STUDI KOMUNIKASI ARTIFAKTUAL Abstract I. Pendahuluan

advertisement
PAKAIAN:
STUDI KOMUNIKASI ARTIFAKTUAL
Dr. Farid Hamid U., M.Si
Abstract
Clothing, an important aspect of nonverbal behavior, serves a wide variety of
communicative functions. clothing is used as a means of artifactual communication
in non-verbal communication. One’s behavior and their outward appearance carry
particular symbols that represent self identity or group, social status, economic
position, political aspect, gender, or religiosity.
Key world: Artifactual Communications
I. Pendahuluan
Komunikasi bersifat dinamis. Komunikasi terjadi baik disengaja maupun
tidak disengaja, dalam segala aspek kehidupan manusia. Bahkan pada saat kita diam
sekalipun, sebenarnya kita tengah melakukan aktivitas komunikasi, "We can not not
communicate!” seperti kata Watzlawick, Beavin dan Jackson (Liliweri, 1994: 37 ;
Mulyana, 2001: 54).
Komunikasi dianggap telah berlangsung bila seseorang telah menafsirkan
perilaku orang lain, yang berupa simbol, baik verbal maupun nonverbal. Dengan kata
lain, komunikasi adalah suatu proses simbolik, yakni penggunaan lambang-lambang
yang diberi makna. Simbol yang digunakan bersifat manasuka atau arbitrer.
Maksudnya adalah sembarang dan tidak mempunyai arti apa-apa sebelum diberi
makna oleh orang (Berger, 2000: 7; Wood, 1997:123). Stewart L. Tubbs dan Sylvia
Moss (2000:5) mengatakan: “Komunikasi adalah proses pembentukan makna
diantara dua orang atau lebih”. Senada dengan itu Julia T. Wood (1997:17) juga
mendefinisikan komunikasi:
“as a systemic process in wich individual interact with and through symbols
to create and interpret meanings”
2
Setiap perilaku manusia berpotensi menjadi aktivitas komunikasi karena
setiap orang selalu memaknai perilaku yang ditampilkan. Perilaku yang ditampilkan
akan ditafsirkan oleh peserta komunikasi. Dengan kata lain gerak gerik seseorang
secara sadar atau tidak telah mengkomunikasikan dirinya kepada orang lain
(Mulyana, 2003: 6). Ekspresi wajah, nada suara, gaya rambut dan pakaian juga
mengkomunikasikan sesuatu. Dick Hebdige sebagaimana dikutip oleh Yasraf Amir
Piliang, (1999:209), menyatakan: “Aku berbicara lewat pakaianku”.
Pakaian dipandang memiliki suatu fungsi komunikatif.
Suatu bentuk
komunikasi artifaktual (artifactual communication) dalam ranah komunikasi
nonverbal. Pakaian menyampaikan pesan yang bermakna dengan cara yang sama
seperti bahasa menyampaikan suatu pesan. Ketika bertemu orang pertama kali tentu
yang akan kita lihat adalah penampilan fisiknya salah satunya melalui apa yang ia
pakai. Atau menggunakan istilah Chaney (1996:213) pakaian adalah representasi
diri. Bahkan pakaian menjadi pijakan awal untuk berinteraksi dengan pembentukan
kesan, pernyataan identitas diri, bahkan ideologi seseorang.
Kajian tentang pakaian dalam konteks komunikasi nonverbal menarik untuk
ditelaah lebih lanjut. Permulaan studi ini sering dikaitkan dengan karya Darwin “The
Expression of Emotion in man and Animals” yang kemudian menghasilkan Theory of
Performance. Karya Darwin ini kemudian memunculkan kajian tentang lambang
verbal dan nonverbal dalam kajian antardisiplin (Sendjaja, 1994: 225). Studi dalam
komunikasi nonverbal diakui oleh Liliweri (1994: 99) memang banyak dilakukan
oleh disiplin antropologi, sosiologi, etnologi dan psikiatri. Walaupun demikian
penelitian tentang komunikasi nonverbal selama ini terbatas pada pesan tubuh
manusia, jarang yang mengkaji pesan-pesan objek dalam kehidupan sehari-hari
sebagai bahasa objek (object languages) (Rues & Kees, 1956).
Pakaian menarik dikaji karena sangat erat dengan diri kita. Pakaian
sebagaimana kata-kata Thomas Carlyle, menjadi “perlambang jiwa” (emblems of the
soul). Pakaian yang dikenakan membuat pernyataan tentang diri kita (Ibrahim,
2007:242).
Sebagai pernyataan diri atau identitas, pakaian merupakan bentuk
dialektika sosial dalam mengartikulasikan realitas. Pakaian menyampaikan pesan-
3
pesan dan merupakan pencitraan untuk menegaskan berbagai fungsi-fungsi sosial
dalam transformasi sosial (Stone, 1962: 90).
II. Pakaian Sebagai Kajian Komunikasi Artifaktual
Pada kajian ilmu komunikasi, pakaian memainkan peran yang penting.
Menurut Rakhmat (1994:292) pakaian dalam konteks komunikasi nonverbal
merupakan bagian dari pesan artifaktual. Suatu bentuk pesan yang diungkapkan
melalui penampilan. Pada kaum wanita, artifaktual ditampilkan dalam bentuk
pakaian, lipstik, kaca mata, asesoris dan tatanan rambut, bulu mata palsu, perhiasan,
dan asesoris lainnya. (Knapp dan Hall, 1992:14). Saat ini perkembangan artifaktual
pada wanita semakin bervariasi seperti pemasangan contact lens dan pemakaian tato.
Sebagai bentuk komunikasi pakaian memiliki berbagai fungsi. Dalam
perkembangan sejarah kehidupan, manusia baru mengenal pakaian sekitar 72.000
tahun yang lalu. Homo sapiens nenek moyang manusia yang berasal dari Afrika
yang gerah. Sebagian mereka berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya, dan
bermukim di daerah dingin, sejak saat itulah mereka berpakaian yang bermula dari
kulit hewan guna menghangatkan badan mereka (Shihab, 2004:29).
Fungsi pakaian juga adalah sebuah pesan. Setiap bentuk dan jenis pakaian
yang dikenakan akan menyampaikan penanda sosial (social signals) tentang si
pemakainya (Sobur, 2004:170). Dalam perkembangannya kemudian pakaian yang
dikenakan dipengaruhi oleh nilai-nilai agama, kebiasaan, tuntutan lingkungan, nilai
kenyamanan, dan tujuan pencitraan.
Menurut Nordholt, (2005:1), pakaian adalah “kulit sosial dan budaya kita”
(our social and cultural skin). Pakaian menampilkan peran sebagai pajangan budaya
(cultural display) karena ia mengkomunikasikan budaya kita. Ia bisa menunjukkan
identitas nasional dan kultural kita (Ibrahim, 2007:243). Misalnya,
kimono di
Jepang, kebaya dan batik di Indonesia, atau sari di India. Termasuk konteks budaya
lain yang menyertainya. Di Amerika, busana berwarna teduh dikenakan untuk
kegiatan bisnis dan sosial. Di India dan Myanmar, busana bisnis lebih kasual dari
pada di Eropa. Seringkali mereka mengenakan busana tradisional mereka seperti
4
yang juga dilakukan orang Arab ketika mereka berbisnis dengan orang luar
(Mulyana, 2000:346).
Setiap fase penting dalam kehidupan sering juga ditandai dengan pemakaian
busana tertentu, seperti pakaian tradisional ketika anak lelaki disunat, toga ketika kita
diwisuda, pakaian pengantin ketika kita menikah, dan kain kafan ketika kita
meninggal (Mulyana, 2000:346).
III. Pakaian dan Transformasi Sosial
Studi tentang pakaian banyak dilakukan dengan beragam perspektif.
Misalnya Lawrence B. Rosenfeld dan Timothy G. Plax pada tahun 1977. Merujuk
pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosenerantz M.L. (1962), Compton
(1962), dan Aiken L.R (1963), dua orang profesor pada Department of Speech,
University of New Mexico, tersebut melakukan penelitian lanjutan yang kemudian
hasil penelitian tersebut ditulis dalam artikel yang berjudul: “Clothing as
Communication” yang dipublikasikan dalam Journal of Communication, Spring,
1977. Penelitian yang dilakukan dengan metode kuantitatif dengan menggunakan
stepwise multiple discriminant analysis (SMDA) pada 122 pria dan 118 wanita
dalam mencari hubungan antara pakaian dan kepribadian baik pada wanita maupun
pria. Hasil penelitian menemukan bahwa ada 4 faktor utama dalam hubungan
antara pakaian dengan kepribadian, yaitu:
1. Kecocokan pakaian (clothing consiousness): yaitu berdasarkan persetujuan
individu pada pakaian yang dipakai.
2. Kepameran (exhibition): hasrat seseorang untuk memakai baju tertentu
3. Practically: ketertarikan individu untuk mencoba menggabung-gabungkan
jenis pakaian.
4. Design: persetujuan individu dengan memperhatikan desain baju dengan aktif
mencoba berbagai pakaian.
Pakaian juga digunakan untuk menyampaikan perasaan (seperti pakaian
berwarna hitam ketika wanita berduka cita, atau pakaian semarak ketika sedang
ceria), dan formalitas (seperti memakai sandal untuk menunjukkan situasi non formal
5
dan memakai batik untuk situasi formal) (Nordholt. 2005:v ; Rakhmat, 1994:292 ;
Verderber. 1998:162).
Pakaian merupakan perlambangan jiwa kita (Barnard, 1996:vi). Pakaian
berperan besar dalam menentukan citra seseorang. Pakaian yang dikenakan juga
mencerminkan kepribadian seseorang apakah ia orang yang konservatif, religius,
modern, atau berjiwa muda. Tidak dapat dibantah bahwa pakaian, seperti juga
rumah, kendaraan dan perhiasan digunakan untuk memproyeksikan citra tertentu
yang diinginkan pemakainya (Mulyana, 2000:347, Nordholt. 2005:v; Verderber
1998:16).
Pakaian juga merupakan ekspresi identitas pribadi. Nordholt (2005:1)
menyatakan bahwa pada saat kita memilih pakaian, baik di toko atau di rumah,
berarti kita mendefinisikan dan mendeskripsikan diri sendiri. Sebagaimana yang
dikatakan, Rakhmat (1994:292) Umumnya pakaian, kita pergunakan untuk
menyampaikan identitas kita, untuk mengungkapkan kepada orang lain siapa kita.
Menyampaikan identitas berarti menunjukkan kepada orang lain bagaimana perilaku
kita dan bagaimana orang lain sepatutnya memperlakukan kita. Artinya gaya busana
merupakan suatu indikator status sosial. Penelitian lain menguatkan argument diatas.
Subair dalam tesisnya “Aspek Simbolik Haji: Studi Deskriptif Analitik pada Orang
Bugis di Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan”.
Menemukan bahwa tingginya semangat orang Bugis menunaikan ibadah haji
ternyata bukan hanya motivasi agama semata, tetapi motivasi obsesi mereka pada
aspek-aspek simbolik haji. Aspek simbolik haji itu sendiri menonjol dalam dua hal,
yaitu pada gelar haji dan busana/pakaian haji. Pakaian haji adalah identitas kehajian
yang paling menonjol dan pertama terlihat. Pakaian haji tidak hanya sekedar
memenuhi fungsi estetika tetapi juga mengandung aspek-aspek simbolik yang sangat
berpengaruh pada kehidupan sosial budaya orang bugis. Pemahaman seperti ini
berimplikasi pada tingginya penghargaan sosial masyarakat pada seorang haji dan
atribut yang menyimbolkannya. Pakaian haji ternyata merupakan kunci untuk
mendapatkan penghargaan-penghargaan sosial yang eksklusif. Pada acara-acara
pesta atau kegiatan adat, ada pola-pola pembagian posisi duduk yang mengutamakan
haji dari yang bukan haji, semua itu ditentukan dari pakaiannya. Keadaan ini
mempengaruhi sistem status masyarakat Bugis-Bone. Saat ini golongan tertinggi
6
dalam status masyarakat Bugis adalah to sugi (orang kaya) dan panrita (ulama). Haji
merupakan simbol perolehan kedua status itu. Bahwa orang yang menunaikan ibadah
haji adalah orang kaya, karena membutuhkan biaya yang besar. Selain itu dianggap
sebagai ulama karena ibadah haji adalah rukun Islam yang terakhir dan
penyempurnaan keislaman seorang muslim. Hal ini menyebabkan orang Bugis pada
umumnya menunaikan ibadah haji demi untuk memperoleh status sosial dalam
masyarakat karena haji merupakan kebanggaan sosial.
Pakaian mencerminkan peran seseorang, kelompok asalnya, status orang
tersebut di dalam kelompok atau identitas kelompok yang membedakan dengan
kelompok lainnya, status orang tersebut di dalam masyarakat yang lebih luas,
hierarki, gender, memiliki nilai simbolik, dan merupakan ekspresi cara hidup
tertentu. Pakaian juga mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan
dalam pandangan sosial, politik, dan religius.
Menarik juga dikaji penelitian Marianne Hulsbosch untuk studi doktornya
(disertasi) pada tahun 2004 di University of Wollongong, Australia. Penelitian yang
berjudul: “Pointy Shoes and Pits Helmets: Dress and Identity Construction in Ambon
From 1850 to 1942”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Ambon,
memiliki keunikan kehidupan sosial, politik dan agama. Pada masa pemerintahan
kolonial Belanda secara tidak langsung mempengaruhi konstruksi identitas yang
terlihat melalui pakaian. Hal ini berpengaruh pada pemilihan pakaian dengan segala
kombinasinya. Perubahan pakaian yang dikenakan berhubungan erat dengan strata
sosial, dominasi politik atau ekonomi dan agama yang dianut (Islam atau Kristen)
yang dipengaruhi oleh budaya kolonial. Hasil penelitian ini mempertegas pernyataan
Rahmat (1998:143) bahwa pakaian berfungsi sebagai penegas identitas. Pakaian juga
berhubungan dengan identitas agama. Identitas agama merupakan suatu wilayah di
mana pembedaan yang begitu besar disempurnakan lewat pemakaian jenis-jenis
pakaian (Ibrahim, 2007:246).
Di dunia muslim, pakaian yang dikenakan seseorang bisa mengungkapkan
banyak makna. Pakaian bisa mencerminkan identitas, dengan itu, seorang
muslim(ah) membedakan dirinya dari kelompok yang lain, juga mencerminkan,
selera, pendapatan, pola perdagangan regional, dan reliugisitas pemakainya (Ibrahim,
2007:246, Rakhmat, 1998:142). Pakaian pun menandakan status atau posisi di dalam
7
kelompok agama tertentu, dan menunjukkan kekuatan atau kedalaman keyakinan
atau tingkat partisipasi (Barnard, 2007:95)
Identitas merupakan suatu fenomena yang timbul dari dialektika antara
individu dan masyarakat (Berger & Luckmann, 1990:248-249). Identitas dibentuk
oleh proses-proses sosial. Ia dipelihara, dimodifikasi atau malahan dibentuk ulang
oleh hubungan-hubungan sosial. Senada dengan itu Hulsbosch (2004:54)
menyatakan bahwa identitas adalah sosialisasi sebagai sebuah tindakan intervensi
antara diri (self) dan masyarakat (society). Fungsi pakaian itu sendiri adalah sebagai
media antara diri (self) dan tubuh (body) dan antara diri (self) dan masyarakat
(society).
Henk Schulte Nordholt (2005: 47) memberikan perhatian lebih jauh
mengenai berbagai subjek yang berkaitan dengan tema penampilan luar dengan
mengetengahkan suatu pernyataan menindaklanjuti penelitian Susan Brenner:
“Susan Brenner telah mencoba untuk menjelaskan mengapa para perempuan
muda dan terpelajar di Jawa Tengah memilih memakai kerudung. Suatu
pendekatan struktural mungkin akan mengungkapkan bahwa perempuanperempuan ini adalah subjek tekanan eksternal dan bahwa “pilihan” mereka
merupakan hasil dari sistem yang didominasi oleh pria. Sebaliknya, Brenner
memperlihatkan bahwa para perempuan itu sendiri memutuskan untuk
mengubah pakaian mereka sebagai proses kesadaran diri dan rekonstruksi
diri. Cara berpakaian yang baru menyebabkan mereka mengubah perilaku”.
Kesadaran berubah menurut Musgrove (1977:15) apabila hubungan antara
diri dan pengalaman sosialnya ditafsirkan kembali dan dilihat dengan pengalaman
baru. Perubahan kesadaran yang mereka alami akan diikuti dengan perubahan konsep
diri, sebab kesadaran adalah inti diri (Mead, 1968), dan sumber identitas (Musgrove,
1977).
Identitas merupakan suatu unsur kunci dari kenyataan subyektif. Sebagai
kenyataan subyektif, identitas selalu berhubungan secara dialektif dengan
masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Begitu memperoleh
wujudnya, ia dipelihara, dimodifikasi, atau malah dibentuk ulang oleh hubunganhubungan sosial (Berger dan Luckmann, 1990:248).
Identitas tidak muncul begitu saja. Identitas menurut Stone (1962) (dalam
Michael P, 1998) merupakan sebuah proses yang lahir dari upaya-upaya komunikatif
8
dan interpretif seseorang. Untuk membangun sebuah identitas, konsep diri dan orang
lain harus ditunjukkan, dikondisikan, dan ditempatkan. Pendeknya, identitas adalah
hasil sebuah kerja atau upaya, karena ia merupakan sesuatu yang harus
dikomunikasikan dan diinterpretasikan.
Perubahan cara berpakaian (transformasi identitas melalui pakaian) akan
membawa konsekuensi yang luas. Menurut perspektif interaksi simboliknya Mead
(dalam Mulyana 2002: 231), transformasi identitas menyangkut perubahan
psikologis, di mana pelakunya menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya.
Misalnya terjadi pada seseorang yang memutuskan menggunakan jilbab.
Transformasi menurut Strauss (1959) mengisyaratkan penilaian tentang diri pribadi
dan orang lain, tentang peristiwa-peristiwa, tindakan-tindakan, dan objek-objek.
Strauss mengatakan bahwa transformation of perception is irreversible; once having
changed, there is no going back. Sehingga bisa jadi mempengaruhi pola komunikasi
dan interaksi pengguna pakain tersebut.
Pakaian juga sebagai simbol perlawanan, pergerakan politik, simbol
pembebasan dan resistensi. Ketika gerakan para mullah mulai marak di Iran pada
tahun 1970-an dan mencapai puncaknya ketika Imam Khomeini berhasil menggusur
Reza Pahlevi yang dipopulerkan sebagai antek dunia Barat di Timur Tengah, maka
Khomeini menjadi lambang kemenangan Islam terhadap boneka Barat. Simbolsimbol kekuatan Khomeini, seperti foto Imam Khomeini dan komunitas Black Veil
menjadi tren di kalangan generasi muda Islam seluruh dunia. Identitas pakaian
(jilbab) seolah sebagai lambang kemenangan. (El Guindi, 2004:268-270).
Dalam konteks Indonesia dalam masa penjajahan, Belanda kerap menghadapi
pertempuran-pertempuran dengan para pejuang yang memakai pakaian muslim
seperti yang dipakai kelompok etnis Arab. Pada perang 1825-1830, Pangeran
Diponegoro mengenakan jubah dan turban. Di Sumatera, Belanda juga berhadapan
dengan Kaum Padri yang juga mengenakan jubah dan turban, dll.
Zaman terus bergulir. Pakaian mengandung ideologi tertentu. Pakaian sendiri
tidak bisa dipisahkan dengan fashion. Dalam masyarakat modern fashion merupakan
suatu industri yang memutar faktor manusia dan modal yang kemudian
menjadikannya sebagai suatu kebutuhan industri sehingga terbentuklah pola-pola
yang berkaitan dengan perkembangan fashion. Penilaian terhadap suatu komoditi
9
ditentukan oleh pola pikir masyarakat yang berkembang pada saat itu yang dapat
menular dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya melalui media sehingga
mengembangbiakkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, makna-makna
konotatif, inilah ideologi.
Idi Subandi Ibrahim (2007:246) dalam bukunya “Budaya Populer sebagai
Komunikasi” mendikotomikan tahapan-tahapan perkembangan masyarakat dalam
mengidentifikasi fashion sebagai konstruksi identitas, yakni masyarakat tradisional,
modern, dan pasca-modern.
Tahapan yang pertama, masyarakat tradisional (pramodern) dianggap
memiliki kode-kode kemewahan yang relative tetap, sehingga pakaian dan
penampilan seseorang akan langsung mendenotasikan kelas sosial, profesi, dan status
seseorang.
Kedua, masyarakat modern, telah mengurangi kode-kode fashion yang kaku,
menawarkan kemungkinan baru dalam mengonstruksi identitas personal seseorang.
Masyarakat modern memungkinkan bagi para individu untuk menghasilkan, dalam
batas-batas tertentu identitas mereka sendiri dan berimplikasi pada apa yang kita
sebut sebagai “krisis identitas”. Sebab, dalam masyarakat modern, fashion dianggap
sebagai identitas sesorang yang sangat menentukan bagaimana penerimaan
masyarakat terhadap individu pengguna fashion. Modernitas menganggap fashion
sebagai ciri penting yang terus mengalami inovasi dengan penghancuran yang lama
dan mengganti dengan yang baru sebagai penandanya. Fashion dan modernitas jalan
beriringan untuk menghasilkan pribadi-pribadi modern yang secara konstan terus
mencari identitas diri mereka melalui gaya, busana, sikap, dan gaya trendy sebagai
penanda kemajuan serta senantiasa merasa cemas jika tak sanggup mengikuti
mobilitas zaman.
Ketiga, masyarakat pascamodern, mempermasalahkan soal identitas dan
fashion. Pascamodern menganggap identitas sangat tidak stabil dan rapuh, tidak lebih
dari sekadar mitos dan ilusi. Masyarakat ini juga menganggap fashion tak lebih dari
aktifitas konsumsi, kecenderungan berhasrat untuk memiliki sebagai penanda
matinya identitas. Jacques Lacan menyebut gejala ini tak lebih sebagai sense of
identity, sebuah gejala untuk memiliki bukan karena “kegandrungan” atau pilihan
sadar, melainkan karena telah menjadi trendsetter atau karena dimiliki orang lain.
10
Fashion telah menjadi bahan konsumsi, sarana untuk memanjakan batin dengan
menikmati benda-benda komersil. Pada fase ini, penggunaan fashion menjadi multitafsir, antara penanda identitas-trendsetter-atau topeng kebohongan.
III. Kesimpulan
Pakaian sebagai suatu bentuk komunikasi artifaktual dalam konteks
komunikasi nonverbal memiliki berbagai fungsi. Pakaian merupakan penanda dari
sejumlah domain sosial; citra diri seseorang, identitas individu dan kelompok, status
sosial, posisi ekonomi, kekuatan politik, hierarki, gender maupun peran keagamaan.
Selain itu pakaian juga mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan
dalam pandangan sosial, politik maupun aspek religius.
Daftar Pustaka
Barnard, Malcolm.2007. Fashion Sebagai Komunikasi. (Terj. Oleh Idi Subandy
Ibrahim dan Yosal Iriantra). Yogyakarta: Jalasutra.
Berger, Peter L. Dan Thomas Luckman. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah
Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Chaney, David. 1996. Lifestyles, Sebuah Pengantar Komprehensif. Bandung:
Jalasutra
El Guindi, Fedwa. 2004. Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan.
(Terj. Mujiburohman). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
Hulsbosch, Marianne. 2004. Pointy Shoes and Pits Helmets: Dress and Identity
Costruction in Ambon From 1850 To 1942. Thesis. University of
Wollongong - Australia.
Ibrahim, Idi Subandi. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi. Yogyakarta:
Jalasutra.
Liliweri, Alo. 1994. Komunikasi Verbal dan Nonverbal. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Nordholt, Henk S. (ed.): Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan
(Terj). Yogyakarta: LKiS.
11
Piliang, Yasraf Amir. 1999. Sebuah Dunia Yang Dilipat. Bandung: Mizan.
Rahmat, Jalaluddin. 1998. Islam Alternatif. Bandung: Mizan
Shihab, Quraish. 2004. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah. Jakarta: Lentera Hati.
Tubs, Steward L., dan Mass Sylvia. 1996. Human Communication (Prinsip-Prinsip
Dasar). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Wood. Julia, T. 2004. Communication Theories In Action. Belmont:Wadsworth
Publishing Company.
Rosenfeld, Lawrence B. & Timothy G. Plax. 1977. Clothing as Communication
Journal of Communication, Spring.
Subair. 2004. Aspek Simbolik Haji: Studi Deskriptif Analitik pada Orang Bugis di
Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Tesis
Universitas Padjadjaran.
Stone, Gregory P. 1962. Appearance and the Self. Dalam Arnold Rose, ed. Human
Behavior and Social Processes: An Interactionist Approach. London:
Routledge & Kegan Paul.
Download