B8 wawancara

advertisement
wawancara
ukum Islam mempunyai
karakteristik yang istimewa.
Selain mengandung nilai
transendental (ubudiyah),
hukum Islam juga mengandung sisi humanis yang
mengatur hubungan
antarsesama, seperti pernikahan, jual beli,
dan lainnya.
Alquran dan hadis telah menjelaskan
banyak persoalan yang dihadapi umat
Islam. Ada beberapa hal yang tidak
dibahas keduanya secara spesifik. Di
sinilah ulama menggunakan qiyas
(analogi). Diperlukan seorang alim ulama
yang mumpuni dalam bidang Alquran,
hadis, tafsir, fikih, bahasa Arab, dan
lainnya untuk membahasnya.
Bila tidak ada yang mumpuni, dibutuhkan
sebuah lembaga yang berisi orang-orang
yang ahli dalam bidang masing-masing,
seperti ahli bahasa Arab, ahli tafsir, ahli
hadis, ahli kedokteran, ahli hukum, dan
lainnya. Itulah kumpulan ahli yang tergabung
dalam majelis ulama. Lembaga inilah yang
berwenang mengeluarkan fatwa.
“Namun, fatwa itu sifatnya tidak
mengikat. Ulama hanya memberikan penjelasan hukumnya, terserah masyarakat.
Mengikuti atau tidak,” kata Prof Dr Atho’
Mudzhar, kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan dan (Kabalitbang) dan Diklat
Kementerian Agama (Puslitbang Kemenag).
Menurutnya, seseorang tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk mengikuti.
Namun, mereka harus siap pula menanggung sanksi bila tidak mengikuti aturan
yang sudah ditetapkan. Terkait dengan
urusan agama, mereka harus mempertanggungjawabkannya kepada Allah. “Agama
adalah hak tinggi yang paling dihormati dan
diyakini,” jelasnya.
Bagaimana kedudukan hukum Islam
dengan hukum nasional? Apakah hukum
Islam itu sesuai dengan HAM? Bolehkan
umat Islam tidak mengikuti fatwa yang
dikeluarkan majelis ulama? Berikut petikan
wawancara Republika dengan alumni
University Of California Los Angeles (UCLA).
H
Apa distingsi antara hukum Islam dan hukum
lainnya?
Hukum Islam berbeda dengan sistem hukum
pada umumnya. Karena, hukum Islam juga
mengatur hukum-hukum ibadah, seperti tata
cara shalat. Dalam hal ini, pemerintah tidak
perlu ikut campur. Namun, ada juga ibadah
yang mempunyai dua dimensi, seperti zakat.
Penjelasan tentang nisab dan persentase yang
harus dibayar sudah ada ketentuannya. Tapi,
siapa yang berhak mendapatkan dari orang
miskin secara persis, perlu peran dan penafsiran ulama. Di sinilah, seorang ahli hukum Islam
dituntut kejeliannya dalam melihat aspek
hukum dari sisi nilai transendental dan
penerapannya dalam masyarakat.
Hukum Islam juga mengatur interaksi sesama,
bagaimana bentuknya?
Hukum Islam ada yang murni terkait dengan
interaksi sesama (hablun minan nas), seperti
hukum muamalah. Hukum Islam secara umum
dibagi empat, yakni seperempat (sebagian)
tentang ibadah (rubu’ al ibadah), seperempat
pernikahan (rubu’ al munakahat), seperempat muamalah (rubu’ al mua’malat), dan
seperempat lagi tindak kriminalitas
(rubu’ al jinayat).
Hukum yang berkaitan dengan
sesama manusia (muamalah) tidak
boleh ada eksploitasi dan dieksploitasi.
Jual beli, misalnya, harus didasari suka
sama suka (‘an taradhin). Di dalamnya,
dikenal istilah dengan khiyar aib,
khiyar syarth, dan khiyar majlis.
REPUBLIKA ● AHAD, 1 AGUSTUS 2010
PROF DR ATHO’ MUDZHAR
Fatwa Itu tidak Mengikat
Kaidah Ushuliyah mengatakan, dalam ibadah
semua dilarang, kecuali yang disuruh (al-ashlu
fi asya`i littahrim hatta an-yaquma ad-dalil alal
ibahah). Kalau muamalat, semua boleh, kecuali
yang dilarang (al-ashlu fil asya`il ibahah hatta
an-yaquma ad-dalil alat tahrim). Artinya, kebebasan berinovasi dalam perbankan itu bebas,
kecuali yang dilarang. Inovasi itu harus tetap
mempertahankan prinsip tadi, yakni tidak ada
eksploitasi dan dieksploitasi.
Apakah penerapan hukum Islam dalam negara
akan mendiskreditkan kaum minoritas?
Tidak sama sekali. Kasus perbankan syariah,
misalnya, justru memberi kesempatan bagi nonMuslim menjadi nasabah. Bahkan, ini menjadi
bukti bahwa Islam itu rahmatan lil alamin.
Untuk kasus pernikahan, kalau memang tertulis bahwa ada larangan nikah terhadap nonMuslim, itu tidak boleh diganggu gugat sebab
hal itu ajaran agama. Agama adalah hak
tertinggi yang harus dihormati dan diyakini.
Demikian juga dengan sertifikasi halal. Justru
menghargai keyakinan orang lain, bahkan
menolong produsen agar produknya dibeli
orang Muslim. Orang yang paham kehidupan
bermasyarakat tanpa diwajibkan pun akan
bertanya tentang kehalalan suatu produk.
Produsen yang cerdas akan mencari produk
yang diminati masyarakat.
UU Perbankan Syariah dapat lolos di DPR,
bukan soal melegalkan syariat Islam ke dalam
undang-undang, tetapi soal pengaturan sistem
keuangan alternatif. Hal sama yang pernah
diajukan di Amerika sekalipun tidak ada kemajuan dan respons positif.
Siapakah yang mempunyai otoritas memberikan
fatwa?
Yang membuat fatwa adalah seorang alim
karena dialah yang mengetahui cara dan
metode pengambilan hukum. Namun, sekarang
ini sangat susah menemukan figur seseorang
yang paling alim. Karena itu, dibutuhkan
ijtihad kolektif (jama’i) yang melibatkan konstribusi aktif ulama lintas disiplin ilmu.
Misalnya, kasus penyedap makanan. MUI
perlu menggandeng ilmuwan dalam bidang itu.
Semakin banyak ilmuwan yang dirangkul akan
semakin lengkap pula pemahaman MUI terhadap suatu masalah. Persoalan apakah nanti
salah berfatwa, itu urusan lain. Sebab, salah
memberikan fatwa juga tetap diganjar pahala.
Apakah fatwa itu bersifat mengikat?
Fatwa adalah pemikiran hukum (legal
opinion). Ia merupakan sebuah usaha manusia
untuk memahami kehendak Allah SWT. Karena
itu, boleh jadi berhasil dan gagal. Dari dulu,
fatwa itu tidak mengikat. Kalau seandainya
saya tidak setuju dengan fatwa MUI, boleh saja
meminta fatwa kepada orang lain. Akan tetapi,
orang awam lebih baik mengikuti salah satu
fatwa.
Namun, ada juga fatwa MUI yang kemudian
bersifat mengikat karena mereka dimintai pendapat tentang sebuah persoalan. Misalnya,
fatwa-fatwa ulama terdahulu tentang kasus
menceraikan istri dengan talak tiga dan yang
dihukumi satu talak saja.
Di bidang muamalah, fatwa MUI tentang
Dewan Syariah Nasional (DSN) di Indonesia
juga mengikat setelah diadopsi ke dalam
peraturan perundangan, seperti perbankan
syariah, sekalipun masih bersifat alternatif.
Artinya, umat Islam berhak memilih konvensional atau perbankan syariah.
Bagaimana objektivitas fatwa yang dikeluarkan
MUI?
Bukan dari sekarang fatwa dipengaruhi
lingkungan. Karena mempertimbangkan fakta
dan perkembangan di masyarakat, itu sah-sah
saja. Ada 22 fatwa MUI yang pernah saya kaji.
Sebelas di antaranya netral, misalnya fatwa
tentang larangan penampakan rasul dalam film
The Message. Lalu, ada delapan fatwa yang
menurut saya sama dengan pemikiran pemerintah dan telah dipengaruhi. Bisa jadi karena ada
tekanan, tetapi bisa jadi juga memang jalan
pikirannya sama antara MUI dan pemerintah.
Misalnya, fatwa tentang hukum konsumsi
kodok dan KB. Ketika itu, Sumatra Barat
menghalalkan kodok karena ada pembudidayaannya di sana. Ternyata, setelah diadakan
muzakarah nasional yang menghadirkan para
pakar dari Institut Pertanian Bogor (IPB), terungkap bahwa sekitar 50 jenis katak mengandung racun.
Yang tidak suka
dengan fatwa MUI
boleh saja meminta
fatwa kepada orang
lain. Namun, orang
awam lebih baik
mengikuti salah satu
fatwa.
Jika demikian, apa penyebabnya?
Bisa jadi MUI terlambat mendapatkan informasi atau memang tidak paham. Yang tidak
boleh atas sepengetahuannya MUI memilih
suatu fatwa hanya untuk memenuhi kemauan
pemerintah, apalagi jika berbuah imbalan.
Risiko dosanya ditanggung sendiri dan saya
tidak yakin MUI berbuat demikian. Kita
bersangka baik terhadap MUI jika ada
persamaan persepsi dengan pemerintah. Mungkin, frame pemikirannya
sama. Misalnya, KB yang paling
ekstrem. Dulu haram menjadi
halal karena melihat fakta
melonjaknya jumlah penduduk di dunia.
Apa kaitan fatwa dengan
realitas masyarakat?
Pendapat hukum atau
fatwa adalah respons terhadap pertanyaan
masyarakat. Sebagai
respons, pasti didikte
oleh keadaan tertentu
(the nature behind a
respons). Karena fatwa
bersifat responsif,
fatwa bersifat dinamis.
Namun, apakah
isinya dinamis?
Tergantung ulama yang
memberikan fatwa.
Metode yang dipergunakan berbeda-beda. Ada
yang menggunakan metode
ijtihad qauli, sebagaimana yang
masyhur di kalangan NU dengan
mengutip sebuah kitab meskipun
ada kesan tidak inovatif.
Ada juga metode ijtihad ilhaqi,
yang membandingkan illat dalam
sebuah kitab fikih terhadap realitas
sosial. Selain itu, ada pula ijtihad
manhaji dengan menggabungkan
semua komponen ijtihad, mulai dari
Alquran, hadis, ijmak, dan qiyas.
DARMAWAN/REPUBLIKA
B8
Apakah munculnya fatwa baru berarti mengubah
fatwa yang lebih dahulu?
Sebetulnya, bukan hanya fatwa. Produk fikih
juga begitu. Hasil pemikiran yang sudah terwujud tidak bisa dibatalkan. Kecuali oleh yang
bersangkutan sendiri dan disebut koreksi fatwa.
Imam Syafii juga banyak mengubah pendapatnya selama berada di Irak dan kemudian pindah
ke Mesir.
Namun, tidak berarti fatwa lama terhapus.
Kalau ada orang lain masih berpegangan pada
fatwa lama, itu menjadi hak mereka. Bukan
tidak mungkin fatwa yang baru akan direvisi
ulang pada kemudian hari.
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, tidak
ada konsensus sepeninggal Rasulullah.
Konsensus ijmak adalah dasar hukum yang
diakui dalam Islam. Mushaf Usmani pun ditetapkan atas dasar ijmak. Masalahnya, siapakah
yang mempunyai otoritas dan dikategorikan
dalam konsensus tersebut? Konsensus sekarang
ini pun mungkin dilakukan dengan beragam
media dan teknologi yang kian mutakhir. Tetap
saja konsensus hasil ulama masa kini tidak bisa
mengganggu gugat konsensus lama. Konsensus
yang baru mengakomodasi perkembangan permasalahan yang dihadapi umat masa kini.
Bagaimana bentuk dan formula konsensus di
Indonesia?
Dalam konteks Indonesia, konsensus harus
menggabungkan semua unsur ulama secara
kolektif. Jika konsensus hanya berasal dari
ulama Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah,
atau bahkan hanya satu ormas, itu bukan dinamakan konsensus. Konsensus adalah kesamaan
geografis dan kesamaan waktu, bukan terbatas
pada aliran. Banyak konsensus internasional
yang pernah diupayakan, misalnya konsensus
kalender hijriyah dari seluruh negara yang tergabung dalam OKI.
Terkait dengan revisi fatwa MUI tentang arah
kiblat, komentar Anda?
Sebetulnya, persoalan itu sudah dikupas
dalam kitab-kitab tafsir. Kalau berada di
lingkungan Masjidil Haram, kiblat adalah
Ka’bah. Kalau di luar Makkah, arah kita adalah
Makkah karena di sanalah kiblat berada. Jadi,
sebetulnya, tidak perlu membongkar masjid
agar sesuai arah kiblat sebab hal itu berlebihan.
Kesalahan kecil hanya berapa derajat.
Memang, ada kalangan yang sangat berhatihati (mutasyaddidin). Seharusnya, cukup garis
dan safnya saja yang digeser. Kecuali, Amerika
Latin, orang Jawa di sana masih berpegang
teguh pada kiblat ke barat. Padahal, umumnya,
orang di sana menghadap ke timur. Tapi, hendaknya saling menghormati tatanan
masyarakat yang ada karena sikap ini sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah.
Bagaimana hukum Islam memandang klaim sesat,
seperti kasus Ahmadiyah?
Prinsipnya, negara tidak mencampuri akidah
warganya. Namun, negara berkewajiban mencampuri urusan pemeliharaan ketertiban masyarakat. Soal Ahmadiyah sesat atau tidak sesat,
jangan tanya pemerintah, tapi MUI. Saya kira,
MUI sudah menjawab bahwa Ahmadiyah itu
sesat.
Nah, yang jadi persoalan, Ahmadiyah
mengaku Muslim dan bersyahadat. Tapi, ada
hal lain, pengakuan Ahmadiyah tentang Mirza
Ghulam Ahmad sebagai nabi. Pernyataan inilah
yang cukup meresahkan dan menimbulkan
konflik di tengah-tengah umat Muslim. Di
sinilah peran pemerintah untuk memperingatkan Ahmadiyah agar tidak menyebarkan paham dan ajaran tersebut.
Bagaimana menyinergikan kebijakan pemerintah
dengan hukum Islam terkait Ahmadiyah?
Surat Keputusan Bersama (SKB) yang telah
dikeluarkan dalam kasus Ahmadiyah dasarnya
adalah UU No 1 PNPS 65 Pasal 2. Sebab, UU
ini sejalan dengan spirit UUD 1945. Dalam UU
tersebut, ditegaskan bahwa seandainya terjadi
penyimpangan, akan diberi peringatan. Jika
masih tetap tidak diindahkan; menag, jaksa
agung, dan mendagri mengajukan rekomendasi
pembubaran kepada presiden. Pembubaran bisa
saja dilakukan segera, tetapi di era
bergaungnya HAM seperti sekarang ini kita
harus hati-hati. Jika memang harus
dibubarkan, bubarkanlah dengan cara yang
elegan, yakni ketiga menteri mengajukan
rekomendasi berdasarkan hukum tetap pengadilan atas pelanggaran SKB oleh Ahmadiyah.
Inilah mengapa ada dua butir penting SKB.
Pertama, mengingatkan Ahmadiyah agar tidak
lagi menyebarkan paham mereka. Kedua, memperingatkan kaum Muslim yang lain agar tidak
berlaku sewenang-wenang terhadap sesama.
Sehingga, SKB tidak hanya ditujukan untuk
Ahmadiyah, tetapi juga kepada umat Muslim
yang lain. Pemerintah memang harus begitu,
proporsional dan adil.
Apakah hukum Islam dan HAM bertolak belakang?
Seharusnya, (hukum Islam) tidak berbenturan
karena hak asasi manusia (HAM) tidak bertolak
belakang dengan hukum Islam. HAM intinya
juga berlandaskan moral agama dan maqashid
syariah (tujuan hukum Islam). Antikekerasan
dan menghargai orang lain adalah prinsipprinsip agama. Namun, sering beda istilah
antara ulama dan para aktivis HAM.
Ini tantangan bagi kita, bagaimana aktivis
HAM memahami ulama, begitu juga sebaliknya.
Yang terjadi sekarang, kedua belah pihak salah
persepsi dan tidak saling berkomunikasi. Inilah
yang salah. ■ cr1 ed: syahruddin el-fikri
Download