Editor: Dr. Hesti Wahyuningsih, MSi. (Univ. Sumatera Utara, Medan) Dr. Saleha Hanum, MSi. (Univ. Sumatera Utara, Medan) Dr. Salomo Hutahaean (Univ. Sumatera Utara, Medan) Prof. Dr. Mansyurdin, MS. (Univ. Andalas, Padang) Prof. Dr. Manihar Situmorang, MSc., PhD. (Univ. Negeri, Medan) Prof. Dr. Ramadanil Pitopang, MSi. (Univ. Tadulako, Palu) Prosiding SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 “Optimalisasi Riset Biologi Dalam Bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan, Kelautan, Kehutanan, Farmasi dan Kedokteran” Editor : Dr. Hesti Wahyuningsih, MSi. (Univ. Sumatera Utara, Medan) Dr. Saleha Hanum, MSi. (Univ. Sumatera Utara, Medan) Dr. Salomo Hutahaean (Univ. Sumatera Utara, Medan) Prof. Dr. Mansyurdin, MS. (Univ. Andalas, Padang) Prof. Dr. Manihar Situmorang, MSc., PhD. (Univ. Negeri, Medan) Prof. Dr. Ramadanil Pitopang, MSi. (Univ. Tadulako, Palu) Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan 2014 USU Press Art Design, Publishing & Printing Gedung F, Pusat Sistem Informasi (PSI) Kampus USU Jl. Universitas No. 9 Medan 20155, Indonesia Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737 usupress.usu.ac.id © USU Press 2014 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. ISBN 979 458 744 3 Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT) Prosiding Seminar Nasional Biologi; Optimalisasi Riset Biologi dalam Bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan, Kelautan, Kehutanan, Farmasi dan Kedokteran / Editor: Hesti Wahyuningsih...[et.al.] – Medan: Usu Press, 2014 x, 441 p.: ilus.; 29 cm ISBN: 979-458-744-3 Dicetak di Medan, Indonesia ii LAPORAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL BIOLOGI 2014 Yang saya hormati ….. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, atau yang mewakili. Bapak/Ibu para Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara, atau yang mewakili Bapak Dekan FMIPA, Para Dekan Undangan, Ketua Lembaga dan Unit Kerja, Para Pembatu Dekan, Ketua dan Sekretaris Departemen, Pembicara Kunci, Bapak dan Ibu para peserta seminar, undangan, teman sejawat, adik-adik mahasiswa, dan hadirin sekalian yang saya muliakan. Bintang jauh di atas bumi, Indahnya terlihat sampai langit yang ke tujuh. Sambutlah salam dari kami, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Pertama-tama marilah kita mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya pagi ini kita dapat mengikuti acara Seminar Nasional Biologi tahun 2014. Kami seluruh panitia mengucapkan "SELAMAT DATANG" dan terima kasih atas kehadiran dan partisipasi Bapak, Ibu dan adik-adik mahasiswa sekalian. Pada kesempatan ini kami ingin melaporkan pelaksanaan Seminar Nasional Biologi 2014 yang bertema "Optimalisasi Riset Biologi dalam Bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan, Kelautan, Kehutanan, Farmasi, dan Kedokteran”. Tema ini dipilih untuk menggambarkan pentingnya pengembangan dan penerapan Ilmu Biologi dalam bidang Ilmu lain baik dasar maupun terapan demi kemajuan bangsa Indonesia. Seminar akan berlangsung selama satu hari dengan jumlah peserta sebanyak 250 orang, yang terdiri dari 110 peserta pemakalah, 60 peserta umum dan mahasiswa pascasarjana dan 80 peserta mahasiswa S1. Para peserta seminar datang dari berbagai wilayah tanah air seperti Aceh, Padang, Pekanbaru, Jakarta, dari berbagai daerah sekitar Medan dan Sumatera Utara, dari lingkungan USU. Tujuan dari Seminar ini adalah sebagai ajang komunikasi ilmiah antara peneliti, pemerhati, peminat Biologi; sekaligus untuk membangun jejaring dan kerjasama penelitian antar perguruan tinggi, peneliti, dan berbagai pihak yang berkaitan dengan Ilmu Biologi baik langsung atau tidak langsung. Kami mengucapkan ribuan terima kasih kepada seluruh panitia dan semua pihak yang telah bekerja keras demi terselenggaranya acara seminar nasional ini. Kami mohon maaf jika ada yang kurang berkenan di hati dan penyambutan yang kurang pada tempatnya, yang semua itu bukanlah suatu kesengajaan tetapi karena kelemahan dan keterbatasan dari kami. Demikianlah yang dapat disampaikan dan kami akhiri dengan Wassalamu’alaikum Wr Wb. …….. iii SAMBUTAN DEKAN FMIPA-USU Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu’alaikum Wr. Wb. Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua. Alhamdulillah berkat rahmat Allah SWT, kita dapat berkumpul dalam rangka Seminar Nasional Biologi tahun 2014 dalam ruangan yang sederhana ini. Pesatnya riset Biologi dalam kurun waktu akhir-akhir ini, membuat para ahli menjadi terspesialisasi ke dalam topik-topik yang semakin spesifik. Hal ini menjadi suatu tantang tersendiri dalam mendapatkan suatu kebaruan ilmu Biologi itu sendiri. Bagi para peneliti dan dosen, fokus dalam keahlian rumpun ilmu adalah hal yang mutlak tetapi tentu tidak bisa begitu saja meninggalkan rumpun ilmu lain yang menjadi partner dalam aplikasi di mayarakat nantinya. Inilah yang menjadi dasar dari seminar nasional ini, karena dengan perbauran ilmu yang beragam akan membuat nilai tambah dalam pengembangan serta aplikasi ilmu biologi di masyarakat. Kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh panitia yang telah b e k e r j a k e r a s d a l a m m e n s u k s e s k a n Seminar Nasional Biologi dengan tema “Optimalisasi Riset Biologi Dalam Bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan, Kelautan, Kehutanan, Farmasi dan Kedokteran”. Harapan kami, kepada seluruh peserta seminar untuk terus giat dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian serta aktif dalam publikasi ilmiah nasional dan internasional. Akhirul kalam, izinkan saya sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta seminar n a s i o n a l B i o l o g i i n i , yang telah sudi meluangkan waktunya untuk mengikuti dari awal hingga berakhirnya acara ini. Semoga acara Seminar Nasional Biologi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Billahi taufiq wal hidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Dekan FMIPA USU Dr. Sutarman, M.Sc. iv DAFTAR ISI LAPORAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL BIOLOGI 2014 ......................................... iii SAMBUTAN DEKAN FMIPA-USU ................................................................................................... iv DAFTAR ISI .......................................................................................................................................... v MAKALAH UTAMA RISET GENETIKA MOLEKULAR TERNAK TERKINI DI INDONESIA Prof Dr Muladno MSA., Guru Besar Genetika dan Pemuliaan Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor ......................................................................................... 3 POTENSI SUMBER DAYA PERAIRAN DARATAN DI SUMATERA UTARA DAN PENGELOLAANNYA (STUDI KASUS : DANAU TOBA DAN SUNGAI ASAHAN) Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, Guru Besar Limnologi Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara Medan ....................................................................................................... 12 BIOFARMAKA DAN BIOMEDIS UJI TOKSISITAS AKUT FRAKSI N-HEKSAN, ETIL ASETAT DAN ETANOL DAUN PUGUN TANO (Curanga fel-terrae Merr.) PADA MENCIT Aminah Dalimunthe, Urip Harahap, Rosidah, M.Pandapotan Nasution ............................................... 19 BAKTERI ENDOFITIK DARI SIRIH MERAH PENGHASILANTIBIOTIKA Anthoni Agustien, Suci Fauzana dan Akmal Djamaan ......................................................................... 25 PENGGUNAAN SALEP SERBUK BIJI BUAH PINANG (Areca catechu L.) SEBAGAI OBAT LUKA BAKAR Djendakita Purba dan Dorce Boang Manalu ......................................................................................... 30 EFEK EKSTRAK RIMPANG TEMU MANGGA (Curcuma mangga Valeton & v.Zijp) SEBAGAI ANTIMIELOSUPRESI Edy Suwarso, Suryadi Achmad, Rasmadin Muchtar, Meliza Sari Hutabarat ....................................... 35 DAYA HAMBAT EKSTRAK RIMPANG KENCUR (Kaempferia galanga L.) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Escherichia coli Hafnati Rahmatan, Iswadi, Melly Hafizha ............................................................................................ 40 UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI DARI AIR PERASAN DAUN SEREH WANGI, DAUN JERUK PURUT DAN DAUN RUKU-RUKU SERTA CAMPURAN DARI AIR PERASAN MASING-MASING DAUN Siti Nurbaya, Erly Sitompul, Suryanto .................................................................................................. 47 PENGARUH KOMBINASI EKSTRAK METANOL BIJI PARE (Momordica charantia) DAN PROGESTERON TERHADAP MORFOMETRI SEL LEYDIG TIKUS (Rattus sp.) Syafruddin Ilyas..................................................................................................................................... 51 v BIOLOGI FUNGSI DAN STRUKTUR HEWAN PENGARUH EKSTRAK ETANOL BANGUNBANGUN (Coleus ambonicus L) TERHADAP TITER ANTIBODI HUMORAL DAN BERAT BADAN TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) Melva Silitonga, Syafruddin Ilyas, Salomo Hutahaean, Herbert Sipahutar, Eriana Situmorang ......... 59 CATATAN TERHADAP STADIA PRADEWASA KUPU-KUPU Acraea violae Fabricius (LEPIDOPTERA: NYMPHALDAE) Dahelmi, Siti Salmah dan Tristia Andrianti ......................................................................................... 64 HIBRID RESIPROK NILA GIFT Oreochromis niloticus x Mujair Oreochromis mossambicus DAN NILA GIFT X Nila Merah Oreochromis sp Efrizal, Efrida, dan Akmal Rafandi ...................................................................................................... 68 MADU HUTAN POHON SIALANG DAN PENINGKATAN MUTU DENGAN TEKNOLOGI EVAPORATOR VAKUM Hapsoh, Gusmawartati, Nazaruddin ..................................................................................................... 77 DUGAAN MEKANISME CROSS-INFECTION VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 PADA BURUNG-BURUNG AIR LIAR DI CAGAR ALAM PULAU DUA Dewi Elfidasari, Riris Lindiawati Puspitasari ....................................................................................... 79 KAJIAN RESPON IMUNITAS HUMORAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus L.) DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRAK ETANOL DAUN BUAS BUAS (Premna pubescens Blume) Martina Restuati, Syafruddin Ilyas, Salomo Hutahaean, Herbert Sipahutar. ....................................... 83 EFEKTIVITAS PEMAKAIAN BIOPESTISIDA PADA DAUN MURBEI (Morus cathayana) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) Masitta Tanjung, Nursal dan Agustina Rahmadhani ............................................................................. 88 FISIOLOGI RESPIRASI IKAN ASANG (Osteochilus hasseltii, C.V) SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN DANAU SINGKARAK SUMATERA BARAT Muhammad Syukri Fadil ....................................................................................................................... 93 KANDUNGAN SENYAWA KIMIA EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L.) DAN PENGARUH SUB LETALNYA TERHADAP MORTALITAS LARVA NYAMUK Aedes aegypti L. Nursal .................................................................................................................................................... 98 PENGARUH WAKTU PEMBUNGKUSAN TERHADAP JUMLAH LARVA LALAT BUAH (Bactrocera spp.) PADA BUAH BELIMBING (Averrhoa carambola) Puji Prastowo, Putri Syahyana Siregar ............................................................................................... 104 PENURUNAN KADAR KOLAGEN UTERUS PADA TIKUS OVARIEKTOMI SEBAGAI HEWAN MODEL PENUAAN Safrida ................................................................................................................................................. 111 ISOLASI ASPERGILLUS FLAVUS PENGHASIL AFLATOKSIN KACANG TANAH PASAR TRADISIONAL KOTA MEDAN DAN TOKSISITASNYA TERHADAP HISTOPATOLOGI SEL HATI MENCIT Sartini, Kiki Nurtjahja, Rosliana ......................................................................................................... 114 vi PEMANFAATAN TEPUNG KULIT BUAH PEPAYA (Carica papaya) DALAM RANSUM TERHADAP PRODUKSI TELUR PADA PUYUH (Cortunix-cortunix japonica) Sri Setyaningrum dan Dini Julia Sari Siregar ...................................................................................... 123 GAMBARAN KUALITAS DAN KUANTITAS SPERMA TIKUS (Rattus sp.) SETELAH PEMBERIAN PLUMBUM ASETAT Thomson P.Nadapdap, Delfi Lutan, Arsyad, Syafruddin Ilyas ........................................................... 128 HUBUNGAN INTENSITAS BISING TERHADAP PEMERIKSAAN OAE DAN PEMERIKSAAN SEM DI JARINGAN KOKLEA RATTUS NORVEGICUS H.R Yusa Herwanto Jenny Bashiruddin,Syafruddin Ilyas, NajibDahlan Lubis .................................. 132 BIOLOGI FUNGSI DAN STRUKTUR TUMBUHAN PEMANFAATAN INTERCROPPING SORGUM DI AREAL GAWANGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENYEBARAN PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH PADA TANAMAN KARET Cici Indriani Dalimunthe, Yan Riska Venata Sembiring dan Radite Tistama ................................... 143 RESPON BEBERAPA VARIETAS KEDELAI TERHADAP KEKERINGAN Diana Sofia Hanafiah, Alida Lubis, Asmalaili Sahar .......................................................................... 149 AKTIVITAS ENZIM PEROKSIDASE PADA KALUS TERUNG BELANDA (Solanum betaceum Cav.) SETELAH DIINDUKSI ETHYL METHANE SULPHONATE (EMS) Elimasni, Dwi Suryanto, Rosmayati, Luthfi A.M.Siregar, Suria Wulandari Purnama ..................... 157 PENGGUNAAN PUPUK DAUN (GrowMore) DAN AIR KELAPA TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) VARIETAS GRANOLA SECARA IN VITRO Fauziyah Harahap, Muhammad Hamzah Solim ................................................................................. 164 STRUKTUR DAN KOMPOSISI EPIFIT VASKULAR DI KEBUN KELAPA SAWIT AEK PANCUR-PPKS, TANJUNG MORAWA, SUMATERA UTARA Fitra Suzanti, Retno Widhyastuti, Suci Rahayu, Agus Susanto .......................................................... 170 PERANAN SENYAWA ANTIOKSIDAN EKSTRAK UMBI BENGKOANG (Pachyrrhizus erozus L.) DALAM MEREDAM AKTIVITAS 2,2-DIPHENYL-2-PICRYLHIDRAZIL (DPPH) Herla Rusmarilin, Elisa Julianti, Mimi Nurminah ............................................................................... 177 SIFAT FISIOLOGI LATEKS DAN KARET TANAMAN SPESIES HEVEA M. Rizqi Darojat, Arief Rachmawan, Radite Tistama ........................................................................ 184 INDUKSI KALUS TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) VARIETAS GRANOLA DARI JENIS EKSPLAN YANG BERBEDA DENGAN ZAT PENGATUR TUMBUH 2,4-D SECARA IN VITRO Muhammad Hamzah Solim, Fauziyah Harahap ................................................................................. 190 BUDIDAYA PADI (Oryza sativa L.) BERBASIS SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION Samse Pandiangan, Mangonar Lumbantoruan, Pohan Juno Panjaitan ............................................... 196 PENGARUH PEMBERIAN ZAT PENGATUR TUMBUH (ZPT) INDOLE ACETIC ACID (IAA) DAN BENZYL AMINO PURIN (BAP) TERHADAP PERTUMBUHAN PLANLET NANAS (Ananas comosus l.) SIPAHUTAR SECARA IN VITRO Sartika Sinulingga, Fauziyah Harahap ................................................................................................ 204 vii KERAGAAN PERTUMBUHAN TANAMAN DARI BEBERAPA KLON KARET HASIL INTRODUKSI PADA AGROKLIMAT KERING DAN BASAH DI WILAYAH SUMATERA UTARA Sayurandi ............................................................................................................................................ 210 KARAKTER MORFOLOGI BUNGA DAN PERSENTASE BUAH JADI HASIL KOMBINASI PESILANGAN ANTAR TETUA TANAMAN KARET Sayurandi dan Syarifah Aini Pasaribu ................................................................................................. 215 HUBUNGAN ANTARA KARAKTER AGRONOMI KARET DENGAN HASIL LATEKS DAN KAYU DARI PROGENI HP 2001/2003 Syarifah Aini Pasaribu dan Sayurandi ................................................................................................. 221 POTENSI Rhizobium sp UNTUK MENINGKATKAN KANDUNGAN HARA TANAH MELALUI INTERCROPPING KEDELE PADA GAWANGAN TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis) Yan Riska V Sembiring, Cici Indriani Dalimunthe, Radite Tistama .................................................. 225 BIOLOGI LINGKUNGAN DESKRIPSI PERILAKU KERA EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) MENCARI TEMPAT TIDUR (SLEEPING SITE) DI KAWASAN HUTAN TERGANGGU KABUPATEN ACEH BESAR Abdullah dan Muzdalifah .................................................................................................................... 233 POPULASI PECUK HITAM (Phalacrocorax sulcirostris) DI PERCUT SEI TUAN DELISERDANG SUMATERA UTARA Erni Jumilawaty ................................................................................................................................... 241 PROFIL SEEDLING KAYU SEPANG (Hymenocardia punctata);SPESIES SURVIVAL DI BATAS RAWA LEBAK TANJUNG PUTUS, INDRALAYA, SUMATERA SELATAN Hanifa Marisa, Salni dan Nina Tanzerina ........................................................................................... 245 PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERBASIS MASYARAKAT DI NAGARI GASAN GADANG KABUPATEN PADANG PARIAMAN Jabang Nurdin, Chairul, Yulizah, Tiara, Riani Ferina, Rizky Paramita Mukhti, Ratna Jalisar, Zulhilmi, dan Ade Adriadi .................................................................................................................. 250 PERTUMBUHAN Rhizophora mucronata dan KUALITAS LAHAN DI KAWASAN REHABILITASI MANGROVE ACEH BESAR DAN BANDA ACEH Mai Suriani, Irma Dewiyanti .............................................................................................................. 255 KORELASI MORFOMETRI BADAN TERHADAP KUALITAS PRODUK RANGGAH MUDA RUSA TIMORENSIS Mufti Sudibyo, Yanto Santosa, Burhanuddin Masy’ud, Toto Toharmat ............................................ 263 PENDUGAAN CADANGAN BIOMASSA DI ATAS PERMUKAAN TANAH PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI SUMATERA UTARA Muhdi, Iwan Risnasari, Eva Sartini Bayu............................................................................................. 269 NILAI PENTING LANSKAP HUTAN PADA BEBERAPA KOMUNITAS LOKAL Riswan S Siregar, Surya Ramadan S, Sri Rahmi Tanjung .................................................................. 276 POPULASI BURUNG RANGKONG PAPAN (Buceros bicornis) DI KAWASAN HUTAN LAMBIRAH KECAMATAN SUKAMAKMUR KABUPATEN ACEH BESAR Samsul Kamal, Nursalmi Mahdi, Rizky Ahadi .................................................................................. 283 viii KEANEKARAGAMAN JENIS-JENIS LICHENES YANG BERKEMBANG PADA TEGAKAN POHON MAHONI (Swietenia macrophylla) Ashar Hasairin, Nursahara Pasaribu, Lisdar I. Sudirman, Retno Widhiastuti ..................................... 291 STUDI KEANEKARAGAMAN LICHENES DI HUTAN LINDUNG AEK NAULI PARAPAT KAB.SIMALUNGUN BERDASARKAN KETINGGIAN TEMPAT DAN SUBSTRAT TUMBUHNYA Aulia Juanda Djaingsastro, Tri Harsono.............................................................................................. 297 KEANEKARAGAMAN SERANGGA WERENG (AUCHENORRHYNCHA: HEMIPTERA) PADA TANAMAN PADI DI KABUPATEN TAPANULI UTARA-SUMATERA UTARA Binari Manurung, Puji Prastowo dan Erika Rosdiana ......................................................................... 303 IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TUMBUHAN DI KAWASAN EKOSISTEM ESTUARIA DI GAMPONG JAWA KECAMATAN KUTA RAJA BANDA ACEH Evi Apriana, Muyasir .......................................................................................................................... 309 KONDISI, SPESIES KARANG DAN IKAN KARANG DI TERUMBU KARANG PULAU BABI, KABUPATEN PESISIR SELATAN, SUMATERA BARAT Indra Junaidi Zakaria ........................................................................................................................... 315 IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS PADA SUBTRAT BERLUMPUR EKOSISTEM MANGROVE GAMPONG JAWA BANDA ACEH Lili Kasmini ........................................................................................................................................ 322 MORFOLOGI KARAPAK ALBUNEA PADA ZONA LITTORAL SAMUDERA HINDIA KAWASAN PESISIR LEPUNG KABUPATEN ACEH BESAR M. Ali Sarong ..................................................................................................................................... 329 KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI SUNGAI ASAHAN DESA MARJANJI ACEH DAN DESA LUBU ROPA KABUPATEN ASAHAN Mayang Sari Yeanny ........................................................................................................................... 333 JENIS - JENIS TUMBUHAN PAKU YANG BERKHASIAT OBAT DARI GUNUNG TANDIKEK DI SUMATERA BARAT Mildawati, Ardinis Arbain, HariFitrah ................................................................................................ 339 JENIS-JENIS VEGETASI RIPARIAN SUNGAI RANOYAPO, MINAHASA SELATAN Ratna Siahaan, Nio Song Ai ............................................................................................................... 345 KEANEKARAGAMAN PIPERACEAE DAN RUBIACEAE DI HUTAN AEK NAULI KABUPATEN SIMALUNGUN PROVINSI SUMATERA UTARA Retno Widhiastuti, Budi Utomo, dan Rahmayani ............................................................................... 348 JENIS TUMBUHAN OBAT PENYAKIT KULIT DAN LUKA YANG TERDAPAT DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI KRUENG SIMPO, ACEH Rini Fitri, Rahmawati, Eka Arjulista ................................................................................................... 355 IDENTIFIKASI, KOMPOSISI DAN KERAPATAN JENIS TANAMAN DI BEBERAPA JALUR HIJAU KOTA MEDAN Siti Latifah, Asep Sukmana, Hafsah Purwasih ................................................................................... 361 ix PERSEBARAN MARGA BOUEA (ANACARDIACEAE) DI SUMATRA Tri Harsono, Nursahara Pasaribu, Sobir, Fitmawati .......................................................................... 371 KAJIAN JENIS-JENIS TUMBUHAN YANG DIMANFAATKAN SEBAGAI OBAT OLEH MASYARAKAT DI KOTA SABANG Zuriana, S. dan Irvianty ....................................................................................................................... 376 MIKROBIOLOGI DAN GENETIKA ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI DARI GINJAL IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Cut Yulvizar ....................................................................................................................................... 383 ISOLASI DAN EKSTRAKSI DNA BAKTERI ENDOSIMBION DARI ANGGREK PHALAENOPSISSP Dewi Nur Anggraeni .......................................................................................................................... 390 JAMUR PADA PASIR SARANG DAN CANGKANG TELUR PENYU LEKANG (Lepidochelys olivacea L.) YANG GAGAL MENETAS DI KAWASAN KONSERVASI PENANGKARAN PENYU PARIAMAN SUMATERA BARAT Fuji Astuti Febria, Nasril Nasir, Selfia Anwar ................................................................................... 395 KLONING KANDIDAT FRAGMEN DNA BERMOTIF MIKROSATELIT PENANDA GENETIK Aedes aegypti VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUE Hasmiwati, Desy arysanti dan Eka Novita ......................................................................................... 400 BUDI DAYA JAMUR PADALI (Lentinus sp) UNTUK MENAMBAH JAMUR KOMERSIAL DI INDONESIA Ikhsan Matondang dan Noverita ......................................................................................................... 407 Cosmopolites sordidus GERMAR, SERANGGA VEKTOR PENYAKIT DARAH BAKTERI (Ralstonia solanacearum Phylotipe IV ) PADA TANAMAN PISANG DI SUMATERA BARAT Mairawita, Suswati, Habazar............................................................................................................... 413 PENGARUH FORMULASI BIOSTARTER EKSTRAK NENAS DAN LAMA PENYANGRAIAN TERHADAP MUTU BUBUK KOPI Setyohadi, Terip Karo-Karo, Sentosa Ginting, Healthy Aldriany Prasetyo ....................................... 419 ANALISIS DIVERSITAS GENETIK DAN STRUKTUR POPULASI TUMBUHAN LANGKA, EDELWEIS (Anaphalisjavanica) DENGAN PENANDA ISSR Syamsuardi, Tesri Maideliza, Rizki Paramitha Mukhti dan Ahmad Taufiq......................................... 424 PENDUGAAN JUMLAH GEN PENGENDALI BENTUK BUNGA KEMBANG KERTAS (Zinnia elegans Jacq) Tumiur Gultom, Aziz-Purwantoro, Endang Sulistyaningsih, Nasrullah, Samse Pandiangan ............ 431 PENGENDALIAN BIOFILM Streptococcus agalactiae PADA PERMUKAAN SISIK IKAN DAN PLASTIK PVC DENGAN SENYAWA ANTIBAKTERI Lactobacillus plantarum PERAIRAN TAWAR Ulfayani Mayasari, It Jamilah, Herla Rusmarilin ................................................................................ 437 x Makalah Utama 1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI 2 Medan, 15 Februari 2014 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 RISET GENETIKA MOLEKULAR TERNAK TERKINI DI INDONESIA Prof. Dr. Muladno, MSA. Guru Besar Pemuliaan dan Genetika Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor PENDAHULUAN Perkembangan teknologi seluler dan molekuler yang semakin canggih telah terbukti mempermudah kita untuk mengembangkan strategi terobosan dalam rangka meningkatkan kualitas ternak beserta produknya. Banyak artikel hasil penelitian tentang penggunaan berbagai teknik seluler dan molekuler mendominasi berbagai jurnal ilmiah nasional apalagi internasional. Hampir semua aspek ilmu pengetahuan mendasarkan penelitiannya dengan teknik tersebut karena teknologi molekuler ini sudah seperti komputer yang juga dapat digunakan untuk melakukan riset di hampir semua aspek. Oleh karena itu, prinsip menggunakan teknik molekuler juga sama halnya dengan prinsip menggunakan komputer. Yaitu, kita sebagai pengguna komputer tidak perlu harus menjadi ahli perancang dan perakit komputer tetapi hanya dapat menggunakan sebagian aplikasi yang disediakan dalam perangkat komputer. Demikian juga dengan teknologi molekuler, kita para pengguna teknik molekuler lebih banyak memanfaatkan aplikasi yang disediakan dari teknologi tersebut. Yang terpenting bagi kita adalah kemampuan menginterpretasi data yang dihasilkan dari penggunaan berbagai aplikasi dalam teknologi molekuler tersebut. Dalam ilmu ternak, teknik molekuler ini paling banyak digunakan untuk aspek pemuliaan dan reproduksi walaupun tidak sebatas itu. Aspek nutrisi juga telah cukup lama memanfaatkan teknologi tersebut. Demikian juga aspek kesehatan hewan yang semakin banyak memerlukan pendekatan molekuler dalam menyusun strategi pencegahan penyakit turunan (genetic disease) secara efektif. Tentunya masih ada penggunaan teknologi canggih itu untuk keperluan praktis seperti diagnosa penyakit, penelusuran silsilah, uji kemurnian rumpun ternak, uji kemurnian produk olahan, sampai yang terumit dalam hal menciptakan ternak transgenik. Untuk aspek pemuliaan, hampir semua penelitian diarahkan menuju marker assisted selection (MAS) karena seleksi merupakan salah satu pendekatan terpenting untuk meningkatkan kualitas genetik ternak. Kelompok pakar nutrisi lebih banyak menggunakan teknik ini untuk merekayasa mikroba yang terdapat dalam rumen, yang intinya meningkatkan daya ubahnya dari limbah pertanian menjadi bahan pangan sumber protein berkualitas. Untuk aspek kesehatan hewan, imunogenetik menjadi topik menarik untuk mempelajari berbagai gen yang terlibat dalam sifat ketahanan tubuh ternak terhadap serangan eksternal sel seperti bakteri, virus, atau lingkungan yang lebih luas seperti infeksi cacing atau bahkan cekaman. Indonesia berpotensi besar untuk mengembangkan bioteknologi bila dilihat dari potensi keanekaragaman sumber daya hayatinya (biodiversity) terkait dengan sumber daya genetik beserta ekosistem pendukungnya. Keadaan Indonesia yang beriklim tropis, tersusun atas pulau-pulau, sejarah biogeografi yang kompleks, serta budaya kearifan lokal masyarakatnya telah menghasilkan beragam kondisi lingkungan lokal dan menciptakan keragaman spesies yang tinggi yang memiliki karakter khas menyesuaikan dengan lingkungannya (local species). Ini semua merupakan kekayaan yang harus dijadikan posisi tawar bangsa ketika bernegosiasi dengan mitra kita lain bangsa. Dalam lingkup yang lebih kecil, kekayaan tersebut harus menjadi “senjata” peneliti Indonesia untuk menuntut kesetaraan dalam menghasilkan kekayaan intelektual kepada mitra penelitinya dari negara yang lebih maju dalam penguasaan teknologinya. PCR DAN DNA SEQUENCE : JANTUNGNYA RISET MOLEKULER PCR merupakan sebuah metode untuk memperbanyak jumlah fragmen DNA dengan ukuran tertentu secara in vitro dengan bantuan enzim DNA polimerase yang dipandu oleh DNA primer hasil penemuan Karry Mullis dan tim pada tahun 1984 (Saiki et al. 1985). Penemu teknik ini berhasil meraih nobel pada tahun 1993. Lahirnya teknik ini mempercepat waktu mendapatkan fragmen DNA tertentu secara masif dan mengurangi biaya dan waktu riset jika dibandingkan dengan teknik rekombinan. Namun perlu dicatat bahwa teknik PCR tidak mengganti dan menghilangkan peran teknik rekombinan karena hampir semua primer DNA yang digunakan dalam proses PCR pada 3 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 awalnya diperoleh melalui teknik rekombinan tersebut. Teknik PCR ini yang digunakan secara eksploitatif dalam riset berbagai macam aspek hingga saat ini. Ratusan ribu publikasi selalu menuliskan teknik PCR di bagian materi dan metode risetnya. Dalam perjalanannya, metode PCR berkembang pesat menjadi lebih efisien dan lebih produktif seiring dengan tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraannya. Untuk mendiagnosis suatu pathogen, metode nested PCR, multiplex PCR, dan realtime PCR dapat digunakan. Untuk membuat marka genetik, metode PCR-RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), PCR-AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), PCR-STR (Short Tandem Repeat), PCR-PIRA (Primer Introduced Restriction Analysis), dan PCR-SNP (Single Nucleotide Polymorphism) sering digunakan. Untuk mengamplifikasi sekuen berukuran panjang, metode PCR-genome walking sangat efektif. Jika PCR hanya menghasilkan fragmen DNA sebagai produk akhirnya, tidak demikian dengan DNA sequencing. Teknik yang terakhir ini juga memanfaatkan teknik PCR. Salah satu yang paling efektif untuk merunut (menyekuens) rangkaian molekul DNA adalah cycle sequencing yang diperkenalkan oleh Sanger tahun 1980 sehingga teknik ini juga sering disebut Sanger’s method. Walaupun tampilan akhir yang tervisualisasi dalam proses elektrophoresis antara teknik PCR dan teknik sequencing adalah sama, yaitu berupa deretan garis-garis pita, makna setiap pita yang dihasilkan dari teknik PCR berbeda dengan yang dihasilkan dari teknik sequencing. Produk akhir dari proses sequencing adalah deretan nukleotida yang membentuk serangkaian molekul DNA yang disekuens. Artinya produk akhirnya bukan berupa fragmen DNA seperti pada teknik PCR, tetapi berupa nukleotida penyusun molekul DNA. Nukleotide ini merupakan unit terkecil makhluk hidup yang digunakan sebagai materi riset. Tidak ada lagi yang lebih kecil lagi daripada nukleotida. Perlu diingat juga bahwa adanya perubahan satu nukelotida saja dalam suatu gen tertentu dalam kromosom dapat mengubah fenotipe individu pemilik gen tersebut. RISET MOLEKULER TERNAK DI INDONESIA Sangat banyak hasil penelitian bidang peternakan yang dilakukan di luar negeri dan lebih khusus di negara-negara maju. Ratusan ribu artikel telah diterbitkan di ribuan jurnal dan jutaan mahasiswa melakukan penelitian di laboratorium di seluruh dunia. Saya tidak ingin menceritakan hasil riset di luar negeri tetapi hanya ingin menyajikan hasil penelitian yang telah dilakukan sejawat kita di Indonesia khususnya yang saya ketahui atau yang saya terlibat di dalamnya. Pada umumnya, riset molekuler di bidang peternakan secara teknis dapat diklasifikasikan menjadi (1) Variabilitas marker dalam populasi ternak dan pembentukan pohon filogenetik untuk menduga jarak genetik antar populasi dalam rumpun ternak; (2) Varian gen tertentu dan asosiasinya dengan fenotipe (sifat kuantitatif atau kualitatif); dan (3) Validasi kemurnian suatu ternak atau produk olahan. Berikut penjelasan dari masing-masing klasifikasi tersebut dan contoh riset yang telah dilakukan di Indonesia saja. 1. Variabilitas penciri DNA dalam populasi ternak dan pohon filogenetik Semua fragmen DNA dapat digunakan sebagai penciri DNA sepanjang sekuens nukleotida penyusun fragmen tersebut antar individu ternak dalam satu populasi yang sama adalah berbeda walaupun hanya satu nukleotida saja perbedaannya. Fragmen seperti ini juga disebut bersifat polymorphic. Jika sekuens nuklotida penyusun fragmen tersebut adalah persis sama, maka fragmen DNA tersebut bersifat monomorfik. Fragmen monomorfik tidak memberikan informasi apapun dalam riset genetika populasi. Dengan kata lain, penciri DNA yang dipakai dalam riset semacam ini harus bersifat polimorfik. Semakin tinggi variasi runutan sekuens penciri DNA tersebut akan semakin efektif untuk digunakan dalam riset genetika populasi. Cukup banyak fragmen DNA polimorfik yang digunakan untuk riset semacam itu, diantaranya yang paling populer adalah mikrosatelit. Fragmen ini memiliki runutan rangkaian ganda (double helix) nukleotida berulang seperti ATG-ATG-ATG-ATG, biasa ditulis sebagai (ATG)4, dan diapit oleh dua rangkaian tunggal nukleotide (single sequence) pendek yang masing-masing biasanya berukuran sekitar 20 nukleotida. Masing-masing sekuens tersebut sangat spesifik runutan nukleotidanya dan oleh karena itu digunakan sebagai primer (pemandu atau pemulai). Satu sekuens berfungsi sebagai pemulai penyusun nukleotida ke arah forward dan sekuens lainnya sebagai pemulai penyusun nukleotida ke arah reverse. Lokasi fragmen yang dalam contoh ini adalah (ATG)4 berada di antara forward primer dan reverse primer. 4 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Gambar 1. Ilustrasi lokasi amplifikasi sekuen mikrosatelit dengan 4 repetisi ATG. nnn- adalah ruas sekuen nukleotida yang spesifik mengapit ruas berulang dan biasanya menjadi ujung 3’ dari sekuen primer. Runutan berulang seperti (ATG)4 yang dicontohkan di atas jumlahnya sangat banyak di dalam genom tetapi setiap fragmen yang mengandung runutan (ATG)4 diapit oleh dua rangkaian tunggal nukloetida sangat spesifik yang dijadikan sebagai primer dalam teknik PCR tersebut. Keragaman sekuens berulang pada lokus tertentu (ATG-berulang) antar individu ternak dalam satu populasi tertentu ditunjukkan oleh jumlah ulangannya, misalnya individu 1 memiliki (ATG)3, individu 2 memiliki runutan (ATG)4, dan individu 3 memiliki runutan (ATG)8, dan seterusnya. Mikrosatelit dapat digunakan untuk pemetaan genetik (genetic mapping), identifikasi genotipe, penciri molekuler, analisis keragaman genetik, paternitas, dan pemetaan fenotipe (Tautz 1989). Mikrosatelit dapat ditemukan di dalam runutan sekuens suatu gen fungsional, baik di exon maupun intron, atau di bagian lain dalam struktur gen tersebut. Variasi jumlah ulangan sekuens dalam gen tersebut terkadang dapat memberikan perubahan secara phenotipiknya. Artinya ada asosiasi antara varian runutan nukleotida dengan fenotipik ternak. Mikrosatelit juga banyak ditemukan di rangkaian molekul DNA bukan gen. Cara mendeteksi variabilitas runutan nukleotida mikrosatelit juga sangat sederhana, cepat, dan akurat. Dengan memiliki sampel DNA ternak spesies tertentu, sepasang DNA primer pengapit DNA mikrosatelit dan fasilitas elektrophoresis, data tentang variabilitas mikrosatelit dapat diperoleh dalam waktu maksimum 24 jam. Ini merupakan salah satu alasan makin maraknya penggunaan mikrosatelit sebagai penciri DNA yang dimulai pada sekitar awal tahun 1990. Sejak makin populernya penggunaan teknik PCR, berbagai pendekatan untuk menggunakan molekul DNA sebagai penciri terus dikembangkan. Gambar 2. Dendogram dari filogenetik domba Indonesia menggunakan data 17 lokus mikrosatelit (Jakaria et al. 2012). Kembali ke riset genetika populasi, para peneliti biasanya tidak berhenti pada upaya mengidentifikasi varibilitas suatu penciri DNA dalam suatu populasi tetapi dilanjutkan dengan menentukan kekerabatan genetik antar populasi dalam rumpun ternak atau antar rumpun dalam spesies ternak. Untuk riset yang terkait dengan kekerabatan genetik ini, penggunaan penciri DNA berupa segmen DNA seperti mikrosatelit memberikan hasil yang kurang akurat. Untuk itu, unit terkecil yang digunakan dalam riset ini adalah bukan segmen molekul DNA tetapi nukleotida penyusun molekul DNA. Artinya, dalam hal ini, satu nukleotida setara dengan satu segmen DNA dan setara dengan satu alel untuk menganalisisnya. Penggunaan nukleotida sebagai unit terkecil dalam studi populasi genetik dipelopori oleh Nei sejak era 1960-an. Biasanya fragmen DNA yang keragaman runutan nukleotidanya tinggi digunakan sebagai penciri DNA untuk riset semacam ini, 5 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 misalnya yang sangat populer adalah D-loop yang terletak setelah gen cytochrome b di hampir semua spesies. Satu contoh menarik yang telah dikerjakan di Indonesia khususnya pada ternak adalah pada ayam. Dengan menggunakan D-loop DNA mitokondria, analisa dilakukan pada semua rumpun ayam di dunia untuk membuat pohon filogeni. Diketahui bahwa pada ayam terdapat tujuh (7) clade yaitu I, II, IIIa, IIIb, IIIc, IIId dan IV. Lima belas rumpun ayam lokal Indonesia yang digunakan dalam pohon filogeni tersebut menunjukkan bahwa enam puluh sembilan (69) haplotipe ayam lokal Indonesia teridentifikasi pada 54 situs polimorfik dengan polimorfisme antara nukleotida 167-397 yang variasinya berkontribusi sekitar 94,5 %. Ayam lokal Indonesia dengan frekuensi haplotipe 72,5% berada di clade II (Gambar 3). Artinya ayam lokal Indonesia adalah unik, mempunyai ciri khas tertentu yang sangat berbeda dengan ayam lokal dari negara lain. Hasil analisis sekuens DNA tersebut juga diketahui bahwa dari komposisi clade ayam di Asia, ada tiga wilayah besar yang mempunyai komposisi clade yang sangat khusus (dominan), yaitu daerah sekitar Lembah Hindus yang didominasi oleh populasi clade IV, di Sungai Kuning, Henan yang didominasi oleh populasi clade IIId dan wilayah Indonesia yang didominasi oleh clade II. Temuan penting ini memiliki makna bahwa ayam lokal Indonesia memiliki nilai sangat tinggi karena banyaknya gen unik yang dimilikinya. Clade I Clade II Clade IIIa Clade IIIb Clade IIIc Clade IIId Clade IV Gambar 3. Median joining network yang menunjukkan bahwa ayam lokal Indonesia mempunyai keragaman genetik tinggi serta keunikan secara genetik diantara berbagai rumpun ayam di dunia (Sri Sulandari et al. 2008). 2. Asosiasi antara varian gen dan sifat kuantitatif Para pemulia ternak sangat mengharapkan bahwa semua varian sekuens DNA berasosiasi dengan sifat kuantitatif yang bernilai ekonomi tinggi. Mereka ingin mendapatkan Quantitative Trait Loci (QTL) yang memberikan dampak ekonomi secara sangat siginifikan melalui penciri DNA itu. Jika ada asosiasi antara penciri DNA dan sifat kuantitatif yang bernilai ekonomi tinggi, maka penciri DNA tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan seleksi ternak sesuai dengan keunggulan sifat kuantitatifnya sejak umur belia dalam suatu populasi. Ini yang dikenal sebagai Marker Assisted Selection (MAS). Penciri yang digunakan dapat berupa gen fungsional atau gen strukturnya saja. Riset tentang hal ini dicontohkan juga pada ayam yang dilakukan oleh Tike Sartika dan tim (2011) berikut ini. Dalam penelitiannya menggunakan rumpun ayam kampung dan rumpun ayam lokal Indonesia lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia, hasil penelitian menunjukkan bahwa secara alamiah ayam lokal Indonesia memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri dari serangan virus avian influenza. Artinya ayam tersebut memiliki gen resisten atau toleransi terhadap penyakit. Kemampuan untuk melawan serangan virus dikendalikan oleh gen anti viral yaitu gen Mx yang telah diketahui dapat mengendalikan kemampuan ayam menjadi resisten atau sensitif terhadap serangan AI. Dengan menggunakan gen anti viral Mx sebagai penciri DNA, hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi alel resisten ayam lokal Indonesia terhadap serangan virus flu burung sekitar 60% 6 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 dan membuktikan bahwa ayam yang hidup akibat serangan virus mempunyai daya resisten yang cukup tinggi. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rekomendasi ke pemerintah bahwa ayam yang terserang penyakit flu burung saja yang dibunuh, sedangkan ayam di sekitarnya yang sehat sebaiknya tidak dieliminasi. Temuan ini juga dapat menginspirasi pembentukan ayam ras tertentu yang tahan terhadap serangan penyakit AI sehingga dapat mengurangi mortalitas dan meningkatkan produktivitasnya. Jauh sebelum teknik PCR ditemukan, teknik rekombinan DNA digunakan untuk mendeteksi polymorhism pada suatu gen berdasarkan perbedaan panjang fragmen setelah dipotong oleh enzym restriksi. Yang terpenting dalam hal ini adalah bahwa tempat pemotongan molekul DNA tersebut merupakan situs pengenal Association of TLR4 gene genotype and (recognition site) dari enzim restriksi. Karena karakter dari polymorhism tersebut sangat tergantung pada panjang fragmen hasil resistance against Dalmonella enteritidis pemotongan, maka penciri DNA tersebut disebut Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Sebelum tahun natural infection in Kampung chicken 1990-an, penentuan polimorfisme berdasarkan RFLP memerlukan waktu panjang, banyak tenaga, dan sangat boros (Ulupi et al. 2013) finansialnya juga. Dengan adanya teknik PCR, teknik tersebut dikembangkan menjadi PCR-RFLP yang jauh lebih pendek waktunya Abstract: lebih murah dan lebih efektif. Dalam Eggs of kampung chicken play an important role as menentukan polimorfisme pada suatu gen substance in ‘jamu preparation’ in Indonesia, mostly atau suatu segmen DNA, segmen DNA atau provided and consumed without cooking. Salmonella free eggs become significant in producing the safe ‘jamu gen yang diamplifikasi harus memiliki preparation’ and such eggs might be produced by recognition sites bagi enzym restriksi. chickens which have high resistancy to this bacteria. Umumnya segmen yang diamplifikasi berupa One of excellent markers showing resistance of chicken against Salmonella is an active Toll-like Receptor 4 salah satu exon pada gen tersebut. Ini (TLR4) gene. TLR4 is a phagocytes cell surface receptor memiliki keunggulan karena adanya that plays a role to recognize lipopolysaccaride (LPS) of gram negative bacteria including Salmonella enteritidis. It perubahan sekuens pada suatu exon seringkali is transcribed by TLR4 gene and conserved in the menghasilkan perubahan asam amino dan activation of the non-specific immune system. The aim of perubahan protein yang dihasilkan sehingga the research was to prove how kampung chicken resistant against natural infection of S. enteritidis, using menimbulkan perbedaan pada sifat kuantitatif TLR4 gene as marker. TLR4 gene was genotyped in 50 atau kualitatifnya. kampung chickens with PCR-RFLP. Then biological Salah satu penciri DNA yang assays of resistance indicator were measured. The genotyping result on exon 2 (220 bp in size) identified 3 terpopuler saat ini adalah Single Nuclotide genotypes of TLR4 gene in kampung chicken: AA, AG Polymorphisms (SNPs) karena and GG. Concentration of leucocytes and their differentiation were not significantly different in AG and keunggulannya untuk mendeteksi asosiasi GG genotype. The value of it from AA genotype was antara variabilitas sekuens DNA dengan similar to them. There was no S. enteritidis finding in berbagai sifat kuantitatif pada ternak. Single blood and eggs produced by AA, AG, GG chickens. Specific IgY to S. enteritidis was positively found in nucleotide polymorphisms merupakan kampung chickens serum and egg yolk. Concentration of perbedaan pasangan nukleotida tunggal antar specific IgY in kampong chicken egg yolk was found very genome individu berbeda. Satu SNP high. The study postulated that most likely kampung chicken resistant to S.enteritidis natural infection. mengindikasikan satu perbedaan nukleotida. Metode ini cukup mudah dan praktis namun memerlukan biaya yang mahal. Prinsip analisisnya adalah dengan melakukan analisis sekuen basa nukleotida pada 2 atau lebih sampel yang dibandingkan/disejajarkan dan mengamati adakah basa nukleotida yang berbeda antar sampel. Perbedaan basa nukleotida tersebut haruslah bersifat bi-allelic yang maksudnya dalam satu titik basa nukleotida yang dibandingkan hanya ada 2 jenis basa nukleotida sehingga akan membentuk 7 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 2 buah alel (Gambar 4). Bila dilihat pada kromatogram, sampel jamak yang di pooling untuk disekuen akan menghasilkan 2 pita kromatogram yang saling tumpang tindih (Gambar 5). Gambar 4. Pada urutan basa k-8 terdapat 2 tipe basa yang berbeda (A/G). Gambar 5. Puncak basa G berimpit dengan basa A menunjukkan adanya dua alel. Saat ini pemetaan SNP sudah dilakukan pada manusia, bovine, ayam, burung, dan beberapa spesies potensial. SNP dapat digunakan sebagai penanda molekuler dan untuk melihat hubungan kekerabatan spesies maupun struktur populasi. Sebagai penanda molekuler, SNP telah digunakan sebagai marka untuk mengetahui gen yang berasosiasi dengan sifat unggul sebagai basis data untuk melakukan seleksi ternak melalui MAS (Beuzen et al. 2000). Kelebihan SNP sebagai penanda molekuler adalah sifatnya umum ditemukan di seluruh genome dengan peluang 1 : 1000 basa (Kwok&Chen 2003) dengan produk PCR lebih kurang 100 bp. Dengan produk PCR yang berukuran pendek akan memungkinkan untuk mengamplifikasi sampel DNA yang rusak/terdegradasi. Selain itu, reaksinya bisa di multiplikasi (multiplex) hingga 1000 SNP per chip/reaksi. Jumlah alel yang dihasilkan hanya 2 sehingga mudah dianalisis namun perlu banyak SNP sehingga membentuk semacam haplotype untuk bisa bersifat informatif. Jadi untuk mendeteksi adanya asosiasi antara SNP dan sifat kuantitatif atau kualitatif, diperlukan puluhan ribu SNP dalam satu genom ternak. Contoh peneltian yang berkaitan dengan SNP adalah peneltian yang saat ini sedang kami kerjakan. Pada penelitian kami yang didukung oleh IAEA dengan topik Genetic Variation on the Control of Resistance to Infectious Diseases in Indonesian local sheep for Improving Animal Productivity, kami menyediakan sumber daya dan IAEA sebagai sponsor sekaligus berperan memfasilitasi dalam transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Penelitian ini bertujuan untuk membuat marka genetik yang berkaitan dengan sifat resistensi terhadap infeksi cacing saluran pencernaan khususnya cacing Haemonchus contortus (Hc). Cacing Hc banyak dijumpai pada hewan ruminansia khususnya domba, menghisap darah, dan menyebabkan gejala haemonchosis dengan indikasi anemia, oedema, bahkan dapat menyebabkan kematian. efeknya adalah menurunkan produktifitas ternak. Untuk memperoleh marker tesebut, diperlukan kompilasi antara data kualitatif dan kuantitatif dari sifat fenotipe dan genotipe yang dapat dianalisis dengan metode Quantitatif Trait Loci (QTL). Data kualitatif tentu saja adalah kemampuan untuk tahan/tidak tahan terhadap infeksi cacing yang direpresentasikan dari karakter medis dan pertumbuhan domba, sedangkan data kuantitatif berupa nilai/angka yang merepresentasikan data kualitatif. Sifat fenotipe yang diamati adalah tingkat infeksi cacing (FEC), tingkat anemia (PCV), pertumbuhan (Bobot badan), dan warna selaput kelopak mata bagian bawah (nilai Famacha). Sifat genotipe yang diambil adalah SNP. Domba yang tahan (resisten) memiliki karakter tingkat infeksi cacing tinggi namun pertumbuhan tidak terganggu/baik, tidak 8 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 anemia, dan nilai FAMACHA rendah. Domba yang rentan memiliki karakter tingkat infeksi rendah hingga tinggi dan mengalami gangguan pertumbuhan, anemia, dan nilai Famacha tinggi. Data Resisten-Rentan tersebut dianalisis dan dicari marka genetik berupa data SNP yang dapat membedakan kedua karakter tersebut. Dengan adanya marka genetik tersebut, selanjutnya dapat diaplikasikan dalam seleksi bibit domba (MAS) untuk membuat galur domba yang tahan infeksi cacing. Bila galur tesebut terwujud, maka petani kecil bisa tenang tidak khawatir dombanya cacingan/mati, tidak perlu keluar ongkos untuk beli obat, dan tidak ada residu kimia obat pada daging/susu yang meracuni manusia, tidak muncul varian cacing yang kebal obat akibat pemakaian obat cacing yang intensif dan salah, dan akhirnya produktifitas meningkat. 3. Kemurnian produk olahan Satu teknik yang sangat relevan dan aplikatif digunakan Indonesia adalah pemanfaatan penciri DNA untuk mendeteksi kemurnian suatu bahan pangan, produk olahan, dan produk lainnya yang bahan bakunya mengandung molekul DNA. Seperti diketahui, cukup banyak kegiatan ilegal dalam memperdagangkan hewan atau bagian dari hewan dari Indonesia ke luar negeri. Apalagi jika bahan tersebut berasal dari hewan langka yang dicari-cari orang. Harganya sangat mahal sehingga menggoda orang untuk melakukan kejahatan dengan berbagai modus operandinya. Ada juga karena harga daging sapi mahal, maka dalam pembuatan produk olahan, bahan baku yang mahal tersebut diganti atau dicampur dengan daging murah seperti daging babi atau bahkan daging tikus atau mungkin daging hewan lainnya. Untuk mendeteksi dini terhadap kegiatan ilegal tersebut, beberapa penciri DNA dimanfaatkan untuk itu dan perkembangannya cukup signifikan. Dengan marka molekuler yang telah diketahui saat ini, kandungan suatu produk asal hewan dapat diketahui. Pada gambar dibawah ditunjukkan hasil simulasi dimana berbagai macam daging dicampur jadi satu dalam bentuk bakso daging (kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda, tikus), kemudian diuji dengan marka molekuler. Hasilnya adalah kandungan ketujuh jenis bahan dapat dikenali yang divisualisasikan dalam bentuk pita dengan panjang yang berbeda-beda pada gel agarose. Gambar 6. Runutan sekuen nukleotida yang mencirikan masing-masing taksa. G=goat/kambing, C=chicken/ayam, B=bovine/sapi, S=sheep/domba, P=pork/babi, H=horse/kuda. 9 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Gambar 7. Analisis produk olahan dengan marker molekuler. Mix 1 dan 2 adalah produk yang terdapat campuran berbagai bahan. 1 = kambing murni , 2 = ayam murni, 3 = sapi murni, 4 = domba murni, 5 = babi murni, 6 = kuda murni, 7 = tikus murni. KESIMPULAN Sumber daya hayati yang dimiliki Indonesia sangat melimpah dan banyak potensi yang belum digali dan dikembangkan. Keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dijadikan alasan untuk berhenti mengeksplorasi dan mengembangkan potensi sumber daya hayati tersebut. Keterbatasan tersebut dapat diatasi dengan menjalin mitra dengan personal ataupun lembaga dari luar negeri yang memiliki dana dan teknologi, dengan sistem mutualisme. Sumber daya hayati yang kita miliki merupakan kunci dan senjata kita untuk bermitra yang saling menguntungkan. Ilmu dapat dipelajari, teknologi dapat dibeli/dibagi. Ada transfer Iptek dari mitra kepada kita dan ada sharing sumber daya dari kita dengan mitra. Berbagai perusahaan dalam dan luar negeri juga telah menawarkan jasa untuk analisis genetika molekuler sehingga kita tidak perlu harus membeli peralatan berteknologi tinggi dan berharga mahal seperti mesin sekuensing untuk memulai bekerja. Analisis fenotipik sederhana, seperti yang kami lakukan untuk menguji resistensi domba terhadap infeksi cacing, dapat menjadi modal awal dari sebuah riset molekuler karena karakter fenotipe akan dapat “membunyikan” suatu data genotipe yang kita miliki. REFERENSI Altschul SF, Gish W, Miller W, Myers EW & Lipman DJ. 1990.Basic local alignment search tool. J Mol Biol. 215, 403-410. Batley J & Edwards D. 2009. Mining for SNPs and SSRs using SNPServer, dbSNP, and SSR Taxonomy tree dalam Bioinformatics for DNA Sequence Analysis. ed: David Posada. Humana Press, USA. Neuzen ND, Stear MJ, and Chang KC. 2000. Molecular markers and their use in animal breeding. The Veterinary Journal. 160, 42–52. Brooks LD. 2003. SNPs: why do we care dalam Single Nucleotide Polymorphisms: Methods and Protocols, ed. Pui-Yan Kwok. Humana Press, New Jersey. Collins FS, Brooks LD & Chakravarti A. 1998. A DNA polymorphism discovery resource for research on human genetic variation. Genome Res. 8, 1229-1231. Cowper-Sal lari R, Zhang X, Wright JB, Bailey SD, Cole MD, Eeckhoute J, Moore JH, Lupien M. 2012. Breast cancer risk-associated SNPs modulate the affinity of chromatin for FOXA1 and alter gene expression. Nature Genetics. 44,1191–1198. Grosse WM, Kappes SM, Laegrid WM, Keele JW, Chitko-McKown CG, and Heaton MP. 1999. Single nucleotide polymorphism (SNP) discovery and linkage mapping of bovine cytokine genes. Mamm. Genome. 10, 1062-1069. Jakaria, Zein MSA, Sulandari S, Subandriyo, Muladno. 2012. The use of microsatellite markers to study genetic diversity in indonesian sheep. J.Indonesian Trop.Anim.Agric. 37(1). 10 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Krawczak M. 1999. Informativity assessment for biallelic single nucleotide polymorphism. Electrophoresis. 20, 1676-1681. Kruglyak L. 1997. The use of a genetic map of biallelic markers in linkage studies. Nat. Genet. 17, 21-24. Kwok PY & Chen X. 2003. Detection of Single Nucleotide Polymorphisms. Curr. Issues Mol. Biol. 5: 43-60. Landegren U, Nilsson M, and Kwok P-Y. 1998. Reading bits of genetic information: Methods for single nucleotide polymorphism analysis. Genome Res. 8769-776. Lopez Herraez D. 2005. Genetical traceability of cattle and their products: optimization of a multiplex PCR mirosatellite analysis and comparison with single-nucleotide polymorphism markers. Doctoral Dissertation, Faculty of Life Sciences, Heidelberg University. Marth GT et al. 1999. A general approach to single-nucleotide polymorphism discovery. Nature Genet. 23, 452-456. Saiki R, Scharf S, Faloona F, Mullis K, Horn G, and Erlich H. 1985. Enzymatic amplification of betaglobin sequences and restriction site analysis for diagnosis of sickle cell anemia. Science. 230 : 1350 Sanger. 1981. Determination of nucleotide sequences in DNA. Science. vol 214, Issue 4526, pp. 12051210. Sartika T, Sulandari S, Zein MSA. 2011. Selection of Mx gene genotype as genetic marker for Avian Influenza resistance in Indonesian native chicken. BMC Proceedings, 5 (Suppl 4):S37. Sulandari S, Zein MSA, Sartika T. 2008. Molecular characterization of indonesian indigenous chickens based on mitochondrial dna displacement (d)-loop sequences. HAYATI Journal of Biosciences. Vol. 15, No. 4 :145-154. Syvanen AC. 2001. Accessing genetic variation: genotyping single nucleotide polymorphisms. Nat. Rev. Genet. Vol 2. Tautz D. 1989. Hypervariability of simple sequences as a general source for polymorphic DNA markers. Nucleic Acids Res.17, 6463–71. Ulupi N, Muladno, Sumantri C, Wibawan IWT. 2013. Association of TLR4 Gene Genotype and Resistance Against Salmonella enteritidis Natural Infection in Kampung Chicken. International Journal of Poultry Science. 12 (8): 445-450. Vignal A, Milan D, San Cristobal M, and Eggen A. 2002. A review on SNP and other types of molecular markers and their use in animal genetics. Genet. Sel. Evol. 34, 275-305. Grosse WM, Kappes SM, Laegrid WM, Keele JW, Chitko-McKown CG, and Heaton MP. 1999. Single nucleotide polymorphism (SNP) discovery and linkage mapping of bovine cytokine genes. Mamm. Genome 10, 1062-1069. Wang DG et al. 1998. Large-scale identification, mapping, and genotyping of single-nucleotide polymorphisms in the human genome. Science 280, 1077-1082. 11 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 POTENSI SUMBER DAYA PERAIRAN DARATAN DI SUMATERA UTARA DAN PENGELOLAANNYA (STUDI KASUS : DANAU TOBA DAN SUNGAI ASAHAN) Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus Guru Besar Limnologi Fakultas MIPA,Universitas Sumatera Utara Medan ABSTRAK Ekosistem perairan daratan di Sumatera Utara mempunyai karakteristik yang spesifik terutama dengan keberadaan Danau Toba bersama dengan Sungai Asahan sebagai aliran keluar air dari Danau Toba. Danau ini merupakan sumber daya air yang mempunyai nilai yang sangat penting ditinjau dari fungsi ekologi, hidrologi serta fungsi ekonomi. Potensi pemanfaatan Danau Toba dan Sungai Asahan meliputi fungsinya sebagai sumber air untuk kegiatan pertanian dan budi daya perikanan serta untuk menunjang berbagai jenis industri, seperti kebutuhan air untuk industri pembangkit listrik Sigura-gura, dan Asahan serta sebagai kawasan wisata yang sudah terkenal ke mancanegara. Pemanfaatan air Danau Toba dan Sungai Asahan yang sangat beragam menyebabkan tekanan terhadap ekosistem Danau Toba dan Sungai Asahan semakin besar sehingga menurunkan kualitas lingkungannya. Untuk itu perlu upaya konservasi yang terencana dengan baik sehingga kualitas lingkungan dan kelestarian ekosistem Danau Toba dapat dipertahankan. Kata kunci : Danau Toba, Sungai Asahan, Keanekaragaman Hayati, Pengelolaan. PENDAHULUAN Danau Toba yang mempunyai luas permukaan lebih kurang 1.100 kilometer persegi, dengan total volume air sekitar 1.258 kilometer kubik, dengan tinggi permukaan pada level 903 m dpl, merupakan danau yang paling luas di Indonesia. Danau ini merupakan sumber daya air yang mempunyai nilai yang sangat penting ditinjau dari fungsi ekologi, hidrologi serta fungsi ekonomi. Hal ini berkaitan dengan fungsi Danau Toba sebagai habitat berbagai jenis organisme air, sebagai sumber air minum bagi masyarakat sekitarnya, sebagai sumber air untuk kegiatan pertanian dan budi daya perikanan serta untuk menunjang berbagai jenis industri, seperti kebutuhan air untuk industri pembangkit listrik Sigura-gura, dan Asahan. Tak kalah pentingnya adalah fungsi Danau Toba sebagai kawasan wisata yang sudah terkenal ke mancanegara dan sangat potensial untuk pengembangan kepariwisataan di Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan proses terbentuknya, danau Toba tergolong danau vulkano-tektonik (gabungan vulkanik dengan tektonik), yaitu danau yang terbentuk akibat terjadinya letusan gunung berapi dan diikuti dengan amblasnya tanah secara tektonik. Ketika gunung berapi meletus, sebagian tanah dan batuan yang menutupi gunung patah dan merosot membentuk cekungan, yang selanjutnya cekungan tersebut terisi oleh air membentuk danau. Selanjutnya massa air yang berasal dari Danau Toba membentuk aliran permukaan di Sungai Asahan sebagai output satu-satunya dari air danau. Sungai Asahan mengalir menuju dan bermuara di Selat Malaka dengan panjang aliran 147 km. Meskipun air dari Danau Toba merupakan reservoir utama yang membentuk aliran Sungai Asahan, tetapi di sepanjang alirannya massa air masih disuplai dari berbagai anak-anak sungai yang bermuara ke Sungai Asahan. Karena besarnya volume Sungai Asahan, maka potensi pemanfaatannya sebagai pembangkit listrik tenaga air juga sangat besar. KEANEKARAGAMAN HAYATI DANAU TOBA DAN SUNGAI ASAHAN Kondisi oligotrofik Danau Toba menyebabkan daya dukung danau untuk perkembangan dan pertumbuhan organisme air seperti plankton dan bentos sangat terbatas. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan di beberapa kawasan Danau Toba menunjukkan bahwa populasi plankton di Danau Toba adalah rendah (Barus, 2004). Komunitas plankton (fitoplankton dan zooplankton) merupakan basis dari terbentuknya suatu rantai makanan, oleh sebab itu plankton memegang peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem danau. Dengan demikian maka dapat dimaklumi bahwa keanekaragaman ikan di Danau Toba juga tidak terlalu tinggi. Hal ini disebabkan bahwa sumber nutrisi utama ikan secara alamiah umumnya adalah berbagai jenis plankton dan bentos tersebut. Dari beberapa hasil penelitian di 12 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Danau Toba, dijumpai 14 spesies ikan. Informasi yang diperoleh dari nelayan setempat bahwa jenis ikan yang akhir-akhir ini sering didapatkan adalah ikan mujahir (Tilapia mossambica), ikan kepala timah (Aplocheilus panchax), ikan seribu (Lebistes reticulates), ikan gurami (Osphronemus goramy), ikan sepat (Trichogaster trichopterus), ikan gabus (Channa striata), ikan lele (Clarias batrachus), ikan mas (Cyprinus carpio), dan ikan nila. Selain itu terdapat satu jenis ikan endemik yaitu ikan yang hanya terdapat di Danau Toba yang disebut sebagai ikan batak atau “ihan” (Neolissochillus thienemanni). Jenis ikan ini berdasarkan kriteria IUCN (International Union for the Conservation of Nature) sudah diklasifikasikan sebagai terancam punah (endangered). Jenis ikan ini dahulu sering dihidangkan sebagai sajian istimewa untuk berbagai acara pesta adat bagi masyarakat setempat, tetapi kini masyarakat yang tinggal di sekitar danau sudah sangat sulit untuk menemukan ikan tersebut. Selanjutnya berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, diketahui bahwa terdapat sebanyak 22 spesies ikan yang hidup di Sungai Asahan (Barus dkk, 2012). Cyprinidae merupakan famili yang paling banyak dijumpai (Gambar 1). Adapun jenis-jenis ikan dominan diantaranya adalah Neolissochilus sumatranus, Tor soro, T. douronensis, dan T. tambroides. Neolissochilus sumatranus adalah ikan endemik di Sungai Asahan. Sisoridae Siluridae FAMILY Mastacembelidae Gobiidae Cyprinidae Clariidae Balitoridae 0 2 4 6 8 10 12 14 NUMBER OF SPECIES Gambar 1. Famili ikan yang terdapat di Sungai Asahan POTENSI DAN PEMANFAATAN DANAU TOBA DAN SUNGAI ASAHAN Sebagai Sumber Energi Listrik Salah satu potensi yang dapat dimanfaatkan dari Danau Toba dan Sungai Asahan adalah sebagai sumber energi listrik. Proyek Asahan adalah proyek yang mendayagunakan potensi hidrolistrik Sungai Asahan yang mengalir dari Danau Toba Sumatera Utara, guna mengembangkan Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kabupaten Tobasa dan Pabrik Peleburan Aluminium di Kuala Tanjung Kabupaten Batubara. Dasar pengembangan Proyek Asahan adalah Master Agreement yang ditandatangani Pemerintah RI dengan Investor Jepang pada tanggal 7 Juli 1975, di Tokyo, Jepang. Potensi hidrolistrik ini diperkirakan lebih dari 1.000 MW, yang meliputi (Anonimus, 2010) : • PLTA Asahan II (PLTA Siguragura dan PLTA Tangga): kapasitas terpasang 604 MW, dibangun dan di operasikan oleh PT Inalum untuk Pabrik Peleburan Aluminium (PPA) di Kuala Tanjung, kapasitas terpasang 225.000 ton aluminium ingot per tahun. • PLTA Asahan I : kapasitas terpasang 180 MW, diperuntukkan bagi masyarakat, sejak Juni 2010 sudah memasuki tahap operasi percobaan. • PLTA Asahan III: kapasitas terpasang 174 MW, sedang persiapan pembangunan oleh PLN. 13 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI • Medan, 15 Februari 2014 Dari hasil penelitian, diperkirakan masih dapat dikembangkan PLTA Asahan IV dan V dengan kapasitas sebesar 80 MW dan 18 MW. Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring Apung Kegiatan budidaya ikan sistem KJA di Danau Toba telah dilakukan oleh masyarakat sejak tahun 1986, namun perkembangan KJA dengan pesat terjadi sejak tahun 1998 melalui budi daya jaring apung intensif berkepadatan ikan yang tinggi (Rismawati, 2010). Pada tahun 2006 Jumlah KJA yang beroperasi di perairan Danau Toba terdata sebanyak 5.233 unit. Kemudian survey yang dilakukan Dinas Perikanan Provinsi Sumatera Utara tahun 2008, di dapatkan bahwa KJA yang beroperasi di perairan Danau Toba sebanyak 7.012 unit, yang terdiri dari KJA milik PT. Aquafarm Nusantara sebanyak 1.780 unit dan KJA milik masyarakat sebanyak 5.232 unit. Introduksi Ikan Bilih Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker.) merupakan ikan endemik dan bernilai ekonomis penting di danau Singkarak, Sumatera Barat (Kottelat, M. et al. 1993). Akibat penangkapan yang berlebihan serta terjadinya degradasi lingkungan menyebabkan populasi ikan bilih di habitat aslinya mengalami penurunan. Untuk mengatasi masalah tersebut maka Pemerintah Daerah melakukan penebaran benih dan pengembangan program pemacuan stok (stock enhancement) ikan bilih di Danau Singkarak dan Danau Toba pada tahun 2003. Tujuan pemacuan stok adalah untuk meningkatkan produksi dan menyelamatkan populasi ikan bilih (Kartamihardja dan Purnomo, 2006). Pada 3 Januari 2003, ikan bilih diintroduksi ke daerah Parapat dan Ajbata, Danau Toba (Kartamihardja dan Purnomo, 2006). Karakteristik limnologis Danau Toba yang hampir sama dengan Danau Singkarak menjadikan Danau Toba sebagai habitat baru yang disukai ikan bilih, yaitu berair jernih, memiliki dasar perairan berpasir dan suhu air relatif dingin berkisar 25,0-27,5°C (Kartamihardja dan Purnomo, 2006). Distribusi ikan bilih meliputi seluruh perairan Danau Toba, bahkan ditemukan di daerah pelagis dan limnetik danau yang sangat sedikit sekali dihuni jenis ikan lain. Setelah 2 tahun penebaran, ikan bilih tumbuh dan berkembang biak dengan baik, panjang total 4,0-15,8 cm dan berat antara 0,5-30,0 gram. Pada tahun 2008, ikan bilih mencapai panjang total 21,6 cm di tempat pendaratan ikan di Parapat. Boyd (2004) menyatakan bahwa dari sejumlah pakan yang diberikan kepada ikan budidaya akan tertinggal sebagai sisa pakan yang tidak terkonsumsi lebih kurang 30 %. Selanjutnya, dari sejumlah pakan yang dikonsumsi oleh ikan akan diekskresikan kembali ke badan air sebagai faeses sekitar 25– 30 %. Hal ini berarti bahwa limbah organik dari pakan ikan KJA yang terbuang ke badan air secara kontiniu jumlahnya cukup besar. Berdasarkan data yang diperoleh, setiap hari dipanen sebanyak 42 ton ikan bilih dari Danau Toba. Dengan asumsi bahwa setiap 1 kg ikan bilih mengandung 0,029 kg N (1 kg ikan = 0,18 kg protein = 0,029 kg Nitrogen), maka produksi harian ikan bilih akan menyebabkan berkurangnya kandungan nitrogen dari danau sebanyak 1.218 kg N. Dengan perhitungan lebih lanjut, diperoleh bahwa peranan ikan bilih dalam mengendalikan kadar nitrogen di Danau Toba adalah sekitar 36% (Bruijne, 2009). Oleh karena itu perlu penelitian yang lebih mendalam terkait dengan peranan ikan bilih sebagai instrumen alami dalam mengendalikan kadar nutrient di Danau Toba. DAMPAK PEMANFAATAN DANAU TOBA DAN SUNGAI ASAHAN Permasalahan utama yang dialami ekosistem Danau Toba terutama adalah penurunan kualitas air sebagai akibat dari berbagai limbah yang dibuang ke dalam danau sehingga menimbulkan pencemaran, seperti limbah domestik/perhotelan, limbah pertanian, limbah dari budidaya perikanan di dalam jaring apung serta limbah minyak yang berasal dari aktivitas transportasi air. Hal ini terutama dapat dilihat di kawasan sekitar Parapat, Haranggaol, Balige, dan Tongging. Selain itu terjadi perusakan kawasan hutan, berupa penebangan hutan untuk berbagai keperluan, di sekitar danau yang menyebabkan terjadinya fluktuasi aliran air yang masuk ke dalam danau serta terjadinya erosi dan peningkatan sedimentasi. Pemanfaatan Danau Toba sebagai tempat budidaya ikan sistem jaring apung merupakan salah satu pemanfaatan perairan Danau Toba bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Akibat dari rendahnya pengelolaan yang dilakukan serta perkembangan budidaya ikan sistem jaring apung yang sangat pesat di Danau Toba, khususnya di perairan Haranggaol, menyebabkan telah terjadi kematian 14 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 masal ikan mas pada bulan Oktober-November 2004, serta telah menimbulkan kerugian materiel yang tidak sedikit (Barus, 2005). Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh berbagai pihak, disimpulkan bahwa terjadinya kematian masal ikan di perairan Haranggaol Danau Toba disebabkan oleh serangan virus herpes koi (Panjaitan, 2005). Namun demikian kemungkinan faktor lain yang menyebabkan terjadinya kasus kematian masal ikan mas tersebut adalah penurunan kualitas air di perairan Haranggaol. Kegiatan budidaya ikan dalam jaring apung yang sudah berlangsung selama lebih dari 10 tahun, telah menyebabkan terjadinya akumulasi berbagai senyawa kimia yang pada akhirnya menimbulkan kondisi yang toksik terhadap ikan-ikan budidaya. Pemanfaatan air Danau Toba yang sangat beragam yaitu sebagai sumber air bersih bagi masyarakat sekitar, sebagai tempat kegiatan penangkapan ikan dan budidaya ikan dalam keramba jaring apung, kegiatan transportasi air, pariwisata, sebagai sumber air untuk pembangkit listrik di daerah hilir, di satu sisi membutuhkan kualitas air danau yang baik serta memenuhi persyaratanpersyaratan tertentu. Sebaliknya Danau Toba juga digunakan sebagai tempat membuang berbagai jenis limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertanian di sekitar kawasan Danau Toba, limbah domestik dari permukiman dan perhotelan, limbah nutrisi dari sisa pakan ikan yang tidak habis dikonsumsi oleh ikan yang dibudidayakan, limbah dari pariwisata dan transportasi air. Apabila proses pencemaran terus berlanjut tanpa ada upaya-upaya untuk meminimalkan pencemaran yang terjadi maka beban ekosistem Danau Toba akan semakin berat dan pada akhirnya akan merugikan semua pihak yang berkepentingan. Secara kasat mata di beberapa kawasan Danau Toba kita sudah bisa melihat tumbuhnya berbagai jenis tumbuhan air terutama jenis eceng gondok yang telah menutupi lapisan permukaan danau. Hal ini terjadi akibat proses eutrofikasi (pengayaharaan) yang merupakan suatu gejala peningkatan unsur hara, terutama fosfor dan nitrogen di suatu ekosistem air. Unsur hara tersebut terutama berasal dari limbah cair yang dibuang ke suatu ekosistem air secara terus menerus sehingga terakumulasi dalam jumlah yang banyak. Peningkatan unsur hara tersebut akan meningkatkan proses pertumbuhan berbagai jenis tumbuhan air yang sangat cepat sehingga terjadi ledakan populasi vegetasi yang sering disebut sebagai blooming. Biomassa dari vegetasi ini setelah mati akan mengalami proses pembusukan/dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri dan berlangsung secara aerob, artinya proses tersebut membutuhkan ketersediaan oksigen terlarut di dalam air. Akibat proses dekomposisi tersebut kandungan oksigen terlarut akan semakin sedikit, bahkan apabila proses tersebut terus berlangsung dapat menimbulkan kondisi anaerob karena kandungan oksigen terlarut sudah sangat sedikit. Dalam kondisi tidak tersedia oksigen terlarut, proses penguraian akan berjalan secara anaerob yang menghasilkan berbagai senyawa yang bersifat toksik dan menimbulkan bau yang busuk. Pemanfaatan Sungai Asahan sebagai sumber energi terbarukan yang bersifat ramah lingkungan (PLTA) tidak berarti tanpa dampak negatif sama sekali. Kegiatan konstruksi PLTA juga akan memberikan tekanan terhadap lingkungan. Dengan akan dibangunnya PLTA Asahan 3 misalnya, maka akan ada perubahan profil Sungai Asahan yang signifikan. Salah satunya adalah dengan dialihkannya aliran air sebanyak 95% dari debit yang tersedia menuju terowongan yang akan dimanfaatkan untuk memutar turbin, maka debit air yang mengalir pada segmen sungai sepanjang kira-kira 10 km akan berkurang secara drastis. Hal ini akan berdampak terhadap penurunan populasi ikan dan biota air lainnya. KONSERVASI DANAU TOBA DAN SUNGAI ASAHAN Untuk melaksanakan koordinasi dalam kegiatan pengelolaan lingkungan di ekosistem Danau Toba maka Gubernur Sumatera Utara pada tahun 2002 telah membentuk Badan Koordinasi Pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba (BKPEKDT). Selanjutnya atas prakarsa Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2004 telah dirumuskan dan disepakati suatu konsep pengelolaan ekosistem kawasan Danau Toba yang dituangkan dalam Lake Toba Ecosystem Management Plan (LTEMP). Pedoman ini memuat secara rinci tentang rencana dan tindakan pengelolaan yang harus dilakukan dengan tujuan untuk memulihkan dan memelihara integritas fisik, biologis, dan kimia ekosistem kawasan Danau Toba. Fokus utama dalam konsep LTEMP adalah : − Air di EKDT layak digunakan sebagai Air Minum. − Akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berinteraksi dengan EKDT. 15 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI − − − − − Medan, 15 Februari 2014 Lahan di EKDT mempunyai fungsi yang optimal. Ikan dan hasil pertanian layak di konsumsi (tidak terkontaminasi). Air Danau Toba Sumber Tenaga Listrik/Wisata. Terpeliharanya Keragaman Hayati EKDT. Udara di EKDT sehat. Dalam kaitannya dengan upaya pelestarian keanekaragaman hayati ekosistem Danau Toba maka selain menjaga dan mengelola kualitas air, yang juga penting untuk dilakukan adalah pemantauan terhadap kualitas habitat yang dapat mendukung pertumbuhan populasi organisme air. Untuk itu perlu diidentifikasi zona perairan yang berfungsi sebagai tempat berkembang biak berbagai jenis organisme air termasuk zona perairan sebagai tempat pemijahan ikan secara alami, untuk kemudian dilakukan upaya konservasi, sehingga organisme air dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Berbagai kajian dan upaya pengelolaan ini dibutuhkan untuk dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang daya dukung ekosistem Danau Toba, sehingga pemanfaatan ekosistem Danau Toba bagi berbagai kepentingan tidak menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan ekologi di danau tersebut. DAFTAR PUSTAKA Anonimus, 2010. Paparan Ketua Otorita Asahan Pada Workshop Revitalisasi Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PUSLIT SDAL USU) di Gedung IMT-GT Biro Rektor USU, MEDAN, 19 Oktober 2010. Barus, T.A. 2004. ”Faktor-Faktor Lingkungan Abiotik dan Keanekaragaman Plankton sebagai Indikator Kualitas Perairan Danau Toba”. Jurnal Manusia dan Lingkungan, Vol. XI, No. 2, Juli 2004, hal. 64-72. Barus, T.A. 2005. ”Penggunaan Parameter Limnologi dalam Penentuan Daya Dukung Danau Toba untuk Budidaya Ikan Sistem Jala Apung”. Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Penanggulangan Kematian Masal Ikan Mas di Danau Toba, 3 Maret 2005, Univ. HKBP Nommensen, Medan. Barus, T.A., Ch.P.H. Simanjuntak, T. Situmorang, 2012. ”Ichtiofauna Sungai Asahan”. Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Biologi USU-Medan, 11 Mei 2012. Boyd, E.C. 2004. An Environmental Assessment of Tilapia Cage Culture in Lake Toba, Northern Sumatra, Indonesia. Bruijne, W. 2009. Pora-pora in Lake Toba. Oportunistic Species as Nutrient Management Tool. Internship Report. Wageningen University. Kartamihardja, E.S., K. Purnomo. 2006. Keberhasilan Introduksi Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis) ke Habitatnya Yang Baru di Danau Toba, Sumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional Ikan IV. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari & S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Editions Limited. 1-291+84 plates. Panjaitan, P., 2005. “Kajian Timbulnya Wabah Virus Herpes Koi di Perairan Danau Toba dan Alternatif Pemecahannya”. Makalah, disampaikan pada seminar nasional Penanggulangan Kematian Massal Ikan Mas di Danau Toba, 3 Maret 2005, Medan: Univ. HKBP Nommensen. Rismawati. 2010. Analisis Daya Dukung Perairan Danau Toba Terhadap Kegiatan Perikanan Sebagai Dasar Dalam Pengedalian Pencemaran Keramba Jaring Apung. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. Tesis. 16 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Biofarmaka dan Biomedis 17 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI 18 Medan, 15 Februari 2014 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 UJI TOKSISITAS AKUT FRAKSI N-HEKSAN, ETIL ASETAT DAN ETANOL DAUN PUGUN TANO (Curanga fel-terrae Merr.) PADA MENCIT Aminah Dalimunthe, Urip Harahap, Rosidah, M.Pandapotan Nasution Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Jl. Tri Darma No. 5 Kampus USU Medan Email : [email protected] ABSTRAK Telah dilakukan penelitian tentang uji toksisitas akut fraksi n-heksan, etil asetat dan etanol daun pugun tano (Curanga fel-terrae Merr.) pada mencit. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang gejala toksisitas yang timbul pada mencit setelah pemberian fraksi serta histopatologi. Mencit yang digunakan sebanyak 45 ekor, dibagi dalam 9 kelompok perlakuan. 1 kelompok diberi Na CMC sebagai kontrol untuk masing-masing fraksi dan 2 kelompok perlakuan diberi masing-masing fraksi dengan dosis 2000 mg/kg BB dan 5000 mg/kg BB. Pengamatan efek toksik berdasarkan perubahan berat badan dan jumlah kematian yang diamati setiap hari selama 14 hari serta penentuan berat organ relatif dan gambaran histopatologi organ pada akhir pengamatan. Hasil pengamatan menunjukan tidak ada perubahan berat badan dan mencit yang mati selama masa perlakuan (P>0,05). Hasil makroskopis dan mikroskopis pada organ, tidak menunjukan adanya perubahan warna, konsistensi dan struktur organ. Ini menunjukan bahwa fraksi n-heksan, etil asetat dan etanol daun pugun tano memiliki efek toksisitas akut yang rendah. Kata kunci : toksisitas, daun pugun tano, mencit PENDAHULUAN Tumbuhan Pugun tano merupakan salah satu tumbuhan yang memiliki khasiat untuk obatobatan. Pugun tanoh adalah herba tahunan famili Scrophulariaceae. Di Maluku dan Filipina, cairan dekoksi dari tanaman ini digunakan sebagai obat cacing untuk anak-anak, untuk mengobati kolik dan malaria. Di Indonesia, tapel daun dapat menyembuhkan gatal-gatal dan penyakit kulit lainnya. Infusan dari daun bersama dengan daun kaki kuda digunakan untuk mengatasi batuk dan rasa sesak di dada. Maserasi daun dengan alkohol digunakan sebagai tonik (untuk menguatkan badan dan meningkatkan nafsu makan) (Anonima, 2011). Sedikitnya informasi ilmiah tentang khasiat dan keamanan daun pugun tano maka perlu dilakukan penelitian mengenai uji toksisitas akut yang meliputi pemberian fraksi daun pugun tano pada hewan uji secara oral serta pengamatan histopatologi untuk mengetahui kerusakan organ akibat pengunaann fraksi ini. BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah oral sonde, neraca analitis, alat gelas (beaker glass, cawan petri, batang pengaduk).Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun pugun tanoh, etanol (tehnis), n-heksan (tehnis), etil asetat (tehnis), CMC Na. Hewan percobaan Hewan yang digunakan dalam percobaan ini adalah mencit dengan berat 20-25 gram yang diperoleh dari Balitbang Depkes RI. Hewan diaklimatisasi selama seminggu dengan siklus 12 jam gelap/terang pada suhu kamar, mencit diberi makanan pellet standart dan air ad libitum. Pengumpulan Tumbuhan dan Penyiapan Simplisia Pugun Tano Tumbuhan Pugun tanoh diperoleh dari Desa Tiga Binanga, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Identifikasi tumbuhan dilakukan oleh Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta terhadap simplisia tumbuhan Pugun tano. Daun Pugun tanoh dicuci dan dikeringkan hingga menjadi simplisia. Simplisia kering dihaluskan hingga menjadi serbuk halus. Tujuannya adalah untuk memudahkan proses pengekstraksian. 19 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Pembuatan Fraksi N-Heksan, Etil Asetat dan Etanol Daun Pugun Tano Pembuatan fraksi daun pugun tanoh dilakukan dengan cara remaserasi menggunakan pelarut bertingkat yaitu n-heksan, etil asetat dan etanol 96% (Ditjen POM, 1979). Pengekstrasian dilakukan dengan cara sebagai berikut sebanyak 800 gram serbuk simplisia direndam dalam pelarut n-heksan selama 5 hari sambil sekali-sekali diaduk, kemudian disaring dan residunya direndam kembali dengan n-haksan selama 2 hari. Residu dikeringkan dengan cara mengangin-anginkannya di udara terbuka hingga pelarut n-heksan menguap, lalu dimaserasi kembali menggunakan pelarut etil asetat. Perlakuan yang sama dilakukan mengunakan pelarut etanol. Hasil maserat diputar dengan evaporator pada suhu ± 40oC,lalu di keringkan pada suhu -20oC dan diperoleh fraksi yang sangat kental dan akhir proses diperoleh 3 fraksi, yaitu ekstrak n-heksan, etil asetat dan etanol. Uji Toksisitas Akut Pada Mencit Fraksi n-heksan, etil asetat dan etanol diberikan secara oral terhadap mencit yang dibagi menjadi 9 kelompok yang terdiri dari 1 kelompok kontrol untuk masing-masing fraksi dan 2 kelompok perlakuan untuk masing-masing fraksi dengan dosis fraksi 2000 mg/kg bb dan 5000 mg/kg bb. Sebelum perlakuan, mencit ditimbang berat badannya. Pengamatan toksisitas akut dilakukan setiap hari selama 14 hari dengan menimbang berat badan mencit dan dilihat jumlah kematian pada tiap kelompok. Pada hari ke-15, mencit dibedah untuk melihat efek toksik yang terjadi secara makroskopis pada organ dan dilakukan uji histopatologi untuk melihat ada tidaknya perubahan struktur organ setelah pemberian fraksi (OECD, 2001). HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian efek toksik fraksi n-heksan, etil asetat dan etanol daun puguh tanoh (Curanga felterrae (Lour.) Merr.), dilakukan terhadap mencit jantan berdasarkan pada Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) guidelines for Testing of Chemicals number 423 dengan fixed dose method (OECD, 2001), menggunakan dosis fraksi 2000 dan 5000 mg/kg BB. Pengamatan dilakukan selama 14 hari terhadap gejala toksik yang terjadi. secara kuantitatif. Hasil pengamatan uji kuantitatif selama 14 hari, berupa jumlah mencit yang mati ditunjukkan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa dari hasil uji toksisitas yang dilakukan, tidak ada satu mencit pun yang mati setelah pemberian fraksi n-heksan, etanol dan etil asetat daun puguh tanoh. Menurut Jenova (2009), jika dosis maksimal tidak menimbulkan kematian hewan coba, maka LD50 dinyatakan LD50 ‘semu’ yaitu dengan mengambil dosis maksimal, sehingga dalam penelitian ini LD50 diketahui sebagai LD50 semu, yaitu 5000 mg/kg BB. Dosis 5000 mg/kg BB merupakan konversi dosis maksimal pada manusia ke mencit berdasarkan ratio luas permukaan tubuh. Berdasarkan kesepakatan para ahli, bila pada dosis maksimal tidak ada kematian pada hewan coba, maka jelas senyawa tersebut termasuk dalam kriteria “praktis tidak toksik” (Jenova, 2009; Iwuanyanwu, et al., 2012). Tabel 1. Jumlah mencit yang mati setelah pemberian fraksi n-heksan, etanol dan etil asetat daun puguh tanoh Perlakuan Jumlah Mencit Jumlah Mencit yang Mati K1a 5 0 K1b 5 0 K1c 5 0 K2a 5 0 K2b 5 0 K2c 5 0 K3a 5 0 K3b 5 0 K3c 5 0 Keterangan: K1a= kontrol n-heksan; K1b= n-heksan dosis 2000 mg/kg BB; K1c= n-heksan dosis 5000 mg/kg BB; K2a= kontrol etanol; K2b= etanol dosis 2000 mg/kg BB; K2c= etanol dosis 5000 mg/kg BB; K3a= kontrol etil asetat; K3b= etil asetat dosis 2000 mg/kg BB; K3c= etil asetat dosis 5000 mg/kg BB. 20 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Hasil rata-rata berat badan tiap kelompok sesudah diberi fraksi n-heksan, etanol dan etil asetat daun puguh tanoh ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil rata-rata berat badan tiap kelompok sesudah diberi fraksi ekstrak (n-heksan, etanol dan etil asetat) daun puguh tanoh Rata-rata berat badan (g) Lama pengamatan K1a K1b K1c K2a K2b K2c K3a K3b K3c 2 minggu 32,92 29,44 32,69 27,44 28,72 33,3 29,93 33,01 34.47 Keterangan: K1a= kontrol n-heksan; K1b= n-heksan dosis 2000 mg/kg BB; K1c= n-heksan dosis 5000 mg/kg BB; K2a= kontrol etanol; K2b= etanol dosis 2000 mg/kg BB; K2c= etanol dosis 5000 mg/kg BB; K3a= kontrol etil asetat; K3b= etil asetat dosis 2000 mg/kg BB; K3c= etil asetat dosis 5000 mg/kg BB. Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan berat badan antara kelompok kontrol dan perlakuan. Untuk mengetahui toksisitas, ada tiga parameter yang merupakan indikator sensitif, yaitu tanda-tanda klinis, berat badan dan konsumsi makanan. Hewan uji diamati setiap hari untuk tanda-tanda klinis toksisitas. Hasil analisis statistik terhadap pengamatan perbandingan berat badan sesudah diberi fraksi n-heksan, etanol dan etil asetat daun puguh tanoh antar kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai signifikansi 0,504 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan tidak adanya gejala toksik yang timbul. Hasil berat organ relatif yang didata pada akhir perlakuan ditunjukkan pada Tabel 3. Pada parameter rasio berat organ tidak ada perbedaan yang signifikan berat organ hati, ginjal dan jantung antara kelompok kontrol dengan perlakuan dengan nilai signifikansi 1,000 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa fraksi n-heksan, etanol dan etil asetat daun puguh tanoh tidak berpengaruh besar terhadap perbandingan berat organ dengan berat badan dan warna organ. Adanya perubahan warna organ menjadi salah satu parameter terjadinya suatu efek toksik pada organ (Lu, 1994). Tabel 3. Nilai berat organ relatif per 100 g berat badan yang didata pada akhir perlakuan Rata-rata berat organ per 100 g Organ K1a K1b K1c K2a K2b K2c K3a K3b K3c Hati 1,942 1,6015 2,057 1,842 1,547 2,008 1,94 1,578 1,352 Jantung 0,207 0,158 0,181 0,2122 0,156 0,202 0,163 0,192 0,196 Ginjal 0,224 0,204 0,192 0,214 0,189 0,188 0,207 0,248 0,234 Kanan Ginjal Kiri 0,217 0,207 0,188 0,206 0,191 0,235 0,195 0,236 0,22 Testis 0,111 0,083 0,0604 0,114 0,106 0,116 0,082 0,092 0,098 Kanan Testis Kiri 0,104 0,102 0,043 0,108 0,105 0,114 0,089 0,088 0,1 Keterangan: K1a= kontrol n-heksan; K1b= n-heksan dosis 2000 mg/kg BB; K1c= n-heksan dosis 5000 mg/kg BB; K2a= kontrol etanol; K2b= etanol dosis 2000 mg/kg BB; K2c= etanol dosis 5000 mg/kg BB; K3a= kontrol etil asetat; K3b= etil asetat dosis 2000 mg/kg BB; K3c= etil asetat dosis 5000 mg/kg BB. Hasil pengamatan makroskopik, warna organ hati mencit tidak terjadi perubahan, struktur permukaan hati terlihat licin dan konsistensi hati kenyal pada semua kelompok. Hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan (Retnomurti, 2008). Oleh sebab itu, hati menjadi organ yang sangat potensial menderita keracunan lebih dahulu sebelum organ lain 21 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 (Santoso, et al., 2006). Pada ginjal mencit, tidak terjadi perubahan warna jika dibandingkan dengan kontrol, permukaan ginjal tampak licin dan konsistensinya kenyal pada semua kelompok. Fungsi utama ginjal adalah organ eliminasi bagi tubuh, yaitu memusnahkan zat toksik tertentu. Beberapa obat atau zat kimia yang beredar dalam sirkulasi sistemik akan dibawa ke ginjal dalam kadar yang cukup tinggi, akan terjadi proses perubahan struktur dari ginjal itu sendiri terutama di tubulus ginjal (Manggarwati, 2010). Hasil pengamatan pada organ jantung mencit, tidak terjadi perubahan warna dibandingkan dengan kontrol, bentuk dan konsistensi organ jantung mencit tampak normal . Hal ini menunjukkan bahwa pemberian fraksi n-heksan, etanol dan etil asetat daun puguh tanoh tidak berpengaruh terhadap organ jantung. Jantung mudah dirusak oleh berbagai jenis zat kimia karena merupakan salah satu organ sasaran. Zat kimia bekerja secara langsung pada otot jantung atau secara tidak langsung melalui susunan saraf atau pembuluh darah (Retnomurti, 2008). Hasil pengamatan histopatologi terhadap jantung, hati dan ginjal mencit dapat dilihat pada gambar berikut: a. Gambar Histopatolgi Organ Jantung Kontrol Fraksi Etanol 5000 mg/kg bb b. Fraksi Etil Asetat 5000 mg/kg bb Gambar Histopatologi Organ Hati Kontrol 22 Fraksi n-Heksan 5000 mg/kg bb Fraksi n-Heksan 5000 mg/kg bb PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Fraksi Etanol 5000 mg/kg bb c. Medan, 15 Februari 2014 Fraksi Etil Asetat 5000 mg/kg bb Gambar Histopatologi Organ Ginjal Kontrol Fraksi Etanol 5000 mg/kg bb Fraksi n-Heksan 5000 mg/kg bb Fraksi Etil Asetat 5000 mg/kg bb KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa fraksi n-heksan, etil asetat dan etanol daun pugun tano memiliki efek toksisitas akut yang rendah. DAFTAR PUSTAKA Anggraini, D.R. (2008). Gambaran Makroskopik dan Mikroskopik Hati dan Ginjal Mencit Akibat Pemberian Plumbum Asetat. Tesis. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Iwuanyanwu K.C.P., Amadi, U., Charles, I.A., dan Ayalogu, E.O. (2012). Evaluation of Acute and Subchronic Oral Toxicity Studi of Baker Cleanser Bitters A Polyherbal Drug On Experimental Rat. EXCLI Journal 11(1): 632-640. Jenova, R. (2009). Uji Toksisitas Akut yang Diukur dengan Penentuan LD50 Ekstrak Herba Putri Malu (Mimosa pudica L.) Terhadap Mencit BALB/C. Skripsi. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Lu, F.C. (1994). Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. Edisi II. Jakarta: UIP. Halaman 85-86. Manggarwati, A.F. (2010). Uji Toksisitas Subkronis Ekstrak Valerian pada Tikus Wistar: Studi Terhadap Gambaran Mikroskopis Ginjal dan Kadar Kreatinin. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Halaman 9. 23 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 OECD. (2001). Acute Oral Toxicity – Acute Toxic Class Method. OECD Guidelines for Testing Chemicals. 423(1): 1-6. Retnomurti, H.R. (2008). Pengujian Toksisitas Akut Ekstrak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) Secara In Vivo. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Halaman 30-31. Santoso, H.B., dan Nurliani, A. (2006). Efek Doksisiklin Selama Masa Organogenesis pada Struktur Histologi Organ Hati dan Ginjal Fetus Mencit. Bioscientiae. 3(1): 15-27. 24 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 BAKTERI ENDOFITIK DARI SIRIH MERAH PENGHASILANTIBIOTIKA Anthoni Agustien1, Suci Fauzana1 dan Akmal Djamaan2 1) Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Andalas, Padang 2) Fakultas Farmasi, Universitas Andalas, Padang e-mail: [email protected] ABSTRAK Telah dilakukan penelitian tentang bakteri endofitik dari daun sirih merah penghasil antibiotika. Bakteri endofitik diisolasi dari daun dengan menggunakan medium Nutrien Agar. Pengujian antibiotika dari masing isolat menggunakan metode kertas cakram dengan bakteri uji E. coli dan S. aureus. Hasil penelitian menunjukkan 14 isolat bakteri endofitik yang memiliki kemampuan menghasilkan antibiotika. Delapan isolat bakteri memilikizona hambat terhadap E.coli, 12 isolat memiliki daya hambat terhadap S. aureus dan 6 isolat bakteri terhadap ke dua bakteri uji tersebut. Isolat bakteri PCT-12 memiliki daya hambat tertinggi pada ke dua bakteri uji, yaitu 10 mm pada E.coli dan 11 mm pada S. aureus. Isolat PCT-12 menghasilkan dua jenis antibiotika yang dihasilkan pada 36 dan 42 jam fermentasi. Kata kunci: endofitik, antibiotika, sirih merah, zona hambat, isolat PENDAHULUAN Antibiotika merupakan senyawa organik dengan berat molekul rendah yang dihasilkan mikroorganisme pada konsentrasi rendah memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan ataupun membunuh mikroorganisme (Demain, 1981). Peningkatan populasi penduduk dunia yang signifikan dan perkembangan berbagai penyakit infeksi yang timbul semakin meluas, berkorelasi positip akan kebutuhan obat berupa antibiotika untuk itu eksplorasi senyawa anti mikroba yang baru dari berbagai sumber masih intensif dilakukan disamping itu, dewasa ini semakin banyaknya mikroorganisme patogen yang memiliki tingkat resistensi yang tinggi terhadap antibiotika. Salah satu sumber antibiotika adalah mikroba yang hidup pada jaringan tumbuhan atau lebih dikenal dengan mikroba endofitik (Radji, 2005), Mikroorganisme endofitik dari berbagai tumbuhan dapat menghasilkan metabolit sekunder yang memiliki karakter sebagai anti mikroba patogen yang mencakup bakteri, jamur dan virus, bioaktif mengobati kanker, senyawa artemisinin sebagai obat malaria, zat aktif yang bekerja seperti insulin, antioksidan, senyawa imunosupresif, bioinsektisida dansenyawa biokatalis berupa enzim (Strobel dan Daisy, 2003; Wiyakruttaet al., 2004). Bakteri endofitik yang diisolasi dari tanaman memliki keanekaragaman yang yang besar, terdiri dari kelompok bakteri α-proteobakteria, β-proteobakteria,γ-proteobakteria, firmicutes, bakteriodes dan aktinobacteria (Rosenblueth dan Romero, 2006). Populasi bakteri endofitik dipengaruhi jenis bakteri, genotip inang, tingkat perkembangan inang, dosis inokulum dan kondisi lingkungan (Pillay and Nowak, 1997; Tan et al., 2003). Tumbuhan obat merupakan sumber yang potensi keberadaan mikroba endofitik penghasil antibiotika, mengingat jenis metabolit sekunder yang dihasilkan oleh inang secara empiris, juga dapat dihasilkan oleh bakteri endofitik. Isolat bakteri endofitik penghasil antibiotika dari tumbuhan obat telah dilaporkan seperti dari tumbuhan surian (Djamaan et al., 2012).Sirih merah merupakan salah satu tanaman obatpotensial yang diketahuisecara empirismemiliki khasiat untuk menyembuhkanberbagai jenis penyakit (Robinson, 1991). Berdasarkan uraian di atas dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui potensi isolat bakteri endofitik dari daun sirih merah. . BAHAN DAN METODE 2.1. Pengoleksiansampel daun sirih merah Sampel berupa daun sirih merah dilakukan dengan cara memetik daun yang ukurannya lebar sebanyak 5 helai, kemudian dimasukkan ke dalam kantong kertas steril.Daun yang masih dalam keadaan segar dicuci dengan air mengalir dan direndam selama 1 menit di dalam alkohol 70%. Selanjutnya daundipotong dengan ukuran 1 x 1cm bagian ujung daun,pangkal daun, sisi kiri, sisi kanan dan bagian tengah tulang daun. 25 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 2.2. Isolasi bakteri endofitik Bahagian dari daun secara aseptis diletakan pada cawan petri yang berisikan medium Nutrien Agar, kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu kamar selama 2–4 hari. Dilakukan pemurnian secara bertahap pada bakteri yang tumbuh dan diberi kode pada biakan miring sebagai stok biakan. 2.3. Peremajaan bakteri Peremajaan bakteri dilakukan dengan cara menginokulasikan 1 ose dari masing-masingbiakan miring bakteri secara ”streak plate” pada medium NA. Kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam. Koloni tunggal bakteri digunakan untuk tahapan selanjutnya. 2.4. Pembuatan inokulum Disiapkan medium produksi antibiotika dengan komposisi per liter terdiri dari 30 ml air rendaman jagung, 30 g sukrosa, 5 g CaCO3, 1 g FeSO4, 2 g MgCl2 dan 0,1 g ZnSO4. pH medium diatur pada 7,4. Masing-masing isolat bakteri diinokulasikan pada Erlenmeyer 50 mlyang berisikan 10 ml medium produksi. Kultur diinkubasi di shaker inkubator pada suhu kamar dengan pengocokan 150 rpm selama 24 jam. 2.5. Produksi antibiotika dari masing-masing isolat Diinokulasikan masing-masing inokulum (105 sel/ml) sebanyak 5% pada Erlenmeyer yang berisikan medium produksi. Kultur diinkubasi di shaker inkubator pada suhu kamar dengan pengocokan 150 rpm selama 48 jam. Dilakukan pencuplikan kultur pada waktu 24, 30, 36, 42 dan 48 jam inkubasi. Kultur bakteri disentrifugasi pada 5000 rpm, suhu kamar selama 15 menit. Selanjutnnya dipipetkan supernatan yang berupa ekstrak kasar antibiotika pada tabung reaksi kemudian disimpan pada 4 0C. 2.6. Determinasi potensi antibiotika Pengujian potensi antibiotika dari masing-masing bakteri dilakukan menggunakan metode kertas cakram. Kertas cakram dibuat dengan merekatkan 3 lapis kertas saring Whatman no.42, lalu dilubangi dengan pelubang kertas sehingga didapatkan cakram berdiameter 6 mm. Kertas cakram steril dicelupkan pada masing-masing tabung reaksi yang berisikan ekstrak kasar antibiotika. Selanjutnya secara aseptis diletakan pada wadah steril untuk pengeringan. Kertas cakram yang mengandung ekstrak kasar antibiotika diletakan secara hati-hati dan aseptis pada medium NA yang telah dioles dengan masing-masing bakteri ujiStaphylococcus aureusdanEscherichia coli. Biakan diinkubasi pada inkubator dengansuhu kamar selama 24-48 jam. Zona bening yang terbentuk yang merupakan zona hambat, diukur diameternya. 2.7. Profil penghasilan antibiotika dari isolat yang paling potensi Profil penghasilan antibiotika hanya dilakukan pada isolat yang memiliki daya hambat yang tertinggi. Pengerjaannya seperti pada langkah kerja 2.6 dan 2.7. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1.Pengujian potensi antibiotika dari masing-masing isolat bakteri endofitik Pengujian dari masing-masing bakteri endofitik isolat daun sirih merah, diperoleh 14 isolat bakteri yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan antibiotika dan satu isolat tidak mempunyai kemampuan untuk menghasilkan antibiotika. Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 14 bakteri endofitik penghasil antibiotika, 6 isolat menghasilkan antibiotika yang memberikan zona hambat terhadap kedua bakteri ujiyakni isolat PCM-2 dengan diameter hambatan 7 dan 8 mm, isolat PCM-11 dengan diameter sama-sama 10 mm, isolat PCT-2 dengan diameter hambatan 10 mm dan 9 mm, isolat PCT-3 dengan diameter hambatan sama-sama 7 mm, isolat PCT-9 dengan diameter hambatan 7 dan 8 mm dan isolat PCT-12 dengan diameter hambatan 11 dan 12 mm. Dua isolat bakteri menghasilkan antibiotika yang memberikan zona hambat terhadap hanya bakteri ujiE. coli tidak pada S.aureus yakni isolat PCM-4 dan PCT-7. Ekstrak kasar antibiotika dari 5 isolat hanya menghasilkan zona hambat pada S. aureus tidak pada E. coli yakni PCM 6, PCM 9, PCM 10, PCT 10 dan PCT 11. Bakteri endofitik isolat daun pohon surian yang menghasilkan antibiotika ada 14 isolat (Djamaan et al., 2012). Terbentuknya zona bening yang merupakan daerah hambat di sekitar kertas cakram akibat adanya aktivitas dari ekstrak kasar antibiotika yang dihasilkan mikroba memiliki aktivitas sebagai anti bakteri (Ardiansyah, 2009). Daerah hambat bakteri terjadi akibat dari terhambatnya pertumbuhan dari 26 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 bakteri uji (Dharma, 1985). Mikroorganisme dapat menghasilkan antibiotika jika mikroorganisme tersebut mengandung gen-gen yang mengkode antibiotika dan terekspresikan serta adanya induser sebagai penginduksi dalam biosintesis antibiotika dalam sel mikroba(Crueger dan Crueger 1984).Tabel 1 juga menunjukkan bahwa masing-masing isolat bakteri memiliki aktivitas antibiotika yang berbeda antara satu sama lainnya, hal ini disebabkan jenis antibiotika yang dihasilkan dari masing-masing isolat bakteri adalah berbeda, atau jenis antibiotikanya sama tetapi konsentrasi antibiotika yang dihasilkan tidak sama, sehingga memberi efek terhadap aktivitas antibiotika tersebut. Tabel 1. Rata-rata daerah hambat bakteri dari masing-masing isolat bakteri endofitik No Kode Diameter zona hambat (mm) Isolat Escherichia coli Staphylococcus aureus 1 PCM-2 7 8 2 PCM-4 7 3 PCM-6 9 4 PCM-9 7 5 PCM-10 7 6 PCM-11 10 10 7 PCT-2 10 9 8 PCT-3 7 7 9 PCT-5 10 PCT-6 11 11 PCT-7 8 12 PCT-9 7 8 13 PCT-10 10 14 PCT-11 9 15 PCT-12 11 12 Keterangan : (-) : tidak menghasilkan daerah hambat bakteri A Gambar 1 : b Efek ekstrak kasar antibotika dari bakteri endofitik terhadap bakteri uji S.aureus (a); terhadap E.coli (b) Menurut Madigan et al. (2000), jenis dan konsentrasi antibiotika merupakan faktor penentu pada aktivitas antibiotika terhadap mikroorganisme. Pada Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa adanya isolat bakteri endofitik yang menghasilkan ekstrak kasar antibiotika yang memiliki daya hambat terhadap kedua bakteri uji ada yang hanya mempunyai daya hambat pada salah satu bakteri uji saja. Isolat PCT 12 menghasilkan antibiotika dengan daya hambat yang tertinggi pada kedua bakteri uji.Sensitifitas bakteri uji ditunjukkan diameter daerah 27 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 hambat, semakin besar daya hambat terhadap bakteri maka antibiotika tersebut memiliki aktivitas yang semakin baik (Ardiansyah, 2009). 3.2 Profil penghasilan antibiotika dari isolat PCT- 12 Profil penghasilan antibiotika dari bakteri endofitik PCT-12 disajikan pada Gambar 2. Diameter zona bening (mm) 10,5 8,5 6,5 24 30 36 42 48 waktu fermentasi (Jam) Gambar 2 : Profilaktivitas antibiotika isolat PCT-12 terhadap bakteri uji Keterangan : Gambar 2, menunjukkan adanya dua kurva aktivitas antibiotika dari isolat PCT-12, dimana antibiotika yang dihasilkan pada 36 jam memiliki daya hambat yang paling tinggi (10 mm) terhadap E. coli dan satunya lagi aktivitas antibiotika paling tinggi daya hambatnya (11 mm) terhadap S. aeureus pada 42 jam fermentasi.Hal ini menunjukkan bahwa Isolat PCT-12 bakteri endofitik yang diisolasi dari daun sirih, mempunyai dua jenis antibiotika yang berbeda. Mikroorganisme endofitik ada yang memiliki kemampuan menghasilkan lebih dari satu jenis antibiotika (Strobel dan Daisy, 2003). KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Diperoleh 14 isolat bakteri endofitik yang mampu menghasilkan antibiotika dari daun tanaman sirih merah (Piper crocatumRuiz & Pav), dengan perincian 8 isolat memiliki zona bening terhadap E.coli, 12 isolat memiliki daya hambat terhadap S. aureus dan 6 isolat bakteri terhadap ke dua bakteri uji tersebut. 2. Isolat PCT-12 adalah isolat yang memiliki daya hambat tertinggi pada ke dua bakteri uji. 3. Isolat PCT-12 menghasilkan dua jenis antibiotika, satu jenis antibiotika dihasilkan pada 36 jam dan yang satunya lagi pada 42 jam fermentasi. 4.2 Saran Perlu penelitian lebih lanjut untuk optimasi dan “scale up” produksi antibiotika dari isolat PCT-12. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Kepala Laboratorium Riset Mikrobiologi dan Ketua Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Andalas, Padang, yang telah memberikan fasilitas penelitian. 28 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 DAFTAR PUSTAKA Ardiansyah, 2009. Daun Beluntas Sebagai Bahan Antibakteri dan Antioksidan. Artikel Iptek. Bidang Biologi, Pangan dan Kesehatan. Crueger, W. and A Crueger. 1994. Biotechnology : A Text Book Of Industrial Microbiology. Translate by C. Heasslyang T.D. Brock, Science Tech, Inc, Medison : New York. Dharma,A.P.1985.Tanaman Obat Tradisional Indonesia. Penerbit Balai Pustaka. Jakarta. Djamaan, A., A. Agustien dan D. Yuni. 2012. Isolasi bakteri endofitik dari tumbuhan tanaman surian (Toonia sureni Blume Merr.) yang berpotensi sebagai anti bakteri. Jurnal Bahan Alam Indonesia, 8,1, 37-40. Demain, A. L.1981. Industrial microbiology. Science,214, 987–994. Madigan, M., J. Martinko and J. Parker (2000), Biology of Microorganism, 9th ed.,Prentice Hall Inc, New Jersey, 432-438. Pillay, V. K. and Nowak, J. 1997. Inoculum density, temperature, and genotype effects on in vitro growth promotion and epiphytic and endophytic colonization of tomato (Lycopersicon esculentum L.) seedlings inoculated with a pseudomonad bacterium. Canadian Journal Microbiology, 43, 354-361. Radji, M. 2005. Peranan bioteknologidan mikroba endofitdalam pengembangan obat herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian, 2, 3, 113-126 Rosenblueth, M. dan E.M., Romero, 2006. Bacterial endophytes and their interactions with host. MPMI, Vol. 19, No. 8, 827–837. Strobel, G. and B. Daisy. 2003. Bioprospecting for Microbial Endophytes and Their Natural Products. Journal Microbiology and Molecular Biology Review.67, 4, 491-502 Tan, Z., T. Hurek, and H.B., Reinhold. 2003. Effect of N-fertilization, plant genotype and environmental conditions on nifH gene pools in roots of rice. Journal Environmental Microbiology, 5, 1009-1015. Wiyakrutta, S., N. Sriubolmas, W. Panphut, N. Thongon and K. Danwisetkanjana. 2004. Endophytic fungi with anti-microbial, anti-cancer and anti-malarial activities isolated from Thai medicinal plants. World J.Microbiology Biotechnology,20, 265–272. 29 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 PENGGUNAAN SALEP SERBUK BIJI BUAH PINANG (Areca catechu L.) SEBAGAI OBAT LUKA BAKAR Djendakita Purba dan Dorce Boang Manalu Fakultas Farmasi USU ABSTRAK Telah dilakukan penelitian terhadap serbuk biji buah pinang dalam dasar salep berminyak untuk penyembuhan luka bakar, sebagai pembanding digunakan Bioplacenton® jeli. Kadar serbuk biji buah pinang yang digunakan 5%; 7,5%; 10% dan 12,5%. Luka bakar dibuat pada punggung kelinci jantan dengan menggunakan lempeng logam panas. Penyembuhan luka bakar diukur berdasarkan diameter luka. Luka dinyatakan sembuh total bila diameter luka sama dengan nol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok kelinci yang diberi salep serbuk biji buah pinang 12,5% mempunyai waktu penyembuhan tercepat yaitu 16 hari. Waktu penyembuhan terlama ditunjukkan oleh kelompok kelinci yang diberi salep serbuk biji buah pinang 5% yaitu 30 hari. Dengan Bioplacenton® jeli waktu penyembuhan 26 hari. Kata kunci : serbuk biji pinang, kelinci, Bioplacenton® jeli, luka bakar. PENDAHULUAN Suatu kekayaan alam yang terdapat di Indonesia adalah tumbuh–tumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan secara tradisional dapat digunakan sebagai obat. Bagi penduduk Indonesia keberadaan obat tradisional bukan merupakan hal yang baru sebab sudah digunakan dan diajarkan secara turun temurun (Santosa, 2004). Salah satu jenis tanaman obat yang dapat dikembangkan adalah pinang (Areca catechu L) Secara tradisional buah pinang dapat digunakan untuk menyembuhkan luka akibat kecelakaan, terbakar, terbentur (Kloppenburg, 1988), tetapi belum pernah diteliti efek farmakologinya. Kandungan zat berkhasiat pada biji buah pinang yaitu alkaloid, tanin, lemak, saponin flavonoid (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2001). Kandungan tanin pada biji yang masih muda sangat tinggi dan tanin ini dalam air dapat terurai jika disimpan (Dit Jen POM, 1979). Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba melakukan penelitian untuk mengetahui efek penyembuhan luka bakar dengan memanfaatkan serbuk biji buah pinang dalam dasar salep berminyak yang tidak mengandung air. Kemudian dibandingkan dengan sediaan obat luka bakar yang telah beredar di pasaran yaitu Bioplacenton® jeli. BAHAN DAN METODE Bahan-bahan dan Peralatan Bahan–bahan yang digunakan adalah biji buah pinang yang masih muda , parafin cair, adeps lanae, setil alkohol, vaselin album, Bioplacenton® jeli ( Kalbe Farma ) dan Pehacain injeksi® (Phapros). Peralatan yang digunakan: Neraca listrik, neraca kasar, neraca hewan, lempeng logam berdiameter 2 cm , pisau cukur, gunting, ayakan mesh 100, termometer, kain kasa steril, dan alat-alat gelas laboratorium. Hewan yang digunakan adalah kelinci jantan dewasa yang sehat (Orytolagus cuniculus). Metodologi 1. Persiapan hewan Sebelum percobaan dimulai, kelinci dipelihara lebih dahulu selama satu minggu dalam kandang yang baik untuk menyesuaikan lingkungan. Selama pemeliharaan setiap hari diamati perilakunya dan berat badannya ditimbang. Hewan dinyatakan sehat dan dinilai dapat digunakan untuk pengujian, selama pemeliharaan berat badannya tetap atau bertambah dan perilakunya normal. 2. Penyediaan sampel 2.1 Pembuatan serbuk biji pinang Buah pinang yang masih muda berwarna hijau diambil secara purposive tanpa membedakan tempat tumbuh lalu dikumpulkan. Kemudian dikupas dari serabutnya dan timbang bijinya, 30 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 selanjutnya diiris tipis-tipis dan dikeringkan diudara terbuka terlindung dari sinar matahari langsung. Setelah kering dihaluskan menjadi serbuk dan ayak dengan ayakan mesh 100. Serbuk halus ini disimpan dalam wadah yang tidak tembus cahaya. 2.2 Pembuatan salep ( formula ) sediaan uji Dasar salep yang digunakan adalah dasar salep hidrokarbon, kemudian dibuat sediaan salep dengan serbuk biji buah pinang dengan variasi konsentrasi berturut turut 5%, 7,5%, 10%, 12,5% Tabel 1. Formula Sediaan Salep Serbuk biji buah pinang Bahan Serbuk biji pinang (%) Setil alkohol (g) Adeps lanae (g) Vaselin album (g) Parafin cair hingga (g) A 2,0 2,3 32,5 50 B 5 2,0 2,3 32,5 50 Formula C 7,5 2,0 2,3 32,5 50 D 10 2,0 2,3 32,5 50 E 12,5 2,0 2,3 32,5 50 Keterangan: Formula A = Dasar salep tanpa serbuk biji buah pinang Formula B = Kadar serbuk biji buah pinang 5% Formula C = Kadar serbuk biji buah pinang 7,5% Formula D = Kadar serbuk biji buah pinang 10% Formula E = Kadar serbuk biji buah pinang 12,5% Cara Pembuatan Timbang bahan-bahan yang diperlukan. Setil alkohol, adeps lanae, vaselin album dan parafin cair dimasukkan kedalam cawan porselen kemudian dilebur di atas penangas air sampai seluruhnya mencair. Kemudian diangkat dari penangas air lalu diaduk sampai dingin sehingga diperoleh dasar salep ( Lachman, 1994 ). Serbuk biji buah pinang yang sudah ditimbang masukkan kedalam lumpang , gerus dan tambahkan dasar salep sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen. Salep yang sudah jadi dimasukkan kedalam wadah dan disimpan ditempat yang terlindung dari cahaya. 3. Pengujian Pengobatan Luka Bakar Caranya: Kelinci dicukur bagian punggungnya, kemudian dianestesi dengan Pehacain® injeksi yang disuntikkan secara sub kutan dengan dosis 1 ml; setelah 3 menit, kulit diinduksi dengan alat penginduksi panas pada suhu 80-90°C selama 5 menit sehingga terjadi luka bakar. Luka yang terjadi diukur diameternya, kemudian luka tersebut diolesi dengan salep sediaan uji, tutup dengan kain kasa dan plester. Setiap hari dilakukan pengamatan dengan mengukur diameter luka dan diolesi lagi dengan salep uji sampai akhirnya luka sembuh. Diameter luka sama dengan nol bila luka sudah tertutup dengan jaringan baru (Suratman, dkk 1996). Untuk setiap perlakuan digunakan 5 ekor kelinci. Perhitungan persentase penyembuhan (Suratman, dkk 1996). a. Cara mengukur diameter luka bakar dx = dx 1 + dx 2 + dx 3 + dx 4 4 dx = diameter luka hari ke- x b. Perhitungan persentase penyembuhan luka bakar menggunakan rumus: d12 − dx 2 px = × 100% d12 px = persentase luka hari ke- x d1 = diameter luka hari ke- 1 dx = diameter luka hari ke- x 31 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 2. Persentase rata-rata penyembuhan luka bakar KELOMPOK PERLAKUAN Hari KeA B C D 1 0,00 0,00 0,00 0,00 2 -66,77 -21,12 -13,09 -23,02 3 -74,77 -37,40 -19,95 -49,36 4 -89,19 -39,27 -27,20 -56,29 5 -104,74 -43,27 -32,92 -66,17 6 -111,42 -49,59 -35,34 -37,77 7 -105,56 -53,69 -37,44 -21,79 8 -99,35 -55,71 -35,74 -9,21 9 -92,37 -55,26 -32,02 9,98 10 -82,36 -55,60 -26,96 25,10 11 -71,63 -57,77 -24,72 50,60 12 -67,21 -44,04 -20,48 58,08 13 -62,45 -35,82 -17,03 64,71 14 -59,91 -26,45 -14,50 71,56 15 -58,24 -17,65 -10,54 81,89 16 -56,58 -10,79 4,15 88,91 17 -53,28 -0,48 17,79 93,65 18 -40,45 5,6 27,25 96,98 19 -28,18 10,21 33,00 99,25 20 -22,50 12,94 40,42 99,61 21 -17,27 15,07 46,29 99,92 22 -8,53 26,50 59,44 100,00 23 20,04 32,49 81,69 * 24 31,08 54,64 92,39 * 25 37,66 68,99 97,65 * 26 46,64 81,77 98,98 * 27 55,93 89,36 100,00 * 28 64,59 95,01 * * 29 64,46 98,67 * * 30 74,99 99,91 * * 31 83,65 100,00 * * 32 89,53 * * * 33 94-,79 * * * 34 97,00 * * * 35 98,31 * * * 36 99,25 * * * 37 100,00 * * * Medan, 15 Februari 2014 E 0,00 -25,07 -24,75 -43,33 -29,95 -20,59 -7,62 1,54 18,99 41,47 59,90 63,63 76,63 86,89 94,92 99,25 100,00 * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * F 0,00 -21,04 -40,29 -58,52 -66,94 -86,87 -69,16 -54,25 -44,54 -26,85 -13,96 1,27 20,92 32,81 41,17 53,79 61,42 70,85 77,14 81,96 86,42 90,96 94,64 97,73 99,61 100,00 * * * * * * * * * * * Keterangan: A = Pengobatan dengan dasar salep B = Pengobatan dengan salep serbuk biji buah pinang 5% C = Pengobatan dengan salep serbuk biji buah pinang 7,5% D = Pengobatan dengan salep serbuk biji buah pinang 10% E = Pengobatan dengan salep serbuk biji buah pinang 12,5% F = Pengobatan dengan Bioplacenton® * = Luka sembuh Pada Tabel 2. dapat dilihat bahwa kelompok dengan pemberian dasar salep tanpa penambahan serbuk biji buah pinang, penyembuhan 100% (total) terjadi pada hari ke 37 Untuk kelompok yang diberi dengan salep yang mengandung serbuk biji buah pinang 5%, 7,5%, 10%, dan 12,5% memberikan persentase penyembuhan 100% (total) berturut-turut 31 hari, 27 hari, 22 hari, dan 17 hari. Sedangkan untuk kelompok pembanding mengunakan pengobatan dengan Bioplacenton®' 32 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 memberikan penyembuhan total pada hari ke- 26. Ternyata salep yang mengandung serbuk biji buah pinang sebanyak 7,5%, menunjukkan hasil yang sama dengan pengobatan menggunakan Bioplacenton®' yaitu sembuh pada hari ke- 27. (Bioplacenton® adalah obat luka bakar). Hal ini disebabkan serbuk biji buah pinang mengandung tanin yang cukup tinggi dan mengandung saponin yang dapat berfungsi sebagai obat luka. Tanin berguna sebagai adstringent yang dapat menyebabkan penutupan pori–pori kulit dan menghentikan eksudat dan pendarahan ringan. Saponin memiliki kemampuan sebagai antiseptik yang dapat mencegah pertumbuhan mikro organisme. Pengobatan dengan salep yang mengandung 12,5% serbuk biji buah pinang memberikan penyembuhan yang lebih cepat daripada pengobatan dengan Bioplacenton® karena penyembuhan total terjadi pada hari ke -16. Grafik Penyembuhan Luka Bakar dari Berbagai Kelompok Perlakuan 120 Persentase Penyembuhan 100 80 60 40 20 0 -20 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 -40 -60 -80 -100 -120 Hari keFormula A Formula B Formula C Formula D Formula E Formula F Gambar 1. Grafik Penyembuhan Luka Bakar dari Berbagai Kelompok Perlakuan Gambar 2. Kelinci dengan pengobatan menggunakan salep yang mengandung serbuk biji buah pinang 12,5%. 33 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 KESIMPULAN 1. Sediaan salep yang mengandung serbuk biji buah pinang dapat menyembuhkan luka bakar secara nyata. 2. Sediaan salep yang mengandung serbuk biji buah pinang 5%, 7,5%, 10%, dan 12,5% dapat menyembuhkan luka bakar pada hari ke-31, 27, 22, dan ke -16 secara total. Penyembuhan tercepat yaitu pada hari ke- 16 dengan menggunakan sediaan salep yang mengandung 12,5% serbuk biji buah pinang. DAFTAR PUSTAKA Anief, Moh. (1997). Formulasi Obat Topikal Dengan Dasar Penyakit Kulit.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal. 1-5,38,63. Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan. (2001). Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I). Jilid 2. Depkes & Kesejahteraan Sosial RI. Jakarta. hal 34. DitJen POM. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. hal. 33. Kloppenburg, J. (1998). Petunjuk Lengkap Mengenai Tanam-Tanaman Di Indonesia Dan Khasiatnya Sebagai Obat-Obatan Tradisionil. Cetakan kedua.Yogyakarta. Penerbit: CD. R.S. Bethesda Dan Andi Offset. hat 133. Lachman, L., dkk. (1994). Teori dan Praktek Farmasi Industri. Penerjemah: Siti Suyatmi. Edisi kedua. Jakarta. Universitas Indonesia. hal. 1136. Moenadjat, Y. (2003). Luka Bakar: Pengetahuan Klinik Praktis. Jakarta: Fakultas- Kedokteran Universitas Indonesia. hal. 2-5. Robinson, L. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerjemah: Kosasih Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB. hal. 71, 191. Tjitrosoepomo, G. (1994). Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Ilustrator: Eko Sarjono. Cetakan pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal 443-444. Santosa, D., dan Gunawan. (2004). Ramuan Tradisional Untuk Penyakit Kulit. Jakarta: Penebar Swadaya. hal. 1-5. Suratman., Sumin 1, AS., dan Ghozali, D. (1996). Pengaruh Ekstrak Antanan dalam Bentuk Sediaan Salep, Krim dan Jelly terhadap Penyembuhan Luka Bakar. Cermin Dania Kedokteran; 108; 3138. 34 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 EFEK EKSTRAK RIMPANG TEMU MANGGA (Curcuma mangga Valeton & v.Zijp) SEBAGAI ANTIMIELOSUPRESI Edy Suwarso, Suryadi Achmad, Rasmadin Muchtar, Meliza Sari Hutabarat (Staf Pengajar Fakultas Farmasi, USU, Medan) Email: [email protected] ABSTRAK Hemopoesis merupakan proses pembuatan sel-sel darah, di mana sangat dipengaruhi adanya mielosupresi yang berperan dalam penurunan jumlah sel-sel darah dalam tubuh. Kehidupan sel darah dimulai dalam sumsum tulang dalam bentuk tipe sel yang dikenal dengan nama stem cell hematopoietic pluripoten, yang akan berproliferasi menjadi sel-sel mieloid. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat efek ekstrak rimpang temu mangga sebagai antimielosupresi.Penelitian ini dilakukan pada 4 kelompok perlakuan, di mana kelompok pertama (AM – 1) sebagai kelompok kontrol, Kelompok kedua (AM – 2), kelompok uji yang diinduksi dengan siklofosfamid dosis 30 mg/kg BB, Kelompok tiga dan empat sebagai kelompok perlakuan ekstrak rimpang temu mangga (ERTM) dosis 100 mg/kg BB (AM – 3) dan dosis 200 mg/kg BB (AM – 4). Hasil Penelitian menunjukkan bahwa ERTM dosis 200 mg/kg BB mampu meningkatkan jumlah sel darah putih dengan nilai 8,3 x 103 ± 0,453 yang sama dengan nilai kontrolnya yaitu 8,1 x 103 ± 0,514 (p>0,05). Untuk sel MID ERTM dosis 100 mg/kg BB sudah dapat meningkatkan jumlahnya yang sama dengan nilai kontrolnya yaitu 2,7 x 103 ± 0,316 dan kontrol ditunjukkan dengan nilai 2,78 x 103 ± 0,912 (p>0,05). Dapat disimpulkan bahwa ERTM menunjukkan efeknya sebagai antimielosupresi. Kata kunci: Antimielosupresi, mieloid, ekstrak rimpang temu mangga (ERTM), sel darah putih, sel MID PENDAHULUAN Mielosupresi merupakan suatu proses yang terjadi dalam sumsum tulang yaitu ditunjukkan dengan penurunan produksi sel-sel mieloid yang sangat berpengaruh pada hemopoesis, yaitu proses pembentukan sel-sel darah (Hillman dan Ault, 1995; Soebandri, 2006). Pembentukan sel-sel darah dalam sumsum tulang dimulai dari suatu bentuk tipe sel yang disebut stem cell hematopoetic pluripoten, yang merupakan basal dari semua sel yang terdapat dalam sirkulasi darah (Guyton dan Hall, 2007). Sel-sel ini akan berproliferasi menjadi sel-sel limfoid dan sel-sel mieloid. Sel-sel limfoid akan berkembang menjadi limfosit T dan limfosit B yang berperan dalam menghasilkan sel-sel pertahanan tubuh, sedangkan sel-sel mieloid akan berproliferasi menjadi sel-sel darah yang terdapat dalam sirkulasi darah, seperti granulosit, monosit, eritrosit, megakariosit, dan lain-lain (Junqueira dan Carneiro, 2007). Fungsi sel-sel mieloid dalam tubuh ada tiga. Pertama)., sel mieloid dapat bergerak keluar dari sirkulasi menuju ke jaringan yang terkena infeksi, rusak ataupun akibat inflamasi. Kedua)., akan berperan sebagai sel fagosit (sel granulosit, monosit dan lainnya). Ketiga)., mampu melepaskan isi dari granul-granul sel yang disebut eksositosis (Hillman dan Ault, 1995). Menurut Girindra (1988), hasil pemeriksaan darah secara umum menggambarkan kondisi dari tubuh, sehingg merupakan parameter yang penting untuk diperhatikan. Indonesia pada tahun 2010 menunjukkan prevalensi penyakit yang berhubugan dengan darah meningkat, terutama untuk penyakit seperti anemia, leukopenia, leukositosis, dan trombositopenia. Pasien yang sering menderita akan gangguan darah terutama anak-anak dan pasien lain yang terinfeksi bakteri atau virus (Depkes R.I., 2011). Penggunaan bahan alami untuk pengobatan suatu penyakit sudah lama dikenal dan sekarang sudah banyak pengobatan penyakit menggunakan bahan alami yang diketahui mempunyai efek samping yang relatif kecil dibandingkan dengan bahan obat hasil sintesis atau lebih dikenal dengan istilah back to nature (Wasitaatmadja, 1977; Aggarawal, et al., 2006; ). Pemanfaatan tumbuhan yang berkhasiat obat, akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan yang cukup pesat. Salah satu tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat adalah rimpang temu mangga (Curcuma mangga Valeton & v.Zijp). Kandungan kimia dari rimpang temu mangga adalah kurkuminoid, flavonoid, saponin, polifenol dan minyak atsiri (Syukur, 2003). Temu mangga sering digunakan sebagai obat maag, penawar racun (antitoksik), penghilang rasa nyeri saat haid, merapatkan vagina, penambah libido seksual, pencahar 35 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 (laksatif), dan obat masuk angin. Hasil penelitian terkini, di mana temu mangga dapat bersifat sebagai imunomodulator, antioksidan dan anti kanker (Widodo, 2005). BAHAN DAN METODE Alat-alat yang digunakan: alat-alat gelas, neraca hewan (Presica), haematology analyser (Cell-Dyne 1800). Bahan yang digunakan: Rimpang temu mangga, Karboksi metil selulosa (Brataco®), Larutan fisiologis NaCl 0,9% (Widatra®), Siklofosfamid (Endoxan®). Cara kerja: Penelitian ini dilakukan pada 4 kelompok perlakuan: Kelompok pertama (AM – 1) sebagai kelompok kontrol negatif: Pada hari pertama diberikan 0,5 ml larutan NaCl 0,9% secara intra peritoneal (i.p), kemudian pada hari kedua sampai dengan hari ke delapan diberikan CMC 250 mg/hari per oral (p.o). Kelompok kedua (AM – 2), sebagai kelompok kontrol positif: Pada hari pertama diinduksi dengan siklofosfamid dosis 30 mg/kg BB secara i.p, kemudian pada hari kedua sampai dengan hari ke delapan diberikan CMC 250 mg/hari p.o. Kelompok ketiga (AM – 3), sebagai kelompok uji ERTM dosis 100 mg/kg BB: Pada hari pertama diinduksi dengan siklofosfamid dosis 30 mg/kg BB secara i.p, kemudian pada hari kedua sampai dengan hari ke delapan diberikan ERTM dengan dosis 100mg/kg BB/hari p.o. Kelompok keempat (AM – 4), sebagai kelompok uji ERTM dosis 200 mg/kg BB: Pada hari pertama diinduksi dengan siklofosfamid dosis 30 mg/kg BB secara i.p, kemudian pada hari kedua sampai dengan hari ke delapan diberikan ERTM dengan dosis 200mg/kg BB/hari p.o. Pada hari kedelapan untuk masing kelompok, 4 jam kemudian diambil darahnya sebanyak 1 ml melalui ekor mencit dengan cara menggunting bagian ujung ekor dan ditampung dalam politube yang telah berisi heparin. Diukur parameter hematologinya dengan alat Cell Dyne 1800 (Shah, et al., 2008). HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian aktivitas antimielosupresi dilakukan secara in vivo pada hewan uji mencit jantan dengan metode mielosupresi yang diinduksi dengan siklofosfamid (cyclophosphamide-induced myelosuppression) dengan cara mengukur parameter hematologi menggunakan alat haematology analyser (Cell Dyne 1800) yang telah dilakukan oleh Shah, et al., (2008) dan Shukla, et al., (2009) dengan cara hewan uji diinduksi dengan siklofosfamid dosis 30 mg/kg BB secara i.p pada hari pertama sebelum perlakuan. Penentuan parameter hematologi dilakukan pada hari kedelapan. Untuk melihat ada tidaknya perbedaan antar perlakuan dilakukan uji statistik dengan uji analisis variansi (ANAVA) dengan program SPSS (Statistical Product and Service Solutions) versi 15 dan selanjutnya dilakukan uji beda antar rata-rata dengan ujinya Post Hoc Tukey bila hasil uji ANAVA menunjukkan signifikansi lebih kecil dari 0,05 (p<0,05). Hasil pengukuran jumlah sel darah putih dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1. Tabel 1. Hasil pengukuran jumlah sel darah putih AM-1 AM-2 AM-3 AM-4 8,3 5,8 7,4 8,2 8,5 5,9 7,7 7,6 Jumlah Sel Darah 8,3 5,8 7,5 8,6 3 Putih x 10 7,2 6,1 7,2 8,4 8,2 6,1 7,4 8,7 Rata-rata ± SD 8,1 ± 0,514 5,94 ± 0,151 7,44 ± 0,181 8,3 ± 0,435 Keterangan: AM – 1 : kontrol negatif, AM – 3 : perlakuan ERTM dosis 100 mg/kg BB, AM – 2 : kontrol positif, AM – 4 : perlakuan ERTM dosis 200 mg/kg BB. Untuk lebih memperjelas pengertian dari Tabel 1, dapat dilihat pada Gambar 1, yang menggambarkan kurva balok plot dari jumlah sel darah putih x 103 lawan perlakuan. 36 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 8,3 ± 0,435 JUMLAH SEL DARAH PUTIH X 103 8,1 ± 0,514 7,44 ± 0,181 5,94 ± 0,151 AM-1 AM-2 AM-3 AM-4 PERLAKUAN Gambar 1. Grafik pengukuran jumlah sel darah putih terhadap perlakuan Dari Tabel 1 dan Gambar 1 dapat dilihat bahwa pemberian ERTM yang makin meningkat akan meningkatkan pula jumlah sel darah putih yaitu pada dosis ERTM 200 mg/kg BB menunjukkan nilai yang sama dengan kontrol negatif (p>0,05). Dari data di atas menggambarkan bahwa ERTM dosis 200 mg/kg BB dapat mengembalikan jumlah sel darah putih yang sama dengan normalnya. Salah satu dari bagian leukosit (sel darah putih) yang mengalami diferensiasi adalah sel mid (MID = monosit, eosinofil, basofil, sel blast dan precursor sel darah putih). Nilai MID dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 2. Tabel 2. Hasil pengukuran sel mid (MID) AM-1 AM-2 AM-3 AM-4 4,1 1,9 3,1 3,0 3,0 1,5 2,9 2,6 Jumlah Sel mid 2,4 1,6 2,5 4,1 (MID) x 103 1,6 1,6 2,3 3,2 2,8 2,0 2,7 3,4 Rata-rata ± SD 2,78 ± 0,912 1,72 ± 0,217 2,70 ± 0,316 3,26 ± 0,555 Keterangan: AM – 1 : kontrol negatif, AM – 3 : perlakuan ERTM dosis 100 mg/kg BB, AM – 2 : kontrol positif, AM – 4 : perlakuan ERTM dosis 200 mg/kg BB. Untuk mempertegas pengertian Tabel 2, lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 2, yang menggambarkan kurva balok plot dari jumlah sel mid (MID) x 103 lawan perlakuan. 37 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 3,26 ± 0,555 JUMLAH sel mid (MID) x 103 2,78 ± 0,912 2,70 ± 0,316 1,27 ± 0,217 AM-1 AM-2 AM-3 AM-4 PERLAKUAN Gambar 2. Grafik pengukuran jumlah sel mid (MID) terhadap perlakuan Tabel 2 dan Gambar 2 menunjukkan nilai peningkatan jumlah MID, di mana hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai MID kontrol negatif sama dengan perlakuan ERTM dosis 100 mg/kg BB maupun 200 mg/kg BB, sedangkan MID ERTM 100 mg/kg BB juga sama dengan dosis 200 mg/kg BB, dengan kata lain bahwa ERTM dosis 200 mg/kg BB menunjukkan nilai peningkatan MID yang besar dan masih menunjukkan nilai yang sama dengan nilai kontrol negatif (p>0,05). Dalam pengukuran nilai MID (seperti monosit, eosinofil, basofil, sel blast dan precursor sel darah putih) yang merupakan diferensiasi sel darah putih adalah gambaran yang sama dengan leukosit atau sel darah putih yang artinya juga gambaran akan kemampuan ERTM dalam meningkatkan jumlah sel darah putih dalam tubuh. KESIMPULAN Ekstrak Rimpang Temu Mangga dosis 200 mg/kg BB mampu berperan sebagai antimielosupresi yang ditunjukkan oleh peningkatan jumlah sel darah putih, demikian juga ditunjukkan oleh peningkatan salah satu dari hasil diferensiasi sel darah putih yaitu MID, yang artinya juga menunjukkan peningkatan dari sel-sel bagian leukosit seperti monosit, eosinofil, basofil, sel blast dan precursor sel darah putih. DAFTAR PUSTAKA Anggarawal BB, Sundarman C, Malani N, Ichikawa H. 2006 Curcumin The Indian Solid Gold. Hal 24. [Tanggal 22 Desember 2011]. http//www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/17569205 Depkes R.I. (2011), Profil Kesehatan Indonesia 2010. Diakses tanggal 18 April 2012. http//www.depkes.go.id/downloads/profil/terbaru.pdf. Girindra, A. (1988). Biokimia Patologi Hewan. Bogor; PAU IPB. Hal 17. Guyton, A.C., dan Hall, J.E. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Editor: Luqman Yanuar Rahman, Huriawati Hartanto, Andita Novrianti dan Nanda Wulandari. Edisi kesebelas. Jakarta: EGC. Hal 439 – 459. Hillman, R.S., dan Ault, K.A. (1995). Hematology in Clinical Practise. New York: Mcgraw-Hill. Hal 241 – 245. Junqueira, L.C., dan Carneiro, J. (2007). Histologi Dasar. Editor: frans dany. Edisi Kesepuluh. Jakarta: EGC. Hal 235. Shukla, S., Mehta, A., dan john, J. (2009). Immunomodulatory Activities of Ethanolic Extract of Caesalpinia bonducella Seeds. Journal of Etnopharmacology. 125(2): 252 – 256. 38 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Soebandri. (2006). Hemopoesis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor: Aru Sudoyo, Bambang Setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, dan Siti Setiati. Edisi keempat. Jilid II. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 619. Syukur, C. (2003). Temu Putih: Tanaman Obat Anti Kanker. Cetakan Pertama. Jakarta: Penebar Surabaya. Hal 4. Wasitaatmadja, S.M. (1997). Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: Penerbit UI Press. Hal 59. Widodo, A. (2005). Tanaman Berkhasiat Obat. Bandung. Pustaka Media. Hal 53. 39 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 DAYA HAMBAT EKSTRAK RIMPANG KENCUR (Kaempferia galanga L.) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Escherichia coli Hafnati Rahmatan, Iswadi, Melly Hafizha Prodi Pend. Biologi FKIP UNSYIAH e-mail: [email protected] ABSTRAK Escherichia coli merupakan bakteri patogen yang dapat menimbulkan gastroenteritis akut. Escherichia coli dilaporkan sudah mengalami resisten terhadap beberapa obat antimikroba sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menemukan alternatif terapi lain. Alternatif terapi adalah menggunakan bahan alami sebagai bahan antimikroba, yaitu rimpang kencur (Kaempferia galanga L.). Kandungan aktif rimpang kencur yang diduga bermanfaat sebagai antimikroba adalah saponin, minyak atsiri, alkaloid, flovanoid serta tanin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi antimikroba ekstrak rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) terhadap Escherichia coli. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pendekatan kuantitatif menggunakan metode difusi kertas cakram untuk menentukan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM). Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah Escherichia coli yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Konsentrasi ekstrak rimpang kencur yang digunakan yaitu 20%, 40%, 60%, 80% dan 100%, masing-masing dengan tiga kali ulangan.Analisis data menggunakan one way ANOVA pada taraf signifikan 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak rimpang kencur berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan Escherichia coli. Konsentrasi minimum yang dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli adalah 80% dengan diameter hambat 16,79 mm. Kata kunci: Rimpang kencur, antimikroba, Escherichia coli PENDAHULUAN Salah satu tanaman obat yang cukup dikenal di Indonesia adalah tanaman kencur (Kaempferia galanga L.). Secara empirik kencur digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit seperti batuk, masuk angin, radang lambung, perut nyeri, tetanus, bengkak, panas dalam dan mulas (Astuti dkk, 1996:26). Bagian tanaman kencur yang sering dimanfaatkan sebagai pengobatan adalah rimpangnya. Rimpang kencur mengandung senyawa metabolit sekunder seperti minyak atsiri, sinnamal, aldehid, asam motil p-kumarik, asam sinnamat, etil ester, dan pentadekan. Kandungan kimia itulah yang menjadikan rimpang kencur banyak digunakan untuk pengobatan, salah satunya sebagai antibakteri (Santoso, 2008:12). Pemanfaatan rimpang kencur sebagai antibakteri lebih menguntungkan karena lebih aman dibandingkan penggunaan bahan sintetik. Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang secara normal terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan. Selain sebagai mikroflora normal Escherichia coli dapat juga berasal dari makanan yang terkontaminasi (Sarjono dan Mulyani 2007:89). Escherichia coli merupakan salah satu penyebab utama terjadinya infeksi pada saluran pencernaan yang ditandai dengan gejala diare (Pelczar dan Chan, 1986:169). Escherichia coli dilaporkan memiliki resistensi terhadap beberapa antibiotik. Data tahun 2010 menunjukkan 79% strain Escherichia coli resisten terhadap ampisilin, sedangkan 30% strain resisten terhadap siprofloksasin (Tirtodiharjo, 2011:3). Peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotik memberikan peluang besar untuk mendapatkan senyawa antibakteri dengan memanfaatkan senyawa bioaktif dari kekayaan keanekaragaman hayati. Oleh karena itu penggunaan bahan alami berupa rimpang kencur diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi resistensi pada Escherichia coli. Berdasarkan permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah ekstrak rimpang kencur dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan untuk mengetahui konsentrasi minimum ekstrak rimpang kencur yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan tujuh kelompok perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan tersebut adalah: P0: Akuades sebagai Kontrol Negatif, P1: 40 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Ekstrak Rimpang Kencur Konsentrasi 20%, P2: Ekstrak Rimpang Kencur Konsentrasi 40%, P3: Ekstrak Rimpang Kencur Konsentrasi 60%, P4: Ekstrak Rimpang Kencur Konsentrasi 80%, P5: Ekstrak Rimpang Kencur Konsentrasi 100%, dan P6: Kloramfenikol 10% sebagai Kontrol Positif. Adapun cara kerja dalam penelitian ini adalah: 1. Sterilasasi Alat dan Bahan Sebelum dilakukan uji daya hambat, terlebih dahulu dilakukan sterilisasi alat dan bahan yang akan digunakan. Seluruh alat yang terbuat dari kaca dan tahan panas, seperti gelas ukur, jarum ose, batang L, cawan petri, tabung reaksi, dan labu Erlenmeyer dicuci bersih, dikeringkan, dan dibungkus dengan kertas tahan panas. Lalu alat-alat ini disterilisasi di dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Bahan yang akan digunakan seperti media NA dan akuades juga disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Alat-alat lainnya disterilisasi dengan alkohol 70% dan api spiritus. 2. Pembuatan Ekstrak Rimpang Kencur Teknik ekstraksi mengikuti cara kerja yang disebutkan oleh Mpila dkk. (2012:15) dengan modifikasi yang telah disesuaikan. Ekstraksi sampel rimpang kencur menggunakan metode maserasi. Proses maserasi sebagai berikut: Sebanyak 400 gram serbuk simplisia kencur dimasukkan ke dalam ember, kemudian direndam dengan larutan etanol 96% sebanyak 1500 ml, ditutup dengan aluminium foil dan dibiarkan selama lima hari sambil sesekali diaduk. Setelah lima hari, sampel yang direndam tersebut disaring menggunakan kertas saring menghasilkan filtrat dan ampas pertama. Ampas kemudian ditambah dengan larutan etanol 96% sebanyak 500 ml, ditutup dengan aluminiumfoil dan dibiarkan selama dua hari sambil sesekali diaduk. Setelah dua hari, sampel tersebut disaring menggunakan kertas saring menghasilkan filtrat dan ampas kedua. Filtrat kesatu dan kedua dicampur, lalu dievaporasi menggunakan rotary evaporator, sehingga diperoleh ekstrak kental rimpang kencur. Setelah evaporasi selesai, ekstrak dipanaskan dengan oven pada suhu 78,4ºC selama dua jam (sesuai dengan titik didih etanol). Hal ini bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa etanol 96% yang mungkin masih tersisa. 3. Pembuatan Variabel Konsentrasi Ekstrak Ekstrak rimpang kencur diencerkan menjadi berbagai konsentrasi yaitu 20%, 40%, 60%, 80% dan 100%. Bahan pengencer yang digunakan adalah akuades. Kloramfenikol 10% digunakan sebagai Kontrol Positif (KP) dan akuades steril sebagai Kntrol Negatif (KN), sehingga jumlahnya menjadi tujuh variabel. Replikasi penelitian dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. 4. Kultur Escherichia coli Kultur dilakukan dengan teknik goresan sinambung. Kultur Escherichia coli dilakukan pada media Nutrient Agar. Cara mengkultur adalah dengan memanaskan jarum ose dan ditunggu hingga dingin, kemudian satu ose biakan murni diambil untuk diinokulasi. Setelah itu ose digoreskan pada media agar, penggoresan dilakukan secara kontinyu sampai setengah permukaan agar. Kemudian cawan diputar 180o, dilanjutkan menggores sampai habis. Cawan petri yang telah digoreskan bakteri kemudian ditutup rapat dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. 5. Pembuatan Suspensi Escherichia coli Bakteri Escherichia coli dari stok kultur diambil dengan jarum ose steril lalu disuspensikan dalam tabung reaksi yang berisi sepuluh ml larutan NaCl 0,9% sampai didapat kekeruhan suspensi bakteri yang sama dengan kekeruhan larutan standar Mc. Farland, ini berarti konsentrasi bakteri adalah 108 CFU/ml (CFU = Colony Forming Unit). Kekeruhan bakteri selanjutnya diperiksa dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm hingga didapatkan absorbansi 0,08-0,10. Nilai absorbansi tersebut setara dengan kekeruhan larutan Mc Farland 0,5. Setelah itu dilakukan 8 pengenceran dengan memipet 0,1 ml biakan bakteri (10 CFU/ml) dimasukkan dalam tabung reaksi steril dan ditambahkan larutan NaCl 0,9% sebanyak 9,9 ml dan dikocok homogen, dari sini diperoleh suspensi bakteri dengan konsentrasi 106 CFU/ml. 41 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 6. Pengujian Daya Hambat Ekstrak Rimpang Kencur Menggunakan Metode Difusi cakram Teknik pengujian antibakteri mengikuti cara kerja yang disebutkan oleh Ariyanti (2012:2) dengan modifikasi yang telah disesuaikan. Dipipet sebanyak 0,1 ml suspensi bakteri Escherichia coli 6 dengan konsentrasi 10 CFU/ml ke dalam cawan petri, yang sudah berisi media NA yang telah memadat. Setelah itu disebarkan dengan cara menggosok batang L pada permukaan agar supaya suspensi bakteri yang telah dipipet merata. Hal ini dilakukan sambil memutar cawan petri, agar penyebaran bakteri lebih efektif. Kertas cakram (diameter 5 mm) diresapkan dalam ekstrak sesuai dengan konsentrasi yang telah ditetapkan dan kontrol. Berdasarkan Rahmah (2013:4) proses peresapan dilakukan dengan cara perendaman selama sepuluh menit dalam kontrol positif (khloramfenikol 10%), kontrol negatif (akuades steril) dan masing-masing ekstrak sesuai konsentrasi yang telah ditentukan. Kertas cakram tersebut kemudian diletakkan di atas permukaan media bakteri menggunakan pinset dan ditekan sedikit. Media bakteri yang sudah diletakkan kertas cakram tersebut diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Diameter zona hambatan yang terbentuk diukur menggunakan jangka sorong untuk menentukan efektifitas antibakteri. Zona hambatan diukur dengan cara mengurangi diameter keseluruhan (cakram + zona hambatan) dengan diameter cakram (Hayati, 2009:29). - Keterangan : DISK = Diameter Horizontal = Diameter Vertikal = Z na Hambat Gambar 1. Perhitungan diameter zona hambat Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah diameter daya hambat (mm) atau zona bening yang terbentuk di sekitar kertas cakram. Data dianalisis menggunakan Analisis Varian (ANAVA). Kemudian dilakukan uji lanjut untuk melihat perbedaan antara satu perlakuan dengan perlakuan lainnya. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Terbentuknya zona hambat terhadap pertumbuhan koloni bakteri di sekeliling kertas cakram merupakan parameter yang diukur dalam penelitian ini. Pengukuran dilakukan menggunakan jangka sorong. Interpretasi daerah hambatan pertumbuhan bakteri mengacu pada standar umum obat asal tanaman yakni diameter daya hambat berukuran 12- 24 mm. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak rimpang kencur memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli. Hal ini terlihat dari zona bening yang terbentuk disekeliling kertas cakram. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak rimpang kencur maka zona hambat yang terbentuk semakin luas. Hasil pengukuran rata-rata diameter zona hambat ekstrak rimpang kencur terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli dalam waktu inkubasi 1 x 24 jam disajikan dalam Tabel 1. 42 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 1. Hasil Pengukuran Rata-rata Diameter Zona Hambat Ekstrak Rimpang Kencur terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli(1 x 24 Jam) (mm) Perlakuan Ulangan/Diameter Zona Total Diameter Rata-rata Hambat Zona Hambat Diameter Zona Hambat 1 2 3 P0 (KN) 0 0 0 0 0 P1 (20%) 4,05 3,68 5,52 13,25 4,42 P2 (40%) 10,15 8 6,75 24,83 8,28 P3 (60%) 9 10,45 6,52 25,98 8,66 P4 (80%) 16,72 17,62 16 50,35 16,79 P5 (100%) 27,65 25,22 27,98 80,85 26,95 P6 (KP) 33,98 31,48 36,3 103,75 34,59 Total 299,01 14,25 Keterangan: KN= 43egativ 43egative (akuades steril), KP= 43egativ positif (khloramfenikol 10%). Tabel 1 memperlihatkan bahwa zona hambat mulai terbentuk pada konsentrasi 20% dengan ratarata diameter 4,42 mm. Pada konsentrasi 100% diperoleh rata-rata diameter zona hambat 26,95 mm. Kontrol 43egative dengan akuades steril tidak memperlihatkan zona hambat sedangkan 43egativ positif dengan khloramfenikol memperlihatkan rata-rata diameter sebesar 34,59 mm. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak rimpang kencur (Kaempferia 43egative L.) mempunyai efek antibakteri dan memberikan efek terhadap penghambatan pertumbuhan Escherichia coli. Selain itu, hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan antibakteri berbagai serial konsentrasi ekstrak rimpang kencur, dimana semakin tinggi konsentrasi ekstrak rimpang kencur, maka semakin besar diameter yang terbentuk. Gejala ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak rimpang kencur maka semakin besar efek antibakterinya. Gambaran diameter zona hambat masing-masing konsentrasi ekstrak rimpang kencur ditampilkan dalam bentuk grafik (Gambar 1). Rata-rata Diameter Zona… Zona Hambat 40 30 20 10 0 KN 20% 40% 60% 80% 100% KP Konsentrasi Gambar 1. Diagram Rata-rata Zona Hambat Setiap Perlakuan (mm) Hasil analisis one-way anova (Tabel 2) memperlihatkan adanya perbedaan rata-rata diameter zona hambat yang bermakna (p> 0,05) konsentrasi ekstrak rimpang kencur dalam menghambat pertumbuhan Escherichiacoli. Tabel 2. Analisis Varian Daya Hambat Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli SK DB JK KT Fhitung Ftabel (0,05) Perlakuan Galat Total 6 14 20 2843,507 37,172 2880,679 473,918 2,655 476,573 178,5* 2,85 43 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Berdasarkan Tabel 2 bahwa uji one way anova terhadap diameter zona hambat bakteri Escherichia coli diperoleh nilai F hitung 178,5. Jika dibandingkan dengan F tabel pada taraf signifikan 5%, maka F hitung memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan F 44egat, maka hipotesis 44egative44ve (Ha) diterima, yakni ekstrak rimpang kencur dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli. Hasil yang diperoleh berupa rataan zona hambat (Tabel 2) kemudian dianalisis dengan uji Duncan pada taraf signifikan 5 %, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 pada taraf signifikan 5%, daya hambat ekstrak rimpang kencur pada konsentrasi 100% (P5) berbeda nyata dengan daya hambat pada semua konsentrasi. Konsentrasi 80% (P4) menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap konsentrasi 60% (P3) namun berbeda nyata dengan konsentrasi 40% (P2), konsentrasi 20% (P1), 44egativ 44egative dan 44egativ postif. Konsentrasi 60% (P3) menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dengan konsentrasi 40% (P2) dan 80% (P4), namun berbeda nyata dengan 44egativ positif, konsentrasi 100% (P5), konsentrasi 20% (P1) dan 44egativ 44egative (P0). Konsentrasi 40% (P2) menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap konsentrasi 60% (P3), namun berbeda nyata dengan 44egativ positif, konsentrasi 100% (P5), konsentrasi 80% (P4), konsentrasi 20% (P1) dan 44egativ 44egative (P0). Konsentrasi 20 % (P1) dan 44egativ 44egative (P0) menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap semua konsentrasi. Tabel 3. Hasil Uji Jarak Nyata Terdekat Duncan (JNTD) Daya Hambat Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli Konsentrasi Rata-rata Zona Beda Riil Pada Jarak P = JNTD (%) Hambat 2 3 4 5 6 7 0,05 (mm) P0 (KN) 0 a − P1 (20%) 4,42 b 4,42∗ − P2 (40%) 8,28 c 3,86∗ 8,28∗ − ∗ ∗ NS P3 (60%) 8,66 cd − 0,38 4,24 8,66 P4 (80%) 16,79 d − 8.13NS 8,51∗ 12,37 16,79∗ ∗ ∗ ∗ ∗ P5 (100%) 26,95 e 10,16 18,29 18,67 22,53 26,95 − P6 (KP) 34,59 f 7,64∗ 17,8∗ 25,93 26,31∗ 30,17∗ 34,59∗ P0,05 (p, 14) 3,03 3,18 3,27 3,33 3,37 3,39 JNTD0,05(p,14)= (P.SῩ) 2,8 2,9 3,07 3,13 3,17 3,18 Keterangan: NS : Tidak Berbeda Nyata; * : Berbeda Nyata pada Taraf 0,05% Dengan demikian perlakuan terbaik (optimum) adalah perlakuan dengan konsentrasi 100% (P5).Kemudian perlakuan terbaik kedua yaitu pada konsentrasi 60% (P3). Maka kisaran konsentrasi terbaik adalah 60% (P3) – 100% (P5). Diameter daya hambat mengacu pada standar obat asal tanaman yakni 12-24 mm (Departemen Kesehatan dalam Hermawan, 2007:5). Berdasarkan ketentuan ini konsentrasi 80% berdiameter 16,79 mm ditentukan sebagai konsentrasi hambat minimum (KHM) yang terbaik. 2. Pembahasan Kadar Hambat Minimum (KHM) pada penelitian ini diperoleh dengan mengukur diameter zona hambat ekstrak rimpang kencur yaitu pada kisaran 12-24 mm mengacu pada standar umum obat asal tanaman (Departemen Kesehatan dalam Hermawan, 2007:5) setelah diinkubasikan selama 24 jam. Pada penelitian ini rata-rata diameter zona hambat yang didapat secara berturut-turut pada konsentrasi 20%; 40%; 60%; 80% dan 100% adalah 4,42 mm, 8,66 mm, 16,79 mm, dan 26,95 mm. Oleh karena itu konsentrasi 80% ditentukan sebagai KHM dengan diameter 16,79 mm. Menurut Davis dan Stout (1971:664), kriteria kekuatan daya antibakteri sebagai berikut: diameter zona hambat 5 mm atau kurang dikategorikan lemah, zona hambat 5-10 mm dikategorikan sedang, zona hambat 10-20 mm dikategorikan kuat dan zona hambat 20 mm atau lebih dikategorikan sangat kuat. Berdasarkan kriteria tersebut, maka daya antibakteri ekstrak rimpang kencur pada bakteri Escherichia coli dengan konsentrasi ekstrak 20% (4,42 mm) dikategorikan lemah. Konsentrasi 40% (8,28 mm), 60% (8,66mm) dikategorikan sedang. Konsentrasi ekstrak 80% (16,79 mm) dikategorikan kuat dan konsentrasi100% (26,95 mm) dikategorikan sangat kuat. 44 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Uji Duncan terhadap diameter zona hambat bakteri Escherichia coli untuk kontrol negatif, menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kontrol positif dan berbagai perlakuan konsentrasi ekstrak. Kontrol negatif yang digunakan adalah akuades yang menunjukkan tidak adanya zona hambat. Penggunaan kontrol negatif bertujuan untuk memastikan bahwa diameter zona hambat ekstrak yang terbentuk bukan pengaruh dari pelarut, tetapi murni dari senyawa aktif dalam ekstrak tersebut. Kontrol positif menunjukkan perbedaan yang nyata dalam uji Duncan, karena menghasilkan aktivitas antibakteri yang paling besar terhadap bakteri uji dibandingkan dengan kontrol negatif dan berbagai konsentrasi ekstrak. Antibiotik yang digunakan sebagai pembanding atau kontrol positif adalah Khloramfenikol. Khloramfenikol merupakan antibiotik sintetis yang memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan mikroba patogen melalui mekanisme penghambatan sintesis protein.Penggunaan khloramfenikol biasanya terbatas pada infeksi yang jelas. Berdasarkan hasil tes laboratorium atau pengalaman, infeksi dapat diobati dengan sangat efektif oleh obat ini. Khloramfenikol sangat stabil dan berdifusi dengan baik dalam media perbenihan agar. Oleh karena beberapa alasan ini, kloramfenikol cenderung memberi daerah hambatan pertumbuhan yang lebih luas pada kertas cakram (Darma dkk., 2013: 341). Pada pertambahan konsentrasi bahan uji, diameter zona hambat yang terbentuk juga makin besar. Hal ini membuktikan bahwa peningkatan konsentrasi memiliki korelasi positif terhadap daya hambat pertumbuhan Escherichia coli. Secara umum rata-rata diameter zona hambat mengalami peningkatan seiring dengan konsentrasi yang diberikan. Menurut Ariyanti dkk. (2012:3), semakin tinggi konsentrasi suatu bahan antibakteri maka aktivitas antibakterinya akan semakin kuat. Pelczar dan Chan (1986:453) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan antibakteri maka akan semakin cepat bakteri terbunuh. Namun penggunaan konsentrasi yang tinggi dalam pengobatan juga tidak disarankan karena dapat menimbulkan resistensi, bersifat toksin serta kurang ekonomis. Ekstrak rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) yang diperoleh melalui metode maserasi memiliki aktivitas antibakteri terhadap Escherichia coli. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak rimpang kencur mengandung senyawa antimikroba. Sesuai dengan pernyataan Gholib (2011:67) bahwa di dalam rimpang kencur terdapat senyawa-senyawa antimikroba seperti alkaloid, tanin, flavonoid dan lain-lain. Menurut Naim dalam Enayati (2009:16), ekstrak tumbuhan dapat berperan aktif sebagai antimikroba disebabkan oleh adanya senyawa kimia berupa alkaloid, flavonoid, tanin, dan saponin yang terdapat pada tumbuhan tersebut. Mekanisme kerja alkaloid sebagai antimikroba dihubungkan dengan kemampuan alkaloid untuk berikatan dengan DNA bakteri. Flavonoid memiliki aktivitas antibakteri melalui hambatan fungsi DNA gyrase bakteri sehingga kemampuan replikasi dan translasi bakteri dihambat. Tanin akan menginaktivasi adhesin sel mikroba yang terdapat pada permukaan sel dan enzim yang terikat pada membran sel dan polipeptida dinding sel sehingga akan menyebabkan kerusakan pada dinding sel (Gunawan dalam Wulandari dkk., 2012:73). Saponin menunjukkan aktivitas sebagai antibakteri dengan cara merusak membran sitoplasma dan membunuh sel (Aulia dalam Barito, 2011:12). Bakteri Escherichia coli yang digunakan dalam penelitian ini termasuk golongan bakteri Gram negatif yang terbukti dapat dihambat pertumbuhannya menggunakan ekstrak rimpang kencur. Menurut Madigan dkk. (2009:94), bakteri Gram negatif mudah menyerap larutan, sehingga memudahkan zat terlarut memasuki dinding sel bakteri tersebut. Zat terlarut berupa zat aktif yang terkandung dalam ekstrak rimpang kencur yaitu alkaloid, saponin, tanin dan flavonoid memiliki mekanisme yang berbeda-beda sebagai antibakteri. Namun, keempatnya bekerja secara sinergis untuk menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri Escherichia coli. DAFTAR PUSTAKA Ariyanti, N.K., Ida, B.G.D., dan Sang, K.S. 2012. Daya Hambat Ekstrak Kulit Daun Lidah Buaya (Aloe barbadensis Miller) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 25922. Jurnal Biologi, XVI (1): 1 – 4. Astuti.Y., Dian. S., dan M. Wien. W. 1996. Tanaman Kencur (Kaempferya galanga L.); Informasi Tentang Fitokimia dan Efek Farmakologi. Warta Tumbuhan Obat Indonesia, 3 (2): 26-28. Barito, A.T. 2011. Uji Ekstrak Kulit Batang Kayu Manis (Cinnamomum burmannii) Sebagai Antibakteri terhadap Bakteri Shigella dysenteriae Secara In Vitro. Artikel ilmiah. Malang: Universitas Brawijaya. 45 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Davis, W.W. dan T.R. Stout. 1971. Disc Plate Methods of Microbiological Antibiotic Assay. Applied Microbiology, 22 (4): 659-665. Darma, B., I. Wayan S., dan Hapsari, M. 2013. Efektivitas Perasan Akar Kelor (Moringa oleifera) Sebagai Pengganti Antibiotik pada Ayam Broiler yang Terkena Kolibasilosis. Indonesia Medicus Veterinus,2 (3): 331 – 346. Enayati, D. 2009. Uji Anti Mikroba Ekstrak Metanol Bunga Cengkeh Terhadap Bakteri Penyebab Karies Gigi, Streptococcus mutans. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara. Gholib, D. 2009. Daya Hambat Ekstrak Kencur (Kaempferia galanga L.) Terhadap Trichophyton mentagrophytes dan Cryptococcus neoformans Jamur Penyebab Penyakit Kurap pada Kulit dan Penyakit Paru. Buletin Litro, 20 (1): 59-67. Hayati, K. 2009. Efek Anti Bakteri Ekstrak Lidah Buaya (Aloe vera) Terhadap Staphylococcus aureus yang Diisolasi dari Denture Stomatitis (Penelitian In Vitro). Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara. Hermawan, A. 2007. Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan Metode Difusi Disk. Artikel Ilmiah. Surabaya: Universitas Airlangga. Kusdarwati, R., Ludira, S., dan Akhmad, Akhmad, T.M. 2010. Daya Antibakteri Ekstrak Buah Adas (Foeniculum vulgare)Terhadap Bakteri Micrococcus Luteus Secara In Vitro. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 2 (1): 31-35. Madigan, M.T dkk. 2009. Brock Biology of Microorganism 12th Ed. San Francisco: Pearson Benjamin Cummings. Mpila, D.A., Fatimawali., dan Weny. I.W. 2012. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Mayana (Coleus atropurpureus [L] Benth) Terhadap Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa Secara In-Vitro. Pharmacon, 1(1): 13-21. Pelczar, M.J. & E.C.S. Chan, 1986. Penterjemah, Ratna Siri Hadioetomo dkk. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Jakarta: UI Press. Pelczar, M.J. & E.C.S. Chan, 1986. Penterjemah, Ratna Siri Hadioetomo dkk. Dasar-Dasar Mikrobiologi 1. Jakarta: UI Press. Rahmah, R.A. 2013. Uji Efektivitas Ekstrak Etanol Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn) sebagai Antimikroba terhadap Bakteri Salmonella typhi secara In Vitro. Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya. Santoso, B. 2008. Ragam dan Khasiat Tanaman Obat. Jakarta: Agromedia Pustaka. Sarjono, P.R. dan Nies, S.M. 2012. Aktivitas Antibakteri Rimpang Temu Putih (Curcuma mangga Vall). Jurnal Sains & Matematika (JSM), 15 (2): 89-93. Syarif, N dan Almunady, T.P. 2009. Uji Daya Hambat Asap Cair Hasil Pirolisis Kayu Pelawan (Tristania abavata) Terhadap Bakteri Escherichia coli. Jurnal Penelitian Sains, 9 (12): 30-32. Tirtodiharjo, K. 2011. Strategi Mengatasi Bakteri yang Resisten terhadap Antibiotika Universitas Gadjah Mada. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 46 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI DARI AIR PERASAN DAUN SEREH WANGI, DAUN JERUK PURUT DAN DAUN RUKU-RUKU SERTA CAMPURAN DARI AIR PERASAN MASING-MASING DAUN Siti Nurbaya, Erly Sitompul, Suryanto Departemen Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara Jl. Tri Dharma No.5, Pintu 4, Kampus USU Medan 20155 Telp. (061) 8223558. Fax. (061) 8219775 e-mail: [email protected] ABSTRACT Telah dilakukan uji aktivitas antibakteri dari air perasan daun sereh wangi, daun jeruk purut dan daun ruku-ruku serta campuran dari air perasan tersebut terhadap bakteri Salmonella thypi (gram negatif) dan Staphylococcus aureus (gram positif). Daun segar masing-masing tumbuhan dihaluskan, ditambahkan akuades steril dan disaring hingga diperoleh konsentrasi air perasan 25% dan 50%. Air perasan masing-masing daun dan campuran dari air perasan daun tersebut kemudian diujikan pada bakteri uji dengan metode difusi agar menggunakan pencadang kertas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran air perasan masing-masing daun mempunyai hasil yang sinergis sehingga meningkatkan daya hambat air perasan terhadap bakteri uji. Pencampuran masing-masing air perasan memberikan aroma yang lebih wangi. Kata kunci : antibakteri, ruku-ruku, jeruk purut, sereh wangi PENDAHULUAN Tanaman di Indonesia sangat beraneka ragam jenisnya. Beberapa dari tanaman ini mengandung minyak atsiri yang mempunyai aroma khas. Minyak atsiri terletak pada kelenjar Labiate di daerah parenkim daun ataupun parenkim buah. Kandungan minyak atsiri merupakan senyawa-senyawa fenol ataupun alkohol, aldehid, dan monoterpen (Ditjen POM, 1989). Penelitian terdahulu telah dilakukan untuk memeriksa angka fenol dari tanaman yang mengandung minyak atsiri (Nurbaya dkk, 2013) Senyawa- senyawa ini dapat membunuh bakteri dan jamur sehingga bersifat antiseptik ataupun antibakteri (Behura dan Srivastava, 2004). Untuk pemanfaatan daun tanaman sebagai antibakteri, perlu diketahui berapa kekuatan daya bunuh air perasan daun tersebut serta campuran dari masingmasing daun terhadap mikroba uji. Daun ruku-ruku dari tanaman ruku-ruku (Ocimum sanctum L), suku Labiate, nama daerah rukuruku: ruku-ruku (Sumatera), Kemangeni, Ko-roko (Jawa), Kemangi Utan (Maluku). Tanaman ini mempunyai percabangan yang banyak, tinggi dapat mencapai 1,5 meter. Daun berwarna hijau, berbau khas aromatis, rasa agak pedas, bentuk jorong, tepi daun bergerigi, daun tipis, ujung daun meruncing, dan berambut halus. Daunnya mengandung minyak atsiri 2%, tannin 4,6%, flavonoida, steroid/triterpen. Daunnya mengandung saponin, alkaloida, glikosida (Darmiati, 2007). Secara tradisional rebusan dari daun tanaman ruku-ruku ini digunakan sebagai obat sakit gigi dan obat batuk dan antipiretik (Ditjen POM, 1989). Daun jeruk purut dari tanaman jeruk purut (Citrus hystrix D.C.), suku Rutaceae merupakan pohon dengan tinggi 2-10 meter. Daun majemuk beranak daun satu, berbentuk bulat telur, ujungnya tumpul, bertangkai daun satu, warna daun hijau, bau harum, banyak digunakan dalam bumbu masakan. Mahkota bunga 4-5 lembar, benang sari 24-30 lembar, buah berkulit tebal dan berkerut-kerut. Minyak atsirinya mengandung senyawa limonen, linalool, linalil propionat, α-pinena, α-kubeben, sitronellal (Iryanti, 2002) yang dapat membunuh jamur Pityrosporum sp (Nurfadilla, 2004). Tanaman sereh wangi (Cymbopogon nardus L.), suku Poaceae merupakan tanaman rumputrumputan, berbatang semu yang terdiri pelepah daun-daun pipih panjang 20-60 cm, bertulang sejajar, bentuk pita, tipis, dan berbulu-bulu halus, berbau aromatis karena mempunyai kandungan minyak atsiri yang terdiri dari geraniol, sineol yang bersifat antiseptik, banyak digunakan untuk bumbu masak dan obat masuk angin (Depkes RI, 1983). Di Indonesia ada beberapa sebutan untuk tanaman ini yaitu Sereh (Sunda), Sere (Jawa Tengah, Madura, Gayo dan Melayu), Sere Mongthi (Aceh), Sangge-sangge (Batak). Sereh wangi telah lama dijadikan obat, salah satunya sebagai obat kumur (Suprianto, 2008). 47 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 BAHAN DAN METODE Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental parametrik. Mikroba uji yang digunakan adalah Salmonella typhi ATCC 19943 dan Staphylococcus aureus ATCC 29737. Sampel uji yang digunakan adalah daun sereh wangi, daun jeruk purut dan daun ruku-ruku dengan masing-masing konsentrasi 25% dan 50% serta campuran dari masing-masing air perasan dengan konsentrasi 25% dari daun sereh wangi dengan daun jeruk purut, daun jeruk purut dengan daun ruku-ruku dan daun ruku-ruku dengan daun sereh wangi. Penentuan aktivitas antibakteri dari air pesaran daun sereh wangi, daun jeruk purut dan daun ruku-ruku dilakukan dengan metode difusi agar dengan menggunakan pencadang kertas. Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah diameter hambat disekitar pencadang dengan menggunakan jangka sorong. Alat-Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat yang tersedia di laboratorium Mikrobiologi Fakultas Farmasi USU. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu media Nutrien Broth (NB), media Nutrien Agar (NA), akuades steril, perasan air daun sereh wangi 25% dan 50%, daun jeruk purut 25% dan 50%, dan daun ruku-ruku 25% dan 50%. Bakteri uji yang digunakan yaitu Salmonella typhi ATCC 19943 dan Staphylococcus aureus ATCC 29737. Pengambilan Sampel Sampel yang digunakan (daun sereh wangi, daun jeruk purut dan daun ruku-ruku) diambil dari Kecamatan Padang Bulan Selayang II Medan. Pembuatan perasan dari daun sereh wangi, daun jeruk purut dan daun ruku-ruku pada konsentrasi 25% dan 50% Daun sereh wangi, daun jeruk purut dan daun ruku-ruku diiris atau dipotong tipis, lalu digerus di dalam lumpang sampai daun menjadi halus. Ditimbang masing masing daun 50 gram menggunakan timbangan listrik. Kemudian, masing masing daun yang sudah ditimbang dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml. Ditambahkan akuades steril sampai sampai garis tanda. Kemudian ditutup dan disimpan dalam lemari pendingin dan dibiarkan selama 24 jam. Setelah 24 jam, perasan disaring menggunakan kertas saring sehingga diperoleh air perasan dengan konsentrasi 50%. Untuk pembuatan air perasan konsentrasi 25% diambil 12,5 ml air perasan 50% dimasukkan ke dalamlabu tentukur 25 ml kemudian ditambahkan akuades steril sampai garis tanda. Hal ini berlaku untuk ketiga jenis daun. Penyiapan Inokulum a. Pembuatan stok kultur Satu koloni bakteri diambil dengan menggunakan jarum ose steril, lalu ditanam pada media NA miring dengan cara menggores. Kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37oC selama 24 jam (Ditjen POM, 1995). b. Pembuatan inokulum Koloni bakteri diambil dari stok kultur dengan jarum ose steril lalu disuspensikan dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml larutan NB. Kemudian diukur kekeruhan larutan pada panjang gelombang 560 nm sampai diperoleh transmitan 25% (Ditjen POM, 1995). Pengujian Aktivitas Antibakteri dari Air Perasa dan Campuran Masing-Masing Daun Pengujian aktivitas antibakteri dari air perasan dan campuran masing-masing daun dilakukan dengan metode difusi agar menggunakan pencadang kertas. Sebanyak 0,1 ml inokulum bakteri dicampur homogen dengan 15 ml NA dicawan petri, kemudian dibiarkan sampai media memadat. Pada media yang telah padat diletakkan pencadang kertas yang telah dicelupkan ke dalam sampel selama 15 menit. Kemudian diikubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Selanjutnya masing-masing petri diukur diameter daerah bening disekitar cincin pencadang menggunakan jangka sorong. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali (Ditjen POM, 1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji Aktivitas Antibakteri dari Masing-masing Air perasan Daun dengan Konsentrasi 25% dan 50% Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimental parametrik dengan menggunakan pencadang kertas, menentukan diameter zona hambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi dan 48 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Staphylococcus aureus dengan menggunakan jangka sorong, dimana diameter zona hambat meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi air perasan daun. Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa air perasan daun sereh wangi, daun jeruk purut dan daun ruku-ruku dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi dan Staphylococcus aureus. Hasil pengukuran diameter daerah hambat air perasan masing-masing daun dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 1. Hasil uji aktivitas antibakteri dari air perasan masing-masing daun terhadap bakteri uji Konsentrasi Diameter hambat pertumbuhan bakteri (mm)* air perasan Daun sereh wangi Daun jeruk purut Daun ruku-ruku daun S.typhi S.aureus S.typhi S.aureus S.typhi S.aureus (%) 50 22,3 20,1 23,3 23,2 20,3 22,5 25 15,3 14,5 16,5 16,2 14,3 14,4 Blanko (Aquadest) Keterangan: * = hasil rata-rata tiga kali pengukuran = tidak ada hambatan S.typhi = bakteri Salmonella typhi S.aureus = bakteri Staphylococcus aureus Hasil Uji Aktivitas Antibakteri dari Campuran Air perasan Daun dengan Konsentrasi 25% Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa campuran air perasan daun dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi dan Staphylococcus aureus. Hasil pengukuran diameter daerah hambat campuran air perasan masing-masing daun dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 2. Hasil uji aktivitas antibakteri dari campuran air perasan masing-masing daun terhadap bakteri uji Konsentrasi Diameter hambat pertumbuhan bakteri (mm)* air perasan Daun sereh wangi + Daun jeruk purut + Daun sereh wangi daun daun jeruk purut daun ruku-ruku + (%) daun ruku-ruku S.typhi S.aureus S.typhi S.aureus S.typhi S.aureus 25 24,3 19,3 25,5 24,3 27,5 23,8 Blanko (Aquadest) Keterangan: * = hasil rata-rata tiga kali pengukuran = tidak ada hambatan S.typhi = bakteri Salmonella typhi S.aureus = bakteri Staphylococcus aureus Kemampuan daya hambat air perasan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi air perasan. Daya hambat air perasan juga meningkat setelah dilakukan pencampuran masing-masing daun dengan konsentrasi 25%. Campuran air perasan daun dengan konsentrasi 25% mempunyai efek sinergis dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Campuran air perasan 25% memiliki daya hambat yang lebih besar dibanding dengan air perasan tunggal dengan konsentrasi 50%. Daya hambat campuran air perasan dengan konsentrasi 25% ini jika dibandingkan dengan daya hambat masing-masing air perasan pada konsentrasi 50% mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan efek potensiasi masing-masing air perasan sehingga dapat memberikan efek yang sinergis dalam menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella thypi dan Staphyloccocus aureus. 49 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Daya hambat antibakteri air perasan daun sereh wangi, daun jeruk purut dan daun ruku-ruku pada konsentrasi 25% dan 50% efektif sebagai antibakteri karena memiliki daerah hambat lebih dari 14 mm. Daya hambat terbesar adalah pada air perasan daun jeruk purut sebab pada konsentrasi 25% dan 50% berturut-turut dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi sebesar 16,5 mm dan 23,3 mm, serta menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus sebesar 16,2 mm dan 23,2 mm. Campuran air perasan daun sereh wangi dan daun ruku-ruku dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi sebesar 27,5 mm sedangkan campuran air perasan daun jeruk purut dan daun ruku-ruku dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus sebesar 24,3 mm. Saran Kepada peneliti selanjutnya untuk mengembangkan penggunaan daun sereh wangi, daun jeruk purut dan daun ruku-ruku untuk di formulasi sebagai desinfektan nabati. DAFTAR PUSTAKA Behura, S., dan Srivastava, V. K. (2004). Essential Oils of Leaves of Curcuma Species. Journal of Essential Oil Research: JEOR. Darmiati, I., (2007). Pemeriksaan Kandungan Kimia dan Uji efek Antiinflamasi dari Ekstrak Etanol Daun Ruku-ruku (Ocimum sanctum L.). Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi. Universitas Sumatera Utara. Depkes R.I., (1983). Pemanfaatan Tanaman Obat. Cetakan Pertama. Edisi ketiga. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Halaman 95. Ditjen POM. (1989). Materi Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Depkes RI. Halaman 182-185 Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 10-17. Nurbaya, S., Sitompul, E., dan Suryanto. (2013). Uji Koefisien Fenol dari Daun Tanaman yangMengandung Minyak Atsiri. Seminar Nasional Biologi. Medan: FMIPA USU. Nurfadilla. (2004). Uji Sensitivitas Sampo Antiketombe Yang Mengandung Minyak Atsiri Jeruk Purut (Citrus hystrix D.C) Terhadap Jamur Dari Ketombe. Skripsi. Medan: Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Sumaterta Utara. Pelczar, J. R., dan Chan, E.C.S.(1998). Dasar-Dasar Mikrobiology. Penerjemah: Hadioetomo,R.S., Imas, T., Tjitrosomoso, S., dan Lestari, S. Jakarta: Penerbit UI Press. Halaman 132, 138-140, 144. Russel, dkk. (1987). Understanding Antibacterial Action And Resistance. Welsh School of Pharmacy University of Wales College of Cardiff: United Kingdom Suprianto. (2008). Potensi Ekstrak Sereh Wangi (Cymbopogon nardus L.) sebagai Anti Streptococcus mutans. Skripsi. Bogor: Fakultas MIPA Institut Pertanian. 50 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 PENGARUH KOMBINASI EKSTRAK METANOL BIJI PARE (Momordica charantia) DAN PROGESTERON TERHADAP MORFOMETRI SEL LEYDIG TIKUS (Rattus sp.) Syafruddin Ilyas Departemen Biologi Fak. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Padang Bulan – Medan, [email protected] ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk lebih memperjelas perubahan yang terjadi pada testis tikus yang diberi kombinasi pencekokan ekstrak methanol biji pare (50mg/100g Berat Badan) setiap hari dan penyuntikan progesteron (DMPA/Depo medroksi Progeseteron Asetat; 0,625 mg/100 g Berat Badan) setiap 12 minggu. Digunakan metode eksperimen dan Rancangan Acak Lengkap yang dibagi dalam 3 kelompok dan 5 ulangan, yakni perlakuan selama; (1) 0 minggu (1 hari), (2) 4 minggu, dan (3) 8 minggu. Pengamatan dilakukan dengan melihat luas penampang, diameter inti dan jumlah sel Leydig pada histologi testis tikus dengan sistem pengamatan langsung pada layar monitor komputer yang terhubung dengan mikroskop Fixed-Koehler package Zeiss-Primo Star. Hasil didapatkan bahwa pada hewan dengan kelompok perlakuan 1 sampai 3 tidak ada perubahan signifikan pada luas penampang dan diameter inti sel Leydig. Tetapi, jumlah sel Leydig secara signifikan menurun (p<0,05) pada kelompok 3. Kesimpulan: Pemberian ekstrak pare dan progesteron menyebabkan kematian pada sel Leydig testis tikus. Kata kunci: biji pare, DMPA, testis, sel Leydig. PENDAHULUAN Pada penelitian yang menggunakan bahan coba yang bertujuan menekan jumlah sperma tikus selalu dihubungkan dengan adanya penurunan jumlah testosteron serum atau testosteron intratestikular (Lue et al., (2000). Hal ini disebabkan adanya hubungan yang kuat antara testosteron dengan spermatogenesis sehingga mempengaruhi konsentrasi sperma yang dihasilkan di testis (Walker et al., 2004). Yang et al., (2004) menyatakan, bahwa penghambatan ganda spermatogenesis (yaitu penghambatan pada spermiasi dan konversi spermatogonium menjadi spermatogonia tipe B) pada monyet dan manusia akibat pengurangan gonadotropin kurang efektif untuk penekanan spermatogenik lengkap dalam tikus setelah pemberian testosteron (TU/testosterone undecanoate), mungkin karena tidak efektifnya dalam penghambatan terhadap sel Leydig dan oleh karena itu kadar testosteron intratestikular tetap tidak terpengaruh secara nyata. Testosteron intratestikular dihasilkan oleh sel Leydig yang dikontrol oleh luteinizing hormone (LH) melalui poros hipatalamus-hipofisis-gonad (Roth et al., 2010). Jumlah sintesis testosteron diatur oleh aksis hipotalamus-hipofisis-testis. Ketika kadar testosteron rendah, gonadotropin-releasing hormone (GnRH) dikeluarkan oleh hipotalamus, yang pada gilirannya merangsang kelenjar hipofisis untuk melepaskan FSH dan LH. Kedua kedua hormon merangsang testis untuk mensintesis testosteron intratestikular, sehingga dapat meningkatkan kadar testosteron. Melalui siklus umpan balik negatif, testosteron dapat mempengaruhi hipotalamus dan hipofisis dalam menghambat pelepasan GnRH dan FSH / LH (Swerdloff et (2004), untuk membuktkan apakah ada pengaruh ekstrak methanol biji pare dan DMPA terhadap morfometri sel Leydig, maka dilakukan penelitian ini dalam jangka waktu perlakuan 8 minggu. BAHAN DAN METODE Hewan dan pemberian ekstrak pare/progesteron Tikus jantan dewasa (usia 11-18 minggu; 150-200 g) Wistar diperoleh dari Laboratorium Struktur dan Perkembagan Hewan Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara dan secara acak dibagi menjadi kelompok 3 kelompok dengan 5 ulangan masing-masingnya (Rancangan acak lengkap). Pencekokan ekstrak methanol biji pare (50mg/100g Berat Badan) setiap hari (Yama and Francis (2011a) dan penyuntikan progesteron (DMPA/Depo medroksi Progeseteron Asetat; (0,625 mg/100 g Berat Badan) (Ilyas et al., 2013) setiap 12 minggu. Kelompok perlakuan berupa lama pemberian yakni; (1) 0 minggu 0 (1 hari), (2) 4 minggu, dan (3) 8 minggu. 51 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Persiapan Jaringan Testis diisolasi dan diproses seperti yang dijelaskan penelitian sebelumnya (Ilyas, 2007). Secara singkat, testis difiksasi dalam cairan Bouin (Prophet et al., 1994) 24 jam, kemudian dipotong menjadi dua bagian dan ditempatkan lagi dalam larutan Bouin selama 24 jam. Blok parafin dipotong seperti pita dengan ketebalan 4 µm. Metode pewarnaan Haematoksilin Eeosin (Prophet et al., 1994) digunakan dan bagian terwarnao diamati di bawah mikroskop cahaya (Fixed-Koehler package ZeissPrimo Star). Semua analisa morfometrik dilakukan secara single blind. Parameter uji diukur dari spesimen jaringan yang diambil dari masing-masing satu tikus dengan mengukurnya secara independen pada lima kesempatan menggunakan kriteria yang ada. Awal pembuatan jaringan adalah dengan fiksasi, dehidrasi dan proses embedding. Pengamatan sel Leydig Secara morfometri sel-sel Leydig dianalisis dengan Image Processing Sistem Sofware Vixio yang terhubung ke mikroskop (Zeiss, Jerman). Untuk setiap tikus, lima bagian sampel dari kutub testis dan bagian khatulistiwa testis. Diamati luas penampang dan diameter inti dari 20 sel Leydig serta diukur. Diameter inti sel Leydig didapat dari rata-rata diameter maksimum dan diameter minimum. Jumlah sel Leydig tiap testis diperkirakan dengan mengalikan kepadatan numerik (Nv), sel Leydig (jumlah sel Leydig per satuan volume testis) dengan volume testis (V). Kepadatan numerik sel Leydig dihitung dengan menggunakan persamaan : Nv = Na/D+t-2h, di mana Na adalah jumlah skor inti dalam area yang diamati, D adalah diameter rata-rata inti, t adalah ketebalan tertinggi dan h ketebalan terkecil dari inti. Volume testis diperoleh dari berat dan gravitasi yang khusus. Karena berat jenis dari testis tikus hampir 1 (Mori et al., 1980), nilai absolut dari volume testis dalam mL mirip dengan berat dalam gram. (Kerr et al., 1980) HASIL DAN PEMBAHASAN (1). Luas Penampang sel Leydig Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapatkan hasil luas penampang sel Leydig di dalam jaringan testis tertera pada Gambar 1. Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan pada minggu 0, 4 dan 8 (p>0,05). a a a Gambar 1. Luas penampang sel Leydig (µm2) akibat pengaruh Ekstrak Methanol Biji Pare dan Progesteron pada tikus, a,ap>0,05. (2). Diameter inti sel Leydig Hasil analisis Kruskal-Wallis diameter sel Leydig menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan pada minggu 0, 4 dan 8 (p>0,05). Hasil pengukuran diameter inti sel Leydig dapat dilihat pada Gambar 2. 52 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI a Medan, 15 Februari 2014 a a Gambar 2. Diameter inti sel Leydig (µm2) akibat pengaruh Ekstrak Methanol Biji Pare dan Progesteron pada tikus, a,ap>0,05. (3). Jumlah Sel Leydig Hasil pengukuran jumlah sel Leydig dapat dilihat pada Gambar 3. Analisis Kruskal-Wallis menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan pada minggu 0, 4 dan 8 (p<0,05), sehingga dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney taraf 5%. a a b Gambar 3. Jumlah sel Leydig (µm2) akibat pengaruh ekstrak Methanol Biji Pare dan Progesteron pada tikus, a,bp<0,05. Pembahasan Pada Gambar 1, pengaruh ekstrak methanol biji pare dan pogesteron terhadap luas penampang sel Leydig (µm2) terlihat tidak berpengaruh nyata (p>0,05) tetapi cenderung mengecil seiring dengan lamanya pemberian ekstrak dan progesteron. Kemungkinan kandungan ekstrak pare dan progesteron belum maksimal dalam menekan sel-sel non sel Leydig (jaringan ikat dan sel-sel pembuluh darah) yang ada di sekitar sel Leydig (Gambar 4). Hal ini karena dapat diisi oleh sel-sel lain non sel Leydig seperti pembuluh darah dan sel-sel dari jaringan ikat. Seperti pernyataan Lejeune et al., (1998) bahwa diantara tubulus seminiferus terdapat berbagai macam sel yakni sel Leydig, sel-sel dari pembuluh darah, dan sel-sel dari jaringan ikat testis. Gambar 4. Histologi sel Leydig setelah pemberian pengaruh ekstrak Methanol Biji Pare dan Progesteron pada tikus, A=minggu ke 0, B=minggu ke 4 dan C=minggu ke 8, tanda panah=sel Leydig. 53 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Pada Gambar 2 tentang diameter inti sel Leydig yang tidak berpengaruh nyata setelah perlakuan. Hal ini mungkin disebabkan aktivitas antifertilitas dari ekstrak biji pare dan progesteron belum terlihat pada minggu ke 0 dan ke 4. Selain itu dapat terjadi adanya aktifitas interaksi antar sel secara normal sehingga perkembangan sel Leydif terutama pada inti sel tidak terpengaruh secara nyata, misalanya aktifitas parakarin sel Leydig. Seperti yang dinyatakan oleh Bergh et al., (1982), kontrol parakrin sel Leydig terjadi pada faktor-faktor yang dilepaskan dari tubulus seminiferus, dan ini telah menjadi subyek dari banyak penelitian dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Hsech et al., (1987) dan Lin et al., (1987), bahwa ada dua faktor inhibitor (aktivin dan transforming growth factor-β) serta faktor stimulasi (inhibin dan insulin-like growth factor-1) yang telah diidentifikasi dalam penelitian in vitro. Wu and Murono (1994) telah menemukan faktor pertumbuhan di testis yang merangsang proliferasi sel tetapi menghambat steroidogenesis oleh sel Leydig tikus. Ini membuktikan bahwa dalam kondisi fisiologis, beberapa faktor yang diproduksi secara lokal dari tubulus seminiferus bisa mengatur fungsi dan proliferasi sel-sel yang berdekatan dengan sel Leydig dan terbukti ketika terjadi kerusakan tubulus seminiferus dapat mengganggu produksi faktor regulasi ini. Pada Gambar 3 terlihat adanya penurunan jumlah sel Leydig tikus seiring dengan perlakuan penambahan waktu pemberian ekstrak pare dan progesteron. Penurunan jumlah sel Leydig dapat saja terjadi karena adanya penambahan hormon progesteron melalui jalur poros hipotalamus-hipofisistestis, tetapi terlebih dahulu progesteronnya diubah menjadi testosteron. Jumlah testosteron yang meningkat akan memberikan feedback negative kepada hipotalamus atau hipofisis sehingga kadar LH dan FSH menjadi menurun. Penurunan LH menyebabkan berkurangnya stimulasi proliferasi terhadap sel Leydig. Sesuai dengan pendapat (Nieschlag et al., 2009), bahwa Luteinizing hormone (LH) merupakan suatu gonadotropin yang biasanya bertanggung jawab untuk memberi sinyal ke sel Leydig di testis untuk memproduksi testosteron dan hormon seks lainnya. Menurut Shaughnessy et al., (2002), bahwa dalam perkembangannya, populasi sel Leydig pada janin dan dewasa muncul secara berurutan. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa aksi androgen diperlukan untuk aktivitas steroidogenik normal di dalam testis mencit. Oleh karena itu androgen berperan dalam mengatur fungsi dan diferensiasi sel Leydig. Perkembangan sel Leydig telah diukur dengan kurangnya reseptor androgen yang fungsional (AR-null). Pada hewan yang lebih tua, sel-sel Leydig didominasi oleh lima jenis mRNA seperti dehidrogenase 3β-hidroksisteroid (3βHSD) tipe 1, sitokrom P450scc, renin, protein StAR dan reseptor LH) dan diekspresikan secara normal atau meningkat pada mencit dengan AR-null. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jika reseptor androgen tidak ada, maka fungsi sel Leydig janin tetap normal, tetapi pada mencit dewasa perkembangan sel Leydig menjadi kurang baik pematangannya, dengan sel-sel hanya mendapatkan sebagian karakteristik dari sel Leydig normal mencit dewasa. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengamatan penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kelompok perlakuan 1 sampai 3 tidak memberikan perubahan yang signifikan pada luas penampang dan diameter inti sel Leydig (p>0,05), tetapi hanya jumlah sel Leydig secara signifikan menurun (p<0,05) pada kelompok 3. 2. Pemberian ekstrak pare dan progesteron menyebabkan kematian pada sel Leydig testis tikus. UCAPAN TERIMAKASIH Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Penelitian Hibah Bersaing TA-2013 yang telah mendanai penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Bergh H. 1982. Local differences in Leydig cell morphology in the adult rat testis evidence for a local control of Leydig cell by adjacent seminiferous tubules Int J Androl; 52 325-30 Eberhard Nieschlag; Hermann M. Behre; Susan Nieschlag. 2009. Andrology: Male Reproductive Health and Dysfunction. Springer. p. 224. Hsech AJM, Dahl KD, Vaughan J Heterodimers and homodiners of inhibin subunits have different paracrine ac- tions in the production of luteininig hormone stimulated andro- gen biosynthesis Proc Natl Acad Sci USA 1987; 84 5082-6 54 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Ilyas. 2007. Azoospermia dan pemulihannya melalui regulasi apoptosis sel spermatogenik tikus (Rattus sp.) pada penyuntikan kombinasi testosteron undekanoat (TU) dan Depot Medroksiprogesteron (DMPA). Disertasi Program Doktor Ilmu Biomedik Fak. Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. Ilyas S, Lestari SW, Moeloek N, Asmarinah, Siregar NC. 2013. Induction of rat germ cell apoptosis by testosterone undecanoate and depot medroxyprogesterone acetate and correlation of apoptotic cells with sperm concentration. Acta Med Indones. 45(1):32-7. Diakases tanggal 18 Juni 2013 di http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/23585406. Kerr JB, Sharp RM. 1 9 8 5 . Stimulatory effect of follicle-stimulating hormone on rat Leydig cells Cell Tissue Res; 239 405-15 Lejeune H, R Habert1 and J M Saez. 1998. Origin, proliferation and diVerentiation of Leydig cells. Journal of Molecular Endocrinology (1998) 20, 1–25. Lin T, Blaisdell J, Haskell JF Transforming growth-factor β inhibits Leydig cell steroidogenesis in primary culture Biochem Biophys Res Commun 1987; 146 387-94 Lue Y, Amiya P. Sinha Hikim, Christina Wang, Michael Im, Andrew Leung and Ronald S. Swerdloff. 2000. Testicular Heat Exposure Enhances the Suppression of Spermatogenesis by Testosterone in Rats: The “Two-Hit” Approach to Male Contraceptive Development. Volume 141 Issue 4, 2000. Mori H, Christensen AK. 1980, Morphometric analysis of Leydig cells in the normal rat testis J Cell Biol; 84 340-54. Prophet, EB., Bob M, Jacquelyn BA, Leslie HS. 1994. Laboratory Methods in Histotechnology, American Registry of Pathology, Washington DC. Roth MY, K Lin, JK. Amory, AM Matsumoto, BD Anawalt, CN Snyder, TF Kalhorn, WJ Bremner, and ST Page. 2010. Serum LH Correlates Highly With Intratesticular Steroid Levels in Normal Men. Journal of Andrology, Vol. 31, No. 2. Shaughnessy PJO, Heather Johnston, Louise Willerton and Paul J. Baker. 2002. Failure of normal adult Leydig cell development in androgen-receptor-deficient mice. Journal of Cell Science 115, 3491-3496. Swerdloff RS, Wang C, Bhasin S (April 1992). "Developments in the control of testicular function". Baillieres Clin. Endocrinol. Metab. 6 (2): 451–83. Walker S, O.W. Robison, C.S. Whisnant, and J.P. Cassady. 2004. Effect of divergent selection for testosterone production on testicular morphology and daily sperm production in boars. J Anim Sci 2004, 82:2259-2263. Wu N, and Murono EP. 1994. A Sertoli cell secreted paracrine factor(s) stimulates proliferation and inhibits steroidogenesis of rat Leydig cells Mol Cell Endocrinol; 106 99-109. Yama OE, and Francis ID. 2011a. Temporal adaptation in the testes of rat administered single dose Momordica charantia for three interrupted spermatogenic cycles: Cytometric quantification. Middle East Fertility Society Journal. 16, 194–199. Yama, OE; Francis ID. 2011b. Stereological Evaluation of the Effects of Momordica charantia, antioxidants and Testosterone on Seminiferous Tubules of Rat. Int. J. Morphol., 29(3):10621068. Yang ZW, Yang Guo, Li Lin, Xing-Hai Wang, Jian-Sun Tong, Gui-Yuan Zhang. 2004. Quantitative (stereological) study of incomplete spermatogenic suppression induced by testosterone undecanoate injection in rats. Asian J Androl. 6: 291-297. 55 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI 56 Medan, 15 Februari 2014 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Biologi Fungsi dan Struktur Hewan 57 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI 58 Medan, 15 Februari 2014 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 PENGARUH EKSTRAK ETANOL BANGUNBANGUN (Coleus ambonicus L) TERHADAP TITER ANTIBODI HUMORAL DAN BERAT BADAN TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) Melva Silitonga*), Syafruddin Ilyas**), Salomo Hutahaean**), Herbert Sipahutar***) Eriana Situmorang****) *Mahasiswa S3 Program Studi Biologi, Universitas Sumatera Utara Email:[email protected] **Dosen Universitas Sumatera Utara ***Dosen Universitas Negeri Medan ****) Program Studi Biologi ABSTRAK Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh ekstrak etanol daun bangunbangun (Coleus ambonicus L) terhadap titer antibodi dan berat badan pada tikus putih strain Wistar dengan menggunakan sel darah merah domba (SRBC) sebagai antigen. Digunakan 24 ekor tikus putih jantan dibagi secara random dalam empat kelompok perlakuan dan masing-masing terdiri dari enam ekor. Kelompok perlakuan pertama sebagai kontrol diberikan aquades, kedua diberikan 500 mg/kg BB ekstrak etanol bangunbangun (EEC), ketiga diberikan 500 mg/kg BB EEC+ SRBC, dan kelompok ke empat diberikan aquades+SRBC. EEC diberikan secara oral setiap hari selama tiga puluh hari. SRBC diberikan secara intraperitoneal sebanyak 0.1 ml pada hari ke delapan dan hari ke 15. Pada hari ke 31 darah diambil dengan cara dekapitasi leher, ditampung dalam tabung yang telah dilapisi antikoagulan, dan disentrifuse untuk mendapatkan serum. Titer antibodi diukur dengan metode hemaglutinasi. Pertambahan berat badan diperoleh dengan menghitung selisih berat badan awal dan berat badan akhir penelitian. Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara anava. Hasil analisis data menunjukkan bahwa pemberian EEC selama 30 hari pada tikus putih dapat meningkatkan titer antibodi secara signifikan, dan berpengaruh tidak nyata terhadap peningkatan berat badan. Kata kunci : Coleus ambonicus L, titer antibodi, SRBC PENDAHULUAN Imunostimulan adalah zat-zat yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi penyakit. Kandungan bangun-bangun yang berfungsi sebagai immunostimulan yaitu vitamin C (Santosa dan Hertiana, 2005), golongan flavonoid (Suhirman dan Christina, 2000) khususnya golongan flavonol (Purwantari dkk, 2011). Manfaat daun bangun-bangun sebagai imunostimulan akan dikaji dengan mengukur imunoglobulin yang berperan sebagai antibodi untuk membunuh antigen yang masuk ke dalam tubuh. Minyak atsiri dari daun bangun-bangun selain berdaya antiseptika ternyata juga mempunyai aktivitas tinggi melawan infeksi cacing. Dalam daun ini terdapat juga kandungan vitamin C, vitamin B1, vitamin B12, beta karotin, niasin, karvakrol, kalsium, asam-asam lemak, asam oksalat, dan serat. Senyawa-senyawa tersebut berpotensi terhadap bermacam-macam aktivitas biologik, diantaranya berfungsi sebagai immunostimulan (Santosa dan Hertiana, 2005). Sebagai imunostimulan Sunita et al (2010) telah melaporkan hasil penelitiannya. Daun bangunbangun atau Torbangun (Coleus amboinicus Lour), dikenal memiliki banyak khasiat antara lain sebagai antipiretik, analgetik, obat luka, obat batuk, dan sariawan (Depkes, 2005), antioksidan, antitumor, antikanker, dan hipotensif (Duke 2000). Biasanya obat yang memiliki multikhasiat mempunyai reseptor organ target pada sistem limforetikular yang melaksanakan fungsi imun. Imunomodulator adalah suatu cara untuk mengembalikan dan memperbaiki sistem imunitas yang terganggu dan menekan fungsi imun yang berlebihan (Bellanti dan Kadlec 1993). Kandungan zat bio aktif daun bangunbangun yang diduga sebagai immunostimulan adalah flavonoid, steroid, dan polifenol. Flavonoid bersifat antioksidan dan mencegah oksidasi lipoprotein densitas rendah (LDL) dan menurunkan risiko terhadap atherosclerosis. Antioksidan yang terkandung pada makanan dapat menstimulasi imunitas seluler dan membantu mencegah komponen sellular terhadap kerusakan oksidatif. Berbagai vitamin yang terkandung di dalam bangunbangun seperti vitamin C, B12, dan beta karoten dapat berfungsi dalam meningkatkan imunitas di dalam tubuh. 59 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Dari beberapa hasil penelitian dan pendapat di atas dilakukan penelitian tentang respon imunoglobulin sebagai dampak pemberian daun bangunbangun sebagai immunostimulan pada hewan uji. Sebagai antigen dalam penelitian ini diberikan SRBC ( Sheep Red Blood Cells) BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan dilakukan selama tiga bulan di Laboratorium Biologi FMIPA Universitas Negeri Medan sebagai tempat pemeliharaan dan perlakuan hewan coba, Laboratorium Farmasi dan Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara sebagai tempat pembuatan ekstrak daun Bangunbangun dan analisis titer antibodi. Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Wistar berumur tiga bulan dengan berat badan 140-180 g. Tikus diperoleh dari laboratorium fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara dan dikembang biakkan di kandang hewan laboratorium Biologi FMIPA Unimed. Pakan tikus berupa pelet komersial diperoleh dari toko pakan ternak. Daun Bangunbangun (Coleus ambonicus L) di tanam sendiri di lahan sekitar kandang hewan percobaan. Sel darah merah domba ( SRBC) sebagai antigen diperoleh dari Laboratorium Veteriner Medan Sumatera Utara. etanol 96 %, K2HPO4, KH2PO4, NaCl, aquadest untuk membuat PBS. Aklimasi Hewan Coba Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus jantan (Rattus norvegicus) galur Wistar berumur tiga bulan dengan berat badan 140-180 g. Tikus ditempatkan dalam kandang bahan plastik berukuran 40 x 25 x 20 cm, di bagian atas kandang dilengkapi dengan kawat penutup. Setiap kandang diisi dengan sekam sebagai alas lalu ditempatkan tiga ekor tikus setiap kandang. Makanan dan minuman diberikan secara ad libitum, aklimasi dilakukan selama 7 hari. Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Bangun-Bangun Sebanyak 8 kg daun segar dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 400 sampai kering betul atau rapuh seperti kerupuk. Daun kering sebanyak 500 g dihaluskan dengan blender sampai berbentuk serbuk. Serbuk ditempatkan dalam 2 wadah masing-masing 250 gram dan ditambahkan etanol 95% yang sudah didestilasi sebanyak 2000 ml/wadah. Daun direndam selama 5 hari dan diaduk sekali dalam sehari. Daun disaring menggunakan kertas saring dan ditambahkan etanol sampai mencapai 3 liter, didiamkan selama 2 hari dan kembali disaring. Sari yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator dan dikeringkan menggunakan water bath untuk mendapatkan ekstrak etanol kering. Pembuatan Antigen SRBC Pembuatan antigen dilakukan di Dinas Peternakan Medan. Darah domba diambil sebanyak 5ml lalu ditambah dengan alceper sebanyak 5 ml dengan perbandingan 1:1, fungsi alceper sebagai reseptor, supaya mengikat dengan sel-sel lain dan pengawet. Darah dicuci dengan larutan koloner piluent dengan PH 7.4 lalu disentrifus dengan kecepatan 200 rpm selma 15 menit. Hasil dari sentrifus di buang bagian atasnya lalu diisi lagi dengan koloner piluent sampai 40 ml, setelah itu di sentrifus lagi dengan kecepatan 200 rpm dan selama 15 menit. Proses pencucian dengan sentrifus ini dilakukan sebanyak 3 kali. Hasil dari sentrifus di simpan dalam kulkas -4oC. Penentuan Dosis Ekstrak Bangun-Bangun dan Perlakuan pada Hewan Coba Dosis ekstrak etanol bangun-bangun untuk tikus yaitu 500 mg /kg BB (Jose, et al., 2005, Patel, 2011,). Ekstrak etanol daun bangunbangun dilarutkan di dalam CMC 1% ( Patel, 2011). Larutan yang dibuat adalah larutan 10%. Pemberian ekstrak bangun-bangun diberikan peroral setiap hari dengan cara mencekok yang diberikan selama 30 hari. Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental, dalam perancangannya digunakan Rancangan Acak Lengkap ( RAL) non faktorial dengan empat perlakuan yang masing-masing diberi enam ulangan. Dalam penelitian ini digunakan 24 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) umur 3 bulan dengan berat badan rata-rata 150-200 gram dan diadaptasi selama 7 hari. Selanjutnya tikus dibagi menjadi 4 kelompok masing-masing terdiri dari 6 ekor. Setiap kelompok dipelihara dan diberi makan dan 60 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 minum ad libitum. Masa pemeliharaan dan pemberian perlakuan dilaksanakan selama 30 hari. Kelompok (K) sebagai kontrol diberi aquadest per oral tiap hari. Kelompok (EE) 500 mg ekstrak etanol daun bangunbangun/kg BB tanpa SRBC, kelompok (EE+SRBC) 50 mg ekstrak etanol daun bangunbangun +0,1 ml SRBC, kelompok (SRBC) 0,1 ml SRBC. SRBC diberikan pada hari ke-8 dan ke 15 perlakuan. Penentuan Titer Antibodi Humoral Pada hari ke-31 perlakuan, darah dikumpulkan melalui dekapitasi leher, ditampung dalam tabung yang telah dilapisi antikoagulan EDTA, kemudian di sentrifuse selama 10 menit 6000 rpm. Serum dipindahkan ke dalam tabung serum yang telah diberi label sesuai perlakuan. Setelah serum terkumpul dilakukan dekomplementasi yaitu memanaskan tabung yang berisi serum di atas penangas air pada suhu 560C selama 30 menit. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya lisis terhadap SRBC yang akan mengaburkan hemaglutinasi, selanjutnya dilakukan pengenceran bertingkat pada mikroplate. Pada kolom ke-2 mikroplate dimasukkan 50 µL PBS sampai kolom ke12, sedangkan kolom pertama dibiarkan kosong. 100 µL serum yang telah didekomplementasikan dimasukkan ke kolom pertama. Selanjutnya ambil 50 µL serum dari kolom pertama kemudian masukkan ke kolom kedua ke kolom ketiga lalu homogenkan kemudian seterusnya sampai kolom kedua belas. Setelah pengenceran sampai seri terakhir buang 50 µL serum pengenceran terakhir. Dengan demikian didapatkan 12 seri pengenceran serum dengan kelipatan dua yaitu 1/1, ½, ¼, 1/8, 1/16, 1/32, 1/64, 1/128, 1/256, 1/1024, dan 1/2048. Pembacaan titter antibodi hasil reaksi dilakukan dengan pengamatan langsung dengan mata dengan mengukur konsentrasi antibodi dengan cara titrasi pengeceran bertingkat dan dikonversikan ke dalam deret hitung dengan rumus 2log (titer) + 1 ( Farhath S, Vijaya and Vimal, 2013) Pengukuran Berat badan Tikus Pengukuran berat badan tikus dilakukkan setiap hari sebelum pemberian makan menggukana timbangan tanika. Berat badan yang dilaporkan dalam penelitian ini adalah perubahan berat badan dari awal hingga akhir penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Titer Antibodi Tikus Tabel 1. Rata-rata titer antibodi dan perubahan berat badan tikus Parameter No Perlakuan Titer Antibodi Selisih berat badan (gram) 1 Kontrol 0 -3,83±18.03 2 EE 0,67 11,25±34.66 3 EE+SRBC 5,16 17,83±20.80 4 SRBC 4,16 -0,5±16.10 Titer antibodi ( Tabel 1) lebih tinggi pada tikus yang diberi ekstrak etanol daun bangunbangun+SRBC. Sedangkan pada tikus yang tidak diberi ekstrak antibodi bahkan tidak terbentuk. EE menunjukkan aktivitas imunostimulannya dengan terbentuknya antibodi didalam tubuh tikus. Aktivitas imunostimulan ini terbentuk lebih banyak jika pemberian EE daun bangunbangun disertai pemberian SRBC sebagai antigen yang melakukan “chalenged”. Titer antibodi pada tikus perlakuan EE+SRBC berbeda sangat nyata ( Tabel 2) Tabel 2. Daftar analisis sidik ragam Titer Antibodi tikus Sumber Db JK KT F hitung Keragaman Perlakuan 3 1452 484 29,69** Galat 20 326 16,3 Total 23 1778 F tabel 0,05 0,01 3,10 4,94 61 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 7 a n t i b o d i 5,17 5 4,17 4 3 2 1 0 0,67 0 -1 R a t a a n p e r u b a h a n B B … R a t a a n t i t e r 25 6 -2 20 15 11,25 10 5 -0,5 -3,83 0 -5 -10 -15 Perlakuan 17,83 Perlakuan A B Gambar 1. Rataan Titer antibodi tikus ( A), dan Rataan Perubahan berat badan (B) dari hari ke-1 hingga hari ke-30 penelitian. ( K=kontrol; EE= ekstrak Etanol bangunbangun; SRBC= sheep red blood cells) Tabel 3. Daftar analisis sidik ragam Perubahan Berat badan Tikus Sumber Db JK KT Fhitung Keragaman Perlakuan 3 1838,36 612,78 1,10(tn) Galat 20 11099,04 554,95 Total 23 12,937,41 0,05 3,10 F tabel 0,01 4,94 Peningkatan titer antibodi pada tikus putih merupakan efek immunostilulan dari daun bangunbangun yang diberikan pada tikus. Flavonoid yang terkandung dalam daun bangunbangun terlibat dalam proferasi dan diferensiasi sel B menjadi sel plasma yang merupakan penghasil antibodi. Salah satu kandungan dari bangun-bangun adalah flavonoid khususnya flavonols. Flavonols adalah kandungan terbanyak dari flavonoid . Efek flavonoid terhadap system imun sangat kompleks dan nyata yaitu berperan sebagai immunostimulan (Carlo et al. 1999). Flavonols berpotensi sebagai immunostimulan karena mampu meningkatkan produksi IL2 (interleukin) yang terlibat dalam aktivasi dan proliferasi sel T (Dewi dkk, 2003). Efek immunodulator pada bangun-bangun diamati dari terjadinya aglutinasi pada serial pengenceran serum (mengandung antibodi) SRBC ditambahkan kembali pada sumur mikrotiter. Titer antibodi pada penelitian ini lebih tinggi dari titer antibodi pada penelitian yang dilakukan oleh Koul and Khosa (2013). Peneliti tersebut melaporkan dengan pemberian 30 mg/kg BB ekstrak etanol Melissa officinalis pada tikus terbentuk titer antibodi 2.49±0.21. Berat badan tikus selama penelitian berubah dengan tidak signifikan. Tikus perlakuan EE dan EE+SRBC terjadi peningkatan berat badan dari hari ke 1 penelitian hingga hari ke-31. Sementara pada perlakuan kontrol dan yang diberi SRBC saja mengalami penurunan berat badan pada akhir penelitian KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Ekstrak etanol bangun-bangun berpengaruh nyata meningkatkan titer antibodi pada tikus putih 2. Ekstrak etanol bangun-bangun tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan berat badan tikus putih. 62 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 DAFTAR PUSTAKA Bellanti, J.A., 1993, Immunologi III, Terjemahan dari Immunology III oleh A. Samik Wahab, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Carlo, G., Mascolo, N., Izzo Angelo and Francesco Capasso., (1999), Life Science, Flavonoids : Old and New Aspects of A Class of Natural Therapeutic Drugs: 65(4):337-353 Depkes R.I. 2005. Botani, Sinonim, Nama Umum, dan nama dagang daun Bangunbangun.Jakarta, Depkes ( terhubung berkala). http:www.iptek.apjii.or.id Dewi, L., Widyarti, S.,Rifa’I, M., (2003), Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona muricata Linn) terhadap Peningkatan Jumlah Sel T CD4+ dan C8+ pada Timus Mencit (Mus musculus), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Alam Universitas Brawijaya, Malang Duke, 2000, Constituens and Ethnobotanical Databases. Phytochemical database, USDA - ARS – NGRL. http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/duke/farmacy-scroll3.pl. Farhath, S., Vijaya and Vimal. 2013. Immunomodullatory activity of geranial, geranial acetate, gingerol, and eugenol essentials oils: evidence for humoral and cell-mediated respons. Avicenna journal of Phytomedicine. Jose, M, Ibrahim, and S. Janardhanan. Modullatory effect of Plectranthus amboinicus Lour on ethylene glycol induced nephrolithiasis in rats. Indian J. Pharmacol Vol 3791): 37-45 Koul, S and R. L. Khosa. 2013. Immunomodulatory activity of phytoconstituent of Melissa officinalis. Der Pharmacia Lettre. 5(1): 141-145 Patel, R. 2011. Hepatoprotective effects of Plectranthus amboinicus (Lour) Spreng against carbon tetrachloric induced hepatotoxicity. J. Nat Pharm. Vol 2(1) : 28-35 Purwantari, Sajimin N.D.,E.Sutedi., dan Oyo., (2011), Pengaruh Interval Potong Terhadap Produktivitas dan Kualitas Tanaman Bangun-Bangun (Coleus amboinincus L) sebagai Komoditas Harapan Pakan Ternakr: 288-293. Santosa,M dan T. Hertiana., 2005. Majalah Farmasi Indonesia, Kandungan Senyawa Kimia dan Efek Ekstrak Air Daun Bangun-Bangun (Coleus amboinicus, L.) Pada Aktivitas Fagositosis Netrofil Tikus Putih (Rattus norvegicus), 16 (3):141-148. Suhirman, S dan Christina, W., 2000. Prospek dan Fungsi Tanaman Obat sebagai Imunomodulator, 121-133. Sunitha, KS., Haniffa, M., Milton, J., Manju,A.,2010. Coleus aromaticus Benth act as an immunostimulant in Channa marulius Hamliton International Journal of Biological Technology, , 1(2):55-59 . 63 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 CATATAN TERHADAP STADIA PRADEWASA KUPU-KUPU Acraea violae Fabricius (LEPIDOPTERA: NYMPHALDAE) Dahelmi, Siti Salmah dan Tristia Andrianti Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas, Padang 25163 E-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lama lama stadia pradewasa kupu-kupu A. violae yang dipelihara pada tumbuhan inang Passiflora foetida dan parasitoid yang menyerangnya. Penelitian telah dilaksanakan dari bulan November 2011 sampai Maret 2012. Pemeliharaan larva dilakukan dalam kondisi laboratorium. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa larva kupu-kupu A. violae memiliki lima instar. Stadia telur berlangsung selama 4 hari, larva berkisar 14-17 hari (15,35±0,99) dan stadium pupa berkisar 4-6 hari (5,25±0,64). Jenis parasitoid yang ditemukan yaitu Brachymeria sp., dimana pupa merupakan stadium yang sesuai terhadap parasitoid. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lama stadia pradewasa kupu-kupu A. violae dari telur sampai muncul serangga dewasa berkisar antara 23-28 hari (25,60±1,14). Parasitoid Brachymeria sp., menyerang stadium pupa dengan Index of Larval and Pupal Parasitism Rate (IPR) sebesar 73,9 %. Kata kunci: Kupu-kupu, Acraea violae, pradewasa, parasitoid PENDAHULUAN Salah satu genus kupu-kupu Nympahlidae yang terdapat di Sumatera adalah Acarea, tersebar dari dataran rendah sampai dataran tinggi (Dahelmi, Salmah dan Herwina, 2009). Genus ini memiliki lebih kurang 240 spesies, larva memakan berbagai tanaman yang mencakup 24 famili (Ackery et al. 1995). Beberapa spesies diantaranya bersifat hama, seperti Acraea acerata merupakan hama pada Ipomea batatas (Okonya and Kroschel (2013). Salah satu spesiesnya adalah Acraea violae, banyak ditemukan pada daerah terbuka seperti padang rumput, taman, semak belukar, hutan primer dan sekunder yang terbuka. Kupu-kupu ini cenderung menghindari kawasan yang ternaungi dengan vegetasi yang padat. Umumnya melimpah pada daerah dataran rendah, namun di India dan Sri Lanka pernah ditemukan hingga ketinggian 2.100 meter dpl. Keberadaan kupu-kupu ini bersifat musiman, tetapi ditemukan sepanjang tahun khususnya pada sebelum atau saat musim hujan. Penyebarannya mulai dari kawasan India, Sri Lanka, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaysia, Singapura dan Kepulauan Indonesia (Kunte, 2006). Di Sumatera Barat, penelitian tentang biologi kupu-kupu yang telah dilakukan diantaranya bioekologi kupu-kupu famili Papilionidae (Dahelmi, 2002), lama stadia pradewasa 11 jenis kupukupu Papilionidae (Dahelmi et al, 2008). Umumnya penelitian yang telah dilakukan hanya pada famili Papilionidae dan masih terbatas untuk famili Nymphalidae terutama untuk spesies A. violae. Dari studi pendahuluan yang dilakukan di sekitar kampus Universitas Andalas, larva A. violae ditemukan memakan tumbuhan Passiflora foetida (Passifloraceae). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lama lama stadia pradewasa kupu-kupu A. violae yang dipelihara pada tumbuhan inang P. foetida dan parasitoid yang menyerangnya. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksankan dari bulan November 2011 sampai Maret 2012. Pengamatan mengenai siklus hidup dilakukan di Laboratorium Taksonomi Hewan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas dan pengamatan mengenai dinamika populasi dilakukan di sekitar Kampus Universitas Andalas, Padang. Pengamatan lama stadia pradewasa Kelompok telur yang baru diletakkan oleh kupu-kupu betina dewasa pada tumbuhan inang P. foetida dikoleksi dan dipelihara di laboratorium. Telur diambil dengan cara memotong tangkai daun tumbuhan tempat telur menempel, kemudian dipelihara dalam kotak plastik berukuran 7×7×6 cm, dicatat tanggal koleksi, jumlah telur yang dihasilkan perkelompok telur dan jumlah yang menetas 64 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 menjadi larva. Pada stadia telur hingga larva instar dua akhir, larva hidup secara berkelompok sehingga larva dipelihara dalam satu kotak yang sama. Setelah memasuki stadia larva instar tiga, sebanyak 20 ekor larva diambil lalu dipindahkan ke kotak plastik, dalam satu kotak berisi satu larva. Masing-masing kotak diberi label dan diisi dengan daun tumbuhan inang yang bagian ujung tangkainya dibalut kapas basah agar daun tetap segar. Setiap hari ketersediaan pakan larva diperiksa dan dibersihkan dari kotoran larva. Setelah larva instar terakhir selesai maka larva memasuki stadia prepupa, pada stadia ini dalam kotak diberi sarana untuk memanjat berupa ranting tumbuhan kemudian dibersihkan dari kotoran dan dikosongkan dari pakan. Individu yang berada pada stadia prepupa masih ditempatkan dalam kotak plastik, stadia prepupa dihitung sejak larva menggantung sampai menjadi pupa. Setelah satu hari, pupa dipindahkan dalam kotak yang lebih besar berukuran 10x10x15 cm yang di dalamnya sudah diletakkan styrofoam. Setiap hari pupa diamati untuk menghindari kerusakan dan kematian pupa serta memeriksa predator. Pupa yang rusak segera dikeluarkan dari kandang untuk mencegah penularan ke pupa lainnya. Jenis-jenis parasitoid yang menyerang stadia pradewasa dan penentuan stadia yang sesuai (succeptible) terhadap parasitoid Sebanyak 20 telur, larva (setiap instar) dan pupa dikoleksi dari lapangan. Sampel yang sudah terkumpul dipelihara dalam kotak plastik di labotatorium. Larva diberi makan dengan daun tumbuhan P. foetida dan penggantian pakan dilakukan setiap hari. Perubahan yang terjadi dari masing-masing stadia atau mati yang disebabkan oleh parasitoid diamati dan dicatat. Jenis parasitoid yang didapatkan disimpan di dalam botol koleksi yang telah berisi alkohol 70%. Untuk menentukan jenis parasitoid yang diperoleh dilakukan identifikasi menggunakan beberapa buku acuan seperti Nauman (1991) dan Huang and Noyes (1994). Larva dan pupa yang diperoleh dari lapangan digunakan untuk mengetahui stadia yang sesuai (succeptible) terhadap parasitoid. Stadia dianggap succeptible bila setelah larva atau pupa dipelihara, parasitoid muncul pada atau setelah instar berikutnya. Indeks serangan parasitoid atau IPR (index of larval and pupal parasitism rate) dihitung dengan menggunakan rumus : IPR = N2/N1 x 100% dimana: IPR = rata-rata indeks serangan parasitoid (%) N1 = jumlah larva dan pupa yang diambil dari lapangan dan dipelihara di laboratorium N2 = larva dan pupa yang terserang parasitoid HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan menunjukkan bahwa stadia telur berlangsung selama 4 hari, larva mengalami lima kali instar, masa larva berlangsung 14-17 hari, prepupa selama satu hari dan pupa berlangsung 46 hari. Secara keseluruhan, masa stadia pradewasa kupu-kupu Acraea violae berkisar antara 23-28 hari dengan rata-rata 25,6 hari (Tabel 1). Lama stadia telur A. violae yang dipelihara pada suhu berkisar 27,9-30,80C dan kelembaban 64,0-69,4% adalah empat hari (Tabel 1), lebih singkat dibandingkan lama stadia telur A. violae pada tanaman inang Corchorus olitorus (Malvaceae) dengan suhu 23-310C dan kelembaban 59-64% yaitu rata-rata 5,7 hari (Lawson and Duodu, 1984), namun hampir sama dengan A. andromacha pada tanaman inang Passiflora suberosa (Passifloraceae) yang berkisar 4-5 hari (Hawkeswood, 1991) dan lebih singkat dibandingkan A. encedon pada tanaman inang Commelina spp. dengan suhu rata-rata 27,910C dan kelembaban 84,8% yaitu rata-rata 7,5 hari (Emosairue and Usua, 1999). Lama stadia telur bervariasi untuk setiap jenisnya, lama ini dipengaruhi oleh jenis kupu-kupu, kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban) dan tanaman inang. 65 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 1. Lama (hari) masing-masing stadia pradewasa kupu-kupu A. violae pada tanaman inang P. foetida (suhu 27,9-30,80C dan kelembaban 64,0-69,4%) Jumlah Lama (hari) Stadia (n) Kisaran ±Sd Telur 75 4 4,00±0 Larva 14-17 15,35±0,99 Instar satu 71 5 5,00±0 Instar dua 71 1 1,00±0 Instar tiga 20 2-5 2,40±0,82 Instar empat 20 1-4 2,85±0,75 Instar lima 20 3-5 4,10±0,55 Prepupa 20 1 1,00±0 Pupa 20 4-6 5,25±0,64 Total 23-28 25,6±1,14 Lama stadia pradewasa A. violae pada tanaman inang P. foetida berkisar antara 23-28 hari (25,6±1,14) (Tabel 1). Lama stadia pradewasa berbeda untuk tiap jenisnya. Pada A. encedon dengan tanaman inang Commelina spp., lama stadia pradewasa berkisar 37-44 hari. Larva A. violae mengalami lima kali instar, sedangkan hasil penelitian Zhou et al., (2009) di China dilaporkan bahwa larva spesies ini yang dipelihara pada tanaman inang Adenia cardiophylla mengalami enam kali instar. Adanya perbedaan ini mungkin disebabkan berbedanya tanaman inang larva yang digunakan. Selain perbedaan jenis kupu-kupu, lama siklus hidup dipengaruhi oleh faktor lingkungan diantaranya suhu, kelembaban serta kualitas dan kuantitas makanan (Christopher and Mathavan, 1984). Salah satu jenis parasitoid yaitu Brachymeria sp. diketahui telah menyerang stadium pupa dengan nilai IPR sebesar 73,9% (Tabel 2). Tingginya nilai IPR terhadap pupa A. violae ini menyebabkan jumlah pupa yang berhasil menjadi imago relatif sedikit, yaitu hanya sebesar 17,4%. Selain akibat serangan parasitoid, mortalitas pupa juga disebabkan karena busuk, namun persentasenya lebih rendah dibandingkan pupa yang terserang parasitoid yaitu sebesar 8,7. Faktor parasitoid lebih dominan dalam menekan populasi pupa A. violae. Kondisi lingkungan yang sesuai menyebabkan parasitoid ini dapat berkembang dengan baik dalam pupa. Tabel 2. Jenis parasitoid dan rata-rata indeks parasitisme (IPR) pada stadia pupa kupu-kupu A. violae Famili / Jenis parasitoid Stadia awal N1 N2 IPR (%) Chalcididae Brachymeria sp. Pupa 23 17 73,9 Parasitoid Brachymeria merupakan jenis parasitoid yang umum ditemukan di daerah tropis, dan merupakan parasitoid primer pada beberapa jenis serangga dari ordo Lepidoptera, Orthoptera, Hemiptera, Diptera dan Coleoptera, kebanyakan jenis dari genus ini merupakan parasiotid pupa pada Lepidoptera (Gupta, 2010). Dari ordo Lepidoptera serangan parasitoid ini pernah ditemukan pada Erionata thrax (Lepidoptera: Hesperiidae) Emlias (1997), Graphium doson (Gupta, 2010), dan Syntomeida epilais (Arctiidae) (McAuslane and Bennett, 1995). KESIMPULAN 1. Stadia pradewasa kupu-kupu Acraea vioalae berlangsung antara 23-28 hari, dimana stadium telur berlangsung 4 hari, larva mengalami 5 kali instar yang berlangsung selama 14-17 hari dan pupa selama 4-6 hari. 2. Satu jenis parasitoid yaitu Brachymeria sp. terdeteksi menyerang stadia pupa dengan Index of Larval and Pupal Parasitism Rate (IPR) sebesar 73,9 %. 66 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Ucapan Terima Kasih Penelitian didanai oleh Bakrie Center Foundation, untuk itu penulis mengaturkan terima kasih atas bantuan dana yang telah diberikan. DAFTAR PUSTAKA Ackery, P.R., C.R. Smith and R.I. Vane-Wright. 1995. Carcasson’s African Butterflies. Catalogue of the Papilionoidea and Hesperioidea of the Afrotropical Region. CSIRO ublishing, Collingwood, Melbourne. Dahelmi. 2002. Life history and Ecology of Papilionid butterflies of Province of Sumatera Barat, Indonesia. Annual Report of Pro Natura Foundation 12:147-162. Dahelmi. 2008. Life History and Seasonal Occurrence of Papilionid Butterflies in Sumatera, Indonesia. Disertasi. Kanazawa University, Japan. Dahelmi., S. Salmah, dan H. Herwina. 2009. Diversitas Kupu-kupu (Butterflies) Pada Beberapa Taman Nasional di Sumatra. Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional. Universitas Andalas. Padang. Dahelmi., S. Salmah., I. Abbas, N. Fitriana, S. Nakano and K. Nakamura. 2008. Duration of Immature Stages of Eleven Swallow Tail Butterfflies (Lepidoptera: Papilionidae) In West Sumatra, Indonesia. Far Eastern Entomologist 182: 1-9. Emlias. 1997. Dinamika Populasi Stadia Pradewasa Hama Penggulung Daun Pisang (Erionota thrax Linn.) dan Waktu Oviposisi Parasitoid Terhadap Inang. Thesis Pascasarjana Biologi. FMIPA. Universitas Andalas, Padang (Tidak Dipublikasikan). Emosairue, S.O and E.J. Usua. 1999. Notes on The Life History of Acraea encedon L. (Lepidoptera: Acraeidae) and Nature of Damage to Commelina spp. Journal Chemistry and Agricultural Research 2 (1): 11-14. Gupta, A. 2010. First Record of Brachymeria jambolana Gahan (Hymenoptera: Chalcididae) as a Pupal Parasitoid of Graphium doson (C. & R. Felder) (Lepidoptera: Nymphalidae). Journal of Biological Control 24(4): 363-365. Hawkeswood, T.J. 1991. Some Observations on the Biology of the Australian Butterfly Acraea andromacha andromacha (Fabricius) (Lepidoptera, Nymphalidae). Spixiana 14: 301-308. Huang, D.W and J.S. Noyes. 1994. A Revision of the Indo-Pacific Species of Ooencyrtus (Hymenoptera:Encyrtidae), Parasitoids of the Immature Stages of Economically Important Insect Specie (Mainly Hemiptera And Lepidoptera). Entomol 63:1-136. Kunte, K. 2006. Butterflies of Peninsular India. Indian Academy of Sciences. Universities press. India. Lawson, B.W.L and Duodu, Y.A. 1984. Life History and Seasonal Occurrence of the Tossa Jute Defoliator, Acraea terpsicore (L.) (Lepidoptera: Nymphalidae) in Ghana. Entomologist's Monthly Magazine (ENTOMOL. MON. MAG.) 120 (1436-1439): 47-53. McAuslane, H. J and F.D. Bennett. 1995. Parasitoid and Predator Associated with Syntomeida epilais (Lepidoptera: Arctiidae) on Oleander. Florida Entomologist 78 (3): 543-546. Nauman, I.D. 1991. Hymenoptera. In Division of Entomology Csiro Australia (eds.), The Insects of Australia, pp.916-1000. Second Edition. Vol II. Corner University Press. Ithaca, New York. Okonya, J.S and J. Kroschel. 2013. Pest Status of Acraea acerata Hew. and Cylas spp. in Sweetpotato (Ipomoea batatas (L.) Lam.) and Incidence of Natural Enemies in the Lake Albert Crescent Agro-ecological Zone of Uganda. International Journal of Insect Science 2013:5 41–46. Zhou, C., Chen, X.M., Shi, J.Y and Yi, C.H. 2009. Morphological Records and Biology of Parthenos sylvia, Vindula erota (Lepidoptera: Nymphalidae) and Acraea violae (Lepidoptera: Acraeidae). Forest Research 22(2): 171-176. 67 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 HIBRID RESIPROK NILA GIFT Oreochromis niloticus x Mujair Oreochromis mossambicus DAN NILA GIFT X Nila Merah Oreochromis sp * Efrizal 1); Elfrida2) dan Akmal Rafandi3) Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Kampus Unand Limau Manis, Padang, 25163, Sumatera Barat, Indonesia 2) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta 3) Alumni Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta Corresponding author: E-mail: [email protected] Hp. 081378155502 1) ABSTRAK Hibrid resiprok (resiprocal hybrids) dan induk ikan nila GIFT memberikan pengaruh kepada bobot badan, ciri morfometrik, kecerahan sisik dan warna sisik, namun tidak memberikan pengaruh kepada ciri meristik, pola sisik dan abnormalitas morfologis pada turunannya. Nilai bobot ikan dan ciri morfometrik yang tertinggi terdapat pada hibrid resiprok nila GIFT dengan mujair, sedangkan kombinasi kecerahan sisik (sisik pekat/gelap dan sisik transparan/terang) dan warna sisik (kombinasi perak hitam, kombinasi merah hitam dan warna merah) hanya didapatkan pada hibrid resiprok nila GIFT dengan nila merah. Kata Kunci : Hibrid resiprok, nila Gift, mujair, nila merah PENDAHULUAN Hibridisasi secara luas dapat diartikan sebagai inseminasi yang heterospesifik yang dapat dilakukan secara alami maupun secara buatan (Chevassus, 1983). Menurut Hickling (1960) hibridisasi pada ikan dapat dilakukan antar spesifik dalam satu genus (interspesifix) dan antar genus dalam satu famili (intergeneric) atau berbeda famili. Keberhasilan hibridisasi intergeneric biasanya ditentukan oleh jauh dekatnya tingkat taxa, dengan arti kata semakin dekat tingkat taxa maka semakin tinggi tingkat keberhasilannya (Tave, 1986; Kuncoro dan Toyo, 2003). Selanjutnya Chevassus (1983) menjelaskan bahwa ada dua kejadian utama yang dapat diperhatikan dari hasil hibridisasi yaitu (1) hibrid mengandung genom diploid, triploid atau tetraploid yang semuanya bergantung pada ploiditas dari induknya dan (2) hibrid yang mengarah kepada salah satu material genetik, baik dari jantan (androgenesis), ataupun dari betina (ginogenesis). Dewasa ini seiring dengan pesatnya perkembangan industri perikanan, telah dikenal beberapa standar strain nila yaitu, nila GIFT (Oreochromis niloticus) yang merupakan hasil hibridisasi ikan nila asal Afrika dan ikan nila Asia, nila merah (Oreochromis sp) merupakan strain baru hasil hibridisasi ikan nila asal Thailand dan ikan nila asal Mesir dan ikan mujair (O. mossambicus) merupakan ikan nila lokal asal Asia dari Filipina (Sumidi, 1977). Menurut Kuncoro dan Toyo (2003), persilangan ikan nila yang berbeda asal usulnya tersebut bertujuan untuk mendapatkan ikan nila yang unggul. Keunggulan tersebut antara lain, pertumbuhannya yang cepat berkembang, tahan terhadap kualitas air yang rendah, tahan terhadap hama dan penyakit serta efisien dalam memanfaatkan makanan (Tave, 1986). Disamping itu dijelaskan bahwa program perbaikan genetik dapat meningkatkan produktivitas spesies akuatik yang dibudidayakan (Gjedrem, 1998, 2000; Hulata, 2001). Di Indonesia, khususnya di Sumatera Barat upaya penyilangan antara strain ikan nila dengan ikan nila lokal belum berkembang dan amat langka data tentang hal itu. Sebab itulah perlu dilakukan uji coba kemungkinan keberhasilan hibridisasi ikan nila GIFT (O. niloticus), ikan nila merah (O. sp) dan ikan mujair (O. mossambicus), guna mendapatkan keturunan baru yang unggul dan lebih baik dari induknya. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2008 sampai bulan Mei 2008, bertempat di Batas-Kota Muara Kasang KM-19, Kelurahan Sungai Pinang, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : ikan uji yang terdiri dari 9 pasang induk ikan nila GIFT (O. niloticus), 3 pasang induk ikan nila merah (O. sp) dengan bobot badan rata-rata 68 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 200 – 300 gr/ekor dan 3 pasang induk ikan mujair (O. mossambicus) dengan bobot badan rata-rata 100 - 150 gr/ekor, yang berasal dari Sungai Bangek dan Lubuk Rayo, Koto Tangah Padang. Kemudian pasir halus dengan ketebalan 2 – 3 cm sebagai substrat untuk memijah dan bertelur induk ikan uji . Sedangkan pakan yang digunakan adalah CP 781 sebagai pakan induk, CP 9001 dan FF 999 untuk benih ikan hasil hibridisasi. Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak semen berukuran 4,5 m x 2 m x 1m sebanyak 3 buah yang dibagi menjadi 15 bagian berukuran 2 m x 0,9 m x 1m menggunakan pembatas (skat) dari plastik terpal. Untuk pemeliharaan larva/anak ikan hasil hibridisasi dengan menggunakan hapa ( 1m x 0,6m x 0,5m) yang ditempatkan dalam bak semen (4,5m x 2 m x 1m). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1 buah tetelan plastik, 1 buah tangguk jaring net halus yang berukuran 15 x 10 cm untuk pengambilan sampel dan satu buah mistar/penggaris dengan ketelitian 1 mm yang berfungsi untuk mengukur ciri meristik dan morfometrik, kemudian timbangan dengan ukuran berat 5 kg dengan ketelitian 1 gram untuk mengukur bobot badan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan yaitu, (A) Ikan nila GIFT betina dengan ikan nila GIFT jantan (kontrol), (B) Ikan mujair betina dengan ikan nila GIFT jantan, (C) Ikan nila GIFT betina dengan ikan mujair jantan, (D) Ikan nila merah betina dengan nila GIFT jantan dan (E) Ikan nila GIFT betina dengan ikan nila merah jantan. Adapun prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) pertama-tama dilakukan persiapan wadah pemeliharaan induk dari semen yang terdiri dari 3 buah yang masing-masing kolam berukuran 9 m2 dan dibagi menjadi 15 bagian dengan ukuran luas 1,8 m menggunakan pembatas (skat), dari terpal sebagai tempat pemijahan bagi ikan uji. Pada dasar wadah (kolam) ditebarkan pasir dengan ketebalan 2 - 3 cm, hal ini bertujuan sebagai substrat tempat membuat sarang oleh ikan uji. Ikan uji sebelum dimasukan, terlebih dahulu diseleksi jantan dan betina antara ikan nila GIFT dan ikan nila merah dengan bobot berkisar 200 – 300 gr/ekor dan ikan mujair dengan bobot berkisar 100 – 150 gr/ekor yang diperoleh dari Sungai Bangek dan Lubuk Rayo, Kecamatan Koto Tangah Padang. Selama penelitian, ikan uji diberi pakan pelet CP 781 dengan metode adlibitum, yaitu pemberian makanan sampai kenyang dengan kisaran 10 – 20 gram pada waktu pagi hari. Hal ini bertujuan supaya induk bisa memijah dan bertelur dengan sempurna pada waktu siang sampai sore hari yaitu pada pukul 12.00 – 17.00 wib. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan melihat hasil dari pemijahan pada ikan uji yaitu, adanya gerombolan larva yang berenang diatas permukaan air. Setelah itu larva ditangkap dengan menggunakan tangguk jaring net halus dengan mesh 1 mm dan dipindahkan ke dalam hapa tempat pemeliharaan larva. Larva hasil hibridisasi diberi makan tiga kali sehari yaitu, pagi hari pukul 07.30 wib dan siang hari pukul 12.30 wib serta sore hari pukul 17.30 wib berupa pelet CP 9001 dengan metode adlibitum, yaitu pemberian makanan sampai kenyang dengan kisaran 3 – 5 gram sampai berumur 21 hari. Setelah itu dilanjutkan dengan pakan pelet FF 999 dengan kisaran 5 – 10 gram sampai berumur 30 hari. Setelah juvenil/benih hasil hibridisasi berumur 30 hari barulah siap dilakukan pengamatan terhadap sampel dengan langkah awal adalah pengambilan sampel dengan menggunakan metode sampling dengan cara menghitung jumlah ikan, 50% dari total biomasa ikan dalam satu wadah hapa. Juvenil/benih tersebut diambil dengan tangguk jaring net halus yang berukuran 15 cm x 10 cm dan diletakkan di atas tetelan plastik guna mengamati sifat-sifat ikan hasil hibridisasi tersebut. Pengamatan terhadap peubah biologi hewan uji dilakukan setelah ikan berumur lebih dari 30 hari yaitu pada tingkat juvenil/benih. Peubah yang diamati meliputi : bobot ikan, ciri morfometrik dan meristik, pola sisik, kecerahan sisik, warna sisik dan abnormalitas morfologis. Data yang telah berhasil dihimpun, diolah dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uju lanjut berganda Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot ikan. Bobot ikan adalah berat total keseluruhan badan ikan yang meliputi semua sirip, sisik, isi perut dan kepala ikan hasil hibridisasi. Data hasil pengamatan bobot ikan hasil hibridisasi, pada masing-masing perlakuan disajikan pada pada Tabel 1dan Gambar 1. 69 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 1. Bobot perekor ikan (g) hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT PerlaRataan jumlah ikan Rataan bobot ikan Rataan jumlah Rataan bobot ikan kuan 50% dari jumlah 50% dari jumlah total total ikan (ekor) perekor (g) (n=3) total ikan (ekor) ikan (g) A 114 ± 13,86 57 ± 6,93 213,33 ± 18,56 3,80 ± 0,33ª B 66 ± 4,16 33 ± 2,08 200,00 ± 10,00 6,07 ± 0,13b C 72 ± 11,02 36 ± 5,51 196,67 ± 3,33 5,72 ± 0,84b D 120 ± 22,28 60 ± 11,14 193,33 ± 8,82 3,45 ± 0,65ª E 144 ± 38,02 72 ± 19,01 213,33 ± 28,48 3,14 ± 0,36ª Keterangan : Nilai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (P>0.05), nilai adalah rataan ± standard errors (SE), (A) Ikan nila GIFT betina x ikan nila GIFT jantan (kontrol) , (B) Ikan mujair betina x Ikan nila GIFT jantan ,(C) Ikan nila GIFT betina dengan ikan mujair jantan, (D) Ikan nila merah betina x ikan nila GIFT jantan, dan (E) Ikan nila GIFT betina x ikan nila merah jantan. Gambar 1. Histogram rataan bobot (g) perekor ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT Dari tabel dapat dilihat bahwa rataan jumlah total ikan dan rataan jumlah ikan 50 % dari total jumlah ikan pada masing-masing perlakuan adalah tidak sama. Jumlah ikan terbanyak (144 ekor) terdapat pada perlakuan E, kemudian diikuti oleh perlakuan D (120 ekor), perlakuan A(114 ekor), perlakuan C (72 ekor) dan yang paling rendah didapatkan pada perlakuan B yaitu 66 ekor. Dilihat dari rataan bobot ikan 50 % dari jumlah total ikan (Tabel 1 dan Gambar 1), maka nilai bobot ikan yang tertinggi didapatkan sebesar 213,33 gram pada perlakuan A dan E serta yang terendah adalah pada perlakuan D (193,33 gram). Sedangkan untuk bobot ikan perekor, rataan bobot ikan hasil hibridisasi secara berurutan mulai yang tertinggi adalah perlakuan B (6,07 gram), perlakuan C (5,72 gram), perlakuan A (3,8 gram), perlakuan D (3,45 gram) dan yang paling terendah adalah pada perlakuan E (3,14 gram), secara statistik berbeda sangat nyata (P<0,05). Tinggi nilai rataan bobot badan pada hibridisasi ikan mujair betina dengan ikan nila GIFT jantan dan Ikan nila GIFT betina dengan ikan mujair jantan diduga disebabkan oleh lingkungan pemeliharaan dengan kepadatan yang rendah yang memungkinkan individu tersebut tumbuh dan berkembang jauh lebih baik, karena persaingan untuk mendapatkan pakan, oksigen dan ruang gerak tidak terlalu kompetitif pada kepadatan yang rendah. NRC (1977) menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh ruang hidup, apabila ruang hidup kecil dengan meningkatnya padat tebar maka terjadi persaingan gerak, sehingga mempengaruhi pertumbuhan. Selanjutnya Hickling (1971) menjelaskan bahwa dalam batas tertentu penambahan padat penebaran akan menambah produksi total, akan tetapi akan mempengaruhi ukuran berat dan besar yang dihasilkan dalam satu pemeliharaan. Disamping faktor lingkungan, diduga adanya penambahan variasi genetik yang dominan dari kedua hibridisasi ikan nila GIFT dan mujair tersebut. Tave (1986) menyatakan bahwa hibridisasi dapat memperbaiki produktivitas dengan mengeksploitasi variasi genetik yang dominan. Selanjutnya dijelaskan variasi genetik yang dominan adalah hasil kreasi dari awal dan karena adanya perbedaan kombinasi masing-masing generasi, yang pengaruhnya didasarkan kepada keberuntungan. Ciri Morfometrik. Ciri morfometrik adalah ciri yang berkaitan dengan ukuran tubuh dan bagian tubuh ikan. Diantaranya adalah panjang badan yakni, jarak antara ujung kepala yang terdepan sampai sirip ekor terbelakang, kemudian lebar badan yakni, jarak terbesar antara kedua sisi badan 70 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 ikan, serta tinggi badan yakni, jarak antara tempat tumbuh sirip punggung dan sirip perut yang terdapat pada badan ikan. Data hasil pengamatan ciri morfometrik ikan hasil hibridisasi pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 2. Tabel 2. Ciri morfometrik ikan (cm) hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT Rataan jumlah Ciri morfometrik PerlaRataan ikan 50% dari kuan jumlah total Rataan panjang Rataan lebar Rataan tinggi jumlah total (n=3) ikan (ekor) badan (cm) badan (cm) badan (cm) ikan (ekor) A 114 ± 13,86 57 ± 6,93 6,87 ± 0,23a 1,00 ± 0,12bc 2,00 ± 0,29ab b d B 66 ± 4,16 33 ± 2,08 8,40 ± 0,12 1,40 ± 0,06 2,63 ± 0,09c C 72 ± 11,02 36 ± 5,51 7,17 ± 0,13a 1,17 ± 0,12cd 2,31 ± 0,12bc a ab D 120 ± 22,28 60 ± 11,14 6,60 ± 0,36 0,85 ± 0,07 1,90 ± 0,06ab E 144 ± 38,02 72 ± 19,01 6,47 ± 0,38a 0,67 ± 0,12a 1,78 ± 0,03a Keterangan : Nilai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (P>0.05), nilai adalah rataan ± standard errors (SE). Gambar 2. Histogram rataan ciri morfometrik (cm) ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT. Hasil hibridisasi berbagai persilangan ikan nila GIFT, mujair dan nila secara keseluruhan menyebabkan perbedaan nilai rataan dari ciri morfometrik (Tabel 2 dan Gambar 2) , secara statistik berbeda nyata (P<0,05). Pada percobaan ini hibridisasi ikan mujair betina dengan ikan nila GIFT jantan memberikan nilai rataan panjang badan (8,40 cm), lebar badan (1,40 cm) dan tinggi badan (2,63 cm) yang tertinggi, sedangkan persilangan ikan nila GIFT betina dengan ikan nila merah jantan memberikan nilai ciri morfometrik (panjang badan, lebar badan dan tinggi badan) yang paling rendah bila dibandingkan dengan persilangan ikan lainnya yaitu ikan nila GIFT betina dengan ikan mujair jantan (perlakuan C), ikan nila GIFT betina dengan ikan nila GIFT jantan (perlakuan A sebagai kontrol) dan ikan nila merah betina dengan nila GIFT jantan (perlakuan D). Tingginya ciri morfometrik(panjang badan, lebar badan dan tinggi badan) pada hibrid resiprok (reciprocal hybrids) ikan nila GIFT dan mujair berhubungan atau sejalan dengan penambahan bobot ikan yang lebih tinggi pada kedua hibrid tersebut. Disamping itu juga diduga karena adanya kontribusi variasi genetik yang berbeda dari kedua spesies dan asal usul dari kedua induk yang disilangkan. Tave (1986) menyebutkan bahwa hibridisasi merupakan salah satu dari beberapa cara yang dapat digunakan untuk memperbaiki produktivitas ikan. Produktivitas dapat diukur melalui bobot biomass biota persatuan volume air (Effendi, 2004). Sedangkan pertumbuhan yaitu perubahan ukuran, dapat panjang atau berat dalam waktu tertentu (Effendie, 1979) dipengaruhi oleh faktor keturunan (genetis) , aktifitas ikan, kondisi lingkungan, ketahanan terhadap penyakit serta persaingan makanan (Huet, 1971 ; Zonneveld, Huisman dan Boon, 1991). Ciri Meristik. Ciri meristik adalah ciri yang berkaitan dengan jumlah bagian tubuh ikan. Diantaranya adalah jumlah jari-jari sirip punggung (dorsal fin), sirip ekor (caudal fin), sirip dada (pectoral fin), sirip perut (ventral fin) dan sirip dubur (anal fin) yang terdapat pada ikan hasil 71 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 hibridisasi. Data hasil pengamatan pada ciri meristik ikan hasil hibridisasi ikan pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Ciri meristik ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT. Ciri meristik Rataan Rataan Rataan Rataan Perla- Rataan jumlah jumlah ikan Rataan jumlah jarijumlah jumlah kuan total ikan 50% dari jumlah jarijari sirip jari-jari jari-jari (n=3) (ekor) jumlah total jari sirip punggung sirip dada sirip perut ikan (ekor) ekor (buah) (buah) (buah) (buah) 57 ± A 114 ± 13,86 27 ± 0,00 15 ± 0,00 9 ± 0,00 6 ± 0,00 6,93 66 ± 33 ± B 27 ± 0,00 15 ± 0,00 9 ± 0,00 6 ± 0,00 4,16 2,08 72 ± 36 ± C 27 ± 0,00 15 ± 0,00 9 ± 0,00 6 ± 0,00 11,02 5,51 60 ± 27 ± 0,00 15 ± 0,00 9 ± 0,00 6 ± 0,00 D 120 ± 22,28 11,14 72 ± E 144 ± 38,02 27 ± 0,00 15 ± 0,00 9 ± 0,00 6 ± 0,00 19,01 Keterangan : Nilai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (P>0.05), nilai standard errors (SE). Rataan jumlah jari-jari sirip dubur (buah) 12 ± 0,00 12 ± 0,00 12 ± 0,00 12 ± 0,00 12 ± 0,00 adalah rataan ± Dilihat dari rataan ciri meristik yakni, rataan jumlah jari-jari sirip punggung (dorsal fin), rataan jumlah jari-jari sirip ekor (caudal fin), rataan jumlah jari-jari sirip dada (pectoral fin), rataan jumlah jari-jari sirip perut (ventral fin) dan rataan jumlah jari-jari sirip dubur (anal fin) terhadap ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT pada masing-masing perlakuan dan ulangan belum menunjukkan perbedaan yang bearti (P>0,05). Pola Sisik. Sisik merupakan lempengan yang mengeras pada kulit ikan yang berfungsi sebagai kerangka luar serta melindungi tubuh ikan. Pola sisik terbagi atas sisik placoid yakni, sisik yang berbentuk bunga mawar dengan dasar bulat dan bujur sangkar, kemudian cosmoid yakni, sisik yang hanya tumbuh pada bagian bawah badan ikan yang terdapat pada ikan fosil primitif, kemudian genoid yakni, sisik yang tumbuh hanya pada bagian atas dan bawah badan ikan, kemudian cycloid yakni, sisik yang berbentuk bulat lingkaran, tipis dan fleksibel serta transparan. Pada sisik ini terdapat garis yang menebal (focus anulus) dan garis pertumbuhan (circulus), kemudian cteonoid yakni, sisik yang berbeda bentuk dengan cycloid tapi tidak terdapat focus pada sisik. Data hasil pengamatan terhadap pola sisik ikan hasil hibridisasi pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pola sisik ikan (%) hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT Pola sisik Rataan jumlah ikan Rataan Rataan Rataan PerlaRataan jumlah 50% dari kuan sisik sisik sisik Rataan sisik Rataan sisik total ikan (ekor) jumlah total placoid cosmoid genoid ctenoid (%) (n=3) cycloid (%) ikan (ekor) (%) (%) (%) A 114 ± 13,86 57 ± 6,93 — — — 100,00 ± 0,00 — B 66 ± 4,16 33 ± 2,08 — — — 100,00 ± 0,00 — C 72 ± 11,02 36 ± 5,51 — — — 100,00 ± 0,00 — D 120 ± 22,28 60 ± 11,14 — — — 100,00 ± 0,00 — E 144 ± 38,02 72 ± 19,01 — — — 100,00 ± 0,00 — Keterangan : Nilai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (P<0.05), nilai adalah rataan ± standard errors (SE). Dilihat dari rataan pola sisik ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT pada masingmasing perlakuan dan ulangan adalah sama yakni, rata-rata memiliki pola sisik ctenoid. Sedangkan 72 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 pola sisik jenis placoid, cosmoid, genoid dan cycloid, tidak terdapat pada ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT. Kecerahan Sisik. Kecerahan sisik merupakan cahaya yang ditimbulkan oleh sisik diantaranya adalah transparan/terang dan gelap/pekat yang terdapat pada badan ikan hasil hibridisasi. Data hasil pengamatan terhadap kecerahan sisik ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 3. Dilihat dari nilai rataan persentase (%) kecerahan sisik 50 % dari jumlah total ikan untuk sisik transparan/terang pada percobaan ini didapatkan pada semua perlakuan, dengan nilai tertinggi yaitu 100 % untuk perlakuan A (kontrol), perlakuan B dan perlakuan C. Sedangkan pada perlakuan D dan perlakuan E didapatkan nilai persentase rataan sisik transparan/terang berturut-turut 31,38 % dan 51,59 %, secara statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Segregasi sisik pekat/gelap terjadi pada persilangan (hibridisasi) antara ikan nila GIFT jantan dengan ikan nila merah betina (perlakuan D) dan Ikan nila GIFT betina dengan ikan nila merah jantan (perlakuan E) dengan nilai berturut-turut 68,62% dan 40,39%, dengan uji statistik menunjukkan perbedaan yang bearti (P<0,05). Tabel 5. Perlakuan (n=3) Kecerahan sisik (%) ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT. Rataan Kecerahan sisik jumlah ikan Rataan jumlah 50% dari Rataan sisik Rataan sisik Rataan sisik Rataan total ikan jumlah total transparan/ pekat/ gelap transparan/ sisik pekat/ gelap (ekor) ikan (ekor) terang (ekor) (ekor) terang (%) (%) 0,00 ± 100,00 ± 0,00 ± 0,00a 0,00 0,00c 66 ± 0,00 ± 100,00 ± B 33 ± 2,08 33,00 ± 2,08 0,00 ± 0,00a 4,16 0,00 0,00c 72 ± 0,00 ± 100,00 ± 36 ± 5,51 36,00 ± 5,51 0,00 ± 0,00a C 11,02 0,00 0,00c 34,33 ± 31,38 ± D 120 ± 22,28 60 ± 11,14 19,00 ± 4,04 68,62 ± 0,78b 1,20 0,78ª 28,67 ± 59,61 ± E 144 ± 38,02 72 ± 19,01 43,33 ± 12,33 40,39 ± 1,27c 6,69 1,27b Keterangan : Nilai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (P>0.05), nilai adalah rataan ± standard errors (SE). A 114 ± 13,86 57 ± 6,93 57,00 ± 6,93 Gambar 3. Histogram rataan kecerahan sisik (%) ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT. Kombinasi kecerahan warna sisik pekat/gelap dan sisik transparan/terang hanya ditemukan pada hibrid resiprok (resiprocal hybrids) ikan nila GIFT (O. niloticus) dengan ikan nila merah (O. sp). Terbentuknya fenotip ini diduga karena warna sisik dari kedua parental memiliki warna tubuh yang berbeda secara morfologi sehinga menimbulkan variasi kecerahan yang lebih bervariasi pada turunannya. Menurut Tave (1968) sisik transparan pada goldfish adalah contoh fenotipe yang dikontrol oleh interaksi gen duplikat dominan. Selanjutnya dijelaskan dalam interaksi gen duplikat 73 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 dominan, alel-alel dominan pada suatu loki menghasilkan fenotipe yang sama, tetapi tidak ada efek komulatif. Menurut Cherfas (1977) dan Kirpichnikov (1981) gen L pada ikan mas menyebabkan sisik menjadi transparan atau light (L1). Kemudian diterangkan individu yang memiliki alella L homosigot dominan akan mati sebelum berumur setahun, tetapi pada beberapa kasus masih dapat hidup beberapa ekor. Warna Sisik. Warna sisik merupakan ragam corak cahaya sisik diantaranya adalah merah, kombinasi merah hitam dan kombinasi perak hitam yang ditimbulkan oleh badan ikan hasil hibridisasi. Data hasil pengamatan terhadap warna sisik ikan hasil hibridisasi pada masing-masing perlakuan dan ulangan disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 4. Tabel 6. Warna sisik (%) ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT. Rataan Warna sisik jumlah Rataan Rataan Rataan Rataan ikan 50% Rataan PerlaRataan Rataan jumlah kombinasi Kombi nasi kombinasi dari kuan warna kombinasi warna total ikan merah hitam perak hitam merah jumlah (n=3) merah perak hitam merah (ekor) (%) (%) hitam total ikan (ekor) (ekor) (%) (ekor) (ekor) 114 ± 57 ± 0,00±0, 0,00± 57,00 ± 0,00 ± 0,00 100,00 ± A 13,86 6,93 00 0,00 6,93 0,00a ±0,00a 0,00a B 66± 4,16 33 ± 2,08 C 72 ±11,02 36 ± 5,51 D 120 ± 22,28 60 ± 11,14 144 ± 38,02 72 ± 19,01 0,00±0, 00 0,00±0, 00 0,00± 0,00 33,00 ± 2,08 0,00 ±0,00a 0,00 ±0,00a 100,00 ± 0,00a 0,00± 0,00 36,00 ± 5,51 0,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00a 100,00 ± 0,00a 17,33 ± 2,40 16,94 ±0,91c 53,72 ±0,91c 29,34 ± 1,26c 32,33± 10,33±2,4 6,36 0 34,33 12,14 ± 40,63 47,23 ± 8,33±1,33 29,33±13, ±17,09 1,08b ±2,28b 2,33b 70 Keterangan : Nilai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (P>0.05), nilai adalah rataan ± standard errors (SE). E Dilihat dari rataan persentase (%) warna sisik 50 % dari jumlah total ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT dengan rata-rata persentase (%) warna sisik merah hanya terdapat pada perlakuan D (ikan nila merah betina dengan ikan nila GIFT jantan) dan E (ikan nila GIFT betina dengan ikan nila merah jantan) dengan nilai berturut-turut yaitu 16,94% dan 12,14%, dengan uji statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,005). Demikian pula untuk warna sisik kombinasi merah hitam hanya didapatkan pada percobaan persilangan (hibridisasi) antara ikan nila merah betina dengan ikan nila GIFT jantan ( 53,72%) dan ikan nila GIFT betina dengan ikan nila merah jantan (40,63%), secara statistik memberikan perbedaan yang bearti (P<0,05). Sedangkan rataan persentase (%) warna sisik kombinasi perak hitam terdapat pada semua perlakuan, dengan nilai persentase tertinggi yaitu 100% pada perlakuan A, B dan C. Pada percobaan kombinasi persilangan antara ikan nila merah betina dengan nila GIFT jantan dan ikan nila GIFT betina dengan ikan nila merah jantan didapatkan nilai rataan persentase masing-masing 29,34% dan 47,23%, secara statistik memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05). 74 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Gambar 4. Histogram rataan warna sisik (%) ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT. Variasi warna sisik kombinasi perak hitam, kombinasi merah hitam dan warna merah hanya didapatkan pada hibrid resiprok (resiprocal hybrids) ikan nila GIFT (O. niloticus) dengan ikan nila merah (O. sp). Hal ini diduga karena secara morfologi warna tubuh (sisik) dari kedua spesies tersebut berbeda sehingga menghasilkan interaksi warna yang diturunkan kepada anaknya. Tave (1986) menjelaskan bahwa warna tubuh pada beberapa ikan tropis dikontrol oleh interaksi epistatik antara sejumlah dua atau lebih loki. Menurut Kirpicnikov (1981) banyaknya variasi warna sisik yang muncul pada ikan bergantung kepada poligen yang mengontrol perkembangan sel warna. Abnormalitas. Abnormalitas merupakan sifat dasar yang tampak seperti bentuk tubuh/badan ikan yang meliputi kecacatan dan kenormalan pada badan ikan hasil hibridisasi. Data hasil pengamatan terhadap abnormalitas ikan hasil hibridisasi pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Abnormalitas ikan (%) hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT. Abnormalitas Rataan jumlah Rataan jumlah ikan 50% Perlakuan total ikan Rataan normal dari jumlah total ikan (ekor) (n=3) Rataan cacat (%) (ekor) (%) A 114 ± 13,86 57 ± 6,93 100,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 B 66 ± 4,16 33 ± 2,08 100,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 C 72 ± 11,02 36 ± 5,51 100,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 D 120 ± 22,28 60 ± 11,14 100,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 E 144 ± 38,02 72 ± 19,01 100,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 Keterangan : Nilai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (P<0.05), nilai adalah rataan ± standard errors (SE). Pada percobaan ini terlihat bahwa hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT pada masingmasing perlakuan didapatkan nilai persentase larva normal tinggi yaitu 100% pada seluruh perlakuan. Sedangkan larva yang cacat setelah pemeliharaan 30 hari tidak ditemukan pada seluruh percobaan persilangan (hibridisasi). Tidak terdapatnya ikan yang abnormal dalam penelitian ini diduga karena waktu pemeliharaan larva yang masih relatif singkat yaitu 30 hari. Disamping itu juga diduga karena hibrid yang dihasilkan dari perkawinan ikan yang berasal dari dua spesies yang berbeda (interspesifik hybrid) pada kajian ini memiliki tingkat homosigositas yang rendah. Menurut Leary, Allendrof dan Knudsen (1985) dan Leary dan Allendorf (1985) menyebutkan bahwa homosigositas yang tinggi mengakibatkan stabilitas perkembangan yang menurun. Selanjutnya dijelaskan penurunan stabilitas perkembangan pada gilirannya akan menibulkan keragaman ciri meristik. KESIMPULAN DAN SARAN Hibrid resiprok (resiprocal hybrids) dan induk ikan nila GIFT memberikan pengaruh kepada bobot badan, ciri morfometrik, kecerahan sisik dan warna sisik, namun tidak memberikan pengaruh kepada ciri meristik, pola sisik dan abnormalitas morfologis pada turunannya. Nilai bobot ikan dan ciri morfometrik yang tertinggi terdapat pada hibrid resiprok nila GIFT dengan mujair, sedangkan kombinasi kecerahan sisik (sisik pekat/gelap dan sisik transparan/terang) dan warna sisik (kombinasi 75 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 perak hitam, kombinasi merah hitam dan warna merah) hanya didapatkan pada hibrid resiprok nila GIFT dengan nila merah. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat sifat genotip dan susunan kromosom yang terkandung dalam tubuh ikan hasil hibrid resiprok (resiprocal hybrids) antara ikan nila GIFT dengan mujair dan nila GIFT dengan nila merah. DAFTAR PUSTAKA Chevassus, B. 1983. Hybridization in fish. Aquaculture, 33: 245-262. Cherfas, N.B. 1977. Investigations on radiation induced diploid gynogenesis in carp. II. Segregation with respect to several morphological characters in gynogenetic progenies. Genetika. 13 (5) : 811-820. Effendi, I. 2004. Pengantar Akuakultur. Cetakan Pertama. Penebar Swadaya, Jakarta. 188 p. Effendie, M.I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Cetakan Pertama. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 p. Gjedrem, T., 1998. Developments in fish breeding and genetics. Acta Agriculturae Scandinavica. Section, Animal Science Suppl. 28, 19– 26. Gjedrem, T., 2000. Genetic improvement of cold-water species. Aquaculture Research 31, 25– 33. Hickling, C.F. 1960. The Malacca tilapia hybrids. J. Genet. 57, 1-10. Hickling, C.F. 1971. Fish Culture. Faber and Faber, London, 317 p. Huet, M. 1971. Texbook of fish culture, breeding and cultivation of fish. Fishing News (Books) Ltd. London. 436 p. Hulata, G., 2001. Genetic manipulations in aquaculture: a review of stock improvement by classical and modern technologies. Genetics 111, 155– 173. Kirpichnikov, V.S. 1981. Genetic bases of fish selection. Springer-Verlag, Berlin-New York. 410p. Kuncoro, E.B. dan Toyo, R.W. 2003. Menghasilkan Strain Baru Ikan Siklid. Penebar Swadaya. Jakarta. Leary, R.F. and F.W. Allendorf. 1985. Heterozygosity and developmental stability in gynogenetic diploid and triploid rainbow trout. Heredity 54:219-225. Leary, R.F. and F.W. Allendorf and Knudsen. 1985. Inhertitance of meristic variation and evolution of developmental stability in rainbow trout. Evolution 39 (2) : 308-314. NRC. 1977. Nutrients Requirements of Warmwater Fishes. Nat. Acad. Sci., Washington, D.C., 78 p. Sumidi. 1977. Mengenal Ikan Nila GIFT. Mekar, edisi 8th VII, pp 12-13. Tave, D. 1986. Genetic for Fish Hatchery Managers. Avi Publishing. Company, Inc. Westport, Connecticut., 299 p. Zonneveld, N., Huisman, E.A. dan Boon, J.H. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. Penerbit PT Gramedia Jakarta. Jakarta. 318 p. 76 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 MADU HUTAN POHON SIALANG DAN PENINGKATAN MUTU DENGAN TEKNOLOGI EVAPORATOR VAKUM Hapsoh 1*), Gusmawartati 1), Nazaruddin 2) 1) Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Riau 2) Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Riau *) Alamat Korespondensi: [email protected] ABSTRAK Potensi hasil hutan daerah Riau yang sangat memungkinkan untuk dikelola masyarakat umum adalah Madu Hutan. Populasi lebah madu di daerah Riau tersebar di berbagai wilayah. Wilayah yang kawasan hutannya paling banyak memproduksi madu liar adalah; Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Kuansing dan Kabupaten Pelalawan. UKM Al-Hikmah mendapatkan suplay madu hutan dari UKM Abdul Malik, selain dari daerah Indragiri Hulu, madu hutan yang diperoleh UKM mitra disuplay dari beberapa daerah Kuantan Sengingi dan Pelalawan oleh kelompok pengelola madu. Umumnya madu hutan yang baru dipanen mengandung kadar air lebih dari 24% (24-28%), sedangkan kadar air standar madu hutan yang ditentukan oleh JMHI adalah <24%. Demikian pula kadar air madu yang diperuntukan industri dan farmasi menuntut persentase yang sangat rendah yaitu 18%. Oleh karena itu perlu dilakukan pendekatan kepada UKM supaya madu yang dihasilkan mendapat sertifikasi dari Aliansi Organik Indonesia (AOI) dan sertifikasi nasional Indonesia (SNI). Pelaksanaan pengabdian ini dilakukan dalam bentuk kegiatan partisipasif perguruan tinggi melalui pendekatan terhadap sumberdaya manusia yang ada di UKM mitra. Pelatihan panen lestari dan higienis sesuai standar Internal Control System (ICS), beberapa materi yang diberikan dalam kegiatan bimbingan dan pelatihan ICS ini meliputi; prosedur pemanenan yang tepat, penggunaan peralatan yang higienis, pengetahuan kelestarian madu hutan dan konservasi. Kata kunci: Madu hutan, Pohon Sialang, Kearifan Lokal PENDAHULUAN Dengan kearifan lokal madu hutan dipanen secara lestari oleh komunitas masyarakat sekitar hutan. Kita mendapatkan manfaat langsung dari madu yg kita konsumsi, masyarakat sekitar hutan juga mendapat insentif langsung dari usaha dan kerja keras mereka untuk menjaga hutan di sekitar mereka. Belum lagi lebah hutan mempunyai manfaat sangat penting dalam penyerbukan tumbuhantumbuhan di hutan. Akan tetapi masih banyak pemburu madu hutan yang tidak memiliki pemahaman tentang bagai mana penerapan panen lestari dan higienis sesuai standar Internal Control System (ICS). Selama ini pengelolaan madu hutan masih dilakukan secara tradisional. Kualitas madu hutan dari pedalaman Provinsi Riau dipasaran nasional cukup baik, tidak kalah dengan madu Sumbawa dan madu Arab. Akan tetapi dengan pengelolaan yang masih sangat sederhana sekali berdampak kepada penurunan kualitas madu yang telah dipanen dari hutan. Di beberapa kabupaten pengelolaan madu hutan secara individu atau kelompok telah mendapat perhatian dan bantuan dari pihak pemerintahan setempat, dan ada juga yang masih berjalan secara mandiri. Di Kabupaten Indragiri Hulu terdapat beberapa kelompok pengusaha madu hutan, diantaranya ialah UKM Al-Hikmah di Desa Kembang Harum dan UKM Abdul Malik Desa Cerucup, Kecamatan Pasir Penyu, Kabupaten Indragiri Hulu. Proses produksi madu hutan yang dilakukan oleh UKM Abdul Malik masih dilakukan secara sederhana sekali. Peralatan yang dipergunakan mulai dari proses pemanenan sampai dengan pengemasan masih menggunakan peralatan konvensional diantaranya adalah; ember penampung, kain pemeras untuk memeras sarang lebah, jerigen untuk pengangkutan dari hutan ke rumah pemanen, corong, drum penampungan yang terbuat dari plastik. Madu murni yang diperoleh dimasukkan ke dalam botol kemasan bersegel berbahan plastik PET. BAHAN DAN METODE Pelaksanaan pengabdian ini dilakukan dalam bentuk kegiatan partisipasif perguruan tinggi melalui pendekatan terhadap sumberdaya manusia yang ada di UKM mitra. Pelatihan panen lestari dan higienis sesuai standar Internal Control System (ICS), beberapa materi yang diberikan dalam kegiatan bimbingan dan pelatihan ICS ini meliputi; prosedur pemanenan yang tepat, penggunaan peralatan yang higienis, pengetahuan kelestarian madu hutan dan konservasi. 77 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 HASIL DAN PEMBAHASAN Madu yang diperoleh pemanjat dilakukan proses penyaringan, seterusnya dilakukan pengurangan kadar air dengan evaporator. Pengurangan kadar air madu bertujuan untuk memenuhi kriteria standar nasional Indonesia (SNI). Madu hutan memiliki karakteristik yang sangat khas dibandingkan dengan madu ternak. Pada umumnya madu hutan memiliki kadar air yang cukup tinggi (24-28%), itu sebabnya madu hutan cenderung lebih encer dibandingkan dengan madu ternakan. Hal itu bukan berarti madu hutan tidak baik kualitasnya (Hapsoh dkk., 2013) Kualitas madu dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya waktu pemanenan madu, kadar air, warna madu, rasa dan aroma madu. Waktu pemanenan madu harus dilakukan pada saat yang tepat, yaitu ketika madu telah matang dan sel-sel madu mulai ditutup oleh lebah. Selain itu, kadar air yang terkandung dalam madu juga sangat berpengaruh terhadap kualitas madu. Madu yang baik adalah madu yang mengandung kadar air sekitar 17-21% (Sihombing, 1997). Bervariasinya kadar air dalam madu disebabkan oleh beberapa hal, antara lain kelembapan udara, jenis nektar, proses produksi dan penyimpanan (Suranto, 2007). Warna dan rasa madu hutan tidak selalu sama, hal itu bergantung pada musim dan keanekaragaman nektar yang dihisap lebah. Madu hutan memiliki aroma yang sangat khas, hal itu dapat menjadi pembeda madu hutan dan madu ternak berdasarkan aromanya saja. Umumnya madu memiliki rasa manis. Rasa manis madu disebabkan oleh unsur monosakarida fruktosa dan glukosa, dan memiliki rasa manis yang hampir sama dengan gula. Namun ada juga madu yang memiliki rasa pahit dan keasaman. Madu hutan bisa beraneka ragam warnanya, mulai warna kuning keemasan, merah kecoklatan, hitam pekat, bahkan ada juga yang berwarna putih bening. Madu tersusun atas beberapa molekul gula seperti glukosa dan fruktosa serta sejumlah mineral seperti Magnesium, Kalium, Potasium, Sodium, Klorin, Sulfur, Besi, dan Fosfat. Madu juga mengandung vitamin B1, B2, B3, B6 dan C yang komposisinya berubah-ubah sesuai dengan kualitas bunga dan serbuk sari yang dikonsumsi lebah. Disamping itu, di dalam madu terdapat pula Tembaga, Yodium dan Seng dalam jumlah kecil, juga beberapa jenis hormon (Sarwono, 2001). Madu mengandung biose atau zat pengatur tumbuh yang mempercepat pertumbuhan akar, tunas, serta pembungaan pada tanaman. Selain zat antibakteri, madu bisa membantu mempercepat pulihnya jaringan yang luka serta mencegah infeksi. Zat antibakteri dalam madu dapat menyembuhkan jerawat. Hidrogen feroksida juga sangat efektif untuk membersihkan kulit. Madu juga mengandung hormon gonadotropin yang merangsang alat reproduksi lebah ratu dan membantu dalam proses pematangan telur (Suranto, 2004). KESIMPULAN Pelatihan yang telah dilaksanakan panen lestari dan higienis sesuai standar internal control system menghasilkan madu mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI). UCAPAN TERIMA KASIH Pengabdian ini merupakan bagian dari hibah pengabdian ipteks bagi produk ekspor (IbPE) yang didanai dari DP2M DIKTI dengan Nomor kontrak 358/UN.19.1.3/LPM/2013 atas nama Hapsoh. DAFTAR PUSTAKA Sarwono, B. 2001. Lebah Madu. Argomedia Pustaka. Jakarta. Sihombing, D.T.H. 1997. Ilmu Ternak Lebah Madu. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta. Suranto, A. 2004. Khasiat dan Manfaat Madu Herbal. Agro Media Pustaka. Jakarta. _____. 2007. Terapi Madu. Penerbit Penebar Plus. Jakarta. Hapsoh, Gusmawartati, Nazaruddin dan Sabrowi Yansen. 2013. Panen Lestari dan Manfaat Madu Hutan + 25 Resep Pengobatan. UR Press, Pekanbaru. 78 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 DUGAAN MEKANISME CROSS-INFECTION VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 PADA BURUNG-BURUNG AIR LIAR DI CAGAR ALAM PULAU DUA* Dewi Elfidasari1, Riris Lindiawati Puspitasari1 1 Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Al Azhar Indonesia Jl. Sisingamangaraja Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 E-mail : [email protected] ABSTRAK Interaksi yang terjadi antara unggas air liar dengan unggas domestik dapat menyebabkan crossinfection Virus Avian Influenza (VAI) subtipe H5N1. Cross-infection dapat terjadi baik dari unggas domestik ke burung air liar maupun dari burung air liar ke unggas domestik. Salah satunya cara yang dapat dilakukan untuk menentukan pola penularan dan penyebaran VAI subtipe H5N1 pada kawasan Cagar Alam Pulau Dua (CAPD) adalah melalui analisa cross-infection. Analisa cross-infection dapat dilakukan berdasarkan imunoserologi dengan melihat titer antibodi yang terbentuk pada unggas-unggas di kawasan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan adanya pola cross-infection pada penyebaran VAI subtipe H5N1 di sekitar kawasan CAPD Serang, Propinsi Banten. Metode yang digunakan adalah menganalisa kemungkinan mekanisme penularan berdasarkan titer antibodi yang dihasilkan pada uji HI. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemungkinan cross-infection tidak terjadi pada penyebaran virus AI subtipe H5N1 di kawasan CAPD. Penularan terjadi hanya satu arah, dari unggas domestik ke burung-burung air liar penetap di CAPD. Kata kunci : mekanisme cross-infection, virus AI subtipe H5N1, burung air liar, unggas domestik, Cagar Alam Pulau Dua PENDAHULUAN VAI subtipe H5N1 diketahui telah menginfeksi hampir sebagian besar unggas domestik (peliharaan) masyarakat seperti ayam, bebek dan mentok. VAI subtipe H5N1 juga telah memberi paparan pada unggas-unggas liar di Indonesia. Pada ayam dan manusia, VAI subtipe H5N1 bersifat sangat patogen sedangkan pada unggas air, hanya VAI subtipe H5N1 clade 2.3 (merupakan introduksi dari luar) yang mampu bersifat mematikan. Efektivitas penularan VAI subtipe H5N1 dari ayam ke ayam sudah dapat dibuktikan dan tidak diragukan lagi. Akan tetapi sumber penularan VAI subtipe H5N1 ke ayam dan ke manusia sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Unggas air domestik (bebek & mentok) yang merupakan reservoir VAI subtipe H5N1 juga patut diperhitungkan peranannya sebagai sumber penularan. Dugaan adanya peran burung air liar baik yang bermigrasi maupun penetap di suatu kawasan dalam proses penyebaran VAI subtipe H5N1 juga masih perlu dibuktikan. Transmisi VAI subtipe H5N1 dari unggas air (bebek dan mentok) ke unggas lain (ayam, puyuh, dan burung-burung) yang terjadi di pasar unggas merupakan penyebab utama penyebaran VAI subtipe H5N1. Hal ini disebabkan pada lokasi tersebut kontak langsung antara unggas tidak dapat dihindarkan. Transmisi VAI subtipe H9N2 pada pasar unggas dapat terjadi dua arah. VAI yang awalnya berasal dari unggas air dapat ditransmisikan ke unggas darat, demikian sebaliknya. Puyuh disebut sebagai hospes perantara transmisi VAI dari unggas air ke unggas darat. Akan tetapi transmisi VAI subtipe H5N1 pada kawasan perlindungan alam (konservasi) seperti Cagar Alam Pulau Dua (CAPD) belum diketahui secara pasti. Interaksi antara unggas air liar dengan unggas domestik dapat menyebabkan cross-infection, baik dari unggas domestik ke unggas liar maupun dari unggas liar ke unggas domestik. Salah satunya cara yang dapat dilakukan untuk menentukan pola penularan dan penyebaran VAI subtipe H5N1 pada kawasan CAPD adalah melalui analisa cross-infection berdasarkan imunoserologi. Titer antibodi yang dihasilkan dari Uji Hemaglutinasi terhadap sampel serum dan usap kloaka asal unggas-unggas di kawasan CAPD diharapkan mampu menjelaskan mekanisme penularan dan penyebaran VAI subtipe H5N1 serta mampu menjelaskan sumber VAI subtipe H5N1 pada kawasan konservasi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan adanya mekanisme cross-infection penyebaran dan penularan VAI subtipe H5N1 pada burung air liar dan unggas domestik di sekitar CAPD berdasarkan analisa serologi yang terbentuk akibat infeksi dan paparan virus AI subtipe H5N1 79 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 BAHAN DAN METODE Objek, Lokasi dan Waktu Penelitian Objek penelitian adalah serum darah yang berasal dari burung-burung air liar dan unggas domestik (ayam, bebek, itik dan entok) di sekitar kawasan CAPD yang terletak di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Propinsi Banten.. Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Juli 2013. Analisa sampel akan dilakukan di Laboratorium Terpadu Bagian Immunologi Dept. Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Laboratorium Mikrobiologi Universitas Al Azhar Indonesia Tahap Penelitian Inaktivasi Serum Sampel serum yang telah diperoleh dari lapangan sebelum dianalisa dengan Uji HA dan HI diaktivasi terlebih dahulu pada inkubator atau waterbath dengan suhu 56oC selama 30 menit. Tujuan dari aktivasi ini adalah menghilangkan komplemen-komplemen yang akan mengganggu pada saat uji berlangsung dan pembacaan uji. Uji Hemaglutinasi (HA) Uji HA dilakukan untuk mendapatkan virus standar 4 HAU. Proses kerja dimulai dengan memasukkan PBS sebanyak 25 µl ke dalam 12 sumur pada microplate (v bottom microplate), kemudian memasukkan susupensi virus AI subtipe H5N1 sebanyak 25 µl ke dalam sumur pertama. Virus dihomogenkan dengan cara menghisap dan mengeluarkan kembali dengan mikropipet minimal 5 kali kemudian dipindahkan ke sumur ke-2. Pengocokan dilakukan kembali sampai sumur ke-12. Selanjutnya pada setiap sumur ditambahkan PBS 25 µl dan 1% suspensi sel darah merah sebanyak 25 µl, inkubasi 20-40 menit. Kemudian diamati titer virusnya. Uji Hambatan Hemaglutinasi (Hemaglutination-Inhibition/HI) Uji HI dilakukan dengan metode β dan menggunakan antigen berupa virus inaktif H5N1 pada titer 4HAU 25 µl dan sel darah 1%. Sebanyak 25 µl PBS dimasukkan ke dalam setiap sumur v bottom microplate, kemudian mencampurkan 25 µl serum uji ke dalam setiap sumur uji, larutan dihomogenkan. Serum yang diencerkan pada sumur pertama dipindahkan pada sumur ke-2 dan dihomogenkan kembali, lalu dipindahkan ke sumur ke-3 dan seterusnya sampai sumur ke-12. Setelah itu ditambahkan 25 µl virus standar (4HAU), lakukan pengocokan dengan cara mengoyanggoyangkan microplate secara perlahan agar semua cairan di dalam microplate homogen, inkubasi pada suhu ruang selama 20-40 menit. Setelah itu tambahkan 25 µl suspensi sel darah merah 1% ke dalam setiap sumur uji. Goyangkan microplate, inkubasi pada suhu ruang selama ± 30 menit, amati titer virusnya. Evaluasi Titer antibodi terhadap VAI subtipe H5N1 Untuk menguji keberadaan virus AI subtipe H5N1 pada suatu sampel darah, OIE merekomendasikan dilakukan dengan metode uji hambatan hemaglutinasi (Hemaglutinasi Inhibition/HI) (OIE 2004). Menurut OIE (2004), untuk menghitung rata-rata titer antibodi digunakan perhitungan GMT (Geometric Mean Titer). Rumus penghitungan sebagai berikut : Log2 GMT = (Log2 t1) (S1) + (Log2 t2) (S2) + (Log2 tn) (Sn) N Keterangan : N= Jumlah contoh serum yang diamati t= Titer antibodi pada pengenceran tertinggi (yang masih dapat menghambat aglutinasi sel darah merah S= Jumlah contoh serum yang bertiter 1 n= Titer antibodi pada sampel ke-n Analisa Cross-Infection berdasarkan hasil uji Imunoserologi Analisa Cross-Infection dilakukan berdasarkan penghitungan titer antibodi yang dihasilkan dari Uji HA dan HI pada serum darah dan cairan alantois TAB-SPF yang telah berisi kultur VAI subtipe 80 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 H5N1. Pendekatan Cross-Infection akan ditentukan dari persentase seroprevalensi dan nilai titer antibodi yang dihasilkan masing-masing unggas di kawasan CAPD. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji HA dan HI yang dilakukan pada sampel darah burung air liar dan unggas domestik di CAPD menunjukkan adanya pembentukan antibodi akibat paparan virus AI subtipe H5N1 di dalam tubuh burung-burung tersebut. Terbentuknya antibodi di dalam tubuh merupakan respon terhadap masuknya antigen. Antibodi akan langsung dapat mengenali dan mengikat antigen secara spesifik. Antibodi bersifat sangat spesifik dalam mengenali determinan antigenik dari suatu antigen sehingga apabila suatu organisme mempunyai beberapa determinan antigenik, maka tubuh akan memproduksi beberapa antibodi sesuai dengan jenis epitop yang dimiliki oleh setiap mikroorganisme. Antibodi dapat membantu proses perusakan dan pemusnahan antigen (Radji, 2010). Hasil analisa serologis dengan menggunakan uji HI menunjukkan bahwa nilai seroprevalensi tinggi dijumpai pada unggas domestik yang merupakan peliharaan masyarakat di sekitar kawasan CAPD. Tingginya prevalensi pada unggas-unggas domestik memperlihatkan bahwa seluruh sampel yang diperoleh dari unggas-unggas domestik pernah terpapar virus AI subtipe H5N1. Hasil ini sama seperti yang telah dilakukan pada beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa seroprevalensi pada ayam, itik/bebek dan entok relatif sangat tinggi dibandingkan pada unggasunggas lainnya (Sturm-Ramirez et al. 2004; Gilbert et al. 2006; Susanti et al. 2007). Tingginya seroprevalensi pada unggas-unggas domestik dibandingkan burung air liar menunjukkan bahwa unggas-unggas domestik lebih rentan terhadap paparan atau infeksi virus AI subtipe H5N1. Swayne (2007) menyatakan bahwa unggas domestik dari Ordo Galliformes seperti Kalkun, ayam dan puyuh bukan merupakan reservoir virus influenza A unggas, namun rentan terhadap infeksi virus tersebut. Unggas air dari Ordo Anseriformes juga sangat rentan terhadap virus influenza A. Hasil surveillans yang dilakukan sejumlah peneliti memberikan informasi bahwa anggota dari Ordo Anseriformes, Famili Anatidae lebih mudah terinfeksi VAI subtipe H5N1 (Hulse-Post et al. 2005; Theary et al. 2012). Unggas domestik di sekitar kawasan CAPD selain memiliki nilai seroprevalensi yang tinggi, juga menunjukkan nilai titer rataan (GMT) yang lebih tinggi pula dibandingkan burung air liar. Nilai GMT tertinggi dijumpai pada ayam (27,7), dilanjutkan oleh entok (26,9) dan bebek (24,6). Hasil ini menunjukkan bahwa nilai GMT yang berhasil diperoleh pada unggas domsetik berada di atas titer protektif (24). Hasil berbeda ditunjukkan oleh burung air liar yang memiliki nilai GMT relatif sangat kecil dan jauh di bawah titer protektif. Nilai titer antibodi yang tinggi diatas titer protektif (24) diduga diperoleh dari sistem pertahanan tubuh yang merespon paparan virus AI secara terus menerus dari lingkungan sehingga menyebabkan unggas tervaksinasi secara natural. Hal ini dikarenakan ketiadaan biosecurity pada sistem pertenakan backyard, sehingga virus AI dapat dengan mudah bertransmisi dari unggas satu ke unggas yang lain melalui kontak langsung maupun tidak langsung (Hadipour et.al. 2011). Rendahnya nilai GMT pada burung-burung air liar menunjukkan bahwa burung-burung air tersebut terpapar virus AI subtipe H5N1 secara sedikit-demi sedikit, sehingga hewan-hewan tervaksin secara alamiah. Paparan virus kemungkinan besar terjadi secara tidak langsung atau melalui media perantara yang dapat menyebarkan virus AI tersebut. Nilai GMT pada unggas yang relatif lebih tinggi menunjukkan bahwa di dalam tubuh unggas air membentuk antibodi yang lebih banyak karena virus yang masuk berjumlah lebih besar. Hasil analisa adanya cross-infection berdasarkan imunoserologi pada burung air liar di CAPD dan unggas domestik di sekitar kawasan tersebut menunjukkan bahwa tidak terjadi mekanisme tersebut. Mekanisme cross-infection atau infeksi silang antara individu unggas dapat terjadi pada saat terjadi kontak antar unggas baik secara langsung maupun tidak langsung. Adanya cross-infection dapat ditandai dengan tingginya prevalensi dan GMT pada burung-burung yang terlibat pada proses penularan virus AI subtipe H5N1 di kawasan tersebut. Pada kasus yang terjadi di kawasan CAPD terlihat bahwa prevalensi dan nilai GMT mulai dari nilai tertinggi hingga terendah berturut-turut dijumpai pada ayam, entok, itik dan burung air liar. Prevalensi dan nilai GMT yang tinggi menunjukkan adanya kemampuan atau potensi pada unggas tersebut untuk menyebarkan virus AI subtipe H5N1. 81 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh informasi bahwa penularan atau infeksi hanya terjadi satu arah dari unggas air domestik ke ayam atau ke burung-burung air liar. Penularan virus AI subtipe H5N1 dari burung air liar ke unggas domestik tidak dapat terjadi karena burung-burung air liar tidak memiliki potensi untuk menularkan virus AI tersebut pada unggas domestik di sekitar kawasan CAPD. Virus AI subtipe H5N1 yang terdapat pada ayam dan bebek diduga bukan berasal dari proses penularan di sekitar kawasan tersebut, akan tetapi sudah berada di dalam tubuh unggas sejak masih anakan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pada sebagian telur-telur berembrio dan DOC (Day old Chicken) yang dijadikan bibit bagi pengembangan peternakan di Indonesia dijumpai adanya virus AI subtipe H5N1. Penularan pada telur dan DOC disebabkan penularan vertikal yang terjadi dari induk ke anak maupun kontaminasi pada saat penetasan dan pengangkutan (Capua & Maragon 2007). Penularan secara vertikal dari induk ke anakan diindikasi pada keberadaan virus AI subtipe H5N1 pada kuning telur dan putih telur yang dihasilkan pada kelompok ayam yang mencapai puncak infeksi AI. Virus diduga menyebabkan telur tidak dapat menetas, telur yang tidak menetas dan pecah dapat menjadi sumber penularan virus AI subtipe H5N1 SIMPULAN Dari hasil penghitungan seroprevalensi dan nilai GMT dapat diperoleh simpulan bahwa mekanisme penularan virus AI subtipe H5N1 di kawasan CAPD dan sekitarnya tidak terjadi secara cross-infection. Penularan virus AI tersebut hanya satu arah dari unggas air domestik (entok dan bebek) ke ayam atau ke burung-burung air liar penetap di CAPD. UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini mendapat bantuan dana dari Grant UAI 2013 melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) UAI berdasarkan Surat Perjanjian Kerja Internal Pelaksanaan RE TA SPK Internal Pelaksanaan Grant LP2M TA 2012-2013 No.010/SPK/A-01/UAI/II/2013. Pelaksanaan kegiatan seminar yang diselenggarakan Dept. Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara mendapat bantuan dana dari Grant Seminar Domestik 2014 Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Al Azhar Indonesia. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya atas kesempatan dan bantuan yang diberikan sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Capua I, Marangon S. 2006. Control of avian influenza in poultry. Emerg. Infec Dis 12: 1-2 Gilbert M, Chaitaweesub P, Parakarnawongsa T, Premashthira S, Tiensin T, Kalpravidh W, Wagner H, Slingenbergh J. 2006. Free-grazing ducks and highly pathogenic avian influenza, Thailand. Emerg Infect Dis. 12:56-62 Hadipour, MM, G. Habibi and A. Vosoughi. 2011. Prevalence of Antibodies to H9N2 AIV in Backyard Chickens Around Maharlou Lake in Iran. Pak Vet J, 31 (3): 192-194. Hulse-Post DJ, Sturm-Ramirez KM, Humberd J, Seiler P, Govorkova EA, Krauss S, Scholtissek C, Puthavathana P, Buranathai C, Nguyen TD, Long HT, Naipospos TSP, Chen H, Ellis TM, Guan Y, Peiris JSM, Webster RG. 2005. Role of domestic ducks in the propagation and biological evolution of highly pathogenic H5N1 influenza viruses in Asia. Proc Natl Acad Sci USA. 102:10682-10687 [OIE] Office international des Epizooties. 2004. Manual of diagnostic test and vaccinnes for terrestrial animal/ Avian Influenza. 5th Edition. http://www.oie.int/ [24 Oktober 2010]. Radji M. 2010. Imunologi dan Virologi. Cet. Pertama. Jakarta: ISFI Sturm-Ramirez KM, Hulse-Post DJ, Govorkova EA, Humberd J, Seiler P, Puthuvanthana P, Burunathai C, Nguyen TD, Chaisingh A, Long HT, Naipospos TSP, Chen H, Ellis TM, Guan Y, Peiris JSM,Webster RG. 2005. Are ducks contributing to the endemicity of highly pathogenic H5N1 influenza virus in Asia ? J. Virol 79: 11269-11279 Susanti R. 2008. Analisis molekuler fragmen gen penyandi hemaglutinin virus avian influenza subtipe H5N1 dari unggas air. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Theary R, San S, Davun H, Allal L, Lu H. 2012. New outbreaks of H5N1 highly pathogenic avian influenza in domestic poultry and wild birds in Cambodia in 2011. Avian Dis 56:861-864 82 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 KAJIAN RESPON IMUNITAS HUMORAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus L.) DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRAK ETANOL DAUN BUAS BUAS (Premna pubescens Blume) 1 Martina Restuati, 2Syafruddin Ilyas, 3Salomo Hutahaean, 4Herbert Sipahutar 1, 4 Jurusan Biologi, Universitas Negeri Medan, 20221, Indonesia. 3, 4 Jurusan Biologi, Universitas Sumatera Utara, Indonesia. Email: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh ekstrak etanol daun Premna pubescens pada imunitas humoral dan berat badan tikus (Rattus norvegicus L.). Tikus putih yang digunakan sebanyak 24 ekor dan dibagi menjadi 4 kelompok dengan masing-masing 6 kali pengulangan. Perlakuan A0 sebagai kontrol dengan pemberian aquadest, A1 dengan pemberian ekstrak etanol daun Premna pubescens, A2 dengan pemberian ekstrak etanol daun Premna pubescens dan sel darah merah domba/ Sheep Red Blood Cells (SRBC), dan A3 dengan pemberian SRBC saja. Tikus Wistar yang digunakan berumur 3 bulan dengan berat badan 100-300 gram. Pengukuran titer antibodi tikus menggunakan metode hemaglutinasi. Hasil penelitian dianalisis dengan ANOVA dan menunjukkan bahwa titer antibodi di A2 meningkat secara signifikan, dimana thitung (65,78) > ttabel (4,94). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun Premna pubescens berpengaruh terhadap kekebalan humoral tikus putih yang diberi SRBC. Pada hasil analisis berat badan diketahui bahwa thitung 0,23 < ttabel 3,10. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun Premna pubescens tidak mempengaruhi berat tubuh tikus putih . Kata kunci: Hemaglutinasi , Premna pubescens Blume , SRBC , titer antibodi PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanfaatan berbagai obat tradisional sebagai penunjang pengobatan modern sudah mulai dilakukan oleh praktisi kesehatan. Salah satu tumbuhan di Indonesia yang memiliki khasiat obat dan belum banyak dipergunakan dan dikenal masyarakat adalah tumbuhan dari genus Premna. Premna di Sumatera Utara umumnya dikenal dengan nama buasbuas atau spesies Premna pubescens Blumue. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap senyawa metabolit sekunder dari genus Premna, ditemukan bahwa Premna corymbosa atau Buas buas mengandung alkaloid, flavonoid, glikosid, saponin, terpen dan steroid baik dalam ekstrak air maupun ekstrak ethanol (Thiruvenkatasubramaniam dan Jayakar, 2010). Hal yang sama dikemukakan juga oleh Mustafa, Abdul, Mohamed dan Bakar (2010) yang menemukan bahwa dalam tumbuhan Premna cordifolia mengandung flavonoid yang terdiri atas luteolin dan apigenin. Beberapa penelitian yang telah dilakukan di India diperoleh data bahwa senyawa bioaktif yang spesifik dari kelompok flavonoid yaitu apigenin dan luteolin memiliki banyak manfaat antara lain sebagai antiinflamasi, antioksidan, antikanker, mengurangi rasio gula darah serta dapat membantu proses pembekuan darah (Patel, Shukla dan Gupta 2007). Menurut Fang (2005), bahwa apigenin memiliki kemampuan sebagai anti tumor karena apigenin dapat menghambat perkembangan pembuluh endotelial pada sel sel kanker ovarium. Dikemukakan pula bahwa apigenin sebagai anti proliferasi pada saat pembelahan sel sehingga menyebabkan apoptosis. Apigenin juga dapat menghambat perkembangan sel kanker servik (He La) pada fase G1 karena apigenin mampu menurunkan aktifitas ekspresi protein Bcl-2 yang berperan sebagai anti apoptosis (Zheng, Chiang, dan Lin, 2005) Berkaitan terhadap fungsi tersebut, hal ini mengindikasikan bahwa daun Premna pubescens memiliki aktivitas sebagai immunomodulator yang mampu meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh baik secara seluller maupun humoral atau sebagai agen kimia yang dapat merangsang aktivitas sel darah putih. Sehingga perlu dilakukan penyelidikan terhadap pengaruh ekstrak etanol daun Premna pubescens melalui pengukuran titer antibodi pada tikus utih (Rattus norvegicus L.) sebagai imunitas humoral. 83 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh ekstrak daun buas buas (Premna pubescens Blume) terhadap imunitas humoral pada tikus putih (Rattus norvegicus L.) yang dikaji melalui titer antibody dan berat badan. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat yang Digunakan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor tikus putih strain Wistar. Induk tikus diperoleh dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Tikus yang telah diperoleh kemudian dikawinkan hingga beranak di kandang hewan Laboratorium Kimia FMIPA UNIMED. Setelah tikus berumur 3 bulan baru diberi perlakuan. Pakan bentuk pellet PC 05 dan air minum diberikan secara ad libitum, sekam kayu sebagai alas kandang tikus, ekstrak etanol daun buas-buas, etanol 96 %, alcohol 70 %, CMC (Carboxy Methyl Cellulose), serum darah tikus. Penelitian ini bersifat eksperimental, dalam perancangannya digunakan Rancangan Acak Lengkap ( RAL) non faktorial dengan empat perlakuan masing-masing diberi enam ulangan. Dalam penelitian ini digunakan 24 ekor tikus putih (Rattus norvegicus L.). empat perlakuan tersebut adalah A0 sebagai kontrol dengan pemberian akuades, A1 dengan pemberian ekstrak etanol daun Premna pubescens, A2 dengan pemberian ekstrak etanol daun Premna pubescens dan Sheep Red Blood Cells (SRBC) dan A3 dengan pemberian SRBC saja. Masa pemeliharaan dan pemberian perlakuan dilaksanakan selama 30 hari. SRBC diberikan pada hari ke 8 dan hari ke 15. Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Buas-Buas Daun sebanyak 3450 gram dikeringkan dalam lemari pengering hingga didapatkan simplisia yang siap untuk dihaluskan dengan berat 1250 gram. Simplisia yang dihaluskan dengan menggunakan blender merk Philips kemudian diektraksi dengan menggunakan metode maserasi dengan etanol 96% sebanyak 12,50 Liter. Proses maserasi dilakukan dalam botol berwarna gelap selama 5 hari dengan dilakukan pengadukan setiap harinya. Ekstrak etanol cair yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator dan dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer untuk mendapatkan ekstrak etanol kering. Penentuan Dosis Ekstrak Buas-Buas Dosis ekstrak air buas-buas untuk tikus ditentukan berdasarkan penelitian terdahulu tentang Premna oleh Vadivu,dkk (2009) dengan dosis 250 mg/kg p.o, Pemberian ekstrak buas-buas diberikan peroral setiap hari selama 30 hari dengan cara mencekok. Ekstrak etanol daun buas-buas dicampur dengan CMC 1 %. Perlakuan diberikan selama 30 hari. Pada hari ke 30, darah tikus diambil untuk dilakukan analisis kadar titer antibodi. Penentuan Titer Antibodi dengan Menggunakan Teknik Hemaglutinasi. Preparasi Serum Darah diambil dengan cara dekapitasi dari leher tikus menggunakan pisau bedah. Pengambilan darah dilakukan hari ke-30. Darah ditampung pada vacuum tube 3 ml steril. Darah kemudian disentrifuge dengan kecepatan 3500 rpm selama 5 menit. Serum diambil dan ditempatkan pada microtube 1,5 ml baru. Serum disimpan di dalam refrigerator 40 C sampai digunakan. Tahapan Reaksi Haemaglutinasi Tahap awal adalah melakukan dekomplementasi yaitu meletakkan tabung yang berisi serum didalam penangas air yang bersuhu 560C selama 30 menit. Kemudian memasukkan 50 µL PBS pada mikroplat kolom ke 2 sampai 12, sedangkan kolom pertama dibiarkan kosong. Selanjutnya memasukkan 100 µL serum yang telah di komplementasikan ke dalam kolom pertama. Pengenceran bertingkat dilakukan pada mikroplat dengan cara mengambil 50 µL serum dari kolom pertama kemudian memasukkannya ke dalam kolom kedua dan dihomogenkan. Setelah itu diambil 50 µL dari kolom kedua kemudian dimasukkan ke dalam kolom ketiga lalu dihomogenkan, demikian seterusnya sampai kolom kedua belas. Kemudian membuang 50 µL serum pada pengenceran serial terakhir pada kolom kedua belas dan memasukkan 25 µL SRBC 1 % ke dalam setiap sumur, dicampurkan secara perlahan. Pembacaan titer antibodi hasil reaksi hemaglutinasi dilakukan dengan pengamatan langsung. Pengamatan tersebut berdasarkan adanya penyebaran dan pengendapan SRBC pada dasar mikroplat yang terlihat jelas bila dilihat dari posisi atas tegak lurus terhadap dasar mikroplat dengan latar belakang putih dan pencahayaan dari atas. Pembacaan titer antibodi diamati setelah 24 jam tes 84 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 hemaglutinasi dilakukan. Data yang diperoleh ditabulasikan kemudian dianalisis dengan analisis varians (ANAVA) 1 jalur pada P<0.05. HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar titer antibodi Kadar titer antibodi yang di uji dengan tes Hemaglutinasi (HA Test) pada setiap perlakuan memiliki rata-rata yang berbeda setelah pemberian ekstrak etanol daun buas-buas. Rata-rata yang paling tinggi adalah perlakuan A2 dengan rata-rata 7,17. 7,17 8 6,67 6 4 2 1 1,67 0 A0 A1 A2 A3 Gambar 1. Rata-rata kadar imunitas humoral tikus putih melalui pengamatan titer antibodi setelah pemberian perlakuan. Selanjutnya data diuji secara statistik dengan uji ANAVA satu jalur maka diperoleh hasil seperti tabel dibawah ini. Tabel 4.2. Analisis Varians (Anava) satu jalur pengaruh pemberian ekstrak daun Premna pubescens terhadap imunitas humoral pada Rattus norvegicus Sumber Db JK KT Fhitung F tabel Keragaman 0,05 0,01 3 189,13 37,82 65,78 3,10 4,94 Perlakuan 20 11,5 0,575 Galat 23 200,63 Total keterangan: * beda nyata ** beda sangat nyata Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan Anava satu jalur diperoleh Fhitung = 65,78, lebih besar dari Ftabel (0,01) = 4,94. Hal ini menunjukkan bahwa pada taraf kepercayaan 99 %, terdapat ada pengaruh pemberian ekstrak etanol daun buas-buas terhadap imunitas humoral pada tikus putih. Berat Badan Tabel 4.3. Rata-rata berat badna tikus setelah pemberian perlakuan No. 1. 2. 3. 4. Perlakuan A0 A1 A2 A3 Berat badan (gr) 12,33 8,5 13,17 18,5 Untuk mengetahui apakah perbedaan rata-rata tiap kelompok tersebut berpengaruh atau tidak, maka data diuji secara statistik dengan uji Anava satu jalur ( Tabel 4.4). 85 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 4.5. Analisis varians (Anava) pengaruh pemberian ekstrak etanol daun Premna pubescens terhadap berat badan Rattus norvegicus. Varian Df JK KT Fcount F table 0,05 0,01 Perlakuan 3 305,46 61,09 0,23 3,10 4,94 Error 20 5221,18 261,06 Total 23 5526,62 Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan Anava satu jalur diperoleh Fhitung = 0,23, lebih besar dari Ftabel (0,01) = 4,94. Hal ini menunjukkan bahwa H0 diterima dan Ha ditolak, berarti tidak ada pengaruh pemberian ekstrak etanol daun Premna pubescens terhadap perubahan berat badan pada Rattus norvegicus. Pengaruh Ekstrak Daun Buas-Buas terhadap Imunitas Humoral Tikus Putih Reaksi hemaglutinasi dikatakan positif apabila endapan SRBC tersebar merata menutupi seluruh atau sebagian besar dinding dasar sumur mikroplat. Endapan itu terbentuk karena ada suatu anyaman yang teratur antara antibodi dengan SRBC dengan permukaan yang luas sehingga menutupi seluruh atau sebagian besar dasar sumur mikroplat. Reaksi hemaglutinasi negatif memperlihatkan demikian karena antibodi tidak ada dan antigen berlebih sehingga tidak terjadi ikatan antara antigen dan antibodi. Disebabkan karena pengaruh berat dari antigen, maka antigen yang berlebih itu akan berkumpul ke tengah-tengah dasar sumur mikroplat membentuk suatu endapan seperti kancing yang berwarna merah muda (Achyat, dkk. 2008). A B Gambar 2. Uji Hemaglutinasi (HA Test) serum tikus putih. Gambar A menunjukkan aglutinasi terjadi pada A3 , sedangkan gambar B menunjukkan tidak terjadi aglutinasi. Rata-rata kadar titer antibodi pada setiap perlakuan saat tes hemaglutinasi setelah pemberian perlakuan selama 30 hari kepada tikus memiliki kadar yang berbeda. Kelompok yang tertinggi kadar titer antibodinya adalah pada kelompok perlakuan A2. Hal ini disebabkan karena pada kelompok perlakuan ini pernah dilakukan imunisasi dengan antigen SRBC sebanyak 2 kali. Pada kelompok perlakuan SRBC juga ditemukan kadar titer antibodi yang cukup tinggi dimana hal ini disebabkan juga karena pernah terpapar dengan antigen SRBC sebelumnya. Kelompok A0 dan A1 juga terbentuk imunitas humoral walaupun pada dasarnya kelompok ini tidak pernah terpapar langsung dengan antigen SRBC. Serum kelompok perlakuan A0 terjadi hemaglutinasi tetapi dengan kadar yang kecil berkisar antara 0-1. Sedangkan untuk kelompok A1 memiliki kadar yang lebih tinggi berkisar antara 1-3. Hal ini disebabkan pada serum darah manusia maupun tikus ada kemungkinan ditemukan antigen antiSRBC walaupun diketahui sebelumnya belum pernah terpapar. Seperti penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Achyat, dkk (2008), antigen tersebut adalah antigen alamiah (natural antibodi). Pada A3 ditemukan kadar titer antibodi yang cukup tinggi, hal ini dikarenakan kelompok SRBC sudah pernah diimunisasi dengan antigen SRBC sebelumnya sebanyak dua kali imunisasi. A3 memiliki 86 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 kadar titer antibodi yang lebih tinggi dari A0 dan A1 karena kelompok tersebut pernah memproduksi antibodi yang lebih besar agar dapat menghancurkan antigen pada saat imunisasi dilakukan. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Buas-buas Premna pubescens terhadap Perubahan Berat Badan Tikus Putih Rattus norvegicus Perubahan rata-rata berat badan tikus pada kelompok perlakuan A1 lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok A0 dan perlakuan kelompok A0 memiliki rata-rata yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan A2 dan A3. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh nafsu makan tikus yang berbeda-beda setiap harinya selama masa penelitian. Berdasarkan uji statistic dengan menggunakan Anova satu jalur, diketahui bahwa ekstrak daun buas-buas tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan berat badan tikus setelah perlakuan. KESIMPULAN 1. Ekstrak daun buas-buas (Premna pubescens) berpengaruh dalam peningkatan imunitas humoral melalui peningkatan kadar titer antibodi pada tikus putih. 2. Pemberian ekstrak daun buas-buas tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan berat badan tikus setelah perlakuan DAFTAR PUSTAKA Achyat S R, Sadikin M, dkk., (2008), Pengaruh Pemberian Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) terhadap Imunitas Humoral Tikus (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar Melalui Pengamatan Titer Antibodi Anti-SDMD, Jurnal Bahan Alam Indonesia, Vol. 6, No.4. Fang, J. et al. 2005. Apigenin inhibits VEGF and HIF-1 expression via PI3K/AKT/p70S6K1 and HDM2/p53 pathways. FASEB J. 19. 342–353. Gupta S., et al. 2001. Selective growth-inhibitory, cell-cycle deregulatory and apoptotic response of apigenin in normal versus human prostate carcinoma cells. Biochem Biophys Res Commun. 287:914–920. Thiruvenkatasubramaniam, R., Jayakar, B., (2010), Anti-hyperglycemic and Anti- hyperlipidemic activities of Premna corymbosa (Burm.F) Rottl on Streptozotocin induced diabetic rats, Der Pharmacia Lettre, 2 (1) 505-509. Vadivu R., et al., 2009. Evaluation of Hepatoprotective and In-vitro Cytotoxic Activity of Leaves of Premna serratifolia Linn, Journal of Scientific Research, 1 (1), 145-152. Zheng, PW., et al. 2005. Apigenin induced apoptosis through p53-dependent pathway in human cervical carcinoma cells. Life Science. Volume 76, pages 1367-1379. 87 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 EFEKTIVITAS PEMAKAIAN BIOPESTISIDA PADA DAUN MURBEI (Morus cathayana) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) Masitta Tanjung, Nursal dan Agustina Rahmadhani Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan ([email protected]) ABSTRAK Penelitian mengenai efektivitas pemakaian biopestisida pada daun murbei (Morus cathayana) terhadap pertumbuhan dan produktivitas ulat sutera (Bombyx mori L.) telah dilakukan di unit persuteraan alam laboratorium Fisiologi Hewan Departemen Biologi FMIPA USU. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan. Perlakuan yaitu konsentrasi biopestisida yang terdiri dari 0,5; 1,0; 1,5% dan tanpa biopestisida, masing-masing ulangan 20 larva. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian biopestisida berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat sutera yaitu menurunkan persentase daya tahan hidup larva instar V pada konsentrasi 1.0 dan 1,5%, memperpanjang lama instar IV dan V, menurunkan bobot pupa, meningkatkan persentase daya cerna larva instar IV tetapi menurunkan daya cerna instar V. Tidak memberikan pengaruh pada persentase serat dan daya gulung, tetapi dapat meningkatkan persentase kulit kokon dan panjang serat. Kata kunci: Ulat sutera, Bombyx mori, biopestisida PENDAHULUAN Indonesia berpotensi mengembangkan persuteraan alam, karena memiliki keadaan alam yang sesuai untuk pertumbuhan daun murbei. Perkembangan persuteraan di Indonesia tidak seperti yang diharapkan. Kendala yang dihadapi diantaranya timbulnya hama penyakit pada daun murbei yang menyebabkan produksi dan kualitas daun murbei sebagai pakan ulat sutera menjadi menurun. Untuk meningkatkan hasil industri persuteraan alam ini perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitas daun murbei (Budisantoso, 1990). Penyakit yang sering terlihat antara lain penyakit karat yang disebabkan oleh jamur. Penyakit karat ini menyebabkan daun murbei tidak layak dikonsumsi ulat sutera. Bila lahan ini dibiarkan akan berakibat terhadap perkembangan persuteraan alam. Menurut Awquib et al., 2011, produktivitas ulat sutera dikendalikan oleh kualitas daun murbei sebesar 38,20%. Kualitas daun murbei dipengaruhi beberapa faktor antara lain; kesesuaian tanah, pemangkasan, penyinaran, pengairan dan pemupukan. Jumlah dan mutu daun yang diberikan akan menentukan pertumbuhan, kesehatan ulat, dan mutu kokon (Sharma et al., 2003). Produktivitas daun murbei dapat ditingkatkan dengan pemupukan (Andadari dan Irianto, 2011). Mutu daun murbei merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pemeliharaan ulat sutera. Daun yang kurang segar akan mengurangi nafsu makan ulat sutera dan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat. Daun yang kurang segar sering terjadi karena terjangkit penyakit seperti penyakit tepung, penyakit bintik daun dan bercak daun. Perbaikan mutu daun murbei biasanya dilakukan pembibitan baru, hal ini membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup besar. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu usaha untuk mencegah dan mengatasi hama penyakit menggunakan biopestisida dengan harapan tidak mengganggu pertumbuhan ulat sutera. Biopestisida dikuatirkan dapat mengganggu pertumbuhan ulat sutera sehingga dilakukan penelitian untuk mendapatkan konsentrasi yang tepat. BAHAN DAN METODE a. Pemeliharaan hewan coba - Inkubasi telur Telur disebarkan pada kotak penetasan dan ditutup dengan kertas putih yang tipis. Kondisi yang dibutuhkan pada saat inkubasi adalah temperature 25 0C dan kelembaban 85. Setelah terlihat bintik biru pada telur dilakukan penggelapan total sehingga diharapkan waktu penetasan dapat terjadi secara bersamaan. Tiga hari sebelum pemeliharaan ruangan dan semua peralatan disterilkan dengan 88 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 menggunakan larutan formalin 2 %. Upaya desinfektan dilakukan untuk menjaga kesehatan larva (Tazima, 1978). - Pemeliharaan larva Larva yang baru menetas memasuki hari I instar I, didesinfeksi dengan campuran bubuk kapur dan kaporit 95:5 secara merata lalu diberi pakan daun murbei yang muda dan segar yang dipotong kecilkecil. Kemudian larva dipindahkan ke sasak yang telah dilapisi dan ditutup dengan kertas paraffin dan diletakkan pada rak pemeliharaan. Setengah jam sebelum pemeliharaan larva didesinfeksi. Tindakan ini dilakukan setiap awal instar sampai larva memasuki instar ke lima. Pemberian pakan dilakukan 3 kali pagi, siang dan sore. Penggantian alas dan pembersihan wadah dilakukan sekali sehari sebelum pemberian pakan. Pemberian pakan dihentikan ketika larva memasuki masa istirahat setiap periode moulting. b. Pemberian perlakuan Pemberian perlakukan setiap larva dilakukan pada saat larva memasuki instar IV sampai sebelum mengokon. Setiap larva yang diberi perlakuan diletakkan di dalam cawan petri secara terpisah dan diletakkan pada rak pemeliharaan. Pakan yang diberi adalah daun murbei jenis Morus cathayana yang segar yang telah disemprot biopestisida Biota dengan konsentrasi 0.5; 0.1; 1.5% dan tanpa biopestisida. Setiap perlakuan terdiri dari 20 larva. Satu unit perlakuan menggunakan 60 larva sehingga jumlah larva yang digunakan untuk semua perlakuan 240 ekor larva. c. Pengamatan Respon terhadap perlakuan dilakukan pengamatan meliputi : Daya tahan hidup larva Lama instar IV dan V Bobot larva (g) Daya cerna (%). Bobot pupa (g). Produktivitas serat sutera d. Analisis data Data yang diperoleh dari pengamatan dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan uji Duncan multiple range test (DMRT) 5% (Gomes & Gomes 1995). HASIL DAN PEMBAHASAN a. Daya tahan hidup larva Dari hasil pemberian biopestisida biota pada daun murbei terhadap daya tahan hidup ulat sutera dapat dilihat pada tabel 1 berikut : Tabel 1. Persentase daya tahan hidup ulat sutera (Bombyx mori L.) dengan pemberian beberapa konsentrasi biopestisida pada daun murbei Perlakuan (%) Daya Tahan Hidup (%) Instar IV Instar V 0.0 100 100 0.5 100 95 1.0 100 85 1.5 100 90 Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa pada instar IV semua ulat sutera pada setiap perlakuan memiliki daya tahan hidup yang sama yaitu 100%, yang berarti tidak ada ditemukan ulat sutera yang mati, sedangkan pada instar V daya tahan hidup dari setiap perlakuan bervariasi. Daya tahan hidup yang terbaik ditemukan pada 0,0% atau tanpa biopestisida dan yang paling rendah pada perlakuan 1.5 % yaitu 95%. Daya tahan hidup instar IV tidak terpengaruh biopestisida, karena dari 20 larva yang diperlakukan tidak ada yang mati. Namun pada instar V ditemukan kematian larva. Larva instar IV 89 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 dapat mempertahanan daya tahan hidupkan kemungkinan dikarenakan terjadi peningkatan persentase daya cerna sedangkan pada instar V terjadi penurunan (Tabel 3). Peningkatan daya cerna yang terjadi merupakan usaha larva untuk mempertahankan hidupnya, menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Larva instar V merupakan larva yang paling banyak membutuhkan energi. Energi yang dibutuhkan bukan hanya untuk pertumbuhan seperti pembentukan pupa dan kokon tetapi juga untuk mengatasi penyakit yang timbul yang pada akhirnya larva tidak dapat mempertahannkan hidupnya. Pada setiap stadium larva harus tumbuh dengan baik untuk keperluan moulting, ekdisis dan pembentukan kutikuka baru. Proses pertumbuhan ini memerlukan energi yang cukup besar yang diperoleh dari sejumlah pakan yang dikonsumsi (Simpson &Simpson, 1990). Pada perlakuan biopestisida 0.5% persentase daya tahan hidup masih mencapai 95%. Hal ini dapat dikatakan baik atau dapat ditolerir, sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sundari (1996), bahwa daya tahan hidup larva sutera dikatakan baik bila jumlah kematiannya tidak lebih dari 5%. Pada perlakuan biopestisida 1.0% kematian mencapai 15% dan perlakuan 1.5% hanya 10%. Hal ini terlihat adanya kematian karena usaha larva untuk mempertahankan hidup sehingga ditemukan persentase daya tahan hidup yang bervariasi. Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda untuk mentolerir senyawa asing yang masuk ke dalam tubuh terutama yang dapat menimbulkan penyakit. Penyakit yang terlihat pada larva adalah diare (feses mengandung air) dan tubuh menjadi lunak. Menurut Sunanto (1997), pencegahan larva yang terkena penyakit diare dengan cara tidak mengkonsumsi tanaman murbei yang dipupuk nitrogen yang terlalu banyak, biopestisida yang dipakai mengandung unsur nitrogen yang cukup tinggi. Meskipun demikian data tabel 1 dapat dikatakan bahwa pemakaian biopestisida masih bisa digunakan pada konsentrasi 1,0%. b. Pertumbuhan ulat sutera Dari hasil pengamatan pemakaian biopestisida pada daun murbei terhadap pertumbuhan yang meliputi stadium instar (lama instar), pertambahan bobot larva serta bobot pupa dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan stadium instar, pertambahan bobot larva dan bobot pupa dengan pemberian beberapa konsentrasi biopestisida pada daun murbei. Perlakuan Stadium instar (hari) Pertambahan bobot larva Bobot pupa (%) (g) (g) Instar IV Instar V Instar IV Instar V 0.0 4.95 b 9.00 c 0.25 a 2.37 a 1.50 a 0.5 5.85 a 9.95 ab 0.22 ab 2.30 ab 1.51 a 1.0 5.90 a 9.76 b 0.23 ab 2.06 bc 1.36 ab 1.5 5.55 a 10.0 a 0.18 b 1.94 c 1.31 b Keterangan : Angka pada kolom yang sama yang diikuti notasi yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMNRT Pada tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata stadium instar pada perlakuan kontrol (0.0%) berbeda nyata dengan ketiga perlakuan lainnya baik itu pada instar IV dan V, terjadi perpanjangan masa larva atau stadium larva. Rata-rata stadium larva instar IV adalah 5.85 hari pada perlakuan 0.5%; 5.90 hari pada perlakuan 1.0% dan 5.55 hari pada perlakuan 1.5%, namun ketiga perlakuan tidak berbeda nyata. Stadium larva pada instar V yang paling lama ditemukan pada pemberian biopestisida dengan konsentrasi 1.5% yaitu mencapai 10 hari. Hal ini terlihat bahwa biopestisida mempengaruhi stadium larva instar IV dan V yaitu memperpanjang masa larva, kemungkinan biopestisida menimbulkan gangguan pada pertumbuhan larva sehingga larva memerlukan pakan yang lebih banyak untuk mengatasi adanya senyawa asing yang ada pada biopestisida untuk dapat bertahan hidup. Namun karena jumlah konsumsi tidak terpenuhi maka periode makan menjadi lebih lama. Menurut Tazima (1978), nutrisi merupakan satu bagian terpenting dari proses fisiologis seperti moulting dan ekdisis. Kualitas makanan yang kurang baik selama perkembangan larva dapat menyebabkan pertambahan waktu untuk pergantian kulit. Semakin lama larva mengalami masa instar maka akan membutuhkan pakan yang lebih banyak. Pertambahan bobot larva instar IV dan V terjadi penurunan dibandingkan dengan kontrol (0.25g). Penurunan pada konsentrasi 0.5 dan 1.0 % (0.22 dan 0.23g) tidak berbeda dibandingkan pada konsentasi 1.5% (0.18g) merupakan pertambahan bobot terkecil pada instar IV. Hal ini terjadi juga 90 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 pada larva instar V, terjadi penurunan pertambahan bobot larva antara kontrol dan perlakuan. Semakin besar konsentarsi biopestisida yang diberikan semakin besar penurunan pertambahan bobot larva. Penurunan bobot larva pada perlakuan merupakan akibat dari usaha larva untuk mempertahankan hidupnya (Tabel 1), terdapat larva yang terserang penyakit berusaha untuk bertahan hidup sampai akhirnya mengalami kematian. Menurut Scriber & Slansky (1988), bobot tubuh dipengaruhi jumlah total dan kualitas pakan yang dikonsumsi. Ukuran tubuh yang besar merupakan akumulasi dari persiapan energi yang dipergunakan pada masa istirahat menuju perkembangan selanjutnya sebagai daya tahan hidup. Rata-rata bobot pupa juga mengalami penurunan bila dibanding dengan perlakuan kontrol sampai konsentasi biopestisida 0.5%. Larva dapat membentuk pupa dengan berat optimal bila kualitas dan kuantitas pakan serta kondisi lingkungan yang sesuai. Namun bila tidak sesuai maka larva akan meningkatkan konsumsi pakannya untuk mencapai bobot yang optimal sehingga dapat membentuk pupa tetapi dengan bobot dibawah optimal. Keberhasilan dalam proses mencapai dewasa juga lebih rendah dan akhirnya dapat menimbulkan kematian (Tabel 1). Selain kualitas pakan, ketersediaan bahan pakan ulat yang berkelanjutan dalam jumlah yang mencukupi juga mutlak diperlukan (Pudjiono, 2011). Usaha untuk meningkatkan produksi kokon ulat sutera adalah dengan meningkatkan produksi dari daun murbei yang merupakan pakan utama ulat sutera dengan memberi nutrisi makanan melalui pemupukan dengan dosis yang tepat dan ekonomis (Tristianto, 2007) c. Persentase daya cerna Hasil pengamatan pemberian biopestisida pada daun murbei terhadap persentase daya cerna dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Rataan persentase daya cerna ulat sutera setelah pemberian beberapa konsentrasi biopestisida pada daun murbei Perlakuan (%) Daya cerna (%) Instar IV Instar V 0.0 65.76 b 65.00 0.5 76.59 a 61.16 1.0 74.87 a 62.00 1.5 75.11 a 63.20 Dari Tabel 3. Dapat dilihat bahwa rata rata persentase daya cerna meningkat pada perlakuan 0.5% (76.59%); 1.0% (74.87%) dan 1.5% (75.11%). Uji statistik menunjukkan bahwa antara kontrol dan perlakuan berbeda nyata. Untuk larva instar V terjadi penurunan rata-rata persentase daya cerna dibanding dengan kontrol (0.0 %), namun uji statistik menunjukkan bahwa pemberian perlakuan tidak menghasilkan pengaruh yang berbeda. Akibat kualitas pakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan serangga akan berusaha mengatasi masalah yang timbul dengan melakukan respon kompensasi. Respon kompensasi yang dilakukan dapat berupa perubahan dalam mencerna nutrisi (Simpson & Simpson, 1990). Tabel 4. Rata-rata dari beberapa parameter produktivitas ulat sutera setelah pemberian beberapa konsentrasi biopestisida pada daun murbei Perlakuan Persentase Panjang serat Persentase serat Daya (%) kulit (m) sutera (%) gulung kokon (%) (%) 0.0 24,15 bc 1048,45 b 21,09 100 0.5 23,31 c 1050,80 b 20,74 100 1.0 27,76 a 1138,80 a 22,28 100 1.5 26,15 ab 1163,75 a 21,01 95 Dari Tabel 4 terlihat peningkatan rata-rata persentase kulit kokon pada perlakuan 1% yaitu 27,26 %; 1,5% (26,15%) secara statistik berbeda nyata dengan perlakuan 0,5% yaitu 23,31% dan kontrol sebesar 24,15%. Persentase kulit kokon ditentukan oleh bobot kokon dan kulit kokon. 91 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Pemberian beberapa konsentrasi biopestisida dapat meningkatkan panjang serat. Panjang serat pada perlakuan tanpa biopestisida 1048,45 m dan pada pemberian biopestisida 0,5% panjang serat mencapai 1050,80m namun uji statistik tidak berbeda. Kedua panjang serat tersebut berbeda nyata dengan perlakuan 1,0% dan 1,5% yaitu 1138,80m dan 1163,75m. Panjang serat sutera berhubungan dengan jumlah daun murbei yang dikonsumsi serta daya cerna larva. Menurut Tazima (1978), 60% nitrogen yang terkandung dalam daun murbei akan digunakan untuk sintesa protein serat. Rata-rata persentase serat sutera pada semua perlakuan setelah uji statistik tidak berbeda nyata. Daya gulung pada semua perlakuan menunjukkan hasil yang baik yaitu 95-100%. Perlakuan biopestisida tidak mempengaruhi daya gulung. KESIMPULAN DAN SARAN Pemakaian biopestisida dapat menurunkan daya tahan hidup ulat sutera instar V pada konsentarsi 1-1.5%, memperpanjang stadium instar IV dan V, menurunkan bobot pupa dan meningkatkan daya cerna instar IV namun menurunkan daya cerna instar V. Pemberian biopestisida tidak mempengaruhi rata-rata persentase serat sutera dan daya gulung serat. Pemakaian biopestisida pada pertumbuhan dan produktivitas ulat sutera tidak boleh lebih dari 1.0%. DAFTAR PUSTAKA Andadari, L dan R. S.B. Irianto. 2011. Pengaruh Pupuk Lambat Larut Dan Daun Tanaman Murbei Bermikoriza Terhadap Kualitas Kokon Ulat Sutera, Jurnal penelitian hutan dan konservasi alam, (8) 2 : 119-127 Awquib S., MA Malik, F. M. Ahmad and M.R. M. Sofi. 2011. Nutritional efficiency of selected silkworm breeds of reared on different varieties of mulberry under temperate climate of Kashmir. African Journal of Agricultural Research Vol. 6(1) : 120-126 Budisantoso, H. 1990. Budidaya Murbei. Departemen Kehutanan, Balai Persuteraan Alam (15) (Mimeograf). Gomes, K.A. dan A.A Gomes 1995. Prosedur statistic untuk penelitian pertanian. Edisi ke dua. Alih bahasa: Endang Syamsuddin, Justika S Baharsjah. Universitas Indonesia Press. Jakarta hlm 13-15 Pudjiono, S. dan Na’iem, M. 2007. The effect of feeding of mulberry hybrid on the productivity and the quality of cocoon of silkworm. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 1(2):1-5 Sharma S.D., K. Chandrasekharan, B. Nataraju, M. Balavenkatasubbaiah, T. Selvakumar, Thiagarajan, and S.B. Dandin 2003. The cross infectivity between pathogens of silkworm, Bombyx mori L. and mulberry leaf roller, Diaphania pulverulentalis (hampson). J Sericol. 43(2): 203-209. Simpson, S.J. and C.L. Simpson. 1990. The mechanism of nutritional compensation by phytophagus insect. Insect plant interactions Florida, Boca Raton. CRP Press. (2) : 111-160 Slansky, F.Jr. and J. M. Scriber. 1985. Food consumptions and utilization in G. A. Kerkut and L.I. Gilbert. Comprehensive insect physiology, biochemistry and pharmacology. Pergamon Press. Oxford. (4) : 87-163 Tazima Y. 1978. The Silkworm an important laboratory tool. Kodansha Ltd: Tokyo, Japan Tristianto, S.A. 2007. Pengaruh pupuk organik M-Dext dan NASA terhadap produksi daun murbei (Morus cathayana) dan kualitas kokon ulat sutera (Bombyx mori L.) 92 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 FISIOLOGI RESPIRASI IKAN ASANG (Osteochilus hasseltii, C.V) SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN DANAU SINGKARAK SUMATERA BARAT Muhammad Syukri Fadil Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas Padang [email protected] ABSTRAK Penelitian mengenaifisiologi respirasiikan Asang (Osteochilus hasseltii, C.V)yang ditemukan pada beberapa tempat diperairan danau singkarak telah dilakukan dengan metode survei dan pengukuran langsung. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kadar methemoglobin, konsumsi oksigen dan frekwensi gerakan operkulum ikan Asang(Osteochilus hasseltii, C.V). yang ditemukan pada beberapa tempat di perairan danau singkarak seiring dengan penurunan kualitas perairan pada daerah tersebut. Kata kunci :Osteochilus hasseltii, C.V.,Respirasi, Methemoglobin, Ammonia, Nitrit. PENDAHULUAN Danau merupakan salah satu ekosistem perairan yang paling sering terkena dampak pencemaran. Hal ini dikarenakan lingkungan perairan danau yang relative tenang, tidak berarus dan juga merupakan hulu atau muara dari perairan sungai kecil yang ada disekitarnya (Amelia, 2009) Danau Singkarak merupakan salah satu danau besar di sumatera dan merupakan salah satu dari 2 danau utama di Sumatera Barat. Danau Ini merupakan tipe danau tektonik dan memiliki luas 10 908.2 ha dengan kedalaman rata-rata 178.68 m (Kaul, 1987 ; Syandri,1996). Secara umum masyarakat sekitar danau memanfaatkan air danau tersebut untuk memenuhi berbagai kebutuhan domestik seperti sumber air baku air minum, mandi, dan mencuci (MCK). Pemanfaatan penting lainnya adalah untuk perikanan (perikanan budidaya dan perikanan tangkap), sumber air untuk irigasi, sebagai obyek wisata serta sebagai sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA) (Amelia, 2009). Dengan adanya pemanfaatan air danau tersebut, bahan pencemar akan dapat memasuki perairan danau terutama limbah organik bahkan mungkin juga logam berat. Hal ini akan dapat mempengaruhi kualitas air di danau tersebut. Mandia (2013) menyatakan bahwa kadar Nitrogen beberapa tempat di sekitar danau singkarak sekitar 0,89 – 1,22 mg/L, kadar posfat sekitar 0,65 – 1,03 mg/L Kadar nitrogen sudah melampaui ambang batas yang ditetapkan pemerintah yaitu 0,5 mg /L (PP No. 82 tahun 2000). Ikan merupakan Salah satu biota perairan yang sangat peka terhadap perubahan kulitas lingkungan perairan(Asmawi, 1984). Menurut penelitian Roesma dan santoso (2011) kelompok ikan yang mendominasi danau singkarak adalah dari family Cyprinidae. Ikan-ikan dalam famili Cyprinidae termasuk spesies yang bernilai ekologis dan eknomis tinggi, akan tetapi juga sensitif terhadap pengaruh perubahan-perubahan lingkungan sekitarnya. Ikan Asang (Osteochilus hasseltii) merupakan salah satu jenis ikan dari famili cyprinidae yang hidup diperairan danau Singkarak dan merupakan salah satu tangkapan utama nelayan setempat.Ikan ini mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi karena dagingnya diolah masyarakat terutama masyarakat setempat untuk dijadikan panganan tradisional yang sangat lezat. Sejauh ini penelitian mengenai keadaan danau singkarak terhadap ikan Asang (Osteochilus hasseltii) baru mencakup pada kelainan yang timbul pada histogis seperti organ insang, hati dan ginjal (saputra, 2013, mandia, 2013, fadilla, 2014) serta nilai darahyang meliputi nilai darahnya seperti Jumlah Sel darah merah. Sel darah putih, haemoglobin akibat pencemaran di perairan danau tersebut(Fadil, 2013). Adapun analisis dampak pencemaran perairan danau tersebut pada aspek aktifitasrespirasi yang meliputi frekwensi gerakan operculum, jumlah oksigen yang terpakai serta methemoglobin ikan asang belum ada sama sekali. Berdasarkan keterangan diatas, maka dapat dirumuskan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : 93 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 1. Bagaimana kualitas air terkini perairan danau Singkarak terutama pada daerah daerah yang diduga terkena dampak pencemaran organik 2. Sejauh mana perubahan kualitas perairan danau singkarak mempengaruhiaktifitas respirasi ikan Asang (Osteochilus hasseltii) yang hidup didalamnya BAHAN DAN METODE Metoda Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metoda survei yaitu melakukan pengamatan kualitas air pada 4 stasiun tempat pengambilan sampel air disekitar buangan limbah karet sungai batang Arau. Kemudian dilakukan pengamatan perubahan aspek fisiologis ikan yang ditemukan pada 4 stasiun sekitar buangan limbah karet sungai batang Arau tersebut. Pelaksanaan Penelitian Sampel air dan ikan diambil disekitar buangan limbah karet sungai Batang Arau.Lokasi pengambilan dibagi atas 4 stasiun pengambilan sampel.(Lampiran 1).Untuk pengamatan aspek fisiologis, sampel ikan diambil dari sampel ikan yang ditemukan dengan ukuran yang homogen dengan jumlah 10 ekor perjenis perstasiun. Namun jika tidak mencukupi maka pengukuran aspek fisiologis tetap dilakukan Pengukuran kualitas air dilakukan saat pengambilan sampel ikan pada masing-masing stasiun di lokasi buangan limbah pabrik karet sungai batang Arau. Parameter yang diukur adalah pengukuran pH dengan menggunakan pH meter, kadar Oksigen terlarut dengan menggunakan metoda EPA 405.1 (titrasi winkler), Kadar Ammonia dengan menggunakan metoda Salisilat, kadar Nitrit dengan menggunakan metoda diazotization (APHA, 1995). Ikan yang diperoleh dari tangkapan dimasukkan ke dalam botol dan dibiarkan beberapa menit sampai ikan mulai tenang. Setelah ikan tenang diamati prilaku respirasinya dengan cara menghitung gerakan operkulum selama 1 menit (Goenarso, 1984). Ikan yang diperoleh dari tangkapan pada masing-masing stasiun pengamatan diukur konsumsi oksigennya. Pengukuran konsumsi oksigen ikan dilakukan dengan cara menempatkan ikan uji dalam air mengalir (Goenarso, 2003). HASIL DAN PEMBAHASAN a.Kualitas air pada Perairan Sekitar danau Singkarak, Sumatera Barat Setelah dilakukan pengamatan serta pengukuran kualitas air pada perairan sekitar danau Singkarak Sumatera Barat, maka diperoleh hasil sebagai mana tertera pada Tabel 1 berikut : Tabel 1. Kualitas air pada perairan sekitar danau Singkarak No. 1 2 3 4 Parameter pH O2 terlarut NH3-N NO2 Satuan mg/L mg/L mg/L Baku mutu air PP. 82 Tahun 2001 6-9 4 0,5 0,06 Hasil Analisis pada Stasiun I II III IV 6,90 6,75 6,25 6,15 6,80 5,52 3,65 3,50 0,060 0,135 0,785 0,925 0,052 0,095 0,265 0,360 Dari tabel 1 diatas terlihat bahwa terjadi penurunan pH pada stasiun II, III dan IV dibandingkan stasiun I. Pada stasiun I pH hampir mendekati netral sedangkan pada stasiun lainnya cenderung menurun bersifat asam. Rendahnya pH tersebut disebabkan limbah yang berasal dari limbah organic rumah tangga. Mahida (1981) menyatakan bahwa hal-hal yang dapat mempengaruhi nilai pH antara lain buangan industri dan rumah tangga. Kadar O2 terlarut tertinggi terdapat pada stasiun I sedangkan terendah pada stasiun III. Penyebab utama berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut di dalam air adalah adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen. Zat pencemar tersebut terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik yang berasal dari berbagai sumber, seperti kotoran (hewan dan manusia), sampah organik, bahan-bahan buangan dari industri dan rumah tangga. Sebagian besar dari zat pencemar yang memerlukan oksigen terlarut adalah senyawa organik (Golman dan Horne, 1983). 94 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Meningkatnya kadar ammonia dan nitrit pada stasiun II, III dan IV juga disebabkan berasal dari limbah organik rumah tangga yang kemudian di urai oleh bakteri aerob dan anaerob menjadi ammonia, nitrit dan nitrat (Garman dan Orth, 2007). Stasiun I merupakan daerah yang terendah kadar ammonia dan nitrit. Hal ini disebabkan pada pinggiran danau daerah ini tidak terdapat buangan limbah organik karena ditepi danau ini masih merupakan kawasan yang banyak ditumbuhi pohon pohon. Adanya kadar ammonia dan nitrit dalam jumlah kecil pada daerah ini berasal dari limbah daun daun mati yang kemudian di urai oleh bakteri aerob dan anaerob menjadi ammonia, nitrit dan nitrat (Garman dan Orth, 2007) Kadar methemoglobin, konsumsi O2dan frekwensi gerakan operkulum ikan yang ditemukan di perairan sekitar buangan limbah pabrik karet sungai Batang Arau. Setelah dilakukan pengukuran terhadap kadar methemoglobin maka diperoleh hasil seperti yang terlihat pada Tabel 2 Tabel 2. Rata-rata konsumsi O2, frekuensi gerakan operkulum dan kadar metemoglobin ikan Asang yang ditemukan di perairan sekitar danau Singkarak Rata-rata frekuensi No. Lokasi Rata-rata kadar Rata-rata konsumsi O2 (mg/g bb/jam) gerakanoperkulum Methemoglobin (%) (kali/menit ) 1 2 3 4 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 0,25 7,5 60 72,5 0,432 0,621 0,728 0,750 142,40 143,50 144,70 150 Dari Tabel 2 terlihat bahwa rata-rata kadar methemoglobin yang tertinggi terdapat pada stasiun IV, Stasiun I memiliki rata-rata nilai methemoglobin ikan yang terkecil. Adanya peningkatan kadar methemoglobin pada stasiun II, III dan IV dibandingkan dengan stasiun I erat kaitannya dengan keberadaan limbah organikyang meningkatkan kadar nitrit pada ketiga perairan tersebut. Kadar nitrit pada perairan ketiga stasiun tersebut sudah melewati nilai ambang baku mutu air kelas I dan II. (kementrian KLH, 2002). Nitrit yang terdapat diperairan dengan mudah masuk sistem peredaran darah ikan melalui insang. Didalam pembuluh darah, nitrit akan menumpuk pada plasma darah yang kemudian menyebar keseluruh jaringan (Shechter, Gruenerdan Shuval, 1972). Dari plasma darah, nitrit berdifusi kedalam 2+ 3+ sel darah merah dan mengoksidasi besi hemoglobin-Fe menjadi Fe yang disebut methemoglobin. Dalam bentuk ini hemoglobin kehilangan kemampuan untuk berikatan dengan oksigen sehingga tidak mampu mengangkut oksigen keseluruh jaringan tubuh. Efek ini akan menyebabkan hipoksia (Doblander, andLackner, 1996).Hipoksia adalah keadaan kekurangan oksigen yang telah mencapai jaringan tubuh ikan dan sering kali menyebabkan kematian (Bailey, 2004). Untuk mengatasi kekurangan oksigen pada tubuhnya, maka ikan akan berusaha memenuhinya dengan mengkonsumsi O2 yang terdapat disekitarnya. Untuk mengetahui konsumsi O2 ikan-ikan tersebut maka dilakukan pengukuran kadar O2 yang terpakai oleh ikan pada perairan tempat ikan itu berada. Dari Tabel 2 terlihat bahwarata-rata konsumsi O2 ikan yang ditemukan pada perairan sekitar buangan limbah pabrik karet mengalami peningkatan pada stasiun III yang merupakan nilai tertinggi.Sedangkan nilai terendah ditemukan pada stasiun I Adanya peningkatan konsumsi O2pada stasiun II, III dan IV dibandingkan dengan stasiun I erat kaitannya dengan meningkatnya kadar methemoglobin yang terbentuk dalam darah ikan tersebut akibat terdedah nitrit. Semakin besar kadar nitrit pada suatu perairan maka semakin besar pula kemungkinan ikan terdedah nitrit. Semakin besar ikan terdedah nitrit semakin besar kadar methemoglobin terbentuk sehingga semakin besar pula ikan kekurangan O2 dalam tubuhnya (hipoksia) (Schoore, Simcodan Davis, 1995).Untuk mengatasi kekurangan oksigen pada tubuhnya tersebut maka ikan mengkonsumsi O2 yang lebih banyak dari perairan sekitarnya (da Silva, et al. 2004). 95 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Ada beberapa cara yang dilakukan ikan untuk meningkatkan konsumsi O2 yaitu peningkatan ventilasi dengan cara meningkatkan frekwensi gerakan operkulum, peningkatan tekanan darah dan penyesuaian denyut jantung (Aggergaard and Jensen, 2001). Untuk mengetahui sejauh mana frekwensi gerakan operkulum ikan sebagai usaha meningkatkan konsumsi O2 maka dilakukan pengukuran frekwensi gerakan operkulum ikan asang yang ditemukan diperairansekitar perairan danau singkarak Dari Tabel 2 terlihat bahwa nilai tertinggi rata-rata gerakan operkulum ikan asang yang ditemukan pada pada stasiun III yaitu berkisar kali/menit. Kemudian pada stasiun IV berkisar antara kali/menit.Pada stasiun II berkisar antara kali/menit sedangkan pada stasiun I berkisar antara kali/menityang merupakan nilai terendah. Adanya peningkatan frekuensi gerakan operkulum ikan asang yang ditemukan pada perairan sekitar danau singkarak menunjukkan keterkaitan dengan peningkatan konsumsi oksigen akibat hipoksia.Hipoksia menimbulkan reaksi fisiologis tubuh ikan dengan cara meningkatkan frekuensi gerakan operkulum untuk menambah pasokan oksigen kedalam tubuh (Vedel, Korsgaard andJensen. 1998). Aggergaard dan Jensen (2001) menyatakan bahwa kekurangan akan oksigen pada jaringan pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku pengambilan gas. Nitrit yang terdedah kedalam tubuh akan meningkatkan hiperventilasi yang signifikan. DAFTAR PUSTAKA American Public Healt Association (APHA), 1995. Standard Method for Examination of Water and Wastewater, 23th Ed. Washington D.C. USA Asmawi, S. 1984. Pemeliharaan Ikan dan Ekosikologi Pencemaran. UI Press. Kaul, V., 1987. Tropical montane lakes. Arch. Hydrobiol. Beih., Ergebn. Limnol. 28: 531-636. Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), 2002. Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup di Era Otonomi Daerah. Mentri Negara Kementerian Lingkungan Hidup. 2011. Profil15 Danau Prioritas Nasional 2010-2014. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta. Khosla, M.R., G.H. Alan, and P.L. Angermeier. 1995. Assesing water quality interdisciplinary problems and approach. Interdisciplinary Scirnce\ Reviews 20 (3) : 229–240. Kottelat, M., Whitten, J. A., Wirjoatmodjo, S. & Kartikasari, S. N. 1996. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Jakarta: Periplus Edition.Ltd. Kumurur, V.A. 2002. Aspek strategis pengelolaan Danau Tondano secara terpadu. Ekoton 2 (1) : 73-80. Mahida, V. N., 1981. Water Polution and Disposal of Wastewater on Land. Tata Mc. Graw-Hill. New Delhi Mandia, S. 2013. Effek pencemaran danau maninjau dan singkarak terhadap ginjal ikan asang (osteochilus hasseltii). Skripsi Sarjana Biologi Univ. Andalas (Tidak dipublikasikan) Mark, jr, H. B. 1981. Water Quality Measurement the Modern Analytical Techniques. Departements of Chemistry of Cincinate Ohio, USA Peraturan Pemerintah No. 82. 2001. Pengelolaan Kualitas air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta. Roesma, D.I., & Santoso, P. 2 011.Morphological divergences among three sympatric populations of Silver Sharkminnow (Cyprinidae: Osteochilus hasseltii C.V.) in West Sumatra. Universitas Andalas. Padang. Santi, 2004. Pengolahan Limbah Cair pada Industri Penyamakan Kulit, Industri Pulp dan Kerta serta Industri Kelapa Sawit. USU Repository. Medan Simmons, A., 1980. Technical Hematology. 3rd Edition. J.B. Lippicott Company. Philadelphia. Toronto Steel, R. G. D., J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Suin, M. N. 1994. Dampak Pencemaran pada Ekosistem Perairan. Proseeding Penataran Pencemaran Lingkungan , Dampak dan Penanggulangannya. Padang 96 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Syandri H. 1996. Aspek reproduksi ikan bilih, Mystacoleuseus padangensis Bleeker dan Kemungkinan Pembenihannya di Danau Singkarak [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tavares-Dias, M. and F.R. Moraes. 2006 Hematological parameters for the Brycon orbignyanus Valenciennes, 1850 (Osteichthyes: Characidae) intensively bred. Hidrobiológica 16: 271-274. Vedel, N.E., B. Korsgaard and F.B. Jensen. 1998 Isolated And Combined ExposureTo Ammonia And Nitrite In Rainbow Trout (Oncorrhynchus Mykiss): Effects On Electrolyte Status, Blood Respiratory Properties And Brain Glutamine/Glutamate Concentrations. Aquatic Toxicology, 41:325-342. Zairion, D., 2003. Dampak Pembangunan Terhadap Biota Air. Makalah Kursus AMDAL, IPB. Bogor Lampiran 2. Peta Daerah pengambilan sampel SUMPUR PANINGGAHAN OMBILIN SUMANI 97 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 KANDUNGAN SENYAWA KIMIA EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L.)DAN PENGARUH SUB LETALNYA TERHADAP MORTALITAS LARVA NYAMUK Aedes aegypti L. Nursal Jurusan Biologi FMIPA-USU Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan, Telp. 061-8223564 [email protected] ABSTRAK Penggunaan insektisida sintetis dalam mengendalikan populasi nyamuk A. aegypti dilakukan secara berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini dapat menimbulkan pengaruh yang tidak diharapkan, seperti resistensi pada nyamuk A. aegypti. Untuk itu perlu dicari insektisida alternatif, antara lain dapat berasal dari senyawa kimia yang terkandung dalam tumbuhan, yaitu daun sereh wangi (C. winterianus). Untuk menindak lanjuti informasi tersebut maka pada penelitian ini akan dilakukan pengujian toksisitas ekstrak etanol daun sereh wangi (C. winterianus), dan konsentrasi subletal terhadap larva A. Aegypti dengan tujuan untuk mengetahui kandungan kimia ekstrak etanol daun kemangi dan pengaruh konsentrasi subletalnya terhadap larva nyamuk A. Aegypti dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yaitu faktor konsentrasi: A1 (0,00%), A2 (0,25%), A3 (0,49%), A4 (0,99%) dan A5 (1,98%), dan waktu pengawatan B1 (4jam), B2 (8 jam), B3 (12 jam), B4 (16 jam) dengan tiga ulangan. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam, jika terdapat perbedaan yang yang nyata dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan pada taraf 5 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun kemangi mengandung senyawa kimia alkaloid, terpenoid, dan bersifat toksik terhadap larva nyamuk A. aegypti. Mortalitas larva semakin besar sejalan dengan meningkatnya konsentrasi dan waktu perlakuan dengan konsentrasi dan waktu perlakuan yang efektif terjadi pada konsentrasi 0,99% dan waktu 8 jam dengan jumlah larva yang mati 24 larva. Kata kunci: Insektisida Botani. Ocimum basilicum L. Aedes aegypti L. PENDAHULUAN Dalam mengatasi penyakit demam berdarah salah satunya dilakukan dengan cara kimia yaitu dengan insektisida sintetis. Penggunaan insektisida sintetis ini pada kurun waktu 40 tahun terakhir semakin meningkat baik dari kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini disebabkan insektisida sintetis tersebut mudah digunakan, lebih efektif, dan dari segi ekonomi lebih menguntungkan (Yoshida & Toscano, 1994). Akibat pemakaiannya yang berlebihan dan tidak terkontrol tersebut telah menyebabkan pengaruh yang tidak diharapkan, seperti resistensi pada nyamuk A. aegypti. Ini terlihat dari semakin meningkatnya kasus demam berdarah di Indonesia, khususnya di Kota Medan (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2002) Sedangkan di Alam insektisida sintetis sukar terdegradasi sehingga residunya dapat mencemari tanah, air, dan udara yang mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan (Metcalf & Luckman, 1982) Untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh insektisida sintetis, maka perlu suatu usaha guna mendapatkan insektisida alternatif yang lebih efektif dalam daya rusaknya, cepat dan mudah terdegradasi, dan mempunyai dampak yang kecil terhadap lingkungan. Salah satu insektisida alternatif yang berpotensi dalam mengendalikan populasi serangga adalah insektisida botani yang berasal dari senyawa kimia yang terkandung dalam tumbuhan (Schmutterer, 1990). Salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai insektisida adalah daun Kemangi (O. basilicum) (Grainge & Ahmed, 1988). O. basilicum bersifat penolak “repellent”, meracuni “toxic”, dan bersifat larvasida, dan mempunyai aktivitas antibacterial, antifungal, dan antiseptic (van Duong & Nguyen, 1993). Disamping itu tanaman kemangi (O. basilicum) di Sumatera Utara sering dibudidayakan sebagai bumbu penyedap makanan, sehingga keberhasilan tanaman ini sebagai insektisida botani dapat menjadi nilai tambah bagi budidayanya. Untuk menindak lanjuti informasi tersebut maka pada penelitian ini akan dilakukan pengujian kandungan senyawa kimia ekstrak etanol daun kemangi (O. basilicum), dan pengaruh konsentrasi subletalnya terhadap mortalitas larva A. aegypti. 98 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 BAHAN DAN METODE Penyediaan Hewan uji Larva A. aegypti yang diperoleh dari lapangan dimasukkan ke dalam wadah-wadah-wadah plastik, diberi vitamin C dan pellet ikan. Dimasukkan ke dalam kandang-kandang pembiakan yang telah terdapat wadah berisi air gula sebagai makanan dewasa, wadah berisi air dan kertas saring sebagai media peletakan telur. Untuk kebutuhan darah bagi nyamuk betina setelah kopulasi diletakkan mencit. Telur yang dihasilkan dipelihara sampai larva instar 3 dan siap digunakan sebagai larva uji. Pengadaan ekstrak etanol daun kemangi Serbuk daun kemangi dimaserasi dengan etanol 96% selama 3 x 24 jam, sampai maserat berwarna bening. Maserat yang diperoleh diuapkan dengan rotavapor sehingga diperoleh ekstrak etanol kental daun kemangi. Untuk mengetahui kandungan senyawa kimianya dilakukan uji Fitokimia (Harborne, 1987). Uji kandungan senyawa kimia ekstrak etanol daun kemangi A. Uji Senyawa Alkaloid Dua tetes ekstrak daun kemangi dimasukkan kedalam plat tetes, dan ditambahkan pereaksi Dragendroff terbentuk endapan jingga sampai merah coklat. B. Uji Senyawa Terpenoid Dua tetes ekstrak daun kemangi ditambahkan asam asetat anhidrida (AC2O) sebanyak 2-3 tetes pada satu lubang, dan pada lubang lain ditambah H2SO4 pekat 1-2 tetes sebagai pembanding. Bagian yang ditambah AC2O diaduk perlahan beberapa saat sampai kering ditambah H2SO4 pekat 1-2 tetes. Pewarnaan hijau atau hijau kebiruan memberikan indikasi adanya terpenoid. C. Uji Senyawa Saponin Dua tetes ekstrak daun kemangi dimasukkan ke dalam tabung reaksi, dikocok 15 menit ditambahkan HCL pekat. Bila terbentuk busa permanen memberikan indikasi adanya saponin D. Uji Senyawa Flavonoid Dua tetes ekstrak daun kemangi dimasukkan ke dalam plat tetes ditambah HCl pekat 2 tetes, dan ditambahkan serbuk Magnesium. Bila terbentuk warna orange indikasi adanya flavonoid. Pengamatan Pengaruh konsentrasi subletal ekstrak etanol daun kemangi terhadap mortalitas larva nyamuk A. aegypti diamati dengan cara memasukkan 25 ekor larva instar 3 ke dalam masing-masing wadah perlakuan yaitu (0,00%; 0,25%; 0,49%, 0,99%, 1,98%), dan waktu pengamatan (4, 8, 12, 16 jam) Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yaitu; Faktor Konsentrasi (A) (0,00%; 0,25%; 0,49%, 0,99%, 1,98%), dan faktor waktu pengamatan (B) (4, 8, 12, 16 jam) Analisis Data Data mortalitas hewan uji di analisis dengan sidik ragam, jika terdapat perbedaan yang nyata dilajutkan dengan uji lanjut Duncan pada taraf 5 % (Steel & Torrie, 1991) HASIL DAN PEMBAHASAN Dari penelitian terhadap kandungan senyawa kimia ekstrak etanol daun kemangi O. basilicum dan pengaruh konsentrasi subletalnya terhadap mortalitas larva nyamuk A. aegypti dapat dilihat pada Tabel dan Gambar berikut. Kandungan senyawa kimia ekstrak etanol daun kemangi Tabel 1. Uji fitokimia ekstrak etanol daun kemangi (O. basilicum) No Senyawa Kimia Hasil 1. Alkaloid Endapan Jingga – merah coklat 2. Terpenoid Hijau kebiruan 3. Flavonoid Kuning kehijauan 4. Saponin Tidak berbusa Keterangan + + - 99 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Dari Tabel 1 terlihat bahwa ekstrak etanol daun kemangi setelah dilakukan pengujian fitokimia, mengandung senyawa alkaloid dan terpenoid. Ini ditandai dengan terbentuknya warna endapan jingga sampai merah coklat dengan menggunakan pereaksi Dragendroff sebagai indikasi adanya senyawa alkaloid. Sedangkan adanya senyawa terpenoid ditandai dengan terbentuknya warna hijau kebiruan. Senyawa saponin dan flavonoid tidak terdapat pada ekstrak etanol daun kemangi. Ini terlihat tidak terbentuknya busa pada uji saponin, dan tidak terbentuknya warna orange pada uji flavonoid. Pengaruh konsentrasi subletal ekstrak etanol daun kemangi terhadap mortalitas larva nyamuk A. aegypti Tabel 2. Rata-rata mortalitas larva nyamuk A. aegypti yang diperlakukan dengan Beberapa konsentrasi ekstrak etanol daun kemangi Perlakuan (%) Mortalitas 0,00 1,00 a 0,25 1,92 ab 0,49 2,83 b 0,99 22,16 c 1,98 26,00 c Keterangan: Nilai rata-rata dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata (ANOVA diikuti dengan uji lanjut Duncan pada taraf 5%) Dari Tabel 2 terlihat bahwa mortalitas larva nyamuk A. aegypti semakin besar sejalan dengan meningkatnya konsentrasi perlakuan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1. Mortalitas (larva) 30 25 20 Mortalitas (larva) 15 10 5 0 1 2 3 4 5 konsentrasi (%) Gambar 1. Hubungan konsentrasi ekstrak etanol daun Kemangi terhadap mortalitas larva nyamuk A. aegypti Namun mortalitas larva nyamuk pada perlakuan 0,25% tidak berbeda dengan kontrol dan dengan perlakuan 0,49%. Ini berarti kandungan senyawa kimia ekstrak etanol daun kemangi pada perlakuan 0,25% dan 0,49% belum begitu berpengaruh terhadap kehidupan larva nyamuk A. aegypti. Sedangkan perlakuan yang berpengaruh terhadap kehidupan larva nyamuk A. aegypti yakni 0,99% dan 1,98%. Ini terlihat dari mortalitas larva yaitu berturut-turut 22,16 dan 26,00 larva. Tabel 3. Rata-rata mortalitas larva nyamuk A. aegypti yang diperlakukan dengan waktu yang berbeda Perlakuan (jam) Mortalitas 4 8,73 a 8 11,13 b 12 11,53 b 16 12,80 b Keterangan: Nilai rata-rata dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda Nyata (ANOVA diikuti dengan uji lanjut Duncan pada taraf 5%) 100 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Mortalitas (Larva) Dari Tabel 3 terlihat bahwa mortalitas larva nyamuk A. aegypti semakin besar sejalan dengan meningkatnya waktu perlakuan. Ini juga terlihat pada Gambar 2. 14 12 10 8 6 4 2 0 Mortalitas (Larva) 1 2 3 4 Waktu (Jam) Gambar 2. Hubungan waktu pengamatan terhadap mortalitas larva nyamuk A. aegypti Mortalitas larva pada perlakuan 8 jam, 12 jam, dan 16 jam berbeda dengan perlakuan 4 jam, tetapi tidak berbeda diantara perlakuan 8 jam, 12 jam, dan 16 jam. Ini berarti mortalitas larva nyamuk sangat ditentukan oleh waktu perlakuan. Tabel 4. Rata-rata mortalitas larva nyamuk A. aegypti yang diperlakukan dengan Beberapa konsentrasi ekstrak etanol daun kemangi dan waktu yang berbeda Perlakuan (%) Waktu (jam) Rata-rata 4 8 12 16 0,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 0,25 1,00 2,00 2,00 2,67 1,92 0,49 1,00 2,67 3,67 4,00 2,83 0,99 14,66 24,00 25,00 25,00 22,16 1,98 26,00 26,00 26,00 26,00 26,00 Rata-rata 8,73 11,13 11,53 11,80 Dari Tabel 4 terlihat bahwa mortalitas larva nyamuk A. aegypti berhubungan dengan konsentrasi dan waktu perlakuan. Pada perlakuan 4 jam dan konsentrasi 0,25%, 0,49% belum terjadi mortalitas larva nyamuk A. aegypti. Belum terjadinya mortalitas pada konsentrasi ini diduga berhubungan dengan konsentrasi perlakuan yang rendah dan waktu pengamatan yang singkat, sehingga ekstrak yang diberikan belum bekerja dengan sempurna. Pada waktu pengamatan 8 jam dengan konsentrasi perlakuan 0,25% dan 0,49% telah menyebabkan mortalitas larva rata-rata sebesar 2,00 larva, dan 2,67 larva. Pada konsentrasi 0,99% mortalitas larva sudah mencapai 24,00 larva. Mortalitas total terjadi pada perlakuan 1,98%. Pada waktu pengamatan 12 jam dengan konsentrasi perlakuan 0,25% dan 0,49% telah menyebabkan mortalitas larva rata-rata sebesar 2,00 larva, dan 3,67 larva. Pada konsentrasi 0,99% mortalitas larva sudah mencapai 96,15%, dan 100% pada konsentrasi 1,98% yakni 26 larva. Pada waktu pengamatan 16 jam dengan konsentrasi perlakuan 0,25% dan 0,49% telah menyebabkan mortalitas larva rata-rata sebesar 2,67 larva, dan 4,00 larva. Pada konsentrasi 0,99%, dan 1,98% mortalitas larva sudah mencapai 26 larva. Mortalitas larva semakin tinggi sejalan dengan meningkatnya konsentrasi dan waktu perlakuan, tetapi bila dihubungkan dengan efektivitas konsentrasi dan waktu perlakuan, maka efektivitas perlakuan terjadi pada konsentrasi 0,99 % dan waktu perlakuan 8 jam dengan kematian larva A. aegypti 24 larva. Ini terlihat pada Gambar 3. 101 Mortalitas (Larva) PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 30 25 0.00% 20 0.25% 15 0.49% 10 0.99% 5 1.98% 0 1 2 3 4 Waktu (Jam) Gambar 3. Hubungan konsentrasi ekstrak etanol daun Kemangi dan waktu pengamatan terhadap mortalitas larva nyamuk A. aegypti Diduga kematian larva nyamuk A. aegypti disebabkan adanya kandungan senyawa alkaloid dan terpenoid. Seperti yang dijelaskan Smith (1989) bahwa senyawa alkaloid dan terpenoid merupakan senyawa kimia pertahanan tumbuhan yang bersifat toksik. Aksi toksik senyawa alkaloid terjadi pada sistem saraf, sedangkan aksi toksik senyawa terpenoid terjadi pada sistem pernapasan. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun kemangi bersifat toksik terhadap larva nyamuk A. aegypti. Mortalitas larva semakin besar sejalan dengan meningkatnya konsentrasi dan waktu perlakuan dengan konsentrasi dan waktu perlakuan yang efektif terjadi pada konsentrasi 0,99% dan waktu 8 jam dengan jumlah larva yang mati 24 larva. Mortalitas larva diduga disebabkan adanya senyawa alkaloid dan terpenoid pada ekstrak etanol daun kemangi. DAFTAR PUSTAKA Applebaum, S.W. & Birk, Y. 1979. Saponin In: Herbivor their interaction with Secondary plant metabolite Ed.: Rosental G.A. & Janzen, D.A. Academic Press. New York. London. pp. 553558. Gandahusada, S., Ilahude & Pribadi, W. 1998. Parasitologi Kedokteran. Penerbit Fakultas Kedokteran UI. Jakarta. Hlm 217-222. Geunther, E. 1990. Minyak Atsiri. Diterjemahkan Ketaren, S. & Mulyono. UI Press. Grainge, M. & Ahmed, S. 1988. Handbook of plant with pest control properties. John Wiley & Sons. New York, Singapore. P. 107 Harborne, J.B. 1987. Metode fitokimia penuntun cara modern menganalisistumbuhan. Diterjemahkan oleh Padma winata, K & Soediro. I. ITB. Bandung. Harris, R. 1990. Tanaman Minyak Atsiri. Penebar Swadaya. Jakarta. Hlm. 50-92 Hoedojo. 1993. Vektor demam berdarah dengue dan upaya penanggulangannya Majalah Parasitologi Indonesia. Volume 6. Hlm 34-35. Howe, F.H. & Westley, L.C. 1988. Ecological relationships of plant and animal. Oxford university press. New York. pp. 29-38 Ishaaya, I. 1986. Nutritional and allelochemic insect plant interaction reting to Digestion and food intake. Ed.: Miller, J.R. & Miller T.A. Insect plant Interaction. Springer-verlag. New York. London. pp. 639-642. Metcalf, R.L. & Luckmann, W.H. 1982. Introduction to insect pest management. John Wiley & Sons. New York. Pp. 5-6. Santoso, H.B. 1992. Sereh Wangi Bertanam dan Penyulingan. Kanisus. Jakarta. Hlm. 30-32 Schmutterer, S. 1990. Properties and potential of natural pesticides from the Neem Tree, Azadirachta Indica. Annu. Rev. Entomol. 35:271-297. Simpson, S.J. & Simpson C.L. 1990. The mechanisme of nutritional compensation by Phytophagous Insects, Insects plant interaction. C.R.C. Press. Florida. pp. 111-160. 102 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Smith, R.F. 1975. Phisiology of tree resistance ti insect. Annual review of entomology (20):75 – 91. Steel, R.G.D. & Torrie, J.H. 1991. Prinsip dan prosedur statistika. Diterjemahkan oleh Soemantri, B. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Van Steenis, 1988. Flora. Pradnya Paramita. Jakarta. Hlm. 370. Yoshida, H.A. & Toscano, N.C. 1994. Comparative effects of selected natural insecticides on Heliothis Virescens (Lepidoptera:Noctuidae) larvae. J.Econ. Entomology. 87(2): 305-310. 103 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 PENGARUH WAKTU PEMBUNGKUSAN TERHADAP JUMLAH LARVA LALAT BUAH (Bactrocera spp.) PADA BUAH BELIMBING (Averrhoa carambola) Puji Prastowo, Putri Syahyana Siregar (Jurusan Biologi FMIPA Unimed) ABSTRAK Buah belimbing merupakan jenis buah yang sering dikonsumsi masyarakat karena memiliki rasa yang manis dan segar dalam bentuk buah segar maupun jus. Hal ini menyebabkan potensi belimbing untuk dikembangkan menjadi sangat prospektif. Namun kehadiran lalat buah merupakan penghambat utama bagi produksi buah ini. Lalat buah betina dewasa akan menyuntikkan ovipositornya ke dalam buah belimbing untuk meletakkan telurnya. Beberapa hari kemudian telur akan menetas menjadi larva di dalam buah dan menyebabkan buah belimbing menjadi busuk. Masa penyuntikan menjadi sangat penting bagi kesuksesan larva mempertahankan hidup seiring dengan perkembangan pematangan buah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu pembungkusan terhadap jumlah larva lalat buah (Bactrocera spp.) pada buah belimbing (Averrhoa carambola). Penelitian ini menggunakan Rancangan acak kelompok dengan 6 perlakuan, yaitu waktu pembungkusan dilakukan ketika buah berumur 10 hari, 20 hari, 30 hari, 40 hari, 50 hari dan tanpa dibungkus hingga panen. Dengan 25 kali ulangan untuk setiap perlakuan. Hasil penelitian mnunjukkan bahwa ada pengaruh yang sangat nyata antara lama masa pembungkusan terhadap jumlah larva lalat buah. Jumlah lalat buah yang tidak dibungkus hingga panen menunjukkan jumlah larva lalat buah tertinggi. Peningkatan jumlah lalat buah yang sangat tinggi lai mudialami pada buah yang dibungkus mulai umur 30 hari dan kelimpahan lalat buah tertinggi terjadi buah yang tidak dibungkus hingga panen. Kata kunci: Larva lalat buah; buah belimbing; umur bua;, masa pembungkusan PENDAHULUAN Belimbing manis (Averrhoa carambola L.) atau biasa disebut belimbing merupakan tanaman buah berupa pohon yang banyak ditanam dalam bentuk kultur pekarangan, yaitu diusahakan sebagai usaha sambilan sebagai tanaman peneduh di halaman-halaman rumah. Belimbing memiliki bentuk seperti bintang, berlekuk-lekuk jika dilihat dari penampang melintangnya dan permukaannya licin seperti lilin. Buah belimbing manis banyak digemari masyarakat karena rasanya yang manis dan menyegarkan karena kandungan airnya yang tinggi, serta mengandung gizi yang tinggi pula. Menurut Dinas Pertanian kota Depok dalam Anonim (2010) bahwa Setiap 100 gram buah belimbing manis segar mengandung gizi yang terdiri dari kalori 36,00 kal; protein 0,40 gram; lemak 1,40 gram; karbohidrat 8,80 gram; kalsium 4,00 mg; fosfor 12,00 mg; zat besi 1,10 mg; vitamin A 170,00 mg; vitamin B1 35,00 mg; vitamin C 0,90 mg; air 90,00 mg; dan bagian yang dapat dimakan (bdd) 86,00%. Selain sebagai buah segar, belimbing manis juga dapat berkhasiat sebagai obat. Menurut Rukmana (2000), mengkonsumsi buah belimbing manis yang sudah matang dapat menurunkan tekanan darah tinggi dan kadar kolesterol, mencegah kanker, serta memperlancar pencernaan. Secara ilmiah, kandungan racun (toksisitas) akut tanaman belimbing manis terbukti tidak beracun dan aman digunakan. Daun dan buah belimbing dapat digunakan untuk mengobati sakit gondong, cacar air, demam dan wasir. Buah ini merupakan salah satu buah yang sering dikonsumsi masyarakat karena memiliki banyak manfaat. Seiring dengan meningkatnya konsumsi masyarakat akan belimbing ini, maka dari itu perkebunan belimbing sering dijumpai di daerah dengan ketinggian tempat yang relatif tinggi. Namun, produksi belimbing terhambat oleh adanya serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yaitu hama Bactrocera spp. atau biasa disebut lalat buah (Irwanto, 2008). Lalat buah merupakan salah satu hama utama pada tanaman buah holtokultura Pada populasi yang tinggi intensitas serangannya dapat mencapai 100%. Oleh karena itu, hama ini telah menarik perhatian banyak kalangan untuk melaksanakan upaya pengendalian secara terprogram. Di Indonesia pada saat ini telah dilaporkan ada 66 species lalat buah. Diantaranya spesies itu yang dikenal sangat merusak adalah Bractrocera spp., yang sasaran utamanya antara lain : belimbing manis, jambu air, jambu biji, mangga, nangka, melon dan cabai (Anonim, 2006). 104 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Salah satu jenis lalat buah yang perlu mendapat perhatian adalah Bactrocera carambolae. Bactrocera carambolae menyerang buah belimbing, jambu dan mangga. Buah yang terserang oleh Bactrocera carambolae dari luar tampak utuh, tetapi bagian dalam buah sebenarnya rusak karena dimakan oleh larva Bactrocera carambolae (Aman, 2010). Sifat khas lalat buah adalah hanya dapat bertelur di dalam buah. Telur dalam fase tertentu akan berubah menjadi larva. Larva yang menetas dari telur tersebut akan merusak daging buah, sehingga buah menjadi busuk dan gugur. Menurut Alfarini dalam Fadillah (2004), sekitar 13 jenis komoditas pertanian Indonesia terancam ditolak pasar Taiwan setelah munculnya larangan masuk bagi produk pertanian yang mempunyai sembilan jenis lalat buah yang tidak ada di Taiwan, jenis tersebut antara lain : Bactrocera papayae, Bactrocera zonata, Bactrocera musae. Lalat buah betina menusuk kulit buah dengan ovipositornya dan meletakkan 10-15 butir telur sedalam 6 mm di bawah permukaan. Karena ditusuk maka buah akan mengeluarkan cairan yang akan menarik perhatian lalat lain untuk datang, makan dan bertelur. Karena ada tusukan maka bentuk buah menjadi jelek, berbenjol dan kadang-kadang menyebabkan kerontokan (Irwanto, 2008). Kerusakan yang ditimbulkan lalat buah tidak dapat diperbaiki, akibat pengaruh aktivitas bakteri pembusuk. Selain menyebabkan pembusukan, aktivitas makan oleh larva ini ternyata mengakibatkan buah berwarna coklat, tidak menarik dan terasa pahit. Hal ini merupakan faktor penghalang bagi konsumen untuk menikamati buah-buahan yang segar (Anonim, 2011a). Tindakan pengendalian lalat buah perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi buahbuahan. Cara pengendalian sederhana yang sering dilakukan oleh petani adalah pembungkusan buah. Pembungkusan ini dilakukan dengan kantung plastic. Untuk meningkatkan efisiensi pembungkusan tersebut, perlu kiranya memperhitungkan umur buah yang akan dibungkus. Untuk itu dirasakan perlu dilakukannya penelitian yang bertujuan untuk mengetahui “Pengaruh Waktu Pembungkusan Terhadap Jumlah Larva Lalat Buah (Bactrocera dorsalis) Pada Buah Belimbing Manis (Averrhoa carambola). BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan di perkebunan belimbing di Desa Namo Riam Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang. Waktu penelitian berlangsung selama 3 bulan, yaitu April- Juni 2013. Populasi dan Sampel. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh buah belimbing manis (Averrhoa carambola) yang ada di pohon perkebunan belimbing di desa Namo Riam Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang. Sampel yang digunakan adalah buah belimbing yang berjumlah 150 buah yang yang dipilih secara random sampling dari suatu pohon belimbing. Alat dan Bahan Penelitian. Alat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah: kantong plastik, tali plastik, gunting, buku, alat tulis, kalender pengamatan, kamera digital, dan spidol. Bahan yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah kehadiran larva lalat buah (Bractocera spp.) dan buah belimbing (Averrhoa carambola). Rancangan dan Variabel Penelitian. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Variabel Penelitian. Variabel bebas dalam penelitian ini lamanya waktu pembungkusan buah belimbing. Sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah larva yang ada pada buah belimbing. Tehnik Pengumpulan Data. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental yaitu metode yang memberikan beberapa perlakuan pada sampel. Penelitian ini dilakukan dengan 6 perlakuan, yaitu, P0 = tanpa dilakukan pembungkusan hingga panen P1 = Pembungkusan pada umur buah 10 hari; P2 = Pembungkusan pada umur buah 20 hari; P3 = Pembungkusan pada umur buah 30 hari; P4 = Pembungkusan pada umur buah 40 hari; dan P5= Pembungkusan pada umur buah 50 hari. Masing-masing perlakuan terdiri dari 25 kali yang terbagi ke dalam 5 tanaman (5 kelompok). Pada masing-masing kelompok tanaman diberi enam perlakuan, masing-masing dengan 5 kali ulangan. Untuk keseragaman kualitas buah, buah yang dipilih adalah buah yang memiliki ukuran ± 2 cm pada umur 3 hari setelah berbunga. Pemilihan terhadap buah yang sudah ditetapkan dipilih secara acak untuk mendapatkan suatu perlakuan.. Prosedur Kerja. Untuk mendapatkan data dari hasil penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap, yaitu: 105 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 a. Persiapan: Menentukan pohon belimbing yang akan diteliti secara purposive sampling yaitu dipilih pohon yang sehat dan memiliki buah yang baik dan cukup untuk dipberikan perlakuan dan ulangan. b. Pelaksanaan: buah yang dipilih untuk dijadikan sampel adalah buah yang berukuran ± 2 cm pada umur 3 hari setelah bunga. Buah- buah tersebut ditandai untuk diberikan perlakuan. Pemilihan buah yang akan diberi perlakuan tertentu dipilih secara acak dari buah yang telah ditandai. Pengamatan mulai dilakukan setiap 10 hari sekali setelah perlakuan berupa menghitung larva lalat buah yang terdapat di dalam daging buah belimbing ketika buah mulai membusuk dan rontok sebelum masa panen. Setelah masa panen yaitu hari ke 60, buah yang masih utuh di pohon diambil untuk dilakukan penghitungan jumlah larva lalat buah di dalam daging belimbing. c. Pengumpul dan analisis data: Data yang telah diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam tabel pengamatan untuk dilakukan analisis data. Teknik Analisis Data. Pengumpulan data dilakukan berdasarkan jumlah larva lalat buah pada setiap buah belimbing yang dijadikan sampel. Data hasil penelitian dituangkan ke dalam tabel untuk dianalisis menggunakan Anava yaitu uji-F. Jika hasil menunjukkan ada pengaruh yang signifikan terhadap perlakuan, dilakukan analisis lanjut untuk melihat ada-tidaknya perbedaan antar perlakuan, yaitu dengan uji beda nyata terkecil. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian dan Analisis Data. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap waktu pembungkusan terhadap jumlah larva lalat buah pada buah belimbing diperoleh data sebagai berikut: 60 Jumlah Larva 50 40 30 Blok I 20 Blok II Blok III 10 Blok IV 0 Blok V H = 10 (P1) H = 20 (P2) H = 30 (P3) H = 40 (P4) H = 50 (P5) Kontrol (P0) Perlakuan Berdasarkan grafik di atas, menunjukkan bahwa perlakuan waktu pembungkusan yang berbeda-beda pada buah belimbing manis terhadap jumlah larva lalat buah pada buah belimbing menunjukkan pengaruh yang sangat nyata. Untuk jumlah larva pada perlakuan yang paling tinggi terjadi pada saat P3 atau pembungkusan buah pada umur buah 30 hari. Pada gambar di atas, perlakuan jumlah larva lalat buah tertinggi terjadi pada buah yang tidak mengalami pembungkusan tidak dibungkus samasekali hingga panen atau kontrol (rata-rata 6,56 individu lalat buah/buah belimbing) dan pada pembungkusan saat umur buah 30 hari (rata-rata 4,28 individu lalat buah/buah belimbing). Sedangkan jumlah larva lalat buah terendah yaitu pada pada pembungkusan saat umur buah 20 hari (rata-rata 0,56 individu lalat buah/buah belimbing) dan pada pembungkusan saat umur buah 10 hari (rata-rata 1,08 individu lalat buah/buah belimbing). 106 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Untuk mengetahui apakah ada pengaruh waktu pembungkusan buah belimbing (Averrhoa carambola) terhadap jumlah larva lalat buah (Bactrocera spp.) dilakukan analisis data menggunakan Analisis variansi (ANAVA) RAK dengan hasil sebagaimana tabel berikut: Sumber Variasi Df Sumsquare Meansquare F hitung Kelompok Perlakuan Galat 4 5 20 61,02 131,66 61,62 15,25 26,33 3,08 4,95 8,54 Total 29 254,3 F Tabel α=0.05 2,87 2,71 α=0.01 4,43 4,10 - Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa Fhitung > Ftabel pada taraf α = 0,01, baik untuk kelompok maupun perlakuan. Hal ini membuktikan bahwa ada pengaruh yang sangat signifikan waktu pembungkusan buah belimbing (Averrhoa carambola) terhadap jumlah larva lalat buah (Bactrocera spp.). Untuk mengetahui lebih jauh perbedaan antar perlakuan,dilakukan uji beda nyata terkecil dan dapat dihasilkan sebagai berikut: Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P0 P1 - - - - - - P2 0,52tn - - - - - P3 3,20** 3,72** - - - - P4 0,68tn 1,20tn 3,52** - - - P5 2,84** 3,36** 0,36tn 2,16* - - 5,48** 6,00** 2,28** 4,80** 2,64** - P0 Keterangan : tn : tidak berbeda nyata; * : Berbeda nyata; **: Berbeda sangat nyata Berdasarkan uji BNT (BNT0,05= 1,60; dan BNT0,01= 2,18) di atas diketahui bahwa semua perlakuan bila dibandingkan dengan yang tidak mengalami pembungkusan hingga panen (kontrol) menunjukkan perbedaan jumlah larva lalat buah yang berbeda sangat nyata. Demikian pula halnya dengan yang dibungkus pada umur 30 hari dan 50 hari, namun antara umur 30 hari dan 50 hari tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.. Pembahasan. Berdasarkan hasil pengolahan data di atas waktu pembungkusan yang berbedabeda memiliki pengaruh yang nyata terhadap jumlah larva lalat buah yang ada di dalam buah belimbing. Perbedaan jumlah lalat buah rata-rata per buah mulai menunjukkan perbedaan yang signifikan dibanding umur pembungkusan lebih awal ditunjukkan pada umur pembungkusan 30 hari. Hal ini disebabkan pada saat itu buah sudah mulai menunjukkan mulai mengkal (tanda-tanda akan matang) dengan panjang buah sekitar 10 cm dan warna buah belimbing hijau dengan sedikit kuning yang mengkilat. Tingkat kematangan yang cukup dari buah belimbing yang berumur 30 hari setelah bunga mengakibatkan meningkatnya serangan imago lalat buah (Bactrocera spp.), tidak hanya buah yang sudah mulai matang saja yang diserang oleh imago lalat buah (Bactrocera spp.) namun buah yang masih mengkal juga mendapat serangan dari imago lalat buah. Menurut Kalie (1992) buah yang menjelang matang mengeluarkan aroma ekstraksi ester dan asam organik yang semerbak sehingga mengundang lalat buah (Bactrocera spp.) untuk datang dan meletakkan telur. Dan dikuatkan oleh Manurung (2012), terjadinya hal itu mungkin erat kaitannya dengan perubahan warna dari hijau menjadi kuning, perubahan warna dan aroma ester merupakan dua faktor yang menjadi daya tarik lalat buah untuk menginfeksi buah. 107 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Jumlah lalat buah/buah belimbing tertinggi adalah pada buah yang tidak dibungkus hingga panen (kontrol) dan berbeda sangat signifikan dengan semua perlakuan waktu pembungkusan. Hal ini disebabkan karena lalat buah betina tidak hanya berkesempatan menyuntikkan ovipositornya pada saaat buah masih mengkal, namun juga ketika buah sudah mendekati matang. Menurut Endah (2003), bahwa lalat buah betina biasanya meletakkan telur pada kulit buah yang sudah matang bahkan yang belum matang. Umur buah 40 – 50 hari dengan ukuran lebih dari 17 cm rata-rata buah sudah mengalami kerontokan sebelum panen. Tingkat kerusakan pada buah yang matang lebih tinggi daripada buah yang mengkal. Hal ini terjadi oleh pengaruh buah matang yang teksturnya lebih lunak sehingga kerusakannya lebih mudah terlihat sedangkan pada buah mentah dan mengkal yang jumlah larva lalat buah masih sedikit. Karena buah tersebut masih keras maka kerusakannya pada buah tersebut sudah terjadi tetapi tidak nyata terlihat. Kerusakan yang terjadi pada buah belimbing akibat serangan (Bactrocera spp.), populasi lalat buah tinggi menyebabkan jumlah telur yang diletakkan meningkat akibat adanya kerusakan pada buah belimbing meningkat. Pada umur buah yang masih muda (kurang dari 20 hari) menunjukkan jumlah larva tidak terlalu tinggi. Hal ini disebabkan lalat buah betina terlalu dini untuk meletakkan telurnya, sehingga ketika telur menetas buah belum matang dan nutrisi belum dan larva lalat buahpun tidak berkembang atau mati. Waktu yang dibutuhkan telur lalat buah untuk berubah menjadi larva yaitu 2 hari. Menurut Endah (2003) telur yang terdapat dalam buah, apabila keadaan lingkungannya baik, maka telur akan menetas menjadi larva setelah 2 hari, kemudian larva berkembang di dalam daging buah selama 6-9 hari dan karenanya menyebabkan buah menjadi busuk. Jadi dibutuhkan waktu berkembangan telur menjadi larva ± 10 hari, maka dari itu peneliti melakukan pengamatan buah setiap 10 hari sekali sampai masa panen. Buah yang sudah terinfeksi oleh suntikkan ovipositor lalat buah biasanya tidak akan bertahan sampai matang akan mengalami pembusukan seperti yang terjadi pada awal pertumbuhan belimbing dilakukan yaitu umur buah 10 – 20 hari buah akan rontok dan busuk, kerusakan bukan hanya disebabkan oleh larva dari lalat buah karena pada fase ini belum cukup tersedianya makanan bagi pertumbuhan larva, suntikkan lalat buah membuat organisme lain untuk masuk ke dalam buah dan berkembang di dalam buah. suntikkan lalat buah juga dapat merangsang pertumbuhan dan perkembangan hidup dari organisme pembusuk lainnya, seperti bakteri dan jamur Siti et.al. (2007). Jika lalat buah sudah mulai menginfeksikan telur kedaging buah dalam jangka waktu kurang lebih 10 hari telur akan menetas menjadi larva dengan syarat lingkungan hidup lalat buah harus tercukupi gizi essensial yang terdapat didalam makanan, oleh karena itu banyak buah yang belum matang terinfeksi oleh lalat buah namun tidak terdapat larva lalat buah didalamnya karena belum cukup tersedianya gizi bagi larva lalat buah untuk berkembang Endah (2003). Dan dikuatkan oleh Kardinan (1998), bahwa seekor imago lalat buah betina meletakkan telur antara 1-10 butir di satu buah dalam sehari namun tidak semua telur dapat berubah menjadi larva, ketika gizi essensial telur tidak terpenuhi oleh buah yang masih muda atau yang belum matang. Meskipun sedikit ditemukan larva lalat buah, pada buah muda juga dapat terjadi penyerangan. Hal ini diperlihatkan adanya bekas bintik-bintik hitam pada permukaan buah. Pernyataan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Siti et.al. (2007) Serangan dari Bractocera spp. memiliki gejala awal yaitu adanya noda hitam berukuran kecil. Bintik kecil yang berwarna hitam tersebut merupakan bekas tusukkan ovipositor. Larva yang baru menetas langsung memakan daging buah, akibat dari aktivitas larva ini menyebabkan bagian buah yang ada disekitarnya menjadi bercak luas berwarna coklat, busuk yang bertambah dan gugur sebelum waktunya. Pembungkusan buah dari awal pertumbuhan buah sangat penting dilakukan untuk menghindari serangan infeksi lalat buah pembungkusan buah yang terlalu muda juga dapat mengakibatkan kerontokan dini pada buah karena tangkai buah belum cukup kuat untuk menahan bobot buah. Waktu efektif pembungkusan buah dilakukan segera pada umur buah 30. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa ada pengaruh yang sangat nyata antara waktu pembungkusan pada dbuah belimbing (Averrhoa carambola) terhadap jumlah larva lalat buah (Bactrocera spp.). Kelimpahan larva lalat buah tertinggi terjadi pada buah belimbing yang tidak mengalami pembungkusan hingga masa penen. Peningkatan larva lalat buah mulai terjadi secara signifikan pada umur pembungkusan buah belimbing 30 hari. 108 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 DAFTAR PUSTAKA Aman, D., (2010), Survey Pengendalian Hama Tepadu dan Analisis Kehilangan Hasil Buah Akibat Serangan Lalat Buah (Bactocera dorsalis), http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7715/1/09E00220.pdf. Diakses Tanggal 21 Januari 2013. Anonim, (2006), Mengakali Lalat Buah, http://embud2006url.blogspot.com /2006/12/mengakali-lalatbuah.html, Diakses Tanggal 22 Februari 2013. Anonim, (2010). Belimbing Manis ( Averrhoa carambola ), http://repository .ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/1337/BAB%20II%20TINJAUAN%20PUSTAKA.pdf?s equence=7, Diakses Tanggal 21 Januari 2013. Anonim, (2011a), Lalat buah (Bactocera dorsalis), http://repository.usu.ac. id/bitstream/123456789/7715/1/09E00220.pdf, Diakses Tanggal 21 Januari 2013. Anonim, (2011b), Klasifikasi Belimbing manis (Averrhoa carambola), http://www.plantamor.com/index.php?search_dir=0&cx=partner-pub4730872291972291%3A8388952220&cof=FORID%3A10&ie=UTF8&q=belimbing+manis&sa=Cari, Diakses Tanggal 21 Januari 2013. Ashari, S., (2006), Meningkatkan Keunggulan Bebuahan Tropis Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta. Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, 2012, http://cybex.deptan.go.id/penanaman-belimbing, Diakses Tanggal 18 Maret 2013. Borror, D.J.,C.A. Triplehorn dan N. F. Johnson, (1992), Pengenalan Pelajaran Serangga (terjemahan) edisi 6, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Cahyono, Bambang, (2010), Buku Terlengkap Cara Sukses Berkebun Belimbing Manis, Pustaka Mina, Jakarta. Deputi Menegristek, (2005), Tentang Budidaya Tanaman, http://www.ristek. go.id, Diakses tanggal 21 Janurai 2013. Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. (2002). Pedoman Pengendalian Lalat Buah. Direktorat Perlindungan Hortikultura. Jakarta Endah, H., (2003). Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman. Agromedia Pustaka. Jakarta. Eko, & Tri, W., (2004), Perbanyakan Lalat Buah (Bactrocera dorsalis) di Laboratorium, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Fadillah, N., Inventarisasi Predator Lalat Buah (Bactocera sp.), (2004), http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7715/1/09E00220.pdf, Diakses Tanggal 21 Januari 2013. Irwanto, B., (2008), Inventarisasi Hama-hama Penting dan Parsitoid pada buah Mangga (Mangifera spp.), http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/7715/1/09E00220.pdf, Diakses Tanggal 21 Januari 2013. Jang, B.,(2004). Tropical Fruit Pest And Polinators : biology, economic importance, natural enemics and control. Biological Sciences and Technology 14:525-524 http://www.Blackwellsynergy.com/doi/abs, Diakses Tanggal 21 Januari 2013. Jumar, (2000), Entomologi Pertanian,Penerbit Rieneka Cipta, Jakarta. Kardinan, A., (1998). Pengaruh Cara Aplikasi Minyak Suling Melaleuca Bracteata dan Metil eugenol terhadap Daya Pikat Lalat Buah (Bractocera dorsali). Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 4 (1) : 38-45. Kalie, B.M., (1997), Mengatasi Buah Rontok, Busuk dan Berulat, Penebar Swadaya IKAPI, Jakarta. Khobir. F., (2011), Identifikasi Spesies Lalat Buah Pada Buah Yang Di Perdagangkan Di Pasar Bertais Kecamatan Sandubaya Kota Mataram Dan Upaya Pembuatan Bahan Ajar Pada Mata Kuliah Ekologi Hewan Tahun 2011, http://faedulkhobir.blogspot.com/2012/06/identifikasispesies-lalat-buah-pada.html, Diakses Tanggal 26 Januari 2013. Kusnaedi. (1999). Pengendalian Hama Tanpa Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta. Manurung, B., Prastowo, P., & Ebrina T., (2012), Pola Aktivitas Harian dan Dinamika Populasi Lalat Buah (Bactrocera dorsalis complex) pada Pertanaman Jeruk di Dataran Tinggi Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Jurnal HPT Tropika 12 (2) : 103-110. 109 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Manurung, B., (2013), Entomologi. Penerbit Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Medan (UNIMED), Medan. Nazir, M., (1983), Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta Timur. Rifki. R., (2012), Manfaat Belimbing Manis Bagi Kesehatan, http://rahmirifki. blogspot.com/2012/09/manfaat-belimbing-bagi kesehatan.html , Diakses Tanggal 18 Maret 2013. Rukmana. R., (2000), Belimbing Manis (Budi daya, Pengendalian Mutu dan Pasca Panen), Penerbit PT Pabelan Cerdas Nusantara, Solo. Silitonga, P., M., (2011), STATISTIKA Teori dan Aplikasi dalam Penelitian. Penerbit Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Medan (UNIMED), Medan. Siti, H., (2007), Populasi dan Serangan Lalat Buah (Bactrocera dorsalis) Diptera Tephritidae serta Potensi Parasitoidnya pada Pertanaman Belimbing (Averrhoa carambola). Jurnal Hama Tanaman. 5 (9) : 81-89. Subroto, J., B., (2010), Berkebun Buah Belimbing di Pekarangan Rumah. Trubus 6 : 25-26. Sudjana, (2002), Metoda Statistika Edisi 6, Penerbit Tarsito, Bandung. Sumangun, H., (2004), Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 110 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 PENURUNAN KADAR KOLAGEN UTERUS PADA TIKUS OVARIEKTOMI SEBAGAI HEWAN MODEL PENUAAN Safrida Dosen Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala Email:[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar kolagen uterus pada pada tikus ovariektomi dan untuk memperoleh umur tikus yang cocok digunakan sebagai hewan model penuaan untuk sistem reproduksi, khususnya dalam penurunan kualitas uterus. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan pola rancangan acak lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan tiga kali ulangan. Perlakuan tersebut dengan dua kondisi hewan. Pertama, hewan normal yakni, 1) tikus umur 12 bulan (U12), 2) tikus umur 18 bulan (U18), 3) tikus umur 24 bulan (U24). Kedua, kondisi 1 bulan pascaovariektomi, yakni 1) tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi (OV12), 2) tikus umur 18 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi (OV18), 3) tikus umur 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi (OV24). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar kolagen uterus tikus umur 12 bulan kondisi 1 bulan pascaovariektomi adalah 24.51±4.66, tikus umur 18 bulan kondisi 1 bulan pascaovariektomi diperoleh 23.44±1.71, tikus umur 24 bulan kondisi 1 bulan pascaovariektomi adalah 10.86±1.57. Penurunan kadar kolagen uterus drastis terjadi pada tikus umur 24 bulan kondisi 1 bulan pascaovariektomi. Tikus ovariektomi yang cocok digunakan sebagai hewan model penuaan khususnya dalam penurunan kualitas uterus adalah tikus umur 24 bulan kondisi 1 bulan pascaovariektomi. Kata kunci: Kadar kolagen, ovariektomi, penuaan, tikus, uterus PENDAHULUAN Penuaan adalah penurunan secara fisiologis fungsi tubuh dan berbagai sistem organ yang mengakibatkan peningkatan kejadian penyakit serta kehilangan mobilitas dan ketangkasan (Datau dan Wibowo 2005). Proses menua merupakan proses fisiologis yang akan terjadi pada semua makhluk hidup yang meliputi semua organ tubuh. Perbedaan penurunan fungsi organ tubuh bergantung pada waktu (Rastogi 2007). Salah satu penuaan tingkat seluler dapat dilihat dari penurunan protein struktural seperti kolagen (Rastogi 2007). Kolagen merupakan matriks ekstrasel berupa protein struktural, sebagai pengikat antarsel dan sangat berhubungan dengan penuaan karena menyangkut perubahan sintesis protein (Kanungo 1994). Pada lapisan endometrium uterus terdapat jaringan ikat kolagen. Perubahan struktur kolagen uterus dipengaruhi oleh estrogen (Pastore et al. 1992). Menurunnya konsentrasi estrogen dan progesteron dalam darah menyebabkan atropi uterus, yang ditandai dengan tidak terjadinya penebalan endometrium dan kelenjar uterus berada dalam keadaan tidak mengeluarkan sekresi sehingga uterus mengecil dan bobotnya menurun (Binkley 1995). Pada hewan percobaan, manipulasi hilangnya estrogen sebagai indikator menopause dilakukan dengan ovariektomi (Shirwaikar et al. 2003; Devareddy et al. 2008). Data mengenai kadar kolagen uterus pada tikus ovariektomi strain Sprague Dawley yang cocok digunakan sebagai hewan model penuaan untuk sistem reproduksi belum banyak dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar kolagen uterus pada pada tikus ovariektomi dan untuk memperoleh umur tikus yang cocok digunakan sebagai hewan model penuaan untuk sistem reproduksi, khususnya dalam penurunan kualitas uterus. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tikus sebagai hewan model penuaan untuk sistem reproduksi. Penelitian ini dapat digunakan untuk penerapan dan pengembangan dalam Ilmu Kedokteran serta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di kandang percobaan FKH IPB, dan Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB. Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 18 ekor tikus betina strain Sprague Dawley. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Rancangan percobaan 111 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), yang terdiri atas 5 (lima) perlakuan, masing-masing terdiri atas tiga (3) ekor. Perlakuan tersebut dengan dua kondisi hewan. Pertama, hewan normal yakni, 1) tikus umur 12 bulan (U12), 2) tikus umur 18 bulan (U18), 3) tikus umur 24 bulan (U24). Kedua, kondisi 1 bulan pascaovariektomi, yakni 1) tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi (OV12), 2) tikus umur 18 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi (OV18), 3) tikus umur 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi (OV24). Tikus-tikus percobaan tersebut ditempatkan dalam kandang plastik dengan tutup yang terbuat dari kawat ram dan dialasi sekam. Pakan dan air minum disediakan ad libitum. Lingkungan kandang dibuat agar tidak lembap, ventilasi yang cukup serta penyinaran yang cukup dengan lama terang 14 jam dan lama gelap 10 jam. Masing-masing tikus ditempatkan dalam kandang individu. Tindakan ovariektomi dilakukan oleh dokter hewan. Semua tikus diadaptasikan di lingkungan kandang percobaan selama 10 hari. Pada status fase diestrus, semua tikus dikorbankan. Uterus dipisahkan dari jaringan lunak dengan menggunakan gunting kecil, kemudian ditimbang bobot basahnya, selanjutnya dimasukkan ke dalam larutan BNF (buffer formalin) 10% untuk analisis kadar kolagen. Penentuan kadar kolagen dilakukan sesuai dengan yang dilakukan oleh Manalu dan Sumaryadi (1998). Pengukuran kadar kolagen dilakukan setelah uterus yang sudah dikeringkan dan dihaluskan diekstraksi dengan cara menimbang seberat 25 mg ke dalam tabung reaksi dan menambahkan sebanyak 5 mL HCl 6 N pada setiap sampel. Semua tabung diletakkan pada penangas air 130oC selama 3 jam (air mendidih ± 5 jam) sampai larutan homogen kuning muda. Jika terjadi penguapan selama pemanasan ditambahkan lagi HCl 6 N sebanyak 5 mL. Isinya dituangkan dan dibaca pada pH 6-7 (seragam) dengan menambahkan NaOH 2 N jika keasaman atau HCl 6 N jika kebasaan, dan tetap menghitung pelarutannya. Selanjutnya tabung reaksi disiapkan kemudian dilabel untuk blanko, standar, dan sampel yang masing-masing dibuat duplo. Masing-masing tabung diisi reagen sehingga akan berwarna kuning, setelah itu pada setiap tabung ditambahkan 1 mL ChloraminT dan dikocok (vorteks). Larutan dibiarkan selama 20 menit pada suhu kamar. Setiap tabung ditambahkan 1 mL PCA (kocok/vortex) dan dibiarkan selama 5 menit. Kemudian setiap tabung ditambahkan 1 mL p-dimetilaminobenzaldehide dan dikocok kemudian diletakkan pada penangas air 60oC selama 20 menit. Larutan didinginkan pada kran air mengalir (tabung direndam dalam wadah berisi air dingin) selama 5 menit. Absorbans larutan dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 55 nm. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α=0.05) dengan menggunakan perangkat lunak software SAS 9.1.3. HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan kadar kolagen uterus pada berbagai tingkatan umur tikus normal dan ovariektomi disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur pada tikus normal dan tikus ovariektomi berpengaruh nyata (P< 0.05) pada kadar kolagen uterus. Dengan bertambahnya umur tikus, kadar kolagen uterus semakin menurun. Penurunan kadar kolagen uterus secara drastis terjadi pada tikus normal umur 24 bulan. Begitu juga dengan tikus ovariektomi semakin bertambah umur maka kadar kolagen semakin menurun. Pada tikus ovariektomi umur 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi terlihat penurunan secara drastis kadar kolagen uterus. Lebih lanjut, penurunan kadar kolagen uterus pada tikus normal sebesar 17,47% pada umur 18 bulan, dan 46,44% pada umur 24 bulan bila dibandingkan dengan tikus umur 12 bulan. Kadar kolagen uterus menurun sebesar 4,36% pada umur 18 bulan dalam kondisi 1 bulan, dan 53,66% pada umur 24 bulan dalam kondisi 1 bulan. 112 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 1. Rataan kadar kolagen uterus pada tikus normal dan ovariektomi Umur (bulan) Kadar kolagen uterus (mg/g sampel) pada Kadar kolagen uterus (mg/g sampel) pada tikus normal* tikus ovariektomi a 45.73±2.16 24.51±4.66a 12 b 37.74±3.65 23.44±1.71a 18 c 24.49±2.70 10.86±1.57b 24 Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata ( p<0.05). Tikus umur 12 bulan (12), tikus umur 18 bulan (18), tikus umur 24 bulan (24). *Sumber : (Safrida, 2011) Tindakan ovariektomi mempengaruhi penurunan kualitas uterus. Hal ini dapat diketahui dengan membandingkan tikus umur 12, 18, 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi dengan tikus normal pada umur yang sama. Pada tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi terlihat bahwa kadar kolagen uterus menurun bila dibandingkan dengan tikus normal umur 12 bulan. Pada tikus umur 18 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi terlihat bahwa kadar kolagen uterus menurun bila dibandingkan dengan tikus normal umur 18 bulan. Kemudian pada tikus umur 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi menunjukkan bahwa kadar kolagen uterus menurun bila dibandingkan dengan tikus normal umur 24 bulan. Penurunan kolagen uterus mempunyai risiko terjadinya prolapse uterus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Price et al. (2010) bahwa prolapse uterus terjadi ketika organ-organ panggul wanita jatuh dari posisi normal, ke dalam atau melalui vagina. Salah satu hal yang dapat meningkatkan risiko terjadinya prolapse adalah gangguan jaringan ikat. Menurut Iwahashi dan Muragaki (2011) bahwa kelainan kolagen, komponen utama matriks ekstraseluler, dapat meningkatkan kerentanan wanita untuk mengalami prolapse uterus. Penurunan kadar kolagen uterus drastis terjadi pada tikus umur 24 bulan kondisi 1 bulan pascaovariektomi. Tikus ovariektomi yang cocok digunakan sebagai hewan model penuaan khususnya dalam penurunan kualitas uterus adalah tikus umur 24 bulan kondisi 1 bulan pascaovariektomi DAFTAR PUSTAKA Binkley SA. 1995. Endocrinology. New York: Harper Collins College Publisher Datau EA, Wibowo C. 2005. Introduction to Anti-aging Medicine. Ikhtisar. Jakarta: Penerbit Cermin Dunia Kedokteran. Devareddy L, Hooshmand S, Collins JK, Lucas EA, Chai SC, Arjmandi BH. 2008. Blueberry prevents bone loss in ovariectomized rat model of postmenopausal osteoporosis. J Nutr Biochem 10:69. Iwahashi M, Yasuteru Muragaki Y. 2011. Decreased type III collagen expression in human uterine cervix of prolapse uteri. Experimental and Therapeutic Medicine. 2 (2) : 271-274. Kanungo MS. 1997. Gene and Aging. Cambrige University Press. USA. Manalu W, Sumaryadi MY. 1998. Maternal serum progesterone concentration during gestation and mammary gland growth and development at parturition in Javanese thin-tail ewes with carrying a single or multiple fetuses. Small. Rum. Res. 27:131-136. Pastore GN, Dicola LP, Dollahon NR, dan Gardner RM. 1992. Effect of estriol on the structure and organization of collagen in the lamina propia of the immature rat uterus. Biol. Reprod. 47: 8391. Price N, Slack A, Jackson S. 2010. Laparoscopic hysteropexy: the initial results of a uterine suspension procedure for uterovaginal prolapse. BJOG. 117:62–68. Ranakusuma AB. 1992. Buku Ajar Praktis Metabolik Endokrinologi. Jakarta: Universitas Indonesia (UI- Press). Rastogi, SC. 2007. Essential of Animal Physiology, Fourth Edition. New Age International (P) Ltd., Publishers. Published by New Age International (P) Ltd., Publishers. Safrida. 2011. Penurunan kadar matriks ekstraseluler uterus tikus dengan bertambahnya umur. J Bio.Ed. 3(2): 16-19. Shirwaikar A, Khan S, Malini S. 2003. Antiosteoporotic effect of ethanol extract of Cissus quadrangularis Linn. on ovariectomized rat. J Ethnopharmacol 89: 245-250. 113 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 ISOLASI ASPERGILLUS FLAVUS PENGHASIL AFLATOKSIN KACANG TANAH PASAR TRADISIONAL KOTA MEDAN DAN TOKSISITASNYA TERHADAP HISTOPATOLOGI SEL HATI MENCIT Sartini1. Kiki Nurtjahja2. Rosliana3 1,3) Fakultas Biologi Universitas Medan Area Jln. Kolam no. 1 Medan 20223 e-mail: [email protected] 2) Staf Pengajar Departemen Biologi, FMIPA Universitas Sumatera Utara Jln. Bioteknologi no. 1. Kampus USU, Medan 20155 e-mail: [email protected] ABSTRAK Kondisi yang lembab pada pasar tradisional memungkinkan bahan makanan terutama kacang tanah terkontaminasi oleh cendawan Aspergillus flavus. Cendawan ini selain merusak biji kacang tanah juga menghasilkan aflatoksin yang bersifat toksik. Jika kacang tanah ini dikonsumsi oleh manusia atau hewan maka akan terakumulasi di dalam sel-sel hati, hal ini dapat mengakibatkan kerusakan hati. Tingginya kontaminasi biji kacang tanah oleh A. flavus diduga diikuti dengan tingginya kadar aflatoksin yang dihasilkan. Tujuannya untuk mengetahui populasi cendawan, kadar aflatoksin biji kacang tanah dan efeknya terhadap histopatologi sel hati (hepatosit) mencit. Sampel kacang tanah diambil pada bulan Mei 2013 dari pedagang eceran Pasar Petisah, Pasar Padang Bulan, dan Pasar Sentral. Dari setiap pasar tradisional diambil 3 sampel pengecer yang berbeda. Populasi cendawan dihitung dengan metode pengenceran. Sedangkan kadar aflatoksin ditentukan dengan metode kromatografi lapis tipis. Perlakuan aflatoksin kacang tanah terhadap hepatosit mencit dilakukan dengan pemberian pakan campuran yang mengandung kacang tanah secara ad libitum (tidak terbatas) selama 3 bulan dibandingkan dengan kontrol. Struktur histopatologi hepatosit dilakukan dengan metode mikroteknik. Hasil penelitian menujukkan rata-rata kadar air biji kacang tanah yang dijual adalah 6%. Jumlah koloni cendawan A. flavus tertinggi pada pedagang II di Pasar Petisah yaitu 260 koloni diikuti oleh pedagang I masih di Pasar Petisah yaitu 5,50 koloni dan pedagang II di Pasar Sentral yaitu 4,50 koloni. Kadar aflatoksin tidak berhubungan dengan jumlah koloni cendawan. Biji kacang tanah yang dijual pada pedagang III di Pasar Sentral memiliki jumlah koloni A. flavus 0,83 namun mengandung aflatoksin B1 dan B2 tertinggi yaitu 84,30 ppb dan 23,07 ppb. Efek pemberian pakan kacang tanah menunjukkan terjadi perubahan histopatologi hepatosit dibandingkan dengan kontrol. Kata kunci: Aspergillus flavus, aflatoksin, histopatologi PENDAHULUAN Medan adalah ibu kota Sumatera Utara yang lokasinya dengan sentra produk pertanian yaitu Brastagi.Iklim lembab dan panas dengan suhu rata-rata 32 – 33oC serta curah hujan yang tinggi menyebabkan produk pertanian terutama buah-buahan dan sayur-sayuran mudah mengalami kerusakan. Umumnya masyarakat Kota Medan lebih memilih pasar tradisional sebagai pusat jual beli bahan makanan. Seluruh pasar tradisional di Kota Medan tidak memenuhi syarat penyimpanan yang baik. Perlakuan makanan pasca panen seperti distribusi diduga memiliki rantai yang panjang.Kondisi ini menyebabkan makanan yang dijual menjadi lebih mudah mengalami kerusakan seperti retak, pecah, memar, dan sebagainya yang memicu pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu diantara mikroorganisme penyebab kerusakan makanan adalah cendawan Aspergillus flavus yang sering dijumpai pada biji-bijian berkadar air tinggi seperti kacang tanah. Cendawan A. flavus menghasilkan aflatoksin yang bersifat racun terhadap hati. Akumulasi senyawa ini akibat konsumsi kacang tanah yang berulang dapat menimbulkan kanker hati. Jumlah populasi A. flavus pada kacang tanah, kadar aflatoksin dan efeknya pada hati, kondisi penyimpanan, dan distribusi khususnya kacang tanah perlu diketahui untuk mengurangi efek toksin ini pada masyarakat Kapang perusak pasca panen merupakan kapang yang menyerang tanaman pertanian terutama selama pasca panen. Kapang membutuhkana kadar air yang seimbang dengan kelembaban relatif 6095% untuk pertumbuhannya, dan kebanyakan kapang dapat tumbuh tanpa kehadiran air, dan pada media dengan tekanan osmotic tinggi (Jay, 2000; Darmaputra, 2000) 114 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Di daerah tropis kapang perusak pasca panen yang paling dominan adalah genus Aspergillus dan Eurotium. Di antara genus Aspergillus, species A. flavus dapat memproduksi aflatoksin yang dapat membahayakan jika terkonsumsi oleh manusia atau hewan (Dharmaputra, 2003) Aspergillus merupakan genus kapang yang sangat dominan menghasilkan mikotoksin (Kozakiewicz. 1996).Kapang ini umumnya menyerang biji-bijian. Biji-bijian yang paling sering terserang kapang adalah kacang tanah karena selain memiliki kadar protein dan lemak yang tinggi, biji kacang tanah juga memiliki kadar air lebih tinggi dari pada biji-biji palawija lainnya. Bahkan penelitian terhadap biji-biji kacang tanah yang dijual di pasar tradisional di Bogor, Bandung dan Jakarta menunjukkan bahwa sebagian besar sampel banyak ditumbuhi kapang dari genus Aspergillus dan Penicillium. Di antara kapang penghasil mikotoksin adalah Aspergillus flavus, A. parasiticus dan A. nomius. Kapang-kapang tersebut menghasilkan aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Diantara aflatoksin tersebut, B1 adalah yang paling toksik diikuti dengan G1, B2 dan G2 (Betina 1989; Miller. 1994). Pada manusia dan hewan konsumsi kacang tanah yang mengandung aflatoksin dapat menyebabkan teratogenik, tumor pada hati, karsinogen, dan dapat menimbulkan kematian (Bintivok, 2002; Bahri, 2006; Bommakanti, 2006). Sifat akumulatif aflatoksin karena mengkonsumsi biji kacang tanah yang terkontaminasi A. flavus secara terus menerus sampai pada 1000 ppb dapat menyebabkan kanker hati dan kematian (Pitt and Hocking, 1996). Menurut Harris (1991) kanker hati karena aflatoksin terjadi karena mikotoksin tersebut berkombinasi dengan DNA membentuk affladucts yaitu sekuens pada DNA yang akan memacu terbentuknya proto-onkogen penyebab mutasi gen sehingga terbentuk transformasi yang bersifat karsinogenik. Titik leleh aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 terjadi pada suhu yang sangat tinggi yaitu masing-masing pada 267, 303-306, 257-259 dan 237-240 oC (Buchi & Rae. 1969 dalam Lilieanny et al. 2005), sehingga pemanasan kacang tanah pada suhu yang lebih rendah dari suhu-suhu tersebut tidak mengubah aflatoksin menjadi senyawa yang nontoksik. BAHAN DAN METODE Sampel diambil dari 3 pasar tradisional di kota Medan yaitu Pasar Petisah, Pasar Sentral dan Pasar Padang Bulan dengan 3 pedagang pengecer pada setiap pasar. Untuk pengukuran kadar air, penghitungan populasi cendawan dan penghitungan kadar aflatoksin sampel kacang tanah dibagi-bagi dengan menggunakan sampel divider. Penyiapan media isolasi cendawan A. flavus, enumerasi jumlah kapang Aspergillus flavus yang terdapat pada setiap sampel kacang tanah. analisis kadar aflatoksin setiap sampel dengan metode kromatografi lapis tipis (TLC/Thin Layer Chromatography) dilakukan di Laboratorium Analisis Pangan SEAMEO BIOTROP Bogor. Pembagian Sampel Setiap 2000 g sampel yang diperoleh dipisah-pisahkan secara random dengan menggunakan sample divider. Pembagian sampel akan dilakukan menurut Dharmaputra (2000) dengan skema sebagai berikut : 2000 g ±1000 g ±500 g ±250 g a a, e b, f b, c, f, g ±1000 g ±500 g ±250 g b ±250 g c ±250 g d ±500 g ±250 g e ±250 g f ±500 g ±250 g g ±250 g h = sampel untuk analisis kadar air = sampel untuk analisis populasi kapang A. flavus = sampel untuk analisis aflatoksin 115 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Analisis Kadar Air Pengukuran kadar air berdasarkan bobot basah akan ditentukan dengan metode oven (AOAC, 2000). Sebanyak 250 g sampel digiling dengan menggunakan waring blender kemudian 5 g dimasukan ke dalam cawan aluminium dan dikeringkan dalam oven 103 oC selama 3 jam.Setelah kering sampel beserta kontainer dimasukan ke dalam desikator dan diukur beratnya. Kadar air sampel berdasarkan persen bobot basah ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut : Kadar air (%) = {(m1 – m2)/(m1 – m0)} x 100 m0 = berat cawan aluminium (g) m1 = berat cawan aluminium dan sampel sebelum pengeringan (g) m2 = berat cawan aluminium dan sampel setelah pengeringan (g) Penyiapan Media Isolasi Cendawan A. flavus Metode yang dipakai adalah metode pengenceran berderet (dilution method). Bahan substrat digiling menggunakan blender hingga diperoleh partikel berukuran kurang dari 2 mm. Selanjutnya substrat diambil sebanyak 25 gram ditempatkan dalam Erlenmeyer berukuran 500 ml. Dengan demikian diperoleh substrat dengan pengenceran 1:10 atau 10-1. Selanjutnya campuran dishaker dengan kecepatan 150 rpm selama 2 menit. Sebanyak 10 ml suspensi tersebut dipipet dan ditempatkan dalam Erlenmeyer 250 ml lalu ditambah 90 ml H2O steril lalu dishaker dengan kecepatan 150 rpm selama 2 menit sehingga diperoleh pengenceran 1:100 (10-2). Dengan cara yang sama dibuat untuk pengenceran 10-3. Dipindahkan 1 ml suspensi substrat dari setiap pengenceran dengan pipet steril ke dalam cawan Petri (diameter 9 cm) lalu ditambahkan 15 ml media AFPA yang suhunya kurang lebih 45 oC. Penghitungan Populasi A. flavus Pada Kacang Tanah Kapang diisolasi dengan metode cawan tuang pada media DG18 berdasarkan metode pengenceran berderet menurut Hocking & Pitt.1980; Pitt et al. 1992). Setiap sampel akan dibuat 2 ulangan, dan setiap faktor pengenceran dibuat di dalam 3 cawan Petri. Kapang diidentifikasi menurut Samson et al. (1996) dan Pitt & Hocking (1997). Populasi A. flavus ditentukan dengan rumus : 1 𝑥𝑥 𝑍𝑍 𝑃𝑃𝑃𝑃 = 𝑋𝑋 𝑥𝑥 𝑌𝑌 PK = populasi A. flavus per gram bobot basah X = volume suspensi kacang tanah di dalam cawan Petri (1 ml) Y = faktor pengenceran yang memberikan koloni kapang terpisah Z = rata-rata jumlah koloni setiap spesies kapang dari 3 cawan Petri Analisis Kadar Aflatoksin dengan TLC Analisis TLC dilakukan di Laboratorium Analisis Pangan SEAMEO BIOTROP Bogor menurut AOAC (1995). Aflatoksin pada sampel diekstrak menggunakan metanol dan dihilangkan lemaknya memakai n-heksan. Pemurnian dilakukan memakai kloroform dan didehidrasi dengan sodium sulfat anhidrat. Standar aflatoksin diperoleh dari SIGMA-Aldrich. Pengamatan di bawah lampu UV dengan panjang gelombang 366 nm.Uji kuantitatif dilakukan dengan membandingkan waktu tambat/retention factor/Rf) antara bercak contoh dengan standar. Hasil pengamatan dicatat pada Form Teknis FT-PP-01-1. Kandungan aflatoksin dihitung sebagai (µg/kg) dengan perhitungan sebagai berikut : 𝑆𝑆 𝑥𝑥 𝑌𝑌 𝑥𝑥 𝑉𝑉 𝑥𝑥 𝑓𝑓𝑓𝑓 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 (µ𝑔𝑔/𝑘𝑘𝑘𝑘) = 𝑊𝑊 𝑥𝑥 𝑍𝑍 S Y Z W V fp 116 = Volume aflatoksin standar (µl) yang memberikan perpendaran setara dengan Z µlcontoh = Konsentrasi aflatoksin standar dalam µg/mL = Volume ekstrak contoh (µl) yang dibutuhkan untuk memberikan perpendaransetara dengan S ul standar aflatoksin = Berat contoh yang diekstrak (g) = Volume pelarut (µl) yang dibutuhkan untuk melarutkan ekstrak contoh = faktor pengenceran PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Persiapan Peralatan dan Hewan Percobaan Mencit dipelihara dalam sangkar bersekat yang terbuat dari kawat. Jumlah mencit yang akan digunakan sebanyak 4 ekor mencit betina dan 4 ekor mencit jantan. dengan berat badan 160-180 gram berumur 2 bulan. Dari jumlah 8 ekor tersebut 2 ekor mencit betina dan 2 ekor mencit untuk perlakuan pemberian pakan berupa kacang tanah yang diperoleh pada pasar tradisional dan sisanya sebagai kontrol tanpa pemberian kacang tanah sebagai pakan. Pemeliharan hewan percobaan dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas Medan Area. Sebelum perlakuan seluruh mencit diadaptasikan selama 3 hari dengan diberi pakan ayam pedaging BR-2 serta diberi air minum ad labium (tidak terbatas). Untuk kontrol hewan uji pemberian pakan ayam BR-2 dilanjutkan sampai akhir perlakuan. Sedangkan untuk perlakuan 2 ekor mecit betina dan 2 ekor mencit jantan dipisahkan dari hewan control ditempatkan dalam kandang terpisah dan diberi ransum sampel kacang tanah yang telah dicacah pada pagi dan sore hari selama 3 bulan. Makanan minuman diberikan sama untuk setiap perlakuan yaitu ad libitum (tidak terbatas). Sampel dan Pembuatan Preparat Patologis Anatomis Sel Hati Mencit Pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan pengambilan organ hati dari sampel mencit. Segera setelah dipindahkan dari tubuh mencit difiksasi dengan formalin 10 % selama 24 jam kemudian dilakukan prosesing jaringan dengan metode parafin dan diulas dengan pengecatan hematoksilin-eosin dan dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x (Suntoro, 1983). Dari sediaan hati akan dilihat struktur histopatologi, kerusakan sel, peradangan, regenerasi dan degenerasi sel-sel hati. Persiapan mikroteknik untuk uji histopatologi dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi, RSUD. Dr. Pirngadi Medan. Pengambilan gambar dan cuci cetak histologi jaringan hati dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Universitas Sumatera Utara. Persyaratan Etik Penelitian akan menggunakan mencit (Mus musculus) sebagai subyek hewan percobaan. Semua perlakuan terhadap hewan tersebut akan dilakukan sesuai dengan persyaratan etik yang telah ada. HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air Biji Kacang Tanah Hasil pengamatan kadar air dan kadar aflatoksin biji kacang tanah yang dijual di pasar tradisional yaitu Pasar Petisah, Pasar Padang Bulan, dan Pasar Sentral diperoleh hasil seperti pada Tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1. Rata-rata kadar air biji kacang tanah yang dijual di Pasar Petisah, Pasar Padang Bulan,dan Pasar Sentral Kota Medan Asal Biji Sampel Kadar air Kacang Tanah Pedagang Biji Kacang Tanah (%) I 6,67 Pasar Petisah II 7,04 III 6,12 I 6,27 Pasar Padang Bulan II 6,66 III 5,39 I 6,32 Pasar Sentral II 6,02 III 6,57 Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar air biji kacang tanah yang dijual pada semua pasar tradisional rata-rata 6% kecuali biji kacang tanah yang pada pedagang II Pasar Petisah memiliki kadar air lebih tinggi yaitu 7,04%. Kadar air biji kacang tanah pascapanen selama penyimpanan akan dipengaruhi oleh kadar kesetimbangan kelembaban ruang penyimpanan. Biji kacang tanah pascapanen yang telah dikeringkan hingga mencapai kadar air biji untuk disimpan dapat mengalami 117 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 perubahan kadar air. Menurut Dharmaputra (2011) pada kelembaban udara 80-85% kadar air biji kacang tanah selama penyimpanan mencapai kesetimbangan menjadi 9-13%. Pada kadar tersebut cendawan yang sering dijumpai adalah Aspergillus halophilicus, Eurotium, spp., A. candidus, A. flavus dan Penicillium spp. Sedangkan Syarif (2011) menyatakan bahwa A. flavus menghasilkan aflatoksin pada aw (water activity) minimum 0,78-0,80 dengan Rh (relative humidity) 85%. Kelembaban lantai dasar pasar tradisional Petisah berkisar antara 85-90% memungkinkan kelembaban biji kacang tanah yang diperdagangkan mencapai kesetimbangan yang memungkinkan tumbuhnya cendawan penghasil mikotoksin. Kadar air yang terlalu rendah pada biji pascapanen selama penyimpanan dapat menyebabkan biji mengkerut atau pecah. Biji yang pecah akan menjadi media yang baik bagi pertumbuhan cencawan (Pitt dan Hocking,1997). Jumlah Koloni Cendawan Aspergillus flavus dan Kadar Aflatoksin Hasil pengamatan koloni cendawan A. flavus pada media aspergillus. flavus parasiticus agar (AFPA) ditandai dengan bagian dasar koloni dibalik cawan Petri berwarna oranye kekuningan setelah 42-48 jam (29 oC) inkubasi. Menurut Pitt & Hocking (1997) timbulnya warna oranye kekuningan pada medium AFPA karena A. flavus menghasilkan asam aspergilat yang bereaksi dengan ferri ammonium sitrat yang terdapat pada medium AFPA. Koloni A. flavus pada biji kacang tanah yang dijual di pasar tradisional Kota Medan setelah 4 hari inkubasi (29 oC) dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini. Gambar 1. Koloni cendawan A. flavus biji kacang tanah 4 hari setelah inkubasi (29 oC) pada media AFPA. a. Koloni cendawan pada biji kacang tanah yang dijual di pasar Petisah pedagang I, b. koloni pada Pasar Petisah pedagang II. c. koloni pada Pasar Sentral pedagang III. Kadar aflatoksin biji kacang tanah yang diperdagangkan di tiga pasar tradisional Kota Medan dapat dilihat seperti pada Tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Jumlah Koloni Cendawan Aspergillus flavus dan Kadar Aflatoksin Biji Kacang Tanah yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Medan Faktor Asal Biji Sampel Jlh. Koloni Pengenceran Kadar Aflatoksin (ppb) Kacang Tanah Pedagang A. flavus (cfu/ml) B1 B2 G1 G2 I 5,50 10-2 14,05 <2 <1 <2 Pasar Petisah II 260 10-2 23,41 11,53 <1 <2 III 1,00 10-2 <1 <2 <1 <2 I 1,00 10-2 <1 <2 <1 <2 Pasar Padang Bulan II 2,00 10-3 <1 <2 <1 <2 III 0,70 10-1 <1 <2 <1 <2 -2 I 0,83 10 <1 <2 <1 <2 Pasar Sentral II 4,50 10-1 <1 <2 <1 <2 III 0,83 10-1 84,30 23,07 <1 <2 Keterangan :Limit deteksi aflatoksin B1 = 1 ppb; aflatoksin B2 = 1 ppb; aflatoksin B2 dan G2 = 2 ppb 118 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 2 menunjukkan jumlah koloni cendawan A. flavus tertinggi pada pedagang II di Pasar Petisah (Gambar 2b) yaitu 260 koloni diikuti oleh pedagang I masih di Pasar Petisah (Gambar 2a) yaitu 5,50 koloni dan pedagang II di Pasar Sentral (Tabel 1 dan Gambar 4b) yaitu 4,50 koloni.Kadar aflatoksin tidak behubungan dengan jumlah koloni cendawan. Biji kacang tanah yang dijual pada pedagang III di Pasar Sentral memiliki jumlah koloni A. flavus 0,83 namun mengandung aflatoksin B1 dan B2 tertinggi yaitu 84,30 ppb dan 23,07 ppb. Standar kadar aflatoksin pada kacang tanah yang diizinkan untuk ekspor dari Negara Indonesia adalah 15 ppb (Codex Alimentarius Comission E, 2013). Rata-rata suhu ruangan tempat penjualan biji kacang tanah di pasar tradisional adalah berkisar antara 28-31oC. Menurut Pitt & Hocking (1977) A. flavus memproduksi aflatoksin pada kisaran suhu 13-37 oC. Cendawan ini menghasilkan aflatoksin B1 dan B2, sedangkan aflatoksin G1 dan G2 dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus. Cendawan terakhir ini tidak terdapat di iklim tropis sehingga aflatoksin G1 dan G2 tidak dijumpai pada kacang tanah yang diteliti. Gambar2. Koloni A. flavus (warna oranye) pada kacang tanah yang dijual pedagang di Pasar Petisah. a. Pedagang I, b. Pedagang II, dan c. Pedagang III. Koloni berumur 4 hari, 29oC pada media AFPA. Gambar 3. Koloni A. flavus (warna oranye) pada kacang tanah yang dijual pedagang di Pasar Padang Bulan. a. Pedagang I, b. Pedagang II, dan c. Pedagang III. Koloni berumur 4 hari 29oC pada media AFPA. 119 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Gambar 4. Medan, 15 Februari 2014 Koloni A. flavus (warna oranye) pada kacang tanah yang dijual pedagang di Pasar Sentral. a. Pedagang I, b. Pedagang II, dan c. Pedagang III. Koloni berumur 4 hari 29oC pada media AFPA. Efek Biji Kacang Tanah yang Mengandung Aflatoksin terhadap Histologi Sel Hati Mencit Histologi sel hati pada preparat kontrol tidak menujukkan perubahan. Hepatosit tersususun dalam lempengan dengan pola radial yang terpusat pada vena sentralis. Hepatosit normal berbentuk polihedral yang terbatas jelas, inti terletak ditengah. Pada preparat terlihat adanya arteria hepatika. Pada mencit yang diberi ransum pada sel hatinya menunjukan perubahan histologinya. Gambar 5. Histolopatologi sel hati mencit tanpa perlakuan pemberian pakan kacang tanah (perbesaran 10x) Berdasar penelitian Anuja (2010) penelitian yang dilakukan terhadap mencit yang diberi ransum yang mengandung aflatoksin struktur sel hati menunjukkan degenerasi sel, karsinoma hepatoseluler dengan pola trabekuler, infiltrasi limfosit dan sel Kupffer, fokal nekrosis. Histopatologi mencit betina perlakuan dengan pemberian pakan kacang tanah yang mengandung aflatoksin menunjukkan kerusakan pada sel-sel parenkim yang ditunjukkan dengan batasan-batasan membran sel yang menyatu dengan gambaran nukleus yang membesar seperti pada Gambar 6 berikut ini. 120 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 b a A B Gambar 6. A. Histopatologi mencit betina (perbesaran 10x) B. Gambar yang sama pada perbesaran 100x .a. pembuluh limfa. b. sel parenkim dan nukleus yang mengalami kerusakan Efek aflatoksin kacang tanah terhadap histopatologi terhadap mencit jantan dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini. Gambar 7. Efek pemberian kacang tanah yang mengandung aflatoksin terhadap histopatologi mencit jantan (perbesaran 100x) SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air tertinggi terdapat pada pedagang II pasar Petisah yaitu 7.04. Jumlah koloni A. flavus terbanyak pada pedagang II pasar Petisah yaitu 260 koloni. Jumlah kadar aflatoksin terbanyak dijumpai pada kacang tanah yang dijual oleh pedagang III di pasar Sentral yaitu sebesar 84.3 ppb dengan jenis aflatoksin B1. Hasil uji aflatoksin terhadap sel hati mencit selama 3 bulan menyebabkan perubahan atau kerusakan pada histopatologi sel hati. DAFTAR PUSTAKA (AOAC) Association of Official Analytical Chemist. 1995. Natural toxins. Di dalam :Scott E. (ed) Official Method of Analysis of Natural Poisons. Ed ke-16 Arlington : AOAC. hlm. 8-10. (AOAC) Association of Official Analytical Chemist. 2000. Nuts and nut products. Di dalam Horwitz W (ed) Official Methods of Analysis of Food Composition :Additives : Natural Contaminants. Ed. 17.Vol. 2 Bab 40.Gaithersburg : AOAC. Bahri, S., R. Maryam, R. Widiastuti.2005.Cemaran Aflatoksin Pada Bahan Makanan dan Pakan di Beberapa Daerah Propinsi Lampung Dan Jawa Timur. JITV 10 (3): 236-241. Betina. V. 1989. Mycotoxins, Chemical, Biological and Environmental Aspects.Elsevier.Amsterdam. 121 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Bintivok, A. S., S. Thiengnin, K. DOI and S. Kumagi. 2002. Residue of Aflatoksin in Liver, Muscle and Eggs of Domestic Fowls. J. Vet. Med. Sci64 (11): 1037-1039. Codex Alimentarius Comission E, 2013. Food and Agricultural Organization, World Heath Organization, Viale Delle, Rome, Italy. Colagulin, F.; H.Husyein Domez. 2012. Effects of Afflatoksin on Liver and Protective Dharmaputra.OS. 2000.Mycotoxins in Indonesian Foods and Feeds. National Seminar, Current Issues on Food Safety and Risk Assesment. November 7-28. Jakarta. Indonesia. Dharmaputra.OS. 2003.Isolasi dan Identifikasi Cendawan Perusak Pascapanen. Pelatihan Mikrobiologi Dosen Perguruan Tinggi Negeri Se-Sumatera. Bogor,IPB. 28 Juli-7 Agustus. Dharmaputra, O.S. 2011. Spoilage fungi, their prevention and control in food and feedstuff. Regional Training Course on Prevention and Control of Mycotoxins in Food and Feedstuff. SEAMEOBIOTROP, Bogor, Indonesia, 22-26 November 2011. Harris. C.C. 1991. Chemical and physical carcinogenesis : Perspectives for the 1990’s. Cancer Research (Supplement). 51:5023-5044. Hocking. AD, Pitt JI. 1980. Dichloran-glycerol medium for enumeration of xerophilic fungi from low-moisture foods. Appl Environ Microbiol 39: 448-492. Irianto,Y, R. 1983. Tinjauan effek Biokimiawi dan Effek Biologis Aflatoksin. Skripsi Fakultas kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Jay, J.M, S. 2000. Modern Food Microbiology. 6rd ed. New York. Champan and Hall Kozakiewicz. Z. 1996. Occurrence and significance of storage fungi & associated mycotoxins in rice and cereal grains. In. Mycotoxin Contamination in Grains. ACIAR, Canberra. Lilieanny. Dharmaputra. OS. & Asmarina Setyaningsih Rahayu Putri. 2005. Populasi kapang pascapanen & kandungan aflatoksin pada produk olahankacang tanah. Jurnal Mikrobiologi Indonesia. Vol. 10 no. 1:17-20. Maritha, I. Supranowo, D. Lyrawati. 2006. Expression of Cytosolic Aspartate-Specific Cysteine Protease -3 (Caspase-3) in the Liver Tissue of Rattus norvegicus (Wistar) Following Subchronic Administrator of flatoxin-B1 (AFB1). Miller.JD. 1994. Fungi & mycotoxin in grain : Implication for stored product research. Procc.of the Product Protection vol. 2:971-977. 6th International Working Conference on Stored Canberra. Australia. Pitt. JI. Hocking AD. Samson RA. King AD. 1992. Recommended methods for mycological examination of foods. Di dalam : Samson RA, Hocking AD, Pitt. JI, King AD (ed) Modern Methods in Food Mycology. Amsterdam : Elsevier. hlm.365-368. Pitt. JI.Hocking AD. 1996. Current knowledge of fungi and mycotoxins ssociated with food commodities in Southeast Asia. Di dalam : Highley E. Johnson GI(ed). Mycotoxin Contamination on Grains. The 17th ASEAN Technical Seminaron Grain Postharvest Technology : Lumut, 25-27 July 1995. Canberra : Australian Centre for International Agricultural Research. hlm. 5-10. Pitt. JI.Hocking AD. 1997. Fungi and Food Spoilage. Blackie Academic and Professional.London. Syarif, R. and Hasriani, 2011.Regulation and level mycotoxin contamination around the world.Regional Training Course on Prevention and Control of Mycotoxins in Food and Feedstuff. SEAMEO-BIOTROP, Bogor, Indonesia, 22-26 November 2011. Samson. RA., Hoekstra ES, Van Oorschot CAN. 1996. Introduction to Food-borneFungi. Ed. Ke2.Baarn : Centraal bureau Voor Schimmel cultures. Suntoro, S.H. 1983. Metode Pewarnaan. Histologi dan Histokimia.Penerbit Bhratara Karya Aksara Jakarta. Yanwirasti. 2006. Kontribusi peroksidasi lipid terhadap kerusakan sel hati tikus putih akibat keracunan Aflatoksin B1. Jurnal Anatomi Indonesia. Fakultas kedokteran Universitas Andalas Padang.Volume 02 no. 02 Desember 2006. 122 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 PEMANFAATAN TEPUNG KULIT BUAH PEPAYA (Carica papaya) DALAM RANSUM TERHADAP PRODUKSI TELUR PADA PUYUH (Cortunix-cortunix japonica) (Utilization of Papaya Fruit Peel on diet at quail (Cortunix-cortunix japonica) egg production) Sri Setyaningrum dan Dini Julia Sari Siregar Fakultas Pertanian, Universitas Pembangunan Panca Budi Medan e-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh penggunaan tepung kulit buah pepaya (Carica papaya) dalam ransum terhadap produksi telur pada puyuh (Cortunix-cortunix japonica). Materi yang digunakan adalah 120 ekor puyuh betina umur 6 minggu. Perlakuan yang diberikan sebagai berikut: T0 : ransum kontrol (tanpa menggunakan tepung kulit buah pepaya), T1 : ransum dengan menggunakan 2% tepung kulit buah pepaya, T2 : ransum dengan menggunakan 4% tepung kulit buah pepaya, T3 : ransum dengan menggunakan 6% tepung kulit buah pepaya, T4 : ransum dengan menggunakan 8% tepung kulit buah pepaya dan T5 : ransum dengan menggunakan 10% tepung kulit buah pepaya. Ransum perlakuan disusun dengan Energi Metabolis (EM) 2900 kkal/kg dan protein 20%. Rancangan penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) 6 perlakuan dan 4 ulangan. Parameter penelitian adalah konsumsi ransum, produksi telur, berat telur dan konversi ransum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan tepung kulit buah pepaya sebanyak 0% (T0), 2% (T1), 4% (T2), 6% (T3), 8% (T4) dan 10% (T5) berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap produksi telur, berat telur dan konversi ransum namun tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap konsumsi ransum. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah pemanfaatan tepung kulit buah pepaya sebesar 6% sampai 10% dalam ransum memberikan hasil yang terbaik terhadap produksi telur, berat telur dan konversi ransum . Kata kunci: berat telur, konsumsi ransum, konversi ransum, produksi telur, tepung kulit buah pepaya PENDAHULUAN Pengembangan usaha peternakan puyuh saat ini mengalami peningkatan yang sangat pesat. Hal ini didukung oleh meningkatnya daya beli masyarakat akan telur puyuh. Telur puyuh banyak disukai oleh masyarakat karena memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dan lemak yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan telur ayam ras yaitu protein 13,10% dan lemak 11,10% (Wuryadi, 2011). Salah satu jenis puyuh yang banyak dikembangkan oleh peternak adalah puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica). Kelebihan puyuh ini yaitu pertumbuhannya cepat dengan masa dewasa kelamin umur 41 hari dan mampu menghasilkan produksi telur 250-300 butir per tahun (Listiyowati dan Roospitasari, 2009). Selama ini usaha pemeliharaan puyuh sudah dilakukan secara intensif, namun pola pemeliharaan ini memiliki kendala yaitu tingginya harga bahan pakan penyusun ransum. Hal ini disebabkan, sebagian besar bahan pakan penyusun ransum terutama bahan pakan sumber protein masih mengandalkan impor. Alternatif penggunaan bahan pakan lokal yang berasal dari limbah pertanian merupakan solusi untuk mendapatkan bahan pakan yang murah dan mudah didapatkan oleh peternak. Salah satu limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan sumber protein adalah kulit buah pepaya. Kulit buah pepaya merupakan bagian terluar dari buah pepaya yang jumlahnya sekitar 30% dari satu buah pepaya dan memiliki kandungan nutrisi yang hampir sama dengan buah pepaya. Kulit buah pepaya mempunyai kandungan protein kasar 25,58%, serat kasar 18,52%, lemak kasar 8,87%, kalsium (Ca) 2,39%, fospor (P) 0,88%, abu 8,52% dan Fe 0,385% (Silalahi dan Sinaga, 2010). Selain itu kulit buah pepaya juga mengandung enzim papain yang merupakan salah satu enzim proteolitik. Enzim papain sangat berperan dalam pengaturan asam amino dalam tubuh, sehingga ketersediaannya di dalam tubuh meningkat. Peningkatan asam amino sangat penting terhadap kecepatan laju metabolisme protein untuk proses produksi telur (Suthama, 2005). 123 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Namun penggunaan kulit buah pepaya sebagai ransum puyuh memiliki kelemahan yaitu mudah busuk, sehingga perlu diolah menjadi tepung untuk meningkatkan masa simpannya. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Setyaningrum dan Siregar (2013) menunjukkan bahwa penggunaan tepung kulit buah pepaya (TKBP) sampai 10% dapat digunakan dalam ransum puyuh periode pertumbuhan tanpa memberikan efek negatif. Berdasarkan hal tersebut maka kulit buah pepaya berpotensi sebagai bahan pakan untuk puyuh. Selama ini penelitian tentang penggunaan kulit buah pepaya sebagai ransum unggas periode produksi masih jarang dilakukan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana penggunaan tepung kulit buah pepaya (Carica papaya) dalam ransum terhadap produksi telur pada puyuh (Cortunix-cortunix japonica). BAHAN DAN METODE Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah 120 ekor puyuh betina umur 6 minggu. Perlakuan yang diberikan adalah T0 : ransum kontrol (tanpa menggunakan TKBP); T1 : ransum dengan menggunakan 2% TKBP; T2 : ransum dengan menggunakan 4% TKBP; T3 : ransum dengan menggunakan 6% TKBP; T4 : ransum dengan menggunakan 8% TKBP dan T5 : ransum dengan menggunakan 10% TKBP. Ransum penelitian disusun dengan Energi Metabolis (EM) 2900 kkal/kg dan protein kasar 20%, secara rinci komposisi dan kadar nutrisinya disajikan pada Tabel 1. Pembuatan tepung kulit buah pepaya (TKBP) dimulai dengan pengambilan bahan baku berupa limbah kulit buah pepaya dari pasar Kota Medan dan Pasar Kota Binjai, selanjutnya limbah kulit buah pepaya dicuci sampai bersih, dicacah dengan ukuran 2-3 cm dan dikeringkan di bawah sinar matahari selama 3-4 hari. Kulit buah pepaya yang sudah kering selanjutnya di giling hingga menjadi tepung kulit buah pepaya. Ransum perlakuan diberikan mulai puyuh berumur 6-12 minggu. Variabel yang diamati meliputi: konsumsi ransum, produksi telur, berat telur dan konversi ransum. Rancangan Acak Lengkap (RAL) digunakan pada penelitian ini dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Lima ekor puyuh betina digunakan disetiap ulangan. Data dianalisis dengan analisis ragam dilanjutkan dengan uji beda wilayah ganda Duncan (Steel dan Torrie, 1991). Tabel 1. Komposisi Ransum Penelitian Periode Layer Bahan Perlakuan Pakan/Nutrien T0 T1 T2 Jagung 25,00 24,20 24,00 Dedak 19,70 19,60 19,00 Bungkil Kelapa 17,40 17,60 17,50 Bungkil 21,50 21,30 21,40 Kedelai Tepung Ikan 11,40 10,30 9,10 Tepung Kulit 0,00 2,00 4,00 Buah Pepaya Mineral 5,00 5,00 5,00 Jumlah 100,00 100,00 100,00 ME (kkal/kg) 2901,21 2901,07 2902,44 PK (%) 20,06 20,01 20,00 SK (%) 6,64 6,98 7,25 LK (%) 6,90 7,00 7,04 Ca (%) 3,16 3,15 3,13 P (%) 0,55 0,54 0,52 T3 23,00 19,00 17,60 21,40 T4 22,50 19,10 17,00 21,50 T5 21,70 19,00 17,00 21,60 8,00 6,00 6,90 8,00 5,70 10,00 5,00 100,00 2901,69 20,02 7,25 7,04 3,12 0,52 5,00 100,00 2901,51 20,00 7,83 7,20 3,10 0,49 5,00 100,00 2902,46 20,02 8,15 7,29 3,08 0,47 HASIL DAN PEMBAHASAN Rerata konsumsi ransum, produksi telur, berat telur dan konversi ransum disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan tepung kulit buah pepaya dalam ransum puyuh sampai taraf 10% berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap produksi telur, konversi ransum dan berat telur namun tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap konsumsi ransum. 124 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 2. Rerata Konsumsi Ransum, Produksi Telur, Berat Telur dan Konversi Ransum Parameter Perlakuan Rerata T0 T1 T2 T3 T4 T5 Konsumsi 27,85 27,80 27,78 27,77 27,76 27,70 27,78 ransum (g) Produksi telur 54,58b 54,92b 55,24b 69,75a 68,34a 67,85a 61,78 (%) Berat telur (g) 8,74b 9,08b 9,10b 10,18a 9,79a 9,78a 9,44 b b b a a Konversi 5,84 5,59 5,55 3,94 4,17 4,18a 4,88 ransum Keterangan : * Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Konsumsi Ransum Rerata konsumsi ransum hasil penelitian adalah 27,78 g disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tepung kulit buah pepaya tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap konsumsi ransum. Hal ini sejalan dengan hasil konsumsi ransum puyuh periode pertumbuhan yang menunjukkan hasil tidak berbeda pula. Hasil konsumsi ransum periode layer yang tidak berbeda ini disebabkan, penggunaan tepung kulit buah pepaya dalam ransum tidak merubah kandungan nutrisi ransum antar perlakuan sehingga konsumsi antar perlakuan pun menjadi tidak berbeda. Selain itu penggunaan tepung kulit buah pepaya sampai 10% dalam ransum memberikan palatabilitas yang relatif sama sehingga palatabilitas ransum antar perlakuan pun menjadi sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Anggorodi (1995) yang menyatakan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, palatabilitas ransum, kesehatan ternak, jenis ternak, energi ransum dan tingkat produksi. Produksi Telur Data rerata produksi telur selama penelitian adalah 61,78% disajikan pada Tabel 2. Perlakuan TKBP 6% (T3), 8% (T4) dan 10% (T5) secara nyata memberikan hasil yang lebih tinggi terhadap produksi telur (p<0,05) dibandingkan perlakuan TKBP 0% (T0), 2% (T1) dan 4% (T2). Penggunaan TKBP sebanyak 0% (T0), 2% (T1) dan 4% (T2) memberikan hasil yang sama terhadap produksi telur. Hal ini sejalan dengan penelitian Paramita et al. (2001), penggunaan tepung daun buah pepaya sampai 2% juga belum mampu memberikan hasil yang berbeda terhadap produksi telur ayam buras apabila dibandingkan dengan kontrol. Menurut Widhyarty (2002), penambahan tepung daun pepaya hingga 5% tidak memberikan efek yang negatif terhadap performans itik. Perlakuan penggunaan TKBP 6% memberikan hasil yang lebih baik apabila dibandingkan dengan T0, T1 dan T2 tetapi tidak berbeda nyata terhadap T4 dan T5. Hal ini dimungkinkan penggunaan TKBP sebanyak 6% sampai 10% memberikan ketersediaan protein yang lebih baik untuk pemenuhan kebutuhan dalam memproduksi satu butir telur. Ketersediaan protein yang lebih baik ini disebabkan tepung kulit buah pepaya banyak mengandung enzim papain yang mampu meningkatkan efisiensi proses pencernaan dan penyerapan protein oleh saluran pencernaan (Kamaruddin dan Salim, 2006). Penggunaan tepung kulit buah pepaya sebanyak 6% sampai 10% dimungkinkan mampu meningkatkan kinerja enzim papain dalam proses pengaturan asam amino sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan daya cerna protein ransum sehingga ransum lebih efisien diserap untuk proses produksi telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Suthama (2005), meningkatnya ketersediaan asam amino sangat penting terhadap kecepatan laju metabolisme protein untuk proses produksi. Berat Telur Rerata berat telur selama penelitian adalah 9,44 g ditunjukkan pada Tabel 2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan T3, T4 dan T5 memberikan hasil yang nyata lebih tinggi (p>0,05) dibandingkan dengan perlakuan T0, T1 dan T2. Berat telur yang tidak berbeda pada perlakuan T0, T1 dan T2 disebabkan karena konsumsi ransum antar perlakuan tersebut tidak berbeda, sehingga berat telur menjadi tidak berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Sartika et al., (2001), berat telur sangat dipengaruhi oleh faktor umur, dewasa kelamin, jumlah ransum yang diberikan dan genetik. Menurut Miller dan Reynnells (2003), berat telur sangat dipengaruhi total telur yang ditelurkan selama periode bertelur, temperatur, tipe kandang, ketersediaan ransum dan air minum, bobot puyuh, konsumsi 125 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 ransum dan konsumsi asam linoleat. Rendahnya berat telur pada perlakuan T0, T1 dan T2 dimungkinkan akibat tidak sempurnanya penyerapan protein ransum sehingga asam amino dalam ransum rendah dan memperkecil berat telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Leeson dan Summers (1991), protein ransum yang rendah dan tidak mencukupi kebutuhan akan berpengaruh terhadap rendahnya asam amino dalam ransum yang berakibat pada lambatnya dewasa kelamin dan kecilnya ukuran telur. Berat telur yang lebih tinggi pada perlakuan T3, T4 dan T5 sejalan dengan data produksi telur yang lebih tinggi pula. Hal ini dimungkinkan ketersediaan protein dan asam amino pada perlakuan tersebut sudah mampu mencukupi kebutuhan untuk membentuk sebutir telur. Hal ini sejalan dengan pendapat Wahju (2004), faktor yang sangat berperan dalam mempengaruhi besarnya telur adalah protein dan asam amino yang cukup didalam ransum, serta vitamin dan mineral. Kandungan enzim papain dalam TKBP yang ditambahkan dalam ransum sebanyak 6% sampai 10% mampu meningkatkan penyerapan energi maupun protein ransum, sehingga terjadi keseimbangan energi dan protein ransum yang akhirnya berpengaruh terhadap berat telur. Hal ini senada dengan Roland et al, (1978), ukuran bobot telur antara lain sangat dipengaruhi oleh keseimbangan energi dan protein ransum. Konversi Ransum Data rerata konversi ransum selama penelitian adalah 4,88 disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan T3, T4 dan T5 memberikan hasil yang nyata lebih rendah (p>0,05) apabila dibandingkan dengan perlakuan T0, T1 dan T2. Lebih rendahnya nilai konversi ransum pada perlakuan T3, T4 dan T5 menunjukkan bahwa ransum tersebut sangat efisien digunakan untuk produksi telur. Hal ini didukung pula dari data produksi telur dan berat telur hasil penelitian yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan T0, T1 dan T2. Konversi ransum merupakan hasil dari pencerminan jumlah ransum yang dikonsumsi dengan jumlah produksi telur dan berat telur (Amrullah, 2003). Lebih lanjut dijelaskan bahwa semakin rendahnya nilai konversi ransum menunjukkan bahwa ransum sangat efisien untuk digunakan dalam produksi telur. SIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah pemanfaatan tepung kulit buah pepaya sebesar 6% sampai 10% dalam ransum memberikan hasil yang terbaik terhadap produksi telur, berat telur dan konversi ransum. DAFTAR PUSTAKA Anggorodi, H. R. 1995. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: Gramedia. Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Bogor: Lembaga Satu Gunungbudi. Kamaruddin, M. dan Salim. 2006. Pengaruh pemberian air perasan daun pepaya pada ayam : respon patofisilogik hepar. J. Sain Vet. : 37 – 43. Leeson, S., L.J. Caston dan O.J. Summers. 1991. Significance of physiological age of Leghorn pullets in terms of subsequent reproductive characteristics and economic analysis. Native Chicken Science. 70: 37-43. Listiyowati, E. dan K. Roospitasari. 2009. Beternak Puyuh Secara Komersial. Jakarta: Penebar Swadaya. Miller, L. and R. Reynnells. 2003. Biophysical Models for Poultry Production Systems. www.lgu.umd.edu. Paramita. W., Setyono. H., Nurhayati. T dan Lamid. M. 2003. Prospek Pemanfaatan Daun Pepaya Untuk Meningkatkan Produksi telur dan Konsumsi Pakan Pada Ayam Buras. J. Penelitian Medika Eksata. 2 : 10 – 16. Rolland, Sr., D.A., C.E. Putnam, and R.L. Hillburn. 1978. The relationship of age on ability of hens to maintain egg shell calcification when stressed with inadequate dietary calcium. Poultry Sci. 57 : 1616-1621. Sartika, T., B. Gunawan dan Murtiyeni. 2001. Seleksi generasi kedua untuk mengurangi sifat mengeram dan meningkatkan produksi telur pada ayam lokal. Kumpulan hasil-hasil penelitian peternakan APBN Tahun Anggaran 1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Balitnak, Bogor. 126 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Silalahi, M. dan S. Sinaga. 2010. Pengaruh pemberian tepung kulit buah pepaya (Carica papaya) dalam ransum babi periode finisher terhadap presentase karkas, tebal lemak punggung dan luas urat daging mata rusuk. Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner, pp 680-685. Setyaningrum, S. dan D. J. S. Siregar. 2013. Pemanfaatan Tepung Kulit Buah Pepaya (Carica papaya) dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Telur pada Puyuh (Cortunixcortunix japonica). Laporan Akhir Hibah Dosen Pemula. Universitas Pembangunan Panca Budi, Medan. Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta: Gedia Pustaka Utama. (Diterjemahkan oleh B. Sumantri). Suthama, N. 2005. Respon produksi ayam kampong petelur terhadap ransum memakai dedak padi fermentasi dengan suplementasi sumber mineral. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. Special Edition Book. 2 : 61-67. Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wuryadi, S. 2011. Sukses Beternak Puyuh. Jakarta: Agromedia Pustaka. 127 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 GAMBARAN KUALITAS DAN KUANTITAS SPERMA TIKUS (Rattus sp.) SETELAH PEMBERIAN PLUMBUM ASETAT Thomson P.Nadapdap1, Delfi Lutan2, Arsyad3, Syafruddin Ilyas4 1 Mahasiswa S3 FK USU/Staf Pengajar Fak.Kedokterana Univ. Methodist Indonesia, 2Guru Besar Tetap Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, FK USU-Medan, 2Guru Besar Tetap Ilmu Biologi Kedokteran, FK UNSRI-Palembang; 3Guru Besar Tetap Biologi Molekuler FMIPA-USU-Medan ABSTRAK Plumbum merupakan logam berat yang dapat mencemari lingkungan dan bisa jadi menimbulkan polusi sehingga menyebabkan terganggunya kesehatan tubuh seperti kualitas dan kuantitas sperma. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 2 kelompok, yakni kontrol dan perlakuan. Kelompok kontrol adalah tanpa Pb-asetat dan kelompok perlakuan adalah pencekokan Pb-asetat selama 2 minggu pada tikus putih. Pengamatan parameter dengan menghitung persentase motilitas, viabilitas dan morfologi sperma tikus serta jumlah sperma (kuantitas) tikus. Hasil menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara kelompok kontrol dengan perlakuan pada semua parameter uji (persentase motilitas, viabilitas dan morfologi sperma tikus serta jumlah sperma/ kuantitas sperma). Disimpulkan bahwa Pb-asetat adalah bahan pencemar yang dapat menyebabkan gangguan terhadap kualitas dan kuantitas sperma. Kata kunci: Pb-asetat, testis, kualitas sperma, kuantitas sperma. PENDAHULUAN Polusi Plumbum (Pb) telah menjadi persoalan kesehatan masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang, seperti Asia, Afrika dan Amerika Latin. Pembakaran bahan bakar minyak kendaraan bermotor menjadi sumber terbesar Pb yang mengkontaminasi atmosfer. Hampir 100 negara, terutama negara berkembang masih menggunakan Pb dalam bahan bakar kendaraannya. Eropa, Jepang, Mexico dan Amerika Serikat telah membuktikan bahwa penghapusan Pb dari bahan bakar kendaraan merupakan cara paling efektif mengurangi polusi logam ini (Tong et al,2003). Setiap unsur dalam komponen polutan udara berpeluang merugikan kesehatan organisma. Timbal (Pb) sebagai salah satu komponen polutan udara mempunyai efek toksis yang luas pada manusia dan hewan karena mengganggu fungsi saluran ginjal, saluran pencernaan, sistem saraf pada remaja, menurunkan fertilitas, menurunkan jumlah spermatozoa, dan meningkatkan spermatozoa abnormal dan aborsi spontan (Astuti, 2002). Reactive oxygen species (ROS) dapat bereaksi dan menyebabkan kerusakan pada banyak molekul di dalam sel. Fosfolipid yang menjadi unsur utama dalam membran plasma dan membran organel sel seringkali menjadi subjek dari peroksida lipid. Peroksida lipid adalah suatu reaksi rantai radikal bebas yang diawali dengan terbebasnya hydrogen dari suatu asam lemak tak jenuh ganda oleh radikal bebas. Radikal lipid yang terbentuk akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksil-lipid dan lipid peroksida serta malondialdehyde (MDA) yang larut dalam air dan dapat dideteksi dalam darah. Konsekuensi penting dari peroksidasi lipid adalah meningkatnya permiabilitas membran dan mengganggu distrubisi ion-ion yang mengakibatkan kerusakan fungsi sel dalam organel (Devlin, 2002). Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan molekul-molekul dalam sel. Molekul lipid yang mengalami stres oksidatif akan mengalami auto-oksidasi atau yang lebih dikenal dengan peroksidasi lipid. Protein yang mengalami oksidasi menjadi tidak berfungsi dan DNA yang teroksidasi menjadi mutagen, karsinogen atau menyebabkan kematian sel (Ercal et al, 2001). Perlakuan pemberian Pb organik pada pemeriksaan patologi testis tikus putih menunjukkan perubahan yang menyolok pada struktur tubulus seminiferus dangan adanya reduksi diameter, pelepasan lapisan germinal hiposeluler dari membran basalis, gangguan proses spermatogenesis, cedera pada spermatosit dan spermatid disertai udem dari tingkat ringan sampai berat (Hariono, 2006). 128 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 METODE Penelitian ini menggunakan 30 ekor tikus putih berusia 8-11 denga berat badan 150-250g. Penelitian berupa eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 2 kelompok, yakni: (1) kontrol dan perlakuan = tanpa Pb-asetat selama 2 minggu, (2) kelompok perlakuan adalah pencekokan Pb-asetat selama 2 minggu. Pengamatan parameter dilakukan dengan menghitung (a) persentase motilitas (Moeloek, 2001), (b) viabilitas (WHO, 1999) dan (c) morfologi sperma tikus serta (d) jumlah sperma (kuantitas) tikus (Zaneveld and Polakoski, 1977). HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil dari pengukuran parameter uji yang dilakukan serta hasil analisis data yang didapat, maka keempat parameter tersebut (persentase motilitas, viabilitas, morfologi serta, jumlah sperma tikus) berbeda signifikan jika dibandingkan antara kontrol dan perlakuan (p<0,05). (a) Persentase motilitas sperma tikus Gambar 1. Rata-rata motilitas sperma pada kelompok kontrol dan perlakuan (Pb). **=p<0,01 (b) Viabilitas sperma tikus (c) Morfologi sperma tikus Gambar 3. Rata-rata morfologi sperma pada kelompok kontrol dan perlakuan (Pb). (A) sperma normal, (B) sperma abnormal)**=p<0,01 129 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 (d) Kualitas sperma (Jumlah sperma) Gambar 4. Rata-rata jumlah sperma pada kelompok kontrol dan perlakuan (Pb). **=p<0,01 Pada motilitas sperma tikus terlihat berbeda signifikan (p<0,05). Kemungkinan pemberian pada Pb pada tikus menyebabkan gangguan pada tingkat spermatogenesis khususnya pembentukan mitokondria sperma. Mitokondria sperma berguna untuk memberikan energi bagi sperma untuk dapat bergerak lurus kedepan dengan cepat. Hasil penelitian WHO (2007) menunjukkan bahwa, plumbum dapat berinteraksi dengan kelompok-kelompok donor elektron biologis, seperti kelompok sulfhidril, sehingga banyak mengganggu proses enzimatik di dalam sel. Plumbum juga berinteraksi dengan kation penting, seperti terutama kalsium, zat besi, dan seng, dan dapat mengganggu pompa Na+/K+ATP yang mengubah seluler dan membran mitokondria, sehingga meningkatkan kerapuhan seluler. Selain itu, Pb dapat menghambat pirimidin-5'-nucleotidase dan mengubah fungsi nukleotida lainnya. Plumbum mengganggu banyak sistem enzim dalam tubuh, sehingga mempengaruhi fungsi hampir setiap organ. Plumbum secara nyata menekan jumlah sperma, motilitas sperma, morfologi normal sperma, dan viabilitas sperma. Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa plumbun dapat berpengaruh negatif terhadap kuantitas (jumlah) dan kualitas sperma (motilitas, morfologi, dan viabilitas). Kemungkinan disebabkan oleh karena Pb merupakan logam berat yang sifatnya toksik bagi tubuh organisme. Sifat tersebut menimbulkan ROS (Reactive Oxygene Species) yang menyebabkan terjadinya radikal bebas (stres oksidatif). Jika radikal bebas banyak dapat mengganggu struktur sel mulai dari membran sel sampai ke dalam inti sel. Pandya et al., (2012) telah dilaporkan adanya kemungkinan keterlibatan Pb dalam menginduksi stres oksidatif sehingga menekan proses steroidogenesis (proses pembentukan steroid). Status oksidatif testis tikus jantan dewasa yang terpapar Pb asetat dengan dosis 0,025 mg/kg berat badan secara intraperitoneal selama 15 hari mengalami peningkatan reaktif oksigen spesies (ROS) dan peningkatan malondialdehid testis (MDA) serta penurunan aktivitas enzim antioksidan superoxide dismutase (SOD) testis, katalase, glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PDH) dan glutathione-S-transferase (GST) pada mitokondria dan/atau pasca-mitokondria. Kegiatan enzim steroidogenik 3β dan 17β-hidroksisteroid dehidrogenase juga menurun secara signifikan sehingga menyebabkan perubahan produksi testosteron. Kelompok yang terpapar logam menunjukkan penurunan signifikan testis dan sperma epididimis. Motilitas sperma epididimis dan viabilitas juga mengalami penurunan pada pemaparan Pb. Pengaruh pemberian Pb terhadap penurunan kuantitas dan kualitas sperm dapat juga melalui efeknya terhadap poros hipotalamus-hipofisis-testis. Gangguan terhadap hipotalamus menyebabkan produksi LHRH atau FSHRH berkurang atau menurun. Sehingga menekan pengaruhnya terhadap kerja hipofisis dan menyebabkan produksi LH dan FSH tidak dapat dipenuhi. LH menurun menyebabkan aktifitas sel Leydig menurun sehingga testosteron intratestikular berkurang yang mengakibatkan terjadinya gangguan spermatogenesis. Rendahnya FSH dapat menyebabkan berkurangnya ABP (Androgen Binding Protein) sehingga tidak banyak yang dapat mengikat testosterone dalam tubulus seminiferus testis. Hal ini menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel germinal. Sperma yang terbentuk tidak normal (abnormal) dan dapat juga mengurangi sperma yang dapat hidup (viabilitas sperma berkurang). Akhirnya jumlah sperma yang diproduksi di testis jaga akan menjadi berkurang jumlahnya. Sharma and Umesh (2011), menyatakan bahwa efek reproduksi Pb sangat kompleks dan tampaknya melibatkan beberapa jalur, tidak semua 130 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 sepenuhnya dipahami. Disfungsi reproduksi akibat Pb memperlihatkan perubahan morfologi yang berbeda, menurunkan kualitas sperma dan mengubah morfologi sperma. Penyelidikan efek kronis Pb asetat pada perkembangan sistem reproduksi tikus albino Swiss menunjukkan paparan timbal menekan aksis hipotalamus-hipofisis-testis, sehingga mengubah histologi testis, morfologi spermatozoa dan hubungan sel germinal dalam testis. Tikus betina yang bunting disuntik dengan Pb asetat dan kemudian dievaluasi testis anaknya yang jantan seperti persentase morfologi spermatozoa abnormal epididimis dan testis yang matang. Suntikan dilakukan pada hari ke-8, hari ke-8 dan ke-13, dan hari ke-8, 13 dan 18 hari selama periode kehamilan. Setiap kelompok besar dibagi lagi menjadi empat kelompok kecil sesuai dengan dosis timbal yang diberikan (0, 25, 50 dan 100) mg/Kg. Hasilnya, persentase morfologi spermatozoa normal epididimis dan testis menyebabkan peningkatan persentase morfologi abnormal spermatozoa baik di epididimis ataupun di testis tikus jantan keturunannya. Disimpulkan bahwa penelitian ini menunjukkan adanya Pb asetat saat pralahir memiliki efek toksik pada sperma sehingga menghasilkan morfologi spermatozoa yang abnormal. Dinyatakan bahwa faktor penyebab yang paling mungkin adalah adanya gangguan pada fase spermatogenesis (proses pembentukan sperma mulai dari spermatogonia) dan/atau spermiogenesis (proses pembentukan sperma dari spermatid). Efek Pemberian Plumbum (Timah Hitam) Organik Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) (Hariono, 2006). KESIMPULAN Pb-asetat adalah bahan pencemar yang dapat menyebabkan gangguan terhadap kualitas (persentase motilitas sperma tikus, viabilitas sperma tikus, morfologi sperma tikus) dan kuantitas sperma (jumlah sperma) DAFTAR PUSTAKA Devlin, M.T. 2002. Bioenergetics and oxidative metabolism In: Biochemistry with clinical correlations. 5 th ed. Wiley-liss, Canada. 590-592. Astuti, SR. 2002. Hubungan Kadar Pb Udara, Kandungan Pb dalam urine dengan Keluaran Material & Neonatus Pada Pedagangdi Terminal Tirtonadi Surakarta. Tesis Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat. Program Pascasarjana. Univ. Diponegoro, Semarang. Ercal, N., H. Gurer-Orhan and Nukhet Aykin-Burns. 2001. Toxic Metals and Oxidative Stress Part I: Mechanism Involved in Metal incuced Oxidative Damage. Current Topics in Medical Chemistry, 529-539. Hariono, B. 2006. Efek Pemberian Plumbum (Timah Hitam) Organik Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). J. Sain Vet. Vol. 24 No. 1 Moeloek, N., DA. Pujianto, R. Agustin, KM. Arsyad, P. Waluyo, Y. Prihyugiarto, and M.T. Bizvo. 2001. Achieving azoospermia by injections of testosterone undecanoate alone or combined with depot medroxyprogesterone acetate in Indonesian men (Jakarta center study). In: Robaire B, Chemes H and Morales CR, eds. Proceedings of the VIIth International Congress of Andrology. Montreal, Canada. Medimond Publishing Company, Inc. 545-550. Pandya C, Pillai P, Nampoothiri LP, Bhatt N, Gupta S, Gupta S. 2012. Effect of lead and cadmium co-exposure on testicular steroid metabolism and antioxidant system of adult male rats. Andrologia. 2012 May;44 Suppl 1:813-22. Sharma, R and Umesh G. 2011. Effects of Lead Toxicity on Developing Testes in Swiss Mice. Universal Journal of Environmental Research and Technology. Volume 1, Issue 4: 390-398 Tong ,C.H., M. J. Thompson , M. R. Warner, S. P. Rajaguru,and C. C. Pai. 2003. Coustic Wave Propagationin the Sun: Implications for Wave Field and Time-Distance Helioseismology. The Astrophysical Journal, 582:L121-L124. WHO/UNECE (2007) Health Risks of Heavy Metals from Long-Range Transboundary Air Pollution, Draft of May 2006, World Health Organisation (WHO) and United Nations Economic Commission for Europe (UNECE), Geneva, Switzerland. WHO, 1999. WHO Laboratory manual for the examination of human semen and sperm-cervical mucus interaction, 4th ed, USA Cambridge University Press. 68–78. Zaneveld., Polakoski (1977) Techniques of human andrology: 160. Dalam: Zaneveld LJD, Fulgham DL (1986). Short course : Male reproduction/andrology and non-hormonal contraception. Chicago, IL: 19. 131 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 HUBUNGAN INTENSITAS BISING TERHADAP PEMERIKSAAN OAE DAN PEMERIKSAAN SEM DI JARINGAN KOKLEA RATTUS NORVEGICUS H.R Yusa Herwanto Jenny Bashiruddin,*Syafruddin Ilyas**, NajibDahlan Lubis*** Departemen THT-KL FK USU /RS Adam Malik Medan Departemen THT-KL FK /UI RSCM Jakarta* Departemen Biologi MIPA USU Medan** Departemen Patologi Anatomi FK USU /RS Adam Malik Medan*** [email protected] PENDAHULUAN Bising dalam kehidupan kita sehari-hari sering menganggu pendengaran, sehingga organ pendengaran khususnya koklea akan cepat mengalami degenerasi. Gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) sering akibat bising sering dijumpai pada banyak pekerja industri. Gangguan pendengaran ini biasanya sering bilateral tetapi tidak jarang yang terjadi unilateral (Bashiruddin, 2010). Di Indonesia sebagai negara industri umumnya, pajanan bising yang dianggap cukup aman adalah pajanan rata-rata sehari dengan intensitas bising tidak melebihi 85 dB selama 8 jam sehari atau 40 jam seminggu Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural tipe koklea akibat bising > 85 dB dapat terjadi pada kedua telinga (Bashiruddin, 2010). Menurut Occupational Safety & Health Administration (OSHA) 2010 batas aman pajanan bising bergantung pada lama pajanan, frekuensi dan intensitas bising serta kepekaan individu dan beberapa faktor lain. Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian tergantung intensitas bising, frekuensi, lama paparan perhari, lama masa kerja, kerentanan individu, umur dan jenis bising (Kujawa, 2006; Ologe, 2008 ; Carmelo, 2010). Sound Hearing 2010 pertama kali dicetuskan di Kolombo adalah program pecegahan dan pengendalian ketulian di seluruh negara berkembang termasuk Indonesia, untuk mendukung program Sound Hearing 2010 ini dibentuklah Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT) oleh Departemen Kesehatan RI. Komite PGPKT ini bertujuan untuk menurunkan angka ketulian sebesar 50% di tahun 2015 secara maksimal di tahun 2030 pada seluruh penduduk Indonesia (KNPGPKT, 2008). Bising merupakan salah satu faktor stres yang paling sering dijumpai di lingkungan kota dan industri. Paparan bising yang teratur dan terus menerus akan mempengaruhi organ pendengaran perifer dan sentral, kerusakan perifer mulai dari organ terdepan mulai gendang telinga, tulang pendengaran dan diteruskan ke dalam koklea terutama terjadi kerusakan sel rambut luar serta jalur saraf auditori yang akan menyebabkan gangguan pendengaran permanen yang mengganggu proses komunikasi dan belajar (Niu et al., 2003). Respon sistem auditori terhadap bising level tinggi dengan memicu reflek akustik telinga tengah dan mengaktivasi sistem olivari medial dan dapat mengurangi risiko terjadinya gangguan pendengaran terhadap beberapa intensitas tertentu (Yoshida et al., 2002). Bentuk respon stres seluler ini bersifat fisiologis dan berfungsi untuk menjaga homoestasis kehidupan sel. Kehidupan sel ini mengatur pelepasan neurotransmitter, hormon, peptida dan faktor lain ke dalam sirkulasi dan atau ke dalam jaringan. Efek dari respon stress seluler ini dipengaruhi juga oleh intensitas dan lamanya paparan bising (Mc Ewen, et al., 2008). Kebisingan pada frekuensi tinggi dapat mempengaruhi koklea pada beberapa jalur perdengaran normal dalam melawan tekanan dari bising level tinggi. Bising dengan keadaan intensitas tertentu seperti bising pada frekuensi 500 Hz dengan gelombang oktaf setiap 6 jam per hari selama 10 hari dan menyebabkan kerusakan sel rambut luar. Keadaan ini akan bertambah buruk bila bising ini terus belanjut selama 2 hari selama fase istirahat dengan durasi 4 jam sehari (Chinchilla et al., 2005). Paparan bising dengan frekuensi ttinggi( 2000-8000 Hz) dan durasi pendek, akan menjadi lesi fokal daerah apeks yang kecil dan melibatkan sel rambut luar, dan beberapa hari berikutnya akan meluas ke arah basal dengan kematian sel secara nekrosis dan apoptosis (Hu et al., 2002). 132 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Patologi Koklea Akibat Karkteristik Akustik Dari Bising Rangsangan bunyi terkuat dari senjata api, suara ledakan, suara jet merubah puncak dari 150 dB SPL atau lebih. Terpaparnya rangsangan bising menghasilkan suatu proliferasi ROS (Reactive Oksigen Stress) yang terus menerus (akibat konsentrasi pada basal sel rambut luar dan pleksus neural dibawah sel rambut dalam menjadi rusak). Peningkatan ROS dan beberapa radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan mitokondria, eksitotosisitas pada sel rambut luar dan serat saraf audiotori aferen serta efek iskemi/reperfusi pada suplai darah koklea. Kejadian ini menyebabkan peningkatan ROS. Pembentukan ROS dapat merusak DNA dan membran sel yang berfungsi sebagai apoptosis (Handerson, Bielefed, Haris & Hu 2006). ROS juga memegang peranan penting dalam neurogenerasi, mengeluarkan efek toksik langsung melalui reaksi kimia. Terdapat dua teori yang terkait dengan mekanisme tuli akibat bising yang berasal dari paparan bising yang konstan merupakan akibat sekunder dari akumulasi mikrotrauma. Pada sisi lain TTS (Temporary Threshold Shift) mungkin disebabkan karena kelelahan metabolik yang menetap dan menyebabkan kematian sel. Konsep dari auditory fatigue ini dapat menjelaskan fakta bahwa bising yang terputus-putus lebih sedikit memicu gangguan pendengaran menetap daripada bising yang bersifat kontinu pada intensitas level yang sama. Pergerakan daerah yang berlawanan akan menutup saluran serta menurunkan jumlah depolarisasi membran sel. Apabila depolarisasi mencapai titik kritis akan memacu peristiwa intra seluler. Bila masuknya Ca++ dan air masuk kedalam sel dan memperbesar volume sel, sel akan menjadi ruptur dan mengeluarkan komponennya ke daerah sekitar. Sisa elemen dari sel akan bereaksi dengan H2O2 dan membentuk OH- yang sangat reaktif dan toksik. Kekakuan silia berhubungan dengan tip links yang dapat meluas ke daerah basal melalui lapisan kutikuler sel rambut luar di telinga dalam (Liberman, 1987 & Dodds; 1987). Kerusakan sel koklea dapat memperlihatkan keadaan akut dan kronis akibat bising pada stimulasi yang lebih tinggi,dan dapat menyebabkan patahnya sel rambut luar pada daerah basal koklea dan hilangnya sensitivitas saraf audiotori. Paparan bising dengan intensitas rendah juga menyebabkan kerusakan minimal silia, tanpa ada fraktur daerah basal atau kerusakan mikrovaskular yang luas, dimana intensitas tinggi dapat menganggu pergerakan pada sel rambut luar dan perubahan-perubahan sel yang irreversibel pada frakturr daerah basal dan penyempitan aliran di serebro vaskular di otak (Hu et al, 2002 & Nicotera, 2003). Sel rambut luar Sel rambut luar mulai Sel rambut luar hancur Gambar 2 Penampang outer hair sel potongan melintang yang rusak akibat bising (Leblane A, 2000) Patogenesis Gangguan Pendengaran Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh bising karena rusaknya membran timpani, tulang-tulang pendengaran, koklea, sistem saraf auditori atau terhentinya stimulus ke batang otak. Selain itu, terdapat juga beberapa faktor yang dapat menyebabkan degenerasi mekanisme perkembangan pendengaran. (Friedmann.,1997) Kerusakan pada daerah retrokoklea yang disebabkan oleh trauma akustik, tumor sudut pons serebelum, mieloma multipel, cedera kepala dapat menyebabkan gangguan pendengaran perifer dan sentral auditori bisa terjadi gangguan pendengaran permanen serta proses komunikasi.(Stanton et al, 2005) 133 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Kerusakan yang menyebabkan tuli sensorineural : 1. Adanya kerusakan permanen sel-sel rambut luar. 2. Terjadinya atrofi pada jenis sel koklea lainnya seperti ganglion spiralis dan juga stria vaskularis sel - sel epitel non sensorik organ korti, komponen pada jaringan penyokong, dan beberapa elemen koklea lainnya. Pemeriksaan Oto Akustik Emisi (OAE) Emisi otoakustik pertama kali ditemukan oleh Gold pada tahun 1948 kemudian dikembangkan oleh Kemp pada tahun 1978. Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas rendah yang diproduksi oleh koklea baik secara spontan ataupun menggunakan stimulus, yang disebabkan oleh gerakan sel-sel rambut luar di telinga bagian dalam. Gerakan-gerakan ini adalah hasil mekanisme sel yang aktif, yang dapat terjadi baik secara spontan, maupun oleh rangsangan bunyi dari luar (Campbell ; 2006). Hasil pemeriksaan diinterpresentasikan oleh beberapa frekeunsi yang ditampilkan dalam hasil pass atau refer. Pass: bila SNR > 6 pada 6 frekuensi ;1000 Hz; 2000Hz,3000 Hz, 4000 Hz,6000 Hz dan 8000 HZ .Refer ; bila SNR< 6 pada 6 frekeunsi ; 1000nHz, 2000 Hz,3000 Hz 4000 Hz,6000 Hz dan 8000 Hz.( Katz ,2011) Hasil OAE (Dikutip dari Suwento 2007 UI) PEMERIKSAAN MIKROSKOP ELEKTRON (SEM) Mikroskop elektron adalah sebuah mikroskop yang mampu untuk melakukan pembesaran objek sampai 2 juta kali, yang menggunakan elektro statik dan elektro magnetik untuk mengontrol pencahayaan dan tampilan gambar serta memiliki kemampuan pembesaran objek serta resolusi yang jauh lebih bagus daripada mikroskop cahaya. Mikroskop elektron ini menggunakan jauh lebih banyak energi dan radiasi elektromagnetik yang lebih pendek dibandingkan mikroskop cahaya. Dikutip dari www. Electron microscope Jenis mikroskop elektron antara lain adalah: 1. Mikroskop Transmisi Elektron (TEM) 2. Mikroskop Pemindai Transmisi Elektron (STEM). 3. Mikroskop Pemindai Elektron (SEM) Mikroskop Pemindai Elektron (SEM) yang digunakan studi detil arsitektur permukaan sel ( atau struktur jasad renik lainnya), dan objek diamati secara tiga dimensi. 134 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Cara kerja (SEM) adalah cara terbentuknya gambar pada SEM berbeda dengan apa yang terjadi pada mikroskop optik dan TEM. Pada SEM, gambar dibuat berdasarkan deteksi elektron baru (elektron sekunder) atau elektron pantul yang muncul dari permukaan sampel ketika permukaan sampel tersebut dipindai dengan sinar elektron. Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi selanjutnya diperkuat sinyalnya, kemudian besar amplitudonya ditampilkan dalam gradasi gelap terang pra layar monitor CRT ( chatode ray tube). Dilayar CRT inilah gambar struktur objek yang sudah diperbesar bisa dilihat. Pada proses operasinya, SEM tidak memerlukan sampel yang ditipiskan, sehingga digunakan untuk melihat objek dari sudut pandang 3(tiga) dimensi. Preparasi sediaan adalah agar pengamat dapat mengamati preparat dengan baik, diperlukan persiapan sediaan dengan tahap sebagai berikut: 1. Melakukan fiksasi, yang bertujuan untuk mematikan sel tanpa mengubah struktur sel yang akan diamati, fiksasi dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa glutaraldehida atau osmium tetroksida. 2. Dehidrasi, yang bertujuan untuk merendahkan kadar air dalam sayatan sehingga tidak menggangu proses pengamatan. 3. Pelapisan/pewarnaan, beertujuan untuk memperbesar kontras antara preparat yang akan diamati dengan lingkungan sekitarnya. Pelapisan/pewarnaan ddapat menggunakan logam mulia seperti emas dan platina. BAHAN DAN METODE Penelitian ini adalah suatu studi eksperimental murni in vivo. Besar sampel diambil dengan rumus Ferderer (1955) Jumah tikus percobaan uji perkelompok (ulangan) ditentukan dengan rumus (t-1) (n1) ≥15 t = jumlah perlakuan (dalam penelitian ini ada 5 kelompok perlakuan) n = jumlah ulangan perkelompok. Ulangan ditambahkan 5 ekor untuk menghindari kematian dalam perlakuan, sehingga didapatkan jumlah keseluruhan tikus jantan jenis Rattus Norvegicus yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 40 ekor terdiri dari 4 (empat) kelompok perlakuan : a. Kelompok I (P0) = terdiri dari 10 ekor tikus jantan dewasa tidak diberi pajanan bising < 25 dB (kelompok kontrol). b. Kelompok II (P1) = terdiri dari 10 ekor tikus jantan dewasa diberi pajanan bising sebesar 25 dB -50 dB selama 8 jam setiap hari. c. Kelompok III (P2) = terdiri dari 10 ekor tikus jantan dewasa diberi pajanan bising sebesar 55 dB- 80 dB selama 8 jam setiap hari. d. Kelompok IV (P3) = terdiri dari 10 ekor tikus jantan dewasa diberi pajanan bising sebesar 85-110 dB selama 8 jam setiap hari. Lokasi dan Waktu penelitian Lokasi penelitian dilakukan laboratoium fakultas MIPA Biologi , kemudian sampel dilkirimkan untuk pemeriksaan imunohistokimia di Patologi Anatomi RSCM/FK UI Jakarta. Pemeriksaan jaringan koklea dengan SEM dilakukaan di Universitas Negeri Padang Penelitian ini dmulai bulan Agustus 2013. s/d Desember 2013 Alat dan BahanPenelitian. Alat Penelitian (Kotak Perlakuan Sampel) a) Kotak perlakuan sampel terbuat dari gabus dilapisi dengan busa serta triplek polywood kedap suara. Kemudian speaker menghadap ke bawah serta menempel pada atap penutup kotak, permukaan kotak diberi lubang untuk ventilasi dan mengukur intensitas bising. Intensitas diukur pada 2 titik yang berbeda dan tidak melebihi 1 dB b) Multi player 3 dengan file yang berisi rekaman suara bising dengan frekuensi 1 s/d 110 kHz, Amplifier untuk mengeraskan / mengatur intensitas bising (dB) sesuai volume suara. c) Sound level meter untuk mengukur intensitas bising pada kotak perlakuan. d) Timer untuk mengukur waktu perlakuan bising. e. Peralatan utama penelitiana ini terdiri atas; a. Mikroskop cahaya Olympus CX 21. b. Sound Level Meter merek Luxtron Sl-4001 buatan Taiwan 135 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 c. Automated OAE merek Grason-Stadler GSI 70 buatan USA d. Mikroskop elektron (SEM). Penelitian dilakukan 3 tahap yaitu ; Penelitian tahap I : pemeriksaan DPOAE pada tikus a) Penelitian bertujuan untuk mengukur kerusakan sel rambut luar pada koklea. b) Mendapatkan nilai DPOAE Refer atau Pass c) Mendapatkan pengaruh beberapa intensitas bunyi mulai dari 25 dB sd110 dB. 2. Penelitian tahap II : pebutan dan pemeriksaan Haematokosilin Eosin (HE). a) Penelitian bertujuan untuk mengetahui struktur nomal sel rambut luar koklea b) Mendapatkan struktur sel rambut luar koklea setelah pajanan beberapa intensitas bunyi mulai dari 25 dB sd 110 dB. 3. Penelitian tahap III : pemeriksaan SEM (mikroskop pemindai elektron) HASIL PENELITIAN Tahap I - Perlakuan intensitas bunyi Kandang tikus dilakukan pengukuran pajanan bising diukur dengan Sound Level Meter mulai dari 25 dB s/d 110 dB sesuai perlakuan bisinig sebelum tikus dimasukan ke kandang.selama 8 jam sehari, Hasil pemeriksaan OAE Tabel 1. Perlakuan Kebisingan 110-85 dB 8 jam/hari selama 8 hari Oto Akustik Emisi (OAE) T 100Hr 110 dB U1 Kanan Kiri BB (gr) DP1 NF1 SNR1 DP1 NF1 SNR1 2.0 3.0 4.0 2.0 3.0 4.0 2.0 3.0 4.0 H 2.0 3.0 4.0 2.0 3.0 4.0 2.0 3.0 4.0 H I II 248 -5 253 ,9 III -6 -20 -5 -18 -8 -5 2,0 0,1 4,6 1,5 1,2 7 -5 ,6 -6 2 254 2,2 9,6 3,8 4,9 6,0 3,6 7 ,5 ,2 IV 260 2,8 1,6 3,7 4,5 1,5 9,0 7 ,1 V VI VII VIII 266 274 280 287 -13,0 -13,8 -22,0 -15,7 -19,2 -16,6 2,8 5,3 2,1 0,9 8,8 5,8 5,9 0,3 ,3 ,1 4,2 2,9 4,1 8,4 5,8 8,4 5,7 ,1 -35,8 -24,6 -15,7 -20,5 -17,5 -20,0 -16.4 -8,1 P -5 ,7 -18 -8 -5 -8 -6 -5 0,3 7,1 4,5 4,0 4,5 8 -8 ,3 0 P 2,6 2,2 9,6 3,8 4,9 6,0 3,6 7 ,5 ,2 3 2,8 1,6 3,7 4,5 1,5 9,0 7 ,1 3 -5,4 R 4 3 6.3 R -6,5 -12,8 -13,4 -13,8 -13,6 -19,5 7,3 0,8 2,1 0,9 8,8 5,8 5,9 0,3 ,3 ,1 4,8 9,8 5,4 2,9 9,5 8,1 ,9 ,3 -35,8 -24,6 -15,7 -20,5 -17,5 -20,0 -16,4 -8,1 6,0 R 4 7 6.3 R Dari tabel 1 diatas dapat dinilai mulai hari kedua nilai SNR pada frekuensi 2000 Hz s/d frekuensi 6000 Hz nilai refer .< - 6 berarti telah terjadi gangguan di koklea (sel-sel rambut luar dan membran basiler) Tabel 2. Perlakuan kebisingan <80 dB 8 jam/hari selama 8 hari T 40 dB 136 Oto Akustik Emisi (OAE) Kanan Hr BB DP1 (gr) 2.0 3.0 I II III IV 250 0 251 253 6 255 V VI VII VIII 256 -9 258 260 264 -2 3 4.0 Kiri NF1 2.0 3.0 SNR1 DP1 2.0 3.0 4.0 H 2.0 3.0 4.0 NF1 2.0 3.0 4.0 SNR1 2.0 3.0 4.0 H 4.0 5 8 8 5 5 6 P 5 8 8 5 8 6 5 8 0 P -4 0 1 -2 7 -5 -6 -5 -8 -6 P 6 -4 -2 7 -5 -6 -5 -8 -6 P 6 -4 -9 -6 -3 -3 -9 -8 P -9- -4 -9 -6 -3 -3 -9 -8 P -3 -7 -2 -6 -3 -4 -8 -6 P -2 -7 -2 -6 -3 -4 -8 -6 P -3 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 T= Tikus dgn perlakuan bising (dB) P1=distortion product 1 BB=berat badan (kg) NF1=noise floor 1 Hr=hari SNR1=standard noise ratio 1 Dari tabel 2 diatas dapat dinilai mulai hari kedua nilai SNR pada frekuensi 2000 Hz s/d frekuensi 6000 Hz nilai refer .> - 6 berarti tidak terjadi gangguan di koklea (sel-sel rambut luar dan membran basiler) Tahap II Pembedahan Koklea & Pemeriksan Hemato Eosin (HE) A. Pemeliharan tikus dalam kotak perlakuan. B. Pemeriksaan dengan sound level meter. C. Multi player, Ampifier dan timer yang telah disesuaikan dengan perlakuan bising yang di berikan. D. Pengukuran Oto Akustik Emisi (OAE) pada tikus yang telah diberi kebisingan. E. Pengorbanan Tikus. F. I. Hasil HE koklea tikus. B. Pemeriksaan koklea (sel rambut luar dan daerah membran basiler) Tahap III. Hasil pemeriksaan SEM dn menilai kerusakan sel rambut luar. . Gambar 1. (a,b) pada IB >85-110 dB Sel rambut luar koklea terjadi kerusakan total Gambar 2 (c,d) IB 55 s/d 80 dB ( tanda panah) terjadi kerusakan sebagian sel rambut luar rusak/patah sebagian Gambar 3 (e) IB < 25 sd 50 dB (tanda panah) sebagai kontrol tidak ada kerusakan sel 137 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Dari gambar diatas ( panah) sel rambut luar dan membran basiler tidak terjadi kerusakan yg signfikan pada sampel kontrol seperti pada sampel kelompok intensitas 80 -110 dB telah terjadi kerusakan hampir 50 % kerusakan sel rambut luar di jaringan koklea tikus. Cara Perhitungan kerusakan Koklea : Preparat yang sudah diwarnai dengan HE diamati dibawah mikroskop dengan pemebesaran 400 X. Di amati seluruh bentuk sel rambut luar yang normal dan yang rusak dihitung jumlahnya untuk setiap preparat pada kelompok perlakuan penelitian dapat didapatkan persentase yang abnormal. Presentase sel rambut luar yang rusak 50% Kesimpulan; Dari tabel 1 di atas pada kebisingan 110-85 dB 8 jam/hari selama 8 hari dapat dinilai mulai hari kedua nilai SNR pada frekuensi 2000 Hz s/d frekuensi 6000 Hz nilai refer .< - 6 berarti telah terjadi gangguan di koklea (sel-sel rambut luar dan membran basiler) dan sel penyangga di koklea. Dari tabel ke 2 di atas kebisingan <80 dB 8 jam/hari selama 8 hari dapat dinilai mulai hari kedua nilai SNR pada frekuensi 2000 Hz s/d frekuensi 6000 Hz nilai refer .> - 6 berarti tidak terjadi gangguan di koklea (sel-sel rambut luar dan membran basiler) dan sel penyangga di koklea. Hasil pemeriksaan SEM dn menilai kerusakan sel rambut luar pada Intensitas Bising (IB)>85110 dB sel rambut luar koklea terjadi kerusakan total. Hasil pemeriksaan SEM dn menilai kerusakan sel rambut luar Intensitas Bising (IB) 55 s/d 80 dB ( tanda panah) terjadi kerusakan sebagian sel rambut luar rusak/patah sebagian. Hasil pemeriksaan SEM dn menilai kerusakan sel rambut luar Intensitas Bising (IB) < 25 sd 50 dB (tanda panah) sebagai kontrol tidak ada kerusakan sel. DAFTAR PUSTAKA American Academy of Audilogy.Position Staement: Preventing Noise Induced Occupational Hearing Loss: 2003.Oct.p 1-12l Barrett K. C. et al., 2010. Ganong’s Review if Medical Physiology. 23rd ed. Hearing and Equilibrium. United States of America: The Mc-Graw Hill Company Inc, Ch 3: p. 230- 34 Bashiruddin. J. Soetirto. I.2008. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Dalam E,Soepardi. Buku Ajar Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, Jakarta.Balai Penerbit FK UI hal 49-52. Dirnagi Ulrich, Ladecola Costantino and Moskowitz Michael A, 1999, Pathobiology of Ischemic stroke an integrated view. Trends in Neurosciences. 22: p.391-97. Dumas Theodore C. Sapolsky Robert M., 2001. Gene therapy against neurological insults: sparing neurons versus sparing function. Trends in neurosciences Vol.24 No.12: p. 695-700. 138 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Handerson,D,Biefeld,EC,Harris KC & Hu BH 2006, `The Role of Oxidative Stress in Noise Induce Hearing Loss` Ear 7 Hearing, vol 27,no 1 : p. 1-9 Haiyan Shen, et all ,2010` No dramatic age-related loss of hair cells and spiral ganglion neurons in Bcl-2 over expresion mice and Bax null mice` Molecular Neurodegeneration , 5: p. 28. Hasnan J, Y. M. 2010,` Relationship between apoptotic markers (Bax and Bcl 2) and biochemical markers in type 2 diabetes mellitus` Singapore Med : p. 50-5. Haque. A and Paraskeva C., 2004. Apoptosis an disease: a matter of ceil fate, Cell death and Differentiation: p.1366-72 Herng-Ching Lin, P., Pin-Zhir Chao, M., & Hsin-Chien Lee, M. M. ,2010` Sudden Sensorineural Hearing Loss Increases the Risk of Stroke A 5-Year Follow-Up Study` Journal Of The American Heart Association :p. 2744-50. Hua Hu B et all, 2009, July` Differential expression of apoptosis-related genes in the cochlea of noise-exposed rats`. Neuroscience. 2009 July 7, 161(3):p. 915–25. Ilyas, Syafruddin, 2008, Pendekatan Khusus Mekanisme Apoptosis oleh Signal Intrinsik, Ekstrinsik dan Faktor Pemicu Apoptosis dalam Jurnal Ilmu dan Budaya vol. 28` Jakarta Selatan, Universitas Nasional. Jack Wazen, M A, 2003, December` The Diagnostc and Treatment Dilemma of Sudden Sensorineural Hearing Loss` : p.110-13. James W. Hall III. Patrick J.Antonelli ,2006`Assesment of Peripheral and Central Auditory Function in Head & Neck Surgery Otolaryngology`Fourth edition,vol 2: p.1927-41 Katja, C.Zimmerman., Christine Bonzon., Douglas R.Green., 2001. The machinery of programmed cell death ; Pharmacology and Therapeutics. 92: p.57-70. Kluck, R.M, Bossy-Wetzel, E., Green, D.R., and Newmeyer, D.D., 1997. The release of cytochrome c from mitochondria: A primary site for Bcl2 regulation of apoptosis. Science 275: p.1132-36. Komite Nasional Penanggulan Gangguan Pendengaran dan Ketulian Available in : http://www.ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=3 Kujawa,S.G.,2009.Noise-Induce Hearing Loss In : Snow,Jr.J.B.and Wackym,P.A, ed 17.Ballenger, Otolarhinolaryngology Head and Neck Surgery>Centennial edition.Philadelphia: People’s Medical Publishing House, p 275-71 Kyoo Sang Kim, J. K. 1998,` Sudden Sensorineural Hearing Loss Caused By Noise Exposure To Intense Sound` Korean J Occup Environ Med ,p 618-26. Lawen A, Apoptosis an Introduction. Bioessay; 25:888-890. Wiley Periodicals, Inc. Dept. of Biochemistry and Molecular Biology, School of Biomedical Science, Monash University, Australia, 2003. Manley, G. A., Fay, R. R., & Popper, A. N.2008,` Active Processes and Otoacoustic Emissions in Hearing` New York: Springer Science Business Media.p 2- 2003 Miao, Yang. 2006. Association of hsp70 polymorphisms with risk of noise-induced hearing loss in Chinese automobile workers . Cell stress and Chaperones in article no CBSC. p 2006-192 K Lalwani, Robert K Jackler,2006, `Development of the ear in Head & Neck Surgery Otolaryngology.Fouth ed,vol 2. p 1869-81 Mohd Khairi,Normamastura AR,Wan Zaharah AW, Auditory neuropathy ,2009 ; Among a group with sensorineural hearing loss`Singapore Pub Med .p 324-25 Nagata H, Kumahara K, Tomemari T, Arimoto Y, Isoyama K, Yoshida K, Konno A, 2001, `Frequency and clinical features of patients with sensorineural hearing loss associated with the A3242G mutation of the mitochondrial DNA` in: otorhinolaryngology clinic. Journal of human genetic 46. p 595-99 OSHA. Occupational Noise Exposure . Available in : http://www.osha.gov/SLTC/noisehearingconservation/index.html P. Giardano, L.,2006,` Protection against cisplatin ototoxicity` Acta Otolaryngology. p 198207. Philippe P. Levebre, B.M. ,2002,` Mechanisme of Cell Death in the Injured Audiotory System, Otoprotective Strategies. Audilogy Neuro-Otology. p 165-69 Robert, AD.2002 `Noise Induced Hearing Loss` In : Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology in-Head and Neck Surgery.vol 1. 4 th ed Lipincott William & Wilkins, Baltimore 2006. p 2190-95 139 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Robbin and Cotran 2008 ‘Celluler Responses to Stress and Toxic Insults: Adapation Injury and Death’ In: Pathologic of Disease. Eighth Ed Saunder-Elsevier. p 19-32 Sharma DR, Gupta AK,Saxena RK, Mohan C,2000,` Audiovestibular changes in diabetes mellitus` The Indian Otolaryngology ang Head and neck Surgery 51.p 40-1 Steven H. Green, I.A 2007,`Cell death and Cochlear Protection` in : Audiotory trauma, Protection and Repair .Springer.p 27 140 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Biologi Fungsi dan Struktur Tumbuhan 141 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI 142 Medan, 15 Februari 2014 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 PEMANFAATAN INTERCROPPING SORGUM DI AREAL GAWANGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENYEBARAN PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH PADA TANAMAN KARET Cici Indriani Dalimunthe, Yan Riska Venata Sembiring dan Radite Tistama Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet Galang, Sumatera Utara, PO BOX 1415 Medan 20001 Email : [email protected], [email protected], [email protected] ABSTRAK Perkebunan karet di Indonesia memiliki luas 3.2 juta ha yang terdiri dari karet rakyat dan kebun milik negara dan kebun swasta. Setiap tahun jumlah program peremajaan kebun karet rakyat berkisar 50-70 ribu ha. Pemanfaatan areal kebun karet TBM mempunyai potensi lahan yang dapat dimanfaatkan petani sebagai nilai tambah hingga tanaman dapat disadap. Penanaman sorgum sebagai tanaman sela merupakan pilihan yang tepat untuk mendukung upaya pengembangan pertanian berkelanjutan. Selain bernilai ekonomis tinggi, diharapkan tanaman intercropping tidak berdampak negatif khususnya dalam penyebaran penyakit. Penyakit utama tanaman karet adalah jamur akar putih (JAP). Penelitian menunjukkan bahwa intercropping sorgum berpengaruh positif terhadap penyebaran penyakit pada tanaman karet. Sorgum merupakan salah satu inang bagi mikoriza, dan diharapkan penanaman sorgum berdampak pada peningkatan populasi mikoriza. Populasi mikoriza yang tinggi di areal kebun karet dapat menekan populasi inokulum dan penyebaran JAP.Interaksi antara intercropping sorgum perlu diteliti lebih lanjut untuk melihat berapa besar pengaruhnya terhadap perkembangan jamur akar putih. Sorgum tidak menjadi inang/sumber inokulum JAP, berbeda halnya dengan ubi kayu yang dapat menjadi inang alternatif untuk JAP serta pisang yang dapat menyebarkan penyakit fusarium pada tanaman karet. Kata kunci :Heveabrasiliensis, intercropping, sorgum, JAP, mikoriza PENDAHULUAN Karet merupakan komoditas penting di Indonesia, karena disamping sebagai sumber devisa negara juga merupakan sumber mata pencaharian bagi lebih dari 15 juta penduduknya.Indonesia merupakan negara dengan areal tanaman karet terluas di dunia. Luasperkebunan karet Indonesia mencapai 3,318 juta ha (didominasi oleh perkebunan rakyatyang mencakup areal sekitar 2,80 juta ha atau 83%), disusul Thailand (1,96 juta ha),Malaysia (1,54 juta ha), China (0,61 juta ha), India (0,56 juta ha), dan Vietnam (0,32juta ha) (Ditjenbun, 2005). Dari luas areal tersebut efisiensi penggunaan lahan pada awal pembangunan perkebunan karet masih cukup rendah.Selama 3 tahun setelah penanaman,areal perkebunan karet masih terbuka dan secara umum belum dimanfaatkan dengan optimal. Padahal areal ini memiliki potensi untuk mendapatkan nilai tambah bagi petani. Penelitian pemanfaatan lahan kosong pada usaha perkebunan, sebelum tanaman tahunannya menghasilkan telah banyak dilakukan, terutama pada komoditas karet.Secara teknis agronomis, pemanfaatan lahan perkebunan untuk budidaya tanaman intercropping tidak menghambat pertumbuhan tanaman utama. Pada berbagai penelitian, baik di dalam maupun di luar negeri, pengaruhnya positif bagi perkembangan tanaman utama. Jenis tanaman yang paling banyak menjadi objek penelitian tanaman sela (intercropping) pada karet adalah padi gogo, jagung, cabai, kedele, kacang tanah serta beberapa penelitian tentang kacang tunggak. Hasil yang dapat dicapai dari berbagai penelitian ini sangat bervariasi tergantung pada varietas dan pengelolaan tanaman (Wibawa et al., 1995). Tanaman intercropping lainnya yang menjadi pilihan terbaru adalah sorgum. Setelah lama ditinggalkan, sorgum menjadi salah satu alternative tanaman yang dianggap mampu menjadi substitusi tanaman sumber karbohidrat. Dalam sejarahnya sorgum mulai dikenal sejak zaman penjajahan Belanda sebagai alternatif pangan pengganti beras. Namun seiring dengan meningkatnya produksi padi/gabah, maka sorgum kian ditinggalkan masyarakat Indonesia. Kini ketika isu pangan dan bioenergi kembali bergulir, sorgum kembali mengemuka sebagai tanaman potensial yang mampu menjadi alternative sumber pangan dan bioenergi. 143 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Pemilihan sorgum sebagai tanaman intercropping diambil berdasarkan pertimbangan manfaat bagi tanaman utama. Selain bernilai ekonomis tinggi sorgum juga berfungsi sebagai inang bagi mikoriza dan diharapkan penanaman sorgum berdampak pada peningkatan populasi mikoriza. Populasi mikoriza yang tinggi di areal kebun karet diduga dapat menekan populasi inoculum dan penyebaran penyakit jamur akar putih (JAP) sehingga hal ini diharapkan memberikan pengaruh positif bagi tanaman karet. Beberapa persyaratan yang harus diperhatikan dalam mengusahakan tanaman sela di gawangan tanaman karet antara lain : tanaman sela yang digunakan tidak menjadi pesaing bagi tanaman karet atau tidak memberikan pengaruh negatif bagi tumbuhan dan hasil tanaman karet. Tanaman sela dapat berfungsi sebagai penutup tanah, hasil tanaman sela mampu menutupi kebutuhan keluarga tani dan dapat dipasarkan, tenaga kerja yang digunakan harus disesuaikan dengan jumlah tenaga kerja keluarga tani dan apabila menggunakan tenaga kerja dari luar harus disesuaikan dengan nilai ekonomis dari tanaman sela. Dengan demikian tulisan ini merupakan ulasan berbagai hasil penelitian pemanfaatan lahan perkebunan karet melalui intercroppingsorgum dan pengaruhnya terhadap penyebaran penyakit pada tanaman karet. INTERCROPPING SORGUM PADA GAWANGAN KARET Berkaitan dengan program diversifikasi pangan di Indonesia, sorgum merupakans erealia yang paling potensial digunakan sebagai substitusi beras karena kandungan gizinya setara (Sirappa, 2003), produktivitas bijinya tinggi (Dirjen Tanaman Pangan, 2007), dan secara genetic tanaman sorgum mampu tumbuh pada agroekologi yang panas dan kering dimana tanaman serealia lain sulit tumbuh (FAO-ICRISAT, 1996). Sorgum sangat berpeluang untuk dikembangkan menjadi pangan premium karena keunggulannya, seperti kandungan glutennya yang sangat rendah (glutenous free food) dan indek 13 glikemiknya yang juga rendah (low glicemiks index) sehingga sangat sesuai untuk konsumen dengan kebutuhan gizi khusus (Sungkono et al., 2009). Sorgum dikenal sebagai tanaman yang mempunyai daya adaptasi luas terhada pberbagai kondisi agroekologi dan lahan marjinal. Daya adaptasi sorgum terhadap kondisi agroekologi ditunjukkan oleh kemampuannya tumbuh baik pada iklim kering sampai basah dengan rentang curah hujan dari 200-2000 mm per tahun, tahan pada altitude dataran rendah sampai 3000 m di atas permukaan laut (Mann et al., 1983), dan mampu tumbuh pada rentang wilayah dari posisi 40oLU sampai 40oLS (SFSA, 2003). Salah satu usaha pengembangan teknologi budidaya tanaman sorgum yaitu melalui pengeprasan (ratoon). Namun, biasanya hasil tanaman yang tumbuh dari tunggul pertama maupun kedua cenderung lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang berasal dari biji. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kemampuan tanaman agar lebih dapat beradaptasi terhadap lingkungannya dapat dilakukan dengan pemberian mikoriza pada awal penanaman. Tanaman dapat berasosiasi dengan Mikoriza Arbuskular Vaskular (MAV) yang dapat menyediakan P dan membantu fungsi akar dalam menyerap P dengan membentuk miselium yang berperan sebagai akar ekstra (Karandashov dan Bucher 2005; Bucher 2007). Pada lahan-lahan yang masam, P terdapat dalam bentuk terikat dengan beberapa jenis logam sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman mikoriza mensekresikan asam organic untuk membantu melepaskan P dari aluminium (Steward dan Cumming, 2009). Penelitian tentang intercropping sorgum menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman sorgum di areal gawangan tanaman karet cukup baik di TBM 1. Hal ini dapat dilihat dari pengamatan tinggi tanaman sorgum yang pada saat panen bisa mencapai ketinggian sekitar 117,16 cm (Gambar 1). 144 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Gambar 1. Rataan pertambahan tinggi tanamanintercropping sorgum di gawangan karet Tanaman sorgum merupakan salah satu tanaman inang bagi mikoriza. Rungkat (2009) juga menjelaskan bahwa tanaman yang bermikoriza biasanya tumbuh lebih baik daripada tanaman yang tidak bermikoriza. Mikoriza memiliki peranan bagi pertumbuhan dan produksi tanaman, peranan mikoriza bagi tanaman sebagai berikut : a) mikoriza meningkatkan penyerapan unsure hara, b) mikoriza melindungi tanaman inang dari pengaruh yang merusak yang disebabkan oleh stress kekeringan, c) mikoriza dapat beradaptasi dengan cepat pada tanah yang terkontaminasi, d) mikoriza dapat melindungi tanaman dari pathogen akar, e) mikoriza dapat memperbaiki produktivitas tanah dan tanah memantapkan struktur tanah. a b Gambar 2. Persentase pertambahan lilit batang tanaman karet (a) dan pertambahan tinggi tanaman karet (b) terhadap intercropping sorgum. Tanaman karet dapat disadap dengan kriteria utama lilit batang pada ketinggian 1 m adalah 45 cm. Lilit batang/diameter batang merupakan indikator yang sangat baik bagi pertumbuhan maupun perkembangan tanaman karet, karena itu pengaruh tanaman sela terhadap pertumbuhan karet dapat dilihat dari keragamatan lilit batangnya. Intercropping sorgum pada gawangan karet tidak memberikan dampak yang buruk terhadap perkembangan lilit batang maupun tinggi tanaman karet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase pertambahan lilit batang pada tanaman karet mencapai 60% dibandingkan dengan kontrol (tanpa intercropping) sedangkan pengaruhnya terhadap tinggi tanaman mencapai 83,28% (Gambar 2). Pengaruh Intercroppingsorgum terhadap Penyebaran Penyakit Jamur Akar Putih Pada tanaman karet, Jamur Akar Putih (JAP) merupakan penyakit yang umum ditemukan. Penyakit ini bukan hanya menyerang perkebunan rakyat tetapi juga perkebunan besar pemerintah dan swasta. Penyakit ini penting untuk dikendalikan dalam budidaya karet karena dapat mematikan tanaman dan pohon tumbang sehingga mengurangi populasi tanaman pada setiap hektarnya. Penyakit JAP disebabkan oleh Rigidoporus microporus (Swartz:Fr.) van Ov. memiliki tubuh buah berbentuk 145 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 kipas tebal, berwarna jingga jernih sampai merah kecoklatan dan miseliumnya berbentuk benang, berwarna putih. Penyakit ini terutama menular karena adanya kontak antara akar tanaman sehat dengan akar tanaman sakit (Semangun, 2000). Penyakit JAP menimbulkan kerugian terbesar dalam budidaya tanaman karet (Hevea brassiliensis) karena kematian tanaman dan biaya yang cukup tinggi dari pengendalian penyakit. Kerugian finansial akibat kematian tanaman adalah sekitar Rp. 1,8 triliun (sekitar US$ 200 juta) per tahun (Situmorang, dkk., 2007). JAP menyerang akar-akar tanaman karet sehingga akar-akar menjadi busuk. Apabila bagian akar yang diserang merupakan akar lateral yang lebih banyak bertugas menyerap air dan unsur hara maka gejala serangan yang ditunjukkan adalah adanya perubahan warna daun yang tampak kusam, menguning dan rontok sedangkan jika akar tunggang yang diserang maka tanaman akan mudah roboh. Upaya pengendalian baik itu sebagai tindakan preventif maupun kuratif dilakukan untuk menanggulangi penyakit ini. Adanya intercropping sorgum pada gawangan karet sejauh ini belum menunjukkan pengaruh negatif terhadap tanaman karet khususnya dalam hal penyebaran penyakit. Hal ini disebabkan karena tanaman sogum bukan merupakan inang/sumber inokulum JAP beda halnya dengan ubikayu yang dapat menjadi inang alternative untuk JAP. Hasil penelitian intercropping sorgum di areal gawangan menunjukkan hasil bahwa tidak ditemukan serangan inokulum JAP pada gawangan TBM 1. Hal ini disebabkan karena TBM 1 baru saja melakukan pengolahan lahan termasuk didalamnya melakukan kegiatan ayapakar yang dapat menjadi sumber infeksi penyakit. Artinya dapat disimpulkan bahwa tanaman intercropping sorgum tidak memberikan pengaruh negatif dalam hal penyebaran penyakit namun secara tidak langsung dapat menekan pertumbuhan jamur akar putih. Hal ini dibuktikan berdasarkan pengamatan di lapangan pada areal gawangan TBM 3 di mana persentase serangan jamur akar putih sebelum dan sesudah penanaman menunjukkan penghambatan/tidak berkembang, berbeda halnya dengan kontrol yang sebelumnya 3,33% naik menjadi 5,00% (Gambar 3). Sorgum merupakan tanaman bermikoriza dan diharapkan mikoriza tersebut dapat menekan perkembangan penyakit jamur akar putih. Beberapa sifat penting mikoriza yang menunjang peranannya sebagai agen pengendalian hayati adalah : kosmopolit, terdapat diberbagai ekosistem dan dapat berassosiasi dengan lebih dari 97% tanaman tingkat tinggi (Smith and Read, 1997) dan memiliki fungi ganda yaitu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap patogen tular tanah dan filoplan sekaligus meningkatkan penyerapan hara, menstimulasi pertumbuhan, meningkatkan kuantitas, kualitas buah dan meningkatkan ketahanan terhadap kekurangan air. Adanya simbiosis antara mikoriza dengan perakaran karet ini memungkinkan tanaman untuk memperoleh air dan unsur hara dalam kondisi lingkungan kering dan miskin unsur hara, serta perlindungan terhadap patogen akar sehingga pertumbuhan tanaman karet diharapkan meningkat melalui perbanyakan mikoriza pada tanaman sorgum. Gambar 3. Pengaruh intercropping sorgum terhadap penyebaran penyakit JAP di gawangan karet TBM 3 146 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Berdasarkan hasil penelitian di lapangan tanaman karet yang terserang jamur akar putih menunjukkan perubahan warna daun namun pemeriksaan. Persentase tanaman karet yang terserang JAP dengan tanaman ubi kayu sebesar 37,6% dibandingkan dengan kontrol 0%. (Gambar 4). Tanaman yang terinfeksi ini akan menjadi sumber infeksi bagi tanaman jirannya, sehingga perkembangan penyakit JAP terutama dipengaruhi oleh banyaknya sumber infeksi di dalam tanah. Penanaman ubi kayu dan tanaman lain yang masih satu family dengan karet (Euphorbiaceae) dapat menjadi inang JAP yang selanjutnya menjadi sumber infeksi bagi tanaman sehat. Jamur akar putih adalah organisme yang polifag, yang dapat menyerang bermacam-macam tumbuhan (Nugroho et al., 2009). Gambar 4. Pengaruh intercropping ubi kayu terhadap penyebaran penyakit JAP di gawangan karet KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang dapat diambil dalam ulasan ini adalah bahwa penelitian pemanfaatan lahan perkebunan yang telah dilakukan diharapkan menunjukkan hasil-hasil positif yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan baik secara teknis maupun ekonomis. Tanaman sorgum bisa menjadi pilihan untuk dijadikan tanaman intercropping pada tanaman karet dimana pertumbuhan tanaman karet tidak terhambat dengan adanya tanaman intercropping sorgum. Selain itu, pengaruh intercropping sorgum terhadap penyebaran penyakit berdampak positif artinya sorgum yang merupakan salah satu tanaman inang bagi mikoriza diharapkan dapat menghambat perkembangan penyakit jamur akar putih pada tanaman karet. DAFTAR PUSTAKA Bucher M. 2007. Function biology of plant phosphate uptake at root and mycorrhiza interface. New Phytoplogist. 173: 11-26. Ditjenbun, 2005. Road Map Komoditas Karet. Ditjen Bina Produksi Perkebunan,Jakarta. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2007. Arah Kebijakan Pengembangan Sorgum Manis sebagai Sumber Bahan Baku Bioetanol. Makalah pada workshop “Peluang dan Tantangan Sorgum Manis sebagai Bahan Baku Bioetanol”. Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. 14 hal. FAO dan ICRISAT. 1996. The world sorghum and millet economies: Facts, trends and outlook. Joint study by the Basic Foodstuffs Service FAO and Socioeconomics and Policy Division ICRISAT. 67p. Karandashov V, Bucher M. 2005. Symbiotic phosphate transport in arbuscular mycorrhizas. Trand in Plant Science. 10: 22-29. 147 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Nugroho A P, Istianto, Fairuzah Z, Karyudi. 2009. Pengaruh Tanaman Sela Ubi Kayu terhadap Pertumbuhan Tanaman Karet Belum Menghasilkan dan Pengurasan Hara Tanah. Jurnal Penelitian Karet 27(1): 64-75. [SFSA] Syngenta Foundation for Sustainable Agriculture. Sorghum: increasing opportunities and choice for poor rural communities in semi-arid areas through sustainable innovation in agriculture. http://www.syngentafoundation.com/sorghum.htm. Diaksespada 11 Desember 2012. Wibawa, G., A. Arsjad, dan M.J. Rosyid. 1995. Tinjauan mengenai Pemanfaatan Lahan Perkebunan untuk Budidaya tanaman Pangan dan Ternak. Warta Pusat Penelitian Karet 14(3): 191-205. Rungkat J A. 2009. Peranan MVA dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Jurnal Formas 2 (4) : 270-276. Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Indonesia. Hal. 11 - 31. Sirappa M P. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas alternative untuk pangan, pakan dan industri. Jurnal Litbang Pertanian 22(4): 133-140. Situmorang A, H Suryaningtyas, S Pawirosoemardjo. 2007. Current Status of White Root Disease (Rigidoporus microporus) and The Disease Control Management in Rubber Plantation of Indonesia. Proc. International Workshop on White Root Disease of Hevea Rubber 28th – 29th November 2006. Salatiga. Indonesia. Hal. 27 - 33. Smith S E, Read D S. 1997. Mycorrhizal Syimbiosis. Second Edition. Academic Press, Harcourt Brale and Company Publisher, London. Steward K, J R Cumming. 2009. Organic acid exudation by mycorrizal Andropogon virginicus L. (broomsedge) roots in response to aluminium. Soil Biology and Biochemistry. 41: 367-373. 148 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 RESPON BEBERAPA VARIETAS KEDELAI TERHADAP KEKERINGAN (Response of Soybean Varieties [Glycine max (L) Merr] to Drought Condition) Diana Sofia Hanafiah*1), Alida Lubis1), Asmalaili Sahar1) 1) Departemen Agroteknologi Universitas Sumatera Utara *) Jln. Nazir Alwi No. 4 Kampus USU Medan – 20154 Email : [email protected] ABSTRACT The objectives of this research were to find the information of adaptation mechanism on morphophysiology characters soybean genotype to drought condition. This research used randomized block factorial design with four replications, the first factor was the variety of soybean consist of Tanggamus, Detam 2, Anjasmoro, Detam 1 and the second factor was the drought treatment which consists of: without stress treated (control) and drought stress treatment. The drought stress treatment started from the beginning of flowering (R1) until the critical phase of the plant , that it was 14 days in the cultivation of soybean varieties (Ashri 2006). These results showed that there were different responses among varities viz. Tanggamus, Detam 2, Anjasmoro, Detam 1 to drought stress. This research indicated that escape mechanism was found on earlier maturity for Detam 1 variety. Avoidance mechanism by increasing root volume for Tanggamus, Detam 2, and Anjasmoro variety. Key words : mechanism of adaptation, drought, soybean PENDAHULUAN Kedelai telah menjadi salah satu komoditas strategis setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai dalam negeri terus meningkat, tetapi produksi kedelai dalam negeri belum mampu mengimbangi perkembangan permintaan. Upaya meningkatkan produksi kedelai nasional dapat ditempuh dengan tiga pendekatan : peningkatan produktivitas, peningkatan intensitas tanam dan perluasan areal tanam ke lahan sub optimal. Lahan sub optimal meliputi lahan kering, lahan pasang surut dan lahan sawah tadah hujan. Permasalahan yang dihadapi dalam budi daya kedelai di lahan kering antara lain adalah lahan kurang subur, kekeringan karena curah hujan tidak menentu, penggunaan varietas lokal (bukan varietas unggul), gangguan gulma, hama dan penyakit tanaman (Arsyad et al. 2007; Rachman et al. 2007). Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian dalam menghadapi tantangan terutama untuk peningkatan produksi pertanian dan mendukung program ketahanan pangan nasonal. Secara umum, lahan kering dapat dibedakan menjadi lahan kering masam dan non masam. Lahan kering masam mendominasi tanah di Indonesia, terutama pada wilayah yang beriklim basah seperti di 3 pulau besar Sumatera, Kalimantan dan Papua yaitu seluas 102.817.113 ha (69,4 %) dan tanah tidak masam seluas 45.256.511 ha (30,6 %) (Mulyani 2006). Lahan kering masam umumnya dicirikan oleh sifat reaksi tanah masam (pH rendah<5,5) yang berkaitan dengan kadar aluminium tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa dan kadar tukar kation (KTK) rendah, kandungan besi dan mangan yang mendekati batas meracuni dan peka erosi. Kendala ketersediaan air terutama pada musim kemarau menyebabkan indeks pertanaman di lahan kering relatif masih rendah dibandingkan di lahan sawah yang tersedia fasilitas air irigasinya (Mulyani 2006). Penggunaan varietas unggul atau varietas yang sesuai pada lingkungan (agroekologi) setempat merupakan salah satu syarat dalam meningkatkan produksi tanaman dan usaha tani untuk dapat beradaptasi pada lingkungan yang sub optimal. Menurut Sopandie (2006), pengembangan tanaman pada lahan marjinal (sub optimal) sangat memerlukan pemahaman tentang mekanisme yang berperan dalam peningkatan potensi hasil (yield potential) dan adaptasi tanaman terhadap berbagai cekaman lingkungan abiotik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme adaptasi kedelai terhadap kekeringan dan perbedaan tanggap karakter morfologi dan fisiologi antara varietas kedelai terhadap kondisi cekaman kekeringan. 149 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di rumah plastik Fakultas Pertanian USU Medan. Penelitian dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan empat ulangan, faktor pertama varietas kedelai terdiri atas : varietas toleran yaitu Tanggamus dan Detam2 (Balitbio; Balitbangtan) dan varietas peka yaitu Anjasmoro dan Detam1 (Balitbangtan), sedangkan faktor kedua adalah cekaman kekeringan yang terdiri atas : tanpa diberi perlakuan cekaman (kontrol) dan pemberian perlakuan cekaman kekeringan yang dimulai dari mulai berbunga (R1) sampai fase kritis tanaman yaitu 14 hari pada varietas kedelai budidaya (Ashri 2006). 2.1. Persiapan Tanam Penanaman dilakukan dalam polybag dengan menggunakan media tanah yang dikeringanginkan terlebih dahulu selama seminggu, lalu diayak dengan ayakan berdiameter ± 6 mm sambil dibersihkan dari sampah dan kotoran. Kemudian tanah dicampur merata dan dimasukkan ke dalam karung plastik kedap air dan diikat erat agar kadar airnya tetap. Untuk mengetahui ciri-ciri kimia dan fisika tanah dilakukan analisis tanah. Penetapan kadar air tanah untuk menentukan bobot tanah kering udara yang akan dimasukkan dalam polybag dilakukan dengan metode pengeringan (oven). Tanah yang sudah disediakan dimasukkan ke dalam polybag ukuran 10 kg. Penyiraman dilakukan melalui pipa plastik yang dibenamkam ke dalam polybag. Pada bagian dalam polybag dilapisi plastik untuk mempertahankan kadar kapasitas lapangan yang diperlakukan. Polybag disusun dengan jarak antar satuan percobaan sebesar 25 cm. Sehari sebelum tanam, tanah diberi pupuk dasar N, P, dan K sesuai dengan hasil analisis tanah. 2.2. Penanaman dan Pemeliharaan Benih ditanam sebanyak empat benih per polybag pada kedalaman 2,0 cm lalu diberi insektisida berbahan aktif karbofuran 3 % sebanyak 5-10 butir. Saat tanaman berumur 7 hari dilakukan penjarangan hingga tinggal dua tanaman per polybag. Penjarangan kedua dilakukan pada umur dua minggu dengan hanya menyisakan satu tanaman per polybag yaitu dipilih tanaman yang paling baik pertumbuhannya. Pemeliharaan tanaman dilakukan sesuai dengan kondisi tanaman. 2.3. Perlakuan Cekaman Kekeringan Sejak tanaman memasuki fase berbunga (R1), mulai dilakukan taraf perlakuan air sampai sampai fase kritis tanaman yaitu 14 hari pada varietas kedelai budidaya (Ashri 2006). Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F. Bila perlakuan varietas dan cekaman kekeringan berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf α = 5 %. 2.4. Pengamatan Pengamatan meliputi beberapa peubah yaitu : (1). Bobot basah tajuk; (2). Bobot basah akar; (3). Bobot kering tajuk; (4). Bobot kering akar; (5) Berat kering total; (6) Rasio tajuk akar; (7). Panjang akar; (8). Volume akar; (9). Luas daun trifoliat; (10). Umur panen; (11). Jumlah polong berisi; (12). Jumlah polong hampa; (13). Kandungan klorofil a dan kandungan klorofil b; (14). Indeks sensitivitas kekeringan. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Bobot kering tajuk. Analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata varietas dan perlakuan kekeringan, tetapi interaksi kedua perlakuan tidak nyata terhadap bobot kering tajuk. Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa varietas Tanggamus memiliki bobot kering tajuk terberat dan berbeda nyata dibandingkan bobot kering tajuk varietas lainnya. Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa perlakuan kekeringan yang diberikan juga menunjukkan pengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk, pada perlakuan penyiraman optimum, tanaman memiliki bobot kering tajuk yang nyata lebih berat dibandingkan bobot kering tajuk pada perlakuan kekeringan. 150 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 1. Karakter bobot kering tajuk varietas kedelai pada perlakuan kekeringan Rataan Varietas Perlakuan Kekeringan P1 P2 ..........g......... Tanggamus 29,3 16,8 23,0 A Detam 2 16,4 12,0 14,2 B Anjasmoro 12,7 9,7 11,2 C Detam1 12,8 10,4 11,6 BC Rataan 17,8 A 12,2 B Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α= 5% 3.2. Bobot kering akar Analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata varietas, tetapi perlakuan kekeringan dan interaksi kedua perlakuan tidak nyata terhadap bobot kering akar. Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa varietas Tanggamus memiliki bobot kering akar terberat dan berbeda nyata dibandingkan bobot kering akar varietas lainnya. Tabel 2 juga memperlihatkan bahwa perlakuan kekeringan yang diberikan juga belum memberikan perbedaan pada bobot kering akar terhadap masing-masing varietas yang diuji. Akar pada tanaman yang terkena cekaman kekeringan memiliki ukuran yang lebih panjang tetapi memiliki bobot kering yang lebih kecil akibat terbatasnya tekanan turgor, bila tanaman kembali melakukan pemulihan maka nilai bobot kering akar cenderung sama dengan tanaman kontrol (Blanco et al. 2002; Wullschleger et al. 2005). Tabel 2. Karakter bobot kering akar varietas kedelai pada perlakuan kekeringan Rataan Varietas Perlakuan Kekeringan P1 P2 ..........g......... Tanggamus 5,4 5,7 5,5 A Detam 2 2,8 2,7 2,8 B Anjasmoro 3,0 2,2 2,6 B Detam1 2,8 1,6 2,2 B Rataan 3,5 3,0 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α= 5% 3.3. Bobot kering total Analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata varietas, tetapi perlakuan kekeringan dan interaksi kedua perlakuan tidak nyata terhadap bobot kering total tanaman . Tabel 3 menunjukkan bahwa varietas Tanggamus memiliki bobot kering total terberat dan berbeda nyata dibandingkan bobot kering akar varietas lainnya. Hal ini juga berhubungan dengan karakter bobot kering tajuk dan akar yang tinggi pada varietas Tanggamus. Tabel 3. Karakter bobot kering total varietas kedelai pada perlakuan kekeringan Rataan Varietas Perlakuan Kekeringan P1 P2 ..........g......... Tanggamus 34,7 22,4 28,6 A Detam 2 19,2 14,7 16,9 B Anjasmoro 15,6 11,9 13,8 B Detam1 15,6 12,0 13,8 B Rataan 21,3 15,3 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α= 5% 151 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Penurunan bobot kering total ini berkaitan dengan penurunan bobot kering tajuk dan volume akar. Secara umum tanaman mengalami penurunan nilai bobot kering total yaitu bobot kering tajuk maupun akar tanaman akibat cekaman kekeringan (Hamim et al. 1996). Cekaman kekeringan akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan serta mempengaruhi fisiologi tanaman. Cekaman air memperlihatkan pengaruhnya melalui terhambatnya proses translokasi hara dan assimilat. Pengaruhnya tidak langsung terhadap produksi adalah berkurangnya penyerapan hara dari tanah dan assimilat dari daun. Berkurangnya penyerapan unsur hara akan menghasilkan laju sintesis bahan kering yang rendah pula (Anggarwulan et al. 2006; Xiao et al. 2008). 3.4. Nisbah Tajuk Akar Analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata varietas, tetapi perlakuan kekeringan dan interaksi kedua perlakuan tidak nyata terhadap nisbah tajuk akar (Tabel 4). Nisbah tajuk akar menunjukkan perbandingan antara bobot kering tajuk dengan bobot kering akar yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kemampuan tanaman dalam menghadapi kondisi kekeringan. Tabel 4. Karakter nisbah tajuk akar varietas kedelai pada perlakuan kekeringan Rataan Varietas Perlakuan Kekeringan P1 P2 ..........g......... Tanggamus 5,6 3,2 4,4 C Detam 2 6,1 4,4 5,3 B Anjasmoro 4,4 4,3 4,3 B Detam1 5,3 7,2 6,2 A Rataan 5,3 4,8 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α= 5% Nisbah tajuk akar menunjukkan perbandingan antara bobot kering tajuk dengan bobot kering akar yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kemampuan tanaman dalam menghadapi kondisi kekeringan. Nilai nisbah tajuk akar yang rendah menunjukkan pertumbuhan akar yang meningkat, sedangkan pertumbuhan tajuk menurun, yang berarti tanaman mempunyai kemampuan penghindaran (avoidance) terhadap cekaman air yang rendah (Bernier et al. 1995). 3.5. Panjang akar. Analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata varietas, tetapi perlakuan kekeringan dan interaksi kedua perlakuan tidak nyata terhadap panjang akar. Masing-masing varietas memiliki perbedaan dalam pertumbuhan panjang akar yang dipengaruhi secara genetik. Tabel 5 juga memperlihatkan bahwa perlakuan kekeringan yang diberikan juga belum memberikan perbedaan pada panjang akar terhadap masing-masing varietas yang diuji. Tabel 5. Karakter panjang akar varietas kedelai pada perlakuan kekeringan Rataan Varietas Perlakuan Kekeringan P1 P2 ..........cm......... Tanggamus 94,6 93,7 94,1 A Detam 2 79,0 75,2 77,1 B Anjasmoro 74,8 72,1 73,5 B Detam1 78,3 72,8 75,6 B Rataan 81,7 78,4 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α= 5% 152 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Proses pemanjangan akar juga akan dapat menjangkau volume tanah yang lebih besar sehingga lebih banyak menyerap air (Levitt 1980; Sharp 2002), sementara pada penelitian lainnya menyatakan bahwa pertumbuhan akar tidak mengalami penurunan secara nyata pada kondisi kekurangan air pada tanaman jagung dan gandum (Sacks et al. 1997). 3.6. Volume akar. Analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata varietas dan perlakuan kekeringan, tetapi interaksi kedua perlakuan tidak nyata terhadap volume akar . Volume akar dipengaruhi oleh bobot basah akar dan panjang akar yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik akar dari masing-masing varietas yang diuji. Varietas tanaman yang toleran kekeringan memiliki sistem keseimbangan perakaran yang baik sehingga memiliki panjang dan volume perakaran yang tinggi untuk menghindari dari cekaman kekeringan dengan meningkatkan kemampuan menyerap air. Tabel 6. Karakter volume akar varietas kedelai pada perlakuan kekeringan Rataan Varietas Perlakuan Kekeringan P1 P2 ..........ml......... Tanggamus 26,6 26,3 26,4 A Detam 2 14,8 15,0 14,9 B Anjasmoro 15,6 14,8 15,2 B Detam1 12,9 9,1 11,0 C Rataan 17,5 A 16,3 B Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α= 5% Menurut Jones et al. (1981), salah satu upaya tanaman dalam mempertahankan diri pada lingkungan tumbuh yang kering adalah dengan meningkatkan volume dan panjang akar. Hal ini merupakan salah satu mekanisme adaptasi tanaman terhadap kekeringan yaitu mekanisme avoidance (penghindaran). 3.7. Jumlah Polong Berisi. Analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata perlakuan kekeringan, tetapi varietas dan interaksi kedua perlakuan tidak nyata terhadap jumlah polong berisi. Tabel 7 memperlihatkan bahwa pada perlakuan penyiraman optimum, tanaman memiliki jumlah polong berisi yang nyata lebih banyak dibandingkan jumlah polong berisi pada perlakuan tanpa penyiraman. Karakter jumlah polong berisi dipengaruhi oleh karakter bobot kering tajuk dan akar, panjang akar, volume akar dan luas daun trifoliat yang saling mendukung dalam proses translokasi unsur hara dan asimilat ke arah pembentukan produksi biji. Tabel 7. Karakter jumlah polong berisi varietas kedelai pada perlakuan kekeringan Rataan Varietas Perlakuan Kekeringan P1 P2 ................... Tanggamus 167,6 125,5 146,6 Detam 2 198,6 118,4 158,5 Anjasmoro 115,3 73,0 94,1 Detam1 174,1 110,5 142,3 Rataan 163,9 A 106,8 B Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α= 5% 153 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 3.8. Luas Daun Trifoliat. Analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata varietas, tetapi perlakuan kekeringan dan interaksi kedua perlakuan tidak nyata terhadap luas daun trifoliat (Tabel 8). Masingmasing varietas memiliki perbedaan dalam bentuk daun yang dipengaruhi secara genetik. Varietas Anjasmoro dan Detam 1 memiliki bentuk daun yang berbentuk bulat telur, Detam 2 memiliki bentuk daun antara bulat telur dan lonjong, dan Tanggamus memiliki bentuk daun antara lonjong dan lancip. Tabel 8. Karakter luas daun trifoliat varietas kedelai pada perlakuan kekeringan Rataan Varietas Perlakuan Kekeringan P1 P2 ..........cm2......... Tanggamus 418,8 313,6 366,2 B Detam 2 714,9 656,2 685,6 A Anjasmoro 696,7 652,2 674,4 A Detam1 705,2 659,8 682,5 A Rataan 633,9 570,4 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α= 5% Walaupun pengaruh perlakuan kekeringan belum memberikan perbedaan yang nyata, tapi dapat terlihat dari Tabel 8, terjadi penurunan rata-rata nilai luas daun trifoliat pada perlakuan kekeringan P2 (tanpa penyiraman). Perubahan potensial air tanah dan potensial turgor sel menyebabkan pengaruh negatif pada absorbsi dan translokasi hara mineral, transpirasi, fotosintesis, dan translokasi fotosintat. Kondisi ini akan menyebabkan menurunnya pertumbuhan dan perkembangan daun sehingga daun menjadi kecil dan menua disertai dengan pengguguran daun. (Lecouver et al. 1995; Munné-Bosch dan Alegre 2004). 3.9. Kandungan Klorofil a dan klorofil b. Analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata varietas, tetapi perlakuan kekeringan dan interaksi kedua perlakuan tidak nyata terhadap kandungan klorofil a (Tabel 9). Analisis ragam juga menunjukkan bahwa pengaruh varietas, perlakuan kekeringan dan interaksi kedua perlakuan tidak nyata terhadap kandungan klorofil b (Tabel 9). Tabel 9. Karakter kandungan klorofil a dan klorofil b varietas kedelai pada perlakuan kekeringan Rataan Karakter Varietas Perlakuan Kekeringan P1 P2 ..........mg/g bb......... Klorofil a Tanggamus 1,4 2,2 1,8 C Detam 2 1,7 2,6 2,1 BC Anjasmoro 2,9 2,4 2,6 A Detam1 2,6 2,4 2,5 AB Rataan 2,2 2,4 Klorofil b Tanggamus 2,4 3,0 2,7 Detam 2 2,1 2,9 2,5 Anjasmoro 3,0 2,6 2,8 Detam1 2,9 2,8 2,8 Rataan 2,6 2,8 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α= 5% 154 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Kandungan klorofil daun dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh tanaman, seperti tersedianya unsur N dan adanya cekaman kekeringan (Gholizadeh et al. 2009; Jangpromma et al. 2010). Secara umum, cekaman kekeringan menurunkan kandungan klorofil a dan klorofil b tergantung dari lamanya dan tingkat perlakuan kekeringan yang diberikan kepada tanaman (Mafakheri et al. 2010). 3.10. Umur panen. Analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata varietas dan perlakuan kekeringan, tetapi interaksi kedua perlakuan tidak nyata terhadap umur panen. Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa varietas Tanggamus memiliki umur panen nyata terpanjang dibandingkan varietas lainnya. Tabel 10 juga memperlihatkan bahwa perlakuan kekeringan (tanpa penyiraman) yang diberikan mempengaruhi rata-rata umur panen dibandingkan perlakuan penyiraman optimum (P1). Tabel 10. Karakter umur panen varietas kedelai pada perlakuan kekeringan Rataan Varietas Perlakuan Kekeringan P1 P2 ..........g......... Tanggamus 87,9 86,8 87,3 A Detam 2 84,4 83,6 84,0 BC Anjasmoro 85,3 84,1 84,7 B Detam1 84,9 82,8 83,8 C Rataan 85,6 A 84,3 B Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α= 5% Karakter umur panen dipengaruhi oleh perlakuan kekeringan yang diberikan dan faktor genetik dari masing-masing varietas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kekeringan P2 (tanpa penyiraman) memperpendek umur panen varietas yang diuji, dibandingkan umur panen berdasarkan deskripsi dari masing-masing varietas. Mekanisme adaptasi tersebut disebut mekanisme escape yaitu tanaman melepaskan diri sebelum kekeringan menyebabkan kerusakan atau gangguan metabolisme pada tanaman. DAFTAR PUSTAKA Anggarwulan E, Solichatun, Mudyantini W. 2008. Karakter fisiologi kimpul [Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott] pada variasi naungan dan ketersediaan air. Biodiversitas 9(4) : 264-268. Arsyad MD, Adie MM, Kuswantoro H. 2007. Perakitan Varietas Unggul Kedelai Spesifik Agroekologi. Di dalam: Sumarno, Suyamto, A Widjono, Hermanto, H Kasim, editor. Kedelai : Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Ashri K. 2006. Akumulasi Enzim Antioksidan dan Prolin pada Beberapa Varietas Kedelai Toleran dan Peka Cekaman Kekeringan. Tesis; Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bernier PY, Lamhamedi MS, Simpson DG. 1995. Shoot:Root Ratio Is of Limited Use in Evaluating the Quality of Container Conifer Stock. Tree Planters' Notes 46(3):102-106. Blanco MSJ, Rodryguez P, Morales MA, Ortuno MF, Torrecillas A. 2002. Comparative growth and water ralations of Cistus albidus and Cistus monspeliensis plants during water deficit conditions and recovery. Plant Science 162:107-113. Gholizadeh A, Amin MSM, Anuar AR, Aimrun W. 2009. Evaluation of SPAD chlorophyll meter in two different rice growth stages and its temporal variability. European Journal of Scientific Research Vol. 37(4):591-598. Hamim, Sopandie D, Jusuf M. 1996. Beberapa karakteristik morfologi dan fisiologi kedelai toleran dan peka terhadap cekaman kekeringan. Hayati 3(1) : 30-34. 155 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Jangpromma N, Songsri P, Thammasirirak S, Jaisil P. 2010. Rapid assessemant of chlorophyll content in sugarcane using a SPAD chlorophyll meter across different water stress conditions. Asian Journal of Plant Sciences 9(6):368-374. Jones MM, Turner MC, Osmond CB. 1981. Mechanisms of drought resistance. In : Paleg L G, Aspinall D. The Physiology and Biochemistry of Drought Resistance in Plants. New York. Academic Press : Pp. 15-53. Lecouver J, Wery J, Tur O, Tardeu F. 1995. Expansion of pea leaves subjected to short water deficit : cell number and size are sensitive to sterss at different periods of leafs development. J. Exp. Bot. 46:1093-1101. Levitt J. 1980. Responses of Plants of Environmental Stress: Water, Radiation and Other Stresses. Vol. 11. New York: Academic Press. Mafakheri A, Siosemardeh A, Bahramnejad B, Struik PC, Sohrabi Y. 2010. Effect of drought stress on yield, proline and chlorophyll contents in three chickpea cultivar. Australian Journal of Crop Science. Mulyani A. 2006. Potensi lahan kering masam untuk pengembangan pertanian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 28 (2). Munné-Bosch S, Alegre L. 2004. Die and let live. Leaf senescence contributes to plant survival under drought sress. Functional Plant Biology 31:203-216. Rachman A, Subiksa MGI, Wahyunto. 2007. Perluasan Areal Tanaman Kedelai ke Lahan Sub Optimal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Sacks MM, Silk WK, Burman P. 1997. Effect of water stress on cortical cell division rates within the apical meristem of primary roots of maize. Plant Physiol. 114:519-527. Sharp RE. 2002. Interaction with ethylene: changing view on the role of absisic acid in root and shoot growth responses to water stress. Plant Cell Environt. J. 25:211-222. Sopandie, D. 2006. Perspektif fisiologi dalam pengembangan tanaman pangan di lahan marjinal. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fisiologi Tanaman, IPB, Bogor. Wullschleger SD, Yin TM, DiFazio SP, Tschaplinski TJ, Gunter LE, Davis MF. 2005. Phenotypic variation in growth and biomass distribution for two advanced-generation pedigrees of hybrid poplar. Canadian J. For. Res. 35: 1779–1789. 156 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 AKTIVITAS ENZIM PEROKSIDASE PADA KALUS TERUNG BELANDA (Solanum betaceum Cav.) SETELAH DIINDUKSI ETHYL METHANE SULPHONATE (EMS) Elimasni1, Dwi Suryanto1, Rosmayati2, Luthfi A.M.Siregar2, Suria Wulandari Purnama1 1) Departemen Biologi FMIPA-Universitas Sumatera Utara, Medan 2) Fakultas Pertanian-Universitas Sumatera Utara, Medan E-mail : [email protected] ABSTRAK Aktifitas enzim peroksidase pada kalus terung belanda (Solanum betaceum Cav.) setelah diinduksi EMS (Ethyl Methane Sulphonate) dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara dan di Laboratorium Biologi Molekuler Pusat Penelitian Kelapa Sawit Marihat, Pematang Siantar, Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi dan lama perendaman EMS (Ethyl Methane Sulphonate) yang terbaik dalam meningkatkan aktivitas enzim peroksidase pada tanaman terung belanda (Solanum betaceum Cav.). Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu faktor konsentrasi EMS dengan C0 (0,0%), C1 (0,05%), C2 (0,10%), C3 (0,15%), dan faktor lama perendaman EMS dengan T1 (30 menit), T2 (60 menit), T3 (90 menit), untuk determinasi protein kalus menggunakan metode Bradford (1976) sedangkan untuk menentukan aktifitas enzim peroksidase menggunakan metode Kar dan Mishra (1987). Hasil analisis secara statistik untuk berat basah kalus menunjukkan bahwa peningkatan lama perendaman dan konsentrasi EMS berpengaruh menurunkan berat basah kalus akan tetapi dapat meningkatkan aktivitas peroksidase. Perlakuan terbaik untuk berat basah kalus yaitu C3T1 (1,10 gram), sedangkan untuk aktivitas peroksidase yaitu C3T1 (0,363 (µmol/menit)) Kata kunci : Kultur Jaringan Tanaman, Terung Belanda (Solanum betaceum Cav.), EMS, Peroksidase. PENDAHULUAN Terung Belanda awalnya dikenal dengan nama Cyphomandra betacea (Cav) namun kemudian direvisi oleh seorang ahli yang bernama Sendtner menjadi Solanum betaceum (Cav) dan masuk kedalam famili dari Solanaceae. Tanaman ini juga dikenal dengan nama Tamarillo. Tanaman ini berasal dari pegunungan di Andes dan lebih kurang 30 species dari genus ini yang tersebar di bagian selatan Amerika, namun saat ini telah berkembang hingga ke negara-negara tropis lainnya seperti Indonesia. Setelah Terung Belanda menjadi sesuatu komoditi yang diperhitungkan tanaman ini banyak diekspor ke luar negeri termasuk Selandia Baru (Faucon, 1998). Tanaman ini menjadi sangat popular di negara Selandia Baru. Buahnya berbentuk bulat panjang dan memiliki kombinasi rasa antara buah tomat dan jambu biji sehingga masyarakat di Selandia Baru sangat menyukainya. Di Indonesia Terung Belanda dikembangkan di daerah Bali, Jawa Barat, dan Tanah Karo Sumatera Utara (Kumalaningsih, 2006). Rasa asam manis pada buah Terung Belanda banyak diminati masyarakat Sumatera Utara, sehingga banyak dikembangkan pengolahannya dalam bentuk sirup dan selai (Departemen Pertanian, 2003). Dengan penyebaran yang tidak begitu banyak memungkinkan tanaman ini mengalami kepunahan. Hal ini mungkin dikarenakan adanya faktor lingkungan yang kurang mendukung untuk pertumbuhan yang lebih baik. Selama ini perbanyakan terung belanda dilakukan secara konvensional sehingga hasil yang didapatkan masih kurang memuaskan (Yuwono, 2006). Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan suatu usaha perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan. Dengan menggunakan teknik kultur jaringan dapat dihasilkan tanaman yang identik dengan induknya, selain itu juga dapat dimanfaatkan untuk memperoleh tanaman dengan kualitas yang lebih baik (Departemen Pertanian, 2003). Perbaikan kualitas terung belanda dapat dilakukan dengan mengubah materi genetiknya, sehingga dihasilkan varian-varian tanaman yang lebih unggul (Suryo, 1995). Penambahan senyawa mutagen seperti Ethyl Methane Sulphonate (EMS) dapat menyebabkan alkilasi pada tingkat DNA (Arumingtyas et al., 2005). Jander et al. (2003) melakukan identifikasi tingkat mutasi pada Arabidopsis yang terjadi akibat pemberian EMS. Hasil penelitian menunjukkan pada Arabidopsis yang terpapar EMS ternyata resisten terhadap herbisida imidazolin. Arabidopsis yang resisten terhadap herbisida setelah dipaparkan dengan EMS dan dilakukan analisis 157 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 alel dengan PCR menunjukkan adanya tendensi sifat resisten tersebut mengarah pada sifat yang dominan (Roux et al., 2004). Perubahan genetik yang terjadi pada tanaman akan berpengaruh terhadap proses fisiologis terutama metabolisme sel. Metabolisme berkaitan erat dengan aktivitas dan distribusi dari beberapa enzim pada tanaman seperti peroksidase dan polifenol oksidase. Kedua enzim ini pada tumbuhan terdapat pada organ, jaringan, sel serta komponen terkecil dari sel seperti organel serta bagian interselulernya. Peranan dari peroksidase dan polifenol oksidase yaitu berperan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (Widiyanto, 1992) dan juga dapat meningkatkan resisten ketahanan dari tumbuhan tersebut. Pada beberapa hasil penelitian dikatakan bahwa hormon tumbuhan dapat menginduksi perubahan peroksidase seiring dengan adanya regulasi dari pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Arora & Bajaj, 1981). Dalam hal resistensi terhadap adanya patogen pada tanaman, aktivitas peroksidase akan meningkat pada tanaman yang terserang patogen dan enzim ini akan membentuk suatu ketahanan internal yang dapat meningkatkan resistensi dari tanaman. Pada penelitian mengenai aktivitas peroksidase, skor ELISA dan respon ketahanan 29 genotip cabai merah terhadap infeksi Cucumber Mosaic Virus (CMV) diperoleh hasil bahwa beberapa genotip cabai merah yang tahan terhadap CMV dan dapat digunakan sebagai sumber gen ketahanan terhadap CMV. Aktivitas peroksidase pada tanaman cabai merah yang terinfeksi CMV berperan dalam mekanisme ketahanan terhadap infeksi virus (Herison et al. 2007). Dari hal-hal tersebut dapat dilihat adanya korelasi yang sinergis antara peroksidase terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta resistensi dari tanaman. Penggunaan mutagen kimia seperti EMS terhadap kultur in vitro telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Akan tetapi belum diketahui pengaruh EMS terhadap aktivitas peroksidase dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman Terung Belanda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi dan lama perendaman EMS yang terbaik dalam meningkatkan aktivitas peroksidase pada tanaman Terung Belanda. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Tahap pengkulturan kalus dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan, Sumatera Utara. Sedangkan tahap analisis protein sampai penentuan aktivitas peroksidase dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Pusat Penelitian Kelapa Sawit Marihat, Pematang Siantar, Sumatera Utara dan Laboratorium Kimia Kuantitatif Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan Sumatera Utara. Metoda Penelitian Penelitian ini menggunakan metode percobaan dengan Rancangan Acak Lengkap faktorial dengan 2 faktor, yaitu: A. Faktor konsentrasi EMS (C) C0 : Konsentrasi 0 % C1 : Konsentrasi 0,05 % C2 : Konsentrasi 0,10 % C3 : Konsentrasi 0,15 % B. Faktor lamanya waktu perendaman (T) T1 : Selama 30 menit T2 : Selama 60 menit T1 : Selama 90 menit Prosedur kerja Sterilisasi Alat dan Bahan Tanaman Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini dicuci dengan deterjen dan dibilas dengan air mengalir, dikeringkan dan disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 0C dengan tekanan 15 Psi selama 60 menit. Bersamaan dengan alat dimasukkan juga botol berisi akuades yang ikut dalam sterilisasi alat. 158 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Eksplan yang digunakan berupa biji Terung Belanda. Biji dibersihkan dibawah air kran yang mengalir, dibilas dengan akuades steril. Biji direndam dalam agrept 1% yang ditambahkan tween 20 sebanyak 2 tetes dan dishaker selama 30 menit. Biji disterilkan dengan larutan pemutih 10% selama 5 menit, dibilas 3 kali dengan akuades steril dan selanjutnya dengan larutan pemutih 5% selama 5 menit. Biji dicuci dengan akuades steril. Biji diletakkan di dalam cawan petri dan dikeringkan dengan kertas saring steril. Penanaman Biji Pada Media MS Sebelum melakukan penanaman diupayakan agar ruangan dalam keadaan bersih. Penanaman dilakukan di dalam laminar air flow. Alat-alat diseksi, lampu bunsen, dan alkohol 70% dipersiapkan terlebih dahulu. Botol-botol berisi media yang sudah disterilkan, dibuka tutupnya dengan menggunakan pinset yang sudah dicelupkan pada alkohol dan telah dibakar. Lampu bunsen digunakan untuk mencegah kontaminasi saat penanaman eksplan. Setelah tutup botol dibuka, bagian sekitar mulut botol dilewatkan di atas api bunsen untuk memperkecil kontaminasi. Eksplan yang telah disterilkan, diambil dari dalam cawan petri dan dimasukkan ke dalam botol kultur dengan menggunakan pinset steril. Lalu botol kultur ditutup dengan aluminium foil dan disusun di rak kultur. Pemeliharaan Kultur Kalus Pada Media MS Eksplan yang telah ditanam di dalam botol kultur diletakkan pada rak pemeliharaan dengan kondisi ruangan yang steril, suhu berkisar 17 oC. Intensitas cahaya yang digunakan dengan penyinaran lampu neon 500 lux. Botol-botol yang berisi eksplan diatur posisinya sehingga memudahkan untuk pengamatan. Tiap kali pengamatan hendaknya tangan dan area tempat botol yang telah berisi eksplan disterilkan dengan alkohol 70% untuk mengurangi terjadinya kontaminasi. Ekstraksi Kalus Kalus dari biji Terung Belanda yang diperoleh secara in vitro pada tiap perlakuan, ditimbang berat basahnya seberat 200 mg dalam 2X pengambilan (duplo), digerus dengan menggunakan nitrogen cair hingga terbentuk larutan. Ekstrak kemudian di homogenasikan dengan 2 ml buffer TrisHCl (0,05 M, pH 8). Lalu larutan tersebut disentrifus dengan kecepatan 14.000 rpm selama 20 menit pada suhu 0 0C hingga terbentuk 2 bagian yaitu bagian pertama adalah bagian supernatan yang berupa protein kalus dan bagian yang lainnya residu berupa endapan, bagian yang membentuk supernatan berupa ekstrak kasar protein kalus diambil untuk analisis selanjutnya. Analisis Protein Prosedur analisis protein dilakukan berdasarkan metode Bradford (1976) dengan menggunakan 0,1 ml ekstrak kalus dan dicampurkan dengan 5 ml (Coomassie Brilliant Blue G-250), kemudian homogenkan. Larutan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Cara penentuan konsentrasi protein kalus adalah dengan mengekstrapolasikan nilai absorbansi ekstrak kalus dengan kurva standard BSA. Penentuan Aktivitas Enzim Penentuan aktivitas peroksidase dengan menggunakan metode Kar dan Mishra (1976). Prosedur ini berdasarkan pada kemampuan peroksidase dapat mengoksidasi pyrogallol. Proses oksidasi dari enzim peroksidase dalam mengkatalisis reaksi menggunakan H2O2 (Kar & Mishra, 1976; Maehly & Chance, 1954). Nilai absorban kalus dikonversikan menjadi aktivitas enzim dengan menentukan pyrogallol (substrat) yang diubah menjadi purpurogalin. Penentuan pyrogallol yang bereaksi adalah dengan mengekstrapolasikan nilai absorban dengan kurva pyrogallol. Pengujian Aktivitas Enzim Peroksidase Pengujian aktivitas enzim ini menggunakan 5 ml pyrogallol 10 mM yang dicampurkan dengan 0,1 mM buffer posfat pada pH 6,8. Campuran ditambahkan 30 µg ekstrak kalus, dan ditambahkan 0,1 ml H2O2 10 mM, di diamkan selama 5 menit pada suhu 25 oC, kemudian campuran ekstrak kalus dengan pyrogallol ditambahkan 0,5 ml H2SO4 5% untuk menghentikan reaksi. Pengukuran absorbansi dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. 159 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Parameter Pengamatan Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: Pengamatan secara kuantitatif a. Berat basah kalus tanaman Terung Belanda (gram) b. Warna Kalus c. Persentase Kultur Yang Hidup (%) d. Penentuan kadar protein e. Penentuan aktivitas peroksidase (PO) Analisis Data Data penelitian menggunakan metode RAL ini akan dianalisis dengan Análisis of Variace (ANOVA). Sedangkan untuk menguji beda antara perlakuan dilakukan dengan Uji Jarak Duncan (UJD) atau sering disebut Duncan New Multiple Range Test (DNMRT) (Sastrosupadi, 2004). HASIL DAN PEMBAHASAN Berat Basah kultur (g) Dari tabel sidik ragam diketahui bahwa konsentrasi EMS dan waktu perendaman memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap berat basah kultur. Sedangkan konsentrasi EMS memberikan berpengaruh nyata bagi pertambahan berat basah kultur, begitu juga dengan lama perendaman memberikan hasil yang sangat berbeda nyata. Pertambahan berat basah kultur ditampilkan pada Tabel 3.1.1 Tabel 1. Rata-rata Penambahan Berat Basah Kalus (g) Pada Perlakuan Konsentrasi dan Lama Perendaman EMS Konsentrasi Lama Perendaman Rataan T1 T2 T3 1,07 0,98 0,85 0,97 a C0 1,05 0,80 0,33 0,73 b C1 0,70 0,70 0,25 0,55 c C2 1,10 0,50 0,42 0,67 d C3 0,98 aA 0,75 bB 0,46 cC Rataan Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang sama bila diikuti dengan huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 5% (huruf) kecil) dan taraf 1% (huruf besar menrut uji Duncan. C0 (0,0%), C1 (0,05%), C2 (0,10%), C3 (0,15%), T1 (30 menit), T2 (60 menit), T3 (90 menit) Pada Tabel 1 kalus yang memiliki berat basah kultur yang tertinggi adalah pada perlakuan C3T1 yaitu 1,10 gram sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan C2T3 sebesar 0,25 gram. Respon rata-rata persentase kultur berkalus terhadap lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 1(a). Sedangkan Respon pertumbuhan berat basah kalus terhadap konsentrasi EMS ditampilkan pada Gambar 1 (b). 1,20 Rataan berat basah kalus (g) Rataan berat basah kalus (g) 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 30 60 Lama perendaman (menit) 90 0 0,05 0,1 0,15 Konsentrasi EMS (% ) Gambar 1. a.Pengaruh lama perendaman EMS terhadap rata-rata berat basah kalus Terung Belanda; b. Pengaruh konsentrasi EMS terhadap rata-rata berat basah kalus Terung Belanda 160 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Lama perendaman selama 30 menit (T1) memberikan rata-rata berat basah kalus yang lebih tinggi dibanding dengan perendaman 60 (T2) dan 90 (T3) menit (Gambar 3.1.1a). Hal ini dikarenakan pada menit ke-30 jumlah kandungan EMS dalam jaringan belum menyebabkan toksik sehingga EMS tersebut dapat memacu sel-sel pada eksplan untuk membelah sehingga dapat meningkatkan berat basah kalus. Sedangkan bila lama perendamannya ditingkatkan akumulasi EMS dalam kalus menjadi lebih banyak, sehingga menghambat kalus untuk berproliferasi secara maksimal, bahkan bisa bersifat toksik bagi kalus. Sedangkan Gambar 3.1.1 (b) dapat dilihat bahwa EMS dapat menghambat pertumbuhan kalus, hal ini terlihat dari berat basah kalus yang semakin rendah bila konsentrasi EMS ditingkatkan. Ini berarti bahwa konsentrasi EMS berbanding terbalik dengan berat basah kalus pada konsentrasi 0,1%. Sedangkan bila konsentrasi dinaikkan hal sebaliknya terjadi, berat basah kalus kembali meningkat. Hal ini kemungkinan karena pada konsentrasi tersebut EMS dapat memberikan rangsangan yang positif terhadap hormon endogen dalam kalus Terung Belanda, sehingga sel-sel kalus dapat membelah dan meningkatkan berat basah kalus. Menurut Priyono dan Agung (2002) bahwa penggunaan mutagen dengan konsentrasi tertentu dapat memacu fitohormon dalam tumbuhan misalnya auksin yang dapat mendorong pembelahan sel pada tanaman. Warna Kalus Pada umumnya warna kalus setiap eksplan tanaman berbeda satu dengan yang lainnya. Pada penelitian ini warna kalus digunakan sebagai parameter guna mengetahui ada tidaknya pengaruh dari EMS terhadap kalus biji Terung Belanda. Dari hasil pengamatan warna kalus Terung Belanda bervariasi yaitu putih, putih kecoklatan, dan coklat (Gambar 3.2.1). Warna kalus putih berpotensi untuk tumbuh membentuk planlet karena kalus terlihat segar, kompak, dan bernodul. Sedangkan warna kalus yang berpotensi untuk mati adalah kalus yang berwarna coklat dan warna kalus putih kecoklatan kemungkinan dapat berubah warna lagi menjadi coklat dan mati seiring lamanya inkubasi. a b c (c) Gambar 2. Warna kalus setelah perlakuan EMS: (a) putih; (b) putih kecoklatan; (c) coklat Kalus yang bewarna coklat apabila tidak disubkultur kembali maka akan mengalami penuaan dan dapat mengeluarkan senyawa fenolat pada kultur. Untuk menghindari oksidasi dari senyawa fenolat tersebut maka sebelum kalus mengalami penuaan harus segera mungkin disubkulturkan ke medium baru. Waktu subkultur dipengaruhi oleh siklus hidup dari kalus, bila kalus mempunyai siklus hidup yang panjang maka waktu subkultur lebih lama, tapi sebaliknya bila siklus hidup kalus pendek maka waktu subkultur akan lebih cepat. Pada beberapa kalus pencoklatan terjadi seiring lamanya waktu pengkalusan. Hal ini diduga akibat kalus mengalami penuaan sehingga pertumbuhan kalus terhenti dan akhirnya akan mati. Kalus yang mengalami penuaan akan berubah warna menjadi coklat, pertumbuhan terhenti dan akhirnya terjadi pengeringan akibat nutrisi habis. Sehingga difusi nutrien terhambat karena penguapan air yang mengakibatkan naiknya konsentrasi nutrien tertentu dalam media, serta penimbunan metabolit yang bersifat racun bagi kalus. Persentase Kultur Yang Hidup (%) Persentase kultur yang hidup merupakan banyaknya kultur yang hidup dari seluruh eksplan yang ditanam. Biasanya persentasi kultur yang hidup ini diamati pada akhir penelitian. Dari 161 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 pengamatan didapat bahwa jumlah kultur yang hidup sebanyak 64 botol atau 88,88%. Jumlah ini sudah dapat mewakili untuk menjelaskan pengaruh pemberian EMS dan lama perendaman terhadap pertumbuhan kalus terung belanda secara in vitro. Kultur yang hidup dapat diamati dengan ciri kalus segar, bernodul, terlihat kompak dan tidak bewarna coklat. Penentuan Akivitas Enzim Peroksidase (PO) Nilai aktivitas enzim ditandai dengan banyaknya pyrogallol yang terurai menjadi purpurogallin. Pengujian aktivitas peroksidase menggunakan metode Kar dan Mishra (1976) dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm yang aktivitasnya dapat dilihat pada Tabel 4.4.1. Tabel 2. Aktivitas Peroksidase Pada Kalus Terung Belanda yang diinduksi dengan EMS pada konsentrasi dan lama perendaman yang berbeda. Perlakuan Nilai aktivitas peroksidase Nilai aktivitas spesifik (µmol/menit) (unit/µg protein) C0T1 0,254 aAb 0,012 C0T2 0,196 bB 0,009 C0T3 0,267 aA 0,012 C1T1 0,210 bB 0,009 C1T2 0,169 cC 0,007 C1T3 0,156 cC 0,007 C2T1 0,217 bB 0,011 C2T2 0,230 aAb 0,010 C2T3 0,271 aA 0,014 C3T1 0,363 aA 0,016 C3T2 0,295 aA 0,014 C3T3 0,321 aA 0,015 Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang sama bila diikuti dengan huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 5% (huruf) kecil) dan taraf 1% (huruf besar menurut uji Duncan. C0 (0,0%), C1 (0,05%), C2 (0,10%), C3 (0,15%), T1 (30 menit), T2 (60 menit), T3 (90 menit) Dari Tabel 4.4.1 dapat dilihat bahwa nilai aktivitas enzim tertinggi terdapat pada perlakuan C3T1, begitu juga untuk nilai aktivitas spesifiknya. Sedangkan kontrol menunjukkan aktivitas enzim dan aktivitas spesifik yang lebih tinggi bila dibanding dengan perlakuan induksi EMS 0,05% dan lebih rendah dari perlakuan induksi EMS 0,1% dan 0,15%. Hal ini mungkin dikarenakan aktivitas peroksidase pada kontrol tanpa induksi EMS merupakan aktivitas yang konstitutif dan akan meningkat apabila diinduksi. Menurut Herison et al. (2007); Catesson et al. (186); Bashan et al. (1987) bahwa peroksidase merupakan salah satu enzim yang sifatnya konstitutif pada tanaman dan akan meningkat apabila terinduksi oleh suatu hal. Selain dengan penginduksian tanaman yang mengalami cekaman fisik ataupun fisiologis juga menampakkan peningkatan aktivitas peroksidase yang signifikan (Artlip and Funkhouser, 1995; Gaspar et al., 1985; Lewak et al., 1986). Herison et al. (2007) juga mengemukakan bahwa peningkatan aktivitas enzim peroksidase adalah respon umum tanaman terhadap cekaman lingkungan. Hasil penelitian aktivitas enzim akibat adanya induksi EMS ini sesuai dengan penelitian yang terdahulu, yakni dengan penginduksian EMS dianggap dapat memberikan cekaman secara fisiologis dari kalus terung belanda sehingga dapat meningkatkan aktivitas dari peroksidase tersebut. Hal ini didukung oleh Herison et al. (2007) bahwa tanaman yang resisten memperlihatkan aktivitas peroksidase yang tinggi. Peroksidase merupakan enzim yang secara alami ada dalam tanaman dan dapat meningkat aktivitasnya bila diinduksi dengan hal-hal tertentu misalkan dengan pemberian mutagen seperti EMS. Seiring dengan meningkatnya konsentrasi dari EMS maka meningkat pula aktivitas dari peroksidase kalus Terung Belanda. Menurut Herison et al. (2007) bahwa aktivitas peroksidase meningkat dengan adanya induksi tertentu seperti pemberian senyawa kimia ataupun dengan penginfeksian patogen pada tumbuhan tersebut. 162 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Peningkatan konsentrasi dan lama perendaman EMS menyebabkan penurunan berat basah kalus akan tetapi dapat meningkatkan aktivitas dari peroksidase 2. Perlakuan terbaik untuk berat basah kalus yaitu C3T1 (1,10 gram), sedangkan untuk aktivitas peroksidase yaitu C3T1 (0,363 (µmol/menit)) Saran Perlu dilakukan analisis DNA terhadap kalus terung belanda yang telah dimutasi dengan EMS yang berguna untuk mempertajam varian yang dihasilkan telah mengalami perubahan secara genetik. DAFTAR PUSTAKA Arora, Y.K and D.S. Wagle. 1985. Interrelationship Between Peroxidase, Poliphenol Oxidase Activities And Phenolic Content of Wheat For Resistance To Loose Smut. Plant Physiol 180:75-78 Artlip, T.S and E.A. Funkhouser. 1995. Protein Synthetic Responses To Environmental Stresses. New York. Marcel Dekker, Inc. page: 627-64. Arumingtyas, E.L dan S. Indriani. 2005. Induksi Variabilitas Genetik Percabangan Tanaman Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) Dengan Mutagen Kimia Ethyl Methane Sulphonate (EMS). Natural Jurnal 8(2): 24-28 Bashan, Y., Y. Akon, and Y. Henis. 1987. Peroxidase, Polifenol Oxidase And Phenols In Relation To Resistance Against Pseudomonas syringae pv. Tomato In Tomato Plants. Bothanical 65:366372. Bradford, M. M. 1976. A Rapid And Sensitive Methode For The Quantitation of Microgram quantities of Protein Utilizing The Principle of Protein – Dye Binding. Anal. Biochem 72:248254 Catesson, A. M., A. Imberty, R. Goldberg, and Y. Czaninski. 1986. Nature, Localization And Specificity of Peroksidases Involved In Lignification Process. In: Molecular and Physiological Aspects of Plant Peroksidases. Eds. Greppin, H., C. Penel, and Th. Gaspar. Univ. of Geneva. Geneva, Switzerland. hlm: 189-198 Departemen Pertanian, 2003. Kultur Jaringan. http//www.deptan.go.id. Diakses pada tanggal 17 September 2007. Faucon, P. 1998. Tree Tomato, Tamarillo. http//www.deserttropical.com. diakses pada tanggal 10 Maret 2008 Gaspar, Th., C. Penel, F.J. Castillo, H. Greppin. 1985. A Two-Step Control of Basic And Acidic Peroxidases And Its Significance for Growth And Development. Physiol Plant 64:418-423 Herison, C., Rustikawati, dan Sudarsono. 2007. Aktivitas Peroksidase, Skor ELISA dan Respon Ketahanan 29 Genotipe Cabai Merah Terhadap Infeksi Cucumber Mosaic Virus (CMV). Jurnal Akta Agrosia 10(1):1-13 Lewak, S. 1986. Peroxidases And Germination. In: Molecular And Physiological Aspects of Plant Peroksidases. Eds. Greppin, H., C. Penel, and Th. Gaspar. Univ. of Geneva. Geneva, Switzerland. page: 367-374 Kar, M., and D. Mishra. 1976. Catalase, Peroksidase, And Polyphenoloxidase Activities During Rice Leaf Senescence. Plant Physol 57:315-319 Kumalaningsih, S. 2006. Tamarillo (Terung Belanda). Cetakan 1. Surabaya. Trubus Agrisarana. hlm: 1-2 Maehly, A.C and B. Chance. 1954. The assay of catalases and peroxidase. In: Methods of Biochemical Analysis. Ed. David, G. Interscience Publishers, Inc. New York. NY. Pp. 357-445. Priyono dan Agung, W. S. 2002. Respon Regenerasi In Vitro Eksplan Sisik Mikro Kerk Lily (Lilium longiflorum) Terhadap Ethyl Methane Sulphonate (EMS). Jurnal Ilmu Dasar 3(2):74-79 Sastrosupadi, A. 2004. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Edisi Revisi. Cetakan Kelima. Yogyakarta. Kanisius. hlm: 53 & 57 Suryo, H. 1995. Sitogenetika. Cetakan pertama. Yogyakarta.UGM Press. hlm: 219, 222-223 Widiyanto, S.N.M. 1992. Enzymatic changes in rice callus line tolerant to picolinic acid. Dissertation. Colorado State University. USA. 163 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 PENGGUNAAN PUPUK DAUN (GrowMore) DAN AIR KELAPA TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) VARIETAS GRANOLA SECARA IN VITRO Fauziyah Harahap, Muhammad Hamzah Solim Jurusan Biologi, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Medan, Jalan Willem Iskandar Pasar V Medan, 20224 Email: [email protected], [email protected] ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan data pengaruh penggunaan pupuk daun (GrowMore) dan air kelapa dengan dosis yang berbeda terhadap pertumbuhan tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) varietas Granola. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni - September 2013 di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman YAHDI Medan Marelan. Desain penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap non Faktoial dengan 6 taraf perlakuan, yaitu GrowMore (Gr) 2 gr/l + Air Kelapa (AK) 0, 50, 100, 150, 200 dan 250 ml/l dengan 4 kali ulangan. Proses pengamatan dilakukan selama 12 minggu. Parameter yang diamati adalah jumlah tunas, jumlah daun dan jumlah akar. Hasil analisis secara statistik menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sangat signifikan penggunaan pupuk daun (growMore) dan air kelapa terhadap jumlah tunas dan jumlah daun, tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah akar. Perlakuan Gr+AK150 menghasilkan rata-rata jumlah tunas tertinggi (4,5 tunas) dan jumlah daun (26,5 helai). Beberapa perlakuan dapat memunculkan akar namun Gr+AK200 menghasilkan jumlah akar tertinggi (3 akar). Secara morfologi, semua tanaman memiliki batang dan daun yang berwarna hijau muda keputih-putihan. Kata kunci: Air kelapa, Growmore, Kentang PENDAHULUAN Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah salah satu tanaman sayuran yang cocok dibudidayakan di daerah tropis yang bercurah hujan tinggi seperti di Indonesia. Pemanfaatan tanaman kentang terletak pada umbinya. Efendi dkk (2004), menyatakan bahwa umbi kentang memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi yakni 19,10 gram/100 gram. Selanjutnya Martunis (2012) menjelaskan bahwa kandungan patinya sebesar 82,09 gram/100 gram. Kandungan pati dan karbohidratnya yang tinggi menjadikan tanaman ini berpotensi untuk diversifikasi pangan menggantikan beras (Andriyanto, 2013). Di samping itu, permintaan kentang terus meningkat secara signifikan seiring bertambahnya penduduk dan segmen pasar yang semakin luas. Namun, hal ini terkendala karena bibit lokal yang bermutu sangat terbatas. Akibatnya, pemerintah harus mengimpor bibit bermutu dari luar negeri namun harganya masih sangat mahal (Andriyanto, 2013). Salah satu solusi alternatif untuk mengatasi hal itu adalah dengan menggunakan teknik kultur jaringan (Yusnita, 2003). Teknik kultur jaringan merupakan teknik modern yang aplikatif dalam menghasilkan tanaman kentang bermutu dan bebas patogen (Hartus, 2001). Penggunaan GrowMore dalam penelitian ini digunakan untuk menggantikan media pertumbuhan kentang karena kandungan bahan organik pada GrowMore cukup baik untuk induksi pertumbuhan tanaman. Pupuk jenis ini cukup berpengaruh pada jumlah tunas dan jumlah daun suatu tanaman seperti penelitian Fahruroh (2008) yang menggunakan kombinasi GrowMore dan GrowQuick F terhadap tanaman Adenium sp. Dalam penelitian tersebut dosis GrowMore yang rendah (0,5-0,75 gram) sudah menunjukkan pengaruh terhadap jumlah tunas dan jumlah daun Adenium sp. Penambahan air kelapa bertujuan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman kentang. Hal ini dikarenakan di dalam air kelapa terdapat kandungan bahan organik dan zat pengatur tumbuh golongan sitokinin (Harahap, 2011). Selain itu, air kelapa berperan dalam mendorong pertumbuhan tanaman, pertumbuhan akar, meningkatkan efisiensi penggunaan unsur Nitrogen, meningkatkan tekanan osmotik dan kapasitas buffer media (Pisesha, 2008). GrowMore dan air kelapa mudah didapat di pasaran dan harganya tergolong murah sehingga dapat digunakan sebagai media alternatif dalam menghasilkan bibit tanaman kentang untuk skala produksi dan untuk pengembangan kentang komersial. Kentang yang dipakai adalah kentang varietas Granola, karena kentang ini merupakan varietas unggul, produktivitas bisa mencapai 20-26 ton/ha. Varietas ini juga tahan terhadap penyakit 164 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 kentang pada umumnya. Pada kentang varietas lain kerusakan akibat penyakit bisa mencapai 30%, sedangkan varietas Granola hanya 10%. (Kusmana & Sofiari, 2007). BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus hingga November 2013 di Laboratorium Kultur Jaringan YAHDI Jalan Perum Lambung No 16 Tanah 600 Medan Marelan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) non faktorial dengan 4 ulangan. Eksplan berupa batang tanaman kentang varietas Granola yang berasal dari subkultur kedua in vitro di laboratorium Kultur Jaringan Tanaman YAHDI. Alat-alat yang digunakan yaitu Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), botol kultur dan tutup, autoklaf, rak kultur, pH indikator, kertas milimeter dan alat-alat kultur jaringan standar. Bahan-bahan yang digunakan yaitu eksplan batang kentang, media MS, GrowMore, air kelapa, alkohol 96%, alkohol 70%, HCl 0,1 N, KOH 0,1 N, akuades steril, deterjen dan klorox. Eksplan diberi 6 perlakuan, yakni dengan media GrowMore 2 gram (Gr) + Air Kelapa 0 ml (AK0), Air Kelapa 50 ml (AK50), Air Kelapa 100 ml (AK100), Air Kelapa 150 ml (AK150), Air Kelapa 200 ml (AK200) dan Air Kelapa 250 ml (AK250). Pengamatan dilakukan selama 12 minggu setelah tanam (12 MST). Parameter yang diamati adalah jumlah tunas, jumlah daun dan jumlah akar kentang. HASIL DAN PEMBAHASAN Waktu Munculnya Tunas Tunas kentang muncul pada usia 2 MST dari perlakuan GrowMore dan air kelapa 150 ml/l. Kemudian diikuti perlakuan GrowMore dan air kelapa 100 ml/l pada usia 3 MST. Semua tunas muncul pada setiap perlakuan pada usia 5 MST. Kombinasi GrowMore dan kelapa dengan dosis rendah menunjukkan waktu munculnya tunas lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan aktivitas air kelapa yang mengandung hormon sitokinin dapat merangsang pertumbuhan tunas. Penambahan air kelapa tersebut sangat berperan dalam mendorong pertumbuhan tanaman (Pisesha, 2008). Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dengan dosis yang rendah, kombinasi GrowMore 2 gram dan air kelapa (100 dan 150 ml/l) sudah mampu memunculkan tunas lebih cepat. Jumlah tunas Hasil uji ANAVA menunjukkan bahwa GrowMore dan air kelapa memberi pengaruh sangat signifikan terhadap jumlah tunas (12 MST). Perlakuan GrowMore dan air kelapa 150 ml/l menunjukkan jumlah tunas tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, yaitu rata-rata 4,5 tunas pada minggu ke-12 (gambar 1 dan 2). Penggunaan GrowMore dengan dosis yang rendah sudah mampu membantu dalam memunculkan tunas pada tanaman kentang (tabel 1). Sejalan dengan penelitian Fahruroh (2008) yang menyatakan bahwa penggunaan GrowMore dengan dosis yang rendah mampu memunculkan tunas dan panjang tunas. Tabel 1. Uji DMRT jumlah tunas kentang umur 12 MST Perlakuan Jumlah Rataan Notasi 4 1 a Gr2+ AK0 2 a Gr2+ AK50 8 9 2,25 a Gr2 + AK100 18 4,5 b Gr2+ AK150 2 0,5 a Gr2+ AK200 3 0,75 a Gr2+ AK250 Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan beda tidak nyata (DMRT taraf 5%). 165 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Gambar 2. Jumlah tunas tanaman kentang hasil perlakuan 3 ppm 2,4-D usia 12 MST Dalam penelitian ini penambahan air kelapa yang terlalu tinggi dapat menghambat jumlah tunas, seperti penambahan air kelapa 200 dan 250 ml/l dengan pupuk daun GrowMore menghasilkan rata-rata 0,5 dan 0,75 tunas (tabel 1). Sejalan dengan itu, Surachman (2011) juga menyebutkan bahwa pemberian air kelapa yang tinggi pada media dasar dapat menurunkan jumlah tunas pada tanaman Nilam (Pogostemon cablin). Jumlah Daun Hasil uji ANAVA menunjukkan bahwa GrowMore dan air kelapa memberi pengaruh sangat signifikan terhadap jumlah daun tanaman kentang (12 MST). Perlakuan Growmore dan air kelapa 150 ml/l menunjukkan jumlah daun tertinggi, yaitu diperoleh rata-rata 26,5 daun pada minggu ke-12 (gambar 3 dan 4). Tabel 1. Uji DMRT jumlah daun kentang umur 12 MST Perlakuan Jumlah Rataan Notasi 19 4,75 a Gr2+ AK0 49 12,25 a Gr2+ AK50 51 12,75 a Gr2 + AK100 106 26,5 b Gr2+ AK150 28 7 a Gr2+ AK200 40 10 a Gr2+ AK250 Pemakaian pupuk daun (GrowMore) dapat mempengaruhi jumlah daun pada tanaman kentang. GrowMore dengan dosis yang rendah sudah mampu memunculkan banyak daun (tabel 1). Fahruroh (2008) menggunakan GrowMore dengan dosis yang rendah (0,5 – 1 gram) pada tanaman Adenium sp. sudah dapat memunculkan banyak daun pada tanaman tersebut. Gambar 3. Rata-rata jumlah daun pada media GrowMore dan air kelapa 166 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Uji DMRT menunjukkan bahwa perlakuan GrowMore dan air kelapa 150 ml/l menghasilkan rata-rata jumlah daun 26,5 yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya pada taraf kepercayaan 95%. Gambar 4. Jumlah daun tanaman kentang hasil perlakuan 3 ppm 2,4-D usia 12 MST umur 12 MST Disamping itu, penggunaan air kelapa yang berlebihan dapat menghambat pertumbuhan daun, seperti kombinasi GrowMore dan air kelapa 200 dan 250 ml/l. Rata –rata jumlah daun yang dihasilkan berturut-turut adalah 7 dan 10 helai daun. Sejalan dengan penelitian Pisesha (2008) yang menyebutkan bahwa penggunaan air kelapa dengan dosis yang tinggi ke dalam media kultur jaringan dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan daun tanaman Poinsettia (Euphorbia pulcherrima) dan Surachman (2011) juga menyatakan bahwa kadar air kelapa yang berlebihan dapat menghambat jumlah daun pada tanaman Nilam (Pogostemon cablin). Hal ini dikarenakan di dalam air kelapa mengandung sitokinin endogen, maka jika digunakan dalam dosis yang tinggi akan menghambat pertumbuhan daun. Jumlah akar Hasil uji ANAVA menunjukkan bahwa GrowMore dan air kelapa memberi pengaruh tidak signifikan terhadap jumlah akar tanaman kentang (12 MST). Walaupun begitu, perlakuan Growmore dan air kelapa 200 ml/l menghasilkan jumlah akar sebanyak 3 akar dengan rata-rata 0,75 (gambar 6). Kemudian diikuti pada perlakuan GrowMore dan air kelapa 50 ml/l, air kelapa 100 ml/l dan air kelapa 250 ml/l. Tabel 3. Pengaruh Media GrowMore dan Air Kelapa terhadap Jumlah Akar umur 12 MST Perlakuan Jumlah Rata-rata 0 0 Gr+ AK0 1 0,25 Gr+ AK50 1 0,25 Gr + AK100 0 0 Gr+ AK150 3 0,75 Gr+ AK200 1 0,25 Gr+ AK250 Gambar 5. Kemunculan akar tanaman kentang hasil perlakuan 3 ppm 2,4-D usia 12 MST 167 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Gambar 6. Rata-rata jumlah akar pada media Growmore dan air kelapa Munculnya akar dalam penelitian ini dikarenakan adanya peran air kelapa yang dikombinasikan dengan GrowMore, hal ini sejalan dengan penelitian Pisesha (2008) yang menyatakan bahwa penambahan air kelapa dapat memunculkan akar pada tanaman Poinsettia (Euphorbia pulcherrima). Morfologi Planlet Berdasarkan hasil pengamatan, morfologi tanaman kentang varietas Granola memiliki daun yang berwarna hijau muda keputih-putihan. Hal yang sama juga terlihat pada batangnya. Batang tanaman kentang sebagian besar berwarna agak pucat. Morfologi ini tampak setelah tanaman kentang berumur diatas 9 MST (gambar 7). a. b. c. d. e. f. Gambar 7. Morfologi planlet kentang usia 9 MST dari 6 perlakuan: a) Gr+AK0, b) Gr+AK50, c) Gr+AK100, d. Gr+AK150, e) Gr+AK200, f) Gr+AK250 Dari penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis air kelapa yang digunakan maka morfologi tanaman kentang cenderung memucat (putih susu), namun tidak terjadi vitrifikasi. 168 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 KESIMPULAN Penelitian ini menunjukkan bahwa pupuk daun (GrowMore) dan air kelapa berpengaruh sangat signifikan terhadap jumlah tunas dan jumlah daun, tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah akar. Kombinasi perlakuan terbaik untuk menginduksi pertumbuhan tunas terbanyak kentang varietas Granola adalah dengan menggunakan pupuk daun (GrowMore) dan air kelapa dengan komposisi media Gr2+AK150 yaitu 6 tunas (rata-rata 4,5 tunas). Jumlah daun terbanyak terdapat pada media Gr2+AK150 yang menghasilkan 46 daun (rata-rata 26,5 daun). Untuk jumlah akar, pada minggu ke-12 dijumpai pada media Gr2+AK200 sebanyak 3 akar (rata-rata 0,70 akar), kemudian pada Gr2+AK50, Gr2+AK100 dan Gr2+AK250 masing-masing 1 akar (rata-rata 0,25 akar). Secara morfologi semua tanaman kentang memiliki batang dan daun yang berwarna hijau muda keputih-putihan. SARAN GrowMore dan air kelapa dengan dosis rendah dapat digunakan sebagai media alternatif dalam menghasilkan bibit tanaman kentang untuk skala produksi dan pengembangan kentang komersial. DAFTAR PUSTAKA Andriyanto, F., Setiawan, B., Riana, F.D., (2013), Dampak Impor Kentang Terhadap Pasar Kentang di Indonesia, HABITAT 24(1): 64-76 Efendi, M.N., Nurnadiah, R.N. dan Endang V.A.B., (2004), Manfaat Kentang Bagi Kesehatan, Buletin Teknopro Hortikultura, Departemen Pertanian, Ragunan Fahruroh, W., (2008), Pengaruh pupuk growmore (20:20:20) dan growQuick f terhadap pertumbuhan entres adenium (Adenium obesum) setelah pemangkasan, Fakultas Pertanian, Bogor Harahap, F., (2011), Kultur Jaringan Tanaman, FMIPA UNIMED, Medan Hartus, T., (2001), Usaha Pembibitan Kentang Bebas Virus, Penebar Swadaya, Jakarta Karjadi, A. K., dan Buchory A., (2008), Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Jaringan Meristem Kentang Kultivar Granola, Jurnal Hortikultura, 14(4): 380384 Karjadi, A. K., dan Buchory A., (2008), Pengaruh varietas dan Komposisi Media dalam Menumbuhkan Stek Kentang In vitro, Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang, Departemen Pertanian, bandung Kusmana dan Sofiari, E., (2007), Karakterisasi Kentang Varietas Granola, Atlantic dan Balsa dengan Metode UPOV, Buletin Plasma Nutfah 13(1): 27-33 Martunis, (2012), Pengaruh Suhu Dan Lama Pengeringan Terhadap Kuantitas Dan Kualitas Pati Kentang varietas Granola, Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia, 4(3): 26-30 Pisesha, (2008), Pengaruh Konsentrasi IAA, IBA dan Air Kelapa terhadap Pembentukan Akar Poinsettia (Euphorbia pulcherrima Wild et Klotzch) In vitro, Fakultas Pertanian IPB, Bogor Riduwan, (2011), Dasar – dasar Statistika, Alfabeta, Bandung Sudjana, (2002), Metoda Statistika, Tarsito, Bandung Surachman, D., (2011), Teknik Pemanfaatan Air Kelapa untuk Perbanyakan Nilam secara In vitro, Buletin Tenknik Pertanian (16)1: 31-33 Yusnita, (2003), Kultur Jaringan: Cara memperbanyak tanaman secara efisien, Agromedia Pustaka, Jakarta 169 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 STRUKTUR DAN KOMPOSISI EPIFIT VASKULAR DI KEBUN KELAPA SAWIT AEK PANCUR-PPKS, TANJUNG MORAWA, SUMATERA UTARA Fitra Suzanti1, Retno Widhyastuti2, Suci Rahayu2, Agus Susanto3 1 Mahasiswa Pascasarjana Biologi Universitas Sumatera Utara Dosen Pascasarjana FMIPA Biologi Universitas Sumatera Utara 3 Ketua Kelompok Peneliti Proteksi Tanaman PPKS Marihat Sumut Jl. Bioteknologi no. 1 kampus USU medan. Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected] 2 ABSTRAK Selama ini kehadiran epifit di perkebunan kelapa sawit belum menjadi perhatian sehingga perkebunan memperlakukan epifit tidak seragam. Penelitian untuk mengetahui struktur dan komposisi epifit vaskular di kebun kelapa sawit Aek Pancur penting sebagai data awal untuk mengelola perkebunan di Indonesia khususnya kelapa sawit. Penelitian dilaksanakan dari Oktober sampai Desember 2012. Pengambilan sampel dilakukan di perkebunan kelapa sawit milik Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Aek Pancur, dengan mengelompokan sawit menjadi 3 kelompok umur yang berbeda yaitu 1-5 tahun, 6-15 tahun dan diatas 15 tahun. Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan membuat plot berukuran 20x20m sebanyak 5 plot per kelompok umur. Metode peletakan plot dilakukan dengan purposive sampling. Hasil yang diperoleh adalah terdapat 34 jenis dari 24 suku epifit vaskular di kebun kelapa sawit Aek Pancur. Jenis yang mempunyai Indek Nilai Penting (INP) tertinggi adalah Nephrolepis biserrata, epifit pada tanaman sawit kelompok umur 1-5 tahun (66,93). Pada kelompok umur 6-15 tahun juga jenis Nephrolepis biserrata dengan nilai 66,22. Pada kelompok umur diatas 15 tahun jenis Vittaria elongata mempunyai INP tertinggi yaitu 78,45. Kata Kunci: Epifit vascular, kelapa sawit, struktur komposisi PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan primadona perdagangan ekspor Indonesia. Ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya terus meningkat setiap tahunnya. Kelapa sawit juga menjadi sumber penerimaan pajak yang besar. Pajak bumi dan bangunan yang dapat diperoleh adalah sekitar Rp 26.263 miliar dengan asumsi luas areal perkebunan kelapa sawit sekitar 5.247.171 hektar dan dengan tarif pajak Rp 5.000 per hektar per tahun (Darmosarkoro, 2006). Disisi lain konversi hutan alami menjadi habitat antropogenik mempunyai konsekwensi bagi keanekaragaman hayati. Secara umum, nilai keanekaragaman hayati perkebunan kelapa sawit sangat sedikit dibandingkan dengan hutan alam dan juga sering lebih rendah dari hutan terganggu dan tanaman perkebunan lainnya. Hanya sekitar 23% kekayaan hutan alami terdapat di perkebunan kelapa sawit ( Fitzherbert et al. 2008). Epifit adalah satu bentuk hidup yang pertama kali terpengaruh oleh perubahan hutan primer karena mereka menempati kanopi hutan. Perbedaan kekayaan spesies dan komposisi epifit vascular antara ekosistem alami dan ekosistem binaan manusia sering terkait dengan intervensi manusia (Hietz, 1999; Wolf, 2005). Jenis spesies dan berapa banyak spesies yang hilang tergantung pada besarnya gangguan dan jenis vegetasi yang menggantikan hutan alami, tapi sangat sedikit sekali diketahui keanekaragaman epifit selain di hutan primer (Hietz, 1999). Padahal pemahaman ekologi yang lebih baik dari ekosistem yang dimodifikasi manusia adalah perlu untuk mendukung pelaksanaan konservasi tingkat lanskap (Brown dan lugo, 1990, Hitz et al. 2001). Menurut Ginting et al. (2004), epifit yang tumbuh di perkebunan kelapa sawit, umumnya berupa pakis-pakisan, beringin dan kayu lainnya. Selama ini perkebunan memperlakukan epifit tidak seragam, karena memang belum ada rekomendasi dari pihak manapun tentang tindakan yang seharusnya dilakukan. Penelitian untuk mengetahui struktur dan komposisi epifit vascular di kebun Aek Pancur perlu dilakukan sebagai data awal untuk pengelolaan epifit di perkebunan kelapa sawit. Pengelolaan perkebunan yang lebih baik dengan mengembangkan performa ekonomi tanpa mengabaikan tanggung jawab social dan lingkungan merupakan model yang ingin dicapai oleh perkebunan yang berkelanjutan. 170 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2012. Pengambilan data lapangan dilakukan di kebun milik Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Desa aek Pancur Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Identifikasi epifit dilakukan di Laboratorium biologi USU dan Herbarium Medanense USU. Untuk memudahkan analisa data maka kelapa sawit dikelompokan menjadi tiga kelompok umur yang berbeda yaitu umur 1-5 tahun, 6-15 tahun dan >15 tahun. Masing-masing kelompok umur dibuat plot berukuran 20 x 20m, sebanyak 5 plot sehingga jumlah seluruh plot pengamatan adalah 15 plot. Metode peletakan plot dilakukan dengan purposive sampling. Jumlah pohon yang diamati dalam satu plot adalah 3 pohon. Pengamatan epifit yang tumbuh di batang dan di kanopi dilakukan dengan cara memanjat atau menggunakan galah penjangkau. Bila cara tersebut tidak memungkinkan, pengamatan dilakukan dengan bantuan binokuler. Pada masing-masing pohon diamati jenis epifit dan jumlahnya. Untuk jenis yang sudah diketahui langsung dicatat, dan yang belum diketahui diambil sampelnya untuk dibuatkan spesimen herbariumnya. Untuk mengetahui komposisi floristik epifit pada tiap kelompok umur dilakukan analisis kuantitatif dengan menghitung nilai kerapatan (K) dan kerapatan relative (KR) tiap jenis. Untuk mengetahui dominasi jenis dilakukan dihitung Frekuensi (F) dan Frekuensi Relatif (FR) dan Indek Nilai Penting (INP). HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 34 jenis epifit vascular di Kebun Aek Pancur, yang terdiri 23 suku (Tabel 1). Dari jumlah tersebut tidak semua jenis ditemukan pada setiap kelompok umur. Pada kelompok umur 1-5 tahun ditemukan 22 jenis, pada kelompok umur 6-15 tahun ditemukan 26 jenis dan pada kelompok umur >15 tahun hanya ditemukan 12 jenis. Tingginya jumlah jenis epifit vascular pada kelompok umur 6-15 tahun karena pada umur ini pelepah kelapa sawit sudah banyak sehingga epifit mempunyai media tumbuh yang juga banyak. Sisa potongan pelepah ini akan menampung banyak debu, serasah dan nutrisi lainnya serta air sehingga menciptakan habitat yang baik untuk pertumbuhan beberapa jenis epifit vascular. Piggott, (1988) menyatakan bahwa epifit dapat dengan mudah tumbuh di kelapa sawit karena kondisi cahaya yang tinggi dan adanya tunggul sisa pelepah sebagai perangkap bahan organik. Jumlah jenis epifit pada kebun kelapa sawit di Aek Pancur lebih sedikit dibandingkan dengan epifit di hutan alami. Aththorick et al, 2005 menemukan 47 jenis makroepifit di Hutan Wisata Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser Kabupaten Langkat. Kondisi hutan alami yang terdiri dari bermacam jenis pohon, menyediakan tempat hidup bervariasi bagi epifit. Kelembaban yang tinggi dan iklim mikro yang mendukung mengakibatkan banyak epifit yang cocok hidup. Sementara itu di kebun kelapa sawit epifit hanya mempunyai inang sejenis sehingga kondisi seluruh kebun hampir sama dan miskin akan mikro habitat yang dibutuhkan oleh epifit tertentu. Perbedaan iklim mikro juga mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi dan keragaman epifit vascular di kebun sawit. Perubahan iklim mikro dan peningkatan cekaman kekeringan mengakibatkan penurunan kehadiran dan kelangsungan hidup epifit vascular (Werner, 2005). 171 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 1. Keanekaragaman Jenis Epifit vascular di Kebun Aek Pancur No Famili Jenis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Davalliaceae Nephrolepidaceae 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Thelypteridaceae 24 25 26 Cucurbitaceae Moraceae Asteraceae Davallia divaricata Blume Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott Nephrolepis sp. Goniophlebium verrucosum J. Sm. In Hk Vittaria elongata Sw. Vittaria ensoformis Sw. Pteris ensiformis Burm. F. Tectaria barberi (Hook.) Copel Stenochlaena palustris (Burm.) Bedd. Diplazium sp2. Asplenium nidus L. Amphineuron opulentum (Kaulf.) Holttum Christella dentata (Forssk) Holttum. Elaeis guineensis Jacq. Eriochloa polystachya Kunth. Commelina nudiflora L. Alocasia macrorrhiza (L.) Schott Homalomena rubra Hassk. Clidemia hirta (L.) D. Don. Phyllanthus niruri L. Solanum blumei Blume Solanum trilobatum L. Hoya sp. Gymnopetalum integrifolium (Roxb.) Kurz Ficus sp. Emilia sp. Acmella paniculata (Wall. Ex DC.) R.K. Jansen Laportea interrupta (L) Chew Borreria setidens (Miq.) Bold. Hedyotis congesta R.Br.ex G.Don Asystasia intrusa (Forssk.) Blume Thunbergia sp. Peperomia pellucida (L.) Kunth Cleome rutidosperma DC. 27 28 29 30 31 32 33 34 Polypodiceae Vittariaceae Pteridaceae Dryopteridaceae Blechnaceae Athyriaceae Aspleniaceae Arecaceae Commelinaceae Araceae Melastomataceae Euphorbiaceae Solanaceae Apocynaceae Urticaceae Rubiaceae Acanthaceae Capparaceae Jumlah (2000 m2) Keterangan: + : ditemukan; - : tidak ditemukan 1-5 + + + + + - Umur 6-15 > 15 + + + + + + + + + + + + + + + + - Jumlah 621 7176 84 4518 6678 210 6 9 93 6 3 6 + + + + + + + + + + + + + + + + + + - + + + - 27 531 12 36 15 3 297 6 99 39 30 21 + + - + - + 9 3 9 + + + + + + 22 + + + + + + 26 + + 12 33 159 6 633 18 318 30 21744 Berdasarkan jumlah individunya dapat dilihat bahwa tiga jenis yang paling dominan di kebun kelapa sawit adalah Nephrolepis biserrata, Vittaria elongata dan Goniophlebium verrucosum dengan jumlah 7176, 6678 dan 4518 individu. Hal ini menunjukan bahwa jenis-jeins ini adalah epifit yang dapat bertahan dan mengambil manfaat dengan kondisi di kebun kelapa sawit yang cenderung kering dan cerah. Perbedaan kekayaan spesies dan komposisi epifit vascular antara ekosistem alami dan ekosistem binaan manusia seringkali berhubungan dengan intervensi manusia. Gangguan antropogenik secara langsung berhubungan dengan penurunan keanekaragaman epifit (Hietz, 1999; Wolf, 2005). Spesies yang membutuhkan naungan dan kelembaban tinggi akan mengalami penurunan kelimpahan atau secara local punah. Sebaliknya spesies yang tahan kekeringan dapat mengambil 172 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 manfaat dari gangguan antropogenik dan mungkin lebih baik jika hidup di lingkungan yang dikelola manusia dari pada ekosistem alami (Barthlott at al. 2001; Werner et al. 2005; Hietz et al. 2006). Pada tanaman kelapa sawit epifit biasanya memanfaatkan sisa potongan pelepah daun sebagai tempat tumbuhnya, karena disinilah banyak terakumulasi debu-debu, serasah dan nutrisi lainnya yang dibutuhkan oleh epifit untuk tumbuh dan berkembang. Hal ini mengakibatkan perbedaan umur kelapa sawit yang otomatis berbeda pula kondisi batang dan pelepah sawitnya akan mempengaruhi keberadaan epifit. Perbedaan umur akan mempengaruhi kondisi batang sawit dan pelepahnya sebagai tempat tumbuh epifit di kebun kelapa sawit. Kelapa sawit yang masih berumur 1-5 tahun mempunyai pohon yang pendek dan batangnya masih utuh atau belum dipotong pelepahnya. Kalaupun ada yang sudah dipotong pelepahnya hanya sedikit sekali biasanya tidak lebih dari 10 pelepah. Kelapa sawit yang berumur 6-15 tahun pelepahnya yang dipotong sudah banyak dengan tinggi batang sekitar 1-10m sedangkan kelapa sawit yang berumur >15 tahun biasanya pelepahnya mulai lepas sehingga batangnya kelihatan gundul sebagian. Setelah dilakukan analisis data didapatkan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Indeks Nilai Penting (INP) epifit vascular pada tiga kelompok umur kelapa sawit (Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4). Kerapatan Relatif pada kelompok umur 1-5 tahun berkisar antara 0,07 sampai 57,67. Tiga jenis yang mempunyai KR tertinggi adalah Nephrolepis biserrata, Asystasia intrusa dan Elaeis guneensis dengan nilai berturut-turut 57,67, 10,55 dan 9,42. Adapun jenis yang mempunyai nilai KR terendah adalah Asplenium nidus, Commelina nudiflora dan Emilia sp. Dengan nilai 0,07. Nilai Frekuensi Relatif (FR) tertinggi pada kelompok umur 1-5 tahun berkisar antara 1,85 sampai 9,26. Jenis yang mempunyai nilai FR terbesar adalah Asystasia intrusa, Elaeis guineensis, Nephrolepis biserrata dan Peperomia pellucida. Berdasarkan nilai KR dan FR didapatkan Indek Nilai Penting (INP) dari masing-masing jenis epifit. Jenis yang mempunyai Indek Nilai Penting (INP) tertinggi adalah Nephrolepis biserrata, Asystasia intrusa dan Elaeis guineensis dengan nilai berturut-turut 66,93%, 19,81% dan 18,68% (Tabel 2). Tabel 2. Indek Nilai Penting Jenis Epifit Vaskular pada kelompok umur 1-5 tahun di Kebun Aek Pancur No Jenis Epifit Individu KR(%) FR(%) INP 1 3 0.07 1.85 1.92 Asplenium nidus 2 450 10.55 9.26 19.81 Asystasia intrusa 3 9 0.21 1.85 2.06 Borreria setidens 4 6 0.14 1.85 1.99 Christella dentate 5 12 0.28 3.7 3.98 Cleome rutidospermae 6 24 0.56 3.7 4.26 Clidemia hirta 7 21 0.49 3.7 4.19 Laportea interrupta 8 3 0.07 1.85 1.92 Commelina nudiflora 9 117 2.74 7.41 10.15 Davallia divaricata 10 Elaeis guineensis 402 9.42 9.26 18.68 11 Emilia sp. 3 0.07 1.85 1.92 12 Eriochloa polystchia 12 0.28 3.7 3.98 13 Ficus sp. 6 0.14 3.7 3.84 14 Goniophlebium verrucosum 315 7.38 7.41 14.79 15 Gymnopetalum integrifolium 21 0.49 3.7 4.19 16 Hedyotis congesta 6 0.14 1.85 1.99 17 Hoya sp. 24 0.56 1.85 2.41 18 Nephrolepis biserrata 2460 57.67 9.26 66.93 19 Peperomia peluucida 279 6.54 9.26 15.8 20 Pteris ensiformis 6 0.14 3.7 3.84 21 Solanum blumei 81 1.9 7.41 9.31 22 Solanum trilobatum 6 0.14 1.85 1.99 Jumlah 4266 100 100 200 173 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 3. Indek Nilai Penting Jenis Epifit Vaskular Pada Kelompok Umur 6-15 tahun di Kebun Aek Pancur No Jenis Epifit Ind KR(%) FR(%) INP 1 Alocasia macrorrhiza 15 0.19 1.41 1.6 2 Amphineuron opulentum 6 0.08 1.41 1.49 3 Asystasia intrusa 165 2.08 7.04 9.12 4 Borreria setidens 150 1.89 2.82 4.71 5 Christella dentata 21 0.26 4.23 4.49 6 Cleome rutidospermae 18 0.23 2.82 3.05 7 Clidemia hirta 237 2.99 7.04 10.03 8 Laportea interrupta 12 0.15 2.82 2.97 9 Commelina nudiflora 3 0.04 1.41 1.45 10 Davallia.divaricata 153 1.93 5.63 7.56 11 Stenochlaena palustris 9 0.11 1.41 1.52 12 Diplazium sp. 6 0.08 1.41 1.49 13 Elaeis guineensis 129 1.63 7.04 8.67 14 Ficus sp. 3 0.04 1.41 1.45 15 Goniophlebium verrucosum 1533 19.31 7.04 26.35 16 Homalomena rubra 3 0.04 1.41 1.45 17 Nephrolepis biserrata 4698 59.18 7.04 66.22 18 Nephrolepis sp. 84 1.06 4.23 5.29 19 Peperomia pellucida 24 0.3 2.82 3.12 20 Phillantus niruri 6 0.08 2.82 2.9 21 Solanum blumei 18 0.23 2.82 3.05 22 Solanum trilobatum 33 0.42 7.04 7.46 23 Tectaria barberii 9 0.11 2.82 2.93 24 Thunbergia sp. 18 0.23 4.23 4.46 25 Vittaria elongate 519 6.54 7.04 13.58 26 Vittaria ensiformis 66 0.83 2.82 3.65 7938 100 100 200 Jumlah Pada kelompok umur >15 tahun nilai KR berkisar antara 0,06 sampai 64,56. Tiga jenis dengan nilai KR tertinggi adalah Vittaria elongata, Goniophlebium verrucosum dan Davallia divaricata yaitu 64,56, 27,99 dan 3,68. Nilai FR berkisar antara 2,78 sampai 13,89 dimana jenis yang mempunyai nilai FR tertinggi adalah Goniophlebium verrucosum dan Vittaria elongata. Jenis yang mempunyai INP terbesar adalah Vittaria elongata, Goniophlebium verrucosum dan Davalia divaricata dengan nilai masing-masing 78,45%, 41,88% dan 14,79%. Sedangkan nilai INP terendah adalah pada jenis Acmella paniculata yaitu 2,87.(Tabel 4). 174 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 4. Indek Nilai Penting Epifit Vaskular Pada Kelompok Umur Diatas 15 Tahun Di Kebun Aek Pancur No Jenis Epifit Individu KR(%) FR(%) INP 1 Asystasia intrusa 18 0.19 8.33 8.52 2 Acmella paniculata 9 0.09 2.78 2.87 3 Clidemia hirta 36 0.38 11.11 11.49 4 Commelina nudiflora 30 0.31 8.33 8.64 5 Davallia divaricata 351 3.68 11.11 14.79 6 Stenochlaena palustris. 84 0.88 11.11 11.99 7 Goniophlebium verrucosum 2670 27.99 13.89 41.88 8 Hoya sp. 6 0.06 5.56 5.62 9 Nephrolepis biserrata 18 0.19 5.56 5.75 10 Peperomia pellucida 15 0.16 2.78 2.94 11 Vittaria elongata 6159 64.56 13.89 78.45 12 Vittaria ensiformis 144 1.51 5.56 7.07 Jumlah 9540 100 100 200 Pada kelompok umur 1-5 tahun dan 6-15 tahun Nephrolepis biserrata, Asystasia intrusa, Goniophlebium verrucosum, Davallia divaricata merupakan jenis yang mempunyai INP tertinggi. Hal ini menunjukan bahwa jenis ini adalah jenis epifit yang dapat hidup dengan baik pada perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan pengamatan factor biotic di lapangan didapatkan suhu udara rata-rata berkisar antara 28 - 300C dan kelembaban udara antara 73 – 79%. Sedangkan pada umur >15 tahun Vittarian Elongata dan Goniophlebium verrucosum mempunyai INP tertinggi. Nephrolepis biserrata masih ada tapi dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Berdasarkan factor biotic suhu udara rataratanya adalah 29 – 300C dan kelembaban udara 70 – 72%, relative tida berbeda dengan kelompok umur lainnya. Terjadinya pergeseran jenis yang dominan kemungkinan disebabkan terjadinya perubahan struktur batang dan substrat tempat hidup epifit. Pada umur >15 tahun batang sawit sudah banyak yang lepas pelepahnya sehingga jenis-jenis yang tumbuh di pelepah seperti Nephrolepis biserrata, Goniophlebium verrucosum, Davallia divaricata dan lain-lain akan ikut lepas bersamaan dengan lepasnya pelepah. Hanya di bagian atas batang dimana masih ada pelepahnya jenis-jenis masih bertahan. Sementara Vittaria elongata dapat hidup di batang sawit walaupun tanpa pelepah. Piggot (1988) menyatakan bahwa Vittaria elongata adalah jenis epifit yang umum terdapat pada perkebunan kelapa sawit tua. KESIMPULAN 1. Struktur epifit vascular berdasarkan jenis yang mempunyai Indek Nilai Penting (INP) tertinggi pada kelompok umur 1-5 tahun adalah Nephrolepis biserrata yaitu 66,93, pada kelompok umur 615 tahun juga jenis Nephrolepis biserrata dengan nilai 66,22. Pada kelompok umur diatas 15 tahun jenis Vittaria elongata mempunyai INP tertinggi yaitu 78,45. 2. Komposisi epifit vascular di kebun kelapa sawit Aek Pancur terdiri dari 34 jenis dan 24 suku. tiga jenis yang paling dominan di kebun kelapa sawit adalah Nephrolepis biserrata, Vittaria elongata dan Goniophlebium verrucosum DAFTAR PUSTAKA Aththorick T A, N Pasaribu,Yulinda. 2005. Komposisi dan stratifikasi makroepifit di Hutan Wisata Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser. Kabupaten Langkat. Jurnal Komunikasi Penelitian. Vol. 17 (2). BarthlottW., V Schmit-Neuerburg, J Nieder, S Engwald. 2001. Diversity and abundance of vascular epiphytes; A comparison of secondary vegetation and primary montane rain forest in the Venezuelan Andes. Plant Ecology. 152: 145-156. Brown S, A E Lugo. 1990. Tropical secondary forests. J. Trop. Ecol. 5: 131–150. 175 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Darmosarkoro W. 2006. Dukungan Teknologi Mutakhir Pusat Penelitia Kelapa Sawit (PPKS) Bagi Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit.Makalah pada Seminar Inovasi Teknologi Perkebunan 2006 untuk Menunjang Revitalisasi Perkebunan. Legian, Bali 22-23 Nopember 2006. Fitzherbert E B, M J Struebig, A Morel, F Danielsen, C A Bruhl, P F Donald, B Phalan. 2008. "How will oil palm expansion affect biodiversity?". Trends in Ecology and Evolution 23: 538-45. Ginting K, E S Sutarta, R Y Purba. 2004. Pengendalian Gulma Epifit Pada Kelapa Sawit. Warta PPKS. Vol 12 (2-3): 23-27. Hietz P. 1999. Diversity and conservation of epiphytes in a changing environment. Pure Appl. Chem. 70: 2114. http://uipac.org/symposia/proceedings/phuket97/hietz.html (diakses tanggal 26 Oktober 2013). Hietz P, G Buchberger, M Winkler. 2006. Effect of Forest Disturbance on Abundance And Distribution of Epiphitic Bromeliads and Orchids. Ecotropica 12; 103-112. Piggott A G. 1988. Fern of Malaysia in colour. Tropical Press, ISBN 9677300296. Kualalumpur. Malaysia. Werner FA, J Homeier, S R Gradstein. 2005. Diversity Of Vascular Epiphytes On Isolated Remnant Trees In The Montane Forest Belt Of Southern Ecuador. Ecotropica 11; 21-40. Wolf J H D. 2005. The response of epiphytes to anthropogenic disturbance of pine-oak forests in the highlands of Chiapas, Mexico. Forest Ecology and Management, 212; 376-393. 176 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 PERANAN SENYAWA ANTIOKSIDAN EKSTRAK UMBI BENGKOANG (Pachyrrhizus erozus L.) DALAM MEREDAM AKTIVITAS 2,2-DIPHENYL-2-PICRYLHIDRAZIL (DPPH) Herla Rusmarilin, Elisa Julianti, Mimi Nurminah StafPengajar Program StudiIlmudanTeknologiPangan, FakultasPertanian USU Jl. Prof. A.Sofyan No. 3 Medan. e-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilakuka nuntuk mengetahui aktivitas anti-oksidan dari ekstrak bengkoang pada berbagai umur panen yaitu 3, 4 dan 5 bulan dengan 3 ulangan, menggunakan metode DPPH (2,2-difenil-2-pikrilhidrazil). Pelarut yang digunakan adalah hexan, methanol dan air, hingga diperoleh fraksi methanol-air dan fraksi methanol-eter. Perbandingantepungbengkoangdenganpelarutadalah 1:6 (b/v). Setiap perlakuan ditentukan kadar proksimatnya (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar serat kasar), rendemen ekstrakmertanol, fraksi methanol-air dan metanol-eterserta aktivitas antioksidannya dan nilai IC50. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa umur panen memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (p<0.01) terhadap kadar air, kadarabu, kadar lemak, kadar protein dan kadar serat kasar. Bentuk ekstrak kasar berupa cairan kental berwarna kecoklatan terbukti memiliki aktivitas antioksidan yang kuat. Kata kunci : pelarut, fraksi metanol-air, fraksi metanol-ether, aktivitas antioksidan. PENDAHULUAN Antioksidan adalah salah satu senyawa bioaktif yang dapat menurunkan prevalensi penyakit atau resiko penyakit degeneratif seperti kanker, diabetes melitus, maupun penyakit degeneratif lainnya, yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron terhadap senyawa radikal bebas, sehingga senyawa radikal bebas tersebut dapat diredam atau dinetralkan (Suhartono, 2002). Pada umumnya tanaman memiliki kandungan antioksidan yang potensial, merupakan komponen bioaktif yang dihasilkan oleh tanaman tersebut bukan merupakan komponen utama yang digunakan untuk kebutuhan hidupnya, akan tetapi berperan sebagai anti oksidatif, anti mikroba dan merupakan produk metabolit sekunder, sehingga para peneliti mulai memusatkan perhatian untuk menemukan sumber-sumber antioksidan alami dari berbagai tanaman. Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan senyawa ROS (spesies oksigen reaktif), mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta mampu menghambat peroksida lipid pada makanan. Tubuh manusia tidak memiliki cadangan antioksidan dalam jumlah berlebih, sehingga jika terjadi paparan radikal bebas berlebih baik berasal dari makanan, lingkungan, maupun tubuh, maka tubuh membutuhkan antioksidan eksogen (Sunarni, 2005). Indonesia sebagai Negara tropik yang mempunyai berbagai jenis tanaman yang berpotensi menghasilkan antioksidan, diantaranya adalah umbi bengkoang yang banyak tumbuh di Indonesia dan relatif murah, namun belum banyak terungkap secara luas manfaat dari bengkoang tersebut. Berdasarkan penelitian Lukitaningsih (2009) bahwa bengkoang mengandung senyawa antioksidan flavonoid dan phenolik seperti Trilinolein; 9,12-tricosandiene; daidzein; daidzein-7-O-ßglucopyranose;5-hydroxyl-daidzein-7-O-ß-glucopyranose; (8,9)-furanyl-pterocarpan-3-ol; dihydrofurane-2,5-dione; 2-butoxy-2,5-bis (hydroxymethyl)-tetrahydrofurane-3,4-diol;4-(2-(furane-2yl)ethyl)-2-methyl-2,5 dihydrofurane-3-carbaldehyde), sehingga selain berfungs sebagai penangkal radikal bebas yang poten, juga dapat mengabsorpsi sinar ultra violet. Flavonoid juga mempunyai kemampuan menghambat proliferasi selluler. Sel kanker yang memiliki bagian atau sisi membran yang berikatan dengan estrogen ternyata dapat dihambat pertumbuhannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengekstraksi komponen bioaktif yang bersifat antioksidan yang banyak terdapat pada umbi bengkoang yang diharapkan dapat mengurangi timbulnya penyakit degeratif. 177 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 BAHAN DAN METODE Bahan Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi bengkoang umur panen 3, 3 dan 5 bulan, diiris dengan ketebalan 2 mm, dikeringkan dengan oven blower suhu 50oC, dihancurkan, diayak dengan ayakan komersiil. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian H2SO4 pekat, CuSO4, K2SO4, NaOH 40%, H2SO4 0,02N, NaOH 0,02N, n-Hexane, akuades, dietil eter, H2SO4 0,255N, NaOH 0,313N, etanol. Analisis yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan kadar serat. Selanjutnya dilakukan ekstraksi tepung bengkoang menggunakan pelarut petroleum ether dan metanol, sehingga diperoleh fraksi metanolik-air dan metanolik-ether. Pengukuran kadar air bubuk bengkoang ditentukan dengan metode oven (Sudarmadji, et al. 1984), kadar lemak dengan menggunakan aparat soxhlet (Sudarmadji, et al. 1984), kadar protein dengan metoda kjeldhal dan kadar abu (Sudarmadji, et al. 1984). Penentuan kadar serat kasar dengan metode Apriyantono, et al. (1989). Ekstraksi komponen antioksidan ditentukan berdasarkan metode Kuncahyo dan Sunardi (2007). Bahan tepung bengkoang selanjutnya diekstrak menggunakan pelarut petroleum eter, dan ampasnya diekstrak menggunakan pelarut metanol, dipartisi dengan air dan dietil eter dihasilkan fraksi metanol-air dan metanol-eter. Ekstraksi Komponen Anti Oksidan Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan dua jenis pelarut yaitu heksan dan metanol selama 48 jam (perbandingan 1:6 ) dengan maserasi (shaker). Residu dari hasil ekstraksi kemudian diekstrak dengan metanol. Residu dicampur dengan metanol (1:6) dan dishaker selama 48 jam, setelah itu ditambahkan 100 ml air dan selanjutnya ditambah 100 ml ether untuk mempermudah pemisahan, dihasilkan fraksi metanolik-air dan metanolik-eter. Kedua fraksi selanjutnya dipekatkan dengan evaporator vakum dan gas N2. Ekstrak yang diperoleh (fraksi metanolik-air dan fraksi metanolik-ether) disimpan dalam lemari es sebelum dianalisis. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Proksimat Tepung Umbi Bengkoang pada berbagai perlakuan Analisa proksimat tepung umbi bengkoang dilakukan bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia umbi bengkoang pada berbagai umur panen (3, 4 dan 5 bulan) dengan 3 ulangan. Pengeringan umbi dengan ketebalan 2 mm adalah untuk mengurangi kadar air, sehingga dapat menurunkan efisiensi proses ekstraksi senyawa antioksidan. Kandungan air yang tinggi pada hasil ekstraksi akan membuat proses pemekatan menjadi sulit karena air memiliki titik didih yang lebih tinggi dibandingkan pelarut organik yang digunakan. Pengeringan umbi bengkoangpada berbagai umur panen dilakukan pada suhu 50oC selama 18 jam. Hasil análisis tepung bengkoang disajikan pada Tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diantara 3 perlakuan, tepung bengkoang umur panen 3 bulan memiliki kadar air yang relatif lebih tinggi yaitu sekitar 10,4939%. Kadar air yang tinggi setelah pengeringan disebabkan oleh kandungan karbohidratnya yang relatif tinggi, terutama metabolit primer seperti gula-gula sederhana dan padatanterlarutyaitu75.1621% (umurpanen 3 bulan), 76.6512% (umurpanen 4 bulan) dan 80,5410% (umurpanen 5 bulan), kadarserat pada umurpanen 3 bulanrelatifrendah. Adanyagugushidroksil pada gula alkohol dapat mengikat air lebihbanyak, satu molekul glukosa dapat mengikat 6 molekul air (Kusnandar, 2010). Tabel 1. Komposisi kimia tepung bengkoang pada berbagai umur panen JenisPerlaku Parameter an Kadarair Kadar abu (%) Kadar protein Kadar Umurpanen (%) (%) lemak (%) 3 bulan 10,4939aA 2,8678aA 9.1585bB 2,3177aA 4 bulan 9,4155bB 2,6995bA 9.8279aA 1,4059bA 5 bulan 8,8372bB 1,5391cB 8.4553cC 0,6274bb Keterangan : masing-masing perlakuan diulang 3 kali. 178 Kadar serat (%) 12,6882cB 20,2950bB 22,9323aA PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis perlakuan umur panen berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan kadar serat Perbedaan kadar air akan mempengaruhi komponen yang terkandung di dalamya.Kadar air terendah terdapat pada perlakuan A3 (umur panen 5 bulan) yaitu sebesar 8.8372%. Hal ini disebabkan umbi bengkoang dengan semakin tinggi umur panen, maka kandungan seratnya semakin meningkat, sehingga umbi bengkoang mempunyai kemampuan mengikat air yang relatif lebih besar (air terikat secara fisik), sehingga mudah dihilangkan (Minhajuddin, 2005 dalam Anonimous 2009). Terjadi peningkatan kadar pati sampai mencapai tingkat kejenuhan. Kadar abu pada umur panen yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (p<0.01). Rudrappa (2009) melaporkan bahwa umbi bengkoang mengandung mineral Na, K, Ca, Pb, Fe, Zn, Mndan Mg. Magnesium merupakan suatu mineral yang ternyata sebagai co-faktor untuk lebih dari 300 enzim metabolisme, termasuk enzim yang terlibat pada penggunaan gula tubuh dan sekresi insulin. Umbi bengkoang dapat digunakan untuk diet rendah kalori karena menghasilkan 35-39 kkal per 100 gramnya dandapat digunakan untuk memenuhi sebagian kebutuhan mineral dalam diet. Semakin tinggi umur panen, kadar abu semakin menurun, hal ini diduga setiap kegiatan biosintesis dan biogenesis tumbuhan selalu melibatkan mineral tertentu terutama pada pembentukan metabolit sekunder (Manitto, 1992). Kadar protein tepung bengkoang pada berbagai umur panen memberikan hasil yang signifikan (p<0,01) dan kadarnya relatif tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai sumber protein nabati, namun peningkatan kadar protein hanya sampai umur 4 bulan, selanjutnya kadar protein cenderung menurun. Setiap pembentukan metabolit sekunder membutuhkan enzim tertentu (Manitto, 1992). Pembentukan flavonoid dan senyawa-senyawa antioksidan berasal dari protein terutama Lphenilalanin, L-triptophan dan L tyrosin melalui jalur asam sikhimat, diduga pada umur panen 4 bulan pembentukan metabolit sekunder mengalami peningkatan (Dewick, 2002). Pada hasil penelitian menunjukkan bahwa umbi bengkoang kaya akan serat (Gambar 1) yang berperan dalam menurunkan kolesterol LDL, selain itu juga mengandung asam folat (Rudrappa, 2009) yang berperan dalam menurunkan hemosistein dalam darah. Hemosistein adalah suatu jenis asam amino yang bila kadarnya meningkat dalam darah dapat merusak pembuluh darah, sehingga meningkatkan serangan jantung dan stroke. Asam folat juga dapat untuk mencegah kerusakan otak bayi saat kelahiran, oleh karena itu ibu hamil disarankan mengkonsumsi jagung yang banyak mengandung asam folat (Mulyawan, 2009). Menurut Damayanthi dkk, 2007 (dalam Anonimous1, 2009) konsumsi dedak bekatul 85 g/hari dapat menurunkan total kolesterol sebesar 8.3% dan peningkatan kadar kolesterol HDL (kolesterol baik) sebesar 11.8%. Bahan pangan yang mengandung serat tidak larut tinggi dapat membantu wanita terhindar dari gallstone (telah dipublikasikan pada American Journal of Gastroenterology) bahwa serat tidak larut tidak hanya memberikan waktu transit yang pendek pada usus (makanan dengan cepat bergerak melalui usus), tetapi juga mengurangi sekresi asam-asam empedu, meningkatkan sensitivitas insulin dan menurunkan trigliserida (lemak darah) (Minhajuddin, 2005 dalam Anonimous1, 2009 ; The Food Meteljan Foundation, 2009), sedangkan serat larut dapat mencegah guladarah meningkat. Kadar lemak pada umbi bengkoang memberikan pengaruh yang signifikans (p<0,01). Lemak umbi bengkoang mengandung vitamin E sebesar 0,46 mg (Rudrappa, 2009). Berdasarkan penelitian (Minhajuddin, 2005 dalam Anonomous1, 2009) vitamin E mengandung tokotrienol dan tokoferol, ternyata dapat menurunkan kolesterol sebesar 42% dan LDL (kolesterol jahat) sebesar 62%. Tokotrienol terbukti secara ilmiah dapat menghambat aktivitas HMG-CoA Reduktase, sebuah enzim yang dapat mensintesa kolesterol di dalam tubuh. 179 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 25 21,3607 18,9108 Kadar serat (%) 20 15 12,6882 10 5 0 3 4 5 Umur panen (bulan) Gambar 1. Pengaruh Umur Panen Terhadap Kadar Serat. 2. Rendemen hasil analisis umbi bengkoang pada berbagai umur Hasil ekstrak petroleum eter tidak ditentukan, karena rendemen terlalu sedikit, dan telah dibuktikan oleh peneliti lain, sedangkan hasil rendemen ekstrak metanolik dapat dilihat pada Tabel 2.Hasil penelitian Lukitaningsih (2009) menemukan senyawa 9,12-tricosandiene, trilinolin, beta-sitosterol dan stigmasterol, asam palmitat dan hexadesyl pentanoat terdapat pda bengkoang menggunakan pelarut petroleum eter metode khromatografi lapis tipis dan terbukti semua senyawa memiliki aktivits peredaman terhadap radikal bebas walaupun dengan kekuatan yang berbeda. Tabel 2. Rendemenekstrakmetanolikumbibengkoang Perlakuan Beratserbuk Beratekstrakmetanolik Rendemen Rataan+standardeviasi (g) (5%) Umurpanen 3 bulan A1.1 25,0189 4,8864 19,5308 A1.2 25,7120 4,9322 19,1825 19,7158+0,6459 A1.3 25,5413 5,2191 20,4340 Umurpanen 4 bulan A2.1 25,2258 6,8248 27,0548 A2.2 25,2204 6,7748 26,8624 25,9559+1,7394 A2.3 25,0629 6,0027 23,9505 Umurpanen 5 bulan A3.1 25,0838 6,5453 26,0937 A3.2 25,0803 6,4282 25,6305 25,6089+0,4960 A3.3 25,1437 6,3117 25,1025 Keterangan: A1= umur panen 3 bulan, A2-umur panen 2 bula, A3=umur panen 5 bulan. Masing-masing perlakuan diulang 3x. Rendemen ekstrak metanolik tertinggi terdapat pada umur panen 4 bulan, demikian juga fraksi metanolik-air dan metanolik-eter (Tabel 3 dan 4), hal ini sesuai dengan hasil penentuan kadar protein yang tertinggi pada umur panen 4 bulan, diduga pada umur panen 4 bulan banyak dibentuk senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan. 180 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 3. Rendemenekstrakmetanolik-air Perlakuan Beratekstrak(g) Beratekstrakmetanolik- Rendemen (%) Rataan+standardeviasi air Umurpanen 3 bulan A1.1 4 3,5450 88,6325 A1.2 83,0067+5,7106 4 3,0886 77,2150 A1.3 4 3,3269 83,1725 Umurpanen 4 bulan A2.1 4 3,8631 96,5775 A2.2 92,5433+6,1664 4 3,8242 95,6050 A2.3 4 3,4179 85,4475 Umurpanen 5 bulan A3.1 4 3,8631 96,5775 A3.2 89,1267+12,0728 4 3,8242 95,6050 A3.3 4 3,0079 75,1975 Keterangan: A1= umur panen 3 bulan, A2-umur panen 2 bula, A3=umur panen 5 bulan. Masing-masing perlakuan diulang 3x. Tabel 4. Rendemenekstrakmetanolik-eter Perlakuan Beratekstrak (g) Beratekstrakmetanolik- Rendemen (%) Rataan+standardeviasi eter Umurpanen 3 bulan A1.1 4 0,0270 0,6750 A1.2 0,5625+ 0.2080 4 0,0276 0,6900 A1.3 4 0,0129 0,3225 Umurpanen 4 bulan A2.1 4 0,0277 06925 A2.2 0,7600+ 0,4773 4 0,0507 1,2675 A2.3 4 0,0128 0,3200 Umurpanen 5 bulan A3.1 4 0,0140 0,3500 A3.2 0,5833+ 0,3848 4 0,0149 0,3725 A3.3 4 0,0411 1,0275 Keterangan: A1= umur panen 3 bulan, A2-umur panen 2 bulan, A3=umur panen 5 bulan. Masingmasing perlakuan diulang 3x. Metode uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan radikal bebas DPPH merupakan metode yang banyak digunakan untuk menguji kekuatan antioksidan suatu komoditi karena metode ini sederhana, mudah, cepat dan peka dan hanya membutuhkan sampel yang relatif sedikit (Molyneux, 2004). Aktivitas antioksidan tertinggi fraksi metanolik-eter diperoleh pada umur panen 5 bulan pada setiap tingkatan konsentrasi, semakin tinggi umur panen kekuatan antioksidannya semakin meningkat, sedangkan fraksi metanolik air justru sebaliknya semakin tinggi umur panen kekuatan antioksidanya semakin menurun, sehingga bengkoang memiliki kandungan antioksidan yang sangat sinergis. Parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian dengan metode DPPH adalah IC50 yaitu konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk menghambat 50% radikal bebas DPPH. Semakin kecil nilai IC50 menunjukkan nilai aktivitas antioksidannya semakin kuat (Tabel 5). Molyneux (2004) menyatakan bahwa suatu komoditi yang memilki antioksidan yang sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 0,05mg/ml(<50 ppm), jika nilai kekuatannya tergolong kuat nilainya berkisar 0,05-0.10 mg/ml (50-100 ppm ), kekuatan sedang adalah berkisar 0,10-0,15 mg/ml dan kekuatannya lemah jika memilki nilai 0,15-0,20 mg/ml. 181 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 5. Nilai IC50 hasilpengujianaktivitasantioksidanpenangkapradikal DPPH No. Bahanuji IC50 (ppm) 1 BHT 2.1168+ 0.0405 a 2 Vitamin C 3.0563+0.0612b 3 fraksimetanolik-air 3 bulan 41.0990+0.5806c 4 fraksimetanolik-air 4 bulan 38.5307+0.1255d 5 fraksimetanolik-air 5 bulan 36.9921+0.7836e 6 fraksimetanolik-eter 3 bulan 44.0173+0.3284f 7 fraksimetanolik-eter 4 bulan 46.6067+0.7202g 8 fraksimetanolik-eter 5 bulan 50.4447+0.3281h KESIMPULAN DAN SARAN Analisis proksimat yang ditentukan sangat erat kaitannya dengan pembentukan metabolit sekunder yang telah dibuktikan pada penelitian ini yaitu tertingg iterdapat pada umur panen 4 bulan, Ekstrak fraksi eter dan fraksi air terbukti memiliki aktivitas antioksidan yang kuat yang dibuktikan dengan nilai IC 50 yang relatif rendah.Perlu digali secara lebih ilmiah potensi tanaman herbal di Indonesia sebagai pangan fungsional. Ucapanterimakasihditujukankepada DIPA USU yang telahmendanaiterlaksananyapenelitianini. DAFTAR PUSTAKA Astawan, M. 2009. Antioksidan Tingkatkan Pamor Bengkuang. http://ceputelecenter.wordpress.com. Diakses 30 Juli 2009. Dewick, P.M., Medicinal Natural Products: a biosynthethic approach, 2nd Ed., John Wiley and Sons Ltd, 2002, 247-272 Fery, T. 2007. AntioksidandanRadikalBebas. http:tengku-fey.ucb.ugm.ac.id. Diakses 7 Desember 2007. Goldberg, I. 1994. Functional Foods: designer foods, pharmafoods, nutraceuticals. Chapman &Hall. NewYork. Iwan, H. 2008. AntioksidanIsoflavon. BiomaUndip. http://mybioma.wordpress.com.Diakses 5 Juni 2008. Jumtunen, K.S, Laaksonen D.E., Poutanen, K.S., Niskanen, L.K. and Mykkanen H.M. 2003. Highfiber rye bread and insulin secretion and sensitivity in healthy postmenopausal women. Am J Clin Nutr.77: 385-391. Kuncahyo, I. danSunardi. 2007. UjiAktivitasAntioksidanEkstrakBelimbingWuluh (Averrhoabilimbi, L.) Terhadap 1,1-Diphenyl-2_Picrylhidrazyl (DPPH), Seminar NasionalTeknologi, Yogyakarta. Liu, Y.M and Lin K.W, 2009. Antioxidative ability, diooscorin ability, and the quality of yam chips from various yam species as affected by processing method. J.FoodSci.74(2): 118-125. Lukitaningsih, E. 2009. The Exploration of Whitening and Sun Screening Compounds in Bengkoang Roots(Pachyrhizuserosus).Dissertation. UniversitätWürzburg. Würzburg Lunn, J. And Buttriss J.L. 2007. Carbohydrates and dietary fibre. Nutrition Bulletin 32:21-64. Manitto, P. 1992. BiosintesisProdukAlami. PenerjemahKoensoemardiyah. IKIP Semarang Press. Molyneux, P., The use of the stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. 2004.Songklanakari J. Sci. Technol., 26: 211-219 Niwa, Y. 1997. Free Radicals Invite Death. Personal Care Co., LTD, Tokyo. Rudrappa, U.2009. Jicama (Yam bean) nutrition Factc. http://nutrition-and-you.com[24 September 2013] Rusmarilin, H. 2003. Aktivitas Anti-kanker Ekstrak Lengkuas Lokal (Alpinia galanga (L) Sw) Pada Alur Sel Kanker Manusia serta Mencit yang Ditransplantasi Dengan Sel Tumor Primer. Disertasi. IPB, Bogor. Ruzaidi, A., Maleyki A., Amin I., Nawalyah A.G., Muhajir H., Pauliena MBSMJ and Muskinah M.S. 2008. Hypoglycaemic properties of Malaysian cocoa (Theobroma Cacao) polyphenols-rich extract. International Food Research Journal15(3): 41-44. Sahidi, F. 1997. Natural Antioxidants.Chemistry, Health Effects, and Applications. AOAC Press, Champaign, Illinois 182 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Sofia, D.. 2006. AntioksidandanRadikalbebas, situs Web Kimia Indonesia. http:www.chemis:try.org. Diaksestanggal 28 November 2006. Sun, Y., Hliang, H., Cai, G., Guan, S., Tong, H., Yang, X., Liu, J. 2009. Sulfated modification of the water-soluble polysaccharides from Polyporusalbicans mycelia and its potential biological activities. Int. Journal of Biol. Macromol. 44:14-17. Tahir, L., Wijaya, K., Widianingsih, D., (2003). Seminar on Chemometrics-Chemistry DeptGadjahMada University. TerapanAnalisisHanschUntukAktivitasAntioksidansenyawaTurunanFalvon/Flavonol. Yogyakarta.ion and prevention of diabetes. J. Nutr.121:795-799. The George Meteljan Foundation. 2009. Millet. Whfoods.org.Food advisor.UK. Yuliasih, I., Irawadi, T. T., Saila, I. Pranamuda, H., Setyowati, K. danSunarti, T.C. 2011. Pengaruh Proses FraksinasiPatiSaguTerhadapKarakteristikFraksiAmilosa. J. TekInd Pert. Vol 17(1):2936. 183 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 SIFAT FISIOLOGI LATEKS DAN KARET TANAMAN SPESIES HEVEA M. Rizqi Darojat, Arief Rachmawan & Radite Tistama Balai Penelitian Sungei Putih Pusat Penelitian Karet PO BOX 1415 Medan 20001 Email: [email protected], [email protected], [email protected] ABSTRAK Balai Penelitian Sungei Putih mempunyai koleksi tanaman karet yang tergolong dalam genus Hevea. Laporan tertulis tentang detail produksi dari masing-masing tanaman tidak ditemukan dan hanya H. benthamiana yang telah diketahui sifat dan karakteristik bunganya. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang sifat fisiologi dan karet spesies-spesies Hevea sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pemulia tanaman pada perakitan klon unggul. Hasil penentuan sifat fisiologi menunjukkan bahwa kandungan thiol, fosfat anorganik dan sukrosa spesies Hevea masing-masing berada pada kisaran 0.24 – 0.42 mM, 8.37 – 19.65 mM dan 5.04 – 19.10 mM. Kandungan thiol tergolong rendah dan berada di bawah batas optimal yaitu 0.4 mM, kecuali H. wagga. Kandungan fosfat anorganik berada pada kisaran normal yaitu 10 – 20 mM, kecuali H. guyanensis. Sementara itu kandungan sukrosa memiliki nilai yang bervariasi pada level rendah (< 8 mM), normal (8-12 mM) dan tinggi (> 12 mM). Nilai Po dan PRI karet spesies Hevea berkisar antara 24 – 56 dan 59 – 83, sedangkan nilai viskositas mooney (VR) berkisar antara dan 23 – 37. Sampel memiliki nilai kisaran kadar kotoran 0,09 – 0,24 %, kisaran kadar abu 0,17 – 0,60 %, dan kisaran zat menguap 0,33 – 1,01 %. Menurut SNI terbaru tentang karet spesifikasi teknis (SNI 1903: 2011), semua sampel, kecuali dari H. wagga, telah memenuhi standar. Kata kunci: Hevea, fisiologi lateks, viskositas mooney, kadar abu PENDAHULUAN Karet alam merupakan bahan bersifat elastis yang dihasilkan dan dikeluarkan oleh beberapa tanaman tertentu. Sampai saat ini diketahui ada sekitar 7500 spesies tanaman yang menghasilkan karet alam dan digolongkan ke dalam tujuh famili diantaranya adalah Euphorbiaceae, Apocynaceae, Asclepiadaceae, Asteraceae, Moraceae, Papaveraceae dan Sapotaceae (Backhaus 1985; Priyadarshan 2011). Genus Hevea terdiri dari 10 spesies dan Hevea brasiliensis merupakan spesies yang paling banyak digunakan sebagai penghasil karet alam di dunia. Balai Penelitian Sungei Putih (BPSP), Pusat Penelitian Karet mempunyai koleksi tanaman karet yang tergolong dalam genus Hevea. Berdasarkan informasi dari “Peta Tanaman Koleksi Spesies Hevea” yang dibuat oleh peneliti pemuliaan Puslit Karet BPSP, koleksi tersebut merupakan tanaman yang ditanam pada 19 Maret 1986, dengan jarak tanam 6 x 4 m di Kebun Percobaan Sungei Putih terletak persis di depan kebun silang. Masing-masing spesies, kecuali H. guyanensis, ditanam dalam dua baris, namun dalam jumlah yang berbeda. Detail jumlah tanaman pada awal penanaman dan data saat ini dapat dilihat pada Tabel 1. Ada sebanyak 8 spesies dalam koleksi tersebut yaitu H. guyanensis, H. colina, H. confusa, H. wagga, H. benthamiana, H. brasiliensis, H. pauciflora, H. spruceana. Selain kedelapan spesies tersebut, ada dua nama lain yaitu Cikembang dan Cikengreng dalam koleksi tersebut. Sebagian tanaman tidak disadap karena tidak/sedikit mengeluarkan getah, ataupun mempunyai ukuran lilit batang yang relatif kecil. Laporan tertulis tentang detail produksi dari masing-masing tanaman tidak ditemukan. Hanya ada beberapa laporan yang terkait sifat dan karakteristik tanaman diantaranya tentang sifat bunga dari H. benthamiana (Azwar dan Woelan, 1990). Salah satu alasan koleksi tanaman tersebut kurang menjadi prioritas sebagai tetua persilangan adalah produksi lateks yang relatif sedikit. Hanya H. benthamiana yang memiliki produksi lateks relatif agak banyak. Alasan lainnya adalah sampai saat ini hasil jadi persilangan yang telah dilakukan tidak mendapatkan hasil memuaskan (Aidi-Daslin et al., 2013). Namun secara morfologi beberapa tanaman spesies Hevea memiliki ukuran tanaman sedang sampai besar. Selain itu sifat botani masingmasing tanaman memiliki beberapa perbedaan dalam hal habitat, tingkah laku gugur daun dan sifat sekuder yang lainnya (Priyadarshan et al., 2009). Fakta ini menunjukkan bahwa tanaman spesies Hevea dapat dimanfaatkan sifat-sifat unggulnya oleh para pemulia untuk merakit klon unggul baru. Informasi mengenai fisiologi lateks dan sifat fisik karet pada tanaman karet sangat penting untuk diketahui. Sifat fisiologi lateks berguna untuk menentukan kondisi tanaman seperti kesehatan, 184 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 potensi produksi maupun waktu buka sadap. Analisis fisiologi pada tanaman karet meliputi kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, kadar thiol, kadar magnesium, pH lateks, kadar karet kering (KKK), indeks kerusakan lutoid (Jacob et al., 1998). Sementara itu sifat fisik karet sangat berguna sebagai informasi proses pengolahan lateks menjadi bentuk bahan baku tertentu. Sifat fisik karet menentukan kualitas dan jenis produk jadi yang dihasilkan dari bahan karet alam yang digunakan. Minimnya informasi tentang genus Hevea membuka ruang untuk diadakannya penelitian tentang koleksi tanaman tersebut. Informasi tentang sifat dan karakter tertentu dari suatu keragaman genetik tentu akan bermanfaat bagi kegiatan pelestarian sumber genetik tersebut, sekaligus membuka peluang untuk diciptakannya spesies atau klon baru. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi dan database tentang sifat fisiologi dan karet tanaman genus Hevea, serta sebagai bahan pertimbangan bagi pemulia tanaman untuk perakitan klon-klon baru. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi semangat awal untuk memulai kembali penelitian-penelitian tanaman karet non Hevea brasiliensis. Tabel 1. Koleksi Tanaman Karet Genus Hevea Balit Sungei Putih Jumlah Tanaman Volume Lateks, ml No Nama Species 1 2 3 4 5 6 H. guyanensis H. colina H. confusa H. wagga H. benthamiana (F 4542) H. brasiliensis (AVROS 385) Awal 18 26 35 44 53 54 Saat ini 10 13 20 27 47 50 Disadap 6 6 0 16 22 12 Mei 160 30 0 360 530 280 Juli 640 350 0 2.220 2.900 1.920 7 8 H. pauciflora H. spruceana Total 54 36 320 43 13 223 20 5 87 290 180 1.830 360 330 8.720 Ket Pohon yang tidak disadap berukuran kecil atau hampir tidak bergetah Keterangan: Mei pada saat akhir musim trek; Juli sadap plus stimulan BAHAN DAN METODE Analisis Fisiologi Lateks Sifat fisiologi yang diamati meliputi kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik (FA), kadar thiol dan kadar karet kering (KKK). Analisis dilakukan di Laboratorium Fisiologi Balit Sungei Putih. Sampel yang digunakan yaitu larutan campuran TCA 2.5% dan lateks dengan perbandingan 1:9 (1 ml lateks dalam 9 ml TCA). Kadar sukrosa, fosfat anorganik (FA) dan thiol lateks dianalisis berdasarkan penyerapan panjang gelombang (Abs) menggunakan mesin spektofotometer. Panjang gelombang yang digunakan yaitu 627 nm untuk pengukuran sukrosa, 750 nm untuk pengukuran FA dan 412 nm untuk pengukuran thiol. Reaksi pengukuran kadar sukrosa lateks menggunakan metode anthrone (Dische, 1962), kadar FA berdasarkan prinsip pengikatan oleh ammonium molibdat yang kemuadian tereduksi oleh FeSO4 dalam reaksi asam (Taussky dan Shorr, 1953), sedangkan kadar thiol diukur berdasarkan prinsip reaksi dengan asam dithiobis nitrobenzoat (DTNB) yang membentuk TNB berwarna kuning (McMullen, 1960). Kadar karet kering diukur sebagai TSC (total solid content) melalui perbandingan % bobot kering dan bobot basah tetesan lateks pada plat gelas sebanyak 10 mg. Pengeringan dilakukan pada oven dengan suhu sekitar 100ºC selama 2 x 24 jam. Analisis Sifat Fisik Karet Analisis sifat teknis karet dilakukan di Laboratorium Pelayanan Tanjung Morawa. Penentuan sifat karet diawali dengan pembuatan krep, yaitu dengan penggumpalan lateks menggunakan asam format 5% dengan dosis 20 ml asam format untuk 1 liter lateks. Karena sampel tidak mencukupi, maka pengumpulan lateks dilakukan dalam durasi 2 kali sadap (dengan selisih 3 hari). Koagulum digiling menggunakan creper sebanyak 8 – 9 kali menjadi krep, kemudian selanjutnya dikeringkan pada suhu 120ºC selama 2 jam. Sifat teknik yang diamati meliputi nilai Po, PRI, Vr, kadar abu, kadar kotoran dan zat menguap. Kadar kotoran merupakan persentase dari bobot kotoran terhadap bobot contoh uji. Kadar abu merupakan persentase dari bobot abu terhadap contoh uji. Kadar zat menguap 185 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 merupakan persentase dari bobot yang hilang terhadap bobot contoh uji. Pengujian sifat teknik karet ini dilakukan dengan metode pengujian SIR (Anonim, 1978). HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisiologi Lateks Data sifat fisiologi lateks yang meliputikandungan thiol, fosfat anorganik dan sukrosa ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan thiol, fosfat anorganik dan sukrosa pada beberapa Spesies Hevea Nilai Tanaman Thiol (mM) FA (mM) Sukrosa (mM) 0.36 8.37 10.22 H. guianensis 0.42 13.12 19.10 H. wagga 0.24 10.85 6.56 H. benthamiana 0.24 19.65 6.61 H. brasiliensis (AVROS) 0.33 14.85 5.04 H. pauciflora 0.32 12.70 15.43 H. spruceana Kandungan thiol, fosfat anorganik (FA) dan sukrosa lateks pada beberapa spesies non-Hevea brasiliensis disajikan pada tabel 1. Nilai rata-rata thiol berkisar antara 0.24 mM – 0.42 mM. Nilai terendah dimiliki oleh spesies H. benthamiana (0.24 mM) dan tertinggi H. wagga (0,42 mM). Nilainilai tersebut masih berada pada diatas kondisi kritis yaitu 0,2 mM (Rachmawan dan Sumarmadji, 2007) namun masih dibawah nilai optimal yaitu 0.4 mM kecuali H. wagga. Namun jika dibandingan dengan kontrol (H. brasiliensis) menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda. Menurut Sumarmadji dan Tistama (2004) kandungan thiol yang optimal berkisar 0,4 mM – 0,9 mM. Kandungan thiol dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya sistem eksploitasi, musim dan umur tanaman (Sumarmadji et al. 2004; Rachmawan dan Sumarmadji, 2007; Sumarmadji dan Tistama, 2004). Kandungan thiol yang rendah menunjukkan bahwa sel atau jaringan tanaman tidak mampu untuk mengatasi kondisi stres fisiologis. Chrestin (1989) menjelaskan bahwa thiol berfungsi melindungi organel subseluler melalui proses pengikatan oksigen toksik yang merupakan radikal bebas dalam pembuluh lateks. Selain itu, defisiensi thiol akan mengakibatkan kerusakan organel sel, tertanggunya aktivitas metabolisme di dalam sel pembuluh lateks, serta memperpendek lama aliran lateks dan menurunkan produksi lateks (Jacob et al. 1989). Jika kondisi ini terus berlanjut maka akan menyebabkan penyakit kekeringan alur sadap. Kandungan fosfat anorganik (FA) lateks spesies Hevea secara umum memiliki nilai yang tinggi kecuali H. guianensis. Nilai tersebut berada pada batas kisaran optimal yaitu 10 – 20 mM. Terlihat kandungan FA lateks spesies non-H. brasiliensis memiliki nilai yang sama dengan kontrol (H. brasiliensis). Kadar FA dalam lateks yang tinggi menggambarkan metabolisme yang aktif, termasuk biosintesis lateks dalam sitosol sel pembuluh lateks. Apabila nilai FA dibawah 10 mM maka tanaman kurang kemampuannya dalam metabolisme. Namun jika lebih tinggi dari 20 mM berarti tanaman mengalami over eksploitasi atau terserang penyakit (Fay dan Jacob, 1989). Fosfat anorganik (FA) merupakan unsur penting dalam sel yang berhubungan dengan aktivitas metabolisme di dalam pembuluh lateks (Jacob, 1989). Menurut Lynen (1969) menyatakan bahwa FA terlibat dalam proses penyediaan energi dalam anabolisme sel dan dalam biosintesis isoprene melalui ikatan adenosin fosfat dan pirofosfat. Kadar sukrosa lateks rata-rata pada pesies H. wagga dan H. spruceana tergolong tinggi (>12 mM), spesies H. guianensis tergolong sedang (8 – 12 mM) dan spesies H. bentamiana, H. pauciflora dan H. brasiliensis tergolong rendah (< 8 mM). Rata-rata spesies non-H. brasiliensis memiliki kadar glukosa lebih tinggi dan mendekati kontrol (H. brasiliensis) yaitu berkisar 6.5 – 19.1 mM kecuali H. pauciflora yang memiliki kadar sukrosa dibawah kontrol. Hal ini mungkin terkait dengan kondisi umur tanaman dan frekuensi penyadapan yang dilakukan. Gohet et al. (1996) menyatakan bahwa produksi lateks dan pertumbuhan dapat berkompetisi dengan kuat dalam penggunaan sukrosa lateks. 186 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Lebih lanjut pada penelitian sebelumnya didapatkan bahwa peningkatan frekuensi sadap menurunkan kadar sukrosa pada klon PB 260 (Sumarmadji dan Tistama, 2004). Kadar sukrosa lateks dapat menggambarkan ketersediaan bahan baku untuk pembentukkan partikel karet. Sukrosa merupakan molekul prekursor dalam pembentukkan poliisoprena. Namun tinggi rendahnya kandungan sukrosa lateks tidak dapat menjadi acuan terhadap produktivitas tanaman karet. Kadar sukrosa lateks yang tinggi dalam pengamatan tidak dapat langsung menggambarkan produksi aktual yang tinggi. Kondisi demikian justru bisa mengindikasikan produksi yang rendah karena sejumlah sukrosa mungkin tidak dapat disintesis menjadi lateks. produksi lateks dan pertumbuhan dapat berkompetisi dengan kuat dalam penggunaan sukrosa lateks (Gohet et al., 1996). Lebih lanjut Jacob et al. (1989) menyatakan bahwa sukrosa cenderung diakumulasikan ketika regenerasi in situ telah selesai. Sifat Teknis Karet Data sifat teknis krep yang meliputi PRI, Po, VR, kadar abu, kadar kotoran dan zat menguap ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3. Sifat teknis krep tanaman genus Hevea Tanaman Po PRI 47 83 H. guianensis 56 72 H. wagga 46 59 H. benthamiana 50 69 H. brasiliensis (AVROS 385) 56 74 H. pauciflora 24 73 H. spruceana VR 29 29 29 30 37 23 Abu 0,35 0,59 0,54 0,60 0,48 0,17 Kotoran 0,17 0,24 0,09 0,16 0,06 0,16 Zat Menguap 0,37 1,01 0,49 0,39 0,45 0,33 Nilai PRI karet tanaman Hevea berkisar antara 59 – 83. Nilai PRI terendah terdapat pada H. benthamiana, sedangkan yang tertinggi terdapat pada H. guyanensis. Semua nilai tersebut memenuhi persyaratan untuk pembuatan karet SIR 20. Nilai PRI minimal untuk produk SIR 20 adalah 50, sedangkan untuk SIR 10 adalah 60. Semakin tinggi spesifikasi mutu SIR maka persyaratan nilai PRI juga semakin tinggi. PRI merupakan parameter yang digunakan untuk mengetahui ketahanan karet terhadap oksidasi pada suhu tinggi. Semakin tinggi nilai PRI, maka semakin baik pula tingkat ketahanan karet terhadap pemanasan. Jika nilai PRI karet berada di bawah standar SIR, maka harus dilakukan pencampuran bahan bakunya agar diperoleh PRI yang lebih baik, atau dapat juga dilakukan proses maturasi yang lebih lama. Proses maturasi (pematangan/ pengurangan kadar air dengan cara penggantungan krep) telah banyak digunakan di pabrik untuk meningkatkan nilai PRI ini. Nilai plastisitas juga sangat dipengaruhi oleh cara penanganan bahan olah selama berada di petani sampai pabrik. Nilai plastisitas karet dapat menurun apabila bahan olah direndam dalam air, mengandung banyak kotoran atau terkena sinar matahari langsung. Plastisitas juga dapat turun karena penggilingan berlebihan ataupun pengeringan pada temperatur tinggi. Plastisitas awal (Po) karet tanaman Hevea bervariasi antara 24 – 56. Batas minimal nilai Po yang dipersyaratkan dalam produk SIR adalah 30. Hanya karet dari H. spruceana yang nilai Po-nya berada di bawah standar, yaitu 24. Nilai Po yang rendah mengindikasikan ukuran molekul karet yang pendek. Sebaliknya, nilai Po yang semakin tinggi, berarti semakin panjang rantai molekul karet. Nilai Po mempunyai hubungan erat dengan viskositas mooney (VR) dan berkorelasi dengan panjang molekul karet yang terkandung dalam lateks. Tanaman muda (3 – 4 tahun) yang belum rutin disadap cenderung menghasilkan molekul isoprena yang lebih pendek dibandingkan dengan tanaman dewasa (11 – 13 tahun). Hal tersebut terlihat pada tanaman PB 260 umur 3 – 4 tahun (awal sadap) yang menghasilkan karet dengan nilai Po berkisar 25 – 35, lebih rendah dibandingkan nilai Po karet dari tanaman dewasa yang berkisar 40 – 50 (Rachmawan dan Sumarmadji, 2007). Nilai viskositas mooney (VR) dari karet tanaman Hevea bervariasi antara 23 – 37. Nilai VR biasanya hanya dipakai untuk permintaan khusus dari konsumen berupa karet VK/CV (constant viscosity). Berdasarkan ketentuan karet spesifikasi teknis (SNI 1903: 2011) dikenal tiga klasifikasi viskositas untuk SIR 3CV, yaitu CV-50, CV-60 dan CV-70, dengan rentang nilai VR berturut-turut adalah 45 – 55, 55 – 65 dan 65 – 75. Dari ketentuan tersebut, maka lateks tanaman Hevea kemungkinan hanya dapat diolah menjadi karet dengan CV-50 melalui pencampuran dengan lateks 187 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 yang memiliki nilai CV lebih tinggi. Untuk menghasilkan karet CV medium, lateks klon yang memiliki VR rendah dapat dicampur dengan lateks dari spesies yang memiliki VR tinggi dengan perbandingan proporsional (Anas, 2001). Beberapa klon yang dilaporkan mempunyai VR tinggi diantaranya adalah IRR 104, IRR 118 dan PB 260 (Aidi-Daslin dan Anas, 2003). Selain digunakan sebagai parameter SIR 3CV, nilai VR juga merupakan parameter yang berkaitan dengan jumlah energi yang diperlukan pada waktu pencampuran karet dengan bahan-bahan pembuat kompon dalam pembuatan barang jadi. Karet dengan VR tinggi memerlukan evergi mastikasi yang tinggi dan bahan pelunak tertentu untuk memudahkan pembuatan kompon. Sebaliknya, karet dengan VR rendah hanya memerlukan energi mastikasi yang rendah, bahkan ada yang tidak memerlukan tahap mastikasi (Darussamin, 1990). Sample yang diuji mempunyai kisaran kadar kotoran sebesar 0,09 – 0,24 %, kisaran kadar abu sebesar 0,17 – 0,60 %, dan kisaran zat menguap sebesar 0,33 – 1,01 %. Menurut SNI terbaru tentang karet spesifikasi teknis (SNI 1903: 2011), nilai maksimum yang diijinkan untuk kadar kotoran, kadar abu dan zat menguap pada produk SIR 20 masing-masing adalah 0,16; 0,10 dan 0,80 %. Semua sampel, kecuali dari H. wagga, telah memenuhi semua persyaratan tersebut sehingga dapat berpotensi digunakan untuk pembuatan SIR 20. Kadar zat menguap karet mentah menunjukkan kandungan air yang terperangkap dalam sample. Semakin rendah kadar zat menguap, berarti sample karet semakin baik. Batasan maksimal Vm yang diijinkan adalah 0,80%. Dari keenam sampel, hanya sampel karet H. wagga yang nilainya lebih tinggi dari standar, yaitu 1,01%. Analisis kadar abu diperlukan untuk menjamin bahwa karet yang dihasilkan tidak terlalu banyak mengandung bahan kimia yang biasa digunakan dalam pengolahan, maupun bahan-bahan pengotor yang ada pada bahan baku bokar. Pada proses analisa kadar abu yang memerlukan tahap pembakaran, bahan-bahan organik akan terbakar, sedangkan bahan anorganik tidak terbakar tetapi membentuk abu. Batasan nilai kadar abu yang diijinkan untuk karet SIR 20 adalah 0,20%. Semua sampel telah memenuhi kriteria standar kecuali sampel karet dari H. wagga. Kadar kotoran dalam SIR dapat diminimalkan dengan cara menambah panjang proses pengolahannya yaitu memperbanyak tahapan pencucian bahan baku. Hal tersebut dapat dilakukan dengan namun memiliki konsekuensi akan meningkatkan biaya pengolahan. Nilai KKK bervariasi antara 37 – 44%. Yip menggolongkan KKK lateks menjadi empat golongan yaitu dibawah rata-rata (< 34%), rata-rata (34 – 38%), di atas rata-rata (38 – 41%) dan tinggi (> 41%). Berdasarkan penggolongan tersebut maka lateks spesies Hevea secara umum mempunyai nilai KKK di atas rata-rata. Nilai KKK seharusnya diamati secara kontinue untuk melihat variasi musiman dan juga posisi panel sadap. DAFTAR PUSTAKA Aidi-Daslin, S. Woelan, Sayurandi dan S. A. Pasaribu. 2013. Koleksi tanaman spesies Hevea Balit Sungei Putih. Komunikasi Pribadi. Aidi-Daslin dan A. Anas. 2003. Karakterisasi hasil serta sifat lateks dan kayu dari berbagai klon karet unggul generasi IV. Prosiding Konferensi Agribisnis Karet Menunjang Industri Lateks dan Kayu 2003. Pusat. Penelitian Karet, Medan. Anas, A. 2001. Karakterisasi mutu lateks dan sifat klon karet harapan. Laporan Hasil Penelitian. 19 p. Pusat Penelitian Karet, Medan. Anonim. Tanpa Tahun. Peta Tanaman Koleksi Species Hevea. Kelti Pemuliaan Puslit Karet. Anonim. 1978. Metode pengujian SIR. Departemen Perdagangan dan Koperasi, Direktorat Standardisasi, Normalisasi dan Pengendalian Mutu. Jakarta. Azwar, R. dan S. Woelan. 1990. Karakteristik bunga dan viabilitas serbuk sari beberapa klon karet. Buletin Perkaretan. 8 (3): 77 – 83. Chrestin H. 1989. Physiology of rubber tree latex. d’Auzac J, Jacob JL & Chrestin H (ed). CRC Press. Boca Raton 431 – 439. Darussamin, A., T. Chaidamsari dan Y. Syamsu. 1990. Sifat lateks beberapa klon anjuran 1988 – 1990. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Tanaman Karet 1990. p 216 – 239. Dische ZM. 1962. Carbohydrate Chem. Acad. Press 1:488. Fay E dan Jacob JL. 1989. Symptomatology, histological, and cytological aspects. In. J d’Auzac, JL Jacob dan H Chrestin (Ed). Physiol. Rubb. Tree Latex. CRC Press, Boca Raton, 407 – 430. 188 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Gohet et al. 1996. Clone, croisance et stimulation, facteurs de la production du latex. plantations, recherché, and development. P: 30 – 38. In Plantations, recherché and development. Jacob et al. 1989. Yield-limiting factors, latex physiological parameters, latex diagnosis, and clonal typology. In. J d’Auzac, JL Jacob dan H Chrestin (Ed). Physiol. Rubb. Tree Latex. CRC Press, Boca Raton, 345 – 382. Lynen F. 1969. Biochemical problems oof rubber synthesis. J. Rubb. Res. Inst. Malaya. 21: 851 – 853. McMullen AI. 1960. Thiols of low molecular weight in Hevea brasiliensis latex. Biochem. Biophys. Acta, 41;152-154. Rachmawan, A. dan Sumarmadji. 2007. Kajian fisiologi dan sifat karet klon PB 260 menjelang buka sadap. J. Penelitian Karet. 25 (2): 59 – 70. Sumarmadji, Siswanto dan S Yahya. 2004. Penggunaan parameter fisiologi lateks untuk penentuan sistem eksploitasi tanaman karet. J. Penelitian Karet. 22 (1): 41 – 52. Sumarmadji dan Tistama R. 2004. Deskripsi klon karet berdasarkan karakter fisiologi lateks untuk menetapkan sistem eksploitasi yang sesuai. J. Penelitian Karet. 22 (1): 27 – 40. Suparto, D., Y. Syamsu, A. Cifriadi dan S. Honggokusumo. 2009. Sifat teknis karet remah dengan viskositas mooney dan kadar gel rendah. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Tanaman Karet 2009. p 368 – 373. Taussky HH & Shorr E. 1953. A micro colorimetric methods for the determination of inorganic phosphorus. J. Biol. Chem. 202, 675-685. 189 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 INDUKSI KALUS TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) VARIETAS GRANOLA DARI JENIS EKSPLAN YANG BERBEDA DENGAN ZAT PENGATUR TUMBUH 2,4-D SECARA IN VITRO Muhammad Hamzah Solim, Fauziyah Harahap Jurusan Biologi, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Medan, Jalan Willem Iskandar Pasar V Medan, 20224 [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data pengaruh a) Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) 2,4Dichlorofenoxyacetic acid (2,4-D), b) jenis eksplan yang berbeda c) interaksi antara ZPT 2,4-D dan jenis eksplan terhadap induksi kalus tanaman kentang varietas Granola. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 – Januari 2014 di Laboratorium Kultur Jaringan YAHDI Medan Marelan. Desain penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Faktor pertama adalah ZPT 2,4-D dengan 4 dosis perlakuan (0, 1, 2, 3 ppm) dan faktor kedua yaitu jenis eksplan meliputi akar, batang dan daun. Kombinasi perlakuan berjumlah 12 dengan 4 kali ulangan. Proses pengamatan dilakukan selama 28 hari. Parameter yang diamati adalah waktu terbentuknya kalus, tekstur kalus, warna kalus, biomassa kalus dan luas permukaan kalus. Hasil penelitian diperoleh: terdapat pengaruh sangat signifikan a) ZPT 2,4-D, b) jenis eksplan, c) interaksi ZPT 2,4-D dan jenis eksplan terhadap biomassa dan luas permukaan kalus. Jenis eksplan batang mampu membentuk kalus pada perlakuan 3 ppm 2,4-D setelah 13 hari induksi sedangkan perlakuan 1 dan 2 ppm 2,4-D setelah 14 hari induksi. Eksplan akar dapat membentuk kalus pada perlakuan 3 ppm 2,4-D setelah 15 hari induksi dan perlakuan 2 ppm 2,4-D setelah 16 hari induksi. Eksplan daun tidak dapat membentuk kalus. Warna kalus yang dihasilkan berwarna bening kehijauan dan teksturnya remah. Perlakuan ZPT 2,4-D 3 ppm dan jenis eksplan batang menghasilkan rata-rata biomassa kalus tertinggi yaitu 1,14 gram dengan luas permukaan kalus 1,60 cm2. Kata kunci: eksplan, kalus, kentang, ZPT 2,4-Dichlorofenoxyacetic acid PENDAHULUAN Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman introduksi yang memiliki peluang untuk dikembangkan di Indonesia karena tanaman ini mengandung sumber karbohidrat yang cukup tinggi khususnya pada umbi yaitu 19,10 gr/100 gr (Efendi dkk, 2004)). Umbi kentang berpotensi untuk dijadikan bahan diversifikasi pangan menggantikan beras (Andriyanto, 2013). Kebutuhan akan kentang semakin meningkat setiap tahun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku kentang (Hani, 2012). Namun, bibit kentang yang bermutu masih terbatas karena belum bebas hama, patogen dan penyakit sistemik sehingga dibutuhkan cara atau teknik untuk mengatasi hal itu. Salah satu teknik modern yang dapat digunakan saat ini adalah dengan teknik kultur jaringan (Wattimena, dkk., 1991; Rahardja, 1995; Yusnita, 2003). Teknik ini digunakan untuk mengisolasi bagian tanaman (protoplasma sel, jaringan dan organ) dalam kondisi steril sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap (Harahap, 2011). Dalam kultur jaringan dikenal istilah kultur kalus. Kultur kalus merupakan kultur yang dilakukan terhadap eksplan tanaman untuk memudakan kembali sel-sel pada eksplan tersebut yang diisolasi dan ditumbuhkan dalam lingkungan terkendali. Pembentukan kalus terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus menerus dan memiliki morfologi yang amorphus (Harahap, 2011). Kalus terbentuk melalui tiga tahapan, yaitu induksi, pembelahan sel, dan diferensiasi. Pembentukan kalus ditentukan oleh sumber eksplan, komposisi nutrisi pada medium dan faktor lingkungan. Sumber eksplan tersebut dapat berupa kambium vaskular, parenkim cadangan makanan, perisikel, kotiledon, mesofil daun dan jaringan provaskular. Kultur kalus ini penting dilakukan untuk melihat kemampuan eksplan dalam membentuk kalus yang selanjutnya dapat ditumbuhkan pada media regenerasi secara terus-menerus sehingga dapat dimanfaatkan dalam mempelajari metabolisme dan diferensiasi sel, morfogenesis sel, variasi somaklonal, transformasi genetik serta produksi metabolit sekunder (Ariati, dkk., 2012). Selain itu, kultur kalus juga dilakukan untuk perbanyakan klon tanaman melalui pembentukan organ dan embrio, 190 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 regenerasi varian–varian genetika, mendapatkan tanaman bebas virus, sebagai sumber untuk kreopreservasi, produksi metabolit sekunder dan biotransformasi. Dalam menginduksi kalus diperlukan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) yang dikombinasikan dengan media dasar. ZPT yang sering digunakan dalam menginduksi kalus yaitu ZPT golongan auksin, salah satunya adalah 2,4-Dichlorofenoxyacetic acid (2,4-D). Selain dapat menginduksi kalus, hormon ini juga berperan dalam menghambat pembentukan klorofil, membentuk akar dan tunas (Kamal, 2011), berperan dalam embriogenesis, menghambat pembentukan tunas aksilar dan adventif (Karjadi dan Buchory, 2008), serta menginduksi kalus jika dipakai dalam konsentrasi tinggi (Oggema, 2007; Rinanto, 2011; Yelnititis, 2012). Gati dan Mariska (1992); Chamandoosti (2013) juga menyatakan bahwa 2,4-D paling efektif merangsang pembentukan kalus karena aktivitas yang kuat untuk memacu proses diferensiasi sel, organogenesis dan menjaga pertumbuhan kalus. Induksi kalus terhadap jenis eksplan kentang menggunakan 2,4-D merupakan penelitian awal untuk menghasilkan data tentang komposisi media mana yang cocok dalam menginduksi kalus eksplan kentang. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan YAHDI Jl. Lambung No. 16 Medan Marelan. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2013 – Januari 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh planlet kentang (Solanum tuberosum L.) varietas granola dari subkultur in vitro di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman YAHDI. Sampel yang digunakan adalah akar, batang dan daun kentang varietas Granola subkultur in vitro yang kedua. Sampel dari akar kentang yaitu bagian ujungnya yang dipotong dengan ukuran 1 cm. Sampel dari batang kentang yaitu bagian ruas pertama dari pangkal hingga ruas ketiga yang dipotong-potong dengan ukuran 1 cm. Sampel dari daun kentang yaitu daun kedua dari pucuk yang berukuran 1 cm. Dalam satu perlakuan digunakan 1 eksplan dan dilakukan 4 ulangan sehingga totalnya ada 48 eksplan. Desain penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial. Faktor pertama adalah ZPT 2,4-D 0, 1, 2, 3 ppm dan faktor kedua yaitu jenis eksplan. Kombinasi perlakuan berjumlah 12 dengan 4 kali ulangan. Parameter yang diamati adalah waktu terbentuknya kalus, tekstur kalus, warna kalus, biomassa kalus dan luas permukaan kalus. Proses pengamatan dilakukan selama 28 hari. Alat-alat yang digunakan yaitu autoklaf, botol kultur dan tutup, pH indikator, kertas milimeter, kertas label, Laminar air flow cabinet (LAFC), rak kultur dan alat-alat kultur jaringan standar. Bahan-bahan yang digunakan adalah eksplan tanaman kentang Granola yang meliputi akar, batang dan daun, media MS, 2,4-D, alkohol 96%, alkohol 70%, HCl 0,1 N, KOH 0,1 N, akuades steril, deterjen dan klorox. HASIL DAN PEMBAHASAN Waktu Terbentuknya Kalus Berdasarkan hasil pengamatan, jenis eksplan seperti akar dan batang kentang mampu membentuk kalus sedangkan eksplan daun tidak dapat membentuk kalus. Waktu terbentuknya kalus dimulai pada proses terjadinya pembengkakan pada eksplan (gambar 1). Eksplan akar mulai membentuk kalus pada 15 hari setelah induksi yaitu pada perlakuan 3 ppm 2,4-D dan 16 hari setelah induksi pada perlakuan 2 ppm 2,4-D sedangkan perlakuan 1 ppm 2,4-D tidak mampu menginduksi kalus akar. Eksplan batang dapat membentuk kalus pada 13 hari setelah induksi pada perlakuan 3 ppm 2,4-D kemudian diikuti perlakuan 1 dan 2 ppm 2,4-D pada 14 hari setelah induksi. Hal ini sesuai dengan penelitian Warnita dkk (2011) yang menjelaskan bahwa kalus kentang dapat terbentuk 2 minggu setelah induksi. Untuk semua perlakuan kontrol tidak ada eksplan yang membentuk kalus. Kalus yang terbentuk pada eksplan diamati sampai umur 28 HSI (hari setelah induksi). Warna Kalus Secara umum eksplan akar dan batang yang mampu membentuk kalus memiliki warna yang beragam. Perlakuan 2 dan 3 ppm 2,4-D pada jenis eksplan batang memiliki warna bening kehijauan 191 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 yang cerah dibandingkan dengan perlakuan 1 ppm 2,4-D. Pada eksplan akar, perlakuan 2 dan 3 ppm 2,4-D memiliki warna kalus yang sama yaitu bening kehijauan namun bening lebih dominan terlihat. a) b) c) Gambar 1. Waktu terbentuknya kalus kentang umur 15 HSI yang berasal dari eksplan a) akar, b) batang, c) daun pada perlakuan 2,4-D 3 ppm Tekstur Kalus Kalus yang berasal dari eksplan akar dan batang memiliki tekstur yang remah (friable). Tekstur remah pada kedua eksplan tersebut sangat jelas terlihat dengan adanya gumpalan-gumpalan yang membesar dan membengkak serta memiliki bentuk yang amorf. Tekstur ini sangat bagus untuk perkembangan kalus selanjutnya. Gambar 2. Warna dan tekstur kalus yang terbentuk dari perlakuan 2,4-D 3 ppm dan eksplan batang usia 23 HSI Biomassa Kalus Hasil pengamatan yang didapatkan dari pengaruh ZPT 2,4-D dengan jenis eksplan yang berbeda ter- hadap biomassa kalus kentang umur 28 HSI dapat dilihat pada tabel 1. Perlakuan kontrol (D0J0, D0J2, D0J3), 2,4-D 1 ppm dengan eksplan akar dan daun serta 2,4-D 2 dan 3 ppm dengan eksplan daun (D2J3 dan D3J3) diperoleh biomassa kalus terendah yaitu 2,84 gram (rata-rata 0,71 gram), sedangkan pada perlakuan 2,4-D 3 ppm dengan eksplan batang (D3J2) diperoleh biomassa kalus tertinggi yaitu 4,57 gram (rata-rata 1,14 gram) (gambar 4). Gambar 3. kalus yang terbentuk dari perlakuan 2,4-D 3 ppm dan eksplan batang usia 28 HSI 192 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 1. Pengaruh Interaksi antara ZPT 2,4-D dan Jenis eksplan terhadap Biomassa kalus umur 28 HSI 2,4D (D) Jenis eksplan (J) Total J1 J2 J3 2,84a 2,84a 2,84a 8,52 D0 2,84a 3,21bc 2,84a 8,89 D1 3,17ab 3,69c 2,84a 9,7 D2 3,19ab 4,57d 2,84a 10,6 D3 12,04 14,31 11,36 37,71 Total Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan beda tidak nyata pada uji DMRT taraf 5% D0, D1, D2, D3 = 2,4-D 0, 1, 2, 3 ppm J1, J2, J3 = Akar, batang , daun 1,2 Rata-rata biomassa kalus 1 0,8 0,6 0,4 0,71 0,71 0,71 0,8 0,71 0,79 0,92 1,14 0,71 0,79 0,71 0,2 0 D0J1 D0J2 D0J3 D1J1 D1J2 D1J3 D2J1 D2J2 D2J3 D3J1 D3J2 D3J3 Gambar 4. Grafik rata – rata biomassa kalus umur 28 HSI Hasil uji ANAVA menunjukkan bahwa interaksi kedua perlakuan menghasilkan Fhitung (10)> Ftabel (3,35), sehingga interaksi keduanya memberikan pengaruh sangat nyata terhadap biomassa kalus kentang. Uji DMRT menunjukkan hasil tertinggi pada perlakuan 2,4-D 3 ppm dengan jenis eksplan batang (D3J2) menghasilkan rata-rata biomassa kalus 1,14 gram yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, kemudian diikuti dengan perlakuan 2,4-D 2 ppm dengan eksplan akar (D2J1) menghasilkan biomassa kalus 0,92 gram yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Kemudian perlakuan 2,4-D 1 ppm dengan eksplan batang (D1J2) menghasilkan biomassa kalus 0,80 gram yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (D0J1, D0J2, D0J3), 2,4-D 1 ppm dengan eksplan akar, batang dan daun, serta 2, 4-D 2 dan 3 ppm dengan eksplan akar dan daun (D2J1, D2J3, D3J1, D3J3). Luas Permukaan Kalus Hasil pengamatan dari pengaruh pemberian ZPT 2,4-D dan jenis eksplan yang berbeda terhadap luas permukaan kalus usia 28 HSI dapat dilihat pada tabel 2. Perlakuan kontrol, 2,4-D 1 ppm dengan eksplan akar dan daun, serta 2,4-D 2 dan 3 ppm dengan eskplan daun diperoleh luas permukaan kalus terendah yaitu 2,84 cm2 (rata-rata 0,71 cm2), sedangkan pada perlakuan 2,4-D 3 ppm dengan eksplan batang diperoleh luas permukaan kalus tertinggi yaitu 6,42 cm2 (rata-rata 1,6 cm2) (gambar 6). Hasil uji ANAVA menunjukkan bahwa interaksi kedua perlakuan menghasilkan Fhitung (34) > Ftabel (3,35), sehingga interaksi keduanya memberikan pengaruh sangat nyata terhadap luas permukaan kalus kentang. 193 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Gambar 5. Luas permukaan kalus dari perlakuan 2,4-D 3 ppm dan eksplan batang usia 28 HSI Uji DMRT menunjukkan hasil tertinggi pada perlakuan 2,4-D 3 ppm dengan jenis eksplan batang (D3J2) menghasilkan rata-rata luas permukaan kalus 1,60 cm2 yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, kemudian diikuti dengan perlakuan 2,4-D 2 ppm dengan eksplan batang (rata-rata 1,36 cm2) yang berbeda nayata dengan perlakuan lainnya, 2,4-D 3 ppm dengan eksplan akar (rata-rata 1,20 cm2) tidak berbeda nyata dengan perlakuan 2,4-D 2 ppm dengan eksplan akar (rata-rata 1,10 cm2) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Tabel 2. Pengaruh Interaksi ZPT 2,4-D dan Jenis eksplan terhadap Luas Permukaan kalus umur 28 HSI 2,4D (D) Jenis eksplan (J) J1 J2 J3 Total 2,84a 2,84a 2,84a 8,52 D0 2,84a 4,32b 2,84a 10 D1 4,42bc 5,44e 2,84a 12,7 D2 4,82cd 6,42f 2,84a 14,08 D3 14,92 19,02 11,36 45,3 Total 1,8 1,6 Rata-rata luas permukaan kalus 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 1,1 1,08 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 1,6 1,36 1,2 0,71 0,71 0 D0J1 D0J2 D0J3 D1J1 D1J2 D1J3 D2J1 D2J2 D2J3 D3J1 D3J2 D3J3 Gambar 6. Grafik rata – rata luas permukaan kalus umur 28 HSI Perlakuan 2,4-D 1 ppm dengan eksplan batang (rata-rata 1,08 cm2) tidak berbeda nyata dengan perlakuan 2,4-D 2 ppm dengan eksplan akar (rata-rata 1,10 cm2) namun berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perlakuan 2,4-D 1 ppm dengan eksplan akar, batang dan daun, serta 2,4-D 2 dan 3 ppm dengan eksplan akar dan daun tidak berpengaruh nyata dengan perlakuan kontrol. 194 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 KESIMPULAN Interaksi 2,4-D dan jenis eksplan berpengaruh sangat nyata terhadap biomassa dan luas permukaan kalus. Perlakuan D3J2 (2,4-D 3 ppm dan eksplan batang) merupakan perlakuan terbaik yang menghasilkan biomassa kalus tertinggi yaitu 1,14 gram dan luas permukaan kalus 1,60 cm2. SARAN Dari hasil penelitian diperoleh usia kalus dalam media induksi adalah 28 HSI, disarankan kalus yang berhasil diinduksi tersebut sebaiknya langsung dipindahkan ke media regenerasi yang tepat. REFERENSI Andriyanto, F., Setiawan, B., Riana, F.D., (2013), Dampak Impor Kentang Terhadap Pasar Kentang di Indonesia, HABITAT 24(1): 64-76 Ariati, S. N., Waeniati, Muslimin, Suwastika, I.N., (2012), Induksi Kalus Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) Pada Media MS Dengan Penambahan 2,4-D, BAP Dan Air Kelapa, Jurnal Natural Science 1(1): 74-84 Chamandoosti, F., (2013), Influence of medium composition and explant type on plantlet regeneration in cotton (Gossypium hirsutum L.) Technical Journal of Engineering and Applied Sciences 3(2): 239-243 Efendi, M.N., Nurnadiah, R.N. dan Endang V.A.B., (2004), Manfaat Kentang Bagi Kesehatan, Buletin Teknopro Hortikultura, Departemen Pertanian, Ragunan Gati, E. dan I. Mariska, (1992), Pengaruh Auksin Dan Sitokinin Terhadap Pembentukan Kalus Mentha piperita Linn., Buletin Littri 3 : 1-4 Hani, A.M., (2012), Pengeringan Lapisan Tipis Kentang (Solanum tuberosum L.) varietas Granola, FP UNHAS, Makasar Kamal, G.B., (2011), The study of callus induction in cotton (Gossypium Sp.) under tissue culture conditions, International Journal of Agriculture and Crop Sciences 3(1): 6-11 Karjadi, A. K., dan Buchory A., (2008), Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Jaringan Meristem Kentang Kultivar Granola, Jurnal Hortikultura, 14(4): 380384 Oggema, J.N., Kinyua, M.G., and Ouma, J.P., (2007), Optimum 2,4-D concentration suitable for embryogenic callus induction in local Kenyan sweet potato cultivars, Asian Journal of Plant Sciences 6(3): 484-489 Riduwan, (2011), Dasar – dasar Statistika, Alfabeta, Bandung Rahardja, P.C., (1995), Kultur Jaringan Teknik Perbanyakan Tanaman secara Modern, Penebar Swadaya, Jakarta Rinanto, Y., (2011), Induksi Kalus dan Deteksi Kandungan Alkaloid Daun Jarak (Jatropha curcas L.) Menggunakan Hormon 2,4-D dalam Media MS, AGROVIGOR 4(1): 1-6 Sudjana, (2002), Metoda Statistika, Tarsito, Bandung Warnita, Hervasi, D., Yanti, Y., (2011), Pertumbuhan Kalus Kentang pada Beberapa Zat Pengatur Tumbuh, Jerami 4(3): 169-174 Wattimena, G. A., L.W. Gunawan, N.A. Mattjik, S. Endang, N.M.A. Wiendi, dan A.Ernawati, (1991), Bioteknologi Tanaman, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Tinggi PAU Bioteknologi IPB, Bogor Yelnititis, (2012), Pembentukan Kalus Remah dari Eksplan Daun Ramin (Gonystylus bancanus (Miq) Kurz.), Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 6(3): 181-194 Yusnita, (2003) Kultur Jaringan: Cara memperbanyak tanaman secara efisien, Agromedia Pustaka, Jakarta 195 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 BUDIDAYA PADI (Oryza sativa L.) BERBASIS SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION Samse Pandiangan1), Mangonar Lumbantoruan2), Pohan Juno Panjaitan2) 1) Dosen Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen, Medan [email protected] 2) Dosen Fakultas Peternakan, Universitas HKBP Nommensen, Medan ABSTRAK Budidaya padi dengan revolusi hijau (green revolution) berhasil membawa Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Akan tetapi dalam jangka panjang, sistem ini memunculkan permasalahan seperti penurunan produktivitas lahan dan daya dukung lingkungan, kerusakan lingkungan, serta masalah sosial. Budidaya padi yang dilakukan petani selama ini mempunyai banyak kelemahan sehingga menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi terbatas dan hasil panen menjadi rendah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi budidaya padi berbasis System of Rice Intensification (SRI). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok nonfaktorial, dengan 3 kelompok. Bibit yang digunakan berumur 10 hari dengan 4 jarak tanam yaitu 25cm x 25cm, 30cm x 30cm, 35cm x 35cm dan 40cm x 40cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak tanam berpengaruh nyata (p < 0.05) terhadap jumlah anakan per rumpun, jumlah malai per rumpun, berat kering 1000 bulir dan hasil panen, tetapi tidak berpengaruh nyata (p > 0,05) terhadap tinggi tanaman, diameter batang, panjang malai, dan jumlah bulir per malai. Kata kunci: padi, System of Rice Intensification PENDAHULUAN A. Budidaya Padi dan Permasalahannya Peningkatan produktivitas padi dengan cara konvesional yang dikenal dengan revolusi hijau (green revolution) telah mampu meningkatkan produksi padi nasional bahkan pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras (Sutanto, 2002). Namun Dalam jangka panjang, sistem ini memunculkan banyak permasalahan seperti penurunan produktivitas lahan dimana terjadi gejala levelling off produktivitas lahan padi, bahkan selama tiga dasawarsa terakhir pertumbuhan produksi dan produktifitas lahan padi mengalami penurunan yang signifikan. Sebagai akibatnya sejak tahun 1994, Indonesia jadi pengimpor beras. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sepanjang tahun 2012, impor beras Indonesia mencapai 1,8 juta ton dengan nilai US$ 945,6 juta (BPS, 2013). Teknologi revolusi hijau juga berdampak pada penurunan daya dukung lingkungan, kerusakan lingkungan, maupun masalah–masalah sosial lainnya seperti biaya sarana produksi padi semakin tinggi dari waktu ke waktu, petani semakin tergantung terhadap input eksternal (bahan kimia dan energi), semakin meningkatnya pencemaran air akibat pupuk dan pestisida, semakin meningkatnya ancaman residu bahan agrokimia terhadap kualitas dan keamanan pangan (Reijntjes, dkk.2007). Budidaya padi yang dilakukan petani selama ini mempunyai banyak kelemahan sehingga menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi terbatas dan hasil panen menjadi tidak optimal. Beberapa permasalahan tersebut antara lain: (1) Seleksi benih. Pada umumnya petani padi melakukan seleksi benih dengan merendam benih di dalam air saja dan mengambil benih yang tenggelam. Metode ini mempunyai keterbatasan karena biji yang tenggelam belum tentu mempunyai vigor yang tinggi, sehingga yang dihasilkan kualitasnya tidak optimal (Purwasasmita, 2009; SRI-Rice, 2014). 2. Pembibitan. Pembibitan padi dilakukan dengan merendam benih dalam air selama 2 hari dan memeramnya selama 2 hari atau sampai benih berkecambah. Jika sudah berkecambah, benih disebar di lahan pembibitan, dan dipelihara sampai bibit siap tanam antara umur 3–4 minggu. Cara pembibitan ini mempunyai kelemahan karena memerlukan waktu yang lama dan bibit yang dihasilkan kualitasnya kurang baik karena bibit sudah terlalu tua. Pada saat pindah tanam (transplanting), sering kali daun tanaman dipotong agar tidak terlalu tinggi dan tanah yang melekat di akar dibersihkan, serta tidak segera ditanam atau dibiarkan bibit berada di lahan. Kondisi ini menyebabkan bibit yang 196 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 ditanam akan kehilangan potensi tumbuh, akar menjadi rusak, pertumbuhan kembali (regrowth) lambat, dan perkembangannya lambat (Purwasasmita, 2009; SRI-Rice, 2014). 3. Penanaman. Pada umumnya petani melakukan penanaman bibit padi dengan jumlah bibit banyak (ombol) 3–5 per lubang tanam dan menggunakan jarak tanam sempit (20 cm x 20 cm). Hal ini menyebabkan kebutuhan benih menjadi tinggi (50 kg/ha), serta terjadinya persaingan awal antar bibit dan antar rumpun. Penanaman dengan ditancapkan (ceblok) menyebabkan akar tanaman menjadi tumbuh tidak normal, pangkal batang berada di dalam tanah sehingga anakan lambat terbentuk serta pertumbuhan tanaman tidak optimal (Purwasasmita, 2009; SRI-Rice, 2014). 4. Irigasi penggenangan. Irigasi yang dilakukan petani pada umumnya dilakukan dengan menggenangi lahan sejak pengolahan tanah, saat tanam sampai tanaman dewasa. Kondisi ini kurang menguntungkan bagi tanaman dan kehidupan organisme bermanfaat dalam tanah. Dalam keadaan tergenang, lahan menjadi anaerob sehingga ketersediaan oksigen dalam tanah menjadi sangat terbatas. Oksigen diperlukan organisme bermanfaat dalam tanah dan akar tanaman untuk respirasi. Dalam keadaan kurang oksigen, aktivitas organisme menjadi terbatas sehingga kemanfaatannya bagi tanaman tidak optimal. Oksigen yang terbatas juga menyebabkan laju respirasi akar tanaman berjalan lambat dan akibatnya energi yang dihasilkan menjadi rendah. Kondisi ini menyebabkan perkembangan (jumlah dan panjang) akar tanaman menjadi terbatas dan anakan tanaman menjadi tidak optimal. Selain itu, penggenangan berlebihan juga dapat menyebabkan efektifitas pemupukan (pupuk buatan) menjadi rendah karena banyak pupuk yang hilang akibat menguap (evaporasi), terbawa aliran air limpasan atau mengalami pelindian. Penggunaan air yang berlebihan juga menyebabkan terjadinya pemborosan sumber daya air (Purwasasmita, 2009). Tanah yang tergenang air akan menyebabkan kerusakan pada struktur anatomi padi sebab padi bukanlah tanaman air (Purwasasmita, 2009). Dalam suasana an-aerob, bakteri an-aerob fakultatif dapat menggunakan NO3- sebagai aseptor elektron (pengganti oksigen), sehingga nitrat tereduksi menjadi N2 yang hilang ke atmosfer sehingga menjadi masalah dalam pengelolaan sawah genangan. Hal ini menyebabkan efektifitas pemupukan Nitrogen menjadi rendah kurang dari 30% dan ketersediaan Nitrogen bagi tanaman menjadi rendah (Purwasasmita, 2009). Kondisi tergenang juga menyebabkan tak berfungsinya kekuatan biologis tanah dan menghambat perkembangan sistem perakaran padi. Biota tanah aerob tak dapat berkembang dan diperkirakan hanya sekitar 25% yang berkembang optimal (Purwasasmita, 2009). 5. Pemupukan. Pada umumnya petani melakukan pemupukan hanya menggunakan pupuk buatan makro terutama nitrogen dengan dosis yang berlebihan. Pemupukan menggunakan pupuk buatan memang memiliki kecepatan transfer nutrisi yang cepat, tetapi hal ini tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh padi yang berusia muda karena padi tersebut hanya membutuhkan nutrisi yang relatif sedikit. Sisa dari nutrisi tersebut tidak termanfaatkan bahkan dapat terbawa oleh aliran air (karena lahan tanam tergenang) sehingga efektifitas dan efisiensi penggunaannya rendah (<30 %) (Purwasasmita, 2009). Berbagai permasalahan dalam budidaya padi tersebut pada akhirnya berakibat pada jumlah anakan menjadi terbatas (20–25), malai menjadi sedikit (10–20) dan hasilnya hasil rendah (4–6 ton/ha) (Purwasasmita, 2009). B. System of Rice Intensification (SRI) Metode System of Rice Intensification (SRI) sering diterjemahkan sistem budidaya padi secara seksama, pertama kali ditemukan di Madagascar antara tahun 1983 oleh biarawan Yeswit asal Perancis bernama FR. Henri de Laulani (De Laulanie, 2011). Metode SRI juga telah diuji di berbagai Negara di Kawasan Asia, termasuk Asia Selatan seperti India, Bangladesh dan Srilangka, disamping di Kawasan Asia Tenggara seperti Filipina dan Vietnam serta di Cina Daratan dengan hasil yang positif (De Laulanie, 2011; Kurniadiningsih, dan Legowo, 2012). Sampai dengan tahun 2006, SRI telah berkembang di 36 negara termasuk Indonesia (Kurniadiningsih, dan Legowo, 2012). Di Indonesia sendiri, uji coba teknik SRI pertama dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi, Jawa Barat pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi rata-rata 8,2 ton/ha (Kurniadiningsih, dan Legowo, 2012). SRI juga telah diterapkan di beberapa kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang sebagian besar dipromosikan oleh Lembaga Swadaya 197 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Masyarakat (LSM) (Wardana et al., 2005). Selanjutnya, SRI juga telah berkembang di beberapa daerah di Sulawesi, Kalimantan bahkan rencana pengembangan di Irian (Papua). Sementara itu di Jawa Barat pola pendekatan SRI pertama kali dikaji di Kelompok Studi Petani (KSP) Tirta Bumi di Desa Budi Asih Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis pada tahun 2001, dengan memadukan praktek pemahaman Pembelajaran Ekologi Tanah (Kuswara, 2003). Beberapa prinsip dalam metode SRI: a. Penanaman bibit muda. Penanaman bibit pada usia 15 hari sesudah penyemaian akan membuat potensi anakan menjadi tinggal 1/3 dari jumlah potensi anakan (Purwasasmita, 2009). Hal ini berarti, dengan penanaman bibit muda dapat menambah potensi anakannya sekitar 64%. Oleh karenanya, bibit sebaiknya ditanam ketika gabah sebagai cadangan makanan belum terlepas dari bibit, yaitu antara 7-12 hari setelah tanam (Purwasasmita, 2009; Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. Kementerian Pertanian, 2012). Meskipun demikian, penggunaan bibit muda mengandung resiko terhadap gangguan organisme pengganggu tanaman, khususnya keong mas (Purwasasmita, 2009). Penggunaan bibit muda memungkinkan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik dan potensial menghasilkan anakan lebih tinggi, karena tanaman belum kehilangan potensi (vigor) dan pertumbuhan awal bibit masih didukung oleh keberadaan endosperm sebagai cadangan makanan yang belum habis dan masih menempel pada bibit. Selain itu, bibit tidak perlu banyak melakukan adaptasi terhadap lingkungan yang baru (Purwasasmita, 2009). Sebaliknya semakin bertambahnya umur bibit, tanaman semakin kehilangan potensi pertumbuhannya dan ketika transplanting tanaman lebih sulit beradaptasi dengan lingkungan tanaman yang baru sehingga pertumbuhan dan hasilnya tidak optimal (Purwasasmita, 2009). b. Penanaman satu bibit per titik tanam. Tanaman padi membutuhkan tempat tumbuh yang cukup agar dapat mencapai pertumbuhan optimal. Ketika ditanam secara banyak pada satu titik tanam, maka akan terjadi persaingan untuk mendapatkan nutrisi, cahaya matahari, udara, dan bahan lainnya dalam suatu titik atau area tanam (Purwasasmita, 2009). c. Penanaman dangkal. Penanaman dangkal bertujuan untuk memacu proses pertumbuhan dan asimilasi nutrisi akar muda. Jika ditanam terlalu dalam, maka akan terjadi kekurangan oksigen yang dapat menghambat pertumbuhan akar, gangguan siklus nitrogen yang dapat menyebabkan pelepasan energi, produksi asam yang tinggi serta tidak adanya rebalance H+ sehingga terjadi destruksi sel akar dan pertumbuhan struktur akar menjadi tidak lengkap. Semua akibat dari penanaman dengan cara dibenamkan akar menurunkan potensi akar sampai menjadi ¼ nya saja (Purwasasmita, 2009). d.Penanaman dalam jarak yang cukup lebar. Penanaman dalam jarak tanam lebar bertujuan untuk menjamin ketersediaan dan mengurangi tingkat kompetisi nutrisi, udara, cahaya matahari, dan faktor pertumbuhan lainnya selama pertumbuhan tanaman padi sampai siap panen. Beberapa praktek pengujian di Jawa Barat banyak menggunakan jarak tanam 30 cm x 30 cm, bahkan 35 cm x 35 cm (Purwasasmita, 2009; Masdar,2006). Beberapa percobaan lapangan menunjukkan bahwa penanaman bibit padi umur muda dengan sistem tanam tunggal dan jarak tanam lebar dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil panen (Masdar, 2006). e. Pengelolaan irigasi. SRI hanya menggunakan air sampai keadaan tanahnya sedikit terlihat basah oleh air (macak-macak) sehingga kondisi dipertahankan aerob, berbeda dengan metode konvensional yang menggunakan air sampai tanahnya menjadi tergenang oleh air atau kondisi anaerob. Dalam kondisi aerob oksigen untuk respirasi lebih tersedia sehingga laju respirasi lebih cepat. Selain itu, kondisi aerob menyebabkan proses mineralisasi bahan organik (c-organik) terutama ammonifikasi berjalan baik. Dengan peningkatan kedalaman zona serapan (zona aerob), kehilangan Nitrogen akibat denitrifikasi dapat dicegah sehingga efisiensi pupuk dapat meningkat (>30%) ((Purwasasmita, 2009; Balai Besar Wilayah Sungai Citarum,2011). Kondisi aerob akan menciptakan lingkungan mikro klimat yang lebih baik bagi pertumbuhan perakaran dan perkembangan mikro organisme aerob sehingga dapat membantu penyediaan unsur hara bagi tanaman. Dalam suasana an-aerob, bakteri an- 198 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 aerob fakultatif dapat menggunakan NO3- sebagai aseptor elektron, sehingga nitrat tereduksi jadi N2 (problem sawah dengan genangan). Beberapa perbandingan sistem budidaya padi organik SRI dengan sistem konvensional disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan sistem tanam padi organik SRI dengan sistem Konvensional No. Komponen Konvensional SRI 1. Kebutuhan benih 30-40 kg/ha 5-7 kg/ha 2. Umur di persemaian 20-30 hari 7-12 hari 3. Jumlah bibit per titik tanam Rata-rata 5 bibit 1 bibit 6. Kebutuhan air irigasi 0,61 liter/detik/ha 0,42 liter/detik/ha 7. Kedalaman penanaman 3-5 cm 1-2 cm 8. Pengairan Terus digenangi Macak-macak 9. Pemupukan Mengutamakan pupuk Kombinasi pupuk organik kimia dan pupuk unorganik 10. Penyiangan Diarahkan kepada Diarahkan kepada pemberantasan gulma pengelolaan perakaran 11. Rendemen 50-60% 60-70% 12 Jumlah anakan 26 41 13 Jumlah bulir/malai 120 139 14 Jumlah bulir/rumpun 3161 biji 5658 biji 15 Jumlah bulir hampa/malai 7 biji 2 biji 16 Panjang malai 21 cm 24 cm 17 Tinggi tanaman 95 cm 103 cm Sumber: Kurniadiningsih dan Legowo ( 2013). TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mensosialisasikan budidaya tanaman padi berbasis SRI kepada petani dilokasi penelitian, warga jemaat Gereja HKBP Desa Pasar Melintang, Kecamatan Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang. 2. Untuk mendapatkan jarak tanam tanaman padi berbasis SRI yang memberikan produktivitas tertinggi. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lahan sawah seluas 2400 m2, milik Gereja HKBP Desa Pasar Melintang, Kecamatan Lubuk Pakam, Kabupaten Deliserdang, pada bulan Juli – Oktober 2013. 3.2 Bahan dan Alat Percobaan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah padi varitas Maigongga. yang diperoleh dari Unit Penelitian Tanaman Pangan di Desa Tanjung Selamat, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, pupuk kandang kerbau yang diperoleh dari penduduk disekitar lokasi penelitian, dan Efektif mikroorganisme (EM-4), dolomit, pupuk Phoska, insektisida dan Racun keong. Alat yangakan digunakan dalam penelitian ini adalah, Traktor tangan (jetor), pompa air, pH meter, cangkul, babat, tali plastik, besek, meteran, sprayer, spanduk, jangka sorong, kantung plastik,log book dan alat-alat tulis, dan timbangan. 3.3 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) nonfaktorial dengan 3 ulangan. Jarak tanam (J) terdiri dari 4 taraf, yaitu : 25 cm x 25 cm (J1), 30cm x30cm (J2), 35 cm x35 cm (J3), dan 40cmx 40cm (J4). Umur bibit (U) yang digunakan 10 hari. 3.4 Metode Analisis Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dengan model linear aditif sebagai berikut: Yij = µ + ρi + αj + εij 199 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Dimana: Yij : Nilai pengamatan pada blok ke-i yang mendapat perlakuan jarak tanam ke-j. µ : Nilai tengah populasi yang diamati : Pengaruh blok/kelompok ke-i ρi αj : Pengaruh jarak tanam ke-j εij : Galat faktor jarak tanam taraf ke-j di kelompok ke-i Untuk mengetahui pengaruh jarak tanam dilakukan analisis sidik ragam. Uji jarak Duncan dengan taraf α = 5% dilakukan untuk perlakuan yang berbeda nyata terhadap parameter. (OTT, 1993). 3.5 Pelaksanaan Penelitian Lahan dibajak dengan menggunakan traktor tangan (jetor), pH lahan diukur langsung dilapangan dengan soil tester. Kemudian dolomit dan kompos kotoran kerbau diaplikasikan masing-masing sebanyak 200 kg. Setelah satu minggu lahan dijetor kembali untuk fase siap tanam. Bibit yang digunakan berumur 10 hari. Penanaman dilakukan dengan 1 bibit per titik tanam dengan kedalaman lebih kurang 2 cm untuk setiap jarak tanam yang telah ditentukan. Pemupukan dilakukan sebanyak 3 kali dengan dosis sesuai rekomendasi pemupukan padi. Kondisi air dijaga agar tetap dalam kondisi becek-becek. Pengontrolan hama dan penyakit dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dilapangan. Pengukuran semua parameter dilaksanakan pada akhir penelitian pada saat panen. Data kemudian di analisis untuk diinterpretasikan. Secara teknis, pengelolaan irigasi dilakukan dengan cara : (a) setelah pengolahan tanah, lahan dipertahankan dalam keadaan lembab (macak-macak) hingga pada saat penanaman bibit, (b) setelah penanaman, lahan tetap dipertahankan dalam keadaan lembab (macakmacak) agar bibit dapat berdiri kuat, dan baru diberikan tambahan air dua sampai tiga hari setelah tanam dengan ketinggian air antara 1-2 cm saja sampai dilakukannya penyiangan, (c) setelah penyiangan, tanah tetap dipertahankan dalam keadaan lembab (macak-macak), (d) untuk menciptakan kondisi ideal bagi tanaman padi, maka parit di sekeliling lahan dan di tengah lahan diusahakan tetap menggenang sehingga terjadi resapan air ke dalam zona perakaran tanaman. Fotofoto tahapan pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada lampiran. HASIL DAN PEMBAHASAN Ketika metode budidaya padi berbasis System of Rice Intensification (SRI) yang sering dikenal dengan sistem budidaya pada dengan cara seksama diperkenalkan kepada petani dilokasi demplot , para petani sulit percaya, khususnya dalam hal yang 1 bibit satu titik tanam dengan umur bibit yang sangat muda yaitu 7 – 12 hari. Yang sangat berbeda dengan yang mereka lakukan saat ini yaitu 3- 5 bibit per titik tanam dan umur bibit 3 minggu. Para petani mengatakan musuh utama yang akan dihadapi adalah keong mas. Karena waktu musim tanam yang sudah mendesak, pada penelitian ini tidak menerapkan sistim SRI murni 100% organik. Fokus pendampingan kali ini untuk meyakinkan petani bahwa dengan umur bibit yang lebih muda (7- 12 hari) dan satu bibit satu titik tanam akan menghemat biaya dan hasil panen lebih tinggi. Jadi, demplot perdana ini, pemupukan masih menggunakan pupuk kimia (1/2 dari yang biasa digunakan petani) tapi sudah ditambah pupuk organik. Pengelolaan keong mas dengan kombinasi cara kimia dan alami, pengelolaan keong amas secara alami dengan menabur buah dan daun pepaya diparet sekeliling lahan. Pengelolaan penyakit masih menggunakan pestisida. Pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa umur bibit muda yang digunakan untuk semua jarak tanam memberikan jumlah anakan lebih banyak (35 – 50 anakan) bila dibandingkan dengan budidaya padi secara konvensional yang ada disekitar demplot yaitu sekitar 15-25 anakan. Hal ini disebabkan tanaman padi membutuhkan tempat tumbuh yang cukup agar dapat mencapai pertumbuhan optimal. Ketika ditanam secara banyak, maka akan terjadi persaingan untuk mendapatkan nutrisi, cahaya matahari, udara, dan bahan lainnya dalam suatu titik atau area tanam. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa padi dengan sistem ini lebih tahan terhadap angin atau tidak mudah tumbang dibandingkan padi yang ditanam secara konvensional disekitar demplot. Dimana padi disekitar demplot banyak yang tumbang akibat angin kencang, namun padi demplot tidak tumbang hal ini disebabkan kondisi aerob akan menciptakan lingkungan mikro klimat yang lebih baik bagi pertumbuhan perakaran lebih dalam karena oksigen cukup tersedia dan perkembangan mikro organisme aerob sehingga dapat membantu penyediaan unsur hara bagi tanaman yang berdampak pada pertumbuhan padi yang optimal. 200 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Hasil penelitian untuk masing-masing parameter untuk setiap jarak tanam di sajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan pengamatan parameter untuk perlakuan masing-masing jarak tanam Jarak tanam (cm) Koefisien Parameter 25 x 25 30 x 30 35 x 35 40 x 40 Keragaman (%) Jumlah anakan/rumpun (anakan) 36,6a 34a 40,1a 50,9b 9,5 Tinggi tanaman (cm) Diameter batang (cm) Jumlah malai/rumpun (malai) Panjang malai (cm) Jumlah bulir/ malai (bulir) Berat kering 1000 bulir (g) 120 0,62 126,2 0,68 123,2 0,59 136,7tn 0,59tn 4,7 8,5 20,18a 31b 35,4b 35,8b 15,5 25,33 26,83 26,37 25,57tn 2,7 144,83 179,77 149,87 159,63tn 8,2 22,13a 24,13a 23,4a 31,43b 9,5 6,8a 7,3a 9,2b Produktivitas (ton/ha) 8,7b 10,5 Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama berbeda tidak nyata taraf pada α = 5% berdasarkan uji jarak Duncan. tn = Tidak nyata. a.Jumlah anakan per rumpun: Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jarak tanam berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan. Jumlah anakan dengan jarak tanam 40 x 40 paling banyak (50,9) berbeda nyata dengan ketiga jarak tanam lainnya. Jumlah anakan untuk jarak tanam 25cm x 25cm (36,6) , 30 cm x 30cm (34) dan 35cm x 35 cm (40,1) berbeda tidak nyata (Tabel 2). Hubungan jarak tanam dengan jumlah anakan per rumpun menunjukkan hubungan linier positif. b. Tinggi tanaman: Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jarak tanam berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman padi. Meskipun tinggi tanaman padi berbeda tidak nyata akibat jarak tanam, namun jarak tanam 40cm x 40 cm memberikan tinggi tanaman yang lebih tinggi (Tabel 2). c. Diameter batang: Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jarak tanam berpengaruh tidak nyata terhadap diameter batang tanaman padi. Meskipun diameter batang tanaman padi berbeda tidak nyata akibat jarak tanam, namun jarak tanam 30cm x 30 cm memberikan diameter batang yang lebih besar (Tabel 2). d. Jumlah malai/rumpun: Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jarak tanam berpengaruh nyata terhadap jumlah malai per rumpun. Jumlah malai per rumpun paling banyak pada jarak tanam 40cm x40cm (35,8) dan berbeda nyata dengan jumlah malai per rumpun dengan jarak tanam 25 cm x 25cm, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan dua jarak tanam lainnya (Tabel 2). e. Panjang malai (cm): Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jarak tanam tidak berpengaruh nyata terhadap panjang malai. Meskipun demikian malai terpanjang panjang terdapat pada jarak tanam 30cm x 30 cm (Tabel 2). f.Jumlah bulir/ malai (bulir): Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jarak tanam tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah bulir per malai. Namun demikian malai jumlah bulir terbanyak terdapat pada jarak tanam 40cm x 40 cm (Tabel 2). g. Berat kering 1000 bulir (g): Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jarak tanam berpengaruh nyata terhadap berat kering 1000 bulir. Berat 1000 bulir tertinggi adalah dengan jarak tanam 40cm x 40cm (31,43 g) berbeda nyata dengan berat 1000 bulir dari ketiga jarak tanam lainnya. Berat 1000 bulir dari ketiga jarak tanam lainnya berbeda tidak nyata (Tabel 2). 201 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 h. Produktivitas lahan (ton/hektar). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jarak tanam berpengaruh nyata terhadap produktivitas lahan. Produktivitas paling tinggi adalah jarak tanam 35cm x 35 cm berbeda nyata dengan produktivitas dengan jarak tanam 25cm x 25 cm dan 30cm x 30 cm, tetapi berbeda tidak nyata dengan produktivitas jarak tanam 40cm x 40cm (Tabel 2). V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN 1. Budidaya padi berbasis System of Rice Intensification di lokasi penelitian mampu meningkatkan produktivitas lahan lebih kurang 20% dibanding budidaya model konvensional disekitar lokasi penelitian. 2. Jarak tanam 35 cm x 35 cm memberikan hasil panen yang paling tinggi. 3. Budidaya padi berbasis SRI tidak harus 100% organik. 5.2. SARAN Pendampingan budidaya tanaman padi dari cara konvensioanl ke System of Rice Intensification perlu dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik (BPS). 2013. Indonesia Dalam Angka. Balai Besar Wilayah Sungai Citarum. (2011) : Panduan Pelatihan Metode SRI (System Rice Intensification). De Laulanie, H. 2011. Intensive Rice Farming in Madagascar. Tropicultura, 2011, 29,3, 183 -187. http://www.tropicultura.org. 4 Feb 2014. Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. Kementerian Pertanian. 2012. Pedoman Teknis Pengembangan System of Rice Intensification. Jakarta. Kurniadiningsih, Y. dan Legowo, S. 2012. Evaluasi untung rugi penerapan metode SRI (System of Rice Intensification) di Daerah Irigasi Cihea Kabupaten Cianjur, Jawa Barat Kuswara. (2003) : Dasar Gagasan dan Praktek Tanam Padi Metode SRI (System Rice Intensification)Pertanian Ekologis. Yayasan FIELD Indonesia. Masdar. (2006). Respon Pertumbuhan Tanaman Padi terhadap Jarak Tanam dan Umur Bibit pada Sistem Intensifikasi padi (SRI). Jurnal Akta Agrosia, Fakutas Pertanian-Universitas Bengkulu. Bengkulu. OTT, R.L. 1993. An Introduction to Statistical Methods and Data Analysis. Duxbury Press. Belmont, California. p. 843. Purwasasmita, M. 2008. Mengenal SRI (System of Rice Intensification). http://arghainc.wordpress.com.2008. 5 Februari 2014. Reijntjes, C., Haverkort, B., dan Waters-Bayer,A. 2007. Pertanian Masa Depan Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Kanisius, Yogyakarta. Pp.2-11. Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius, Yogyakarta.Pp. 15- 18. The SRI International Network and Resources Center (SRI-Rice). 2014. Cornell University, System of Rice Intensification. http://sri.eiifad.cornell.edu. 4 Februari 2014. Wardana, P, I. Juliardi, Sumedi, Iwan Setiajie. (2005) : Kajian Perkembangan System Of Rice Intensification (SRI) di Indonesia. Kerjasama Yayasan Padi Indonesia dengan Badan Litbang Pertanian. Jakarta. 202 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 LAMPIRAN Tahapan penelitian Persiapan lahan dan pengukuran pH Bibit berumur 10hari, siap pindah tanam Penanaman Perbandingan konvensioanl dan SRI Kiri: konvensionl; kanan: SRI Pengukuran parameter Pemanenan secara simbolis 203 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 PENGARUH PEMBERIAN ZAT PENGATUR TUMBUH (ZPT) INDOLE ACETIC ACID (IAA) DAN BENZYL AMINO PURIN (BAP) TERHADAP PERTUMBUHAN PLANLET NANAS (Ananas comosus l.) SIPAHUTAR SECARA IN VITRO Sartika Sinulingga, Fauziyah Harahap Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Medan, Jalan Willem Iskandar Pasar V Medan, 20224 [email protected] ABSTRACT Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian IAA, BAP, dan interaksi IAA dan BAP terhadap pertumbuhan planlet nanas (Ananas comosus L.) Sipahutar secara in vitro. penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni - Desember 2013 di Laboratorium Kultur Jaringan YAHDI, Perum Pelabuhan Jl. Lambung N0. 18 Tanah 600 Medan Marelan. Penelitian ini menggunakan RAL Faktorial dengan dua faktor yang diteliti, yaitu faktor IAA dengan empat taraf perlakuan yaitu I0 = 0 mg/l, I1 = 0,5 mg/l, I2 = 1 mg/l I3 = 1,5 mg/l. Faktor kedua BAP terdiri dari empat taraf perlakuan yaitu B0 = 0 mg/l, B1 = 1 mg/l, B2 = 2 mg/l, B3 = 3 mg/l. Jumlah ulangan 3 dan jumlah seluruh percobaan 48. Parameter yang diamati adalah persentase kontaminasi, jumlah daun, jumlah tunas, tinggi tunas dan waktu munculnya tunas. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANAVA dilanjutkan dengan uji DMRT. Hasil penelitian menunjukkan pemberian IAA dan BAP berpengaruh nyata pada semua parameter. Persentase jumlah planlet yang terkontaminasi yaitu 10,41%. Rata-rata waktu munculnya tunas yaitu pada minggu ke-2. Rata-rata jumlah tunas tertinggi pada perlakuan I1B1 (IAA 1 mg/l dan BAP 1 mg/l) dan I0,5B1 (IAA 0,5 ml/l dan BAP 1 ml/l) yaitu 17,67 tunas. Rata-rata jumlah daun tertinggi pada perlakuan IAA 1 mg/l dan BAP 1 yaitu mg/l 113.67 helai helai. Rata-rata tinggi tunas tertinggi pada perlakuan IAA 1 mg/l dan BAP 0 mg/l yaitu 37.33 mm. Kata kunci : IAA, BAP, Ananas comosus, Planlet, in vitro PENDAHULUAN Nanas dan merupakan salah satu komoditi tanaman hortikultura yang telah dikembangkan masyarakat secara turun-temurun di Kabupaten Tapanuli Utara. Buah nanas Sipahutar terkenal dengan rasanya yang manis, tidak terlalu berair, berukuran besar, serta warna kulit kuning dengan ujung warna kehijauan. Berkurangnya sumber plasma nutfah nanas Sipahutar disebabkan oleh penanaman nanas Sipahutar yang kurang, sehingga perlu penanganan yang menyeluruh. Alternatif yang diperlukan untuk penanaman dan perbanyakan adalah melalui teknik kultur jaringan. Teknik ini dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan zat pengatur tumbuh (ZPT), serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaan terkontrol (Yusnita, 2004). ZPT mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Agar didapatkan tunas yang banyak maka dapat digunakan hormon BAP dari golongan sitokinin dan hormon IAA yang berperan memacu pertumbuhan sepanjang sumbu longitudinal (Harahap, 2011). Berdasarkan uraian diatas, maka sangat diperlukan penelitian ini dilakukan guna mengetahui pengaruh pemberian IAA dan BAP terhadap pertumbuhan planlet nanas (Ananas comosus L.) Sipahutar secara in vitro. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium kultur jaringan YAHDI Perum Pelabuhan Jl. Lambung No. 18 Tanah 600 Medan Marelan pada bulan Juni-Desember 2013. Bahan dan Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alumunium foil, autoklaf, batang pengaduk, beaker glass, botol kultur, cawan petri, gelas ukur, gunting, hand sprayer, kertas millimeter, label, laminar air flow cabinet (LAFC), lampu Bunsen, lemari pendingin, pemanas, pH meter, pinset, pipet volume, spatula, rak kultur, scalpel, timbangan analitik, tissue, dan alat-alat kultur lainnya. Bahan yang digunakan adalah planlet nanas Sipahutar, media MS (Murashige dan Skoog), zat pengatur tumbuh BAP dan IAA, alkohol 70%, alkohol, 96%, HCL 0,1 N, KOH 0,1 N, aquadest steril. 204 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Rancangan Penelitian Dalam penelitian ini digunakan metode eksperimen rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 16 perlakuan. Adapun yang menjadi faktor dalam penelitian ini adalah: Faktor I : ZPT IAA terdiri dari 4 taraf perlakuan: B0 = 0 ppm (kontrol), B1 = 0,5 ppm, B2 = 1 ppm, B3 = 1,5 ppm; Faktor II: ZPT BAP terdiri dari 4 taraf perlakuan: I0 = 0 ppm (kontrol), I0,5 = 1 ppm, I1 = 2 ppm, I1,5 = 3 ppm. Setiap perlakuan dilakukan ulangan 3 kali, sehingga perlakuan dan ulangan berjumlah 48 botol. Parameter yang diamati adalah persentase kontaminasi (%), waktu muncul tunas (MST), jumlah tunas (mm), jumlad daun (helai), dan tinggi tunas. PROSEDUR KERJA Sterilisasi Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dicuci dengan menggunakan detergen dan air mengalir hingga bersih, kemudian dikeringkan dan disterilkan. Alat-alat yang disterilkan seperti botol kultur, gelas ukur, gunting, pinset, petridish, spatula di bungkus dengan kertas merang kemudian di masukkan ke dalam autoklaf dengan tekanan 17.5 psi dan suhu 121°C selama 1 jam. Pembuatan Media Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media MS (Murashige dan Skoog) dengan penambahan ZPT IAA dan BAP. Tahap awal pembuatan media adalah pembuatan larutan stok unsur hara mikro, stok vitamin, serta ZPT IAA dan BAP. Menimbang unsur hara makro, myo-inositol, sukrosa, dan memipet stok mikro serta vitamin sesuai dengan kebutuhan perlakuan. Penambahkan NaOH dan HCL 0,1 N digunakan untuk memperoleh pH yang diinginkan. Penanaman dan Pemeliharaan Penanaman dilakukan dalam laminar air flow cabinet yang telah dibersihkan dengan alkohol 70% dan dikeringkan dengan menggunakan tissue, kemudian disinari dengan ultra violet (UV) selama 60 menit. Penanaman dimulai dengan cara mengambil planlet nanas Sipahutar yang ada di dalam botol kultur dan meletakkannya ke dalam petridist selanjutnya mengambil tunas dari planlet dengan menggunakan piset dan gunting, selanjutnya memasukkan tunas ke dalam botol media MS yang ditambah ZPT. Botol-botol yang berisi planlet diletakkan ke dalam rak kultur bersuhu 18-220 C dan penyediaan cahaya selama 16 jam setiap hari. Ruangan kultur diusahakan bebas dari bakteri dan jamur dengan cara membersihkan dengan menyemprotkan alkohol 70% atau formalin 10%. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Perentase Kontaminasi Dari hasil pengamatan pertumbuhan nanas umur 1-8 MST jumlah media yang ditanami planlet nanas yang mengalami kontaminasi berjumlah 5 botol media.%Terkontaminasi = Jum lah Planlet yang Terkontaminasi 5 x 100% = x 100% = 10,41% Jumlah Planlet Seluruhnya 48 Waktu Muncul Tunas Berdasarkan hasil pengamatan nanas umur 8 MST, waktu munculnya tunas nanas yang lebih cepat adalah pada pemberian ZPT I0B1, I0B3, I0,5B1, I0,5B2, I1B1, I1B3, I1,5B0, I1,5B2, dan I1,5B3. Waktu munculnya tunas yang paling lama yaitu pada minggu ke delapan pada perlakuan I1,5B3 hanya ada 1 tunas. Jumlah Tunas Dari hasil pengamatan pertumbuhan jumlah tunas pada umur 8 MST, rata-rata jumlah tunas yang paling tinggi pada perlakuan I1B1 dan I0,5B1 yaitu 17,67 tunas. Jumlah tunas yang memiliki ratarata paling rendah adalah pada pemberian ZPT I1,5B3 yaitu 10,48 tunas. Dari hasil ANAVA, pengaruh pemberian IAA dan BAP memberikan pengaruh nyata (α > 0,05) untuk jumlah tunas pada umur 8 MST, dimana H0 ditolak dengan ketentuan apabila F hitung > F tabel pada taraf kepercayaan 95%, untuk itu perlu dilakukan uji lanjutan beda rataan atau uji hipotesis perlakuan yang berbeda nyata atau sangat nyata dengan uji DMRT. 205 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 1. Pengaruh Interaksi antara IAA dan BAP Terhadap Jumlah Tunas Umur 8 MST Faktor Konsentrasi BAP Total Rataan ∑ X2 0 1 2 3 0 17bcd 49gh 44fgh 27defg 137 34.25 5355 0.5 25cdef 53h 27defg 25cdef 130 32.5 4788 1 30defg 53h 35efgh 27defg 145 36.25 5663 1.5 29defg 101 16bcd 171 13ab6.53 119 9a 88 67 479 16.75 Total 1347 17153 Rataan 25.25 42.75 29.75 22 IAA Dari hasil uji DMRT untuk jumlah tunas umur 8 MST menunjukan hasil tertinggi adalah pada pemberian ZPT I1B1 yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan I0,5B1, I0B1, I0B2, dan I1B2 tetapi berbeda nyata dengan perlakuan lainnya b. I1B1 c. I1,5B3 a. I0,5B1 Gambar 1. Planlet nanas Sipahutar yang ditanam pada media MS + ZPT IAA dan BAP Jumlah Daun Dari hasil pengamatan pertumbuhan jumlah daun pada umur 8 MST, rata-rata jumlah daun yang paling tinggi pada pemberian ZPT I1B1 yaitu 113.67 helai dan rata-rata jumlah daun paling rendah adalah pada pemberian ZPT I1,5B3 yaitu 12,67 helai. Hasil ANAVA, pengaruh pemberian IAA dan BAP memberikan pengaruh nyata (α > 0,05) untuk jumlah daun pada umur 8 MST, dimana H0 ditolak dengan ketentuan apabila F hitung > F tabel pada taraf kepercayaan 95%, untuk itu perlu dilakukan uji lanjutan beda rataan atau uji hipotesis perlakuan yang berbeda nyata atau sangat nyata dengan uji DMRT. Tabel 2. Pengaruh Interaksi antara IAA dan BAP Terhadap Jumlah Daun Umur 8 MST Faktor Konsentrasi BAP Total Rataan 0 1 2 3 0 147bcde 300ij 238ghij 106abcd 791 171.25 0.5 146bcde 291hij 111abcd 146bcde 694 173.5 1 194defg 341j 221efgh 134bcde 890 222.5 1.5 179cdef 105a 77ab 38abc 399 99.75 Total 666 1037 647 424 2674 Rataan 166.5 259.25 161.75 106 IAA Dari hasil uji DMRT untuk jumlah daun umur 8 MST menunjukan hasil tertinggi adalah pada perlakuan pemberian ZPT I1B1 (IAA 1 ppm dan BAP 1 ppm) yaitu 113,67 helai yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan I0B1 (IAA 0 ppm dan BAP 1 ppm), I0B2 (IAA 0 ppm dan BAP 2 ppm) dan I0,5B1 (IAA 0,5 ppm dan BAP 1 ppm) , tetapi berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. 206 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tinggi Tunas Dari hasil pengamatan pertumbuhan jumlah tunas pada umur 8 MST, rata-rata tinggi tunas yang paling tinggi pada pemberian I1B0 yaitu 37,33 mm. Untuk rata-rata tinggi tunas yang paling rendah adalah pada ZPT yaitu 22,33 mm. Hasil ANAVA, pengaruh pemberian IAA dan BAP memberikan pengaruh nyata (α > 0,05) untuk jumlah tunas pada umur 8 MST, dimana H0 ditolak dengan ketentuan apabila F hitung > F tabel pada taraf kepercayaan 95%, untuk itu perlu dilakukan uji lanjutan beda rataan atau uji hipotesis perlakuan yang berbeda nyata atau sangat nyata dengan uji DMRT. Tabel 3. Pengaruh Interaksi IAA dan BAP Terhadap Tinggi Tunas Umur 8 MST Faktor Konsentrasi BAP Total Rataan 0 1 2 3 0 85 87defg 85cdef 67ab 324 81 0.5 97fgh 83cdef 75abcd 72abcd 327 81.75 1 112h 96efgh 76abcd 73abcd 357 89.25 1.5 110gh 85cdef 71abc 67a 333 83.25 Total 404 351 307 279 1341 Rataan 101 87.75 76.75 69.79 IAA Dari hasil uji DMRT untuk tinggi tunas umur 8 MST menunjukan hasil tertinggi pada pemberia ZPT I1B0 yaitu 37,33 yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan I0,5B0, I1,5B0 dan I1B1tetapi berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. b. I1,5B3 a. I1B0 Gambar 2. Tinggi planlet nanas Sipahutar PEMBAHASAN Persentase Kontaminasi Pada pengamatan pertumbuhan planlet nanas, ada 5 media yang berisi planlet nanas yang terkontaminasi oleh bakteri dan jamur yaitu pada perlakuan I0B0, I0,5B1, I1B0 I1,5B0 dan I1,5B2, dari hasil perhitungan persentase kontaminasi berjumlah 10,41%. Kontaminasi diduga berasal dari alat-alat yang digunakan saat penanaman yang kurang steril, seperti: gunting, pinset, pisau, cawan petri, laminar maupun dari media dan planlet itu sendiri. Kurangnya kesterilan dalam melakukan sterilisasi alat dan pembuatan media memicu masuknya mikroorganisme. Menurut Mariska (2003), sterilisasi alat dan bahan merupakan langkah awal yang cukup penting dalam menentukan keberhasilan penanaman secara in vitro. Kontaminasi yang muncul pada planlet didominasi oleh cendawan. Kontaminasi dapat disebabkan oleh 2 faktor, eksternal dan internl diantaranya organisme kecil yang masuk kedalam media, botol kultur, peralatan tanam yang kurang steril, lingkungan kerja dan ruangan kultur yang kotor dan kecerobohan pelaksanaan. Menurut Sialagan (2012), menyatakan sumber kontaminan dapat berasal dari dalam jaringan tanaman itu sendiri, terutama bakteri. 207 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Waktu Muncul Tunas Rata-rata waktu munculnya tunas tercepat umur 8 MST adalah pada perlakuan I0,5B0, I0,5B1, yaitu pada minggu kedua dan waktu muncul tunas paling lama pada perlakuan I1,5B0 yaitu pada minggu kedelapan. Waktu munculnya tunas tercepat pada minggu kedua, disebabkan planlet telah mampu menginduksi pembentukan tunas baru karena kandungan sitokinin endogen yang terkandung didalam planlet nanas cukup tinggi. Pertumbuhan dan morfogenesis planlet secara in vitro dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari ZPT yang terdapat dalam planlet yang bersifat endogen maupun eksogen. Sifat endogen yang bersal dari dalam planlet itu sendiri, diantaranya kemampuan planlet untuk menyerap nutrisi yang tersedia dalam media. Sedangkan sifat eksogen dapat berupa pengaruh teknis pelaksanaan pengkulturandan penambahan ZPT pada media. Secara umum pertumbuhan planlet menunjukkan respon yang baik pada awal pertumbuhan. Hal ini dapat dilihat dari adanya perubahan warna, pembengkakan eksplan, hingga akhirnya pembentukan tunas. Jumlah Tunas Hasil analisis varians menunjukkan bahwa pemberian IAA dan BAP pada berbagai taraf konsentrasi berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas. Untuk interaksi IAA dan BAP nilai rata-rata tertinggi pada konentrasi I1B1 dan I0,5B1 yaitu 17,67. Interaksi antara sitokinin dan auksin berperan dalam mengontrol banyak aspek pertumbuhan dan diferensasi sel. Kombinasikan auksin dan sitokinin memicu diferensiasi dan perkembangan sel, organ dan seluruh bagian tanaman. Secara umum, rasio sitokinin yang tinggi daripada auksin akan memicu terbentuknya tunas. Dalam penelitian Intan et al (2012), menyatakan bahwa rasio antara auksin dan sitokinin yang seimbang akan menumbuhkan selsel meristem yang terus membelah dan berkembang membentuk organ. Secara sinergis, meningkatnya konsentrasi auksin di dalam sel merupakan stimulus untuk aktivasi sitokinin. Dwi dan Sobir (2013), menyatakan pemberian konsentrasi sitokinin yang tinggi pada tanaman dapat menghambat pertumbuhan tunas. Rasio auksin dan sitokin menentukan morfogenesis. Menurut Yusnita (2003), penggunaan ZPT sitokinin dapat merangsang pertumbuhan percabangan tunas adventif yang merupakan perkembangan organ seperti tunas yang berasal dari suatu titik tumbuh. Konsentrasi BAP yang optimal dalam memacu pertumbuhan tanaman bervariasi dan tergantung pada jenis tanaman. Banyak jumlah tunas yang terbentuk karena tercapainya antara ZPT eksogen dengan planlet dalam merangsang tunas-tunas baru, karena untuk menghasilkan tunas dalam jumlah banyak planlet yang dikulturkan juga berasal dari tunas sehingga planlet yang digunakan lebih aktif merespon ZPT. Jumlah Daun Dari hasil pengamatan jumlah daun helai umur 8 MST, jumlah daun terbanyak pada perlakuan I1B1yaitu 113.67 helai. Interaksi dari perlakuan tersebut memberi pengaruh nyata terhadap jumlah daun. Banyaknya jumlah daun berkorelasi secara positif dengan banyaknya jumlah tunas yang dihasilkan pada setiap perlakuan. Menurut Yelnititis dalam Rohyana (2013), menyatakan penambahan sitokinin dapat mendorong meningkatnya jumlah dan ukuran daun. Sugiharto et al (2007), menyatakan pemberian auksin 1 ppm pada media MS menunjukan perkembangan yang baik pada pembentukan planlet yang sempurna yang sudah memiliki akar, batang dan daun. Auksin juga dapat berpengaruh terhadap pertmbuhan daun. Salah satu fungsi auksin pada pertumbuhan daun adalah membantu perkembangan jaringan meristem calon daun. Pemberian auksin yang dikombinasikan dengan sitokinin dapat meningkatkan jumlah daun yang terbentuk. Jumlah daun yang sedikit pada pemberian ZPT IAA dan BAP dengan konsentrasi yang tinggi diduga karena tingginya konsentrasi ZPT IAA dan BAP yang ditambahkan dalam media MS, sehingga menghambat pertumbuhan jumlah daun. Rainiyati et al (2013), menyatakan peningkatan konsentrasi IAA dapat menghambat pertumbuhan daun. Interaksi antara ZPT IAA dan BAP dengan hormon yang diproduksi oleh sel secara endogen juga mempengaruhi pertumbuhan planlet (Karjadi dan Buchory, 2008). Tinggi Tunas Kombinasi perlakuan IAA dan BAP berpengaruh nyata terhadap perubahan tinggi tunas. Tunas tertinggi diperoleh dari perlakuan I1B0 yaitu 37,33 mm. Tinggi tunas tertinggi pada kombinasi IAA dan BAP yaitu I1B1 yaitu 32,0 mm. IAA dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari BAP berpengaruh terhadap tinggi tunas karena nilai rata-rata tinggi tunas yang dihasilkan terlihat lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa penambahan BAP. Hal ini diduga pada perlakuan tanpa BAP, 208 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 planlet yang ditanam menghasilkan auksin endogen dengan konsentrasi yang cukup tinggi sehingga menyebabkan terjadinya proses pemanjangan sel dan eksplan yang ditanam bertambah tinggi lebih cepat. Menurut Karjadi dan Buchory (2008), menyatakan pertumbuhan tinggi planlet sangat berpengaruh oleh kehadiran ZPT auksin. Menurut Klerk (2006), ZPT sitokinin dapat menghambat terjadinya pemanjangan sel sehingga eksplan yang ditanam tidak bertambah tinggi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT) Indole Acetic Acid (IAA) dan Benzil Amino Purin (BAP) dapat meningkatkan jumlah tunas, jumlah daun, tinggi tunas, dan waktu munculnya tunas. Persentase kontaminasi 10, 41% Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menentukan konsentrasi yang lebih tepat untuk mengetahui hasil pertumbuhan nanas Sipahutar yang terbaik dengan menggunakan zat pengatur tumbuh (ZPT) Indole Asetic Acid (IAA) dan Benzyl Amino Purin (BAP). DAFTAR PUSTAKA Dwi, R. S. dan Sobir, (2013), Pertumbuhan Planlet Nenas (Ananas comosus L. Merr.) VarietasSmooth Cayenne Hasil Kultur In Vitro pada Beberapa Konsentrasi BAP dan Umur Planlet, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Bul. Agrohorti 1 (10: 54-61 Harahap, F., (2011), Kultur Jaringan Tanaman, Medan: Perdana Mulya Sarana Intan, A.P., Ermavitalini, D., dan Nurfadilah, S., (2012), Pengaruh Penambahan Kombinasi Konsentrasi ZPT NAA dan BAP Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Biji Dendrobium TaurulinumJ.J Smith Secara In Vitro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Vol. 1:No. 1 Karjadi, A.K., dan Buchory, A., (2008), Pengaruh Komposisi Media Dasar, Penambahan BAP dan Pikloram Terhadap Induksi Tunas Bawang Merah, Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Bandung, Hort. 19:1-9 Klerk, G.J., (2006), Plant Hormones In Tissue Culture. In Duchefa Biochemie, Biochemicals Plant Cell And Tissue Culture Phytopathology, Duchefa Biochemie BV, Haarlem. Netherlands Maryani, Yekti; Zamroni, (2005), Penggandaan Tunas Krisan Melalui Kultur Jaringan. Ilmu Pertanian Vol. 12 No.1, 2005: 51-55 Rainiyati, Lizawati dan Kristiana, M., (2009), Peranan IAA dan BAP Terhadap Perkembangan Nodul Pisang (Musa aab) Raja Nangka Secara In Vitro, Budidaya Pertanian UNJ, Jambi, ISSN 14101939 Sialagan, J., (2012), Optimasi Teknik Sterilisasi Eskplan Lapang Nanas Asal Sipahutar (Ananas comosusL.) Secara In Vitro, FMIPA UNIMED, Medan Sugiharto, B, Triastuti, R, Mukkhiissul, F., (2007). Propagasi Tanaman Nilam (Pogostemon cablin Benth.) Secara In vitro dengan Kombinasi Sitokinin dan Auksin 2,4 D. MIPA, Vol. 17 No: 3947 Yusnita, 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara In vitro. Agromedia Pustaka, Jakarta 209 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 KERAGAAN PERTUMBUHAN TANAMAN DARI BEBERAPA KLON KARET HASIL INTRODUKSI PADA AGROKLIMAT KERING DAN BASAH DI WILAYAH SUMATERA UTARA Sayurandi Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet P.O. Box 1415, Medan 20001 e-mail : [email protected] ABSTRACT Klon karet unggul sebagai komponen teknologi memberikan proporsi yang besar dalam upaya peningkatan produktivitas karet. Sampai dengan saat ini, klon karet unggul telah banyak dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan seleksi dan introduksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kinerja beberapa klon karet hasil introduksi selama masa tanaman belum menghasilkan pada agroekosistem yang berbeda. Sebanyak empat klon karet yaitu PB 260, PB 217, RRIM 921, RRII 105 dan klon pembanding BPM 24 diuji dalam penelitian ini. Pengujian klon dilakukan pada dua daerah yaitu Gunung Tua yang terletak di Kabupaten Padang Lawas Utara memiliki iklim lebih kering dan Batang Toru terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan memiliki iklim lebih basah. Kedua lokasi pengujian dibangun masing-masing pada tahun 2005 dan 2008 dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Pengamatan karakter pertumbuhan lilit batang dilakukan pada umur 2, 3 dan 4 tahun, sedangkan intensitas serangan penyakit gugur daun Oidium, Colletotrichum, dan Corynespora diamati pada umur 3 tahun. Hasil pengujian menunjukkan bahwa klon PB 217 dan PB 260 memiliki pertumbuhan yang cukup jagur dan stabil, sedangkan klon PB 217 dan RRIM 921 memiliki pertumbuhan paling jagur di daerah yang memiliki iklim lebih basah. Semua klon yang diuji tergolong agak resisten hingga resisten terhadap penyakit gugur daun Oidium, Colletotrichum, dan Corynespora. Kata kunci: Hevea brasiliensis, klon karet introduksi, pengujian, pertumbuhan, karakteristik sekunder PENDAHULUAN Peningkatan produktivitas karet merupakan salah satu syarat agar perkebunan karet tetap eksis dan bersaing dengan komoditas perkebunan lain. Peningkatan produktivitas tanaman sangat berkaitan erat dengan potensi produktivitas yang dimiliki oleh klon karet unggul. Penanaman klon karet unggul pada perkebunan karet secara nyata mampu meningkatkan produksi karet. Efisiensi usaha juga akan diperoleh sejalan dengan meningkatnya hasil produksi, karena produksi yang tinggi akan menurunkan harga pokok (Aidi-Daslin, 2005). Kegiatan pemuliaan karet di Indonesia pada saat ini telah memasuki generasi ke empat (G-IV) dan telah menghasilkan klon unggul harapan dengan potensi produktivitas yang lebih tinggi. Potensi produktivitas klon yang dihasilkan pada saat ini telah mencapai 2000 – 2500 kg/ha/th dan potensi kayu sekitar 300 m3/ha (Suhendry et al., 2001; Woelan et al, 2001). Klon karet pada kelompok G-IV tersebut tidak hanya berasal dari hasil pemuliaan di Indonesia saja, tetapi juga merupakan hasil introduksi dari negara lain seperti Malaysia, Srilanka dan India. Klon karet hasil introduksi yang masuk ke Indonesia merupakan klon unggul di negara perakit klon tersebut. Sebelum direkomendasikan untuk pertanaman komersial sebagai klon unggul di Indonesia, maka klon hasil introduksi perlu dievaluasi di Indonesia. Pengujian ini penting dilakukan, karena Indonesia merupakan negara yang luas dengan agroekosistem yang cukup bervariasi (Alwi dan AidiDaslin, 1990). Pada umumnya, klon unggul memiliki daya adaptasi luas dan stabil pada kondisi agroekosistem yang berbeda, tetapi banyak juga klon memiliki respon spesifik pada lingkungan tertentu (Fatunla and Frey, 1974; Simmonds, 1989). Artikel ini berisikan hasil evaluasi kinerja beberapa klon karet hasil introduksi selama masa tanaman belum menghasilkan (TBM) pada dua lokasi pengujian. CARA KERJA Plot Pengujian dibangun di dua lokasi yaitu Gunung Tua, Kabupaten Padang Lawas Utara yang ditanam pada tahun 2005 dan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan yang ditanam pada tahun 2008. Sebanyak 4 klon introduksi yaitu PB 260, PB 217, RRIM 921, dan RRII 105 dan satu klon pembanding BPM 24 diuji pada tiap lokasi dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Deskripsi lokasi pengujian klon karet hasil introduksi disajikan pada Tabel 1. 210 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 1. Deskripsi lokasi pengujian klon No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Keterangan Tahun tanam Klon yang diuji Rancangan Percobaan Jumlah Ulangan Jarak tanam Luas plot Jumlah tanaman Luas areal Topografi Tinggi tempat Jenis tanah Rata-rata curah hujan Lokasi pengujian Gunung Tua 2005 klon introduksi RAK 2 ulangan 5 x 4 m 0,25 - 0,5 ha 150 - 250 pohon 15 ha Datar 150 m dpl Ultisol 1450 mm/th Batang Toru 2008 klon introduksi RAK 2 ulangan 5 x 4 m 0,25 - 0,5 ha 100 - 250 pohon 12 ha Datar dan berbukit 300 m dpl Ultisol 3100 mm/th Pengamatan terhadap pertumbuhan lilit batang dilakukan pada umur 2, 3, dan 4 tahun. Intensitas serangan penyakit gugur daun Oidium, Colletotrichum dan Corynespora diamati pada umur 3 tahun dan dihitung berdasarkan rumus yang dikembangkan oleh Pawirosoemardjo (1999). Indeks stabilitas pertumbuhan tiap klon ditentukan dengan rumus yang dikembangkan oleh Steel dan Torrie (1982). HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Tanaman di Gunung Tua Data pertumbuhan lilit batang beberapa klon karet hasil introduksi pada masa TBM yang diuji di Gunung Tua disajikan pada Tabel 2. Hasil pengamatan pertumbuhan lilit batang menunjukkan bahwa pada umumnya klon karet hasil introduksi memiliki pertumbuhan lebih jagur pada umur empat tahun dibandingkan dengan klon pembanding BPM 24. Klon PB 217 dan PB 260 memiliki pertumbuhan paling jagur dilokasi pengujian tersebut, dengan rata-rata pertumbuhan lilit batang masing-masing sebesar 39,9 cm dan 40,8 cm. Sedangkan rata-rata lilit batang klon pembanding BPM 24 sebesar 35,2 cm. Pertumbuhan klon tersebut 113% dan 116% terhadap klon pembanding BPM 24. Tabel 2. Pertumbuhan lilit batang dari beberapa klon di lokasi pengujian Gunung Tua Klon PB 217 RRII 105 RRIM 921 PB 260 BPM 24 Rata-rata Minimum Maksimum Simpangan baku Koef. keragaman (%) Lilit batang (cm), pada umur 2 th 3 th 17,2 29,1 15,3 25,0 14,1 26,3 15,9 27,9 13,3 27,6 15,2 27,2 13,3 25,0 17,2 29,1 1,5 1,6 10,1 5,8 4 th 39,9 (113) 38,4 (109) 37,7(107) 40,8(116) 35,2 (100) 38,4 35,2 40,8 2,2 5,6 Pertambahan lilit batang (cm/th) 10,2 10,4 10,2 10,2 10,0 10,2 10,0 10,4 0,1 1,4 Tabel 2 juga menunjukkan bahwa laju pertambahan lilit batang klon yang diuji berkisar 10,0 – 10,4 cm/th. Jika dilihat dari laju pertambahan lilit batang dan ukuran lilit batang tanaman, klon yang diuji memiliki pertumbuhan agak lambat. Pada umumnya klon karet yang ditanam pada daerah yang memiliki agroklimat yang sesuai untuk tanaman karet, pertumbuhan lilit batang klon karet pada umur empat tahun dapat mencapai 45 cm dengan laju pertambahan lilit batang > 11 cm/th (Aidi-Daslin, 2005). Terlambatnya pertumbuhan tanaman di Gunung Tua diduga diakibatkan oleh curah hujan cukup rendah. Karyudi (2001) menyatakan respon pertumbuhan tanaman dapat terhambat karena 211 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 disebabkan oleh cekaman kekeringan. Berdasarkan rata-rata pertumbuhan lilit batang klon, klon karet yang diuji diperkirakan dapat disadap pada umur lima tahun. Pertumbuhan Tanaman di Batang Toru Data pertumbuhan lilit batang beberapa klon karet hasil introduksi pada masa TBM yang diuji di Batang Toru disajikan pada Tabel 3. Hasil pengamatan pertumbuhan lilit batang menunjukkan bahwa klon PB 217, RRIM 921, dan PB 260 memiliki pertumbuhan lebih jagur pada umur empat tahun dibandingkan dengan klon pembanding BPM 24. ukuran lilit batang masing-masing klon yaitu 45,3 cm, 45,8 cm, dan 45,2 cm dengan laju pertambahan lilit batang berkisar 10,8 – 11,8 cm/th. Klon RRII 105 memiliki pertumbuhan paling lambat dibandingkan dengan klon lainnya. Pada umumnya klon yang diuji di Batang Toru lebih jagur dibandingkan di Gunung Tua. Pada umur 4 tahun sebagian klon telah memiliki ukuran lilit batang 45 cm. Klon hasil introduksi yang tumbuh jagur di Batang Toru diduga disebabkan oleh curah hujan di lokasi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan di Gunung Tua. Dari beberapa hasil penelitian pengujian klon sebelumnya juga diperoleh informasi bahwa pada umumnya klon karet lebih sesuai dikembangkan pada daerah agroklimat basah dibandingkan dengan agroklimat kering, namun memiliki 2-3 bulan kering yang tegas (Aidi-Daslin, 2011). Berdasarkan pertumbuhan tanaman, maka klon karet hasil introduksi yang diuji di Batang Toru diprediksi dapat disadap pada umur 4 tahun. Tabel 3. Pertumbuhan lilit batang dari beberapa klon di lokasi pengujian Batang Toru Klon PB 217 RRII 105 RRIM 921 PB 260 BPM 24 Rata-rata Minimum Maksimum Simpangan baku Koef. keragaman (%) Lilit batang (cm), pada umur 2 th 3 th 4 th 26,9 34,4 45,3(101) 24,5 36,0 44,5 (99,6) 25,4 37,0 45,8 (102) 27,6 38,1 45,2 (101) 25,2 31,3 44,7 (100) 25,9 35,4 45,1 24,5 31,3 44,5 27,6 38,1 45,8 1,3 2,6 0,5 5,0 7,5 1,1 Pertambahan lilit batang (cm/th) 11,0 11,8 11,6 11,0 10,8 11,2 10,8 11,8 0,4 3,9 Stabilitas Pertumbuhan Tanaman Klon karet yang memiliki adaptasi luas dan stabil pada setiap lingkungan tumbuh tanaman merupakan harapan bagi pemulia tanaman (Mydin et al., 2012). Nilai indeks stabilitas suatu tanaman sangat perlu diketahui agar diperoleh informasi tingkat stabilitas suatu klon pada kondisi agroekosistem yang berbeda (Nor and Cady, 1979). Menurut Eberhart and Rusell (1966), klon karet yang memiliki tingkat stabilitas baik ditandai dengan nilai indeks stabilitas rendah demikian pula sebaliknya. Indeks stabilitas pertumbuhan lilit batang pada beberapa klon karet disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Ukuran lilit batang dan indeks stabilitas pada beberapa klon karet introduksi Lilit batang (cm) pada umur 4 tahun Indeks stabilitas Klon Lokasi Rata-rata Nilai Urutan Gunung Tua Batang Toru PB 217 39,9 45,3 42,6 0,38 RRII 105 38,4 44,5 41,5 0,43 RRIM 921 37,7 45,8 41,8 0,57 PB 260 40,8 45,2 43,0 0,31 BPM 24 35,2 44,7 40,0 0,67 Rata-rata 38,4 45,1 41,8 212 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai indeks stabilitas pertumbuhan klon introduksi yang diuji berkisar antara 0,31 – 0,67. Klon PB 217 dan PB 260 memiliki nilai indeks stibilitas pertumbuhan paling rendah dibandingkan dengan klon lainnya dengan nilai masing-masing 0,38 dan 0,31. Nilai indeks stabilitas yang rendah menunjukkan bahwa kedua klon memiliki pertumbuhan tanaman relatif stabil. Rata-rata ukuran lilit batang klon tersebut adalah 42,6 cm dan 43,0 cm. Klon RRIM 921 dan BPM 24 memiliki pertumbuhan kurang stabil dengan indeks stabilitas masing-masing 0,57 dan 0,67 Klon PB 217 dan PB 260 memiliki pertumbuhan yang cukup baik pada daerah kering di Gunung Tua. Di Batang Toru respon klon terhadap curah hujan tinggi cukup baik. Klon RRIM 921 memiliki pertumbuhan paling jagur di Batang Toru. Klon karet yang diuji memiliki adaptasi baik pada daerah basah dibandingkan dengan daerah kering. Resistensi terhadap Penyakit Gugur Daun Ketahanan klon terhadap penyakit gugur daun merupakan parameter yang sangat penting terutama terhadap penyakit daun Oidium, Colletotrichum, dan Corynespora. Penyakit ini memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap produktivitas tanaman. Evaluasi klon terhadap sifat resistensi tanaman pada tingkat pengujian di lapangan, diharapkan dapat menghasilkan klon dengan ketahanan genetik yang lebih baik (Basuki, 1990). Thomanee et al., (1992) menyatakan bahwa penyakit gugur daun yang berkelanjutan dapat menurunkan produktivitas mencapai 40%. Evaluasi klon terhadap ketahanan penyakit dilakukan di kebun Batang Toru, karena di kebun ini tergolong pada daerah basah dengan rata-rata curah hujan 3.100 mm/th dan jumlah hari hujan 125 – 165 hari/ th. Klon karet yang diuji pada umumnya memiliki ketahanan tergolong agak resisten sampai dengan resisten terhadap penyakit gugur daun Oidium dengan intensitas serangan berkisar 9,82 – 26,90% (Tabel 5). Terhadap penyakit Colletotrichum, seluruh klon yang diuji memiliki ketahanan yang tergolong moderat sampai dengan resisten dengan intensitas serangan berkisar 7,83 – 50,74%. Ketahanan terhadap penyakit gugur daun Corynespora, klon IRR seri 100 yang diuji tergolong agak reisten sampai dengan resisten, dengan intensitas serangan berkisar 7,80 – 31,22%. Tabel 5. Intensitas serangan penyakit gugur dari beberapa klon karet Oidium Colletotrichum Klon Intensitas Ketahanan Intensitas Ketahanan PB 217 22,72 RRII 105 25,64 RRIM 921 12,76 PB 260 10,62 BPM 24 22,90 AR = agak resisten R = resisten AR AR R R AR 30,54 23,78 26,40 28,21 29,00 AR AR AR AR AR Corynespora Intensitas Ketahanan 7,80 9,82 10,87 8,48 15,30 R R R R R DAFTAR PUSTAKA Aidi-Daslin, 2005. Kemajuan pemuliaan dan seleksi dalam menghasilkan kultivar karet unggul. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Tanaman Karet 2005, 26-37. Aidi-Daslin, 2011. Evaluasi pengujian lanjutan klon karet IRR seri 200 pada masa tanaman belum menghasilkan. Jurnal Penelitian Karet 29 (2), 93-101 Alwi, N. dan Aidi Daslin, S. 1990. Laporan mengenai pengujian klon pertukaran internasional 1974. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Tanaman Karet 1990. Pontianak, 14-17 Juli 1990 Basuki, S. Pawirosoemardjo, U.Nasution, Sutardi, W.Sinulingga dan A. Situmorang. 1990. Penyakit gugur daun Colletotrichum pada tanaman karet di Indonesia. Potensi, Penyebaran dan Penanggulangannya. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Tanaman Karet 1990, 268-295. Eberhart, S. A and W.A. Russell. 1966. Stability parameters for comparing varieties. Crop Sci. 6: 3640 Fatunla, T and K. J. Frey. 1974. Stability index and non radiated oat genotypes in bulk populatIons. Crop. Sci. 14: 719-724. 213 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Karyudi. 2001. Osmoregulasi tanaman karet sebagai respons terhadap cekaman kekeringan. I. Variasi diantara klon anjuran harapan dan plasmanutfah. J. Penel. Karet. 19(1): 1-17 Mydin, K. K., T. Meenakumari., V. Thomas., T. Gireesh., C. Narayanan., T. R. Chandraseekar and J. Jacob. 2012. Multilocational performance of RRII 400 series clones. Bulletin Rubber Board. 30 (4) : 23-28 Nor, K.M and F. B. Cady. 1979. Methodology for identifying wide stability analysis. . Agron. J. 71: 556-559. Pawirosoemardjo, S. 1999. Epidomologi dan pengendalian penyakit gugur daun secara terpadu. Laporan Hasil Penelitian. Proyek Penelitian Karet Sungei Putih. Medan. Steel and Torrie. 1982. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. McGrawHill International Book Company, 21-27 Simmond, N.W. 1989. Rubber Breeding. In: Webster C.C. and Baulkwill, W.J. (eds.). Rubber Longman Group, London, 85-124. Suhendry, I., Aidi-Daslin, S. Woelan, dan R. Azwar. 2001. Evaluasi pendahuluan genotipe terpilih penghasil lateks-kayu. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Karet 2001. Sembawa 5-6 Nopember 2001 Thomanee, A., S. Chimsathit, and S.Sookmark. 1992. Progress report on the 1974 Multilateral Exchange Clone Trials. ANRPC Report of the First Meeting of Plant Breeders. Hat Yai, Thailand, 16 th-17 th Januari, 1992. Woelan, S., Aidi-Daslin, R. Azwar, dan I. Suhendry. 2001. Keragaan klon karet unggul harapan seri 100. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Karet 2001. Sembawa 5-6 Nopember 2001 214 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 KARAKTER MORFOLOGI BUNGA DAN PERSENTASE BUAH JADI HASIL KOMBINASI PESILANGAN ANTAR TETUA TANAMAN KARET Sayurandi dan Syarifah Aini Pasaribu Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet P.O. Box 1415, Medan 20001 e-mail : [email protected] ABSTRAK Karakter morfologi bunga dan persentase buah jadi merupakan salah satu faktor penentu dalam kerberhasilan persilangan buatan (hand polination). Sampai dengan saat ini, persilangan buatan merupakan metode konvensional yang masih dilakukan untuk menghasilkan genotipe karet unggul. Masalah yang dihadapi pada metode konvensional ini adalah rendahnya keberhasilan persilangan untuk membentuk buah jadi (fruit set), sehingga berakibat terhadap rendahnya variabilitas genetik dari progeni hasil persilangan. Informasi pemilihan klon karet sebagai tetua yang memiliki keberhasilan tinggi membentuk buah jadi sangat diperlukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakter morfologi bunga beberapa klon karet dan pemilihan tetua terbaik untuk meningkatkan persentase buah jadi melalui program persilangan buatan. Penelitian ini dilakukan di Kebun Persilangan, Balai Penelitian Sungei Putih, Kabupaten Deli Serdang - Sumatera Utara. Sebanyak enam klon karet digunakan sebagai tetua persilangan yaitu PB 260, PB 330, PB 340, RRIC 100, IRR 111 dan IRR 220. Penelitian ini didesain menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Sistem kombinasi persilangan antar tetua dilakukan dengan pola acak (random). Dari sistem persilangan tersebut diperoleh sebanyak 12 kombinasi persilangan, dengan jumlah persilangan berkisar antara 155 - 778 bunga perkombinasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan karakter morfologi bunga diperoleh klon IRR 111 memiliki potensi bunga jantan dan betina paling tinggi dibandingkan dengan klon lainnya. Klon PB 260 dan IRR 111 memiliki daya gabung umum paling baik untuk parameter buah jadi dan persentase buah jadi. Kombinasi persilangan PB 260 x IRR 111 dan IRR 111 x PB 260 sebagai resiprokalnya memiliki daya gabung khusus paling baik pada parameter persentase buah jadi. Kata kunci : Hevea brasiliensis, tetua persilangan, morfologi bunga, persentase buah jadi PENDAHULUAN Tanaman karet merupakan salah satu tanaman perkebunan yang memiliki arti penting bagi kemajuan industri karet nasional. Untuk meningkatkan produktivitas karet, maka perbaikan potensi genetik tanaman tetap terus dilakukan melalui kegiatan seleksi tanaman yang diawali dari program persilangan antar tetua karet. Terbentuknya variabilitas genetik yang tinggi dari suatu program persilangan sangat diharapkan agar seleksi terhadap suatu karakter yang diinginkan lebih mudah diperoleh (Mangoendidjojo, 2003) Pembentukan variabilitas genetik pada tanaman karet melalui program persilangan buatan sangat berkaitan erat dengan keberhasilan membentuk buah jadi (fruit set). Karakteristik bunga jantan dan betina merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan persilangan tanaman karet. Ratarata persentase buah jadi dari program persilangan hanya sekitar 3%. Rendahnya persentase buah jadi yang dihasilkan diantaranya karena adanya faktor inkompatibilitas antar tetua persilangan (Harihar and Yeang, 1984; Woelan, 2006). Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi rendahnya persentase buah jadi (fruit set) yaitu dengan cara memperbanyak persilangan antar tetua tanaman karet yang memiliki daya gabung yang baik. Dari persilangan tersebut, maka diharapkan persentase buah jadi akan semakin tinggi. Untuk mengetahui tetua karet yang memiliki daya gabung yang baik dapat dilakukan dengan cara menyilangkan semua pasangan tetua (Soman et aI., 1996). Dari hasil persilangan tersebut diharapkan diperoleh tetua karet yang memiliki daya gabung yang baik dengan tetua tanaman karet lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter morfologi bunga beberapa klon karet dan pemilihan tetua terbaik untuk meningkatkan persentase buah jadi melalui program persilangan buatan. CARA KERJA Penelitian ini dilakukan di Kebun Persilangan, Balai Penelitian Sungei Putih, Kabupaten Deli Serdang - Sumatera Utara. Sebanyak enam klon karet digunakan sebagai tetua persilangan yaitu PB 260, PB 330, PB 340, RRIC 100, IRR 111 dan IRR 220. Penelitian ini didesain menggunakan 215 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Rancangan Acak Kelompok (RAK). Sistem kombinasi persilangan antar tetua dilakukan dengan pola acak (random). Dari sistem persilangan tersebut diperoleh sebanyak 12 kombinasi persilangan, dengan jumlah persilangan berkisar antara 155 - 778 bunga perkombinasi. Parameter yang diamati untuk morfologi bunga terdiri atas jumlah bunga jantan dan betina perpohon, jumlah bunga jantan dan betina perkarangan, jumlah tangkai bunga primer perkarangan bunga, jumlah tangkai bunga sekunder perkarangan bunga, dan karangan bunga perpohon. Sedangkan parameter yang diamati untuk keberhasilan persilangan buatan yaitu persentase buah jadi (%), diameter buah (cm), dan laju pertambahan diameter buah (cm/bulan). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakter Morfologi Bunga Peningkatan variabilitas genetik melalui persilangan buatan salah satunya sangat dipengaruhi oleh banyaknya jumlah bunga yang akan disilangkan dan banyaknya buah jadi (fruit set) yang terbentuk. Berdasarkan hasil analisis statistik terhadap jumlah bunga jantan dan betina perpohon menunjukkan perbedaan nyata pada masing-masing klon yang diamati. Demikian halnya, dengan parameter jumlah bunga jantan dan betina perkarangan menunjukkan perbedaan nyata. Hasil uji beda rataan pada setiap parameter pengamatan pada masing-masing klon disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rataan jumlah bunga jantan dan betina per pohon dan perkarangan bunga Jumlah bunga per pohon Jumlah bunga perkarangan Klon Jantan betina jantan betina PB 260 393.872 c 90.820 a 412 c 95 b PB 330 554.625b 48.575 c 765 b 67 c PB 340 126.352 d 35.760 d 212 d 60 c RRIC 100 454.680 bc 63.180 b 842 b 117 a IRR 111 748.608 a 83.328 a 1.114 a 124 a IRR 220 170.752 d 39.904 d 184 d 43 d Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji F.05 Tabel 1 menunjukkan bahwa pada parameter jumlah bunga jantan perpohon, klon IRR 111 memiliki jumlah bunga jantan perpohon paling tinggi dengan jumlah bunga sebanyak 248.608 bunga, sedangkan yang terendah yaitu klon PB 340 dan IRR 220 dengan jumlah bunga masing-masing sebanyak 126.352 bunga dan 170.752 bunga. Pada parameter bunga betina perpohon, klon PB 260 dan IRR 111 memiliki jumlah bunga betina perpohon paling tinggi yaitu masing-masing sebanyak 90.820 bunga dan 83.328 bunga. Klon IRR 220 memiliki jumlah bunga betina paling rendah dibandingkan dengan klon lainnya. Faktor genetik merupakan faktor yang sangat mempengaruhi jumlah bunga pada masing-masing klon. Azwar dan Woelan (1990) menyatakan bahwa variasi jumlah bunga jantan dan bunga betina pada masing-masing klon dikendalikan oleh faktor genetik. Tabel 1 juga menunjukkan bahwa pada parameter jumlah bunga jantan dan betina perkarangan, klon IRR 111 memiliki jumlah bunga perkarangan paling tinggi yaitu 1.114 bunga jantan/karangan dan 124 bunga betina/karangan. Klon PB 340 dan IRR 220 memiliki jumlah bunga jantan perkarangan paling rendah yaitu masing-masing sebanyak 212 bunga dan 184 bunga. Karakter morfologi bunga pada klon karet dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam meningkatkan variabilitas genetik melalui persilangan buatan. Klon yang memiliki jumlah bunga paling tinggi berpeluang dalam meningkatkan jumlah persilangan buatan, sebab semakin banyak bunga jantan dan bunga betina pada suatu klon maka persentase buah jadi yang dihasilkan semakin tinggi. Pasaribu dan Woelan (2007) perbandingan jumlah bunga betina dan bunga jantan dapat dijadikan sebagai indikator dominasi jenis bunga yang dihasilkan setiap tetua persilangan. Jumlah Tangkai Bunga Primer Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap masing-masing klon karet menunjukkan perbedaan rata-rata jumlah tangkai bunga primer pada masing-masing klon. Rata-rata jumlah tangkai bunga primer pada masing-masing klon disajikan pada Gambar 1. 216 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Klon RRIC 100 dan IRR 111 memiliki jumlah tangkai bunga primer paling tinggi yaitu 6 tangkai. Klon PB 260 dan PB 330 memiliki jumlah tangkai bunga primer masing-masing sebanyak 5 tangkai. Rata-rata jumlah tangkai bunga primer terendah terdapat pada klon PB 340 dan IRR 220 yaitu sebanyak 4 tangkai. Tangkai bunga primer 7 6 5 4 3 2 1 0 PB 260 PB 330 PB 340 RRIC 100 IRR 111 IRR 220 Klon karet Gambar 1. Grafik rataan jumlah tangkai bunga primer pada masing-masing klon Jumlah Tangkai Bunga Sekunder Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap jumlah tangkai bunga sekunder menunjukkan adanya perbedaan rata-rata jumlah tangkai bunga sekunder pada masing-masing klon. Rata-rata jumlah tangkai bunga pada masing-masing klon disajikan pada Gambar 2. Klon PB 260 memiliki jumlah tangkai bunga sekunder paling tinggi yaitu 59 tangkai. Klon PB 330, PB 340, dan IRR 220 memiliki jumlah tangkai bunga sekunder masing-masing sebanyak 34 tangkai, 31 tangkai, dan 44 tangkai. Klon RRIC 100 dan IRR 111 memiliki jumlah tangkai bunga sekunder paling rendah yaitu masing-masing sebanyak 28 tangkai dan 30 tangkai. Tangkai bunga sekunder 70 60 50 40 30 20 10 0 PB 260 PB 330 PB 340 RRIC 100 IRR 111 IRR 220 Klon karet Gambar 2. Grafik rataan jumlah tangkai bunga primer pada masing-masing klon Jumlah Karangan Bunga Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap masing-masing klon menunjukkan adanya perbedaan rata-rata jumlah karangan bunga pada setiap klon, seperti yang disajikan pada Gambar 3. Klon PB 260 memiliki jumlah karangan bunga per pohon paling tinggi yaitu 956 tangkai. Klon PB 330 dan IRR 111 memiliki jumlah karangan bunga masing-masing sebanyak 725 tangkai dan 672 217 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 tangkai. Klon yang memiliki jumlah karangan bunga paling rendah terdapat pada klon RRIC 100 dan IRR 220, yaitu masing-masing sebanyak 596 tangkai dan 502 tangkai. 1200 Karangan bunga 1000 800 600 400 200 0 PB 260 PB 330 PB 340 RRIC 100 IRR 111 IRR 220 Klon karet Gambar 3. Grafik rataan jumlah karangan bunga pada masing-masing klon Jumlah Persilangan dan Persentase Buah Jadi (fruit set) Jumlah persilangan yang dilakukan pada beberapa tetua karet yaitu: klon PB 260, PB 330, PB 340, IRR 111, IRR 220, dan RRIC 100 adalah sebesar 5.632 bunga persilangan. Dari hasil persilangan tersebut dihasilkan buah jadi sebanyak 390 buah atau 6,22% dari total persilangan. Persentase buah jadi yang dihasilkan dari persilangan antar tetua memiliki persentase buah jadi yang berbeda-beda. Klon PB 260, RRIC 100 dan IRR 111 memiliki persentase buah jadi paling tinggi dibandingkan dengan klon lainnya. Hasil pengamatan jumlah persilangan dan persentase buah jadi disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah persilangan, jumlah buah jadi dan persentase buah jadi. Jumlah Jumlah buah jadi Tetua Persilangan persilangan (buah) PB 260 X IRR 111 326 40 PB 260 X RRIC 100 381 28 PB 330 X IRR 111 202 6 PB 330 X RRIC 100 155 3 PB 340 X IRR 111 656 14 PB 340 X IRR 220 308 10 RRIC 100 X PB 260 633 67 RRIC 100 X PB 330 296 19 IRR 111 X PB 260 744 97 IRR 111 X PB 340 742 78 IRR 220 X PB 330 411 4 IRR 220 X PB 340 778 24 Total 5.632 390 Rata-rata Persentase buah jadi (%) 12,30 7,29 2,97 1,93 2,09 3,33 10,55 6,53 13,01 10,50 1,04 3,09 6,22 Tabel 2 menunjukkan bahwa kombinasi persilangan antara PB 260 x IRR 111 dan resiprokalnya yaitu IRR 111 x PB 260 merupakan kombinasi yang secara spesifik memiliki presentase buah jadi paling tinggi dibandingkan dengan kombinasi persilangan lainnya. Sedangkan persilangan antara klon PB 330 x RRIC 100 dan IRR 220 x PB 330 memiliki persentase buah jadi paling rendah yaitu masing-masing sebesar 2,09% dan 1,04%. Rendahnya persentase buah jadi tanaman karet 218 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 merupakan masalah utama dalam perakitan genotipe unggul karet, akibatnya harapan untuk mendapatkan keragaman genetik menjadi terbatas. Rendahnya persentase buah jadi dari persilangan tersebut diduga diakibatkan oleh rendahnya tingkat kompatibilitas antar tetua persilangan. Mangoendijojo (2003) menyatakan bahwa, inkompatibilitas adalah terjadinya penyerbukan yang tidak berlanjut ke proses pembuahan karena faktor-faktor fisiologis; pada waktu serbuk sari jatuh pada kepala putik, tidak terbentuk tabung yang mengantarkan inti jantan bertemu dengan inti betina. Menurut Woelan dan Azwar (1996) bahwa pengaruh genetik dapat dilihat dari adanya perbedaan kompatibilitas dari pasangan tetua yang disilangkan. Diameter Buah Hasil Persilangan Berdasarkan ukuran diameter buah umur 3 bulan pada persilangan F1, persilangan antara IRR 111 x PB 260 dan IRR 220 x PB 330 memiliki ukuran diameter buah tertinggi yaitu masing-masing sebesar 6,12 cm dan 5,95 cm. Persilangan antara PB 330 x IRR 111 dan PB 330 x RRIC 100 memiliki ukuran diameter buah terendah yaitu masing-masing sebesar 3,26 cm dan 4,11 cm. Data hasil pengamatan diameter buah dan laju pertambahan diameter buah disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Diameter buah dan laju pertambahan diameter buah dari hasil persilangan Diamater buah umur 3 bulan Laju Pertambahan diameter Tetua Persilangan (cm) buah (cm/bulan) PB 260 X IRR 111 4,13 1,38 PB 260 X RRIC 100 5,64 1,88 PB 330 X IRR 111 3,26 1,09 PB 330 X RRIC 100 4,11 1,37 PB 340 X IRR 111 5,14 1,71 PB 340 X IRR 220 4,71 1,57 RRIC 100 X PB 260 5,65 1,88 RRIC 100 X PB 330 5,43 1,81 IRR 111 X PB 260 6,12 2,04 IRR 111 X PB 340 5,06 1,69 IRR 220 X PB 330 5,95 1,98 IRR 220 X PB 340 5,08 1,69 Rata-rata 5,02 1,67 Tabel 3 juga menunjukkan bahwa persilangan IRR 111 x PB 260 dan IRR 220 x PB 330 memiliki laju pertambahan diameter buah paling tinggi yaitu masing-masing sebesar 2,04 cm/bulan dan 1,98 cm/bulan, sedangkan yang paling rendah yaitu persilangan antara PB 330 x IRR 111 dan PB 330 x RRIC 100. Adanya perbedaan laju pertambahan diameter buah diduga dipengaruhi oleh faktor inkompatibilitas dan fisiologi dari masing-masing tetua. Azwar dan Woelan (1990) menyatakan bahwa faktor fisiologi yang mempengaruhi terhadap perkembangan buah ditentukan oleh kebutuhan hormon. Pengguguran buah akan terjadi sejalan dengan menurunnya hormon auksin pada buah, sehingga pertumbuhan buah harus diimbangi dengan konsentrasi auksin yang terkandung pada tanaman. DAFTAR PUSTAKA Azwar, R dan S.Woelan. 1990. Karakteristik bunga dan viabilitas serbuk sari beberapa tetua karet. Bull. Perkaretan, 8 (2), 77-83 Harihar, G. and Yeang. 1984. The low fruit set that follows conventional hand pollination in Hevea brasilliensis. Insuffesiency of pollen as a cause, J. Rubb. Inst. Malaya. 32 (1). : 20-29 Mangoendijojo, W. 2003. Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman. Kanisius. Yogyakarta. Hal: 23-25; 8590 219 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Pasaribu, S. A dan S. Woelan. 2007. Karakteristik Bunga dan Biji Dalam Hubungannya dengan Aktivitas Persilangan Tetua Karet. Warta Karet. Balai Penelitian Sungei Putih. Soman, T. A., M. R. Sethuraj., C. K. Saraswathyamma and M. A. Nazeer. 1996. Improving fruit set in Hevea: Some preliminary observation. Indian J. Nat. Rubb. Res., 9 (2), 112-116 Woelan, S dan R. Azwar. 1996. Satu decade (1985-1994) kegiatan perakitan genotype karet unggul di Sungei Putih. Warta Perkaretan. 15 (1) : 18-28 Woelan, S. 2006. Perbaikan karakteristik tanaman melalui rekombinasi genetik, I. pengaruh faktor iklim terhadap persilangan buatan 2005. J. Penel Karet, 24 (1) : 17-22 220 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 HUBUNGAN ANTARA KARAKTER AGRONOMI KARET DENGAN HASIL LATEKS DAN KAYU DARI PROGENI HP 2001/2003 Syarifah Aini Pasaribu dan Sayurandi Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet PO BOX 1415 Medan 20001 Telp.(061) 7980045, Fax. (061)7980046 Email: [email protected] ABSTRAK Karakter agronomi merupakan salah satu komponen yang sangat penting di dalam melakukan seleksi progeni unggul baru hasil persilangan tanaman karet. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara komponen hasil lateks dengan lateks dan komponen hasil kayu dengan kayu menggunakan analisis korelasi. Data yang diperoleh sangat mendukung efektivitas kegiatan seleksi dalam pemilihan karakter yang tepat dipengujian tanaman semaian dalam program perakitan klon unggul baru. Total progeni yang digunakan sebanyak 1013 progeni umur 9 tahun yang ditanam dengan jarak tanam 2 x 2 m di kebun Seedling Evauation Trial dengan mengamati karakter pertumbuhan, tebal kulit, produksi, jumlah ring pembuluh lateks, diameter ring pembuluh lateks, dan karakter lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen hasil lateks dipengaruhi oleh karakter lilit batang (r= 0,5335), jumlah ring pembuluh lateks (r=0,3173), tebal kulit (r= 0,1635) dan diameter ring pembuluh lateks (0,0668). Sedangkan komponen hasil kayu dipengaruhi oleh karakter lilit batang (r= 0,718), tinggi tanaman (r=0,6148) dan tinggi cabang pertama (r=0,6071). Kata kunci: Karet, lateks, kayu, progeni, korelasi PENDAHULUAN Perubahan paradigma berkebun karet dari menghasilkan lateks menjadi lateksdan kayu, menyebabkan kegiatan pemuliaan berupaya menghasilkan klon-klon unggul baru sebagai penghasil lateks maupun kayu tersebut. Sehingga seorang pemulia karet harus sangat teliti dalam melakukan seleksi terhadap progeni-progeni hasil persilangan dengan melihat beberapa karakter agronomi yang diamati. Karakter agronomi yang diamati diantaranya pertumbuhan tanaman, tebal kulit, produksi, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, dan lainnya.Berhubungan dengan hal tersebut hubungan antara karakter-karakter agronomi perlu diketahui dalam mempengaruhi hasil lateks dan kayu.Karakter agronomi suatu tanaman merupakan komponen yang menentukan besarnya hasil untuk mengetahui hubungan antara beberapa karakter dengan hasilnya. Woelan dan Sayurandi(2008), menyatakan bahwa karakter jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, tebal kulit dan lilit batang memiliki korelasi positif terhadap hasil lateks pada progeni karet hasil persilangan tahun 1998/1999. Karena korelasi di antara karakter tanaman merupakan dasar dalam perencanaan pemuliaan yang baik, sering kali dalam melakukan seleksi terhadap sifat-sifat tertentu akan merubah sifat lainnya. Hal ini menyebabkan adanya hubungan posifit atau negatif. Beberapa percobaan dengan melihat komponen hasil tidak ada varietas yang superior dalam semua sifat. Keunggulan yang dihasilkan merupakan hasil gabungan antara berbagai komponen hasil yang diperoleh melalui persilangan dan setiap komponen hasil bersifat poligenik pada turunannya (Lasminingsih, 1993). Pola hubungan antara karakter agronomi dan hasil dapat diketahui melalui perhitungan dengan menggunakan analisis korelasi sehingga dapat diketahui hubungan positif atau negatif antara karakter-karakter tersebut. Artikel ini menyampaikan hasil kajian terhadap hubungan komponen hasil lateks dengan lateks dan komponen hasil kayu dengan kayu menggunakan analisis korelasi dari populasi progeni HP 2001/2003. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan dan Laboratorium Agronomi, Balai Penelitian Sungei Putih yang terletak pada ketinggian 54 m di atas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 1753 mm/th. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah genotipe hasil perilangan tahun 2001/2003. Total progeni yang digunakan sebanyak 1013 progeni. Progeni-progeni tersebut ditanam 221 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 dengan jarak tanam 2m x 2m pada Kebun Pengujian Tanaman Semaian (Seedling Evaluation Trial= SET). Parameter yang digunakan untuk evaluasi terhadap progeni-progenihasil persilangan 2001/2003 yaitu potensi produksi lateks dengan menggunakan metode HMM (Hamarker Moris Man). Metode penyadapan ini dilakukan pada ketinggian 50 cm dari permukaan tanah pada tanaman umur 9 tahun selama 3 bulan dengan sistem sadap S/2 d/3 (Dijkman, 1951). Sifat pertumbuhan yang diamati adalah lilit batang, tebal kulit, dan antomi kulit (jumlah pembuluh lateks dan diameter pembuluh lateks), tinggi tanaman, tinggi cabang pertama, jumlah cabang pertama dan hasil kayu dengan menggunakan rumus Wan Razali et.al., 1983 yaitu V= 3,14� 𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 0,01 2 6,28 � 𝑥𝑥 𝑇𝑇𝑇𝑇, dimana LB adalah lilit batang dan TC adalah tinggi cabang pertama. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Minitab 14. HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Produksi Karet Kering dengan Karakter Pertumbuhan Hasil analisi korelasi menunjukkan bahwa karakter lilit batang, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks berkorelasi sangat nyata,dan diameter pembuluh lateks berkorelasi nyata terhadap produksi karet kering (Tabel 1). Tabel 1. Korelasi Karakter Agronomi Terhadap Produksi Karet Kering Jumlah Diameter Produksi Karakter Lilit Batang Tebal Kulit Pembuluh Pembuluh Karet Lateks Lateks Kering Lilit 1 0.277** 0.235** 0.133** 0.533** Batang Tebal Kulit 1 0.142 -0.014 0.163** Jumlah Pembuluh 1 0.118** 0.371** Lateks Diameter Pembuluh 1 0.066* Lateks Produksi Karet 1 Kering Keterangan : *,** = Berkorelasi nyata pada taraf 5% dan 1% berdasarkan korelasi Pearson. Korelasi positif antara produksi karet kering dengan lilit batang terlihat sangat nyata yaitu sebesar 0,5335 sehingga dikatakan bahwa lilit batang mempunyai pengaruh yang besar terhadap hasil produksi. Woelan et.al. (2007) menyatakan bahwa lilit batang berkorelasi positif dengan produksi yang dimiliki oleh masing-masing genotipe yaitu r = 0,56. Selanjutnya korelasi antara produksi karet kering dengan tebal kulit juga positif sangat nyata yaitu sebesar 0,1635. Tebal kulit merupakan kriteria yang cukup penting di dalam melakukan identifikasi suatu klon yang mempunyai keunggulan di dalam produksi lateks tinggi(Woelan et.al.2001). Korelasi positif dengan jumlah ring pembuluh lateks merupakan sangat nyata yaitu sebesar 0,3173. Artinya jumlah pembuluh lateks sangat mempengaruhi produksi karet kering. Hal ini sesuai dengan Woelan et.al. (2007) menyatakan bahwa jumlah ring pembuluh lateks mempunyai korelasi yang cukup tinggi dengan potensi produksi. Hubungan antara pembuluh dengan potensi produksi yaitu sebesar r=0,86. Selanjutnya korelasi positif juga terlihat dengan diameter pembuluh lateks yaitu 0.0668, dengan demikian diameter pembuluh lateks juga memberikan pengaruh terhadap produksi karet kering. Hal ini sesuai dengan Woelan et. al (2004) yang menyatakan jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, tebal kulit dan lilit batang berpengaruh nyata terhadap hasil karet. Artinya bahwa apabila ada peningkatan komponen hasil lateks maka hasil lateks akan lebih tinggi. 222 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Hubungan Produksi Kayu dengan KarakterPertumbuhan Hasil analisa memperlihatkan bahwa karakter tinggi tanaman, jumlah cabang, tinggi cabang pertama dan lilit batang berkorelasi positif sangat nyata terhadap produksi kayu. Tabel 2. Korelasi Karakter Agronomi Terhadap Produksi Kayu Tinggi Produksi Tinggi Jumlah Cabang Lilit Batang Karakter Kayu Tanaman Cabang Pertama Tinggi 1 -0.101** 0.288** 0.718** 0.614** Tanaman Jumlah 1 0.259** -0.087** 0.102** Cabang Tinggi Cabang 1 0.018 0.607** Pertama Lilit Batang 1 0.718** Produksi 1 Kayu Keterangan : *,** = Berkorelasi nyata pada taraf 5% dan 1% berdasarkan korelasi Pearson. Produksi kayu dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah lilit batang, tinggi tanaman, jumlah cabang dan tinggi percabangan. Korelasi antara produksi kayu dengan lilit batang adalah positif yaitu sebesar 0,718. Artinya lilit batang memberikan pengaruh sangat besar terhadap produksi kayu. Suhendry (2002) menyatakan bahwa, lilit batang selain berhubungan dengan hasil lateks, juga mempengaruhi volume kayu yang akan dihasilkan. Namun tidak ada korelasi antara lilit batang dengan panjang log pada setiap umur tanaman. Oleh karena volume kayu log diduga melalui subsitusi lilit batang dan panjang log, maka kondisi ideal tanaman penghasil kayu adalah yang memiliki batang besar dan percabangan yang tinggi. korelasi antara produksi kayu dengan tinggi tanaman dan tinggi cabang pertama merupakan korelasi positif yaitu masing-masing sebesar 0,6148 dan 0,6071. Pengukuran ini berguna untuk mengestimasi volume kayu log, karena kondisi ideal tanaman penghasil kayu adalah yang memiliki batang besar dan percabangan yang tinggi. Siagian et.al (2005) menyatakan tinggi percabangan tanaman diukur guna untuk mengestimasi volume kayu log. Volume kayu log nantinya akan diestimasi dengan menggunakan formula yang dikembangkan oleh Wan Razali et al. (1983) dan salah satu variabel yang diukur untuk itu adalah tinggi batang bebas cabang. KESIMPULAN Berdasarkan hasil korelasi menunjukkan bahwa produksi karet kering dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya lilit batang, tebal kulit, jumlah dan diameter ring pembuluh lateks. Sedangkan produksi kayu dipengaruhi oleh lilit batang, tinggi tanaman dan tinggi cabang pertama. DAFTAR PUSTAKA Djikman, M.J. 1951. Hevea. Thirty Years of Research In the Far East. University Of Miamy Press Coral Gables, Florida. Pp: 12-16. Lasminingsih, M. 1993. Analisis korelasi berbagai komponen karet sebagai bahan seleksi tanaman. J. Penelitian Karet, 13 (1): 1-10. Siagian, N, I. Suhendry dan H. Munthe. 2005. Keragaan pertumbuhan beberapa klon anjuran pada sistem tanam populasi tinggi dan berbagai dosis pupuk. Prosiding Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet, 227-250 Suhendry, I. 2002. Klon Karet Unggul Harapan Penghasil Lateks-Kayu dari Hasil Pengujian Pendahuluan. J. Penelitian Karet 2002. Hal 11-29. Wan Razali Mohd, Rosni Maidin, Ali Surjan and Johani Mohd Zain. 1983. Double Entry volume Table Equations For Source RRIM 600 Series Clone of Rubber. The Malaysia Forester, 46(1): 46-59. 223 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Woelan, S., Aidi-Daslin, R. Azwar, dan I. Suhendry. 2001. Keragaan klon karet unggul harapan IRR seri 100. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Karet. Pusat Penelitian Karet. Hal 173-187. Woelan, S., Aidi-Daslin dan I. Suhendry. 2004. Keragaan klon karet unggul harapan IRR seri 100. Pros. Lok Nas. Pemuliaan Tanaman Karet. Pusat Penelitian Karet. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 173-187. Woelan S., Jenimar, P. Razak, J. A. Napitupulu. 2007. Uses of phenotypic characteristics and RAPD molecular marker on crossing result of rubber plant for genetic analysis and identification genotype purification. Proc. International Rubber Conference & Exhibition. Nusa Dua, Bali, 13 th – 15 th 2007. 365 – 378. Woelan, S dan Sayurandi. 2008. Analisis sidik lintas komponen hasil lateks-kayu dan seleksi genetipe hasil persilangan di pengujian tanaman semaian. J. Penelitian Karet, 26(2): 98-113. 224 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 POTENSI Rhizobium sp UNTUK MENINGKATKAN KANDUNGAN HARA TANAH MELALUI INTERCROPPING KEDELE PADA GAWANGAN TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis) Yan Riska V Sembiring, Cici Indriani Dalimunthe, Radite Tistama Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet Galang-Sumatera Utara, PO BOX 1415, Medan 20001 Email: [email protected]; [email protected]; [email protected] ABSTRAK Perkebunan karet umumnya diusahakan pada lahan marjinal yang memiliki kandungan hara relatif rendah dan masam. Rendahnya ketersediaan hara dapat menyebabkan kurang optimalnya produksi pada tanaman menghasilkan (TM) dan lahan gawangan masa tiga tahun setelah penanaman, areal perkebunan karet (masa TBM) belum dimanfaatkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan hara dan pemanfaatan lahan yang bernilai ekonomi dan memberi manfaat bagi tanaman utama adalah melalui intercropping kedele pada areal gawangan TBM. Kedele merupakan tanaman sela yang sesuai untuk meningkatkan produktivitas lahan kering marjinal dan lahan kosong melalui perbaikan biologi tanah oleh Rhizobium sp yang dihasilkannya. Inokulasi Rhizobium sp dapat membantu meningkatkan kandungan hara N dan serapan hara akar tanaman melalui peningkatan jumlah bintil akar kedele bagi tanaman utama pada lahan marjinal. Pengujian menunjukkan bahwa isolat Rhizobium sp yang berasal dari Mucuna bracteata mampu menginfeksi perakaran tanaman kedele di akar utama. Untuk ketersediaan hara, melalui intercropping kedele yang telah dilakukan, ketersediaan hara N, P, K, dan Mg serta pH dan KTK tanah mengalami peningkatan. Kata kunci: Hevea brasiliensis, intercropping, kedele, Rhizobium sp PENDAHULUAN Di Indonesia lahan sub optimal atau lahan marjinal sangat luas, termasuk di dalamnya adalah lahan rawa dan lahan kering. Lahan kering umumnya diusahakan sebagai lahan perkebunan yang tergolong memiliki kesuburan rendah dengan produktivitas relatif rendah juga. Lahan marjinal ini memiliki potensi untuk dioptimalkan melalui pengembangan teknologi budidaya yang tepat. Salah satu komoditas tanaman perkebunan yang umumnya dikembangkan di lahan marjinal yang memiliki kandungan hara relatif rendah dan masam adalah tanaman karet (Hevea brasiliensis). Selama masa pertumbuhan karet, yaitu masa tanaman belum menghasilkan (TBM) hingga umur 3 tahun, areal gawangan TBM masih terbuka dan belum dimanfaatkan secara optimal. Di perkebunan besar, gawangan antar tanaman utama umumnya ditanami LCC, seperti Mucuna bracteata untuk menekan gulma dan meningkatkan kesuburan tanah. Namun di perkebunan rakyat, areal gawangan akan segera ditumbuhi oleh gulma yang dapat menekan pertumbuhan. Areal luas dan terbuka inilah yang bisa dijadikan nilai tambah bagi petani selama tanaman belum menghasilkan dan meningkatkan kesuburan lahan untuk mendukung pertumbuhan dan produktivitas kebun. Kesuburan rendah di lahan perkebunan karet ini dapat diatasi melalui rehabilitasi lahan yang dapat mendukung optimalisasi lahan kering, antara lain dengan pemberian bahan ameliorasi kapur, bahan organik, dan pemupukan N, P, dan K, penanaman legume penutup tanah atau tanaman penghasil bahan organik lainnya, khususnya yang bersifat in situ seperti cropping system (alley cropping atau strip cropping). Lahan kering yang potensial diharapkan dapat menghasilkan bahan pangan yang cukup dan variatif, bila dikelola dengan menggunakan teknologi yang efektif dan strategi pengembangan yang tepat (Abdurachman, et al. 2008). Tanaman kedelai memiliki peluang yang cukup besar untuk dikembangkan di lahan masam atau lahan marjinal di areal gawangan perkebunan karet sebagai intercropping. Pemanfaatan bakteri Rhizobium yang toleran kondisi masam berkadar Al, Mn, dan Fe tinggi dapat menggantikan sebagian besar pupuk N anorganik pada tanaman kedelai yang ditanam di lahan masam, terutama pada lahan-lahan yang belum pernah ditanami kedelai. Tanaman sela dapat memberikan dampak positif maupun negatif tergantung pada cara pengelolaannya. Pengelolaan tanaman sela melalui pengelolaan ekologi yang tepat dengan memanfaatkan mekanisme faktor pembatas, kompetisi dan adaptasi akan memberikan hasil yang optimum dan mencegah terjadinya dampak negatif. Sejalan dengan permasalahan tersebut, maka 225 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 penanaman genotipe kedelai toleran Al sebagai tanaman sela di lahan marjinal yang memiliki pH rendah dapat sebagai salah satu upaya yang ditempuh untuk meningkatkan produktivitas lahan dan memberikan hasil langsung kepada petani. Selain itu, penanaman kedelai sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman perkebunan/hutan secara tidak langsung akan memberikan dampak pada peningkatan produksi kedelai nasional melalui perluasan areal tanam. Penulisan ini bertujuan untuk memaparkan potensi Rhizobium untuk meningkatkan kandungan hara melalui intercropping kedele pada gawangan TBM karet. Dari segi luasan dan aspek budidaya, kedele merupakan suatu komoditas tanaman pangan yang berpotensi untuk dikembangkan pada lahan marjinal, khususnya areal gawangan karet TBM. Potensi Rhizobium sp terhadap tanaman kedele Rhizobium merupakan bakteri gram negatif yang termasuk ke dalam Azorhizobium, Bradyrhizobium, Mesorhizobium, Rhizobium dan Sinorhizobium yang secara kolektif disebut rhizobia bersimbiosis dengan tanaman leguminiosa dan memiliki kemampuan mengikat N udara dan mengubahnya menjadi N organik yang tersedia bagi tanaman (Limpens, 2003). Secara makroskopis, karakteristik bakter Rhizobium memiliki warna koloni putih susu, tidak transparan, bentuk koloni sirkuler, konveks, semitranslusen, diameter 2–4 mm dalam waktu 3–5 hari pada agar khamir-manitolgaram mineral. Secara mikroskopis sel bakteri Rhizobium berbentuk batang, aerobik, gram negatif dengan ukuran 0,5–0,9×1,2–3µm, bersifat motil pada media cair, umumnya memiliki satu flagela polar atau subpolar. Untuk pertumbuhan optimum dibutuhkan temperatur 25–30° C, pH 6–7. Rhizobium bersifat kemoorganotropik, yaitu bakteri dapat mengunakan berbagai karbohidrat dan garam-garam asam organik sebagai sumber karbonnya (Holl, 1975). Interaksi Rhizobium dan tanaman leguminosa atau tanaman inang akan membentuk organ baru yang disebut dengan bintil akar, dimana rhizobia bersatu secara intraselluler ke dalam induk semang dan menambat nitrogen dari atmosfer untuk digunakan oleh induk semang (Limpens, 2003; Lynch, 1983). Kedele tergolong tanaman yang mampu mendapatkan hara nitrogen melalui simbiotik dengan bakteri Rhizobium (Rahayu, 2000). Tanaman kedele kedele umumnya didominasi oleh bakteri Rhizobium japonicum untuk mengikat nitrogen bebas dari udara sehingga dapat meningkatkan produksi (Suharjo, 2001; Harun dan Ammar, 2001). Melalui bintil akar pada tanaman kedelai, penambatan N2 oleh bakteri Rhizobium setara 65-115 kg N/ha/tahun (Alexander, 1977). Pembentukan bintil akar terjadi antara 7-14 hari setelah perkecambahan dengan membentuk akar rambut pada akar primer dan sekunder (Gardner et al. 1991; Salisbury dan Ross, 1995). Akar mengeluarkan senyawa triptofan yang menyebabkan bakteri berkembang pada ujung akar rambut. Triptofan diubah oleh rhizobium menjadi IAA (Indole Acetic Acid) yang menyebabkan akar membengkok karena adanya interaksi antara akar dengan rhizobium. Setelah itu bakteri merombak dinding sel akar tanaman sehingga menyebabkan terjadinya kontak antara keduanya. Benang infeksi terbentuk, yang merupakan perkembangan dari membran plasma yang memanjang dari sel terinfeksi. Rhizobium berkembang di dalam benang infeksi yang menjalar menembus sel-sel korteks sampai parenkim. Di dalam sel kortek, rhizobium dilepas di dalam sitoplasma untuk membentuk bakteroid dan menghasilkan stimulan yang merangsang sel kortek untuk membelah. Pembelahan tersebut menyebabkan proliferasi jaringan, membentuk struktur bintil akar yang menonjol sampai keluar akar tanaman, yang mengandung bakteri rhizobium (Armiadi, 2007). Penelitian Rhizobium terhadap tanaman leguminosa telah dilakukan oleh Balai Penelitian Sungei Putih bahwa dengan isolasi Rhizobium yang diperoleh dari akar kacang-kacangan Mucuna bracetata dapat meningkatkan pembentukan bintil akar pada tanaman kedele. Penelitian lainnya yang dilaporkan oleh Suharjo (2001) menyatakan bahwa tanaman kedele yang diberi isolat Rhizobium japonicum ke dalam tanah dapat meningkatkan tinggi tanaman, berat kering tanaman kedelai, dan pembentukan bintil akar efektif. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan bintil akar yang efektif mampu memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan tanaman kedelai melalui penambatan nitrogen. Spesies Rhizobium lain seperti Rhizobium legumenosarum juga dapat meningkatkan jumlah bintil akar pada tanaman Pisum sp. sehingga mampu meningkatkan fiksasi nitrogen (Holl, 1975). Menurut Romero (2003), Rhizobium phaseoli yang bersimbiosis dengan tanaman Phaseolus vulgaris tidak memengaruhi hasil produksi biji, namun mampu meningkatkan pembentukan bintil akar dan fiksasi nitrogen. Pemanfaatan Rhizobium sp juga dikemukan oleh Surtiningsih, et al (2009) bahwa pemberian biofertilisasi bakteri Rhizobium dengan spesies campuran (Rhizobium japonicum, R. 226 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 phaseoli dan R. leguminosarum) dan dosis lebih tinggi (10 ml) dapat meningkatkan pertumbuhan (biomasa tanaman 9,83 ± 12,1 g), bintil akar (48,9 ± 28,1 mg) dan produksi tanaman berat kering biji 14,25 ± 11,3 g/tanaman kedelai (Glycine max (L) Merr). Rhizobium yang dapat menodulasi tanaman kedelai secara efektif dikenal sebagai Bradyrhizobium japonicum (Jordan, 1982) tetapi ada Strain lain yang mampu menodulasi tanaman kedelai berupa Bradyrhizobium elkanii (Kuykendall et al., 1992) dan Bradyrhizobium liaoningense (Xu et al., 1995) Namun kemampuan menodulasi tanaman kedelai dari Bradyrhizobium japonicum ternyata lebih tinggi daripada Bradyrhizobium elkanii. Beberapa penelitian pada tanaman lain selain kedelai, seperti pada tanaman inang Siratro (Macroptilium atropurpureum (DC) Urb. Cv Siratro), bintil akar yang efektif dapat terbentuk dari berbagai strain rhizobium atau bradyrhizobium (Appelbaum, 1990). Menurut Broughton (2003) Azorhizobium caulinodans efektif membentuk bintil akar pada tanaman Sesbania rostrata, Synorhizobium meliloti pada tanaman Medicago, Melilotus dan Trigonella. tinggi tanaman kedele (cm) Pengaruh intercropping kedele terhadap tanaman karet Sistem intercropping dapat meningkatkan produktivitas lahan marjinal seperti di perkebunan karet apabila jenis tanaman yang dikombinasikan membentuk interaksi saling menguntungkan. Kedele termasuk tanaman golongan C3 yang cukup toleran terhadap naungan dan memiliki potensi untuk ditumpangsarikan antara tanaman legum dan non legum seperti tanaman karet. Intercropping kedele di perkebunan karet di Balai Penelitian Sungei Putih dilakukan pada gawangan karet TBM 1 dengan jarak 1 meter dari tanaman karet untuk menghindari terjadinya kompetisi cahaya matahari oleh kanopi. Untuk meningkatkan produktivitas lahan digunakan kedele yang toleran terhadap Al karena lahan gawnagan karet memiliki pH yang rendah. Gambar 1 menunjukkan respon positif terhadap pertumbuhan tinggi tanaman kedele yang diusahakan pada areal gawangan TBM 1. Akan tetapi keadaan musim kemarau yang tegas pada waktu tanam yang dilakukan menyebabkan pertumbuhan tanaman kurang optimal. 60 50 40 30 20 10 0 3MST 6MST 9MST 12MST waktu pengamatan (MST) Gambar 1. Pertumbuhan tinggi tanaman di areal gawangan karet TBM 1 Bentuk interaksi intercropping dan tanaman karet ditentukan oleh kompatibilitas karakteristik dari jenis tanaman dan fase pertumbuhan. Tanaman kedele dan tanaman karet sebagai tanaman utama menunjukkan respon positif dengan adanya perlakuan intercropping kedele. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Gambar 1 dan Gambar 2 dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Balai Penelitian Sungei Putih. Hasil menunjukkan bahwa melalui intercropping kedele pertumbuhan tinggi tanaman dan lilit batang lebih tinggi pada gawangan tanaman karet dengan perlakuan intercropping dibandingkan kontrol atau gawangan yang tidak mendapat perlakuan intercropping. Tanaman karet tidak mengalami pertumbuhan yang terhambat karena adanya kesesuaian lingkungan akar yang tidak menyebabkan persaingan ruang tumbuh akar hara antara kedele dan karet. Munthe (1996) menekankan bahwa lokasi penyebaran akar hara secara horizontal pada tanaman TBM 1 masih berada di 50 cm dari pohon. 227 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Gambar 2. Pertambahan lilit batang dan tinggi tanaman karet Pengaruh intercropping kedele terhadap kesuburan tanah Perkebunan karet yang umumnya diusahakan pada lahan marjinal dengan kandungan hara rendah menyebabkan perlunya tindakan pengelolaan dan sistem manajemen budidaya yang tepat untuk meningkatkan kesuburan tanah sehingga tidak menjadi faktor pembatas terhadap pertumbuhan tanaman karet generasi berikutnya. Intercropping kedele dapat meningkatkan produktivitas lahan marjinal areal karet melalui aktivitas Rhizobium sp yang dihasilkan oleh kedele yang berpotensi menyumbangkan unsur hara nitrogen (N). Penelitian intercropping yang telah dilakukan di Balai Penelitian Sungei Putih menunjukkan bahwa dengan perlakuan kedele dengan jarak 1 meter dari tanaman karet dapat meningkatkan kadar hara N, P, Mg, pH, dan KTK (Tabel). Tabel. Hasil Analisa Kimia Tanah pada TBM 1. Jenis Pengukuran TBM 1 Kontrol Kedele pH 4.4 4.54 N (%) 0.12 0.16 P2O5 – Total (mg/100 g) Mg (cmol(+)/kg) 10.26 32.37 0.15 0.58 K2O (cmol(+)/kg) 26.97 26.22 KTK (cmol(+)/kg) 13.25 14.38 Adanya peningkatan pH melalui intercropping kedele berkorelasi positif meningkatkan ketersediaan unsur hara dan KTK tanah. KTK tanah memiliki kaitan erat terhadap ketersediaan hara tanah yang menunjukkan banyaknya kation yang dapat dijerap oleh tanah per satuan berat tanah. Tanah yang memiliki KTK yang tinggi dapat menyediakan unsur hara lebih tinggi karena unsur hara terdapat dalam kompleks jerapan koloid sehingga meminimalkan pencucian hara. pH tanah setelah perlakuan intercropping menunjukkan peningkatan, namun masih mencapai 4,54. Sedangkan pH optimum untuk tanaman kedele adalahh 5,5. Peningkatan pH hingga mencapai pH netral dapat dilakukan melalui inokulasi Rhizobium pada tanaman kedele. Hal ini diperkuat oleh penelitian Gandanegara (1998) bahwa mellaui inokulasi Bradyrhizobium dapat meningkatkan pembentukan bintil akar dan persentase kandungan nitrogen. Pemanfaatan bakteri Rhizobium melalui intercropping kedele berpotensi untuk dapat menggantikan sebagian besar pupuk N anorganik pada perkebunan karet. Sumarno dan Rasti (2008) menyatakan bahwa untuk menghasilkan 1 kg kedelai, tanaman menyerap 70-80 g N dari dalam tanah. Rhizobium mampu menghasilkan hormon 228 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 pertumbuhan berupa IAA dan giberellin yang dapat memacu pertumbuhan rambut akar, percabangan akar yang memperluas jangkauan akar sehingga tanaman berpeluang besar menyerap hara lebih banyak yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman (Hermastini, 2007). Selain itu rhizobium mampu meningkatkan penyerapan fosfat. Fosfat merupakan hara utama dalam perkembangan akar dan pembentukan polong kedelai. Penelitian Natakorn Boonkerd dari Suranaree University, Thailand menunjukkan fosfat meningkat 89% pada tanah yang diberi rhizobium dan tanpa pupuk. SIMPULAN • Pemanfaatan Rhizobium merupakan teknologi budidaya yang berpotensi dalam peningkatan produktivitas tanaman kedele melalui pembentukan bintil akar dimana kedele sebagai intercropping di lahan marjinal yang memiliki pH rendah dapat menjadi salah satu penyebab terhambatnya pembentukan bintil akar kedele. • Rhizobium yang berasal dari bintil akar leguminosa mampu menginfeksi perakaran tanaman kedele dan meningkatkan fiksasi N. • Pertumbuhan kedele pada gawangan tanaman karet belum menghasilkan (TBM) umur 1 tahun sebagai tanaman intercropping dapat tumbuh normal dengan memperhatikan varietas biji, waktu tanam, dan pengelolaan budidaya yang tepat. • Intercropping kedele dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui peningkatan ketersediaan unsur hara, peningkatan pH dan KTK tanah serta melalui indikator tanaman yang menunujukkan meningkatnya pertumbuhan tinggi dan lilit batang tanaman karet. DAFTAR PUSTAKA Alexander M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. New York-Chichaster-Brisbane-TorontoSingapore: John Wiley and Sons. Appelbaum E. 1990. The Rhizobium/Bradyrhizobium-legume symbiosis. In: Gressh off PM, editor. Molecular Biology of Symbiotic Nitrogen Fixation. Florida: CRC Press, 131-158. Broughton WJ. 2003. Roses by other names: Taxonomy of the Rhizobiaceae. Journal of Bacteriology, 185(10):2975-2979. Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.Terjemahan. Susilo H, penerjemah. Terjemahan dari Physiology of Crop Plants. Jakarta:UIPress. Gandanegara, S, Hendratno, Harsoyo, dan Hisar Sihombing. 1998. Pertumbuhan dan kandungan tanaman sejumlah galur mutan kedelai di lahan masam. Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi. 93-99. Holl FB, 1975. Host Plant Control of the Inheritance of Dinitrogen Fixation in the Pisum-Rhizobium Symbiosis. Euphytica 24: 767–70. Harun UM dan Ammar M, 2001. Respon Kedelai (Glycine max L. Merr) terhadap Bradyrhizobium japonicum Strain Hup+ pada Tanah Masam. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia.3(2). Jordan, D.C. 1982. Transfer of Rhizobium japonicum Buchanan 1980 to Bradyrhizobium gen. Nov., a genus of slow –growing, root nodule bacteria from leguminous plants. Int. J. Sys. Bacteriol. 32: 136 – 139. Kuykendall, L.D., B. Saxena, T.E. Devine, and S.E. Udell. 1992. Genetic diversity in Bradyrhizobium japonicum Jordan 1982 and a proposal for Bradyrhizobium elkanii sp. Nov. Canadian J. Microbial. 38: 501 – 505. Munthe, Haposan. 1996. Penyebaran akar hara dan hubungannya dengan penaburan pupuk pada tanaman karet. Warta perkaretan. 1(15): 7-17. Rahayu M, 2000. Pengaruh Pemberian Rhizoplus dan Takaran Urea terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai. Balai Pengkaji Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat. Suwarni, Guritno B dan Moenandir J, 2002. Pengaruh Herbisida Glisofat dan Legin terhadap Perilaku Nodulasi Tanaman Kacang Tanah. Agrosains 2(2). Suharjo UKJ, 2001. Efektifitas Nodulasi Rhizobium japonicum pada Kedelai yang Tumbuh di Tanah Sisa Inokulasi dan Tanah dengan Inokulasi Tambahan. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 3(1). Romero EM, 2003. Diversity of Rhizobium-Phaseolus vulgaris Symbiosis: Overview and Perspectives. Plant and Soil. 252: 11–23. 229 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Lukman DR, Sumaryono. Penerjemah. Bandung :ITB-Bandung. Terjemahan dari:Plant physiology. Surtiningsih, T dan Tri Nurhariyanti. 2009. Biofertilisasi bakteri rhizobium pada tanaman kedelai (Glycine Max (L) Merr.). Bark. Penel. Hayati. 15: 31-35. Xu, L. M., C. Ge, Z. Cui, J. Li. And H. Fan. 1995. Bradyrhizobium lianoningensis sp. Nov. Isolated from the root nodules of soybean. Int. J. Sys. Bacteriol. 45: 706 – 711. 230 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Biologi Lingkungan 231 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI 232 Medan, 15 Februari 2014 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 DESKRIPSI PERILAKU KERA EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) MENCARI TEMPAT TIDUR (SLEEPING SITE) DI KAWASAN HUTAN TERGANGGU KABUPATEN ACEH BESAR Abdullah dan Muzdalifah Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Email: [email protected] [email protected] ABSTRAK Telah dilakukan penelitian “Deskripsi Perilaku Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Mencari Tempat Tidur (Sleeping Site) di Kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar”. Penelitian ini bertujuan 1) untuk mengetahui komposisi perilaku kera ekor panjang menempati tempat tidur 2) Mendeskripsikan pohon yang ditempati sekelompok kera ekor panjang sebagai tempat tidur, dan 3) Mengetahui urutan menempati tempat tidur sekelompok kera ekor panjang. Metode yang digunakan adalah metode focal animal sampling dan scan sampling. Data di analisis secara persentase. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 11 s.d 16 Januari 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi perilaku kera ekor panjang menempati tempat tidur yaitu observasi (47,73%), berlari (23,86%), bergelantungan (9,09%), mengguncang cabang pohon (19,32%). Sekelompok kera ekor panjang menempati tempat tidur lebih banyak menempati pohon trembesi 1 sebanyak (73,24%), sedangkan pohon trembesi 2 sebanyak (26,76%). Simpulan yang diperoleh adalah komposisi perilaku kera ekor panjang menempati tempat tidur yaitu observasi, berlari, bergelantungan dan mengguncang cabang pohon. Pohon yang ditempati sekelompok kera ekor panjang sebagai tempat tidur yaitu pada pohon trembesi dengan bentuk tajuk menyerupai payung, tinggi pohon sekitar ± 30 meter dan diameter batang sekitar 2,5 meter. Memilih tempat tidur disepanjang cabang pohon dibagian tepi cabang, memilih cabang kedua yang kuat serta percabangan berada di atas kolam pemandian, dengan diameter cabang sekitar > 30 cm, tinggi tempat tidur sekitar 15 meter dari permukaan tanah. Urutan menempati tempat tidur sekelompok kera ekor panjang dimulai dari kera betina, diikuti anak kera dan terakhir kera jantan. Kata kunci: Perilaku, Macaca fascicularis, Sleeping Site, Kawasan Mata Ie PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang mempunyai keanekaragaman satwa liar yang tinggi dan tersebar di beberapa habitat. Bermacam spesies satwa liar ini merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan manusia, antara lain adalah primata. Salah satu spesies primata adalah Macaca fascicularis (Kindersley, 2005). Macaca tergolong hewan tropik dan subtropik, dari 195 jenis primata, 40 jenis ada di Indonesia. Penyebarannya cukup luas meliputi wilayah Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa. Macaca fascicularis merupakan salah satu satwa liar di Indonesia yang hingga kini status konservasinya belum dilindungi undang-undang dan resikonya masih rendah terhadap kepunahan (Supriatna & Wahyono, 2000). Kawasan Asia telah ditemukan sebanyak 20 spesies dari Macaca (REI, 1992). Macaca yang termasuk ordo primata ini umumnya ditemukan di Asia Tenggara, termasuk kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh. Salah satu spesies dari Macaca yang mendiami kawasan ini adalah kera ekor panjang (Macaca fascicularis). Mata Ie merupakan salah satu kawasan yang terdapat di kaki pegunungan bukit barisan, dalam Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. Mata Ie memiliki suhu udara berkisar antara 20,7 °C s.d 29,7 °C dan suhu tanah 25 °C s.d 30 °C dengan kelembaban berkisar antara 80% s.d 90%, hidup berbagai macam flora dan fauna. Kawasan Mata Ie sudah lama dikenal sebagai objek wisata, dengan kolam pemandian dari sumber air dari kawasan pegunungan sekitarnya. Kawasan Wisata Mata Ie banyak dijumpai kelompok kera ekor panjang yang melakukan berbagai macam aktifitas. Kawasan ini banyak sumber pakan baik dari alam maupun dari pengunjung yang melemparkan makanan kepada kelompok kera ekor panjang. Kera ekor panjang adalah salah satu satwa primata yang mempunyai ciri khas yaitu menggunakan kaki depan dan belakang (quadropedal) dalam berbagai variasi. Umumnya kera ekor panjang dapat memanjat dan melompat (leaping) dari satu pohon ke pohon lain, dan memiliki ekor 233 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 yang lebih panjang dari panjang kepala dan badan. Panjang tubuh berkisar antara 385 s.d 648 mm. Panjang ekor pada jantan dan betina antara 400 s.d 655 mm (Supriatna & Wahyono, 2000). Kulit berwarna coklat kekuningan, abu-abu atau coklat hitam, tetapi bagian bawah perut dan kaki sebelah dalam selalu lebih cerah. Rambut di pipi menjurai ke muka, di bawah mata selalu ada kulit yang tidak berbulu berbentuk segitiga, kulit pada pantat tidak berbulu. Jantan memiliki rambut di pipi serta kumis, sedangkan betina memiliki janggut. Pada tempat duduk terdapat bantalan duduk yang melekat pada tulang duduk dan mempunyai kantung pipi yang digunakan sebagai tempat menyimpan makanan (Carter, 1978 dalam Fardhiah, 1995). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, kawasan Wisata Mata Ie terdapat berbagai jenis pohon, yang menjadi tempat istirahat, sumber pakan alami, tempat bermain dan tempat aktivitas lainnya, serta pohon tempat tidur kera ekor panjang. Pohon yang terdapat di kawasan Wisata Mata Ie tersebut antara lain trembesi (Albizia saman), beringin (Ficus sp), asam jawa (Tamarindus indica), mangga (Mangifera indica) dan pohon lain yang belum terdefinisi yang memiliki tajuk sangat beragam. Kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar ini, terdapat tumbuhan yang dominan tumbuh yaitu pohon trembesi (Albizia saman). Trembesi memiliki karakteristik yaitu jenis pohon besar dan keras, bentuk tajuk menyerupai payung yang dapat berlindung dan juga sebagai sumber pakan kera ekor panjang berupa daun muda, bunga dan buah. Pohon trembesi ini merupakan salah satu pohon yang dijadikan kera ekor panjang sebagai pohon tempat bermain, tempat mencari pakan, dan tempat aktivitas lainnya, serta tempat tidur pada malam hari. Untuk menjamin berlangsungnya berbagai kegiatan dan untuk mempertahankan kehidupannya, maka kehadiran pelindung (cover) sangat dibutuhkan oleh kera ekor panjang. Perilaku kembali ke pohon untuk tidur merupakan aktifitas yang dilakukan kera ekor panjang untuk beristirahat pada malam hari, kera ekor panjang memilih tempat tidurnya pada pohon yang mempunyai tajuk yang rimbun, dahan pohon bebas dari liana, dan bentuk tajuk menyerupai payung, dan dahan satu dengan dahan lainnya tidak tumpang tindih, tempat tidur demikian adalah suatu cara untuk mengatasi ancaman dari predator (Muchtar, 1982). Untuk membuktikan perilaku kera ekor panjang menempati tempat tidur dan pentingnya tumbuhan dengan ciri khas tersendiri bagi tempat tidur kera ekor panjang, dapatlah dibuktikan melalui penelitian. Oleh karena itu, peneliti membuat penelitian dengan judul “Deskripsi Perilaku Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Mencari Tempat Tidur (Sleeping Site) di Kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar”. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui komposisi perilaku kera ekor panjang menempati tempat tidur di kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar, (2) mendeskripsikan pohon yang ditempati sekelompok kera ekor panjang sebagai tempat tidur di kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. (3) mengetahui urutan menempati tempat tidur sekelompok kera ekor panjang di kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar? BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode focal animal sampling dan scan sampling Focal animal sampling yaitu suatu cara untuk mengetahui aktivitas kera ekor panjang dengan cara mengamati satu individu yang menjadi fokus dan dianggap dapat menyimpulkan aktivitas kelompok (Fachrul, 2008). Posisi pengamatan kera ekor panjang ini dilakukan secara kamuflase yaitu dengan mengamati dari jarak 10 s.d 20 meter dari tempat beraktivitas dan tempat tidur kera ini tanpa membuat perilaku yang mengganggu. Scan sampling merupakan banyaknya data dari tingkah laku individu yang teramati. Hasil yang didapatkan berupa frekuensi tingkah laku yang muncul selama pengamatan (Martin & Bateson 1993 dalam Yudanegara 2006). Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan sebagai berikut: (1) Ditentukan lokasi yang sering digunakan kera ekor panjang untuk beraktivitas, (2) Melakukan habituasi sebagai proses 234 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 membiasakan hewan terhadap kehadiran peneliti dengan pemberian pakan berupa pisang, sehingga pengamatan dapat lebih mudah dilakukan, (3) Waktu pengamatan dilakukan mulai pukul 18.00 WIB s.d 20.00 WIB, (4) Perilaku kera ekor panjang diamati dari jarak yang cukup menggunakan alat bantu teropong tanpa membuat aktivitas yang mengganggu, (5) Mengisi tabel pengamatan yaitu berupa komposisi perilaku kera ekor panjang menempati tempat tidur dan pohon yang ditempati sekelompok kera ekor panjang sebagai tempat tidur di kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. Parameter pada penelitian ini berkaitan dengan segala perilaku yang menjadi acuan dari objek penelitian ini yaitu kera ekor panjang. Adapun parameter yang diamati berupa perilaku kera ekor panjang menempati tempat tidur dan deskripsi pohon yang ditempati sekelompok kera ekor panjang sebagai tempat tidur di kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. Komposisi perilaku kera ekor panjang yang dilakukan pada waktu menempati tempat tidur dilakukan dengan persentase, dengan formulasinya sebagai berikut: 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 ℎ 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝 Persentase = 𝑥𝑥 100% 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎 Pengumpulan data dari hasil penelitian ini di analisis secara deskriptif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu penguraian secara umum dan penjelasan mengenai setiap parameter ukuran pengamatan yang dideskriptifkan secara kualitatif (Fachrul, 2008:86). Untuk mengetahui masing-masing pohon yang ditempati sekelompok kera ekor panjang menempati tempat tidur diamati dengan persentase, dengan formulasi sebagai berikut: Persentase = 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 ℎ 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑥𝑥 100% HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Komposisi Perilaku Kera Ekor Panjang Menempati Tempat Tidur Hasil pengamatan dilapangan menyatakan bahwa, populasi kera ekor panjang di kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar berkisar antara 20 s.d 40 ekor. Komposisi perilaku kera ekor panjang menempati tempat tidur di kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar dilakukan pada pukul 18.00 WIB s.d 20.00 WIB. Berbagai macam komposisi perilaku yang dilakukan kera ekor panjang menempati tempat tidur diantaranya adalah observasi, berlari, bergelantungan, dan mengguncang cabang pohon. Berdasarkan hasil yang dilakukan selama 12 jam, persentase komposisi perilaku yang dilakukan ketika menempati tempat tidur oleh kera ekor panjang untuk kegiatan observasi 47,73%, berlari 23,86%, bergelantungan 9,09% dan mengguncang cabang pohon 19,32% (Gambar 1). 19,32% 9,09% Observasi 47,73% Berlari Bergelantungan 23,86% Gambar 1. Diagram Pie Hasil Persentase Komposisi Perilaku Kera Ekor Panjang Menempati Tempat Tidur Komposisi perilaku kera ekor panjang menempati tempat tidur yang dilakukan di kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar yaitu: a) Perilaku Observasi Berdasarkan hasil yang diperoleh selama pengamatan, kera ekor panjang di kawasan Wisata Mata Ie melakukan perilaku observasi mulai pukul 18.00 WIB s.d 19.45 WIB. Perilaku observasi merupakan salah satu perilaku yang sering dilakukan kera ekor panjang dengan persentase yang 235 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 paling tinggi dibandingkan perilaku lainnya yaitu 47,73%. Perilaku observasi sering dilakukan kera ekor panjang yaitu meliputi duduk, memantau atau melihat keadaan sekeliling sambil tangan memegang dahan pohon, mengambil posisi duduk atau istirahat, dengan cara menggerak-gerakkan tubuhnya, serta mengutui kera lain atau dirinya sendiri, terkadang terlihat melakukan observasi sambil makan (Gambar 2). Disela-sela observasi, kera ekor panjang sering terlihat melakukan kegiatan grooming dan makan. Perilaku grooming yaitu kegiatan berupa membersihkan badan, memelihara diri dari parasit maupun kotoran, selain itu juga untuk membangun dan menjaga serta memperkuat ikatan sosial. Menurut Eimerl dan De Vore (1980) dalam Bismark (1982) dalam Nurhasnah (2000:8) menyatakan bahwa, kera ekor panjang melakukan kegiatan grooming tidak hanya sekedar membersihkan badan, tetapi juga sarana untuk menjalin hubungan sosial antara individu dalam suatu kelompok, meredakan ketegangan dan bertujuan lain, baik dilakukan terhadap dirinya sendiri maupun terhadap kera ekor panjang lainnya. Perilaku kera ekor panjang melakukan grooming, menggunakan kedua tangan dengan cara membolak balik rambut yang ada pada tubuh kera lain maupun ditubuhnya sendiri, apabila ada kutu yang ditemui, maka kera tersebut memakan kutu yang didapatnya dengan cara mengambil dengan mulut. Ada dua macam cara grooming yaitu allogrooming yang dilakukan dengan hewan lainnya, dan autogrooming yang dilakukan sendiri (Chalmers, 1979 dalam Santosa, 1996). Selama pengamatan, perilaku observasi yang dilakukan kera ekor panjang sering juga terlihat sambil makan yaitu dengan cara mengambil daun muda, dan serangga yang ditemuinya di atas cabang pohon, serta mengeluarkan makanan yang disimpan di kantong pipi. Perilaku mengambil makananan di pipi yang dilakukan kera ekor panjang yaitu dengan cara menusuk pipi dengan kaki dan mengunyah dan menelan makanan tersebut. (a) (b) Gambar 2. Kera Ekor Panjang (a) Observasi Sambil Makan, (b) Observasi Sambil Grooming. b) Perilaku Berlari Berdasarkan hasil pengamatan, perilaku berlari yang dilakukan kera ekor panjang di kawasan Wisata Mata Ie, mulai pada pukul 18.00 WIB s.d pukul 19.15 WIB dengan memiliki persentase yaitu 23,86%. Perilaku berlari yang dilakukan kera ekor panjang merupakan suatu aktivitas atau gerak aktif yang dilakukan oleh kera ekor panjang untuk lebih cepat bergerak menuju tempat tidur, serta perilaku berlari dapat juga meliputi berpindah tempat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lain yang dianggap nyaman sebagai tempat tidur. Supriatna & Wahyono (2000) menyatakan bahwa, kera ekor panjang adalah salah satu satwa primata yang memiliki ciri khas yaitu menggunakan kaki depan dan belakang (quadropedal) dalam berbagai variasi untuk berjalan dan berlari, umumnya kera ekor panjang dapat memanjat dan melompat (leaping) dari satu pohon ke pohon lain. Selain itu, perilaku berlari juga dilakukan kera ekor panjang dengan cara melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lainnya. 236 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 c) Perilaku Bergelantungan Berdasarkan hasil pengamatan, perilaku bergelantungan yang dilakukan kera ekor panjang di kawasan Wisata Mata Ie mulai pukul 18.00 WIB s.d pukul 19.15 WIB dengan persentase paling sedikit yaitu 9,09%. Perilaku bergelantungan yaitu perilaku yang sering dilakukan kera ekor panjang disela-sela bermain atau pada saat mencari percabangan tempat tidur yang dianggap nyaman sebagai tempat tidur. Perilaku bergelantungan yang dilakukan kera ekor panjang yaitu dengan gerakan brakiasi (gerakan dengan menggunakan kedua kaki depan untuk bergelantungan). Perilaku bergelantungan terjadi ketika di sela-sela bermain atau menuju cabang pohon yang dijadikan sebagai tempat mencari makan, sebagai tempat bermain, serta cabang tempat tidur (Muchtar, 1982). Perilaku bergelantungan yang dilakukan kera ekor panjang bertujuan untuk berpindah ke cabang pohon lain yaitu dengan cara kedua kaki depan memegang cabang pohon serta kedua kaki belakang menjulai ke bawah serta dengan menggunakan sebelah kaki depan memegang cabang pohon lain dan mengayunkan kaki belakang hingga menyentuh cabang pohon yang diinginkan (Gambar 3). Gambar 3 Perilaku Kera Ekor Panjang Bergelantungan d) Perilaku Mengguncang Cabang Pohon Berdasarkan hasil yang diperoleh selama pengamatan, perilaku mengguncang cabang pohon yang dilakukan kera ekor panjang di kawasan Mata Ie mulai pukul 18.00 WIB s.d pukul 19.15 WIB, dengan persentase sebanyak 19,32%. Perilaku mengguncang cabang pohon ini sering dilakukan kera ekor panjang disaat berada dicabang pohon tempat tidur. Terlihat beberapa kali kera ekor panjang mengguncang cabang pohon ketika berada di pohon tempat tidur. Perilaku mengguncang cabang pohon yang dilakukan kera ekor panjang yaitu dengan cara kedua belah tangan memegang cabang pohon serta mengguncang cabang pohon beberapa kali, sehingga apabila ada daun yang sudah tua atau predator kecil akan berjatuhan di atas tanah (Nurhasnah, 2000). 2. Deskripsi Pohon yang Ditempati Sekelompok Kera Ekor Panjang Sebagai Tempat Tidur Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, deskripsi pohon yang ditempati sekelompok kera ekor panjang sebagai tempat tidur di kawasan Wisata Mata Ie sekelompok kera ekor panjang pada umumnya memilih pohon tempat tidur yaitu di pohon trembesi yang tumbuh dekat kolam pemandian, dengan tinggi pohon sekitar ± 30 meter, diameter batang sekitar 2,5 meter, dengan diameter cabang tempat tidur sekitar > 30 cm, dan tinggi cabang sekitar 15 meter dari permukaan tanah. Pohon yang dijadikan sebagai tempat tidur oleh kera ekor panjang terdapat dua pohon trembesi yang tumbuh dekat kolam pemandian, yaitu pohon trembesi 1 dan pohon trembesi 2 yang jarak tumbuhnya berdampingan sekitar 5 meter. Selama pengamatan, sekelompok kera ekor panjang menempati pohon tempat tidur lebih banyak menempati pohon trembesi 1 dibandingkan pohon trembesi 2, dengan hasil persentase menunjukkan bahwa sekelompok kera ekor panjang menempati pohon tempat tidur pada pohon trembesi 1 memiliki persentase sebesar 73,24%, sedangkan pada pohon trembesi 2 yaitu sebesar 26,76%. 237 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Sekelompok kera ekor panjang menempati tempat tidur lebih banyak jantan dibandingkan betina dan anak kera. Pada pohon trembesi 1 kera ekor panjang jantan menempati pohon tempat tidur sebanyak 30 ekor, kera betina 16 ekor, dan anak-anak 6 ekor. Sedangkan pada pohon trembesi 2 kera jantan menempati pohon tempat tidur sebanyak 12 ekor, kera betina 7 ekor, sedangkan anak kera tidak ada (Gambar 4) 35 30 25 20 jantan 15 betina anak 10 5 0 trembesi 1 trembesi 2 Gambar 4. Grafik Pohon yang Ditempati Sekelompok Kera Ekor Panjang Sebagai Tempat Tidur Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, deskripsi pohon yang ditempati sekelompok kera ekor panjang sebagai tempat tidur diawali dengan mencari pohon trembesi yang tumbuh disekitar kolam pemandian, dengan tinggi pohon sekitar ± 30 meter, diameter batang sekitar 2,5 meter, diameter cabang > 30 cm, dengan tinggi tempat tidur sekitar 15 meter dari permukaan tanah (Gambar 5). Gambar 5. Pohon yang Ditempati Sekelompok Kera ekor Panjang Sebagai Tempat Tidur Selama pengamatan, sekelompok kera ekor panjang memilih tempat tidur disepanjang cabang pohon dibagian tepi cabang dan memilih cabang kedua yang kuat serta percabangan berada di atas permukaan kolam pemandian. Kera ekor panjang merupakan spesies perenang yang sangat baik, dan ini mungkin merupakan teknik untuk menghindari dari ancaman predator, jika kera ekor panjang terancam, kera ekor panjang ini hanya dapat melarikan diri dengan cara menjatuhkan tubuhnya ke dalam air dan berenang ke tempat yang dianggap aman (Rowe 1996, van Schaik et al., 1996 dalam Muchtar, 1982). 238 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Sekelompok kera ekor panjang yang menempati pohon tempat tidur lebih banyak menempati pohon trembesi 1 dibandingkan pohon trembesi 2, karena pohon trembesi 1 pohonnya lebih besar dan daunnya lebih rimbun serta percabangan tempat tidur lebih panjang dibandingkan pohon trembesi 2. Sesuai dengan pernyataan Muchtar (1982) menyatakan bahwa “Perilaku kembali ke pohon untuk tidur merupakan aktifitas yang dilakukan untuk kembali ketempat tidur untuk beristirahat pada malam hari. Kera ekor panjang memilih tempat tidur pada pohon yang mempunyai tajuk yang rimbun, dahan pohon bebas dari liana, dan bentuk tajuk menyerupai payung, dahan satu dengan dahan lainnya tidak tumpang tindih, tempat tidur demikian adalah suatu cara untuk mengatasi ancaman dari predator. 3. Urutan Menempati Tempat Tidur Sekelompok Kera Ekor Panjang Berdasarkan pengamatan dilapangan, urutan menempati tempat tidur sekelompok kera ekor panjang di kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar pertama kali terlihat yaitu kera betina sudah duluan berada di pohon tempat tidur, tidak lama kemudian diikuti anak kera dan terakhir kera jantan. Sesuai dengan pernyataan Reichard (1998) menyatakan bahwa, “Dalam mencari tempat tidur biasanya kera betina dengan bayi pergi ke pohon tempat tidur terlebih dahulu, kemudian remaja, dan terakhir sebagian besar jantan dewasa”. Komposisi kera ekor panjang yang terdapat di kawasan Wisata Mata Ie yang berjenis kelamin jantan lebih banyak dibandingkan kera ekor panjang yang berjenis kelamin betina dan anak kera. Pada saat menentukan jumlah kera ekor panjang yang berjenis kelamin jantan dengan kera ekor panjang yang berjenis kelamin betina, dilakukan dengan cara melihat ciri-ciri morfologinya yaitu melihat alat kelamin kera, postur tubuh dan bentuk kepala. Kera ekor panjang mencari tempat tidur diawali dengan cara observasi, kemudian berlari secara beriringan dengan kera ekor panjang lainnya, berlari dan melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lainnya sampai menuju pohon trembesi yang tumbuh disekitar aliran kolam pemandian. Melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lain hingga berada ke cabang pohon yang dianggap lebih nyaman dan cocok untuk dijadikan sebagai tempat tidur. Kera ekor panjang mencari tempat tidur secara berkelompok dan jarak tempat tidur kelompok kera ekor panjang satu dengan yang lainnya sangat berdekatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Supriatna & Wahyono (2000) menyatakan bahwa, “Sekelompok kera ekor panjang dalam memilih tempat tidur lebih menyukai pohon yang tumbuh disekitar tepian sungai. Tidur secara berkelompok pada satu pohon atau pohon lain yang berdekatan”. Setiap pohon tempat tidur terdapat anggota kelompok yang mengawasi keadaan sekeliling, biasanya dilakukan anggota kelompok jantan. Kera ekor panjang tidur secara duduk dengan kaki ditekuk, posisi kedua tangan memegang sekitar cabang pohon. Kera ekor panjang sesekali terlihat bergeser posisinya sebelum tertidur. Kera ekor panjang selalu berubah posisi tempat tidur antara tempat tidur semula dengan tempat tidur berikutnya (Bismark dan Wirioesoepartho, 1980 dalam Muchtar, 1982). Pada pukul 19.45 WIB rata-rata kera ekor panjang sudah mulai tidur, karena cabang pohon yang ditempati sebagai tempat tidur sudah tidak bergerak lagi dan dianggap sudah tidur. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar, maka dapat disimpulkan bahwa: (1) Komposisi perilaku kera ekor panjang (Macaca fascicularis) menempati tempat tidur (sleeping site) yaitu observasi, berlari, bergelantungan, dan mengguncang cabang pohon. (2) Pohon yang ditempati sekelompok kera ekor panjang sebagai tempat tidur yaitu pohon trembesi dengan bentuk tajuk menyerupai payung, tinggi pohon sekitar ± 30 meter dan diameter batang sekitar 2,5 meter. (3) Urutan menempati tempat tidur sekelompok kera ekor panjang dimulai dari kera betina, diikuti anak kera dan terakhir kera jantan. DAFTAR PUSTAKA Fardhiah, R. 1995. “Keanekaragaman Jenis Pakan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Tingkat Pohon Pada Habitat Alami Areal PT. Beuna Coklat Aceh Barat”. Unpublish Article. Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Yayasan Teungku Chik Pante Kulu. Fachrul, M. F. 2008. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara. Falah, N. 2006. “Perilaku Makan Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Kawasan Seunapit Kecamatan Lembah Seulawah sebagai Objek Praktikum Ekologi Hewan”. Unpublish Article. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan IAIN. Fried, D. dan Hademenos, J. 2005. Schaum’s Outlines Biologi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga. 239 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Hadinoto, dkk. 2007. “Populasi dan Perilaku Makan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Hutan Wisata Sungai Dumai, Kota Dumai, Provinsi Riau”. Laporan Penelitian. Pekan Baru. Universitas Lancang Kuning. Indriyanto. 2008. Ekologi Hutan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Kindersley, D. 2005. Encyclopedia Fauna. Jakarta: Erlangga. Koyla, E. N. 2011. “Aktivitas Harian dan Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Rafless) di Kawasan Wisata Cikakak Wanjon”. Makalah disajikan dalam prosiding seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup. Perwokerto. Muchtar, A. S. 1982. Penelitian Pola Pergerakan Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Taman Wisata dan Cagar Alam Penagandaran. Unpublish Article. Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Yayasan Teungku Chik Pante Kulu. Neville, J. dan Burke, B. J. 2003. Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Nugini; Penilaian dan Penatalaksanaan Resiko Terhadap Keanekaragaman Hayati. Laporan. Universitas Cendrawasih. (Online), (diakses tanggal 19 Juli 2012). Nurhasnah. 2000. “Studi Interaksi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Terhadap Pengujung di Taman Wisata Mata Ie Aceh Besar”. Unpublish Article. Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Yayasan Teungku Chik Pante Kulu. REI. 1992. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Santosa, Y. 1996. “Beberapa Parameter Bio-Ekologi Penting Dalam Pengusaha Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)”. Jurnal. Volume 5, no 1. Fakultas Kehutanan IPB Bogor. (Online), (http://www.bogor.ac.id., diakses tanggal 20 Mei 2012). Supriatna, J. Dan Hendras W. E. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan obor Indonesia. Reichard, U. 1998. “Sleeping Sites, Sleeping Places, and Presleep Behavior of Gibbons (Hylobates lar)”. Jurnal. Bangkok. Center for Conservation Biology, Department of Biology, Mahidol University. (Online), (http://anthro.siu.edu/reichard/reichard_1998.pdf., diakses tanggal 27 Februari 2013). Yudanegara, A. 2006. “Aktivitas Makan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Kelompok Pancalikan di situs Ciung Wanara, Ciamis, Jawa Barat”. Unpublish Article. Departemen Biologi fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. (Online), (http://www.bogor.ac.id., diakses tanggal 7 juli 2012). 240 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 POPULASI PECUK HITAM (Phalacrocorax sulcirostris) DI PERCUT SEI TUAN DELISERDANG SUMATERA UTARA Erni Jumilawaty Program Studi Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara, Medan Jl Bioteknologi No.1 Padang Bulan, Medan Email: [email protected] ABSTRAK Pecuk merupakan salah satu burung dari famili phalacrocoracidae dan termasuk kelompok burung laut. Burung jenis ini mencari makan dilaut dengan cara berenang dan menyelam. Makanan utamanya adalah ikan. Burung-burung ini tidak pernah ditemukan mencari makan disekitar Percut Sei Tuan dari tahun 2002 sampai 2011. Hal ini diduga berhubungan erat dengan faktor keamanan karena jenis ini berbiak di wilayah Tanjung Rejo yang merupakan salah satu lokasi berbiak burung air. Jenis ini pertama sekali terlihat mencari makan di sekitar Bagan Percut, Paluh 80 dan Paluh 50 pada tahun 2012 dalam jumlah kecil berkisar 10 sampai 30 individu, jumlah ini mengalami peningkatan saat musim migrasi berakhir sekitar 35 individu. Hal ini diduga berkaitan erat dengan ketersediaan makanan dan faktor keamanan serta populasi yang terus meningkat atau berkaitan dengan survival terutama pada saat musim berbiak tiba. Kata Kunci: phalacrocorax, burung laut, Percut Sei Tuan, populasi PENDAHULUAN Pecuk merupakan salah satu burung dari famili phalacrocoracidae dan termasuk kelompok burung laut. Burung jenis ini mencari makan dilaut dengan cara berenang dan menyelam. Makanan utama dari burung pecuk adalah ikan. Umumnya burung pecuk mencari makan dilaut dalam kelompok. Kebiasaan burung jenis ini memakan ikan baik itu ditambak maupun dilaut terutama dekat nelayan memasang jala menjadikan burung ini sebagai hama bagi nelayan. Walau bersarang dan beristirahat di wilayah pantai dan dekat dengan lautan tapi jenis ini dari tahun 2002 sampai 2011 tidak pernah ditemukan mencari makan di wilayah Percut Sei Tuan baik dilaut maupun ditambak penduduk. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan dari Sullivan et al. (2006) bahwa pecuk membutuhkan tempat yang sesuai untuk bersarang dan berdekatan dengan lokasi mencari makan. Walau bersarang didekat pesisir pantai dan pertambakan tapi jenis ini hanya sesekali terlihat mencari makan di kolam dekat dengan wilayah bersarangnya secara soliter (Jumilawaty 2012). Pada bulan Juli 2012 jenis ini terlihat bertengger dipohon mangrove dan tersebar pada tiga lokasi penelitian yaitu: Paluh 50, Paluh 80 dan Bagan Percut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah populasi dan faktor yang mempengaruhi kehadirannya pada lokasi penelitian. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai Maret 2013 pada 4 lokasi yaitu Paluh 50, Paluh 80 dan Bagan Percut. Pengambilan data burung pecuk menggunakan metode survey menggunakan perahu. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan pada empat lokasi menunjukkan terjadi fluktuasi jumlah pecuk (Phalacrocorax sulcirostris) yang ditemukan. Jumlah individu paling banyak ditemukan di Wilayah Paluh 80 sampai 30 individu, diikuti Paluh 50 (25 individu). Jumlah individu paling rendah ditemukan di Pematang Lalang sebanyak delapan individu pada bulan Februari (Gambar 1). 241 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 35 Jumlah Individu 30 25 20 15 10 5 0 B. Percut Paluh 80 Paluh 50 P Lalang Bulan Feb Maret April Gambar 1. Populasi Phalacrocorax sulcirostris di Percut Sei Tuan Pecuk ini pertama sekali dilaporkan oleh Susilo (2007) di wilayah Pematang Lalang yang terlihat bertengger di pohon mangrove sebanyak 2 individu. Sedangkan tiga lokasi lainnya tidak ditemukan. Ditemukannya pecuk di bagan Percut, Pematang Lalang, Paluh 80 dan Paluh 50 diduga erat kaitannya dengan peningkatan jumlah populasi pecuk pada lokasi berbiak yang terdapat di Tanjung Rejo. Pada tahu 2002 sampai 2007 jenis ini tidak pernah ditemukan pada keempat lokasi, jenis ini hanya di temukan di Tanjung Rejo dan tidak pernah terlihat mencari makan di Tanjung Rejo maupun di keempat loaksi penelitian. Faktor lain yang diduga ikut mempengaruhi kehadiran pecuk di lokasi penelitian diduga berkaitan erat dengan ketersediaan makanan terutama pada saat musim berbiak, populasi yang terus meningkat menyebabkan pecuk harus mencari lokasi mencari makan yang lain disamping lokasi yang selama ini digunakan. Pada saat musim berbiak pecuk membutuh makanan lebih banyak dibandingkan dengan musim tidak berbiak. Peningkatan populasi juga menyebabkan burung ini harus mencari lokasi makan yang berbeda untuk menghindari terjadi kompetisi antar sesama pada lokasi yang selama ini digunakan. Sampai saat ini lokasi yang digunakan oleh burung pecuk untuk mencari makan belum dapat diketahui secara pasti jenis ini banyak ditemukan di perairan Belawan baik ditambak maupun di lokasi perairan. Fluktuasi jumlah burung pecuk pada keempat wilayah ini diduga dipengaruhi oleh faktor makanan. Pada bulan februari sampai april merupakan waktu yang bersamaan dengan kedatangan burung burung pantai migran yang menggunakan lokasi pantai sebagai tempat mencari makan. Pecuk tidak terlihat ikut mencari makan ataupun bergabung bersama dengan burung pantai maupun burung air lainnya walau hanya untuk beristirahat. Pecuk terlihat hanya bertengger diatas pohon mangrove dan sesekali ada beberapa individu yang mencari makan pada lokasi yang memiliki air dangkal. Pemilihan lokasi ini diduga berkaitan erat kebiasaan pecuk yang mencari makan dengan cara menyelam dan berenang didalam air. Kehadiran burung pantai migran pada bulan Februari sampai April memberikan pengaruh terhadap kehadiran pecuk, tetapi belum diketahui sejauh mana pengaruh kehadiran burung pantai migran ini terhadap pecuk dalam mencari makan karena metode mencari makan dan lokasi makan pecuk dan burung pantai sangat berbeda tetapi jumlah pecuk terlihat meningkat pada saat musim migrasi berakhir (Gambar 2). 242 Jumlah Individu PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Feb Maret April Juli Bulan B. Percut Paluh 80 Paluh 50 Gambar 2. Fluktuasi populasi Phalacrocorax sulcirostris di Percut Sei Tuan Pada gambar 2 terlihat bahwa jumlah individu pecuk meningkat setiap bulannya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Jumilawaty (2012) pecuk merupakan burung yang memiliki kecenderungan megalami peningkatan jumlah populasi setiap bulannya. Peningkatan jumlah populasi terlihat pada bulan juli setelah burung pantai migran kembali ke lokasi berbiak. Diduga kehadiran burung migran menjadi salah satu faktor kehadiran pecuk di wilayah penelitian. Burung migran yang mencari makan dalam jumlah banyak menyebabkan pecuk yang mencari makan secara soliter cenderung menghindar. Selama pengamatan bersamaan dengan waktu surut burung pecuk cenderung memilih bertengger pada pohon mangrove atau sesekali terlihat beberapa spesies mencari makan secara menyendiri di lokasi yang berair dangkal tidak pernah menyatu dengan kelompok burung pantai migran yang mencari makan di hamparan lumpur secara berkelompok. Meningkatnya jumlah populasi burung pecuk pada lokasi penelitian setiap bulanya sangat tergantung pada ketersediaan sumber makanan. Hal ini diduga erat kaitannya dengan sumber makanan pecuk berupa ikan dibandingkan jenis makrozoobentos yang banyak ditemukan pada hamparan lumpur saat air laut surut. Pecuk merupakan pemakan ikan yang mencari makan didalam air dengan menyelam dan berenang pada perairan yang dalam. Menurut Harris et al. (2008) kelimpahan pecuk sangat ditentukan oleh potensial ikan sebagai sumber makanannya. Hasil Penelitian Guevara et al. (2011) kelimpahan pecuk meningkat dengan cepat pada bulan Juli sampai Februari dan kelimpahan maksimum ditemukan pada bulan Oktober. Peningkatan jumlah pecuk ini sangat dipengaruhi oleh faktor makanan dan musim berbiak. Hasil penelitian Guevara 2011 tidak menemukan pecuk pada bulan May-Juni. Selanjutnya hasil penelitian Jumilawaty (2012) pecuk mengalami penurunan jumlah populasi pada bulan April di lokasi berbiak (Tanjung Rejo) dan populasi maksimum ditemukan pada bulan Maret (Gambar 3). Pada bulan September sampai Oktober jumlah individu paling sedikit ditemukan kemudian jumlah ini meningkat sesuai dengan masuknya musim berbiak. Selanjutnya pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan populasi burung pecuk setiap tahun dilokasi berbiak Tanjung Rejo. Penambahan jumlah populasi ini diduga menjadi faktor yang mempengaruhi kehadiran pecuk dilokasi penelitian yang sebelumnya tidak pernah ditemukan. Diduga juga pemilihan lokasi mencari makan dan jumlah individu yang berbeda disetiap lokasi penelitian menunjukkan adanya usaha untuk menghindari terjadinya kompetisi Antara sesama pecuk. 243 Jumlah Individu PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 Sept Okt Nop Des Jan Feb Maret April Bulan Gambar 3. Fluktuasi jumlah individu pecuk di Tanjung Rejo (breeding site) Jumlah Individu Faktor gangguan atau kehadiran manusia pada lokasi berbiak pecuk diduga menyebabkan perubahan dalam mencari lokasi makan pecuk. Walaupun dekat dengan kolam pancing dan tambak dilokasi berbiak tapi pecuk tidak pernah ditemukan mencari makan di dekat lokasi berbiaknya hal ini diduga berkaitan erat dengan usaha proteksi terhadap lokasi berbiak agar aman dari faktor gangguan. 6000 5500 5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 Tahun 2013 Tahun Tahun 2012 Gambar 4. Populasi Burung Pecuk di Lokasi berbiak pada tahun berbeda DAFTAR PUSTAKA Harris, C. M., J. R. Calladine, C. V. Wernham and K. J. Park. 2008. Impacts of piscivorous birds on salmonid populations and game fisheries in Scotland: A review. Wildlife Biology 14: 395-411. Jumilawaty. E. 2012. Kesesuaian Habitat Dan Distribusi Burung Air di Percut Sei Tuan Sumatera Utara. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana, Intitut Pertanian Bogor. Guevara E.A, Santander T G, Mueces T, Teran K and Henry P-Y. 2011. Population Growth and Seasonal Abundance of the Neotropic Cormorant (Phalacrocorax brasilianus) at Highland Lakes in Ecuador Sullivan K L, Curtis P D, Chipman R B, and McCullough R D. 2006. The Double-Crested Cormorant Issues and Management. Department of Natural Resources Cornell University, Ithaca, New York. Susilo F. 2007. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara. Tesis Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. 244 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 PROFIL SEEDLING KAYU SEPANG (Hymenocardia punctata); SPESIES SURVIVAL DI BATAS RAWA LEBAK TANJUNG PUTUS, INDRALAYA, SUMATERA SELATAN Hanifa Marisa, Salni dan Nina Tanzerina Biologi FMIPA Universitas Sriwijaya Email: [email protected] ABSTRACT Telah dilakukan pengamatan terhadap profil anakan muda (seedling) pohon kayu sepang (Hymenocardia punctata) sebagai satu jenis semak pinggiran rawa yang tumbuh berkembang setelah musim hujan. Pengukuran dilakukan terhadap tinggi anakan, panjang akar utama dalam tanah, ukuran daun serta jumlah daunnya. Hasil pengamatan morfometri menemukan rata-rata tinggi anakan saat berumur dua bulan adalah 6,54 cm; rerata panjang akar utama 7,08 cm; ukuran panjang dan lebar daun 1,30 x 0,68 cm dan jumlah daunnya sekitar 4,25 buah. Dengan ukuran seperti ini, adalah mengagumkan untuk spesies yang bertahan hidup bahkan saat rawa pasang. Pengamatan mikroskopis menunjukkan adanya jajaran trikom di daun bawah dan petiolus, serta jaringan pembuluh daun yang rapat yang memungkin regulasi transpirasi udara. Kata kunci: sepang, morfometri, Hymenocardia. PENDAHULUAN Bulan November dan Desember adalah permulaan musim hujan di Indralaya, Sumatera Selatan. Curahan air dari atmosfer ini memicu berkecambahnya berbagai biji di tyanah; termasuk satu spesies tumbuhan semak pinggiran rawa di Indralaya. Jenis tumbuhan ini disebut penduduk dengan kayu sepang, dan dimanfaatkan tak lebih dari sekedar penutup perangkap ikan di rawa. Guyuran hujan yang semakin tinggi frekuensinya menyebabkan permukaan air rawa naik; dan kecambah kayu sepang yang mulai bersaun beberapa lembar, tergenang dan bahkan akhirnya terendam oleh air. Ajaibnya, anakan tumbuhan sepang ternyata bertahan hidup di bawah muka air. Gambar 1 dan 2 di bawah menunukkan survivalitas hidup tumbuhan ini di pinggir rawa lebak (riparian), dan anakan sepang yang bertahan hidup walau terendam air. Gb.1. Sepang, semak pinggir rawa lebak Indralaya, Sumatera Selatan Gb 2. Anakan sepang, bertahan hidup terendam air pasang musim hujan. Fenomena survivalitas di atas, menarik untuk dicermati. Beberap[a hal menjadi pertanyan kepada kita; apa jenis tumbuhan ini secara taksonomis, bagaimana profil anakannya secara morfometri, dan apakah daunnya memiliki organ tertentu hingga masih tetap bertahan hidup dalam air. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, dilakukan penelitian ini denagn harapan dapan memberikan jawaban awal secara ilmiah. 245 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 MATERI DAN CARAKERJA Sampling dilakukan pada 12 buah anakan tumbuhan sepang yang ada di pinggir rawa daerah tanjung Putus, Indralaya, Sumatera Selatan. Anakan yang berumur rata-rata 1,5 bulan itu dicabut hatihati, lalu dilakukan pengukuran terhadap tinggi batang, panjang akar, panjang dan lebar daun, serta jumlah lembar daun. Koleksi foto diambil dengan kamera Fuji Finepix dan herbrium segar dibawa ke laboratorium Biologi FMIPA Universitas Sriwijaya. Kolega sesama botanis dimintai bantuannya untuk identifikasi; lalu dilanjutkan dengan menggunggah foto di group identifikasi tumbuhan jejaring sosial tingkat nasional maupun internasional. Foto juga dikirim dengan email ke kurator di Inggris dan Amerika. Identifikasi berhasil atas bantuan teman di jejaring sosial kelompok Plant Identification setelah beberapa minggu. Studi kepustakaan dilakukan setelah nama ilmiah diketahui dan pengamatan dilanjutkan dengan pemotretan mikroskopis pada daun dan ranting muda untuk melihat karakteristiknya, menggunakan mikroskop komputer Olympus. Data diolah dan disajikan pada tabel dan foto deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Wurdack et al., (2004) memastikan Hymenocardia termasuk ke dalam famili Phylanthaceae, yang dulunya tergabung di Euphorbiaceae. Ini disimpulkan setelah dilakukan analisis rantai DNA selain morfologi organ vegetatif dan generatif. Pengukuran terhadap profil vegetatif anakan mendapatkan hasil seperti tertera pada tabel berikut. Tabel 1. Pengukuran morfometri organ anakan H punctata. NO ASPEK PENGAMATAN PENGUKURAN (rata-rata) 1 Tinggi Tumbuhan 6,54 2 Panjang akar 7,08 3 Panjang daun 1,30 4 Lebar daun 0,68 5 Jumlah daun 4,25 Dapat dilihat dengan jelas bahwa rata-rata panjang akar relatif lebih tinggi ketimbang tinggi tumbuhan di aras muka tanah. Ini dapat merepresentasikan kekuatan cengkraman tumbuhan di tanah hingga bertahan pada kelembaban bahkan genangan. Ukuran daun masih berkisar 1,3 x 0,68 cm, jauh lebih kecil dibandingkan daun dewasa yang dapat mencapai panjang 10 cm. Dengan ukuran ini dan dengan jumlah sekitar 4 – 5 lembar, anakan memiliki beban yang tidak besar untuk hidup di dalam rendaman air rawa. Lebih jelas, dapat diperhatikan di gambar 3 di bawah ini. Gb 3. Profil anakan Tingkat toleransi tanaman terhadap kondisi kekurangan oksigen pada dasarnya berkaitan dengan kemampuan tanaman untuk mengatasi keberlangsungan tiga tahapan tersebur di atas. Tanaman yang biasa hidup di air pada umumnya mempunyai kemampuan untuk membentuk jaringan aerenchima, sehingga oksigen di perakaran dapat disuplai dari bagian atas tanaman. Namun demikian, bila keseluruhan tanaman terendam maka tidak ada bagian tanaman yang dapat mensuplai oksigen. 246 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Dalam kondisi seperti ini ketahanan tanaman akan sangat tergantung pada kemampuan untuk tetap melangsungkan metabolisme tanaman dengan oksigen yang sangat rendah. (Suwignyo, 2007). Pengamatan mikroskopis pada ranting muda, yang masih berwarna kemerahan, secara melintang tidak menemukan suatu karakteristik istimewa disbanding kelengkapan organ tumbuhan berkayu pada umumnya. Epidermis, pendukung, pembuluh dan pusat. Gambarnya ada di bagian bawah ini. Gb 4. Penampang melintang ranting muda, tanpa trikom Lain halnya dengan kondisi daun muda berwarna kemerahan , yang di percabangan tulang daun utamanya memiliki tumpukan banyak trikom. Puluhan trikom merapat di sudut pertulangan. Perhatikan gambar 5 berikut. Jalur tenal diagonal dari kanan atas ke kiri bawah adalah tulang daun utama, dan percabangannya menuju ke kiri. Sudut yang dibentuknya dipenuhi oleh trikom-trikom linier tanpa cabang. Jika trikom-trikom ini membantu proses evaporasi dan pertukaran gas, maka adalah memungkinkan untuk H punctata bertahan hidup di air. Gb 5. Tumpukan trikom di percabangan vena muka bawah daun muda Tidak hanya keberadaan trikom, tetapi percabangan vena yang rapat dan berbentuk jaring, memungkinkan ruang-ruang udara lebih leluasa untuk eksis dalam badan daun. Perhatikan juga gambar 6 berikut ini, trikom di sel-sel yang dipisah oleh pertulangan yang rapat dan transparan. Welzen dan Chayamarit (2007) menyebut bahwa tumbuhan ini memiliki indumentum, jajaran trikom yang berperan dalam kontrol transpirasi. . 247 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Gb 6, Trikom di muka bawah daun dewasa Gb 7. Trikom di permukaan petiolus daun muda Dengan hasil ini juga dapat dikemukakan, bahwa distribusi Hymenocardia punctata tidaklah hanya terdapat di Sulawesi seperti dipetakan oleh Discoverlife (Anonimous, 2014), tetapi juga di Sumatera. Gb 8. Peta distribusi H punctata oleh doscoverlife.org (Anonimnous 2014). 248 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Van Welzen dalam Welzen & Chayamarit ( 2007), mmenyebut distribusi tumbuhan ini sampai 235 m dpl di hutan dipterocarpaceae primer dan sekunder, di pantai dan di pinggir sungai, di tanah kering dan tanah basah. Penduduk menggunakannya sebagai asam makanan. Menurut Chuakul (2005) ianya juga dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat distrik Khok Pho, Propinsi Pattani, Thailand. Di Pnom Penh, Hayes et al. ( 2013 ) melaporkan bahwa H punctata adalah tumbuhan yang biasa dijumpai sebagai riparian vegetation aepanjang aliran sungai dan pinggiran padang rumput. Maxwell (2009) melaporkan eksistensi tumbuhan ini di pinggiran sungai Mekong, Kamboja; dan Pattarakulpisutti (2011), juga menemukannya di pesisir sungai Trang, Semenanjung Thailand. KESIMPULAN Kayu sepang adalah Hymenocardia punctata dari famili Phylanthaceae, terdapat sebagai tumbuhan riparian rawa lebak Sumatera Selatan dengan profil anakan umur 1,5 bulan tinggi 6,54 cm, panjang akar 7,08 cm, ukuran daun 1,3 x 0, 68 cm, jumlah daun 4, 25. Bertahan di genangan air dengan karakteistik daun permukaan bawah ditumbuhi trikom tunggal yang banyak di petiolus, vena dan muka daun. REFERENSI Anonimous, 2014. http://www.discoverlife.org/mp/20q?search=Hymenocardia+punctata Chuakul, Wongsatit. 2005. Medicinal plants in the Khok Pho District, Pattani Province, (Thailand). J Phytopharmacy 12 (2) Dec. 2005; 2548-2571 Hayes, Benjamin and A Mould, E H Khou, T Hartmannn, Kha Hoa, T Calame, K Boughey, Tony Yon. 2013. A Biodiversity Assesment of Pnom Kulen National park, With Recommendation for Management. IDSAC-ACCB-A & D Foundation. August 2013. Maxwell, James F. 2009. Vegetation and vascular flora of the Mekong river, Kratie and Steung Treng Provinces, Cambodia. Maejo Int. J Sci. Technol. 3 (01); 143-211 Pattarakulpisutti, Ponlawat. 2011. Diversity of vascular plant in the floodplain vegetation of Trang river basin, Trang Province, Peninsular Thailand Suwignyo, Rujito A. 2007. Ketahanan Tanaman Padi Terhadap Kondisi Terendam; Pemahanamn Terhadap karakter Fisiologis Untuk Mendapatkan Kualitas Padi yang Toleran di lahan rawa lebak. Kongres Ilmu Pengetahuan wilayah Indonesia bagian barat. Palembang. 3-5 Juni 2007. Welzen & Chayamarit, Fl. Thailand 8, 2: 341. 2007 Wurdack, Kenneth J. and P Hoppmann, R Samuelle, A D Bruijin, M van Der Bank, and M W Chase. 2004. Molecular phylogenetic analysis of Phylanthaceae (Phylanthoideaceae Pro Paste Euphorbiaceae sensu Lato) Using Plastid RBCL DNA Sequence. Am J Bot 91 (11); 18031900. 249 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERBASIS MASYARAKAT DI NAGARI GASAN GADANG KABUPATEN PADANG PARIAMAN Jabang Nurdin, Chairul, Yulizah, Tiara, Riani Ferina, Rizky Paramita Mukhti, Ratna Jalisar, Zulhilmi, dan Ade Adriadi*) *) Program Studi Magister Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas e-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian tentang Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Nagari Gasan Gadang Kabupaten Padang Pariaman dilakukan pada bulan Januari 2014 dengan tujuan untuk mengkaji kondisi vegetasi hutan mangrove di Nagari Gasan Gadang dan mengetahui partisipasi masyarakat sekitar dalam upaya konservasi hutan mangrove. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dan teknik pengambilan sampel menggunakan pendekatan deskriptif analitik. Pengamatan lapangan dilakukan dengan petak kuadrat yang dibuat pada zona tengah pada hutan mangrove Gasan Gadang dengan ukuran 10x10m2, sebanyak 4 kali ulangan. Analisis data berupa berupa kerapatan, frekuensi, penutupan, dan nilai penting dan informasi mengenai partisipasi masyarakat terhadap upaya konservasi hutan mangrove diperoleh melalui wawancara dengan penduduk di sekitar area konservasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan 10 jenis tumbuhan mangrove yang terdiri dari 9 famili, yaitu Acanthus ilicifolius, Acrostichum sp., Aegiceras corniculatum, Ardisia littolaris, Bruguiera sp., Cocos nucifera, Derris trifoliata, Morinda citrifolia., Pandanus sp., dan Sonneratia caseolaris. Nilai penting tertinggi yaitu terdapat pada jenis tumbuhan Aegiceras corniculatum (77,56%) dan diikuti oleh tumbuhan Bruguiera sp. (70,41%). Hal ini menunjukkan bahwa Aegiceras corniculatum dan Bruguiera sp. mendominasi di zona tengah dan merupakan jenis yang cocok tumbuh dengan substrat yang ada di lokasi pengamatan, yaitu substrat berlumpur. Hasil partisipasi masyarakat didapatkan tiga faktor utama dalam upaya konservasi hutan mangrove di daerah ini yaitu faktor manajemen, faktor pengetahuan dan faktor sikap. Kata kunci : Gasan Gadang, pengelolaan, mangrove, partisipasi masyarakat PENDAHULUAN Hutan mangrove adalah ekosistem yang tedapat di daerah pesisir dan terdiri atas tumbuhan yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap perairan asin. Menurut Bengen (2002), hutan mangrove merupakan komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Sedangkan menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah tipe hutan khas yang terapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove terdiri atas tumbuhan yang tersusun secara zonasi. Jenis pohon dan semak yang terdapat di hutan mangrove diantaranya Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2002). Pada umumnya hutan mangrove tumbuh dan berasosiasi dengan ekosistem lainnya, seperti padang lamun (seagrass), algae (seaweed), dan terumbu karang (caral reef), dan membentuk ekosistem yang lebih luas, kompleks dan sangat unik (Pramudji, 2001). Hutan mangrove mempunyai peranan besar dalam mengatur keseimbangan alam. Disamping mempunyai peranan ekologis, hutan mangrove juga memberikan peranan ekonomi, terutama bagi masyarakat yang berada di sekitarnya. Secara ekologis hutan mangrove menjamin keberlangsungan ekosistem yang berada di sekitarnya. Noor, Khazali dan Suryadiputra (2006) menjelaskan bahwa hutan mangrove berperan penting dalam siklus hidup berbagai organisme yang ada di sekitarnya yaitu menyediakan perlindungan dan makanan berupa bahan organik. Menurut Gunarto (2004), hutan mangrove secara biologis berfungsi sebagai tempat makan (feeding ground), tempat pemijahan (spawning ground) dan tempat asuhan serta pembesaran (nursery ground) aneka biota laut, tempat berlindung (habitat) dan berkembangbiak berbagai jenis ikan, burung, mamalia, reptil dan serangga. Selain itu, secara fisik hutan mangrove berfungsi untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut (Gunarto, 2004), perluasan pantai melalui pengendendapan pembentukan lahan baru, dan mengikat serta menstabilkan lumpur (Noor dkk, 2006). 250 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Fungsi ekonomis hutan mangrove antara lain: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, menjadi sumber bibit tumbuhan mangrove bagi kehidupan. Aneka potensi tersebut menyebabkan ketergantungan manusia terhadap hutan mangrove semakin tinggi. Munculnya masalah lingkungan seperti penebangan habis hutan mangrove, pembukaan lahan untuk keperluan pertanian dan perikanan, pembuangan limbah padat dan cair mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas maupun kuantitas ekosistem hutan mangrove. Ekosistem mangrove menjadi tidak mampu melaksanakan fungsi ekologisnya sekaligus sebagai penopang perekonomian masyarakat. Hal ini terbukti dengan semakin berkurangnya luasan hutan mangrove di Indonesia. Berdasarkan data dari Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (1999) luas hutan mangrove di Indonesia adalah 9,2 juta ha dan sekitar 57,6% diantaranya telah rusak. Anwar dan Gunawan (2007) menyatakan bahwa kecepatan kerusakan hutan mangrove di Indonesia mencapai 530.000 ha/tahun, sedangkan laju rehabilitasinya hanya sekitar 1973 ha/tahun. Tidak berbeda dengan kondisi hutan mangrove di Indonesia umumnya, kondisi hutan mangrove di Sumatera Barat juga memprihatinkan. Berdasarkan data dari Ditjen RRL (1999) menyatakan bahwa dari total luas hutan mangrove yang ada (51.915,14 ha), hanya sekitar 4,7% yang berada dalam kondisi baik, dan 95,3% dalam kondisi rusak. Dengan demikian, perlu dilakukan upaya konservasi dan pengelolaan hutan mangrove. Kabupaten Padang Pariaman merupakan daerah yang mempunyai hutan mangrove terluas kedua di Sumatera Barat (Ditjen RRL, 1999). Di Kabupaten ini terdapat area konservasi Hutan mangrove yang berada di Korong Tanjuang Nagari Gasan Gadang. Area ini dibentuk atas inisiatif seorang penduduk setempat dengan tujuan awal sebagai tempat pembibitan mangrove. Atas keputusan bersama penduduk, pada tahun 2012 area ini kemudian ditetapkan sebagai area konservasi dalam rangka untuk mengurangi resiko bencana dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Sebagian besar penduduk pesisir Nagari Gasan Gadang adalah nelayan. Penduduk tersebut tidak memanfaatkan secara langsung hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Meskipun demikian, tetap saja area hutan mangrove ini perlu mendapat perhatian agar kelestariannya tetap terjaga. Terdapat beberapa masalah terkait pengelolaan area konservasi hutan mangrove di Gasan Gadang, diantaranya adalah penggunaan lahan di sekitar hutan untuk pengembalaan kerbau yang tidak memperhatikan aspek ekologi, bibit mangrove yang ditanam tidak jelas kondisinya akibat kurang perhatian dan monitoring, serta tidak adanya dokumen yang jelas mengenai bagaimana kondisi dan perkembangan hutan mangrove ini secara berkala. Penelitian mengenai Pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat sudah pernah dilakukan oleh Raymond (2010) di Kecamatan Gending Probolinggo. Berdasarkan hasil penelitiannya di ketahui bahwa ada 3 faktor partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove, yaitu faktor manajemen, pengetahuan, dan sikap. Berdasarkan latarbelakang bahwa kajian ini bertujuan untuk mengetahui tentang kondisi vegetasi hutan mangrove di Nagari Gasan Gadang dan mengetahui partisipasi masyarakat sekitar dalam upaya konservasi hutan mangrove. BAHAN DAN METODE Penelitan tentang pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat di nagari Gasan Gadang kabupaten Padang Pariaman telah dilakukan pada Januari 2014 di Area Konservasi Hutan mangrove Korong Tanjuang Nagari Gasan Gadang Kecamatan Batang Gasan Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analitik dengan metode survei. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Petak kuadrat dibuat pada zona tengah sebanyak 4 plot ukuran 10x10m. Hal ini dilakukan untuk menghindari gangguan terhadap bibit yang baru ditanam pada zona proksimal (zona yang dekat dengan pantai). Sampel yang diambil tersebut representative atau mewakili populasi. Sedangkan informasi mengenai partisipasi masyarakat terhadap upaya konservasi hutan mangrove diperoleh melalui wawancara dengan penduduk di sekitar area konservasi. Data yang dikumpulkan berupa data biofisik dan sosial masyarakat. Kemudian dilakukan analisa data. 251 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Metode Analisis Data Analisis Vegetasi Hutan Mangrove Data mengenai jenis, jumlah tegakan dan diameter pohon diolah lebih lanjut untuk mendapatkan indeks nilai penting (INP) jenis. Adapun formula yang digunakan untuk mendapatkan INP adalah sebagai berikut : KrR = (Kri/ΣKr)x100 KrR: Kerapatan relatif jenis Kri : Kerapatan jenis i ΣKr: Kerapatan seluruh jenis FrR = (Fri/ΣFR) x 100% FrR : Frekuensi relatif jenis Fri : Frekuensi jenis i ΣFR : Frekuensi seluruh jenis PtR = (Pti/ΣPt) x 100% PtR : Penutupan relatif jenis Pti : Luas basal area jenis i ΣPt : total luas basal area seluruh jenis INP = KrR + FrR + PtR (Soerinegara dan Indrawan, 1982) Analisis Faktor Masyarakat Untuk mengetahui faktor-faktor keadaan sosial dan partisipasi masyarakat digunakan analisis deskriptif hasil wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Jenis tumbuhan mangrove Berdasarkan hasil yang telah dilakukan di Nagari Gasan Gadang Padang Pariaman, ditemukan 10 jenis dari 9 famili vegetasi mangrove yang meliputi Acanthus ilicifolius, Acrostichum sp., Aegiceras corniculatum, Ardisia littolaris, Bruguiera sp., Cocos nucifera, Derris trifoliata, Morinda citrifolia., Pandanus sp., dan Sonneratia caseolaris. Jenis-jenis ini ditemukan pada 4 plot pengambilan sampel di zona tengah. Berdasarkan hasil pengamatan juga diketahui bahwa pada zona proksimal terdapat jenis Rhizophora sp. Namun zona ini tidak masuk ke dalam zona pengambilan sampel. Dari 10 jenis yang didapatkan diketahui bahwa 6 jenis tumbuhan (Acanthus ilicifolius, Acrostichum sp., Aegiceras corniculatum, Ardisia littolaris, Bruguiera sp., dan Sonneratia caseolaris) tergolong ke dalam mangrove sejati dan 4 jenis lainnya (Cocos nucifera, Derris trifoliata , Morinda citrifolia., dan Pandanus sp.) merupakan mangrove ikutan. Struktur Vegetasi Mangrove Hasil pengamatan diketahui bahwa Indeks Nilai Penting tertinggi yaitu terdapat pada jenis tumbuhan Aegiceras corniculatum (77,56%) dan diikuti oleh Bruguiera sp. (70,41%) (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis tumbuhan ini mendominasi zona tengah dari hutan mangrove di Nagari Gasan Gadang, Padang Pariaman, dan merupakan jenis yang cocok tumbuh dengan substrat yang ada di lokasi pengamatan, yaitu substrat berlumpur. Menurut Noor dkk (2006), Aegiceras corniculatum umumya tumbuh di tepi daratan mangrove yang tergenang pasang naik yang normal dan mempunyai toleransi tinggi terhadap tanah, salinitas dan cahaya yang beragam. 252 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Sedangkan Bruguiera sp. tumbuh di tanah liat bagian tengah dari vegetasi mangrove ke arah laut dan hidup mengelompok dalam jumlah besar. Faktor lain yang menyebabkan kedua jenis ini mendominasi karena termasuk jenis yang dibibitkan oleh masyarakat. Selain itu Aegiceras corniculatum dan Bruguiera sp. memiliki peran yang sangat penting untuk menunjang proses suksesi pada hutan mangrove karena kemampuan adaptasinya yang cukup tinggi. Analisis Partisipasi Masyarakat Hutan mangrove di Nagari Gasan Gadang merupakan salah satu area konservasi di Kab. Padang Pariaman yang ditetapkan berdasarkan peraturan Nagari Gasan Gadang No. 09 tahun 2012. Dalam pengelolaan hutan mangrove terlihat adanya partisipasi masyarakat dalam membangun area konservasi. Partisipasi masyarakat sangat membantu program pemerintah dalam menjaga, mengontrol dan mengevaluasi hasil kerja pemerintah dalam perlindungan hutan mangrove. Menurut Saptorini (2003), tujuan dasar partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup adalah mengikutsertakan masyarakat dalam penetuan kebijakan yang baik dan tepat. Analisa partisipasi masyarakat dapat dilihat dari tiga faktor yaitu faktor manajemen, faktor pengetahuan dan faktor sikap (Raymond, Harahap dan Soemarno, 2010). Faktor manajemen merupakan faktor yang memperlihatkan bahwa masyarakat ikut berperan serta menentukan dan membuat peraturan dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan mangrove. Masyarakat Nagari Gasan Gadang telah ikut berpatisipasi membuat peraturan daerah Nagari Gasan Gadang tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove yang ada di daearh tersebut. Selain itu, pemerintah juga merekrut salah satu pemuka masyarakat agar dapat mengajak masyarakat di sekitar hutan mangrove ikut serta dalam menjaga hutan. Saptorini (2003) menyatakan bahwa dalam suatu program pembangunan yang diselenggarakan pemerintah diperlukan pemimpin formal dan informal desa yang berpengaruh dan diakui oleh masyarakat. Pemimpin informal ini dapat berupa pemuka agama, guru ataupun tokoh masyarakat. Tabel 1. Analisa Vegetasi Hutan Mangrove di Nagari Gasan Gadang, Padang Pariaman No. Jenis Famili 1 Aegiceras corniculatum (L.) Blanco Myrsinaceae 2 Derris trifoliata Lour. Leguminoseae 3 Myrsinaceae Ardisia littolaris 4 Acanthus ilicifolius L. Acanthaceae 5 Bruguiera sp. Rhizophoraceae 6 Sonneratia caseolaris (L.) Engl. Sonneratiaceae 7 Aracaceae Cocos nucifera 8 Acrosticum sp Pteridaceae 9 Pandanus sp Pandanaceae 10 Morinda citrifolia L. Rubiaceae Keterangan : RDi, Rfi, Rci dan INP dalam % RDi 41,03 7,05 7,05 9,62 9,62 21,79 0,64 1,28 0,64 1,28 Rfi 21,43 14,29 7,14 7,14 14,29 7,14 7,14 7,14 7,14 7,14 Rci 15,11 1,05 0,38 0,07 46,51 5,70 29,76 0,12 1,05 0,30 INP 77,56 22,38 14,57 16,83 70,41 34,63 37,55 8,54 8,83 8,72 Ada beberapa variabel yang dapat dijabarkan sebagai faktor manajemen partisipasi masyarakat Gasan Gadang yaitu (1) masyarakat menjadi mitra dalam pengelolaan hutan mangrove yang terlihat dari adanya pembibitan mangrove yang telah dilakukan oleh masyarakat, (2) masyarakat ikut mengelola hutan mangrove dengan cara ikut menjaga dan memanfaatkan hutan magrove, (3) pembuatan keputusan dalam pengelolaan hutan mangrove, dan (4) masyarakat sebagai manager atau pelaksana dalam pengelolaan hutan manggrove. Menurut Saptorini (2003), dalam kegiatan konservasi mangrove partisipasi masyarakat dapat berupa memberi masukan dalam penentuan kebijakan dan perencanaan dan ikut serta dalam penyediaan, penanaman, dan pemeliharaan benih mangrove. Faktor pengetahuan harus sesuai dengan tingkat pendidikan masyarakat. Beberapa variabel yang terlihat pada masyarakat Nagari Gasan Gadang yaitu (1) tingkat pendidikan masyarakat dalam pengelolan hutan mangrove yang umumnya tamatan sekolah menengah, (2) dukungan atau fasilitas yang diberikan masyarakat dalam hutan mangrove. Dari faktor pengetahuan ini, masyarakat tentunya mendapat sosialisasi dari pemerintah daerah, namun banyak masyarakat yang memiliki rasa kurang 253 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 peduli dan lebih mementingkan asas manfaat dari pada pengelolaan ataupun menjaga area area hutan mangrove. Hal ini bahwa tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah sehingga masyarakat sulit memahami pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan. Selain itu, peran serta pemerintah dalam memberdayakan masyarakat untuk menjaga area masih kurang. Hal ini terlihat dari hasil wawancara dengan masyarakat sekitar yang menyatakan bahwa penyuluhan dan pelatihan tentang konservasi hutan mangrove hanya diberikan kepada orang tertentu dari warga. Pada faktor sikap, masyarakat secara tidak langsung telah melakukan pengelolaan hutan mangrove di Nagari Gasan Gadang, Padang Pariaman. Hal ini dapat terlihat dari penanaman bibit mangrove oleh masyarakat dan kesadaran masyarakat untuk tidak menebang pohon di area hutan mangrove. Penanaman mangrove oleh masyarakat dilakukan dengan pemberian upah Rp. 1000/batang bagi masyarakat yang ingin menanam. Selain itu, masyarakat tidak memanfaatkan hutan mangrove sebagai tempat penambakan, padahal mangrove memiliki potensi untuk area tambak sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat lebih memanfaatkan hasil laut sebagai nelayan. Namun, kurangnya pengawasan dan monitoring dari pemerintah mengakibatkan beberapa anggota masyarakat mengembalakan kerbau di sekitar area . KESIMPULAN Berdasarkan pengamatan yang dilakukan maka diketahui bahwa terdapat 2 jenis yang mendominasi zona tengah dari area konservasi mangrove di Nagari Gasan Gadang, yaitu Aegiceras corniculatum dan Bruguiera sp. Partisipasi masyarakat terhadap area konservasi ini masih terbatas kepada penyediaan bibit saja, sedangkan pengelolaan dan monitoring masih sangat kurang. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan area ini belum mendapat perhatian yang berkelanjutan dari pemerintah. DAFTAR KEPUSTAKAAN Anwar, C. dan H. Gunawan. 2007. Peranan Ekologis Dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove Dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Prosiding Ekpose Hasil-hasil Penelitian. Hal 2334 Bengen. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Sipnosis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (RRL) . 1999. Inventarisasi dan Identifikasi Hutan Bakau (Mangrove) yang Rusak di Indonesia. Laporan Akhir. PT Insan Mandiri Konsultan. Jakarta. Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian 23 (1) : 15-21 Noor, Y. R., M. Khazali dan I. N. N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove Di Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor. Nybakken, J.W.1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Penerbit P.T. Gramedia. Jakarta. Pramudji. 2001. Dinamika Areal Hutan Mangrove Di Kawasan Pesisir Teluk Kotania, Seram Barat. Oseana. Volume XXVI (3). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta Raymond, G. P., Harahap, N., dan Soemarno. 2010. Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat Di Kecamatan Gending, Probolinggo. Agritek 18 (2) : 185-200 Saptorini. 2003. Persepsi Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Konservasi Hutan Mangrove Di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Tesis Magister Manajemen Sumberdaya Pantai. Universitas Diponegoro. Semarang Soerianegara, I., dan Indrawan. 1982. Ekologi Hutan Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor Syukur Djazuli, Aipassa dan Arifin. 2007. Analisis Kebijakan Pelibatan Masyarakat dalam mendukung Pengelolaan Hutan Mangrove di Kota Bontang. Jurnal Hutan dan Masyarakat 14 (2). Tambunan, R., R.H. Harahap, dan Z. Lubis. 2005. Pengelolaan Hutan Mangrove di Kabupaten Asahan (Studi Kasus) Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan. Jurnal Studi Pembangunan I (1) : 55-69. 254 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 PERTUMBUHAN Rhizophora mucronata dan KUALITAS LAHAN DI KAWASAN REHABILITASI MANGROVE ACEH BESAR DAN BANDA ACEH Mai Suriani, Irma Dewiyanti Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh E-mail: [email protected] ABSTRAK Sebagian besar hutan mangrove di daerah Aceh telah rusak akibat tsunami pada tahun 2004, sehingga perlu diadakannya program rehabilitasi guna memulihkan ekosistem mangrove yang telah rusak. Akan tetapi, pada beberapa daerah rehabilitasi program ini dapat dikatakan kurang berhasil yang disebabkan oleh hama, binatang ternak, dan ketidaksesuaian substrat/lahan. Pertumbuhan mangrove adalah faktor yang penting untuk diteliti sehingga dapat diketahui kesesuaian antara tempat tumbuh dengan jenis yang ditanam guna mencapai keberhasilan rehabilitasi yang optimal. Penelitian tentang pertumbuhan Rhizophora mucronata telah dilakukan di kawasan rehabilitasi mangrove Aceh Besar dan Banda Aceh pada bulan Februari hingga April 2013 yang bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan vegetasi mangrove dan kualitas lahan rehabilitasi mangrove serta hubungan kondisi substrat terhadap laju pertumbuhan tanaman mangrove. Parameter yang diamati yaitu pertambahan tinggi dan diameter batang, morfometrik daun, serta parameter kimia tanah. Pengambilan data mangrove menggunakan transek kuadrat 2 x 2 m2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan tinggi dan pertambahan diameter batang terbesar terdapat di stasiun 1 sebesar 1,21 cm/minggu dan 0,048 cm/minggu dengan substrat yang mengandung bahan organik yang lebih tinggi dari stasiun lainnya. Terdapat hubungan yang signifikan antara pertumbuhan Rhizophora mucronata dengan C-Organik (Psig. <0,05). Lahan rehabilitasi di lokasi penelitian mempunyai kualitas habitat yang kurang baik bagi tempat tumbuh Rhizophora mucronata dilihat dari pertumbuhannya yang rendah. Kata Kunci: Rhizophora mucronata, pertumbuhan, rehabilitasi, vegetasi mangrove, kualitas lahan PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semaksemak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Bengen, 2000). Ekosistem mangrove berfungsi sebagai penyangga pantai dari pengaruh ombak dan sebagai pelindung perumahan masyarakat dari kencangnya angin laut. Kerusakan ekosistem mangrove yang disebabkan oleh tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 menimbulkan berbagai permasalahan di daerah pesisir, seperti terganggunya kehidupan biota akuatik dan penurunan produksi perikanan. Untuk mencegah dampak negatif ini, maka perlu dilaksanakan upaya rehabilitasi hutan mangrove untuk mengfungsikan kembali ekosistem mangrove yang telah rusak. Kegiatan rehabilitasi harus selalu memperhatikan daya dukung lahan, kesalahan dalam memilih lokasi sangat beresiko terhadap kegagalan. Areal yang terkena dampak tsunami tidak seluruhnya memiliki daya dukung yang sesuai untuk direhabilitasi (Wibisono et al., 2006). Menurut hasil penelitian Sumekar (1999) tentang pengaruh substrat pendukung terhadap pertumbuhan vegetasi mangrove, tingkat keberhasilan tumbuh tanaman mangrove di Desa Tangket dan Kool berbeda. Perbedaan keberhasilan ini disebabkan oleh perbedaan kualitas substrat pendukung pertumbuhan vegetasi di daerah tersebut. Substrat pendukung adalah kualitas sifat fisik kimia tanah (tekstur dan warna tanah, kandungan C organik tanah dan mineral-mineral lain yang diperlukan untuk pertumbuhan), salinitas dan pH tanah, serta lamanya penggenangan yang dipengaruhi pasang surut air laut. Berdasarkan uraian di atas, kualitas lahan adalah faktor yang sangat penting untuk diteliti sehingga dapat diketahui kesesuaian antara tempat tumbuh dengan jenis yang ditanam (right place, right species) pada area rehabilitasi guna meningkatkan keberhasilan rehabilitasi. 255 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui laju pertumbuhan vegetasi mangrove di kawasan rehabilitasi, mengetahui kualitas lahan rehabilitasi mangrove, serta mengetahui hubungan kondisi substrat terhadap laju pertumbuhan tanaman mangrove. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ule Pata, Kabupaten Aceh Besar dan Desa Lampaseh Gampong, Kota Banda Aceh. Penetapan lokasi penelitian ini berdasarkan pertimbangan bahwa kedua kawasan tersebut telah dilakukan program rehabilitasi mangrove pasca tsunami, dan memiliki vegetasi mangrove yang berumur sama yaitu 1-2 tahun. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari - April 2013. Penentuan Lokasi Penelitian ini menggunakan metode purposive random sampling untuk menentukan stasiun pengamatan. Purposive random sampling adalah metode penelitian yang dilakukan pada sampel atau objek dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu (Sulistiyarto et al., 2007). Adapun kriteriakriteria yang dilihat pada penelitian ini adalah jenis spesies mangrove dan umur vegetasi mangrove yang berkisar 1-2 tahun. Umur vegetasi mangrove dihitung sejak ditanam di area rehabilitasi. Didapatkan dua stasiun pengamatan, yaitu: Stasiun I di Desa Lampaseh Gampong dan Stasiun 2 di Desa Ule Pata (Gambar 1). Pada setiap stasiun ditetapkan dua substasiun. Daerah yang menjorok ke darat sebagai substasiun dekat darat dan daerah yang menjorok ke laut sebagai substasiun dekat laut, dimana stasiun dekat laut memiliki salinitas yang lebih tinggi dan substrat yang lebih kasar. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak lima kali pengulangan dengan transek kuadrat yang berukuran 2 x 2 m2. Gambar 1. Peta yang menunjukkan lokasi penelitian (Kementerian Kehutanan BPDAS Krueng Aceh, 2012) Pengukuran Pertumbuhan Vegetasi Pengukuran tinggi dan diameter dilakukan setiap tiga minggu sekali sebanyak empat kali pengukuran sehingga waktu yang dibutuhkan adalah dua bulan satu minggu. Tinggi tanaman diukur dengan menggunakan meteran dan diameter tanaman diukur dengan menggunakan jangka sorong. Pengamatan terhadap pertumbuhan mangrove dilakukan dengan mengukur tinggi mulai dari pangkal akar paling atas sampai ke puncak titik tumbuh, dan pengukuran diameter tanaman mangrove setinggi 50 cm. Pengambilan data morfometrik daun dilakukan dengan tujuan untuk melihat kondisi individual dan daya adaptasi. Pengambilan morfometrik daun meliputi panjang dan lebar daun yang dilakukan pada 256 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 setiap daun R. mucronata yang ditemukan di setiap transek kuadrat. Daun diambil secara acak sebanyak 10% dari jumlah daun keseluruhan. Data panjang dan lebar daun untuk melihat kondisi kesehatan mangrove diolah dengan membuat suatu indeks (Sadat, 2004), yaitu: a= 𝐿𝐿 𝑃𝑃 Dimana: L = Lebar daun P = Panjang daun a = Indeks (bilangan konstan) Selanjutnya, dihitung koefisien keragaman (CV) yang digunakan untuk melihat kondisi individual dan daya adaptasi yang dimiliki oleh populasi mangrove berdasarkan pemencaran nilai-nilai morfometrik daunnya. Koefisien keragaman dihitung dengan menggunakan rumus (Walpole, 1995): CV = 𝑆𝑆𝑆𝑆.𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑀𝑀 𝑥𝑥 100% Dimana: CV = Koefisien keragaman St. dev = Simpangan baku M = Nilai rata-rata ukuran morfometrik daun Nilai CV yang semakin besar menunjukkan bahwa suatu populasi memiliki nilai-nilai morfometrik daun yang memencar dan dengan pemencaran tersebut, kompetisi antar individu dalam suatu populasi berkurang serta menunjukkan adanya daya adaptasi yang luas. Pada populasi yang bernilai CV rendah menunjukkan suatu populasi memiliki nilai-nilai morfometrik yang mengelompok. Pengelompokkan tersebut menyebabkan tingginya kompetisi antar individu dalam populasi tersebut dan menunjukkan daya adaptasi yang rendah dalam menghadapi lingkungannya. Pengambilan Sampel Substrat Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan menggunakan skop tanah pada kedalaman 20 cm. Semua sampel tanah dianalisis secara exsitu di Laboratorium Penelitian Tanah dan Tanaman, Fakultas Pertanian Unsyiah. Sifat-sifat kimia tanah yang dianalisis meliputi tipe substrat, C-Organik, pH tanah, Nitrogen, Poshpat, dan Kalium. Uji Anova dan Korelasi Product Momen Pearson Uji Anova dengan menggunakan SPSS versi 17 digunakan untuk melihat apakah terdapat perbedaan yang nyata antara laju pertumbuhan R. mucronata yang berada pada substasiun dekat laut dan dekat darat. Uji Anova dilakukan pada taraf uji 5 % dan jika berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut. Untuk melihat seberapa besar hubungan antara laju pertumbuhan tanaman mangrove dengan kondisi substrat maka dilakukan analisa korelasi product moment pearson. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Mangrove Pada Tabel 1 terlihat bahwa pertambahan tinggi terbesar terdapat di Stasiun 1 yaitu sebesar 3,64 cm/3 minggu atau sebesar 1,21 cm/minggu. Hal ini dikarenakan Stasiun 1 adalah lokasi yang lebih banyak mengandung bahan organik (0,58 % - 0,62 %) dibandingkan dengan Stasiun 2 (0,28 % - 0,49 %). Secara umum, pertambahan tinggi R. mucronata di lokasi penelitian termasuk rendah, dimana penelitian sebelumnya Jumiati (2008) dalam Syah (2011) menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan tinggi pada bibit R. mucronata yang ditanam pada zona darat (5,2 cm/minggu), zona tengah (1,6 cm/minggu) dan zona laut (7,2 cm/minggu). Jika melihat pertambahan tinggi tanaman dan menghubungkannya dengan salinitas (24,2 ppt – 30,13 ppt), maka dapat dikatakan bahwa pertambahan tinggi mangrove di lokasi penelitian cukup kecil, hal ini didukung oleh Hutaean et al. 257 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 (1999) yang menyatakan bahwa pertambahan tinggi total rata-rata yang paling kecil diperoleh pada salinitas 22,5 – 30,0 ppt dengan pertambahan 1,26 cm/minggu. Jika melihat pertambahan tinggi pada posisi tempat tumbuh, pertambahan tinggi lebih besar di posisi dekat laut. Hal ini dikarenakan posisi dekat laut memiliki kerapatan yang lebih kecil sehingga kompetisi antar individu menjadi kurang sehingga kebutuhan akan unsur hara dapat terpenuhi secara cukup . Tabel 1. Data pengukuran pertambahan tinggi dan pertambahan diameter Parameter Pengukuran 1 2 3 Lokasi T D T D T D (cm/3 (cm/3 (cm/3 (cm/3 (cm/3 (cm/3 minggu) minggu) minggu) minggu) minggu) minggu) Stasiun 1 DD 3,55 0,15 3,4 0,14 3,61 0,13 DL 3,67 0,18 3,49 0,13 3,76 0,12 Rata-rata T D (cm/3 (cm/3 minggu) minggu) 3,52 3,64 Stasiun 2 DD 3,04 0,12 3,06 0,11 2,96 0,1 3,02 DL 3,29 0,14 3,25 0,12 3,8 0,1 3,45 Keterangan: DD = dekat darat; DL = dekat laut; T = tinggi; D = diameter batang 0,140 0,143 0,110 0,120 Pertambahan diameter yang paling besar terdapat pada Stasiun 1 yaitu sebesar 0,143 cm/3 minggu atau 0,048 cm/minggu, dan pertambahan diameter batang terkecil terdapat pada Stasiun 2 yaitu sebesar 0,110 cm/3minggu atau 0,037 cm/minggu. Hal ini dikarenakan Stasiun 1 lebih banyak mengandung bahan organik. Sama halnya dengan pertambahan tinggi, pertambahan diameter batang pada posisi dekat laut juga lebih cepat tumbuh dibandingkan dekat darat. Secara umum, pertambahan rata-rata diameter batang di kedua lokasi penelitian tidak jauh berbeda dibandingkan hasil penelitian sebelumnya. Hasil penelitian Syah (2011) menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan diameter batang sebesar 0,059 cm/minggu. Secara umum, dapat dilihat bahwa pertambahan tinggi dan diameter lebih baik pada Stasiun 1 dan di daerah kawasan vegetasi mangrove yang lebih menjorok ke arah laut. Tabel 2 Hasil analisis Uji Duncan Parameter Pengukuran Lokasi T (cm/3 minggu) Stasiun 1 DD 3,52a DL 3,64a Stasiun 2 DD 3,02b DL 3,44a Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan (P<0,05); DD = dekat darat; DL = dekat laut; T = tinggi; D = diameter batang. Hasil analisis uji Anova memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pertambahan tinggi antar substasiunnya (Psig. <0.05) sehingga dilakukan uji lanjut duncan. Lain halnya dengan pertambahan diameter, hasil uji Anova memperlihatkan bahwa pertambahan diameter tidak berbeda nyata antar substasiunnya (Psig. >0.05). Tabel 2 diatas menunjukkan bahwa pertambahan tinggi ratarata Stasiun 1 tidak berbeda nyata antar substasiunnya. Akan tetapi pada Stasiun 2, pertambahan tinggi rata-rata di substasiun DD berbeda nyata dengan substasiun DL. 258 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Kualitas Lahan Rehabilitasi Sebagai Tempat Tumbuh Rhizophora mucronata Substrat tanah sangat menentukan kehidupan vegetasi mangrove. Ketidaksesuaian substrat dapat menyebabkan kegagalan dalam program rehabilitasi. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa di kedua lokasi penelitian didominasi oleh substrat pasir, baik yang di lokasi penelitian dekat darat maupun laut. Hal ini dikarenakan lokasi penelitian mendapat masukan air laut pada saat pasang sehingga pasir yang terbawa dari arah laut pada saat pasang surut mengendap pada lokasi penelitian. Stasiun 1 mengandung 95,17 % substrat pasir dan 4,83 % substrat lumpur. Sedangkan Stasiun 2 mengandung 97,55 % substrat pasir dan 2,45 % substrat lumpur. Dari data tersebut terlihat bahwa R. mucronata dapat tumbuh baik pada tempat yang kurang mengandung lumpur. Tetapi pertumbuhan mangrove lebih baik pada substrat yang mengandung kadar lumpur yang lebih besar. Walsh (1974) menyatakan bahwa substrat yang cocok untuk pertumbuhan mangrove adalah lumpur lunak yang mengandung debu dan liat. Tabel 3. Hasil analisis substrat tempat tumbuh tanaman bakau Rhizophora mucronata di lokasi penelitian Pasir No. Stasiun Lumpur (%) Sangat Sangat Kasar (%) Halus (%) kasar (%) halus (%) 1. Stasiun 1 DD DL Total 1,68 95,7 2,77 5,58 4,63 63,13 87,97 24,58 4,63 5,03 4,83 83,45 75,26 9,66 9,52 2,06 2,85 2,45 2. Stasiun 2 DD 4,83 DL 2,85 9,52 Total 97,55 Keterangan: DD = dekat darat; DL = dekat laut Menurut Gardner et al. (1991), faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah iklim dan tanah. Faktor iklim antara lain seperti cahaya, temperatur, dan lain-lain. Faktor tanah seperti tekstur, bahan organik, kapasitas tukar kation, pH dan sifat kimia lainnya seperti C, N, P, dan K. Hasil analisis parameter kimia tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4. Kandungan C-organik di lokasi penelitian termasuk kategori sangat rendah berkisar 0,28 % – 0,62 %. Kandungan C-organik dapat dikategorikan sangat rendah jika kandungan karbon <1,00 (Fitriana, 2006). Hal ini dikarenakan tingginya persentase pasir di lokasi penelitian. Menurut Nurhajati et al. (1986) dalam Dewiyanti (2011) substrat berpasir memungkinkan terjadinya oksidasi yang baik sehingga bahan organik cepat habis. Oleh karena itu, kandungan C organik menjadi rendah di lokasi penelitian. Selain itu, kandungan C organik tersebut juga digunakan oleh akar untuk proses pertumbuhan (Darmadi et al., 2012). Tabel 4. Parameter kimia tanah Kimia Tanah Lokasi pH C-organik (%) Stasiun 1 DD 7,80 0,62 DL 7,62 0,58 Stasiun 2 DD 7,84 0,28 DL 7,66 0,49 N (%) P (ppm) K (me/ 100g) 0,04 0,05 13,69 19,58 0,19 0,25 0,03 21,26 0,11 0,03 20,66 0,26 Keterangan: DD = dekat darat; DL = dekat laut 259 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan nitrogen di kedua lokasi penelitian tergolong sangat rendah. Kandungan nitrogen dapat dikategorikan sangat rendah jika <0.1 (Wibowo, 2004). Tinggi rendahnya tingkat ketersediaan nitrogen (N) dan Phospat (P) di lokasi penelitian dipengaruhi oleh keadaan sekelilingnya antara lain, sumbangan dari daratan melalui sungai yang bermuara keperairan tersebut, juga serasah mangrove yang membusuk karena ada bakteri yang mengurai menjadi zat hara. Kadar N yang rendah sangat mempengaruhi pertumbuhan fase vegetatif, khususnya pada saat pembelahan sel yang termasuk bagian dari proses metabolisme bagi tanaman (Fitrianah et al., 2012). Kandungan P di lokasi penelitian berkisar 13,69 ppm – 21,26 ppm. Kisaran kandungan P di lokasi penelitian berkisar dari rendah hingga sedang. Kandungan P dapat dikategorikan rendah hingga sedang jika berkisar 10 ppm - 25 ppm (Asmar, 2010). Sanchez (1976) menyatakan tinggi rendahnya tingkat ketersediaan P dalam tanah mineral dikendalikan oleh komposisi mineral dan sifat-sifat kimia tanah seperti pH tanah, kadar Fe dan Al-terlarut, Ca-tersedia, bahan organik dan aktivitas mikroorganisme tanah. Fosfor berperan dalam metabolisme energi pada tanaman (Fitrianah et al., 2012). Kandungan K pada kedua lokasi penelitian berkisar 0,11 – 0,26 me/100g. Kandungan K di dalam tanah mangrove dipengaruhi oleh genangan air laut. Iswahyudi (2008) menyatakan bahwa air laut yang selalu mengenangi posisi mangrove pada saat pasang surut terjadi akan mempengaruhi kation tertukar dalam tanah. Unsur kalium dapat mengaktifkan enzim dan melancarkan proses penyerapan unsur hara (Haryadi, 1986 dalam Fitrianah et al., 2012). Keterkaitan Antara Pertumbuhan Mangrove dengan Kondisi Substrat Pengujian statistik yang dilakukan dengan korelasi product moment pearson dimaksudkan untuk menetapkan parameter-parameter yang mempengaruhi pertumbuhan R. mucronata pada masingmasing lokasi. Pertambahan tinggi merupakan parameter vegetasi yang digunakan untuk pengujian pertumbuhan. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa hubungan pertambahan tinggi dengan C-organik terlihat tinggi yaitu sebesar 0,951. Nilai tersebut tergolong dalam kategori hubungan yang tinggi (Usman dan Akbar, 2000) dan juga signifikan (Psig <0,05). Hal ini didukung oleh Soepardi (1983) yang menyatakan bahwa walaupun jumlah bahan organik sedikit, pengaruh bahan organik terhadap sifat-sifat tanah, pasokan hara tanah dan selanjutnya terhadap pertumbuhan tanaman sangat nyata. Tabel 5. Korelasi pertambahan tinggi dengan kondisi substrat dan kondisi fisika-kimia perairan Kondisi substrat Aspek Pasir Lumpur C-Organik N P K R R² Psig Korelasi Product Moment Pearson α <0,05 0.655 0,429 0,345 0,882 0,777 0,118 42,9% 77,7% 0,951 0,904 0,049 0,745 0,555 0,255 0,450 0,203 0,550 0,858 0,736 0,142 90,4% 55,5% 20,3% 73,6% Kondisi Kesehatan Mangrove Berdasarkan Morfometrik Nilai koefisien keragaman (CV) morfometrik digunakan untuk melihat kompetisi individual dan daya adaptasi yang dimiliki oleh populasi mangrove berdasarkan pemencaran nilai-nilai morfometrik daunnya (Sadat, 2004). Semakin besar nilai CV morfometrik, maka populasi mangrove dapat dikatakan semakin sehat. Nilai CV morfometrik daun pada Stasiun 1 lebih tinggi di bandingkan pada Stasiun 2 yaitu sebesar 14,01 %. Tingginya nilai CV di Stasiun 1 menunjukkan bahwa kompetisi antara individu didalamnya rendah dan juga menggambarkan daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan. Rendahnya nilai morfometrik daun di Stasiun 2 (yaitu sebesar 4,74 %) menunjukkan tingginya kompetisi antar individu dalam populasi tersebut dan menunjukkan daya adaptasi yang rendah dalam menghadapi lingkungannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Stasiun 1 memiliki daya adaptasi 260 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 lingkungan lebih tinggi dan kondisi lingkungan yang lebih baik daripada Stasiun 2, dapat dilihat R. mucronata Stasiun 1 lebih cepat tumbuh dibandingkan Stasiun 2. Hal tersebut dapat dilihat dari pertambahan tinggi (1,21 cm/minggu) dan diameter batang (0,048 cm/minggu) serta kandungan C organik yang lebih baik daripada Stasiun 2 (0,62 %). Jadi, dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan khususnya substrat Stasiun 1 lebih mendukung bagi pertumbuhan R. mucronata daripada Stasiun 2. KESIMPULAN Pertambahan tinggi dan diameter batang di lokasi penelitian tergolong rendah. Pertambahan tinggi dan diameter terbesar terdapat di Stasiun 1 masing-masing 1,21 cm/minggu dan 0,048 cm/minggu. Lahan rehabilitasi di lokasi penelitian mempunyai kualitas lahan yang kurang baik bagi tempat tumbuh Rhizophora mucronata dilihat dari pertumbuhannya yang rendah. Akan tetapi jika dibandingkan kedua stasiun, maka Stasiun 1 lebih baik kondisi lahannya untuk mendukung pertumbuhan Rhizophora mucronata. Terdapat hubungan yang signifikan antara pertambahan tinggi tumbuhan mangrove dengan C-organik tanah dimana Psig <0,05. DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2000. Pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Pusat Kajian Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB, Bogor. BPDAS Krueng Aceh. 2012. Peta sebaran mangrove di Aceh Besar. Departemen Kehutanan, Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Provinsi Aceh. Darmadi, Wahyudin, L. dan Alexander, M.A.K. 2012. Struktur komunitas vegetasi mangrove berdasarkan karakteristik substrat di Muara Harmin Desa Cangkring Kecamatan Cantigi Kabupaten Indramayu. Perikanan dan Kelautan, 3 (3): 347-358 Dewiyanti, I. 2011. Identifikasi dan kelimpahan hama penyebab ketidakberhasilan rehabilitasi ekosistem mangrove Di Sekitar Kawasan Aceh Besar dan Banda Aceh. Prosiding Seminar Nasional XXI PBI Aceh. PBI Aceh, Banda Aceh. Hal. 17-21. Fitriana, Y.R. 2006. Keanekaragaman dan kemelimpahan makrozoobentos di Hutan Mangrove hasil rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Biodiversitas, 7 (1): 67-72. Fitrianah, L., Fatimah, S. dan Hidayati, Y. 2012. Pengaruh komposisi media tanam terhadap pertumbuhan dan kandungan aponin pada dua varietas tanaman Gendola (Basella sp). Agrovigor, 5 (1): 34-46 Gardner, F.P., Pearce, R.B. dan Mitchell, R.L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI-Press, Depok. Hutahaean, E.E., Kusmana, C. dan Dewi, H.R. 1999. Studi kemampuan tumbuh anakan mangrove jenis Rhizophora Mucronata, Bruguiera gimnorrhiza dan Avicannia marina pada berbagai tingkat salinitas. Manajemen Hutan Tropika, 5(1): 77-85. Sadat, A. 2004. Kondisi ekosistem mangrove berdasarkan indikator kualitas lingkumga dan pengukuran morfometrik daun di Way Penet, Kab. Lampung Timur, Propinsi Lampung. Skripsi jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Salisbury, F.B dan Ross, C.W. 1995. Fisiologi tumbuhan (Jilid 1). ITB, Bandung. Soepardi, G. 1983. Sifat dan ciri tanah. Universita Gadjah mada. Yogyakarta. Sulistiyarto, B., Sedharma, D., Rahardjo, M.F dan Sumardjo. 2007. Pengaruh musim terhadap komposisi jenis dan kelimpahan ikan di Rawa Lebak, Sungai Rungan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Biodiversitas, 8 (4) : 270-273. Sumekar, R. 1999. Pengaruh Substrat pendukung terhadap pertumbuhan vegetasi mangrove. Thesis Megister Universitas Sumatera Utara, Medan. Syah, C. 2011. Pertumbuhan tanaman bakau (Rhizophora mucronata ) pada lahan restorasi mangrove di Hutan Lindung Angke Kapuk Provinsi DKI Jakarta. Thesis magister Institut Pertanian Bogor, Bogor. Usman, H. dan Akbar, R.P.S. 2000. Pengantar statistika. Bumi Aksara, Jakarta Walsh, G.E. 1974. Mangroves : a review dalam Reimold, R.J dan W.H Quenn. Ecology of halophytes. Acard. Press, Inc. New York. pp 51-174 Walpole, E.R. 1995. Pengantar statistika. Edisi ke-3. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 261 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Wibisono, I.T.C. dan Suryadiputra, I.N.N. 2006. Hasil pembelajaran atas upaya-upaya restorasi ekosistem pesisir sejak peristiwa tsunami di Aceh dan Nias. Wetlands International Indonesia Programme dan UNEP, Bogor. Wibowo, K.E. 2004. Beberapa aspek bio-fisik-kimia tanah di daerah hutan mangrove desa pasar banggi Kabupaten Rembang. Tesis Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang. 262 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 KORELASI MORFOMETRI BADAN TERHADAP KUALITAS PRODUK RANGGAH MUDA RUSA TIMORENSIS (Correlation Between Body Morphometry and Product Quality of Velvet Antlers of Rusa Timorensis) Mufti Sudibyo1, Yanto Santosa2, Burhanuddin Masy’ud2, Toto Toharmat3 1 2 Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Medan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekoturisme Fakultas Kehutanan IPB 3 Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB. E-mail : [email protected] Hp. 081370402351 ABSTRAK Ranggah muda Rusa timorensis merupakan produk alternatif yang memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai bahan baku obat. Tujuan penelitian mengkaji morfologi rusa jantan fase ranggah muda yang berpotensi menghasilkan ranggah berkualitas dengan indikator kandungan mineral dan asam amino. Penelitian dilakukan terhadap lima rusa jantan berumur > 3 tahun fase ranggah muda. Parameter rusa meliputi umur, berat, tinggi, panjang badan dan lingkar dada. Parameter ranggah muda umur panen, panjang, diameter, berat ranggah panen dan analisis mineral serta asam amino. Pemanenan ranggah dilakukan pada umur ranggah 55, 60, dan 65 hari. Anestasi total menggunakan kombinasi Xylazine hydrochloride 0,01 ml/kg dan Ketamin 0,05 ml/kg per berat badan. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi umur rusa dengan bobot ranggah panen (r = 0,892), dan lingkar dada dengan panjang ranggah muda ( r= 0,945), kandungan mineral makro P, Ca, Mg, dan S dan mineral mikro Fe, Mn, Cu, dan Zn pada umur panen ranggah berbeda tidak menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p>0,05) sedang asam amino dari ranggah muda dengan masa penen berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (p<0,05). Kata kunci : Rusa timorensis, morfometri, ranggah muda PENDAHULUAN Salah satu produk rusa yang mempunyai nilai ekonomi tinggi adalah ranggah muda (velvet antler) yang digunakan sebagai bahan dasar obat China dan sebagai anti oksidan alami (Dradjat 2000; Zhou & Li 2009). Saat ini ranggah mudasangat penting sebagai suplemen untuk meningkatkan prestasi atletik dan anti penuaan utamanya karena memiliki kandungan Insulin Like Growth Factor (IGF-1) yang tinggi (Suttie & Haines 2001), glycosaminoglycans (GAGs), vitamin A dan E, mineral, asam uronat, dan asam sialat (Tuckwell 2003; Lee et al. 2007). Ranggah muda juga mengandung mineral terutama Ca, P, Na, Mg , Mn, Se, dan zat Fe, serta mengandung 8 jenis asam amino esensial dan 15 asam amino bebas non esensial (Kawtikwar 2010). Kualitas ranggah muda dipengaruhi beberapa faktor seperti genetik, kematangan ukuran badan, umur rusa, waktu pemotongan ranggah, strain atau seleksi, dan derajat hibridisasi (Gibbs 2006) dan tahap perkembangan ranggah (Jeon et al. 2011). Kualitas dan kuantitas produk ranggah muda rusa juga berbeda pada setiap kelas umur rusa dan umur panen ranggah. Umumnya rusa yang berumur lebih tua menghasilkan ranggah dengan ukuran lebih besar dan kualitas yang lebih baik dibanding rusa yang berumur lebih muda. Kualitas ranggah muda menurut grading system di New Zealand didasarkan atas kombinasi antara berat, kesimetrisan, panjang dan diameter ranggah muda (Jamal et al. 2005) Kualitasproduk ranggah muda (velvet antler) berhubungan dengan umur rusa, umur panen ranggah serta kualitas telah dilakukan oleh Gibbs 2006; Jeon et al. 2011; dan Estevez et al. 2006. Salah satu daerah sebaran Rusa timorensis di daerah tropis khususnya di Indonesia adalah di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) yang menarik untuk dikaji karena kondisi yang masih alami (liar).Tujuan penelitian adalah mengkaji kaitan antara morfologi rusa jantan fase ranggah muda dengan kualitas produk ranggah muda yang dihasilkan dengan indikator kandungan mineral dan asam amino BAHAN DAN METODE Pengambilandata morfometri dan ranggah muda rusa dilakukan di Pulau Peucang dan Pulau Handeleum Taman Nasional Ujung Kulon. analisis mineral ranggah dilakukan di Balai Penelitian Tanah Bogor dan analisis asam amino ranggah muda dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan 263 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2011 sampai Juli 2012. Analisis kualitas produk ranggah muda digunakan 5 ekor rusa timor jantan yang berumur lebih dari 3 tahun, masing-masing satu ekor dari Pulau Peucang dan empat ekor dari Pulau Handeuleum. Kelima rusa jantan tersebut dibedakan menjadi tiga kategori umur panen ranggah yakni umur panen 55 hari (2 ekor), 60 hari (2 ekor) dan 65 hari (1 ekor). Masing-masing produk ranggah dari ketiga kategori usia panen ini selanjutnya digunakan sebagai bahan untuk analisis kandungan mineral dan asam amino ranggah. Kualitas Produk Ranggah Muda Rusa timorensis Penentuan kualitas produk ranggah muda Rusa timorensis dilihat dari dua aspek yakni : (1) aspek ukuran morfometrik ranggah meliputi panjang ranggah utama, diameter ujung ranggah utama, diameter tengah ranggah utama, diameter pangkal ranggah utama, dan (2) aspek kandungan mineral dan asam amino ranggah. Pengujian perbedaan kualitas ranggah dilakukan pemotonganpada tiga kelompok umur panen berbeda yakni 55 hari , 60 hari, dan 65 hari. Gambar1. Teknik pengukuran ranggah muda rusa timorensis hasil panen A. Panjang ranggah utama, B. Panjang ranggah cabang, C. Diameter ujung ranggah utama, D. Diameter tengah ranggah utama, E. Diameter bawah ranggah utama Pengambilan ranggah muda dilakukan setelah rusa terlebih dahulu dibius dengan teknik anestasi total menggunakan sumpit dengan bahan bius berupa kombinasi Xylazine hydrochloride 0.01 ml/kg berat badan dan Ketamin 0.05 ml/kg berat badan. Data morfometrik rusa diambil meliputi berat badan, panjang badan, tinggi badan, dan lingkar dada. Pemotongan ranggah muda dilakukan 2 cm di atas pedikel menggunakan gergaji steril, bekas luka diobati dengan Limoxin spray dan pasca pemotongan ranggah muda diletakkan pada posisi terbalik untuk menghindari pengucuran darah secara terus-menerus yang menyebabkan pengaruh terhadap ranggah muda. Dilakukan penimbangan berat ranggah, pengukuran panjang, diameter ranggah. Ranggah panenan selanjutnya dibungkus dengan aluminium foil dan dimasukkan ke dalam boks es untuk keperluan analisis kandungan mineral dan asam amino di laboratorium. Sebelum dianalisis di laboratorium ranggah muda tersebut terlebih dahulu dikeringkan dan dijadikan bubuk (tepung). Penentuan gambaran kondisi kualitas produk ranggah rusa di TN Ujung Kulon, maka semua data yang dikumpulkan dihitung nilai rataannya baik dari aspek morfometrik (ukuran) ranggah maupun kandungan mineral dan asam aminonya. Hubungan Umur Panen Ranggah Muda dengan Kualitas Produk Ranggah Muda Rusa timorensis Patokan untuk menentukan gambaran kondisi kualitas produk ranggah khususnya dari aspek ukuran dilakukan dengan membandingkan dengan Ranggah muda grading New Zealand Industry Agreed. SuperA (SA) Premium berat minimum 2.3 kg cabang 2, ukuran lingkar ranggah utama > 18 Cm, SAT (traditional) berat 1.8 kg, cabang 2, ukuran lingkar ranggah utama > 18cm, SA berat 1.8 kg, cabang 1 atau 2, ukuran lingkar ranggah 18 cm.Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara 264 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 umur panen ranggah dengan kualitas produk ranggah muda Rusa timorensis maka dilakukan uji korelasi Pearson dengan IBM SPSS statistics 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran produk ranggah muda rusa timor di TN Ujung Kulon pada umur panen 55 hari, 60 hari dan 65 hari menunjukkan bahwa semakin lama umur panen maka ukuran semakin berat dan lebih panjang. Nilai rataan umum untuk berat ranggah sebesar 1032 ± 222.5 g dan panjang ranggah 35 ± 8 cm (Tabel 1). Jeon et al. (2008) juga menyatakan bahwa berat dan panjang ranggah muda rusa yang dipanen pada umur ranggah muda 60 hari lebih besar daripada ukuran ranggah yang dipanen pada umur panen 40 hari. Tabel 1. Rataan berat dan panjang ranggah muda rusa timor pada umur panen berbeda diTN Ujung Kulon Umur panen Ukuran Ranggah Muda ranggah muda (hari) Berat (kg) Panjang (cm) Diameter (cm)* lingkar ranggah (cm) 55 0.850 ± 0.007 29 ± 4 3.3 ± 0.7 10.4 60 1.005 ± 0.007 37 ± 11 3 ± 0.7 9.4 65 1,450 ± 0.0 43 ± 0 3.1 ± 0 9.7 Rerata 1.032 ± 0.249 35 ± 8 3.1 ± 0.5 9.7 *) Rataan diameter ujung, tengah dan bawah ranggah muda utama Apabila dikaitkan dengan standar ukuran ranggah muda yang dikategorikan baik (grade A) yakni dengan panjang ranggah sekitar 45 cm (ranggah muda grading New Zealand Industry Agreed), maka untuk mendapatkan strandar produk ranggah muda rusa timor di TN Ujung Kulon yang mendekati strandar grade Eberdasarkan lingkar ranggah muda rusa merah. Ranggah muda rusa timor TNUK dipanen pada umur minimum 60 hari (2 bulan) didapatkan hasil rataan berat optimum 1,45 kg dan rataan panjang ranggah muda 36.75 ± 10.96 cm. Drajat (2005) menyatakan bahwa untuk keperluan pemanfaatan bahan aktif yang terkandung di dalam ranggah muda rusa timor, maka umur panen ranggah dibatasi waktu tidak lebih 2 bulan atau dengan over growth 0.5 cm. Semiadi dan Nugraha (2004) menyatakan bahwa kriteria pemanenan ranggah mengikuti bentuk bagian ujung ranggah utama (main beam) yaitu sebelum terjadi percabangan ranggah atau bila mulai terjadi percabangan tidak lebih dari 5 mm. Pemanenan ranggah muda yang melebihi jangka waktu 2 bulan akan mengurangi kualitas. Hasil analisis korelasi Pearson antar parameter morfometri rusa dengan ranggah muda menunjukkan ada hubungan yang kuat antara berat ranggah muda dengan umur rusa (r = 0.892) dan antara berat ranggah muda terhadap umur ranggah muda panen (r = 0.939), antara panjang ranggah muda dengan lingkar dada (r = 0.945) (Tabel2). Tabel 2. Hubungan antara parameter morfometrik rusa dan ranggah Berat Panjang Diameter Umur Umur Berat Panjang Lingkar RM RM RM rusa RM rusa badan dada (kg) (cm) (mm) (th) (bln) (kg) (cm) (cm) PR (cm) KP 0.671 DR(mm) KP -0.035 -0.447 UR (th) KP 0.892* 0.859 -0.107 Ur (hr) KP 0.939* 0.713 -0.222 0.922* BB (kg) KP 0.084 -0.276 0.791 -0.127 -0.243 PB (cm) KP 0.784 0.822 0.068 -0.015 0.963** 0.796 * LD (cm) KP 0.786 -0.431 0.827 0.749 -0.110 0.738 0.945 TB (cm) KP 0.784 0.817 -0.517 0.873 0.786 0.931* -0.536 0.738 RM=ranggah muda, PR=panjang ranggah muda, DR=diameter ranggah muda, UR=umur rusa, Ur=Umur ranggah muda, BB=bobot badan, PB=panjang badan, LD=lingar dada, TB=tinggi badan 265 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Hubungan yang kuat antara berat ranggah panen dengan umur ranggah panen, mengindikasikan bahwa semakin lama ranggah muda di panen memiliki kecenderungan semakin berat ranggah panen. Namun untuk pemanenan yang optimal dilakukan pada umur ranggah 2 bulan atau 60 hari sebagaimana dikemukakan oleh Drajat (2005), Semiadi dan Nugaraha (2004), Jeon et al. (2008) dan Tseng et al.(2012) Kandungan Mineral dan Asam Amino Ranggah Muda Rusa Timorensispada Umur Panen Berbeda Hasil analisis kandungan mineral (makro dan mikro) dan asam amino dari ranggah muda rusa timor di TN Ujung Kulon yang dipanen pada umur panen berbeda masing-masing disajikan pada Tabel 3. Secararelatif kandungan mineral makro dan mikro dari ranggah muda rusa timor di TN Ujung Kulon menunjukkan ada perbedaan pada umur panen berbeda meskipun hasil analisis statistik menunjukkan tidak berbeda nyata (P> 0.05). Tabel 3. Mineral makro dan mikro pada ranggah muda utuh Rusa timorensis pada umur panen berbeda di TN Ujung Kulon Umur Panen Mineral Makro (%) Ranggah (hari) P Ca Mg S 55 7.08 ± 1.75a 13.68 ± 4.55a 0.39 ± 0.14a 0.19 ± 0.08a a a a 60 6.43 ± 1.69 13.30 ± 2.12 0.34 ± 0.03 0.16 ± 0.06a a a a 65 5.47 ± 2.79 14.97 ± 2.41 0.43 ± 0.06 0.13 ± 0.08a Mineral Mikro (ppm) Fe Mn Cu Zn 55 324 ± 244.45a 3 ± 2.71a 3.25 ± 1.89a 70.5 ± 13.63a a a a 60 235 ± 65.59 1.8 ± 0.96 2 ± 0.82 82 ± 15.64a a a a 65 157 ± 58.69 1 ± 0.0 1.5 ± 0.71 73.5 ± 7.78a Huruf superskrip pada kolom yang sama menunjukkan tidak nyata ( p > 0.05). Gambaran kualitas ranggah tersebut menunjukkan bahwa secara relatif kandungan mineral makro yakni P dan S cenderung menurun dengan bertambahnya umur panen, sementara kandungan Cacenderung meningkat dengan bertambahnya umur panen sedangkan Mgbersifat fluktuatif. Pola yang relatif sama juga terlihat pada kandungan mineral mikro yakni berkurang dengan bertambahnya umur panen. Kondisi ini sejalan dengan pernyataan Gibbs (2006) bahwa pemanenan ranggah yang melebihi jangka waktu 2 bulan (60 hari) mengurangi kualitas, karena terjadinya peningkatan kadar Ca dan P dan menurunkan kadar bahan aktif yang terkandung di dalam ranggah. Artinya kualitas ranggah dipengaruhi oleh waktu pemotongan atau umur panen.Kadar Ca dan besi (Fe) ranggah muda pada umur panen 55 hari, 60 hari dan 65 hari berturut-turut sebesar 13.7%, 13.3% dan 14.97 % atau cenderung meningkat dengan bertambahnya umur panen, sedangkan kadar Fe berturut-turut pada umur panen 55 hari 324.25 ppm, umur 60 hari = 235.25 ppm, dan 65 hari= 156. 5 ppm atau cenderung menurun sejalan bertambahnya umur panen ranggah. Apabila rataan kandungan Ca dan Fe ini digunakan sebagai acuan dalam penggunaannya untuk uji kilinis anti oksidan, maka umur panen ranggah yang dipandang optimum adalah umur 55-60 hari atau tidak lebih dari dua bulan, sesuai hasil penelitian Tsenget al. (2012) yang menggunakan produk ranggah muda rusa dengan kombinasi darah dengan rataan kadar Ca 13.2% dan Fe 434 ppm ternyata diketahui efektif untuk uji anti oksidan pada mencit. Drajat (2005) menyatakan untuk keperluan pemanfaatan kandungan bahan aktif ranggah, waktu pemanenan ranggah yang optimum dibatasi tidak lebih 2 bulan (60 hari) atau dengan over growth 0.5 cm. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar mineral pada ranggah yang berumur 65 hari tidak berbeda nyata dengan umur ranggah yang lebih muda, dengan demikian di alam kondisi over growth hingga 5 cm masih dapat dimanfaatkan meskipun Dradjat (2000) dan Semiadi dan Nugraha (2004) juga memberikan batasan maksimum over growth adalah 0.5 cm. Berdasarkan uraian tersebut maka umur panen ranggah muda rusa timor yang dipandang optimum untuk menghasilkan kandungan mineral dan/atau bahan aktif yang baik dan efektif adalah umur panen 55-60 hari dengan batasan maksimum over growth 0.5 cm. 266 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 4. Kandungan asam amino ranggah muda Rusa timorensis pada umur panen berbeda di TN Ujung Kulon No Umur Panen Ranggah Muda (hari) Asam amino 55 60 65 Alanine (Ala) 2 ± 0.4b 2 ± 0.4b 3 ± 0.2a 1 *) a a Arginine (Arg) 3 ± 0.7 4 ± 0.7 4 ± 0.7a 2 b b Aspartic acid (Asp) 8±2 9±2 12 ± 2a 3 Glutamic acid (Glu) 15 ± 2c 17 ± 1b 22 ± 2a 4 a a Glysine (Gly) 4 ± 0.7 4 ± 0.7 5 ± 1a 5 *) b b Histidine (His) 2 ± 0.4 3 ± 0.4 3 ± 0.5a 6 *) c b Isoleucine (Ile) 4 ± 0.6 5 ± 0.7 7 ± 0.2a 7 *) c b Leucine (Leu) 4 ± 0.6 5 ± 0.6 7 ± 0.1a 8 *) c b Lysine (Lys) 3 ± 0.3 3 ± 0.3 4 ± 0.3a 9 Methionine (Met)*) 2 ± 0.2c 2 ± 0.1b 3 ± 0.4a 10 *) c b Phenylalanine (Phe) 3 ± 0.2 3 ± 0.3 4 ± 0.3a 11 c b Proline (Pro) 4 ± 0.6 5 ± 0.5 7 ± 0.5a 12 b b Serine (Ser) 3 ± 0.5 3 ± 0.4 4 ± 0.6a 13 c b Cystein (Sis) 2 ± 0.2 2 ± 0.2 2 ± 0.1a 14 *) a a Threonine (Thr) 3 ± 0.9 7 ± 0.9 4 ± 0.6a 15 c b Tryptophan (Tyr) 2 ± 0.5 3 ± 0.4 3 ± 0.2a 16 Valine (Val)*) 2 ± 0.4b 2 ± 0.4b 3 ± 0.1a 17 Huruf superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (p> 0.05). Kandunganasam amino (Tabel 4), hasil analisis 17 asam amino yang terkandung di dalam ranggah muda rusa timor hampir semuanya menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) pada umur panen berbeda, dengan pola hubungan semakin tinggi umur panen ranggah maka secara relatif semakin tinggi pula kandungan asam aminonya. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Jeon et al. (2008) yang menyatakan kandungan protein kasar lebih tinggi pada umur panen ranggah 40 hari dibanding pada umur panen 60 hari, demikian juga halnya dengan komponen asam aminonya. Perbedaan ini terjadi karena selang waktu yang digunakan berbeda, penelitian ini hanya berselang 5 hari, sedang penelitian Jeon et al. 2008 selang waktu 20 hari. KESIMPULAN 1. Terdapat hubungan nyata antara umur panen ranggah dengan berat ranggah, semakin bertambah umur rusa semakin tinggi bobot ranggah. Lingkar dada memiliki hubungan kuat dengan panjang ranggah muda panen. 2. Kandungan mineral ranggah muda menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata (P>0.05) pada umur panen berbeda, sedangkan untuk kandungan asam amino menunjukkan ada hubungan nyata (P<0.05) yakni semakin tinggi umur panen semakin tinggi pula kandungan asam aminonya. 3. Umurpanen ranggah muda optimum 60 hari dengan toleransi over growth 5 cm atau pada umur panen maksimum 65 hari. Semakin tinggi umur panen (>65 hari) semakin rendah kualitas ranggah muda rusa timor. DAFTAR PUSTAKA Dradjat AS. 2000. Produksi ranggah muda pada persilangan rusa timor (Cervus timorensis) dan rusa sambar (Cervus unicolor).Met.Pet. 23 (2) Estevez JA, Landete-Castillejos T, Martinez A, Garcia AJ, Ceacero F, Gaspar-Lopez E, Calatayud A & Gallego L. 2008. Antler mineral composition of Iberian red deer Cervus elaphus hispanicus is related to mineral profile of diet. ACTA THERIOLOGICA 54(3): 235 – 242. Gibbs D. 2006. Antler Development in White-tailed Deer. Tennessee Wildlife Rosources Agency. September 1, 2006. Jamal Y, Gono S, Nugraha RTP, 2005. Kualitas Produk Ranggah Muda Rusa Sambar (Cervus unicolor). Biologi 4(5): 325-335 267 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Jeon B, Kim S, Lee S, Park P, Sung S, Kim J, Moon S. 2008. Effect of Antler growth period on chemical composition of velvet antler in sika deer (Cervus nippon). Mamm. biol.74:374–380 Jeon BT, Kim MH, Lee SM, Moon SH. 2006. Effect of Dietary Protein on Dry Matter Intake, and Production and Chemical Composition of Velvet Antler In Spotted Deer Fed Forest By-Product Silage. Asian-Aust. J. Anim.Sci. 19(12) : 1737-1741. Jeon, B. T., S.H. Cheong, D. H. Kim, J. H. Park, P. J. Park, S. H. Sung, D. G. Thomas, K. H Kim, & S. H Moon. 2011. Effect of antler development stage on chemical of velvet antler in Elk (Cervus elaphus canadensis). Asian-Aust. J. Anim.Sci 24(9):1303-1313 Kawtikwar PS, Bhagwat DA, and Sakarkar DM. 2010. Deer antler- Traditional use and future perspectives. Indian Journal of Traditional Knowledge 9(2): 245 – 251. Lee SR, Jeon BT, Kim SJ, Kim MH, Lee SM, Moon SH. 2007. Effect of Antler Development Stage on Fatty acid, Vitamin and GAGs Contents of Velvet Antler in Spotted Deer (Cervus nippon). Asian-Aust.J Anim.Sci. 20 (10) : 1546 – 1550 Scmidt KT, Stien A, Albon AS, Guinness FE. 2001. Antler length of yearling red deer is determined by population density, weather and early life-history. Oecologia 127: 191-197. Semiadi G, Nugraha RTP. 2004. Panduan pemeliharaan rusa tropis. Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor. 155 – 162 Tseng SH, Sung HC, Chen LG, Lai YJ, Wang KT, Sung CH, Wang CC. 2012. Effect of velvet antler on bone in ovariectomized rats. Molecules 17: 10574-10585; doi:10.3390/molecules170910574 Tuckwell C. 2003. Velvet Antler a summary of the literature on health benefiths. A report for the Rural Industries Research and Development Coorporation. RIRDC Publication No RIRDC Project No DIP-10A. Wirdateti & Semiadi G. 2007. Parameterfologi, fisiologi dan keadaan kesehatan rusa timorensis yang berada di Pulau Timor. Berkala Penelitian Hayati Surabaya: PBI 3(1):25-30. Zhou R, and Li S. 2009. In vitro antioxidant analysis and characterisation of antler velvet extract. Food Chemistry 114 (2009) 1321–1327. 268 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 PENDUGAAN CADANGAN BIOMASSA DI ATAS PERMUKAAN TANAH PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI SUMATERA UTARA (The Estimation of Above Ground Biomass on Oil Palm Plantation in South Sumatera) Muhdi1*), Iwan Risnasari1), Eva Sartini Bayu2) 1) Staf Pengajar Program Studi Kehutanan USU 2) Staf Pengajar Agroekoteknologi USU *) Jln. Nazir Alwi No. 4 Kampus USU Medan – 20154 E-mail : [email protected] ABSTRACT The objective of the research was to find the model of above ground biomass in the oil palm plantation, North Sumatera. The research was done at the oil palm plantation, North Sumatera. The effect of oil palm plantation to biomass stock in the plots were studied using the data of three plots with each size 100 m x 100 m. The plots are placed based on purposive sampling. Above ground biomass stocks are counted by allometric equation. The results of the research showed that allometric equation of oil palm trees was W = 0,003 D2,761. The result showed thatabove ground biomass of oil palm plantation in the North Sumatera were 64.20 Mg ha-1. Key words : above ground, biomass, oil palm, plantation, model PENDAHULUAN Indonesia memiliki areal perkebunan relatif sangat luas, khususnya kelompok jenis tanaman berkayu seperti karet, kelapa dan kelapa sawit. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 9,27 juta hektar. Saat ini pusat perkebunan kelapa sawit terletak di Propinsi Sumatera Utara. Saat ini pusat perkebunan kelapa sawit terletak di Propinsi Sumatera Utara seluas 905.000 ha (Kartodihardjo dan Supriyono, 2000; GAPKI, 2013). Selain itu, sawit merupakan komoditas perkebunan yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap pendapatan domestik bruto. Nilai ekspor kelapa sawit lebih tinggi daripada produk kehutanan gabungan (pulp dan kertas, kayu lapis, kayu olahan lainnya dan furniture. Sementara itu isu lingkungan mengenai perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), khususnya gas CO2 di dalam lapisan atmosfir merupakan salah satu masalah terpenting yang mendapat sorotan dunia (Murdiyarso, 2007a; Murdiyarso, 2007b). Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa temperatur permukaan bumi meningkat ratarata sebesar 0.74 ± 0.18°C <(1.33 ± 0.32°F) dalam kurun 100 tahun hingga 2005, dan diproyeksikan terus meningkat 1.4 - 5.8° C pada tahun 2100. IPCC menyatakan bahwa hal ini disebabkan oleh peningkatan konsentrasi emisi gas buatan manusia. Perkebunan kelapa sawit dibangun di daerah bekas hutan primer, hutan sekunder dan daerah bekas padang alang-alang. Jika lahan dikonversi dan dikelola dengan benar, memungkinkan kapasitas serapan karbon akan meningkat. Dalam rangka menjawab kebutuhan kebijakan alternatif, diperlukan kajian tentang pola penggunaan lahan yang sesuai dengan upaya mitigasi perubahan iklim. Seberapa besar relevansi perkebunan kelapa sawit dapat dijadikan sebagai penyedia jasa lingkungan yang menghasilkan penerimaan ekonomi, tanpa harus mengubahnya menjadi penggunaan lahan tertentu yang menurunkan simpanan karbon (Anderson dan Khalid, 2000). REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), sebuah mekanisme pembayaran kompensasi atas pengalihan alokasi penggunaan lahan perkebunan kelapa sawit sehingga mampu menghindarkan terjadinya deforestasi atau degradasi hutan. Salah satu indikator penting untuk suatu lanskap dapat dimasukkan ke program REDD adalah terjadinya penurunan emisi atau peningkatan simpanan karbon vegetasi. Tujuan penelitian ini adalah mendapatakan pendugaan cadangan biomassa tegakan pada perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. CARA KERJA Penelitian lapangan dilakukan di areal perkebunan kelapa sawit, Sumatera Utara. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan dua tahap kegiatan, yaitu tahap pertama pengambilan data di lapangan dan tahap kedua menganalisa biomassa dan karbon serasah dan nekromassa dilakukan laboratorium. 269 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 2.1. Biomassa Tumbuhan Bawah Peubah tumbuhan bawah yang diukur di lapangan adalah berat basah, sedangkan di laboratorium yang diukur adalah kadar air, kadar zat terbang, kadar abu dan kadar karbon. Semua vegetasi tumbuhan bawah yang ada dalam petak ukur 2 x 2 m2 diambil dan ditimbang untuk mendapatkan bobot basah (Wb). 2.2. Serasah Serasah dibagi menjadi dua, yakni serasah besar dan serasah kecil. Petak ukur analisis serasah sama dengan petak ukur analisis biomassa tumbuhan bawah. 2.3. Nekromassa Pengukuran nekromassa (bagian tanaman mati) pada permukaan tanah. 2.4. Pembuatan Persamaan Allomatrik Biomassa dan Karbon Pada penelitian ini akan disusun persamaan alometrik biomassa dan karbon dalam tegakan, dengan cara menebang pohon contoh terpilih (Brown et al. 1999, Navar et al. 2009). Pohon contoh yang terpilih tersebut kemudian ditebang, kemudian dipisahkan berdasarkan bagian-bagian pohon, yaitu batang dan daun. Semua bagian pohon contoh tersebut kemudian ditimbang, sehingga diketahui berat basah setiap bagiannya. 2.5. Kadar air Contoh uji kadar air batang dan akar yang berdiameter > 5 cm dibuat dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Sedangkan contoh uji dari bagian daun berdiameter < 5 cm) diambil masing-masing ± 300g. Berat kering total bagian-bagian pohon dihitung dengan persamaan Haygreen & Bowyer, 1996). 2.6. Model Penduga biomassa dan karbon pohon Model persamaan alometrik untuk penaksiran biomassa pohon atau karbon dan bagian-bagian pohon menggunakan satu atau lebih peubah dimensi pohon berikut (Brown et al. 1999, Navar et al. 2009). Persamaan regresi terbaik akan dipilih dari model-model hipotetik di atas dengan menggunakan berbagai kriteria statistik (Draper & Smith 1981), yakni goodness of fit, koefisien determinasi (R2), analisis sisaan serta pertimbangan kepraktisan untuk pemakaian. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Berat Basah Pohon Contoh Pada penelitian ini sebanyak 13 pohon dari berbagai kelas diameter dipilih sebagai pohon contoh untuk menyusun persamaan alometrik pendugaan biomassa pohon. Pohon contoh terpilih merupakan pohon yang berdiameter rata-rata 24,33 cm pada kisaran diameter 5,4 – 77,1 cm. Rekapitulasi hasil pengukuran 13 pohon contoh dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik 13 pohon contoh yang digunakan untuk menyusun persamaan alometrik berat basah pohon. No. Dimensi Pohon Rata-rata Kisaran 1 Diameter (cm) 70,6 52,8-88,8 2 Tinggi Total (m) 8,5 5,7-13,7 3 Berat Basah Batang (kg) 1400,4 558,0-2954,0 4 Berat Basah Daun (kg) 72,4 28,0-124,5 5 Berat Basah Pelepah (kg) 157,9 76,5-276,1 6 Buah (kg) 27,5 0-51,3 Pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa rata-rata berat basah terbesar pohon berasal dari batang yakni 1400,4 kg (84,45 %) dari total biomassa pohon. Selanjutnya berat basah pelepah sebesar 157,9 kg (9,52 %), daun 72,4 kg (4,37 %) dan buah 27,5 kg (1,66 %) dari total berat basah pohon. 3.2. Kadar Air Hasil analisis laboratorium kadar air terhadap contoh bagian-bagian pohon berdasarkan pengelompokkan kelas diameter dapat dilihat pada Tabel 2. Rata-rata kadar air tertinggi terdapat pada daun, yakni sebesar 261,9 %, sedangkan kadar air terendah terdapat pada bagian daun sebesar 143,9 %. Pelepah daun memiliki nilai kadar air tertinggi disebabkan oleh struktur daun tersusun atas rongga stomata yang diisi oleh sedikit bahan penyusun kayu seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin. Hasil 270 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 penelitian Iswanto et al., 2010 yang meyatakan bahwa nilai kadar air pohon kelapa sawit berkisar antara 219,9-379,4 %. Tsoumis (1991) menyatakan bahwa besarnya kadar air dalam pohon bervariasi antara 30 – 300 % tergantung spesies pohon, posisi dalam batang dan musim. Tabel 2. Rata-rata kadar air setiap bagian pohon contoh berdasarkan kelas diameter. Kadar Air (%) Kelas Diameter No. (cm) Batang Daun Pelepah Buah 1. 50-60 208,2 168,3 278,5 273,0 2. 60-70 248,2 150,9 268,7 141,7 3. 70-80 256,2 129,6 257,8 203,5 4. ≥ 80 235,0 131,7 244,1 163,1 238,4 143,9 261,9 195,9 Rataan 3.3. Persaamaan Alometerik Berat Basah Pohon Berat basah pohon seluruh tegakan diduga menggunakan persamaan alometrik. Persamaan disusun berdasarkan pohon contoh yang ditebang yaitu batang, daun, pelepah dan buah serta total bagian pohon yang didasarkan pada hubungan antara bera basah tiap bagian pohon dengan parameter diameter dan tinggi pohon. Pohon contoh yang telah ditebang secara destruktif menjadi bahan dasar pembuatan persamaan alometrik. Tabel 3. Persamaan alometrik penduga biomassa pohon. Model Persamaan R-sq(adj) P-value Batang Wb = 0,006 D2,879 90,2% 0,000 Daun Wb = 0,001 D2.537 87,9% 0,000 Pelepah Wb = 0,001D2,797 86,9% 0,000 Buah Wb = 1,147 D – 53,52 69,7% 0,000 Pohon Wb = 0,007 D2,866 92,6% 0,000 Keterangan : R-sq (adj) atau koefisien diterminasi menunjukkan besarnya keragaman Wb yang bisa dijelaskan oleh peubah D, jadi nilai R-sq (adj) = 92,6 % artinya 92,6 % keragaman Wb mampu dijelaskan oleh peubah D; P-value merupakan peluang kesalahan D, kalau P- value = 0,000 artinya H0 ditolak pada taraf nyata 5% karena P-value < α Tabel 3 menunjukkan bahwa persamaan pendugaan berat basah yang dibentuk adalah persamaan pendugaan berat basah batang, daun, pelepah, buah dan total di atas permukaan tanah. Berdasarkan besarnya standar deviasi model yang terkecil dan nilai koefisien determinasi yang terbesar, maka model terbaik adalah model dengan satu peubah penjelas diameter (D) dengan peubah respon pohon. Alasan lain dalam pemilihan model tersebut adalah segi ketelitian dan kepraktisan dalam pendugaan biomassa tegakan maka dalam pendugaan biomassa pada berbagai kondisi hutan adalah dengan persamaan Wb = 0,007 D2,866. Berdasarkan persamaan alometrik yang terpilih yaitu Wb = 0,007 D2,866, maka berat basah pohon pada areal petak perkebunan sawit dapat diduga. Persamaan alometrik pendugaan biomassa total pohon contoh dengan mengunakan variabel bebas diameter dan peubah respon total dipakai untuk menduga biomassa pohon pada perkebunan di areal perkebunan sawit rakyat, Sumatera Utara. 3.4. Berat Basah di Atas Permukaan Tanah Hasil perhitungan biomassa di atas permukaan tanah pada areal perkebunan sawit rakyat dapat dilihat pada Tabel 4. 271 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 4. Biomassa di atas permukaan tanah pada petak perkebunan sawit rakyat. Biomassa (ton/ha) Petak Vegetasi Serasah & Nekromassa Total I 245,72 10,53 256,25 II 230,01 4,89 234,90 III 181,65 7,38 189,04 Tabel 4 memperlihatkan bahwa rata-rata berat basah di atas permukaan tanah pada petak perkebunan sawit rata-rata sebesar 226,73 ton/ha, terdiri dari bera basah yang berasal dari vegetasi sebesar 219,13 ton/ha dan serasah serta nekromassa sebesar 7,60 ton/ha. Tabel 4 menunjukkan bahwa pada petak perkebunan sawit III, berat basah total lebih rendah bila dibandingkan dengan pada petak perkebunan sawit I dan II, yakni masing-masing sebesar 189,04 ton/ha; 234,90 ton/ha dan 256,25 ton/ha. Pada petak perkebunan sawit I, memiliki kandungan srasah dan nekormassa terbesar yakni sebesar 10,53 ton/ha dan terendah terdapat pada petak II. Hal ini memperlihatkan bahwa komposisi biomassa vegetasi dan serasah serta nekromassa pada petak perkebunan sawit berbeda. 3.5. Berat Basah Vegetasi di Atas Permukaan Tanah Hasil perhitungan potensi biomassa vegetasi di atas permukaan tanah di aeal perkebunan sawit rakyat masing-masing sebesar 245,72 ton/ha; 230,01 ton/ha dan 181,65 ton/ha (Tabel 5). Tabel 5. Biomassa vegetasi di atas permukaan tanah di areal bekas tebangan petak konvensional, bekas tebangan teknik RIL dan hutan primer. Biomassa (ton/ha) Petak Tumbuhan Bawah Tegakan Sawit Total I 9,49 236,23 245,72 II 12,69 217,32 230,01 III 8,66 173,00 181,65 Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata biomassa vegetasi pada petak perkebunan sawit sebagian besar berasal dari tegakan sawit. Pada petak I berat basah yang berasal dari tegakan sawit sebesar 236,23 ton/ha atau sebesar 96,13 % dari total biomassa vegetasi. Demikian pula halnya pada petak II dan petak III, yakni masing-masng sebesar 217,32 ton/ha (94,48 %) dan 173,00 ton/ha (95,23%) dari total biomass vegetasi. 3.6. Serasah dan Nekromassa Hasil perhitungan serasah dan nekromassa di perkebunan sawit masing-masing petak sebesar 10,53 ton/ha, 4,89 ton/ha dan 7,38 ton/ha, seperti yang tercantum pada Tabel 6. Tabel 6. Serasah, nekromassa kecil dan nekromassa besar di areal bekas tebangan petak konvensional, bekas tebangan petak RIL dan hutan primer. Biomassa (ton/ha) Petak Serasah Nekromassa Total I 6,00 4,53 10,53 II 3,11 1,77 4,89 III 3,38 4,01 7,38 Tabel 6 menunjukkan bahwa pada petak I memiliki serasah dan nekromassa paling tinggi dibandingkan di petak lainnya, yakni sebesar 10,53 ton/ha yang terdiri dari serasah 6,00 ton/ha dan nekromassa sebesar 4,53 ton/ha. Tabel 6 menunjukkan bahwa rata-rata biomassa sersah dan nekromassa pada petak I dan petak II sebagian besar berasal dari serasah sebesar 6,00 ton/ha dan 3,11 ton/ha 55,83 ton/ha atau sebesar 56,97 % dan 63,71%. Sedangkan pada petak III sebagian besar 272 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 biomassa berasal dari nekromassa yakni sebesar 4,01 ton/ha (54,27 %) dari total serasah dan nekromassa. 3.7. Alometrik Biomassa Pohon Contoh Biomassa adalah berat bahan organik suatu organisme per satuan unit area pada suatu saat. Biomassa pohon seluruh tegakan diduga menggunakan persamaan alometrik. Pohon contoh yang telah ditebang secara destruktif menjadi bahan dasar pembuatan persamaan alometrik. Tabel 7. Karakteristik 13 pohon contoh yang digunakan untuk menyusun persamaan alometrik biomassa. No. Dimensi Pohon Rata-rata Kisaran 1 Diameter (cm) 70,6 52,8-88,8 2 Tinggi Total (m) 8,5 5,7-13,7 3 Biomassa Batang (kg) 416,6 169,3-835,0 4 Biomassa Daun (kg) 30,3 11,5-51,7 5 Biomassa Pelepah (kg) 45,2 17,0-77,1 6 Buah (kg) 9,9 0-19,6 Pada Tabel 7 memperlihatkan bahwa rata-rata massa biomassa terbesar pohon berasal dari batang yakni 416,6 kg atau 82,97 % dari total biomassa pohon. Selanjutnya biomassa pelepah sebesar 45,2 kg (9,01 %), daun sebesar 30,3 kg (6,03 %) dan buah 9,9 kg (1,97 %). Tabel 8. Persamaan alometrik untuk pendugaan biomassa. Model Persamaan R-sq(adj) Nilai-P Batang W = 0,003 D2,703 81,8% 0,000 Daun W = 1,589 e0,040 D 87,9% 0,000 0,044 D Pelepah W=1,745 e 82,7% 0,000 Buah W = 0,463 D - 22,63 69,9% 0,000 Pohon W = 0,003 D2,761 89,0% 0,000 Keterangan : R-sq (adj) atau koefisien diterminasi menunjukkan besarnya keragaman C yang bisa dijelaskan oleh peubah D, jadi nilai R-sq (adj) = 89,9 % artinya 89,9 % keragaman C mampu dijelaskan oleh peubah D; P-value merupakan peluang kesalahan D, kalau P- value = 0,000 artinya H0 ditolak pada taraf nyata 5% karena P-value < α Tabel 8 menunjukkan bahwa persamaan pendugaan cadangan massa biomassa yang dibentuk adalah persamaan pendugaan massa biomassa batang, daun, pelepah, buah dan total di atas permukaan tanah. Berdasarkan besarnya standar deviasi model yang terkecil dan nilai koefisien determinasi yang terbesar, maka model terbaik adalah model dengan satu peubah penjelas (D) dengan peubah respon pohon. Alasan lain dalam pemilihan model tersebut adalah segi ketelitian dan kepraktisan dalam pendugaan biomassa tegakan kelapa sawit maka dalam pendugaan cadangan massa biomassa pada berbagai kondisi hutan adalah dengan persamaan W = 0,003 D2,761. Berdasarkan persamaan massa biomassa di atas, maka persamaan alometrik yang terpilih yaitu W = 0,003 D2,761 memiliki R2 (adj) sebesar 89,04 % yang menyatakan bahwa sebesar 89,0 % keragaman massa biomassa pohon sudah dapat dijelaskan oleh pengaruh diameter, sedangkan sisanya sebesar 10,96 % dipengaruhi faktor lingkungan. Nilai P-value < 0,5 yang artinya log D berpengaruh nyata terhadap log W pada taraf pengujian 95 %. Berdasarkan persamaan alometrik tersebut, biomassa pohon pada areal petak perkebunan sawit dapat diduga. Persamaan alometrik pendugaan biomassa pohon dengan menggunakan variabel bebas diameter pohon dapat dipakai untuk menduga massa biomassa pohon pada perkebunan kelapa sawit. Adapun Katterings et al. (2001) menyatakan di hutan sekunder Sepunggur, Sumatera mendapatkan persamaan biomassa W = 0,066D2,59. Persamaaan alometrik yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan persamaan alometrik di Sumatera. Perbedaan ini bisa 273 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 disebabkan oleh perbedaan pola sebaran pohon dan diameter di lokasi penelitian karena kondisi tempat tumbuh yang mempengaruhi pertumbuhan dan kerapatan tegakan. 3.8. Biomassa di Atas Permukaan Tanah Hasil perhitungan biomassa di atas permukaan tanah pada areal perkebunan sawit rakyat dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Biomassa di atas permukaan tanah pada petak perkebunan sawit. Massa Biomassa (ton/ha) Petak Vegetasi Serasah & Nekromassa Total I 67,22 5,96 73,18 II 63,09 2,36 65,45 III 50,16 3,81 53,97 Tabel 9 memperlihatkan bahwa rata-rata massa biomassa di atas permukaan tanah pada perkebunan sawit rata-rata sebesar 64,20 ton/ha, terdiri dari massa biomassa yang berasal dari vegetasi sebesar 60,16 ton/ha dan serasah serta nekromassa sebesar 4,04 ton/ha. Biomassa pada petak III perkebunan sawit lebih rendah bila dibandingkan dengan pada petak perkebunan sawit I dan petak II, yakni masing-masing sebesar 53,97 ton/ha; 65,45 ton/ha dan 73,18 ton/ha. 3.9. Biomassa Vegetasi di Atas Permukaan Tanah Hasil perhitungan biomassa vegetasi di atas permukaan tanah pada petak perkebunan sawit masing-masing sebesar 67,22 ton/ha; 63,09 ton/ha dan 50,16 ton/ha, seperti yang tercantum pada Tabel 10. Tabel 10. Biomassa vegetasi di atas permukaan tanah. Biomassa (ton/ha) Petak Semai & Tumbuhan Tegakan Sawit Bawah I 2,91 64,31 Total 67,22 II 3,77 59,32 63,09 III 2,60 47,56 50,16 Tabel 10 menunjukkan bahwa rata-rata massa biomassa vegetasi pada petak perkebunan sawit sebagian besar berasal dari tegakan pohon yakni masing-masing sebesar 64,31 ton/ha pada petak I, 59,32 ton/ha pada petak II dan sebesar 47,56 ton/ha pada plot III. Adapun biomassa tumbuhan bawah di semua petak penelitian berkisar antara 2,91 – 3,77 ton/ha. 3.10. Biomassa Serasah dan Nekromassa Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa massa biomassa serasah dan nekromassa petak perkebunan sawit masing-masing sebesar 5,96 ton/ha, 2,36 ton/ha dan 3,81 ton/ha, seperti yang tercantum pada Tabel 11. Tabel 11. Massa biomassa serasah, nekromassa kecil dan nekromassa besar Massa Biomassa (ton/ha) Petak Serasah Nekromassa Total I 3,04 2,92 5,96 II 1,44 0,93 2,36 III 1,74 2,08 3,81 274 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 11 menunjukkan bahwa pada petak I memiliki serasah dan nekromassa paling tinggi dibandingkan di petak lain, yakni sebesar 5,96 ton/ha. Rata-rata nekromassa pada petak I dan petak II sebagian besar berasal dari serasah yakni masing-masing sebesar 3,04 ton/ha dan 1,44 ton/ha. Sedangkan pada petak III sebagian besar biomassa berasal dari nekromassa besar sebesar 2,88 ton/ha. Besarnya biomassa vegetasi di atas permukaan tanah jumlahnya bervariasi dari 210-650 ton/ha sesuai dengan tipe penutupan lahan (Mazzei et al. 2010). Hasil penelitian Hertel et al. (2009) pada lahan bervegetasi hutan primer di Sulawesi, menunjukkan bahwa rata-rata total biomassa tegakan sebesar 303 ton/ha yang terdiri dari 286 ton/ha berasal dari biomassa di atas permukaan tanah dan dari akar sebesar 16,8 ton/ha. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada DP2M DIKTI yang telah mendanai penelitian ini sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian Hibah Bersaing Tahun Anggaran 2013 Nomor : 4267/UN5.1.R/KEU/2013, tanggal 03 Juni 2013. DAFTAR PUSTAKA Anderson, J and Khalid. 2000. Decomposition Processes and Nutrient Release Patterns of Oil Palm Residu. Journal of Oil Palm Research.12(1). 46-63. Brown, S, P.E. Schroeder and J.S. Kern. 1999. Spatial distribution of biomass in forests of eastern USA. Forest Ecology and Management 123:81-90. Draper, N and H. Smith. 1991. Applied Regression Analysis. Ed ke-2. New York: John Wiley and Sons. GAPKI. 2013. Indonesia dan perkebunan kelapa sawit dalam isu lingkungan global. GAPKI. Jakarta. Haygreen, J.G. and Bowyer, J.L. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Edisi ke-4. Yogyakarta: University Gadjah Mada Press. Hertel, D., G. Moser, H. Culmsee , S. Erasmi, V. Horna, B. SchuldtB and Ch. Leuschner. 2009. Below- and above-ground biomass and net primary production in a paleotropical natural forest (Sulawesi, Indonesia) as compared to neotropical forests. Forest Ecology and Management 258: 1904–1912. IFCA. 2007. Laporan konsolidasi studi tentang metodologi dan strtegi penurunan emisi gas rumha kaca. Departemen Kehutanan. Jakarta. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Isanto, A.H., T. Sucipto, I Azhar and F Febrianto. 2010. Sifat fisis dan mekanis kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) asal kebun Aek Pancur. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, Vol. 3(1) : 712. Litton, C.M. and J.B. Kauffman. 2008. Alometrik model for predicting above ground biomass in two widespread woody plants in Hawaii. Biotropica 40:313-320. Mazzei, L., P. Sist, A. Ruschel, F.E. Putz, P. Marco, W. Pena and J.E.P. Ferreira. 2010. Aboveground biomass dynamics after reduced-impact logging in the Eastern Amazon. Forest Ecology and Management 259 : 367–373. Murdiyarso, D. 2007a. Protokol Kyoto, Implikasinya bagi Negara Berkembang. Jakarta: Buku Kompas. Murdiyarso, D. 2007b. CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih. Jakarta: Buku Kompas. Nabuurs, G.J. and G.M.J Mohren. 1993. Carbon Fixation through Activities A Study of the Carbon Sequestering Potential of Selected Forest Types, Commissioned by the Fondarion Face. Can. J. For. Res. 23: 857-862. Návar, J. 2009. Allometric equations for tree species and carbon stocks for forests of northwestern Mexico. Forest Ecology and Management 257:427-434. Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood: Structure, Properties, Utilization. New York : Van Nostrand Reinhold. 275 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 NILAI PENTING LANSKAP HUTAN PADA BEBERAPA KOMUNITAS LOKAL Riswan S Siregar1, Surya Ramadan S2, Sri Rahmi Tanjung2 1 Program Doktor Pengelolaan Sumber Daya alam dan Lingkungan Pascasarjana USU 2 Prodi Pendidikan BiologiSTKIP Tapsel Padangsidimpuan ABSTRAK Lanskap hutan memegang peranan yang penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat baik yang tinggal di dalam maupun pinggiran hutan. Studimengenai nilai penting hutan bagi masyarakat lokal telah banyak dilakukan. Studi ini bertujuan untuk (1) melihat nilai manfaat lanskap hutan dan membandingkannya dengan lanskap lainnya yang berada di sekitar pemukiman penduduk, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai penting lanskap hutan (3) menganalisis nilai penting biodiversitas yang terdapat di areal hutan. Metode yang digunakan adalah meta-analisis yaitu berupa kajian kualitatif dan kuantitatif dari hasil publikasi ilmiah mengenai tema yang terkait di atas berdasarkan kesamaan teknik pemberian nilai LUVI (Local User Valuation Index) dengan metode PDM (Pebble Distribution Methods). Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) nilai penting lanskap hutan tidak selalu lebih tinggi dibanding lanskap lainnya (2) nilai penting lanskap hutan tidak hanya dipengaruhi oleh pentingnya sumberdaya hutan bagi masyarakat lokal melainkan juga faktor-faktor lain diantaranya jarak pemukiman dari hutan, kondisi topografi, sumber pendapatan ekonomi masyarakat setempat.(3) Jenis tanaman Rotan (Calamus sp) tercatat sebagai tumbuhan yang dianggap paling penting di semua sumber penelitian dan jenis hewan Kijang (Muntiacus muntjak), Kelinci (Tragulus javanicus) dan Beruang madu (Helarctos malayanus) tercatat sebagai hewan yang dianggap paling penting oleh tiga komunitas lokal. Kata kunci : Nilai penting, LUVI, masyarakat hutan PENDAHULUAN Penelitian mengenai nilai penting Hutan telah banyak dilakukan. Salah satu metode terbaru dalam menilai manfaat Hutan adalah dengan pendekatan kelompok diskusi (Group discussion) yaitu dengan melibatkan masyarakat lokal untuk mendapatkan gambaran mengenai ketergantungan penduduk terhadap sumber daya hutan (Evans et al., 2006). Dalam mempelajari keanekaragaman hayati yang terdapat di suatu kawasan mengetahui karakter masyarakat yang berada di dalam atau sekitar kawasan juga bagian yang termasuk dalam pengetahuan keanekaragaman hayati (IBSAP, 2003). Metode yang digunakan untuk mengukur nilai penting hutan menggunakan teknik Pebble Distribution Method (PDM) yang merupakan pengembangan dari metode Participatory Mapping yaitu kumpulan teknik pengembangan geospasial berdasarkan persepsi terhadap lanskap yang ditujukan dan dikembangkan khusus dalam konteks masyarakat yang berada di hutan pada era 1990an. (Jackson et al., 1994 ; Evans et al. 2006). Sebagian peneliti menggunakan istilah LUVI (Local User Valuation Index) (Boissiere dan Liswanti, 2006)). Inti dari metode ini adalah mengukur nilai penting suatu objek berdasarkan manfaat yang diperoleh oleh pemakai dengan teknik diskusi kelompok (Sheil et al., 2003). Studi ini bertujuan untuk (1) melihat nilai manfaat lanskap hutan dan membandingkannya dengan lanskap lainnya yang berada di sekitar pemukiman penduduk, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai penting lanskap hutan (3) menganalisis nilai penting hewan dan tumbuhan yang terdapat di areal hutan. METODE Metode yang digunakan dalam studi ini adalah metanalisis yaitu dengan membandingkan beberapa hasil penelitian pada beberapa lokasi dimana studi mengenai nilai penting lanskap telah dilakukan. Lokasi –lokasi tersebut adalah : 1. Desa Batak Palawan, berada di desa Kalakwasan ,propinsi Palawan, Filiphina (Boissiere M dan Liswanti N, 2006) 2. Desa Khe Tran, terletak di buffer zone Cagar Alam Phong Dien Vietnam (Boissiere et al., 2006) 3. Komunitas Makokou Gabon, Taman Nasional Ivindo, Afrika (Sassen dan Melinda , 2006). 4. Komunitas Malinau, Kalimantan Timur (Sheil , 2002) 5. Komunitas Gunung Lumut, Balikpapan (Murniati et al.,2006) 276 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 DISKUSI Nilai Penting Hutan Masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar hutan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya hutan. Sumber daya tersebut bermanfaat untuk makanan, obat-obatan, konstruksi, keperluan adat, dapat dijual, peralatan dan kayu bakar, rekreasi dan masa depan (IBSAP, 2003 ;Murniati et al., 2006; Sheil , 2003 ). Nilai penting suatu lanskap sangat tergantung kepada sejauh mana sumberdaya lanskap memenuhi semua aspek yang dibutuhkan oleh masyarakat. Ada beberapa tipe lanskap yang berada pada satu daerah pemukiman dan mungkin tidak terdapat di daerah lain. Murniati et al. (2006) mendeskripsikan tipe-tipe lanskap di daerah Gunung Lumut yaitu kampung, bekas kampung, ladang, rawa, lahan budidaya, lahan kosong, dan hutan sementara Boissiere dan Liswanti (2006) mendeskripsikan tipe-tipe lanskap di daerah Khe Trans Vietnam terdiri dari sungai, hutan, lahan pertanian, lahan kosong. Pada Gambar 1 dapat dilihat variasi lanskap yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kesamaan pada semua tipe lanskap pada Gambar 1 adalah adanya lanskap hutan pada masing-masing daerah dengan nilai LUVI yang bervariasi. Namun semua nilai penting hutan lebih tinggi dibanding lanskap lainnya. Hal ini bisa dipahami karena Hutan memiliki sumber daya penting bagi kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam maupun sekitar areal hutan (Wollenberg et al., 2004) Dari Gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa hutan memiliki nilai LUVI paling tinggi di antara lanskap lainnya. Hal dapat dipahami karena masyarakat hutan masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan (Boissiere dan Liswanti, 2004 ; Sheill , 2004, Sassen dan Wan ,2006). Kebutuhan sehari-hari juga diperoleh masyarakat yang tinggal disekitar hutan (Lynam et al., 2004). Masyarakat ‘batak’ Palawan memperoleh manfaat dari hewan dan tumbuhan yang terdapat di dalam hutan seperti madu, resin, rottan, babi dan hewan liar lainnya. Masyarakat ini mengenal ada empat tipe hutan yaitu hutan primer, hutan sekunder, hutan Agathis,dan hutan pegunungan (Boissiere dan Liswanti, 2004). Dari empat tipe hutan ini, masyarakat “batak” memberi penilaian yang lebih tinggi terhadap hutan primer (32,5 %), karena mereka memperoleh manfaat yang lebih banyak dari tipe hutan ini berupa manfaat makanan, obat-obatan, konstruksi berat, hiasan, tempat berburu,dan masa depan. Sementara kayu bakar, konstruksi ringan, anyaman, dan rekreasi merupakan manfaat yang diperoleh dari hutan sekunder. Hutan Agathis penting bagi masyarakat untuk mengumpulkan resin dan menjualnya. Hutan pegunungan dinilai lebih rendah (6,25 %), hal ini disebabkan karena jaraknya yang dianggap jauh dari pemukiman. (Boissiere dan Liswanti, 2004). Nilai Penting berbagai tipe lanskap Malinau Old Fallow 8% Forest 21% Old village site 6% Village 13% river 11% rice field 5% garden 23% Garden 11% Young Fallow 7% Cultivatio n 14% Marsh/S River wamp 13% 7% Dry land for agricultir e 14% Nilai penting berbagai tipe lanskap di gabon afrika Village 9% Forest 30% Rivers 23% Old village 9% Gardens 9% Fallows 14% Nilai Penting berbagai landskap Khe Tran Vietnam Fields 6% forest 38% bareland 9% Nilai Penting Berbagai Tipe lanskap Palawan Forest 37% Waterfall s 2% Abandon ed village Village 8% Garden 5% 5% Swidden Field 4% Regrowth 23% River 16% Gambar 1 : Nilai Penting tipe-tipe lanskap 277 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Masyarakat The Krans Vietnam membagi hutan menjadi tiga kelompok yaitu hutan primer, hutan sekuder dan hutan perkebunan. Berbeda dengan masyarakat “batak” Palawan, Hutan perkebunan memiliki nilai tertinggi (49 %) dibanding hutan primer (43 %) karena masyarakat dapat merasakan langsung hasil perkebuan tersebut dalam bentuk tunai dari penjualan komoditas hutan perkebunan. Hutan perkebunan masyarakat Khe krans didominasi oleh tanaman karet. Salah satu penyebabnya lebih rendahnya nilai hutan primer dari pada hutan perkebunan adalah karena sulitnya akses ke dalam hutan. Tabel 1: Nilai Manfaat hutan bagi Masyarakat Desa Khe Trans Vietnam Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Perkebu nan TOTAL 75.0 63.25 0 23.00 64.50 59.50 46.50 20.00 38.25 45.50 53.50 79.00 0.00 40.0 21.75 0 62.50 20.25 13.50 33.50 45.35 41.00 27.00 26.25 21.00 0.00 Keseluruhan Peralatan Masa depan Rekreasi Hiasan Obat-obatan Dapat dijual Konstruksi ringan Tempat berburu Fungsi Perburuan Konstruksi berat makanan Makanan ternak Kayu bakar Tipe Hutan Anyaman KELAS MANFAAT 41.25 52.00 46.25 13.50 36.50 19.25 48.0 15.00 0 14.50 15.25 27.00 20.00 35.00 20.75 27.50 20.25 0.00 100.00 45.25 11.50 34.50 100. 100.0 100.00 00 100.00 0 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 (Sumber : Boissiere dan Liswanti, 2004) Walaupun nilai lanskap hutan perkebunan dinilai lebih tinggi daripada hutan primer, namun dalam penilaian kategori manfaat ternyata nilai penting hutan primer lebih tinggi dalam hal pemanfaatan anyaman, kayu bakar, makanan ternak, makanan, konstruksi berat, fungsi perburuan, konstruksi ringan, dapat dijual, obat-obatan dan peralatan. Hutan perkebunan lebih tinggi nilainya untuk kategori manfaat tempat berburu, rekreasi dan masa depan. Satu hal yang unik dalam tampilan data ini adalah bahwa masyarakat mempersepsikan fungsi berburu lebih tinggi pada hutan primer dibanding hutan perkebunan tetapi untuk tempat berburu hutan perkebunan lebih tinggi dibanding hutan primer. Hutan perkebunan untuk kelas masa depan lebih tinggi (45,25 %) dibandingkan dengan hutan primer (41,25 %). Hal ini menunjukkan pada masa yang akan datang masyarakat krans vietnam meyakini bahwa perkebunan lebih menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun bila ditelaah lebih lanjut, berkurangnya ketergantungan masyarakat terhadap hutan akibat perkebunan dapat menjadikan ancaman tersendiri bagi hutan mengingat bahwa populasi masyarakat akan bertambah`dan areal hutan bisa saja tertekan akbiat pembangunan perkebunan. Berbeda dengan empat komunitas di atas (Gambar 1) masyarakat Rantau Layung memberikan nilai Hutan lebih rendah (16 %) dibandingkan sawah (24%) dan kebun (17 %). Sebagaimana terlihat pada Gambar 2 berikut : Nilai Penting Berbagai lanskap Rantau Layung Fruits Garden 12% River Fallow 10% 7% Rice fields 24% Village 14% Forest 16% Garden 17% Gambar 2 : Nilai manfaat berbagai lanskap di Rantau Layung, Balik Papan 278 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Bila dilihat dari ketergantungan terhadap hutan hampir 70 % masyarakat Rantau Layung menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan, hanya 30 % yang mata pencahariannya melalui pertanian (Murniati dkk, 2006). Tingginya nilai sawah/ladang dalam diskusi kelompok mungkin dikarenakan pada saat penelitian dilakukan larangan ekploitasi hasil hutan terutama illegal logging sedang diterapkan secara ketat oleh aparat sehingga nilai manfaat hutan menjadi rendah bila dibandingkan dengan daerah lainnya dimana penelitian yang sama telah dilakukan. Hal ini terlihat dari Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai manfaat makanan pada lanskap ladang (rice fields) lebih tinggi (29 %) dibanding lanskap hutan (19%). Walaupun untuk manfaat lainnya seperti obat-obatan, konstruksi, peralatan, anyaman, kayu bakar, hiasan, sumber pendapatan, perburuan dan masa depan, lanskap hutan dirangking lebih tinggi dibandingkan dengan hutan dan untuk nilai manfaat lanskap secara keseluruhan masyarakat Rantau Layung memberikan penilaian yang lebih tinggi (24 %) dibandingkan dengan lanskap hutan yang hanya 16 % (Gambar 2). Fenomena di atas menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh oleh masyarakat berdasarkan diskusi partisipatif boleh jadi hanya sebatas pemahaman mereka secara konseptual selayaknya nilai manfaat yang diperoleh masyarakat dari hutan seharusnya sebanding dengan nilai lanskap hutan yang juga mereka berikan secara partisipatif dalam diskusi kelompok melalui PDM. Tabel 2 : Nilai Manfaat lanskap Rantau Layung, Balikpapan (Sumber : Murniati et al.,2006) Beberapa faktor lain yang menyebabkan nilai penting lanskap sawah dan kebun lebih tinggi dari lanskap hutan adalah karena (1) sawah dan kebun dianggap mampu menyediakan sumber utama kebutuhan hidup bagi seluruh penduduk, (2) jarak ke hutan yg lebih jauh dari pemukiman sekitar 1 – 4 km sementara jarak sawah hanya 0,5 km dari pemukiman (Murniati dkk, 2006) 3.2. Nilai Manfaat Keanekaragaman Hayati 3.2.1. Tumbuhan Manfaat tumbuh-tumbuhan yang hidup di hutan sangat bervariasi yaitu sebagai makanan, obatobatan, anyaman, bahan konstruksi, keperluan adat, masa depan (Sheil dan Wunder, 2002). Hasil penelitian jenis-jenis tumbuhan dengan LUVI tertinggi dapat dikategorikan ke dalam kelompok makanan, obat-obatan, anyaman, konstruksi, kayu bakar, peralatan dan benda dapat dijual. Kelompok manfaat ini dapat dikembangkan berdasarkan diskusi kelompok dengan masyarakat.(Sheil et al., 2003). Dari ke lima sumber data penelitian ada 20 jenis tumbuh-tumbuhan yang dianggap paling penting pada lima komunitas (Tabel 3). Jenis rotan (Calamus sp) dianggap penting di semua komunitas. Tanaman ini berada pada kelas manfaat makanan, anyaman, konstruksi, dan dapat dijual. Jenis durian (Durio Zibethinus) dianggap penting pada 3 komunitas yaitu Khe trans, Rantau Layung dan Rimbo Panti untuk manfaat makanan dan konstruksi. 279 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Komunitas Batak Palawan memberikan penilaian 4 jenis tanaman yang dianggap penting yaitu Dioescorea hispida, Athyrium esculentum, Smilax leucophylla dan Gnetum gnemon L. Keseluruhan tanaman yang dianggap penting tersebut hanya terdapat pada kelas makanan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat bahwa karakter hidup komunitas ini adalah semi-nomadi (Boissiere dan Liswanti N, 2004) atau atau suka berpindah tempat sehingga aspek pemenuhan terhadap sumber makanan adalah hal yang paling penting. Peralatan Dapat dijual Kayu bakar Konstruksi Anyaman Obat-obatan Nama Daerah Makanan Tabel 3 : Jenis Tumbuhan dengan nilai LUVI tertinggi dari beberapa lokasi penelitian No Jenis Family 1 Gigantochloa sp Artocarpus heterophylus Poaceae Bambu hitam Moraceae nangka Calamus sp Imperata cylindrica Schizostachyum cf. gracile Peronema canescens Eusideroxylon zwageri Arecaceae Rotan Poaceae Ilalang Bambu alor KT RL Lauraceae Sungkai Kayu besi Durio zibethinus Dryobalanops sp Neolitsea sp Elmerillia tsiampacca Vitex vestita Dioescorea hispida Athyrium esculentum Smilax leucophylla Gnetum gnemon L Arenga pinnata Areca catechu Piper bettle Dendrocalamus sp Bombacaceae Durian RL RL, BP, RP Dipterocarpaceae Lauraceae kapur Perari RL RL Magnoliaceae Verbenacea arau Sambu RL RL Dioscoreaceae Gadung BP Polipodiaceae paku BP, RP Smilacaceae canar BP Gnetaceae Arecaceae Arecaceae Piperaceae melinjo aren pinang sirih BP RP, B RP RP Poaceae bambu B 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Poaceae Verbenaceae Lokasi* KT KT KT,RL, BP, RP, B KT Ket * : KT = Khe Tran Vietnam RL = Rantau Layung, Balik Papan BP : Batak Palawan, Philipina RP = Rimbo Panti, Pasaman (Siregar RS dkk, 2012) B= Batahan, Mandailing Natal Sum. Utara (Jandra, 2007) 3.2.2. Hewan Nilai penting hewan meliputi makanan, obat-obatan, hiasan dapat dijual dan peralatan (Siregar RS dkk, 2012; Jandra, 2007; Sheil D et al, 2003). Dalam beberapa hasil penelitian mengenai LUVI tidak begitu menjelaskan tumpang tindih kemunculan nilai antara satu kelas manfaat dengan kelas manfaat lainnya seperti nilai dapat dijual dengan nilai makanan, hiasan atau perburuan. Untuk 280 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 mengantisipasi munculnya bias nilai, penulis perpendapat bahwa item dapat dijual sesunggguhnya didasari oleh mendapatkan uang pengganti dari nilai objek yang dijual secara langsung. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Peralatan Perburuan adat/ritual hiasan Obat-obatan Nama Daerah Dapat dijual NO Jenis Makanan Tabel 4 : Jenis-jenis Hewan dengan nilai LUVI tertinggi di beberapa komunitas Kelas Manfaat Lokasi babi hutan BP, B Lebah BP, RL Monyet BP Rusa/Payau RL,RP Kijang RL,RP,B ikan RL Kancil RL,RP,B Trenggiling RL Merak RL Beruang RL,RP,B Landak RL Sakan RL Kucing 13 Felis viverrineus lalang RP Kambing Capricornis 14 sumatraensis hutan Ket * : KT = Khe Tran, Vietnam RL = Rantau Layung, Balik Papan BP : Batak Palawan, Philipina RP = Rimbo Panti, Pasaman B= Batahan, Mandailing Natal Sum. Utar Sus barbatus Apidae Maceca philipensis Cervus unicolor Muntiacus muntjak Ichthyofauna Tragulus sp Manis javanica Argusianus argus Helarctos malayanus Hystrix brachyura Lophura ignita Jenis-jenis hewan dari kelompok mamalia dan avifauna dianggap paling bermanfaat bagi masyarakat lokal dalam berbagai kategori manfaat. Kemunculan 2 kelas takson yaitu Mamalia dan Aves diduga karena kemunculannya yang paling sering dari berbagai kepentingan seperti atraksi kebun binatang dan pertunjukan, hewan peliharaan, dimanfaatkan bulunya, perhiasan, penelitian biomedis dan alat peraga pendidikan (Seohartono dan Mardiastuti, 2004; Murniati et al., 2006) Hewan-hewan dengan nilai paling penting berdasarkan teknik PDM pada umumnya mengisi kelas manfaat makanan dan dapat dijual serta kelas perburuan. Diantara semua kelas manfaat yang muncul, manfaat perburuan memiliki nilai LUVI tertinggi. Di Rimbo Panti, kelas perburuan bernilai 11,25% dari 25 % nilai manfaat satwa (Siregar RS dkk, 2012) dan di Desa Batahan sebesar`13 % dari 20 % manfaat satwa (Janra, 2007). Tingginya kelas manfaat perburuan mengindikasikan bahwa aktivitas ini mengancam populasi satwa yang hidup di hutan. Jenis Kijang (Muntiacus muntjak) dan Kancil (Tragulus javanicus) muncul pada tiga komunitas sebagai hewan yang dianggap nilai memiliki penting. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa masyarakat lokal memenuhi kebutuhan protein hewaninya dari jenis-jenis hewan berbadan besar yang kebanyakan dari kelas mamalia. ( Wan M dan Sassen, 2006; Boissiere dan Liswanti, 2004). Jenis Beruang madu (Helarctos malayanus) memenuhi kelas manfaat obat-obatan, dapat dijual dan perburuan. Manfaat obat-obatan dari beruang madu dilaporkan oleh Murniati dkk (2006) namun tidak dijelaskan lebih lanjut cara pemanfaatannya. KESIMPULAN 1. Nilai penting hutan (LUVI) tidak hanya dipengaruhi oleh banyaknya manfaat yang diperoleh, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti jarak dari pemukiman ke hutan dan topografi hutan. 281 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 2. Nilai penting Lanskap hutan tidak selalu berbanding lurus terhadap banyaknya manfaat yang diperoleh dari sumber daya hutan. 3. Jenis Rotan (Calamus sp) muncul pada jenis tumbuhan yang dianggap paling penting oleh lima komunitas lokal yaitu masyarakat Khe Trans, Batak Palawan, Rantau layung, Rimbo Panti dan Batahan. 4. Jenis Kijang (Muntiacus muntjak), Kelinci (Tragulus javanicus) dan Beruang madu (Helarctos malayanus) dianggap paling penting oleh tiga komunitas yaitu masyarakat Rantau Layung, Rimbo Panti dan Batahan. UCAPAN TERIMA KASIH : Disampaikan kepada Bapak Douglas Sheil (CIFOR) atas kesediannya berkorespondesi membahas topik PDM, LUVI dan masyarakat Hutan. DAFTAR PUSTAKA Boissiere M, Lisnawanti N. 2006. Biodiversity in a Batak Village of Palawan (Philippines); A Multidiciplinary Assessment of Local Perception and Priorities. Report.CIFOR. Bogor Indonesia. pp : 34-35 Evans K, Jong WD, Cronkleton P, Sheil D, Lynam T, Kusumanto T, Colfer CJP. 2006. Guide to Participatory Tools for Forest Communities. CIFOR. Bogor. Indonesia. pp: 4-6. IBSAP, 2003, Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003 – 2020. Bappenas, Jakarta Jackson, B., Nurse, M.C., Singh, H.B. 1994. Participatory mapping for community forestry. ODI, London.http://www.odi.org.uk/. Jandra, M. 2007. Socio-economic Aspects of Mandailing Natal People in Buffer Zone of Batang Gadis National Park. Andalas University. Padang, Indonesia.pp :91-96 Lynam T, Cunliffe R, Mapaure I. 2004. Assessing the Importance of Woodland Landscape Locations for Both Local Communities and Conservation in Gorongosa and Muanza Districts, Sofala Province, Mozambique. Ecology and Society 9(4) : 1. Murniati, Padmanaba M, Basuki I, der Ploeg Jvd. 2006. Gunung Lumut Biodiversity Assessment Socio-economic Study. Topendos International Indonesia. Balikpapan. Report. pp : 49-56 Siregar RS, Arbain A, Wilson N. 2012. Nilai Penting Keanekaragaman Hayati Cagar Alam Rimbo Panti. Prosiding Seminar Nasional Biologi. Hal : 323-327. Sheil Douglas, 2002. Biodiversity Research in Malinau. Technical Report. Itto Project. Bogor Sheil D, Puri RK, Basuki I, Vans Heist M, Wan M, Liswanti N, Rukmiyati Sardjono MA (and authors). 2003. Exploring Biological Diversity, Environment and Local People’s Perspectives in Forest Landscapes. CIFOR. Bogor. Indonesia. pp : 1-20 Sheil D, and Wunder, S. 2002. The value of Tropical Forest to Local Communities : Complication, caveats and cautions. Conservation Ecology 6(2) Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. JICA. Jakarta. pp : 4 – 7. Wan M and Sassen M. 2006. Biodiversity and local Priorities in a Community near The Ivindo National Park Makokou Gabon. CIFOR.Bogor-Indonesia.pp : 37- 40. Wollenberg E, Belcher B, Sheil D, Dewi S, Moeliono M. 2004. Why are forest areas relevant to reducing poverty in Indonesia?. CIFOR. Bogor. 282 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 POPULASI BURUNG RANGKONG PAPAN (Buceros bicornis) DI KAWASAN HUTAN LAMBIRAH KECAMATAN SUKAMAKMUR KABUPATEN ACEH BESAR Samsul Kamal1), Nursalmi Mahdi2) & Rizky Ahadi3) 1), 2) Dosen Prodi Pendidikan Biologi FITK Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Email: [email protected]. HP. 081360030895, 3) Mahasiswa PPs Prodi Pendidikan Biologi Unsyiah Banda Aceh ABSTRAK Burung rangkong atau burung enggang (bahasa Inggris: Hornbill) merupakan jenis burung berkuran besar yang mempunyai paruh berbentuk tanduk sapi tanpa lingkaran, nama ilmiahnya “Buceros” merujuk pada bentuk paruh, dan memiliki arti “tanduk sapi”. Indonesia merupakan negara yang paling banyak memiliki jenis burung rangkong. Indonesia memiliki 14 jenis burung rangkong, 3 jenis diantaranya endemik. Pulau Sumatera menempati jumlah terbanyak dengan 9 jenis, disusul dengan Kalimantan 8 jenis. Salah satu spesies rangkong dari 9 jenis kerabat burung rangkong yang terdapat di Pulau Sumatera dan juga terdapat di kawasan Aceh Besar adalah burung rangkong papan (Buceros bicornis). Keberadaan burung rangkong papan (Buceros bicornis) mulai sulit dijumpai akibat pengaruh gangguan habitat, baik perambahan hutan maupun perburuan untuk dijadikan hewan peliharaan. Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu habitat burung rangkong papan (Buceros bicornis). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui populasi burung rangkong papan (Buceros bicornis) di Kawasan Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode line transect yang dikombinasikan dengan metode titik hitung. Analisis data dilakukan dengan menghitung rata-rata jumlah dan kepadatan populasi rangkong papan (Buceros bicornis). Hasil penelitian menunjukan kepadatan populasi burung rangkong papan (Buceros bicornis) di Kawasan Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar tergolong rendah, dengan nilai kepadatan populasi yiatu; 1 ekor/Ha. Kata kunci: Kepadatan populasi, burung rangkong papan (Buceros bicornis), Hutan Lambirah Aceh Besar PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara yang berada di garis khatulistiwa, terkenal akan kekayaan alamnya baik jenis flora ataupun fauna. Salah satu kekayaan alam dari jenis fauna Indonesia yang cukup tinggi adalah burung. Jumlah burung yang terdapat di Indonesia yaitu 1.539 jenis burung, merupakan 17 % dari total burung di dunia. Saat ini, jumlah burung yang terdapat di dunia ± 9.600 jenis, hampir sekitar 1.111 jenis burung di dunia terancam punah (www.suarakaryaonline.com/news.html : Rabu, 14 Desember 2005). Burung rangkong atau burung enggang (bahasa Inggris: Hornbill) adalah jenis burung berkuran besar yang mempunyai paruh berbentuk tanduk sapi tetapi tanpa lingkaran, nama ilmiahnya “Buceros” merujuk pada bentuk paruh, dan memiliki arti “tanduk sapi”. Rangkong hidup di hutanhutan primer sampai ketinggian 1.800 mdpl dan umumnya menyenangi pohon yang besar dan tinggi. Di seluruh dunia terdapat 54 jenis burung rangkong. Burung rangkong mempunyai sebaran mulai dari daerah sub-sahara Afrika, India, Asia Tenggara, New Guinea dan Kepulauan Solomon. Sebagian besar burung rangkong hidup di hutan hujan tropis dan hanya beberapa jenis saja yang hidup di daerah kering seperti di Afrika. Indonesia merupakan rumah bagi 14 jenis burung rangkong yang tersebar di hutan hujan tropis, tiga diantaranya bersifat endemik. Mayoritas, rangkong banyak ditemukan di daerah hutan dataran rendah hutan perbukitan (0 – 1000 mdpl). Di daerah pegunungan (> 1000 mdpl) rangkong sudah mulai jarang ditemukan. Pulau Sumatera menempati jumlah terbanyak dengan 9 jenis, di susul dengan Kalimantan dengan 8 jenis (Iskandar, 189:223). Burung rangkong adalah burung yang sangat khas dilihat dari bentuk tubuh, warna, perilaku bersarang dan suaranya. Kekhasan itu membuat burung ini mudah untuk dikenali terutama dengan adanya tonjolan di atas kepalanya atau disebut juga casque. Paruh burung rangkong besar dan kokoh namun ringan serta melengkung. Casque pada jantan lebih besar dan lebih cemerlang dibandingkan pada betina (Anymous, 2012). Indonesia merupakan negara yang paling banyak memiliki jenis burung Rangkong. Terdapat tiga jenis burung rangkong yang endemik, yaitu Rangkong Sulawesi atau Julang Sulawesi Ekor Hitam 283 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 (Rhyticeros cassidix), Julang Sulawesi Ekor Putih atau Kangkareng Sulawesi (Penelopides exarhatus) dan Julang Sumba (Rhyticeros averitti). Pulau Sumatera menempati jumlah terbanyak dengan 9 jenis, disusul dengan Kalimantan dengan 8 jenis. Dengan banyaknya jenis burung rangkong di Indonesia menjadikan daerah penting untuk konservasi burung rangkong di dunia. Burung rangkong di Indonesia tersebar mulai pulau terluar di ujung selatan Aceh sampai beberapa pulau terkecil di daerah Papua Barat (Anonym, 2012). Salah satu spesies rangkong dari 9 jenis kerabat burung rangkong (Bucerotidae) yang terdapat di Pulau Sumatera dan juga terdapat di kawasan Aceh Besar adalah burung rangkong papan (Buceros bicornis). Keberadaan burung rangkong papan (Buceros bicornis) mulai sulit dijumpai akibat pengaruh gangguan habitat, baik perambahan hutan maupun perburuan untuk dijadikan hewan peliharaan. Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu habitat burung rangkong papan (Buceros bicornis). Hutan Lambirah merupakan salah satu hutan primer yang berada di Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh, merupakan daerah hutan hujan tropis jajaran pegunungan bukit barisan dengan luas ± 1.000 Ha, yang terletak pada ketinggian tempat 500 – 1.005 mdpl. Daerahnya mempunyai topografi bergelombang sampai dengan berbukit terjal yang dimayoritasi oleh pohonpohon berukuran besar. Kawasan ini merupakan salah satu hutan hujan tropis yang sebahagian daerahnya telah dijadikan lahan perkebunan oleh penduduk setempat, namun vegetasinya masih cukup alami. Daerahnya berbukit terjal dengan tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan tinggi, mulai dari tumbuhan semak sampai pohon-pohon berukuran besar. Kawasan hutan Lambirah juga mempunyai banyak sumber air seperti aliran sungai-sungai kecil yang menjadi objek kunjungan utama berbagai satwa liar (Anonym, 2012: 26). Banyaknya jenis burung rangkong yang mendiami suatu tempat sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim yang baik, keanekaragaman jenis tumbuh-tumbuhan dan kondisi habitat yang baik. Peranan habitat bagi burung dan hewan bukan hanya sebagai tempat tinggal semata, akan tetapi habitat harus dapat menyediakan sumber makanan, air, garam-garam mineral yang cukup, menjadi tempat istirahat dan berkembang biak. Burung rangkong menyukai habitat hutan yang lebat dengan banyak pohon buah-buahan. Habitat burung rangkong terdapat di hutan-hutan primer sampai dengan ketinggian 1.000-1.800 mdpl, pada umumnya menempati pohon-pohon berukuran besar dan tinggi (Permatasari, 2009: 4). Vegetasi sebahagian pohon di hutan alam dijadikan sebagai bahan makanan burung rangkong, dan ada juga sebagian pohon besar digunakan sebagai tempat berjemur. Hasil studi referensi diperoleh informasi bahwa Populasi burung rangkong papan (Buceros bicornis) di kawasan hutan lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar belum diketahui. Data tentang populasi burung rangkong termasuk rangkong papan (Buceros bicornis) sangat penting, selain sebagai sumber informasi dalam pembelajaran juga dapat dijadikan sebagai data base keanekaragaman hayati di Aceh dan Aceh Besar khususnya. Untuk itu perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui populasi burung rangkong papan (Buceros bicornis) di Kawasan Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di kawasan Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peralatan untuk pengamatan burung serta peralatan dokumenter kegiatan pada saat penelitian. Alat dan bahan yang digunakan tersaji pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Alat dan Bahan Penelitian untuk Pengamatan Populasi Rangkong Papan (Buceros bicornis) No 1 Alat dan Bahan Teropong Binoculer 2 3 Camera digital Alat tulis 4 5 6 7 8 GPS (Global Position System) Kompas Tabel pengamatan Buku panduan Hand Caunter 284 Fungsi Untuk mengamati objek secara langsung baik jarak dekat maupun dari jarak jauh (Biby, 1998). Untuk mengambil gambar dan dokumentasi kegiatan penelitian. Sebagai perlengkapan untuk melakukan pencatatan selama kegiatan penelitian Untuk mengetahui koordinat posisi penelitian. Sebagai media penunjuk arah mata angin. Sebagai lembaran pencatatan segala data yang diperoleh di lapangan. Sebagai panduan dalam pengamatan di lapangan. Alat bantu penghitung jumlah individu burung rangkong yang ditemukan. PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode line transect yang dikombinasikan dengan metode titik hitung (Biby, 1998). Analisis data dilakukan dengan menghitung rata-rata jumlah dan kepadatan populasi burung rangkong papan (Buceros bicornis). Data yang diperoleh dianalisis dengan menghitung kepadatan populasi. Untuk menghitung rata-rata burung rangkong papan (Buceros bicornis) yang terdapat di hutan Lambirah digunakan rumus nilai tengah populasi yaitu bila gugus data X1, X2, X3,….Xn, menyusun sebuah populasi tertinggi berukuran N, maka nilai tengah populasinya adalah: K= ∫ Jumlah rata − rata ( ) Luas habitat int i m 2 Untuk menghitung rata-rata burung rangkong papan (Buceros bicornis) yang terdapat di hutan Lambirah digunakan rumus nilai tengah populasi yaitu : ΣX N :M = Nilai tengah / Populasi rata-rata X = Jumlah seluruh perhitungan M= Dimana ∑ N = Pengulangan (Walpole, 1990:39) Jalur Pengamatan atau Titik Hitung/IPA Penelitian Populasi Burung Rangkong Papan (Buceros bicornis) di Kawasan Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat pada Gambar 1. Keterangan : ) Jalur tempuh Gambar 1. Jalur Pengamatan atau Titik Hitung/IPA Penelitian Populasi Burung Rangkong Papan (Buceros bicornis) di Kawasan Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar 285 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Burung Rangkong Papan (Buceros bicornis) Populasi burung rangkong papan (Buceros bicornis) yang terdapat di kawasan hutan Desa Lambirah tergolong rendah yaitu 1 ekor/Ha, hal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik dipengaruhi oleh aktifitas manusia dalam usaha pembukaan lahan perkebunan maupun kondisi hutannya sendiri. Sebaran jumlah individu pada setiap titik hitung/IPA dapat dilihat pada Gambar 2 berikut. Gambar 2. Sebaran Jumlah Individu Burung Papan (Buceros bicornis) pada Masing-masing Titik Pengamatan Berdasarkan Gambar 2 tersebut diketahui bahwa jumlah individu burung papan (Buceros bicornis) paling rendah terdapat pada titik hitung 2 dan 3, yaitu 1 individu. Rendahnya jumlah individu pada titik hitung 2 dan 3 dikarenakan pada kawasan tersebut tersebut terdapat aktivitas masyarakat yang cukup tinggi, yaitu aktivitas pembukaan lahan perkebunan sehingga tumbuhan yang berukuran bersar yang disukai burung rangkong sebagai tempat aktivitas kebanyakan sudah ditebang dan hanya menyisakan vegetasi semak. Kondisi tersebut sesuai dengan pendapat Rusmendro (2009:9), dimana Kondisi habitat yang telah terganggu oleh tangan manusia (pembukaan lahan, perburuan, dan pengrusakan hutan) juga sangat mempengaruhi kelangsungan populasi burung rangkong. Kehadiran suatu jenis burung tertentu, pada umumnya disesuaikan dengan kesukaannya terhadap habitat tertentu. Titik hitung 2 dan 4 berada pada urutan kedua terendah jumlah individu burung rangkong papan yaitu hanya 4 ekor. Daerah ini terdapat banyak pohon berkuran sedang hingga besar, namun kebanyakan bukan tumbuhan biji, sehingga diduga berpengaruh terhadap kurangnya populasi burung rankong di daerah ini. Jumlah jumlah individu burung papan (Buceros bicornis) pada titik hitung 6 yaitu 13 individu. Jumlah populasi tertinggi terdapat pada titik hitung 6 yaitu 21 individu. Tingginya angka populasi pada titik hitung 6 tersebut dikarenakan pada kawasan tersebut terdapat sumber makanan dan air berupa sungai kecil serta banyaknya tumbuhan biji yang disukai burung rangkong papan seperti tumbuhan Lontar (Iboeh), Ficus dan sejumlah jenis tumbuhan berbiji lainnya yang dijadikan sebagai pakan burung rangkong papan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Permatasari (2009:4) Secara umum burung rangkong dapat dikatakan sebagai hewan pemakan buah (frugivorous), namun dapat juga menjadi hewan pemakan segalanya (ontnivorous). Makanan kesukaan burung rangkong adalah buah Ara (Ficus sp), buah lontar (palem) serta buah-buah tumbuhan hutan lainnya dimana banyak dijumpai pada kawasan hutan tropik. Populasi burung rangkong papan pada titik hitung 5 dan titik hitung 6 memiliki keadaan vegetasi hutan yang cukup alami dengan yang didominasi oleh jenis tumbuhan biji. Hasil pengamatan 286 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 ditemukan burung rangkong papan sedang bertengger dan terbang melintasi daerah hutan Lambirah. Gerak berpindah tempat burung rangkong papan baik perpindahan untuk suatu eksplorasi (penjelajahan) daerah lingkungan maupun perpindahan dalam mencari dan memilih makanan. Fisiognomi habitat, tumbuhan pakan dan spesies rangkong papan (Buceros bicornis) yang terdapat di Hutan Lambirah dapat dilihat pada Gambar 3. (a) (b) (c) (d) Gambar 3. (a) Fisiognomi Vegetasi Hutan di Kawasan Titik Pengamatan 2 dan 3; (b) Tumbuhan Pakan Burung Rangkong Papan (Buceros bicornis), yaitu Pohon Lontar (Iboeh) yang terdapat di Kawasan Hutan Lambirah; (c) Aktivitas Makan Burung Rangkong Papan (Buceros bicornis) ;dan (d) Salah satu Individu Rangkong Papan (Buceros bicornis) yang terdapat di Hutan Lambirah Sumber : Hasil Penelitian Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bahwa kondisi habitat rangkong papan (Buceros bicornis) pata titik pengamatan 2 dan 3 sudah mengalami gangguan dimana kawasan hutan sudah mulai ditebang dan dialih fungsikan menjadi lahan kebun masyarakat. Hal tersebut sangat mengkhawatirkan apabila terus menerus terjadi dan tidak ditangani maka akan berefek negative terhadap populasi dan jumlah individu rangkong papan (Buceros bicornis) yang terdapat di Hutan Lambirah sebagaimana terlihat pada Gambat 3 akan mengalami gangguan. 287 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 KESIMPULAN Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan kepadatan populasi burung rangkong papan (Buceros bicornis) di Kawasan Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar tergolong rendah, dengan nilai kepadatan populasi yiatu; 1 ekor/Ha. Jumlah populasi tertinggi terdapat pada titik hitung 6 yaitu 21 individu sedangkan yang terendah adalah pada titik hitung 2 dan 3 dengan jumlah individu 1. SARAN Melihat kepadatan populasi burung rangkong papan (Buceros bicornis) di Kawasan Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar tergolong rendah, maka penulis menyarankan: 1. Pihak Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dan Pihak terkait perlu melakukan penyuluhan kepada masyarakat agar tidak melakukan alih fungsi lahan hutan menjadi lahan perkebunan, sehingga populasi rangkong papan (Buceros bicornis) di Kawasan Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar tetap terjaga. 2. Perlu dilakukan penelitian berkelanjutan untuk mengetahui kondisi populasi dan aktivitas rangkong dari spesies selain Buceros bicornis yang terdapat di Kawasan Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar. DAFTAR PUSTAKA Anonym. 2005. Bird Watching Tunjang Ekowisata dan Pelestarian Alam. www.suarakaryaonline.com/news.html. Anonyms. 2012. Keanekaragaman Burung Rangkong Enggang Indonesia. http://alamendah.wordpress.com/2010/04/18/keanekaragaman-burung-rangkong-enggangindonesia. Diakses pada tanggal 04 Juli 2012 pukul 01.20 WIB Anonym. 2012. Rekapitulasi Data Geografis Desa Lambirah Tahun 2009-2012 Biby, Colin. 1998. Bird Surveys. Bogor: Bird Life International. hal. 28 Fandeli, C. 1995. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Prinsip Dasar dan Pemapanannya Dalam Pembangunan. Yogyakarta: Liberty. Iskandar, J. 1989. Jenis Burung Yang Umum di Indonesia. Jakarta : Jambatan. hal 223 Mackinon, J. 1988. Field Guide to the Birds Java and Bali. Jakarta: Gadjah Mada University Press. ____________ 1990. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Jakarta: Gadjah Mada University Press. Permatasari H P. 2009. Jurnal Fauna Identitas Burung Rangkong. Balai Kliring Keanekaragaman Hayati Nasional. 2009, hal. 4 Rusmendro H. 2009. Perbandingan Keanekaragaman Burung Pada Pagi dan Sore Hari di Empat Tipe Habitat di Wilayah Pangandaran, Jawa Barat. Jakarta: Fakultas Biologi Universitas Nasional. Hal 9. Walpole. 1990. Pengantar Statistika. Jakarta: PT Gramadia. hal. 39 www.suarakarya-online.com/news.html : Rabu, 14 Desember 2005. 288 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Keanekaragaman 289 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI 290 Medan, 15 Februari 2014 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 JENIS-JENIS LICHENES YANG BERKEMBANG PADA TEGAKAN POHON MAHONI (Swietenia macrophylla) Ashar Hasairin1; Nursahara Pasaribu2; Lisdar I. Sudirman3; Retno Widhiastuti2 1 Mahasiswa S3 Program Studi Biologi, Universitas Sumatera Utara 2 Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara 3 Departemen Biologi FMIPA Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Penelitian bertujuan mendapatkan data jenis-jenis lichenes pada tegakan pohon mahoni yang dianggap tidak tercemar di kebun mahoni Deli Serdang, Sumatera Utara. Informasi ini dapat dijadikan sebagai pembanding tentang kualitas udara yang tidak tercemar polutan. Metode yang digunakan “Survei Eksploratif” terhadap jenis lichenes. Pengambilan sampel secara “Purpossive Sampling”pada jenis lichenes yang terdapat pada tegakan pohon mahoni. Hasil penelitian didapatkan 10 jenis lichenes yang terdiri dari 7 famili dan 9 genus dengan tipe talus Crustose , Foliose dan Squamulose. Jenis lichenes yang tidak teridentifikasi sebanyak 4 jenis dari marga Graphis, Verrucaria, Lepraria, dan Lecanora. Nilai indeks keanekargaman yaitu H' = 1,5310 tergolong sedang. Pola distribusi berkelompok dengan nilai varians tertinggi jenis Lepraria incana dan terkecil jenis Parmelia caperata. Pengukuran faktor fisika-kimia diperoleh berupa pH tanah 5,3 – 6,9; Suhu tanah 180C – 200C; kelembaban udara sekitar 83% – 91%. dan intensitas cahaya 112 – 452 Luxmeter. Kata Kunci : Lichenes, Morfologi, Talus PENDAHULUAN Lichens merupakan salah satu kelompok tumbuhan tallus, bagian dari keanekaragaman hayati yang belum banyak mendapat perhatian. Lichenes merupakan gabungan antara fungi dan alga sehingga secara morfologi dan fisiologi merupakan satu kesatuan. Lichens hidup secara epifit pada pohon-pohonan, di atas tanah, di atas batu cadas, di tepi pantai atau gunung-gunung yang tinggi. Pertumbuhan lichenes sangat lambat dan kondisi yang cenderung mempercepat laju pertumbuhannya. Dalam hidupnya lichenes tidak memerlukan syarat hidup yang tinggi dan tahan terhadap kekurangan air dalam jangka waktu yang lama. Lichenes yang hidup pada batuan dapat menjadi kering karena teriknya matahari, tetapi tumbuhan ini tidak mati, dan jika turun hujan maka dapat hidup kembali. Tumbuhan ini memiliki warna yang bervariasi seperti putih, hijau keabuan, kuning, oranye, coklat, merah dan hitam (Tjitrosoepomo, 1989; Hawksworth, 1984; Yurnaliza, 2002, Sudirman, 2009). Golongan tumbuhan Lichens dilapangan setiap saat jumlah jenisnya selalu berubah, disebabkan perubahan lingkungan tempat tumbuhnya. Lichens dapat menyebar melalui berbagai habitat yang didukung dengan keadaan lingkungannya (Anonim 2002). Udara, air, tanah serta jasad hidup merupakan tempat penyebaran Lichens yang paling banyak. Udara memegang peranan penting dalam penyebaran Lichens. Suwarso (1995) mengatakan berdasarkan data Herbarium Bogoriensis Bogor, Lichens di Indonesia berjumlah 40.000 spesies, namun belum banyak peneliti di Indonesia yang menekuni penelitian ini, sehingga peluang untuk meneliti Lichens di Indonesia masih terbuka luas. Keanekaragaman jenis, persebaran dan manfaat Lichens juga belum banyak diulas (Suwarso, 1995). Kawasan yang belum tercemar, Lichens masih banyak ditemukan. Lichens dapat dijadikan sebagai bioindkator pencemaran. Berdasarkan hal di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang jenis-jenis lichenes di tegakan pohon mahoni (Swietenia macrophylla) yang dianggap tidak tercemar di kebun mahoni Deli Serdang, Sumatera Utara. Selanjutnya dilakukan perhitungan indeks keanekaragaman (Diversitas) dan pola distribusi Lichenes. Informasi ini dapat dijadikan sebagai pembanding tentang kualitas udara yang tidak tercemar polutan. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di kebun Mahoni, Pancur Batu, Deli Serdang Sumatera Utara. Sampel adalah jenis lichenes yang terdapat pada tegakan pohon mahoni (Swietenia macrophylla) sebanyak 20 pohon. Metode yang digunakan “Survei Eksploratif” terhadap jenis lichenes secara “Purpossive 291 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Sampling”. Setiap jenis lichenes dikoleksi untuk keperluan identifikasi dan dokumentasi. Parameter yang diamati tipe morfologi tallus dan sifat fisik dan media tumbuh diukur. Untuk pelaksanaan identifikasi menggunakan rujukan “Key to the lichen genera of Bogor, Cibodas and Singapore”(Sipman, 2003). Ditambah dengan buku rujukan “Grasses, Ferns, Mosses & Lichenes”(Phillips, 1990), laporan-laporan, catatan-catatan yang berhubungan dengan lichenes. Selanjutnya dilakukan perhitungan indeks keanekaragaman (Diversitas) dan pola distribusi Lichenes yang dilengkapai dengan data tentang faktor fisika kimia substrat tumbuh lichenes. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Deskripsi Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di Kebun Mahoni (Swietenia macrophylla) Pancur Batu, Deli Serdang, Sumatera Utara. Lokasi ini merupakan salah satu kebun mahoni yang terdapat di Sumatera Utara. Kawasan ini terletak pada ketinggian 600 m dpl. Mempunyai topografi datar, bergelombang, berbukit dan berada pada kemiringan lereng datar sampai curam. Luas lokasi keseluruhannya ± 500 Ha dan yang merupakan kebun mahoni (Swietenia macrophylla). Data ekologi yang diukur yaitu berupa pH tanah 6,1 – 6,8; Suhu udara 210C – 290C; kelembaban udara sekitar 78% - 89%, dan intensitas cahaya 112 s/d 452 Lux. Pada tingkat keasaman tanah di lokasi penelitian ini berada dibawah standart normal (pH = 7). Melihat kisaran pH ini dapat dijelaskan bahwa berkaitan dengan proses pelapukan bahan-bahan organik yang ada dilapisan top soil. Pembusukan dan peristiwa dekomposisi oleh dekomposer yang merubah bahan-bahan organik berupa serasah daun, kayu yang membusuk dan semua sisa hewan mati, mengakibatkan pergeseran derajat keasaman menjadi kurang dari 7,0. Menurut Pandey & Trivendi (1977); Fitting et al. (1954) diacu dalam Ronoprawiro (1989); Misra & Agriwal (1978), penyebaran koloni Lichenes dapat terjadi secara vegetatif yaitu dengan cara fragmentasi, soredia, dan isidia serta secara seksual. Penyebaran secara vegetatif secara tidak langsung dapat dibawa oleh air, angin, serangga atau satwa (Moore, 1972). Air hujan sangat penting dalam penyebaran soredia, meskipun dengan angin juga dapat terjadi penyebaran. 2. Jenis Lichenes yang Ditemukan di Kebun Mahoni Deli Serdang Corticolous adalah jenis lichenes yang hidup pada kulit pohon. Jenis ini sangat terbatas pada daerah tropis dan subtropis, yang sebagian besar kondisi lingkungannya lembab. Menurut Fink (1981) lichens yang ada pada pohon umumnya tumbuh pada batang atau bagian batang yang lebih rendah. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada kawasan kebun mahoni (Swietenia macrophylla) didapatkan 10 jenis lichenes yang terdiri dari 7 famili dan 9 genus, diantaranya: Graphis, Verrucaria, Lepraria, Lecanora, Parmelia, Grafis, Opegrapha dan Pertusaria. Lichenes memiliki ciri dan sifat morfologi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Jumlah jenis Lichens yang ditemukan di lokasi penelitian terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Jenis Lichens yang Ditemukan di Lokasi Penelitian Kode Spesies Famili (suku) Tipe Talus Warna Talus Jlh Koloni Putih halus, hijau keputihan, hijau Sp.1 Graphis sp. Graphidaceae Crustose 17 muda, hijau pucat. Sp.2 Verrucaria sp. Verrucariaceae Crustose Oranye tebal, dasar putih 46 Sp.3 Lepraria sp. Leprariaceae Crustose Bintik kuning, dasar kehijauan 402 Sp.4 Lecanora sp. Lecanoraceae Crustose Kuning tebal dasar kehijauan 31 Sp.5 Parmelia caperata Parmeliaceae Foliose Hijau tua, tebal 5 Parmelia Hijau pucat, halus berkerut, Sp.6 Parmeliaceae Foliose 50 glabratula Sp.7 Lepraria incana Leprariaceae Squamulose Hijau tebal, bersisik 555 Hijau pucat memiliki bintil Sp.9 Opegrapha atra Opegraphaceae Crustose 90 berwarna coklat kehitaman Sp.9 Pertusaria amara Pertusariaceae Crustose Hijau pucat 24 Sp.10 Grafis scripta Graphidaceae Crustose Dasar putih, bergaris hitam 48 Total Koloni 1268 292 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tubuh lichens dinamakan thallus yang secara vegetatif mempunyai kemiripan dengan algae dan jamur. Hasil identifikasi jenis lichenes yang tidak teridentifikasi sebanyak 4 jenis memiliki tipe talus yang sama yaitu crustose. Sedang tipe talus lain dikelompokkan ke dalam 3 kelompok tipe talus, yaitu: 1) Tipe foliose, struktur talus menyerupai daun, banyak dijumpai berwarna hijau hingga hijau keabu-abuan sebanyak 2 jenis; 2) Tipe crustose, struktur talus seperti lapisan kerak yang melekat erat pada substrat dengan warna talus bervariasi sebanyak 7 jenis. Dan 3) Tipe squamulose (struktur talus menyerupai sisik) hanya satu jenis. Tipe talus crustose lebih banyak dibandingkan dengan lichenes yang memiliki tipe talus fructicose maupun foliose. Warna talus Lichens yang ditemukan cukup beragam. Warna talus yang ditemukan antara lain warna putih, hijau, coklat kehitaman dan warna putih agak pucat. Spesies I memiliki warna talus Putih halus, hijau keputihan, hijau muda, hijau pucat.. Perbedaan warna pada lokasi pengamatan yang berbeda tidak ditemukan, hal tersebut diduga karena tipe morfologi talusnya yang melekat pada substrat. Spesies II mempunyai talus berwarna Oranye tebal, dasar putih melingkar pada bagian pinggir talus, sehingga terlihat seperti batas talus. Pada lokasi pengamatan beberapa koloni ditemukan bulatan kecil berwarna kuning kemerahan di tengah talus (apotesia). Warna talus yang kurang jelas sehingga akan sulit untuk menentukan batas koloni talus. Spesies III memiliki kisaran warna talus Putih halus kehijauan hingga hijau kusam. Spesies IV memiliki warna lebih tua Kuning tebal dasar putih, Spesies V memiliki warna talus hijau tua, tebal, tidak ditemukan batas yang melingkari koloni talus, sehingga akan sulit untuk menentukan batas koloni talus. Spesies VI , VII, VIII dan spesies IX memiliki tipe morfologi talus yang berbeda namun memiliki warna talus yang hampir sama kehijaunan. Spesies X memiliki warna Dasar putih, bergarisgaris hitam semua bagian talusnya. Pada tegakan mahoni, secara umum koloni spesies ini berkembang dalam bentuk yang tidak teratur lebih tebal dapat terlihat jelas apotesianya. Bentuk talus lichens yang ditemukan di lokasi penelitian terlihat pada Tabel 2 Tabel 2. Bentuk Talus Lichens yang Ditemukan di Lokasi Penelitian Bentuk Talus Tipe Kode Spesies Cendrung Memanjang Memanjang Talus membulat vertikal horizontal Sp.1 Graphis sp. Crustose V V Sp.2 Verrucaria sp Crustose V Sp.3 Lepraria sp. Crustose V Sp.4 Lecanora sp. Crustose V Parmelia Sp.5 Foliose V caperata Parmelia Sp.6 Foliose V glabratula Squamu Lepraria Sp.7 V lose incana Sp.8 V V Grafis scripta Crustose Opegrapha Sp.9 Crustose V atra Pertusaria Sp.10 Crustose V amara Lingkaran Tidak beratur V V - - - - V - - V - - - - Bentuk talus secara umum ditemukan beragam berdasarkan bentuk, warna, permukaan. Bentuk talus yang banyak ditemukan yaitu cendrung membulat, sedang bentuk lain hanya sebagian kecil memiliki bentuk lonjong (memanjang), lingkaran serta bentuk yang tidak teratur. Menurut Januardania (1995), ciri-ciri makroskopik yang paling mudah diamati dan dibedakan adalah bentuk dan warna talus. Hal tersebut memungkinkan talus Lichens dapat dianalisis secara deskriptif. 293 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Secara umum bentuk talus lichens yang temukan cendrung membulat, memiliki lobus relatif pendek membulat dengan ukuran yang bervariasi. Sedang spesies 1 dan 8 genus Grafis memiliki tipe talus crustose berwarna hijau keputihan, hijau muda dan hijau pucat, memiliki askokarp panjang lateral, dan memiliki garanula. Umumnya askokarp memiliki dijumpai dalam bentuk tunggal dan linier. Askokarp bentuk garis melintang pada bagian septa, paraphyses tidak bercabang. Menurut Hasairin (2012) jenis Grafis ini dijumpai pada kulit pohon yang masih hidup. Tiap jenis lichenes yang ditemukan memiliki karakteristik yang begitu beragam antara satu spesies dengan spesies lainnya. Hal ini dapat diperhatikan dari mulai tipe talus, bentuk, warna, permukaan dan ciri lainnya. Menurut Hasairin (2010) beberapa thalus spesies lichenes ada yang berwarna kuning, oranye, coklat atau merah dengan habitat yang bervariasi. A B C Gambar 1. Morfologi dan Anatomi Lichens Ditemukan Berdasarkan Tipe Talus: A. Parmelia grabratula (Tipe Foliose); B. Grafis scripta (Tipe Crustose); C. Lepraria incana (Tipe Squamulose) 3. Indeks Keanekaragaman Lichenes di Kebun Mahoni Keanekaragaman yang diperoleh melalui data hasil penelitian pada lokasi penelitian diambil dari seluruh penarikan plot (sebanyak 20 plot) dianggap telah mewakili seluruh komunitas. Nilai indeks keanekaragaman di kawasan kebun mahoni Pancur Batu dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini. Nilai indeks keanekargaman yang diperoleh pada di kawasan kebun mahoni Pancur Batu yaitu H' = 1,5310 yang menurut Shannon Wiener berada dalam keadaan sedang karena nilainya lebih kecil dari 1 dan kurang dari 2. Hal ini dapat diterima karena mengingat lokasi penelitian tidak tercemar udara. 294 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Tabel 3. Nilai Indeks Keanekaragaman Lichenes Pada Seluruh Plot No Nama Spesies Jlh Koloni pi ln pi Sp.1 Graphis sp. 17 0,0134 -4,3119 Sp.2 Verrucaria sp. 46 0,0363 -3,3165 Sp.3 Lepraria sp. 402 0,3170 -1,1478 Sp.4 Lecanora sp. 31 0,0245 -3,7112 Sp.5 5 0,0039 -5,5358 Parmelia caperata Sp.6 50 0,0394 -3,2331 Parmelia glabratula Sp.7 555 0,4377 -0,8262 Lepraria incana Sp.9 90 0,0709 -2,6453 Opegrapha atra Sp.9 24 0,0189 -3,9671 Pertusaria amara Sp.10 48 0,0379 -3,2739 Grafis scripta -31,9690 1268 0,999 Medan, 15 Februari 2014 H' 0,0580 0,1200 0,3640 0,0900 0,0218 0,1275 0,3616 0,1878 0,0750 0,1239 1,5310 4. Pola Distribusi Lichenes di Kawasan kebun mahoni Pancur Batu Untuk mengetahui pola distribusi setiap jenis lichenes di kedua lokasi penelitian digunakan � (= 1 : berdistribusi acak (random), >1: berkelompok, <1 rumus rasio varians dengan kriteria jika S2/ X : berdistribusi seragam). Pola distribusi lichenes dari lokasi penelitian dapat dilihat pada table 4 di bawah ini : Tabel 4. Tabel Pola Distribusi Lichenes di kawasan kebun mahoni Pancur Batu Kawasan Kebun Mahoni Pancur Batu No Nama Spesies Varians (S2/ x) Pola Distribusi Sp.1 Graphis sp. 17,0 Mengelompok Sp.2 Verrucaria sp. 46,0 Mengelompok Sp.3 Lepraria sp. 402,0 Mengelompok Sp.4 Lecanora sp. 31,0 Mengelompok Sp.5 5,0 Mengelompok Parmelia caperata Sp.6 50,0 Mengelompok Parmelia glabratula Sp.7 555,0 Mengelompok Lepraria incana Sp.9 90,0 Mengelompok Opegrapha atra Sp.9 24,0 Mengelompok Pertusaria amara Sp.10 48,0 Mengelompok Grafis scripta Berdasarkan nilai pada Tabel 4 di atas diketahui bahwa spesies lichenes yang ditemukan di kawasan kebun mahoni Pancur Batu memiliki pola distribusi mengelompok dengan nilai varians tertinggi pada jenis Lepraria incana, kemudian diikuiti dengan genus Lepraria sp. Sedangkan varians terkecil terdapat pada jenis Parmelia caperata dan pola distribusi berkelompok. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Ditemukan 10 jenis lichenes di Kebun Mahoni, Pancur Batu, Deli Serdang Sumatera Utara yang terbagi ke dalam 9 genus dan 7 famili. Adapun genus tersebut terbagi atas genus Graphis, Verrucaria, Lepraria, Lecanora, Parmelia, Grafis, Opegrapha dan Pertusaria. 2. Jenis Lichenes yang tidak teridentifikasi sebanyak 4 jenis yaitu Graphis sp., Verrucaria sp., Lepraria sp., dan Lecanora sp. memiliki tipe talus yang sama yaitu crustose. 3. Tipe talus lichenes yang ditemukan dikelompokkan ke dalam 3 kelompok tipe talus yaitu Crustose , Foliose dan Squamulose, sedang tipe talus Fucticose tidalukan. 4. Nilai indeks keanekargaman Lichenes pada kawasan kebun mahoni Pancur Batu yaitu H' = 1,5310, menurut Shannon Wiener tergolong dalam keadaan sedang karena nilainya lebih kecil dari 1 dan kurang dari 2. Hal ini dapat diterima karena mengingat lokasi penelitian tidak tercemar udara. 295 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 5. Pola distribusi berkelompok dengan nilai varians tertinggi pada jenis Lepraria incana, kemudian diikuiti dengan genus Lepraria sp.. Sedangkan varians terkecil terdapat pada jenis Parmelia caperata dan pola distribusi berkelompok. 6. Lichenes yang hidup di di Kebun Mahoni, Pancur Batu, Deli Serdang Sumatera Utara memiliki sarat tumbuh fisika kimianya yaitu : ketinggian 600 mdpl; pH tanah 6,1 – 6,8; Suhu udara 210C – 290C; kelembaban udara sekitar 78% - 89%, dan intensitas cahaya 112 s/d 452 Luxmeter. Saran-Saran 1. Perlu diadakan penelitian lanjutan yang dapat dijadikan sebagai pembanding tentang Lichens pada tegakan mahoni sebagai bioindikator pencemaran udara. 2. Perlu dilakukan identifikasi lanjutan yang lebih spesifik untuk setiap jenis lichenes yang belum teridentifikasi. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2002. Lichens and Wild life. http://www.lichens.com. (Diakses Juni 2012). Brown, D. H. 1985. Lichen Physiology and Cell Biology. New York. Plenium Press. Buncle. 1970. Introduction to British Lichens. Duncan. United Kingdom. Fink, B. 1981. The Lichen Flora of The United States. Michigan The University of Michigan Press. Hasairin, A. 2010. Taksonomi Tumbuhan Rendah (Thalophyta & Kormophyta Berspora). Bahan Ajar. FMIPA Unimed. Hasairin, A. 2012. Tipe Morfologi Talus Lichenes di Hutan Lindung Aek Nauli-Parapat. Proseding Semnas & Semirata. Hawksworth, D. L. 1984. The Lichen-Forming Fungi. Chapman and Hall Publishers. New York. Januardania, D. 1995. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Berkembang pada Tegakan Pinus dan Karet di Kampus IPB Darmaga Bogor. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Misra, A., R. P. Agrawal. 1978. Lichens (A Preliminary Text). New York-Bombay-Calcuta. Oxford and IBH Publishing Co. Moore, E. 1972. Fundamental of The Fungi, 4th Edition. Landecker Prentince Hall International Inc. Pandey, S. N. & Trivendi, P. S. 1977. A Text Book of Botany (Algae, Fungi, Bacteria, Hycoplasma, Viruses, Lichens and Elementary Plant Pathology), Volume I. Oxford and IBH Publishing Co. Sipman, H. J. M. 2003. Key to the lichen genera of Bogor, Cibodas and Singapore. http://www.bgbm.org/sipman/keys/Javagenera.htm. (Diakses Juni 2012). Sudirman, Lisdar, I. 2009. The lichens. BIOTROP Fifth Regional Training Course on Biodiversity and Conservation of Bryophytes and Lichens. Bogor Indonesia, July 14-24, 2009. Suwarso, Wahyudi. 1995. Koleksi Lichens di Herbarium Bogoriense: Prosiding Seminar Sehari. LIPI Pusat Konservasi Tumbuhan – Kebun Raya Bogor. Tjitrosoepomo, G. 1989. Taksonomi Tumbuhan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 296 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 STUDI KEANEKARAGAMAN LICHENES DI HUTAN LINDUNG AEK NAULI PARAPAT KAB.SIMALUNGUN BERDASARKAN KETINGGIAN TEMPAT DAN SUBSTRAT TUMBUHNYA Aulia Juanda Djaingsastro1, Tri Harsono2 1 STIPAP LPP Medan Universitas Negeri Medan Email : [email protected]; [email protected] 2 ABSTRAK Lichenes merupakan hasil simbiosis antara alga dan jamur yang Memiliki keunikan. Peneltian ini bertujuan untuk mendapatkan data keanekaragaman lichenes di hutan lindung Aek Nauli Parapat berdasarkan ketinggian tempat dan substrat tumbuhnya. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei 2011 hingga Juni 2011. Populasi penelitian adalah seluruh lichenes yang terdapat di lokasi penelitian. Penelitian ini menggunakan metode kuadrat dimulai dari ketinggian 1200-1600 mdpl dan jarak tiap plot 100 m dengan cara survey eksploratif dan inventarisasi, serta bersifat deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan keanekaragaman yang tinggi dan diperoleh 30 jenis lichenes yang terdiri dari 16 genus. Ki dan KR tertinggi didapati pada Parmelia sp3 dan terendah pada Buellia canescens. Frekuensi absolut dan Frekuensi Relatif tertinggi didapati Parmelia caperata, Parmelia saxatilis, Parmelia sp1, Parmelia sp2, Parmelia sp3 dan terendah pada Cladonia bellidifora, Cladonia enantia, Cladonia floerkeana, Cladonia gracilis, Cladonia portentosa, Lecanora atra, Peltigere sp, Pyrrhospora quernea, Thelotrema sp, Usnea fillipendula. Dominansi absolut tertinggi pada Parmelia sp3 dan terendah pada Buellia canescens. Nilai Penting tertinggi didapati pada Parmelia sp3 dan terendah pada Peltigere sp. Substrat dari lichenes yang dijumpai yaitu kayu, tanah/ serasah dan batu. Pengukuran faktor fisika-kimia diperoleh kelembaban tanah 75 s/d 80%; pH tanah 6,1 s/d 6,8; kelembaban udara 78 s/d 89%; suhu udara 21 s/d 290C; dan intensitas cahaya 112 s/d 452 Lux. Kata Kunci: Lichenes, Aek Nauli PENDAHULUAN Lichenes (lumut kerak) merupakan gabungan antara fungi dan alga sehingga secara morfologi dan fisiologi merupakan satu kesatuan. Lumut ini hidup secara epifit pada pohon-pohonan, di atas tanah terutama di daerah sekitar kutub utara, di atas batu cadas, di tepi pantai atau gunung-gunung yang tinggi. Tumbuhan ini tergolong tumbuhan perintis yang ikut berperan dalam pembentukan tanah. Tumbuhan ini bersifat endolitik karena dapat masuk pada bagian pinggir batu. Untuk menumbuhkan lichenes pada saat sekarang ini tidak mungkin dilakukan di laboratorium dalam kuantitas yang cukup untuk percobaan tersebut. Pertumbuhan lichenes sangat lambat dan kondisi yang cenderung mempercepat laju pertumbuhannya juga harus sesuai dengan pertumbuhan dari alga dan fungi yang nantinya akan terjadi simbiosis mutualisme. Dalam hidupnya lichenes tidak memerlukan syarat hidup yang tinggi dan tahan terhadap kekurangan air dalam jangka waktu yang lama. Lichenes yang hidup pada batuan dapat menjadi kering karena teriknya matahari, tetapi tumbuhan ini tidak mati, dan jika turun hujan maka dapat hidup kembali. Tumbuhan ini memiliki warna yang bervariasi seperti putih, hijau keabu-abuan, kuning, oranye, coklat, merah dan hitam. (Tjitrosoepomo, 1989; Hawksworth, 1984). Alga dan jamur bersimbiosis membentuk Lichenes baru jika bertemu jenis yang tepat. Acharius (1679-1737) menyatakan pendapatnya mengenai pengelompokan atau klasifikasi lichenes dalam dunia tumbuhan. Micheli (1757-1819) seorang ilmuan berkebangsaan Italia berpendapat bahwa lichenes dimasukkan ke dalam kelompok yang tidak terpisah dari jamur, tapi kebanyakan ahli berpedapat bahwa lichenes perlu dipisahkan dari fungi atau menjadi golongan tersendiri. Alasan dari pendapat yang kedua ini adalah karena jamur yang membangun tubuh lichenes tidak akan membentuk tubuh Lichenes tanpa alga. Hal lain didukung oleh karena adanya zat-zat hasil metabolisme yang tidak ditemui pada alga dan jamur yang hidup terpisah (Brown, 1985.) Hutan yang terdapat di Sumatera Utara merupakan ekosistem hutan hujan tropis yang merupakan habitat makhluk hidup. Hutan – hutan ini antara lain adalah Taman Nasional Gunung Leuser, Cagar Alam Sibolangit, Hutan di Gunung Sinabung, Hutan Lindung Aek Nauli dan lain sebagainya. Hutan – hutan ini belum banyak dilakukan penelitian tentang flora dan faunanya, 297 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 walaupun ada hanya dibeberapa hutan lindung dan cagar alam yang khusus meneliti fauna dan flora, namun penelitian tentang keanekaragaman dan persebaran lichenes jarang dilakukan, seperti pada Hutan Lindung Aek Nauli – Parapat Kab.Simalungun. Salah satu kawasan hutan yang potensial untuk habitat dari lichenes adalah hutan di daerah Aek Nauli. Hutan ini adalah hutan dataran tinggi di daerah Sumatera Utara yang memiliki ketinggian ±1200 mdpl. Kawasan hutan ini memiliki bulan basah (Curah Hujan 7200 mm/bulan) selama sembilan bulan berturut-turut, kisaran suhu antara 16,80C230C, serta kelembaban yang tinggi ± 80%.(Tjitrosoepomo, 1989); (Duades, 2004). BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Hutan Lindung Aek Nauli khususnya di daerah ekowisata sebagai tempat pengambilan sampel lichenes. Kemudian dilanjutkan dengan identifikasi sampel di laboratorium jurusan Biologi FMIPA UNIMED. Adapun waktu untuk dilaksanakan penelitian ini yaitu pada bulan Mei – Juni 2011. Alat dan Bahan Alat-alat penelitian yang digunakan antara lain : buku (buku tulis dan buku identifikasi jenis lichenes) dan alat tulis, soil tester, soil thermometer, lux meter, hygrometer, aerothermo digital, altimeter, kertas label, meteran, stoples, gunting, pisau/cutter tali, dan kamera digital. Sedangkan Bahan-bahan penelitian yang digunakan antara lain : alkohol 70% dan aquades. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuadrat dengan luas areal plot mengacu pada luas minimum area. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan cara survey eksploratif dan inventarisasi, artinya dilakukan penelusuran langsung ke lokasi penelitian, kemudian melakukan inventarisasi dengan cara mengambil seluruh spesies yang ditemukan pada luas kurva minimum area yang sudah ditentukan dengan perbedaan jarak ketinggian dari tiap kuadaran yaitu 100 m dan mencatat semua data-data penting yang berkaitan dengan tumbuhan lichenes tersebut. Data-data ini kemudian disusun dalam tabel dan untuk merinci kondisi kehidupan dari lichenes di daerah Ekowisata Hutan Lindung Aek Nauli. Adapun gambaran jalur pengambilan sampel berdasarkan ketinggian yaitu : 1600 m dpl 1500 m dpl 1500 m dpl 1400 m dpl 1400 m dpl 1300 m dpl 1300 m dpl 1200 m dpl 1200 m dpl 1 3 2 5 4 Gambar1. Skema Jalur Pengambilan Sampel Berdasarkan Ketinggian 298 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Pengumpulan Data Untuk mengetahui keanekaragaman jenis lichenes dilakukan koleksi dan pembuatan awetan untuk keperluan identifikasi dan sekaligus data dokumentasi di laboratorium. Untuk pelaksanaan identifikasi setiap jenis yang ditemukan, dilakukan dengan cara menyesuaikannya dengan gambargambar lichenes yang sudah diidentifikasikan dan dibantu “Key to the lichen genera of Bogor, Cibodas and Singapore”(Sipman, 2003). Ditambah dengan buku rujukan “Grasses, Ferns, Mosses & Lichenes”(Phillips, 1990), laporan-laporan, catatan-catatan yang berhubungan dengan lichenes. Analisis Data • Penentuan jenis Identifikasi jenis dilakukan dengan menggunakan buku rujukan yang ada. • Analisis Vegetasi a. Kerapatan atau density suatu jenis K(i) K(i) = Jumlah individu suatu jenis dalam plot Luas areal penarikan plot b. Kerapatan relatif suatu jenis KR(i) KR(i) = Kerapa tan suatu jenis x 100% Total Kerapa tan seluruh jenis c. Frekuensi suatu jenis F(i) F(i) = Jumlah Kuadran yang ditmpati suatu jenis Jumlah kuadran yang dicuplik d. Frekuensi relatif suatu jenis FR(i) FR(i) = Frekuensi suatu jenis x 100% Total frekuensi seluruh jenis e. Dominansi suatu jenis D(i) D(i) = Luas bidang dasar suatu jenis Luas area penarikan cuplikan f. Dominan relatif suatu jenis DR(i) DR(i) = Jumlah do min ansi suatu jenis x 100% Luas area penarikan cuplikan contoh g. Nilai Penting (NP) dari masing-masing jenis NP(i) NP(i) = KR(i) + FR(i) + DR(i) (Pardede, 2003) h. Indeks Keanekaragaman Indeks Keragaman (Diversitas) dihitung dengan menggunakan rumus dari Shannon – Wiener (dalam Juwana (2001)) sebagai berikut: H’ = - ∑ pi In pi 299 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Dimana: pi = ni = N = In = ni N Jumlah individu suatu jenis Jumlah individu seluruh jenis Log natural (log = 2,4 In) HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-jenis Lichenes (Lumut Kerak) yang Ditemukan di Hutan Lindung Aek Nauli-Parapat. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada kawasan hutan lindung Aek Nauli, didapatkan 30 jenis lichenes yang terdiri dari 16 genus yang diidentifikasi menurut Misra dan Agrawal (1978), juga merujuk pada “Key to the lichens genera of Bogor, Cibodas and Singapore”(Sipman, 2003) serta dengan buku rujukan “Grasses, Ferns, Mosses & Lichenes”(Phillips, 1990),. Adapun genus tersebut terbagi atas genus Buellia, Cladina, Cladonia, Collema, Graphina, Graphis, Lecanora, Lepraria, Parmelia, Peltigere, Pertusaria, Pyrenula, Rimelia, Thelotrema, Usnea dan Verrucaria. Dari 30 jenis lichens yang ditemukan di lokasi penelitian pada ketinggian berbeda, terlihat adanya keragaman yang begitu bervariasi antara satu dengan yang lainnya. Baik dari bentuk, warna maupun substrat tumbuhnya. Keanekaragaman Lichenes Yang Ditemukan Di Hutan Lindung Aek Nauli –Parapat Didasarkan Ciri Dan Morfologi. Lichenes memiliki ciri dan sifat morfologi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Dari hasil yang diperoleh ditemukan bahwa lichenes yang memiliki tipe thallus crustose lebih banyak dibandingkan dengan lichenes yang memiliki tipe thallus fructicose maupun foliose. Adapun substrat tumbuh dari lichenes yang terdapat di hutan lindung Aek Nauli – Parapat yaitu : kayu (terdapat 21 spesies), tanah atau serasah (terdapat 9 spesies), dan yang terdapat pada batu (terdapat 1 spesies). Analisis Vegetasi Kerapatan (Ki) dan Kerapatan Relatif (KR) Suatu Jenis. Untuk memperoleh kerapatan suatu jenis (Ki) dapat dilakukan dengan menghitung jumlah individu suatu jenis dibagi dengan luas penarikan plot (Pardede dan Simatupang, 2004), dalam hal ini 30 lichenes dalam 576 m2 yang mewakiliseluruh komunitas lichenes di Hutan Lindung Aek Nauli – Parapat. Sedangkan untuk kerapatn relatif suatu jenis adalah kerapatan suatu jenis dibagi dengan total kerapatan seluruh jenis dikali 100%. Kerapatan berhubungan dengan banyaknya populasi. Dari penelitian diperoleh kerapatan tertinggi pada jenis Parmelia sp3 yaitu 0.2517 dan kerapatan relatif 6.54%. Hal ini menandakan bahwa jenis ini memiliki jumlah yang paling banyak pada plot yang ditempati. Populasi yang relatif tinggi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor biotik dan abiotik yang reltif mendukung pertumbuhan jenis lichenes ini Sedangkan untuk jenis yang memiliki kerapatan paling rendah, yaitu jenis Buellia canescens dengan kerapatan 0.0382 dan kerapatan relatifnya 0.99%. Hal ini tentu saja dikarenakan beberapa faktor, diantaranya keadaan ekologis yang relatif kurang mendukung. Frekuensi (Fi) dan Frekuensi Relatif (FR) Suatu Jenis. Frekuensi suatu jenis ini berkaitan dengan jumlah beberapa kali suatu spesies terdapat dalam sejumlah plot atau pada sejumlah sampling yang mewakili suatu komunitas (Pardede dan Simatupang, 2004). Sedangkan untuk frekuensi relatif suatu jenis adalah suatu jenis dibagi dengan total frekuensi seluruh jenis dikali dengan 100%. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis yang memiliki frekuensi dan frekuensi relatif tertinggi ada 5 jenis, yaitu Parmelia caperata, Parmelia saxatilis, Parmelia sp1, Parmelia sp2, dan Parmelia sp3 dengan frekuensi 1.0000 dan frekuensi relatif 6.0403%. Hal ini menunjukkan bahwa kelima jenis ini lebih sering dijumpai pada semua plot dibandingkan dengan yang lain, hal ini menunjukkan bahwa jenis ini memiliki persebaran yang paling luas dan dapat menyesuaikan diri dalam berbagai macam tingkatan degradasi lingkungan yang sedikit banyak berbeda. 300 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Sedangkan untuk frekuensi dan frekuensi relatif terendah ada 10 jenis Cladonia bellidifora, Cladonia enantia, Cladonia floerkeana, Cladonia gracilis, Cladonia portentosa, Lecanora atra, Peltigere sp, Pyrrhospora quernea, Thelotrema sp, dan Usnea fillipendula dengan frekuenai 0.3333 dan frekuensi relatif 2.0134% data ini menunjukan bahwa jenis ini jarang dijumpai pada semua plot. Hal ini menandakan bahwa persebaran jenis ini lebih sempit dibandingkan dengan jenis yang lain. Dominansi (Di) dan Dominansi Relatif (DR) Suatu Jenis. Dominansi mempunyai arti ekologi yang penting, sehingga dominansi merupakan parameter yang mendapat perhatian peneliti. Dominansi memberi ukuran yang lebih tentang biomas (biomassa) dari pada jumlah individu (Pardede dan Simatupang, 2004). Untuk mendapatkan dominansi suatu jenis (Di) dapat dihitung dengan membagi jumlah luas bidang dasar suatu jenis dengan luas penarikan plot. Sedangkan untuk nilai dominansi relatif (DR) dihitung dengan membagi jumlah dominansi suatu jenis dengan total dominansi seluruh jenis dikali dengan 100%. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis yang memiliki dominansi tertinggi adalah jenis Parmelia sp3 dengan dominansi 0.00011355 dan dominansi relatif 6.540%. Hal ini menunjukkan bahwa jenis ini merupakan jenis yang memiliki biomas yang terrtinggi pada kawasan tersebut, dimana biomasa sangat berpengaruh kepada iklim setempat (iklim mikro) yakni; cahaya, suhu, dan juga kelembaban. Sedangkan jenis yang memiliki dominansi dan dominansi relatif terendah adalah jenis Buellia canescens dengan dominansi 0.00001723 dan dominansi relatif 0.992%, dari data ini menunjukkan bahwa jenis ini memiliki biomas yang kurang pada kawasan tersebut. Nilai Penting (NP) dari Masing-masing Jenis. Untuk mendapatkan Nilai Penting (NP) diperoleh dengan menjumlahkan Kerapatan Relatif (KR) dengan Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR) sehingga total nilai penting dari seluruh jenis adalah 300 (Pardede dan Simatupang, 2004). Nilai penting memberikan gambaran urutan kuantitatif jenis-jenis yang berbeda dari sebuah komunitas. Jika sumberdaya lingkungan berada dalam keadaan tak terhingga, sedangkan relung ekologi (nice) cenderung berbeda, maka populasi suatu organisme dapat meningkat tanpa adanya pengaruh kepadatan atau kompetisi (persaingan) terhadap pertumbuhan. Spesies tersebut dapat dikatakan memiliki penyesuaian yang tinggi dari keadaan ekosistem yang ada disekitarnya, hal ni berkaitan dengan keadaan relung ekologi yang tinggi dibandingkan dengan spesies yang lain. Spesies yang memiliki nilai dominansi relatif besar diatas dapat memaksimalkan kandungan nutrien dan faktorfaktor lingkungan lain yang ada di lingkungan sekitarnya, sehingga pertumbuhan dan perkembangan cenderung tidak terganggu jika dibandingkan dengan spesies-spesies yang mempunyai nilai penting lebih kecil. Bahwa nilai penting tertinggi terdapat pada Parmelia sp3 dengan nilai 19.12%, ini berarti spesies parmelia sp3 merupakan jenis lichens yang paling mendominasi di sepanjang areal penelitian, hal ini dapat dilihat dalam table jumla individu tiap plot pada Tabel 4.1. sedangkan nilai penting yang terendah yaitu pada Peltigere sp dengan nilai 4.45%, ini menunjukkan bahwa spesies ini memiliki sebaran yang lebih sedikit. Hal ini dimungkinkan karena sarat tumbuh yang lebih komplek bila dibandingkan dengan spesies yang lain. Proporsi Kelimpahan Lichenes Pada Seluruh Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli – Parapat. Keanekaragaman yang diperoleh melalui data hasil penelitina di lokasi Hutan Lindung Aek Nauli – Parapat dapat diambil dari keanekaragaman pada seluruh penarikan plot (sebanyak 9 plot) karena dianggap telah mewakili seluruh komunitas Hutan Lindung Aek Nauli – Parapat yang mempunyai luas daerah penelitian 300 Ha. Nilai keanekaragaman tersebut H’ = 3.283 yang menurut Shannon Wiener berada dalam keadaan baik (tinggi) karena nilainya lebih besar dari 2. keadaan ini dapat diterima mengingat lokasi penelitian tersebut adalah relatif subur dan memiliki faktor-faktor fisika kimia yang sangat mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan lichenes. Dengan tingginya keanekaragaman yang terlihat menggambarkan adanya kestabilan komunitas di dalamnya. Hal ini dapat dimengerti karena Hutan Lindung Aek Nauli Parapat adalah hutan primer yang heterogenitasnya yang relatif tinggi, dimana pada daerah tersebut dijumpai berbagai macam vegetasi mulai dari yang berhabitus pohon, perdu, semak, sukulen, liana, terna, herba, dan lumut yang 301 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 kesemuanya menjalin hubungan interaksi yang pada umumnya relatif saling mendukung dan menguntungkan. Data Ekologi Lichenes Pada Seluruh Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli Parapat. Pengamatan ekologi yang dilakukan dengan mengukur faktor fisika kimia yaitu; ketinggian, kelembaban tanah, pH tanah, kelembaban udara, suhu udara, dan intensitas cahaya. Pengukuran ini dilakukan sebanyak tiga kali tiap plot sebagai perulangan. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Sifat fisik-kimia Ketinggian (mdpl) Kelembaban tanah pH tanah Kelembaban udara Suhu udara Intensitas cahaya (Lux) I 1200 75% 6,1 78% 270C 373 II 1300 75% 6,3 78% 290C 384 III 1400 75% 6,3 85% 250C 386 IV 1500 75% 6,5 87% 230C 394 V 1600 80% 6,8 89% 210C 452 VI 1500 80% 6,6 89% 210C 361 VII 1400 80% 6,3 84% 240C 212 VIII 1300 75% 6,1 84% 280C 186 IX 1200 75% 6,2 81% 280C 112 DAFTAR PUSTAKA Anonim. Lichens And Wild life. http://www.lichen.com. (Pebruari 2007) _________________. Lichens And People. For a Bibliographical Database of the Human Uses of Lichens. http://www.lichen.com. (Pebruari 2007) Bold, H.C., C.J. Alexopoulus, T. Delevoryas, 1987. Morphology of Plants and Fungi. Fifth edition. Harper and Row Publishers. New York. Brown, D.H. 1985. Lichen Physiology and Cell Biology. Plenium Press, New York. Buncle. 1970. Introduction to British Lichens. United Kingdom. Duncan. Duta, A.C. 1968. Botany for Degree Studens. Oxford University Press. Bombay Calcuta-Madras. Hawksworth, D.L. 1984. The Lichen-Forming Fungi. Chapman and Hall Publishers. New York. Mc. Noughtonn & Wolf. 1990. Ekologi Umum. Yogyakarta: UGM Press. Michael, P. 1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapang dan Laboratorium. Jakarta: UI Press. Misra, A. ,R.P. Agrawal. 1978. Lichens (A Preliminary Text). Oxford and IBH Publishing Co. New York-Bombay-Calcuta. Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: UGM Press. Pardede,Ch. Zulkifli Simatupang. 2003. Diktat Perkuliahan Ekologi Tumbuhan. Universitas Negeri Medan. Medan. Phillips, Roger. 1990. Grasses, Ferns, Mosses & Lichenes. Oxford University Press. Sharnoff. S. D. 2002. Lichen Biology And The Environment The Special Biology Of Lichens. http:/ www.lichen.com. (Pebruari 2007) Sipman,H. 2003. Key to the lichen genera of Bogor, Cibodas and Singapore.http://www.bgbm.org/sipman/keys/Javagenera.htm. (Juni 2007) Suwarso, Wahyudi. 1995. Koleksi Lichenes di Herbarium Bogoriense: Prosiding Seminar Sehari. LIPI Pusat Konservasi Tumbuhan – Kebun Raya Bogor. Tjitrosoepomo, G. 1989. Taksonomi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 302 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 KEANEKARAGAMAN SERANGGA WERENG (AUCHENORRHYNCHA: HEMIPTERA) PADA TANAMAN PADI DI KABUPATEN TAPANULI UTARASUMATERA UTARA Binari Manurung1, Puji Prastowo1 dan Erika Rosdiana2 1) Jurusan Biologi-Universitas Negeri Medan, e-mail: [email protected] 2). SMA Negeri 1 Perbaungan, Perbaungan-Serdangbedagai ABSTRAK Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman, kelimpahan, dominansi dan kemerataan serangga wereng (Hemiptera: Auchenorrhyncha) yang terdapat pada singgang-singgang tanaman padi di kabupaten Tapanuli Utara -Sumatera Utara telah dilakukan. Survey lapangan untuk koleksi wereng dengan menggunakan jala serangga dilaksanakan dari bulan Mei hingga Oktober 2013. Sampling dilakukan pada minggu terakhir setiap bulan, masing-masing 400 ayunan dan dilanjutkan dengan kurasi serta identifikasi spesies di laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan pada tanaman padi yang terdapat di Tapanuli Utara ditemukan minimal sembilan spesies wereng yang tergolong ke dalam delapan genus dan dua famili. Enam spesies yang ditemukan yang termasuk ke dalam famili Cicadellidae adalah Nephotettix nigropictus, Nephotettix virescens, Cofana spectra, Thaia ghaurii, Recilia dorsalis,dan Cicadellid sp., sedangkan tiga spesies lain yang termasuk ke famili Delphacidae adalah Nisia nervosa, Sogatella furcifera dan Nilaparvata lugens. Indeks keanekaragaman total wereng selama enam bulan penelitian adalah 1,27 sedangkan per bulannya berkisar 1,031.32. Kelimpahan total serangga selama penelitian 849 individu sedangkan per bulannya berkisar 41-281 individu. Tiga spesies wereng yang paling dominan adalah Thaia ghaurii, Nephotettix nigropictus dan Cofana spectra dengan kelimpahan masing-masing 336, 237 dan 228 individu. Keanekaragaman dan kelimpahan tertinggi wereng ditemukan pada bulan Juni. Indeks kemerataan (evenness) total komunitas wereng 0,58 sedangkan per bulannya berkisar 0,62-0,87. Kata kunci: Wereng (Auchenorrhyncha: Hemiptera), Singgang-singgang tanaman padi, Tapanuli Utara, keanekaragaman, kelimpahan, kemerataan (evenness) PENDAHULUAN Wereng (Auchenorrhyncha: Hemiptera) merupakan salah satu dari aneka ragam serangga hama tanaman yang penting dan telah dikenal luas di masyarakat, khususnya para petani. Dalam hal ini wereng daun (leafhopper) dan wereng batang (planthopper) mengisap cairan tanaman padi ataupun memindahkan virus padanya. Nault & Ammar (1989) dan juga Matthews (1991) telah melaporkan bahwa dari 15.000 wereng yang telah dikenal, 49 jenis diantaranya termasuk sebagai pemindah virus (Vektor). Wereng-wereng tersebut termasuk ke dalam genus Graminella, Nephotettix, Recelia, Cicadulina, Circulifer, Nesoclutha, Orosius, Psammotettix, Micrutalis, Dalbulus, Aconurella, Macrosteles, Aceratagallia, Agallia, Agalliopsis, Endria, Elymana, Laodelphax, Tarophagus, Toya, Sogatella, Peregrinus, Ribautodelphax, Muellerianella, Unkanodes. Selanjutnya menurut Wilson & Claridge (1991), paling tidak terdapat 12 macam virus yang dipindahkan oleh wereng kepada tanaman padi. Melalui aktivitas semacam itu tanaman padi dapat menjadi layu, mati (puso) sehingga mengakibatkan penurunan produksi atau gagal panen. Spesies wereng coklat Nilaparvata lugens misalnya sejak awal tahun 1970 diketahui telah menjadi hama penting tanaman padi dan kemudian disusul oleh wereng hijau Nephotettix spp. (Wilson & Claridge, 1991). Baehaki (1993) dan Siwi (1993) telah melaporkan jenis-jenis wereng yang menjadi hama padi di Indonesia. Sementara itu, Widiarta et al. (2004, 2006) telah melaporkan kehadiran wereng punggung putih (Sogatella furcifera) berikut dengan dinamika populasinya pada tanaman padi yang terdapat di Jawa Tengah. Demikian juga halnya, kehadiran wereng hijau (Nephotettix viresecens) pada tanaman padi yang terdapat di Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogjakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Bara dan Sulawesi Selatan. Manurung (2010) telah merangkum serangan wereng dan virus terhadap tanaman padi yang terdapat di Sumatera Utara. Dilatarbelakangi oleh peranan yang semakin penting dari wereng daun dan wereng batang sebagai hama tanaman padi, sejumlah penelitian yang berhubungan dengan aspek biologi dan ekologi dari wereng-wereng tersebut telah dilakukan oleh para peneliti di Indonesia. Soehardjan (1973) misalnya, telah mempelajari perikehidupan wereng daun dan wereng batang yang terdapat pada 303 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 tanaman padi yang terdapat di Jawa Barat. Siwi (1986) telah mengkaji variasi karakter morfologi wereng hijau Nephotettix virescens dari berbagai pulau yang ada di Indonesia. Lebih lanjut Siwi & Roechan (1983) telah meneliti komposisi spesies wereng hijau Nephotettix spp. dan sebaran serta penyebaran penyakit virus tungro di Indonesia. Holdom et al. (1989) juga telah melaporkan hasil studi lapangannya perihal wereng batang tanaman padi dan musuh alaminya di Indonesia. Disamping sebagai hama tanaman padi yang amat penting, serangga wereng juga merupakan komponen penting dari jaring-jaring makanan yang terdapat pada ekosistim persawahan. Wereng merupakan mangsa penting dari predator, khususnya untuk labah-labah, semut dan burung. Mereka juga menjadi hewan inang penting parasitoid dari family Dryinidae, Mymaridae, Pipunculidae dan Strepsiptera (Gnaneswaran et al., 2006). Mengingat peranan penting yang ditunjukkan oleh serangga wereng pada ekosistim sawah, informasi yang berkaitan dengan keanekaragaman wereng tersebut pada berbagai ekosisistim sawah yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara masih sangat terbatas (band. Sogawa et al., 1984), dan khususnya untuk yang terdapat di kabupaten Tapanuli Utara masih belum ada. Informasi yang telah tersedia adalah keanekaragaman wereng padi yang terdapat di kabupaten Deliserdang (Manurung & Sihombing, 2011; Manurung et al., 2012) dan di kabupaten Serdangbedagai (Manurung, 2012) Kajian ini telah dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi keanekaragaman, kelimpahan, dominansi dan kemerataan komunitas serangga wereng padi yang terdapat di kabupaten Tapanuli Utara (Taput). B. CARA KERJA Untuk mendapatkan data keanekaragaman, kelimpahan, dominansi dan kemerataan serta wereng pada ekosistim persawahan, adapun metode yang digunakan mengacu kepada metode yang dikemukakan oleh Manurung et al. (2004, 2005, 2012). Dalam hal ini sampel serangga ditangkap dengan cara mengayunkan jala/jaring serangga pada singgang-singgang tanaman padi yang terdapat di Tapanuli Utara, tepatnya di desa Sipoholon. Koleksi serangga di lapangan dilakukan pada bagian utara, selatan, timur dan barat dari suatu persawahan, masing-masing 400 ayunan jala. Jumlah ayunan jala yang sama juga dilakukan pada bagian singgang-singgang tanaman padi. Pengambilan sampel wereng berlangsung selama enam bulan yakni dari bulan Mei hingga Oktober 2013 dan dilakukan pada siang hari ketika cuaca cerah. Wereng hasil jaring di masukkan ke dalam botol pembunuh, dalam hal ini berisi kloroform, kemudian dimasukkan ke dalam botol-botol sampel yang berisi alkohol 70%. Sampel wereng selanjutnya dibawa ke laboratorium Ekologi Jurusan Biologi Universitas Negeri Medan untuk di kurasi, sortir dan diidentifikasi serta dihitung jumlahnya (kelimpahannya). Identifikasi wereng dilakukan hingga tingkat spesies (untuk fase dewasa atau imago) yakni dengan mengamati ciri struktur ataupun bentuk aedagusnnya. Pengamatan aedagus dilakukan dengan menggunakan bantuan mikroskop stereo sedangkan penentuan spesiesnya (bentuk dewasa) mengacu kepada Baehaki (1993) dan Wilson & Claridge (1991). Analisis data mencakup kekayaan spesies, kelimpahan, indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dan indeks kemerataan atau evenness (Brower et al., 1990; Krebs, 1999). C. HASIL DAN PEMBAHASAN C.1. Keanekaragaman Dari penelitian yang telah dilakukan selama enam bulan (Mei-Oktober 2013) ditemukan minimal sembilan jenis wereng yang hidup berkohabitasi ataupun berkoeksistensi pada singgangsinggang tanaman padi yang terdapat di kabupaten Tapanuli Utara (Tabel 1). 304 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 1. Keanekaragaman, Kelimpahan, Dominansi dan Kemerataan Komunitas Wereng pada Ekosistim Persawahan di Kabupaten Tapanuli Utara No Bulan Takson Wereng Mei Juni Juli Agt Sept Okt 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Nephotettix virescens Nephotettix nigropictus Nilaparvata lugens Cofana spectra Recilia dorsalis Thaia ghauri Nisia nervosa Cicadellid sp. Sogatella furcifera Kekayaan spesies (S) Kelimpahan (N) Indeks Keanekaragaman (H!) Kemerataan (E) 0 33 0 28 4 22 0 0 0 4 87 1,217 2 108 1 95 3 70 0 2 0 7 281 1,216 0 50 0 36 23 127 3 0 1 6 240 1,243 0 24 0 29 2 72 0 0 0 4 127 1,031 0 13 0 22 3 35 0 0 0 4 73 1,149 0 9 0 18 2 10 0 2 0 5 41 1,323 Total (Mei-Okt) 2 237 1 228 37 336 3 4 1 9 849 1,277 0,878 0,625 0,694 0,743 0,829 0,822 0,581 Adapun kesembilan taksa wereng itu adalah Nephotettix virescens, Nephotettix nigropictus, Nilaparvata lugens, Cofana spectra, Recilia dorsalis, Thaia ghauri, Nisia nervosa, Cicadellid sp. dan Sogatella furcifera. Keanekaragaman dan Kekayaan spesies per bulan dari bulan Mei hingga Oktober tampak bervariasi ataupun berfluktuasi. Kekayaan spesies tertinggi yakni tujuh spesies ditemukan pada bulan Juni sedangkan terendah (empat spesies) ditemukan pada bulan Mei, Agustus dan September. Keanekaragaman wereng padi yang diperoleh pada penelitian ini relatif tidak jauh berbeda dengan jenis-jenis wereng yang terdapat pada tanaman padi di berbagai Negara di Asia Tenggara sebagaimana telah dilaporkan oleh Wilson & Claridge (1991). Enam jenis dari wereng yang ditemukan itu, yakni: Nephotettix virescens, Nephotettix nigropictus, Cofana spectra, Recilia dorsalis, Thaia ghauri dan Cicadellid sp) termasuk ke dalam kelompok wereng daun (leaf hopper, Cicadellidae), sedangkan tiga jenis lainnya yakni: Nilaparvata lugens, Nisia nervosa dan Sogatella furcifera termasuk kedalam kelompok wereng batang (plant hopper, Fulgoroidea). Jenis-jenis wereng penyusun ekosistim sawah yang terdapat di kabupaten Tapanuli Utara di atas relatif tidak jauh berbeda dengan yang terdapat pada ekosistim padi di kabupaten Deliserdang, sebagaimana yang telah dilaporkan oleh Manurung & Sihombing (2011) dan Manurung et al. (2012). Perbedaan yang ada adalah ada satu spesies wereng yang hadir di Tapanuli Utara akan tetapi tidak hadir di kabupaten Deliserdang, yakni Nisia nervosa. Sebaliknya ada satu spesies wereng yang hadir di kabupaten Deliserang akan tetapi tidak ditemukan di kabupaten Tapanuli Utara, yakni Oliarus sp. Perbedaan itu tentu terjadi berkaitan erat dengan perbedaan kondisi lingkungan antar kedua ekosistim padi yang terdapat pada kedua kabupaten tersebut. Jika diitinjau dari segi nilai ekonominya bagi pertanian, jenis-jenis wereng yang ditemukan pada singgang-singgang tanaman padi yang terdapat di kabupaten Tapanuli Utara di atas termasuk jenis–jenis wereng yang sangat penting. Dalam hal ini, wereng hijau Nephotettix virescens dan Nephotettix nigropictus merupakan vektor penyakit tungro, penyakit kerdil padi dan kerdil padi kuning. Wereng loreng atau zigzag Recilia dorsalis merupkan vector penyakit waika, tungro ataupun habang dan penyakit daun jingga atau “orange leaf”. Sementara itu wereng cokelat Nilaparvata lugens merupakan vektor virus “rice grassy stunt”(penyakit kerdil rumput) dan “ragged stunt” (penyakit kerdil hampa) serta dapat menyebabkan “hopperburn” pada tanaman padi (Baehaki,1993; Wilson & Claridge, 1991; Nault & Ammar, 1989 dan Departemen Pertanian, 1982). Jika penyakitpenyakit tersebut terjadi pada tanaman padi, hal itu akan mengakibatkan gagalnya panen ataupun paling tidak menyebabkan menurunnya hasil panen. 305 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 C.2. Kelimpahan Ditinjau dari segi kelimpahan, jumlah total wereng yang berhasil ditangkap selama enam bulan penelitian pada ekosistim sawah di Kabupaten Tapanuli Utara adalah 849 individu. Kelimpahan per bulan dari bulan Mei hingga Oktober tampak berfluktuasi ataupun bervariasi. Kelimpahan tertinggi (281 individu) ditemukan pada bulan Juni sedangkan terendah (41 individu) pada bulan Oktober. Terjadinya perbedaaan keanekaragaman ataupun kekayaan spesies dan kelimpahan serangga wereng pada bulan yang berbeda pada penelitian ini mungkin erat kaitannya dengan perbedaan faktor-faktor pembatas yang bekerja membatasi kehadiran dan keberhasilan hidup masing-masing jenis wereng selama masa penelitian. Dua diantara faktor pembatas itu dan memiliki peranan yang penting dalam menentukan keanekaragaman dan kelimpahan serangga adalah ketersediaan makanan (jenis dan jumlahnya) serta iklim khususnya suhu (Degen et al, 1999 dan Baker et al. 2000). Jika dibandingkan dengan kelimpahan wereng yang berhasil dikoleksi pada ekosistim persawahan di kabupaten Deliserdang, kelimpahan wereng yang diperoleh pada penelitian ini (Tapanuli Utara) jauh lebih rendah. Dalam hal ini Manurung et al. (2012) melaporkan 1424 individu sedangkan di Tapanuli Utara hanya 849 individu (Tabel 1). Itu berarti kelimpahan wereng di ekosistim persawahan di kabupaten Deliserdang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang terdapat di kabupaten Tapanuli Utara. Jika ditinjau berdasarkan takson, kelimpahan wereng tertinggi dimiliki oleh Thaia ghauri (336 individu), kemudian disusul wereng hijau Nephotettix nigropictus dan Cofana spectra masing-masing 237 dan 228 individu. Takson dengan kelimpahan terendah ditunjukkan oleh wereng cokelat Nilaparvata lugens dan wereng punggung putih Sogatella furcifera masing-masing satu individu. Kelimpahan wereng hijau Nephotettix nigropictus tampak jauh lebih tinggi (237 individu) dibandingkan dengan Nephotettix virescen yang hanya dua individu diperoleh selama enam bulan penelitian. Jika dibandingkan dengan yang terdapat pada ekosistim persawahan di Deliserdang, justru yang terjadi adalah sebaliknya, yakni wereng hijau Nephotettix virescens lebih banyak dibandingkan dengan wereng hijau daun Nephotettix nigropictus (Manurung et al. 2012). Adanya kejadian pergeseran kelimpahan kedua wereng padi tersebut pada ekosistim persawahan telah dilaporkan oleh Siwi (1993). Dalam hal ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya di Kalimantan Selatan,dinyatakan bahwa kepadatan N. nigropictus pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan. Sebaliknya kelimpahan N.virescens lebih tinggi pada musim hujan dibandingkan dengan musim hujan. Lebih lanjut Siwi (1993) mengemukakan bahwa N. nigropictus mempunyai inang yang lebih banyak dibandingkan dengan N.virescens. N.nigropictus dapat hidup baik pada tanaman padi dan berbagai jenis rumputan seperti Echinochloa colonum, Leersia hexandra dan I globosa, sedangkan N.virescens hanya mampu hidup pada tanaman padi. Pengamatan di lapangan selama penelitian menunjukkan pada masa singgang-singgang tanaman padi sejumlah gulma ataupun rumput liar dapat ditemukan pada ekosistim sawah. Disamping itu juga masih menurut Siwi (1993) introduksi varietas padi unggul merupakan salah satu penyebab perubahan dominasi spesies dari N.nigropictus menjadi N.virescens di Indonesia. Di Tapanuli Utara sendiri berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukkan adapun tanaman padi yang ditanam kebanyakan bukana varietas unggul melainkan varietas lokal dengan umur yang lebih panjang. Hal-hal itulah mungkin yang menyebabkan mengapa kelimpahan wereng hijau jenis N.nigropictus lebih banyak diperoleh ataupun lebih dominan dibandingkan dengan wereng hijau jenis N.virescens. Hadirnya berbagai jenis wereng pada singgang-singgang tanaman padi dengan data kelimpahan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas di kabupaten Tapanuli Utara, menunjukkan betapa besarnya potensi ataupun kontribusi singgang-singgang tanaman padi dan rumput liar ataupun gulma tersebut dalam mempertahankan kehadiran dan keberlangsungan hidup aneka ragam wereng. Itu berarti tanaman padi pada masa singgang-singgang beserta dengan rumput yang hidup bersama dengannya memiliki nilai konservasi. Berperannya singgang-singgang padi bahkan beberapa jenis rumput dalam mempertahankan kelestarian hidup berbagai jenis wereng telah juga dikemukakan oleh Rismunandar (1993). Manurung et al. (2004) juga telah melaporkan kontribusi singgang-singgang tanaman gandum dalam mempertahankan aneka ragam wereng gandum. Olehkarena itu setiap tindakan gangguan yang dilakukan terhadap singgang-singgang tanaman padi akan berakibat kepada penurunan keanekaragaman dan kelimpahan wereng padi tersebut. Pemusnahan singgang-singgang tanaman padi yang dilakukan oleh petani misalnya secara langsung ataupun tidak langsung akan berkontribusi terhadap penurunan populasi wereng pada masa tanam padi berikutnya. Hal itu terjadi 306 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 karena dengan kegiatan pemusanahan tersebut menyebabkan ketersediaan tanaman inang yang berperan sebagai sumber pakan dan tempat berlindung ataupun tempat beristirahat bagi wereng menjadi berkurang. Dengan demikian akan berkontribusi terhadap pemutusan siklus hidupnya. C.3. Indeks Keanekaragaman Indeks keanekaragaman wereng padi selama enam bulan penelitian berkisar dari 1,03 hingga 1,32 (Tabel 1). Dalam hal ini perhitungan indeks keanekaragaman didasarkan kepada gabungan antara kekayaan spesies dan kelimpahannya. Indeks keanekaragaman wereng padi tertinggi ditemukan pada bulan Oktober sedangkan yang terendah pada bulan Agustus. Jika dihubungkan dengan kriteria yang dikemukakan oleh Michael (1984), indeks keanekaragaman wereng padi yang diperoleh pada penelitian ini masih tergolong rendah. Sebab menurut Michael (1984) pada ekosistim alami, dimana indeks keanekaragamannya tergolong tinggi memiliki peluang indeks keanekaragaman lebih besar dari dua. Pada kenyataannya, ekosistim persawahan memang termasuk ekosistim non alami ataupun buatan. Oleh karena besarnya nilai indeks keanekaragaman dapat dipergunakan sebagai salah satu petunjuk ataupun indikator kestabilan suatu ekosistim, dalam hal ini semakin tinggi indeks keanekaragaman menunjukkan semakin rumit atau kompleksnya jaring-jaring makanan, yang berarti juga semakin stabil ataupun semakin baik suatu lingkungan. Berdasarkan data indeks keanekaragaman wereng padi yang telah diperoleh, sebagaimana disajikan pada Tabel 1, kiranya dapat dinyatakan bahwa struktur komunitas wereng padi yang relatif stabil atupun baik di kabupaten Tapanuli Utara berlangsung pada bulan Oktober sedangkan yang relatif kurang stabil terjadi pada bulan Agustus. C.4. Indeks Kemerataan Indeks kemerataan komunitas wereng padi yang ditemukan pada ekosistim singgang-singgang tanaman padi dari bulan Mei hingga Oktober 2013 di kabupaten Tapanuli Utara berkisar 0,62 hingga 0,87. Indeks kemerataan tertinggi ditemukan pada bulan Mei sedangkan yang terendah pada bulan Juni. Menurut Brower et al. (1990) nilai indeks kemerataan ini berkisar dari 0-1. Nilai indeks kemerataan 0 berarti pada komunitas tersebut dominansi tinggi sedangkan pada nilai 1 berarti dominansi rendah. Pada indeks kemerataan yang rendah kehidupan berkohabitasi ataupun berkoeksistensi antar spesies pembentuk komunitas akan berlangsung dengan baik karena pada komunitas tersebut tidak ada yang mendominasi. Sementara itu pada indeks kemerataan yang tinggi kehidupan berkohabitasi berlangsung kurang baik, karena pada kondisi yang seperti itu terdapat takson tertentu yang mendominasi sehingga kehidupan takson lain pembentuk komunitas mengalami tekanan. Sehubungan dengan itu, berdasarkan data indeks kemerataan yang telah diperoleh pada penelitian ini (Tabel 1) dapat dikemukakan, kehidupan berkohabitasi wereng padi yang relatif baik di kabupaten Tapanuli Utara berlangsung pada bulan Mei sedangkan relatif kurang baik terjadi pada bulan Juni. D. DAFTAR PUSTAKA Baker R.H.A., C.E. Sansford, C.H. Jarvis, R.J.C. Cannon, A. Macleod, and K.F.A. Walters. 2000. The role of climatic mapping in predicting the potential geographical distribution of nonindigenous pests under current and future climates. Agriculture, Ecosystems and Environment. 82: 57 – 71. Baehaki. 1993. Berbagai Hama Serangga Tanaman Padi. Bandung: Penerbit Angkasa. Brower, J., J. Zar & C von Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Dubuque: Wm.C. Brown Publishers. Degen, T., E. Stadler, and P.R. Ellis. 1999. Host Plant Susceptibility to the Carrot fly, Psylla rosae: 1. Acceptability of various host species to ovipositing females. Annals of Applied Biology. 134: 1 – 11. Depatemen Pertanian. 1982. Petunjuk Bergambar Hama dan Penyakit Tanaman Padi. Jakarta: Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Gnaneswaran, R., K.S. Hemachandra., D.Ahangama., H.N.P. Wijayagunasekara & I.Wahundeniya. 2006. Diversity of leafhopper (Hemiptera: Auchenorrhyncha: Cicadellidae) associated with 307 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Paddy and Vegetable Ecosystems in Mid Country of Srilanka. Sri Lankan J. Agric. Sci. 43: 133-143. Holdom, D.G., Taylor, P.S., Mackey-Wood, R.J., Ramos, M.E & R.S. Soper. 1989. Field studies on rice planthoppers (Hom. Delphacidae) and their natural enemies in Indonesia. Journal of Applied Entomology 107, 118-129. Krebs, C.J. 1999. Ecological Methodology. New York: Harper & Row Publishers. Matthews, R.E.F. (1991): Plant virology. Sandiego, California: Academic Press. Manurung, B. 2012. Biodiversitas, distribusi dan biologi perkembangan hama wereng padi (Auchenorrhyncha) di kabupaten Serdangbedagai. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Universitas Negeri Medan. Laporan Penelitian. Manurung, B., A.P.H. Bintang., Erika Rosdiana. 2012. Biodiversitas, distribusi dan kelimpahan serangga wereng (Hemiptera: Auchenorrhyncha) pada singgang-singgang tanaman padi di kabupaten Deliserdang Propinsi Sumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional XXI Perhimpunan Biologi Indonesia pp. 12-16. Banda Aceh: Perhimpunan Biologi Indonesia Cabang Aceh. Manurung, B dan L. Sihombing. 2011. Ekologi Serangga Wereng (Hemiptera: Auchenorrhyncha) pada singgang-singgang tanaman padi di kabupaten Deliserdang-Sumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional Biologi pp. 405-414. Medan: USU Press. Manurung, B. 2010. Mengantisipasi Serangan Hama Wereng. Harian Waspada Tanggal 13 Juli 2010. hal. C11. Manurung, B., Witsack, W., Mehner, S., Gruentzig, M & Fuchs, E. 2004. The epidemiology of wheat dwarf virus in relation to occurrence of the leafhopper Psammotettix alienus in MiddleGermany. Virus Research 100 (1): 109-113. Manurung, B., Witsack, W., Mehner, S., Gruentzig, M & Fuchs, E. 2005. Studies on biology and population dynamics of the leafhopper Psammotettix alienus Dahlb. (Homoptera: Auchenorrhyncha) as vector of wheat dwarf virus (WDV) in Saxony-Anhalt, Germany. J. Plant. Dis. Protec. 112 (5): 497-507. Michael, P. 1984. Ecological Method for Field and Laboratory Investigation. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited. Nault, L.R & A.D. Ammar. 1989. Leafhopper and planthopper transmission of plant viruses. Ann. Rev. Entomol. 34: 503-529. Rismunandar. 1993. Hama Tanaman Pangan dan Pembasmiannya. Bandung: Sinar Baru Aglesindo. Siwi, S.S. 1993. Biosistematika Wereng Hijau Genus Nephotettix (Homoptera, Cicadellidae) sebagai Vektor Penyakit Virus Tungro Padi. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III Jakarta/Bogor 23-25 Agustus 1993 pp.541-561. Siwi,S.S & M. Roechan. 1983. Species composition and distribution of green leafhoppers Nephotettix spp. and the spread of rice tungro virus disease in Indonesia. In, W.J. Knight., N.C. Pant., T.S. Robertson & M.R. Wilson (Eds.) Proceedings of 1st International Workshop on Leafhoppers and Planthoppers of Economic Importance. Commonwealth Institute of Entomology, London, pp. 263-276. Sogawa, K., K. Ayi & J.S.Sitio. 1984. Monitoring brown planthopper (BPH) biotypes by rice garden in North Sumatra, IRRN 9:6. Soehardjan, M. 1973. Observations on leafhoppers and planthoppers on rice in West Java. Central Research Institute Agriculture Bogor, Indonesia 3, 1-10. Wilson, M.R. dan M.F. Claridge. 1991. Handbook for the identification of leafhoppers and planthoppers of rice. Wallingford-UK: CAB International. Widiarta, I.N., E.S. Wijaya & H.Sawada. 2006. Dinamika Populasi Wereng Penggung Putih Sogatella fulcifera Stal (Hemiptera: Delphacidae) di Jawa Tengah. J.Entomol.Ind. 3(1):1-13. Widiarta, I.N., Kusdiaman, D, Siwi, S.S & A. Hasanuddin. 2004. Varian efikasi penularan Tungro oleh koloni-koloni wereng hijau Nephotettix virescens Distant. J. Entomol. Ind.1(1): 50-56. 308 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TUMBUHAN DI KAWASAN EKOSISTEM ESTUARIA DI GAMPONG JAWA KECAMATAN KUTA RAJA BANDA ACEH Evi Apriana, Muyasir Pend. Biologi Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh, Jln. Tgk. Imum Lueng Bata, email: [email protected] Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis tumbuhan yang ada di kawasan ekosistem estuaria di Gampong Jawa Kecamatan Kuta Raja Banda Aceh. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kawasan ekosistem estuaria Gampong Jawa Kecamatan Kuta Raja Banda Aceh dalam areal 325 m2. Sedangkan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah semua jenis tumbuhan yang ada pada petak contoh (plot). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuadrat yaitu dengan cara membuat plot. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan cara mencatat semua jenis tumbuhan yang berada dalam plot. Teknik pengolahan data yang diperoleh dari hasil penelitian ini selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian diperoleh 35 spesies tumbuhan dan 33 genera dari 19 familia yang berhabitus pohon, perdu, semak dan terna. Dari keseluruhan spesies dan familia tumbuhan tersebut yang berhabitus pohon pada lokasi penelitian terdapat 11 spesies dari 9 familia, perdu 4 spesies dari 4 familia, semak 7 spesies dari 7 familia, dan terna 13 spesies dari 6 familia. Jenis tumbuhan yang paling banyak ditemui di kawasan ekosistem estuaria Gampong Jawa Kecamatan Kuta Raja Banda Aceh adalah yang berhabitus terna. Kata kunci: identifikasi, jenis tumbuhan, estuaria, habitus PENDAHULUAN Estuari adalah ekosistem muara sungai tempat pertemuan air tawar dan air laut yang masih dipengaruhi oleh pasang surut. Contoh estuari adalah muara sungai teluk dan rawa pasang-surut (Bengen, 2004). Salah satu bagian wilayah pesisir yang memiliki tingkat kesuburan cukup tinggi adalah estuaria (muara sungai). Gampong Jawa merupakan salah satu gampong yang terdapat di Kecamatan Kutaraja Banda Aceh. Berdasarkan survei peneliti bahwa desa ini terdapat keanekaragaman jenis tumbuhan. Hanya saja belum diketahui jenis-jenis apa saja yang terdapat di desa tersebut. Dalam penelitian ini jenis hayati lebih difokuskan pada dunia tumbuh-tumbuhan/jenis tumbuhan (plantae). METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di kawasan ekosistem estuaria Gampong Jawa Kecamatan Kuta Raja Banda Aceh. Luas keseluruhan lokasi ekosistem estuaria Gampong Jawa 34 Hektar. Objek dalam penelitian ini adalah semua spesies tumbuhan yang ada di lokasi penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah semua jenis tumbuhan di kawasan ekosistem estuaria Gampong Jawa Kecamatan Kuta Raja Banda Aceh dalam areal 325 m2. Sampel dalam penelitian ini adalah semua jenis tumbuhan yang ada pada petak contoh (plot). Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencatat nama dan jumlah individu dari setiap tumbuhan yang ada di ekosistem estuaria. Selanjutnya dilakukan identifikasi untuk spesies tumbuhan yang dijumpai. Setiap tumbuhan yang sudah diketahui nama ilmiahnya langsung dicatat pada tabel yang sudah disiapkan, bagi tumbuhan yang belum diketahui nama ilmiahnya maka akan diambil bagian tumbuhan seperti daun, bunga, buah, biji, dan dimasukkan ke dalam kantong plastik untuk diidentifikasikan dan dijadikan spesimen berupa herbarium kering. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan metode kuadrat. Observasi langsung ke lokasi penelitian yaitu dengan cara menjelajah ekosistem estuaria. Sebelum pengambilan data di lapangan terlebih dahulu dilakukan survei lokasi penelitian untuk mengetahui keberadaan jenis tumbuhan di ekosistem estuaria. Metode kuadrat yaitu dengan cara membuat plot. Plotnya terdiri 13 plot dari 13 titik pengamatan dengan luas setiap plot 5 m × 5 m, setiap plot berjarak 100 m. Luas keseluruhan plot 325 m2. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan cara mencatat semua jenis tumbuhan yang berada dalam plot yang terdapat di ekosistem estuaria. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif maka penelitian ini mengolah data cukup 309 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 dengan menggambarkan, mendeskripsikan, mengklasifikasikan dan diperlihatkan dalam bentuk tabel, dan gambar. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kawasan ekosistem estuaria Gampong Jawa merupakan salah satu ekosistem estuaria yang terletak di Kecamatan Kuta Raja Banda Aceh. Ekosistem estuaria Gampong Jawa merupakan daerah rawa pasang surut yang memungkinkan terjadinya percampuran antara air tawar dan air laut terdapat berbagai jenis tumbuhan yang pada umumnya berfungsi sebagai pelindung dan berlangsungnya produktifitas berbagai jenis hewan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh berbagai jenis tumbuhan spermatophyta (34 spesies) dan pteridophyta (1 spesies). Adapun jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di kawasan ekosistem estuaria Gampong Jawa dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Jenis Tumbuhan Spermatophyta pada Lokasi Penelitian No. Nama Tumbuhan Nama Spesies (Latin) 1. Nipah Nypa fruticans 2. Chunga Astrocaryum standleyanum 3. Perepat laut Sonneratia alba 4. Cinggam Scyphiphora hydrophyllacea 5. Mengkudu Morinda citrifolia L 6. Bido-bido Ceriops decandra 7. Bakau minyak Rhizophora apiculata 8. Nyiri Xlocarpus granatum 9. Jeruju Acanthus ilicifolius L 10. Daruju Acanthus ebracteatus 11. Waru lengis Hibiscus tiliaceus 12. Waru laut Thespesia papulnea L 13. Kembang sore Abutilon indicum L 14. Biduri Calotropis gigantea 15. Tapak kuda Ipomoea pes-caprae 16. Rumput kuluwing Cyperus malaccensis 17. Kikisa Cyperus javanicus 18. Rumput lidi Fimbristylis ferruginea 19. Rumput benggala Panicum maximum 20. Rumput pangola Digataria decumbens 21. Rumput grinting Cynodon dactylon L 22. Rumput jejarongan Chloris barbata 23. Pulai Alstonia macrophylla 24. Buta-buta Exloecaria agallocha 25. Patikan kebo Euphorbia hirta L 26. Petai cina Leucaena leucocephala 27. Janti Sesbania sesban L 28. Stylo Stylosanthes guianensis 29. Kelici Caesalpinia crista L 30. China doll Radermachera sinica 31. Beluntas Pluchea indica L 32. Seruni laut Wedelia biflora L 33. Gambir laut Clerodendrum inerme L 34. Pecut kuda Stachytarpheta jamaicensis L Tabel 2. Jenis Tumbuhan Pteridophyta pada Lokasi Penelitian No. Nama Tumbuhan Nama Spesies (Latin) 1. Paku laut Acrostichum aureum L 310 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 3. Jenis Tumbuhan yang Berhabitus Pohon pada Lokasi Penelitian No. Nama Tumbuhan Nama Spesies (Latin) 1. Nyiri Xlocarpus granatum 2. Bido-bido Ceriops decandra 3. Buta-buta Exloecaria agallocha 4. Bakau Minyak Rhizophora apiculata 5. Perepat laut Sonneratia alba 6. Waru lengis Hibiscus tiliaceus 7. Waru laut Thespesia papulnea L 8. Petai cina Leucaena leucocephala 9. China doll Radermachera sinica 10. Pulai Alstonia macrophylla 11. Chunga Astrocaryum standleyanum Habitus Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Tabel 4. Jenis Tumbuhan yang Berhabitus Perdu pada Lokasi Penelitian No. Nama Tumbuhan Nama Spesies (Latin) 1. Mengkudu Morinda citrifolia L 2. Janti Sesbania sesban L 3. Kembang sore Abutilon indicum L 4. Beluntas Pluchea indica L Habitus Perdu Perdu Perdu Perdu Tabel 5. Jenis Tumbuhan yang Berhabitus Semak pada Lokasi Penelitian No. Nama Tumbuhan Nama Spesies (Latin) 1. Nipah Nypa fruticans 2. Cinggam Scyphiphora hydrophyllacea 3. Biduri Calotropis gigantea 4. Stylo Stylosanthes guianensis 5. Paku laut Acrostichum aureum L 6. Gambir laut Clerodendrum inerme L 7. Kelici Caesalpinia crista L Habitus Semak Semak Semak Semak Semak Semak Semak Tabel 6. Jenis Tumbuhan yang Berhabitus Terna pada Lokasi Penelitian No. Nama Tumbuhan Nama Spesies (Latin) 1. Jeruju Acanthus ilicifolius L 2. Daruju Acanthus ebracteatus 3. Tapak kuda Ipomoea pes-caprae 4. Rumput benggala Panicum maximum 5. Rumput pangola Digataria decumbens 6. Rumput grinting Cynodon dactylon L 7. Rumput jejarongan Chloris barbata 8. Rumput kuluwing Cyperus malaccensis 9. Kikisa Cyperus javanicus 10. Rumput lidi Fimbristylis ferruginea 11. Seruni laut Wedelia biflora 12. Pecut kuda Stachytarpheta jamaicensis L 13. Patikan kebo Euphorbia hirta L Habitus Terna Terna Terna Terna Terna Terna Terna Terna Terna Terna Terna Terna Terna 311 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 7. Jumlah Semua Jenis Tumbuhan pada Lokasi Penelitian Nama Tumbuhan Familia Genus 1. Nipah 1. Nypa 2. Chunga 1. Arecaceae 2. Astrocaryum 1. Nypa fruticans 2. Astrocaryum standleyanum 3. Paku laut 4. Perepat laut 2. Pteridaceae 3. Sonneratiaceae 1. Acrostichum 1. Sonneratia 1. Acrostichum aureum L 1. Sonneratia Alba 5. Cinggam 6. Mengkudu 4. Rubiaceae 1. Scyphiphora 2. Morinda 1. Scyphiphora hydrophyllacea 2. Morinda citrifolia L 6. Meliaceae 1. Ceriops 2. Rhizophora 1. Xlocarpus 7. Acanthaceae 1. Acanthus 1. Ceriops decandra 2. Rhizophora apiculata 1. Xlocarpus granatum 1. Acanthus ilicifolius L 2. Acanthus ebracteatus 1. Hibiscus tiliaceus 2. Thespesia papulnea L 3. Abutilon indicum L 1. Calotropis gigantea 1. Ipomoea pes-caprae 7. Bido-bido 8. Bakau minyak 9. Nyiri 10. Jeruju 11. Daruju 12. Waru lengis 13. Waru laut 14. Kembang sore 15. Biduri 16. Tapak kuda 17. Rumput kuluwing 18. Kikisa 19. Rumput lidi 20. Rumput benggala 21. Rumput pangola 22. Rumput grinting 23. Rumput jejarongan 24. Pulai 25. Buta-buta 26. Patikan kebo 27. Petai cina 28. Janti 29. Stylo 30. Kelici 31. China doll 32. Beluntas 33. Seruni laut 34. Gambir laut 35. Pecut kuda 35 Jenis Tumbuhan 5. Rhizophoraceae 8. Malvaceae 9. Asclepiadaceae 10. Canvolvulaceae 11. Cyperaceae 12. Poaceae 13. Apocynaceae 14. Euphorbiaceae 15. Fabaceae 16. Caesalpiniaceae 17. Bignoniaceae 18. Asteraceae 19. Verbenaceae 19 Familia 1. Hibiscus 2. Thespesia 3. Abutilon 1. Calotropis 1. Ipomoea Spesies 1. Panicum 2. Digataria 3. Cynodon 4. Chloris 1. Cyperus malaccensis 2. Cyperus javanicus 3. Fimbristylis ferruginea 1. Panicum maximum 2. Digataria decumbens 3. Cynodon dactylon L 4. Chloris barbata 1. Alstonia 1. Exloecaria 2. Euphorbia 1. Leucaena 2. Sesbania 3. Stylosanthes 1. Caesalpinia 1. Alstonia macrophylla 1. Exloecaria agallocha 2. Euphorbia hirta L 1. Leucaena leucocephala 2. Sesbania sesban L 3. Stylosanthes guianensis 1. Caesalpinia crista L 1. Radermachera 1. Pluchea 2. Wedelia 1. Clerodendrum 2. Stachytarpheta 33 Genera 1. Radermachera sinica 1. Pluchea indica L 2. Wedelia biflora L 1. Clerodendrum inerme L 2.Stachytarpheta jamaicensis L 35 Spesies 1. Cyperus 2. Fimbristylis Hasil pengamatan terhadap tumbuhan pada lokasi penelitian diperoleh 35 jenis tumbuhan dari 19 familia, yaitu yang menyusun komunitas tumbuhan di kawasan ekosistem estuaria Gampong Jawa Kecamatan Kuta Raja Banda Aceh. Berdasarkan tabel 1. dan tabel 2. diperoleh 35 jenis tumbuhan yaitu 34 spesies adalah spermatophyta dan 1 spesies adalah pteridophyta yang berhabitus pohon, semak, perdu dan terna. Sesuai juga dengan pernyataan Tjitrosoepomo (2010: 7) bahwa divisi tumbuhan biji (spermatophyta) secara klasik dibedakan dalam dua anak divisi yaitu: Tumbuhan biji terbuka (Gymnospermae) dan Tumbuhan biji tertutup (Angiospermae). Dari keseluruhan spesies dan familia tumbuhan tersebut yang berhabitus pohon pada lokasi penelitian terdapat 11 spesies dari 9 familia yaitu (Xlocarpus granatum) dari familia Meliaceae, (Ceriops decandra, Rhizophora apiculata) dari familia Rhizophoraceae, (Exloecaria agallocha) dari 312 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 familia Euphorbiaceae, (Sonneratia alba) dari familia Sonneratiaceae, (Hibiscus tiliaceus, Thespesia papulnea L), dari familia Malvaceae, (Leucaena leucocephala) dari familia Fabaceae, (Radermachera sinica) dari familia Bignoniaceae (Alstonia macrophylla) dari familia Apocynaceae dan (Astrocaryum standleyanum) dari familia Arecaceae. Perdu 4 spesies dari 4 familia yaitu (Morinda citrifolia L) dari familia Rubiaceae, (Sesbania sesban L) dari familia Fabaceae, (Abutilon indicum L) dari familia Malvaceae, (Pluchea indica L) dari familia Asteraceae. Semak 7 spesies dari 7 familia yaitu (Nypa fruticans) dari familia Arecaceae, (Scyphiphora hydrophyllacea) dari familia Rubiaceae, (Calotropis gigantea) dari familia Asclepiadaceae, (Stylosanthes guianensis) dari familia Fabaceae, (Acrostichum aureum L) dari familia Pteridaceae, (Clerodendrum inerme L) dari familia Verbenaceae, dan (Caesalpinia crista L) dari familia Caesalpiniaceae. Terna 13 spesies dari 6 familia yaitu (Acanthus ilicifolius L, Acanthus ebracteatus) dari familia Acanthaceae, (Ipomoea pes-caprae) dari familia Canvolvulaceae, (Panicum maximum, Digataria decumbens, Cynodon dactylon L, Chloris barbata) dari familia Poaceae, (Cyperus malaccensis , Cyperus javanicus, Fimbristylis ferruginea), dari familia Cyperaceae, (Wedelia biflora) dari familia Asteraceae, (Stachytarpheta jamaicensis L) dari familia Verbenaceae, dan (Euphorbia hirta L) dari familia Euphorbiaceae. Berdasarkan data tersebut kelompok tumbuhan yang paling banyak dijumpai di ekosistem estuaria Gampong Jawa adalah tumbuhan dari jenis terna, dikarenakan kawasan ekosistem estuaria pada lokasi pada penelitian telah mengalami suksesi ekologi akibat gelombang tsunami pada tahun 2004 yang lalu. Menurut Luken, 1990 dalam Supriharyono (2009: 45) suksesi ekologi adalah suatu proses perubahan komponen-komponen spesies suatu komunitas selama selang waktu tertentu. Menyusul adanya sebuah gangguan, suatu ekosistem biasanya akan berkembang dari mulai tingkat organisasi sederhana (misalnya beberapa spesies dominan) hingga ke komunitas yang lebih kompleks (banyak spesies yang interdependen) selama beberapa generasi. Berdasarkan tabel 7. terdapat 35 jenis spesies tumbuhan dari 33 genera dari 19 familia. Dari 35 jenis spesies tumbuhan yang ada, dari masing-masing familia, dari familia Arecaceae ada 2 genera (Nypa, Astrocaryum) dari 2 spesies (Nypa fruticans, Astrocaryum standleyanum), dari familia Pteridaceae ada 1 genus (Acrostichum) dari 1 spesies (Acrostichum aureum L), dari familia Sonneratiaceae ada 1 genus (Sonneratia) dari 1 spesies (Sonneratia alba), dari familia Rubiaceae ada 2 genera (Scyphiphora, Morinda) dari 2 spesies (Scyphiphora hydrophyllacea, Morinda citrifolia L), dari familia Rhizophoraceae ada 2 genera (Ceriops, decandra) dari 2 spesies (Ceriops decandra, Rhizophora apiculata), dari familia Meliaceae ada 1 genus (Xlocarpus) dari 1 spesies (Xlocarpus granatum), dari familia Acanthaceae ada 1 genus (Ancanthus) dari 2 spesies (Acanthus ilicifolius L, Acanthus ebracteatus), dari familia Malvaceae ada 3 genera (Hibiscus, Thespesia, Abutilon) dari 3 spesies (Hibiscus tiliaceus, Thespesia papulnea L, Abutilon indicum L), dari familia Asclepiadaceae ada 1 genus (Calostropis) dari 1 spesies (Calotropis gigantea), dari familia Canvolvulaceae ada 1 genus (Ipomoea) dari 1 spesies (Ipomoea pes-caprae), dari familia Cyperaceae ada 2 genera (Cyperus, Fimbristylis) dari 3 spesies (Cyperus malaccensis , Cyperus javanicus, Fimbristylis ferruginea), dari familia Poaceae ada 4 genera (Panicum, Digataria, Cynodon, Chloris) dari 4 spesies (Panicum maximum, Digataria decumbens, Cynodon dactylon L, Chloris barbata), dari familia Apocynaceae ada 1 genus (Alstonia) dari 1 spesies (Alstonia macrophylla), dari familia Euphorbiaceae ada 2 genera (Exloecaria, Euphorbia) dari 2 spesies (Exloecaria agallocha, Euphorbia hirta L), dari familia Fabaceae ada 3 genera (Leucaena, Sesbania, Stylosanthes) dari 3 spesies (Leucaena leucocephala, Sesbania sesban L, Stylosanthes guianensis), dari familia Caesalpiniaceae ada 1 genus (Caesalpinia) dari 1 spesies (Caesalpinia crista L ), dari familia Bignoniaceae ada 1 genus (Radermachera) dari 1 spesies (Radermachera sinica), dari familia Asteraceae ada 2 genera (Pluchea, Wedelia) dari 2 spesies (Pluchea indica L, Wedelia biflora L), dan dari familia Verbenaceae ada 2 genera (Clerodendrum, Stachytarpheta) dari 2 spesies (Clerodendrum inerme L, Stachytarpheta jamaicensis L ). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Muharin (2008) yang menemukan bahwa pada estuari Perancak didominasi oleh 6 jenis mangrove yaitu bakau (Rhizophora spp.), lindur (Bruguiera gymnorrhiza), api-api (Avicennia spp.), pedada (Sonneratia spp.), tingi (ceriops tagal), dan nipah (Nypa fruticants). Secara umum, nilai kerapatan spesies yang paling besar nilainya pada tingkat pohon dan semak adalah pada jenis Rhizophora spp. sedangkan pada fase anakan adalah jenis Nypa fruticans. Semua jenis tumbuhan yang ada di lokasi penelitian adalah tumbuhan dari divisi spermatophyta (34 spesies) dan pteridophyta (1 spesies). Berdasarkan hasil pengamatan dan seluruh plot pengamatan (13 plot) yang peneliti amati tumbuhan dari divisi bryophyta (lumut) tidak 313 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 ditemukan pada lokasi penelitian karena tumbuhan tersebut memiliki spesies dan jumlah yang sangat sedikit serta penyebarannya yang rendah. Suroso, dkk., (2003: 32) menyatakan bahwa tumbuhan lumut dikenal sebagai tumbuhan pertama yang sukses hidup di darat yang memiliki klorofil, sekalipun hidupnya masih memerlukan tempat yang memiliki kelembaban tinggi atau berair cukup. KESIMPULAN Terdapat 35 jenis tumbuhan yaitu spermatophyta (34 spesies) dan pteridophyta (1 spesies) di kawasan ekosistem estuaria Gampong Jawa Kecamatan Kuta Raja Banda Aceh yang terdiri dari 19 familia dan 33 genera. Jenis tumbuhan yang paling banyak ditemui di kawasan ekosistem estuaria Gampong Jawa Kecamatan Kuta Raja Banda Aceh adalah yang berhabitus terna. Tumbuhan yang berhabitus pohon 11 spesies dari 9 familia, perdu 4 spesies dari 4 familia, semak 7 spesies dari 7 familia,dan terna 13 spesies dari 6 familia. Dari 19 familia, 18 familia adalah spermatophyta dan 1 famili lagi adalah pteridophyta. Ke 19 familia tersebut adalah Arecaceae, Pteridaceae, Sonneratiaceae, Rubiaceae, Rhizophoraceae, Meliaceae, Acanthaceae, Malvaceae, Asclepiadaceae, Canvolvulaceae, Cyperaceae, Poaceae, Apocynaceae, Euphorbiaceae, Fabaceae, Caesalpiniaceae, Bignoniaceae, Asteraceae, dan Verbenaceae. DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. (2004). Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan. Bogor: IPB. Muharin. (2008). Kajian Sumber Daya Ekosistem Mangrove untuk Pengelolaan Ekowisata di Estuari Perancak, Jembrana, Bali. Skripsi: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Supriharyono. (2009). Konservasi Ekosistem Sumber Daya Hayati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suroso, A.Y., Anna P., Kardiawarman. (2003). Ensiklopedi Sains dan Kehidupan Cetakan Kedua. Jakarta: CV. Tarity Samudra Berlian. Tjitrosoepomo, G. (2010). Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Cetakan Kesepuluh. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 314 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 KONDISI, SPESIES KARANG DAN IKAN KARANG DI TERUMBU KARANG PULAU BABI, KABUPATEN PESISIR SELATAN, SUMATERA BARAT Indra Junaidi Zakaria Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Andalas Kampus Unand Limau Manis, Padang, Sumatera Barat – 25163 [email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilakukan di terumbu karang Pulau Babi, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat dari bulan Juli sampai Okotober 2013 dengan tujuan untuk mengetahui kondisi, spesies karang dan ikan karang di terumbu karang Pulau Babi, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera. Metode penelitian yang digunakan adalah survei dengan teknik mantatow dan visual sensus mengeliling pulau pada kedalam 3 – 8 meter. Hasil penelitian menunjukan kondisi terumbu karang di Pulau Babi adalah baik sampai sangat baik dengan tutupan karang hidup antara 54% - 90%. Spesies karang yang ditemukan sebanyak 26 spesies dari 10 Famili. Spesies ikan karang yang didapatkan adalah 17 spesies terdiri dari ikan indikator sebanyak lima species dari famili Chaetodontidae, ikan target sebanyak lima spesies dari lima famili (Lutjanidae, Caesionidae, Pomachanthidae dan Haemulidae) dan tujuh spesies dari empat famili (Achanturidae, Pomacentridae, Nemipteridae dan Scorpaenidae) ikan mayor. Kata kunci: ikan karang, karang, Pulau Babi, terumbu karang PENDAHULUAN Terumbu karang sangat penting peranannya dalam ekosistem wilayah pesisir dan laut, dimana merupakan bangunan dari trilyunan koloni yang berasal dari 600 spesies karang. Selain spesies karang di terumbu karang juga dijumpai 200 spesies ikan karang dan berpuluh-puluh spesies moluska, crustacean, sponge, alga, lamun dan biota laut lainnya, Terumbu karang memiliki manfaat untuk menjaga kestabilan kondisi ekologi perairan laut, antara lain sebagai habitat, tempat memijah dan tempat berlindung bagi berbagai jenis hewan (Dahuri, 2003; Zakaria, 2004). Provinsi Sumatera memiliki luas perairan laut sekitar 186.580 km2, yang terdiri dari laut teritorial 57.880 km2 dan 128.700 km2 perairan ZEEI, panjang garis pantai 2.420,39 km, mempunyai pulau-pulau kecil dengan jumlah 108 pulau dan diperkirakan mempunyai ekosistem terumbu karang seluas 5.000 km2. Di provinsi ini ada tujuh kabupaten/kota yang memiliki wilayah perairan laut, salah satunya Kabupaten Pesisir Salatan (BAPPEDA Sumbar, 2002; Zakaria, 2007). Pulau Babi merupakan salah satu dari 47 pulau yang berada dalam wilayah Pemerintahan Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Secara geografis Pulau Babi berada pada posisi 1° 19' 50'' LS dan 100° 28' 23'' BT. Kemudian secara administratif termasuk dalam Nagari Api-Api, Kecamatan Bayang, Kabupaten. Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Batas wilayah pulau ini adalah: (i) sebelah utara berbatasan dengan Nagari Kapuah; (ii) sebelah timur berbatasan dengan pantai daratan Nagari Api-api sendiri; (iii) sebelah barat dan selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. Pulau Babi mempunyai potensi sumberdaya alam baik dari daratan maupun di perairan serta di dasar perairan, seperti ekosistem terumbu karang, ikan karang, rumput laut dan biota laut lainnya. Namun demikian masih belum ada data mengenai kondisi dan keanekaragaman biota-biota tersebut. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian dengan tujuan mengetahui kondisi, spesies karang dan ikan karang di terumbu karang Pulau Babi. Dari hasil penelitian nantinya dapat dijadikan sebagai informasi bagi instansi terkait di Kabupaten Pesisir Selatan dan stakeholders lainya untuk mengelola pulau tersebut. METODE Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai Okotober 2013 di terumbu karang Pulau Babi, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Metode penelitian yang digunakan adalah survei 315 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 dengan teknik mantatow dan sensus visual (UNEP, 1993; English, Wilkinson dan Baker, 1994) mengeliling pulau pada kedalam 3 – 8 meter untuk mengetahui kondisi terumbu karang, jenis karang dan ikan karang pada 16 site (stasiun) pengamatan, masing-masingnya sepanjang 75 - 100 meter. Jumlah semua site pengamatan adalah sekitar 2/3 bagian kawasan terumbu karang pulau. Sisa 1/3 bahagian lagi tidak dapat diamati karena kondisi gelombang dan arus laut yang cukup besar. Untuk mengetahui kondisi terumbu karang adalah dengan membandingkan dengan kriteria tingkat kerusakan terumbu karang menurut English, et al. (1994) dan Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2001). Data yang diambil adalah tutupan karang hidup berdasarkan life form (bentuk hidup) dari karang keras yang terdiri dari kelompok Acropora dan non Acropora serta organisme hidup lainnya. Dalam mengidentifikasi spesies karang digunakan buku acuan Veron (1993) dan Suharsono (2008). Selanjutnya untuk mengidentifikasi ikan karang mengacu kepada Kuiter (1992) dan Allen (2003). Kemudian ikan karang ini dikelompokkan kepada ikan target, ikan indikator dan ikan mayor. Sebagai data tambahan dilakukan juga pengukuran parameter fisika-kimia perairan sebagai tempat habitat karang dan ikan karang. Parameter fisika kimia yang diukur adalah: salinitas (‰), suhu air (oC), kecerahan (m) dan pH. Kemudian dilakukan juga pengukuran: luas pulau secara keseluruhan, Kemudian perincian luasan tutupan lahan, yaitu: pasir pantai, ekosistem mangrove, mangrove ikutan, ekosistem rawa, semak belukar dan tanaman campuran. Kemudian luasan ekosistem terumbu karang. Semua data yang didapatkan ditabulasikan dalam bentuk tabel. Selanjutnya tabel tersebut dideskripsikan. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Pulau Babi Hasil pengukuran terhadap Pulau Babi, pulau ini mempunyai luas secara keseluruhan adalah 51,37 ha. Secara terperinci luasan tutupan lahan di Pulau Babi, yaitu: pasir pantai 1.94 ha, ekosistem mangrove dan mangrove ikutan 3,59 ha, ekosistem rawa 1,71 ha, semak belukar 38,75 ha dan tanaman campuran 7,31 ha. Sementara luasan ekosistem terumbu karang lebih kurang 22.70 ha. Kawasan perairan Pulau Babi merupakan kawasan pantai berpasir dan flat serta slove sampai drop. Lebar flat perairan ini berkisar antara 100 sampai 450 meter. Pada daerah flat, slove dan drop inilah hidup karang yang membentuk ekosistem terumbu karang. Karang-karang yang hidup di daerah flat ini umumnya bercampur dengan rumput laut dan lamun, dimana pada saat surut terendah sebahagiannya masih tergenang air laut dengan sebahagiannya lagi kering. Persen tutupan Berdasarkan life-form dan Kondisi Berdasarkan pengamatan secara mantatow dan sensus visual terhadap 16 site (stasiun) masingmasingya sepanjang 75 – 100 meter, tutupan karang hidup di Pulau Babi berkisar antara 54% sampai 90%. Dari persentase karang hidup tersebut menunjukkan kondisi ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Babi berada dalam kondisi baik (skala 4) sampai sangat baik (skala 5). Namun demikian ada juga pada beberapa tempat ditemukan kondisi terumbu karang yang rusak. Hasil pengukuran kondisi terumbu karang di perairan Pulau Babi secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 1. 316 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Tabel 1. Site I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV XV XVI Medan, 15 Februari 2014 Posisi, persen tutupan karang hidup, mati dan organisme lain yang ditemukan di terumbu karang Pulau Babi, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat Persen Tutupan Posisi Karang Hidup Karang Mati Lain 1o 19' 22.252" S; 60% (4) 4% 6% o 100 28' 36.720" E Baik 1o 19' 13.539" S; 54% (4) 36% 10% 100 o 28' 37.780" E Baik 1o 19' 12.400" S; 65% (4) 30% 5% 100 o 28' 36.647" E Baik 1o 19' 8.916" S; 58%(4) 32% 10% 100 o 28' 36.774" E Baik 1 o 19' 3.873" S; 60% (4) 27% 13% 100 o 28' 30.463" E Baik 1 o 19' 6.675" S; 60% (4) 32% 8% 100 o 28' 27.165" E Baik 1 o 19' 3.811" S; 62 (4) 28% 10% 100 o 28' 24.964" E Baik 1 o 19' 9.968" S; 56% (4) 39% 5% 100 o 28' 19.791" E Baik 1o 19' 17.294" S; 55% (4) 32% 13% 100 o 28' 19.698" E Baik 1o 19' 18.110" S; 66% (4) 26% 8% 100 o 28' 16.302" E Baik 1o 19' 43.943" S; 70% (4) 24% 6% 100 o 28' 37.442" E Baik 1 o 19' 28.929" S; 86% (5) 12% 2% 100 o 28' 35.996" E Sangat Baik 1 o 19' 33.842" S; 86% (5) 10% 4% 100 o 28' 34.630" E Sangat Baik 1 o 19' 38.489" S; 88 % (5) 10% 2% 100 o 28' 33.037" E Sangat Baik 1 o 19' 40.544" S; 90 % (5) 3% 7% 100 o 28' 31.364" E Sangat Baik 1o 19' 43.943" S; 90% (5) 5% 5% 100 o 28' 29.803" E Sangat Baik Selain karang hidup, karang yang mati ditemukan di lokasi penelitian adalah dengan bentuk DCA (Dead Coral with Algae), Rubble atau pecahan karang (R), dan DC (Dead Coral). Kondisi ini ditemukan hampir di seluruh paparan ekosistem terumbu karang dari kedalaman 1 (satu) sampai 15 meter. Persentase tingkat kerusakan terumbu karang di Pulau Babi dari 16 site yang diamati berkisar antara 3% sampai 39%. Ada dua penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di Pulau Babi yang umum terjadi juga di terumbu karang yang ada di wilayah Sumatera Barat (Zakaria, 2004, 2007 dan 2009), pertama adalah penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan kedua kematian secara alami. Kerusakan akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan adalah disebabkan oleh penggunaan bahan peledak dalam menangkap ikan dan biota lainnya, dengan ditandai banyaknya ditemukan pecahanpecahan karang (Rubble = R) serta lubang bekas ledakan bahan peledak. Selanjutnya pengunaan bahan kimia beracun untuk menangkap ikan karang, seperti potassium sianida. Indikator kerusakan terumbu karang akibat penggunaan bahan beracun ini, di lokasi penelitian ditemukan karang dalam bentuk utuh, tetapi sudah mengalami kematian dan umumnya ditumbuhi oleh alga. 317 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Sedangkan penyebab kerusakkan secara alami adalah adanya sedimentasi dari daratan pesisir Pulau Sumatera. Namun demikian kejadian ini merupakan kejadian hal yang biasa ditemukan bagi pulau yang berhadapan dengan daratan pesisir pulau besar (Pulau Sumatera). Spesies Karang Berdasarkan perhitungan secara sensus visual dan identivikasi spesies, di perairan Pulau Babi ditemukan sebanyak 26 spesies karang dari 10 Fimili. Dari 26 spesies karang tersebut tidak adanya masuk kategori endemik/langka. Semua spesies dan famili karang yang ditemukan di perairan Pulau Babi dapat dilihat pada Tabel 2. Famili Acroporidae merupakan famili yang mempunyai paling banyak spesiesnya, yaitu 9 spesies, kemudian diikuti oleh Faviidae, Poritidae dan Pocilloporidae dimana sama-sama mempunyai tiga spesies. Kemudian, Famili Agaricidae, Fungiidae masing-masingnya memiliki dua spesies. Selanjutnya, familiCaryophylliidae, Merullinidae, Oculinidae dan Siderastreidae, masing-masingnya satu spesies. Menurut Ditlev (1980), Veron (1993) Zakaria (2004), famili Acroporidae, Faviidae, Poritidae dan Pocilloporidae merupakan famili yang mempunyai spesies dan kepadatan tergolong tinggi. Umumnya famili famili tersebut merupakan penyusun utama ekosistem terumbu karang di perairan Indo-Pasifik. Kemudian karang ini juga memiliki penyebaran yang luas dan mempunyai laju pertumbuhan yang tinggi serta tahan terhadap tekanan lingkungan, terutama perairan terbuka, salinitas rendah, panas dan sedimentasi. Spesies Ikan Karang Berdasarkan survei secara visual sensus ditemukan 17 spesies ikan karang dengan rincian, yaitu: ikan indicator sebanyak lima species dari famili Chaetodontidae, ikan target sebanyak lima spesies dari lima famili (Lutjanidae, Caesionidae, Pomachanthidae dan Haemulidae) dan tujuh spesies dari empat famili (Achanturidae, Pomacentridae, Nemipteridae dan Scorpaenidae) ikan mayor. Kesemua ikan karang tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Dari spesies ikan yang teramati di terumbu karang Pulau Babi, ditemui beberapa spesies ikan dari famili Chaetodontidae. Ikan Chaetodontidae merupakan ikan indikator terumbu karang, karena hubungannya yang kuat dengan terumbu karang. Sebagian spesies ikan ini bersifat obligatif polip karang yaitu polip karang sebagai sumber makanan utamanya. Jadi dengan dijumpai banyaknya spesies ikan dari famili Chaetodontidae ini dapat dilihat kondisi baik atau buruknya terumbu karang. Sedangkan ikan target adalah ikan yang umumnya dijadikan tangkapan utama bagi nelayan dalam menangkap ikan di terumbu karang. Ikan target yang jumpai pada terumbu karang Pulau Babi, yaitu Lutjanus decussatus dan Caesio teres. Keberadaan ikan ini kurang banyak ditemukan di perairan. Keadaan ini diduga akibat penangkapan ikan dengan tidak ramah lingkungan. 318 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Tabel 2. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Medan, 15 Februari 2014 Famili dan spesies Karang yang ditemukan di terumbu karang Pulau Babi, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat Famili Spesies Karang ACOPORIDAE Acropora aspera Acropora humilis Acropora nobilis Acropora rudis Acropora palifera Acropora pulchra Motipora danae Montipora foliosa Montipora verrucosa AGARICIDAE Leptoseris scraba Pavona sp. CARYOPHYLLIIDAE Euphylia glabrescens FAVIIDAE Favites abdita Favites helicora Montastrea sp. PORITIDAE Porites lobata Porites mayeri Porites rus FUNGIIDAE Fungia sp. Fungia horida MERULLINIDAE Merulina amliata OCULINIDAE Galaxea fasicularis POCILLOPORIDAE Pocillopora damicornis Seriatopora hytrix Stylopora pistilata SIDERASTREIDAE Psamocora contiqua Ikan karang kelompok ikan mayor banyak dijumpai di perairan terumbu karang Pulau Babi. Ikan mayor tersebut masuk kedalam family Pomacentridae, Nemipteridae, Labridae dan Achanturidae. Ikan target dan mayor di Pulau Babi. Dari pengamatan di perairan terumbu karang Pulau Babi tidak dijumpai spesies ikan karang yang merupakan spesies endemic/langka. Kemudian di perairan ini ditemukan juga hewan laut lainnya seperti: Ophiuroidea brevispinum (bintang ular laut), Aurelia aurita (ubur-ubur), Tridacna (kerang kima) dan biota laut lainnya. Fisika Kimia perairan Secara umum faktor fisika kimia perairan Pulau Babi masih menunjukkan kisaran yang mendukung kehidupan bawah laut. Hal ini ditunjang dengan keberadaan pulau ini yang relatif jauh dengan daerah pantai atau pengaruh dari muara sungai. Dengan demikian ekosistim terumbu karang dan hewan-hewan yang berasosiasi dengannya akan tumbuh hidup serta berkembang dengan baik jika tak ada gangguan yang berasal dari manusia seperti penggunaan potas dan bahan peledak. Secara keseluruhan faktor fisika dan kimia perairan Pulau Babi adalah: suhu 29 – 30 oC, kecerahan 12 – 18 meter, Salinitas 32 – 34 ‰ dan pH 8. 319 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Tabel 3. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Medan, 15 Februari 2014 Famili dan Spesies ikan karang yang ditemui di terumbu karang Pulau Babi, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat Famili Spesies Chaetodontidae Chaetodon trifasciatus Chaetodon vagabundus Chaetodon rafflesii Chaetodon triangulum Heniochus pleurotaenia Lutjanidae Lutjanus decussates Caesionidae Caesio teres Pomacanthidae Pomachanthus sp Haemulidae Plectorinchus orientalis Labridae Halichoeres hortulanus Achanturidae Achanthurus lineatus Achanthurus sp Zanclus canescens Pomacentridae Amphiprion akallopisos Abudefduf troscheli Nemipteridae Scolopsis bilineatus Scorpaenidae Pterois volitans KESIMPULAN 1. Kondisi terumbu karang di Pulau Babi berada pada kondisi baik sampai sangat baik dengan tutupan karang hidup antara 54% - 90%. 2. Spesies karang yang ditemukan sebanyak 26 spesies dari 10 Famili. 3. Spesies ikan karang yang didapatkan adalah 17 spesies ikan karang terdiri dari ikan indikator sebanyak lima species dari famili Chaetodontidae, ikan target sebanyak lima spesies dari lima famili (Lutjanidae, Caesionidae, Pomachanthidae dan Haemulidae) dan tujuh spesies dari empat famili (Achanturidae, Pomacentridae, Nemipteridae dan Scorpaenidae) ikan mayor. DAFTAR PUSTAKA Allen, G.R. 2003. Reef Fish Identification – Tropical Pasific. Jackonsville, USA: New World Publications, Inc. BAPPEDA-Sumbar, 2002. Biofisik Taman Wisata Alam Pulau Pieh di Perairan Kota Padang (Laporan Akhir). Kerjasama Bappeda Sumbar dengan Yayasan Minang Bahari.89 Hal. Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Ditlev, H. 1980. A field guide to the reef-building corals of the Indopacifi. Backhuys, Rotterdam, 186pp. English S, C. Wilkinson, and V. Baker (1994) Survey manual for tropical marine resources. Australia Institute of Marine Science. Townsville, 245pp. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2001. Nomor: 04 Tahun 2001. Tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Kuiter, R.H. 1992. Tropical Reef-Fishes of The Western Pasific (Indonesia and Adjacent Water). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Suharsono. 2008. Jenis-jenis Karang di Indonesia. Puslitbang Oseanografi-LIPI.Jakarta. UNEP. 1993. Monitoring Coral Reef For Global Change Reference Method For Marine Pollution Studies no. 61. Australian Institut of Marine Science, 94pp. Veron, NEJ. 1993. Corals of Australia and The Indo – Pasific. University of Hawai Press. Honolulu, 644pp. Zakaria, I.J. 2004. On the growth newly On the growth of newly settled corals on concrete substrates in coral reefs of Pandan and Setan Islands, West Sumatera, Indonesia. Dissertation zur Erlangung des Doktorgrades der Mathematisch- Naturwissenschaftlichen Fakultät der Christian-AlbrechtsUniversität zu Kiel. Germany. 320 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Zakaria, I.J. 2007. West Sumatra Coral Reefs: Potention, Problem and Management. 1st Internatinal Symposium on Management of Aquatic and Marine Environment (ISMAME), January 22-23, 2007, Andalas Univeristy, Padang. Zakaria, I.J. 2009. Potensi kawasan wisata alam laut Pulau Pieh Provinsi Sumatera Barat. Laporan Akhir Penelitian Riview Potensi kawasan wisata alam laut Pulau Pieh Provinsi Sumatera Barat kerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat. Zakaria, I.J. 2012. Pengelolaan Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah yang disampaikan pada pada kegiatan Pertemuan Kelembagaan dan Sosialisasi Kawasan Konservasi Daerah (KKPD), Senin, 14 Mei 2012, Hotel Daima, Kota Padang. Undangan sebagai Narasumber dari Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Sumatera Barat. 321 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS PADA SUBTRAT BERLUMPUR EKOSISTEM MANGROVE GAMPONG JAWA BANDA ACEH Lili Kasmini Mahasiswa Program S3Jurusan Biologi, Universitas Sumatra Utara. Email: [email protected] Bencana tsunami yang melanda Provinsi Aceh pada Desember 2004 tercatat sebagai salah satu bencana yang paling parah sepanjang sejarah dan mengakibatkan banyak kerusakan baik terhadap populasi manusia maupun lingkungan. Kampong Jawa yang terletak di kecamatan Kutaraja Banda Aceh adalah salah satu desa dengan kondisi terparah, termasuk kondisi pada ekosistem Mangrove nya. Reboisasi terhadap ekosistem Mangrove pasca-tsunami telah dilakukan oleh pemerintah, namun karena reboisasi ini hanya dimaksudkan untuk penahan ombak, maka reboisasi ini hanya dilakukan dengan jenis dan usia yang sama. Faktanya, untuk membuat fungsi hutan Mangrove yang utuh dibutuhkan keanekaragaman spesies jenis tanaman yang hidup di hutan Mangrove sehingga kehidupan organisme yang hidup di sekitarnya dapat berlangsung dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan dari keanekaragaman jenis Mangrove terhadap kelangsungan hidup Makrozoobentos ekosistem tersebut dengan melihat kondisi lingkungan serta hubungan antara Mangrove dan makrozoobentos. Pengambilan data dilakukan pada September 2013 dengan metode transect line plots (English at al., 1994). Sampel diambil menggunakan pipa paralon berdiameter 11 cm kemudian di identifikasikan di Laboratorium Terpadu Kordinator Kelautan Perikanan. Dari hasil penelitian, ditemukan tiga kelas makrozoobentos yaitu : Malacostraca, Gastropoda, dan Bivalvia yang terdiri dari 8 spesies Makrozoobentos. Kelas Gastropoda memiliki presentasi tertinggi, mencapai 94,38%. Untuk jenis Mangrove, ditemukan dua spesies yaitu Rhizophora stylosa (87%) dan Nypa fruticans (13%). Kata kunci: Mangrove, Makrozoobentos, Malacostraca, Gastropoda, dan Bivalvia. PENDAHULUAN Latar Belakang Setelah bencana Tsunami tahun 2004, mangrove yang ada di Aceh mengalami kerusakan berat. Hal ini berdampak pada kelestarian keanekaragaman mahluk hidup yang ada di Aceh khususunya di daerah pesisir. Mengingat pentingnya hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang menunjang hasil kelautan dan juga merupakan salah satu faktor yang mampu mengurangi efek dari tsunami, maka setelah bencana tsunami, terjadi penanaman kembali (reboisasi) pada lokasi hutan mangrove yang ada di Aceh. Namun, reboisasi yang dilakukan menekankan pada fungsi mangrove sebagai penahan ombak apabila terjadi tsunami Padahal, idealnya suatu ekosistem mangrove harus terdiri dari berbagai spesies tumbuhan mangrove yang berbeda contohnya mangrove yang lebih dekat dengan perairan lepas memiliki struktur akar yang mampu menahan ombak, sedangkan mangrove yang lebih dekat pada daerah mangrove memiliki fungsi untuk menahan lumpur dan sedimen agar tidak mengalir ke lautan lepas yang diperlukan mahluk hidup sekitarnya untuk proses kehidupan. Daerah Gampong Jawa adalah salah satu daerah yang sangat dahsyat terkena Tsunami. Semua ekosistem pantai dan tambak di daerah tersebut rusak total. Sehingga setelah bencana Tsunami di lakukan penanaman kembali oleh NGO namun bibit yang di tanam adalah kelompok Rhizopoda dan seumur. Yang menjadi permasaalahan adalah mampukan hutan mangrove yang homogen untuk menyuplai makanan terhadap organisme di daerah tersebut secara berkesinambungan. Dan apakah ada pengaruh terhadap kondisi lingkungan di daerah tersebut dengan adanya bencana Tsunami. Bentos merupakan salah satu makanan yang diperlukan ikan dan udang kecil yang terletak pada daerah ekosistem mangrove. Selain itu bentos mampu untuk menghasilkan meriplankton yang merupakan makanan utama dalam rantai makanan berikutnya. Makrozoobentos (bentos >1mm) juga menjaga keseimbangan PH, oksigen, dan suhu dengan menciptakan lubang-lubang pada tanah disekitarnya. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana sifat fisik dan kimia ekosistem Mangrove Kampong Jawa? 2. Bagaimana keanekaragaman makrozoobentos dan mangrove di desa kampong Jawa? 3. Bagaimana kepadatan Makrozoobentos pada ekosistem Mangrove Kampong Jawa? 322 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui kualitas lingkungan yang terdapat pada ekosistem Mangrove Kampong Jawa. 2. Untuk mengetahui keanekaragaman, IMakrozoobentos pada ekosistem Mangrove Kampong Jawa. 3. Untuk mengetahui kepadatan mangrove pada ekosistem Mangrove Kampong Jawa. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kampung Jawa Kecamatan Kuta Raja Kota Banda Aceh. Waktu pengambilan data dilakukan selama 10 hari pada bulan September 2013. Alat dan Bahan Adapun alat dan bahan yang akan digunakan pada penelitian ini berupa, alat untuk pengukuran kondisi fisik dan kimia lingkungan, identifikasi makrozoobentos, dan buku identifikasi tumbuhan, serta alat pengambilan sampel makrozoobentos. Metode Penelitian Pengambilan data Stasiun dan fisika-kimia perairan Pengambilan data dilakukan dengan metode transect line plots (English et al., 1994) secara acak sistematik. Daerah pengamatan dibagi menjadi tiga stasiun, dimana setiap stasiun dibagi lagi menjadi tiga substasiun berupa garis transek 100 meter yang diusahakan tegak lurus dengan garis pantai. Masing-masing substasiun tersebut dibagi lagi menjadi plot-plot pengamatan (10x10) m2 yang berjumlah dua plot. Jarak antar substasiun 100 m, sedangkan jarak antar plot-plot pengamatan 25 m. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sketsa umum daerah pengamatan pada gambar 1. Pada setiap plot pengamatan diambil parameter perairan. Mangrove Vegetasi mangrove dibedakan berdasarkan diameter batang dan tinggi pohon, kategori pohon adalah berdiameter ˃4 cm, anakan berdiameter ˂4 cm dan tinggi ˃1 m, dan semai memiliki tinggi ˂1 m. Tiap plot pengamatan dibagi menjadi tiga petak, masing-masing untuk pohon 10x10 m2, untuk anakan 5x5 m2, dan semai 1x1 m2. Di setiap petak dihitung tegakan mangrove berdasarkan diameter batang dan spesies tegakan mangrove. Data panjang-lebar daun diambil di setiap plot dari tngkat vegetasi pohon, anakan, dan semai pada tiap spesies mangrove sebanyak 20 lembar daun yang terbentuk sempurna (bentuk daun utuh). Daun yang dipilih adalah daun yang berada di urutan 3-5 dari pucuk. Data panjang-lebar daun didapat secara in-situ. Gambar berikut adalah metode pengukuran panjang-lebar daun mangrove. Makrozoobentos Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan sebanyak empat kali ulangan dalam tiap plot 10x10 m2. Subtrat diambil dengan paralon berdiameter 11 cm sampai kedalaman 10 cm, kemudian subtrat tersebut dibilas dengan air laut sampai bersih, saringan yang digunakan bermata 1 mm. Makrozoobentos yang sudah dibilas bersih, diawetkan dengan alkohol 70%. Penyortiran dan identifikasi makrozoobentos dilakukan di Laboratorium Biologi Laut Koordinatorat Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Fisika-Kimia Perairan Suhu Lokasi 26,5-31 ST 1 (28,5±1,60) 29-38 Desa Gampong ST 2 (31,33±3,44) Jawa 29-33 ST 3 (31±2,83) Salinitas 27-37 (33,2±3,54) 30-35 (33,2±2,23) 32-33 (32,5±0,71) DO 1,3-4,1 (2,77±1,26) 2,1-3,2 (2,95±0,42) 2,1-2,8 (2,45-0,5) pH 6,5-8 (7,37±0,62) 7,2-7,5 (7,35±0,16) 7,8-8 (7,9±0,14) 323 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Suhu Perairan Desa Gampong Jawa memiliki suhu perairan berkisar antara 26,5-38 oC . Suhu perairan tertinggi mencapai 38oC dan terendah 26,5 oC (stasiun 2). Suhu yang tinggi dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang masuk ke dalam badan air cukup tinggi (Nontji, 2005). Adapun suhu yang tinggi dapat juga dipengaruhi oleh kedalaman air yang relatif dangkal serta pergerakan air yang relatif lambat. Hal ini juga di pengaruhi oleh jarak tumbuh dari pohon mangrove. Nilai rata-rata suhu yang terdapat di perairan Desa Gampong Jawa masih dalam kadar yang baik (30 oC) untuk pertumbuhan mangrove (Tabel 4.1), walaupun ada 1 sub stasiun yang memiliki suhu mencapai 38 oC. Hal ini sesuai dengan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004, dimana baku mutu suhu ekosistem mangrove adalah 28-32 oC dengan toleransi ˂2 oC dari suhu alaminya. Salinitas Salinitas yang didapat pada Desa Gampong Jawa berkisar antara 27-37 ppt, dimana salinitas tertinggi (37 ppt) dan terendah (27 ppt) terdapat di stasiun 1. Salinitas yang tinggi dipengaruhi oleh tingginya masukan air laut ke dalam kawasan mangrove, sedangkan kontribusi air tawar sangat sedikit yang masuk melalui daratan dan hujan. Adapun salinitas yang tinggi juga dipengaruhi oleh musim kemarau yang melanda wilayah penelitian serta tidak ada sungai yang melewati kawasan mangrove tersebut. Nilai rata-rata salinitas mencapai 33 ppt, dimana nilai tersebut menunjukkan kawasan mangrove tersebut tergolong baik. Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) pada setiap stasiun penelitian di Desa Gampong Jawa menunjukkan nilai yang relatif tidak jauh berbeda. pH rata-rata mencapai 7,5 ppm dan nilai ini termasuk kategori baik untuk pertumbuhan mangrove. Menurut Effendi (2000) nilai pH yang baik untuk kelangsungan hidup biota akuatik berkisar antara 7-8,5 ppm. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut (DO) merupakan bagian terpenting untuk kelangsungan hidup biota akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut pada setiap stasiun di Desa Gampong Jawa rata-rata mencapai 2,7 ppm. Faktor yang mempengaruhi tinggi rendah kandungan oksigen terlarut di dalam air adalah arus, kecerahan, kedalaman, suhu, proses dekomposisi oleh bakteri dan kelimpahan fitoplankton di dalam perairan (Effendi, 2000). Mangrove Komposisi Jenis Mangrove Pada lokasi penelitian di Desa Gampong Jawa mangrove yang mndominasi dari segi jumlah adalah mangrove dari genus Rhizophora. Adapun hasil pengamatan tegakan mangrove ditemui sebanyak 3 (tiga) spesies mangrove : Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata dan Nypa fruticans. Dimana setiap spesies mangrove memiliki tingkat adaptasi yang berbeda-beda. Pada stasiun I dan II mangrove jenis Rhizophora stylosa mendominasi dari segi jumlah berbanding dengan jenis lainnya. Noor (1999) menyatakan mangrove jenis Rhizophora stylosa merupakan jenis pionir di lingkungan pesisir atau pada bagian daratan dari mangrove. Namun berbeda pada stasiun III jenis mangrove yang mendominasi adalah Rhizophora apiculata. Komposisi jenis mangrove stasiun I hanya ditemui 2 (dua) spesies yaitu Rhizophora stylosa dan dan Nypa fruticans. Adapun jenis Rhizophora stylosa (87%) yang mendominasi dari segi jumlah dibandingkan jenis Nypa fruticans (13%). Menurut Macnae (1968) keberadaan Nypa Fruticans di satsiun ini sangat bertentangan dengan faktor lingkungan yang ada, dimana jenis ini hidup di air payau dengan kisaran salinitas 0-10 ppt dan di daerah yang sedikit dipengaruhi pasang surut. Namun Walsh (1974) menyatakan Nypa Fruticans adalah mangrove yang dikategorikan sebagai jenis yang tidak tembus/ kedap garam (glycohalophyte). Adapun jumlah yang rendah pada jenis ini mengindikasikan Nypa Fruticans mengalami tekanan fisiologis dan biologis (stress). Menurut Nybakker (1982), faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Mangrove antara lain iklim dan tanah. Faktor iklim antara lain seperti cahaya, temperatur, dan lain-lain. Faktor tanah seperti tekstur, bahan organik, kapasitas tukar kation, pH dan sifat kimia lainnya seperti C, N, P, dan K. Pada stasiun II hanya 1 (satu) jenis mangrove yang ditemui yaitu Rhizophora stylosa. Hal ini kemungkinan terjadi dikarenakan kawasan ini termasuk salah satu tempat rehabilitasi mangrove dan hanya 1 spesies yang ditanam kembali di daerah ini. Dilihat dari kontur tanah serta lingkungan, kawasan ini sangat ideal untuk mangrove jenis Rhizophora stylosa. Adapun Rhizophora stylosa memiliki kemampuan adaptasi terhadap salinitas, pasang surut serta suhu yang ekstrem. Nursal (2005) 324 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 menyebutkan bahwa mangrove jenis ini mempunyai kemampuan regenerasi yang lebih baik dibandingkan dengan jenis lainnya sehingga sering digunakan dalam kegiatan penghijauan di sepanjang pesisir indonesia. Selanjutnya stasiun III memiliki jenis mangrove tertinggi berbanding dengan stasiun lainnya, yaitu memiliki 3 jenis mangrove : Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata dan Nypa fruticans. Dari hasil analisis didapati Jenis Rhizophora apiculata (40%) lebih mendominasi berbanding dengan jenis Rhizophora stylosa (36%) dan dan Nypa fruticans (24%). Berikut gambar komposisi jenis mangrove di setiap stasiun Desa Gampong Jawa: Komposisi jenis mangrove stasiun II Komposisi jenis mangrove stasiun I 13% Rhizophora stylosa 100% Nypa fruticans Rhizopora stylosa 87% 40% Komposisi jenis mangrove stasiun III 36% Rhizophora stylosa Nypa fruticans 24% Gambar.1. a. Komposisi jenis mangrove stasiun I Desa Gampong Jawa b. Komposisi jenis mangrove stasiun II Desa Gampong Jawa c. Komposisi jenis mangrove stasiun III Desa Gampong Jawa Indeks Nilai Penting Indeks ini mengindikasikan tingkatan peranan suatu jenis mangrove dan sifat ekologinya. Peranan tersebut berupa penyediaan unsur hara dari dekomposisi guguran daunnya, sebagai habitat dan tempat perlindungan bagi biota yang berasosiasi dengan mangrove (Yulianda, 2000). Pohon Indeks nilai penting (INP) menunjukkan pada stasiun I di Desa Gampong Jawa yang berperan sangat besar terhadap ekologi yaitu mangrove jenis Rhizophora stylosa dengan nilai INP sebesar 190,2%. Adapun mangrove jenis Nypa fruticans juga memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap kehidupan ekologi di stasiun I dengan nilai INP mencapai 109,8%. Tumbuhan mangrove yang terdapat pada stasiun II di Desa Gampong Jawa hanya 1 (satu) jenis yaitu Rhizophora stylosa, sehingga pada stasiun II peran mangrove yang berpengaruh sangat penting terhadap ekologi adalah jenis mangrove tersebut dengan nilai INP mencapai 300%. Menurut Bengen (2001) jenis Rhizopora stylosa memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan sehingga jenis ini menjadi pionir dalam suatu kawasan mangrove. Dengan sifat itu juga jenis ini menjadi objek penting dalam program rehabilitasi mangrove di sepanjang pesisir Aceh secara khusus maupun Indonesia secara umum. Jenis-jenis tumbuhan mangrove pada stasiun III di Desa Gampong Jawa yaitu Rhizophora stylosa, Nypa fruticans dan Rhizophora apiculata. Adapun peranan mangrove terpenting terhadap ekologi kawasan ini adalah jenis Nypa fruticans dengan INP mencapai 142,22%, dilanjutkan dengan Rhizophora stylosa (94,42%) dan Rhizophora apiculata (63,36%). Menurut Noor (1999) Nypa fruticans memiliki sistem perakaran yang rapat dan kuat yang tersesuaikan lebih baik terhadap perubahan masukan air dibandingkan dengan sebagian besar tumbuhan mangrove lainnya. Dengan kelebihan tersebut mangrove jenis ini dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan yang labil. Berikut histogram INP mangrove vegetasi pohon di Desa Gampong Jawa: 325 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Anakan Mangrove ukuran anakan di Desa Gampong Jawa hanya ditemui pada 2 stasiun yaitu stasiun I dan III. Adapun mangrove ukuran anakan yang terdapat pada stasiun I hanya 1 (satu) jenis yaitu Rhizophora stylosa, sehingga pada stasiun I peran mangrove yang berpengaruh sangat penting terhadap ekologi adalah jenis mangrove tersebut dengan nilai INP mencapai 300%. Pada stasiun III hanya ditemui mangrove ukuran anakan yaitu dari jenis Rhizophora apiculata dengan nilai INP 300%. Semai Mangrove ukuran semai di Desa Gampong Jawa hanya ditemui pada 1 jenis mangrove di setiap stasiun sehingga masing-masing stasiun memiliki nilai INP 300%. Adapun jenis mangrove pada stasiun I dan II adalah Rhizophora stylosa, selanjutnya stasiun III adalah Rhizophora apiculata. Makrozoobentos Hasil identifikasi pada 2 lokasi penelitian didapati Desa Gampong Jawa memiliki 3 kelas makrozoobentos yaitu kelas gastropoda, malacostraca dan bivalvia. Kelas yang mendominasi pada lokasi penelitian adalah kelas gastropoda. Suwignyo et al., (1998) menyatakan bahwa Gastropoda adalah kelas yang paling sukses dan mempunyai penyebaran yang sangat luas, mulai dari wilayah pasang surut sampai pada kedalaman 8.200 m. Hal ini diperkuat oleh Nybakken (1992) bahwa kelas Gastropoda mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap kekeringan dan perubahan salinitas serta derajat keasaman (pH) dari tanah akibat pengaruh air laut dan air tawar. Komposisi dan kepadatan (D) makrozoobentos Pada penelitian ini Kelas Gastropoda memiliki komposisi terbesar. Menurut Wilhm (1975) berdasarkan ketahanan adaptasinya terhadap polusi, Gastropoda termasuk dalam golongan makrozoobentos yang toleran, dimana golongan toleran merupakan jenis makrozoobentos yang mampu bertahan hidup walaupun dalam keadaan pencemaran yang berat. Hal ini dipertegas oleh Hutagalung (1991) yang menyebutkan Gastropoda memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengakumulasi bahan-bahan tercemar. Tidak akan mati terbunuh,terdapat dalam jumlah banyak, terikat dalam suatu tempat yang keras dan hidup dalam jangka waktu yang lama sehingga kelas ini sering digunakan menjadi indikator pencemaran (bioindikator) suatu lingkungan. Pada stasiun III, Gastropoda memiliki persentase yaitu mencapai 94,38%. Adapun komposisi kelas makrozoobentos dapat dilihat pada gambar berikut: ST I 80 85 ST I Gastropoda 90 ST II 95 100 ST III 93,9857728 88,28322017 94,38366156 Malacostraca 4,828626859 9,582929195 5,616338439 Bivalvia 1,185600345 2,13385063 0 Gambar 2. Komposisi kelas makrozoobentos di setiap stasiun Desa Gampong Jawa Total kepadatan makrozoobetos di Desa Gampong Jawa nilai tertinggi mencapai 92 ind/m2 dan terdapat pada Stasiun I. Adapun jenis Cherithidea Sp paling mendominasi pada setiap stasiun di Desa Gampong Jawa dengan kepadatan tertinggi mencapai 87 ind/m2, hal ini dikarenakan penelitian ini hanya mengambil sampel pada subtrat berlumpur, dimana Kartawinata et al., (1979) menyebutkan subtrat berlumpur sangat disukai oleh jenis Cherithidea Sp. Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu di daerah Uleu-lheue (Banda Aceh) yang jaraknya tidak jauh dari lokasi penelitian dimana jenis Pedalion Sp (kelas Bivalvia) mendominasi pada setiap stasiun penelitian dengan kepadatan tertinggi mencapai 115 ind/m2 (Dewiyanti, 2006). 326 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Kepadatan Makrozoobentos (ind/m2) 100 80 60 40 20 0 ST I ST II ST III Gambar 3. Histogram kepadatan makrozoobentos di Desa Gampong Jawa 4.3.2. Keanekaragaman (H’), equitabilitas (E) dan dominasi (C) Keanekaragaman menyangkut dua hal, yaitu: jumlah taksa yang ada pada satu komunitas dan kelimpahan masing-masing dari taksa tersebut. Indeks keanekaragaman Shannon dan Wiener (H’) tertinggi terdapat pada stasiun III Desa Gampong Jawa sebesar 3,043. Ini menunjukkan bahwa komunitas makrozoobentos berada dalam kondisi yang lebih baik dari pada kedua stasiun lainya walaupun nilai tersebut menunjukkan keanekaragaman spesies yang rendah. Indeks keseragaman adalah penyebaran individu antar jenis yang berbeda dan diperoleh dari hubungan antara H’ dan Keanekargaman maksimalnya (Bengen, 2000). Dari hasil analisis didapatkan ketiga stasiun berada dalam keadaan yang stabil, dimana penyebaran setiap spesies merata. Adapun keseragaman makrozoobentos tertinggi terdapat pada stasiun 3 dengan nilai mencapai 1. Menurut Yulianda (2000) keberadaan komunitas pada setiap stasiun di Desa Gampong Jawa berada dalam keadan yang relatif mantap. SIMPULAN DAN SARAN I .Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: 1. Berdasarkan hasil penelitian hutan mangrove yang hidup di Gampong Jawa merupakan jenis ekosistem mangrove homogen. 2. Kehomogenan suatu ekosistem mangrove tidak mempengsruhi keberhasilan organisme makrozoobentos untuk mengembangkan jumlah individu, namun syarat organisme makrozoobentos dapat hidup dan berkembang dengan adanya bahan makanan yang tersedia, sedikit predator, subtrat yang didominasi lumpur serta lingkungan yang terlestarikan. 3. Kondisi lingkungan fisik dan kimia pada ekosistem Mangrove gampong jawa masih dalam keadaan baik untuk kehidupan makrozoobentos. II. Saran Sebaiknya dilakukan penanaman tumbuhan yang beranekaragam pada hutan Mangrove karena keanekaragaman ini dapat mengoptimalisasi keadaan komunitas ini menjadi lebih baik untuk kehidupan organisme disekitarnya sehingga didapatkan fungsi ekosistem Mangrove yang utuh. DAFTAR PUSTAKA Feller, I, C and M. Sitnik. 1996. MANGROVE ECOLOGY : A Manual for a Field Course A Field Manual Focused on the Biocomplexity On Mangrove Ecosystem. Smithsonian Institution. Washington. DC Nybakker, J.W. 1982. Marine Biology : An Ecological Approach. Terjemahan Dr. M. Eidman. Gramedia Jakarta. Odum, W.E and C.C. McIvor. 1990. Mangroves In Ecosystem of Florida, R.L. Myers and J.J Ewel (eds). University of Central Florida Press. Pp 517-548. Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya pesisir dan Lautan- Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Brower, J. E., dan J. H. Zar. 1977. Field and laboratory methods for general ecology. W. M. C. Brown Co. Publ. Dobuque, Iowa. 327 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Krebs, C. J. 1989. Ecological methodology. Harper Collins Publishers, Inc. New York, NY. Wingard, G. L. B., J. R. Stone, dan C. W. Holmes. 2001. Molluscan faunal distribution in Florida Bay, past and present: An intergration of Down-Core and modern data. In: South Florida Information Access. Macnae, W. 1968. A General Account Of The Fauna And Flora Of Mangrove Swampsand Forests In The Indo-West-Pacific Region. In: Russell, F. S., dan M. Yange (editor). Advanceas In Marine Biology Vol. 6. 1968. Academic Press. London. Bengen, D. G. 2000. Teknik pengambilan contoh dan aalisis data biologi-fisika sumberdaya pesisir. PKSPL-IPB. Jakarta. Noor, Y.R.M., Khazali dan I.N.N Suryadiputra.1999. Panduan pengenalan mangrove di Indonesia. Wetlands International Indonesia Program Bogor. 328 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 MORFOLOGI KARAPAK ALBUNEA PADA ZONA LITTORAL SAMUDERA HINDIA KAWASAN PESISIR LEPUNG KABUPATEN ACEH BESAR M. Ali Sarong Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unsyiah Banda Aceh Email: [email protected] ABSTRAK Penelitian tentang Kondisi Morfologi warna Karapak Albunea pada zona littoral Samudera Hindia kawasan pesisir Leupung Kabupaten Aceh Besar, bertujuan untuk mengetahui (1) morfologi warna karapak Albunea, (2) panjang karapak Albunea, dan (3) komposisi individu berdasarkan warna karapak Albunea yang terdapat di zona littoral Samudera Hindia kawasan pesisir Leupung Kabupaten Aceh Besar. Pengambilan contoh (sampel) dilakukan pada tanggal 7–20 Agustus 2013, di zona littoral Samudera Hindia Pesisir Leupung Kabupaten Aceh Besar. Metode digunakan adalah metode observasi dan metode survei, dengan Albunea contoh yang memiliki karapak yang berwarna berjumlah 46 individu. Analisis morfologi dilakukan dengan cara deskriptif, dan komposisi individu dengan indek dominansi. Hasil diperoleh adalah (1) Albunea memiliki karapak berwarna merah, biru dan berwarna coklat merah, (2) panjang karapak berkisar antara 1,1 Cm – 2,2 Cm, dan (3) Komposisi Albunea dengan karapak berwarna merah 20%, biru 69% dan coklat merah 11%. Kesimpulan diperoleh adalah (1) Albunea memiliki karapak berwarna merah, biru dan coklat merah, (2) panjang karapak Albunea bervariasi, dan (3) Komposisi Albunea dengan karapak berwarna merah lebih mendominasi jika dibandingkan dengan Albunea berwarna merah dan coklat merah. Kata kunci: Albunea, Karapak, Littoral, Lepung PENDAHULUAN Salah satu genus anggota kelas Malacostraca dari Filum Crustacea dengan tubuhnya keras (Suwignyo,2002) yang hidup di zona littoral, kawasan perairan laut adalah Albunea. Pada tubuh hewan ini terdapat kaki yang beruas, dengan ruas kaki antara satu dengan lainnya bervariasi. Adanya kaki yang dimiliki Albunea, sehingga genus dari Crustacea ini dapat melakukan kegiatan berjalan, berpindah tempat dan membuat sarang di zona littoral kawasan perairan laut. Albunea merupakan salah satu genus dari Crustacea, memiliki tubuh yang dilindungi oleh karapak. Dalam Hirarchi taksonominya Boyke (2000) menyebutkan bahwa Albunea termasuk ke dalam Filum Arthropoda, Subfilum Crustacea, Kelas Malacostraca, Ordo Decapoda, Famili Albuneidae dan Genus Albunea. Karapak yang dimilikinya terdapat di bagian dorsum tubuhnya, yang menutupi semua alat dalam yang dimilikinya. Kondisi karapak pada tubuh Albunea bervariasi, terutama variasi warna yang dimiliki, bentuk karapaks dan tanda-tanda tertentu yang terdapat pada masing-masing karapaknya. Kecamatan Leupung memiliki wilayah pesisir, dengan berbagai ekosistem dan sumberdaya yang terdapat di kawasan ini. Kosistem yang terdapat di kawasan pesisir Leupung antara lain adalah ekosistem mangrove di kawasan Sungai Reuleng, Tampirak dan Sungai Leupung, terumbu karang di kawasan Lhokseudu, payau di kawasan Sungai reuleng, Tampirak dan Sungai Leupung, dan kawasan laut di kawasan Tampirak, Meurandeh, Pulot, dan kawasan Lhokseudu Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar (Sarong, 2010). Kawasan pesisir di Kecamatan Leupung yang terdapat di lingkungan Samudera Hindia terutama di zona littoral, terdapat berbagai sumberdaya diantaranya adalah Albunea. Sarong (2013) menyatakan bahwa di zona littoral kawasan Samudera Hindia hidup berbagai biota perairan diantaranya adalah Albunea. Albunea dengan warna karapak yang berbeda memiliki sejumlah individu, menempati zona littoral Samudera Hindia Pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar. Albunea memiliki karapak di dorsum tubuhnya, dengan bentuk dan warna yang berbevariasi. Warna karapak ada yang merah, biru dan coklat merah. Karapak yang dimiliki berperan melindungi bagian alat dalam, terutama organ pencernaan dan organ respirasi. Adanya variasi warna pada karapak Albunea perlu dikaji lebih mendetil, sehingga dapat diperoleh informasi tentang peran warna karapak dalam penetapan nama species dari Albunea tersebut. 329 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui (1) morfologi warna karapak Albunea, (2) panjang karapak Albunea, dan (3) komposisi jumlah individu berdasarkan warna karapak Albunea yang terdapat di zona littoral Samudera Hindia kawasan pesisir Leupung Kabupaten Aceh Besar. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah dapat dikenal berbagai anggota dari Crustacea, yang terdapat di zona littoral Samudera Hindia kawasan Pesisir Leupung Kabupaten Aceh Besar. CARA KERJA Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di zona Littoral perairan Samudera Hindia (Samudera Indonesia), kawasan pesisir Leupung Kabupaten Aceh Besar. Zona littoral kawasan pesisir Leupung terdapat di kawasan Tampirak dan Kawasan Meurandeh Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar. Pengambilan data Albunea penelitian, dilakukan pada Bulan Juli dan Bulan Agustrus 2013. Metode Penelitian Penetapan lokasi penelitian dilakukan secara survei, yang memilih lokasi penelitian karena keberadaan Albunea di kawasan penelitian. Mendeteksi sarang Albunea dilakukan dengan metode Survei, yang melakukan pengamatan langsung pada lokasi penelitian. Pengambilan Albunea dilakukan metode destruktif sampling, yang merusak sarang Albunea yang terdapat di lokasi penelitian. Analisis Data Data tentang morfologi dianalisis secara deskriptif, sedangkan data tentang komposisi individu dianalisis dengan indek dominansi dengan formulasinya sebagai berikut. Jumlah individu Indek Dominansi = ------------------ x 100% Total individu Jika : >75-100% 50-75% < 50% : Komposisinya dominan : Komposisi kurang dominan : Komposisi tidak dominan HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Morfologi warna karapak Albunea di Zona Littoral Pesisir Leupung Morfologi Karapak Albunea di Zona Littoral Pesisir Leupung Kabupaten Aceh Besar berdasarkan warnanya, terdiri dari warna merah, biru dan berwarna coklat merah. Warna merah dan warna biru terdapat pada semua bagian karapak pada masing-masing individu, sebagai salah satu ciri khas dari individu masing-masing. Sementara itu warna coklat merah ditemukan pada karapak, dengan posisinya kedua warna ini berada pada posisi yang berdampingan. Pada bagian permukaan atas karapak terdapat beberapa tanda yang ditemukan. Tanda yang ditemukan diantaranya adalah terdapat garis yang menghubungkan sisi kiri dengan sisi kanan karapak yang membentuk lengkungan dua kurva ke anterior dan satu kurva ke posterior. Pada bagian permukaan atas karapak juga ditemukan tanda yang lain diantaranya adalah satu garis melengkung arah ke anterior. Fraaije (2008) mengatakan bahwa pada karapak Albunea terdapat beberapa tanda diantaranya adalah terdapat garis melengkung penghubung antara sisi kiri dan kanan karapak, yang memiliki Pada bagian sisi karapak dari Albunea yang hidup terdapat organ tambahan. Organ tambahan tersebut diantaranya adalah terdapat duri dengan jumlah bervariasi. Fraaije (2008) mengatakan pada sisi anterior dari Albunea terdapat 10 duri, sebagai organ tambahan pada karapak yang dimiliki oleh Albunea. 330 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Albunea Coklat Albunea Merah Albunea Coklat Merah Gambar 1. Albunea berkarapak Coklat, Merah, dan berkarapak coklat merah 2. Panjang karapak Albunea, Panjang karapak yang terdapat pada dorsum dari Albunea berkisar antara 1,1 Cm sampai dengan 2,2 Cm. Panjang karapak tergantung dari umur masing-masing Albunea, sehingga antara satu individu dengan lainnya berbeda. Jika dibandingkan dengan cauda yang dimiliki oleh Albunea, maka panjang karapak hampir setengah panjang dari cauda yang dimilikinya. Perbandingan panjang karapak dengan leher yang dimilikinya, menunjukkan bahwa panjang karapak lebih panjang jika dibandingkan dengan panjang lehernya. Disamping itu apabila dibandingkan dengan rostrumnya, maka panjang karapak hampir sama dengan panjang rostrum yang dimilikinya. Sebagai pelindung berbagai alat jeroan, karapak Albunea memiliki panjang yang bervariasi jika dibandingkan dengan bagian tubuh lainnya. Karapak yang terdapat di bagian dorsal, bersebelahan dengan bagian ventral yang memiliki kaki dengan jumlahnya lima pasang. Setiap species memiliki panjang karapak tersendiri, dengan panjangnya tertentu. Srinivasan (2012) mengatakan bahwa panjang karapak Albunea symmysta berkisar antara 15 mm sampai 30 mm. 3. Komposisi individu berdasarkan warna karapak Albunea di zona littoral Pesisir Leupung Komposisi jumlah individu berdasarkan warna karapak dari masing-masing yang hidup di zona littoral Samudera Hindia Pesisir Leupung bervariasi. Albunea yang memiliki warna karapak coklat merah ada lima individu (20%), merah sembilan individu (11%), dan karapak berwarna biru 32 individu (69%). Jika dilihat dari komposisi jumlah individu, ternyata jumlah individu yang memiliki karapak berwarna biru mendominasi Albunea yang memiliki warna karapak merah dan coklat merah. Ini menunjukkan bahwa Albunea yang berwarna karapak coklat lebih banyak ditemukan, jika dibandingkan dengan Albunea yang berkarapak berwarna merah dan coklat merah. Dengan hasil yang diperoleh ini menunjukkan bahwa kawasan Littoral Samudera Hindia kawasan Pesisir Leupung Kabupaten Aceh Besar, sangat cocok bagi kehidupan Albunea yang memiliki karapak berwarna coklat. Kesimpulan diperoleh adalah (1) Albunea memiliki karapak berwarna merah, biru dan coklat kehitaman, (2) panjang karapak Albunea bervariasi, dan (3) Komposisi Albunea dengan karapak berwarna merah lebih dominan jika dibandingkan dengan Albunea berwarna merah dan coklat merah. DAFTAR PUSTAKA Boyko, C.B. 2000. The Hippoidea (Decapoda, Anomura) of the Marquises Islands, With Description of New of Albunea. Zoosystema 22 (1):107-116. Fraaije, RHB., B.W.M. Bakel, and J. Waiz. 2008. Fist Record of Albunea carobus(Linnaeus, 1758) (Decapoda: Anomura: Hippoidea) in The Aegean Sea. Biol. Mar. (2013) 54:297-299. Foka, M.C. and S. Kalogiron. 2013. Albunea turritellacola a New Sand Crab (Anomura, Albuneida from Lower Miocene of Sothwest France. Bulletin of the Mizanani Fosil Museum No. 34 (2008) p 17-22. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. 331 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Sarong, M.A. 2013. Karakteristik Habitat dan Morfologi Sarang Undur-undur Laut (Albunea) di Zona Littoral Pesisir Leupung Kabupaten Aceh Besar. Banda Aceh J EduBio Tropika 1(1): 34-37. Sarong, M.A. M. Boer, R. Dahuri, Y. Wardiatno, dan M. Kamal. 2010 . Pengambilan Kerang Geloina yang Ramah Lingkungan Dalam Masyarakat Leupung Kabupaten Aceh Besar. Bogor J Moluska Indonesia 1(1): 59-64. Srinivasan, P. Ramesthangan and Prabhu. 2012. Variation ini Lipid Clases and Fatty Acid Contant During Ovariam Maturation of Albunea Symmysta. India Journal of Advanced Scientific Research 3(2): 60-64. Suwignyo, S., B. Widigdo, Y. Wardiatno dan M. Krisanti. Avertebrata Air Jilid 2. Jakarta: Penerbit Swadaya page 78-118 332 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI SUNGAI ASAHAN DESA MARJANJI ACEH DAN DESA LUBU ROPA KABUPATEN ASAHAN Mayang Sari Yeanny Departemen Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi No.1 Kampus USU Medan - 20154 Telp. 061-8223564 Email : [email protected] ABSTRAK Sungai Asahan merupakan sungai yang sangat penting bagi warga Asahan dan sekitarnya. Adanya berbagai macam aktivitas masyarakat menyebabkan kondisi perairan tersebut menurun sepanjang tahun. Pendekatan dilakukan dengan mengetahui Keanekaragaman Makrozoobentos, Kepadatan, Keseragaman, dan Pengukuran kualitas air yaitu, suhu, penetrasi cahaya, intensitas cahaya, pH, DO, BOD5, COD, mengunakan metode Purposive Random Sampling dengan 3 stasiun. Hasil penelitian yang didapatkan ada 5 kelas yaitu kelas Polychaeta, Insecta, Crustaceae, Gastropoda dan Polycypoda yang terdiri dari 16 genus Makrozoobentos. Kepadatan Makrozoobentos berkisar 45,81 – 83,86 ind/L. Kepadatan dan individu yang paling banyak ditemukan pada stasiun 3 yaitu 83,86 ind/L dengan 69 individu. Keanekaragaman berkisar 2,607 – 2,691 dengan tingkat keanekaragaman tergolong keanekaragaman sedang. Keseragaman makrobentos cukup tinggi yaitu berkisar 0.96-0,99 berarti menyebarannya merata dan tidak ada yang mendominasi. Kualitas air yang berpengaruh terhadap keanekaragaman Makrozoobentos adalah oksigen terlarut (DO). Kata kunci: Makrozoobentos, Keanekaragaman, Kualitas Air, Sungai Asahan PENDAHULUAN Sungai Asahan merupakan salah satu sungai di Sumatera Utara, Indonesia. Sungai Asahan yang berhulu di Danau Toba, mengalir melintasi Kota Tanjung Balai dan berakhir di teluk Nibung, Selat Malaka. Sungai Asahan pada saat ini merupakan sungai yang mengalami penurunan keseimbangan ekosistem, yang ditandai terjadinya penurunan tangkapan ikan bagi nelayan di daerah ini. Hal ini karena kawasan ini telah mengalami perkembangan pemanfaatannya oleh berbagai aktifitas manusia, seperti areal pemukiman, pabrik, PLTA dan potensi parawisata. Sungai Asahan di Desa Marjanji Aceh dan Lubu Ropa Kabupaten Asahan merupakan daerah yang akan dibangun PLTA Asahan IV. Dengan adanya aktivitas tersebut akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairannya. Pemanfaatan sungai sebagai tempat pembangunan PLTA tersebut merupakan dampak dari aktivitas masyarakat terhadap lingkungan yamg dapat menyebabkan perubahan faktor lingkungan sehingga akan berakibat buruk bagi kehidupan biota air. Berubahnya kualitas suatu perairan sangat mempengaruhi kehidupan biota yang hidup di perairan tersebut. Biota yang hidupnya berada diperairan Sungai Asahan seperti Makrozoobentos yang digunakan untuk bioindikator lingkungan. Dengan sifat demikian, perubahan lingkungan mempengaruhi Kepadatan dan keanekaragaman biota air. Kepadatan dan keanekaragaman ini sangat tergantung pada toleransi dan sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Perubahan terhadap kualitas perairan erat kaitannya dengan potensi perairan ditinjau dari Kepadatan Makrozoobentos. Keberadaan Makrozoobentos disuatu perairan dapat memberikan informasi mengenai kondisi perairan. Makrozoobentos dapat dijadikan indikator untuk mengevaluasi kualitas suatu perairan. Makrozoobentos merupakan penyumbang oksigen terbesar di dalam perairan. Pentingnya peranan Makrozoobentos sebagai pengikat awal energi matahari menjadikan Makrozoobentos berperan penting dalam kehidupan suatu perairan, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian Keanekargaman Makrozoobentos di Sungai Asahan Desa Marjanji Aceh dan Lubu Ropa Kabupaten Asahan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keanekaragaman Makrozoobentos dan kualitas air di Sungai Asahan dengan berbagai pendekatan yaitu : (1) mengetahui struktur komunitas Makrozoobentos meliputi : Kepadatan, keanekaragaman, dan keseragaman (2) hubungan antara Makrozoobentos dengan kualitas air. 333 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI (3) mengetahui pencemaran Makrozoobentos. Medan, 15 Februari 2014 perairan dengan menggunakan kriteria keanekaragaman METODE PENELITIAN Pengambilan sampel dilakukan pada bulan 12-13 Juli 2012. Dalam penentuan daerah sampling diambil 3 lokasi dengan 3 kali ulangan, yaitu Stasiun 1 Desa Marjanji Aceh Stasiun 2 Perbatasan Desa Marjanji Aceh dan Desa Lubu Ropa Stasiun 3 Desa Lubu Ropa 1. Pengambilan Sampel Kualitas Air Dari kualitas air yang diukur dapat dilihat pada tabel berikut : No Kualitas Air Alat 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Suhu Penetrasi Cahaya Intensitas Cahaya pH DO {Oksigen Terlarut) BOD COD Termometer Keping Seechi Luxmeter pH air Metode Winkler Metode Winkler & inkubasi Metode Refluks Tempat Pengukuran In-situ In-situ In-situ In-situ In-situ Laboratorium Laboratorium 2. Pengambilan sampel Makrozoobentos. Sampel makrozoobentos diambil dengan mengunakan Subernet dan Eckmann graf dengan cara menurunkan dalam keadaan terbuka sampai kedasar sungai, kemudian pengait terkait sehingga eckman graf secara otomatis tertutup bersamaan dengan masuknya substrat. Sampel yang didapat disortir menggunakan Metode Hand Sorting dengan bantuan ayakan, dibersihkan dan masukkan kedalam botol sampel yang sudah berisi formalin 4 % untuk diidentifikasi dengan buku acuan Edmonson (1959) dan Dharma (1988). Selanjutnya makrozoobentos dianalisi kepadatan (K), Keseragaman (E), Keanekaragaman (HI) makrozoobentos sehingga dapat dilihat bagaimana keadaan sungai tersebut. Dianalisis untuk mengetahui tingkat pencemaran sungai Belawan tersebut. Analisis Data Kepadatan (K) Jumlah individu suatu suatu jenis K= Luas Unit Sampel x 100 % Kepadatan Relatif (KR) KR = ni x100% ∑N dengan : ni = jumlah individu suatu jenis ∑N= total seluruh individu Frekwensi Kehadiran (FK) Jumlah plot ditempati suatu jenis FK = Jumlah total plot dengan : FK= 0-25 % (Sangat jarang) 25-50 % (Jarang) 50-75 % (banyak) >75 % (Sangat banyak) 334 x 100 % PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) S H ' = −∑ pi ln pi i =1 dengan: H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Pi = ni/N (perbandingan jumlah individu ( suatu jenis dengan seluruh jenis) ln = logaritma natural Indeks Ekuitabilitas (E) E= dengan: H' H MAX H’= indeks keanekaragaman Shannon-Wiener(H’) Hmax = indeks keanekaragaman maximum E = Indeks Keseragaman 4. Hubungan Kualitas Air dengan Makrozoobentos Setelah didapatkan data lingkungan seperti suhu, Penetrasi cahaya, Intensitas cahaya, pH, DO, BOD, COD, kandungan substrat organik kemudian diuji secara statistik hubungan dengan Makrozoobentos mengunakan analisis korelasi SPSS Ver. 13, sehingga dapat dilihat bagaimana keadaan sungai tersebut. Dianalisis untuk mengetahui tingkat pencemaran sungai Asahan tersebut. C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kualitas Air Sungai Asahan Hasil berupa kualitas air di sungai Asahan didapatkan hasil seperti Tabel 1. Tabel 1. Nilai rata-rata kualitas air di sungai Asahan. No Parameter Stasiun I Stasiun II 1. Suhu ( o C) 26 26 2. Penentrasi Cahaya (cm) 51 74 3. Intensitas Cahaya (Cd) 244 267 4. Kecepatan Arus (dtk/m) 24 71 5. pH 7,1 7,1 6. DO (Mg/l) 7,8 9,3 7. BOD5 (Mg/l) 1,58 1,76 8. COD(Mg/l) 5,58 6,43 Stasiun III 28 62 228 24 7,5 8,6 1,70 10,34 Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa suhu air di keempat stasiun berkisar 26-28 0C, dengan suhu tertinggi pada stasiun III , namun secara keseluruhan suhu relatif sama. Penetrasi cahaya berkisar 5174 cm dengan penetrasi cahaya tertinggi di stasiun II, hal ini disebabkan daerah tersebut lebih terbuka (sedikit ditumbuhi tumbuhan), yang mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya lebih mudah masuk ke badan air. Intensitas cahaya berkisar 244-267 Candela dengan intensitas cahaya tertinggi di stasiun II, hal ini karena kemampuan cahaya untuk mengabsorbsi cukup tinggi. pH berkisar 7,1 – 7,5 dengan pH yang tertinggi distasiun III yang namun secara keseluruhan pH hampir sama. Oksigen terlarut (DO) berkisar 7,8 – 9,3 mg/l dengan oksigen terlarut tertinggi di stasiun II, hal ini disebabkan kondisi lingkungan yang cukup mendukung sehingga fotosintesis berjalan baik untuk menyumbangkan banyak oksigen di perairan tersebut. Biologycal Oxygen Demand (BOD)5 berkisar 1,58 – 1,76 mg/l dengan BOD5 tertinggi di stasiun II yang merupakan daerah pemukiman padat penduduk banyak mengeluarkan limbah domestik berupa bahan organik sehingga oksigen digunakan mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik tersebut. Chemycal Oxygen Demand (COD) berkisar 5,58- 10,34 mg/l dengan COD tertinggi di Stasiun III merupakan tempat berkumpulnya substrat dari hulu sungai menyebabkan kandungan organik lebih tinggi sehingga oksigen untuk menguraikan organik tersebut secara kimia juga tinggi. 335 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 2. Nilai Kepadatan (K) (ind/L) Makrozoobentos di Desa Marjanji Aceh dan di Desa Lubu Ropa Sungai Asahan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh Nilai Kepadatan (K) (ind/L), Makrozoobentos di Sungai Asahan pada Tabel 2. Tabel 2. Kepadatan makrozoobentos di Desa Marjanji Aceh dan di Desa Lubu Ropa Sungai Asahan. No Taksa Kepadatan (K) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 I Kelas Polychaeta Serpulidae A 1. Neanthes 3,70 4,93 4,93 Amphizoidae B 2. Amphizoa 2,46 4,93 6,17 Chironomidae C 3. Cricotopus 2,46 2,46 4,93 Belostomatidae D 4. Belostoma 3,70 3,70 1,23 II 8. Kelas Insecta Gomphidae Gomphus Lestidae Enalagma Lestes Libellulidae Libellula 9. Kelas Crustaceae Palaemonidae Palaemonetes E 5. F 6. 7. G III H IV 15. Kelas Gastropoda Ampullaridae Pila Bulimidae Bulimidae Lymnaeidae Polyrhytis Planorbidae Tropicorbis Pleuroceridae Goniobasis Viviparidae Viviparus 16. Kelas Pelecypoda Sphaeriidae Sphaerium I 10. J 11. K 12. L 13. M 14. N V O Jumlah individu Jumlah Taksa Jumlah Kepadatan (ind/L) 336 3,70 4,93 7,40 4,93 2,46 7,40 4,93 7,40 4,93 3,70 6,17 4,93 - 1,23 1,23 2,46 3,70 4,93 3,70 4,93 4,93 2,46 2,46 2,46 1,23 2,46 6,17 3,70 4,93 7,40 9,87 3,70 6,17 8,64 38 15 45,81 51 15 65,34 69 15 83,86 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa pada stasiun I genus Viviparus dan Enalagma dengan nilai Kepadatan tertinggi sebesar 4,93 ind/L, dan terendah pada genus Belostoma sebesar 1,23 ind/L. Pada stasiun II genus Viviparus dan Enalagma dengan nilai Kepadatan tertinggi sebesar 7,40 ind/L dan terendah pada genus Palaemonetes dan Tropicorbis sebesar 1,23 ind/L. Pada stasiun III genus Viviparus dengan nilai Kepadatan tertinggi sebesar 9,87 ind/L dan terendah pada genus Palaemonetes sebesar 1,23 ind/L. 4. Nilai Keanekaragaman (HI) dan Keseragaman (E) di Sungai Asahan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diketahui Nilai Keanekaragaman (HI) dan Keseragaman (E) di sungai Asahan sebagai berikut : Tabel 4. Nilai Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman Makrozoobentos ( E) di sungai Asahan Stasiun I Stasiun II Stasiun III HI 2,63 2,69 2,61 E 0,97 0,99 0,96 Dari Tabel 4 dapat dilihat nilai keanekaragaman (HI) tertinggi pada stasiun II sebesar 2.69 dan terendah pada stasiun III sebesar 2,61. Keanekaragaman Makrozoobentos di 3 stasiun tergolong sedang. Menurut Kreb (1985), keanekaragaman rendah bila 0<(HI)<2,302, keanekaragaman sedang bila 2,302<(HI)<6,907, dan keanekaragaman tinggi bila (HI)>6,907. Dilihat dari nilai keanekaragaman stasiun I - III tergolong tercemar ringan, Menurut Lee et al., (1978), nilai keanekaragaman (HI) pada perairan dikatakan tercemar berat bila (HI)<1, tercemar sedang (HI) 1,0-1,5, sedangkan tercemar ringan bila (HI) >2,0. Nilai keseragaman (E) berkisar 0.97 - 0.99 dengan nilai keseragaman tertinggi pada stasiun II, terendah stasiun III. Menurut Kreb (1985) nilai keseragaman (E) berkisar 0-1, Nilai keseragaman mendekati 1 yang berarti keseragaman juga cukup merata tidak ada Makrozoobentos yang mendominasi, meskipun ada beberapa Makrozoobentos yang banyak ditemukan seperti : Viviparus dan Enalagma. 5. Nilai Analisis Korelasi Berdasarkan pengukuran parameter kualitas air yang dikolerasikan dengan Nilai keanekaragaman (Diversitas Shannon-Wiener) maka diperoleh nilai kolerasi seperti pada Tabel 5 berikut ini : Tabel 5. Nilai Analisis Kolerasi yang Diperoleh antara parameter kualitas air dengan keanekaragaman Makrozoobentos No Parameter Keanekaragaman (HI) o 1. Suhu ( C) 0,32 2. Penentrasi Cahaya (cm) -0,43 3. Intensitas Cahaya (Cd) 0,41 4. Kecepatan Arus (dtk/m) 0,02 5. pH -0,31 6. DO (Mg/l) 0,94 7. BOD5 (Mg/l) 0,52 8. COD(Mg/l) 0,75 Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa DO berpengaruh sangat kuat terhadap keanekaragaman Makrozoobentos. Dimana DO selama penelitian berkisar 7,8 – 9,3 mg/L, sehingga DO mempunyai hubungan yang sangat kuat terhadap keanekaragaman Makrozoobentos. D. KESIMPULAN Dari penelitian yang dilakukan tentang Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Asahan Desa Marjanji Aceh dan Lubu Ropa Kabupaten Asahan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Makrozoobentos yang didapatkan sebanyak 16 genus dari 5 kelas 337 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 2. Kepadatan Makrozoobentos berkisar 45,81 – 83,86 ind/L. Kepadatan tertinggi pada stasiun 3 yaitu 83,86 ind/L dengan 69 individu dengan kepadatan genus tertinggi pada genus viviparus sebesar 9,87 ind/L 3. Keanekaragaman berkisar 2,61 – 2,69 dengan tingkat keanekaragaman tergolong keanekaragaman sedang. 4. Keseragaman makrozoobentos cukup tinggi yaitu berkisar 0.96-0,99 berarti menyebarannya merata dan tidak ada yang mendominasi. 5. Tingkat pencemaran berdasarkan nilai keanekaragaman makrozoobentos pada stasiun I- III tergolong tercemar ringan. 6. Kualitas air yang berpengaruh keanekaragaman Makrozoobentos adalah oksigen terlarut (DO). DAFTAR PUSTAKA Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan ke-2 UGM Press, Yogyakarta. 10-14. Edmonson, W.T. 1963. Fresh Water Biology. Second Edition. Jhon Willey &Sons, inc., New York.pp. 274-285. Lalli,C.M. & T.R. Persons. 1993. Biological Oceanographi : An Introduction. Pergamon Press, New York. pp.186-187 Nagel, V. P. 1989. Bildbestimmung-schlussel der Saprobien. Gustav Fisher Verlag Stuttgatr. 15-16. Naughton, S. J & L. Larry. 1990. Ekologi Umum. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 165166. Odum, E. P. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 373,397. Payne, A.I. 1986. The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. John Wilay & Sons, New York. pp.7583. Rudiyanti, S., 2009. Kualitas Perairan Sungai Banger Pekalongan Berdasarkan Indikator Biologis. Jurnal Saintek Perikanan. Vol. 4, No.2, 2009 : 46-52. Sastrawijaya, A.T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta. 35,83-87. Thoba, H., 2002. Kepadatan Makrozoobentos di Perairan Bangka- Belitung dan Laut Cina Selatan, Sumatera , Makara, Sains, Vol.8 No. 3, Desember 2004 : 96-102. Whitten, A. J, N. Hisyam, J. Anwar & S. J. Damanik. 1987. The Ecology of Sumatera. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 192,209. 338 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 JENIS - JENIS TUMBUHAN PAKU YANG BERKHASIAT OBAT DARI GUNUNG TANDIKEK DI SUMATERA BARAT Mildawati, Ardinis Arbain, HariFitrah Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas Email korespondensi : [email protected] ABSTRAK Penelitian mengenai jenis-jenis tumbuhan paku yang berkhasiat sebagai tanaman obat yang ditemukan pada Gunung Tandikek di Sumatera Barat telah dilakukan pada bulan September sampai Desember 2013. Sampel tumbuhan paku di koleksi dari Gunung Tandikek Sumatera Barat. Penelitian dilanjutkan pada laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi jenis-jenis tumbuhan paku yang berkhasiat sebagai obat-obatan alami dari Gunung Tandikek di Sumatera Barat. Metode yang digunakan yaitu metode survei dengan mengobservasi sampel langsung di lapangan. Hasil penelitian didapatkan tumbuhan paku ke dalam 18 jenis, 13 genus dan 11 famili. Famili Tumbuhan paku yang dominan yaitu famili Polypodiaceae sebanyak 3 genus yaitu Drynaria, Microsorium dan Diplazium. Pyrrosia dengan spesies Pyrrosia lanceolata, Drynaria dengan spesies Drynaria quercifolia dan D. sparsisora, dan Microsorium dengan spesies Microsorium musifolium Kata Kunci : Polypodiaceae, Gunung Tandikek, Jenis, Obat, Tumbuhan Paku PENDAHULUAN Tumbuhan paku merupakan tumbuhan yang tertua dan primitive yang masih ada dipermukaan bumi. Tumbuhan paku memiliki kontribusi yang sangat besar dalam keanekaragaman hayati di bumi dan membentuk komponenyang dominan pada komunitas tumbuhan khususnya pada daerah tropis dan temperate. Tumbuhan paku di dunia diperkirakan memiliki lebih dari 1200 taxa yang tergabung dalam 204 genera ( Kumari, et.al. 2011). Tumbuhan paku banyak digunakan oleh masyarakat sebagai makanan dan obat-obatan semenjak jaman dahulunya (Lee dan Shin, 2010). Di India tercatat sebanyak 66 jenis tumbuhan paku yang digunakan sebagai sumber obat-obatan pada komunitas masyarakat yang berbeda (Kumari, et. al. 2011). Komponen bioaktif dari tumbuhan paku diantaranya phenolic, flavonoid, alkaloid dan terpenoid (Ho et al., 2010). Flavonoids dan senyawa phenolic telah digunakan sebagai antioksidan (Dai dan Mumper, 2010; Procházková et al., 2011). Salah satu fungsi tumbuhan paku yang berkaitan dengan kesehatan manusia adalah adanya aktivitas dari antioksidannya (Lee and Shin, 2010). Chai, et al. (2012) membuktikan bahwa salah satu spesies tumbuhan paku yaitu Stenochlaena palustris merupakan tumbuhan paku yang banyak digunakan sebagai sayuran dan obat tradisional. Ekstrak dari daun steril yang muda, daun steril yang tua, daun fertile yang muda dan daun fertile yang tua pada S. palustris didapatkan bahwa ekstrak daun tua yang steril memiliki kandungan polypenol tertinggi (51.69 mg/g dry matter), flavonoids (58.05 mg/g dry matter), dan hydroxycinnamic acids (48.80 mg/g dry matter). Disamping itu frond steril yang tua berpotensial sangat efektif sebagai sumber antioksidan alami. Di Indonesia tumbuhan paku juga banyak digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari khususnya sebagai bahan obat-obatan tradisional. Damayanti (1999) menemukan jenis tumbuhan paku Selaginella firiformis dan selaginella plana serta Pyrrosia sp sebagai tanaman yang digunakan untuk obat-obatan pada beberapa etnis di Indonesia. Berhubung masih terbatasnya data tentang jenis-jenis tumbuhan paku yang ada di Sumatera barat khususnya yang banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bahan obat-obatan. Maka dilakukan penelitian tentang jenis-jenis tumbuhan paku yang diperkirakan banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bahan obatobatan alami dari salah satu daerah yang memiliki keanekaragaman biodiversitas masih tinggi di sumatera barat yaitu Gunung Tandikek. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui jenisjenis tumbuhan paku yang diindikasikan berkhasiat sebagai tanaman obat bagi masyarakat dari Gunung Tandikek Sumatera Barat. 339 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 BAHAN DAN METODE Penelitian ini bertempat di Gunung Tandikek Sumatera Barat dan selanjutnya di proses di Laboratorium Takonomi tumbuhan dan Herbarium Universitas Andalas (ANDA) Jurusan Biologi Padang. Bahan yang di gunakan pada penelitian ini diantaranya alcohol 70 % dan Aquadest. Alat yang digunakan pada penelitian ini berupa gunting tanaman, oven, kertas koran, plastik, label lapangan, kantong plastik, penggaris, pisau cutter, pinset, lem, kertas karton putih, klipper, mikroskop binokuler, mikroskop cahaya, kamera dan alat tulis. Metode yang digunakan yaitu metode survei dan koleksi langsung di lapangan kemudian dilakukan pemrosesan di herbarium ANDA Universitas Andalas untuk pembuatan spesimen herba dan proses identifikasi. Pada saat melakukan penelitian di lapangan, data dikumpulkan dengan cara pengkoleksian dan pencatatan data lapangan dari tumbuhan tersebut karena dikhawatiran akan hilang setelah dibawa ke herbarium. Data lapangan tersebut diiantaranya habit, diameter batang, warna batang, warna daun, bentuk spora dan letak spora (Pryer et.al., 2004). Setelah itu dilakukan pembuatan spesimen herbarium untuk disimpan di herbarium Universitas Andalas (ANDA). Proses pembuatan spesimen dilakukan menurut Jain dan Rao (1977) mulai dari pengkoranan, pengovenan, pemontingan dan pelabelan. Identifikasi spesimen yang didapatka dilapangan dilakukan dengan menggunakan literatur sesuai dengan acuan atau buku identifikasi sebagai berikut Copeland (1947), Holltum (1967), Johnson (1960), Andrews (1990), Hickey dan King (2000), Harris (1994) dan Piggott (1988), Selanjutkan dilakukan studi literatur tentang kandungan senyawa kimia yang terdapat pada tumbuhan paku yang dapat digunakan sebagai bahan obat alami (Winter dan Amoroso, 2003). HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-Jenis Tumbuhan Paku yang di Temukan di Gunung Tandikek Sumatera Barat yang senyawa bermanfaat sebagai Obat Alami. Gunung Tandikek merupakan gunung aktif yang cadasnya mirip Gunung Merapi, namun lebih sempit. Topography dari Gunung Tandikek berupa pegunungan dengan ketinggian 2437 mdpl. Penelitian tentang jenis-jenis tumbuhan paku di kawasan Gunung Tandikek Sumatera Barat belum banyak dilakukan. Sebelumnya Mildawati, Arbain dan Fitrah (2013) menemukan 11 jenis tumbuhan paku family Aspleniaceae dari Gunung Tandikek. Berdasarkan penjelajahan dan pengambilan sampel tumbuhan paku yang telah dilakukan di Gunung Tandikek Sumatera Barat maka di dapatkan hasil sebanyak 11 famili, 13 genus dan 18 spesies. Spesies yang didapatkan tersebut berdasarkan literatur yang ada maka semua merupakan tumbuhan yang memiliki kandungan senyawa yang bermanfaat untuk pengobatan. Inventarisasi tumbuhan paku yang didapatkan pada penelitian ini dilakukan dengan menjelajahi Gunung Tandikek menggunakan beberapa jalur pendakian yang sudah ada. Setelah dilakukan penjelajahan maka di koleksi tumbuhan paku yang ditemukan dengan melengkapi data garis lintang dan garis bujur serta ketinggian lokasi dari permukaan laut. Secara umum tumbuhan paku ditemukan pada ketinggian diatas 1000 m.dpl. Berdasarkan Tabel 1. dikemukakan bahwa data ketinggian terendah ditemukan spesies Pyrrosia lanceolata dengan ketinggian 1.189 m.dpl sedangkan data tertinggi ditemukan genus Microsorium pada ketinggian 1.383 m.dpl . Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh data jenis-jenis tumbuhan paku dari Gunung Tandikek pada tabel dibawah ini yang diindikasikan bermanfaat sebagai bahan obat-obatan. Tabel 1. menggambarkan famili, genus, spesies, letak, ketinggian, dan senyawa yang bermanfaat sebagai sumber alternatif obat alami. Senyawa kimia yang ditampilkan pada table 1 didapatkan berdasarkan studi literatur menggunanakan Winter dan Amoroso (2003). 340 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Tabel 1. Famili, genus dan spesies tumbuhan paku berkhasiat obat yang terdapat di Gunung Tandikek Sumatera Barat. No 1 Famili Lycopodiaceae 2 3 Selaginellaceae 4 5 6 Polypodiaceae 7 8 9 10 Athyriaceae 11 12 13 14 15 16 17 18 Marattiaceae Gleicheniaceae Nephrolepidaceae Ophyoglossaceae Davalliaceae Blechnaceae Adiantaceae Genus, Spesies Lycopodium Lycopodium carinatum Desv Lycopodium phlegmaria L Selaginella Selaginella ornata (Desv) Backer Selaginella cernuum L. Selaginella willdenowii (Desv) Backer Pyrrosia Pyrrosia lanceolata (L) Forewell Drynaria Drynaria quercifolia Drynaria sparsisora (Desv) Moore Microsorium Microsorium musifolium (Bl.) Copel Diplazium Diplazium esculentum (Bl.) Mild Diplazium batamense (Bl) Angiopteris Angiopteris evecta Dicranopteris Dicranopteris linearis Nephrolepis Nephrolepis davalliodes (Sw) Ophyoglossum Ophyoglossum pendulum L. Davallia Davallia denticulata Stenochlaena Stenochlaena palustris (Burm) Bedd Adiantum Adiantum caudatum L Letak (BB) (BT) Ketinggian (mdpl) Senyawa berkhasiat Obat Alami 0650642 9952758 0650474 9952676 1231 1294 Alkaloid huperzine A &B Alkaloid lycodoline 0651140 9953032 0651000 9953052 0650532 9952766 1190 Ethanol 1191 Phenolic 1272 Biflavonoid 0651194 9952992 1189 Alkaloids, Arbutin, Tanin 0650642 9952758 0650570 9952756 1231 Alkaloid, Tanin, Saponin Streptomycine (antibiotik ) 0649862 9952964 1383 Alkaloid, Saponin 0651279 9953034 1190 0650528 9952763 1277 Flavonoid procyanidine, Asam phenolic Sumber Ca, P dan Fe 0651154 9953026 1197 Alkohol Obat beriberi 0651043 9953036 1192 Tanin, Essensial oil dan Saponin 0650763 9953290 1227 Tanin, Essential oil, Sequoyitol 0650571 9952757 1240 Sumber gula 0650532 9952766 1272 Vicianin, Cyanogenic glicoside 0650474 9952767 1302 5 macam Stenopalustrosides A -E 0649952 9952958 1374 Proanthocianin, flavonoid, Cinnamic acid esters 1243 341 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Berdasarkan Tabel 1 yang telah dikemukakan diatas maka dapat di ketahui bahwa Gunung Tandikek yang secara administrasi berada pada Kabupaten Agam Sumatera Barat memiliki keanekaragaman flora yang cukup tinggi khusus untuk Tumbuhan Paku. Tumbuhan Paku terbukti terdistribusi secara luas namun memiliki jumlah jenis yang masih belum dapat dipastikan. Diperkirakan sekitar 12.000 jenis tumbuhan paku yang mencakup 400 genera dan 36 famili di Dunia (Tryon, 1992). Tumbuhan paku banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan diantaranya di Srilangka delapan spesies tumbuhan paku diantaranya Acrosticum aureum, Blechnum orientale, Drynaria quercifolia, Huperzia phlegmaria, H. squarrosa, Lycopodiella cernua, Nephrolepis falcate, dan Ophioglossum pendulum digunakan oleh masyarakat untuk pengobatan dan hiasan (Pushpakumara, Ddara & Dhanasekara, 2005). Komponen bioaktif dari tumbuhan paku diantaranya phenolic, flavonoid, alkaloid dan terpenoid (Ho et al., 2010). Flavonoids dan senyawa phenolic telah digunakan sebagai antioksidan (Dai dan Mumper, 2010; Procházková et al., 2011). Keanekaragaman jenis tumbuhan paku yang didapatkan di Gunung Tandikek diantaranya famili Lycopodiaceae terdiri dari genus Lycopodium dengan 2 spesies yang ditemukan yaitu Lycopodium carinatum dan L. phlegmaria. Famili Selaginellaceae terdiri dari genus Selaginella dengan spesies yang ditemukan yaitu Selaginella ornata, S. cernuum dan S. willdenowii. Famili polipodiaceae merupakan famili yang memiliki genus yang terbanyak sekitar 3 genus. Pyrrosia dengan spesies Pyrrosia lanceolata, Drynaria dengan spesies Drynaria quercifolia dan D. sparsisora, dan Microsorium dengan spesies Microsorium musifolium. Famili Athyriaceae terdiri dari genus Diplazium dengan spesies Diplazium esculentum dan D. batamense. Famili Marattiaceae dengan genus Angiopteris yang terdiri dari Angiopteris evecta. Famili Gleicheniaceae dengan genus Dicranopteris dan spesies Dicranopteris linearis. Famili Nephrolepidaceae dengan genus Nephrolepis dan spesies Nephrolepis davalliodes (Sw). Famili Ophyoglossaceae dengan genus Ophyoglossum dan spesies Ophyoglossum pendulum L. Famili Davalliaceae dengan genus Davallia spesies Davallia denticulate. Famili Blechnaceae terdiri atas genus Stenochlaena dengan spesies Stenochlaena palustris (Burm) Bedd. Famili Adiantaceae terdiri atas genus Adiantum dan spesies Adiantum caudatum L. Berdasarkan data famili tumbuhan paku yang telah di temukan di Gunung Tandikek, maka didapatkan perbandingan 11 famili tumbuhan paku. Famili Polypodiaceae dan Aspleniacae memiliki keanekaragaman genus dan spesies yang tinggi. Pada famili Polypodiaceae memiliki jumlah genus terbanyak yaitu 3 genus. Schmith dan Widdisch (2010) mempublikasikan dari 31 genus, 16 genera dan 6 famili tumbuhan paku yang digunakan pada penelitiannya maka, diklasifikasikan sebanyak 39 % famili Polypodiaceae dan 22 % genus Asplenium. Kandungan senyawa kimia yang ditemukan pada masing-masing spesies dengan menggunakan stud literatur diketahui sangat beragam. Berdasarkan data pada Tabel 1 didapatkan bahwa genus Lycopodium mengandung senyawa alkaloid, Selaginella mengandung Etahanol, phenolik dan biflavonoid. Pyrrosia mengandung Alkaloid, Arbutin dan tannin, Drynaria mengandung alkaloid, tannin dan saponin. Saponin merupakan senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai anti imflammasi, analgesic dan sitotoksik. Drynaria dapat digunakan sebagai bahan antibiotic karena mengandung Streptomycine, Microsorium mengandung alkaloid dan saponin, Diplazium mengandung flavonoid yang merupakan senyawa antiinflammasi, antitumor, analgesic, antioksidan, sumber procyanidine dan asam phenolic serta dapat digunakan sebagai sumber Ca, P dan Fe. Angiopteris sumber alcohol, Dicranopteris dan Nephrolepis sumber senyawa Tanin sebagai obat anti kanker dan anti HIV, Ophyoglossum sebagai sumber gula, Davallia sebagai sumber vicianin dan cyanogenic glikosida, Stenochlaena mengandung senyawa stenopalustrosides dan Adiantum caudatum mengandung senyawa proantocyanin, flavonoid dan cinnamic acid ester. Kesemua senyawa di atas dapat dijadikan sebagai sumber bahan kimia yang berkhasiat sebagai obat alami yang dapat di ekstrak langsung dari alam (Winter dan Amoroso, 2003). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang jenis-jenis tumbuhan paku yang terdapat di Gunung Tandikek Sumatera Barat yang berkhasiat sebagai tanaman Obat, dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut : 342 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 1. Ditemukan 11 Family, 13 genus dan 18 spesies tumbuhan paku yang terindikasi mengandung senyawa yang dapat berkhasiat sebagai obat alami . 2. Senyawa kimia yang berkhasiat sebagai tanaman obat yang terdapat pada tumbuhan paku diantaranya terdiri atas senyawa alkaloid, ethanol, flavonoid, biflavonoid, tannin, saponin dan asam oksalat. Saran Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, maka terdapat beberapa hal dapat saya sarankan dari penelitian ini sebagai berikut : 1. Perlunya dilakukan penelitian tingkat jenis dari tumbuhan paku yang ditemukan di Gunung Tandikek ini dalam bidang biokimia maupun bidang farmakologi guna mengkaji lebih lanjut data senyawa kimia yang ditemukan pada tumbuhan paku 2. Berhubung dengan terbatasnya informasi yang ada dan tingginya tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan paku di Gunung Tandikek maka disarankan perlunya dilakukan penelitian tentang inventarisasi lebih mendalam tentang masing-masing jenis. DAFTAR PUSTAKA Andrew, S.B. 1990. Ferns of Queensland. Queensland Department of Primary Industries. Brisbane. Chai, Panirchellvum, Ong dan Wong. 2012. phenolic contents and antioxidant properties of Stenochlaena palustris, an edible medicinal fern Botanical Studies. 53: 439-446 Copeland E.B. 1947. Genera Filicum.ChronicaBotanica, Waltham, Mass. Dai, J. and R.J. Mumper. 2010. Plant Phenolics: Extraction, Analysis and their Antioxidant and Anticancer properties. Molecules. 15: 7313-7352. Damayanti, E.K. 1999. Kajian Tumbuhan Obat berdasarkan kelompok penyakit penting pada beberapa etnis di Indonesia. Skripsi sarjana kehutanan Institute Pertanian Bogor.Indonesia. Harris, J.G and M.W. Harris. 1994. Plant Identification Terminology. An Illustrated Glossary. Spring lakePublishing. United States of America. Hickey, M dan C. King. 2000. The Cambridge Illustrated Glossary of Botanical Term. CambridgeUniversity Press. United Kingdom. Ho, R., T. Teai, J.-P. Bianchini, R. Lafont, and P. Raharivelomanana. 2010. Ferns: From Traditional uses to pharmaceutical development, chemical identification of activeprinciples. In H. Fernández, M.A. Revilla, and A. Kumar (eds.), Working with ferns: Issues and applications. Springer, New York, pp.321-346. Holttum, R. E. 1967. A Revised Flora of Malaya Volume II.Ferns of Malaya.Government Printing Office. Singapore. Jain, S. K. and R. H. Rao. 1977. Hand Book of Fieldand Herbarium Methods.Today and Tomorrows Printers and Publishers. New Delhi Johnson, A. 1960. Student Guide to the Ferns of Singapore Island. Singapore University Press. Singapore Mildawati, Arbain, Fitrah. 2013. Aspleniaceae of Tandikek Mountain. The Journal of Tropical Life Science. 3 (2). Piggott, A.G. 1988. Ferns of Malaysia in Colour. Tropical Press SDN.BHD. Malaysia Pushpakumara, D & Dhanasekara. 2005. Uses Of Pteridophte Flora In Sri Lanka. Proceedings of The Tenth Annual Forestry & Environmental Symposium. Department of Forestry & Environmental Science, University Of Sri Jayewardenepura, Sri Lanka Pryer, K.M, E. Scuettpelz, P.G.Wolf, H. Schneider, A.R.Smith, R. Cranfill. 2004. Phylogeni and Evolution Of Ferns (Monilophytes) With A Focus on The Early Leptosporangiate Divergences. American Journal of Botany 91 (10): 1582-1598. Schmitt, J. L. and P. G. Windisch (2010). "Biodiversity and spatial distribution of epiphytic ferns on Alsophila setosa Kaulf. (Cyatheaceae) caudices in Rio Grande do Sul, Brazil." Braz J Biol 70(3): 521-528. Kumari, Otaghvari, Govindapyari, Bahuguna, dan Uniyal. 2011. Some Ethnomedicinally Important Pteridophytes of India. Int. Med.arom. Plants, ISSN 2249 – 4340 Vol 1. (1) 18– 22. 343 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 Lee, C.H. and S.L. Shin. 2010. Functional activities of ferns for human health. In H. Fernández, M.A. Revilla, and A. Kumar (eds.), Working with ferns: Issues and applications. Springer, New York, pp. 347-359. Loveless, AR. 1989. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik 2. PT Gramedia. Jakarta. Procházková, D., I. Boušová, and N. Wilhelmová. 2011. Antioxidant and prooxidant properties of flavonoids. Fitoterapia 82: 513-523. Tryon, R., 1992. Pteridophytes. In: H. Lieth and M. J. A Werger (Editor), Tropical Rain Forest Ecosystem.Elsevier Science Publisher B. V. Netherland. Winter dan Amoroso. 2003. Plant Resources of South – East Asia. Cryptogams : Ferns and Ferns Alliens. Prosea. Bogor Indonesia. 15 (2) 344 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014 JENIS-JENIS VEGETASI RIPARIAN SUNGAI RANOYAPO, MINAHASA SELATAN Ratna Siahaan(1), Nio Song Ai(1) (1) Program Studi Biologi FMIPA - Universitas Sam Ratulangi e-mail: [email protected]; [email protected] ABSTRAK Ekosistem riparian terletak di tepian sungai yang terkena banjir. Ekosistem riparian memiliki fungsi ekologis sebagai penyanggah bagi ekosistem teresterial dan akuatik. Pencemar yang masuk ke Sungai Ranoyapo, Minahasa Selatan dapat menurunkan kualitas air S.Ranoyapo. Pentingnya fungsi vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai Ranoyapo membutuhkan penelitian tentang vegetasi riparian. Penelitian ini bertujuan menganalisis jenis-jenis vegetasi riparian Sungai Ranoyapo, Minahasa Selatan. Hasil penelitian akan sangat bermanfaat sebagai data base dalam penelitian selanjutnya yang terkait dengan DAS Ranoyapo dan kualitas sungai Ranoyapo. Penelitian dilakukan di bagian hulu dan tengah pada Mei -Oktober 2013. Metoda yang dilakukan yaitu survai dan analisis data secara deskriptif. Pola penggunaan lahan di sepanjang Sungai Ranoyapo dari hulu hingga tengah bervariasi namun umumnya pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Jenis-jenis tanaman di zona riparia misalnya padi (Oryza sativa), jagung (Zea mays), kelapa (Cocos nucifera), ubi (Manihot utilissima), coklat (Theobroma cacao) dan cengkeh (Syzygium aromaticum). Vegetasi riparian alami termasuk anggota dari berbagai suku antara lain suku Poaceae, Cyperaceae, Asteraceae, Lamiaceae, Campanulaceae dan Euphorbiaceae Malvaceae, Acanthaceae, Amaranthaceae, Commelinaceae, Mimosaceae, Fabaceae, Dryopteridaceae, dan Urticaceae. Jenis vegetasi riparian alami tumbuhan bawah antara lain Wedelia trilobata, Digitaria, Eupatorium odoratum, Ageratum conyzoides dan Mikania micrantha. Tumbuhan berupa pohon yaitu Ficus sp., Macaranga sp., dan Terminalia catappa. Kata kunci: vegetasi riparian, zona riparia, Sungai Ranoyapo PENDAHULUAN Sungai sebagai salah satu ekosistem perairan berperan penting bagi manusia dan juga bagi organisme akuatik. Sungai Ranoyapo merupakan sungai utama dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Ranoyapo. Kabupaten Minahasa Selatan – Provinsi Sulawesi Utara. Sungai ini memiliki fungsi dan nilai yang sangat tinggi bagi kehidupan manusia dan hidupan liar namun berbagai kegiatan manusia dapat menyebabkan penurunan kualitas air Sungai Ranoyapo. Ekosistem riparian yang berada di tepian sungai ini ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan yang telah beradaptasi untuk hidup di tempat yang seringkali tergenang air sungai terutama saat hujan turun (Mitsch dan Gosselink 1993). Vegetasi riparian menurut pakar dapat menjaga kualitas air sungai melalui pengaturan suhu air (Mitsch dan Gosselink 1993; Bailey 1995), pengendalian erosi dan sedimentasi (Jones et al. 1999), sebagai sumber serasah (energi) (Johnson et al. 1995) dan penjerap pencemar dari daratan yang terbawa ke sungai melalui air limpasan (Tourbier 1994). Vegetasi riparian juga sebagai habitat hidupan liar teresterial (Mitsch dan Gosselink 1993), tempat bagi hewan-hewan untuk mencari perlindungan, kawin dan memijah (Mitsch dan Gosselink 1993; Sparks 1995; Jones et al. 1999). Kualitas air sungai harus terus dilakukan dan ditingkatkan untuk mempertahankan keberlanjutan nilai dan fungsi sungai bagi semua makhluk hidup. Riparian memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting namun riparian mengalami ancaman akibat kegiatan manusia yang memanfaatkannya. Pemanfaatan tepian sungai untuk kepentingan manusia misal sebagai lahan permukiman, pertanian, industri, transportasi dan penguatan tebing telah menghilangkan riparian (Malanson 1995; Maryono 2005; Johnson et al. 1995). Jika vegetasi riparin telah hilang maka fungsi riparian itupun hilang. Petts (1996) menyebutkan hilangnya vegetasi riparian menjadi faktor utama penurunan dan kepunahan fauna akuatik. Pentingnya fungsi vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai ranoyapo membutuhkan penelitian tentang vegetasi riparian. Penelitian ini ber