BAB 3 RANTAI PASOKAN 3.1 Manajemen Rantai Pasokan

advertisement
BAB 3
RANTAI PASOKAN
3.1 Manajemen Rantai Pasokan
Manajemen Rantai Pasokan atau disebut Supply Chain Management merupakan
pengelolaan rantai siklus yang lengkap mulai bahan mentah dari para supplier, ke
kegiatan operasional di perusahaan, berlanjut ke distribusi sampai kepada konsumen. Istilah supply chain management pertama kali dikemukakan oleh Oliver
dan Weber pada tahun 1982. Supply chain adalah jaringan fisiknya, yakni perusahaanperusahaan yang terlibat dalam memasok bahan baku, memproduksi
barang, maupun mengirimkannya ke pemakai akhir, supply chain management
adalah metode, alat, atau pendekatan pengelolaannya. Definisi Supply Chain
Management juga diberikan oleh Mona dan Fitzsimmons (2004), yang menyatakan
bahwa supply chain management adalah sebuah sistem pendekatan total untuk
mengantarkan produk ke konsumen akhir dengan menggunakan teknologi informasi untuk mengkoordinasikan semua elemen supply chain dari mulai pemasok
ke pengecer, lalu mencapai tingkat berikutnya yang merupakan keunggulan kompetitif yang tidak tersedia di sistem logistik tradisional. Sedangkan definisi Supply Chain Management menurut Chase, Aquilano, Jacobs (2010) adalah sistem
untuk menerapkan pendekatan secara total untuk mengelola seluruh aliran informasi, bahan, dan jasa dari bahan baku melalui pabrik dan gudang ke konsumen
akhir. Stevenson (2013) mendefinisikan supply chain management sebagai suatu
21
Universitas Sumatera Utara
22
koordinasi strategis dari rantai pasokan dengan tujuan untuk mengintegrasikan
manajemen penawaran dan permintaan. Russell dan Taylor (2011) mendefinisikan bahwa supply chain management adalah mengelola arus informasi, produk
dan pelayanan di seluruh jaringan baik itu pelanggan, perusahaan hingga pemasok.
Dengan demikian, berdasarkan berbagai definisi supply chain management
sebagaimana telah disampaikan, dapat ditarik hal umum bahwa supply chain
management adalah semua kegiatan yang terkait dengan aliran material, informasi dan uang di sepanjang supply chain. Lebih jauh cakupan supply chain management akan meliputi hal-hal berikut (Pujawan, 2005).
Tabel 3.1
Cakupan supply chain management
Bagian
Cakupan kegiatan antara lain
Pengembangan Produk
Melakukan riset pasar, merancang produk baru,
melibatkan supplier dalam perancangan produk
baru
Memilih supplier, mengavaluasi kinerja supplier, melakukan pembelian bahan baku dan komponen, memonitor supply risk, membina dan
memelihara hubungan dengan supplier
Pengadaan
Perencanaan Pengendalian Demand planning, peramalan permintaan,
perencanaan kapasitas, perancanaan produksi
dan persediaan
Operasi/ Produksi
Eksekusi produksi, pengendalian kualitas
Pengiriman/ Distribusi
Perencanaan jaringan distribusi, penjadwalan
pengiriman, mencari dan memelihara hubungan
dengan perusahaan jasa pengiriman, memonitor service level di tiap pusat distribusi
Universitas Sumatera Utara
23
Hal penting yang menjadi dasar pemikiran pada konsep ini adalah fokus
pada pengurangan kesia-siaan dan mengoptimalkan nilai pada rantai pasokan yang
berkaitan. Dengan demikian Manajemen Rantai Pasokan dapat didefinisikan sebagai pengelolaan berbagai kegiatan dalam rangka memperoleh bahan mentah,
dilanjutkan kegiatan transformasi sehingga menjadi produk dalam proses, kemudian menjadi produk jadi dan diteruskan dengan pengiriman kepada konsumen
melalui sistim distribusi. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan mencakup pembelian secara tradisional dan berbagai kegiatan penting lainnya yang berhubungan
dengan supplier dan distributor.
Komponen dari supply chain management menurut Turban (2004) terdiri
dari tiga komponen utama yaitu:
1. Upstream supply chain
Bagian upstream (hulu) supply chain meliputi aktivitas dari suatu perusahaan manufacturing dengan para penyalurnya (yang mana dapat manufacturers, assemblers, atau kedua-duanya) dan koneksi mereka kepada para
penyalur mereka (para penyalur second-tier ). Hubungan para penyalur dapat diperluas kepada beberapa strata, semua jalan dari asal material (contohnya bijih tambang, pertumbuhan tanaman). Di dalam upstream supply
chain, aktivitas yang utama adalah pengadaan.
2. Internal supply chain
Bagian dari internal supply chain meliputi semua proses inhouse yang digunakan dalam mentransformasikan masukan dari para penyalur ke dalam
Universitas Sumatera Utara
24
keluaran organisasi itu. Hal ini meluas dari waktu masukan ke dalam organisasi. Di dalam internal supply chain, perhatian yang utama adalah
manajemen produksi, pabrikasi dan pengendalian persediaan.
3. Downstream supply chain
Downstream (hilir) supply chain meliputi semua aktivitas yang melibatkan
pengiriman produk kepada pelanggan akhir. Di dalam downstream supply
chain, perhatian diarahkan pada distribusi, pergudangan transportasi dan
after-sale service.
3.2 Proses Manajemen Rantai Pasokan
Proses supply chain management adalah proses saat produk masih berbahan mentah, produk setengah jadi dan produk jadi diperoleh, diubah dan dijual melalui
berbagai fasilitas yang terhubung oleh rantai sepanjang arus produk dan material. Bila digambarkan supply chain management adalah koordinasi dari material,
informasi dan arus keuangan diantara perusahaan yang berpartisipasi (Pujawan,
2005).
Salah satu faktor kunci untuk mengoptimalkan supply chain adalah dengan
menciptakan alur informasi yang bergerak secara mudah dan akurat diantara
jaringan atau mata rantai tersebut, dan pergerakan barang yang efektif dan efisien
yang menghasilkan kepuasan maksimal pada para pelanggan (Indrajit dan Djokopranoto, 2003). Dengan tercapainya koordinasi dari rantai supply perusahaan,
maka tiap channel dari rantai supply perusahaan tidak akan mengalami keku-
Universitas Sumatera Utara
25
rangan barang juga tidak kelebihan barang terlalu banyak. Menurut Indrajit
dan Djokopranoto (2003) dalam supply chain ada beberapa pemain utama yang
merupakan perusahaan-perusahaan yang mempunyai kepentingan didalam arus
barang, para pemain utama itu adalah:
1. Supplier
2. Manufacturer
3. Distributor/wholesaler
4. Retail outlets
5. Customers
Proses mata rantai yang terjadi antar pemain utama itu adalah sebagai berikut:
Chain 1: Supplier
Jaringan yang bermula dari sini, yang merupakan sumber yang menyediakan bahan pertama, dimana mata rantai penyaluran barang akan dimulai. Bahan pertama ini bisa dalam bentuk bahan baku, bahan mentah, bahan penolong, bahan
dagangan, subassemblies, suku cadang dan sebagainya. Sumber pertama ini dinamakan suppliers.
Chain 1-2: Supplier-Manufacturer
Rantai pertama dihubungkan dengan rantai yang kedua, yaitu manufacturer atau
plants atau assembler atau fabricator atau bentuk lain yang melakukan pekerUniversitas Sumatera Utara
26
jaan membuat, merakit, mengkonversikan, atau pun menyelesaikan barang (finishing). Hubungan dengan mata rantai pertama ini sudah mempunyai potensi untuk
melakukan penghematan. Misalnya inventories bahan baku, bahan setengah jadi,
dan bahan jadi yang berada di pihak suppliers, manufacturer dan tempat transit
merupakan target untuk penghematan ini. Tidak jarang penghematan sebesar
40%-60%, bahkan lebih, dapat diperoleh dari inventory carrying cost di mata
rantai ini. Dengan menggunakan konsep supplier partnering misalnya, penghematan tersebut dapat diperoleh.
Chain 1-2-3: Supplier-Manufactures-Distributor
Barang sudah jadi yang dihasilkan oleh manufacturer sudah mulai disalurkan
kepada pelanggan. Walaupun tersedia banyak cara untuk menyalurkan barang
ke pelanggan, yang umum adalah melalui distributor dan ini biasanya ditempuh
oleh sebagian besar supply chain. Barang dari pabrik melalui gudangnya disalurkan ke gudang distributor atau wholesaler atau pedagang dalam jumlah yang
besar, dan pada waktunya nanti pedagang besar menyalurkan dalam jumlah yang
lebih kecil kepada retailer atau pengecer.
Chain 1-2-3-4: Supplier-Manufacturer-Distributor-Retail Outlet
Pedagang besar biasanya mempunyai fasilitas gedung sendiri atau dapat juga
menyewa dari pihak lain. Gudang ini digunakan untuk menimbun barang sebelum disalurkan ke pihak pengecer. Sekali lagi disini ada kesempatan untuk
memperoleh penghematan dalam bentuk jumlah inventories dan biaya gudang,
Universitas Sumatera Utara
27
dengan cara melakukan desain kembali pola-pola pengiriman barang baik dari
gudang manufacturer maupun ke toko pengecer (retail outlet).
Chain 1-2-3-4-5: Supplier-Manufacturer-Distributor-Retail Outlet- Customer
Dari rak-raknya, para pengecer atau retailer ini menawarkan barangnya langsung
kepada para pelanggan, pembeli atau pengguna barang tersebut. Yang termasuk outlet adalah toko, warung, toko serba ada, pasar swayalan, atau koperasi
dimana konsumen melakukan pembelian. Walaupun secara fisik dapat dikatakan
ini adalah mata rantai terakhir, sebetulnya masih ada satu mata rantai lagi, yaitu
dari pembeli (yang mendatangi retail outlet) ke real customer dan real user, karena pembeli belum tentu pengguna akhir. Mata rantai supply baru benar-benar
berhenti setelah barang yang bersangkutan tiba di real customers dan real user.
3.3 Model Manajemen Rantai Pasokan
Indrajit dan Djokopranoto (2002) menjelaskan mengenai pelaku utama yang mempunyai kepentingan didalam arus barang dapat dikembangkan suatu model supply chain, yaitu suatu gambaran plastis mengenai hubungan mata rantai dari
pelaku-pelaku tersebut yang dapat berbentuk seperti mata rantai yang terhubung
satu dengan yang lain. Suppliers suppliers telah dimasukkan untuk menunjukan
hubungan yang lengkap dari sejumlah perusahaan atau organisasi yang bersamasama mengumpulkan atau mencari, mengubah, dan mendistribusikan barang dan
jasa kepada pelanggan terakhir. Salah satu faktor kunci untuk mengoptimalkan
Universitas Sumatera Utara
28
supply chain adalah dengan menciptakan alur informasi yang bergerak secara mudah dan akurat antara jaringan atau mata rantai tersebut dan pergerakan barang
yang efektif dan efisien yang menghasilkan kepuasan maksimal. Berikut diberikan
bagan supply chain untuk produk barang (Sumber: Indrajit dan Djokopranoto
,2002)
Gambar 3.1 Bagan supply chain untuk produk barang
Sedangkan menurut James dan Fitzsimmons (2006), bentuk fisik dari suatu
barang dalam supply chain dapat dilihat sebagai tahapan jaringan nilai tambah
bahan pengolahan yang masing-masing didefinisikan dengan pasokan input, transformasi material dan output permintaan. Gambar 3.2 merupakan bagan Supply
chain untuk produk barang yang dibuat oleh James dan Fitzsimmons (2006).
Supplier, manufacturing, distribution, retailing, dan recycling/ remanufacturing yang terhubung dengan tanda panah menggambarkan aliran material dengan saham persediaan antara tiap tahap. Pengiriman informasi ke arah yang
berlawanan ditampilkan sebagai garis putus-putus dan termasuk kegiatan yang
Universitas Sumatera Utara
29
dilakukan oleh supplier, proses desain produk, dan layanan pelanggan. Tahap
pada manufacturing mewakili operasi tradisional yang dimana bahan baku tiba
dari pemasok eksternal; material berubah dalam beberapa cara untuk menambah nilai, menciptakan persediaan barang jadi. Tahap pada bagian hilir lainnya
seperti distribusi dan ritel juga menambah suatu nilai terhadap material.
Gambar 3.2 Bagan supply chain untuk produk barang
(Sumber: James A. dan Mona J. Fitzsimmons (2006))
Universitas Sumatera Utara
BAB 4
PERENCANAAN PRODUKSI-DISTRIBUSI PADA PRODUK
YANG TIDAK TAHAN LAMA (PERISHABLE)
4.1 Klasifikasi Produk yang Tidak Tahan Lama
Terdapat banyak klasifikasi yang berbeda, saling melengkapi dan bertentangan
yang telah diusulkan untuk menangani permasalahan produk yang tidak tahan
lama. Dalam Ghare dan Schrader (1963), penulis mengklasifikasikan sifat memburuknya suatu persediaan ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) pembusukan langsung,
misalnya, sayuran, bunga dan makanan segar, dll.; (2) penipisan fisik, misalnya,
bensin dan alkohol, dll, ; (3) peluruhan dan keusangan, misalnya dalam produk radioaktif dan dengan hilangnya nilai dalam persediaan, misalnya, surat kabar dan
uranium. Nahmias (1982) membedakannya menjadi dua klasifikasi, yaitu: (1)
masa pakai tetap, dimana masa pakai suatu barang telah ditentukan sebelumnya
dan karenanya dampak dari faktor kerusakan ikut diperhitungkan ketika memperbaiki barang tersebut. Bahkan, kegunaan barang tersebut semakin berkurang
selama masa pakainya hingga barang tersebut tidak dapat digunakan lagi dan
tidak memiliki nilai lagi bagi pengguna, misalnya, susu, yoghurt, dan darah dalam persediaan, dll, (2) masa pakai acak: tidak terdapat waktu tertentu untuk
masa pakai produk ini. Oleh karena itu, masa pakai barang-barang ini dapat dimodelkan sebagai variabel acak menurut distribusi probabilitas tertentu. Contoh
produk dalam kategori ini adalah buah-buahan, sayuran dan bunga.
30
Universitas Sumatera Utara
31
Dalam kajian lain, Raafat (1991) mendefinisikan pembusukan atau kerusakan
sebagai “proses yang mencegah suatu produk untuk dapat digunakan sebagaimana
tujuan penggunaan aslinya” dan menyebutkan contoh kerusakan tersebut sebagai
pembusukan (misalnya bahan makanan), penipisan fisik (misalnya, cairan yang
mudah menguap), dan peluruhan (misalnya zat radioaktif). Contoh-contoh ini
sangat berkaitan dengan yang disebutkan oleh Ghare dan Schrader (1963). Selain
itu, Raafat (1991) memberikan kategorisasi Ketidaktahanan produk berdasarkan
hubungan antara waktu dan nilai persediaan: (1) Kegunaan konstan: kegunaan
bernilai tetap selama berjalannya waktu sampai akhir periode penggunaan, misalnya, obat cair; (2) kegunaan meningkat: kegunaannya meningkat seiring berjalannya waktu, misalnya, keju atau anggur; (3) Kegunaan menurun: kegunaan menurun seiring berjalannya waktu, misalnya, buah-buahan, sayuran dan makanan
segar lainnya, dll.
Lin et al., (2006) menyatakan bahwa kerusakan dapat diklasifikasikan sebagai: (1) kerusakan bergantung pada usia produk dan (2) kerusakan yang tidak
bergantung pada usia produk, dengan asumsi bahwa proses penuaan dimulai setelah proses produksi. Daging, sayuran dan buah-buahan adalah contoh barang
yang bergantung pada usia barang tersebut. Cairan yang mudah menguap seperti
bensin dan alkohol, bahan radioaktif, dan produk agri-food adalah contoh barang
yang tidak bergantung pada usia. Terhadap bahan-bahan ini, sulit untuk menentukan ketergantungan antara usia bahan dan kerusakannya karena produk ini dapat disimpan tanpa batas waktu meskipun mengalami pengurangan dalam persediaannya yang menyebabkan kerusakan kondisi barang. Selanjutnya, Ferguson
Universitas Sumatera Utara
32
dan Koenigsberg (2007) menekankan hilangnya kegunaan produk dan membedakannya menjadi dua jenis produk: (1) produk yang kegunaannya berkurang terhadap waktu, misalnya, buah-buahan, sayuran, atau susu; (2) produk yang tidak
mengalami penurunan kegunaan, tapi pengguna menganggap nilai kegunaannya
memburuk dari waktu ke waktu, misalnya, mode pakaian, produk teknologi tinggi
dengan siklus hidup yang pendek, koran.
Terdapat konsep lain yang sangat terkait dengan masa pakai dan kerusakan
suatu produk, yaitu shelf-life. Shelf-life didefinisikan sebagai periode waktu setelah pembuatan produk dimana produk memberikan kualitas kepuasan (Kilcast
dan Subramanian, 2000). Hal ini merupakan lamanya waktu suatu produk tertentu dimana produk tersebut masih memiliki nilai jual. Shelf-life tidak selalu
mencerminkan keadaan fisik produk, karena banyak produk yang menurun nilainya setelah nilai shelf-life nya hilang, namun, kualitas ini dapat mencerminkan
masa jualnya (Xu dan Sarker, 2003).
Perhitungan klasifikasi masa pakai menunjukkan bahwa kategori-kategori ini
meliputi satu sama lain dan, lebih jauh lagi, mereka sangat disesuaikan untuk tujuan tertentu. Apakah katagori tersebut secara khusus mempertimbangkan aspek
pengguna dan kemudian menyimpulkan kegunaan barang tersebut (Raafat, 1991),
atau mempertimbangkan kegunaan barang itu sendiri (Ghare dan Schrader, 1963),
atau, sebagai contoh, melihat lebih jauh terhadap model matematika dari masa
pakainya (Nahmias, 1982). Faktanya, klasifikasi ini tidak selalu digunakan untuk
mengklasifikasikan artikel tentang masa pakai suatu produk atau untuk menen-
Universitas Sumatera Utara
33
tukan penerapan model yang diusulkan. Kebanyakan, klasifikasi yang berbeda
berdasarkan sifat-sifat matematika dari suatu metode pemodelan digunakan setelahnya (Raafat, 1991), dengan demikian, mengabaikan klasifikasi sebelumnya yang
berkaitan dengan masa pakai dan kehilangan nilai, akibatnya, hubungan fenomena
masa pakai produk diungkapkan oleh suatu model. Suatu benda yang tidak tahan
lama yang sulit diklasifikasikan dengan klasifikasi yang telah dipaparkan adalah
yoghurt. Yoghurt memiliki shelf-life tetap berdasarkan BBD-nya (Best-beforedate), ketika masa pakainya habis (setelah BBD) nilainya mendekati nol dan, dari
sudut pandang pelanggan yang telah terbukti secara empiris oleh Tsiros dan Heilman (2005) bahwa kesediaan untuk membeli barang tersebut menurun terhadap
shelf-lifenya. Oleh karena itu, meskipun kegunaannya menurun, ia memiliki masa
pakai tetap dan fungsinya tidak memburuk dari waktu ke waktu.
Mengingat pembahasan di atas, diusulkan kerangka kerja terpadu untuk
mengklasifikasikan masa pakai produk, karenanya, memperjelas kontribusi karya
masa lalu dan masa depan pada penelitian saat ini dalam bidang ini. Tabel 4.1
menunjukkan kerangka yang diusulkan dengan contoh-contoh yang sesuai untuk
berbagai kategori. Kerangka kerja ini bermaksud untuk memungkinkan klasifikasi
lengkap dari masa pakai produk dalam bentuk konseptual melalui beberapa perspektif yang berbeda dari fenomena yang sama. Ini berarti bahwa hal ini dapat
digunakan untuk memahami ruang lingkup konseptual dari fenomena masa pakai
produk yang akan dimodelkan. Untuk tujuan perencanaan rantai pasokan, penting untuk menghubungkan bentuk konseptual dengan representasi matematika.
Ini berarti bahwa sementara tinjauan lain mempertimbangkan masa pakai proUniversitas Sumatera Utara
34
duk, fokus penelitian ini adalah pada pengklasifikasian model matematika yang
mampu mengatasi permasalahan masa pakai produk, dimana dalam ulasan ini
lebih ditekankan terhadap bagaimana pendekatan model matematika mengenai
aspek-aspek tertentu dari masa pakai produk dengan cara mengelompokkannya
dalam kerangka kerja yang diajukan dalam membangun suatu kerangka yang
menghubungkan permasalahan masa pakai produk tertentu dengan teknik pemodelan matematika.
Tabel 4.1
Klasifikasi produk yang tidak tahan lama
Kerangka yang diusulkan untuk mengklasifikasikan masa pakai produk terdiri dari tiga dimensi klasifikasi:
(1) Kerusakan fisik produk,
(2) Batas otoritas dan
(3) Nilai pelanggan.
Universitas Sumatera Utara
35
Dengan jelas dapat dilihat bahwa dimensi ini berhubungan dengan tiga perspektif yang berbeda dari fenomena yang sama: Produk, Otoritas dan pelanggan. Nilai tambah dari kerangka ini berasal dari fakta bahwa ketika mengaitkannya dengan perspektif yang berbeda kita dapat mengelompokkan fenomena masa
pakai produk dengan cara yang lebih akurat dengan hanya melihat satu dimensi.
Kerangka kerja ini bisa diterapkan untuk semua bentuk yang berbeda dari masa
pakai produk, baik hal itu berhubungan dengan perubahan kondisi fisik maupun
tidak. Selain itu, hal ini juga dapat diterapkan untuk model yang berkaitan dengan proses dari rantai pasokan produk. Oleh karena itu, pendekatan ini berbeda dari klasifikasi-klasifikasi sebelumnya terhadap aspek fleksibilitasnya dan oleh
fakta bahwa hal itu dapat diterapkan untuk setiap masalah perencanaan rantai
pasokan.
Tinjau setiap dimensi secara independen seolah-olah akan mengklasifikasikan
masa pakai produk berdasarkan hanya salah satu dimensi , yaitu dimensi proses
Penurunan Kondisi Fisik Produk yang mencerminkan apakah suatu barang mengalami modifikasi fisik atau tidak. Dengan demikian, baik produk yang memburuk
secara fisik, misalnya, setiap produk makanan segar oleh pembusukan, peluruhan
atau penipisan jumlah, maupun produk yang memburuk karena sifat alaminya
berasal dari dimensi yang lain. Sebagai contoh untuk kasus ini adalah surat kabar
harian yang tidak akan mengalami kerusakan fisik dari satu hari ke hari berikutnya, tetapi mengalami pengurangan nilai. Dimensi ini cukup stabil ketika ruang
lingkup model telah didefinisikan karena kasus ini hanya bergantung pada produk
itu sendiri, sehingga ini merupakan permasalahan memahami fenomena fisik yang
Universitas Sumatera Utara
36
berkaitan dengan masa pakainya. Dimensi yang bersangkutan dengan Batas Authority merupakan peraturan eksternal atau konvensi yang mempengaruhi secara
langsung fenomena masa pakai produk. Alasan mengapa batas ini ditetapkan
berasal dari berbagai sumber yang berbeda seperti pertimbangan akan keselamatan atau kesejahteraan pelanggan serta agar pelanggan mengetahui informasi
dengan lebih baik. Dimensi ini cukup menarik jika dilihat dari sudut pandang
pemodelan karena pengaruh otoritas dapat mengurangi peluang dari fenomena
rusaknya suatu produk ketika masa pakainya tetap. Sebagai contoh adalah bank
darah karena pertimbangan nyawa manusia yang tidak boleh terancam, dimana
pemerintah menetapkan shelf-life untuk stok darah. Di sisi lain, buah yang dijual di pengecer memiliki perilaku yang lebih acak mengenai keadaan fisiknya
dan masa pakainya menjadi longgar dalam arti sulit untuk diketahui kapan produk akan tidak bisa digunakan lagi. Namun demikian, walaupun batas otoritas
tersebut bersifat tetap, hal ini tidak dapat membatasi masa penjualan produk
tetapi berfungsi memberikan informasi yang jelas dan pasti untuk pelanggan bahwa produk telah habis masa pakainya. Oleh karena itu, walaupun dalam sebuah
stand terdapat suatu surat kabar dari hari sebelumnya yang dijual, pelanggan
akan menganggapnya tidak memiliki nilai lagi (karena tanggal pencetakan yang
tertera membuat pelanggan tahu bahwa berita tersebut adalah berita lama). Selanjutnya, Nilai Rasa Pelanggan memiliki hubungan terhadap keinginan untuk
membayar barang tertentu. Kesediaan untuk membayar ini dapat bersifat dinamis dalam kasus ketika pelanggan memperhatikan penurunan nilai suatu produk seiring berjalannya waktu atau dapat juga menjadi statis ketika pelanggan
Universitas Sumatera Utara
37
memberikan nilai yang sama sepanjang masa produk. Dengan demikian, Nilai
Pelanggan memiliki dampak yang luar biasa pada keputusan operasional. Penurunan nilai menyebabkan operasi yang efisien karena menyebabkan pengiriman
produk harus dilakukan secepat mungkin. Nilai Pelanggan yang konstan memberikan lebih banyak fleksibilitas dalam mengelompokan operasi dan menghasilkan
manfaat ekonomi. Penting untuk diperjelas bahwa kata pelanggan kata pada setiap pengguna dari produk yang tidak tahan lama dan tidak hanya pelanggan
akhir dari produk tersebut. Bensin adalah contoh yang baik dari produk yang
mana pelanggan memberikan nilai yang sama selama masa pakainya karena dapat
dipastikan bahwa kegunaannya akan stabil sampai waktu kedaluwarsanya yang
biasanya sangat panjang. Akan tapi, sebagai contoh, sayuran akan mengalami
penurunan nilai pelanggan ketika mulai terlihat tidak segar lagi.
Menganalisa ketiga dimensi tersebut, Penurunan Fisik Produk, Batas Otoritas dan Nilai Pelanggan, untuk mengklasifikasikan masa pakai produk memberikan
kajian yang lebih tepat pada fenomena masa pakai yang mempengaruhi suatu produk dan akibatnya membuat masalah pemodelan matematika menjadi penting
untuk dipertimbangkan. Untuk memahami penerapan kerangka ini, diambil contoh masalah perencanaan rantai pasokan produksi dan distribusi dari susu segar.
Dengan hanya menggunakan dimensi Kerusakan Fisik Produk, dapat dikatakan
bahwa setelah proses produksi produk ini mengalami proses kerusakan fisik (pembusukan) sehingga masa pakainya pendek. Ketika dilihat dari aspek dimensi Batas
Otoritas, dapat dikatakan bahwa masa pakainya tetap karena terdapat cap BBD
pada produk ini yang menunjukkan periode jual barang tersebut setelah proses
Universitas Sumatera Utara
38
produksi. Selanjutnya, melalui perspektif Nilai Pelanggan dapat dikatakan bahwa
nilai produk menurun karena pelanggan akan lebih memilih produk dengan BBD
yang lebih lama dibandingkan dengan produk yang memiliki BBD dalam waktu
yang dekat. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah perencanaan produksi
dan distribusi susu segar, adalah suatu keharusan untuk memperhatikan secara
integrasi kepada ketiga perspektif ini dalam menentukan masa pakai produk yang
benar. Model matematika dibutuhkan untuk menangkap semua fitur yang teridentifikasi ini agar dapat mengendalikan semua masalah berkaitan masa pakai
produk yang diperlukan dalam kasus ini. Oleh karena itu, pilihan solusinya adalah
memodelkan suatu himpunan kendala yang membatasi lamanya waktu suatu produk dapat berada dalam stok yang juga menanggulangi batas otoritas yang tetap
dan selanjutnya untuk atribut nilai pelanggan yang menurun, dapat dimodelkan
tingkat kesegaran yang berbeda untuk produk didistribusikan dan memberikan
nilai kepada tingkatan tersebut untuk memaksimalkan fungsi tujuannya.
Berdasarkan diskusi ini, diberikan definisi masa pakai produk dan konsepkonsep terkait sebagai berikut; “Suatu barang, yang dapat merupakan bahan
baku, produk setengah jadi ataupun produk akhir, disebut “tidak tahan lama”
jika selama periode perencanaan memenuhi setidaknya satu dari kondisi berikut:
(1) Keaadaan fisiknya dapat dengan jelas terlihat memburuk (misalnya terjadi
pembusukan, peluruhan atau penipisan), dan / atau (2) nilainya menurun dalam
persepsi pengguna (internal atau eksternal), dan / atau (3) terdapat suatu bahaya
dari berkurangnya fungsi produk tersebut di masa depan berdasarkan pendapat
otoritas”.
Universitas Sumatera Utara
39
Oleh karena itu, dapat dibedakan antara keaadaan memburuknya suatu produk atau keaadan fisik yang stabil, nilai pelanggan konstan atau menurun, dan
batas kewenangan tetap atau longgar, yang bergantung pada apakah pihak yang
memiliki otoritas memberikan reaksi pada fenomena tersebut atau tidak.
Untuk memahami dampak dari masa pakai produk terhadap perencanaan
yang berbeda dalam praktik perencanaan produksi dan distribusi, dapat dipertimbangkan tiga skenario berbeda yang menunjukkan pengaruh yang berbeda yang
dapat dihasilkan dari fenomena ini. Pertama, untuk produk yang sangat mudah
rusak, seperti produk roti atau makanan mentah, di mana masa perencanaan
sangat pendek (satu hari), dimana integrasi produksi dan distribusi adalah suatu keharusan. Kedua, dalam produk yang ketahanannya biasa, seperti yoghurt,
di mana masa perencanaannya biasanya satu atau beberapa minggu, dan terdapat masa penyimpanan yang terbatas antara produksi dan distribusi. Namun
demikian, dalam skenario ini, alokasi jumlah penyimpanan dan penjadwalan yang
terpadu yang juga mencakup fungsi penjadwalan produksi merupakan hal yang sangat penting. Ketiga, skenario dengan produk yang memiliki shelf-life yang cukup
namun terbatas, misalnya minuman dengan masa kadaluarsa enam bulan, shelflife yang tersisa adalah masalah yang penting yang berkaitan dengan kebutuhan
pengecer . Namun secara umum, untuk perencanaan operasional tidak perlu ada
perhatian khusus yang harus diberikan untuk shelf-life yang berkaitan dengan industri barang konsumen yang bergerak cepat karena perputaran persediaan yang
tinggi merupakan perhatian yang utama.
Universitas Sumatera Utara
40
Hal yang penting untuk diperhatikan bahwa produk berkonsentrasi pada efek
negatif dari penuaan produk. Misalnya, jika nilai yang dirasakan pelanggan dari
suatu produk tidak menurun, kita tidak lagi membedakan apakah produk tersebut
memiliki peningkatan nilai. Hal tersebut diasumsikan konstan terkait dengan
nilai pelanggan, karena biasanya hanya penurunan nilai yang memiliki dampak
yang nyata terhadap operasinya. Lebih lanjut diketahui pada Tabel 4.1 bahwa
berdasarkan definisi barang yang stabil secara fisik, memiliki nilai pelanggan yang
konstan, dan memiliki batas kewenangan yang tetap atau longgar merupakan
barang yang tidak realistik atau barang yang tahan lama.
4.2 Memodelkan Masa Pakai Produk dalam Perencanaan ProduksiDistribusi
Sebagian besar literatur mengenai masa pakai produk difokuskan pada manajemen
persediaan, penentuan harga dan reverse logistik. Chen et al., (2009) mengakui
bahwa kajian yang membahas area lain dari rantai pasokan barang yang mudah
rusak adalah hal yang langka. Namun demikian, telah diterima secara luas bahwa
masa pakai produk secara nyata dapat menghasilkan batasan-batasan khusus dan
objektif yang berbeda terhadap masalah yang berbeda dalam model perencanaan
rantai pasokan.
Pada bagian ini dilakukan review terhadap hasil yang dilakukan dalam memodelkan masa pakai produk untuk perencanaan produksi dan distribusi. Dengan demikian, hal ini akan mencakupi permasalahan perencanaan rantai pasokan
dalam proses produksi ukuran persediaan dan penjadwalan, serta dalam proses
Universitas Sumatera Utara
41
distribusinya seperti menentukan rute kendaraan dan pelengkapan akhir barang.
Oleh karena itu, masalah yang berkaitan dengan pengadaan dan fungsi penjualan
yang memberikan peluang keuntungan dari penanggulangan masalah daya tahan
barang akan dikeluarkan dari ruang lingkup ini.
Dalam proses pengadaan, masalah ini dapat berupa, misalnya, pemesanan
bahan baku yang sangat mudah rusak seperti susu, produk ikan atau estimasi nilai
informasi yang diperoleh dari kerja sama antara mitra rantai suplai yang berkaitan
dengan barang-barang yang mengalami penurunan nilai. Dalam fungsi penjualan
ini, pentingnya mempertimbangkan masa pakai produk dapat ditemukan dalam
menentukan di mana terdapat decoupling point yang tidak hanya tergantung pada
lead time dan variability, tetapi juga pada shelf-life produk (Van Donk, 2001).
Selain itu, model harga untuk produk jenis ini juga merupakan bidang penelitian
yang sangat aktif (Abad, 2003).
Inti dari peninjauan disusun berdasarkan tiga subbagian utama, yaitu: tugas perencanaan produksi, tugas perencanaan distribusi, dan pendekatan terpadu.
Selain itu, akan dikelompokkan pula pekerjaan yang menangani masalah perencanaan yang sama di masing-masing subbagian dan memperjelas subjek tertentu
yang ditangani di setiap kajian yang telah ada. Perlu diperhatikan bahwa kajian
yang digunakan adalah kajian yang berkaitan dengan masalah masa pakai produk
secara eksplisit, oleh karena itu kajian yang hanya menyebutkan masa pakai produk atau mengkaji hal tersebut secara non-analitis tidak akan digunakan dalam
kerangka pengklasifikasiannya.
Universitas Sumatera Utara
42
Seperti disampaikan sebelumnya, kerangka terpadu bertujuan untuk mengkategorikan secara konseptual karakteristik masalah masa pakai produk pada
perencanaan rantai pasokan. Untuk lebih tepat dalam mengidentifikasi kesenjangan literatur dan memahami hubungan antara fenomena konseptual masa
pakai produk dan pemodelan analisis yang digunakan, juga akan diberikan informasi tentang rincian matematika yang digunakan untuk menangani permasalahan
masa pakai produk. Secara klasik, model matematik rantai pasokan dikategorikan
menjadi dua yaitu dalam kasus stokastik atau deterministik (Beamon, 1998).
4.2.1 Tugas perencanaan produksi
Dalam aspek lot sizing perlu ditentukan banyaknya produk yang akan diproduksi selagi memperhitungkan perubahan nilai produk dan biaya penyimpanannya.
Setelah itu, banyak penyimpanan ini dijadwalkan sesuai dengan preferensi perencana, sementara kapasitas yang tersedia turut diperhitungkan. Oleh karena itu,
model perencanaan produksi dapat memiliki kontrol atas jumlah produksi dan
urutannya, serta mempengaruhi secara langsung jumlah persediaan. Selain itu,
model taktis berbeda dari model operasional pada tingkat agregasi dan pertimbangan para perencana yang tergabung dalam model. Masa pakai produk dalam
banyak kasus merupakan isu yang sangat penting terhadap kaitannya dengan
tingkat taktis dan operasional dari perencanaan produksi. Hal ini memungkinkan
dibentuknya beberapa kendala seperti batas atas pada ukuran persediaan dan sebagai akibatnya kebutuhan terhadap penjadwalan lebih sering merupakan bagian
dari suatu produk yang meningkatkan kesulitan penentuan urutan.
Universitas Sumatera Utara
43
Di bidang lot sizing, Hsu (2003) mendefinisikan fungsi biaya untuk setiap periode, yaitu, biaya persediaan dan pemesanan dicatat dari periode ke periode. Dia
memperhitungkan penurunan nilai persediaan secara eksplisit melalui kemungkinan berkurangnya persediaan dari periode ke periode. Abad (2000) menemukan
lot sizing yang optimal pada kasus pemesanan dan kehilangan nilai penjualan
parsial terjadi.
Terdapat industri, seperti industri makanan atau farmasi, di mana terdapat
produk cacat olahan ulang yang tidak tahan lama(Flapper et al., 2002). Teunter
dan Flapper (2003) mempelajari sistem produksi di mana biaya dan/atau waktu
pengolahan ulang untuk meningkatan nilai produk yang rusak sebagai fungsi dari
masa penyediaan. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh masa pakainya maupun
keusangan teknologi dari suatu produk. Dengan demikian, siklus kegunaan yang
terbatas suatu produk merupakan suatu alasan yang masuk akal. Sistem produksi
yang diteliti hanya memiliki satu tahap dan satu produk.
Terhadap pentingnya suatu informasi, Wang et al., (2009) berfokus pada
mengintegrasikan optimalisasi ukuran kelompok produksi dan pengelacakan. Pengelacakan menjadi semakin penting di berbagai sektor mulai dari industri farmasi
hingga industri makanan.
Penulis mengembangkan sebuah model yang mengintegrasikan pengelacakan
dan indikator operasional untuk mencapai kualitas produk dan dampak minimal
dari penarikan produk. Perlu diperhatikan aspek dari biaya pengaturan produksi,
biaya penahanan persediaan, biaya bahan baku, biaya pembusukan produk, dan
Universitas Sumatera Utara
44
biaya penarikan untuk menemukan cara yang paling ekonomis dalam membuat
keputusan yang diperlukan.
Berkenaan dengan integrasi dari masa pakai suatu produk dalam pendekatan
penjadwalan produksi, sebagian besar penelitian manggulanginya dengan menambahkan kendala shelf-life ke dalam Economic Lot Scheduling Problem (ELSP),
yang berkaitan dengan permasalahan mendapatkan jadwal siklik untuk beberapa
produk, sumber daya tunggal dan dalam asumsi tingkat permintaan yang konstan (misalnya, Elmaghraby, 1978;. Cooke et al., 2004). Soman et al., (2004)
memberikan evaluasi terhadap kontribusi besar ttersebut. Chowdhury dan Sarker (2001), Goyal dan Viswanathan (2002), dan Sarker dan Chowdhury (2002)
mengkaji tiga kemungkinan: mengubah tingkat produksi, mengubah waktu siklus
dan mengubah tingkat produksi dan waktu siklus secara bersamaan sehubungan
dengan penjadwalan produksi dan bahan baku pemesanan. Soman et al., (2004)
menyatakan bahwa dalam kasus pemanfaatan kapasitas tinggi sebagaimana yang
dapat ditemukan dalam industri makanan tingkat produksi tidak boleh berkurang
karena adanya masalah kualitas yang mungkin timbul dari penyesuaian ini. Yao
dan Huang (2005), dipicu oleh fakta bahwa sebagian besar model ELSP tidak
menganggap beberapa produk akan terus memburuk, mengusulkan model baru
dengan ekstensi ini. Selain itu, Lin et al., (2006) mempertimbangkan ELSP dengan beberapa produk yang mengalami kerusakan secara eksponensial, di mana
hal-hal tersebut berada di bawah kebijakan siklus produksi yang sama. Namun,
setiap produk memiliki tingkat kerusakan dan permintaan yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
45
Dalam metode yang lebih berorientasi operasional, Gawinowicz (2007) mempelajari masalah penjadwalan mesin paralel dengan produk yang mengalami pengurangan nilai, di mana tujuannya adalah untuk meminimalkan waktu total dari
penyelesaian pekerjaan yang mempertimbangkan kapasitas mesin tertentu. Arbib
et al., (1999) meneliti masalah penjadwalan produksi untuk produk yang mudah rusak, yang dikaji dalam dua aspek independen: kerusakan relatif produk
dan kelayakan waktu penyelesaian. Tadei et al., (1995) mengembangkan algoritma partisi yang digabungkan dengan teknik pencarian lokal untuk perencanaan
produksi dan penjadwalan dalam industri makanan.
Marinelli et al., (2007) mengusulkan pendekatan solusi untuk lot sizing
berkapasitas dan masalah penjadwalan dengan mesin paralel yang menggunakan
buffer yang sama. Masalah ini sering terdapat di industri yoghurt pada tahap
kemasan. Permasalahannya dirumuskan sebagai permasalahan lot sizing berkapasitas dengan pertimbangan pengaturan dan algoritma optimasi dua tahap yang
mengurai masalah tersebut menjadi permasalahan lot sizing dan permasalahan
penjadwalan yang diusulkan. Model ini tidak memperhitungkan masa pakai produk secara eksplisit, melainkan menggunakan strategi produksi make-to-order.
Dengan pendekatan yang sama, tetapi terfokus pada batch processing, Neumann
et al., (2002) menguraikan perencanaan produksi dan penjadwalan untuk sistem
produksi yang berkesinambungan dalam permasalahan pengelompokan dan penjadwalan kelompok. Permasalahan pengelompokan menerjemahkan permintaan
utama akan produk ke kelompok individu, di mana tujuannya adalah untuk meminimalkan beban kerja. Pertama-tama, permasalah pengelompokan ini dirumuskan
Universitas Sumatera Utara
46
sebagai program mixed-integer nonlinear, tetapi kemudian diubah menjadi program mixed-integer linear dengan ukuran yang masih moderat melalui substitusi
variabel. Masalah penjadwalan mengalokasikan kelompok ke unit pengolahan,
pekerja, dan fasilitas penyimpanan menengah, di mana tujuannya adalah untuk
meminimalkan rute penjadwalan. Masalah penjadwalan kelompok dirumuskan
sebagai masalah penjadwalan proyek sumber daya terbatas. Dalam kajian ini
beberapa produk yang mudah rusak pada level menengah tidak dapat disimpan
dengan menghilangkan penyangga antara kegiatan.
Pahl dan Voβ (2010) dan Pahl et al., (2011) memperluas kajian lot sizing
diskrit dan penjadwalan model dengan memasukkan kendala kerusakan dan masa
pakai produk. Dalam kasus khusus dari produksi yoghurt, Lu tke et al., (2005)
mengembangkan tiga model linear mixed-integer yang menggabungkan isu shelflife ke dalam perencanaan produksi dan penjadwalan tahap kemasan. Amorim
et al., (2011) membedakan, dalam kerangka multi-tujuan, antara biaya dan kesegaran. Oleh karena itu, hasil dari permasalahan lot sizing dan penjadwalan
adalah sebuah Pareto optimal yang menukarkan dua dimensi ini. Cai et al.,
(2008) mengembangkan model dan algoritma untuk produksi produk seafood yang
terkait. Karena kendala batas waktu terkait dengan ekspedisi produksi dan ketahanan bahan baku, perencanaan produksi harus dapat menentukan tiga keputusan, yaitu: produk yang akan diproduksi; kuantitas setiap jenis produk; dan
urutan produksi. Sangat menarik untuk melihat bahwa di sini ketahanan suatu
produk lebih difokuskan pada bahan baku.
Universitas Sumatera Utara
47
Hampir semua kajian perencanaan produksi yang telah disebutkan didasarkan pada asumsi bahwa pelanggan memberikan nilai yang konstan terhadap ketahanan suatu produk yang memberikan pengembangan tertentu dari pandangan
kasar terhadap rantai pasokan. Selain itu, sebagian besar kajian tersebut tidak
menganggap setiap elemen stokastik tidak terkait dengan masa pakai produk
maupun faktor eksternal lainnya.
4.2.2 Tugas perencanaan distribusi
Tugas perencanaan distribusi memperhitungkan keputusan taktis, seperti frekuensi pengiriman atau pendimensian armada. Sebuah pabrik yang memproduksi produk yang tidak tahan lama untuk pengecer perlu untuk meningkatkan frekuensi pengiriman untuk mencapai layanan pelanggan yang lebih baik mengenai kesegaran produk yang dapat mempengaruhi pendimensian armada. Juga dalam
perencanaan waktu jangka menengah, alokasi produk yang mudah rusak antara
pabrik dan pusat distribusi juga dapat dipengaruhi oleh shelf-life produk yang
berbeda. Pada tingkat yang lebih operasional, perencanaan transportasi yang
mendefinisikan jumlah distribusi antara rantai pasokan dan rute kendaraan merupakan masalah perencanaan yang juga dapat dipengaruhi oleh masa pakai produk. Sebagai contoh, adalah hal yang penting pada pendistribusian produk adalah
waktu atau suhu yang memiliki dampak pada masa pakai dari produk yang tidak
tahan lama sehingga menimbulkan beberapa kendala terhadap durasi perjalanan
atau membuat biaya pendinginan perlu dipertimbangkan dalam fungsi tujuan.
Universitas Sumatera Utara
48
Masalah pengisian (Replenishment) juga termasuk dalam bagian ini karena
sebagian besar kajian manajemen persediaan tidak membedakan apakah departemen pengadaan memesan material dari pemasok eksternal atau apakah gudang
distribusi memesan barang jadi dari pabrik produksi. Oleh karena itu, kajian akan
difokuskan pada masalah pengisian gudang (replenishment). Faktanya, manajemen persediaan memainkan peran penting dalam mengendalikan bahan baku,
barang setengah jadi dan barang jadi. Manajemen persediaan yang tidak baik di
seluruh rantai pasokan dapat menyebabkan jumlah berlebihan pada modal tetap
dalam persediaan. Persediaan dalam bentuk persediaan yang aman (baik dalam
bahan baku atau produk akhir) dibangun untuk membatasi nilai ketidakpastian
terhadap permintaan, proses produksi dan pasokan. Ketika berhadapan dengan
produk yang mudah rusak pertukaran finansial ini diperparah dengan kemungkinan bahwa persediaan akan rusak dan kemudian kehilangan nilainya. Kajian yang
telah disajikan terkait dengan masalah perencanaan ini tidak secara menyeluruh
bertujuan untuk mencakup semua aspek, karena seperti telah disampaikan sebelumnya terdapat ulasan yang komprehensif dalam kajian ini. Namun merupakan hal yang penting untuk menunjukkan dampak dari kerangka masa pakai
produk dalam mengklasifikasikan pekerjaan penting ini.
Lin dan Chen (2003) mengkaji yang berkaitan dengan memaksimalkan keuntungan bisnis melalui alokasi persediaan yang tidak tahan lama dalam proses
operasional sesuai dengan shelf-life produk tersebut . Dalam kajian ini, shelf-life
suatu produk berperan sebagai kendala untuk keputusan perencanaan pengiriman. Oleh karena itu, beberapa penelitian menggunakan konsep yang disebut
Universitas Sumatera Utara
49
sebagai “nilai produk” yang mewakili utilitas dan / atau kualitas yang baik yang
akan digunakan pada proses pengambilan keputusan terkait dengan perencanaan
operasional. Li et al., (2006) mengusulkan model alokasi persediaan untuk produk
makanan segar berdasarkan informasi real-time yang disediakan. Tujuan dari pendekatan perencanaan yang dinamis ini adalah untuk mengoptimalkan keuntungan
dari pengecer.
Di antara kajian-kajian baru terhadap model perlengkapan (replenishment),
Goyal (2003) mempelajari model ekstensi dari Ekonomi Order Quantity (EOQ)
dimana permintaan, tingkat produksi dan kerusakan produk bervariasi terhadap
waktu. Kajian ini dimulai dengan mempertimbangkan perencanaan dengan waktu tak terbatas, tetapi setelah itu melihat ke dalam kasus perencanaan dengan
waktu terbatas dan menyelesaikannya terhadap solusi di sekitar optimalitas. Sebelumnya, Manna dan Chaudhuri (2001) juga telah melakukan pekerjaan yang
sama. Minner dan Transchel (2010) mengembangkan kebijakan persediaan ber
periodik untuk memenuhi persyaratan tingkat layanan yang diberikan dengan
mempertimbangkan barang yang akan rusak setelah periode yang tetap. Mereka
mempertimbangkan dua situasi permintaan yang berbeda. Dalam situasi pertama, permintaan selalu dipenuhi dengan menggunakan unit tertua lebih dulu.
Dalam skenario kedua pelanggan selalu meminta unit tersegar yang tersedia.
Penelitian-penelitian yang muncul dalam manajemen persediaan difokuskan
pada permasalahan multi-produk dan / atau rantai pasokan multi-eselon yang
memproduksi, mendistribusikan, dan kemudian menjual produk yang tidak tahan
Universitas Sumatera Utara
50
lama. Kar et al., (2001) mengusulkan model persediaan untuk beberapa produk
yang terus memburuk secara kontinu yang dijual di dua toko di bawah manajemen yang sama yang harus berurusan dengan kendala investasi dan total luas
lantai ruang. Pertama, produk dibeli dan diterima dalam penyimpanan pada toko
utama. Kemudian, barang segar dipisahkan dari yang memburuk. Unit segar
yang dijual di toko utama dan yang memburuk diangkut untuk dijual di toko
kedua. Rau (2003) serta Yang dan Wee (2003) memperluas model persediaan
untuk rantai pasokan multi-eselon dengan mengintegrasikan pemasok, produsen
dan pembeli. Keduanya mengkaji hanya satu produk, tapi sementara Rau (2003)
menangani hanya satu pembeli, Yang dan Wee (2003) mempertimbangkan beberapa orang. Kemudian, Chen dan Chen (2005) telah menambah kajian-kajian ini
dengan mempertimbangkan beberapa produk dalam rantai pasokan dua eselon dengan permintaan variabel terhadap waktu perencanaan. Dalam kajian ini penulis
mampu untuk menyelidiki efek dari pengisian bersama dan koordinasi terhadap
penghematan biaya dalam rantai pasokan.
Tarantilis dan Kiranoudis (2001) menganalisis distribusi susu segar. Mereka
merumuskan permasalahan ini sebagai permasalahan penentuan rute kendaraan
tetap yang heterogen. Dalam Tarantilis dan Kiranoudis (2002) permasalahan distribusi dunia dari daging segar disajikan. Mereka memodelkan masalah tersebut
sebagai masalah penentuan rute kendaraan multi-depot terbuka. Faulin (2003)
menyajikan penerapan dari prosedur algoritma hybrid yang menggunakan heuristik dan algoritma yang tepat dalam pemecahan masalah routing kendaraan (Vehicle Routing Problem / VRP). VRP ini dikaji lebih jauh dengan adanya kendala
Universitas Sumatera Utara
51
yang memunculkan periode waktu yang sempit dan kuantitas pengiriman yang
ketat yang dianggap normal dalam industri agribisnis.
Tidak ada satupun dari model yang telah disebutkan mempertimbangkan
degradasi spesifik dari kualitas produk selama masa transportasi. Osvald dan
Stirn (2008) mengembangkan heuristik untuk distribusi sayuran segar, dengan
masa rusaknya sebagai faktor penting. Permasalah tersebut dirumuskan sebagai
masalah rute kendaraan dengan mempertimbangkan periode waktu (Vehicle Routing Problem with Time Windows/VRPTW) dan masa perjalanan yang bergantung terhadap waktu. Model tersebut mempertimbangkan dampak dari rusaknya
produk sebagai bagian dari biaya distribusi keseluruhan. Hsu et al., (2007) mempertimbangkan proses pengiriman makanan yang mudah rusak dan menyajikan
model VRPTW stokastik untuk mendapatkan rute, pemuatan, kendaraan dan keberangkatan dan masa pengiriman di pusat distribusi. Fungsi tujuannya adalah
memperhitungkan biaya persediaan dengan pertimbangan kemerosotan kondisi
produk dan biaya yang dibutuhkan pada proses pendinginan dalam kendaraan
transportasi.
Distribusi ready mixed concrete (RMC), yang merupakan produk yang sangat tidak tahan lama, telah mendapatkan banyak perhatian dari komunitas riset.
Namun demikian, dalam prakteknya dikatakan bahwa proses distribusi terjadi
dengan sangat ketat dalam artian bahwa proses rusaknya produk ditangani dalam jendela-waktu yang sangat sempit dan dengan memberlakukan pasokan yang
tidak boleh diganggu. Kendala ini membuat masalah tersebut menjadi sangat
Universitas Sumatera Utara
52
sulit untuk diselesaikan yang menarik perhatian peneliti ke metode solusi. Dari
literatur yang sangat luas di bidang ini, beberapa referensi bagi pembaca yang
tertarik dalam subjek ini akan disampaikan. Matsatsinis (2004) menyajikan sebuah pendekatan untuk merancang sistem pendukung keputusan yang mampu
melakukan routing armada truk untuk mendistribusikan RMC. Ia berkonsentrasi
pada sistem pendukung keputusan, sedangkan routing dilakukan dengan menggunakan heuristik. Naso et al. (2007b) menerapkan pendekatan hybrid yang menggabungkan heuristik konstruktif dengan algoritma genetika. Armada kendaraan
yang digunakan bersifat homogen dalam hal kapasitas. Naso et al., (2007a) memperhitungkan asumsi yang lebih realistis, seperti kapasitas pabrik dan kecepatan
truk variabel yang mengarah ke model matematika non-linear. Baru-baru ini,
Schmid et al., (2010) mengembangkan prosedur solusi hibrida didasarkan pada
kombinasi dari algoritma yang tepat dan Variable Neighbourhood Search untuk
armada yang heterogen yang juga mendistribusikan RMC.
Melihat penelitian di bidang pengisian dari waktu ke waktu itu terlihat
bahwa penelitian saat ini memiliki lebih banyak perspektif terhadap manajemen
suplai dengan memfokuskan pada isu-isu multi-eselon dan terhadap pentingnya
pemberian informasi mengenai persediaan antara mitra rantai suplai. Kurangnya
kajian yang menanggulangi secara eksplisit masa pakai produk dalam perencanaan
routing ini sejalan dengan temuan dari tinjauan terkait yang dilakukan oleh Akkerman et al., (2010).
Universitas Sumatera Utara
53
Kajian tentang distribusi perencanaan untuk semua kategori yang telah
dibahas menggunakan model stokastik. Stokastik diterapkan dalam proses rusaknya produk dan dalam karakteristik lain seperti waktu perjalanan dan permintaan.
Di sisi lain, kajian-kajian yang berhubungan dengan produk yang mudah rusak
yang memiliki shelf-life tetap agak langka untuk ditemukan.
Universitas Sumatera Utara
BAB 5
PEMBENTUKAN MODEL MATEMATIKA
Pada bab ini mendiskripsikan masalah dan menformulasikan model perencanaan terintegrasi produksi dan distribusi produk ikan dari beberapa plaint.
5.1 Formulasi Masalah
Industri perikanan yang dikelola oleh sebuah perusahaan lokal berencana untuk
memproduksi N jenis produk ikan yang diproduksi di J plant yang terletak di
daerah pantai timur Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Selanjutnya produk
olahan ikan akan didistribusikan ke setiap pusat distribusi L.
Industri perikanan berencana untuk membuat sistem perencanaan dan distribusi dari setiap jenis produk ikan dari setiap plant dalam periode waktu t,
(t = 1, . . . , T ), untuk memenuhi permintaan pasar. Setiap plant mempunyai
ruang pendingin yang terbatas untuk menyimpan produk yang dapat disimpan
untuk sementara waktu di plant dengan biaya penyimpanan (holding cost) A2ntj ,
n ∈ N, j ∈ J , t ∈ T . Sedangkan produk mempunyai shelf-life. Andaikan produk yang disimpan tidak semuanya digunakan setelah shelf-life nya, maka produk
tersebut akan di buang. Oleh karena itu, tingkat persediaan bahan baku pada
plant j dari jenis produk ikan n sebelum shelf-life dinotasikan dengan Intj .
Dalam rangka untuk mendistribusikan produk makanan laut, terdapat L
pusat distribusi yang terletak di sekitar Provinsi Sumatera Utara yang cukup
54
Universitas Sumatera Utara
55
dekat dengan setiap plant. Setiap pusat distribusi L (l = 1, 2, . . . , L) mempunyai
nilai non-negatif dan permintaan deterministik Dntl dari n jenis produk ikan dalam periode perencanaan t dari horizon perencanaan. Batas limit persedian dapat
disimpan dalam ruang pendingin pada pusat distribusi adalah sama dengan jumlah produksi dari plan j yang didistribusikan ke pusat distribusi (Zntjl ) dengan
biaya penyimpanan A5ntjl dalam periode perencanaan t.
Pada permasalan perencanaan terintegrasi produksi-distribusi, perusahaan
perikanan akan memutuskan:
1. Banyaknya tiap jenis produk olahan ikan akan diproduksi tiap periode pada
setiap plant.
2. Penambahan sumber daya akan digunakan
3. Banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan tiap periode pada setiap plant.
4. Banyaknya tambahan tenaga kerja dan pemberhentian tenaga kerja tiap
periode pada setiap plant.
5. Banyaknya produk ikan disimpan tiap periode pada setiap plant.
6. Banyaknya produk ikan olahan yang akan dikirim ke pusat distribusi.
7. Banyaknya tiap jenis ikan olahan yang disimpan tiap periode dalam setiap
pusat distribusi.
Tujuannya adalah untuk meminimumkan total biaya perencanaan produksidistribusi pada industri perikanan.
Universitas Sumatera Utara
56
5.2 Formulasi Model
Sebelum memodelkan dan menentukan solusi optimal dalam penelitian ini, terlebih dahulu diperkenalkan notasi yang digunakan dalam model tersebut.
Indeks
n
= indeks produk, n = 1, . . . , 8
t
= indeks periode, t = 1, . . . , 4
j
= indeks plant, j = 1, . . . , 2
l
= indeks distributor, l = 1, . . . , 2
e
= indeks mesin, e = 1, . . . , 3
Himpunan
N
=
himpunan produk, n ∈ N
T
=
himpunan periode, t ∈ T
J
=
himpunan plant, j ∈ J
L
=
himpunan distributor, l ∈ L
E
=
himpunan mesin, e ∈ E
Parameter
A1ntj
=
Biaya produksi produk n pada periode t di plant j
A2ntj
=
Biaya penyimpanan produk n pada periode t di plant j
A3ntjl
=
Biaya pengiriman produk n pada periode t dari plant j ke distributor l
Universitas Sumatera Utara
57
A4ntl
=
Biaya permintaan produk n pada periode t dari distributor l yang
tidak terpenuhi
A5ntl
=
Biaya penyimpanan produk n pada periode t di distributor l
A6ntje
=
Biaya pemanfaatan mesin e untuk produk n pada periode t di plant
j
Dntl
=
Permintaan produk n pada periode t dari distributor l
U1ntj
=
Kapasitas produksi maksimum produk n pada periode t di plant j
U2ntl
=
Kapasitas penyimpanan maksimum produk n pada periode t di
distributor l
Mntje
=
Kapasitas produksi maksimum mesin e untuk produk n pada periode t di plant j
ix
Afntj
=
Biaya tetap dari karyawan yang bekerja memproduksi produk n
pada periode t di plant j
f ix
Kntj
=
Banyaknya karyawan yang bekerja memproduksi produk n pada
periode t di plant j
Qntj
=
Banyaknya produk n pada periode t di plant j yang wajib dikerjakan oleh setiap karyawan
Variabel
Xntj
=
Banyaknya produk n yang diproduksi oleh plant j pada periode t
Intj
=
Banyaknya barang simpanan (inventory) dari produk n pada periode
t di plant j
Bntl
=
Banyaknya permintaan distributor l akan produk n pada periode t
yang tidak terpenuhi
Cntl
=
Banyaknya produk n yang dialokasikan ke distributor l pada periode
t.
Universitas Sumatera Utara
58
Zntl
=
Banyaknya produk n yang dialokasikan ke distributor l pada periode
t
Vntj
=
Banyaknya produksi produk n total seluruh karyawan untuk setiap
periode di plant j
Variabel Biner
δntj
=
Atugas
ntj
Rtugas
ntj
=
=
(
1; jika mesin e dioperasikan untuk n periode t di plant j
0; selainnya

1; jika ada penambahan sejumlah karyawan yang mempro

duksi produk n pada periode t di plant j


0; selainnya

1; jika ada pengurangan sejumlah karyawan yang mempro

duksi produk n pada periode t di plant j


0; selainnya
Fungsi Objektif
Tujuan masalah perencanaan terintegrasi produksi-distribusi pada industri
perikanan adalah minimumkan total biaya yang terdiri dari:
1. Biaya produksi untuk tiap produk ikan olahan n pada tiap plant j dalam
periode t.
2. Biaya persediaan produk ikan olahan n pada periode t di plant j dengan
memperhatikan kondisi shelf-life.
3. Biaya pengiriman produk n pada periode t ke tiap pusat distribusi l.
Universitas Sumatera Utara
59
4. Biaya permintaan distributor l akan produk n pada periode t yang tidak
terpenuhi.
5. Biaya penyimpanan produk n pada periode t di pusat distribusi l.
6. Biaya pemanfaatan mesin e untuk produk n pada periode t di plant j.
Karena itu fungsi objektif dapat di formulasi sebagai berikut:
min =
XXX
n
+
t
j
t
t
A5ntl Cntl +
XXX
n
t
t
j
A4ntl Bntl
l
XXXX
n
ix f ix
Afntj
Kntj .
A2ntj Intj
j
A3ntjl Zntjl +
l
XXX
n
t
l
XXX
n
+
t
XXX
n
j
XXXX
n
+
A1ntj Xntj +
A6ntje δntje
e
j
Kendala
1. Banyaknya produk n yang didistribusikan ke l pada periode t dari semua
plant j yang ada kurang dari atau sama dengan permintaan masing-masing
pusat distribusi l.
X
Xntj ≤ Dntl
∀n, t, l
j
2. Banyaknya total produk n yang didistribusikan ke semua distributor l sama
dengan banyak produk n yang diproduksi pada periode t dari semua plant
j
X
Zntjl = Xntj ,
∀n, t, j
l
Universitas Sumatera Utara
60
3. Banyaknya produk n yang diperoleh dari semua plant j merupakan permintaan dari pusat distribusi l pada periode t
X
Zntjl = Cntj ,
∀n, t, l
j
4. Banyaknya produk n pada periode t di plant j yang masih ada di plant j
(sebagai persediaan / inventory) yang mempertimbangkan produk shelf-life
Intj = Xntj −
X
Zntjl ,
∀n, t = 1, j
l
Intj = Xntj + In(t−1)j −
X
Zntjl ,
∀n, (t = 2, 3, 4), j
l
5. Banyaknya permintaan produk n pada periode t di plant j yang tidak terpenuhi
Bntl = Dntl − Cntl ,
∀n, t, l
6. Banyaknya produk ikan olahan n total yang diproduksi pada mesin e ketika
periode t di plant j tidak melebihi kapasitas maksimum yang dapat dikerjakan oleh setiap mesin
Mntje − 1000 δntje ≤ 0,
∀n, t, j, e, 1000 = Big M
7. Banyaknya produk n yang pada periode t di plant j tidak melebihi kapasitas
batas maksimum produksinya pada setiap mesin e
Xntj =
X
Mntje ,
∀n, t, j
e
8. Banyaknya total produksi pada setiap periode t di plant j tidak melebihi
kapasitas produksi maksimum.
X
Xntj = U1tj ,
∀n, t, l
n
Universitas Sumatera Utara
61
9. Banyaknya distribusi produk n yang pada periode t di plant j ke setiap
distributor l tidak melebihi batas kapasitas maksimum penyimpanannya
X
Cntl ≤ U2ntl ,
∀t, l
n
10. Menyatakan produksi total yang mampu dihasilkan produk n pada periode
t di plant j berdasarkan banyaknya karyawan tetap yang tersedia
f ix
Vntj = Qntj Kntj
∀n, t, j
11. Jika banyaknya produksi dari produk n pada periode t di plant j lebih
dari total produksi yang mampu dihasilkan, maka akan ada penambahan
karyawan
Xntj − 1000 Atugas
≤ Vntj
ntj
∀n, t, j
12. Jika banyaknya produksi dari produk n pada periode t di plant j kurang
dari total produksi yang mampu dihasilkan, maka aka nada pengurangan
karyawan
Vntj − 1000 Rtugas
≤ Xntj
ntj
∀n, t, j
13. Kendala bilangan bulat, setiap variabel bernilai bilangan bulat
Xntj ≥ 0
∀n, t, j
Intj ≥ 0
∀n, t, j
Bntl ≥ 0
∀n, t, l
Cntl ≥ 0
∀n, t, l
Zntjl ≥ 0
∀n, t, j, l
Mntj ≥ 0
∀n, t, j
Universitas Sumatera Utara
62
14. Kendala bilangan biner, variabel yang bernilai nol atau satu
δntje ≥ 0
∀n, t, j, e
Atugas
≥ 0
ntj
∀n, t, j
Rtugas
≥ 0
ntj
∀n, t, j
Untuk menentukan banyaknya karyawan tambahan yang masuk atau diberhentikan perhitungannya dilakukan terpisah dari model pemograman karena permasalahan ini bukan termasuk kendala masalah. Proses menentukan banyaknya
karyawan dapat dilakukan setelah mengetahui output dari model pemograman.
Banyaknya karyawan yang ditambahkan atau di keluarkan di pengaruhi oleh besar
kecilnya produksi dari setiap produk n pada periode t di plant j.
Jika variabel Atugas
= 1, artinya ada sejumlah karyawan yang ditambahkan.
ntj
Untuk menentukan banyaknya karyawan tambahan digunakan rumus berikut,
f ix
Xntj − Qntj Kntj
Karyawan Tambahan =
.
Qntj
Jika variabel Rtugas
= 1, artinya ada sejumlah karyawan yang dikeluarkan.
ntj
Untuk menentukan banyaknya karyawan keluar atau berhenti digunakan rumus
berikut,
f ix
Qntj Kntj
− Xntj
Karyawan n Berhenti =
.
Qntj
Universitas Sumatera Utara
BAB 6
METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Metode Penyelesaian
Metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah perencanaan produksi dengan mempertimbangkan masalah material yang perishable adalah metode pencarian langsung layak yang dikembangkan oleh Nam Hwang. Perhatikan suatu
masalah program linier Integer Campuran (MILP) sebagai berikut:
Minimum
p = cT x
(6.1)
Dengan kendala
Ax ≤ b
(6.2)
x≥0
(6.3)
xj integer untuk j ∈ J
(6.4)
Komponen dari vektor feasible basic optimal (xB )k , untuk penyelesaian terhadap MILP dapat ditulis sebagai:
(xB )k = βk − αk1 (xN )1 − · · · − αkj (xN )j − · · · − αkn − · · · − m(xN )N n−m . (6.5)
Dengan catatan bahwa, persamaan tersebut dapat ditemukan dalam langkah
akhir metode simpleks. Jika (xN )k adalah suatu variabel integer dan diasumsikan
bahwa βk tidak integer, kemudian partisikan βk menjadi komponen pecahan dan
komponen integer diberikan oleh:
63
Universitas Sumatera Utara
64
βk = [βk ] + fk ,
0 ≤ fk ≤ 1.
(6.6)
Andaikan diinginkan untuk meningkatkan (xB )k terhadap integer terdekatnya, ([β]+1). Didasari pada gagasan dari penyelesaian sub-optimal, akan dinaikan
suatu variabel non basis yang khusus katakanlah (xN )j dimana batas atasnya
adalah nol diberikan αkj sebagai salah satu elemen dari vektor αj adalah negatif.
Andaikan ∆j merupakan jumlah dari perpindahan non variabel (xN )j , sehingga
nilai numerik dari scalar (xN )j adalah integer. Merujuk ke persamaan (6.5), maka
∆j dapat dinyatakan sebagai:
∆j =
1 − fk
.
−αkj
(6.7)
Sementara variabel non basic yang sisa berada pada nol. Dapat dilihat
bahwa setelah mensubstitusi (6.7) pada (6.5) untuk (xN )j dan untuk menghitung
partisi dari βk yang terdapat pada persamaan (6.6), diperoleh:
(xB )k = [β] + 1
(6.8)
jadi (xB )k sekarang menjadi integer.
Jelaslah sekarang terlihat bahwa variabel non basis memainkan peran yang
penting untuk menjumlahkan variabel basic yang bersesuaian. Oleh karena itu,
hasil berikut perlu untuk memastikan bahwa variabel non integer bekerja pada
proses pembulatan.
Universitas Sumatera Utara
65
Algoritma yang digunakan dalam arah pencarian sepanjang permukaan kendala aktif ditandai sebagai range matriks Z yang ortogonal pada matriks kendala
normal. Jika Ax = b adalah himpunan kendala aktif n − s, sedangkan Z merupakan matriks n × s sehingga
AZ = 0.
(6.9)
Langkah-langkah utama yang harus dilakukan pada setiap iterasi adalah
sebagai berikut:
(A) Hitung gradient pengurangan gA = Z T g
(B) Bentuk pendekatan untuk pengurangan Hessian
GA + Z T GZ
(6.10)
(C) Menghasilkan penyelesaian sistem persamaan
Z T GZpA = −Z T g
(6.11)
dengan menyelesaikan sistem GA pA = −gA
(D) Hitung direct search p = ZpA
(E) Membentuk pencarian jalur untuk menentukan pendekatan pada α∗ , dimana
f(x + a∗p) =
min
α
x+αp f easibel
f(x + ap)
(6.12)
Universitas Sumatera Utara
66
Bagian untuk membentuk rank kolom, persamaan (6.9) secara aljabar adalah hanya merupakan kendala pada Z dan dengan demikian Z dapat merupakan
beberapa bentuk. Secara khusus, bentuk Z adalah sebagai berikut:

  −1 
−W
−b S
}m




Z=
I
=
I
}s
0
0
}n − m − s
(6.13)
Ini adalah bentuk matrik yang menekankan bahwa komputasi hanya bekerja
pada S dan faktorisasi segitiga (LU) dari B.
6.2 Algoritma
Andaikan penyelesaian optimal yang kontinu dapat dipartisi sebagai bagian bulat
dan bagian pecahan
x = [x] + f,
0≤f ≤1
(6.14)
dimana [x] adalah komponen bilangan bulat dari variabel bilangan pecahan x dan
f merupakan komponen pecahan.
Tahap 1.
Langkah 1.
Pilih baris i∗ yang merupakan bilangan bulat terkecil yang tidak
layak, sehingga δi∗ = min{fi , 1 − fi }
Langkah 2.
Lakukan operasi pemberian harga untuk perpindahan nonbasis
viT∗ = eTi∗ B −1
Universitas Sumatera Utara
67
Langkah 3.
Hitung σij = viT∗ aj dengan j berkaitan dengan minj {|dj /σij |}.
Kemudian hitung maksimum nonbasis j batas bawah dan batas
atas. Jika tidak, lanjutkan ke non-integer nonbasis atau superbasis
j berikutnya (jika ada). Akhirnya kolom j ∗ dinaikan dari batas
bawah (LB) atau diturunkan dari batas atas (UB). Jika tidak
lanjutkan ke i∗.
Langkah 4.
Hitung Baj ∗ = aj ∗ untuk aj ∗ .
Langkah 5.
Untuk uji kelayakan, lakukan test rasio untuk untuk variabel basis
dengan melepaskan nonbasis j ∗ dari batasnya.
Langkah 6.
Pertukaran basis
Langkah 7.
Jika kolom i∗ = {∅} lanjutkan ke tahap ke dua, jika tidak ulangi
dari langkah 1.
Tahap 2.
Fase 1:
Proseskan bilangan bulat nonbasis yang tidak layak dengan langkah
memecahkannya untuk mendapatkan bilangan integer yang layak.
Fase 2:
Proseskan bilangan integer superbasis yang layak. Tujuan dari fase
ini adalah untuk mendapatkan penyelesaian suboptimal integer yang
layak.
6.3 Hasil Perhitungan
Penelitian ini dilakukakan di Industri perikanan yang terletak di daerah pantai
timur Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Industri perikanan tersebut terdapat
dua buah plant j, (j = 1, 2), dimana setiap plant akan memproduksi beberapa
jenis produk ikan n, (n = 1, . . . , 8), yaitu ikan teri, ikan asin, ikan sale, ikan pin-
Universitas Sumatera Utara
68
dang, ikan asap, ikan yang diawetka, terasi, dan bakso ikan untuk setiap triwulan
(t = 1, 2, 3, 4).
Banyaknya produksi n pada periode t tertentu di setiap plant j dipengaruhi
oleh banyaknya karyawan yang bekerja setiap periodenya dan banyaknya produksi produk n maksimum yang dapat dihasilkan oleh mesin e, (e = 1, 2, 3). Jika
melebihi batas kemampuan produksi karyawan dan mesin yang tersedia, maka produk tidak bisa lagi dihasilkan. Artinya, banyaknya produk n yang dapat diproduksi pada setiap plant j saat periode t dipengaruhi oleh banyaknya karyawan
yang tersedia dan kapasitas produksi maksimum mesin setiap periodenya. Maka,
banyaknya produksi produk n pada periode t di setiap plant j dapat dinyatakan
dengan variabel Xntj yang nilainya akan berubah-ubah bergantung permintaan
dari setiap pusat distribusi l.
Perencanaan inventori di tiap plant j dan pusat distribusi l dengan memperhatikan waktu layak-pakai (shelf-life) yang singkat dari produk ikan. Kondisi
seperti ini mengakibatkan adanya keterbatasan ketat terhadap durasi penyimpanan setelah selesai diproses demikian pula dengan kondisi antaran (delivery).
Produk perishable memiliki keterbatasan waktu yang tetap, yaitu dihitung berdasarkan periode lama waktu penyimpanan produk di plant j ataupun di pusat
distribusi l.
Untuk memperoleh hasil optimum, software LINGO digunakan untuk menyelesaikan model program integer untuk persoalan perencanaan terintegrasi Produksi dan Distribusi produk ikan dari beberapa plant.
Universitas Sumatera Utara
69
Indeks yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Jumlah Produksi; n = 1, . . . , 8, yakni:
n = 1 untuk ikan kering
n = 2 untuk ikan asin
n = 3 untuk ikan sale
n = 4 untuk ikan pindang
n = 5 untuk ikan asap
n = 6 untuk ikan yang diawetkan
n = 7 untuk terasi
n = 8 untuk bakso ikan.
2. Jumlah periode dinyatakan dalam triwulan, t = 1, . . . , 4
3. Jumlah Plant (pabrik), j = 1, 2
4. Jumlah pusat distribusi, l = 1, 2
5. Jumlah mesin yang digunakan, e = 1, . . . , 3.
Dasar perhitungan digunakan dari data; (1) biaya produksi setiap jenis produk per periode pada setiap plant dalam satuan rupiah per kilogram, (2) biaya
penyimpanan setiap jenis produk per periode pada setiap plan dalam satuan rupiah per kilogram, (3) biaya pengiriman setiap jenis produk per periode dari setiap
plant ke setiap pusat distribusi dalam satuan rupiah per kilogram, (4) biaya permintaan dari setiap jenis produk per periode yang tidak terpenuhi dari distributor
dalam satuan rupiah per kilogram, (5) biaya penyimpanan setiap jenis produk per
Universitas Sumatera Utara
70
periode pada setiap pusat distribusi dalam satuan rupiah per kilogram, (6) biaya
pemanfaatan setiap mesin untuk memproduksi setiap produk pada setiap periode
di setiap plant dalan satuan rupiah per kilogram, (7) permintaan setiap produk
per periode dari distributor dalam satuan kilogram, (8) Kapasitas produksi maksimum seluruh produk per periode oada setiap plant dalam satuan kilogram, (9)
Kapasitas penyimpanan maksimum seluruh produk per periode di distributor dalam satuan kilogram, (10) kapasitas produksi maksimum setiap mesin untuk setiap
produk per periode di setiap plant dalam satuan kilogram, (11) biaya tetap dari
karyawan yang bekerja untuk memproduksi setiap produk per periode di setiap
plant dalam satuan rupiah, dan (12) banyaknya karyawan yang bekerja memproduksi setiap produk per periode di setiap plant dalam satuan orang (Lampiran
1).
Banyaknya produksi n pada periode t tertentu di setiap plant j dipengaruhi
oleh banyaknya karyawan yang bekerja setiap periodenya dan banyaknya produksi produk n maksimum yang dapat dihasilkan oleh mesin e (e = 1, 2, 3). Jika melebihi batas kemampuan produksi dari karyawan dan mesin yang tersedia,
maka produk tidak bisa lagi dihasilkan. Artinya, banyaknya produk n yang dapat diproduksi pada setiap plant j saat periode t dipengaruhi oleh banyaknya
karyawan yang tersedia dan kapasitas produksi maksimum mesin setiap periodenya. Dengan demikian, banyaknya produksi produk n pada periode t di setiap
plant j dapat dinyatakan dengan variabel Xntj yang nilainya akan berubah-ubah
bergantung pada permintaan dari setiap pusat distribusi l.
Universitas Sumatera Utara
71
Dari hasil output program LINGGO, jumlah produksi setiap produk per
periode pada setiap plant dapat dilihat pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1
Jumlah produksi setiap produk per periode di setiap plant (Kg)
Produk
n
1
2
3
4
5
6
7
8
Plant 1
Plant 2
Periode
Periode
1
2
3
4
1
2
3
4
1030
480
1130
1170
1210
1120
1110
1010
760
460
760
980
980
860
650
1020
960
430
1160
1180
1180
1160
1050
1020
960
430
1160
1180
1180
1160
1050
1020
970
670
660
810
770
770
640
880
970
670
860
1010
970
1070
940
1080
970
670
1160
1210
1170
1170
140
1080
970
670
1160
1210
1170
1170
1140
1080
Besar kecilnya produksi juga dipengaruhi oleh banyaknya permintaan dari
masing-masing pusat distribusi. Pusat distribusi akan meminta produk n pada
periode t dari setiap plant yang ada. Karena dua plant tersebut sama-sama menyediakan produk n, maka pusat distribusi akan memilih plant mana yang memiliki
biaya produksi dan pengiriman lebih murah. Dalam hal ini, banyaknya produk n
yang diminta oleh setiap pusat distribusi dinyatakan dengan Dntl .
Namun, karena produksi dari produk n pada periode t di plant j memiliki keterbatasan jumlah produksi, maka tidak menutup kemungkinan akan ada
permintaan dari pusat distribusi l yang tidak terpenuhi. Sehingga banyaknya
permintaan dari pusat distribusi l yang tidak dapat dipenuhi dinyatakan dengan
Bntl . Jika Bntl bernilai nol, berarti permintaan memiliki jumlah yang sama dengan
produk yang teralokasi di pusat distribusi l (Tabel 6.2). Sedangkan banyaknya
Universitas Sumatera Utara
72
produk yang dapat didistribusikan ke pusat distribusi l dinyatakan dengan Zntjl
(Tabel 6.4 dan Tabel 6.5).
Besar kecilnya produk n yang dialokasikan di pusat distribusi l dipengaruhi
oleh jumlah produksi n yang di distribukasikan dari setiap plant j, jadi produk
yang berada di pusat distribusi l, juga merupakan persediaan (iventori) dimana
jumlah maksimumnya tidak melebihi batas atas dari kapasitas penyimpanan seluruh produk pada periode t di distribusi l dinyatakan dengan Cntl . Setelah produk
di terima oleh distributor l, maka secara otomatis akan tersimpan pada distributor
l.
Tabel 6.2
Jumlah permintaan setiap produk per periode yang tidak terpenuhi
di distributor (Kg)
Produk
n
1
2
3
4
5
6
7
8
Plant 1
Periode
Plant 2
Periode
1
2
3
4
1
2
3
4
1030
0
2210
3830
3500
4000
4460
3990
270
20
3640
3010
2050
2070
4260
3000
1130
0
1880
4020
1250
1770
3860
4280
2000
480
3140
3820
2620
2830
5200
5000
970
1150
4000
4190
1520
2110
3990
4120
2050
1160
3740
5500
4000
4200
4650
5100
1140
1100
4200
3990
3600
4100
4150
3920
70
720
3140
3790
2830
2840
2810
3000
Universitas Sumatera Utara
73
Tabel 6.3
Jumlah setiap produk yang dalokasikan ke setiap distributor per periode (Kg)
Produk
n
1
2
3
4
5
6
7
8
Tabel 6.4
Plant 1
Periode
Plant 2
Periode
1
2
3
4
1
2
3
4
970
1150
1790
1170
0
0
640
1010
1730
1130
860
1990
1950
1930
940
2100
970
1100
2320
1180
2350
2330
1140
1020
0
670
1160
1180
1180
1170
0
0
1030
0
0
810
1980
1890
1110
880
0
0
760
0
0
0
650
0
960
0
0
1210
0
0
1050
1080
0
430
1160
1210
1170
1160
2190
2100
Jumlah pengiriman setiap produk dari plant 1 ke setiap distributor
per periode (Kg)
Plant 1
Produk
n
1
2
3
4
5
6
7
8
Pusat Distributor 1
Periode
Pusat Distributor 2
Periode
1
2
3
4
1
2
3
4
0
480
1130
1170
0
0
0
1010
760
460
760
980
980
860
0
1020
0
430
1160
1180
1180
1160
0
1020
0
0
0
1180
1180
0
1050
0
1030
0
0
0
1210
1120
1110
0
0
0
760
0
0
0
650
0
960
0
0
0
0
0
1050
0
960
430
1160
0
0
1160
1050
1020
Universitas Sumatera Utara
74
Tabel 6.5
Jumlah pengiriman setiap produk dari plant 2 ke setiap distributor
per periode (Kg)
Plant 2
Produk
n
1
2
3
4
5
6
7
8
Pusat Distributor 1
Pusat Distributor 2
Periode
Periode
1
2
3
4
1
2
3
4
970
670
660
0
0
0
640
0
970
670
860
1010
970
1070
940
1080
970
670
1160
0
1170
1170
1140
0
960
670
1160
0
0
1170
0
0
0
0
0
810
770
770
0
880
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1210
0
0
0
1080
0
0
0
1210
1170
0
1140
1080
Didefinisikan bahwa δntje merupakan bilangan biner yang menyatakan apakah mesin yang ada akan digunakan atau tidak. Jika δntje bernilai satu artinya
mesin e digunakan untuk memproduksi produk n pada periode t di plant j, sedangkan dntje bernilai nol berarti mesin tidak digunakan. Pada setiap plant ada
mesin yang bisa digunakan untuk produksi, dimana mesin-mesin tersebut memang tetap ada tapi akan digunakan apabila memang digunakan untuk produksi.
Namun jika tidak ada permintaan terhadap produk n tertentu yang menggunakan
mesin e, artinya mesin e tidak diaktifkan atau digunakan (Lampiran 3).
Universitas Sumatera Utara
75
Tabel 6.6
Jumlah Produksi setiap produk untuk total karyawan per periode di
setiap plant (Kg)
Produk
n
1
2
3
4
5
6
7
8
Plant 1
Periode
Plant 2
Periode
1
2
3
4
1
2
3
4
720
640
1080
1080
1080
1000
900
760
720
840
1080
1080
1080
1200
900
760
720
840
1080
1080
1080
1000
900
760
720
840
1080
1080
1080
1000
900
760
740
820
1040
1100
1080
1020
20
800
740
820
1040
1100
1080
1020
920
800
740
820
1040
1100
1080
1020
920
800
740
820
1040
1100
1080
1020
920
800
Dari hasil output software LINGGO, terlihat bahwa tidak ada persediaan
(inventory) pada setiap produk di setiap plant j per periode t dikarenakan permintaan setiap produk di setiap pusat distribusi lebih besar dari produksinya.
Jadi tidak ada produk yang layak-pakai (shelf-life) yang harus di buang.
Penambahan atau pengurangan pekerja dipengaruhi oleh jumlah produksi
produk n dari total seluruh karyawan untuk setiap periode t di plant j dinyatakan oleh Vntj , dimana jumlah tersebut wajib dikerjakan oleh seluruh karyawan.
Proses menentukan penambahan atau pengurangan karyawan dapat dilakukan
setelah mengetahui output dari pemograman LINGO yang dipengaruhi oleh besar kecilnya produk n yang dapat dihasilkan oleh seluruh karyawan pada periode
t di plant j (Tabel 6.6).
Universitas Sumatera Utara
76
Jika variabel Atugas
= 1, artinya ada sejumalah karyawan yang ditambahkan.
ntj
Untuk menentukan banyaknya karyawan tambahan dengan rumus berikut,
f ix
Xntj − Qntj Kntj
Karyawan Tambahan =
Qntj
Sehingga hasilnya diperoleh pada Tabel 6.7.
Tabel 6.7
Jumlah Penambahan Karyawan
n
t
j
Banyak Karyawan yang Dimasukkan
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
8
8
8
8
8
8
8
8
1
1
2
2
3
3
4
4
1
2
3
4
1
1
2
2
3
3
4
4
1
2
1
2
1
2
1
2
2
2
2
2
1
2
1
2
1
2
1
2
9
11
9
11
9
11
9
11
6
6
6
6
16
9
16
9
16
9
16
9
Jika variabel Rtugas
= 1, artinya ada sejumalah karyawan yang dikeluarkan.
ntj
Untuk menentukan banyaknya karyawan keluar/berhenti dengan rumus berikut,
f ix
Qntj Kntj
− Xntj
Karyawan Berhenti =
Qntj
Sehingga hasil diperoleh di Tabel 6.8.
Universitas Sumatera Utara
77
Tabel 6.8
Jumlah Pengurangan Karyawan
n
t
j
Banyaknya Karyawan yang dikelurkan
3
3
3
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4
5
5
5
5
5
5
5
5
6
6
6
6
7
7
7
7
1
1
2
2
3
3
4
4
1
1
2
2
3
3
4
4
1
1
2
2
3
3
4
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
1
1
1
2
2
2
2
8
5
8
5
8
5
8
5
4
6
4
6
4
6
4
6
5
7
5
7
5
7
5
7
4
4
4
4
1
1
1
1
Dari perhitungan program LINGO, diperoleh total biaya minimum untuk
persoalan perencanaan terintegrasi produksi dan distribusi adalah sebesar Rp.1.480.141.000
Universitas Sumatera Utara
78
pertahun yang terdiri dari jumlah biaya produksi sebesar Rp.392.866.200 pertahun, jumlah biaya pendistribusian dari plan j ke pusat distribusi j sebesar
Rp.426.069.000, jumlah biaya permintaan yang tidak terpenuhi di pusat distribusi
l sebesar Rp.423.856.000, jumlah biaya pemanfaatan mesin untuk produksi sebesar Rp.163.077.000, dan jumlah biaya pekerja tetap sebesar Rp.7.209.600 (Lampiran 3).
Sedangkan biaya penyimpanan (iventori) produk pada plant j adalah nol,
karena semua produksi di plan j diperlukan untuk permintaan produk n di pusat
distribusi l sehingga tidak ada produk yang mengalami layak-pakai (shelf-life) di
plant j (Lampiran 3).
Universitas Sumatera Utara
BAB 7
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Produksi olahan ikan merupakan suatu proses semi-kontinu dan bertautan dengan beberapa karakteristik tertentu. Produksi demikian ini termasuk dalam
kategori industri makanan, yang memiliki durasi layak-pakai (shelf-life) singkat.
Kondisi seperti ini mengakibatkan adanya keterbatasan ketat terhadap durasi
penyimpanan setelah selai diproses demikian pula dengan kondisi antaran (delivery). Penelitian ini mengajukan suatu model terpadu perencanaan dan penjadwalan dari system produksi - distribusi produk olahan ikan. Di dalam model
tercakup penjadwalan pemakaian mesin pada plant untuk proses produksi. Perencanaan inventori di tiap plant dan pusat distribusi dengan memperhatikan waktu
layak-pakai dari produk ikan. Objektif dari model adalah meminimumkan biaya
produksi, inventori dan distribusi. Model terpadu yang dihasilkan mengambil
bentuk program bilangan cacah campuran linier (mixed integer linear programming). Bentuk bilangan cacah terjadi sebagai variabel biner (0, 1), yaitu pada
penjadwalan mesin.
79
Universitas Sumatera Utara
80
7.2 Saran
Penelitian lebih lanjut yang dapat dilakukan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Dalam penelitian ini ketersediaan bahan mentah ikan dan permintaan diasumsikan deterministik (diketahui). Penelitian lebih lanjut adalah menghilangkan asumsi ini, sehingga terdapat bahwa ketersediaan bahan mentah
dan permintaan sebagai parameter tak pasti.
2. Model yang dihasilkan berbentuk linier, oleh karena masing-masing variabel tidak saling mempengaruhi. Namun adakalanya di pemakaian terdapat keterhubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain, apalagi
untuk persoalan produksi yang mencakup banyak jenis produski. Hal keterhubungan ini mengakibatkan bentuk model menjadi tak linier.
3. Model yang dihasilkan dapat dipergunakan oleh pihak industri perikanan.
Universitas Sumatera Utara
Download