wawancara ukum Islam mempunyai karakteristik yang istimewa. Selain mengandung nilai transendental (ubudiyah), hukum Islam juga mengandung sisi humanis yang mengatur hubungan antarsesama, seperti pernikahan, jual beli, dan lainnya. Alquran dan hadis telah menjelaskan banyak persoalan yang dihadapi umat Islam. Ada beberapa hal yang tidak dibahas keduanya secara spesifik. Di sinilah ulama menggunakan qiyas (analogi). Diperlukan seorang alim ulama yang mumpuni dalam bidang Alquran, hadis, tafsir, fikih, bahasa Arab, dan lainnya untuk membahasnya. Bila tidak ada yang mumpuni, dibutuhkan sebuah lembaga yang berisi orang-orang yang ahli dalam bidang masing-masing, seperti ahli bahasa Arab, ahli tafsir, ahli hadis, ahli kedokteran, ahli hukum, dan lainnya. Itulah kumpulan ahli yang tergabung dalam majelis ulama. Lembaga inilah yang berwenang mengeluarkan fatwa. “Namun, fatwa itu sifatnya tidak mengikat. Ulama hanya memberikan penjelasan hukumnya, terserah masyarakat. Mengikuti atau tidak,” kata Prof Dr Atho’ Mudzhar, kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan (Kabalitbang) dan Diklat Kementerian Agama (Puslitbang Kemenag). Menurutnya, seseorang tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk mengikuti. Namun, mereka harus siap pula menanggung sanksi bila tidak mengikuti aturan yang sudah ditetapkan. Terkait dengan urusan agama, mereka harus mempertanggungjawabkannya kepada Allah. “Agama adalah hak tinggi yang paling dihormati dan diyakini,” jelasnya. Bagaimana kedudukan hukum Islam dengan hukum nasional? Apakah hukum Islam itu sesuai dengan HAM? Bolehkan umat Islam tidak mengikuti fatwa yang dikeluarkan majelis ulama? Berikut petikan wawancara Republika dengan alumni University Of California Los Angeles (UCLA). H Apa distingsi antara hukum Islam dan hukum lainnya? Hukum Islam berbeda dengan sistem hukum pada umumnya. Karena, hukum Islam juga mengatur hukum-hukum ibadah, seperti tata cara shalat. Dalam hal ini, pemerintah tidak perlu ikut campur. Namun, ada juga ibadah yang mempunyai dua dimensi, seperti zakat. Penjelasan tentang nisab dan persentase yang harus dibayar sudah ada ketentuannya. Tapi, siapa yang berhak mendapatkan dari orang miskin secara persis, perlu peran dan penafsiran ulama. Di sinilah, seorang ahli hukum Islam dituntut kejeliannya dalam melihat aspek hukum dari sisi nilai transendental dan penerapannya dalam masyarakat. Hukum Islam juga mengatur interaksi sesama, bagaimana bentuknya? Hukum Islam ada yang murni terkait dengan interaksi sesama (hablun minan nas), seperti hukum muamalah. Hukum Islam secara umum dibagi empat, yakni seperempat (sebagian) tentang ibadah (rubu’ al ibadah), seperempat pernikahan (rubu’ al munakahat), seperempat muamalah (rubu’ al mua’malat), dan seperempat lagi tindak kriminalitas (rubu’ al jinayat). Hukum yang berkaitan dengan sesama manusia (muamalah) tidak boleh ada eksploitasi dan dieksploitasi. Jual beli, misalnya, harus didasari suka sama suka (‘an taradhin). Di dalamnya, dikenal istilah dengan khiyar aib, khiyar syarth, dan khiyar majlis. REPUBLIKA ● AHAD, 1 AGUSTUS 2010 PROF DR ATHO’ MUDZHAR Fatwa Itu tidak Mengikat Kaidah Ushuliyah mengatakan, dalam ibadah semua dilarang, kecuali yang disuruh (al-ashlu fi asya`i littahrim hatta an-yaquma ad-dalil alal ibahah). Kalau muamalat, semua boleh, kecuali yang dilarang (al-ashlu fil asya`il ibahah hatta an-yaquma ad-dalil alat tahrim). Artinya, kebebasan berinovasi dalam perbankan itu bebas, kecuali yang dilarang. Inovasi itu harus tetap mempertahankan prinsip tadi, yakni tidak ada eksploitasi dan dieksploitasi. Apakah penerapan hukum Islam dalam negara akan mendiskreditkan kaum minoritas? Tidak sama sekali. Kasus perbankan syariah, misalnya, justru memberi kesempatan bagi nonMuslim menjadi nasabah. Bahkan, ini menjadi bukti bahwa Islam itu rahmatan lil alamin. Untuk kasus pernikahan, kalau memang tertulis bahwa ada larangan nikah terhadap nonMuslim, itu tidak boleh diganggu gugat sebab hal itu ajaran agama. Agama adalah hak tertinggi yang harus dihormati dan diyakini. Demikian juga dengan sertifikasi halal. Justru menghargai keyakinan orang lain, bahkan menolong produsen agar produknya dibeli orang Muslim. Orang yang paham kehidupan bermasyarakat tanpa diwajibkan pun akan bertanya tentang kehalalan suatu produk. Produsen yang cerdas akan mencari produk yang diminati masyarakat. UU Perbankan Syariah dapat lolos di DPR, bukan soal melegalkan syariat Islam ke dalam undang-undang, tetapi soal pengaturan sistem keuangan alternatif. Hal sama yang pernah diajukan di Amerika sekalipun tidak ada kemajuan dan respons positif. Siapakah yang mempunyai otoritas memberikan fatwa? Yang membuat fatwa adalah seorang alim karena dialah yang mengetahui cara dan metode pengambilan hukum. Namun, sekarang ini sangat susah menemukan figur seseorang yang paling alim. Karena itu, dibutuhkan ijtihad kolektif (jama’i) yang melibatkan konstribusi aktif ulama lintas disiplin ilmu. Misalnya, kasus penyedap makanan. MUI perlu menggandeng ilmuwan dalam bidang itu. Semakin banyak ilmuwan yang dirangkul akan semakin lengkap pula pemahaman MUI terhadap suatu masalah. Persoalan apakah nanti salah berfatwa, itu urusan lain. Sebab, salah memberikan fatwa juga tetap diganjar pahala. Apakah fatwa itu bersifat mengikat? Fatwa adalah pemikiran hukum (legal opinion). Ia merupakan sebuah usaha manusia untuk memahami kehendak Allah SWT. Karena itu, boleh jadi berhasil dan gagal. Dari dulu, fatwa itu tidak mengikat. Kalau seandainya saya tidak setuju dengan fatwa MUI, boleh saja meminta fatwa kepada orang lain. Akan tetapi, orang awam lebih baik mengikuti salah satu fatwa. Namun, ada juga fatwa MUI yang kemudian bersifat mengikat karena mereka dimintai pendapat tentang sebuah persoalan. Misalnya, fatwa-fatwa ulama terdahulu tentang kasus menceraikan istri dengan talak tiga dan yang dihukumi satu talak saja. Di bidang muamalah, fatwa MUI tentang Dewan Syariah Nasional (DSN) di Indonesia juga mengikat setelah diadopsi ke dalam peraturan perundangan, seperti perbankan syariah, sekalipun masih bersifat alternatif. Artinya, umat Islam berhak memilih konvensional atau perbankan syariah. Bagaimana objektivitas fatwa yang dikeluarkan MUI? Bukan dari sekarang fatwa dipengaruhi lingkungan. Karena mempertimbangkan fakta dan perkembangan di masyarakat, itu sah-sah saja. Ada 22 fatwa MUI yang pernah saya kaji. Sebelas di antaranya netral, misalnya fatwa tentang larangan penampakan rasul dalam film The Message. Lalu, ada delapan fatwa yang menurut saya sama dengan pemikiran pemerintah dan telah dipengaruhi. Bisa jadi karena ada tekanan, tetapi bisa jadi juga memang jalan pikirannya sama antara MUI dan pemerintah. Misalnya, fatwa tentang hukum konsumsi kodok dan KB. Ketika itu, Sumatra Barat menghalalkan kodok karena ada pembudidayaannya di sana. Ternyata, setelah diadakan muzakarah nasional yang menghadirkan para pakar dari Institut Pertanian Bogor (IPB), terungkap bahwa sekitar 50 jenis katak mengandung racun. Yang tidak suka dengan fatwa MUI boleh saja meminta fatwa kepada orang lain. Namun, orang awam lebih baik mengikuti salah satu fatwa. Jika demikian, apa penyebabnya? Bisa jadi MUI terlambat mendapatkan informasi atau memang tidak paham. Yang tidak boleh atas sepengetahuannya MUI memilih suatu fatwa hanya untuk memenuhi kemauan pemerintah, apalagi jika berbuah imbalan. Risiko dosanya ditanggung sendiri dan saya tidak yakin MUI berbuat demikian. Kita bersangka baik terhadap MUI jika ada persamaan persepsi dengan pemerintah. Mungkin, frame pemikirannya sama. Misalnya, KB yang paling ekstrem. Dulu haram menjadi halal karena melihat fakta melonjaknya jumlah penduduk di dunia. Apa kaitan fatwa dengan realitas masyarakat? Pendapat hukum atau fatwa adalah respons terhadap pertanyaan masyarakat. Sebagai respons, pasti didikte oleh keadaan tertentu (the nature behind a respons). Karena fatwa bersifat responsif, fatwa bersifat dinamis. Namun, apakah isinya dinamis? Tergantung ulama yang memberikan fatwa. Metode yang dipergunakan berbeda-beda. Ada yang menggunakan metode ijtihad qauli, sebagaimana yang masyhur di kalangan NU dengan mengutip sebuah kitab meskipun ada kesan tidak inovatif. Ada juga metode ijtihad ilhaqi, yang membandingkan illat dalam sebuah kitab fikih terhadap realitas sosial. Selain itu, ada pula ijtihad manhaji dengan menggabungkan semua komponen ijtihad, mulai dari Alquran, hadis, ijmak, dan qiyas. DARMAWAN/REPUBLIKA B8 Apakah munculnya fatwa baru berarti mengubah fatwa yang lebih dahulu? Sebetulnya, bukan hanya fatwa. Produk fikih juga begitu. Hasil pemikiran yang sudah terwujud tidak bisa dibatalkan. Kecuali oleh yang bersangkutan sendiri dan disebut koreksi fatwa. Imam Syafii juga banyak mengubah pendapatnya selama berada di Irak dan kemudian pindah ke Mesir. Namun, tidak berarti fatwa lama terhapus. Kalau ada orang lain masih berpegangan pada fatwa lama, itu menjadi hak mereka. Bukan tidak mungkin fatwa yang baru akan direvisi ulang pada kemudian hari. Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, tidak ada konsensus sepeninggal Rasulullah. Konsensus ijmak adalah dasar hukum yang diakui dalam Islam. Mushaf Usmani pun ditetapkan atas dasar ijmak. Masalahnya, siapakah yang mempunyai otoritas dan dikategorikan dalam konsensus tersebut? Konsensus sekarang ini pun mungkin dilakukan dengan beragam media dan teknologi yang kian mutakhir. Tetap saja konsensus hasil ulama masa kini tidak bisa mengganggu gugat konsensus lama. Konsensus yang baru mengakomodasi perkembangan permasalahan yang dihadapi umat masa kini. Bagaimana bentuk dan formula konsensus di Indonesia? Dalam konteks Indonesia, konsensus harus menggabungkan semua unsur ulama secara kolektif. Jika konsensus hanya berasal dari ulama Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, atau bahkan hanya satu ormas, itu bukan dinamakan konsensus. Konsensus adalah kesamaan geografis dan kesamaan waktu, bukan terbatas pada aliran. Banyak konsensus internasional yang pernah diupayakan, misalnya konsensus kalender hijriyah dari seluruh negara yang tergabung dalam OKI. Terkait dengan revisi fatwa MUI tentang arah kiblat, komentar Anda? Sebetulnya, persoalan itu sudah dikupas dalam kitab-kitab tafsir. Kalau berada di lingkungan Masjidil Haram, kiblat adalah Ka’bah. Kalau di luar Makkah, arah kita adalah Makkah karena di sanalah kiblat berada. Jadi, sebetulnya, tidak perlu membongkar masjid agar sesuai arah kiblat sebab hal itu berlebihan. Kesalahan kecil hanya berapa derajat. Memang, ada kalangan yang sangat berhatihati (mutasyaddidin). Seharusnya, cukup garis dan safnya saja yang digeser. Kecuali, Amerika Latin, orang Jawa di sana masih berpegang teguh pada kiblat ke barat. Padahal, umumnya, orang di sana menghadap ke timur. Tapi, hendaknya saling menghormati tatanan masyarakat yang ada karena sikap ini sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Bagaimana hukum Islam memandang klaim sesat, seperti kasus Ahmadiyah? Prinsipnya, negara tidak mencampuri akidah warganya. Namun, negara berkewajiban mencampuri urusan pemeliharaan ketertiban masyarakat. Soal Ahmadiyah sesat atau tidak sesat, jangan tanya pemerintah, tapi MUI. Saya kira, MUI sudah menjawab bahwa Ahmadiyah itu sesat. Nah, yang jadi persoalan, Ahmadiyah mengaku Muslim dan bersyahadat. Tapi, ada hal lain, pengakuan Ahmadiyah tentang Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Pernyataan inilah yang cukup meresahkan dan menimbulkan konflik di tengah-tengah umat Muslim. Di sinilah peran pemerintah untuk memperingatkan Ahmadiyah agar tidak menyebarkan paham dan ajaran tersebut. Bagaimana menyinergikan kebijakan pemerintah dengan hukum Islam terkait Ahmadiyah? Surat Keputusan Bersama (SKB) yang telah dikeluarkan dalam kasus Ahmadiyah dasarnya adalah UU No 1 PNPS 65 Pasal 2. Sebab, UU ini sejalan dengan spirit UUD 1945. Dalam UU tersebut, ditegaskan bahwa seandainya terjadi penyimpangan, akan diberi peringatan. Jika masih tetap tidak diindahkan; menag, jaksa agung, dan mendagri mengajukan rekomendasi pembubaran kepada presiden. Pembubaran bisa saja dilakukan segera, tetapi di era bergaungnya HAM seperti sekarang ini kita harus hati-hati. Jika memang harus dibubarkan, bubarkanlah dengan cara yang elegan, yakni ketiga menteri mengajukan rekomendasi berdasarkan hukum tetap pengadilan atas pelanggaran SKB oleh Ahmadiyah. Inilah mengapa ada dua butir penting SKB. Pertama, mengingatkan Ahmadiyah agar tidak lagi menyebarkan paham mereka. Kedua, memperingatkan kaum Muslim yang lain agar tidak berlaku sewenang-wenang terhadap sesama. Sehingga, SKB tidak hanya ditujukan untuk Ahmadiyah, tetapi juga kepada umat Muslim yang lain. Pemerintah memang harus begitu, proporsional dan adil. Apakah hukum Islam dan HAM bertolak belakang? Seharusnya, (hukum Islam) tidak berbenturan karena hak asasi manusia (HAM) tidak bertolak belakang dengan hukum Islam. HAM intinya juga berlandaskan moral agama dan maqashid syariah (tujuan hukum Islam). Antikekerasan dan menghargai orang lain adalah prinsipprinsip agama. Namun, sering beda istilah antara ulama dan para aktivis HAM. Ini tantangan bagi kita, bagaimana aktivis HAM memahami ulama, begitu juga sebaliknya. Yang terjadi sekarang, kedua belah pihak salah persepsi dan tidak saling berkomunikasi. Inilah yang salah. ■ cr1 ed: syahruddin el-fikri