A. PENDAHULUAN Sindrom koroner akut merupakan

advertisement
A. PENDAHULUAN
Sindrom koroner akut merupakan keadaan darurat jantung dengan
manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat
iskemia miokardium. SKA terdiri atas angina pektoris tidak stabil, infarct
myocard acute (IMA) yang disertai elevasi segmen ST, dan penderita dengan
infark miokardium tanpa elevasi ST (Nawawi et al., 2006).
B. DEFINISI
Infark Miokard Akut adalah kematian jaringan otot jantung
ditandai adanya sakitdada yang khas, lama sakitnya lebih dari 30 menit,
tidak hilang dengan istirahat atau pemberian anti angina (PKJPDN Harapan
Kita, 2001).
C. EPIDEMIOLOGI
The American Heart Association memperkirakan bahwa lebih dari 6 juta
penduduk Amerika, menderita penyakit jantung koroner (PJK) dan lebih dari
1 juta orang yang diperkirakan mengalami serangan infark miokardium setiap
tahun. Kejadiannya lebih sering pada pria dengan umur antara 45 sampai 65
tahun. Penyakit jantung koroner juga merupakan penyebab kematian utama
(20%) penduduk Amerika (Nawawi et al., 2006).
Di Indonesia data lengkap PJK belum ada. Pada survei kesehatan rumah
tangga (SKRT) tahun 1992, kematian akibat penyakit kardiovaskuler
menempati urutan pertama (16%) untuk umur di atas 40 tahun. SKRT pada
tahun 1995 di Pulau Jawa dan Pulau Bali didapatkan kematian akibat penyakit
kardiovaskuler tetap menempati urutan pertama dan persentasenya semakin
meningkat (25%) dibandingkan dengan SKRT tahun 1992. Di Makassar,
didasari data yang dikumpulkan oleh Alkatiri diempat rumah sakit (RS)
selama 5 tahun (1985 sampai 1989), ternyata penyakit kardiovaskuler
menempati urutan ke 5 sampai 6 dengan persentase berkisar antara 7,5 sampai
8,6%. PJK terus-menerus menempati urutan pertama di antara jenis penyakit
jantung lainnya. dan angka kesakitannya berkisar antara 30 sampai 36,1%
(Nawawi et al., 2006).
D. ETIOLOGI
Penyebab tersering dari infark miokard (MI) adalah rupturnya plak
arterosklerosis pada arteri coronaria yang disebabkan spasme arteri atau
terbentuknya trombus. Intinya infark miokard akut terjadi jika suplai oksigen
yang tidak sesuai dengan kebutuhan tidak tertangani dengan baik sehingga
menyebabkan kematian sel-sel jantung tersebut. Beberapa hal yang
menimbulkan gangguan oksigenasi tersebut diantaranya (Brown, 2005; Harun,
2000):
1.
Berkurangnya suplai oksigen ke miokard
Menurunnya suplai oksigen disebabkan oleh tiga faktor, antara lain:
a.
Faktor pembuluh darah
Hal ini berkaitan dengan kepatenan pembuluh darah sebagai jalan
darah mencapai sel-sel jantung. Beberapa hal yang bisa mengganggu
kepatenan pembuluh darah diantaranya: atherosclerosis, spasme, dan
arteritis. Spasme pembuluh darah bisa juga terjadi pada orang yang
tidak memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya, dan biasanya
dihubungkan dengan beberapa hal antara lain: (a) mengkonsumsi
obat-obatan tertentu; (b) stress emosional atau nyeri; (c) terpapar
suhu dingin yang ekstrim, (d) merokok.
b.
Faktor sirkulasi
Sirkulasi berkaitan dengan kelancaran peredaran darah dari jantung
ke seluruh tubuh sampai kembali lagi ke jantung. Sehingga hal ini
tidak akan lepas dari faktor pemompaan dan volume darah yang
dipompakan. Kondisi yang menyebabkan gangguan pada sirkulasi
diantaranya kondisi hipotensi. Stenosis maupun insufisiensi yang
terjadi
pada
katup-katup
jantung
(aorta,
mitralis,
maupun
trikuspidalis) menyebabkan menurunnya cardiac output (COP).
Penurunan COP yang diikuti oleh penurunan sirkulasi menyebabkan
beberapa bagian tubuh tidak tersuplai darah dengan adekuat,
termasuk dalam hal ini otot jantung.
c.
Faktor darah
Darah merupakan pengangkut oksigen menuju seluruh bagian tubuh.
Jika daya angkut darah berkurang, maka sebagus apapun jalan
(pembuluh darah) dan pemompaan jantung maka hal tersebut tidak
cukup membantu. Hal-hal yang menyebabkan terganggunya daya
angkut darah antara lain: anemia, hipoksemia, dan polisitemia.
2.
Meningkatnya kebutuhan oksigen tubuh
Pada orang normal meningkatnya kebutuhan oksigen mampu
dikompensasi diantaranya dengan meningkatkan denyut jantung untuk
meningkatkan COP. Pada orang yang telah mengidap penyakit jantung,
mekanisme kompensasi justru pada akhirnya makin memperberat
kondisinya karena kebutuhan oksigen semakin meningkat, sedangkan
suplai oksigen tidak bertambah.
Oleh karena itu segala aktivitas yang menyebabkan meningkatnya
kebutuhan oksigen akan memicu terjadinya infark. Misalnya: aktivitas
berlebih, emosi, makan terlalu banyak dan lain-lain. Hipertropi miokard
bisa memicu terjadinya infark karena semakin banyak sel yang harus
disuplai oksigen, sedangkan asupan oksien menurun akibat dari
pemompaan yang tidak efektif.
Secara garis besar terdapat dua jenis faktor resiko bagi setiap orang
untuk terkena infark miokard akut, yaitu faktor resiko yang bisa
dimodifikasi dan faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi.
a. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
Merupakan faktor resiko yang bisa dikendalikan sehingga dengan
intervensi tertentu maka bisa dihilangkan. Yang termasuk dalam
kelompok ini diantaranya:
•
Merokok
Peran rokok dalam penyakit jantung koroner ini antara lain:
menimbulkan aterosklerosis; peningkatan trombogenesis dan
vasokontriksi; peningkatan tekanan darah; pemicu aritmia
jantung,
meningkatkan
kebutuhan
oksigen
jantung,
dan
penurunan kapasitas pengangkutan oksigen. Merokok 20 batang
rokok atau lebih dalam sehari bisa meningkatkan resiko 2-3 kali
dibanding yang tidak merokok.
•
Konsumsi Alkohol
Meskipun ada dasar teori mengenai efek protektif alcohol dosis
rendah hingga moderat, dimana ia bisa meningkatkan trombolisis
endogen, mengurangi adhesi platelet, dan meningkatkan kadar
HDL dalam sirkulasi.
•
Infeksi
Infeksi Chlamydia pneumoniae , organisme gram negative
intraseluler dan penyebab umum penyakit saluran pernafasan,
tampaknya berhubungan dengan penyakit koroner aterosklerotik.
•
Hipertensi sistemik
Hipertensi sistemik menyebabkan meningkatnya afterload yang
secara tidak langsung akan meningkatkan beban kerja jantung.
Kondisi seperti ini akan memicu hipertropi ventrikel kiri sebagai
kompensasi dari meningkatnya afterload yang pada akhirnya
meningkatan kebutuhan oksigen jantung.
•
Obesitas
Terdapat hubungan yang erat antara berat badan, peningkatan
tekanan darah, peningkatan kolesterol darah, DM tidak
tergantung insulin, dan tingkat aktivitas yang rendah.
•
Kurang olahraga
Aktivitas aerobik yang teratur akan menurunkan resiko terkena
penyakit jantung koroner, yaitu sebesar 20-40 %.
•
Penyakit diabetes
Resiko terjadinya penyakit jantung koroner pada pasien dengan
DM sebesar 2- 4 lebih tinggi dibandingkan orang biasa. Hal ini
berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid,
obesitas,
hipertensi
sistemik,
peningkatan
trombogenesis
(peningkatan tingkat adhesi platelet).
b. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
Merupakan faktor resiko yang tidak bisa dirubah atau dikendalikan,
yaitu diantaranya:
•
Usia
Resiko meningkat pada pria di atas 45 tahun dan wanita diatas 55
tahun (umumnnya setelah menopause).
•
Jenis Kelamin
Morbiditas akibat penyakit jantung koroner (PJK) pada laki-laki
dua kali lebih besar dibandingkan pada perempuan, hal ini
berkaitan dengan estrogen yang bersifat kardioprotektif pada
perempuan.
•
Riwayat Keluarga
Riwayat anggota keluarga sedarah yang mengalami PJK sebelum
usia 70 tahun merupakan faktor resiko independent untuk
terjadinya PJK. Agregasi PJK keluarga menandakan adanya
predisposisi genetic pada keadaan ini. Terdapat bukti bahwa
riwayat positif pada keluarga mempengaruhi onset penderita PJK
pada keluarga dekat.
•
Ras
Insidensi kematian akiat PJK pada orang Asia yang tinggal di
Inggris lebih tinggi dibandingkan dengan peduduk local,
sedangkan angka yang rendah terdapat pada RAS apro-karibia.
•
Geografi
Tingkat kematian akibat PJK lebih tinggi di Irlandia Utara,
Skotlandia, dan bagian Inggris Utara dan dapat merefleksikan
perbedaan diet, kemurnian air, merokok, struktur sosio-ekonomi,
dan kehidupan urban.
•
Tipe kepribadian
Tipe kepribadian A yang memiliki sifat agresif, kompetitif,
kasar, sinis, gila hormat, ambisius, dan gampang marah sangat
rentan untuk terkena PJK berkaitan dengan abnormalitas
metabolisme lipid.
•
Kelas sosial
Tingkat kematian akibat PJK tiga kali lebih tinggi pada pekerja
kasar laki-laki terlatih dibandingkan dengan kelompok pekerja
profesi (misal dokter, pengacara dll).Selain itu frekuensi istri
pekerja kasar ternyata 2 kali lebih besar untuk mengalami
kematian
dini
akibat
PJK
dibandingkan
istri
pekerja
professional/non-manual.
E. PATOFISIOLOGI
Infark miokard umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Pada sebagian besar kasus infark terjadi jika plak ateroslerosis
mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik
memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur
yang
mengakibatkan
obstruksi
arteri
koroner.
Penelitian
histologis
menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai
fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core) (Alwi, 2006).
Lokasi dan luasnya infark tergantung pada arteri yang oklusi dan aliran
darah kolateral. Infark miokard yang mengenai endokardium sampai
epikardium disebut infark transmural, namun bisa juga hanya mengenai
daerah subendokardial. Setelah 20 menit terjadi sumbatan, infark sudah dapat
terjadi pada subendokardium dan bila berlanjut terus rata-rata dalam 4 jam
telah terjadi infark transmural. Hal ini kadang-kadang belum selesai karena
daerah sekitar infark masih dalam bahaya bila proses iskemia masih
berlanjut(Alwi, 2006).
Bila arteri left anterior descending yang oklusi infark mengenai dinding
anterior ventrikel kiri dan bisa mengenai septum. Bila arteri Left circumflex
yang oklusi, infark mengenai dinding lateral atau posterior dari ventrikel kiri.
Bila arteri koroner kanan yang oklusi, infark terutama mengenai dinding
inferior dari ventrikel kiri, tetapi bisa juga septum dan ventrikel kanan. Oklusi
arteri koronaria bisa juga tidak sampai menimbulkan infark bila daerah yang
diperdarahi arteri yang oklusi tersebut mendapat pasok oleh kolateral
pembuluh arteri lain (Alwi, 2006).
Otot yang mengalami infark akan mengalami serangkaian perubahan
selama
berlangsungnya
proses
penyembuhan.
Mula-mula
otot
yang
mengalami infark tampak memar dan sianotik akibat berkurangnya aliran
darah regional. Dalam jangka waktu 24 jam timbul edema pada sel-sel ,
respon peradangan disertai infiltrasi leukosit. Enzim-enzim jantung dilepaskan
dari sel-sel ini. Menjelang hari kedua atau ketiga mulai terjadi proses
degradasi jaringan dan pembuangan semua serabut nekrotik. Selama fase ini
dinding nekrotik relatif tipis. Sekitar minggu ketiga mulai terbentuk jaringan
parut. Lambat laun jaringan ikat fibrosa menggantikan otot yang nekrosis dan
mengalami penebalan yang progresif (Alwi, 2006).
Infark miokard jelas akan menurunkan fungsi ventrikel karena otot yang
nekrosis kehilangan daya kontraksi sedangkan otot iskemia disekitarnya juga
mengalami gangguan daya kontraksi. Secara fungsional infark miokard akan
menyebabkan perubahan-perubahan seperti pada iskemia : daya kontraksi
menurun, gerakan dinding abnormal, perubahan daya kembang dinding
ventrikel, pengurangan volume sekuncup, pengurangan fraksi ejeksi,
peningkatan volume akhir sistolik dan akhir diastolik ventrikel dan
peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (Alwi, 2006).
F. GAMBARAN KLINIS
a.
Nyeri Dada
Ada 2 macam jenis nyeri dada yaitu:
•
Nyeri dada pleuritik, biasa lokasinya posterior atau lateral. Sifatnya
tajam dan seperti ditusuk. Bertambah nyeri bila batuk atau bernafas
dalam dan berkurang bila menahan nafas atau sisi dada yang sakit
digerakan. Nyeri berasal dari dinding dada, otot, iga, pleura
perietalis, saluran nafas besar, diafragma, mediastinum dan saraf
interkostalis.
•
Nyeri dada non-pleuritik, biasanya lokasinya sentral, menetap atau
dapat menyebar ke tempat lain. Paling sering disebabkan oleh
kelainan di luar paru. Salah satunya yang paling berbahaya adalah
jantung. Nyeri pada jantung bias disebabkan adanya iskemik
miokard.
Ada 3 sindrom iskemik yaitu :
•
Angina
stabil
(Angina
klasik,
Angina
of
Effort)
:
Serangan nyeri dada khas yang timbul waktu bekerja. Berlangsung
hanya beberapa menit dan menghilang dengan nitrogliserin atau
istirahat. Nyeri dada dapat timbul setelah makan, pada udara yang
dingin, reaksi simfatis yang berlebihan atau gangguan emosi.
•
Angina tak stabil (Angina preinfark, Insufisiensi koroner akut) :
Jenis Angina ini dicurigai bila penderita telah sering berulang kali
mengeluh rasa nyeri di dada yang timbul waktu istirahat atau saat
kerja ringan dan berlangsung lebih lama.
•
Infark miokard :
Iskemik miokard yang berlangsung lebih dari 20-30 menit dapat
menyebabkan infark miokard. Nyeri dada berlangsung lebih lama,
menjalar ke bahu kiri, lengan dan rahang. Berbeda dengan angina
pektoris, timbulnya nyeri dada tidak ada hubungannya dengan
aktivitas fisik dan bila tidak diobati berlangsung dalam beberapa
jam. Disamping itu juga penderita mengeluh dispepsia, palpitasi
dan berkeringat. Diagnosa ditegakan berdasarkan serial EKG dan
pemeriksa enzym jantung.
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut (Hampton, 2006):
•
Lokasi : substernal, retrosternal dan perikordial.
•
Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
•
Penjalaran ke : biasanya ke lengan kiri,dapat juga keler, rahang
bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke
lengan kanan.
•
Nyeri membaik atau menghilangdengan istirahat, atau obat nitrat.
•
Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin dan
sesudah makan.
•
Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat
dingin, cemas, dan lemas (Harun, 2000).
b.
Sesak Nafas
Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan
akhir diastolic ventrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa
menimbulkan hipervenntilasi. Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak
nafas merupakan tanda adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna
(Hampton, 2006).
c.
Gejala Gastrointestinal
Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah, dan
biasanya lebih sering pada infark inferior, dan stimulasi diafragma pada
infak inferior juga bisa menyebabkan cegukan (Hampton, 2006).
d.
Gejala lain
Termasuk palpitasi, rasa pusing, atau sinkop dari aritmia ventrikel, dan
gejala akibat emboli arteri (misalnya stroke, iskemia ekstrimitas
(Hampton, 2006).
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Electrocardiography (ECG)
Pada kebanyakan infark, EKG akan menyingkap tirai diagnosis
yang tepat. Tampak perubahan elektrokardiografik yang khas pada infark
miokardium, dan perubahan yang paling awal terjadi hamper bersamaan
dengan terjadinya kerusakan miokardium. Pemeriksaan EKG harus
dilakukan sedini mungkin pada setiap orang yang dicurigai mengalami
infark walaupun cuma kecil. Namun gambaran EKG awal mungkin tidak
selalu
bersifat
diagnostic,
dan
evolusi
perubahan
gambaran
elektrokardiografik bervariasi antara satu orang dan yang lainnya; dengan
demikian perlu dilakukan kardiogram serial bila pasien dirawat di rumah
sakit. Gambaran yang khas yaitu timbulnya gelombang Q yang besar,
elevasi segmen ST dan inversi gelombang T. (Harun, 2000; Alwi, 2006).
Infark Inferior melibatkan permukaan diafragmatik jantung
infark ini sering disebabkan oleh penyumbatan a.koronaria dekstra atau
cabang desendennya. Perubahan elektrokardiografi yang khas dapat
dilihat pada sadapan inferior (II, III, dan AVF). Infark Lateral
melibatkan dinding lateral kiri jantung. Infark ini sering disebabkan oleh
penyumbatan ramus sirkumfleksus a.koronaria sinistra. Perubahan akan
terjadi pada sadapan lateral kiri (I, AVL, V5 dan V6). Infark Anterior
melibatkan permukaan anterior ventrikel kiri dan biasanya disebabkan
oleh penyumbatan ramus interventrikularis anterior a.koronaria sinistra.
Semua sadapan prekordial (V1 sampai V6) dapat menunjukkan
perubahan. Infark Posterior melibatkan permukaan posterior jantung
dan biasanya disebabkan oleh penyumbatan a.koronaria dekstra. Tidak
ada sadapan yang terletak di atas dinding posterior. Oleh karena itu,
diagnosis harus ditegakkan dengan cara mencari perubahan resiprokal
pada sadapan anterior, terutama V1 (Harun, 2000; Alwi, 2006).
2. Laboratorium
Leukosit sedikit meningkat demikian juga laju endap darah, hal ini
merupakan reaksi terhadap nekrosis miokard. Beberapa enzim yang
terdapat dalam konsentrasi tinggi di otot jantung akan dilepas dengan
nekrosis miokard, karena itu aktifitasnya dalam serum meningkat dan
menurun kembali setelah infark miokard. Jumlah enzim yang dilepas
secara kasar paralel dengan beratnya kerusakan miokard (Irmalita, 2003;
Harun, 2000).
Serum kreatin fosfokinase yang terdapat di jantung, otot skelet dan
otak, meningkat dalam 6 jam setelah infark, mencapai puncaknya dalam
18 jam sampai 24 jam dan kembali normal dalam 72 jam. Selain pada
infark miokard, tingkat abnormal tinggi terdapat pada penyakit-penyakit
otot, kerusakan serebrovaskular, setelah latihan otot dan dengan suntikan
intramuscular (Irmalita, 2003; Harun, 2000).
Serum glutamic oxalo-acetic transaminase (SGOT) Terutama
terdapat di jantunng, otot skelet, otak, hati, dan ginjal. Sesudah infark
SGOT meningkat dalam waktu 12 jam dan mencapai puncaknya dalam
24 jam sampai 36 jam, kembali normal pada hari ke 3 atau ke 5 (Irmalita,
2003; Harun, 2000).
Serum lactate dehydrogenase (LDH) Enzim ini terdapat di jantung
dan juga di sel-sel merah. Meningkat relatif lambat setelah infark,
mencapai puncaknya dalam 24 jam sampai 48 jam kemudian, dan bisa
tetap abnormal 1-3 minggu (Irmalita, 2003; Harun, 2000).
Cardiac spesific troponin (cTn) Terdapat dua jenis cTn yaitu cTn T
dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard
dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi
setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari (Irmalita, 2003;
Harun, 2000).
Troponin I sangat spesifik terhadap jaringan miokard, tidak
terdeteksi dalam darah orang sehat dan menunjukkan peningkatan yang
tinggi di atas batas atas pada pasien dengan AMI. Troponin I lebih
banyak didapatkan pada otot jantung daripada CKMB dan sangat akurat
dalam mendeteksi kerusakan jantung. Troponin I meningkat pada
kondisi-kondisi seperti myokarditis, kontusio kardiak dan setelah
pembedahan jantung. Adanya cTnI dalam serum menunjukkan telah
terjadi kerusakan miokard. Troponin I mulai meningkat 3 sampai 5 jam
setelah jejas miokard, mencapai puncak pada 14 sampai 18 jam dan tetap
meningkat selama 5 sampai 7 hari. Troponin I mempunyai sensitivitas
100% pada 6 jam setelah AMI (Samsu dan Sargowo, 2007).
CKMB Meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari
(Irmalita, 2003; Harun, 2000).
H. DIAGNOSIS
Menurut American Collage of Cardiology (ACC) kriteria untuk AMI ialah
terdapat peningkatan nilai enzim jantung (CK-MB) atau troponin I atau
Troponin T dengan gejala dan adanya perubahan EKG yang diduga iskemia.
Kriteria World Health Organization (WHO) diagnosis AMI dapat ditentukan
antara lain dengan: 2 dari 3 kriteria yang harus dipenuhi, yaitu riwayat nyeri
dada dan penjalarannya yang berkepanjangan (lebih dari 30 menit), perubahan
EKG, serta peningkatan aktivitas enzim jantung (Nawawi et al., 2006).
Diagnosis infark miokard dapat ditegakkan bila memenuhi 2 dari 3
kriteria: nyeri dada khas infark, peningkatan serum enzim lebih dari 1,5 kali
nilai normal, dan terdapat evolusi EKG khas infark (Irmalita, 2003).
I. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding infark miokard adalah emboli paru yang masif,
perikarditis akut, dan diseksi aneurisma aorta (Irmalita, 2003).
J. PENATALAKSANAAN
Pengobatan ditujukan untuk sedapat mungkin memperbaiki kembali aliran
pembuluh koroner sehingga reperfusi dapat mencegah kerusakan miokard
lebih lanjut, serta mencegah kematian mendadak dengan memantau dan
mengobati aritmia maligna. Meskipun penderita tidak meninggal akibat
serangan infark akut, apabila infarknya luas penderita akhirnya bisa jatuh ke
dalam gagal jantung. Karena itulah pendekatan tata laksana infark akut
mengalami perubahan dalam dekade terakhir ini dengan adanya obat-obat
trombolisis. Trombolisis bahkan dapat diberikan sebelum di bawa ke rumah
sakit bila ada tenaga yang terlatih. Dengan trombolisis kematian dapat
diturunkan sebesar 40%. (Irmalita, 2003; Chen et al., 2005).
a.
Tatalaksana Pra Rumah Sakit (Irmalita,
2003;
-
Bagi orang awam mengenali gejala serangan jantung dan segera
mengantarkan pasien mencari pertolongan ke rumah sakit atau
menelpon rumah sakit terdekat meminta dikirmkan ambulan beserta
petugas kesehatan terlatih.
-
Petugas kesehatan/dokter umum di klinik mengenali gejala dan
pemeriksaan EKG bila ada.
-
Tirah baring dan pemberian oksigen 2-4 L/menit
-
Berikan aspirin 60-325 mg tablet kunyah bila tidak ada riwayat alergi
aspirin
-
Berikan preparat nitrat sublingual misalnya isosorbid dinitrat 5 mg
dapat diulang setiap 5-5 menit samapai 3 kali
-
Bila memungkinkan pasang jalur infus o Segera kirim ke rumah sakit
terdekat dengan fasilitas ICCU (Intensive Coronary Care Unit) yang
memadai
dengan
pemasangan
oksigen
dan
didampingi
dokter/paramedik yang terlatih.
b.
Tatalaksana di Unit Gawat Darurat (Alwi,
2006; Brown, 2005).
-
Tirah baring
-
Pemberian oksigen 2-4 L/menit untuk mempertahkan saturasi oksigen
>95 %
-
Pasang jalur infuse dan pasang monitor
-
Pemberian aspirin 150-325 mg tablet kunyah bila belum diberikan
sebelumnya dan tidak ada riwayat alergi aspirin.
-
Pemberian nitrat untuk mengatasi nyeri dada.
-
Klopidogrel dosis awal 300 mg, kemudian dilanjutkan 75 mg/hari.
-
Segera pindahkan ke Ruang Rawat Intensif Koroner (ICCU)
c.
Tatalaksana
di Ruang
Intensif/Intensive Coronary Care Unit (ICCU)
-
Pasang monitor 24 jam
Rawat
Koroner
-
Tirah baring
-
Pemberian oksigen 3-4L/menit
-
Pemberian nitrat. Bila nyeri belum berkurang dapat diberikan
nitroglisrin drip intravena secara titrasi sesuai respon tekanan darah,
dimulai dengan dosis 5-10 mikrogram/menit dan dosis dapat
ditingkatkan 5-20 mikrogram/menit sampai respons nyeri berkurang
atau mean arterial pressure (MAP) menurun 10 % pada normotensi
dan 30 % pada hipertensi, tetapi tekanan darah sistolik harus > 90
mmHg.
-
Penyekat beta atau Beta Blocker bila tidak ada kontraindikasi
terutama pada pasien dengan hipertensi dan takiaritmia yaitu
bisoprolol mlai 2,5-5 mg atau metoprolol 25-50 mg atau atenolol 2550 mg.
-
Pemberian Angiotensin Receptor Blocker (ARB) bila pasien intoleran
dengan ACE inhibitor.
-
Mengatasi nyeri. Pemberian morfin sulfat intravena 2-4 mg dengan
dengan mengatsi interval 5-15 menit bil nyeri belum teratasi.
-
Pemberian laksatif untuk memperlancar defekasi.
-
Pemberian antiasietas sesuai evaluasi selama perawatan. Dapat
diberikan diazepam 2 x 5 mg atau alprazolam 2 x 0,25 mg
-
Hindari segala obat golongan antinyeri non inflamasi (NSAID)
kecuali aspirin
K. TERAPI FARMAKOLOGIS
a.
Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri. Dosis 2-4 mg dan dapat diulang
dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping :
konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga
terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan
arteri (Harun, 2000).
b.
Nitrat
Golongan nitrat organik dapat merelaksasikan semua otot polos, terutama
otot polos vaskuler. Dengan demikian, nitrat menyebabkan vasodilatsi
semua sistem vaskuler, terutama vena-vena dan arteri-arteri besar. Nitrat
organik mudah larut dalam lemak, sehingga mudah diabsorpsi melalui
mukosa ataupun kulit. Dengan demikian untuk mendapatkan efeknya
secara cepat, digunakan nitrat organik yang mempunyai efek awal yang
cepat dan masa kerja yang pendek. Nitrat organik yang termasuk dalam
golongan ini ialah sedian sublingual nitrogliserin, isosorbid dinitrat, dan
eritritil tetranitrat. Angina cepat teratasi dengan pemberian obat ini.
Apabila keluhan masih ada, maka pemberian nitrat ini dapat diulang 3-4
kali selang 5 menit (Harun, 2000).
c.
Beta blocker
Betabloker menekan adrenoseptor beta1 jantung, sehingga denyut
jantung dan kontraktilitas miokard menurun. Hal ini menyebabkan
kebutuhan oksigen miokard pun berkurang, di samping perfusi miokard
(suplai oksigen) sedikit meningkat, karena regangan dinding jantung
berkurang serta bisa juga digunakan untuk mengurangi nyeri dada atau
ketidaknyamanan dan juga mencegah serangan jantung tambahan. Beta
bloker juga bisa digunakan untuk memperbaiki aritmia. Tapi penekanan
pada adrenoseptor beta 2 dapat menyebabkan vasodilatsi dan dilatasi
bronkus berkurang, sehingga vasokonstriksi atau pun konstriksi bronkus
yang disebabkan oleh tonus reseptor alfa makin menonjol. Tapi pada
betabloker yang kardioselektif, yang hanya berefek pada adrenoseptor
beta 1 di jantung, efek samping vasokonstriksi perifer dan konstriksi
bronkus jauh berkurang. Terdapat dua jenis yaitu cardioselective
(metoprolol, atenolol, dan acebutol) dan non-cardioselective (propanolol,
pindolol, dan nadolol) (Harun, 2000).
d.
Trombolitik
Saat ini ada beberapa macam obat trombolisis, yaitu streptokinase,
urokinase, aktivator plasminogen jaringan yang direkombinasi (r-TPA)
dan anisolylated plasminogen activator complex (ASPAC). r- TPA
bekerja lebih spesifik pada fibrinn dibandingkan streptokinase dan waktu
paruhnya lebih pendek. Penelitian menunjukkan bahwa secara garis
besar, semua obat trombolitik bermamfaat namun r-TPA menyebabkan
penyulit perdarahan otak sedikit lebih tinggi dibandingkan steptokinase.
Karena sifatnya, steptokinase dapat menyebabkan reaksi alergi dan juga
hipotensi akibat dilatsi pembuluh darah. Karena itu streptokinase tidak
boleh diulangi bila dalam 1 tahun sebelumnya sudah diberikan atau
penderita dalam keadaan syok. Indikasi pemberian trombolitik adalah
penderita infark miokard akut yang berusia dibawah 70 tahun, sakit dada
dalam 12 jam sejak mulai, daan elevasi ST lebih dari 1 mm pada
sekurang-kurangya 2 sadapan. r-TPA sebaiknya diberikan pada infark
miokard kurang dari 6. Obat-obatan ini juga ditujukan untuk
memperbaiki kembali aliran darah pembuluh darah koroner, sehingga
reperfusi dapat mencegah kerusakan miokard lebih lanjut. Obat-obatan
ini digunakan untuk melarutkan bekuan darah yang menyumbat arteri
koroner. Waktu paling efektif pemberiannya adalah 1 jam setelah timbul
gejala pertama dan tidak boleh lebih dari 12 jam paska serangan. Selain
itu tidak boleh diberikan pada pasien diatas 75 tahun (Harun, 2000).
e.
ACE inhibitor
ACE inhibitor memiliki efek antihipertensi yang baik dengan efek
samping yang relatif jarang. Penelitian menunjukkan bahwa ACE
inhibitor tidak mempengaruhi profil lipoprotein dan glukosa darah,
bahkan cenderung meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan
kolesterol total dan trigliserid. ACE inhibitor bekerja dengan cara
menghambat enzim konversi angiotensin, sehingga angiotensin II yang
seharusnya berasal dari angiotensin I tidak terbentuk. Obat ini juga
mengurangi cedera pada otot jantung. Obat ini juga dapat digunakan
untuk memperlambat kelemahan pada otot jantung. Misalnya captropil
(Harun, 2000).
f.
Obat-obat antikoagulan
Obat- obatan ini mengencerkan darah dan mencegah pembentukan
bekuan darah pada arteri. Misal: heparin dan enoksaparin (Harun, 2000).
g.
Obat-obatan Antiplatelet
Obat-obatan ini (misal aspirin dan clopidogrel) menghentikan platelet
untuk membentuk bekuan yang tidak diinginkan (Harun, 2000).
L. PROGNOSIS
Pada 25% AMI, kematian terjadi mendadak dalam beberapa menit setelah
serangan. Karena itu, banyak yang tidak sampai ke rumah sakit. Mortalitas
keseluruhan 25-30%. Risiko kematian tergantung pada banyak faktor,
termasuk usia, riwayat PJK, adanya penyakit-penyakit lain dan luasnya
infark. Mortalitas serangan akut naik dengan meningkatnya umur. Kematian
kira-kira 10-20% pada usia dibawah 50 tahun, dan 20% pada usia lanjut
(Irmalita, 2003).
DAFTAR PUSTAKA
Alwi I. 2006. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. dalam : Sudoyo AW,
Setiohadi B, Setiani S. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Pp: 1615-25.
Brown CT. 2005. Penyakit Ateroslerotik Koroner. dalam : Price SA, Wilson LM.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. pp: 576-611
Chen ZM, Pan HC, Chen YP, et al. 2005. Early intravenous then oral metoprolol
in 45,852 patients with acute myocardial infarction: randomised placebocontrolled trial. Lancet. Nov 5 2005;366(9497):1622-32.
Harun S. 2000. Infark Miokard Akut. dalam : Sudoyo AW, Setiohadi B, Setiani S.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Pp: 1090-108.
Hampton JR. 2006. Infark miokard akut anterior. dalam : Wahab S, Cendika R,
Ramadhani D. Dasar-dasar EKG. Jakarta : Pusat Penerbitan Buku
Kedokteran EGC. pp: 95-97.
Irmalita. 2003. Infark Miokard Akut dalam Rilantono, Lily Ismudiati. Baraas,
Faisal. Karo, Santoso Karo. Roebiono, Poppy Surwianti. Buku Ajar
Kardiologi. Jakarta: FKUI.
Nawawi R.A. Fitriani. Rusli B. Hardjoeno. 2006. NILAI TROPONIN T (cTnT)
PENDERITA SINDROM KORONER AKUT(SKA dalam Indonesian
Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory Vol. 12, No. 3, Juli
2006: 123-26
Samsu N. dan Sargowo D. 2007. Sensitivitas dan Spesifisitas Troponin T dan I
pada Diagnosis Infark Miokard Akut dalam Maj Kedokt Indon, Volum:
57, Nomor: 10, Oktober 2007. pp:363-72
Download