
γ 16  ε SBW ,t 


γ 26   ε IPI ,t 
γ 36   ε CPI,t 
 …………..……..(4.28)

γ 46   ε ER ,t 
γ 56   ε M 2 ,t 


γ 66   ε SBI ,t 
Dimana eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM2t, dan eSBIt merupakan struktural shock. Hal
ini memungkinkan untuk menelurusi respon model dinamis terhadap structural
shock
suatu
variabel
ekonomi
akan
memberikan
tanggapan
secara
contemporaneous terhadap semua shock yang relevan terhadap dirinya. Hal ini
berarti bahwa tidak ada elemen baris dari matrik A-1 yang berhubungan dengan
variabel tersebut bernilai nol.
4.4.
Granger Causality Test
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab akibat diantara
dua variabel yang diuji. Setelah mengetahui lag optimal bagi sistem VAR,
pengujian ini pun akan langsung dapat dilakukan. Model uji kausalitas granger
(1969) dibawah ini
yt = α 0 + α1 yt −1 + α 2 yt −2 + α 3 yt −3 + β1 xt −1 + β 2 xt −2 + β 3 xt −3 + ε t ........(4.29)
71
Hipotesis nol yaitu kedua variabel tidak memiliki pengaruh antar variabel,
Bila gunakan Probability value < alpha (10%) maka hipotesis nol ditolak artinya
ada hubungan kausalitas searah antar variabel. Dengan kata lain pergerakan
variabel satu secara signifikan memiliki pengaruh pada pergerakan variabel lain.
4.5.
Analisis Impulse Response Function
Decomposition
dan Forecast Error Variance
4.5.1. Impulse Response Function
Impulse Response Function (IRF) dapat dijelaskan dengan menggunakan
representasi model Autoregressive (AR) dan model Moving Average (MA) atas
model VAR. secara umum representasi AR (4.18) tersebut diatas dapat dituliskan
sebagai berikut :
p
Yt = ∑ ΓiYt −1 + et .................................................................................(4.30)
i =1
Sedangkan representasi model MA (4.21) diatas dituliskan sebagai berikut
dibawah ini :
∞
Yt = ∑ Cjet − j .......................................................................................(4.31)
j=0
Dengan mengsubtitusi
persamaan (4.30) kedalam persamaan (4.31) maka
diperoleh :
∞
∞
∞
∞
j =0
j=0
j =0
j=0
∑ Cjet − j = Γ1∑ Cje j−i−1 + Γ 2∑ Cje j−i−2 + ... + Γp ∑ Cje j−i−k + et .......(4.32)
Selanjutnya dengan menyederhanakan persamaan (4.32) maka diperoleh seperti
berikut dibawah ini :
C (C0 − I )et + (C1 − Γ1C 0 )et −1 + (C 2 − Γ1C1 − Γ 2(0)et −2 + ....
... +
∞
∑
j = k +1
p
(Cj − ∑ Γi( j − i)et − j = 0..........................................................(4.33)
i =1
72
Secara umum error term adalah tidak sama dengan nol, dan untuk memenuhi
persamaan (4.33) maka diperoleh seperti berikut dibawah ini
(C 0 − T ) et + (C1 − Γ1C 0 )et −1 + (C 2 − Γ1C1 − Γ2C 0 )et −2 + ......
∞
∑
...... +
j = k +1
p
(Cj − ∑ Γ ( j − i)et − j = 0 ......................................................(4.34)
i =1
Secara umum error term adalah tidak sama dengan nol, dan untuk memenuhi
persamaan (4.21) maka diperlukan bahwa masing-masing ekspresi didalam
kurung harus sama dengan nol. Sehingga secara berulang Cj dapat dihitung
sebagai berikut :
C0 = I
C1 = Γ1C 0
........
........
p
Cj = ∑ ΓiC j −i , untuk 1 = p .................................................................(4.35)
i =1
Setelah diperoleh Cj selanjutnya dapat dibuat model representasi MA berkaitan
dengan struktural shock et berdasarkan identifikasi matrik A dan hubungan pada
persamaan (4.23), maka persamaan (4.31) dapat ditulis sebagai berikut :
Yt =
∞
∑ CjA
j=0
−1
0
t− j
ε
..................................................................................(4.36)
∞
Yt = ∑ Ψ j ε t − j ......................................................................................(4.37)
j=0
4.5.2. Forecast Error Variance Decomposition
Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) menjelaskan proporsi
pergerakan suatu variabel akibat shock dari variabel itu sendiri relative terhadap
dampaknya kepada pergerakan variabel lain secara berurutan. Dengan kata lain,
sebenarnya FEVD memberikan informasi secara relatif tentang seberapa penting
setiap inovasi terhadap perubahan variabel lain dalam VAR (Gottschalk, 2001).
73
Berdasarkan representasi MA persamaan (4.35) dapat dibuat deviasi dari
peramalan h periode kedepan Et(Xt+h ) dari nilai aktual Xt+h , yaitu sebagai berikut :
∞
Yt + h − Et (Yt + h ) = ∑ Ψ j (ε t + h− j − Et ε t + h− j )
j=0
h−1
= ∑ Ψ j ε t + h− j ................................................................(4.38)
j=0
Dan Forecast Error Variance dihitung melalui komponen diagonal sebagai
berikut:
h−1
E (Yt + h − Et Yt + h ) 2 = ∑ Ψ j ∑ eΨ ' j .......................................................(4.39)
j=0
Atau secara sederhana dapat dinyatakan bahwa Forecast Error Variance dari
variabel k dihitung sebagai berikut :
h −1
= ∑ Ψ j , k ∑ eΨ ' j, k .............................................................................(4.40)
j =0
Dimana Ψj, k merupakan baris ke k dari Ψj .
74
V.
5.1.
PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH DAN
MAKROEKONOMI INDONESIA
Awal Krisis Asia
Krisis yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari krisis yang terjadi di
Asia Tenggara, yang pemicunya adalah krisis ekonomi di Thailand. Krisis di
Thailand sendiri mulai kelihatan sejak pertengahan tahun 1996. Waktu itu harga
saham di Bursa Efek Thailand (Stock Exchange of Thailand/SET), yang
mengalami bullish sepanjang 1993-1995, merosot tajam. Pada tanggal 24 Oktober
1996, indeks saham gabungan di SET berada pada posisi 535 poin, atau 42.9
persen lebih rendah dibandingkan angka setahun sebelumnya. Penurunan IHSG
terjadi karena para pelaku pasar memproyeksikan bahwa profitabilitas emiten di
Thailand akan memburuk sejalan dengan memburuknya perekonomian nasional.
Memburuknya perekonomian Thailand bisa dilihat dari defisit transaksi
berjalan yang terus membengkak dari 366 juta dollar AS pada tahun 1987 hingga
mencapai 14.7 milyar dollar AS pada tahun 1996. Pada tahun 1996 itu, defisit
transaksi berjalan Thailand mencapai 8.2 persen dari produk domestik bruto
(PDB)-nya. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan angka di Malaysia (4.6
persen), Indonesia (3.6 persen) dan Filipina (3.2 persen). Angka defisit ini terjadi
antara lain karena meningkatnya arus investasi ke luar negeri. PDB Thailand
sendiri cenderung menurun dari 13.3 persen pada tahun 1988 menjadi hanya 5.5
persen pada tahun 1996. Kondisi tersebut diperburuk oleh kebijakan moneter
pemerintahan Thailand.
Awalnya sejak tahun 1993 sampai tahun 1996 laju inflasi Thailand ratarata mencapai 5.1 persen. Angka ini jauh diatas laju inflasi di AS, yang dalam
75
periode tersebut rata-rata 2.4 persen. sejalan dengan selisih inflasi itu mestinya
kurs baht terhadap dollar AS disesuaikan. Tetapi tidak. Kurs baht dijaga oleh
Bank of Thailand, bank sentral Thailand, rata-rata pada level 25.4 baht per dollar
AS sejak tahun 1987. Untuk menjaga kurs, BOT menawarkan suku bunga
simpanan baht sekitar 13.5 persen setahun, dibandingkan suku bunga dollar AS
sekitar 8 persen, kalau diperlukan, BOT akan siap membeli baht di pasar.
Kedua kebijakan BOT ini membuat banyak perusahaan memilih
meminjam dollar AS daripada meminjam baht. Alasanya, dengan meminjam
valuta asing para debitor membayar suku bunga lebih rendah daripada kalau
meminjam dalam bentuk baht. Pada saat itu risiko kurs tidak ada karena kebijakan
pemerintah menjaga kurs. Banyak debitur di Thailand waktu itu menggunakan
pinjaman valasnya untuk diinvestasikan di properti. Pada tahun 1996
pasar
properti Thailand banyak sehingga banyak pengembang tidak bisa membayar
utangnya. Kondisi ini membuat bank-bank Thailand lemah.
Karena laju Inflasi Thailand tinggi sedangkan nilai baht terhadap dollar
AS relatif tetap, barang-barang unggulan Thailand seperti tekstil dan sepatu terasa
lebih mahal dibandingkan produk sejenis di Cina dan negara ASEAN lain.
Akibatnya, nilai ekspor Thailand menurun dengan pasti. Pada saat yang sama,
impor barang tetap saja besar, baik untuk investasi maupun konsumsi. Pada
gilirannya, kondisi ini mendorong laju defisit neraca berjalan.
Lemahnya fundamental Thailand dipercaya banyak pihak menggiurkan
para spekulator valas. Yang mereka lakukan kemudian adalah menjual baht pada
Mei 1997. Menghadapi permintaan ini, BOT tidak bisa berbuat lain selain
melayani. Kalau tidak, spekulator bisa membeli dollar dengan lebih tinggi dari
kurs resmi. Kalau ini terjadi, nilai baht me nurun. Namun demikian, karena
76
besarnya penjualan baht (dengan kata lain pembelian dollar), pemerintah Thailand
akhirnya tidak mampu menahan mata uangnya. Setelah menghabiskan cadangan
devisa sekitar 5 Milyar Dollar US, akhirnya BOT takluk pada kekuatan pasar
dengan mengambangkan mata uangnya pada 2 Juli 1997, Akibatnya nilai baht di
pasar valuta menurun sampai ke level 31.5 baht per dollar dan terus merosot pada
tahun 1998. Pada saat nilai baht sudah terdepresiasi secara tajam, spekulan
menjual dollarnya pula, pada saat krisis mata uang memuncak elit ekonomi dan
politik di Thailand berpecah-pecah karena isu politik. Setelah Thailand, spekulan
valas menggempur mata uang Filipina lalu Malaysia kemudian Indonesia
sehingga pemerintah Indonesia melepaskan mata uangnya ke mekanisme pasar
pada 14 Agustus 1998. (Cahyono,2000)
Dengan demikian, dalam rezim kurs mengambang bebas, kurs dibiarkan
mengambang sesuai mekanisme pasar. Oleh karena itu, kurs nominal disuatu
negara akan sangat ditentukan oleh permintaan dan penawaran kurs domestik di
pasar valuta asing (foreign exchange market).
Tabel 3. Sistem Nilai Tukar Negara ASEAN+3
Negara
Brunei
Kamboja
Cina
Indonesia
Jepang
Korea Selatan
Laos
Malaysia
Myanmar
Filipina
Singapura
Thailand
Vietnam
Sistem Nilai Tukar
Currency Board (pegged terhadap dollar Singapura)
Mengambang terkendali
Mengambang terkendali
Mengambang bebas
Mengambang bebas
Mengambang terkendali
Mengambang terkendali
Mengambang terkendali
Mengambang terkendali (terhadap SDR)
Mengambang bebas
Mengambang terkendali
Mengambang terkendali
Mengambang terkendali
Sumber : IMF, Annual Report on Exchange Restriction and Exchange Arrangement, 2005 dan ASEAN
Capital Account Policies, 2006
77
Kekuatan kurs di pasar valas ini pada akhirnya juga ditentukan oleh besar
kecilnya perekonomian dari suatu negara. Jika perekonomian cenderung
perekonomian terbuka kecil
maka fluktuasi kurs cenderung lebih volatile.
Apalagi jika tidak didukung oleh struktur pasar domestik yang baik maka
volatilitas kurs yang tinggi akan cenderung menyebabkan depresiasi. Tabel 3
menyajikan transformasi rezim kurs di ASEAN, Jepang dan Korea Selatan pasca
terjadinya krisis keuangan.
5.2.
Sekilas Kondisi Perekonomian di Asia
Asia
telah
muncul
sebagai
sebuah
perekonomian yang menghasilkan 30 persen
mesin
pertumbuhan
dunia
lebih dari PDB dunia dan
memberikan kontibusi hingga separuh pertumbuhan global pada tahun belakangan
ini (Rato, 2005). Pada semester pertama tahun 2004, petumbuhan ekonomi di Asia
Tenggara sangat mengesankan. Perekonomian Laos, Malaysia, Singapura,
Thailand, dan Vietnam mencatat prestasi jauh di atas perkiraan, sementara Brunei,
Kamboja, Indonesia, dan Filipina juga mengalami
pertumbuhan, meskipun
dengan langkah maju yang lebih moderat. Thailand, misalnya, mampu
meningkatkan volume perdagangan interegionalnya dengan negara-negara
ASEAN yaitu dengan Cina dari 15.7 persen menjadi 20.3 persen, dengan Korea
Selatan dari 13.1 persen menjadi 15.9 persen, dan dengan Jepang dari 14.1 persen
menjadi 15.0 persen.
Kondisi pertumbuhan ekonomi dan perdagangan intra-industri di antara
Asia Timur 9 dan Jepang ini membawa perubahan besar dalam perkembangan
regionalisme ekonomi Asia timur dan memberikan dorongan kuat bagi terciptanya
Masyarakat Asia Timur atau Kerjasama Ekonomi Asia Timur (EAEC), yang
78
diharapakan mampu meminimalkan risiko yang melekat pada sistem keuangan
global yang ada sekarang, selain juga meningkatkan rasa persaingan di antara
anggota kelompok (Hanafi, 2005). Pembentukan EAEC didasarkan atas kerjasama
ekonomi terutama menjadi agenda penting sejak terjadinya krisis keuangan yang
melanda Asia (Asian Financial Crisis/AFC) pada pertengahan tahun 1997.
Menurut Lembaga Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan ekonomi
Asia kuartal pertama 2006 mencapai tujuh persen. Angka tersebut sama dengan
pertumbuhan yang dicapai pada 2005. Menurut IMF pesatnya pertumbuhan ini
tidak terlepas dari perubahan pesat yang terjadi di Jepang dan Cina. Dalam
laporannya IMF menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi
disebabkan oleh berkembangnya permintaan akan sejumlah kebutuhan pokok
terutama elektronik. Selain itu masih menurut IMF, Kebijakan pasar keuangan
yang begitu ketat juga berpengaruh terhadap pertumbuhan. Perbankan di Asia
Mengalami kemajuan dimana banyaknya sejumlah bank yang memberikan
fasilitas kredit kepada (industri) rumah tangga. Terlepas dari itu faktor investasi
juga menjadi faktor penting dalam memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi sebesar 9.5 persen dan masih relatif lebih kecil dibandingkan tahun
2005
sebesar 9.9 persen. IMF
juga menyampaikan perkiraan pertumbuhan
ekonomi Jepang yang mencapai 2.8 persen tahun ini. Nilai ini sedikit berada
diatas tahun lalu yang mencapai 2.7 persen.
5.3.
Gambaran Umum Perekonomian Indonesia
Perekonomian Indonesia mengalami pasang surut dalam perjalananya.
Sebelum terjadinya krisis multidimensional yang memuncak sejak pertengahan
tahun 1997, keadaan perekonomian Indonesia relatif cukup baik.
79
Menurut data Bank Indonesia, dalam tahun 1996 mencatat kinerja yang
sangat baik dengan ditandai indikator makroekonomi, antara lain tingkat
pertumbuhan ekonomi mencapai 7.8 persen pertahun dan inflasi pada bulan 5
pertama mampu mencapai tingkat terendah selama 10 tahun terakhir pada periode
yang sama, cadangan resmi pemerintah mencapai US $ 20 milyar pada bulan
Maret 1997 atau sama dengan perkiraan 5 bulan impor, investasi asing langsung
luar negeri mencapai nilai US $ 6.5 milyar pada tahun fiskal 1996/1999, kalangan
pelaku bisnis maupun dari pemerintah dikejutkan, tiba-tiba perekonomian
indonesia mengalami perubahan yang drastis. berawal dari ambruknya
perdangangan valuta asing di kawasan Asia, terutama yang melanda kehancuran
pasar valuta asing di Thailand, kemudian menjalar ke negara tetangga termasuk
Indonesia. Kejadian tersebut disikapi secara optimis oleh para pejabat Indonesia
dan para ekonom yang pro terhadap kebijakan pemerintah.
Menurut Sudjijono (2003), keyakinan para pejabat dan ekonom yang pro
terhadap kebijakan pemerintah karena melihat terdapatnya indikasi yang positif
bila dilihat dari angka surplus perdagangan termasuk migas, pertumbuhan angka
ekspor yang tinggi, cadangan devisa yang cukup kuat sampai 5-6 bulan impor,
tingkat suku bunga memadai, dan tingkat inflasi satu digit terkendali dibawah 10
persen. Hal – hal tersebut sering diungkapkan oleh pejabat pemerintah, tetapi
dalam perkembangnya cukup tragis dimana keadaan eksternal yang bergolak
penuh dengan spekulasi tidak terbendung lagi menghantam daya tahan Rupiah.
Nilai tukar riil rupiah mengalami depresiasi yang tajam terhadap dollar Amerika
sebesar 68 persen, hal tersebut akan berakibat pada melemahnya posisi neraca
pembayaran, Menurut data Bank Dunia (1999), pada tahun 1997 mencatat total
80
stock utang luar negeri secara riil mencapai 64.25 persen GDP, kemudian
membengkak menjadi 95.3 persen GDP.
Memburuknya kondisi perekonomian internasional tersebut membawa
dampak pada perubahan perekonomian dalam negeri. Harga
barang- barang
impor melonjak tinggi, kemudian diikuti oleh kenaikan harga barang-barang lain
yang sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan nilai tukar rupiah terhadap
dollar yang lebih merupakan pengaruh psikologi (sentimen pasar). Data pada
akhir tahun 1997 tercatat angka inflasi mencapai 11.1 persen per tahun, dan terus
meningkat hingga mencapai 77.6 persen pertahun pada tahun berikutnya. Menurut
data Bank Indonesia (1999), pertumbuhan ekonomi tahunan (PDB riil) mencatat
sebesar 4.7 persen, hingga tahun 1998 turun sebesar 13.2 persen. Faktor-faktor
inilah yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi yang berkembang menjadi
krisis multidimensional yang menyentuh segala aspek kehidupan. Menurut
Sudjijono (2002), krisis ekonomi merupakan indikasi dari kegagalan sistem pasar
(market failure), sedangkan ketidakberdayaan pihak pemerintah merupakan
kegagalan sistem pemerintahan (government failure).
5.4.
Gambaran Perkembangan Makroekonomi Indonesia
Perekonomian Indonesia pasca krisis masih menunjukkan bahwa stabilitas
belum tercapai secara penuh. Sementara pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006
telah mencapai 5.5 persen setelah krisis dan menunjukkan kecendrungan
meningkat, industrial production index serta uang beredar juga cendrung
meningkat setiap tahunnya, sedangkan beberapa indikator makroekonomi lainnya
tetap mengalami fluktuasi seperti inflasi,sukubunga SBI,dan sukubunga dunia dan
81
nilai tukar rupiah mengalami penurunan dari periode 1999 sampai 2006 (Tabel 4).
Namun setelah itu trendnya menuju arah yang sebaliknya.
Tabel 4. Beberapa Indikator Makroekonomi Indonesia Tahun 1999-2006
Rincian
Pertumbuhan PDB (%)
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
2006
5.76
5.5
4.9
3.5
4.4
4.9
5.1
5.6
Industrial Production Index 105.44 100
104.27 107.67 113.55 117.33 118.85
M2 (Milyar)
Nilai Tukar (Rp/$)
7808
8534
10265 9261
8571
9030
9750
9141
Inflasi (%)
2.01
9.35
12.55
10.03
5.06
6.4
17.11
6.6
Sukubunga SBI (%)
Sukubunga Dunia (%)
11.92
14.53
17.62
12.93
8.31
7.43
9.23
11.83
8.02
9.27
6.7
4.6
4.12
4.47
6.41
8
120.96
624151 685464 786741 849401 903987 970838 1092069 1260445
Sumber : Laporan Tahunan Bank Indonesia 2006
Nilai tukar rupiah pada tahun 1999 sebesar Rp. 7808 per dollar AS
depresiasi menjadi Rp.10 265 per dollar AS. Dari tahun 2001 ke tahun 2003 nilai
tukar rupiah menguat (apresiasi) menjadi Rp.8570 per Dollar AS dan inflasi
mengalami penurunan sampai tahun 2003 sebesar 5.06 persen. Pada tahun 2005
nilai tukar rupiah mengalami depresiasi lagi menjadi Rp. 9750 per dollar AS
sedangkan inflasi mengalami kenaikan lagi 17.11 persen artinya semakin nilai
tukar mengalami depresiasi maka harga mengalami kenaikan sehingga terjadi
inflasi. begitu juga sebaliknya apabila nilai tukar mengalami apresiasi maka harga
mengalami penurunan.
Sukubunga SBI bulanan pada tahun 1999 sebesar 11.92 persen mengalami
peningkatan menjadi 17.62 persen pada tahun 2001. Pada tahun 2002 suku bunga
SBI sebesar 12.93 persen lebih rendah dari dua tahun sebelumnya. Pada tahun
2004 suku bunga SBI merupakan rekor terendah pasca krisis yaitu sebesar 7.43
persen. Begitu juga Sukubunga dunia bulanan pada tahun 1999 sebesar 8.02
persen mengalami peningkatan pada tahun 2000 sebesar 9.27 persen . Pada tahun
82
2004 turun manjadi sebesar 4.47 persen dan pada tahun 2006 meningkat lagi
sebesar 8.0 persen
Pertumbuhan ekonomi dari tahun 1999 ke tahun 2003 mengalami
penurunan dari 5.76 persen menjadi 4.90 persen. Sedangkan dari tahun 2004
kembali meningkat sebesar 5.10 persen dan turun sampai tahun 2006 sebesar 5.5
persen.
Tingkat inflasi dari tahun 1999 sebesar 2.01 persen mengalami
peningkatan menjadi 12.55 persen pada tahun 2001. pada tahun 2002 tingkat
inflasi sebesar 10.03 persen lebih rendah dari tahun 2001, namun masih lebih
besar dari tahun 2000. Penurunan inflasi drastis terjadi pada tahun 2003 yaitu 5.06
persen yang hampir separuhnya dari tahun 2002. Tahun 1999 tersebut merupakan
tahun inflasi terendah pasca krisis, dan pada tahun 2005 mengalami peningkatan
lagi menjadi 17.11 persen dan turun pada tahun 2006 sebesar 6.60 persen. Oleh
karena itu apabila dengan membaiknya pertumbuhan perekonomian tetapi tidak
didukung oleh variabel inti makroekonomi lainnya karena semakin tidak
terkendalinya variabel makroekonomi Indonesia, jika ini dibiarkan terus menerus,
maka akan membahayakan pertumbuhan itu sendiri.
Pertumbuhan ekonomi yang membaik, jika tidak ditopang oleh perbaikan
variabel makroekonomi lainnya, akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi itu
sendiri. Peningkatan suku bunga akan berdampak negatif pada sisi permintaan dan
sisi penawaran agregat. Pasa sisi permintaan, peningkatan suku bunga akan
berdampak pada penurunan konsumsi, investasi dan semakin tidak kompettifnya
ekspor (daya saing melemah). Penurunan peranan ketiga komponen ini akan
mengerem laju pertumbuhan dari sisi permintaan.
Dari sisi penawaran, peningkatan suku bunga akan berdampak terhadap
meningkatnya biaya – biaya (cost push). Peningkatan suku bunga, akan
83
meningkatkan sukubunga pinjaman (terutama pinjaman modal kerja). Peningkatan
kapasitas produksi maupun perluasan usaha akan semakin terbebani jika biaya
modal kerja mahal. Akhirnya produksi akan terhambat akibat suku bunga tinggi
atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran akan terhambat.
Peningkatan laju inflasi juga akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi.
Inflasi artinya terjadi kenaikan harga-harga secara umum. Kenaikan harga-harga
yang tidak terkendali akan berdampak negatif terhadap sisi permintaan maupun
sisi penawaran. Kenaikan harga –harga barang konsumsi yang dihasilkan oleh
produsen domestik, akan mengalihkan preferensi konsumen untuk mengkonsumsi
barang-barang impor yang sejenis. Artinya, konsumsi barang-barang yang
dihasilkan oleh produsen domestik akan menurun akibat tingginya inflasi.
Kenaikan harga-harga barang domestik juga akan memicu impor, karena
dipandang barang impor lebih murah (kompetitif). Selain itu, kenaikan hargaharga akan memperlemah daya beli konsumen (terutama yang berpendapatan
tetap dan rendah). Ekspor juga akan melemah karena kenaikan harga-harga
menyebabkan mahalnya barang-barang yang diproduksi di domestik. Lebih parah
lagi, karena inflasi tinggi, maka tabungan masyarakat akan berkurang.
Dari sisi penawaran, kenaikan harga-harga pada batas-batas tertentu
memang akan merangsang produksi, karena produsen akan memperoleh
penerimaan tinggi, sehingga meningkatkan profitnya. Namun, jika daya beli
masyarakatnya menurun (karena harga-harga meningkat) maka penerimaan
perusahaan juga akan terkendala. Kenaikan harga-harga akan membebani
perusahaan dari sisi produksi. Kenaikan harga-harga akan memicu kenaikan upah
karyawan dan biaya bahan baku, sehingga keuntungan perusahaan akan
berkurang. Selain itu, kenaikan harga-harga juga akan menambah resiko berusaha,
84
karena ketidakpastian berusaha. Tingginya ketidakpastian berusaha akan
mengakibatkan relokasi industri ke negara-negara lain. Akumulasi dampak negatif
inflasi tinggi, akan mengakibatkan kerawanan sosial dan perpecahan. Jadi,
singkatnya inflasi yang tinggi merupakan beban (cost) baik dari sisi ekonomi
maupun sosial.
Pelemahan nilai tukar rupiah akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi.
Dari sisi permintaan, terdepresiasinya rupiah akan mempengaruhi konsumsi,
investasi dan ekspor-impor. Nilai tukar rupiah yang semakin melemah akan
mempengaruhi preferensi konsumen dalam memilih barang yang sejenis. Rupiah
yang terdepresiasi artinya harga barang-barang impor menjadi lebih mahal
dibandingkan harga-harga produksi dalam negeri. Jika rupiah terdepresiasi, sesuai
dengan prinsip maksimisasi kepuasan konsumen akan mengalihkan konsumsinya
ke produk-produk lokal. Jika produk lokal yang sejenis terbatas atau kualitasnya
dianggap rendah, maka konsumen terpaksa memilih produk impor atau tidak
melakukan konsumsi yang dibutuhkannya.
Ketidakstabilan variabel makroekonomi khususnya inflasi dan nilai tukar
tidak terlepas dari permasalahan klasik yang dihadapi Indonesia. Periode pasca
krisis
perekonomian
Indonesia
memiliki
sejumlah
permasalahan
berat.
Permasalahan itu diantaranya (1) tingginya hutang luar negeri, (2) masih tingginya
subsidi BBM dan terbatasnya pendanaan APBN, (3) masih terbatasnya kapasitas
produksi, masih tingginya impor bahan baku, masih lemahnya daya saing, dan
masih lemahnya kinerja ekspor, dan (4) masih belum optimalnya struktur dan
kelembagaan perbankan. Karena perekonomian Indonesia rentan, ketika terjadi
guncangan baik yang berasal dari internal maupun eksternal, menyebabkan
ketidakseimbangan pada variabel makroekonomi Indonesia.
85
Dari sisi internal, pemerintah (otoritas fiskal) mengupayakan pertumbuhan
ekonomi yang diindikasikan dengan meningkatnya investasi. Namun karena
kapasitas industri masih terbatas dan kandungan impor bahan baku industri masih
tinggi, maka selain kurang tersentuhnya penyerapan tenaga kerja juga
menimbulkan pengurasan devisa dan tingginya inflasi. Dari sisi eksternal,
peningkatan sukubunga AS dan peningkatan harga minyak dunia, menyebabkan
semakin beratnya beban APBN, akibat meningkatnya subsidi
pembayaran
utang
termasuk
cicilanya.
Masih
BBM dan
bermasalahnya
struktur
perekonomian, tekanan otoritas fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
dan kuatnya tekanan negatif eksternal, semakin memberatkan otoritas moneter
untuk menstabilkan variabel makroekonomi.
86
VI. PENGUJIAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN
6.1.
Uji Sifat Time Series Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data runtun waktu (time
series) bulan, yaitu dari bulan Januari 1999 sampai Desember 2006. Data ekonomi
yang runtun waktu biasanya tidak stasioner, maka diperlukan uji akar akar unit,
Uji akar unit bertujuan untuk mengamati apakah koefisien variabel tertentu dari
model otoregresif
yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Metode
pengujian akar-akar unit yang digunakan adalah dengan uji Augmented Dickey
Fuller (ADF) selanjutnya hasil ADF harus dibandingkan dengan nilai kritis yang
dikembangkan MacKinnon.
6.2.
Kestasioneran Data
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, data time series
(deret waktu) memerlukan pengujian terlebih dahulu terhadap kestasionerannya.
Apabila pada data time series langsung dilakukan analisis akan menghasilkan
hasil yang spurious karena dalam variabel tersebut sering kali mengandung unit
root (Verbeek, 2000). Oleh karena itu sebelum masuk pada tahapan analisis
SVAR maka terlebih dahulu dilakukan uji Augmented Dickey Fuller (ADF),
dimana dalam pengujian ini terlihat ada atau tidaknya unit root dalam variabel.
Kriteria uji dalam ADF ini membandingkan antara nilai statistik dengan nilai
kritikal dalam tabel Dickey Fuller. Apabila nilai ADF statistik lebih kecil dari
nilai McKinnon Critical Value maka data bersifat stasioner. Tetapi apabila nilai
ADF statistik lebih besar dari nilai McKinnon Critical Value maka data bersifat
non stasioner.
87
Tabel 5. Uji Akar Unit Level
Variabel
Nilai ADF
SBW
LIPI
LCPI
LER
LM2
SBI
-0.1441
1.7676
6.0273
-0.0114
6.2343
-3.1223
Nilai Kritis McKinon
1%
5%
10%
-2.5897 -1.9442 -1.6144
-2.5927 -1.9447 -1.6142
-2.5895 -1.9442 -1.6142
-2.5895 -1.9442 -1.6145
-2.5895 -1.9442 -1.6145
-2.5897 -1.9442 -1.6144
Keterangan
Tidak Stasioner
Tidak Stasioner
Tidak Stasioner
Tidak Stasioner
Tidak Stasioner
Stasioner
Berdasarkan hasil dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa data sukubunga dunia
(SBW), industrial production index (IPI), indeks harga konsumen Indonesia,
nilai tukar rupiah per dollar (ER), permintaan uang (M2) tidak stasioner karena
nilai ADF kelima variabel tersebut lebih besar dari nilai kritis McKinnon.
Sedangkan untuk variabel suku bunga sertifikat bank Indonesia (SBI) stasioner
pada level untuk tingkat kritis 1 persen, 5 persen, dan 10 persen. Oleh karena data
untuk kelima variabel lainnya tidak stasioner (lampiran 4) maka perlu dilanjutkan
pada uji akar unit pada first difference. Konsekuensi dari tidak terpenuhinya
asumsi stasioneritas pada tingkat level atau derajat nol atau I (0) maka akan
dilakukan uji derajat integrasi. Pada uji ini data didefrensiasikan pada derajat
tertentu sampai semua data menjadi stasioner pada derajat yang sama.
Berdasarkan hasil akar unit tingkat derajat terintegrasi satu I(1) atau first
diffrence semua data bersifat stasioner (lampiran 4), hal tersebut dikarenakan nilai
ADF-nya lebih kecil daripada nilai kritis McKinnon. Hasil uji akar unit derajat
satu atau I (1) dapat dilihat pada Tabel 6. Penggunaan data perbedaan pertama
(first difference), menurut Sims dalam Enders (2004) tidak direkomendasikan
sebab akan menghilangkan informasi jangka panjang. Oleh karena itu untuk
menganalisis informasi jangka panjang akan diguanakan data level sehingga
88
model SVAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan
(Error
Correction Model) menjadi VECM.
Tabel 6. Uji Akar Unit First Difference
Variabel
Nilai ADF
DSBW
DLIPI
DLCPI
DLER
DLM2
DSBI
-5.1547
-3.9295
-6.2536
-10.0801
-4.1346
-3.3901
6.3.
Nilai Kritis Mc Kinon
1%
5%
10%
-2.5897 -1.9442 -1.6144
-2.5931 -1.9447 -1.6142
-2.5897 -1.9442 -1.6144
-2.5897 -1.9442 -1.6144
-2.5900 -1.9443 -1.6144
-2.5897 -1.9442 -1.6144
Keterangan
Stasioner 5%
Stasioner 5%
Stasioner 5%
Stasioner 5%
Stasioner 5%
Stasioner 5%
Pengujian Lag Optimum
Sebelum masuk kedalam tahapan analisis structural VAR akan dilakukan
uji VAR untuk mengetahui jumlah lag optimum yang akan digunakan dalam
variabel yang akan dianalisis. Jumlah lag yang optimal dalam penelitian ini
didasarkan pada nilai Akaike Information Criteria (AIC) yang terkecil atau
minimum. Tabel 7. menunjukkan output VAR lag order selection criteria
(lampiran 5) dengan menggunakan panjang lag sebagai berikut dibawah ini.
Tabel 7. Pemilihan Panjang Lag Sistem Vector Autoregressive
Lag
0
1
2
3
4
5
6
7
LogL
738.6510
799.1764
825.8144
860.1311
889.2988
917.1936
965.6559
993.5264
LR
NA
111.4218
45.40553
53.81492
41.76277
36.13645
56.17230*
28.50388
FPE
2.36E-15
1.36E-15*
1.70E-15
1.81E-15
2.24E-15
2.95E-15
2.57E-15
3.83E-15
AIC
-16.65116
-17.20856*
-16.99578
-16.95753
-16.80224
-16.61804
-16.90127
-16.71651
SC
-16.48225*
-16.02619
-14.79996
-13.74825
-12.57951
-11.38185
-10.65163
-9.453408
HQ
-16.58311
-16.73221*
-16.11114
-15.66459
-15.10101
-14.50851
-14.38345
-13.79039
Model VAR didasarkan pada perhitungan VAR estimate dengan melihat
Akaike Information Criteria (AIC) untuk mendapatkan lag optimal. Akaike
information criteria (AIC) yang terkecil merupakan salah satu indikator kebaikan
suatu model. Oleh karena itu dari Tabel 7. kita dapat menyimpulkan bawah lag
89
optimal yang akan dipakai dalam persamaan adalah lag satu. Adapun persamaan
VAR dengan lag 1 dalam format umum diestimasi sebagai berikut (angka dalam
tanda kurung adalah menunjukkan standar error) :
DLER = - 0.0109*DSBW(-1) - 0.0282*DLIPI(-1) - 0.0601*DLCPI(-1) + 0.0753*DLER(-1) –
(0.0248)
(0.0579)
(0.5877)
(0.1467)
0.7424*DLM2(-1) + 0.0006*DSBI(-1) + 0.0075
(0.5313)
(0.004)
DLCPI = - 0.0016*DSBW(-1) - 0.0096*DLIPI(-1) - 0.0170*DLCPI(-1) - 0.0670*DLER(-1) +
(0.0044)
(0.0103)
(0.1047)
(0.0261)
0.3010*DLM2(-1) + 0.0032*DSBI(-1) + 0.0048
(0.0946)
(0.0008)
Berdasarkan hasil persamaan nilai tukar rupiah (DLER) menunjukkan
bahwa
sukubunga dunia, industrial production index, inflasi, uang beredar
berpengaruh negatif pada lag pertama terhadap nilai tukar rupiah, sedangkan nilai
tukar rupiah sendiri dan sukubunga SBI berpengaruh positif pada lag pertama
terhadap nilai tukar rupiah. Dengan R-square senilai 0.03 dan F-hitung sebesar
0.43. Artinya nilai tukar rupiah hanya mampu memberikan penjelasan terhadap
variabel makroekonomi sebesar 3 persen sedangkan 97 persen dijelaskan oleh
faktor lain yang tidak terdapat dalam estimasi. Sedangkan variabel makroekonomi
dalam negeri tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pergerakan nilai tukar
rupiah. Faktor- faktor lain tersebut bisa dikategorikan dalam faktor ekonomi
lainnya maupun faktor-faktor non ekonomi. (Lampiran 5).
Berdasarkan hasil persamaan inflasi (DLCPI) menunjukkan bahwa sukubunga
dunia, industrial production index, inflasi, nilai tukar rupiah berpengaruh negatif
pada lag 1 terhadap inflasi, sedangkan uang beredar dan sukubunga SBI
berpengaruh positif pada lag 1 terhadap inflasi. Dengan R-square senilai 0.23 dan
F-hitung sebesar
4.5. Artinya inflasi hanya mampu memberikan penjelasan
terhadap variabel makroekonomi sebesar 23 persen sedangkan 77 persen
90
dijelaskan oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam estimasi. Faktor- faktor lain
tersebut bisa dikategorikan dalam faktor ekonomi lainnya maupun faktor-faktor
non ekonomi. (Lampiran 5).
6.4.
Uji Kausalitas Granger
Tabel 8. Granger Causality Test
Null Hypothesis:
DSBI does not Granger Cause DLER
DLER does not Granger Cause DSBI
DLCPI does not Granger Cause DLIPI
DLIPI does not Granger Cause DLCPI
DLM2 does not Granger Cause DLCPI
DLCPI does not Granger Cause DLM2
DSBI does not Granger Cause DLCPI
DLCPI does not Granger Cause DSBI
Obs
F-Statistic Probability
94
0.08558
0.77054
8.74505
0.00395
94
3.56852
0.06207
0.79454
0.37508
94
4.38839
0.03896
0.32326
0.57105
94
10.4872
0.00168
1.39924
0.23993
Berdasarkan uji Granger Causality (lampiran 8) menunjukkan bahwa nilai
tukar rupiah memiliki hubungan kausalitas yang searah dengan sukubunga SBI
dimana nilai tukar rupiah secara signifikan 10 persen memiliki pengaruh pada
pergerakan sukubunga SBI.
Sedangkan inflasi memiliki hubungan kausalitas
yang searah dengan industrial production index, diikuti dengan permintaan uang
(M2) dan suku bunga SBI memiliki hubungan kausalitas yang searah dengan
inflasi artinya kebijakan sukubunga SBI ditentukan oleh indikator ekonomi di
dalam negeri sedangkan faktor luar seperti suku bunga dunia (SBW) akan menjadi
perhatian saja.
Hal ini dibuktikan berdasarkan suku bunga dunia dengan suku bunga SBI
kelihatnya kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia sedikit terlambat. Ketika
sukubunga dunia yang diambil dari US prime melakukan kenaikan tingkat bunga,
Bank Indonesia tidak melakukan tindakan apa-apa atau membuat tingkat bunga
stabil. Ketika suku bunga dunia sedang menaikkan tingkat bunga, Indonesia
melakukan penurunan tingkat bunga. Kemungkinan besar tindakan itu dilakukan
91
oleh bank Indonesia karena jumlah cadangan devisa yang sangat besar yang
mencapai US$46 Milyar pada akhir Februari 2007 (Manurung, 2007).
6.5.
Analisis Impulse Response Function dan Forecast Error Variance
Decomposition
Untuk mengetahui hubungan ekonomi antar variabel, maka akan dilakukan
analisis Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance
Decomposition (FEVD). Analisis FEVD dilakukan untuk mengetahui kontribusi
dari masing-masing shock variabel terhadap Forecast Error Variance dari
masing-masing variabel yang rentang waktu yang berbeda. Decomposition
variance memberikan informasi mengenai seberapa penting masing-masing
random shock mempengaruhi variabel didalam model VAR. Namun demikian,
analisis IRF dan FEVD sangat mensyaratkan adanya stabilitas pada sistem
persamaan yang akan digunakan, maka terlebih dahulu akan dilakukan uji
stabilitas dengan metode invers roots characteristic AR polynomial pada sistem
VAR maupun VEC.
Hasil uji stabilitas (lampiran 5) inverse roots characteristic AR polynomial
terhadap sistem VAR dan VEC menunjukkan bahwa sistem VAR menghasilkan
bentuk sistem persamaan yang stabil, sedangkan sebaliknya model Vector Error
Correction menghasilkan bentuk sistem persamaan yang tidak stabil. Menunjuk
hasil uji stabilitias ini dan anjurkan dari sim(1980) tersebut, maka untuk analisis
hubungan antar variabel dalam penelitian ini digunakan sistem VAR dan shock
dibuat pada first difference dari setiap variabel. Secara lengkap hasil IRF dan
FEVD dapat dilihat pada lampiran 6 dan 7. Untuk memudahkan sketsa kerangka
konseptual model VAR dari persamaan (4.1) ditampilkan sebagai berikut :
92
 a11

a 21
a31

a 41
a51

a 61
0
0
0
0
a 22
a 32
0
a33
0
0
0
0
a 42
a 52
a 43
a53
a 44
a54
0
a 55
a 62
a 63
a 64
a 65
0   SBW t  b11 0

 
0   IPI t   0 b22
0
0   CPI t   0

=
0
0   ERt   0
0
0  M 2t   0

 
a66   SBI t   0
0
0
0
0
0
b33
0
0
0
0
0
0
b44
0
0
b55
0
0
0
0   SBW t−1  ε SBWt 

 

0   IPIt −1   ε IPIt 
0   CPIt −1   ε CPIt 

+

0   ERt −1   ε ERt 
0   M 2 t−1   ε M 2t 

 

b66   SBI t −1   ε SBIt 
……………………………………………………..…………………..(5.1)
6.5.1. Impulse Response Function
Pengaruh dinamis dari adanya suatu guncangan tertentu dapat dianalisis
melalui orthogonal impulse response function (IRF). Analisis ini untuk melihat
respon dinamika jangka panjang setiap variabel apabila ada suatu inovasi (shock)
tertentu sebesar satu standar error pada setiap persamaan atau untuk melihat
respon dinamik suatu variabel apabila terjadinya shock atau guncangan yang
tertentu atau spesifik terhadap variabel tertentu. Analisis ini tidak hanya dalam
waktu yang pendek tetapi dapat menganalisis untuk beberapa horizon (bulan) ke
depan sebagai informasi jangka panjang. Sumbu horizontal merupakan periode
dalam bulan, sedangkan sumbu vertikal menunjukkan nilai respon dalam
persentase .
6.5.1.1.Respon Variabel Makroekonomi Terhadap Nilai Tukar Rupiah
Pada Tabel 9. menunjukkan bahwa guncangan sebesar satu standar deviasi
nilai tukar rupiah pada bulan pertama akan mengakibatkan meningkatnya nilai
tukar rupiah (depresiasi) sebesar 5.19 persen; sedangkan suku bunga dunia,
industrial production index dan inflasi tidak terpengaruh, sehingga mendorong
terjadinya apresiasi nilai tukar rupiah pada bulan kedua. Pada bulan ketiga ke
atas, nilai tukar rupiah
mengalami depresiasi lagi pada bulan tersebut, jumlah
uang beredar meningkat sebesar 0.02 persen, harga mengalami kenaikan sebesar
93
0.15 persen, industrial production index turun sebesar 0.43 persen (lampiran 6).
Untuk menyeimbangkan besarnya laju depresiasi yang terjadi, bank sentral
seyogyanya melakukan kebijakan moneter berupa peningkatan sukubunga SBI
sebesar 31.60 persen (dari persentase sukubunga) sehingga menyebabkan capital
inflow.
Tabel 9.
Bulan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1.
Pengaruh Cholesky(d.f. adjusted) One Standard Deviation Nilai
Tukar Rupiah (DLER) Innovation
DSBW
DLIPI
DLCPI
DLER
DLM2
0.000000
0.000000
0.000000
0.051872
0.009042
-0.015240
0.008526
0.000114
-0.002616 -0.000136
-0.015988
-0.004355
0.001538
0.000136
0.000226
-0.012563
-0.001596
0.001119
0.000265
0.000126
-0.009717
-0.001678
0.000751
0.000194
8.64E-05
-0.007287
-0.000963
0.000534
0.000166
7.63E-05
-0.005392
-0.000795
0.000377
0.000106
5.34E-05
-0.003920
-0.000536
0.000267
8.00E-05
4.02E-05
-0.002824
-0.000396
0.000187
5.51E-05
2.86E-05
-0.002016
-0.000275
0.000131
3.96E-05
2.06E-05
-0.001432
-0.000196
9.17E-05
2.76E-05
1.46E-05
-0.001011
-0.000137
6.41E-05
1.95E-05
1.04E-05
Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
DSBI
0.270919
0.454081
0.316062
0.221546
0.155805
0.109575
0.076895
0.053799
0.037581
0.026212
0.018262
0.012711
Respon Suku Bunga Dunia Terhadap Nilai Tukar Rupiah
Dari hasil analisis impuls respon yang terlampir pada Gambar 6 bahwa
guncangan sebesar satu standar deviasi kurs rupiah per dolar telah menyebabkan
meningkatnya laju depresiasi sebesar 5.19 persen sedangkan suku bunga dunia
tidak mengalami perubahan. Besarnya depresiasi nilai tukar rupiah pada bulan
pertama menyebabkan apresiasi pada bulan kedua sebesar 0.26 persen dan suku
bunga dunia mengalami penurunan sebesar 1.52 persen. Namun besarnya dampak
shock apresiasi tersebut berlangsung jangka pendek yaitu hanya sekitar 1 bulan.
Pada bulan ketiga pengaruh apresiasi hilang dan sudah kembali depresiasi sebesar
0.13 persen sedangkan sukubunga dunia kembali mengalami penurunan sebesar
1.60 persen. Selanjutnya pada bulan ke 4, bulan 5 dan bulan 7 pengaruhnya
semakin mengecil yaitu depresiasi mencapai 0.01 persen dan suku bunga dunia
94
sebesar 0.53 persen dan pada bulan 12 semakin kecil dan menuju ketitik
keseimbangan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dampak shock nilai tukar
rupiah tidak dipengaruhi oleh suku bunga dunia. Karena Indonesia sebagai negara
small open economic country dimana perekonomian Indonesia merupakan bagian
terkecil dari pasar dunia dengan kata lain tidak berdampak berarti bagi pasar suku
bunga dunia. Hal ini hanya menjadi perhatian saja. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 6.
Response of DSBW to Cholesky
One S.D. DLER Innovation
.000
-.004
P
e
r
s
e
n
-.008
-.012
-.016
Bulan
-.020
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Sukubunga Dunia
Gambar 6. Respon Sukubunga Dunia Terhadap Nilai Tukar Rupiah
2.
Respon Industrial Production Index Terhadap Nilai Tukar Rupiah
Pada Gambar 7 dapat dilihat dengan adanya inovasi atau shock nilai tukar
sebesar 1 standar deviasi telah menyebabkan laju depresiasi sebesar 5.19 persen
sedangkan Industrial Production index tidak mengalami perubahan. Pada bulan 2
nilai tukar rupiah mengalami apresiasi. Bagi dunia usaha yang melakukan
kegiatan impor dan yang berutang keluar negeri pada dasarnya dunia usaha dapat
mengurangi beban biaya impor dan beban biaya servis terhadap utang luar negeri
yang mereka lakukan sehingga dunia usaha dapat meningkatkan produksinya yang
masuk dalam industrial production index
Pada bulan ketiga pengaruhnya sudah
positif atau depresiasi sebesar 0.01 persen dan me nurunya industrial production
95
index sebesar 0.43 persen pada bulan 12 keatas pengaruhnya semakin kecil dan
hilang dan kembali pada titik keseimbangan semula. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 7.
Response of DLIPI to Cholesky
One S.D. DLER Innovation
.010
.008
P
e
r
s
e
n
.006
.004
.002
.000
-.002
-.004
Bulan
-.006
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Industrial Production Index
Gambar 7. Respon Index Industrial and Production Terhadap Nilai
Tukar Rupiah
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dampak shock dari nilai tukar
rupiah disebabkan industrial production index mengalami penurunan.
Dengan
terjadinya nilai tukar rupiah mengalami depresiasi hal ini akan mendorong
naiknya beban biaya barang modal dari luar negeri, sehingga industri menurunkan
jumlah produksinya hingga menuju ke titik keseimbangan.
3.
Respon Inflasi terhadap Nilai Tukar Rupiah.
Pada bulan pertama nilai tukar mengalami depresiasi sebesar 5.19 persen
sedangkan inflasi tidak mengalami perubahan. Selanjutnya pada bulan kedua, nilai
tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar 0.26 persen sedangkan inflasi meningkat
sebesar 0.011 persen. Hal ini terjadi karena meningkatnya permintaan barang dan
jasa dari luar negeri sehingga harga naik. Dengan berjalannya waktu bulan ketiga
96
nilai tukar mengalami depresiasi lagi sebesar 0.014 persen sedangkan inflasi
meningkat sebesar 0.15 persen. Pada bulan ke empat sampai bulan 10 keatas
pengaruhnya semakin mengecil dan kembali pada titik keseimbangan. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 8.
Response of DLCPI to Cholesky
One S.D. DLER Innovation
.0016
P .0012
e
r
s
.0008
e
n
.0004
.0000
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Inflasi
Gambar 8. Respon Inflasi terhadap Nilai Tukar Rupiah
Dengan terjadinya peningkatan inflasi tersebut akibat dari depresiasi nilai
tukar rupiah yang membuat produksi dengan kandungan bahan baku dari luar
negeri lebih mahal sehingga terjadi kenaikan harga didalam negeri dan secara
langsung masuk dalam perhitungan CPI .
4.
Respon Nilai Tukar Rupiah
Pada bulan pertama nilai tukar mengalami depresiasi sebesar 5.19 persen.
Selanjutnya pada bulan
kedua nilai tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar
0.26 persen. Namun besarnya dampak shock nilai tukar terhadap laju apresiasi
tersebut hanya berlangsung dalam jangka pendek atau temporer
yaitu hanya
sekitar satu bulan. pada bulan ketiga pengaruhnya sudah positif yang semakin
mengecil dan kembali pada titik keseimbangan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar
9.
97
Response of DLER to Cholesky
One S.D. DLER Innovation
.06
.05
.04
P
e .03
r
s
.02
e
n
.01
.00
Bulan
-.01
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Nilai Tukar Rupiah
Gambar 9.
5.
Respon Nilai Tukar Rupiah
Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Nilai Tukar Rupiah
Pada bulan pertama nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sebesar 5.19
persen dan uang beredar meningkat sebesar 0.90 persen selanjutnya pada bulan
kedua, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar 0.26 persen sedangkan
uang beredar menurun sebesar 0.014 persen artinya dengan terjadinya apresiasi
membuat menurunnya rupiah dan masyarakat membeli dollarnya sehingga uang
beredar dalam rupiah berkurang. Pada bulan ke 3 kembali mengalami depresiasi
menjadi sebesar 0.14 persen dan uang beredar meningkat menjadi lebih besar
menjadi sebesar 0.23 persen sampai pada bulan ke empat terus depresiasi dan
uang beredar masih
berpengaruh positif yang mengecil sampai pada titik
keseimbangan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10.
Oleh karena itu dengan terjadinya depresiasi karena simpanan dalam
nominasi mata uang dollar juga termasuk dalam perhitungan jumlah uang beredar
(M2) sehingga depresiasi nilai tukar secara otomatis akan meningkat nilai rupiah
dalam simpanan sehingga pada gilirannya akan meningkatkan jumlah uang
beredar.
98
Response of DLM2 to Cholesky
One S.D. DLER Innovation
.010
.008
P
e .006
r
s .004
e
n
.002
.000
Bulan
-.002
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Jumlah Uang Beredar
Gambar 10. Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Nilai Tukar
Rupiah
6.
Respon Sukubunga Sertifikat Bank Indonesia terhadap Nilai Tukar
Rupiah
Pada awalnya dengan adanya shock depresiasi nilai tukar rupiah sebesar
5.19 persen akan direspon tingkat suku bunga SBI tinggi manjadi 27.10 persen
sehingga pada bulan ke dua nilai tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar 2.62
persen sedangkan suku bunga menjadi lebih tinggi lagi sebesar 45.41 persen. Hal
ini dilakukan oleh otoritas moneter adalah untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
Pada bulan ketiga nilai tukar rupiah kembali mengalami depresiasi sebesar
0.14 persen sedangkan suku bunga SBI mengalami kenaikan sedikit 31.61 persen
sampai pada bulan ke keempat depresiasi dan suku bunga SBI masih berpengaruh
positif yang mengecil sebesar 1.27 persen pada suku bunga SBI pada bulan ke 12.
Oleh karena itu untuk menyeimbangi laju depresiasi nilai tukar rupiah, Bank
sentral melakukan kebijakan moneter berupa peningkatan sukubunga SBI untuk
menstabilkan nilai tukar rupiah. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 11.
99
Response of DSBI to Cholesky
One S.D. DLER Innovation
.5
.4
P
.3
e
r
s
.2
e
n
.1
.0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Sukubunga SBI
Gambar 11. Respon Sukubunga SBI Terhadap Nilai Tukar Rupiah
6.5.1.2.Respon Variabel Makroekonomi Terhadap Inflasi
Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa guncangan sebesar satu standar
deviasi inflasi CPI pada bulan pertama akan mengakibatkan kenaikan harga
sebesar 0.92 persen, sedangkan sukubunga SBW dan industrial production index
tidak mengalami perubahan. Nilai tukar rupiah terapresiasi sebesar 0.49 persen,
uang beredar berkurang sebesar 0.03 persen dan meningkatnya suku bunga SBI
sebesar 20.49 persen. Pada bulan kedua
inflasi terus mengalami kenaikan 0.07
persen. Untuk menurunkan inflasi, suku bunga SBI dinaikkan sebesar 7.72 persen
sehingga uang beredar berkurang 0.09 persen, nilai tukar rupiah mengalami
apresiasi sebesar 0.06 persen, dan industrial production index turun sebesar 1.58
persen (lampiran 6).
100
Tabel 10. Pengaruh Cholesky (d.f. adjusted) One Standard Deviation Inflasi
(DLCPI) Innovation
Bulan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1.
DSBW
DLIPI
DLCPI
DLER
DLM2
0.000000
0.000000
0.009227
-0.004855 -0.000270
0.003639
-0.015804
0.000746
-0.000579 -0.000904
0.002533
0.005520
0.000149
0.001042
0.000148
-0.000301
-0.001821
0.000112
-0.000182
-5.58E-05
-0.000732
0.000503
0.000174
0.000111
3.37E-05
-0.000965
-0.000457
0.000114
-8.15E-06
-1.81E-06
-0.000851
-4.19E-05
8.93E-05
3.56E-05
1.19E-05
-0.000723
-0.000153
6.21E-05
1.19E-05
5.56E-06
-0.000566
-6.99E-05
4.57E-05
1.45E-05
6.18E-06
-0.000433
-6.89E-05
3.22E-05
8.44E-06
4.11E-06
-0.000321
-4.37E-05
2.30E-05
6.92E-06
3.32E-06
-0.000235
-3.40E-05
1.62E-05
4.64E-06
2.35E-06
Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
DSBI
0.204892
0.077170
0.061232
0.050528
0.036553
0.026463
0.018829
0.013411
0.009472
0.006676
0.004686
0.003282
Respon Suku bunga Dunia Terhadap Inflasi
Pada Gambar 12 dapat dilihat pada awalnya dengan adanya inovasi atau
shock inflasi sebesar 1 SD telah menyebabkan kenaikan inflasi sebesar 0.92
persen sedangkan suku bunga dunia tidak mengalami pengaruh terhadap variabel
makro ekonomi. Karena Indonesia sebagai negara small open economic country
dimana perekonomian Indonesia merupakan bagian terkecil dari pasar dunia
dengan kata lain tidak berdampak berarti bagi pasar suku bunga dunia. Hal ini
hanya menjadi perhatian saja.
Response of DSBW to Cholesky
One S.D. DLCPI Innovation
.004
.003
P
e
r
s
e
n
.002
.001
.000
-.001
Bulan
-.002
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Sukubunga Dunia
Gambar 12. Respon Sukubunga Dunia Terhadap Tingkat Inflasi
12
101
2.
Respon Industrial Production Index Terhadap Inflasi
Pada awal terjadinya shock terhadap inflasi sebesar 0.92 persen maka
industrial production index tidak mengalami perubahan setelah pada bulan kedua
kenaikan inflasi naik lagi sebesar 0.07 persen akan menurunkan industrial
production index sebesar 1.58 persen. Hal ini karena adanya kenaikan harga
maka daya beli masyarakat pada produk menurun sehingga jumlah produksi
dalam negeri menurun, bulan ke tiga industrial production index meningkat pada
bulan ke empat industrial production index mengalami penurunan lagi, dan pada
bulan ke 6 sampai sepanjang bulan 12 industrial production index berpengaruh
negatif yang semakin mengecil dan kembali keseimbangan. Hal ini dapat dilihat
pada Gambar 13.
Response of DLIPI to Cholesky
One S.D. DLCPI Innovation
.008
.004
P .000
e
r
s -.004
e
n -.008
-.012
Bulan
-.016
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Industrial Production Index
Gambar 13. Respon Industrial Production Index Terhadap Tingkat
Inflasi
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa guncangan dari inflasi
menyebabkan industrial production index mengalami penurunan akibatnya daya
beli masyarakat turun, masyarakat merasakan dampak inflasi tersebut terhadap
daya belinya, kenaikan harga menyebabkan uang yang dimiliki dari hasil jerih
102
payah mereka bekerja menjadi kurang bernilai akibatnya jumlah yang mereka beli
secara riil menurun, selain turunnya daya beli, masyarakat juga mulai mengurangi
belanja dengan mengalokasikan lebih besar penghasilanya untuk ditabung.
3.
Respon Inflasi
Pada bulan pertama inflasi meningkat sebesar 0.92 persen sampai pada
bulan ke 4 kenaikannya mulai mengecil sebesar 0.011 persen setelah bulan ke 5
kenaikannya meningkat menjadi 0.017 persen kemudian bulan ke 6, 7 sampai
bulan ke 12 keatas pengaruhnya masih positif yang mengecil dan menghilang dan
kembali pada titik keseimbangan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 14.
Response of DLCPI to Cholesky
One S.D. DLCPI Innovation
.010
.008
P
e .006
r
s
e .004
n
.002
.000
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Inflasi
Gambar 14. Respon Inflasi
4.
Respon Nilai Tukar Terhadap Inflasi
Pada awalnya dengan adanya shock kenaikan inflasi sebesar 0.92 persen
nilai tukar mengalami apresiasi nilai tukar sebesar 4.86 persen dan peningkatanya
sebesar 0.058 persen pada bulan kedua. pada bulan ketiga pengaruhnya positif
yaitu depresiasi nilai tukar rupiah sebesar 0.10 persen
sedangkan inflasi
mengalami kenaikan yang mengecil 0.015 persen pada bulan ke 4 pengaruhnya
kembali apresiasi sebesar 0.018 persen pada bulan 5 nilai tukar mengalami
103
depresiasi sebesar 0.011 persen. Begitu juga pada bulan 6 nilai tukar mengalami
apresiasi kembali dan bulan 7 sampai 12 nilai tukar terus mengalami depresiasi
dan kembali pada tiitik keseimbangan.
Pada 6 bulan pertama terjadinya fluktuasi nilai tukar setiap bulan.
Terjadinya apresiasi nilai tukar maupun derpesiasi nilai tukar ini disebabkan
karena terjadinya permintaan dan penawaran valuta asing dalam pasar uang, Hal
ini dapat dilihat pada Gambar 15.
Response of DLER to Cholesky
One S.D. DLCPI Innovation
.002
.001
.000
P
e -.001
r
s
-.002
e
n
-.003
-.004
Bulan
-.005
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Nilai Tukar Rupiah
Gambar 15. Respon Nilai Tukar Terhadap Tingkat Inflasi
5.
Respon Uang Beredar Terhadap Tingkat Inflasi
Pada saat awal terjadinya shock terhadap tingkat inflasi sebesar 0.92
persen uang beredar mengalami penurunan sebesar 0.027 persen dan bulan kedua
sebesar 0.090 persen. Sedangkan pada bulan ke tiga uang beredar meningkat
sebesar 0.015 persen hal ini disebabkan karena uang yang dipegang masyarakat
bertambah sehingga terjadi inflasi sebesar 0.015 persen, pada bulan ke empat dan
ke enam uang beredar turun mengecil dan menghilang sementara bulan 7 sampai
bulan ke 12 jumlah uang beredar tinggi berpengaruh positif yang mengecil dan
menghilang dan kembali pada titik keseimbangan semula.
104
Dengan adanya peningkatan uang beredar menunjukkan bahwa banyaknya
uang yang dipegang masyarakat akibat terjadinya kenaikan harga yang
ditransmisikan kedalam naiknya Indeks Harga Konsumen di Indonesia dan akan
menyebabkan inflasi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 16.
Response of DLM2 to Cholesky
One S.D. DLCPI Innovation
.0002
.0000
P
e -.0002
r
s
e -.0004
n
-.0006
-.0008
Bulan
-.0010
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Jumlah Uang Beredar
Gambar 16. Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Tingkat Inflasi
6.
Respon Sukubunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Inflasi
Tingkat
Pada bulan pertama dengan adanya shock inflasi sebesar 0.92 persen suku
bunga SBI meningkat sebesar 20.49 persen, hal ini juga terjadi sepanjang bulan
kedua sampai bulan ke 12 yang menjelaskan tingkat inflasi dan sukubunga SBI
berpengaruh positif yang akhirnya mengecil dan kembali pada titik keseimbangan
semula. Dengan adanya peningkatan sukubunga SBI maka pemerintah sebagai
otoritas moneter melakukan kontraksi moneter dalam rangka untuk menurunkan
harga. oleh karena itu dengan adanya
kenaikan inflasi ini otoritas moneter
menaikkan suku bunganya agar masyarakat lebih tertarik menabung uangnya
daripada membeli produk. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 17.
105
Response of DSB I to Cholesky
One S.D. DLCPI Innovation
.24
.20
P .16
e
r .12
s
e
n .08
.04
.00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Sukubunga S BI
Gambar 17.Respon Sukubunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Tingkat Inflasi
6.5.2. Forecast Error Variance Decomposition
Dalam penelitian ini analisis variance decomposition digunakan untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh fluktuasi nilai tukar dan Inflasi di Indonesia
dan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan
menggunakan perubahan data-data makro ekonomi yang berpengaruh nilai tukar
secara bulanan, akan dapat diketahui variabel apa saja yang menyebabkan
terjadinya sebuah shock diantara variabel – variabel yang ada dalam model.
dengan kata lain dekomposisi variasi dapat menunjukkan bagaimana hubungan
dan pengaruh antar variabel yang terkait dalam sebuah model, dengan membuat
simulasi seandainya ada shock dalam nilai tukar rupiah dan inflasi, akan diketahui
variabel – variabel apa saja yang mempengaruhinya
Dekomposisi Variasi Makroekonomi Indonesia
1.
Nilai Tukar Rupiah
Dari Tabel 11 dibawah terlihat bahwa, forecast Error Variance dari
masing-masing variabel tergantung rentang waktunya menunjukkan hal-hal
sebagai berikut :
106
Tabel 11. Dekomposisi Variasi Makroekonomi Terhadap Nilai Tukar Rupiah
Periode
Guncangan (Persen)
(Bulan)
DSBW
DLIPI
DLCPI
DLER
DLM2
DSBI
1
0.7692
0.1402
0.8604
98.2301
0.0000
0.0000
3
1.0098
0.2362
0.8848
95.5130
2.3471
0.0088
5
1.0105
0.2501
0.8862
95.4900
2.3473
0.0157
10
1.0105
0.2504
0.8862
95.4865
2.3481
0.0180
15
1.0105
0.2504
0.8862
95.4864
2.3481
0.0181
25
1.0105
0.2504
0.8862
95.4864
2.3481
0.0181
35
1.0105
0.2504
0.8862
95.4864
2.3481
0.0181
50
1.0105
0.2504
0.8862
95.4864
2.3481
0.0181
Tabel 11 menunjukkan fluktuasi nilai tukar rupiah (DLER) secara
dominan ditentukan oleh shock terhadap dirinya sendiri, yaitu mencapai 98.23
persen. Kontribusi dari variabel lain mulai berperan pada bulan ketiga dimana
kontribusi uang beredar dalam menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah hanya
sebesar 2.34 persen, sukubunga dunia sebesar 1.01 persen, inflasi sebesar 0.88
persen, industrial production index sebesar 0.24 persen, dan sukubunga SBI
sebesar 0.009 persen (lampiran 7).
Pada bulan ke-50 pengaruh guncangan nilai tukar rupiah terhadap dirinya
semakin menurun menurut waktu, namun masih sangat tinggi, yaitu sebesar 95.49
persen; sedangkan kontribusi guncangan terhadap
variabel ekonomi lainnya
meningkat tetapi tidak sebesar kontribusi nilai tukar rupiah. Artinya, dalam sistem
nilai tukar mengambang bebas, variabel-variabel ekonomi kurang berpengaruh
dalam menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah, hal ini mencerminkan bahwa nilai
tukar rupiah cenderung bersifat eksogen. Hal ini bisa dilihat pada Gambar 18.
107
100%
80%
DSBI
DLM2
60%
DLER
DLCPI
DLIPI
SBW
40%
20%
0%
1
6
11 16 21 26
31 36 41
46
Gambar 18. Dekomposisi Variasi Nilai Tukar Rupiah
2.
Inflasi
Dari Tabel 12. dibawah terlihat bahwa, forecast error variance dari
masing-masing variabel tergantung rentan waktunya menunjukkan hal sebagai
berikut:
Tabel 12. Dekomposisi Variasi Makroekonomi Terhadap Tingkat Inflasi
Periode
Guncangan (persen)
(Bulan)
DSBW
DLIPI
DLCPI
DLER
DLM2
DSBI
1
0.8395
1.2563
97.9041
0.0000
0.0000
0.0000
3
0.8278
2.7943
80.1568
2.2236
6.4239
7.5733
5
0.8034
2.6684
76.3631
3.7348
7.1222
9.3078
10
0.8726
2.6283
75.1933
4.1594
7.2779
9.8684
15
0.8791
2.6270
75.1560
4.1712
7.2817
9.8847
25
0.8793
2.6270
75.1549
4.1715
7.2817
9.8851
35
0.8793
2.6270
75.1549
4.1715
7.2817
9.8851
50
0.8793
2.6270
75.1549
4.1715
7.2817
9.8851
Pada bulan pertama, guncangan inflasi dipengaruhi oleh dirinya sendiri
sebesar 97.90 persen. Kontribusi variabel makroekonomi lainnya dalam
menjelaskan fluktuasi inflasi Indonesia mulai terlihat pada bulan ketiga.
Guncangan inflasi pada bulan tersebut memberikan proporsi dalam menjelaskan
fluktuasi inflasi sendiri sebesar 80.16 persen, sukubunga SBI sebesar 7.57 persen,
uang beredar sebesar 6.42 persen, nilai tukar rupiah sebesar 2.22 persen,
industrial production index sebesar 2.79 persen, suku bunga dunia sebesar 0.83
persen (lampiran 7).
108
Pada bulan ke-50 pengaruh goncangan inflasi terhadap dirinya semakin
menurun menurut waktu, namun masih sangat besar yaitu sebesar 75.15 persen;
sedangkan kontribusi guncangan terhadap variabel ekonomi lainnya meningkat
tetapi tidak terlalu besar kecuali sukubunga SBI yang memberikan kontribusi
terhadap fluktuasi inflasi sebesar hampir 10 persen. Artinya sukubunga SBI cukup
berperan penting untuk menstabilkan inflasi
Dapat disimpulkan bahwa dalam kebijakan moneter, Sukubunga SBI
merupakan kontribusi terbesar untuk kestabilan harga. Artinya apabila inflasi
tinggi, maka kebijakan moneternya adalah dengan menaikkan sukubunga SBI
(kontraksi moneter) dengan kata lain hasil ini menunjukkan bahwa bank Indonesia
menerapkan kerangka kebijakan inflation targetting dimana SBI digunakan
sebagai sasaran antara untuk mengontrol inflasi, bukan sebagai sasaran akhir. Hal
ini dapat dilihat pada Gambar 19.
100%
DSBI
DLM2
DLER
DLCPI
DLIPI
DSBW
80%
60%
40%
20%
0%
1
5
9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49
Gambar 19. Dekomposisi Variasi Tingkat Inflasi
6.6.
Rumusan Implikasi Kebijakan Moneter Terhadap Nilai Tukar
Rupiah dan Inflasi
Undang-ungang Bank Sentral No 23. tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan UU No 3. Tahun 2004. Tujuan Bank Indonesia
109
adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (pasal 7) amanat ini
memberikan kejelasan peran bank sentral dalam perekonomian, sehingga dalam
pelaksanaan tugas Bank Indonesia dapat lebih fokus dalam pencapaian ”single
objective”-nya
Kestabilan nilai rupiah dapat diukur dari nilai rupiah terhadap barang di
dalam negeri tercermin dari tingkat inflasi sementara kestabilan nilai rupiah
terhadap barang luar negeri tercermin dari nilai tukar rupiah (kurs) terhadap mata
uang negaral lain, Pencapaian stabilitas harga sangat tergantung pada kemampuan
Bank Indonesia dalam menjaga keseimbangan internal, khususnya keseimbangan
antara permintaan agregat dengan penawaran agregat, sedangkan kestabilan nilai
tukar sangat tergantung pada keseimbangan eksternal, yang tercermin pada
keseimbangan neraca pembayaran.
Dalam mencapai tujuan yang diamanatkan Undang-undang, Bank
Indonesia menentapkan laju inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter.
Sementara itu, perkembangan nilai tukar ditentukan oleh mekanisme pasar sesuai
dengan sistem nilai tukar mengambang bebas sejak Agustus 1997.
Berdasarkan hasil analisis, inflasi di masa mendatang cenderung akan
menunjukkan penurunan, akan tetapi masih tetap berada pada tingkat yang relatif
tinggi. Oleh karena, itu bank sentral harus terus memantau inflasi khususnya yang
bersumber dari fenomena moneter dalam perekonomian. Selanjutnya mengingat
pembentukan inflasi dari index harga konsumen (IHK) dalam jangka pendek
bukan hanya merupakan fenomena moneter, tetapi juga dibentuk oleh fenomena
dari sisi penawaran, maka bank sentral perlu memantau inflasi secara cermat
menurut sumber sumber penyebab inflasi tersebut.
110
Sebagai contoh dalam hal terjadi gangguan permintaan (demand shock)
yang mengakibatkan inflasi tinggi, respon bank sentral akan menaikkan
sukubunga SBI sehingga tingkat inflasi dapat ditekan. Sebaliknya, jika inflasi
meningkat karena terjadinya gangguan penurunan di sisi penawaran (Supply side),
misalnya kenaikan harga makanan karena musim kering, maka kebijakan uang
ketat (tight money policy) justru dapat memperburuk tingkat harga dan
pertumbuhan ekonomi. Respon yang dapat dilakukan oleh bank sentral adalah
kebijakan melonggarkan likuiditas perekonomian (ekspansi moneter) agar dapat
menstimulir peningkatan penawaran.
Pemulihan kepercayaan kepada perekonomian dalam negeri serta
didukung oleh perbaikan sistem distribusi dan pemulihan kapasitas produksi.
Pemulihan kepercayaan juga dapat dibantu dengan melobi lembaga pemeringkat
internasional, misalnya dengan meminta agar Indonesia tidak dimasukkan dalam
kategori negative watch, dengan pulihnya kepercayaan, nilai tukar akan menguat
karena sentimen pasar positif dan terjadi capital inflow sehingga rupiah menguat
dan tekanan inflasi mereda. Dengan demikian, sukubunga dapat diturunkan ke
tingkat yang wajar.
Kebijakan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dapat diterapkan sejalan
dengan pendapat Arifin (1998), bahwa kewajiban menempatkan capital inflow
jangka pendek di bank sentral selama satu tahun dengan persentase tertentu tanpa
imbalan dapat mengurangi investasi yang hanya mencari keuntungan dari
arbitrase dan tidak bermanfaat bagi perekonomian. Kebijakan seperti itu bahkan
dapat mendorong peningkatan arus modal yang berjangka panjang, yang lebih
bermanfaat bagi perekonomian. Kewajiban seperti ini telah lama diterapkan di
111
Chile dengan mengenakan reserve requirment sebesar 30 persen selama satu
tahun atas aliran modal masuk.
Stabilitas nilai tukar harus tetap mendapat perhatian dalam upaya
menunjang penurunan ekspektasi inflasi masyarakat. Nilai tukar harus dimonitor
secara ketat dengan melihat faktor penyebab pergerakan nilai tukar, jika depresiasi
nilai tukar rupiah disebabkan oleh arus modal keluar. maka kebijakan moneter
yang lebih ketat dapat mencegah kenaikan inflasi akibat depresiasi. Namun jika
depresiasi yang terjadi akibat perubahan term of trade, diperlukan kebijakan
moneter yang lebih longgar.
Upaya menstabilkan perkembangan makro, terutama stabilitas nilai rupiah
masih menghendaki adanya kebijakan moneter yang ketat. Hal ini dilakukan Bank
sentral dalam kebijakan ”harga” dana yaitu suku bunga tinggi dan kebijakan
”kuantitas” dana, yaitu melalui peningkatan Giro Wajib Minimum. Stabilitas
tersebut akan dapat dipantau dari beberapa indikator, yaitu mulai stabilnya atau
bahkan sedikit menguat nilai rupiah serta mulai masuknya dana-dana dari luar
negeri terutama yang ditanamkan dalam SBI. Jika ini maka SBI yang sudah
diaggap menarik oleh para investor luar negeri.
Dalam rangka penerapan transparansi dan akuntabilitas publik, penetapan
sasaran laju inflasi dan besaran moneter serta langkah-langkah untuk mencapainya
akan diinformasikan kepada masyarakat. Penyampaian informasi dan penjelasan
secara terbuka tersebut diharapkan akan dapat mempengaruhi ekspektasi
masyarakat terhadap inflasi. Ekspektasi inflasi yang terkelola tersebut pada
giliranya akan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat sehingga dapat
mendukung pencapaian laju inflasi yang diinginkan.
112
VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
7.1.
Simpulan
Penelitian ini menyajikan faktor – faktor ekonomi yang mempengaruhi
pergerakan atau fluktuasi nilai tukar, seperti sukubunga dunia, industrial
production index, inflasi, uang beredar dan suku bunga SBI, tidak melakukan
analisis baik secara langsung maupun tidak langsung atas faktor-faktor tersebut.
Berdasarkan hasil analisis impuls respon dapat disimpulkan bahwa
guncangan nilai tukar rupiah mengakibatkan depresiasi yang sangat tinggi
terhadap nilai tukar rupiah dimana dengan adanya guncangan nilai tukar rupiah
akan mengakibatkan fluktuasi pada variabel makroekonomi dalam waktu yang
lebih cepat untuk menuju ke kondisi kestabilan dibandingkan dengan variabel
makroekonomi lainya.
Terkait dengan depresiasi dari guncangan nilai tukar rupiah akan direspon
dengan meningkatnya jumlah uang beredar secara langsung. Peningkatan jumlah
uang beredar terjadi karena simpanan dalam nominasi mata uang dolar juga
termasuk dalam perhitungan jumlah uang beredar (M2) sehingga depresiasi nilai
tukar rupiah secara otomatis meningkatkan jumlah uang beredar yang akan
mengarahkan pada terjadinya kenaikan tingkat harga yang membuat daya beli
masyarakat
menurun
akibatnya
industrial
production
index
mengalami
penurunan, oleh karena itu untuk menyeimbangi besarnya laju depresiasi yang
terjadi, bank sentral seyogyanya melakukan kebijakan moneter berupa
peningkatan sukubunga SBI mendorong terjadinya capital inflow yang pada
akhirnya dapat menstabilkan nilai tukar rupiah.
113
Guncangan harga akan
direspon oleh bank sentral
dengan menaikan
sukubunga SBI sehingga menyebabkan menurunya jumlah uang beredar, nilai
tukar rupiah mengalami apresiasi mengakibatkan daya saing Indonesia melemah
dan naiknya pinjaman sukubunga sehingga menurunya industrial production
index.
Berdasarkan hasil Forecast Error Variance Decomposition menunjukkan
bahwa nilai tukar rupiah (DLER) secara dominan ditentukan oleh shock terhadap
dirinya sendiri, yaitu mencapai sebesar 95.49 persen. Inflasi juga secara dominan
ditentukan oleh shock terhadap dirinya sendiri, yaitu sebesar 75.15 persen, diikuti
dengan sukubunga SBI memberikan kontribusi sebesar 9.88 persen. Hal ini
mengindikasikan bahwa nilai tukar rupiah cenderung bersifat eksogen sehingga
sulit untuk dapat dikendalikan secara langsung, sedangkan inflasi masih relatif
memungkinkan dikendalikan melalui guncangan sukubunga SBI. Hasil ini juga
menunjukkan bahwa bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan inflation
targetting dimana SBI digunakan sebagai sasaran antara untuk mengontrol inflasi,
bukan sebagai sasaran akhir.
7. 2.
Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil analisis Impulse Response Functions dan Forecast
Error Variance Decomposition instrumen kebijakan moneter untuk pencapaian
kestabilan nilai tukar rupiah dan inflasi adalah sukubunga SBI. Dengan demikian,
dalam rangka pencapaian target inflasi, Bank Indonesia dapat melaksanakannya
dengan instrumen Sukubunga SBI sebagaimana yang memang telah digunakan
selama ini akan menjadi lebih baik apabila Bank Indonesia dapat menciptakan
stabilitas fundamental ekonomi, terutama me ngurangi kesenjangan permintaan
114
dan penawaran valuta asing, sekaligus menumbuhkan kepercayaan masyarakat
terhadap mata uang rupiah dan mengendalikan terjadinya aliran modal keluar
(capital outflow).
Apabila laju inflasi masih tinggi. hal ini membuktikan bahwa tidak mudah
melakukan pentargetan inflasi di Indonesia karena belum stabilnya variabel
makroekonomi Indonesia baik internal maupun eksternal. Sisi internal seperti
suku bunga SBI, sebenarnya dapat digunakan menurunkan harga dan stabil, tetapi
intrume n suku bunga saja tidak cukup, perlu waktu lama untuk mempengaruhi
harga, hal ini mengingat besarnya efek guncangan eksternal terhadap harga –
harga yaitu keberadaan produk domestik di Indonesia masih belum mampu
bersaing dengan produk luar negeri sehingga menimbulkan ketergantungan yang
tinggi atas produk luar negeri terutama bahan baku impor. Hal ini membuktikan
bahwa orang awam sering lebih suka menyimpan barang ketimbang uang.
Berdasarkan UU BI tahun 2004 mengingat bahwa target BI tidak secara
tegas upaya komitmen atas pencapaian target single objectivenya. apakah target
nilai tukar, target inflasi, target moneter (uang beredar) atau kombinasi diantara
pada kebijakan moneter BI . Oleh karena itu, apabila pemerintah mengharapkan
kestabilan harga dengan pertumbuhan yang kondusif maka Bank Indonesia dilihat
dari kebijakan moneternya perlu :
1. Fokus terhadap sasaran, pengendalian inflasi hanya salah satu diantara
beberapa sasaran lain yang hendak dicapai oleh Bank sentral. Sasaran –
sasaran lain kadang – kadang bertentangan dengan sasaran pengendalian
inflasi, misalnya sasaran pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, neraca
pembayaran, dan kurs, oleh karena itu seharusnya bank sentral tidak
115
menetapkan sasaran lain dan berfokus pada sasaran utama pengendalian
inflasi.
2. Bank sentral mutlak harus mempunyai kemampuan untuk memprediksi inflasi
secara akurat sehingga dapat menetapkan target inflasi yang hendak dicapai.
Artinya bank sentral harus mengumumkan atau membuat pernyataan resmi
mengenai target inflasi untuk jangka waktu beberapa tahun kedepan
3. Pelaksanaan secara konsisten dan transparan, Dengan pelaksanaan target
inflasi secara konsisten dan transparan maka kepercayaan masyarakat terhadap
kebijakan yang ditetapkan semakin meningkat.
4. Efektifitas pelaksana kebijakan moneter dalam kerangka inflation targetting
terletak pada kebijakan fiskal yang sehat dan berkesinambungan serta
kebijakan moneter yang berhati-hati, karena kedua kebijakan ini saling
melengkapi dalam stabilitas perekonomian. pada masa yang akan datang,
kerjasama dan koordinasi yang baik semakin terus ditingkatkan antara otoritas
fiskal dan moneter yaitu pemerintah dan bank Indonesia supaya kebijakan
yang diambil menjadi lebih efektif dan efisien.
7.3.
Saran
1.
Bank
Indonesia
sebagai
otoritas
moneter
diharapkan
dapat
menyeimbangkan kebijakan yang secara efektif dapat memulihkan
stabilitas ekonomi jangka pendek dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
berkelanjutan dengan ongkos yang minimal.
2.
Untuk pencapaian objektif bank sentral disarankan untuk penelitian
selanjutnya mengenai sasaran kesempatan kerja, target nilai tukar, target
moneter atau kombinasi diantara kebijakan moneter BI. Namun pilihan
116
apapun yang diambil tidak mudah pelaksanaanya, mengingat kondisi
perekonomian Indonesia masih penuh distorsi dan kebijakan fiskal
seringkali tidak searah.
3.
Pemerintah dan bank sentral diharapkan duduk bersama agar pemerintah
memiliki komitmen untuk menjaga ketahanan fiskal, antara lain melalui
pengurangan defisit anggaran dan penyusunan rencana strategis yang
rasional dan transparan, serta mampu menyurutkan keraguan dan
kecendrungan kebijakan populer untuk memenuhi keinginan politiknya.
Dan bank sentral secara tegas dan konsisten memutuskan dan
menyampaikan secara lugas target kebijakan moneter, all out untuk
mencapainya, tidak akomodatif dengan siklus politik.
4.
Perlu adanya penelitian selanjutnya yang menggunakan faktor ekonomi
lainnya seperti nilai tukar mata uang negara lain, atau faktor non ekonomi
untuk dapat menstabilkan nilai tukar rupiah dan mengendalikan inflasi.
117
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Y. 1998. Using Indonesia’s Real Exchange Rate to Test Ricardian
Equivalence. International Economic Journal, 12 (3): 17-27.
Arifin, S. 1998. Efektifitas Kebijakan Sukubunga Dalam Rangka Stabilitas
Rupiah di Masa Krisis. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan 3 (12):
1-26.
Atmadja, A.S. 2001. Free Floating Exchange Rate System Dan Penerapannya
Pada Kebijaksanaan Ekonomi di Negara Yang Berperekonomian Kecil
dan Terbuka. Jurnal Akuntasi dan Keuangan, 3 (5): 18-29.
Agung,Y. 1998. Financial Deregulation and The Bank Lending Channel in
Developing Countries : The Case of Indonesia. Asian Economic Journal,
12 (13): 22-27.
_______. 2002. Transmission Mechanisms of Monetary Policy in Indonesia. Bank
Indonesia, Jakarta.
Ascarya. 2002. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter. Pusat Pendidikan dan
Studi Kebangsentralan. Seri Kebanksentralan, 1 (3) : 1-49.
Baillie, R. and P. Mc Mahon. 1989. The Foreign Exchange Market Theory and
Econometric Evidence. Cambridge University Press, London.
Badan Pusat Statistik. 1999. Laporan Perekonomian Indonesia. Badan Pusat
Statistik, Jakarta.
__________________. 2002. Laporan Perekonomian Indonesia. Badan Pusat
Statistik, Jakarta.
__________________. 2007. Laporan Perekonomian Indonesia. Badan
Statistik, Jakarta.
Pusat
Bank Indonesia. 1999. Laporan Tahunan. Bank Indonesia, Jakarta.
_____________. 2002. Laporan Tahunan. Bank Indonesia, Jakarta.
_____________. 2006. Laporan Tahunan. Bank Indonesia, Jakarta.
Cagan, P. 1984. The Monetary Dynamics of Hyperinflation. ed. By Milton
Friedman. In Studies in The Quantity Theory of Money, University of
Chicago Press, Chicago.
Cahyono, J.E. 2000. Menjadi Manajer Investasi Bagi Diri Sendiri. Penerbit
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
118
Chowdhury, A. and H. Siregar. 2002. Indonesia’s Monetary Policy Dilemma:
Constraints of Inflation Targetting. UNSFIR Working Paper, 2(11): 1-36.
Dornbusch, R. 1973. Devaluation, Money and Non Traded Goods. American
Economic Reviews, 63 (12): 871-880.
___________. 1976. Expectation And Exchange Rate Dynamic. Journal of
Political Economy, 84 (6): 671-683.
___________. 2001. The Theory of Flexible Exchange Rate Regimes and
Macroeconomics Policy. Addison Wesley Publishing Company, Manila.
Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. Second Edition. Willey
Series in Probablity and Statistics, New York.
Frangkel, J.A. 1984. Test of Monetary and Portofolio Balance Models of
Exchange Rate Determination : Exchange Rate Theory And Practice. ed
Bilson and Richard, London.
Frangkel, J.A. and H.G. Johnson. 1976. The Monetary Approach to The Balance
of Payment. Allan & Unwin, London.
Goeltom, M.S. dan D. Zulverdi. 1998. Manjemen Nilai Tukar di Indonesia dan
Permasalahanya. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 1 (2): 69-91.
Gottschalk, J. 2001. An Introduction Into The SVAR Methodology : Identification
Interpretation and Limitation of SVAR model. Institute Fur Welwirtscaft,
Warsaw.
Hanafi, I.D. 2005.Faktor Cina Dalam Struktur Ekonomi ASEAN-JEPANG
[Pikiran Rakyat On-Line][7 Maret 2005].
Haryono, E., W.A. Nugroho dan W. Pratomo. 2000. Mekanisme Pengendalian
Moneter dengan Inflasi Sebagai Sasaran Tunggal. Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan, 2 (4) : 168-122.
Hascaryo, A.R. 2003. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter dan Evaluasi
Terhadap Berbagai Kebijakan Moneter di Indonesia. Analisis: Model
Makro Ekonometrik Simultan. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Depok.
Holod, D. 2000. The Relationship Between Price Level, Money Supply and
Exchange Rate in Ukraine. National University of Kiev- Mohyla
Academy, Warsaw.
Ickes, B.W. 2004. Lecture Note on Exchange Rate Fluctuation. Pennyslvania
State University, Fall.
119
Kamin, et al., 1997. Capital Inflow, Financial Intermediation, and Aggregate
Demand; Empirical Evidance from Mexico and Other Pasific Basin
Country, Board of Governor of The Federal Reserve System. Mexico City.
Krugman, P.R. and M. Obstfeld. 2003. International Economics: Theory and
Policy. Sixth Edition. Addison Wesley, Boston.
Mc Nown, R. and M.S. Wallace. 1994. Cointegration Test of The Monetary
Exchange Rate Model for Three High – Inflation Economics. Journal of
Money, Credit and Banking, 2 (6): 396-411.
Mishkin, F.S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets.
Sixth Edition. Columbia University, New York.
Nugroho, A.E. 2002. Sektor Perbankan dan Keuangan di Indonesia. Penerbit
Pamator, Jakarta.
Nuryadin, D. dan B. Santoso. 2004. Analisis Aplikasi Model Neraca Pembayaran
dan Model Moneter terhadap Nilai tukar Rp/$. Periode 1980.1 – 2000.4.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 7 (2): 273-292.
Rato, R. 2005. Integrasi Asia dan IMF. [Sarwono Net][21 September 2005].
http://aeansummit.bernama.com/newslistbm.php?cat=ase&page=14.
Samiun, R. 1998. Evaluasi Program Intervensi di Pasar Valuta Asing Dalam
Rangka Stabilitas Nilai Tukar. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan,
1(3): 75-130.
Santoso, W. dan Iskandar. 1999. Pengendalian Moneter Dalam System Nilai
Tukar yang Fleksibel : Konsiderasi Kemungkinan Penerapan Inflation
Targetting di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 2 (2) :
1-30.
Seddighi, H.R., K.A. Lawler and A.V. Katos. 2000. Econometrics: A Practical
Approach. Rouledge, London and NewYork.
Sloman, J. and M. Sutcliffe. 1998. Economics for Business. Prentice Hall,
London.
Siregar, H. and B.D. Ward. 2002. Can Monetary Policy/ Shocks Stabilize
Indonesian
Macroeconomic Fluctuations? Monetary and Financial
Management in Asia in The 21 Century. Management University
Research Center, Singapore.
Siswanto, B., Y. Kurniati, G.B. Padoli dan S.H. Binhadi. 2001. Mekanisme
Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Jalur Nilai Tukar. Occassional
Paper. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia,
Jakarta.
120
Sudjijono, B. dan D. Rudianto. 2003. Perspektif Pembangunan Indonesia Dalam
Kajian Pemulihan Ekonomi. PT. Citra Mandala Pratama, Jakarta.
Thomas, R.L. 1997. Modern Econometrics. Addison-Wesley, Harlow.
Tucker, A. L., J. Madura and T.C. Chiang. 1991. International Financial Markets.
West Publishing Company, New York.
Winata, C. 2006. Pentargetan Inflasi, Stabilitas Nilai Tukar Rupiah dan Fluktuasi
Output di Indonesia : Pendekatan Model DSGE (Dynamic Stochastic
General Equilibrium). Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Warjiyo, P. dan D. Zulverdi. 1998. Penggunaan Sukubunga Sebagai Sasaran
Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan, 1(1): 25-58.
Warjiyo, P. 2003. Kebijakan Moneter di Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta.
121
Lampiran 1 . Data Asli
obs
1999:01
1999:02
1999:03
1999:04
1999:05
1999:06
1999:07
1999:08
1999:09
1999:10
1999:11
1999:12
2000:01
2000:02
2000:03
2000:04
2000:05
2000:06
2000:07
2000:08
2000:09
2000:10
2000:11
2000:12
2001:01
2001:02
2001:03
2001:04
2001:05
2001:06
2001:07
2001:08
2001:09
2001:10
2001:11
2001:12
2002:01
2002:02
2002:03
2002:04
2002:05
2002:06
2002:07
2002:08
2002:09
2002:10
2002:11
2002:12
2003:01
2003:02
2003:03
2003:04
2003:05
ER
8950
8730
8685
8260
8105
6726
6875
7565
8386
6900
7425
7100
7425
7505
7590
7945
8620
8735
9003
8290
8780
9395
9530
9595
9450
9835
10400
11675
11058
11440
9525
8865
9675
10435
10430
10400
10320
10189
9655
9316
8785
8730
9108
8867
9015
9233
8976
8940
8876
8905
8908
8675
8279
CPI
80.28
80.36
81.38
81.24
80.68
80.45
80.18
79.34
78.6
78.06
78.11
78.19
79.55
80.6
80.66
80.29
80.74
81.42
81.82
82.87
83.3
83.22
84.19
85.3
86.93
87.21
87.97
88.76
89.16
90.15
91.6
93.53
92.6
93.19
93.82
95.42
96.95
98.11
98.39
98.18
98.96
99.26
99.96
100.32
100.88
101.36
103.22
104.44
105.37
105.57
105.44
105.66
106.04
M2
596541
602666
603325
613140
628260
615411
627207
636529
652289
628896
639347
646205
650597
653334
656451
665651
683477
684335
689935
685602
686453
707447
720261
742028
738731
755898
766812
792227
788320
796440
771135
774037
783104
808514
821621
844053
838022
837160
831411
828278
833084
838635
852718
856835
859706
863010
870046
883908
873683
881215
877776
882808
893029
IPI
76.93
94.63
107.46
105.35
106.72
104.28
110.66
109.08
112.19
114.02
114.74
109.23
71.08
91.8
98.59
92.93
102.78
102.33
107.3
110.4
109.4
111.12
109.04
93.24
95.6
97.53
102.47
101.62
108.33
109.14
110.53
112.14
109.58
112.87
109.18
82.27
99.66
91.58
101.75
108.76
110.24
109.99
116.81
116.43
114.77
118.46
116.25
87.42
107.27
105.82
114.52
107.8
110.66
SBI SBW
36.43 7.75
37.5 7.75
37.84 7.75
35.19 7.75
28.73 7.75
22.05 7.75
15.01
8
13.2 8.25
13.02 8.25
13.13 8.25
13.1
8.5
12.51 8.5
11.48 8.5
11.13 8.75
11.03
9
11
9
11.08 9.5
11.74 9.5
13.53 9.5
13.53 9.5
13.62 9.5
13.74 9.5
14.15 9.5
14.53 9.5
14.74
9
14.79 8.5
15.82
8
16.09 7.5
16.33
7
16.65 6.75
17.17 6.75
17.67 6.75
17.57
6
17.58 5.5
17.6
5
17.62 4.75
16.93 4.75
16.86 4.75
16.76 4.75
16.6 4.75
15.51 4.75
15.11 4.75
14.93 4.75
14.35 4.75
13.22 4.75
13.1 4.75
13.06 4.25
12.93 4.25
12.69 4.25
12.24 4.25
11.4 4.25
11.06 4.25
10.44 4.25
122
2003:06
2003:07
2003:08
2003:09
2003:10
2003:11
2003:12
2004:01
2004:02
2004:03
2004:04
2004:05
2004:06
2004:07
2004:08
2004:09
2004:10
2004:11
2004:12
2005:01
2005:02
2005:03
2005:04
2005:05
2005:06
2005:07
2005:08
2005:09
2005:10
2005:11
2005:12
2006:01
2006:02
2006:03
2006:04
2006:05
2006:06
2006:07
2006:08
2006:09
2006:10
2006:11
2006:12
8285
8505
8535
8416
8495
8537
8447
8441
8447
8587
8661
9210
9415
9168
9328
9710
9090
9018
9290
9165
9260
9480
9570
9495
9713
9819
10240
10310
10090
10035
9830
9395
9230
9075
8775
9220
9300
9070
9100
9235
9110
9165
9020
106.19
106.23
106.85
107.27
107.93
108.93
109.83
110.45
110.43
110.83
111.91
112.9
113.44
113.88
113.98
114
114.64
115.66
116.86
118.53
118.33
120.59
121
121.25
121.86
122.81
123.48
124.33
135.15
136.92
136.86
138.72
139.53
139.57
139.64
140.16
140.79
141.42
141.88
142.42
143.65
144.14
145.89
894554
901389
905498
911224
926325
944647
955692
947277
935745
935156
930831
952961
976166
975091
980223
986808
995935
1000338
1033527
1015874
1012144
1020693
1044253
1046192
1073746
1088376
1115874
1150451
1165741
1168267
1203215
1190834
1193864
1195067
1198013
1237504
1253757
1248236
1270378
1291396
1325658
1338555
1382073
116.38
120.46
119.59
121.55
121.33
100.4
116.92
115.27
105.63
113.67
110.86
114.12
116.26
122.57
123.66
127.27
131.89
106
120.81
117.58
116.86
121.85
114.75
119.5
119.99
121.58
125.72
125.82
124.75
106.16
111.64
109.89
108.75
110.19
110.37
114.73
119.12
122.03
122.09
127.95
131.69
136.92
137.81
9.53
9.1
8.91
8.66
8.48
8.49
8.31
7.86
7.48
7.42
7.33
7.32
7.34
7.36
7.37
7.39
7.41
7.41
7.43
7.42
7.43
7.44
7.53
7.88
8.09
8.5
8.75
10
12.25
12.75
12.75
12.75
12.75
12.75
12.75
12.5
12.5
12.25
11.75
11.25
10.75
10.25
9.75
4.25
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4.25
4.5
4.75
4.75
5
5.25
5.25
5.5
5.75
5.75
6
6.25
6.25
6.5
6.5
6.75
7
7.25
7.5
7.5
7.5
7.75
7.75
7.75
8.25
8.25
8.25
8.25
8.25
8.25
8.25
123
Lampiran 2. Data Asli yang telah di Logaritma
OBS
1999:01
1999:02
1999:03
1999:04
1999:05
1999:06
1999:07
1999:08
1999:09
1999:10
1999:11
1999:12
2000:01
2000:02
2000:03
2000:04
2000:05
2000:06
2000:07
2000:08
2000:09
2000:10
2000:11
2000:12
2001:01
2001:02
2001:03
2001:04
2001:05
2001:06
2001:07
2001:08
2001:09
2001:10
2001:11
2001:12
2002:01
2002:02
2002:03
2002:04
2002:05
2002:06
2002:07
2002:08
2002:09
2002:10
2002:11
2002:12
LCPI
4.385521
4.386517
4.399130
4.397408
4.390491
4.387636
4.384274
4.373742
4.364372
4.357478
4.358118
4.359142
4.376386
4.389499
4.390243
4.385645
4.391234
4.399621
4.404522
4.417273
4.422449
4.421488
4.433076
4.446174
4.465103
4.468319
4.476996
4.485936
4.490433
4.501475
4.517431
4.538282
4.528289
4.534640
4.541378
4.558288
4.574195
4.586089
4.588939
4.586803
4.594716
4.597743
4.604770
4.608365
4.613932
4.618679
4.636863
4.648613
LER
9.099409
9.074521
9.069353
9.019180
9.000236
8.813736
8.835647
8.931288
9.034319
8.839277
8.912608
8.867850
8.912608
8.923325
8.934587
8.980298
9.061840
9.075093
9.105313
9.022805
9.080232
9.147933
9.162200
9.168997
9.153770
9.193703
9.249561
9.365205
9.310909
9.344871
9.161675
9.089866
9.177301
9.252921
9.252442
9.249561
9.241839
9.229064
9.175231
9.139489
9.080801
9.074521
9.116908
9.090092
9.106645
9.130539
9.102310
9.098291
LIPI
4.342896
4.549975
4.677119
4.657288
4.670209
4.647080
4.706462
4.692082
4.720194
4.736374
4.742669
4.693456
4.263806
4.519612
4.590970
4.531847
4.632591
4.628203
4.675629
4.704110
4.695011
4.710611
4.691715
4.535177
4.560173
4.580160
4.629570
4.621240
4.685182
4.692631
4.705287
4.719748
4.696655
4.726237
4.692998
4.410007
4.601764
4.517213
4.622519
4.689144
4.702660
4.700389
4.760549
4.757290
4.742930
4.774575
4.755743
4.470724
LM2
13.2989
13.3091
13.3102
13.3263
13.3507
13.3300
13.3490
13.3638
13.3882
13.3517
13.3682
13.3789
13.3856
13.3898
13.3946
13.4085
13.4349
13.4362
13.4444
13.4381
13.4393
13.4694
13.4874
13.5171
13.5127
13.5357
13.5500
13.5826
13.5777
13.5879
13.5556
13.5594
13.5710
13.6030
13.6190
13.6460
13.6388
13.6378
13.6309
13.6271
13.6329
13.6395
13.6562
13.6610
13.6643
13.6682
13.6763
13.6921
SBI
36.43
37.50
37.84
35.19
28.73
22.05
15.01
13.20
13.02
13.13
13.10
12.51
11.48
11.13
11.03
11.00
11.08
11.74
13.53
13.53
13.62
13.74
14.15
14.53
14.74
14.79
15.82
16.09
16.33
16.65
17.17
17.67
17.57
17.58
17.60
17.62
16.93
16.86
16.76
16.60
15.51
15.11
14.93
14.35
13.22
13.10
13.06
12.93
SBW
7.75
7.75
7.75
7.75
7.75
7.75
8.00
8.25
8.25
8.25
8.50
8.50
8.50
8.75
9.00
9.00
9.50
9.50
9.50
9.50
9.50
9.50
9.50
9.50
9.00
8.50
8.00
7.50
7.00
6.75
6.75
6.75
6.00
5.50
5.00
4.75
4.75
4.75
4.75
4.75
4.75
4.75
4.75
4.75
4.75
4.75
4.25
4.25
124
2003:01
2003:02
2003:03
2003:04
2003:05
2003:06
2003:07
2003:08
2003:09
2003:10
2003:11
2003:12
2004:01
2004:02
2004:03
2004:04
2004:05
2004:06
2004:07
2004:08
2004:09
2004:10
2004:11
2004:12
2005:01
2005:02
2005:03
2005:04
2005:05
2005:06
2005:07
2005:08
2005:09
2005:10
2005:11
2005:12
2006:01
2006:02
2006:03
2006:04
2006:05
2006:06
2006:07
2006:08
2006:09
2006:10
2006:11
2006:12
4.657478
4.659374
4.658142
4.660226
4.663816
4.665230
4.665607
4.671426
4.675349
4.681483
4.690705
4.698934
4.704563
4.704382
4.707997
4.717695
4.726502
4.731274
4.735145
4.736023
4.736198
4.741797
4.750655
4.760977
4.775166
4.773477
4.792396
4.795791
4.797855
4.802873
4.810638
4.816079
4.822939
4.906385
4.919397
4.918959
4.932458
4.938280
4.938566
4.939068
4.942785
4.947269
4.951734
4.954982
4.958780
4.967380
4.970785
4.982853
9.091106
9.094368
9.094705
9.068201
9.021477
9.022202
9.048410
9.051931
9.037890
9.047233
9.052165
9.041567
9.040856
9.041567
9.058005
9.066585
9.128045
9.150059
9.123474
9.140776
9.180912
9.114930
9.106978
9.136694
9.123147
9.133459
9.156940
9.166388
9.158521
9.181220
9.192075
9.234057
9.240870
9.219300
9.213834
9.193194
9.147933
9.130214
9.113279
9.079662
9.129130
9.137770
9.112728
9.116030
9.130756
9.117128
9.123147
9.107200
4.675349
4.661740
4.740749
4.680278
4.706462
4.756861
4.791318
4.784069
4.800326
4.798514
4.609162
4.761490
4.747277
4.659942
4.733300
4.708268
4.737251
4.755829
4.808682
4.817536
4.846311
4.881968
4.663439
4.794219
4.767119
4.760977
4.802791
4.742756
4.783316
4.787408
4.800572
4.834057
4.834852
4.826312
4.664947
4.715279
4.699480
4.689052
4.702206
4.703838
4.742582
4.780131
4.804267
4.804758
4.851640
4.880451
4.919397
4.925876
13.6805
13.6891
13.6851
13.6909
13.7024
13.7041
13.7117
13.7162
13.7225
13.7390
13.7586
13.7702
13.7613
13.7491
13.7485
13.7438
13.7673
13.7914
13.7903
13.7955
13.8022
13.8114
13.8158
13.8485
13.8313
13.8276
13.8360
13.8588
13.8607
13.8867
13.9002
13.9251
13.9557
13.9689
13.9710
14.0005
13.9902
13.9927
13.9937
13.9962
14.0286
14.0417
14.0372
14.0548
14.0712
14.0974
14.1071
14.1391
12.69
12.24
11.40
11.06
10.44
9.53
9.10
8.91
8.66
8.48
8.49
8.31
7.86
7.48
7.42
7.33
7.32
7.34
7.36
7.37
7.39
7.41
7.41
7.43
7.42
7.43
7.44
7.53
7.88
8.09
8.50
8.75
10.00
12.25
12.75
12.75
12.75
12.75
12.75
12.75
12.50
12.50
12.25
11.75
11.25
10.75
10.25
9.75
4.25
4.25
4.25
4.25
4.25
4.25
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
4.25
4.50
4.75
4.75
5.00
5.25
5.25
5.50
5.75
5.75
6.00
6.25
6.25
6.50
6.50
6.75
7.00
7.25
7.50
7.50
7.50
7.75
7.75
7.75
8.25
8.25
8.25
8.25
8.25
8.25
8.25
125
Lampiran 3. Data First Difference
obs
1999:01
1999:02
1999:03
1999:04
1999:05
1999:06
1999:07
1999:08
1999:09
1999:10
1999:11
1999:12
2000:01
2000:02
2000:03
2000:04
2000:05
2000:06
2000:07
2000:08
2000:09
2000:10
2000:11
2000:12
2001:01
2001:02
2001:03
2001:04
2001:05
2001:06
2001:07
2001:08
2001:09
2001:10
2001:11
2001:12
2002:01
2002:02
2002:03
2002:04
2002:05
2002:06
2002:07
2002:08
2002:09
2002:10
2002:11
2002:12
2003:01
2003:02
2003:03
2003:04
2003:05
DSBW
NA
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.250000
0.250000
0.000000
0.000000
0.250000
0.000000
0.000000
0.250000
0.250000
0.000000
0.500000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
-0.500000
-0.500000
-0.500000
-0.500000
-0.500000
-0.250000
0.000000
0.000000
-0.750000
-0.500000
-0.500000
-0.250000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
-0.500000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
DLIPI
NA
0.207079
0.127144
-0.019831
0.012920
-0.023129
0.059383
-0.014381
0.028112
0.016180
0.006295
-0.049213
-0.429650
0.255806
0.071358
-0.059123
0.100744
-0.004388
0.047426
0.028481
-0.009099
0.015600
-0.018896
-0.156538
0.024996
0.019987
0.049410
-0.008330
0.063942
0.007449
0.012656
0.014461
-0.023093
0.029582
-0.033239
-0.282991
0.191758
-0.084551
0.105306
0.066625
0.013516
-0.002270
0.060159
-0.003258
-0.014360
0.031645
-0.018832
-0.285019
0.204625
-0.013609
0.079010
-0.060472
0.026185
DLCPI
NA
0.000996
0.012613
-0.001722
-0.006917
-0.002855
-0.003362
-0.010532
-0.009371
-0.006894
0.000640
0.001024
0.017244
0.013113
0.000744
-0.004598
0.005589
0.008387
0.004901
0.012751
0.005175
-0.000961
0.011588
0.013098
0.018929
0.003216
0.008677
0.008940
0.004496
0.011042
0.015956
0.020851
-0.009993
0.006351
0.006738
0.016910
0.015907
0.011894
0.002850
-0.002137
0.007913
0.003027
0.007027
0.003595
0.005567
0.004747
0.018184
0.011750
0.008865
0.001896
-0.001232
0.002084
0.003590
DLER
NA
-0.024888
-0.005168
-0.050173
-0.018943
-0.186501
0.021911
0.095641
0.103031
-0.195042
0.073331
-0.044758
0.044758
0.010717
0.011262
0.045711
0.081542
0.013253
0.030220
-0.082508
0.057426
0.067701
0.014267
0.006797
-0.015227
0.039933
0.055858
0.115644
-0.054296
0.033962
-0.183196
-0.071809
0.087434
0.075620
-0.000479
-0.002880
-0.007722
-0.012775
-0.053833
-0.035743
-0.058688
-0.006280
0.042388
-0.026817
0.016553
0.023894
-0.028230
-0.004019
-0.007185
0.003262
0.000337
-0.026504
-0.046723
DLM2
NA
0.010215
0.001093
0.016137
0.024361
-0.020664
0.018986
0.014753
0.024458
-0.036522
0.016481
0.010669
0.006774
0.004198
0.004760
0.013917
0.026427
0.001255
0.008150
-0.006300
0.001240
0.030125
0.017951
0.029773
-0.004453
0.022973
0.014335
0.032606
-0.004944
0.010248
-0.032288
0.003756
0.011646
0.031932
0.016081
0.026936
-0.007171
-0.001029
-0.006891
-0.003775
0.005786
0.006641
0.016653
0.004816
0.003345
0.003836
0.008120
0.015807
-0.011635
0.008584
-0.003910
0.005716
0.011511
DSBI
NA
1.070000
0.340000
-2.650000
-6.460000
-6.680000
-7.040000
-1.810000
-0.180000
0.110000
-0.030000
-0.590000
-1.030000
-0.350000
-0.100000
-0.030000
0.080000
0.660000
1.790000
0.000000
0.090000
0.120000
0.410000
0.380000
0.210000
0.050000
1.030000
0.270000
0.240000
0.320000
0.520000
0.500000
-0.100000
0.010000
0.020000
0.020000
-0.690000
-0.070000
-0.100000
-0.160000
-1.090000
-0.400000
-0.180000
-0.580000
-1.130000
-0.120000
-0.040000
-0.130000
-0.240000
-0.450000
-0.840000
-0.340000
-0.620000
126
2003:06
2003:07
2003:08
2003:09
2003:10
2003:11
2003:12
2004:01
2004:02
2004:03
2004:04
2004:05
2004:06
2004:07
2004:08
2004:09
2004:10
2004:11
2004:12
2005:01
2005:02
2005:03
2005:04
2005:05
2005:06
2005:07
2005:08
2005:09
2005:10
2005:11
2005:12
2006:01
2006:02
2006:03
2006:04
2006:05
2006:06
2006:07
2006:08
2006:09
2006:10
2006:11
2006:12
0.000000
-0.250000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.250000
0.250000
0.250000
0.000000
0.250000
0.250000
0.000000
0.250000
0.250000
0.000000
0.250000
0.250000
0.000000
0.250000
0.000000
0.250000
0.250000
0.250000
0.250000
0.000000
0.000000
0.250000
0.000000
0.000000
0.500000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.050398 0.001414 0.000724 0.001706 -0.910000
0.034457 0.000377 0.026208 0.007612 -0.430000
-0.007249 0.005819 0.003521 0.004548 -0.190000
0.016256 0.003923 -0.014041 0.006304 -0.250000
-0.001812 0.006134 0.009343 0.016436 -0.180000
-0.189352 0.009223 0.004932 0.019586 0.010000
0.152328 0.008228 -0.010598 0.011624 -0.180000
-0.014213 0.005629 -0.000711 -0.008844 -0.450000
-0.087335 -0.000181 0.000711 -0.012249 -0.380000
0.073357 0.003616 0.016438 -0.000630 -0.060000
-0.025031 0.009697 0.008581 -0.004636 -0.090000
0.028982 0.008807 0.061460 0.023496 -0.010000
0.018579 0.004772 0.022014 0.024059 0.020000
0.052853 0.003871 -0.026585 -0.001102 0.020000
0.008854 0.000878 0.017301 0.005249 0.010000
0.028775 0.000175 0.040136 0.006695 0.020000
0.035657 0.005598 -0.065981 0.009207 0.020000
-0.218529 0.008858 -0.007952 0.004411 0.000000
0.130780 0.010322 0.029716 0.032639 0.020000
-0.027100 0.014189 -0.013547 -0.017228 -0.010000
-0.006142 -0.001689 0.010312 -0.003678 0.010000
0.041814 0.018919 0.023480 0.008411 0.010000
-0.060035 0.003394 0.009449 0.022820 0.090000
0.040561 0.002064 -0.007868 0.001855 0.350000
0.004092 0.005018 0.022700 0.025997 0.210000
0.013164 0.007766 0.010854 0.013533 0.410000
0.033485 0.005441 0.041982 0.024951 0.250000
0.000795 0.006860 0.006813 0.030516 1.250000
-0.008541 0.083446 -0.021569 0.013203 2.250000
-0.161364 0.013012 -0.005466 0.002165 0.500000
0.050332 -0.000438 -0.020640 0.029476 0.000000
-0.015800 0.013499 -0.045261 -0.010343 0.000000
-0.010428 0.005822 -0.017719 0.002541 0.000000
0.013154 0.000287 -0.016936 0.001007 0.000000
0.001632 0.000501 -0.033617 0.002462 0.000000
0.038743 0.003717 0.049468 0.032432 -0.250000
0.037550 0.004485 0.008639 0.013048 0.000000
0.024136 0.004465 -0.025042 -0.004413 -0.250000
0.000492 0.003247 0.003302 0.017583 -0.500000
0.046881 0.003799 0.014726 0.016409 -0.500000
0.028811 0.008599 -0.013628 0.026185 -0.500000
0.038946 0.003405 0.006019 0.009682 -0.500000
0.006479 0.012068 -0.015948 0.031994 -0.500000
127
Lampiran 4. Uji Stasioneritas Pada Level
1. Suku bunga Dunia (SBW)
Null Hypothesis: SBW has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.144197
-2.589795
-1.944286
-1.614487
0.6314
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
2. Industrial Index And Production (LIPI)
Null Hypothesis: LIPI has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 11 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
1.767682
-2.592782
-1.944713
-1.614233
0.9808
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
3. Consumer Price Index (LCPI)
Null Hypothesis: LCPI has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
6.027303
-2.589531
-1.944248
-1.614510
1.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
4. Nilai Tukar (LER)
Null Hypothesis: LER has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.011482
-2.589531
-1.944248
-1.614510
0.6764
*MacKinnon (1996) one-sided p-value
5. Permintaan Uang (LM2)
Null Hypothesis: LM2 has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
t-Statistic
Prob.*
6.234378
-2.589531
-1.944248
1.0000
128
10% level
-1.614510
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
Lampiran 4. Lanjutan
6. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
Null Hypothesis: SBI has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-3.122383
-2.589795
-1.944286
-1.614487
0.0021
129
Lampiran 4. Lanjutan
Uji Stasioneritas pada First Difference
1. Sukubunga Dunia (DSBW)
Null Hypothesis: D(SBW) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.154748
-2.589795
-1.944286
-1.614487
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-3.929527
-2.593121
-1.944762
-1.614204
0.0001
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
2. Industrial Index and Production (DLIPI)
Null Hypothesis: D(LIPI) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 11 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
3. Consumer Price Index (DLCPI)
Null Hypothesis: D(LCPI) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.253612
-2.589795
-1.944286
-1.614487
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
4. Nilai Tukar (DLER)
Null Hypothesis: D(LER) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-10.08014
-2.589795
-1.944286
-1.614487
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
5. Permintaan Uang (DLM2)
Null Hypothesis: D(LM2) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-4.134600
-2.590065
-1.944324
-1.614464
0.0001
130
Lampiran 4. Lanjutan
6. Sertifikat Bank Indonesia (DSBI)
Null Hypothesis: D(SBI) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-3.390187
-2.589795
-1.944286
-1.614487
0.0009
131
Lampiran 5. Hasil VAR Pada Tingkat Lag Optimal
Vector Autoregression Estimates
Date: 05/29/07 Time: 23:50
Sample(adjusted): 1999:03 2006:12
Included observations: 94 after adjusting endpoints
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
DSBW
DLIPI
DLCPI
DLER
DLM2
DSBI
DSBW(-1)
0.545840
(0.08885)
[ 6.14322]
0.050695 -0.001676 -0.010910 -0.007459
(0.04149) (0.00443) (0.02488) (0.00675)
[ 1.22200] [-0.37815] [-0.43843] [-1.10472]
0.357881
(0.38512)
[ 0.92927]
DLIPI(-1)
-0.096008 -0.357522 -0.009657 -0.028226 -0.008746
(0.20682) (0.09657) (0.01032) (0.05792) (0.01572)
[-0.46420] [-3.70234] [-0.93583] [-0.48731] [-0.55652]
-0.117449
(0.89645)
[-0.13102]
DLCPI(-1)
0.634547 -1.580475 -0.017083 -0.060166 -0.105350
(2.09858) (0.97983) (0.10471) (0.58771) (0.15947)
[ 0.30237] [-1.61301] [-0.16315] [-0.10237] [-0.66063]
-5.087342
(9.09602)
[-0.55929]
DLER(-1)
-0.266702
(0.52408)
[-0.50890]
0.351962 -0.067082 0.075378
(0.24469) (0.02615) (0.14677)
[ 1.43838] [-2.56535] [ 0.51358]
0.011404
(0.03982)
[ 0.28635]
6.405843
(2.27154)
[ 2.82004]
DLM2(-1)
0.344375 -1.103764
(1.89730) (0.88585)
[ 0.18151] [-1.24599]
0.301035 -0.742479 -0.094746
(0.09467) (0.53134) (0.14417)
[ 3.17990] [-1.39737] [-0.65717]
-8.875733
(8.22358)
[-1.07930]
DSBI(-1)
-0.016681
(0.01655)
[-1.00789]
0.000918
(0.00773)
[ 0.11878]
0.003219 0.000690
(0.00083) (0.00463)
[ 3.89866] [ 0.14896]
0.000477
(0.00126)
[ 0.37892]
0.745796
(0.07173)
[ 10.3966]
C
-0.008486
(0.02859)
[-0.29685]
0.025419
(0.01335)
[ 1.90454]
0.004844 0.007510
(0.00143) (0.00801)
[ 3.39611] [ 0.93817]
0.010523
(0.00217)
[ 4.84455]
0.017685
(0.12390)
[ 0.14274]
0.324374 0.175818 0.236682 0.029288 0.028603
0.277779 0.118978 0.184039 -0.037658 -0.038390
3.038521 0.662390 0.007565 0.238307 0.017546
0.186884 0.087256 0.009325 0.052337 0.014201
6.961569 3.093196 4.496009 0.437484 0.426952
27.92020 99.51398 309.7145 147.5619 270.1736
-0.445111 -1.968382 -6.440735 -2.990679 -5.599438
-0.255716 -1.778988 -6.251340 -2.801285 -5.410044
0.005319 0.003999 0.006344 0.000348 0.008830
0.219906 0.092962 0.010323 0.051378 0.013936
0.644957
0.620472
57.08379
0.810022
26.34018
-109.9378
2.488039
2.677433
-0.295213
1.314846
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
Determinant Residual
Covariance
Log Likelihood (d.f. adjusted)
Akaike Information Criteria
Schwarz Criteria
3.48E-15
764.4187
-15.37061
-14.23424
132
Lampiran 5. Lanjutan
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
Exogenous variables: C
Date: 05/29/07 Time: 23:52
Sample: 1999:01 2006:12
Included observations: 88
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
4
5
6
7
738.6510
799.1764
825.8144
860.1311
889.2988
917.1936
965.6559
993.5264
NA
111.4218
45.40553
53.81492
41.76277
36.13645
56.17230*
28.50388
2.36E-15
1.36E-15*
1.70E-15
1.81E-15
2.24E-15
2.95E-15
2.57E-15
3.83E-15
-16.65116
-17.20856*
-16.99578
-16.95753
-16.80224
-16.61804
-16.90127
-16.71651
-16.48225*
-16.02619
-14.79996
-13.74825
-12.57951
-11.38185
-10.65163
-9.453408
-16.58311
-16.73221*
-16.11114
-15.66459
-15.10101
-14.50851
-14.38345
-13.79039
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
Note: Untuk mengetahui jumlah lag optimal yang akan digunakan dalam variabel
yang akan dianalisis. Jumlah lagnya yang optimal dalam penelitian ini didasarkan
pada nilai akaike information criteria (AIC) yang terkecil atau minimum yaitu
di lag 1.
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 1
Date: 05/29/07 Time: 23:44
Root
0.693249
0.565470
-0.383370
0.058882 - 0.179546i
0.058882 + 0.179546i
-0.095451
No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
Modulus
0.693249
0.565470
0.383370
0.188955
0.188955
0.095451
133
Lampiran 5. Lanjutan
Inverse Roots of AR Characteristic Polynomial
1.5
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
-1.5
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
Var Estimasi
Estimation Proc:
===============================
LS 1 1 DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI @ C
VAR Model:
===============================
DSBW = C(1,1)*DSBW(-1) + C(1,2)*DLIPI(-1) + C(1,3)*DLCPI(-1) + C(1,4)*DLER(-1) +
C(1,5)*DLM2(-1) + C(1,6)*DSBI(-1) + C(1,7)
DLIPI = C(2,1)*DSBW(-1) + C(2,2)*DLIPI(-1) + C(2,3)*DLCPI(-1) + C(2,4)*DLER(-1) +
C(2,5)*DLM2(-1) + C(2,6)*DSBI(-1) + C(2,7)
DLCPI = C(3,1)*DSBW(-1) + C(3,2)*DLIPI(-1) + C(3,3)*DLCPI(-1) + C(3,4)*DLER(-1) +
C(3,5)*DLM2(-1) + C(3,6)*DSBI(-1) + C(3,7)
DLER = C(4,1)*DSBW(-1) + C(4,2)*DLIPI(-1) + C(4,3)*DLCPI(-1) + C(4,4)*DLER(-1) +
C(4,5)*DLM2(-1) + C(4,6)*DSBI(-1) + C(4,7)
DLM2 = C(5,1)*DSBW(-1) + C(5,2)*DLIPI(-1) + C(5,3)*DLCPI(-1) + C(5,4)*DLER(-1) +
C(5,5)*DLM2(-1) + C(5,6)*DSBI(-1) + C(5,7)
DSBI = C(6,1)*DSBW(-1) + C(6,2)*DLIPI(-1) + C(6,3)*DLCPI(-1) + C(6,4)*DLER(-1) +
C(6,5)*DLM2(-1) + C(6,6)*DSBI(-1) + C(6,7)
VAR Model - Substituted Coefficients:
===============================
DSBW = 0.5458404389*DSBW(-1) - 0.0960078236*DLIPI(-1) + 0.6345469242*DLCPI(-1)
- 0.266702008*DLER(-1) + 0.3443751545*DLM2(-1) - 0.01668083278*DSBI(-1) 0.008485594345
DLIPI = 0.05069504303*DSBW(-1) - 0.3575220271*DLIPI(-1) - 1.580474719*DLCPI(-1)
+ 0.3519618322*DLER(-1) - 1.103764184*DLM2(-1) + 0.0009178608073*DSBI(-1) +
0.02541910633
DLCPI = - 0.001676490641*DSBW(-1) - 0.00965747398*DLIPI(-1) 0.01708330569*DLCPI(-1) - 0.06708248089*DLER(-1) + 0.3010345905*DLM2(-1) +
0.003219482276*DSBI(-1) + 0.004843865311
DLER = - 0.01090951011*DSBW(-1) - 0.02822582572*DLIPI(-1) 0.06016645022*DLCPI(-1) + 0.075377901*DLER(-1) - 0.7424785323*DLM2(-1) +
0.0006904155729*DSBI(-1) + 0.007510368132
134
DLM2 = - 0.007458855833*DSBW(-1) - 0.008746425336*DLIPI(-1) 0.1053503952*DLCPI(-1) + 0.01140379705*DLER(-1) - 0.09474645256*DLM2(-1) +
0.000476546484*DSBI(-1) + 0.01052324946
DSBI = 0.3578805509*DSBW(-1) - 0.1174492431*DLIPI(-1) - 5.087342336*DLCPI(-1) +
6.405843103*DLER(-1) - 8.875732643*DLM2(-1) + 0.7457956794*DSBI(-1) +
0.01768538566
135
Lampiran 6 . Analisis Impulse Response Function (IRF)
Estimasi SVAR
Structural VAR Estimates
Date: 05/31/07 Time: 10:59
Sample(adjusted): 1999:03 2006:12
Included observations: 94 after adjusting endpoints
Estimation method: method of scoring (analytic derivatives)
Convergence achieved after 10 iterations
Structural VAR is just-identified
Model: Ae = Bu where E[uu']=I
Restriction Type: short-run text form
@e1 = C(1)*@u1
@e2 = C(2)*@e1 + C(3)*@u2
@e3 = C(4)*@e1 + C(5)*@e2 + C(6)*@u3
@e4 = C(7)*@e1 + C(8)*@e2 + C(9)*@e3 + C(10)*@u4
@e5 = C(11)*@e1 + C(12)*@e2 + C(13)*@e3 + C(14)*@e4 + C(15)*@u5
@e6 = C(16)*@e1 + C(17)*@e2 + C(18)*@e3 + C(19)*@e4 + C(20)*@e5 +
C(21)*@u6
where
@e1 represents DSBW residuals
@e2 represents DLIPI residuals
@e3 represents DLCPI residuals
@e4 represents DLER residuals
@e5 represents DLM2 residuals
@e6 represents DSBI residuals
C(2)
C(4)
C(5)
C(7)
C(8)
C(9)
C(11)
C(12)
C(13)
C(14)
C(16)
C(17)
C(18)
C(19)
C(20)
C(1)
C(3)
C(6)
C(10)
C(15)
C(21)
Log likelihood
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
0.004589
0.004627
-0.011979
-0.022024
-0.028763
-0.526179
0.006153
-0.017518
0.062410
0.174309
0.413279
-0.250155
26.17507
8.630346
-19.54840
0.186884
0.087252
0.009227
0.051872
0.010768
0.702084
0.048155
0.005092
0.010907
0.028755
0.061711
0.579866
0.005988
0.012825
0.120900
0.021411
0.392599
0.844475
7.893956
1.822906
6.724936
0.013630
0.006364
0.000673
0.003783
0.000785
0.051205
0.095298
0.908549
-1.098279
-0.765927
-0.466097
-0.907414
1.027552
-1.365921
0.516207
8.140994
1.052673
-0.296226
3.315837
4.734388
-2.906853
13.71131
13.71131
13.71131
13.71131
13.71131
13.71131
0.9241
0.3636
0.2721
0.4437
0.6411
0.3642
0.3042
0.1720
0.6057
0.0000
0.2925
0.7671
0.0009
0.0000
0.0037
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
764.4187
Estimated A matrix:
1.000000
0.000000
-0.004589
1.000000
-0.004627
0.011979
0.022024
0.028763
-0.006153
0.017518
-0.413279
0.250155
Estimated B matrix:
0.186884
0.000000
0.000000
0.087252
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000 0.000000
0.000000 0.000000
1.000000 0.000000
0.526179 1.000000
-0.062410 -0.174309
-26.17507 -8.630346
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
19.54840
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.009227
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.010768
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.702084
0.000000
0.000000
0.000000
0.051872
0.000000
0.000000
136
Lampiran 6. Lanjutan
Effect of cholesky (d.f. adjust) one S.D. DLER innovation
Period
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
DSBW
0.000000
-0.015240
-0.015988
-0.012563
-0.009717
-0.007287
-0.005392
-0.003920
-0.002824
-0.002016
-0.001432
-0.001011
DLIPI
0.000000
0.008526
-0.004355
-0.001596
-0.001678
-0.000963
-0.000795
-0.000536
-0.000396
-0.000275
-0.000196
-0.000137
DLCPI
0.000000
0.000114
0.001538
0.001119
0.000751
0.000534
0.000377
0.000267
0.000187
0.000131
9.17E-05
6.41E-05
DLER
0.051872
-0.002616
0.000136
0.000265
0.000194
0.000166
0.000106
8.00E-05
5.51E-05
3.96E-05
2.76E-05
1.95E-05
DLM2
0.009042
-0.000136
0.000226
0.000126
8.64E-05
7.63E-05
5.34E-05
4.02E-05
2.86E-05
2.06E-05
1.46E-05
1.04E-05
DSBI
0.270919
0.454081
0.316062
0.221546
0.155805
0.109575
0.076895
0.053799
0.037581
0.026212
0.018262
0.012711
Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
Effect of cholesky (d.f. adjust) one S.D. DLCPI innovation
Period
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
DSBW
0.000000
0.003639
0.002533
-0.000301
-0.000732
-0.000965
-0.000851
-0.000723
-0.000566
-0.000433
-0.000321
-0.000235
DLIPI
0.000000
-0.015804
0.005520
-0.001821
0.000503
-0.000457
-4.19E-05
-0.000153
-6.99E-05
-6.89E-05
-4.37E-05
-3.40E-05
DLCPI
0.009227
0.000746
0.000149
0.000112
0.000174
0.000114
8.93E-05
6.21E-05
4.57E-05
3.22E-05
2.30E-05
1.62E-05
DLER
-0.004855
-0.000579
0.001042
-0.000182
0.000111
-8.15E-06
3.56E-05
1.19E-05
1.45E-05
8.44E-06
6.92E-06
4.64E-06
DLM2
-0.000270
-0.000904
0.000148
-5.58E-05
3.37E-05
-1.81E-06
1.19E-05
5.56E-06
6.18E-06
4.11E-06
3.32E-06
2.35E-06
Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
DSBI
0.204892
0.077170
0.061232
0.050528
0.036553
0.026463
0.018829
0.013411
0.009472
0.006676
0.004686
0.003282
137
Lampiran 7. Forecast Error Decomposition Variance
Variance Decomposition of DLER
Period
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
S.E.
0.186884
0.214560
0.222854
0.225536
0.226511
0.226925
0.227123
0.227223
0.227276
0.227304
0.227318
0.227326
0.227329
0.227331
0.227332
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
DSBW
0.769217
1.007551
1.009851
1.010226
1.010517
1.010496
1.010485
1.010493
1.010504
1.010515
1.010522
1.010526
1.010529
1.010530
1.010531
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
1.010532
DLIPI
0.140204
0.181384
0.236213
0.248476
0.250157
0.250395
0.250424
0.250430
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
0.250429
DLCPI
0.860455
0.847226
0.884866
0.885842
0.886218
0.886195
0.886228
0.886227
0.886231
0.886232
0.886233
0.886233
0.886233
0.886233
0.886233
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
0.886234
DLER
98.23012
95.60688
95.51309
95.49485
95.49005
95.48820
95.48735
95.48692
95.48669
95.48657
95.48651
95.48648
95.48646
95.48646
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
95.48645
DLM2
0.000000
2.348628
2.347125
2.346624
2.347339
2.347758
2.347990
2.348093
2.348146
2.348172
2.348185
2.348191
2.348194
2.348195
2.348196
2.348196
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
2.348197
Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
DSBI
0.000000
0.008328
0.008857
0.013987
0.015717
0.016955
0.017522
0.017842
0.018000
0.018081
0.018122
0.018142
0.018152
0.018156
0.018159
0.018160
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
0.018161
138
Lampiran 7. Lanjutan
Variance Decomposition of DLCPI
Period
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
S.E.
0.186884
0.214560
0.222854
0.225536
0.226511
0.226925
0.227123
0.227223
0.227276
0.227304
0.227318
0.227326
0.227329
0.227331
0.227332
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
0.227333
DSBW
0.839518
0.786837
0.827867
0.802633
0.803427
0.822984
0.842646
0.857421
0.866947
0.872619
0.875809
0.877537
0.878449
0.878920
0.879159
0.879280
0.879340
0.879369
0.879384
0.879391
0.879395
0.879396
0.879397
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
0.879398
DLIPI
1.256315
2.927524
2.794332
2.710260
2.668462
2.648343
2.637662
2.632368
2.629667
2.628330
2.627664
2.627335
2.627174
2.627095
2.627057
2.627038
2.627029
2.627024
2.627022
2.627021
2.627021
2.627021
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
2.627020
DLCPI
97.90417
84.72166
80.15686
77.54545
76.36319
75.76719
75.46496
75.31032
75.23241
75.19331
75.17386
75.16423
75.15949
75.15717
75.15604
75.15548
75.15521
75.15508
75.15502
75.15499
75.15498
75.15497
75.15497
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
75.15496
DLER
0.000000
0.012941
2.223666
3.284077
3.734821
3.957285
4.066181
4.120159
4.146514
4.159410
4.165684
4.168734
4.170212
4.170928
4.171274
4.171441
4.171522
4.171561
4.171579
4.171588
4.171593
4.171595
4.171596
4.171596
4.171596
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
4.171597
DLM2
0.000000
6.499345
6.423964
6.913867
7.122279
7.205738
7.245488
7.264455
7.273570
7.277905
7.279976
7.280964
7.281437
7.281663
7.281771
7.281822
7.281847
7.281859
7.281865
7.281867
7.281869
7.281869
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
7.281870
Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
DSBI
0.000000
5.051691
7.573307
8.743711
9.307817
9.598456
9.743063
9.815279
9.850891
9.868427
9.877009
9.881198
9.883236
9.884225
9.884704
9.884936
9.885048
9.885102
9.885128
9.885141
9.885147
9.885150
9.885151
9.885152
9.885152
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
9.885153
139
Lampiran 8. Granger Causality Test
Pairwise Granger Causality Test
Sample: 1999:01 2006:12
Lags: 1
Null Hypothesis:
DLIPI does not Granger Cause DSBW
DSBW does not Granger Cause DLIPI
Obs
94
F-Statistic
0.30811
1.10658
Probability
0.58020
0.29561
DLCPI does not Granger Cause DSBW
DSBW does not Granger Cause DLCPI
94
0.00169
0.30681
0.96733
0.58100
DLER does not Granger Cause DSBW
DSBW does not Granger Cause DLER
94
0.62621
0.25679
0.43081
0.61356
DLM2 does not Granger Cause DSBW
DSBW does not Granger Cause DLM2
94
0.04762
1.50322
0.82775
0.22334
DSBI does not Granger Cause DSBW
DSBW does not Granger Cause DSBI
94
1.34678
0.37368
0.24888
0.54253
DLCPI does not Granger Cause DLIPI
DLIPI does not Granger Cause DLCPI
94
3.56852
0.79454
0.06207
0.37508
DLER does not Granger Cause DLIPI
DLIPI does not Granger Cause DLER
94
0.99791
0.12590
0.32047
0.72354
DLM2 does not Granger Cause DLIPI
DLIPI does not Granger Cause DLM2
94
0.12756
0.26262
0.72180
0.60957
DSBI does not Granger Cause DLIPI
DLIPI does not Granger Cause DSBI
94
0.09375
0.00149
0.76016
0.96928
DLER does not Granger Cause DLCPI
DLCPI does not Granger Cause DLER
94
0.08533
0.00807
0.77086
0.92861
DLM2 does not Granger Cause DLCPI
DLCPI does not Granger Cause DLM2
94
4.38839
0.32326
0.03896
0.57105
DSBI does not Granger Cause DLCPI
DLCPI does not Granger Cause DSBI
94
10.4872
1.39924
0.00168
0.23993
DLM2 does not Granger Cause DLER
DLER does not Granger Cause DLM2
94
2.05679
0.31329
0.15496
0.57704
DSBI does not Granger Cause DLER
DLER does not Granger Cause DSBI
94
0.08558
8.74505
0.77054
0.00395
DSBI does not Granger Cause DLM2
DLM2 does not Granger Cause DSBI
94
0.07619
1.07056
0.78316
0.30356
Keterangan :
Hipotesis nol pada kedua baris tidak memiliki pengaruh antar variabel, maka
gunakan Probability value < alpha (10%) = gunakan restriksi terketat 10% untuk
menolak hipotesis nol sehingga memiliki hubungan kausalitas searah antar
variabel. dimana pergerakan variabel satu secara signifikan memiliki pengaruh
pada pergerakan variabel lain
Download