I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung merpati merupakan salah satu spesies dari famili Columbidae yang banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia. Kata merpati diambil dari bahasa Sansekerta “mharyapati”. Jenis merpati tidak kurang dari 200 jenis yang sebagian besar tersebar di Eropa, Afrika, Asia, dan Australia. Berdasarkan kegunaannya, merpati dapat digolongkan menjadi empat jenis yaitu merpati hias, merpati pos, merpati balap, dan merpati pedaging (Suparman, 2012). Burung merpati sangat mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan pemeliharaannya, oleh karena itu banyak orang yang gemar memelihara burung merpati. Burung merpati di Indonesia umumnya dipelihara dengan dilepas dan diberi makan berupa jagung, beras merah, dan terkadang mencari pakan sendiri, sedangkan di negara-negara Barat burung merpati sering dibiarkan hidup liar di pusat-pusat kota (Haryoto, 1996). Manajemen pemeliharaan yang sangat sederhana dan kurang baik, meliputi pemberian pakan yang kurang, kondisi kandang yang buruk, serta sanitasi yang tidak baik, menyebabkan merpati menjadi rentan terinfeksi penyakit (Sahara et al., 2013). Penyakit yang umum dijumpai pada peternakan burung merpati adalah infeksi parasit, baik oleh protozoa, cacing nematoda, cacing trematoda maupun cacing cestoda. Jenis parasit yang umumnya menyerang merpati antara lain protozoa seperti Haemoproteus sp., dan Trichomonas sp.; nematoda seperti Ascaridia sp.; dan cestoda seperti Raillietina sp., Cotugnia sp. (Abed et al., 2014). 1 2 Infeksi trematoda dapat terjadi pada berbagai organ, termasuk vena mesenterika, saluran empedu, lumen usus, hidung, kantung udara, saluran telur, dan organ penting seperti ginjal yang kemampuan regenerasinya terbatas. Ginjal merpati dapat terinfeksi beberapa genus cacing trematoda dari keluarga Eucotylidae, genus Paratanaisia (Unwin et al., 2013). Penyakit yang ditimbulkan oleh genus Paratanaisia kurang begitu dikenal dan kurang penting pada burung merpati, karena patogenik ditimbulkan ringan, bahkan sampai tidak menimbulkan gejala klinis (Gomes et al., 2005). Lesi makroskopis tidak tampak secara nyata, namun secara ukuran, ginjal yang terinfeksi terlihat lebih besar, warna pucat dan bidang sayatan rapuh. Lesi mikroskopis menunjukkan adanya dilatasi duktus kolektivus, pemipihan lapisan epitel, radang granulomatosa dan infiltrasi sel radang (Sahara et al., 2013). Cacing Paratanaisia telah banyak ditemukan pada burung merpati di Yogyakarta dan sekitarnya. Prevalensi cacing ini di Yogyakarta cukup tinggi yaitu sekitar 10-30% (Prastowo et al., 2014). Merpati terinfeksi cacing ini karena memakan siput yang mengandung larva infektif dari cacing Paratanaisia. Penelitian mengenai mofologi Paratanaisia pada burung merpati di Indonesia belum banyak dilakukan. Penelitian tentang morfologi cacing Paratanaisia pada burung merpati telah dilakukan oleh Harianja (2014) mendapatkan hasil bahwa cacing trematoda yang ditemukan pada ginjal merpati adalah Paratanaisia bragai, namun terdapat variasi bentuk morfologi dari segi bentuk tubuh dan letak testis pada cacing Paratanaisia bragai yang ditemukan dalam penelitian tersebut. 3 B. Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui morfologi tegumen dan glandula vitelaria cacing Paratanaisia sp. pada burung merpati dari daerah Yogyakarta, Kebumen dan Klaten. C. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperjelas perbedaan secara morfologi cacing Paratanaisia sp. pada burung merpati, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk identifikasi penelitian lebih lanjut mengenai morfologi cacing Paratanaisia sp. dan dapat digunakan sebagai acuan diagnosis, serta untuk kemajuan ilmu dalam bidang parasitologi.