BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Koping Dan Resiliensi Pada

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Koping Dan Resiliensi Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisis
Sulistyaningsih (2009) mengatakan koping merupakan bagian dari
resiliensi. Koping didefenisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku yang berubah
secara konstan untuk mengelola tuntutan eksternal dan atau internal tertentu yang
dinilai berat dan melebihi sumber daya (kekuatan) seseorang (Lazarus &
Folkman, 1984).
Koping dapat juga dikatakan sebagai bentuk adaptasi karena koping
merupakan bagaimana cara seseorang bereaksi terhadap sebuah stimulus yang
didapat dari lingkungannya (Costa, Somerfield & McCrae, 1996 dalam Primaldhi
2006). Hasil penelitian Susan De Nisco (2011) tentang resiliensi pada wanita yang
menderita diabetes mellitus 2 di Afrika memperlihatkan bahwa individu yang
memiliki nilai resiliensi yang tinggi akan mampu mengontrol kadar gula darah.
Yi, Smith, and Vitaliano (2005), membagi atlet remaja putri menjadi 2 kelompok
yaitu individu dengan resiliensi tinggi dan individu dengan resiliensi rendah.
Individu dikatakan memiliki resilien tinggi apabila individu menggunakan strategi
Koping yang berfokus pada pemecahan masalah (problem focused coping) dengan
jenis koping mencari dukungan sosial sedangkan individu dikatakan memiliki
resiliensi rendah apabila individu menggunakan strategi koping yang berfokus
pada emosi (emotion focused coping) dengan jenis koping menghindar dari
masalah/Avoidance dan menyalahkan orang lain/Blame others.
Universitas Sumatera Utara
Lazarus dan Folkman (1984) membagi strategi koping menjadi dua yaitu
strategi koping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) dan strategi
koping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping). Secara umum,
Lazarus dan Folkman (1984) menjelaskan bahwa Problem-focused coping
mengarah pada penyelesaian masalah, seperti mencari informasi mengenai suatu
masalah,
mengumpulkan
solusi-solusi
yang
dapat
dijadikan
alternatif,
mempertimbangkan alternatif dari segi biaya dan manfaatnya, memilih alternatif
dan menjalani alternatif yang dipilih (Lazarus dan Folkman, 1984), sedangkan
Emotion-focused coping diarahkan untuk mengurangi penderitaan emosional
seperti menghindari, meminimalisir, menjaga jarak, selektif memilih perhatian,
dan mencari nilai positif dari sebuah peristiwa negatif. Orang yang menggunakan
emotion-focused coping mempertahankan harapan dan optimis, menyangkal fakta
dan implikasinya, menolak mengakui hal terburuk, bertindak seolah-olah hal yang
terjadi bukan hal yang penting, dan lainnya dimana kesemua proses tersebut
memberi sebuah penipuan atau distorsi kenyataan pada diri mereka sendiri
(Lazarus dan Folkman, 1984).
Penelitian Kumar et al (2003) di India, pasien yang menjalani terapi
hemodialisis lebih sering menggunakan strategi koping yang berfokus pada
masalah (problem-focused coping), sedangkan menurut penelitian Yeh,S.J &
Chou, H (2007) di Taiwan, pasien hemodialisis lebih sering menggunakan strategi
koping yang berorientasi pada emosi. Sementara penelitian Wu Li-Min et al
(2013) mengatakan bahwa koping yang berorientasi pada masalah (problem
focused koping) adalah koping yang sering digunakan oleh remaja selama
Universitas Sumatera Utara
menjalani pengobatan kanker, hal ini disebabkan karena problem-focused coping
dianggap sebagai faktor pelindung yang mendorong pemulihan pada remaja yang
menderita penyakit kanker dan dapat mengurangi kecemasan, kekhawatiran serta
meningkatkan resiliensi pada remaja yang menderita penyakit kanker sedangkan
koping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping) jarang digunakan.
Bersasarkan penelitian Li-Ching Ma et al, 2013, ditemukan bahwa pasien
yang sedang menjalani tindakan hemodialisis lebih banyak menggunakan strategi
koping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) daripada
menggunakan strategi koping yang berfokus pada emosi (emotion-focused
coping). Juga dikatakan bahwa resiliensi individu yang baik akan mengurangi
tekanan-tekanan yang disebabkan oleh dampak-dampak negatif dari penyakit
gagal ginjal kronis. Hal senada juga ditemukan oleh Yi, Smith, and Vitaliano
(2005), pada atlet remaja putri yang sedang menjalani pertandingan, yang
menemukan bahwa apabila atlet remaja putri menggunakan strategi koping
berfokus pada masalah (problem focused coping) akan menghasilkan resiliensi
tinggi dibandingkan dengan penggunanaan strategi koping berfokus pada emosi.
2. 2. Kepustakaan
2.2.1. Koping
1.
Pengertian Koping
Koping adalah usaha untuk menghindari atau menekan ancaman,
ketidaknyamanan dan kehilangan atau usaha untuk mengurangi berbagai macam
penyebab stress atau dengan kata lain koping merujuk kepada tindakan langsung
(Compas et al.,2001) sedangkan menurut Lazarus dan Folkman (1984), koping
Universitas Sumatera Utara
didefinisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku yang berubah secara konstan
untuk mengelola tuntutan eksternal dan/ atau internal tertentu yang dinilai berat
dan melebihi sumber daya (kekuatan) seseorang.
Keliat (1999) mendefinisikan koping adalah cara yang dilakukan individu
dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon
terhadap situasi yang mengancam, sedangkan menurut Rasmun (2004), koping
merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik
maupun psikologik.
2. Pembagian Strategi Koping
Lazarus dan Folkman (1984), membagi strategi koping menjadi dua yaitu
problem-focused coping dan emotion-focused coping. Secara umum, Lazarus dan
Folkman (1984) menjelaskan bahwa Problem-focused coping mengarah pada
penyelesaian masalah, seperti
mencari informasi mengenai suatu masalah,
mengumpulkan solusi-solusi yang dapat dijadikan alternatif, mempertimbangkan
alternatif dari segi biaya dan
manfaatnya, memilih alternatif, dan menjalani
alternatif yang dipilih (Lazarus & Folkman, 1984). Jadi dalam problem-focused
tidak hanya berencana sebanyak mungkin, tapi segera melakukan rencana terbaik
dari semua pilihan yang ada seperti mencari informasi mengenai suatu masalah,
mengumpulkan solusi-solusi yang dapat dijadikan alternatif, mempertimbangkan
alternatif dari segi biaya dan manfaatnya, memilih alternatif dan menjalani
alternatif yang dipilih.
Emotion-focused coping muncul pada keadaan mengancam, berbahaya,
dan menantang serta kondisinya sudah
tidak dapat diubah lagi sedangkan
Universitas Sumatera Utara
problem-focused muncul saat kondisinya masih ada kemungkinan berubah dan
dapat diperbaiki. Emotion-focused coping menurut Lazarus dan Fokman (1984),
merupakan
sekumpulan proses kognitif yang diarahkan untuk mengurangi
penderitaan
emosional
dan
mencakup
strategi
seperti
menghindari,
meminimalisir, menjaga jarak, selektif memilih perhatian, perbandingan positif,
dan mencari nilai positif dari sebuah peristiwa negatif. Orang menggunakan
emotion-focused biasanya mempertahankan harapan dan optimis, menyangkal
fakta dan implikasinya, menolak mengakui hal terburuk, bertindak seolah-olah hal
yang terjadi bukan hal
yang penting, dan lainnya di mana kesemua proses
tersebut memberi sebuah penipuan atau distorsi kenyataan pada diri mereka
sendiri (Lazarus & Folkman, 1984).
Pada tahun 1989, Carver dkk menyusun sebuah instrument yang diberi
nama Brief COPE berdasarkan teori Lazarus dan Folkman (1984) tentang koping.
Sebagaimana Lazarus dan Folkman, Carver (1989) mengatakan strategi koping
terdiri dari 2 (dua) yaitu strategi koping berfokus masalah dan strategi koping
berfokus emosi.
Berikut ini penjelasan teori yang mendasari Brief COPE menurut Carver (1997):
I.
Strategi Koping yang berfokus pada masalah (Problem- focused coping)
Ada 5 (lima) jenis koping yang termasuk ke dalam strategi problem-focused
coping adalah :
1. Active Coping (Penyelesaian masalah secara aktif)
Disebut aktif karena ada penekanan pada tindakan aktif individu untuk
mencoba mengatasi masalah maupun mengurangi dampak dari masalah
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Jenis Koping ini meliputi langkah awal pengambilan tindakan
langsung, peningkatan usaha individu dan upaya untuk mencoba
melakukan koping dengan langkah yang bijaksana.
2. Planning (Perencanaan)
Melibatkan usaha memikirkan, menyusun rencana strategi tindakan dan
langkah yang akan diambil, serta kemungkinan berhasilnya usaha tersebut.
Planning terjadi selama fase penelitian sekunder (proses pengolahan di
otak tentang suatu potensi respon terhadap ancaman), sedangkan active
coping terjadi pada fase melaksanakan koping.
3. Suppression of competiting activities (Penekanan pada kegiatan lain)
Mencakup usaha membatasi ruang gerak atau aktifitas lain yang tidak
berhubungan dengan masalah. Jadi individu mengesampingkan urusan
lain, berusaha menghindari hal lain yang dapat menyebabkan teralihnya
perhatian individu dari masalah yang sedang dihadapi. Hal ini dilakukan
agar perhatian individu sepenuhnya tercurah untuk mengatasi stres.
4. Restraint coping (Penundaan perilaku mengatasi stress)
Usaha mengatasi masalah dengan tidak melakukan tindakan apapun
(menunggu) sampai ada kesempatan yang tepat untuk bertindak. Oleh
karena itu membutuhkan kontrol/kendali diri yang cukup baik.
5. Using instrumental support (Menggunakan instrument sebagai dukungan)
Merupakan usaha mencari dukungan sosial berupa nasehat, informasi atau
bantuan yang diharapkan agar membantu individu memecahkan masalah
dan mengatasi stressor yang dihadapi.
Universitas Sumatera Utara
II. Strategi Koping yang berfokus pada emosi (Emotion- focused coping)
Ada 10 (sepuluh) jenis koping yang termasuk ke dalam strategi emotionfocused coping adalah :
1. Using emotional support (Menggunakan dukungan emosional)
Mencari dukungan moral, simpati, atau pengertian yang bertujuan untuk
mengurangi bahkan menghilangkan ketidaknyamanan emosional akibat
masalahnya. Kecenderungan mencari dukungan sosial emosi memiliki
fungsi ganda, yaitu setelah individu merasa yakin berkat dukungan yang
diperoleh kemudian timbul tingkah laku Koping yang terpusat pada
masalah. Defenisi ini hampir serupa dengan dukungan sosial pada
problem-focused
koping
namun
bedanya
kecenderungan
mencari
dukungan sosial emosional ini adalah hanya mencari dukungan emosional
untuk menenangkan dirinya atau mengeluarkan perasaan saja, sehingga
penggunaan strategi ini dinilai terkadang tidak selalu adaptif.
2. Positive reframing (Mengkaji ulang kejadian masa lalu ke arah positif)
Carver, menggunakan istilah ini didasarkan pada teori Lazarus dan
Folkman (1984) tentang konsep penilaian yang positif. Penilaian kembali
secara positif adalah strategi koping yang berfokus untuk mengelola
perasaan tertekan dan bukan berurusan dengan stressor itu sendiri.
3. Acceptance (Penerimaan)
Individu menerima kenyataan akan situasi yang penuh stres, menerima
bahwa kenyataan tersebut pasti terjadi. Penerimaan dapat memiliki dua
makna, yaitu sebagai sikap menerima tekanan sebagai suatu kenyataan dan
Universitas Sumatera Utara
sikap menerima karena belum adanya strategi menghadapi masalah secara
aktif yang dapat dilakukan.
4. Humor (Humor)
Individu mencoba membuat lelucon mengenai masalah yang sedang
dihadapi.
5. Religion (Agama)
Individu mencari pegangan pada agama saat ia mengalami stres, misalnya
dengan lebih sering berdoa dan memperbanyak ibadah. Hal ini dapat
terjadi karena agama dapat berfungsi sebagai sumber dukungan emosional
dan sarana untuk menafsirkan kembali masalah yang dihadapi secara
positif maupun lebih dewasa.
6. Denial (Penolakan)
Menolak untuk percaya bahwa suatu stressor itu ada, atau mencoba
bertindak seolah-olah stressor tersebut tidak nyata. Kadang-kadang
penolakan menjadi pemicu masalah baru jika tekanan yang muncul
diabaikan karena dengan menyangkal suatu kenyataan dari masalah yang
dihadapi seringkali mempersulit upaya menghadapi masalah yang
seharusnya lebih mudah untuk pemecahan masalah.
7. Venting (Pelampiasan emosi)
Kecenderungan melepaskan emosi yang dirasakan.
8. Substance Use (Penggunaan zat atau alcohol/obat-obatan)
Individu menggunakan alkohol atau obat-obatan lainnya sebagai cara
untuk melepaskan diri dari stressor
Universitas Sumatera Utara
9. Self-Distraction (Pengendalian diri)
Merupakan variasi dari tindakan pelarian, terjadi ketika kondisi pada saat
itu
menghambat
munculnya
tindakan
pelarian.
Strategi
yang
menggambarkan pelarian secara mental ini adalah melakukan tindakantindakan alternatif untuk melupakan masalah seperti melamun, melarikan
diri dengan tidur dan menyibukkan diri dengan menonton televisi.
10. Self Blame
Lebih fokus pada apa saja yang dilakukan seseorang untuk menjauhkan
pikiran dari pemicu stres.
11. Behavioral disengagement (Pelepasan perilaku)
Mengurangi usaha seseorang untuk menghadapi stressor, menghentikan
usaha
menghilangkan
stressor
yang
mengganggu.
Behavioral
disengagement digambarkan melalui gejala perilaku yang disebut
“helplessness” (ketidakberdayaan).
Pada tahun 1997, Carver melakukan penelitian koping terhadap penyakit
kronik (kanker payudara, HIV) menggunakan instrument Brief COPE yang
disusun sebelumnya, hasilnya ada beberapa jenis koping yang dieliminasi, diubah
serta ditambahkan kedalam jenis koping. Adapun jenis strategi koping yang
dieliminasi dari koping yang berfokus masalah (problem-focused coping) adalah
restraint coping dan suppression of competing activities dengan alasan kedua
jenis koping ini sudah dimasukkan ke dalam jenis koping yaitu active coping,
sedangkan jenis koping yang diubah supaya tidak menimbulkan ambiguitas dari
strategi koping berfokus emosi (emotion-focused coping) adalah positive
Universitas Sumatera Utara
reinterpretation and growth menjadi positive reframing, focus on and venting
emotions menjadi venting, mental disengagement menjadi self distraction.
Selanjutnya terdapat satu jenis koping yang ditambahkan ke dalam komponen
strategi koping yang berfokus emosi (emotion-focused coping) yaitu self blame.
Carver (1997)
mengatakan bahwa instrumen Brief COPE yang telah
direvisi dapat digunakan untuk semua situasi sesuai dengan kebutuhan dan
imaginasi (gambaran) dari peneliti. Oleh karena itu peneliti menggunakan
instrument Brief COPE untuk menilai strategi koping yang digunakan oleh pasien
gagal ginjal kronik yang sedang menjalani tindakan cuci darah (hemodialisa).
Berdasarkan keterangan di atas, maka instrument Brief COPE yang akan
digunakan dalam penelitian ini yakni strategi koping berfokus masalah terdiri dari
Active coping, Planning, Using Instrumental Support sedangkan yang termasuk
ke dalam strategi koping berfokus emosi terdiri dari Using Emotional Support,
Positive reframing, Acceptance, Humor Religion Denial, Venting, Substance use,
Self Distraction, Self Blame, Behavioral disengagement.
2.2.2 Resiliensi
1.
Defenisi Resiliensi
Setiap orang pernah tersandung dan jatuh dari waktu ke waktu, tetapi
masing-masing dari kita memiliki kemampuan untuk bangkit dan segar kembali.
Kemampuan untuk bangkit dan segar kembali disebut dengan resiliensi. Sebagai
suatu kontruk psikoanalitik, resiliensi didefinisikan oleh Block dan Block (1980,
dalam Wagnild & Young, 1993) sebagai “ the dynamic capacity of an individual
to modify his/her modal level of ego-control, in either direction, as a function of
Universitas Sumatera Utara
the demand characteristics of the environmental context”. Block menjelaskan
konstruk ini dengan menyebutnya “egoresilience” yang terentang pada suatu
kontinum. Pada salah satu ujung kontinum terdapat karakteristik fleksibel,
memiliki berbagai sumber daya dan strategi pemecahan masalah yang beragam
sedangkan pada ujung kontinum yang berlawanan terdapat karakteristik “egobrittleness” atau kerapuhan yang menunjukkan kurangnya fleksibilitas dalam
menghadapi berbagai situasi yang sulit.
Resiliensi mempunyai arti sebagai stamina emosional dan digunakan
untuk menjelaskan orang yang menunjukan keberanian dan kemampuan
beradaptasi pada situasi hidup yang sulit (Wagnild & Young, 1990). Rutter (1987
dalam Wagnild & Young, 1993) mendefinisikan resiliensi sebagai faktor
penyangga yang melindungi individu dari gangguan psikotik.
Druss dan Douglas (1988 dalam Wagnild & Young, 1993) menjelaskan
individu yang resilien adalah individu yang memiliki keberanian yang luar biasa
dan optimisme dalam menghadapi kematian, penyakit, dan cacat bawaan. Individu
memiliki kepercayaan tidak dapat dikalahkan dan fokus pada aspek positif dari
kondisi mereka. Konsep resiliensi menurut Kadner (1989 dalam Wagnild &
Young, 1993) sebagai kemampuan individu untuk bangkit kembali dari kesulitan
psiko-sosial " dan mendefenisikan resiliensi sebagai kekuatan ego (efektivitas
semua fungsi ego dalam meningkatkan adaptasi terhadap lingkungan), keintiman
sosial, dan sumberdaya.
Dari beberapa pengertian resiliensi menurut beberapa ahli maka dapat
disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi atau bangkit
Universitas Sumatera Utara
kembali dari tantangan atau dengan kata lain resiliensi mengandung arti memiliki
kekuatan batin, kemampuan, optimis, fleksibel dan kemampuan untuk mengatasi
kesulitan secara efektif. Konsep resiliensi digunakan untuk menggambarkan sikap
dan perilaku manusia ketika ia berhadapan dengan kemalangan atau kesulitan
hidup baik kesulitan itu bersumber dari dirinya sendiri, lingkungan keluarga
maupun situasi dan konteks lingkungan hidup sekitarnya (Sulistyaningsih, 2009).
2.
Karakteristik Resiliensi
Wagnild dan Young (1993) menyebutkan ada lima karakteristik resiliensi:
a.
Self-Reliance (keyakinan pada diri sendiri), yakni keyakinan pada diri sendiri
dengan memahami kemampuan dan batasan yang dimiliki oleh diri sendiri.
Individu
yang resilien sadar akan kekuatan
yang ia miliki dan
mempergunakannya dengan benar sehingga dapat menuntun setiap tindakan
yang ia lakukan. Karakteristik ini didapat dari berbagai pengalaman hidup
yang dialami sehari-hari dan dapat meningkatkan keyakinan individu akan
kemampuan dirinya sendiri. Individu yang resilien mampu belajar dari
pengalaman hidup yang didapatnya setiap hari dan mampu mengembangkan
berbagai pemecahan masalah yang dihadapinya.
b.
Existential aloneness (Sifat unik), yaitu kesadaran bahwa setiap individu unik
dan beberapa pengalaman dapat dihadapi bersama namun ada juga yang harus
dihadapi sendiri. Individu yang resilien belajar untuk hidup dengan
keberdayaan dirinya sendiri. Individu tidak terus menerus mengandalkan
orang lain, dengan kata lain mandiri dalam menghadapi situasi sulit apapun
sehingga individu menjadi lebih menghargai kemampuan yang dimilikinya.
Universitas Sumatera Utara
Karakteristik existential aloneness bukan berarti tidak menghiraukan
pentingnya berbagi pengalaman dan merendahkan orang lain, melainkan
menerima diri sendiri apa adanya.
c.
Meaningfulness (tujuan hidup), merupakan kesadaran individu bahwa
hidupnya memiliki tujuan dan diperlukan usaha untuk mencapai tujuan
tersebut. Wagnild (2010) menyebutkan bahwa karakteristik ini merupakan
karakteristik resiliensi yang paling penting dan menjadi dasar dari keempat
karakteristik yang lain, karena menurutnya hidup tanpa tujuan sama dengan
sia-sia karena tidak memiliki arah atau tujuan yang jelas. Tujuan mendorong
individu untuk melakukan sesuatu dalam hidup tak terkecuali ketika ia
mengalami kesulitan, tujuanlah yang membuat individu terus berjuang
menghadapi kesulitan tersebut.
d.
Equaminity (Ketenangan hati), yaitu suatu perspektif yang dimiliki oleh
individu mengenai hidup dan pengalaman-pengalaman yang dialaminya
semasa hidup yang dianggap merugikan. Namun demikian inidivu harus
mampu untuk melihat dari sudut pandang yang lain sehingga ia dapat melihat
hal-hal yang lebih positif daripada hal-hal negatif dari situasi sulit yang
sedang dialami. Equaminity juga menyangkut karakteristik humor. Oleh
karena itu individu yang resilien dapat menertawakan situasi apapun yang
sedang dihadapi, melihat situasi tersebut dari hal yang positif, dan tidak
terjebak pada hal-hal negatif yang terdapat di dalamnya.
e.
Perseverance (Ketekunan), yaitu suatu sikap individu yang tetap bertahan
dalam menghadapi suatu situasi sulit. Perseverance juga dapat berarti
Universitas Sumatera Utara
keinginan seseorang untuk terus berjuang dalam mengembalikan kondisi
seperti semula. Dalam karakteristik perseverance ini dibutuhkan kedisiplinan
pada diri individu ketika berjuang menghadapi situasi yang sulit dan kurang
menguntungkan baginya.
2.2.3 Gagal Ginjal Kronis
1. Pengertian Gagal Ginjal Kronis
Gagal ginjal menahun (CRF = Chronic Renal Failure) merupakan suatu
kegagalan fungsi ginjal yang berlangsung perlahan-lahan, karena penyebabnya
yang berlangsung lama, sehingga tidak dapat menutupi kebutuhan biasa lagi dan
menimbulkan gejala sakit (Junadi, 1989).
Gagal ginjal kronik adalah kemunduran fungsi ginjal yang progresif dan
irreversibel dimana terjadi kegagalan kemampuan tubuh untuk mempertahankan
keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit yang mengakibatkan uremia atau
azotemia (Brunner & Suddarth, 2000).
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan
penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup
lanjut (Suyono, 2001).
2. Stadium Gagal Ginjal Kronis
Klasifikasi gagal ginjal kronis tidak selalu sama. Price & Wilson (2005)
membagi perjalan klinis umum gagal ginjal kronis menjadi tiga stadium. Stadium
pertama disebut penurunan cadangan ginjal, selama stadium ini kreatinin serum,
kadar nitrogen dan urea darah (BUN) normal, serta gejalanya asimtomatik.
Universitas Sumatera Utara
Stadium kedua disebut juga insufisiensi ginjal, dimana terdapat lebih dari
75% jaringan ginjal yang berfungsi telah rusak atau GFR 25% besarnya dari
normal. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi
kadar normal serta mulai timbul gejala-gejala nokturia dan poliuria.
Stadium ketiga merupakan stadium akhir gagal ginjal kronis yang sering
disebut gagal ginjal terminal atau uremia. Penyakit ginjal stadium akhir terjadi
apabila sekitar 90% dari massa nefron telah rusak, atau hanya sekitar 200.000
nefron yang masih utuh. Pada stadium ini pasien mulai merasakan gejala-gejala
yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis
cairan dan elektrolit dalam tubuh. Pada gagal ginjal tahap akhir urin menjadi iso
osmotis, pasien biasanya menjadi oliguria dan terjadi sindrom uremia yang
mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh.
3. Penyebab Gagal Ginjal Kronis
Gagal ginjal kronis merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang yang
progresif dan ireversibel yang berasal dari berbagai penyebab. Perjalanan gagal
ginjal tahap akhir hingga tahap terminal bervariasi dari 2-3 bulan hingga 30-40
tahun. Price & Wilson (2005) mengklasifikasikan penyebab gagal ginjal kronis
menjadi delapan kelas yaitu: 1).Penyakit infeksi tubulointerstisial seperti
pielonefritis kronik atau refluks nefropati; 2).Penyakit peradangan seperti
glomerulonefritis; 3).Penyakit vaskular hipertensif seperti nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, dan stenosis arteria renalis; 4).Gangguan jaringan ikat
seperti lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, dan sklerosis sistemik
progresif ; 5).Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik
Universitas Sumatera Utara
dan asidosis tubulus ginjal; 6).Penyakit metabolik seperti diabetes mellitus, gout,
hiperparatiroidisme, dan amiloidosis; 7).Nefropati toksik akibat penyalahgunaan
analgesik dan nefropati timah; 8).Nefropati obstruktif pada traktus urinarius
bagian atas seperti batu ginjal, neoplasma, fibrosis retroperitoneal dan nefropati
obstruktif pada traktus urinarius bagian bawah seperti hipertrofiprostat, anomali
kongenital leher vesika urinaria dan uretra. Selain penyebab tersebut ada empat
faktor risiko utama dalam perkembangan gagal ginjal tahap akhir yaitu usia, ras,
jenis kelamin, dan riwayat keluarga. Gagal ginjal tahap akhir yang disebabkan
oleh nefropati hipertensif 6,2 kali lebih sering terjadi pada orang Afrika-Amerika
daripada orang kaukasia. Secara keseluruhan insiden gagal ginjal tahap akhir lebih
besar pada laki-laki yaitu 56,3% daripada perempuan 43,7% (Fauci & Longo’s,
2001; Price & Wilson, 2005).
4. Manifestasi Gagal Ginjal Kronis
Manifestasi klinik Gagal ginjal kronis menurut Suyono (2001) adalah
sebagai berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi pericardial
dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan
edema.
b. Gangguan pulmoner
Nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental, suara krekels
Universitas Sumatera Utara
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea dan vomitus yang berhubungan dengan metabolisme
protein dalam usus, perdarahan saluran gastrointestinal, ulserasi dan
perdarahan mulut, nafas bau amoniak.
d. Gangguan musculoskeletal
Pegal pada kaki, rasa kesemutan dan terbakar terutama di telapak kaki, tremor,
miopati (kelemahan dan hipertropi otot-otot ekstremitas).
e. Gangguan integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f. Gangguan endokrin
Gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi
dan aminore. Gangguan metabolik gula, gangguan metabolik lemak dan
vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium
dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
h. Gangguan hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga
rangsangan eritropoesis pada sumsum tulang berkurang, hemolisis akibat
berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga
terjadi gangguan fungsi thrombosis dan trombositopeni.
Universitas Sumatera Utara
5. Terapi Gagal Ginjal Kronis
Menurunnya fungsi ginjal dan semakin buruknya gejala uremia pada gagal
ginjal kronis tahap akhir mengharuskan diberikannya pengobatan kepada pasien.
Wilson (2005) menyatakan bahwa pengobatan gagal ginjal kronis dibagi dalam
dua tahapan, dimana tahap pertama merupakan tindakan konservatif yang
ditujukan untuk meredakan atau memperlambat perburukan progresif fungsi ginjal
dan tahap kedua yaitu tindakan untuk mempertahankan kehidupan dengan dialisis
dan transplantasi ginjal. Prinsip-prinsip penatalaksanaan konservatif didasarkan
pada batas ekskresi yang dapat dicapai ginjal yang terganggu. Tindakan
konservatif berupa diet, pembatasan cairan, dan konsumsi obat-obatan
(Suhardjono, 2001; Potter & Perry, 2005; Wilson,2005).
Pada gagal ginjal kronis tahap akhir dibutuhkan tindakan yang bisa
mengganti fungsi ginjal untuk mempertahankan kehidupan karena tindakan
konservatif saja tidak efektif. Penggantian fungsi ginjal bisa dengan transplantasi
dan dialisa. Transplantasi ginjal merupakan tindakan yang lebih baik karena
pasien tidak terlalu terbatas hidupnya dan biasanya tidak ada pantangan diet serta
tidak membutuhkan banyak waktu untuk melakukan dialisis (Potter & Perry,
2005; Wilson, 2005). Namun di Indonesia transplantasi ginjal masih terbatas
karena banyak kendala yang dihadapi seperti faktor ketersediaan donor ginjal,
biaya, dan sistem kesehatan yang belum mendukung (Yayasan Ginjal Nasional,
2000) sehingga dialisa bagi pasien gagal ginjal kronis tahap akhir merupakan satusatunya cara untuk bertahan hidup.
Universitas Sumatera Utara
Wilson (2005) mendefinisikan dialisa sebagai suatu proses difusi zat
terlarut dan air secara pasif melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen
cair menuju kompartemen cair lainnya. Penggunaan dialisa ditujukan untuk
pengobatan gagal ginjal kronis pertamakali diusulkan oleh Abel, Rowntree &
Turner pada tahun 1913 (Gibson, 1983; Van Stone, 1983).
Pada dialisa, molekul solut berdifusi melalui membran semipermiabel
dengan cara mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat atau konsentrasi solute
lebih tingggi ke cairan yang lebih encer atau konsentrasi solut lebih rendah.
Cairan mengalir lewat membran semipermiabel dengan cara osmosis atau
ultrafiltrasi (Daugirdas, Blake & Ing, 2001; Brunner & Suddarth, 2001; Daugirdas
& Wilson, 2005; Van Stone 1983).
Potter & Perry (2005) menyatakan bahwa ada beberapa indikasi
pelaksanaan dialisis yaitu gagal ginjal yang tidak dapat lagi dikontrol dengan
penatalaksaan konservatif, perburukan gejala uremia yang berhubungan dengan
gagal ginjal tahap akhir, gangguan cairan dan elektrolit serta yang tidak dapat
dikontrol oleh tindakan yang lebih sederhana.
Ada dua metode dialisis yaitu dialisa peritoneal dan hemodialisa. Diantara
kedua metode dialisa tersebut yang merupakan metode paling umum digunakan
untuk pasien gagal ginjal di Indonesia dan Amerika adalah hemodialisa (Kartono,
Darmarini & Roza, 1992 dalam Lubis, 2006; Peterson,1995).
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Hemodialisa
1.
Pengertian Hemodialisis
Hemodialisis adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat toksik
lainnya melalui membran semi permeable sebagai pemisah antara darah dan
cairan diaksat yang sengaja dibuat dalam dialyzer (Hudak dan Gallo, 1996).
Hemodialisa merupakan suatu tindakan yang digunakan pada klien gagal
ginjal untuk menghilangkan sisa toksik, kelebihan cairan dan untuk memperbaiki
ketidakseimbangan elektrolit dengan prinsip osmosis dan difusi dengan
menggunakan system dialisa eksternal dan internal (Tucher, 1998).
2.
Prinsip-prinsip yang mendasari Hemodialisis
Pada hemodialisa aliran darah yang mengandung limbah metabolik
dialirkan dari tubuh pasien ke dialiser untuk dibersihkan kemudian dikembalikan
lagi ke tubuh pasien. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan
terjadi melalui membran semipermeabel tubulus.
Pada proses kerja mesin dialisa ada tiga prinsip yang mendasarinya yaitu
osmosis, difusi, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah dikeluarkan dari dalam
darah melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki
konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah.
Selanjutnya air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
osmosis yang dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan. Gradien
ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai
ultrafiltrasi pada mesin dialisa. Tekanan negatif ini diterapkan untuk memfasilitasi
pengeluaran air sehingga tercapai isovolemia (Smeltzer, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Hemodialisa bagi pasien gagal ginjal kronis akan mencegah kematian yang
lebih cepat. Namun hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit
ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktifitas metabolik yang
dilaksanakan oleh ginjal.
Di indonesia hemodialisa dilakukan 2 kali seminggu dimana waktu yang
dibutuhkan untuk setiap tindakan hemodialisia adalah 5 jam, tetapi ada juga yang
melakukan 3 kali seminggu dengan lama dialisis 4 jam, hal ini bergantung pada
keadaan pasien. Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang
tertinggi sampai sekarang 14 tahun (Price & Wilson, 2005; Suhardjono dkk,
2001). Namun banyak komplikasi yang terjadi akibat terapi hemodialisa yang
mempengaruhi kehidupan pasien hemodialisa.
3.
Komplikasi Hemodialisis
Komplikasi yang bisa terjadi saat pasien melakukan hemodialisa antara lain
hipotensi, emboli udara, nyeri dada, pruritus, gangguan keseimbangan dialisis,
kram otot, nyeri, mual, muntah, perembesan darah, sakit kepala, sakit punggung,
demam, menggigil, aritmia, temponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang,
hemolisis, hiperlipidemia, gangguan tidur dimana pasien selalu bangun lebih cepat
di pagi hari, dan hipoksemia (Smeltzer, 2001).
Individu dengan hemodialisa jangka panjang sering merasa khawatir akan
kondisi sakit yang tidak dapat diramalkan dan gangguan dalam kehidupanya.
Pasien menghadapi masalah finansial, kesulitan dalam mempertahankan
pekerjaan, penurunan seksual serta impotensi, depresi akibat sakit kronik, dan
ketakutan terhadap kematian. Pasien-pasien yang lebih muda khawatir terhadap
Universitas Sumatera Utara
pernikahan mereka, anak-anak yang dimiliki dan beban yang ditimbulkan kepada
keluarga mereka. Gaya hidup terencana berhubungan dengan terapi hemodialisa
dan pembatasan asupan makanan serta cairan sering menghilangkan semangat
hidup pasien (Smeltzer, 2001).
Hemodialisa menyebabkan perubahan gaya hidup pada keluarga. Waktu
yang diperlukan untuk terapi hemodialisa akan mengurangi waktu yang tersedia
untuk melakukan aktifitas sosial dan dapat menciptakan konflik, frustasi, rasa
bersalah serta depresi di dalam keluarga. Keluarga pasien dan sahabat-sahabatnya
mungkin memandang pasien sebagai beban hidup karena keterbatasannya.
Barangkali sulit bagi pasien, pasangan, dan keluarganya untuk mengungkapkan
rasa marah serta perasaan negatif. Pasien yang menjalani tindakan hemodialisis
terkadang membutuhkan konseling dan psikoterapi (Brunner & Suddarth,2005).
Pasien harus diberi kesempatan untuk mengungkapkan setiap perasaan
marah dan keprihatinan terhadap berbagai pembatasan yang harus dipatuhi akibat
penyakit, serta terapinya di samping masalah keuangan, rasa sakit dan gangguan
rasa nyaman yang timbul akibat penyakit ataupun komplikasi terapi. Jika rasa
marah tersebut tidak diungkapkan, mungkin perasaan ini akan diproyeksikan
kepada diri sendiri dan menimbulkan depresi, rasa putus asa serta upaya bunuh
diri. Insiden bunuh diri meningkat pada pasien-pasien hemodialisa. Jika rasa
marah tersebut di proyeksikan kepada orang lain, hal ini dapat merusak hubungan
keluarga (Smeltzer, 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.3. Landasan Teori
Penulis menggunakan teori keperawatan menurut Sister Calista Roy sebagai
dasar penelitian ini. Menurut
Sister Calista Roy, individu sebagai makhluk
biopsikososial dan spiritual memiliki koping untuk beradaptasi terhadap
perubahan yang ada di sekitarnya sehingga individu selalu berinteraksi terhadap
perubahan hidup. Perubahan hidup yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik
merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya stres yang secara tidak langsung
dapat mempengaruhi kesakitan dan pola perilaku individu .
Penyakit ginjal kronis (CKD) adalah penyakit yang mengancam jiwa. Ada
tiga pilihan terapi pengganti yang dapat dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal
tahap akhir yaitu hemodialisis, dialisis peritoneal, serta
transplantasi ginjal
(Crawford & Lerma, 2008 dalam Al Nazly, E.A., et al (2013). Ketika penyakit
gagal ginjal kronik memasuki stadium akhir (end stage renal disease), pasien
harus menerima perawatan dialisis untuk bertahan hidup, dan mereka sering
rentan terhadap emosi seperti perasaan tidak berdaya, depresi, dan ketakutan.
Pasien sering merasa takut akan masa depan yang akan dihadapi dan
perasaan marah yang berhubungan dengan pertanyaan mengapa hal tersebut
terjadi pada dirinya. Ketakutan dan perasaan berduka juga kerap datang karena
harus tergantung seumur hidup pada alat cuci ginjal (Andri , 2012). Hal seperti ini
tentunya akan menimbulkan perasaan tertekan yang sering disebut dengan stres
(Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia, 2012).
Pada umumya seseorang yang
mengalami stress atau ketegangan psikologik dalam menghadapi masalah
kehidupan sehari-hari memerlukan kemampuan pribadi maupun dukungan dari
Universitas Sumatera Utara
lingkungan, agar dapat mengurangi stress. Cara yang digunakan oleh individu
untuk mengurangi stres disebut dengan koping.
Koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan
situasi stresfull. Koping merupakan respon individu terhadap situasi yang
mengancam diri baik fisik maupun psikologik. Secara alamiah baik disadari
ataupun tidak disadari, individu sesungguhnya telah menggunakan strategi koping
dalam menghadapi stres. Strategi koping adalah cara yang dilakukan untuk
merubah lingkungan atau situasi atau menyelasaikan masalah yang sedang
dirasakan/dihadapi (Rasmun, 2004).
Menurut Rasmun (2004), koping dinilai efektif apabila menghasilkan
adaptasi yang menetap yang merupakan kebiasaan baru dan perbaikan dari situasi
yang lama sedangkan koping yang tidak efektif berakhir dengan maladaptif yaitu
perilaku yang menyimpang dari keinginan normatif dan dapat merugikan diri
sendiri maupun orang lain serta lingkungan. Setiap individu dalam melakukan
koping tidak sendiri dan tidak hanya menggunakan satu strategi koping tetapi
dapat melakukannya bervariasi. Hal ini tergantung dari kemampuan dan kondisi
individu.
Menurut Nikkerud, H.C. & Frydenberg, E. (2011), koping merupakan
komponen penting dari resiliensi.
Resiliensi adalah kemampuan untuk
beradaptasi atau bangkit kembali dari tantangan atau dengan kata lain resiliensi
mengandung arti memiliki kekuatan batin, kemampuan, optimis, fleksibel dan
kemampuan untuk mengatasi kesulitan secara efektif. Konsep resiliensi digunakan
untuk menggambarkan sikap dan perilaku manusia ketika ia berhadapan dengan
Universitas Sumatera Utara
kemalangan atau kesulitan hidup baik kesulitan itu bersumber dari dirinya sendiri,
lingkungan keluarga maupun situasi dan konteks lingkungan hidup sekitarnya
(Sulistyaningsih, 2009). Resiliensi melibatkan kualitas koping yang membantu
individu bertahan hidup dan berkembang meskipun sedang mengalami kesulitan
atau kemalangan (Connor & Davidson
2003) dan meliputi harapan untuk
sembuh, harga diri, tekad, dan sikap dan perilaku sosial (Dyer & McGuiness
1996 dalam Smith, (2009).
Konsep resiliensi meliputi keterampilan koping, pengetahuan tentang
perawatan yang terjangkau dan tersedia, penerimaan
budaya setempat
dan
perhatian yang peka, serta dorongan untuk memelihara dan bekerja dengan orang
lain.
Universitas Sumatera Utara
2.4.
Kerangka Konsep
Berdasarkan kajian teoritis seperti yang telah diuraikan, maka berikut ini
dikemukakan kerangka konsep penelitian yang berfungsi sebagai penuntun, alur
pikir dan sekaligus sebagai dasar dalam merumuskan hipotesis.
Variabel Independen
Variabel Dependen
1. Strategi koping yang berfokus
pada masalah (Problem-focused
coping) terdiri atas 3 jenis koping:
a. Active Koping
b. Planning
c. Using Instrumental Support
2. Strategi koping yang berfokus
pada emosi (emotion-focused
coping) terdiri atas 10 jenis
koping:
a. Using Emotional Support
b. Positive reframing
c. Acceptance
d. Humor
e. Religion
f. Denial
g. Venting
h. Substance use
i. Self Distraction
j. Self Blame
k. Behavioral disengagement
Karakteristik demografi
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Pendidikan
4. Pekerjaan
5. Status pernikahan
Resiliensi:
Karakteristik :
a. Self-reliance
b. Existential aloneness
c. Meaningfulness
d. Equanimity
e. Perseverance
Keterangan:
: diteliti
: berhubungan
Universitas Sumatera Utara
Download