BAB II

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Jasa
Penawaran suatu perusahaan kepada pasar biasanya dalam bentuk berbagai jenis
jasa. Komponen jasa ini dapat merupakan bagian
kecil ataupun bagian utama dari
keseluruhan penawaran tersebut. Berdasarkan kriteria ini, penawaran suatu perusahaan
dapat dibedakan menjadi lima kategori (Tjiptono, 2002), yaitu:
1. Produk fisik murni
Penawaran yang hanya terdiri atas produk fisik, misalnya sabun mandi, pasta gigi,
sabun cuci, tanpa ada jasa atau pelayanan yang menyertai produk tersebut.
2. Produk fisik dengan jasa pendukung
Penawaran terdiri atas suatu produk fisik yang disertai dengan satu atau beberapa jasa
untuk meningkatkan daya tarik konsumennya. Misalnya produsen mobil juga
memberikan penawaran jasa pengantaran, reparasi, pemasangan suku cadang.
3. Hybrid
Penawaran terdiri dari barang dan jasa yang sama besar porsinya.
4. Jasa utama yang didukung dengan barang dan jasa minor
Penawaran terdiri atas suatu jasa pokok bersama-sama dengan jasa tambahan
(pelengkap) dan atau barang-barang pendukung. Contohnya penumpang pesawat
terbang yang membeli jasa transportasi juga dilayani makanan dan minuman,
majalah, atau surat kabar selama di perjalanan sebagai unsur produk fisik yang
terlibat. Jasa seperti ini memerlukan barang yang bersifat kapital intensif (dalam hal
ini pesawat) untuk realisasinya, tapi penawaran utamanya adalah jasa.
5. Jasa murni
Penawaran yang hampir seluruhnya berupa jasa. Misalnya fisioterapi, konsultasi
psikologi, pemijatan, dan lain-lain.
Pada umumnya produk dapat diklasifikasikan dalam berbagai macam cara, salah
satu cara yang banyak digunakan adalah klasifikasi berdasarkan daya tahan dan berwujud
tidaknya suatu produk. Berdasarkan kriteria ini, ada tiga kelompok produk (Tjiptono,
2002):
1. Barang tidak tahan lama (nondurable good)
Barang berwujud yang biasanya habis dikonsumsi dalam satu atau dalam beberapa
kali pemakaian.
2. Barang tahan lama (durable good)
Barang berwujud yang biasanya bisa bertahan lama dan memiliki umur ekonomis
lebih dari satu tahun.
3. Jasa (service)
Merupakan aktivitas, manfaat, atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual.
Selain itu, klasifikasi jasa juga dapat dilakukan berdasarkan tujuh kriteria
(Lovelock, 1987, dalam Evans and Berman, 1990), yaitu:
Tabel 2.1
Klasifikasi Jasa
No.
BASIS
1. Segmen Pasar
2.
3.
4.
5.
6.
7.
KLASIFIKASI
CONTOH
* Konsumen akhir
Salon kecantikan
* Konsumen organisasional Konsultan manajemen
Tingkat keberwujudan
Penyewaan mobil
* Rented-goods service
Reparasi jam tangan
* Owned-goods service
Pemandu wisata
* Non-goods service
Keterampilan penyedia jasa * Professional service
Dokter
* Nonprofessional service Supir taksi
Tujuan organisasi jasa
Bank
* Profit service
Yayasan social
* Nonprofit service
Regulasi
Angkutan umum
* Regulated service
Katering
* Nonregulated service
Tingkat intensitas karyawan * Equipment-based service ATM
Pelatih sepak bola
* People-based service
Tingkat Kontak Penyedia * High-contact service
Universitas
Jasa dan Pelanggan
Bioskop
* Low-contact service
Sumber: Tjiptono (2002)
Menurut Kotler (2000, p. 14), jasa adalah setiap tindakan atau perbuatan yang
dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat
intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Produk
jasa bisa berhubungan dengan produk fisik maupun fisik. Jasa juga didefinisikan Freddy
Rangkuti sebagai pemberian suatu kinerja atau tindakan tak kasat mata dari suatu pihak
kepada pihak lain. Pada umumnya jasa diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan, di
mana interaksi antara pemberi jasa dan penerima jasa mempengaruhi hasil jasa tersebut
(Rangkuti, 2003).
Berbagai bisnis jasa banyak dijumpai dalam hidup kita sehari-hari dewasa ini.
Diantaranya adalah asuransi, telekomunikasi, hiburan televisi, supir, pendidikan, binatu,
reparasi, dan jasa finansial. Bisnis jasa tersebut sangat berpengaruh dalam dunia modern.
Kini setiap konsumen tidak lagi sekedar membeli suatu produk, tetapi juga segala aspek
jasa/pelayanan yang melekat pada produk tersebut, mulai dari tahap prapembelian hingga
tahap purnabeli. Salah satu cara yang efektif dalam melakukan diferensiasi adalah
melalui jasa atau pelayanan yang diberikan. Misalnya, bisnis restoran bergeser dari
sekedar menyediakan segala macam makanan untuk dijual, menjadi usaha melayani dan
memuaskan rasa lapar para pelanggan dengan disertai usaha menyediakan suasana yang
kondusif bagi pelanggan untuk menikmati hidangan, seperti misalnya menyajikan
hiburan musik (Tjiptono, 2002, p. 2). Sedangkan dalam buku Manajemen Jasa (Tjiptono,
2000, p. 6) memberikan pengertian jasa sebagai berikut: jasa merupakan aktivitas,
manfaat, atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual.
Ada empat karakteristik utama yang sangat mempengaruhi rancangan program
pemasaran, yaitu:
1. Tidak berwujud (Intangibility); suatu jasa yang memiliki sifat tidak berwujud, tidak
dapat dinikmati sebelum dibeli oleh konsumen.
2. Tidak terpisahkan (Inseparibility); jasa yang dihasilkan dan dirasakan pada waktu
yang bersamaan.
3. Bervariasi (Variability); jasa yang senantiasa mengalami perubahan, tergantung dari
siapa penyedia.
4. Mudah lenyap (Perishability); jasa yang daya tahannya tergantung pada situasi yang
diciptakan oleh berbagai faktor.
Menurut Stanton, Etzel dan Walker (Tjiptono, 2000, p18), ada pengecualian
dalam karakteristik perishability dan penyimpanan jasa. Dalam kasus tertentu, jasa bisa
disimpan, yaitu dalam bentuk pemesanan, peningkatan permintaan pada saat permintaan
sepi dan penundaan penyampaian jasa. Terdapat hubungan yang erat antara kualitas
produk dan pelayanan, kepuasan pelanggan, dan profitabilitas perusahaan. Semakin
tinggi tingkat kualitas menyebabkan semakin tingginya kepuasan pelanggan dan juga
mendukung harga yang lebih tinggi serta (sering kali) biaya yang lebih rendah.
2.2 Konsep Kualitas Jasa
Kualitas berdasarkan definisi dari American Society for Quality Control, yang
telah dipakai di seluruh dunia adalah keseluruhan ciri serta sifat suatu produk atau
pelayanan yang berpengaruh pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang
dinyatakan atau yang tersirat.
Dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expected service dan
perceived service (Parasuraman et al, 1985) apabila jasa yang diterima atau dirasakan
(perceived service) sesuai dengan yang diharapkan maka kualitas jasa dipersepsikan baik
dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas
jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih
rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan buruk.
Dengan
demikian baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam
memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten.
Kualitas memiliki hubungan yang sangat erat dengan kepuasan pelanggan,
dimana kualitas itu sendiri memiliki definisi tersendiri. Menurut Kotler (1994), kualitas
harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan.
Pelangganlah yang mengkonsumsi dan menikmati jasa perusahaan, sehingga merekalah
yang seharusnya menilai kualitas jasa. The costs of poor quality of services are even
larger than those for goods. Crosby (1979) and others estimate the costs for poor quality
to about 30-40% of the turnover. This means that it has become increasingly important to
focus on and improve service quality (Bergman and Klefsjo, 1994, p. 265).
There are thus three distinct trends that must be faced squarely by the company
which designs, processes, and sells products and services in today’s competitive
marketplace (Feigenbaum, 1991, pp. 24-25):
•
Customers have been increasing their quality requirements very sharply.
•
As a result of this increased customer demand for higher quality products, present
quality practices and techniques are now, or soon will be, outmoded.
•
Quality costs have become very high. For many companies they may be much too
high if these companies are to maintain and improve their competitive position over
the long run.
Menurut Wyckof (dalam Lovelock, 1988) kualitas jasa adalah tingkat keunggulan
yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi
keinginan pelanggan. Kualitas didefinisikan oleh Kotler (2003, p. 84) sebagai
keseluruhan ciri serta sifat dari suatu produk atau pelayanan yang berpengaruh pada
kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau yang tersirat. Definisi
kualitas dalam arti luas yang diambil dari International Standard for Service Quality
(1990) yaitu: kumpulan dari seluruh ciri-ciri dan karakteristik dari suatu produk atau jasa
yang memiliki kemampuan untuk memuaskan keadaan saat ini atau kebutuhan yang
diharapkan akan dapat diperoleh. Kualitas pelayanan dapat didefinisikan sebagai
seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan para pelanggan atas layanan yang
mereka terima. Jika kenyataan yang diterima lebih dari yang diharapkan, maka layanan
dapat dikatakan berkualitas sedangkan jika kenyataannya kurang dari yang diharapkan,
maka layanan dapat dikatakan tidak berkualitas. Apabila kenyataan sama dengan
harapan, maka layanan disebut memuaskan.
Harapan pelanggan bisa berasal dari informasi mulut ke mulut, kebutuhan pribadi,
dan pengalaman masa lalu. Persepsi pelanggan atas layanan dari perusahaan tergantung
pada beberapa faktor: pengalaman mereka, pengetahuan yang dikombinasikan dengan
komitmen dan kemampuan melayani pelanggan, kemampuan menepati janji dan
kepercayaan, perhatian yang tulus yang diberikan kepada para pelanggan, cepat dalam
menangani keluhan pelanggan (Evardsson, Thomasson, and Ovretveit, 1994).
Gazpers (2002, p. 4) memberikan dua definisi kualitas, yaitu:
1. Definisi Konvensional: kualitas biasanya menggambarkan karakterisitik langsung
dari suatu produk, seperti performansi (performance), keandalan (reliability), mudah
dalam penggunaan (ease for use), estetika (esthetics), dan sebagainya.
2. Definisi Strategik: kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan
atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customers).
Menurut Wyckof (dalam Lovelock, 1998), kualitas jasa adalah tingkat
keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk
memenuhi keinginan pelanggan. Sedangkan Goetsh dan Davis (1994) mendefinisikan
kualitas sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia,
proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.
Menurut Hutt dan Speh (1992), kualitas jasa terdiri dari tiga komponen utama,
yaitu:
1. Technicall Skill; komponen yang berkaitan dengan kualitas output (keluaran) jasa
yang diterima pelanggan.
a. Search quality; kualitas yang dapat dievaluasi pelanggan sebelum membeli,
misalnya harga.
b. Experience quality; kualitas yang hanya bisa dievaluasi pelanggan setelah
membeli atau mengkonsumsi jasa, misalnya ketepatan waktu, kecepatan
pelayanan, dan kerapian hasil.
c. Credence quality; kualitas yang sukar dievaluasi pelanggan meskipun telah
mengkonsumsi suatu jasa misalnya operasi jantung.
2. Functional Quality; komponen yang berkaitan dengan kualitas cara penyampaian
suatu jasa.
3.
Corporate Image; profil, reputasi, citra umum, dan daya tarik khusus suatu
perusahaan.
Menurut Garvin (dalam Lovelock, 1994; Ross, 1993), ada lima macam perspektif
kualitas yang berkembang, yaitu:
1. Transcendental approach
Kualitas dipandang sebagai innate excellence, dimana kualitas dapat dirasakan atau
diketahui, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalisasikan.
2. Product-based approach
Pendekatan ini menganggap kualitas merupakan karakterisik atau atribut yang dapat
dikuantifikasikan dan dapat diukur.
3. User-based approach
Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang
yang memandangnya, sehingga produk yang memuaskan preferensi seseorang
(misalnya perceived quality) merupakan produk yang berkualitas tinggi.
4. Manufacturing-based approach
Perspektif ini bersifat supply-based dan terutama memperhatikan praktik-praktik
perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefinisikan kualitas sebagai kesesuaian
dengan persyaratan (conformance to requirements).
5. Value-based approach
Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Kualitas didefinisikan
sebagai “affordable excellence”.
Enam prinsip pokok kualitas jasa meliputi (Wolkins dalam Scheuing dan
Christopher, 1993):
1. Kepemimpinan; strategi kualitas harus merupakan inisiatif dan komitmen dari
manajemen puncak. Manajemen puncak harus memimpin perusahaan untuk
meningkatkan kinerja kualitasnya.
2. Pendidikan; semua personil perusahaan dari manajer puncak sampai karyawan
operasional harus memperoleh pendidikan mengenai kualitas.
3. Perencanaan; proses perencanaan strategik harus mencakup pengukuran dan tujuan
kualitas yang dipergunakan dalam mengarahkan perusahaan untuk mencapai visinya.
4. Review; proses review merupakan satu-satunya alat yang paling efektif bagi
manajemen untuk mengubah perilaku organisasional.
5. Komunikasi; implementasi strategi kualitas dalam organisasi dipengaruhi oleh
proses komunikasi dalam perusahaan. Komunikasi harus dilakukan dengan karyawan,
pelanggan, stakeholder perusahan lainnya seperti pemasok, pemegang saham,
pemerintah, dan masyarakat umum.
6. Penghargaan dan pengakuan (Total Human Reward); penghargaan dan pengakuan
merupakan aspek yang penting dalam implementasi strategi kualitas. Setiap karyawan
yang berprestasi perlu diberi penghargaan dan prestasinya diakui.
Menurut Zeithaml et al (Umar, 2000, pp. 38-40), mengemukakan lima dimensi
dalam menentukan kualitas jasa, yaitu:
a. Reliability, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan janji
yang ditawarkan.
b. Responsiveness, yaitu respon atau kesigapan karyawan dalam membantu konsumen
dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap, yang meliputi kesigapan
karyawan dalam menangani konsumen, kecepatan karyawan dalam menangani
transaksi, dan penanganan keluhan konsumen.
c. Confidence/Assurance, meliputi kemampuan karyawan atas pengetahuan produk
secara tepat, kualitas keramah-tamahan, perhatian dan kesopanan dalam memberi
pelayanan,
keterampilan
dalam
memberikan
informasi,
kemampuan
dalam
memberikan keamanan di dalam memanfaatkan jasa yang ditawarkan, dan
kemampuan dalam menanamkan kepercayaan konsumen terhadap perusahaan. Ada
beberapa dimensi yang dapat mempengaruhi sebuah jasa yaitu dimana dimensi
kepastian atau jaminan ini merupakan gabungan dari dimensi:
•
Kompetensi (Competence), artinya keterampilan dan pengetahuan yang
dimiliki oleh para karyawan untuk melakukan pelayanan.
•
Kesopanan (Courtecy), yang meliputi keramahan, perhatian, dan sikap para
karyawan.
•
Kredibilitas (Credibility), meliputi hal-hal yang berhubungan dengan
kepercayaan kepada perusahaan, seperti reputasi, prestasi, dan sebagainya.
d. Empathy, yaitu perhatian secara individual yang diberikan perusahaan kepada
konsumen seperti kemudahan untuk menghubungi perusahaan, kemampuan karyawan
untuk berkomunikasi dengan konsumen, dan usaha perusahaan untuk memahami
keinginan dan kebutuhan konsumennya. Dimensi Empathy ini merupakan
penggabungan dari dimensi:
•
Akses (Access), meliputi kemudahan untuk memanfaatkan jasa yang
ditawarkan perusahaan.
•
Komunikasi
komunikasi
(Communication),
untuk
merupakan
menyampaikan
informasi
kemampuan
kepada
melakukan
pelanggan
atau
memperoleh masukan dari pelanggan.
•
Pemahaman pada pelanggan (Understanding the Customer), meliputi usaha
perusahaan untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan
pelanggan.
e. Tangibility, meliputi penampilan fasilitas fisik seperti gedung dan ruangan front
office, tersedianya tempat parkir, kebersihan, kerapihan dan kenyamanan ruangan,
kelengkapan peralatan komunikasi dan penampilan karyawan.
Terdapat tiga kunci pokok yang muncul dari kelima dimensi kualitas layanan,
yaitu (Zeithaml et al, 1990):
1. Kualitas layanan lebih sukar untuk dievaluasi bagi pelanggan dibanding dengan
kualitas barang.
2. Pelanggan tidak hanya mengevaluasi kualitas layanan dari apa yang mereka terima,
tetapi mereka juga memperhatikan proses layanan antar.
3. Satu-satunya kriteria penilaian dari kualitas layanan hanya didapat dari pelanggan.
The 9 M’s fundamental factors affecting quality: markets, money, management,
men, motivation, materials, machines and mechanization, modern information methods,
and mounting product requirements (Feigenbaum, 1991). Manfaat dari kualitas yang
superior antara lain berupa (Tjiptono, 2002, p. 55): loyalitas pelanggan lebih besar,
pangsa pasar yang lebih besar, harga saham yang lebih tinggi, dan produktivitas yang
lebih besar.
Kualitas harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi
pelanggan (Kotler, 1994). Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukanlah
berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa, melainkan berdasarkan
sudut pandang pelanggan. Secara garis besar, ada empat unsur pokok dalam konsep
service excellence, yaitu (Elhaitammy, 1990): kecepatan, ketepatan, keramahan, dan
kenyamanan.
Tabel 2.2
Sasaran
Service
Excellence
Sasaran dan Manfaat Service Excellence
Bagi
Pelanggan
Manfaat Service Excellence
Bagi
Bagi
Karyawan
Perusahaan
Memuaskan pelanggan Kebutuhan terpenuhi Lebih percaya diri Meningkatnya kesan
Profesional
(corporate image)
Meningkatkan loyalitas Merasa dihargai dan Adanya kepuasan Kelangsungan usaha
Pelanggan
Mendapatkan
Pribadi
Perusahaan
pelayanan yang baik
Terjamin
Meningkatkan penjualan Merasa dipercaya Menambah
Mendorong masyaproduk dan jasa
sebagai mitra bisnis ketenangan bekerja rakat untuk berhubuPerusahaan
ngan dengan perusaHaan
Meningkatkan
Merasa menemukan Memupuk semangat Mendorong kemungPendapatan
perusahaan yang
untuk meniti karir kinan ekspansi
Perusahaan
Professional
meningkatkan laba
Perusahaan
Sumber: Tjiptono (2002)
Ada berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan kualitas suatu jasa menjadi
buruk (Tjiptono, 2002), yaitu:
1. Produksi dan konsumsi yang terjadi secara simultan
Salah satu karakteristik jasa yang penting adalah inseparability, artinya jasa
diproduksi dan dikonsumsi pada saat bersamaan (dibutuhkan kehadiran dan
partisipasi pelanggan). Akibatnya timbul masalah-masalah sehubungan dengan
interaksi produsen dan konsumen jasa.
2. Intensitas tenaga kerja yang tinggi
Keterlibatan tenaga kerja yang intensif dalam penyampaian jasa dapat menimbulkan
masalah pada kualitas, yaitu tingkat variabilitas yang tinggi.
3. Dukungan terhadap pelanggan internal (pelanggan perantara) kurang memadai
Karyawan front-line merupakan ujung tombak dari sistem pemberian jasa. Supaya
mereka dapat memberikan jasa yang efektif, maka mereka perlu mendapatkan
dukungan dari fungsi-fungsi utama manajemen (operasi, pemasaran, keuangan, dan
sumber daya manusia).
4. Kesenjangan-kesenjangan komunikasi
Komunikasi merupakan faktor yang sangat esensial dalam kontak dengan pelanggan.
Bila tejadi kesenjangan (gap) dalam komunikasi, maka akan timbul penilaian atau
persepsi negatif terhadap kualitas jasa.
5. Memperlakukan semua pelanggan dengan cara yang sama
Pelangan adalah manusia yang bersifat unik, karena mereka memiliki perasaan dan
emosi. Dalam hal interaksi pemberi jasa, tidak semua pelangan bersedia menerima
pelayanan/jasa yang seragam (standardized service).
6. Perluasan atau pengembangan jasa secara berlebihan
Memperkenalkan jasa baru atau memperkaya jasa lama dapat meningkatkan peluang
pemasaran dan menghindari terjadinya pelayanan yang buruk.
7. Visi bisnis jangka pendek
Visi jangka pendek (seperti orientasi pada pencapaian target penjualan dan laba
tahunan, penghematan biaya, peningkatan produktivitas tahunan) bisa merusak
kualitas jasa yang sedang dibentuk untuk jangka panjang.
Strategi meningkatkan kualitas jasa (Tjiptono, 2002), yaitu:
1. Mengidentifikasikan determinan utama kualitas jasa
Setiap perusahan perlu berupaya memberikan kualitas yang terbaik kepada
pelanggannya. Untuk itu dibutuhkan identifikasi determinan utama kualitas jasa dari
sudut pandang pelanggan.
2. Mengelola harapan pelanggan
Semakin banyak janji yang diberikan, maka semakin besar pula harapan pelanggan
(bahkan bisa menjurus menjadi tidak realistis) yang pada gilirannya akan menambah
peluang tidak dapat terpenuhinya harapan pelanggan oleh perusahaan.
3. Mengelola bukti kualitas jasa
Pengelolaan bukti kualitas jasa bertujuan untuk memperkuat persepsi pelanggan
selama dan sesudah jasa diberikan.
4. Mendidik konsumen tentang jasa
Membantu pelanggan dalam memahami suatu jasa merupakan upaya yang sangat
positif dalam rangka menyampaikan kualitas jasa. Pelanggan yang lebih ‘terdidik’
akan dapat mengambil keputusan secara lebih baik.
5. Mengembangkan budaya kualitas
Budaya kualitas merupakan sistem nilai organisasi yang menghasilkan lingkungan
yang kondusif bagi pembentukan dan penyempurnaan kualitas secara terus-menerus.
Budaya kualitas terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma, nilai, tradisi, prosedur,
dan harapan yang meningkatkan kualitas.
6. Menciptakan Automating Quality
Adanya otomatisasi dapat mengatasi variabilitas kualitas jasa yang disebabkan
kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki.
7. Menindak lanjuti jasa
Menindaklanjuti jasa dapat membantu memisahkan aspek-aspek jasa yang perlu
ditingkatkan. Perusahaan perlu mengambil inisiatif untuk menghubungi sebagian atau
semua pelanggan untuk mengetahui tingkat kepuasan dan persepsi mereka terhadap
jasa yang diberikan.
8. Mengembangkan sistem informasi kualitas jasa
Merupakan suatu sistem yang menggunakan berbagai macam pendekatan riset secara
sistematis untuk mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi kualitas jasa guna
mendukung pengambilan keputusan. Manfaat sistem informasi kualitas jasa,
diantaranya: memungkinkan pihak manajemen untuk memasukkan ‘suara pelanggan’
dalam pengambilan keputusan, dapat mengetahui prioritas jasa pelanggan,
memperlancar proses identifikasi prioritas penyempurnaan jasa dan menjadi pedoman
dalam pengambilan keputusan alokasi sumber daya, memungkinkan dipantaunya
kinerja jasa perusahaan dan pesaing setiap waktu, memberikan gambaran mengenai
dampak inisiatif dan investasi kualitas jasa, serta memberikan performance-based
data untuk keperluan penilaian.
Perusahaan jasa menghadapi tiga tugas dalam menyusun strategi pemasarannya
(Kotler, 1997, p. 90), yaitu:
1. Mengelola Perbedaan
Sejauh pelanggan melihat suatu jasa cukup homogen, mereka lebih memperhatikan
harga daripada penyedianya. Alternatif bagi kompetisi harga adalah:
a. Mengembangkan Penawaran
Penawaran dapat mencakup keistimewaan inovatif untuk membedakannya dari
penawaran pesaing. Apa yang diharapkan pelanggan disebut paket jasa primer
(primary service package) dan ditambahkan keistimewaan jasa sekunder
(secondary service features). Tantangan utamanya adalah sebagian besar inovasi
jasa mudah ditiru. Namun perusahaan jasa yang meriset dan memperkenalkan
inovasi jasa secara teratur akan memperoleh keuntungan temporer melebihi
pesaingnya.
b. Penyampaian
Perusahaan dapat membedakan kualitas penyampaian jasa dengan memiliki lebih
banyak petugas kontak pelanggan yang mampu dan dapat diandalkan. Di samping
itu, perusahaan dapat membuat lingkungan fisik yang lebih menarik di tempat jasa
itu dilakukan. Atau perusahaan dapat juga merancang proses penyampaian jasa
yang unggul.
c. Citra
Mendiferensiasikan citra perusahaan terutama lewat simbol dan merek.
2. Mengelola Kualitas Jasa
Kualitas adalah keseluruhan ciri serta sifat dari suatu produk atau pelayanan yang
berpengaruh pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan
atau yang tersirat. (Kotler, 1997, p49). Salah satu cara utama mendiferensiasikan
sebuah perusahaan jasa adalah memberikan jasa berkualitas lebih tinggi dari pesaing
secara konsisten. Kuncinya adalah memenuhi atau melebihi harapan kualitas jasa
pelanggan sasaran.
3. Mengelola Produktivitas
Perusahaan tidak boleh terlalu keras mendesak produktivitas sehingga mengurangi
kualitas yang diinginkan. Beberapa metode untuk meningkatkan produktivitas dapat
meningkatkan kepuasan pelanggan dengan menstandarisasi kualitas.
2.3 Konsep Kepuasan Pelanggan
Kepuasan didefinisikan oleh Kotler (1997, p. 36) adalah perasaan senang atau
kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kinerja
(hasil) suatu produk dengan harapan-harapannya. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kepuasan konsumen, yaitu: mutu produk dan pelayanannya, kegiatan
penjualan, pelayanan setelah penjualan, dan nilai-nilai perusahaan. Oliver mendefinisikan
kepuasan sebagai tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (hasil) yang
dirasakannya dengan harapannya (Supranto, 1997, p. 233). Kepuasan adalah suatu
perasaan
senang
atau
kecewa
dari
seseorang
konsumen
ketika
konsumen
membandingkan persepsinya terhadap current perfomance suatu produk atau jasa dengan
ekspetasinya (Darmadi, 2000, p. 38).
Menurut Gerson (2001, p. 3), kepuasan konsumen adalah persepsi konsumen
bahwa harapannya telah terpenuhi atau terlampaui. Menurut Day (2001), menyatakan
bahwa kepuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian
yang dirasakan antara harapan dan sebelumnya dan kinerja aktual produk yang dirasakan
setelah memakainya. Menurut Wilkie (2001), mendefinisikan sebagai suatu tanggapan
emosional pada evaluasi terhadap pengalaman konsumsi suatu produk atau jasa.
Sedangkan menurut Engel dan kawan-kawan (2001), menyatakan bahwa kepuasan
pelanggan merupakan evaluasi purnabeli dimana alternatif yang dipilih sekurangkurangnya sama atau melampaui harapan pelanggan.
Menurut Peter F. Drucker (1999), bagi pelanggan, apa yang dihasilkan suatu
perusahaan baginya tidak begitu penting. Pelanggan memikirkan apa yang akan dibelinya
untuk memuaskan kebutuhannya atas dasar pertimbangan nilai dan pertimbangan nilai
inilah selanjutnya akan menentukan bentuk apa bisnis yang perlu akan dikembangkan.
Customer (dis) satisfaction is the outcome of providing value that meets or does not meet
the customer need in that situation (Bounds, Yorks, Adams, dan Ranney, 1994, p. 256).
Tujuan
Perusahaan
Kebutuhan dan
Keinginan Pelanggan
PRODUK
Harapan Pelanggan
Terhadap Produk
Nilai produk
Bagi Pelanggan
Tingkat
Kepuasan
Pelanggan
Gambar 2.1 Konsep Kepuasan Pelanggan
Sumber: Tjiptono (2002)
Perusahaan masa kini berusaha sekuat tenaga mempertahankan pelanggannya
karena perusahaan sadar bahwa biaya menarik pelanggan itu lebih besar dari pada
mempertahankan pelanggan yang ada. Berikut ini akan diuraikan beberapa definisi
mengenai pelanggan, yaitu:
1. Pelanggan adalah pihak yang memaksimumkan nilai. (Kotler, 2002, p. 68).
2. Pelanggan adalah masyarakat pada umumnya yang membutuhkan produk dan jasa
yang berpotensi untuk melakukan pembelian. (Yoeti, 1999, p. 11).
3. Pelanggan itu adalah boss, anda harus bisa melayaninya dengan baik. Apa saja yang
anda miliki, ia akan membayarnya. (Nightingale, 1999, p.16).
Konsumen dibagi atas dua macam, yaitu:
1. Konsumen Eksternal; mudah diidentifikasikan karena mereka ada di luar
organisasi.
2. Konsumen Internal; merupakan orang-orang yang melakukan proses selanjutnya
dari pekerjaan orang sebelumnya.
Para pelanggan jasa biasanya termotivasi untuk mencari jasa sebagaimana
mereka mencari sebuah produk. Dengan demikian, maka harapan-harapan mereka
membentuk perilaku berbelanja. Para pelanggan jasa dikategorikan dalam empat
kelompok, yaitu:
1. The
Economizing
Customer.
Pelanggan
dalam
kelompok
ini
ingin
memaksimalkan nilai yang diperoleh atas penggunaan waktu, usaha dan uangnya.
Mereka bersifat menuntut dan kadang kala tidak konsisten (berubah) dan mencari
nilai yang akan menguji kekuatan kompetitif penyedia jasa di pasar. Kehilangan
pelanggan jenis ini menandakan peringatan awal dari ancaman kompetitif yang
potensial.
2. The Ethical Customer. Pelanggan jenis ini merasakan obligasi moral untuk
mendukung penyedia jasa yang bertanggung jawab secara sosial. Penyedia jasa
yang telah mengembangkan reputasi jasa komunitas dapat menciptakan alasan
bagi pelanggan untuk loyal.
3. The Personalizing Customer. Pelanggan yang termasuk grup ini menginginkan
keramahan interpersonal, seperti pengakuan dan percakapan dari pengalaman
jasa.
4. The Convenience Customer. Pelanggan seperti ini tidak tertarik untuk membeli
jasa. Kenyamanan merupakan kunci untuk menarik mereka. Pelanggan yang
merasa nyaman biasanya rela membayar ekstra untuk jasa yang “pribadi” atau
jasa yang tidak hiruk pikuk.
Tiga tipe konsumen: (page 111.Quality planning and anaysis)
1. Orang yang menekankan dalam penawaran harga lebih penting dari kualitas.
2. Orang yang menilai produk alternatif lain dari harga dan kualitas secara
bersamaan.
3. Orang yang menekankan semua adalah yang terbaik.
Hampir kebanyakan pelanggan memiliki alasan dan egonya sendiri. Ego memberi
arah tiap pelanggan bagaimana mengelola perusahaan. Bilamana suatu usaha memikirkan
dari pelanggan hanya keuntungan saja dan mengabaikan kepentingan pelanggan maka
usaha itu tidak akan bertahan lama. Mengelola usaha adalah mengelola pelanggan.
Perusahaan yang ingin maju harus berorientasi pada pelanggan. Hendaknya perusahaan
selalu memikirkan apa yang di butuhkan pelanggan, apa yang diinginkan pelanggan
sehingga pelanggan tidak hanya puas tetapi menjadi setia kepada perusahaan.
Yang diinginkan pelanggan adalah:
1. Pelanggan ingin merasa bahagia.
Suatu yang logis bila pelanggan yang ingin membelanjakan uangnya pelanggan harus
menunggu lama, tidak diperhatikan/diacuhkan, maka tentu saja mereka akan kesal.
Hal ini tidak diharapkan pelanggan dan oleh karena itu hal seperti ini haruslah di
hindari.
2. Pelanggan tidak mau kalau mereka dibebankan macam-macam, baik dalam bentuk
uang maupun waktu.
Bila pelanggan membeli sesuatu berarti mereka memutuskan untuk membeli dan
telah memberikan kepercayaan kepada perusahaan dari pada perusahaan saingan.
Pelanggan selalu khawatir kalau mereka telah dicurangi. Pelanggan tidak akan
keberatan kalau perusahaan mengambil untung tetapi dalam melakukan transaksi
hendaknya menguntungkan baik kepada perusahaan maupun pelanggan.
3. Pelanggan adalah bos, baik kemarin, hari ini maupun besok.
Pelanggan menginginkan bahwa suatu bisnis harus dapat dilakukan setiap waktu,
terjadi berulang kali sehingga terjadi peningkatan usaha. Kerja ini dapat diartikan
dalam bentuk uang, waktu, pelayanan, penghargaan dan banyak bentuk lainnya.
Pelanggan lebih penting dari pada apapun dan pelanggan harus dipelihara dengan
cara dihargai, dimuliakan dan dihormati.
Nilai didefisikan sebagai pengkajian secara menyeluruh manfaat dari suatu
produk, yang didasarkan pada persepsi pelanggan atas apa yang telah diterima oleh
pelanggan dan yang telah diberikan oleh produk tersebut. Seth Newman Gross (Jagdish N
Sheth, Bruce I Newman, Barbara L Gross: “…why we buy: A Theory of Consumption
Values” Journal of Business Research, Elsevier Publisher, 1991, p.160) mengembangkan
suatu model, yang menunjukkan bahwa konsumen memilih (membeli atau tidak) suatu
produk berdasarkan lima komponen nilai, yaitu:
1. Nilai fungsi: manfaat sutu produk dikaitkan dengan kemampuan produk tersebut
untuk memenuhi fungsinya dari sudut pandang pertimbangan ekonomi.
2. Nilai sosial: manfaat suatu produk dikaitkan dengan kemampuan produk tersebut
untuk mengidentikkan penggunanya dengan satu kelompok sosial tertentu.
3. Nilai emosi: manfaat suatu produk dikaitkan dengan kemampuan produk tersebut
untuk membangkitkan perasaan atau emosi penggunanya.
4. Nilai epistem: manfaat suatu produk dikaitkan dengan kemampuan produk
tersebut untuk memenuhi keingintahuan pemakainya.
5. Nilai kondisi: manfaat suatu produk dikaitkan dengan kemampuan produk
tersebut untuk memenuhi keperluan penggunanya pada saat dan kondisi tertentu.
Terdapat dua macam kepuasan konsumen, yaitu:
1. Kepuasan Fungsional; yaitu kepuasan yang diperoleh dari fungsi suatu produk
yang dimanfaatkan.
2. Kepuasan Psikologikal; yaitu kepuasan yang diperoleh dari atribut fisik yang
bersifat tidak berwujud.
Tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kesan kinerja yang
dirasakan dengan harapan. Pelanggan dapat mengalami salah satu dari tiga tingkat
kepuasan yang umum, yaitu:
1. Kalau kinerja dibawah harapan, pelanggan akan kecewa
2. Kalau kinerja sesuai dengan harapan, pelanggan puas
3. Kalau kinerja melebihi harapan, pelanggan sangat puas, senang dan gembira.
Kepuasan pelanggan tidak berarti memberikan kepada pelanggan apa yang
diperkirakan disukai oleh pelanggan. Hal ini berarti perusahaan harus memberikan
kapada mereka apa yang sebenarnya pelanggan inginkan, kapan mereka butuhkan dan
cara mereka perolehnya. Dalam hal ini, dapat dibedakan tiga tingkat kepuasan
pelanggan, yaitu :
1. Menemukan kebutuhan pokok pelanggan.
2. Mencari tahu apa sebenarnya yang menjadi harapan dari pelanggan sehingga mereka
mau kembali lagi dan menjadi setia kepada perusahaan.
3. Selalu mempertahankan apa yang menjadi harapan pelanggan, melakukan hal yang
melebihi seperti apa yang di harapkan pelanggan.
Untuk menciptakan kepuasan pelanggan, perusahaan harus menciptakan dan
mengelola suatu sistem untuk memperoleh pelanggan yang lebih banyak dan kemampuan
untuk mempertahankan pelanggannya. Perusahaan dengan filosofi berwawasan
pelanggan menyadari bahwa kepuasan pelanggan adalah sasaran sekaligus kiat pemasar.
Perusahaan yang mencapai tingkat kepuasan pelanggan tertinggi, memastikan bahwa
pasar sasaran mereka juga menyadari tentang hal ini. Walaupun perusahaan berwawasan
pelanggan ingin mencapai kepuasan pelanggan yang tinggi, namun ada beberapa
perusahaan yang belum tentu ingin memaksimalkan kepuasan pelanggannya. Hal ini
dikarenakan: Pertama, perusahaan dapat meningkatkan kepuasan dengan menurunkan
harga atau meningkatkan pelayanan, namun akibatnya laba perusahaan dapat turun.
Kedua, perusahaan mungkin dapat meningkatkan keuntungan bagi pelanggan dengan
cara lain, misalnya dengan memperbaiki produknya. Ketiga, mengeluarkan lebih banyak
untuk kepuasan pelanggan. Dan yang keempat adalah dengan dasar filosofi perusahaan
yaitu perusahaan berusaha memberikan tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi dan tetap
memberikan tingkat kepuasan yang setidak-tidaknya dapat diterima oleh pihak yang
berkepentingan dalam batasan sumber daya perusahaan.
Harapan pelanggan merupakan keyakinan pelanggan sebelum membeli produk,
yang menjadi acuannya dalam melihat kinerja produk tersebut (Zeithaml et.al 1993).
Harapan pelanggan mempunyai peranan yang besar dalam menentukan kualitas produk
(barang dan jasa) dan kepuasan pelanggan. Pada dasarnya ada hubungan yang erat antara
penentuan kualitas dan kepuasan pelanggan. Dalam mengevaluasinya, pelanggan akan
menggunakan harapannya sebagai standar atau acuan. Harapan pelanggan dapat dibentuk
oleh pengalaman masa lampau, komentar dari kerabatnya serta janji dan informasi
pemasar dan saingannya. Pelanggan yang puas akan setia lebih lama, kurang sensitif
terhadap harga dan memberi komentar yang baik tentang perusahaan.
Umumnya faktor-faktor yang menentukan harapan pelanggan meliputi kebutuhan
pribadi, pengalaman masa lampau, rekomendasi dari mulut ke mulut, dan iklan. Zeithaml,
et al. (1993) melakukan penelitian khusus dalam sektor jasa dan mengemukakan bahwa
harapan pelanggan terhadap kualitas suatu jasa terbentuk oleh beberapa faktor berikut:
1. Enduring Service Intensifiers
Faktor ini merupakan faktor yang bersifat stabil dan mendorong pelanggan untuk
meningkatkan sensitivitasnya terhadap jasa. Faktor ini meliputi harapan yang
disebabkan oleh orang lain dan filosofi pribadi seseorang tentang jasa. Seorang
pelanggan akan berharap bahwa ia patut dilayani dengan baik pula apabila
pelanggan lainnya dilayani dengan baik oleh pemberi jasa.
2. Personal Needs
Kebutuhan yang dirasakan seseorang mendasar bagi kesejahteraannya juga sangat
menentukan harapannya. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan fisik, sosial, dan
psikologis.
3. Transitory Service Intensifiers
Faktor ini merupakan faktor individual yang bersifat sementara (jangka pendek)
yang meningkatkan sensitivitas pelanggan terhadap jasa. Faktor ini meliputi:
•
Situasi darurat pada saat pelanggan sangat membutuhkan jasa dan ingin
perusahaan bisa membantunya (misalnya jasa asuransi mobil pada saat
terjadi kecelakaan lalu lintas).
•
Jasa terakhir yang dikonsumsi pelanggan dapat pula menjadi acuannya
untuk menentukan baik-buruknya jasa berikutnya.
4. Perceived Service Alternatives
Perceived Service Alternatives merupakan persepsi pelanggan terhadap tingkat
atau derajat pelayanan perusahaan lain yang sejenis. Jika konsumen memiliki
beberapa alternatif, maka harapannya terhadap suatu jasa cenderung akan semakin
besar.
5. Self-Perceived Service Roles
Faktor ini adalah persepsi pelanggan tentang tingkat atau derajat keterlibatannya
dalam mempengaruhi jasa yang diterimanya. Jika konsumen terlibat dalam proses
pemberian jasa dan jasa yang terjadi ternyata tidak begitu baik, maka pelanggan
tidak bisa menimpakan kesalahan sepenuhnya pada si pemberi jasa.
6. Situational Factors
Faktor situasional terdiri atas segala kemungkinan yang bisa mempengaruhi
kinerja jasa, yang berada di luar kendali penyedia jasa.
7. Explicit Service Promises
Faktor ini merupakan pernyataan (secara personal atau non personal) oleh
organisasi tentang jasanya kepada pelanggan. Janji ini bisa berupa iklan, personal
selling, perjanjian, atau komunikasi dengan karyawan organisasi tersebut.
8. Implicit Service Promises
Faktor ini menyangkut petunjuk yang berkaitan dengan jasa, yang memberikan
kesimpulan bagi pelanggan tentang jasa yang bagaimana yang seharusnya dan
yang akan diberikan. Petunjuk yang memberikan gambaran jasa ini meliputi biaya
untuk memperolehnya (harga) dan alat-alat pendukung jasanya. Pelanggan
biasanya menghubungkan harga dan peralatan (tangible assets) pendukung jasa
dengan kualitas jasa.
9. Word of Mouth (Rekomendasi/Saran dari Orang lain)
Word-of- mouth merupakan pernyataan (secara personal atau non personal) yang
disampaikan oleh orang lain selain organisasi (service provider) kepada
pelanggan. Word-of-mouth ini biasanya cepat diterima oleh pelanggan karena
yang menyampaikannya adalah mereka yang dapat dipercayainya, seperti para
ahli, teman, keluarga, dan publikasi media massa.
10. Past Experience
Pengalaman masa lampau meliputi hal-hal yang telah dipelajari atau diketahui
pelanggan dari yang pernah diterimanya di masa lalu.
Persepsi adalah proses yang digunakan oleh seorang individu untuk memilih,
mengorganisasi, dan menginterpretasi masukan-masukan informasi guna menciptakan
gambaran dunia yang memiliki arti. Persepsi tidak hanya tergantung pada rangsangan
fisik tetapi juga pada rangsangan yang berhubungan dengan lingkungan sekitar dan
keadaan individu yang bersangkutan. Kualitas harus dimulai dari kebutuhan pelanggan
dan berakhir pada persepsi pelanggan. Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik
bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa, melainkan
berdasarkan sudut pandang atau persepsi pelanggan. Pelangganlah yang mengkonsumsi
dan menikmati jasa perusahaan, sehingga merekalah yang seharusnya menentukan
kualitas jasa. Persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa merupakan penilaian menyeluruh
atas keunggulan suatu jasa. Namun perlu diperhatikan bahwa kinerja jasa sering kali
tidak konsisten, sehingga pelanggan menggunakan isyarat intrinsik dan ekstrinsik jasa
sebagai acuan.
Isyarat intrinsik berkaitan dengan output dan penyimpanan jasa itu sendiri.
Pelanggan akan bergantung pada isyarat ini apabila berada di tempat pembelian atau jika
isyarat intrinsik tersebut merupakan search quality dan memiliki nilai prediktif yang
tinggi. Sedangkan yang dimaksud dengan isyarat ekstrinsik adalah unsur-unsur yang
merupakan pelengkap bagi suatu jasa. Isyarat ini dipergunakan dalam mengevaluasi jasa
jika dalam menilai isyarat intrinsik diperlukan banyak waktu dan usaha, dan apabila
isyarat ekstrinsik tersebut merupakan experience quality dan credence quality. Isyarat
ekstrinsik juga dipergunakan sebagai indikator kualitas jasa apabila tidak ada informasi
isyarat intrinsik yang memadai.
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan ekspektasi pelanggan adalah:
1. “Kebutuhan dan keinginan” yang berkaitan dengan hal-hal yang dirasakan
pelanggan
ketika
ia
sedang
mencoba
melakukan
transaksi
dengan
produsen/pemasok (perusahaan). Jika pada saat itu kebutuhan dan keinginannya
besar, harapan atau ekspektasi pelanggan tinggi, demikian pula sebaliknya.
2. Pengalaman masa lalu (terdahulu) ketika mengkonsumsi produk dari perusahaan
maupun pesaing-pesaingnya.
3. Pengalaman dari teman-teman, dimana mereka akan menceritakan kualitas
produk yang akan dibeli oleh pelanggan itu. Hal ini jelas akan mempengaruhi
persepsi pelanggan teruatama pada produk-produk yang dirasakan berisiko tinggi.
4. Komunikasi melalui iklan dan pemasaran juga mempengaruhi persepsi pelanggan.
Orang-orang di bagian penjualan dan periklanan seyogyanya tidak membuat
kampanye yang berlebihan melewati tingkat ekspektasi pelanggan akan
mengakibatkan dampak negatif terhadap persepsi pelanggan tentang produk itu.
2.4 Penanganan Keluhan
Reducing complaints has traditionally been adequated with improved service. In
actually, the surest road to a customer-focused culture is through increased complaints.
According to T.AR.P Studies, “…only 4 percent of dissatisfied customers ever give us
feedback about their issue. The other 96 percent vote with their feet and 91 percent
willnever come back. “To compound matters, dissatisfied customers will typically tell
eight to ten people about their problem. Why won’t they complain to us and let us know
they are dissatisfied? These are two reasons why customers don”t complains. First, it is
hard to complain. And second, employees rarely encourage feedback. The value of
increasing complaints, then, is that is offers many other possible ways to do things. Such
complaints are really oppotunities―opportunities to serve customers in different ways,
including increased sales opportunities. So, there are at least two benefits of increasing
complaints:
1. Each complaint is away to serve a customer differently and, such as, a potential
new sales opportunity. The feeback we hear from customers may lead to the
expansion of services or even the creation of new services.
2. Emphasizing complaints as feedback tells employees that this is customer-focused
culture. It says, “We view our customers as partners; we want to build
relationships with them.” On the other hand, if we tell employees to give good
customer service and reduce complaints, we’re telling them something quite
different. We’re suggesting that customer feedback can be detrimental to their
job.
There is five-part process that can help employees encourage complaints:
1. We can help employees view complaints as opportunities.
2. The organization’s culture may have to be tweaked just a little to reinforce the
perception that complaints are opportunities.
3. Customers will start talking when they perceive willingness to listen―when they
are encouraged to respond.
4. We can encourage employees to write down customers issues; this is valuable
stuff.
5. If nothing else ever happens as a result of thisprocess,your customers will at least
be experiencing a customer-focused culture.
Ada beberapa metode yang dapat di pergunakan setiap perusahaan untuk
mengukur dan memantau kepuasan pelanggannya. Formula untuk memaksimalkan
customer satisfaction/brand loyalty dengan metode TARP. The TARP estimate is that
80% of satisfaction is dependent upon design, manufacture, and delivery of the product,
with only 20% due to the fixing of problems after they occur. Relying on customer
recovery through excellent complaint handling―doing it super right the second
time―therefore remains a very high risk activity. So, effective complaint management
has two major benefits: the analysis of complaints and problems will increase the chance
of ‘doing it right at the first time’ and ‘if the individual problem is resolved to the
consumers’s satisfaction, then loyalty will be increased.
Doing the job right
the first time
Effective customer
contact
management
+
Maximum
customer
satisfaction/loyalty
=
Respond to
individual
customer
Improved product/
service quality
They Will:
Sources of
dissatisfaction
Root cause
analysis
!
Repurchase your products/
buy into services programmes
!
Recommend your products to
others
!
Buy your other products
Feedback
On prevention
Gambar 2.2 TARP Model
Sumber: Adamson colin(1993)
Dengan mengukur kepuasan pelanggan, organisasi atau perusahaan dapat
mengukur mutu dan aktivitas pelayanan untuk menemukan tingkat kepuasan pelanggan
dan membantu perusahaaan dalam mengembangkan program untuk meningkatkan ikatan
pelanggan (Gerson, 2001, p. 4). Alat-alat untuk mengukur kepuasan pelanggan adalah:
1. Sistem keluhan dan saran
Sebuah perusahaan yang berfokus pada pelanggan mempermudah pelanggannya
untuk memberikan saran dan keluhan. Banyak restoran dan hotel menyediakan
formulir bagi tamu untuk melaporkan hal-hal yang mereka sukai dan tidak sukai.
Rumah sakit dapat menempatkan kotak saran di koridor, menyediakan kartu
komentar untuk pasien yang akan keluar, dan mempekerjakan staf khusus untuk
menangani keluhan pasien. Beberapa perusahaan yang berfokus pada pelanggan
Procter & Gamble, General Electric, Whirpool―membuat hot-lines pelanggan
dengan nomor telepon gratis untuk memaksimalkan kemudahan yang diharapkan
pelanggan, dalam menyampaikan saran atau keluhan. Arus informasi ini
menyediakan banyak gagasan yang baik bagi perusahaan-perusahaan ini dan
memungkinkan mereka bertindak lebih cepat untuk menyelesaikan masalah.
2. Survei Kepuasan pelanggan
Penelitian menunjukkan bahwa bila pelanggan tidak puas dengan satu dari setiap
empat pembelian, kurang dari lima persen pelanggan yang tidak puas akan
mengeluh. Kebanyakan pelanggan akan membeli lebih sedikit atau berganti
pemasok daripada mengajukan keluhan. Karenanya, perusahaan-perusahaan tidak
dapat menggunakan banyaknya keluhan sebagai ukuran kepuasan pelanggan.
Perusahaan-perusahaan yang responsif memperoleh ukuran kepuasan pelanggan
secara langsung dengan melakukan survei berkala. Mereka mengirim daftar
pertanyaan atau menelepon pelanggan-pelanggan terakhir mereka sebagai sampel
acak dan menanyakan apakah mereka amat puas, puas, biasa saja, kurang puas,
atau amat tidak puas dengan berbagai aspek kinerja perusahaan. Mereka juga
meminta pendapat pembeli tentang kinerja para pesaing mereka. Selain
mengumpulkan informasi tentang kepuasan pelanggan, juga berguna untuk
mengajukan pertanyaan tambahan untuk mengukur keinginan pelanggan untuk
membeli kembali; hal ini biasanya tinggi jika kepuasan pelanggan tinggi. Juga
bermanfaat untuk mengukur kemungkinan atau kesediaan pelanggan untuk
merekomendasikan perusahaan dan merk kepada orang lain. Nilai positif tinggi
dari informasi pelanggan menunjukkan bahwa perusahaan menghasilkan
kepuasan pelanggan yang tinggi. What do your customers really want? How can
you discover the wants and the needs of your customers? Just ask them. The
customer satisfation is an extremely useful piece of market research that can
support
a
wide
variety
of
business
decisions
(http://www.clickz.com/metrics/cust.metrics/article.php/836211).
3. Belanja siluman
Perusahaan-perusahaan dapat membayar orang-orang untuk bertindak sebagai
pembeli potensial untuk melaporkan temuan-temuan mereka tentang kekuatan dan
kelemahan yang mereka alami dalam membeli produk perusahaan dan produk
pesaing. Para pembelanja siluman ini bahkan dapat menyampaikan masalah
tertentu untuk menguji apakah para staf penjualan perusahaan manangani situasi
tersebut dengan baik. Jadi, seorang pembelanja siluman dapat mengeluh tentang
makanan restoran untuk menguji bagaimana restoran itu menangani keluhan ini.
Bukan saja perusahaan harus membayar pembelanja siluman, tetapi para manajer
sendiri terkadang harus meninggalkan kantor mereka, melihat situasi penjualan
perusahaan perusahaan dan pesaing dimana mereka tak dikenal, dan mengalami
sendiri secara langsung perlakuan yang mereka terima sebagai “pelanggan”.
Variasi dari hal ini adalah para manajer menelepon perusahaan mereka sendiri
dengan berbagai pertanyaan dan keluhan untuk melihat bagaimana telepon itu
ditangani.
4. Analisis kehilangan pelanggan
Perusahaan-perusahan harus menghubungi para pelanggan yang berhenti membeli
atau berganti pemasok untuk mempelajari sebabnya. Ketika IBM kehilangan
pelanggan, perusahaan itu melakukan usaha yang mendalam untuk mempelajari
kegagalan mereka. Bukan saja penting untuk melakukan wawancara keluar ketika
pelanggan pertama kali berhenti membeli, tetapi juga harus memperhatikan
tingkat kehilangan pelanggan, dimana jika meningkat, menunjukkan bahwa
perusahaan gagal memuaskan pelanggannya.
Terdapat hubungan erat antara kualitas produk dan pelayanan, kepuasan
pelanggan, serta profitabilitas perusahaan. Semakin tinggi tingkat kualitas menyebabkan
semakin tingginya kepuasan pelanggan dan juga mendukung harga yang lebih tinggi
(Kotler, 1997, p. 48).
Menurut Umar (2000, p. 52), memperbaiki dan mempertahankan hubungan
pelanggan antara perusahaan dengan konsumennya perlu terus dibina. Untuk
mengendalikan tingkat kehilangan konsumen agar tetap pada posisi yang mana,
perusahaan perlu mengambil empat langkah, yaitu:
1. Menentukan tingkat bertahannya konsumen.
2. Membedakan berbagai penyebab hilangnya konsumen dan menentukan penyebab
utama yang bisa dikelola dengan baik.
3. Memperkirakan kehilangan keuntungan dari konsumen yang hilang.
4. Menghitung berapa biaya untuk mengurangi tingkat kehilangan konsumen.
Harapan pelanggan dibentuk dan didasarkan oleh beberapa faktor, diantaranya
pengalaman berbelanja di masa lampau, opini teman dan kerabat, serta informasi dan
janji-janji perusahaan dan para pesaing (Kotler dan
Armstrong, 1994). Faktor-faktor tersebutlah yang menyebabkan harapan
seseorang biasa-biasa saja atau sangat kompleks.
Ada beberapa penyebab utama tidak terpenuhinya harapan pelanggan seperti
pada gambar 2.3. Diantara beberapa faktor penyebab tersebut ada yang bisa
dikendalikan oleh penyedia jasa. Dengan demikian penyedia jasa bertanggung jawab
untuk meminimumkan miskomunikasi dan misinterpretasi yang mungkin terjadi dan
menghindarinya dengan cara merancang jasa yang mudah dipahami dengan jelas.
Dalam hal ini penyedia jasa harus mengambil inisiatif agar ia dapat memahami
dengan jelas instruksi dari klien dan klien mengerti benar apa yang akan diberikan.
Pelanggan Keliru
Mengkomunikasikan
Jasa yang Diinginkan
Pelanggan Keliru
Menafsirkan
Signal (harga,
Positioning, dll)
Harapan
Tidak Terpenuhi
Miskomunikasi
Penyediaan Jasa
Oleh Pesaing
Miskomunikasi
Rekomendasi
Mulut Ke Mulut
Gambar 2.3
Kinerja Karyawan
Perusahan Jasa
Yang Buruk
Penyebab Utama Tidak Terpenuhinya Harapan PelangganSumber:
Tjiptono (2002)
Ada beberapa tipe aksi dari pelanggan yang merupakan kelanjutan dari suatu
pelayanan yang tidak memuaskan. Seorang pelanggan yang tidak puas bisa memilih
untuk menyampaikan keluhan pada penyedia jasa tepat pada saat berlangsungnya
transaksi, sehingga memudahkan
penyedia/penjual dapat memberikan tanggapan
langsung terhadap masalah. Dalam hal ketidakpuasan, ada beberapa kemungkinan
tindakan yang bisa dilakukan pelanggan, yaitu:
1. Tidak melakukan apa-apa
Pelanggan yang tidak puas tidak melakukan komplain, tetapi mereka praktis tidak
akan membeli atau mengunakan jasa perusahaan yang bersangkutan lagi.
2. Melakukan komplain
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi apakah seorang pelanggan yang tidak puas
akan melakukan komplain atau tidak, yaitu derajat kepentingan konsumsi yang
dilakukan, tingkat ketidakpuasan pelanggan, manfaat yang diperoleh, pengetahuan
dan pengalaman, sikap pelanggan terhadap keluhan, tingkat kesulitan dalam
mendapatkan ganti rugi, dan peluang keberhasilan dalam melakukan komplain.
Komplain yang disampaikan berkenaan dengan adanya ketidakpuasan dapat
dikelompokkan menjadi: Voice Response (Menyampaikan keluhan secara langsung
dan atau meminta ganti rugi kepada perusahaan yang bersangkutan), Private
Response (Memperingatkan atau memberitahukan kolega teman atau keluarga
mengenai pengalamannya dengan jasa tersebut, dan berdampak sangat besar bagi
citra perusahaan), Third
Party Response (Meminta ganti rugi secara hukum,
mengadu lewat media massa, mendatangi lembaga konsumen, instansi hukum).
Customers who have a problem but are unsatisfied with the resolution (recovery)
are unlikely to repurchase (30 percent). Customers who are very satisfied with the
handling of a complaint have a much higher intention to repurchase (79 percent) and
recommend purchase to others (88 percent). Some companies seize upon a complaint as
a special opportunity to generate additional sales revenue by providing dramatic and
memorable, recovery action. Finally, note that some satisfied customers, with no
problem, will not repurchase (Quality planning and analysis, p.109).
Customer satisfaction
What customer say―opinion about a product
Customer loyaty
What customer do―buying decisions
Customer expect to buy from several supplier Customers expect to buy primarily from one or
in the future
two suppliers in the future
Company aims to satisfy a broad spectrum of Company identifies
customers
delight” them
key costomers and”
Company measures satisfaction primarily with Company measures satisfaction with all aspect
the product for a spectrum of customers
of interaction with key customers and also
their intention to repurchase
Company measures satisfaction primarily for Company also analyzes and learns the reason
current customers
for lost customers (defection)
Company emphasizes staying competitive on Company continuously adds value by creating
quality for a spectrum of customers
new products based on evolving needs of key
customers
Tabel 2.3 Customer Satisfaction versus Customer Loyalty
A satisfaction customer will buy from our company but also from our competitors:
A loyal customer will buy primarily (or exclusively) from our company. Adissatisfied
customer is unlikely to be loyal, but surprisingly a satisfied customer is not necessarily
loyal (Frank M, p.106).
Menganalisis pelanggan yang tidak puas, merancang sistem penanganan yang
efisien, dan syarat syarat jaminan (garansi) yang baik merupakan strategi yang cukup
efektif untuk membangun kepuasan pelanggan.
The top competencies were considered the most important by the organization
and their customers. These are:
1. Build customer loyalty and confidence. Meet customer needs and do what is
sensible to maintain customer goodwill.
2. Empathize with customers. Be sensitive to customer feelings and show genuine
concern and respect.
3. Communicate effective. Be Articulate and Diplomatic.
4. Handle stress. Stay organized and calm and show patience.
5. Listen Actively. Interpret the meaning of the customer’s words.
6. Demonstrate mental alertnes. Process information quickly.
Faktor faktor orang melakukan komplain tergantung dengan: iklim ekonomi;
umur, kemakmuran, keahlian teknologi; tempramen pembeli, serta harga per unit. The
process of fixing a customer problem is called “recovery”. Recovery harus memiliki
elemen: permintaan maaf, menganti produknya dengan yang lain, mengarahkan
pengertian dan empati kepada konsumen, menyiapkan pengantian dan kompensasi
terhadap kerugian yang diderita oleh konsumen, menindaklanjuti permasalahan yang
telah diselesaikan menjadi kepuasan konsumen. Loyal customer not only provides
continuing sales revenue but also contribute other benefits: Adding new sales by
refferring other potential customers, Paying a price premium, Buying other products
from the company, Cooperating in the development of new products, and Reducing
company internal costs such as selling cost. (Gryna,Frank M.2001,p615)
Penyusunan
strategi
untuk
meningkatkan
kepuasan
pelanggan
harus
mempertimbangkan dua strategi pemasaran, yaitu defensive marketing dan offensive
marketing. Mempertahankan pelanggan yang sudah ada lebih sulit dibandingkan mencari
pelanggan baru, karena mempertahankan pelanggan yang sudah ada akan meningkatkan
retensi pelanggan. Caranya adalah dengan defensive marketing, misalnya dengan
melakukan efisiensi biaya, meningkatkan volume pembelian kembali, menerapkan
strategi harga premium serta melakukan strategi promosi yang tepat. Sebaliknya, upaya
mencari pelanggan baru merupakan offensive marketing yaitu dengan cara meningkatkan
pangsa pasar, meningkatkan reputasi atau citra produk melalui strategi merek serta
penerapan strategi price premium. Strategi defensive marketing akan menghasilkan
margin keuntungan yang tinggi, sementara strategi offensive marketing akan
menghasilkan margin keuntungan relatif kecil tetapi perusahaan akan menikmati
peningkatan penjualan yang cukup besar. Gabungan dari dua strategi pemasaran ini akan
menghasilkan profit yang cukup besar.
Ada beberapa strategi yang dapat dipadukan untuk meraih dan meningkatkan
kepuasan pelanggan (Tjiptono, 2002, p.161), yaitu:
•
Relationship Marketing; hubungan transaksi antara penyedia jasa dan pelanggan
berkelanjutan, tidak berakhir setelah penjualan selesai. Menjalin suatu kemitraan
jangka panjang dengan pelanggan secara terus-menerus sehingga diharapkan
dapat terjadi bisnis ulangan (repeat business).
•
Strategi Superior Customer Service; berusaha menerapkan pelayanan yang lebih
unggul daripada pesaingnya.
•
Strategi Unconditional Guarantees/Extraordinary Guarantees; berbentuk garansi
internal (diberikan kepada pelanggan internal) dan eksternal (diberikan kepada
pelanggan eksternal).
•
Strategi Penanganan keluhan yang efektif; ada empat aspek penting dalam
penanganan keluhan, yaitu: empati terhadap pelanggan yang marah, kecepatan
dalam penanganan keluhan, kewajaran atau keadilan dalam memecahkan
permasalahan/keluhan, serta kemudahan bagi pelanggan untuk menghubungi
perusahaan.
•
Strategi peningkatan kinerja perusahaan; berkesinambungan dan patok duga
(benchmarking), menerapkan BPR (Business Process Reengineering) bila
membutuhkan perubahan dan pembenahan yang bersifat fundamental, memantau
dan mengukur kepuasan pelanggan secara berkesinambungan, memberikan
pendidikan dan pelatihan yang menyangkut komunikasi, salesmanship, dan public
relations kepada setiap jajaran manajemen dan karyawan, melakukan sistem
penilaian kinerja, penghargaan dan promosi karyawan yang didasarkan atas
kontribusi
mereka,
membentuk
tim-tim
kerja
lintas
fungsional,
serta
memberdayakan karyawan.
•
Quality Function Deployment; yaitu praktik untuk merancang suatu proses
sebagai tanggapan terhadap kebutuhan pelanggan.
Tujuan dari strategi kepuasaan pelanggan adalah untuk membuat agar pelanggan
tidak mudah pindah ke pesaing (Gaspersz, Vincent, 1997, pp. 133-141).
2.5 Loyalitas Pelanggan
Definisi loyalitas pelanggan:
Customer loyaty can be viewed as the way customers feel or as the way they act
.(Zeithmal Valarie A.2003, pp516).
Customer are loyal as long as they continue to use a good or service .(Zeithmal
Valarie A.2003, pp516). Definisi yang sederhana mengandung arti bahwa
konsumen di sebut loyal jika mereka mengunakan terus menerus barang atau jasa
yang di beli.
The other way to define loyalty is in terms of the costomer’s sense of belonging or
commitment to the product . .(Reihheld Frederick F..2001)
The six principles of loyalty
The six Principles of loyalty encompass standard of excellence , simplicity,
honesty,fairness,respect, and responsibility .(Reihheld Frederick F..2001, pp17).
Download