5 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Primigravida a

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Primigravida
a. Definisi
Primigravida adalah keadaan di mana seorang wanita mengalami
masa kehamilan untuk pertama kalinya (Manuaba, 2007). Dengan
kemungkinan risiko tinggi, sehingga dibutuhkan perawatan antenatal,
natal dan postnatal (Nargis et al., 2010). Perbedaan mendasar
kehamilan primigravida dengan multigravida yaitu pada primigravida
ostium uteri internum belum terbuka dan akan terbuka lebih dahulu,
sehingga serviks akan mendatar dan menipis kemudian ostium uteri
internum baru akan membuka. Sedangkan pada multigravida, ostium
uteri internum dan ostium uteri eksternum sudah sedikit terbuka
(Prawirohardjo, 2009).
Pengawasan pada ibu hamil dengan usia di bawah 18 tahun perlu
diperhatikan karena pada saat itu sering terjadi risiko anemia,
hipertensi menuju preeklamsia/eklamsia, persalinan dengan berat bayi
lahir rendah, kehamilan disertai infeksi, penyulit proses persalinan
yang diakhiri dengan tindakan operasi. Aspek sosial yang sering
menyertai ibu hamil dengan usia muda adalah kehamilan yang belum
diinginkan, kecanduan obat dan atau perokok, dan antenatal care yang
5
6
kurang
diperhatikan.
Dalam
era
modern,
wanita
karir
dan
berpendidikan banyak yang ingin hidup mandiri mengejar karir
sehingga kemungkinan akan terlambat menikah dan hamil di atas usia
35 tahun (Manuaba, 2007).
b. Usia Primigravida
Usia terbaik seorang wanita untuk hamil adalah 20 tahun hingga
35 tahun. Apabila seorang wanita mengalami primigravida (masa
kehamilan pertama kali) di bawah usia 20 tahun, maka disebut
primigravida muda. Sedangkan apabila primigravida dialami oleh
wanita di atas usia 35 tahun, maka disebut primigravida tua. Bukti
menunjukkan bahwa patofisiologi primigravida dengan preeklamsia
berbeda dari observasi pada multigravida, yang menunjukkan bahwa
risiko preeklamsia pada primigravida lima belas kali lebih besar
daripada multigravida (Barden et al., 1999).
Beberapa peneliti menggunakan istilah “advanced maternal age”
pada ibu hamil usia 35 tahun atau lebih, tanpa melihat paritas. Atau
Older woman atau Gravida tua atau Elderly gravid (Cunningham,
1995). Sedangkan dalam Jurnal Naqvi et al. (2004) menyebut older
primigravida pada ibu yang hamil pertama pada usia 35 tahun atau
lebih.
c. Primigravida Tua
Primigravida tua (older primigravida) adalah seorang wanita
dimana mengalami kehamilan pertama pada usia lebih dari 35 tahun.
7
Seorang primigravida tua memiliki risiko preeklamsia lebih tinggi oleh
karena
adanya
perbedaan
elastisitas
dan
kemunduran
sistem
kardiovaskuler, selain itu seorang primigravida tua memiliki
kecenderungan mengalami masalah obesitas lebih tinggi dibanding
primigravida muda (Naqvi et al., 2004). Banyak faktor yang
menyebabkan seorang wanita mengalami primigravida tua. Selain oleh
karena faktor alami biologis, kini wanita karir dan terdidik banyak
yang ingin hidup mandiri untuk mengejar karir sehingga akan
terlambat menikah dan hamil di atas usia 35 tahun. Pengawasan perlu
diperhatikan karena dapat terjadi hipertensi karena stres pekerjaan
yang kemudian hipertensi ini dapat menjadi pemicu preeklamsia,
Diabetes
Melitus,
perdarahan
antepartum,
abortus,
persalinan
prematur, kelainan kongenital, dan ganggguan tumbuh kembang janin
dalam rahim (Manuaba, 2007).
d. Komplikasi
Baik primigravida muda maupun primigravida tua memiliki
Kehamilan Risiko Tinggi (KRT), yaitu keadaan di mana jiwa ibu dan
janin
yang
dikandungnya
dapat
terancam,
bahkan
dapat
mengakibatkan kematian. Namun pada primigravida muda memiliki
risiko lebih rendah, karena dianggap memiliki ketahanan tubuh lebih
baik daripada primigravida tua (Manuaba, 2007). Hal ini diperkuat
oleh suatu penelitian yang membandingkan antara primigravida muda
dan primigravida tua. Didapatkan pada kehamilan primigravida tua
8
memiliki risiko komplikasi lebih berat, seperti hipertensi kronis,
superimposed hypertension, tingkat persalinan dengan operasi caesar
yang lebih tinggi, persalinan dengan bantuan bila dibandingkan
primigravida muda (Shehadeh, 2002). Juga ditemukan adanya kelainan
pertumbuhan intrauterin dan malformasi kongenital (Naqvi et al.,
2004).
Dikemukakan juga oleh penelitian Al-Turki et al. (2003) dan
Heija A (2000) bahwa pada primigravida tua memiliki risiko
komplikasi seperti Diabetes Melitus, preeklamsia, plasenta previa dan
besar kemungkinan menyebabkan persalinan secara sectio caesarea
bila dibandingkan dengan penyebab lain seperti umur kehamilan lewat
bulan dan berat lahir bayi.
2. Usia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), usia adalah lama
waktu hidup atau ada, dari mulai dilahirkan atau diadakan. Atau juga bisa
disebut umur kognitif, yaitu umur menurut kalender yang dipakai untuk
mengukur taraf perkembangan kognitif seseorang.
3. Preeklamsia
a. Definisi
Preeklamsia merupakan suatu sindrom spesifik kehamilan
dengan penurunan perfusi pada organ-organ akibat vasospasme dan
aktivasi endotel, yang terjadi akibat kehamilan setelah minggu ke-20,
atau kadang-kadang timbul lebih awal bila terdapat perubahan
9
hidatidiformis yang luas pada vili khorialis (Cunningham, 1995).
Menurut Manuaba (2007), hal tersebut disertai dengan tanda-tanda
khas yaitu tekanan darah tinggi (hipertensi), ditemukannya protein
dalam urin (proteinuria) yang timbul karena kehamilan dan
pembengkakan jaringan (edema). Namun saat ini kejadian edema pada
wanita hamil dianggap sebagai hal yang biasa dan tidak spesifik dalam
diagnosis preeklamsia. Penyakit ini umumnya terjadi dalam trimester
ketiga kehamilan, tetapi dapat juga terjadi pada trimester kedua
kehamilan (Wiknyosastro, 1994).
Penyebaran kejadian preeklamsia di seluruh belahan dunia
mencapai 7 – 10 % (Manuelpillai, 2001). Sedangkan menurut
Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia
(2005), angka kejadian preeklamsia di Indonesia sebesar 3,4 – 8,5 %.
Dan berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Surakarta,
berdasarkan persalinan dengan komplikasi tahun 2006, insiden
preeklamsia di Kota Surakarta sebesar 13,42%.
b. Etiologi
Ada beberapa teori mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari
kelainan tersebut di atas, sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai
the diseases of theory (Sudhabrata, 2001). Adapun teori-teori tersebut
antara lain:
10
1) Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklamsia/eklamsia didapatkan kerusakan pada
endotel vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi Prostasiklin
(PGI2)
yang
pada
kehamilan
normal
meningkat,
aktivasi
penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti
dengan trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi
antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit
menyebabkan pelepasan tromboksan (TxA2) dan serotonin,
sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.
2) Peran Faktor Imunologis
Preeklamsia/eklamsia sering terjadi pada kehamilan pertama
dan tidak timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat
diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan blocking
antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin
sempurna pada kehamilan berikutnya.
3) Peran Faktor Genetik/familial
Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada
kejadian preeklamsia/eklamsia antara lain:
a) Preeklamsia/eklamsia hanya terjadi pada manusia.
b) Terdapatnya
kecenderungan
meningkatnya
frekuensi
preeklamsia/eklamsia pada anak-anak dari ibu yang menderita
preeklamsia/eklamsia.
11
c) Kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklamsia/eklamsia
pada
anak
dan
cucu
ibu
hamil
dengan
riwayat
preeklamsia/eklamsia dan bukan pada iparnya.
d) Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron System (RAAS).
c. Patofisiologi
Menurut Castro (2004), kelainan patofisiologi yang mendasari
preklamsia pada umumnya karena vasospasme. Peningkatan tekanan
darah dapat ditimbulkan oleh peningkatan cardiac output dan
resistensi sistem pembuluh darah. Cardiac output pada pasien dengan
preeklamsia tidak terlalu berbeda pada kehamilan normal di trimester
terakhir kehamilan yang disesuaikan dari usia kehamilan.
Aliran darah renal dan angka filtrasi glomerulus (GFR) pada
pasien preeklamsia lebih rendah dibandingkan pada pasien dengan
kehamilan normal dengan usia kehamilan yang sama. Penurunan aliran
darah renal diakibatkan oleh konstriksi di pembuluh darah afferen
yang dapat mengakibatkan kerusakan membran glomerulus dan
kemudian meningkatkan permeabilitas terhadap protein yang berakibat
proteinuria. Oliguria yang diakibatkan karena vasokontriksi renal dan
penurunan GFR. Resistensi vaskular cerebral selalu tinggi pada pasien
preeklamsia.
12
d. Faktor Risiko
Berbagai faktor risiko preeklamsia (Pipkin, 2001):
1) Faktor yang berhubungan dengan kehamilan: kelainan kromosom,
mola hidatidosa, hydrops fetalis, kehamilan multifetus, inseminasi
donor atau donor oosit, dan kelainan struktur kongenital.
2) Faktor spesifik maternal: primigravida, usia > 35 tahun, usia < 20
tahun, ras kulit hitam, riwayat preeklamsia pada keluarga, nulipara,
preeklamsia pada kehamilan sebelumnya, kondisi medis khusus
seperti diabetes gestational, diabetes tipe 1, obesitas, hipertensi
kronis, penyakit ginjal, trombofilia, cemas.
3) Faktor spesifik paternal: primipaternitas, partner pria yang pernah
menikahi
wanita
yang
kemudian
hamil
dan
mengalami
preeklamsia.
Sedangkan menurut Rozikhan (2007), faktor risiko preeklamsia
dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu determinan dekat (wanita
hamil yang hanya dapat berisiko terkena preeklamsia, sedangkan
wanita yang tidak mengalami kehamilan tidak berisiko). Kategori
kedua yaitu, determinan intermediet. Berikut adalah yang berperan
dalam determinan intermediet.
a) Status reproduksi
Faktor usia, paritas, kehamilan ganda, faktor genetik.
13
b) Status kesehatan
Riwayat preeklamsia, riwayat hipertensi, riwayat penderita
Diabetes Melitus, status gizi, stres/cemas.
c) Perilaku sehat
Pemeriksaan antenatal, penggunaan alat kontrasepsi.
Dan kategori ketiga determinan kontekstual, yaitu tingkat
pendidikan, faktor sosial ekonomi, dan pekerjaan.
e. Klasifikasi preeklamsia
1) Preeklamsia Ringan
Diagnosis preeklamsia ringan dapat ditentukan dengan
kriteria sebagai berikut ini (Prawirohardjo, 2009).
a) Tekanan darah sistolik 140 mmHg atau kenaikan 30 mmHg
dengan interval pemeriksaan 6 jam.
b) Tekanan darah diastolik 90 mmHg atau kenaikan 15 mmHg
dengan interval pemeriksaan 6 jam.
c) Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu.
d) Proteinuria 0,3 gr atau lebih dengan tingkat kualitatif plus 1
sampai 2 pada urin kateter atau urin aliran pertengahan.
2) Preeklamsia Berat
Preeklamsia berat didiagnosis apabila pada kehamilan > 20
minggu didapatkan satu atau lebih gejala atau tanda berikut ini
(Prawirohardjo, 2009).
14
a) Tekanan darah > 160/110 mmHg dengan syarat diukur dalam
keadaan relaksasi (pengukuran minimal setelah istirahat 10
menit) dan tidak dalam keadaan his.
b) Proteinuria > 5 g/24 jam atau 4+ pada pemeriksaan secara
kuantitatif.
c) Oliguria, produksi urin < 500 cc/24 jam yang disertai kenaikan
kreatinin plasma.
d) Gangguan visus dan serebral.
e) Nyeri epigastrium/hipokondrium kanan.
f) Edema paru dan sianosis.
g) Gangguan pertumbuhan janin intrauteri.
h) Adanya HELLP Syndrome (hemolisis, peningkatan enzim hati,
dan hitung trombosit rendah).
f. Penatalaksanaan Preeklampsia Berat
1) Penanganan umum.
a) Jika tekanan diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi,
sampai tekanan diastolik di antara 90 - 100 mmHg.
b) Pasang infus RL (Ringer Laktat).
c) Ukur keseimbangan cairan, jangan sapai terjadi overload.
d) Kateterisasi urin untuk pengeluaran volume dan proteinuria.
e) Jika jumlah urin < 30 ml perjam:
(1) Infus cairan dipertahankan 1 1/8 jam
15
(2) Pantau kemungkinan edema paru
f) Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi
dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin.
g) Observasi tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin setiap
jam.
h) Auskultasi paru untuk mencari tanda edema paru. Krepitasi
merupakan tanda edema paru. Jika terjadi edema paru, stop
pemberian cairan dan berikan diuretik misalnya furosemid 40
mg intravena.
i) Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan bedside. Jika
pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit, kemungkinan
terdapat koagulapati.
2) Antikonvulsan
Pada kasus preeklampsia yang berat dan eklampsia,
magnesium sulfat yang diberikan secara parenteral adalah obat anti
kejang yang efektif tanpa menimbulkan depresi susunan saraf pusat
baik bagi ibu maupun janinnya. Obat ini dapat diberikan secara
intravena melalui infus kontinyu atau intramuskular dengan injeksi
intermiten. Dengan ketentuan sebagai berikut ini.
a) Berikan dosis bolus 4 – 6 gram MgSO4 yang diencerkan dalam
100 ml cairan dan diberikan dalam 15 - 20 menit.
b) Mulai infus rumatan dengan dosis 2 g/jam dalam 100 ml cairan
intravena.
16
c) Ukur kadar MgSO4 pada 4 - 6 jam setelah pemberian dan
disesuaikan kecepatan infuse untuk mempertahankan kadar
antara 4 dan 7 mEg/l (4,8 – 8,4 mg/l).
Jika terjadi henti napas, berikan bantuan dengan ventilator atau
berikan kalsium glukonat 2 g (20 ml dalam larutan 10%) secara
intravena perlahan-lahan sampai pernapasan mulai lagi.
3) Antihipertensi
a) Obat pilihan adalah hidralazin, yang diberikan 5 mg intravena
pelan-pelan selama 5 menit sampai tekanan darah turun.
b) Jika perlu, pemberian hidralazin dapat diulang setiap jam, atau
c) Jika hidralazin tidak tersedia, dapat diberikan:
(1) Nifedipine dosis oral 10 mg yang diulang tiap 30 menit.
(2) Labetalol 10 mg intravena sebagai dosis awal, jika tekanan
darah tidak membaik dalam 10 menit, maka dosis dapat
ditingkatkan sampai 20 mg intravena (Cunningham, 2005).
g. Komplikasi
Menurut Wibowo (2006), komplikasi terberat preeklamsia ialah
kematian ibu dan janin. Komplikasi yang bisa terjadi pada preeklamsia
dan eklamsia adalah sebagai berikut ini.
1) Solusio plasenta. Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita
hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada preeklamsia.
17
2) Hipofibrinogenemia. Biasanya terjadi pada preeklamsia berat. Oleh
karena itu dianjurkan untuk pemeriksaan kadar fibrinogen secara
berkala.
3) Hemolisis. Penderita dengan preeklamsia berat kadang-kadang
menunjukkan gejala klinik hemolisis yang dikenal dengan ikterus.
Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakan sel
hati atau destruksi sel darah merah.
4) Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang
berlangsung sampai seminggu. Perdarahan kadang-kadang terjadi
pada retina. Hal ini merupakan tanda gawat akan terjadi apopleksia
serebri.
5) Edema paru-paru. Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema
dan perubahan karena bronkospneumonia sebagai akibat aspirasi.
Kadang-kadang ditemukan abses paru-paru.
6) Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada preeklamsia/eklamsia
merupakan akibat vasospasme arteriol umum. Kelainan ini diduga
khas untuk eklamsia, tetapi ternyata juga dapat ditemukan pada
penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan
pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
7) Sindroma Haemolysis Elevated Liver enzymes and Low Platelet
(HELLP). Merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa
gangguan fungsi hati, hepatoseluler (peningkatan enzim hati
18
[SGPT,SGOT], gejala subjektif [cepat lelah, mual, muntah, nyeri
epigastrium]), hemolisis akibat kerusakan membran eritrosit oleh
radikal bebas asam lemak jenuh dan tak jenuh.
8) Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu
pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa
kelainan struktur yang lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul
ialah anuria sampai gagal ginjal.
9) Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh
akibat kejang-kejang pneumonia aspirasi dan Disseminated
Intravascular Cogulation (DIC).
10) Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intrauterin.
Hipertensi pada preeklamsia dapat menimbulkan kegagalan
sistem otonom aliran darah sistem saraf pusat (ke otak) dan
menimbulkan berbagai bentuk kelainan patologis sebagai berikut ini.
a) Edema otak karena permeabilitas kapiler bertambah.
b) Iskemia yang menimbulkan infark serebral.
c) Edema dan perdarahan menimbulkan nekrosis.
d) Edema dan perdarahan pada batang otak dan retina.
e) Dapat terjadi herniasi batang otak yang menekan pusat vital
medula oblongata (Manuaba, 2007).
19
4. Hubungan Primigravida dengan Preeklamsia
Selain karena faktor imunologis yang menyebutkan bahwa
preeklamsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi
pada kehamilan berikutnya. Oleh karena pada kehamilan pertama terdapat
pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta yang tidak
sempurna, yang kemudian semakin sempurna pada kehamilan berikutnya
sehingga pada kehamilan kedua kejadian preeklamsia sukar terjadi.
Disebutkan juga oleh Corwin (2001), bahwa primigravida yang
merupakan pengalaman pertama seorang wanita mengalami kehamilan,
dapat
menyebabkan
preeklamsia
karena
adanya
stressor
dalam
menghadapi persalinan. Stres selama kehamilan berhubungan dengan
kecemasan, ketakutan dan kegelisahan, seperti dukungan jaringan sosial
yang tidak memadai dan sehingga mengalami stres (Littleton et al., 2007).
Terlebih tingkat kecemasan lebih tinggi selama kehamilan daripada setelah
melahirkan. Kecemasan yang tinggi saat kehamilan juga mempengaruhi
keluaran maternal (Bastani, 2006).
Stres akan memberikan respon berupa aktifnya neuron di
hipotalamus yang menyekresikan Corticotrophin Releasing Factor (CRF).
Kemudian CRF dibawa ke hipofisis melalui struktur yang berbentuk
saluran.
CRF
menstimulasi
hipofisis
untuk
melepaskan
hormon
adenokortikotropik (ACTH) (Qiu et al., 2009). ACTH selanjutnya dibawa
oleh aliran darah ke kelenjar adrenal dan ke berbagai organ tubuh lainnya.
Kelenjar adrenal kemudian menyekresi epinefrin (adrenalin) dan kortisol.
20
Kortisol mempersiapkan tubuh untuk merespon stressor dengan
meningkatkan curah jantung.
Adanya adrenalin dan kortisol akan mempengaruhi cardiac output,
sehingga meningkatkan tekanan darah dan kadar gula darah untuk
memenuhi kebutuhan ke otak, jantung, otot, dan tulang untuk mengatasi
krisis
(Vianna,
2011).
Hal
tersebut
juga
akan
mengakibatkan
vasokonstriksi pembuluh darah, yang nantinya berpengaruh terhadap
perfusi metabolisme, sehingga terjadi edema, dan mengakibatkan
permeabilitas
membran
glomerulus
naik,
sehingga
menyebabkan
proteinuria.
Kecemasan yang muncul di berbagai tahap kehamilan merupakan
masalah klinis, terlebih hal itu merupakan kehamilan awal, sehingga
semakin menimbulkan faktor risiko preeklamsia (Kurki et al., 2000).
21
B. Kerangka Pemikiran
Usia > 35
tahun
Primigravida
Kecemasan
Hipotalamus
(sekresi CRF)
Kecenderungan
obesitas
Hipofisis
(sekresi ACTH)
Elastisitas dan
integritas sistem
kardiovaskuler
Adrenalin
Kelenjar
adrenal
Kortisol
Vasokonstriksi
pembuluh darah
Cardiac output
Tekanan darah
Gangguan perfusi
metabolisme
Permeabilitas membran
Edema
Proteinuria
Hipertensi
Preeklamsia
Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan :
: variabel yang diteliti
: variabel antara yang tidak diteliti
glomerulus
22
C. Hipotesis
1. Ada hubungan antara primigravida dengan kejadian preeklamsia.
Primigravida dapat meningkatkan risiko terjadinya preeklamsia.
2. Ada hubungan antara usia lebih dari 35 tahun dengan kejadian
preeklamsia. Usia lebih dari 35 tahun dapat meningkatkan risiko terjadinya
preeklamsia.
Download