Keuntungan Sediaan ”Preferential COX-2 Inhibitor“ Dalam Penanggulangan Nyeri Kanker Aznan Lelo D.S. Hidayat Tri Widyawati Fakultas Kedokteran Bagian Farmakologi dan Terapeutik Universitas Sumatera Utara Abstrak Nyeri kanker sering merupakan kombinasi nyeri akibat tumornya sendiri, segala sesuatu yang berkaitan dengan tumor dan akibat pengobatan. Tempat tumbuhnya tumor adalah juga tempat berlangsungnya inflamasi, yang ditandai dengan peninggian kadar COX-2. Nyeri kanker selalu ditanggulangi dengan memberikan analgetik opiat dan nonopiat dari golongan anti-inflammasi non-steroid (AINS) atau kombinasinya. Sediaan ini bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim siklooksigenase (cyclooxygenase, COX), apakah isoenzim COX-1 atau COX-2 atau keduanya, dalam pembentukan prostanoid prostaglandin (PG), prostacyclin dan tromboxan. Prostaglandin tidak hanya mampu menaikkan kepekaan nosiseptor, mediator ini juga diperlukan dalam hal keutuhan mukosa saluran cerna, fisiologi organ tubuh lainnya. Bila intensitas nyeri kanker makin meningkat (sedang sampai berat), peningkatan dosis AINS tidak diikuti dengan peningkatan khasiat analgetiknya. Peningkatan dosis dan frekwensi pemberian AINS secara linear akan meningkatkan kejadian efek samping. Pertimbangan apa saja yang harus diperhitungkan dalam pemilihan AINS sebagai anti-nyeri kanker? Sebagai analgetik, AINS hendaklah mampu menghambat aktivitas COX dengan hambatan COX-2 lebih besar daripada hambatan COX-1. AINS yang lebih bersifat asam akan memiliki nilai tambah dalam hal penetrasinya ke jaringan yang mengalami inflamasi. Selagi kejadian hypercoagulation selalu terjadi pada penderita kanker, AINS yang digunakan tidak memperberat hypercoagulation yang ada, misalnya peningkatan trombosis bila menggunakan AINS yang sangat selektif menghambat COX2. AINS yang terbukti berkhasiat antipyretic akan memberikan nilai tambah, mengingat demam merupakan keluhan penyerta yang umum pada penderita kanker. Badan Kesehatan Dunia WHO menganjurkan penggabungan analgetik opiate (misalnya kodein) dan AINS terhadap penderita kanker dengan tingkat nyeri menengah sampai berat. Oleh karena biotransformasi kodein menjadi morfin sangat bergantung dengan aktivitas enzyme sitokrom P4502D6 (CYP2D6), penggunaan AINS yang tidak membutuhkan CYP2D6 merupakan sediaan pilihan. Dari uraian diatas AINS yang tergolong ”preferential COX-2 inhibitor“ memberikan keuntungan yang nyata dalam penanggulangan nyeri kanker. 1 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara Pendahuluan Nyeri sebagai pengalaman yang tak menyenangkan pada penderita kanker, maka dalam penanggulangannya dicapai dengan merubah pengalaman penderita sendiri. Salah satu pendekatan yang berterima adalah memberikan analgetik non-opiat. Namun analgetik opiate morfin masih tetap sebagai baku emas dalam penanggulangan nyeri kanker. Morfin harus digunakan dengan benar, termasuk pengaturan dosis morfin yang diberikan (hendaknya dibawah kadar sedasi). Bila nyeri neuropatik dijumpai pada penderita kanker dan tidak memberikan respon terhadap morfin, maka diperlukan penambahan bahan tertentu (antidepresan, antikonvulsan, gabapentin dan sebagainya) (Lickiss, 2001). Penanggulangan nyeri yang sempurna merupakan suatu yang penting dalam pengobatan penderita kanker. Nyeri kanker sering merupakan kombinasi nyeri akibat tumornya sendiri, segala sesuatu yang berkaitan dengan tumor dan nyeri akibat pengobatan. Petunjuk Badan Kesehatan Dunia WHO membolehkan kombinasi analgetik opiat dan non-opiat terhadap penderita kanker dengan tingkat nyeri menengah sampai berat. Opiate merupakan analgetik sentral menghambat transduksi syaraf di medulla spinalis. Sedangkan analgetik non-opiat, terutama analgetik anti-inflamasi non-steroid (AINS), merupakan analgetik perifer menghambat aktivitas cyclooxygnase dalam pembentukan prostaglandin sehingga sistem nosiseptor perifer tidak teraktivasi. Masingmasing analgetik memberikan efek samping tertentu, dengan menggabungkan beberapa jenis analgetik dengan mekanisme kerja berbeda akan meningkatkan khasiat dan keamanan tiap analgetik dalam pengobatan nyeri kanker (Ladner dkk, 2000). Kanker umumnya menyerang penderita lanjut usia (lansia). Namun penderita lansia rentan untuk mengalami nyeri yang disebabkan oleh banyak kondisi klinis diluar kanker seperti rematik dan lainnya. Kenyataan ini mengisyaratkan adanya kesukaran dalam mengetahui analgetika mana yang sangat berhasil guna (Shirk, 1997). Kerumitan dalam penanggulangan nyeri-kanker pada lansia makin bertambah dengan makin meningkatnya penyakit kronis (seperti hipertensi, diabetes mellitus dan sebagainya) sesuai dengan pertambahan usia, akan meningkatkan terapi polifarmasi dan reaksi interaksi obat yang merugikan (Beyth dan Shorr, 1999). Apa yang menjadi alasan penggunaan AINS pada penanggulangan nyeri kanker? Karena secara definisi nyeri nosiseptif dimulai dari perangsangan nociceptor oleh berbagai mediator, maka upaya menghambat perjalanan nyeri diperkirakan akan bermanfaat dalam penanggulangan nyeri. Selagi prostaglandin merupakan mediator utama dalam kejadian hiperalgesia, upaya mengurangi pembentukan mediator ini pada area yang mengalami inflamasi akan menurunkan keparahan nyeri. Tempat tumbuhnya tumor adalah juga tempat berlangsungnya inflamasi. Telah ditemukan bahwa kadar COX-2 meninggi pada beberapa jenis jaringan kanker (Becerra dkk, 2003). Ventafridda dkk (1990) membandingkan berbagai sediaan AINS (asetosal, paracetamol, diclofenak, ibuprofen, indometasin, pirprofen, sulindac, naproxen dan suprofen) dalam menanggulangi nyeri kanker. Meskipun seluruh AINS yang diuji menunjukkan khasiat antinyeri yang bermakna, namun diclofenak, indometasin dan naproxen lebih efektif dan aman. Kenyataan ini mengisyaratkan AINS dapat dijadikan sebagai obat pilihan pertama dalam penanggulangan nyeri kanker. 2 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara Seperti dikemukakan sebelumnya AINS mengurangi pembentukan prostaglandin dan beberapa AINS juga mempengaruhi sistem susunan saraf pusat, namun sediaansediaan ini tidak mengativasi reseptor opiat. Dengan kata lain mekanisme kerja AINS sebagai anti-nyeri kanker berbeda dari opiat. Selain itu, AINS tidak menimbulkan toleransi dan ketergantungan, malahan memiliki nilai tambah sebagai antipiretik. Kelemahan AINS sebagai analgetika tunggal adalah mengikuti efek mengatap (ceiling effect), dengan demikian penggunaan dosis yang lebih besar dari yang dianjurkan bukanlah cara yang dibenarkan. Bila intensitas nyeri kanker makin meningkat (sedang sampai berat), peningkatan dosis AINS tidak diikuti dengan peningkatan khasiat analgetiknya. Namun peningkatan dosis dan frekwensi pemberian AINS secara linear akan meningkatkan kejadian efek samping (Eisenberg dkk, 1994), maka penggabungannya dengan analgetik opiate sangat dianjurkan. Gabungan analgetik nonopiat AINS dengan analgetik opiate (codein, morfin dan lainnya) akan meningkatkan keberhasilan penanggulangan nyeri kanker. Sebagai sediaan yang mampu menghambat aktivitas COX, saat ini AINS merupakan sediaan yang paling luas digunakan untuk menanggulangi nyeri, arthritis, penyakit kardiovaskuler dan, terakhir ini diindikasikan untuk mencegah kanker colon dan penyakit Alzheimer. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa AINS yang selektif dan nonselektif menghambat angiogenesis melalui efek langsung pada sel endothel (Jones dkk, 1999). Misteri bagaimana AINS mampu mengurangi risiko kanker kelihatannya berkaitan dengan hambatan aktivitas COX pada proses angiogenesis. Angiogenesis, pembentukan pembuluh darah kapiler baru, tidak hanya dibutuhkan untuk pertumbuhan dan metastase tumor, tetapi juga penyembuhan luka dan tukak, sebab tanpa aliran darah yang baik, oksigen dan nutrisi tidak dapat dihantarkan ke tempat yang mengalami inflamasi. Bila angiogenesis tidak dihambat, proses inflamasi terus berlanjut diikuti dengan perjalanan nyeri kanker menjadi kronis dan lebih parah. Pertimbangan apa saja yang harus diperhitungkan dalam pemilihan AINS sebagai anti-nyeri kanker? 1 Pastikan mampu menghambat aktivitas COX-1 dan COX-2 Pannuti dkk (1999) mengkaji perbedaan khasiat analgetik dan toksisitas AINS yang lebih selektiv menghambat COX-1 ketorolak dengan yang agak selektif menghambat COX-2 diclofenak dalam menanggulangi nyeri kanker. Kedua sediaan ternyata menunjukkan khasiat analgetik dan toksisitas yang sepadan, sebagaimana ditunjukkan oleh area under the pain-intensity time curve (AUC0-8), efek maksimum,atau masa kerja ke dua sediaan. Yang menarik adalah peningkatan gangguan lambung setelah ketorolak diberikan pada mereka yang sebelumnya diterapi dengan AINS lain. Medhurst dkk (2002) mengkaji modulasi nyeri akibat kanker tulang pada hewan coba tikus. Setelah penyuntikan intra-tibia “syngeneic MRMT-1 mammary gland carcinoma cells” tumor segera merebak dan merusak tulang tikus, sementara itu secara perlahan muncul alodinia dan hiperalgesia mekanik. Pengobatan akut dengan analgetik opiat morfin secara sub-kutan memberikan pengurangan nyeri sesuai dengan dosis yang diberikan. Namun pengobatan akut dengan analgetik non-opiat AINS yang sangat selektif menghambat COX-2 celecoxib yang juga diberikan secara sub-kutan tidak mempengaruhi alodinia mekanik (Medhurst dkk, 2002). Dari temuan diatas, hambatan 3 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara spesifik pada COX-2 tidak mampu meniadakan modulasi nyeri alodinia akibat kanker. Kemampuan menghambat aktivitas COX-1 ternyata berbeda diantara AINS. Berdasarkan laporan van Hecken dkk (2000) diketahui urut persentase hambatan aktivitas COX-1 pasca pemberian rofecoxib (1 x 12.5 mg, 7,98%), rofecoxib (1 x 25 mg, 6,65%), meloxicam (1 x 15 mg, 53,3 %), diclofenac (3 x 50 mg, 49,5 %), ibuprofen (3 x 800 mg, 88,7%) dan naproxen (2 x 550 mg, 94,9 %). 2 Sifat keasaman OAINS Sifat keasaman suatu AINS mutlak menjadi pertimbangan dalam pemilihannya sebagai analgetik anti-inflamasi pada penderita kanker. Capone dkk (2003) menyatakan bahwa sediaan AINS yang lebih bersifat asam akan memiliki nilai tambah dalam hal penetrasinya ke jaringan yang mengalami inflamasi dengan sendirinya akan memperbaiki manfaat klinis AINS bersangkutan. Sebagai contoh, ratio konsentrasi AINS bersifat asam meloxicam di cairan sinovium : plasma lebih besar pada saat inflamasi akut (0,58) dibandingkan bila tanpa ada inflamasi (0,38) (Lapicque dkk, 2000). 3 Tidak memperberat hypercoagulation yang ada pada penderita kanker Seperti telah diketahui bahwa keadaan hyprecoagulable dapat sebagai akibat penyakit cancernya sendiri, yaitu inflammation, protein abnormal dan stasis serta terapi anticancer, pembedahan, kemoterapi dan terapi hormone (Caine dkk, 2002). Sediaan yang sangat selektif menghambat COX-1 (COX-1 inhibitor, seperti asetosal) akan menghambat pembentukan tromboxan yang diikuti dengan tercegahnya agregasi trombosit. Khasiat ini diindikasikan dalam penanggulangan penyakit jantung koroner dan strok non-hemoragik. Sedangkan sediaan yang sangat selektif menghambat COX-2 (COX-2 inhibitor, seperti celecoxib dan rofecoxib) akan menyebabkan peningkatan aktivitas COX-1 diikuti dengan peningkatan pembentukan tromboxan dan agregasi trombosit. Bersamaan dengan vasokonstriksi meningkat yang diikuti dengan peningkatan kejadian trombosis, penyumbatan aliran darah, infark miokard dan strok non-hemoragik. Crofford dkk (2000) menemukan beberapa kasus yang mengalami trombosis setelah diterapi dengan celecoxib. Apa yang akan terjadi bila penderita kanker dengan nyeri yang bersangatan diatasi dengan AINS penghambat selektif COX-2? Becerra dkk (2003) menemukan bahwa rofecoxib menjadi tidak berkhasiat dan malah toksisitasnya makin meningkat, sehingga uji klinik fase II pengobatan kanker colorectal metastase dengan gabungan rofecoxib dan kemoterapi 5-fluorourasil harus dihentikan ditengah jalan. 4 Sesuaikan pola keluhan gejala penyerta pada penderita kanker Penderita kanker tidak selamanya hanya mengeluhkan nyeri. Demam merupakan keluhan yang umum pada penderita kanker. Laporan dari kajian tentang khasiat antipiretik pada penderita kanker sangat terbatas. Hasil penelitian Oborilova dkk (2002) menunjukkan bahwa khasiat antipiretik metamizol (2500 mg or 1000 mg, IV infusion) dan AINS diklofenak (75 mg, IV infusion) lebih nyata daripada propacetamol (prodrug paracetamol, 2000 mg atau 1000 mg, IV injection atau IV infusion) pada 254 penderita kanker darah. 4 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara 5 Mampu meningkatkan khasiat anti-nyeri opiate Penanggulangan nyeri yang sempurna merupakan suatu yang penting dalam pengobatan penderita kanker. Petunjuk Badan Kesehatan Dunia WHO membolehkan kombinasi analgetik opiate dan non-opiat terhadap penderita kanker dengan tingkat nyeri menengah sampai berat. Penggabungan beberapa jenis analgetik (opiate dan non-opiat) dengan mekanisme kerja berbeda akan meningkatkan khasiat dan keamanannya dalam pengobatan nyeri kanker (Ladner dkk, 2000). Salah satu gabungan yang dapat dilakukan adalah kombinasi analgetik opiate lemah kodein dengan analgetika non-opiat AINS. Beberapa pertimbangan perlu dikemukakan sebelum menggabungkan kodein dengan AINS, diantaranya biotransformasi kodein menjadi morfin yang sangat bergantung dengan aktivitas enzyme sitokrom P4502D6 (CYP2D6) yang secara diturunkan berbeda antar individu (polimorfisme). Sekitar 7-10% ras Kaukasian kekurangan CYP2D6, tapi sampai 29% bangsa Ethiopia memetabolisir dengan sangat cepat. Dari kajian farmakologi diketahui ada beberapa obat-obatan yang dapat mengurangi kerja CYP2D6 (Cascorbi, 2003). Polimorfisme CYP2D6 dapat meningkatkan atau menurunkan laju eliminasi suatu obat. Populasi dengan fenotip CYP2D6 lambat jarang dijumpai pada orang Asia (Thailand 1%) dibandingkan orang Barat (Kaukasian 10%) (Kitada, 2003). Hasil kajian Ismail dkk (2000) menunjukkan bahwa msyarakat Melayu dengan fenotip CYP2D6 lambat lebih banyak daripada masyarakat turunan Cina. Salah satu sediaan yang mampu menghambat kerja CYP2D6 adalah AINS celecoxib. Werner dkk (2003) mendapati bahwa celecoxib menghambat metabolisme beta-blocker metoprolol (substrat CYP2D6) yang ditandai dengan peningkatan area under the plasma concentration-time curve metoprolol. Hal yang sama diperkirakan akan terjadi bila digabungkan celecoxib dengan kodein (substrat CYP2D6), yang pada gilirannya akan tercegah biotransformasi kodein menjadi morfin. Berbeda halnya dengan diclofenak yang merupakan substrat CYP2C9 (Damkier dkk, 1999), penggabungan kodein dengan dikofenak akan meningkatkan khasiat analgetik (Breivik dkk, 1999). Kesimpulan AINS merupakan sediaan terpilih dalam penanggulangan nyeri kanker, karena di tempat tumbuhnya tumor berlangsung proses inflamasi, yang ditandai dengan peninggian kadar COX-2. AINS menghambat aktivitas enzim siklooksigenase (cyclooxygenase, COX), apakah isoenzim COX-1 atau COX-2 atau keduanya, dalam pembentukan prostaglandin sehingga kepekaan nosiseptor berkurang. Namun, bila intensitas nyeri kanker makin meningkat (sedang sampai berat), peningkatan dosis AINS tidak diikuti dengan peningkatan khasiat analgetiknya. Peningkatan dosis dan frekwensi pemberian AINS secara linear akan meningkatkan kejadian efek samping. Pertimbangan farmakologi yang harus diperhitungkan dalam pemilihan AINS sebagai anti-nyeri kanker adalah pastikan AINS berkhasiat analgetik yang lebih menghambat aktivitas COX-2 daripada hambatan COX-1. AINS yang lebih bersifat asam akan memiliki nilai tambah dalam hal penetrasinya ke jaringan yang mengalami inflamasi. Selagi kejadian hypercoagulation selalu terjadi pada penderita kanker, AINS yang digunakan tidak memperberat hypercoagulation yang ada, misalnya peningkatan trombosis bila menggunakan AINS yang sangat selektif menghambat COX-2. AINS yang 5 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara terbukti berkhasiat antipyretic akan memberikan nilai tambah, mengingat demam merupakan keluhan penyerta yang umum pada penderita kanker. Jika AINS akan digabungkan dengan analgetik opiate kodein dan AINS yang digunakan tidak membutuhkan CYP2D6 dalam biotransformasinya. Oleh karena biotransformasi kodein menjadi morfin sangat bergantung dengan aktivitas CYP2D6. Dari uraian diatas AINS yang tergolong ”preferential COX-2 inhibitor“ memberikan keuntungan yang nyata dalam penanggulangan nyeri kanker. Rujukan Becerra CR, Frenkel EP, Ashfaq R, Gaynor RB. Increased toxicity and lack of efficacy of Rofecoxib in combination with chemotherapy for treatment of metastatic colorectal cancer: A phase II study. Int J Cancer. 105(6):868-72,2003 Beyth RJ, Shorr RI. Epidemiology of adverse drug reactions in the elderly by drug class. Drugs Aging 14(3):231-9,1999 Breivik K, Barkvoll P, Skovlund E. Combining diclofenac with acetaminophen or acetaminophen-codeine after oral surgery; a randomized, double blind single dose study. Clin Pharmacol Ther 66:625-35,1999. Caine GJ, Stonelake PS, Lip GY, Kehoe ST. The hypercoagulable state of malignancy: pathogenesis and current debate. Neoplasia. 4(6):465-73,2002. Capone ML, Tacconelli S, Sciulli MG, Patrignani P. Clinical pharmacology of selective COX-2 inhibitors. Int J Immunopathol Pharmacol. 16(2 Suppl):49-58,2003. Cascorbi I. Pharmacogenetics of cytochrome P4502D6: genetic background and clinical implication. Eur J Clin Invest. 33 Suppl 2:17-22,2003. Crofford LJ, Oates JC, McCune WJ, Gupta S, Kaplan MJ, Catella-Lawson F, Morrow JD, McDonagh KT, Schmaier AH. Thrombosis in patients with connective tissue diseases treated with specific cyclooxygenase 2 inhibitors. A report of four cases. Arthritis Rheum 43(8):1891-6,2000 Ismail R, Hussein A, Teh LK, Nizam Isa M. CYP2D6 phenotypes among Malays in Malaysia. J Clin Pharm Ther. 25(5):379-83,2000. Jones MK, Wang H, Peskar BM, Levin E, Itani RM, Sarfeh IJ, Tarnawski AS. Inhibition of angiogenesis by nonsteroidal anti-inflammatory drugs: insight into mechanisms and implications for cancer growth and ulcer healing. Nat Med. 5(12):141823,1999. Damkier P, Hansen LL, Brosen K. Effect of diclofenac, disulfiram, itraconazole, grapefruit juice and erythromycin on the pharmacokinetics of quinidine. Br J Clin Pharmacol. 48(6):829-38,1999. Eisenberg E, Berkey CS, Carr DB, Mosteller F, Chalmers TC. Efficacy and safety of nonsteroidal antiinflammatory drugs for cancer pain: a meta-analysis. J Clin Oncol. 12(12):2756-65,1994. Kitada M. Genetic polymorphism of cytochrome P450 enzymes in Asian populations: focus on CYP2D6. Int J Clin Pharmacol Res. 23(1):31-5,2003. Ladner E, Plattner R, Friesenecker B, Berger J, Javorsky F. Non-opioid analgesics-irreplaceable in cancer pain therapy? Anasthesiol Intensivmed Notfallmed Schmerzther. 35(11):677-84,2000. 6 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara Lapicque F, Vergne P, Jouzeau JY, Loeuille D, Gillet P, Vignon E, Thomas P, Velicitat P, Turck D, Guillaume C, Gaucher A, Bertin P, Netter P. Articular diffusion of meloxicam after a single oral dose: relationship to cyclo-oxygenase inhibition in synovial cells. Clin Pharmacokinet. 39(5):369-82,2000. Lickiss JN. Approaching cancer pain relief. Eur J Pain. 5(Suppl A):5-14,2001. Medhurst SJ, Walker K, Bowes M, Kidd BL, Glatt M, Muller M, Hattenberger M, Vaxelaire J, O'Reilly T, Wotherspoon G, Winter J, Green J, Urban L. A rat model of bone cancer pain. Pain. 96(1-2):129-40,2002. Oborilova A, Mayer J, Pospisil Z, Koristek Z. Symptomatic intravenous antipyretic therapy: efficacy of metamizol, diclofenac, and propacetamol. J Pain Symptom Manage 24(6):608-15,2002. Pannuti F, Robustelli della Cuna G, Ventaffrida V, Strocchi E, Camaggi CM. A doubleblind evaluation of the analgesic efficacy and toxicity of oral ketorolac and diclofenac in cancer pain. The TD/10 recordati Protocol Study Group. Tumori. 85(2):96-100,1999. Shirk, M.B. Management of pain in patients with cancer. The Consultant Pharmacist, 12(Suppl. 1):11.1-11.10, 1997. Van Hecken A, Schwartz JI, Depre M, De Lepeleire I, Dallob A, Tanaka W, Wynants K, Buntinx A, Arnout J, Wong PH, Ebel DL, Gertz BJ, De Schepper PJ. Comparative inhibitory activity of rofecoxib, meloxicam, diclofenac, ibuprofen, and naproxen on COX-2 versus COX-1 in healthy volunteers. J Clin Pharmacol 40(10):1109-20,2000. Ventafridda V, De Conno F, Panerai AE, Maresca V, Monza GC, Ripamonti C. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs as the first step in cancer pain therapy: doubleblind, within-patient study comparing nine drugs. J Int Med Res. 18(1):21-9,1990. Werner U, Werner D, Rau T, Fromm MF, Hinz B, Brune K. Celecoxib inhibits metabolism of cytochrome P450 2D6 substrate metoprolol in humans. Clin Pharmacol Ther. 74(2):130-7,2003. 7 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara