1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Peningkatan kinerja karyawan dibutuhkan setiap organisasi untuk
mencapai tujuannya. Kinerja merupakan hal penting bagi perusahaan maupun
organisasi dalam rangka mencapai tujuan perusahaan, mengembangkan produk,
menyediakan layanan dan mencapai keunggulan kompetitif (Rani et al., 2013).
Pengukuran kinerja berimplikasi pada peningkatkan produktivitas, pelaksanaan
sistem kompensasi, pembayaran kerja, pendelegasian tanggung jawab yang lebih
tinggi dan peningkatan kinerja (Shahhosseini et al., 2012). Oleh karena itu,
kinerja harus menjadi perhatian yang serius oleh organisasi.
Sumber daya manusia sebagai aktor yang berperan penting dalam
menggerakkan organisasi untuk mencapai tujuan. Tujuan organisasi dapat tercapai
apabila para pelaku organisasi berkinerja secara efektif dan efisien. Penelitian
Langhorn (2003) dalam Bharwaney et al. (2011) menunjukkan hasil kecerdasan
emosional mampu meningkatkan produktivitas. Oleh sebab itu, kecerdasan
emosional dipandang menjadi hal yang penting untuk diterapkan dalam organisasi
(Lyons dan Schneider, 2005).
Studi tentang pentingnya kecerdasan emosional telah dilakukan di banyak
penelitian. Beberapa diantaranya dihubungkan dengan; a) kinerja individual (e.g.
Esfandiari dan Ekradi, 2014; Kulkarni et al., 2009; Shamsuddin dan Abdul, 2014),
b) kepuasan kerja (e.g. Pau dan Sabri, 2012; Shooshtarian et al., 2013; Sy et al.,
1
2006), c) komitmen organisasional (e.g. Anari, 2011), d) kepemimpinan (e.g.
Goleman, 1998; 2000) dan e) efektivitas interpersonal (e.g. Rode et al., 2007).
Menurut Mayer dan Salovey (1995), kecerdasan emosional dapat menjadi
sarana atau alat dalam pencapaian tujuan strategis bisnis dan pengembangan
kinerja. Lebih lanjut, Tischler et al. (2002) menyatakan adanya hubungan positif
antara kecerdasan emosional dengan kinerja. Penelitian lain adalah penelitian
Carmeli (2003) yang menjelaskan bahwa kecerdasan emosional juga berpengaruh
positif terhadap sikap kerja, perilaku altruistik dan work outcomes.
Awalnya, kecerdasan yang dipahami oleh masyarakat hanya merupakan
kecerdasan intelejensi. Seiring perkembangan pengetahuan manusia serta
penelitian, maka ditemukan tipe kecerdasan lainnya melalui penelitian-penelitian
empiris dan longitudinal oleh para akademisi dan praktisi psikologi, yakni
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan emosional pertama
kali dikenalkan oleh seorang peneliti bernama Salovey dan Mayer (1990), dan
kemudian Gardner (1993) yang menemukan konsep kecerdasan berganda (dalam
Tischler et al. 2002). Konsep kecerdasan emosional mulai menjadi perhatian
sejak dipopulerkan oleh Daniel Goleman di tahun 1995 yang dikenal dengan
“Emotional Intelligence”. Melalui bukunya yang berjudul Emotional Intelligence:
Why It Can Matter More than IQ.
Penelitian kecerdasan emosional sekarang ini menjadi isu yang penting di
tempat kerja (Lyons dan Schneider, 2005; Sy et al., 2006). Menurut Fatt (2002),
alasan kecerdasan emosional menjadi isu penting di tempat kerja, yaitu:
1. Sebagai kemampuan kognitif setelah kecerdasan intelektual.
2
2. Perusahaan dan individu semakin tertarik untuk menemukan keunggulan
kompetitif melalui aspek strategi pada emosional.
3. Kecerdasan intelektual telah menunjukkan kegagalan dalam menentukan
kesuksesan pada tingkat individu, keduanya dalam konteks pendidikan dan
organisasi.
Secara khusus, kecerdasan emosional menunjukkan sebagai prediktor
kinerja. O’boyle et al. (2011) melakukan studi meta-analisis pengaruh kecerdasan
emosional dengan kinerja. Studi tersebut bertujuan menginvestigasi pengukuran
kecerdasan emosional, dengan memasukkan unsur kepribadian dan kecerdasan
kognitif sebagai prediktor kinerja. Sampel yang digunakan berjumlah 43 artikel
(dari identifikasi 1163 kutipan hubungan antara kecerdasan emosional dengan the
five factors model, kemampuan kognitif dan kinerja). Hasil investigasi
menunjukkan kecerdasan emosional sebagai prediktor kinerja (e.g. Ashkanasy dan
Daus, 2005; Brackett dan Mayer, 2003; Brackett et al., 2004; Dulewicz dan
Higgs, 2000; Dulewicz et al., 2003).
Selain menguji pengaruh kecerdasan emosional dengan kinerja, penelitian
ini juga menguji pengaruh kecerdasan emosional pada kepuasan kerja karyawan.
Menurut Babakus et al. (1996) kepuasan kerja merupakan salah satu variabel yang
populer dalam memahami perilaku dan sikap karyawan. Faktor kepribadian
memainkan peran penting dalam mempertahankan stabilitas kepuasan kerja yang
tinggi (Dormann dan Zapf, 2001). Namun demikian, menurut Blau (1999) dalam
Chiva dan Alegre (2008), penelitian empiris yang menganalisis pengaruh
3
kecerdasan emosional pada kepuasan kerja masih sangat sedikit dan itupun belum
menunjukkan hasil yang konsisten.
Beberapa studi empiris mengenai pengaruh kecerdasan emosional pada
kepuasan kerja menunjukkan hasil yang masih belum konsisten. Misalnya,
terdapat studi yang menunjukkan kecerdasan emosional berpengaruh langsung
dengan kepuasan kerja (e.g. Anari, 2011; Cekmecelioglu, 2012; Pau dan Sabri,
2012; Shooshtarian et al., 2013; Sy et al., 2006; Thiruchelvi dan Supriya, 2009;
Wong et al., 2010). Temuan studi lain menunjukkan kecerdasan emosional tidak
berpengaruh langsung (atau melalui variabel mediasi) dengan kepuasan kerja (e.g.
Bostjancic, 2010; Chiva dan Alegre, 2008; Jordan dan Troth, 2010; Meisler,
2014), berpengaruh negatif (e.g. Thompson dan Lane, 2014), berpengaruh lemah
(e.g. Chiva dan Alegre, 2008) dan tidak ada pengaruh (e.g. Day dan Caroll, 2004;
Ghoreishi et al., 2014).
Studi yang lain terdapat pengaruh langsung antara kecerdasan emosional
terhadap kepuasan kerja karyawan. Dalam penelitian Onuoha dan Martins (2013)
lebih
lanjut
dijelaskan
bahwa
kecerdasan
emosional
secara
signifikan
mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu karyawan dengan emosional yang lebih
tinggi memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi. Selain itu, Onuoha dan
Martins (2013) juga menyatakan kecerdasan emosional individu digambarkan
sebagai orang-orang yang tidak hanya menyadari emosi mereka, tetapi juga dapat
memahami emosi orang lain dan menggunakan pengetahuan tersebut untuk
mengatur dan membimbing mereka pada perilaku dalam berhubungan dengan
4
orang lain. Melalui pengaturan diri serta memahami emosi orang lain tersebut,
diharapkan dapat memberi pengaruh pada kepuasan kerja karyawan.
Konsep lain yang penting dalam kinerja dan kepuasan kerja adalah
dukungan organisasional persepsian (perceived organizational support). Studi
dukungan organisasional persepsian telah dikaji di banyak penelitian. Penelitian
tersebut dikaitkan dengan; a) kinerja (e.g. Armeli et al., 1998; Byrne dan
Hochwarter, 2008; Duke et al., 2009), b) kepuasan kerja (e.g. Ahmad dan Yekta,
2010; Eisenberger et al., 1997; Stamper dan Johlke, 2003), c) komitmen (e.g.
Allen dan Griffeth, 2003; Eisenberger et al., 2001) dan d) perilaku penarikan (e.g.
Eder dan Eisenberger, 2008).
Dukungan organisasional persepsian adalah bentuk kepercayaan karyawan
mengenai bagaimana organisasi menilai kontribusi karyawan dan peduli terhadap
karyawan (Rhoades dan Eisenberger, 2002). Organisasi yang memiliki kepedulian
terhadap kesejahteraan karyawan akan memunculkan keterikatan secara
psikologis terhadap organisasinya (Lee, 2004). Eisenberger et al. (1986) juga
menyatakan bahwa individu akan menilai dukungan organisasional persepsian
yang dilakukan oleh pihak lain dalam suatu hubungan sosial.
Dukungan organisasional persepsian sebagai sistem sosial meliputi
individu-individu dalam kelompok informal dan hubungan antar kelompok.
Dukungan organisasi yang diterima karyawan melibatkan komunikasi dan
berpeluang besar berubah menjadi dukungan yang bersifat emosional. Johnson
dan Johnson (1991) berpendapat bahwa dukungan organisasional mampu
memberikan dukungan nyata dan keyakinan pada diri individu kepada sebuah
5
sistem dan menciptakan kedekatan pada organisasinya. Lebih lanjut, Rhoades dan
Eisenberger (2002) menyatakan dukungan organisasional persepsian juga dapat
menciptakan kepuasan kerja dan suasana hati positif karyawan.
Dukungan nyata yang diberikan organisasi kemudian mempengaruhi
bagaimana
karyawan
berperilaku.
Dukungan
organisasional
persepsian
berhubungan positif dengan sikap dan perilaku kerja seperti kehadiran karyawan
(Eisenberger et al., 1986). Ketika karyawan menerima dukungan organisasi,
kesadaran dan motivasi diri akan meningkat, kemudian diharapkan dapat
meningkatkan pengaruh kecerdasan emosional dengan kinerja dan kepuasan kerja.
Artinya, keberadaan dukungan organisasional persepsian diduga dapat menjadi
jalan bagi karyawan dalam memenuhi kebutuhan akan motivasi yang tinggi dari
organisasi sehingga meraka dapat bekerja maksimal dan merasa puas pada
pekerjaannya.
Konsep dukungan organisasional membahas proses psikologis dan motif
dasar konsekuensi dari dukungan organisasional persepsian (Rhoades dan
Eisenberger, 2002). Dukungan organisasi akan dihargai oleh karyawan untuk
memenuhi kebutuhan sosioemosional sebagai indikasi kesiapan organisasi
memberi bantuan dan ganjaran peningkatan usaha untuk melaksanakan pekerjaan
seseorang secara efektif (Eisenberger et al., 1986). Selain itu, pemenuhan
kebutuhan sosioemosional tersebut harus mengarahkan karyawan pada rasa
kepemilikan dan peran status yang lebih besar terhadap keanggotaan organisasi,
sehingga kepuasan kerja yang lebih besar akan mengarahkan suasana hati yang
6
positif dapat terwujud. Artinya, dukungan organisasional persepsian berkontribusi
untuk membalas atas segala upaya yang dilakukan organisasi kepadanya.
Rhoades dan Eisenberger (2002) menyatakan bahwa konsep dukungan
organisasional persepsian merupakan persepsi karyawan sejauh mana organisasi
menghargai kontribusi serta peduli tentang kesejahteraan mereka. Karyawan
kemudian membalas dukungan tersebut dengan peningkatan komitmen, loyalitas
dan kinerja (Rhoades dan Eisenberger, 2002). Ketika satu orang memperlakukan
orang lain dengan baik, norma timbal balik mewajibkan kembalinya perlakuan
yang menguntungkan (Gouldner, 1960). Pandangan norma timbal balik tersebut
sesuai dengan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory).
Menurut Eisenberger et al. (1997), teori pertukaran sosial berfokus pada
norma timbal balik yang mensyaratkan karyawan untuk merespon secara positif
perlakuan yang menguntungkan dari perusahaan. Teori pertukaran sosial telah
lama dikembangkan sebagai basis konseptual motivasi di balik perilaku dan
pembentukan sikap positif karyawan (Setton et al., 1996) dan hubungan antara
individu dengan organisasinya (Eisenberger et al., 1997). Norma timbal balik
tersebut kemudian dipercaya menjadi perilaku karyawan untuk membantu
organisasi mencapai tujuannya (Rhoades et al., 2001). Penjelasan mengenai teori
pertukaran sosial akan dibahas lebih lanjut di Bab 2.
Kinerja karyawan dapat meningkat seiring peningkatan dukungan
organisasional persepsian (Lynch et al., 1999). Menurut Lynch et al. (1999),
dukungan organisasional persepsian yang rendah menyebabkan karyawan kurang
bekerja keras, sebaliknya ketika dukungan organisasional persepsian tinggi
7
menyebabkan karyawan meningkatkan usaha keras mereka. Menurut George dan
Brief (1992) dalam Rhoades dan Eisenberger (2002), kegiatan tambahan tersebut
termasuk membantu sesama karyawan, mengambil tindakan yang melindungi
organisasi dari risiko, menawarkan saran konstruktif dan memperoleh
pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat bagi organisasi.
Beberapa studi menunjukkan dukungan organisasional persepsian
berperan sebagai pemoderasi. Dukungan tersebut mempengaruhi reaksi afektif
secara umum terhadap pekerjaan, termasuk kepuasan kerja dan suasana hati yang
positif karyawan (Rhoades dan Eisenberger, 2002). Ini harus digarisbawahi
karena studi Lynch et al. (1999) menunjukkan dukungan organisasional
persepsian memoderasi pengaruh reciprocation wariness pada extra-role
performace karyawan. Ketika dukungan organisasi tinggi, extra-role performace
juga semakin tinggi. Lebih lanjut, tingginya dukungan organisasional persepsian
menjadikan karyawan merasa dipedulikan sehingga persepsi ambiguitas peran
dapat berkurang kemudian memperlemah pengaruh negatif terhadap kepuasan
kerja karyawan (Stamper dan Johlke, 2003).
Di sisi lain, studi mengenai peran variabel pemoderasi pengaruh
kecerdasan emosional pada kinerja masih terbatas (O’boyle et al., 2011; Ayranci,
2011). Namun demikian, indikasi adanya pengaruh tersebut sudah mulai diteliti.
Menurut Cherniss (2010), faktor kontekstual seperti interaksi sosial dan tingkat
pengalaman stres dapat menguatkan pengaruh tersebut. O’boyle et al. (2011)
sepakat bahwa faktor-faktor kontekstual tersebut ada (interaksi sosial dan tingkat
pengalaman stres) dan dapat mempengaruhi pengaruh kecerdasan emosional pada
8
kinerja. Penelitian ini kemudian menduga bahwa ketika karyawan menerima
dukungan dan penghargaan, maka kesadaran serta motivasi diri (dimensi
kecerdasan emosional) mereka akan semakin kuat sehingga dapat menguatkan
pengaruh pada kinerja dan kepuasan kerja. Artinya, pengaruh kecerdasan
emosional pada kinerja dapat diperkuat dengan menghadirkan variabel
pemoderasi.
Studi Duke et al. (2009) menunjukkan dukungan organisasional
persepsian memperlemah pengaruh negatif antara emotional labor dengan kinerja
dan kepuasan kerja karyawan. Seperti yang telah dijelaskan, hal ini sangat relevan
dengan teori pertukaran sosial, yaitu bahwa karyawan akan membalas apa yang
mereka terima dari organisasi (Aselage dan Eisenberger, 2003; Blau (1964) dalam
Mishra, 2014). Karyawan cenderung membalas perlakuan menguntungkan yang
mereka terima dengan perilaku yang positif pada pekerjaan. Artinya, keberadaan
dukungan organisasional persepsian karyawan dalam organisasi mempengaruhi
bagaimana mereka berperilaku di tempat kerja.
Keterbatasan
studi
yang
menggunakan
dukungan
organisasional
persepsian sebagai variabel pemoderasi menjadi gap yang akan dijawab dalam
penelitian ini. Penelitian ini bertujuan melakukan pengembangan dari studi Duke
et al. (2009), dimana dukungan organisasional persepsian sebagai pemoderasi
pengaruh negatif antara emotional labor dengan kinerja dan kepuasan kerja. Duke
et al. (2009) menggunakan emotional labor sebagai prediktor, sedangkan
penelitian ini menggunakan kecerdasan emosional sebagai prediktor kinerja dan
kepuasan kerja. Kecerdasan emosional dipilih karena merupakan sarana
9
pencapaian tujuan strategis bisnis sekaligus sebagai prediktor terbaik kinerja
(Cote dan Miners, 2006; Mayer dan Salovey, 1995) dan kecerdasan emosional
berperan penting terhadap kepuasan kerja (Onuoha dan Martins, 2013).
Selain itu, fokus penelitian ini adalah menguji dukungan organisasional
persepsian sebagai variabel pemoderasi pengaruh kecerdasan emosional pada
kinerja dan kepuasan kerja. Lebih lanjut, penelitian ini diharapkan dapat
memperkaya keterbatasan studi empiris terkait peran pemoderasi (O’boyle et al.,
2001; Ayranci, 2011) sekaligus menguji pengaruh faktor kontekstual (interaksi
sosial) (Cherniss, 2010) dan menguji dukungan organisasional persepsian sebagai
faktor kondisi organisasi (situasional) yang dipahami menjadi pengaruh utama
kepuasan kerja (Herzberg (1996) dalam Chiva dan Alegre, 2008). Secara singkat,
penelitian ini berupaya menganalisis respon karyawan pada dukungan
organisasional persepsian sebagai pemoderasi pengaruh kecerdasan emosional
pada kinerja dan kepuasan kerja.
1.2. Perumusan Masalah
Temuan studi empiris pengaruh kecerdasan emosional dengan kinerja dan
kepuasan kerja menunjukkan hasil yang masih belum konsisten. Sejumlah
penelitian menunjukkan mendukung dan ada yang tidak mendukung. Pertama,
sejumlah penelitian mendukung bahwa kecerdasan emosional tidak berpengaruh
positif terhadap kinerja (e.g. Ayranci, 2011; Esfandiari dan Ekradi, 2014;
Schumacher, 2009). Namun, terdapat sejumlah penelitian lain yang mendukung
bahwa kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan (e.g.
10
Ali et al., 2012; Dulewicz dan Higgs, 2000; Esfandiari dan Ekradi, 2014;
Goleman, 1998; Kulkarni et al., 2009; Lam dan Kirby, 2002; Lyons dan
Schneider, 2005; Rode et al., 2007; Shamsuddin dan Rahman, 2014). Dengan
demikian, perlu pengujian kembali pengaruh kecerdasan emosional terhadap
kinerja.
Kedua, temuan studi yang masih belum konsisten tersebut diduga karena
faktor interaksi sosial belum banyak dimasukkan dalam model penelitian
(Cherniss, 2010). Interaksi sosial yang dimaksudkan adalah dukungan
organisasional persepsian. Beberapa studi telah menunjukkan dukungan
organisasional persepsian sebagai pemoderasi yang menguatkan pengaruh
kecerdasan emosional pada komitmen organisasional dan mengurangi penarikan
individu (Eder dan Eisenberger, 2008) dan melemahkan hubungan negatif antara
emotional labor dengan kepuasan kerja dan kinerja (Duke et al., 2009). Studi
peran dukungan organisasional persepsian pada pengaruh kecerdasan emosional
belum pernah diteliti sebelumnya. Dengan demikian, perlu pengujian peran
dukungan organisasional persepsian pada pengaruh kecerdasan emosional pada
kinerja karyawan melalui teori pertukaran sosial.
Ketiga, hasil studi mengenai pengaruh kecerdasan emosional dengan
kepuasan kerja masih belum konsisten. Beberapa penelitian empiris menunjukkan
pengaruh positif antara kecerdasan emosional dengan kepuasan kerja bersifat
langsung (e.g. Anari, 2011; Cekmecelioglu, 2012; Pau dan Sabri, 2012;
Shooshtarian et al., 2013; Sy et al., 2006; Thiruchelvi dan Supriya, 2009; Wong et
al., 2010). Temuan studi lain menunjukkan kecerdasan emosional tidak
11
berpengaruh langsung (harus melalui variabel pemediasi) dengan kepuasan kerja
(e.g. Bostjancic, 2010; Chiva dan Alegre, 2008; Jordan dan Troth, 2010; Meisler,
2014), berpengaruh negatif (e.g. Thompson dan Lane, 2014), berpengaruh lemah
(e.g. Chiva dan Alegre, 2008) dan tidak ada pengaruh (e.g. Ghoreishi et al., 2014).
Oleh karena itu, perlu pengujian empiris kembali terkait pengaruh kecerdasan
emosional terhadap kepuasan kerja.
Keempat, peran variabel pemoderasi pada pengaruh kecerdasan emosional
dengan kepuasan kerja masih belum banyak dibahas. Dimana, dukungan yang
dilakukan oleh organisasi kemudian menjadikan karyawan merasa puas terhadap
pekerjaan (Stamper dan Johlke, 2003). Selain itu, kontrol kerja ditemukan berhasil
memoderasi pengaruh kecerdasan emosional pada kinerja (Abraham, 2000) dan
dukungan supervisor berperan penting pada hubungan antara kerja tim dengan
kepuasan kerja (Griffin et al., 2001). Artinya, pendekatan situasional pada
kepuasan kerja menurut Herzberg (1996) dalam Chiva dan Alegre (2008) yakni
faktor pekerjaan dan kondisi organisasi dipahami menjadi pengaruh utama. Oleh
karena itu, perlu pengujian apakah dukungan organisasional persepsian dapat
memoderasi pengaruh kecerdasan emosional pada kepuasan kerja. Berdasarkan
penjelasan tersebut, penelitian ini kemudian mengidentifikasi rumusan masalah,
yaitu:
1. Apakah kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap kinerja?
2. Apakah dukungan organisasional persepsian dapat memoderasi pengaruh
positif kecerdasan emosional terhadap kinerja?
12
3. Apakah kecerdasan emosional
berpengaruh positif terhadap kepuasan
kerja?
4. Apakah dukungan organisasional persepsian dapat memoderasi pengaruh
positif kecerdasan emosional terhadap kepuasan kerja?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah penelitian tersebut,
penelitian ini bertujuan untuk menguji serta menganalisis pengaruh positif antar
variabel dan menguji variabel pemoderasi yaitu dukungan organisasional
persepsian. Beberapa tujuan penelitian ialah untuk menguji, yaitu:
1. Pengaruh positif kecerdasan emosional dengan kinerja.
2. Pengaruh pemoderasian dukungan organisasional persepsian pada
pengaruh positif kecerdasan emosional terhadap kinerja.
3. Pengaruh positif kecerdasan emosional dengan kepuasan kerja.
4. Pengaruh
pemoderasian
dukungan
organisasional
persepsianpada
pengaruh positif kecerdasan emosional terhadap kepuasan kerja.
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, temuan
penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, yaitu:
1. Manfaat teoritis, yaitu secara teoritis hasil penelitian ini dapat
dipergunakan untuk memperkaya kajian mengenai manajemen sumber
daya manusia dan dapat dijadikan sebagai dasar dan bahan acuan serta
13
literatur untuk penelitian lain khususnya pada aspek peningkatan kinerja
dan kepuasan kerja karyawan. Kontribusi penelitian ini diharapkan dapat
menjadi referensi baru terkait peran moderasi dukungan organisasional
persepsian pada pengaruh kecerdasan emosional pada kinerja dan
kepuasan kerja karyawan, sebab model penelitian ini belum dikaji oleh
peneliti lain.
2. Manfaat bagi manajerial, yaitu dapat memberikan masukan kepada
pengambil kebijakan agar dapat mengembangkan kecerdasan emosional
karyawannya dan dukungan organisasional persepsian serta dapat
dijadikan sebagai masukan terkait dengan kebijakan mengenai cara
meningkatkan kinerja dan kepuasan kerja karyawan. Selain itu, para
pengambil kebijakan pada level organisasi untuk dapat memberikan
perhatian khusus pada dukungan organisasi terhadap karyawan.
3. Manfaat lain yaitu dapat mengetahui bahwa bukan hanya kecerdasan
intelektual saja yang dibutuhkan sebagai prediktor kinerja dan kepuasan
kerja, namun kecerdasan emosional dan dukungan organisasional
persepsian juga dapat mempengaruhinya.
14
Download