PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI ABNORMAL A. PERSPEKTIF PSIKODINAMIKA Tokoh utama : SIGMUND FREUD Perilaku maladaptif disebabkan karena adanya konflik antara id, ego dan superego dalam alam bawah sadar individu. Perilaku manusia merupakan produk dari interaksi atau dinamika pikiran dan perasaan sadar dengan tidak sadar dalam diri individu. Perilaku juga disebabkan karena adanya kondisi saling mempengaruhi antara id, ego dan superego. Perkembangan kepribadian ditentukan oleh pengalaman-pengalaman awal pada usia 5 tahun pertama kehidupan. I. STRUKTUR JIWA (PSYCHE) 1. ID Ada sejak individu dilahirkan. Berisi sejumlah energi yang diperlukan untuk menjalankan fungsi psyche. Terdiri dari dorongan-dorongan dasar seperti rasa lapar, haus, pembuangan/pengeluaran kotoran, kehangatan, afeksi, agresi dan seksual. Bekerja dengan menggunakan pleasure principle yaitu pencarian pemuasan kebutuhan dengan segera. Jika dorongan id tidak dipenuhi maka akan timbul ketegangan (tension) dalam diri individu. Pada kondisi itu, id akan berusaha untuk mengurangi ketegangan dengan sesegera mungkin. Cara memuaskan kebutuhan dengan segera: a. Berinteraksi dengan lingkungan. Misalnya: bayi yang ingin menyusu pada ibunya akan berusaha untuk mencari tetek ibunya dan kemudian menyusu. b. Primary process thinking, yaitu membayangkan/mengimajinasikan keinginan-keinginannya. Misalnya: bayi yang ingin menyusu tadi akan membayangkan tetek ibunya. Pada saat itu, si bayi akan mengalami pemuasan sementara melalui wish-fulfilling fantasy. 2. EGO Berkembang selama 6 bulan kedua kehidupan (12 bulan). Bertugas untuk berhubungan dengan realitas. Bekerja dengan menggunakan reality principle, yang merupakan cara ego untuk menunda pemuasan dorongan id dan menghubungkannya dengan harapan lingkungan. Primary process thinking tidak selamanya bisa menjaga kehidupan individu, untuk itu ego kemudian menggunakan secondary process sebagai cara yang memakai perencanaan dan pengambilan keputusan dalam memenuhi suatu dorongan. Misal: bayi yang haus dan ingin menyusu pada ibunya tadi menggunakan secondary process dengan memutuskan untuk mencari perhatian ibunya, mungkin dengan menangis. 3. SUPEREGO Bagian jiwa yang bertindak selaku kesadaran dan merefleksikan standar moral masyarakat, seperti benar-salah, baik-buruk. Pada saat dorongan id muncul, ego tidak hanya memuaskannya dengan menghubungkan pada realitas tapi juga dengan standar benar-salah dari superego. Misal: saat ujian, tiba-tiba dosen keluar ruangan. Saat itu mungkin berarti ada kesempatan untuk mencontek. Tapi individu tidak melakukan itu karena dia merasa bersalah jika melakukannya atau dia merasa tidak jujur, dsb. II. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN PSIKOSEKSUAL Individu berkembang melalui serangkaian tahap psikoseksual. Dimana pada tiap tahap terdapat bagian tubuh tertentu yang paling sensitif terhadap pembangkitan atau kegairahan seksual dan merupakan bagian yang paling dapat memuaskan dorongan id. 1. TAHAP ORAL (< 2 TH) Pemuasan berasal dari daerah mulut. Sumber kenikmatan poko yang berasal dari mulut adalah makanan. Makan meliputi stimulasi sentuhan terhadap bibir dan rongga mulut serta menelan atau menghisap, dan jika makanan tidak menyenangkan, maka akan memuntahkan keluar. Setelah gigi tumbuh maka mulut dipakai untuk menggigit dan mengunyah. Dua aktivitas oral ini yaitu menelan makanan dan menggigit merupakan dasar bagi ciri karakter yang berkembang kemudian. Contoh: a. Orang yang mudah ditipu menunjukkan adanya fiksasi dalam tahap perkembangan fase oral. Individu ini akan menelan semua apa yang dikatakan orang. Individu tersebut mengalami kepuasan pada saat fase oral sehingga tidak mau berkembang ke fase berikutnya. b. Orang yang suka berdebat atau mengkritik orang, juga mengalami gangguan dalam fase oralnya. 2. TAHAP ANAL (2 – 3 TH) Pemuasan berasal dari daerah anus, berhubungan dengan aktifitas pembuangan atau pengeluaran kotoran (faeses). Setelah makanan dicernakan, maka makanan menumpuk di ujung bawah dari usus dan secara refleks akan dilepaskan keluar apabila tekanan pada otot lingkar dubur mencapai taraf tertentu. Pengeluaran fases menghilangkan sumber ketidaknyamanan dan menimbulkan perasaan lega (kenikmatan). Anak mendapatkan pembiasaan akan kebersihan (toilet training) dan anak mendapatkan pengalaman pertama yang menentukan pengaturan atas suatu impuls instingstual dari pihak luar. Ia belajar menunda kenikmatan yang timbul dengan belajar menunda pengeluaran faeses tersebut. Pengaruh ibu dalam memberikan toilet training cukup besar dan hal itu berpengaruh pada munculnya sejumlah ciri kepribadian. Contoh: a. Jika ibu sangat keras dan represif dalam toilet training, si anak bisa sangat kuat menahan faeses dan bisa sembelit. Kalau hal itu digeneralisasikan ke cara bertingkah laku yang lain, mungkin ia bisa menjadi sangat kikir atau keras kepala. Atau sebaliknya karena himpitan cara yang represif itu, anak bisa melampiaskan kemarahannya dengan mengeluarkan faeses pada saat yang tidak tepat. Dan ini merupakan bentuk dari segala macam sifat ekspulsif seperti kekejaman, anarkis, merusak membabi buta, ledakanledakan amarah dan sifat jorok. b. Jika ibu dengan sabar membujuk anak untuk buang air besar dan memberikan pujian jika anak melakukan dengan benar, maka anak akan belajar bahwa aktivitas membuang faeses adalah sangat penting. Ini bisa menjadi dasar bagi munculnya kreativitas dan produktivitas. 3. TAHAP PHALIC (3 – 5/6 TH) Pemuasan berasal dari rangsangan terhadap alat kelamin. Pusat dinamika dalam tahap perkembangan ini adalah perasaan seksual dan agresif berkaitan dengan bekerjanya fungsi genital. Merupakan tahap perkembangan yang paling krusial. Anak mengembangkan suatu perasaan ketertarikan secara seksual terhadap orang tua yang berlainan jenis dan permusuhan terhadap orang tua sejenis. Anak laki-laki ingin memiliki ibunya dan menyingkirkan ayahnya, anak perempuan ingin memiliki ayahnya dan mengenyahkan ibunya. Pada anak laki-laki keadaan tersebut mengacu pada istilah oedipus complex dan pada perempuan adalah electra complex. Oedipus complex. Adanya hasrat seks terhadap ibu dan kebencian terhadap ayah menyebabkan konflik anak dengan orang tua. Ayah dianggap sebagai saingan dalam mendapatkan cinta dari ibunya. Anak akan semakin takut dan jika ayahnya adalah seorang yang keras dan otoriter. Anak takut bahwa ayahnya akan menghilangkan organ genitalnya sebagai sumber dari kenikmatan. Pemikiran itu muncul karena anak mengira bahwa ayahnya cemburu pada dirinya yang jatuh cinta pada sang ibu. Ketakutan tersebut disebut castration anxiety, yang menyebabkan si anak merepresikan hasrat seksnya pada ibu dan rasa permusuhan pada ayah. Kecemasan itu juga membuat anak laki-laki mengidentifikasikan diri dengan ayahnya. Dengan begitu, si anak secara tidak langsung memperoleh pemuasan bagi impuls seksnya pada ibu. Pada saat yang sama, perasaan erotisnya yang membahayakan ibunya dirubah menjadi sikap kasih sayang yang lembut dan tidak membahayakan. Pada perkembangan Oedipus complex inilah merupakan benteng pertahanan bagi munculnya incest dan agresi. Electra complex. Pada awalnya anak perempuan juga cinta pada ibunya, tapi kemudian dia mengganti objek cintanya dengan yang baru yakni ayah. Hal itu terjadi sebagai reaksi kekecewaannya ketika ia mengetahui bahwa anak laki-laki mempunyai alat kelamin yang menonjol yaitu penis sedangkan ia hanya memiliki sejenis rongga. Penemuan itu menimbulkan konsekuensi: a. Ia menganggap ibunya adalah penyebab keadaannya ini sehingga cintanya pada ibu melemah. b. Ia mentransfer cintanya pada ayah, karena ayah memiliki organ yang ingin dimilikinya. Hal itu menimbulkan suatu keadaan yang disebut penis envy (sejajar dengan keadaan castration anxiety pada anak laki-laki. Anak perempuan merasa iri soal penis terhadap lakilaki. Ia membayangkan bahwa ia kehilangan sesuatu yang berharga sedangkan anak laki-laki takut kehilangan itu. Berbeda seperti kompleks pada laki-laki yang direpresikan dan diubah, pada perempuan, kompleks ini bersifat menetap dan tidak direpresikan kuat-kuat. Dipercaya bahwa perbedaan hakikat kompleks ini menjadi dasar perbedaan psikologis laki-laki dan perempuan. 4. TAHAP LATENCY (6 – 12 TH) Masa-masa penurunan dorongan id, anak-anak berperilaku aseksual (tidak berhubungan dengan seksual). Anak kemudian menurunkan kecemasannya dengan mengidentifikasikan pada orang tua yang sama. Mereka kemudian berkembang menjadi lebih tenang, belajar sosialisasi, pengembangan kemampuan, dan belajar banyak hal tentang diri dan lingkungan sosialnya. 5. TAHAP GENITAL (> 12 TH) Merupakan tanda pubertas dan kematangan seksual remaja. Terdapat dominasi terhadap ketertarikan seksual pada lawan jenis. Remaja mulai tertarik kepada orang lain bukan karena cinta diri (narsisistik) seperti tahap pra genital, tapi karena daya tarik seksual, sosialisasi, kegiatan kelompok, perencanaan karir dan muncul persiapan untuk menikah serta membangun rumah tangga. Pada akhir masa remaja, hal-hal tersebut sudah cukup stabil dalam bentuk kebiasaankebiasaan. Individu mengalami transformasi dari bayi narsisistik serta memburu kenikmatan menjadi orang dewasa yang memasyarakat dan berorientasi pada kenyataan. Fungsi biologis dari tahap genital adalah reproduksi dan aspek psikologis membantu mencapai tujuan ini dengan memberikan stabilitas dan keamanan sampai batas tertentu. Impuls pada tahap pra genital tidak digantikan oleh tahap genital tapi disintesiskan menjadi satu pada tahap genital. III. MEKANISME PERTAHANAN DIRI Mekanisme pertahanan diri adalah cara yang ditempuh alam bawah sadar untuk melindungi ego dari kecemasan. Ada dua ciri umum yaitu: a. Mereka menyangkal, memalsukan dan mendistorsikan kenyataan. b. Mereka bekerja secara tidak sadar sehingga kadang orangnya tidak mengetahui yang sedang terjadi. Macamnya: REPRESI: Menekan kemunculan dorongan dan pikiran-pikiran yang tidak dapat diterima ego ke alam bawah sadar. Biasanya berhubungan dengan suatu objek atau pengalaman yang menimbulkan ketidaknyamanan. Secara tidak sadar melupakan pengalaman yang tidak menyenangkan untuk diingat. PROYEKSI: Menganggap orang lain memiliki perasaan terhadap dirinya yang sebenarnya merepresentasikan dari perasaan sesungguhnya yang dia miliki terhadap orang tersebut. Misalnya untuk mengatakan “Saya membenci dia”, diubah menjadi “Dia membenci saya”. REAKSI FORMASI: Menganggap memiliki perasaan terhadap orang lain yang sebaliknya dari perasaan dirinya terhadap orang tersebut. Misalnya untuk mengatakan “Saya suka dia” merubahnya menjadi “Saya benci dia”. RASIONALISASI: Mencoba mengungkapkan alasan rasional yang dapat diterima secara sosial dan menjadi percaya bahwa suatu kondisi yang bertentangan dengan apa yang diinginkan sesungguhnya adalah hal yang memang diinginkannya. Misalnya karena tidak berhasil mendapatkan tiket nonton sepakbola, lalu mengatakan bahwa sebenarnya dia tidak tertarik untuk pergi. REGRESI: Kembali kepada tahap perkembangan yang lebih awal. Misalnya anak yang takut masuk sekolah di hari pertama bisa melakukan perilaku infantil seperti menangis, mengisap ibu jari, berpegangan pada guru atau duduk di pojok kelas. Regresi biasanya akan kembali pada tahap perkembangan yang mengalami fiksasi. FIKSASI: Berhenti pada satu tahap perkembangan karena menganggap tahap berikutnya penuh kecemasan. Misalnya anak yang sangat tergantung pada orang lain, kecemasan menghambat untuk mandiri. IV. NEO FREUDIAN ERIK ERIKSON (TEORI PSIKOSIAL TENTANG PERKEMBANGAN) Membagi tahap psikosial menjadi 8 tahap dimana masing-masing tahap ditandai dengan suatu tantangan gan dan krisis yang jika tidak dapat ditangani maka akan menghambat perkembangan selanjutnya. Erikson menekankan pada masa adolesen karena merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Tahap-tahap Perkembangan Psikososial Erikson: 1. Infancy (0 –1) Trust vs Mistrust (kepercayaan dasar vs kecurigaan dasar) Mengembangkan sejumlah perasaan kepercayaan atau kecurigaan terhadap kebutuhan dasar seperti pengasuhan, kehangatan, kebersihan dan kontak fisik. Ibu yang bersifat kelembutan melalui pandangannya, belaiannya, senyumannya, sentuhannya, cara memanggilnya memberikan perasaan diakui pada bayi, yang akan menimbulkan kepercayaan dasar. Ketiadaan pengakuan pada bayi dapat menyebabkan keterasingan, perasaan dipisahkan dan dibuang, menimbulkan kecurigaan dasar. 2. Early childhood (1 – 3) Autonomy vs shame, doubt (otonomi vs perasaan malu, ragu-ragu) Anak belajar apa yang diharapkan dari dirinya, kewajiban dan haknya serta pembatasan pada dirinya. Tahap untuk berkembangnya pengungkapan diri dan sifat penuh kasih sayang. Anak harus didorong untuk mengalami situasi yang menuntut otonomi dalam melakukan pilihan bebas. Penanaman rasa malu secara berlebihan akan menyebabkan anak tidak memiliki rasa malu atau mencoba melarikan diri dari hal tersebut dengan diam-diam, tidak suka berterus terang dan serba bertindak dengan diam-diam, akhirnya menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang menetap. 3. Play age (3 – 6) Initiative vs guilt (inisiatif vs kesalahan) Masa untuk memperluas penguasaan dan tanggung jawab, anak mempunyai tujuan dalam aktifitasnya. Kegiatan utamanya adalah bermain. Tujuan berkembang dalam kegiatan bermainnya, eksplorasi, usaha dan kegagalannya. Bahayanya adalah muncul rasa bersalah pada diri anak karena anak terlalu bergairah dalam mencapai tujuannya termasuk menggunakan cara yang agresif dan manipulatif. 4. School age (7 – 11) Industry vs inferiority (kerajinan vs inferioritas) Masa anak sekolah, mengembangkan kemampuan belajar, rasa ingin tahu dan sekaligus mengembangkan perasaan rendah diri jika gagal (atau merasa gagal) menguasai tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan guru. 5. Adolescence (12 – 20) Identity vs identity confusion (identitas vs kekacauan identitas) Masa dimana remaja mulai merasakan suatu perasaan identitasnya sendiri, merasa unik, siap untuk berperan dalam masyarakat. Mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri seperti kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan yang dikejar di masa datang, kekuatan dan hasrat untuk mengontrol nasibnya sendiri. Merupakan masa peralihan dari anak ke dewasa. Menjadikan kadang remaja berada pada kondisi kekacauan identitas. Mereka menjadi hampa, terisolasi, cemas dan bimbang. Mereka menjadi kacau, tingkah lakunya tidak konsisten. Ingin masuk dunia kehidupan dewasa tapi masyarakat menganggap belum mampu dan mereka merasa sudah bukan anak-anak lagi. Terjadi suatu kekacauan. Jika tidak terselesaikan anak akan berada pada kondisi krisis identitas yang akan mengembangkan identitas negatif pada dirinya yaitu dirinya hanya memiliki sifat yang potensial buruk atau tidak berharga. 6. Young adulthood (20 – 30) Intimacy vs isolation (keintiman vs isolasi) Siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang lain, mendambakan hubungan akrab dengan lawan jenis dalam percintaan. Mengembangkan persaudaran,menyiapkan daya untuk membina komitmen dan siap berkorban. Bahayanya adalah muncul isolasi, kecenderungan untuk menghindari hubungan karena tidak mau terlibat atau melibatkan diri dalam keintiman. 7. Adulthood (30 – 65) Generativity vs stagnation (generativitas vs stagnasi) Perhatian terhadap apa yang dihasilkan – keturunan, produk, ide, dsb – serta penetapan dan pembentukan pedoman untuk generasi mendatang. Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur dan mengalami stagnasi. 8. Mature age (> 65) Integrity vs despair (integritas vs putus asa) Masa dimana individu melihat kembali tentang hasil yang dicapai aik ide, produk dan suatu refleksi setelah berhasil menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya. Gaya hidupnya dipertahankan untuk menghindari dari ancaman. Lawannya adalah kondisi putus asa,merasa hiduop tidak berguna dan pasrah pada keadaan menunggu ajal. B. PERSPEKTIF HUMANISTIK Tokoh utama: Carl Rogers Memandang bahwa semua manusia pada dasarnya baik, mempunyai potensi untuk menjadi sehat dan kreatif. Gangguan mental dapat berkembang akibat tekanan sosial. Menerapkan pentingnya pemberian cinta dan penerimaan dari orang tua atau orang terdekat lainnya terhadap perkembangan kepribadian. Rogers menciptakan teori yang terpusat pada individu (person-centered theory). Prinsip-prinsipnya: Untuk memahami seseorang, kita harus melihat dari cara mereka mengalami peristiwa tersebut daripada terhadap peristiwanya itu sendiri. Setiap individu itu unik, perbedaan persepsi dan perasaan pada tiap individu menentukan perilaku mereka. Motif utama yang selalu menggerakkan individu untuk maju adalah self actualization, merupakan perwujudan dari seluruh potensi yang dimiliki individu. Mereka mempunyai tujuan yang sudah ditentukan. Adanya pengaruh dari luar dirinya (orang tua, teman sebaya, sosial atau tekanan lingkungan) mengakibatkan individu kehilangan arah yang sudah ditentukan. C. PERSPEKTIF BEHAVIORAL Perilaku, dalam pandangan ini sangatlah ditentukan oleh pengaruh lingkungannya. John B Watson menekankan betapa dibutuhkannya suatu observasi dan eksperimen yang sitematis untuk mempelajari perilaku. Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya. Segenap perilaku manusia itu dipelajari, termasuk juga perilaku abnormalnya yang dipelajari dengan cara yang sama pada individu lain. Pendekatan ini lebih tertarik pada perilaku-perilaku yang dapat diamati daripada kondisi-kondisi abstrak atau bawah sadar yang merupakan tema pokok psikoanalisa. Ivan Pavlov (classical conditioning) Menggunakan Pavlov’s dog. CS (bel) tidak keluar saliva UCS (daging) keluar saliva CS diikuti UCS (berulang-ulang) CS keluar saliva keluar saliva BF Skinner (operant conditioning) Menggunakan Skinner’s box (merpati) Bandura (modelling) Individu mengamati model untuk kemudian menirukan perilaku tersebut. Misalnya anak kecil akan menunjukkan perilaku jongkok saat berjumpa dengan anjing, karena dia mengamati orang tuanya berperilaku tersebut saat berjumpa dengan anjing. D. PERSPEKTIF KOGNITIF Pendekatan kognitif memusatkan perhatiaannya tentang bagaimana manusia (bahkan hewan sekalipun) melakukan strukturisasi terhadap pengalaman, bagaimana mereka membuat suatu sense terhadap pengalaman-pengalaman tersebut kemudian mentransformasi stimulus-stimulus lingkungan menjadi informasi yang siap digunakan. Didalamnya terdapat juga tentang bagaimana seharusnya proses-proses mental seperti pikiran, persepsi, ingatan, perhatian, pemecahan masalah dan penggunaan bahasa dipelajari untuk memahami suatu perilaku. Albert Ellis mengemukakan Rational-emotive theory. Menurut teori ini individu yang memiliki rational beliefes, pada saat mengalami kejadian negatif akan menunjukkan emosi negatif seperti sedih dan frustrasi. Tapi individu dengan irrational beliefes akan berubah menjadi depresi, cemas atau marah. Menurut Allbert Ellis manusia itu mempunyai potensi baik untuk berpikiran baik dan rasional maupun buruk dan irasional. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan berkata, mencintai, bergabung dengan orang lain serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi manusia juga mempunyai kecenderungan-kecenderungan untuk menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan sampai berlarut-larut, intoleransi, perfeksionis dan mencela diri serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri. Manusia pun berkecenderungan untuk terpaku pada pola-pola tingkah laku lama yang disfunction. Abnormalitas terjadi karena adanya penimbunan keyakinan-keyakinan irasional yang berpengaruh pada masa kanak-kanak. Ellis mengatakan “gangguan emosi pada dasarnya merupakan terdiri atas kalimatkalimat atau arti-arti yang keliru, tidak logis dan tidak bisa disahihkan, yang oleh orang terganggu diyakini secara dogmatis dan tanpa kritik dan terhadapnya dia beremosi atau bertindak sampai ia sendiri kalah”. Ada tiga kategori utama irrational beliefes, dimana masing-masing membawa konsekuensi terhadap kekalahan diri yaitu: a. Gagasan bahwa seseorang harus benar-benar kompeten, layak, berprestasi dalam segala hal dan dicintai sepanjang waktu atau gagasan bahwa seseorang merasa tidak mampu dan tidak berharga. Gagasan ini bisa menyebabkan panik dan depresi. b. Gagasan bahwa semua orang harus memperlakukannya dengan baik dan jujur atau gagasan bahwa orang-orang tertentu buruk, keji, atau jahat dan harus dikutuk atas kejahatannya. Gagasan ini dapat mengembangkan perasaan marah dan agresif. c. Gagasan bahwa segala sesuatu harus mengikuti kehendaknya, tidak terlalu sukar dikerjakan dan tidak membuat frustrasi atau gagasan bahwa hidup adalah mengerikan, buruk, sangat menyakitkan dan malapetaka. Gagasan ini dapat menciptakan kondisi mengasihani diri sendiri dan toleransi yang rendah terhadap frustrasi juga prokrastinasi. E. PERSPEKTIF VULNERABILITY – STRESS Perspektif ini menghubungkan antara faktor biologis, psikologis dan lingkungan. Vulnerability mengacu pada satu atau sejumlah karakteristik individu yang meningkatkan peluang bagi berkembangnya suatu gangguan. Dapat berupa biologis atau psikologis. Biologis misalnya adanya kerentanan secara genetis dari orang tua, adanya abnormalitas yang diturunkan. Psikologis misalnya, orang-orang yang mempunyai keyakinan lemah terhadap agama lebih rentan terhadap munculnya depresi. Stress mengacu pada suatu kondisi lingkungan individu yang menyebabkan kesulitan. Hal itu disebut stressor. Stressor dapat berupa biologis dan psikologis. Biologis misalnya kekurangan oksigen saat kelahiran atau gizi yang buruk selama kanak-kanak dapat menyebabkan disfungsi otak. Psikologis misalnya masalah kuliah, bencana banjir, tindak kekerasan orang lain, gagal tes kerja, kematian pasangan hidup, dsb. Interaksi antara Vulnerability dan Stress dapat menyebabkan munculnya gangguan. Misalnya individu yang secara biologis rentan terhadap skizofrenia, jika diberi stressor yang tepat, maka kemungkinan untuk menjadi skizofrenia makin besar.