citrus sp - IPB Repository

advertisement
6
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Jeruk
Jeruk merupakan tanaman asli buah tropika yang berasal dari Asia
terutama India dan Indo-Cina (Webber 1967; Chapot 1975). Sejak ratusan tahun
yang lalu, jeruk sudah tumbuh di Indonesia baik secara alami maupun yang
dibudidayakan. Jeruk yang ada di Indonesia didatangkan dari Amerika dan Italia
oleh orang Belanda (Khan 2007). Daerah - daerah yang terkenal sebagai daerah
pusat jeruk di Indonesia diantaranya Garut (Jawa Barat), Tawamangu (Jawa
Tengah), Batu (Jawa Timur), Tejakula (Bali), Selayar (Sulawesi Selatan),
Pontianak (Kalimantan Barat), Brastagi (Sumatera Utara) dan Soe (Nusa
Tenggara Timur) (Martosupono et al. 2007).
Jeruk keprok merupakan salah satu jenis jeruk yang sudah lama dikenal
dan dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia serta diperdagangkan di pasar
internasional. Jenis jeruk lain yang banyak dibudidayakan di Indonesia antara lain
jeruk Siam, dan jeruk Pamelo. Van Steenis (1975) mengklasifikasikan jeruk
sebagai berikut: (1) Divisi: Spermatophyta, (2) Sub divisi: Angiospermae, (3)
Kelas: Dicotyledonae, (4) Ordo: Rutales, (6) Keluarga: Rutaceae, (7) Genus:
Citrus, (8) Spesies: Citrus sp. Aspek - aspek penting yang membedakan antara
spesies jeruk keprok, jeruk Siam, dan jeruk Pamelo adalah terletak pada habitus
tanaman, morfologi daun, bentuk dan ada tidaknya sayap daun, morfologi bunga,
morfologi buah, dan morfologi biji (Martasari dan Hardiyanto 2003).
Jeruk Keprok merupakan jenis pohon dengan tinggi 2 - 8 meter. Tangkai
daun bersayap sangat sempit sampai tidak bersayap dengan panjang 0,5 - 1,5 cm.
Helaian daun berbentuk bulat telur memanjang atau berbentuk lanset dengan
ujung tumpul, tepinya bergerigi beringgit sangat lemah dengan panjang 3,5 - 8 cm
(Gambar 2). Bunganya mempunyai diameter 1,5 - 2,5 cm, berkelamin dua, daun
mahkotanya putih (Gambar 3). Buahnya berbentuk bola tertekan dengan panjang
5 - 8 cm, tebal kulitnya 0,2 - 0,3 cm dan daging buahnya berwarna oranye
(Gambar 4). Rantingnya tidak berduri, habitus tegak, kulitnya mudah dikupas,
bersifat poliembriogenik, kotiledon berwarna hijau, dan tangkai daunnya selebar 1
- 1,5 mm (Badan Litbang Departemen Pertanian 2005). Jeruk keprok mengandung
7
berbagai macam senyawa kimia diantaranya tangeraxanthin, tangeritin,
tryptophan, tyrosine, nobiletin, cis-3-hexenol, cis-carveol, dan citric-acid.
Tangeritin
dan
nobiletin
merupakan
senyawa
methoxyflavone
dan
polymethoxyflavon yang mempunyai potensi sebagai antikanker (Tang et al.
2009).
A
B
D
C
Gambar 2. Morfologi daun: A. Jeruk Keprok Garut; B. Jeruk keprok Batu 55;
C. Jeruk Siam; D. Jeruk Pamelo.
Jeruk
keprok merupakan tanaman asli
Melayu
tetapi
sekarang
penyebarannya hampir terdapat pada semua daerah tropis dan subtropis di dunia.
Temperatur optimal pertumbuhan tanaman antara 25 - 30 oC namun ada yang
masih dapat tumbuh normal pada 38 oC. Semua jenis jeruk tidak menyukai tempat
yang terlindung dari sinar matahari. Kelembaban optimum untuk pertumbuhan
jeruk keprok sekitar 70 – 80% (Khan 2007).
Salah satu varietas atau jenis jeruk lain yang banyak disukai oleh
masyarakat adalah jeruk Siam. Jenis jeruk ini banyak disukai masyarakat karena
rasanya yang lebih manis dibanding jeruk keprok. Secara garis besar, jeruk Siam
dan jeruk keprok sulit dibedakan karena mempunyai aroma daun yang sama,
ukuran bunga dan buah yang hampir sama (Gambar 3 dan 4), akan tetapi buah
jeruk Siam lebih sulit dikupas kulitnya dibandingkan dengan buah jeruk Keprok.
Jeruk Siam juga berbeda dengan jeruk Keprok karena mempunyai ranting yang
berduri, habitus tegak menyebar, daunnya bersayap dengan ukuran lebih kecil
dibanding daun jeruk keprok (Gambar 2), monoembrionik, dan kotiledon
berwarna putih. Jeruk Siam mempunyai bentuk bunga seperti lonceng, jumlah
bunga terdiri dari 8-10 buah / tandan (Badan Litbang Pertanian 2005).
8
A
B
C
D
Gambar 3. Morfologi bunga: A. Jeruk keprok Garut; B. Keprok Batu 55; C. Jeruk
Siam; D. Jeruk Pamelo.
Jeruk Pamelo merupakan salah satu jenis buah jeruk besar yang sudah
lama dikenal di Indonesia dan diduga merupakan salah satu jenis tanaman asli
Indonesia (Purwanto et al. 2003). Jeruk Pamelo mempunyai bentuk daun ovale
atau elliptic ovale yang berukuran besar dan bersayap (Gambar 2). Jeruk Pamelo
mempunyai ukuran bunga yang lebih besar jika dibandingkan dengan bunga jeruk
Keprok dan jeruk Siam. Bentuk buah jeruk Pamelo berukuran besar dan
mempunyai kulit buah yang tebal (Gambar 3), habitus tegak menyebar dan
cenderung bersifat monoembrioni.
Tanaman jeruk tumbuh baik pada pH tanah antara 5 - 6, pada pH yang
lebih tinggi sering terjadi defisiensi hara terutama unsur mikro Zn, Cu, Mn, dan
Fe. Tanah yang mengandung kadar boron serta memiliki kadar garam tinggi
merupakan jenis tanah yang kurang baik bagi pertumbuhan tanaman jeruk.
Perbanyakan tanaman jeruk secara konvensional dapat dilakukan secara generatif
maupun vegetatif. Perbanyakan secara generatif dapat dilakukan dengan
menggunakan biji, namun akan menghasilkan buah yang beragam dan sering
tidak bersifat unggul walaupun berasal dari pohon induk yang unggul, sedangkan
perbanyakan
tanaman
jeruk
secara
vegetatif
dapat
dilakukan
dengan
9
menggunakan cabang, batang, akar dan daun melalui setek, cangkok dan okulasi.
Namun tingkat keberhasilannya dipengaruhi oleh cara perbanyakan, waktu
melakukan perbanyakan, dan keterampilan pelaksana (Sukarmin 2008).
A
C
B
D
Gambar 4. Morfologi buah: A. Jeruk keprok Garut; B. keprok Batu 55; C. Jeruk
Siam; D. Jeruk Pamelo.
Upaya untuk menghasilkan buah jeruk yang bersifat unggul dan seragam
dapat dilakukan melalui pembentukan tanaman haploid melalui kultur antera.
Melalui kultur antera dapat diperoleh tanaman haploid atau embrio haploid, dan
jika dilakukan penggandaan kromosom akan diperoleh tanaman haploid ganda
yang homozigot (Morrison dan Evans 1988). Pembentukan tanaman haploid
melalui kultur antera dapat dilakukan melalui jalur tidak langsung yaitu melalui
pembentukan kalus terlebih dahulu. Kalus merupakan kumpulan sel amorphous
yang terjadi pada sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus-menerus.
Tujuan kultur kalus adalah untuk memperoleh kalus dari penanaman eksplan pada
10
lingkungan terkendali. Kalus diharapkan dapat memperbanyak massa selnya
secara terus-menerus (Gunawan 1992).
Morfologi Bunga Jeruk
Bunga jeruk merupakan bunga lengkap yang terdiri atas tangkai bunga
(pedicel), sepal (caliyx), petal (corolla), kepala putik (stigma), style, bakal buah
(ovary), kepala sari (antera), filamen (Gambar 5). Bagian – bagian bunga dapat
digunakan sebagai eksplan dalam pemuliaan secara kultur jaringan. Salah satu
tujuan yang mengggunakan bagian bunga sebagai eksplan yaitu untuk
mendapatkan tanaman haploid karena tanaman haploid merupakan tanaman yang
mempunyai kromosom sama dengan gamet. Bagian – bagian bunga yang dapat
digunakan untuk menghasilkan tanaman haploid yaitu bagian bunga yang
merupakan alat reproduksi yaitu mikrospora, antera, atau bakal buah.
antera
filamen
bakal buah
petal
sepal
tangkai
bunga
Gambar 5. Morfologi umum bunga jeruk
Kultur Antera
Kultur antera merupakan salah satu teknik kultur in vitro yang dapat
menghasilkan tanaman haploid. Tanaman haploid adalah tanaman yang
mempunyai jumlah kromosom sama dengan jumlah kromosom gametnya, yakni
mempunyai jumlah kromosom sembilan untuk tanaman jeruk (Bajaj 1983). Jika
11
dilakukan penggandaan kromosom akan diperoleh tanaman double haploid
homozigos (galur murni).
Tujuan dari kultur antera adalah untuk mendapatkan tanaman haploid
unggul yang akan dipergunakan untuk merakit kultivar-kultivar baru (Wattimena
1992). Kultur antera akan menghasilkan tanaman homozigot dalam waktu yang
singkat sehingga proses selfing (6-8 generasi) dalam pemuliaan konvensional
dapat dihilangkan dan program pemuliaan dapat dilakukan lebih singkat (Taji et
al. 2002).
Kultur antera memiliki beberapa keuntungan diantaranya: (1) tanaman
homozigot diperoleh dalam waktu relatif singkat (2) efisiensi seleksi, (3)
memperluas variabilitas genetik melalui produksi variasi gametoklonal, (4) gen
resesif dapat terekspresi (Zapta 1990). Keberhasilan kultur antera untuk
mendapatkan tanaman haploid pertama kali dilaporkan oleh Guha dan Maheswari
(1966) pada tanaman Datura innoxia, dimana kepala sari Datura innoxia yang
ditanam pada media yang mengandung kasein hidrolisat, IAA, kinetin, suplemen
air kepala, dan ekstrak anggur dapat menghasilkan embrio pada umur 6 minggu
setelah tanam. Keberhasilan kultur antera selanjutnya dilaporkan oleh Bourgin
dan Nitsch (1967) pada tanaman Nicotiana tabacum.
Ayed et al (2010) melaporkan pengaruh praperlakuan terhadap
keberhasilan kultur mikrospora pada tanaman Triticum turgidum. Praperlakuan
tediri dari delapan perlakuan: (1) Praperlakuan suhu dingin selama 5 hari, (2)
pemberian 0,3M manitol pada suhu 40C selama 12 hari, (3) pemberian 0,3M
manitol pada suhu 40C selama 7 hari, (4) pemberian 0,7M manitol pada suhu 40C
selama 5 hari, (5) pemberian PEG 1,5% pada suhu 40C selama 5 hari, (6)
pemberian PEG 1% pada suhu 40C selama 15 hari, (7) pemberian PEG 1% pada
suhu 40C selama 10 hari, dan (8) kontrol. Berdasarkan hasil penelitian tersebut
diperoleh bahwa praperlakuan dingin (40C) selama 5 hari merupakan praperlakuan
yang paling efektif untuk menginduksi terbentuknya embrio pada mikrospora
Triticum turgidum. Sebaliknya pada mikrospora cabai merah besar peningkatan
induksi embriogenesis dapat dilakukan dengan memberikan praperlakuan pada
suhu panas (33oC) selama empat hari dapat menghasilkan proembrio cabai merah
besar sebanyak 30% (Indrianto et al. 2004).
12
Teknik kultur antera relatif sederhana, cepat dan efisien dalam
menghasilkan jaringan atau tanaman haploid pada kebanyakan spesies (Bajaj
1983; Bhojwani dan Radzan 1993). Faktor terpenting dan kritis pada kultur antera
adalah penentuan tingkat perkembangan polen yang tepat untuk dijadikan eksplan
sehingga androgenesis dapat terjadi (Bajaj 1983). Berdasarkan hasil penelitian
yang telah dilakukan oleh Dus et al. (2002) pada kultur antera jagung, diketahui
mikrospora yang berada pada tahapan perkembangan inti mid-uninucleat
merupakan tahapan perkembangan mikrospora yang paling responsif untuk
menginduksi terbentuknya embrio sebanyak 8,54%
Shirdelmoghanloo et al. (2009) menyatakan bahwa keberhasilan kultur
antera dalam pembentukan embrio pada kultur mikrospora juga dipengaruhi oleh
faktor praperlakuan dan faktor media. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Shirdelmoghanloo et al. (2009) pada kultur mikrospora Triticum
aestivum, dapat diketahui bahwa dengan memberikan kombinasi praperlakuan
dingin (4oC) dan manitol (0,3M) selama 3 minggu dapat menghasilkan jumlah
embrio tertinggi yaitu berkisar 112 embrio per malai dibandingkan tanpa
praperlakuan (kontrol) yang hanya mampu menghasilkan embrio berkisar 43 per
malai. Media perlakuan terbaik untuk menginduksi embrio Triticum aestivum
tersebut adalah media MT dengan penambahan ZPT 0,2 mg/l 2,4-D + 0,2 mg/l
kinetin + 1 mg/l IAA dengan jumlah embrio yang dihasilkan yaitu 190 per malai.
Antera mengandung serbuk sari (polen), sehingga kultur antera berarti
mengikutsertakan polen didalamnya. Polen akan beregenerasi menjadi tanaman
haploid yang tidak memiliki pasangan kromosom yang homolog sehingga pada
saat meiosis berlangsung, kromosom - kromosomnya tidak berpasang pasangan,
seperti halnya pada tanaman diploid, sehingga individu – individu haploid untuk
tanaman diploid bersifat steril. Oleh sebab itu perlu dilakukan penggandaan
kromosom untuk mendapatkan tanaman yang fertil dengan menggunakan bahan
kimia seperti penggunaan kolkisin yang sifatnya dapat menginduksi poliploidi
(Bhojwani dan Razdan 1993; Croughan 1995; Ferrie dan Keller 1995).
Selain secrara sitologi, tanaman haploid dapat dibedakan dengan tanaman
diploid dengan cara morfologi terutama pada saat tanaman tersebut sudah
dipelihara dalam rumah kaca. Perbedaannya terdapat pada tinggi tanaman, warna,
13
ukuran daun, perkembangan akar, dan vigor tanaman. Muswita (2003)
menyatakan pada tanaman cabai haploid, ukuran daun lebih kecil dibandingkan
dengan tanaman diploid dan bersifat steril.
Penggunaan tanaman haploid ganda (double haploid) dalam pemuliaan
akan lebih efisien dalam mengidentifikasi genotipe - genotipe superior karena
tanaman tersebut akan mengekspresikan semua sifat-sifatnya. Manfaat dari
tanaman haploid ganda: (1) sebagai tetua untuk mendapatkan hibrida F1, (2)
pemuliaan mutasi karena dapat dilakukan untuk skrening mutan dominan dan
resesif pada generasi pertama setelah perlakuan mutagen, (3) bahan tanaman
dalam penembakan gen, dan (4) seleksi transgen (Lentini et al. 1995).
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera
1. Genotipe tanaman donor
Genotipe dari antera memegang peranan penting dalam menentukan
berhasil atau tidaknya kultur antera. Hasil penelitian Hoque et al. (2007) pada
tanaman Trapa sp melaporkan dari 18 genotipe tanaman yang diuji, hanya 15
genotipe tanaman yang memiliki kemampuan untuk diinduksi membentuk kalus.
Hal tersebut menjelaskan bahwa tiap-tiap genotipe tanaman memiliki respon yang
berbeda dalam hal kemampuannya dalam menginduksi kalus.
Munarso et al. (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa, setiap
genotipe (kombinasi persilangan) mempunyai kemampuan yang berbeda dalam
menghasilkan kalus. Pada penelitiannya yang menggunakan eksplan antera padi
dapat diketahui jumlah kalus terbanyak dihasilkan oleh IR58025A/BP51-1, ratarata tiga butir kalus/cawan petri, IR68897A/RHS412 menghasilkan 2-3 butir
kalus/cawan petri, IR62829A/MTU 9992 menghasilkan tiga butir kalus/cawan
petri, sedangkan IR68886A/Bio-9 menghasilkan satu butir kalus/cawan petri.
Kemampuan antera dalam menghasilkan kalus sangat beragam diantara keempat
genotipe yang dipergunakan. Persentase induksi kalus tertinggi diperoleh dari
IR58025A/BP51-1 sebesar 2,70%, lebih tinggi dari IR68897A/RHS412 (2,04%),
IR62829A/MTU 9992 (1,56%),dan IR68886A/Bio-9 (0,91%).
14
2. Komposisi media kultur
Salah satu faktor paling penting yang berkaitan dengan pertumbuhan dan
morfogenesis dari jaringan tanaman adalah komposisi dari media kultur. Media
dalam kultur jaringan tanaman umumnya terdiri dari komponen hara makro, hara
mikro, vitamin, asam amino atau suplemen nitrogen lainnya, gula, bahan organik,
bahan pemadat (agar) dan zat pengatur tumbuh. Optimasi media terseleksi
umumnya
dilakukan
untuk
meningkatkan
kemampuan
medium
dalam
menginduksi pembentukan kalus, embrio, maupun regenerasi eksplan yang
dikultur (Hu dan Zeng 1984).
Menurut Sugiri dan Anton (2006), media kultur jaringan dibedakan
menjadi media dasar dan media tambahan. Komposisi media dasar mengandung
hara baik makro maupun mikro, sumber energi dan vitamin yang jumlah dan
jenisnya tergantung dari penemunya. Komposisi media tambahan dapat berupa
vitamin, senyawa organik komplek atau zat pengatur tumbuh. Zat pengatur
tumbuh khususnya auksin dan sitokinin adalah suatu zat organik utama yang
mengendalikan proses morfogenesis di dalam teknik kultur jaringan.
Media dasar yang sering digunakan untuk kultur antera pada jeruk adalah
media Murashige and Tucker (Geraci dan Starrantino 1990; Deng et al. 1992;
Froelicher dan Ollitrault 2000). Berdasarkan hasil penelitian Gioi et al. (2002)
untuk induksi kalus antera padi, antera ditanam pada tiga media dasar yaitu MS,
LS dan N6, diperoleh hasil bahwa persentase rata-rata tertinggi antera yang dapat
terinduksi menjadi kalus (35,3%) terdapat pada antera yang ditumbuhkan pada
media dasar N6. Media kultur jaringan tanaman disamping menyediakan unsur
hara makro dan hara mikro juga diberi karbohidrat yang pada umumnya berupa
gula untuk menggantikan karbon. Hasil yang lebih baik pada kultur antera akan
diperoleh apabila kedalam media tersebut ditambahkan vitamin-vitamin, asam
amino, atau zat pengatur tumbuh.
3. Kondisi tanaman (eksplan)
Umur dan kondisi fisiologis eksplan sering mempengaruhi keberhasilan
kultur antera. Secara umum, respon yang paling baik berasal dari bunga pertama
yang dihasilkan oleh tanaman, dan antera yang dikulturkan harus berasal dari
bunga yang masih kuncup. Berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi
15
pertumbuhan tanaman donor juga mempengaruhi tanaman dihaploid yang
dihasilkan. Intensitas cahaya, lama penyinaran dan suhu diketahui mempengaruhi
jumlah tanaman dihaploid yang dihasilkan pada beberapa spesies. Kondisi
pertumbuhan optimum yang spesifik berbeda antara tanaman yang satu dengan
yang lainnya. Secara umum hasil terbaik akan diperoleh dari tanaman yang
pertumbuhannya sehat dan vigor (Nasir (2002).
4. Pra perlakuan antera
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan induksi embriogenesis
mikrospora ialah praperlakuan terhadap antera sebelum inisiasi kultur. Sebelum
diintroduksikan pada lingkungan in vitro, antera dapat diberi praperlakuan
cekaman seperti pemberian manitol pada suhu rendah selama periode waktu
tertentu (Kyo dan Harada 1986; Immonen dan Antilla 1999). Perlakuan cekaman
menyebabkan proses metabolisme pada jaringan akan terhenti untuk sementara
dan setelah periode waktu tertentu jaringan tersebut akan mulai berkembang lagi
dengan lintasan metabolisme yang baru apabila berada pada kondisi lingkungan
yang mendukung (Immonen dan Antilla 1999).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Tang et al. (2007) pada
antera Mamordica charantia diperoleh hasil bahwa antera dari varietas Bixiu,
Dabai, Changhai dan Pangniu yang dipergunakan sebagai eksplan yang disimpan
pada suhu 40 C selama 24 jam menghasilkan persentase kalus paling tinggi
masing-masing sebesar 73,16 %; 69,89 %; 60,32 % dan 62,01 % apabila
dibandingkan dengan antera yang disimpan pada suhu yang sama (40C) selama 0,
48, 72, 96, dan 120 jam. Berdasarkan penelitian tersebut, antera yang disimpan
selama lebih dari 120 jam tidak menghasilkan kalus dan berakibat pada kondisi
antera yang menjadi kecoklatan dalam 1 minggu.
Praperlakuan
cekaman
juga
berperan
dalam
pembelokan
jalur
perkembangan gametofitik ke arah sporofitik untuk menghasilkan embrio.
Keberhasilan pembelokan jalur perkembangan gametofitik ke arah sporofitik telah
berhasil dilakukan Dus et al. (2002) dengan memberikan praperlakuan dingin
10oC selama 14 hari pada antera tanaman jagung dapat meningkatkan jumlah
embrio jagung. Tsay (1982) juga mengemukakan hal yang sama, bahwa dengan
16
memberikan praperlakuan nitrogen 15 mM dapat meningkatkan embrio dari
mikrospora tanaman tembakau. Tanpa cekaman mikrospora akan berkembang
menjadi polen masak yang normal.
Produktivitas kultur antera pada beberapa spesies tanaman dipengaruhi
oleh perlakuan pemberian suhu pada kuncup bunga sebelum proses sterilisasi dan
isolasi antera. Produktivitas tanaman dihaploid tembakau yang dihasilkan sering
meningkat dengan perlakuan penyimpanan kuncup bunga pada suhu 7 - 8 oC
selama 12 hari (Sunderland dan Robert 1979).
5.
Tingkat perkembangan mikrospora
Antera hanya responsif selama fase uninukleat dari perkembangan polen
pada sebagian besar jenis tanaman. Sebaliknya, pada tanaman tembakau respon
optimum ditemukan pada beberapa saat sebelum, selama dan sesudah fase mitosis
pertama dari polen (akhir fase uninukleat hingga awal binukleat dari mikrospora)
(Hidaka et al. 1984). Embriogenesis mikrospora dilakukan dengan cara
membelokkan perkembangan gametofitik kearah sporofitik untuk menghasilkan
embrio dan tanaman melalui embriogenesis (Touraev et al. 1997). Pra perlakuan
stres berperan dalam pembelokan jalur perkembangan tersebut, tanpa stres
mikrospora akan berkembang menjadi pollen masak yang normal (Heberle 1999).
Stres dapat berupa temperatur (rendah dan tinggi), osmotik, pemberian
nitrogen dan karbohidrat. Stres dapat diaplikasikan pada level tanaman utuh,
kuncup bunga, antera atau langsung pada mikrospora. Palmer dan Keller (1997)
menyebutkan bahwa temperatur tinggi dapat mempengaruhi embriogenesis
mikrospora tembakau, datura, brasika dan cabai, sedangkan Touraev et al. (1997)
dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pemberian karbohidrat dan nitrogen
dapat meningkatkan mikrospora yang embriogenik pada tembakau.
Perkembangan Mikrospora
Proses terbentuknya mikrospora dalam mikrosporangia pada antera
disebut dengan mikrosporosis. Terbentuknya mikrospora ditandai dengan
perubahan – perubahan yang terjadi pada antera. Antera mempunyai bentuk selsel yang hampir sama pada waktu masih muda, kecuali sel-sel epidermis. Pada
keempat sudut antera kemudian mulai terbentuk ruangsari (inculamentum) yang
17
mempunyai banyak sekali sel yang disebut dengan mikrospora atau pollen mother
cell (Raven et al. 1992).
Polen mengalami pembelahan meiosis yang terdiri dari dua tahap. Tahap
pertama adalah pembelahan meiosis I, merupakan pembelahan reduksi karena dari
satu sel dengan 2n kromosom membentuk dua sel dengan (n) kromosom.
Pembelahan tahap kedua adalah pembelahan mitosis, yaitu dari satu sel dengan
(n) kromosom menjadi dua sel dengan (n) kromosom, sehingga pembelahan
reduksi dari 1 sel 2n kromosom menjadi 4 sel dengan (n) kromosom. Keempat sel
yang terjadi sampai dewasa masih berlekatan terus dinamakan pollentetrad.
Kemudian pollentetrad yang berlekatan melepaskan diri sehingga terbentuk
pollen dengan inti satu. Polen inti satu yang masih muda dinamakan fase
uninukleat, dimana polen sudah mempunyai satu inti vegetatif dan satu vacuola,
kemudian inti sel membelah menjadi dua gamet jantan, yang besar dinamakan inti
vegetatif dan yang kecil disebut inti generatif yang dikenal dengan fase binukleat
seperti terlihat pada Gambar 6 (Suryowinoto 1996).
Gambar 6. Tahapan perkembangan inti mikrospora (Suryowinoto 1996)
Polen yang masih muda atau mikrospora yang terkandung dalam antera
dapat secara langsung beregenerasi membentuk embrio atau membentuk kalus
yang selanjutnya dapat diinduksi untuk bergenerasi menjadi tanaman dengan
pengaruh zat pengatur tumbuh yang terkandung dalam media tanam. Dengan
aplikasi teknik tersebut, tanaman dihaploid dapat diregenerasikan secara langsung
18
dari gamet jantan maupun betina tanpa melalui proses pembuahan (Bhojwani dan
Radzan 1993).
Media yang digunakan pada Kultur Antera
Androgenesis dapat diinduksi pada media sederhana seperti yang
dikembangkan oleh Nitsch untuk polen tanaman tembakau dan beberapa spesies
lainnya. Media yang umum digunakan untuk sebagian besar spesies adalah
Murashige dan Skoog dan N6 (Chu 1978) atau variasi kedua media tersebut.
Media perlu diperkaya dengan senyawa organik komplek seperti ekstrak kentang,
air kelapa dan kasein hidrolisat. Pada sebagian besar spesies tanaman, sukrosa
yang digunakan dalam media antara 2 - 3% sementara untuk beberapa spesies lain
khususnya tanaman serealia responnya lebih baik apabila konsentrasi gulanya
lebih tinggi (hingga 15%). Pada kultur antera jeruk, sumber karbohidrat yang
banyak digunakan adalah sukrosa 5% (Hidaka 1987; Froelicher dan Ollitrault
2000).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Tang et al. (2007) pada
antera Balsam pear, diperoleh hasil bahwa pembentukan kalus tertinggi diperoleh
apabila pada media ditambahkan 2.4 D 0,5 mg/l dan BA 2 mg /l yaitu sebesar
79,42 %. Penggunaan konsentrasi 2,4-D 1,0 mg/l yang dikombinasikan dengan
kinetin 0,1 mg/l sampai 0,3 mg/l merupakan konsentrasi yang paling optimal
untuk menginduksi kalus. Penggunaan konsentrasi 2,4-D yang rendah (0,1 mg/l
dan 0,5 mg/l) menyebabkan sel - sel tanaman belum mampu meningkatkan
kemampuan jaringan untuk melakukan diferensiasi (Syahid et al. 2007).
Prahardini dan Sudaryono (1992) membuktikan bahwa penambahan 3
mg/l NAA dan 2 mg/l BA efektif untuk menginduksi kalus antera pepaya dimana
jumlah kultur per kalus meningkat seiring dengan peningkatan NAA dari 1 mg/l
sampai 3 mg/l. Berdasarkan kebutuhan zat pengatur tumbuh untuk pembentukan
kalus, maka dalam media tanam perlu ditambahkan auksin dan sitokinin. Interaksi
kedua zat ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis jaringan tanaman.
Inisiasi akar pada planlet, embriogenesis, dan inisiasi kalus umumnya terjadi
apabila perbandingan konsentrasi auksin terhadap sitokinin lebih tinggi,
19
sementara proliferasi tunas adventif dan aksilar terjadi apabila perbandingannya
lebih rendah (George et al. 2008)
Pikloram merupakan zat pengatur tumbuh yang termasuk ke dalam
kelompok auksin sintetik yang berperan dalam pembentukan dan pertumbuhan
kalus. Peranan pikloram telah diketahui dalam proliferasi kalus pada kultur
jaringan tanaman kina. Sumaryono dan Riyadi (2005) menyatakan proliferasi
kalus terbaik pada medium WP diperoleh dengan pemberian pikloram 15 atau 30
μM yang dikombinasikan dengan BAP 0,5 μM. Kalus pada medium WP ini
tumbuh dengan sangat cepat, bobot basah kalus meningkat 12 - 14 kali dari bobot
awal dalam waktu 6 minggu. Kalus yang diperoleh bertekstur remah, berwarna
putih dan tidak mudah mengalami pencokelatan walaupun disubkultur
berulangkali. Marlina (2009) juga menyatakan media MS + 2 mg/l pikloram + 2
mg/l tidiazuron + 2 mg/l zeatin memberikan pengaruh positif untuk induksi kalus
tanaman.
Kultur Antera pada Tanaman Jeruk
Penelitian pada tanaman jeruk secara kultur jaringan (in vitro) sudah
banyak dilakukan, dan pada umumnya menggunakan eksplan jaringan tanaman
yang masih muda karena sel – selnya masih aktif membelah. Salah satu penelitian
tanaman jeruk yang masih mempunyai tingkat keberhasilan yang rendah adalah
penelitian kultur antera. Keberhasilan kultur antera dipengaruhi oleh genotipe,
kondisi tumbuh tanaman donor, tingkat perkembangan mikrospora, pra perlakuan,
media, dan lingkungan yang mendukung (Wehr dan Wenzel 1993). Germana
(2000) dalam Maluszynski et al. 2003 menyatakan persentase kalus tertinggi
Citrus clementiana dihasilkan pada media MS + 5% sukrosa + 0,02 mg/l NAA.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera adalah
praperlakuan sebelum kultur antera. Chen (1985) memberikan praperlakuan
dingin 3oC selama 0 - 25 hari pada bunga Citrus madurensis, dan praperlakuan
dingin (3oC) selama 5-10 hari merupakan praperlakuan terbaik untuk menginduksi
kalus
dan
embrio
C.
madurensis.
Germana
dan
Chiancone
(2003)
o
membandingkian efek pemberian temperatur tinggi (40 C) selama 24 jam dan
temperatur rendah (4 oC) selama 10 hari Citrus clementina. Hasil penelitian
20
menyatakan pemberian temperatur rendah (4 oC) selama 10 hari merupakan
praperlakuan yang terbaik untuk menginduksi kalus antera Citrus clementina.
Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera adalah sumber
karbon. Hidaka (1987) melakukan penelitian kultur antera pada Citrus sinensis
dan Citrus aurentum dengan memberikan sukrosa (1, 3, 5, 7, dan 9)%. Hasil
penelitian menyatakan pemberian sukrosa 1% dapat menginduksi kalus dan
embrio Citrus sinensis sebanyak 30%, dan pemberian sukrosa 7% merupakan
konsentrasi yang paling baik untuk menginduksi kalus dan embrio Citrus
aurentum. Ling et al (1988) menyatakan bahwa persentase embrio tertinggi
(0,92%) diperoleh dengan pemberian 2mg/l IAA pada Citrus madurensis.
Berbeda dengan pernyataan Geraci and Starrantino (1990) yang menyatakan
pemberian 1 mg/l BAP dan 0,5 mg/l 2,4-D merupakan media terbaik untuk
menginduksi kalus dengan persentase tertinggi (25%) pada Citrus reticulata,
Citrus deliciosa, dan Citrus paradisi, sedangkan pada Citrus sinensis pemberian 1
mg/l NAA dan 1 mg/l BAP merupakan media terbaik untuk meninduksi kalus
sebanyak 44,2% (Drira dan Benbadis 1975).
Download