7 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kepuasan Karyawan (Employee Satisfaction) Dalam dunia manajemen moderen, kepuasan karyawan dianggap sebagai salah satu pendorong utama perusahaan dalam menciptakan kualitas,kepuasan pelanggan dan produktifitas. Terdapat banyak studi teoritis serta empiris yang mempelajari pengaruh dari tingkat kepuasan karyawan pada kinerja perusahaan tempat dia bekerja. Dalam literatur Total Quality Management (TQM), dipercaya bahwa karyawan yang memiliki tingkat kepuasan tinggi akan memiliki motivasi yang kuat, moral yang baik dan bekerja secara lebih efektif dan efisien (Eskilden & Dahlgaard, 2000). Para karyawan yang puas tersebut juga akan berkomitmen lebih pada upaya peningkatan secara berkesinambungan dan pada kualitas. Kepuasan ini juga berpengaruh pada kualitas proses. Kualitas proses inilah yang menentukan biaya perusahaan serta kepuasan pelanggan. Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa karyawan adalah “pelanggan internal” bagi perusahaan, pandangan ini disebut sebagai internal marketing (Gremler, et al, 1994). Proses bisnis dapat diumpamakan sebagai suatu mata rantai yang menghubungkan komponen-komponen pendukung, dimana untuk memastikan mata rantai ini bekerja dengan baik secara bersama-sama, para karyawan dianggap sebagai pelanggan internal perusahaan yang perlu diberikan kepuasan secara 8 berkesinambungan. Terdapat beberapa studi yang membuktikan adanya hubungan positif antara kepuasan karyawan dengan kepuasan pelanggan dalam industri jasa (Hesket, et al.1994). Menurut Matzler et al (2004), kepuasan karyawan dibentuk oleh beberapa faktor, yang antara lain adalah Pekerjaan (Job), Kolega (Collagues), Remunerasi (Remuneration), Tanggungjawab (Responsibility), serta Pengakuan (Recognition). 2.1.1 Kinerja Karyawan (Employee Performance) Efek dari faktor kepuasan karyawan terhadap kinerja karyawan telah menjadi pembahasan hangat dikalangan peneliti sejak lama, dimana para peneliti berupaya untuk mencari adanya hubungan konsisten antara kedua faktor teresebut. Dari berbagai studi pendahulu yang ada, Robbins (1996) menyatakan bahwa pandangan awal dari hubungan antara kepuasan dengan kinerja dapat dijabarkan dalam kalimat berikut:”Seorang karyawan yang bahagia adalah pekerja yang produktif”. Studi lebih lanjut menyatakan bahwa faktor kinerja yang baik akan mendorong terciptanya kepuasan. Jika seseorang melakukan pekerjaannya dengan baik, hal ini akan mendorong penghargaan lebih dari perusahaan atau institusi tempat bekerja (Robbins,1996). Produktifitas tinggi dapat menciptakan pengakuan lebih tinggi, baik berupa insentif lebih atau bonus, maupun kesempatan untuk mendapatkan tanggung jawab lebih (promosi). Penghargaan-penghargaan seperti ini dapat meningkatkan tingkat kepuasan terhadap pekerjaan karyawan tersebut. 9 Menurut Robbins (1996), untuk mengukur kinerja karyawan perusahaan atau institusi harus melaksanakan kegiatan yang disebut Evaluasi Kinerja (Performance Evaluation). Evaluasi kineja dibutuhkan manajemen untuk mengambil keputusan yang menyangkut kebijakan sumber daya manusia. Hal ini mencakup: keputusan promosi, pelatihan serta pengembangan karir yang sesuai, hingga pemberhentian karyawan (Robbins, 1996). Kinerja karyawan sendiri dapat dievaluasi lewat tiga kriteria yang paling sering digunakan, dua kriteria yang dinyatakan oleh Robbins (1996) yaitu individual task outcome untuk melihat hasil pekerjaan seorang karyawan melalui sistem penilaian yang dikembangkan oleh masing-masing perusahaan atau institusi dan Sikap (behaviours) untuk melihat tanggapan perasaaan seorang karyawan terhadap evaluasi mereka. Kriteria selanjutnya dinyatakan oleh Kanz (1998), dimana Kanz menambahkan bahwa faktor Peluang (opportunity) yang diberikan setelah evaluasi dapat mengukur kinerja karyawan. 2.1.2 Retensi Karyawan (Employee Retention) Terdapat beberapa studi yang mempelajari hubungan antara tingkat retensi dengan peningkatan penjualan perusahaan (Batt, 2002). Kepuasan dengan pekerjaan dan retensi karyawan memiliki hubungan erat dengan kinerja. Perusahaan yang gagal menciptakan dasar loyalitas pekerja mereka akan selalu menempatkan orang-orang yang kurang berpengalaman pada garis depan mereka. Hal ini terutama berdampak besar dalam kasus-kasus perusahaan yang bergerak pada industri jasa. Sehingga, guna berkompetisi secara efektif suatu perusahaan diharuskan untuk dapat memastikan 10 bahwa karyawan dengan kinerja baik termotivasi untuk bertahan dalam perusahaan, sedangkan karyawan dengan kinerja buruk didorong untuk memperbaiki diri atau jika harus, dipaksa untuk keluar dari organisasi. Hal ini tidaklah mudah terutama dikarenakan tren perampingan perusahaan yang terjadi pada pertengahan tahun 1990 telah membuat loyalitas karyawan pada perusahaan menjadi sangat rendah (Noe, et al, 2006). Dalam menjelaskan faktor-faktor pendorong retensi dengan mengacu pada penelitian pendahulu, Bernotavic (1997) menyatakan bahwa terdapat kategori utama yang terbagi menjadi faktor-faktor pekerjaan yaitu beban kerja, sifat dasar pekerjaan serta peliknya suatu tugas dan faktor-faktor agency yaitu perkembangan pekerjaan, perilaku atasan, kejelasan kebijakan. Perilaku pimpinan sebagai salah satu faktor pendorong retensi dilihat dari kategori agency didukung oleh Bubenick (2004) yang menyatakan bahwa perilaku atasan termasuk kedalam satu dari tiga faktor kritis pendukung retensi. Sehingga, dipilih faktor-faktor Beban Kerja (workload), Perkembangan Pekerjaan (job growth) serta Perilaku Pimpinan (managerial behaviors) sebagai faktor-faktor pendorong dari retensi. 2.1.3 Komitmen Karyawan (Employee Commitment) Dengan semakin ketatnya persaingan dunia bisnis, merger menjadi suatu opsi yang sering dilakukan oleh perusahaan-perusahaan baik besar maupun kecil di dunia. Perubahan ini berdampak langsung pada para karyawan yang seringkali terkena dampak pertama dari perampingan yang terjadi setelah merger berlangsung. Hal ini 11 mengakibatkan terjadinya perasaan tidak aman (insecure) di antara para karyawan. Pada situasi seperti ini, perusahaan perlu untuk menjaga komitmen karyawan guna mengurangi perputaran tenaga kerja serta memaksimalkan kinerja karyawan. (Dessler, 2008. p.361). Sedangkan, perputaran tenaga kerja sendiri dapat dibagi menjadi perputaran tenaga kerja secara sukarela (voluntary turnover) dimana keputusan untuk berhenti bekerja datang dari karyawan sendiri, dimana umumnya perusahaan memilih untuk mempertahankan karyawan tersebut, serta perputaran tenaga kerja secara tidak sukarela (involuntary turnover) dimana keputusan pemberhentian bekerja diberikan oleh pihak perusahaan. (Noe, et al. 2006). 2.2 Internal Marketing Internal Marketing didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang dimulai dari merekrut, melatih hingga memberi motivasi para karyawan yang memiliki kehendak untuk memberikan kepuasan bagi pelanggan (Kotler, et al. 2003. p.23) Perusahaan, khususnya yang bergerak pada bidang jasa, tidak cukup hanya menerapkan konsep marketing external yang berfokus pada pelanggan serta pasar saja, namun perusahaan juga harus menerapkan konsep Internal Marketing serta Interactive Marketing untuk memastikan pelayanan prima akan diberikan oleh para karyawan yang berhubungan langsung dengan pelanggan. Menurut Kotler (2009), konsep internal marketing menekankan bahwa perusahaan harus mengarahkan serta memotivasi karyawan, terutama yang berhubungan langsung dengan pelanggan untuk 12 dapat memberikan layanan dukungan bagi pelanggan guna menciptakan kepuasan pelanggan. Sedangkan konsep interactive marketing menjelaskan bahwa kualitas pelayanan sangat bergantung pada kualitas interaksi antara penjual dengan pembeli selama transaksi. Model dari internal marketing adalah sebagai berikut (Kotler, 2009. p.271): Company External Internal Employees Interactive Customers Gambar 2.1 Internal Marketing Model Kotler 2.3 Employee Engagement Employee engagement merupakan suatu istilah yang relatif baru dalam ilmu sumber daya manusia, dimana kata tersebut sering digunakan oleh lembaga konsultan yang khusus bergerak dalam bidang sumber daya manusia. Namun kebanyakan dari lembaga konsultan menghindari untuk memberikan suatu definisi khusus dari istilah tersebut, mereka lebih menekankan pada manfaat positif dari faktor employee engagement. Terdapat suatu definisi yang sering digunakan oleh salah satu lembaga konsultan yang bergerak dalam bidang sumber daya manusia yaitu Gallup Organization. Gallup Oranization menyatakan bahwa karyawan yang mempunyai nilai 13 engagement merupakan pekerja yang memiliki keterlibatan secara penuh serta antusias terhadap pekerjaan mereka (Tritch, 2003). Selain definisi tersebut, pandangan populer dari istilah ini menyatakan bahwa employee engagement tidak hanya membuat karyawan memberikan kontribusi lebih, namun juga membuat mereka memiliki loyalitas yang lebih tinggi sehingga mengurangi keinginan untuk meninggalkan perusahaan secara sukarela (Macey & Schneider, 2008). Employee engagement dapat tercipta dari kepuasan karyawan. Dalam pandangan ini, antara engagement dengan kepuasan memiliki hubungan langsung, seperti yang dinyatakan oleh Harter et al. (2002) yang mendefinisikan engagement sebagai keterlibatan seorang karyawan serta kepuasan pada pekerjaan yang dilengkapi dengan antusiasme. Hubungan lebih langsung diajukan oleh Burke (2005) yang menyatakan bahwa pengukuran employee engagement diperoleh dari tingkat kepuasan karyawan dengan perusahaan, manajer, kelompok kerja, pekerjaan dan karakteristik lingkungan kerja. Erickson (2005) menyatakan suatu pandangan yang mendukung hubungan antara employee engagement dengan kepuasan karyawan, seperti yang dikutip sebagai berikut. ”Engagement is above and beyond simple satisfaction with the employment arrangement or basic loyalty to the employercharacteristics that most companies have measured for many years. Engagement, in contrast, is about passion and commitment-the willingness to invent oneself and expend one’s discretionary effort to help the employer succeed.” (p.14) Menurut Thomas (2007), employee engagement merupakan suatu keadaan psikologis yang stabil, hasil dari interaksi antara seorang individu dengan lingkungan tempat individu tersebut bekerja. Faktor-faktor yang menandakan seorang karyawan 14 memiliki nilai employee engagement dapat dilihat dari faktor-faktor Kesiapan (readiness) serta Kerelaan (willingness) mereka untuk mencurahkan energi yang dimiliki menjadi suatu bentuk upaya fisik, kognitif serta ekspresi emosi untuk menyelesaikan tugas yang diemban. Selain itu, faktor Kebanggaan (pride) terhadap pekerjaan yang dimiliki juga menjadi salah satu faktor pendorong dari employee engagement (Gibbons, 2006). Sehingga dapat dilihat bahwa dimensi untuk faktor employee engagement ialah Kesiapan, Kerelaan serta Kebanggaan. 2.4 Institusi Pendidikan Tinggi (Tertiary Educational Institutions) Pendidikan tinggi merupakan pendidikan lanjutan yang mencakup program pendidikan sarjana, pascasarjana maupun program sertifikasi. Dalam taraf ini, institusi pendidikan berwenang untuk mengeluarkan gelar akademik, diploma maupun sertfikat. Saat ini, terdapat banyak negara yang menyatakan bahwa institusi pendidikan tinggi merupakan motor dari kemakmuran. Pendidikan pada tingkat ini dianggap sebagai kunci dari upaya peningkatan posisi suatu bangsa dalam persaingan global. Para perusahaan membutuhkan tenaga kerja dengan tingkat edukasi tinggi serta memiliki keahlian sebagai karyawan mereka. Perusahaan juga membutuhkan kurikulum yang dapat mendukung tenaga kerja tersebut agar siap dengan relevansi pekerjaan mereka nanti. Hal ini menyebabkan institusi pendidikan tinggi mendapatkan tuntutan lebih dari dunia industri. Bukan sekedar menyediakan produk atau jasa tradisional mereka yaitu jasa pendidikan, namun juga permintaan atas penelitian 15 (research) yang dapat diaplikasikan serta transfer ilmu serta teknologi bagi dunia industri (Akintoye, 2008). Sehingga terdapat tekanan dari publik yang menuntut agar institusi pendidikan tinggi membuktikan bahwa kinerja mereka tidak sekedar dapat memenuhi perkembangan ilmu pengetahuan dunia moderen, namun lebih berperan sebagai pendorong (driving force) dari perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan serta penelitian menjadi tugas utama bagi institusi pendidikan tinggi selain menjadi pusat pembelajaran. 2.5 Resource Based View Dalam konsep perusahaan, karyawan termasuk sebagai sumber daya (resource) yang dibutuhkan untuk melakukan operasi bisnis, selain sumber daya lain nya seperti lahan, peralatan, perlengkapan, mesin, finansial, listrik maupun air. Terdapat suatu pandangan yang mengangkat pentingnya sumber daya bagi perusahaan dalam menciptakan keunggulan kompetitif. Pandangan tersebut dinamakan sebagai resource based view. Dalam ranah manajemen strategik pandangan tersebut mengkaji sumber daya serta kapabilitas suatu perusahaan yang memungkinkan mereka untuk menciptakan tingkat pengembalian di atas rata-rata serta keunggulan kompetitif jangka panjang (Amit & Schoemaker, 1993; Barney, 1986; Dierickx & Cool, 1989; Wernerfelt, 1984). Pandangan ini menyatakan bahwa pemilihan sumber daya beserta akumulasinya merupakan fungsi dari pengambilan keputusan dalam perusahaan serta 16 faktor-faktor strategis eksternal. Pengambilan keputusan dalam perusahaan dilandasi oleh rasionalitas ekonomis serta motivasi untuk melakukan efisiensi dan efektifitas. Sedangkan faktor strategis eksternal merupakan pengaruh dari industri yang memiliki pengaruh langsung pada perusahaan (Conner, 1991). Maka, dari sudut pandang resource based view, keunggulan kompetitif jangka panjang merupakan hasil dari keputusan rasional manajemen, akumulasi sumber daya secara selektif serta penempatan yang tepat serta faktor strategis dari industri (Oliver, 1997).