BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Peningkatan kinerja karyawan dibutuhkan setiap organisasi untuk mencapai tujuannya. Kinerja merupakan hal penting bagi perusahaan maupun organisasi dalam rangka mencapai tujuan perusahaan, mengembangkan produk, menyediakan layanan dan mencapai keunggulan kompetitif (Rani et al., 2013). Pengukuran kinerja berimplikasi pada peningkatkan produktivitas, pelaksanaan sistem kompensasi, pembayaran kerja, pendelegasian tanggung jawab yang lebih tinggi dan peningkatan kinerja (Shahhosseini et al., 2012). Oleh karena itu, kinerja harus menjadi perhatian yang serius oleh organisasi. Sumber daya manusia sebagai aktor yang berperan penting dalam menggerakkan organisasi untuk mencapai tujuan. Tujuan organisasi dapat tercapai apabila para pelaku organisasi berkinerja secara efektif dan efisien. Penelitian Langhorn (2003) dalam Bharwaney et al. (2011) menunjukkan hasil kecerdasan emosional mampu meningkatkan produktivitas. Oleh sebab itu, kecerdasan emosional dipandang menjadi hal yang penting untuk diterapkan dalam organisasi (Lyons dan Schneider, 2005). Studi tentang pentingnya kecerdasan emosional telah dilakukan di banyak penelitian. Beberapa diantaranya dihubungkan dengan; a) kinerja individual (e.g. Esfandiari dan Ekradi, 2014; Kulkarni et al., 2009; Shamsuddin dan Abdul, 2014), b) kepuasan kerja (e.g. Pau dan Sabri, 2012; Shooshtarian et al., 2013; Sy et al., 1 2006), c) komitmen organisasional (e.g. Anari, 2011), d) kepemimpinan (e.g. Goleman, 1998; 2000) dan e) efektivitas interpersonal (e.g. Rode et al., 2007). Menurut Mayer dan Salovey (1995), kecerdasan emosional dapat menjadi sarana atau alat dalam pencapaian tujuan strategis bisnis dan pengembangan kinerja. Lebih lanjut, Tischler et al. (2002) menyatakan adanya hubungan positif antara kecerdasan emosional dengan kinerja. Penelitian lain adalah penelitian Carmeli (2003) yang menjelaskan bahwa kecerdasan emosional juga berpengaruh positif terhadap sikap kerja, perilaku altruistik dan work outcomes. Awalnya, kecerdasan yang dipahami oleh masyarakat hanya merupakan kecerdasan intelejensi. Seiring perkembangan pengetahuan manusia serta penelitian, maka ditemukan tipe kecerdasan lainnya melalui penelitian-penelitian empiris dan longitudinal oleh para akademisi dan praktisi psikologi, yakni kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan emosional pertama kali dikenalkan oleh seorang peneliti bernama Salovey dan Mayer (1990), dan kemudian Gardner (1993) yang menemukan konsep kecerdasan berganda (dalam Tischler et al. 2002). Konsep kecerdasan emosional mulai menjadi perhatian sejak dipopulerkan oleh Daniel Goleman di tahun 1995 yang dikenal dengan “Emotional Intelligence”. Melalui bukunya yang berjudul Emotional Intelligence: Why It Can Matter More than IQ. Penelitian kecerdasan emosional sekarang ini menjadi isu yang penting di tempat kerja (Lyons dan Schneider, 2005; Sy et al., 2006). Menurut Fatt (2002), alasan kecerdasan emosional menjadi isu penting di tempat kerja, yaitu: 1. Sebagai kemampuan kognitif setelah kecerdasan intelektual. 2 2. Perusahaan dan individu semakin tertarik untuk menemukan keunggulan kompetitif melalui aspek strategi pada emosional. 3. Kecerdasan intelektual telah menunjukkan kegagalan dalam menentukan kesuksesan pada tingkat individu, keduanya dalam konteks pendidikan dan organisasi. Secara khusus, kecerdasan emosional menunjukkan sebagai prediktor kinerja. O’boyle et al. (2011) melakukan studi meta-analisis pengaruh kecerdasan emosional dengan kinerja. Studi tersebut bertujuan menginvestigasi pengukuran kecerdasan emosional, dengan memasukkan unsur kepribadian dan kecerdasan kognitif sebagai prediktor kinerja. Sampel yang digunakan berjumlah 43 artikel (dari identifikasi 1163 kutipan hubungan antara kecerdasan emosional dengan the five factors model, kemampuan kognitif dan kinerja). Hasil investigasi menunjukkan kecerdasan emosional sebagai prediktor kinerja (e.g. Ashkanasy dan Daus, 2005; Brackett dan Mayer, 2003; Brackett et al., 2004; Dulewicz dan Higgs, 2000; Dulewicz et al., 2003). Selain menguji pengaruh kecerdasan emosional dengan kinerja, penelitian ini juga menguji pengaruh kecerdasan emosional pada kepuasan kerja karyawan. Menurut Babakus et al. (1996) kepuasan kerja merupakan salah satu variabel yang populer dalam memahami perilaku dan sikap karyawan. Faktor kepribadian memainkan peran penting dalam mempertahankan stabilitas kepuasan kerja yang tinggi (Dormann dan Zapf, 2001). Namun demikian, menurut Blau (1999) dalam Chiva dan Alegre (2008), penelitian empiris yang menganalisis pengaruh 3 kecerdasan emosional pada kepuasan kerja masih sangat sedikit dan itupun belum menunjukkan hasil yang konsisten. Beberapa studi empiris mengenai pengaruh kecerdasan emosional pada kepuasan kerja menunjukkan hasil yang masih belum konsisten. Misalnya, terdapat studi yang menunjukkan kecerdasan emosional berpengaruh langsung dengan kepuasan kerja (e.g. Anari, 2011; Cekmecelioglu, 2012; Pau dan Sabri, 2012; Shooshtarian et al., 2013; Sy et al., 2006; Thiruchelvi dan Supriya, 2009; Wong et al., 2010). Temuan studi lain menunjukkan kecerdasan emosional tidak berpengaruh langsung (atau melalui variabel mediasi) dengan kepuasan kerja (e.g. Bostjancic, 2010; Chiva dan Alegre, 2008; Jordan dan Troth, 2010; Meisler, 2014), berpengaruh negatif (e.g. Thompson dan Lane, 2014), berpengaruh lemah (e.g. Chiva dan Alegre, 2008) dan tidak ada pengaruh (e.g. Day dan Caroll, 2004; Ghoreishi et al., 2014). Studi yang lain terdapat pengaruh langsung antara kecerdasan emosional terhadap kepuasan kerja karyawan. Dalam penelitian Onuoha dan Martins (2013) lebih lanjut dijelaskan bahwa kecerdasan emosional secara signifikan mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu karyawan dengan emosional yang lebih tinggi memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi. Selain itu, Onuoha dan Martins (2013) juga menyatakan kecerdasan emosional individu digambarkan sebagai orang-orang yang tidak hanya menyadari emosi mereka, tetapi juga dapat memahami emosi orang lain dan menggunakan pengetahuan tersebut untuk mengatur dan membimbing mereka pada perilaku dalam berhubungan dengan 4 orang lain. Melalui pengaturan diri serta memahami emosi orang lain tersebut, diharapkan dapat memberi pengaruh pada kepuasan kerja karyawan. Konsep lain yang penting dalam kinerja dan kepuasan kerja adalah dukungan organisasional persepsian (perceived organizational support). Studi dukungan organisasional persepsian telah dikaji di banyak penelitian. Penelitian tersebut dikaitkan dengan; a) kinerja (e.g. Armeli et al., 1998; Byrne dan Hochwarter, 2008; Duke et al., 2009), b) kepuasan kerja (e.g. Ahmad dan Yekta, 2010; Eisenberger et al., 1997; Stamper dan Johlke, 2003), c) komitmen (e.g. Allen dan Griffeth, 2003; Eisenberger et al., 2001) dan d) perilaku penarikan (e.g. Eder dan Eisenberger, 2008). Dukungan organisasional persepsian adalah bentuk kepercayaan karyawan mengenai bagaimana organisasi menilai kontribusi karyawan dan peduli terhadap karyawan (Rhoades dan Eisenberger, 2002). Organisasi yang memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan karyawan akan memunculkan keterikatan secara psikologis terhadap organisasinya (Lee, 2004). Eisenberger et al. (1986) juga menyatakan bahwa individu akan menilai dukungan organisasional persepsian yang dilakukan oleh pihak lain dalam suatu hubungan sosial. Dukungan organisasional persepsian sebagai sistem sosial meliputi individu-individu dalam kelompok informal dan hubungan antar kelompok. Dukungan organisasi yang diterima karyawan melibatkan komunikasi dan berpeluang besar berubah menjadi dukungan yang bersifat emosional. Johnson dan Johnson (1991) berpendapat bahwa dukungan organisasional mampu memberikan dukungan nyata dan keyakinan pada diri individu kepada sebuah 5 sistem dan menciptakan kedekatan pada organisasinya. Lebih lanjut, Rhoades dan Eisenberger (2002) menyatakan dukungan organisasional persepsian juga dapat menciptakan kepuasan kerja dan suasana hati positif karyawan. Dukungan nyata yang diberikan organisasi kemudian mempengaruhi bagaimana karyawan berperilaku. Dukungan organisasional persepsian berhubungan positif dengan sikap dan perilaku kerja seperti kehadiran karyawan (Eisenberger et al., 1986). Ketika karyawan menerima dukungan organisasi, kesadaran dan motivasi diri akan meningkat, kemudian diharapkan dapat meningkatkan pengaruh kecerdasan emosional dengan kinerja dan kepuasan kerja. Artinya, keberadaan dukungan organisasional persepsian diduga dapat menjadi jalan bagi karyawan dalam memenuhi kebutuhan akan motivasi yang tinggi dari organisasi sehingga meraka dapat bekerja maksimal dan merasa puas pada pekerjaannya. Konsep dukungan organisasional membahas proses psikologis dan motif dasar konsekuensi dari dukungan organisasional persepsian (Rhoades dan Eisenberger, 2002). Dukungan organisasi akan dihargai oleh karyawan untuk memenuhi kebutuhan sosioemosional sebagai indikasi kesiapan organisasi memberi bantuan dan ganjaran peningkatan usaha untuk melaksanakan pekerjaan seseorang secara efektif (Eisenberger et al., 1986). Selain itu, pemenuhan kebutuhan sosioemosional tersebut harus mengarahkan karyawan pada rasa kepemilikan dan peran status yang lebih besar terhadap keanggotaan organisasi, sehingga kepuasan kerja yang lebih besar akan mengarahkan suasana hati yang 6 positif dapat terwujud. Artinya, dukungan organisasional persepsian berkontribusi untuk membalas atas segala upaya yang dilakukan organisasi kepadanya. Rhoades dan Eisenberger (2002) menyatakan bahwa konsep dukungan organisasional persepsian merupakan persepsi karyawan sejauh mana organisasi menghargai kontribusi serta peduli tentang kesejahteraan mereka. Karyawan kemudian membalas dukungan tersebut dengan peningkatan komitmen, loyalitas dan kinerja (Rhoades dan Eisenberger, 2002). Ketika satu orang memperlakukan orang lain dengan baik, norma timbal balik mewajibkan kembalinya perlakuan yang menguntungkan (Gouldner, 1960). Pandangan norma timbal balik tersebut sesuai dengan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory). Menurut Eisenberger et al. (1997), teori pertukaran sosial berfokus pada norma timbal balik yang mensyaratkan karyawan untuk merespon secara positif perlakuan yang menguntungkan dari perusahaan. Teori pertukaran sosial telah lama dikembangkan sebagai basis konseptual motivasi di balik perilaku dan pembentukan sikap positif karyawan (Setton et al., 1996) dan hubungan antara individu dengan organisasinya (Eisenberger et al., 1997). Norma timbal balik tersebut kemudian dipercaya menjadi perilaku karyawan untuk membantu organisasi mencapai tujuannya (Rhoades et al., 2001). Penjelasan mengenai teori pertukaran sosial akan dibahas lebih lanjut di Bab 2. Kinerja karyawan dapat meningkat seiring peningkatan dukungan organisasional persepsian (Lynch et al., 1999). Menurut Lynch et al. (1999), dukungan organisasional persepsian yang rendah menyebabkan karyawan kurang bekerja keras, sebaliknya ketika dukungan organisasional persepsian tinggi 7 menyebabkan karyawan meningkatkan usaha keras mereka. Menurut George dan Brief (1992) dalam Rhoades dan Eisenberger (2002), kegiatan tambahan tersebut termasuk membantu sesama karyawan, mengambil tindakan yang melindungi organisasi dari risiko, menawarkan saran konstruktif dan memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat bagi organisasi. Beberapa studi menunjukkan dukungan organisasional persepsian berperan sebagai pemoderasi. Dukungan tersebut mempengaruhi reaksi afektif secara umum terhadap pekerjaan, termasuk kepuasan kerja dan suasana hati yang positif karyawan (Rhoades dan Eisenberger, 2002). Ini harus digarisbawahi karena studi Lynch et al. (1999) menunjukkan dukungan organisasional persepsian memoderasi pengaruh reciprocation wariness pada extra-role performace karyawan. Ketika dukungan organisasi tinggi, extra-role performace juga semakin tinggi. Lebih lanjut, tingginya dukungan organisasional persepsian menjadikan karyawan merasa dipedulikan sehingga persepsi ambiguitas peran dapat berkurang kemudian memperlemah pengaruh negatif terhadap kepuasan kerja karyawan (Stamper dan Johlke, 2003). Di sisi lain, studi mengenai peran variabel pemoderasi pengaruh kecerdasan emosional pada kinerja masih terbatas (O’boyle et al., 2011; Ayranci, 2011). Namun demikian, indikasi adanya pengaruh tersebut sudah mulai diteliti. Menurut Cherniss (2010), faktor kontekstual seperti interaksi sosial dan tingkat pengalaman stres dapat menguatkan pengaruh tersebut. O’boyle et al. (2011) sepakat bahwa faktor-faktor kontekstual tersebut ada (interaksi sosial dan tingkat pengalaman stres) dan dapat mempengaruhi pengaruh kecerdasan emosional pada 8 kinerja. Penelitian ini kemudian menduga bahwa ketika karyawan menerima dukungan dan penghargaan, maka kesadaran serta motivasi diri (dimensi kecerdasan emosional) mereka akan semakin kuat sehingga dapat menguatkan pengaruh pada kinerja dan kepuasan kerja. Artinya, pengaruh kecerdasan emosional pada kinerja dapat diperkuat dengan menghadirkan variabel pemoderasi. Studi Duke et al. (2009) menunjukkan dukungan organisasional persepsian memperlemah pengaruh negatif antara emotional labor dengan kinerja dan kepuasan kerja karyawan. Seperti yang telah dijelaskan, hal ini sangat relevan dengan teori pertukaran sosial, yaitu bahwa karyawan akan membalas apa yang mereka terima dari organisasi (Aselage dan Eisenberger, 2003; Blau (1964) dalam Mishra, 2014). Karyawan cenderung membalas perlakuan menguntungkan yang mereka terima dengan perilaku yang positif pada pekerjaan. Artinya, keberadaan dukungan organisasional persepsian karyawan dalam organisasi mempengaruhi bagaimana mereka berperilaku di tempat kerja. Keterbatasan studi yang menggunakan dukungan organisasional persepsian sebagai variabel pemoderasi menjadi gap yang akan dijawab dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan melakukan pengembangan dari studi Duke et al. (2009), dimana dukungan organisasional persepsian sebagai pemoderasi pengaruh negatif antara emotional labor dengan kinerja dan kepuasan kerja. Duke et al. (2009) menggunakan emotional labor sebagai prediktor, sedangkan penelitian ini menggunakan kecerdasan emosional sebagai prediktor kinerja dan kepuasan kerja. Kecerdasan emosional dipilih karena merupakan sarana 9 pencapaian tujuan strategis bisnis sekaligus sebagai prediktor terbaik kinerja (Cote dan Miners, 2006; Mayer dan Salovey, 1995) dan kecerdasan emosional berperan penting terhadap kepuasan kerja (Onuoha dan Martins, 2013). Selain itu, fokus penelitian ini adalah menguji dukungan organisasional persepsian sebagai variabel pemoderasi pengaruh kecerdasan emosional pada kinerja dan kepuasan kerja. Lebih lanjut, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya keterbatasan studi empiris terkait peran pemoderasi (O’boyle et al., 2001; Ayranci, 2011) sekaligus menguji pengaruh faktor kontekstual (interaksi sosial) (Cherniss, 2010) dan menguji dukungan organisasional persepsian sebagai faktor kondisi organisasi (situasional) yang dipahami menjadi pengaruh utama kepuasan kerja (Herzberg (1996) dalam Chiva dan Alegre, 2008). Secara singkat, penelitian ini berupaya menganalisis respon karyawan pada dukungan organisasional persepsian sebagai pemoderasi pengaruh kecerdasan emosional pada kinerja dan kepuasan kerja. 1.2. Perumusan Masalah Temuan studi empiris pengaruh kecerdasan emosional dengan kinerja dan kepuasan kerja menunjukkan hasil yang masih belum konsisten. Sejumlah penelitian menunjukkan mendukung dan ada yang tidak mendukung. Pertama, sejumlah penelitian mendukung bahwa kecerdasan emosional tidak berpengaruh positif terhadap kinerja (e.g. Ayranci, 2011; Esfandiari dan Ekradi, 2014; Schumacher, 2009). Namun, terdapat sejumlah penelitian lain yang mendukung bahwa kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan (e.g. 10 Ali et al., 2012; Dulewicz dan Higgs, 2000; Esfandiari dan Ekradi, 2014; Goleman, 1998; Kulkarni et al., 2009; Lam dan Kirby, 2002; Lyons dan Schneider, 2005; Rode et al., 2007; Shamsuddin dan Rahman, 2014). Dengan demikian, perlu pengujian kembali pengaruh kecerdasan emosional terhadap kinerja. Kedua, temuan studi yang masih belum konsisten tersebut diduga karena faktor interaksi sosial belum banyak dimasukkan dalam model penelitian (Cherniss, 2010). Interaksi sosial yang dimaksudkan adalah dukungan organisasional persepsian. Beberapa studi telah menunjukkan dukungan organisasional persepsian sebagai pemoderasi yang menguatkan pengaruh kecerdasan emosional pada komitmen organisasional dan mengurangi penarikan individu (Eder dan Eisenberger, 2008) dan melemahkan hubungan negatif antara emotional labor dengan kepuasan kerja dan kinerja (Duke et al., 2009). Studi peran dukungan organisasional persepsian pada pengaruh kecerdasan emosional belum pernah diteliti sebelumnya. Dengan demikian, perlu pengujian peran dukungan organisasional persepsian pada pengaruh kecerdasan emosional pada kinerja karyawan melalui teori pertukaran sosial. Ketiga, hasil studi mengenai pengaruh kecerdasan emosional dengan kepuasan kerja masih belum konsisten. Beberapa penelitian empiris menunjukkan pengaruh positif antara kecerdasan emosional dengan kepuasan kerja bersifat langsung (e.g. Anari, 2011; Cekmecelioglu, 2012; Pau dan Sabri, 2012; Shooshtarian et al., 2013; Sy et al., 2006; Thiruchelvi dan Supriya, 2009; Wong et al., 2010). Temuan studi lain menunjukkan kecerdasan emosional tidak 11 berpengaruh langsung (harus melalui variabel pemediasi) dengan kepuasan kerja (e.g. Bostjancic, 2010; Chiva dan Alegre, 2008; Jordan dan Troth, 2010; Meisler, 2014), berpengaruh negatif (e.g. Thompson dan Lane, 2014), berpengaruh lemah (e.g. Chiva dan Alegre, 2008) dan tidak ada pengaruh (e.g. Ghoreishi et al., 2014). Oleh karena itu, perlu pengujian empiris kembali terkait pengaruh kecerdasan emosional terhadap kepuasan kerja. Keempat, peran variabel pemoderasi pada pengaruh kecerdasan emosional dengan kepuasan kerja masih belum banyak dibahas. Dimana, dukungan yang dilakukan oleh organisasi kemudian menjadikan karyawan merasa puas terhadap pekerjaan (Stamper dan Johlke, 2003). Selain itu, kontrol kerja ditemukan berhasil memoderasi pengaruh kecerdasan emosional pada kinerja (Abraham, 2000) dan dukungan supervisor berperan penting pada hubungan antara kerja tim dengan kepuasan kerja (Griffin et al., 2001). Artinya, pendekatan situasional pada kepuasan kerja menurut Herzberg (1996) dalam Chiva dan Alegre (2008) yakni faktor pekerjaan dan kondisi organisasi dipahami menjadi pengaruh utama. Oleh karena itu, perlu pengujian apakah dukungan organisasional persepsian dapat memoderasi pengaruh kecerdasan emosional pada kepuasan kerja. Berdasarkan penjelasan tersebut, penelitian ini kemudian mengidentifikasi rumusan masalah, yaitu: 1. Apakah kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap kinerja? 2. Apakah dukungan organisasional persepsian dapat memoderasi pengaruh positif kecerdasan emosional terhadap kinerja? 12 3. Apakah kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja? 4. Apakah dukungan organisasional persepsian dapat memoderasi pengaruh positif kecerdasan emosional terhadap kepuasan kerja? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah penelitian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menguji serta menganalisis pengaruh positif antar variabel dan menguji variabel pemoderasi yaitu dukungan organisasional persepsian. Beberapa tujuan penelitian ialah untuk menguji, yaitu: 1. Pengaruh positif kecerdasan emosional dengan kinerja. 2. Pengaruh pemoderasian dukungan organisasional persepsian pada pengaruh positif kecerdasan emosional terhadap kinerja. 3. Pengaruh positif kecerdasan emosional dengan kepuasan kerja. 4. Pengaruh pemoderasian dukungan organisasional persepsianpada pengaruh positif kecerdasan emosional terhadap kepuasan kerja. 1.4. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, yaitu: 1. Manfaat teoritis, yaitu secara teoritis hasil penelitian ini dapat dipergunakan untuk memperkaya kajian mengenai manajemen sumber daya manusia dan dapat dijadikan sebagai dasar dan bahan acuan serta 13 literatur untuk penelitian lain khususnya pada aspek peningkatan kinerja dan kepuasan kerja karyawan. Kontribusi penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi baru terkait peran moderasi dukungan organisasional persepsian pada pengaruh kecerdasan emosional pada kinerja dan kepuasan kerja karyawan, sebab model penelitian ini belum dikaji oleh peneliti lain. 2. Manfaat bagi manajerial, yaitu dapat memberikan masukan kepada pengambil kebijakan agar dapat mengembangkan kecerdasan emosional karyawannya dan dukungan organisasional persepsian serta dapat dijadikan sebagai masukan terkait dengan kebijakan mengenai cara meningkatkan kinerja dan kepuasan kerja karyawan. Selain itu, para pengambil kebijakan pada level organisasi untuk dapat memberikan perhatian khusus pada dukungan organisasi terhadap karyawan. 3. Manfaat lain yaitu dapat mengetahui bahwa bukan hanya kecerdasan intelektual saja yang dibutuhkan sebagai prediktor kinerja dan kepuasan kerja, namun kecerdasan emosional dan dukungan organisasional persepsian juga dapat mempengaruhinya. 14