1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seni pertunjukan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seni pertunjukan Indonesia memiliki ciri istimewa, yaitu sebagai sosok
seni yang sangat lentur dan cair karena lingkungan masyarakatnya selalu berada
dalam kondisi yang terus berubah pada suatu kurun waktu tertentu, mapan, dan
tumbuh sebagai suatu "tradisi" (Kayam, 1981:21). "Tradisi" yang dimaksud di
sini adalah penerimaan masyarakat kepada suatu "hasil budaya" yang dialihteruskan secara turun-temurun. Seni pertunjukan tradisi juga tumbuh bersama
dengan sistem kepercayaan dalam masyarakat pertanian, yang teraktualisasi
dalam berbagai ritus yang nantinya menyebabkan keanekaragaman bentuk dan
gerak seni pertunjukan tradisi.
Soedarsono (2003:1) menyebutkan fungsi seni pertunjukan di dalam
kehidupan masyarakat sangat beragam, di antaranya sebagai ritual kesuburan,
memperingati daur hidup sejak kelahiran manusia sampai meninggal, mengusir
wabah penyakit, melindungi masyarakat dari berbagai ancaman bahaya, hiburan
pribadi, presentasi estetik (tontonan), media propaganda, penggugah solidaritas
sosial, pengikat solidaritas nasional, dan sebagainya. Seni pertunjukan tradisi
disebut juga seni pertunjukan "lokal" karena tumbuh dan berkembang di
berbagai wilayah etnis di KePulauan Indonesia. Keberadaan seni pertunjukan di
tiap-tiap
wilayah
etnis
berlainan
bentuk,
1
karakter,
dan
mengalami
2
perkembangan sejarah sendiri-sendiri. Dalam perkembangan masyarakat
selanjutnya, seni pertunjukan tradisi juga menjadi salah satu daya tarik wisata.
Perkembangan seni yang berpijak pada tradisi sebagai salah satu daya
tarik pariwisata tidak jarang ditempatkan di barisan depan untuk menyongsong
kedatangan wisatawan (Kusmayati, 2000:2). Aspek-aspek penopang wujud seni
yang tampil sekilas dipandang memiliki kekuatan atau pesona yang mampu
memberikan pengalaman kenangan bagi para wisatawan, baik domestik
maupun mancanegara. Hampir seluruh jenis seni pertunjukan, seperti seni
musik, tari, dan teater saat ini diselenggarakan untuk menunjang kebutuhan
pariwisata dan beberapa juga diselenggarakan di luar kepentingan utamanya.
Pariwisata telah menyebabkan terjadinya pergeseran dari seni sebagai ideologi
agama, ekspresi jiwa berkembang menjadi ideologi ekonomi dengan tujuan
komersialisasi.
Kenyataan bahwa seni pertunjukan tradisi telah turut ditempatkan di
dalam aktivitas industri pariwisata, teramati dari adanya pengemasan seni yang
lebih praktis. Berbagai cara dilakukan, seperti pemadatan, variasi, dan membuat
lebih atraktif. Tujuannya adalah agar pertunjukan sesuai dengan sifat-sifat
pariwisata yang memiliki waktu terbatas untuk menonton seni pertunjukan
pariwisata. Namun, para pengamat dan pendukung seni pertunjukan tradisi
menanggapi berbeda-beda ketika menghadapi kenyataan ini. Di satu sisi,
mereka yang mendukung tidak ragu untuk menyambut dampak positif
keterlibatan pariwisata di dalam kehidupannya, sementara di sisi lain, mereka
yang khawatir menyuarakan kebimbangan kalau tidak mengecamnya.
3
Jika dipahami lebih dalam, sebenarnya ini sesuai dengan hakikat seni
sebagai bagian dari kebudayaan yang selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan manusianya. Oleh sebab itu, sesungguhnya seni pertunjukan
tradisi tidak dapat dijadikan sebagai seni yang berhenti dan mempertahankan
yang sudah ada saja, tetapi berdinamika. Seperti yang disampaikan oleh
Kodiran (1998: 541-544) bahwa kesenian mengalami perubahan sejalan dengan
pola-pola berpikir masyarakatnya. Hubungan antara seni, masyarakat, dan
komunitasnya saling memengaruhi. Selain itu
memberikan juga dampak
perubahan pola berpikir dan bermacam-macam fenomena perkembangan dalam
seni pertunjukan (Graburn, 1976:10-11).
Dampak hubungan tersebut terlihat dari keragaman seni pertunjukan di
Indonesia. Salah satu fenomena seni pertunjukan dipengaruhi oleh dampak pola
pikir dan fenomena perkembangan yang ada. Salah satu di antaranya adalah
seni pertunjukan gandrung tradisi di Desa Dasan Tereng Kecamatan Narmada
Lombok Barat. Seni pertunjukan gandrung merupakan
nama sebuah seni
pertunjukan tradisi Indonesia yang terdapat di sejumlah wilayah, yakni
Banyuwangi (Jawa Timur), Bali, dan Lombok (Nusa Tenggara Barat). Tiap-tiap
seni memiliki ciri khas keunikan tersendiri, kekhasannya tidak dimiliki oleh
kesenian lain. Dilihat dari konteks sejarahnya gandrung merupakan sebuah seni
pertunjukan
yang
awalnya
berada
dalam
konteks
tradisi.
Dengan
berkembangnya zaman, pola pikir, dan tekanan dari Islam waktu lima seni
pertunjukan gandrung tradisi berubah sebagai seni pertunjukan gandrung masa
kini atau modern. Artinya, sekarang selain sebagai seni pertunjukan tradisi ia
4
juga dipertunjukan untuk tujuan di luar kepentingan tradisi seperti acara musik
pop. Situasi ini bisa dipandang sebagai pergeseran dan modifikasi nilai seni
pertunjukan gandrung tradisi dari nilai sakral ke nilai profan.
Di daerah Banyuwangi seni pertunjukan gandrung tradisi berkembang di
kalangan rakyat sejak zaman kerajaan, masa penjajahan, hingga sekarang.
Peranan seni pertunjukan gandrung tradisi Banyuwangi sangat besar terutama
pada penampilannya dan gending-gending yang dibawakan sangat menarik.
Dengan demikian, seni pertunjukan gandrung tradisi berfungsi sebagai filter
masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat setempat.
Tidak mengherankan seni pertunjukan gandrung tradisi Banyuwangi masih
mendapat perhatian baik di kalangan masyarakat pendukungnya.
Begitu pula dengan keberadaan seni pertunjukan gandrung tradisi di
beberapa daerah di Bali masih mendapat perhatian dari masyarakat
pendukungnya. Salah satu seni pertunjukan gandrung tradisi di Bali adalah
Gandrung Ketapian. Pada awal diciptakan tarian gandrung berfungsi untuk
mengusir wabah penyakit. Ketapian adalah salah satu tempat di wilayah Jalan
Katrangan Kelurahan Sumerta, Denpasar Timur. Keunikan tarian ini, yaitu
penari tidak mencari pengibing (seperti dalam tarian joged bumbung). Akan
tetapi pengibing yang datang sendiri untuk ikut menari. Hal ini dilakukan
karena seni pertunjukan gandrung Ketapian ini merupakan sebuah tari sakral
sehingga nilai kesakralannya tetap dijaga hingga sekarang. Fenomena yang
sama juga terjadi di beberapa desa tua (Bali Aga) di Kabupaten Buleleng yang
berada di Bali Utara, seperti Desa Sidatapa, Cempaga, Pacung, dan Sembiran.
5
Di daerah tersebut tradisi gandrung menjadi tarian sakral yang dipentaskan
secara berkala sebagai wujud syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Berbeda halnya dengan seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, seni
pertunjukan gandrung tradisi pada awalnya berfungsi sebagai tarian ucapan
syukur atas rahmat Yang Mahakuasa setelah panen padi. Akhirnya, berkembang
sebagai tarian hiburan pesta perkawinan, khitanan, dan upacara daur hidup
lainnya. Seni pertunjukan gandrung bisa ditemukan di Pulau Lombok, seperti
Desa Lenek dan Desa Suwangi (Lombok Timur) serta di Desa Dasan Tereng di
Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat (wawancara Dengan Ibu Sri
Yaningsih,tanggal 15 Juli 2013). Keberadaan seni pertunjukan gandrung tradisi
Lombok diperkirakan telah ada pada tahun 1907-1910. Seni itu berasal dari
Banyuwangi melewati Bali Utara menuju ke Lombok. Hal itu terjadi mengingat
adanya hubungan perdagangan antara Bali Utara dan Banyuwangi. Pada saat
pemerintahan I Gusti Putu Geria dari Singaraja yang diangkat sebagai pepatih
di Lombok, diadakan pesta keramaian di Mataram, dengan mendatangkan tim
kesenian dari Bali Utara (Singaraja) ke Mataram. Salah satu di antara kesenian
tersebut adalah seni pertunjukan gandrung (Yaningsih dkk., 1993:13). Seni
pertunjukan gandrung merupakan salah satu seni pertunjukan populer di antara
seni pertunjukan lainnya di Lombok. Pada tahun 1920-an, penari gandrung
tradisi berjenis kelamin laki-laki diselang-selingi dengan yang perempuan.
Namun, pada tahun 1930-an penari gandrung lebih banyak ditarikan oleh
perempuan. Sejak itu tarian ini menyebar ke seluruh pelosok Lombok.
6
Keberadaan seni pertunjukan gandrung tradisi sebagai seni pertunjukan
masa kini dapat dilihat dari beragamnya etnis pendukung seni pertunjukan
gandrung tradisi tersebut. Van der Kraan (1980:2) dalam buku Lombok,
Conquest, Colonization, and Underdevelopment (1870-1940) menyatakan ada
tiga pengaruh besar datang dari luar yang mengadakan interaksi dengan rakyat
Lombok pada pengujung abad ke-19. Pertama, pengaruh kebudayaan Jawa
sangat kuat yang mungkin berasal dari abad ke-15 dan 16. Kedua, pengaruh
bersama antara Bali dan Makassar pada abad ke-17. Ketiga, masa konsolidasi
kekuatan politik Bali mulai awal abad ke-18 dan seterusnya sampai runtuhnya
dominasi Bali di Lombok (1894) dengan raja terakhir, yaitu Ratu Agung Ketut
Karangasem. Akibat perang Lombok raja ini dibuang ke Batavia (Jakarta) oleh
Belanda.
Bukti sejarah adanya hubungan Jawa, Bali, dan Lombok dilihat dari
beberapa kesamaan budaya, seperti dalam bahasa dan tulisan. Jika ditelusuri,
asal usul banyak berakar dari Hindu Jawa. Hal itu tidak lepas dari pengaruh
penguasaan kerajaan Majapahit yang mengirimkan anggota keluarganya untuk
memerintah atau membangun kerajaan di Lombok. Pengaruh Bali memang
sangat kental dalam kebudayaan Lombok.
Hal tersebut tidak lepas dari
ekspansi oleh kerajaan Karangasem Bali sekitar tahun 1740 di bagian barat
Pulau Lombok. Hal itu dapat dilihat dari terciptanya genre-genre campuran
dalam kesenian atau terjadi akulturasi budaya Bali dan Lombok.
Silih bergantinya penguasaan di Pulau Lombok dan masuknya pengaruh
budaya luar membawa dampak semakin kaya dan beragamnya khazanah
7
kebudayaan Sasak. Menurut Yaningsih dkk. (1993:8), “seni pertunjukan
gandrung gaya Sasak/Lombok” adalah gaya tari yang merupakan perpaduan
estetis dari unsur-unsur tari dari Jawa, Banyuwangi, Bali, dan unsur-unsur
estetis lokal, yaitu Lombok.
Dari konteks perjalanan sejarah yang cukup panjang dan intens tersebut,
diperoleh aneka pengaruh bentuk-bentuk kesenian dan adat istiadat. Sejarah
kedatangan orang-orang luar ke Pulau Lombok, baik dengan jalan kekerasan
maupun dengan jalan damai (dagang) tercermin pada keanekaragaman kesenian
yang ada di daerah ini. Menurut Yaningsih dkk. (1993/1994:6), penduduk suku
Sasak dan Bali telah saling meminjam kesenian dan keduanya bersama-sama
menyerap atau mengubah wajah tradisi-tradisi seni pertunjukan dari Jawa.
Interaksi budaya dan seni musik khususnya antara suku-suku bangsa telah
berlangsung selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Hal ini terbukti terdapat (1)
kesenian-kesenian yang termasuk dalam rumpun Jawa Bali, (2) keseniankesenian yang termasuk dalam rumpun Melayu, dan (3) kesenian-kesenian yang
termasuk dalam rumpun yang bernapaskan Islam. Senada dengan itu, menurut
Harnish (1985:103), dalam “Musical Tradition of Lombok Balinese” banyak
genre seni pertunjukan tradisional di Lombok berasal dari tradisi-tradisi seni
pertunjukan kelompok etnik lainnya.
Hal yang sama juga terjadi pada gandrung. Artinya, penyebaran dan
perkembangan seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok tidak terlepas dari
faktor akulturasi karena semakin terbukanya sistem kekerabatan masyarakat
suku Sasak dalam menerima anggota keluarga dari etnis lain dan semakin
8
banyaknya terjadi mobilitas penduduk (Larasati, 1996:15). Faktor ikatan
bertambah erat dengan terjalinnya hubungan antara penduduk Lombok
(masyarakat suku Sasak) dan penduduk Bali. Dalam praktik keseharian, orangorang yang tinggal di Lombok Barat mempunyai hubungan kekeluargaan yang
erat dengan orang-orang yang bermukim di Bali, khususnya Bali bagian timur.
Kekeluargaan inilah yang kini dikenal dengan istilah “sidikara” (Amin et al.,
1977/1978:22). Melalui ikatan kekeluargaan yang erat, tidak jarang beberapa
unsur kebudayaan turut serta terbawa, misalnya dalam bentuk bahasa, kesenian,
adat istiadat, dan kerajinan.
Saat ini mayoritas pendukung seni pertunjukan gandrung tradisi
Lombok
beragama Islam. Seni pertunjukan gandrung tradisi merupakan
warisan tradisi Islam wetu telu suku Sasak. Wetu telu dalam sejarahnya adalah
wujud akulturasi kebudayaan Hindu dan Islam. Hindu sebagai agama awal
masuk ke Lombok memberikan dasar ideologi yang cukup kuat. Hal ini
mewarnai kehidupan seni gandrung yang nantinya diidentikkan sebagai budaya
Islam wetu telu. Islam sebagai agama masuk ke Lombok sepanjang abad XVI
Masehi berasal dari berbagai daerah. Pertama, berasal dari Jawa dengan cara
Islam masuk lewat Lombok Timur. Kedua, pengislaman berasal dari Makasar
dan Sumbawa. Ketika ajaran Islam diterima oleh kaum bangsawan ajaran
tersebut dengan cepat menyebar ke kerajaan-kerajaan di Lombok Timur dan
Lombok Tengah.
Pemahaman awal masyarakat Lombok, khususnya masyarakat Islam
wetu telu suku Sasak, bahwa seni pertunjukan gandrung tradisi ditarikan oleh
9
seorang penari laki-laki berbusana perempuan, diiringi seperangkat gamelan
cungklik (sabarungan dalam istilah suku Sasak), puisi, dan nyanyian dalam
bahasa suku Sasak disebut lelakaq, dan sandaran (Larasati, 1996:16). Seni
pertunjukan gandrung tradisi Lombok biasanya dipentaskan dalam perayaan
pesta desa setelah masa panen padi, dengan penuh suka cita dan syukur dari
masyarakat suku Sasak.
Seiring dengan perkembangan zaman, pola piker, dan pengaruh
kekuasaan, seni pertunjukan tradisi secara umum di Lombok mulai
termarginalkan. Hal yang sama juga terjadi pada kesenian tari gandrung tradisi
dengan pendukung Islam wetu telu di Desa Dasan Tereng, Lombok Barat
sebagai pusat tarian ini. Islam wetu telu mengatakan bahwa seni pertunjukan
gandrung tradisi merupakan sebuah tari pergaulan masyarakat. Kini kesenian
ini mengalami berbagai peminggiran, padahal seni pertunjukan gandrung di
Desa Dasan Tereng, Lombok Barat merupakan salah satu warisan tari
tradisional masyarakat Islam wetu telu suku Sasak.
Seni pertunjukan gandrung merupakan tari tradisi yang dipentaskan
secara turun temurun. Sekarang sosok penarinya tidak muda lagi karena mereka
keturunan dari terdahulu dan anak muda sekarang tidak mau menari gandrung
tradisi. Hal itu disebabkan oleh menari tari gandrung tradisi dirasakan kuno
dan larangan dari suami bagi yang sudah menikah. Pergeseran juga terjadi
dalam berbagai bidang. Salah satu di antaranya dari musik iringannya. Seni
pertunjukan gandrung tradisi pada awalnya memakai musik iringan cungklik
(gamelan khas suku Sasak). Namun, sekarang memakai barungan gamelan gong
10
kebyar, yaitu gamelan dari Bali. Seni pertunjukan gandrung tradisi selain
langka peminat karena yang suka hanya orang tua-tua juga jarang diikutkan,
baik dalam berbagai kegiatan regional, nasional, maupun internasional.
Fenomena ini menyebabkan seni pertunjukan gandrung tradisi semakin
termarginal dalam lingkungan masyarakat pendukungnya.
Bergesernya nilai seni pertunjukan gandrung tradisi tidak lepas dari
adanya berbagai aspek kepentingan, pengikisan sistem nilai budaya, keberadaan
Islam wetu telu suku Sasak mulai sedikit penganutnya. Di samping itu juga
telah diterimanya ajaran Islam waktu lima secara luas di berbagai daerah di
Indonesia, termasuk di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat.
Seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok termarginalisasi, antara lain
munculnya banyak pilihan budaya global, terjadinya kecenderungan profanisasi
akibat kehidupan modern, datangnya pengaruh pariwisata yang semakin
menyebabkan profanisasi, berlangsungnya gerakan pemurnian (ortodoksi) Islam
masa pemerintahan Soeharto yang melakukan pengislaman murni di daerah
Lombok dengan mengirim para ulama muslim (ustad). Hal ini menarik
dipersoalkan secara keilmuan sebagai sebuah kajian budaya dengan tujuan
tertentu demi emansipasi kelompok terpinggirkan dalam persoalan yang
dibahas sebagaimana dikatakan Barker (2009:6), bahwa fenomena sosial selalu
terjadi karena ada ideologi yang memengaruhi. Hal itu melibatkan berbagai
struktur, ada hegemoni, dan dominasi. Sebaliknya, dipinggirkan dari struktur
didominasi dan dihegemoni oleh pemilik modal yang lainnya. Semua itu
menyebabkan terjadi perubahan sosial dalam masyarakat.
11
Perubahan sosial memengaruhi keberadaan seni pertunjukan Lombok,
khususnya seni pertunjukan gandrung tradisi di Desa Dasan Tereng, Lombok,
Nusa Tenggara Barat. Gandrung mulai termarginal tidak saja dilihat sebagai
perubahan sosial semata, tetapi bisa didekonstruksi sebagai sebuah fenomena
sosial yang melibatkan berbagai ideologi, praktek modal kuasa, ekonomi, dan
struktur sosial lainnya. Hal ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam lagi
dalam sebuah penelitian kajian budaya kritis. Realita sosial di kalangan
masyarakat Islam wetu telu sebagai pendukung utama seni gandrung
bertentangan dengan visi dan misi pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat
telah berkomitmen untuk mengembangkan masyarakat madani yang berakhlak
mulia, berbudaya, menghormati pluralitas, dan kesetaraan gender (Martono
2011:4). Namun, pada kenyataan di lapangan justru keberadaan seni
pertunjukan gandrung tradisi yang merupakan warisan budaya tradisi Islam
wetu telu suku Sasak mengalami marginalisasi.
Sejak tahun 1992-an hingga sekarang seni pertunjukan gandrung tradisi
tidak termasuk ke dalam daftar seni pertunjukan di Kabupaten Lombok Barat.
Sekaa yang terdiri atas empat puluh sekaa tidak ada satu pun yang menyatakan
seni pertunjukan gandrung tradisi. Hal ini membuktikan bahwa seni
pertunjukan gandrung tradisi benar-benar termaginalkan di dalam lingkungan
masyarakat pendukungnya. Walaupun seni pertunjukan gandrung tidak terdaftar
ke dalam
seni pertunjukan di Kabupaten Lombok Barat, masyarakat
pendukungnya masih mengakui keberadaan seni pertunjukan gandrung tersebut.
Tidak mengherankan jika pementasan seni pertunjukan gandrung tradisi sangat
12
jarang karena pada setiap acara pernikahan, khitanan, maupun dan acara adat
lainya lebih banyak ditampilkan pertunjukan ale-ale. Dapat dikatakan bahwa
frekuensi penampilan kesenian gandrung tradisi saat ini satu banding sembilan
dengan pertunjukan ala-ale atau kesenian lainnya dalam acara-acara adat.
Marginalisasi kesenian gandrung tradisi di Desa Dasan Tereng,
Lombok, Nusa Tenggara Barat menyebabkan perubahan pada gandrung tradisi
dan masyarakat pendukungnya. Implikasi ini akan mengubah struktur seni
gandrung tradisi dan struktur sosial masyarakat di Desa Dasan Tereng,
Lombok, Nusa Tenggara Barat. Perubahan struktur seni dan masyarakat
pendukungnya membawa dampak positif dan negatif. Masyarakat pendukung
yang masih ada tentunya juga masih berupaya tetap menjaga keajekannya. Ini
tentunya menyebabkan ada penyesuaian dan
ada hal yang dipertahankan.
Bentuk-bentuk perubahan dan implikasinya ini
dikaji lebih lanjut dalam
penelitian yang berjudul “Marginalisasi Kesenian Gandrung Tradisi Lombok,
Nusa Tenggara Barat”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini dapat
dirumuskan ke dalam beberapa pertanyaan berikut.
(1) Bagaimanakah bentuk marginalisasi seni pertunjukan gandrung
tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat?
(2) Apa yang melakatarbelakangi marginalisasi seni pertunjukan
gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat ?
13
(3) Apakah implikasi dan makna marginalisasi seni pertunjukan
gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, memahami,
dan mendeskripsikan berbagai hal yang terkait dengan fenomena marginalisasi
seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat. Hal ini
menjadi ironis dan paradoksal mengingat pada saat ini Lombok, Nusa Tenggara
Barat berkembang sebagai destinasi pariwisata internasional.
1.3.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini secara khusus dilakukan untuk tujuan-tujuan berikut.
(1) Memahami bentuk marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi
Lombok, Nusa Tenggara Barat.
(2) Memahami latar belakang proses marginalisasi seni pertunjukan
gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat.
(3) Memahami implikasi dan makna marginalisasi seni pertunjukan
gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara
teoretis maupun praktis.
14
1.4.1 Manfaat Teoretis
Hasil penelitian diharapkan menjadi referensi ilmiah bagi penelitian
selanjutnya. Selain itu, penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan
dalam mengembangkan wawasan keilmuan di bidang seni pertunjukan,
khususnya bidang kajian budaya (cultural studies), termasuk konseptualisasi
dan fenomena marginalisasi seni pertunjukan gandrung Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Penelitian kajian budaya ini sebagai sebuah bidang
interdisipliner dan multidisipliner dan terkait erat, terutama dengan estetika,
sosiologi, budaya, agama, dan pariwisata.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi kepada pihak
pemegang kebijakan pada instansi pemerintah (Pemerintah Mataram, Nusa
Tenggara Barat dan Pemerintah Indonesia umumnya), sebagai bahan
pembuatan kebijakan kebudayaan, khususnya seni pertunjukan daerah. Bagi
pelaku kebudayaan dan masyarakat setempat, penelitian ini dapat dipakai
sebagai salah satu strategi dalam upaya menyelamatkan, melakukan pelestarian,
pengembangan, dan pemanfaatan seni pertunjukan gandrung dalam konteks
tradisi setempat (Sasak). Di samping itu, juga bermanfaat bagi kehidupan
global pariwisata yang secara ekonomi dapat mendatangkan keuntungan bagi
kesejahteraan masyarakatnya.
Download