BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kapsul telah menjadi bentuk sediaan yang populer karena mempunyai banyak kelebihan seperti bentuk yang menarik, mudah digunakan, praktis dibawa, mudah ditelan, dan tidak memiliki rasa. Hal ini menguntungkan terutama untuk obat-obat yang mempunyai rasa dan bau yang tidak enak (Lachman dkk., 1994). Kapsul merupakan bentuk sediaan padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil. Pada umumnya cangkang kapsul terbuat dari gelatin, tergantung pada formulasinya kapsul gelatin dapat dibuat menjadi kapsul keras maupun kapsul lunak (Ansel, 1989). Gelatin adalah protein yang berasal dari kolagen yang diperoleh melalui proses hidrolis. Bahan baku gelatin kebanyakan berasal dari dari kulit dan tulang babi, kulit dan tulang sapi, juga bisa didapatkan dari unggas atau spesies ikan (Anonim, 2012). Penggunaan gelatin dari tahun ketahun semakin berkembang terutama pada industri makanan dan farmasi. Dilaporkan di negara berkembang, dari total gelatin yang dihasilkan, sepuluh persennya digunakan dalam pembuatan kapsul dan emulsi (Djagny dkk., 2001). Data lain dalam Schrieber dan Gareis (2007) menyebutkan bahwa pada tahun 2005, sebanyak 44,9% gelatin yang dihasilkan diseluruh dunia menggunakan kulit babi sebagai bahan bakunya. Hal ini membawa konsekuensi pada perlunya perlindungan konsumen dengan adanya jaminan kehalalan mengenai sumber gelatin. Cangkang kapsul baik keras maupun 1 lunak banyak menjadi perhatian terkait status kehalalan gelatin yang digunakan, karena dipasaran banyak beredar produk kapsul yang tidak mencantumkan label halal pada kemasan. Data terakhir dari laman resmi LPPOM MUI (2016) menunjukkan baru terdapat 49 produk dengan bentuk sediaan kapsul dan satu produsen cangkang kapsul yang bersertifikat halal. Keberadaan gelatin babi dan sapi dalam produk pangan sangat sukar diidentifikasi karena memiliki struktur dan sifat mirip (Nemati dkk., 2004). Oleh karena itu diperlukan suatu metode yang selektif dan sensitif untuk mengidentifikasi gelatin sapi dan babi dalam produk cangkang kapsul.Identifikasi spesies hewan pada produk olahan dapat dilakukan melalui analisis pada tingkat protein maupun DNA. Namun untuk produk dengan proses pengolahan yang panjang seperti kapsul gelatin, analisis pada tingkat protein dapat terganggu dengan terjadinya denaturasi penanda protein (protein marker) secara progresif yang disebabkan oleh suhu dan perlakuan pH selama proses manufaktur sehingga menyebabkan hilangnya sifat heterogenisitas serta antigenisitasnya. Di sisi lain, DNA mempunyai kestabilan yang sangat tinggi, sehingga analis berbasis DNA seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) menjadi suatu alternatif. Saat ini analisis dengan metode PCR menggunakan primer yang spesifik telah digunakan untuk mendeteksi suatu spesies tertentu dalam produk olahan secara sensitif dan spesifik. Dalam perkembangannya, banyak dipilih metode PCR kuantitatif (qPCR atau real-time PCR) untuk mendeteksi suatu DNA dalam produk olahan secara cepat, sensitif dan spesifik (Cai dkk., 2012; Fumiere dkk., 2006). 2 Analisis PCR dengan target DNA mitokondria telah banyak dipilih (Bellagamba dkk., 2001; Fumiere dkk., 2006; Marlina dkk., 2013; Shabani dkk., 2015; Wardani, 2015). Analisis dengan target DNA mitokondria dinilai lebih menguntungkan karena DNA mitokondria tersedia dalam jumlah hingga ratusan ribu kopi pada tiap sel, sehingga dapat digunakan untuk analisis dengan jumlah sampel sangat terbatas serta dapat memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk mendapatkan hasil pengujian yang positif bahkan saat DNA telah terfragmentasi akibat dari proses pengolahan (Bellagamba dkk., 2001; Randi, 2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah primer rRNA-12S mitokondriayang dirancang dapat mendeteksi secara spesifik DNA sapi diantara DNA berbagai spesies (dari jaringan segar), gelatin babi, maupun cangkang kapsul yang dibuat dari campuran gelatin sapi dan babi menggunakan metode real-time PCR. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah primer tersebut tersebut dapat digunakan untuk deteksi DNA sapi dalam cangkang kapsul gelatin yang ada di pasaran. Deteksi suatu DNA dalam cangkang kapsul dengan metode real-time PCR telah dilakukan sebelumnya diantaranya oleh Wardani (2015) dan Pratiwi (2016). Pada penelitian Pratiwi (2016) dilakukan identifikasi DNA gelatin sapi menggunakan primer spesifik yang bertarget pada daerah D-loop DNA mitokondria sapi. Sedangkan pada Wardani (2015) dilakukan analisis DNA babi pada cangkang kapsul dan menunjukkan hasil yang negatif pada 5 sampel cangkang kapsul komersial yang diuji. Penelitian ini juga akan berguna sebagai 3 konfirmasi terhadap hasil negatif pada penelitian Wardani (2015) untuk mengetahui bilamana kapsul tersebut mengandung gelatin sapi. Diharapkan dari penelitian ini, dapat dikembangkan metode yang cepat, spesifik, dan sensitif untuk mendeteksi DNA sapi dalam cangkang kapsul gelatin dalam rangka autentikasi kehalalan cangkang kapsul gelatin. B. Rumusan Masalah Dalam penelitian ini, rumusan masalah yang hendak diajukan adalah : 1. Apakah primer rRNA-12S mitokondria dapat secara spesifik mengamplifikasi DNA sapi diantara DNA ayam, babi, celeng, kambing, DNA gelatin babi, dan DNA yang terdapat padacangkang kapsul yang terbuat dari campuran gelatin sapi-babi dengan metode real-time PCR? 2. Apakah primerrRNA-12S mitokondria dapat mengidentifikasi DNA sapi dalam gelatin sapi, dan dalam cangkang kapsulyang terbuat dari gelatin sapi serta memenuhi kriteria validasi berdasarkan parameter linearitas, efisiensi, dan keterulangan dengan metode real-time PCR? 3. Apakah primer rRNA-12S mitokondria dapat digunakan dalam analisis DNA sapidalam cangkang kapsul gelatin yang beredar di pasaran menggunakan metode real-time PCR? C. Pentingnya Penelitian Diusulkan Penelitian ini merupakan upaya pengembangan metode deteksi berbasis DNA yaitu metode real-time PCR dengan menggunakan primer spesifik untuk 4 spesies tertentu. Hasil positif penelitian ini diharapkan dapat membantu pengembangan metode analisis olehregulatordalam rangka pengawasan terhadap kehalalan produk khususnya cangkang kapsul gelatin. Disamping itu, diharapkan dapat melindungi konsumen terhadap produk kapsul yang tidak halal. D. Tujuan Penelitian 1. Menentukan spesifitas primer rRNA-12S mitokondria dalam mengamplifikasi DNA sapi diantara DNA ayam, babi, celeng, kambing,DNA gelatin babi, dan DNA yang terdapat pada cangkang kapsul yang terbuat dari campuran gelatin sapi-babi dengan metode real-time PCR. 2. Mengetahui apakah primer rRNA-12S mitokondria dapat mengidentifikasi DNA sapi dalam gelatin sapi, dan dalam cangkang kapsulyang terbuat dari gelatin sapi serta memenuhi kriteria validasi berdasarkan parameter linearitas, efisiensi, dan keterulangan dengan metode real-time PCR. 3. Mengetahui apakah primer rRNA-12S mitokondria dapat digunakan dalam analisis DNA sapi dalam cangkang kapsul gelatin yang beredar di pasaran menggunakan metode real-time PCR. E. Tinjauan Pustaka 1. Kapsul Gelatin Menurut Ansel (1989) Kapsul merupakan bentuk sediaan padat yang mengandung satu atau lebih macam obat dan/atau bahan inert yang dimasukkan dalam suatu cangkang atau wadah kecil. Terdapat dua jenis 5 kapsul, yaitu kapsul keras dan kapsul lunak, kedua tipe cangkang kapsul tersebut biasanya terbuat dari gelatin. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada formulasinya saja. Kapsul gelatin lunak mengandung lebih banyak uap air dibandingkan kapsul keras, dikarenakan gelatin dapat mengalami peruraian oleh mikroba pada keadaan lembab maka pada pembuatan kapsul gelatin lunak ditambahkan bahan pengawet. Gelatin adalah protein yangberasal dari kolagen. Kolagen sendiri merupakan konstituen utama pada jaringan ikat dan tulang pada hewan. Secara terminologi kata ‘gelatin’ berasal dari bahasa latin yaitu ‘gelatus’ yang berarti kaku atau beku (Podczeck dan Jones, 2004). Pada tahun 2005 dilaporkan bahan baku pembuatan gelatin di seluruh dunia didapatkan dari kulit babi (44,9%), jaringan ikat sapi (27,9%), dan tulang (27,2%) (Schrieber dan Gareis, 2007). Gelatin memiliki sifat-sifat yang dianggap cukup ideal sebagai bahan baku cangkang kapsul, sifat-sifat gelatin yang mendukung diantaranya kelarutan, viskositas, dan pengerasan dapat balik dengan pengaruh suhu. Cangkang kapsul yang dibuat dengan gelatin memiliki sifat yang kuat, bening, fleksible, mengkilap, serta larut dengan baik di lambung, sehingga gelatin banyak digunakan dalam pembuatan cangkang kapsul baik kapsul lunak maupun keras (Podczeck dan Jones, 2004). Cangkang kapsul keras terdiri atas dua bagian yaitu badan kapsul dan tutupnya, ukuran dari tutup kapsul lebih pendek dibandingkan badan kapsul. Kedua bagian tersebut akan saling menutupi bila disatukan, bagian tutup akan menyelubungi badan kapsul dengan pas. Cangkang tersebut dibuat secara 6 mekanis dengan mencelupkan suatu batang atau cetakan kedalam adonan gelatin yang dipanaskan, setelah diangkat maka lapisan gelatin akan mengering dengan pengaturan suhu dan kelembaban (Ansel, 1989). Kapsul gelatin lunak dibuat dari gelatin yang ditambah dengan gliserin atau kombinasi alkohol polivalen dan sorbitol yang berfungsi menciptakan elastisitas pada kapsul gelatin lunak. Kapsul gelatin lunak memiliki bentuk yang beragam seperti bentuk batang, oval, bola dan sebagainya. Kapsul gelatin lunak dapat diisi dengan cairan, suspensi, pasta ataupun serbuk kering. Terdapat beberapa macam metode pembuatan kapsul gelatin lunak, diantaranya dengan proses lempeng, menggunakan seperangkat cetakan untuk membentuk kapsul, dan cara die process (berputar atau bolakbalik). Metode die process dinilai lebih produktif dan efisien (Ansel, 1989). 2. DNA DNA merupakan kependekan dari deoxyribonucleic acid, yang merupakan molekul asam nukleat. Terdapat dua tipe asam nukleat yaitu DNA dan RNA (ribonucleic acid). Disebutsebagai asam nukleat karena awalnya molekul ini diisolasi dari nukleus sel eukariotik (Clark, 2005). Secara struktural, DNA merupakan suatu polimer linier yang tersusun atas unit-unit nukleotida. Tiap nukleotida terdiri atas tiga komponen yaitu gugus fosfat, gula pentosa, dan basa nitrogen. Gula pentosa penyusun DNA merupakan gula deoksiribose yang mana pada posisi 5’ mengikat satu gugus fosfat yang ter-esterkan, sementara satu basa nitrogen terikat pada cincin gula pada posisi 1’. Antar nukleotida satu dengan lainnya terikat secara kovalen, 7 yang mana terdapat gula pentosa dan gugus fosfat saling terikat pada posisi 3’ dan 5’ dari cicin gula membentuk ikatan fosfodiester, struktur tersebut kemudian membentuk rangka utama atau backbone dari DNA (Clark, 2005; Karp, 2009). Ikatan ester Ikatan ester Gambar 1. Dua unit nukleotida yang dihubungkan oleh ikatan fosfodiester. Satu unit nukleotida mengandung basa nitrogen yang terikat pada posisi 1 dan gugus fosfat pada posisi 5 dari cincin gula. Antar nukleotida satu dengan yang lain dihubungkan oleh ikatan fosfodiester Dalam DNA terdapat 4 jenis basa nitrogen yaitu adenin (A), guanin (G), sitosin (C), dan timin (T), sedangkan pada RNA timin digantikan dengan urasil (U). Basa-basa tersebut dikelompokkan menjadi dua yaitu purin dan pirimidin. Basa purin mempunyai 2 cincin heterosiklik, sedangkan basa pirimidin hanya mengandung 1 cincin heterosiklik. Basa purin meliputi adenin dan guanin, sementara sitosin, timin, dan urasil merupakan basa pirimidin. Basa nitrogen tersebut saling berkomplemen, yang mana adenin selalu berpasangan dengan timin yang dihubungkan oleh 2 ikatan hidrogen, sedangkan guanin berpasangan dengan sitosin dan terhubung oleh 3 ikatan hidrogen. Pasangan-pasangan basa nitrogen tersebut menghubungkan 2 8 backbone DNA sehingga membentuk DNA untai ganda dengan struktur double helix seperti yang diusulkan oleh Watson dan Crick (1953). DNA memiliki stabilitas yang tinggi (Fumiere dkk., 2006). Meskipun demikian DNA dapat mengalami degradasi yang mengakibatkan terjadinya fragmentasi atau terpotongnya rantai DNA menjadi lebih kecil. Selain karena aktivitas endonuklease dan eksonuklease, degradasi DNA juga dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan dantaranya waktu penyimpanan, suhu, kelembaban udara, paparan cahaya, dan berbagai zat kimia (Rudin dan Inman, 2001; Sinden, 1994) 3. Polymerase Chain Reaction Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu teknik biologi molekuler yang dikembangkan oleh Kary Mullis pada tahun 1984. PCR berguna dalam mengamplifikasi sekuen DNA. PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi suatu fragmen DNA yang jumlahnya sangat kecil, dan dapat menghasilkan DNA hingga jutaan kopi, sehingga dikatakan cukup sensitif. Metode PCR menghasilkan amplifikasi yang cukup baik bahkan ketika DNA sampel telah terdegradasi. Saat ini teknik PCR digunakan dalam bidang diagnosis klinik, analis genetik, genetic engineering, dan analisis forensik (Bellagamba dkk., 2001; Clark, 2005; Joshi dan Deshpande, 2010). Prinsip dari PCR adalah bahwa secara in vitro, terjadi sintesis dari sekuen DNA spesifik secara enzimatis, menggunakan sepasang primer oliginukleotida yang berhibridisasi pada daerah DNA target (Elrich, 1989). Komponen-komponen dari PCR meliputi : 9 a. Molekul DNA awal yang disebut sebagai template dan segmen yang ingin diamplifikasi yang disebut sebagai sekuen target. b. Sepasang primer berupa oligonukleotida untai tunggal yang berkomplemen dengan daerah awal dan akhir dari sekuen target. Primer berguna dalam mengawali sintesis DNA. c. Enzim DNA polimerase yang digunakan untuk menghasilkan salinan DNA. Prosedur dalam PCR memerlukan beberapa tahap perubahan suhu, sehingga dibutuhkan suatu enzim DNA polimerase yang tahan terhadap suhu. Saat ini banyak digunakan enzim Taq polymeraseyang diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus. Enzim ini stabil hingga suhu 94°C. d. Suplai nukleotida berupa nukleotida trifosfat adenin (A), timin (T), sitosin (C), dan guanin (G) yang akan digunakan oleh enzim polimerase untuk membentuk DNA baru. e. Mesin PCR berupa thermocylers yang akan mengkondisikan beberapa tahap suhu yang diperlukan dalam proses amplikasi, dan mengulangnya sebanyak siklus yang diperlukan (Clark, 2005; Joshi dan Deshpande, 2010). 10 Denaturasi pada suhu 90-97°C Template DNA untai ganda baru Penempelan primer pada suhu 50-60°C Perpanjangan oleh polimerase pada suhu 72°C Gambar 2. Tahapan amplifikasi PCR Terdapat tiga tahapan utama yang terjadi dalam proses PCR yaitu denaturasi (D), penempelan atau annealing (A), dan perpanjangan atau ekstensi (E). Pada tahap pertama DNA didenaturasi pada temperatur tinggi antara 9097ºC sehingga terbentuk dua DNA untai tunggal. Pada tahap kedua yaitu annealing, primer menempel pada sekuen targetuntuk memulai ekstensi, proses ini terjadi pada suhu 50-60°C. Pada tahap ekstensi atau perpanjangan, terjadi sintesis DNA oleh enzim polimerase yang dimulai pada daerah primer membentuk salinan DNA yang komplemen, tahap ini terjadi pada suhu 72°C selama 2-5 menit (Joshi dan Deshpande, 2010). Pada proses ini,DNA baru yang terbentuk akan menjadi template pada amplifikasi selanjutnya, sehingga terjadi penggandaan jumlah DNA pada tiap siklusnya. Secara matematis proses PCR selama 20 kali siklus akan menghasilkan salinan hingga satu juta kalinya (2020) (Elrich, 1989). Pada akhir siklus biasanya dilakukan tahap tambahan yang disebut sebagai perpanjangan akhir atau ekstensi akhir pada 72°C selama 5 menit untuk memastikan sintesis dari produk PCR telah berhasil (Joshi dan Deshpande, 2010). 11 4. Real-time PCR dan Kuantifikasinya Pada awalnya analisis PCR menggunakan teknik gel elektroforesis untuk memvisualisasikan fragmen DNA hasil amplifikasi (amplikon), teknik ini disebut juga PCR konvensional. Selanjutnya pada beberapa dekade terakhir telah dikembangkan teknologi real-time polymerase chain reaction (real-time PCR) yang mana dapat dilakukan analisis terhadap amplikon saat reaksi sedang berlangsung. Teknik ini disebut juga sebagai quantitative PCR (qPCR) karena memungkinkan untuk melakukan kuantifikasi terhadap amplikon yang dihasilkan (Shafique, 2012; VanGuilder dkk., 2008). Dalam real-time PCR, penanda fluoeresen berfungsi sebagai detektor. Visualisasi dari sinyal fluoresen tersebutselama proses PCR berlangsung akan membentuk sebuah plot amplifikasi seperti pada Gambar 3. Plot tersebut menggambarkan jumlah amplikon seiring bertambahnya siklus dalam PCR, yang mana secara umum terbagi menjadi tiga fase. Fase pertama disebut sebagai fase eksponensial yang mana jumlah substrat melimpah dan produk yang dihasilkan masih sedikit. Pada fase ini terjadi pertambahan jumlah produk secara eksponensial dan efisiensi reaksi mencapai 100%. Pada fase kedua, yaitu fase linier, akumulasi produk semakin bertambah namun efisiensinya semakin berkurang dan jumlah reagen mulai terbatas sampai pada akhirnya memasuki fase ketiga, yaitu fase mendatar yang mana pembentukan produk mulai terhenti dikarenakan jumlah reagen yang habis dan/atau aktivitas enzim yang menurun (VanGuilder dkk., 2008). 12 Gambar 3. Tiga fase utama proses PCR Real-time PCR memiliki prinsip kerja yang sama dengan PCR konvensional, hanya pada real-time PCR digunakan penanda (probe) fluoresen yang dapat berinteraksi dengan produk amplikon selama proses berlangsung sehingga memungkinkan pengukuran secara kinetik dari akumulasi amplikon (Shafique, 2012). Beberapa sistem penanda fluoresen yang ada saat ini dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan mekanisme sinyal fluoresen yang dihasilkan, (i) penanda berbasis reaksi hidrolisis, contohnya TaqMan® (Applied Biosystems, USA); (ii) penanda berbasis reaksi hibridiasi dengan produk amplikon, misalnya LightCycler® (Roche), LUX® (Invitrogen, USA), dan Molecular beacons; (iii) pewarna interkalasi, contohnya SYBR Green (VanGuilder dkk., 2008). Semua metode kuantifikasi PCR didasarkan pada kurva amplifikasi (Gambar 3) yang mana sinyal fluoresensi dan kenaikannya pada tiap siklus diplotkan terhadap jumlah siklus. Pada kurva tersebut saat fase eksponensial, jumlah amplikon berbanding lurus dengan jumlah awal DNA target (template). 13 Dari fase eksponensial tersebut digunakan istilah Ct (threshold cycle) yang merupakan jumlah siklus saat tercapai akumulasi sinyal fluoresen yang secara signifikan lebih tinggi daripada sinyal baseline atau background (Heid dkk., 1996). Dalam prakteknya, nilai Ct ditentukan dari garis threshold. Nilai Ct adalah jumlah siklus saat sinyal fluoresen memotong threshold. Threshold sendiri merefleksikan kenaikan sinyal yang signifikan dari sinyal baseline. Biasanya, perangkat lunak instrumen real-time PCR secara otomatis memberikan threshold sebagai nilai 10 kali nilai standar deviasi dari nilai sinyal baseline. Namun posisi dari threshold dapat ditetapkan pada titik manapun pada fase eksponensial (Anonim, 2014a). Nilai Ct proporsional terhadap jumlah awal DNA target (template). Ketika konsentrasi template lebih besar maka sinyalnya akan memotong threshold lebih awal (Ct lebih kecil), sehingga dari data Ct seri pengenceran template dapat dibuat suatu kurva baku dengan meregresikan nilai seri log konsentrasi template (sumbu x) versus nilai Ct (sumbu y) pada masing-masing konsentrasi tersebut sehingga dihasilkan suatu garis linier(Anonim, 2014a; Smith dan Osborn, 2009). Dari kurva baku tersebut kemudian dapat ditentukan berbagai parameter amplifikasi diantaranya adalah kemiringan (slope), efisiensi amplifikasi (E) dan koefisien regresi linier (r2) (Smith dan Osborn, 2009). Nilai efisiensi amplifikasi menunjukkan kedekatan perolehan amplikon dengan jumlah amplikon teoritis yang seharusnya dicapai menurut prinsip penggandaan dalam PCR (Pelt-Verkuil dkk., 2008). Nilai efisiensi dapat ditentukan melalui persamaan berikut : 14 E = 10(-1/slope)-1. Idealnya, efisiensi suatu PCR sebesar 100% (slope = -3,32), yang berarti bahwa template menggandakan diri pada setiap akhir siklus selama fase eksponensial. Nilai efisiensi aktual dapat memberikan informasi yang penting dari reaksi. Faktor eksperimental seperti, panjang amplikon, struktur skunder, GC content dari produk amplikon dapat mempengaruhi efisiensi. Nilai efisiensi reaksi yang rendah dapat disebabkan oleh perancangan primer yang kurang bagus, dinamika dari reaksi itu sendiri, penggunaan reagen dengan konsentrasi yang tidak optimal serta kualitas enzim yang rendah. Sedangkan nilai efisiensi yang lebih dari 100% dapat disebabkan oleh kesalahan pemipetan dalam atau ampflifikasi dari produk non-spesifik seperti primer dimer (Anonim, 2014a, 2006a). Sebaiknya nilai efisiensi amplifikasi mendekati 100% yang berarti nilai slope-nya berada pada rentang -2,9 hingga -3,3 (Anonim, 2010). Dalam real-time PCR juga didapatkan data kurva leleh. Kurva leleh diperoleh daari pengamatan perubahan fluoresensi ketika DNA untai ganda dengan molekul warna yang terikat berdisosiasi, atau meleleh menjadi DNA untai tunggal seiring dengan kenaikan suhu pada saat reaksi. Ketika DNA untai ganda yang berikatan dengan suatu pewarna interkalasi dipanaskan, penurunan fluoresensi secara tiba-tiba terdeteksi ketika suhu mencapai titik leleh (Tm), karena terjadinya disosiasi dari DNA untai ganda dan pelepasan pewarna. Kurva leleh diperoleh dengan memplotkan sinyal fluoresensi versus suhu. Analisis kurva leleh pada setelah amplifikasi adalah cara yang praktis dan cepat untuk memeriksa adanya primer-dimer pada reaksi PCR, serta digunakan 15 untuk memastikan spesifitas reaksi. Karakterisasi produk PCR dengan menggunakan analisis kurva leleh dapat mengurangi pemakaian waktu, karena tidak lagi diperlukan prosedur elektroforesis gel (Anonim, 2014a). 5. Pewarna Interkalasi dan EvaGreen. Dibandingkan dengan penanda spesifik yang harus disintesis khusus untuk masing-masing target, pewarna interkalasi yang berikatan dengan DNA untai ganda terbilang lebih mudah digunakan dan lebih murah (Smith, 2010). Kelemahan dari pewarna interkalasi yang non-spesifik adalah dibutuhkan usaha-usaha untuk memastikan bahwa sinyal fluoresen hanya berasal dari produk template target dan bukan dari DNA untai ganda non-target. Usahausaha tersebut menghindari diantaranya adalah merancang primer terjadinya primer-dimer, mungkin yang spesifik, diperlukan optimasi konsentrasi primer, serta diperlukan analisis lanjutan yaitu analisis kurva leleh atau kurva denaturasi. Karena pewarna interkalasi bersifat non-spesifik maka pewarna-pewarna tersebut tidak dapat digunakan dalam PCR multipleks (Smith dan Osborn, 2009; VanGuilder dkk., 2008). Diantara berbagai pewarna interkalasi, SYBR Green merupakan salah satu yang banyak digunakan karena memberikan performa yang bagus dan pewarna ini kompatibel dengan kebanyakan instrumen PCR (Mao dkk., 2007). Namun pada konsentrasi tinggi, SYBR Green memiliki kecenderungan untuk menghambat aktivitas DNA Polimerase dan memicu terjadinya mispriming, sehingga SYBR Green hanya dapat digunakan pada konsentrasi rendah untuk menghasilkan amplifikasi yang reliabel. Pada konsentrasi rendah, SYBR Green 16 hanya menghasilkan sinyal yang rendah dan mengakibatkan data kurva leleh menjadi tidak reliabel akibat adanya fenomena redistribusi sehingga SYBR Green tidak dapat cocok digunakan dalam analisis High Resolution Melt Curve (HRM) (Anonim, 2014b; Karsai dkk., 2002). Gambar 4. Deteksi dengan SYBR Green SYBR green akan mengikat semua DNA untai gannda dan mengemisikan sinyal fluoresen, saat DNA dalam keadaan untai tunggal, SYBR Green tidak berfluoresensi Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut dikembangkan pewarna interkalasi lain, salah satunya adalah EvaGreen yang merupakan pewarna interkalasi generasi ketiga. EvaGreen memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan SYBR Green yang mana EvaGreen memiliki kecenderungan lebih kecil dalam menghambat amplifikasi PCR oleh DNA Polimerase serta relatif tidak menyebabkan amplifikasi non-spesik. Selain itu, EvaGreen dapat digunakan pada konsentrasi tinggi sehingga dapat menghasilkan sinyal amplifikasi yang kuat juga memberikan sinyal yang tajam pada kurva leleh. Kelebihan lain adalah penggunaan EvaGreen pada konsentrasi tinggi dapat menghilangkan efek redistribusi pada proses denaturasi, sehingga dapat digunakan dalam analisis HRM. Terakhir, pewarna 17 ini dapat digunakan pada amplifikasi dengan protokol siklus yang cepat dibandingkan dengan SYBR Green, serta pewarna ini cukup stabil dan kompatibel dengan kebanyakan instrumen PCR (Mao dkk., 2007; Smith, 2010). 6. Visualisasi DNA dengan Elektroforesis Prinsip dari elektroforesis adalah pemisahan molekul berdasarkan muatan intrinsik. Pada proses elektroforesis terdapat elektroda positif dan elektroda negatif yang dihubungkan dengan sumber tegangan sehingga molekul yang bermuatan positif akan bergerak mendekati elektroda negatif, dan molekul yang bermuatan negatif akan bergerak mendekati elektroda positif. Pada elektroforesis DNA yang mana molekul DNA bermuatan negatif, selama proses elektrolisis, DNA akan bergerak menuju elektroda positif. Muatan negatif DNA berasal dari gugus fosfat yang menyusun nukleotida (Clark, 2005). Selain dengan Spektrofotometer-UV, kuantitas DNA hasil isolasi dapat diprediksikan dengan metode elektroforesis gel. Elektroforesis gel DNA juga dapat memberikan informasi mengenai berat molekul DNA berdasarkan ukuran basanya dan mengetahui ada tidaknya kontaminan RNA (Williams dkk., 2007). Elektroforesis DNA biasanya dilakukan menggunakan gel agarosa. Agarosa merupakan suatu polisakarida yang diekstraksi dari rumput laut. Gel agarosa memiliki ukuran pori-pori yang sesuai untuk memisahkan DNA yang berukuran ratusan pasang basa atau lebih, DNA dengan ukuran yang lebih pendek dapat dipisahkan menggunakan 18 gel poliakrilamid. Untuk memvisualisasikan DNA yang telah terpisah melalui proses elektrolisis digunakan senyawa etidium bromida. Senyawa ini dapat berinterkalasi diantara pasangan-pasangan basa dalam rantai DNA. Ketika gel diamati dibawah sinar UV, maka etidium tereksitasi dan menimbulkan fluoresesi berwarna oranye sehingga fragmen-fragmen DNA yang terpisah akan muncul sebagai pita-pita berwarna oranye (Clark, 2005). 7. DNA Mitokondria Mitokondria (tunggal: mitokondrion) adalah organel berbentuk batang dengan membran ganda yang ditemukan pada sel eukariot. Tiap sel dapat memiliki 100 hingga 100.000 mitokondria. Mitokondria bertanggungjawab dalam pembentukan energi melalui proses respirasi, yang mana enzim-enzim respirasi yang diperlukan terdapat pada membran dalam dari organel ini (Clark, 2005; Randi, 2009). Telah diketahui bahwa selain di nukleus, material genetik pada sel eukariot juga ditemukan di mitokondria pada hewan dan di plastida pada tumbuhan. Molekul DNA yang terdapat di mitokondria (DNA mitokondria) merupakan DNA untai ganda, bisasanya berbentuk cincin, berukuran kecil dan berupa molekul haploid sederhana, serta tidak mengalami rekombinasi. DNA mitokondria biasanya hanya diturunkan oleh ibu, dan diturunkan secara utuh dari generasi ke generasi. Laju mutasi DNA mitokondria terjadi 5-10 kali lebih sering dibanding DNA nukleus, namun terdapat conserved region yang mengkode protein yang mana susunan sekuennya tetap sama dan bertahan hingga puluhan juta tahun (Randi, 2009). 19 DNA mitokondria memiliki fungsi penting antara lain sebagai penyandi 2 RNA ribosom yaitu RNA ribosom besar subunit 16 (rRNA-12S) dan ribosom kecil subunit 12 (rRNA-12S). DNA mitokondria juga merupakan penyandi 20-28 gen tRNA. Selain itu, DNA mitokondriajuga mengkode enzimenzim yang terlibat dalam rantai respiratorik, meliputi apositokrom b, empat sampai delapan subunit NADH (NADH-1 sampai dengan 7, dan NADH-4L), satu hingga tiga subunit sitokorom oksidase C (COX-1, COX-2, dan COX-3), serta satu hingga tiga ATP (ATP-6, ATP-8, ATP 9) (Randi, 2009). 8. Perancangan Primer Perancangan primer dalam analisis PCR merupakan tahap yang krusial dalam menentukan kesuksesan dari reaksi PCR, terlebih lagi jika digunakan metode real-time PCR dengan penanda non-spesifik seperti SYBR Green. Analisis SYBR Green membutuhkan primer yang spesifik dan berbagai optimasi terhadap primer untuk memastikan spesifitas dari reaksi PCR (Borah, 2011; Handoyo dan Rudiretna, 2000; Smith dan Osborn, 2009). Primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target yang akan diamplifikasi sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-OH) pada ujung 3’ yang mana DNA polimerase dapat menambahkan building block DNA (dNTP) yang diperlukan untuk proses perpanjangan (Handoyo dan Rudiretna, 2000; Joshi dan Deshpande, 2010). Dalam merancang primer diperlukan informasi mengenai sekuen DNA terutama sekuen target yang ingin diamplifikasi (Clark, 2005). Bank database genom berbagai spesies salah satunya terdapat di laman NCBI 20 (National Center for Biotechnology Information) dan dapat digunakan sebagai acuan dalam merancang suatu primer. Laman NCBI juga menyediakan fasilitas Primer-BLAST (Primer-Basic Local Alignment Seacrh Tool) yang dapat digunakan untuk merancang primer yang spesifik secara in-silico (Wardani, 2015). Beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan dalam perancangan primer adalah sebagai berikut (Borah, 2011; Handoyo dan Rudiretna, 2000) : a. Panjang primer Umumnya panjang primer berkisar antara 18-30 basa. Primer dengan ukuran tersebut dianggap cukup panjang untuk mendapatkan spesifitas yang diinginkan, serta cukup pendek sehingga primer akan dengan mudah berhibridisasi dengan sekuen target pada suhu annealing. Primer yang terlalu pendek akan mengalami mispriming (penempelan primer di tempat lain yang tidak diinginkan) sehingga mengurangi spesifitasnya. Primer yang terlalu panjang juga akan menjadi tidak ekonomis dan tidak meningkatkan spesifitas secara signifikan. b. Komposisi primer Dalam merancang suatu primer, urutan nukleotida yang sama (repeat)perlu dihindari karena dapat menurunkan spesifitas dengan meningkatkan kemungkinan terjadinya mispriming. Jumlah guanin dan sitosin (G+C) dalam primer hendaknya sebanyak 40-60%. Primer dengan %(G+C) yang rendah diperkirakan tidak akan mampu menempel secara efektif pada target DNA sehingga akan menurunkan efisiensi dari PCR. 21 Selain itu pada 5 basa terakhir pada ujung 3’ sebaiknya mengandung nukleotida G atau C, disebabkanadanya basa tersebut membantu primer untuk berikatan secara spesifik dengan template. c. Suhu leleh (Tm) dan suhu penempelan (Ta) Suhu leleh (Tm) merupakan temperatur yang mana 50% dari untai ganda DNA terpisah menjadi untai tunggal. Pemilihan Tm suatu primer sangat berpengaruh pada pemilihan suhu penempelan saat proses PCR. Tm berhubungan dengan komposisi primer dan panjang primer. Secara teoritis Tm suatu primer dapat ditentukan dengan rumus [2(A+T)+4(C+G)]. Sebaiknya Tm berkisar antara 50-65°C. Tm mengindikasikan stabilitas hibrida sehingga juga menentukan suhu penempelan dalam PCR. Suhu leleh yang terlalu tinggi mengakibatkan rendahnya tingkat hibridisasi primer dengan template sehingga menurunkan efisiensi dari reaksi PCR. Suhu leleh yang terlalu rendah juga dapat menghasilkan produk yang tidak spesifik akibat terjadinya mispriming. d. Interaksi primer-primer Interaksi primer-primer seperti self-homology(terbentuknya hairpin) dan cross-homology harus dihindari, demikian juga dengan terjadinya mispriming pada daerah lain yang tidak dikihendaki. Untuk memastikannya dapat dilakukan analisis BLAST melalui laman NCBI. Adanya interaksi primer-primer dapat menyebabkan spesifitas primer menurun selain itu konsentrasi primer yang digunakan menjadi berkurang 22 dengan terjadinya mispriming. Keadaan tersebut akan berpengaruh pada efisiensi proses PCR. F. Landasan Teori Identifikasi suatu spesies dalam produk olahan dapat dilakukan dengan metode PCR yang merupakan metode analisis berbasis DNA. Metode berbasis DNA memberikan keuntungan karena dapat mendeteksi secara sensitif ketika jumlah sampel terbatas, atau ketika sampel sudah rusak akibat yang terjadi selama proses pengolahan. Hal ini disebabkan karena DNA mempunyai kestabilan yang tinggi. Real-time PCR merupakan metode yang cepat, spesifik, dan sensitif yang mana proses PCR dapat diamati secara langsung dengan menggunakan teknologi penanda berfluoresen. Penanda fluoresen berfungsi sebagai detektor yang sinyalnya divisualisasikan untuk mengetahui jumlah amplikon selama reaksi berlangsung. Contoh penanda yang banyak digunakan adalah SYBR Green dan EvaGreen yang merupakan pewarna berbasis interkalasi yang akan berfluorosensi ketika berinteraksi dengan DNA untai ganda. Kelemahan metode PCR menggunakan penanda interkalasi yang merupakan penandanon-spesifik adalah dibutuhkan beberapa usaha untuk memastikan spesifitas dari reaksi PCR. Usahausaha tersebut diantaranya adalah dengan memastikan spesifitas primer terhadap sekuen target dan melakukan analisis kurva leleh. Metodereal-time PCR juga memungkinkan dilakukannya analisis secara kuantitatif terhadap jumlah DNA target awal.Dari beberapa publikasi sebelumnya 23 diantaranya oleh Demirhan dkk. (2012), Marlina dkk. (2013), Mutalib dkk. (2012), Shabani dkk. (2015),dan Wardani (2015) telah berhasil dilakukan deteksi spesifik suatu DNA dari sampel gelatin maupun cangkang kapsul. Deteksi DNA gelatin sapi dalam cangkang kapsul juga telah dilakukan sebelumnya oleh Pratiwi (2016) menggunakan metode real-time PCR dengan target daerah D-loop pada DNA mitokondria. Analisis PCR dengan target DNA mitokondria banyak berkembang karena jumlah mitokondria mencapai ratusan ribu dalam tiap sel, sehingga DNA mitokondria tersedia melimpah. Salah satu komponen penting dalam PCR adalah primer. Pasangan primer yang memberikan spesifitas dan sensitivitas yang memuaskan dalam mengamplifikasi DNA target merupakan kunci kesuksesan suatu reaksi PCR. Pada penelitian ini dilakukan perancangan primer yang bertarget di DNA mitokondria secara in-silico menggunakan fasilitas PrimerBLAST dari laman NCBI. Setelah didapatkan sepasang primer yang spesifik terhadap DNA sapi, dan diketahui primer tersebut mengamplifikasi pada daerah gen rRNA-12S pada DNA mitokondria. Primer ini memiliki sekuen forward 5’CCC AAG CTA ACA GGA GTA CG-3’ dan sekuen reverse 5’-TAG TGC GTC GGC TAT TGT AG-3’ dan menghasilkan amplikonsepanjang 137 pasang basa (selanjutnya disebut sebagai primer rRNA-12S mitokondria). Pengujian terhadap primer tersebut meliputi uji spesifitas terhadap DNA dari berbagai spesies, DNA gelatin, dan DNA cangkang kapsul berbahan gelatin sapi-babi serta uji sensitivitas untuk mengetahui konsentrasi terendah DNA sapi masih dapat terdeteksi pada gelatin maupun cangkang kapsul. Selain itu juga 24 dilakukan uji keterulangan hasil amplifikasi DNA dari gelatin dan cangkang kapsul, kemudian primer tersebut digunakan untuk mendekteksi DNA sapi dalam cangkang kapsul komersial. G. Hipotesis 1. Primer rRNA-12S mitokondria dapat secara spesifik mengamplifikasi DNA sapi diantara DNA ayam, babi, celeng, kambing, DNA gelatin babi, dan DNA yang terdapat pada cangkang kapsul yang terbuat dari campuran gelatin sapibabi dengan metode real-time PCR. 2. Primer rRNA-12S mitokondria dapat mengidentifikasi DNA sapi dalam gelatin sapi, dan dalam cangkang kapsulyang terbuat dari gelatin sapi serta memenuhi kriteria validasi berdasarkan parameter linearitas, efisiensi, dan keterulangan dengan metode real-time PCR. 3. Primer rRNA-12S mitokondria dapat digunakan dalam analisis DNA sapi dalam cangkang kapsul gelatin yang beredar di pasaran menggunakan metode real-time PCR. 25