BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seni pertunjukan Indonesia memiliki ciri istimewa, yaitu sebagai sosok seni yang sangat lentur dan cair karena lingkungan masyarakatnya selalu berada dalam kondisi yang terus berubah pada suatu kurun waktu tertentu, mapan, dan tumbuh sebagai suatu "tradisi" (Kayam, 1981:21). "Tradisi" yang dimaksud di sini adalah penerimaan masyarakat kepada suatu "hasil budaya" yang dialihteruskan secara turun-temurun. Seni pertunjukan tradisi juga tumbuh bersama dengan sistem kepercayaan dalam masyarakat pertanian, yang teraktualisasi dalam berbagai ritus yang nantinya menyebabkan keanekaragaman bentuk dan gerak seni pertunjukan tradisi. Soedarsono (2003:1) menyebutkan fungsi seni pertunjukan di dalam kehidupan masyarakat sangat beragam, di antaranya sebagai ritual kesuburan, memperingati daur hidup sejak kelahiran manusia sampai meninggal, mengusir wabah penyakit, melindungi masyarakat dari berbagai ancaman bahaya, hiburan pribadi, presentasi estetik (tontonan), media propaganda, penggugah solidaritas sosial, pengikat solidaritas nasional, dan sebagainya. Seni pertunjukan tradisi disebut juga seni pertunjukan "lokal" karena tumbuh dan berkembang di berbagai wilayah etnis di KePulauan Indonesia. Keberadaan seni pertunjukan di tiap-tiap wilayah etnis berlainan bentuk, 1 karakter, dan mengalami 2 perkembangan sejarah sendiri-sendiri. Dalam perkembangan masyarakat selanjutnya, seni pertunjukan tradisi juga menjadi salah satu daya tarik wisata. Perkembangan seni yang berpijak pada tradisi sebagai salah satu daya tarik pariwisata tidak jarang ditempatkan di barisan depan untuk menyongsong kedatangan wisatawan (Kusmayati, 2000:2). Aspek-aspek penopang wujud seni yang tampil sekilas dipandang memiliki kekuatan atau pesona yang mampu memberikan pengalaman kenangan bagi para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Hampir seluruh jenis seni pertunjukan, seperti seni musik, tari, dan teater saat ini diselenggarakan untuk menunjang kebutuhan pariwisata dan beberapa juga diselenggarakan di luar kepentingan utamanya. Pariwisata telah menyebabkan terjadinya pergeseran dari seni sebagai ideologi agama, ekspresi jiwa berkembang menjadi ideologi ekonomi dengan tujuan komersialisasi. Kenyataan bahwa seni pertunjukan tradisi telah turut ditempatkan di dalam aktivitas industri pariwisata, teramati dari adanya pengemasan seni yang lebih praktis. Berbagai cara dilakukan, seperti pemadatan, variasi, dan membuat lebih atraktif. Tujuannya adalah agar pertunjukan sesuai dengan sifat-sifat pariwisata yang memiliki waktu terbatas untuk menonton seni pertunjukan pariwisata. Namun, para pengamat dan pendukung seni pertunjukan tradisi menanggapi berbeda-beda ketika menghadapi kenyataan ini. Di satu sisi, mereka yang mendukung tidak ragu untuk menyambut dampak positif keterlibatan pariwisata di dalam kehidupannya, sementara di sisi lain, mereka yang khawatir menyuarakan kebimbangan kalau tidak mengecamnya. 3 Jika dipahami lebih dalam, sebenarnya ini sesuai dengan hakikat seni sebagai bagian dari kebudayaan yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan manusianya. Oleh sebab itu, sesungguhnya seni pertunjukan tradisi tidak dapat dijadikan sebagai seni yang berhenti dan mempertahankan yang sudah ada saja, tetapi berdinamika. Seperti yang disampaikan oleh Kodiran (1998: 541-544) bahwa kesenian mengalami perubahan sejalan dengan pola-pola berpikir masyarakatnya. Hubungan antara seni, masyarakat, dan komunitasnya saling memengaruhi. Selain itu memberikan juga dampak perubahan pola berpikir dan bermacam-macam fenomena perkembangan dalam seni pertunjukan (Graburn, 1976:10-11). Dampak hubungan tersebut terlihat dari keragaman seni pertunjukan di Indonesia. Salah satu fenomena seni pertunjukan dipengaruhi oleh dampak pola pikir dan fenomena perkembangan yang ada. Salah satu di antaranya adalah seni pertunjukan gandrung tradisi di Desa Dasan Tereng Kecamatan Narmada Lombok Barat. Seni pertunjukan gandrung merupakan nama sebuah seni pertunjukan tradisi Indonesia yang terdapat di sejumlah wilayah, yakni Banyuwangi (Jawa Timur), Bali, dan Lombok (Nusa Tenggara Barat). Tiap-tiap seni memiliki ciri khas keunikan tersendiri, kekhasannya tidak dimiliki oleh kesenian lain. Dilihat dari konteks sejarahnya gandrung merupakan sebuah seni pertunjukan yang awalnya berada dalam konteks tradisi. Dengan berkembangnya zaman, pola pikir, dan tekanan dari Islam waktu lima seni pertunjukan gandrung tradisi berubah sebagai seni pertunjukan gandrung masa kini atau modern. Artinya, sekarang selain sebagai seni pertunjukan tradisi ia 4 juga dipertunjukan untuk tujuan di luar kepentingan tradisi seperti acara musik pop. Situasi ini bisa dipandang sebagai pergeseran dan modifikasi nilai seni pertunjukan gandrung tradisi dari nilai sakral ke nilai profan. Di daerah Banyuwangi seni pertunjukan gandrung tradisi berkembang di kalangan rakyat sejak zaman kerajaan, masa penjajahan, hingga sekarang. Peranan seni pertunjukan gandrung tradisi Banyuwangi sangat besar terutama pada penampilannya dan gending-gending yang dibawakan sangat menarik. Dengan demikian, seni pertunjukan gandrung tradisi berfungsi sebagai filter masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Tidak mengherankan seni pertunjukan gandrung tradisi Banyuwangi masih mendapat perhatian baik di kalangan masyarakat pendukungnya. Begitu pula dengan keberadaan seni pertunjukan gandrung tradisi di beberapa daerah di Bali masih mendapat perhatian dari masyarakat pendukungnya. Salah satu seni pertunjukan gandrung tradisi di Bali adalah Gandrung Ketapian. Pada awal diciptakan tarian gandrung berfungsi untuk mengusir wabah penyakit. Ketapian adalah salah satu tempat di wilayah Jalan Katrangan Kelurahan Sumerta, Denpasar Timur. Keunikan tarian ini, yaitu penari tidak mencari pengibing (seperti dalam tarian joged bumbung). Akan tetapi pengibing yang datang sendiri untuk ikut menari. Hal ini dilakukan karena seni pertunjukan gandrung Ketapian ini merupakan sebuah tari sakral sehingga nilai kesakralannya tetap dijaga hingga sekarang. Fenomena yang sama juga terjadi di beberapa desa tua (Bali Aga) di Kabupaten Buleleng yang berada di Bali Utara, seperti Desa Sidatapa, Cempaga, Pacung, dan Sembiran. 5 Di daerah tersebut tradisi gandrung menjadi tarian sakral yang dipentaskan secara berkala sebagai wujud syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Berbeda halnya dengan seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, seni pertunjukan gandrung tradisi pada awalnya berfungsi sebagai tarian ucapan syukur atas rahmat Yang Mahakuasa setelah panen padi. Akhirnya, berkembang sebagai tarian hiburan pesta perkawinan, khitanan, dan upacara daur hidup lainnya. Seni pertunjukan gandrung bisa ditemukan di Pulau Lombok, seperti Desa Lenek dan Desa Suwangi (Lombok Timur) serta di Desa Dasan Tereng di Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat (wawancara Dengan Ibu Sri Yaningsih,tanggal 15 Juli 2013). Keberadaan seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok diperkirakan telah ada pada tahun 1907-1910. Seni itu berasal dari Banyuwangi melewati Bali Utara menuju ke Lombok. Hal itu terjadi mengingat adanya hubungan perdagangan antara Bali Utara dan Banyuwangi. Pada saat pemerintahan I Gusti Putu Geria dari Singaraja yang diangkat sebagai pepatih di Lombok, diadakan pesta keramaian di Mataram, dengan mendatangkan tim kesenian dari Bali Utara (Singaraja) ke Mataram. Salah satu di antara kesenian tersebut adalah seni pertunjukan gandrung (Yaningsih dkk., 1993:13). Seni pertunjukan gandrung merupakan salah satu seni pertunjukan populer di antara seni pertunjukan lainnya di Lombok. Pada tahun 1920-an, penari gandrung tradisi berjenis kelamin laki-laki diselang-selingi dengan yang perempuan. Namun, pada tahun 1930-an penari gandrung lebih banyak ditarikan oleh perempuan. Sejak itu tarian ini menyebar ke seluruh pelosok Lombok. 6 Keberadaan seni pertunjukan gandrung tradisi sebagai seni pertunjukan masa kini dapat dilihat dari beragamnya etnis pendukung seni pertunjukan gandrung tradisi tersebut. Van der Kraan (1980:2) dalam buku Lombok, Conquest, Colonization, and Underdevelopment (1870-1940) menyatakan ada tiga pengaruh besar datang dari luar yang mengadakan interaksi dengan rakyat Lombok pada pengujung abad ke-19. Pertama, pengaruh kebudayaan Jawa sangat kuat yang mungkin berasal dari abad ke-15 dan 16. Kedua, pengaruh bersama antara Bali dan Makassar pada abad ke-17. Ketiga, masa konsolidasi kekuatan politik Bali mulai awal abad ke-18 dan seterusnya sampai runtuhnya dominasi Bali di Lombok (1894) dengan raja terakhir, yaitu Ratu Agung Ketut Karangasem. Akibat perang Lombok raja ini dibuang ke Batavia (Jakarta) oleh Belanda. Bukti sejarah adanya hubungan Jawa, Bali, dan Lombok dilihat dari beberapa kesamaan budaya, seperti dalam bahasa dan tulisan. Jika ditelusuri, asal usul banyak berakar dari Hindu Jawa. Hal itu tidak lepas dari pengaruh penguasaan kerajaan Majapahit yang mengirimkan anggota keluarganya untuk memerintah atau membangun kerajaan di Lombok. Pengaruh Bali memang sangat kental dalam kebudayaan Lombok. Hal tersebut tidak lepas dari ekspansi oleh kerajaan Karangasem Bali sekitar tahun 1740 di bagian barat Pulau Lombok. Hal itu dapat dilihat dari terciptanya genre-genre campuran dalam kesenian atau terjadi akulturasi budaya Bali dan Lombok. Silih bergantinya penguasaan di Pulau Lombok dan masuknya pengaruh budaya luar membawa dampak semakin kaya dan beragamnya khazanah 7 kebudayaan Sasak. Menurut Yaningsih dkk. (1993:8), “seni pertunjukan gandrung gaya Sasak/Lombok” adalah gaya tari yang merupakan perpaduan estetis dari unsur-unsur tari dari Jawa, Banyuwangi, Bali, dan unsur-unsur estetis lokal, yaitu Lombok. Dari konteks perjalanan sejarah yang cukup panjang dan intens tersebut, diperoleh aneka pengaruh bentuk-bentuk kesenian dan adat istiadat. Sejarah kedatangan orang-orang luar ke Pulau Lombok, baik dengan jalan kekerasan maupun dengan jalan damai (dagang) tercermin pada keanekaragaman kesenian yang ada di daerah ini. Menurut Yaningsih dkk. (1993/1994:6), penduduk suku Sasak dan Bali telah saling meminjam kesenian dan keduanya bersama-sama menyerap atau mengubah wajah tradisi-tradisi seni pertunjukan dari Jawa. Interaksi budaya dan seni musik khususnya antara suku-suku bangsa telah berlangsung selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Hal ini terbukti terdapat (1) kesenian-kesenian yang termasuk dalam rumpun Jawa Bali, (2) keseniankesenian yang termasuk dalam rumpun Melayu, dan (3) kesenian-kesenian yang termasuk dalam rumpun yang bernapaskan Islam. Senada dengan itu, menurut Harnish (1985:103), dalam “Musical Tradition of Lombok Balinese” banyak genre seni pertunjukan tradisional di Lombok berasal dari tradisi-tradisi seni pertunjukan kelompok etnik lainnya. Hal yang sama juga terjadi pada gandrung. Artinya, penyebaran dan perkembangan seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok tidak terlepas dari faktor akulturasi karena semakin terbukanya sistem kekerabatan masyarakat suku Sasak dalam menerima anggota keluarga dari etnis lain dan semakin 8 banyaknya terjadi mobilitas penduduk (Larasati, 1996:15). Faktor ikatan bertambah erat dengan terjalinnya hubungan antara penduduk Lombok (masyarakat suku Sasak) dan penduduk Bali. Dalam praktik keseharian, orangorang yang tinggal di Lombok Barat mempunyai hubungan kekeluargaan yang erat dengan orang-orang yang bermukim di Bali, khususnya Bali bagian timur. Kekeluargaan inilah yang kini dikenal dengan istilah “sidikara” (Amin et al., 1977/1978:22). Melalui ikatan kekeluargaan yang erat, tidak jarang beberapa unsur kebudayaan turut serta terbawa, misalnya dalam bentuk bahasa, kesenian, adat istiadat, dan kerajinan. Saat ini mayoritas pendukung seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok beragama Islam. Seni pertunjukan gandrung tradisi merupakan warisan tradisi Islam wetu telu suku Sasak. Wetu telu dalam sejarahnya adalah wujud akulturasi kebudayaan Hindu dan Islam. Hindu sebagai agama awal masuk ke Lombok memberikan dasar ideologi yang cukup kuat. Hal ini mewarnai kehidupan seni gandrung yang nantinya diidentikkan sebagai budaya Islam wetu telu. Islam sebagai agama masuk ke Lombok sepanjang abad XVI Masehi berasal dari berbagai daerah. Pertama, berasal dari Jawa dengan cara Islam masuk lewat Lombok Timur. Kedua, pengislaman berasal dari Makasar dan Sumbawa. Ketika ajaran Islam diterima oleh kaum bangsawan ajaran tersebut dengan cepat menyebar ke kerajaan-kerajaan di Lombok Timur dan Lombok Tengah. Pemahaman awal masyarakat Lombok, khususnya masyarakat Islam wetu telu suku Sasak, bahwa seni pertunjukan gandrung tradisi ditarikan oleh 9 seorang penari laki-laki berbusana perempuan, diiringi seperangkat gamelan cungklik (sabarungan dalam istilah suku Sasak), puisi, dan nyanyian dalam bahasa suku Sasak disebut lelakaq, dan sandaran (Larasati, 1996:16). Seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok biasanya dipentaskan dalam perayaan pesta desa setelah masa panen padi, dengan penuh suka cita dan syukur dari masyarakat suku Sasak. Seiring dengan perkembangan zaman, pola piker, dan pengaruh kekuasaan, seni pertunjukan tradisi secara umum di Lombok mulai termarginalkan. Hal yang sama juga terjadi pada kesenian tari gandrung tradisi dengan pendukung Islam wetu telu di Desa Dasan Tereng, Lombok Barat sebagai pusat tarian ini. Islam wetu telu mengatakan bahwa seni pertunjukan gandrung tradisi merupakan sebuah tari pergaulan masyarakat. Kini kesenian ini mengalami berbagai peminggiran, padahal seni pertunjukan gandrung di Desa Dasan Tereng, Lombok Barat merupakan salah satu warisan tari tradisional masyarakat Islam wetu telu suku Sasak. Seni pertunjukan gandrung merupakan tari tradisi yang dipentaskan secara turun temurun. Sekarang sosok penarinya tidak muda lagi karena mereka keturunan dari terdahulu dan anak muda sekarang tidak mau menari gandrung tradisi. Hal itu disebabkan oleh menari tari gandrung tradisi dirasakan kuno dan larangan dari suami bagi yang sudah menikah. Pergeseran juga terjadi dalam berbagai bidang. Salah satu di antaranya dari musik iringannya. Seni pertunjukan gandrung tradisi pada awalnya memakai musik iringan cungklik (gamelan khas suku Sasak). Namun, sekarang memakai barungan gamelan gong 10 kebyar, yaitu gamelan dari Bali. Seni pertunjukan gandrung tradisi selain langka peminat karena yang suka hanya orang tua-tua juga jarang diikutkan, baik dalam berbagai kegiatan regional, nasional, maupun internasional. Fenomena ini menyebabkan seni pertunjukan gandrung tradisi semakin termarginal dalam lingkungan masyarakat pendukungnya. Bergesernya nilai seni pertunjukan gandrung tradisi tidak lepas dari adanya berbagai aspek kepentingan, pengikisan sistem nilai budaya, keberadaan Islam wetu telu suku Sasak mulai sedikit penganutnya. Di samping itu juga telah diterimanya ajaran Islam waktu lima secara luas di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. Seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok termarginalisasi, antara lain munculnya banyak pilihan budaya global, terjadinya kecenderungan profanisasi akibat kehidupan modern, datangnya pengaruh pariwisata yang semakin menyebabkan profanisasi, berlangsungnya gerakan pemurnian (ortodoksi) Islam masa pemerintahan Soeharto yang melakukan pengislaman murni di daerah Lombok dengan mengirim para ulama muslim (ustad). Hal ini menarik dipersoalkan secara keilmuan sebagai sebuah kajian budaya dengan tujuan tertentu demi emansipasi kelompok terpinggirkan dalam persoalan yang dibahas sebagaimana dikatakan Barker (2009:6), bahwa fenomena sosial selalu terjadi karena ada ideologi yang memengaruhi. Hal itu melibatkan berbagai struktur, ada hegemoni, dan dominasi. Sebaliknya, dipinggirkan dari struktur didominasi dan dihegemoni oleh pemilik modal yang lainnya. Semua itu menyebabkan terjadi perubahan sosial dalam masyarakat. 11 Perubahan sosial memengaruhi keberadaan seni pertunjukan Lombok, khususnya seni pertunjukan gandrung tradisi di Desa Dasan Tereng, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Gandrung mulai termarginal tidak saja dilihat sebagai perubahan sosial semata, tetapi bisa didekonstruksi sebagai sebuah fenomena sosial yang melibatkan berbagai ideologi, praktek modal kuasa, ekonomi, dan struktur sosial lainnya. Hal ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam lagi dalam sebuah penelitian kajian budaya kritis. Realita sosial di kalangan masyarakat Islam wetu telu sebagai pendukung utama seni gandrung bertentangan dengan visi dan misi pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat telah berkomitmen untuk mengembangkan masyarakat madani yang berakhlak mulia, berbudaya, menghormati pluralitas, dan kesetaraan gender (Martono 2011:4). Namun, pada kenyataan di lapangan justru keberadaan seni pertunjukan gandrung tradisi yang merupakan warisan budaya tradisi Islam wetu telu suku Sasak mengalami marginalisasi. Sejak tahun 1992-an hingga sekarang seni pertunjukan gandrung tradisi tidak termasuk ke dalam daftar seni pertunjukan di Kabupaten Lombok Barat. Sekaa yang terdiri atas empat puluh sekaa tidak ada satu pun yang menyatakan seni pertunjukan gandrung tradisi. Hal ini membuktikan bahwa seni pertunjukan gandrung tradisi benar-benar termaginalkan di dalam lingkungan masyarakat pendukungnya. Walaupun seni pertunjukan gandrung tidak terdaftar ke dalam seni pertunjukan di Kabupaten Lombok Barat, masyarakat pendukungnya masih mengakui keberadaan seni pertunjukan gandrung tersebut. Tidak mengherankan jika pementasan seni pertunjukan gandrung tradisi sangat 12 jarang karena pada setiap acara pernikahan, khitanan, maupun dan acara adat lainya lebih banyak ditampilkan pertunjukan ale-ale. Dapat dikatakan bahwa frekuensi penampilan kesenian gandrung tradisi saat ini satu banding sembilan dengan pertunjukan ala-ale atau kesenian lainnya dalam acara-acara adat. Marginalisasi kesenian gandrung tradisi di Desa Dasan Tereng, Lombok, Nusa Tenggara Barat menyebabkan perubahan pada gandrung tradisi dan masyarakat pendukungnya. Implikasi ini akan mengubah struktur seni gandrung tradisi dan struktur sosial masyarakat di Desa Dasan Tereng, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Perubahan struktur seni dan masyarakat pendukungnya membawa dampak positif dan negatif. Masyarakat pendukung yang masih ada tentunya juga masih berupaya tetap menjaga keajekannya. Ini tentunya menyebabkan ada penyesuaian dan ada hal yang dipertahankan. Bentuk-bentuk perubahan dan implikasinya ini dikaji lebih lanjut dalam penelitian yang berjudul “Marginalisasi Kesenian Gandrung Tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan ke dalam beberapa pertanyaan berikut. (1) Bagaimanakah bentuk marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat? (2) Apa yang melakatarbelakangi marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat ? 13 (3) Apakah implikasi dan makna marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, memahami, dan mendeskripsikan berbagai hal yang terkait dengan fenomena marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat. Hal ini menjadi ironis dan paradoksal mengingat pada saat ini Lombok, Nusa Tenggara Barat berkembang sebagai destinasi pariwisata internasional. 1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian ini secara khusus dilakukan untuk tujuan-tujuan berikut. (1) Memahami bentuk marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat. (2) Memahami latar belakang proses marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat. (3) Memahami implikasi dan makna marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis. 14 1.4.1 Manfaat Teoretis Hasil penelitian diharapkan menjadi referensi ilmiah bagi penelitian selanjutnya. Selain itu, penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam mengembangkan wawasan keilmuan di bidang seni pertunjukan, khususnya bidang kajian budaya (cultural studies), termasuk konseptualisasi dan fenomena marginalisasi seni pertunjukan gandrung Lombok, Nusa Tenggara Barat. Penelitian kajian budaya ini sebagai sebuah bidang interdisipliner dan multidisipliner dan terkait erat, terutama dengan estetika, sosiologi, budaya, agama, dan pariwisata. 1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi kepada pihak pemegang kebijakan pada instansi pemerintah (Pemerintah Mataram, Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Indonesia umumnya), sebagai bahan pembuatan kebijakan kebudayaan, khususnya seni pertunjukan daerah. Bagi pelaku kebudayaan dan masyarakat setempat, penelitian ini dapat dipakai sebagai salah satu strategi dalam upaya menyelamatkan, melakukan pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan seni pertunjukan gandrung dalam konteks tradisi setempat (Sasak). Di samping itu, juga bermanfaat bagi kehidupan global pariwisata yang secara ekonomi dapat mendatangkan keuntungan bagi kesejahteraan masyarakatnya.