1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah stunting masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Stunting pada balita bisa berakibat rendahnya produktivitas dan
kualitas sumber daya manusia Indonesia masa mendatang. Retardasi pertumbuhan
atau stunting pada anak-anak di negara berkembang terjadi terutama sebagai
akibat dari kekurangan gizi kronis dan penyakit infeksi dan mempengaruhi 30%
dari anak-anak usia dibawah lima tahun (UNSCN, 2004). Stunting merupakan
keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD
dibawah median panjang atau tinggi badan (Gibney, 2005).
Pertumbuhan linier pada anak usia dini dianggap sebagai tanda
pertumbuhan yang sehat keterkaitannya dengan risiko morbiditas dan mortalitas
jangka pendek, penyakit tidak menular di kemudian hari, dan kapasitas belajar
dan produktivitas (Black et al., 2013). Hal ini juga terkait erat dengan
perkembangan anak dalam beberapa domain termasuk kognitif, bahasa dan
kapasitas sensorik-motorik (McDonald et al., 2013). Asupan nutrisi yang cukup,
pencegahan infeksi, dan kesempatan untuk interaksi sosial, bermain dan stimulasi
merupakan salah satu faktor yang berkontribusi positif terhadap pencapaian
potensi penuh untuk pertumbuhan dan perkembangan anak (Stewart et al., 2013).
Intervensi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah untuk
meningkatkan berat lahir dan pertumbuhan linear selama 2 tahun kehidupan
pertama cenderung menghasilkan keuntungan substansial yang tinggi dan
memberikan perlindungan dari faktor risiko penyakit kronis pada saat dewasa
(Adair et al., 2013)
Saat ini di dunia ada sekitar 178 juta anak yang terlalu pendek berdasarkan
usia dibandingkan dengan standar pertumbuhan WHO, stunting menjadi indikator
kunci dari kekurangan gizi kronis, seperti petumbuhan yang melambat,
perkembangan otak tertinggal dan sebagai hasilnya anak-anak stunting lebih
mungkin mempunyai daya tangkap yang lebih rendah. Dari beberapa studi yang
2
telah dipublikasikan tingkat stunting pada anak-anak di Afrika dan Asia sangat
bervariasi (WHO, 2011).
Di Asia angka kejadian stunting masih sangat tinggi yaitu sekitar 36%
dengan prevalensi kejadian tertinggi berada di kawasan Asia Selatan yang
merupakan setengah dari jumlah total anak dibawah lima tahun mengalami
stunting, dimana sekitar 61 juta anak dari jumlah total anak dibawah lima tahun
yang mengalami stunting terjadi di India (UNICEF, 2012).
Di Indonesia diperkirakan 7,8 juta anak berusia dibawah lima tahun
mengalami stunting, data ini berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF
dan memposisikan Indonesia masuk kedalam lima besar Negara dengan jumlah
anak dibawah lima tahun yang mengalami stunting tinggi (UNICEF, 2013).
Laporan Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa angka kejadian stunting secara
nasional sebesar 37,2 %, hal ini menunjukkan tidak adanya kemajuan dalam enam
tahun terakhir terkait masalah stunting. Berdasarkan laporan Riskesdas 2013 di
beberapa provinsi di Indonesia terutama dikawasan timur Indonesia salah satunya
adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki proporsi stunting 45,3%, ini
menunjukkan angka kejadian stunting yang masih tinggi yang diartikan masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius menurut klasifikasi WHO
karena prevalensi stunting • 40% (Riskesdas, 2013).
Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2013
menyebutkan bahwa Kabupaten Lombok barat merupakan salah satu kabupaten di
NTB yang menyumbang prevalensi stunting yang masih sangat tinggi yaitu
mencapai 44,20 % dari 2.978 balita yang ditimbang (Dinkes Propinsi NTB, 2013).
Kejadian kurang gizi pada balita dapat diakibatkan oleh status gizi pada
saat lahir. Salah satu faktor yang
menjadi penyebab masalah ini adalah
melahirkan bayi pada usia yang masih muda yaitu dibawah 20 tahun yang secara
langsung menjadi penyebab kelahiran bayi dengan BBLR. Kehamilan pada usia
remaja merupakan salah satu penyebab secara tidak langsung kejadian stunting
pada anak. Kehamilan remaja saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan
ibu dan anak karena secara tidak langsung menjadi penyebab tingginya angka
mortalitas dan morbiditas ibu dan bayi di Indonesia. Jumlah Kehamilan remaja
3
adalah 10% dari total kelahiran di seluruh dunia, 15% dari beban secara global
penyakit akibat kondisi kesehatan ibu yang buruk dan 13% dari kematian ibu.
Sebuah studi pada tahun 1998 menunjukkan bahwa kematian ibu pada perempuan
muda usia 15-19 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan berusia 2034 tahun di negara-negara seperti Ethiopia, Indonesia, Bangladesh, Nigeria, Brazil
dan Amerika Serikat (Prakash et al., 2011).
Fertilitas remaja merupakan isu penting dari segi kesehatan dan sosial
karena berhubungan dengan tingkat kesakitan serta kematian ibu dan anak. Ibu
yang berumur remaja, terutama dibawah umur 18 tahun, lebih berpeluang untuk
mengalami masalah pada bayinya atau bahkan mengalami kematian yang
berkaitan dengan persalinan dibandingkan dengan wanita yang lebih tua. Selain
itu, melahirkan pada umur muda mengurangi kesempatan mereka untuk
melanjutkan pendidikan atau mendapat pekerjaan.
Hasil dari penelitian Mittal et al. (2007) menyebutkan bahwa prevalensi
stunting pada anak menurun seiring dengan bertambahnya usia ibu dan prevalensi
anak undernutrition sangat tinggi pada ibu yang usianya dibawah 20 tahun. Raj et
al. (2010) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa anak balita dari perempuan
yang menikah di usia dini secara signifikan lebih mungkin menjadi stunting (OR
1.85, 95% CI; 1.71 - 1.99) dan diperkuat oleh penelitian Prakash et al. (2011)
yang menyatakan bahwa Anak yang lahir dari ibu dengan kesehatan reproduksi
yang buruk memiliki peluang yang lebih rendah untuk bertahan hidup dan
kemungkinan lebih tinggi mengalami kegagalan antropometrik (yakni stunting,
wasting dan underweight). Kehamilan pada usia remaja mengakibatkan berbagai
kerugian kesehatan pada perempuan, kesejahteraan mental dan psikologis,
ekonomi dan peluang karir, kemiskinan dan prospek kehidupan di masa depan
(Utomo, 2013).
Untuk menggambarkan banyaknya kehamilan pada remaja usia 15-19
tahun di Indonesia menggunakan indikator ASFR (age specific fertility rate). Data
SDKI 2012 menunjukkan ASFR di Indonesia untuk usia 15-19 tahun adalah 48
per 1000 wanita usia 15-19 tahun sedangkan target yang diharapkan pada tahun
2015 adalah 30 per 1000 wanita usia 15-19 tahun (BPS and Macro International,
4
2013). Data dari SDKI tahun 2012 menyebutkan bahwa ASFR untuk usia 15-19
tahun di Provinsi NTB adalah 75 per 1000 wanita usia 15-19 tahun. Angka ini
menunjukkan bahwa ASFR untuk usia 15-19 tahun provinsi NTB lebih tinggi dari
angka nasional (BPS and Macro International, 2013). Sedangkan menurut data
SUSENAS tahun 2012 secara khusus di Kabupaten Lombok Barat, ASFR untuk
usia 15-19 tahun adalah 46 per 1000 wanita usia 15-19 tahun (BKKBN, 2014).
Hal ini terjadi karena di Kabupaten Lombok Barat masih adanya budaya di
masyarakat yang sangat berperan penting pada terjadinya pernikahan dini.
Dengan masih tingginya angka kejadian gizi buruk khususnya stunting
serta masih tingginya angka kehamilan remaja, jika tidak di berikan intervensi dan
kebijakan yang tepat, maka akan berkontribusi pada meningkatnya angka
kesakitan dan kematian pada ibu dan anak serta dapat berdampak pada rendahnya
IPM dan pada akhirnya berdampak pada pembangunan daerah di masa
mendatang. Menunda kelahiran anak pada ibu usia dibawah 20 tahun sangat
dianjurkan, hal ini akan berdampak secara tidak langsung pada pertumbuhan dan
perkembangan anak.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah penelitiannya adalah
“Apakah ada hubungan antara kehamilan pada usia remaja dengan terjadinya
stunting pada balita umur 6-23 bulan di Kabupaten Lombok Barat?”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Menurunnya prevalensi stunting pada balita di Indonesia khususnya
di Kabupaten Lombok Barat.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui hubungan kehamilan usia remaja dengan kejadian stunting
pada anak usia 6 – 23 bulan di Kabupaten Lombok Barat.
5
b. Mengetahui hubungan faktor lain (pendidikan ibu, jarak kelahiran, berat
badan lahir, status sosial ekonomi, dan tinggi badan ibu) dengan kejadian
stunting.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat praktis
Bagi pemerintah daerah diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat
menjadi masukan dalam menentukan kebijakan khususnya dalam program gizi
anak dan mencegah terjadinya stunting dengan membuat kebijakan untuk
mengurangi angka kehamilan pada usia remaja.
2. Manfaat bagi ilmu pengetahuan
Menambah informasi dan pengetahuan bagi peneliti dan lembaga
pendidikan tentang hubungan kehamilan usia remaja dengan kejadian stunting
pada anak usia 6-23 bulan serta dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi
penelitian selanjutnya.
E. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini:
1. Mittal et al. (2007) meneliti “Effect of Maternal Factors on Nutritional Status
of 1-5 Year Old Children in Urban Slum Population”. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui pengaruh berbagai faktor maternal dengan
underweight dan stunting pada anak usia 1-5 tahun pada populasi kumuh
perkotaan. Penelitian ini menggunakan desain studi Cross-Sectional dengan
sampel semua anak 1-5 tahun yang berada di wilayah kumuh perkotaan. Hasil
penelitiannya adalah dari 482 anak yang berpartisipasi dalam penelitian ini,
185 (38,38%) adalah underweight sedangkan 222 (46,06%) stunting. Masalah
malnutrisi lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan dengan
laki-laki. Prevalensi malnutrisi lebih tinggi pada anak yang ibunya di bawah
usia 20 tahun serta anak-anak dari ibu yang berpendidikan lebih baik
nutrisinya dibandingkan dengan mereka yang buta huruf.
6
2. Santos et al. (2010) melakukan penelitian tentang “Long-Lasting Maternal
Depression and Child at 4 Years of Age: A Cohort Study”. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah Depresi ibu yang lama pada post partum bukan
merupakan suatu faktor risiko terganggunya pertumbuhan anak atau
kelebihan berat badan pada anak usia 4 tahun serta BBLR dan kelahiran
prematur berhubungan dengan peningkatan prevalensi gizi kurang, stunting,
dan wasting pada anak usia 4 tahun.
3. Esfarjani et al. (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Determinants of
Stunting in School-Aged Children of Tehran, Iran”. Penelitian ini
menggunakan studi matched cased control. Anak sekolah di lima kabupaten
di Teheran dipilih dengan metode multistage cluster random sampling. Hasil
penelitiannya adalah Anak-anak dengan berat lahir >3000 gram cenderung
tidak menjadi stunting (OR: 0,25: 95% CI: 0,11-0,54) dibandingkan dengan
mereka yang memiliki berat badan lahir <3000 gram. Anak yang dilahirkan
dari ibu yang lebih tua (> 35 tahun) dikaitkan dengan kemungkinan lebih
besar untuk stunting (OR:3.01; 1,19-7,60) dibandingkan dengan yang lahir
dari ibu yang lebih muda (<35 tahun) dan anak yang memiliki ayah dengan
tinggi >160 cm kurang mungkin akan menjadi stunting (OR:0,04; 0,005-0,37)
dibandingkan mereka yang tinggi ayahnya <160 cm.
4. Rannan-Eliya et al. (2013) meneliti “Trends and determinants of childhood
stunting and underweight in Sri Lanka”. Penelitian ini menggunakan data
Survei Demografi dan Kesehatan (DHS) Sri Lanka dari tahun 1987, 1993,
2000 dan 2006-07 dan data Gizi dan Keamanan Pangan Survey (NFSS) tahun
2009. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis tren dan faktorfaktor yang menjadi penyebab kekurangan gizi pada anak di Sri Lanka. Hasil
dari penelitian ini yakni Stunting dan wasting secara substansial meningkat
dari 1987-2000, namun stagnan dari tahun 2000 sampai 2006/2007. Analisis
Multivariat menemukan bahwa tinggi ibu, kesejahteraan rumah tangga,
lamanya menyusui, signifikan sebagai penyebab stunting, sedangkan
kebiasaan makan anak dan faktor-faktor lainnya tidak berhubungan dengan
stunting.
7
5. Najahah (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “hubungan karakteristik
sosiodemografi ibu dan balita dengan balita stunting usia 12-36 bulan di
wilayah kerja Puskesmas Dasan Agung Kota Mataram Provinsi Nusa
Tenggara Barat” . Desain penelitian pada penelitian ini menggunakan cross
sectional.
Hasil
penelitiannya
menunjukkan
bahwa
variabel
yang
meningkatkan risiko stunting yaitu status sosial ekonomi rendah (OR=2,83),
tinggi badan ibu pendek (OR=3,37), kunjungan ANC tidak standar (OR=2,3),
BBLR (OR=2,20), ASI tidak eksklusif (OR=4,94) dan pemberian MPASI
tidak sesuai (OR=6,38), sedangkan variabel usia pertama ibu menikah,
tingkat pendidikan ibu, urutan anak, dan pengasuh anak tidak terbukti
meningkatkan faktor risiko. Pada analisis multivariat didapat variabel yang
paling dominan berperan meningkatkan faktor risiko adalah pemberian
MPASI (OR =7,53 ;CI 95% 1,622-35,002).
Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah sampel penelitian yaitu
anak usia 6-23 bulan. Design penelitian yang digunakan adalah case control
study. Variabel bebas yaitu kehamilan pada usia remaja , variabel terikat stunting
dan variabel luarnya adalah pendidikan ibu, jarak kelahiran, berat badan lahir,
status sosial ekonomi, dan tinggi badan ibu. Dalam penelitian ini peneliti ingin
meneliti lebih lanjut hubungan hubungan kehamilan pada usia remaja dengan
kejadian stunting pada anak 6-23 bulan di Kabupaten Lombok Barat.
Download