Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 1 KRISIS MONETER INDONESIA : SEBAB, DAMPAK, PERAN IMF DAN SARAN* ) Lepi T. Tarmidi **) risis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, sementara ini telah berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjutannya. K Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World Bank: Bab 2 dan Hollinger). Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus. Lihat Tabel. Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidak pastian sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana dari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis kepercayaan. (Bandingkan juga IMF, 1997: 1). Namun semua kelemahan ini masih mampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak datang badai yang sangat besar, yang tidak mampu dbendung oleh tembok penahan yang ada, yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yang datang mengancam. *) Tulisan ini merupakan revisi dan updating dari pidato pengukuhan Guru Besar Madya pada FEUI dengan judul “Krisis Moneter Tahun 1997/1998 dan Peran IMF”, Jakarta, 10 Juni 1998. **) Lepi T. Tarmidi : Wakil Kepala Pusat Kajian APEC, Universitas Indonesia, email : [email protected] 2 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 Pertumbuhan ekonomi (%) 7,24 6,95 6,46 6,50 7,54 8,22 7,98 4,65 Tingkat inflasi (%) 9,93 9,93 5,04 10,18 9,66 8,96 6,63 11,60 Neraca pembayaran (US$ juta) 2,099 1,207 1,743 741 806 1,516 4,451 -10,021 Neraca perdagangan 5,352 4,801 7,022 8,231 7,901 6,533 5,948 12,964 Neraca berjalan -3.24 -4,392 -3,122 -2,298 -2.96 -6.76 -7,801 -2,103 Neraca modal 4,746 5,829 18,111 17,972 4,008 10,589 10,989 -4,845 633 1,419 12,752 12,753 307 336 -522 4,102 Swasta (neto) 3,021 2,928 3,582 3,216 1,593 5,907 5,317 -10.78 PMA (neto) 1,092 1,482 1,777 2,003 2,108 4,346 6,194 1,833 Pemerintah (neto) Cadangan devisa akhir tahun 8,661 9,868 11,611 12,352 13,158 14,674 19,125 17,427 (bulan impor nonmigas c&f) (US$ juta) 4,7 4,8 5,4 5,4 5,0 4,3 5,2 4,5 Debt-service ratio (%) 30,9 32,0 31,6 33,8 30,0 33,7 33,0 Nilai tukar Des. (Rp/US$) 1,901 1,992 2,062 2.11 2.2 2,308 2,383 4.65 APBN* (Rp. milyar) 3,203 433 -551 -1.852 1,495 2,807 818 456 * Tahun anggaran Sumber : BPS, Indikator Ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia; World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 INDIKATOR UTAMA EKONOMI INDONESIA 1990 - 1997 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 3 Sebagai konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar AS, dan membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim managed floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian Bank Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998, namun kemudian berhasil menguat kembali menjadi sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999. Krisis Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini lemah, hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas, tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya1 . Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan lain perkataan, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan. Analisis dari faktor-faktor penyebab ini penting, karena penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa. Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis finansial (Nasution: 28). Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersamasama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan (World Bank, 1998, pp. 1.7 -1.11). Yang pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun. Sebab yang kedua adalah kelemahan 1 Dalam teori, overshooting nilai tukar biasanya bersifat sementara untuk kemudian mencari keseimbangan jangka panjang baru. Tetapi selama krisis ini berlangsung, nilai overshooting adalah sangat besar dan sudah berlangsung sejak akhir tahun 1997. 4 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 pada sistim perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah ketidak pastian politik menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu. Sementara menurut penilaian penulis, penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menurut sisi pandang masing-masing pengamat. Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya: 1) Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang yang sebesarbesarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekening valas di dalam negeri atau di luar negeri. Valas bebas diperdagangkan di dalam negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di luar negeri. 2) Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8% (1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai Rupiah yang overvalued berarti juga proteksi industri yang negatif. Akibatnya harga barang impor menjadi relatif murah dan produk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang kompetitif dan impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini sangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan nilai tukar yang nyata. 3) Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya (bandingkan juga Wessel et al.: 22), ditambah sistim perbankan nasional yang lemah. Akumulasi utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official debt). Ada tiga pihak yang Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 5 bersalah di sini, pemerintah, kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah adalah, karena telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah terus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana ke luar negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah. Jadi di sini pemerintah dihadapi dengan buah simalakama. Keadaan ini menguntungkan pengusaha selama tidak terjadi devaluasi dan ini terjadi selama bertahun-tahun sehingga memberi rasa aman dan orang terus meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang semakin besar. Dengan demikian pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan oleh pemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan proyek pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN. Bagi debitur dalam negeri, terjadinya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar ini, di samping lebih menguntungkan, juga disebabkan suatu gejala yang dalam teori ekonomi dikenal sebagai fallacy of thinking2 , di mana pengusaha beramai-ramai melakukan investasi di bidang yang sama meskipun bidangnya sudah jenuh, karena masing-masing pengusaha hanya melihat dirinya sendiri saja dan tidak memperhitungkan gerakan pengusaha lainnya. Pihak kreditur luar negeri juga ikut bersalah, karena kurang hati-hati dalam memberi pinjaman dan salah mengantisipasi keadaan (bandingkan IMF, 1998: 5). Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga ikut menanggung sebagian dari kerugian yang diderita oleh debitur. Kalau masalahnya hanya menyangkut utang luar negeri pemerintah saja, meskipun masalahnya juga cukup berat karena selama bertahun-tahun telah terjadi net capital outflow3 yang kian lama kian membesar berupa pembayaran cicilan utang pokok dan bunga, namun masih bisa diatasi dengan pinjaman baru dan pemasukan modal luar negeri dari sumber-sumber lain. Beda dengan pinjaman swasta, pinjaman luar negeri pemerintah sifatnya jangka panjang, ada tenggang waktu pembayaran, tingkat bunganya relatif rendah, dan tiap tahunnya ada pemasukan pinjaman baru. Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintah US$ 53,5 milyar. Sebagian besar dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge (Nasution: 12). Sebagian orang Indonesia malah bisa hidup mewah dengan menikmati selisih biaya bunga antara dalam negeri dan luar negeri (Wessel et al., hal. 22), misalnya 2 Yang dimaksud di sini adalah perilaku pengusaha yang bertindak atas pertimbangan dirinya sendiri tanpa mengetahui apa yang dilakukan oleh pengusaha lainnya. Misalnya pengusaha ramai-ramai mendiri-kan apotik, membuka tambak udang, membangun realestat dan kondomium. 3 Total pembayaran cicilan utang pokok dan bunga setelah dikurangi pinjaman baru. 6 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 bank-bank. Maka beban pembayaran utang luar negeri beserta bunganya menjadi tambah besar yang dibarengi oleh kinerja ekspor yang melemah (bandingkan IDE). Ditambah lagi dengan kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam yang membuat utang dalam nilai rupiah membengkak dan menyulitkan pembayaran kembalinya. Pinjaman luar negeri dan dana masyarakat yang masuk ke sistim perbankan, banyak yang dikelola secara tidak prudent, yakni disalurkan ke kegiatan grupnya sendiri dan untuk proyek-proyek pembangunan realestat dan kondomium secara berlebihan sehingga jauh melampaui daya beli masyarakat, kemudian macet dan uangnya tidak kembali (Nasution: 28; Ehrke: 3). Pinjaman-pinjaman luar negeri dalam jumlah relatif besar yang dilakukan oleh sistim perbankan sebagian disalurkan ke sektor investasi yang tidak menghasilkan devisa (non-traded goods) di bidang tanah seperti pembangunan hotel, resort pariwisata, taman hiburan, taman industri, shopping malls dan realestat (Nasution: 9; IMF Research Department Staff: 10). Proyek-proyek besar ini umumnya tidak menghasilkan barang-barang ekspor dan mengandalkan pasar dalam negeri, maka sedikit sekali pemasukan devisa yang bisa diandalkan untuk membayar kembali utang luar negeri. Krugman melihat bahwa para financial intermediaries juga berperan di Thailand dan Korea Selatan dengan moral nekat mereka, yang menjadi penyebab utama dari krisis di Asia Timur. Mereka meminjamkan pada proyek-proyek berisiko tinggi sehingga terjadi investasi berlebihan di sektor tanah (Krugman, 1998; Greenwood). Mereka mulai mencari dollar AS untuk membayar utang jangka pendek dan membeli dollar AS untuk di hedge (World Bank, 1998, hal. 1.4). 4) Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing (bandingkan juga Ehrke: 2-3) yang dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini juga meminjam dari sistim perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnya mengapa Bank Indonesia memutuskan untuk tidak intervensi di pasar valas karena tidak akan ada gunanya. Meskipun pada awalnya spekulan asing ikut berperan, tetapi mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas pecahnya krisis moneter ini. Sebagian dari mereka ini justru sekarang menderita kerugian, karena mereka membeli rupiah dalam jumlah cukup besar ketika kurs masih di bawah Rp. 4.000 per dollar AS dengan pengharapan ini adalah kurs tertinggi dan rupiah akan balik menguat, dan pada saat itu mereka akan menukarkan kembali rupiah dengan dollar AS (Wessel et al., hal. 1). Namun pemicu adalah krisis moneter kiriman yang berawal dari Thailand antara Maret sampai Juni 1997, yang diserang terlebih dahulu oleh spekulan dan kemudian menyebar ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia (Nasution: 1; IMF Research Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 7 Department Staff: 10; IMF, 1998: 5). Krisis moneter yang terjadi sudah saling kait-mengkait di kawasan Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya (butir 16 dari persetujuan IMF 15 Januari 1998). 5) Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita batas intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997 (Nasution: 2). Terkesan tidak adanya kebijakan pemerintah yang jelas dan terperinci tentang bagaimana mengatasi krisis (Nasution: 1) dan keadaan ini masih berlangsung hingga saat ini. Ketidak mampuan pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing untuk memberi bantuan finansial dengan cepat (World Bank, 1998: 1.10). 6) Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff: 10; IDE), yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah yang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam negeri. 7) Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran dimingimingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar (bandingkan World Bank, 1998, hal. 1.3, 1.4; Greenwood). Selisih tingkat suku bunga dalam negeri dengan luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang relatif besar dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat devaluasi yang relatif stabil sekitar 4% per tahun sejak 1986 menyebabkan banyak modal luar negeri yang mengalir masuk. Setelah nilai tukar Rupiah tambah melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana modal asing terus mengalir ke luar negeri meskipun dicoba ditahan dengan tingkat bunga yang tinggi atas surat-surat berharga Indonesia (Nasution: 1, 11). Kesalahan juga terletak pada investor luar negeri yang kurang waspada dan meremehkan resiko (IMF, 1998: 5). Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah (World Bank, 1998, p. 2.1). 8) IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yang dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia juga menunda mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk. Singapura yang menjanjikan l.k. US$ 5 milyar meminta pembayaran bunga yang lebih tinggi dari pinjaman IMF, sementara Brunei Darussalam yang menjanjikan l.k. US$ 1 milyar baru akan mencairkan dananya sebagai yang terakhir setelah semua pihak lain yang berjanji akan 8 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 membantu telah mencairkan dananya dan telah habis terpakai. IMF sendiri dinilai banyak pihak telah gagal menerapkan program reformasinya di Indonesia dan malah telah mempertajam dan memperpanjang krisis. 9. Spekulan domestik ikut bermain (Wessel et al., hal. 22). Para spekulan inipun tidak semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain. 10.Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, di mana serbuan terhadap dollar AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat pribumi dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan harta kekayaannya ke luar negeri mengantisipasi ketidak stabilan politik dalam negeri. Sejak awal Desember 1997 hingga awal Mei 1998 telah terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negeri karena ketidak stabilan politik seperti isu sakitnya Presiden dan Pemilu (World Bank, 1998: 1.4, 1.10). Kerusahan besar-besaran pada pertengahan Mei yang lalu yang ditujukan terhadap etnis Cina telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat ini akan keamanan harta, jiwa dan martabat mereka. Padahal mereka menguasai sebagian besar modal dan kegiatan ekonomi di Indonesia dengan akibat mereka membawa keluar harta kekayaan mereka dan untuk sementara tidak melaukan investasi baru. 11. Terdapatnya keterkaitan yang erat dengan yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap dollar AS (lihat IDE). Setelah Plaza-Accord tahun 1985, kurs dollar AS dan juga mata uang negara-negara Asia Timur melemah terhadap yen Jepang, karena mata uang negaranegara Asia ini dipatok dengan dollar AS. Daya saing negara-negara Asia Timur meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak perusahaan Jepang melakukan relokasi dan investasi dalam jumlah besar di negara-negara ini. Tahun 1995 kurs dollar AS berbalik menguat terhadap yen Jepang, sementara nilai utang dari negara-negara ini dalam dollar AS meningkat karena meminjam dalam yen, sehingga menimbulkan krisis keuangan. (Ehrke: 2). Di lain pihak harus diakui bahwa sektor riil sudah lama menunggu pembenahan yang mendasar, namun kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun masih bisa ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan perekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Memang terjadi dislokasi sumber-sumber ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi oleh perorangan/kelompok tertentu yang menguntungkan mereka ini dan merugikan rakyat banyak dan perusahaan-perusahaan yang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG, monopoli di berbagai bidang, penyaluran dana yang besar untuk proyek IPTN dan mobil nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 9 jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar negeri, dan kurang dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun kelemahan sektor riil dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahi sektor riil saja, tidak memecahkan permasalahan. Krisis pecah karena terdapat ketidak seimbangan antara kebutuhan akan valas dalam jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS melambung dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera didahulukan untuk mengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri, membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas sosial dan politik. Program Reformasi Ekonomi IMF Menurut IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia disebabkan karena pemerintah baru meminta bantuan IMF setelah rupiah sudah sangat terdepresiasi. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya adalah mengembalikan kepercayaan pada mata uang, yaitu dengan membuat mata uang itu sendiri menarik. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial. (Fischer 1998b). Sementara itu pemerintah Indonesia telah enam kali memperbaharui persetujuannya dengan IMF, Second Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) tanggal 24 Juni, kemudian 29 Juli 1998, dan yang terakhir adalah review yang keempat, tanggal 16 Maret 1999. Program bantuan IMF pertama ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997. Program reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang: 1. Penyehatan sektor keuangan; 2. Kebijakan fiskal; 3. Kebijakan moneter; 4. Penyesuaian struktural. Untuk menunjang program ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit sekitar US$ 11,3 milyar selama tiga hingga lima tahun masa program. Sejumlah US$ 3,04 milyar dicairkan segera, jumlah yang sama disediakan setelah 15 Maret 1998 bila program penyehatannya telah dijalankan sesuai persetujuan, dan sisanya akan dicairkan secara bertahap sesuai kemajuan dalam pelaksanaan program. Dari jumlah total pinjaman tersebut, Indonesia sendiri mempunyai kuota di IMF sebesar US$ 2,07 milyar yang bisa dimanfaatkan. (IMF, 1997: 1). Di samping dana bantuan IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negaranegara sahabat juga menjanjikan pemberian bantuan yang nilai totalnya mencapai lebih 10 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 kurang US$ 37 milyar (menurut Hartcher dan Ryan). Namun bantuan dari pihak lain ini dikaitkan dengan kesungguhan pemerintah Indonesia melaksanakan program-program yang diprasyaratkan IMF. Sebagai perbandingan, Korea mendapat bantuan dana total sebesar US$ 57 milyar untuk jangka waktu tiga tahun, di antaranya sebesar US$ 21 milyar berasal dari IMF. Thailand hanya memperoleh dana bantuan total sebesar US$ 17,2 milyar, di antaranya US$ 4 milyar dari IMF dan masing-masing US$ 0,5 milyar berasal dari Indonesia dan Korea. Karena dalam beberapa hal program-program yang diprasyaratkan IMF oleh pihak Indonesia dirasakan berat dan tidak mungkin dilaksanakan, maka dilakukanlah negosiasi kedua yang menghasilkan persetujuan mengenai reformasi ekonomi (letter of intent) yang ditanda-tangani pada tanggal 15 Januari 1998, yang mengandung 50 butir. Saransaran IMF diharapkan akan mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan cepat dan kurs nilai tukar rupiah bisa menjadi stabil (butir 17 persetujuan IMF 15 Januari 1998). Pokokpokok dari program IMF adalah sebagai berikut: A. Kebijakan makro-ekonomi - Kebijakan fiskal - Kebijakan moneter dan nilai tukar B. Restrukturisasi sektor keuangan - Program restrukturisasi bank - Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan C. Reformasi struktural - Perdagangan luar negeri dan investasi - Deregulasi dan swastanisasi - Social safety net - Lingkungan hidup. Setelah pelaksanaan reformasi kedua ini kembali menghadapi berbagai hambatan, maka diadakanlah negosiasi ulang yang menghasilkan supplementary memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Cakupan memorandum ini lebih luas dari kedua persetujuan sebelumnya, dan aspek baru yang masuk adalah penyelesaian utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaan masing-masing program dirangkum dalam matriks komitmen kebijakan struktural. Strategi yang akan dilaksanakan adalah: 1. menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia; 2. memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan; 3. memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing; Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 11 4. menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta; 5. kembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bisa bangkit kembali. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Ke tujuh appendix adalah masing-masing: Kebijakan moneter dan suku bunga Pembangunan sektor perbankan Bantuan anggaran pemerintah untuk golongan lemah Reformasi BUMN dan swastanisasi Reformasi struktural Restrukturisasi utang swasta Hukum Kebangkrutan dan reformasi yuridis. Prioritas utama dari program IMF ini adalah restrukturisasi sektor perbankan. Pemerintah akan terus menjamin kelangsungan kredit murah bagi perusahaan kecilmenengah dan koperasi dengan tambahan dana dari anggaran pemerintah (butir 16 dan 20 dari Suplemen). Awal Mei 1998 telah dilakukan pencairan kedua sebesar US$ 989,4 juta dan jumlah yang sama akan dicairkan lagi berturut-turut awal bulan Juni dan awal bulan Juli, bila pemerintah dengan konsekuen melaksanakan program IMF. Sementara itu Menko Ekuin/ Kepala Bappenas menegaskan bahwa “Dana IMF dan sebagainya memang tidak kita gunakan untuk intervensi, tetapi untuk mendukung neraca pembayaran serta memberi rasa aman, rasa tenteram, dan rasa kepercayaan terhadap perekonomian bahwa kita memiliki cukup devisa untuk mengimpor dan memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri” (Kompas, 6 Mei 1998). Pencairan berikutnya sebesar US$ 1 milyar yang dijadwalkan awal bulan Juni baru akan terlaksana awal bulan September ini. Kritik Terhadap IMF Banyak kritik yang dilontarkan oleh berbagai pihak ke alamat IMF dalam hal menangani krisis moneter di Asia, yang paling umum adalah bahwa: (1) program IMF terlalu seragam, padahal masalah yang dihadapi tiap negara tidak seluruhnya sama; dan (2) program IMF terlalu banyak mencampuri kedaulatan negara yang dibantu (Fischer, 1998b). Radelet dan Sachs secara gamblang mentakan bahwa bantuan IMF kepada tiga negara Asia (Thailand, Korea dan Indonesia) telah gagal. Setelah melihat program penyelematan IMF di ketiga negara tersebut, timbul kesan yang kuat bahwa IMF sesungguhnya tidak menguasai permasalahan dari timbulnya krisis, sehingga tidak bisa keluar dengan program penyelamatan yang tepat. Salah satu pemecahan standar IMF adalah menuntut adanya surplus dalam anggaran belanja negara, padahal dalam hal Indonesia anggaran belanja negara sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 hampir selalu surplus, meskipun surplus 12 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 ini ditutup oleh bantuan luar negeri resmi pemerintah. Adalah kebijakan dari Orde Baru untuk menjaga keseimbangan dalam anggaran belanja negara, dan prinsip ini terus dipegang. Selama ini tidak ada pencetakan uang secara besar-besaran untuk menutup anggaran belanja negara yang defisit, dan tidak ada tingkat inflasi yang melebihi 10%. Memang dalam anggaran belanja negara tahun 1998/1999 terdapat defisit anggaran yang besar, namun ini bukan disebabkan karena kebijakan deficit financing dari pemerintah, tetapi oleh karena nilai tukar rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS. Semakin jatuh nilai tukar rupiah, semakin besar defisit yang terjadi dalam anggaran belanja. Karena itu pemecahan utamanya adalah bagaimana mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar. J. Stiglitz, pemimpin ekonom Bank Dunia, mengkritik bahwa prakondisi IMF yang teramat ketat terhadap negara-negara Asia di tengah krisis yang berkepanjangan berpotensi menyebabkan resesi yang berkepanjangan. Kemudian berlakunya praktek apa yang dinamakan “konsensus Washington”, yaitu negara pengutang lazimnya harus mendapatkan restu pendanaan dari pemerintah AS, yang pada dasarnya hanya memperluas kesempatan ekonomi AS. (Kompas, 13 Mei 1998). Kabar terakhir menyebutkan bahwa pencairan bantuan tahap ketiga awal Juni ni akan tertunda lagi atas desakan pemerintah AS yang dikaitkan dengan perkembangan reformasi politik di Indonesia, dan ini akan menunda cairnya bantuan dari sumber-sumber lain (Hartcher dan Ryan). Anwar Nasution mengkritik bahwa reformasi ekonomi yang disarankan IMF bentuknya masih samar-samar. Tidak ada penjelasan rinci, bagaimana caranya untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dan mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mencapai sasaran surplus anggaran sebesar 1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan bagaimana ingin dicapai sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan satu-satunya adalah peningkatan ekspor non-migas, namun kelemahan utama dari IMF adalah tidak ada program yang jelas untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya produksi untuk mendorong ekspor non-migas. (Nasution: 27-28). Penasehat khusus IMF untuk Indonesia (P.R. Narvekar) sendiri juga dikutip sebagai mengatakan bahwa “IMF kerap menerapkan standar ganda dalam pengambilan keputusan. Di satu pihak, perwakilan IMF mewakili negara dan pemerintahan dengan kebijakan dan visi politik masing-masing, sementara keputusan yang diambil harus mengacu pada fakta konkret ekonomi. Karenanya, ada saja peluang bahwa tudingan atas pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang makin marak belakangan ini, menjadi hal yang disoroti Dewan Direktur IMF dalam pengambilan keputusannya pekan depan”. Demikianpun halnya dengan Bank Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998). Sri Mulyani mengemukakan, bahwa di bidang kebijaksanaan makro IMF tidak memperlihatkan adanya konsistensi antarinstrumen kebijaksanaan. Di satu pihak IMF Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 13 memberikan kelenturan dengan mengizinkan dipertahankannya subsidi dan menyediakan dana untuk menciptakan jaringan keselamatan sosial, sedang di lain pihak menganut kebijaksanaan moneter yang kontraktif. Kedua kebijaksanaan ini bisa memandulkan efektivitas kebijaksanaan makro, terutama dalam rangka stabilitas nilai tukar dan inflasi. (Sri Mulyani: 72). “Secara makro ancaman kegagalan terbesar kesepakatan ketiga ini berasal dari kebijaksanaan moneter yang masih ambivalen, karena keharusan BI melakukan fungsi lender of last resort bagi perbankan nasional, yang bertentangan dengan tema pengetatan, juga ketidak sejalanan kebijaksanaan moneter dan fiskal” (Sri Mulyani: 72). Saran IMF menutup sejumlah bank yang bermasalah untuk menyehatkan sistim perbankan Indonesia pada dasarnya adalah tepat, karena cara pengelolaan bank yang amburadul dan tidak mengikuti peraturan, namun dampak psikologisnya dari tindakan ini tidak diperhitungkan. Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada otoritas moneter, Bank Indonesia dan perbankan nasional, sehingga memperparah keadaan dan masyarakat beramai-ramai memindahkan dananya dalam jumlah besar ke bank-bank asing dan pemerintah atau ditaruh di rumah, yang menimbulkan krisis likuiditas perbankan nasional yang gawat. Hal ini juga diakui oleh IMF (butir 14, 15 dan 24 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998). Pertanyaan mendasar yang harus ditujukan kepada IMF menurut penulis adalah sejauh mana IMF bersungguh-sungguh dalam hal membantu mengatasi krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia dewasa ini? Apakah sama seperti kesungguhan Amerika Serikat ketika membantu Meksiko bersama-sama dengan IMF dan negara-negara maju lainnya yang berhasil menggalang sebesar hampir US$ 48 milyar Januari 1995? Setelah mencapai titik terendah tahun 1995, perekonomian Meksiko dengan cepat pada tahun 1996 dapat bangkit kembali. Rencana IMF untuk mencairkan bantuannya secara bertahap dalam jarak waktu yang cukup jauh menunjukkan bahwa IMF menekan Indonesia untuk menjalankan programnya secara ketat dan membiarkan keadaan ekonomi Indonesia terus merosot menuju resesi yang berkepanjangan. Dengan menahan pencairan bantuan tahap kedua dan setelah diundur, hanya dicicil US$ 1 milyar dari jumlah US$ 3 milyar, ditambah jarak yang cukup lama antara paket bantuan pertama dan kedua, menyulitkan pemulihan ekonomi Indonesia secara cepat, menghilangkan kepercayaan terhadap rupiah, bahkan memperparah keadaan. Karena badan internasional lain dan negara-negara sahabat yang menjanjikan bantuan juga menunggu signal dari IMF, berhubung semua bantuan tambahan yang besarnya mencapai US$ 27 milyar dikaitkan dengan cairnya bantuan IMF. Di lain pihak, kita juga perlu berterima kasih kepada IMF karena dengan menunda mencairkan bantuannya, IMF sedikit banyak mempunyai andil dalam perjuangan menggulirkan tuntutan reformasi politik, ekonomi dan hukum di Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada mundurnya Presiden Soeharto. 14 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Saran IMF untuk menstabilkan nilai tukar adalah dengan menerapkan kebijakan uang ketat, menaikkan suku bunga dan mengembalikan kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi, dari waktu ke waktu mengadakan intervensi terbatas di pasar valas dengan petunjuk IMF (lihat butir 14, 16, 17, 21 dari persetujuan 15 Januari 1998; butir 5, 7 dari Suplemen). Sayangnya tidak ada program khusus yang secara langsung ditujukan untuk menguatkan kembali nilai tukar rupiah, juga tidak ada Appendix untuk masalah ini. IMF tidak memecahkan permasalahan yang utama dan yang paling mendesak secara langsung. IMF bisa saja terlebih dahulu mengambil kebijakan memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah, kalau mau, dengan mencairkan dana bantuan yang relatif besar pada bulan November lalu, yang didukung oleh bantuan dana dari World Bank, Asian Development Bank dan negara-negara sahabat. Dengan demikian timbulnya krisis kepercayaan yang berkepanjangan dapat dicegah. IMF sendiri tampaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan berputarputar pada kebijakan surplus anggaran, uang ketat, tingkat bunga tinggi, pembenahan sektor riil yang memang perlu dan sudah sangat mendesak, dan titipan-titipan khusus dari negaranegara maju yaitu membuka peluang investasi yang seluas-luasnya bagi mereka dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan Indonesia. Di lain pihak memang harus diakui bahwa tekanan ini perlu untuk memastikan kesungguhan Indonesia, karena untuk beberapa tindakan memang ada tanda-tanda kekurang sungguhan di pihak Indonesia. Tidak adanya program dari IMF yang jelas dan berjangka pendek untuk mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar dan menstabilkannya membuat pemerintah cukup lama terombang-ambing antara memilih program IMF atau currency board system, yang justru menjanjikan kepastian dan kestabilan nilai tukar pada tingkat yang wajar. Krisis ekonomi yang tengah berlangsung ini memang bukan tanggung-jawab IMF dan tidak bisa dipecahkan oleh IMF sendiri. Namun kekurangan yang paling utama dari IMF adalah bahwa IMF dalam program bantuannya tidak mencari pemecahan terhadap masalah yang pokok dan sangat mendesak ini dan berputar-putar pada reformasi struktural yang dampaknya jangka panjang. Bila semua kekuatan bantuan ini dikumpulkan sekaligus secara dini, maka hal ini dengan cepat akan memulihkan kembali kepercayaan masyarakat dalam negeri dan internasional. Namun bantuan dana IMF dan ketergantungan harapan pada IMF ini di(salah)gunakan untuk menekan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan reformasi struktural secara besar-besaran. Ibaratnya orang yang sudah hampir tenggelam diombang-ambing ombak laut tidak segera ditolong dengan dilempari pelampung, tapi disuruh belajar berenang dahulu. Reformasi struktural sebagaimana yang dianjurkan oleh IMF memang mendasar dan penting, tetapi dampak hasilnya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang, sementara pemecahan masalahnya sudah sangat mendesak, di mana makin ditunda makin banyak Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 15 perusahaan yang jatuh bergelimpangan. Banyak perusahaan yang mengandalkan pasaran dalam negeri tidak bisa menjual barang hasil produksinya karena perusahaan-perusahaan ini umumnya memiliki kandungan impor yang tinggi dan harga jualnya menjadi tidak terjangkau dengan semakin jatuhnya nilai tukar rupiah. Jadi, utang luar negeri swasta dan nilai tukar rupiah yang merosot jauh dari nilai riilnya adalah masalah-masalah dasar jangka pendek, yang lama tidak disinggung oleh IMF. Di sini timbul keragu-raguan akan kemurnian kebijakan reformasi IMF, sehingga timbul teka-teki, apakah IMF benar-benar tidak melihat inti permasalahannya atau berpura-pura tidak tahu? Atau IMF mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk memaksakan perubahan-perubahan yang sudah lama menjadi duri di matanya dan bagi Bank Dunia serta mewakili kepentingan-kepentingan asing? Tampaknya di balik anjuran program pemulihan kegiatan ekonomi ada titipan-titipan politik dan ekonomi dari negara-negara besar tertentu. Program reformasi IMF secara mencurigakan mengulang kembali tuntutan-tuntutan deregulasi ekonomi yang sudah sejak bertahun-tahun didengungkan oleh Bank Dunia dan belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia (lihat World Bank, 1996, bab 2;World Bank, 1997, bab 4 dan 5). Permintaan IMF untuk menghentikan dengan segera perlakuan pembebasan pajak dan kemudahan kredit untuk proyek mobil nasional dan IPTN adalah tepat, karena dalam jangka pendek proyek ini akan mengacaukan kebijakan pemerintah di bidang fiskal, anggaran dan moneter secara berarti. Juga saran IMF untuk menghapuskan subsidi BBM dan listrik yang kian membesar secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun sudah benar. Subsidi listrik relatif lebih mudah untuk dihapuskan, yakni melalui subsidi silang sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tetap dikenakan tarif listrik yang murah dan melalui peningkatan efisiensi, misalnya penagihan yang lebih efektif. Namun penurunan subsidi BBM dan listrik oleh pemerintah secara drastis dan mendadak pada tanggal 4 Mei 1998 yang lalu mempunyai dampak yang sangat luas terhadap perekonomian rakyat kecil, meskipun kepentingan rakyat kecil sangat diperhatikan dengan adanya jaringan keselamatan sosial. Tindakan drastis ini sedikit-banyak telah membantu memicu terjadinya kerusuhan-kerusuhan sosial dan politik. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah pemerintah tidak bisa menunda kenaikan BBM dan listrik untuk beberapa bulan, menunggu keresahan masyarakat reda? Di sini pemerintah salah membaca isi dari kesepakatan dengan IMF, karena IMF menganjurkan penghapusan subsidi secara bertahap dan tidak secara mendadak. Dalam suplemen program IMF April 1998 disebutkan bahwa subsidi masih bisa diberikan kepada beberapa jenis barang yang banyak dikonsumsi oleh penduduk berpenghasilan rendah seperti bahan makanan, BBM dan listrik. Dalam situasi sekarang hampir tidak ada peluang untuk meningkatkan pajak. Baru pada tanggal 1 Oktober 1998 direncanakan subsidi akan diturunkan secara berarti. (butir 10 dan 11 dari Suplemen). Subsidi untuk bahan pangan, BBM dan listrik sudah diperhitungkan dan dinaikkan dalam anggaran pemerintah (butir 20 dari Suplemen). Membengkaknya subsidi ini disebabkan 16 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 oleh beberapa faktor, seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besar yang tidak dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar rupiah. Jadi tindakan yang pokok adalah pertama mengembalikan dulu nilai rupiah ke tingkat yang wajar dan dari sini baru menghitung besarnya subsidi. Tidak bisa biaya produksi dihitung atas dasar nilai tukar dengan dollar AS yang masih relatif tinggi lalu dibebankan kepada konsumen, sementara pendapatan masyarakat adalah dalam rupiah yang tidak berubah sejak sebelum terjadinya krisis moneter, kalau tidak menurun dan banyaknya PHK. Keadaan ini tidak sebanding, kita harus melihat sebab-sebab lain di balik kenaikan biaya produksi. Halnya akan lain, bila pendapatan masyarakat dalam rupiah juga ikut naik dua atau tiga kali lipat sesuai dengan kenaikan nilai tukar dollar AS, seperti orang asing yang tinggal di Indonesia misalnya. Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan, siapa yang menjadi penyebab dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar valas naik sangat tinggi dan siapa yang menarik keuntungan dari krisis ini? Janganlah rakyat banyak diminta untuk berkorban mengatasi krisis ini atau membebankan di atas penderitaan rakyat dengan misalnya menaikkan harga BBM dan tarif listrik. Di antara saran-saran IMF juga ada yang mengenai perluasan penyertaan modal asing dalam kegiatan ekonomi Indonesia yang terlalu jauh. Modal asing sudah diberi peluang yang cukup besar untuk investasi di Indonesia dengan diperbolehkannya kepemilikan hingga 100% baik untuk pendirian PMA, bank asing maupun penguasaan saham dari perusahaan-perusahaan yang telah go public, kecuali saham bank nasional yang go public. Meskipun demikian IMF masih meminta dihapuskannya larangan membuka cabang bagi bank asing, izin investasi di bidang perdagangan besar dan eceran, dan liberalisasai perdagangan yang jauh lebih liberal dari komitmen resmi pemerintah di forum WTO, AFTA dan APEC. Masalahnya bukan sentimen nasionalisme, tetapi apa sumbangan dari keterbukaan ini terhadap restrukturisasi ekonomi dari program IMF, stabilisasi ekonomi dan moneter, dan apa sumbangannya terhadap pemasukan modal asing? Bukan masalah anti asing atau sentimen nasionalisme yang sempit, tetapi apa salahnya bila pemerintah menyisakan bidang kegiatan untuk pengusaha Indonesia, terutama yang bermodal kecil? Apa permintaan IMF ini tidak terlalu jauh? Kedengarannya seperti IMF menerima titipan pesan sponsor dari negara-negara besar yang ingin memaksakan kepentingannya dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan. (Bandingkan juga Sri Mulyani: 72-3). Saran IMF lainnya yang disisipkan dalam persetujuan dan tidak ada kaitannya dengan program stabilisasi ekonomi dan moneter adalah desakannya untuk menyusun UndangUndang Lingkungan Hidup yang baru (butir 50 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998). Ikut campurnya IMF dalam penyelesaian utang swasta adalah sangat baik, karena IMF sebagai lembaga yang disegani bisa banyak membantu memulihkan kepercayaan kreditor Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 17 luar negeri, yang akan memperlancar dan mempercepat proses penyelesaian utang. IMF bisa bertindak sebagai perantara yang netral dan dipercaya. Dampak dari Krisis Dewasa ini semua permasalahan dalam krisis ekonomi berputar-putar sekitar kurs nilai tukar valas, khususnya dollar AS, yang melambung tinggi jika dihadapkan dengan pendapatan masyarakat dalam rupiah yang tetap, bahkan dalam beberapa hal turun ditambah PHK, padahal harga dari banyak barang naik cukup tinggi, kecuali sebagian sektor pertanian dan ekspor. Imbas dari kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam secara umum sudah kita ketahui: kesulitan menutup APBN, harga telur/ayam naik, utang luar negeri dalam rupiah melonjak, harga BBM/tarif listrik naik, tarif angkutan naik, perusahaan tutup atau mengurangi produksinya karena tidak bisa menjual barangnya dan beban utang yang tinggi, toko sepi, PHK di mana-mana, investasi menurun karena impor barang modal menjadi mahal, biaya sekolah di luar negeri melonjak. Dampak lain adalah laju inflasi yang tinggi selama beberapa bulan terakhir ini, yang bukan disebabkan karena imported inflation4 , tetapi lebih tepat jika dikatakan foreign exchange induced inflation. Masalah ini hanya bisa dipecahkan secara mendasar bila nilai tukar valas bisa diturunkan hingga tingkat yang wajar atau nyata (riil). Dengan demikian roda perekonomian bisa berputar kembali dan harga-harga bisa turun dari tingkat yang tinggi dan terjangkau oleh masyarakat, meskipun tidak kembali pada tingkat sebelum terjadinya krisis moneter. Pada sisi lain merosotnya nilai tukar rupiah secara tajam juga membawa hikmah. Secara umum impor barang menurun tajam termasuk impor buah, perjalanan ke luar negeri dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri, kebalikannya arus masuk turis asing akan lebih besar, daya saing produk dalam negeri dengan tingkat kandungan impor rendah meningkat sehingga bisa menahan impor dan merangsang ekspor khususnya yang berbasis pertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat sejalan dengan merosotnya nilai tukar rupiah, pengusaha domestik kapok meminjam dana dari luar negeri. Hasilnya adalah perbaikan dalam neraca berjalan. Petani yang berbasis ekspor penghasilannya dalam rupiah mendadak melonjak drastis, sementara bagi konsumen dalam negeri harga beras, gula, kopi dan sebagainya ikut naik. Sayangnya ekspor yang secara teoretis seharusnya naik, tidak terjadi, bahkan cenderung sedikit menurun pada sektor barang hasil industri. Meskipun penerimaan rupiah petani komoditi ekspor meningkat tajam, tetapi penerimaan ekspor dalam valas umumnya tidak berubah, karena pembeli di luar negeri juga menekan harganya karena tahu petani dapat untung besar, dan negara-negara produsen lain juga mengalami depresiasi 4 Suatu inflasi dikatakan terjadi karena imported inflation bila harga barang-barang di negara pengekspornya naik, dan ini tidak terjadi. 18 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 dalam nilai tukar mata uangnya dan bisa menurunkan harga jual dalam nominasi valas. Hal yang serupa juga terjadi untuk ekspor barang manufaktur, hanya di sini ada kesulitan lain untuk meningkatkan ekspor, karena ada masalah dengan pembukaan L/C dan keadaan sosial-politik yang belum menentu sehingga pembeli di luar negeri mengalihkan pesanan barangnya ke negara lain. Sebagai dampak dari krisis ekonomi yang berkepanjangan ini, pada Oktober 1998 ini jumlah keluarga miskin diperkirakan meningkat menjadi 7,5 juta, sehingga perlu dilancarkan program-program untuk menunjang mereka yang dikenal sebagai social safety net. Meningkatnya jumlah penduduk miskin tidak terlepas dari jatuhnya nilai tukar rupiah yang tajam, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara penghasilan yang berkurang karena PHK atau naik sedikit dengan pengeluaran yang meningkat tajam karena tingkat inflasi yang tinggi, sehingga bila nilai tukar rupiah bisa dikembalikan ke nilai nyatanya maka biaya besar yang dibutuhkan untuk social safety net ini bisa dikurangi secara drastis. Namun secara keseluruhan dampak negatifnya dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar dari dampak positifnya. Prospek Ekonomi Indonesia Prospek ekonomi untuk beberapa tahun mendatang adalah kurang cerah dan akan ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang negatif. Menurut perkiraan IMF pada bulan Maret 1999 lalu, pertumbuhan GDP nyata Indonesia pada tahun 1998/9 diperkirakan akan negatif sebesar 16%, dan tingkat inflasi sekitar 66%. Keadaan ekonomi yang sangat parah ini diperkirakan pada bulan-bulan mendatang masih akan berlangsung terus, karena krisis belum juga menyentuh dasar jurang. Berapa lama krisis ekonomi ini masih akan berlangsung, sulit untuk diramalkan karena tergantung pada banyak faktor. Faktor-faktor tersebut adalah bantuan IMF dan donor-donor lainnya yang segera, menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada tingkat yang wajar, pulihnya kepercayaan investor dalam dan luar negeri, keamanan yang mantap, suasana politik dan sosial yang stabil. Tapi sekali krisis berakhir dan ekonomi berbalik bangkit kembali (rebound), maka perbaikan ini diperkirakan akan berlangsung relatif cepat. Karena prasarana dasar untuk pembangunan sudah tersedia, tenaga terlatih, pabrik, mesin-mesin sudah ada, sehingga yang diperlukan adalah pulihnya kepercayaan dan masuknya modal baru. Saran-Saran Krisis moneter telah memberikan pelajaran yang sangat berharga untuk menentukan kebijakan di masa depan, maka upaya yang paling utama dan mendesak bagi Indonesia Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 19 dewasa ini adalah program penyelamatan yang bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat serta menstabilkan kurs rupiah pada nilai tukar yang nyata (bandingkan juga Stiglitz). Para ekonom dari CSIS berpendapat bahwa langkah yang harus diambil untuk mengatasi kemelut ini adalah dengan menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam tingkat yang wajar, restrukturisasi perbankan, dan penyelesaian masalah utang swasta dengan penjadwalan ulang (Kompas, 9 April 1998). Penulis menginterpretasikan nilai tukar nyata sebagai nilai tukar berdasarkan purchasing power parity yang bisa menjaga keseimbangan dalam neraca berjalan dan yang bisa menjamin ekonomi nasional beroperasi. Dengan sistim ini, harga barang-barang produksi dalam negeri dengan kandungan lokal tinggi bisa meningkat daya saingnya sehingga bisa berkembang dan orang tidak mengandalkan bahan impor karena menjadi mahal, industrialisasi substitusi impor berlanjut, harga mobil terjangkau oleh masyarakat, impor secara otomatis akan berkurang (misalnya buah, jalan-jalan ke luar negeri, berobat di luar negeri, kirim anak sekolah di luar negeri, pola makan makanan yang bahannya gandum), dan meningkatkan ekspor. Kegiatan jasa hotel, perjalanan, perdagangan dan angkutan juga bisa hidup kembali. Setelah mendapat pengalaman dari krisis ini, dana asing akan sangat hati-hati masuk ke Indonesia, begitupun pengusaha domestik akan sangat hati-hati untuk meminjam dari luar negeri. Ditambah dengan hilangnya insentif untuk meminjam dari luar negeri karena biaya pinjaman yang lebih rendah diimbangi dengan tingkat depresiasi yang lebih tinggi dan karena tidak adanya lagi intervensi kurs oleh BI. Dengan demikian sumber utama krisis di masa lalu untuk masa mendatang sudah dapat dieliminir, sejauh persyaratan di atas bisa dipenuhi. Dengan demikian, kegiatan ekonomi Indonesia terutama harus ditunjang oleh kekuatan sendiri berdasarkan dana modal yang tersedia di dalam negeri. Dunia perbankan nasional juga telah diajarkan dari manfaat jangka panjang untuk bertindak prudent. Bank Dunia menyarankan mengembalikan kepercayaan terhadap rupiah dengan empat kebijakan utama: restrukturisasi beban utang swasta, reformasi dan memperkuat sistim perbankan, memperbaiki “governance”, dan menjaga stabilitas fiskal dan moneter selama masa transisi (World Bank, 1998, p. 2.2). Inti dari pemecahan krisis moneter dalam jangka pendek haruslah ditujukan kepada pencegahan penumpukan pembayaran utang luar negeri, baik swasta maupun pemerintah, pada suatu saat tertentu dan membagi (spread-out) pembayaran ini secara merata dalam jangka waktu yang lebih panjang pada tingkat yang terkendali (manageable). Beberapa saran dari penulis untuk mengatasi krisis ekonomi dewasa ini adalah sebagai berikut: 20 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 1. Karena Indonesia telah menanda-tangani persetujuan program reformasi struktural ekonomi dengan IMF, maka pemerintah juga harus melaksanakannya dengan konsekuen, terlebih lagi karena bantuan IMF ini terkait dengan bantuan negara-negara donor lainnya yang jumlahnya sangat besar. Pemerintah melaksanakan reformasi dan restrukturisasi sektor riil dan keuangan secara konsekuen untuk memperkuat fundamental ekonomi Indonesia. Makin cepat pemerintah melaksanakan program-program reformasi, makin cepat juga dananya cair. Yang nanti akan menjadi masalah adalah bagaimana membayar utang bantuan darurat yang mencapai US$ 46 milyar tersebut di samping utang-utang pemerintah dan swasta yang ada. Namun pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, harus bertindak proaktif menghadapi IMF dengan mengajukan saran-sarannya sendiri dan menolak program-program yang tidak relevan dan cenderung merugikan Indonesia. 2. Membentuk kabinet baru yang terdiri atas teknokrat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat Indonesia maupun luar negeri akan kesungguhan program reformasi. Dengan adanya kepercayaan ini, termasuk program reformasi IMF, diharapkan akan terjadi arus balik devisa dan masuknya modal luar negeri. 3. Mengusahakan penundaan pembayaran utang resmi pemerintah berupa pembayaran cicilan pokok dan bunga selama misalnya dua tahun melalui Paris Club. Sejauh ini Indonesia memang selalu patuh untuk membayar semua utang-utangnya secara tepat waktu, yang juga selalu mendapatkan pujian dari Bank Dunia dan IMF. Namun dalam keadaan krisis yang parah ini, apa salahnya jika Indonesia meminta penundaan waktu pembayaran kembali utang? Nama Indonesiapun tidak menjadi jelek karenanya, sebab Paris Club adalah instrumen internasional yang memang khusus dirancang untuk membantu negara-negara sedang berkembang dalam menghadapi masalah pembayaran kembali utang-utang luar negeri pemerintah. Sementara ini sudah banyak negara sedang berkembang yang memanfaatkan fasilitas ini. Dengan demikian, Indonesia bisa bernapas untuk memperkuat posisi cadangan devisanya. Sebab menurut APBN tahun 1998/99 jumlah pembayaran cicilan utang pokok luar negeri beserta bunganya mencapai US$ 7.560 juta, sementara pinjaman luar negeri baru sebesar US$ 6.450 juta. Jumlah ini sangat berarti untuk memperkuat cadangan devisa negara. Seandainya Indonesia tidak menerima bantuan barupun, maka masih ada selisih positif sebesar lebih dari US$ 1 milyar yang bisa dihemat. Keuntungan dari penundaan pembayaran utang ini adalah, bahwa beban utang tidak menjadi bertambah, hanya saja jangka waktu pembayaran kembalinya saja yang lebih panjang, tanpa merusak nama Indonesia sebagai debitur yang baik. Bila Jepang hanya mau membantu dengan dengan menambah pinjaman baru, berarti bahwa beban utang termasuk pembayaran bunga untuk di kemudian hari akan bertambah besar. Penjadwalan kembali pembayaran utang resmi pemerintah ini juga akan banyak Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 21 membantu meringankan defisit anggaran belanja, terlebih lagi dengan semakin terpuruknya nilai tukar rupiah semakin besar pula defisit dalam anggaran belanja negara yang harus ditutup. Hal ini telah dilakukan oleh pemerintah dan telah dicapai kesepakatan, bahwa Indonesia akan menunda pembayaran cicilan utang pokoknya saja. 4. Menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang riil, artinya tidak lagi overvalued ketika regim managed floating, bahkan bisa dipertimbangkan untuk membiarkannya sedikit undervalued untuk meningkatkan daya saing secara internasional dan merangsang produksi dalam negeri dan ekspor. Nilai tukar nyata yang wajar ini harus dicari dengan memperhatikan kriteria-kriteria berikut, paling tidak tingkat depresiasi rupiah tidak lebih rendah dari depresiasi nyatanya. Dengan kurs ini defisit anggaran belanja negara bisa ditekan, juga tingkat inflasi, pembayaran utang luar negeri pemerintah dan swasta dalam rupiah dapat ditekan sehingga mampu dikembalikan, begitupun harga BBM/listrik dan pakan ternak, harga barang-barang produksi dalam negeri dapat terjangkau termasuk sembako dan pabrik-pabrik beroperasi kembali, orang-orang yang menganggur dapat bekerja kembali, jumlah penduduk miskin dapat ditekan kembali dan jaringan keamanan sosial tidak lagi diperlukan, biaya angkutan udara bisa diturunkan, perjalanan domestik dan luar negeri dapat hidup kembali. Dilain pihak kurs dollar AS ini harus cukup tinggi untuk menahan impor berbagai macam barang dan bahan serta meningkatkan daya saing produk dalam negeri termasuk buah-buahan, insentif untuk meminjam dana dari luar negeri hilang, biaya perjalanan ke dan sekolah di luar negeri tetap masih mahal, yang semuanya mengurangi pengurangan devisa. Sebaliknya daya saing ekspor masih cukup tinggi, sehingga ekspor masih bisa tetap bergairah. Bila ini disadari sebagai hal yang utama dan yang paling mendesak untuk mengakhiri krisis ini, maka seluruh daya upaya dan pikiran dapat diarahkan untuk memecahkan persoalannya. Kebijakan depresiasi nilai tukar yang relatif besar dampaknya sama seperti kebijakan proteksi produksi dalam negeri, karena merubah perbandingan harga antara barang dalam negeri aktif dalam forum-forum internasional seperti APEC, ASEAN, dan sebagainya untuk mencari pemecahan atas krisis moneter yang sedang melanda banyak negara Asia Timur. Masalah pokoknya adalah bagaimana memperkuat nilai tukar mata uang masing-masing kembali pada tingkat yang wajar. Misalnya dengan mengajukan gagasan-gagasan pemecahan yang konkrit dan mendesak diadakannya pertemuanpertemuan dengan segera. Hingga kini sikap pemerintah Indonesia terkesan pasif. 6. Mengadakan negosiasi ulang utang luar negeri swasta Indonesia dengan para kreditor untuk meminta penundaan pembayaran, yang sekarang sedang diusahakan oleh Tim Penanggulangan Utang Luar Negeri Swasta (PULNS) atau Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA). 22 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 7. Mengembalikan stabilitas sosial dan politik dan rasa aman secepatnya sehingga bisa memulihkan kepercayaan pemilik modal dalam dan luar negeri. 8. Untuk mengembalikan kepercayaan dari masyarakat yang menyimpan uangnya di dalam negeri, pemerintah bisa mempertimbangkan melakukan operasi swap, apalagi didukung oleh cadangan devisa pemerintah yang semakin membesar. 9. Menghalangi kemungkinan kegiatan spekulasi valas besar-besaran dengan mempelajari kemungkinan melakukan pengawasan devisa secara terbatas tanpa melepas prinsip regim devisa bebas atau melanggar kesepakatan dengan IMF, misalnya transfer pribadi dibatasi sampai jumlah tertentu, US$ 10.000. Selanjutnya tidak memberi peluang untuk memperdagangkan rupiah atau menaruh deposito Rupiah di luar negeri. Deposito valas hanya boleh di bank-bank devisa dalam negeri dan tidak boleh ditempatkan di luar. Krugman juga menganjurkan memungut pajak atas dana yang masuk dan membuat peraturan yang menghambat pengiriman dana ke luar (lihat Wessel dan Davis, hal. 16). Daftar Kepustakaan Anwar, Moh. Arsjad. 1997. “Transformasi Struktur Perekonomian Indonesia: Pola dan Potensi”, dalam: M. Pangestu, I. Setiati (penyunting), Mencari Paradigma Baru Pembangunan Indonesia, Jakarta: CSIS, hal. 33-48. Bank Indonesia. 1998. “Financial Crisis in Indonesia”, Jakarta, August. Bello, W. 1998. “Mencari Solusi Alternatif untuk Mengatasi Krisis”, saduran, Jakarta: Kompas, 1 September, hal. 3. Ehrke, M.1998. “Pangloss oder die beste aller moeglichen Welten, Ursachen und Auswirkungen der Asienkrise”, Bonn: Friedrich Ebert Stiftung, Februari. Fischer, S. 1998a. “IMF dan Krisis Asia”, Kompas, Jakarta, 6 April. ________. 1998b. “Peranan IMF Saat Krisis”, Kompas, Jakarta, 8 April. ________. 1998c. “The Asian Crisis and the Changing Role of the IMF”, Washington, D.C.: Finance & Development, Vol. 35 No. 2, June, pp. 2-5. Greenwood, J. 1997. “The Lessons of Asia’s Currency Crisis”, Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, 9 Oktober, hal. 6. Gunawan, A.H., Sri Mulyani I.. 1998. “Krisis Ekonomi Indonesia dan Reformasi (Makro) Ekonomi”, makalah pada Simposium Kepedulian Universitas Indonesia Terhadap Tatanan Masa Depan Indonesia”, Kampus UI, Depok, 30 Maret - 1 April. Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 23 Hartcher, P., C. Ryan. 1998. “The IMF Turns Off the Tap”, Australian Financial Review, May 21. Hollinger, W.C. 1996. Economic Policy under President Soeharto: Indonesia’s Twenty-Five Year Record, the United States-Indonesia Society. IMF. 1997. “IMF Approves Stand-By Credit for Indonesia”, Washington, D.C., Press Release No. 97/50, November 5. IMF. 1997. “IMF Approves Stand-By Credit for Indonesia”, Press Release No. 97/50, November 5. IMF. 1998. World Economic Outlook, Washington, D.C., May. IMF. 1999. “Indonesia, Supplemetary Memorandum of Economic and Financial Policies, Fourth Review Under the Extended Arrangement”, March 16. IMF Research Department Staff. 1997. “Capital Flow Sustainability and Speculative Currency Attacks”, Finance and Development, Washington, D.C.: World Bank, December, hal. 8-11. IMF Staff. 1998. “The Asian Crisis: Causes and Cures”, Washington, D.C.: Finance & Development, Vol. 35 No. 2, June, pp.18-21. “IMF Cairkan Semilyar Dollar AS”, Jakarta: Kompas, 6 Mei 1998. “IMF Mulai Sadar Transparensi”, Jakarta: Kompas, 13 Mei 1998, hal. 9. “Indonesia - IMF Agreement on Economic Reforms”, January 15, 1998. “Indonesia - Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies”, Jakarta, April 10, 1998. Institute of Developing Economies (IDE). 1997. 1998 Economic Outlook for East Asia, Tokyo, December 9. Kitamura, K.; T. Tanaka (editors). 1997. Examining Asia’s Tigers, Nine Economies Challenging Common Structural Problems, Tokyo: Institute of Developing Economies, IDE Spot Survey. Korea Letter of Intent, February 7, 1998, Krause, L.B. 1994. The Pacific Century: Myth or Reality?, the 1994 Panglaykim Memorial Lecture, Jakarta: CSIS. 24 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Krugman, P. 1994. “The Myth of Asia’s Miracle”, Foreign Affairs, November/December, hal. 62-77. _________. 1997. “Currency Crisis”. _________. 1998a. “What Happened to Asia”, The Economist, January. Dimuat di Kompas dengan judul “Di Balik Terjadinya Krisis Keuangan Asia”, 27 Januari, hal. 17. __________. 1998b. “Saatnya Dipertimbangkan Solusi Alternatif”, Jakarta: Kompas, 28 Agustus, hal. 3. Montes, M.F. 1998. The Currency Crisis in Southeast Asia, Singapore: ISEAS, 3rd updated reprint. Nasution, Anwar. 1997. “Lessons from the Recent Financial Crisis in Indonesia”, makalah pada “1997 Economics Conference”, diselenggarakan bersama oleh USAID, ACAES, LPEM-FEUI, Jakarta, 17-18 Desember. Radelet, S., J. Sachs. 1998. “Why Not Let the Banks Own the Debtor Firms?”, The Sunday Times, Singapore, July 26, p. 28-29. “RI-IMF Hasilkan Memorandum Tambahan”, Jakarta: Kompas, 9 April 1998. “Saran Ali Wardhana untuk Atasi Krisis, Ada yang Harus Dilakukan dan yang Harus Dihindari”, Jakarta: Kompas, 26 Agustus 1998, hal. 3. Schuman, M., N. Cho. 1997. “South Korea, IMF Agree on Bailout; Economy Is Slated for Rapid Change”, Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, December 4. Sender, H.1997. “What’s a Fund for?”, Hong Kong: Far Eastern Economic Review, September 25, hal. 140-2. Soros, G. 1998. “The Crisis of Global Capitalism”, Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, September 16. Stiglitz, J. 1998. “Restoring the Asian Miracle”, Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, February 2, hal. 8. Sri Mulyani Indrawati. 1998. “Kesepakatan Ketiga”, Gatra, No. 25 Tahun IV, Jakarta, 9 Mei, hal. 72-3. Tarmidi, L.T. 1998a. “APEC dan Krisis Moneter di Kawasan Asia Timur”, majalah Global, Jakarta, No. 5, hal. 31-38. ___________. 1998b. Krisis Moneter Tahun 1997/1998 dan Peran IMF, pidato pengukuhan Guru Besar Madya Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 10 Juni. Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 25 ___________. 1998c. “APEC and the Monetary Crisis in East Asia”, paper presented at the APEC Study Centre Consortium Conference, Bangi, Malaysia, August 11-13. Thailand Letter of Intent, February 24, 1998. “Utang Swasta Sekitar 64 Milyar Dollar AS”, Jakarta: Kompas, 2 Mei 1998. Wessel, D., B. Davis. 1998. “Crisis Crusaders, Would-Be Keyneses Debate How to Fight Global Woes”, Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, September 28, hal. 1, 16. Wessel, D., D. McDermott, G. Ip. 1997. “Money Trail: Who Ruptured the Rupiah”, Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, December 31, hal. 1, 22. World Bank. 1994. Indonesia: Stability, Growth and Equity in Repelita VI, May 27. __________. 1996. Indonesia, Dimensions of Growth, Report No. 15383-IND, May 7. __________. 1997. Indonesia, Sustaining High Growth with Equity, Report No. 16433IND, May 30. __________. 1998. Indonesia in Crisis, A Macroeconomic Update, draft Report, July 2. Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia 31 KONSEP CROSS-GUARANTEE DALAM PROGRAM PENJAMINAN DAN KEMUNGKINAN PENERAPANNYA DI INDONESIA Maulana Ibrahim dan Agusman *) Tulisan ini mencoba mengetengahkan salah satu bentuk pikiran alternatif dalam program penjaminan yang dikenal dengan konsep Cross-Guarantee. Sangat berbeda dengan konsep-konsep lainnya dalam program penjaminan, konsep ini sangat progresif dalam hal mempercayakan penyelenggaraan penjaminan kepada mekanisme pasar dan meniadakan intervensi pemerintah, sehingga mengarah sepenuhnya pada swastanisasi baik penyelenggaraan penjaminan maupun pelaksanaan pengaturan dan pengawasan bank yang menyertainya. Sebagai suatu konsep yang ditujukan untuk mengatasi berbagai kelemahan deposit insurance scheme yang berlaku sekarang ini, maka konsep Cross-Guarantee menekankan pentingnya penggunaan pendekatan risk-sensitive analysis dalam penetapan besarnya premi. Konsep ini juga mengupayakan adanya perlakuan yang sama untuk bank-bank besar dan bank-bank kecil dalam memper-oleh penjaminan. Pendekatan Too-Big-To-Fail (TBTF) yang sejak beberapa waktu terakhir telah menimbulkan inkonsistensi dalam proses penjaminan diharapkan dapat dihilangkan oleh konsep ini. Apabila diterapkan sepenuhnya, konsep Cross-Guarantee juga akan mengakibatkan perubahan yang sangat mendasar terhadap seluruh pola dan praktek penjaminan dan pengawasan bank yang sudah dijalankan selama ini. Dengan merujuk pada ide yang dilontarkan Bert Ely tentang CrossGuarantee, dalam tulisan ini akan didalami prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam konsep tersebut beserta pengaruhnya terhadap pola penjaminan dan pengawasan bank, sekaligus mempelajari kemungkinan penerapannya di Indonesia. *) Maulana Ibrahim : Kepala Urusan Pengawasan Bank 2, Bank Indonesia Agusman : Pengawas Bank, Urusan Pengawasan Bank 2, Bank Indonesia 32 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Pendahuluan rogram penjaminan merupakan salah satu kebijaksanaan yang diambil pemerintah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada sistem perbankan nasional yang sempat terganggu karena parahnya krisis ekonomi dan keuangan yang dihadapi Indonesia sejak paroh kedua tahun 1997. Ditinjau dari karakteristiknya, skim program penjaminan yang dipilih pemerintah tersebut ternyata lebih bersifat blanket guarantee (penjaminan menyeluruh). P Sulit untuk memungkiri bahwa skim penjaminan pemerintah yang bersifat menyeluruh itu akan sangat memberatkan keuangan pemerintah, khususnya karena tidak sebandingnya nilai premi dengan cakupan penjaminan disamping adanya peluang untuk melakukan moral hazard. Untuk tindakan darurat1 , hal tersebut barangkali masih dapat diterima, namun untuk jangka panjang tampaknya perlu dicari alternatif lain yang memungkinkan terselenggaranya program penjaminan yang efisien dan efektif. Dalam hubungan ini, Kusumaningtuti (1999)2 misalnya, telah mencoba mengkaji kemungkinan penggantian ketentuan blanket guarantee tersebut dengan deposit protection scheme. Pencarian kemungkinan alternatif lain program penjaminan merupakan hal yang perlu dilakukan secara terus menerus. Di Amerika Serikat sendiripun upaya pencarian tersebut masih tetap dilakukan meskipun program penjaminannya dianggap telah jauh lebih maju dan mapan. Dalam Konferensi mengenai Bank Structure and Competition yang baru-baru ini diadakan oleh Federal Reserve Bank of Chicago, Bert Ely3 , seorang pakar deposit insurance telah mengemukakan konsep Cross-Guarantee sebagai salah satu alternatif. Tulisan ini mencoba mengetengahkan pikiran-pikiran Bert Ely mengenai konsep CrossGuarantee tersebut, serta mencoba mempelajari kemungkinan penerapannya di Indonesia. Latar Belakang Konsep Cross-Guarantee Konsep Cross-Guarantee muncul antara lain karena adanya berbagai kritik dan ketidakpuasan terhadap skim penjaminan yang diterapkan pada Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) di Amerika Serikat. Kritikan tersebut perlu ditanggapi karena FDIC 1 Menurut V.Sundararajan dan Tomas J.T.Balino, tindakan darurat (emergency measures) yang dilakukan bank sentral dapat berupa pemberian fasilitas lender of last resort, intervensi terhadap bank-bank/lembaga keuangan bermasalah dan pembentukan deposit insurance. Untuk mendalami masalah ini lebih lanjut lihat tulisan mereka berdua dalam Banking Crises: Cases and Issues, Editor: V.Sundararajan dan Tomas J.T.Balino, International Monetary Fund, Washington, D.C., 1991. 2 Kusumaningtuti S.S., Ketentuan Blanket Guarantee dan Kemungkinan Penggantiannya dengan Deposit Protection Scheme, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Vol.1, No.3, Desember 1998. 3 Bert Ely, The Cross-Guarantee Concept and Interbank Markets, Paper dalam “The 35th Annual Conference on Bank Structure and Competition”, The Federal Reserve Bank of Chicago, 7 Mei 1999. Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia 33 sekarang ini menghadapi risiko yang lebih besar dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya4 . Salah satu hal yang memperoleh kritikan adalah mengenai ruang lingkup penjaminan FDIC yang cenderung agak kurang konsisten sehubungan dengan penerapan pendekatan “Too-Big-To-Fail” (TBTF). Sebagaimana diketahui, pada dasarnya yang dijamin oleh FDIC adalah dana pihak ketiga (deposits) maksimum sebesar USD.100.000,- sedangkan non-deposits liabilities seperti pinjaman yang diterima, komitmen dan kewajiban off-balance sheet serta kewajiban antar bank di atas USD.100.000 tidak dijamin. Namun dalam hal suatu bank dinilai TBTF maka seluruh pos kewajibannya akan dijamin, termasuk juga pos pinjaman subordinasi. Meskipun penerapan asas TBTF sangat dimungkinkan berdasarkan konsep Reformasi Deposit Insurance (deposit insurance reforms) yang disetujui Kongres Amerika Serikat dan berlaku sejak setelah tahun 1988, akan tetapi tetap saja ada kritik bahwa perlakuan khusus tersebut dapat menimbulkan diskriminasi diantara sesama bank, khususnya bagi bankbank yang “Too-Small-To-Safe” (TSTS), sehingga pada gilirannya dapat merugikan masyarakat penyimpan dana. Kritikan berikutnya yang sering ditujukan kepada FDIC adalah berkenaan dengan penetapan premi yang harus dibayar oleh bank-bank yang ikut penjaminan. Perhitungan premi oleh FDIC dinilai kurang mencerminkan risiko yang harus ditanggungnya. Sebagaimana layaknya perusahaan asuransi, seharusnya semakin besar risiko yang ditanggung semakin besar premi, dan sebaliknya5 . Namun dalam prakteknya prinsip tersebut ternyata tidak diterapkan karena dua alasan pokok berikut ini. Pertama, pendapatan dari penanaman dana oleh FDIC jauh melebihi biaya-biaya operasionalnya. Dengan kata lain, laba yang diperoleh FDIC cukup besar sehingga ketergantungan pada premi menjadi semakin lebih berkurang. Alasan kedua adalah karena jumlah dana yang ditanamkan oleh FDIC telah melebihi ketentuan minimum Reserve Ratio (RR) perbankan sebesar 1,25%. Oleh karena itu, tampaknya hanya dalam FDIC mengalami kerugian dan deposit growth menekan RR di bawah 1,25% barulah premi akan dinaikkan. Disamping itu premi yang dikenakan oleh FDIC sekarang ini juga dinilai terlalu berlebihan (overcharging) untuk bank-bank yang sehat dan terlalu kecil (undercharging) untuk bank-bank yang bermasalah, sehingga menimbulkan cross-subsidies, yaitu bank-bank yang 4 Adanya risiko yang lebih besar tersebut antara lain dikemukakan oleh Jin-Chuan Duan, Arthur F. Moreau dan C.W.Sealey dalam “Deposit Insurance and Bank Interest Rate Risk: Pricing and Regulatory Implications”, Journal of Banking & Finance, No.19 Tahun 1995, hal.1091-1108. 5 Ide agar FDIC menetapkan premi sebagaimana layaknya perusahaan asuransi swasta mula-mula sekali dilontarkan oleh Merton (1977). Hal ini diungkap dalam tulisan Yoram Landskroner dan Jacob Paroush, “Deposit Insurance Pricing and Social Welfare”, Journal of Banking & Finance, No.18, Tahun 1994, hal. 531-552. 34 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 sehat membayar kewajiban bank-bank yang tidak sehat. Hal ini erat kaitannya dengan belum diterapkannya secara penuh prinsip risk-sensitive premium sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Section 302 FDICIA6 serta penggunaan alat ukur risiko yang belum sesuai. Sekarang ini FDIC menggunakan 2 (dua) alat ukur risiko yaitu Capital Levels dan CAMEL Rating, namun pendekatan ini dinilai kurang ideal dalam perhitungan premi. Menurut Bert Ely, seharusnya alat ukur yang digunakan adalah leading indicators of banking risks seperti risk mismatches, rapid growth, weak internal controls dan execessive exposure to emerging speculative bubbles. Kritikan lainnya adalah mengenai masih terbukanya peluang untuk melakukan moral hazard dalam sistem yang berlaku sekarang. Hal ini terjadi karena pada satu pihak FDIC memiliki kekuasaan besar dalam penentuan premi, sedangkan pihak lain yaitu birokrasi pemerintah (regulator) berkewajiban untuk meminimumkan kerugian FDIC dan mencegah kegagalan bank (bank failures). Struktur seperti ini ternyata dapat mengakibatkan terjadinya regulatory moral hazard pada tingkat pembuat ketentuan, dan potensial untuk berubah menjadi real moral hazard pada tingkat FDIC. Contoh yang paling baru dari fenomena regulatory moral hazard ini adalah dalam hal kegagalan BestBank di Boulder, Colorado pada bulan Juli 1998. Karakteristik Sistem Cross-Guarantee dalam Penjaminan Terlepas dari berbagai kritik terhadap skim penjaminan FDIC sebagaimana dikemukakan di atas, secara implisit konsep Cross-Guarantee sebenarnya sudah melekat pada FDIC, meskipun belum seutuhnya. Melalui premi yang mereka bayar, bank-bank yang ikut program penjaminan FDIC pada hakekatnya saling menjamin satu-sama lain, karena masing-masing bank-bank yang dijamin (insured banks) pada akhirnya menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap semua kerugian yang terjadi apabila ada bank-bank yang mengalami kegagalan usaha (failed banks). Mekanisme Cross-Guarantee ini memiliki kemiripan dengan mekanisme yang berlaku pada Standby Letter of Credits, khususnya dalam hal terdapat multiple participant. Penerapan konsep Cross-Guarantee dalam program penjaminan memer-lukan perubahan mendasar terhadap skim penjaminan dan pola pengawasan bank yang sedang berjalan. Perubahan-perubahan tersebut dapat mencakup aspek penyelenggara, lembaga penjamin, ruang-lingkup penjaminan, bentuk kontribusi dari bank yang dijamin, sumber pembayaran klaim, pelaksana pengawasan bank, ketentuan perbankan, lembaga lain yang terlibat dan lain-lain. Pada Lampiran-1 disajikan perbandingan antara Cross-Guarantee dengan skim penjaminan deposit insurance konvensional untuk masing-masing aspek tersebut. 6 FDICIA singkatan dari FDIC Improvement Act. Menurut George G.Kaufman, apabila diterapkan secara penuh maka ketentuan yang tercakup dalam FDICIA dapat efektif menurunkan moral hazard. Selanjutnya lihat George G.Kaufman, “FDICIA and Bank Capital” dalam Journal of Banking & Finance, No.19, Tahun 1995, hal.721-722. Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia 35 Agar konsep Cross-Guarantee tersebut dapat diimplementasikan dalam praktek maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Setiap bank diberi kebebasan untuk menentukan sendiri penjaminnya (direct guarantornya). Bank yang dijamin (insured bank) selanjutnya akan melakukan pembicaraan dengan direct guarantor-nya untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan yang akan dituangkan dalam bentuk perjanjian penjaminan (cross-guarantee contract). Perjanjian ini akan berfungsi sebagai pengganti ketentuan perbankan yang berlaku sekarang. Dengan demikian, akan terjadi pergeseran dari government regulation and deposit insurance kepada contractual regulation and guarantees (swasta). b. Apabila direct guarantor gagal memenuhi kewajibannya maka guarantor dari direct guarantor tersebut harus bertanggungjawab. Secara bersama-sama para direct guarantor akan membentuk suatu sindikat direct guarantor (lihat Lampiran-2). Selanjutnya, secara accrual accounting setiap direct guarantor akan langsung mengakui dan mencatat kerugian sebesar share yang harus ditanggungnya apabila bank yang dijaminnya mengalami kegagalan usaha. Direct guarantor akan melakukan pembayaran dengan menggunakan general funds (cadangan umum) yang merupakan salah satu unsur modalnya. Dengan cara ini, seluruh kerugian karena bangkrutnya suatu bank akan langsung diserap oleh modal bank-bank yang ada dalam sistem perbankan suatu negara. Jumlah modal yang tersedia untuk menyerap kerugian juga akan semakin besar dan semua itu terjadi atas dasar komitmen sukarela (committed voluntarily). c. Untuk memastikan bahwa bank-bank yang dijamin mematuhi cross-guarantee contract maka sebuah perusahaan swasta yang disebut “syndicate agent“ akan disewa. Syndicate agent ini selanjutnya akan menggantikan fungsi pengawas dan pemeriksa bank yang ada sekarang. Penunjukan syndicate agent ini dilakukan secara terbuka sehingga akan mendorong adanya kompetisi yang sehat dan efisiensi. d. Sebuah lembaga baru yang disebut Cross Guarantee Regulation Corporation (CGRC) harus dibentuk. Lembaga ini berfungsi untuk memastikan bahwa perjanjian penjaminan (crossguarantee contract) yang disepakati para pihak telah sesuai dengan aturan penyebaran risiko (risk dispersion rule) serta ketentuan-ketentuan lainnya. Perlu kiranya dikemukakan bahwa aturan penyebaran risiko (risk dispersion rule) merupakan salah satu pilar penting dalam konsep Cross-Guarantee. Aturan ini mencakup hal-hal sebagai berikut: ♦ Setiap penjamin (guarantor) harus dijamin oleh penjamin-penjamin lainnya dalam suatu sistem cross-guarantee, minimal untuk menyelesaikan kewajiban cross-guarantee dari setiap penjamin. Dengan demikian setiap dolar kerugian pasti akan dapat diselesaikan oleh bank-bank yang berada dalam himpunan para penjamin (the universe of guarantors). 36 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 ♦ Setiap perjanjian penjaminan (cross guarantee contracts) harus menyebutkan jumlah minimum para penjamin dan persentase risiko yang ditanggung mereka masing-masing. ♦ Setiap penjamin bertanggungjawab sebatas jumlah risiko cross-guarantee yang ditanggungnya, baik untuk setiap bank maupun secara aggregat. Secara aggregat, setiap bank penjamin tidak diperkenankan menerima pendapatan dari premi7 dalam setahun melebihi 3 (tiga) persen dari total modalnya. ♦ Untuk memastikan bahwa tidak akan pernah ada suatu bank mengalami kegagalan usaha karena menjadi penjamin maka perlu diberlakukan suatu standard stop-loss rule, yang menyatakan bahwa “apabila satu penjamin mengalami kerugian cross-guarantee melebihi lima kali premi yang diperolehnya dalam setahun maka kewajiban crossguarantee-nya harus dialihkan kepada direct guarantor-nya. Manfaat Swastanisasi Penjaminan melalui Cross-Guarantee Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, penerapan konsep CrossGuarantee akan menimbulkan pergeseran peranan dari pemerintah kepada pihak swasta dalam melakukan penjaminan serta pengaturan dan pengawasan bank. Oleh karena itu, agar dapat terlaksana dengan baik, Cross-Guarantee memerlukan peran aktif dari pihak swasta untuk mewujudkan suatu skim penjaminan yang diarahkan oleh kekuatan pasar (market-driven cross-guarantee). Skim penjaminan berbasiskan pasar tersebut diharapkan dapat mengeliminir intervensi dari pemerintah, sehingga penjaminan akan terlaksana secara efisien dan efektif. Karena adanya kebebasan dalam proses merumuskan mekanisme penjaminan untuk setiap bank, maka konsep Cross-Guarantee dipandang lebih berorientasi ke depan dibandingkan dengan konsep penjaminan (FDIC) yang berlaku sekarang. Semangat untuk melakukan privatisasi penjaminan melalui Cross-Guarantee jelas terlihat sejak awal penentuan bank penjamin (direct guarantor) yang dilakukan secara sukarela (voluntary) dan demokratis. Demikian pula penentuan perjanjian penjaminan (cross-guarantee contract) sepenuhnya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu insured banks dan direct guarantor-nya. Yang perlu dijaga adalah agar perjanjian dimaksud sudah memperhitungkan premi atas dasar sensitivitas terhadap risiko (risk-sensitive premium), memenuhi aturan penyebaran risiko (risk dispersion rule) serta ketentuan-ketentuan lainnya yang dianggap penting oleh para pihak. Sebagai aturan yang akan menggantikan prudential regulation maka perjanjian penjaminan harus dibuat sedemikian rupa agar dapat menampung prinsip kehati-hatian. 7 Dalam hal ini premi merupakan proxy terbaik dari cross-guarantee risk. Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia 37 Dengan swastanisasi penjaminan dan pengawasan bank maka nantinya tidak akan ada lagi fenomena “satu ketentuan yang berlaku untuk semua” (one-size-must-fit-all government regulation) yang selama ini merupakan salah satu kelemahan inheren dari ketentuan perbankan yang dibuat pemerintah. Dalam praktek selama ini sering ditemukan adanya beberapa ketentuan yang sulit diterapkan karena bersifat terlalu umum dan kurang mempertimbangkan karakteristik individual bank. Atas dasar konsep Cross-Guarantee ini, insured banks dapat membuat berbagai ketentuan yang mengatur dirinya secara spesifik berdasarkan kesepakatan dengan direct guarantor-nya. Konsep Cross-Guarantee juga memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi insured banks untuk berdiskusi dan bernegosiasi dengan direct guarantor-nya untuk segala hal termasuk mengenai masa depan bank tersebut. Hal ini pada gilirannya akan membuat strategi business dan perencanaan bank menjadi semakin tajam dan terarah. Pada pihak lain, kegiatan kontrol atau pengawasan akan semakin lebih ketat karena langsung dilakukan oleh kekuatan pasar. Apabila suatu bank memperoleh penilaian yang jelek dari pasar maka yang akan menanggung akibatnya bukan hanya bank yang bersangkutan saja, tetapi juga menjalar kepada bank yang menjadi direct guarantor. Hal-hal tersebut akan membuat persaingan dalam industri perbankan akan semakin ketat dan mendorong efisiensi besarbesaran dalam sektor keuangan. Persaingan sehat juga akan terjadi diantara sesama syndicate agent yang akan berfungsi sebagai pengganti pengawas dan pemeriksa bank yang ada sekarang. Karena kemungkinan akan banyak perusahaan syndicate agent yang muncul maka direct guarantor diberi keleluasaan dalam menentukan syndicate agent yang mereka pilih. Hal ini pada gilirannya dapat mendorong kompetisi yang sehat diantara sesama perusahaan syndicate agent dan mendorong efisiensi pekerjaan penjaminan. Manfaat berikutnya dari konsep Cross-Guarantee dapat ditinjau dari segi ruang lingkup penjaminannya. Tanpa memandang besar kecilnya suatu bank, mereka akan dijamin sebagaimana layaknya bank-bank lainnya, asal bank-bank tersebut dapat menemukan direct guarantor-nya. Oleh karena itu, pendekatan TBTF menjadi tidak relevan sama sekali dalam konsep Cross-Guarantee. Dengan menggunakan konsep Cross-Guarantee, maka transaksitransaksi non-funding obligations seperti account payment, unexpired leases dan kewajiban yang muncul karena tuntutan hukum akan dapat ikut dijamin. Kewajiban yang tidak dapat dijamin hanyalah pinjaman subordinasi karena memiliki karakteristik campuran (hybrid) hutang dengan modal. Sama halnya dengan program penjaminan biasa, maka dalam crossguarantee, unsur modal juga tidak dijamin8 . 8 Pengecualian hanya terjadi dalam hal TBTF, karena ada kemungkinan pinjaman subordinasinya juga akan ikut dibayar, tergantung pada bobot permasalahan bank yang TBTF tersebut. 38 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Manfaat lainnya dari konsep Cross-Guarantee adalah adanya kesempatan untuk melakukan penyesuaian secara cepat terhadap perhitungan premi berdasarkan kekuatan pasar. Perhitungan tersebut akan mencerminkan risk-sensitivity dari bank yang dijamin dan diharapkan dapat disesuaikan segera baik secara bulanan atau mingguan. Dalam hal ini besarnya premi dapat langsung dibicarakan oleh masing-masing bank dengan direct guarantor-nya. Dengan adanya kemungkinan untuk melakukan perhitungan premi berdasarkan kecenderungan pasar tersebut maka cross-subsidies yang inheren dalam skim penjaminan yang ada sekarang diharapkan akan dapat dihilangkan. Pengaruh terhadap Pasar Antar Bank dan Sistem Pembayaran Cross-guarantee dapat menghilangkan counterparty risk yang selama ini melekat dalam transaksi antar bank (lihat Lampiran-3). Sistem Kliring akan terbebas dari risiko tidak dibayarnya tagihan antar bank karena adanya jaminan bahwa direct guarantor masing-masing bank pada akhirnya akan bertanggungjawab sesuai perjanjian penjaminan (cross-guarantee contract) yang mereka sepakati. Hal ini pada gilirannya memungkinkan terselenggaranya suatu Sistem Pembayaran yang bebas risiko (risk-free basis). Penggunaan konsep Cross-Guarantee ini juga dapat mendorong penggunaan secara luas net settlement procedures dalam Sistem Pembayaran. Bagi bank sentral hal ini akan sangat menguntungkan karena net settlement procedures tersebut dapat lebih efisien dari real-time gross settlement . Kemungkinan Penerapan Konsep Cross-Guarantee di Indonesia Skim penjaminan yang sekarang ini diterapkan di Indonesia masih mengandung berbagai kelemahan baik pada tingkat konsep maupun pada tingkat pelaksanaan. Pada tingkat konsep, karena bersifat blanket guarantee (jaminan menyeluruh) maka skim tersebut dapat mengakibatkan beban yang sangat berat bagi keuangan pemerintah, padahal kemampuan keuangan pemerintah sendiri sudah sangat terbatas. Disamping itu peluang untuk moral hazard juga besar karena unsur keadilan yang kurang terpenuhi yang tercermin antara lain dari gejala cross-subsidies dimana bank-bank yang sehat membayar kewajiban bank-bank yang tidak sehat. Pada tingkat pelaksanaan, terdapat pula indikasi bahwa dalam praktek tidak seluruh aspek penjaminan dapat terlaksana. Sebagai contoh, untuk melaksanakan penjaminan transaksi off-balance sheet derivatives perlu ada bukti-bukti bahwa transaksi itu genuine, sesuatu yang sangat sulit dibuktikan kecuali oleh perbankan sendiri. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, konsep Cross-Guarantee tampaknya dapat menjadi salah satu alternatif jalan keluar, karena hakekat persoalan penjaminan dikembalikan secara utuh kepada pelaku pasar sendiri yaitu antara bank-bank yang Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia 39 bertransaksi, sehingga mereka perlu saling menjamin dan saling menjaga kestabilan sistem perbankan. Namun demikian perlu kiranya diingat agar pemilihan konsep Cross-Guarantee tersebut hendaknya tidak terlepas dari tujuan utama dari program penjaminan, yaitu untuk mencegah kegagalan pasar perbankan (banking market failure) dan untuk membangkitkan kembali kepercayaan masyarakat serta menghentikan bank runs9 . Meskipun dapat dipandang sebagai salah satu alternatif jalan keluar, penerapan konsep Cross-Guarantee di Indonesia dapat menimbulkan pro dan kontra. Mereka yang pro mungkin lebih didasarkan atas adanya peluang besar untuk meringankan beban keuangan pemerintah, apalagi dalam situasi krisis seperti sekarang. Sementara itu, yang kontra lebih melihat dari sisi kesiapan perbankan dan kalangan pemerintahan kita dalam menerapkan konsep dimaksud. Hal yang terakhir ini tampaknya ada benarnya juga karena untuk sampai pada konsep Cross-Guarantee perlu dijawab terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan berikut ini: √ Apakah bank-bank di Indonesia sudah sedemikian sehat dan kuat sehingga mampu untuk saling menjamin (cross-guarantee) sesama mereka ? √ Apakah bank-bank di Indonesia sudah cukup dewasa untuk mendiskusikan sendiri sesama mereka hal-hal yang berkenaan dengan penjaminan, business strategy dan prudential regulation untuk dituangkan dalam semacam perjanjian yang mengikat mereka secara bersama-sama ?. Pertanyaan ini cukup penting mengingat selama ini bank-bank di Indonesia sangat tergantung pada petunjuk dan arahan yang diberikan oleh otoritas moneter sebagai pengawas dan pembina bank-bank. √ Apakah sistem informasi yang terdapat pada masing-masing bank dan secara nasional telah sanggup menyediakan data/informasi yang diperlukan untuk penetapan premi yang sensitif terhadap risiko ? √ Apakah pihak otoritas pengawas yang ada sekarang berkenan menyerahkan fungsinya pada mekanisme pasar melalui syndicate agent dan dapat menerima keberadaan Cross Guarantee Regulation Corporation (CGRC) sebagai lembaga yang akan memverifikasi perjanjian penjaminan (cross-guarantee contract) ?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas cukup relevan untuk kondisi Indonesia dan memerlukan jawaban-jawaban yang tidak sederhana. Pengkajian lebih lanjut sangat diperlukan untuk mencegah pengambilan keputusan yang keliru yang dapat berakibat kontraproduktif terhadap masa depan sistem perbankan dan sektor keuangan negara kita. 9 Mengenai hal ini lihat misalnya Kerry Cooper dan Donald R.Fraser, “The Risk of Depository Institution Failure and The Role of Deposit Insurance” dalam Banking Deregulation and The New Competition in Financial Services, Ballinger Publishing Company, Cambridge Massachusetts, 1984. 40 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Daftar Pustaka Bert Ely, The Cross-Guarantee Concept and Interbank Markets, Paper dalam “The 35th Annual Conference on Bank Structure and Competition”, The Federal Reserve Bank of Chicago, 7 Mei 1999. George G.Kaufman, “FDICIA and Bank Capital” dalam Journal of Banking & Finance, No.19, Tahun 1995, hal.721-722. Jin-Chuan Duan, Arthur F.Moreau and C.W.Sealey dalam “Deposit Insurance and Bank Interest Rate Risk: Pricing and Regulatory Implications” dalam Journal of Banking & Finance, No.19 Tahun 1995, hal.1091-1108. Kerry Cooper and Donald R.Fraser, “The Risk of Depository Institution Failure and The Role of Deposit Insurance” dalam Banking Deregulation and The New Competition in Financial Services, Ballinger Publishing Company, Cambridge Massachusetts, 1984. Kusumaningtuti S.S., Ketentuan Blanket Guarantee dan Kemungkinan Penggantiannya dengan Deposit Protection Scheme, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Vol.1, No.3, Desember 1998. V.Sundararajan dan Tomas J.T.Balino, Banking Crises: Cases and Issues, Editor V.Sundararajan dan Tomas J.T.Balino, International Monetary Fund, Washington, D.C., 1991. Yoram Landskroner dan Jacob Paroush, “Deposit Insurance Pricing and Social Welfare” dalam Journal of Banking and Finance, No.18, Tahun 1994, hal.531-552. Lampiran-1 No. ASPEK DEPOSIT INSURANCE CROSS-GUARANTEE 1 Penyelenggara Pemerintah Swasta 2 Lembaga Penjamin FDIC Sesama bank, baik sebagai direct guarantor maupun indirect guarantor. 3 Ruang-lingkup Penjaminan Terbatas dan sangat subjektif dalam penentuan bank-bank yang "TBTF" (Too-Big-Too-Fail). Seluruh pos-pos kewajiban, kecuali Pinjaman Subordinasi. 4 Bentuk kontribusi dari yang dijamin Premi (namun belum memenuhi kriteria "risk-sensitive premium"). Premi ("risk sensitive premium"). 5 Sumber pembayaran klaim Hasil pengelolaan dan penanaman premi pada sektor-sektor yang menguntungkan. General funds (general reserves) dari direct guarantors. 6 Pelaksana pengawasan bank Bank Sentral dan FDIC Murni swasta, dilaksanakan oleh "Syndicate Agent". 7 Ketentuan perbankan Prudential regulation konvensional Berdasarkan kesepakatan antara bank yang dijamin (insured banks) dengan direct guarantor-nya ("Contractual Regulation"). 8 Lembaga lain yang terlibat Tidak ada lembaga lain yang terlibat kecuali FDIC, Bank Sentral dan "insured banks". Dibentuk lembaga baru yang disebut Cross Guarantee Regulation Corporation (CGRC) untuk memastikan bahwa perjanjian jaminan sudah sesuai aturan penyebaran risiko dan ketentuan lainnya. Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia PERBANDINGAN ANTARA CROSS-GUARANTEE DENGAN DEPOSIT INSURANCE KONVENSIONAL 41 42 Lampiran 2 Ensures that cross-gurantee contract complies with risk dispersion rules and other statutory requirements Obligation to protect competitively sensitive data Guaranteed Bank of Thrift Ensures that cross-guarantee contract Cross-guarantee commitment Guarantee premium Delegation of monitoring responsibility Fiduciary responsibility complies with risk dispersion rules and other statutory requirements Syndicate Agent (Independent of any other party) Syndicate of Direct Guarantors = Bank or non-depository guarantor ï›™ 1998 Ely & Company Inc. Permission granted to reproduce with attribution Contractual relationship Contract approval Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Monitoring fee Lampiran 3 Present System In a World of Cross-Guarantees Clearing systems presently utilize a variety of devices, including daylight overdraft limits, bilateral caps, and collateralized net debit positions, to protect clearing systems participant from a default by a counterparty, thereby ensuring payment finality. Clearing systems will be able to operate much more efficiently and safely where balances due to clearing system participants are fully guaranteed by the guarantors of the clearing system’s counterparties. In effect, cross-guarantee contracts will ensure payment finality. Clearing Systems Failure Failure Flow of insolvency loss if a clearing system participant becomes insolvent Counterparties (banks, securities, firms, stc) that are direct participants in the clearing system 43 Guarantors of counterparties Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia Using Cross-Guarantees to Ensure Payment Finality Will Permit Clearing Systems to Operate Much More Efficiently by Eliminating Counterparty Risk Kinerja Lembaga Keuangan Mikro dan Perilaku Masyarakat Pedesaan 45 KINERJA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DAN PERILAKU MASYARAKAT PEDESAAN *) Sumantoro Martowijoyo **) Setelah disuguhi banyak topik moneter dengan teknik-teknik analisis canggih ekonometrika tingkat pascasarjana, tulisan ini mengajak pembaca untuk turun ke dunia nyata tempat sebagian besar saudara kita sebangsa hidup. Di era pengentasan kemiskinan ini, Indonesia telah menjadi laboratorium bagi penelitian di bidang Lembaga Keuangan Mikro (LKM), karena memiliki berbagai jenis sejak lama. Di luar BRI Unit yang merupakan kisah sukses tingkat dunia, ada Badan Kredit Desa yang didirikan di zaman Belanda, Badan Kredit Kecamatan di Jawa Tengah, di samping berkembangnya kelompok-kelompok swadaya masyarakat sebagai bentuk lembaga keuangan yang paling sederhana di tingkat “akar rumput”. Di sini dibahas beberapa faktor yang menggambarkan perilaku masyarakat perdesaan yang mempengaruhi kinerja lembaga keuangan mikro, misalnya: jam kerja, jarak rata-rata antara lokasi LKM ke lokasi nasabah, waktu pemrosesan kredit, tingkat penghasilan nasabah, suku bunga tabungan dan suku bunga pinjaman. Dari hasil analisis dapat diungkapkan, bahwa faktor yang paling mempengaruhi kinerja adalah jarak ke lokasi nasabah dan selang waktu pemrosesan kredit. Tergambar pula masih lugu dan mandirinya sifat pengusaha mikro perdesaan nasabah LKM dibanding pengusaha konglomerat nasabah bank umum: apabila kenaikan pendapatan pengusaha mikro perdesaan dipakai untuk menambah tabungan dan melunasi tunggakan, tidak demikian halnya pengusaha konglomerat, karena sebagian justru sengaja memacetkan kreditnya. Ukuran “kinerja” sendiri jauh berbeda dengan kriteria CAMEL yang tidak akan mudah tercerna oleh kesahajaan lembaga-lembaga tersebut, dan kiranya akan menjadi topik pembicaraan tersendiri. *) Bagian dari tulisan yang sedang dalam proses, kenangan dan salam perpisahan penulis kepada Urusan Kredit, Bank Indonesia **) Sumantoro Martowijoyo : Peneliti pada Tim Penyiapan Pusat Pendidikan dan Riset, USDM, Bank Indonesia 46 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Latar Belakang engan disepakatinya ikrar dalam Microcredit Summit di Washington DC Amerika Serikat pada tahun 1997 untuk membebaskan 100 juta penduduk dunia dari kemiskinan, pencarian model lembaga keuangan mikro1 yang tepat untuk melayani rakyat miskin dilakukan di mana-mana. Setelah dua dasawarsa diwarnai kreditkredit murah bersubsidi yang sebagian tidak jatuh ke tangan kelompok sasaran dan mengakibatkan merosotnya kinerja serta moralitas lembaga keuangan pelaksananya, para pakar merekomendasikan prinsip keswadayaan dan kesehatan (viability) dari programprogram pengentasan kemiskinan. Model Grameen Bank Bangladesh direplikasikan di manamana, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) bergiat membina keswadayaan masyarakat melalui kelompok-kelompok swadaya masyarakat (KSM). Di luar perhatian para penentu kebijakan kita, Indonesia sebetulnya sudah lebih maju dalam penciptaan lembaga keuangan mikro sejak zaman Belanda, di samping BRI Unit yang merupakan kisah sukses dunia. Dalam pengembangan KSM Bank Indonesia ikut berkiprah melalui Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK) yang gagasannya berasal dari APRACA (Asia Pacific Rural and Agricultural Credit Association), dan dalam pengembangan LKM melalui Proyek Kredit Mikro yang didanai bersama Asian Development Bank. D Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia Selain lembaga yang formal seperti BRI Unit dan BPR yang secara hukum diakui sebagai lembaga keuangan formal (bank), terdapat banyak LKM yang semiformal maupun informal di Indonesia. Tiga lembaga yang dipilih adalah yang efektif beroperasi di tingkat “akar rumput” dan menerapkan prinsip suku bunga pasar yang terbukti lestari, tanpa melihat status hukumnya. Kelompok Swadaya Masyarakat Di Indonesia, kegiatan yang dilakukan secara kelompok sudah merupakan budaya masyarakat yang berazaskan paguyuban. Kegiatan arisan sudah tumbuh menjamur diperdesaan dan perkotaan dan jumlahnya mungkin melebihi satu juta. Apabila kebutuhan akan uang tersebut makin terasa dan jumlah yang diperoleh dari arisan terlalu kecil, timbullah gagasan untuk menambah jumlah dan jenis uang setoran menjadi simpanan pokok, simpanan wajib, dan simpanan sukarela. Dengan begitu, 1 banyak pula yang menyebutnya rural financial institutions (RFI) atau lembaga keuangan pedesaan (LKP), tapi untuk Indonesia karena lokasinya banyak pula di perkotaan maka dipilih istilah yang dikenal sejak Summit ini. Istilah “mikro” selain menunjuk skala yang lebih kecil dari yang kecil, konotasinya terkait dengan kemiskinan Kinerja Lembaga Keuangan Mikro dan Perilaku Masyarakat Pedesaan 47 perkumpulan arisan telah berubah menjadi koperasi kredit (credit union), di mana untuk peminjaman uang ditarik pula semacam “jasa” yang dipotongkan dari jumlah pinjaman. Perkumpulan semacam ini secara tidak sadar sudah berfungsi sebagai lembaga keuangan perdesaan: menghimpun dana dan memberikan kredit kepada anggota, memungut bunga berupa “jasa”, serta di akhir tahun membagikan dividen bagi para pemegang saham. Berkembangnya KSM di Indonesia tidak lepas dari berkembangnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari tahun 1960-an sampai awal 1990-an yang jumlahnya diperkirakan antara 1000-2000 buah (Saidi, 1995). Seperti halnya di Filipina, banyak LSM yang lahir dan tumbuh untuk dapat “menangkap” bantuan dari badan atau LSM internasional. Badan Kredit Desa Badan Kredit Desa (BKD) terdiri dari lumbung desa yang didirikan tahun 1897 dan bank desa yang didirikan sekitar tahun 1904 (P. Suharto, 1988) dan keduanya dikukuhkan dengan Staatsblad nomor 357 tahun 1929. Lumbung desa mengumpulkan padi untuk diberikan sebagai pinjaman berupa padi kepada petani di saat mereka membutuhkan. Sedangkan bank desa menghimpun tabungan berupa uang dan memberikan kredit berupa uang. Selama zaman Belanda sistem BKD telah berfungsi dengan baik sebagai lembaga keuangan bagi rakyat perdesaan, berguguran di zaman pendudukan Jepang dan Perang Kemerdekaan, kemudian mulai tumbuh kembali sesudah kemerdekaan. Sebagai bank sekunder dalam pembinaan BRI, organisasi dan pengelolaan BKD dipertahankan tetap seperti konsep semula yaitu Komisi BKD terdiri dari kepala desa sebagai ketua komisi (Komisi I) dan 2 orang pemuka masyarakat atau aparat desa sebagai Komisi II dan III. Pembukuan dilakukan oleh Juru Tata Usaha (JTU) yang bekerja untuk 6 BKD secara bergilir (BKD umumnya buka sekali seminggu pada hari atau hari pasaran tertentu). Pengawasan terhadap BKD dilakukan secara langsung oleh Mantri BKD yang mewilayahi satu kemantren yang terdiri dari 18 BKD. Sistem kredit BKD sederhana, terutama terdiri dari kredit pasaran dan mingguan yang berjangka waktu 12 pasar2 atau 12 minggu dengan pembayaran angsuran pokok maupun bunga dengan jumlah yang tetap. Jumlah kredit yang dapat diberikan sampai dengan Rp 400.000 tanpa agunan, semata-mata berdasarkan penilaian kelayakan nasabah oleh Komisi I. Dengan berlakunya Undang-undang Perbankan No.7 tahun 1992 yang mencabut berlakunya Staatsblad no. 357 tahun 1929, pengawasan terhadap BKD sebetulnya ada di tangan Bank Indonesia (BI). Akan tetapi mengingat banyak faktor, BI sendiri menyetujui BRI meneruskan tugas pengawasannya terhadap BKD dengan bantuan keuangan dari BI. 2. Satu pasar=5 hari (kalender Jawa), kredit pasaran diberikan oleh BKD yang bukanya setiap hari pasaran tertentu 48 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Lepas dari suara yang mendiskreditkan BKD, keberadaannya dibutuhkan oleh rakyat dan telah membuktikan kelestarian dan kemandiriannya dalam arti tidak pernah menerima dana maupun subsidi bunga dari pemerintah. Di tengah maraknya kredit Bimas, misalnya, lumbung desa tetap menjadi sumber kredit bagi rakyat kecil untuk konsumsi sehari-hari (Dibyo Prabowo, 1981). Sebagai LKM, BKD mampu menjangkau masyarakat paling miskin di pedesaan, tercermin dari paling rendahnya jumlah kredit rata-rata BKD dibanding beberapa lembaga keuangan mikro yang terkenal di dunia, yaitu sebesar USD 38 di tahun 1993 (Christen, 1995,p.26). Jumlah BKD di Jawa dan Madura tercatat 5345 terdiri dari 4806 yang aktif dan 539 yang tidak aktif (BRI, 1998). Badan Kredit Kecamatan Badan Kredit Kecamatan (BKK) adalah lembaga keuangan yang beroperasi di tingkat kecamatan yang didirikan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Tengah di awal tahun 1970an dengan status sebagai suatu proyek, dan kemudian dengan Peraturan Daerah (Perda) No. 11 tahun 1981 dikukuhkan menjadi badan usaha milik daerah. BKK didirikan dengan tujuan: (1) mendekatkan modal pada masyarakat pengusaha miskin di perdesaan dengan cara mudah, murah dan mengarah, (2) menciptakan pemerataan kesempatan berusaha di pedesaan, dan (3) mendidik masyarakat pedesaan untuk gemar menabung (BP-BKK,1994). Prosedur permohonan kredit kepada BKK cukup sederhana dan untuk jumlah kredit sampai dengan Rp 500.000 tidak diperlukan agunan selain rekomendasi kepala desa. Selang waktu antara saat pengajuan permohonan dengan realisasi kredit untuk nasabah baru paling lama seminggu, sedangkan untuk nasabah ulangan yang lancar pencairan kredit dapat dilakukan pada hari yang sama. Jenis kredit BKK sama dengan BKD, yaitu kebanyakan kredit pasaran, mingguan, bulanan (3 bulan), dan musiman (6 bulan). Sama dengan BKD jumlah angsuran sama setiap pembayaran, hanya menuruti peraturan BPR, dibukukan terpisah sebagai angsuran pokok dan bunga. Manajemen BKK terdiri dari Pimpinan, Pemegang Kas dan Pemegang Buku. Kinerja manajemen BKK dipantau oleh Camat sebagai penanggung jawab BKK di wilayahnya. Berdasarkan Perda no.11 tahun 1981 Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Tengah ditugasi sebagai pembina dan pengawas teknis BKK. BKK diharuskan menyimpan kelebihan alat likuidnya di BPD, di pihak lain apabila BKK kekurangan modal kerja BPD akan memberikan pinjaman likuiditas. Jumlah BKK di seluruh Jawa Tengah 510, 202 di antaranya sudah berstatus BPR, ratarata peminjam per unit 978 orang, jumlah pinjaman rata-rata per unit Rp 96 juta dan per nasabah Rp 132.584 (DAI, 1993) Kinerja Lembaga Keuangan Mikro dan Perilaku Masyarakat Pedesaan 49 Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan di lapangan terhadap 105 lembaga keuangan mikro (LKM) di Jawa Tengah, yang merupakan 34 % dari populasi, untuk masing-masing jenis LKM (KSM, BKD, BKK) diambil proporsional berdasarkan jumlah populasinya masing-masing secara purposif, beserta masing-masing 3 nasabah per LKM yang diambil secara acak. Analisis data primer dilakukan dengan teknik statistik nonparametrik, pertama dengan uji Kruskal-Wallis untuk beda populasi dan uji Kendall untuk kesesuaian (concordance) pemeringkatan faktor-faktor kinerja, kemudiaan untuk hubungan antarfaktor kinerja dengan korelasi jenjang Spearman3 . Keuntungan penggunaan statistik nonparametrik adalah tidak perlu dibuktikannya kenormalan distribusi data (yang merupakan prasyarat bagi sahihnya penggunaan statistik parametrik) dan dapat diterapkannya pada sampel kecil atau data kualitatif (Siegel, 1997). Faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja LKM Terdapat beberapa faktor atau variabel yang secara rasional dianggap mempengaruhi kinerja, seperti: umur LKM, jam kerja, jarak rata-rata ke lokasi nasabah (JARAK), selang waktu pemrosesan kredit (SELANG), penghasilan rata-rata nasabah (RAYNAS), suku bunga tabungan (ITAB), dan suku bunga pinjaman (IPIN). Mengenai kriteria kinerja, dari pengkajian terhadap falsafah dan hakekat LKM serta pendapat para praktisi keuangan perdesaan, penulis mengajukan beberapa faktor penentu kinerja LKM, yaitu tingkat akses kepada penabung (AKPEN), tingkat akses kepada peminjam (AKPEM), persentase jumlah penunggak (PERPUNG), efisiensi (biaya usaha per rupiah kredit, BIRUP) dan laba per rupiah kredit (LARAP). AKPEN dan AKPEM adalah masingmasing jumlah penabung dan peminjam dibagi jumlah penduduk di wilayah kerja LKM. PERPUNG adalah persentase jumlah penunggak (debitur kredit macet) dari jumlah peminjam, BIRUP dihitung dari jumlah biaya operasional dibagi dengan saldo pinjaman, sedangkan LARAP merupakan laba bersih sebelum pajak dibagi saldo pinjaman. Kegunaan kriteria ini akan dapat dipahami setelah selesai membaca hasil analisis di belakang. 3 N 6 Σ di 2 i=1 rs = 1 - ————— N3 - N di mana rs = koefisien korelasi Spearman N = jumlah pasangan observasi d = perbedaan jenjang yang diperoleh dari setiap pasangan observasi 50 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Hasil Analisis Uji Kruskal-Wallis menghasilkan nilai chi-kuadrat yang sangat signifikan, demikian pula uji Kendall menghasilkan nilai W yang sangat signifikan, membuktikan bahwa angka rata-rata yang dianalisis memang berasal dari tiga populasi yang berbeda dan pemeringkatan semua faktor kinerja dilakukan secara konsisten. Dari hasil analisis korelasi peringkat Spearman antara variabel nonkinerja dengan faktor penentu kinerja terdapat beberapa temuan yang berhubungan dengan perilaku nasabah. Tabel 1. Korelasi antara Jarak, Selang dan Sukubunga Pinjaman terhadap Faktor Kinerja AKPEN AKPEM PERPUNG BIRUP LARP JARAK -.4959(.000) -.4816(.000) .3981 (.000) .2292(.019) -.3406(.000) SELANG xxxxxx -.1325(.178) .076(.474) .1183(.229) -.2864(.003) IPIN xxxxxxx -.2674(.006) .2073(.109) xxxxxxx .0276(.780) 1. Faktor yang berpengaruh paling besar terhadap faktor kinerja adalah jarak antara lokasi nasabah ke kantor atau pos desa LKM (JARAK). Jauhnya jarak berpengaruh sangat signifikan terhadap penurunan jumlah penabung (rs=-0,4959, α=0,000) dan jumlah peminjam (rs=-0,4816, α=0,000), serta peningkatan jumlah penunggak (rs=0,3981, α = 0,000) dan biaya per rupiah kredit (rs=0,2292, α =0,019) juga berpengaruh sangat signifikan dalam penurunan laba per rupiah kredit (rs=-0,3406, α=0,000). 2. Faktor lain yang cukup berpengaruh kepada faktor kinerja adalah lamanya waktu pemrosesan kredit (SELANG). Lamanya waktu pemrosesan kredit berpengaruh menurunkan jumlah peminjam cukup signifikan (rs=-0,1325, α=0,178), menurunkan laba per rupiah kredit secara sangat signifikan (rs=-0,2864, α=0,003), meningkatkan biaya per rupiah kredit secara tidak signifikan (rs=0,1183, α=0,229, meningkatkan jumlah penunggak walaupun tidak signifikan (rs=0,0706, α=0,474). 3. Suku bunga pinjaman berpengaruh sangat signifikan terhadap jumlah peminjam (rs=0,2674, α=0,006), berpengaruh cukup signifikan terhadap jumlah penunggak (rs=0,2073, α=0,109) dan berpengaruh tidak signifikan terhadap laba per rupiah kredit (rs=0,0276, α=0,780), berarti bahwa suku bunga pinjaman sudah ada di batas atas, apabila dinaikkan akan menurunkan jumlah peminjam dan mengakibatkan meningkatnya jumlah penunggak, mengingat banyaknya kredit murah serta persaingan berat dari BRI Unit Kinerja Lembaga Keuangan Mikro dan Perilaku Masyarakat Pedesaan 51 dan BPR yang memperoleh fasilitas kredit dari pemerintah. Akan tetapi dilihat dari kuat dan signifikannya korelasi, jarak mempunyai dampak yang lebih kuat terhadap berkurangnya jumlah peminjam dan bertambahnya jumlah penunggak dibandingkan suku bunga pinjaman. Hal sederhana ini kiranya dapat dimaklumi, karena jauhnya jarak lokasi LKM akan menyebabkan nasabah malas untuk berhubungan karena besarnya “biaya transaksi” yang harus ditanggungnya, yaitu biaya angkutan dan hilangnya waktu meninggalkan pekerjaan. Tabel 2 Korelasi antara Penghasilan Rata-rata Nasabah dengan Faktor Kinerja untuk Seluruh LKM dan Per Jenis LKM 4. AKPEN AKPEM PERPUNG BIRP LARP LKM (105) -.0539(.585) .0237(.610) .0063(.949) .3670(.000) -.1131(.251) KSM (28) -.1466(.456) -.0309(.876) -.1131(.567) .1281(.516) -.1840(.349) BKD (61) .1245(.339) -.0025(.985) .0601(.645) .3194(.012) .0565(.668) BKK (16) .5500(.027) .3412(.196) -.2912(.274) .2784(.297) →0 Dari analisis mengenai pengaruh penghasilan nasabah dan jumlah tabungan rata-rata terhadap kinerja, dapat diungkapkan beberapa temuan yang menarik. (a) Dilihat LKM sebagai keseluruhan, pengaruh penghasilan nasabah terhadap kinerja tidak begitu signifikan. Akan tetapi apabila dianalisis per jenis LKM, terlihat bahwa penghasilan nasabah paling berpengaruh terhadap kinerja BKK, terutama kepada jumlah penabung (rs=0,5500, α=0,027), jumlah peminjam (rs=0,3412, α=0,196), dan jumlah penunggak (rs=-0,2912, α=0,274), sedangkan pengaruhnya pada BKD kurang signifikan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada BKK, nasabah yang penghasilannya relatif lebih tinggi mempunyai akses kepada pelayanan tabungan dan pinjaman yang lebih besar dibanding dengan nasabah yang 98.169 di tahun 1992 dan melonjak menjadi Rp 132.594 di tahun 1993 (DAI, 1993). (b) Dilihat per segmen nasabah terdapat perbedaan perilaku apabila penghasilannya meningkat: nasabah BKD yang relatif kurang mampu lebih suka menabung dan tidak meminjam, nasabah BKK yang relatif lebih mampu meningkatkan tabungan tetapi terus memanfaatkan kredit, sama dengan perilaku pengusaha besar nasabah bank umum. (c) Walaupun begitu terlihat masih adanya sifat jujur dan mandiri pada pengusaha mikro nasabah BKK dibanding pengusaha besar nasabah bank umum saat ini, yaitu apabila penghasilan pengusaha mikro nasabah BKK meningkat, mereka 52 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 meningkatkan tabungan, terus memanfaatkan kredit dan tidak lupa melunasi tunggakannya, tetapi apabila pendapatan pengusaha konglomerat nasabah bank umum meningkat (dan pasti setiap tarikan napas menghasilkan uang), belum tentu mengurangi jumlah penunggak, karena sebagian dari mereka sengaja menunggak dan memacetkan kreditnya. Implikasi Kebijakan 1. Mengingat jarak merupakan variabel yang paling mempengaruhi kinerja, LKM diharapkan membuka sebanyak mungkin pos pelayanan dan/atau mengintensifkan kunjungan lapangan. Otoritas perbankan hendaknya tidak melarang pembukaan pos pelayanan ataupun memberi sanksi berupa penutupan pos pelayanan (“kantor di bawah kantor cabang”) kepada LKM yang sudah menjadi BPR karena alasan tingkat kesehatan yang tidak baik, oleh karena (a) kriteria CAMEL tidak menampung aspirasi dan misi LKM (tersurat ataupun tersirat dalam Undang-undang) sebagai pelayan keuangan bagi masyarakat papan bawah, (b) pelarangan pembukaan kantor di bawah kantor cabang kiranya dapat dihapuskan, karena pengertian “kantor di bawah kantor cabang” bagi LKM umumnya bukan merupakan gedung atau kantor seperti bank umum, tetapi mungkin hanya sekedar meja dan kursi tempat petugas lapangan menemui nasabahnya, (c) pelarangan/penutupan pos pelayanan justru akan lebih memperparah kinerja LKM, karena menghambat akses kepada masyarakat yang merupakan sumber dana dan penghasilannya. 2. Mengingat pula bahwa lamanya waktu pemrosesan kredit juga berpengaruh cukup kuat kepada kinerja, maka keputusan pemberian kredit kepada peminjam baru hendaknya dilakukan sesegera mungkin, sedangkan pemrosesan kredit ulangan hendaknya dapat diselesaikan pada hari yang sama. 3. Pengawas BPR hendaknya tidak melihat pemberian kredit dalam jumlah kecil-kecil pada LKM sebagai suatu hal yang “tidak efisien” atau “tidak maju”, karena hal itu justru sesuai dengan misi LKM membantu pengentasan kemiskinan. Mendorong LKM untuk memberikan kredit dalam jumlah yang semakin besar berarti menjauhkan LKM dari nasabahnya yang miskin, seperti terlihat pada gejala pemberian kredit BKK di atas. 4. BKD telah beroperasi selama satu abad dan BKK selama hampir tiga dasawarsa dengan pendekatan pasar yang telah membuat mereka lestari (sustainable) dan mandiri, keadaannya justru dibuat seperti “telor di ujung tanduk” karena banyaknya programprogram kredit murah bersubsidi di perdesaan. Adanya kredit dari pemerintah untuk BPR condong menguntungkan BPR Gaya Baru yang dimiliki para pemodal berdasi, Kinerja Lembaga Keuangan Mikro dan Perilaku Masyarakat Pedesaan 53 memungkinkan mereka menurunkan sukubunga kreditnya sehingga menambah pesaing bagi LKM. Di era reformasi ini pemerintah seyogianya lebih membina semangat keswadayaan masyarakat dan tidak menggunakan program-program kredit murah sebagai alat politik karena merusak moralitas masyarakat perdesaan yang masih jujur seperti terbukti dari perilakunya terhadap LKM. Daftar Pustaka Badan Pembina BKK Propinsi Jawa Tengah, Perkembangan BKK dan BPR-BKK, 31 Maret 1994 Christen, Robert Peck, dkk, Maximizing the Outreach of Microenterprise Finance, USAID Program and Operations Assessment Report No. 10, July 1995 Development Alternatives, Inc., Project Completion Report of Technical Support Provided to the Financial Institutions Development Project (USAID No. 497-0341) in Indonesia, May 1993 Dibyo Prabowo dan Sayogyo: The Green Revolution: Sidoarjo, East Java, and Subang, West Java, dalam Hansen, Gary E.(ed), Agricultural and Rural Development in Indonesia, Westview Press, Boulder, 1981 Saidi, Zaim, Secangkir Kopi Max Havelaar. LSM dan Kebangkitan Masyarakat, PT Gramedia Pustaka Utama-Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jakarta, 1995 Siegel, Sidney, Statistik Nonparametrik, terj. Zanzawi Suyuti & Landung Simatupang,Gramedia,Jakarta,1997 Suharto, Pandu, Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat, LPPI, Jakarta, 1988 Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 55 KEGIATAN USAHA PERUM PEGADAIAN DAN PERANANNYA DALAM MENDUKUNG PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT Satrio Wibowo dan Gunawan *) Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengan tahun 1997 telah berdampak luas terhadap segala aspek perekonomian, khususnya sektor perbankan yang berakibat terhentinya aliran kredit perbankan. Dalam kondisi krisis tersebut, Perum Pegadaian (PP) merupakan salah satu lembaga keuangan yang masih mampu bertahan, bahkan menunjukkan peningkatan kinerja baik operasional maupun keuangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan peer-groupnya (BPR dan BRI Udes) secara umum kinerja PP relatif lebih baik. Porsi kredit yang diberikan oleh PP semakin meningkat walaupun secara nominal relatif lebih kecil dibandingkan dua lembaga tersebut. Dalam masa krisis ini, Perum Pegadaian menghadapi permasalahan temporer berupa lonjakan nasabah (puncaknya terjadi pada Juni 1998) yang mendorong Perum Pegadaian melakukan overdraft sangat besar atas fasilitas kredit yang diperoleh dari BRI, serta kekurangan likuiditas juga disebabkan karena obligasi yang diterbitkan untuk membayar obligasi yang jatuh tempo, kurang diminati masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut Perum Pegadaian telah menerima bantuan dalam bentuk RDI dari pemerintah dan KLBI. Permasalahan lain yang bersifat struktural antara lain rentang kendali yang terlalu luas namun tidak ditunjang sistem pengawasan yang memadai, sistem manajemen yang sentralistik sehingga berpotensi menghambat kinerja, beberapa kelemahan prosedur yang berpotensi menimbulkan penyimpangan, serta tidak adanya sistem yang mampu mengantisipasi resiko fluktuasi harga barang jaminan khususnya emas. Potensi Perum Pegadaian untuk lebih berperan dalam pemberdayaan ekonomi rakyat dapat dilihat dari keberpihakan terhadap masyarakat berpendapatan rendah (mayoritas nasabah), relatif kecilnya skala kredit yang diberikan (Rp 5.000 s.d. Rp 20 juta), suku bunga yang dikenakan relatif rendah, serta mudahnya prosedur gadai. Untuk mewujudkan potensi tersebut terlebih dahulu harus dibenahi berbagai kelemahan khususnya kelemahan struktural yang ada. Sedangkan untuk meningkatkan efisiensi pembiayaan usaha kecil perlu dikaji kemungkinan pemberian izin bagi perusahaan/lembaga lain untuk bergerak dalam usaha pegadaian. *) Penulis utama dari paper ini adalah : Satrio Wibowo : Kepala Bagian Pendidikan dan Pengembangan Pegawai, USDM, BI. Makalah ini ditulis ketika yang bersangkutan masih menjadi Peneliti Ekonomi , Bagian Studi Struktur dan Perkembangan Pasar Keuangan, UREM, BI. Gunawan : Asisten Peneliti, Bagian Studi Struktur dan Perkembangan Pasar Keuangan, UREM, BI, email: [email protected]. Penulisan paper ini juga dibantu oleh Didy Laksmono, Ridho Hakim, Budi Wikanto, Erwin Gunawan, dan Sudiro Pambudi, Bagian Studi Struktur dan Perkembangan Pasar Keuangan, UREM, Bank Indonesia. 56 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah risis ekonomi di Indonesia yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1997 telah berdampak luas terhadap hampir semua aspek perekonomian. Hal ini tercermin dari beberapa indikator ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi yang merosot tajam, laju inflasi yang meningkat dan angka pengangguran yang melonjak. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) merosot dari 4,7% pada tahun 1997 menjadi -13,68% pada tahun 1998. Dari sisi permintaan, melambatnya pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh melemahnya permintaan domestik, khususnya konsumsi rumah tangga dan investasi swasta. Dari sisi penawaran, melambatnya pertumbuhan ekonomi terutama disebabkan oleh tingginya biaya impor bahan baku. Sedangkan laju inflasi yang diukur dengan IHK meningkat tajam dari 10,31% pada tahun 1997 menjadi 77,63% pada tahun 1998. Tingginya laju inflasi terutama disebabkan oleh dua hal pokok, yaitu melemahnya nilai tukar rupiah (imported inflation) dan kelangkaan pasokan (supply shortage) khususnya sembilan bahan pokok. Meningkatnya inflasi tersebut telah mengakibatkan semakin melemahnya daya beli masyarakat, khususnya masyarakat kecil. Hal tersebut didorong pula oleh meningkatnya jumlah pengangguran sebagai dampak dari banyaknya perusahaan yang pailit dan melemahnya investasi. Jumlah pengangguran yang pada masa sebelum krisis berkisar antara 3 - 4 juta orang tiap tahun, pada tahun 1998 diperkirakan membengkak hingga mencapai 13,8 juta orang. K Krisis ekonomi yang berkepanjangan, telah mengakibatkan terjadinya kontraksi perekonomian dan mendorong meningkatnya jumlah penduduk miskin. Jika pada tahun 1996, jumlah penduduk miskin di Indonesia berdasarkan data SUSENAS berjumlah 22,5 juta orang, maka berdasarkan perkiraan BPS jumlah tersebut pada pertengahan 1998 meningkat empat kali mencapai 79,35 juta orang. Jumlah perkiraan tersebut terdiri dari 22,68 juta orang warga perkotaan dan 56,67 juta orang warga pedesaan1 . Melonjaknya jumlah pengangguran dan penduduk miskin tersebut, jika tidak dapat diatasi akan berpotensi mendorong terjadinya gejolak sosial ekonomi yang lebih luas. Sehingga dikhawatirkan akan semakin memperparah kondisi perekonomian nasional Dalam upaya penyehatan perekonomian nasional, Pemerintah telah menempuh serangkaian langkah dan tindakan yang juga memperoleh bantuan dari beberapa lembaga internasional. Salah satu langkah yang ditempuh adalah pemberdayaan ekonomi rakyat yang bertujuan meningkatkan akses rakyat kecil terhadap perekonomian dan mengutamakan kepentingan rakyat. Selain itu, Pemerintah juga mendorong komitmen perbankan dalam 1 Badan Pusat Statistik, ” Perhitungan Jumlah Penduduk Miskin 1998”. Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 57 pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi. Upaya-upaya tersebut juga diimbangi dengan upaya lain di sektor riil, antara lain dengan melaksanakan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk memberdayakan masyarakat (khususnya yang terkena dampak langsung dari krisis ekonomi), serta dengan melakukan reformasi struktural untuk meningkatkan efisiensi perekonomian. Sektor keuangan khususnya perbankan yang selama ini sangat berperan dalam menggerakkan roda perekonomian, tentunya sangat diperlukan untuk membantu pemulihan perekonomian nasional. Namun, sejak terjadinya krisis ekonomi perbankan nasional juga menghadapi permasalahan yang cukup berat. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya jumlah non performing loan, memburuknya net interest margin dan kondisi permodalan, serta ancaman kesulitan likuiditas yang masih berlangsung hingga awal tahun 1999 ini. Kinerja perbankan yang memburuk tersebut mengakibatkan terhambatnya penyaluran kredit. Sehubungan dengan kondisi tersebut, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi diperlukan peran lembaga keuangan lain yang dapat berperan sebagai complementary institutions dari perbankan. Salah satu lembaga keuangan selain bank yang telah lama dikenal masyarakat adalah Perum Pegadaian. Pada masa krisis, terganggunya fungsi intermediasi perbankan tersebut memberi peluang bagi Perum Pegadaian untuk semakin berperan dalam pembiayaan, khususnya usaha kecil dan dalam masa krisis ini juga telah menjadi salah satu alternatif pemenuhan kebutuhan pembiayaan bagi sebagian masyarakat yang terkena dampaknya. Peran dalam pembiayaan nasabah kecil tersebut, sesuai dengan tujuan Perum Pegadaian yang tidak hanya semata-mata mencari untung tetapi juga sebagai penunjang kebijakan dan program Pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional melalui penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai. Disamping itu, jaringan kantor dan wilayah kerja yang menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia serta prosedur yang sederhana, mudah, cepat, dan aman merupakan suatu potensi keunggulan Perum Pegadaian dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya. 1.2. Hipotesa Kegiatan usaha Perum Pegadaian dapat dikembangkan untuk mendukung perkembangan usaha kecil khususnya sektor informal. Hal tersebut didukung oleh karakteristik Perum Pegadaian, terutama prosedurnya yang sederhana, mudah dan cepat, sumber daya manusia yang memadai serta jaringan usaha yang luas. 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari peran usaha Perum Pegadaian serta potensinya untuk ikut berperan dalam pelaksanaan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). 58 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Sesuai dengan karakteristik usaha dan mayoritas nasabah Perum Pegadaian yang merupakan masyarakat berpendapatan rendah, maka Perum Pegadaian berpotensi untuk berperan serta dalam program JPS. Disamping itu, penelitian juga dimaksudkan untuk mempelajari peran dan potensi Perum Pegadaian dalam mendukung pemberdayaan usaha kecil, khususnya sektor informal. 1.4 Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan melakukan analisis data sekunder dan primer. Data sekunder yang dipergunakan berupa laporan-laporan yang telah tersedia dari Perum Pegadaian, berupa data keuangan, data operasional, ketentuan-ketentuan operasional, kepegawaian, manajemen maupun dari sumber lainnya, dengan periode pengamatan sejak tahun 1996 s.d September 1998. Disamping itu, untuk memperoleh data mengenai keadaan dan operasionalisasi Perum Pegadaian dilakukan metode survey terhadap kantor pusat, 8 kantor daerah, 36 kantor cabang, serta dengan mewawancarai beberapa nasabah yang dipilih sebagai responden di kantor-kantor cabang tersebut. Nasabah yang dipilih sebagai responden dikelompokkan sebagai nasabah biasa dan nasabah yang dianggap potensial (prima) berdasarkan frekwensi dan lamanya berhubungan dengan Perum Pegadaian. Sampel kantor daerah dipilih dengan sistem purposive sampling yang mewakili wilayah Indonesia Bagian Barat, Tengah dan Timur. Wilayah barat diwakili oleh 3 kantor daerah di Pulau Jawa dan 2 kantor daerah di Pulau Sumatera. Wilayah tengah diwakili oleh 1 kantor daerah di Pulau Bali dan 1 kantor daerah di Pulau Kalimantan. Sedangkan wilayah timur diwakili oleh 1 kantor daerah di Pulau Sulawesi. Survey tersebut dilaksanakan pada tanggal 23 November - 10 Desember 1998. II. Profil Perum Pegadaian Pegadaian Negeri didirikan pertama kali oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 1 April 1901 di kota Sukabumi dengan status Jawatan. Pada tahun 1961, statusnya diubah menjadi Perusahaan Negara (PN), namun diubah kembali menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan) tahun 1969. Dengan PP No. 10/1990 tanggal 10 April 1990 status Perjan Pegadaian diubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian guna meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha. Salah satu produk Perum Pegadaian adalah memberikan kredit berdasarkan hukum gadai. Dengan status sebagai Perum, sifat Pegadaian adalah menyediakan pelayanan bagi masyarakat umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Dalam upaya meningkatkan kinerja perusahaan, Perum Pegadaian telah merancang Rencana Jangka Panjang II (RJP II) yaitu periode tahun 1997-2001. RJP II ini merupakan Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 59 bagian dari visi Perum Pegadaian yang dirumuskan dengan mengindentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (analisis SWOT) yang dihadapi dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (PJPT II). Visi Perum Pegadaian dalam PJPT II ini adalah : a. Menjadi lembaga keuangan yang modern dan dinamis. b. Memiliki SDM yang handal dan profesional. c. Memiliki kinerja sehat sekali (SS) dengan rating minimal “A” 1 . Berdasarkan visi tersebut, Perum Pegadaian merumuskan misinya yang dijadikan acuan untuk menentukan arah pengusahaan, sasaran pengusahaan dan strategi pokok perusahaan dalam periode RJP II. Misi perusahaan tersebut yaitu : Ikut meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat golongan menengah ke bawah melalui penyediaan dana berdasarkan hukum gadai secara inovatif dan melakukan usaha lain yang menunjang. Arah pengusahaan dalam periode ini adalah : 1) menjadi persero pada tahun 19982 ; 2) melaksanakan go public; dan 3) memiliki kinerja dan citra yang meningkat. Sementara, sasaran pengusahaannya adalah : a. Omzet perkreditan meningkat dengan 20% per tahun. b. Laba bersih (earnings after taxes) meningkat dengan 30,2% per tahun. c. Hasil usaha lain-lain menyumbang sekitar 5,1% dari laba usaha. d. Posisi keuangan yang likuid dan solvabel dengan current ratio di atas 1 dan debt to equity ratio di bawah 3. Untuk mendukung pencapaian sasaran tersebut, Perum Pegadaian menyusun suatu strategi pokok perusahaan yang meliputi : a. Melaksanakan optimalisasi kantor-kantor cabang sebagai ujung tombak operasi perusahaan. b. Meningkatkan pelayanan kepada seluruh nasabah dengan baik, cepat dan manusiawi. c. Meningkatkan produktivitas di seluruh bidang kegiatan. d. Meningkatkan efisiensi perusahaan 1 Yang dimaksud dengan rating “A” sesuai dengan definisi PT. Pefindo merupakan perusahaan atau efek hutang yang berisiko investasi rendah dan berkemampuan baik untuk membayar bunga dan pokok hutang sesuai dengan yang diperjanjikan dan hanya sedikit dipengaruhi oleh perubahan keadaan yang merugikan. 2 Menurut Perum Pegadian, target menjadi Persero terutama bertujuan untuk mengatasi kelemahan pendanaan dengan menjual saham di bursa, serta membuka anak perusahaan. Namun target tersebut tidak tercapai pada tahun 1998 karena tidak memperoleh ijin dari Menkeu dengan pertimbangan (i) masih besarnya misi sosial yang harus dilaksanakan oleh Perum Pegadaian, (ii) kekhawatiran bahwa dengan status persero Perum Pegadaian akan meninggalkan segmen nasabah kecil dengan tujuan untuk memperoleh laba maksimal. 60 e. f. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Melaksanakan pengembangan produk baru hingga mampu menyumbangkan 20% dari total pendapatan usaha. Memperluas jaringan pelayanan dengan membuka cabang-cabang baru di daerah yang potensial, khususnya di kawasan timur Indonesia. Sebagai implementasi dari salah satu strategi pokok perusahaan, Perum Pegadaian telah merencanakan untuk melakukan ekspansi jenis produk perusahaan dengan mengembangkan usaha baru. Produk-produk baru tersebut meliputi : a. Produk baru yang masih dalam lingkup usaha gadai seperti jasa titipan, jasa taksiran, franchisor usaha gadai, jasa sertifikasi kadar emas, kredit dengan jaminan surat berharga dan sertifikat tanah dan kredit dengan sistem pinjam pakai. Dua diantaranya yaitu jasa titipan dan taksiran sudah dilaksanakan. b. Produk baru di luar lingkup usaha gadai tetapi masih dalam lingkup lembaga pembiayaan seperti BPR, modal ventura, factoring, guarantee fund, pedagang valuta asing dan leasing.3 c. Produk usaha baru yang sama sekali di luar usaha gadai dan lembaga keuangan seperti toko emas, properti (gedung perkantoran, hotel/penginapan dan ruko) dan toko barangbarang perhiasan/asesoris dan arloji. Sampai dengan 30 September 1998, usaha toko emas sudah dilaksanakan di 28 kantor cabang Perum Pegadaian. Usaha ini juga mempunyai misi sosial untuk mendidik masyarakat untuk berinvestasi dalam bentuk emas serta meningkatkan image masyarakat terhadap Perum Pegadaian Produk-produk usaha baru tersebut merupakan upaya untuk mengoptimalkan aset, yaitu pemanfaatan 20 lokasi strategis yang nantinya dapat merupakan kompleks lokasi usaha, sehingga bisa meningkatkan citra perusahaan dan nasabah tidak malu lagi untuk datang ke Pegadaian. Khusus untuk bisnis properti dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak ketiga (investor) dengan sistem Built Operate and Transfer (BOT), seperti yang telah dilaksanakan di lokasi Salemba dan Pasar Baru. 2.1. Kepengurusan dan Kelembagaan Perum Pegadaian memiliki 4 orang anggota direksi yang terdiri dari satu orang direktur utama dan 3 orang direktur yang masing-masing membawahi bidang operasi dan pengembangan, bidang keuangan, dan bidang umum. Dalam menjalankan tugas rutin di 3 Menurut Perum Pegadaian, leasing yang akan dilaksanakan merupakan leasing menurut format Perum Pegadaian dimana barang jaminan yang digadaikan tidak disimpan oleh Perum Pegadaian namun tetap dapat digunakan oleh nasabah untuk menjalankan usahanya (diestimasikan akan dilaksanakan pada tahun 2000). Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 61 kantor pusat, direksi dibantu oleh 9 subdirektorat (subdit) yang masing-masing memiliki rincian tugas sesuai bidangnya (Lampiran 1). Untuk meningkatkan profesionalitas pegawai Perum Pegadaian memiliki Balai Diklat yang langsung berada di bawah direksi. Selain itu, Perum Pegadaian juga memiliki Satuan Pengawasan Intern (SPI) yang bertanggung jawab langsung kepada direksi.4 Struktur organisasi Perum Pegadaian ditunjukkan bagan 1. Kegiatan operasional Perum Pegadaian dilaksanakan melalui kantor-kantor cabang (Kanca) yang dikoordinasikan oleh kantor daerah (Kanda). Sampai dengan September 1998, Perum Pegadaian telah memiliki cabang di 27 propinsi dengan jumlah Kanca mencapai 633 buah dengan dikoordinasikan oleh 14 kantor daerah (Lampiran 2). Dari 633 Kanca tersebut, 58 diantaranya merupakan anak cabang (Ancab) yaitu cabang yang baru berdiri (biasanya kurang dari 2 tahun). Bagan 1. Struktur Organisasi Perum Pegadaian Direksi Direktur Utama SPI Direktur Operasi dan Pengembangan Direktur Keuangan Direktur Umum Subdit OPP Subdit AP Subdit KP Subdit LB Subdit AK Subdit BG Subdit SP Subdit PB Subdit TURT Balai Diklat Kantor Daerah Kantor Cabang Keterangan : OPP = Operasi dan Pengembangan KP = Kepegawaian LB = Penelitian dan Pengembangan Operasi BG = Bangunan SP = Kesekretariatan Perusahaan TURT = Tata Usaha dan Rumah Tangga AP = Anggaran dan Permodalan AK = Akuntansi P = Perbendaharaan 4 Tanggal 25 November 1998, Perum Pegadaian membentuk Subdit Teknologi Informasi berdasarkan Keputusan Direksi No. Kp.2/41/10 sebagai upaya untuk meningkatkan sistem dan sarana pengawasan yang memadai. 62 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Kanda Perum Pegadaian terdiri dari dua tipe yaitu tipe A dan B. Kanda tipe A memiliki struktur organisasi yang lebih lengkap dibandingkan Kanda tipe B karena besarnya jumlah Kanca yang dibawahinya. Perbandingan Kanda tipe A dan B dapat dilihat dalam tabel 2.1 5 . Tabel 2.1 Perbandingan Tipe Kantor Daerah Jabatan Ka Kanda Inspektur Daerah Kepala Seksi Pemeriksa Ka Sub Seksi Pemeriksa Pembantu Staf Pemeriksa Kanda Tipe A Kanda Tipe B 1 1 4 2 12 3 2 1 0 2 1 8 3 0 Sumber : Perum Pegadaian Kanca Perum Pegadaian digolongkan menjadi 3 kelas, yaitu kelas I, II, dan III. Pembagian kelas masing-masing Kanca dilakukan berdasarkan tingkat efisiensi dan produktivitas yang diukur dari 4 faktor yaitu : a. Omzet usaha (bobot nilai 40), yang mencerminkan tingkat kemampuan penjualan produk (produktivitas). b. Barang jaminan (bobot nilai 10), yang mencerminkan tingkat tanggung jawab penanganan/pengelolaan, perawatan dan faktor risiko. c. Formasi dan adanya pegawai Kanca (bobot nilai 20), yang mencerminkan tingkat efektivitas dan kemampuan pegawai sebagai sumber daya dalam menjalankan perusahaan. d. Efisiensi (bobot nilai 40), yang diukur dari besarnya surplus (laba-rugi) cabang dalam satu periode akuntansi. Berdasarkan keempat kriteria di atas, jumlah Kanca untuk masing-masing kelas per Juni 1998 adalah : kelas I sebanyak 54; kelas II sebanyak 78 dan kelas III sebanyak 491. Seluruh kantor yang berstatus Ancab diklasifikasikan sebagai cabang kelas III. Ditinjau dari kuantitasnya, per Juni 1998 jumlah Kanca Pegadaian di Pulau Jawa merupakan yang terbanyak yaitu 401 buah atau 64,4%. 5 Jumlah total pemeriksa per Kanda sejak 1 Februari 1999 telah diperbanyak menjadi 6-7 orang. Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 63 Jumlah karyawan Perum Pegadaian hingga Oktober 1998 mencapai 6.233 orang, yang terdiri dari 4.817 pegawai tetap dan 1.426 pegawai tidak tetap. Jumlah karyawan tetap ini lebih rendah dari jumlah pada akhir 1996 (5.541 orang). Hal ini berkaitan dengan salah satu upaya Perum Pegadaian untuk meningkatkan efisiensi. Selain terjadi pengurangan jumlah, Perum Pegadaian juga melakukan peningkatan kualitas karyawan yang terlihat dari meningkatnya jumlah karyawan yang berpendidikan S1 dan S2 dan berkurangnya karyawan yang berpendidikan SD sampai dengan D3. Komposisi karyawan tetap menurut jenjang karir dan pendidikan dapat dilihat dalam lampiran 3. 2.2. Produk dan Pasar Produk-produk Perum Pegadaian yang sudah tersedia hingga saat ini meliputi empat jenis produk, yaitu : a. Jasa gadai, merupakan jasa utama Pegadaian yaitu memberikan pinjaman kepada masyarakat berdasarkan hukum gadai. b. Jasa taksiran, yang ditujukan untuk memberikan keyakinan kepada masyarakat atas kualitas barang-barang perhiasan miliknya. c. Jasa titipan, yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat atas barang-barang yang dimilikinya apabila akan bepergian dalam jangka waktu yang cukup lama. d. Galeri 24, yaitu toko emas Pegadaian yang menjamin kualitas emas/perhiasan yang dijualnya. Tidak semua Kanca menyediakan keempat jenis produk tersebut. Hal ini terkait dengan fasilitas, ketersediaan sumber daya manusia dan dana. Misalnya, pembukaan toko emas yang hingga September 1998 baru berjumlah 28 buah. Dalam memperkenalkan produk-produknya, Perum Pegadaian diantaranya menggunakan papan-papan reklame, leaflet, media elektronis, menjadi sponsor kegiatan olahraga serta dengan layanan yang relatif mudah dan cepat. Konsumen sasaran Perum Pegadaian ini adalah seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan dana-dana jangka pendek. Selama tahun 1997, Perum Pegadaian telah berhasil melayani kebutuhan 5,3 juta orang yang terdiri dari petani, nelayan, pelaku industri, pedagang dan lain-lain. 2.3. Manajemen dan Instrumen Kebijakan Dalam menjalankan usahanya Perum Pegadaian melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dan menetapkan kebijakan-kebijakan yang menjadi patokan bagi Kanda maupun Kanca. Berikut merupakan uraian tentang kebijakan-kebijakan dan fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh Perum Pegadaian. 64 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 2.3.1. Kebijakan Pendanaan Dalam penyediaan dana bagi keperluan usahanya, Perum Pegadaian memiliki beberapa sumber. Sebagai sumber utama adalah modal awal Perum Pegadaian yang berjumlah Rp 205 miliar, penyertaan modal pemerintah Rp 46,25 miliar dan dari saldo laba sebesar Rp 111,85 miliar (per 30 September 1998). Mengingat besarnya permintaan terhadap jasa gadai dari masyarakat, maka modal tersebut tidak lagi mencukupi. Untuk itu Perum Pegadaian mencari sumber-sumber pendanaan baru untuk menambah modal kerja melalui pinjaman bank, penerbitan obligasi dan MTN. Hingga saat ini Perum Pegadaian telah menerbitkan 5 seri obligasi dengan nilai nominal keseluruhan Rp 425 miliar. Sejak Desember 1997, Perum Pegadaian telah menerbitkan MTN sebanyak 4 kali dengan nilai nominal keseluruhan Rp 16,5 miliar. Sementara pinjaman dari bank pada posisi September 1998 mencapai Rp 321 miliar. Selain itu, pada bulan September 1998 Perum Pegadaian memperoleh pinjaman dari pemerintah berupa Rekening Dana Investasi (RDI) sebesar Rp 100 miliar dengan jangka waktu 3 tahun. Dana yang telah dihimpun ini kemudian didistribusikan dari kantor pusat ke Kanca melalui masing-masing Kandanya. Besarnya jumlah dana yang diterima oleh masing-masing Kanda tersebut ditentukan berdasarkan hasil evaluasi perkembangan omzet selama 6 bulan terakhir dan dievaluasi setiap 3 bulan. Penghimpunan dana hanya dapat dilakukan oleh kantor pusat, sehingga Kanda dan Kanca hanya melaksanakan penanaman dana berdasarkan alokasi dana yang diberikan. Bila terjadi kekurangan dana, maka Kanca harus meminta tambahan dana kepada Kandanya masing-masing dan tidak diperkenankan untuk melakukan transfer langsung antarcabang. Dengan demikian Kanda dapat mengontrol secara langsung kebutuhan dana masing-masing Kancanya. 2.3.2. Kebijakan Penanaman Dana Penanaman dana Perum Pegadaian dilakukan dalam bentuk kredit, deposito, suratsurat berharga dan penyertaan di perusahaan lain. Kredit kepada masyarakat merupakan porsi terbesar penanaman dana yang mencapai Rp 756,75 miliar (91,0 %) pada September 1998 (Lampiran 4). Sesuai dengan hukum gadai, kredit yang diberikan dijamin dengan barang jaminan nasabah. Biasanya batas maksimum kredit yang dapat diberikan oleh masing-masing cabang mencapai Rp 20 juta per SBK (Surat Bukti Kredit), tetapi sejak 30 Juli 1998 batas maksimum kredit diturunkan menjadi Rp 5 juta per SBK. Bila terdapat nasabah yang ingin memperoleh kredit melebihi batas maksimum maka cabang tersebut harus meminta persetujuan dari Kanda. Perum Pegadaian membagi pemberian kredit kepada nasabah menjadi empat golongan yaitu Golongan A (kredit Rp 5.000-Rp 40.000), Golongan B (kredit Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 65 Rp 40.500-Rp150.000), Golongan C (kredit Rp 151.000-Rp 500.000) dan Golongan D (kredit Rp 510.000-Rp 5.000.000). Jangka waktu kredit maksimum adalah 120 hari dengan bunga dihitung setiap 15 hari. Selain itu, nasabah juga dikenakan biaya penitipan dan asuransi (PA) yang besarnya disesuaikan dengan jenis barang dan golongannya. Tabel selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran 5. 2.3.3. Alokasi Laba Setelah diaudit, sesuai dengan PP No. 13/1998, dari laba bersih yang diperoleh Perum Pegadaian, sebesar jumlah tertentu disisihkan untuk cadangan tujuan, penyusutan dan pengurangan yang wajar lainnya. Kemudian 45% dari sisa penyisihan tersebut dialokasikan untuk lima hal berikut yang masing-masing persentase alokasinya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. a. Cadangan umum yang dilakukan sampai cadangan mencapai sekurang-kurangnya dua kali lipat dari modal yang ditempatkan; b. Sosial dan pendidikan; c. Jasa produksi; d. Sumbangan dana pensiun; dan e. Sokongan dan sumbangan ganti rugi. Sementara, sisa dari keseluruhan penggunaan laba bersih di atas disetorkan sebagai Dana Pembangunan Semesta (DPS). DPS yang menjadi hak negara wajib segera disetorkan ke Bendahara Umum Negara setelah Laporan Tahunan disahkan. 2.3.4. Prosedur Kredit Dalam memberikan kredit, Perum Pegadaian memiliki mekanisme dan prosedur yang harus dilalui oleh nasabah. Berikut ini merupakan ilustrasi proses memperoleh kredit di Perum Pegadaian. Nasabah membawa barang jaminan Penaksir Kasir menerima kredit Nasabah Nasabah yang datang ke Pegadaian terlebih dulu menyerahkan barang-barang bergerak sebagai agunan kepada petugas penaksir yang disertai dengan identitas diri. Petugas penaksir memeriksa keadaan barang termasuk kelengkapan yang disyaratkan. Penaksir menetapkan harga pedoman standar, taksiran, dan uang pinjaman (UP) yang dapat diberikan berdasarkan plafon UP yang yang menjadi wewenangnya (Lampiran 6). Jika UP yang dapat diberikan melebihi kewenangannya, maka harus diajukan dan disetujui oleh kepala Kanca selaku kuasa pemutus kredit (KPK). Jika besarnya UP yang telah diputuskan 66 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 oleh penaksir maupun KPK telah disepakati oleh nasabah, maka diterbitkan Surat Bukti Kredit (SBK) sesuai dengan golongannya. Pada SBK tersebut dimuat nama dan alamat nasabah, keterangan barang jaminan, besarnya taksiran dan UP. Setelah ditandatangani nasabah dan penaksir/KPK, SBK diserahkan kepada nasabah. Nasabah mengambil UP pada kasir seperti yang tertera pada SBK, dengan terlebih dahulu membayar biaya penyimpanan dan asuransi (PA) yang telah ditetapkan sesuai dengan besarnya UP dan jenis barang yang diagunkan. 2.3.5. Sistem Pengelolaan Barang Jaminan Barang-barang jaminan yang diterima oleh Pegadaian ditatausahakan dalam suatu Buku Gudang yang diisi menurut golongan, rubrik dan ribuan. Barang masuk dan keluar selalu dicatat sehingga pada akhir hari dapat ditentukan saldo barang jaminan. Untuk mengontrol kebenarannya, saldo Buku Gudang ini dicocokkan dengan saldo Ikhtisar Kredit dan Pelunasan. Barang emas, perhiasan atau barang-barang kecil lainnya yang masuk di dalam kantong disebut barang kantong dengan rubrik K. Barang kantong ini disimpan dalam kamar emas (kluis/khasanah). Sedangkan barang jaminan yang tidak masuk di dalam kantong disebut dengan barang gudang dengan rubrik G. Barang jenis ini disimpan di dalam gudang. Tempat penyimpanan barang tersebut harus selalu dalam keadaan tertutup dan terkunci apabila tidak ada keperluan. Untuk barang-barang tertentu seperti kamera dan mobil mendapat perlakuan khusus. Kamera harus disimpan dalam tempat tertutup (lemari kaca atau peti kayu yang tidak lembab) yang diberi penerangan cukup. Mobil disimpan dalam tempat tertutup, tidak kena hujan dan panas. Di samping itu, mobil juga harus dalam keadaan terkunci dan bila ada tutupnya (cover) digunakan dengan baik agar tidak kotor. Pegawai yang bertanggung jawab (sesuai dengan SK penunjukan) atas pengelolaan gudang dan semua barang yang ada di dalamnya disebut petugas gudang. Petugas gudang yang mengelola barang kantong disebut penyimpan, sedangkan yang mengelola barang gudang dan barang kain disebut pemegang gudang. Selain petugas gudang dilarang untuk memasuki gudang tanpa mendapat izin dari petugas tersebut. Dalam hal petugas gudang berhalangan sampai dengan 7 hari, maka petugas gudang tersebut dapat menunjuk dua orang pegawai lainnya sebagai pengganti sementara dan harus diberitahukan kepada kepala cabang. Walaupun telah digantikan petugas sementara, petugas gudang lama tetap bertanggung jawab atas barang jaminan di dalam gudang. Pegawai yang menjadi petugas gudang mempunyai masa tugas maksimum selama 6 bulan. Untuk mencegah terjadinya kesalahan atau penyimpangan dalam pengelolaan gudang maka Perum Pegadaian membuat prosedur pemeriksaan barang jaminan. Posedur tersebut dapat dilihat dalam lampiran 7. Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 67 2.3.6. Sistem Lelang Lelang merupakan upaya pengembalian uang pinjaman beserta sewa modalnya yang tidak dilunasi sampai batas waktu yang ditentukan. Hal ini dilakukan dengan penjualan barang jaminan tersebut pada waktu yang telah ditentukan. Untuk menentukan tanggal lelang, setiap Kanda membuat suatu daftar ikhtisar lelang berdasarkan usulan dari masing-masing kanca-nya dengan memperhatikan : a. Lokasi kanca, untuk kanca-kanca yang lokasinya berdekatan tidak diizinkan untuk melaksanakan lelang pada hari dan tanggal yang bersamaan. b. Masing-masing kanca sedapat mungkin melaksanakan lelang pada hari dan tanggal yang sama setiap bulannya, agar bisa dijadikan acuan oleh masyarakat. c. Lelang dilaksanakan tidak pada hari libur. d. Dalam bulan puasa lelang sedapat mungkin dilakukan sebelum lebaran. Apabila di kemudian hari ternyata lelang tidak dapat dijalankan pada tanggal yang telah ditetapkan maka pelaksanaan lelang itu harus diundur pada hari berikutnya. Penundaan hari lelang ini harus diumumkan kepada masyarakat dan diberitahukan kepada Ka Kanda dan Inspektur Daerah. Media yang digunakan untuk mengumumkan tanggal lelang adalah melalui papan pengumuman di Kanca setempat, media cetak dan elektronik, pemberitahuan langsung oleh pegawai di loket dan pemberitahuan tertulis kepada pemilik barang dan Dinas Penerangan setempat (minimum 15 hari sebelum pelaksanaan). Sebelum pelaksanaan lelang, Tim Pelaksana Lelang akan mengawasi/memeriksa jumlah setoran uang jaminan dari masing-masing peserta/calon pembeli. Barang-barang yang telah laku pada saat lelang harus dibayar tunai setelah lelang ditutup. Uang yang akan dibayar oleh pembeli harus ditambah 9% untuk ongkos lelang dan 0,7% (tujuh permil) untuk dana sosial yang dihitung dari nilai lakunya lelang. Bila hasil lelang melebihi nilai kewajiban nasabah, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada nasabah tersebut. Untuk barang-barang jaminan yang telah ditaksir dengan wajar tetapi tidak laku dilelang disebut sebagai Barang Sisa Lelang (BSL). BSL ini ditetapkan menjadi aset perusahaan yang diakui dan dicatat sebagai transaksi mutasi aset dari Pinjaman Yang Diberikan (aktiva lancar) menjadi Aktiva Lainnya (aktiva tidak lancar). BSL dinilai berdasarkan harga pembeliannya yaitu sebesar harga jual minimal lelang tanpa tambahan biaya lelang (9,7%). Perlakuan administrasi dan pembukuan terhadap BSL dapat dilihat dalam lampiran 8. Cara penyelesaian BSL ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dijual di bawah tangan dan dimutasikan antarcabang. Penjualan di bawah tangan merupakan penjualan yang terbuka bagi siapa saja yang berminat dengan suatu patokan harga minimum tertentu. Sedangkan mutasi antarcabang merupakan upaya penjualan di kantor cabang yang berada di daerah lain yang diyakini dapat terjual lebih cepat (Lampiran 9). 68 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 2.3.7. Sistem Pelaporan dan Auditing Setiap Kanca Pegadaian harus membuat laporan operasional rutin secara berkala. Laporan operasional adalah laporan tentang perkembangan operasional Kanca yang meliputi laporan mingguan, bulanan dan tahunan. Tujuan pembuatan laporan operasional ini adalah untuk menyediakan informasi tentang perkembangan operasional kepada manajemen sebagai dasar untuk pengambilan keputusan lebih lanjut pembinaan Kanca. Jenis-jenis laporan operasional yang dibuat oleh Kanca yang harus dikirimkan ke Kanda adalah berbentuk : a. Laporan mingguan, yang berisi perkembangan penyaluran kredit dan barang jaminan yang tercantum dalam laporan mingguan keuangan yang dikirimkan ke Kanda b. Laporan bulanan, yang berisi laporan tentang : perkembangan usaha, penerimaan sewa modal dan biaya PA, rincian data nasabah dan kredit menurut profesi, rincian sisa uang pinjaman, ikhtisar barang sisa lelang, sisa uang kelebihan, barang jaminan yang tidak ditebus/dilelang/barang polisi, mutasi aktiva yang disisihkan, dan perhitungan surplus operasi. c. Laporan semester, yang berisi laporan rincian sisa uang pinjaman dan perhitungan sewa modal. d. Laporan tahunan, yang berisi rekapitulasi dari laporan bulanan ditambah laporan mutasi aktiva serta laporan surplus usaha. Laporan-laporan yang dibuat oleh masing-masing Kanca tersebut di atas kemudian dikonsolidasikan oleh Kanda sebelum dikirimkan ke kantor pusat. Di kantor pusat laporanlaporan dari seluruh Kanda dikumpulkan sehingga dapat dibuat suatu laporan keuangan konsolidasi secara nasional yang diaudit setiap tahun. Kelayakan laporan keuangan Perum Pegadaian setiap tahun diperiksa oleh pihak eksternal. Sejak tahun 1993 audit terhadap laporan keuangan Perum Pegadaian dilakukan oleh akuntan publik. Hal ini dilakukan karena Perum Pegadaian telah melakukan go public dengan menerbitkan obligasi. Sebelumnya, pemeriksaan atas laporan keuangan Perum Pegadaian dilakukan oleh BPKP. Selain kewajiban mengirimkan laporan ke kantor pusat, masing-masing Kanca dan Kanda Perum Pegadaian secara internal juga diperiksa oleh SPI. Tugas SPI tersebut adalah melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap jalannya kegiatan perusahaan. Pengawasan ditujukan untuk meyakinkan apakah kegiatan perusahaan telah dilaksanakan sesusai dengan rencana yang ditetapkan. Sementara, pemeriksaan merupakan bagian dari fungsi pengawasan yaitu tindakan secara fisik, teknik serta metode dalam menjalankan fungsi pengawasan. Aspek-aspek yang dilihat dalam melakukan pemeriksaan oleh SPI mencakup tiga hal yaitu sistem dan prosedur yang menyangkut kendali, kewajiban atasan untuk mengawasi Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 69 bawahan (waskat) dan aparat pengawasan fungsional. Tolok ukur yang dipakai dalam melakukan pemeriksaan adalah membandingkan antara kondisi sebenarnya (fakta) dengan yang seharusnya (kriteria). Kondisi yang seharusnya merupakan sesuatu yang ditetapkan oleh peraturan/ketentuan pemerintah, sesuatu yang diatur secara umum yang diakui dan sesuatu yang diatur oleh ketentuan perusahaan. Dalam melakukan pemeriksaan seorang pemeriksa harus bersifat objektif dan independen karena pertanggungjawabannya langsung kepada direksi. Dalam melaksanakan tugasnya SPI dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur Utama. SPI tersebut dibagi menjadi 3 Inspektorat Wilayah (Irwil), yaitu : (i) Irwil I mengawasi kanda I – V; (ii) Irwil II mengawasi kanda VI – X; dan (iii) Irwil III mengawasi kanda XI – XIV. Tenaga pemeriksa di masing-masing Irwil rata-rata sejumlah 4 orang yang bertugas melakukan pemeriksaan terhadap setiap kanda dengan frekwensi 1 - 2 kali setahun. Di setiap Kanda terdapat Inspektorat Daerah (Irda) yang dipimpin oleh orang kedua di kanda yang bersangkutan dengan tenaga pemeriksa berjumlah 4-5 orang. Tugas Irda adalah mengawasi kanca-kanca di bawahnya dengan frekwensi 1– 4 kali pemeriksaan dalam satu tahun. Berdasarkan perbandingan antara jumlah Kanca (633 kantor), Kanda (14 kantor), frekwensi pemeriksaan serta jumlah tenaga pemeriksa di masing-masing Kanda, menunjukkan terlalu luasnya rentang kendali Kanda terhadap kanca-kanca yang ada di bawah koordinasinya. Sebagai gambaran setiap kanda di pulau Jawa rata-rata membawahi lebih dari 50 Kanca. Sementara itu, Kanda-kanda lainnya di luar Jawa harus membawahi kanca-kanca yang secara geografis terlalu jauh. Rentang kendali yang terlalu luas yang belum ditunjang dengan saluran komunikasi yang memadai (canggih) sangat tidak menunjang efektivitas pemantauan kinerja kantor-kantor cabang, serta bisa menyebabkan timbulnya berbagai penyimpangan seperti yang tercantum dalam lampiran 10. III. PENDEKATAN TEORITIS 3.1 Pembiayaan Kredit Pedesaan Untuk memahami pegadaian terutama sebagai salah satu alternatif pembiayaan bagi usaha/nasabah kecil perlu dilakukan pendekatan yang mempunyai relevansi dengan kegiatan operasi lembaga keuangan baik formal maupun informal yang telah ada di masyarakat dalam penyaluran kredit. Mengingat karakteristik Perum Pegadaian sebagai lembaga keuangan formal yang memberikan pinjaman berjangka pendek dalam skala kecil dengan sistem gadai, tidak melakukan penghimpunan dana seperti layaknya bank, mempunyai jaringan kerja yang luas sampai ke daerah-daerah, serta mempunyai nasabah 70 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 mayoritas masyarakat berpenghasilan rendah yang sulit untuk akses ke perbankan serta jaringan kerja hingga ke daerah-daerah, maka perlu dilakukan analisis tterhadap posisi dan keterkaitan Perum Pegadaian dengan lembaga lainnya. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk analisis tersebut antara lain Teori Rural Financial Intermediation (RFI), teori Farm Finance (FF) dan Teori Rural Financial Market (RFM). Teori RFI menjelaskan keterkaitan antara lembaga keuangan formal dan informal dalam pasar keuangan pedesaan. Dalam teori ini dijelaskan karakteristik lembaga keuangan formal seperti Bank Perkreditan Rakyat, BRI Unit Desa, koperasi dan pegadaian serta pasar kredit informal di pedesaan (rentenir atau pelepas uang komersial). Kredit pedesaan pada dasarnya dapat diperoleh dari sumber informal dan formal. Sementara itu, untuk penghimpunan dana di pedesaan lebih banyak melalui lembaga formal.6 Sedangkan untuk melihat sumber dana untuk kredit pedesaan dikenal dua teori, yaitu Farm Finance dan teori Rural Financial Market yang dikembangkan oleh Department of Agricultural Economics and Rural Sociology, Ohio State University, USA. Teori RFM yang bertumpu pada mekanisme pasar berpendapat bahwa pembiayaan/kredit pedesaan merupakan proses intermediasi dimana financial assets dan debts di relokasi diantara pelaku-pelaku ekonomi di pedesaan. Dengan kata lain, teori RFM berpendapat bahwa pedesaan memiliki kemampuan/resources untuk membiayai kegiatan-kegiatan produktif yang berlangsung di pedesaan, sedangkan teori FF berpendapat perlu adanya external funds (dana pihak luar) untuk membiayai kegiatan-kegiatan produktif di pedesaan. Berdasarkan ketiga pendekatan tersebut, lembaga kredit formal dan informal serta struktur pasar kredit pedesaan untuk masing-masing lembaga keuangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 3.1.1 Lembaga Kredit Informal Sebagaimana dikemukakan, kredit di pedesaan dapat disediakan oleh lembaga keuangan formal maupun pasar informal. Pasar informal tersebut ada di dalam masyarakat namun tidak diatur oleh pemerintah. Pasar kredit pedesaan informal biasanya bersifat quasimonopolistik. Di dalam pasar terdapat beberapa kreditur namun seorang debitur punya akses yang sangat terbatas. Ketergantungan seorang debitur terhadap kreditur sangat tinggi. Seorang kreditur hanya melayani sejumlah kecil peminjam yang sudah dikenal baik dan berisiko rendah. Sebagian besar pinjaman relatif kecil jumlahnya, berjangka waktu pendek, proses penyediaan sederhana, cepat, dan pemberian kredit tersebut lebih didasarkan pada unsur kepercayaan. 6 Robinson. S “ Rural Financial Intermediation : Lessons From Indonesia, 1992 Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 71 Terjadinya pasar yang bersifat quasi-monopolistik dimungkinkan oleh kecenderungan setiap kreditur untuk membatasi jumlah nasabah yang dilayani dan berupaya menjaga portofolio pinjamannya sedemikian rupa, sehingga risiko tidak terbayarnya pinjaman yang diberikan kepada nasabah dapat ditekan serendah mungkin. Caranya antara lain dengan hanya memberikan kredit kepada orang-orang yang berkaitan dengan jaringan bisnisnya seperti sistem ijon dan yang mempunyai aliran politik yang sama. Dengan praktek tersebut, setiap kreditur dapat memelihara ‘kesetiaan’ debiturnya. Suku bunga kredit dalam pasar informal sangat bervariasi. Menurut penelitian Robinson, suku bunga berkisar antara 2 sampai 10 kali dari tingkat bunga bank. Tingginya suku bunga tersebut disebabkan adanya quasi-monopolistic many-lender credit market.7 Kreditur cenderung tidak tertarik untuk meningkatkan market share. Alasan utamanya adalah terlalu berisiko untuk melakukan ekspansi ke luar pasar tradisonalnya. Hal ini terjadi karena antara satu kreditur dengan kreditur lainnya dalam satu wilayah umumnya punya ikatan yang erat. Mereka tidak mau bersaing karena justru akan menurunkan keuntungan masing-masing. Selain itu, bagi kreditur yang sudah lebih kaya dan memiliki status sosial yang tinggi melakukan diversifikasi investasi dianggap lebih menguntungkan dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari kredit dalam skala kecil. Terdapat pula kecenderungan para kreditur untuk memberikan kredit yang lebih besar kepada pejabat lokal serta rekan bisnis dengan tujuan menjaga hubungan baik agar diberi kesempatan memperoleh akses yang lebih luas bagi kepentingan politik dan/atau bisnisnya. Sebaliknya, terdapat kecenderungan debitur untuk hanya setia kepada satu debitur karena khawatir akan memperoleh kesulitan di kemudian hari. Kreditur pada umumnya berkeberatan apabila nasabahnya meminjam kepada kreditur informal lainnya karena khawatir ikatan bisnis lainnya juga akan berpindah sehingga dapat melakukan pembalasan di kemudian hari. Fenomena ini terjadi di beberapa negara berkembang, seperti India dan Philipina sebagaimana dikemukakan oleh Germidis, Kessler, and Meghir bahwa 8 : “Informal commercial credit forms parts of the local political economy; financial channels and market shares of lenders are inextricably related to local distribution of wealth and power, market interlinkages, political alliances, information flows, etc “. Dengan kondisi tersebut, suku bunga dapat dipertahankan tinggi lebih-lebih jika di wilayah tersebut tidak terdapat lembaga perkreditan formal. 7 Ibid, hal 81. 8 Germidis, Kessler “ Financial Systems and Development : What Role for the Formal and Informal Financial Sectors ? (1991). 72 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 3.1.2 Lembaga Kredit Formal Lembaga keuangan formal dapat juga memasuki pasar keuangan pedesaan dengan perspektif perhitungan jangka panjang bila didukung beberapa persyaratan. Persyaratan tersebut berkaitan dengan perlunya lembaga keuangan dikelola secara baik, terpercaya, aman, dan berlokasi strategis. Disamping itu, untuk menunjang berlangsungnya kegiatan operasi lembaga keuangan tersebut harus mampu menyalurkan kredit dalam jumlah yang cukup dan bersumber dari penghimpunan dana dengan spread yang cukup menguntungkan. Kemudahan bagi lembaga formal dalam memasuki pasar tersebut selain dilindungi hukum, lembaga formal tidak dianggap sebagai pesaing oleh kreditur informal. Bahkan di beberapa tempat dianggap sebagai rekan kerja. Sebagai contoh, seseorang yang tidak memiliki agunan dapat datang ke kreditur informal untuk meminjam uang. Kreditur informal yang kekurangan dana dapat meminjam dari bank dan lembaga kredit formal lainnya untuk kemudian disalurkan ke nasabahnya. Di samping itu, karena berspesialisasi pada kegiatan perkreditan, lembaga formal tidak dicurigai akan merebut kekuasaan para kreditur informal yang pada umumnya juga memiliki kaitan usaha di sektor riil atas nasabahnya. Tidak tertutup kemungkinan, seorang kreditur informal akan mendorong nasabahnya untuk meminta kredit ke lembaga formal jika memerlukan dana yang relatif besar. Suku bunga pada lembaga kredit formal pada umumnya lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga kreditur informal. Hal ini terjadi karena lembaga kredit formal dapat memanfaatkan ‘economies of scale’ sehingga dapat menjalankan kegiatannya dengan biaya yang relatif murah. Disamping itu, lembaga formal pada umumnya dapat mempelajari karakteristik pasar keuangan pedesaan dan memperoleh informasi terpercaya mengenai nasabah potensial melalui stafnya yang profesional. Dengan biaya yang murah tersebut maka lembaga formal dapat menawarkan suku bunga rendah untuk menarik nasabah. Suku bunga yang lebih rendah tersebut akan meningkatkan permintaan kredit yang akan menyebabkan biaya operasi per unit menjadi lebih murah. Perlu dikemukakan bahwa jika lembaga kredit formal dapat memberikan pelayanan yang baik dengan beban bunga yang lebih rendah maka sebagian masyarakat desa yang sebelumnya bergantung kepada kreditur informal akan beralih ke lembaga formal, meskipun ada kemungkinan mereka masih memerlukan dana dari kredit informal sebagai tambahan. Sementara itu, bagi mereka yang tidak memenuhi syarat untuk memperoleh dana dari lembaga formal disebabkan tidak memiliki agunan ataupun sebab lainnya akan tetap bergantung pada kreditur informal. Bagi kreditur informal, hal tersebut tidak terlalu mengganggu karena mereka masih tetap memiliki pangsa pasar yang aman. Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 73 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada pasar kredit pedesaan di Indonesia dapat diidentifikasikan beberapa lembaga formal yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat khususnya golongan ekonomi lemah adalah Perum Pegadaian, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Koperasi Simpan Pinjam (Kosipa), dan BRI Unit Desa. Disamping itu juga terdapat beberapa lembaga informal yang berperan dalam memberikan pinjaman kepada masyarakat antara lain pelepas uang (rentenir), toko emas yang memberikan pinjaman dengan sistem gadai serta pegadaian gelap.9 Pada dasarnya antar lembaga-lembaga tersebut tidak saling bersaing karena masing-masing sudah mempunyai pangsa pasar tersendiri, bahkan dapat dikatakan saling melengkapi sesuai dengan kondisi masyarakat. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian Robinson dengan mempergunakan teori RFI (dijelaskan pada bagian III). Mengacu pada teori tersebut, diperoleh temuan bahwa antara Perum Pegadaian dengan lembaga-lembaga keuangan formal dan informal lainnya yang ada di masyarakat tidak saling bersaing meskipun mempunyai segmen pasar yang hampir sama. Persaingan tidak terjadi karena nasabah masing-masing lembaga keuangan tersebut mempunyai karakteristik khusus yang menentukan preferensi mereka untuk menjadi nasabah lembaga keuangan tertentu (struktur pasar bersifat quasi-monopolistik). Kebijakan penghimpunan dan penyaluran dana serta sistem manajemen pendanaan yang sentralistik seperti diterapkan Perum Pegadaian, nampaknya sesuai dengan teori FF. Namun kebijakan tersebut pada beberapa aspek justru menghambat perkembangan Perum Pegadaian terutama pada saat terjadinya kekurangan likuiditas. Studi lapangan menunjukkan bahwa pada dasarnya masing-masing Kantor Daerah mempunyai potensi untuk menghimpun dana sendiri yang berasal dari potensi daerah setempat. Temuan ini sesuai dengan teori RFM bahwa pada dasarnya masyarakat pedesaan juga mampu menabung dan masuknya dana pihak luar justru akan menghambat perkembangan pasar keuangan pedesaan. Lembaga lain yang juga mempunyai potensi besar untuk menjadi pesaing Perum Pegadaian adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BRI Unit Desa (BRI UDes).10 Dalam 9 Data akurat mengenai potensi lembaga informal pemberi pinjaman sulit untuk diperoleh. Informasi yang diperoleh dari hasil studi lapangan hanyalah mengenai besarnya suku bunga yang dikenakan rentenir dan toko emas pada umumnya sangat tinggi berkisar 10% – 20% per bulan. Sementara itu dari temuan penelitian CPIS (pada periode 1982-1990) koperasi simpan pinjam mengenakan suku bunga antara 20% - 40% per bulan. Di daerah-daerah di mana terdapat kantor Perum Pegadaian, pangsa pasar kredit pedesaan yang dapat dikuasai oleh Perum Pegadaian diperkirakan berkisar 40% - 60% dibandingkan dengan rentenir, toko emas dan pegadaian gelap. 1 0 Sampai dengan September 1998 di seluruh Indonesia terdapat sebanyak 1.558 BPR non BKD dengan total aset sebesar Rp 2,4 triliun dan kredit yang diberikan sebesar Rp 1,7 triliun. Sebagian besar BPR (1.142 buah) berada di pulau Jawa (persebaran jumlah BPR terbanyak berada di wilayah Jawa Timur sebanyak 362 BPR, kemudian Jabotabek sebanyak 345 BPR) dan yang paling sedikit berada di wilayah Kalimantan (22 BPR). Sedangkan jumlah BRI UDes sebanyak 3.706 kantor. 74 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 analisis selanjutnya, kinerja Perum Pegadaian akan dibandingkan dengan BPR dan BRI UDes (untuk beberapa rasio keuangan) untuk memperoleh gambaran mengenai peranan Perum Pegadaian dalam pemberdayaan ekonomi rakyat dibandingkan dengan institusi kredit lainnya. Pemilihan ini berdasarkan ketersediaan data BPR dan BRI Unit Desa (BRI UDes), sementara untuk institusi lain dan lembaga kredit informal tidak diperoleh data akurat. 4.1 Hasil Studi Lapangan 4.1.1 Kinerja Operasional Omset 11 Peran Perum Pegadaian dalam memberikan pinjaman kepada masyarakat berpendapatan rendah menunjukkan perkembangan yang cukup pesat, terutama sejak terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Sampai dengan 30 September 1998 omset Perum Pegadaian telah mencapai Rp 2,3 triliun dengan pencapaian target sebesar 87,9%, atau meningkat 11% dibandingkan dengan realisasi omset tahun 1997 (Tabel 4.1). Untuk masing-masing wilayah, lonjakan omset terutama dialami oleh Kantor Daerah Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, sementara beberapa Kantor Daerah (Padang, Medan, Ujung Pandang, dan Balikpapan) mencatat perkembangan yang kurang memuaskan. Namun lonjakan omset yang terjadi pada Juni 1998 selanjutnya untuk bulan Agustus dan September mengalami penurunan terutama sebagai dampak dihentikannya fasilitas overdraft di BRI pada pertengahan Agustus. Grafik 1. Perkembangan Omset Perum Pegadaian Rp miliar 2500 2000 1500 1000 500 0 1994 1995 1996 1997 Triw III/ 1998 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst 1998 1 1 Omset : adalah jumlah/nilai pinjaman yang diberikan dalam suatu periode tertentu (konsep flow). Sept Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 75 Lonjakan kenaikan omset tersebut ternyata tidak diikuti dengan meningkatnya aspek pemerataan. Alokasi pinjaman untuk golongan D12 melonjak sehingga porsinya meningkat dari 35,4% (tahun 1997) menjadi 50,3% (tahun 1998 s.d September). Sementara itu, porsi golongan A, B dan C semakin berkurang (Tabel 4.1). Kecenderungan pergeseran orientasi pembiayaan Perum Pegadaian ke arah nasabah besar juga terlihat pada menurunnya porsi nasabah golongan A dan B masing-masing dari 43,9% dan 27,6% (1997) menjadi 41,4% dan 24,3% (1998). Fenomena dominasi pinjaman oleh golongan D juga terlihat di setiap kantor daerah yang diteliti kecuali untuk Kantor Daerah Bandung dimana pinjaman didominasi oleh golongan C. Pergeseran dari nasabah mikro ke nasabah besar tersebut terutama merupakan dampak dari : (i) Kebijakan Perum Pegadaian untuk meningkatkan laba, melalui peningkatan kualitas barang jaminan serta meningkatkan porsi nasabah golongan D (proyeksi tahun 1998), dengan alasan bahwa selama ini Perum Pegadaian telah memberikan subsidi kepada golongan nasabah mikro. (ii) Kenaikan harga barang jaminan sejalan dengan kenaikan harga barang jaminan khususnya emas, sehingga dengan barang jaminan yang sama nasabah golongan A dan B bisa mendapatkan pinjaman yang lebih besar. Dengan demikian kebijakan pembiayaan Perum Pegadaian telah bergeser ke arah nasabah dengan nilai pinjaman yang lebih besar. Kebijakan untuk meningkatkan keuntungan dengan mengurangi porsi pemberian pinjaman kepada nasabah mikro tersebut kurang sejalan dengan misi Perum Pegadaian untuk lebih memihak kepada nasabah mikro. Tabel 4.1. Perkembangan Omzet Perum Pegadaian (miliar rupiah) 1998 Gol. Nasabah A B C D E 1996 Des. Nominal 184,3 437,4 545,9 547,0 8,9 1.723,5 % 1997 Des. Nominal % 10,7 183,1 25,4 475,9 31,7 679,5 31,7 739,0 0,5 10,7 100,0 2.088,2 Sumber : Perum Pegadaian, diolah. Keterangan : A = Rp 5.000 - Rp 40.000 B = Rp 40.000 - Rp 150.00, Proyeksi Nominal 8,8 256,5 22,8 666,6 32,5 951,8 35,4 1.035,2 0,5 14,9 100,0 2.925,0 C = Rp 151.000 - 500.000 D = Rp 510.000 - 20.000.000 % 8,8 22,8 32,5 35,4 0,5 100,0 Realisasi Jan - Jun. Jan - Sept. Nominal % Nominal % 80,0 226,4 439,4 645,0 6,5 1.397,3 5,7 115,4 16,2 317,9 31,4 709,0 46,2 1.166,9 0,5 8,7 100,0 2.317,9 5,0 13,7 30,6 50,3 0,4 100,0 E = pinjaman kepada pegawai Perum Pegadaian 1 2 Perum Pegadaian menetapkan 5 macam golongan nasabah berdasarkan besarnya plafon pinjaman sebagai berikut: Gol. A = Rp 5.000 – Rp 40.000; Gol. B = Rp 40.000 – Rp 150.000; Gol. C = Rp 151.000 – 500.000; Gol. D = Rp 510.000 – 20.000.000; dan Gol. E = pegawai Perum Pegadaian. 76 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Jangka waktu peminjaman rata-rata dalam tahun 1998 adalah 89 hari yang berarti lebih singkat dibandingkan dengan tahun 1997. Golongan D meminjam dalam jangka waktu paling lama, yaitu 95,7 hari, sementara itu golongan B meminjam dalam jangka waktu paling singkat, yaitu 68 hari. Jumlah Nasabah Sejalan dengan lonjakan omset, jumlah nasabah Perum Pegadaian juga mengalami lonjakan tajam khususnya pada bulan Juni 1998 sehingga sampai dengan 30 September 1998 jumlah nasabah yang dapat diraih mencapai 6,6 juta orang. Jumlah nasabah yang mampu diraih Perum Pegadaian tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah nasabah yang mampu diraih BPR (4,2 juta nasabah). Dari segi persebaran nasabah, terdapat kesamaan antara Perum Pegadaian dengan BPR dimana baik untuk Perum Pegadaian dan BPR sebagian besar nasabah terkonsentrasi di wilayah Jawa (masing-masing 70% dan 57%), sedangkan jumlah nasabah yang paling sedikit terdapat di wilayah Kalimantan masingmasing 2,8% dan 2,3%. Lonjakan nasabah Perum Pegadaian yang sangat besar terjadi sejak bulan Juni 1998 dengan rata-rata per bulan di atas 1 juta nasabah dibandingkan bulan-bulan sebelumnya (Januari s.d Mei 1998) sekitar 400 ribu nasabah. Lonjakan nasabah sepanjang tahun 1998 tersebut sangat signifikan jika dibandingkan dengan perkembangan nasabah pada bulan yang sama tahun 1997 (Grafik 2). Lonjakan jumlah nasabah dari posisi Mei ke Juni 1998 tersebut diduga merupakan dampak krisis ekonomi sehingga akses masyarakat untuk dapat memperoleh kredit dari perbankan semakin sulit, mulai banyaknya perusahaan yang melakukan PHK terhadap karyawan dan meningkatnya harga emas. Faktor lain yang menyebabkan lonjakan jumlah nasabah tersebut menurut Perum Pegadaian adalah “peak season” tahun ajaran baru serta meningkatnya gangguan keamanan. Berdasarkan Kandanya, peningkatan jumlah nasabah terbesar terjadi pada Kanda Surabaya (243,7%) dan terendah pada Kanda Malang (2,3%). Namun seiring dengan berkurangnya kemampuan Perum Pegadaian dalam memberikan pinjaman kepada masyarakat maka jumlah nasabah pada Juli s.d September menunjukkan kecenderungan menurun, meskipun masih lebih banyak jika dibandingkan periode yang sama tahun 1997. Penurunan tersebut juga disebabkan oleh meningkatnya harga barang jaminan khususnya emas, sehingga mendorong penebusan oleh nasabah terutama dengan barang jaminan emas untuk dijual ke pasar. Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 77 Grafik 2. Perkembangan Jumlah Nasabah 1,400 1997 (ribu) 1998 1,200 1,000 800 600 400 200 0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nop Des Berdasarkan golongannya, mayoritas nasabah Perum Pegadaian (40,5%) pada tahun 1998 berasal dari golongan A. Sementara dari profesinya mayoritas nasabah (30,7%) berprofesi sebagai petani. Dibandingkan dengan tahun 1997, terlihat adanya pergeseran komposisi jumlah nasabah menurut golongan dan meningkatnya jumlah nasabah dengan profesi sebagai karyawan (Tabel 4.2). Meningkatnya jumlah nasabah yang berprofesi sebagai karyawan (berdasarkan kartu identitas/KTP) merupakan indikasi dari meningkatnya jumlah karyawan yang terkena PHK. Tabel 4.2. Komposisi Jumlah Nasabah Menurut Golongan dan Profesi A B C D E 1997 Jml. Nsb. (ribu) 2.331,5 1.463,2 871,1 635,4 3,9 Jumlah 5.305,1 Gol. Nasabah % 43,9 27,6 16,4 12,0 0,1 1998 Jml. Nsb. (ribu) 2.682,7 1.612,8 1.458,9 864,1 3,3 6.621,7 *) % 40,5 24,4 22,0 13,0 0,05 100,0 1997 1998 Profesi Jml. Nsb. Jml. Nsb. (ribu) (ribu) % Petani 1.638,2 30,9 2.032,9 Nelayan 405,7 7,6 430,4 Industri 325,6 6,1 331,1 Pedagang 1.221,3 23,0 1.410,4 Karyawan 449,0 8,5 682,0 Lain-lain 1.265,3 23,9 1.734,9 5.305,1 100,0 6.621,7 *) Sumber : Perum Pegadaian, diolah. Keterangan : *) : s.d September A = Rp 5.000 - Rp 40.000 B = Rp 40.000 - Rp 150.000 C = Rp 151.000 - 500.000 D = Rp 510.000 - 20.000.000 E = pinjaman kepada pegawai Perum Pegadaian % 30,7 6,5 5,0 21,3 10,3 26,2 100,0 78 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Penggunaan dana pinjaman oleh nasabah sangat bervariasi baik untuk tujuan konsumtif maupun produktif. Kebutuhan konsumtif yang dapat dipenuhi dari pegadaian antara lain pemenuhan kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah, biaya pengobatan, dan keperluan keluarga lainnya. Penggunaan yang bersifat produktif antara lain modal kerja bagi petani dan pedagang, usaha yang bersifat pesanan seperti kontraktor skala kecil, perajin mebel, usaha catering, pembayaran upah karyawan, dan lain-lain. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa nasabah diperoleh informasi bahwa sebagian besar dana pinjaman pegadaian dipergunakan untuk tujuan produktif (profil nasabah dikemukakan pada “persepsi masyarakat”). Lelang 13 Barang jaminan yang dilelang sampai dengan 30 September 1998 adalah sebanyak 261.810 potong (1,7% omset) atau senilai Rp 11,3 miliar (0.5% dari omset atau 1,5% dari sisa uang pinjaman), rasio tersebut menurun jika dibandingkan dengan tahun 1997 (1,0% dari omset dan 4,1% dari sisa uang pinjaman). Jika dibandingkan dengan volume dan nilai lelang sampai sebelum krisis (1997), maka telah terjadi penurunan jumlah dan nilai barang yang dilelang masing-masing sebesar 36,7% dan 47,8%. Menurut masing-masing golongan nasabah, rasio nilai lelang terhadap total kredit untuk golongan A meningkat dari 2,2% (1997) menjadi 2,3% (1998) tertinggi dibandingkan dengan golongan lain. Sedangkan rasio terendah adalah golongan D yaitu sebesar 0,1%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa krisis ekonomi sangat dirasakan dampaknya khususnya oleh nasabah mikro dengan semakin meningkatnya nilai pinjaman yang tidak dilunasi oleh golongan tersebut. Sementara itu, pinjaman yang digolongkan sebagai kredit macet di BPR (per 30 Juni 1998) mencapai Rp 253 miliar (15 % dari total kredit yang diberikan), sedangkan kredit macet di BRI UDes (per 30 September 1998) mencapai Rp 22,1 miliar (0,5% dari total kredit yang diberikan). Perbandingan kualitas pinjaman yang diberikan tersebut menunjukkan persentase kredit macet di Perum Pegadaian lebih besar dibandingkan dengan BRI UDes (0,5%), namun jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kredit macet di BPR. 1 3 Lelang merupakan upaya pengembalian uang pinjaman beserta sewa modal yang tidak dilunasi atau pinjamannya tidak diperpanjang (roll over) oleh nasabah sampai batas waktu yang ditentukan, dengan menjual barang jaminan kepada masyarakat umum pada waktu yang telah ditentukan. Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 79 Tabel 4.3. Perkembangan Lelang Barang Jaminan Gol. 1997 a) b) *) Nasabah Brg. Jaminan*) Nilai**) Omset***) SisaUP Rasio(%) Rasio(%) Brg. Jaminan 1998 **) Nilai ***) Omset a) SisaUP Rasio(%) b) Rasio(%) A 285.914 3,9 183,2 48,5 2,2 8,1 197.010 2,7 115,3 34,9 2,3 7,7 B 98.813 7,7 475,9 118,1 1,6 6,5 50.801 3,9 317,9 78,8 1,2 4,9 C 25.047 6,2 679,5 172,2 0,9 3,6 12.403 3,0 709,0 227,9 0,4 1,3 D 3.504 3,7 739,0 182,9 0,5 2,0 1.596 1,7 1.166,8 408,9 0,1 0,4 TOTAL 413.278 21,6 2.077,6 521,7 Keterangan : *) potong **) : nilai barang yang dilelang (miliar rupiah) ***) : omset pinjaman (miliar rupiah) Sumber : PerumPegadaian, diolah. 1,0 0,5 1,5 4,1 261.810 11,3 a) : rasio lelang thd omset b) : rasio lelangthd sisauang pinjaman 2.309,0 750,5 Pada periode Januari s.d September 1998, lelang terbanyak dilakukan oleh Kanda Yogyakarta (38,8 ribu potong) sedangkan yang paling sedikit dilakukan oleh Kanda Balikpapan (3 ribu potong). Sementara nilai lelang terbesar terdapat di Kanda Jakarta (Rp 2 miliar) dan yang paling sedikit di Kanda Balikpapan (Rp 289,7 juta). Sementara itu, kredit macet BPR sebagian besar terdapat di wilayah Jawa yang mencapai 58% total kredit macet, khususnya di Jabotabek sebesar Rp 73,4 miliar (4,3% total kredit atau 29% total kredit macet). Sedangkan volume kredit macet paling kecil terdapat di wilayah Sulawesi (termasuk Maluku, Irian Jaya dan Timor Timur) sebesar 0,1% total kredit atau 0,9% dari total kredit macet. Sedangkan kredit macet di BRI UDes baik sebelum maupun sesudah krisis, sebagian besar terdapat di wilayah Jawa dan paling sedikit di wilayah Bali (termasuk NTT dan NTB). Untuk tahun 1998, kredit macet di wilayah Jawa sebesar Rp 12,6 miliar (0,27% total kredit atau 56,81% total kredit macet), khususnya DKI & Jawa Barat sebesar Rp 6,5 miliar (0,14% total kredit atau 29,6% total kredit macet). Untuk wilayah Bali (termasuk NTT dan NTB) kredit macet sebesar Rp 794 juta (0,02% total kredit atau 3,6% total kredit macet). Perbandingan kualitas pinjaman ketiga lembaga tersebut menunjukkan kesamaan wilayah kerja yang mempunyai jumlah kredit macet terbesar yaitu di wilayah Jawa. Perlu dikemukakan bahwa lelang barang jaminan yang dilakukan Perum Pegadaian pada dasarnya bukan merupakan kerugian bagi Perum Pegadaian karena sesuai dengan hukum gadai, barang jaminan yang dilelang merupakan barang bergerak serta hasil lelang selalu dapat menutup nilai pinjaman ditambah bunga dan biaya administrasi, kecuali dalam kasus tertentu dimana terjadi penurunan harga barang jaminan yang sangat besar.14 1 4 Sebagai contoh turunnya harga barang jaminan adalah turunnya harga emas secara drastis di bulan November hingga mencapai 60% dari harga bulan Juni 1998, sehingga banyak nasabah dengan barang jaminan emas yang meminjam pada bulan Juni 1998 dan jatuh tempo pada November 1998 tidak melunasi pinjamannnya. 80 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 4.1.2 Kinerja Keuangan Aset Aset Perum Pegadaian menunjukkan kecenderungan meningkat. Jumlah aset per 30 September 1998 tercatat sebesar Rp 1,1 triliun, melampaui target yang ditetapkan untuk tahun 1998 sebesar Rp 1 triliun (Tabel 4.4). Realisasi aset pada tahun 1998 tersebut meningkat sebesar 51,6% dibandingkan periode yang sama tahun 1997. Total aset Perum Pegadaian tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan total aset BPR (per Juni 1998) yang telah mencapai Rp 2,4 triliun. Total aset terbesar dimiliki oleh Perum Pegadaian di wilayah Kanda Jakarta (Rp 183 miliar), sedangkan yang terkecil adalah Kanda Kupang (Rp 34 miliar). Ditinjau berdasarkan wilayah, total aset Perum Pegadaian sebagian besar terkonsentrasi di wilayah Jawa (Rp 573 miliar atau 50,3% total aset Perum Pegadaian) dan yang paling kecil adalah wilayah Kalimantan (Rp 44 miliar atau 3,9% total aset Perum Pegadaian). Sementara itu, total aset BPR sebagian besar terkonsentrasi di wilayah Jawa (Rp 1,7 triliun atau 70,8% dari total aset BPR) sedangkan yang paling kecil terdapat di wilayah Kalimantan sebesar Rp 63,9 miliar (2,7% total aset BPR). Perbandingan total aset berdasarkan wilayah tersebut menunjukkan adanya kesamaan antara Perum Pegadaian dengan BPR yaitu konsentrasi aset berada di wilayah Jawa dan aset terkecil di wilayah Kalimantan. Sumber dan Penggunaan Dana Sumber dana Perum Pegadaian selain terdiri dari modal (ekuitas) juga sumber dana lain yang diperoleh dari penerbitan surat berharga maupun pinjaman dari pihak lain. Jumlah modal per 30 September 1998 sebesar Rp 363 miliar, sementara kewajiban jangka pendek (terdiri dari hutang bank dan kewajiban lainnya) sebesar Rp 412 miliar, meningkat 171,7% dari periode yang sama tahun 1997. Komponen terbesar dari kewajiban jangka pendek tersebut adalah hutang bank (Rp 321 miliar). Kewajiban jangka panjang Perum Pegadaian (terdiri dari hutang obligasi dan hutang jangka panjang lainnya) sebesar Rp 364,6 miliar meningkat 32,4% dari tahun sebelumnya, dengan komponen terbesar adalah hutang obligasi (Rp 264,6 miliar) (Tabel 4.4). Sebagaimana telah disebutkan dalam Bab II bahwa untuk memenuhi kebutuhan dana maka selama periode 1993 – 1998, Perum Pegadaian telah menerbitkan obligasi sebanyak lima kali (seri I s.d V) dengan nilai nominal sebesar Rp 289,6 miliar yang akan jatuh tempo pada periode 1998 – 2003. Emisi terakhir adalah obligasi emisi V (Juni 1998), dengan tujuan penggunaan dana untuk pelunasan obligasi I (sebesar Rp 50 miliar) dan pengembangan usaha (modal kerja). Berdasarkan tujuan tersebut dapat dikemukakan bahwa Perum Pegadaian nampaknya tidak mempersiapkan cadangan dana pelunasan obligasi (sinking fund) yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dana pelunasan obligasi yang akan jatuh tempo (s.d 30 September 1998 dana pelunasan obligasi Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 81 yang dicadangkan hanya sebesar Rp 8,5 miliar). Menurut Perum Pegadaian, sinking fund tersebut tidak dihimpun karena tidak diperoleh ijin dari Menkeu untuk membentuk cadangan sebesar obligasi yang akan jatuh tempo, alokasi dana tersebut lebih diutamakan untuk penambahan modal kerja. Selain dari penerbitan obligasi, Perum Pegadaian juga memperoleh pinjaman berbunga rendah dalam bentuk RDI pemerintah sebesar Rp 100 miliar (sejak tanggal 4 September 1998), khususnya untuk memenuhi kebutuhan dana akibat lonjakan nasabah dan bantuan KLBI sejumlah Rp 50 miliar (per 31 Desember 1998). Dana dengan suku bunga murah yang diperoleh Perum Pegadaian tersebut di satu sisi sangat membantu dalam mengatasi kesulitan likuiditas yang dialami, namun dari sisi makro berdampak pada timbulnya distorsi suku bunga pasar pinjaman berskala kecil. Mengacu pada temuan Robinson yang menggunakan pendekatan RFI, bahwa suku bunga bersubsidi dapat menimbulkan inefisiensi dalam penyaluran dana di pedesaan. Dengan demikian, kebijakan subsidi bunga hanya akan efektif apabila diterapkan dalam jangka pendek. Tabel 4.4 Neraca Singkat Perum Pegadaian (miliar rupiah) Pos - Pos Neraca 1996 Per 31 Des. 1997 Per 30 Sep. Per 31 Des. Proyeksi 1998 Realisasi Per 30 Juni Aktiva Lancar Kas dan setara kas Pinjaman yg diberikan Lainnya Aktiva Lain Dana pelunasan obligasi Lainnya Total Aktiva Kewajiban Jangka Pendek Hutang bank Kewajiban lainnya Hutang Obligasi Hutang Sewa Guna Usaha Hutang jangka panjang lainnya Ekuitas 480,7 30,9 412,2 35,6 166,4 5,5 160,9 647 564,8 34,9 476,1 53,75 187,2 8,7 178,5 752 615 36,3 526,2 52,5 183,4 8,7 174,7 798,2 163,6 140,6 22,9 175 0,487 307,9 151,6 119,4 32,2 275 0,5 325 240,1 167,4 72,7 225 333 837,2 778,4 191 1.028 275 390 363,3 Pertumb. Per 30 Sept. Jun - Sept. (%) 673,2 35,4 582,4 55,4 190,9 8,7 182,2 864 947,2 119 756,8 71,4 192,7 8,7 184 1139,7 40,7 236,2 29,9 28,9 0,9 0,0 1,0 31,9 282,8 201,5 81,3 225 356,3 412 321 91 264,6 100 363 45,7 59,3 11,9 17,6 1,9 Sumber : Perum Pegadaian - diolah Penanaman dana oleh Perum Pegadaian dalam bentuk aktiva lancar (dikelompokkan dalam kas dan setara kas, pinjaman yang diberikan dan lainnya) serta aktiva lain. Aktiva dalam bentuk kas dan setara kas per 30 September 1998 tercatat sebesar Rp 119 miliar meningkat 240,9% dari periode yang sama tahun 1997, terutama diakibatkan oleh meningkatnya nilai deposito sebesar 605%. Perlu dikemukakan bahwa lonjakan deposito tersebut terjadi karena adanya pencairan bantuan modal kerja dari Pemerintah dalam bentuk RDI sebesar Rp 100 miliar pada tanggal 4 September 1998, dimana sampai dengan 30 September 1998 telah disalurkan ke nasabah sejumlah Rp 35 miliar, dan sisanya sebesar Rp 65 miliar untuk sementara disimpan dalam 82 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 bentuk deposito. Dari jumlah tersebut, Rp 50 miliar dalam deposit on-call dan Rp 15 miliar untuk cadangan investasi. Pinjaman yang diberikan per tanggal 30 September 1998 sebesar Rp 756,8 miliar, meningkat 58,9% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 1997. Sementara aktiva lain hanya meningkat sebesar 2,9%. Penanaman dana dalam bentuk pinjaman yang diberikan mempunyai porsi yang paling besar (86,5%) dibandingkan aktiva produktif lainnya. Secara makro, pinjaman yang diberikan oleh Perum Pegadaian baik dibandingkan dengan total kredit yang diberikan maupun dalam peer-groupnya relatif kecil. Porsi kredit yang diberikan Perum Pegadaian terhadap total kredit pada September 1998 sebesar 0,1% total kredit atau 6,6% total kredit peer-group. Meskipun porsi Perum Pegadaian saat ini masih kecil dan secara makro tidak terlalu besar dampak moneternya, namun peran Perum Pegadaian dalam memberikan pinjaman cenderung tidak mengalami penurunan dalam masa krisis ini, porsi BPR dan BRI UDes justru mengalami penurunan. Perbandingan dalam peer-groupnya menunjukkan peningkatan porsi Perum Pegadaian yang lebih besar dibandingkan dengan BPR dan BRI UDes, yaitu dari 7,3% (1997) menjadi 10,7% (1998), sementara porsi BPR menunjukkan penurunan, sedangkan porsi BRI UDes meskipun meningkat namun tidak sebesar peningkatan Perum Pegadaian (Tabel 4.5). Dalam kondisi perkembangan perbankan saat ini yang tidak menentu maka tidak tertutup kemungkinan pangsa pegadaian akan mampu melampaui pangsa BPR. Tabel 4.5. Rasio Perkembangan Pinjaman yang Diberikan Lembaga Pegadaian BPR BRI Unit Desa Sub-Total Nominal ( Rp miliar ) 414,3 1.795,0 4.077,0 6.286,3 Bank Umum 292.921,0 Total Keterangan : 299.207,3 1996 Rasio (%) (1) 6,6 28,6 64,9 (2) Nominal ( Rp miliar ) 0,1 0,6 1,4 2,1 526,2 1.976,3 4.688,0 7.190,5 97,9 378.134,0 1997 Rasio (%) (1) (2) 7,3 27,5 65,2 Nominal ( Rp miliar ) 1998 Rasio (%) (1) (2) 0,1 0,5 1,2 1,9 756,8 1.696,9 4.621,0 7.074,7 10,7 24,0 65,3 0,1 0,3 0,7 1,1 98,1 616.483,0 98,9 98,9 385.324,5 623.557,7 Rasio (1) : rasio terhadap peer-group ( PP, BPR, BRI Udes) Rasio (2) : rasio terhadap total kredit (termasuk bank umum) Pinjaman yang diberikan oleh Perum Pegadaian, BPR dan BRI UDes menurut wilayah adalah sebagai berikut : Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 83 • Pinjaman terbesar diberikan oleh Perum Pegadaian di wilayah Jawa, yaitu sebesar Rp 441,1 miliar (58,3% total pinjaman), sedangkan yang terkecil diberikan oleh Perum Pegadaian di wilayah Kalimantan sebesar Rp 36,6 miliar (4,8% total pinjaman). • Kredit yang diberikan oleh BPR sebagian besar terkonsentrasi di wilayah Jawa, yaitu sebesar Rp 1,2 triliun (74% dari total kredit BPR), sedangkan yang paling kecil diberikan oleh BPR di wilayah Sulawesi (termasuk Maluku, Irian dan Tim-Tim) sebesar Rp 36,5 miliar (2% dari total kredit). • Sedangkan untuk BRI UDes, kredit yang diberikan per 30 September 1998 terkonsentrasi di pulau Jawa, yaitu sebesar Rp 2,8 triliun (64% dari total kredit) dan yang paling sedikit di wilayah Bali (termasuk NTB dan NTT) sebesar Rp 293 miliar (6,3% dari total kredit). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pinjaman yang diberikan oleh ketiga lembaga formal tersebut selama ini terkonsentrasi di pulau Jawa. Pendapatan, Biaya dan Efisiensi Kemampuan Perum Pegadaian dalam meraih pendapatan menunjukkan kecenderungan semakin meningkat. Pendapatan Perum Pegadaian yang terdiri dari pendapatan usaha (meliputi: sewa modal dan bea penyimpanan & asuransi) dan pendapatan usaha lainnya (meliputi: pendapatan investasi, uang kelebihan lewat waktu, dan keuntungan barang sisa lelang) sampai dengan 30 September 1998 tercatat masing-masing sebesar Rp 209,7 miliar dan Rp 9,3 miliar, meningkat masing-masing sebesar 4,5% dan 144,7% dibandingkan tahun 1997. Penyumbang terbesar dari pendapatan usaha tersebut adalah pendapatan sewa modal (88,9%). Sementara itu biaya operasional tercatat sebesar Rp 180,4 miliar, meningkat 10,7% dibandingkan tahun 1997, dengan porsi terbesar adalah biaya bunga dan provisi yang mencapai 57,0% dari total biaya operasional. Seperti juga Perum Pegadaian, pendapatan operasional BPR menunjukkan peningkatan dari Rp 543 miliar (1997) menjadi Rp 758 miliar (1998), dengan komponen terbesar berasal dari pendapatan bunga sebesar 44,4% menurun dari pangsa tahun sebelumnya sebesar 79,4%. Biaya operasional BPR juga mengalami peningkatan dari Rp 519 miliar (1997) menjadi Rp 742 miliar (1998) dengan komponen terbesar adalah biaya bunga deposito berjangka sebesar 21,3%, menurun dari tahun sebelumnya sebesar 31,8%. Terlihat adanya kesamaan antara Perum Pegadaian dengan BPR, dimana pendapatan bunga dan biaya bunga merupakan komponen terbesar dari pendapatan dan biaya operasional. Berdasarkan besarnya pendapatan dan biaya operasional Perum pegadaian tersebut, diperoleh nilai rasio antara biaya operasional dengan pendapatan operasional untuk tahun 1997 dan tahun 1998 masing-masing sebesar 80,3% dan 81,0%. Rasio tersebut menunjukkan terjadinya penurunan efisiensi, terutama sebagai dampak meningkatnya beban bunga dan 84 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 provisi yang sudah mencapai 112,6% dari target tahun 1998, sementara realisasi pendapatan sewa modal baru mencapai 82,4%. Meskipun demikian, Perum Pegadaian masih mencatat tingkat efisiensi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan BPR (95,7%) dan BRI UDes (84,1%). Salah satu aspek yang mendorong tingginya efisiensi yang mampu diraih Perum Pegadaian dibandingkan dengan BPR dan BRI UDes adalah karena Perum Pegadaian tidak memperhitungkan cadangan kredit macet dalam komponen biaya operasionalnya. Cadangan tersebut tidak dihimpun oleh Perum Pegadaian karena nilai pinjaman yang diberikan sudah didiskonto dari nilai pasar/taksiran barang jaminan (Lampiran 13). Disamping itu, Perum Pegadaian memiliki struktur modal yang lebih kuat dan juga memperoleh pinjaman dengan suku bunga relatif murah. Profitabilitas Dengan menggunakan indikator ROA dan ROE, untuk periode 1997 dan 1998 diperoleh koefisien ROA sebesar 6,5% (1997) dan 4,4% (1998), dan koefisien ROE sebesar 10,7% (1997) dan 9,3% (1998). Koefisien tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 1998 terjadi penurunan kemampuan Perum Pegadaian dalam meraih keuntungan. Sementara ROA yang mampu diraih BPR sebesar 1,3% dan 1,1% dengan ROE sebesar 4,7% dan 3,3%, sedangkan ROA BRI UDes sebesar 4,8% dan 3,3%. Dengan membandingkan besarnya rasio profitabilitas Perum Pegadaian dan BPR untuk masing-masing periode tersebut terlihat bahwa kemampuan Perum Pegadaian dalam meraih keuntungan relatif lebih baik jika dibandingkan dengan BPR dan BRI UDes (Lampiran 13). Profitabilitas yang tinggi tersebut mampu diraih Perum Pegadaian karena besarnya sewa modal hampir sama dengan suku bunga perbankan, khususnya pada masa krisis ekonomi, di sisi lain sumber dana bersubsidi yang diperoleh serta modal Perum Pegadaian cukup besar. Likuiditas Rasio antara aktiva lancar dengan kewajiban lancar Perum Pegadaian rata-rata tahun 1997 sebesar 2,4 kali dan untuk tahun 1998 tidak berubah yaitu sebesar 2,4 kali. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 1997 dan 1998 Perum Pegadaian mempunyai kemampuan untuk memenuhi kewajiban lancarnya sebesar 2,4 kali. Pencapaian rasio tersebut berarti telah sesuai dengan target yang ditetapkan. Jika dibandingkan dengan rasio BPR sebesar 1,2 kali menunjukkan bahwa Perum Pegadaian mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam memenuhi kewajiban lancarnya (Lampiran 13). Solvabilitas Kemampuan Perum Pegadaian untuk memenuhi semua kewajibannya berdasarkan rasio antara total hutang dengan total aktiva rata-rata tahun 1997 dan tahun 1998 adalah Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 85 sebesar 64,1%, lebih baik jika dibandingkan dengan BPR dan BRI UDes dengan rasio masingmasing sebesar sebesar 76,8% dan 89%. Rasio tersebut menunjukkan bahwa Perum Pegadaian mempunyai kemampuan lebih besar dalam memenuhi seluruh kewajibannya dibandingkan dengan BPR dan BRI UDes (Lampiran 13). Biaya Aktiva Produktif dan Analisis Sensitivitas Marjin (selisih biaya dana yang ditanamkan dalam bentuk aktiva produktif dengan sewa modal pada masing-masing golongan nasabah) yang diperoleh pada masa sebelum dan sesudah krisis menunjukkan, bahwa Perum Pegadaian masih memiliki marjin yang positif untuk semua golongan selain A. Marjin yang diperoleh pada tahun 1997 untuk nasabah golongan A adalah –3,61% dan golongan B, C, D sebesar 8,39%. Kebijakan Perum Pegadaian untuk menaikkan sewa modal pada Juni dan Agustus 1998, telah berdampak cukup berarti pada perubahan besarnya marjin. Untuk golongan A terjadi peningkatan marjin negatif menjadi –7,24%, golongan B dan C turun menjadi 8,26%, sedangkan golongan D (rata-rata D dan D1) meningkat menjadi 13,76% (Lampiran 14). Defisit pada golongan A yang ditandai oleh marjin negatif, sejalan dengan komitmen Perum Pegadaian untuk membantu nasabah mikro dengan menerapkan subsidi silang pada sewa modal. Turunnya marjin pada golongan A, B dan C tersebut ternyata tidak menyebabkan penurunan laba, yang terlihat dari meningkatnya marjin tertimbang (weighted profit/loss) dari 7,34% (1997) menjadi 10,26% (1998) (Lampiran 15-A). Marjin yang diperoleh Perum Pegadaian tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan perbankan (Lampiran 16). Pada periode 1996 s.d 1998 perbankan mencatat marjin negatif dengan kecenderungan semakin besar pada tahun 1998. Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa secara umum harga kredit di Perum Pegadaian lebih mahal dibandingkan perbankan. Namun karena prosedurnya mudah, maka masyarakat masih tertarik untuk meminjam dari Perum Pegadaian. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat sejauh mana pengaruh penurunan marjin pada golongan B, C, dan D serta pengaruh peningkatan porsi omzet pada golongan A terhadap keuntungan yang mampu diraih Perum Pegadaian. Untuk tujuan tersebut, dilakukan simulasi yang terdiri dari dua bagian. Pada bagian pertama (Lampiran 15-A), dilakukan peningkatan porsi omzet pada nasabah golongan A secara bertahap sebesar 5 persen. Sementara itu, sisa omzet dibagi secara merata diantara golongan lainnya. Dalam simulasi pertama ini, marjin keuntungan/kerugian untuk tiap golongan dianggap sama dengan kondisi pada tahun 1998. Berdasarkan hasil simulasi terlihat bahwa setiap peningkatan porsi omzet terhadap nasabah golongan A sebesar 5% akan pada simulasi ke1 akan menurunkan keuntungan nominal + Rp 44 miliar, sementara untuk simulasi selanjutnya akan menurunkan keuntungan nominal sebesar +Rp 20 miliar. Pegadaian baru akan merugi sebesar Rp 7,2 miliar pada saat omzet nasabah golongan A sebesar 60 %. 86 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Pada bagian kedua (Lampiran 15-B), dilakukan penurunan marjin keuntungan pada nasabah golongan B, C, dan D secara bertahap sebesar 1%. Pada bagian ini, marjin untuk nasabah golongan A dibiarkan tetap dan distribusi omzet untuk tiap golongan nasabah sama dengan kondisi pada tahun 1998. Berdasarkan hasil simulasi terlihat bahwa setiap penurunan marjin keuntungan sebesar 1 % pada golongan B, C dan D akan menurunkan keuntungan +Rp 22 miliar. Pegadaian masih memiliki keuntungan Rp 17,6 miliar pada saat marjin untuk tiap golongan nasabah sebagai berikut : A = -7,24%; B = -1,74%; C = 1,74%; dan D = 3,76%. Berdasarkan kedua simulasi tersebut di atas, Perum Pegadaian masih memiliki ruang untuk meningkatkan porsi pemberian kredit kepada nasabah golongan A dan menurunkan sewa modal pada golongan B, C, dan D 15 . Produktivitas Omset Realisasi omset sampai dengan 30 September 1998 adalah sebesar Rp 2.318 miliar dengan jumlah pegawai sebanyak 6.243 orang. Produktivitas omset yang diukur dengan rasio antara realisasi omset dengan jumlah pegawai selama Januari - September 1998 yaitu sebesar Rp 371,3 juta, atau rata-rata Rp 41,3 juta per bulan. Produktivitas omset untuk tahun 1998 tersebut adalah sebagai berikut : Tabel 4.6 Target dan Realisasi Produktivitas Omset – Tahun 1998 Omset Jumlah Pegawai Rasio Rata-rata per bulan Target Realisasi Rp 9.925 M 6,.243 Rp 468,5 juta Rp 52 juta Rp 2.317,9 M 6.243 Rp 371,3 juta Rp 41,3 juta Berdasarkan realisasi tersebut terlihat bahwa produktivitas omset yang mampu dicapai Perum Pegadaian sampai dengan September 1998 sudah mencapai 79,2% dari target yang ditetapkan untuk tahun 1998. Rasio yang dicapai pada tahun 1998 tersebut masih lebih besar dibandingkan tahun 1996 (Rp 311 juta) dan 1997 (Rp 340 juta). Sedangkan berdasarkan analisis untuk masing-masing wilayah kerja Perum Pegadaian menunjukkan bahwa pegadaian di wilayah Ujungpandang mempunyai produktivitas omset terbesar (Rp 682,9 1 5 Berdasarkan informasi, Perum Pegadaian telah menetapkan keputusan (SK. No. 16/UT/II/1999) untuk menurunkan besarnya sewa modal (golongan B,C dan D) yang berlaku mulai tanggal 1 Maret 1999. Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 87 juta) baik sebelum maupun sesudah krisis ekonomi, sedangkan produktivitas omset terendah terdapat di wilayah Sumatera (Rp 336,1 juta), sedangkan yang terendah pada 1997 adalah Perum Pegadaian di wilayah Jawa. Rasio Nasabah dengan Jumlah Pegawai Rasio antara nasabah dengan jumlah pegawai selama Januari- September 1998 sebesar 1.133,7 orang atau rata-rata setiap pegawai dapat melayani sebanyak 126 orang per bulan, sementara target yang ditetapkan untuk tahun 1998 sebesar 982 orang atau sekitar 82 orang per bulan. Rasio antara jumlah nasabah dengan jumlah Pegawai tahun 1998 adalah sebagai berikut : Tabel 4.7 Target dan Realisasi Rasio Nasabah dengan Jumlah Pegawai – Tahun 1998 Jumlah Nasabah Jumlah Pegawai Rasio Rata-rata per bulan Target Realisasi 6,1 juta 6,.243 982 82 7,1 juta 6.243 1.137 126 Rasio tersebut menunjukkan bahwa realisasi rasio jumlah nasabah dengan jumlah pegawai yang dicapai Perum Pegadaian sampai 30 September 1998 telah melampaui target yang ditetapkan. Rasio tersebut meningkat jika dibandingkan dengan rasio tahun 1996 (907,8 orang) dan tahun 1997 (862,6 orang). Untuk masing-masing wilayah kerja, rasio nasabah dengan pegawai tertinggi baik sebelum maupun sesudah krisis ekonomi terdapat di wilayah Ujungpandang dengan rasio sebesar 1.400,9 (1998) dan 1.379 orang (1997); 1.582 orang (1996) nasabah untuk satu orang pegawai, sedangkan produktivitas terendah adalah wilayah Sumatera dengan rasio sebesar 806,3 (1998); 480 orang (1997) dan 448 nasabah (1996) untuk satu orang pegawai. 4.1.3 Masalah yang Dihadapi Perum Pegadaian Masalah Temporer Lonjakan nasabah yang sangat besar terutama sejak Juni 1998 telah menyebabkan Perum Pegadaian melakukan overdraft yang besar atas pinjaman rekening koran di BRI, yang mengakibatkan BRI menghentikan pemberian kredit lebih lanjut ke Perum Pegadaian 88 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 sejak pertengahan Agustus 1998. Saldo pinjaman rekening koran di BRI tersebut pada akhir September 1998 sebesar Rp 284,3 miliar (plafond Rp 181,7 miliar). Kesulitan likuiditas tersebut semakin dalam karena Perum Pegadaian harus membayar pokok dan bunga obligasi yang jatuh tempo, sementara penerbitan obligasi baru kurang laku. Untuk mengatasi hal tersebut Perum Pegadaian telah memperoleh RDI Pemerintah sebesar Rp 100 miliar (4 September 1998) serta KLBI sebesar Rp 50 miliar pada bulan Desember 1998. Sebelumnya, sejak November 1998 setiap kantor daerah wajib melakukan setoran ke kantor pusat secara proporsional berdasarkan modal kerja yang dimanfaatkan. Dampak dari kesulitan likuiditas tersebut adalah semakin terbatasnya kemampuan Perum Pegadaian dalam memberikan kredit kepada masyarakat. Kesulitan likuiditas yang dialami Perum Pegadaian juga terlihat dari perbandingan antara realisasi pinjaman yang diterima nasabah dengan nilai taksiran yang ditetapkan. Sampai dengan 30 September 1998, perbandingan tersebut relatif rendah dengan persentase secara nasional sebesar 73,5%. Nilai realisasi uang pinjaman dengan persentase tertinggi diberikan oleh Kantor Daerah Jember (81,8%), sedangkan yang terendah diberikan oleh Kantor Daerah Balikpapan (65,2%). Jika mengacu pada ketentuan yang menetapkan realisasi uang pinjaman untuk nasabah golongan A sebesar 90%, B dan C sebesar 85%, D (dibawah 2,5 juta) sebesar 81% dan D (diatas 2,5 juta) sebesar 81%, maka nilai rata-rata realisasi uang pinjaman terhadap nilai taksiran untuk golongan A sebesar 85,3%, B sebesar 71,9%, C sebesar 73,4% dan D 73,1% masih lebih kecil dari ketentuan yang berlaku (Tabel 4.8). Kondisi tersebut tentunya kurang menguntungkan bagi nasabah yang membutuhkan dana lebih besar karena pinjaman yang diterima jauh lebih kecil dari nilai taksiran maupun nilai pasar barang yang diagunkan. Tabel 4.8. Realisasi Pinjaman yang Diterima Nasabah Tahun 1998 Golongan Nasabah Ketentuan Realisasi Pinjaman (%)*) Realisasi Pinjaman yang Diterima Nasabah (%) A B C D 90 85 85 81 85,3 71,9 73,4 73,1 *) SE No. 37-OPP-1/1/23 tgl. 30 Juli 1998 Kebijakan yang telah ditempuh agar tetap mampu melayani sebanyak mungkin nasabah dalam kondisi keterbatasan dana, maka berdasarkan SE No. 28/OPP.1/1/117 tanggal 17 Juni 1998, Perum Pegadaian menurunkan plafon maksimum pinjaman yang Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 89 dapat diperoleh nasabah dari Rp 20 juta (golongan D) menjadi maksimum Rp 5 juta per SBK. Beberapa kantor cabang yang diamati bahkan telah melakukan pembatasan plafon pinjaman maksimum untuk seorang nasabah rata-rata kurang dari Rp 5 juta. Kebijakan tersebut tetap dipertahankan sampai saat ini meskipun sudah ada tambahan dana RDI dan KLBI yang sebagian justru ditanamkan dalam bentuk deposito.16 Dampak kebijakan penurunan batas maksimum pinjaman tersebut adalah semakin sulitnya nasabah-nasabah potensial untuk bisa memperoleh pinjaman di atas Rp 5 juta dengan satu barang jaminan, kondisi tersebut berpotensi menyebabkan beralihnya nasabahnasabah potensial tersebut ke sumber pendanaan lainnya (seperti toko emas dan pegadaian gelap) yang masih bersedia memberikan pinjaman lebih dari Rp 5 juta. Kebijakan lain adalah dengan memberlakukan sistem antrian (waiting list) seperti yang diterapkan oleh beberapa kantor cabang, bahkan pada beberapa kantor cabang terpaksa melakukan penutupan kantor sebelum waktunya. Kenaikan suku bunga pasar juga menimbulkan permasalahan tersendiri bagi Perum Pegadaian karena biaya dana yang sebagian besar diperoleh dari kredit bank semakin besar. Untuk memperkecil dampak naiknya suku bunga pasar, maka Perum Pegadaian sejak 30 Juni 1998 menempuh kebijakan dengan menaikkan suku bunga pinjaman untuk golongan D dengan nilai pinjaman di atas Rp 500 ribu (Lampiran 5). Namun di sisi nasabah, kebijakan tersebut dianggap memberatkan bagi beberapa nasabah meskipun bagi nasabah lainnya tidak terlalu memperdulikan kenaikan suku bunga tersebut. Permasalahan Struktural Perum Pegadaian sebagai satu-satunya lembaga keuangan yang memberikan pinjaman dengan sistem gadai mempunyai jaringan kantor cabang yang sangat banyak dengan wilayah operasional yang sangat luas. Luasnya jaringan kerja tersebut di satu sisi sangat mendukung usaha Perum Pegadaian dalam membantu masyarakat, namun di sisi lain menimbulkan permasalahan tersendiri bagi Perum Pegadaian. Permasalahan yang timbul terutama adalah terlalu luasnya rentang kendali masing-masing kantor daerah terhadap kantor cabang-kantor cabang yang ada di wilayah koordinasinya. Dengan jumlah tenaga pemeriksa hanya 4 orang, setiap kantor daerah rata-rata membawahi lebih dari 50 Kanca dengan frekuensi pemeriksaan untuk masing-masing kantor cabang rata-rata 3 – 4 kali dalam satu tahun. Sementara itu, kanda di luar Jawa harus membawahi kanca yang secara geografis terlalu jauh. Luasnya rentang kendali tersebut belum diimbangi dengan 1 6 Menurut Perum Pegadaian, dana sebesar Rp 50 milyar yang disimpan dalam bentuk deposito (on call) dengan jangka waktu kurang dari 1 bulan dimaksudkan untuk cadangan pelunasan pinjaman BRI yang jatuh tempo. 90 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 sarana komunikasi yang memadai sehingga belum dapat menunjang pemantauan kinerja kanca-kanca secara efektif. Sistem manajemen yang diterapkan oleh Perum Pegadaian saat ini cenderung menekankan pada besarnya peranan kantor pusat. Sistem manajemen sentralistik tersebut di satu sisi dapat menunjang sistem internal control yang handal, namun di sisi lain berpotensi menghambat kinerja Perum Pegadaian. Sistem manajemen tersebut dalam jangka panjang akan menimbulkan permasalahan tersendiri khususnya jika kebijakan pemberian otonomi yang lebih besar untuk masing-masing propinsi di Indonesia akan dilaksanakan oleh Pemerintah. Sistem manajemen yang sentralistik tersebut tercermin pada terpusatnya wewenang penetapan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan operasional Perum Pegadaian, antara lain dalam : (i) Penetapan besarnya sewa modal. Kantor daerah dan kantor cabang tidak diperbolehkan untuk menetapkan besarnya tingkat sewa modal (suku bunga) meskipun terhadap nasabah-nasabah potensial. (ii) Penetapan harga patokan emas. Harga patokan emas ditetapkan oleh kantor pusat dengan berdasarkan harga emas di Jakarta. Sistem ini berdampak pada lambatnya antisipasi kantor cabang dalam merespon perkembangan harga emas di daerah. (iii) Penghimpunan dana. Wewenang untuk menghimpun dana sepenuhnya berada di kantor pusat dimana baik kantor daerah maupun kantor cabang tidak diperbolehkan menghimpun dana sendiri. Dampak dari ketentuan ini adalah, masing-masing kantor daerah atau kantor cabang tidak mampu memanfaatkan potensi daerah sepenuhnya terutama dalam kondisi terbatasnya likuiditas seperti yang dialami dewasa ini. Permasalahan struktural lainnya terutama adalah masih terdapatnya beberapa kelemahan prosedur yang dapat mendorong terjadinya berbagai penyimpangan. Beberapa kelemahan prosedur yang dijumpai antara lain adalah kewenangan Kantor daerah yang seakan tanpa batas dalam memutuskan besarnya nilai pinjaman di atas plafon Rp 20 juta serta penyimpanan seluruh kunci duplikat pada satu orang (Kepala Kantor Cabang) 17 . Disamping kelemahan tersebut, dalam penelitian lapangan juga dijumpai beberapa kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai penyimpangan. Penyimpangan tersebut antara lain adalah 1 7 Menurut Perum Pegadaian, dwilipat kunci disimpan oleh Kepala Cabang karena dalam setiap pemeriksan intern dwilipat kunci tersebut diperiksa sampai sejauh mana penyalahgunaan pemakaiannya, serta sewaktu-waktu dapat digunakan apabila pemegang kunci utama (pemegang gudang) berhalangan untuk masuk kerja. Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 91 praktek transfer dana antarcabang 18, pelanggaran kriteria barang jaminan yang dapat diterima Perum Pegadaian 19 , penyimpanan barang jaminan pada tempat yang tidak sesuai dengan prosedur, serta tidak dilaksanakannya prosedur internal control kluis dan gudang. Sementara itu, Perum Pegadaian juga akan terus menghadapi risiko fluktuasi harga barang jaminan akibat fluktuasi nilai tukar mengingat besarnya jumlah agunan di Perum Pegadaian berupa emas/perhiasan yang harganya mengikuti pergerakan harga pasar internasional. Nilai barang jaminan dalam bentuk emas/perhiasan pada tahun 1998 dan 1997 masing-masing sebesar 75% dari total pinjaman meningkat dibandingkan tahun 1996 (72%). Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah barang jaminan dalam bentuk emas/perhiasan semenjak terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Persepsi Masyarakat Berdasarkan hasil penelitian lapangan ke beberapa kantor cabang, ditemukan berbagai persepsi masyarakat terhadap Perum Pegadaian. Pada umumnya masyarakat, khususnya yang berpendapatan rendah, merasa sangat terbantu oleh Perum Pegadaian. Penggunaan dana oleh nasabah sangat beragam baik untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat produktif (misalnya untuk modal kerja dan bridging financing) sampai untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif (misalnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah dan kebutuhan mendesak lainnya). Dari 90 nasabah yang dipilih secara acak dan berhasil diwawancarai, mayoritas berpenghasilan antara Rp 150 ribu s.d Rp 500 ribu per bulan. Sebagian besar nasabah tersebut tidak mempunyai akses ke perbankan atau tidak mau berhubungan dengan perbankan karena prosedur yang rumit. Berdasarkan penggunaannya, mayoritas nasabah (± 59%) mempergunakan pinjaman yang diperoleh dari Perum Pegadaian untuk tujuan produktif seperti modal kerja (56%) dan bridging financing (3%), sedangkan sisanya mempergunakan untuk tujuan konsumtif seperti biaya sekolah (17%), kebutuhan sehari-hari (16%), emergency (5%), dan lain-lain (3%). (Grafik 3). 1 8 Menurut Perum Pegadaian, praktek transfer antarcabang masih diijinkan sepanjang BRI yang terdapat di wilayah kantor cabang tersebut tidak menyediakan fasilitas rekening giro. Namun dalam prakteknya dijumpai beberapa kantor cabang yang berlokasi di wilayah kota besar masih melakukan praktek transfer antarcabang, meskipun di wilayah tersebut terdapat kantor BRI yang cukup besar. 1 9 Menurut Perum Pegadaian, barang jaminan yang tidak memenuhi ketentuan yang sudah ditetapkan masih bisa diterima asalkan secara ekonomis tidak menimbulkan kerugian bagi Perum Pegadaian. 92 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Grafik 3. Komposisi Penggunaan Dana oleh Nasabah Em ergency 5% Lain-lain 3% Biaya Sekolah 17% Brid. Financing 3% Keb. Sehari-hari 16% Modal Kerja 56% Sedangkan berdasarkan tingkat pendidikannya, mayoritas responden yang banyak berhubungan dengan Perum Pegadaian berpendidikan SLTA (43,3%) terbanyak kedua adalah nasabah berpendidikan SLTP (20%) dan yang paling sedikit adalah nasabah dengan pendidikan tidak tamat SD (2,2%). Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas nasabah mempunyai pendidikan yang cukup, berpenghasilan rendah dan mempergunakan dana yang diperoleh dari Perum Pegadaian untuk tujuan produktif. Menurut persepsi nasabah, keunggulan Perum Pegadaian dibandingkan lembaga pemberi pinjaman lainnya terutama adalah dari segi pelayanan kepada nasabah, khususnya faktor keamanan barang jaminan dan kewajaran nilai taksiran. Dengan melihat keunggulan tersebut nasabah Perum Pegadaian pada umumnya tidak terlalu memperdulikan besarnya suku bunga meskipun saat ini relatif tinggi pada kondisi suku bunga pasar yang cenderung menurun. Disamping persepsi positif nasabah tersebut, dari penelitian lapangan juga ditemukan bahwa beberapa nasabah merasakan tingginya suku bunga Perum Pegadaian saat ini serta sistem penghitungan bunga dengan acuan minimal 15 hari dirasakan cenderung merugikan nasabah. Kesulitan likuiditas yang dialami sejak Agustus 1998 berdampak pada berkurangnya kemampuan Perum Pegadaian dalam melayani nasabah, sehingga nasabah khususnya nasabah besar mulai merasakan bahwa Perum Pegadaian tidak selalu dapat memberikan pinjaman sesuai permintaan mereka. Kondisi tersebut mendorong beberapa nasabah besar untuk beralih ke pemberi pinjaman lainnya seperti pelepas uang, pegadaian gelap atau toko emas. Kurangnya sosialisasi/pemasaran produk Perum Pegadaian kepada masyarakat, menyebabkan pada beberapa wilayah masyarakat masih merasa malu untuk berhubungan Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 93 dengan Perum Pegadaian. Namun tidak semua masyarakat merasa malu berhubungan dengan Perum Pegadaian, terlihat pada beberapa wilayah seperti Ujung Pandang (mencakup Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya) serta Kodya Yogyakarta, sedangkan pada beberapa wilayah kantor Perum Pegadaian lainnya yang diamati sebagian nasabah masih merasa malu untuk berhubungan langsung dengan pegadaian dan lebih suka menggunakan jasa perantara (calo). 4.2 Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Perhatian terhadap ekonomi kerakyatan semakin meningkat seiring dengan meluasnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial. Salah satu faktor dalam pemberdayaan ekonomi rakyat adalah pemberian prioritas dan bantuan dalam pengembangan usaha kepada ekonomi lemah. Berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi rakyat tersebut, pemerintah telah menempuh berbagai upaya yang antara lain meliputi : 1. Kredit Program Dalam rangka mendorong berputarnya roda perekonomian di lapisan bawah yang saat ini menghadapi kesulitan sumber-sumber pembiayaan/pendanaan di lembaga formal (bank), maka Bank Indonesia mendorong komitmen perbankan dalam melayani usaha kecil (KUK), merealisasikan berbagai skim kredit program yang dananya berasal dari KLBI (seperti KKPA, KKop, KUT, dll), memberi bantuan teknis yang diarahkan kepada kemitraan dan pendekatan kelompok melalui PPUK, PHBK dan PKM serta mengembangkan kelembagaan keuangan sesuai kebutuhan usaha kecil menengah dan koperasi. 2. Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) Program JPS ditujukan untuk menciptakan kesempatan kerja produktif bagi penganggur, meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat, meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat terutama yang terkena dampak krisis serta mengkoordinasikan berbagai program penanggulangan dampak krisis dan berbagai program penanggulangan kemiskinan. Realisasi JPS ditempuh dalam empat program; (i) program ketahanan pangan, (ii) program padat karya dan penciptaan lapangan kerja produktif’ (iii) program perlindungan sosial, dan (iv) program pemberdayaan ekonomi rakyat. 3. Reformasi Struktural Sektor Riil Program ini dijalankan melalui reformasi di bidang perdagangan, investasi, deregulasi dan privatisasi, yang diwujudkan dengan berbagai kebijakan untuk menghapuskan berbagai aspek yang menyebabkan inefisiensi dalam perekonomian. Semakin berkurangnya kemampuan perbankan dalam memberikan pinjaman kepada masyarakat dewasa ini semakin membuka peluang bagi Perum Pegadaian untuk berperan lebih besar dalam program pemberdayaan ekonomi rakyat. 94 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Potensi Perum Pegadaian tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu : a. Kesiapan jaringan kerja dan sumber daya manusia Perum Pegadaian mempunyai jaringan kerja yang sangat luas (633 kantor cabang) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selain jaringan kerja yang sangat luas, Perum Pegadaian juga didukung oleh jumlah dan kualitas pegawai yang cukup memadai. b. Keberpihakan pada masyarakat khususnya golongan ekonomi lemah Keberpihakan Perum Pegadaian kepada masyarakat khususnya golongan ekonomi lemah terlihat dari relatif kecilnya skala kredit yang diberikan dibandingkan dengan lembaga formal lainnya, dengan plafon terendah Rp 5.000 dan tertinggi Rp 20 juta. Disamping itu, Perum Pegadaian juga masih memberikan peluang bagi permintaan pinjaman dalam skala yang lebih besar (diatas Rp 20 juta). Prosedur pengajuan dan pelunasan pinjaman relatif mudah dan cepat. Suku bunga pinjaman yang dikenakan Perum Pegadaian pada umumnya juga relatif rendah. Nasabah pegadaian sebagian besar merupakan nasabah mikro dan mayoritas berprofesi sebagai petani. Keberpihakan tersebut juga tercermin dalam misi yang ditetapkan dalam periode RJP II untuk ikut meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat golongan menengah ke bawah melalui penyediaan dana berdasarkan hukum gadai secara inovatif dan melakukan usaha lain yang menunjang. c. Meningkatnya jumlah pinjaman yang diberikan. Pinjaman yang diberikan pegadaian kepada masyarakat semakin meningkat seiring dengan lonjakan permintaan khususnya sejak krisis ekonomi. Lonjakan tersebut merupakan dampak semakin sulitnya akses masyarakat ke perbankan. d. Kinerja yang semakin meningkat Perum Pegadaian merupakan salah satu usaha di sektor keuangan yang masih dapat bertahan di masa krisis ekonomi dewasa ini bahkan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat, khususnya jika dibandingkan dengan BPR. Kinerja efisiensi, profitabilitas, likuiditas maupun solvabilitas Perum Pegadaian pada umumnya juga relatif lebih baik jika dibandingkan dengan lembaga lain khususnya BPR dan BRI UDes. e. Keunggulan Perum Pegadaian Keunggulan utama Perum Pegadaian dibandingkan lembaga lain adalah prosedur yang mudah, murah dan cepat. Disamping itu pemberian pinjaman dengan sistem gadai dapat memperkecil moral hazard khususnya dalam penyaluran kredit-kredit bersubsidi, karena dengan sistem gadai nasabah dididik untuk berupaya mengembalikan pinjaman yang diterima. Potensi Perum Pegadaian untuk berperan dalam pemberdayaan ekonomi rakyat terlihat jelas terutama pada aspek keberpihakan pada masyarakat kecil. Pelaksanaan peran tersebut selama ini dilakukan oleh Perum Pegadaian dengan memberikan pinjaman kepada masyarakat (khususnya masyarakat berpendapatan rendah) dalam skala kecil dengan Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 95 prosedur dan persyaratan yang mudah dan murah. Nasabah mikro pada Perum pegadaian tersebut terutama adalah golongan A (dengan nilai pinjaman antara Rp 5.000 – Rp 40.000) pada tahun 1998 mencapai 41,4% total nasabah. Namun porsi dan nilai pinjaman yang diperoleh golongan ini relatif sangat kecil (rata-rata sebesar Rp 18.000) dibandingkan golongan B,C dan D. Kecilnya skala pinjaman golongan A tersebut juga terlihat dari jenisjenis barang yang banyak dijadikan agunan seperti : kain, alat rumah tangga (misal : kuali/ panci, piring, sendok, lampu tekan, dll), sepeda dan lain-lain. Fenomena tersebut nampak jelas di kantor-kantor Perum Pegadaian di wilayah Jawa, khususnya di wilayah pantai utara. Total nilai pinjaman untuk golongan A pada tahun 1998 sebesar Rp 115,4 miliar atau hanya sebesar 5% dari total omset Perum Pegadaian. Namun perkembangan terakhir menunjukkan kecenderungan pergeseran orientasi pemberian pinjaman ke nasabah besar (golongan D) meskipun Perum Pegadaian masih mempunyai peluang untuk meningkatkan porsi pinjaman untuk nasabah mikro (golongan A). Sejalan dengan perkembangan usaha Perum Pegadaian, terlihat kebijakan Perum Pegadaian untuk mengembangkan produk-produk baru yang di luar lingkup usaha pegadaian. Salah satu produk yang akan dikembangkan yaitu memberikan kredit dengan jaminan surat berharga dan sertifikat tanah, serta kredit dengan sistem pinjam pakai sebenarnya sudah tidak sesuai dengan prinsip dari hukum gadai yang mewajibkan barang jaminan berbentuk barang bergerak dan dititipkan (tidak boleh dipakai oleh pemiliknya). Begitu pula dengan adanya rencana untuk mengembangkan produk-produk pembiayaan lainnya merupakan suatu upaya yang kurang sesuai dengan misi dari Perum Pegadaian yang ingin melayani kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah. Namun rencana tersebut justru menimbulkan kekhawatiran akan terjadi pergeseran dari core business Perum Pegadaian dan orientasi nasabah yang dilayani seperti yang ditetapkan dalam PP No. 10 tahun 1990. Apalagi pada beberapa tahun terakhir terdapat kecenderungan di dalam kelompok-kelompok usaha untuk kembali ke core business masing-masing untuk meningkatkan kinerja usahanya. Oleh karena itu, pengembangan produk-produk baru diusahakan tetap dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat kecil apabila tetap mengacu pada prinsip-prinsip hukum gadai dan misi perusahaan, dengan tetap berpihak pada masyarakat berpendapatan rendah. V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan 1. Perkembangan Perum Pegadaian dalam tiga tahun terakhir cukup pesat, khususnya tahun 1998 (setahun terakhir) terjadi pelonjakan kinerja terutama karena beralihnya sebagian nasabah perbankan ke Perum Pegadaian. 96 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 2. Perum Pegadaian telah ikut berperan dalam kegiatan pembiayaan usaha kecil. Jaringan Perum pegadaian yang didukung oleh 633 kantor menjangkau seluruh wilayah Indonesia sampai ke pedesaan. Kredit yang diberikan terutama kepada nasabah menengah ke bawah yang pada umumnya bergerak di sektor informal dan tidak memiliki akses ke perbankan. Peran Perum Pegadaian dalam mendukung pemberdayaan ekonomi rakyat cukup besar terlihat dari jumlah nasabah mencapai 6,6 juta (September 1998) dengan mayoritas merupakan nasabah mikro (40,5%). 3. Secara makro dan jika dibandingkan dengan BPR dan BRI UDes yang memiliki pasar yang hampir sama, sumbangan Perum Pegadaian dalam pemberian kredit masih lebih rendah. Meskipun demikian, Perum Pegadaian memiliki keunggulan dalam kualitas pinjaman yang diberikan, profitabilitas dan efisiensi. Keunggulan dalam profitabilitas dan efisiensi tersebut terutama disebabkan oleh tingginya sewa modal yang dikenakan (hampir sama dengan suku bunga perbankan), sementara dana yang diperoleh sebagian besar bersuku bunga rendah. 4. Dalam tiga tahun terakhir telah terjadi pergeseran pemberian kredit dari nasabah kecil ke nasabah besar. Hal ini terutama disebabkan oleh perubahan orientasi kebijakan Perum Pegadaian untuk meningkatkan laba serta kenaikan golongan pinjaman karena adanya kenaikan harga barang jaminan. 5. Pada periode Agustus s.d September 1998, Perum Pegadaian mengalami kesulitan likuiditas akibat lonjakan permintaan nasabah dan kurangnya peminat obligasi yang diterbitkan, sementara dana pelunasan obligasi yang dihimpun (sinking fund) kurang memadai. Untuk memenuhi lonjakan tersebut, Perum Pegadaian melakukan penarikan overdraft sangat besar sehingga mengakibatkan penghentian pemberian fasilitas overdraft BRI. Untuk menutupi kekurangan dana tersebut (khususnya modal kerja), Perum Pegadaian telah memperoleh fasilitas RDI dari Pemerintah dan KLBI. 6. Suku bunga (sewa modal) yang dikenakan Perum Pegadaian kepada nasabah saat ini relatif tinggi. Namun masih terdapat peluang (room) bagi Perum Pegadaian untuk menurunkan sewa modal khususnya untuk golongan B, C dan D dengan tetap memberikan subsidi bagi golongan A, serta meningkatkan porsi pemberian kredit bagi golongan A tanpa menimbulkan kerugian bagi Perum Pegadaian. 7. Perum Pegadaian mempunyai beberapa kelemahan struktural yang dapat menghambat peningkatan kinerja dan merupakan potensi timbulnya berbagai penyimpangan yaitu : terlalu luasnya rentang kendali manajemen yang tidak didukung dengan sistem dan sarana pengawasan/pelaporan yang memadai, serta sistem manajemen yang sangat sentralistik. Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 97 8. Sistem manajemen pendanaan secara sentralistik yang diterapkan Perum Pegadaian sampai saat ini nampaknya sangat sejalan dengan teori FF, namun dari penelitian diperoleh temuan bahwa daerah juga mempunyai potensi pendanaan (sesuai dengan teori RFM), sehingga Kanda berpotensi untuk mencari dana pinjaman sendiri. 5.1 Saran 1. Berdasarkan kinerjanya Perum Pegadaian memiliki potensi untuk berperan dalam channeling pemberdayaan ekonomi rakyat. Namun untuk mewujudkan potensi tersebut Perum Pegadaian harus terlebih dahulu membenahi kelemahan-kelemahan struktural yang ada. 2. Mengingat masih besarnya potensi pasar yang dapat dimanfaatkan oleh lembaga keuangan yang memberikan pinjaman berdasarkan sistem gadai, maka Pemerintah perlu mengkaji kemungkinan pemberian izin bagi perusahaan lain untuk bergerak dalam usaha pegadaian. Hal ini sekaligus dapat mendorong kompetisi untuk meningkatkan efisiensi. 3. Untuk mengetahui efektivitas penggunaan kredit dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat, Perum Pegadaian perlu lebih intensif dalam memonitor nasabah. 4. Masalah kesulitan likuiditas dapat diminimalkan apabila sampai batas tertentu kantor daerah diberi kewenangan untuk mencari dana sendiri dengan memanfaatkan potensi daerah setempat (sesuai dengan teori RFM). 5. Sesuai dengan misi Perum Pegadaian yang didukung oleh sumber dana yang mayoritas bersubsidi, tersedianya room yang cukup luas, rentabilitas yang lebih baik dibandingkan lembaga formal lainnya, serta kecenderungan penurunan suku bunga pasar, maka sudah saatnya besarnya sewa modal diturunkan. Di samping itu, untuk menjaga konsistensi pelaksanaan misi Perum Pegadaian, pemerintah hendaknya menetapkan ketentuan yang mengatur batas minimum porsi kredit untuk nasabah kecil (golongan A dan B), misalnya sebesar 30% - 40%. 6. Dengan mempertimbangkan potensi dan rencana jangka panjang, nampaknya Perum Pegadaian perlu lebih menekankan pada pemberian kredit daripada melakukan usahausaha lain di luar core usaha Perum Pegadaian. 7. Perum Pegadaian perlu melakukan evaluasi secara lebih intens terhadap kantor-kantor cabang yang merugikan, untuk mengkaji apakah akan melakukan pemindahan kantorkantor cabang tersebut ke lokasi yang lebih strategis atau melakukan penutupan, khususnya bagi Kanca defisit yang sudah lama didirikan dengan tetap mempertimbangkan pelaksanaan misi sosial yang diemban. 98 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 8. Untuk memperoleh penilaian efisiensi yang lebih riil, maka Perum Pegadaian perlu memperhitungkan biaya dana untuk masing-masing Kanca. 9. Untuk menghindarkan terjadinya distorsi suku bunga pasar, maka kebijakan pemberian bantuan likuiditas dengan subsidi bunga kepada lembaga pembiayaan yang berorientasi pada masyarakat menengah ke bawah hendaknya hanya dilakukan dalam jangka pendek atau dalam bentuk sekuritisasi. DAFTAR PUSTAKA Egaitsu, Fumio (1986). Rural Financial Markets : Two School of Thoughts, dalam Farm Finance and Agricultural Development. Tokyo : Asian Productivity Organization. Husnan, Suad (1985). Manajemen Keuangan : Teori dan Penerapan (Keputusan Jangka Pendek) Jilid 2. Penerbit BPFE Yogyakarta. PERUM PEGADAIAN (1997). Company Profile Perum Pegadaian ___________________. Pedoman Operasional Kantor Cabang. ___________________. Prospektus Obligasi V Perum Pegadaian Tahun 1998. ___________________ (1997). Pedoman Pemeriksaan Satuan Pengawasan Intern Perum Pegadaian. ___________________. Surat-Surat Keputusan Direksi Perum Pegadaian. ___________________. Laporan-Laporan Operasional Bulanan dan Tahunan ___________________. Laporan-Laporan Keuangan Robinson, Marguerite S (1992). Rural Financial Intermediation : Lessons From Indonesia Part One The Bank Rakyat Indonesia : Rural Banking, 1970-91. Development Discussion Paper No. 434. Harvard Institute for International Development. Harvard University. Tim Analisis Jabatan Perum Pegadaian (1990). Uraian Tugas dan Kegiatan : Direktorat Operasi dan Pengembangan, Direktorat Keuangan, dan Direktorat Umum. Weston, J. Fred dan Brigham, Eugene F (1981). Manajemen Keuangan Edisi ke-7 Jilid I (Terjemahan dari Managerial Finance 7th edition). Penerbit Erlangga Jakarta. Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 99 LAMPIRAN Lampiran 1 Tugas masing-masing Kepala Sub Direktorat 1. Subdit Operasi dan Pengembangan (OPP), bertugas untuk membina penyaluran kredit gadai, jasa dan mengembangkan kegiatan pemasaran serta mengkoordinasikan pengolahan dan dan penyajian statistik perusahaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagai bahan pertimbangan pimpinan dalam rangka meningkatkan pendapatan perusahaan. 2. Subdit Penelitian dan Pengembangan Operasi (LB), bertugas untuk mengkoordinasikan dan melaksanakan penelitian dan pengembangan jenis, sistem, prosedur dan wilayah operasi serta bentuk usaha lain berdasarkan peraturan yang berlaku dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan. 3. Subdit Kesekretariatan Perusahaan (SP), bertugas untuk mengkoordinasikan dan mengedalikan penyelenggaraan kesekretariatan pimpinan, urusan kehumasan, kepustakaan dan pengelolaan produk hukum serta pemberian pertimbangan hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam rangka menunjang kelancaran pelaksanaan tugas pimpinan perusahaan. 4. Subdit Anggaran dan Permodalan (AP), bertugas untuk mengkoordinasikan penyusunan rencana anggaran, pengalokasian dana, pengevaluasian pelaksanaan anggaran, kebutuhan modal kerja dan pengalokasian modal kerja serta investasi lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam rangka menjamin kontinuitas keuangan perusahaan. 5. Subdit Akuntansi (AK), bertugas untuk mengkoordinasikan evaluasi, verifikasi, penyelenggaraanpembukuan dan penyajian laporan keuangan perusahaan serta pengembangan sistem informasi keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam rangka pengendalian keuangan perusahaan. 6. Subdit Perbendaharaan (PB), bertugas untuk mengkoordinasikan pengelolaan kas, bank, surat berharga, perpajakan, gaji, perjalanan dinas dan tunjangan serta pelaksanaan penagihan piutang perusahaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam rangka menunjang kelancaran pelaksanaan tugas. 7. Subdit Kepegawaian (KP), bertugas untuk mengkoordinasikan penyusunan formal, pengadaan dan penyelenggaraan pengangkatan, kepangkatan, pemindahan, promosi, pemberhentian, pemensiunan, kesejahteraan serta pengembangan manajemen 100 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 perusahaan berdasarkan peraturan yang berlaku dalam rangka pembinaan kepegawaian dan peningkatan kesejahteraan pegawai. 8. Subdit Bangunan (BG), bertugas untuk mengkoordinasikan pembuatan disain bangunan pemrosesan pelaksanaan pembangunan atau perbaikan, pengurusan persewaan bangunan, pengadaan denah, pemilikan hak atas tanah, izin mendirikan bangunan dan penghapusan serta penyelenggaraan tata usaha pembangunan atau perbaikan bangunan prasarana dan rumah jabatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam rangka penyediaan sarana kerja yang memadai untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas. 9. Subdit Tata Usaha dan Rumah Tangga (TURT), bertugas untuk mengkordinasikan pengurusan ketatausahaan, urusan rumah tangga dan perlengkapan kantor agar pelaksanaan tugas berjalan lancar dan terpadu. 10. Kepala Balai Diklat (Kabal Diklat), bertugas mengkoordinasikan penyelenggaraan pengelolaan database dan jaringan serta pengembangan dan pengimplementasian sistem dalam menunjang kegiatan operasional perusahaan. 11. Kepala Pusat Pengembangan Teknologi Informasi (Kapus TI), bertugas mengkoordinasikan perencanaan pengembangan program penyelenggaraan dan evaluasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan serta penyusunan laporannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar penyelenggaraan diklat berjalan lancar dan terpadu. Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Lampiran 2 Jumlah Cabang yang Dibawahi oleh Setiap Kanda KANDA I. II. III. IV. V. VI. VII. VIII. IX. X. XI. XII. XIII. XIV. JUMLAH CABANG Medan Padang Jakarta Bandung U. Pandang Semarang Yogyakarta Surakarta Surabaya Malang Jember Denpasar Balikpapan Kupang JUMLAH JUMLAH ANAK CABANG TOTAL 35 36 44 49 49 45 56 53 50 51 37 31 22 17 7 3 11 2 6 2 0 0 2 0 0 10 9 6 42 39 55 51 55 47 56 53 52 51 37 41 31 23 575 58 633 Lampiran 3 Komposisi Pegawai Tetap Perum Pegadaian Jenjang Karir 1995 1996 1997 4 34 742 4.349 4 34 780 4.365 4 45 794 4.050 4 45 794 3.974 SD SLTP SLTA D3 S1 S2 982 465 2.303 897 468 14 954 437 2.442 814 511 25 885 404 2.171 811 591 31 829 377 2.118 803 655 35 TOTAL 5.129 5.183 4.893 4.817 Manajemen Puncak Manajemen Menengah Manajemen Pelaksana Staf Administrasi Okt. 1998 Tingkat Pendidikan 101 102 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Lampiran 4 Penanaman Dana Perum Pegadaian Jenis Penanaman Pinjaman yg. Diberikan Deposito - BRI - BEII Surat Berharga - Saham PT. Semen Gresik - Saham PT. Semen Gresik (Sertifikat Bukti Right) - Saham PT. BNI Dana Berbunga - Saham PT. Danareksa Seruni - Saham PT. BIG Palapa - Saham PT. Bahana Dana Selaras - Saham PT. Danareksa Fund MGT. Cadangan penurunan nilai surat berharga Penyertaan (Dalam bentuk 500 lembar saham PT. Dua Satu Tiga Puluh) Sumber : Perum Pegadaian 1997 Per-31 Des (Juta rupiah) 1998 Per-30 Sep. 526.243 756.751 10.000 7.500 2.500 70.500 5.500 65.000 5.351 50 70 3.176 50 70 1.000 2.000 2.000 2.000 -1.768 876 2.000 2.000 500 -2.320 1.150 1.150 Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 103 Lampiran 5 Tabel Sewa Modal dan Biaya PA masing-masing Golongan Gol Uang Pinjaman A B C D D 5.000-40.000 40.500-150.000 151.000-500.000 510.000-1.500.000 >2.500.000-5.000.000 Sewa Modal Per 15 Hari Per Tahun Maksimum Jangka Waktu Kredit 1.50% 2.25% 2.25% 2.25% 2.50% 120 120 120 120 120 1.50% 2.25% 2.25% 2.50% 3.00% hari hari hari hari hari Keterangan : K=Kantong; G=Gudang; M=Mobil; UP=Uang Pinjaman • Biaya PA gol. DK u/ UP > Rp 1,5 juta ditetapkan 0,5%XUP, minimum Rp 8.000 (pembulatan Rp 500 ke atas) • Biaya PA gol. DG selain mobil u/ UP > Rp 1,5 juta ditetapkan 0,5%XUP, minimum Rp 10.000 (pembulatan Rp 1.000 ke atas) • Biaya PA dengan jaminan Mobil ditetapkan 0,5%XUP, minimum Rp 25.000 (pembulatan Rp 1.000 ke atas) Lampiran 6 Jenis-jenis Harga Pasar Untuk menentukan nilai barang jaminan yang akan digadaikan oleh masyarakat, Perum Pegadaian mengacu kepada harga pasar. Dalam hal ini Perum Pegadaian membuat tiga kriteria harga pasar yaitu harga pasar pusat (HPP), harga pasar daerah (HPD) dan harga pasar setempat (HPS). 1. Harga Pasar Pusat HPP adalah harga pasar emas/perak/permata yang ditetapkan oleh Kanpus sebagai patokan umum baik bagi Kanda maupun Kanca berdasarkan perkembangan harga pasaran umum dengan memperhitungkan kecenderungan perkembangan harga di masa mendatang. 2. Harga Pasar Daerah HPD adalah harga pasar yang ditentukan oleh Kanda dengan memperhatikan toleransi maksimum 4% di atas HPP dan 2% di bawah HPP. 3. Harga Pasar Setempat. HPS adalah harga pasar barang-barang gudang yang didasarkan pada harga pasar barang baru (toko) di daerah setempat, yang direvisi minimum tiga 104 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 bulan sekali. Berdasarkan harga-harga pasar di atas, kemudian ditentukan besarnya persentase uang pinjaman terhadap taksiran menurut masing-masing golongan yaitu : - Golongan A = 90% - Golongan B dan C = 85% - Golongan D s/d Rp 5 juta = 85% - Golongan D > Rp 5 juta = 84% Lampiran 7 Kegiatan pemeriksaan barang jaminan di gudang 1. Pemeriksaan buku gudang yang dilakukan setiap hari. 2. Menghitung barang jaminan, yaitu dengan mencocokkan jumlah barang yang ada di gudang dengan saldo menurut buku gudang. Penghitungan barang jaminan ini dilakukan minimal sepuluh kali dalam satu bulan. Meskipun demikian dalam jangka waktu 2 bulan tiap-tiap rubrik/golongan/ribuan harus sudah pernah dihitung sebanyak dua kali, dan minimal 60% dari tiap rubrik/golongan/ribuan telah dihitung untuk ketiga kalinya. 3. Pemeriksaan isi barang jaminan, yaitu dengan mencocokkan fisik barang jaminan dengan keterangan pada SBK dwilipatnya (lembar II/kopinya). Pemeriksaan ini dilakukan setelah penghitungan barang jaminan selesai dilaksanakan. 4. Meronda gudang, yaitu dengan melakukan pemeriksaan secara langsung ke dalam gudang tentang kebersihan, kerapihan dan keamanan gudang berserta isinya. Kegiatan ini dilakukan minimal 3 kali sebulan untuk cabang kelas III, sedangkan cabang kelas I dan II minimal satu kali sebulan oleh Kacab. Lampiran 8 Administrasi dan Pembukuan Barang Sisa Lelang (BSL) 1. Karena BSL diakui dan dicatat sebagai mutasi aset, maka adanya BSL pada setiap lelang tidak perlu dicatat pada Berita Acara Lelang (BAL). Dengan demikian BAL hanya berisi data barang jaminan yang laku dilelang saja. 2. Barang jaminan yang sudah ditetapkan sebagai BSL pada buku Redister Barang Sisa Lelang (RBSL). Kemudian berdasarkan RBSL tersebut dibukukan pada : a. Buku Kredit yang bersangkutan pada nomor yang menjadi BSL sebagai penghapusan b. Buku Ikhtisar Kredit dan Pelunasan bulan kredit yang bersangkutan dikredit sebesar uang pinjaman BSL. c. Buku Kas didebet sebagai pelunasan dan dikredit pembelian BSL. d. Laporan Bulanan Operasionalatas penambahan BSL. e. Buku Uang Kelebihan eks BSL. f. Buku Gudang dikreditkan sejumlah BSL. Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 105 Lampiran 9 1. · · 2 Penyelesaian Barang Sisa Lelang (BSL) Dijual di bawah tangan Pedoman harga penjualan BSL ditetapkan sebagai berikut : a) BSL Perhiasan Emas Penjualan BSL jangka waktu kurang dari 30 (tiga puluh) hari, dijual sebesar Harga Pembelian x 109,7% Penjualan BSL jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh hari s/d 60 (enam puluh hari) dijual sebesar Harga Pembelian x 105%, atau kebijakan lain dari Kakanda atas usul penurunan harga jual yang telah diajukan sebelumnya. Selisih lebih atau kurang atas penjualan ini dibukukan sebagai laba/rugi perusahaan. b) BSL Non-Emas Diusahakan BSL harus sudah terjual dalam jangka waktu 30 (tiga puluh hari) namun demikian apabila dalam jangka waktu tersebut belum laku terjual, Kacab dapat mengusulkan penurunan harga jual kepada Kakanda. Sebelum mendapat keputusan penurunan harga jual dari Kakanda, tidak diijinkan untuk menjualnya. Pedoman penurunan harga jual secara bertahap sesuai kebijakan Kakanda. Dimutasikan Antarcabang BSL emas atau non-emas sebelum diusulkan penurunan harga jualnya dapat juga diupayakan penjualannya di kantor cabang yang berada di daerah lain yang diyakini dapat terjual lebih cepat. Pengiriman BSL ini dibukukan sebagai Rekening Antar Kantor (RAK), mutasi aktiva dan harus mendapat izin dari Kakanda dan penjualannya di tempat yang baru harus memperhitungkan biaya pengirimannya. BSL yang diminta oleh Hakim/Jaksa/Polisi harus diselesaikan menurut peraturan yang berlaku. Kesulitan likuiditas yang dialami Perum Pegadaian antara lain akibat dihentikannya fasilitas kredit dari BRI. Sebelumnya, Perum Pegadaian diberikan fasilitas kredit oleh BRI sebesar Rp 181,75 miliar (suku bunga 36 %) yang secara langsung dapat ditarik oleh cabang-cabang Perum Pegadaian melalui kantor-kantor cabang BRI setempat yang telah ditentukan. Sejak terjadinya krisis ekonomi, permintaan terhadap jasa Pegadaian meningkat pesat sehingga masing-masing cabang Pegadaian melakukan penarikan dana dari BRI dalam jumlah cukup besar. Hal ini menyebabkan kredit yang ditarik secara keseluruhan melebihi plafon yang ditentukan (overdraft) sehingga BRI menghentikan fasilitas tersebut pada bulan Agustus 1998. Kelebihan kredit yang ditarik tersebut dikenakan suku bunga pasar sebesar 71% per tahun. Beban suku bunga pendanaan yang tinggi menyebabkan Perum Pegadaian menaikkan sewa modalnya seperti terlihat dalam tabel di atas. Di samping itu, makin sedikitnya sumber pendanaan yang ada menyebabkan Perum Pegadaian mengurangi batas nilai kredit maksimum. 106 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 107 108 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 109 110 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 111 112 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 113 114 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 115 116 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Kajian Awal Tentang Money Laundering serta Implikasinya dalam Pasar Keuangan Internasional 117 KAJIAN AWAL TENTANG MONEY LAUNDERING SERTA IMPLIKASINYA DALAM PASAR KEUANGAN INTERNASIONAL Hariyadi Ramelan, dan Delfianto Ras*) Perkembangan teknologi perbankan internasional dalam dekade terakhir ini telah memberikan jalan bagi tumbuhnya jaringan-jaringan perbankan yang semula lokal/regional menjadi suatu lembaga keuangan yang global. Kecenderungan tersebut ternyata juga memberikan kesempatan bagi para pelaku money laundering untuk turut memanfaatkan kecanggihan jaringan layanan perbankan. Uang hasil transaksi ilegal (obat bius/ narkotika, senjata gelap, suap/korupsi/ manipulasi serta fraud perbankan) telah menjadi “legal” dalam dunia bisnis di pasar keuangan internasional. Dalam posisi ini, perbankan internasional khususnya International Offshore Banking Centres (IOBC) dengan segala aspek perlindungan data serta keleluasaan pajaknya telah menjadi lembaga intermediasi yang sangat diminati oleh para money launderer. Namun pada sisi yang lain, juga merupakan lembaga yang sangat rentan terhadap proses placement, layering ataupun integration. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran awal tentang kegiatan money laundering; batasan, teknik-teknik, sumber-sumber regulasi, serta implikasi yang timbul sehubungan dengan peranan bank sebagai lembaga intermediasi. Kajian ini diharapkan akan mampu memberikan gambaran serta perbaikan-perbaikan yang memadai dan perlu dilakukan oleh masyarakat keuangan internasional dalam upaya pencegahan maupun penindakan terhadap kegiatan money laundering, yang dari tahun ke tahun semakin canggih, terorganisasi rapi dan profesional. Ketidakberhasilan dalam menggalang kerjasama internasional dalam memerangi money laundering akan menimbulkan risiko perubahan variabel permintaan uang yang tak terduga, risiko pada kesehatan perbankan, efek kontaminasi pada transaksi keuangan yang legal, volatilitas yang sangat besar pada modal internasional dari transfer asset antar negara yang tidak terantisipasi. *) Haryadi Ramelan : Dealer pada Dealing Room, Urusan Devisa, Bank Indonesia Delfianto Ras : Dealer Yunior pada Dealing Room, Urusan Devisa, Bank Indonesia 118 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 I. Pendahuluan he war against money launderer is not over . Kalimat tersebut nampaknya bukan sekedar slogan kosong bagi Pemerintah Amerika Serikat dalam memberantas kegiatan money laundering. Hal tersebut paling tidak terbukti pada hasil “Operation Cassablanca” yang berlangsung akhir bulan Maret 1999. Dua bank besar Mexico, yakni Bancomer dan Banco Serfin dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Federal (Fed Court) Los Angeles, dalam kasus money laundering. Dua bank besar tersebut diharuskan membayar denda masingmasing USD 9,9 juta dan USD 4,7 juta. Kedua bank juga terbukti bersalah dan mengaku bertanggung jawab penuh bahwa karyawan-karyawan banknya telah melakukan money laundering atas hasil-hasil ilegal narkotik. Pada saat yang bersamaan di London, Dinas Pajak Dalam Negeri Inggris melakukan razia terhadap 2 kantor akuntan besar dan juga rumah pengacara serta akuntan yang terbukti berupaya menghindari objek pajak yang diperoleh dari money laundering. Contoh-contoh tersebut hanya menggambarkan situasi mikro dari satu konsekuensi bercampurnya “uang halal” yang secara resmi masuk dalam hitungan otoritas moneter dengan uang haram yang merupakan hasil kegiatan melawan hukum dalam bisnis keuangan internasional. T Pada situasi global, kegiatan money laundering dalam konsep akuntansi internasional ternyata mampu menjelaskan adanya defisit neraca transaksi berjalan dunia. Secara teoritis dan teknis, penjumlahan total nilai import dan pembayaran bunga seharusnya sama dengan total nilai ekspor dan penerimaan bunga. Secara lebih rinci, bila sebuah komoditas diimpor dan dibayar, namun tidak ada catatan bahwa seseorang telah menerima pembayaran tersebut. Lantas kemanakah uangnya? Beberapa sebab dapat dikemukakan seperti statistical error atau (bukan mustahil) adanya secret money. Hal kedua tersebut diakui sebagai masalah yang pelik namun realitasnya memang terdapat permintaan pasar yang cukup kuat untuk secret money, tidak hanya dari para kriminal namun juga dari perusahaan-perusahaan dan bahkan pemerintahan. Dalam kasus black hole di atas, 1) uang yang dibayarkan untuk barang atau jasa-jasa tersebut tidak pernah tercatat oleh perusahaan/ individu yang umumnya dengan berbagai alasan antara lain untuk menghindari pajak ataupun karena transaksi tersebut ilegal (manipulasi oleh perusahaan swasta, suap kepada pejabat pemerintahan, dll). Sejalan dengan praktek money laundering tersebut, saat ini perkembangan pasar keuangan internasional telah memungkinkan terbukanya peluang untuk menampung rekening secret money. Hal ini antara lain ditandai dengan semakin maraknya International Offshore Banking Centers (IOBC) di berbagai belahan dunia seperti Gambar 1. 1. Samuel, J.M et al. 1996. Management of Company Finance, 6th Ed. pp.22-23. Chapman & Hall, London. Kajian Awal Tentang Money Laundering serta Implikasinya dalam Pasar Keuangan Internasional 119 Berkaitan dengan permasalahan tersebut, International Monetary Fund (IMF) 2) berpendapat bahwa money laundering merupakan salah satu ancaman paling serius bagi masyarakat keuangan internasional khususnya dan sistem keuangan global pada umumnya. Sebagai gambaran turn over kegiatan money laundering saat ini telah melampaui batas imaginasi, yakni 2-5% dari GDP dunia, yang besarnya mencapai 300 – 400 milyar USD. Angka ini secara ekstrim dapat diartikan bahwa bisnis money laundering merupakan bisnis terbesar ketiga di dunia setelah forex market dan bisnis minyak dunia. Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain memberikan gambaran yang menyeluruh berkaitan dengan kegiatan money laundering, batasan, trend dan teknik umum yang digunakan, serta implikasinya bagi pelaku-pelaku transaksi-transaksi perbankan internasional seperti bankir, regulator atau lembaga lain yang berwenang (bank sentral) serta pelaku-pelaku pasar finansial lainnya. Dengan memiliki pemahaman yang cukup memadai, maka diharapkan dapat diupayakan langkah-langkah efektif untuk mencegah terjadinya money laundering maupun langkah-langkah represif seandainya money laundering terjadi dengan tetap mengacu pada Undang-undang ataupun regulasi yang berlaku secara internasional. Secara rinci, bagian kedua tulisan ini akan memaparkan batasan, proses kegiatan dan pelanggaran money laundering. Bagian Ketiga, mengupas beberapa implikasi yang sifatnya represif dan antisipatif terhadap kegiatan money laundering dan Bagian Keempat berisi Kesimpulan akhir. II. Batasan, Teknik dan Regulasi dalam Kegiatan Money Laundering A. Batasan dan Proses Kegiatan Money Laundering Tak ada batasan money laundering secara umum, namun demikian money laundering secara khusus dapat diartikan pencucian uang (laundering money from illicit proceeds), yakni sebagai suatu proses dimana para kriminal berupaya untuk menyembunyikan sumber dan kepemilikan hasil-hasil aktivitas kriminal yang melawan hukum. Dalam textbook, ada empat faktor yang umum terdapat dalam kegiatan money laundering. Pertama, pemilik uang dan sumber sesungguhnya uang tersebut harus disembunyikan. Kedua, bentuk pengambilan uangnya harus diubah. Ketiga, jejak proses pencucian uang harus disamarkan dalam upaya menghilangkan jejak jika seseorang menelusuri proses uang dari awal hingga akhir. Keempat, pengawasan melekat terhadap uang (dirty money) harus dipertahankan. 2. _____________, 1997. The Finacial Action Task Force on Money Laundering, Annual Report. 120 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Kajian Awal Tentang Money Laundering serta Implikasinya dalam Pasar Keuangan Internasional 121 Secara kronologis, kegiatan money laundering biasanya terdiri atas 3 proses yang berkelanjutan yakni: 1. Placement (Penempatan Dana) Penempatan dana merupakan proses awal dalam money laundering yang ditandai dengan penyerahan secara fisik uang yang dihasilkan dari aktivitas melawan hukum seperti perdagangan narkotika, obat-obatan terlarang, senjata gelap, penipuan/ penggelapan (fraud) serta hasil-hasil korupsi. Langkah ini disebut juga sebagai immersion yang merupakan gabungan dari consolidation dan placement (Robinson, J, 1998) 3). 2. Layering (Pemilahan Dana) Layering atau heavy soaping merupakan langkah kedua dalam money laundering yang ditandai dengan pemilahan hasil-hasil ilegal tersebut dari sumber-sumber asalnya melalui pembelian/transaksi-transaksi finansial seperti bearer bonds, forex market, stocks. Langkah lain yang sering dilakukan adalah menciptakan sebanyak mungkin account dari perusahaan fiktif/semu dengan memanfaatkan aspek kerahasian bank dan keistimewaan hubungan antara nasabah bank dan pengacara. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk menghilangkan jejak atau upaya audit sehingga seolah-olah merupakan transaksi finansial yang legal. 3. Spin Dry (Repatriation and Integration) Spin dry merupakan gabungan dari langkah repatriasi dan integrasi. Proses yang terjadi adalah apabila hasil-hasil ilegal dari money laundering masuk kembali ke dalam sistem keuangan dan muncul sebagai dana-dana bisnis yang wajar/ normal. Secara ringkas, proses pencucian yang dapat dilihat pada Gambar 2. Proses Pencucian Uang. B. Teknik-Teknik Money Laundering Berdasarkan survey yang dilakukan oleh The FATF 4) (The Financial Action Task Force) sepanjang tahun 1996-1997, teknik-teknik yang dilakukan dalam pencucian uang dapat dikategorikan dalam 2 cara umum yakni: 1. Cara tradisional. Cara tradisional dalam money laundering adalah dengan cara menyelundupkan secara fisik uang tunai hasil transaksi ilegal ke luar negeri (perbatasan nasional suatu negara). Cara lain yang juga relatif konvensional adalah menggunakan pedagang valuta asing, lawyers maupun akuntan pribadi. Penggerebekan yang terjadi di London pada contoh 3. Robinson, Jeffrey. 1998. Laundrymen. Pocket Books, London 4. ____________, 1997. The Financial Action Task Force on Money Laundering, Annual Report. 122 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Kajian Awal Tentang Money Laundering serta Implikasinya dalam Pasar Keuangan Internasional 123 kasus di atas jelas menunjukkan kecurangan seorang pengacara/akuntan dalam menyembunyikan hasil-hasil kejahatan seperti money laundering. 2. Cara-cara Modern. Berkembangnya teknologi baru dibidang perbankan antara lain elektronic money (e– money) telah memberikan ancaman baru dalam teknik money laundering yang lebih canggih. Tiga cara yang mungkin dilakukan adalah melalui : Stored value cards, internet/ network based systems dan hybrid systems. Namun demikian, aplikasi ke tiga cara ini dalam sistem pembayaran masih relatif belum termanfaatkan. Hal yang sulit untuk dilacak justru hasil-hasil ilegal yang ditransfer melalui International Electronic Fund Transfer. Berdasarkan pengalaman di Inggris, ciri-ciri yang sering dilakukan oleh money launderer antara lain menggunakan institusi yang terkait (perbankan) serta Pedagang Valuta Asing (PVA), lawyer, serta accountant. 2.1. Bank sebagai money launderer Salah satu contoh yang sangat berharga berkaitan dengan kasus money laundering adalah skandal yang dilakukan oleh The Bank of Credit and Commerce International (BCCI) pada tahun 1991. Bank yang didirikan di Luxembourg tahun 1972 oleh pengusaha Pakistan (Agha Hasan Abedi), dalam perjalanannya asset bank tumbuh dengan cepat hingga mencapai USD 20 milyar dan mempunyai cabang di 70 negara. Namun sayangnya bank tersebut mengirimkan dananya ke rekening rahasia di Cayman Islands, dimana tempat tersebut banyak uang hasil curian. Diperkirakan hampir setengah assets bank telah hilang (disappeared). Penggelapan uang tersebut tidak hanya menjadi kegiatan bayangan BCCI, namun BCCI diperkirakan juga membantu diktator seperti Sadam Hussein (Irak), Manuel Noriega (Panama) dan Ferdinand Marcos (Philipina) dalam mencuri uang dari negaranya, serta bertindak sebagai bankir dari kelompok Abu Nidal. Tidaklah mengejutkan bila BCCI diplesetkan artinya menjadi “Bank of Crook and Criminals, Inc”. Bagaimana BCCI menjalankan aktivitas penggelapan dalam waktu yang cukup lama? Jawabannya adalah sulitnya mengatur bank yang beroperasi di banyak negara. Meskipun kantor pusat BCCI di London, namun lemahnya peraturan bank oleh Institut Monetaire Luxembourgeois (IML) di Luxembourg, mengakibatkan BCCI beroperasi bebas dari peraturan pemerintah selama 15 tahun. Pada tahun 1987, IML mencapai persetujuan dengan tujuh negara dimana BCCI beroperasi, tetapi masih belum dapat menelusuri aktivitas bank tersebut. Pada musim semi tahun 1990 IML dapat menemukan beberapa bukti penggelapan dan pada Juli 1991 perusahaan akuntan Price Waterhouse menemukan dokumen serta menyerahkan pada Bank of England, selanjutnya BCCI dinyatakan ditutup. Kerugian deposan 124 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 dan pemegang saham dari colapse-nya BCCI sudah tak terhingga dan pengawas bank dalam hal ini Bank of England sulit disalahkan atas kelambanan menuntaskan skandal tersebut. Setahun setelah BCCI colapse, the Basle Committee baru mengumumkan dan menyetujui standarisasi dari peraturan bank internasional. 2.2 Payable through account Salah satu cara yang juga tergolong cukup modern dan sering digunakan oleh money launderers adalah payable through account (lihat Gambar 3). Pada gambar tersebut diilustrasikan adanya pembelian US bonds yang pembayarannya dilakukan melalui account oleh client bank yang kemudian diperjual belikan pada level nasabah client bank tersebut (third bank) dan diteruskan pada level nasabah third bank. Melalui transaksi beberapa jenjang tersebut pada level terbawah yaitu pada level nasabah third bank tersebut para money launderers banyak melakukan aktivitasnya untuk memasukkan dananya ke dalam sistem jasa keuangan bank. C. Regulasi Kegiatan Money Laundering Sebagaimana diketahui, bank ataupun lembaga finansial lainnya merupakan lembagalembaga yang sangat rentan bagi kemungkinan penyusupan hasil-hasil transaksi ilegal (secret money). Rentannya lembaga-lembaga tersebut dari kegiatan money laundering dimungkinkan baik dalam proses placement, layering maupun integration. Berkaitan dengan upaya untuk mencegah dan memerangi kegiatan money laundering tersebut, perlu adanya aturan hukum yang mengikat secara internasional dan berkekuatan hukum yang tetap. Rezim yang dapat dijadikan contoh untuk pencegahan kegiatan money laundering adalah Inggris. Mengapa demikian, karena London sebagai salah satu pusat pasar keuangan terbesar dunia, merupakan target yang menarik bagi para pencuci uang. Pasar finansial London yang terkenal dengan kemajuan dan transparannya sangat memberi peluang untuk memuluskan tahapan-tahapan kegiatan money laundering, apakah itu placement, layering dan integrasi. Kondisi ini lebih membuka peluang setelah diperkenalkan Euro sebagai mata uang tunggal Eropa yang secara tidak langsung telah menurunkan kontrol dan hambatan-hambatan dalam rangka pasar tunggal Eropa, khususnya untuk mobilitas barang-barang, jasa, orang dan modal secara leluasa di seluruh Eropa. Dalam rangka merespon hal-hal tersebut di atas, beberapa ketentuan perundangan telah disahkan oleh oleh Parlemen Inggris, yakni antara lain: 1. Ketentuan Primer (Tier 1) 1) Drug Trafficking Offences Act 1986 (DTOA) 2) Criminal Justice Scotland Act 1987 (CJSA) Kajian Awal Tentang Money Laundering serta Implikasinya dalam Pasar Keuangan Internasional 125 126 3) 4) 5) 6) 7) 8) Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Criminal Justice Act 1988 (CJA88) Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act 1989 (POTA) Criminal Justice (Int. Cooperation) Act 1990 (CJCA) Criminal Justice (Confiscation) ( Northern Ireland) Order CJO 1990 Northern Ireland Act 1991, (NIEPA) Criminal Justice Act 1993 (CJA93) 2. Ketentuan Sekunder (Tier 2) Ketentuan sekunder yang merupakan bentuk dari Money Laundering Regulation 1993 secara khusus ditujukan pada lembaga keuangan. Peraturan tersebut mensyaratkan bagi semua lembaga keuangan, dan sejenisnya untuk membuat sistem untuk menghalangi terjadinya money laundering. Prosedur pencegahan terhadap terjadinya money laundering yang umumnya digunakan pada lembaga- lembaga keuangan adalah sebagai berikut: a) Sistem Kontrol. Sistem ini berupa peraturan yang meliputi prosedur internal control dan komunikasi tepat pada lembaga-lembaga keuangan yang bertujuan mencegah dan menghalangi terjadinya money laundering. b) Identifikasi dan Verifikasi. Setiap calon nasabah harus diidentifikasi dan diverifikasi bahwa yang bersangkutan memang memenuhi syarat sebagai applicant for business. c) Uji/Pemeriksaan atas Transaksi. Ketentuan ini menjamin pegawai dari waktu ke waktu diberikan kesempatan mengikuti pelatihan dalam upaya mengenali dan menguasai transaksi yang dilakukannya sendiri atau atas nama orang lain , yang sangat berpotensi dimanfaatkan pihak lain untuk money laundering. d) Pencatatan. Dalam kaitan ini, pencatatan dapat dibagi dua yaitu, pencatatan yang berhubungan dengan pembukaan rekening nasabah baru (client) atau identitas counterparty dan pencatatan yang berhubungan dengan transaksi yang dilakukan oleh client atau counterparty. e) Pelaporan. Prosedur pelaporan antara lain mencakup laporan identifikasi orang dalam suatu organisasi, kepada siapa informasi tersebut harus dibuat; apa jenis informasinya; masalahmasalah yang muncul dan pegawai yang menanggulanginya; pendapat orang yang menanggulangi masalah tersebut dalam upaya meningkatkan pengetahuan terutama mengenai dasar kecurigaan terhadap orang yang melakukan money laundering. f) Pendidikan dan Pelatihan. Prosedur ini sangat dibutuhkan bagi seluruh personil perbankan dan lembaga terkait Kajian Awal Tentang Money Laundering serta Implikasinya dalam Pasar Keuangan Internasional 127 dalam upaya peningkatan kualitas pemahaman terhadap pekerjaan yang dijalani serta kontribusinya terhadap pengawasan internal. g) Tindakan hukum. Prosedur ini merupakan langkah terakhir yang harus dilakukan dan biasanya berupa investigasi oleh National Criminal Inteligent Service (NCIS). 3. Ketentuan Tambahan (Tier 3) Ketentuan tambahan ini lebih merupakan petunjuk teknis yang diterbitkan oleh The Joint Money Laundering Steering Group (JMLSG) yang ditujukan bagi bank-bank dan lembaga keuangan lainnya, asuransi dan lembaga investasi lainnya. Buku ketentuan ini biasanya disebut sebagai the read book untuk perbankan, yellow book untuk bisnis investasi swasta, dan green book untuk bisnis asuransi. 4. Pelanggaran Hukum dalam Money Laundering Berdasarkan perundangan di Inggris (Criminal Justice Act 1993/ CJA) tersebut di atas, terdapat 5 pelanggaran utama yang dapat dikategorikan sebagai tindakan money laundering, yaitu: a) Membantu seseorang untuk menyimpan hasil-hasil kejahatan. Tindakan ini digolongkan sebagai pelanggaran bagi seseorang yang memberikan bantuan kepada money launderer untuk memperoleh, menyembunyikan, menguasai, atau menginvestasikan dana jika dana yang bersangkutan diketahui atau dicurigai merupakan hasil penerimaan kriminal. b) Mengakuisisi , memiliki , dan menggunakan hasil dari kegiatan kriminal. Seseorang dianggap bersalah melakukan pelanggaran jika dia mengetahui sebagian atau keseluruhan kekayaan orang lain baik secara langsung atau tidak langsung berasal dari hasil kejahatan, dan secara langsung atau tidak langsung dia menguasai atau menggunakan atau memiliki kekayaan tersebut. c) Menyembunyikan atau mentransfer penerimaan untuk menghindari tindakan pencegahan atau perintah penyitaan. Dibawah aturan CJA seseorang dianggap melakukan pelanggaran apabila menyembunyikan, menyamarkan, mengubah, melakukan transfer atau menyembunyikan kekayaan dari pengadilan baik secara langsung maupun tidak langsung, seluruh atau sebagian penerimaan yang berasal dari kegiatan kriminal. d) Menggagalkan usaha penyingkapan atau kecurigaan dari praktek money laundering. CJA mensyaratkan siapapun sehubungan dengan transaksi yang dilakukan, profesi, bisnis, atau pegawai yang mengetahui atau mencurigai orang lain melakukan money laundering 128 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 harus melaporkan informasi tersebut pada polisi sesegera mungkin. CJA hanya mentolerir kesalahan atas kecurigaan yang dilaporkan dengan alasan yang dapat diterima. e) Tipping off (Peringatan). Suatu pemaksaan terhadap keterbukaan konsumen atau pihak ketiga untuk menyampaikan informasi pada pihak yang berwenang bahwa telah terjadi praktek money laundering atau adanya rencana money laundering. Hal ini berarti bahwa seseorang dianggap melanggar hukum apabila tidak melaporkan kepada pihak berwenang apabila mengetahui adanya praktek money laundering. III. Beberapa Upaya Represif dan Antisipatif terhadap Kegiatan Money Laundering Sebagaimana diuraikan di atas, kegiatan money laundering memiliki dampak instabilitas pada sistem finansial dunia. Faktor instabilitas tersebut tidak hanya bersumber dari turn over yang sangat besar (300 – 400 milyar USD per tahun), namun juga berasal dari perkembangan teknologi seperti EFT (cyber payment) yang memungkinkan pembayaran transfer berlangsung dengan mobilitas yang tinggi dengan mengoptimalkan jaringan perbankan internasional sebagai lembaga intermediasi. Kondisi ini memberikan suatu implikasi yang sangat luas dan kompleks dalam upaya menciptakan kestabilan masyarakat global di pasar finansial. Implikasi tersebut menuntut adanya suatu langkah kerjasama preventif dan represif yang berskala internasional terhadap kegiatan money laundering. Satu upaya upaya penting yang telah dilakukan oleh masyarakat internasional adalah dibentuknya FATF yang salah satu rekomendasinya menyatakan bahwa “countries should monitor the physical cross border transportation of cash and bearer instruments without impeding in any way the freedom at capital movement”. Rekomendasi ini merupakan kunci utama dalam pemahaman konsep “know your customer” approach. Sejalan dengan hal tersebut, BIS melalui Basle Committee pada bulan September 1997 juga menetapkan prinsip utama dalam supervisi perbankan yang efektif yang berbunyi “ Banking supervisor must determine that banks have adequate policies, practices and procedures in place, including strict “know your customer” rules, that promote high ethical and professional standards in the financial sector and prevent the bank being used, intentionally or unintentionally, by criminal elements”. Dalam kaitan di atas, FATF memberikan 40 rekomendasi langkah-langkah utama dalam memerangi kegiatan money laundering, yang secara pokok dapat dijabarkan sebagai berikut: a) b) Introduksi sistem SAR (suspicious activity reporting system) yang baru. Modifikasi sistem pelaporan transaksi mata uang (CTR= Currency Transaction Reporting System). Kajian Awal Tentang Money Laundering serta Implikasinya dalam Pasar Keuangan Internasional 129 c) Perluasan daftar tindakan pelanggaran money laundering dalam memberantas terorisme, pelanggaran migrasi dan kesehatan. d) Peningkatan kerjasama antar negara dan perwakilan industri keuangan global dalam upaya melawan kegiatan money laundering melalui penetapan kelompok kerja. e) Implementasi proyek Gateway yang menyediakan data-data inteligen keuangan secara on line antar negara dan pemerintah-pemerintah daerah. f) Penetapan aturan baru dalam pencatatan transfer-transfer dana (system at determine internal control, policies and prosedures). g) Memperluas upaya pelaksanaan hukum dan pengaturan hukum dalam memerangi kegiatan money laundering. h) Staff Training : dalam rangka mengenali dengan baik dan menangani transaksi-transaksi yang mencurigakan, staf pelaksana harus menerima pelatihan khusus money laundering. 5 kelompok yang diharuskan mengikutinya adalah: 1. Pegawai baru (New employees). Pelatihan terhadap pegawai baru sebaiknya mencakup latar belakang terjadinya money laundering; pelaporan kondisi yang terjadi; jaminan hukum yang dilaporkan; dan jaminan perorangan menurut ketentuan yang berlaku. 2. Dealers and sales staff. Pelatihan terhadap dealer/staf lainnya seharusnya juga mencakup tanggung jawab secara hukum; pengenalan terhadap faktor-faktor yang mencurigakan; kebijaksanaan perusahaan terhadap adanya kasus-kasus pengecualian; sistem pelaporan; dealing dengan customer yang jarang dilakukan (antara lain transaksi kas dalam jumlah besar/ bearer securities). 3. Account Opening staff. Pelatihan terhadap petugas front office harus meliputi prosedur-prosedur identifikasi dan verifikasi ( sebagai contoh, pengecekan akan kecocokan identitas investor), mengenali secara baik proses settlement/payment/delivery instructions yang diluar batas kewajaran. 4. Supervisors/ Manager. Pelatihan terhadap manajer yang memberikan instruksi, lebih ditekankan pada detail mengenai ketentuan perundang-undangan yang berlaku meliputi identifikasi, pencatatan, pelaporan prosedur serta tindakan pinalti. 5. Reporting Officers. Pendalaman materi pelatihan terhadap kelompok staf ini meliputi seluruh aspek perundangan-undangan, peraturan dan prosedur internal, validasi, dan laporan transaksi yang mencurigakan. 130 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 IV. Penutup Dari pokok-pokok rekomendasi yang diberikan oleh FATF di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dengan semakin berkembangnya kegiatan/transaksi-transaksi illegal internasional, maka upaya pemberantasan terhadap kegiatan money laundering merupakan real test case bagi masyarakat dan sistem keuangan internasional. Mengapa demikian? Karena anti money laundering measures membutuhkan kerjasama internasional yang harus kondusif baik bersifat multilateral maupun bilateral (antar dua negara). Sebagaimana kita ketahui, bahwa setiap negara memiliki prioritas yang berbeda-beda khususnya dalam menghadapi kegiatan/praktek money laundering. Perbedaan visi dan persepsi ini tentunya akan berimplikasi pada kelompok-kelompok kerja yang dibentuk oleh FATF. 2. Berkaitan dengan butir (1), para anggota kelompok kerja FATF ataupun masyarakat keuangan internasional sudah selayaknya menerapkan aturan-aturan standar minimum dalam upaya memerangi kegiatan money laundering misalnya keseragaman penggunaan sistem SAR, CTR maupun Gateway Intelligence System. Hal ini berarti, bahwa apabila terdapat negara-negara yang tidak mematuhi kesepakatan bersama tersebut akan mendapatkan pinalti yang dapat berupa punitive taxes atas transaksi-transaksi yang terbukti berkaitan dengan money laundering di pasar finansial di negara yang bersangkutan, ataupun tidak diakuinya transaksi keuangan yang terjadi di negara tersebut secara internasional (default). 3. Konsekwensi lain, khususnya bagi lembaga pengawas perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya, adalah bahwa kualitas supervisi terhadap transaksi finansial oleh bank khususnya harus senantiasa ditingkatkan. Peningkatan tersebut dapat diupayakan dalam bentuk investigasi khusus terhadap asal modal disetor, asal dana-dana pihak ketiga yang diterima, dan transaksi finansial yang dilakukan khususnya transaksitransaksi off balance sheet. Hal ini sangat penting mengingat dalam banyak kasus money laundering, lembaga perbankan seringkali dipergunakan sebagai intermediasi oleh pelaku tindakan kriminal yang tidak mustahil juga dibantu oleh adanya moral hazard oleh karyawan bank sendiri (contoh kasus BCCI, 1991). 4. Secara taktis, tindakan yang paling efektif dalam menangkal kegiatan money laundering pada lembaga perbankan adalah mendeteksi sedini mungkin aktivitas kriminal tersebut pada titik paling crucial yakni pada saat hasil-hasil ilegal tersebut masuk ke dalam sistem perbankan/keuangan (placement process). Dalam konteks ini maka pendekatan “know your customer rule” menjadi acuan yang sangat mendasar dalam menggali informasi calon nasabah bank. Jika langkah preventif ini diterapkan secara universal terhadap semua lembaga keuangan/ jaringan perbankan internasional, maka kecil kemungkinan Kajian Awal Tentang Money Laundering serta Implikasinya dalam Pasar Keuangan Internasional 131 money launderer akan mampu menembusnya. Sebaliknya bila langkah tersebut tidak berhasil, maka money launderer akan selalu mencari titik terlemah dari sistem jaringan keuangan internasional, baik melalui International offshore Banking Centre (IOBS) yang memiliki insentif pembebasan pajak dan longgarnya peraturan ataupun memanfaatkan negara-negara/ lokasi yang relatif tidak/ belum terjangkau oleh hukum internasional. Daftar Pustaka 1) Abrahamson, Jeffrey.1996. Money Laundering: Butterworths. Journal of International Banking and Financial Law, July – August. 2) Camdesus, Michael.1998. Money Laundering: The Importance of International Countermeasures, Paris (Feb 10). 3) Hayaes, Andrew.1996. Payable Through Accounts and Money Laundering. Legal Analysis. Pp 29-31. 4) Morris, Allan.1995. Money Laundering: The Regim in the United Kingdom, pp 350. 5) Parlour, Richard.1995. International Guide to Money Laundering and Practice, Butterworths. 6) Reuters News.1999 (March 31). Bancomer and Banca serfin Plead Guilty to Money Laundering. 7) Richard, Barry, et al.1998. Guide to Financial Services Regulation, 3rd Edition, CCH Inc. Illinois, USA. 8) Robinson, Jeffrey.1998. Laundrymen, Pocket Books, London. 9) The Banker, 1998 (Feb). Money Laundering: The Sky’s the Limit, pp 52-53. 10) _________. 1997. The Financial Action Task Force on Money Laundering, Annual Report.