BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fisiologi Nyeri Nyeri merupakan suatu persepsi sensorik yang sangat mengganggu pada manusia, baik orang dewasa maupun anak-anak. Berbeda dengan manusia dewasa yang mampu menyampaikan keluhan rasa sakitnya melalui berbagai cara yang mudah dimengerti oleh pemeriksanya, seorang anak sering kali sulit menyatakan rasa sakitnya dengan bahasa yang mudah dimengerti.5 Pengungkapan rasa sakit / nyeri pada anak sering kali dinyatakan dengan ekspresi yang sulit dimengerti, sehingga pengenalan tanda dan bahasa tubuh anak sering diperlukan. Penyebab nyeri itu sendiri merupakan beraneka ragam rangsangan sensorik, ada berupa nyeri perut baik dari sistem gastrointestinal ataupun urogenital, nyeri akibat operasi, nyeri otot/tulang atau sendi, nyeri karena penyakit gigi, penyakit telinga, ataupun nyeri pada penyakit keganasan yang semuanya sering memerlukan penilaian ataupun pengobatan yang spesifik.5 Nyeri dapat didefenisikan sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan yang jelas, cenderung rusak, atau sesuatu yang tergambarkan seperti yang dialami (International Association for the Study of Pain). Dari defenisi di atas dapat diketahui adanya hubungan pengaruh obyektif (aspek fisiologi dari nyeri) dan subyektif (aspek komponen emosi dan kejiwaan). Pengaruh subyektif erat kaitannya dengan pendidikan, budaya, makna situasi dan aktifitas kognitif, sehingga nyeri merupakan hasil belajar serta pengalaman sejak dimulainya kehidupan. Individualisme rasa nyeri ini sulit dinilai secara obyektif, walaupun dokter telah melakukan observasi atau menggunakan alat monitor. Baku emas Universitas Sumatera Utara untuk mengetahui seseorang berada dalam kondisi nyeri ataupun tidak adalah dengan menanyakannya langsung.26-28 Dalam keadaan fisiologis, stimulus dengan intensitas rendah menimbulkan sensasi rasa yang tidak / kurang menyakitkan yang diaktifkan oleh serabut saraf A beta, sedang stimulus dengan intensitas tinggi menimbulkan sensasi rasa nyeri yang diaktifkan oleh serabut A delta dan serabut saraf C. Pada keadaan paska operasi, sistem saraf sensori ini mengalami hipersensitifitas yang akan menyebabkan juga perubahan fungsi di kornu dorsalis medula spinalis sehingga dengan stimulus yang rendah menyebabkan rasa nyeri yang nyata.29 Berdasarkan asalnya nyeri dibagi dua, yaitu nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri somatik yang berasal dari kulit disebut nyeri superfisial, sedangkan nyeri yang berasal dari otot rangka, tulang, sendi atau jaringan ikat disebut nyeri dalam. Nyeri superfisial cirinya tajam, lokasinya jelas, dan cepat hilang bila stimulasi dihentikan. Sedangkan nyeri dalam cirinya terasa tumpul, sulit dilokasi, dan cenderung menyebar ke sekitarnya. Nyeri viseral biasanya disebabkan oleh penarikan yang kuat dari organ-organ dalam abdomen, demikian juga karena spasme atau kontraksi yang kuat dari organ viseral yang menimbulkan nyeri terutama bila disertai dengan aliran darah yang tidak adekuat.26-27 Berdasarkan lamanya nyeri juga dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus nosiseptif karena perlakukan atau proses penyakit atau fungsi abnormal dari otot atau visera. Biasanya nyeri ini mudah dideteksi, lokasinya jelas, dan sebatas kerusakan jaringan. Nyeri kronik adalah nyeri yang menetap lebih dari satu bulan atau diatas waktu yang seharusnya perlukaan mengalami penyembuhan. Yang termasuk nyeri kronik adalah nyeri persisten yaitu nyeri yang menetap untuk waktu yang lama atau nyeri rekuren yaitu nyeri yang kambuh dengan interval tertentu.26-27 Nyeri karena pembedahan mengalami sedikitnya dua perubahan, pertama karena pembedahan itu sendiri, menyebabkan rangsang Universitas Sumatera Utara nosiseptif, kedua setelah pembedahan karena terjadinya respon inflamasi pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia tersebut antara lain adalah prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P, lekotrein dimana zat-zat tersebut berperan sebagai transduksi dari nyeri.27,29-31 2.2. Nosiseptor Nosiseptor adalah reseptor nyeri yang ada di seluruh tubuh, letaknya terutama pada permukaan kulit, kapsula sendi, di dalam periosteum, serta di sekitar dinding pembuluh darah. Organ dalam juga mempunyai nosiseptor hanya saja jumlahnya lebih sedikit. Reseptor nyeri berupa ujung syaraf bebas dengan permukaan reseptor yang luas, sehingga kadang-kadang sulit untuk menentukan sumber nyeri secara tepat.32 Nosiseptor sangat sensitif terhadap suhu yang sangat ekstrem, kerusakan mekanik, bahan-bahan kimia terutama yang keluar akibat kerusakan sel. Stimuli yang sangat kuat dari ketiganya dapat menimbulkan nyeri. Stimuli pada dendrit nosiseptor menyebabkan depolarisasi, dan juga rangsangan tersebut mencapai akson dan melewati ambang potensial, maka stimulus akan diteruskan hingga mencapai susunan saraf pusat.33 2.3. Peranan Prostaglandin Di antara mediator-mediator reaksi lokal ini ditemukan prostaglandin. Semuanya diawali dengan degradasi fosfolipid membran sel menjadi asam arakhidonat, yang diperantarai oleh enzim fosfolipase A2. Tahap pertama ini dihambat oleh kortikosteroid. Sejak terbentuk asam arakhidonat terjadi dua jalur proses metabolisme : 1. Cara metabolisme melalui siklooksigenase yang berakhir dengan pembentukan prostaglandin, zat ini kemudian dilepaskan dan Universitas Sumatera Utara menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi: edema, menimbulkan rasa nyeri lokal, kemerahan (eritema) lokal. Selain itu meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap rangsang nyeri (nosiseptif). 2. Cara metabolisme melalui lipooksigenase yang berakhir dengan terbentuknya leukotrien. Leukotrien meningkatkan daya kemotaktik polinuklear dan menghasilkan radikal bebas dengan akibat terjadinya lesi.32-33 2.4. Enzim Cyclooxygenase (COX) Enzim Cyclooxygenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis prostaglandin dari asam arakidonat. PG memediasi sejumlah besar proses di tubuh termasuk inflamasi, nyeri, sekresi pelindung lapisan lambung, mempertahankan perfusi renal, dan aggregasi platelet. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang menurunkan produksi mediator prostaglandin. Hal ini menghasilkan kedua efek, baik yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan 2 isoenzim, yang ubiquitously dan constitutive diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2.34 Sampai saat ini telah dikenal tiga isoenzim siklooksigenase (COX) yaitu COX 1, COX 2 dan COX 3. COX 3 sendiri merupakan isoenzim yang baru-baru ini ditemukan dan merupakan varian dan turunan dari COX 1 yang telah dikenal sebelumnya.35-37 Siklooksigenase 3 (COX 3) dapat menjelaskan mekanisme kerja dari beberapa analgetik antipiretik NSAID yang memiliki efektifitas kerja lemah dalam menginhibisi COX 1 dan COX 2 tetapi dapat dengan mudah melakukan penetrasi ke otak. Beberapa jenis obat yang dikenal memiliki efek inhibisi terhadap COX 3 antara lain asetaminofen. Pengetahuan mengenai mekanisme kerja COX 3 sangat diperlukan dalam Universitas Sumatera Utara menerangkan mekanisme kerja dari asetaminofen yang sampai saat ini masih sangat sulit untuk dipahami.37-40 2.5. Perjalanan Nyeri Antara stimuli nyeri sampai dirasakannya sebagai persepsi nyeri terdapat suatu rangkaian proses elektrofisiologis yang secara kolektif disebut sebagai nosiseptif. Ada empat proses yang terjadi pada suatu nosiseptif yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi : 33,41-42 1. Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung syaraf. Rangsang ini dapat berupa stimuli fisik, kimia, ataupun panas. 2. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses transduksi tadi melalui saraf sensorik. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A Delta dan serabut C sebagai neuron pertama (dari perifer menuju kornu dorsalis medula spinalis). Pada kornu dorsalis ini, neuron pertama tersebut akan menyilang garis tengah dan naik melalui traktus spinotalamikus kontralateral menuju talamus, yang disebut sebagai neuron kedua. Neuron kedua ini kembali bersinaps di talamus dengan neuron ketiga yang memproyeksikan stimulus nyeri melalui kapsula interna dan korona radiata menuju girus postsentralis korteks serebri. 3. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri. Modifikasi dapat berupa augmentasi (peningkatan), ataupun inhibisi (penghambatan). 4. Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut. Universitas Sumatera Utara Gambar 1. Perjalanan nyeri dari perifer ke sentral 2.6. Patofisiologi Nyeri pada anak Hubungan saraf yang dibutuhkan untuk transmisi dan persepsi nyeri berfungsi ketika usia kehamilan 24 minggu.Walaupun myelinasi belum sempurna dan kecepatan penghantaran saraf mungkin berkurang, namun jarak konduksi yang pendek pada neonatus menyebabkan transmisi yang cepat dari rangsangan nosiseptif ke otak.Kegagalan untuk memberikan analgesia untuk mengatasi nyeri pada neonatus menyebabkan regulasi nosiseptif pathway didalam dorsal horn dari spinal kord.Hingga rasa nyeri yang akan ditimbulkan akan menjadi lebih besar yang diterima oleh persepsi nyeri.43 Perbedaan dalam manajemen nyeri antara anak dan orang dewasa didominasi oleh perkembangan psikologis anak. Penilaian ini berdasarkan terbatasnya dan tidak jelasnya komunikasi oleh anak kecil. Metode yang tepat dan pemahaman anak akan kondisinya ditentukan oleh tahap perkembangannya. Farmakodinamik dan Universitas Sumatera Utara kinetik yang berbeda merupakan konsekuensi periode neonatal dan bayi. logis terutama pada 44 Reseptor sensorik Transmisi nyeri dari perifer ke korteks tergantung pada proses integrasi dan proses sinyal di medulla spinalis, batang otak dan serebrum. Informasi transduksi rangsangan mekanik, kimiawi maupun termal diterima oleh masing-masing reseptor khusus di membran sel.45-47 Terdapat beberapa tipe reseptor sensorik dengan stimulus yang berbeda-beda. Reseptor sensorik terdapat di bawah kulit, spesial organ sensorik, otot dan persendian. Nosiseptor adalah reseptor yang merespons stimulus yang merusak atau diperkirakan akan merusak jaringan. Kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh stimulus mekanis, termal, kekurangan oksigen, dan bahan kimia. Membran nosiseptor mengandung ion channel yang dapat diaktivasi oleh stimulus yang merusak jaringan. 45-47 Neuron sensorik atau aferens primer saraf perifer mempunyai badan sel di dorsal root ganglion (DRG) di medulla spinalis. Akson aferens ini ada yang dilapisi mielin dan tidak dilapisi mielin. Akson afferent dibagi 3 kelompok, yaitu A, B dan C. Kelompok A terbagi atas A-Alfa, A-beta, Agamma dan A-delta. Transduksi stimulus nyeri terjadi pada serabut mielin A-delta dan serabut tak bermielin C. 45-47 Nosiseptor A-Delta Nosiseptor A - delta tersebut hampir dapat ditemukan pada permukaan kulit. Sebagian kecil dapat ditemukan pada otot dan persendian. Sebagian besar sensitif terhadap stimulus mekanik intensitas tinggi dan sebagian lagi sensitif terhadap stimulus termal. 45 Universitas Sumatera Utara Nosiseptor C polimodal Nosiseptor serabut C polimodal (kadang-kadang disebut free nerve ending) dapat ditemukan di bagian dalam kulit dan sebenarnya dapat ditemukan pada setiap jaringan kecuali jaringan saraf sendiri. Umumnya sensitif terhadap stimulus noksius mekanis, termal, dan kimiawi. Diperkirakan 80-90% nosiseptor C mempunyai tipe polimodal.45 Unit aferen Serabut perifer dan reseptornya disebut sebagai unit aferen. Aferen diklasifikasikan menjadi dua, yaitu, ambang-rendah dan ambang-tinggi atau mekanoreseptif dan termoreseptif. Neuron yang diaktivasi oleh stimulus mekanikal dan termal disebut unit reseptif polimodal. Sejumlah unit nosiseptif polimodal berhubungan dengan serabut A-delta. Unit ini melakukan transmisi dari nyeri pertama atau pricking pain yang berhubungan dengan stimulasi panas noksius. 45 Nosiseptor dan Transduksi Stimulus Nyeri Kerusakan sel pada tempat luka dapat mengeluarkan beberapa substansi yang dapat membuka ion channel nosiseptor. Misalnya protease, ATP dan ion K. Protease dapat memecah peptid kininogen menjadi peptid bradikinin. ATP menyebabkan depolarisasi nosiseptor dan pengikatan ion K ekstraseluler dapat langsung menyebabkan depolarisasi membran neuron. 45-47 Panas pada temperature lebih dari 43o C akan menyebabkan jaringan terbakar dan akan membuka ion channel di membran nosiseptor. Pada suatu keadaan dimana seseorang kekurangan oksigen, sel akan menggunakan metabolisme anaerobik untuk menghasilkan ATP. Penumpukan asam laktat akibat proses anaerobik ini menyebabkan ekses ion H di cairan ekstraseluler dan ion H ini akan mengaktifkan ion channel nosiseptor. 45-47 Universitas Sumatera Utara Kulit dan jaringan penghubungnya mengandung sel mast, suatu komponen imun sistem. Sel mast dapat diaktivasi oleh benda asing, sehingga menyebabkan pelepasan histamin. Histamin berkaitan dengan reseptor nosiseptor spesifik dan akan menyebabkan depolarisasi membran. Histamin juga menyebabkan bocornya kapiler pembuluh darah, sehingga mengakibatkan edema dan kemerahan di tempat luka. 45-47 Mekanisme Transmisi dari Serabut Saraf ke Medulla Spinalis Serabut A-delta dan C menyampaikan informasi ke SSP dengan kecepatan yang berbeda, karena adanya perbedaan dari kecepatan konduksi potensial aksi dari masing-masing serabut tersebut. Oleh karena itu aktivasi nosiseptor kulit akan menghasilkan dua persepsi nyeri yaitu first pain, cepat, tajam kemudian diikuti second pain, lama dan tidak tajam atau tumpul. First pain disebabkan oleh aktivasi serabut A-delta, second pain disebabkan oleh aktivasi serabut C. 45 Neurotransmiter aferens nyeri adalah glutamat, seperti diketahui bahwa neuron ini juga mengandung peptid substansi C. Substansi P terdapat di dalam vesikel akson terminal dan dapat dilepaskan oleh potensial aksi frekuensi tinggi. Studi memperlihatkan bahwa transmisi sinaptik yang dimediasi oleh substansi P dibutuhkan untuk nyeri dengan intensitas sedang atau kuat. 45 Hal menarik yang perlu diketahui adalah akson nosiseptor dari viseral yang masuk ke medulla spinalis mempunyai jalur yang sama dengan nosiseptor dari kulit. Di dalam medulla spinalis terdapat informasi silang dari dua sumber input ini. Fenomena ini disebut referred pain, dimana aktivasi nosiseptor viseral akan dirasakan dipermukaan kulit. 45 Jalur Nyeri Asending Sebagai contoh penting yaitu perbedaan jalur asending antara stimulus sentuhan dan nyeri. Pertama, jalur sentuhan mempunyai reseptor yang spesifik di kulit, sedangkan serabut nyeri hanya yang bersifat free Universitas Sumatera Utara nerve ending. Kedua, jalur sentuhan adalah cepat, menggunakan serabut mielin A-delta: jalur nyeri adalah lambat, menggunakan serabut tipis bermielin A-delta dan C. Ketiga, perbedaan juga terlihat pada serabut Abeta yang berakhir di bagian dalam kornu dorsalis, sedangkan serabut Adelta dan C di substansia gelatinosa medulla spinalis. Keempat, informasi tentang nyeri (dan temperatur) tubuh dibawa dari medulla spinalis ke otak melalui jalur spinotalamik kontralateral, sedangkan informasi sentuhan ke otak melalui ipsilateral (jalur kolum dorsalis-medial lemniskus).45-47 Regulasi Nyeri Persepsi nyeri sangat bervariasi, dipengaruhi oleh level sensori non-pain input dan aspek perilaku, dengan level aktivitas nosiseptor yang sama dapat mempunyai respons nyeri yang berbeda berat ringannya. 45-47 Sentuhan ringan dapat membangkitkan nyeri melalui mekanisme hiperalgesia. Akan tetapi, bangkitan rasa nyeri juga dapat berkurang oleh aktivitas simultan mekanoreseptor ambang-rendah (serabut A-beta). Barangkali, ini dapat ,menjelaskan mengapa terasa lebih enak pada waktu mengelus-elus daerah sekitar luka. Mekanisme ini juga dapat menerangkan pengobatan elektrik pada beberapa nyeri kronik atau nyeri yang sukar diobati. 45-47 Fenomena diatas diterangkan oleh gate theory of pain. Neuron tertentu di kornu dorsalis, yang memproyeksikan ke atas traktus spinotalamik, dieksitasi oleh sensori nyeri dengan diameter besar dan sensori akson tidak bermielin. Proyeksi neuron ini juga diinhibisi oleh interneuron, dan interneuron ini juga dieksitasi oleh sensori akson besar dan diinhibisi oleh akson nyeri. Dengan mekanisme ini, hanya dengan aktivasi akson nyeri sendiri akan memproyeksikan neuron secara maksimal ke otak. Akan tetapi bila akson besar mekanoreseptor teraktivasi secara bersamaan, maka akan mengaktivasi interneuron dan menekan signal nosiseptif. 45-47 Universitas Sumatera Utara 2.7. Preemptif Analgesia Preemptif analgesia dimulai dengan analgesia sebelum onset dari rangsangan melukai, untuk mencegah sensitisasi sentral dan membatasi pengalaman nyeri selanjutnya. Preemptif analgesia mencegah kaskade neural awal yang dapat membawa keuntungan jangka panjang dengan menghilangkan hipersensitifitas yang ditimbulkan oleh rangsangan melukai 48-50 Pembedahan mungkin merupakan aplikasi klinis dimana tehnik preemptif analgesia menjadi sangat efektif karena onset rangsangan yang kuat dapat diketahui.Penting diketahui bahwa anastesia umum dengan volatile anestesia seperti isofluran (Forane) tidak dapat mencegah sensitisasi sentral. Oleh karena itu, potensi sensitisasi sentral muncul bahkan pada pasien tidak sadar yang tampak tidak respon secara klinis terhadap rangsangan pembedahan.25,48 2.8. Preventif Analgesia Pada tahun 1994 Kissin menambahkan istilah “preventif analgesia” pada “preemptif analgesia” dan menggunakan istilah “preemptif analgesia” hanya terbatas pada efek karena sensitisasi oleh bagian dari preventif treatment yang dimulai sebelum pembedahan dan tidak termasuk waktu paska pembedahan. Dengan kata lain preventif analgesia adalah pemberian obat analgesia sebelum operasi dan dilanjutkan setelah operasi selesai. Katz baru-baru ini membandingkan hasil dari penelitian dengan pendekatan yang dirancang untuk membuktikan pencegahan hipersensitif dari nyeri. Dia melaporkan bahwa cara PRE melawan NO (preventif analgesia) menghasilkan efek yang positif lebih sering dibandingkan cara PRE lawan POST (preemptif analgesia) dan secara umum, efek dengan cara PRE lawan NO terdapat jarak yang lebih besar. Hal ini menggambarkan bahwa pencegahan yang menyeluruh terhadap sensitisasi (tidak hanya disebabkan oleh luka karena sayatan tetapi juga karena trauma inflamasi) memiliki nilai klinis yang lebih baik.25,51 Universitas Sumatera Utara Gambar 2. Skematik preemptif analgesik dengan penekanan pada pencegahan sensitisasi sistem saraf selama perioperatif. Tipe nyeri tanpa intervensi ditunjukkan pada gambar A, dimana tergambar nyeri saat awal pembedahan dan selanjutnya berkembang menjadi hipersensitifiti. Gambar B, analgesia diberikan setelah sensitisasi dapat menurunkan nyeri sedikit tetapi tidak memiliki keuntungan jangka panjang. Pada gambar C, analgesia diberikan sebelum pembedahan membatasi nyeri dari mulai rangsangan dan menurunkan hipersensitifiti selanjutnya. Yang paling efektif adalah gambar D. 2.9. Mekanisme Kerja Obat Analgetik Obat analgetik dibagi dalam 2 golongan utama, yaitu yang bekerja di perifer dan yang bekerja di sentral. Obat golongan Anti Inflamasi Nonsteroidal (AINS) bekerja di perifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Pada golongan analgetik opioid. bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medula spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmiter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi.9 Universitas Sumatera Utara Gambar 3. Mekanisme kerja obat analgetik Universitas Sumatera Utara inflamasi Kerusakan saraf AINS Pelepasan mediator Algogen Sitokoin, neurokin Kontrol dari peptide, reseptor, dll Lokal anastesi Eksitasi sensori neuron Pelepasan transmiter di kornu dorsalis Eksitasi transmisi neuron Opiat Perangsangan saraf spinal NYERI Gambar 4. Tempat kerja obat analgetik 32 Obat anti inflamatori nonsteroid menghambat siklooksigenase, tanpa menghambat proses lipooksigenese. Obat AINS menginduksi peningkatan ambilan asam arakhidonat yang dilepaskan oleh membran polinuklear, dengan tujuan mengurangi fraksi-fraksi utama yang dapat dimetabolisme oleh enzim lipooksigenase.52 Universitas Sumatera Utara MEMBRAN FOSFOLIPID (+) (-) Fosfolipase A2 Kortikosteroid ASAM ARAKHIDONAT Enzim siklooksigenase Enzim lipooksigenase (-) AINS PGE2 Ket (+) Prostasiklin = memperkuat, Tromboksan A2 (-) Leukotrien = penghambatan Gambar 5. Pengaruh obat AINS dan Kortikosteroid 53 Universitas Sumatera Utara 2.10. Instrumen Pengukur Nyeri Untuk bisa mengobati nyeri pada anak dengan baik, penilaian secara periodik terhadap nyeri serta derajat rasa sakit yang dirasakan dan respons anak terhadap pengobatan perlu selalu diperhatikan. Untuk menilai rasa nyeri pada anak telah tersedia berbagai perangkat penilaian yang dapat dipercaya, valid, dan sensitif. Semua perangkat itu mempunyai kemampuan untuk digunakan pada anak baik neonatus maupun dewasa muda. Di rumah sakit, nyeri dan respons terhadap pengobatan termasuk reaksi ikutan pada pengobatan, harus dipantau secara berkala dan dilaporkan secara baik. 5-7 Nyeri dapat dinilai atau diperiksa dengan menggunakan beberapa perangkat, antara lain berupa laporan pasien,observasi prilaku, pengukuran fisiologis, tergantung pada usia anak dan kemampuan komunikasinya. Akurasi penilaian rasa nyeri akut pada anak membutuhkan pertimbangan atau perhatian khusus terhadap fluktuasi dan kemajemukan persepsi anak terhadap rasa sakit. Karena respons terhadap rasa nyeri merupakan tampilan yang subjektif, biasanya laporan atau keluhan pasien lebih disukai, namun perlu diperhatikan bahwa anak umur antara 3-7 tahun mempunyai kemampuan untuk menyatakan keluhan bahkan sebelum kita tanyakan rincian lokasi, kualitas, intensitas dan toleransinya sampai selesai ditelusuri.5-7,54,55 Ekspresi nyeri menunjukkan status fisik dan emosi, pola reaksi dan kadang-kadang juga merupakan gaya seseorang dalam bereaksi yang mungkin saja menimbulkan salah pengertian penilai. Nyeri yang dirasakan oleh anak dengan masalah kesehatan tertentu atau gangguan perkembangan sering sulit dinilai dengan tepat. Penilaian yang hati-hati dan teliti perlu dilakukan saat berkomunikasi dengan anak bermasalah, misalnya pada anak dengan gangguan kognitif, gangguan emosi berat, atau anak dengan gangguan motorik atau sensorik. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa penilaian nyeri pada anak harus mencakup beberapa Universitas Sumatera Utara aspek nyeri, yaitu lokasi, karakteristik, durasi/onset, frekuensi, kualitas, intensitas dan adanya faktor pencetus.5-7,54,55 Perangkat penilaian rasa nyeri pada anak terdiri atas beberapa jenis, seperti:5,54-55 a) Keluhan / laporan sendiri ‐ Deskripsi rasa sakit berupa jenis dan intensitas nyeri ‐ Peringkat nyeri dengan skala tertentu b) Pemeriksaan dengan skala observasi ‐ Verbalisasi ‐ Ekspresi wajah ‐ Bahasa tubuh ‐ Status emosional c) Penilaian parameter fisiologik ‐ Frekuensi denyut nadi / jantung ‐ Frekuensi nafas ‐ Tekanan darah d) Laporan orang tua dan perawat ‐ Terdapat banyak variasi dari laporan orang tua atau perawat ‐ Penting atau berguna untuk anak dengan gangguan kognitif yang tidak memungkinkan baginya memberikan keluhan yang jelas. Penilaian dan pemeriksaan nyeri pada anak seharusnya dilakukan dengan menyesuaikan pada tahap perkembangan anak. Semua pasien anak perlu dilakukan penilaian, dan diharapkan rasa nyeri pada anak dapat dikomunikasikan dengan kata-kata, ekspresi dan atau perilaku (menangis, melindungi satu bagian tubuhnya atau menyeringai). Prinsip penilaian nyeri QUEST (Baker dan Wong, 1987) banyak membantu proses penilaian nyeri pada anak. Prinsip ini meliputi:5,7,54-55 ‐ Question the child Universitas Sumatera Utara ‐ Use pain rating scales ‐ Evaluate behavior and physiological changes ‐ Secure parents involvement ‐ Take cause of pain into account Pada anak yang lebih besar dapat digunakan beberapa cara antara lain: 5,54-55 ‐ Anak kurang dari 3 tahun atau yang sulit untuk berkomunikasi dapat digunakan skala observasi FLACC (Faces, Legs, Activity, Cry, dan Consolability) ‐ Anak diatas 3 tahun dapat digunakan skala wajah Wong-Baker ‐ Anak diatas 5 tahun mungkin dapat menggunakan kata-kata seperti kena api, atau seperti dicubit, dan lain-lain ‐ Sedangkan pada anak diatas 6 tahun yang diharapkan dapat mengerti konsep urutan atau tingkatan, dapat digunakan skala numerik, warna atau kata untuk menyatakan derajat rasa sakitnya. Skala Nyeri Skala ini sebaiknya dibuat dan secara fisik serta emosional sesuai untuk pasien yang akan diperiksa. Dikenal banyak skala yang dapat digunakan, namun pada umumnya digunakan perangkat dengan skala 010, dapat berupa: 5,54-55 ‐ Skala visual yang banyak menggunakan gambar anatomi baik wajah atau lainnya untuk menerangkan lokasi dan derajat rasa sakit seperti skala Wong-Baker. Skala ini penting untuk mereka yang tidak mampu menyatakan perasaannya dengan kata-kata. Skala wajah Wong-Baker banyak digunakan untuk anak-anak, khususnya yang berusia diatas 3 tahun. Skala ini juga banyak digunakan pada anak lebih besar bahkan untuk orang dewasa dimana mereka sulit menyatakan rasa sakitnya karena kendala bahasa. Perlu dijelaskan pada pasien bahwa setiap wajah Universitas Sumatera Utara menyatakan seseorang yang menyatakan “tidak sakit”, “sedikit sakit” atau “sakit sekali”. ‐ Skala verbal digunakan dengan memakai kata-kata tidak sakit, sedang atau sangat sakit untuk membantu menyatakan intensitas atau derajat beratnya sakit. Penilaian ini berguna karena parameter yang digunakan bersifat relatif dan penilai harus menilai sendiri fokus yang paling menonjol. ‐ Skala numerik memberikan kuantifikasi pada rasa sakit dengan melakukan penggolongan terhadap rasa sakit, dengan sistem skor atau dikombinasikan dengan kata-kata. 2.11. Parasetamol PARA AMINO FENOL Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen dapat dilihat pada gambar dibawah. Asetaminofen merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Asetaminofen di indonesia lebih dikenal dengan nama parasetamol. Dan tersedia sebagai obat bebas. Walau demikian, laporan kerusakan fatal hepar akibat overdosis akut perlu diperhatikan. Tetapi perlu diperhatikan pemakai maupun dokter bahwa efek anti-inflamasi parasetamol hampir tidak ada.14,56-58 Gambar 6 .Struktur kimia Parasetamol Universitas Sumatera Utara FARMAKODINAMIK Efek analgesik parasetamol dan fenasetin serupa dengan menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek anti inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu parasetamol dan fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa.14,56,57 FARMAKOKINETIK Parasetamol dan fenasetin diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol dan 30% fenasetin terikat protein plasma. Kedua obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu kedua obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Kedua obat ini diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi. 14,56,57 INDIKASI Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik, parasetamol sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgesik.Penggunaannya untuk demam tidak seluas penggunaannya sebagai analgesik. meredakan 14,56,57 Universitas Sumatera Utara SEDIAAN DAN POSOLOGI Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau sirup yang mengandung 120 mg/5ml. Selain itu parasetamol terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosis parasetamol untuk dewasa 300 mg-1g/kali, dengan maksimum 4 gr/hari; untuk anak 6-12 tahun : 150-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2 gr/hari. Untuk anak 1-6 tahun : 60-120 mg/kali dan bayi dibawah 1 tahun :60 mg/kali; pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari. 14,56-58 EFEK SAMPING Reaksi alergi terhadap derivat para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada mukosa.Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimun, definisi enzim G6PD dan adanya metabolit yang abnormal.Methemoglobinemia dan sulfhemoglobinemia jarang menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena hanya kira-kira 1-3% Hb diubah menjadi met-hb.Insidens nefropati analgesik berbanding lurus dengan penggunaan fenasetin. Tetapi karena fenasetin jarang digunakan sebagai obat tunggal, hubungan sebab akibat sukar disimpulkan.Eksperimen pada hewan coba menunjukan bahwa gangguan ginjal lebih mudah terjadi akibat asetosal daripada fenasetin. Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secara menahun terutama dalam kombinasi dapat menyebabkan nefropati analgetik.14,15,5658 TOKSISITAS AKUT Akibat dosis toksik yang paling serius ialah nekrosis hati. Nekrosis tubuli renalis serta koma hipoglikemik dapat juga terjadi. Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemberian dosis tunggal 10-15 gr (200-250 mg/kgBB) parasetamol. Gejala pada hari pertama keracunan akut belum Universitas Sumatera Utara mencerminkan bahaya yang mengancam. Anoreksi, mual dan muntah serta sakit perut terjadi dalam 24 jam pertama dan dapat berlangsung selama seminggu atau lebih. Gangguan hepar dapat terjadi pada hari kedua, dengan gejala peningkatan aktivitas serum transaminase, laktat dehidrogenase, kadar bilirubin serum serta perpanjangan masa protrombin. Aktivitas alkali fosfatase dan kadar albumin serum tetap normal. Kerusakan hati dapat mengakibatkan ensefalopati, koma dan kematian, kerusakan hati yang tidak berat pulih dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan.Masa paruhnya pada hari pertama keracunan merupakan petunjuk beratnya keracunan. Masa paruh lebih dari 4 jam merupakan petunjuk akan terjadinya nekrosis hati dan masa paruh lebih dari 12 jam meramalkan akan terjadinya koma hepatik. Penentuan kadar parasetamol sesaat kurang peka untuk meramalkan terjadinya kerusakan hati. Kerusakan ini tidak hanya disebabkan oleh parasetamol, tetapi juga oleh radikal bebas, metabolit yang sangat reaktif yang berkaitan secara kovalen dengan makro molekul vital sel hati. Karena itu hepatotoksisitas parasetamol meningkat pada penderita yang juga mendapat barbiturat, antikonvulsan, atau pada alkoholik yang kronik. Kerusakan yang timbul berupa nekrosis sentriloburalis. Keracunan akut ini biasanya diobati secara simtomatik dan suportif tetapi pemberian senyawa sulfhidril tampaknya dapat bermanfaat, yaitu dengan memperbaiki cadangan glutation hati.N-asetilsistein cukup efektif bila diberikan per oral 24 jam setelah minum dosis toksik parasetamol.14,15,56-58 2.12. Metamizol (Dipiron) PIRAZOLON ANTIPIRIN, AMINOPIRIN, DAN DIPIRON Antipirin adalah 5 okso-1fenil-2,3-dimetilpirazolidin. Aminopirin adalah derivat ³-dimetilamino dari antipirin. Dipiron adalah derivat metansulfonat dari aminopirin yang larut baik dalam air dan dapat diberikan secara suntikan.15,16,56,59 Universitas Sumatera Utara Gambar 7. Struktur kimia Metamizol FARMAKODINAMIK Metamizol merupakan turunan pirazolon dengan aksi analgesik dan antipiretik, namun tanpa komponen anti-inflamasi. Walaupun obat tersebut telah tersedia sejak tahun 1922, mekanisme kerjanya tidak sepenuhnya diketahui. Penghambatan aktivitas COX dalam SSP, yang mengurangi sintesis prostaglandin diduga merupakan mekanisme kerja metamizol.Ada beberapa hipotesis yang menjelaskan efek analgesik metamizol, termasuk penghambatan COX isoenzime-3 dan penurunan sintesis prostaglandin di spinal posterior horn. Selain itu, metamizol dapat memberikan efek spasmolitik dalam kondisi kejang pada saluran kemih dan empedu.15 Universitas Sumatera Utara FARMAKOKINETIK Metamizol dihidrolisis dalam saluran pencernaan dalam bentuk 4methylaminoantipirine (4-MAA) dan diserap dalam bentuk tersebut; bioavailabilitas adalah lebih dari 80%.Enzim hati memetabolisme metamizol menjadi 4-aminoantipirine (AA) dan 4-formylaminoantipirine (FAA),selanjutnya AA adalah Asetilasi untuk 4-asetylaminoantipirine (AAA). Semua metabolit dari metamizol menunjukkan aktivitas biologis, yang berperan untuk efek analgesik dan meresap ke dalam susu ibu.Hasil metabolit yang terikat dengan protein plasma sekitar 60%,65-70% dari metabolit aktif metamizol diekskresikan melalui urin. Eliminasi dari 4-MAA memanjang sebesar 22% setelah dosis ganda dan sebesar 33% pada orang tua.15 INDIKASI Saat ini dipiron hanya digunakan sebagai analgetik-antipiretik karena efek anti inflamasinya lemah. Sedangkan antipirin dan aminopirin tidak digunakan lagi karena lebih toksis daripada dipiron. Karena keamanan obat ini diragukan, sebaiknya dipiron hanya diberikan bila dibutuhkan analgesik antipiretik yang lebih aman. Pada beberapa kasus penyakit hodgkin dan periarteritis nodosa, dipiron merupakan obat yang masih dapat digunakan untuk meredakan demam yang sukar diatasi dengan obat lain. Dosis untuk dipiron ialah tiga kali 0,3-1 gram sehari. Dipiron tersedia dalam bentuk tablet 500 mg dan larutan obat suntik yang mengandung 500 mg/ml.15,16,56,59 EFEK SAMPING DAN INTOKSIKASI Semua derivat pirazolon dapat menyebabkan agranulositosis, anemia aseptik dan trombositopenia. Dibeberapa negara misalnya amerika, efek samping ini banyak terjadi dan bersifat fatal, sehingga pemakaiannya sangat dibatasi atau dilarang sama sekali. Di indonesia frekuensi pemakaian dipiron cukup tinggi dan agranulositosis telah Universitas Sumatera Utara dilaporkan pada pemakaian obat ini, tetapi belum ada data tentang angka kejadiannya. Kesan bahwa orang indonesia tahan terhadap dipiron tidak dapat diterima begitu saja mengingat sistem pelaporan data efek samping belum memadai sehingga mungkin terjadi diskrasia darah ini. Dipiron juga dapat menimbulkan hemolisis, udem, tremor, mual dan muntah, perdarahan lambung dan anuria.Aminopirin tidak lagi diizinkan beredar di indonesia sejak tahun 1977 atas dasar kemungkinan membentuk nitrosamin yang bersifat karsinogenik. 15,16,56,59 Universitas Sumatera Utara 2.13. KERANGKA KONSEP Pembedahan (Trauma) Parasetamol Metamizol Inflamasi Menghambat pembentukan protaglandin Anestesi Umum Nyeri Nilai Wong-Baker Faces Pain Rating Scale FLACC scale Universitas Sumatera Utara