Telaah Buku - Studia Philosophica et Theologica

advertisement
Telaah Buku
Judul Buku
Penulis
Penerbit
Tebal
:
:
:
:
The Postmodernism Reader: Foundational texts
Michael Drolet
London: Roudtledge, 2004
xiii + 332
Apa itu Postmodernisme? Apa bedanya dari postmodernitas?
Bagaimana hubungan antara konsep-konsep tersebut dengan postmodern?
Demikianlah pertanyaan-pertanyaan awal yang disampaikan Michael
Drolet dalam buku The Postmodernism Reader: Foundational Texts.
Postmodernism, postmodern, dan postmodernitas merupakan istilah yang
telah digunakan dalam banyak bidang dan begitu meriah. 1 Seperti
diungkapkan oleh Bambang Sugiarto dalam bukunya (hal. 23) kita bisa
menemukan istilah-istilah tersebut dalam bidang musik (Cage, Stockhausen,
Glass, dsb.), seni rupa (Rauschenberg, Baselitz, Warhol, dsb.), fiksi (novelnovel dari Vonnegut, Barth, Pynchon, dsb.), film (Lynch, Greenway,
Jarman); drama (teater dari Artaud), fotografi (Sherman, Levin), arsitektur
(Jencks, Venturi, Bolin), kritik sastra (Spanos, Ihab Hassan, Sontag, Fiedler,
dsb.), anthropologi (Clifford, Tyler, Marcus), sosiologi (Denzin), geografi
(Soja), dan filsafat (Lyotard, Jacquez Derrida, Vattimo, Baudrillard, Richard Rorty, dsb.). Akibat dari pemakian istilah yang begitu luas, meriah dan
kadang sebagai trend atau mode itu menyebabkan Postmodernisme
dituduh sebagai mode pemikiran yang dangkal dan kosong serta kurang
menggigit. Banyak orang, dan juga kaum intelektual, kadang kurang
menyadari dan bahkan kurang mengerti dengan baik istilah-istilah tersebut.
Akibat ketidak-tahuan dari banyak orang atau ketidak-jelasan pemakaian
istilah-istilah tersebut, meskipun sudah menjadi trend dan sangat sering
dipergunakan, maka pemakaiannya juga dicampur-adukkan.
Yang jelas bahwa istilah-istilah tersebut muncul antara lain mau
menanggapi arus pemikiran dan fenomen yang begitu kompleks. Termasuk
juga krisis di dalam banyak hal yang tidak kalah santer muncul dan
1
Kami kutipkan beberapa buku yang berbicara mengenai istilah dan tema tersebut seperti: I.
Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996),
Emmanuel Subangun, Dari Saminisme Ke Postmodernisme, (Yogyakarta: CRI Alocita & Pustaka
Pelajar, 1994), Peter Carravetta e Paolo Spedicato, Postmoderno E Letteratura: Percorsi e Visioni
della Critica in America, (Milano: Bompiani, 1984), Paul Cilliers, Compexity & Postmodernism:
Understanding Complex Systems, (London: Routledge, 1998).
214
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005
memerlukan tanggapan dan pemikiran dari manusia yang hidup pada
jaman sekarang. Sehingga stigma yang diberikan pada aliran pemikiran
ini perlu juga dikaji ulang: betulkah istilah-istilah tersebut hanya merupakan
mode atau memang memiliki kedalaman arti tersendiri?
Michael Drolet, seorang pengajar Sejarah Pemikiran Politis yang cukup
berpengalaman di Royal Holloway, Universitas London mencoba memberi
penjelasan terhadap istilah-istilah tersebut secara tepat. Dan lebih khusus
lagi menghubungkan istilah-istilah tersebut dengan pemikiran filsafat
dengan menampilkan beberapa pemikir postmodern yang cukup terkenal.
Setelah bagian Pendahuluan yang cukup jelas, isi buku selanjutnya
terdiri dari tiga bagian besar dan penting. Tiap-tiap bagian membahas tematema yang digeluti oleh beberapa filsuf postmodern yang terkenal. Bagian
pertama berbicara tentang krisis modernitas dan kelahiran konsep
postmodernisme. Bagian kedua membahas tema tentang kondisi
postmodern: suatu konsep dalam kemunculan. Dan akhirnya bagian ketiga
berbicara tentang perbedaan, estetika, politik dan sejarah: refleksi-refleksi
postmodern.
Sebelum kita masuk ke bagian-bagian (pertama sampai ketiga), kita
diajak oleh penulis untuk mengerti lebih dahulu ketiga istilah di dalam
bagian Pendahuluan yang cukup panjang, yaitu: Postmodernisme,
Postmodernitas, dan Postmodern. Ini seperti penulis maksudkan di dalam
buku ini, yaitu menunjukkan arti dari istilah-istilah tersebut, mengapa
mereka penting dan bagaimana evolusi perkembangan dari istilah-istilah
tersebut. Istilah-istilah tersebut dianalisis secara kritis, kemudian apa
pengaruhnya terhadap masyarakat, dunia politik, seni, dan sastra, sejarah,
arsitektur; khususnya pengaruh filsafat dan juga teologi. Itu tujuan pertama
dari buku tersebut. Tujuan kedua dari pembahasan adalah membuka akarakar filosofis dari ketiga istilah tersebut dan menempatkan mereka dalam
konteks yang lebih luas dari oposisi antara romantisisme dan klasisisme.
Dalam konteks ini postmodern dapat dilihat sebagai yang berdekatan
dengan sensibilitas romantis dan kritiknya terhadap rasionalisme dan system bangunan. Postmodernisme menantang asumsi-asumsi mendasar dari
Pencerahan, sementara – sebagaimana filsuf dan sejarawan Michel Foucault (1926-1984) menunjukkan dalam pidato di depan “Sociëtë française
de philosophie” yang berjudul “apa itu kritik” dan “apa itu Pencerahan” –
dengan tetap memakai dorongan Pencerahan menuju pembebasan sosial
dan individu. Postmodernitas dan postmodern merupakan ungkapan
sosiologis atau historis dari postmodernisme. Ini kurang lebih mirip dengan
‘romantik’ atau ‘jaman romantik’ sebagai ungkapan dari romantisisme.
Lebih lanjut Michael Drolet meneliti pikiran-pikiran para filsuf yang
tertuang dalam tulisan-tulisan mereka secara mendetail. Pemikiran para
filsuf yang dikenal sebagai pendukung aliran postmodernisme ini akan
memberikan penjelasan lebih lanjut dan lebih mendalam akan pendasaran
dari postmodernisme ini.
Telaah Buku
215
Bagaimana postmodernisme, postmodernitas dan postmodern
didefinisikan? Inilah pertanyaan yang cukup menarik. Istilah-istilah
tersebut ditemukan dalam banyak disiplin seperti sudah kami sebutkan
pada bagian awal telaah buku ini. Pada awalnya istilah tersebut dipakai
sebagai kritik terhadap gerakan modernisme. Modernisme dianggap sudah
tidak bisa menelurkan bentuk-bentuk baru dari ungkapan seni atau puisi.
Dan ini sudah ditemukan pada tahun 1950-an. Dalam tahun 1960-an dan
1970-an istilah begitu popular di antara artis, penulis, ahli-ahli puisi, dan
beberapa kritik sastra. Dalam kurun waktu itu pula istilah itu diadopsi oleh
beberapa ahli arsitek terkenal seperti Robert Venturi dan Charles Jenck.
Kemudian tahun-tahun setelah itu mengalami perluasan penerapan
istilah, sehingga memang lebih popular. Istilah postmodernisme umumnya
dimengerti dan muncul dari suatu politik kiri. Nama-nama kaum intelektual
yang berperanan adalah seperti Jean Baudrillard, Zygmunt Bauman, Michel
Foucault, Friedric Jameson dan Jean-François Lyotard. Semuanya itu
beraliran kiri. Tetapi ketika konsep pertama-tama digunakan, konsep
tersebut memiliki konotasi yang berbeda. Postmodernisme mempunyai arti
konservatif, merupakan suatu reaksi terhadap gerakan politis, cultural dan
artistic yang dimengerti symptomatic dari kemunduran budaya Barat.
Mungkin yang pertama kali memakai istilah ini adalah seorang teolog
katolik Bernard Idding Bell dalam karyanya “Postmodernism and Other
Essays” (1926). Ia percaya bahwa idenya lebih tinggi daripada era modern.
Waktu ia berbicara tentang postmodernisme, ia merujuk pada sesuatu yang
historis dan ideologis. Ia adalah suatu bagan dari ide-ide dan suatu jaman
baru. Postmodernism sebagai suatu alternative inteligen terhadap
liberalisme dan totalitarianisme. Dua ideology ini mendominasi masyarakat
Barat dalam tahun 1920-an. Bell yakin bahwa liberalisme dan
totalitarianisme membagikan iman dalam kapasitas manusia untuk
menemukan prinsip-prinsip yang mengatur alam dan masyarakat melalui
penggunaan yang benar akan akal budi. Penemuan prinsip-prinsip ini atau
hukum-hukum ini telah memberdayakan individu-individu, dengan
membebaskan mereka dari kekuatan-kekuatan alam yang gelap dan tidak
terkontrol.
Penggunaan pertama dari istilah postmodernisme berakar pada suatu
skeptisisme kuno tentang kemampuan manusia untuk mengukur hasil-hasil
alam semesta dan entah dalam cara bagaimana mengubah tempat mereka
di dalam alam semesta ini. Jadi arti istilah tersebut adalah teologis dan
konservatif. Postmodernisme menekankan hakekat yang mysterius dan
tidak dapat diketahuinya alam semesta. Maka manusia perlu berbalik
kepada Tuhan untuk mendapatkan kekuatan. Kira-kira delapan tahun
kemudian istilah itu dipakai lagi oleh seorang kritikus sastra Meksiko
Federico de Onis dalam karyanya “Antologia de la Poesia Espaòola e
Hispanoamericana atau Antologi Puisi Spanyol dan America Latin” (1882216
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005
1932). Ia mempergunakan istilah ini untuk menunjuk pada jaman historis
dan gerakan sastra. Reaksi ditujukan kepada modernisme yang keterlaluan.
Kemudian seorang sejarawan menjelang Perang Dunia II tahun 1939
Toynbee dalam karyanya “A Study of History” mempergunakan istilah
“post-modern” untuk menunjuk periode yang mulai pada abad ke-19 dan
ke-20. Hanya definisi dia itu negative. Post-modern adalah era yang
merupakan awal dari kejatuhan peradaban itu sendiri. Krisis ini sudah
mulai dejak Perang Dunia I di mana kehancuran dan kematian telah
mengerikan dalam sejarah manusia. Istilah yang dipakai oleh Toynbee ini
juga dipergunakan oleh ahli puisi Amerika Charles Olson (1910-1970)
dengan referensi yang sama, hanya dia lebih menekankan sebagai jaman
industri dan penjajahan; yang lebih buruk lagi barangkali manipulasi
manusia modern terhadap alam semesta. Inspirasi ia gali dari pemikiran
filsuf Jerman Martin Heidegger (1889-1976). Setelah itu penggunaan istilah
postmodernisme diikuti juga dalam bidang arsitektur yang cukup marak.
Dalam bidang filsafat, penggunaan istilah postmodernisme bisa dilacak
kembali pada abad ke-18 dan kaum intelektual yang menelurkan antipencerahan. Johann Georg Hamann (1730-1788) dan muridnya Johann
Gottfried Herder (1744-1803) adalah tokoh dan para pendiri yang anti
rasionalisme dan romantisisme. Mereka telah mempengaruhi para filsuf
abad ke-19 seperti Soren Kierkegaard, Arthur Schopenhauer dan Friedrich
Nietzsche yang tidak melihat realitas sebagai hal yang mati dengan mentaati
hukum-hukum yang telah ditetapkan, tetapi sebagai suatu proses
pertumbuhan organic, suatu kepercayaan yang maju menuju kehendak
yang hidup.
Filsuf German Arthur Schopenhauer dalam bukunya “The World as
Will and Representation” (1818) percaya bahwa akal budi manusia bias
mencapai sesuatu yang melebihi apa yang fenomenal (yang nampak dari
realitas) dan bias mencapai pengetahuan akan suatu yang lebih real, sesuatu yang lebih dalam. Dunia, menurut keyakinan Schopenhauer memiliki
dua wajah: pertama aspek fisis dari penampilan (apa yang nampak) dan
kedua yang lebih dalam yang bukan hanya permukaan, tetapi juga isi.
Memang dunia filsafat dikuasai oleh Fenomenologi, tetapi ia hanya
memikirkan yang tampak, yang fenomenal saja, meneliti kaitan kausal
antara mereka; tetapi cara pikir semacam itu tidak mengenal sub-stratum
dari realitas, isi dari realitas; maka juga gagal mengerti ada dan eksistensi.
Itulah isu yang dipikirkan oleh Michel Foucault, Derrida dan Deleuze. Maka
konklusi Schopenhauer ialah bahwa pengalaman manusia secara mendasar
itu pesimistik.
Lain lagi dengan Nietzsche yang tidak kenal lelah dalam mendiaknosis
kategori dari modernitas. Ia menyebutnya sebagai ‘nihilisme’ atau
‘penolakan radikal terhadap nilai, arti dan desirabilitas. Dalam karyanya
“The Birth of Tragedy” dia membuka asal-usul dari kondisi ini. Dia
Telaah Buku
217
berargumentasi bahwa filsafat barat dikarakterisasi oleh dualitas antara
apa yang nampak dan apa yang real. Dia yakin bahwa dualitas yang ada
dalam pemikiran barat bisa dilacak kembali dalam “dualitas Apollo dan
Dionysius” yang merupakan karakter seni Yunani. Yang satu tenang dan
yang lain hura-hura. Seni Apollo adalah yang nampak, seni ukir, lukisan
dan seni epik. Sebaliknya yang Dionysian itu yang kurang jelas, baik dalam
musik maupun tragedi.
Munculnya postmodernisme terkait dengan adanya krisis humanisme.
Ini dapat kita lihat misalnya pada kritik Martin Heidegger atas humanisme
setelah munculnya Nietzche dalam panggung pemikiran. Lebih lanjut
persoalan ini dipertajam dan diperluas setelah strukturalisme (bisa dilihat
pada bidang anthropologi Claude Levi-Strauss, fenemenolog Maurice
Merleau-Ponty, Louis Althusser, dsb.) . Proyek dari poststructuralist
menandai awal dari revolusi postmodernisme dalam pengetahuan
humaniora. Selanjutnya buku ini, pada bagian pembahasan ini, melihat
yang lebih detail dari pemikiran para filsuf dan teorist sosial yang karyakarya mereka merupakan dasar dari postmodernisme. Mereka yang
ditampilkan oleh penulis buku ini ialah: Michel Foucault, Jacques Derrida,
Jean-Francois Lyotard, Gilles Deleuze, Luce Irigaray. Mereka yang kami
sebutkan ini adalah berkaitan dengan krisis humanisme dan postmodernisme. Kemudian mereka yang tergolong teorist (ahli teori)
postmodernitas dan postmodern adalah: Jean Baudrillard, dan Fredric
Jameson. Dan para pemikir yang diambil ide-idenya untuk melengkapi
penjelasan dari buku ini adalah Marshall Berman dan Zygmunt Bauman.
Dari sekian pemikir itu tampaknya Jean-Francois Lyotard, Michel Foucault
dan Jacques Derrida yang ide-idenya banyak diambil oleh penulis untuk
memberi penjelasan terhadap dasar-dasar postmodernisme.
Menurut hemat kami, buku ini pantas dibaca oleh mereka yang pengin
tahu dengan lebih baik apa itu postmodernisme, postmodernitas, dan
postmodern. Buku ini secara sederhana dan gamblang mencoba
membeberkan asal-usul istilah-istilah tersebut, bagaimana penggunaan
istilah-istilah tersebut dan terutama bagaimana kaitannya dengan
pemikiran filosofis. Juga bagaimana evolusi istilah tersebut dan ramifikasi
politisnya tidak dilupakan pembahasannya oleh penulis. Memang tuduhantuduhan seperti postmodernisme itu dangkal, stereotif, terlalu diobral
penggunaan istilahnya tetap bisa muncul kalau orang tidak mengenal
dan masuk ke dalam dunia postmodernisme itu sendiri. Umumnya kalau
orang melihat hutan postmodernisme dari jauh tampak teratur pohonpohonnya., tetapi orang perlu juga masuk ke dalam hutan supaya tahu
seluk beluk dari pohon-pohon yang ada di dalam hutan postmodernisme
tersebut.
Y.B. Isdaryanto
218
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005
Download