1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sebagai

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Sebagai sebuah ilmu, geografi mempelajari interaksi dari beberapa fenomena geosfer
di alam ini. Hasil interaksi dari fenomena geosfer yang meliputi atmosfer, litosfer, hidrosfer,
dan biosfer secara kontinyu menghasilkan variasi bentanglahan. Variasi bentanglahan ini
telah lama dipelajari dan digunakan oleh para ahli - ahli geografi untuk mengungkap kejadian
- kejadian alam. Studi ekologi bentanglahan mencakup studi tentang fenomena dan proses
dalam suatu bentanglahan dalam ruang dan waktu yang mencakup komunitas tumbuhan,
hewan, dan manusia. Persepsi tentang bentanglahan mempunyai arti yang berbeda
tergantung pada latar belakang dan sudut pandang ketertarikan keahlian seseorang.
Keberadaan bentanglahan akan berbeda dari satu wilayah terhadap wilayah lainnya dan hal
ini akan mempengaruhi potensi sumberdaya dan lingkungan tempat kejadiannya.
Iklim merupakan faktor utama yang dinamis dan berpengaruh pada sumberdaya alam
dan lingkungan. Faktor iklim dalam kaitannya dengan bentanglahan dikaji secara bersama
disebut dengan landscape climatology. Faktor iklim dapat dikaji lebih rinci mengenai unsur unsurnya, yaitu temperatur, hujan, evapotranspirasi, kelembaban, dan angin. Dalam kaitannya
dengan masyarakat vegetasi, iklim sangat berperan dalam penelitian bioklimatologi
(Worosuprojo, 2004). Selanjutnya masalah perubahan iklim sangat erat kaitannya dengan
keberadaan air yang banyak dipelajari oleh ahli - ahli hidrologi.
Hidrologi merupakan ilmu dasar yang mempelajari masalah air di muka bumi ini.
Hubungan antara hujan (faktor iklim) dengan batuan atau tanah dan tumbuhan sebagai media
kelolosan air hujan yang jatuh dalam suatu sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) telah lama
menjadi topik yang menarik untuk dikaji dalam hidrologi. Pada umumnya hujan yang jatuh di
atas permukaan tanah akan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu sebagian menjadi limpasan
permukaan (surface runoff) dan dan sebagian lagi menjadi airtanah (ground water).
Sebagaimana diketahui bahwa hidrologi adalah ilmu pengetahuan alam yang mempelajari
keberadaan, persebaran, gerak dan dan sifat air di bumi serta hubungannya dengan
lingkungan (Viessman et al, 1989). Hubungan antara hujan dengan fenomena keberadaan air
permukaan dan air tanah ini dapat dilihat pada Gambar.1 (Siklus Hidrologi).
1
Sumber: www. youtube.com, 2015
Gambar 1.1. Siklus Hidrologi
Dari siklus hidrologi ini permasalahan keberadaan air di muka bumi terbagi menjadi
dua hal yang pokok yaitu kelebihan dan kekurangan air. Daerah Aliran Sungai (DAS)
merupakan wilayah tangkapan air yang sering digunakan untuk melihat problematika
(permasalahan) pemanfaatan air, baik air permukaan maupun air tanah. Permasalahan air
yang sering dihadapi oleh wilayah dalam suatu DAS adalah masalah kelebihan air (banjir)
dan masalah kekurangan air (kekeringan). Kedua masalah tersebut terjadi akibat dari suatu
kejadian yang berurutan yaitu pada musim hujan fenomena yang dijumpai adalah banjir,
seperti banjir besar yang melanda beberapa wilayah di tanah air beberapa waktu yang lalu
(misal, banjir besar di Jakarta, 2 Februari 2007 dan 15 Januari 2013) sedang pada musim
kemarau fenomena yang sering dijumpai adalah kekeringan. Kronologi kejadian banjir dan
kekeringan yang terjadi di suatu daerah sebenarnya tidak sesederhana demikian, karena
disamping iklim yang sudah menjadi input alami, namun terdapat input manajemen dan
teknologi yang diintroduksikan sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.
Berbicara mengenai keseimbangan ekosistem Farina (1998) mengemukakan
pendapatnya tentang dinamika ekologi bentanglahan. Dinamika ekologi bentang lahan sangat
dipengaruhi oleh interaksi antara aktivitas manusia dengan alam, yang meliputi intensifikasi
pertanian, penggundulan hutan, perikanan, peternakan, pertambangan, pembangunan
2
perumahan dan industri. Adanya berbagai aktivitas tersebut menyebabkan pemercepatan
proses ekologi bentanglahan yang dapat berupa stres ekologi (ecological stress), bahaya
ekologi (ecological hazard), dan bencana kerusakan lingkungan (ecological disaster). Dalam
hal ini dinamika ekologi bentanglahan sangat tergantung pada beberapa faktor, yaitu (1)
frekuensi gangguan; (2) tingkat pemulihan: (3) ukuran dan agihan keruangan kejadian
gangguan, dan (4) ukuran dan agihan bentanglahan.
Jenis gangguan dalam keseimbangan suatu ekosistem dapat bermacam-macam
bentuknya. Dalam masalah perubahan iklim dikenal adanya anomali cuaca yang diakibatkan
oleh pemanasan suhu muka air laut. El Nino merupakan istilah bagi gejala memanasnya suhu
muka laut di bagian barat ekuator Lautan Pasifik yang berakibat berkurangnya jumlah hujan
di wilayah Indonesia. Fenomena kejadian El Nino ini dikenal dengan El Nino Southern
Oscilation (ENSO). Pengaruh dari adanya nilai anomali ENSO ini bagi daratan di Indonesia
adalah masalah kekeringan. Besaran nilai ENSO ini dapat dibaca dari nilai SOI (Southern
Oscilation Index). Pada gambar berikut di bawah ini dapat dilihat nilai SOI untuk wilayah
Indonesia antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2007, dimana antara tahun 2001 – 2005
dan tahun 2007 nilai SOI cenderung negatif. Kecenderungan dari adanya nilai SOI yang
negatif tersebut yang mengakibatkan sebagian besar wilayah Indonesia mengalami defisit
hujan yang berakibat terjadinya kekeringan.
Kekeringan merupakan gambaran normal tentang iklim dan kejadiannya tidak dapat
dihindari, serta wataknya masih membingungkan para pakar dan pembuat keputusan
(decision maker). Hal itu dibuktikan dengan kenyataaan bahwa kebanyakan negara di dunia
hampir tidak ada kemajuan dalam mengelola masalah kekeringan. Sebenarnya adanya
kekeringan sulit diketahui jika tidak melihat proses secara utuh (Wisnubroto,2002).
Secara hirarki kekeringan dimulai dengan berkurangnya jumlah curah hujan
(kekeringan meteorologi) yang jatuh pada permukaan lahan (kekeringan hidrologi,
kekeringan lahan) yang selanjutnya akan mempengaruhi ketersediaan lengas tanah
(kekeringan pertanian).
Kekeringan selain disebabkan faktor alamiah (hujan, dan kondisi alami lahan) juga
diakibatkan oleh adanya perubahan penggunaan lahan dan pemanfaatan teknologi yang
kurang tepat. Kerusakan lingkungan (kekeringan) yang diakibatkan oleh kedua hal tersebut
dikarenakan adanya upaya menaikkan daya dukung lingkungan dengan menaikkan luas lahan
yang digunakan untuk pembukaan lahan pertanian yang merupakan reaksi terhadap kenaikan
kepadatan penduduk yang sangat umum terjadi. Reaksi ini merupakan kekuatan yang disebut
dengan tekanan penduduk. Usaha ini dapat dilakukan orang per orang atau pemerintah,
3
seperti misalnya transmigrasi. Selanjutnya dikatakan bahwa perluasan yang dilakukan secara
orang per orang umumnya dilakukan di daerah
yang dekat dengan permukimannya.
Perluasan ini pada mulanya dilakukan pada lahan yang sesuai dengan pertanian, yaitu lahan
yang datar atau berlereng landai dan subur. Hutan di dataran rendah Jawa dan Bali, misalnya
telah lama hilang dan telah berubah menjadi daerah pertanian. Lama kelamaan terambil juga
lahan yang kurang sesuai, tidak subur dan daerah yang lerengnya curam (Sumarwoto, 2004).
Sumber: http://www.bom.gov.au/climate/current/soi2.shtml.
Gambar 1.2. Southern Oscillation Index (SOI) Indonesia Tahun 2000 – 2007
Chow, 1964, mendefinisikan kekeringan sebagai berkurangnya curah hujan yang
cukup besar dan berlangsung lama yang dapat mempengaruhi kehidupan tanaman dan hewan
pada suatu daerah dan akan menyebabkan berkurangnya cadangan air untuk keperluan hidup
sehari-hari maupun untuk kebutuhan tanaman. Konotasi kekeringan untuk suatu daerah
dengan daerah di muka bumi ini akan berbeda. Di Bali, selama periode 6 hari tanpa hujan
adalah kering; di Libya, kekeringan dikenal hanya setelah 2 tahun tanpa hujan; di Mesir,
apabila dalam beberapa Sungai Nil tahun tidak mengalami banjir, dan tidak ada hujan, berati
telah terjadi kekeringan. Selanjutnya Wisnusubroto, 2002 mendefinisikan pengertian
kekeringan adalah peristiwa terjadinya kesenjangan antara ketersedian air dan kebutuhannya
di masing-masing wilayah dan tiap-tiap penggunaan.
Gonzales, et.al, 2003 mendefinisikan bahwa pada dasarnya kerentanan kekeringan di
suatu daerah meliput tiga hal yaitu: (1) kerentanan kekeringan secara meterologis
(meterological drought); (2) kerentanan kekeringan hidrologis (hydrological drought) dalam
kaitannya dengan ketersediaan air tanah permukaan (surface water) dan airtanah dalam
4
(ground water); dan (3) kerentanan kekeringan pertanian (agriculture drought). Di sebagian
besar wilayah Indonesia kekeringan meteorologi (meterological drought) ditandai dengan
menurunnya jumlah curah hujan pada bulan Maret hingga Oktober. Selanjutnya kekeringan
ini berkembang menjadi kekeringan hidrologis (hydrological drought) yang ditandai dengan
menurunnya debit sungai, menurunnya permukaan air danau, waduk, telaga dan bahkan
mengeringnya sejumlah mataair. Bila musim kemarau berlangsung lebih lama maka akan
mengganggu kegiatan pertanian yang ditunjukkan oleh adanya penurunan lengas tanah (soil
moisture) dan rekahan-rekahan tanah yang menyebabkan kekeringan pertanian (agriculture
drought).
Untuk mengukur besarnya kekeringan di suatu daerah, Thornthwaite dalam ILACO
B.V., 1981, merumuskan kekeringan sebagai indeks kekeringan yang diperhitungkan
berdasarkan besarnya curah hujan tahunan dengan besarnya evapotranspirasi potensial
tahunan (kekeringan meteorologi). Kekeringan meteorologi berkaitan dengan besarnya curah hujan yang
terjadi pada keadaan normal dalam satu musim.
Kekeringan meteorologi merupakan tanda awal
terjadinya kekeringan sehingga perlu dilakukan analisis sebelum tingkat kekeringan yang
semakin parah. Salah satu metode untuk melakukan analisis tersebut adalah dengan
menggunakan metode SPI (Standardized Precipitation Index). Metode SPI digunakan dalam
penelitian ini untuk menghitung defisit curah hujan pada suatu wilayah berdasarkan konsisi
normal yang seharusnya.
Kulapramote, P.et.al. 2001 dalam penelitiannya menggunakan 2 macam pendekatan
untuk mengukur kekeringan menjadi yaitu (1) secara meteorologi yang berupa rerata hujan
tahunan (annual rainfall average), frekuensi hujan harian (frequency of rainfall days), dan
jumlah evaporasi tahunan (annual evaporation), dan (2) secara hidrologis berupa potensi
airtanah yang terdiri dari debit airtanah per jam (ground water resource), panjang jalur irigasi
(irrigation area), topografi (topography), dan drainase tanah (soil drainage). Untuk
memperkuat hasil penelitiannya Kulapramote, P.et.al. 2001 menggunakan data kerapatan
vegetasi (NDVI = Normalized Difference Vegetation Index) dalam menyusun zonasi tingkat
kerentanan kekeringan di daerah penelitiaannya.
Pada umumnya kekeringan dapat terjadi akibat faktor meteorologi maupun faktor
lahan. Kekeringan meteorologi lebih sering terjadi dibanding dengan kekeringan lahan.
Penelitian mengenai kekeringan lahan terhitung masih sedikit di Indonesia. Berangkat dari
hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan mengaji kekeringan berdasarkan aspek lahan.
Kekeringan lahan terjadi akibat pengaruh faktor - faktor fisik seperti topografi dan batuan
yang tidak menyerap air (Suyono, 2007). Pendekatan lahan yang digunakan dalam penelitian
5
ini dengan mencermati faktor kemiringan lereng, bentuklahan, geologi (batuan), jenis tanah,
hidrologi, dan vegetasi penutup.
Kekeringan telah sering terjadi di daerah yang berhulu hutan seperti di Kabupaten
Kebumen, Cilacap, dan Purworejo. Pengunahan lahan di daerah hulu wilayah tersebut
umumnya merupakan hutan tanaman pinus. Pada awalnya bagian hulu daerah tersebut
sebelumnya merupakan hutan jati dan hutan campuran, namun setelah diganti dengan
tanaman pinus maka timbul kekurangan air di bagian hilir. Perubahan pola tanaman ini
diakibatkan oleh dearah tersebut mempunyai iklim kering dengan curah hujan kurang dari
2000 mm/tahun dan ditanami dengan tanaman yang mempunyai tingkat kebutuhan air
(evapotranspirasi) yang tinggi, sehingga air yang tersisa menjadi berkurang. Akibatnya
masyarakat di bagian hilir kekurangan air terutama pada waktu musim kemarau.
Sebagian besar wilayah di Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta
merupakan daerah yang rentan terhadap kekeringan dan permasalah kekeringan di wilayah
tersebut berbeda satu dengan lainnya. Sebagai contoh kekeringan di wilayah kabupaten
Gunung Kidul diakibatkan oleh kondisi dari batuan atau tanah yang materinya sebagian
besar berasal dari batuan gamping yang kedap air, kekeringan di wilayah kabupaten Boyolali
diakibatkan oleh adanya daerah bayangan hujan (timur laut G. Merapi), sedangkan
kekeringan di beberapa kabupaten di wilayah pesisir utara Propinsi Jawa Tengah diakibatkan
oleh berkurangnya cadangan lengas tanah pada musim kemarau (kekeringan pertanian).
Perkembangan teknik pengolahan citra satelit terutama teknik penyadapan informasi
saat ini sangat maju, terutama didukung dengan kemajuan teknologi komputer. Perubahan
tingkat kehijauan vegetasi dan kondisi kelengasan tanah yang bervariasi akan mengakibatkan
terjadinya respon spektral yang spesifik. Ada beberapa transformasi yang dikembangkan
dalam pengolahan data digital citra penginderaan jauh untuk menyadap informasi perubahan
tingkat kehijauan vegetasi dan kelengasan tanah. Berdasarkan hubungan kausal antara
perubahan tingkat kehijauan vegetasi dan kelengasan tanah dengan kekeringan di atas, maka
distribusi daerah rentan kekeringan dapat didekati dengan penyadapan informasi perubahan
tingkat kehijauan vegetasi dan kelengasan tanah melalui transformasi matematis data digital
citra penginderaan jauh yang sesuai.
Selain itu data penginderaan jauh memiliki kelebihan dalam hal waktu pengamatan
yang real time dan kecilnya human error dibandingkan data pengamatan langsung di
lapangan. Dalam terapannya secara operasional penggunaan data penginderaan jauh juga
memiliki kelebihan antara lain memberikan data spesifik yang terkadang tidak dapat
diberikan dari sumber data lainnya, pengumpulan data tanpa banyak kerja lapangan dengan
6
hasil yang lebih cepat dan murah serta memungkinkan pengumpulan data pada medan yang
tidak memungkinkan (Howard, 1991).
Salah satu upaya yang dilakukan oleh beberapa peneliti untuk mengungkap masalah
kekeringan dengan deteksi dini dan pemantauan kekeringan dengan teknologi penginderaan
jauh telah banyak dilakukan. Metode yang dikembangkan untuk keperluan ini diantaranya
adalah dengan menggunakan nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), TVDI
(Temperature Vegetation Dryness Index), NDWI (Normalized Different Water Index), SAVI
(Soil Adjusted Vegetaion Index), brightness index, dan greeness index. Penggunaan NDVI
lebih memfokuskan pada nilai kerapatan vegetasi, TVDI lebih memfokuskan pada hubungan
antara kerapatan vegetasi dengan temperatur permukaan, NDWI lebih menekankan pada
keberadaan air pada tumbuhan, sedang SAVI lebih memfokuskan pada hubungan antara
kerapatan vegetasi dengan sifat kelengasan tanah. Pada penelitian lain, Ghulam, et.al, 2007
mengemukakan pendapatnya tentang indeks kekeringan, VCADI (Vegetation Condition
Albedo Drought Index) yang merupakan fungsi dari pola spektral kelengasan tanah dengan
indeks vegetasi.
Untuk keperluan kajian pada skala regional telah dikenal suatu citra satelit yang
mempunyai kemampuan yang dapat diandalkan, yaitu citra MODIS. Citra MODIS
merupakan citra satelit hiperspektral generasi baru yang digunakan untuk pengamatan daratan
dan perairan. Informasi yang dapat dihasilkan dari pemanfaatan citra MODIS antara lain
berupa identifikasi dan estimasi luas areal yang terkena dampak kekeringan yang sangat
dibutuhkan untuk mengetahui secara pasti posisi/sebaran suatu daerah yang dapat
diklasifikasikan dalam unit area, mengetahui sejauh mana potensi kekeringan suatu daerah
secara spasial, mengetahui nilai proyeksi kekeringan daerah dan untuk perencanaan daerah
khususnya dari sektor pertanian.
Selain itu untuk zonasi kekeringan akan lebih tampak jelas apabila menggunakan
pendekatan bentuk lahan yang dapat disadap dari citra SRTM (Shuttle Radar Topography
Mission). SRTM merupakan proyek kerjasama antara National Imagery and Mapping
Angency (NIMA) and NASA untuk pemetaan dunia dalam bentuk tiga dimensi. Selain itu
SRTM juga digunakan untuk melengkapi data base digital topografi dengan resolusi tinggi
dari permukaan bumi.Zonasi kekeringan yang terbentuk dari overlay data kekeringan dari
citra MODIS dengan zonasi bentuk lahan dari citra SRTM akan menghasilkan kesan tiga
dimensional yang akan memudahkan untuk keperluan analisis.
7
Chandrasekar. K
NRSA/ISRO, India
SATELLITE MONITORING OF AGRICULTURAL DROUGHT
Vegetation Index
Satellite Sensors
Agricultural
Drought
Rain
Meteorological
Drought
Infiltration &
Percolation
Runoff
Biophysical Parameters
Evapo transpiration
Hydrological
Drought
Runoff
Surface
Storage
Ground water
Storage
Regional Workshop on Cooperative Mechanism in Space Technology Application for Natural Disaster Management, 5-6th June, Beijing, China
Sumber: www.nrsc.gov.in
Gambar 1.3. Model Monitoring Kekeringan Pertanian di India dengan menggunakan
data citra satelit
Kemajuan teknologi penginderaan jauh dapat mempermudah penelitian yang
dilakukan dengan cakupan yang luas. Kemudahan tersebut salah satunya diperoleh dari Citra
Landsat 8 / LDCM (Landsat Data Continuity Mission) yang relatif masih baru. Keunggulan
Landsat 8 dapat dimanfaatkan untuk berbagai kajian dan aplikasi, salah satunya untuk kajian
kekeringan. Citra Landsat 8 tersedia secara multitemporal, sehingga memungkinkan
dilakukan analisis dengan waktu berurutan. Parameter fisik yang berpengaruh terhadap
kerawanan kekeringan dapat diekstrak dari citra Landsat 8 tersebut. Informasi faktor – faktor
lahan dapat diturunkan dari citra tersebut.
Untuk memudahkan dalam pengolahan data, manipulasi dan analisis data, dan
penayangan data diperlukan suatu sistem yang handal, yaitu sistem informasi geografis (SIG)
yang merupakan suatu sistem yang terpadu antara manusia, mesin dan prosedur untuk
mengorganisasi suatu proses dan kontrol terhadap masukan yang menghasilkan luaran. Data
masukan pada sistem infprmasi geografis adalah berupa data keruangan yang bereferensi
geografis (geo refference). SIG (Sistem Informasi Geografis) memberikan kemudahan untuk
pemrosesan dan analisis data spasial dalam upaya estimasi daerah rawan banjir. Integrasi
citra satelit MODIS dengan SIG mampu menentukan di mana daerah rawan genangan banjir
dan rawan kekeringan, bahkan daerah rawan penyakit yang terkait dengan kesehatan
lingkungan. Dengan melakukan integrasi antara dua teknologi, yaitu Penginderaan Jauh dan
Sistem Informasi Geografis maka pembuatan peta yang meliputi input data, klasifikasi data,
tumpang susun peta (overlay), manipulasi dan analisis data serta presentasi data dapat
8
dilakukan dengan mudah dan cepat apabila ada kekurangan dan kesalahan dapat ditambah
dan diperbaiki dengan cepat, sehingga
dapat menghemat waktu dan tenaga serta biaya.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan uji coba penggunaan
teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) untuk penyusunan model
estimasi kerentanan kekeringan suatu daerah untuk membantu mengatasi permasalahan
kekeringan yang setiap tahun terjadi. Variasi kerentanan kekeringan daerah tersebut dapat
diketahui dengan menggunakan data hujan (kekeringan meteorologi), data hidrologis (air
permukaan dan air tanah), kondisi lahannya untuk melihat kekeringan lahan (bentuk lahan,
lereng, drainase permukaan, dan tutupan lahan) yang dipadukan dengan pendekatan
kerapatan vegetasi dan suhu permukaan tanah yang diperoleh dari citra penginderaan jauh
(MODIS) untuk melihat tingkat kerentanan kekeringan pertanian.
Telah disebutkan di atas bahwa kerentanan kekeringan dapat diprediksi dari berbagai
cara baik dari aspek meteorologi (hujan), hidrologi, fisik lahan, maupun tutupan lahannya.
Pada perkembangan saat ini dengan kemajuan di bidang penginderaan jauh telah banyak
dilakukan berbagai penelitian untuk prediksi kerentanan kekeringan pertanian diantaranya
adalah dengan menggunakan pendekatan tingkat kerapatan vegetasi (NDVI), keberadaan air
yang diperlukan oleh tumbuhan (NDWI), kelengasan tanah (SAVI), hubungan antara
kerapatan vegetasi dengan temperatur permukaan (TVDI), dan hubungan antara kerapatan
vegetasi dengan kelengasan tanah (VCADI).
Melihat kondisi geografis wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta yang mempunyai variasi topografi dan hujan yang beragam maka berbagai
macam tipe kekeringan dapat dijumpai di kedua wilayah tersebut, sehingga metode zonasi
kerentanan kekeringan meteorologi, kerentanan kekeringan lahan dan kerentanan kekeringan
pertanian dapat dicobakan di wilayah tersebut. Masing-masing metode tersebut tentunya akan
mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Sebagai contoh kerentanan kekeringan
meteorologi dan kerentanan kekeringan lahan di suatu wilayah terkadang menunjukkan hasil
dan sebaran spasial yang berbeda. Di daerah Kulonprogo bagian selatan secara meteorologi
kemungkinan dapat termasuk ke dalam daerah dengan indeks kerentanan kekeringan tinggi,
tetapi secara geomorfologi atau fisik lahan daerah ini akan mengalami surplus air karena
tanah dan batuannya yang mempunyai porositas dan permeabilitas yang tinggi akan dapat
9
menyimpan air dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan di tempat lain. Demikian pula
keadaan yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul yang mana curah hujan di wilayah ini relatif
tinggi, namun dalam kenyataannya daerahnya relatif kering karena tanah dan batuannya tidak
dapat menyimpan air.
Ketersediaan data atau informasi merupakan bagian terpenting dalam membangun
suatu sistem informasi yang akurat untuk mendukung perencanaan yang tepat. Dalam kaitan
ini dibutuhkan suatu basis data yang tidak hanya lengkap tetapi juga mudah diakses serta
didukung oleh perangkat yang handal. Mengacu pada konsep kecepatan, ketepatan, akurasi
dan konsistensi data atau informasi untuk suatu kegiatan atau perencanaan dan pengambilan
keputusan yang tepat, maka pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dan SIG adalah sangat
penting.
Bertitik tolak dari hal tersebut, perlu dirumuskan beberapa permasalahan berkaitan
dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1.
Bagaimana dan sejauh mana kemampuan citra penginderaan jauh untuk perolehan
data atau parameter karakteristik lahan dalam tinjauan aspek kekeringan
meteorologi, lahan dan pertanian untuk pemetaan kerentanan kekeringan.
2.
Bagaimana dan sejauh mana tingkat dan jenis atau tipe kerentanan kekeringan
dalam tinjauan aspek kekeringan meteorologi, lahan dan pertanian.
3.
Bagaimana dan sejauh mana kehandalan model kerentanan kekeringan dengan
mendasarkan pada aspek meteorologi, lahan dan pertanian sebagai dasar untuk
menentukan jenis atau tipe kerentanan kekeringan suatu wilayah
Mendasarkan pada latar belakang dan permasalahan di atas, maka penulis melakukan
penelitian dengan judul : Integrasi Citra Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografis untuk Penyusunan Model Kerentanan Kekeringan (Kasus di Provinsi Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta). Alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah
dikarekanan a). pada kedua propinsi ini ada beberapa tempat yang mempunyai kekeringan
yang tegas, b). secara regional dua propinsi ini sudah representatif memakili.
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun model estimasi
kerentanan kekeringan di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarata dengan
bantuan integrasi data MODIS dan data sekunder lainnya yaitu:
10
1. Mengkaji kemampuan citra penginderaan jauh untuk perolehan data atau parameter
karakteristik lahan untuk estimasi tingkat dan tipe kerentanan kekeringan.
2. Menganalisis tingkat dan tipe kerentanan kekeringan berdasarkan data atau parameter
karakteristik lahan dalam tinjauan aspek kekeringan meteorologi, lahan dan pertanian
dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG).
3. Menyusun model kerentanan kekeringan dalam tinjauan aspek meteorologi, lahan dan
pertanian sebagai dasar untuk pemantauan dan pengendalian kekeringan suatu wilayah.
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tinjauan ilmiah akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat
mengembangkan konsep pemrosesan citra digital data penginderaan jauh dan untuk lebih
memperkaya pengetahuan tentang aplikasi data penginderaan jauh di bidang kerentanan
bencana, khususnya untuk estimasi kerentanan kekeringan.
Berdasarkan tinjauan pragmatis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memecahkan
masalah kekeringan dengan tersedianya sarana monitoring guna mendukung perencanaan dan
kebijakan di bidang terkait.
1.5. Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian biasanya diukur dari tingkat orisinilitas hasil penelitian terhadap
penelitian sejenis yang pernah dilakukakan oleh pakar (peneliti) terdahulu. Pada rencana
penelitian ini perbandingan penelitian ini dengan penelitian lain yang sejenis ditunjukkan
pada Tabel 1.1. Perbedaan-perbedaan yang mendasar antara penelitian yang dilakukan
sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat dapat dibedakan menurut
metode penelitian dan jenis citra penginderaan jauh yang digunakan. Pada sebagian besar
penelitian sebelumnya metode yang digunakan berbeda, kebanyakan pada penelitianpenelitian tersebut digunakan teknik transformasi indeks vegetasi empiris dengan metode
korelasi empiris antara nilai indeks citra dengan nilai kerapatan vegetasi di lapangan,
sedangkan pada penelitian ini disamping menggunakan metode indeks vegetasi empiris akan
digunakan pula berbagai metode transformasi untuk mengetahui masalah kekeringan.
11
Tabel 1.1. Perbandingan Beberapa Penelitian Kerentanan Kekeringan
Peneliti
Mongkolsawat, C, et al
Tahun
2001
Lokasi
Northeast
Thailand
Kulapramote, P.et.al.
2001
Provinsi Lop
Buri Thailand
Sofan, P
2007
Propinsi Jambi
Sumatera
Suprap Ghulam
2007
Ningxia
Huizu, China
Wan, Z., et al
2004
Southern Great
Plains, USA
Suyono
2004
SWS PemaliComal Jawa
Tengah
2015
Provinsi Jawa
Tengah
dan
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
Sudaryatno
Pendekatan
Evaluasi daerah
rentan kekeringan
dengan
memperhatikan
parameter hujan,
hidrologi, dan fisik
lahan
Evaluasi daerah
rentan kekeringan
dengan
memperhatikan
parameter
meteorologi dan
fisik lahan dan
NDVI
Indeks kekeringan
dengan
menggunakan
perbedaan
temperatur dan
vegetasi (TDVI)
Teknik
 Interpretasi visual dan
digital citra Landsat TM
serta survei lapangan
 memanfaatkan GIS
Hasil
 Peta zonasi rentan
kekeringan
 Zonasi rentan kekeringan
dengan parameter
meteorologi dan fisik
lahan
 Interpreatasi digital citra
JERS-OPS
 Peta zonasi rentan
kekeringan
pertanian
 Integrasi indeks vegetasi
yang diperluas (EVI) dan
temperatur permukaan
tanah (Ts)
 Interpretasi data digital
citra MODIS secara
temporal
 Interpretasi digital citra
Landsat TM, ETM+, dan
MODIS
 Peta zonasi rentan
kekeringan
pertanian
Indeks Kekeringan
VCADI yang
merupakan
hubungan antara
transformasi indeks
vegetasi (NDVI)
dengan kelengasan
tanah (soil moisture)
Indeks Kekeringan
 Interpretasi digital citra
VTCI yang
MODIS
merupakan
hubungan antara
transformasi indeks
vegetasi (NDVI)
dengan dengan suhu
permukaan tanah
(LST)
Indeks kekeringan
 Overlay peta-peta
Geomorfologi
kemiringan lereng, bentuk
lahan, batuan, tanah, dan
AWC
 Meterologis dan  Zonasi rentan kekeringan
fisik lahan
dengan parameter
meteorologi, fisik lahan,
 fisik lahan tanah
dan pertanian
 Indeks vegetasi
 Interpreatsi digital data
(NDVI)
MODIS
dilengkapi data lapangan
Sumber : Dari berbagai referensi, 2014
12
 Peta zonasi rentan
kekeringan
 Peta zonasi rentan
kekeringan
pertanian
 Peta kekeringan
geomorfologi
 Peta Zonasi
rentan kekeringan
meteorologi,
lahan dan
pertanian
Download