6 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Jeruk Jeruk merupakan tanaman asli buah tropika yang berasal dari Asia terutama India dan Indo-Cina (Webber 1967; Chapot 1975). Sejak ratusan tahun yang lalu, jeruk sudah tumbuh di Indonesia baik secara alami maupun yang dibudidayakan. Jeruk yang ada di Indonesia didatangkan dari Amerika dan Italia oleh orang Belanda (Khan 2007). Daerah - daerah yang terkenal sebagai daerah pusat jeruk di Indonesia diantaranya Garut (Jawa Barat), Tawamangu (Jawa Tengah), Batu (Jawa Timur), Tejakula (Bali), Selayar (Sulawesi Selatan), Pontianak (Kalimantan Barat), Brastagi (Sumatera Utara) dan Soe (Nusa Tenggara Timur) (Martosupono et al. 2007). Jeruk keprok merupakan salah satu jenis jeruk yang sudah lama dikenal dan dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia serta diperdagangkan di pasar internasional. Jenis jeruk lain yang banyak dibudidayakan di Indonesia antara lain jeruk Siam, dan jeruk Pamelo. Van Steenis (1975) mengklasifikasikan jeruk sebagai berikut: (1) Divisi: Spermatophyta, (2) Sub divisi: Angiospermae, (3) Kelas: Dicotyledonae, (4) Ordo: Rutales, (6) Keluarga: Rutaceae, (7) Genus: Citrus, (8) Spesies: Citrus sp. Aspek - aspek penting yang membedakan antara spesies jeruk keprok, jeruk Siam, dan jeruk Pamelo adalah terletak pada habitus tanaman, morfologi daun, bentuk dan ada tidaknya sayap daun, morfologi bunga, morfologi buah, dan morfologi biji (Martasari dan Hardiyanto 2003). Jeruk Keprok merupakan jenis pohon dengan tinggi 2 - 8 meter. Tangkai daun bersayap sangat sempit sampai tidak bersayap dengan panjang 0,5 - 1,5 cm. Helaian daun berbentuk bulat telur memanjang atau berbentuk lanset dengan ujung tumpul, tepinya bergerigi beringgit sangat lemah dengan panjang 3,5 - 8 cm (Gambar 2). Bunganya mempunyai diameter 1,5 - 2,5 cm, berkelamin dua, daun mahkotanya putih (Gambar 3). Buahnya berbentuk bola tertekan dengan panjang 5 - 8 cm, tebal kulitnya 0,2 - 0,3 cm dan daging buahnya berwarna oranye (Gambar 4). Rantingnya tidak berduri, habitus tegak, kulitnya mudah dikupas, bersifat poliembriogenik, kotiledon berwarna hijau, dan tangkai daunnya selebar 1 - 1,5 mm (Badan Litbang Departemen Pertanian 2005). Jeruk keprok mengandung 7 berbagai macam senyawa kimia diantaranya tangeraxanthin, tangeritin, tryptophan, tyrosine, nobiletin, cis-3-hexenol, cis-carveol, dan citric-acid. Tangeritin dan nobiletin merupakan senyawa methoxyflavone dan polymethoxyflavon yang mempunyai potensi sebagai antikanker (Tang et al. 2009). A B D C Gambar 2. Morfologi daun: A. Jeruk Keprok Garut; B. Jeruk keprok Batu 55; C. Jeruk Siam; D. Jeruk Pamelo. Jeruk keprok merupakan tanaman asli Melayu tetapi sekarang penyebarannya hampir terdapat pada semua daerah tropis dan subtropis di dunia. Temperatur optimal pertumbuhan tanaman antara 25 - 30 oC namun ada yang masih dapat tumbuh normal pada 38 oC. Semua jenis jeruk tidak menyukai tempat yang terlindung dari sinar matahari. Kelembaban optimum untuk pertumbuhan jeruk keprok sekitar 70 – 80% (Khan 2007). Salah satu varietas atau jenis jeruk lain yang banyak disukai oleh masyarakat adalah jeruk Siam. Jenis jeruk ini banyak disukai masyarakat karena rasanya yang lebih manis dibanding jeruk keprok. Secara garis besar, jeruk Siam dan jeruk keprok sulit dibedakan karena mempunyai aroma daun yang sama, ukuran bunga dan buah yang hampir sama (Gambar 3 dan 4), akan tetapi buah jeruk Siam lebih sulit dikupas kulitnya dibandingkan dengan buah jeruk Keprok. Jeruk Siam juga berbeda dengan jeruk Keprok karena mempunyai ranting yang berduri, habitus tegak menyebar, daunnya bersayap dengan ukuran lebih kecil dibanding daun jeruk keprok (Gambar 2), monoembrionik, dan kotiledon berwarna putih. Jeruk Siam mempunyai bentuk bunga seperti lonceng, jumlah bunga terdiri dari 8-10 buah / tandan (Badan Litbang Pertanian 2005). 8 A B C D Gambar 3. Morfologi bunga: A. Jeruk keprok Garut; B. Keprok Batu 55; C. Jeruk Siam; D. Jeruk Pamelo. Jeruk Pamelo merupakan salah satu jenis buah jeruk besar yang sudah lama dikenal di Indonesia dan diduga merupakan salah satu jenis tanaman asli Indonesia (Purwanto et al. 2003). Jeruk Pamelo mempunyai bentuk daun ovale atau elliptic ovale yang berukuran besar dan bersayap (Gambar 2). Jeruk Pamelo mempunyai ukuran bunga yang lebih besar jika dibandingkan dengan bunga jeruk Keprok dan jeruk Siam. Bentuk buah jeruk Pamelo berukuran besar dan mempunyai kulit buah yang tebal (Gambar 3), habitus tegak menyebar dan cenderung bersifat monoembrioni. Tanaman jeruk tumbuh baik pada pH tanah antara 5 - 6, pada pH yang lebih tinggi sering terjadi defisiensi hara terutama unsur mikro Zn, Cu, Mn, dan Fe. Tanah yang mengandung kadar boron serta memiliki kadar garam tinggi merupakan jenis tanah yang kurang baik bagi pertumbuhan tanaman jeruk. Perbanyakan tanaman jeruk secara konvensional dapat dilakukan secara generatif maupun vegetatif. Perbanyakan secara generatif dapat dilakukan dengan menggunakan biji, namun akan menghasilkan buah yang beragam dan sering tidak bersifat unggul walaupun berasal dari pohon induk yang unggul, sedangkan perbanyakan tanaman jeruk secara vegetatif dapat dilakukan dengan 9 menggunakan cabang, batang, akar dan daun melalui setek, cangkok dan okulasi. Namun tingkat keberhasilannya dipengaruhi oleh cara perbanyakan, waktu melakukan perbanyakan, dan keterampilan pelaksana (Sukarmin 2008). A C B D Gambar 4. Morfologi buah: A. Jeruk keprok Garut; B. keprok Batu 55; C. Jeruk Siam; D. Jeruk Pamelo. Upaya untuk menghasilkan buah jeruk yang bersifat unggul dan seragam dapat dilakukan melalui pembentukan tanaman haploid melalui kultur antera. Melalui kultur antera dapat diperoleh tanaman haploid atau embrio haploid, dan jika dilakukan penggandaan kromosom akan diperoleh tanaman haploid ganda yang homozigot (Morrison dan Evans 1988). Pembentukan tanaman haploid melalui kultur antera dapat dilakukan melalui jalur tidak langsung yaitu melalui pembentukan kalus terlebih dahulu. Kalus merupakan kumpulan sel amorphous yang terjadi pada sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus-menerus. Tujuan kultur kalus adalah untuk memperoleh kalus dari penanaman eksplan pada 10 lingkungan terkendali. Kalus diharapkan dapat memperbanyak massa selnya secara terus-menerus (Gunawan 1992). Morfologi Bunga Jeruk Bunga jeruk merupakan bunga lengkap yang terdiri atas tangkai bunga (pedicel), sepal (caliyx), petal (corolla), kepala putik (stigma), style, bakal buah (ovary), kepala sari (antera), filamen (Gambar 5). Bagian – bagian bunga dapat digunakan sebagai eksplan dalam pemuliaan secara kultur jaringan. Salah satu tujuan yang mengggunakan bagian bunga sebagai eksplan yaitu untuk mendapatkan tanaman haploid karena tanaman haploid merupakan tanaman yang mempunyai kromosom sama dengan gamet. Bagian – bagian bunga yang dapat digunakan untuk menghasilkan tanaman haploid yaitu bagian bunga yang merupakan alat reproduksi yaitu mikrospora, antera, atau bakal buah. antera filamen bakal buah petal sepal tangkai bunga Gambar 5. Morfologi umum bunga jeruk Kultur Antera Kultur antera merupakan salah satu teknik kultur in vitro yang dapat menghasilkan tanaman haploid. Tanaman haploid adalah tanaman yang mempunyai jumlah kromosom sama dengan jumlah kromosom gametnya, yakni mempunyai jumlah kromosom sembilan untuk tanaman jeruk (Bajaj 1983). Jika 11 dilakukan penggandaan kromosom akan diperoleh tanaman double haploid homozigos (galur murni). Tujuan dari kultur antera adalah untuk mendapatkan tanaman haploid unggul yang akan dipergunakan untuk merakit kultivar-kultivar baru (Wattimena 1992). Kultur antera akan menghasilkan tanaman homozigot dalam waktu yang singkat sehingga proses selfing (6-8 generasi) dalam pemuliaan konvensional dapat dihilangkan dan program pemuliaan dapat dilakukan lebih singkat (Taji et al. 2002). Kultur antera memiliki beberapa keuntungan diantaranya: (1) tanaman homozigot diperoleh dalam waktu relatif singkat (2) efisiensi seleksi, (3) memperluas variabilitas genetik melalui produksi variasi gametoklonal, (4) gen resesif dapat terekspresi (Zapta 1990). Keberhasilan kultur antera untuk mendapatkan tanaman haploid pertama kali dilaporkan oleh Guha dan Maheswari (1966) pada tanaman Datura innoxia, dimana kepala sari Datura innoxia yang ditanam pada media yang mengandung kasein hidrolisat, IAA, kinetin, suplemen air kepala, dan ekstrak anggur dapat menghasilkan embrio pada umur 6 minggu setelah tanam. Keberhasilan kultur antera selanjutnya dilaporkan oleh Bourgin dan Nitsch (1967) pada tanaman Nicotiana tabacum. Ayed et al (2010) melaporkan pengaruh praperlakuan terhadap keberhasilan kultur mikrospora pada tanaman Triticum turgidum. Praperlakuan tediri dari delapan perlakuan: (1) Praperlakuan suhu dingin selama 5 hari, (2) pemberian 0,3M manitol pada suhu 40C selama 12 hari, (3) pemberian 0,3M manitol pada suhu 40C selama 7 hari, (4) pemberian 0,7M manitol pada suhu 40C selama 5 hari, (5) pemberian PEG 1,5% pada suhu 40C selama 5 hari, (6) pemberian PEG 1% pada suhu 40C selama 15 hari, (7) pemberian PEG 1% pada suhu 40C selama 10 hari, dan (8) kontrol. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa praperlakuan dingin (40C) selama 5 hari merupakan praperlakuan yang paling efektif untuk menginduksi terbentuknya embrio pada mikrospora Triticum turgidum. Sebaliknya pada mikrospora cabai merah besar peningkatan induksi embriogenesis dapat dilakukan dengan memberikan praperlakuan pada suhu panas (33oC) selama empat hari dapat menghasilkan proembrio cabai merah besar sebanyak 30% (Indrianto et al. 2004). 12 Teknik kultur antera relatif sederhana, cepat dan efisien dalam menghasilkan jaringan atau tanaman haploid pada kebanyakan spesies (Bajaj 1983; Bhojwani dan Radzan 1993). Faktor terpenting dan kritis pada kultur antera adalah penentuan tingkat perkembangan polen yang tepat untuk dijadikan eksplan sehingga androgenesis dapat terjadi (Bajaj 1983). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Dus et al. (2002) pada kultur antera jagung, diketahui mikrospora yang berada pada tahapan perkembangan inti mid-uninucleat merupakan tahapan perkembangan mikrospora yang paling responsif untuk menginduksi terbentuknya embrio sebanyak 8,54% Shirdelmoghanloo et al. (2009) menyatakan bahwa keberhasilan kultur antera dalam pembentukan embrio pada kultur mikrospora juga dipengaruhi oleh faktor praperlakuan dan faktor media. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shirdelmoghanloo et al. (2009) pada kultur mikrospora Triticum aestivum, dapat diketahui bahwa dengan memberikan kombinasi praperlakuan dingin (4oC) dan manitol (0,3M) selama 3 minggu dapat menghasilkan jumlah embrio tertinggi yaitu berkisar 112 embrio per malai dibandingkan tanpa praperlakuan (kontrol) yang hanya mampu menghasilkan embrio berkisar 43 per malai. Media perlakuan terbaik untuk menginduksi embrio Triticum aestivum tersebut adalah media MT dengan penambahan ZPT 0,2 mg/l 2,4-D + 0,2 mg/l kinetin + 1 mg/l IAA dengan jumlah embrio yang dihasilkan yaitu 190 per malai. Antera mengandung serbuk sari (polen), sehingga kultur antera berarti mengikutsertakan polen didalamnya. Polen akan beregenerasi menjadi tanaman haploid yang tidak memiliki pasangan kromosom yang homolog sehingga pada saat meiosis berlangsung, kromosom - kromosomnya tidak berpasang pasangan, seperti halnya pada tanaman diploid, sehingga individu – individu haploid untuk tanaman diploid bersifat steril. Oleh sebab itu perlu dilakukan penggandaan kromosom untuk mendapatkan tanaman yang fertil dengan menggunakan bahan kimia seperti penggunaan kolkisin yang sifatnya dapat menginduksi poliploidi (Bhojwani dan Razdan 1993; Croughan 1995; Ferrie dan Keller 1995). Selain secrara sitologi, tanaman haploid dapat dibedakan dengan tanaman diploid dengan cara morfologi terutama pada saat tanaman tersebut sudah dipelihara dalam rumah kaca. Perbedaannya terdapat pada tinggi tanaman, warna, 13 ukuran daun, perkembangan akar, dan vigor tanaman. Muswita (2003) menyatakan pada tanaman cabai haploid, ukuran daun lebih kecil dibandingkan dengan tanaman diploid dan bersifat steril. Penggunaan tanaman haploid ganda (double haploid) dalam pemuliaan akan lebih efisien dalam mengidentifikasi genotipe - genotipe superior karena tanaman tersebut akan mengekspresikan semua sifat-sifatnya. Manfaat dari tanaman haploid ganda: (1) sebagai tetua untuk mendapatkan hibrida F1, (2) pemuliaan mutasi karena dapat dilakukan untuk skrening mutan dominan dan resesif pada generasi pertama setelah perlakuan mutagen, (3) bahan tanaman dalam penembakan gen, dan (4) seleksi transgen (Lentini et al. 1995). Faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera 1. Genotipe tanaman donor Genotipe dari antera memegang peranan penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya kultur antera. Hasil penelitian Hoque et al. (2007) pada tanaman Trapa sp melaporkan dari 18 genotipe tanaman yang diuji, hanya 15 genotipe tanaman yang memiliki kemampuan untuk diinduksi membentuk kalus. Hal tersebut menjelaskan bahwa tiap-tiap genotipe tanaman memiliki respon yang berbeda dalam hal kemampuannya dalam menginduksi kalus. Munarso et al. (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa, setiap genotipe (kombinasi persilangan) mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menghasilkan kalus. Pada penelitiannya yang menggunakan eksplan antera padi dapat diketahui jumlah kalus terbanyak dihasilkan oleh IR58025A/BP51-1, ratarata tiga butir kalus/cawan petri, IR68897A/RHS412 menghasilkan 2-3 butir kalus/cawan petri, IR62829A/MTU 9992 menghasilkan tiga butir kalus/cawan petri, sedangkan IR68886A/Bio-9 menghasilkan satu butir kalus/cawan petri. Kemampuan antera dalam menghasilkan kalus sangat beragam diantara keempat genotipe yang dipergunakan. Persentase induksi kalus tertinggi diperoleh dari IR58025A/BP51-1 sebesar 2,70%, lebih tinggi dari IR68897A/RHS412 (2,04%), IR62829A/MTU 9992 (1,56%),dan IR68886A/Bio-9 (0,91%). 14 2. Komposisi media kultur Salah satu faktor paling penting yang berkaitan dengan pertumbuhan dan morfogenesis dari jaringan tanaman adalah komposisi dari media kultur. Media dalam kultur jaringan tanaman umumnya terdiri dari komponen hara makro, hara mikro, vitamin, asam amino atau suplemen nitrogen lainnya, gula, bahan organik, bahan pemadat (agar) dan zat pengatur tumbuh. Optimasi media terseleksi umumnya dilakukan untuk meningkatkan kemampuan medium dalam menginduksi pembentukan kalus, embrio, maupun regenerasi eksplan yang dikultur (Hu dan Zeng 1984). Menurut Sugiri dan Anton (2006), media kultur jaringan dibedakan menjadi media dasar dan media tambahan. Komposisi media dasar mengandung hara baik makro maupun mikro, sumber energi dan vitamin yang jumlah dan jenisnya tergantung dari penemunya. Komposisi media tambahan dapat berupa vitamin, senyawa organik komplek atau zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh khususnya auksin dan sitokinin adalah suatu zat organik utama yang mengendalikan proses morfogenesis di dalam teknik kultur jaringan. Media dasar yang sering digunakan untuk kultur antera pada jeruk adalah media Murashige and Tucker (Geraci dan Starrantino 1990; Deng et al. 1992; Froelicher dan Ollitrault 2000). Berdasarkan hasil penelitian Gioi et al. (2002) untuk induksi kalus antera padi, antera ditanam pada tiga media dasar yaitu MS, LS dan N6, diperoleh hasil bahwa persentase rata-rata tertinggi antera yang dapat terinduksi menjadi kalus (35,3%) terdapat pada antera yang ditumbuhkan pada media dasar N6. Media kultur jaringan tanaman disamping menyediakan unsur hara makro dan hara mikro juga diberi karbohidrat yang pada umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon. Hasil yang lebih baik pada kultur antera akan diperoleh apabila kedalam media tersebut ditambahkan vitamin-vitamin, asam amino, atau zat pengatur tumbuh. 3. Kondisi tanaman (eksplan) Umur dan kondisi fisiologis eksplan sering mempengaruhi keberhasilan kultur antera. Secara umum, respon yang paling baik berasal dari bunga pertama yang dihasilkan oleh tanaman, dan antera yang dikulturkan harus berasal dari bunga yang masih kuncup. Berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi 15 pertumbuhan tanaman donor juga mempengaruhi tanaman dihaploid yang dihasilkan. Intensitas cahaya, lama penyinaran dan suhu diketahui mempengaruhi jumlah tanaman dihaploid yang dihasilkan pada beberapa spesies. Kondisi pertumbuhan optimum yang spesifik berbeda antara tanaman yang satu dengan yang lainnya. Secara umum hasil terbaik akan diperoleh dari tanaman yang pertumbuhannya sehat dan vigor (Nasir (2002). 4. Pra perlakuan antera Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan induksi embriogenesis mikrospora ialah praperlakuan terhadap antera sebelum inisiasi kultur. Sebelum diintroduksikan pada lingkungan in vitro, antera dapat diberi praperlakuan cekaman seperti pemberian manitol pada suhu rendah selama periode waktu tertentu (Kyo dan Harada 1986; Immonen dan Antilla 1999). Perlakuan cekaman menyebabkan proses metabolisme pada jaringan akan terhenti untuk sementara dan setelah periode waktu tertentu jaringan tersebut akan mulai berkembang lagi dengan lintasan metabolisme yang baru apabila berada pada kondisi lingkungan yang mendukung (Immonen dan Antilla 1999). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Tang et al. (2007) pada antera Mamordica charantia diperoleh hasil bahwa antera dari varietas Bixiu, Dabai, Changhai dan Pangniu yang dipergunakan sebagai eksplan yang disimpan pada suhu 40 C selama 24 jam menghasilkan persentase kalus paling tinggi masing-masing sebesar 73,16 %; 69,89 %; 60,32 % dan 62,01 % apabila dibandingkan dengan antera yang disimpan pada suhu yang sama (40C) selama 0, 48, 72, 96, dan 120 jam. Berdasarkan penelitian tersebut, antera yang disimpan selama lebih dari 120 jam tidak menghasilkan kalus dan berakibat pada kondisi antera yang menjadi kecoklatan dalam 1 minggu. Praperlakuan cekaman juga berperan dalam pembelokan jalur perkembangan gametofitik ke arah sporofitik untuk menghasilkan embrio. Keberhasilan pembelokan jalur perkembangan gametofitik ke arah sporofitik telah berhasil dilakukan Dus et al. (2002) dengan memberikan praperlakuan dingin 10oC selama 14 hari pada antera tanaman jagung dapat meningkatkan jumlah embrio jagung. Tsay (1982) juga mengemukakan hal yang sama, bahwa dengan 16 memberikan praperlakuan nitrogen 15 mM dapat meningkatkan embrio dari mikrospora tanaman tembakau. Tanpa cekaman mikrospora akan berkembang menjadi polen masak yang normal. Produktivitas kultur antera pada beberapa spesies tanaman dipengaruhi oleh perlakuan pemberian suhu pada kuncup bunga sebelum proses sterilisasi dan isolasi antera. Produktivitas tanaman dihaploid tembakau yang dihasilkan sering meningkat dengan perlakuan penyimpanan kuncup bunga pada suhu 7 - 8 oC selama 12 hari (Sunderland dan Robert 1979). 5. Tingkat perkembangan mikrospora Antera hanya responsif selama fase uninukleat dari perkembangan polen pada sebagian besar jenis tanaman. Sebaliknya, pada tanaman tembakau respon optimum ditemukan pada beberapa saat sebelum, selama dan sesudah fase mitosis pertama dari polen (akhir fase uninukleat hingga awal binukleat dari mikrospora) (Hidaka et al. 1984). Embriogenesis mikrospora dilakukan dengan cara membelokkan perkembangan gametofitik kearah sporofitik untuk menghasilkan embrio dan tanaman melalui embriogenesis (Touraev et al. 1997). Pra perlakuan stres berperan dalam pembelokan jalur perkembangan tersebut, tanpa stres mikrospora akan berkembang menjadi pollen masak yang normal (Heberle 1999). Stres dapat berupa temperatur (rendah dan tinggi), osmotik, pemberian nitrogen dan karbohidrat. Stres dapat diaplikasikan pada level tanaman utuh, kuncup bunga, antera atau langsung pada mikrospora. Palmer dan Keller (1997) menyebutkan bahwa temperatur tinggi dapat mempengaruhi embriogenesis mikrospora tembakau, datura, brasika dan cabai, sedangkan Touraev et al. (1997) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pemberian karbohidrat dan nitrogen dapat meningkatkan mikrospora yang embriogenik pada tembakau. Perkembangan Mikrospora Proses terbentuknya mikrospora dalam mikrosporangia pada antera disebut dengan mikrosporosis. Terbentuknya mikrospora ditandai dengan perubahan – perubahan yang terjadi pada antera. Antera mempunyai bentuk selsel yang hampir sama pada waktu masih muda, kecuali sel-sel epidermis. Pada keempat sudut antera kemudian mulai terbentuk ruangsari (inculamentum) yang 17 mempunyai banyak sekali sel yang disebut dengan mikrospora atau pollen mother cell (Raven et al. 1992). Polen mengalami pembelahan meiosis yang terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah pembelahan meiosis I, merupakan pembelahan reduksi karena dari satu sel dengan 2n kromosom membentuk dua sel dengan (n) kromosom. Pembelahan tahap kedua adalah pembelahan mitosis, yaitu dari satu sel dengan (n) kromosom menjadi dua sel dengan (n) kromosom, sehingga pembelahan reduksi dari 1 sel 2n kromosom menjadi 4 sel dengan (n) kromosom. Keempat sel yang terjadi sampai dewasa masih berlekatan terus dinamakan pollentetrad. Kemudian pollentetrad yang berlekatan melepaskan diri sehingga terbentuk pollen dengan inti satu. Polen inti satu yang masih muda dinamakan fase uninukleat, dimana polen sudah mempunyai satu inti vegetatif dan satu vacuola, kemudian inti sel membelah menjadi dua gamet jantan, yang besar dinamakan inti vegetatif dan yang kecil disebut inti generatif yang dikenal dengan fase binukleat seperti terlihat pada Gambar 6 (Suryowinoto 1996). Gambar 6. Tahapan perkembangan inti mikrospora (Suryowinoto 1996) Polen yang masih muda atau mikrospora yang terkandung dalam antera dapat secara langsung beregenerasi membentuk embrio atau membentuk kalus yang selanjutnya dapat diinduksi untuk bergenerasi menjadi tanaman dengan pengaruh zat pengatur tumbuh yang terkandung dalam media tanam. Dengan aplikasi teknik tersebut, tanaman dihaploid dapat diregenerasikan secara langsung 18 dari gamet jantan maupun betina tanpa melalui proses pembuahan (Bhojwani dan Radzan 1993). Media yang digunakan pada Kultur Antera Androgenesis dapat diinduksi pada media sederhana seperti yang dikembangkan oleh Nitsch untuk polen tanaman tembakau dan beberapa spesies lainnya. Media yang umum digunakan untuk sebagian besar spesies adalah Murashige dan Skoog dan N6 (Chu 1978) atau variasi kedua media tersebut. Media perlu diperkaya dengan senyawa organik komplek seperti ekstrak kentang, air kelapa dan kasein hidrolisat. Pada sebagian besar spesies tanaman, sukrosa yang digunakan dalam media antara 2 - 3% sementara untuk beberapa spesies lain khususnya tanaman serealia responnya lebih baik apabila konsentrasi gulanya lebih tinggi (hingga 15%). Pada kultur antera jeruk, sumber karbohidrat yang banyak digunakan adalah sukrosa 5% (Hidaka 1987; Froelicher dan Ollitrault 2000). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Tang et al. (2007) pada antera Balsam pear, diperoleh hasil bahwa pembentukan kalus tertinggi diperoleh apabila pada media ditambahkan 2.4 D 0,5 mg/l dan BA 2 mg /l yaitu sebesar 79,42 %. Penggunaan konsentrasi 2,4-D 1,0 mg/l yang dikombinasikan dengan kinetin 0,1 mg/l sampai 0,3 mg/l merupakan konsentrasi yang paling optimal untuk menginduksi kalus. Penggunaan konsentrasi 2,4-D yang rendah (0,1 mg/l dan 0,5 mg/l) menyebabkan sel - sel tanaman belum mampu meningkatkan kemampuan jaringan untuk melakukan diferensiasi (Syahid et al. 2007). Prahardini dan Sudaryono (1992) membuktikan bahwa penambahan 3 mg/l NAA dan 2 mg/l BA efektif untuk menginduksi kalus antera pepaya dimana jumlah kultur per kalus meningkat seiring dengan peningkatan NAA dari 1 mg/l sampai 3 mg/l. Berdasarkan kebutuhan zat pengatur tumbuh untuk pembentukan kalus, maka dalam media tanam perlu ditambahkan auksin dan sitokinin. Interaksi kedua zat ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis jaringan tanaman. Inisiasi akar pada planlet, embriogenesis, dan inisiasi kalus umumnya terjadi apabila perbandingan konsentrasi auksin terhadap sitokinin lebih tinggi, 19 sementara proliferasi tunas adventif dan aksilar terjadi apabila perbandingannya lebih rendah (George et al. 2008) Pikloram merupakan zat pengatur tumbuh yang termasuk ke dalam kelompok auksin sintetik yang berperan dalam pembentukan dan pertumbuhan kalus. Peranan pikloram telah diketahui dalam proliferasi kalus pada kultur jaringan tanaman kina. Sumaryono dan Riyadi (2005) menyatakan proliferasi kalus terbaik pada medium WP diperoleh dengan pemberian pikloram 15 atau 30 μM yang dikombinasikan dengan BAP 0,5 μM. Kalus pada medium WP ini tumbuh dengan sangat cepat, bobot basah kalus meningkat 12 - 14 kali dari bobot awal dalam waktu 6 minggu. Kalus yang diperoleh bertekstur remah, berwarna putih dan tidak mudah mengalami pencokelatan walaupun disubkultur berulangkali. Marlina (2009) juga menyatakan media MS + 2 mg/l pikloram + 2 mg/l tidiazuron + 2 mg/l zeatin memberikan pengaruh positif untuk induksi kalus tanaman. Kultur Antera pada Tanaman Jeruk Penelitian pada tanaman jeruk secara kultur jaringan (in vitro) sudah banyak dilakukan, dan pada umumnya menggunakan eksplan jaringan tanaman yang masih muda karena sel – selnya masih aktif membelah. Salah satu penelitian tanaman jeruk yang masih mempunyai tingkat keberhasilan yang rendah adalah penelitian kultur antera. Keberhasilan kultur antera dipengaruhi oleh genotipe, kondisi tumbuh tanaman donor, tingkat perkembangan mikrospora, pra perlakuan, media, dan lingkungan yang mendukung (Wehr dan Wenzel 1993). Germana (2000) dalam Maluszynski et al. 2003 menyatakan persentase kalus tertinggi Citrus clementiana dihasilkan pada media MS + 5% sukrosa + 0,02 mg/l NAA. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera adalah praperlakuan sebelum kultur antera. Chen (1985) memberikan praperlakuan dingin 3oC selama 0 - 25 hari pada bunga Citrus madurensis, dan praperlakuan dingin (3oC) selama 5-10 hari merupakan praperlakuan terbaik untuk menginduksi kalus dan embrio C. madurensis. Germana dan Chiancone (2003) o membandingkian efek pemberian temperatur tinggi (40 C) selama 24 jam dan temperatur rendah (4 oC) selama 10 hari Citrus clementina. Hasil penelitian 20 menyatakan pemberian temperatur rendah (4 oC) selama 10 hari merupakan praperlakuan yang terbaik untuk menginduksi kalus antera Citrus clementina. Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera adalah sumber karbon. Hidaka (1987) melakukan penelitian kultur antera pada Citrus sinensis dan Citrus aurentum dengan memberikan sukrosa (1, 3, 5, 7, dan 9)%. Hasil penelitian menyatakan pemberian sukrosa 1% dapat menginduksi kalus dan embrio Citrus sinensis sebanyak 30%, dan pemberian sukrosa 7% merupakan konsentrasi yang paling baik untuk menginduksi kalus dan embrio Citrus aurentum. Ling et al (1988) menyatakan bahwa persentase embrio tertinggi (0,92%) diperoleh dengan pemberian 2mg/l IAA pada Citrus madurensis. Berbeda dengan pernyataan Geraci and Starrantino (1990) yang menyatakan pemberian 1 mg/l BAP dan 0,5 mg/l 2,4-D merupakan media terbaik untuk menginduksi kalus dengan persentase tertinggi (25%) pada Citrus reticulata, Citrus deliciosa, dan Citrus paradisi, sedangkan pada Citrus sinensis pemberian 1 mg/l NAA dan 1 mg/l BAP merupakan media terbaik untuk meninduksi kalus sebanyak 44,2% (Drira dan Benbadis 1975).