JURNAL PSIKOLOGI VOLUME 7 No. 2, AGUSTUS 2012: 544 – 561 RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL GURU Muryadi1 Universitas PGRI Nusantara Kediri Andik Matulessy2 Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Abstract The purpose of this research is to know whether there is a relationship between religiousity, emotional intelegence and prosocial behaviour. This research is conducted to 80 Islamic teachers of State Junior High School all around District Semen. The data is obtained by using the scala measurement of religiousity, emotional intelegence and prosocial behaviour. The result of regresi analysis shows that : (1) there is a relationship between religiousity, emotional intelegence and prosocial behaviour (F = 36,349) and p = 0,000) partially (2) there is a relationship between religiousity and prosocial behaviour (t = 2,789 dan p = 0,007) and (3) there is a relationship between emotional intelegence and prosocial behaviour (t = 5,631 pada p = 0,000). The two predictors influence 48,6% to the prosocial behaviour. Key word : religiousity, emotional intelegence and teachers prosocial behaviour Menurut Adler (dalam Sugiono, 2011), guru merupakan unsur manusiawi yang menentukan keberhasilan pendidikan, dituntut mempunyai kompetensi sangat sehingga profesional Selain ketiga kompetensi tersebut di atas, sebagai anggota masyarakat, seorang guru seyogyanya juga memiliki kompetensi sosial yang menggambarkan bahwa guru harus mampu sebagai seperangkat pengetahuan, ketrampilan dan berkomunikasi secara lisan dan tulisan, bergaul perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai secara efektif dengan peserta didik, sesama oleh guru dalam melaksanakan tugasnya. Hal pendidik, orang tua atau wali murid serta bergaul tersebut diatur dalam pasal 10 ayat 1 Undang- secara santun dengan masyarakat sekitar. Hal ini undang No 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen penting karena peranan guru terhadap murid- yang di dalamnya dijelaskan bahwa lingkup muridnya merupakan peran vital dari sekian kompetensi profesional guru meliputi kompetensi banyak peran pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi komunitas utama yang menjadi wilayah profesional dan kompetensi sosial. guru adalah di dalam kelas untuk memberikan yang harus ia jalani sebab tugas keteladanan, pengalaman serta ilmu pengetahuan 1 Korespondensi mengenai artikel ini dapat dilakukan dengan menghubungi: [email protected] 2 Korespondensi mengenai artikel ini dapat dilakukan dengan menghubungi: [email protected] JURNAL PSIKOLOGI kepada mereka. Sehingga, keteladanan sikap guru terhadap muridnya sangatlah penting, karena seringkali orang mempelajari sikap dan perilaku sosial dengan meniru sikap dan perilaku orang 544 RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL yang menjadi model. Bahkan dalam banyak hal kepentingan anak-anak cenderung meniru perilaku orang keuntungan orang atau kelompok merupakan dewasa, selain orang tua si anak, guru di sekolah tujuan merupakan orang dewasa terdekat kedua bagi Eisenberg mereka, bahkan sekarang ini banyak terjadi kasus mengemukakan bahwa tingkah laku prososisal anak lebih mempercayai guru dibanding pada meliputi tiga aspek yaitu, (a) tindakan yang orang tua mereka sendiri, maka dari itulah dilakukan secara suka rela, (b) tindakan yang seorang guru harus bisa menunjukkan sikap dan ditujukan demi kepentingan orang lain atau keteladanan yang baik di hadapan murid-murid sekelompok orang lain, dan dan merupakan tujuan bukan sebagai alat untuk lingkungannya khususnya dalam hal dari pribadi. Kesejahhteraan perilaku prososial ini. (dalam Pulungan, dan Bahkan 1998) (c) tindakan itu memuaskan motif pribadi. membantu sesamanya. Sebagian anggota sekolah Guru pun seyogyanya mampu menjadi membutuhkan partisipasi dan uluran tangan untuk memenuhi tauladan berperilaku kebutuhan hidupnya, mengatasi permasalahan yang dihadapi siswanya siswa mengerjakan tugasnya atau yang kesulitan nilainya rendah atau kesulitan yang prososial terjadi membantu di masyarakat membutuhkan partisipasi dan uluran tangan untuk sekitarnya. Untuk itu guru seyogyanya memiliki mengatasi kesulitan tersebut agar prestasinya dan dapat meningkat. Siswa yang kesulitan ekonomi yang tinggi dan sikap peduli untuk membutuhkan secara efektif permasalahan yang muncul baik di partisipasi berupa bantuan keuangan untuk mencukupi kebutuhan belajarnya. mengembangkan sensitivitas interpersonal merespon lingkungan sekolah atau di masyarakat. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam Demikian juga dengan sebagian teman sejawat saudara-saudara kita di membentuk perilaku prososial disampaikan oleh masyarakat mengalami permasalahan beraneka Myer (1999) adalah religi. Ia mengatakan religi ragam mulai permasalahan sederhana sampai selain sebagai faktor yang berpengaruh dalam pelik dan rumit yang kesemuanya membutuhkan membentuk prilaku menolong, juga menjanjikan partisipasi dan uluran tangan untuk mengatasi perlindungan dan rasa aman bagi seseorang untuk permasalahan menemukan kita di sekolah dan masing-masing. Partisipasi dan eksistensi dirinya. Religius uluran tangan yang diharapkan ini dalam istilah membentuk pribadi-pribadi guru yang kokoh Psikologi disebut dengan perilaku prososial, yaitu dalam perilaku yang menurut Baron & Byrne (dalam jujur, disiplin, setiakawan, menghargai hak dan Farid 2011) adalah perilaku suka rela menolong kesejahteraan orang lain, optimis dan tolong orang lain tanpa ingin memperoleh imbalan dan si menolong, karena pada dasarnya agama memang penolong merasa puas setelah menolong. mengajarkan mengenai moral. Perilaku prososial memiliki ciri khusus yang meletakkan kepentingan orang lain di atas 545 berperilaku untuk toleran, bekerjasama, Sementara Staub (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003) mengatakan faktor yang JURNAL PSIKOLOGI MURYADI & MATULESSY mendasari seseorang untuk bertindak prososial, tingkat religiusitas yang rendah tidak menghayati salah satunya adalah dan agamanya dengan baik sehingga dapat saja norma yang diinternalisasi oleh individu selama perilakunya tidak sesuai dengan ajaran agamanya. mengalami sosialisasi. Nilai dan norma tersebut Guru yang seperti ini memiliki religiusitas yang diperoleh individu melalui ajaran agama dan juga rapuh sehingga dengan mudah dapat ditembus lingkungan sosial. Oleh karena itu menurut oleh daya atau kekuatan untuk berbuat sesuka Mangunwijaya (1984) agama dan religiusitas itu hatinya dan akan dengan mudah melanggar ajaran merupakan kesatuan yang saling mendukung dan agamanya. adanya nilai-nilai merupakan Faktor lain yang juga dapat membentuk konsekuensi logis dari kehidupan manusia yang perilaku prososial adalah kecerdasan emosi yang diibaratkan selalu mempunyai dua kutub yaitu oleh kutub kutub kemampuan untuk mengenali dan mengelola jauh emosi diri dalam hubungannya dengan orang lain. berbeda dengan pendapat Mangunwijaya adalah Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi pendapat Glock dan Strak (1965) yang memahami berkemampuan sosial tinggi dalam bentuk empati, religiusitas sebagai rasa percaya tentang ajaran kesediaan bekerjasama dan memiliki kepribadian agama tertentu dan dampak dari ajaran itu dalam altruistik. melengkapi, karena keduanya kehidupan kebersamaannya pribadi di dan masyarakat. Tidak Empati dalam hal ini dapat dijelaskan kehidupan sehari-hari di masyarakat. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa religiusitas seseorang Goleman (1995) dinyatakan sebagai sebagai kemampuan memahami dan merasakan lima apa yang terjadi pada orang lain dan merupakan dimensi, yaitu dimensi kepercayaan, dimensi potensi dasar yang penting bagi tumbuhnya sikap ritual atau praktek, dimensi pengalaman, dimensi menolong. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan dan dimensi konsekueansi. Maka, kecerdasan emosi adanya religiusitas yang tinggi pada guru akan dalam membantu mengarahkan guru untuk menghayati mendorong perannya dalam mendidik siswa, sebagai wujud mengembangkan empati. tercermin dalam keterlibatannya pada ibadah untuk memaknai hidup di hadapan memberi arah perilaku guru berinteraksi diri dengan orang guru lebih lain dan mampu Kecerdasan emosi merupakan dasar untuk membangun relasi sosial yang baik, sehingga Tuhannya. Guru yang memiliki tingkat religiusitas seseorang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan memandang agamanya sebagai tinggi, secara sosial memiliki lebih banyak relasi tujuan utama hidupnya, sehingga ia berusaha dengan orang lain dan kualitas relasinya lebih baik menginternalisasikan ajaran agamanya dalam (Schutte perilakunya sehari-hari, sehingga semakin religius menjalin relasi sosial memungkinkan seseorang seseorangan akan merasa dekat, bersahabat, toleran, bekerjasama, semakin tinggi perilaku dalam Farid, 2011). Kemampuan prososialnya. Sebaliknya guru yang memiliki JURNAL PSIKOLOGI 546 RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL berempati, berbagi, dan perilakunya positif bangsa terabaikan, yang ada di benak guru bagaimana menghabiskan waktu terhadap orang lain. kehadiran di Ada fenomena yang berkembang di tengah- sekolah untuk sekedar menggugurkan kewajiban tengah masyarakat saat ini, satu sisi aktivitas mengajarnya. Sungguh ironis ketika sebagian keagamaan seperti menjamurnya pengajian dan anak-anak bangsa ini terpuruk dan keterpurukan ceramah agama, pembinaan keagamaan, ritual itu hanya bisa diangkat dengan peningkatan dzikir, dan lain sejenisnya yang diikuti oleh para kemampuan dan kompetensi yang dimilikinya, guru, sebagaimana temuan penelitian yang guru sebagai pihak yang seharusnya berada di dilakukan oleh Ahmadi (dalam Musaheri, 2009) barisan terdepan justru kadang berada di barisan tentang fenomena keberagaman di kalangan belakang dengan tidak peduli lagi terhadap profesional adanya tanggung jawabnya. (http://edukasi.kompasiana. peningkatan kegairahan intensitas kegiatan di com/2010/04/15/dicari-guru-profesional/, diakses, kalangan masyarakat. Kegiatan keagamaan tidak 15 September 2011) muda, menemukan hanya dilakukan di masjid-masjid tetapi telah Berdasarkan pengamatan peneliti terdapat berpindah ke hotel-hotel berbintang dengan nara perilaku pada guru yang kurang mencerminkan sumber tidak hanya datang dari para kyai perilaku prososial, seperti misalnya ada sebagian tradisional melainkan dari kalangan intelektual, guru di Kecamatan Semen yang saling melempar dan guru juga mengikuti pelatihan-pelatihan, tanggung jawab atau kewajiban untuk menolong seminar-seminar untuk meningkatkan kecerdasan siswa ketika mengalami kesulitan atau masalah emosi. Namun pada kenyataannya seiring dengan karena tidak mau repot. Ada sebagian siswa fakir perkembangan dan perubahan peradaban dewasa miskin yang kesulitan biaya, kurang mendapatkan ini guru sebagai orang yang patut digugu dan uluran tangan dan kepedulian untuk membantu. ditiru dalam perilaku prososial mengalamai Bahkan ada sebagian guru yang merasa keberatan degradasi untuk digugu dan ditiru. Guru sebagai ketika menggantikan mengajar di kelas saat teman pihak dan sejawat berhalangan hadir karena sesuatu hal. mempertanggungjawabkan tugasnya sebagai suri Terkadang ketika teman sejawat mengalami tauladan dalam perilaku prososial justru terkadang masalah atau kesulitan ada kesan tidak berinisiatif menjadi pihak yang sering kali mengabaikan untuk tanggungjawabnya, hal ini bisa dilihat dari rasa fenomena ini, peneliti merasa bahwa penelitian ini memiliki, dan kewajiban untuk menjadikan anak penting dilakukan dan dikaji lebih lanjut. yang bertanggung jawab menguasai kompetensinya hilang, bahwa guru hanya sekedar yang ada menggugurkan yang tanggungjawabterhadap 547 Perilaku menolong pertolongan. prososial orang lain adalah secara Melihat tindakan ikhlas, dan menimbulkan keuntungan baik fisik maupun kewajiban. Hal-hal memberikan terkait upaya dengan psikologis bagi objek yang ditolong tersebut. mencerdaskan JURNAL PSIKOLOGI MURYADI & MATULESSY Menurut Staub (1979) aspek-aspek yang untuk memperoleh penghargaan dan adalah menghindari kritik. (2) Personal value dan norm perasaan yaitu nilai-nilai dan norma-norma sosial yang (sharing), menyumbang (donating), peduli atau diinternalisasi oleh individu selama mengalami mempertimbangkan kesejahteraan orang sosialisasi. Perilaku ini merupakan refleksi dari terkandung menolong dalam perilaku prososial berbagi (helping), lain (caring) dan kerjasama (cooperating). perkembangan moral dan sosial yang paling Cholidah, 1996) banyak dipengaruhi oleh nilai budaya. Dan (3) menyatakan bahwa perilaku prososial mencakup Empati yaitu kemampuan seseorang untuk ikut tindakan-tindakan: (1) Kerjasama, yaitu dapat merasakan melakukan kegiatan bersama orang lain termasuk lain. Kemampuan empati erat hubungannya diskusi dan mempertimbangkan pendapat orang dengan pengambilan lain guna mencapai tujuan bersama. (2) Membagi empati perasaan, maupun non verbal. Mussen, dkk (dalam yaitu memberi kesempatan dan perhatian kepada orang lain untuk mencurahkan perasaan ini dapat Sedangkan atau pengalaman orang peran. Pengungkapan dilakukan secara verbal faktor situasional, adalah isi hatinya. (3) Menolong, yaitu membantu meliputi : (1) Hubungan meringankan beban orang lain dengan melakukan semakin kegiatan fisik bagi orang yang ditolong. (4) penolong dengan yang ditolong semakin cepat Kejujuran, yaitu dan mengakui perasaan. tidak berlaku curang dan (5) Mempertimbangkan jelas dan semakin interpersonal. Bahwa dekat hubungan antara mendalam seseorang akan melakukan pertolongan. (2) Pengalaman dalam kesejahteraan orang lain, yaitu memberi sarana pemberian bagi orang lain untuk mendapatkan kemudahan Pengalaman positif akan menyebabkan orang dalam kembali segala urusan, punya kepedulian pertolongan dan melakukan suasana hati. perilaku prososial terhadap orang lain dengan mengindahkan dan (reinforcement). Sebaliknya menghiraukan masalah orang lain. (6) Berderma, pahit orang akan menghindari perilaku prososial. yaitu memberi sesuatu kepada orang lain. Orang yang dalam suasana hati gembira, akan Keenam aspek perilaku prososial inilah pengalaman yang lebih suka menolong. Sebaliknya orang dalam yang kemudian digunakan sebagai indikator skala suasana perilaku prososial. menghindari memberikan pertolongan. (3) Sifat Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku stimulus. Prososial meningkatkan Menurut Staub (dalam Dayakisni dan hati yang Semakin sedih akan jelas kesiapan cenderung stimulus untuk akan bereaksi. Sebaliknya semakin tidak jelas stimulus akan Hudaniah, 2003) faktor yang mendasari seseorang sedikit untuk bertindak prososial adalah faktor personal kebutuhan dan faktor situasional. Faktor personal, antara lain kebutuhan yang ditolong semakin besar pula adalah meliputi : (1) Self-gain yaitu keinginan kemungkinan untuk mendapatkan pertolongan. (5) JURNAL PSIKOLOGI terjadi perilaku prososial. (4) Derajat yang ditolong. Semakin besar 548 RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL Tanggung jawab, kekaburan tanggung jawab Dimensi-dimensi itu dijelaskan sebagai berikut: akan menyebabkan (1) suatu pertolongan masing-masing involvement, adalah tingkatan sejauh mana orang pribadi itu mempunyai tanggung jawab untuk menerima hal-hal yang theologis atau dogmatis di orang tidak karena memberikan Dimensi kepercayaan atau idiological mengambil tindakan. (6) Biaya yang harus dalam agama mereka. Misalnya apakah orang dikeluarkan. biaya yang beragama tersebut mempercayai adanya Alloh, dikeluarkan untuk menolong, maka semakin kecil surga, neraka dan lain sebaginya. (2) Dimensi kemungkinan orang akan melakukan perilaku praktek atau ritual atau ritual involvement adalah prososial, apabila dengan penguatan yang rendah. tingkat sejauh mana orang mengerjakan ritual Sebaliknya bila biaya rendah penguatan kuat, agamanya. orang akan lebih siap menolong. (7) Norma penyembahan dan ketaatan. Misalnya pergi ke timbal balik. Seseorang akan berusaha untuk masjid bagi pemeluk agama Islam, ke gereja bagi memberikan pertolongan kembali kepada orang pemeluk agama Kristen dan Protestan, mengikuti yang pernah memberinya pertolongan. Di sini komuni, dibabtis dan sebaginya. (3) Dimensi muncul dorongan untuk membalas jasa atau pengalaman atau experience involvement, adalah hubungan timbal balik sebagai wujud tanggung dimensi yang berkaitan dengan pengalaman jawab moral. (8) Karakter kepribadian. Seseorang pribadi yang unik dan khas yang dipandang yang sebagai Semakin mempunyai besar kecenderungan untuk Yang suatu dimaksud keajaiban adalah yang perilaku datang dari melakukan perilaku prososial biasanya memiliki Tuhannya. Misalnya apakah seseorang pernah karakteristik kepribadian, yaitu: harga diri yang merasakan tinggi, rendahnya kebutuhan akan persetujuan dikabulkan oleh Tuhan, merasakan bimbingan orang lain, atau pertolongan Tuhan secara pribadi. (4) tanggung jawab yang tinggi, bahwa permohonan do’anya memiliki kontrol diri yang baik dan tingkat Dimensi moral yang seimbang. involvement, adalah dimensi yang melihat sejauh pengetahuan atau intelectual Religiusitas mencakup seluruh hubungan mana orang mengetahui dan memperdalam ajaran dan konsekuensi hubungan antara manusia dengan agamanya. Apakah ia rajin membaca buku-buku penciptanya dan sesamanya di dalam kehidupan tentang agamanya dan sebagainya. Pengetahuan sehari-hari. Jadi religiusitas adalah perilaku agama menjadi sangat penting sejak diketahui ketaatan beragama. bahwa hal itu menjadi prekondisi dari Menurut Glock & Stark (1965) religiusitas kepercayaan (belief) meski ada orang yang seseorang tercermin dalam keterlibatannya pada percaya begitu saja tanpa memahami ajaran agama lima dimensi, yaitu dimensi kepercayaan, dimensi yang dianutnya. (5) Dimensi konsekuensi atau ritual atau praktek, dimensi pengalaman, dimensi consequential involvement, adalah dimensi yang pengetahuan dan dimensi konsekuensi. mengukur 549 sejauh mana perilaku seseorang JURNAL PSIKOLOGI MURYADI & MATULESSY dimotivasi oleh ajaran agamanya, merupakan efek sebagian timbul dari kebutuhan-kebutuhan yang dari belief, practice, experience dan knowledge. tidak terpenuhi terutama terhadap kebutuhan Kelima dimensi religiusitas inilah yang terhadap keagamaan, cinta kasih, harga diri, kemudian digunakan sebagai indikator skala dan ancaman kematian. (4) Berbagai proses religiusitas. pemikiran verbal atau proses intelektual dimana Fungsi religiusitas erat kaitannya dengan faktor ini juga dapat mempengaruhi religiusitas fungsi agama. Agama merupakan kebutuhan individu. Manusia adalah makhluk yang dapat emosional manusia dan merupakan kebutuhan berpikir, sehingga manusia akan memikirkan alamiah. Fungsi agama meliputi : agama sebagai tentang keyakinan-keyakinan dan agama yang sumber ilmu dan sumber etika ilmu, agama dianutnya. sebagai alat justifikasi dan hipotesis, agama Emosi berasal dari bahasa latin yaitu serta fungsi pengawasan movere, yang berarti menggerakkan, bergerak. sebagai motivator sosial.. Kecerdasan emosional merupakan akar dari Thouless membedakan faktor-faktor yang konsep kecerdasan sosial (social intelegence) mempengaruhi sikap keagamaan menjadi empat yang pertama kali diidentifikasi oleh Thorndike macam, yaitu: (1) Pengaruh pendidikan atau pada tahun 1920. Thorndike (dalam Wong dan pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor Law, sosial) ini mencakup semua pengaruh sosial kemampuan untuk dalam perkembangan laki-laki sikap keagamaan itu, 2002) kecerdasan mengerti dan gadis, tradisi sosial, tekanan-tekanan lingkungan sosial hubungan sesama manusia. menyesuaikan pendapat dan diri sikap yang dengan berbagai mengelola untuk melakukan secara bijak dalam Goleman (dalam Marina & Sarwono, 2007) oleh membagi model kecerdasan emosional ke dalam lingkungan itu. (2) Berbagai pengalaman yang dua bagian besar yaitu, personal competence dan dialami oleh seseorang dalam membentuk sikap social competence yang masing-masing memiliki keagamaan komponennya masing-masing. terutama disepakati adalah dan perempuan, anak laki-laki atau termasuk pendidikan dari orang tua, tradisiuntuk sosial pengalaman-pengalaman seperti: keindahan, keselarasan dan kebaikan di dunia lain (faktor alamiah) seperti menjalin Menurut Sarwono, Goleman 2007) (dalam kemampuan Marina kunci & dalam hubungan yang baik pada sesama dengan saling kecerdasan emosional adalah self-awareness. Self- tolong menolong, adanya konflik moral (faktor awareness moral) seperti perkembangan dari mendapatkan lingkungan, keagamaan (faktor tekanan-tekanan dan pengalaman emosional afektif) seperti perasaan mempengaruhi self secara control langsung (personal competence) dan empati (social competence). memiliki kemampuan mendapat peringatan atau pertolongan dari Tuhan. mengidentifikasi- kan emosi atau perasaannya, (3) tidak mungkin orang tersebut dapat mengatur Faktor-faktor yang JURNAL PSIKOLOGI seluruhnya atau Sebelum seseorang 550 RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL emosi atau perasaannya. Tanpa adanya self- sebagai bentuk keselarasan dan keseimbangan control kemampuan self-motivation tidak dapat antara Allah, alam, dan aku. berkembang. Self-control akan berperan dalam Menurut Goleman (2000) aspek-aspek yang menghambat pemuasan segera (delaying gratifi terkandung dalam kecerdasan emosi adalah: (1) cation) Mengenali dan menghambat tindakan impulsif emosi diri, yaitu (stifling impulsiveness) yang merupakan faktor individu penting dalam perkembangan kemampuan self dengan apa yang terjadi, mampu memantau empati, perasaan dari waktu ke waktu dan merasa selaras kemampuan ini tidak dapat berkembang tanpa terhadap apa yang dirasakan. (2) Mengelola didahului oleh perkembangan self-awareness. emosi, motivation. Begitu Goleman kemampuan juga (1995) memahami dengan untuk mengenali kemampuan yaitu kemampuan perasaan untuk menangani menjelaskan tanpa perasaan sehingga diri tidak dengan tepat, kemampuan untuk menenangkan sendiri, perasaan sesuai diri diri, lain. Selanjutnya social skill akan melibatkan kemurungan dan kemarahan yang menjadi-jadi. kemampuan memahami perasaan orang lain (3) Memotivasi diri sendiri, yaitu kemampuan (empathy) untuk mengatur emosi kecemasan, sebagai untuk mencapai perkembangan social skill juga ditentukan oleh merenggangkan dorongan hati, mampu berada perkembangan dalam tahap flow. (4) Mengenali emosi orang dan lain, individu kemampuan orang lain (kesadaran empatik), menyesuaikan diri tersebut mampu menjalankan kehidupan yang terhadap apa yang diinginkan orang lain. (5) lebih baik dan sukses (Gottman, 1997). Membina hubungan, yaitu kemampuan mengelola mengembangkan Sementara menurut hasil penelitian Casmini (2011) menunjukkan bahwa istilah kecerdasan emosi kurang dikenal oleh kemampuan kepuasan pakar kecerdasan emosional percaya bahwa yang yaitu menunda alat untuk lebih membentuk perasaan tersebut. Jadi self awareness. Oleh karenanya tujuan, dari ditangkap mungkin seseorang dapat mengenali emosi orang dan kemampuan bertingkah laku melepaskan dapat mengetahui perasaan emosi orang lain dan berinteraksi secara mulus dengan orang lain. masyarakat Menurut Goleman (2000), faktor-faktor Yogyakarta, mereka lebih memahaminya sebagai yang mempengaruhi kecerdasan emosi adalah: (1) waskito ing nepsu, yang diekspresikan melalui Lingkungan keluarga. Peran serta orang tua sangat bentuk simbol dalam kehidupannya. Kesadaran dibutuhkan karena orang tua adalah diri dimaknai sebagai kemampuan mawas diri, pertama pengaturan diri sebagai tata (tata rasa dan basa), diinternalisasi yang pada akhirnya akan menjadi motivasi sebagai kehendak niat dan tekat sejati, bagian dari kepribadian anak. Kecerdasan emosi empati terhadap ini dapat diajarkan pada saat anak masih bayi lingkungan dan dirinya, serta keterampilan sosial dengan contoh-contoh ekspresi, melatih kebiasaan sebagai bentuk kepedulian hidup 551 yang disiplin perilakunya dan subyek diidentifikasi, bertanggung jawab, JURNAL PSIKOLOGI MURYADI & MATULESSY dan Kediri yang beragama Islam sejumlah 80 guru, sebagainya. (2) Lingkungan non keluarga. yaitu terdiri 55 (27 laki-laki, 28 perempuan) guru lingkungan SMPN 1 Semen dan 25 guru (9 laki-laki, 16 kemampuan berempati, masyarakat kepedulian, dan lingkungan penduduk, ditunjukkan dalam aktivitas bermain perempuan) guru SMPN 2 Semen. anak seperti bermain peran. Anak berperan Alat pengukuran yang digunakan dalam sebagai seseorang diluar dirinya dengan emosi penelitian ini adalah skala perilaku prososial, yang menyertainya sehingga anak akan mulai skala religiusitas, dan skala kecerdasan emosi. belajar mengerti keadaan orang lain. Skala dibuat dalam bentuk skala likert. Skala religiusitas Religiusitas prososial menggunakan mengacu Perilaku Prososial sejumlah 31 item aspek-aspek prososial pada teori Mussen, dkk yang (dalam Cholidah, 1996), skala religiusitas sejumlah 38 Kecerdasan Emosi item menggunakan pendapat Glock & Stark (1965) dan sakala kecerdasan emosi sejumlah 29 item disusun Gambar 1.Kerangka Penelitian berdasarkan dikemukakan oleh aspek-aspek yang Goleman(2000).Untuk memperoleh validitas dan reliabilitas ketiga skala Metode Penelitian Variabel yang akan diteliti dalam penelitian tersebut diujicobakan pada 63 guru. ini terdiri dari tiga jenis, yaitu perilaku prososial Metode analisa data yang digunakan adalah sebagai variabel tergantung (Y) dan Religiusitas : (1) Analisis Regresi ganda untuk menguji (X1), Kecerdasan Emosi (X2) sebagai variabel signifikansi hubungan antara variabel bebas X1 bebas (X) (religiusitas), X2 (kecerdasan emosi) terhadap Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah (1) apakah terdapat variabel tergantung Y (perilaku prososial), (2) Korelasi Parsial (korelasi sendiri-sendiri) antara antara X1 (religiusitas) dengan Y (perilaku prososial), religiusitas dan kecerdasan emosi dengan perilaku X2 (kecerdasan emosi) dengan Y (perilaku prososial pada Guru pada SMP Negeri Semen. (2) prososial) dengan menggunakan SPSS 19. hubungan yang sangat signifikan apakah terdapat hubungan yang sangat signifikan antara religiusitas dengan perilaku pro-sosial pada Guru pada SMP Negeri Semen.(3) apakah terdapat sangat hubungan yang signifikan kecerdasan emosi dengan perilaku prososial pada Guru pada SMP Negeri Semen. Subyek dalam penelitian ini adalah guru di SMP Negeri se-Kecamatan JURNAL PSIKOLOGI Semen, Kabupaten Hasil Penelitian Hasil analisis regresi diperoleh data F = 36,349 dan p=0,000 korelasi ini signifikan pada p<0,01 menunjukkan ada hubungan yang sangat signifikan secara bersama-sama antara religiusitas, kecerdasan emosi dengan perilaku prososial. Hasil analisis korelasi parsial antara variabel relgiusitas (X1) dengan perilaku prososial (Y) 552 RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL diperoleh harga t = 2,789 pada p = 0,007 ; (p < religi selain sebagai faktor yang berpengaruh 0,05) berarti ada hubungan yang positif antara dalam religiusitas dengan perilaku prososial artinya menjanjikan perlindungan dan rasa aman bagi semakin seseorang untuk menemukan eksistensi dirinya. tinggi religiusitas, semakin tinggi perilaku prososial, demikian pula sebaliknya. Hasil analisis korelasi parsial antara variabel membentuk prilaku menolong, juga Religi membentuk pribadi-pribadi kokoh berperilaku untuk toleran, dalam kecerdasan emosi (X2) dengan perilaku prososial bekerjasama, (Y) diperoleh harga t = 5,631 pada p = 0,000 (p < menghargai hak dan kesejahteraan orang lain, 0,05) berarti ada hubungan yang positif antara optimis dan tolong menolong, karena kecerdasan emosi dasarnya agama memang mengajarkan mengenai dengan perilaku prososial artinya semakin tinggi kecerdasan emosi, semakin tinggi perilaku prososial, demikian pula jujur, disiplin, guru yang setiakawan, pada moral. Guru yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi akan memandang agamanya sebagai sebaliknya. bahwa tujuan utama hidupnya, sehingga guru tersebut religiusitas dan kecerdasan emosi memberikan berusaha menginternalisasikan ajaran agamanya sumbangan efektif sebesar 0,486 atau 48,6% dalam perilakunya sehari-hari. Sehingga semakin terhadap perilaku prososial, artinya ada variabel religius seseorang akan semakin tinggi perilaku lain sebesar 51,4% yang juga mempengaruhi. prososialnya. Sebaliknya guru yang memiliki Hasil penelitian menunjukkan tingkat religiusitas yang rendah tidak menghayati Pembahasan Hasil uji hipotesis pertama menunjukkan religiusitas dan kecerdasan emosi secara bersamasama memberikan peran terhadap prososial pada guru, artinya perilaku religiusitas dan kecerdasan emosi secara bersama-sama dapat digunakan sebagai prediktor untuk memprediksi perilaku prososial pada guru. Hal ini sesuai dengan pendapat Staub (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003) bahwa faktor yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial adanya nilai-nilai dan norma adalah yang diinternalisasi oleh individu selama mengalami sosialisasi. individu Nilai dan norma tersebut diperoleh melalui lingkungan sosial. ajaran Hal agama dan juga yang sama juga disampaikan oleh Myer (1999) yang mengatakan 553 agamanya dengan baik sehingga dapat saja perilakunya tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Guru yang seperti ini memiliki religiusitas yang rapuh sehingga dengan mudah dapat ditembus oleh daya atau kekuatan untuk berbuat sesuka hatinya dan akan dengan mudah melanggar ajaran agamanya. Diterimanya hipotesis pertama ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Farid (2011) yang menemukan bahwa ada hubungan penalaran moral, kecerdasan emosional, religiusitas dan pola asuh orang tua otoritatif dengan perilaku prososial pada remaja. Diterimanya hipotesis yang kedua, menunjukkan ada hubungan yang positif antara religiusitas dengan perilaku prososial artinya JURNAL PSIKOLOGI MURYADI & MATULESSY semakin tinggi religiusitas, semakin tinggi telah memasuki usia dewasa biasanya telah perilaku prososial, demikian pula sebaliknya, hal mengembangkan ini rendahnya terhadap sistem nilai yang dipilihnya, salah religiusitas mampu menjadi salah satu prediktor satunya adalah norma agama. (Jalaludin dalam bagi tinggi rendahnya perilaku prososial. Perilaku Astri, 2009). Hasil mengenai tingginya tingkat prososial kepada orang lain didasari pemikiran religiusitas pada individu yang beragama Islam di membantu orang lain merupakan kewajiban sosial Indonsesia tanpa mengharapkan memperoleh balasan atau terdahulu dari Hasan (dalam Astri, 2009) menunjukkan keuntungan. Guru bahwa yang tinggi religius menyadari tanggungjawab ditemukan pada diri penelitian Pendapat Crack (dalam Hastuti 1998) bahwa keberadaan dirinya bagian komunitas sosial. juga rasa religiusitas tidak tumbuh dengan Hasil penelitian menunjukkan kategorisasi sendirinya, hal ini sesuai dengan pendapat religiusitas tinggi (98,75%) dan sisanya kategori Bandura (dalam Rice, 1990) dan ahli teori belajar sedang (1,25%), dimana artinya religiusitas sosial yang lain, menyatakan bahwa internalisasi mempunyai peran dalam meningkatkan perilaku nilai-nilai dan peraturan-peraturan didapatkan prososial guru. Faktor yang diduga memberikan melalui modeling dan indentifikasi. Teori belajar pengaruh terhadap tingginya perilaku religiusitas sosial menekankan perolehan nilai-nilai melalui adalah adanya berbagai suasana keagamaan yang proses disosialisasikan dan reinforcement. Reinforcement yang dimaksud masyarakat seperti di langgar maupun di masjid adalah pengaruh sosial (lingkungan) yang sama dan media elektronik maupun media cetak, juga sejalan dengan pengaruh orang lain sehingga akan karena mengikuti mendorong keinginan untuk belajar dan menerima kegiatan-kegiatan kerohanian yang menanamkan nilai-nilai yang telah ada. Bila lingkungan nilai-nilai atau norma-norma agama. Selain itu, masyarakat subjek penelitian senang membaca ayat-ayat kitab menekankan nilai-nilai yang sama dengan yang suci, sehingga mereka mengetahui larangan- diajarkan agama, maka keinginan mengadopsi larangan Tuhan, nilai-nilai tersebut diperkuat, namun bila tidak kecenderungan religiusitas yang tinggi mendorong sama yang diajarkan agama akan timbul konflik guru berpikir, bersikap, bertingkah laku, dan (Rice dalam Hastuti 1998). subjek dan kepada penelitian lingkungan sering perintah-perintah bertindak sesuai dengan ajaran agamanya. indentifikasi, Hasil dan internalisasi semua penelitian sarana ini juga dan komunikasi menguatkan Hal ini dapat memberi dukungan pada penelitian King dan Furrow, (2004), Myers, anggapan bahwa agama merupakan suatu hal yang (1999), serta Nawangsih (dalam Farid 2011) yang penting di Indonesia (Sarwono dalam Astri, 2009), mengatakan yang digunakan sebagai panduan hidup dan kompetensi diekspresikan dengan menjalani aturan agama membentuk perilaku prososial, dan meningkatkan dalam kehiduan sehari-hari mereka. Individu yang perilaku JURNAL PSIKOLOGI religiusitas sosial, prososial. membangkitkan perilaku Aktualisasi menolong, guru dalam 554 RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL Hasil kegiatan sosial keagamaan membimbing dan penelitian mendukung pendapat menumbuhkah sikap peduli pada sesama. Hasil Goleman (1995) yang menyatakan seseorang yang penelitian ini juga sejalan dengan pendapat memiliki kecerdasan emosi tinggi berkemampuan Allport yang sosial tinggi dalam bentuk empati, kesediaan penghayatan bekerjasama dan memiliki kepribadian altruistik. religius seseorang maka strategi pemikiran dan Dalam hal ini faktor empati merupakan faktor pertimbangan seseorang akan semakin matang penting yang mempengaruhi perilaku prososial. dengan melibatkan nilai-nilai yang berkaitan Empati merupakan kemampuan memahami dan dengan nilai agama. merasakan apa yang terjadi pada orang lain serta (dalam mengatakan Kolopaking, semakin Diterimanya 2002) intrinsik hipotesis menyatakan terdapat hubungan antara emosi kecerdasan ketiga yang yang positif dengan perilaku merupakan potensi dasar yang penting bagi tumbuhnya sikap menolong. Empati dan keselarasan sosial merupakan variabel pembentuk prososial pada guru pada SMP Negeri di kecerdasan Kecamatan Semen, ini berarti bahwa semakin kepedulian terhadap lingkungan dan dirinya, serta tinggi kecerdasan emosi guru, semakin tinggi keterampilan sosial sebagai bentuk keselarasan perilaku prososialnya, demikian pula sebaliknya, dan keseimbangan antara Allah, alam, dan aku hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya (Casmini, 2011). Artinya kecerdasan emosi kecerdasan emosi mampu menjadi salah satu memberi arah perilaku guru dalam berinteraksi prediktor bagi tinggi rendahya perilaku prososial. dengan orang lain dan menghindarkan seseorang Hasil kategorisasi menunjukkan kecerdasan emosi secara umum termasuk kategori tinggi emosi. Empati sebagai bentuk berperilaku negatif dan menyimpang. Orang yang cerdas emosinya akan mampu melakukan (98,75%) dan sedang (1,25%), artinya kecerdasan penyesuaian diri dengan tepat baik terhadap diri emosi mempunyai peran dalam meningkatkan maupun lingkungannya. Sejalan dengan kajian Carson dan Carson perilaku prososial guru. Tingginya kecerdasan emosi guru ini disebabkan faktor usia guru yang (dalam Iskandar, 2008) kebanyakkan diatas 30 tahun dan telah memasuki emosinya dapat memotivasi diri, memotivasi periode yang matang dalam menentukan sikap dan orang dalam kehidupan bermasyarakat. Semakin tua berwawasan apabila membuat suatu keputusan, usianya empati dengan memahami psikologi orang lain emosinya maka semakin (Casmini, tinggi 2011), kecerdasan juga faktor pendidikan yang semakin baik, sehingga proses mereka yang cerdas lain dan mengendalikan emosi diri, serta membangun dan menjalin hubungan sosial yang baik. mempelajari agama lebih rasional dan dogmatis, Hal senada disampaikan Casmini (2011) serta perasaan senasib dan seperjuangan antar bahwa Cerdas dalam bahasa Jawa identik dengan sesama guru. waskita, landhep, lanthip yang berarti wasis (lincah), dan prigel (cakap). serta emosi adalah 555 JURNAL PSIKOLOGI MURYADI & MATULESSY panggraito. Kecerdasan emosi dalam bahasa Jawa Secara umum perilaku prososial guru disebutkan dengan waskita ing nepsu atau tergolong kategori tinggi dimana hasil kategori landeping atau lanthiping panggraito. Waskita ing menunjukkan 80% sangat tinggi dan sisanya 20% dalam kategori tinggi, artinya guru telah memahami arti mengelola nafsu (emosi) sebagai sumber energi penting perilaku prososial bagi kesiapan seseorang dan informasi dalam mencapai keseimbangan dalam mengarungi kehidupan sosialnya. Dengan hidup. panggraito/lanthiping kemampuan prososial ini seseorang akan lebih panggraito yaitu ketajaman dalam menggunakan diterima dalam pergaulan dan akan dirasakan perasaan dalam mencapai keselarasan kehidupan. berarti kehadirannya bagi orang lain (Cholidah, Rasa 1996). Tingginya perilaku prososial guru ini juga adalah nepsu kemampuan Landheping pangrasa seseorang adalah kemampuan mengedepankan rasa untuk diri dan orang lain disebabkan mayoritas tempat tinggal dan untuk mewujudkan keselarasan sosial. lingkungan sekolah di wilayah desa yang masih Hasil penelitian ini sesuai dengan teori leluasa jauh dari suasana sesak dan padat. Dalam bahwa kecerdasan emosi yang memadai, akan suasana padat dan sesak, kondisi psikologis yang membantu guru untuk mengelola emosi diri negatif mudah timbul dan merupakan faktor sendiri hingga mengenali dan memahami emosi penunjang yang kuat untuk munculnya stress dan orang lain dan mampu mengambil perspektif dan bermacam aktifitas sosial negatif empati orang lain, kemampuan mengelola suasan dan Deaux, dalam Hasnida 2002). hati dan empati terhadap penderitaan orang lain aktivitas sosial negatif yang dapat diakibatkan mendorong guru untuk menolong (Goleman,1995; oleh suasana padat dan sesak, antara lain : 1) Kartono & Gulo, 1987 dalam Farid 2011) munculnya bermacam-macam penyakit baik fisik sehingga reaksi- maupun psikis, seperti stres, tekanan darah reaksi yang tepat dan sesuai untuk membantu meningkat, psikosomatis, dan gangguan jiwa; 2) orang lain dalam lingkup sosial dan lingkup munculnya patologi sosial, seperti kejahatan dan kerjanya serta mampu mengembangkan sikap kenakalan remaja; 3) munculnya tingkah laku prososial kepada siswa atau anak didiknya. sosial yang negatif, seperti agresi, menarik diri, guru mampu memberikan (Wrightsman Bentuk Perilaku prososial adalah perilaku seseorang berkurangnya tingkah laku menolong (prososial), yang ditujukan pada orang lain dan memberikan dan kecenderungan berprasangka; 4) menurunnya keuntungan fisik maupun psikologis bagi yang prestasi kerja dan suasana hati yang cenderung dikenakan tindakan tersebut. Perilaku prososial murung (Holahan, dalam hasnida 2002). Kawasan mencakup sama, padat dan sesak juga menyebabkan individu lebih membagi, menolong, kejujuran, dermawan serta selektif dalam berhubungan dengan orang lain, mempertimbangkan terutama tindakan-tindakan kerja kesejahteraan (Mussen et al., dalam Hasnida 2002). orang lain dengan orang yang tidak begitu dikenalnya. Tindakan ini dilakukan individu untuk mengurangi stimuli yang tidak diinginkan yang JURNAL PSIKOLOGI 556 RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL dapat mengurangi kebebasan individu. Tindakan mendorong orang untuk memberikan pertolongan selektif ini memungkinkan menurunnya keinginan dalam beberapa jenis situasi dan tidak dalam seseorang untuk membantu orang lain (intensi situasi yang lain, suasana hati seseorang lebih prososial). terdorong untuk memberikan bantuan bila mereka Hasil penelitian ini juga menghasilkan berada dalam situasi hati yang baik, dan distres angka koefisien determinasi (R²) sebesar 0,486 dan rasa simpatik, distress diri adalah reaksi atau bersama-sama pribadi kita terhadap penderitaan orang lain religiusitas dan kecerdasan emosi memberikan seperti perasaan terkejut, takut, cemas dan kontribusi 48,6% terhadap perilaku prososial pada lain-lain yang dialami, sedangkan karakteristik guru, sisanya 51,4% perilaku prososial guru orang yang membutuhkan pertolongan yaitu dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor lain tersebut menolong orang yang disukai, rasa suka awal diantaranya seperti daya tarik fisik dan kesamaan dan 48,6%, artinya menurut secara Sears (1991) yaitu karakteristik situasi dan karakteristik penolong yang meliputi faktor kepribadian, suasana hati seseorang dan distres dan rasa simpatik serta karakteristik orang yang membutuhkan menolong orang yang pantas ditolong. Walaupun hasil penelitian yang didapatkan mendukung hipotesis penelitian dan juga sejalan dengan penelitian sebelumnya, peneliti menyadari bahwa penelitian ini terdapat beberapa kelamahan pertolongan. sekalipun : pertama religiusitas merupakan suatu hal yang bantuan dalam sulit di ukur secara tepat karena individu situasi tertentu. Penelitian yang telah dilakukan cenderung malu untuk mengakui bahwa dirinya membuktikan makna penting beberapa faktor tergolong kurang religius. Ada kecenderugan situasional, yang meliputi kehadiran orang lain, sosial desirability bias yaitu kecenderungan penonton yang begitu banyak menjadi alasan individu untuk memberi jawaban yang bersifat untuk tidak menolong karena menduga sudah positif, yang sesuai dengan norma sosial. Orang cenderung yang tidak paling altruis memberikan ada orang lain yang pasti akan menolong. Keadaan fisik atau efek cuaca juga mempengaruhi kesediaan untuk membantu atau menolong. Faktor kebisingan dapat menurunkan daya tanggap kejadian di seseorang terhadap lingkungannya dan semua tekanan keterbatasan waktu. Kadang-kadang kita berada dalam situasi atau keadaan tergesa-gesa untuk memutuskan menolong atau tidak. Karakteristik penolong sendiri diantaranya adalah faktor kepribadian, ciri kepribadian tertentu 557 Simpulan dan Saran Hasil analisis regresi menunjukkan ada hubungan yang sangat signifikan secara bersamasama antara religiusitas, kecerdasan emosi dengan perilaku prososial (F=36,349 dan p=0,000). Kedua prediktor memberikan sumbangan 48,6% terhadap perilaku prososial guru, Maka hipotesis yang pertama yang menyatakan terdapat hubungan antara religiusitas dan kecerdasan emosi dengan perilaku prososial pada guru SMP Negeri di Kecamatan Semen diterima. JURNAL PSIKOLOGI MURYADI & MATULESSY Berdasarkan hasil analisis korelasi parsial warga miskin, menggalang dana untuk membantu diperoleh data bahwa (1) ada hubungan yang bencana gempa, banjir dll. positif 2) Kepala sekolah hendaknya dapat memberikan antara religiusitas dengan perilaku prososial (harga t=2,789 pada p=0,007), artinya teladan semakin tinggi religiusitas akan semakin tinggi memberikan pula perilaku prososial pada guru. Maka hipotesis menunjukkan perilaku prososial secara konsisten, yang kedua yang berbunyi terdapat juga perlu diadakan pembinaan bagi guru dalam hubungan dalam berperilaku reward prososial dan guru yang kepada yang positif antara religiusitas dengan perilaku kegiatan-kegiatan prososial pada guru pada SMP Negeri di latihan kecerdasan emosi yang kesemuanya Kecamatan Semen diterima. (2) ada hubungan bertujuan untuk meningkatkan religiusitas dan yang positif antara kecerdasan emosi dengan kecerdasan emosi guru. Selain melalui jalur perilaku prososial (harga t=5,631 pada p =0,000), pendidikan formal kiranya perlu ditempuh melalui artinya semakin tinggi kecerdasan emosi akan jalur organisasi. semakin tinggi pula perilaku prososial pada guru. (3) Maka hipotesis yang ketiga yang berbunyi memperhatikan terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan serta perilaku prososial karena juga sangat emosi dengan perilaku prososial pada guru SMP mempengaruhi mutu pelayanan instansi-instansi Negeri di Kecamatan Semen diterima. terkait. Instansi yang berwenang hendaknya perlu Instansi keagamaan terkait dan pelatihan- diharapkan juga religiusitas, kecerdasan emosi Berdasarkan hasil yang diperoleh dari mendorong terbentuknya forum komunikasi antar penelitian ini, peneliti memberikan sumbangan guru untuk memudahkan dan mengefektifkan saran sebagai berikut : peningkatan perilaku prososial guru 1) Guru sebaiknya dapat mempertahankan guna menggalang kesetiakawanan sosial dan pelestarian berperilaku prososial yang sudah dimiliki dan nilai-nilai luhur bangsa di masyarakat. memberikan informasi pada masyarakat luas guna (4) Bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya mengangkat meningkatkan menggunakan alat ukur yang memiliki reliabilitas perilaku prososial dengan tema yang sama disarankan meningkatkan religiusitas dan kecerdasan emosi, yang lebih tinggi, juga diharapkan misalnya memperluas dengan mengikuti training atau pelatihan yang diadakan oleh pihak sekolah menambah atau instansi terkait yang untuk meningkatkan ruang lingkup variabel-variabel didapat dapat misalnya dengan lain lebih bervariasi, agar hasil membedakan pengetahuan serta kemampuan pribadinya dalam berdasarkan jenis kelamin serta memperhatikan memberikan pelayanan kepada siswa. Di sekolah faktor-faktor lain dan di masyarakat guru dapat mengajak siswa dan perilaku prososial misalnya karakteristik situasi, warga masyarakat untuk mengadakan kegiatan biaya menolong dan lain-lain. Selain itu peneliti bakti sosial ke daerah yang banyak terdapat selanjutnya JURNAL PSIKOLOGI yang turut mempengaruhi diharapkan dapat memperluas 558 RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL populasi dan memperbanyak sampel, agar ruang lingkup dan generalisasi penelitian menjadi lebih luas sehingga kesimpulan yang diperoleh lebih menyeluruh dan komprehensif. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah menggunakan data tambahan seperti observasi dan wawancara agar hasil yang didapat lebih mendalam dan sempurna, karena tidak semua hal dapat diungkap dengan skala. Kepustakaan Ancok,(1993), Validitas Reliabilitas Alat Tes Psikologi, Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia, Jakarta Alwani, 2007, Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Kinerja Auditor Pada Kantor Akuntan Publik di Kota Semarang, Skripsi, Universitas Negeri Semarang Azwar, Saifuddin,(2005). Reliabilitas dan Validitas (eds 3). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Arbadiati, Catur & Kurniati, Taganing, (2007). Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Kecenderungan Problem Focused Coping pada Sales. Pesat,Vol. 2 No. 2. Arikunto S, (1985), Prosedur Penelitian Praktek, Bina Aksara: Jakarta Bagus L. 1996. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: Gramedia. Baron, R. A & Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial. Edisi kesepuluh. Jilid 2. (Alih bahasa oleh Ratna Djuwita, et al.). Jakarta: Penerbit Erlangga. Baron dan Byrne. (1991). Social Psychology Understanding Human Interaction. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Baron, R.A dan Byrne, D. (1979). Social Psychology Understanding Human 559 Behaviour. Newyork Winston, Inc. : Rinehart dan Casmini. (2011). Kecerdasan Emosi dan Kepribadian Sehat Dalam Konteks Budaya Jawa di Yogyakarta. Ringkasan Desertasi, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Cholidah, L., Ancok, D. dan haryanto. (1996). Hubungan Kepadatan dan Kesesakan dengan Stres dan Intensi Prososial Pada Remaja di Pemukiman Padat. Jurnal Psikologika. No. 1, 56-64. Danny, O.P., Gusrini R.P. (2006). Perbedaan Perilaku Prososial Berdasarkan Orientasi Peran Jenis. Jurnal Psikologika, Vol XI, No. 22, 128-135. Dahriani A, 2007, Perilaku Prososial Terhadap Pengguna Jalan Raya (Studi Fenomenologis Pada Polisi Lalu Lintas, Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang Dayakisni, T dan Hudaniah. (2003). Sosial. Malang : UMM Press. Psikologi Dedy I, 2010, Dicari Guru Profesional, Opini,http://edukasi.kompasiana.com /2010/04/15/dicari-guru-profesional/ diakses 15 September 2011 Drijarkara, SJ. N., 1989. Filsafat Yogyakarta: Yayasan Kanisius. Manusia, Farid, M. (2011). Hubungan Penalaran Moral, Kecerdasan Emosi, Religiusitas dan Pola Asuh Orang Tua Otoritatif dengan Perilaku Ringkasan Desertasi, Prososial. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM Fauzan, 2005, Pengaruh Religiusitas Terhadap Prestasi Kerja Pegawai NegeriSipil (PNS) Alumni dan Bukan Alumni Pesantren di Majalah Kantor Depag Kota Malang, SINERGI Edisi Khusus on Human Resources Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. London: Bloomsbury Publishing Plc. JURNAL PSIKOLOGI MURYADI & MATULESSY Goleman, D. (1999). Working with Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Goleman, D. (2000). Kecerdasan Emosional untuk Mencapai Puncak Prestasi (Terjemahan: Widodo). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hadi, S. 1995. Statistik Jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset. Hadi, S. 2000. Metodelogi Research. Yogyakarta: Andi Offset Hartanti, 2009, Perbedaan Perilaku Prososial Remaja Ditinjau Dari Persepsi Pola Komunikasi Keluarga, Abstrak Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya Mangunwidjoyo, Y.b. (1986). Menumbuhkan Sikap Religius Pada Anak. Jakarta: Gramedia. Maria U. 2007, Peran Persepsi Keharmonisan Keluarga dan Konsep Diri Terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja, Tesis, Universitas Gajah Mada Marina, Sarwono, 2007. Kecerdasan Emosional pada Orang Tua yang Mendongeng dan Tidak Mendongeng, JPS VoL. 13 No. 02 Mei 2007, hal 97-98 Musaheri, 2009, Hubungan Religiusitas, Keharmonisan Keluarga dengan Perilaku Delinkuen Pada Siswa SMPN 1 Kalianget, Tesis, Surabaya : Universitas 17 Agustus 1945 Hartati N, 1997, Perilaku dan Motif Prososial Anak Berbakat Intektual Umum di Kelas Reguler, Tesis, Universitas Indonesia. Pulungan, W. (1993). Kecenderungan Tingkah laku Prososial Remaja Dihubungkan dengan Golongan Pekerjaan Ayah dan Pola Asuh dalam Keluarga. Desertasi ( tidak diterbitkan) Jakarta: Fakultas Psikologi UI Hastuti K. 1998, Hubungan Antara Relgiusitas, Regulasi Diri dan Aktivitas Seksual Dalam Berpacaran Pada Remaja Kristen, Tesis, Universitas Indosesia. Rudyanto E. 2010. Hubungan antara Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Prososial pada Perawat, Skripsi, Universitas Sebelas Maret Glock,C, & Stark,R (1965). Religion and Society in Transition, Chicago : Rand Mc. Nally Rufaida, (2009). Hubungan Antara Tingkat Kematangan Emosi dengan Tingkat Perilaku Skripsi. Fakultas Psikologi Prososial. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Hendropuspito,O.C.(1985).SosiologiAgama.Yogy akarta: Penerbit Kanisius Jannah, Miftakhul. (2008). Hubungan antara Kecerdasan Ruhani dan Tipe Kepribadian Ekstrovert terhadap Perilaku Prososial pada (tidak diterbitkan). Santri. Skripsi Surakarta: Fakultas Psikologi UMS. Sarwono, W.S . (1992). Psikologi Lingkungan. Jakarta: CV. Remaja Karya. Sears, D. O., dkk. (1991). Psikologi Sosial/Edisi kelima/Jilid 2 (Alih bahasa oleh Michael Adriyanto). Jakarta: Penerbit Erlangga. Kolopaking R. 2002, Konsep Sekualitas Diri: Pengaruh Status Menarche dan Religiusitas (Studi pada ramaja muslim SLTPN di Jakarta) Tesis, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Shapiro,L.A.(1997).Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak(Terjemahan: Kantjono, A.T.). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Koentjaraningrat. (1992). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta :Gramedia Pustaka Utama. Situmeang R, 2004, Pengaruh Tempat Tinggal Anak Terhadap Prilaku Prososial Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Studi Kasus SMU Negeri Plus Soposurung Balige), e-USU Repository Universitas Sumatera Utara JURNAL PSIKOLOGI 560 RELIGIUSITAS, KECERDASAN EMOSI DAN PERILAKU PROSOSIAL Stange, P. 1998. Politik Perhatian, Rasa dalam Kebudayaan Jawa.Yogyakarta: LKiS. Staub, E.(1979). Positive Social Behaviour and Morality: Socialization and Development, New York : Academic Press. Syafiq A. 2008, Hubungan Religiusitas dengan Etos Kerja Islami pada dosen Di Universits Indonesia Yogyakarta, Abstrak skripsi, Universitas Islam Indonesia. Sugiono (2011), Modul Pengembangan Profesionalitas Guru, Panitia Sertifikasi Guru (PSG) rayon 143, Kediri Wrightsman, L. S. &Deaux, K. (1993). Social Psychology in The 90’s. California: Brooks/Cole Publishing Company. Supriadi Dedi (1998), Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta. Zainuddin, Hidayat, 2008, Hubungan Intensi ProSosial Pustakawan dengan Kepuasan Pengguna pada Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda) Provinsi Sumatera Utara, Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008. Pembimbing ke Suryabrata, S.(1984). Psikodiagnostik. Yogyakarta : Andi Offset. Suryabrata S. 2000, Pengembangan Alat Ukur Psikologis, Yogyakarta : Andi Offset, 561 JURNAL PSIKOLOGI