UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT KANKER DHARMAIS JL. S. PARMAN KAV. 84 – 86 SLIPI JAKARTA BARAT PERIODE 1 APRIL – 30 MEI 2014 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER MEIDI UTAMI PUTERI, S.Farm. 1306343832 ANGKATAN LXXVIII FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JULI 2014 Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT KANKER “DHARMAIS” JL. S. PARMAN KAV. 84 – 86 SLIPI JAKARTA BARAT PERIODE 1 APRIL – 30 MEI 2014 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker MEIDI UTAMI PUTERI, S.Farm. 1306343832 ANGKATAN LXXVIII FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2014 ii Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Laporan praktek kerja profesi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua baik yang dikutip atau dirujuk telah saya nyatakan dengan benar Nama : Meidi Utami Puteri NPM : 1306433832 Tanda Tangan : Tanggal : 04 Juli 2014 iv Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Angkatan LXXVIII Universitas Indonesia, yang diselenggarakan pada tanggal 1 April – 30 Mei 2014 di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jl. S. Parman Kav. 84 – 86 Slipi Jakarta Barat.. Kegiatan PKPA dan penyusunan laporan PKPA merupakan bagian dari kegiatan perkuliahan program pendidikan profesi apoteker dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan keterampilan mahasiswa. Setelah mengikuti kegiatan PKPA, diharapkan apoteker yang lulus nantinya dapat mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki kepada masyarakat pada saat memasuki dunia kerja. Dalam pelaksanaan kegiatan PKPA ini penulis tak luput mendapat banyak bantuan, bimbingan dan saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan penuh ketulusan dan kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Ibu Dra. Guswita, Apt, M.Si., selaku Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit serta selaku pembimbing I, atas bimbingan dan pengarahan selama pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker. 2. Ibu Santi Purna Sari S.Si., M.Si., Apt. selaku pembimbing II yang telah menyediakan waktu dan tenaga untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan laporan ini. 3. Bapak dr. Sonar Soni Panigoro, Sp.B.Onk, M.Epid. selaku Direktur Utama Rumah Sakit Kanker Dharmais; 4. Bapak Dr. Hayun, M.Si., Apt. selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. 5. Bapak Dr. Mahdi Jufri, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. 6. Keluarga penulis atas dukungan, perhatian, dan doa yang diberikan kepada penulis dalam melaksanakan kegiatan di Program Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. v Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 7. Seluruh staf Fakultas Farmasi Universitas Indonesia dan seluruh karyawan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Kanker Dharmais yang telah membantu selama pelaksanaan PKPA; 8. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah memberikan dukungan dalam penyusunan laporan ini. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat banyak kekurangan, namun diharapkan laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Depok, Juli 2014 Penulis vi Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama NPM Fakultas Jenis Karya : Meidi Utami Puteri : 1306343832 : Farmasi : Laporan kerja praktek profesi Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Jl. S. Parman Kav. 84-86 Jakarta Periode 1 April – 30 Mei 2014 beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Pada tanggal : Depok : 04 Juli 2014 Yang menyatakan (Meidi Utami Puteri) vii Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 ABSTRAK Nama NPM Program Studi Judul : Meidi Utami Puteri, S. Farm. : 1306433832 : Profesi Apoteker : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Jl. S. Parman Kav. 84-86 Jakarta Periode 1 April – 30 Mei 2014 Seiring dengan perkembangan zaman, orientasi praktik kefarmasian telah mengalami perubahan yang awalnya berorientasi pada produk menjadi berorientasi pada pasien. Apoteker sebagai tenaga profesi di rumah sakit memiliki peran yang sangat penting dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di bidang kefarmasian. Untuk dapat memberikan pelayanan kefarmasian yang baik di rumah sakit, seorang Apoteker harus memiliki kemampuan profesional dan pengetahuan yang memadai serta berorientasi kepada kepentingan pasien. Kemampuan profesional apoteker tidak terbatas pada sisi teknis kefarmasian saja, tapi juga dalam fungsi manajemen kefarmasian di rumah sakit. Oleh sebab itu, Fakultas Farmasi Universitas Indonesia bekerjasama dengan Rumah Sakit Kanker “Dharmais” untuk menyelenggarakan program Praktik Kerja Profesi Apoteker pada 1 April – 30 Mei 2014. Tugas Khusus dengan judul Evaluasi Pemberian Antibiotik Pasien Rawat Inap di Ruang Perawatan Anak periode 16 -20 mei 2014 bertujuan untuk mengetahui tingkat kerasionalan pemberian antibiotik di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit Kanker “Dharmais” dan Meningkatkan pengetahuan tentang fungsi, tugas, peran dan tanggung jawab Apoteker Farmasi Klinik di Rumah Sakit Kanker “Dharmais.” Kata Kunci : Antibiotik, Farmasi Klinik, Infeksi, Instalasi Farmasi, Rumah Sakit Kanker Dharmais, Ruang Perawatan Anak Tugas umum : xiv + 141 halaman; 8 gambar, 1 tabel, 37 lampiran Tugas Khusus : v + 55 halaman; 3 gambar, 33 tabel, 36 lampiran Daftar Acuan Tugas Umum : 10 (1997 – 2009) Daftar Acuan Tugas Khusus : 19 (1996 – 2013) viii Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 ABSTRACT Name NPM Program Study Title : Meidi Utami Puteri : 1306343832 : Apothecary profession : Report of Pharmacist Internship Program at Dharmais Cancer Hospital Jl. S. Parman Kav 84 - 86 Jakarta Period of April - May 2014 Along with the times, the orientation of pharmacy practice has changed which was originally product oriented turned into patient oriented. Pharmacist as professional workers in hospitals has a very important role in implementing health care in the field of pharmacy. To be able to give a good pharmacy services in hospitals, a pharmacist must have professional skills, adequate knowledge, and oriented to patient . The ability of professional pharmacists are not limited to the technical side of pharmacy, but also in pharmacy management functions in the hospital. Therefore, Faculty of Pharmacy, University of Indonesia coorporating with Dharmais Cancer Hospital organized Pharmacist Internship Program in April – Mei 2014. Specific Assignment titled Evaluation of Antibiotics Use in Pediatric Treatment Room period of May 16th -20th 2014 aims to determine the level of rationality antibiotic use and increase the knowledge about the functions, duties, roles and responsibilities of the Pharmacist in Clinical Pharmacy at the Dharmais Cancer Hospital. Keywords : Antibiotic, Clinical Pharmacy, Dharmais Cancer Hospital, Infection, Pediatric, Pharmacy General Assignment : xiv + 141 pages; 8 pictures, 1 table, 37 appendices Specific Assignment : v + 55 pages; 3 pictures, 33 tables, 36 appendices Bibliography of General Assignment: 10 (1997 – 2009) Bibliography of Specific Assignment: 19 (1996 - 2013) ix Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ................................................................................. i HALAMAN JUDUL .................................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................... iv KATA PENGANTAR .................................................................................. v HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................... vii ABSTRAK..................................................................................................... viii ABSTRACT .................................................................................................. ix DAFTAR ISI ...................................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xii DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Tujuan.......... .................................................................................... 2 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 3 2.1 Rumah Sakit ..................................................................................... 3 2.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) .............................................. 12 2.3 Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) ..................................................... 27 2.4 Formularium Rumah Sakit ............................................................... 29 BAB 3. TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT KANKER “DHARMAIS” ............ 31 3.1 Sejarah Rumah Sakit Kanker “Dharmais”......................................... 31 3.2 Visi, Misi, Moto, Falsafah, dan Budaya Kerja Rumah Sakit Kanker ”Dharmais” ...................................................................................... 32 3.3 Maksud dan Tujuan Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ................... 33 3.4 Fungsi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ........................................ 33 3.5 Kegiatan Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ................................... 34 3.6 Struktur Organisasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ...................... 34 3.7 Sarana dan Prasarana Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ................... 35 3.8 Akreditasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” .................................... 36 BAB 4. TINJAUAN UMUM INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT KANKER “DHARMAIS” ........................................................................ 37 4.1 Latar Belakang.................................................................................. 37 4.2 Visi, Misi, Moto, Falsafah, Tujuan, dan Fungsi ................................ 37 4.3 Struktur Organisasi ......................................................................... 39 4.4 Peran dan Kegiatan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ...................................................................................... 39 BAB 5. INSTALASI PENUNJANG : INSTALASI STERILISASI SENTRAL DAN BINATU, BIDANG REKAM MEDIK, DAN INSTALASI x Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 KESEHATAN LINGKUNGAN RUMAH SAKIT KANKER “DHARMAIS .......................................................................................... 50 5.1 Instalasi Sterilisasi Sentral dan Binatu (ISSB) Rumah Sakit Kanker “Dharmais”................... .................................................................... 50 5.2 Bagian Rekam Medis Rumah Sakit Kanker Dharmais ...................... 58 5.3 Instalasi Kesehatan Lingkungan (IKL) dan Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ................................... 61 BAB 6. PEMBAHASAN................... ..................................................................... 72 6.1 Manajemen Farmasi ......................................................................... 72 6.2 Produksi ........................................................................................... 87 6.3 Farmasi Klinik ................................................................................. 95 6.4. Instalasi Penunjang : Instalasi Sterilisasi Sentral dan Binatu, Instalasi Rekam Medik, Instalasi Kesehatan Lingkungan dan K3...... 99 BAB 7. PENUTUP......................... ....... ................................................................. 101 7.1 Kesimpulan ...................................................................................... 101 7.2 Saran ................................................................................................ 101 DAFTAR ACUAN ................................................................................................ 103 xi Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 DAFTAR GAMBAR Gambar 5.1. Alur Pelayanan Instalasi Sterilisasi Sentral (ISS) Rumah Sakit Kanker “Dharmais” .................................................................................................... 5.2. Alur Pengolahan Limbah Padat ..................................................................... 5.3. Alur Pengolahan Limbah Cair ....................................................................... 6.1. Alur Pelayanan Resep Pasien Rawat Inap Tunai ............................................ 6.2. Alur Pelayanan Resep Pasien JKN ................................................................ 6.3. Alur Pelayanan Resep SAFARJAN ............................................................... 6.4. Alur Pelayanan Resep Satelit Obat Tradisional .............................................. 6.5. Skema Pencampuran Obat Injeksi di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ......... xii Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 53 65 71 79 80 81 83 93 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Matriks VEN-ABC ............................................................................................ xiii Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 19 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. Struktur Organisasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais”...................... Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ...................................................................................... Struktur Organisasi ISSB ................................................................. Autoclave ......................................................................................... Contoh Indikator Kimia ................................................................... Contoh Indikator Biologi ................................................................. Alur Peminjaman Status Rawat Jalan ............................................... Alur Peminjaman Status Rawat Inap ................................................ Alur Pengembalian Status Rawat Jalan ............................................ Alur Pengembalian Status Rawat Inap ............................................. Alur Pasien Baru di RSKD .............................................................. Alur Pasien Lama atau yang Pernah Datang ke RSKD ..................... Insinerator ....................................................................................... Formulir Permintaan Obat Baru ....................................................... Material Request (MR) .................................................................... Surat Pesanan Barang ...................................................................... Blanko Surat Pesanan Narkotika ...................................................... Blanko Surat Pesanan Psikotropika .................................................. Berita Acara Penerimaan (BAP)....................................................... Dokumentasi Pengukuran Suhu dan Kelembapan............................. Kartu Stok Obat ............................................................................... Etiket Obat....................................................................................... Lembar Mutasi Barang .................................................................... Resep di RSKD ................................................................................ Formulir Bon Permintaan Barang..................................................... Kartu Indeks (Kardeks) .................................................................... Plastik Obat ..................................................................................... Formulir Pemantauan Obat dan Alkes Emergency ............................ Formulir Pelayanan Pencampuran IV Admixture .............................. Form Pencampuran Obat Kanker ..................................................... Formulir Pengkajian Resep .............................................................. Formulir Rekonsiliasi Obat .............................................................. Formulir Pemantauan Obat .............................................................. Formulir Catatan Pemberian Antibiotik ............................................ Formulir Monitoring Efek Samping Obat ......................................... Formulir Pelayanan Informasi Obat ................................................. Formulir Konseling Pasien ............................................................... xiv Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 140 141 Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hak untuk hidup sehat merupakan hak setiap rakyat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan termasuk pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Oleh karena itu, diperlukan pembangunan berkesinambungan. kesehatan Pembangunan secara kesehatan terpadu, diarahkan terintegrasi untuk dan mencapai kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Pelayanan kesehatan merupakan upaya yang diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta, dalam bentuk pelayanan kesehatan perorangan atau pelayanan kesehatan masyarakat. Rumah sakit merupakan salah satu unit pelaksana pelayanan kesehatan yang berfungsi untuk menyelenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan terhadap peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Pelayanan kefarmasian merupakan bagian dari pelayanan kesehatan di rumah sakit. Seiring dengan perkembangan zaman, kegiatan pelayanan kefarmasian saat ini telah mengalami perubahan yang awalnya berorientasi pada produk (product oriented) menjadi berorientasi pada pasien (patient oriented). Tujuan dari pelayanan kefarmasian rumah sakit diharapkan dapat mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang terkait dengan kesehatan. Selain itu, pelayanan farmasi juga harus dapat menjamin tersedianya obat yang bermutu di rumah sakit, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi masyarakat (Kementerian Kesehatan RI, 2004). 1 Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 Universitas Indonesia 2 Apoteker sebagai tenaga profesi di rumah sakit memiliki peran yang sangat penting dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di bidang kefarmasian. Untuk dapat memberikan pelayanan kefarmasian yang baik di rumah sakit, seorang Apoteker harus memiliki kemampuan profesional dan pengetahuan yang memadai serta berorientasi kepada kepentingan pasien. Kemampuan profesional apoteker tidak terbatas pada sisi teknis kefarmasian saja, mengingat fungsi manajemen juga merupakan suatu hal yang penting diperhatikan. Peran apoteker dalam pelayanan kesehatan penting terutama untuk menjaga keamanan pasien dalam pengobatan. Kegiatan yang dilakukan oleh apoteker harus sesuai dengan peraturan dan standar yang diberlakukan. Berdasarkan hal tersebut,untuk melengkapi teori dan meningkatkan tingkat kepahaman calon apoteker selama masa perkuliahan, Fakultas Farmasi Universitas Indonesia bekerjasama dengan Rumah Sakit Kanker “Dharmais” (RSKD) menyelenggarakan program Praktik Kerja Profesi Apoteker pada periode 1 April – 30 Mei 2014. Diharapkan melalui pengamatan secara langsung terhadap kegiatan yang dilakukan di rumah sakit khususnya di bagian instalasi farmasi, calon apoteker menjadi lebih siap untuk terjun langsung ke dunia profesi apoteker di rumah sakit. 1.1 Tujuan Tujuan pelaksanaan Praktik Kerja Profesi Apoteker di RSKD adalah sebagai berikut : 1. Memahami tugas pokok dan fungsi Instalasi Farmasi RSKD. 2. Memahami peran dan tanggung jawab Apoteker di Instalasi Farmasi RSKD. 3. Mengetahui kegiatan yang dilakukan di Instalasi/Unit Penunjang di RSKD. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Definisi rumah sakit menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit adalah suatu institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu serta berkesinambungan. Rumah sakit juga dapat didefinisikan secara umum sebagai suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan alat ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik (Siregar dan Amalia, 2004). Rumah sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial (Presiden Republik Indonesia, 2009b). 2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Dalam melaksanakan tugasnya, rumah sakit mempunyai berbagai fungsi yaitu menyediakan, dan menyelenggarakan pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, pelayanan dan asuhan keperawatan, pelayanan rujukan, pelayanan rehabilitatif serta pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Selain itu rumah sakit berfungsi sebagai tempat pelatihan, pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan serta administrasi umum dan keuangan (Siregar dan Amalia, 2004). Secara lebih ringkas fungsi rumah sakit yaitu : 3 Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 Universitas Indonesia 4 a. Pelayanan pasien Pelayanan pasien yang langsung di rumah sakit terdiri atas pelayanan medis, pelayanan farmasi dan pelayanan keperawatan. Di samping itu untuk mendukung pelayanan medis, rumah sakit juga mengadakan pelayanan berbagai jenis laboratorium. Pelayanan pasien terbagi menjadi dua yaitu pelayanan pasien rawat inap dan rawat jalan. Pelayanan pasien rawat jalan, dewasa ini semakin penting sebagai fungsi dan tanggungjawab rumah sakit kepada komunitas karena pelayanan ini bersifat pencegahan penyakit yang lebih parah dan juga untuk peningkatan kesehatan. Pelayanan pasien melibatkan pemeriksaan dan diagnosis, pengobatan kesakitan atau luka, pengobatan pencegahan, rehabilitasi, perawatan, pemulihan, dan pelayanan tertentu lainnya (Siregar dan Amalia, 2004). b. Pendidikan dan Pelatihan Pendidikan sebagai suatu fungsi rumah sakit terdiri atas dua bentuk utama yaitu : 1) Pendidikan dan pelatihan profesi kesehatan Program pendidikan rumah sakit mencakup program formal (kedokteran dan perawat); program “in-service training” untuk personal profesional, seperti residen dan program “on the job training” untuk personal non profesional. Program itu penting karena memberikan pengalaman pembelajaran praktek yang perlu dalam penyelamatan hidup manusia (Siregar dan Amalia, 2004). 2) Pendidikan dan pelatihan pasien. Pendidikan dan pelatihan pasien merupakan suatu fungsi Rumah sakit yang penting dalam suatu lingkup yang jarang disadari oleh masyarakat. Pendidikan tentang obat sangat penting diberikan kepada pasien, untuk meningkatkan kepatuhan, mencegah penyalahgunaan obat, dan meningkatkan hasil terapi yang optimal dengan penggunaan obat yang sesuai dan tepat (Siregar dan Amalia, 2004). c. Penelitian Rumah sakit melakukan penelitian sebagai suatu fungsi vital untuk dua maksud utama, yaitu memajukan pengetahuan medik tentang penyakit dan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 5 peningkatan atau perbaikan pelayanan rumah sakit. Kedua maksud tersebut ditujukan pada tujuan dasar dari pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi penderita. Contoh kegiatan penelitian dalam rumah sakit mencakup merencanakan prosedur diagnosis yang baru, melakukan percobaan laboratorium dan klinik, pengembangan dan menyempurnakan prosedur pembedahan baru, mengevaluasi obat investigasi, dan penelitian formulasi obat yang baru (Siregar dan Amalia, 2004). d. Kesehatan Masyarakat Tujuan utama dari fungsi rumah sakit yang keempat ialah membantu komunitas dalam mengurangi timbulnya kesakitan (illness) dan meningkatkan kesehatan umum penduduk. Contoh kegiatan kesehatan masyarakat adalah hubungan kerja yang erat dari rumah sakit yang mempunyai bagian kesehatan masyarakat untuk penyakit menular, partisipasi dalam program deteksi penyakit, seperti tuberkulosis (TBC), diabetes, hipertensi dan kanker, partisipasi dalam program inokulasi masyarakat seperti terhadap influenza dan poliomielitis, serta partisipasi bagian layanan ambulatori dalam pendidikan praktik kesehatan rutin yang lebih baik, dan lain-lain. Apoteker rumah sakit mempunyai peluang memberikan kontribusi pada fungsi ini dengan mengadakan brosur informasi kesehatan, pelayanan pada penderita rawat jalan dan dengan memberi konseling tentang penggunaan obat yang aman dan tindakan pencegahan keracunan (Siregar dan Amalia, 2004). e. Pelayanan Rujukan Upaya Kesehatan Pelayanan rujukan merupakan suatu upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggungjawab timbal balik atas kasus atau masalah yang timbul, baik secara vertikal maupun horizontal kepada pihak yang mempunyai fasilitas yang lebih lengkap dan mempunyai kemampuan lebih tinggi (Siregar dan Amalia, 2004). Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, rumah sakit memiliki tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang meliputi promotif, preventif, kuratif, Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 6 dan rehabilitatif. Untuk menjalankan tugas tersebut, maka rumah sakit memiliki fungsi: a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan Standar Pelayanan Rumah Sakit. b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna, tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis. c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan. d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan. 2.1.3 Jenis dan Klasifikasi Rumah Sakit Tujuan pengklasifikasikan rumah sakit agar dapat mengadakan evaluasi yang lebih tepat untuk penggolongan rumah sakit. Ada beberapa jenis pengklasifikasi rumah sakit, yaitu: Menurut Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya. Berdasarkan jenis pelayanannya, rumah sakit dibagi menjadi dua, yaitu: a. Rumah Sakit Umum Rumah Sakit Umum adalah rumah sakit memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. b. Rumah Sakit Khusus Rumah Sakit Khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. Berdasarkan pengelolaannya, rumah sakit dibagi menjadi dua yaitu: a. Rumah Sakit Publik Rumah Sakit Publik dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah Sakit Publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rumah Sakit Publik yang dikelola Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 7 Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak dapat dialihkan menjadi Rumah Sakit Privat. b. Rumah Sakit Privat Rumah Sakit Privat dapat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit y yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero. Rumah sakit dapat ditetapkan menjadi Rumah Sakit Pendidikan setelah memenuhi persyaratan dan standar rumah sakit pendidikan. Rumah Sakit Pendidikan ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan Menteri yang membidangi urusan pendidikan. Rumah Sakit pendidikan merupakan Rumah Sakit yang menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya. Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit. Klasifikasi Rumah Sakit Umum (RSU) berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 340/MENKES/PER/2010, terdiri atas: a. RSU kelas A adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain dan 13 (tiga belas) subspesialis, meliputi Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik Spesialis lain, Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Medik Subspesialis, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, dan Pelayanan Penunjang Non Klinik. Jumlah tempat tidur minimal 400 (empat ratus) buah. b. RSU kelas B adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2 (dua) subspesialis dasar, meliputi : Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik Spesialis lain, Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Medik Subspesialis, Pelayanan keperawatan dan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 8 Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan, Penunjang Non Klinik. Jumlah tempat tidur minimal 200 (dua ratus) buah. c. RSU kelas C adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan Pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik, meliputi Pelayanan Medik Umum Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan, Penunjang Non Klinik. Jumlah tempat tidur minimal 100 (seratus) buah. d. RSU kelas D adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar, meliputi Pelayanan Spesialis Dasar sekurang-kurangnya 2 (dua) dari 4 (empat) jenis pelayanan spesialis dasar meliputi Pelayanan penyakit Dalam, Kesehatan Anak, Bedah, Obstetri dan Ginekologi. Jumlah tempat tidur minimal 50 (lima puluh) buah. Rumah Sakit Khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang jenis penyakit tertentu, berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ atau jenis penyakit. Jenis Rumah Sakit Khusus antara lain Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak, Jantung, Kanker, Orthopedi, Paru, Jiwa, Kusta, Mata, Ketergantungan Obat, Stroke, Penyakit Infeksi, Bersalin,Gigi dan Mulut, Rehabilitasi Medik, Telinga Hidung Tenggorokan, Bedah, Ginjal, Kulit dan Kelamin. Rumah sakit khusus diklasifikasikan menjadi tiga yakni: a. Rumah Sakit Khusus Kelas A Rumah Sakit Khusus kelas A adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap. b. Rumah Sakit Khusus Kelas B Rumah Sakit Khusus kelas B adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang terbatas. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 9 c. Rumah Sakit Khusus Kelas C Rumah Sakit Khusus kelas C adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang minimal. Rumah sakit berdasarkan status akreditasi terdiri atas rumah sakit yang telah diakreditasi dan rumah sakit yang belum diakreditasi. Rumah sakit yang telah diakreditasi adalah rumah sakit yang telah diakui secara formal oleh suatu badan sertifikasi yang diakui, yang menyatakan bahwa suatu rumah sakit telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan tertentu (Siregar dan Amalia., 2004). Standar pelayanan rumah sakit terdiri dari 16 kelompok kerja (POKJA) yaitu: 1) Administrasi dan Manajemen 2) Pelayanan Medis 3) Pelayanan Gawat Darurat 4) Pelayanan Keperawatan 5) Rekam Medik 6) Pelayanan Farmasi 7) Keselamatan Kerja, Kebakaran, dan Kewaspadaan Bencana 8) Pelayanan Radiologi 9) Pelayanan Laboratorium 10) Kamar Operasi 11) Pelayanan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (DALIN) 12) Pelayanan Perinatal Resiko Tinggi 13) Pelayanan Rehabilitasi Medik 14) Pelayanan Gizi 15) Pelayanan Intensif 16) Pelayanan Darah Penilaian tahap I meliputi point 1-5, tahap II meliputi point 1-2 dan tahap III meliputi point 1-16. Setiap pelayanan dari POKJA tersebut memuat sebagian atau seluruh standar yaitu: Standar 1. Falsafah dan tujuan Standar 2. Administrasi dan pengelolaan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 10 Standar 3. Staf dan pimpinan Standar 4. Fasilitas dan peralatan Standar 5. Kebijakan dan prosedur Standar 6. Pengembangan staf dan program pendidikan Standar 7. Evaluasi dan pengembangan mutu Tahap awal akreditasi rumah sakit adalah penilaian lima standar pelayanan pertama. Jika kelima POKJA tersebut sudah dinyatakan lulus, tiga tahun kemudian dilanjutkan hingga standar pelayanan kedua belas dan diteruskan penilaiannya hingga standar pelayanan keenam belas. Penilaian rumah sakit tersebut dilakukan Instrument Self Assesment yang disusun oleh Departemen Kesehatan yang dapat dilaksanakan secara intern oleh rumah sakit yang bersangkutan dan oleh badan yang dibentuk Kementerian Kesehatan RI yang disebut KARS (Komite Akreditasi Rumah Sakit) (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1999). Dalam suatu penilaian ada 4 hasil keputusan akreditasi yaitu: a. Tidak terakreditasi Rumah sakit tidak mendapat status akreditasi jika belum mampu memenuhi standar yang ditetapkan, ada satu atau lebih kegiatan pelayanan yang memperoleh skor kurang dari 65%. atau perolehan rata-rata dari semua kegiatan pelayanan yang dinilai hanya mencapai 65% atau kurang. b. Akreditasi bersyarat Rumah sakit telah memenuhi syarat minimal, tetapi belum cukup karena ada beberapa pelayanan dengan rekomondasi khusus (skor minimal 65% dan setiap bidang tidak mempunyai nilai kurang dari 60%). Diberikan waktu 1 tahun untuk perbaikan. c. Akreditasi penuh Rumah sakit telah dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh komisi akreditasi rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya. Total skor minimal adalah 75% dan dari masing-masing bidang pelayanan skor tidak ada yang kurang dari 60%. Berlaku untuk 3 tahun rumah sakit yang bersangkutan, dapat mengajukan permohonan untuk akreditasi pada periode berikutnya yaitu 3 bulan sebelum masa berlakunya status masa akreditasi berakhir. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 11 d. Akreditasi istimewa Rumah sakit lulus akreditasi 3 periode berturut-turut akan memperoleh status akreditasi untuk 5 tahun ke depan (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1999). Akan tetapi, mulai tahun 2012 akan diberlakukan sistem akreditasi yang baru yaitu sistem akreditasi KARS 2012. Dengan adanya sistem akreditasi KARS 2012 akan merubah paradigma. Awalnya tujuan rumah sakit melakukan akreditasi hanya semata-mata untuk kelulusan, tetapi sekarang juga menekankan pada pelayanan berfokus pada pasien serta kesinambungan pelayanan dan menjadikan keselamatan pasien sebagai standar utama. Hasil survei penilaian atau kelulusan untuk sistem akreditasi KARS 2012 ini berupa level pencapaian yang merupakan upaya pencapaian RS terhadap penilaian yang ditentukan. Level tersebut adalah dasar, madya, utama, dan pencapaian tertinggi adalah paripurna. Sistem ini berlaku pada Juli 2012 sesuai dengan. Tingkat penilaian kelulusan akreditasi antara lain: 1. Sasaran Keselamatan Pasien Rumah Sakit 2. Hak Pasien dan Keluarga (HPK) 3. Pendidikan Pasien dan Keluarga (PPK) 4. Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP) 5. Millenium Development Goal’s (MDG’s) 6. Akses Pelayanan dan Kontinuitas pelayanan (APK) 7. Asesmen Pasien (AP) 8. Pelayanan Pasien (PP) 9. Pelayanan Anastesi dan Bedah (PAB) 10. Manajemen Penggunaan Obat (MPO) 11. Manajemen Komunikasi dan Informasi (MKI) 12. Kualifikasi dan Pendidikan Staf (KPS) 13. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) 14. Tata Kelola, Kepemimpinan dan Pengarahan (TKP) 15. Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 12 2.1.4 Struktur Organisasi Struktur organisasi rumah sakit umumnya terdiri atas badan pengurus yayasan, dewan pembina, dewan penyantun, badan penasehat dan badan penyelenggara. Badan Penyelenggara terdiri atas direktur, wakil direktur, komite medik, satuan pengawas dan berbagai bagian dari instalasi. Sebuah rumah sakit bisa memiliki lebih dari seorang wakil direktur, tergantung pada besarnya rumah sakit. Wakil direktur pada umumnya terdiri atas wakil direktur pelayanan medik, wakil direktur penunjang medik dan keperawatan, serta wakil direktur keuangan dan administrasi. Staf Medik Fungsional (SMF) berada di bawah koordinasi komite medik. SMF terdiri atas dokter umum, dokter gigi dan dokter spesialis dari semua disiplin yang ada di suatu rumah sakit. Komite medik adalah wadah non struktural yang keanggotaannya terdiri atas ketua-ketua SMF (Siregar dan Amalia, 2004). 2.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) 2.2.1 Definisi IFRS IFRS merupakan suatu unit atau fasilitas rumah sakit tempat diselenggarakannya semua kegiatan kefarmasian untuk keperluan rumah sakit tersebut dan bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian, yang terdiri atas: 1. Pelayanan paripurna yang mencakup perencanaan; pengadaan; produksi; penyimpanan perbekalan kesehatan/sediaan farmasi; dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita rawat tinggal dan rawat jalan; pengendalian mutu; serta pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh perbekalan kesehatan di rumah sakit. 2. Pelayanan farmasi klinik umum dan spesialis, mencakup pelayanan langsung pada pasien dan pelayanan klinik yang merupakan program rumah sakit secara keseluruhan. IFRS dipimpin oleh seorang apoteker dengan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan kompeten secara profesional (Siregar & Amalia, 2004). Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 13 2.2.2 Tujuan IFRS IFRS harus mempunyai sasaran jangka panjang yang merupakan arah dari kegiatan harian yang dilakukan, yakni berupa visi-misi, sasaran, dan tujuan. Adapun tujuan kegiatan IFRS antara lain (Siregar dan Amalia, 2004): 1. Memberi manfaat pada penderita, rumah sakit, sejawat profesi kesehatan dan kepada profesi farmasi oleh apoteker rumah sakit yang kompeten dan memenuhi syarat, 2. Membantu dalam penyediaan perbekalan yang memadai oleh apoteker rumah sakit yang memenuhi syarat, 3. Menjamin praktek profesional yang bermutu tinggi melalui penetapan dan pemeliharaan standar etika profesional, pendidikan dan pencapaian, dan melalui peningkatan kesejahteraan ekonomi, 4. Meningkatkan penelitian dalam praktek farmasi rumah sakit dan dalam ilmu farmasetik pada umumnya, 5. Menyebarkan pengetahuan farmasi dengan mengadakan pertukaran informasi antara apoteker rumah sakit, anggota profesi dan spesialis yang serumpun, 6. Memperluas dan memperkuat kemampuan apoteker rumah sakit untuk: a. Secara efektif mengelola suatu pelayanan farmasi yang terorganisasi, b. Mengembangkan dan memberikan pelayanan klinik, c. Melakukan dan berpartisipasi dalam penelitian klinik dan farmasi dan dalam program edukasi untuk praktisi kesehatan, penderita, mahasiswa dan masyarakat. 7. Meningkatkan pengetahuan dan pengertian praktik farmasi rumah sakit kontemporer bagi masyarakat, pemerintah, industri farmasi dan profesional kesehatan lainnya 8. Membantu menyediakan personal pendukung yang bermutu untuk IFRS 9. Membantu dalam pengembangan dan kemajuan profesi kefarmasian. 2.2.3 Tugas dan Tanggung Jawab IFRS Tugas utama IFRS adalah pengelolaan perbekalan farmasi, yang meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, penyiapan, peracikan, pelayanan langsung kepada pasien, sampai dengan pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan dalam rumah sakit. Jadi, IFRS merupakan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 14 satu-satunya unit di rumah sakit yang bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya pada pengelolaan semua aspek yang berkaitan dengan obat/perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan di rumah sakit tersebut. Selain itu, IFRS harus menyediakan terapi obat yang optimal bagi semua penderita dan menjamin pelayanan bermutu tertinggi dan yang paling bermanfaat dengan biaya minimal. IFRS juga bertanggung jawab untuk mengembangkan pelayanan farmasi yang luas dan terkoordinasi dengan baik dan tepat untuk kepentingan pelayanan pasien yang lebih baik (Siregar dan Amalia, 2004). 2.2.4. Fungsi Dasar IFRS (Siregar & Amalia, 2004) Fungsi dasar secara umum dari berbagai bagian (departemen) yang terdapat di rumah sakit, termasuk IFRS adalah: 1. Memberikan dan mengevaluasi pelayanan dalam mendukung pelayanan medis yang mengikuti dan sesuai dengan tujuan dan kebijakan rumah sakit. 2. Menerapkan dalam pelayanan departemental, filosofi, tujuan, kebijakan, dan standar dari rumah sakit. 3. Mengadakan dan menerapkan suatu rencana kewenangan administrasi departemen yang secara jelas menetapkan tanggung jawab dan tugas untuk tiap kategori personel. 4. Berpartisipasi dalam mengkoordinasikan berbagai fungsi departemen dengan berbagai fungsi dari semua departemen dari berbagai pelayanan lain di rumah sakit. 5. Menilai persyaratan bagi departemen dan membuat rekomendasi serta menerapkan kebijakan dan prosedur untuk memelihara staf yang cukup dan kompeten. 6. Menyediakan cara dan metode yang personelnya dapat bekerja dengan kelompok lain dalam mengartikan tujuan rumah dan departemen untuk pasien dan komunitas. 7. Mengembangkan dan memelihara suatu sistem yang efektif dari rekaman dan laporan klinik dan atau administratif. 8. Menilai kebutuhan fasilitas perbekalan dan peralatan, serta menerapkan suatu sistem untuk evaluasi, pengendalian, dan pemeliharaan. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 15 9. Berpartisipasi dalam dan taat pada rencana pengoperasian keuangan untuk rumah sakit. 10. Memprakarsai, menggunakan dan atau berpartisipasi dalam proyek studi atau penelitian yang ditujukan untuk peningkatan pelayanan pasien dan peningkatan pelayanan administratif dan pelayanan rumah sakit lainnya. 11. Mengadakan dan menerapkan suatu program pendidikan berkelanjutan bagi semua personel. 12. Berpartisipasi dalam dan atau memberikan kemudahan kepada semua program pendidikan termasuk pengalaman praktik mahasiswa dalam departemen. 13. Berpartisipasi dalam dan taat pada program keselamatan atau keamanan rumah sakit. 2.2.5. Ruang Lingkup Fungsi IFRS 2.2.5.1 Fungsi Klinik Fungsi klinik adalah fungsi yang secara langsung dilakukan sebagai bagian terpadu dari perawatan pasien atau memerlukan interaksi dengan professional kesehatan lain yang secara langsung terlibat dalam pelayanan pasien. Berdasarkan SK Menkes No.1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi pengkajian resep, dispensing, pemantauan dan pelaporan efek samping obat, pelayanan informasi obat, konseling, pemeriksaan kadar obat dalam darah, ronde/visite pasien, pengkajian penggunaan obat. Farmasi klinik ini memerlukan pengumpulan data dan interpretasi data penderita serta keterlibatan penderita dan interaksi langsung antarprofesional. Fungsi farmasi klinik yang berkaitan secara langsung dengan penderita yaitu fungsi dalam proses penggunaan obat, mencakup wawancara sejarah penggunaan obat pasien, diskusi dengan dokter dan perawat mengenai pemilihan regimen obat pada pasien tertentu, interpretasi resep/order obat; pembuatan Profil Pengobatan Penderita (P3); pemantauan efek obat pada pasien; edukasi pasien; konseling dengan pasien yang akan pulang; pelayanan farmakokinetika klinik; pelayanan pencampuran sediaan intravena; dan pelayanan pencampuran nutrisi parenteral. Sesuai dengan karakteristik dan defenisi pelayanan farmasi klinik ada tiga komponen utama yang mendasari peranan klinik dalam pelayanan farmasi di Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 16 rumah sakit yaitu komunikasi, konseling dan konsultasi. Menurut Siregar (2004), pada prinsipnya aktivitas farmasi klinik meliputi: 1. Pemantauan pengobatan. Hal ini dilakukan dengan menganalisis terapi, memberikan masukan kepada praktisi kesehatan tentang kebenaran pengobatan, dan memberikan pelayanan kefarmasian pada pasien secara langsung., 2. Seleksi obat. Aktivitas ini dilakukan dengan bekerja sama dengan dokter dan pemegang kebijakan di bidang obat dalam penyusunan formularium obat atau daftar obat yang digunakan, 3. Pemberian informasi obat. Farmasis bertanggug jawab mencari informasi dan melakukan evaluasi literatur ilmiah secara kritis, dan kemudian mengatur pelayanan informasi obat untuk praktisi pelayanan kesehatan dan pasien, 4. Penyiapan dan peracikan obat. Farmasis bertugas menyiapkan dan meracik obat sesuai dengan standar dan kebutuhan pasien, 5. Penelitian dan studi penggunaan obat. Kegiatan farmasi klinik antara lain meliputi studi penggunaan obat, farmakoepidemiologi, farmakovigilansi, dan farmakoekonomi, 6. Therapeutic drug monitoring (TDM). Farmasi klinik bertugas menjalankan pemantauan kadar obat dalam darah pada pasien dan melihat profil farmakokinetik untuk optimasi regimen dosis obat, 7. Uji klinik. Farmasis juga terlibat dalam perencanaan dan evaluasi obat, serta berpartisipasi dalam uji klinik, 8. Pendidikan dan pelatihan, terkait dengan pelayanan kefarmasian. 2.2.5.2 Fungsi Non-Klinik Fungsi non klinik biasanya tidak secara langsung dilakukan sebagai bagian dari pelayanan pasien, seringkali merupakan tanggung jawab apoteker rumah sakit, serta tidak memerlukan interaksi dengan profesional kesehatan lain, meskipun semua pelayanan farmasi harus disetujui oleh staf medik melalui Panitia Farmasi dan Terapi (PFT). Lingkup fungsi farmasi non klinik meliputi perencanaan; penetapan spesifikasi produk dan pemasok; pengadaan; pembelian; produksi; penyimpanan; pengemasan dan pengemasan kembali; distribusi; dan pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan di rumah Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 17 sakit secara keseluruhan. Fungsi non klinik juga meliputi pengelolaan perbekalan farmasi diantaranya (Quick, 1997): 1) Pemilihan Merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. Penentuan pemilihan obat merupakan peran aktif apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi untuk menetapkan kualitas dan efektifitas, serta jaminan purna transaksi pembelian. 2) Perencanaan Merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain metode konsumsi dan metode epidemiologi atau dapat pula dengan mengkombinasikan kedua metode konsumsi dan epidemiologi untuk mempertajam analisis perencanaan yang kemudian akan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Pedoman perencanaan berdasarkan dari acuan buku– buku seperti Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), Formularium Rumah Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit, ketentuan setempat yang berlaku yang terdiri dari data catatan medik, anggaran yang tersedia, penetapan prioritas, siklus penyakit, sisa persediaan, data pemakaian periode yang lalu dan rencana pengembangan. Untuk dapat melakukan perencanaan perbekalan farmasi yang baik maka diperlukan suatu metode perencanaan. Ada dua metode perencanaan yang biasa digunakan, yaitu: a. Metode konsumsi, dibuat berdasarkan data konsumsi periode sebelumnya, b. Metode epidemiologi, dibuat berdasarkan pola penyakit di rumah sakit periode sebelumnya maupun pola penyakit di sekitar rumah sakit yang diperkirakan akan terjadi. Setelah dilakukan perhitungan perencanaan kebutuhan perbekalan farmasi akan diperoleh jenis dan jumlah obat serta perbekalan kesehatan yang harus Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 18 diadakan oleh IFRS. Kemudian hasil tersebut idealnya diikuti dengan evaluasi untuk menentukan tingkat persediaan yang efisien, memberikan perhatian pada jenis persediaan tertentu, dan memanfaatkan modal kerja (working capital) sebaik-baiknya. Terdapat dua metode analisis mekanisme evaluasi perhitungan perencanaan, yaitu: a. Analisis ABC Alokasi anggaran dapat didominasi hanya oleh sebagian kecil atau beberapa jenis perbekalan farmasi saja. Suatu jenis perbekalan farmasi dapat memakan anggaran besar karena penggunaannya banyak, atau harganya mahal. Dengan analisis ABC, jenis-jenis perbekalan farmasi ini dapat diidentifikasi, untuk kemudian dilakukan evaluasi lebih lanjut. Kriteria kelas dalam klasifikasi ABC adalah: - Kelas A: persediaan yang memiliki volume rupiah yang tinggi. Kelas ini mewakili sekitar 75-80% dari total nilai penjualan, meskipun jumlahnya hanya sekitar 10-20% dari seluruh item. Memiliki dampak biaya yang tinggi. Pengendalian khusus dilakukan secara intensif. - Kelas B: persediaan yang memiliki volume rupiah yang menengah. Kelas ini mewakili sekitar 10-20% dari total nilai persediaan, meskipun jumlahnya hanya sekitar 15-20% dari seluruh item. Pengendalian khusus dilakukan secara moderat. - Kelas C: persediaan yang memiliki volume rupiah yang rendah. Kelas ini mewakili sekitar 60-8 % dari total nilai persediaan, tapi mewakili 510% dari total penjualan. Pengendalian khusus dilakukan secara sederhana. b. Analisis VEN Analisis VEN adalah suatu cara untuk mengelompokkan obat berdasarkan kepada dampak tiap jenis obat pada kesehatan. Semua jenis obat dalam daftar obat dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok yaitu: - V (Vital) Kelompok obat yang berpotensi untuk menyelamatkan kehidupan (life saving drugs). Merupakan obat yang dapat mengatasi penyakit Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 19 penyebab kematian terbesar dan obat-obatan untuk pelayanan kesehatan dasar. Contoh: obat diabetes dan hipertensi. - E (Esensial) Kelompok obat yang efektif untuk menyembuhkan penyakit yang kurang parah atau secara signifikan dapat mengurangi penderitaan pasien, tetapi kelompok obat ini tidak benar-benar penting digunakan untuk pelayanan kesehatan dasar. Contoh: obat-obat fast-moving. - N (Non esensial) Kelompok obat yang digunakan untuk penyakit ringan yang dapat sembuh sendiri (self limiting disease), perbekalan farmasi yang diragukan manfaatnya, perbekalan farmasi yang mahal namun tidak mempunyai kelebihan manfaat dibanding perbekalan farmasi lainnya. Contoh obat yang termasuk jenis obat Non-essensial adalah vitamin, suplemen dan lain-lain. Pada praktiknya, dengan tujuan untuk mempertajam analisis maka dapat juga digunakan metode kombinasi Analisis ABC-VEN. Metode kombinasi ini digunakan untuk melakukan prioritas pengadaan obat sesuai dengan alokasi anggaran yang tersedia. Gabungan analisis ABC dan VEN dapat dituangkan melalui matriks ABC-VEN. Matriks ini dapat dijadikan dasar dalam menetapkan prioritas untuk menyesuaikan anggaran atau perhatian dalam pengelolaan persediaan. Semua obat vital dan esensial dalam kelompok A, B, dan C hendaknya disediakan, tetapi kuantitasnya disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk obat nonesensial dalam kelompok A tidak diprioritaskan, sedangkan kelompok B dan C pengadaannya disesuaikan dengan kebutuhan. Tabel 2.1 Matriks VEN – ABC Kategori A B C V VA VB VC E EA EB EC N NA NB NC Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 20 3) Pengadaan Merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui, melalui pembelian yang dilakukan secara tender (oleh Panitia Pembelian Barang Farmasi) pabrik/distributor/pedagang besar dan secara farmasi/rekanan; langsung dari produksi/pembuatan sediaan farmasi yang terdiri dari produksi steril dan non steril serta pengadaan melalui sumbangan/droping/hibah. Metode untuk melakukan pengadaan yaitu: a. Open tender (tender terbuka), merupakan sistem terbuka bagi produsen dan distributor obat dan alat kesehatan untuk mengajukan penawaran, dengan persyaratan dan kriteria yang ditetapkan pihak rumah sakit, tender diumumkan di media massa. b. Restricted tender (tender tertutup), merupakan sistem tender bagi produsen dan distributor tertentu yang telah memenuhi persyaratan dan kriteria yang ditetapkan, lebih menghemat biaya dan waktu. c. Negotiated procurement (sistem kontrak), merupakan sistem pengadaan dengan menyusun perjanjian kontrak jual beli antara rumah sakit dan pemasok. Biasanya untuk barang-barang yang sulit didapatkan dan harus tersedia di rumah sakit dan pihak supplier dapat menjamin ketersediaan barang tersebut. d. Direct procurement (pemesanan langsung), merupakan sistem pengadaan dengan membeli langsung barang yang dibutuhkan oleh rumah sakit kepada pemasok, biasanya untuk mengurangi resiko kerusakan barang selama penyimpanan dan untuk obat-obat yang harganya mahal, yang penggunaannya belum jelas. 4) Penerimaan Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung, tender, konsinyasi atau sumbangan. Pedoman dalam penerimaan perbekalan farmasi pabrik harus mempunyai Sertifikat Analisa, barang harus bersumber dari distributor utama, harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS), khusus untuk alat kesehatan/kedokteran harus mempunyai certificate of origin, dan expired date minimal 2 tahun. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 21 5) Penyimpanan Penyimpanan adalah suatu kegiatan menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai aman dan memenuhi syarat. Penyediaan perbekalan farmasi harus disimpan oleh tenaga yang kompeten, terdidik, terlatih dan mempunyai izin untuk menangani yaitu apoteker. Tujuan dari penyimpanan perbekalan farmasi: a. Memelihara mutu obat b. Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab c. Menjaga kelangsungan persediaan d. Memudahkan pencarian dan pengawasan e. Memudahkan pengawasan persediaan (stok), kerusakan dan kadaluarsa f. Menjamin keamanan dari pencurian dan kebakaran g. Menjamin pelayanan yang cepat dan cepat Syarat penyimpanan : a. Accesibility: mudah diakses b. Utilities: memiliki sumber listrik, air, AC dan sebagainya. c. Communicatio: memiliki alat komunikasi (misalkan: telepon) d. Drainage: berada di lingkungan yang baik denga sistem pengairan yang baik e. Size: harus cukup menampung barang yang ada f. Security: aman dari pencurian, penyalahgunaan dan hewan pengganggu. Sistem penyimpanan perbekalan farmasi yang ada: a. Berdasarkan bentuk sediaan, dipisahkan antara sediaan padat (misal: tablet) dan cair (misal: syrup) dan alat kesehatan, b. Alphabetis, penyimpanan berdasarkan huruf depan dari nama obat dan disusun dari huruf A sampai Z, c. Berdasarkan kelas terapi atau farmakoterapi, menyangkut tentang indikasi obat yang disimpan misalnya antibiotik, antidiabetes, antihipertensi, obat batuk, d. Berdasarkan suhu, dibagi berdasarkan suhu kamar, sejuk, kering dan suhu < 0o C misalnya suppositoria, injeksi, vaksin, Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 22 e. Obat-obat yang mudah terbakar, seperti eter, anastetik lokal, gas medic (misalnya: CO2, nitrogen dan oksigen), dan obat sitostatik disimpan ditempat tersendiri, f. Obat narkotika dan obat keras tertentu disimpan tersendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan, g. Sistem FIFO dan FEFO atau kombinasi keduanya untuk menghindari terjadinya stok yang kadaluarsa. 6) Pendistribusian Merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk menunjang pelayanan medis. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada, metode sentralisasi atau desentralisasi, sistem floor stock, resep individu, dispensing dosis unit atau kombinasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 pendistribusian perbekalan farmasi dibagi menjadi tiga yaitu: a. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Inap Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat inap di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi dengan sistem persediaan lengkap di ruangan, sistem resep perorangan, sistem unit dosis dan sistem kombinasi oleh Satelit Farmasi. b. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Jalan Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat jalan di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi dengan sistem resep perorangan oleh Apotek Rumah Sakit. c. Pendistribusian Perbekalan Farmasi di luar Jam Kerja Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien di luar jam kerja yang diselenggarakan oleh apotek Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 23 rumah sakit/satelit farmasi yang dibuka 24 jam dan ruang rawat yang menyediakan perbekalan farmasi emergensi. Secara umum ada empat sistem distribusi obat di rumah sakit, yaitu (Siregar dan Amalia, 2004): a. Sistem Distribusi Obat Resep Individual (Individual Prescription) Sistem distribusi obat resep individual sentralisasi adalah tatanan kegiatan penghantaran sediaan obat oleh IFRS sentral sesuai dengan yang ditulis pada order atau resep atas nama Pasien Rawat Tinggal (PRT) tertentu melalui perawat ke ruang penderita tersebut. Semua obat yang diperlukan untuk pengobatan di-dispensing dari IFRS. Resep oleh perawat di kirim ke IFRS, kemudian resep itu di proses sesuai dengan cara dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada pasien. b. Sistem Distribusi Obat Persediaan Lengkap di Ruang (Floor Stock) Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang adalah tatanan kegiatan penghantaran sediaan obat sesuai dengan yang ditulis dokter pada order obat, yang disiapkan dari persediaan di ruang oleh perawat dan dengan mengambil dosis/unit obat dari wadah persediaan yang langsung diberikan kepada penderita di ruang itu. Dalam sistem ini semua persediaan obat di ruang di suplai oleh IFRS. Biasanya sekali seminggu personel IFRS memeriksa persediaan obat di ruang, lalu menambah obat, yang persediaannya sudah sampai tanda batas pengisian kembali. c. Sistem Distribusi Obat Kombinasi Resep Individual dan Persediaan di Ruang Sistem kombinasi biasanya diadakan untuk mengurangi beban kerja IFRS. Obat yang disediakan di ruangan adalah obat yang diperlukan oleh banyak penderita, setiap hari diperlukan, dan biasanya adalah obat yang harganya relatif murah, mencakup obat resep atau obat bebas. d. Sistem Distribusi Obat Dosis Unit (Unit Dose Dispensing) Sistem ini adalah metode dispensing dan pengendalian obat yang dikoordinasikan IFRS dalam rumah sakit. Sistem dosis unit dapat berbeda dalam bentuk, tergantung kepada kebutuhan khusus rumah sakit. Akan tetapi, unsur khusus berikut adalah dasar dari semua sistem dosis unit, Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 24 yaitu: obat dikemas dalam kemasan unit tunggal, di-dispensing dalam bentuk siap konsumsi, dan untuk kebanyakan obat tidak lebih dari 24 jam persediaan dosis, dihantarkan ke atau tersedia pada ruang perawatan penderita pada setiap waktu. 7) Pengendalian Persediaan Pengendalian persediaan obat dan perbekalan kesehatan di rumah sakit sepenuhnya merupakan tanggung jawab IFRS. Pengendalian persediaan obat dan perbekalan kesehatan yang efektif dan efisien memiliki pengaruh besar terhadap keberlangsungan kegiatan opersional di rumah sakit. Pengendalian persediaan sangat penting dalam pelayanan pasien di rumah sakit, di mana suatu rumah sakit harus mempunyai stok persediaan obat dan perbekalan kesehatan yang benar dan tepat sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien. Beberapa parameter – parameter Pengendalian Persediaan, yaitu: a. Konsumsi rata-rata Konsumsi rata-rata sering disebut juga permintaan (demand). Konsumsi rata-rata merupakan jumlah barang yang dipakai (dibeli) dalam satu waktu tertentu Perkiraan konsumsi rata-rata/ permintaan untuk pemesanan selanjutnya merupakan variabel kunci yang menentukan berapa banyak stok barang yang harus dipesan. Walaupun banyaknya permintaan mendatang dapat diprediksi dengan akurat, namun barang yang stockout tetap dapat terjadi apabila salah memperkirakan lead time dari barang tersebut. b. Lead Time Lead time merupakan rentang waktu yang dibutuhan mulai dari pemesanan sampai dengan penerimaan barang di gudang dari supplier tertentu. Setiap supplier akan memiliki lead time yang berbeda-beda, sehingga harus juga diperhatikan rata-rata lead time untuk masing-masing supplier berdasarkan performance supplier sebelumnya. Yang perlu diukur dalam Lead time adalah jumlah produk yang disediakan. Lead time dapat diukur dengan: Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 25 LT = Konsumsi rata-rata x Waktu tunggu c. Safety Stock Safety stock merupakan obat persediaan yang dicadangkan sebagai pengaman untuk memenuhi kebutuhan pasien untuk mencegah terjadinya stockout. Safety stock ini menjadi sangat penting ketika lead time maupun jumlah permintaan tidak dapat diprediksi atau nilainya berubah-ubah, seperti dalam kasus keterlambatan barang pesanan atau terjadi perubahan jumlah permintaan karena terjadi suatu wabah penyakit tertentu. Untuk barang-barang yang fast moving, safety stock biasanya dihitung dari 20% dari jumlah konsumsi rata-rata, sedangkan untuk barang-barang slow moving, nilai safety stock diperoleh dari 10% dari konsumsi rata-rata. d. EOQ (Economic Order Quantity) EOQ adalah suatu perhitungan untuk menentukan jumlah pesanan persediaan yang dapat meminimalkan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. EOQ dapat dihitung dengan rumus : EOQ = 2𝑆𝐷 𝐻 Keterangan : D = permintaan dalam periode waktu tertentu (unit/tahun) S = biaya pemesanan setiap kali pesan (Rp/pesan) H = biaya penyimpanan per unit barang per tahun (Rp/unit.tahun) e. Re Order Point (ROP / Titik pemesanan) Merupakan suatu titik dimana harus diadakan pemesanan kembali sedemikian rupa sehingga kedatangan atau penerimaan barang yang dipesan adalah tepat waktu. Reorder point ini dapat dihitung apabila lead time dan permintaan atau rata-rata konsumsi diketahui dan konstan. ROP = (LT x d) + SS Keterangan : ROP = Reoder point LT = Lead Time d = demand (konsumsi rata-rata) SS = Safety Stock Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 26 2.2.5.3 Fungsi Produksi Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, produksi merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi steril atau nonsteril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Kriteria obat yang diproduksi: 1. Sediaan farmasi dengan formula khusus 2. Sediaan farmasi dengan harga murah 3. Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil 4. Sediaan farmasi yang tidak tersedia di pasaran 5. Sediaan farmasi untuk penelitian 6. Sediaan nutrisi parenteral 7. Rekonstruksi sediaan obat kanker 2.2.5 Struktur Organisasi IFRS Struktur organisasi dasar dari IFRS adalah pengadaan, pelayanan, dan pengembangan. Struktur organisasi dasar ini juga disebut pilar kerja karena dalam struktur organisasi dasar itu berkumpul berbagai kegiatan atau pekerjaan. Suatu struktur organisasi dapat dikembangkan dalam tiga tingkat, yaitu tingkat puncak, tingkat menengah, dan garis depan. Manajer tingkat puncak bertanggung jawab dalam hal perencanaan, penerapan, dan menjalankan fungsi yang efektif dari sistem mutu secara menyeluruh. Manajer tingkat menengah, kebanyakan kepala bagian atau unit fungsional memiliki tanggung jawab membuat desain dan menerapkan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan mutu dalam bidang fungsional mereka, untuk mencapai mutu produk dan/atau pelayanan yang diinginkan. Sedangkan, manajer garis depan terdiri atas personel pengawas yang secara langsung memantau dan mengendalikan kegiatan yang berkaitan dengan mutu dalam berbagai tahap saat pembuatan produk atau menjalankan pelayanan. Setiap perseorangan dari IFRS harus mengetahui lingkup, tanggung jawab, kewenangan fungsi, dan dampak mereka pada suatu produk dan/atau pelayanan. Setiap personel dalam IFRS harus merasa bertanggung jawab untuk mencapai suatu mutu produk dan/atau pelayanan. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 27 2.3 Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) adalah organisasi yang berada di bawah komite medik rumah sakit yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medis dengan staf IFRS, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya. Mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, tujuan dibentuknya PFT adalah untuk : 1. Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan obat serta evaluasinya. 2. Melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan. Susunan kepanitian PFT serta kegiatan yang dilakukan bagi tiap rumah sakit dapat bervariasi sesuai dengan kondisi rumah sakit setempat (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2004) : 1. Panitia Farmasi dan Terapi harus sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) dokter, apoteker, dan perawat untuk rumah sakit yang besar tenaga dokter bisa lebih dari 3 (tiga) orang yang mewakili semua staf medis fungsional yang ada. 2. Ketua PFT dipilih dari dokter yang ada di dalam kepanitiaan dan jika rumah sakit tersebut mempunyai ahli farmakologi klinik, maka sebagai ketua adalah Farmakologi, sekretarisnya adalah apoteker dari instalasi farmasi atau apoteker yang ditunjuk. 3. PFT harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapatnya diadakan sebulan sekali. Rapat PFT dapat mengundang pakar-pakar dari dalam maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan PFT. 4. Segala sesuatu yang berhubungan dengan rapat PFT diatur oleh sekretaris, termasuk persiapan dari hasil-hasil rapat. 5. Membina hubungan kerja dengan panitia di dalam rumah sakit yang sasarannya berhubungan dengan penggunaan obat. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 28 Fungsi serta Ruang Lingkup Panitia Farmasi dan Terapi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004) : 1. Mengembangkan formularium di rumah sakit dan merevisinya. Pemilihan obat untuk dimasukan dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi secara subjektif terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga harus meminimalkan duplikasi dalam tipe obat, kelompok dan produk obat yang sama. 2. PFT harus mengevaluasi untuk menyetujui atau menolak produk obat baru atau dosis obat yang diusulkan oleh anggota staf medis. 3. Menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit dan yang termasuk dalam kategori khusus. 4. Membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan peraturan mengenai penggunaan obat di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional. 5. Melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan mengkaji medical record dibandingkan dengan standar diagnosa dan terapi. Tinjauan ini dimaksudkan untuk meningkatkan secara terus menerus penggunaan obat secara rasional. 6. Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat. 7. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf medis dan perawat. Kewajiban PFT adalah (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004): 1. Memberikan rekomendasi pada pimpinan rumah sakit untuk mencapai budaya pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional. 2. Mengkoordinir pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, formularium rumah sakit, pedoman penggunaan antibiotika dan lain-lain. 3. Melaksanakan pendidikan dalam bidang pengelolaan dan penggunaan obat terhadap pihak-pihak yang terkait. 4. Melaksanakan pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat dan memberikan umpan balik atas hasil pengkajian tersebut. Peran apoteker dalam panitia ini sangat strategis dan penting karena semua kebijakan dan peraturan dalam mengelola dan menggunakan obat di seluruh unit Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 29 di rumah sakit ditentukan dalam panitia ini. Agar dapat mengemban tugasnya secara baik dan benar, para apoteker harus secara mendasar dan mendalam dibekali dengan ilmu-ilmu farmakologi, farmakologi klinik, farmakoepidemologi, dan farmakoekonomi disamping ilmu-ilmu lain yang sangat dibutuhkan untuk memperlancar hubungan profesionalnya dengan para petugas kesehatan lain di rumah sakit. Peran dan tugas Apoteker dalam PFT, antara lain (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004) : 1. Menjadi salah seorang anggota panitia (Wakil Ketua/Sekretaris). 2. Menetapkan jadwal pertemuan. 3. Mengajukan acara yang akan dibahas dalam pertemuan. 4. Menyiapkan dan memberikan semua informasi yang dibutuhkan untuk pembahasan dalam pertemuan. 5. Mencatat semua hasil keputusan dalam pertemuan dan melaporkan pada pimpinan rumah sakit. 6. Menyebarluaskan keputusan yang sudah disetujui oleh pimpinan kepada seluruh pihak yang terkait. 7. Melaksanakan keputusan-keputusan yang sudah disepakati dalam pertemuan. 8. Menunjang pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, pedoman penggunaan antibiotika dan pedoman penggunaan obat dalam kelas terapi lain. 9. Membuat formularium rumah sakit berdasarkan hasil kesepakatan PFT. 10. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan. 11. Melaksanakan pengkajian dan penggunaan obat. 12. Melaksanakan umpan balik hasil pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat pada pihak terkait. 2.4 Formularium Rumah Sakit Formularium adalah himpunan obat yang diterima/disetujui oleh PFT untuk digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi pada setiap batas waktu yang ditentukan. Komposisi formularium diantaranya halaman judul, daftar nama anggota PFT, daftar isi, informasi mengenai kebijakan dan prosedur di bidang obat, produk obat yang diterima untuk digunakan, serta lampiran (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004). Sistem yang dipakai adalah suatu sistem dimana prosesnya tetap berjalan terus, dalam arti kata bahwa sementara Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 30 formularium itu digunakan oleh staf medis, di lain pihak PFT mengadakan evaluasi dan menentukan pilihan terhadap produk obat yang ada di pasaran, dengan lebih mempertimbangkan kesejahteraan pasien. Pedoman penggunaan yang digunakan akan memberikan petunjuk kepada dokter, apoteker perawat serta petugas administrasi di rumah sakit dalam menerapkan sistem formularium, meliputi: 1. Membuat kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin ilmu dengan PFT dalam menentukan kerangka mengenai tujuan, organisasi, fungsi dan ruang lingkup. Staf medis harus mendukung Sistem Formularium yang diusulkan oleh PFT. 2. Staf medis harus dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan kebutuhan tiap-tiap institusi. 3. Staf medis harus menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur yang ditulis oleh PFT untuk menguasai sistem Formularium yang dikembangkan oleh PFT. 4. Nama obat yang tercantum dalam Formularium adalah nama generik. 5. Membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di Instalasi Farmasi. 6. Membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat generik yang efek terapinya sama, seperti: a. Apoteker bertanggung jawab untuk menentukan jenis obat generik yang sama untuk disalurkan kepada dokter sesuai produk asli yang diminta b. Dokter yang mempunyai pilihan terhadap obat paten tertentu harus didasarkan pada pertimbangan farmakologi dan terapi c. Apoteker bertanggung jawab terhadap kualitas, kuantitas, dan sumber obat dari sediaan kimia, biologi dan sediaan farmasi yang digunakan oleh dokter untuk mendiagnosa dan mengobati pasien (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004). Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 BAB 3 TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT KANKER “DHARMAIS” 3.1 Sejarah Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Kebutuhan layanan kanker yang terpadu di Indonesia sudah lama dirasakan oleh para pakar penyakit kanker, termasuk para staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Cita-cita untuk mendirikan sebuah rumah sakit kanker yang mampu memberikan layanan secara holistik dan terpadu telah lama dipendam. Kesempatan tersebut terbuka pada tahun 1988 ketika ketua Yayasan Dharmais, Bapak H. M. Soeharto, meminta Dr. dr. A. Harryanto Reksodiputro untuk memikirkan model rumah sakit kanker yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Dr. dr. A. Harryanto Reksodiputro segera menghubungi para pakar FKUI dan meminta nasihat Departemen Kesehatan serta Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Maka, terbentuklah tim pembuatan usulan pendirian rumah sakit kanker pada bulan Oktober 1988. Usulan tersebut diselesaikan pada Desember 1988 kemudian diserahkan kepada ketua Yayasan Dharmais pada 9 Januari 1989. Rumah Sakit Kanker “Dharmais” (RSKD) merupakan rumah sakit yang didirikan atas gagasan mantan Presiden Republik Indonesia Soeharto selaku Ketua Yayasan Dharmais yang merasa prihatin karena jumlah penderita kanker yang semakin meningkat dan menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di Indonesia. Pengelolaan pasien kanker memerlukan alat-alat, fasilitas, dan obat yang mahal. Pasien yang mampu cenderung memilih berobat ke luar negeri karena pelayanan di sana dirasa lebih lengkap dan nyaman. Hal ini mendorong yayasan mendirikan suatu rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan lengkap, terpadu, nyaman, serta dapat dinikmati pasien yang mampu dan kurang mampu. Pembangunan rumah sakit dimulai Mei 1991 pada bidang tanah seluas 63.540 hektar dan selesai 5 Juli 1993. Pada 30 Oktober 1993, RSKD diresmikan oleh Bapak Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada masa itu, di bawah Departemen Kesehatan. Namun, secara operasional dikelola oleh Yayasan Dharmais. 31 Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 Universitas Indonesia 32 Krisis multidimensional akibat biaya operasional dan biaya perawatan yang meningkat pada awal tahun 1998 membuat RSKD diserahkan kepada Departemen Kesehatan secara utuh. RSKD diberikan otonomi khusus pada tahun 2000 dari pemerintah yaitu perubahan status secara resmi dan berlaku menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan) sejak Februari 2002, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 128 Tahun 2000. Oleh karena itu, RSKD bisa mandiri dan rumah sakit diperbolehkan membuka fasilitas yang dapat memberikan profit kepada rumah sakit. Adanya pergantian pemerintahan pada tahun 2005, menyebabkan semua rumah sakit yang berbentuk Perjan kembali ke unit masing-masing dan berstatus Badan Layanan Umum (BLU). BLU adalah instansi yang dibentuk dengan tujuan memberikan pelayanan kepada masyarakat, berupa penyedia barang dan atau jasa yang dijual dengan mengesampingkan mencari keuntungan atau dengan menekankan pelayanan yang dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi dan produktifitas. Strategi ini diharapkan mampu merubah RSKD menjadi mandiri, menyejahterakan karyawan, dan siap berkompetisi dengan rumah sakit lain. 3.2 Visi, Misi, Moto, Falsafah, dan Budaya Kerja Rumah Sakit Kanker ”Dharmais” 3.2.1 Visi Visi RSKD adalah menjadi rumah sakit dan pusat kanker nasional yang merupakan panutan dalam penanggulangan kanker di Indonesia. 3.2.2 Misi Misi RSKD adalah melaksanakan pelayanan, pendidikan dan penelitian yang bermutu tinggi di bidang penanggulangan kanker. 3.2.3 Motto Motto RSKD ” yaitu tampil lebih baik, ramah dan profesional. 3.2.4 Falsafah dan Budaya Kerja Falsafah yang dimiliki RSKD berbunyi rasa kebersamaan menyertai kegiatan terpadu demi mewujudkan pelayanan terhadap kesehatan. Budaya kerja yang ada di RSKD yaitu melakukan pelayanan, pendidikan, dan penelitian yang bermutu tinggi di bidang kanker melalui aktualisasi SMILE !& C. Adapun yang dimaksud dengan SMILE !& C adalah: Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 33 S : Senyum dan selalu siap melayani M : Mengutamakan mutu pelayanan, pencegahan pencemaran dan pengendalian dampak lingkungan, pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, untuk kepentingan dan keselamatan pengunjung, pasien dan karyawan. I : Ihklas dalam melaksanakan tugas L : Loyal pada pimpinan dan berdedikasi dalam tugas serta taat pada peraturan perundangan yang berlaku. E : Excellent dalam pelayanan, pendidikan dan pelatihan serta disiplin administrasi yang tertib dan efisien. ! : Merupakan simbol optimis yang berarti mempunyai sikap selalu menghadapi segala tantangan dan hambatan dalam tugas. C : Continually Improvement, senantiasa melakukan perbaikan mutu pelayanan, lingkungan, dan keselamatan kesehatan kerja (K3) secaraberkesinambungan 3.3 Maksud dan Tujuan Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Maksud dan Tujuan RSKD adalah: 1. Meningkatkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan kanker menuju pelayanan prima. 2. Meningkatkan manajemen rumah sakit. 3. Meningkatkan mutu profesionalisme. 4. Meningkatkan penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan. 5. Meningkatkan jangkauan pelayanan. 6. Meningkatkan kesejahteraan karyawan. 3.4 Fungsi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Untuk dapat mencapai maksud dan tujuan di atas, RSKD memiliki fungsi sebagai berikut: 1. Melaksanakan upaya peningkatan pelayanan kesehatan. 2. Melaksanakan upaya pencegahan terjadinya penyakit kanker. 3. Melaksanakan upaya penyembuhan terhadap pasien kanker. 4. Melaksanakan upaya rehabilitasi terhadap pasien kanker. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 34 5. Melaksanakan asuhan dan pelayanan keperawatan. 6. Melaksanakan rujukan kesehatan. 7. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan. 8. Melaksanakan penelitian dan penyebarluasan hasil penelitian. 9. Melaksanakan administrasi umum dan keuangan. 3.5 Kegiatan Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Untuk melaksanakan fungsi-fungsinya RSKD menyelenggarakan kegiatan: 1. Pelayanan kesehatan paripurna kepada masyarakat baik dalam bentuk pelayanan promotif, preventif, kuratif, paliatif, dan rehabilitatif secara paripurna. 2. Pengembangan pelayanan, pendidikan dan penelitian di bidang onkologi yang meliputi molekuler, medik, bedah, radiasi, diagnostik serta pelayanan penunjangnya. 3. Pendidikan, pelatihan, penelitian dan usaha lain dalam bidang kesehatan. 4. Pengelolaan administrasi umum dan keuangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3.6. Struktur Organisasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Struktur organisasi RSKD dapat dilihat pada Lampiran 1. RSKD dpimpin oleh seorang dokter sebagai direktur utama yang diawasi oleh dewan pengawas. Direktur utama mebawahi empat direktur, yaitu: 1. Direktur Medik dan Keperawatan Direktur ini membawahi bidang medik, keperawatan, dan rekam medik. Fungsi dari direktur ini adalah mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan medis di rumah sakit. 2. Direktur SDM dan Pendidikan Direktur ini membawahi bagian sumber daya manusia, bagian pendidikan dan pelatihan, dan bagian penelitian dan pengembangan. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 35 3. Direktur Keuangan Direktur ini membawahi bagian keuangan, yang meliputi penyusunan anggaran, mobilisasi dana, akutansi, dan verifikasi. 4. Direktur Umum dan Operasional Direktur ini mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan tata usaha, sistem informasi manajemen, dan pelayanan pelanggan. 3.7 Sarana dan Prasarana Rumah Sakit Kanker “Dharmais” RSKD memiliki tiga blok bangunan yang terdiri dari bangunan rumah sakit, bangunan penelitian dan pengembangan serta asrama, dan bangunan penunjang. Bangunan rumah sakit digunakan untuk melakukan pelayanan kepada pasien. Bangunan ini meliputi : 1. Lantai dasar (Basement). Terdiri dari Instalasi Radiodiagnostik, Instalasi Radioterapi, Bagian Rekam Medik, Instalasi Sterilisasi Sentral dan Binatu, Pusat Komputer, Unit Deteksi Dini Kanker. 2. Lantai 1. Terdiri dari Pintu utama lobby, Registrasi dan Informasi, Layanan Pelanggan Instalasi Patologi Klinik, Instalasi Patologi Anatomi dan Kamar Jenazah, Satelit Farmasi Rawat Jalan, Instalasi Gawat Darurat, Instalasi Rawat Jalan (termasuk Unit Diagnostik Terpadu, Unit Prosedur Diagnostik dan Endoskopi, Unit Rawat Singkat), Instalasi Gizi, Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia. 3. Lantai 2. Terdiri dari Poliklinik Rawat Jalan Kanker (Poliklinik Onkologi), Instalasi Rehabilitasi Medik, Instalasi Farmasi, Instalasi Bank Darah, Kafetaria umum, Ruang Serbaguna dan Minimarket, Satelit Farmasi Rawat Inap, Satelit Obat Tradisional, dan Unit Penerimaan Barang. 4. Lantai 3. Terdiri dari Instalasi Bedah Pusat, Instalasi Rawat Intensif, Ruang Handling Cytotoxic Unit dan Intravena (IV) admixture, Health Care Unit (HCU), Intensive Care Unit (ICU), Ruang Direksi, Badan Pelaksana Harian Dewan Penyantun, Ruang Administrasi dan Sekretariat. 5. Lantai 4. Terdiri dari Ruang Rawat Inap Kelas II, dan Ruang Rawat Anak. 6. Lantai 5. Terdiri dari Ruang Isolasi Imunitas Menurun (RIIM), Ruang Isolasi Radioaktif (RIRA) dan Ruang Rawat Inap Kelas III. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 36 7. Lantai 6 dan 7. Terdiri dari ruang rawat inap kelas VIP dan VVIP. 8. Lantai 8. Terdiri dari ruang inap Kelas I. Ruang perawatan pasien dibagi menjadi ruang perawatan kelas I (Ruang mawar), II (Ruang Melati), III (Ruang Cempaka dan Anyelir), VIP, VVIP, ruang ICU, RIIM, dan RIRA. RIIM merupakan ruangan yang digunakan untuk pasien yang imunitas tubuhnya menurun atau mengalami penurunan jumlah leukosit karena efek kemoterapi, agar tidak mudah terinfeksi. Ruangan ini dilengkapi dengan sistem total protected environment atau sistem yang secara total menjaga lingkungan terhadap mikroorganisme penyebab infeksi, baik yang berasal dari tubuh pasien (endogen) maupun yang berasal dari lingkungan luar (eksogen), yakni dokter, perawat, alat-alat, udara, dan sebagainya. RIRA merupakan ruangan yang digunakan untuk pasien yang mendapatkan terapi dengan bahan radioaktif. Bangunan Penelitian dan Pengembangan Rumah Sakit Kanker “Dharmais” meliputi: 1. Lantai 1: Gedung Auditorium, Instalasi Administrasi Pasien Jaminan. 2. Lantai 2 dan 3: Bagian Penelitian dan Pengembangan, Instalasi Layanan Pengadaan. 3. Lantai 4: Ruang Perawatan Jamkesmas (Ruang Teratai). 4. Lantai 5: Bagian Pendidikan dan Pelatihan, Perpustakaan, Instalasi Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan dan Keselamatan Kerja. 5. Lantai 6: Bagian Keuangan & Sumber Daya Manusia (SDM). 3.8 Akreditasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” RSKD merupakan rumah sakit khusus milik pemerintah dengan tipe A. Akreditasi RSKD masih mengikuti sistem akreditasi KARS 2007. RSKD juga telah mendapat sertifikasi dalam penerapan OHSAS 18001 : 2007, ISO 9000 : 2008, dan ISO 14001 : 2004 untuk seluruh pelayanan yang ada di rumah sakit. Sehingga sebanyak 16 pelayanan memperoleh akreditasi penuh tingkat lanjut tahun 2009 untuk yang kedua kalinya. Saat ini Rumah Sakit Kanker ”Dharmais” sedang mempersiapkan untuk akreditasi KARS 2012 di bulan September 2014. Selanjutnya direncanakan pada tahun 2015, RSKD akan menjalani akreditasi internasional yaitu JCI. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 BAB 4 TINJAUAN UMUM INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT KANKER “DHARMAIS” 4.1 Latar Belakang Instalasi Farmasi RSKD merupakan unit pelayanan fungsional yang bertanggung jawab kepada Direktur Medik dan Keperawatan. Tugas utama instalasi Farmasi RSKD adalah melaksanakan seluruh pekerjaan kefarmasian di rumah sakit yang berorientasi kepada pasien dan dipimpin oleh seorang apoteker yang profesional. Kontribusi Instalasi Farmasi RSKD terhadap pelayanan kepada pasien sangat besar karena sebagian besar tindakan medik di rumah sakit memerlukan perbekalan kefarmasian. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang ada di RSKD meliputi pengelolaan perbekalan farmasi mulai dari proses perencanaan dan pemilihan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan hingga pendistribusian, penghapusan, pengendalian dan penggunaan perbekalan farmasi yang diikuti dengan pemberian pelayanan informasi dan monitoring terapi obat. 4.2. Visi, Misi, Falsafah, Tujuan, dan Fungsi 4.2.1. Visi Visi dari Instalasi Farmasi RSKD menjadi Instalasi Farmasi panutan di bidang kanker bagi Farmasi Rumah Sakit di Indonesia. 4.2.2. Misi Misi dari Instalasi Farmasi RSKD adalah sebagai berikut: 1. Menyelenggarakan pelayanan farmasi dari aspek manajemen,aspek klinik, dan aspek produksi. 2. Ikut serta dalam program pendidikan, penelitian, dan pengembangan untk menunjang pengobatan, khususnya di bidang kanker. 4.2.3. Falsafah Pelayanan farmasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan secara utuh di RSKD dan berorientasi pada pelayanan pasien, melakukan penyediaan obat yang bermutu serta terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. 37 Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 Universitas Indonesia 38 4.2.4. Tujuan Tujuan dari Farmasi RSKD sebagai berikut: 1. Memberikan pelayanan farmasi secara profesional kepada pasien sehingga efek pengobatan tercapai. 2. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan pelayanan farmasi di RSKD 3. Meningkatkan hubungan kerja sama dengan dokter, perawat dan tenaga kerjakesehatan lain yang terkait dalam pelayanan farmasi rumah sakit. 4. Melaksanakan kebijakan obat di RSKD dalam rangka penggunaan obat yang rasional. 5. Mengembangkan ilmu dan profesi kefarmasian khusus kanker serta menyebarkan kepada para Apoteker Rumah Sakit di seluruh Indonesia. 4.2.5. Fungsi Fungsi Instalasi Farmasi Farmasi RSKD sebagai berikut: 1. Melaksanakan perencanaan pengadaan obat dan alat kesehatan untuk pelayanan kepada pasien kanker. 2. Melaksanakan penyimpanan obat dan alat kesehatan secara aman sesuai prinsip-prinsip pengelolaan logistik. 3. Melaksanakan pendistribusian obat dan alat kesehatan dengan mengutamakan mutu, efesiensi, biaya, ketepan waktu, keamanan, rasionalisasi dan tanggung jawab. 4. Melaksanakan pencampuran obat kanker untuk menunjang perkembangan pelayanan. 5. Melaksanakan sterilisasi pencampuran obat-obat kanker. 6. Melakukan penelitian di bidang kefarmasian yang berkaitan dengan obat kanker. 7. Melakukan pengawasan penggunaan obat kanker terhadap pasien. 8. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan. 9. Melaksanakan pelayanan informasi obat. 10. Melaksanakan pengembangan staf melalui pendidikan dan pelatihan terkait. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 39 4.3. Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RSKD berada dibawah Direktur Medik dan Keperawatan. Instalasi Farmasi dipimpin oleh seorang kepala instalasi farmasi, yang dibantu oleh koordinator administrasi, kepala unit pelayanan I (satelit farmasi), kepala unit pelayanan II (UDD), kepala unit penunjang (logistik farmasi), dan kepala unit produksi farmasi, serta staf farmasi yang bertanggung jawab pada setiap kegiatan pelayanan yang ada di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais”. Struktur organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” dapat dilihat pada Lampiran 2. 4.4. Peran dan Kegiatan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Peran Instalasi Farmasi RSKD adalah untuk menegakkan pelayanan farmasi secara profesional di RSKD. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi RSKD, meliputi: 1. Menyelenggarakan pelayanan farmasi dalam fungsi manajemen. 2. Menyelenggarakan kegiatan produksi, baik produksi steril maupun produksi nonsteril. 3. Menyelenggarakan pelayanan farmasi klinik. 4.4.1. Manajemen Farmasi Manajemen farmasi merupakan suatu siklus kegiatan yang dimulai dari proses perencanaan dan pemilihan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan hingga pendistribusian, penghapusan, pengendalian dan penggunaan perbekalan farmasi, hingga evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004). 4.4.1.1. Pemilihan Pemilihan dilakukan untuk menetapkan jumlah dan jenis sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tepat sesuai dengan kebutuhan di rumah sakit agar tercapai penggunaan obat yang rasional. Proses pemilihan perbekalan farmasi di rumah sakit dilakukan oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) melalui penyusunan, pengembangan, dan evaluasi formularium rumah sakit yang dilakukan secara Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 40 berkala. Penyusunan formularium di RSKD menggunakan pola 1:2:1 (1 original: 2 me too : 1 generik) Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) RSKD dibentuk berdasarkan SK Direksi utama RSKD No.HK.00.06/1/0021 tanggal 4 Januari 2010. PFT secara fungsional bertugas dalam mengawasi dan membantu pengelolaan perbekalan farmasi di instalasi farmasi. Susunan personalia PFT di RSKD berdasarkan Keputusan Direksi RSKD No.HK.01.01/1/02234/2013, yaitu: 1. Pengarah: Direktur Utama 2. Ketua: Dokter spesialis medik, ketua komite medika 3. Sekretaris: Apoteker (kepala instalasi farmasi) 4. Seksi-seksi: a. Seksi pelayanan dan informasi obat b. Seksi pendidikan dan penelitian Kewajiban PFT meliputi: 1. Memberikan rekomendasi pada Pimpinan rumah sakit untuk mencapai budaya pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional. 2. Mengkoordinir pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, formularium rumah sakit, pedoman penggunaan antibiotika dan lain-lain. 3. Melaksanakan pendidikan dalam bidang pengelolaan dan penggunaan obat terhadap pihak-pihak yang terkait. 4. Melaksanakan pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat dan memberikan umpan balik atas hasil pengkajian tersebut. Tugas Khusus PFT RSKD: 1. Seksi Pelayanan dan Informasi Obat a. Melaksanakan evaluasi penulisan obat dengan nama generik, kesesuaian dengan formularium dan DOEN. b. Membuat pedoman penggunaan antibiotik. c. Menyusun daftar obat-obatan untuk gawat darurat. d. Menentukan standar minimal order obat. e. Melaksanan pelayanan informasi obat secara aktif dan pasif: 1) PKMRS 2) Buletin Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 41 3) Menjawab pertanyaan 2. Seksi Pendidikan dan Penelitian a. Melaksanakan pendidikan tentang penggunaan obat secara rasional. b. Mengatur jadwal presentasi prinsipal. c. Melaksanakan pemantauan rasionalitas, efek samping, dan keamanan obat. d. Melaksanakan pengkajian penggunaan obat. e. Melaksanakan audit tentang obat. 4.4.1.2. Perencanaan Perencanaan dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit untuk menentukan jumlah dan waktu pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan agar terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu, serta efisien. Proses dalam perencanaan meliputi pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran rumah sakit. Terdapat tiga metode perencanaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, yakni pola penyakit, pola konsumsi, dan kombinasi antara pola konsumsi dan penyakit. Perencanaan perbekalan farmasi di RSKD menggunakan metode konsumsi. Perencanaan perbekalan farmasi (obat dan alat kesehatan) di RSKD dilakukan secara komputerisasi menggunakan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) yang terhubung dengan unit-unit di Rumah Sakit terkait dengan kegiatan perencanaan dan pengadaan perbekalan farmasi. 4.4.1.3. Pengadaan Setelah dilakukan tahap pemilihan dan perencanaan perbekalan kefarmasian, tahap selanjutnya adalah melakukan pengadaan. Kegiatan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan perencanaan yang telah disetujui oleh pihak rumah sakit. Pengadaan perbekalan farmasi di RSKD dilakukan oleh Instalasi Layanan Pengadaan (ILP). Pengadaan dilakukan berdasarkan Material Request (MR) yang diajukan oleh Instalasi Farmasi. Pengadaan perbekalan farmasi di RSKD terdiri dari dua jenis, yaitu perbekalan yang dapat langsung digunakan pasien dan perbekalan yang harus diproses terlebih dahulu di bagian produksi atau pembuatan sediaan farmasi, baik produksi steril maupun nonsteril. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 42 4.4.1.4. Penerimaan Perbekalan farmasi yang datang dari distributor atau PBF (Pedagang Besar Farmasi) diterima oleh Unit Penerimaan Barang (UPB). Kegiatan ini meliputi penerimaan perbekalan farmasi yang telah diadakan oleh ILP sesuai dengan aturan kefarmasian dan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan, dan harga yang tertera dalam kontrak/pesanan. Perbekalan farmasi yang diterima kemudian diperiksa kondisi (barang dan kemasan tidak cacat), jenis dan jumlah, waktu kadaluarsa (minimal dua tahun), dan kesesuaian nama perbekalan farmasi yang diterima dengan yang dipesan (kesesuaian barang dengan faktur dan juga Purchasing Order (PO) dari rumah sakit). UPB juga memeriksa kesesuaian nomor PO yang tertera pada faktur dengan nomor PO yang tertera pada SPB (Surat Pesanan Barang) atau pada lembar PO dari rumah sakit. Pemeriksaan kesesuaian antara barang yang datang dengan barang yang dipesan juga diperiksa oleh petugas koordinator bagian perbekalan farmasi ketika pengambilan barang dari UPB ke koordinator bagian perbekalan farmasi. 4.4.1.5. Penyimpanan Penyimpanan merupakan kegiatan menata dan memelihara dengan cara menempatkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian dan gangguan fisik dan dapat merusak mutu obat. Kegiatan penyimpanan harus dilakukan dengan baik dan sesuai dengan sifat dan stabilitas perbekalan farmasi. Hal tersebut bertujuan agar kualitas, kuantitas, dan keamanan perbekalan farmasi dapat terjaga, serta mempermudah pencarian barang yang disimpan sehingga dapat terjaminnya pelayanan yang cepat dan tepat. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan penyimpanan yaitu suhu dan kelembaban ruangan yang tepat sesuai dengan sifat dan stabilitas perbekalan farmasi, serta keamanannya. Perbekalan farmasi yang telah diserahkan ke petugas Bagian Perbekalan Farmasi akan disimpan dalam tempat penyimpanan, dan disusun berdasarkan jenis, bentuk sediaan, alfabetis, serta status obat. 4.4.1.6. Pendistribusian Pendistribusian adalah kegiatan menyalurkan/menyerahkan farmasi dan sediaan alat kesehatan dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan atau kepada pasien. Sistem pendistribusian obat dan alat kesehatan di Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 43 Instalasi Farmasi RSKD meliputi pendistribusian perbekalan farmasi dasar, perbekalan farmasi individu, dan paket tindakan. Untuk pendistribusian perbekalan farmasi individu dilakukan melalui beberapa satelit farmasi di rumah sakit, yakni Satelit Farmasi Rawat Inap (SAFARI), Satelit Farmasi Rawat Jalan (SAFARJAN). Untuk pendistribusian perbekalan farmasi dasar dilakukan secara langsung ke unit-unit atau ruangan yang memerlukan, demikan pula dengan pendistribusian paket tindakan. 4.4.1.7. Pelayanan Pasien Rawat Inap Pelayanan obat pasien rawat inap dilakukan di depo farmasi yang berada di tiap ruangan rawat inap di RSKD, yaitu di kelas VIP/VVIP, kelas I, kelas II, kelas III, dan ruang anak. Tujuan dari adanya depo farmasi adalah untuk memberikan kemudahan dalam penyiapan dan pendistribusian obat kepada pasien, sehingga pelayanan kepada pasien dapat dilakukan dengan lebih mudah dan cepat. Sistem distribusi obat untuk pasien rawat inap dilakukan secara Unit Dose Dispensing (UDD) dengan menyiapkan obat untuk tiap waktu pemberian (dosis satu kali pemberian) untuk penggunaan selama 24 jam (sesuai dosis obat dan aturan pakai). Selain itu, juga terdapat lemari khusus untuk penyimpanan obatobat dan perbekalan kesehatan lain yang bersifat life safing (obat-obatan emergency) dengan sistem distribusi floor stock. 4.4.1.8. Pengendalian Pengendalian merupakan kegiatan pengawasan perbekalan farmasi untuk mencegah terjadinya penumpukan barang atau barang berlebih, baik melalui metode VEN, ABC, atau kombinasi keduanya. Analisis pengendalian yang dilakukan di RSKD adalah analisis ABC. Analisis ABC dapat mengetahui jenisjenis perbekalan farmasi yang dapat diidentifikasi berdasarkan nilai nominal dalam rupiah. Prinsip utama analisa ABC adalah dengan menempatkan jenis-jenis perbekalan farmasi ke dalam suatu urutan, dimulai dengan jenis yang memakan anggaran atau rupiah terbanyak. Berikut adalah kategori-kategori perbekalan farmasi berdasarkan analisis ABC: 1. Perbekalan Farmasi kategori A menyerap anggaran sebesar 75-80% 2. Perbekalan Farmasi kategori B menyerap anggaran 10-20% 3. Perbekalan Farmasi kategori C menyerap anggaran 5-10% Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 44 4.4.1.9. Penghapusan Penghapusan merupakan kegiatan pemusnahan terhadap perbekalan farmasi yang tidak terpakai karena kadaluarsa, rusak, atau mutu tidak memenuhi standar. Proses penghapusan barang yaitu barang yang sudah kadaluarsa atau rusak diusulkan oleh bagian IFRS ke tim penghapusan untuk dimusnahkan. Tim pemusnahan barang mengajukan izin untuk pemusnahan barang kepada Kementerian Kesehatan. Apabila sudah disetujui, pihak Kementerian Kesehatan akan membuat berita acara bahwa barang boleh dimusnahkan, selanjutnya dilakukan pemusnahan yang disertai saksi dari pihak Kementerian Kesehatan dan pihak Rumah Sakit. Penghapusan merupakan kegiatan atau usaha pembebasan barang dari pertanggungjawaban sesuai dengan peraturan atau undang-undang yang berlaku. Kegiatan penghapusan di rumah sakit juga dilakukan terhadap perbekalan farmasi yang sudah tidak digunakan lagi. Barang-barang yang dihapuskan adalah barang yang telah kadaluwarsa dan yang rusak. Barang-barang tersebut dikumpulkan oleh bagian farmasi untuk kemudian dilaporkan ke Panitia Penghapusan Barang. Panitia Penghapusan Barang di rumah sakit bertugas untuk melaporkan barangbarang yang akan dihapuskan ke Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Direktorat Lelang. Jika laporan penghapusan barang telah disetujui, maka dilakukan penghapusan. 4.4.2. Produksi Produksi farmasi merupakan kegiatan membuat, mengubah bentuk, maupun mengemas kembali sediaan farmasi yang dilaksanakan oleh Instalasi Farmasi untuk menunjang dan memenuhi kebutuhan pasien. Produksi tersebut meliputi produksi steril dan produksi nonsteril. Tujuan dilakukan produksi adalah: a. Menyediakan produk yang tidak terdapat di pasaran. b. Memproduksi sediaan penunjang untuk menegakkan proses diagnosis. c. Memproduksi sediaan farmasi dengan harga yang lebih terjangkau untuk pasien. d. Mengerjakan produk yang dibutuhkan dengan segera dan memerlukan penanganan khusus seperti rekonstitusi obat kanker dan IV admixture. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 45 4.4.2.1. Produksi Non-Steril Produksi nonsteril dilakukan setiap hari, sesuai perencanaan yang telah dibuat atau dapat juga sesuai dengan permintaan dari bagian perbekalan farmasi. Pendistribusian produk non steril dilakukan oleh bagian koordinator perbekalan farmasi. Apabila stok barang di koordinator perbekalan farmasi sudah mencapai stok minimal, bagian koordinator perbekalan farmasi akan membuat permintaan ke bagian produksi. Produk nonsteril yang dihasilkan di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”, meliputi Dharmeza powder, Dharmezin ointment, Dharwash Mouthwash, saliva substitusi (air liur buatan), solutio poli etilen glikol (PEG) elektrolit, boraks gliserin, larutan asam cuka, garam inggris, H2O2 3%, tetes telinga fenol 4% (karbo gliserin), larutan NaHCO3, obat batuk OBH, handrub, basis emulgid 5-FU krim 1%, dan indigo carmin. 4.4.2.2. Produksi Steril dan PIVAS (Pharmacy Intravenous Admixture Service) PIVAS (Pharmacy Intravenous Admixture Service) merupakan pelayanan Farmasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” yang bertujuan untuk : 1. Mendapatkan sediaan dengan sterilitas terjamin. 2. Mendapatkan sediaan dengan mutu terjamin (kompatibel dengan pelarut, obat lain, material kontainer, serta stabilitas terjamin). 3. Mengurangi medication error (kesalahan dalam pemberian obat). 4. Meningkatkan efisiensi dengan mengurangi terbuangnya kelebihan obat. 5. Penghematan waktu perawat. 6. Memberi perlindungan kepada petugas dan lingkungan, khusus untuk obat atau sediaan yang berbahaya (obat kanker). Kegiatan produksi steril noninjeksi diantaranya pembuatan krim efudix yang mengandung 5-FU dan titriplex. Kegiatan PIVAS meliputi pencampuran obat injeksi nonkanker (IV admixture) dan pencampuran obat kanker (handling cytotoxic). Obat injeksi kanker maupun obat injeksi non kanker (IV admixture) harus terjamin sterilitas dan mutunya mulai dari produksi sampai diberikan kepada pasien. Oleh karena itu, peralatan yang terjamin mutu dan kualitasnya serta petugas yang terampil. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 46 4.4.3. Pelayanan Farmasi Klinik Kegiatan yang dilakukan dalam pelayanan farmasi klinik pada dasarnya mengatur dan memberikan informasi mengenai cara penggunaan perbekalan farmasi yang efektif, efisien, aman, dan bertanggung jawab untuk mencapai rasionalitas penggunaan obat dengan mengutamakan kepentingan pasien. Untuk melaksanakan kegiatan ini apoteker harus memiliki pengetahuan (knowledge), keahlian dan ketrampilan (skill), perilaku (attitude), serta kemampuan kerjasama dengan profesi terkait lainnya di rumah sakit. Adapun tujuan dari kegiatan pelayanan farmasi klinik adalah : 1. Meningkatkan mutu dan cakupan pelayanan kefarmasian. 2. Meningkatkan kerjasama dengan dokter, perawat dan profesi kesehatan terkait lainnya. 3. Meningkatkan rasionalisasi penggunaan obat yaitu penggunaan obat yang tepat indikasi, tepat penderita, tepat dosis regimen dan waspada terhadap efek samping obat. Kegiatan farmasi klinik yang diselenggarakan di Instalasi Farmasi RSKD, meliputi: 1. Pengkajian Resep Kegiatan pengkajian resep dilakukan oleh apoteker terhadap resep yang ditulis oleh Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP). Resep yang ada dikaji ke dalam formulir pengkajian resep. Data pasien yang dikumpulkan diantaranya nama pasien, umur, nomor MR, dan ruang perawatan. Sedangkan, pengkajian resep yang dilakukan dari segi administratif (nama dokter, tanggal, tanda tangan/paraf dokter, nama pasien, ruang, dan no. MR); farmasetik (bentuk sediaan dan aturan pemakaian); dan klinis (alergi, interaksi, dan dosis). Kegiatan pengkajian resep bertujuan agar tercapainya pengobatan yang rasional. 2. Rekonsiliasi Obat Rekonsiliasi obat merupakan kegiatan penelusuran riwayat/sejarah pengobatan pasien oleh apoteker sebelum pasien masuk ke ruang perawatan maupun saat pasien berpindah kelas perawatan (seperti perpindahan dari ICU/HCU ke ruang rawat inap). Riwayat pengobatan baik obat resep dan obat non resep (produk Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 47 OTC, herbal, dll) maupun riwayat alergi pasien didokumentasikan ke dalam formulir rekonsialisi obat. Kegiatan rekonsiliasi obat bertujuan untuk menghindari terjadinya drug related problem (DRP) dan masalah terkait pengobatan lainnya (seperti, peresepan obat yang sama). 3. Pemantauan Pengobatan Kegiatan ini dilakukan dengan memantau penggunaan obat yang diberikan oleh dokter kepada pasien yang di rawat inap. Pemantauan penggunaan obat dengan harapan tercapainya rasionalisasi pengunaan obat oleh pasien. Profil penggunaan obat yang didapatkan pasien dan masalah yang berkaitan dengan penggunaaan obat didokumentasikan ke dalam formulir pemantauan obat. 4. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis, dan terapi. MESO dilakukan jika ada pelaporan dari pasien, perawat ataupun dokter. Tujuan dilakukan monitoring efek samping obat adalah untuk mengetahui Efek Samping Obat (ESO) yang belum terdokumentasi dalam literatur, sebagai upaya melengkapi informasi ESO obat secara objektif dan mengetahui tindakan yang diperlukan untuk menangani kejadian ESO. 5. Ronde/visite Ronde/Visite adalah suatu kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan secara bersama oleh tim dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Tujuan dilakukannya ronde/visite adalah untuk memantau kondisi pengobatan harian pasien secara seksama dan menyeluruh sehingga dapat tercapai pengobatan pasien yang rasional, menilai kemajuan pasien, dan meningkatkan kerjasama dengan tenaga kesehatan lain. 6. PIO (Pelayanan Informasi Obat) Pelayanan Informasi Obat (PIO) ini dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias, dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lain, dan pasien di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”. Kegiatan PIO dapat dilakukan secara pasif maupun secara aktif. Informasi yang diberikan dapat bersifat segera (CITO) maupun ditunda. Tujuan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 48 dilakukan PIO adalah untuk memberikan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit dengan cepat dan akurat, menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan obat terutama kebijakan bagi PFT, meningkatkan profesionalisme apoteker, dan menunjang terapi obat yang rasional. 7. Konseling Konseling merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah pasien yang berkaitan dengan cara penggunaan obat yang diresepkan kepada pasien. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai obat dan pengobatan kepada pasien serta memberikan motivasi kepada pasien. Informasi yang dapat diberikan dalam konseling meliputi: nama obat, tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara menggunakan obat, lama penggunaan obat, efek samping obat, tanda-tanda toksisitas, interaksi yang mungkin terjadi, cara penyimpanan obat, serta hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengobatan pasien tersebut. 4.4.4. Pencatatan dan Pelaporan Kegiatan ini merupakan dokumentasi dari setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh semua unit di Instalasi Farmasi Rumah Saki Kanker “Dharmais” yang meliputi: 1. Koordinator Bagian Perbekalan Farmasi a. Pencatatan barang masuk dan keluar b. Pencatatan kartu stok c. Pencatatan barang expire date dan rusak d. Pencatatan pendistribusian barang farmasi e. Pencatatan perencanaan barang farmasi f. Pencatatan lain-lain yang dibutuhkan 2. Unit produksi a. Pencatatan permintaan produksi, handling cytotoxic, IV-admixture b. Pencatatan identitas pasien, dokter dan asal permintaan c. Pengisian form permintaan d. Pencatatan lainnya yang diperlukan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 49 3. Unit Pelayanan a. Pencatatan permintaan obat/alkes dalam kardeks b. Dispensing dan delivery obat c. Serah terima obat dengan perawat d. Pencatatan obat yang tidak terlayani dan kasus lainnya 4. Administrasi dan pelaporan a. Pencatatan surat masuk dan keluar b. Pembuatan laporan sesuai kebutuhan dan lain-lain 5. Farmasi klinik a. Pencatatan kegiatan konseling b. Pencatatan kegiatan pelayanan informasi obat c. Permintaan handling cytotoxic, IV-admixture, dan lain-lain Pelaporan ini dilakukan secara rutin setiap bulan, enam bulan dan tahunan. Hasil laporan tersebut akan menunjukkan semua kegiatan yang telah dilakukan yang meliputi kegiatan rutin, perkembangan dan cakupan pelayanan. Hal ini diperlukan untuk mengevaluasi dan menilai pencapaian target kinerja Instalasi Farmasi RSKD, Kemudian dari kesimpulan ini dibuat rencana tidak lanjut danpenanganan masalah yang diperlukan. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 BAB 5 INSTALASI PENUNJANG: INSTALASI STERILISASI SENTRAL DAN BINATU, BAGIAN REKAM MEDIS, DAN INSTALASI KESEHATAN LINGKUNGAN RUMAH SAKIT “DHARMAIS” 5.1. Instalasi Sterilisasi Sentral dan Binatu (ISSB) Rumah Sakit Kanker “Dharmais” 5.1.1. Definisi ISSB adalah instalasi dalam rumah sakit yang menyediakan bahan/sediaan dan alat-alat steril kepada semua unit yang melayani ruang perawatan, klinik, laboratorium khusus, dan ruang operasi. Namun, di RSKD unit binatu terpisah dengan Instalasi Sterilisasi Sentral (ISS). Dalam buku pedoman ISS di rumah sakit yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan, ISS adalah unit pelayanan non struktural yang berfungsi memberikan pelayanan sterilisasi yang sesuai standar/pedoman dan memenuhi kebutuhan barang steril di rumah sakit. ISS ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit sesuai kebutuhan rumah sakit. ISS dipimpin oleh seorang kepala yang diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan rumah sakit. Kepala ISS dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh tenaga-tenaga fungsional dan atau non medis (Presiden Republik Indonesia, 2009b). 5.1.2. Tujuan dan Tugas ISS (Presiden Republik Indonesia, 2009b). Tujuan ISS di rumah sakit adalah: a. Membantu unit lain di RS yang membutuhkan kondisi steril untuk pencegahan terjadinya infeksi b. Menurunkan angka kejadian infeksi dan membantu mencegah serta menanggulangi infeksi nosokomial. c. Efisiensi tenaga medis/paramedis untuk kegiatan yang berorientasi pada pelayanan terhadap pasien. d. Menyediakan dan menjamin kualitas hasil sterilisasi terhadap produk yang dihasilkan. Tugas ISS di rumah sakit adalah: a. Menyiapkan peralatan medis untuk perawatan pasien. b. Melakukan proses sterilisasi alat/bahan. 50 Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 Universitas Indonesia 51 c. Mendistribusikan alat-alat yang dibutuhkan oleh ruangan perawatan, kamar operasi, maupun ruangan lainnya. d. Berpartisipasi dalam pemilihan peralatan dan bahan yang aman dan efektif serta bermutu. e. Mempertahankan stock inventory yang memadai untuk keperluan perawatan pasien. f. Mempertahankan standar yang telah ditetapkan. g. Mendokumentasikan setiap aktivitas pembersihan, disinfeksi, maupun sterilisasi sebagai bagian dari program upaya pengendalian mutu. h. Melakukan penelitian terhadap hasil sterilisasi dalam rangka pencegahan dan pengendalian infeksi bersama dengan panitia pengendalian infeksi nosokomial. i. Memberikan penyuluhan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah sterilisasi. j. Menyelenggarakan pendidikan dan pengembangan staf ISS baik yang bersifat intern maupun ekstern. k. Mengevaluasi hasil sterilisasi. 5.1.3.Aktivitas Fungsional ISS (Presiden Republik Indonesia, 2009b). Alur aktivitas fungsional secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: a. Pembilasan: pembilasan alat-alat yang telah digunakan tidak dilakukan di ruang perawatan. b. Pembersihan: semua peralatan pakai ulang harus dibersihkan secara baik sebelum dilakukan proses disinfeksi dan sterilisasi. c. Pengeringan: dilakukan sampai kering d. Inspeksi dan pengemasan: setiap alat bongkar pasang harus diperiksa kelengkapannya, sementara untuk bahan linen harus diperhatikan densitas maksimumnya. e. Memberi label: setiap kemasan harus mempunyai label yang menjelaskan isi dari kemasan, cara sterilisasi, tanggal sterilisasi dan kadaluarsa proses sterilisasi. f. Pembuatan: membuat dan mempersiapkan kapas serta kasa balut yang kemudian akan disterilkan. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 52 g. Sterilisasi: sebaiknya diberikan tanggun jawab kepada staf yang terlatih. h. Penyimpanan: harus diatur secara baik dengan memperhatikan kondisi penyimpanan yang baik. i. Distribusi: dapat dilakukan berbagai sistim distribusi sesuai dengan rumah sakit masing-masing 5.1.4. Pelayanan ISSB di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ISSB di RSKD membawahi 2 unit kerja yaitu unit sterilisasi dan unit binatu. Instalasi ini berada dibawah Direktorat Umum dan Operasional. Struktur organisasi ISSB dapat dilihat pada Lampiran 3. Unit Sterilisasi mempunyai 2 kegiatan pokok, yaitu: 1. Kegiatan sterilisasi, kegiatan ini dilakukan untuk mensterilkan alat dan barang yang digunakan oleh instalasi-instalasi yang membutuhkan. 2. Kegiatan produksi, yaitu memproduksi barang-barang steril, seperti kassa steril, lidi kapas, tampon, depper, kassa, alkohol dan lain-lain. ISS dilengkapi dengan beberapa fasilitas yang mendukung proses sterilisasi secara optimal, yaitu autoclave (metode sterilisasi panas basah) yang dapat dilihat pada Lampiran 4 serta alat sterilisasi plasma (metode ionisasi). Dalam rangka menjamin sterilitas produk, maka dilakukan juga monitoring proses sterilisasi dengan menggunakan indikator mekanik/fisika, kimia dan biologi. Alur pelayanan ISS dijelaskan pada Gambar 5.1. Tanggung jawab ISS bervariasi tergantung dari besar kecilnya rumah sakit, struktur organisasi dan proses sterilisasi. Tugas pokok Unit Sterilisasi Sentral adalah menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan kegiatan sterilisasi alat, bahan dan linen rumah sakit. Fungsi Unit Sterilisasi Sentral adalah: 1. Melakukan proses sterilisasi alat, bahan, dan linen. 2. Mendistribusikan alat-alat yang dibutuhkan oleh ruangan perawatan, kamar operasi, maupun ruangan lainnya. 3. Berpartisipasi dalam pemilihan peralatan dan bahan yang aman dan efektif serta bermutu. 4. Mempertahankan stok inventori barang steril yang memadai untuk keperluan perawatan pasien. 5. Mempertahankan standar yang lebih ditetapkan. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 53 6. Mendokumentasikan setiap aktivitas pembersihan, disinfeksi maupun sterilisasi sebagai bagian dari program upaya pengendalian mutu. 7. Melakukan penelitian terhadap hasil sterilisasi dalam rangka pencegahan dan pengendalian infeksi bersama dengan Tim Pengendalian Infeksi Nosokomial. 8. Memberikan penyuluhan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah sterilisasi. 9. Menyelenggarakan pendidikan dan pengembangan staf Unit Sterilisasi Sentral baik yang bersifat intern maupun ekstern. 10. Mengevaluasi hasil sterilisasi. Keterangan: Daerah Kotor Daerah Bersih Daerah Mesin Daerah Steril Logistik Gambar 5.1. Alur Pelayanan ISS RSKD Alur kegiatan Unit Sentralisasi Sentral secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Pembersihan: semua peralatan pakai ulang harus dibersihkan secara baik sebelum dilakukan proses disinfeksi dan sterilisasi. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 54 2. Pengeringan: dilakukan sampai kering. 3. Pemeriksaan dan pengemasan: setiap alat/set instrumen harus diperiksa kelengkapannya, sementara untuk bahan linen harus diperhatikan densitas maksimumnya. 4. Memberi label: setiap kemasan harus mempunyai label yang menjelaskan isi dari kemasan, cara sterilisasi, tanggal sterilisasi dan kadaluarsa proses sterilisasi. 5. Pembuatan: membuat dan mempersiapkan kapas serta kassa, yang kemudian akan disterilkan. 6. Sterilisasi: sebaiknya diberikan tanggung jawab kepada staf yang terlatih. 7. Penyimpanan: harus diatur secara baik dengan memperhatikan kondisi penyimpanan yang baik. 8. Distribusi: melakukan distribusi ke ruangan-ruangan yang membutuhkan. Pembagian ruangan yang dimiliki ISS yakni sebagai berikut: 1. Ruang Penerimaan (daerah kotor) adalah ruangan yang digunakan untuk kegiatan menerima barang-barang yang akan disterilkan dengan mengisi form barang yang belum steril. 2. Daerah Dekontaminasi adalah ruangan yang digunakan untuk kegiatan pencucian alat misalnya box obat kemoterapi, pemilihan/penyortiran barangbarang yang akan disterilisasi, perendaman, pembersihan dan pembilasan. Ruangan tersebut dibatasi dengan garis berwarna merah. 3. Daerah Produksi adalah ruangan yang digunakan untuk kegiatan produksi ISS diantaranya pembuatan kassa, kapas alkohol, depper, tampon dan lain-lain. 4. Daerah Persiapan adalah ruangan yang kegiatannya mempersiapkan barangbarang yang akan disterilkan salah satunya yaitu memberi label (labelling) dan sealing pada barang/alat yang akan disterilkan. 5. Daerah Penyimpanan/Clean Room adalah ruangan untuk menyimpan barang/alat yang sudah melalui proses sterilisasi dan untuk penyerahan permintaan barang/alat steril. 6. Ruangan penunjang adalah ruangan yang berfungsi untuk menunjang kegiatan Instalasi Sterilisasi dan Binatu, diantaranya ruang ganti, ruang istirahat, ruang pimpinan dan ruang rapat. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 55 5.1.5.Autoclave Gettinge Proses sterilisasi yang sering dilakukan di ISS ini adalah proses sterilisasi uap menggunakan autoclave dan proses sterilisasi ion menggunakan plasma. Sterilisasi uap digunakan untuk barang-barang yang tahan terhadap pemanasan pada suhu tinggi. Berikut ini adalah proses sterilisasi uap pada mesin autoclave Gettinge (GE 6612 AR-2): 1. Suhu 135 °C a. Siklus sterilisasi memakan waktu 35 menit dengan waktu pemaparan uap selama 7 menit. Digunakan untuk mensterilisasi instrumen-instrumen yang telah dikemas. b. Siklus sterilisasi memakan waktu 15 menit dengan waktu pemaparan uap selama 3,5 menit. Digunakan untuk mensterilisasi instrumen-instrumen yang dikemas. 2. Suhu 121°C Siklus sterilisasi memakan waktu 45 menit dengan waktu pemaparan uap selama 20 menit. Digunakan untuk mensterilisasi karet dan plastik. Untuk memberikan jaminan bahwa parameter-parameter yang ditentukan dalam proses sterilisasi uap sudah dipenuhi dengan baik maka perlu dilakukan proses monitoring. Hal ini juga bertujuan untuk menjamin kualitas produk luaran (output product) 100% steril. Pengujian mutu sterilisasi dilakukan dengan menggunakan indikator. Berikut ini adalah jenis-jenis indikator sterilisasi yang digunakan: a. Indikator Mekanik Indikator mekanik adalah bagian dari instrumen mesin sterilisasi seperti gauge, tabel dan indikator suhu maupun tekanan yang menunjukkan apakah alat sterilisasi bekerja dengan baik. Kegunaan: i. Pengukuran temperatur dan tekanan merupakan fungsi penting dari sistem monitoring sterilisasi, maka bila indikator mekanik berfungsi dengan baik akan memberikan informasi segera temperatur, tekanan, waktu dan fungsi mekanik lainnya dari alat. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 56 ii. Memberikan indikasi adanya masalah apabila alat rusak dan memerlukan perbaikan. b. Indikator Kimia Indikator kimia adalah indikator yang memadai terjadinya paparan sterilisasi (misalnya: uap panas atau gas etilen oksid) pada obyek yang disterilisasikan dengan adanya perubahan warna. Gambar contoh indikator kimia dapat dilihat pada Lampiran 5. Klasifikasi indikator kimia adalah sebagai berikut: a. Indikator Eksternal dan Indikator Internal 1) Indikator eksternal, contoh: Autoclave tape (3M), berbentuk tape dan digunakan di bagian luar kemasan. Dengan terjadinya perubahan warna, indikator ini memberikan informasi bahwa bagian luar kemasan benda yang disterilkan telah melewati proses sterilisasi. 2) Indikator internal, contoh: Comply (3M), berbentuk strip dan pemakaiannya diletakkan pada bagian dalam kemasan akan terlihat perubahan warna dari kuning menjadi hitam jika telah melewati proses sterilisasi. Indikator ini digunakan untuk barang yang tidak tembus pandang, misalnya tromol (box stainless). 3) Indikator untuk tes Bowie-Dick Indikator jenis ini digunakan untuk menilai efisiensi pompa vakum pada alat sterilitasi, serta untuk mengetahui adanya kebocoran udara dalam ruang sterilisasi. Oleh karenanya hanya digunakan pada metode sterilisasi uap panas yang yang menggunakan sistem vakum. Jadi indikator ini sama sekali bukan untuk mengetahui kondisi sterilisasi telah tercapai. c. Indikator Biologi (Attest) Indikator biologi adalah sediaan yang berisi populasi mikroorganisme spesifik dalam bentuk spora yang bersifat resisten terhadap beberapa parameter yang terkontrol dan terukur dalam suatu proses sterilisasi tertentu. Prinsip kerja dari indikator biologi adalah dengan mensterilkan spora hidup mikroorganisme yang non patogenik dan sangat resisten dalam jumlah tertentu. Apabila selama proses sterilisasi spora-spora tersebut terbunuh, maka dapat diasumsikan bahwa Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 57 mikroorganisme lainnya juga ikut terbunuh dan benda yang kita sterilkan bisa disebut steril. Mikroorganisme yang digunakan yaitu Geobacillus stearethermophillus. Pada saat melakukan pengujian digunakan 2 indikator Attest, yang pertama merupakan indikator uji yang dimasukkan ke dalam autoclave bersama dengan linen, dan yang kedua merupakan indikator kontrol. Kemudian keduanya dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 56C selama 24-48 jam. Apabila Attest yang diproses (indikator uji) tidak berubah warna tetap berwarna ungu, hal itu menunjukkan bahwa spora telah terbunuh sehingga tidak ada pertumbuhan bakteri, akan tetapi apabila indikator uji Attest hasilnya bewarna kuning, menunjukkan bahwa di dalam media terjadi pembentukan asam yang menandakan masih ada pertumbuhan bakteri dalam proses sterilisasi tersebut. . Gambar contoh indikator biologi dapat dilihat pada Lampiran 6. Berbeda dengan sterilisasi uap menggunakan autoclave yang digunakan untuk barang-barang yang tahan pemanasan pada suhu tinggi, untuk melakukan sterilisasi terhadap bahan-bahan yang tidak tahan pemanasan digunakan sterilisasi plasma secara ion menggunakan alat Sterrad NX (JJ). Biasanya alat ini digunakan untuk melakukan sterilisasi terhadap alat-alat kedokteran single use yang ingin digunakan kembali dan hanya terbatas pada beberapa jenis kateter, guidel dan body stapler (harus dengan persetujuan direksi). Pasca sterilisasi dilakukan monitoring steril/tidaknya produk akhir dengan melakukan uji mikrobiologi pada produk akhir (produk steril) secara sampling meliputi produk habis pakai, instrumen, dan linen steril. Begitu pula dilakukan uji mikrobiologi sterilitas ruangan yang meliputi fungsi HEPA dan udara di ruang steril. Untuk mempertahankan agar ruangan sterilisasi mengandung kuman seminimal mungkin maka dilakukan fogging (pengasapan) yang dilakukan satu minggu sekali dan untuk memastikan sterilitasnya maka dilakukan juga uji mikrobiologi dengan menggunakan media agar yang pemeriksaannya dilakukan secara rutin 3 bulan sekali. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 58 5.2. Bagian Rekam Medis Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Rekam medik merupakan berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien mulai dari pasien datang hingga pulang termasuk hasil dari pemeriksaan pasien. Rekam medik harus dibuat secara tertulis, lengkap, dan jelas atau secara elektronik. Fisik rekam medik milik sarana pelayanan kesehatan, dalam hal ini rumah sakit, sedangkan isinya milik pasien yang bersifat rahasia. Adapun yang berhak melihat rekam medis yaitu dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola, dan pimpinan sarana kesehatan. Apabila ada pihak-pihak yang membutuhkan rekam medik maka perlu meminta izin kepada Direktur. Jika ada unit-unit terkait yang memerlukan rekam medik, maka ada Bon Peminjaman Rekam Medik yang ditandatangani oleh pihak yang memintanya. Di RSKD, rekam medik yang sedang dipinjam, posisinya digantikan oleh tresser. Skema alur peminjaman status serta pengembalian status pasien rawat jalan dan rawat inap dapat dilihat pada Lampiran 7-10. Warna tresser berbeda-beda seperti merah menandakan bahwa rekam medik sedang dipinjam oleh unit pelayanan, warna biru menandakan bahwa rekam medik sedang dipinjam untuk penelitian, dan warna putih menandakan bahwa rekam medik yang dipinjam merupakan rekam medik pasien yang sudah meninggal. Tujuan dari adanya tresser yaitu bertujuan untuk memudahkan pencarian rekam medik yang sedang dipinjam. Rekam medik memiliki sistem penomoran berdasarkan urutan datang pasien. Nomor rekam medik terdiri dari enam digit angka dan satu pasien hanya memiliki satu nomor rekam medik untuk seumur hidup sehingga tidak ada duplikasi nomor. Secara umum, alur pasien dibedakan antara pasien rawat inap dengan pasien rawat jalan.Selain itu, dokumen rekam medik juga dibedakan antara pasien baru dengan pasien lama (pasien yang sebelumnya pernah datang ke rumah sakit Dharmais). Di RSKD, terdapat bidang yang mengelola rekam medik yang dinamakan bidang rekam medik. Bidang ini berada di bawah Direktur Medik dan Keperawatan. Bidang rekam medik berperan sebagai gerbang pertama pasien Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 59 ketika masuk rumah sakit dan berperan penting dalam mendukung proses pelayanan medis kepada pasien. Rekam medik juga berperan dalam proses pendidikan dan penelitian. Bidang rekam medik mempunyai tugas menyiapkan seluruh sumber daya dan fasilitas rekam medik dan admission, melaksanakan bimbingan pelaksanaan pelayanan, menyusun dan mengolah catatan medik, melakukan pengkodean dan penyimpanan serta pemantauan pelaksanaan rekam medik. Bidang rekam medik dibagi menjadi tiga seksi, yakni: 1. Seksi Admisi Seksi ini bertugas di bagian pendaftaran pasien rawat inap, rawat jalan, dan jaminan. Dalam menjalankan tugasnya, seksi admisi melaksanakan sistem triase, yaitu suatu sistem pemilahan pasien baru yang datang tanpa surat pengantar. Sistem ini dijalankan dengan cara dokter triase menanyakan kondisi pasien dan menyarankan pasien untuk melakukan pengobatan ke poliklinik yang sesuai. 2. Seksi Catatan Medik Seksi ini bertugas untuk merapikan dan menyusun status pasien dan semua informasi pasien yang ada di dalamnya sesuai dengan pedoman baku yang telah ditetapkan. 3. Seksi Pengkodean dan Penyimpanan Seksi pengkodean dan penyimpanan bertugas untuk mengelompokkan status (rekam medik) pasien berdasarkan penyakit dengan cara memberikan kodekode tertentu sesuai jenis penyakit pasien. Alur pasien baru di Rumah Sakit Kanker Dharmais (skema alur dapat dilihat pada Lampiran 11) yaitu pasien atau keluarga pasien mendaftar ke bagian pendaftaran pasien baru yang ada di lobi RS, pasien ditanya oleh dokter triase tentang keluhan yang dirasakan, pasien diarahkan diarahkan ke unit-unit tertentu sesuai keluhan, kemudian rekam medik akan diantarkan oleh petugas ke poliklinik tempat pasien berobat, ketika pasien telah selesai berobat atau telah pulang, petugas akan kembali untuk mengambil rekam medik untuk dikembalikan ke bagian rekam medik untuk diperiksa kembali. Rekam medik diurutkan dan disusun berdasarkan nomor rekam medik. Selanjutnya dilakukan coding (pengkodean) berdasarkan diagnosa dan jenis penyakit pada tiap rekam medik. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 60 Data kemudian dimasukkan ke dalam komputer untuk mempermudah bagian admission dalam mencari data rekam medik pasien jika pasien tersebut kembali berobat. Alur pasien lama atau yang pernah datang ke rumah sakit Dharmais (skema alur dapat dilihat pada Lampiran 12) yaitu pasien lama datang ke bagian pendaftaran (admission), komputer di bagian pendaftaran rawat inap secara online akan terhubung dengan bagian penyimpanan rekam medik sehingga rekam medik dikirim ke unit terkait tempat pasien berobat, ketika pasien telah selesai masa perawatannya atau telah pulang, petugas akan kembali untuk mengambil rekam medik untuk dikembalikan ke rekam medik bagian untuk diperiksa kembali, selanjutnya rekam medik diurutkan dan disusun berdasarkan nomor rekam medik. Penyimpanan rekam medik di rumah sakit Dharmais menggunakan sistem terminally digit yakni disusun dan disimpan berdasarkan dua digit terakhir pada nomor rekam medik, serta ditandai dengan warna-warna yang berbeda pada fisik rekam medik. Setiap hari petugas rekam medik bertugas mengantar rekam medik pasien baru datang dan mengambil rekam medik pasien yang telah pulang (tenggang waktu pengambilan adalah 1x24 jam setelah pasien pulang). Rekam medik tidak hanya disimpan, namun juga diolah secara statistik yang bertujuan untuk peningkatan mutu RS. Beberapa data hasil pengolahan rekam medik secara statistik yakni: 1. Jumlah pasien baru dan pasien datang 2. Tren jenis penyakit 3. BOR (Bed Occupation Rate) 4. LOS (Length of Stay) 5. TOI (Turn Over Interval) 6. BTO (Bed Turn Over) 7. NDR (Net Death Rate) 8. GDR (Gross Death Rate) Berdasarkan Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis disebutkan bahwa rekam medik pasien rawat inap di rumah sakit wajb disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 5 tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat atau dipulangkan, setelah batas waktu 5 tahun, rekam Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 61 medis dapat dimusnahkan (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Di RSKD hingga saat ini rekam medik belum pernah dimusnahkan dan RSKD memiliki peraturan tersendiri tentang waktu pemusnahan. Hal ini ditujukan untuk kepentingan pengembangan, pendidikan, dan penelitian terhadap penyakit kanker. Selain pemusnahan, rekam medik juga dapat mengalami penyusutan yang bertujuan untuk peningkatan efektifitas tempat penyimpanan rekam medik. Proses penyusutan merupakan pengelompokkan rekam medik menjadi kelompok aktif dan tidak aktif. Rekam medik milik pasien yang dalam waktu sepuluh tahun tidak melakukan kunjungan sama sekali (bisa jadi pasien meninggal, berobat ke tempat lain/second opinion, atau telah sembuh) akan dikelompokkan menajdi rekam medik tidak aktif. Apabila setelah tiga puluh tahun status rekam medik tetap nonaktif makan akan dilakukan pemusnahan terhadap rekam medik tersebut namun informed consent dan surat tindakan akan tetap disimpan. 5.3. Instalasi Kesehatan Lingkungan (IKL) dan Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Instalasi Kesehatan Lingkungan (IKL) dan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) bertanggung jawab terhadap pengelolaan seluruh limbah rumah sakit., keamanan dan keselamatan baik untuk pasien maupun anggota rumah sakit lain seperti petugas kesehatan, karyawan, dan lain-lain. IKL bertugas mengelola limbah padat maupun cair yang berasal dari seluruh kegiatan yang dilakukan di rumah sakit. 5.3.1. Pengelolaan Limbah Padat Limbah padat RSKD merupakan limbah rumah sakit yang berbentuk padat berasal dari seluruh kegiatan di rumah sakit. Pengelolaan limbah padat dilakukan setiap hari oleh petugas kebersihan dan dipisahkan berdasarkan limbah padat medis, non medis, dan domestik. Limbah padat dari setiap ruangan dikumpulkan dalam satu kantong plastik dengan warna yang sesuai dengan jenis limbahnya. 1. Limbah medis padat a. Sumber Sumber limbah padat medis RSKD berasal dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksik, limbah Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 62 kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan dan limbah kandungan logam berat tinggi. b. Pewadahan Limbah padat medis ditampung dalam wadah yang berbeda berdasarkan kategori limbah yang dihasilkan.Wadah yang digunakan terbuat dari bahan yang kuat, cukup ringan, tahan karat, kedap air dan tertutup dengan dilapisi kantong plastik yang berbeda warna. Untuk kategori limbah infeksius patologi dan anatomi menggunakan kantong plastik berwarna kuning, limbah sitotoksis menggunakan kantong plastik kuning yang diberi label bertuliskan “limbah sitotoksis” dan logo, limbah kimia dan farmasi dengan kantong plastik warna kuning yang diberi label dan logo dan limbah radioaktif dengan kantong plastik warna merah, sedangkan untuk limbah benda tajam ditampung dalam satu wadah yang anti bocor, anti tusuk, dan tidak mudah untuk dibuka sehingga orang yang tidak berkepentingan tidak dapat membukanya dan dilapisi dengan kantong plastik berwarna kuning. c. Pengangkutan Pengangkutan limbah medis dilakukan sebanyak 2- 3 kali dalam sehari, yaitu pada siang, sore dan dini hari atau apabila telah mencapai 2/3 bagian telah terisi limbah. Alat angkut yang digunakan berupa troli tertutup, namun dalam proses pengangkutan masih ada petugas yang menggunakan troli terbuka dan limbah yang diangkut tidak dipisahkan serta tidak menggunakan jalur khusus. d. Pengolahan Tahap selanjutnya adalah tahap pengolahan limbah medis padat, seluruh limbah medis padat yang dihasilkan akan dibakar dengan menggunakan insinerator (Lampiran 13). Insinerator tersebut terdiri dari 2 tungku (chamber) dengan kapasitas 800 kg. Pembakaran dilakukan selama 1 jam per 100 kg, untuk lebih efektif pembakaran dilakukan setiap 15 menit dengan berat limbah sebanyak 25 kg. Hal ini merupakan strategi yang dilakukan untuk mencapai hasil pembakaran yang optimal. Proses pembakaran dimulai dengan memasukkan limbah medis padat kedalam Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 63 chamber 1 dengan suhu 500 – 600oC, chamber ini digunakan untuk membakar fisik limbah. Selanjutnya hasil pembakaran berupa gas/ emisi buangan dari chamber 1 dibakar di chamber 2 dengan suhu 600 – 1000oC, hal tersebut menghasilkan emisi yang keluar sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pembakaran dilakukan terus menerus selama jam kerja (per 8 jam kerja). Untuk limbah yang datang setelah jam kerja maka akan ditampung di Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) untuk dibakar keesokan harinya. Limbah hasil pembakaran limbah di insinerator akan dipindahkan ke dalam TPS Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) setiap 7 hari sekali. Abu insinerator hasil pembakaran akan dikirim ke PPLI apabila kapasitas limbah yang dihasilkan mencapai 2 ton. Setiap rumah sakit yang memiliki insinerator dan TPS harus memiliki surat izin dan memperpanjang surat izin setiap 3 tahun untuk TPS yang dikeluarkan oleh Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta dan setiap 5 tahun untuk insinerator yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Uji emisi insinerator dilkukan setiap 3 bulan oleh PT. Unilab Perdana atau Lab yang telah memiliki izin dari KLH. Untuk limbah radioaktif Rumah Sakit Kanker “Dharmais” menggunakan sistem re-export, limbah tersebut dikembalikan ke perusahaan penghasil atau distributor yakni BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional). 2. Limbah padat non medis a. Sumber Limbah padat non medisyang dihasilkan oleh Rumah Sakit Kanker “Dharmais adalah limbah B3 non medis berupa baterai bekas, lampu bekas dan oli bekas. b. Pewadahan Wadah yang digunakan untuk penyimpanan sementara limbah B3 non medis berbeda berdasarkan jenis limbahnya. Limbah baterai bekas dan lampu ditampung dalam kontainer berupa drum berbahan dasar plastik dan dilengkapi dengan tutup sedangkan limbah oli bekas ditampung Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 64 dalam wadah berupa drum kaleng yang tertutup, wadah tersebut diberi label bertuliskan “Limbah B3” c. Pengangkutan Pengangkutan dilakukan setiap hari dengan menggunakan troli tertutup apabila jumlah limbah yang dihasilkan tidak banyak maka petugas yang mengangkut limbah tersebut tidak menggunakan alat pengangkut khusus menuju TPS, khusus oli bekas diangkut ke TPS B3 non medis yang berada di ruang genset. d. Pengolahan Limbah B3 non medis berupa baterai bekas akan dikembalikan ke perusahaan penghasil atau distributor, sedangkan untuk lampu bekas dan oli bekas akan diangkut oleh PPLI atau perusahaan yang mempunyai izin. 3. Limbah Domestik a. Sumber Limbah domestik ialah limbah yang berasal dari kegiatan di dapur, perkantoran, taman dan halaman. b. Pewadahan Pewadahan untuk limbah domestik dikelompokkan menjadi dua yaitu wadah untuk sampah organik dan sampah anorganik. Pada kontainer yang digunakan diberikan label bertuliskan jenis sampah dan warna untuk kontainer sampah organik dan sampah anorganik juga dibedakan guna mempermudah dalam proses pemilahan serta kontainer dilapisi oleh kantong plastik berwarna hitam. c. Pengangkutan Pengangkutan dilakukan setiap hari sebanyak 2-3 kali dalam sehari, atau apabila 2/3 bagian telah terisi limbah. Alat angkut yang digunakan berupa troli tertutup namun tidak terpisah. d. Pengolahan Seluruh limbah domestik (organik dan anorganik) Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ditampung di TPS berupa bangunan tertutup dengan panjang 8 meter, lebar 2 meter dan tinggi 2 meter, yang dilengkapi saluran untuk cairan lindi, selanjutnya limbah domestik akan diangkut oleh Petugas Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 65 Dinas Kebersihan PEMDA DKI Jakarta setiap hari. Selain itu RSKD melakukan pemilahan terhadap sampah kardus, yang nantinya sampah kardus tersebut akan dijual ke pengepul. RSKD melakukan upaya minimalisasi limbah dengan cara 3R namun upaya tersebut tidak berjalan sejak tahun 2011 sebab keterbatasan SDM, sehingga saat ini upaya minimalisasi yang dilakukan ialah composting. Bahan baku composting adalah daun-daun kering yang ada di sekitar halaman RSKD. Upaya ini cukup efektif untuk meminimalisasi sampah dedaunan karena dapat mengurangi timbunan sampah dedaunan sebanyak 60 – 70 kg per hari. Kompos yang dihasilkan mencapai 420 kg per bulan, yang selanjutnya kompos tersebut akan digunakan kembali untuk pemeliharaan tanaman. Secara ringkas alur pengolahan limbah padat di RSKD dapat dilihat pada Gambar 6.2. Gambar 5.2.. Alur Pengolahan Limbah Padat 5.3.2. Pengelolaan Limbah Cair RSKD memiliki 2 buah unit IPAL yang masing-masing memiliki fungsi dan sistem berbeda. 1. Instalasi Pengolahan Air Limbah 1 (IPAL 1) RSKD memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah sendiri yang telah ada sejak pertama dibangunnya rumah sakit ini. IPAL 1 memiliki fungsi untuk Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 66 mengolah air limbah yang bersumber dari semua kegiatan rumah sakit kecuali kegiatan yang bersumber dari pencucian laundri, instalasi gizi, kantin, gedung MK (asrama dan kantor IPS-RS) dan dari limbah pembersihan insinerator. Sistem pengolahan limbah cair STP (Sewage Treatment Plant) RSKD adalah Modifikasi Extended Aeration dengan Contact Stabilization. Kapasitas yang dimiliki IPAL 1 sebesar 725 m3/hari. Aktual air limbah yang diolah adalah rata-rata 200-300 m3/hari. RSKD memiliki 4 buah sewage (tempat penampungan sementara) yang akan disalurkan ke IPAL 1, yang mana salah satu sewage digunakan khusus untuk air limbah radioaktif yang berasal dari buangan urine dan feces pasien di RIRA (Ruang Isolasi Radioaktif). Sewage tersebut menggunakan sistem paruh waktu diharapkan dengan sistem ini dapat menghilangkan kandungan radioaktif yang ada pada limbah cair (Zero Radioactive). Selanjutnya air limbah dari sewage akan dialirkan menuju IPAL 1 menggunakan pompa. Berikut ialah proses pengolahan limbah cair di IPAL 1: a. Grit Chamber Air limbah yang berasal dari Sewage pertama kali akan masuk ke bak Grit Chamber. Di bak ini terjadi proses penyaringan. Air limbah di grit chamber akan disaring pertama kali di screen kasar. Sampah-sampah dengan berat jenis lebih besar dari air akan mengendap, contohnya pasir, batu, dan lainlain. Sedangkan yang berat jenis lebih ringan dari air akan ditahan.disaring dengan bar screen yang ukurannya 3 – 4 cm, conohnya plastik, pembalut, handuk, dan lain-lain. Selanjutnya sampah yang masih terbawa dari screen kasar akan dicacah menggunakan communitor agar menjadi ukuran yang lebih kecil (hancur). b. Aeration Tank (Bak Aerasi) Air yang berasal dari grit chamber akan mengalir ke bak aerasi. Di bak aerasi ini disuplai oksigen dengan menggunakan mesin blower. Fungsi O2 yang dihasilkan adalah untuk metabolisme bakteri aerob. Bakteri tersebut digunakan untuk memecah polutan yang terkandung dalam air limbah tersebut, sehingga di bak ini terjadi penurunan kadar pencemaran oleh bakteri aerob dan di bak aerasi terjadi penurunan BOD, COD dan amoniak. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 67 c. Sedimentation Tank (Bak Sedimentasi) Air limbah dari aerasi akan mengalir ke bak sedimentasi. Di bak ini lumpur yang terkandung dalam air limbah akan diendapkan. Pada bak terjadi pembentukan flok yang kemudian akan disatukan oleh mesin scrapper. Flokflok yang terbentuk akan diangkat secara manual. Lalu air limbah akan menuju distribution tank menggunakan air lift. d. Distribution Tank (Bak Distribusi) Pada bak distribusi, air limbah akan dipecah menjadi dua tempat yaitu air yang tidak mengandung lumpur akan mengalir ke bak penampungan akhir, sedangkan air yang masih mengandung lumpur akan mengalir ke bak stabilisasi. e. Stabilitation Tank (Bak Stabilisasi) Bak ini berfungsi sebagai tempat untuk pembibitan bakteri. Air limbah dari bak sedimentasi akan mengalir secara overflow ke aeration tank. f. Sand Filter Air limbah yang berasal dari bak penampungan akhir akan dipompa menuju sand filter. Polutan yang terkandung dalam air limbah akan disaring menggunakan pasir silika. g. Carbon Filter Air yang sudah disaring dengan sand filter selanjutnya dialirkan ke carbon filter. Di sini air juga akan disaring kembali, tujuan penyaringan ini adalah untuk menghilangkan warna dan bau yang terkandung dalam air limbah tersebut, air limbah kemudian akan mengalir ke outlet. Limbah cair yang telah diolah di IPAL 1 akan dibuang ke saluran kota melalui pipa outlet. Petugas IPAL 1 melakukan pencatatan debit dan swapantau setiap hari. Kegiatan swapantau berupa pengukuran suhu, pH, DO, dan TSS. Selain melakukan kegiatan swapantau RSKD juga melakukan uji kualitas limbah cair terolah (effluent) pada outlet IPAL 1 & 2. Pengujian dilakukan dengan cara mengirimkan sampel limbah cair ke PT. Unilab Perdana setiap 1 bulan sekali dan ke BPLHD setiap 3 bulan sekali, pada kegiatan tersebut diharapkan kualitas dan kuantitas air limbah yang diolah memenuhi persyaratan yang berlaku. Izin pembuangan limbah cair (IPLC) dikeluarkan oleh BPLHD. Perizinan tersebut Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 68 harus diperpanjang selama 5 tahun sekali, dan pada kurun waktu 5 tahun dari tahun 2010-2015 limbah cair maksimum yang diperbolehkan dibuang oleh IPAL 1 ke saluran kota ialah 407 m3/hari. 2. Instalasi Pengolahan Air Limbah 2 (IPAL 2) Unit IPAL 2 didirikan pada tahun 2010 dengan kapasitas 100 m3/hari, dengan aktual limbah cair yang diolah setiap harinya sebesar 20-40 m3/ hari. Unit IPAL 2 digunakan untuk pengolahan limbah cair yang berasal dari kegiatan pencucian laundri, instalasi gizi, kantin, gedung MK (asrama dan kantor IPS-RS) dan dari limbah pembersihan insinerator. Sistem yang digunakan ialah aerob and anaerob system. Air limbah yang akan diolah di IPAL 2 sebelumnya ditampung terlebih dulu di sewage yang berjumlah 4 buah yakni sewage instalasi gizi, sewage laundry, sewage insenerator dan kantin, dan sewage gedung MK. Selanjutnya air limbah dari sewage akan dialirkan menuju IPAL 2 menggunakan pompa. Berikut ialah proses pengolahan limbah cair di IPAL 2: a. Grease Trap Air limbah yang bersumber dari instalasi gizi, insinerator dan kantin serta asrama yang berasal dari masing-masing sewage akan dialirkan menuju grease trap yang berfungsi untuk menangkap minyak dan lemak yang dihasilkan dari kegiatan instalasi gizi, insinerator dan kantin serta asrama. Air mengandung minyak dan dalam waktu beberapa hari di permukaan air akan membentuk grease/lemak yang kemudian ditahan di grease trap. Grease Trap ini harus dikontrol setiap hari, jika ada penumpukan grease yang berlebihan, maka grease harus diangkat dan dibuang ke tempat pembuangan akhir. b. Solid & Separation Chamber Chamber ini menerima air limbah yang mengalir dari grease trap dan berfungsi untuk menahan/menyaring partikel non organik (padat, seperti plastik, kain, dan lainnya) yang besar supaya tidak masuk ke dalam proses berikutnya. Hanya partikel kecil yang masuk ke chamber berikutnya untuk di treatment lebih lanjut. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 69 c. Flow Equalization Pada tahap ini, limbah yang berasal dari solid and separation chamber akan dihomogenkan agar mempermudah dalam proses berikutnya. d. Anaerobic Digestion Air limbah yang ada pada equalization chamber akan mengalir ke anaerobic chamber. Pada tahap ini dilengkapi Enpiro-Ball Bio-Media, tetapi tidak dibutuhkan oksigen karena proses ini adalah anaerob. Pada tahap ini terjadi penurunan parameter-parameter pencemar air limbah yang dilakukan oleh bakteri anaerob. e. Sump/Collecting Pit Air yang sudah melalui anaerobic chamber akan mengalir menuju sump/collecting pit, dari unit ini air limbah akan di transfer dengan pipa submersible menuju system aerobic. f. Aerobic Equalization Chamber Chamber ini menerima air limbah dari anaerobic chamber melalui Sump/Collecting Pit. Pada tahap ini di pasang fine bubble difusser dan dioksidasi dengan air blower sehingga mikroorganisme aerobik akan hidup dan berkembang biak dengan sempurna. Selain itu unit ini berfungsi untuk menurunkan BOD, COD, SS dan menghilangkan bau. Chamber ini menerima pengembalian lumpur (return sludge) yang berasal dari sedimentasi dengan menggunakan air lift pump. g. Clarifier (Sedimentation) Chamber ini menerima aliran air limbah dari aerobic chamber yang berfungsi untuk memisahkan air yang bersih dengan sludge/lumpur. Lumpur yang mengendap akan dikembalikan ke aerobic equalization chamber. h. Aerobic Chamber with Biofilm Chamber ini dilengkapi dengan plate settler berupa media honey comb. Mekanisme proses metabolisme di dalam system biofilm merupakan system biofilm yang terdiri dari media penyangga, lapisan biofilm yang melekat pada media honey comb. Pada tahap ini terjadi proses penurunan polutan dengan biofilm. Setelah ini proses ini air akan mengalir secara gravitasi ke unit electrocoagulation untuk menjalani proses pengolahan selanjutnya. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 70 i. Electrocoagulation Sama seperti pengolahan konvensional secara kimia dengan menggunakan koagulan dan flokulan, disini air limbah juga mengalami hal serupa. Namun proses ini menggunakan energi listrik. Pada tahap ini unsur-unsur polutan terutama seperti warna, kandungan organik maupun anorganik dipecahkan ikatannya dari air limbah dengan menggunakan energi listrik. Pada tahap ini terjadi pengikatan ion negatif oleh ion positif, ikatan tersebut akan membentuk polutan yang berat jenisnya lebih dari air, polutan tersebut akan mengendap dan endapan tersebut akan diangkat secara manual. j. Sand filter Sebelum menuju sand filter, air limbah akan mengalir ke bak penampungan, lalu dari bak penampungan air limbah akan dipompa menuju sand filter. Tujuan penyaringan pada unit sand filter adalah untuk menyaring polutan yang masih terdapat dalam air limbah dengan menggunakan pasir silika. k. Carbon filter Tujuannya penyaringan pada unit carbon filter adalah untuk menghilangkan materi dari cairan terutama komponen yang berkontribusi atas adanya warna dan bau dalam air limbah. Banyak sekali absorben yang digunakan untuk aplikasi lapangan, namun karbon aktif merupakan bahan yang sering digunakan karena lebih ekonomis dan sifarnya non polar. l. Ultra Violet (UV) Desinfection Pada proses ini, air limbah dari carbon filter akan didesinfeksi menggunakan radiasi Ultra Violet (UV). Air yang akan di desinfeksi dialirkan diantara tabung sinar merkuri dan tabung reflektor yang dilapisi metal dengan waktu pemaparan beberapa detik, namun energi yang diperlukan cukup tinggi sekitar 10-20 watt/m3/jam. m. Treated Water Tank Chamber ini untuk menampung air yang sudah diproses dan siap untuk di gunakan kembali atau dibuang ke saluran kota secara gravitasi. IPAL 2 RSKD dirancang untuk dapat menghasilkan olahan air limbah yang dapat memenuhi persyaratan air bersih, sehingga diharapkan dapat digunakan kembali untuk kebutuhan rumah sakit, antara lain untuk menyiram Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 71 tanaman dan digunakan untuk sumber air dalam pencucian laundri dan lain-lain. Sama halnya dengan IPAL 1, Instalasi Kesehatan Lingkungan RSKD juga melakukan pemeriksaan kualitas limbah cair terolah (effluent) IPAL 2 secara rutin setiap harinya untuk swapantau serta pengiriman sampel limbah cair ke ke PT. Unilab Perdana setiap 1 bulan sekali dan ke BPLHD setiap 3 bulan sekali untuk diperiksa kualitas dan kuantitas limbah cair yang dihasilkan dengan peraturan yang berlaku. Perizinan IPAL 2 dikeluarkan oleh BPLHD. Perizinan tersebut harus diperpanjang selama 5 tahun sekali, dan pada kurun waktu 5 tahun dari tahun 2011-2016 limbah cair maksimum yang diperbolehkan dibuang oleh IPAL 2 ke saluran kota ialah 36 m3/hari. Gambar 5.3. Alur Pengolahan Limbah Cair Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 BAB 6 PEMBAHASAN RSKD memiliki beberapa instalasi sebagai penunjang pelayanan kesehatan. Salah satu instalasi tersebut adalah Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS). IFRS bertanggung jawab sepenuhnya terhadap seluruh kegiatan kefarmasian. IFRS menjalankan fungsi kefarmasian yang mencakup tiga aspek utama, yaitu aspek manajemen, produksi, dan farmasi klinik. Pelayanan IFRS RSKD berdasarkan sistem pelayanan farmasi satu pintu (one bin system) yang berarti satu kebijakan, satu SOP, satu pengawasan operasional, dan satu sistem informasi. 6.1. Manajemen Farmasi 6.1.1. Pemilihan Tujuan pemilihan perbekalan farmasi di RSKD yaitu untuk menentukan apakah perbekalan farmasi benar-benar diperlukan sesuai jumlah pasien atau jumlah kunjungan dan memenuhi kriteria efektif, aman, bermutu, dan terjangkau. Pemilihan perbekalan farmasi yang akan masuk ke dalam formularium RSKD menggunakan sistem 1:2:1. Pada sistem tersebut, berlaku ketentuan yaitu untuk setiap zat aktif terdiri atas 1 produk paten (original), 2 produk me too, dan 1 nama generik. Pemilihan obat dan alat-alat kesehatan di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” dilakukan oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT). Obat-obat baru yang akan masuk ke dalam formularium harus melalui tahapan seleksi oleh PFT. Tahapan pengajuan obat yang akan masuk ke dalam formularium yaitu : 1. User (dokter) melakukan permintaan obat baru yang ditawarkan distributor pabrik farmasi dengan cara mengisi Formulir Permintaan Obat Baru di Luar Standar Rumah Sakit Kanker “Dharmais” yang harus ditandatangani oleh tiga dokter spesialis (Lampiran 14). 2. Pengisian formulir tersebut dilengkapi dengan informasi produk yang terdiri dari nama obat, bentuk sediaan dan kekuatan, indikasi, efek samping utama obat baru yang pernah dilaporkan, literatur yang menjadi referensi, dan harga per unit. 72 Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 Universitas Indonesia 73 3. PFT melakukan pengecekan kelengkapan formulir dan menganalisis kebutuhan obat tersebut dan membandingkan dengan formularium yang sudah ada. 4. Pihak distributor yang menawarkan obat baru melakukan presentasi mengenai produk baru tersebut didepan PFT dan dokter pengguna (user), kemudian PFT menganalisa kembali informasi yang didapat dari presentasi distributor. 5. Jika obat tersebut disetujui maka formulir permintaan obat baru ditandatangani oleh ketua PFT dan kepala IFRS kemudian dilakukan negosiasi harga antara distributor dengan IFRS dan Instalasi Layanan Pengadaan (ILP). 6. Apabila kesepakatan harga telah tercapai maka dilakukan penandatanganan Ikatan Kerja Sama (IKS). Status obat tersebut berupa obat konsinyasi secara sistem. 7. PFT melihat pola pemakaian obat tersebut selama tiga bulan pertama. Dari data yang ada, dilakukan pengkategorian obat menurut pemakaiannya: fast moving, slow moving,atau middle moving. 8. Obat yang dimasukkan kedalam suplemen formularium yang digunakan di RSKD adalah kategori fast moving dan hasil pertimbangan terhadap segala aspek obat menunjukkan bahwa obat tersebut layak dimasukkan ke dalam formularium. Obat tersebut akan dimasukkan ke dalam formularium pada periode berikutnya. Namun, jika kategori obat tersebut berupa middle atau slow moving maka dilakukan pengamatan selama tiga bulan kedua. Masuk atau tidaknya obat tersebut ke dalam formularium berdasarkan beberapa persyaratan yang sudah ditetapkan oleh PFT. 9. Setelah obat baru masuk ke dalam formularium, PFT mengevaluasi frekuensi pemakaian obat baru tersebut secara berkala. Prosedur penambahan dan pengurangan daftar obat dalam formularium: 1. Melakukan evaluasi terhadap obat yang sudah masuk formularium setiap tiga bulan sekali terkait dengan efektifitas dan frekuensi penggunaannya di RSKD 2. Obat yang jarang digunakan (slow moving) setelah waktu tiga bulan akan diingatkan kepada principal terkait atau dokter yang meminta obat tersebut. Apabila pada 3 bulan berikutnya tetap tidak atau kurang jalan, maka obat Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 74 tersebut dikeluarkan dari buku formularium dan posisinya digantikan oleh obat me too berikutnya atau lainnya. 3. Bila pada hasil evaluasi dalam 3 bulan pertama, ternyata ada obat-obat yang tidak jalan atau tidak digunakan, maka obat tersebut langsung dikeluarkan dari buku formularium dan kesempatan diberikan kepada obat me too berikutnya untuk menggantikan posisi obat yang dikeluarkan tersebut. 4. Untuk obat yang bersifat life saving dan dibutuhkan namun tidak terdapat dalam formularium, maka harus mendapat persetujuan dari ketua komite medik atau direktur medik dan keperawatan. Formularium di RSKD selalu dievaluasi dan diperbaharui setiap enam bulan sekali. Dalam melakukan evaluasi formularium, dilihat persentase penggunaan obat oleh dokter yang berasal dari formularium. Semakin besar persentase keterpakaian obat oleh dokter yang ada di dalam formularium menunjukan semakin tinggi tingkat kepatuhan dokter dalam meresepkan obatobatan yang termasuk ke dalam formularium tersebut. 6.1.2. Perencanaan Perencanaan merupakan kegiatan menyusun daftar kebutuhan perbekalan farmasi yang disesuaikan dengan anggaran dengan tujuan mencegah terjadinya kekurangan (underestimate) atau kelebihan (overestimate) perbekalan farmasi. Perencanaan perbekalan farmasi di RSKD mengacu pada Formularium 1:2:1, ekatalog, DPHO, dan Formularium Nasional. Perencanaan di Instalasi Farmasi RSKD menggunakan metode konsumsi yang dimodifikasi dengan data kecenderungan pemakaian tiga bulan sebelumnya. Instalasi Farmasi Rumah Sakit melakukan perencanaan untuk periode satu tahun. Perencanaan perbekalan farmasi di RSKD sudah dilakukan melalui sistem komputerisasi yaitu dengan proses Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) yang dilihat pada jumlah stok maksimal dan minimal. Dasar penetapan stok minimal dan maksimal diperoleh dengan mempertimbangkan analisis penjualan selama tiga bulan (pola konsumsi), kemudian di lihat rata-rata per bulannya, trend pemakaian, lead time, dan stok pengaman. Perencanaan dilakukan oleh bagian kepala unit perbekalan farmasi. Apabila telah mencapai stok minimum, maka secara otomatis akan keluar Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 75 Material Request (MR) yang ada di SIRS dan menunjukkan perbekalan farmasi yang harus segera dipesan (Lampiran 15). MR berisi nama obat/alkes, distributor, harga, diskon, dan jumlah yang akan dipesan. MR diverifikasi dengan mempertimbangkan kecenderungan pemakaian, kelangkaan barang farmasi, slow moving, dan middle stock. Selanjutnya, koordinator bagian perbekalan farmasi membuat print out MR tersebut yang diverifikasi terlebih dahulu oleh Kepala IFRS, lalu akan dibawa ke bagian Instalasi Layanan Pengadaan (ILP). Data digital MR terhubung langsung dengan ILP dan juga dalam bentuk tercetak diserahkan kepada ILP untuk memastikan MR sesuai. Perencenaan ini biasanya dilakukan sebanyak satu bulan sekali. Keuntungan dari penggunaan SIRS pada proses perencanaan obat adalah saat stok obat di komputer telah menyentuh batas stok minimal, obat tersebut akan langsung tertera dalam MR untuk kemudian ditindaklanjuti oleh ILP, sehingga akan menyederhanakan serta mempercepat proses perencanaan dan permintaan ke ILP. Kekurangan dari sistem ini yaitu jika terjadi kesalahan sistem atau instalasi listrik padam maka akan terjadi hambatan dalam prosesnya. 6.1.3. Pengadaan Pengadaan perbekalan farmasi di RSKD dilakukan oleh Instalasi Layanan Pengadaan (ILP). Pengadaan dilakukan dengan dua metode, yaitu penunjukkan langsung dan lelang harga. Lelang harga dilakukan untuk pengadaan obat generik, obat me-too dan alat kesehatan, sedangkan penunjukkan langsung dilakukan untuk pengadaan obat narkotika dan psikotropika, serta untuk obat original. Proses lelang dilakukan terhadap penawaran harga oleh distributor dan dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Tugas ILP terkait dengan pelelangan dan pengadaan barang yaitu membuat dokumen pengadaan, membuat jadwal lelang, melaksanakan lelang, menginformasikan hasil lelang, dan melakukan input data ke koordinator bagian perbekalan farmasi farmasi. Prinsip lelang di RSKD adalah lelang harga yang mana harga tersebut merupakan harga yang terikat selama satu tahun. Metode lelang di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” adalah pelelangan pasca kualifikasi yaitu untuk semua rekanan yang terdaftar dan memenuhi kriteria yang telah ditentukan oleh ILP Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 76 dalam dokumen pengadaan. Proses lelang diikuti oleh Farmasi, ILP, dan pejabat komitmen lelang. Proses lelang meliputi pengumuman lelang terbuka, pendaftaran peserta lelang, pengajuan dokumen, pembukaan dokumen, evaluasi dokumen, penetapan pemenang, pengumuman pemenang dan masa sanggah. Setelah melewati masa sanggah, pemenang yang telah ditetapkan menandatangani Ikatan Kerja Sama (IKS) dengan ILP RSKD. Alur pengadaan barang dimulai dari koordinator bagian perbekalan farmasi mengeluarkan MR, kemudian MR tersebut dikirim ke ILP. ILP membuat Surat Pesanan Barang (Lampiran 16) atau Purchasing Order (PO) sesuai dengan MR, lalu melakukan pemesanan barang ke distributor melalui fax atau telepon. PO hanya berlaku lima hari hingga barang datang, apabila barang tidak dalam kurun waktu 5 hari harus membuat PO baru. Untuk pemesanan narkotika dan psikotropika, terdapat blanko surat pemesanan khusus MR yang digunakan terpisah dengan jenis obat lain. Dalam pemesanannya, selain menggunakan MR, disertakan juga lampiran form Surat Pesanan (SP) khusus. SP narkotika (Lampiran 17) ada 4 lembar (putih, merah, hijau, kuning) dan SP psikotropika (Lampiran 18) ada 3 lembar (putih, kuning, merah) yang ditandatangani oleh kepala instalasi. Surat Pesanan Barang (SPB) dibuat dua rangkap oleh ILP, lembar pertama untuk distributor dan lembar kedua untuk arsip Rumah Sakit Kanker “Dharmais”. SPB diserahkan ke perusahaan farmasi sebagai bukti pemesanan barang. Untuk pemesanan narkotik dan psikotropik, MR yang digunakan terpisah dengan jenis obat lain. Dalam pemesanannya, selain menggunakan MR, disertakan juga lampiran form surat pesanan (SP) khusus. SP narkotik yang terdiri dari 4 lembar (putih, merah, hijau, kuning) dan SP psikotropikter diri dari 3 lembar (putih, kuning, merah) yang ditandatangani oleh kepala instalasi. 6.1.4. Penerimaan Barang yang dikirim oleh distributor ke Instalasi Farmasi diterima oleh Unit Penerimaan Barang (UPB) disertai empat faktur. Dua faktur untuk distributor dan 2 faktur untuk UPB. UPB memeriksa jenis barang yang datang dan jumlahnya serta daftar barang yang ada dalam faktur. Selanjutnya, dicocokkan dengan daftar barang yang ada dalam MR apakah telah sesuai pesanan atau tidak. Selain Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 77 memeriksa jenis barang dan jumlahnya, UPB juga melakukan pemeriksaan terhadap kualitas fisik barang, tanggal kadaluwarsa, dan kondisi penyimpanan pada saat pengiriman. Apabila telah sesuai, UPB membuat surat Delivery Order (DO) sebanyak dua lembar, satu lembar untuk UPB dan satu lembar untuk koordinator bagian perbekalan farmasi. Setelah itu pihak koordinator bagian perbekalan farmasi datang ke UPB untuk mengambil barang. Sebelum mengambil barang, pihak koordinator bagian perbekalan farmasi melakukan pemeriksaan ulang terhadap kelengkapan barang yang disesuiakan dengan faktur. Saat barang diambil oleh koordinator bagian perbekalan farmasi, UPB membuat berita acara penyerahan (BAP) barang dari UPB ke pihak koordinator bagian perbekalan farmasi. BAP (Lampiran 19) ditandatangani oleh dua orang dari pihak UPB dan satu orang dari pihak koordinator bagian perbekalan farmasi. BAP tersebut kemudian diserahkan ke distributor untuk penagihan ke bagian keuangan. 6.1.5. Penyimpanan Tujuan penyimpanan perbekalan farmasi di koordinator bagian perbekalan farmasi adalah memelihara mutu barang dan menjaga kelangsungan persediaan, memudahkan dalam pencarian, memudahkan pengawasan persediaan (stok), kerusakan dan kadaluarsa, serta menjamin pelayanan yang tepat dan cepat. Penyimpanan perbekalan farmasi yang dilakukan di ruang penyimpanan/gudang (bagian koordinator bagian perbekalan farmasi) IFRS menggunakan sistem kombinasi, yaitu FIFO (First In First Out) dan FEFO (First Expired First Out). FIFO merupakan sistem penyimpanan barang yang pertama kali masuk akan menjadi yang pertama kali dikeluarkan pada saat ada permintaan. Sedangkan, FEFO (First Expired First Out) merupakan sistem penyimpanan barang yang masa kadaluarsanya terdekat akan pertama kali dikeluarkan pada saat ada permintaan. Penyimpanan perbekalan farmasi oleh bagian bagian perbekalan farmasi farmasi di RSKD terbagi menjadi: 1. Gudang obat reguler 2. Gudang obat generik 3. Gudang obat kanker, narkotika dan psikotropika 4. Gudang alat kesehatan (untuk barang-barang seperti jarum, benang, cathether) Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 78 5. Gudang obat Infus 6. Gudang Cairan dan B3 (Bahan Beracun Berbahaya). Ruang penyimpanan dilengkapi dengan alat pengukur suhu dan kelembapan udara. Hal ini berguna untuk pengawasan dan penjaminan kondisi penyimpanan barang. Petugas Koordinator Bagian perbekalan farmasi mengontrol dan mencatat suhu dan kelembapan ruangan dua kali sehari pada pagi dan sore (Lampiran 20). Pengecekan kesesuaian jumlah fisik barang dengan kartu stok obat (Lampiran 21) dan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) dilakukan hanya untuk obat-obatan narkotika dan psikotoprika. Sedangkan, untuk obat-obatan lainnya pengecekan hanya dilakukan berdasarkan SIRS dengan jumlah fisik obat di ruang penyimpanan. Pengecekan kesesuaian jumlah fisik barang secara rutin dilakukan, karena apabila terjadinya ketidaksesuaian antara jumlah fisik barang dengan kartu stok obat atau SIRS dapat berakibat pada terhambatnya proses pendistribusian barang. Penyimpanan gudang perbekalan farmasi di RSKD dikelompokkan berdasarkan kelompoknya, misalnya kelompok penyimpanan obat, alat kesehatan, bahan baku, dan cairan infus. Penyimpanan juga dikelompokkan berdasarkan bentuk sediaannya, yaitu sediaan parenteral, padat, setengah padat, dan cair, disimpan secara terpisah. Setiap kelompok dan bentuk sediaan disusun secara alfabetis dan suhu stabilitas penyimpanannya, yaitu suhu kamar 25oC atau dalam lemari pendingin 2-8oC. Obat-obat narkotika dan psikotropika, disimpan dalam lemari khusus sesuai dengan ketentuan pengelolaan yang ditetapkan. Sedangkan, bahan beracun berbahaya dan mudah terbakar disimpan terpisah dari obat dan alat kesehetan lainnya. 6.1.6 Pendistribusian Pendistribusian perbekalan farmasi dari IFRS dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu pendistribusian perbekalan farmasi individu (termasuk satelit farmasi rawat inap, satelit farmasi rawat jalan, satelit farmasi obat tradisional), perbekalan farmasi dasar, dan paket tindakan. a. Satelit Farmasi Rawat Inap (SAFARI) Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 79 SAFARI merupakan bagian dari Instalasi Farmasi yang melaksanakan kegiatan pelayanan farmasi berupa pelayanan resep dari ruang rawat inap, RIIM, HCU, dan pasien rawat jalan khusus peserta JKN. Berdasarkan status pasien, SAFARI melayani 4 jenis pasien yaitu pasien tunai/reguler/deposit, pasien Jaminan Perusahaan asuransi, pasien JKN tipe PBI dan pasien JKN non-PBI. Alur pelayanan resep secara umum di SAFARI yaitu resep dari dokter dibawa ke SAFARI untuk di-billing (diberi harga) dan dicetak etiket (Lampiran 22), selanjutnya obat disiapkan oleh petugas SAFARI termasuk dilakukan peracikan obat. Kemudian dilakukan pengemasan untuk obat yang telah disiapkan atau diracik. Setelah, dilakukan pengemasan, dilakukan penyerahan obat dengan memeriksa 7B (benar pasien, benar obat, benar dosis, benar waktu, benar cara pemberian, benar informasi, dan benar pendokumentasian). Resep dari Depo Farmasi UDD Petugas SAFARI menerima kelengkapan resep R/ di-billing dan dicek kembali kelengkapan R/ sesuai dengan status pasien dan petugas paraf pada kolom HRKP Menyiapkan obat sesuai R/ dengan prinsip 7B (benar pasien, benar obat, benar dosis, benar waktu, benar cara pemberian, benar informasi, dan benar pendokumentasian). Depo Farmasi UDD Gambar 6.1. Alur Pelayanan Resep Pasien Rawat Inap Tunai Pada pelaksanaan pelayanan mulai dari obat dihargai, diracik, dikemas, dan diserahkan, dilakukan oleh petugas yang berbeda dan setiap petugas harus memberi paraf pada kolom HRKP (hargai, racik, kemas, penyerahan) dan 7B sesuai dengan tugasnya. Pelaksanaan HRKP di SAFARI sudah berjalan, namun pelaksanaannya belum optimal karena petugas yang melaksanakan pada umumnya Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 80 tidak mengisi kolom HRKP dan 7B yang ada pada resep. Pengisian kolom HRKP bertujuan untuk memastikan bahwa obat yang akan diserahkan sudah benar dan menghindari medication erorr pada tahap penyiapan obat. Selanjutnya, dalam pendistribusian obat ke ruangan untuk pasien rawat inap, obat diantarkan ke ruang perawatan oleh petugas farmasi. Untuk pasien rawat inap tunai dan jaminan perusahaan, resep diberikan langung oleh petugas UDD (Unit Dose Dispensing) ke SAFARI. Sedangkan untuk pasien rawat inap JKN, resep diserahkan oleh petugas UDD ke keluarga pasien untuk diantarkan sendiri ke SAFARI dan diverifikasi. Selanjutnya akan dilakukan pelayanan resep sesuai alur pelayanan resep secara umum di SAFARI, kemudian obat diantarkan ke petugas UDD ruangan oleh petugas SAFARI. Resep dari Depo Farmasi UDD Pasien R/ di-billing oleh petugas SAFARI Diverifikasi petugas jaminan Pasien diberi SKP (Surat Keabsahan Jaminan) Resep disiapkan di SAFARI Gambar 6.2. Alur Pelayanan Resep Pasien JKN Permintaan barang dari SAFARI ke Bagian Perbekalan Farmasi dilakukan dengan mengisi langsung permintaan barang melalui Sistem Informasi Rumah Sakit yang dilakukan oleh petugas SAFARI. Selanjutnya, petugas bagian perbekalan farmasi mencetak dalam bentuk bon mutasi barang. Lembar mutasi barang dapat dilihat pada Lampiran 23. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 81 b. Satelit Farmasi Rawat Jalan (SAFARJAN) SAFARJAN merupakan bagian dari instalasi farmasi yang melaksanakan pelayanan farmasi berupa pelayanan resep obat untuk pasien rawat jalan. Adapun pasien yang dilayani di SAFARJAN adalah pasien tunai/reguler, pasien HIV, dan pasien jaminan perusahaan, dan pasien di luar RSKD. Resep dari dokter dibawa oleh pasien Petugas SAFARJAN menerima kelengkapan resep R/ di-billing Pasien membayar di kasir (untuk pasien tunai/reguler) Pasien menyerahkan bukti pembayaran Menyiapkan obat sesuai R/ dengan prinsip 7 benar (benar obat, benar pasien, benar waktu, bedar dosis dan benar cara pemberian Obat diserahkan ke pasien dengen disertai pemberian informasi obat Gambar 6.3. Alur Pelayanan Resep SAFARJAN Alur pelayanan resep untuk pasien tunai/reguler yaitu resep dari dokter dibawa oleh pasien ke SAFARJAN untuk di-billing, setelah di-billing obat disiapkan oleh bagian SAFARJAN termasuk dilakukan peracikan obat. Kemudian dilakukan pengemasan untuk obat yang telah disiapkan atau diracik. Setelah dilakukan pengemasan, dilakukan penyerahan obat dengan memeriksa 7B (benar pasien, benar obat, benar dosis, benar waktu, benar cara pemberian, benar informasi, dan benar pendokumentasian). Pada pelaksanaan pelayanan mulai dari obat dihargai, diracik, dikemas, dan diserahkan, dilakukan oleh petugas yang Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 82 berbeda dan setiap petugas harus memberi paraf pada kolom HRKP (hargai, racik, kemas, penyerahan) dan 7B sesuai dengan tugasnya (Lampiran 24). Pengisian HRKP dan 7B ini bertujuan untuk memastikan bahwa obat yang akan diserahkan sudah benar. Di SAFARJAN, pelaksanaan HRKP sudah berjalan, namun pelaksanaannya belum optimal karena petugas yang melaksanakan pada umumnya tidak selalu mengisi kolom HRKP dan 7B yang ada pada resep, sehingga kemungkinan terjadinya medication erorr masih dapat terjadi. Kemudian obat diserahkan langsung ke pasien oleh petugas disertai dengan pemberian informasi mengenai obat (PIO) yang diserahkan Alur pelayanan resep jaminan perusahaan yaitu resep dari dokter dibawa oleh pasien ke SAFARJAN untuk di-billing, kemudian resep tersebut dibawa ke bagian jaminan perusahaan untuk mengetahui apakah biaya pengobatan ditanggung oleh perusahaan atau tidak. Setelah disetujui, resep kemudian dibawa kembali ke SAFARJAN, kemudian di SAFARJAN obat disiapkan dan langsung diberikan kepada pasien oleh petugas. Adapun untuk pasien HIV, obat-obatan untuk pasien HIV diberikan secara gratis karena merupakan program pemerintah, namun untuk suplemen makanan atau vitamin biayanya dibebankan ke pasien. c. Satelit Farmasi Obat Tradisional Satelit Obat Tradisional melayani resep pasien rawat inap dan rawat jalan RSKD, selain itu dapat melayani resep dari luar rumah sakit. Selain melayani resep dari dokter, pembelian obat tradisional tanpa resep juga dapat dilayani dengan disertai konseling dan pemberian informasi obat tradisional oleh apoteker. Alur pelayanan farmasi yang ada di Satelit Obat Tradisional terdiri dari dua pelayanan yaitu pelayanan dengan resep dan pelayanan tanpa resep, untuk pelayanan dengan resep alur pelayanannya yaitu resep dari dokter diterima oleh petugas farmasi dan dilakukan pengecekkan kelengkapannya, selanjutnya resep hargai dan pasien melakukan pembayaran secara tunai di kasir, kemudian pasien menyerahkan bukti pembayaran dan petugas farmasi menyerahkan obat tradisional tersebut disertai dengan informasi yang jelas. Untuk alur pelayanan obat tradisional pasien tanpa resep dokter, petugas farmasi melakukan swamedikasi terhadap keluhan yang disampaikan oleh pasien, diawali dengan menggali informasi dari keluhan pasien tersebut dan memilihkan obat yang tepat, Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 83 selanjutnya obat tersebut hargai dan pasien membayar secara tunai di kasir, obat tradisional diserahkan oleh petugas farmasi disertai dengan informasi obat yang jelas serta cara penggunaan obat yang benar dan rasional. Alur pelayanan resep Satelit Obat Tradisional dapat dilihat pada Gambar 6.4. Resep dari dokter dibawa oleh pasien Petugas farmasi mengecek kelengkapan resep Pasien tanpa resep dokter Petugas farmasi melakukan swamedikasi (mendengarkan keluhan pasien dan memilihkan obat yang tepat untuk pasien) R/ di-billing Pasien membayar di kasir Pasien menyerahkan bukti pembayaran Obat diserahkan ke pasien dengen disertai pemberian informasi obat Gambar 6.4. Alur Pelayanan Resep Satelit Obat Tradisional d. Perbekalan Farmasi Dasar Perbekalan farmasi dasar merupakan perbekalan farmasi yang sering digunakan untuk kebutuhan bersama di tiap-tiap ruangan dan permintaanya dilakukan satu kali dalam seminggu. Setiap ruangan menuliskan permintaan barang yang diminta pada form Bon Permintaan Barang (Lampiran 25) yang diserahkan kepada bagian koordinator logistik farmasi. Kemudian dari bagian koordinator logistik farmasi akan mendistribusikan permintaan barang yang diminta. Pendistribusian dilakukan ke rawat inap, rawat jalan, dan ruangan lain yang juga menggunakan barang-barang farmasi dasar (Instalasi Rehabilitasi Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 84 Medik, IGD, poli rawat jalan, ICU, dll). Contoh perbekalan farmasi dasar yaitu: alkohol 70%, alcohol swab, kassa, masker, sarung tangan, micropore tape dll. e. Paket Tindakan Paket tindakan didistribusikan ke Instalasi Bedah Sentral dan prosedur diagnostik. Paket tindakan disiapkan oleh petugas depo sesuai dengan permintaan tindakan yang akan dilakukan. Alur persiapannya yaitu satu hari sebelum tindakan, perawat meminta perbekalan farmasi perpaket ke depo farmasi, kemudian petugas di depo farmasi menyiapkan paket tindakan. Perawat mengambil paket tindakan yang sudah disediakan oleh depo farmasi yang kemudian digunakan untuk tindakan diagnostik. Perbekalan farmasi yang terpakai di-billing dan barang yang tidak digunakan dikembalikan lagi ke petugas depo prosedur atau bedah sentral. 6.1.7 Pelayanan Obat Pasien Rawat Inap Pelayanan obat pasien rawat inap dilakukan di depo farmasi yang berada di tiap ruangan rawat inap di RSKD, yaitu di kelas VIP/VVIP, kelas I, kelas II, kelas III, ruang anak, dan ruang teratai (JKN). Tujuan dari depo farmasi di setiap ruangan adalah untuk memberikan kemudahan pemberian obat pada pasien sehingga memudahkan pasien dalam menjalani terapi. Tugas asisten apoteker di depo farmasi rawat inap RSKD: a. Menyiapkan obat-obat dan alat kesehatan yang dibutuhkan oleh pasien b. Menyiapkan obat oral, obat injeksi, dan alat kesehatan sebagai persediaan untuk masing-masing pasien dan dicatat di kardeks (kartu indeks). c. Menyiapkan barang farmasi dasar dan emergency. d. Mengawasi kesesuaian obat dan alat kesehatan dalam lemari emergency dengan buku stok baku setiap harinya e. Menyimpan obat dan alkes ke dalam masing-masing box pasien. f. Mencatat obat-obat dan alat kesehatan yang tidak digunakan oleh pasien yang selanjutnya dikembalikan ke apotek/return. Pelayanan depo farmasi di rawat inap dilakukan secara Unit Dose Dispensing (UDD) dengan menyiapkan obat untuk penggunaan 24 jam (sesuai dosis obat dan aturan pakai). Alur penyiapan obat di UDD yaitu resep yang datang dari dokter dicek kelengkapannya dan diperiksa ada tidaknya interaksi obat. Jika Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 85 obat dalam resep sudah memenuhi kriteria 7B (benar pasien, benar obat, benar dosis, benar waktu dan benar cara pemberian), maka obat siap diberikan kepada pasien melalui perawat, jika tidak petugas farmasi harus melakukan konfirmasi kembali ke dokter penulis resep. Untuk pasien reguler, resep yang telah dicek di UDD diantarkan oleh petugas ke SAFARI untuk di-billing, sedangkan resep pasien jaminan perusahaan dan JKN diserahkan kepada keluarga pasien. Penyiapan obat dilakukan sesuai dengan kardeks. Kardeks (kartu indeks) adalah formulir pengobatan yang berisi informasi yang didalamnya terdiri atas beberapa data seperti nama dokter yang merawat, nama kepala perawat, nama apoteker, nama obat yang diberikan, potensi obat, dosis obat, frekuensi pemberian, petunjuk penggunaan, bentuk sediaan, cara penggunaan serta dilengkapi pula dengan tanggal pemberian obat. Pada kardeks juga terdapat catatan tekanan darah, denyut nadi, repiratory rate, dan suhu tubuh yang diukur dan ditulis setiap harinya (Lampiran 26). Obat disiapkan dalam plastik dengan warna yang berbeda untuk setiap waktu pemberian (Lampiran 27). Plastik obat yang digunakan yaitu pagi (plastik putih), siang (plastik merah), sore (plastik biru), malam (plastik hijau), dan untuk obat-obat dengan penggunaan pada jam-jam tertentu (misalnya golongan narkotika atau psikotropika) menggunakan plastik berwarna kuning. Pelaksanaan penyiapan obat secara unit dose di ruang rawat RSKD umumnya sudah berlangsung dengan baik. Keberadaan petugas farmasi untuk mempersiapkan obat membantu mengurangi beban kerja perawat, mengurangi kesalahan pengobatan, serta meringankan beban pasien karena pasien hanya membayar obat yang telah dipakainya dan sisanya dapat di-retur. Adapun kekurangan yang masih ada dalam sistem UDD di RSKD adalah tidak adanya keterangan penggunaan obat yang lebih spesifik untuk obat-obat yang aturan minumnya khusus tergantung absorpsinya dalam lambung. Hal tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan pemberian label informasi obat pada saat membungkus obat untuk dimasukkan ke plastik obat. Label informasi obat yang dapat digunakan antara lain seperti “Obat ini diminum segera setelah makan” dan “Obat ini diminum 1 jam sebelum makan” atau “Obat ini diminum 2 jam setelah makan”. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 86 Petugas farmasi juga menyiapkan lemari obat emergency yang berisi obatobatan, alat kesehatan, dan sediaan infus. Tugas petugas farmasi di depo terkait pengelolaan obat emergency yaitu mengawasi kesesuaian obat dan alat kesehatan dalam lemari emergency dengan buku stok baku. Obat-obatan yang tersedia disesuaikan berdasarkan kebutuhan pasien di ruangan. Obat dalam lemari emergency dipilih berdasarkan obat yang memiliki onset yang cepat seperti epinefrin, deksametason, ranitidin, transamin, vitamin K (dalam bentuk injeksi) dan lainnya. Apabila obat dalam lemari emergency digunakan maka perawat harus mencatat pada buku khusus nama pasien, MR, obat dan jumlah yang digunakan, kemudian obat yang telah digunakan minta kembali ke SAFARI dengan menyerahkan resep dari dokter sebagai obat pengganti. Pemeriksaan terhadap lemari emergency dilakukan setiap hari dengan mengisi form pemantauan obat dan alkes emergency (Lampiran 28) untuk mencegah ketidaktersediaan obat ketika keadaan darurat. 6.1.8 Pengendalian Pengendalian merupakan kegiatan pengawasan, pemeliharaan, dan audit terhadap perbekalan farmasi untuk menjamin mutu, mencegah terjadinya penumpukan barang, mencegah kadaluarsa, rusak, dan mencegah ditarik dari peredaran. Pengendalian perbekalan farmasi di RSKD dilakukan menggunakan analisis ABC (Always Better Control) dan analisis VEN (Vital Essensial Non Essensial) sebagai pedoman untuk menentukan prioritas dalam perencanaan atau pengadaan. 6.1.9 Penghapusan Penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap perbekalan farmasi yang tidak terpakai karena kadaluarsa, rusak, atau mutu tidak memenuhi standar. Proses penghapusan barang yaitu barang yang sudah kadaluarsa atau rusak diusulkan oleh bagian IFRS ke pihak terkait sesuai prosedur yang berlaku. Kegiatan penghapusan di RSKD dimulai dengan melakukan pencatatan barang-barang yang telah kadaluarsa dan rusak setiap tiga bulan oleh pihak IFRS. Data tersebut kemudian direkap setiap satu tahun dan dilaporkan ke Panitia Penghapusan Barang. Panitia Pemusnahan Barang kemudian mengajukan izin untuk pemusnahan barang kepada Kementerian Kesehatan. Apabila sudah Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 87 disetujui, pihak Kementerian Kesehatan akan membuat berita acara bahwa barang boleh dimusnahkan, selanjutnya dilakukan pemusnahan perbekalan farmasi yang telah kadaluarsa dan rusak dengan dua cara yaitu dibakar atau ditanam dengan disaksikan oleh pihak Kementerian Kesehatan, saksi dari BPOM dan pihak Rumah Sakit. 6.2.Produksi Produksi merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk, atau mengemas kembali sediaan farmasi baik steril maupun non steril yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kefarmasian. RSKD melakukan aktivitas produksi yang dibagi menjadi produksi steril dan non steril. Kegiatan produksi didasari oleh empat hal, yaitu : 1. Menyediakan produk perawatan luka kanker yang tidak ada di pasaran, contohnya: Dharmeza powder, Dharmezin ointment, Dharmawash mouthwash, dan efudix ointment 2. Memproduksi sediaan penunjang untuk menegakkan proses diagnosa, contohnya titriplex, indigo carmin, dan larutan PEG. 3. Memproduksi sediaan farmasi dengan harga yang lebih terjangkau untuk pasien, contohnya: garam inggris, carbo gliserin, H2O2, OBH, saliva subtitusi, dan Handrub. 4. Mengerjakan produk dengan penanganan khusus seperti rekonstitusi obat kanker dan IV admixture. 6.2.1. Produksi Non Steril Bagian produksi non steril membuat produk non steril sesuai dengan jadwal produksi yang telah dibuat dan berdasarkan permintaan dari bagian Perbekalan Farmasi. Pada proses produksi, petugas akan mempersiapkan bahan baku yang diperlukan dan meracik sesuai dengan formula dan cara kerja baku yang telah tertera dalam form produksi suatu produk. Bahan baku yang tidak ada atau ketersediaannya kurang akan dilakukan pengadaan dengan bon permintaan barang kepada bagian Perbekalan Farmasi. Untuk produk yang sudah jadi diberi etiket yang berisi nama produk dan nomor batch. Didalam etiket tersebut juga tertulis tanggal kadaluarsa masingUniversitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 88 masing produk. Sebagian produk disimpan sebagai sampel (sampel per tinggal) untuk mengantisipasi jika ada komplain terhadap produk yang dihasilkan. Produk jadi didistribusikan ke Perbekalan Farmasi dengan melampirkan formulir penyerahan produk sebagai bukti serah terima bagian produksi dengan bagian Perbekalan Farmasi. Sistem penomoran batch berdasarkan nomor urut pembuatan tiap bulan/tanggal pembuatan/kode produk. Produk nonsteril yang dihasilkan di RSKD meliputi: 1. Dharmeza powder (memiliki kandungan zat aktif metronidazole) dan Dharmezin ointment (memiliki kandungan zat aktif metronidazole dan ZnO) sebagai perawatan luka pasien, terutama luka sehabis operasi agar tidak menimbulkan bau dan cepat mengering. 2. Dharwash Mouthwash (memiliki kandungan zat aktif mycostatin, NaCl, dan NaHCO3) yang digunakan untuk mengobati sariawan pasien. 3. Saliva substitusi (air liur buatan), digunakan pada pasien yang mendapat terapi radiasi pada kanker lidah dan kanker nasofaring. Namun saat ini produksi saliva buatan sedang tidak berjalan dikarenakan kesulitan dalam mendapatkan bahan baku yaitu boraks. 4. Larutan Poli etilen glikol (PEG Solution) sebagai pencahar sebelum dilakukan pemeriksaan kolonoskopi. 5. Titriplex (memiliki kandungan zat aktif titrisol) sebagai antikoagulan yang digunakan saat prosedur diagnosis sumsum tulang belakang dilakukan. 6. Indigo carmin 7. Larutan H2O2 sebagai pencuci jaringan dan untuk tetes telinga. 8. Garam Inggris sebagai pencahar. 9. OBH sebagai obat batuk. 10. Handrub (memiliki komposisi yang sama dengan standar handrub WHO yaitu, etanol 96%, H2O2 3%, gliserin, dan air) untuk mencuci tangan. 6.2.2. Produksi Steril dan PIVAS (Pharmacy Intravenous Admixture Service). Produksi steril non injeksi memproduksi krim efudix (mengandung 5Flourourasil) yang pengerjaan basisnya dilakukan di ruang non steril dan proses pencampuran basis krim dengan zat aktif 5-Flourourasil dilakukan pada ruangan steril dalam Biological Safety Cabinet (BSC). PIVAS melakukan pencampuran Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 89 obat injeksi non kanker (IV admixture) dan pencampuran obat kanker (Handling Cytotoxic). Obat injeksi kanker maupun obat injeksi non kanker (IV admixture) harus terjamin sterilitas dan mutunya mulai dari produksi sampai diberikankepada pasien. Rekonstitusi dilakukan secara profesional di dalam clean room. Unit Produksi yang harus sesuai dengan standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Kriteria ruangan produksi antara lain tidak memiliki sudut diantara sisi dinding melainkan melengkung, lantai dan dinding dilapisi oleh epoksi agar memiliki permukaan yang halus, suhu dan kelembaban terkontrol, serta memiliki tekanan udara tertentu. Ruangan yang ada di ruangan produksi yaitu ruangan produksi sediaan non steril, ruang produksi sediaan steril yang dibagi menjadi ruang IV admixture, ruang pencampuran obat kemoterapi, ruang antara, dan scrub room yaitu ruang yang digunakan untuk mencuci tangan sebelum masuk ruang antara. Khusus untuk obat kanker injeksi, disamping sterilitas obat terjamin, operator yang melakukan rekonstitusi harus terlindung dari paparan obat kanker. Perlindungan terhadap operator harus diperhatikan karena obat kanker bersifat sangat toksik serta bersifat karsinogenik, mutagenik, maupun teratogenik. Sebisa mungkin, tingkat keterpaparan terhadap operator ditekan semaksimal mungkin. Beberapa fasilitas yang terdapat dalam ruang produksi steril yakni: 1. Pass box, berfungsi sebagai lalu lintas obat yang terletak antara clean room dan ruang administrasi. 2. Clean room, merupakan ruangan bersih yang harus memiliki jumlah partikel yang terbatas, temperatur dan kelembaban yang sesuai dengan persyaratan Ruang Kelas I berdasarkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan tekanan udara yang bersifat negatif dari tekanan udara luar. Clean room harus selalu disterilisasi dengan cara fogging. 3. Ante room, merupakan ruangan yang berada di antara clean room dengan area lain; berfungsi sebagai barrier (pembatas) atas hilangnya tekanan dan kontaminasi yang berasal dari pengaruh masuknya udara luar ke clean room, dan berfungsu untuk mengontrol lingkungan dimana materi pengepak alat steril dapat dilepas. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 90 4. Scrub room, merupakan ruangan yang harus dilalui oleh operator pencampuran sebelum memasuki ante room dimana terdapat wastafel untuk mencuci tangan sebelum ataupun setelah melakukan pencampuran. 5. Biological Safety Cabinet (BSC), BSC yang digunakan di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” adalah BSC kelas II Cytogard series 2000. BSC ini memiliki prinsip kerja yaitu tekanan udara di dalam cytogard bersifat lebih negatif daripada tekanan udara di luar, sehingga meminimalisasi keterpaparan operator dengan obat ketika melakukan rekonstitusi. Aliran udara di dalam BSC bergerak secara vertikal sebagai barrier agar udara luar tidak masuk ke meja kerja atau sebaliknya. Validasi perlu dilakukan terhadap Cytogard melalui kalibrasi setiap 6 – 12 bulan (1 – 2 kali dalam setahun). 6. Laminair Air Flow (LAF), merupakan alat yang digunakan untuk kegiatan rekonstitusi IV di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”. LAF ini memiliki prinsip kerja yaitu tekanan udara di dalam cytogard bersifat positif daripada tekanan udara di luar, sehingga menjaga sterilisasi produk. 6.2.2.1.Pencampuran obat injeksi (IV Admixture) IV Admixture adalah pencampuran obat steril kedalam larutan intravena steril untuk menghasilkan suatu sediaan steril yang bertujuan untuk penggunaan intra vena, contohnya: ranitidin injeksi, ondansetron injeksi, vitamin C injeksi, neurobion injeksi, antibiotik injeksi, antiemetik injeksi yang dikerjakan di dalam clean room atau ruang kelas 2 dengan menggunakan Laminar Air Flow (LAF). Alur pelayanan IV Admixture dilakukan atas dasar resep dokter dari kelas VIP/VVIP, I, II, III dan ruang anak yang ditulis dalam formulir pelayanan pencampuran IV Admixture (Lampiran 29) dan dilakukan pada hari kerja (Senin sampai Jumat). Petugas farmasi di depo menyiapkan obat-obat injeksi yang kemudian diantarkan ke ruang produksi. Petugas ruang produksi memeriksa kelengkapan formulir permintaan pencampuan seperti nama pasien, no MR, ruangan, dan obat yang akan di rekonstitusi. Apabila ada kekurangan atau kesalahan, maka petugas mengkonfirmasi ke petugas farmasi di depo, apabila formulir sudah lengkap dan sesuai, maka dilakukan rekonstitusi dan petugas membuat etiket. Sebelum dilakukan rekonstitusi di ruangan IV admixture, vial dan ampul didisinfeksi terlebih dahulu Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 91 yang kemudian dimasukan ke dalam pass box dan direkonstitusi di dalam LAF. Setelah selesai, obat dimasukkan kembali ke dalam pass box, dicek ulang, dan diantarkan ke rawat inap. Masih terdapat hambatan pada pelayanan IV admixture di RSKD. Hambatan yang terjadi diantaranya pelayanan IV admixture untuk pasien JKN hanya dilakukan pada pagi dan siang hari, sedangkan pada malam hari perawat yang menyiapkan obat IV di ruangan pasien. Penyiapan obat IV selain di ruang produksi sebaiknya dihindari karena dikhawatirkan lingkungan tempat perawat menyiapkan obat IV tidak terjamin sterilitasnya sehingga dapat meningkatkan resiko kontaminasi pada obat IV yang disiapkan. Selain itu, masih kurangnya SDM yang melakukan pencampuran IV admixture. Satu orang petugas melakukan pencampuran hingga lebih dari 5 jam. Hal ini tentu saja akan berpotensi menurunkan konsentrasi dan ketelitian petugas dalam melakukan penyiapan IV admixture dan dapat meningkatkan resiko kesalahan dalam pelayanan IV admixture. 6.2.2.2.Pencampuran Obat Kanker (Handling Cytotoxic) Merupakan kegiatan pencampuran obat kanker yang dilakukan dalam clean room/ruang kelas 1 dengan menggunakan alat Biological Safety Cabinet (BSC) khusus yaitu Cytogard yang memiliki dua HEPA filter untuk menyaring kontaminan dan paparan. Prinsip kerja BSC yaitu: 1. Tekanan udara di dalam BSC lebih negatif dari tekanan udara luar agar obat kanker, percikan ampul, vial, maupun serbuk-serbuk obat tidak mengarah ke operator. 2. Udara ruangan BSC mengalir melalui kisi-kisi dan masuk ke dalam bagian meja kerja. 3. Udara dari bawah meja kerja, dialirkan vertikal ke atas disaring oleh HEPA filter menjadi udara bersih. 4. Udara yang terkontaminasi ditarik kembali melalui kisi-kisi bagian depan dan belakang kabinet bercampur dengan udara ruangan yang tertarik ke dalam kabinet. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 92 5. Udara kembali disaring oleh HEPA filter kabinet (±70%) kembali ke area kerja, sisanya (± 30%) melalui HEPA filter ruangan. Pencampuran obat kanker yang dilakukan bagian produksi instalasi farmasi Rumah Sakit Kanker Dharmais terdiri dari 2 jenis pencampuran, yaitu : 1. Pencampuran obat kanker injeksi Alur pencampuran obat kanker injeksi dimulai dari protokol kemoterapi diserahkan ke bagian produksi farmasi dari ruang rawat inap/singkat untuk direkonstitusi, kemudian petugas produksi farmasi melakukan pengecekan terlebih dahulu terhadap kelengkapannya seperti data pasien (nama, no MR, ruangan pasien, pasien serta obat, dan dosis yang akan di rekonstitusi), jika data yang diperlukan belum lengkap maka dilakukan konfirmasi kepada petugas farmasi di depo rawat inap atau kepada perawat. Permintaan pencampuran obat kanker injeksi didokumentasikan pada formulir pencampuran obat kanker (Lampiran 30). Apabila sudah lengkap maka dilakukan proses selanjutnya yaitu menyiapkan obat injeksi beserta pelarutnya yang akan direkonstitusi. Kontainer obat yang berisi vial dan ampul didesinfeksi, kemudian dituliskan etiket selanjutnya dimasukkan ke dalam pass box untuk direkonstitusi. Hasil rekonstitusi, yang berupa infus atau syringe, diseka alkohol untuk meminimalkan kontaminasi kemudian dikeluarkan melalui pass box. Dilakukan pengecekan ulang dan dibuatkan etiket luar kemudian di kirim ke ruangan rawat inap dan dilakukan serah terima dengan perawat. Gambar 6.5. menunjukkan skema pencampuran obat injeksi di ruang produksi steril RSKD. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 93 Gambar 6.5. Skema Pencampuran Obat Injeksi di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” 2. Pencampuran obat kanker oral (racikan) Selain pencampuran obat kanker injeksi di produksi, juga dilakukan pencampuran obat kanker oral yang merupakan permintaan dari SAFARI, SAFARJAN dan apotek lain dari luar rumah sakit. Alurnya yaitu resep yang berasal dari SAFARI, SAFARJAN, dan apotek luar beserta obatnya oleh petugas diberikan ke unit produksi kemudian oleh petugas produksi dilakukan pengecekan resep dan obat, kemudian resep dan obat dimasukan ke dalam pass box untuk di racik di ruang clean room. Peracikan dilakukan dengan penyiapan mortir dan stamper yang telah didesinfeksi dengan alkohol. Kemudian obat tersebut diracik dalam mortir yang dimasukkan dalam kantong transparan. Peracikan dilakukan di dalam BSC. Setelah peracikan selesai kemudian dilakukan pengemasan serbuk di dalam BSC dalam keadaan blower tidak dinyalakan untuk menghindari terjadinya paparan obat ke petugas. Setelah selesai, semua peralatan peracikan dibersihkan, racikan obat diserahkan ke petugas produksi lewat pass box untuk dilakukan pengecekan akhir. Racikan obat diserahkan ke unit asal yang memberikan resep. Sama seperti saat melakukan pencampuran intravena (IV Admixture), dalam melakukan pencampuran obat-obat kanker, seorang operator harus Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 94 menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) untuk melindungi dari keterpaparan obat-obat kanker. APD terdiri dari: 1. Baju pelindung, harus menutupi lengan operator dan memiliki manset dengan bahan yang bersifat menahan penetrasi partikel tumpahan obat. Operator dianjurkan untuk menggunakan baju pelindung ganda (baju dalam dan baju luar). 2. Sarung tangan, harus terbuat dari lateks tebal dan tidak berbedak. Operator dianjurkan untuk menggunakan sarung tangan ganda. 3. Topi 4. Kacamata dan masker 5. Penutup muka dan pelindung kaki. Bila terdapat tumpahan obat kanker maka dilakukan prosedur penanganan tumpahan baik di dalam maupun di luar area penyiapan menggunakan peralatan khusus yang disebut spill kit. Apabila terjadi tumpahan berupa cairan, terlebih dahulu petugas mengambil serpihan pecahan kaca dengan menggunakan pinset yang kemudian serpihan tersebut dimasukkan ke dalam plastik bening. Selanjutnya plastik bening tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik berwarna ungu. Kemudian cairan obat dilap menggunakan lap kering, lalu didekontaminasi dengan menggunakan deterjen dan didisinfeksi dengan menggunakan larutan klorin 3%. Tumpahan obat kanker tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik warna ungu dan ditempelkan label simbol obat kanker. Sedangkan untuk tumpahan obat kanker berupa serbuk, pecahan dan serbuk disapu dengan menggunakan penyapu kecil yang ada di dalam spill kit beserta penadahnya, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik berwarna kuning yang diberi logo cytotoxic. Selanjutnya area pecahan didekontaminasi dan didisinfeksi. Material tajam (misalnya bekas pecahan ampul, spuit) dimasukkan ke wadah khusus yang anti bocor dan tahan terhadap tusukan. Material yang tidak tajam (misalnya penutup vial) dimasukkan ke kantong khusus berwarna kuning (kantong limbah infeksius). Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 95 6.3 Farmasi Klinik Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup pasien, dilakukan kegiatan farmasi klinik di RSKD. Kegiatan farmasi klinik juga dilakukan sebagai bentuk peran apoteker klinis berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka memaksimalkan pelayanan kepada pasien. Terdapat beberapa kegiatan farmasi klinik yang telah dilaksanakan dan ada beberapa kegiatan farmasi klinik yang masih dalam tahap pengembangan. Adapaun bentuk pelayanan farmasi klinik yang terdapat di RSKD meliputi: 1. Pengkajian Resep Pengkajian resep di RSKD dilakukan dengan melakukan evaluasi resep yang ditulis langsung oleh Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) yang kemudian didokumentasikan di Formulir Pengkajian Resep (Lampiran 31). Pengkajian resep bertujuan untuk menghindari terjadinya medication error terutama pada fase prescribing (penulisan resep). Selain itu, pengkajian resep juga diperlukan untuk mencapai pengobatan yang rasional. Pengkajian resep dimulai dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan administratif resep yaitu nama dokter, tanggal penulisan resep, tanda tangan/paraf dokter, nama pasien, ruang pasien dan nomor medical record (MR) pasien. Pemeriksaan kelengkapan administratif resep diperlukan dalam mengkaji otentifikasi resep, untuk mengetahui apakah resep tersebut ditulis oleh dokter atau petugas kesehatan lain. Kelengkapan administratif resep juga diperlukan sebagai crosscheck kesesuaian resep dengan pasien yang diresepkan. Misalnya, apabila pada saat dilakukan billing resep di satelit farmasi nama pasien tidak muncul, adanya data pendukung lain seperti ruang pasien dan nomor MR dapat membantu dalam melakukan penelusuran kebenaran data pasien tersebut. Selanjutnya dilakukan pengkajian resep dari segi farmasetik yaitu bentuk sediaan dan aturan pemakaian obat. Sebaiknya bentuk sediaan ditulis jelas pada resep terutama apabila terdapat obat dengan lebih dari 1 bentuk sediaan. Penulisan bentuk sediaan dan aturan pemakaian obat penting untuk menghindari terjadinya medication error. Kemudiaan tahap akhir, dilakukan evaluasi klinis yaitu alergi yang dialami pasien, interaksi dan dosis obat yang digunakan pasien. Data alergi pasien didapat dari status pasien di MR. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 96 Sedangkan interaksi obat dianalisis dengan menggunakan software Drug Interaction Fact®. Dosis obat yang digunakan pasien juga perlu dievaluasi untuk menghindari terjadinya overdose atau underdose. 2. Rekonsiliasi Obat Rekonsiliasi obat dilakukan dengan melakukan penelusuran riwayat pemakaian obat pada setiap pasien rawat inap yang baru masuk ruang perawatan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui obat apa yang sudah digunakan pasien 3 (tiga) hari sebelum masuk RS dan obat apa yang sedang diminum oleh pasien hingga saat masuk RS. Selain itu, rekonsiliasi obat juga dilakukan pada pasien yang berpindah ruangan seperti pada pasien dari ruang ICU/HCU yang akan pindah ke ruang perawatan biasa. Rekosiliasi obat tidak hanya terbatas pada penelusuran obat terdahulu yang digunakan pasien, namun juga perlu diketahui status obat tersebut, apakah akan tetap dilanjutkan atau di stop pada perawatan pasien selanjutnya. Penelurusan riwayat pemakaian obat penting dilakukan untuk menghindari peresepan obat yang sama (duplikasi pengobatan) oleh dokter saat di RS serta untuk menghindari Drug Related Problem (DRP) seperti interaksi antara obat yang didapatkan pasien sebelum masuk RS dengan obat baru yang diresepkan oleh dokter di RS. Sumber informasi dalam melakukan rekonsiliasi obat dapat berasal langsung dari pasien/keluarga pasien atau dengan melihat status pasien di MR. Informasi juga bisa didapat dari apotek di luar RS atau dari sumber lainnya. Kegiatan rekonsiliasi obat didokumentasikan pada Formulir Rekonsiliasi Obat (Lampiran 32). 3. Pemantauan Pengobatan Pemantauan pengobatan dilakukan untuk obat-obatan yang terdapat DRP. Apoteker akan mengevaluasi obat-obatan yang diterima oleh pasien, kemudian akan dianalisis ketepatan pemilihan obat terhadap indikasi, dosis, rute pemberian obat, Reaksi Obat yang tidak diinginkan (ROTD) serta interaksi obat. Apabila ada obat-obatan yang bermasalah dan menjadi DRP, maka masalah tersebut didokumentasikan pada Formulir Pemantauan Obat (Lampiran 33). Masing-masing obat dicatat profil penggunaan obatnya, masalah yang terkait dengan pengobatannya serta dituliskan juga Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 97 rekomendasi untuk mengatasi masalah tersebut. Khusus pada ruang anak, Formulir Pemantauan Obat digunakan untuk memantau penggunaan kortikosteroid dan obat kemoterapi oral pada pasien anak. Monitoring interaksi obat di RSKD dilakukan dengan menggunakan software Drug Interaction Fact®. Jika ditemukan interaksi obat yang bermakna secara klinis terutama interaksi derajat 1 atau 2, apoteker akan menyampaikan hal tersebut kepada DPJP serta akan memberikan rekomendasi solusi untuk mengatasinya. Hal ini dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada pasien. Selain itu, di RSKD juga dilakukan pemantauan khusus pada obat golongan antibiotik. Pemantauan penggunaan antibiotik bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi akibat penggunaan antibiotik. Pemantauan penggunaan antibiotik dilakukan dengan menilai kerasionalan antibiotik yang diminum oleh pasien. Penilaian kerasionalan meliputi analisis tujuan pemberian antibiotik untuk pasien, apakah antibiotik tersebut diberikan untuk tujuan terapi profilaksis/empiris/definitif, analisis durasi penggunaan antibiotik, serta analisis data pendukung pasien seperti suhu tubuh, nilai leukosit atau c-Reactive Protein (CRP) pasien. Kegiatan pemantauan penggunaan antibiotik didokumentasikan pada Formulir Catatan Pemberian Antibiotik (Lampiran 34). 4. Monitoring Efek Samping Obat Kegiatan pelaporan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) di RSKD dilakukan apabila ditemukan pasien yang mengalami efek samping obat yang belum terdokumentasikan. Setelah mendapat laporan tentang kejadian efek samping obat dari pasien/keluarga pasien/perawat/dokter, apoteker akan melakukan penelusuran terkait efek samping tersebut. Penelusuran dilakukan untuk memastikan apakah efek samping yang dialami pasien merupakan efek samping dari obat yang digunakan. Setelah memastikan hal tersebut, efek samping obat akan didokumentasikan pada Formulir Monitoring Efek Samping Obat. Dokumentasi efek samping obat dibuat dalam 2 versi. Versi pertama, yaitu menggunakan formulir MESO berwarna kuning yang selanjutkan akan dilaporkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Versi kedua, yaitu menggunakan formulir MESO berwarna putih 2 rangkap, 1 Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 98 lembar akan dilaporkan ke unit Patient Safety dan 1 lembar lagi menjadi arsip apoteker (Lampiran 35). 5. Ronde/Visite Peranan apoteker farmasi klinik saat visite masih terbatas yakni hanya dilakukan pada ruang anak di lantai 4. Visite di ruangan anak dibagi menjadi 2 tipe visite, yaitu visite mandiri dan visite bersama. Visite mandiri dilakukan oleh apoteker apabila ingin mengetahui informasi tertentu tentang pasien, sedangkan visite bersama dilakukan oleh apoteker bersama-sama dengan tenaga kesehatan lainnya (dokter dan perawat) untuk menngevaluasi kondisi pasien secara paripurna. 6. Pelayanan Informasi Obat Kegiatan Pelayanan Informasi Obat (PIO) di RSKD berjalan secara aktif melalui penerbitan leaflet- leaflet, terkait dengan penggunaan obat-obat sitostatika juga secara pasif dengan pelayanan secara langsung atau melalui telepon untuk memberikan informasi kefarmasian yang dibutuhkan oleh pasien, keluarga pasien, dokter, perawat, asisten apoteker, dan profesi kesehatan lain. Pelayanan informasi obat didokumentasikan pada Formulir Pelayanan Informasi Obat (Lampiran 36). 7. Konseling Pelayanan konseling di RSKD diberikan pada pasien rawat inap yang akan pulang. Idealnya, pada ruang rawat inap terdapat masing-masing 1 orang apoteker klinik yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan konseling kepada pasien, namun di RSKD hanya beberapa ruangan yang terdapat apoteker yang bertugas dan melakukan pelayanan konseling yaitu pada ruang anak, kelas I (mawar), kelas III (cempaka). Hal ini dikarenakan keterbatasan apoteker farmasi klinik. Kegiatan konseling didokumentasikan pada Formulir Konseling Pasien (Lampiran 37). Formulir ini dibuat menjadi 3 rangkap, 1 lembar untuk dibawa oleh pasien, 1 lembar untuk dokumen di rekam medik pasien dan 1 lembar lagi sebagai arsip apoteker. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 99 6.4. Instalasi Penunjang : Instalasi Sterilisasi Sentral dan Binatu, Instalasi Rekam Medik, Instalasi Kesehatan Lingkungan dan K3 6.4.1. Instalasi Sterilisasi Sentral dan Binatu (ISSB) Unit sterilisasi sentral adalah bagian dari ISSB yang bertanggung jawab atas pensterilan linen, dan instrumen-instrumen yang digunakan dalam berbagai tindakan medik serta produksi barang-barang steril seperti kassa, tampon, kapas, lidi kapas agar dapat digunakan pasien yang membutuhkan. Keberadaan unit sterilisasi ini sangatlah penting dalam upaya pencegahan infeksi nosokomial. Untuk memastikan proses sterilisasi berjalan dengan baik digunakanlah berbagai indikator seperti indikator mekanik, kimia, dan biologi serta untuk menjamin sterilitas barang-barang yang dihasilkan unit sterilisasi sentral dilakukan uji mikrobiologi terhadap ruangan, produk hasil sterilisasi, dan linen secara berkala. Sebagian besar proses sterilisasi yang dilakukan di ISSB RSKD menggunakan metode sterilisasi panas basah dengan alat autoklaf. Sedangkan untuk barang-barang yang tidak tahan pemanasan, proses sterilisasi dilakukan dengan menggunakan mesin Sterrad NX (58C, 28 menit). Mesin ini bekerja dengan menggunakan plasma sehingga dapat digunakan untuk sterilisasi barangbarang dari bahan alumunium, polimer, PVC, nylon, neoprene, polisorbat, polietilen, misalnya selang-selang, karet, stepler dan barang-barang yang biasanya disposible. Hal ini tentunya akan meringankan biaya perawatan pasien karena barang-barang yang biasanya hanya sekali pakai, dengan adanya mesin ini dapat digunakan kembali setelah disterilisasi. 6.4.2. Bagian Rekam Medik Bagian rekam medik merupakan unit yang bertanggung jawab terhadap penyimpanan data-data pasien dari mulai pasien mendaftar hingga akhir pengobatan pasien. Petugas rekam medik juga berkewajiban menjaga kerahasiaan isi dari rekam medik setiap pasien. Secara umum, kegiatan di Bagian Rekam Medik RSKD telah berlangsung dengan baik. Kegiatan di rekam medik meliputi admission, filing, assembling, dan coding. Admission adalah proses pendaftaran untuk mendapatkan rekam medis untuk pasien rawat jalan atau rawat inap. Filing adalah pengambilan rekam medis oleh petugas di ruang rekam medis. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 100 Permintaan dari admission tercetak otomatis di ruang rekam medik. Rekam medik akan diantar ke ruang poli yang dituju. Assembling yaitu kegiatan penyusunan berkas-berkas rekam medis agar memudahkan petugas medis dalam membaca. Kemudian coding dilakukan pengkodean jenis penyakit sesuai standar internasional, WHO. Pengkodean ini mengacu pada International Clasification of Disease yaitu: ICD-10, ICD-O, ICD-9-CM (digunakan untuk pengkodean prosedur diagnosa). Pengkodean ini digunakan untuk klaim ke jaminan, jika pasien tersebut menggunakan jaminan. Penyimpanan rekam medik di rumah sakit Dharmais telah terlaksana dengan cukup baik, yakni menggunakan sistem terminally digit yakni disusun dan disimpan berdasarkan dua digit terakhir pada nomor rekam medik, serta ditandai dengan warna-warna yang berbeda pada fisik rekam medik. Pemberian tanda berupa warna ini memudahkan petugas dalam menyusun dan mencari rekam medik. 6.4.3. Instalasi Kesehatan Lingkungan dan K3 Instalasi Kesling dan K3, sangat penting peranannya dalam hal penanganan limbah padat dan limbah cair yang dihasilkan rumah sakit agar tidak membahayakan masyarakat di sekitar rumah sakit. Untuk limbah cair, pengolahannya dilakukan di IPAL sementara limbah padat, dipilih berdasarkan asal limbah tersebut, limbah medis akan dikelola oleh pihak kedua yaitu PT. Jasa Medivest, limbah organik akan dibuat pupuk kompos, limbah anorganik yang dapat direcycle akan didaur ulang sementara yang tidak dapat didaur ulang akan dibuang di TPA, dan limbah radioaktif akan dire-eksport. Kegiatan lain dari Instalasi Kesling dan K3 adalah program green hospital melalui pembuatan taman-taman di rumah sakit, pembuatan taman konservasi air hujan, penggunaan cahaya matahari untuk menggantikan lampu penerangan di dalam ruangan, pengurangan penggunaan kertas. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 BAB 7 PENUTUP 7.1.Kesimpulan Dari hasil pengamatan selama Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di RSKD maka disimpulkan: 1. Kegiatan yang ada di Instalasi Farmasi RSKD meliputi manajemen farmasi, produksi, dan pelayanan farmasi klinik. 2. Apoteker memiliki peran fungsional pada setiap aspek kegiatan manajemen farmasi, produksi, dan farmasi klinis. a. Kegiatan manajemen di Instalasi Farmasi RSKD meliputi pemilihan, perencanaan dan pengadaan, produksi, penyimpanan, pendistribusian, penghapusan dan pemusnahan, administrasi, dan pelayanan obat pasien rawat inap. b. Kegiatan produksi yang dilakukan Instalasi Farmasi RSKD terdiri dari kegiatan produksi nonsteril serta kegiatan produksi steril yang meliputi pelayanan pencampuran sediaan intravena dan penanganan sitostatika c. Kegiatan Farmasi Klinik di Instalasi Farmasi RSKD meliputi pengkajian resep, rekonsiliasi obat, pemantauan pengobatan, monitoring efek samping obat, program ronde/visite, pelayanan informasi obat dan konseling yang semuanya berorientasi kepada pasien (patient oriented). 3. Beberapa kegiatan yang dilakukan di Instalasi/Unit Penunjang di RSKD yaitu, Instalasi Sterilisasi Sentral dan Binatu (ISSB), Instalasi Kesehatan Lingkungan (Kesling), dan Unit Rekam Medik. 7.2.Saran Berikut ini adalah beberapa saran yang dapat diberikan demi peningkatan kualitas pelayanan di Instalasi Farmasi RSKD : 1. Untuk meminimalisir terjadinya kesalahan dan mempermudah penelusuran apabila terjadi kesalahan sebaiknya penandaan pada kolom HRKP dan 7B diresep dapat selalu diisi oleh petugas farmasi karena pada saat ini kolom 101 Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 Universitas Indonesia 102 HRKP dan 7B masih banyak ditemukan tidak diisi oleh petugas farmasi yang bertugas. 2. Agar pemberian obat kepada pasien berjalan lebih tepat, khusus untuk pasien rawat inap sebaiknya pada etiket obat ditambahkan informasi obat mengenai “Obat ini diminum segera setelah makan” dan “Obat ini diminum satu jam sebelum makan” atau “Obat ini diminum dua jam setelah makan” pada tataran penyiapan obat. Saat ini informasi tersebut belum dicantumkan, apabila informasi ini disertakan maka akan mempermudah perawat dalam memberikan obat kepada pasien 3. Untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan IV admixture di unit produksi steril sebaiknya didukung dengan fasilitas yang memadai dan jumlah SDM yang cukup sehingga seluruh pasien yang ada akan mendapatkan pelayanan yang maksimal. 4. Untuk dapat terus meningkatkan peran apoteker farmasi klinik di RSKD maka diperlukan penambahan apoteker farmasi klinik agar pelayanan farmasi klinik dapat terlaksana dengan baik di seluruh ruang perawatan. Saat ini baru terdapat tiga apoteker klinik di ruang perawatan anak, ruang perawatan kelas I (Ruang mawar), dan ruang perawatan kelas III (Ruang Cempaka). Oleh karena itu, diperlukan tambahan tiga orang apoteker klinik untuk ditempatkan di ruang perawatan VIP, ruang perawatan kelas II (Ruang Melati), dan di ruang perawatan JKN (Ruang Teratai). Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 DAFTAR ACUAN Charles J.P. (2004). Farmasi Rumah Sakit. Penerbit Buku Kedokteran: EGC. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Kementerian Kesehatan RI : Jakarta Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (1999). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (1998). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, No 164/B/MenKes/Per/II/1998 tentang Fungsi Rumah Sakit, Jakarta, 1998. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (1992). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, No 983/B/MenKes/SK/XI/1992 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum, Jakarta, 1992. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Presiden Republik Indonesia. (2009a). UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Presiden Republik Indonesia. (2009b). UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Siregar, Charles J.P. dan Amalia, Lia. (2004). Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan .Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Quick, J.D., Hume, M., Rankin, J.R., O’Connor, R.W. (1997). Managing Drug Supply, Second Edition, Revised and Expanded. Kumarin Press : West Hartford. 103 Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 Universitas Indonesia 103 LAMPIRAN Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 104 Lampiran 1. Struktur Organisasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 105 Lampiran 2. Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 106 Lampiran 3. Struktur Organisasi ISSB Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 107 Lampiran 4. Autoclave Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 108 Lampiran 5. Contoh Indikator Kimia (a) (b) Keterangan : Indikator Bowie Dick (a), Indikator Stripe (b) Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 109 Lampiran 6. Contoh Indikator Biologi Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 110 Lampiran 7. Alur Peminjaman Status Rawat Jalan MULAI Dari Adminssion Input No MR Pasien Cetak Bon Pinjam Status Mengambil Status Di Roll O Pack Status yg dipinjam dicatat pada buku kendali Status dikirim ke masing2 Poli Bon Pinjam dimasukkan kedlm traccer Traccer dimasukkan kedlm Roll O Pack SELESAI Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 111 Lampiran 8. Alur Peminjaman Status Rawat Inap MULAI Dari Adminssion Input No MR Pasien Cetak Bon Pinjam Status Mengambil Status Di Roll O Pack Status yg dipinjam dicatat pada buku kendali Status dikirim ke admission Bon Pinjam dimasukkan kedlm traccer Traccer dimasukkan kedlm Roll O Pack SELESAI Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 112 Lampiran 9. Alur Pengembalian Status Rawat Jalan MULAI Dari masing2 poli status diambil Status dicatat pada lembar pengembalian Status diassembling Status dikoding Status dimasukkan kedlm Roll O Pack SELESAI Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 113 Lampiran 10. Alur Pengembalian Status Rawat Inap MULAI Dari ruang rawat inap status diambil Status dicatat pada lembar pengembalian rawat inap Status diassembling Status dicatat pada buku register assembling rawat inap Tdk Resume ? Pengurusan resume Ya Status dikoding Dimasukkan kedlm Roll O Pack SELESAI Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 114 Lampiran 11. Alur Pasien Baru di RSKD Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 115 Lampiran 12. Alur Pasien Lama atau yang Pernah Datang ke RSKD Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 116 Lampiran 13. Insinerator Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 117 Lampiran 14. Formulir Permintaan Obat Baru Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 118 Lampiran 15. Material Request (MR) Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 119 Lampiran 16. Surat Pesanan Barang Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 120 Lampiran 17. Blanko Surat Pesanan Narkotika Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 121 Lampiran 18. Blanko Surat Pesanan Psikotropika Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 122 Lampiran 19. Berita Acara Penerimaan (BAP) Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 123 Lampiran 20. Dokumentasi Pengukuran Suhu dan Kelembapan Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 124 Lampiran 21. Kartu Stok Obat Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 125 Lampiran 22. Etiket Obat Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 126 Lampiran 23. Lembar Mutasi Barang Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 127 Lampiran 24. Resep di RSKD Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 128 Lampiran 25. Formulir Bon Permintaan Barang Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 129 Lampiran 26. Kartu Indeks (Kardeks) Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 130 Lampiran 27. Plastik Obat Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 131 Lampiran 28. Formulir Pemantauan Obat dan Alkes Emergency Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 132 Lampiran 29. Formulir Pelayanan Pencampuran IV Admixture Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 133 Lampiran 30. Formulir Pencampuran Obat Kanker Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 134 Lampiran 31. Formulir Pengkajian Resep Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 135 Lampiran 32. Formulir Rekonsiliasi Obat Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 136 Lampiran 33. Formulir Pemantauan Obat Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 137 Lampiran 34. Formulir Catatan Pemberian Antibiotik Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 138 Lampiran 35. Formulir Monitoring Efek Samping Obat Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 139 Lampiran 35. Formulir Monitoring Efek Samping Obat (Lanjutan) Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 140 Lampiran 36. Formulir Pelayanan Informasi Obat Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 141 Lampiran 37. Formulir Konseling Pasien Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT KANKER DHARMAIS JL. S. PARMAN KAV. 84 – 86 SLIPI JAKARTA BARAT PERIODE 1 APRIL – 30 MEI 2014 EVALUASI PEMBERIAN ANTIBIOTIK PASIEN RAWAT INAP DI RUANG PERAWATAN ANAK PERIODE 16 -20 MEI 2014 MEIDI UTAMI PUTERI, S.Farm. 1306343832 ANGKATAN LXXVIII FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JULI 2014 Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... iv DAFTAR TABEL ......................................................................................... v BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1 1.2 Tujuan ......................................................................................... 2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 3 2.1. Penyakit Infeksi ............................................................................ 3 2.2 Risiko Infeksi pada Penderita Kanker ............................................ 3 2.3 Febrile Neutropenia ...................................................................... 4 2.4 Antibiotik ..................................................................................... 12 2.5. Prinsip Penggunaan Antibiotik untuk Terapi Empiris, Definitif, dan Profilaksis Bedah ......................................................................... 22 2.6 Penggunaan Antibiotik pada Anak ................................................ 29 2.7 Pola Aktivitas Farmakokinetik dan Farmakodinamik Antibiotik.... 29 2.8 Tinjauan Umum Bakteri ................................................................ 31 BAB 3 METODE PENGUMPULAN DATA ................................................ 33 3.1 Waktu dan Tempat Pengumpulan Data .......................................... 33 3.2 Desain Penelitian ......................................................................... 33 3.3. Metode Pengumpulan Data ............................................................ 33 3.4. Populasi dan Sampel...................................................................... 34 3.5. Kriterian Inklusi dan Ekslusi ......................................................... 34 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 35 4.1 Karakteristik Pasien ....................................................................... 35 ii Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 4.2 Karakteristik Penggunaan Antibiotik ............................................ 36 4.3. Evaluasi Pemberian Antibiotik pada pasien ALL ........................... 38 4.4. Evaluasi Pemberian Antibiotik pada pasien Lymphoma ................. 44 4.5. Evaluasi Pemberian Antibiotik pada pasien Teratoma .................... 49 4.6. Evaluasi Pemberian Antibiotik pada pasien KNF ........................... 51 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 54 5.1 Kesimpulan .................................................................................. 54 5.2 Saran ............................................................................................ 54 DAFTAR ACUAN ....................................................................................................... 55 iii Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Penatalaksanaan pengobatan antibiotik pada febril neutropenia risiko rendah………………………………….. 9 Penatalaksanaan pengobatan antibiotik pada febril neutropenia risiko sedang…………………………………. 10 Penatalaksanaan pengobatan antibiotik pada febril neutropenia risiko tinggi………………………………….. 11 iv Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Tabel 2.2. Tabel 2.3. Tabel 2.4. Tabel 2.5. Tabel 2.6. Tabel 2.7. Tabel 2.8. Tabel 2.9. Tabel 2.10. Tabel 2.11. Tabel 2.12. Tabel 2.13. Tabel 2.14. Tabel 2.15. Tabel 2.16. Tabel 2.17. Tabel 2.18. Tabel 2.17. Tabel 4.1. Tabel 4.2. Tabel 4.3. Tabel 4.4. Tabel 4.5. Tabel 4.6. Tabel 4.7. Tabel 4.8. Jenis mikroba yang sering dan jarang menyebabkan infeksi pada neutropenia ………………………………………….. Pembagian pengobatan demam pada pasien neutropenia… Dosis lazim amoksisilin……………………………………. Penyesuaian dosis amoksisilin berdasarkan fungsi ginjal…. Dosis lazim Sefotaksim, Sefiksim, Seftriakson, Seftizoksim, Seftazidim........................................................ Penyesuaian dosis Sefotaksim, Sefiksim, Seftriakson Seftizoksim berdasarkan fungsi ginjal.................................. Dosis lazim Meropenem ……………………..………........ Penyesuaian dosis meropenem berdasarkan klirens pasien.. Dosis lazim klindamisin…………………………..……..... Rekomendasi dosis amikasin dewasa berdasarkan indikasi……………………………………………………. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Empiris........................... Kategori/kelas operasi (Mayhall Classification) …............. Pembagian Status Fisik Pasien Berdasarkan Skor ASA ….. Jenis operasi beserta patogen dan antibiotik profilaksisnya……………………………………………... Jenis operasi beserta patogen dan antibiotik profilaksisnya ….......................................................................................... Daftar Antibiotik yang Tidak Boleh Diberikan pada anak……… Pola Aktivitas Antibiotik berdasarkan parameter PK/PD… Diagram batang kadar hemoglobin rata-rata sebelum dan setelah perlakuan …............................................................. Diagram batang jumlah eritrosit rata-rata sebelum dan setelah perlakuan................................................................... Karakteristik subjek penelitian berdasarkan total jumlah pasien rawat inap yang mendapatkan terapi antibiotik di Ruang Perawatan Anak……………………………………. Karakteristik Penggunaan Antibioik berdasarkan tujuan pemberiannya di Ruang Perawatan Anak ……………… Karakteristik Penggunaan Antibioik tunggal dan kombinasi di Ruang Perawatan Anak ………………………………… Catatan pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama ALL…………………………………………………. Catatan dosis pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama ALL........................................................ Catatan durasi pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama ALL........................................................... Catatan pemantauan fungsi ginjal pada pasien ALL yang mendapat antibiotik golongan aminoglikosida …………… Catatan pemberian antibiotik pada pasien dengan v Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 5 8 15 15 16 17 18 18 19 21 23 25 26 27 28 29 30 63 64 35 36 36 38 42 43 44 Tabel 4.9. Tabel 4.10. Tabel 4.11. Tabel 4.12. Tabel 4.13. Tabel 4.14. Tabel 4.15. Tabel 4.16. Tabel 4.17. Tabel 4.18. Tabel 4.19. diagnosis utama Lymphoma…………………………………... Rekomendasi pemberian antibiotik berdasarkan jenis tindakan operasi…………………………………………… Rekomendasi jenis antibiotik berdasarkan jenis tindakan operasi……………………………………………………... Catatan dosis pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama Lymphoma................................................. Catatan durasi pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama Lymphoma …............................................ Catatan pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama teratoma ………………………………… Rekomendasi pemberian antibiotik pada tindakan operasi kraniotomi…………………………………………………. Catatan pemberian dosis antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama teratoma…………………………………. Catatan pemberian durasi antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama teratoma ………………………………............. 44 46 46 48 48 49 50 51 51 Catatan pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama KNF …………………………………… 52 Catatan pemberian dosis antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama …............................................................. 53 Catatan pemberian durasi antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama KNF............................................................ 53 vi Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia. Terapi untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan obat-obat golongan antimikroba diantaranya, antibakteri/antibiotik, antijamur, antivirus, dan antiprotozoa. Pasien dengan penyakit keganasan pada umumnya rentan terhadap infeksi dan apabila terkena infeksi seringkali sulit diatasi. Risiko infeksi pada pasien kanker umumnya terkait dengan penatalakasanan kemoterapi yang memberikan efek mielosupresi berupa gangguan pembentukan neutrofil dan demam, yang disebut febril neutropenia (Sudewi, 2007). Febrile neutropenia (FN) adalah kondisi yang ditandai dengan demam yaitu suhu tubuh lebih tinggi atau sama dengan 38º C selama lebih dari satu jam atau 38,3º C secara oral, dan jumlah neutrofil lebih rendah dari nilai normal dalam darah, yaitu jumlah neutrofil absolut yang kurang dari 500 sel/μl atau kurang dari 1000 sel/μl dengan prediksi penurunan hingga kurang dari 500 sel/μl dalam selang waktu 48 jam. Febril neutropenia dapat ditangani dengan pemberian kombinasi atau monoterapi antibiotik (National Comprehensive Cancer Network, 2011). Infeksi bakteri merupakan salah satu penyebab kematian penderita kanker akibat penurunan daya tahan tubuh akibat dari keganasannya sendiri maupun sitostatika. Sitostatika sering menyebabkan hambatan proliferasi sel kulit dan mukosa sehingga memudahkan invasi mikroorganisme karena erosi dan ulserasi serta menekan proliferasi sumsum tulang, termasuk granulosit, yang berperan dalam imunitas nonspesifik. Antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” diketahui bahwa intensitas penggunaan antibiotik relatif tinggi terkait dengan penggunaannya sebagai terapi yang didapatkan oleh pasien kanker yang sangat rentan terkena penyakit infeksi. Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi dapat menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotik. Selain berdampak pada morbiditas dan 1 Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 Universitas Indonesia 2 mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi. Pada awalnya resistensi terjadi ditingkat rumah sakit, tetapi lambat laun juga berkembang dilingkungan. Penggunaan antibiotik dalam pelayanan kesehatan seringkali tidak tepat sehingga menimbulkan pengobatan kurang efektif, peningkatan risiko terhadap keamanan pasien, meluasnya resistensi dan tingginya biaya pengobatan. Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa kualitas penggunaan antibiotik diberbagai bagian rumah sakit 30% sampai dengan 80% tidak didasarkan pada indikasi yang tepat (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Dalam rangka meningkatkan penggunaan antibiotik secara bijak (prudent use of antibiotics), dilakukan pemantauan pemberian antibiotik pada pasien RSKD yang merupakan salah satu program kegiatan farmasi klinik RSKD. Kegiatan farmasi klinik juga dilakukan sebagai bentuk peran apoteker klinis berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka memaksimalkan pelayanan kepada pasien. Pemantauan penggunaan antibiotik dilakukan dengan menilai kerasionalan antibiotik yang diminum oleh pasien yang meliputi, analisis tujuan pemberian antibiotik untuk pasien, analisis durasi penggunaan antibiotik, serta analisis data pendukung pasien seperti suhu tubuh dan nilai leukosit pasien. Kegiatan pemantauan penggunaan antibiotik didokumentasikan pada Formulir Catatan Pemberian Antibiotik. Selanjutnya dari formulir tersebut data akan diolah dan dinilai, apabila ditemukan penyimpangan dari pemberian antibiotik yang rasional maka modifikasi terapi pengobatan pasien akan direkomendasikan. 1.2. Tujuan Tujuan pembuatan dari laporan tugas khusus ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui tingkat kerasionalan pemberian antibiotik di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit Kanker “Dharmais” dalam rangka kegiatan pemantauan penggunaan antibiotik secara bijak ditinjau dari ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan antibiotik, ketepatan dosis dan frekuensi, dan ketepatan durasi. 2. Meningkatkan pengetahuan tentang fungsi, tugas, peran dan tanggung jawab Apoteker Farmasi Klinik di Rumah Sakit Kanker “Dharmais.” Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Infeksi Infeksi adalah peristiwa invasi dan penggandaan mikroorganisme di dalam tubuh penderita sehingga menyebabkan penderita menjadi sakit. Infeksi pada umumnya dapat ditandai oleh adanya respon imun non-spesifik oleh tubuh. Berikut adalah tanda-tanda respon imun non-spesifik tubuh (Corwin, 2008) : a. Panas (calor) Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab terdapat lebih banyak darah yang disalurkan ke area terkena infeksi/ fenomena panas lokal . b. Rasa nyeri (dolor Rasa nyeri akibat peradangan, hasil dari peregangan saraf yang disebabkan oleh pembengkakan dan stimulasi ujung saraf oleh mediator peradangan. c. Kemerahan (rubor) Merupakan hal pertama yang terlihat didaerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul maka arteriol yang mensuplai daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah yang mengalir kedalam mikro sirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja meregang, dengan cepat penuh terisi darah. Keadaan ini yang dinamakan hiperemia atau kongesti. d. Pembengkakan (Turgor) Pembengkakan ditimbulkan karena pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah kejaringan interstisial. Campuran cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat. 2.2. Risiko Infeksi pada Penderita Kanker Pasien dengan penyakit kanker pada umumnya rentan terhadap infeksi dan apabila terkena infeksi seringkali sulit diatasi. Infeksi pada pasien kanker berhubungan langsung dengan berbagai keadaan, yaitu penurunan daya tahan akibat penyakit yang mendasarinya, defek imun sebagai akibat pengobatan dengan 3 Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 Universitas Indonesia 4 sitostatik, radiasi, berbagai prosedur invasif dan kombinasi dari berbagai hal tersebut. Pada defek sistem imun yang berat, mikroorganisme yang semula bersifat apatogen dapat menjadi patogen atau disebut infeksi oportunistik Faktor terpenting terhadap timbulnya infeksi pada keganasan adalah keadaan neutropenia. Semakin berat dan lama keadaan neutropenia, maka makin mudah dan berat infeksi yang terjadi (Hadinegoro, 2002). Infeksi bakteri pada pasien yang menerima kemoterapi mielosupresif untuk tumor padat mengakibatkan komplikasi, kebutuhan akan hospitalisasi, penundaan dan pengurangan dosis pada regimen kemoterapi, serta pada beberapa kasus, kematian (Cullen et al, 2005). Pasien kanker mengalami penekanan sistem imun karena berbagai alasan. Keganasan yang mendasarinya dapat merusak sistem imun secara langsung maupun tidak langsung, atau terapi untuk keganasan tersebut yang menyebabkan neutropenia atau gangguan fungsi leukosit. Perubahan klinis yang menyertai kanker seperti malnutrisi protein dan mukositis juga dapat mengganggu fungsi sistem imun. Selain itu, pasien kanker juga dapat mengalami infeksi nosokomial, yaitu infeksi yang terjadi 48 jam setelah berada di rumah sakit. Beberapa penyebab infeksi nosokomial antara lain adalah pemasangan kateter intravena jangka panjang, pemasangan kateter saluran kemih, dan obstruksi atau nekrosis jaringan sekunder terhadap keganasan. Infeksi lainnya dapat berasal dari perjalanan (travel) yang dilakukan pasien, paparan terhadap patogen yang diperoleh dari komunitas, dan reaktivasi infeksi asimptomatis atau laten yang sebelumnya dialami pasien. 2.3. Febrile Neutropenia 2.3.1. Defisi Neutropenia Neutropenia adalah suatu keadaan di mana jumlah neutrofil kurang dari 1500 sel/μL. Pasien dengan neutropenia umumnya mengalami infeksi yang disebabkan bakteri endogen dan jamur pada saluran gastrointestinal. Berikut adalah klasifikasi neutropenia berdasarkan nilai Absolute Neutrophile Count (Boxer & Dale, 2002) : a. Neutropenia ringan (mild) : nilai ANC 1000-1500 sel/ μL Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 5 b. Neutropenia sedang (moderate) : nilai ANC 500 – 1000 sel/ μL c. Neutropenia berat (severe) : nilai ANC < 500 sel/ μL Jenis mikroba yang sering dan jarang menyebabkan infeksi pada neutropenia tertera pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Jenis mikroba yang sering dan jarang menyebabkan infeksi pada neutropenia Organisme Bakteri Gram positif Bakteri Gram negatif Sering terjadi S. aureus Staphyllococcus coagulase negative Enterecoccus Streptococcus viridans E. coli K. pneumoniae P. aeruginosa Mikrobakteria Fungi C. albicans C. kruzei T. glabrata Spesies Aspergillus Virus Herpes simpleks Varisela-zoster Parasit Jarang terjadi Spesies Corynebacterium Spesies Bacillus Spesies Clostridium Spesies Enterobacter Spesies Acinetobacter Citrobacter freundii Serretia marcescens Spesies Legionella M. fortuitum M. cheloneae Mucor Rhizopus Fusarium Trichosporon Pseudoallescheria boydii Cryptococcus Malassezia furfur Cytomegalovirus Pneumocystis carinii Toxoplasma gondii Strongyloides stercoralis [sumber : Hadinegoro, 2002 ]. 2.3.2. Definisi Febril Neutropenia (FN) Febrile neutropenia (FN) didefinisikan sebagai demam (dalam dua kali pengukuran suhu lebih dari 38˚C atau satu kali suhu lebih dari 38.5˚C) pada pasien dengan jumlah neutrofil kurang dari 500sel/μL atau pasien dengan jumlah leukosit kurang dari 1000sel/μL yang diprediksi akan mengalami penurunan jumlah neutrofil hingga kurang dari 500sel/μL (National Comprehensive Cancer Network, 2011). Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 6 2.3.3. Derajat Faktor Risiko Derajat faktor risiko adalah risiko perburukan sampai terjadinya ancaman kematian pada pasien didasarkan pada jenis tumor solid atau hematologik, tipe kemoterapi konvensional/intensif/agresif, komorbiditas, dan lamanya neutropeni. Badan Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia (HOMPEDIN) dalam Panduan Tatalaksana Febril Neutropeni/Demam Neutropeni Pada Pasien Kanker (2005) mengkategorikan tiga derajat risiko, yaitu 1. Risiko rendah a. Solid tumor b. Kemoterapi konvensional c. Tak ada komorbiditas d. Neutropeni berlangsung singkat ≤ 3 hari e. Tidak didapatkan klinis infeksi berat : CNS, pneumonia berat, infeksi kateter f. Tidak didapatkan tanda-tanda sepsis atau syok 2. Risiko sedang a. Solid tumor atau keganasan hematologi b. Kemoterapi intensif c. Ada/tidak ada komorbiditas d. Neutropeni berlangsung 3-7 hari e. Didapatkan/tidak didapatkan infeksi klinis f. Ada/tidak didapatkan tanda-tanda sepsis atau syok 3. Risiko tinggi a. Keganasan hematologi b. Kemoterapi agresif/PBSCT/BMT c. Ada/ tidak ada komorbiditas d. Neutropeni berlangsung > 7 hari e. Didapatkan/tidak didapatkan infeksi klinis f. Ada/tidak didapatkan tanda-tanda sepsis atau syok 2.3.4. Pemeriksaan Penunjang Dilaporkan hanya sekitar 10-20% infeksi pada pasien neutropenia disebabkan oleh bakteri dan fungi. Perlu dilakukan pemeriksaan pewarnaan apus darah dan biakan terhadap bakteri anaerob, fungi, dan virus. Sampel tinja perlu diambil untuk pasien yang menderita diare. Pemeriksaan foto toraks harus segera dilakukan pada Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 7 pasien demam neutropenia, sedangkan pemeriksaan USG atau CT-scan kadangkadang diperlukan (Hadinegoro, 2002). Pemeriksaan fisik dilakukan setiap hari pada tempat keluar kateter sentral dan perifer, serta tempat batas suntikan, saluran pernapasan atas dan bawah, traktus urogenitalis, abdomen dan regio peranal, serta monitoring tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, suhu dan kesadaran. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan ada dua yaitu pemeriksaan khusus kultur mikrobiologi dan pemeriksaan umum yang meliputi hematologi rutin (dilakukan setiap hari) dan kimia darah (dilakukan satu kali per minggu) (BAKORNAS HOMPEDIN, 2005). 2.3.5. Strategi Pengobatan Strategi Pengobatan Masalah infeksi sangat penting dan berbahaya untuk pasien keganasan terutama keadaan neutropenia pada 72 jam pertama, pada saat kuman penyebab infeksi belum dapat ditentukan. Umumnya 60-70% pasien mengalami neutropenia dengan demam yang tidak diketahui penyebabnya (fever of unknown origin). Oleh karena itu, sejak tahun 1971 dianjurkan memberikan pengobatan antibiotik secara empiris segera setelah dicurigai adanya infeksi, misalnya segera setelah timbul gejala demam. Pengobatan empirik adalah pemberian antibiotik pada 72 jam pertama neutropenia dengan obat terpilih berdasarkan perkiraan kuman penyebab yang tersering. Kriteria demam yaitu apabila dalam satu hari terjadi 2–3 kali suhu >38˚C atau sekali suhu >38.5˚C. Selain itu harus ditetapkan bahwa demam bukan disebabkan oleh proses keganasan, reaksi transfusi, atau reaksi obat (Hadinegoro, 2002). Masalah yang sering timbul bila pengobatan empirik dihentikan adalah timbulnya demam rekuren atau timbul infeksi bakteri lain. Oleh karena itu, berbagai petunjuk tentang lama pengobatan empiris selalu mengacu pada hitung jenis neutrofil sebagai berikut (Hadinegoro, 2002) : Neutrofil lebih atau sama dengan 500/μL, apabila tidak ditemukan kuman dalam biakan, antibiotik dihentikan setelah 7 hari pengobatan Neutrofil <500 μL dan klinis baik, antibiotik dihentikan setelah 5-7 hari bebas demam. Neutrofil <100/μL, tanda vital stabil, namun terdapat lesi mukosa, antibiotik dilanjutkan sampai hitung neutrofil sama atau lebih dari 500/μL atau sampai keadaan klinis membaik dan stabil. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 8 Dianjurkan pengobatan antibiotik dihentikan apabila tidak terdapat demam dan stabil dalam 72-96 jam (risiko rendah) atau 7 hari tanpa demam, setelah granulosit lebih dari 1000sel/mm3 tanpa demam 2 hari (risiko tinggi). Beberapa peneliti masih tetap menganjurkan untuk meneruskan pemberian antibiotik sampai terjadi pemulihan jumlah neutrofil (BAKORNAS HOMPEDIN, 2005). Pada pemberian antibiotik jangka panjang perlu diperhatikan kemungkinan timbulnya super-infeksi oleh jamur dan kuman yang resisten, disamping toksisitas obat. Prognosis demam pada pasien neutropenia tergantung dari respons klinis dan mikrobiologik; hal ini sangat tergantung dari penyembuhan pasien dari neutropenia. Respons klinis pada umumnya dapat terlihat dengan penurunan suhu setelah pengobatan empiris selama 4 hari (Hadinegoro, 2002). Dockrell dan Lewis (2001) membuat pembagian pengobatan demam pada pasien neutropenia berdasarkan lini pertama, kedua, ketiga dan apabila pasien alergi terhadap penisilin seperti tertera pada Tabel 2.2 Tabel 2.2. Pembagian pengobatan demam pada pasien neutropenia Pilihan Antibiotik awal Lini pertama • Seftazidim 50mg/kg tiap 8jam iv+gentamisin/ tobramisin 2mg/kg loading dilanjut-kan 1.7 mg/kg tiap 8 jam. • Sefepim 50mg/ kg tiap 8-12 jam atau Amikasin 7.5 mg/kg iv, tiap 12 jam (5mg/kg tiap 8 jam) • Piperasilin 75 mg/kg tiap 6 jam iv + tobramycin dosis seperti di atas. • Seftazidim 100mg/kg Lini kedua •Imipenem-cilastin 12.5mg/kg iv tiap 6 jam • Meropenem 2040mg/kg iv tiap 8 jam Modifikasi antibiotik apabila demam menetap 3 hari Tambahkan vankomisin 10 mg/kg iv tiap 12 jam Modifikasi antibiotik apabila demam menetap 5-7 hari Amfoterisin B 0.5-0.6 mg/kg iv Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 9 Alergi penisilin Aztreonam 30mg /kg tiap 6 jam + klindamisin 10mg /kg iv tiap 6jam, atau vankomisin 10mg/kg iv tiap 6jam. [Sumber : Hadinegoro, 2002] Berikut adalah terapi dalam penatalaksanaan Febrile Neutropenia/Demam Neutropeni Pada Pasien Kanker pada risiko rendah, sedang, dan tinggi : Ya Mampu terapi oral? Tidak 1. Monoterapi : Cefpirom, cefepime, ceftazidime, carbapenem 2. Atau duoterapi: sefalosporin generasi III/IV + aminoglikosida atau aminopenisilin + aminoglikosida Oral : Ciprofloxacin/ levofloxacin + Amoxicillin Clavulanic acid Y a Klinis perburukan Tidak Demam setelah 72-96 jam Tidak Y a Reevaluasi : - pemeriksaan fisik - Ro thorax Stop setelah 3 hari afebris Demam setelah 72-96 jam Tidak Y a Tidak Tidak perlu modifikasi Terbukti infeksi? Reevaluasi : - pemeriksaan fisik - Ro thorax Y a Terapi definitif [Sumber : HOMPEDIN, 2006] Gambar 2.1. Penatalaksanaan pengobatan antibiotik pada febril neutropenia risiko rendah Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 10 1. Monoterapi : Cefpirom, cefepime, ceftazidime, carbapenem 2. Atau duoterapi: sefalosporin generasi III/IV + aminoglikosida atau aminopenisilin/piperasilin + aminoglikosida Ya Klinis perburukan Ya Demam setelah 72-96 jam Tidak Reevaluasi : - pemeriksaan fisik, Ro thorax, kultur darah, antigen jamur Klinis stabil? Ya Lama terapi: 7 hari tanpa demam, setelah granulosit lebih dari 1000sel/mm3 tanpa demam 2 hari Tidak perlu modifikasi Tidak Setelah: 1. +aminoglikosida atau +kuinolon+glikopeptida 2. +glikopeptida atau + carbapenem Total lama terapi 10 hari Tidak Bila mikrobiologi terbukti infeksi : Terapi definitif Demam setelah 72-96 jam Ya + antijamur amfoterisin B /itraconazole/voriconazole Penambahan glikopeptida bila terdapat mukositis atau infeksi kateter [Sumber : HOMPEDIN, 2005] Gambar 2.2. Penatalaksanaan pengobatan antibiotik pada febril neutropenia risiko sedang Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 11 1. Monoterapi : Cefpirom, cefepime, ceftazidime, carbapenem 2. Atau duoterapi: sefalosporin generasi III/IV + aminoglikosida atau aminopenisilin/piperasilin + aminoglikosida Y a Klinis perburukan Tidak Y a Demam setelah 72-96 jam Tidak Reevaluasi : - pemeriksaan fisik, Ro thorax, kultur darah, antigen jamur Y a Klinis stabil? Tidak perlu modifikasi Tidak Lama terapi: 7 hari tanpa demam, setelah granulosit lebih dari 1000sel/mm3 tanpa demam 2 hari - carbapenem + fluconazol/ampho B/ voriconzole/itraconazole - kuinolon + glikopeptida +fluconazole/ ampho B/voriconzole/itraconazole Tidak Total lama terapi 10 hari Demam setelah 72-96 jam Y a Bila mikrobiologi terbukti infeksi : Terapi definitif Bila dengan fluconazole demam 72 jam, ganti dengan ampho B/ voriconzole/itraconazole Penambahan glikopeptida bila terdapat mukositis atau infeksi kateter [Sumber : HOMPEDIN, 2005] Gambar 2.3. Penatalaksanaan pengobatan antibiotik pada febril neutropenia risiko tinggi Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 12 2.4. Antibiotik 2.4.1. Definisi Antibiotik adalah substansi mikroorganisme yang dapat yang menghambat dihasilkan oleh satu macam pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lain. Antibiotik tidak bekerja sendiri dalam menghancurkan antibiotik. Pertahanan tubuh alami, prosedur pembedahan jaringan yang terinfeksi, dan penggantian pembalut luka mungkin diperlukan seiring dengan pemakaian obat antibiotik untuk melenyapkan antibiotik. Meskipun pada awalnya diperoleh secara alami, kini kebanyakan antibiotik diproduksi secara semisintetik atau sintetik. 2.4.2 Jenis-jenis Antibiotik Berikut ini adalah jenis-jenis antibiotik (Katzung, 2006) : 1. Beta laktam, penisilin (contohnya: penisilin, isoksazolil penisilin, ampisilin), sefalosporin (contohnya: sefadroksil, sefaklor), monobaktam (contohnya: azteonam), dan karbapenem (contohnya: imipenem); 2. Tetrasiklin, contohnya tetrasiklin dan doksisiklin; 3. Makrolida, contohnya eritromisin dan klaritromisin; 4. Linkomisin, contohnya linkomisin dan klindamisin; 5. Kloramfenikol, contohnya kloramfenikol, tiamfenikol; 6. Aminoglikosida, contohnya streptomisin, neomisin, gentamisin; 7. Sulfonamid (contohnya: sulfadiazin, sulfisoksazol) dan kotrimoksazol (kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol); 8. Kuinolon (contohnya: asam nalidiksat) dan fluorokuinolon (contohnya: siprofloksasin, levofloksasin); 9. Glikopeptida, contohnya vankomisin, telkoplanin; 10. Antimikobakterium, isoniazid, rifampisin, pirazinamid; 11. Golongan lain-lain, contohnya polimiksin B, basitrasin, oksazolidindion Berdasarkan daya kerjanya, antibiotik dapat dibedakan menjadi dua. Pertama adalah bakteriostatik atau antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, contohnya adalah tetrasiklin dan sulfonamid. Kedua adalah bakterisid atau antibiotik yang dapat membunuh bakteri, contohnya adalah penisilin dan sefalosporin. Efek bakteriostatik dan bakterisid dapat tergantung dari Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 13 dosis dan kadar dalam serum. Berdasarkan spektrumnya, antibiotik dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu antibiotik aktivitas spektrum luas (broad spectrum) dan aktivitas spektrum sempit (narrow spectrum) (Lulman, Mohr, Hein & Bieger, 2005). 1. Antibiotik spektrum luas (broad spectrum) Antibiotik spektrum luas, bekerja terhadap lebih banyak bakteri, baik gram negatif maupun gram positif serta jamur. Contohnya adalah tetrasiklin dan sefalosporin. 2. Antibiotik spektrum sempit (narrow spectrum) Antibiotik spektrum sempit, bekerja terhadap beberapa jenis bakteri saja. Contohnya adalah penisilin dan eritromisin (Kee & Hayes, 1996). Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu (Lulman, Mohr, Hein & Bieger, 2005) : 1. Antibiotik yang menginhibisi sintesis dinding sel bakteri; 2. Antibiotik yang menginhibisi sintesis tetrahidrofolat; 3. Antibiotik yang menginhibisi fungsi Deoxyribonucleic Acid (DNA); 4. Antibiotik yang menginhibisi sintesis protein. Antibiotik yang ideal harus memenuhi syarat berikut ini (Jawelz, 1995) : 1. Mempunyai kemampuan untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang luas; 2. Tidak menimbulkan terjadinya resistensi dan mikroorganisme patogen; 3. Tidak menimbulkan pengaruh efek samping yang buruk pada host, seperti : reaksi alergi, kerusakan syaraf, iritasi lambung dan sebagainya; 4. Tidak mengganggu keseimbangan flora normal dari host seperti flora usus atau flora kulit. 2.4.3. Golongan Antibiotik Senyawa Beta Laktam Senyawa golongan β-Laktam memiliki persamaan kimiawi, mekanisme kerja, farmakologi, dan karakteristik imunologi. Golongan tersebut yaitu, penisilin, sefalosporin, monobaktam, dan karbapenem. Semua obat tersebut merupakan senyawa β-laktam yang dinamakan demikian karena mempunyai cincin laktam yang khas. Semua antibiotik β-laktam menghambat pertumbuhan bakteri dengan mengganggu reaksi transpeptidasi dalam sintesis dinding sel Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 14 bakteri. Dinding sel adalah suatu lapisan luar yang kaku dan khas untuk spesies bakteri, dan sepenuhnya membungkus membran sitoplasma, mempertahankan bentuk integritas sel dan mencegah lisis sel akibat tekanan osmotik tinggi. Dinsing sel tersusun dari suatu polimer polisakarida dan polipeptida berikatan silang yang kompleks yakni peptidoglikan. Polisakarida mengandung gula amino yang berselang-seling, yakni Nasetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat. Suatu peptida yang mengandung lima asam amino dikaitkan dengan gula asam N-asetilmuramat. Peptida ini berakhir di D-alanil-alanin. Penicilin-binding protein (PBP, suatu enzim) memotong alanin terminal tersebut pada proses pembentukan suatu ikatan-silang dengan peptide didekatnya. Ikatan silang tersebut membuat struktur dinding sel menjadi kaku. Antibiotik β-laktam yang secara struktural merupakan analog substrat PBP, berikatan secara kovalen dengan tempat aktif di PBP. Ikatan ini menghambat reaksi transpeptidase, menghentikan sintesa peptidoglikan sehingga sel akan mati. Mekanisme pasti kematian sel tidak sepenuhnya dimengerti, tetapi autolisin dan gangguan morfogenesis dinding sel diduga terlibat. Penisilin dan sefalosporin membunuh sel bakteri hanya jika sel bakteri tersebut aktif bertumbuh dan menyintesis dinding sel. 2.4.3.1. Amoksisilin (Penisilin Berspektrum Luas) a. Aktivitas Antimikroba & Penggunaan Klinis : Memiliki aktivitas yang lebih besar daripada penisilin G terhadap bakteri gram negatif karena kemampuannya menembus membran luar organisme gram negatif lebih besar. Seperti penilin G, obat ini diinaktifkan oleh βlaktamase. Amoksisilin bermanfaat mengobati infeksi berat yang disebabkan oleh organisme yang rentan-penisilin, termasuk organisme anaerob, enterokokus, Listeria monocytogenes, dan galur kokus dan basil gram negatif yang tidak menghasilkan β-laktamase seperti, E.coli, dan spesies salmonella. Galur H.influenza yang tidak menghasilkan β-laktamase umumnya rentan tapi saat ini mulai muncul galur spesies resisten karena adanya perubahan PBP. Amoksisilin tidak aktif pada Pseudomonas aeruginosa, sitobakter, seratia, Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 15 dan spesien proteus postif-indol, dan bakteri gram negatif lain yang umum dijumpai pada infeksi nosokomial. b. Efek Samping : Amoksisilin secara umum tidak bersifat toksik. Kebanyakan reaksi simpangnya terjadi karena hipersensitivitas. Pada pasien gagal ginjal amoksisilin dalam dosis tinggi dapat menyebabkan kejang. Amoksisilin dalam dosis besar dapat menyebabkan mual, muntah, dan diare. Serta dapat menimbulkan ruam kulit yang tidak disebabkan oleh alergi. c. Dosis lazim yang digunakan : Tabel 2.3. Dosis lazim amoksisilin Antibiotik (Rute Dosis Dewasa Dosis Anak* Pemberian) Amoksisilin 0,25-0,5 g 20-40 mg/kg/hari (PO) dalam 3 dosis Amoksisilin500/125 mg 20-40 mg/kg/hari kalium dalam 4-6 dosis klavulanat (PO) * : dosis total tidak boleh melebih dosis dewasa Dosis Neonatus - d. Penyesuaian dosis berdasarkan bersihan klirens kreatinin (persentase dibandingkan dengan dosis orang normal) : Tabel 2.4. Penyesuaian dosis amoksisilin berdasarkan fungsi ginjal Antibiotik Amoksisilin (PO) Amoksisilin- kalium klavulanat (PO) Cl cr sekitar 50 ml/menit 66% 66% Cl cr sekitar 10 ml/menit 33% 33% 2.4.3.2. Sefotaksim, Sefiksim, Seftriakson Seftizoksim, Seftazidim (Sefalosporin Generasi- ketiga) Dibandingkan dengan agen generasi kedua, obat ini memiliki cakupan gram negatif yang lebih luas dan beberapa obat mampu melintasi sawar darah otak. a. Aktivitas Antimikroba & Penggunaan Klinis: Obat generasi ketiga aktif terhadap sitrobakter, S.marscescens, dan providensia. Sefalosporin generasi ketiga juga efektif terhadap galur hemofilius dan neisseria yang menghasilkan β-laktamase, P. aeruginosa Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 16 hanya dapat diatasi oleh seftazidim dan sefoperazon, Seperti obat generasi kedua golongan ini juga dapat dihdrolisis oleh AmpC β-laktamase yang diproduksi secara konstan dan juga tidak dapat diandalkan untuk mengatasi spesies enterobakter. Seftizoksim dan sefiksim (PO) aktif terhadap B.fragilis. Namun sefiksim lebih tidak aktif terhadap peneumokokus serta kurang efektif mengatasi S.aureus. sefalosporin generasi ketiga digunakan untuk mengobati berbagai macam infeksi berat yang disebabkan oleh organisme yang resisten terhadap kebanyak obat lain.Akan tetapi, galur yang mengekspresikan βlaktamase berspektrum luas tidak mempan terhadap obat ini. Seftriakson dan sefotaksim disetujui penggunaannya untuk terapi meningitis. Seftriakson dan sefotaksim adalah yang paling aktif terhadap galur penunomokokus yang resisten terhadap pensilin dan direkomendasikan untuk terapi empiris untuk infeksi berat yang disebabkan oleh galur tersebut. Pada pasien yang mengalami demam dan neutropenik, sefalosporin generasi ketiga sering digunakan dalam kombinasi dengan aminoglikosida. b. Dosis lazim yang digunakan : Tabel 2.5. Dosis lazim Sefotaksim, Sefiksim, Seftriakson, Seftizoksim, Seftazidim Antibiotik (Rute Pemberian) Dosis Dewasa Dosis Anak* Dosis Neonatus Sefotaksim (IV) 1,2 g dalam 2- 50-200 4 dosis mg/kg/hari dalam 4-6 dosis Seftriakson 1,2 g dalam 2- 75-150 (IV) 3 dosis mg/kg/hari dalam 2-3 dosis Sefiksim (PO) 400 mg dalam 8 mg/kg.hari 2-4 dosis dibagi dalam 1-2 dosis Seftizoksim 2 g setiap 4 150-200 (IV) jam atau 4 g mg/kg/hari dibagi setiap 8 jam dalam 3-4 dosis 100 mg/kg/hari dalam 2 dosis Seftazidim (IV) 100-150 mg/kg/hari dalam 2 / 3 dosis 1-4 g dalam 1 dosis 75-150 mg/kg/hari dalam 3 dosis 100-150 mg/kg.hari dalam 2-3 dosis - - Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 17 c. Penyesuaian dosis berdasarkan bersihan klirens kreatinin (persentase dibandingkan dengan dosis orang normal) : Tabel 2.6. Penyesuaian dosis Sefotaksim, Sefiksim, Seftriakson Seftizoksim berdasarkan fungsi ginjal Antibiotik Cl cr sekitar 50 Cl cr sekitar 10 ml/menit ml/menit Sefotaksim (IV) 50% 25% Seftriakson (IV) 50% 25% Sefiksim (PO) 75% 50% Seftizoksim (IV) 500-1500 mg 250-1000 mg setiap 12 setiap 8 jam jam 50% 25% Seftazidim (IV) * : dosis total tidak boleh melebih dosis dewasa 2.4.3.3. Meropenem (Golongan Karbapenem) Seperti antibiotik golongan beta laktam lainnya, aktivitas antibakterial yang dihasilkan merupakan hasil dari inhibisi sintesis dinding sel bakteri. a. Aktivitas Antimikroba dan Penggunaan Klinis Pengobatan imfeksi saluran intra-abdominal (dengan komplikasi appendicitis, peritonitis) yang disebabkan oleh , Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, Bacteroides fragilis, B. thetaiotaomicron, atau Peptostreptococcus. Pengobatan meningiitis bakterial yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae atau Neisseria meningitidis pada anak-anak usia ≥3 bulan. Juga dapat digunakan sebagai pengobatan meningitis pada pasien dewasa.vPengobatan infeksi saluran pernapasan termasuk CAP dan pneumonia nosokomial.vPengobatan infeksi yang disebabkan oleh Bacillus cereus. Pengobatan infeksi yang disebabkan oleh Clostridium perfringens. Terapi empiris untuk infeksi bakterial pada Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 18 pasien febrile neutropenic. Digunakan secara tunggal atau dikombinasikan dengan antibakteri lainnya. b. Dosis lazim yang digunakan : Tabel 2.7. Dosis lazim Meropenem Antibiotik (Rute Dosis Dewasa Dosis Anak* Infeksi Intraabdominal : 1 g setiap 8 jam. Infeksi Intra-abdominal: Usia ≥ 3 bulan dengan berat ≤ 50 kg: 20 mg/kg (hingga 1 g) setiap 8 jam. Usia ≥ 3 bulan dengan berat >50 kg: 1 g setiap 8 jam. Pemberian) Meropenem (IV) Meningitis : 6 g sehari. Dosis 40mg/kg setaip 4 jam (hingga 6 g sehari) dapat dikombinasikan dengan ceftriaxone atau cefotaxime. Meningitis : Usia ≥ 3 bulan dengan berat ≤ 50 kg: 40 mg/kg (hingga 2 g) setiap 8 jam.Usia ≥ 3 bulan dengan berat >50 kg: 2 g setiap 8 jam * : dosis total tidak boleh melebih dosis dewasa c. Penyesuaian Dosis Tabel 2.8. Penyesuaian dosis meropenem berdasarkan klirens pasien [Sumber : American Society of Health-System Pharmacists, 2011] d. Efek Samping Penggunaan meropenem menyebabkan efek samping seperti efek pada GI (diare, mual, muntah, konstipasi), reaksi lokal (nyeri dan nyeri pada tempat diinjeksikan, phlebitis/thrombophlebitis), sakit kepala, anemia, rash, pruritus, sepsis, apnea, shock, glossitis, oral candidiasis. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 19 2.4.4. Antibiotik Golongan Linkosamid Antibiotika golongan linkosamid yang secara reversibel berikatan dengan subunit 50S ribosomal mencegahan terbentuknya ikatan peptida, sehingga menghambat sistesis protein bakteri. Klindamisin dapat bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal bergantung pada konsentrasi obat, bagian yang terinfeksi dan organisme (American Pharmacist Association, 2007). 2.4.4.1. Klindamisin (golongan linkosamid) a. Aktivitas Antimikroba dan Penggunaan Klinis Klindamisin memiliki aktivitas antibakteri serupa dengan eritromisin, yaitu bersifat bakteriostatik. Spektrum kerja dari klindamisin lebih kepada bakteri anaerob, seperti Bacteroides fragilis dan bakteri coccus non-enterococcal gram positif (Mycek, Mary Julia, et al., 2000). Klindamisin digunakan pada infeksi bakteri, khususnya disebabkan oleh bakteri anaerob, strptococci, pneumococci, dan staphylococci; bakteri vaginosis (cream dan suppositoria vagina); infalamasi pelvis (I.V.); secara topikal untuk pengobatan jerawat; pengobatan vagina akibat Gardnerella vaginalis. Unlabeled/Investigational Use, Klindamisin dapat digunakan pada pneumocystic pneumonia (PCP) atau pengobatan alternatif untuk toksoplasmosis (American Pharmacist Association, 2007). b. Dosis lazim yang digunakan : Tabel 2.9. Dosis lazim klindamisin Antibiotik Dosis Dewasa Dosis Anak* Klindamisin Oral: 150-450 mg setiap 6-8 jam; maksimum dosis: 1,8 g/hari Oral: bayi dan anakanak: 8-20 mg/kg/hari (hidroklorida); 8-25 mg/kg/hari (palmitat) terbagi 3-4 dosis; dosis minimum (palmitat): 37,5 mg tiga kali sehari I.M., I.V.: 1,2-2,7 g/ hari terbagi 2-4 dosis; dosis maksimum: 4,8 g/hari I.M., I.V.: < 1 bulan: 15-20 mg/kg/hari terbagi 3-4 dosis; > 1 bulan: 20-40 mg/kg/hari terbagi 3-4 dosis Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 20 c. Kontraindikasi Klindamisin dikontraindikasikan untuk pasien yang hipersensitivitas terhadap klindamisin, lincomycin, atau komponen lain yang ada dalam formula (American Pharmacist Association, 2007). d. Efek samping Frekuensi terjadinya efek samping dari penggunaan klindamisin secara sistemik belum diketahui. Namun, efek samping yang mungkin terjadi dalam penggunaan clindamysin adalah nyeri abdomen, diare, esofagitis, mual, muntah, kolitis pseudomembran, vaginitis, agranulositosis, eosinofilia, neutropenia, trombositopenia, jaundice, trombophlebitis (I.V.), dan nyeri atau abses (I.M.) (American Pharmacist Association, 2007). 2.4.5. Antibiotik Golongan Aminoglikosida Antibiotik golongan aminoglikosida. Mekanisme aksi dari amikasin sama seperti streptomisin, yaitu dengan menginhibisi sintesis protein dengan berikatan secara langsung dengan subunit 30S ribosomal. (American Pharmacist Association, 2007). 2.4.5.1. Amikasin Semua aminoglikosida bersifat bakterisidal dan terutama pada kuman gram negatif. Amikasin aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa. Amikasin biasanya diberikan pada terapi infeksi serius yang disebabkan oleh bakteri basilus gram negatif yang resisten terhadap gentamisin (BPOM RI, 2008). a. Aktivitas antimikroba dan Penggunaan Klinis Amikasin digunakan pada infeksi bakteri serius (seperti, infeksi tulang, saluran pernapasan, endokarditis, dan septisemia) bergantung pada organisme yang resisten terhadap gentamisin dan tobramisin, seperti Pseudomonas, Proteus, Serratia, dan bakteri basil gram negatif; dan infeksi dari mikobakteri Unlabeled/Investigational Use Amikasin digunakan pada endofalmitis (American Pharmacist Association, 2007). b. Dosis Rekomendasi dosis amikasin dihitung secara individual karena indeks terapi yang kecil. Dosis dihitung bersarkan Ideal Body Weight (IBW) untuk Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 21 menentukan dosis dalam mg/kg lebih akurat dibandingkan dengan dosis berdasarkan Total Body Weight (TBW). Dosis untuk pasien dengan obesitas lebih baik ditentukan berdasarkan IBW + 0,4 (TBW – IBW). Konsentrasi obat dalam plasma saat dosis diberikan (initial) dan puncak dan lembah dari kurva harus diketahui, khususnya untuk pasien dengan infeksi serius atau pada keadaan penyakit yang meningkatkan farmakokinetik dari aminoglikosida (seperti fibrosis sistik, terbakar, dan bedah mayor). Rentang dosis usual dewasa (I.M. dan I.V.) adalah 3-7,5 mg/kg/dosis setiap 8 jam. Namun, beberapa dokter merekomendasikan dosis harian sebesar 15-20 mg/kg untuk semua pasien dengan fungsi renal yang normal. Dosis geriatri sesuai dengan dosis dewasa. Sedangkan, untuk dosis pediatri dan anak-anak rentang dosis usual (I.M., I.V.) sebesar 5-7,5 mg/kg/dosis setiap 8 jam Rekomendasi dosis amikasin berdasarkan indikasi dapat dilihat pada Tabel 3 (American Pharmacist Association, 2007). b. Penyesuaian Dosis Dosis individual pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal sangatlah penting. Beberapa pasien membutuhkan dosis yang lebih besar atau frekuensi yang lebih sering jika konsentrasi serum dibutuhkan (seperti, pasien fibrosis sistik atau granulositopenia). Berikut penyesuaian dosis/frekuensi pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal: - ClCr < 60 mL/menit: diberikan setiap 8 jam - ClCr 40-60 mL/menitL diberikan setiap 12 jam - ClCr 20-40 mL/menit: diberikan setiap 24 jam - ClCr < 20 mL/menit: berikan loading dose dan monitor konsentrasi obat dalam serum (American Pharmacist Association, 2007). Tabel 2.10. Rekomendasi dosis amikasin dewasa berdasarkan indikasi Tujuan Enfoftalmitis bakterial (unlabeled use) Rekomendasi Dosis Intravitreal: 0,4 mg/0,1 mL NS kombinas dengan vankomisin Hospital-acquired pneumonia (HAP) I.V.: 20 mg/kg/hari dengan antipseudoman beta-laktam atau karbapenem Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 22 Meningitis (Pseudomonas aeruginosa) I.V.: 5 mg/kg/hari setiap 8 jam (diberikan dengan bakteriosidal lainnya) Mycobacterium fortuitum, M. I.V.: 10-15 mg/kg/hari setidaknya selama 2 minggu chelonae, atau M. abcessus dengan dosis tinggi sefotiksin [Sumber: American Pharmacist Association, 2007] c. Kontraindikasi Amikasin dikontraindikasikan untuk pasien dengan hipersensitivitas dengan amikasin sulfat atau komponen lain penyusun dalam formulasi; sensitivitas silang dapat timbul dengan aminoglikosida lainnya (American Pharmacist Association, 2007). d. Efek samping Efek samping dari penggunaan amikasin dengan kejadian 1-10% pasien adalah neurotoksisitas, ototoksisitas (audiotri dan vestibular), dan nefrotoksik. Sedangkan, untuk efek samping dengan kejadian < 1% adalah reaksi alergi, arthralgia, mengantuk, demam, dyspnea, eosinofilia, nyeri kepala, hipotensi, mual, parestesia, ruam, tremor, muntah, dan lemah (American Pharmacist Association, 2007). 2.5. Prinsip Penggunaan Antibiotik untuk Terapi Empiris, Definitif, dan Profilaksis Bedah 2.5.1 Antibiotik Terapi Empiris Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi: ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi. 1) Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah sakit setempat. 2) Kondisi klinis pasien. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 23 3) Ketersediaan antibiotik. 4) Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam jaringan/organ yang terinfeksi. 5) Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat digunakan antibiotik kombinasi. Rute pemberian: antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral(Cunha,BA.,2010). Lama pemberian: antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya ( IFIC.,2010;TimPPRAKemenkesRI.,2010). Evaluasi penggunaan antibiotik empiris dapat dilakukan seperti pada tabel berikut : Tabel 2.11 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Empiris Hasil Klinis Sensitivitas Tindak lanjut Kultur + Membaik Sesuai Lakukan sesuai prinsip "DeEskalasi" (penggunaan antibiotik spektrum luas untuk terapi inisial dilanjutkan dengan penggunaan antibiotik dengan spektrum lebih sempit) + Membaik/Tetap Tidak Sesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi + + Memburuk/Tetap Memburuk Sesuai Tidak Sesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi Evaluasi Diagnosis dan Terapi - Membaik 0 Evaluasi Diagnosis dan Terapi Tetap/Memburuk 0 Evaluasi Diagnosis dan Terapi [Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011] 2.5.2 Antibiotik Terapi Definitif Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya (LloydW.,2010). Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 24 infeksi, berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi: sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik: 1) Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik. 2) Sensitivitas. 3) Biaya. 4) Kondisi klinis pasien. 5) Diutamakan antibiotik lini pertama / spektrum sempit. 6) Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit). 7) Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang terkini. 8) Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten. Rute pemberian : antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral (Cunha,BA.,2010). Jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segera diganti dengan antibiotik peroral. Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya (IFIC.,2010) 2.5.3 Antibiotik Profilaksis Bedah Terapi profilaksis antibiotik merupakan penggunaan antibiotik sebelum, saat, atau setelah prosedur diagnostik, pengobatan, atau bedah untuk mencegah komplikasi infeksi (SIGN, 2008). Antibiotik profilaksis diberikan saat adanya resiko infeksi. Antibiotik profilaksis direkomendasikan diberikan saat tingginya resiko kontaminasi bakteri perioperatif dan/atau saat infeksi mengarah pada morbiditas dan mortalitas serius (Gray & Hawn, 2007). Terdapat beberapa faktor resiko yang mempengaruhi insidensi infeksi luka operasi, diantaranya (SIGN, 2008): 1) Faktor resiko pasien a. Umur yang ekstrim b. Nutrisi yang buruk c. Obesitas (> 20% dari massa tubuh ideal) Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 25 2) d. Ko-morbiditas (Diabetes mellitus, hipertiroid, gagal ginjal, lupus, dll) e. Merokok f. Infeksi penyerta pada bagian lain g. Kolonisasi bakteri (misalnya nares colonisation dengan S. aureus) h. Imunosupresan (akibat steroid atau obat-obatan immunosupresif lainnya) i. Perpanjangan lama waktu post operasi Faktor resiko operasi a. Lama dari scrub pembedahan b. Antisepsis kulit c. Pencukuran praoperasi d. Persiapan kulit praoperasi e. Lama operasi f. Antibiotika profilaksis g. Ventilasi ruang operasi h. Instrumen sterilisasi yang memadai i. Bahan asing pada situs bedah j. Drainase pembedahan k. Teknik bedah, termasuk hemostasis, trauma jaringan, penutupan yang buruk l. Hipotermia pascaoperasi Operasi dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas dengan peningkatan kontaminasi bakteri dan kejadian infeksi pascaoperasi (Tabel 1) (SIGN, 2008). Indikasi penggunaan antibiotik bergantung pada klasifikasi kelas operasi. Antibiotika profilaksis harus diberikan untuk seluruh kelas operasi bersih dan bersih kontaminasi. Kelas operasi kontaminasi dan kotor telah terinfeksi, maka dibutuhkannya terapi antibiotik, bukan lagi profilaksis. (Gray & Hawn, 2007) Tabel 2.12. Kategori/kelas operasi (Mayhall Classification) Kelas Operasi Definisi Operasi Bersih Operasi yang dilakukan pada daerah dengan kondisi pra bedah tanpa infeksi; tanpa membuka saluran pernapasan, pencernaan, kemih, maupun empedu; operasi terencana; atau penutupan kulit primer dengan atau tanpa menggunakan drain tertutup. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 26 Operasi Bersihkontaminasi Operasi Kontaminasi Operasi Kotor Operasi yang dilakukan pada saluran cerna, empedu, kemih, pernapasan dan reproduksi (kecuali ovarium) atau operasi tanpa disertai kontaminasi yang nyata. Operasi yang membuka saluran cerna, saluran empedu, saluran kemih, saluran pernapasan sampai orofaring, saluran reproduksi, atau operasi tanpa pencemaran nyata (gross spillage). Operasi pada perforasi saluran cerna, saluran urogenital atau saluran napas yang terinfeksi ataupun operasi yang melibatkan daerah yang purulen (inflamasi bakterial). Dapat pula operasi pada luka terbuka lebih dari 4 jam setelah kejadian atau terdapat jaringan non vital yang luas atau nyata kotor. [Sumber: SIGN, 2008, telah diolah kembali] Selain itu Skor ASA(American Society of Anesthesiologists) juga dapat menjadi pertimbangan dalam pemilihan antibitoik Tabel 2.13.Pembagian Status Fisik Pasien Berdasarkan Skor ASA [Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011] 2.5.1.Pemilihan dan pemberian antiobiotik profilaksis Waktu pemberian antibiotik profilaksis sangat penting untuk memastikan terapi antibiotika yang efektif. Antibiotika profilaksis harus diberikan dalam 60 menit sebelum insisi agar tercapai konsentrasi obat yang diinginkan. Pemilihan antibiotika profilaksis harus aman, cost-effective, dan sesuai dengan patogen berdasarkan tipe prosedur. Pemilihan antibiotik harus sesuai dengan pola resistensi lokal (Gray & Hawn, 2007). Jenis operasi beserta patogen dan antibiotika pilihan dapat dilihat lebih lanjut pada Tabel 2 dan rekomendasi antibiotik profilaksis bedah pada Tabel 3. Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011): Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 27 1) Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus bersangkutan. 2) Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri. 3) Toksisitas rendah. 4) Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi. 5) Bersifat bakterisidal. 6) Harga terjangkau. Tabel 2.14 Jenis operasi beserta patogen dan antibiotik profilaksisnya [Sumber: SIGN, 2008] Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 28 Tabel 2.15. Jenis operasi beserta patogen dan antibiotik profilaksisnya [Sumber: Bratzler et al., 2013] 2.5.2. Rute pemberian 1) Antibiotik profilaksis diberikan secara intravena. 2) Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan pemberian antibiotik intravena drip. 2.5.3. Waktu pemberian Antibiotik profilaksis diberikan ≤ 30 menit sebelum insisi kulit. Idealnya diberikan pada saat induksi anestesi. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 29 2.5.4. Dosis pemberian Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang cukup tinggi. Pada jaringan target operasi kadar antibiotik harus mencapai kadar hambat minimal hingga 2 kali lipat kadar terapi. 2.5.5. Lama pemberian Durasi pemberian adalah dosis tunggal. Dosis ulangan dapat diberikan atas indikasi perdarahan lebih 1500 ml atau operasi berlangsung lebih dari tiga jam (SIGN, 2008). 2.6. Penggunaan Antibiotik Pada Anak Perhitungan dosis antibiotik berdasarkan perkilogram berat badan ideal sesuai dengan usia dan petunjuk yang ada dalam formularium profesi. Berikut adalah daftar tabel antibiotik yang tidak boleh diberikan untuk Anak Tabel 2.16. Daftar Antibiotik yang Tidak Boleh Diberikan pada anak Nama Obat Kelompok Usia Alasan Siprofloksasin < 12 tahun Merusak tulang rawan Norfloksasin < 12 tahun Merusak tulang rawan Tetrasiklin < 4 tahun Disolorisasi gigi, gangguan pertumbuhan tulang Kotrimoksazol < 2 bulan Tidak ada data efektivitas dan keamanan Kloramfenikol Nenonatus Grey baby syndrome Tiamfenikol Nenonatus Grey baby syndrome Linkomisin HCl Nenonatus Fatal toxic syndrome Piperasilin-Tazobaktam Nenonatus Tidak ada data efektivitas dan keamanan Azitromisin Nenonatus Tidak ada data keamanan Tigesiklin <18 tahun Tidak ada data keamanan Spiramisin Nenonatus dan bayi Tidak ada data keamanan [Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011] 2.7. Pola Aktivitas Farmakokinetik dan Farmakodinamik Antibiotik Farmakokinetik (pharmacokinetic, PK ) membahas tentang perjalanan kadar antibiotik didalam tubuh, sedangkan farmakodinamik (pharmacodynamic, PD) membahas tentang hubungan antara kadar-kadar itu dan efek antibiotiknya. Dosis antibiotik dulunya hanya ditentukan oleh parameter PK saja. Namun, ternyata PD juga memainkan peran yang sama, atau bahkan lebih penting. Pada abad resistensi antibiotika yang terus Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 30 meningkat ini, PD bahkan menjadi lebih penting lagi, karena parameter-parameter ini bisa digunakan untuk mendesain rejimen dosis yang melawan atau mencegah resistensi. Jadi walaupun efikasi klinis dan keamanan masih menjadi standar emas untuk membandingkan antibiotik, ukuran farmakokinetik dan farmakodinamik telah semakin sering digunakan. Beberapa ukuran PK dan PD lebih prediktif terhadap efikasi klinis. Ukuran utama aktivitas antibiotil adalah Kadar Hambat Minimum (KHM). KHM adalah kadar terendah antibiotic yang secara sempurna menghambat pertumbuhan suatu mikroorganisme secara invitro. Walaupun KHM adalah indikator yang baik untuk potensi suatu antibiotik, KHM tidak menunjukkan apa-apa tentang perjalanan waktu aktivitas antibiotik. Parameter-parameter farmakokinetik menghitung perjalanan kadar serum antibiotika. Terdapat 3 parameter farmakokinetik yang paling penting untuk mengevaluasi efikasi antibiotik, yaitu kadar puncak serum(C max), kadar minimum(Cmin), dan area under curve (AUC) pada kurva kadar serum vs waktu. Walaupun parameterparameter ini mengkuantifikasi perjalanan kadar serum, parameter-parameter teresebut tidak mendeskripsikan aktivitas bakterisid suatu antibiotik. Aktivitas antibiotik dapat dikuantifikasi dengan mengintegrasikan parameterparameter PK/PD dengan KHM. Parameter tersebut yaitu: rasio kadar puncak / KHM, waktu > KHM, dan rasio AUC-24 jam / KHM. Tiga sifat farmakodinamik antibiotik yang paling baik untuk menjelaskan aktivitas bakterisidal adalah time-dependence, concentration-dependence, dan efek persisten. Kecepatan bakterisidal ditentukan oleh panjang waktu yang diperlukan untuk membunuh bakteri (time-dependence), atau efek meningkatkan kadar obat (concentration-dependence). Efek persisten mencakup PostAntibiotic Effect (PAE). PAE adalah supresi pertumbuhan bakteri secara persisten sesudah paparan antibiotik. Tabel 2.17. .Pola Aktivitas Antibiotik berdasarkan parameter PK/PD Pola Aktivitas Tipe I Bakterisidal Concentrationdependence dan efek persisten yang lama Tipe II Bakterisidal timedependence dan efek persisten minimal Tipe III Antibiotik Aminoglikosid Fluorokuinolon Ketolid Tujuan Terapi Memaksimalkan durasi paparan Karbapenem Sefalosporin Eritromisin Linezolid Penicillin Azitromisin Memaksimalkan durasi paparan Memaksimalkan Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 31 Bakterisidal time- Klindamisin jumlah obat yang dependence dan Oksazolidinon masuk sirkulasi efek persisten Tetrasiklin sistemik sedang sampai Vankomisin lama [Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011] Untuk antibiotik Tipe I, rejimen dosis yang ideal adalah memaksimalkan kadar, karena semakin tinggi kadar, semakin ekstensif dan cepat tingkat bakterisidalnya. Karena itu, rasio AUC 24 jam / KHM, dan rasio kadar puncak / KHM merupakan predictor efikasi antibiotik yang penting. Untuk aminoglikosid, efek optimal dicapai bila rasio kadar puncak / KHM minimal 8-10 untuk mencegah resistensi. Untuk fluorokuinolon vs bakteri Gram-negatif, rasio AUC 24 jam / KHM optimal adalah sekitar 125. Bilafluorokuinolon vs Gram-positif, 40 nampaknya cukup optimal. Namun, rasio AUC 24 jam / KHM untuk fluorokuinolon sangat bervariasi. Antibiotik Tipe II menunjukkan sifat yang sama sekali berlawanan. Rejimen dosis ideal untuk antibiotic ini diperoleh dengan memaksimalkan durasi paparan. Parameter yang paling berkorelasi dengan efikasi adalah apabila waktu(t) diatas KHM. Untuk beta-laktam dan eritromisin, efek bakterisidal maksimum diperoleh bila waktu diatas KHM minimal 70% dari interval dosis. Antibiotik Tipe III memiliki sifat campuran, yaitu tergantung-waktu dan efek persisten yang sedang. Rejimen dosis ideal untuk antibiotic ini diperoleh dengan memaksimalkan jumlah obat yang masuk dalam sirkulasi sistemik. Efikasi obat ditentukan oleh rasio AUC 24 jam/ KHM. Untuk vankomisin, diperlukan rasio AUC24jam / KHM minimal 125. 2.8. Tinjauan Umum Bakteri Bakteri merupakan uniseluler, pada umumnya tidak berklorofil, ada beberapa yang fotosintetik dan produksi aseksualnya secara pembelahan dan bakteri mempunyai ukuran sel kecil dimana setiap selnya hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop. Bakteri pada umumnya mempunyai ukuran sel 0,5-1,0 μm kali 2,0-5,0 μm, dan terdiri dari tiga bentuk dasar yaitu bentuk bulat atau kokus, bentuk batang atau Bacillus, bentuk spiral. (Dwidjoseputro,1985) Syarif dan Halid (1993) menyatakan bahwa : identifikasi jenis bakteri berdasarkan sifat morfologi, biokimia, fisiologi dan serologi adalah sebagai berikut : a. Bakteri gram positif : Staphylococcus, Streptococcus, Leuconostoc, Pediococcus, Clostridium botulinum, Lactobacillus, Propionic bacterium, Bacillus. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 32 b. Bakteri Gram Negatif : Proteus, Eschericia coli, Enterobacter, Pseudomonas, Alcaligenes Tersedianya oksigen dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme, bakteri diklasifikasikan menjadi tiga kelompok menurut keperluan oksigennya. a. Aerob Obligat (hanya dapat tumbuh jika terdapat oksigen yang banyak) b. Aerob Fakultatif (tumbuh dengan baik jika oksigen cukup, tetapi juga dapat tumbuh sacara anaerob) c. Anaerob Fakultatif (tumbuh dengan baik jika tidak ada oksigen, tetapi juga dapat tumbuh secara aerob) Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 BAB 3 METODE PENGUMPULAN DATA 3.1. Waktu dan Tempat Pengumpulan Data Pengumpulan dan analisis data dilakukan di Ruang Perawatan Anak Lantai IV Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Jl. Letjen S. Parman Kav. 84-86, Jakarta Barat dari tanggal 14 - 20 Mei 2014. 3.2. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah non eksperimental dengan pengambilan data secara prospektif. Pengambilan data dilakukan secara prospektif terhadap data sekunder berupa catatan kartu indeks dan status pasien. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif dan analitik. 3.3. Metode Pengambilan Data Berikut cara memperoleh data yang diperoleh : 1. Dilakukan penelusuran kartu indeks seluruh pasien rawat inap di ruang perawatan anak untuk mendapatkan data pasien yang telah atau sedang diberikan terapi antibiotik baik oral atau parenteral selama pasien dirawat dalam periode pengambilan data 2. Dilakukan penelusuran status pasien yang diketahui telah atau sedang diberikan terapi antibiotik untuk mendapatkan data penunjuang yang lengkap 3. Dilakukan pengamatan perkembangan terapi pasien selama periode pengambilan data. 4. Data tersebut didokumentasikan dalam Formulir Catatan Pemberian Antibiotik 5. Data dianalisis mengacu pada teori yang terdapat di literatur dari berbagai sumber 6. Hasil analisis data tersebut kemudian dievalausi dan dinilai. 33 Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 Universitas Indonesia 34 3.4. Populasi dan Sampel 3.4.1 Populasi Semua pasien rawat inap di Ruang Perawatan Anak Lantai IV Rumah Sakit Kanker “Dharmais” pada tanggal 14 - 20 Mei 2014. 3.4.2 Sampel Semua pasien rawat inap di Ruang Perawatan Anak Lantai IV Rumah Sakit Kanker “Dharmais” yang memenuhi kriteria inklusi di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta pada tanggal 14 - 20 Mei 2014 3.4.3 Jumlah Sampel Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling yaitu jumlah semua sampel yang memenuhi kriteria inklusi terhadap suatu populasi terbatas. 3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.5.1 Kriteria Inklusi a) Pasien yang menjalani rawat inap di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit Kanker Dharmais periode 16 – 20 Mei 2014 b) Pasien yang mendapatkan terapi antibiotik baik oral dan/atau parenteral selama dirawat di ruang anak 3.5.2 Kriteria Eksklusi a) Pasien yang data kartu indeks dan statusnya tidak lengkap dan tidak jelas. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Pasien Pengambilan data dilakukan secara prospektif selama lima hari dari tanggal 16 - 20 Mei 2014 di Ruang Perawatan Anak Lantai IV Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Jakarta (RSKD). Terdapat 34 pasien rawat inap yang berada di ruang perawatan anak pada periode pengambilan data. Sebanyak lima belas pasien mendapatkan terapi antibiotik dan yang memenuhi kriteria inklusi didapatkan sebelas pasien dengan perincian lima pasien dengan diagnosis utama (Acute Lymphoblastic Leukemia) ALL, empat pasien dengan diagnosis utama Lymphoma, satu pasien dengan diagnosis utama teratoma, dan satu pasien dengan diagnosis Kanker Nasofaring (KNF). Empat pasien yang dieksklusi didapatkan satu pasien meninggal, satu pasien dipindahkan ke HCU, dan dua pasien pulang sebelum statusnya dapat diamati. Tabel 4.1. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan total jumlah pasien rawat inap yang mendapatkan terapi antibiotik di Ruang Perawatan Anak Karakteristik Pasien Total (%) Usia (N=11) - 0 – 1 bulan (neonatus) - 1 bulan – 2 tahun (bayi) - 2 – 5 tahun (balita) 2 (18,18) - 6 – 11 tahun (anak-anak) 6 (54,54) - 12 - < 16 tahun (remaja) 2 (18,18) - > 16 tahun 1 (9,09) Jenis Kelamin - Laki-laki 9 (81,81) - Perempuan 2 (18,18) Diagnosis Utama - ALL 5 (45,45) - Lymphoma 4 (33,33) - Teratoma 1 (8,33) 1 (8,33) - KNF Berdasarkan data pada tabel 4.1. dapat dilihat bahwa diagnosis utama yang paling banyak diantara pasien rawat inap di ruang perawatan anak di RSKD adalah Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) atau biasa disebut juga Leukemia Limfoblastik Akut (LLA). Hal ini sesuai dengan kesimpulan sebuah penelitian 35 Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 36 yang pernah dilakukan di RSKD bahwa Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) merupakan penyakit kanker sering terjadi pada anak-anak usia di bawah 14 tahun, Di Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD), LLA merupakan kanker anak yang paling banyak ditemukan. pada 2000-2008. LLA lebih banyak terjadi pada anak laki-laki (Rini, 2010). 4.2. Karakteristik Penggunaan Antibiotik Berikut adalah data antibiotik yang diresepkan untuk pasien rawat inap di ruang perawatan anak selama periode pengambilan data. Pada tabel 4.2. dapat dilihat pola pemberian antibiotik dan tujuan pemberiannya. Berdsarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa di ruang perawatan anak sebesar 88,9 % pemberian antibiotik ditujukan untuk tujuan empiris dan jenis antibiotik yang paling banyak diresepkan sebanyak 33,3 % adalah seftazidim. Golongan terbanyak yang diberikan merupakan antibiotik sefalosporin generasi ketiga. Pada Tabel 4.3. dapat dilihat pola pemberian antibiotik tunggal dan kombinasi. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa penggunaan antibiotik kombinasi jauh lebih sedikit dengan penggunaan antibiotik tunggal. Tabel 4.2. Karakteristik Penggunaan Antibioik berdasarkan tujuan pemberiannya di Ruang Perawatan Anak Jenis Antibiotik Tujuan Pemberian (Total peresepan = 18) Profilaksis Empiris Definitif Amikasin 2 (11,11) Seftazidim 6 (33,33) Sefiksim 3 (16,67) Seftizoksim 1(5,55) Seftriakson 1 (5,55) Sefotaksim 1 (5,55) 2 (11,11) Klindamisin 1 (5,55) Amoksisilin 1 (5,55) Tabel 4.3. Karakteristik Penggunaan Antibioik tunggal dan kombinasi di Ruang Perawatan Anak Penggunaan Antibiotik Total (%) Tunggal N = 12 - Seftazidim 3 (25,00) - Sefotaksim 3 (25,00) - Seftizoksim 1 (8,33) Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 37 Sefiksim Amoksisilin Klindamisin Seftriakson Kombinasi - Seftazidim-Amikasin - Seftazidim-Sefiksim 2 (16,67) 1 (8,33) 1 (8,33) 1 (8,33) N=3 2 (66,67) 1 (33,33) - Karakteristik pemberian antibiotik ini sesuai dengan terapi empirik yang terbukti dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pada penyakit infeksi yaitu menggunakan antibiotk berspektrum luas dan dalam hal ini dipilih sefalosporin generasi ketiga. Di antara sefalosporin generasi ketiga hanya seftazidim dan sefoperazon yang mempunyai cakupan adekuat untuk Pseudomonas aeruginosa, suatu syarat esensial untuk terapi empirik. Pada sebagian besar penelitian, seftazidim terpilih untuk monoterapi. Namun, harus selalu diperhitungkan kemungkinan terjadinya perubahan pola spektrum kuman, kerentanan pejamu serta antibiotik yang tersedia. Hal yang perlu diperhatikan apabila seftazidim dipakai secara rutin adalah adanya laporan wabah Klebsiella pneumoniae dan E.coli yang resisten terhadap seftazidim. Oleh karena itu perlu dilakukan rotasi pemberian antibiotik (Hadinegoro, 2002). Sejak beberapa tahun yang lalu, pemilihan antibiotik empirik inisial terdiri dari kombinasi ß- laktam berspektrum luas dengan aminoglikosida, kombinasi dua macam ß-laktam, dan monoterapi antibiotik berspektrum luas. Kombinasi tradisional β-laktam anti-pseudomonas dengan aminoglikosida, mempunyai keuntungan yaitu cakupan spektrum luas, aktifitas bakterisid lebih cepat, terhadap pseudomonas secara optimal, dan membatasi timbulnya resistensi serta mengurangi superinfeksi. Kombinasi seftazidim dan amikasin jangka panjang (9 hari) menyembuhkan 81% kasus dan kematian 8%. Kombinasi dua macam ßlaktam dari sefalosporin generasi ketiga, misalnya sefoperazon atau seftazidim, terbukti sama efektif dengan kombinasi tradisional. Kelemahan kombinasi ini mempermudah terjadinya resistensi kuman, kemungkinan antagonisme, memperpanjang masa neutropenia, dan potensial menimbulkan perdarahan (Hadinegoro, 2002). Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 38 4.3. Evaluasi Pemberian Antibiotik pada pasien ALL Pada penelitian ini prinsip kerasionalan pemberian antibiotik dinilai dari ketepatan indikasi dan pemilihan antibiotik, ketepatan dosis dan frekuensi, dan ketepatan durasi. Pasien kanker dengan keganasan hematologi masuk kedalam kategori risiko tinggi terkena Febrile Neutropenia (FN) oleh karena itu pasien anak yang menderita ALL dan Lymphoma sangat rentan untuk mengidap FN. Terkait dengan hal tersebut maka pada umumnya tujuan pemberian antibiotik pada pasien anak yang rentan terhadap FN adalah sebagai terapi empiris untuk mengatasi infeksi yang ditandai dengan adanya FN. Walaupun pada beberapa pasien belum ditemukan tanda-tanda FN (suhu tubuh dan ANC normal) namun apabila terdapat kekhawatiran pasien tersebut cenderung akan mengalami FN maka antibiotik akan tetap diberikan sebagai tindakan pencegahan terjadinya infeksi tetapi tujuan pemberian tersebut tetap masuk dalam kategori empiris. a. Tepat indikasi dan pemilihan Antibiotik Catatan pemberian antibiotik pada pasien rawat inap di ruang perawatan anak yang diadiagnosis menderita ALL dapat dilihat pada tabel 4.4. berdasarkan data tersebut. maka dapat dilakukan analisis mengenai ketepatan indikasi dan pemilihan antibiotik pasa pasien ALL dinilai dari catatan status pasien, nilai leukosit dan ANC, dan suhu tubuh pasien. Tabel 4.4. Catatan pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama ALL Pasien A Usia 4 th Nama Antibiotik (Golongan) Analisis Status Pasien Seftazidim (Sefalosporin generasi III) Bronkopneu monia dari hasil Foto Thorax; Penilaian Objektif : gangguan jalan nafas, batuk, muntah; ANC < 2; Suhu normal o Tujuan Pemberian Empiris Suhu ( C) Leukosit (103/µL) & ANC (103/µL) Sebe lum Sesu dah Sebe lum Sesu dah 36 36 4,66 & 1,77 6,57 & 4,66 Kultur - Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 39 B 7 th Seftazidim (Sefalosporin generasi III) Infeksi Empiris saluran pencernaan karena ada keluhan gejala mual, diare, dan gangguan keseimbang an elektrolit,; suhu & ANC 36,0 36,5 4,71 & 4,00 1,12 Empiris 38 36 1,12 27,7 1 Empiris 38 36 0,19 27.7 1 Empiris 39,5 37 1,78 & 0,91 - Empiris 36,0 35,8 3,01 & 0,14 1,92 & 0,01 - normal Seftazidim* (Sefalosporin generasi III) C 7 th D 17 th Infeksi luka & Leukopeni; Terdapat luka di kaki, terasa nyeri abdomen; suhu tinggi & ANC rendah Amikasin* Infeksi luka (Aminoglikosi & da) Leukopeni; Terdapat luka di kaki, lemas, stomatitis; suhu tinggi & ANC rendah Sefotaksim Leukopeni, (Sefalosporin febris, generasi III) hipertensi mual; suhu tinggi dan ANC rendah Sefotaksim Merasakan (Sefalosporin nyeri; suhu generasi III) normal & ANC rendah - Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 40 E 6 th Seftazidim* (Sefalosporin generasi III) Penilaian SOAP, penilaian Analisis : Risti Infeksi; Suhu normal & ANC rendah Empiris Amikacin* / Batuk, empiris Aminoglikosi febris, da perifer hangat, post aferesis; Suhu Tinggi & ANC rendah 37 36.8 3.52 & 0,14 - 38 35,5 1.47 & 0.18 2.4 - Tidak ditem ukan m.o. *Obat digunakan secara bersamaan Pada pasien A didapatkan bahwa suhu tubuh normal dan nilai ANC masih diatas 1500 sel/µL sehingga tidak ditemukan adanya tanda-tanda FN namun dari hasil catatan status pasien diketahui bahwa pasien didiagnosis terkena bronkopneumonia dan nilai ANC pasien cenderung rendah oleh karena itu pasien A dinilai tepat untuk diberikan antibiotik. Dalam kasus ini pneumonia yang diderita dianggap termasuk kedalam community-penumonia. Dimana terapi untuk community-penumonia pada pasien umur 3 bulan- 6 tahun adalah dengan antibiotik spektrum luas seperti amoksisilin atau sefalosporin, ampicilinsulbaktam, amoksisilin-klavulanat (Dipiro et. al., 2005). Hal ini karena organisme yang menyebabkan pneumonia pada pasien kanker mencakup berbagai bakteri dan fungi. Bakteri gram positif (staphylococcus dan streptococcus) termasuk yang paling sering ditemukan; batang gram negatif (khususnya Pseudomonas) dan jamur (Candida, Aspergillus). Pengobatan pneumonia, seperti pengobatan infeksi pada umumnya, awalnya melibatkan penggunaan empiris antibiotik spektrum luas yang efektif terhadap patogen. Terapi akan dipersempit untuk menutupi patogen tertentu setelah hasil kultur diketahui. Berdasarkan hal itu maka pemilihan seftazidim yang merupakan golongan sefalosporin generasi III dinilai sudah tepat. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 41 Pada pasien B terdapat dua kali peresepan antibiotik. Pada peresepan pertama seftazidim diberikan karena didapatkan pasien mengalami gangguan saluran pencernaan karena adanya keluhan mual dan diare walaupun suhu dan nilai ANC normal. Hal ini kemungkinan antibiotik diberikan sebagai pencegahan infeksi sebelum FN terjadi. Pada peresepan yang kedua didapatkan suhu tubuh normal namun nilai ANC rendah dan diketahui bahwa pasien mengalami luka di jari kakinya oleh karena itu risiko infeksi semakin tinggi. Pemberian kombinasi seftazidim dan amikasin dinilai sudah tepat. Pada pasien C dan D sudah ditemukan tanda-tanda dari FN dari catatan status pasien (pasien D mengalami nyeri), suhu yang tinggi (hanya pasien C) dan nilai ANC yang rendah (keduanya dibawah <500 sel/µL) sehingga dinilai bahwa pasien sudah membutuhkan terapi antibiotik. Namun pemberian sefotaksim dinilai kurang tepat karena berdasarkan penatalaksanaan FN untuk monoterapi yang digunakan adalah sefpirom, sefepim, seftazidime, atau karbapenem. Pada pasien E didapatkan bahwa pasien awalnya mendapatkan seftazidim karena nilai ANC yang sangat rendah kemudian beberapa harinya didapatkan pasien batuk, suhu tinggi dan nilai ANC tetap rendah sehingga ditambahkan amikasin sebagai terapi bersama seftazidim. Kombinasi sefalosporin generasi III dan aminoglikosida diketahui merupakan terapi empiris untuk FN. Berdasarkan hal tersebut maka pemberian antibiotik dinilai sudah tepat ditinjau dari ketepatan indikasi dan ketepatan pemilihan antibiotik. b. Tepat dosis & frekuensi Perhitungan dosis pada anak-anak membutuhkan data berat badan dan setelah dihitung pemberian dosis antibiotik banyak diantaranya yang tidak sesuai dengan perhitungan. Namun hal ini tidak dapat langsung disimpulkan bahwa pemberian antibiotik tidak tepat dosis karena biasanya pada perhitungan dosis pediatri berdasarkan perkilogram berat badan ideal sesuai dengan usia dan petunjuk yang ada dalam formularium profesi dokter anak. Bisa juga dikarenakan adanya perbedaan referensi yang digunakan dalam penentuan dosis. Perbedaan antara dosis sesuai perhitungan dan dosis yang diberikan pun rata-rata termasuk underdose (dosis perhitungan lebih besar dibandingkan dosis yang diberikan) Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 42 sehingga secara umum ketidak sesuaian dosis tidak terkait toksisitas karena tidak ada pemberian yang overdose. Pada pasien B dan E karena mendapatkan amikasin maka dilakukan perhitungan dengan Ideal Body Weight (IBW) karena indeks terapi nya yang sempit sehingga penting untuk dilakukan individualisasi dosis. Untuk frekuensi pemberian dinilai sudah tepat dimana golongan sefalosporin diberikan tiga kali sehari (kecuali pasien D yang hanya diberikan dua kali sehari) untuk memaksimalkan waktu paparan (time-dependence) dan golongan aminoglikosida diberikan cukup sekali sehari dengan dosis yang tinggi untuk memaksimalkan konsentrasi paparan (dose-dependence). Tabel 4.5. Catatan dosis pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama ALL Pasien Usia Nama Antibiotik BB Dosis A 4 th Seftazidim 16,5 kg 75-150 mg/kg/hari dalam 3 dosis Seftazidim B 7 th Seftazidim 20 kg; IBW; 15,26 kg Amikasin Dosis Sesuai perhitungan Dosis Cara Pemberian 1237 mg – 2475 mg 3 x 250 mg = 750 mg parenteral 75-150 mg/kg/hari dalam 3 dosis 1500 – 3000 mg 3 x 250 mg = 750 mg parenteral 75-150 mg/kg/hari dalam 3 dosis 1500 – 3000 mg 3 x 250 mg = 750 mg parenteral 5-7.5 mg/kg/dosis 3 atau 15-20 mg sehari 230 mg – 305 mg 1 x 250 mg parenteral C 7 th Sefotaksim 30 kg 50-200 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis 1500 – 6000 mg 3 x 500 mg = 1500 mg parenteral D 17 th Sefotaksim 49 kg 50-200 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis 2450 – 9800 mg 2x1 gram = 2 gram parenteral 75-150 mg/kg/hari dalam 3 dosis 1200 - 2400 mg 5-7.5 mg/kg/dosis 3 atau 15-20 mg daily 172 - 230 mg Seftazidim E 6 th Amikacin 16 kg; IBW : 11,5 3 x 250 mg = 750 mg 1x 250 mg = 250 mg parenteral parenteral Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 43 c. Tepat durasi Berdasarkan penatalaksanaan FN secara umum antibiotik diberikan sampai diapatkan kondisi klinis pasien yang membaik biasanya sekitar 5-7 hari dan dapat diteruskan sampai 10 hari sebelum dilakukan modifikasi terapi. Pada pasien A, B, dan E dinilai durasi sudah relatif tepat. Namun untuk pasien C dan D dianggap kurang tepat karena durasinya yang terlalu singkat Tabel 4.6. Catatan durasi pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama ALL Nama Tanggal Pasien Usia Antibiotik Durasi (Golongan) Mulai Stop A B d. 4 th 7 th 30-Apr 6 mei Seftazidim 7 hari 21-Apr 29-Apr Seftazidim 9 hari 5 mei 15 mei Seftazidim 11 hari 6 mei 15 mei Amikasin 10 hari C 7 th 17 mei 20 mei Sefotaksim 4 hari D 17 th 30-Apr 2 mei Sefotaksim 3 hari E 6 th 22-Apr 30-Apr 5 mei 4 mei Seftazidim Amikacin 14 hari 5 hari Penyesuaian Dosis pasien yang mendapat antibiotik golongan aminoglikosida Pasien B dan E mendapatkan antibiotik golongan aminoglikosida yang memiliki efek samping toksik pada ginjal sehingga penting untuk dilakukan pemantauan fungsi ginjal pada pasien. Perhitungan klirens kreatinin pada pediatrik dihitung menggunakan rumus Shull. Pada tabel 4.7. dapat dilihat bahwa fungsi ginjal pasien relatif normal sehingga tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis. Normal klirens kreatinin pada anak-anak dan dewasa muda umur 2-12 tahun (laki-laki atau perempuan) adalah 133.0 ±27.0 ml/min/1.73 m2. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 44 Tabel 4.7. Catatan pemantauan fungsi ginjal pada pasien ALL yang mendapat antibiotik golongan aminoglikosida Pasien Usia Tanggal Mulai B 7 th 21-Apr 5 mei 6 mei E 6 th 22-Apr 30-Apr Stop 29Apr 15 mei 15 mei 5 mei 4 mei Nama Antibiotik (Golongan) Durasi Seftazidim 9 hari Seftazidim 11 hari Amikasin 10 hari Seftazidim Amikacin 14 hari 5 hari Hasil Tes Fungsi Ginjal (Klirens Kreatinin ml/min/1.73 m2) sebelum saat setelah 150.3 131.4 209.1 158.3 - 158.3 4.4. Evaluasi Pemberian Antibiotik pada Pasien Lymphoma Pada pasien anak dengan diagnosis lymphoma sama halnya dengan ALL memiliki risiko tinggi terkena FN dikarenakan keganasan hematologi yang dideritanya sehingga pola pemberian antibiotik pada pasien ini pada umumnya juga sebagai terapi empiris mengatasi infeksi yang ditandai dengan adanya FN. a. Ketepatan indikasi dan pemilihan antibiotik Catatan pemberian antibiotik pada pasien rawat inap di ruang perawatan anak yang diadiagnosis menderita Lymphoma dapat dilihat pada tabel 4.8. berdasarkan data tersebut. maka dapat dilakukan analisis mengenai ketepatan indikasi dan pemilihan antibiotik pasa pasien Lymphoma dinilai dari catatan status pasien, nilai leukosit dan Lymphoma, dan suhu tubuh pasien. Tabel 4.8. Catatan pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama Lymphoma Pasien Usia H 5 th I 7 th Nama Antibiotik (Golongan) Sefiksim (Sefalosporin generasi III) Sefotaksim (Sefalosporin generasi III) Analisis Status Pasien Pusing dan perifer hangat; Suhu tubuh normal & ANC rendah Tindakan operasi efektif, jenis operasi Tujuan Pemberian Suhu (oC) Leukosit (103/µL) & ANC (103/µL) Sebe lum Sesu dah Sebe lum Sesu dah Empiris 37 - 1,63 & 0,18 - Surgical profilaksis - - - - Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 45 bersih, ASA score = 1 Amoksisilin sirup / (Penisilin) J 14 th K 8 th Klindamisin (Linkosinamid) Seftazidime* (Sefalosporin generasi III) Sefiksim* sirup (Sefalosporin generasi III) Ceftazidime (Sefalosporin generasi III) Post operasi, perifer hangat; suhu & ANC normal Trombositope nia, Hb rendah; Penilaian isti infeksi, risiko perdarahan; Suhu normal & Leukosit rendah cemas, febris, sesak, hangat; suhu normal & ANC rendah Cemas, febris, sesak, KGB diafrila, nyeri, perifer hangat; suhu tinggii dan ANC rendah Perifer hangat; keadaan umum sedang; suhu tinggi & ANC rendah 8,04 & 5,80 Empiris 36,5 - Empiris 36,3 - 2,76 - Empiris 37,0 36 4,25 & 1,53 2,2 Empiris 38,0 36,0 4,25 & 1,53 4,34 & 3.78 Empiris 38 36 9,88 12,42 *Obat digunakan dalam waktu yang bersmaaan Pasien H diketahui bahwa suhu tubuh normal cenderung tinggi namun nilai ANC sudah dibawah 500 sel/µL sehingga pemberian antibiotik dinilai sudah tepat untuk diberikan namun pemilihan sefiksim dinilai kurang tepat karena pada penatalaksanaan monoterapi untuk FN adalah sefepim, seftazidim, sefpiro, atau karbapenem. Hal ini dikarenakan sefiksim lebih tidak aktif terhadap peneumokokus serta kurang efektif mengatasi S.aureus sehingga dianggap kurang efektif sebagai terapi empiris untuk mengatasi FN. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 - 46 Pasien I mendapatkan terapi antibiotik sebagai profilaksis pre operasi yaitu sefotaksim dilanjutkan terapi empiris post operasi yaitu amoksisilin. Dari jenis dan tipe operasi yang dilakukan yaitu bersih dan terencana dengan tindakan diseksi pada leher, sesuai dengan penatalaksanaan maka pemberian antibiotik memang perlu untuk dipertimbangkan sebagai tindakan pencegahan terjadinya infeksi selama operasi. Namun pada teorinya setelah itu tidak diperlukan pemberian antibiotik lagi jika yakin keseluruhan proses operasi berlangsung secara steril. Atas dasar pertimbangan ketika berlangsungnya operasi kesterilan lingkungan dan alat tidak begitu terjamin maka pemberian antibiotik empiris diputuskan diberikan sebagai tindakan pencegahan infeksi post operasi. Pemilihan antibiotik profilaksis dinilai kurang tepat. Pemilihan antibiotik untuk tujuan profilaksis diantaranya didasarkan atas, sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus bersangkutan, spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri, toksisitas rendah, tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi,bersifat bakterisidal, dan harga terjangkau. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik secara Umum pada tahun 2011 antibiotik profilaksis yang dianjurkan adalah golongan sefalosporin generasi I dan II. Sedangkan pemilihan amoksisilin sebagai terapi empiris post operasi dinilai sudah tepat karena amoksisilin merupakan antibiotik golongan penisilin berspektrum luas. Tabel 4.9. Rekomendasi pemberian antibiotik berdasarkan jenis tindakan operasi [Sumber: SIGN, 2008] Tabel 4.10. Rekomendasi jenis antibiotik berdasarkan jenis tindakan operasi [Sumber: SIGN, 2008] Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 47 Pasien J mendapatkan klindamisin yang bersifat bakteriostatik, karena keterbatasan catatan status pasien, suhu tubuh, dan hasil lab maka pemberian antibiotik golongan linkosinamid ini tidak dapat diketahui indikasinya dan tidak dapat dikategorikan sebagai terapi untuk FN. Pasien K mendapat dua kali peresepan antibiotik, pada peresepan pertama, di hari pertama didapatkan suhu relatif tinggi, nilai ANC relatif rendah namun didapatkan bahwa pasien mengalami gangguan saluran nafas sehingga diberikan seftazidim sebagai terapi empiris untuk mengatasi FN kemudian keesokan harinya didapatkan pasien suhunya meningkat dan diberikan sefiksim sebagai kombinasi dengan seftazidim. Dinilai dari ketepatan indikasi maka antibiotik ini dinilai sudah tepat untuk diberikan untuk mengatasi FN namun berdasarkan pemilihan kombinasi antibiotik dinilai tidak tepat karena seftazidim dan sefotaksim berada dalam satu golongan dimana hal ini sangat bertentangan pada prinsip penggunaan kombinasi antibiotik yang harus berbeda mekanisme kerja. b. Ketepatan dosis dan frekuensi Perhitungan dosis pada anak-anak membutuhkan data berat badan dan setelah dihitung pemberian dosis antibiotik banyak diantaranya yang tidak sesuai dengan perhitungan. Namun hal ini tidak dapat langsung disimpulkan bahwa pemberian antibiotik tidak tepat dosis karena biasanya pada perhitungan dosis pediatri berdasarkan perkilogram berat badan ideal sesuai dengan usia dan petunjuk yang ada dalam formularium profesi dokter anak. Bisa juga dikarenakan adanya perbedaan referensi yang digunakan dalam penentuan dosis. Perbedaan antara dosis sesuai perhitungan dan dosis yang diberikan pun rata-rata termasuk underdose (dosis perhitungan lebih besar dibandingkan dosis yang diberikan) sehingga secara umum ketidak sesuaian dosis tidak terkait toksisitas karena tidak ada pemberian yang overdose. Untuk frekuensi pemberian dinilai sudah tepat dimana golongan sefalosporin diberikan tiga kali sehari (kecuali pasien K yang hanya diberikan pemberian sefiksim dua kali sehari) untuk memaksimalkan waktu paparan (time-dependence). Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 48 Tabel 4.11. Catatan dosis pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama Lymphoma Pasien Usia Nama Antibiotik BB Dosis Dosis Sesusai Perhitungan Dosis Cara Pemberian H 5 th Sefiksim 19 kg 8 mg/kg.hari dibagi dalam 1-2 dosis 152 mg 2 x 100 mg = 200 mg oral 500 mg jam 9 saat operasi parenteral 3 x 125 mg oral - 3 x 150 mg oral 75-150 mg/kg/hari dalam 3 dosis 1342 - 2685 MG 3 x 250 mg = 750 mg parenteral 8 mg/kg.hari dibagi dalam 1-2 dosis 35.8 mg 2 x 50 mg = 100 mg oral 75-150 mg/kg/hari dalam 3 dosis 1342 - 2685 MG 3 x 250 mg parenteral Sefotaksim I 50 mg/kg 7 th Amoksisilin J 14 th Klindamisin - 20-40 mg/kg/hari dalam 3 dosis 8-20 mg/kg/hari (hidroklorida) Seftazidim K 7.9 th Sefiksim 17,9 Seftazidim c. Ketepatan durasi Berdasarkan penatalaksanaan FN secara umum antibiotik diberikan sampai diapatkan kondisi klinis pasien yang membaik biasanya sekitar 5-7 hari dan dapat diteruskan sampai 10 hari sebelum dilakukan modifikasi terapi. Pada pasien K dinilai durasi sudah relatif tepat. Pasien I untuk tujuan profilaksis dinilai sudah tepat namun untuk tujuan empiris yaitu amoksisilin tidak dapat dinilai. Pasien H dan J tidak dapat dinilai. Tabel 4.12. Catatan durasi pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama Lymphoma Pasien Usia H 5 th 17 mei I 7 th 13 mei Mulai Tanggal Stop Nama Antibiotik Durasi Tidak teramati Sefiksim - 13 mei Sefotaksim 1 hari Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 49 J K 14 th 7.9 th 13 mei Tidak teramati Amoksisilin - 15 mei Tidak teramati Klindamisin - 9-Apr 16-Apr Seftazidim 8 hari 10-Apr 19-Apr Sefiksim Sirup 10 hari 5 mei 10 mei Seftazidim 6 hari 4.5. Evaluasi Pemberian Antibiotik pada pasien Teratoma a. Ketepatan Indikasi & Pemilihan Antibiotik Catatan pemberian antibiotik pada pasien rawat inap di ruang perawatan anak yang diadiagnosis menderita teratoma dapat dilihat pada tabel 4.13. berdasarkan data tersebut. maka dapat dilakukan analisis mengenai ketepatan indikasi dan pemilihan antibiotik pasa pasien teratoma dinilai dari catatan status pasien, nilai leukosit dan ANC, dan suhu tubuh pasien. Tabel 4.13. Catatan pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama teratoma Pasien G Usia 11 th o Nama Antibiotik (Golongan) Analisis Status Pasien Tujuan Pemberian Tizos : Ceftizoxime (Sefalosporin generasi III) Tindakan : craniotomi; Jenis operasi: bersih, efektif; ASA score = 2 Profilaksis Cefixime (Sefalosporin generasi III) Perifer hangat, gangguan pernafasan Empiris Suhu ( C) Leukosit (103/µL) & ANC (103/µL) Kultur Sebe lum Sesu dah Sebe lum Sesu dah 36 36 4,66 & 1,77 6,57 & 4,66 - 4,10 & 1,56 Tidak ditem ukan m.o. di darah & urin 36,4 36 7,41 Pasien G mendapatkan terapi antibiotik sebagai profilaksis pre operasi yaitu seftizoksim dilanjutkan terapi empiris post operasi yaitu sefiksim. Dari jenis dan tipe operasi yang dilakukan yaitu bersih dan terencana dengan tindakan kraniotomi, sesuai dengan penatalaksanaan maka pemberian antibiotik memang Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 50 direkomendasikan sebagai tindakan pencegahan terjadinya infeksi selama operasi. Namun pada teorinya setelah itu tidak diperlukan pemberian antibiotik lagi jika yakin keseluruhan proses operasi berlangsung secara steril. Atas dasar pertimbangan ketika berlangsungnya operasi kesterilan lingkungan dan alat tidak begitu terjamin maka pemberian antibiotik empiris diputuskan diberikan sebagai tindakan pencegahan infeksi post operasi. Pemilihan antibiotik profilaksis dinilai kurang tepat. Pemilihan antibiotik untuk tujuan profilaksis diantaranya didasarkan atas, sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus bersangkutan, spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri, toksisitas rendah, tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi,bersifat bakterisidal, dan harga terjangkau. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik secara Umum pada tahun 2011 antibiotik profilaksis yang dianjurkan adalah golongan sefalosporin generasi I dan II. Sedangkan pemilihan amoksisilin sebagai terapi empiris post operasi dinilai sudah tepat karena sefiksim merupakan antibiotik golongan sefalosporin yaitu antibiotik dengan spectrum luas. Tabel 4.14. Rekomendasi pemberian antibiotik pada tindakan operasi kraniotomi [Sumber: SIGN, 2008] b. Ketepatan Dosis dan Frekuensi Perhitungan dosis pada anak-anak membutuhkan data berat badan dan setelah dihitung pemberian dosis antibiotik ditemukan tidak sesuai dengan perhitungan. Namun hal ini tidak dapat langsung disimpulkan bahwa pemberian antibiotik tidak tepat dosis karena biasanya pada perhitungan dosis pediatri berdasarkan perkilogram berat badan ideal sesuai dengan usia dan petunjuk yang ada dalam formularium profesi dokter anak. Bisa juga dikarenakan adanya perbedaan referensi yang digunakan dalam penentuan dosis. Perbedaan antara dosis sesuai perhitungan dan dosis yang diberikan termasuk underdose (dosis perhitungan lebih besar dibandingkan dosis yang diberikan) sehingga secara Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 51 umum ketidak sesuaian dosis tidak terkait toksisitas karena tidak ada pemberian yang overdose. Untuk frekuensi pemberian dinilai sudah tepat. Tabel 4.15. Catatan pemberian dosis antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama teratoma Pasien Usia Antibiotik BB Tizos : Seftizoksim G 11 th 27 kg Sefiksim c. Dosis Sesuai Perhitung an Dosis Cara Pemberian 150 mg/kg 4050 mg 1 gram pre operasi jam 08.00 (1 jam sblm) parenteral 8 mg/kg. hari dibagi dalam 1-2 dosis 216 mg 2 x 100 mg = 200 mg oral Dosis Ketepatan durasi Berdasarkan data pada tabel 4.16 durasi pemberian antibiotik untuk tujuan profilaksis dan empiris dinilai sudah tepat. Tabel 4.16. Catatan pemberian durasi antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama teratoma Pasien H Usia Mulai Tanggal Stop Nama Antibiotik Durasi 20 Mar 20 Mar Tizos : Seftizoksim 1 hari 9 April 14 April Sefiksim 6 hari 5 th 4.6. Evaluasi Pemberian Antibiotik pada pasien KNF a. Ketepatan indikasi dan pemilihan antibiotik Catatan pemberian antibiotik pada pasien rawat inap di ruang perawatan anak yang diadiagnosis menderita teratoma dapat dilihat pada tabel 4.17. berdasarkan data tersebut. maka dapat dilakukan analisis mengenai ketepatan indikasi dan pemilihan antibiotik pada pasien KNF dinilai dari catatan status pasien, nilai leukosit dan ANC, dan suhu tubuh pasien. Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 52 Tabel 4.17. Catatan pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama KNF Pasien L Usia 16 th Nama Antibiotik (Golongan) Seftriakson (Sefalosporin generasi III) Analisis Status Pasien Keadaan umum sedang, perifer hangat; post bedah sinusitis hidung THT, tindakan eksplorasi NF; suhu dan ANC normal Tujuan Pemberian Empiris Suhu (oC) Leukosit (103/µL) & ANC (103/µL) Sebe lum Sesu dah Sebe lum Sesu dah 36 - 9,12 - Pasien L terapi antibiotik sebagai terapi empiris post operasi yaitu seftriakson. Pada teorinya setelah post bedah tidak diperlukan pemberian antibiotik lagi jika yakin keseluruhan proses tindakan berlangsung secara steril. Atas dasar pertimbangan ketika berlangsungnya tindakan kesterilan lingkungan dan alat tidak begitu terjamin maka pemberian antibiotik empiris diputuskan diberikan sebagai tindakan pencegahan infeksi post operasi. Pemilihan seftriakson sebagai terapi empiris post operasi bedah sinusitis dinilai sudah tepat karena seftriakson merupakan antibiotik golongan sefalosporin yaitu antibiotik dengan spektrum luas yang memliki indikasi sebagai terapi untuk infeksi saluran pernafasan. b. Ketepatan Dosis Perhitungan dosis pada anak-anak membutuhkan data berat badan dan setelah dihitung pemberian dosis antibiotik ditemukan tidak sesuai dengan perhitungan. Namun hal ini tidak dapat langsung disimpulkan bahwa pemberian antibiotik tidak tepat dosis karena biasanya pada perhitungan dosis pediatri berdasarkan perkilogram berat badan ideal sesuai dengan usia dan petunjuk yang ada dalam formularium profesi dokter anak. Bisa juga dikarenakan adanya perbedaan referensi yang digunakan dalam penentuan dosis. Perbedaan antara dosis sesuai perhitungan dan dosis yang diberikan termasuk underdose (dosis perhitungan lebih besar dibandingkan dosis yang diberikan) sehingga secara Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 53 umum ketidak sesuaian dosis tidak terkait toksisitas karena tidak ada pemberian yang overdose. Untuk frekuensi pemberian dinilai sudah tepat. Tabel 4.18. Catatan pemberian dosis antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama KNF Pasien L c. Usia 16 th Nama Antibiotik Seftriakson (Sefalosporin generasi III) BB Dosis Dosis Sesusai Perhitungan Dosis Cara Pemberian 37 kg 75-150 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis 2775 – 5550 mg 2x1 gram = 2 gram Parenteral Ketepatan durasi Berdasarkan data pada tabel 4.18 durasi pemberian antibiotik untuk tujuan empiris tidak dapat dinilai. Tabel 4.19. Catatan pemberian durasi antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama KNF Pasien Usia Tanggal Mulai Stop Nama Antibiotik Durasi L 16 th 14 mei Seftriakson - Tidak teramati Universitas Indonesia Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berikut adalah kesimpulan yang dapat diambil : 1. Pemberian antibiotik pada pasien rawat inap di Ruang Perawatan Anak secara umum sudah cukup baik a. Ditinjau dari ketepatan indikasi dan ketepatan durasi sudah baik b. Ditinjau dari dosis dan pemilihan antibiotik masih kurang baik, hal ini mungkin disebabkan adanya perbedaan guideline dalam menentukan penatalaksanaan terapi. 2. Apoteker memegang perang penting dalam pemantauan pemberian antibiotik terkait dengan ketepatan indikasi, pemilihan antibiotik, dosis, frekuensi, dan durasi. Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi dapat menimbulkan berbagai permasalahan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotik, morbiditas dan mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap biaya pengobatan pasien sehingga sangat penting untuk dilakukan pemantauan pemberian antibiotik untuk menghindari hal-hal tersebut. 5.2 Saran Saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebaiknya terdapat koordinator yang memayungi antara dokter dan apoteker sehingga dapat dilakukan penyeragaman penggunaan referensi mengenai terapi pemberian antibiotik sehingga memudahkan dalam berdiskusi mengenai pemantauan pemberian antibiotik pada pasien. 54 Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 Universitas Indonesia DAFTAR ACUAN American Pharmacist Association. (2007). Drug Information Handbook (17th ed.). USA: Lexi-comp. American Society of Health-System Pharmacists. (2011). AHFS Drug Essentials. Bethesda, Maryland. Badan Koordinasi Dan Kerjasama Nasional Hematologi-Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia. (2005). Panduan Tatalaksana Febril Neutropeni/Demam Neutropeni Pada Pasien Kanker. Jakarta : HOMPEDIN. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). (2008). IONI: Informatorium obat nasional indonesia. Jakarta: Badan POM. Boxer, Laurence., Dale, David C. (2002) Neutropenia : Cause and Consequences. Seminars in Hematology Vol 39 No 2 page 75-81, Elsevier Sciences. Bratzler, D.W., et al. (2013). Clinical practice guidelines for antimicrobial prophylaxis in surgery. Am J Health-Sys Pharm (70), 195-283). Corwin, J. Elizabeth. (2008). Handbook of Phatophysiology. Third Edition. USA : Lippincott Williams & Wilkins. Dipiro, J.T., et al. (2005). Pharmacotherapy Handbook. Sixth edition. USA : The Mc. Graw Hill Company. Gray, S.H., & Hawn, M, T. (2007). Prevention of surgical site infections. Hospital Physician: Surgical patient care series, 41-51. Hadinegoro, Sri Rezeki S. (2002). Demam pada Pasien Neutropenia. Sari Pediatri, 3, 235-241. Katzung, Bertram G. (2007). Basic & Clinical Pharmacology, Tenth Edition. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill. Kee, J. L., & Hayes, E. R. (1996). Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan, 324. Dr. Peter Nugraha (Alih Bahasa). Jakarta: EGC. Lulman, H., Mohr, K., Hein, L., Bieger, D. (2005). Color Atlas of Pharmacology. New York: Thieme. 55 Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 Universitas Indonesia Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 Tentang Penggunaan Umum Penggunaan Antibiotik. Mycek, Mary Julia, et al. (2000). Lippincott’s illustrated reviews: pharmacology, (2nd ed.). USA: Lippincott Williams & Wilkins. National Comprehensive Cancer Network. (2011). Practice Guidelines in Oncology - Prevention and Treatment of Cancer-Related Infections. http://www.nccn.org Rini, Tri Anky., Aisyi, Mururul., Sari, Yuni. (2010). Karakteristik Leukemia Limfoblastik Akut pada Anak di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” 20002008. Indonesian Journal of Cancer Vol. 4, No. 4. Jakarta : RS Kanker Dharmais. Scottish Intecollegiate Guidelines Network (SIGN). (2008). Antibiotic prophylaxis in surgery: A national clinical guideline. UK: NHSScotland. Sudewi, N.P., Tumbelaka, A.R., dan Windiastuti, E. Kejadian Demam Neutropenia Pada Keganasan. Sari Pediatri, 8, 68-72 56 55 Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014 Universitas Indonesia