2 divisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Famili Palmaceae, Subfamili Cocoideae, Genus Elaeis, Spesies Elaeis guineensis Jacq (Setyamidjadja 2006). Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tumbuhan tropis golongan plasma yang termasuk tanaman tahunan. Adapun beberapa varietas tanamn kelapa sawit yang dikenal ialah jenis Dura, Pisifera dan Tenera. Ketiga jenis ini dibedakan berdasarkan penampangan irisan buah ataupun ketebalan tempurung dan daging buah yaitu (1) Dura, pada varietas Dura memiliki tempurung yang cukup tebal antara 2-8 mm dan tidak terdapat lingkaran serabut pada bagian luar tempurung. Daging buah relatif tipis, yaitu 35-50% terhadap buah. Daging biji (kernel) besar dan memiliki kandungan minyak yang rendah. Sedangkan dalam persilangan, dapat dipakai sebagai pohon induk betina; (2) Pisifera , pada varietas ini ketebalan tempurung sangat tipis, bahkan hampir tidak ada. Jenis Pisifera ini memiliki daging buah tebal, lebih tebal dari daging buah Jenis Dura,tetapi daging bijinya sangat tipis. Oleh sebab itu tidak dapat diperbanyak tanpa menyilangkan dengan jenis lain dan dipakai sebagai pohon induk jantan. Penyerbukan silang antara Pisifera dan Dura akan menghasilkan varietas Tenera; (3) Tenera, varietas tenera mempunyai sifat-sifat yang sama dari kedua induknya, yaitu Dura dan Pisifera. Pada varietas tenera memiliki tempurung yang tipis yaitu 0,5-4 mm, dan terdapat lingkaran serabut di sekeliling tempurungnya. Persentase daging buah pada Tenera sangat tebal yaitu (60-96% dari buah) serta tandan buah lebih banyak, tetapi ukurannya relatif lebih kecil. Sehingga rendemen minyak paling tinggi terdapat pada varietas Tenera yaitu mencapai 22-24% (Fauzi 2008). Gambar 1 Pohon kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq). Kelapa sawit dapat tumbuh dan berbuah baik pada ketinggian 0-500 meter di atas permukaan laut. Curah hujan yang baik berkisar antara 2.000-2.500 mm / tahun dengan penyebaran hujan merata sepanjang tahun sehingga tidak mengalami defisit air. Suhu harian optimal berkisar antara 24-28oC, kelembaban 80 % dan penyinaran matahari 5 - 7 jam/hari. Data curah hujan bulanan dan jumlah hari hujan sangat penting karena berhubungan dengan sifat tanaman yang berbuah sepanjang tahun. Fluktuasi curah hujan secara langsung berkorelasi erat dengan fluktuasi hasil dari bulan ke bulan. Kelapa sawit juga membutuhkan kondisi tanah yang datar hingga berombak dengan kemiringan lereng 0-15 % dan memiliki drainase yang baik (Lubis 2008). Kelapa sawit yang tumbuh normal pada tahun kedua telah menunjukkan pembungaan. Buah yang terbentuk belum dapat diolah karena ukurannya masih terlalu kecil. Tandan buah telah masak atau siap panen sekitar 5,5 bulan setelah terjadi penyerbukan. Memasuki umur sekitar 30 bulan, tanaman kelapa sawit terutama varietas Tenera (Persilangan Dura Pisifera) siap dipanen bila tandan buahnya sudah mencapai 3 kg. Pemanenan kelapa sawit perlu memperhatikan beberapa ketentuan agar tandan buah yang dipanen sudah matang sehingga dihasilkan kelapa sawit dengan mutu yang baik (Setyamidjadja 2006). Meskipun tergolong tanaman kuat, kelapa sawit tidak luput dari serangan hama dan penyakit. Sebagian besar hama yang menyerang adalah golongan insekta sedangkan penyakit umumnya disebabkan oleh jamur, bakteri, dan virus. Beberapa hama yang menyerang kelapa sawit yakni tungau, ulat setora, nematoda, kumbang, penggerek buah tandan, dan ulat api. Sementara itu, penyakit pada kelapa sawit hampir menyerang semua bagian tanaman kelapa sawit seperti timbulnya garis kuning pada daun yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum (Kiswanto et al 2008). Buah merupakan bagian yang paling banyak dimanfaatkan dari kelapa sawit. Daging buah apabila diolah dapat menghasilkan minyak sawit. Minyak sawit digunakan sebagai bahan baku minyak makan, margarin, sabun, kosmetika, industri baja, kawat, radio, kulit, dan industri farmasi. Banyaknya manfaat yang dapat digunakan dikarenakan keunggulan sifat yang dimilikinya yaitu tahan oksidasi dengan tekanan tinggi, mampu melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut lainnya, mempunyai daya melapisi yang tinggi, dan tidak menimbulkan iritasi pada 3 tubuh dalam bidang kosmetik. Manfaat lain dari minyak sawit antara lain sebagai bahan bakar alternatif biodisel, nutrisi pakan ternak, dan bahan pupuk kompos (Deperin 2007). Penanda Molekuler Keragaman genetik secara konvensional dapat terjadi karena segregasi, rekombinasi atau mutasi alami, induksi melalui variasi somaklonal, perlakuan radiasi sinar gamma, fusi protoplas dan rekayasa genetika. Informasi mengenai keragaman genetik plasma nutfah perlu diketahui karena sangat penting untuk membedakan genotipe individu di dalam maupun antar spesies secara tepat. Keragaman genetik juga sangat diperlukan dalam pengembangan program pemuliaan tanaman (Bennet 1993). Pemuliaan tanaman yang dilakukan dengan teknik penanda molekuler merupakan kegiatan pemuliaan tanaman yang melibatkan pemakaian marka DNA untuk memfasilitasi proses pemuliaan tersebut. Berdasarkan sejarahnya, para pemulia tanaman mengandalkan fenotipe tanaman dalam rangka pengembangan kultivar tanaman dengan sifatsifat unggul. Para pemulia menggunakan teknik molekuler sebagai langkah untuk melengkapi teknik pemuliaan klasik. Pada saat ini, teknologi penanda molekuler menggunakan amplifikasi sejumlah kecil DNA melalui polymerase chain reaction (PCR). Fragmen yang teramplifikasi dipisahkan melalui gel elektroforesis dan divisualisasikan melalui pewarnaan dengan pewarna spesifik untuk DNA. Teknik marka molekuler bermanfaat dalam mempercepat proses seleksi. Selain itu, lokus DNA yang bertanggung jawab terhadap sifat kuantitatif tertentu dapat dipetakan (Jung 1999). Penanda molekuler mempunyai beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan penanda morfologi dan isozim. Keberadaan penanda molekuler di dekat gen akan membantu penentuan posisi gen (Muladno 2002). Selain itu, penanda molekuler menunjukkan polimorfisme yang tinggi sehingga dapat mendeteksi keragaman genetika. Suatu penanda akan efektif jika dapat membedakan antara dua tetua yang berbeda genotipe dan terwariskan pada keturunannya. Penanda molekuler dapat membantu pemuliaan tanaman dengan berbagai macam cara. Adapun penanda yang telah diketahui antara lain (1) Penanda berdasarkan hibridisasi DNA seperti Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP); (2) Penanda berdasarkan reaksi rantai polimerase (PCR) dengan menggunakan sekuens nukleotida sebagai primer, seperti Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) dan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP); dan (3) penanda berdasarkan PCR dengan menggunakan primer yang menggabungkan sekuen komplementer spesifik dalam DNA sasaran, seperti Sequence Tagged Site (STS), Sequence Characterized Amplified Regions (SCAR). Pertimbangan utama memilih penanda yang akan digunakan dalam analisis genetik adalah materi genetik yang akan digunakan, jenis studi genetik, tujuan yang akan dicapai, ketersediaan dana yang cukup, sarana dan prasarana yang diperlukan di laboratorium (Azrai 2005). Polymerase Chain Reaction (PCR) Teknik PCR dikembangkan oleh Kary Mullis tahun 1984 berdasarkan penemuannya tentang adanya aktivitas biologi dari DNA polimerase pada suhu tinggi dalam bakteri yang hidup pada sumber air panas (thermophiles). Reaksi rantai polimerase merupakan metode untuk memperbanyak potongan DNA yang diinginkan dengan sensitifitas, selektifitas yang tinggi, dan terjadi pada waktu yang sangat cepat. Spesifitas reaksi ditentukan pada penggunaan dua primer oligonukleotida yang berhibridisasi menjadi rangkaian komplementer pada untai DNA yang berlawan dan mengapit rangkaian sasaran (Murray 2003). Reagen-reagen yang diperlukan untuk melakukan PCR adalah sampel target, primer, enzim Taq polimerase, nukleotida (dNTP), dan bufer polimerase. Sampel target merupakan DNA yang ingin diamplifikasi. Primer merupakan untai DNA pendek yang menempel pada fragmen DNA target, serta sebagai tempat awal terjadinya replikasi. Enzim Taq polimerase berfungsi untuk replikasi DNA. Larutan dNTP (mengandung dATP, dGTP, dCTP, dan dTTP) perlu ditambahkan agar DNA polimerase dapat membentuk kompleks rantai baru yang komplementer. Reaksi PCR membutuhkan suatu bufer yang mengandung MgCl2 karena aktivitas enzim polimerase dipengaruhi oleh konsentrasi ion Mg2+. Ion Mg2+ akan menstimulasi aktivitas enzim secara maksimal pada konsentrasi 2 mM. Jika konsentrasinya lebih tinggi, maka dapat bersifat sebagai inhibitor (Sambrook 1989). Proses PCR melibatkan serangkaian siklus temperatur berulang dan setiap siklus 4 terdiri dari tiga tahap (Gambar 2). Pertama proses denaturasi dengan pemanasan (94°C) untuk memisahkan untai ganda DNA menjadi untai tunggal. Kedua adalah penurunan suhu menjadi 50-70°C untuk memungkinkan terjadinya penempelan (annealing) primer (oligonukleotida) dengan untai tunggal DNA sebagai cetakan. Suhu penempelan primer bergantung pada titik leleh (Tm) primer yang digunakan. Ketiga adalah ekstensi primer menjadi untai DNA baru dengan enzim DNA polimerase pada suhu optimumnya. Setiap satu siklus PCR akan menggandakan jumlah molekul cetakan DNA, sebab setiap utas baru yang disintesis akan berperan sebagai cetakan pada siklus selanjutnya. Penggandaan yang dihasilkan bersifat eksponensial sehingga dihasilkan produk PCR yang setara dengan 2n (n adalah jumlah siklus) (Sambrook 1989). Konsentrasi DNA dan MgCl2 mempengaruhi hasil amplifikasi PCR. Konsentrasi DNA yang lebih tinggi atau lebih rendah dari konsentrasi optimum menghasilkan pola pita DNA yang lebih sedikit dan kurang baik. Konsentrasi MgCl2 yang lebih rendah atau lebih tinggi dari konsentrasi optimum menghasilkan jumlah pita yang lebih sedikit. Konsentrasi Taq DNA polimerase berpengaruh pada ketajaman pita DNA. Konsentrasi emzim Taq DNA polimerase yang tinggi menghasilkan intensitas pita DNA yang lebih tajam dibandingkan hasil amplifikasi dengan konsentrasi enzim yang lebih rendah (Lengkong et al 2001). Untuk mencapai amplifikasi DNA yang konsisten diperlukan reaksi yang konsisten yang ditentukan misalnya oleh konsentrasi DNA cetakan, konsentrasi magnesium, konsentrasi Taq DNA polimerase, konsentrasi primer dan dNTPs, suhu annealing, waktu dan jumlah siklus tertentu. Oleh sebab itu, perlu ada optimasi PCR. Disamping itu, keberhasilan juga ditentukan oleh primer yang baik. Persyaratan primer yang baik antara lain adalah bebas dari kemungkinan terjadinya primer-dimer dan formasi selfcomplementarity, serta stabilitas internal yang tepat (Surahman et al 2007). Beberapa kelompok PCR dalam analisis keragaman genetik, menurut Gupta et al. (1999) dapat dikelompokan menjadi empat kelompok berdasarkan prinsip dasar dan metodologi yang dapat digunakan. Kelompok pertama adalah PCR berdasarkan hibridisasi penanda seperti Restriction Fragment Length Polymorphisms (RFLP) dan Dispersed Repetitive DNA (drDNA). Kelompok kedua adalah PCR berdasarkan penanda yang menggunakan primer seperti Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP), mikosatelit, Single Nucleotide Polymorphism (SNPs), dan Sequence Tagged Sites (STS). Penanda molekuler berdasarkan PCR dan dilanjutkan dengan hibridisasi merupakan kelompok ketiga yang dilakukan dengan teknik fingerprinting oligonukleotida menggunakan fragmen RAPD. Kelompok keempat yaitu PCR berdasarkan penanda dengan sequencing dan chip DNA. Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Teknik PCR-RAPD merupakan salah satu teknik molekuler untuk mempelajari keanekaragaman genetika. Dasar analisis RAPD adalah menggunakan mesin PCR yang mampu mengamplifikasi sekuen DNA secara acak. Teknik ini melibatkan penempelan primer yang dirancang secara khusus sepuluh nukleotida pada cetakan DNA yang komplementer, selanjutnya akan dibentuk menjadi utas DNA baru. Jumlah produk amplifikasi PCR berhubungan langsung dengan jumlah dan orientasi sekuen yang komplementer terhadap primer di dalam genom tanaman (Azrai 2005). Teknik RAPD hanya digunakan pada satu primer arbitrasi yang dapat menempel pada kedua utas DNA setelah didenaturasi pada situs tertentu yang homolog dengan spesifitas penempelan yang tinggi. Potongan DNA yang teramplifikasi berdasarkan pilihan penempelan yang bersifat acak dan tidak harus berkaitan dengan gen tertentu. Penggunaan penanda RAPD relatif sederhana dan mudah dalam hal preparasi. Teknik RAPD memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan dengan teknik molekuler lainnya. Teknik ini juga mampu menghasilkan jumlah karakter yang relatif tidak terbatas, sehingga sangat membantu untuk keperluan analisis keanekaragaman organisme yang tidak diketahui latar belakang genomnya, baik organisme tingkat tinggi (eukariot) maupun organisme tingkat rendah (prokariot) (Bardakci 2001). Teknik RAPD memiliki keunggulan dibandingkan dengan teknik yang lain yaitu kuantitas DNA yang dibutuhkan sedikit, hemat biaya, mudah dipelajari, dan primer yang diperlukan mudah didapat karena telah tersedia secara komersial. Teknik RAPD telah banyak diaplikasikan dalam kegiatan 5 pemuliaan tanaman, antara lain analisis keragaman genetik plasma nutfah tanaman (padi, kapas, dan jeruk mandarin), dan analisis populasi genetik tanaman (kakao, kelapa sawit, dan kelapa) (Azrai 2005). Marka RAPD diperoleh berdasarkan kemungkinan adanya suatu sekuen DNA homolog dengan suatu sekuen primer oligonukleotida. Primer oligonukleotida acak akan menempel di dua tempat yang komplementer terhadap sekuens cetakan DNA genomik dalam orientasi yang berlawanan. Apabila kedua tempat penempelan primer berada dalam jarak yang berdekatan (< 4000 pasang basa), maka primer tunggal oligonukleotida akan mengawali terjadinya amplifikasi DNA secara eksponensial pada suatu reaksi PCR. Pada umumnya dengan menggunakan primer oligunukleotida 10-mer, setiap primer secara terus menerus mempromosikan pembentukan beberapa produk amplifikasi yang berbeda (3-10 bp), dan fragmen tersebut dianggap berasal dari lokus-lokus genetik yang berbeda. Setiap primer akan mengamplifikasi beberapa lokus yang diskrit di dalam genom, kemudian hasil amplifikasi dielektroforesis pada gel agarosa (Surahman et al 2007).. Pemilihan Primer RAPD merupakan salah satu keberhasilan dalam suatu penelitian. Primer merupakan DNA pendek yang terdiri atas beberapa nukleotida sebagai pemula pada proses sintesis DNA dengan PCR (Bintang 2010). Pada proses PCR biasanya membutuhkan sepasang primer (forward dan reverse) yang dirancang agar menempel spesifik pada daerah tertentu pada DNA cetakan. Berbeda dengan primer pada umumnya, pada teknik RAPD, primer memiliki urutan basa yang pendek yaitu 10 basa. Primer tersebut bersifat tunggal yang memiliki rangkaian nukleotida acak, digunakan untuk mendeteksi polimorfisme DNA (Surahman et al 2007). Primer OPJ merupakan primer komersil dari perusahaan penyedia primer (Operon Technologies, USA) yang dirancang khusus. Primer tersebut telah banyak digunakan untuk penelitian analisis keragaman genetik tanaman. Beberapa penelitian yang menggunakan teknik RAPD dengan primer OPJ antara lain Asmono (2000) dan Irwansyah (2004) pada kelapa sawit serta Saadah (2010) pada tanaman karet. Primer OPJ cocok untuk analisis RAPD karena memberikan hasil ampkifikasi polimorfik dengan terbentuknya banyak lokus pada sampel. Selain itu, juga terdapat beberapa primer untuk analisis RAPD seperti OPK pada tanaman kedelai (Estri et al 2008), OPC dan OPD pada Grevillea spp (Made 2009), ROTH dan UBC pada kedelai (Titin et al 2006). Marka RAPD biasanya berperilaku sebagai marka genetik dominan. Dominasi dalam hal ini tidak menunjuk pada pengertian klasik tentang interaksi antar alel intralokus, tetapi lebih semata-mata pada sudut pandang hubungan fenotipe dan genotipe. Bila pita RAPD teramati pada gel, fragmen yang berasal dari amplifikasi satu atau dua takar (dosage) alelik tidak bisa dibedakan. Dalam hal ini pada individu diploid homozigot (AA) untuk lokus RAPD, amplifikasi dilakukan dari dua kopi alel RAPD (A). Pada individu heterozigot (Aa) untuk lokus yang sama, alel (A) diamplifikasi dan alel (a) tidak diamplifikasi. Deteksi fragmen RAPD tidak cukup memiliki kepekaan kuantitatif untuk membedakan dua kondisi tersebut. Pada dua kondisi tersebut akan teramati intensitas pita yang identik. Sementara itu, genotipe homozigot resesif (aa) dikenali dengan tidak munculnya pita. (Surahman et al 2007). BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam isolasi DNA adalah mortar, tabung sentrifuse, sentrifus Beckman Coulter AllegraTM 64R Centrifuge, penangas air, pipet mikro, pipet Mohr, bulp, sudip, tabung mikro, neraca analitik Scaltec, dan dan spektrofotometer UV-VIS Beckman Coulter DU 530. Amplifikasi DNA dilakukan dengan alat PCR (Biometra T-personal dan PCR ESCO APBIO). Alat-alat untuk elektroforesis terdiri atas perangkat elektroforesis Toylab, parafilm, cetakan gel, sisir, power supply, dan alat untuk dokumentasi hasil pengamatan elektroforesis UV (UV Transilluminator 2201 Sigma dan kamera Power Shot A640 Canon). Selain itu digunakan juga autoklaf, gelas piala, labu Erlenmeyer, gelas ukur, mesin DNA speed vac (Savant DNA Speed Vac 110), dan program statistik khusus NTSYS versi 2.02 dengan menggunakan metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method Arithmatic Mean). Bahan-bahan yang digunakan untuk isolasi DNA adalah daun tanaman kelapa sawit (58 tanaman) dari suatu perkebunan rakyat di Jawa Barat, polyvinyl-pyrolidone (PVP) 1.5%, nitrogen cair, β-merkaptoetanol, bufer ekstraksi (Aquades, CTAB, EDTA, Tris HCl,