BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari empat kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih dari satu bulan dan anak, frekuensinya lebih dari tiga kali (FKUI, 2000). Studi WHO 2009 menyebutkan bahwa 17% kematian anak balita di dunia disebabkan penyakit diare. Penyebab kematian bayi (usia 29 hari-11 bulan) yang terbanyak adalah diare (31,4%) dan pneumonia (23,8%). Demikian pula penyebab kematian anak balita (usia 12-59 bulan), terbanyak adalah diare (25,2%) dan pnemonia (15,5%) (Kemenkes RI, 2011). Hasil Survei Morbiditas Diare di Indonesia yang dilakukan pada tahun 2010 juga menunjukkan bahwa proporsi penderita diare terbesar pada balita (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Prevalensi diare tertinggi adalah pada anak umur 12-23 bulan, diikuti umur 6-11 bulan dan umur 23-45 bulan. Dengan demikian seperti yang diprediksi, diare banyak diderita oleh kelompok umur 6-35 bulan karena anak mulai aktif bermain dan berisiko terkena infeksi. Sebagian dari kasus (1%-2%) akan jatuh ke dalam dehidrasi, dan bila tidak segera ditolong 50%-60% di antaranya dapat meninggal. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan CFR yang 1 2 masih tinggi. Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74 %). Diare dan gastroenteritis merupakan penyakit urutan pertama yang menyebabkan pasien rawat inap di rumah sakit berdasarkan sepuluh peringkat utama pasien rawat inap di rumah sakit di Bali (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Data Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan tahun 2012, menunjukkan bahwa total kunjungan puskesmas dengan kasus diare pada balita di Kabupaten Tabanan mencapai 1423 kasus. Di tahun 2013, laporan kejadian diare pada balita di Kabupaten Tabanan dari bulan Januari sampai Desember 2013 sebanyak 1272 kasus. Sepanjang tahun 2013 di wilayah Puskesmas Kediri laporan kejadian diare tercatat sebanyak 278 kasus dan di wilayah Puskesmas Tabanan tercatat 290 kasus, kedua wilayah ini masuk dalam tiga besar wilayah dengan laporan kejadian terbanyak pada balita untuk Kabupaten Tabanan (Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan, 2013). Pada bayi dan anak, diare dapat menjadi penyebab utama terjadinya dehidrasi dan malnutrisi. Selama diare, konsumsi makanan dan cairan serta penyerapan nutrisi dapat menurun sedangkan di sisi lain kebutuhan akan cairan dan nutrisi saat diare akan bertambah, kombinasi dari kedua kondisi ini dapat mengakibatkan penurunan berat badan, penurunan produksi energi dan kekurangan cairan sehingga dapat berakibat pada jatuhnya balita dalam 3 kondisi dehidrasi ringan/sedang sampai berat hingga menyebabkan diare berkepanjangan yang dapat berlanjut menjadi malnutrisi. Penyebab utama kematian akibat diare adalah tata laksana yang tidak tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan. Untuk menurunkan kematian karena diare perlu tata laksana yang cepat dan tepat. Diare umumnya bersifat self limiting, sehingga aspek terpenting yang harus diperhatikan adalah mencegah terjadinya dehidrasi yang menjadi penyebab utama kematian dan menjamin asupan nutrisi untuk mencegah gangguan pertumbuhan akibat diare. WHO sendiri telah memiliki panduan penanganan untuk anak yang menderita diare. Terdapat tiga elemen esensial untuk manajemen diare, yaitu terapi rehidrasi, pemberian suplemen zinc, dan melanjutkan pemberian makanan. Terdapat tiga rencana terapi pada penderita diare yaitu, rencana terapi C yang ditujukan untuk mengatasi dehidrasi berat, dengan terapi cairan intravena. Rencana terapi B untuk mengatasi dehidrasi menggunakan cairan terapi oral (ORS), dan rencana terapi A untuk mengatasi diare di rumah. Ketiga rencana terapi tersebut mencakup tiga elemen esensial untuk manajemen diare yang telah disebutkan diatas (WHO, 2005). WHO dan UNICEF juga telah merekomendasikan pemberian suplementasi 20 mg seng per hari (10 mg per hari untuk bayi kurang dari enam bulan) selama 10 – 14 hari pada pengelolaan diare anak kurang dari lima tahun karena telah terbukti efektif dan aman untuk terapi pada diare. Diare akut yang tidak ditangani dengan tepat dapat memperpanjang durasi diare yang berakibat penderita jatuh pada keadaan 4 diare kronik, yaitu durasi diare lebih dari 14 hari (Kandun, 2003; Prahasto, 2003; Depkes, 2008; WHO, 2006). Penanganan diare tidak dapat dianggap mudah. Pemberian cairan yang mengandung elektrolit penting memang baik untuk mencegah dehidrasi penderita, tetapi pemberian obat antidiare yang tidak pada tempatnya malah berbahaya (Syam, 2008). Saat ini, tidak ada obat yang aman dan efektif untuk menangani diare. Salah satu masalah yang sering terjadi pada penanganan diare akut yang sering ditemui, adalah kecenderungan untuk selalu memberikan antibiotik, bahkan tanpa dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui agen penyebab diare yang tentu saja dapat menimbulkan efek samping yang bermakna terutama pada bayi dan anak. Penelitian Dwiprahasto menemukan bahwa lebih dari 85% pasien balita yang berkunjung ke Puskesmas dengan keluhan diare mendapat antibiotik. Hal ini juga terjadi pada praktek dokter swasta. Beberapa uji klinis yang membandingkan pemberian antibiotik dengan plasebo memperlihatkan bahwa kelompok yang mendapat antibiotik tidak lebih baik secara bermakna dibandingkan dengan kelompok yang mendapat plasebo, justru risiko terjadi efek samping lebih besar (Prahasto, 2003). Antibiotika tidak efektif melawan kebanyakan organisme yang menyebabkan diare, jarang membantu dan dalam jangka panjang dapat membuat beberapa orang lebih sakit. Penggunaan yang sembarangan bisa meningkatkan resistensi beberapa organisme penyebab penyakit terhadap antibiotika. Maka antibiotika tidak dianjurkan digunakan secara rutin. 5 Oleh karena itu program pencegahan dan pengobatan diare bertujuan untuk memperkuat daya tahan tubuh, memodifikasi lingkungan dan perilaku kearah yang positif dan menguntungkan bagi kesehatan dengan meminimalkan pemberian antibiotik atau terapi farmakologi lain terutama penanganan diare pada bayi yang dapat memberi resiko terjadinya efek samping yang lebih besar. Dalam dunia keperawatan sebenarnya telah lama dikenal terapi sentuhan sebagai terapi komplementer. Bahkan teknik ini telah menjadi bagian dari intervensi mandiri keperawatan. Salah satu terapi sentuhan adalah baby massage atau di Indonesia sering disebut dengan pijat bayi. Pijat bayi ini amat efisien dan relatif cukup aman sebagai terapi komplementer karena bukan tindakan invasif/melukai kulit tubuh. Teknik penekanan yang dilakukan pada seluruh tubuh layaknya akupresur pada pijat bayi dapat merangsang titik-titik sirkulasi energi dan peredaran darah pada seluruh tubuh sehingga bermanfaat untuk mengatasi berbagai gangguan kesehatan yang bersifat akut maupun kronis. Teknik pengobatan ini bertujuan mengaktifkan kembali mekanisme penyembuhan diri sendiri dari dalam tubuh (Adikara, 2002). Melalui sentuhan pemijatan terhadap jaringan otot peredaran darah dapat meningkatkan jaringan otot ataupun posisi otot dapat dipulihkan dan diperbaiki sehingga dapat meningkatkan fungsi-fungsi organ tubuh dengan sebaik-baiknya (Widnyani, 2007). Pijat bayi sebagai terapi komplementer telah lama dilakukan hampir di seluruh dunia termasuk di Indonesia dan diwariskan secara turun temurun. 6 Sentuhan dan pijat pada bayi setelah kelahiran dapat memberikan jaminan adanya kontak tubuh berkelanjutan yang dapat mempertahankan perasaan aman pada bayi. Tercatat sekitar 5000 tahun yang lalu para dokter di Cina dari Dinasti Tang juga meyakini bahwa pijat adalah salah satu dari empat teknik pengobatan penting (Rahayu, 2005). Studi menemukan tentang mekanisme efek pijat bayi terhadap perubahan fisiologikal dan biokimiawi untuk meningkatkan pertumbuhan, meliputi peningkatan aktivitas vagus yang selanjutnya akan mempengaruhi pelepasan hormon pencernaan seperti gastrin, insulin dan Insulin-Growth Factor (IGF-1) serta meningkatkan efisiensi proses metabolik tubuh (Gunardi, Hartono, Ferius, Efar, & Shirley, 2008). Penelitian Pan Wei,Wu Ling, dan Hao Hongyan tahun 2011 yang dilakukan di TCM Hospital of Lanzhou City, Lanzhou, Gansu, China tentang pengalaman menggunakan terapi pijat untuk menangani 30 kasus bayi dengan diare persisten memperoleh hasil bahwa kelompok yang mendapatkan terapi diare secara umum ditambah dengan terapi pijat memiliki tingkat kesembuhan yang lebih baik secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol yang hanya diberikan terapi diare secara umum. Dari hasil tersebut didapatkan terapi diare efektif dalam mengobati bayi dengan diare persisten dan secara efektif dapat meredakan gejala diare. Di Ekuador tahun 2006 dilakukan penelitian pengaruh pijat bayi terhadap status kesehatan bayi yatim piatu. Penelitian ini menyelidiki apakah terapi pijat bayi dapat mengurangi episode diare dan mengurangi penyakit 7 secara keseluruhan pada bayi yang tinggal di dua panti asuhan di Quito, Ekuador. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi kelompok kontrol memiliki risiko 50 % lebih besar mengalami diare dibandingkan bayi pada kelompok eksperimen (rasio tingkat [ RR ] = 1.54, 95% confidence interval [ CI ] = 1.18, 2.03, P < 0,001 ) (Jump, Fargo, & Akers, 2006). Berdasarkan berbagai keadaan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pijat bayi sebagai terapi komplementer terhadap derajat dehidrasi pada bayi dengan diare akut usia 6 – 24 bulan di wilayah Puskesmas Kecamatan Kediri dan Kota Tabanan Kabupaten Tabanan, karena sepanjang pengetahuan peneliti di wilayah Puskesmas Kecamatan Kediri dan Kota Tabanan Kabupaten Tabanan belum ada penelitian mengenai pengaruh pijat bayi sebagai terapi komplementer terhadap derajat dehidrasi pada bayi dengan diare akut usia enam sampai 24 bulan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian masalah pada latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut : “ Apakah ada pengaruh pijat bayi sebagai terapi komplementer terhadap derajat dehidrasi pada bayi dengan diare akut usia 6 – 24 bulan di wilayah Puskesmas Kecamatan Kediri dan Kota Tabanan Kabupaten Tabanan Tahun 2014 ?” 8 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh pijat bayi sebagai terapi komplementer terhadap derajat dehidrasi pada bayi dengan diare akut usia 6 – 24 bulan di wilayah Puskesmas Kecamatan Kediri dan Kota Tabanan Kabupaten Tabanan Tahun 2014. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi derajat dehidrasi pada bayi dengan diare akut pada kelompok kontrol sebelum dan setelah diberikan terapi standar penanganan diare di wilayah Puskesmas Kecamatan Kediri dan Kota Tabanan Kabupaten Tabanan Tahun 2014. b. Mengidentifikasi derajat dehidrasi pada bayi dengan diare akut pada kelompok perlakuan sebelum dan setelah diberikan terapi standar penanganan diare dan pijat bayi sebagai terapi komplementer di wilayah Puskesmas Kecamatan Kediri dan Kota Tabanan Kabupaten Tabanan Tahun 2014. c. Menganalisis derajat dehidrasi pada bayi dengan diare akut pada kelompok kontrol sebelum dan setelah diberikan terapi standar penanganan diare. d. Menganalisis derajat dehidrasi pada bayi dengan diare akut pada kelompok perlakuan sebelum dan setelah diberikan terapi standar penanganan diare dan pijat bayi sebagai terapi komplementer. 9 e. Menganalisis perbedaan derajat dehidrasi setelah intervensi pada bayi dengan diare akut antara kelompok kontrol yang hanya diberikan terapi standar penanganan diare dan kelompok perlakuan yang diberikan terapi standar penanganan diare ditambah pijat bayi sebagai terapi komplementer di wilayah Puskesmas Kecamatan Kediri dan Kota Tabanan Kabupaten Tabanan Tahun 2014. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan Hasil penelitian ini dapat dijadikan literatur di keperawatan anak dan memberikan informasi tambahan mengenai pengaruh terapi pijat bayi sebagai terapi komplementer dalam mencegah dan menangani dehidrasi akibat diare akut pada bayi usia 6-24 bulan. 1.4.2 Bagi Profesi Keperawatan Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai masukan bagi perawat untuk memberikan alternatif terapi komplementer dalam mencegah dan mengatasi dehidrasi akibat diare akut pada bayi dan memberikan pengetahuan bahwa terapi pijat bayi perlu dilaksanakan untuk mendukung pemenuhan penyembuhan diare. kebutuhan bayi terutama saat proses 10 1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya, dan menambah literatur tentang terapi pijat sebagai terapi komplementer dalam mencegah dan mengatasi dehidrasi akibat diare akut pada bayi terutama usia 6-24 bulan. 1.4.4 Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai bukti ilmiah manfaat terapi komplementer pijat bayi dalam mencegah dan mengatasi dehidrasi akibat diare serta membantu penyembuhan diare pada bayi sehingga dapat diaplikasikan di masyarakat. 1.5. Relevansi Penelitian Berdasarkan telaah literatur, penelitian yang berkaitan dengan judul dari penelitian ini adalah: 1.5.1 Sri Wulandari Novianti (2010). Pengaruh Terapi Pijat Dalam Penurunan Frekuensi Bab Dan Tingkat Dehidrasi Pada Anak Usia 02 Tahun Dengan Diare Di RSUD Cibabat Cimahi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi pijat dalam penurunan frekuensi buang air besar (BAB) dan tingkat dehidrasi pada anak usia 0 – 2 tahun dengan diare. Desain penelitian yang digunakan adalah desain quasi experiment design with pre-post test control group. Sampel penelitian adalah 15 bayi usia 0-2 tahun yang mengalami diare untuk setiap kelompok, sehingga total keseluruhan sampel adalah 30 responden 11 yang diambil secara probability sampling dengan jenis systematic random sampling. Teknik pengumpulan data adalah pengambilan data awal (pre test), mencakup pengisian kuesioner mengenai usia anak, status sosial ekonomi, kebiasaan mencuci tangan ibu/pengasuh, frekuensi BAB, dan penilaian tingkat dehidrasi pada kelompok kontrol maupun intervensi. Orangtua responden diminta untuk mencatat setiap kali anak BAB. Anak pada kelompok intervensi diberi terapi pijat dua kali pada waktu pagi dan sore selama tiga hari. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kondisi pada kelompok intervensi dengan kelompok kontrol yaitu kelompok intervensi lebih tenang, rileks, tidur lebih nyenyak dan mengalami peningkatan nafsu makan. Persamaan dari penelitian ini adalah sama-sama meneliti pengaruh pijat bayi terhadap derajat/tingkat dehidrasi. Perbedaan dari penelitian ini adalah pada waktu, tempat dan variabel terikatnya, dimana pada penelitian diatas selain derajat dehidrasi, peneliti juga meneliti tentang frekuensi BAB sedangkan pada penelitian ini hanya meneliti tentang derajat dehidrasi. Sampel yang diteliti juga berbeda yaitu dalam rentang usia, penelitian di atas menggunakan bayi usia 0-2 tahun sedangkan pada penelitian ini menggunakan bayi usia 6-24 bulan. 1.5.2 Anindita Ratna Pratiwi, Haryatiningsih Purwandari, Sulistiani (2013). Pengaruh Pijat Bayi Terhadap Perkembangan Bayi Di Desa Pandak Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pijat bayi terhadap perkembangan pada 12 bayi di desa Pandak Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas. Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian quasi experiment dengan pretest posttet with control group. Sampel merupakan bayi berusia 3-10 bulan berjumlah 19 bayi yang terdiri dari 10 bayi sebagai kelompok kontrol dan sembilan bayi sebagai kelompok perlakuan. Pengumpulan data menggunakan lembar observasi dan lembar pengukuran DDST II. Peneliti membantu orangtua responden mengisi kuesioner identitas, dan melakukan pemeriksaan perkembangan responden dengan menggunakan DDST II, sekaligus sebagai pretest perkembangan responden. Responden diberi perlakuan pijat bayi dengan selama 15 menit selama dua kali dalam seminggu selama empat minggu oleh peneliti. Pengukuran perkembangan dilakukan menggunakan lembar DDST II sebagai post-test. Peneliti membantu orangtua responden mengisi kuesioner stimulasi perkembangan. Hasil uji Wilcoxon dengan α = 0,05 pada kelompok kontrol didapatkan nilai p= 0,131 dan nilai p= 0,046 pada kelompok intervensi. Hasil uji Mann Whitney didapatkan hasil nilai p= 0,879. Persamaan pada penelitian ini adalah pada variable bebas yaitu pijat bayi dan perbedaannya terdapat pada variable terikat yang pada penelitian di atas adalah perkembangan bayi sedangkan menggunakan derajat dehidrasi sebagai pada penelitian ini variable terikat. Sampel yang diteliti juga berbeda yaitu menggunakan anak dengan usia 3-10 bulan.