PAKAIAN: STUDI KOMUNIKASI ARTIFAKTUAL Dr. Farid Hamid U., M.Si Abstract Clothing, an important aspect of nonverbal behavior, serves a wide variety of communicative functions. clothing is used as a means of artifactual communication in non-verbal communication. One’s behavior and their outward appearance carry particular symbols that represent self identity or group, social status, economic position, political aspect, gender, or religiosity. Key world: Artifactual Communications I. Pendahuluan Komunikasi bersifat dinamis. Komunikasi terjadi baik disengaja maupun tidak disengaja, dalam segala aspek kehidupan manusia. Bahkan pada saat kita diam sekalipun, sebenarnya kita tengah melakukan aktivitas komunikasi, "We can not not communicate!” seperti kata Watzlawick, Beavin dan Jackson (Liliweri, 1994: 37 ; Mulyana, 2001: 54). Komunikasi dianggap telah berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, yang berupa simbol, baik verbal maupun nonverbal. Dengan kata lain, komunikasi adalah suatu proses simbolik, yakni penggunaan lambang-lambang yang diberi makna. Simbol yang digunakan bersifat manasuka atau arbitrer. Maksudnya adalah sembarang dan tidak mempunyai arti apa-apa sebelum diberi makna oleh orang (Berger, 2000: 7; Wood, 1997:123). Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss (2000:5) mengatakan: “Komunikasi adalah proses pembentukan makna diantara dua orang atau lebih”. Senada dengan itu Julia T. Wood (1997:17) juga mendefinisikan komunikasi: “as a systemic process in wich individual interact with and through symbols to create and interpret meanings” 2 Setiap perilaku manusia berpotensi menjadi aktivitas komunikasi karena setiap orang selalu memaknai perilaku yang ditampilkan. Perilaku yang ditampilkan akan ditafsirkan oleh peserta komunikasi. Dengan kata lain gerak gerik seseorang secara sadar atau tidak telah mengkomunikasikan dirinya kepada orang lain (Mulyana, 2003: 6). Ekspresi wajah, nada suara, gaya rambut dan pakaian juga mengkomunikasikan sesuatu. Dick Hebdige sebagaimana dikutip oleh Yasraf Amir Piliang, (1999:209), menyatakan: “Aku berbicara lewat pakaianku”. Pakaian dipandang memiliki suatu fungsi komunikatif. Suatu bentuk komunikasi artifaktual (artifactual communication) dalam ranah komunikasi nonverbal. Pakaian menyampaikan pesan yang bermakna dengan cara yang sama seperti bahasa menyampaikan suatu pesan. Ketika bertemu orang pertama kali tentu yang akan kita lihat adalah penampilan fisiknya salah satunya melalui apa yang ia pakai. Atau menggunakan istilah Chaney (1996:213) pakaian adalah representasi diri. Bahkan pakaian menjadi pijakan awal untuk berinteraksi dengan pembentukan kesan, pernyataan identitas diri, bahkan ideologi seseorang. Kajian tentang pakaian dalam konteks komunikasi nonverbal menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Permulaan studi ini sering dikaitkan dengan karya Darwin “The Expression of Emotion in man and Animals” yang kemudian menghasilkan Theory of Performance. Karya Darwin ini kemudian memunculkan kajian tentang lambang verbal dan nonverbal dalam kajian antardisiplin (Sendjaja, 1994: 225). Studi dalam komunikasi nonverbal diakui oleh Liliweri (1994: 99) memang banyak dilakukan oleh disiplin antropologi, sosiologi, etnologi dan psikiatri. Walaupun demikian penelitian tentang komunikasi nonverbal selama ini terbatas pada pesan tubuh manusia, jarang yang mengkaji pesan-pesan objek dalam kehidupan sehari-hari sebagai bahasa objek (object languages) (Rues & Kees, 1956). Pakaian menarik dikaji karena sangat erat dengan diri kita. Pakaian sebagaimana kata-kata Thomas Carlyle, menjadi “perlambang jiwa” (emblems of the soul). Pakaian yang dikenakan membuat pernyataan tentang diri kita (Ibrahim, 2007:242). Sebagai pernyataan diri atau identitas, pakaian merupakan bentuk dialektika sosial dalam mengartikulasikan realitas. Pakaian menyampaikan pesan- 3 pesan dan merupakan pencitraan untuk menegaskan berbagai fungsi-fungsi sosial dalam transformasi sosial (Stone, 1962: 90). II. Pakaian Sebagai Kajian Komunikasi Artifaktual Pada kajian ilmu komunikasi, pakaian memainkan peran yang penting. Menurut Rakhmat (1994:292) pakaian dalam konteks komunikasi nonverbal merupakan bagian dari pesan artifaktual. Suatu bentuk pesan yang diungkapkan melalui penampilan. Pada kaum wanita, artifaktual ditampilkan dalam bentuk pakaian, lipstik, kaca mata, asesoris dan tatanan rambut, bulu mata palsu, perhiasan, dan asesoris lainnya. (Knapp dan Hall, 1992:14). Saat ini perkembangan artifaktual pada wanita semakin bervariasi seperti pemasangan contact lens dan pemakaian tato. Sebagai bentuk komunikasi pakaian memiliki berbagai fungsi. Dalam perkembangan sejarah kehidupan, manusia baru mengenal pakaian sekitar 72.000 tahun yang lalu. Homo sapiens nenek moyang manusia yang berasal dari Afrika yang gerah. Sebagian mereka berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya, dan bermukim di daerah dingin, sejak saat itulah mereka berpakaian yang bermula dari kulit hewan guna menghangatkan badan mereka (Shihab, 2004:29). Fungsi pakaian juga adalah sebuah pesan. Setiap bentuk dan jenis pakaian yang dikenakan akan menyampaikan penanda sosial (social signals) tentang si pemakainya (Sobur, 2004:170). Dalam perkembangannya kemudian pakaian yang dikenakan dipengaruhi oleh nilai-nilai agama, kebiasaan, tuntutan lingkungan, nilai kenyamanan, dan tujuan pencitraan. Menurut Nordholt, (2005:1), pakaian adalah “kulit sosial dan budaya kita” (our social and cultural skin). Pakaian menampilkan peran sebagai pajangan budaya (cultural display) karena ia mengkomunikasikan budaya kita. Ia bisa menunjukkan identitas nasional dan kultural kita (Ibrahim, 2007:243). Misalnya, kimono di Jepang, kebaya dan batik di Indonesia, atau sari di India. Termasuk konteks budaya lain yang menyertainya. Di Amerika, busana berwarna teduh dikenakan untuk kegiatan bisnis dan sosial. Di India dan Myanmar, busana bisnis lebih kasual dari pada di Eropa. Seringkali mereka mengenakan busana tradisional mereka seperti 4 yang juga dilakukan orang Arab ketika mereka berbisnis dengan orang luar (Mulyana, 2000:346). Setiap fase penting dalam kehidupan sering juga ditandai dengan pemakaian busana tertentu, seperti pakaian tradisional ketika anak lelaki disunat, toga ketika kita diwisuda, pakaian pengantin ketika kita menikah, dan kain kafan ketika kita meninggal (Mulyana, 2000:346). III. Pakaian dan Transformasi Sosial Studi tentang pakaian banyak dilakukan dengan beragam perspektif. Misalnya Lawrence B. Rosenfeld dan Timothy G. Plax pada tahun 1977. Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosenerantz M.L. (1962), Compton (1962), dan Aiken L.R (1963), dua orang profesor pada Department of Speech, University of New Mexico, tersebut melakukan penelitian lanjutan yang kemudian hasil penelitian tersebut ditulis dalam artikel yang berjudul: “Clothing as Communication” yang dipublikasikan dalam Journal of Communication, Spring, 1977. Penelitian yang dilakukan dengan metode kuantitatif dengan menggunakan stepwise multiple discriminant analysis (SMDA) pada 122 pria dan 118 wanita dalam mencari hubungan antara pakaian dan kepribadian baik pada wanita maupun pria. Hasil penelitian menemukan bahwa ada 4 faktor utama dalam hubungan antara pakaian dengan kepribadian, yaitu: 1. Kecocokan pakaian (clothing consiousness): yaitu berdasarkan persetujuan individu pada pakaian yang dipakai. 2. Kepameran (exhibition): hasrat seseorang untuk memakai baju tertentu 3. Practically: ketertarikan individu untuk mencoba menggabung-gabungkan jenis pakaian. 4. Design: persetujuan individu dengan memperhatikan desain baju dengan aktif mencoba berbagai pakaian. Pakaian juga digunakan untuk menyampaikan perasaan (seperti pakaian berwarna hitam ketika wanita berduka cita, atau pakaian semarak ketika sedang ceria), dan formalitas (seperti memakai sandal untuk menunjukkan situasi non formal 5 dan memakai batik untuk situasi formal) (Nordholt. 2005:v ; Rakhmat, 1994:292 ; Verderber. 1998:162). Pakaian merupakan perlambangan jiwa kita (Barnard, 1996:vi). Pakaian berperan besar dalam menentukan citra seseorang. Pakaian yang dikenakan juga mencerminkan kepribadian seseorang apakah ia orang yang konservatif, religius, modern, atau berjiwa muda. Tidak dapat dibantah bahwa pakaian, seperti juga rumah, kendaraan dan perhiasan digunakan untuk memproyeksikan citra tertentu yang diinginkan pemakainya (Mulyana, 2000:347, Nordholt. 2005:v; Verderber 1998:16). Pakaian juga merupakan ekspresi identitas pribadi. Nordholt (2005:1) menyatakan bahwa pada saat kita memilih pakaian, baik di toko atau di rumah, berarti kita mendefinisikan dan mendeskripsikan diri sendiri. Sebagaimana yang dikatakan, Rakhmat (1994:292) Umumnya pakaian, kita pergunakan untuk menyampaikan identitas kita, untuk mengungkapkan kepada orang lain siapa kita. Menyampaikan identitas berarti menunjukkan kepada orang lain bagaimana perilaku kita dan bagaimana orang lain sepatutnya memperlakukan kita. Artinya gaya busana merupakan suatu indikator status sosial. Penelitian lain menguatkan argument diatas. Subair dalam tesisnya “Aspek Simbolik Haji: Studi Deskriptif Analitik pada Orang Bugis di Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan”. Menemukan bahwa tingginya semangat orang Bugis menunaikan ibadah haji ternyata bukan hanya motivasi agama semata, tetapi motivasi obsesi mereka pada aspek-aspek simbolik haji. Aspek simbolik haji itu sendiri menonjol dalam dua hal, yaitu pada gelar haji dan busana/pakaian haji. Pakaian haji adalah identitas kehajian yang paling menonjol dan pertama terlihat. Pakaian haji tidak hanya sekedar memenuhi fungsi estetika tetapi juga mengandung aspek-aspek simbolik yang sangat berpengaruh pada kehidupan sosial budaya orang bugis. Pemahaman seperti ini berimplikasi pada tingginya penghargaan sosial masyarakat pada seorang haji dan atribut yang menyimbolkannya. Pakaian haji ternyata merupakan kunci untuk mendapatkan penghargaan-penghargaan sosial yang eksklusif. Pada acara-acara pesta atau kegiatan adat, ada pola-pola pembagian posisi duduk yang mengutamakan haji dari yang bukan haji, semua itu ditentukan dari pakaiannya. Keadaan ini mempengaruhi sistem status masyarakat Bugis-Bone. Saat ini golongan tertinggi 6 dalam status masyarakat Bugis adalah to sugi (orang kaya) dan panrita (ulama). Haji merupakan simbol perolehan kedua status itu. Bahwa orang yang menunaikan ibadah haji adalah orang kaya, karena membutuhkan biaya yang besar. Selain itu dianggap sebagai ulama karena ibadah haji adalah rukun Islam yang terakhir dan penyempurnaan keislaman seorang muslim. Hal ini menyebabkan orang Bugis pada umumnya menunaikan ibadah haji demi untuk memperoleh status sosial dalam masyarakat karena haji merupakan kebanggaan sosial. Pakaian mencerminkan peran seseorang, kelompok asalnya, status orang tersebut di dalam kelompok atau identitas kelompok yang membedakan dengan kelompok lainnya, status orang tersebut di dalam masyarakat yang lebih luas, hierarki, gender, memiliki nilai simbolik, dan merupakan ekspresi cara hidup tertentu. Pakaian juga mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan dalam pandangan sosial, politik, dan religius. Menarik juga dikaji penelitian Marianne Hulsbosch untuk studi doktornya (disertasi) pada tahun 2004 di University of Wollongong, Australia. Penelitian yang berjudul: “Pointy Shoes and Pits Helmets: Dress and Identity Construction in Ambon From 1850 to 1942”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Ambon, memiliki keunikan kehidupan sosial, politik dan agama. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda secara tidak langsung mempengaruhi konstruksi identitas yang terlihat melalui pakaian. Hal ini berpengaruh pada pemilihan pakaian dengan segala kombinasinya. Perubahan pakaian yang dikenakan berhubungan erat dengan strata sosial, dominasi politik atau ekonomi dan agama yang dianut (Islam atau Kristen) yang dipengaruhi oleh budaya kolonial. Hasil penelitian ini mempertegas pernyataan Rahmat (1998:143) bahwa pakaian berfungsi sebagai penegas identitas. Pakaian juga berhubungan dengan identitas agama. Identitas agama merupakan suatu wilayah di mana pembedaan yang begitu besar disempurnakan lewat pemakaian jenis-jenis pakaian (Ibrahim, 2007:246). Di dunia muslim, pakaian yang dikenakan seseorang bisa mengungkapkan banyak makna. Pakaian bisa mencerminkan identitas, dengan itu, seorang muslim(ah) membedakan dirinya dari kelompok yang lain, juga mencerminkan, selera, pendapatan, pola perdagangan regional, dan reliugisitas pemakainya (Ibrahim, 2007:246, Rakhmat, 1998:142). Pakaian pun menandakan status atau posisi di dalam 7 kelompok agama tertentu, dan menunjukkan kekuatan atau kedalaman keyakinan atau tingkat partisipasi (Barnard, 2007:95) Identitas merupakan suatu fenomena yang timbul dari dialektika antara individu dan masyarakat (Berger & Luckmann, 1990:248-249). Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Ia dipelihara, dimodifikasi atau malahan dibentuk ulang oleh hubungan-hubungan sosial. Senada dengan itu Hulsbosch (2004:54) menyatakan bahwa identitas adalah sosialisasi sebagai sebuah tindakan intervensi antara diri (self) dan masyarakat (society). Fungsi pakaian itu sendiri adalah sebagai media antara diri (self) dan tubuh (body) dan antara diri (self) dan masyarakat (society). Henk Schulte Nordholt (2005: 47) memberikan perhatian lebih jauh mengenai berbagai subjek yang berkaitan dengan tema penampilan luar dengan mengetengahkan suatu pernyataan menindaklanjuti penelitian Susan Brenner: “Susan Brenner telah mencoba untuk menjelaskan mengapa para perempuan muda dan terpelajar di Jawa Tengah memilih memakai kerudung. Suatu pendekatan struktural mungkin akan mengungkapkan bahwa perempuanperempuan ini adalah subjek tekanan eksternal dan bahwa “pilihan” mereka merupakan hasil dari sistem yang didominasi oleh pria. Sebaliknya, Brenner memperlihatkan bahwa para perempuan itu sendiri memutuskan untuk mengubah pakaian mereka sebagai proses kesadaran diri dan rekonstruksi diri. Cara berpakaian yang baru menyebabkan mereka mengubah perilaku”. Kesadaran berubah menurut Musgrove (1977:15) apabila hubungan antara diri dan pengalaman sosialnya ditafsirkan kembali dan dilihat dengan pengalaman baru. Perubahan kesadaran yang mereka alami akan diikuti dengan perubahan konsep diri, sebab kesadaran adalah inti diri (Mead, 1968), dan sumber identitas (Musgrove, 1977). Identitas merupakan suatu unsur kunci dari kenyataan subyektif. Sebagai kenyataan subyektif, identitas selalu berhubungan secara dialektif dengan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Begitu memperoleh wujudnya, ia dipelihara, dimodifikasi, atau malah dibentuk ulang oleh hubunganhubungan sosial (Berger dan Luckmann, 1990:248). Identitas tidak muncul begitu saja. Identitas menurut Stone (1962) (dalam Michael P, 1998) merupakan sebuah proses yang lahir dari upaya-upaya komunikatif 8 dan interpretif seseorang. Untuk membangun sebuah identitas, konsep diri dan orang lain harus ditunjukkan, dikondisikan, dan ditempatkan. Pendeknya, identitas adalah hasil sebuah kerja atau upaya, karena ia merupakan sesuatu yang harus dikomunikasikan dan diinterpretasikan. Perubahan cara berpakaian (transformasi identitas melalui pakaian) akan membawa konsekuensi yang luas. Menurut perspektif interaksi simboliknya Mead (dalam Mulyana 2002: 231), transformasi identitas menyangkut perubahan psikologis, di mana pelakunya menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya. Misalnya terjadi pada seseorang yang memutuskan menggunakan jilbab. Transformasi menurut Strauss (1959) mengisyaratkan penilaian tentang diri pribadi dan orang lain, tentang peristiwa-peristiwa, tindakan-tindakan, dan objek-objek. Strauss mengatakan bahwa transformation of perception is irreversible; once having changed, there is no going back. Sehingga bisa jadi mempengaruhi pola komunikasi dan interaksi pengguna pakain tersebut. Pakaian juga sebagai simbol perlawanan, pergerakan politik, simbol pembebasan dan resistensi. Ketika gerakan para mullah mulai marak di Iran pada tahun 1970-an dan mencapai puncaknya ketika Imam Khomeini berhasil menggusur Reza Pahlevi yang dipopulerkan sebagai antek dunia Barat di Timur Tengah, maka Khomeini menjadi lambang kemenangan Islam terhadap boneka Barat. Simbolsimbol kekuatan Khomeini, seperti foto Imam Khomeini dan komunitas Black Veil menjadi tren di kalangan generasi muda Islam seluruh dunia. Identitas pakaian (jilbab) seolah sebagai lambang kemenangan. (El Guindi, 2004:268-270). Dalam konteks Indonesia dalam masa penjajahan, Belanda kerap menghadapi pertempuran-pertempuran dengan para pejuang yang memakai pakaian muslim seperti yang dipakai kelompok etnis Arab. Pada perang 1825-1830, Pangeran Diponegoro mengenakan jubah dan turban. Di Sumatera, Belanda juga berhadapan dengan Kaum Padri yang juga mengenakan jubah dan turban, dll. Zaman terus bergulir. Pakaian mengandung ideologi tertentu. Pakaian sendiri tidak bisa dipisahkan dengan fashion. Dalam masyarakat modern fashion merupakan suatu industri yang memutar faktor manusia dan modal yang kemudian menjadikannya sebagai suatu kebutuhan industri sehingga terbentuklah pola-pola yang berkaitan dengan perkembangan fashion. Penilaian terhadap suatu komoditi 9 ditentukan oleh pola pikir masyarakat yang berkembang pada saat itu yang dapat menular dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya melalui media sehingga mengembangbiakkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, makna-makna konotatif, inilah ideologi. Idi Subandi Ibrahim (2007:246) dalam bukunya “Budaya Populer sebagai Komunikasi” mendikotomikan tahapan-tahapan perkembangan masyarakat dalam mengidentifikasi fashion sebagai konstruksi identitas, yakni masyarakat tradisional, modern, dan pasca-modern. Tahapan yang pertama, masyarakat tradisional (pramodern) dianggap memiliki kode-kode kemewahan yang relative tetap, sehingga pakaian dan penampilan seseorang akan langsung mendenotasikan kelas sosial, profesi, dan status seseorang. Kedua, masyarakat modern, telah mengurangi kode-kode fashion yang kaku, menawarkan kemungkinan baru dalam mengonstruksi identitas personal seseorang. Masyarakat modern memungkinkan bagi para individu untuk menghasilkan, dalam batas-batas tertentu identitas mereka sendiri dan berimplikasi pada apa yang kita sebut sebagai “krisis identitas”. Sebab, dalam masyarakat modern, fashion dianggap sebagai identitas sesorang yang sangat menentukan bagaimana penerimaan masyarakat terhadap individu pengguna fashion. Modernitas menganggap fashion sebagai ciri penting yang terus mengalami inovasi dengan penghancuran yang lama dan mengganti dengan yang baru sebagai penandanya. Fashion dan modernitas jalan beriringan untuk menghasilkan pribadi-pribadi modern yang secara konstan terus mencari identitas diri mereka melalui gaya, busana, sikap, dan gaya trendy sebagai penanda kemajuan serta senantiasa merasa cemas jika tak sanggup mengikuti mobilitas zaman. Ketiga, masyarakat pascamodern, mempermasalahkan soal identitas dan fashion. Pascamodern menganggap identitas sangat tidak stabil dan rapuh, tidak lebih dari sekadar mitos dan ilusi. Masyarakat ini juga menganggap fashion tak lebih dari aktifitas konsumsi, kecenderungan berhasrat untuk memiliki sebagai penanda matinya identitas. Jacques Lacan menyebut gejala ini tak lebih sebagai sense of identity, sebuah gejala untuk memiliki bukan karena “kegandrungan” atau pilihan sadar, melainkan karena telah menjadi trendsetter atau karena dimiliki orang lain. 10 Fashion telah menjadi bahan konsumsi, sarana untuk memanjakan batin dengan menikmati benda-benda komersil. Pada fase ini, penggunaan fashion menjadi multitafsir, antara penanda identitas-trendsetter-atau topeng kebohongan. III. Kesimpulan Pakaian sebagai suatu bentuk komunikasi artifaktual dalam konteks komunikasi nonverbal memiliki berbagai fungsi. Pakaian merupakan penanda dari sejumlah domain sosial; citra diri seseorang, identitas individu dan kelompok, status sosial, posisi ekonomi, kekuatan politik, hierarki, gender maupun peran keagamaan. Selain itu pakaian juga mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan dalam pandangan sosial, politik maupun aspek religius. Daftar Pustaka Barnard, Malcolm.2007. Fashion Sebagai Komunikasi. (Terj. Oleh Idi Subandy Ibrahim dan Yosal Iriantra). Yogyakarta: Jalasutra. Berger, Peter L. Dan Thomas Luckman. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES. Chaney, David. 1996. Lifestyles, Sebuah Pengantar Komprehensif. Bandung: Jalasutra El Guindi, Fedwa. 2004. Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan. (Terj. Mujiburohman). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta Hulsbosch, Marianne. 2004. Pointy Shoes and Pits Helmets: Dress and Identity Costruction in Ambon From 1850 To 1942. Thesis. University of Wollongong - Australia. Ibrahim, Idi Subandi. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. Liliweri, Alo. 1994. Komunikasi Verbal dan Nonverbal. Bandung: Citra Aditya Bakti. Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nordholt, Henk S. (ed.): Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan (Terj). Yogyakarta: LKiS. 11 Piliang, Yasraf Amir. 1999. Sebuah Dunia Yang Dilipat. Bandung: Mizan. Rahmat, Jalaluddin. 1998. Islam Alternatif. Bandung: Mizan Shihab, Quraish. 2004. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah. Jakarta: Lentera Hati. Tubs, Steward L., dan Mass Sylvia. 1996. Human Communication (Prinsip-Prinsip Dasar). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Wood. Julia, T. 2004. Communication Theories In Action. Belmont:Wadsworth Publishing Company. Rosenfeld, Lawrence B. & Timothy G. Plax. 1977. Clothing as Communication Journal of Communication, Spring. Subair. 2004. Aspek Simbolik Haji: Studi Deskriptif Analitik pada Orang Bugis di Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Tesis Universitas Padjadjaran. Stone, Gregory P. 1962. Appearance and the Self. Dalam Arnold Rose, ed. Human Behavior and Social Processes: An Interactionist Approach. London: Routledge & Kegan Paul.