BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berakhirnya

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Berakhirnya kekuasaan orde baru melatarbelakangi adanya tuntutan
demokrasi dan pemberdayaan daerah, terkhusus dengan dikeluarkannya undang undang yang mengatur mengenai pelaksanaan otonomi daerah dan kebijakan
desentralisasi fiskal. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan
instrumen yang digunakan dalam penyelenggaraan pembangunan negara untuk
menyejahterakan masyarakat. Oleh karena itu desentralisasi fiskal dilakukan
dengan menempatkan motor penggerak pembangunan pada tingkat pemerintahan
yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu pemerintah daerah (Nota Keuangan
dan RAPBN 2011). Dekatnya tingkat pemerintahan dengan masyarakat
diharapkan dapat membuat kebijakan fiskal daerah akan sesuai dengan aspirasi,
kebutuhan dan prioritas daerah.
Desentralisasi fiskal dan otonomi daerah dimulai di Indonesia sejak
diterbitkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU
No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Didasarkan pada kedua undang-undang tersebut, pelaksanaan
desentralisasi di Indonesia dimulai pada Januari 2001. Pada tahun 2004 dilakukan
revisi terhadap kedua UU tersebut. Revisi UU ini dilatarbelakangi karena UU
No.22 Tahun 1999 tidak secara rinci menjelaskan fungsi dan kewenangan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hasil revisi tersebut ditandai dengan
diterbitkannya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.33
1
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan
Pemerintah Daerah.
Kebijakan
desentralisasi
ini
mengubah
tatanan
dalam
kebijakan
pembangunan di Indonesia. Kekuasaan dalam menentukan pembangunan daerah
beralih ke otoritas daerah pada derajat tertentu. Hak dalam penggunaan dan
kewenangan pengelolaan keuangan pusat dan daerah pun mengalami perubahan
sehingga daerah dapat mengelola keuangannya sendiri dan berhak untuk
menentukan kebijakan yang akan diterapkan di daerah tersebut.
Kebijakan desentralisasi fiskal dapat dikaji dari banyak sudut pandang,
satu diantaranya adalah sudut pandang ekonomi. Desentralisasi fiskal dari sudut
pandang ekonomi berkaitan dengan pengalokasian sumber daya ekonomi dan
pendistribusian pendapatan kepada masyarakat. Karena itu penelitian ini
difokuskan pada aspek ekonomi dari kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia
dengan mengevaluasi pengaruh desentralisasi fiskal pada redistribusi pendapatan.
(1989) dan Quates (1972) berpendapat bahwa kesejahteraan masyakat dapat
dicapai dengan menyelesaikan satu masalah utama dalam pembangunan ekonomi
yaitu pencapaian distribusi pendapatan yang adil atau merata.
Banyak studi empiris yang dilakukan untuk menguji hubungan dan
pengaruh desentralisasi fiskal dan ketimpangan pendapatan namun hasil akhirnya
masih berbeda-beda. Teori klasik fiskal federalisme (Musgrave, 1989 dan Quates,
1972) menyatakan bahwa secara tradisional, fungsi redistribusi pendapatan ada
pada pemerintah pusat. Teori klasik fiskal ini membedakan desentralisasi fiskal
dan redistribusi pendapatan. Teori ini menjelaskan desentralisasi fiskal tidak
2
hanya ditekankan untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik pada satu
daerah tetapi juga melayani preferensi yang berbeda antar warga di berbagai
daerah, sehingga untuk pelayanan publik dalam satu daerah akan lebih efisien jika
dilakukan oleh pemerintah daerah. Namun untuk redistribusi pendapatan secara
keseluruhan hanya bisa dilakukan oleh pemerintah pusat (Musgrave, 1989 dan
Quates, 1972).
Teori klasik fiskal federalisme (Musgrave, 1989 dan Quates, 1972)
menjelaskan bahwa desentralisasi fiskal tidak berpengaruh pada ketimpangan
pendapatan atau redistribusi pendapatan. Pendapat yang dikemukakan oleh
Musgrave dan Quates didasari dengan adanya faktor mobilitas dalam masyarakat.
Musgrave dan Quates menyatakan bahwa bebasnya mobilitas pada masyarakat
menyebabkan fungsi redistribusi pendapatan lebih efisien apabila dilakukan oleh
pemerintah pusat.
Musgrave (1989) dan Quates (1972) berpendapat apabila fungsi
redistribusi pendapatan dilakukan oleh pemerintah daerah, maka untuk mencapai
distribusi pendapatan yang merata, pemerintah daerah akan mengambil kebijakan
menaikkan beban pajak pada masyarakat yang kaya. Kondisi ini akan direspon
masyarakat kaya dengan mobilitas yang bebas untuk pindah ke daerah lain yang
tarif pajaknya lebih rendah. Pada saat yang sama, masyarakat miskin dari daerah
lain akan pindah ke daerah yang tarif pajaknya lebih rendah. Keadaan seperti ini
mengakibatkan biaya kebijakan distributif akan meningkat sementara basis pajak
berkurang sebagai akibat basis pajak masyarakat kaya melakukan migrasi. Hal ini
dianggap tidak efisen dari sudut pandang ekonomi. Untuk alasan ini, kebijakan
3
distributif atau redistribusi pendapatan harus tetap sebagai domain pemerintah
pusat, kareana pada tingkat nasional efek mobilitas di daerah dapat diminimalkan
(Musgrave, 1989 dan Quates, 1972).
Pandangan yang berbeda dikemukakan oleh Sepulveda dan MartinezVazquez (2010) yang menyatakan desentralisasi fiskal berpengaruh pada
redistribusi pendapatan. Sepulveda dan Martinez-Vazquez (2010) berpendapat
peran pemerintah daerah dapat mengurangi ketimpangan pendapatan. Sepulveda
dan Martinez-Vazquez (2010) berpandangan bahwa faktor mobilitas antar daerah
dalam teori klasik tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Mobilitas antar daerah
biasanya tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi tapi juga ada faktor non
ekonomi seperti budaya. Faktor budaya akan menghambat migrasi dari suatu
daerah ke daerah lain yang dipicu dengan adanya pertimbangan tarif pajak.
Demikian juga Pauly (1973) berpendapat bahwa, ketika mobilitas terbatas maka
pemerintah daerah memiliki kontribusi yang lebih penting dalam kebijakan
redistributif bahkan lebih baik dari pemerintah pusat sendiri.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia menggunakan instrumen
pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing
power) dan pemberian transfer ke daerah. Pemungutan pajak daerah tersebut
menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi setiap daerah. Pemberian transfer ke
daerah dilakukan dengan mengalokasikan dana perimbangan berupa Dana Bagi
Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan instrumen untuk mengurangi
kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah (UU No.33 Tahun 2004).
4
Instrumen DBH akan menimbulkan kesenjangan fiskal antar daerah karena
adanya variasi sumber daya antar daerah. Oleh karena itu, instrumen Dana
Alokasi Umum (DAU) ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antar daerah. Di
samping itu, untuk membantu daerah dengan kemampuan keuangan yang relatif
rendah, dialokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK bertujuan untuk
mendukung pencapaian tujuan prioritas nasional dan meningkatkan pemerataan
akses terhadap layanan publik (UU No.33 Tahun 2004).
Pada tahun 2002, transfer ke daerah hanya sekitar Rp98,204 triliun, namun
pada APBN-P tahun 2013 jumlah transfer ke daerah tersebut meningkat lebih dari
lima kali lipat menjadi Rp513,260 triliun. Peningkatan tersebut terjadi merata
pada semua jenis transfer ke daerah. DAU merupakan komponen terbesar dari
transfer ke daerah meningkat empat kali lipat dari Rp69,159 triliun pada tahun
2002 menjadi Rp311,139 triliun pada tahun 2013. Perkembangan transfer ke
daerah yang mengalami peningkatan ini merupakan bentuk komitmen pemerintah
terhadap pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia.
Tabel 1.1
Perkembangan Transfer ke Daerah, 2002-2013 (dalam triliun rupiah)
Transfer ke Daerah
Dana Perimbangan
DBH
DAU
DAK
Dana Otonomi Khusus dan
Penyeimbangan
Sumber: DJPK (2016)
2002
98,204
94,667
25,497
69,159
0
3,548
2004
129,723
122,868
37,901
82,131
2,836
6,855
2006
226,180
222,131
64,900
145,664
11,566
4,049
2008
294,434
278,715
78,420
179,507
20,787
13,719
2010
344,728
316,711
92,184
203,572
20,956
28,016
2012
480,645
411,293
111,537
273,814
25,941
69,352
2013
513,260
430,355
88,463
311,139
30,752
82,906
5
Gambar 1.1 menunjukkan perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dan Dana Perimbangan yang dialokasikan melalui transfer ke daerah selalu
meningkat dari tahun ke tahun. Pada APBN Perubahan tahun 2012 total transfer
ke daerah mencapai 30,9 persen dari belanja negara. Selain dana transfer ke
daerah, pemerintah pusat juga mengalokasikan sebagian besar belanja untuk
mendanai urusan pusat di daerah dan pelayan kepada masyarakat, antara lain
melalui subsidi, dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, bantuan masyarakat
melalui PNPM dan Jamkesmas. Dana yang mengalir ke daerah pada tahun 2013
mencapai kisaran 60 persen dari belanja negara (Wikiapbn, 2015).
Gambar 1.1
Perkembangan Dana Desentralisasi Fiskal, 2002-2013 (dalam triliun rupiah)
600
500
400
DAU
300
DBH
200
PAD
100
0
2002 2003 3004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Sumber: Diolah DJPK (2016)
Dalam konteks pendanaan desentralisasi, hal yang sangat krusial untuk
dilihat adalah efektivitas dana yang semakin besar bergulir ke daerah dan dampak
kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi fiskal sudah
6
berjalan selama 13 tahun di Indonesia. Pertanyaan reflektifnya adalah, apakah
desentralisasi fiskal telah menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat di
Indonesia yang ditandai dengan berkurangnya ketimpangan pendapatan?
Pertanyaan ini memiliki arti penting untuk mengevaluasi keberhasilan
desentralisasi
fiskal
dalam
pembangunan
Indonesia
khususnya
dalam
menyelesaikan permasalahan ketimpangan pendapatan.
Kenaikan dana desentralisasi fiskal baik secara langsung maupun tidak
langsung bertujuan untuk menurunkan ketimpangan pendapatan (Nota Keuangan
dan RAPBN 2011). Namun berdasarkan data yang ada di Indonesia menunjukkan
kondisi yang berbeda. Hal ini diindikasikan dengan indeks Gini yang meningkat
dari 0,329 pada 2002 menjadi 0,413 pada tahun 2014. Indonesia selama 15 tahun
terakhir mengalami pertumbuhan ekonomi yang kuat dan dapat mengurangi
kemiskinan (World Bank, 2014). BPS mencatat terjadi penurunan angka
kemiskinan menjadi 28,28 juta orang per Maret 2014, namun manfaat dari
pertumbuhan tersebut lebih dinikmati oleh 20 persen masyarakat terkaya. Pada
tahun 2003 sampai 2010, 10 persen penduduk terkaya di Indonesia menambah
konsumsi sebesar 6 persen per tahun, sementara 40 persen masyarakat termiskin
tingkat konsumsinya tumbuh kurang dari 2 persen per tahun (World Bank, 2014).
Hal inilah yang mengakibatkan jurang antara orang miskin dan kaya masih saja
tinggi sehingga indeks Gini naik pesat dalam beberapa tahun terakhir ini.
7
Gambar 1.2
Indeks Gini Indonesia
0.42
0.4
0.38
Sebelum
Desentralisasi Fiskal
Sesudah
Desentrlisasi Fiskal
0.36
0.34
0.32
0.3
1964
1969
1976
1978
1980
1984
1987
1990
1993
1996
1999
2000
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
0.28
Sumber: 1.BPS untuk tahun 1996, 1999, 2002, 2005, 2007-2013, BPS Key Indicators Indonesia, special edition 2007 untuk
tahun 2004 dan 2006 2.Satih Chandra Mishra “Economic Inequality in Indonesia: Trends, Causes, and Policy Response,
Strategic Asia, March 2009: 17 untuk 1964-1993.
Gambar grafik 1.2 membuktikan indeks Gini di Indonesia selama periode
2002-2013 mengalami kecenderungan meningkat. Selama periode desentralisasi
fiskal (2001-2013) ketimpangan di Indonesia semakin melebar lebih tinggi
dibandingkan dengan indeks Gini sebelum diterapkannya desentralisasi fiskal
pada tahun 2001. Indeks Gini Indonesiayang masih dibawah 0,5 belum tergolong
dalam kategori ketimpangan yang tinggi, namun hal ini menunjukkan bahwa
ketimpangan di Indonesia sudah mendekati tingkat kritis (World Bank, 2014).
Kondisi ketimpangan pendapatan yang mendekati kritis ini perlu
diwaspadai. Ketimpangan pendapatan merupakan isu yang menuntut untuk segera
diatasi karena Todaro dan Smith (2012) menyatakan dampak ketimpangan
pendapatan adalah terjadinya inefisiensi ekonomi dan melemahkan stabilitas
solidaritas sosial. Hasil survei oleh Lembaga Survei Indonesia (Maftuchan, et.al,
8
2015) menemukan masyarakat Indonesia mengharapkan adanya perbaikan
kualitas hidup dan kesejahteraan holistik melalui pemerataan redistribusi
pendapatan. Masyarakat juga berharap pada pemerintah untuk memprioritaskan
penanganan masalah ketimpangan di Indonesia guna mewujudkan pembangunan
yang mensejahterahkan rakyat. Ketimpangan antar daerah juga terlihat dari
ketimpangan pendapatan antar provinsi di Indonesia selama tahun 2002-2013.
Ketimpangan perekonomian yang terjadi antar daerah akan menghambat tujuan
pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan mencapai redistribusi
pendapatan yang merata.
Gambar 1.3
0.45
0.40
0.35
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kepulauan Bangka…
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Rata-rata Gini Rasio
Indeks Gini Rata- rata Provinsi, 2002-2013
Sumber: BPS (2015)
Dimotivasi
dengan
adanya
perdebatan
hasil
literatur
pengaruh
desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pendapatan dan didorong dengan
kondisi ketimpangan pendapatan di Indonesia yang meningkat saat desentralisasi
fiskal diterapkan. Maka penelitian ini kembali difokuskan untuk menginvestigasi
9
keberhasilan desentralisasi fiskal dalam pembangunan spesifik pada isu
ketimpangan. Menggunakan data panel provinsi selama masa desentralisasi fiskal
2002-2013. Penelitian ini mengkaji peran disentralisasi fiskal yang diproksi oleh
DBH, DAU, dan PAD sebagai indikator kemandirian daerah terhadap
ketimpangan yang diproksi oleh indeks Gini.
1.2
Rumusan Masalah
Kebijakan desentralisasi fiskal baik secara langsung maupun tidak
langsung bertujuan untuk menurunkan ketimpangan pendapatan (Nota Keuangan
dan RAPBN 2011). Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia diterapkan
dengan mengalokasikan dana desentralisasi fiskal (DBH, DAU dan PAD) dari
pemerintah pusat ke daerah. Dana desentralisasi fiskal tersebut dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan. Sementara pada saat yang bersamaan ketimpangan
pendapatan yang diproksi oleh indeks Gini justru memperlihatkan nilai yang juga
menaik setiap tahunnya bahkan nilainya lebih besar dari tingkat ketimpangan
sebelum diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal.
1.3
Batasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah, fokus dan tidak meluas, kajian
ketimpangan pada penelitian ini hanya dibatasi ruang lingkup ketimpangan
pendapatan yang diproksi oleh indeks Gini. Karena keterbatasan ketersedian data
selama tahun pengamatan, maka kajian dibatasi hanya pada wewenang
pemerintah daerah provinsi yang ada di Indonesia. Desentralisasi fiskal pada
penelitian juga dibatasi pada komponen pendapatan daerah yang terdiri atas PAD,
DBH dan DAU.
10
1.4
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana
posisi
provinsi-provinsi
di
Indonesia
berdasarkan
ketimpangan pendapatan setelah desentralisasi fiskal?
2. Bagaimana pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan
pendapatan antar provinsi di Indonesia?
1.5
Tujuan Penelitian
Dengan merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis posisi provinsi-provinsi di Indonesia berdasarkan kondisi
ketimpangan pendapatan setelah desentralisasi fiskal.
2. Menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan
pendapatan antar provinsi di Indonesia
1.6
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1.
Bagi peneliti, diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan
mengenai desentralisasi fiskal dan ketimpangan pendapatan di
Indonesia.
2.
Bagi pemerintah, sebagai pelaksana otonomi daerah dan pemegang
otoritas fiskal dalam membuat kebijakan diharapkan penelitian ini
dapat menjadi bahan informasi tambahan dan pertimbangan
11
pengambilan keputusan dalam mengatasi masalah ketimpangan
pendapatan.
3.
Bagi masyarakat, mahasiswa, maupun peneliti selanjutnya yang
tertarik dengan topik terkait agar dapat dijadikan rujukan serta
tambahan informasi.
1.7
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini bermaksud untuk memudahkan para pembaca
dalam memahami isi penelitian. Penelitian ini disusun dalam lima bab, yaitu:
Bab I Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan
masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka
Bab ini menjelaskan mengenai landasan teori yang mendukung penelitian, studi
empiris yang menjelaskan hasil temuan sebelumnya dan keaslian penelitian.
Bab III Metode Penelitian
Bab ini menjelaskan tentang jenis penelitian, jenis dan sumber data, data panel,
definisi variabel dan definisi operasional, spesifikasi model dan metode analisis.
Penelitian ini menggunakan unit analis provinsi dengan periode waktu 2002-2013.
Alat analisis yang digunakan adalah tipologi daerah untuk melihat posisi provinsi.
Bagaimana pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pendapatan
dilakukan dengan menggunakan analisis regresi data panel.
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
12
Bab ini membahas hasil temuan penelitian yang merupakan jawaban atas seluruh
pertanyaan yang terdapat pada rumusan masalah dan pertanyaan penelitian.
Bagian ini juga akan menyertakan teori-teori yang relevan dan studi empiris
sebelumnya.
Bab V Penutup
Bab ini merupakan bagian terakhir dari penulisan yang terdiri atas kesimpulan
penelitian yang digunakan untuk merekomendasikan pemerintah maupun pelaku
pengambil keputusan kebijakan, keterbatasan penelitian, dan saran yang diberikan
untuk penelitian selanjutnya.
13
Download