universitas indonesia laporan praktek kerja profesi apoteker di

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
DI RUMAH SAKIT KANKER DHARMAIS
JL. S. PARMAN KAV. 84 – 86 SLIPI JAKARTA BARAT
PERIODE 1 APRIL – 30 MEI 2014
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
MEIDI UTAMI PUTERI, S.Farm.
1306343832
ANGKATAN LXXVIII
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK
JULI 2014
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
DI RUMAH SAKIT KANKER “DHARMAIS”
JL. S. PARMAN KAV. 84 – 86 SLIPI JAKARTA BARAT
PERIODE 1 APRIL – 30 MEI 2014
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker
MEIDI UTAMI PUTERI, S.Farm.
1306343832
ANGKATAN LXXVIII
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK
JUNI 2014
ii
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Laporan praktek kerja profesi ini adalah hasil karya sendiri,
dan semua baik yang dikutip atau dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Meidi Utami Puteri
NPM
: 1306433832
Tanda Tangan :
Tanggal
: 04 Juli 2014
iv
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja Profesi
Apoteker
(PKPA)
Angkatan
LXXVIII
Universitas
Indonesia,
yang
diselenggarakan pada tanggal 1 April – 30 Mei 2014 di Rumah Sakit Kanker
Dharmais Jl. S. Parman Kav. 84 – 86 Slipi Jakarta Barat.. Kegiatan PKPA dan
penyusunan laporan PKPA merupakan bagian dari kegiatan perkuliahan program
pendidikan profesi apoteker dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman,
pengetahuan dan keterampilan mahasiswa. Setelah mengikuti kegiatan PKPA,
diharapkan apoteker yang lulus nantinya dapat mengaplikasikan pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki kepada masyarakat pada saat memasuki dunia kerja.
Dalam pelaksanaan kegiatan PKPA ini penulis tak luput mendapat banyak
bantuan, bimbingan dan saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini dengan penuh ketulusan dan kerendahan hati penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ibu Dra. Guswita, Apt, M.Si., selaku Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit
serta selaku pembimbing I, atas bimbingan dan pengarahan selama pelaksanaan
Praktek Kerja Profesi Apoteker.
2. Ibu Santi Purna Sari S.Si., M.Si., Apt. selaku pembimbing II yang telah
menyediakan waktu dan tenaga untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan
laporan ini.
3. Bapak dr. Sonar Soni Panigoro, Sp.B.Onk, M.Epid. selaku Direktur Utama
Rumah Sakit Kanker Dharmais;
4. Bapak Dr. Hayun, M.Si., Apt. selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas
Farmasi Universitas Indonesia.
5. Bapak Dr. Mahdi Jufri, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Indonesia.
6. Keluarga penulis atas dukungan, perhatian, dan doa yang diberikan kepada
penulis dalam melaksanakan kegiatan di Program Profesi Apoteker di Fakultas
Farmasi Universitas Indonesia.
v
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
7. Seluruh staf Fakultas Farmasi Universitas Indonesia dan seluruh karyawan
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Kanker Dharmais yang telah membantu selama
pelaksanaan PKPA;
8. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah
memberikan dukungan dalam penyusunan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat
banyak kekurangan, namun diharapkan laporan ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.
Depok, Juli 2014
Penulis
vi
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini :
Nama
NPM
Fakultas
Jenis Karya
: Meidi Utami Puteri
: 1306343832
: Farmasi
: Laporan kerja praktek profesi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Jl. S.
Parman Kav. 84-86 Jakarta Periode 1 April – 30 Mei 2014
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
Pada tanggal
: Depok
: 04 Juli 2014
Yang menyatakan
(Meidi Utami Puteri)
vii
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
ABSTRAK
Nama
NPM
Program Studi
Judul
: Meidi Utami Puteri, S. Farm.
: 1306433832
: Profesi Apoteker
: Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit
Kanker “Dharmais” Jl. S. Parman Kav. 84-86 Jakarta
Periode 1 April – 30 Mei 2014
Seiring dengan perkembangan zaman, orientasi praktik kefarmasian telah
mengalami perubahan yang awalnya berorientasi pada produk menjadi
berorientasi pada pasien. Apoteker sebagai tenaga profesi di rumah sakit memiliki
peran yang sangat penting dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di bidang
kefarmasian. Untuk dapat memberikan pelayanan kefarmasian yang baik di rumah
sakit, seorang Apoteker harus memiliki kemampuan profesional dan pengetahuan
yang memadai serta berorientasi kepada kepentingan pasien. Kemampuan
profesional apoteker tidak terbatas pada sisi teknis kefarmasian saja, tapi juga
dalam fungsi manajemen kefarmasian di rumah sakit. Oleh sebab itu, Fakultas
Farmasi Universitas Indonesia bekerjasama dengan Rumah Sakit Kanker
“Dharmais” untuk menyelenggarakan program Praktik Kerja Profesi Apoteker
pada 1 April – 30 Mei 2014. Tugas Khusus dengan judul Evaluasi Pemberian
Antibiotik Pasien Rawat Inap di Ruang Perawatan Anak periode 16 -20 mei 2014
bertujuan untuk mengetahui tingkat kerasionalan pemberian antibiotik di Ruang
Perawatan Anak Rumah Sakit Kanker “Dharmais” dan Meningkatkan
pengetahuan tentang fungsi, tugas, peran dan tanggung jawab Apoteker Farmasi
Klinik di Rumah Sakit Kanker “Dharmais.”
Kata Kunci : Antibiotik, Farmasi Klinik, Infeksi, Instalasi Farmasi, Rumah Sakit
Kanker Dharmais, Ruang Perawatan Anak
Tugas umum : xiv + 141 halaman; 8 gambar, 1 tabel, 37 lampiran
Tugas Khusus : v + 55 halaman; 3 gambar, 33 tabel, 36 lampiran
Daftar Acuan Tugas Umum : 10 (1997 – 2009)
Daftar Acuan Tugas Khusus : 19 (1996 – 2013)
viii
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
ABSTRACT
Name
NPM
Program Study
Title
: Meidi Utami Puteri
: 1306343832
: Apothecary profession
: Report of Pharmacist Internship Program at Dharmais
Cancer Hospital Jl. S. Parman Kav 84 - 86 Jakarta Period of
April - May 2014
Along with the times, the orientation of pharmacy practice has changed which was
originally product oriented turned into patient oriented. Pharmacist as professional
workers in hospitals has a very important role in implementing health care in the
field of pharmacy. To be able to give a good pharmacy services in hospitals, a
pharmacist must have professional skills, adequate knowledge, and oriented to
patient . The ability of professional pharmacists are not limited to the technical
side of pharmacy, but also in pharmacy management functions in the hospital.
Therefore, Faculty of Pharmacy, University of Indonesia coorporating with
Dharmais Cancer Hospital organized Pharmacist Internship Program in April –
Mei 2014. Specific Assignment titled Evaluation of Antibiotics Use in Pediatric
Treatment Room period of May 16th -20th 2014 aims to determine the level of
rationality antibiotic use and increase the knowledge about the functions, duties,
roles and responsibilities of the Pharmacist in Clinical Pharmacy at the Dharmais
Cancer Hospital.
Keywords
: Antibiotic, Clinical Pharmacy, Dharmais Cancer Hospital,
Infection, Pediatric, Pharmacy
General Assignment : xiv + 141 pages; 8 pictures, 1 table, 37 appendices
Specific Assignment : v + 55 pages; 3 pictures, 33 tables, 36 appendices
Bibliography of General Assignment: 10 (1997 – 2009)
Bibliography of Specific Assignment: 19 (1996 - 2013)
ix
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................. i
HALAMAN JUDUL .................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................. v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................... vii
ABSTRAK..................................................................................................... viii
ABSTRACT .................................................................................................. ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv
BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Tujuan.......... .................................................................................... 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 3
2.1 Rumah Sakit ..................................................................................... 3
2.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) .............................................. 12
2.3 Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) ..................................................... 27
2.4 Formularium Rumah Sakit ............................................................... 29
BAB 3. TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT KANKER “DHARMAIS” ............ 31
3.1 Sejarah Rumah Sakit Kanker “Dharmais”......................................... 31
3.2 Visi, Misi, Moto, Falsafah, dan Budaya Kerja Rumah Sakit Kanker
”Dharmais” ...................................................................................... 32
3.3 Maksud dan Tujuan Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ................... 33
3.4 Fungsi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ........................................ 33
3.5 Kegiatan Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ................................... 34
3.6 Struktur Organisasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ...................... 34
3.7 Sarana dan Prasarana Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ................... 35
3.8 Akreditasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” .................................... 36
BAB 4. TINJAUAN UMUM INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT
KANKER “DHARMAIS” ........................................................................ 37
4.1 Latar Belakang.................................................................................. 37
4.2 Visi, Misi, Moto, Falsafah, Tujuan, dan Fungsi ................................ 37
4.3 Struktur Organisasi ......................................................................... 39
4.4 Peran dan Kegiatan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Kanker
“Dharmais” ...................................................................................... 39
BAB 5. INSTALASI PENUNJANG : INSTALASI STERILISASI SENTRAL
DAN BINATU, BIDANG REKAM MEDIK, DAN INSTALASI
x
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
KESEHATAN LINGKUNGAN RUMAH SAKIT KANKER
“DHARMAIS .......................................................................................... 50
5.1 Instalasi Sterilisasi Sentral dan Binatu (ISSB) Rumah Sakit Kanker
“Dharmais”................... .................................................................... 50
5.2 Bagian Rekam Medis Rumah Sakit Kanker Dharmais ...................... 58
5.3 Instalasi Kesehatan Lingkungan (IKL) dan Keselamatan Kesehatan
Kerja (K3) Rumah Sakit Kanker “Dharmais” ................................... 61
BAB 6. PEMBAHASAN................... ..................................................................... 72
6.1 Manajemen Farmasi ......................................................................... 72
6.2 Produksi ........................................................................................... 87
6.3 Farmasi Klinik ................................................................................. 95
6.4. Instalasi Penunjang : Instalasi Sterilisasi Sentral dan Binatu,
Instalasi Rekam Medik, Instalasi Kesehatan Lingkungan dan K3...... 99
BAB 7. PENUTUP......................... ....... ................................................................. 101
7.1 Kesimpulan ...................................................................................... 101
7.2 Saran ................................................................................................ 101
DAFTAR ACUAN ................................................................................................ 103
xi
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
DAFTAR GAMBAR
Gambar
5.1. Alur Pelayanan Instalasi Sterilisasi Sentral (ISS) Rumah Sakit Kanker
“Dharmais” ....................................................................................................
5.2. Alur Pengolahan Limbah Padat .....................................................................
5.3. Alur Pengolahan Limbah Cair .......................................................................
6.1. Alur Pelayanan Resep Pasien Rawat Inap Tunai ............................................
6.2. Alur Pelayanan Resep Pasien JKN ................................................................
6.3. Alur Pelayanan Resep SAFARJAN ...............................................................
6.4. Alur Pelayanan Resep Satelit Obat Tradisional ..............................................
6.5. Skema Pencampuran Obat Injeksi di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” .........
xii
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
53
65
71
79
80
81
83
93
DAFTAR TABEL
Tabel
2.1 Matriks VEN-ABC ............................................................................................
xiii
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
19
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
Struktur Organisasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais”......................
Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Kanker
“Dharmais” ......................................................................................
Struktur Organisasi ISSB .................................................................
Autoclave .........................................................................................
Contoh Indikator Kimia ...................................................................
Contoh Indikator Biologi .................................................................
Alur Peminjaman Status Rawat Jalan ...............................................
Alur Peminjaman Status Rawat Inap ................................................
Alur Pengembalian Status Rawat Jalan ............................................
Alur Pengembalian Status Rawat Inap .............................................
Alur Pasien Baru di RSKD ..............................................................
Alur Pasien Lama atau yang Pernah Datang ke RSKD .....................
Insinerator .......................................................................................
Formulir Permintaan Obat Baru .......................................................
Material Request (MR) ....................................................................
Surat Pesanan Barang ......................................................................
Blanko Surat Pesanan Narkotika ......................................................
Blanko Surat Pesanan Psikotropika ..................................................
Berita Acara Penerimaan (BAP).......................................................
Dokumentasi Pengukuran Suhu dan Kelembapan.............................
Kartu Stok Obat ...............................................................................
Etiket Obat.......................................................................................
Lembar Mutasi Barang ....................................................................
Resep di RSKD ................................................................................
Formulir Bon Permintaan Barang.....................................................
Kartu Indeks (Kardeks) ....................................................................
Plastik Obat .....................................................................................
Formulir Pemantauan Obat dan Alkes Emergency ............................
Formulir Pelayanan Pencampuran IV Admixture ..............................
Form Pencampuran Obat Kanker .....................................................
Formulir Pengkajian Resep ..............................................................
Formulir Rekonsiliasi Obat ..............................................................
Formulir Pemantauan Obat ..............................................................
Formulir Catatan Pemberian Antibiotik ............................................
Formulir Monitoring Efek Samping Obat .........................................
Formulir Pelayanan Informasi Obat .................................................
Formulir Konseling Pasien ...............................................................
xiv
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
135
136
137
138
140
141
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak untuk hidup sehat merupakan hak setiap rakyat, baik secara fisik,
mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara sosial dan ekonomis.. Setiap orang mempunyai hak yang sama
dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan termasuk
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Oleh karena itu,
diperlukan
pembangunan
berkesinambungan.
kesehatan
Pembangunan
secara
kesehatan
terpadu,
diarahkan
terintegrasi
untuk
dan
mencapai
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Pelayanan kesehatan merupakan upaya yang diselenggarakan oleh
pemerintah atau swasta, dalam bentuk pelayanan kesehatan perorangan atau
pelayanan kesehatan masyarakat. Rumah sakit merupakan salah satu unit
pelaksana pelayanan kesehatan yang berfungsi untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan dengan pendekatan terhadap peningkatan kesehatan (promotif),
pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan
kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan.
Pelayanan kefarmasian merupakan bagian dari pelayanan kesehatan di
rumah sakit. Seiring dengan perkembangan zaman, kegiatan pelayanan
kefarmasian saat ini telah mengalami perubahan yang awalnya berorientasi pada
produk (product oriented) menjadi berorientasi pada pasien (patient oriented).
Tujuan
dari
pelayanan
kefarmasian
rumah
sakit
diharapkan
dapat
mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang
terkait dengan kesehatan. Selain itu, pelayanan farmasi juga harus dapat menjamin
tersedianya obat yang bermutu di rumah sakit, termasuk pelayanan farmasi klinik,
yang terjangkau bagi masyarakat (Kementerian Kesehatan RI, 2004).
1
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
2
Apoteker sebagai tenaga profesi di rumah sakit memiliki peran yang
sangat penting dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di bidang kefarmasian.
Untuk dapat
memberikan pelayanan kefarmasian yang baik di rumah sakit,
seorang Apoteker harus memiliki kemampuan profesional dan pengetahuan yang
memadai serta berorientasi kepada kepentingan pasien. Kemampuan profesional
apoteker tidak terbatas pada sisi teknis kefarmasian saja, mengingat fungsi
manajemen juga merupakan suatu hal yang penting diperhatikan. Peran apoteker
dalam pelayanan kesehatan penting terutama untuk menjaga keamanan pasien
dalam pengobatan. Kegiatan yang dilakukan oleh apoteker harus sesuai dengan
peraturan dan standar yang diberlakukan.
Berdasarkan hal tersebut,untuk melengkapi teori dan meningkatkan tingkat
kepahaman calon apoteker selama masa perkuliahan, Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia bekerjasama dengan Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
(RSKD) menyelenggarakan program Praktik Kerja Profesi Apoteker pada periode
1 April – 30 Mei 2014. Diharapkan melalui pengamatan secara langsung terhadap
kegiatan yang dilakukan di rumah sakit khususnya di bagian instalasi farmasi,
calon apoteker menjadi lebih siap untuk terjun langsung ke dunia profesi apoteker
di rumah sakit.
1.1 Tujuan
Tujuan pelaksanaan Praktik Kerja Profesi Apoteker di RSKD adalah
sebagai berikut :
1.
Memahami tugas pokok dan fungsi Instalasi Farmasi RSKD.
2.
Memahami peran dan tanggung jawab Apoteker di Instalasi Farmasi RSKD.
3.
Mengetahui kegiatan yang dilakukan di Instalasi/Unit Penunjang di RSKD.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumah Sakit
2.1.1 Definisi Rumah Sakit
Definisi rumah sakit menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit adalah suatu institusi pelayanan kesehatan
yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan
paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi peningkatan kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan
pemulihan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu serta
berkesinambungan. Rumah sakit juga dapat didefinisikan secara umum sebagai
suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan alat ilmiah khusus dan
rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam
menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya terikat
bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan
kesehatan yang baik (Siregar dan Amalia, 2004). Rumah sakit diselenggarakan
berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan
profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi,
pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial
(Presiden Republik Indonesia, 2009b).
2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Dalam melaksanakan tugasnya, rumah sakit mempunyai berbagai fungsi
yaitu menyediakan, dan menyelenggarakan pelayanan medik, pelayanan
penunjang medik, pelayanan dan asuhan keperawatan, pelayanan rujukan,
pelayanan rehabilitatif serta pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan.
Selain itu rumah sakit berfungsi sebagai tempat pelatihan, pendidikan, penelitian,
pengembangan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan serta administrasi umum
dan keuangan (Siregar dan Amalia, 2004). Secara lebih ringkas fungsi rumah sakit
yaitu :
3
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
4
a.
Pelayanan pasien
Pelayanan pasien yang langsung di rumah sakit terdiri atas pelayanan medis,
pelayanan farmasi dan pelayanan keperawatan. Di samping itu untuk
mendukung pelayanan medis, rumah sakit juga mengadakan pelayanan
berbagai jenis laboratorium. Pelayanan pasien terbagi menjadi dua yaitu
pelayanan pasien rawat inap dan rawat jalan. Pelayanan pasien rawat jalan,
dewasa ini semakin penting sebagai fungsi dan tanggungjawab rumah sakit
kepada komunitas karena pelayanan ini bersifat pencegahan penyakit yang
lebih parah dan juga untuk peningkatan kesehatan. Pelayanan pasien
melibatkan pemeriksaan dan diagnosis, pengobatan kesakitan atau luka,
pengobatan pencegahan, rehabilitasi, perawatan, pemulihan, dan pelayanan
tertentu lainnya (Siregar dan Amalia, 2004).
b.
Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan sebagai suatu fungsi rumah sakit terdiri atas dua bentuk utama
yaitu :
1) Pendidikan dan pelatihan profesi kesehatan
Program pendidikan rumah sakit mencakup program formal (kedokteran
dan perawat); program “in-service training” untuk personal profesional,
seperti residen dan program “on the job training” untuk personal non
profesional. Program itu penting karena memberikan pengalaman
pembelajaran praktek yang perlu dalam penyelamatan hidup manusia
(Siregar dan Amalia, 2004).
2) Pendidikan dan pelatihan pasien.
Pendidikan dan pelatihan pasien merupakan suatu fungsi Rumah sakit
yang penting dalam suatu lingkup yang jarang disadari oleh masyarakat.
Pendidikan tentang obat sangat penting diberikan kepada pasien, untuk
meningkatkan
kepatuhan,
mencegah
penyalahgunaan
obat,
dan
meningkatkan hasil terapi yang optimal dengan penggunaan obat yang
sesuai dan tepat (Siregar dan Amalia, 2004).
c.
Penelitian
Rumah sakit melakukan penelitian sebagai suatu fungsi vital untuk dua
maksud utama, yaitu memajukan pengetahuan medik tentang penyakit dan
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
5
peningkatan atau perbaikan pelayanan rumah sakit. Kedua maksud tersebut
ditujukan pada tujuan dasar dari pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi
penderita. Contoh kegiatan penelitian dalam rumah sakit mencakup
merencanakan prosedur diagnosis yang baru, melakukan percobaan
laboratorium dan klinik, pengembangan dan menyempurnakan prosedur
pembedahan baru, mengevaluasi obat investigasi, dan penelitian formulasi
obat yang baru (Siregar dan Amalia, 2004).
d.
Kesehatan Masyarakat
Tujuan utama dari fungsi rumah sakit yang keempat ialah membantu
komunitas
dalam
mengurangi
timbulnya
kesakitan
(illness)
dan
meningkatkan kesehatan umum penduduk. Contoh kegiatan kesehatan
masyarakat adalah hubungan kerja yang erat dari rumah sakit yang
mempunyai bagian kesehatan masyarakat untuk penyakit menular, partisipasi
dalam program deteksi penyakit, seperti tuberkulosis (TBC), diabetes,
hipertensi dan kanker, partisipasi dalam program inokulasi masyarakat seperti
terhadap influenza dan poliomielitis, serta partisipasi bagian layanan
ambulatori dalam pendidikan praktik kesehatan rutin yang lebih baik, dan
lain-lain. Apoteker rumah sakit mempunyai peluang memberikan kontribusi
pada fungsi ini dengan mengadakan brosur informasi kesehatan, pelayanan
pada penderita rawat jalan dan dengan memberi konseling tentang
penggunaan obat yang aman dan tindakan pencegahan keracunan (Siregar
dan Amalia, 2004).
e.
Pelayanan Rujukan Upaya Kesehatan
Pelayanan rujukan merupakan suatu upaya penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggungjawab timbal balik atas
kasus atau masalah yang timbul, baik secara vertikal maupun horizontal
kepada pihak yang mempunyai fasilitas yang lebih lengkap dan mempunyai
kemampuan lebih tinggi (Siregar dan Amalia, 2004).
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit, rumah sakit memiliki tugas memberikan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang meliputi promotif, preventif, kuratif,
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
6
dan rehabilitatif. Untuk menjalankan tugas tersebut, maka rumah sakit memiliki
fungsi:
a.
Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan Standar Pelayanan Rumah Sakit.
b.
Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna, tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
c.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
d.
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
2.1.3 Jenis dan Klasifikasi Rumah Sakit
Tujuan pengklasifikasikan rumah sakit agar dapat mengadakan evaluasi
yang lebih tepat untuk penggolongan rumah sakit. Ada beberapa jenis
pengklasifikasi rumah sakit, yaitu:
Menurut Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, rumah
sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya. Berdasarkan
jenis pelayanannya, rumah sakit dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Rumah Sakit Umum
Rumah Sakit Umum adalah rumah sakit memberikan pelayanan kesehatan
pada semua bidang dan jenis penyakit.
b.
Rumah Sakit Khusus
Rumah Sakit Khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama
pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu,
golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.
Berdasarkan pengelolaannya, rumah sakit dibagi menjadi dua yaitu:
a. Rumah Sakit Publik
Rumah Sakit Publik dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah Sakit Publik yang dikelola
Pemerintah dan Pemerintah Daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan
Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Rumah Sakit Publik yang dikelola
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
7
Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak dapat dialihkan menjadi Rumah
Sakit Privat.
b. Rumah Sakit Privat
Rumah Sakit Privat dapat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit y
yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.
Rumah sakit dapat ditetapkan menjadi Rumah Sakit Pendidikan setelah
memenuhi persyaratan dan standar rumah sakit pendidikan. Rumah Sakit
Pendidikan ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan Menteri yang
membidangi urusan pendidikan. Rumah Sakit pendidikan merupakan Rumah
Sakit yang menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam
bidang pendidikan profesi kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan
pendidikan tenaga kesehatan lainnya.
Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang
dan fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan
berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit. Klasifikasi Rumah
Sakit Umum (RSU) berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
340/MENKES/PER/2010, terdiri atas:
a.
RSU kelas A adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5
(lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain dan 13 (tiga
belas) subspesialis, meliputi Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat
Darurat, Pelayanan Medik Spesialis lain, Pelayanan Medik Spesialis Gigi
Mulut, Pelayanan Medik Subspesialis, Pelayanan
Keperawatan dan
Kebidanan, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, dan Pelayanan Penunjang
Non Klinik. Jumlah tempat tidur minimal 400 (empat ratus) buah.
b.
RSU kelas B adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4
(empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2 (dua)
subspesialis dasar, meliputi : Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat
Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang
Medik, Pelayanan Medik Spesialis lain, Pelayanan Medik Spesialis Gigi
Mulut,
Pelayanan Medik Subspesialis,
Pelayanan keperawatan dan
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
8
Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan, Penunjang Non
Klinik. Jumlah tempat tidur minimal 200 (dua ratus) buah.
c.
RSU kelas C adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan Pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar dan 4
(empat) spesialis penunjang medik, meliputi Pelayanan Medik Umum
Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan
Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan,
Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan, Penunjang Non Klinik. Jumlah
tempat tidur minimal 100 (seratus) buah.
d.
RSU kelas D adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar, meliputi
Pelayanan Spesialis Dasar sekurang-kurangnya 2 (dua) dari 4 (empat) jenis
pelayanan spesialis dasar meliputi Pelayanan penyakit Dalam, Kesehatan
Anak, Bedah, Obstetri dan Ginekologi. Jumlah tempat tidur minimal 50 (lima
puluh) buah.
Rumah Sakit Khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
utama pada satu bidang jenis penyakit tertentu, berdasarkan disiplin ilmu,
golongan umur, organ atau jenis penyakit. Jenis Rumah Sakit Khusus antara lain
Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak, Jantung, Kanker, Orthopedi, Paru, Jiwa,
Kusta, Mata, Ketergantungan Obat, Stroke, Penyakit Infeksi, Bersalin,Gigi dan
Mulut, Rehabilitasi Medik, Telinga Hidung Tenggorokan, Bedah, Ginjal, Kulit
dan Kelamin. Rumah sakit khusus diklasifikasikan menjadi tiga yakni:
a.
Rumah Sakit Khusus Kelas A
Rumah Sakit Khusus kelas A adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan
pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap.
b.
Rumah Sakit Khusus Kelas B
Rumah Sakit Khusus kelas B adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan
pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang terbatas.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
9
c.
Rumah Sakit Khusus Kelas C
Rumah Sakit Khusus kelas C adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan
pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang minimal.
Rumah sakit berdasarkan status akreditasi terdiri atas rumah sakit yang
telah diakreditasi dan rumah sakit yang belum diakreditasi. Rumah sakit yang
telah diakreditasi adalah rumah sakit yang telah diakui secara formal oleh suatu
badan sertifikasi yang diakui, yang menyatakan bahwa suatu rumah sakit telah
memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan tertentu (Siregar dan Amalia.,
2004). Standar pelayanan rumah sakit terdiri dari 16 kelompok kerja (POKJA)
yaitu:
1) Administrasi dan Manajemen
2) Pelayanan Medis
3) Pelayanan Gawat Darurat
4) Pelayanan Keperawatan
5) Rekam Medik
6) Pelayanan Farmasi
7) Keselamatan Kerja, Kebakaran, dan Kewaspadaan Bencana
8) Pelayanan Radiologi
9) Pelayanan Laboratorium
10) Kamar Operasi
11) Pelayanan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (DALIN)
12) Pelayanan Perinatal Resiko Tinggi
13) Pelayanan Rehabilitasi Medik
14) Pelayanan Gizi
15) Pelayanan Intensif
16) Pelayanan Darah
Penilaian tahap I meliputi point 1-5, tahap II meliputi point 1-2 dan tahap
III meliputi point 1-16. Setiap pelayanan dari POKJA tersebut memuat sebagian
atau seluruh standar yaitu:
Standar 1. Falsafah dan tujuan
Standar 2. Administrasi dan pengelolaan
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
10
Standar 3. Staf dan pimpinan
Standar 4. Fasilitas dan peralatan
Standar 5. Kebijakan dan prosedur
Standar 6. Pengembangan staf dan program pendidikan
Standar 7. Evaluasi dan pengembangan mutu
Tahap awal akreditasi rumah sakit adalah penilaian lima standar pelayanan
pertama. Jika kelima POKJA tersebut sudah dinyatakan lulus, tiga tahun
kemudian dilanjutkan hingga standar pelayanan kedua belas dan diteruskan
penilaiannya hingga standar pelayanan keenam belas.
Penilaian rumah sakit tersebut dilakukan Instrument Self Assesment yang
disusun oleh Departemen Kesehatan yang dapat dilaksanakan secara intern oleh
rumah sakit yang bersangkutan dan oleh badan yang dibentuk Kementerian
Kesehatan RI yang disebut KARS (Komite Akreditasi Rumah Sakit) (Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, 1999).
Dalam suatu penilaian ada 4 hasil
keputusan akreditasi yaitu:
a.
Tidak terakreditasi
Rumah sakit tidak mendapat status akreditasi jika belum mampu memenuhi
standar yang ditetapkan, ada satu atau lebih kegiatan pelayanan yang
memperoleh skor kurang dari 65%. atau perolehan rata-rata dari semua
kegiatan pelayanan yang dinilai hanya mencapai 65% atau kurang.
b.
Akreditasi bersyarat
Rumah sakit telah memenuhi syarat minimal, tetapi belum cukup karena ada
beberapa pelayanan dengan rekomondasi khusus (skor minimal 65% dan
setiap bidang tidak mempunyai nilai kurang dari 60%). Diberikan waktu 1
tahun untuk perbaikan.
c.
Akreditasi penuh
Rumah sakit telah dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh komisi
akreditasi rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya. Total skor minimal
adalah 75% dan dari masing-masing bidang pelayanan skor tidak ada yang
kurang dari 60%. Berlaku untuk 3 tahun rumah sakit yang bersangkutan,
dapat mengajukan permohonan untuk akreditasi pada periode berikutnya
yaitu 3 bulan sebelum masa berlakunya status masa akreditasi berakhir.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
11
d.
Akreditasi istimewa
Rumah sakit lulus akreditasi 3 periode berturut-turut akan memperoleh status
akreditasi untuk 5 tahun ke depan (Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
1999).
Akan tetapi, mulai tahun 2012 akan diberlakukan sistem akreditasi yang
baru yaitu sistem akreditasi KARS 2012. Dengan adanya sistem akreditasi KARS
2012 akan merubah paradigma. Awalnya tujuan rumah sakit melakukan akreditasi
hanya semata-mata untuk kelulusan, tetapi sekarang juga menekankan pada
pelayanan berfokus pada pasien serta kesinambungan pelayanan dan menjadikan
keselamatan pasien sebagai standar utama. Hasil survei penilaian atau kelulusan
untuk sistem akreditasi KARS 2012 ini berupa level pencapaian yang merupakan
upaya pencapaian RS terhadap penilaian yang ditentukan. Level tersebut adalah
dasar, madya, utama, dan pencapaian tertinggi adalah paripurna. Sistem ini
berlaku pada Juli 2012 sesuai dengan. Tingkat penilaian kelulusan akreditasi
antara lain:
1.
Sasaran Keselamatan Pasien Rumah Sakit
2.
Hak Pasien dan Keluarga (HPK)
3.
Pendidikan Pasien dan Keluarga (PPK)
4.
Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP)
5.
Millenium Development Goal’s (MDG’s)
6.
Akses Pelayanan dan Kontinuitas pelayanan (APK)
7.
Asesmen Pasien (AP)
8.
Pelayanan Pasien (PP)
9.
Pelayanan Anastesi dan Bedah (PAB)
10. Manajemen Penggunaan Obat (MPO)
11. Manajemen Komunikasi dan Informasi (MKI)
12. Kualifikasi dan Pendidikan Staf (KPS)
13. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
14. Tata Kelola, Kepemimpinan dan Pengarahan (TKP)
15. Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK)
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
12
2.1.4 Struktur Organisasi
Struktur organisasi rumah sakit umumnya terdiri atas badan pengurus
yayasan, dewan pembina, dewan penyantun, badan penasehat dan badan
penyelenggara. Badan Penyelenggara terdiri atas direktur, wakil direktur, komite
medik, satuan pengawas dan berbagai bagian dari instalasi. Sebuah rumah sakit
bisa memiliki lebih dari seorang wakil direktur, tergantung pada besarnya rumah
sakit. Wakil direktur pada umumnya terdiri atas wakil direktur pelayanan medik,
wakil direktur penunjang medik dan keperawatan, serta wakil direktur keuangan
dan administrasi. Staf Medik Fungsional (SMF) berada di bawah koordinasi
komite medik. SMF terdiri atas dokter umum, dokter gigi dan dokter spesialis dari
semua disiplin yang ada di suatu rumah sakit. Komite medik adalah wadah non
struktural yang keanggotaannya terdiri atas ketua-ketua SMF (Siregar dan Amalia,
2004).
2.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)
2.2.1 Definisi IFRS
IFRS
merupakan suatu unit
atau fasilitas
rumah sakit
tempat
diselenggarakannya semua kegiatan kefarmasian untuk keperluan rumah sakit
tersebut dan bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan
kefarmasian, yang terdiri atas:
1. Pelayanan paripurna yang mencakup perencanaan; pengadaan; produksi;
penyimpanan
perbekalan
kesehatan/sediaan
farmasi;
dispensing
obat
berdasarkan resep bagi penderita rawat tinggal dan rawat jalan; pengendalian
mutu; serta pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh perbekalan
kesehatan di rumah sakit.
2. Pelayanan farmasi klinik umum dan spesialis, mencakup pelayanan langsung
pada pasien dan pelayanan klinik yang merupakan program rumah sakit secara
keseluruhan.
IFRS dipimpin oleh seorang apoteker dengan dibantu oleh beberapa orang
apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang- undangan yang
berlaku dan kompeten secara profesional (Siregar & Amalia, 2004).
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
13
2.2.2 Tujuan IFRS
IFRS harus mempunyai sasaran jangka panjang yang merupakan arah dari
kegiatan harian yang dilakukan, yakni berupa visi-misi, sasaran, dan tujuan.
Adapun tujuan kegiatan IFRS antara lain (Siregar dan Amalia, 2004):
1. Memberi manfaat pada penderita, rumah sakit, sejawat profesi kesehatan dan
kepada profesi farmasi oleh apoteker rumah sakit yang kompeten dan
memenuhi syarat,
2. Membantu dalam penyediaan perbekalan yang memadai oleh apoteker rumah
sakit yang memenuhi syarat,
3. Menjamin praktek profesional yang bermutu tinggi melalui penetapan dan
pemeliharaan standar etika profesional, pendidikan dan pencapaian, dan
melalui peningkatan kesejahteraan ekonomi,
4. Meningkatkan penelitian dalam praktek farmasi rumah sakit dan dalam ilmu
farmasetik pada umumnya,
5. Menyebarkan pengetahuan farmasi dengan mengadakan pertukaran informasi
antara apoteker rumah sakit, anggota profesi dan spesialis yang serumpun,
6. Memperluas dan memperkuat kemampuan apoteker rumah sakit untuk:
a. Secara efektif mengelola suatu pelayanan farmasi yang terorganisasi,
b. Mengembangkan dan memberikan pelayanan klinik,
c. Melakukan dan berpartisipasi dalam penelitian klinik dan farmasi dan
dalam program edukasi untuk praktisi kesehatan, penderita, mahasiswa
dan masyarakat.
7. Meningkatkan pengetahuan dan pengertian praktik farmasi rumah sakit
kontemporer bagi masyarakat, pemerintah, industri farmasi dan profesional
kesehatan lainnya
8. Membantu menyediakan personal pendukung yang bermutu untuk IFRS
9. Membantu dalam pengembangan dan kemajuan profesi kefarmasian.
2.2.3 Tugas dan Tanggung Jawab IFRS
Tugas utama IFRS adalah pengelolaan perbekalan farmasi, yang meliputi
perencanaan,
pengadaan,
penyimpanan,
penyiapan,
peracikan,
pelayanan
langsung kepada pasien, sampai dengan pengendalian semua perbekalan
kesehatan yang beredar dan digunakan dalam rumah sakit. Jadi, IFRS merupakan
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
14
satu-satunya unit di rumah sakit yang bertugas dan bertanggung jawab
sepenuhnya
pada
pengelolaan
semua
aspek
yang
berkaitan
dengan
obat/perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan di rumah sakit tersebut.
Selain itu, IFRS harus menyediakan terapi obat yang optimal bagi semua
penderita dan menjamin pelayanan bermutu tertinggi dan yang paling bermanfaat
dengan biaya minimal. IFRS juga bertanggung jawab untuk mengembangkan
pelayanan farmasi yang luas dan terkoordinasi dengan baik dan tepat untuk
kepentingan pelayanan pasien yang lebih baik (Siregar dan Amalia, 2004).
2.2.4. Fungsi Dasar IFRS (Siregar & Amalia, 2004)
Fungsi dasar secara umum dari berbagai bagian (departemen) yang
terdapat di rumah sakit, termasuk IFRS adalah:
1.
Memberikan dan mengevaluasi pelayanan dalam mendukung pelayanan
medis yang mengikuti dan sesuai dengan tujuan dan kebijakan rumah sakit.
2.
Menerapkan dalam pelayanan departemental, filosofi, tujuan, kebijakan, dan
standar dari rumah sakit.
3.
Mengadakan dan menerapkan suatu rencana kewenangan administrasi
departemen yang secara jelas menetapkan tanggung jawab dan tugas untuk
tiap kategori personel.
4.
Berpartisipasi dalam mengkoordinasikan berbagai fungsi departemen dengan
berbagai fungsi dari semua departemen dari berbagai pelayanan lain di rumah
sakit.
5.
Menilai persyaratan bagi departemen dan membuat rekomendasi serta
menerapkan kebijakan dan prosedur untuk memelihara staf yang cukup dan
kompeten.
6.
Menyediakan cara dan metode yang personelnya dapat bekerja dengan
kelompok lain dalam mengartikan tujuan rumah dan departemen untuk
pasien dan komunitas.
7.
Mengembangkan dan memelihara suatu sistem yang efektif dari rekaman dan
laporan klinik dan atau administratif.
8.
Menilai kebutuhan fasilitas perbekalan dan peralatan, serta menerapkan suatu
sistem untuk evaluasi, pengendalian, dan pemeliharaan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
15
9.
Berpartisipasi dalam dan taat pada rencana pengoperasian keuangan untuk
rumah sakit.
10. Memprakarsai, menggunakan dan atau berpartisipasi dalam proyek studi atau
penelitian yang ditujukan untuk peningkatan pelayanan pasien dan
peningkatan pelayanan administratif dan pelayanan rumah sakit lainnya.
11. Mengadakan dan menerapkan suatu program pendidikan berkelanjutan bagi
semua personel.
12. Berpartisipasi dalam dan atau memberikan kemudahan kepada semua program
pendidikan termasuk pengalaman praktik mahasiswa dalam departemen.
13. Berpartisipasi dalam dan taat pada program keselamatan atau keamanan
rumah sakit.
2.2.5. Ruang Lingkup Fungsi IFRS
2.2.5.1 Fungsi Klinik
Fungsi klinik adalah fungsi yang secara langsung dilakukan sebagai
bagian terpadu dari perawatan pasien atau memerlukan interaksi dengan
professional kesehatan lain yang secara langsung terlibat dalam pelayanan pasien.
Berdasarkan SK Menkes No.1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit, kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi
pengkajian resep, dispensing, pemantauan dan pelaporan efek samping obat,
pelayanan informasi obat, konseling, pemeriksaan kadar obat dalam darah,
ronde/visite pasien, pengkajian penggunaan obat. Farmasi klinik ini memerlukan
pengumpulan data dan interpretasi data penderita serta keterlibatan penderita dan
interaksi langsung antarprofesional.
Fungsi farmasi klinik yang berkaitan secara langsung dengan penderita
yaitu fungsi dalam proses penggunaan obat, mencakup wawancara sejarah
penggunaan obat pasien, diskusi dengan dokter dan perawat mengenai pemilihan
regimen obat pada pasien tertentu, interpretasi resep/order obat; pembuatan Profil
Pengobatan Penderita (P3); pemantauan efek obat pada pasien; edukasi pasien;
konseling dengan pasien yang akan pulang; pelayanan farmakokinetika klinik;
pelayanan pencampuran sediaan intravena; dan pelayanan pencampuran nutrisi
parenteral. Sesuai dengan karakteristik dan defenisi pelayanan farmasi klinik ada
tiga komponen utama yang mendasari peranan klinik dalam pelayanan farmasi di
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
16
rumah sakit yaitu komunikasi, konseling dan konsultasi. Menurut Siregar (2004),
pada prinsipnya aktivitas farmasi klinik meliputi:
1. Pemantauan pengobatan. Hal ini dilakukan dengan menganalisis terapi,
memberikan
masukan kepada
praktisi
kesehatan
tentang
kebenaran
pengobatan, dan memberikan pelayanan kefarmasian pada pasien secara
langsung.,
2. Seleksi obat. Aktivitas ini dilakukan dengan bekerja sama dengan dokter dan
pemegang kebijakan di bidang obat dalam penyusunan formularium obat atau
daftar obat yang digunakan,
3. Pemberian informasi obat. Farmasis bertanggug jawab mencari informasi dan
melakukan evaluasi literatur ilmiah secara kritis, dan kemudian mengatur
pelayanan informasi obat untuk praktisi pelayanan kesehatan dan pasien,
4. Penyiapan dan peracikan obat. Farmasis bertugas menyiapkan dan meracik
obat sesuai dengan standar dan kebutuhan pasien,
5. Penelitian dan studi penggunaan obat. Kegiatan farmasi klinik antara lain
meliputi studi penggunaan obat, farmakoepidemiologi, farmakovigilansi, dan
farmakoekonomi,
6. Therapeutic drug monitoring (TDM). Farmasi klinik bertugas menjalankan
pemantauan kadar obat dalam darah pada pasien dan melihat profil
farmakokinetik untuk optimasi regimen dosis obat,
7. Uji klinik. Farmasis juga terlibat dalam perencanaan dan evaluasi obat, serta
berpartisipasi dalam uji klinik,
8. Pendidikan dan pelatihan, terkait dengan pelayanan kefarmasian.
2.2.5.2 Fungsi Non-Klinik
Fungsi non klinik biasanya tidak secara langsung dilakukan sebagai bagian
dari pelayanan pasien, seringkali merupakan tanggung jawab apoteker rumah
sakit, serta tidak memerlukan interaksi dengan profesional kesehatan lain,
meskipun semua pelayanan farmasi harus disetujui oleh staf medik melalui Panitia
Farmasi dan Terapi (PFT). Lingkup fungsi farmasi non klinik meliputi
perencanaan; penetapan spesifikasi produk dan pemasok; pengadaan; pembelian;
produksi; penyimpanan; pengemasan dan pengemasan kembali; distribusi; dan
pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan di rumah
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
17
sakit secara keseluruhan. Fungsi non klinik juga meliputi pengelolaan perbekalan
farmasi diantaranya (Quick, 1997):
1) Pemilihan
Merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang
terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis,
menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial,
standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. Penentuan
pemilihan obat merupakan peran aktif apoteker dalam Panitia Farmasi dan
Terapi untuk menetapkan kualitas dan efektifitas, serta jaminan purna
transaksi pembelian.
2) Perencanaan
Merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga
perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk
menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar dasar perencanaan yang telah ditentukan
antara lain metode konsumsi dan metode epidemiologi atau dapat pula dengan
mengkombinasikan kedua metode konsumsi dan epidemiologi untuk
mempertajam analisis perencanaan yang kemudian akan disesuaikan dengan
anggaran yang tersedia. Pedoman perencanaan berdasarkan dari acuan buku–
buku seperti Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), Formularium Rumah
Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit, ketentuan setempat yang berlaku yang
terdiri dari data catatan medik, anggaran yang tersedia, penetapan prioritas,
siklus penyakit, sisa persediaan, data pemakaian periode yang lalu dan rencana
pengembangan. Untuk dapat melakukan perencanaan perbekalan farmasi yang
baik maka diperlukan suatu metode perencanaan. Ada dua metode
perencanaan yang biasa digunakan, yaitu:
a. Metode konsumsi, dibuat berdasarkan data konsumsi periode sebelumnya,
b. Metode epidemiologi, dibuat berdasarkan pola penyakit di rumah sakit
periode sebelumnya maupun pola penyakit di sekitar rumah sakit yang
diperkirakan akan terjadi.
Setelah dilakukan perhitungan perencanaan kebutuhan perbekalan farmasi
akan diperoleh jenis dan jumlah obat serta perbekalan kesehatan yang harus
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
18
diadakan oleh IFRS. Kemudian hasil tersebut idealnya diikuti dengan evaluasi
untuk menentukan tingkat persediaan yang efisien, memberikan perhatian
pada jenis persediaan tertentu, dan memanfaatkan modal kerja (working
capital) sebaik-baiknya. Terdapat dua metode analisis mekanisme evaluasi
perhitungan perencanaan, yaitu:
a. Analisis ABC
Alokasi anggaran dapat didominasi hanya oleh sebagian kecil atau
beberapa jenis perbekalan farmasi saja. Suatu jenis perbekalan farmasi
dapat memakan anggaran besar karena penggunaannya banyak, atau
harganya mahal. Dengan analisis ABC, jenis-jenis perbekalan farmasi ini
dapat diidentifikasi, untuk kemudian dilakukan evaluasi lebih lanjut.
Kriteria kelas dalam klasifikasi ABC adalah:
-
Kelas A: persediaan yang memiliki volume rupiah yang tinggi. Kelas
ini mewakili sekitar 75-80% dari total nilai penjualan, meskipun
jumlahnya hanya sekitar 10-20% dari seluruh item. Memiliki dampak
biaya yang tinggi. Pengendalian khusus dilakukan secara intensif.
-
Kelas B: persediaan yang memiliki volume rupiah yang menengah.
Kelas ini mewakili sekitar 10-20% dari total nilai persediaan,
meskipun jumlahnya hanya sekitar 15-20% dari seluruh item.
Pengendalian khusus dilakukan secara moderat.
-
Kelas C: persediaan yang memiliki volume rupiah yang rendah. Kelas
ini mewakili sekitar 60-8 % dari total nilai persediaan, tapi mewakili 510% dari total penjualan. Pengendalian khusus dilakukan secara
sederhana.
b. Analisis VEN
Analisis VEN adalah suatu cara untuk mengelompokkan obat berdasarkan
kepada dampak tiap jenis obat pada kesehatan. Semua jenis obat dalam
daftar obat dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok yaitu:
-
V (Vital)
Kelompok obat yang berpotensi untuk menyelamatkan kehidupan (life
saving drugs). Merupakan obat yang dapat mengatasi penyakit
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
19
penyebab kematian terbesar dan obat-obatan untuk pelayanan
kesehatan dasar. Contoh: obat diabetes dan hipertensi.
-
E (Esensial)
Kelompok obat yang efektif untuk menyembuhkan penyakit yang
kurang parah atau secara signifikan dapat mengurangi penderitaan
pasien, tetapi kelompok obat ini tidak benar-benar penting digunakan
untuk pelayanan kesehatan dasar. Contoh: obat-obat fast-moving.
-
N (Non esensial)
Kelompok obat yang digunakan untuk penyakit ringan yang dapat
sembuh sendiri (self limiting disease), perbekalan farmasi yang
diragukan manfaatnya, perbekalan farmasi yang mahal namun tidak
mempunyai kelebihan manfaat dibanding perbekalan farmasi lainnya.
Contoh obat yang termasuk jenis obat Non-essensial adalah vitamin,
suplemen dan lain-lain.
Pada praktiknya, dengan tujuan untuk mempertajam analisis maka dapat juga
digunakan metode kombinasi Analisis ABC-VEN. Metode kombinasi ini
digunakan untuk melakukan prioritas pengadaan obat sesuai dengan alokasi
anggaran yang tersedia. Gabungan analisis ABC dan VEN dapat dituangkan
melalui matriks ABC-VEN. Matriks ini dapat dijadikan dasar dalam
menetapkan prioritas untuk menyesuaikan anggaran atau perhatian dalam
pengelolaan persediaan. Semua obat vital dan esensial dalam kelompok A, B,
dan C hendaknya disediakan, tetapi kuantitasnya disesuaikan dengan
kebutuhan. Untuk obat nonesensial dalam kelompok A tidak diprioritaskan,
sedangkan kelompok B dan C pengadaannya disesuaikan dengan kebutuhan.
Tabel 2.1 Matriks VEN – ABC
Kategori
A
B
C
V
VA
VB
VC
E
EA
EB
EC
N
NA
NB
NC
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
20
3) Pengadaan
Merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan
dan disetujui, melalui pembelian yang dilakukan secara tender (oleh Panitia
Pembelian
Barang
Farmasi)
pabrik/distributor/pedagang
besar
dan
secara
farmasi/rekanan;
langsung
dari
produksi/pembuatan
sediaan farmasi yang terdiri dari produksi steril dan non steril serta pengadaan
melalui sumbangan/droping/hibah. Metode untuk melakukan pengadaan yaitu:
a. Open tender (tender terbuka), merupakan sistem terbuka bagi produsen
dan distributor obat dan alat kesehatan untuk mengajukan penawaran,
dengan persyaratan dan kriteria yang ditetapkan pihak rumah sakit, tender
diumumkan di media massa.
b. Restricted tender (tender tertutup), merupakan sistem tender bagi produsen
dan distributor tertentu yang telah memenuhi persyaratan dan kriteria yang
ditetapkan, lebih menghemat biaya dan waktu.
c. Negotiated procurement (sistem kontrak), merupakan sistem pengadaan
dengan menyusun perjanjian kontrak jual beli antara rumah sakit dan
pemasok. Biasanya untuk barang-barang yang sulit didapatkan dan harus
tersedia di rumah sakit dan pihak supplier dapat menjamin ketersediaan
barang tersebut.
d. Direct procurement (pemesanan langsung), merupakan sistem pengadaan
dengan membeli langsung barang yang dibutuhkan oleh rumah sakit
kepada pemasok, biasanya untuk mengurangi resiko kerusakan barang
selama penyimpanan dan untuk obat-obat yang harganya mahal, yang
penggunaannya belum jelas.
4) Penerimaan
Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan
sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung, tender,
konsinyasi atau sumbangan. Pedoman dalam penerimaan perbekalan farmasi
pabrik harus mempunyai Sertifikat Analisa, barang harus bersumber dari
distributor utama, harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS),
khusus untuk alat kesehatan/kedokteran harus mempunyai certificate of
origin, dan expired date minimal 2 tahun.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
21
5) Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menempatkan perbekalan farmasi yang
diterima pada tempat yang dinilai aman dan memenuhi syarat. Penyediaan
perbekalan farmasi harus disimpan oleh tenaga yang kompeten, terdidik,
terlatih dan mempunyai izin untuk menangani yaitu apoteker. Tujuan dari
penyimpanan perbekalan farmasi:
a. Memelihara mutu obat
b. Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab
c. Menjaga kelangsungan persediaan
d. Memudahkan pencarian dan pengawasan
e. Memudahkan pengawasan persediaan (stok), kerusakan dan kadaluarsa
f. Menjamin keamanan dari pencurian dan kebakaran
g. Menjamin pelayanan yang cepat dan cepat
Syarat penyimpanan :
a. Accesibility: mudah diakses
b. Utilities: memiliki sumber listrik, air, AC dan sebagainya.
c. Communicatio: memiliki alat komunikasi (misalkan: telepon)
d. Drainage: berada di lingkungan yang baik denga sistem pengairan yang
baik
e. Size: harus cukup menampung barang yang ada
f. Security: aman dari pencurian, penyalahgunaan dan hewan pengganggu.
Sistem penyimpanan perbekalan farmasi yang ada:
a. Berdasarkan bentuk sediaan, dipisahkan antara sediaan padat (misal:
tablet) dan cair (misal: syrup) dan alat kesehatan,
b. Alphabetis, penyimpanan berdasarkan huruf depan dari nama obat dan
disusun dari huruf A sampai Z,
c. Berdasarkan kelas terapi atau farmakoterapi, menyangkut tentang indikasi
obat yang disimpan misalnya antibiotik, antidiabetes, antihipertensi, obat
batuk,
d. Berdasarkan suhu, dibagi berdasarkan suhu kamar, sejuk, kering dan suhu
< 0o C misalnya suppositoria, injeksi, vaksin,
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
22
e. Obat-obat yang mudah terbakar, seperti eter, anastetik lokal, gas medic
(misalnya: CO2, nitrogen dan oksigen), dan obat sitostatik disimpan
ditempat tersendiri,
f. Obat narkotika dan obat keras tertentu disimpan tersendiri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan,
g. Sistem FIFO dan FEFO atau kombinasi keduanya untuk menghindari
terjadinya stok yang kadaluarsa.
6) Pendistribusian
Merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit
untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan
rawat jalan serta untuk menunjang pelayanan medis. Sistem distribusi
dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan
mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada, metode
sentralisasi atau desentralisasi, sistem floor stock, resep individu, dispensing
dosis unit atau kombinasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 pendistribusian perbekalan farmasi dibagi
menjadi tiga yaitu:
a. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Inap
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi
kebutuhan pasien rawat inap di rumah sakit, yang diselenggarakan secara
sentralisasi dan atau desentralisasi dengan sistem persediaan lengkap di
ruangan, sistem resep perorangan, sistem unit dosis dan sistem kombinasi
oleh Satelit Farmasi.
b. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Jalan
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi
kebutuhan pasien rawat jalan di rumah sakit, yang diselenggarakan secara
sentralisasi dan atau desentralisasi dengan sistem resep perorangan oleh
Apotek Rumah Sakit.
c. Pendistribusian Perbekalan Farmasi di luar Jam Kerja
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi
kebutuhan pasien di luar jam kerja yang diselenggarakan oleh apotek
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
23
rumah sakit/satelit farmasi yang dibuka 24 jam dan ruang rawat yang
menyediakan perbekalan farmasi emergensi.
Secara umum ada empat sistem distribusi obat di rumah sakit, yaitu (Siregar
dan Amalia, 2004):
a. Sistem Distribusi Obat Resep Individual (Individual Prescription)
Sistem distribusi obat resep individual sentralisasi adalah tatanan kegiatan
penghantaran sediaan obat oleh IFRS sentral sesuai dengan yang ditulis
pada order atau resep atas nama Pasien Rawat Tinggal (PRT) tertentu
melalui perawat ke ruang penderita tersebut. Semua obat yang diperlukan
untuk pengobatan di-dispensing dari IFRS. Resep oleh perawat di kirim ke
IFRS, kemudian resep itu di proses sesuai dengan cara dispensing yang
baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada pasien.
b. Sistem Distribusi Obat Persediaan Lengkap di Ruang (Floor Stock)
Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang adalah tatanan kegiatan
penghantaran sediaan obat sesuai dengan yang ditulis dokter pada order
obat, yang disiapkan dari persediaan di ruang oleh perawat dan dengan
mengambil dosis/unit obat dari wadah persediaan yang langsung diberikan
kepada penderita di ruang itu. Dalam sistem ini semua persediaan obat di
ruang di suplai oleh IFRS. Biasanya sekali seminggu personel IFRS
memeriksa persediaan obat di ruang, lalu menambah obat, yang
persediaannya sudah sampai tanda batas pengisian kembali.
c. Sistem Distribusi Obat Kombinasi Resep Individual dan Persediaan di
Ruang
Sistem kombinasi biasanya diadakan untuk mengurangi beban kerja IFRS.
Obat yang disediakan di ruangan adalah obat yang diperlukan oleh banyak
penderita, setiap hari diperlukan, dan biasanya adalah obat yang harganya
relatif murah, mencakup obat resep atau obat bebas.
d. Sistem Distribusi Obat Dosis Unit (Unit Dose Dispensing)
Sistem ini adalah metode dispensing dan pengendalian obat yang
dikoordinasikan IFRS dalam rumah sakit. Sistem dosis unit dapat berbeda
dalam bentuk, tergantung kepada kebutuhan khusus rumah sakit. Akan
tetapi, unsur khusus berikut adalah dasar dari semua sistem dosis unit,
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
24
yaitu: obat dikemas dalam kemasan unit tunggal, di-dispensing dalam
bentuk siap konsumsi, dan untuk kebanyakan obat tidak lebih dari 24 jam
persediaan dosis, dihantarkan ke atau tersedia pada ruang perawatan
penderita pada setiap waktu.
7) Pengendalian Persediaan
Pengendalian persediaan obat dan perbekalan kesehatan di rumah sakit
sepenuhnya merupakan tanggung jawab IFRS. Pengendalian persediaan obat
dan perbekalan kesehatan yang efektif dan efisien memiliki pengaruh besar
terhadap keberlangsungan kegiatan opersional di rumah sakit. Pengendalian
persediaan sangat penting dalam pelayanan pasien di rumah sakit, di mana
suatu rumah sakit harus mempunyai stok persediaan obat dan perbekalan
kesehatan yang benar dan tepat sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan
yang diberikan kepada pasien. Beberapa parameter – parameter Pengendalian
Persediaan, yaitu:
a. Konsumsi rata-rata
Konsumsi rata-rata sering disebut juga permintaan (demand). Konsumsi
rata-rata merupakan jumlah barang yang dipakai (dibeli) dalam satu waktu
tertentu Perkiraan konsumsi rata-rata/ permintaan untuk pemesanan
selanjutnya merupakan variabel kunci yang menentukan berapa banyak
stok barang yang harus dipesan. Walaupun banyaknya permintaan
mendatang dapat diprediksi dengan akurat, namun barang yang stockout
tetap dapat terjadi apabila salah memperkirakan lead time dari barang
tersebut.
b. Lead Time
Lead time merupakan rentang waktu yang dibutuhan mulai dari
pemesanan sampai dengan penerimaan barang di gudang dari supplier
tertentu. Setiap supplier akan memiliki lead time yang berbeda-beda,
sehingga harus juga diperhatikan rata-rata lead time untuk masing-masing
supplier berdasarkan performance supplier sebelumnya. Yang perlu diukur
dalam Lead time adalah jumlah produk yang disediakan. Lead time dapat
diukur dengan:
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
25
LT = Konsumsi rata-rata x Waktu tunggu
c. Safety Stock
Safety stock merupakan obat persediaan yang dicadangkan sebagai
pengaman untuk memenuhi kebutuhan pasien untuk mencegah terjadinya
stockout. Safety stock ini menjadi sangat penting ketika lead time maupun
jumlah permintaan tidak dapat diprediksi atau nilainya berubah-ubah,
seperti dalam kasus keterlambatan barang pesanan atau terjadi perubahan
jumlah permintaan karena terjadi suatu wabah penyakit tertentu. Untuk
barang-barang yang fast moving, safety stock biasanya dihitung dari 20%
dari jumlah konsumsi rata-rata, sedangkan untuk barang-barang slow
moving, nilai safety stock diperoleh dari 10% dari konsumsi rata-rata.
d. EOQ (Economic Order Quantity)
EOQ adalah suatu perhitungan untuk menentukan jumlah pesanan
persediaan yang dapat meminimalkan biaya pemesanan dan biaya
penyimpanan. EOQ dapat dihitung dengan rumus :
EOQ =
2𝑆𝐷
𝐻
Keterangan :
D = permintaan dalam periode waktu tertentu (unit/tahun)
S = biaya pemesanan setiap kali pesan (Rp/pesan)
H = biaya penyimpanan per unit barang per tahun (Rp/unit.tahun)
e. Re Order Point (ROP / Titik pemesanan)
Merupakan suatu titik dimana harus diadakan pemesanan kembali
sedemikian rupa sehingga kedatangan atau penerimaan barang yang
dipesan adalah tepat waktu. Reorder point ini dapat dihitung apabila lead
time dan permintaan atau rata-rata konsumsi diketahui dan konstan.
ROP = (LT x d) + SS
Keterangan :
ROP = Reoder point
LT = Lead Time
d = demand (konsumsi rata-rata)
SS = Safety Stock
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
26
2.2.5.3 Fungsi Produksi
Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit,
produksi merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk, dan pengemasan
kembali sediaan farmasi steril atau nonsteril untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Kriteria obat yang diproduksi:
1. Sediaan farmasi dengan formula khusus
2. Sediaan farmasi dengan harga murah
3. Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil
4. Sediaan farmasi yang tidak tersedia di pasaran
5. Sediaan farmasi untuk penelitian
6. Sediaan nutrisi parenteral
7. Rekonstruksi sediaan obat kanker
2.2.5 Struktur Organisasi IFRS
Struktur organisasi dasar dari IFRS adalah pengadaan, pelayanan, dan
pengembangan. Struktur organisasi dasar ini juga disebut pilar kerja karena dalam
struktur organisasi dasar itu berkumpul berbagai kegiatan atau pekerjaan. Suatu
struktur organisasi dapat dikembangkan dalam tiga tingkat, yaitu tingkat puncak,
tingkat menengah, dan garis depan. Manajer tingkat puncak bertanggung jawab
dalam hal perencanaan, penerapan, dan menjalankan fungsi yang efektif dari
sistem mutu secara menyeluruh. Manajer tingkat menengah, kebanyakan kepala
bagian atau unit fungsional memiliki tanggung jawab membuat desain dan
menerapkan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan mutu dalam bidang
fungsional mereka, untuk mencapai mutu produk dan/atau pelayanan yang
diinginkan. Sedangkan, manajer garis depan terdiri atas personel pengawas yang
secara langsung memantau dan mengendalikan kegiatan yang berkaitan dengan
mutu dalam berbagai tahap saat pembuatan produk atau menjalankan pelayanan.
Setiap perseorangan dari IFRS harus mengetahui lingkup, tanggung jawab,
kewenangan fungsi, dan dampak mereka pada suatu produk dan/atau pelayanan.
Setiap personel dalam IFRS harus merasa bertanggung jawab untuk mencapai
suatu mutu produk dan/atau pelayanan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
27
2.3 Panitia Farmasi dan Terapi (PFT)
Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) adalah organisasi yang berada di bawah
komite medik rumah sakit yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf
medis dengan staf IFRS, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili
spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi
Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya. Mengacu pada Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No.1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, tujuan dibentuknya PFT adalah untuk :
1.
Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan obat
serta evaluasinya.
2.
Melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru
yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan
kebutuhan.
Susunan kepanitian PFT serta kegiatan yang dilakukan bagi tiap rumah
sakit dapat bervariasi sesuai dengan kondisi rumah sakit setempat (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2004) :
1.
Panitia Farmasi dan Terapi harus sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga)
dokter, apoteker, dan perawat untuk rumah sakit yang besar tenaga dokter
bisa lebih dari 3 (tiga) orang yang mewakili semua staf medis fungsional
yang ada.
2.
Ketua PFT dipilih dari dokter yang ada di dalam kepanitiaan dan jika rumah
sakit tersebut mempunyai ahli farmakologi klinik, maka sebagai ketua adalah
Farmakologi, sekretarisnya adalah apoteker dari instalasi farmasi atau
apoteker yang ditunjuk.
3.
PFT harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali
dan untuk rumah sakit besar rapatnya diadakan sebulan sekali. Rapat PFT
dapat mengundang pakar-pakar dari dalam maupun dari luar rumah sakit
yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan PFT.
4.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan rapat PFT diatur oleh sekretaris,
termasuk persiapan dari hasil-hasil rapat.
5.
Membina hubungan kerja dengan panitia di dalam rumah sakit yang
sasarannya berhubungan dengan penggunaan obat.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
28
Fungsi serta Ruang Lingkup Panitia Farmasi dan Terapi (Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, 2004) :
1.
Mengembangkan formularium di rumah sakit dan merevisinya. Pemilihan
obat untuk dimasukan dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi
secara subjektif terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga
harus meminimalkan duplikasi dalam tipe obat, kelompok dan produk obat
yang sama.
2.
PFT harus mengevaluasi untuk menyetujui atau menolak produk obat baru
atau dosis obat yang diusulkan oleh anggota staf medis.
3.
Menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit dan yang
termasuk dalam kategori khusus.
4.
Membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap
kebijakan-kebijakan dan peraturan peraturan mengenai penggunaan obat di
rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional.
5.
Melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan
mengkaji medical record dibandingkan dengan standar diagnosa dan terapi.
Tinjauan ini dimaksudkan untuk meningkatkan secara terus menerus
penggunaan obat secara rasional.
6.
Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat.
7.
Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf medis
dan perawat.
Kewajiban PFT adalah (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004):
1.
Memberikan rekomendasi pada pimpinan rumah sakit untuk mencapai
budaya pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional.
2.
Mengkoordinir pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, formularium rumah
sakit, pedoman penggunaan antibiotika dan lain-lain.
3.
Melaksanakan pendidikan dalam bidang pengelolaan dan penggunaan obat
terhadap pihak-pihak yang terkait.
4.
Melaksanakan pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat dan memberikan
umpan balik atas hasil pengkajian tersebut.
Peran apoteker dalam panitia ini sangat strategis dan penting karena semua
kebijakan dan peraturan dalam mengelola dan menggunakan obat di seluruh unit
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
29
di rumah sakit ditentukan dalam panitia ini. Agar dapat mengemban tugasnya
secara baik dan benar, para apoteker harus secara mendasar dan mendalam
dibekali dengan ilmu-ilmu farmakologi, farmakologi klinik, farmakoepidemologi,
dan farmakoekonomi disamping ilmu-ilmu lain yang sangat dibutuhkan untuk
memperlancar hubungan profesionalnya dengan para petugas kesehatan lain di
rumah sakit. Peran dan tugas Apoteker dalam PFT, antara lain (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2004) :
1.
Menjadi salah seorang anggota panitia (Wakil Ketua/Sekretaris).
2.
Menetapkan jadwal pertemuan.
3.
Mengajukan acara yang akan dibahas dalam pertemuan.
4.
Menyiapkan dan memberikan semua informasi yang dibutuhkan untuk
pembahasan dalam pertemuan.
5.
Mencatat semua hasil keputusan dalam pertemuan dan melaporkan pada
pimpinan rumah sakit.
6.
Menyebarluaskan keputusan yang sudah disetujui oleh pimpinan kepada
seluruh pihak yang terkait.
7.
Melaksanakan keputusan-keputusan yang sudah disepakati dalam pertemuan.
8.
Menunjang pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, pedoman penggunaan
antibiotika dan pedoman penggunaan obat dalam kelas terapi lain.
9.
Membuat formularium rumah sakit berdasarkan hasil kesepakatan PFT.
10. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan.
11. Melaksanakan pengkajian dan penggunaan obat.
12. Melaksanakan umpan balik hasil pengkajian pengelolaan dan penggunaan
obat pada pihak terkait.
2.4 Formularium Rumah Sakit
Formularium adalah himpunan obat yang diterima/disetujui oleh PFT
untuk digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi pada setiap batas waktu yang
ditentukan. Komposisi formularium diantaranya halaman judul, daftar nama
anggota PFT, daftar isi, informasi mengenai kebijakan dan prosedur di bidang
obat, produk obat yang diterima untuk digunakan, serta lampiran (Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, 2004). Sistem yang dipakai adalah suatu sistem
dimana prosesnya tetap berjalan terus, dalam arti kata bahwa sementara
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
30
formularium itu digunakan oleh staf medis, di lain pihak PFT mengadakan
evaluasi dan menentukan pilihan terhadap produk obat yang ada di pasaran,
dengan lebih mempertimbangkan kesejahteraan pasien. Pedoman penggunaan
yang digunakan akan memberikan petunjuk kepada dokter, apoteker perawat serta
petugas administrasi di rumah sakit dalam menerapkan sistem formularium,
meliputi:
1. Membuat kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin ilmu dengan
PFT dalam menentukan kerangka mengenai tujuan, organisasi, fungsi dan
ruang lingkup. Staf medis harus mendukung Sistem Formularium yang
diusulkan oleh PFT.
2. Staf medis harus dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan kebutuhan
tiap-tiap institusi.
3. Staf medis harus menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur yang ditulis
oleh PFT untuk menguasai sistem Formularium yang dikembangkan oleh
PFT.
4. Nama obat yang tercantum dalam Formularium adalah nama generik.
5. Membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di Instalasi
Farmasi.
6. Membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat generik yang efek
terapinya sama, seperti:
a.
Apoteker bertanggung jawab untuk menentukan jenis obat generik yang
sama untuk disalurkan kepada dokter sesuai produk asli yang diminta
b.
Dokter yang mempunyai pilihan terhadap obat paten tertentu harus
didasarkan pada pertimbangan farmakologi dan terapi
c.
Apoteker bertanggung jawab terhadap kualitas, kuantitas, dan sumber
obat dari sediaan kimia, biologi dan sediaan farmasi yang digunakan oleh
dokter untuk mendiagnosa dan mengobati pasien (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2004).
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
BAB 3
TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT KANKER “DHARMAIS”
3.1 Sejarah Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
Kebutuhan layanan kanker yang terpadu di Indonesia sudah lama
dirasakan oleh para pakar penyakit kanker, termasuk para staf pengajar di Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Cita-cita untuk mendirikan sebuah rumah sakit
kanker yang mampu memberikan layanan secara holistik dan terpadu telah lama
dipendam. Kesempatan tersebut terbuka pada tahun 1988 ketika ketua Yayasan
Dharmais, Bapak H. M. Soeharto, meminta Dr. dr. A. Harryanto Reksodiputro
untuk memikirkan model rumah sakit kanker yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat Indonesia. Dr. dr. A. Harryanto Reksodiputro segera menghubungi
para pakar FKUI dan meminta nasihat Departemen Kesehatan serta Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Maka, terbentuklah tim pembuatan
usulan pendirian rumah sakit kanker pada bulan Oktober 1988. Usulan tersebut
diselesaikan pada Desember 1988 kemudian diserahkan kepada ketua Yayasan
Dharmais pada 9 Januari 1989.
Rumah Sakit Kanker “Dharmais” (RSKD) merupakan rumah sakit yang
didirikan atas gagasan mantan Presiden Republik Indonesia Soeharto selaku Ketua
Yayasan Dharmais yang merasa prihatin karena jumlah penderita kanker yang
semakin meningkat dan menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di
Indonesia. Pengelolaan pasien kanker memerlukan alat-alat, fasilitas, dan obat
yang mahal. Pasien yang mampu cenderung memilih berobat ke luar negeri karena
pelayanan di sana dirasa lebih lengkap dan nyaman. Hal ini mendorong yayasan
mendirikan suatu rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan lengkap,
terpadu, nyaman, serta dapat dinikmati pasien yang mampu dan kurang mampu.
Pembangunan rumah sakit dimulai Mei 1991 pada bidang tanah seluas
63.540 hektar dan selesai 5 Juli 1993. Pada 30 Oktober 1993, RSKD diresmikan
oleh Bapak Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada masa itu, di
bawah Departemen Kesehatan. Namun, secara operasional dikelola oleh Yayasan
Dharmais.
31
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
32
Krisis multidimensional akibat biaya operasional dan biaya perawatan
yang meningkat pada awal tahun 1998 membuat RSKD diserahkan kepada
Departemen Kesehatan secara utuh. RSKD diberikan otonomi khusus pada tahun
2000 dari pemerintah yaitu perubahan status secara resmi dan berlaku menjadi
Perusahaan Jawatan (Perjan) sejak Februari 2002, berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 128 Tahun 2000. Oleh karena itu, RSKD bisa mandiri dan rumah
sakit diperbolehkan membuka fasilitas yang dapat memberikan profit kepada
rumah sakit.
Adanya pergantian pemerintahan pada tahun 2005, menyebabkan semua
rumah sakit yang berbentuk Perjan kembali ke unit masing-masing dan berstatus
Badan Layanan Umum (BLU). BLU adalah instansi yang dibentuk dengan tujuan
memberikan pelayanan kepada masyarakat, berupa penyedia barang dan atau jasa
yang dijual dengan mengesampingkan mencari keuntungan atau dengan
menekankan pelayanan yang dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi dan
produktifitas. Strategi ini diharapkan mampu merubah RSKD menjadi mandiri,
menyejahterakan karyawan, dan siap berkompetisi dengan rumah sakit lain.
3.2 Visi, Misi, Moto, Falsafah, dan Budaya Kerja Rumah Sakit Kanker
”Dharmais”
3.2.1 Visi
Visi RSKD adalah menjadi rumah sakit dan pusat kanker nasional yang
merupakan panutan dalam penanggulangan kanker di Indonesia.
3.2.2 Misi
Misi RSKD adalah melaksanakan pelayanan, pendidikan dan penelitian
yang bermutu tinggi di bidang penanggulangan kanker.
3.2.3 Motto
Motto RSKD ” yaitu tampil lebih baik, ramah dan profesional.
3.2.4 Falsafah dan Budaya Kerja
Falsafah yang dimiliki RSKD berbunyi rasa kebersamaan menyertai
kegiatan terpadu demi mewujudkan pelayanan terhadap kesehatan. Budaya kerja
yang ada di RSKD yaitu melakukan pelayanan, pendidikan, dan penelitian yang
bermutu tinggi di bidang kanker melalui aktualisasi SMILE !& C. Adapun yang
dimaksud dengan SMILE !& C adalah:
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
33
S : Senyum dan selalu siap melayani
M : Mengutamakan mutu pelayanan, pencegahan pencemaran dan pengendalian
dampak lingkungan, pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja,
untuk kepentingan dan keselamatan pengunjung, pasien dan karyawan.
I : Ihklas dalam melaksanakan tugas
L : Loyal pada pimpinan dan berdedikasi dalam tugas serta taat pada peraturan
perundangan yang berlaku.
E : Excellent dalam pelayanan, pendidikan dan pelatihan serta disiplin
administrasi yang tertib dan efisien.
! : Merupakan simbol optimis yang berarti mempunyai sikap selalu
menghadapi segala tantangan dan hambatan dalam tugas.
C : Continually Improvement, senantiasa melakukan perbaikan mutu pelayanan,
lingkungan, dan keselamatan kesehatan kerja (K3) secaraberkesinambungan
3.3 Maksud dan Tujuan Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
Maksud dan Tujuan RSKD adalah:
1.
Meningkatkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan
kanker menuju pelayanan prima.
2.
Meningkatkan manajemen rumah sakit.
3.
Meningkatkan mutu profesionalisme.
4.
Meningkatkan penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, penelitian, dan
pengembangan.
5.
Meningkatkan jangkauan pelayanan.
6.
Meningkatkan kesejahteraan karyawan.
3.4 Fungsi Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
Untuk dapat mencapai maksud dan tujuan di atas, RSKD memiliki fungsi
sebagai berikut:
1. Melaksanakan upaya peningkatan pelayanan kesehatan.
2. Melaksanakan upaya pencegahan terjadinya penyakit kanker.
3. Melaksanakan upaya penyembuhan terhadap pasien kanker.
4. Melaksanakan upaya rehabilitasi terhadap pasien kanker.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
34
5. Melaksanakan asuhan dan pelayanan keperawatan.
6. Melaksanakan rujukan kesehatan.
7. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan.
8. Melaksanakan penelitian dan penyebarluasan hasil penelitian.
9. Melaksanakan administrasi umum dan keuangan.
3.5 Kegiatan Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
Untuk
melaksanakan fungsi-fungsinya
RSKD
menyelenggarakan
kegiatan:
1. Pelayanan kesehatan paripurna kepada masyarakat baik dalam bentuk
pelayanan promotif, preventif, kuratif, paliatif, dan rehabilitatif secara
paripurna.
2. Pengembangan pelayanan, pendidikan dan penelitian di bidang onkologi yang
meliputi molekuler, medik, bedah, radiasi, diagnostik serta pelayanan
penunjangnya.
3. Pendidikan, pelatihan, penelitian dan usaha lain dalam bidang kesehatan.
4. Pengelolaan administrasi umum dan keuangan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3.6. Struktur Organisasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
Struktur organisasi RSKD dapat dilihat pada Lampiran 1. RSKD dpimpin
oleh seorang dokter sebagai direktur utama yang diawasi oleh dewan pengawas.
Direktur utama mebawahi empat direktur, yaitu:
1. Direktur Medik dan Keperawatan
Direktur ini membawahi bidang medik, keperawatan, dan rekam medik.
Fungsi dari direktur ini adalah mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan
pelayanan medis di rumah sakit.
2. Direktur SDM dan Pendidikan
Direktur ini membawahi bagian sumber daya manusia, bagian pendidikan dan
pelatihan, dan bagian penelitian dan pengembangan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
35
3. Direktur Keuangan
Direktur ini membawahi bagian keuangan, yang meliputi penyusunan
anggaran, mobilisasi dana, akutansi, dan verifikasi.
4. Direktur Umum dan Operasional
Direktur ini mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan tata usaha, sistem
informasi manajemen, dan pelayanan pelanggan.
3.7 Sarana dan Prasarana Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
RSKD memiliki tiga blok bangunan yang terdiri dari bangunan rumah
sakit, bangunan penelitian dan pengembangan serta asrama, dan bangunan
penunjang. Bangunan rumah sakit digunakan untuk melakukan pelayanan kepada
pasien. Bangunan ini meliputi :
1. Lantai dasar (Basement). Terdiri dari Instalasi Radiodiagnostik, Instalasi
Radioterapi, Bagian Rekam Medik, Instalasi Sterilisasi Sentral dan Binatu,
Pusat Komputer, Unit Deteksi Dini Kanker.
2. Lantai 1. Terdiri dari Pintu utama lobby, Registrasi dan Informasi, Layanan
Pelanggan Instalasi Patologi Klinik, Instalasi Patologi Anatomi dan Kamar
Jenazah, Satelit Farmasi Rawat Jalan, Instalasi Gawat Darurat, Instalasi Rawat
Jalan (termasuk Unit Diagnostik Terpadu, Unit Prosedur Diagnostik dan
Endoskopi, Unit Rawat Singkat), Instalasi Gizi, Bank Mandiri dan Bank
Rakyat Indonesia.
3. Lantai 2. Terdiri dari Poliklinik Rawat Jalan Kanker (Poliklinik Onkologi),
Instalasi Rehabilitasi Medik, Instalasi Farmasi, Instalasi Bank Darah, Kafetaria
umum, Ruang Serbaguna dan Minimarket, Satelit Farmasi Rawat Inap, Satelit
Obat Tradisional, dan Unit Penerimaan Barang.
4. Lantai 3. Terdiri dari Instalasi Bedah Pusat, Instalasi Rawat Intensif, Ruang
Handling Cytotoxic Unit dan Intravena (IV) admixture, Health Care Unit
(HCU), Intensive Care Unit (ICU), Ruang Direksi, Badan Pelaksana Harian
Dewan Penyantun, Ruang Administrasi dan Sekretariat.
5. Lantai 4. Terdiri dari Ruang Rawat Inap Kelas II, dan Ruang Rawat Anak.
6. Lantai 5. Terdiri dari Ruang Isolasi Imunitas Menurun (RIIM), Ruang Isolasi
Radioaktif (RIRA) dan Ruang Rawat Inap Kelas III.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
36
7. Lantai 6 dan 7. Terdiri dari ruang rawat inap kelas VIP dan VVIP.
8. Lantai 8. Terdiri dari ruang inap Kelas I.
Ruang perawatan pasien dibagi menjadi ruang perawatan kelas I (Ruang
mawar), II (Ruang Melati), III (Ruang Cempaka dan Anyelir), VIP, VVIP, ruang
ICU, RIIM, dan RIRA. RIIM merupakan ruangan yang digunakan untuk pasien
yang imunitas tubuhnya menurun atau mengalami penurunan jumlah leukosit
karena efek kemoterapi, agar tidak mudah terinfeksi. Ruangan ini dilengkapi
dengan sistem total protected environment atau sistem yang secara total menjaga
lingkungan terhadap mikroorganisme penyebab infeksi, baik yang berasal dari
tubuh pasien (endogen) maupun yang berasal dari lingkungan luar (eksogen),
yakni dokter, perawat, alat-alat, udara, dan sebagainya. RIRA merupakan ruangan
yang digunakan untuk pasien yang mendapatkan terapi dengan bahan radioaktif.
Bangunan Penelitian dan Pengembangan Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
meliputi:
1. Lantai 1: Gedung Auditorium, Instalasi Administrasi Pasien Jaminan.
2. Lantai 2 dan 3: Bagian Penelitian dan Pengembangan, Instalasi Layanan
Pengadaan.
3. Lantai 4: Ruang Perawatan Jamkesmas (Ruang Teratai).
4. Lantai 5: Bagian Pendidikan dan Pelatihan, Perpustakaan, Instalasi Kesehatan
Lingkungan dan Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
5. Lantai 6: Bagian Keuangan & Sumber Daya Manusia (SDM).
3.8 Akreditasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
RSKD merupakan rumah sakit khusus milik pemerintah dengan tipe A.
Akreditasi RSKD masih mengikuti sistem akreditasi KARS 2007. RSKD juga
telah mendapat sertifikasi dalam penerapan OHSAS 18001 : 2007, ISO 9000 :
2008, dan ISO 14001 : 2004 untuk seluruh pelayanan yang ada di rumah sakit.
Sehingga sebanyak 16 pelayanan memperoleh akreditasi penuh tingkat lanjut
tahun 2009 untuk yang kedua kalinya. Saat ini Rumah Sakit Kanker ”Dharmais”
sedang mempersiapkan untuk akreditasi KARS 2012 di bulan September 2014.
Selanjutnya direncanakan pada tahun 2015, RSKD akan menjalani akreditasi
internasional yaitu JCI.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
BAB 4
TINJAUAN UMUM INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT
KANKER “DHARMAIS”
4.1 Latar Belakang
Instalasi Farmasi RSKD merupakan unit pelayanan fungsional yang
bertanggung jawab kepada Direktur Medik dan Keperawatan. Tugas utama
instalasi Farmasi RSKD adalah melaksanakan seluruh pekerjaan kefarmasian di
rumah sakit yang berorientasi kepada pasien dan dipimpin oleh seorang apoteker
yang profesional. Kontribusi Instalasi Farmasi RSKD terhadap pelayanan kepada
pasien sangat besar karena sebagian besar tindakan medik di rumah sakit
memerlukan perbekalan kefarmasian. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang ada
di RSKD meliputi pengelolaan perbekalan farmasi mulai dari proses perencanaan
dan pemilihan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan hingga pendistribusian,
penghapusan, pengendalian dan penggunaan perbekalan farmasi yang diikuti
dengan pemberian pelayanan informasi dan monitoring terapi obat.
4.2. Visi, Misi, Falsafah, Tujuan, dan Fungsi
4.2.1. Visi
Visi dari Instalasi Farmasi RSKD menjadi Instalasi Farmasi panutan di
bidang kanker bagi Farmasi Rumah Sakit di Indonesia.
4.2.2. Misi
Misi dari Instalasi Farmasi RSKD adalah sebagai berikut:
1.
Menyelenggarakan pelayanan farmasi dari aspek manajemen,aspek klinik,
dan aspek produksi.
2.
Ikut serta dalam program pendidikan, penelitian, dan pengembangan untk
menunjang pengobatan, khususnya di bidang kanker.
4.2.3. Falsafah
Pelayanan farmasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
pelayanan kesehatan secara utuh di RSKD dan berorientasi pada pelayanan pasien,
melakukan penyediaan obat yang bermutu serta terjangkau bagi semua lapisan
masyarakat.
37
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
38
4.2.4. Tujuan
Tujuan dari Farmasi RSKD sebagai berikut:
1. Memberikan pelayanan farmasi secara profesional kepada pasien sehingga
efek pengobatan tercapai.
2. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan pelayanan farmasi di RSKD
3. Meningkatkan hubungan kerja sama dengan dokter, perawat dan tenaga
kerjakesehatan lain yang terkait dalam pelayanan farmasi rumah sakit.
4. Melaksanakan kebijakan obat di RSKD dalam rangka penggunaan obat yang
rasional.
5. Mengembangkan ilmu dan profesi kefarmasian khusus kanker serta
menyebarkan kepada para Apoteker Rumah Sakit di seluruh Indonesia.
4.2.5. Fungsi
Fungsi Instalasi Farmasi Farmasi RSKD sebagai berikut:
1. Melaksanakan perencanaan pengadaan obat dan alat kesehatan untuk
pelayanan kepada pasien kanker.
2. Melaksanakan penyimpanan obat dan alat kesehatan secara aman sesuai
prinsip-prinsip pengelolaan logistik.
3. Melaksanakan pendistribusian obat dan alat kesehatan dengan mengutamakan
mutu, efesiensi, biaya, ketepan waktu, keamanan, rasionalisasi dan tanggung
jawab.
4. Melaksanakan pencampuran obat kanker untuk menunjang perkembangan
pelayanan.
5. Melaksanakan sterilisasi pencampuran obat-obat kanker.
6. Melakukan penelitian di bidang kefarmasian yang berkaitan dengan obat
kanker.
7. Melakukan pengawasan penggunaan obat kanker terhadap pasien.
8. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan.
9. Melaksanakan pelayanan informasi obat.
10. Melaksanakan pengembangan staf melalui pendidikan dan pelatihan terkait.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
39
4.3. Struktur Organisasi
Instalasi
Farmasi
RSKD
berada
dibawah
Direktur
Medik
dan
Keperawatan. Instalasi Farmasi dipimpin oleh seorang kepala instalasi farmasi,
yang dibantu oleh koordinator administrasi, kepala unit pelayanan I (satelit
farmasi), kepala unit pelayanan II (UDD), kepala unit penunjang (logistik
farmasi), dan kepala unit produksi farmasi, serta staf farmasi yang bertanggung
jawab pada setiap kegiatan pelayanan yang ada di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Kanker “Dharmais”. Struktur organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Kanker
“Dharmais” dapat dilihat pada Lampiran 2.
4.4. Peran dan Kegiatan Instalasi
Farmasi
Rumah Sakit Kanker
“Dharmais”
Peran Instalasi Farmasi RSKD adalah untuk menegakkan pelayanan
farmasi secara profesional di RSKD. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
Instalasi Farmasi RSKD, meliputi:
1. Menyelenggarakan pelayanan farmasi dalam fungsi manajemen.
2. Menyelenggarakan kegiatan produksi, baik produksi steril maupun produksi
nonsteril.
3. Menyelenggarakan pelayanan farmasi klinik.
4.4.1. Manajemen Farmasi
Manajemen farmasi merupakan suatu siklus kegiatan yang dimulai dari
proses perencanaan dan pemilihan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan hingga
pendistribusian, penghapusan, pengendalian dan penggunaan perbekalan farmasi,
hingga evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2004).
4.4.1.1. Pemilihan
Pemilihan dilakukan untuk menetapkan jumlah dan jenis sediaan farmasi
dan alat
kesehatan yang tepat sesuai dengan kebutuhan di rumah sakit agar
tercapai penggunaan obat yang rasional. Proses pemilihan perbekalan farmasi di
rumah sakit dilakukan oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) melalui penyusunan,
pengembangan, dan evaluasi formularium rumah sakit yang dilakukan secara
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
40
berkala. Penyusunan formularium di RSKD menggunakan pola 1:2:1 (1 original: 2
me too : 1 generik)
Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) RSKD dibentuk berdasarkan SK Direksi
utama RSKD No.HK.00.06/1/0021 tanggal 4 Januari 2010. PFT secara fungsional
bertugas dalam mengawasi dan membantu pengelolaan perbekalan farmasi di
instalasi farmasi. Susunan personalia PFT di RSKD berdasarkan Keputusan
Direksi RSKD No.HK.01.01/1/02234/2013, yaitu:
1.
Pengarah: Direktur Utama
2.
Ketua: Dokter spesialis medik, ketua komite medika
3.
Sekretaris: Apoteker (kepala instalasi farmasi)
4.
Seksi-seksi:
a.
Seksi pelayanan dan informasi obat
b.
Seksi pendidikan dan penelitian
Kewajiban PFT meliputi:
1.
Memberikan rekomendasi pada Pimpinan rumah sakit untuk mencapai
budaya pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional.
2.
Mengkoordinir pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, formularium rumah
sakit, pedoman penggunaan antibiotika dan lain-lain.
3.
Melaksanakan pendidikan dalam bidang pengelolaan dan penggunaan obat
terhadap pihak-pihak yang terkait.
4.
Melaksanakan pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat dan memberikan
umpan balik atas hasil pengkajian tersebut.
Tugas Khusus PFT RSKD:
1.
Seksi Pelayanan dan Informasi Obat
a.
Melaksanakan evaluasi penulisan obat dengan nama generik, kesesuaian
dengan formularium dan DOEN.
b.
Membuat pedoman penggunaan antibiotik.
c.
Menyusun daftar obat-obatan untuk gawat darurat.
d.
Menentukan standar minimal order obat.
e.
Melaksanan pelayanan informasi obat secara aktif dan pasif:
1) PKMRS
2) Buletin
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
41
3) Menjawab pertanyaan
2.
Seksi Pendidikan dan Penelitian
a.
Melaksanakan pendidikan tentang penggunaan obat secara rasional.
b.
Mengatur jadwal presentasi prinsipal.
c.
Melaksanakan pemantauan rasionalitas, efek samping, dan keamanan
obat.
d.
Melaksanakan pengkajian penggunaan obat.
e.
Melaksanakan audit tentang obat.
4.4.1.2. Perencanaan
Perencanaan dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit untuk
menentukan jumlah dan waktu pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan agar
terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu, serta efisien. Proses
dalam perencanaan meliputi pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi
yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran rumah sakit. Terdapat tiga metode
perencanaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, yakni pola penyakit, pola
konsumsi, dan kombinasi antara pola konsumsi dan penyakit. Perencanaan
perbekalan farmasi di RSKD menggunakan metode konsumsi. Perencanaan
perbekalan farmasi (obat dan alat kesehatan) di RSKD dilakukan secara
komputerisasi menggunakan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) yang
terhubung dengan unit-unit di Rumah Sakit terkait dengan kegiatan perencanaan
dan pengadaan perbekalan farmasi.
4.4.1.3. Pengadaan
Setelah
dilakukan
tahap
pemilihan
dan
perencanaan
perbekalan
kefarmasian, tahap selanjutnya adalah melakukan pengadaan. Kegiatan ini
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan perencanaan yang telah
disetujui oleh pihak rumah sakit. Pengadaan perbekalan farmasi di RSKD
dilakukan oleh Instalasi Layanan Pengadaan (ILP). Pengadaan dilakukan
berdasarkan Material Request (MR) yang diajukan oleh Instalasi Farmasi.
Pengadaan perbekalan farmasi di RSKD terdiri dari dua jenis, yaitu perbekalan
yang dapat langsung digunakan pasien dan perbekalan yang harus diproses
terlebih dahulu di bagian produksi atau pembuatan sediaan farmasi, baik produksi
steril maupun nonsteril.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
42
4.4.1.4. Penerimaan
Perbekalan farmasi yang datang dari distributor atau PBF (Pedagang Besar
Farmasi) diterima oleh Unit Penerimaan Barang (UPB). Kegiatan ini meliputi
penerimaan perbekalan farmasi yang telah diadakan oleh ILP sesuai dengan aturan
kefarmasian dan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah, mutu,
waktu penyerahan, dan harga yang tertera dalam kontrak/pesanan. Perbekalan
farmasi yang diterima kemudian diperiksa kondisi (barang dan kemasan tidak
cacat), jenis dan jumlah, waktu kadaluarsa (minimal dua tahun), dan kesesuaian
nama perbekalan farmasi yang diterima dengan yang dipesan (kesesuaian barang
dengan faktur dan juga Purchasing Order (PO) dari rumah sakit). UPB juga
memeriksa kesesuaian nomor PO yang tertera pada faktur dengan nomor PO yang
tertera pada SPB (Surat Pesanan Barang) atau pada lembar PO dari rumah sakit.
Pemeriksaan kesesuaian antara barang yang datang dengan barang yang dipesan
juga diperiksa oleh petugas koordinator bagian perbekalan farmasi ketika
pengambilan barang dari UPB ke koordinator bagian perbekalan farmasi.
4.4.1.5. Penyimpanan
Penyimpanan merupakan kegiatan menata dan memelihara dengan cara
menempatkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diterima pada tempat yang
dinilai aman dari pencurian dan gangguan fisik dan dapat merusak mutu obat.
Kegiatan penyimpanan harus dilakukan dengan baik dan sesuai dengan sifat dan
stabilitas perbekalan farmasi. Hal tersebut bertujuan agar kualitas, kuantitas, dan
keamanan perbekalan farmasi dapat terjaga, serta mempermudah pencarian barang
yang disimpan sehingga dapat terjaminnya pelayanan yang cepat dan tepat.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan penyimpanan yaitu suhu
dan kelembaban ruangan yang tepat sesuai dengan sifat dan stabilitas perbekalan
farmasi, serta keamanannya. Perbekalan farmasi yang telah diserahkan ke petugas
Bagian Perbekalan Farmasi akan disimpan dalam tempat penyimpanan, dan
disusun berdasarkan jenis, bentuk sediaan, alfabetis, serta status obat.
4.4.1.6. Pendistribusian
Pendistribusian adalah kegiatan menyalurkan/menyerahkan
farmasi
dan
sediaan
alat kesehatan dari tempat penyimpanan sampai kepada unit
pelayanan atau kepada pasien. Sistem pendistribusian obat dan alat kesehatan di
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
43
Instalasi Farmasi RSKD meliputi pendistribusian perbekalan farmasi dasar,
perbekalan farmasi individu, dan paket tindakan. Untuk pendistribusian
perbekalan farmasi individu dilakukan melalui beberapa satelit farmasi di rumah
sakit, yakni Satelit Farmasi Rawat Inap (SAFARI), Satelit Farmasi Rawat Jalan
(SAFARJAN). Untuk pendistribusian perbekalan farmasi dasar dilakukan secara
langsung ke unit-unit atau ruangan yang memerlukan, demikan pula dengan
pendistribusian paket tindakan.
4.4.1.7. Pelayanan Pasien Rawat Inap
Pelayanan obat pasien rawat inap dilakukan di depo farmasi yang berada
di tiap ruangan rawat inap di RSKD, yaitu di kelas VIP/VVIP, kelas I, kelas II,
kelas III, dan ruang anak. Tujuan dari adanya depo farmasi adalah untuk
memberikan kemudahan dalam penyiapan dan pendistribusian obat kepada pasien,
sehingga pelayanan kepada pasien dapat dilakukan dengan lebih mudah dan cepat.
Sistem distribusi obat untuk pasien rawat inap dilakukan secara Unit Dose
Dispensing (UDD) dengan menyiapkan obat untuk tiap waktu pemberian (dosis
satu kali pemberian) untuk penggunaan selama 24 jam (sesuai dosis obat dan
aturan pakai). Selain itu, juga terdapat lemari khusus untuk penyimpanan obatobat dan perbekalan kesehatan lain yang bersifat life safing (obat-obatan
emergency) dengan sistem distribusi floor stock.
4.4.1.8. Pengendalian
Pengendalian merupakan kegiatan pengawasan perbekalan farmasi untuk
mencegah terjadinya penumpukan barang atau barang berlebih, baik melalui
metode VEN, ABC, atau kombinasi keduanya. Analisis pengendalian yang
dilakukan di RSKD adalah analisis ABC. Analisis ABC dapat mengetahui jenisjenis perbekalan farmasi yang dapat diidentifikasi berdasarkan nilai nominal
dalam rupiah. Prinsip utama analisa ABC adalah dengan menempatkan jenis-jenis
perbekalan farmasi ke dalam suatu urutan, dimulai dengan jenis yang memakan
anggaran atau rupiah terbanyak. Berikut adalah kategori-kategori perbekalan
farmasi berdasarkan analisis ABC:
1. Perbekalan Farmasi kategori A menyerap anggaran sebesar 75-80%
2. Perbekalan Farmasi kategori B menyerap anggaran 10-20%
3. Perbekalan Farmasi kategori C menyerap anggaran 5-10%
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
44
4.4.1.9. Penghapusan
Penghapusan merupakan kegiatan pemusnahan terhadap perbekalan
farmasi yang tidak terpakai karena kadaluarsa, rusak, atau mutu tidak memenuhi
standar. Proses penghapusan barang yaitu barang yang sudah kadaluarsa atau
rusak diusulkan oleh bagian IFRS ke tim penghapusan untuk dimusnahkan. Tim
pemusnahan barang mengajukan izin untuk pemusnahan barang kepada
Kementerian Kesehatan. Apabila sudah disetujui, pihak Kementerian Kesehatan
akan membuat berita acara bahwa barang boleh dimusnahkan, selanjutnya
dilakukan pemusnahan yang disertai saksi dari pihak Kementerian Kesehatan dan
pihak Rumah Sakit.
Penghapusan merupakan kegiatan atau usaha pembebasan barang dari
pertanggungjawaban sesuai dengan peraturan atau undang-undang yang berlaku.
Kegiatan penghapusan di rumah sakit juga dilakukan terhadap perbekalan farmasi
yang sudah tidak digunakan lagi. Barang-barang yang dihapuskan adalah barang
yang telah kadaluwarsa dan yang rusak. Barang-barang tersebut dikumpulkan oleh
bagian farmasi untuk kemudian dilaporkan ke Panitia Penghapusan Barang.
Panitia Penghapusan Barang di rumah sakit bertugas untuk melaporkan barangbarang yang akan dihapuskan ke Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan
Direktorat Lelang. Jika laporan penghapusan barang telah disetujui, maka
dilakukan penghapusan.
4.4.2. Produksi
Produksi farmasi merupakan kegiatan membuat, mengubah bentuk,
maupun mengemas kembali sediaan farmasi yang dilaksanakan oleh Instalasi
Farmasi untuk menunjang dan memenuhi kebutuhan pasien. Produksi tersebut
meliputi produksi steril dan produksi nonsteril. Tujuan dilakukan produksi adalah:
a. Menyediakan produk yang tidak terdapat di pasaran.
b. Memproduksi sediaan penunjang untuk menegakkan proses diagnosis.
c. Memproduksi sediaan farmasi dengan harga yang lebih terjangkau untuk
pasien.
d. Mengerjakan produk yang dibutuhkan dengan segera dan memerlukan
penanganan khusus seperti rekonstitusi obat kanker dan IV admixture.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
45
4.4.2.1. Produksi Non-Steril
Produksi nonsteril dilakukan setiap hari, sesuai perencanaan yang telah
dibuat atau dapat juga sesuai dengan permintaan dari bagian perbekalan farmasi.
Pendistribusian produk non steril dilakukan oleh bagian koordinator perbekalan
farmasi. Apabila stok barang di koordinator perbekalan farmasi sudah mencapai
stok minimal, bagian koordinator perbekalan farmasi akan membuat permintaan
ke bagian produksi. Produk nonsteril yang dihasilkan di Rumah Sakit Kanker
“Dharmais”, meliputi Dharmeza powder, Dharmezin ointment, Dharwash
Mouthwash, saliva substitusi (air liur buatan), solutio poli etilen glikol (PEG)
elektrolit, boraks gliserin, larutan asam cuka, garam inggris, H2O2 3%, tetes
telinga fenol 4% (karbo gliserin), larutan NaHCO3, obat batuk OBH, handrub,
basis emulgid 5-FU krim 1%, dan indigo carmin.
4.4.2.2. Produksi Steril dan PIVAS (Pharmacy Intravenous Admixture Service)
PIVAS (Pharmacy Intravenous Admixture Service) merupakan pelayanan
Farmasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” yang bertujuan untuk :
1. Mendapatkan sediaan dengan sterilitas terjamin.
2. Mendapatkan sediaan dengan mutu terjamin (kompatibel dengan pelarut, obat
lain, material kontainer, serta stabilitas terjamin).
3. Mengurangi medication error (kesalahan dalam pemberian obat).
4. Meningkatkan efisiensi dengan mengurangi terbuangnya kelebihan obat.
5. Penghematan waktu perawat.
6. Memberi perlindungan kepada petugas dan lingkungan, khusus untuk obat atau
sediaan yang berbahaya (obat kanker).
Kegiatan produksi steril noninjeksi diantaranya pembuatan krim efudix
yang mengandung 5-FU dan titriplex. Kegiatan PIVAS meliputi pencampuran
obat injeksi nonkanker (IV admixture) dan pencampuran obat kanker (handling
cytotoxic). Obat injeksi kanker maupun obat injeksi non kanker (IV admixture)
harus terjamin sterilitas dan mutunya mulai dari produksi sampai diberikan kepada
pasien. Oleh karena itu, peralatan yang terjamin mutu dan kualitasnya serta
petugas yang terampil.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
46
4.4.3. Pelayanan Farmasi Klinik
Kegiatan yang dilakukan dalam pelayanan farmasi klinik pada dasarnya
mengatur dan memberikan informasi mengenai cara penggunaan perbekalan
farmasi yang efektif, efisien, aman, dan bertanggung jawab untuk mencapai
rasionalitas penggunaan obat dengan mengutamakan kepentingan pasien. Untuk
melaksanakan kegiatan ini apoteker harus memiliki pengetahuan (knowledge),
keahlian dan ketrampilan (skill), perilaku (attitude), serta kemampuan kerjasama
dengan profesi terkait lainnya di rumah sakit.
Adapun tujuan dari kegiatan pelayanan farmasi klinik adalah :
1. Meningkatkan mutu dan cakupan pelayanan kefarmasian.
2. Meningkatkan kerjasama dengan dokter, perawat dan profesi kesehatan terkait
lainnya.
3. Meningkatkan rasionalisasi penggunaan obat yaitu penggunaan obat yang tepat
indikasi, tepat penderita, tepat dosis regimen dan waspada terhadap efek
samping obat.
Kegiatan farmasi klinik yang diselenggarakan di Instalasi Farmasi RSKD,
meliputi:
1. Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian resep dilakukan oleh apoteker terhadap resep yang ditulis
oleh Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP). Resep yang ada dikaji ke dalam
formulir pengkajian resep. Data pasien yang dikumpulkan diantaranya nama
pasien, umur, nomor MR, dan ruang perawatan. Sedangkan, pengkajian resep
yang dilakukan dari segi administratif (nama dokter, tanggal, tanda
tangan/paraf dokter, nama pasien, ruang, dan no. MR); farmasetik (bentuk
sediaan dan aturan pemakaian); dan klinis (alergi, interaksi, dan dosis).
Kegiatan pengkajian resep bertujuan agar tercapainya pengobatan yang
rasional.
2. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat merupakan kegiatan penelusuran riwayat/sejarah pengobatan
pasien oleh apoteker sebelum pasien masuk ke ruang perawatan maupun saat
pasien berpindah kelas perawatan (seperti perpindahan dari ICU/HCU ke ruang
rawat inap). Riwayat pengobatan baik obat resep dan obat non resep (produk
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
47
OTC, herbal, dll) maupun riwayat alergi pasien didokumentasikan ke dalam
formulir rekonsialisi obat. Kegiatan rekonsiliasi obat bertujuan untuk
menghindari terjadinya drug related problem (DRP) dan masalah terkait
pengobatan lainnya (seperti, peresepan obat yang sama).
3. Pemantauan Pengobatan
Kegiatan ini dilakukan dengan memantau penggunaan obat yang diberikan oleh
dokter kepada pasien yang di rawat inap. Pemantauan penggunaan obat dengan
harapan tercapainya rasionalisasi pengunaan obat oleh pasien. Profil
penggunaan obat yang didapatkan pasien dan masalah yang berkaitan dengan
penggunaaan obat didokumentasikan ke dalam formulir pemantauan obat.
4. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi
pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis, dan terapi. MESO dilakukan jika ada pelaporan dari pasien, perawat
ataupun dokter. Tujuan dilakukan monitoring efek samping obat adalah untuk
mengetahui Efek Samping Obat (ESO) yang belum terdokumentasi dalam
literatur, sebagai upaya melengkapi informasi ESO obat secara objektif dan
mengetahui tindakan yang diperlukan untuk menangani kejadian ESO.
5. Ronde/visite
Ronde/Visite adalah suatu kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan secara bersama oleh tim dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
Tujuan dilakukannya ronde/visite adalah untuk memantau kondisi pengobatan
harian pasien secara seksama dan menyeluruh sehingga dapat tercapai
pengobatan pasien yang rasional, menilai kemajuan pasien, dan meningkatkan
kerjasama dengan tenaga kesehatan lain.
6. PIO (Pelayanan Informasi Obat)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) ini dilakukan oleh apoteker untuk memberikan
informasi secara akurat, tidak bias, dan terkini kepada dokter, apoteker,
perawat, profesi kesehatan lain, dan pasien di Rumah Sakit Kanker
“Dharmais”. Kegiatan PIO dapat dilakukan secara pasif maupun secara aktif.
Informasi yang diberikan dapat bersifat segera (CITO) maupun ditunda. Tujuan
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
48
dilakukan PIO adalah untuk memberikan informasi mengenai obat kepada
pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit dengan cepat dan
akurat, menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang
berhubungan dengan obat terutama kebijakan bagi PFT, meningkatkan
profesionalisme apoteker, dan menunjang terapi obat yang rasional.
7. Konseling
Konseling merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan
masalah pasien yang berkaitan dengan cara penggunaan obat yang diresepkan
kepada pasien. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang
benar mengenai obat dan pengobatan kepada pasien serta memberikan motivasi
kepada pasien. Informasi yang dapat diberikan dalam konseling meliputi: nama
obat, tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara menggunakan obat, lama
penggunaan obat, efek samping obat, tanda-tanda toksisitas, interaksi yang
mungkin terjadi, cara penyimpanan obat, serta hal-hal lain yang perlu
diperhatikan dalam pengobatan pasien tersebut.
4.4.4. Pencatatan dan Pelaporan
Kegiatan ini merupakan dokumentasi dari setiap kegiatan yang
dilaksanakan oleh semua unit di Instalasi Farmasi Rumah Saki Kanker
“Dharmais” yang meliputi:
1. Koordinator Bagian Perbekalan Farmasi
a. Pencatatan barang masuk dan keluar
b. Pencatatan kartu stok
c. Pencatatan barang expire date dan rusak
d. Pencatatan pendistribusian barang farmasi
e. Pencatatan perencanaan barang farmasi
f. Pencatatan lain-lain yang dibutuhkan
2. Unit produksi
a. Pencatatan permintaan produksi, handling cytotoxic, IV-admixture
b. Pencatatan identitas pasien, dokter dan asal permintaan
c. Pengisian form permintaan
d. Pencatatan lainnya yang diperlukan
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
49
3. Unit Pelayanan
a. Pencatatan permintaan obat/alkes dalam kardeks
b. Dispensing dan delivery obat
c. Serah terima obat dengan perawat
d. Pencatatan obat yang tidak terlayani dan kasus lainnya
4. Administrasi dan pelaporan
a. Pencatatan surat masuk dan keluar
b. Pembuatan laporan sesuai kebutuhan dan lain-lain
5. Farmasi klinik
a. Pencatatan kegiatan konseling
b. Pencatatan kegiatan pelayanan informasi obat
c. Permintaan handling cytotoxic, IV-admixture, dan lain-lain
Pelaporan ini dilakukan secara rutin setiap bulan, enam bulan dan tahunan.
Hasil laporan tersebut akan menunjukkan semua kegiatan yang telah dilakukan
yang meliputi kegiatan rutin, perkembangan dan cakupan pelayanan. Hal ini
diperlukan untuk mengevaluasi dan menilai pencapaian target kinerja Instalasi
Farmasi RSKD, Kemudian dari kesimpulan ini dibuat rencana tidak lanjut
danpenanganan masalah yang diperlukan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
BAB 5
INSTALASI PENUNJANG: INSTALASI STERILISASI SENTRAL DAN
BINATU, BAGIAN REKAM MEDIS, DAN INSTALASI KESEHATAN
LINGKUNGAN RUMAH SAKIT “DHARMAIS”
5.1. Instalasi Sterilisasi Sentral dan Binatu (ISSB) Rumah Sakit Kanker
“Dharmais”
5.1.1. Definisi
ISSB adalah instalasi dalam rumah sakit yang menyediakan bahan/sediaan
dan alat-alat steril kepada semua unit yang melayani ruang perawatan, klinik,
laboratorium khusus, dan ruang operasi. Namun, di RSKD unit binatu terpisah
dengan Instalasi Sterilisasi Sentral (ISS). Dalam buku pedoman ISS di rumah sakit
yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan, ISS adalah unit pelayanan non
struktural yang berfungsi memberikan pelayanan sterilisasi yang sesuai
standar/pedoman dan memenuhi kebutuhan barang steril di rumah sakit. ISS
ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit sesuai kebutuhan rumah sakit. ISS dipimpin
oleh seorang kepala yang diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan rumah sakit.
Kepala ISS dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh tenaga-tenaga fungsional
dan atau non medis (Presiden Republik Indonesia, 2009b).
5.1.2. Tujuan dan Tugas ISS (Presiden Republik Indonesia, 2009b).
Tujuan ISS di rumah sakit adalah:
a.
Membantu unit lain di RS yang membutuhkan kondisi steril untuk
pencegahan terjadinya infeksi
b.
Menurunkan angka kejadian infeksi dan membantu mencegah serta
menanggulangi infeksi nosokomial.
c.
Efisiensi tenaga medis/paramedis untuk kegiatan yang berorientasi pada
pelayanan terhadap pasien.
d.
Menyediakan dan menjamin kualitas hasil sterilisasi terhadap produk yang
dihasilkan.
Tugas ISS di rumah sakit adalah:
a.
Menyiapkan peralatan medis untuk perawatan pasien.
b.
Melakukan proses sterilisasi alat/bahan.
50
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
51
c.
Mendistribusikan alat-alat yang dibutuhkan oleh ruangan perawatan, kamar
operasi, maupun ruangan lainnya.
d.
Berpartisipasi dalam pemilihan peralatan dan bahan yang aman dan efektif
serta bermutu.
e.
Mempertahankan stock inventory yang memadai untuk keperluan perawatan
pasien.
f.
Mempertahankan standar yang telah ditetapkan.
g.
Mendokumentasikan setiap aktivitas pembersihan, disinfeksi, maupun
sterilisasi sebagai bagian dari program upaya pengendalian mutu.
h.
Melakukan penelitian terhadap hasil sterilisasi dalam rangka pencegahan dan
pengendalian
infeksi
bersama
dengan
panitia
pengendalian
infeksi
nosokomial.
i.
Memberikan penyuluhan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah
sterilisasi.
j.
Menyelenggarakan pendidikan dan pengembangan staf ISS baik yang bersifat
intern maupun ekstern.
k.
Mengevaluasi hasil sterilisasi.
5.1.3.Aktivitas Fungsional ISS (Presiden Republik Indonesia, 2009b).
Alur aktivitas fungsional secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
a.
Pembilasan: pembilasan alat-alat yang telah digunakan tidak dilakukan di
ruang perawatan.
b.
Pembersihan: semua peralatan pakai ulang harus dibersihkan secara baik
sebelum dilakukan proses disinfeksi dan sterilisasi.
c.
Pengeringan: dilakukan sampai kering
d.
Inspeksi dan pengemasan: setiap alat bongkar pasang harus diperiksa
kelengkapannya, sementara untuk bahan linen harus diperhatikan densitas
maksimumnya.
e.
Memberi label: setiap kemasan harus mempunyai label yang menjelaskan isi
dari kemasan, cara sterilisasi, tanggal sterilisasi dan kadaluarsa proses
sterilisasi.
f.
Pembuatan: membuat dan mempersiapkan kapas serta kasa balut yang
kemudian akan disterilkan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
52
g.
Sterilisasi: sebaiknya diberikan tanggun jawab kepada staf yang terlatih.
h.
Penyimpanan: harus diatur secara baik dengan memperhatikan kondisi
penyimpanan yang baik.
i.
Distribusi: dapat dilakukan berbagai sistim distribusi sesuai dengan rumah
sakit masing-masing
5.1.4. Pelayanan ISSB di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
ISSB di RSKD membawahi 2 unit kerja yaitu unit sterilisasi dan unit
binatu. Instalasi ini berada dibawah Direktorat Umum dan Operasional. Struktur
organisasi ISSB dapat dilihat pada Lampiran 3. Unit Sterilisasi mempunyai 2
kegiatan pokok, yaitu:
1.
Kegiatan sterilisasi, kegiatan ini dilakukan untuk mensterilkan alat dan
barang yang digunakan oleh instalasi-instalasi yang membutuhkan.
2.
Kegiatan produksi, yaitu memproduksi barang-barang steril, seperti kassa
steril, lidi kapas, tampon, depper, kassa, alkohol dan lain-lain.
ISS dilengkapi dengan beberapa fasilitas yang mendukung proses
sterilisasi secara optimal, yaitu autoclave (metode sterilisasi panas basah) yang
dapat dilihat pada Lampiran 4 serta alat sterilisasi plasma (metode ionisasi).
Dalam rangka menjamin sterilitas produk, maka dilakukan juga monitoring proses
sterilisasi dengan menggunakan indikator mekanik/fisika, kimia dan biologi. Alur
pelayanan ISS dijelaskan pada Gambar 5.1.
Tanggung jawab ISS bervariasi tergantung dari besar kecilnya rumah sakit,
struktur organisasi dan proses sterilisasi. Tugas pokok Unit Sterilisasi Sentral
adalah menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan kegiatan sterilisasi alat,
bahan dan linen rumah sakit. Fungsi Unit Sterilisasi Sentral adalah:
1.
Melakukan proses sterilisasi alat, bahan, dan linen.
2.
Mendistribusikan alat-alat yang dibutuhkan oleh ruangan perawatan, kamar
operasi, maupun ruangan lainnya.
3.
Berpartisipasi dalam pemilihan peralatan dan bahan yang aman dan efektif
serta bermutu.
4.
Mempertahankan stok inventori barang steril yang memadai untuk keperluan
perawatan pasien.
5.
Mempertahankan standar yang lebih ditetapkan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
53
6.
Mendokumentasikan setiap aktivitas pembersihan, disinfeksi maupun
sterilisasi sebagai bagian dari program upaya pengendalian mutu.
7.
Melakukan penelitian terhadap hasil sterilisasi dalam rangka pencegahan dan
pengendalian infeksi bersama dengan Tim Pengendalian Infeksi Nosokomial.
8.
Memberikan penyuluhan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah
sterilisasi.
9.
Menyelenggarakan pendidikan dan pengembangan staf Unit Sterilisasi
Sentral baik yang bersifat intern maupun ekstern.
10. Mengevaluasi hasil sterilisasi.
Keterangan:
Daerah Kotor
Daerah Bersih
Daerah Mesin
Daerah Steril
Logistik
Gambar 5.1. Alur Pelayanan ISS RSKD
Alur kegiatan Unit Sentralisasi Sentral secara umum dapat digambarkan
sebagai berikut:
1.
Pembersihan: semua peralatan pakai ulang harus dibersihkan secara baik
sebelum dilakukan proses disinfeksi dan sterilisasi.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
54
2.
Pengeringan: dilakukan sampai kering.
3.
Pemeriksaan dan pengemasan: setiap alat/set instrumen harus diperiksa
kelengkapannya, sementara untuk bahan linen harus diperhatikan densitas
maksimumnya.
4.
Memberi label: setiap kemasan harus mempunyai label yang menjelaskan isi
dari kemasan, cara sterilisasi, tanggal sterilisasi dan kadaluarsa proses
sterilisasi.
5.
Pembuatan: membuat dan mempersiapkan kapas serta kassa, yang kemudian
akan disterilkan.
6.
Sterilisasi: sebaiknya diberikan tanggung jawab kepada staf yang terlatih.
7.
Penyimpanan: harus diatur secara baik dengan memperhatikan kondisi
penyimpanan yang baik.
8.
Distribusi: melakukan distribusi ke ruangan-ruangan yang membutuhkan.
Pembagian ruangan yang dimiliki ISS yakni sebagai berikut:
1.
Ruang Penerimaan (daerah kotor) adalah ruangan yang digunakan untuk
kegiatan menerima barang-barang yang akan disterilkan dengan mengisi form
barang yang belum steril.
2.
Daerah Dekontaminasi adalah ruangan yang digunakan untuk kegiatan
pencucian alat misalnya box obat kemoterapi, pemilihan/penyortiran barangbarang yang akan disterilisasi, perendaman, pembersihan dan pembilasan.
Ruangan tersebut dibatasi dengan garis berwarna merah.
3.
Daerah Produksi adalah ruangan yang digunakan untuk kegiatan produksi ISS
diantaranya pembuatan kassa, kapas alkohol, depper, tampon dan lain-lain.
4.
Daerah Persiapan adalah ruangan yang kegiatannya mempersiapkan barangbarang yang akan disterilkan salah satunya yaitu memberi label (labelling)
dan sealing pada barang/alat yang akan disterilkan.
5.
Daerah Penyimpanan/Clean Room adalah ruangan untuk menyimpan
barang/alat yang sudah melalui proses sterilisasi dan untuk penyerahan
permintaan barang/alat steril.
6.
Ruangan penunjang adalah ruangan yang berfungsi untuk menunjang
kegiatan Instalasi Sterilisasi dan Binatu, diantaranya ruang ganti, ruang
istirahat, ruang pimpinan dan ruang rapat.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
55
5.1.5.Autoclave Gettinge
Proses sterilisasi yang sering dilakukan di ISS ini adalah proses sterilisasi
uap menggunakan autoclave dan proses sterilisasi ion menggunakan plasma.
Sterilisasi uap digunakan untuk barang-barang yang tahan terhadap pemanasan
pada suhu tinggi. Berikut ini adalah proses sterilisasi uap pada mesin autoclave
Gettinge (GE 6612 AR-2):
1.
Suhu 135 °C
a. Siklus sterilisasi memakan waktu 35 menit dengan waktu pemaparan uap
selama 7 menit. Digunakan untuk mensterilisasi instrumen-instrumen yang
telah dikemas.
b. Siklus sterilisasi memakan waktu 15 menit dengan waktu pemaparan uap
selama 3,5 menit. Digunakan untuk mensterilisasi instrumen-instrumen
yang dikemas.
2.
Suhu 121°C
Siklus sterilisasi memakan waktu 45 menit dengan waktu pemaparan uap
selama 20 menit. Digunakan untuk mensterilisasi karet dan plastik.
Untuk memberikan jaminan bahwa parameter-parameter yang ditentukan
dalam proses sterilisasi uap sudah dipenuhi dengan baik maka perlu dilakukan
proses monitoring. Hal ini juga bertujuan untuk menjamin kualitas produk luaran
(output product) 100% steril. Pengujian mutu sterilisasi dilakukan dengan
menggunakan indikator. Berikut ini adalah jenis-jenis indikator sterilisasi yang
digunakan:
a.
Indikator Mekanik
Indikator mekanik adalah bagian dari instrumen mesin sterilisasi seperti
gauge, tabel dan indikator suhu maupun tekanan yang menunjukkan apakah alat
sterilisasi bekerja dengan baik.
Kegunaan:
i.
Pengukuran temperatur dan tekanan merupakan fungsi penting dari sistem
monitoring sterilisasi, maka bila indikator mekanik berfungsi dengan baik
akan memberikan informasi segera temperatur, tekanan, waktu dan fungsi
mekanik lainnya dari alat.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
56
ii.
Memberikan indikasi adanya masalah apabila alat rusak dan memerlukan
perbaikan.
b.
Indikator Kimia
Indikator kimia adalah indikator yang memadai terjadinya paparan
sterilisasi (misalnya: uap panas atau gas etilen oksid) pada obyek yang
disterilisasikan dengan adanya perubahan warna. Gambar contoh indikator kimia
dapat dilihat pada Lampiran 5. Klasifikasi indikator kimia adalah sebagai berikut:
a.
Indikator Eksternal dan Indikator Internal
1)
Indikator eksternal, contoh: Autoclave tape (3M), berbentuk tape dan
digunakan di bagian luar kemasan. Dengan terjadinya perubahan warna,
indikator ini memberikan informasi bahwa bagian luar kemasan benda
yang disterilkan telah melewati proses sterilisasi.
2)
Indikator internal, contoh: Comply (3M), berbentuk strip dan
pemakaiannya diletakkan pada bagian dalam kemasan akan terlihat
perubahan warna dari kuning menjadi hitam jika telah melewati proses
sterilisasi. Indikator ini digunakan untuk barang yang tidak tembus
pandang, misalnya tromol (box stainless).
3)
Indikator untuk tes Bowie-Dick
Indikator jenis ini digunakan untuk menilai efisiensi pompa vakum pada
alat sterilitasi, serta untuk mengetahui adanya kebocoran udara dalam
ruang sterilisasi. Oleh karenanya hanya digunakan pada metode
sterilisasi uap panas yang yang menggunakan sistem vakum. Jadi
indikator ini sama sekali bukan untuk mengetahui kondisi sterilisasi telah
tercapai.
c.
Indikator Biologi (Attest)
Indikator biologi adalah sediaan yang berisi populasi mikroorganisme
spesifik dalam bentuk spora yang bersifat resisten terhadap beberapa parameter
yang terkontrol dan terukur dalam suatu proses sterilisasi tertentu. Prinsip kerja
dari indikator biologi adalah dengan mensterilkan spora hidup mikroorganisme
yang non patogenik dan sangat resisten dalam jumlah tertentu. Apabila selama
proses sterilisasi spora-spora tersebut terbunuh, maka dapat diasumsikan bahwa
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
57
mikroorganisme lainnya juga ikut terbunuh dan benda yang kita sterilkan bisa
disebut steril.
Mikroorganisme yang digunakan yaitu Geobacillus stearethermophillus.
Pada saat melakukan pengujian digunakan 2 indikator Attest, yang pertama
merupakan indikator uji yang dimasukkan ke dalam autoclave bersama dengan
linen, dan yang kedua merupakan indikator kontrol. Kemudian keduanya
dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 56C selama 24-48 jam. Apabila Attest
yang diproses (indikator uji) tidak berubah warna tetap berwarna ungu, hal itu
menunjukkan bahwa spora telah terbunuh sehingga tidak ada pertumbuhan
bakteri, akan tetapi apabila indikator uji Attest hasilnya bewarna kuning,
menunjukkan bahwa di dalam media terjadi pembentukan asam yang menandakan
masih ada pertumbuhan bakteri dalam proses sterilisasi tersebut. . Gambar contoh
indikator biologi dapat dilihat pada Lampiran 6.
Berbeda dengan sterilisasi uap menggunakan autoclave yang digunakan
untuk barang-barang yang tahan pemanasan pada suhu tinggi, untuk melakukan
sterilisasi terhadap bahan-bahan yang tidak tahan pemanasan digunakan sterilisasi
plasma secara ion menggunakan alat Sterrad NX (JJ). Biasanya alat ini digunakan
untuk melakukan sterilisasi terhadap alat-alat kedokteran single use yang ingin
digunakan kembali dan hanya terbatas pada beberapa jenis kateter, guidel dan
body stapler (harus dengan persetujuan direksi).
Pasca sterilisasi dilakukan monitoring steril/tidaknya produk akhir dengan
melakukan uji mikrobiologi pada produk akhir (produk steril) secara sampling
meliputi produk habis pakai, instrumen, dan linen steril. Begitu pula dilakukan uji
mikrobiologi sterilitas ruangan yang meliputi fungsi HEPA dan udara di ruang
steril. Untuk mempertahankan agar ruangan sterilisasi mengandung kuman
seminimal mungkin maka dilakukan fogging (pengasapan) yang dilakukan satu
minggu sekali dan untuk memastikan sterilitasnya maka dilakukan juga uji
mikrobiologi dengan menggunakan media agar yang pemeriksaannya dilakukan
secara rutin 3 bulan sekali.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
58
5.2. Bagian Rekam Medis Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
Rekam medik merupakan berkas yang berisikan catatan dan dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain
yang telah diberikan kepada pasien mulai dari pasien datang hingga pulang
termasuk hasil dari pemeriksaan pasien. Rekam medik harus dibuat secara tertulis,
lengkap, dan jelas atau secara elektronik. Fisik rekam medik milik sarana
pelayanan kesehatan, dalam hal ini rumah sakit, sedangkan isinya milik pasien
yang bersifat rahasia.
Adapun yang berhak melihat rekam medis yaitu dokter, dokter gigi, tenaga
kesehatan tertentu, petugas pengelola, dan pimpinan sarana kesehatan. Apabila
ada pihak-pihak yang membutuhkan rekam medik maka perlu meminta izin
kepada Direktur. Jika ada unit-unit terkait yang memerlukan rekam medik, maka
ada Bon Peminjaman Rekam
Medik yang ditandatangani oleh pihak yang
memintanya. Di RSKD, rekam medik yang sedang dipinjam, posisinya digantikan
oleh tresser. Skema alur peminjaman status serta pengembalian status pasien
rawat jalan dan rawat inap dapat dilihat pada Lampiran 7-10.
Warna tresser berbeda-beda seperti merah menandakan bahwa rekam
medik sedang dipinjam oleh unit pelayanan, warna biru menandakan bahwa rekam
medik sedang dipinjam untuk penelitian, dan warna putih menandakan bahwa
rekam medik yang dipinjam merupakan rekam medik pasien yang sudah
meninggal. Tujuan dari adanya tresser yaitu bertujuan untuk memudahkan
pencarian rekam medik yang sedang dipinjam.
Rekam medik memiliki sistem penomoran berdasarkan urutan datang
pasien. Nomor rekam medik terdiri dari enam digit angka dan satu pasien hanya
memiliki satu nomor rekam medik untuk seumur hidup sehingga tidak ada
duplikasi nomor. Secara umum, alur pasien dibedakan antara pasien rawat inap
dengan pasien rawat jalan.Selain itu, dokumen rekam medik juga dibedakan
antara pasien baru dengan pasien lama (pasien yang sebelumnya pernah datang ke
rumah sakit Dharmais).
Di RSKD, terdapat bidang yang mengelola rekam medik yang dinamakan
bidang rekam medik. Bidang ini berada di bawah Direktur Medik dan
Keperawatan. Bidang rekam medik berperan sebagai gerbang pertama pasien
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
59
ketika masuk rumah sakit dan berperan penting dalam mendukung proses
pelayanan medis kepada pasien. Rekam medik juga berperan dalam proses
pendidikan dan penelitian. Bidang rekam medik mempunyai tugas menyiapkan
seluruh sumber daya dan fasilitas rekam medik dan admission, melaksanakan
bimbingan pelaksanaan pelayanan, menyusun dan mengolah catatan medik,
melakukan pengkodean dan penyimpanan serta pemantauan pelaksanaan rekam
medik. Bidang rekam medik dibagi menjadi tiga seksi, yakni:
1.
Seksi Admisi
Seksi ini bertugas di bagian pendaftaran pasien rawat inap, rawat jalan, dan
jaminan. Dalam menjalankan tugasnya, seksi admisi melaksanakan sistem
triase, yaitu suatu sistem pemilahan pasien baru yang datang tanpa surat
pengantar. Sistem ini dijalankan dengan cara dokter
triase menanyakan
kondisi pasien dan menyarankan pasien untuk melakukan pengobatan ke
poliklinik yang sesuai.
2.
Seksi Catatan Medik
Seksi ini bertugas untuk merapikan dan menyusun status pasien dan semua
informasi pasien yang ada di dalamnya sesuai dengan pedoman baku yang
telah ditetapkan.
3.
Seksi Pengkodean dan Penyimpanan
Seksi pengkodean dan penyimpanan bertugas untuk mengelompokkan status
(rekam medik) pasien berdasarkan penyakit dengan cara memberikan kodekode tertentu sesuai jenis penyakit pasien.
Alur pasien baru di Rumah Sakit Kanker Dharmais (skema alur dapat
dilihat pada Lampiran 11) yaitu pasien atau keluarga pasien mendaftar ke bagian
pendaftaran pasien baru yang ada di lobi RS, pasien ditanya oleh dokter triase
tentang keluhan yang dirasakan, pasien diarahkan diarahkan ke unit-unit tertentu
sesuai keluhan, kemudian rekam medik akan diantarkan oleh petugas ke poliklinik
tempat pasien berobat, ketika pasien telah selesai berobat atau telah pulang,
petugas akan kembali untuk mengambil rekam medik untuk dikembalikan ke
bagian rekam medik untuk diperiksa kembali. Rekam medik diurutkan dan
disusun berdasarkan nomor rekam medik. Selanjutnya dilakukan coding
(pengkodean) berdasarkan diagnosa dan jenis penyakit pada tiap rekam medik.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
60
Data kemudian dimasukkan ke dalam komputer untuk mempermudah bagian
admission dalam mencari data rekam medik pasien jika pasien tersebut kembali
berobat.
Alur pasien lama atau yang pernah datang ke rumah sakit Dharmais
(skema alur dapat dilihat pada Lampiran 12) yaitu pasien lama datang ke bagian
pendaftaran (admission), komputer di bagian pendaftaran rawat inap secara online
akan terhubung dengan bagian penyimpanan rekam medik sehingga rekam medik
dikirim ke unit terkait tempat pasien berobat, ketika pasien telah selesai masa
perawatannya atau telah pulang, petugas akan kembali untuk mengambil rekam
medik untuk dikembalikan ke rekam medik bagian untuk diperiksa kembali,
selanjutnya rekam medik diurutkan dan disusun berdasarkan nomor rekam medik.
Penyimpanan rekam medik di rumah sakit Dharmais menggunakan sistem
terminally digit yakni disusun dan disimpan berdasarkan dua digit terakhir pada
nomor rekam medik, serta ditandai dengan warna-warna yang berbeda pada fisik
rekam medik. Setiap hari petugas rekam medik bertugas mengantar rekam medik
pasien baru datang dan mengambil rekam medik pasien yang telah pulang
(tenggang waktu pengambilan adalah 1x24 jam setelah pasien pulang). Rekam
medik tidak hanya disimpan, namun juga diolah secara statistik yang bertujuan
untuk peningkatan mutu RS. Beberapa data hasil pengolahan rekam medik secara
statistik yakni:
1.
Jumlah pasien baru dan pasien datang
2.
Tren jenis penyakit
3.
BOR (Bed Occupation Rate)
4.
LOS (Length of Stay)
5.
TOI (Turn Over Interval)
6.
BTO (Bed Turn Over)
7.
NDR (Net Death Rate)
8.
GDR (Gross Death Rate)
Berdasarkan Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam
Medis disebutkan bahwa rekam medik pasien rawat inap di rumah sakit wajb
disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 5 tahun terhitung dari tanggal
terakhir pasien berobat atau dipulangkan, setelah batas waktu 5 tahun, rekam
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
61
medis dapat dimusnahkan (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Di
RSKD hingga saat ini rekam medik belum pernah dimusnahkan dan RSKD
memiliki peraturan tersendiri tentang waktu pemusnahan. Hal ini ditujukan untuk
kepentingan pengembangan, pendidikan, dan penelitian terhadap penyakit kanker.
Selain pemusnahan, rekam medik juga dapat mengalami penyusutan yang
bertujuan untuk peningkatan efektifitas tempat penyimpanan rekam medik.
Proses penyusutan merupakan pengelompokkan rekam medik menjadi
kelompok aktif dan tidak aktif. Rekam medik milik pasien yang dalam waktu
sepuluh tahun tidak melakukan kunjungan sama sekali (bisa jadi pasien
meninggal, berobat ke tempat lain/second opinion, atau telah sembuh) akan
dikelompokkan menajdi rekam medik tidak aktif. Apabila setelah tiga puluh tahun
status rekam medik tetap nonaktif makan akan dilakukan pemusnahan terhadap
rekam medik tersebut namun informed consent dan surat tindakan akan tetap
disimpan.
5.3. Instalasi Kesehatan Lingkungan (IKL) dan Keselamatan Kesehatan
Kerja (K3) Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
Instalasi Kesehatan Lingkungan (IKL) dan K3 (Keselamatan dan
Kesehatan Kerja) bertanggung jawab terhadap pengelolaan seluruh limbah rumah
sakit., keamanan dan keselamatan baik untuk pasien maupun anggota rumah sakit
lain seperti petugas kesehatan, karyawan, dan lain-lain. IKL bertugas mengelola
limbah padat maupun cair yang berasal dari seluruh kegiatan yang dilakukan di
rumah sakit.
5.3.1. Pengelolaan Limbah Padat
Limbah padat RSKD merupakan limbah rumah sakit yang berbentuk padat
berasal dari seluruh kegiatan di rumah sakit. Pengelolaan limbah padat dilakukan
setiap hari oleh petugas kebersihan dan dipisahkan berdasarkan limbah padat
medis, non medis, dan domestik. Limbah padat dari setiap ruangan dikumpulkan
dalam satu kantong plastik dengan warna yang sesuai dengan jenis limbahnya.
1.
Limbah medis padat
a.
Sumber
Sumber limbah padat medis RSKD berasal dari limbah infeksius, limbah
patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksik, limbah
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
62
kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan dan limbah
kandungan logam berat tinggi.
b.
Pewadahan
Limbah padat medis ditampung dalam wadah yang berbeda berdasarkan
kategori limbah yang dihasilkan.Wadah yang digunakan terbuat dari
bahan yang kuat, cukup ringan, tahan karat, kedap air dan tertutup dengan
dilapisi kantong plastik yang berbeda warna. Untuk kategori limbah
infeksius patologi dan anatomi menggunakan kantong plastik berwarna
kuning, limbah sitotoksis menggunakan kantong plastik kuning yang
diberi label bertuliskan “limbah sitotoksis” dan logo, limbah kimia dan
farmasi dengan kantong plastik warna kuning yang diberi label dan logo
dan limbah radioaktif dengan kantong plastik warna merah, sedangkan
untuk limbah benda tajam ditampung dalam satu wadah yang anti bocor,
anti tusuk, dan tidak mudah untuk dibuka sehingga orang yang tidak
berkepentingan tidak dapat membukanya dan dilapisi dengan kantong
plastik berwarna kuning.
c.
Pengangkutan
Pengangkutan limbah medis dilakukan sebanyak 2- 3 kali dalam sehari,
yaitu pada siang, sore dan dini hari atau apabila telah mencapai 2/3
bagian telah terisi limbah. Alat angkut yang digunakan berupa troli
tertutup, namun dalam proses pengangkutan masih ada petugas yang
menggunakan troli terbuka dan limbah yang diangkut tidak dipisahkan
serta tidak menggunakan jalur khusus.
d.
Pengolahan
Tahap selanjutnya adalah tahap pengolahan limbah medis padat, seluruh
limbah medis padat yang dihasilkan akan dibakar dengan menggunakan
insinerator (Lampiran 13). Insinerator tersebut terdiri dari 2 tungku
(chamber) dengan kapasitas 800 kg. Pembakaran dilakukan selama 1 jam
per 100 kg, untuk lebih efektif pembakaran dilakukan setiap 15 menit
dengan berat limbah sebanyak 25 kg. Hal ini merupakan strategi yang
dilakukan untuk mencapai hasil pembakaran yang optimal. Proses
pembakaran dimulai dengan memasukkan limbah medis padat kedalam
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
63
chamber 1 dengan suhu 500 – 600oC, chamber ini digunakan untuk
membakar fisik limbah. Selanjutnya hasil pembakaran berupa gas/ emisi
buangan dari chamber 1 dibakar di chamber 2 dengan suhu 600 –
1000oC, hal tersebut menghasilkan emisi yang keluar sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Pembakaran dilakukan terus menerus selama jam
kerja (per 8 jam kerja). Untuk limbah yang datang setelah jam kerja maka
akan ditampung di Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) untuk dibakar
keesokan harinya. Limbah hasil pembakaran limbah di insinerator akan
dipindahkan ke dalam TPS Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) setiap 7
hari sekali.
Abu insinerator hasil pembakaran akan dikirim ke PPLI apabila
kapasitas limbah yang dihasilkan mencapai 2 ton. Setiap rumah sakit
yang memiliki insinerator dan TPS harus memiliki surat izin dan
memperpanjang surat izin setiap 3 tahun untuk TPS yang dikeluarkan
oleh Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta
dan setiap 5 tahun untuk insinerator yang dikeluarkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH). Uji emisi insinerator dilkukan setiap 3 bulan
oleh PT. Unilab Perdana atau Lab yang telah memiliki izin dari KLH.
Untuk limbah radioaktif Rumah Sakit Kanker “Dharmais” menggunakan
sistem re-export, limbah tersebut dikembalikan ke perusahaan penghasil
atau distributor yakni BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional).
2.
Limbah padat non medis
a.
Sumber
Limbah padat non medisyang dihasilkan oleh Rumah Sakit Kanker
“Dharmais adalah limbah B3 non medis berupa baterai bekas, lampu
bekas dan oli bekas.
b.
Pewadahan
Wadah yang digunakan untuk penyimpanan sementara limbah B3 non
medis berbeda berdasarkan jenis limbahnya. Limbah baterai bekas dan
lampu ditampung dalam kontainer berupa drum berbahan dasar plastik
dan dilengkapi dengan tutup sedangkan limbah oli bekas ditampung
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
64
dalam wadah berupa drum kaleng yang tertutup, wadah tersebut diberi
label bertuliskan “Limbah B3”
c.
Pengangkutan
Pengangkutan dilakukan setiap hari dengan menggunakan troli tertutup
apabila jumlah limbah yang dihasilkan tidak banyak maka petugas yang
mengangkut limbah tersebut tidak menggunakan alat pengangkut khusus
menuju TPS, khusus oli bekas diangkut ke TPS B3 non medis yang
berada di ruang genset.
d.
Pengolahan
Limbah B3 non medis berupa baterai bekas akan dikembalikan ke
perusahaan penghasil atau distributor, sedangkan untuk lampu bekas dan
oli bekas akan diangkut oleh PPLI atau perusahaan yang mempunyai izin.
3.
Limbah Domestik
a.
Sumber
Limbah domestik ialah limbah yang berasal dari kegiatan di dapur,
perkantoran, taman dan halaman.
b.
Pewadahan
Pewadahan untuk limbah domestik dikelompokkan menjadi dua yaitu
wadah untuk sampah organik dan sampah anorganik. Pada kontainer
yang digunakan diberikan label bertuliskan jenis sampah dan warna
untuk kontainer sampah organik dan sampah anorganik juga dibedakan
guna mempermudah dalam proses pemilahan serta kontainer dilapisi oleh
kantong plastik berwarna hitam.
c.
Pengangkutan
Pengangkutan dilakukan setiap hari sebanyak 2-3 kali dalam sehari, atau
apabila 2/3 bagian telah terisi limbah. Alat angkut yang digunakan berupa
troli tertutup namun tidak terpisah.
d.
Pengolahan
Seluruh limbah domestik (organik dan anorganik) Rumah Sakit Kanker
“Dharmais” ditampung di TPS berupa bangunan tertutup dengan panjang
8 meter, lebar 2 meter dan tinggi 2 meter, yang dilengkapi saluran untuk
cairan lindi, selanjutnya limbah domestik akan diangkut oleh Petugas
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
65
Dinas Kebersihan PEMDA DKI Jakarta setiap hari. Selain itu RSKD
melakukan pemilahan terhadap sampah kardus, yang nantinya sampah
kardus tersebut akan dijual ke pengepul. RSKD melakukan upaya
minimalisasi limbah dengan cara 3R namun upaya tersebut tidak berjalan
sejak tahun 2011 sebab keterbatasan SDM, sehingga saat ini upaya
minimalisasi yang dilakukan ialah composting. Bahan baku composting
adalah daun-daun kering yang ada di sekitar halaman RSKD. Upaya ini
cukup efektif untuk meminimalisasi sampah dedaunan karena dapat
mengurangi timbunan sampah dedaunan sebanyak 60 – 70 kg per hari.
Kompos yang dihasilkan mencapai 420 kg per bulan, yang selanjutnya
kompos tersebut akan digunakan kembali untuk pemeliharaan tanaman.
Secara ringkas alur pengolahan limbah padat di RSKD dapat dilihat pada
Gambar 6.2.
Gambar 5.2.. Alur Pengolahan Limbah Padat
5.3.2. Pengelolaan Limbah Cair
RSKD memiliki 2 buah unit IPAL yang masing-masing memiliki fungsi
dan sistem berbeda.
1.
Instalasi Pengolahan Air Limbah 1 (IPAL 1)
RSKD memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah sendiri yang telah ada
sejak pertama dibangunnya rumah sakit ini. IPAL 1 memiliki fungsi untuk
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
66
mengolah air limbah yang bersumber dari semua kegiatan rumah sakit kecuali
kegiatan yang bersumber dari pencucian laundri, instalasi gizi, kantin, gedung MK
(asrama dan kantor IPS-RS) dan dari limbah pembersihan insinerator. Sistem
pengolahan limbah cair STP (Sewage Treatment Plant) RSKD adalah Modifikasi
Extended Aeration dengan Contact Stabilization. Kapasitas yang dimiliki IPAL 1
sebesar 725 m3/hari. Aktual air limbah yang diolah adalah rata-rata 200-300
m3/hari.
RSKD memiliki 4 buah sewage (tempat penampungan sementara) yang
akan disalurkan ke IPAL 1, yang mana salah satu sewage digunakan khusus untuk
air limbah radioaktif yang berasal dari buangan urine dan feces pasien di RIRA
(Ruang Isolasi Radioaktif). Sewage tersebut menggunakan sistem paruh waktu
diharapkan dengan sistem ini dapat menghilangkan kandungan radioaktif yang ada
pada limbah cair (Zero Radioactive). Selanjutnya air limbah dari sewage akan
dialirkan menuju IPAL 1 menggunakan pompa. Berikut ialah proses pengolahan
limbah cair di IPAL 1:
a.
Grit Chamber
Air limbah yang berasal dari Sewage pertama kali akan masuk ke bak Grit
Chamber. Di bak ini terjadi proses penyaringan. Air limbah di grit chamber
akan disaring pertama kali di screen kasar. Sampah-sampah dengan berat
jenis lebih besar dari air akan mengendap, contohnya pasir, batu, dan lainlain. Sedangkan yang berat jenis lebih ringan dari air akan ditahan.disaring
dengan bar screen yang ukurannya 3 – 4 cm, conohnya plastik, pembalut,
handuk, dan lain-lain. Selanjutnya sampah yang masih terbawa dari screen
kasar akan dicacah menggunakan communitor agar menjadi ukuran yang
lebih kecil (hancur).
b.
Aeration Tank (Bak Aerasi)
Air yang berasal dari grit chamber akan mengalir ke bak aerasi. Di bak aerasi
ini disuplai oksigen dengan menggunakan mesin blower. Fungsi O2 yang
dihasilkan adalah untuk metabolisme bakteri aerob. Bakteri tersebut
digunakan untuk memecah polutan yang terkandung dalam air limbah
tersebut, sehingga di bak ini terjadi penurunan kadar pencemaran oleh bakteri
aerob dan di bak aerasi terjadi penurunan BOD, COD dan amoniak.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
67
c.
Sedimentation Tank (Bak Sedimentasi)
Air limbah dari aerasi akan mengalir ke bak sedimentasi. Di bak ini lumpur
yang terkandung dalam air limbah akan diendapkan. Pada bak terjadi
pembentukan flok yang kemudian akan disatukan oleh mesin scrapper. Flokflok yang terbentuk akan diangkat secara manual. Lalu air limbah akan
menuju distribution tank menggunakan air lift.
d.
Distribution Tank (Bak Distribusi)
Pada bak distribusi, air limbah akan dipecah menjadi dua tempat yaitu air
yang tidak mengandung lumpur akan mengalir ke bak penampungan akhir,
sedangkan air yang masih mengandung lumpur akan mengalir ke bak
stabilisasi.
e.
Stabilitation Tank (Bak Stabilisasi)
Bak ini berfungsi sebagai tempat untuk pembibitan bakteri. Air limbah dari
bak sedimentasi akan mengalir secara overflow ke aeration tank.
f.
Sand Filter
Air limbah yang berasal dari bak penampungan akhir akan dipompa menuju
sand filter. Polutan yang terkandung dalam air limbah akan disaring
menggunakan pasir silika.
g.
Carbon Filter
Air yang sudah disaring dengan sand filter selanjutnya dialirkan ke carbon
filter. Di sini air juga akan disaring kembali, tujuan penyaringan ini adalah
untuk menghilangkan warna dan bau yang terkandung dalam air limbah
tersebut, air limbah kemudian akan mengalir ke outlet.
Limbah cair yang telah diolah di IPAL 1 akan dibuang ke saluran kota
melalui pipa outlet. Petugas IPAL 1 melakukan pencatatan debit dan swapantau
setiap hari. Kegiatan swapantau berupa pengukuran suhu, pH, DO, dan TSS.
Selain melakukan kegiatan swapantau RSKD juga melakukan uji kualitas limbah
cair terolah (effluent) pada outlet IPAL 1 & 2. Pengujian dilakukan dengan cara
mengirimkan sampel limbah cair ke PT. Unilab Perdana setiap 1 bulan sekali dan
ke BPLHD setiap 3 bulan sekali, pada kegiatan tersebut diharapkan kualitas dan
kuantitas air limbah yang diolah memenuhi persyaratan yang berlaku. Izin
pembuangan limbah cair (IPLC) dikeluarkan oleh BPLHD. Perizinan tersebut
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
68
harus diperpanjang selama 5 tahun sekali, dan pada kurun waktu 5 tahun dari
tahun 2010-2015 limbah cair maksimum yang diperbolehkan dibuang oleh IPAL 1
ke saluran kota ialah 407 m3/hari.
2.
Instalasi Pengolahan Air Limbah 2 (IPAL 2)
Unit IPAL 2 didirikan pada tahun 2010 dengan kapasitas 100 m3/hari,
dengan aktual limbah cair yang diolah setiap harinya sebesar 20-40 m3/ hari. Unit
IPAL 2 digunakan untuk pengolahan limbah cair yang berasal dari kegiatan
pencucian laundri, instalasi gizi, kantin, gedung MK (asrama dan kantor IPS-RS)
dan dari limbah pembersihan insinerator. Sistem yang digunakan ialah aerob and
anaerob system. Air limbah yang akan diolah di IPAL 2 sebelumnya ditampung
terlebih dulu di sewage yang berjumlah 4 buah yakni sewage instalasi gizi, sewage
laundry, sewage insenerator dan kantin, dan sewage gedung MK. Selanjutnya air
limbah dari sewage akan dialirkan menuju IPAL 2 menggunakan pompa. Berikut
ialah proses pengolahan limbah cair di IPAL 2:
a.
Grease Trap
Air limbah yang bersumber dari instalasi gizi, insinerator dan kantin serta
asrama yang berasal dari masing-masing sewage akan dialirkan menuju
grease trap yang berfungsi untuk menangkap minyak dan lemak yang
dihasilkan dari kegiatan instalasi gizi, insinerator dan kantin serta asrama. Air
mengandung minyak dan dalam waktu beberapa hari di permukaan air akan
membentuk grease/lemak yang kemudian ditahan di grease trap. Grease
Trap ini harus dikontrol setiap hari, jika ada penumpukan grease yang
berlebihan, maka grease harus diangkat dan dibuang ke tempat pembuangan
akhir.
b.
Solid & Separation Chamber
Chamber ini menerima air limbah yang mengalir dari grease trap dan
berfungsi untuk menahan/menyaring partikel non organik (padat, seperti
plastik, kain, dan lainnya) yang besar supaya tidak masuk ke dalam proses
berikutnya. Hanya partikel kecil yang masuk ke chamber berikutnya untuk di
treatment lebih lanjut.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
69
c.
Flow Equalization
Pada tahap ini, limbah yang berasal dari solid and separation chamber akan
dihomogenkan agar mempermudah dalam proses berikutnya.
d.
Anaerobic Digestion
Air limbah yang ada pada equalization chamber akan mengalir ke anaerobic
chamber. Pada tahap ini dilengkapi Enpiro-Ball Bio-Media, tetapi tidak
dibutuhkan oksigen karena proses ini adalah anaerob. Pada tahap ini terjadi
penurunan parameter-parameter pencemar air limbah yang dilakukan oleh
bakteri anaerob.
e.
Sump/Collecting Pit
Air yang sudah melalui anaerobic chamber akan mengalir
menuju
sump/collecting pit, dari unit ini air limbah akan di transfer dengan pipa
submersible menuju system aerobic.
f.
Aerobic Equalization Chamber
Chamber ini menerima air limbah dari anaerobic chamber melalui
Sump/Collecting Pit. Pada tahap ini di pasang fine bubble difusser dan
dioksidasi dengan air blower sehingga mikroorganisme aerobik akan hidup
dan berkembang biak dengan sempurna. Selain itu unit ini berfungsi untuk
menurunkan BOD, COD, SS dan menghilangkan bau. Chamber ini menerima
pengembalian lumpur (return sludge) yang berasal dari sedimentasi dengan
menggunakan air lift pump.
g.
Clarifier (Sedimentation)
Chamber ini menerima aliran air limbah dari aerobic chamber yang berfungsi
untuk memisahkan air yang bersih dengan sludge/lumpur. Lumpur yang
mengendap akan dikembalikan ke aerobic equalization chamber.
h.
Aerobic Chamber with Biofilm
Chamber ini dilengkapi dengan plate settler berupa media honey comb.
Mekanisme proses metabolisme di dalam system biofilm merupakan system
biofilm yang terdiri dari media penyangga, lapisan biofilm yang melekat pada
media honey comb. Pada tahap ini terjadi proses penurunan polutan dengan
biofilm. Setelah ini proses ini air akan mengalir secara gravitasi ke unit
electrocoagulation untuk menjalani proses pengolahan selanjutnya.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
70
i.
Electrocoagulation
Sama seperti pengolahan konvensional secara kimia dengan menggunakan
koagulan dan flokulan, disini air limbah juga mengalami hal serupa. Namun
proses ini menggunakan energi listrik. Pada tahap ini unsur-unsur polutan
terutama seperti warna, kandungan organik maupun anorganik dipecahkan
ikatannya dari air limbah dengan menggunakan energi listrik. Pada tahap ini
terjadi pengikatan ion negatif oleh ion positif, ikatan tersebut akan
membentuk polutan yang berat jenisnya lebih dari air, polutan tersebut akan
mengendap dan endapan tersebut akan diangkat secara manual.
j.
Sand filter
Sebelum menuju sand filter, air limbah akan mengalir ke bak penampungan,
lalu dari bak penampungan air limbah akan dipompa menuju sand filter.
Tujuan penyaringan pada unit sand filter adalah untuk menyaring polutan
yang masih terdapat dalam air limbah dengan menggunakan pasir silika.
k.
Carbon filter
Tujuannya penyaringan pada unit carbon filter adalah untuk menghilangkan
materi dari cairan terutama komponen yang berkontribusi atas adanya warna
dan bau dalam air limbah. Banyak sekali absorben yang digunakan untuk
aplikasi lapangan, namun karbon aktif merupakan bahan yang sering
digunakan karena lebih ekonomis dan sifarnya non polar.
l.
Ultra Violet (UV) Desinfection
Pada proses ini, air limbah dari carbon filter akan didesinfeksi menggunakan
radiasi Ultra Violet (UV). Air yang akan di desinfeksi dialirkan diantara
tabung sinar merkuri dan tabung reflektor yang dilapisi metal dengan waktu
pemaparan beberapa detik, namun energi yang diperlukan cukup tinggi
sekitar 10-20 watt/m3/jam.
m. Treated Water Tank
Chamber ini untuk menampung air yang sudah diproses dan siap untuk di
gunakan kembali atau dibuang ke saluran kota secara gravitasi.
IPAL 2 RSKD dirancang untuk dapat menghasilkan olahan air limbah
yang dapat memenuhi persyaratan air bersih, sehingga diharapkan dapat
digunakan kembali untuk kebutuhan rumah sakit, antara lain untuk menyiram
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
71
tanaman dan digunakan untuk sumber air dalam pencucian laundri dan lain-lain.
Sama halnya dengan IPAL 1, Instalasi Kesehatan Lingkungan RSKD juga
melakukan pemeriksaan kualitas limbah cair terolah (effluent) IPAL 2 secara rutin
setiap harinya untuk swapantau serta pengiriman sampel limbah cair ke ke PT.
Unilab Perdana setiap 1 bulan sekali dan ke BPLHD setiap 3 bulan sekali untuk
diperiksa kualitas dan kuantitas limbah cair yang dihasilkan dengan peraturan
yang berlaku. Perizinan IPAL 2 dikeluarkan oleh BPLHD. Perizinan tersebut
harus diperpanjang selama 5 tahun sekali, dan pada kurun waktu 5 tahun dari
tahun 2011-2016 limbah cair maksimum yang diperbolehkan dibuang oleh IPAL 2
ke saluran kota ialah 36 m3/hari.
Gambar 5.3. Alur Pengolahan Limbah Cair
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
BAB 6
PEMBAHASAN
RSKD memiliki beberapa instalasi sebagai penunjang pelayanan
kesehatan. Salah satu instalasi tersebut adalah Instalasi Farmasi Rumah Sakit
(IFRS). IFRS bertanggung jawab sepenuhnya terhadap seluruh kegiatan
kefarmasian. IFRS menjalankan fungsi kefarmasian yang mencakup tiga aspek
utama, yaitu aspek manajemen, produksi, dan farmasi klinik. Pelayanan IFRS
RSKD berdasarkan sistem pelayanan farmasi satu pintu (one bin system) yang
berarti satu kebijakan, satu SOP, satu pengawasan operasional, dan satu sistem
informasi.
6.1. Manajemen Farmasi
6.1.1. Pemilihan
Tujuan pemilihan perbekalan farmasi di RSKD yaitu untuk menentukan
apakah perbekalan farmasi benar-benar diperlukan sesuai jumlah pasien atau
jumlah kunjungan dan memenuhi kriteria efektif, aman, bermutu, dan terjangkau.
Pemilihan perbekalan farmasi yang akan masuk ke dalam formularium RSKD
menggunakan sistem 1:2:1. Pada sistem tersebut, berlaku ketentuan yaitu untuk
setiap zat aktif terdiri atas 1 produk paten (original), 2 produk me too, dan 1 nama
generik. Pemilihan obat dan alat-alat kesehatan di Rumah Sakit Kanker
“Dharmais” dilakukan oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT). Obat-obat baru
yang akan masuk ke dalam formularium harus melalui tahapan seleksi oleh PFT.
Tahapan pengajuan obat yang akan masuk ke dalam formularium yaitu :
1.
User (dokter) melakukan permintaan obat baru yang ditawarkan distributor
pabrik farmasi dengan cara mengisi Formulir Permintaan Obat Baru di Luar
Standar Rumah Sakit Kanker “Dharmais” yang harus ditandatangani oleh tiga
dokter spesialis (Lampiran 14).
2.
Pengisian formulir tersebut dilengkapi dengan informasi produk yang terdiri
dari nama obat, bentuk sediaan dan kekuatan, indikasi, efek samping utama
obat baru yang pernah dilaporkan, literatur yang menjadi referensi, dan harga
per unit.
72
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
73
3.
PFT melakukan pengecekan kelengkapan formulir dan menganalisis
kebutuhan obat tersebut dan membandingkan dengan formularium yang sudah
ada.
4.
Pihak distributor yang menawarkan obat baru melakukan presentasi mengenai
produk baru tersebut didepan PFT dan dokter pengguna (user), kemudian PFT
menganalisa kembali informasi yang didapat dari presentasi distributor.
5.
Jika obat tersebut disetujui maka formulir permintaan obat baru ditandatangani
oleh ketua PFT dan kepala IFRS kemudian dilakukan negosiasi harga antara
distributor dengan IFRS dan Instalasi Layanan Pengadaan (ILP).
6.
Apabila kesepakatan harga telah tercapai maka dilakukan penandatanganan
Ikatan Kerja Sama (IKS). Status obat tersebut berupa obat konsinyasi secara
sistem.
7.
PFT melihat pola pemakaian obat tersebut selama tiga bulan pertama. Dari
data yang ada, dilakukan pengkategorian obat menurut pemakaiannya: fast
moving, slow moving,atau middle moving.
8.
Obat yang dimasukkan kedalam suplemen formularium yang digunakan di
RSKD adalah kategori fast moving dan hasil pertimbangan terhadap segala
aspek obat menunjukkan bahwa obat tersebut layak dimasukkan ke dalam
formularium. Obat tersebut akan dimasukkan ke dalam formularium pada
periode berikutnya. Namun, jika kategori obat tersebut berupa middle atau
slow moving maka dilakukan pengamatan selama tiga bulan kedua. Masuk
atau tidaknya obat tersebut ke dalam formularium berdasarkan beberapa
persyaratan yang sudah ditetapkan oleh PFT.
9.
Setelah obat baru masuk ke dalam formularium, PFT mengevaluasi frekuensi
pemakaian obat baru tersebut secara berkala.
Prosedur penambahan dan pengurangan daftar obat dalam formularium:
1. Melakukan evaluasi terhadap obat yang sudah masuk formularium setiap tiga
bulan sekali terkait dengan efektifitas dan frekuensi penggunaannya di RSKD
2. Obat yang jarang digunakan (slow moving) setelah waktu tiga bulan akan
diingatkan kepada principal terkait atau dokter yang meminta obat tersebut.
Apabila pada 3 bulan berikutnya tetap tidak atau kurang jalan, maka obat
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
74
tersebut dikeluarkan dari buku formularium dan posisinya digantikan oleh obat
me too berikutnya atau lainnya.
3. Bila pada hasil evaluasi dalam 3 bulan pertama, ternyata ada obat-obat yang
tidak jalan atau tidak digunakan, maka obat tersebut langsung dikeluarkan dari
buku formularium dan kesempatan diberikan kepada obat me too berikutnya
untuk menggantikan posisi obat yang dikeluarkan tersebut.
4. Untuk obat yang bersifat life saving dan dibutuhkan namun tidak terdapat
dalam formularium, maka harus mendapat persetujuan dari ketua komite
medik atau direktur medik dan keperawatan.
Formularium di RSKD selalu dievaluasi dan diperbaharui setiap enam
bulan sekali. Dalam melakukan evaluasi formularium, dilihat persentase
penggunaan obat oleh dokter yang berasal dari formularium. Semakin besar
persentase keterpakaian obat oleh dokter yang ada di dalam formularium
menunjukan semakin tinggi tingkat kepatuhan dokter dalam meresepkan obatobatan yang termasuk ke dalam formularium tersebut.
6.1.2. Perencanaan
Perencanaan merupakan kegiatan menyusun daftar kebutuhan perbekalan
farmasi yang disesuaikan dengan anggaran dengan tujuan mencegah terjadinya
kekurangan (underestimate) atau kelebihan (overestimate) perbekalan farmasi.
Perencanaan perbekalan farmasi di RSKD mengacu pada Formularium 1:2:1, ekatalog, DPHO, dan Formularium Nasional. Perencanaan di Instalasi Farmasi
RSKD menggunakan metode konsumsi yang dimodifikasi dengan data
kecenderungan pemakaian tiga bulan sebelumnya. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
melakukan perencanaan untuk periode satu tahun.
Perencanaan perbekalan farmasi di RSKD sudah dilakukan melalui sistem
komputerisasi yaitu dengan proses Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) yang
dilihat pada jumlah stok maksimal dan minimal. Dasar penetapan stok minimal
dan maksimal diperoleh dengan mempertimbangkan analisis penjualan selama
tiga bulan (pola konsumsi), kemudian di lihat rata-rata per bulannya, trend
pemakaian, lead time, dan stok pengaman.
Perencanaan dilakukan oleh bagian kepala unit perbekalan farmasi.
Apabila telah mencapai stok minimum, maka secara otomatis akan keluar
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
75
Material Request (MR) yang ada di SIRS dan menunjukkan perbekalan farmasi
yang harus segera dipesan (Lampiran 15). MR berisi nama obat/alkes, distributor,
harga, diskon, dan jumlah yang akan dipesan. MR diverifikasi dengan
mempertimbangkan kecenderungan pemakaian, kelangkaan barang farmasi, slow
moving, dan middle stock. Selanjutnya, koordinator bagian perbekalan farmasi
membuat print out MR tersebut yang diverifikasi terlebih dahulu oleh Kepala
IFRS, lalu akan dibawa ke bagian Instalasi Layanan Pengadaan (ILP). Data digital
MR terhubung langsung dengan ILP dan juga dalam bentuk tercetak diserahkan
kepada ILP untuk memastikan MR sesuai. Perencenaan ini biasanya dilakukan
sebanyak satu bulan sekali.
Keuntungan dari penggunaan SIRS pada proses perencanaan obat adalah
saat stok obat di komputer telah menyentuh batas stok minimal, obat tersebut akan
langsung tertera dalam MR untuk kemudian ditindaklanjuti oleh ILP, sehingga
akan menyederhanakan serta mempercepat proses perencanaan dan permintaan ke
ILP. Kekurangan dari sistem ini yaitu jika terjadi kesalahan sistem atau instalasi
listrik padam maka akan terjadi hambatan dalam prosesnya.
6.1.3. Pengadaan
Pengadaan perbekalan farmasi di RSKD dilakukan oleh Instalasi Layanan
Pengadaan (ILP). Pengadaan dilakukan dengan dua metode, yaitu penunjukkan
langsung dan lelang harga. Lelang harga dilakukan untuk pengadaan obat generik,
obat me-too dan alat kesehatan, sedangkan penunjukkan langsung dilakukan untuk
pengadaan obat narkotika dan psikotropika, serta untuk obat original. Proses
lelang dilakukan terhadap penawaran harga oleh distributor dan dilaksanakan
setiap satu tahun sekali. Tugas ILP terkait dengan pelelangan dan pengadaan
barang
yaitu
membuat
dokumen
pengadaan,
membuat
jadwal
lelang,
melaksanakan lelang, menginformasikan hasil lelang, dan melakukan input data
ke koordinator bagian perbekalan farmasi farmasi.
Prinsip lelang di RSKD adalah lelang harga yang mana harga tersebut
merupakan harga yang terikat selama satu tahun. Metode lelang di Rumah Sakit
Kanker “Dharmais” adalah pelelangan pasca kualifikasi yaitu untuk semua
rekanan yang terdaftar dan memenuhi kriteria yang telah ditentukan oleh ILP
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
76
dalam dokumen pengadaan. Proses lelang diikuti oleh Farmasi, ILP, dan pejabat
komitmen lelang.
Proses lelang meliputi pengumuman lelang terbuka, pendaftaran peserta
lelang, pengajuan dokumen, pembukaan dokumen, evaluasi dokumen, penetapan
pemenang, pengumuman pemenang dan masa sanggah. Setelah melewati masa
sanggah, pemenang yang telah ditetapkan menandatangani Ikatan Kerja Sama
(IKS) dengan ILP RSKD.
Alur pengadaan barang dimulai dari koordinator bagian perbekalan farmasi
mengeluarkan MR, kemudian MR tersebut dikirim ke ILP. ILP membuat Surat
Pesanan Barang (Lampiran 16) atau Purchasing Order (PO) sesuai dengan MR,
lalu melakukan pemesanan barang ke distributor melalui fax atau telepon. PO
hanya berlaku lima hari hingga barang datang, apabila barang tidak dalam kurun
waktu 5 hari harus membuat PO baru. Untuk pemesanan narkotika dan
psikotropika, terdapat blanko surat pemesanan khusus MR yang digunakan
terpisah dengan jenis obat lain. Dalam pemesanannya, selain menggunakan MR,
disertakan juga lampiran form Surat Pesanan (SP) khusus. SP narkotika (Lampiran
17) ada 4 lembar (putih, merah, hijau, kuning) dan SP psikotropika (Lampiran 18)
ada 3 lembar (putih, kuning, merah) yang ditandatangani oleh kepala instalasi.
Surat Pesanan Barang (SPB) dibuat dua rangkap oleh ILP, lembar pertama
untuk distributor dan lembar kedua untuk arsip Rumah Sakit Kanker “Dharmais”.
SPB diserahkan ke perusahaan farmasi sebagai bukti pemesanan barang. Untuk
pemesanan narkotik dan psikotropik, MR yang digunakan terpisah dengan jenis
obat lain. Dalam pemesanannya, selain menggunakan MR, disertakan juga
lampiran form surat pesanan (SP) khusus. SP narkotik yang terdiri dari 4 lembar
(putih, merah, hijau, kuning) dan SP psikotropikter diri dari 3 lembar (putih,
kuning, merah) yang ditandatangani oleh kepala instalasi.
6.1.4. Penerimaan
Barang yang dikirim oleh distributor ke Instalasi Farmasi diterima oleh
Unit Penerimaan Barang (UPB) disertai empat faktur. Dua faktur untuk distributor
dan 2 faktur untuk UPB. UPB memeriksa jenis barang yang datang dan jumlahnya
serta daftar barang yang ada dalam faktur. Selanjutnya, dicocokkan dengan daftar
barang yang ada dalam MR apakah telah sesuai pesanan atau tidak. Selain
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
77
memeriksa jenis barang dan jumlahnya, UPB juga melakukan pemeriksaan
terhadap kualitas fisik barang, tanggal kadaluwarsa, dan kondisi penyimpanan
pada saat pengiriman.
Apabila telah sesuai, UPB membuat surat Delivery Order (DO) sebanyak
dua lembar, satu lembar untuk UPB dan satu lembar untuk koordinator bagian
perbekalan farmasi. Setelah itu pihak koordinator bagian perbekalan farmasi
datang ke UPB untuk mengambil barang. Sebelum mengambil barang, pihak
koordinator bagian perbekalan farmasi melakukan pemeriksaan ulang terhadap
kelengkapan barang yang disesuiakan dengan faktur. Saat barang diambil oleh
koordinator bagian perbekalan farmasi, UPB membuat berita acara penyerahan
(BAP) barang dari UPB ke pihak koordinator bagian perbekalan farmasi. BAP
(Lampiran 19) ditandatangani oleh dua orang dari pihak UPB dan satu orang dari
pihak koordinator bagian perbekalan farmasi. BAP tersebut kemudian diserahkan
ke distributor untuk penagihan ke bagian keuangan.
6.1.5. Penyimpanan
Tujuan penyimpanan perbekalan farmasi di koordinator bagian perbekalan
farmasi adalah memelihara mutu barang dan menjaga kelangsungan persediaan,
memudahkan dalam pencarian, memudahkan pengawasan persediaan (stok),
kerusakan dan kadaluarsa, serta menjamin pelayanan yang tepat dan cepat.
Penyimpanan perbekalan farmasi yang dilakukan di ruang penyimpanan/gudang
(bagian koordinator bagian perbekalan farmasi) IFRS menggunakan sistem
kombinasi, yaitu FIFO (First In First Out) dan FEFO (First Expired First Out).
FIFO merupakan sistem penyimpanan barang yang pertama kali masuk akan
menjadi yang pertama kali dikeluarkan pada saat ada permintaan. Sedangkan,
FEFO (First Expired First Out) merupakan sistem penyimpanan barang yang
masa kadaluarsanya terdekat akan pertama kali dikeluarkan pada saat ada
permintaan. Penyimpanan perbekalan farmasi oleh bagian bagian perbekalan
farmasi farmasi di RSKD terbagi menjadi:
1. Gudang obat reguler
2. Gudang obat generik
3. Gudang obat kanker, narkotika dan psikotropika
4. Gudang alat kesehatan (untuk barang-barang seperti jarum, benang, cathether)
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
78
5. Gudang obat Infus
6. Gudang Cairan dan B3 (Bahan Beracun Berbahaya).
Ruang penyimpanan dilengkapi dengan alat pengukur suhu dan
kelembapan udara. Hal ini berguna untuk pengawasan dan penjaminan kondisi
penyimpanan barang. Petugas Koordinator Bagian perbekalan farmasi mengontrol
dan mencatat suhu dan kelembapan ruangan dua kali sehari pada pagi dan sore
(Lampiran 20).
Pengecekan kesesuaian jumlah fisik barang dengan kartu stok obat
(Lampiran 21) dan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) dilakukan hanya untuk
obat-obatan narkotika dan psikotoprika. Sedangkan, untuk obat-obatan lainnya
pengecekan hanya dilakukan berdasarkan SIRS dengan jumlah fisik obat di ruang
penyimpanan. Pengecekan kesesuaian jumlah fisik barang secara rutin dilakukan,
karena apabila terjadinya ketidaksesuaian antara jumlah fisik barang dengan kartu
stok obat atau SIRS dapat berakibat pada terhambatnya proses pendistribusian
barang.
Penyimpanan gudang perbekalan farmasi di RSKD dikelompokkan
berdasarkan kelompoknya, misalnya kelompok penyimpanan obat, alat kesehatan,
bahan baku, dan cairan infus. Penyimpanan juga dikelompokkan berdasarkan
bentuk sediaannya, yaitu sediaan parenteral, padat, setengah padat, dan cair,
disimpan secara terpisah. Setiap kelompok dan bentuk sediaan disusun secara
alfabetis dan suhu stabilitas penyimpanannya, yaitu suhu kamar 25oC atau dalam
lemari pendingin 2-8oC. Obat-obat narkotika dan psikotropika, disimpan dalam
lemari khusus sesuai dengan ketentuan pengelolaan yang ditetapkan. Sedangkan,
bahan beracun berbahaya dan mudah terbakar disimpan terpisah dari obat dan alat
kesehetan lainnya.
6.1.6 Pendistribusian
Pendistribusian perbekalan farmasi dari IFRS dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu pendistribusian perbekalan farmasi individu (termasuk satelit
farmasi rawat inap, satelit farmasi rawat jalan, satelit farmasi obat tradisional),
perbekalan farmasi dasar, dan paket tindakan.
a.
Satelit Farmasi Rawat Inap (SAFARI)
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
79
SAFARI merupakan bagian dari Instalasi Farmasi yang melaksanakan
kegiatan pelayanan farmasi berupa pelayanan resep dari ruang rawat inap, RIIM,
HCU, dan pasien rawat jalan khusus peserta JKN. Berdasarkan status pasien,
SAFARI melayani 4 jenis pasien yaitu pasien tunai/reguler/deposit, pasien
Jaminan Perusahaan asuransi, pasien JKN tipe PBI dan pasien JKN non-PBI. Alur
pelayanan resep secara umum di SAFARI yaitu resep dari dokter dibawa ke
SAFARI untuk di-billing (diberi harga) dan dicetak etiket (Lampiran 22),
selanjutnya obat disiapkan oleh petugas SAFARI termasuk dilakukan peracikan
obat. Kemudian dilakukan pengemasan untuk obat yang telah disiapkan atau
diracik. Setelah, dilakukan pengemasan,
dilakukan penyerahan obat dengan
memeriksa 7B (benar pasien, benar obat, benar dosis, benar waktu, benar cara
pemberian, benar informasi, dan benar pendokumentasian).
Resep dari Depo Farmasi UDD
Petugas SAFARI menerima kelengkapan resep
R/ di-billing dan dicek kembali kelengkapan R/ sesuai dengan
status pasien dan petugas paraf pada kolom HRKP
Menyiapkan obat sesuai R/ dengan prinsip 7B
(benar pasien, benar obat, benar dosis, benar
waktu, benar cara pemberian, benar informasi,
dan benar pendokumentasian).
Depo Farmasi UDD
Gambar 6.1. Alur Pelayanan Resep Pasien Rawat Inap Tunai
Pada pelaksanaan pelayanan mulai dari obat dihargai, diracik, dikemas,
dan diserahkan, dilakukan oleh petugas yang berbeda dan setiap petugas harus
memberi paraf pada kolom HRKP (hargai, racik, kemas, penyerahan) dan 7B
sesuai dengan tugasnya. Pelaksanaan HRKP di SAFARI sudah berjalan, namun
pelaksanaannya belum optimal karena petugas yang melaksanakan pada umumnya
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
80
tidak mengisi kolom HRKP dan 7B yang ada pada resep. Pengisian kolom HRKP
bertujuan untuk memastikan bahwa obat yang akan diserahkan sudah benar dan
menghindari medication erorr pada tahap penyiapan obat. Selanjutnya, dalam
pendistribusian obat ke ruangan untuk pasien rawat inap, obat diantarkan ke ruang
perawatan oleh petugas farmasi.
Untuk pasien rawat inap tunai dan jaminan perusahaan, resep diberikan
langung oleh petugas UDD (Unit Dose Dispensing) ke SAFARI. Sedangkan untuk
pasien rawat inap JKN, resep diserahkan oleh petugas UDD ke keluarga pasien
untuk diantarkan sendiri ke SAFARI dan diverifikasi. Selanjutnya akan dilakukan
pelayanan resep sesuai alur pelayanan resep secara umum di SAFARI, kemudian
obat diantarkan ke petugas UDD ruangan oleh petugas SAFARI.
Resep dari Depo Farmasi UDD
Pasien
R/ di-billing oleh petugas SAFARI
Diverifikasi petugas jaminan
Pasien diberi SKP (Surat Keabsahan Jaminan)
Resep disiapkan di SAFARI
Gambar 6.2. Alur Pelayanan Resep Pasien JKN
Permintaan barang dari SAFARI ke Bagian Perbekalan Farmasi dilakukan
dengan mengisi langsung permintaan barang melalui Sistem Informasi Rumah
Sakit yang dilakukan oleh petugas SAFARI. Selanjutnya, petugas bagian
perbekalan farmasi mencetak dalam bentuk bon mutasi barang. Lembar mutasi
barang dapat dilihat pada Lampiran 23.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
81
b.
Satelit Farmasi Rawat Jalan (SAFARJAN)
SAFARJAN merupakan bagian dari instalasi farmasi yang melaksanakan
pelayanan farmasi berupa pelayanan resep obat untuk pasien rawat jalan. Adapun
pasien yang dilayani di SAFARJAN adalah pasien tunai/reguler, pasien HIV, dan
pasien jaminan perusahaan, dan pasien di luar RSKD.
Resep dari dokter dibawa oleh pasien
Petugas SAFARJAN menerima kelengkapan resep
R/ di-billing
Pasien membayar di kasir (untuk pasien tunai/reguler)
Pasien menyerahkan bukti pembayaran
Menyiapkan obat sesuai R/ dengan prinsip 7
benar (benar obat, benar pasien, benar waktu,
bedar dosis dan benar cara pemberian
Obat diserahkan ke pasien dengen
disertai pemberian informasi obat
Gambar 6.3. Alur Pelayanan Resep SAFARJAN
Alur pelayanan resep untuk pasien tunai/reguler yaitu resep dari dokter
dibawa oleh pasien ke SAFARJAN untuk di-billing, setelah di-billing obat
disiapkan oleh bagian SAFARJAN termasuk dilakukan peracikan obat. Kemudian
dilakukan pengemasan untuk obat yang telah disiapkan atau diracik. Setelah
dilakukan pengemasan, dilakukan penyerahan obat dengan memeriksa 7B (benar
pasien, benar obat, benar dosis, benar waktu, benar cara pemberian, benar
informasi, dan benar pendokumentasian). Pada pelaksanaan pelayanan mulai dari
obat dihargai, diracik, dikemas, dan diserahkan, dilakukan oleh petugas yang
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
82
berbeda dan setiap petugas harus memberi paraf pada kolom HRKP (hargai, racik,
kemas, penyerahan) dan 7B sesuai dengan tugasnya (Lampiran 24).
Pengisian HRKP dan 7B ini bertujuan untuk memastikan bahwa obat yang
akan diserahkan sudah benar. Di SAFARJAN, pelaksanaan HRKP sudah berjalan,
namun pelaksanaannya belum optimal karena petugas yang melaksanakan pada
umumnya tidak selalu mengisi kolom HRKP dan 7B yang ada pada resep,
sehingga kemungkinan terjadinya medication erorr masih dapat terjadi. Kemudian
obat diserahkan langsung ke pasien oleh petugas disertai dengan pemberian
informasi mengenai obat (PIO) yang diserahkan
Alur pelayanan resep jaminan perusahaan yaitu resep dari dokter dibawa
oleh pasien ke SAFARJAN untuk di-billing, kemudian resep tersebut dibawa ke
bagian jaminan perusahaan untuk mengetahui apakah biaya pengobatan
ditanggung oleh perusahaan atau tidak. Setelah disetujui, resep kemudian dibawa
kembali ke SAFARJAN, kemudian di SAFARJAN obat disiapkan dan langsung
diberikan kepada pasien oleh petugas. Adapun untuk pasien HIV, obat-obatan
untuk pasien HIV diberikan secara gratis karena merupakan program pemerintah,
namun untuk suplemen makanan atau vitamin biayanya dibebankan ke pasien.
c.
Satelit Farmasi Obat Tradisional
Satelit Obat Tradisional melayani resep pasien rawat inap dan rawat jalan
RSKD, selain itu dapat melayani resep dari luar rumah sakit. Selain melayani
resep dari dokter, pembelian obat tradisional tanpa resep juga dapat dilayani
dengan disertai konseling dan pemberian informasi obat tradisional oleh apoteker.
Alur pelayanan farmasi yang ada di Satelit Obat Tradisional terdiri dari dua
pelayanan yaitu pelayanan dengan resep dan pelayanan tanpa resep, untuk
pelayanan dengan resep alur pelayanannya yaitu resep dari dokter diterima oleh
petugas farmasi dan dilakukan pengecekkan kelengkapannya, selanjutnya resep
hargai dan pasien melakukan pembayaran secara tunai di kasir, kemudian pasien
menyerahkan bukti pembayaran dan petugas farmasi menyerahkan obat
tradisional tersebut disertai dengan informasi yang jelas. Untuk alur pelayanan
obat tradisional pasien tanpa resep dokter, petugas farmasi melakukan
swamedikasi terhadap keluhan yang disampaikan oleh pasien, diawali dengan
menggali informasi dari keluhan pasien tersebut dan memilihkan obat yang tepat,
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
83
selanjutnya obat tersebut hargai dan pasien membayar secara tunai di kasir, obat
tradisional diserahkan oleh petugas farmasi disertai dengan informasi obat yang
jelas serta cara penggunaan obat yang benar dan rasional. Alur pelayanan resep
Satelit Obat Tradisional dapat dilihat pada Gambar 6.4.
Resep dari dokter dibawa oleh pasien
Petugas farmasi mengecek
kelengkapan resep
Pasien tanpa resep dokter
Petugas farmasi melakukan
swamedikasi (mendengarkan
keluhan pasien dan memilihkan obat
yang tepat untuk pasien)
R/ di-billing
Pasien membayar di kasir
Pasien menyerahkan bukti pembayaran
Obat diserahkan ke pasien dengen
disertai pemberian informasi obat
Gambar 6.4. Alur Pelayanan Resep Satelit Obat Tradisional
d.
Perbekalan Farmasi Dasar
Perbekalan farmasi dasar merupakan perbekalan farmasi yang sering
digunakan untuk kebutuhan bersama di tiap-tiap ruangan dan permintaanya
dilakukan satu kali dalam seminggu. Setiap ruangan menuliskan permintaan
barang yang diminta pada form Bon Permintaan Barang (Lampiran 25) yang
diserahkan kepada bagian koordinator logistik farmasi. Kemudian dari bagian
koordinator logistik farmasi akan mendistribusikan permintaan barang yang
diminta. Pendistribusian dilakukan ke rawat inap, rawat jalan, dan ruangan lain
yang juga menggunakan barang-barang farmasi dasar (Instalasi Rehabilitasi
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
84
Medik, IGD, poli rawat jalan, ICU, dll). Contoh perbekalan farmasi dasar yaitu:
alkohol 70%, alcohol swab, kassa, masker, sarung tangan, micropore tape dll.
e. Paket Tindakan
Paket tindakan didistribusikan ke Instalasi Bedah Sentral dan prosedur
diagnostik. Paket tindakan disiapkan oleh petugas depo sesuai dengan permintaan
tindakan yang akan dilakukan. Alur persiapannya yaitu satu hari sebelum
tindakan, perawat meminta perbekalan farmasi perpaket ke depo farmasi,
kemudian petugas di depo farmasi menyiapkan paket tindakan. Perawat
mengambil paket tindakan yang sudah disediakan oleh depo farmasi yang
kemudian digunakan untuk tindakan diagnostik. Perbekalan farmasi yang terpakai
di-billing dan barang yang tidak digunakan dikembalikan lagi ke petugas depo
prosedur atau bedah sentral.
6.1.7 Pelayanan Obat Pasien Rawat Inap
Pelayanan obat pasien rawat inap dilakukan di depo farmasi yang berada di
tiap ruangan rawat inap di RSKD, yaitu di kelas VIP/VVIP, kelas I, kelas II, kelas
III, ruang anak, dan ruang teratai (JKN). Tujuan dari depo farmasi di setiap
ruangan adalah untuk memberikan kemudahan pemberian obat pada pasien
sehingga memudahkan pasien dalam menjalani terapi. Tugas asisten apoteker di
depo farmasi rawat inap RSKD:
a. Menyiapkan obat-obat dan alat kesehatan yang dibutuhkan oleh pasien
b. Menyiapkan obat oral, obat injeksi, dan alat kesehatan sebagai persediaan
untuk masing-masing pasien dan dicatat di kardeks (kartu indeks).
c. Menyiapkan barang farmasi dasar dan emergency.
d. Mengawasi kesesuaian obat dan alat kesehatan dalam lemari emergency
dengan buku stok baku setiap harinya
e. Menyimpan obat dan alkes ke dalam masing-masing box pasien.
f. Mencatat obat-obat dan alat kesehatan yang tidak digunakan oleh pasien yang
selanjutnya dikembalikan ke apotek/return.
Pelayanan depo farmasi di rawat inap dilakukan secara Unit Dose
Dispensing (UDD) dengan menyiapkan obat untuk penggunaan 24 jam (sesuai
dosis obat dan aturan pakai). Alur penyiapan obat di UDD yaitu resep yang datang
dari dokter dicek kelengkapannya dan diperiksa ada tidaknya interaksi obat. Jika
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
85
obat dalam resep sudah memenuhi kriteria 7B (benar pasien, benar obat, benar
dosis, benar waktu dan benar cara pemberian), maka obat siap diberikan kepada
pasien melalui perawat, jika tidak petugas farmasi harus melakukan konfirmasi
kembali ke dokter penulis resep. Untuk pasien reguler, resep yang telah dicek di
UDD diantarkan oleh petugas ke SAFARI untuk di-billing, sedangkan resep
pasien jaminan perusahaan dan JKN diserahkan kepada keluarga pasien.
Penyiapan obat dilakukan sesuai dengan kardeks. Kardeks (kartu indeks)
adalah formulir pengobatan yang berisi informasi yang didalamnya terdiri atas
beberapa data seperti nama dokter yang merawat, nama kepala perawat, nama
apoteker, nama obat yang diberikan, potensi obat, dosis obat, frekuensi pemberian,
petunjuk penggunaan, bentuk sediaan, cara penggunaan serta dilengkapi pula
dengan tanggal pemberian obat. Pada kardeks juga terdapat catatan tekanan darah,
denyut nadi, repiratory rate, dan suhu tubuh yang diukur dan ditulis setiap harinya
(Lampiran 26).
Obat disiapkan dalam plastik dengan warna yang berbeda untuk setiap
waktu pemberian (Lampiran 27). Plastik obat yang digunakan yaitu pagi (plastik
putih), siang (plastik merah), sore (plastik biru), malam (plastik hijau), dan untuk
obat-obat dengan penggunaan pada jam-jam tertentu (misalnya golongan
narkotika atau psikotropika) menggunakan plastik berwarna kuning. Pelaksanaan
penyiapan obat secara unit dose di ruang rawat RSKD umumnya sudah
berlangsung dengan baik. Keberadaan petugas farmasi untuk mempersiapkan obat
membantu mengurangi beban kerja perawat, mengurangi kesalahan pengobatan,
serta meringankan beban pasien karena pasien hanya membayar obat yang telah
dipakainya dan sisanya dapat di-retur. Adapun kekurangan yang masih ada dalam
sistem UDD di RSKD adalah tidak adanya keterangan penggunaan obat yang
lebih spesifik untuk obat-obat yang aturan minumnya khusus tergantung
absorpsinya dalam lambung.
Hal tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan
pemberian label informasi obat pada saat membungkus obat untuk dimasukkan ke
plastik obat. Label informasi obat yang dapat digunakan antara lain seperti “Obat
ini diminum segera setelah makan” dan “Obat ini diminum 1 jam sebelum makan”
atau “Obat ini diminum 2 jam setelah makan”.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
86
Petugas farmasi juga menyiapkan lemari obat emergency yang berisi obatobatan, alat kesehatan, dan sediaan infus. Tugas petugas farmasi di depo terkait
pengelolaan obat emergency yaitu mengawasi kesesuaian obat dan alat kesehatan
dalam lemari emergency dengan buku stok baku. Obat-obatan yang tersedia
disesuaikan berdasarkan kebutuhan pasien di ruangan. Obat dalam lemari
emergency dipilih berdasarkan obat yang memiliki onset yang cepat seperti
epinefrin, deksametason, ranitidin, transamin, vitamin K (dalam bentuk injeksi)
dan lainnya. Apabila obat dalam lemari emergency digunakan maka perawat harus
mencatat pada buku khusus nama pasien, MR, obat dan jumlah yang digunakan,
kemudian obat yang telah digunakan minta kembali ke SAFARI dengan
menyerahkan resep dari dokter sebagai obat pengganti. Pemeriksaan terhadap
lemari emergency dilakukan setiap hari dengan mengisi form pemantauan obat
dan alkes emergency (Lampiran 28) untuk mencegah ketidaktersediaan obat ketika
keadaan darurat.
6.1.8 Pengendalian
Pengendalian merupakan kegiatan pengawasan, pemeliharaan, dan audit
terhadap perbekalan farmasi untuk menjamin mutu, mencegah terjadinya
penumpukan barang, mencegah kadaluarsa, rusak, dan mencegah ditarik dari
peredaran. Pengendalian perbekalan farmasi di RSKD dilakukan menggunakan
analisis ABC (Always Better Control) dan analisis VEN (Vital Essensial Non
Essensial) sebagai pedoman untuk menentukan prioritas dalam perencanaan atau
pengadaan.
6.1.9 Penghapusan
Penghapusan
merupakan
kegiatan
penyelesaian
terhadap
perbekalan farmasi yang tidak terpakai karena kadaluarsa, rusak, atau mutu tidak
memenuhi standar. Proses penghapusan barang yaitu barang yang sudah
kadaluarsa atau rusak diusulkan oleh bagian IFRS ke pihak terkait sesuai prosedur
yang berlaku. Kegiatan penghapusan di RSKD dimulai dengan melakukan
pencatatan barang-barang yang telah kadaluarsa dan rusak setiap tiga bulan oleh
pihak IFRS. Data tersebut kemudian direkap setiap satu tahun dan dilaporkan ke
Panitia Penghapusan Barang. Panitia Pemusnahan Barang kemudian mengajukan
izin untuk pemusnahan barang kepada Kementerian Kesehatan. Apabila sudah
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
87
disetujui, pihak Kementerian Kesehatan akan membuat berita acara bahwa barang
boleh dimusnahkan, selanjutnya dilakukan pemusnahan perbekalan farmasi yang
telah kadaluarsa dan rusak dengan dua cara yaitu dibakar atau ditanam dengan
disaksikan oleh pihak Kementerian Kesehatan, saksi dari BPOM dan pihak
Rumah Sakit.
6.2.Produksi
Produksi merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk, atau mengemas
kembali sediaan farmasi baik steril maupun non steril yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan pelayanan kefarmasian. RSKD melakukan aktivitas
produksi yang dibagi menjadi produksi steril dan non steril. Kegiatan produksi
didasari oleh empat hal, yaitu :
1.
Menyediakan produk perawatan luka kanker yang tidak ada di pasaran,
contohnya:
Dharmeza
powder,
Dharmezin
ointment,
Dharmawash
mouthwash, dan efudix ointment
2.
Memproduksi sediaan penunjang untuk menegakkan proses diagnosa,
contohnya titriplex, indigo carmin, dan larutan PEG.
3.
Memproduksi sediaan farmasi dengan harga yang lebih terjangkau untuk
pasien, contohnya: garam inggris, carbo gliserin, H2O2, OBH, saliva subtitusi,
dan Handrub.
4.
Mengerjakan produk dengan penanganan khusus seperti rekonstitusi obat
kanker dan IV admixture.
6.2.1. Produksi Non Steril
Bagian produksi non steril membuat produk non steril sesuai dengan
jadwal produksi yang telah dibuat dan berdasarkan permintaan dari bagian
Perbekalan Farmasi. Pada proses produksi, petugas akan mempersiapkan bahan
baku yang diperlukan dan meracik sesuai dengan formula dan cara kerja baku
yang telah tertera dalam form produksi suatu produk. Bahan baku yang tidak ada
atau ketersediaannya kurang akan dilakukan pengadaan dengan bon permintaan
barang kepada bagian Perbekalan Farmasi.
Untuk produk yang sudah jadi diberi etiket yang berisi nama produk dan
nomor batch. Didalam etiket tersebut juga tertulis tanggal kadaluarsa masingUniversitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
88
masing produk. Sebagian produk disimpan sebagai sampel (sampel per tinggal)
untuk mengantisipasi jika ada komplain terhadap produk yang dihasilkan. Produk
jadi didistribusikan ke Perbekalan Farmasi dengan melampirkan formulir
penyerahan produk sebagai bukti serah terima bagian produksi dengan bagian
Perbekalan Farmasi. Sistem penomoran batch berdasarkan nomor urut pembuatan
tiap bulan/tanggal pembuatan/kode produk. Produk nonsteril yang dihasilkan di
RSKD meliputi:
1.
Dharmeza powder (memiliki kandungan zat aktif metronidazole) dan
Dharmezin ointment (memiliki kandungan zat aktif metronidazole dan ZnO)
sebagai perawatan luka pasien, terutama luka sehabis operasi agar tidak
menimbulkan bau dan cepat mengering.
2.
Dharwash Mouthwash (memiliki kandungan zat aktif mycostatin, NaCl, dan
NaHCO3) yang digunakan untuk mengobati sariawan pasien.
3.
Saliva substitusi (air liur buatan), digunakan pada pasien yang mendapat
terapi radiasi pada kanker lidah dan kanker nasofaring. Namun saat ini
produksi saliva buatan sedang tidak berjalan dikarenakan kesulitan dalam
mendapatkan bahan baku yaitu boraks.
4.
Larutan Poli etilen glikol (PEG Solution) sebagai pencahar sebelum dilakukan
pemeriksaan kolonoskopi.
5.
Titriplex (memiliki kandungan zat aktif titrisol) sebagai antikoagulan yang
digunakan saat prosedur diagnosis sumsum tulang belakang dilakukan.
6.
Indigo carmin
7.
Larutan H2O2 sebagai pencuci jaringan dan untuk tetes telinga.
8.
Garam Inggris sebagai pencahar.
9.
OBH sebagai obat batuk.
10. Handrub (memiliki komposisi yang sama dengan standar handrub WHO
yaitu, etanol 96%, H2O2 3%, gliserin, dan air) untuk mencuci tangan.
6.2.2. Produksi Steril dan PIVAS (Pharmacy Intravenous Admixture Service).
Produksi steril non injeksi memproduksi krim efudix (mengandung 5Flourourasil) yang pengerjaan basisnya dilakukan di ruang non steril dan proses
pencampuran basis krim dengan zat aktif 5-Flourourasil dilakukan pada ruangan
steril dalam Biological Safety Cabinet (BSC). PIVAS melakukan pencampuran
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
89
obat injeksi non kanker (IV admixture) dan pencampuran obat kanker (Handling
Cytotoxic). Obat injeksi kanker maupun obat injeksi non kanker (IV admixture)
harus terjamin sterilitas dan mutunya mulai dari produksi sampai diberikankepada
pasien. Rekonstitusi dilakukan secara profesional di dalam clean room. Unit
Produksi yang harus sesuai dengan standar Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB).
Kriteria ruangan produksi antara lain tidak memiliki sudut diantara sisi
dinding melainkan melengkung, lantai dan dinding dilapisi oleh epoksi agar
memiliki permukaan yang halus, suhu dan kelembaban terkontrol, serta memiliki
tekanan udara tertentu. Ruangan yang ada di ruangan produksi yaitu ruangan
produksi sediaan non steril, ruang produksi sediaan steril yang dibagi menjadi
ruang IV admixture, ruang pencampuran obat kemoterapi,
ruang antara, dan
scrub room yaitu ruang yang digunakan untuk mencuci tangan sebelum masuk
ruang antara.
Khusus untuk obat kanker injeksi, disamping sterilitas obat terjamin,
operator yang melakukan rekonstitusi harus terlindung dari paparan obat kanker.
Perlindungan terhadap operator harus diperhatikan karena obat kanker bersifat
sangat toksik serta bersifat karsinogenik, mutagenik, maupun teratogenik. Sebisa
mungkin, tingkat keterpaparan terhadap operator ditekan semaksimal mungkin.
Beberapa fasilitas yang terdapat dalam ruang produksi steril yakni:
1. Pass box, berfungsi sebagai lalu lintas obat yang terletak antara clean room dan
ruang administrasi.
2. Clean room, merupakan ruangan bersih yang harus memiliki jumlah partikel
yang terbatas, temperatur dan kelembaban yang sesuai dengan persyaratan
Ruang Kelas I berdasarkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan
tekanan udara yang bersifat negatif dari tekanan udara luar. Clean room harus
selalu disterilisasi dengan cara fogging.
3. Ante room, merupakan ruangan yang berada di antara clean room dengan area
lain; berfungsi sebagai barrier (pembatas) atas hilangnya tekanan dan
kontaminasi yang berasal dari pengaruh masuknya udara luar ke clean room,
dan berfungsu untuk mengontrol lingkungan dimana materi pengepak alat steril
dapat dilepas.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
90
4. Scrub room, merupakan ruangan yang harus dilalui oleh operator pencampuran
sebelum memasuki ante room dimana terdapat wastafel untuk mencuci tangan
sebelum ataupun setelah melakukan pencampuran.
5. Biological Safety Cabinet (BSC), BSC yang digunakan di Rumah Sakit Kanker
“Dharmais” adalah BSC kelas II Cytogard series 2000. BSC ini memiliki
prinsip kerja yaitu tekanan udara di dalam cytogard bersifat lebih negatif
daripada tekanan udara di luar, sehingga meminimalisasi keterpaparan operator
dengan obat ketika melakukan rekonstitusi. Aliran udara di dalam BSC
bergerak secara vertikal sebagai barrier agar udara luar tidak masuk ke meja
kerja atau sebaliknya. Validasi perlu dilakukan terhadap Cytogard melalui
kalibrasi setiap 6 – 12 bulan (1 – 2 kali dalam setahun).
6. Laminair Air Flow (LAF), merupakan alat yang digunakan untuk kegiatan
rekonstitusi IV di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”. LAF ini memiliki prinsip
kerja yaitu tekanan udara di dalam cytogard bersifat positif daripada tekanan
udara di luar, sehingga menjaga sterilisasi produk.
6.2.2.1.Pencampuran obat injeksi (IV Admixture)
IV Admixture adalah pencampuran obat steril kedalam larutan intravena
steril untuk menghasilkan suatu sediaan steril yang bertujuan untuk penggunaan
intra vena, contohnya: ranitidin injeksi, ondansetron injeksi, vitamin C injeksi,
neurobion injeksi, antibiotik injeksi, antiemetik injeksi yang dikerjakan di dalam
clean room atau ruang kelas 2 dengan menggunakan Laminar Air Flow (LAF).
Alur pelayanan IV Admixture dilakukan atas dasar resep dokter dari kelas
VIP/VVIP, I, II, III dan ruang anak yang ditulis dalam formulir pelayanan
pencampuran IV Admixture (Lampiran 29) dan dilakukan pada hari kerja (Senin
sampai Jumat). Petugas farmasi di depo menyiapkan obat-obat injeksi yang
kemudian diantarkan ke ruang produksi. Petugas ruang produksi memeriksa
kelengkapan formulir permintaan pencampuan seperti nama pasien, no MR,
ruangan, dan obat yang akan di rekonstitusi.
Apabila ada kekurangan atau kesalahan, maka petugas mengkonfirmasi ke
petugas farmasi di depo, apabila formulir sudah lengkap dan sesuai, maka
dilakukan rekonstitusi dan petugas membuat etiket. Sebelum dilakukan
rekonstitusi di ruangan IV admixture, vial dan ampul didisinfeksi terlebih dahulu
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
91
yang kemudian dimasukan ke dalam pass box dan direkonstitusi di dalam LAF.
Setelah selesai, obat dimasukkan kembali ke dalam pass box, dicek ulang, dan
diantarkan ke rawat inap.
Masih terdapat hambatan pada pelayanan IV admixture di RSKD.
Hambatan yang terjadi diantaranya pelayanan IV admixture untuk pasien JKN
hanya dilakukan pada pagi dan siang hari, sedangkan pada malam hari perawat
yang menyiapkan obat IV di ruangan pasien. Penyiapan obat IV selain di ruang
produksi sebaiknya dihindari karena dikhawatirkan lingkungan tempat perawat
menyiapkan obat IV tidak terjamin sterilitasnya sehingga dapat meningkatkan
resiko kontaminasi pada obat IV yang disiapkan. Selain itu, masih kurangnya
SDM yang melakukan pencampuran IV admixture. Satu orang petugas melakukan
pencampuran hingga lebih dari 5 jam. Hal ini tentu saja akan berpotensi
menurunkan konsentrasi dan ketelitian petugas dalam melakukan penyiapan IV
admixture dan dapat meningkatkan resiko kesalahan dalam pelayanan IV
admixture.
6.2.2.2.Pencampuran Obat Kanker (Handling Cytotoxic)
Merupakan kegiatan pencampuran obat kanker yang dilakukan dalam
clean room/ruang kelas 1 dengan menggunakan alat Biological Safety Cabinet
(BSC) khusus yaitu Cytogard yang memiliki dua HEPA filter untuk menyaring
kontaminan dan paparan.
Prinsip kerja BSC yaitu:
1. Tekanan udara di dalam BSC lebih negatif dari tekanan udara luar agar obat
kanker, percikan ampul, vial, maupun serbuk-serbuk obat tidak mengarah ke
operator.
2. Udara ruangan BSC mengalir melalui kisi-kisi dan masuk ke dalam bagian
meja kerja.
3. Udara dari bawah meja kerja, dialirkan vertikal ke atas disaring oleh HEPA
filter menjadi udara bersih.
4. Udara yang terkontaminasi ditarik kembali melalui kisi-kisi bagian depan dan
belakang kabinet bercampur dengan udara ruangan yang tertarik ke dalam
kabinet.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
92
5. Udara kembali disaring oleh HEPA filter kabinet (±70%) kembali ke area
kerja, sisanya (± 30%) melalui HEPA filter ruangan.
Pencampuran obat kanker yang dilakukan bagian produksi instalasi
farmasi Rumah Sakit Kanker Dharmais terdiri dari 2 jenis pencampuran, yaitu :
1. Pencampuran obat kanker injeksi
Alur pencampuran obat kanker injeksi dimulai dari protokol kemoterapi
diserahkan ke bagian produksi farmasi dari ruang rawat inap/singkat untuk
direkonstitusi, kemudian petugas produksi farmasi melakukan pengecekan terlebih
dahulu terhadap kelengkapannya seperti data pasien (nama, no MR, ruangan
pasien, pasien serta obat, dan dosis yang akan di rekonstitusi), jika data yang
diperlukan belum lengkap maka dilakukan konfirmasi kepada petugas farmasi di
depo rawat inap atau kepada perawat. Permintaan pencampuran obat kanker
injeksi didokumentasikan pada formulir pencampuran obat kanker (Lampiran 30).
Apabila sudah lengkap maka dilakukan proses selanjutnya yaitu
menyiapkan obat injeksi beserta pelarutnya yang akan direkonstitusi. Kontainer
obat yang berisi vial dan ampul didesinfeksi, kemudian dituliskan etiket
selanjutnya dimasukkan ke dalam pass box untuk direkonstitusi. Hasil
rekonstitusi, yang berupa infus atau syringe, diseka alkohol untuk meminimalkan
kontaminasi kemudian dikeluarkan melalui pass box. Dilakukan pengecekan ulang
dan dibuatkan etiket luar kemudian di kirim ke ruangan rawat inap dan dilakukan
serah terima dengan perawat. Gambar 6.5. menunjukkan skema pencampuran obat
injeksi di ruang produksi steril RSKD.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
93
Gambar 6.5. Skema Pencampuran Obat Injeksi di Rumah Sakit Kanker
“Dharmais”
2. Pencampuran obat kanker oral (racikan)
Selain pencampuran obat kanker injeksi di produksi, juga dilakukan
pencampuran obat kanker oral yang merupakan permintaan dari SAFARI,
SAFARJAN dan apotek lain dari luar rumah sakit. Alurnya yaitu resep yang
berasal dari SAFARI, SAFARJAN, dan apotek luar beserta obatnya oleh petugas
diberikan ke unit produksi kemudian oleh petugas produksi dilakukan pengecekan
resep dan obat, kemudian resep dan obat dimasukan ke dalam pass box untuk di
racik di ruang clean room.
Peracikan dilakukan dengan penyiapan mortir dan stamper yang telah
didesinfeksi dengan alkohol. Kemudian obat tersebut diracik dalam mortir yang
dimasukkan dalam kantong transparan. Peracikan dilakukan di dalam BSC.
Setelah peracikan selesai kemudian dilakukan pengemasan serbuk di dalam BSC
dalam keadaan blower tidak dinyalakan untuk menghindari terjadinya paparan
obat ke petugas. Setelah selesai, semua peralatan peracikan dibersihkan, racikan
obat diserahkan ke petugas produksi lewat pass box untuk dilakukan pengecekan
akhir. Racikan obat diserahkan ke unit asal yang memberikan resep.
Sama seperti saat melakukan pencampuran intravena (IV Admixture),
dalam melakukan pencampuran obat-obat kanker, seorang operator harus
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
94
menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) untuk melindungi dari keterpaparan
obat-obat kanker. APD terdiri dari:
1. Baju pelindung, harus menutupi lengan operator dan memiliki manset dengan
bahan yang bersifat menahan penetrasi partikel tumpahan obat. Operator
dianjurkan untuk menggunakan baju pelindung ganda (baju dalam dan baju
luar).
2. Sarung tangan, harus terbuat dari lateks tebal dan tidak berbedak. Operator
dianjurkan untuk menggunakan sarung tangan ganda.
3. Topi
4. Kacamata dan masker
5. Penutup muka dan pelindung kaki.
Bila terdapat tumpahan obat kanker maka dilakukan prosedur penanganan
tumpahan baik di dalam maupun di luar area penyiapan menggunakan peralatan
khusus yang disebut spill kit. Apabila terjadi tumpahan berupa cairan, terlebih
dahulu petugas mengambil serpihan pecahan kaca dengan menggunakan pinset
yang kemudian serpihan tersebut dimasukkan ke dalam plastik bening.
Selanjutnya plastik bening tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik
berwarna ungu. Kemudian cairan obat dilap menggunakan lap kering, lalu
didekontaminasi dengan menggunakan deterjen dan didisinfeksi dengan
menggunakan larutan klorin 3%.
Tumpahan obat kanker tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik
warna ungu dan ditempelkan label simbol obat kanker. Sedangkan untuk
tumpahan obat kanker berupa serbuk, pecahan dan serbuk disapu dengan
menggunakan penyapu kecil yang ada di dalam spill kit beserta penadahnya,
kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik berwarna kuning yang diberi logo
cytotoxic. Selanjutnya area pecahan didekontaminasi dan didisinfeksi. Material
tajam (misalnya bekas pecahan ampul, spuit) dimasukkan ke wadah khusus yang
anti bocor dan tahan terhadap tusukan. Material yang tidak tajam (misalnya
penutup vial) dimasukkan ke kantong khusus berwarna kuning (kantong limbah
infeksius).
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
95
6.3
Farmasi Klinik
Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup pasien, dilakukan kegiatan
farmasi klinik di RSKD. Kegiatan farmasi klinik juga dilakukan sebagai bentuk
peran apoteker klinis berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka
memaksimalkan pelayanan kepada pasien. Terdapat beberapa kegiatan farmasi
klinik yang telah dilaksanakan dan ada beberapa kegiatan farmasi klinik yang
masih dalam tahap pengembangan. Adapaun bentuk pelayanan farmasi klinik
yang terdapat di RSKD meliputi:
1.
Pengkajian Resep
Pengkajian resep di RSKD dilakukan dengan melakukan evaluasi resep yang
ditulis langsung oleh Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) yang
kemudian didokumentasikan di Formulir Pengkajian Resep (Lampiran 31).
Pengkajian resep bertujuan untuk menghindari terjadinya medication error
terutama pada fase prescribing (penulisan resep). Selain itu, pengkajian resep
juga diperlukan untuk mencapai pengobatan yang rasional. Pengkajian resep
dimulai dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan administratif resep
yaitu nama dokter, tanggal penulisan resep, tanda tangan/paraf dokter, nama
pasien, ruang pasien dan nomor medical record (MR) pasien. Pemeriksaan
kelengkapan administratif resep diperlukan dalam mengkaji otentifikasi resep,
untuk mengetahui apakah resep tersebut ditulis oleh dokter atau petugas
kesehatan lain. Kelengkapan administratif resep juga diperlukan sebagai
crosscheck kesesuaian resep dengan pasien yang diresepkan. Misalnya,
apabila pada saat dilakukan billing resep di satelit farmasi nama pasien tidak
muncul, adanya data pendukung lain seperti ruang pasien dan nomor MR
dapat membantu dalam melakukan penelusuran kebenaran data pasien
tersebut. Selanjutnya dilakukan pengkajian resep dari segi farmasetik yaitu
bentuk sediaan dan aturan pemakaian obat. Sebaiknya bentuk sediaan ditulis
jelas pada resep terutama apabila terdapat obat dengan lebih dari 1 bentuk
sediaan. Penulisan bentuk sediaan dan aturan pemakaian obat penting untuk
menghindari terjadinya medication error. Kemudiaan tahap akhir, dilakukan
evaluasi klinis yaitu alergi yang dialami pasien, interaksi dan dosis obat yang
digunakan pasien. Data alergi pasien didapat dari status pasien di MR.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
96
Sedangkan interaksi obat dianalisis dengan menggunakan software Drug
Interaction Fact®. Dosis obat yang digunakan pasien juga perlu dievaluasi
untuk menghindari terjadinya overdose atau underdose.
2.
Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat dilakukan dengan melakukan penelusuran riwayat
pemakaian obat pada setiap pasien rawat inap yang baru masuk ruang
perawatan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui obat apa yang sudah
digunakan pasien 3 (tiga) hari sebelum masuk RS dan obat apa yang sedang
diminum oleh pasien hingga saat masuk RS. Selain itu, rekonsiliasi obat juga
dilakukan pada pasien yang berpindah ruangan seperti pada pasien dari ruang
ICU/HCU yang akan pindah ke ruang perawatan biasa. Rekosiliasi obat tidak
hanya terbatas pada penelusuran obat terdahulu yang digunakan pasien,
namun juga perlu diketahui status obat tersebut, apakah akan tetap dilanjutkan
atau di stop pada perawatan pasien selanjutnya. Penelurusan riwayat
pemakaian obat penting dilakukan untuk menghindari peresepan obat yang
sama (duplikasi pengobatan) oleh dokter saat di RS serta untuk menghindari
Drug Related Problem (DRP) seperti interaksi antara obat yang didapatkan
pasien sebelum masuk RS dengan obat baru yang diresepkan oleh dokter di
RS. Sumber informasi dalam melakukan rekonsiliasi obat dapat berasal
langsung dari pasien/keluarga pasien atau dengan melihat status pasien di
MR. Informasi juga bisa didapat dari apotek di luar RS atau dari sumber
lainnya. Kegiatan rekonsiliasi obat didokumentasikan pada Formulir
Rekonsiliasi Obat (Lampiran 32).
3.
Pemantauan Pengobatan
Pemantauan pengobatan dilakukan untuk obat-obatan yang terdapat DRP.
Apoteker akan mengevaluasi obat-obatan yang diterima oleh pasien,
kemudian akan dianalisis ketepatan pemilihan obat terhadap indikasi, dosis,
rute pemberian obat, Reaksi Obat yang tidak diinginkan (ROTD) serta
interaksi obat. Apabila ada obat-obatan yang bermasalah dan menjadi DRP,
maka masalah tersebut didokumentasikan pada Formulir Pemantauan Obat
(Lampiran 33). Masing-masing obat dicatat profil penggunaan obatnya,
masalah
yang
terkait
dengan pengobatannya
serta
dituliskan
juga
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
97
rekomendasi untuk mengatasi masalah tersebut. Khusus pada ruang anak,
Formulir Pemantauan Obat digunakan untuk memantau penggunaan
kortikosteroid dan obat kemoterapi oral pada pasien anak. Monitoring
interaksi obat di RSKD dilakukan dengan menggunakan software Drug
Interaction Fact®. Jika ditemukan interaksi obat yang bermakna secara klinis
terutama interaksi derajat 1 atau 2, apoteker akan menyampaikan hal tersebut
kepada DPJP serta akan memberikan rekomendasi solusi untuk mengatasinya.
Hal ini dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi
pada pasien. Selain itu, di RSKD juga dilakukan pemantauan khusus pada
obat golongan antibiotik. Pemantauan penggunaan antibiotik bertujuan untuk
mencegah terjadinya resistensi akibat penggunaan antibiotik. Pemantauan
penggunaan antibiotik dilakukan dengan menilai kerasionalan antibiotik yang
diminum oleh pasien. Penilaian kerasionalan meliputi analisis tujuan
pemberian antibiotik untuk pasien, apakah antibiotik tersebut diberikan untuk
tujuan terapi profilaksis/empiris/definitif,
analisis
durasi penggunaan
antibiotik, serta analisis data pendukung pasien seperti suhu tubuh, nilai
leukosit atau c-Reactive Protein (CRP) pasien. Kegiatan pemantauan
penggunaan antibiotik didokumentasikan pada Formulir Catatan Pemberian
Antibiotik (Lampiran 34).
4.
Monitoring Efek Samping Obat
Kegiatan pelaporan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) di RSKD
dilakukan apabila ditemukan pasien yang mengalami efek samping obat yang
belum terdokumentasikan. Setelah mendapat laporan tentang kejadian efek
samping obat dari pasien/keluarga pasien/perawat/dokter, apoteker akan
melakukan penelusuran terkait efek samping tersebut. Penelusuran dilakukan
untuk memastikan apakah efek samping yang dialami pasien merupakan efek
samping dari obat yang digunakan. Setelah memastikan hal tersebut, efek
samping obat akan didokumentasikan pada Formulir Monitoring Efek
Samping Obat. Dokumentasi efek samping obat dibuat dalam 2 versi. Versi
pertama, yaitu menggunakan formulir MESO berwarna kuning yang
selanjutkan akan dilaporkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Versi kedua, yaitu menggunakan formulir MESO berwarna putih 2 rangkap, 1
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
98
lembar akan dilaporkan ke unit Patient Safety dan 1 lembar lagi menjadi arsip
apoteker (Lampiran 35).
5.
Ronde/Visite
Peranan apoteker farmasi klinik saat visite masih terbatas yakni hanya
dilakukan pada ruang anak di lantai 4. Visite di ruangan anak dibagi menjadi
2 tipe visite, yaitu visite mandiri dan visite bersama. Visite mandiri dilakukan
oleh apoteker apabila ingin mengetahui informasi tertentu tentang pasien,
sedangkan visite bersama dilakukan oleh apoteker bersama-sama dengan
tenaga kesehatan lainnya (dokter dan perawat) untuk menngevaluasi kondisi
pasien secara paripurna.
6.
Pelayanan Informasi Obat
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat (PIO) di RSKD berjalan secara aktif
melalui penerbitan leaflet- leaflet, terkait dengan penggunaan obat-obat
sitostatika juga secara pasif dengan pelayanan secara langsung atau melalui
telepon untuk memberikan informasi kefarmasian yang dibutuhkan oleh
pasien, keluarga pasien, dokter, perawat, asisten apoteker, dan profesi
kesehatan lain. Pelayanan informasi obat didokumentasikan pada Formulir
Pelayanan Informasi Obat (Lampiran 36).
7.
Konseling
Pelayanan konseling di RSKD diberikan pada pasien rawat inap yang akan
pulang. Idealnya, pada ruang rawat inap terdapat masing-masing 1 orang
apoteker klinik yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan
konseling kepada pasien, namun di RSKD hanya beberapa ruangan yang
terdapat apoteker yang bertugas dan melakukan pelayanan konseling yaitu
pada ruang anak, kelas I (mawar), kelas III (cempaka). Hal ini dikarenakan
keterbatasan apoteker farmasi klinik. Kegiatan konseling didokumentasikan
pada Formulir Konseling Pasien (Lampiran 37). Formulir ini dibuat menjadi 3
rangkap, 1 lembar untuk dibawa oleh pasien, 1 lembar untuk dokumen di
rekam medik pasien dan 1 lembar lagi sebagai arsip apoteker.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
99
6.4. Instalasi Penunjang : Instalasi Sterilisasi Sentral dan Binatu, Instalasi
Rekam Medik, Instalasi Kesehatan Lingkungan dan K3
6.4.1. Instalasi Sterilisasi Sentral dan Binatu (ISSB)
Unit sterilisasi sentral adalah bagian dari ISSB yang bertanggung jawab
atas pensterilan linen, dan instrumen-instrumen yang digunakan dalam berbagai
tindakan medik serta produksi barang-barang steril seperti kassa, tampon, kapas,
lidi kapas agar dapat digunakan pasien yang membutuhkan. Keberadaan unit
sterilisasi ini sangatlah penting dalam upaya pencegahan infeksi nosokomial.
Untuk memastikan proses sterilisasi berjalan dengan baik digunakanlah berbagai
indikator seperti indikator mekanik, kimia, dan biologi serta untuk menjamin
sterilitas barang-barang yang dihasilkan unit sterilisasi sentral dilakukan uji
mikrobiologi terhadap ruangan, produk hasil sterilisasi, dan linen secara berkala.
Sebagian besar proses sterilisasi yang dilakukan di ISSB RSKD
menggunakan metode sterilisasi panas basah dengan alat autoklaf. Sedangkan
untuk barang-barang yang tidak tahan pemanasan, proses sterilisasi dilakukan
dengan menggunakan mesin Sterrad NX (58C, 28 menit). Mesin ini bekerja
dengan menggunakan plasma sehingga dapat digunakan untuk sterilisasi barangbarang dari bahan alumunium, polimer, PVC, nylon, neoprene, polisorbat,
polietilen, misalnya selang-selang, karet, stepler dan barang-barang yang biasanya
disposible. Hal ini tentunya akan meringankan biaya perawatan pasien karena
barang-barang yang biasanya hanya sekali pakai, dengan adanya mesin ini dapat
digunakan kembali setelah disterilisasi.
6.4.2. Bagian Rekam Medik
Bagian rekam medik merupakan unit yang bertanggung jawab terhadap
penyimpanan data-data pasien dari mulai pasien mendaftar hingga akhir
pengobatan pasien. Petugas rekam medik juga berkewajiban menjaga kerahasiaan
isi dari rekam medik setiap pasien. Secara umum, kegiatan di Bagian Rekam
Medik RSKD telah berlangsung dengan baik. Kegiatan di rekam medik meliputi
admission, filing, assembling, dan coding. Admission adalah proses pendaftaran
untuk mendapatkan rekam medis untuk pasien rawat jalan atau rawat inap. Filing
adalah pengambilan rekam medis oleh petugas di ruang rekam medis.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
100
Permintaan dari admission tercetak otomatis di ruang rekam medik.
Rekam medik akan diantar ke ruang poli yang dituju. Assembling yaitu kegiatan
penyusunan berkas-berkas rekam medis agar memudahkan petugas medis dalam
membaca. Kemudian coding dilakukan pengkodean jenis penyakit sesuai standar
internasional, WHO. Pengkodean ini mengacu pada International Clasification of
Disease yaitu: ICD-10, ICD-O, ICD-9-CM (digunakan untuk pengkodean
prosedur diagnosa). Pengkodean ini digunakan untuk klaim ke jaminan, jika
pasien tersebut menggunakan jaminan. Penyimpanan rekam medik di rumah sakit
Dharmais telah terlaksana dengan cukup baik, yakni menggunakan sistem
terminally digit yakni disusun dan disimpan berdasarkan dua digit terakhir pada
nomor rekam medik, serta ditandai dengan warna-warna yang berbeda pada fisik
rekam medik. Pemberian tanda berupa warna ini memudahkan petugas dalam
menyusun dan mencari rekam medik.
6.4.3. Instalasi Kesehatan Lingkungan dan K3
Instalasi Kesling dan K3, sangat penting peranannya dalam hal
penanganan limbah padat dan limbah cair yang dihasilkan rumah sakit agar tidak
membahayakan masyarakat di sekitar rumah sakit. Untuk limbah cair,
pengolahannya dilakukan di IPAL sementara limbah padat, dipilih berdasarkan
asal limbah tersebut, limbah medis akan dikelola oleh pihak kedua yaitu PT. Jasa
Medivest, limbah organik akan dibuat pupuk kompos, limbah anorganik yang
dapat direcycle akan didaur ulang sementara yang tidak dapat didaur ulang akan
dibuang di TPA, dan limbah radioaktif akan dire-eksport. Kegiatan lain dari
Instalasi Kesling dan K3 adalah program green hospital melalui pembuatan
taman-taman di rumah sakit, pembuatan taman konservasi air hujan, penggunaan
cahaya matahari untuk menggantikan lampu penerangan di dalam ruangan,
pengurangan penggunaan kertas.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
BAB 7
PENUTUP
7.1.Kesimpulan
Dari hasil pengamatan selama Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di
RSKD maka disimpulkan:
1.
Kegiatan yang ada di Instalasi Farmasi RSKD meliputi manajemen farmasi,
produksi, dan pelayanan farmasi klinik.
2.
Apoteker memiliki peran fungsional pada setiap aspek kegiatan manajemen
farmasi, produksi, dan farmasi klinis.
a.
Kegiatan manajemen di Instalasi Farmasi RSKD meliputi pemilihan,
perencanaan dan pengadaan, produksi, penyimpanan, pendistribusian,
penghapusan dan pemusnahan, administrasi, dan pelayanan obat pasien
rawat inap.
b.
Kegiatan produksi yang dilakukan Instalasi Farmasi RSKD terdiri dari
kegiatan produksi nonsteril serta kegiatan produksi steril yang meliputi
pelayanan pencampuran sediaan intravena dan penanganan sitostatika
c.
Kegiatan Farmasi Klinik di Instalasi Farmasi RSKD meliputi pengkajian
resep, rekonsiliasi obat, pemantauan pengobatan, monitoring efek
samping obat, program ronde/visite, pelayanan informasi obat dan
konseling yang semuanya berorientasi kepada pasien (patient oriented).
3.
Beberapa kegiatan yang dilakukan di Instalasi/Unit Penunjang di RSKD
yaitu, Instalasi Sterilisasi Sentral dan Binatu (ISSB), Instalasi Kesehatan
Lingkungan (Kesling), dan Unit Rekam Medik.
7.2.Saran
Berikut ini adalah beberapa saran yang dapat diberikan demi peningkatan
kualitas pelayanan di Instalasi Farmasi RSKD :
1.
Untuk meminimalisir terjadinya kesalahan dan mempermudah penelusuran
apabila terjadi kesalahan sebaiknya penandaan pada kolom HRKP dan 7B
diresep dapat selalu diisi oleh petugas farmasi karena pada saat ini kolom
101
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
102
HRKP dan 7B masih banyak ditemukan tidak diisi oleh petugas farmasi yang
bertugas.
2.
Agar pemberian obat kepada pasien berjalan lebih tepat, khusus untuk pasien
rawat inap sebaiknya pada etiket obat ditambahkan informasi obat mengenai
“Obat ini diminum segera setelah makan” dan “Obat ini diminum satu jam
sebelum makan” atau “Obat ini diminum dua jam setelah makan” pada
tataran penyiapan obat. Saat ini informasi tersebut belum dicantumkan,
apabila informasi ini disertakan maka akan mempermudah perawat dalam
memberikan obat kepada pasien
3.
Untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan IV admixture di unit produksi
steril sebaiknya didukung dengan fasilitas yang memadai dan jumlah SDM
yang cukup sehingga seluruh pasien yang ada akan mendapatkan pelayanan
yang maksimal.
4.
Untuk dapat terus meningkatkan peran apoteker farmasi klinik di RSKD
maka diperlukan penambahan apoteker farmasi klinik agar pelayanan farmasi
klinik dapat terlaksana dengan baik di seluruh ruang perawatan. Saat ini baru
terdapat tiga apoteker klinik di ruang perawatan anak, ruang perawatan kelas
I (Ruang mawar), dan ruang perawatan kelas III (Ruang Cempaka). Oleh
karena itu, diperlukan tambahan tiga orang apoteker klinik untuk ditempatkan
di ruang perawatan VIP, ruang perawatan kelas II (Ruang Melati), dan di
ruang perawatan JKN (Ruang Teratai).
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
DAFTAR ACUAN
Charles J.P. (2004). Farmasi Rumah Sakit. Penerbit Buku Kedokteran: EGC.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam
Medis. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan
Republik
Indonesia
No.1197/Menkes/SK/X/2004
tentang
Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Kementerian Kesehatan RI : Jakarta
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (1999). Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah
Sakit. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (1998). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, No 164/B/MenKes/Per/II/1998 tentang Fungsi
Rumah Sakit, Jakarta, 1998. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (1992). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, No 983/B/MenKes/SK/XI/1992
tentang Pedoman
Organisasi Rumah Sakit Umum, Jakarta, 1992. Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI.
Presiden Republik Indonesia. (2009a). UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Presiden Republik Indonesia. (2009b). UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit.
Siregar, Charles J.P. dan Amalia, Lia. (2004). Farmasi Rumah Sakit Teori dan
Penerapan .Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Quick, J.D., Hume, M., Rankin, J.R., O’Connor, R.W. (1997). Managing Drug
Supply, Second Edition, Revised and Expanded. Kumarin Press : West
Hartford.
103
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
103
LAMPIRAN
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
104
Lampiran 1. Struktur Organisasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
105
Lampiran 2. Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Kanker “Dharmais”
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
106
Lampiran 3. Struktur Organisasi ISSB
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
107
Lampiran 4. Autoclave
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
108
Lampiran 5. Contoh Indikator Kimia
(a)
(b)
Keterangan : Indikator Bowie Dick (a), Indikator Stripe (b)
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
109
Lampiran 6. Contoh Indikator Biologi
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
110
Lampiran 7. Alur Peminjaman Status Rawat Jalan
MULAI
Dari Adminssion Input No
MR Pasien
Cetak Bon Pinjam
Status
Mengambil Status
Di Roll O Pack
Status yg dipinjam
dicatat pada buku kendali
Status dikirim ke masing2
Poli
Bon Pinjam dimasukkan
kedlm traccer
Traccer dimasukkan kedlm
Roll O Pack
SELESAI
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
111
Lampiran 8. Alur Peminjaman Status Rawat Inap
MULAI
Dari Adminssion Input No
MR Pasien
Cetak Bon
Pinjam Status
Mengambil Status
Di Roll O Pack
Status yg dipinjam
dicatat pada buku
kendali
Status dikirim ke
admission
Bon Pinjam
dimasukkan kedlm
traccer
Traccer dimasukkan kedlm
Roll O Pack
SELESAI
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
112
Lampiran 9. Alur Pengembalian Status Rawat Jalan
MULAI
Dari masing2 poli
status diambil
Status dicatat pada
lembar pengembalian
Status diassembling
Status dikoding
Status dimasukkan
kedlm Roll O Pack
SELESAI
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
113
Lampiran 10. Alur Pengembalian Status Rawat Inap
MULAI
Dari ruang rawat inap
status diambil
Status dicatat pada
lembar pengembalian
rawat inap
Status diassembling
Status dicatat pada buku
register assembling rawat
inap
Tdk
Resume ?
Pengurusan resume
Ya
Status dikoding
Dimasukkan kedlm Roll
O Pack
SELESAI
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
114
Lampiran 11. Alur Pasien Baru di RSKD
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
115
Lampiran 12. Alur Pasien Lama atau yang Pernah Datang ke RSKD
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
116
Lampiran 13. Insinerator
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
117
Lampiran 14. Formulir Permintaan Obat Baru
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
118
Lampiran 15. Material Request (MR)
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
119
Lampiran 16. Surat Pesanan Barang
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
120
Lampiran 17. Blanko Surat Pesanan Narkotika
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
121
Lampiran 18. Blanko Surat Pesanan Psikotropika
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
122
Lampiran 19. Berita Acara Penerimaan (BAP)
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
123
Lampiran 20. Dokumentasi Pengukuran Suhu dan Kelembapan
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
124
Lampiran 21. Kartu Stok Obat
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
125
Lampiran 22. Etiket Obat
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
126
Lampiran 23. Lembar Mutasi Barang
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
127
Lampiran 24. Resep di RSKD
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
128
Lampiran 25. Formulir Bon Permintaan Barang
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
129
Lampiran 26. Kartu Indeks (Kardeks)
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
130
Lampiran 27. Plastik Obat
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
131
Lampiran 28. Formulir Pemantauan Obat dan Alkes Emergency
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
132
Lampiran 29. Formulir Pelayanan Pencampuran IV Admixture
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
133
Lampiran 30. Formulir Pencampuran Obat Kanker
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
134
Lampiran 31. Formulir Pengkajian Resep
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
135
Lampiran 32. Formulir Rekonsiliasi Obat
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
136
Lampiran 33. Formulir Pemantauan Obat
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
137
Lampiran 34. Formulir Catatan Pemberian Antibiotik
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
138
Lampiran 35. Formulir Monitoring Efek Samping Obat
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
139
Lampiran 35. Formulir Monitoring Efek Samping Obat (Lanjutan)
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
140
Lampiran 36. Formulir Pelayanan Informasi Obat
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
141
Lampiran 37. Formulir Konseling Pasien
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI
APOTEKER DI RUMAH SAKIT KANKER DHARMAIS
JL. S. PARMAN KAV. 84 – 86 SLIPI JAKARTA BARAT
PERIODE 1 APRIL – 30 MEI 2014
EVALUASI PEMBERIAN ANTIBIOTIK PASIEN RAWAT
INAP DI RUANG PERAWATAN ANAK
PERIODE 16 -20 MEI 2014
MEIDI UTAMI PUTERI, S.Farm.
1306343832
ANGKATAN LXXVIII
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK
JULI 2014
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ......................................................................................... v
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Tujuan ......................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 3
2.1. Penyakit Infeksi ............................................................................ 3
2.2 Risiko Infeksi pada Penderita Kanker ............................................ 3
2.3 Febrile Neutropenia ...................................................................... 4
2.4 Antibiotik ..................................................................................... 12
2.5. Prinsip Penggunaan Antibiotik untuk Terapi Empiris, Definitif, dan
Profilaksis Bedah ......................................................................... 22
2.6 Penggunaan Antibiotik pada Anak ................................................ 29
2.7 Pola Aktivitas Farmakokinetik dan Farmakodinamik Antibiotik.... 29
2.8 Tinjauan Umum Bakteri ................................................................ 31
BAB 3 METODE PENGUMPULAN DATA ................................................ 33
3.1 Waktu dan Tempat Pengumpulan Data .......................................... 33
3.2 Desain Penelitian ......................................................................... 33
3.3. Metode Pengumpulan Data ............................................................ 33
3.4. Populasi dan Sampel...................................................................... 34
3.5. Kriterian Inklusi dan Ekslusi ......................................................... 34
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 35
4.1 Karakteristik Pasien ....................................................................... 35
ii
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
4.2 Karakteristik Penggunaan Antibiotik ............................................ 36
4.3. Evaluasi Pemberian Antibiotik pada pasien ALL ........................... 38
4.4. Evaluasi Pemberian Antibiotik pada pasien Lymphoma ................. 44
4.5. Evaluasi Pemberian Antibiotik pada pasien Teratoma .................... 49
4.6. Evaluasi Pemberian Antibiotik pada pasien KNF ........................... 51
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 54
5.1 Kesimpulan .................................................................................. 54
5.2 Saran ............................................................................................ 54
DAFTAR ACUAN ....................................................................................................... 55
iii
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.
Gambar 2.2.
Gambar 2.3.
Penatalaksanaan pengobatan antibiotik pada febril
neutropenia risiko rendah………………………………….. 9
Penatalaksanaan pengobatan antibiotik pada febril
neutropenia risiko sedang…………………………………. 10
Penatalaksanaan pengobatan antibiotik pada febril
neutropenia risiko tinggi………………………………….. 11
iv
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.
Tabel 2.2.
Tabel 2.3.
Tabel 2.4.
Tabel 2.5.
Tabel 2.6.
Tabel 2.7.
Tabel 2.8.
Tabel 2.9.
Tabel 2.10.
Tabel 2.11.
Tabel 2.12.
Tabel 2.13.
Tabel 2.14.
Tabel 2.15.
Tabel 2.16.
Tabel 2.17.
Tabel 2.18.
Tabel 2.17.
Tabel 4.1.
Tabel 4.2.
Tabel 4.3.
Tabel 4.4.
Tabel 4.5.
Tabel 4.6.
Tabel 4.7.
Tabel 4.8.
Jenis mikroba yang sering dan jarang menyebabkan infeksi
pada neutropenia …………………………………………..
Pembagian pengobatan demam pada pasien neutropenia…
Dosis lazim amoksisilin…………………………………….
Penyesuaian dosis amoksisilin berdasarkan fungsi ginjal….
Dosis lazim Sefotaksim, Sefiksim, Seftriakson,
Seftizoksim, Seftazidim........................................................
Penyesuaian dosis Sefotaksim, Sefiksim, Seftriakson
Seftizoksim berdasarkan fungsi ginjal..................................
Dosis lazim Meropenem ……………………..………........
Penyesuaian dosis meropenem berdasarkan klirens pasien..
Dosis lazim klindamisin…………………………..…….....
Rekomendasi dosis amikasin dewasa berdasarkan
indikasi…………………………………………………….
Evaluasi Penggunaan Antibiotika Empiris...........................
Kategori/kelas operasi (Mayhall Classification) ….............
Pembagian Status Fisik Pasien Berdasarkan Skor ASA …..
Jenis operasi beserta patogen dan antibiotik
profilaksisnya……………………………………………...
Jenis operasi beserta patogen dan antibiotik profilaksisnya
…..........................................................................................
Daftar Antibiotik yang Tidak Boleh Diberikan pada anak………
Pola Aktivitas Antibiotik berdasarkan parameter PK/PD…
Diagram batang kadar hemoglobin rata-rata sebelum dan
setelah perlakuan ….............................................................
Diagram batang jumlah eritrosit rata-rata sebelum dan
setelah perlakuan...................................................................
Karakteristik subjek penelitian berdasarkan total jumlah
pasien rawat inap yang mendapatkan terapi antibiotik di
Ruang Perawatan Anak…………………………………….
Karakteristik Penggunaan Antibioik berdasarkan tujuan
pemberiannya di Ruang Perawatan Anak ………………
Karakteristik Penggunaan Antibioik tunggal dan kombinasi
di Ruang Perawatan Anak …………………………………
Catatan pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis
utama ALL………………………………………………….
Catatan dosis pemberian antibiotik pada pasien dengan
diagnosis utama ALL........................................................
Catatan durasi pemberian antibiotik pada pasien dengan
diagnosis utama ALL...........................................................
Catatan pemantauan fungsi ginjal pada pasien ALL yang
mendapat antibiotik golongan aminoglikosida ……………
Catatan pemberian antibiotik pada pasien dengan
v
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
5
8
15
15
16
17
18
18
19
21
23
25
26
27
28
29
30
63
64
35
36
36
38
42
43
44
Tabel 4.9.
Tabel 4.10.
Tabel 4.11.
Tabel 4.12.
Tabel 4.13.
Tabel 4.14.
Tabel 4.15.
Tabel 4.16.
Tabel 4.17.
Tabel 4.18.
Tabel 4.19.
diagnosis utama Lymphoma…………………………………...
Rekomendasi pemberian antibiotik berdasarkan jenis
tindakan operasi……………………………………………
Rekomendasi jenis antibiotik berdasarkan jenis tindakan
operasi……………………………………………………...
Catatan dosis pemberian antibiotik pada pasien dengan
diagnosis utama Lymphoma.................................................
Catatan durasi pemberian antibiotik pada pasien dengan
diagnosis utama Lymphoma …............................................
Catatan pemberian antibiotik pada pasien dengan
diagnosis utama teratoma …………………………………
Rekomendasi pemberian antibiotik pada tindakan operasi
kraniotomi………………………………………………….
Catatan pemberian dosis antibiotik pada pasien dengan
diagnosis utama teratoma………………………………….
Catatan pemberian durasi antibiotik pada pasien dengan
diagnosis utama teratoma ……………………………….............
44
46
46
48
48
49
50
51
51
Catatan pemberian antibiotik pada pasien dengan
diagnosis utama KNF ……………………………………
52
Catatan pemberian dosis antibiotik pada pasien dengan
diagnosis utama ….............................................................
53
Catatan pemberian durasi antibiotik pada pasien dengan
diagnosis utama KNF............................................................ 53
vi
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang
penting di Indonesia. Terapi untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan
menggunakan obat-obat golongan antimikroba diantaranya, antibakteri/antibiotik,
antijamur, antivirus, dan antiprotozoa. Pasien dengan penyakit keganasan pada
umumnya rentan terhadap infeksi dan apabila terkena infeksi seringkali sulit
diatasi.
Risiko
infeksi
pada
pasien
kanker
umumnya
terkait
dengan
penatalakasanan kemoterapi yang memberikan efek mielosupresi berupa
gangguan pembentukan neutrofil dan demam, yang disebut febril neutropenia
(Sudewi, 2007).
Febrile neutropenia (FN) adalah kondisi yang ditandai dengan demam
yaitu suhu tubuh lebih tinggi atau sama dengan 38º C selama lebih dari satu jam
atau 38,3º C secara oral, dan jumlah neutrofil lebih rendah dari nilai normal dalam
darah, yaitu jumlah neutrofil absolut yang kurang dari 500 sel/μl atau kurang dari
1000 sel/μl dengan prediksi penurunan hingga kurang dari 500 sel/μl dalam selang
waktu 48 jam. Febril neutropenia dapat ditangani dengan pemberian kombinasi
atau monoterapi antibiotik (National Comprehensive Cancer Network, 2011).
Infeksi bakteri merupakan salah satu penyebab kematian penderita kanker
akibat penurunan daya tahan tubuh akibat dari keganasannya sendiri maupun
sitostatika. Sitostatika sering menyebabkan hambatan proliferasi sel kulit dan
mukosa sehingga memudahkan invasi mikroorganisme karena erosi dan ulserasi
serta menekan proliferasi sumsum tulang, termasuk granulosit, yang berperan
dalam imunitas nonspesifik. Antibiotik merupakan obat yang paling banyak
digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Di Rumah Sakit Kanker
“Dharmais” diketahui bahwa intensitas penggunaan antibiotik relatif tinggi terkait
dengan penggunaannya sebagai terapi yang didapatkan oleh pasien kanker yang
sangat rentan terkena penyakit infeksi.
Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi dapat menimbulkan
berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama
resistensi bakteri terhadap antibiotik. Selain berdampak pada morbiditas dan
1
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
2
mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang
sangat tinggi. Pada awalnya resistensi terjadi ditingkat rumah sakit, tetapi lambat
laun juga berkembang dilingkungan. Penggunaan antibiotik dalam pelayanan
kesehatan seringkali tidak tepat sehingga menimbulkan pengobatan kurang
efektif, peningkatan risiko terhadap keamanan pasien, meluasnya resistensi dan
tingginya biaya pengobatan. Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa kualitas
penggunaan antibiotik diberbagai bagian rumah sakit 30% sampai dengan 80%
tidak didasarkan pada indikasi yang tepat (Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
2011).
Dalam rangka meningkatkan penggunaan antibiotik secara bijak (prudent
use of antibiotics), dilakukan pemantauan pemberian antibiotik pada pasien
RSKD yang merupakan salah satu program kegiatan farmasi klinik RSKD.
Kegiatan farmasi klinik juga dilakukan sebagai bentuk peran apoteker klinis
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka memaksimalkan
pelayanan kepada pasien. Pemantauan penggunaan antibiotik dilakukan dengan
menilai kerasionalan antibiotik yang diminum oleh pasien yang meliputi, analisis
tujuan pemberian antibiotik untuk pasien, analisis durasi penggunaan antibiotik,
serta analisis data pendukung pasien seperti suhu tubuh dan nilai leukosit pasien.
Kegiatan pemantauan penggunaan antibiotik didokumentasikan pada Formulir
Catatan Pemberian Antibiotik. Selanjutnya dari formulir tersebut data akan diolah
dan dinilai, apabila ditemukan penyimpangan dari pemberian antibiotik yang
rasional maka modifikasi terapi pengobatan pasien akan direkomendasikan.
1.2.
Tujuan
Tujuan pembuatan dari laporan tugas khusus ini adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui tingkat kerasionalan pemberian antibiotik di Ruang Perawatan
Anak Rumah Sakit Kanker “Dharmais” dalam rangka kegiatan pemantauan
penggunaan antibiotik secara bijak ditinjau dari ketepatan indikasi, ketepatan
pemilihan antibiotik, ketepatan dosis dan frekuensi, dan ketepatan durasi.
2.
Meningkatkan pengetahuan tentang fungsi, tugas, peran dan tanggung jawab
Apoteker Farmasi Klinik di Rumah Sakit Kanker “Dharmais.”
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Infeksi
Infeksi adalah peristiwa invasi dan penggandaan mikroorganisme di dalam
tubuh penderita sehingga menyebabkan penderita menjadi sakit. Infeksi pada
umumnya dapat ditandai oleh adanya respon imun non-spesifik oleh tubuh.
Berikut adalah tanda-tanda respon imun non-spesifik tubuh (Corwin, 2008) :
a.
Panas (calor)
Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab
terdapat lebih banyak darah yang disalurkan ke area terkena infeksi/
fenomena panas lokal .
b.
Rasa nyeri (dolor
Rasa nyeri akibat peradangan, hasil dari peregangan saraf yang disebabkan
oleh pembengkakan dan stimulasi ujung saraf oleh mediator peradangan.
c.
Kemerahan (rubor)
Merupakan hal pertama yang terlihat didaerah yang mengalami peradangan.
Waktu reaksi peradangan mulai timbul maka arteriol yang mensuplai daerah
tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah yang mengalir
kedalam mikro sirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau
sebagian saja meregang, dengan cepat penuh terisi darah. Keadaan ini yang
dinamakan hiperemia atau kongesti.
d.
Pembengkakan (Turgor)
Pembengkakan ditimbulkan karena pengiriman cairan dan sel-sel dari
sirkulasi darah kejaringan interstisial. Campuran cairan dan sel yang
tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat.
2.2. Risiko Infeksi pada Penderita Kanker
Pasien dengan penyakit kanker pada umumnya rentan terhadap infeksi dan
apabila terkena infeksi seringkali sulit diatasi. Infeksi pada pasien kanker
berhubungan langsung dengan berbagai keadaan, yaitu penurunan daya tahan
akibat penyakit yang mendasarinya, defek imun sebagai akibat pengobatan dengan
3
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
4
sitostatik, radiasi, berbagai prosedur invasif dan kombinasi dari berbagai hal
tersebut. Pada defek sistem imun yang berat, mikroorganisme yang semula
bersifat apatogen dapat menjadi patogen atau disebut infeksi oportunistik Faktor
terpenting terhadap timbulnya infeksi pada keganasan adalah keadaan neutropenia.
Semakin berat dan lama keadaan neutropenia, maka makin mudah dan berat infeksi
yang terjadi (Hadinegoro, 2002).
Infeksi bakteri pada pasien yang menerima kemoterapi mielosupresif
untuk tumor padat mengakibatkan komplikasi, kebutuhan akan hospitalisasi,
penundaan dan pengurangan dosis pada regimen kemoterapi, serta pada beberapa
kasus, kematian (Cullen et al, 2005). Pasien kanker mengalami penekanan sistem
imun karena berbagai alasan. Keganasan yang mendasarinya dapat merusak
sistem imun secara langsung maupun tidak langsung, atau terapi untuk keganasan
tersebut yang menyebabkan neutropenia atau gangguan fungsi leukosit. Perubahan
klinis yang menyertai kanker seperti malnutrisi protein dan mukositis juga dapat
mengganggu fungsi sistem imun.
Selain itu, pasien kanker juga dapat mengalami infeksi nosokomial, yaitu
infeksi yang terjadi 48 jam setelah berada di rumah sakit. Beberapa penyebab
infeksi nosokomial antara lain adalah pemasangan kateter intravena jangka
panjang, pemasangan kateter saluran kemih, dan obstruksi atau nekrosis jaringan
sekunder terhadap keganasan. Infeksi lainnya dapat berasal dari perjalanan
(travel) yang dilakukan pasien, paparan terhadap patogen yang diperoleh dari
komunitas, dan reaktivasi infeksi asimptomatis atau laten yang sebelumnya
dialami pasien.
2.3. Febrile Neutropenia
2.3.1. Defisi Neutropenia
Neutropenia adalah suatu keadaan di mana jumlah neutrofil kurang dari
1500 sel/μL. Pasien dengan neutropenia umumnya mengalami infeksi yang
disebabkan bakteri endogen dan jamur pada saluran gastrointestinal. Berikut
adalah klasifikasi neutropenia berdasarkan nilai Absolute Neutrophile Count (Boxer
& Dale, 2002) :
a.
Neutropenia ringan (mild) : nilai ANC 1000-1500 sel/ μL
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
5
b.
Neutropenia sedang (moderate) : nilai ANC 500 – 1000 sel/ μL
c.
Neutropenia berat (severe) : nilai ANC < 500 sel/ μL
Jenis mikroba yang sering dan jarang menyebabkan infeksi pada neutropenia
tertera pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Jenis mikroba yang sering dan jarang menyebabkan infeksi pada
neutropenia
Organisme
Bakteri Gram
positif
Bakteri Gram negatif
Sering terjadi
S. aureus
Staphyllococcus coagulase
negative
Enterecoccus
Streptococcus viridans
E. coli
K. pneumoniae
P. aeruginosa
Mikrobakteria
Fungi
C. albicans
C. kruzei
T. glabrata
Spesies Aspergillus
Virus
Herpes simpleks
Varisela-zoster
Parasit
Jarang terjadi
Spesies Corynebacterium
Spesies Bacillus
Spesies Clostridium
Spesies Enterobacter
Spesies Acinetobacter
Citrobacter freundii
Serretia marcescens
Spesies Legionella
M. fortuitum
M. cheloneae
Mucor
Rhizopus
Fusarium
Trichosporon
Pseudoallescheria boydii
Cryptococcus
Malassezia furfur
Cytomegalovirus
Pneumocystis carinii
Toxoplasma gondii
Strongyloides stercoralis
[sumber : Hadinegoro, 2002 ].
2.3.2. Definisi Febril Neutropenia (FN)
Febrile neutropenia (FN) didefinisikan sebagai demam (dalam dua kali
pengukuran suhu lebih dari 38˚C atau satu kali suhu lebih dari 38.5˚C) pada
pasien dengan jumlah neutrofil kurang dari 500sel/μL atau pasien dengan jumlah
leukosit kurang dari 1000sel/μL yang diprediksi akan mengalami penurunan
jumlah neutrofil hingga kurang dari 500sel/μL (National Comprehensive Cancer
Network, 2011).
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
6
2.3.3. Derajat Faktor Risiko
Derajat faktor risiko adalah risiko perburukan sampai terjadinya ancaman
kematian pada pasien didasarkan pada jenis tumor solid atau hematologik, tipe
kemoterapi konvensional/intensif/agresif, komorbiditas, dan lamanya neutropeni.
Badan Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia
(HOMPEDIN) dalam Panduan Tatalaksana Febril Neutropeni/Demam Neutropeni
Pada Pasien Kanker (2005) mengkategorikan tiga derajat risiko, yaitu
1.
Risiko rendah
a. Solid tumor
b. Kemoterapi konvensional
c. Tak ada komorbiditas
d. Neutropeni berlangsung singkat ≤ 3 hari
e. Tidak didapatkan klinis infeksi berat : CNS, pneumonia berat, infeksi kateter
f. Tidak didapatkan tanda-tanda sepsis atau syok
2.
Risiko sedang
a. Solid tumor atau keganasan hematologi
b. Kemoterapi intensif
c. Ada/tidak ada komorbiditas
d. Neutropeni berlangsung 3-7 hari
e. Didapatkan/tidak didapatkan infeksi klinis
f. Ada/tidak didapatkan tanda-tanda sepsis atau syok
3.
Risiko tinggi
a. Keganasan hematologi
b. Kemoterapi agresif/PBSCT/BMT
c. Ada/ tidak ada komorbiditas
d. Neutropeni berlangsung > 7 hari
e. Didapatkan/tidak didapatkan infeksi klinis
f. Ada/tidak didapatkan tanda-tanda sepsis atau syok
2.3.4. Pemeriksaan Penunjang
Dilaporkan hanya sekitar 10-20% infeksi pada pasien neutropenia disebabkan
oleh bakteri dan fungi. Perlu dilakukan pemeriksaan pewarnaan apus darah dan
biakan terhadap bakteri anaerob, fungi, dan virus. Sampel tinja perlu diambil untuk
pasien yang menderita diare. Pemeriksaan foto toraks harus segera dilakukan pada
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
7
pasien demam neutropenia, sedangkan pemeriksaan USG atau CT-scan kadangkadang diperlukan (Hadinegoro, 2002). Pemeriksaan fisik dilakukan setiap hari pada
tempat keluar kateter sentral dan perifer, serta tempat batas suntikan, saluran
pernapasan atas dan bawah, traktus urogenitalis, abdomen dan regio peranal, serta
monitoring tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, suhu dan kesadaran.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan ada dua yaitu pemeriksaan khusus
kultur mikrobiologi dan pemeriksaan umum yang meliputi hematologi rutin
(dilakukan setiap hari) dan kimia darah (dilakukan satu kali per minggu)
(BAKORNAS HOMPEDIN, 2005).
2.3.5. Strategi Pengobatan
Strategi Pengobatan Masalah infeksi sangat penting dan berbahaya untuk
pasien keganasan terutama keadaan neutropenia pada 72 jam pertama, pada saat
kuman penyebab infeksi belum dapat ditentukan. Umumnya 60-70% pasien
mengalami neutropenia dengan demam yang tidak diketahui penyebabnya (fever of
unknown origin). Oleh karena itu, sejak tahun 1971 dianjurkan memberikan
pengobatan antibiotik secara empiris segera setelah dicurigai adanya infeksi, misalnya
segera setelah timbul gejala demam. Pengobatan empirik adalah pemberian antibiotik
pada 72 jam pertama neutropenia dengan obat terpilih berdasarkan perkiraan kuman
penyebab yang tersering. Kriteria demam yaitu apabila dalam satu hari terjadi 2–3
kali suhu >38˚C atau sekali suhu >38.5˚C. Selain itu harus ditetapkan bahwa demam
bukan disebabkan oleh proses keganasan, reaksi transfusi, atau reaksi obat
(Hadinegoro, 2002).
Masalah yang sering timbul bila pengobatan empirik dihentikan adalah
timbulnya demam rekuren atau timbul infeksi bakteri lain. Oleh karena itu, berbagai
petunjuk tentang lama pengobatan empiris selalu mengacu pada hitung jenis neutrofil
sebagai berikut (Hadinegoro, 2002) :

Neutrofil lebih atau sama dengan 500/μL, apabila tidak ditemukan kuman dalam
biakan, antibiotik dihentikan setelah 7 hari pengobatan

Neutrofil <500 μL dan klinis baik, antibiotik dihentikan setelah 5-7 hari bebas
demam.

Neutrofil <100/μL, tanda vital stabil, namun terdapat lesi mukosa, antibiotik
dilanjutkan sampai hitung neutrofil sama atau lebih dari 500/μL atau sampai
keadaan klinis membaik dan stabil.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
8
Dianjurkan pengobatan antibiotik dihentikan apabila tidak terdapat demam
dan stabil dalam 72-96 jam (risiko rendah) atau 7 hari tanpa demam, setelah
granulosit lebih dari 1000sel/mm3 tanpa demam 2 hari (risiko tinggi). Beberapa
peneliti masih tetap menganjurkan untuk meneruskan pemberian antibiotik sampai
terjadi pemulihan jumlah neutrofil (BAKORNAS HOMPEDIN, 2005).
Pada pemberian antibiotik jangka panjang perlu diperhatikan kemungkinan
timbulnya super-infeksi oleh jamur dan kuman yang resisten, disamping toksisitas
obat. Prognosis demam pada pasien neutropenia tergantung dari respons klinis dan
mikrobiologik; hal ini sangat tergantung dari penyembuhan pasien dari
neutropenia. Respons klinis pada umumnya dapat terlihat dengan penurunan suhu
setelah pengobatan empiris selama 4 hari (Hadinegoro, 2002).
Dockrell dan Lewis (2001) membuat pembagian pengobatan demam pada
pasien neutropenia berdasarkan lini pertama, kedua, ketiga dan apabila pasien
alergi terhadap penisilin seperti tertera pada Tabel 2.2
Tabel 2.2. Pembagian pengobatan demam pada pasien neutropenia
Pilihan
Antibiotik awal
Lini pertama
• Seftazidim 50mg/kg
tiap 8jam
iv+gentamisin/
tobramisin 2mg/kg
loading dilanjut-kan
1.7 mg/kg tiap 8 jam.
• Sefepim 50mg/ kg
tiap 8-12 jam atau
Amikasin 7.5 mg/kg
iv, tiap 12 jam
(5mg/kg tiap 8 jam)
• Piperasilin 75 mg/kg
tiap 6 jam iv +
tobramycin dosis
seperti di atas.
• Seftazidim
100mg/kg
Lini kedua
•Imipenem-cilastin
12.5mg/kg iv tiap 6
jam • Meropenem 2040mg/kg iv tiap 8 jam
Modifikasi
antibiotik apabila
demam menetap 3
hari
Tambahkan
vankomisin 10 mg/kg
iv tiap 12 jam
Modifikasi
antibiotik apabila
demam menetap 5-7
hari
Amfoterisin B 0.5-0.6
mg/kg iv
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
9
Alergi penisilin
Aztreonam 30mg /kg
tiap 6 jam +
klindamisin 10mg /kg
iv tiap 6jam, atau
vankomisin 10mg/kg
iv tiap 6jam.
[Sumber : Hadinegoro, 2002]
Berikut adalah terapi dalam penatalaksanaan Febrile Neutropenia/Demam
Neutropeni Pada Pasien Kanker pada risiko rendah, sedang, dan tinggi :
Ya
Mampu terapi oral?
Tidak
1. Monoterapi :
Cefpirom,
cefepime,
ceftazidime,
carbapenem
2. Atau duoterapi:
sefalosporin
generasi III/IV +
aminoglikosida
atau aminopenisilin
+ aminoglikosida
Oral :
Ciprofloxacin/ levofloxacin
+ Amoxicillin
Clavulanic acid
Y
a
Klinis perburukan
Tidak
Demam
setelah 72-96
jam
Tidak
Y
a
Reevaluasi :
- pemeriksaan fisik
- Ro thorax
Stop setelah 3
hari afebris
Demam setelah
72-96 jam
Tidak
Y
a
Tidak
Tidak perlu modifikasi
Terbukti infeksi?
Reevaluasi :
- pemeriksaan fisik
- Ro thorax
Y
a
Terapi definitif
[Sumber : HOMPEDIN, 2006]
Gambar 2.1. Penatalaksanaan pengobatan antibiotik pada febril neutropenia risiko
rendah
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
10
1. Monoterapi : Cefpirom, cefepime,
ceftazidime, carbapenem
2. Atau duoterapi: sefalosporin generasi III/IV +
aminoglikosida atau aminopenisilin/piperasilin
+ aminoglikosida
Ya
Klinis perburukan
Ya
Demam setelah
72-96 jam
Tidak
Reevaluasi :
- pemeriksaan fisik, Ro thorax,
kultur darah, antigen jamur
Klinis stabil?
Ya
Lama terapi:
7 hari tanpa demam,
setelah granulosit lebih
dari 1000sel/mm3 tanpa
demam 2 hari
Tidak perlu
modifikasi
Tidak
Setelah:
1. +aminoglikosida atau
+kuinolon+glikopeptida
2. +glikopeptida atau +
carbapenem
Total lama terapi 10 hari
Tidak
Bila mikrobiologi terbukti infeksi :
Terapi definitif
Demam setelah 72-96 jam
Ya
+ antijamur amfoterisin B
/itraconazole/voriconazole
Penambahan glikopeptida bila terdapat
mukositis atau infeksi kateter
[Sumber : HOMPEDIN, 2005]
Gambar 2.2. Penatalaksanaan pengobatan antibiotik pada febril neutropenia risiko
sedang
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
11
1. Monoterapi : Cefpirom, cefepime,
ceftazidime, carbapenem
2. Atau duoterapi: sefalosporin generasi
III/IV + aminoglikosida atau
aminopenisilin/piperasilin +
aminoglikosida
Y
a
Klinis perburukan
Tidak
Y
a
Demam
setelah 72-96
jam
Tidak
Reevaluasi :
- pemeriksaan fisik, Ro thorax,
kultur darah, antigen jamur
Y
a
Klinis
stabil?
Tidak perlu
modifikasi
Tidak
Lama terapi:
7 hari tanpa demam,
setelah granulosit lebih
dari 1000sel/mm3 tanpa
demam 2 hari
- carbapenem + fluconazol/ampho B/
voriconzole/itraconazole
- kuinolon + glikopeptida
+fluconazole/ ampho
B/voriconzole/itraconazole
Tidak
Total lama terapi 10
hari
Demam setelah 72-96
jam
Y
a
Bila mikrobiologi terbukti
infeksi : Terapi definitif
Bila dengan fluconazole
demam 72 jam, ganti
dengan ampho B/
voriconzole/itraconazole
Penambahan glikopeptida bila
terdapat mukositis atau infeksi
kateter
[Sumber : HOMPEDIN, 2005]
Gambar 2.3. Penatalaksanaan pengobatan antibiotik pada febril neutropenia risiko
tinggi
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
12
2.4. Antibiotik
2.4.1. Definisi
Antibiotik
adalah
substansi
mikroorganisme yang dapat
yang
menghambat
dihasilkan
oleh
satu
macam
pertumbuhan atau membunuh
mikroorganisme lain. Antibiotik tidak bekerja sendiri dalam menghancurkan
antibiotik. Pertahanan tubuh alami, prosedur pembedahan jaringan yang terinfeksi,
dan penggantian pembalut luka mungkin diperlukan seiring dengan pemakaian
obat antibiotik untuk melenyapkan antibiotik. Meskipun pada awalnya diperoleh
secara alami, kini kebanyakan antibiotik diproduksi secara semisintetik atau
sintetik.
2.4.2 Jenis-jenis Antibiotik
Berikut ini adalah jenis-jenis antibiotik (Katzung, 2006) :
1.
Beta laktam, penisilin (contohnya: penisilin, isoksazolil penisilin, ampisilin),
sefalosporin (contohnya: sefadroksil, sefaklor), monobaktam (contohnya:
azteonam), dan karbapenem (contohnya: imipenem);
2.
Tetrasiklin, contohnya tetrasiklin dan doksisiklin;
3.
Makrolida, contohnya eritromisin dan klaritromisin;
4.
Linkomisin, contohnya linkomisin dan klindamisin;
5.
Kloramfenikol, contohnya kloramfenikol, tiamfenikol;
6.
Aminoglikosida, contohnya streptomisin, neomisin, gentamisin;
7.
Sulfonamid (contohnya: sulfadiazin, sulfisoksazol) dan kotrimoksazol
(kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol);
8.
Kuinolon (contohnya: asam nalidiksat) dan fluorokuinolon (contohnya:
siprofloksasin, levofloksasin);
9.
Glikopeptida, contohnya vankomisin, telkoplanin;
10. Antimikobakterium, isoniazid, rifampisin, pirazinamid;
11. Golongan lain-lain, contohnya polimiksin B, basitrasin, oksazolidindion
Berdasarkan daya kerjanya, antibiotik dapat dibedakan menjadi dua.
Pertama adalah bakteriostatik
atau antibiotik
yang dapat
menghambat
pertumbuhan bakteri, contohnya adalah tetrasiklin dan sulfonamid. Kedua adalah
bakterisid atau antibiotik yang dapat membunuh bakteri, contohnya adalah
penisilin dan sefalosporin. Efek bakteriostatik dan bakterisid dapat tergantung dari
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
13
dosis dan kadar dalam serum. Berdasarkan spektrumnya, antibiotik dibedakan
menjadi dua kelompok besar, yaitu antibiotik aktivitas spektrum luas (broad
spectrum) dan aktivitas spektrum sempit (narrow spectrum) (Lulman, Mohr, Hein
& Bieger, 2005).
1.
Antibiotik spektrum luas (broad spectrum)
Antibiotik spektrum luas, bekerja terhadap lebih banyak bakteri, baik
gram negatif maupun gram positif serta jamur. Contohnya adalah tetrasiklin
dan sefalosporin.
2.
Antibiotik spektrum sempit (narrow spectrum)
Antibiotik spektrum sempit, bekerja terhadap beberapa jenis bakteri saja.
Contohnya adalah penisilin dan eritromisin (Kee & Hayes, 1996).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dibedakan menjadi empat
kelompok, yaitu (Lulman, Mohr, Hein & Bieger, 2005) :
1.
Antibiotik yang menginhibisi sintesis dinding sel bakteri;
2.
Antibiotik yang menginhibisi sintesis tetrahidrofolat;
3.
Antibiotik yang menginhibisi fungsi Deoxyribonucleic Acid (DNA);
4.
Antibiotik yang menginhibisi sintesis protein.
Antibiotik yang ideal harus memenuhi syarat berikut ini (Jawelz, 1995) :
1.
Mempunyai kemampuan untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme yang luas;
2.
Tidak menimbulkan terjadinya resistensi dan mikroorganisme patogen;
3.
Tidak menimbulkan pengaruh efek samping yang buruk pada host, seperti :
reaksi alergi, kerusakan syaraf, iritasi lambung dan sebagainya;
4.
Tidak mengganggu keseimbangan flora normal dari host seperti flora usus
atau flora kulit.
2.4.3. Golongan Antibiotik Senyawa Beta Laktam
Senyawa golongan β-Laktam memiliki persamaan kimiawi, mekanisme
kerja, farmakologi, dan karakteristik imunologi. Golongan tersebut yaitu,
penisilin, sefalosporin, monobaktam, dan karbapenem. Semua obat tersebut
merupakan senyawa
β-laktam yang dinamakan demikian karena mempunyai
cincin laktam yang khas. Semua antibiotik β-laktam menghambat pertumbuhan
bakteri dengan mengganggu reaksi transpeptidasi dalam sintesis dinding sel
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
14
bakteri. Dinding sel adalah suatu lapisan luar yang kaku dan khas untuk spesies
bakteri, dan sepenuhnya membungkus membran sitoplasma, mempertahankan
bentuk integritas sel dan mencegah lisis sel akibat tekanan osmotik tinggi. Dinsing
sel tersusun dari suatu polimer polisakarida dan polipeptida berikatan silang yang
kompleks yakni peptidoglikan.
Polisakarida mengandung gula amino yang berselang-seling, yakni Nasetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat. Suatu peptida yang mengandung
lima asam amino dikaitkan dengan gula asam N-asetilmuramat. Peptida ini
berakhir di D-alanil-alanin. Penicilin-binding protein (PBP, suatu enzim)
memotong alanin terminal tersebut pada proses pembentukan suatu ikatan-silang
dengan peptide didekatnya. Ikatan silang tersebut membuat struktur dinding sel
menjadi kaku.
Antibiotik β-laktam yang secara struktural merupakan analog substrat
PBP, berikatan secara kovalen dengan tempat aktif di PBP. Ikatan ini menghambat
reaksi transpeptidase, menghentikan sintesa peptidoglikan sehingga sel akan mati.
Mekanisme pasti kematian sel tidak sepenuhnya dimengerti, tetapi autolisin dan
gangguan morfogenesis dinding sel diduga terlibat. Penisilin dan sefalosporin
membunuh sel bakteri hanya jika sel bakteri tersebut aktif bertumbuh dan
menyintesis dinding sel.
2.4.3.1. Amoksisilin (Penisilin Berspektrum Luas)
a.
Aktivitas Antimikroba & Penggunaan Klinis :
Memiliki aktivitas yang lebih besar daripada penisilin G terhadap bakteri
gram negatif karena kemampuannya menembus membran luar organisme
gram negatif lebih besar. Seperti penilin G, obat ini diinaktifkan oleh βlaktamase. Amoksisilin bermanfaat mengobati infeksi berat yang disebabkan
oleh organisme yang rentan-penisilin, termasuk organisme anaerob,
enterokokus, Listeria monocytogenes, dan galur kokus dan basil gram negatif
yang tidak menghasilkan β-laktamase seperti, E.coli, dan spesies salmonella.
Galur H.influenza yang tidak menghasilkan β-laktamase umumnya rentan tapi
saat ini mulai muncul galur spesies resisten karena adanya perubahan PBP.
Amoksisilin tidak aktif pada Pseudomonas aeruginosa, sitobakter, seratia,
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
15
dan spesien proteus postif-indol, dan bakteri gram negatif lain yang umum
dijumpai pada infeksi nosokomial.
b.
Efek Samping :
Amoksisilin secara umum tidak bersifat toksik. Kebanyakan reaksi
simpangnya terjadi karena hipersensitivitas. Pada pasien gagal ginjal
amoksisilin dalam dosis tinggi dapat menyebabkan kejang. Amoksisilin
dalam dosis besar dapat menyebabkan mual, muntah, dan diare. Serta dapat
menimbulkan ruam kulit yang tidak disebabkan oleh alergi.
c.
Dosis lazim yang digunakan :
Tabel 2.3. Dosis lazim amoksisilin
Antibiotik (Rute Dosis Dewasa Dosis Anak*
Pemberian)
Amoksisilin
0,25-0,5 g
20-40 mg/kg/hari
(PO)
dalam 3 dosis
Amoksisilin500/125 mg
20-40 mg/kg/hari
kalium
dalam 4-6 dosis
klavulanat (PO)
* : dosis total tidak boleh melebih dosis dewasa
Dosis
Neonatus
-
d. Penyesuaian dosis berdasarkan bersihan klirens kreatinin (persentase
dibandingkan dengan dosis orang normal) :
Tabel 2.4. Penyesuaian dosis amoksisilin berdasarkan fungsi ginjal
Antibiotik
Amoksisilin (PO)
Amoksisilin- kalium
klavulanat (PO)
Cl cr sekitar
50 ml/menit
66%
66%
Cl cr sekitar 10
ml/menit
33%
33%
2.4.3.2. Sefotaksim, Sefiksim, Seftriakson Seftizoksim, Seftazidim (Sefalosporin
Generasi- ketiga)
Dibandingkan dengan agen generasi kedua, obat ini memiliki cakupan
gram negatif yang lebih luas dan beberapa obat mampu melintasi sawar darah
otak.
a. Aktivitas Antimikroba & Penggunaan Klinis:
Obat generasi ketiga aktif terhadap sitrobakter, S.marscescens, dan
providensia. Sefalosporin generasi ketiga juga efektif terhadap galur
hemofilius dan neisseria yang menghasilkan β-laktamase, P. aeruginosa
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
16
hanya dapat diatasi oleh seftazidim dan sefoperazon, Seperti obat generasi
kedua golongan ini juga dapat dihdrolisis oleh AmpC β-laktamase yang
diproduksi secara konstan dan juga tidak dapat diandalkan untuk mengatasi
spesies enterobakter. Seftizoksim dan sefiksim (PO) aktif terhadap B.fragilis.
Namun sefiksim lebih tidak aktif terhadap peneumokokus serta kurang efektif
mengatasi S.aureus. sefalosporin generasi ketiga digunakan untuk mengobati
berbagai macam infeksi berat yang disebabkan oleh organisme yang resisten
terhadap kebanyak obat lain.Akan tetapi, galur yang mengekspresikan βlaktamase berspektrum luas tidak mempan terhadap obat ini. Seftriakson dan
sefotaksim disetujui penggunaannya untuk terapi meningitis. Seftriakson dan
sefotaksim adalah yang paling aktif terhadap galur penunomokokus yang
resisten terhadap pensilin dan direkomendasikan untuk terapi empiris untuk
infeksi berat yang disebabkan oleh galur tersebut. Pada pasien yang
mengalami demam dan neutropenik, sefalosporin generasi ketiga sering
digunakan dalam kombinasi dengan aminoglikosida.
b. Dosis lazim yang digunakan :
Tabel 2.5. Dosis lazim Sefotaksim, Sefiksim, Seftriakson, Seftizoksim,
Seftazidim
Antibiotik
(Rute
Pemberian)
Dosis Dewasa
Dosis Anak*
Dosis Neonatus
Sefotaksim (IV) 1,2 g dalam 2- 50-200
4 dosis
mg/kg/hari dalam
4-6 dosis
Seftriakson
1,2 g dalam 2- 75-150
(IV)
3 dosis
mg/kg/hari dalam
2-3 dosis
Sefiksim (PO)
400 mg dalam 8 mg/kg.hari
2-4 dosis
dibagi dalam 1-2
dosis
Seftizoksim
2 g setiap 4
150-200
(IV)
jam atau 4 g
mg/kg/hari dibagi
setiap 8 jam
dalam 3-4 dosis
100 mg/kg/hari
dalam 2 dosis
Seftazidim (IV)
100-150
mg/kg/hari
dalam 2 / 3
dosis
1-4 g dalam 1
dosis
75-150
mg/kg/hari dalam
3 dosis
100-150
mg/kg.hari
dalam 2-3 dosis
-
-
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
17
c.
Penyesuaian dosis berdasarkan bersihan klirens kreatinin (persentase
dibandingkan dengan dosis orang normal) :
Tabel 2.6. Penyesuaian dosis Sefotaksim, Sefiksim, Seftriakson Seftizoksim
berdasarkan fungsi ginjal
Antibiotik
Cl cr sekitar 50
Cl cr sekitar 10
ml/menit
ml/menit
Sefotaksim (IV)
50%
25%
Seftriakson (IV)
50%
25%
Sefiksim (PO)
75%
50%
Seftizoksim (IV)
500-1500 mg
250-1000 mg setiap 12
setiap 8 jam
jam
50%
25%
Seftazidim (IV)
* : dosis total tidak boleh melebih dosis dewasa
2.4.3.3. Meropenem (Golongan Karbapenem)
Seperti antibiotik golongan beta laktam lainnya, aktivitas antibakterial
yang dihasilkan merupakan hasil dari inhibisi sintesis dinding sel bakteri.
a.
Aktivitas Antimikroba dan Penggunaan Klinis
Pengobatan imfeksi saluran intra-abdominal (dengan komplikasi appendicitis,
peritonitis) yang disebabkan oleh , Escherichia coli, Klebsiella pneumonia,
Pseudomonas aeruginosa, Bacteroides fragilis, B. thetaiotaomicron, atau
Peptostreptococcus. Pengobatan meningiitis bakterial yang disebabkan oleh
Streptococcus
pneumoniae,
Haemophilus
influenzae
atau
Neisseria
meningitidis pada anak-anak usia ≥3 bulan. Juga dapat digunakan sebagai
pengobatan meningitis pada pasien dewasa.vPengobatan infeksi saluran
pernapasan termasuk CAP dan pneumonia nosokomial.vPengobatan infeksi
yang disebabkan oleh Bacillus cereus. Pengobatan infeksi yang disebabkan
oleh Clostridium perfringens. Terapi empiris untuk infeksi bakterial pada
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
18
pasien febrile neutropenic. Digunakan secara tunggal atau dikombinasikan
dengan antibakteri lainnya.
b.
Dosis lazim yang digunakan :
Tabel 2.7. Dosis lazim Meropenem
Antibiotik (Rute
Dosis Dewasa
Dosis Anak*
Infeksi Intraabdominal :
1 g setiap 8 jam.
Infeksi Intra-abdominal:
Usia ≥ 3 bulan dengan
berat ≤ 50 kg: 20 mg/kg
(hingga 1 g) setiap 8 jam.
Usia ≥ 3 bulan dengan
berat >50 kg: 1 g setiap 8
jam.
Pemberian)
Meropenem (IV)
Meningitis :
6 g sehari. Dosis
40mg/kg setaip 4
jam (hingga 6 g
sehari) dapat
dikombinasikan
dengan ceftriaxone
atau cefotaxime.
Meningitis :
Usia ≥ 3 bulan dengan
berat ≤ 50 kg: 40 mg/kg
(hingga 2 g) setiap 8
jam.Usia ≥ 3 bulan dengan
berat >50 kg: 2 g setiap 8
jam
* : dosis total tidak boleh melebih dosis dewasa
c.
Penyesuaian Dosis
Tabel 2.8. Penyesuaian dosis meropenem berdasarkan klirens pasien
[Sumber : American Society of Health-System Pharmacists, 2011]
d.
Efek Samping
Penggunaan meropenem menyebabkan efek samping seperti efek pada GI
(diare, mual, muntah, konstipasi), reaksi lokal (nyeri dan nyeri pada tempat
diinjeksikan, phlebitis/thrombophlebitis), sakit kepala, anemia, rash, pruritus,
sepsis, apnea, shock, glossitis, oral candidiasis.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
19
2.4.4. Antibiotik Golongan Linkosamid
Antibiotika golongan linkosamid yang secara reversibel berikatan dengan
subunit 50S ribosomal mencegahan terbentuknya ikatan peptida, sehingga
menghambat sistesis protein bakteri. Klindamisin dapat bersifat bakteriostatik
maupun bakterisidal bergantung pada konsentrasi obat, bagian yang terinfeksi dan
organisme (American Pharmacist Association, 2007).
2.4.4.1. Klindamisin (golongan linkosamid)
a.
Aktivitas Antimikroba dan Penggunaan Klinis
Klindamisin memiliki aktivitas antibakteri serupa dengan eritromisin, yaitu
bersifat bakteriostatik. Spektrum kerja dari klindamisin lebih kepada bakteri
anaerob, seperti Bacteroides fragilis dan bakteri coccus non-enterococcal
gram positif (Mycek, Mary Julia, et al., 2000). Klindamisin digunakan pada
infeksi bakteri, khususnya disebabkan oleh bakteri anaerob, strptococci,
pneumococci, dan staphylococci; bakteri vaginosis (cream dan suppositoria
vagina); infalamasi pelvis (I.V.); secara topikal untuk pengobatan jerawat;
pengobatan vagina akibat Gardnerella vaginalis. Unlabeled/Investigational
Use, Klindamisin dapat digunakan pada pneumocystic pneumonia (PCP) atau
pengobatan
alternatif
untuk
toksoplasmosis
(American
Pharmacist
Association, 2007).
b.
Dosis lazim yang digunakan :
Tabel 2.9. Dosis lazim klindamisin
Antibiotik
Dosis Dewasa
Dosis Anak*
Klindamisin
Oral: 150-450 mg
setiap 6-8 jam;
maksimum dosis: 1,8
g/hari
Oral: bayi dan anakanak: 8-20 mg/kg/hari
(hidroklorida); 8-25
mg/kg/hari (palmitat)
terbagi 3-4 dosis; dosis
minimum (palmitat):
37,5 mg tiga kali sehari
I.M., I.V.: 1,2-2,7 g/
hari terbagi 2-4 dosis;
dosis maksimum: 4,8
g/hari
I.M., I.V.: < 1 bulan:
15-20 mg/kg/hari
terbagi 3-4 dosis; > 1
bulan: 20-40
mg/kg/hari terbagi 3-4
dosis
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
20
c.
Kontraindikasi
Klindamisin dikontraindikasikan untuk pasien yang hipersensitivitas terhadap
klindamisin, lincomycin, atau komponen lain yang ada dalam formula
(American Pharmacist Association, 2007).
d.
Efek samping
Frekuensi terjadinya efek samping dari penggunaan klindamisin secara
sistemik belum diketahui. Namun, efek samping yang mungkin terjadi dalam
penggunaan clindamysin adalah nyeri abdomen, diare, esofagitis, mual,
muntah, kolitis pseudomembran, vaginitis, agranulositosis, eosinofilia,
neutropenia, trombositopenia, jaundice, trombophlebitis (I.V.),
dan nyeri
atau abses (I.M.) (American Pharmacist Association, 2007).
2.4.5. Antibiotik Golongan Aminoglikosida
Antibiotik golongan aminoglikosida. Mekanisme aksi dari amikasin sama
seperti streptomisin, yaitu dengan menginhibisi sintesis protein dengan berikatan
secara langsung dengan subunit 30S ribosomal. (American Pharmacist
Association, 2007).
2.4.5.1. Amikasin
Semua aminoglikosida bersifat bakterisidal dan terutama pada kuman
gram negatif. Amikasin aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa. Amikasin
biasanya diberikan pada terapi infeksi serius yang disebabkan oleh bakteri basilus
gram negatif yang resisten terhadap gentamisin (BPOM RI, 2008).
a. Aktivitas antimikroba dan Penggunaan Klinis
Amikasin digunakan pada infeksi bakteri serius (seperti, infeksi tulang, saluran
pernapasan, endokarditis, dan septisemia) bergantung pada organisme yang
resisten terhadap gentamisin dan tobramisin, seperti Pseudomonas, Proteus,
Serratia, dan bakteri basil gram negatif; dan infeksi dari mikobakteri
Unlabeled/Investigational Use Amikasin digunakan pada endofalmitis
(American Pharmacist Association, 2007).
b. Dosis
Rekomendasi dosis amikasin dihitung secara individual karena indeks terapi
yang kecil. Dosis dihitung bersarkan Ideal Body Weight (IBW) untuk
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
21
menentukan dosis dalam mg/kg lebih akurat dibandingkan dengan dosis
berdasarkan Total Body Weight (TBW). Dosis untuk pasien dengan obesitas
lebih baik ditentukan berdasarkan IBW + 0,4 (TBW – IBW). Konsentrasi obat
dalam plasma saat dosis diberikan (initial) dan puncak dan lembah dari kurva
harus diketahui, khususnya untuk pasien dengan infeksi serius atau pada
keadaan penyakit yang meningkatkan farmakokinetik dari aminoglikosida
(seperti fibrosis sistik, terbakar, dan bedah mayor). Rentang dosis usual
dewasa
(I.M. dan I.V.) adalah 3-7,5 mg/kg/dosis setiap 8 jam. Namun,
beberapa dokter merekomendasikan dosis harian sebesar 15-20 mg/kg untuk
semua pasien dengan fungsi renal yang normal. Dosis geriatri sesuai dengan
dosis dewasa. Sedangkan, untuk dosis pediatri dan anak-anak rentang dosis
usual (I.M., I.V.) sebesar 5-7,5 mg/kg/dosis setiap 8 jam Rekomendasi dosis
amikasin berdasarkan indikasi dapat dilihat pada Tabel 3
(American
Pharmacist Association, 2007).
b. Penyesuaian Dosis
Dosis individual pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal sangatlah penting.
Beberapa pasien membutuhkan dosis yang lebih besar atau frekuensi yang
lebih sering jika konsentrasi serum dibutuhkan (seperti, pasien fibrosis sistik
atau granulositopenia). Berikut penyesuaian dosis/frekuensi pada pasien
dengan kelainan fungsi ginjal:
-
ClCr < 60 mL/menit: diberikan setiap 8 jam
-
ClCr 40-60 mL/menitL diberikan setiap 12 jam
-
ClCr 20-40 mL/menit: diberikan setiap 24 jam
-
ClCr < 20 mL/menit: berikan loading dose dan monitor konsentrasi obat
dalam serum (American Pharmacist Association, 2007).
Tabel 2.10. Rekomendasi dosis amikasin dewasa berdasarkan indikasi
Tujuan
Enfoftalmitis bakterial (unlabeled use)
Rekomendasi Dosis
Intravitreal: 0,4 mg/0,1 mL NS kombinas dengan
vankomisin
Hospital-acquired pneumonia (HAP)
I.V.: 20 mg/kg/hari dengan antipseudoman beta-laktam
atau karbapenem
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
22
Meningitis (Pseudomonas aeruginosa)
I.V.: 5 mg/kg/hari setiap 8 jam (diberikan dengan
bakteriosidal lainnya)
Mycobacterium fortuitum, M.
I.V.: 10-15 mg/kg/hari setidaknya selama 2 minggu
chelonae, atau M. abcessus
dengan dosis tinggi sefotiksin
[Sumber: American Pharmacist Association, 2007]
c.
Kontraindikasi
Amikasin dikontraindikasikan untuk pasien dengan hipersensitivitas dengan
amikasin sulfat atau komponen lain penyusun dalam formulasi; sensitivitas
silang dapat timbul dengan aminoglikosida lainnya (American Pharmacist
Association, 2007).
d.
Efek samping
Efek samping dari penggunaan amikasin dengan kejadian 1-10% pasien
adalah neurotoksisitas, ototoksisitas (audiotri dan vestibular), dan nefrotoksik.
Sedangkan, untuk efek samping dengan kejadian < 1% adalah reaksi alergi,
arthralgia, mengantuk, demam, dyspnea, eosinofilia, nyeri kepala, hipotensi,
mual, parestesia, ruam, tremor, muntah, dan lemah (American Pharmacist
Association, 2007).
2.5. Prinsip Penggunaan Antibiotik untuk Terapi Empiris, Definitif, dan
Profilaksis Bedah
2.5.1 Antibiotik Terapi Empiris
Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan
pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau penghambatan
pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh
hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi: ditemukan sindrom klinis yang
mengarah pada keterlibatan bakteri tertentu yang paling sering menjadi penyebab
infeksi.
1)
Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik data epidemiologi dan pola
resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah sakit setempat.
2)
Kondisi klinis pasien.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
23
3)
Ketersediaan antibiotik.
4)
Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam jaringan/organ yang
terinfeksi.
5)
Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat
digunakan antibiotik kombinasi.
Rute pemberian: antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk
terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan
menggunakan antibiotik parenteral(Cunha,BA.,2010). Lama pemberian: antibiotik
empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam. Selanjutnya harus dilakukan
evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data
penunjang
lainnya
(
IFIC.,2010;TimPPRAKemenkesRI.,2010).
Evaluasi
penggunaan antibiotik empiris dapat dilakukan seperti pada tabel berikut :
Tabel 2.11 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Empiris
Hasil
Klinis
Sensitivitas
Tindak lanjut
Kultur
+
Membaik
Sesuai
Lakukan sesuai prinsip "DeEskalasi"
(penggunaan antibiotik spektrum
luas untuk terapi inisial
dilanjutkan dengan penggunaan
antibiotik dengan spektrum lebih
sempit)
+
Membaik/Tetap
Tidak Sesuai
Evaluasi Diagnosis dan Terapi
+
+
Memburuk/Tetap
Memburuk
Sesuai
Tidak Sesuai
Evaluasi Diagnosis dan Terapi
Evaluasi Diagnosis dan Terapi
-
Membaik
0
Evaluasi Diagnosis dan Terapi
Tetap/Memburuk 0
Evaluasi Diagnosis dan Terapi
[Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011]
2.5.2 Antibiotik Terapi Definitif
Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan
pola
resistensinya (LloydW.,2010). Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi definitif
adalah eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
24
infeksi, berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi: sesuai dengan hasil
mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi. Dasar pemilihan jenis dan dosis
antibiotik:
1)
Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.
2)
Sensitivitas.
3)
Biaya.
4)
Kondisi klinis pasien.
5)
Diutamakan antibiotik lini pertama / spektrum sempit.
6)
Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit).
7)
Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang terkini.
8)
Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.
Rute pemberian : antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk
terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan
menggunakan antibiotik parenteral (Cunha,BA.,2010). Jika kondisi pasien
memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segera diganti dengan
antibiotik peroral. Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi
klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi.
Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi
klinis pasien serta data penunjang lainnya (IFIC.,2010)
2.5.3 Antibiotik Profilaksis Bedah
Terapi profilaksis antibiotik merupakan penggunaan antibiotik sebelum,
saat, atau setelah prosedur diagnostik, pengobatan, atau bedah untuk mencegah
komplikasi infeksi (SIGN, 2008). Antibiotik profilaksis diberikan saat adanya
resiko infeksi. Antibiotik profilaksis direkomendasikan diberikan saat tingginya
resiko kontaminasi bakteri perioperatif dan/atau saat infeksi mengarah pada
morbiditas dan mortalitas serius (Gray & Hawn, 2007). Terdapat beberapa faktor
resiko yang mempengaruhi insidensi infeksi luka operasi, diantaranya (SIGN,
2008):
1)
Faktor resiko pasien
a.
Umur yang ekstrim
b.
Nutrisi yang buruk
c.
Obesitas (> 20% dari massa tubuh ideal)
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
25
2)
d.
Ko-morbiditas (Diabetes mellitus, hipertiroid, gagal ginjal, lupus, dll)
e.
Merokok
f.
Infeksi penyerta pada bagian lain
g.
Kolonisasi bakteri (misalnya nares colonisation dengan S. aureus)
h.
Imunosupresan (akibat steroid atau obat-obatan immunosupresif lainnya)
i.
Perpanjangan lama waktu post operasi
Faktor resiko operasi
a.
Lama dari scrub pembedahan
b.
Antisepsis kulit
c.
Pencukuran praoperasi
d.
Persiapan kulit praoperasi
e.
Lama operasi
f.
Antibiotika profilaksis
g.
Ventilasi ruang operasi
h.
Instrumen sterilisasi yang memadai
i.
Bahan asing pada situs bedah
j.
Drainase pembedahan
k.
Teknik bedah, termasuk hemostasis, trauma jaringan, penutupan yang
buruk
l.
Hipotermia pascaoperasi
Operasi dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas dengan peningkatan
kontaminasi bakteri dan kejadian infeksi pascaoperasi (Tabel 1) (SIGN, 2008).
Indikasi penggunaan antibiotik bergantung pada klasifikasi kelas operasi.
Antibiotika profilaksis harus diberikan untuk seluruh kelas operasi bersih dan
bersih kontaminasi. Kelas operasi kontaminasi dan kotor telah terinfeksi, maka
dibutuhkannya terapi antibiotik, bukan lagi profilaksis. (Gray & Hawn, 2007)
Tabel 2.12. Kategori/kelas operasi (Mayhall Classification)
Kelas Operasi
Definisi
Operasi Bersih
Operasi yang dilakukan pada daerah dengan kondisi pra
bedah tanpa infeksi; tanpa membuka saluran
pernapasan, pencernaan, kemih, maupun empedu;
operasi terencana; atau penutupan kulit primer dengan
atau tanpa menggunakan drain tertutup.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
26
Operasi Bersihkontaminasi
Operasi Kontaminasi
Operasi Kotor
Operasi yang dilakukan pada saluran cerna, empedu,
kemih, pernapasan dan reproduksi (kecuali ovarium)
atau operasi tanpa disertai kontaminasi yang nyata.
Operasi yang membuka saluran cerna, saluran empedu,
saluran kemih, saluran pernapasan sampai orofaring,
saluran reproduksi, atau operasi tanpa pencemaran nyata
(gross spillage).
Operasi pada perforasi saluran cerna, saluran urogenital
atau saluran napas yang terinfeksi ataupun operasi yang
melibatkan daerah yang purulen (inflamasi bakterial).
Dapat pula operasi pada luka terbuka lebih dari 4 jam
setelah kejadian atau terdapat jaringan non vital yang
luas atau nyata kotor.
[Sumber: SIGN, 2008, telah diolah kembali]
Selain itu Skor ASA(American Society of Anesthesiologists) juga dapat menjadi
pertimbangan dalam pemilihan antibitoik
Tabel 2.13.Pembagian Status Fisik Pasien Berdasarkan Skor ASA
[Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011]
2.5.1.Pemilihan dan pemberian antiobiotik profilaksis
Waktu pemberian antibiotik profilaksis sangat penting untuk memastikan
terapi antibiotika yang efektif. Antibiotika profilaksis harus diberikan dalam 60
menit sebelum insisi agar tercapai konsentrasi obat yang diinginkan. Pemilihan
antibiotika profilaksis harus aman, cost-effective, dan sesuai dengan patogen
berdasarkan tipe prosedur. Pemilihan antibiotik harus sesuai dengan pola
resistensi lokal (Gray & Hawn, 2007). Jenis operasi beserta patogen dan
antibiotika pilihan dapat dilihat lebih lanjut pada Tabel 2 dan rekomendasi
antibiotik profilaksis bedah pada Tabel 3. Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk
tujuan profilaksis (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011):
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
27
1)
Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus
bersangkutan.
2)
Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri.
3)
Toksisitas rendah.
4)
Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi.
5)
Bersifat bakterisidal.
6)
Harga terjangkau.
Tabel 2.14 Jenis operasi beserta patogen dan antibiotik profilaksisnya
[Sumber: SIGN, 2008]
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
28
Tabel 2.15. Jenis operasi beserta patogen dan antibiotik profilaksisnya
[Sumber: Bratzler et al., 2013]
2.5.2. Rute pemberian
1)
Antibiotik profilaksis diberikan secara intravena.
2)
Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan pemberian
antibiotik intravena drip.
2.5.3. Waktu pemberian
Antibiotik profilaksis diberikan ≤ 30 menit sebelum insisi kulit. Idealnya
diberikan pada saat induksi anestesi.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
29
2.5.4. Dosis pemberian
Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam
jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang cukup tinggi.
Pada jaringan target operasi kadar antibiotik harus mencapai kadar hambat
minimal hingga 2 kali lipat kadar terapi.
2.5.5. Lama pemberian
Durasi pemberian adalah dosis tunggal. Dosis ulangan dapat diberikan atas
indikasi perdarahan lebih 1500 ml atau operasi berlangsung lebih dari tiga jam
(SIGN, 2008).
2.6. Penggunaan Antibiotik Pada Anak
Perhitungan dosis antibiotik berdasarkan perkilogram berat badan ideal
sesuai dengan usia dan petunjuk yang ada dalam formularium profesi. Berikut
adalah daftar tabel antibiotik yang tidak boleh diberikan untuk Anak
Tabel 2.16. Daftar Antibiotik yang Tidak Boleh Diberikan pada anak
Nama Obat
Kelompok Usia
Alasan
Siprofloksasin
< 12 tahun
Merusak tulang rawan
Norfloksasin
< 12 tahun
Merusak tulang rawan
Tetrasiklin
< 4 tahun
Disolorisasi
gigi,
gangguan pertumbuhan
tulang
Kotrimoksazol
< 2 bulan
Tidak ada data efektivitas
dan keamanan
Kloramfenikol
Nenonatus
Grey baby syndrome
Tiamfenikol
Nenonatus
Grey baby syndrome
Linkomisin HCl
Nenonatus
Fatal toxic syndrome
Piperasilin-Tazobaktam Nenonatus
Tidak ada data efektivitas
dan keamanan
Azitromisin
Nenonatus
Tidak ada data keamanan
Tigesiklin
<18 tahun
Tidak ada data keamanan
Spiramisin
Nenonatus dan bayi
Tidak ada data keamanan
[Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011]
2.7. Pola Aktivitas Farmakokinetik dan Farmakodinamik Antibiotik
Farmakokinetik (pharmacokinetic, PK ) membahas tentang perjalanan kadar
antibiotik didalam tubuh, sedangkan farmakodinamik (pharmacodynamic, PD) membahas
tentang hubungan antara kadar-kadar itu dan efek antibiotiknya. Dosis antibiotik dulunya
hanya ditentukan oleh parameter PK saja. Namun, ternyata PD juga memainkan peran
yang sama, atau bahkan lebih penting. Pada abad resistensi antibiotika yang terus
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
30
meningkat ini, PD bahkan menjadi lebih penting lagi, karena parameter-parameter ini bisa
digunakan untuk mendesain rejimen dosis yang melawan atau mencegah resistensi. Jadi
walaupun
efikasi klinis
dan
keamanan
masih
menjadi standar
emas
untuk
membandingkan antibiotik, ukuran farmakokinetik dan farmakodinamik telah semakin
sering digunakan. Beberapa ukuran PK dan PD lebih prediktif terhadap efikasi klinis.
Ukuran utama aktivitas antibiotil adalah Kadar Hambat Minimum (KHM). KHM
adalah kadar terendah antibiotic yang secara sempurna menghambat pertumbuhan suatu
mikroorganisme secara invitro. Walaupun KHM adalah
indikator yang baik untuk
potensi suatu antibiotik, KHM tidak menunjukkan apa-apa tentang perjalanan waktu
aktivitas antibiotik. Parameter-parameter farmakokinetik menghitung perjalanan kadar
serum antibiotika. Terdapat 3 parameter farmakokinetik yang paling penting untuk
mengevaluasi efikasi antibiotik, yaitu kadar puncak serum(C max), kadar minimum(Cmin),
dan area under curve (AUC) pada kurva kadar serum vs waktu. Walaupun parameterparameter ini mengkuantifikasi perjalanan kadar serum, parameter-parameter teresebut
tidak mendeskripsikan aktivitas bakterisid suatu antibiotik.
Aktivitas antibiotik dapat dikuantifikasi dengan mengintegrasikan parameterparameter PK/PD dengan KHM. Parameter tersebut yaitu: rasio kadar puncak / KHM,
waktu > KHM, dan rasio AUC-24 jam / KHM. Tiga sifat farmakodinamik antibiotik yang
paling baik untuk
menjelaskan aktivitas
bakterisidal adalah time-dependence,
concentration-dependence, dan efek persisten. Kecepatan bakterisidal ditentukan oleh
panjang waktu yang diperlukan untuk membunuh bakteri (time-dependence), atau efek
meningkatkan kadar obat (concentration-dependence). Efek persisten mencakup PostAntibiotic Effect (PAE). PAE adalah supresi pertumbuhan bakteri secara persisten
sesudah paparan antibiotik.
Tabel 2.17. .Pola Aktivitas Antibiotik berdasarkan parameter PK/PD
Pola Aktivitas
Tipe I
Bakterisidal
Concentrationdependence dan
efek
persisten
yang lama
Tipe II
Bakterisidal timedependence dan
efek
persisten
minimal
Tipe III
Antibiotik
Aminoglikosid
Fluorokuinolon
Ketolid
Tujuan Terapi
Memaksimalkan
durasi paparan
Karbapenem
Sefalosporin
Eritromisin
Linezolid
Penicillin
Azitromisin
Memaksimalkan
durasi paparan
Memaksimalkan
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
31
Bakterisidal time- Klindamisin
jumlah obat yang
dependence dan Oksazolidinon
masuk
sirkulasi
efek
persisten Tetrasiklin
sistemik
sedang
sampai Vankomisin
lama
[Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011]
Untuk antibiotik Tipe I, rejimen dosis yang ideal adalah memaksimalkan kadar,
karena semakin tinggi kadar, semakin ekstensif dan cepat tingkat bakterisidalnya. Karena
itu, rasio AUC 24 jam / KHM, dan rasio kadar puncak / KHM merupakan predictor
efikasi antibiotik yang penting. Untuk aminoglikosid, efek optimal dicapai bila rasio
kadar puncak / KHM minimal 8-10 untuk mencegah resistensi. Untuk fluorokuinolon vs
bakteri Gram-negatif, rasio AUC 24 jam / KHM optimal adalah sekitar 125.
Bilafluorokuinolon vs Gram-positif, 40 nampaknya cukup optimal. Namun, rasio AUC 24
jam / KHM untuk fluorokuinolon sangat bervariasi.
Antibiotik Tipe II menunjukkan sifat yang sama sekali berlawanan. Rejimen
dosis ideal untuk antibiotic ini diperoleh dengan memaksimalkan durasi paparan.
Parameter yang paling berkorelasi dengan efikasi adalah apabila waktu(t) diatas KHM.
Untuk beta-laktam dan eritromisin, efek bakterisidal maksimum diperoleh bila waktu
diatas KHM minimal 70% dari interval dosis. Antibiotik Tipe III memiliki sifat
campuran, yaitu tergantung-waktu dan efek persisten yang sedang. Rejimen dosis ideal
untuk antibiotic ini diperoleh dengan memaksimalkan jumlah obat yang masuk dalam
sirkulasi sistemik. Efikasi obat ditentukan oleh rasio AUC 24 jam/ KHM. Untuk
vankomisin, diperlukan rasio AUC24jam / KHM minimal 125.
2.8. Tinjauan Umum Bakteri
Bakteri merupakan uniseluler, pada umumnya tidak berklorofil, ada beberapa
yang fotosintetik dan produksi aseksualnya secara pembelahan dan bakteri mempunyai
ukuran sel kecil dimana setiap selnya hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop.
Bakteri pada umumnya mempunyai ukuran sel 0,5-1,0 μm kali 2,0-5,0 μm, dan terdiri
dari tiga bentuk dasar yaitu bentuk bulat atau kokus, bentuk batang atau Bacillus,
bentuk spiral. (Dwidjoseputro,1985)
Syarif dan Halid (1993) menyatakan bahwa : identifikasi jenis
bakteri
berdasarkan sifat morfologi, biokimia, fisiologi dan serologi adalah sebagai berikut :
a.
Bakteri gram positif : Staphylococcus, Streptococcus, Leuconostoc, Pediococcus,
Clostridium botulinum, Lactobacillus, Propionic bacterium, Bacillus.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
32
b.
Bakteri Gram Negatif : Proteus, Eschericia coli, Enterobacter, Pseudomonas,
Alcaligenes
Tersedianya oksigen dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme, bakteri
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok menurut keperluan oksigennya.
a.
Aerob Obligat (hanya dapat tumbuh jika terdapat oksigen yang banyak)
b.
Aerob Fakultatif (tumbuh dengan baik jika oksigen cukup, tetapi juga dapat
tumbuh sacara anaerob)
c.
Anaerob Fakultatif (tumbuh dengan baik jika tidak ada oksigen, tetapi juga
dapat tumbuh secara aerob)
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
BAB 3
METODE PENGUMPULAN DATA
3.1. Waktu dan Tempat Pengumpulan Data
Pengumpulan dan analisis data dilakukan di Ruang Perawatan Anak Lantai
IV Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Jl. Letjen S. Parman Kav. 84-86, Jakarta
Barat dari tanggal 14 - 20 Mei 2014.
3.2. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah non eksperimental dengan
pengambilan data secara prospektif. Pengambilan data dilakukan secara prospektif
terhadap data sekunder berupa catatan kartu indeks dan status pasien. Hasil
penelitian disajikan secara deskriptif dan analitik.
3.3. Metode Pengambilan Data
Berikut cara memperoleh data yang diperoleh :
1.
Dilakukan penelusuran kartu indeks seluruh pasien rawat inap di ruang
perawatan anak untuk mendapatkan data pasien yang telah atau sedang
diberikan terapi antibiotik baik oral atau parenteral selama pasien dirawat
dalam periode pengambilan data
2.
Dilakukan penelusuran status pasien yang diketahui telah atau sedang
diberikan terapi antibiotik untuk mendapatkan data penunjuang yang lengkap
3.
Dilakukan pengamatan perkembangan terapi pasien selama periode
pengambilan data.
4.
Data tersebut didokumentasikan dalam Formulir Catatan Pemberian
Antibiotik
5.
Data dianalisis mengacu pada teori yang terdapat di literatur dari berbagai
sumber
6.
Hasil analisis data tersebut kemudian dievalausi dan dinilai.
33
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
34
3.4. Populasi dan Sampel
3.4.1 Populasi
Semua pasien rawat inap di Ruang Perawatan Anak Lantai IV Rumah
Sakit Kanker “Dharmais” pada tanggal 14 - 20 Mei 2014.
3.4.2 Sampel
Semua pasien rawat inap di Ruang Perawatan Anak Lantai IV Rumah
Sakit Kanker “Dharmais” yang memenuhi kriteria inklusi di Rumah Sakit Kanker
Dharmais Jakarta pada tanggal 14 - 20 Mei 2014
3.4.3 Jumlah Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling yaitu jumlah semua
sampel yang memenuhi kriteria inklusi terhadap suatu populasi terbatas.
3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.5.1 Kriteria Inklusi
a)
Pasien yang menjalani rawat inap di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit
Kanker Dharmais periode 16 – 20 Mei 2014
b)
Pasien yang mendapatkan terapi antibiotik baik oral dan/atau parenteral
selama dirawat di ruang anak
3.5.2 Kriteria Eksklusi
a)
Pasien yang data kartu indeks dan statusnya tidak lengkap dan tidak jelas.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Pasien
Pengambilan data dilakukan secara prospektif selama lima hari
dari
tanggal 16 - 20 Mei 2014 di Ruang Perawatan Anak Lantai IV Rumah Sakit
Kanker “Dharmais” Jakarta (RSKD). Terdapat 34 pasien rawat inap yang berada
di ruang perawatan anak pada periode pengambilan data. Sebanyak lima belas
pasien mendapatkan terapi antibiotik dan yang memenuhi kriteria inklusi
didapatkan sebelas pasien dengan perincian lima pasien dengan diagnosis utama
(Acute Lymphoblastic Leukemia) ALL, empat pasien dengan diagnosis utama
Lymphoma, satu pasien dengan diagnosis utama teratoma, dan satu pasien dengan
diagnosis Kanker Nasofaring (KNF). Empat pasien yang dieksklusi didapatkan
satu pasien meninggal, satu pasien dipindahkan ke HCU, dan dua pasien pulang
sebelum statusnya dapat diamati.
Tabel 4.1. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan total jumlah pasien rawat
inap yang mendapatkan terapi antibiotik di Ruang Perawatan Anak
Karakteristik Pasien
Total (%)
Usia
(N=11)
- 0 – 1 bulan (neonatus)
- 1 bulan – 2 tahun (bayi)
- 2 – 5 tahun (balita)
2 (18,18)
- 6 – 11 tahun (anak-anak)
6 (54,54)
- 12 - < 16 tahun (remaja)
2 (18,18)
- > 16 tahun
1 (9,09)
Jenis Kelamin
- Laki-laki
9 (81,81)
- Perempuan
2 (18,18)
Diagnosis Utama
- ALL
5 (45,45)
- Lymphoma
4 (33,33)
- Teratoma
1 (8,33)
1 (8,33)
- KNF
Berdasarkan data pada tabel 4.1. dapat dilihat bahwa diagnosis utama yang
paling banyak diantara pasien rawat inap di ruang perawatan anak di RSKD
adalah Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) atau biasa disebut juga Leukemia
Limfoblastik Akut (LLA). Hal ini sesuai dengan kesimpulan sebuah penelitian
35
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
36
yang pernah dilakukan di RSKD bahwa Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
merupakan penyakit kanker sering terjadi pada anak-anak usia di bawah 14 tahun,
Di Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD), LLA merupakan kanker anak yang
paling banyak ditemukan. pada 2000-2008. LLA lebih banyak terjadi pada anak
laki-laki (Rini, 2010).
4.2. Karakteristik Penggunaan Antibiotik
Berikut adalah data antibiotik yang diresepkan untuk pasien rawat inap di
ruang perawatan anak selama periode pengambilan data. Pada tabel 4.2. dapat
dilihat pola pemberian antibiotik dan tujuan pemberiannya. Berdsarkan tabel
tersebut dapat disimpulkan bahwa di ruang perawatan anak sebesar 88,9 %
pemberian antibiotik ditujukan untuk tujuan empiris dan jenis antibiotik yang
paling banyak diresepkan sebanyak 33,3 % adalah seftazidim. Golongan
terbanyak yang diberikan merupakan antibiotik sefalosporin generasi ketiga. Pada
Tabel 4.3. dapat dilihat pola pemberian antibiotik tunggal dan kombinasi.
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa penggunaan antibiotik kombinasi
jauh lebih sedikit dengan penggunaan antibiotik tunggal.
Tabel 4.2. Karakteristik Penggunaan Antibioik berdasarkan tujuan pemberiannya
di Ruang Perawatan Anak
Jenis Antibiotik
Tujuan Pemberian (Total peresepan = 18)
Profilaksis
Empiris
Definitif
Amikasin
2 (11,11)
Seftazidim
6 (33,33)
Sefiksim
3 (16,67)
Seftizoksim
1(5,55)
Seftriakson
1 (5,55)
Sefotaksim
1 (5,55)
2 (11,11)
Klindamisin
1 (5,55)
Amoksisilin
1 (5,55)
Tabel 4.3. Karakteristik Penggunaan Antibioik tunggal dan kombinasi di Ruang
Perawatan Anak
Penggunaan Antibiotik
Total (%)
Tunggal
N = 12
- Seftazidim
3 (25,00)
- Sefotaksim
3 (25,00)
- Seftizoksim
1 (8,33)
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
37
Sefiksim
Amoksisilin
Klindamisin
Seftriakson
Kombinasi
- Seftazidim-Amikasin
- Seftazidim-Sefiksim
2 (16,67)
1 (8,33)
1 (8,33)
1 (8,33)
N=3
2 (66,67)
1 (33,33)
-
Karakteristik pemberian antibiotik ini sesuai dengan terapi empirik yang
terbukti dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pada penyakit infeksi yaitu
menggunakan antibiotk berspektrum luas dan dalam hal ini dipilih sefalosporin
generasi ketiga. Di antara sefalosporin generasi ketiga hanya seftazidim dan
sefoperazon yang mempunyai cakupan adekuat untuk Pseudomonas aeruginosa,
suatu syarat esensial untuk terapi empirik. Pada sebagian besar penelitian,
seftazidim terpilih untuk monoterapi. Namun, harus selalu diperhitungkan
kemungkinan terjadinya perubahan pola spektrum kuman, kerentanan pejamu
serta antibiotik yang tersedia. Hal yang perlu diperhatikan apabila seftazidim
dipakai secara rutin adalah adanya laporan wabah Klebsiella pneumoniae dan
E.coli yang resisten terhadap seftazidim. Oleh karena itu perlu dilakukan rotasi
pemberian antibiotik (Hadinegoro, 2002).
Sejak beberapa tahun yang lalu, pemilihan antibiotik empirik inisial terdiri
dari kombinasi ß- laktam berspektrum luas dengan aminoglikosida, kombinasi dua
macam ß-laktam, dan monoterapi antibiotik berspektrum luas.
Kombinasi
tradisional β-laktam anti-pseudomonas dengan aminoglikosida, mempunyai
keuntungan yaitu cakupan spektrum luas, aktifitas bakterisid lebih cepat, terhadap
pseudomonas secara optimal, dan membatasi timbulnya resistensi serta
mengurangi superinfeksi. Kombinasi seftazidim dan amikasin jangka panjang (9
hari) menyembuhkan 81% kasus dan kematian 8%. Kombinasi dua macam ßlaktam dari sefalosporin generasi ketiga, misalnya sefoperazon atau seftazidim,
terbukti sama efektif dengan kombinasi tradisional. Kelemahan kombinasi ini
mempermudah
terjadinya
resistensi
kuman,
kemungkinan
antagonisme,
memperpanjang masa neutropenia, dan potensial menimbulkan perdarahan
(Hadinegoro, 2002).
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
38
4.3. Evaluasi Pemberian Antibiotik pada pasien ALL
Pada penelitian ini prinsip kerasionalan pemberian antibiotik dinilai dari
ketepatan indikasi dan pemilihan antibiotik, ketepatan dosis dan frekuensi, dan
ketepatan durasi. Pasien kanker dengan keganasan hematologi masuk kedalam
kategori risiko tinggi terkena Febrile Neutropenia (FN) oleh karena itu pasien
anak yang menderita ALL dan Lymphoma sangat rentan untuk mengidap FN.
Terkait dengan hal tersebut maka pada umumnya tujuan pemberian antibiotik
pada pasien anak yang rentan terhadap FN adalah sebagai terapi empiris untuk
mengatasi infeksi yang ditandai dengan adanya FN. Walaupun pada beberapa
pasien belum ditemukan tanda-tanda FN (suhu tubuh dan ANC normal) namun
apabila terdapat kekhawatiran pasien tersebut cenderung akan mengalami FN
maka antibiotik akan tetap diberikan sebagai tindakan pencegahan terjadinya
infeksi tetapi tujuan pemberian tersebut tetap masuk dalam kategori empiris.
a.
Tepat indikasi dan pemilihan Antibiotik
Catatan pemberian antibiotik pada pasien rawat inap di ruang perawatan
anak yang diadiagnosis menderita ALL dapat dilihat pada tabel 4.4. berdasarkan
data tersebut. maka dapat dilakukan analisis mengenai ketepatan indikasi dan
pemilihan antibiotik pasa pasien ALL dinilai dari catatan status pasien, nilai
leukosit dan ANC, dan suhu tubuh pasien.
Tabel 4.4. Catatan pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama ALL
Pasien
A
Usia
4 th
Nama
Antibiotik
(Golongan)
Analisis
Status
Pasien
Seftazidim
(Sefalosporin
generasi III)
Bronkopneu
monia dari
hasil Foto
Thorax;
Penilaian
Objektif :
gangguan
jalan nafas,
batuk,
muntah; ANC
< 2; Suhu
normal
o
Tujuan
Pemberian
Empiris
Suhu ( C)
Leukosit
(103/µL) &
ANC
(103/µL)
Sebe
lum
Sesu
dah
Sebe
lum
Sesu
dah
36
36
4,66
&
1,77
6,57
&
4,66
Kultur
-
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
39
B
7 th
Seftazidim
(Sefalosporin
generasi III)
Infeksi
Empiris
saluran
pencernaan
karena ada
keluhan
gejala mual,
diare, dan
gangguan
keseimbang
an
elektrolit,;
suhu & ANC
36,0
36,5
4,71
&
4,00
1,12
Empiris
38
36
1,12
27,7
1
Empiris
38
36
0,19
27.7
1
Empiris
39,5
37
1,78
&
0,91
-
Empiris
36,0
35,8
3,01
&
0,14
1,92
&
0,01
-
normal
Seftazidim*
(Sefalosporin
generasi III)
C
7 th
D
17 th
Infeksi luka
&
Leukopeni;
Terdapat
luka di kaki,
terasa nyeri
abdomen;
suhu tinggi
&
ANC
rendah
Amikasin*
Infeksi luka
(Aminoglikosi &
da)
Leukopeni;
Terdapat
luka di kaki,
lemas,
stomatitis;
suhu tinggi
&
ANC
rendah
Sefotaksim
Leukopeni,
(Sefalosporin febris,
generasi III)
hipertensi
mual; suhu
tinggi dan
ANC rendah
Sefotaksim
Merasakan
(Sefalosporin nyeri; suhu
generasi III)
normal
&
ANC rendah
-
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
40
E
6 th
Seftazidim*
(Sefalosporin
generasi III)
Penilaian
SOAP,
penilaian
Analisis
:
Risti
Infeksi;
Suhu normal
&
ANC
rendah
Empiris
Amikacin* / Batuk,
empiris
Aminoglikosi febris,
da
perifer
hangat, post
aferesis;
Suhu Tinggi
&
ANC
rendah
37
36.8
3.52
&
0,14
-
38
35,5
1.47
&
0.18
2.4
-
Tidak
ditem
ukan
m.o.
*Obat digunakan secara bersamaan
Pada pasien A didapatkan bahwa suhu tubuh normal dan nilai ANC masih
diatas 1500 sel/µL sehingga tidak ditemukan adanya tanda-tanda FN namun dari
hasil catatan status pasien diketahui bahwa pasien didiagnosis terkena
bronkopneumonia dan nilai ANC pasien cenderung rendah oleh karena itu pasien
A dinilai tepat untuk diberikan antibiotik. Dalam kasus ini pneumonia yang
diderita dianggap termasuk kedalam community-penumonia. Dimana terapi untuk
community-penumonia pada pasien umur 3 bulan- 6 tahun adalah dengan
antibiotik spektrum luas seperti amoksisilin atau sefalosporin, ampicilinsulbaktam, amoksisilin-klavulanat (Dipiro et. al., 2005).
Hal ini karena organisme yang menyebabkan pneumonia pada pasien
kanker
mencakup
berbagai
bakteri
dan
fungi.
Bakteri
gram
positif
(staphylococcus dan streptococcus) termasuk yang paling sering ditemukan;
batang gram negatif (khususnya Pseudomonas) dan jamur (Candida, Aspergillus).
Pengobatan pneumonia, seperti pengobatan infeksi pada umumnya, awalnya
melibatkan penggunaan empiris antibiotik spektrum luas yang efektif terhadap
patogen. Terapi akan dipersempit untuk menutupi patogen tertentu setelah hasil
kultur diketahui. Berdasarkan hal itu maka pemilihan seftazidim yang merupakan
golongan sefalosporin generasi III dinilai sudah tepat.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
41
Pada pasien B terdapat dua kali peresepan antibiotik. Pada peresepan
pertama seftazidim diberikan karena didapatkan pasien mengalami gangguan
saluran pencernaan karena adanya keluhan mual dan diare walaupun suhu dan
nilai ANC normal. Hal ini kemungkinan antibiotik diberikan sebagai pencegahan
infeksi sebelum FN terjadi. Pada peresepan yang kedua didapatkan suhu tubuh
normal namun nilai ANC rendah dan diketahui bahwa pasien mengalami luka di
jari kakinya oleh karena itu risiko infeksi semakin tinggi. Pemberian kombinasi
seftazidim dan amikasin dinilai sudah tepat.
Pada pasien C dan D sudah ditemukan tanda-tanda dari FN dari catatan
status pasien (pasien D mengalami nyeri), suhu yang tinggi (hanya pasien C) dan
nilai ANC yang rendah (keduanya dibawah <500 sel/µL) sehingga dinilai bahwa
pasien sudah membutuhkan terapi antibiotik. Namun pemberian sefotaksim dinilai
kurang tepat karena berdasarkan penatalaksanaan FN untuk monoterapi yang
digunakan adalah sefpirom, sefepim, seftazidime, atau karbapenem.
Pada pasien E didapatkan bahwa pasien awalnya mendapatkan seftazidim
karena nilai ANC yang sangat rendah kemudian beberapa harinya didapatkan
pasien batuk, suhu tinggi dan nilai ANC tetap rendah sehingga ditambahkan
amikasin sebagai terapi bersama seftazidim. Kombinasi sefalosporin generasi III
dan aminoglikosida diketahui merupakan terapi empiris untuk FN. Berdasarkan
hal tersebut maka pemberian antibiotik dinilai sudah tepat ditinjau dari ketepatan
indikasi dan ketepatan pemilihan antibiotik.
b.
Tepat dosis & frekuensi
Perhitungan dosis pada anak-anak membutuhkan data berat badan dan
setelah dihitung pemberian dosis antibiotik banyak diantaranya yang tidak sesuai
dengan perhitungan. Namun hal ini tidak dapat langsung disimpulkan bahwa
pemberian antibiotik tidak tepat dosis karena biasanya pada perhitungan dosis
pediatri berdasarkan perkilogram berat badan ideal sesuai dengan usia dan
petunjuk yang ada dalam formularium profesi dokter anak. Bisa juga dikarenakan
adanya perbedaan referensi yang digunakan dalam penentuan dosis. Perbedaan
antara dosis sesuai perhitungan dan dosis yang diberikan pun rata-rata termasuk
underdose (dosis perhitungan lebih besar dibandingkan dosis yang diberikan)
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
42
sehingga secara umum ketidak sesuaian dosis tidak terkait toksisitas karena tidak
ada pemberian yang overdose.
Pada pasien B dan E karena mendapatkan amikasin maka dilakukan
perhitungan dengan Ideal Body Weight (IBW) karena indeks terapi nya yang
sempit sehingga penting untuk dilakukan individualisasi dosis. Untuk frekuensi
pemberian dinilai sudah tepat dimana golongan sefalosporin diberikan tiga kali
sehari (kecuali pasien D yang hanya diberikan dua kali sehari) untuk
memaksimalkan waktu paparan (time-dependence) dan golongan aminoglikosida
diberikan cukup sekali sehari dengan dosis yang tinggi untuk memaksimalkan
konsentrasi paparan (dose-dependence).
Tabel 4.5. Catatan dosis pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis
utama ALL
Pasien
Usia
Nama
Antibiotik
BB
Dosis
A
4 th
Seftazidim
16,5 kg
75-150 mg/kg/hari
dalam 3 dosis
Seftazidim
B
7 th
Seftazidim
20 kg;
IBW;
15,26 kg
Amikasin
Dosis Sesuai
perhitungan
Dosis
Cara
Pemberian
1237 mg –
2475 mg
3 x 250
mg =
750 mg
parenteral
75-150 mg/kg/hari
dalam 3 dosis
1500 – 3000
mg
3 x 250
mg =
750 mg
parenteral
75-150 mg/kg/hari
dalam 3 dosis
1500 – 3000
mg
3 x 250
mg =
750 mg
parenteral
5-7.5 mg/kg/dosis
3 atau 15-20 mg
sehari
230 mg –
305 mg
1 x 250
mg
parenteral
C
7 th
Sefotaksim
30 kg
50-200 mg/kg/hari
dalam 3-4 dosis
1500 – 6000
mg
3 x 500
mg =
1500 mg
parenteral
D
17 th
Sefotaksim
49 kg
50-200 mg/kg/hari
dalam 3-4 dosis
2450 – 9800
mg
2x1
gram =
2 gram
parenteral
75-150 mg/kg/hari
dalam 3 dosis
1200 - 2400
mg
5-7.5 mg/kg/dosis
3 atau 15-20 mg
daily
172 - 230 mg
Seftazidim
E
6 th
Amikacin
16 kg;
IBW :
11,5
3 x 250
mg =
750 mg
1x 250
mg =
250 mg
parenteral
parenteral
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
43
c.
Tepat durasi
Berdasarkan penatalaksanaan FN secara umum antibiotik diberikan
sampai diapatkan kondisi klinis pasien yang membaik biasanya sekitar 5-7 hari
dan dapat diteruskan sampai 10 hari sebelum dilakukan modifikasi terapi. Pada
pasien A, B, dan E dinilai durasi sudah relatif tepat. Namun untuk pasien C dan D
dianggap kurang tepat karena durasinya yang terlalu singkat
Tabel 4.6. Catatan durasi pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis
utama ALL
Nama
Tanggal
Pasien Usia
Antibiotik
Durasi
(Golongan)
Mulai
Stop
A
B
d.
4 th
7 th
30-Apr
6 mei
Seftazidim
7 hari
21-Apr
29-Apr
Seftazidim
9 hari
5 mei
15 mei
Seftazidim
11 hari
6 mei
15 mei
Amikasin
10 hari
C
7 th
17 mei
20 mei
Sefotaksim
4 hari
D
17 th
30-Apr
2 mei
Sefotaksim
3 hari
E
6 th
22-Apr
30-Apr
5 mei
4 mei
Seftazidim
Amikacin
14 hari
5
hari
Penyesuaian Dosis pasien yang mendapat antibiotik golongan aminoglikosida
Pasien B dan E mendapatkan antibiotik golongan aminoglikosida yang
memiliki efek samping toksik pada ginjal sehingga penting untuk dilakukan
pemantauan fungsi ginjal pada pasien. Perhitungan klirens kreatinin pada
pediatrik dihitung menggunakan rumus Shull. Pada tabel 4.7. dapat dilihat bahwa
fungsi ginjal pasien relatif normal sehingga tidak perlu dilakukan penyesuaian
dosis. Normal klirens kreatinin pada anak-anak dan dewasa muda umur 2-12
tahun (laki-laki atau perempuan) adalah 133.0 ±27.0 ml/min/1.73 m2.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
44
Tabel 4.7. Catatan pemantauan fungsi ginjal pada pasien ALL yang mendapat
antibiotik golongan aminoglikosida
Pasien
Usia
Tanggal
Mulai
B
7 th
21-Apr
5 mei
6 mei
E
6 th
22-Apr
30-Apr
Stop
29Apr
15
mei
15
mei
5 mei
4 mei
Nama
Antibiotik
(Golongan)
Durasi
Seftazidim
9 hari
Seftazidim
11 hari
Amikasin
10 hari
Seftazidim
Amikacin
14 hari
5 hari
Hasil Tes Fungsi Ginjal
(Klirens Kreatinin
ml/min/1.73 m2)
sebelum
saat
setelah
150.3
131.4
209.1
158.3
-
158.3
4.4. Evaluasi Pemberian Antibiotik pada Pasien Lymphoma
Pada pasien anak dengan diagnosis lymphoma sama halnya dengan ALL
memiliki risiko tinggi terkena FN dikarenakan keganasan hematologi yang
dideritanya sehingga pola pemberian antibiotik pada pasien ini pada umumnya
juga sebagai terapi empiris mengatasi infeksi yang ditandai dengan adanya FN.
a.
Ketepatan indikasi dan pemilihan antibiotik
Catatan pemberian antibiotik pada pasien rawat inap di ruang perawatan
anak yang diadiagnosis menderita Lymphoma dapat dilihat pada tabel 4.8.
berdasarkan data tersebut. maka dapat dilakukan analisis mengenai ketepatan
indikasi dan pemilihan antibiotik pasa pasien Lymphoma dinilai dari catatan status
pasien, nilai leukosit dan Lymphoma, dan suhu tubuh pasien.
Tabel 4.8. Catatan pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama
Lymphoma
Pasien
Usia
H
5 th
I
7 th
Nama Antibiotik
(Golongan)
Sefiksim
(Sefalosporin
generasi III)
Sefotaksim
(Sefalosporin
generasi III)
Analisis Status
Pasien
Pusing dan
perifer
hangat; Suhu
tubuh normal
& ANC
rendah
Tindakan
operasi
efektif, jenis
operasi
Tujuan
Pemberian
Suhu (oC)
Leukosit (103/µL)
& ANC (103/µL)
Sebe
lum
Sesu
dah
Sebe
lum
Sesu
dah
Empiris
37
-
1,63
&
0,18
-
Surgical
profilaksis
-
-
-
-
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
45
bersih, ASA
score = 1
Amoksisilin
sirup /
(Penisilin)
J
14 th
K
8 th
Klindamisin
(Linkosinamid)
Seftazidime*
(Sefalosporin
generasi III)
Sefiksim* sirup
(Sefalosporin
generasi III)
Ceftazidime
(Sefalosporin
generasi III)
Post operasi,
perifer
hangat; suhu
& ANC
normal
Trombositope
nia, Hb
rendah;
Penilaian isti
infeksi, risiko
perdarahan;
Suhu normal
& Leukosit
rendah
cemas, febris,
sesak, hangat;
suhu normal
& ANC
rendah
Cemas, febris,
sesak, KGB
diafrila, nyeri,
perifer
hangat; suhu
tinggii dan
ANC rendah
Perifer
hangat;
keadaan
umum
sedang; suhu
tinggi & ANC
rendah
8,04
&
5,80
Empiris
36,5
-
Empiris
36,3
-
2,76
-
Empiris
37,0
36
4,25
&
1,53
2,2
Empiris
38,0
36,0
4,25
&
1,53
4,34
&
3.78
Empiris
38
36
9,88
12,42
*Obat digunakan dalam waktu yang bersmaaan
Pasien H diketahui bahwa suhu tubuh normal cenderung tinggi namun
nilai ANC sudah dibawah 500 sel/µL sehingga pemberian antibiotik dinilai sudah
tepat untuk diberikan namun pemilihan sefiksim dinilai kurang tepat karena pada
penatalaksanaan monoterapi untuk FN adalah sefepim, seftazidim, sefpiro, atau
karbapenem. Hal ini dikarenakan sefiksim
lebih tidak aktif terhadap
peneumokokus serta kurang efektif mengatasi S.aureus sehingga dianggap kurang
efektif sebagai terapi empiris untuk mengatasi FN.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
-
46
Pasien I mendapatkan terapi antibiotik sebagai profilaksis pre operasi yaitu
sefotaksim dilanjutkan terapi empiris post operasi yaitu amoksisilin. Dari jenis
dan tipe operasi yang dilakukan yaitu bersih dan terencana dengan tindakan
diseksi pada leher, sesuai dengan penatalaksanaan maka pemberian antibiotik
memang perlu untuk dipertimbangkan sebagai tindakan pencegahan terjadinya
infeksi selama operasi. Namun pada teorinya setelah itu tidak diperlukan
pemberian antibiotik lagi jika yakin keseluruhan proses operasi berlangsung
secara steril. Atas dasar pertimbangan ketika berlangsungnya operasi kesterilan
lingkungan dan alat tidak begitu terjamin maka pemberian antibiotik empiris
diputuskan diberikan sebagai tindakan pencegahan infeksi post operasi.
Pemilihan antibiotik profilaksis dinilai kurang tepat. Pemilihan antibiotik
untuk tujuan profilaksis diantaranya didasarkan atas, sesuai dengan sensitivitas
dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus bersangkutan, spektrum sempit
untuk mengurangi risiko resistensi bakteri, toksisitas rendah, tidak menimbulkan
reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi,bersifat bakterisidal, dan harga
terjangkau. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pedoman
Penggunaan Antibiotik secara Umum pada tahun 2011 antibiotik profilaksis
yang dianjurkan adalah golongan sefalosporin generasi I dan II. Sedangkan
pemilihan amoksisilin sebagai terapi empiris post operasi dinilai sudah tepat
karena amoksisilin merupakan antibiotik golongan penisilin berspektrum luas.
Tabel 4.9. Rekomendasi pemberian antibiotik berdasarkan jenis tindakan operasi
[Sumber: SIGN, 2008]
Tabel 4.10. Rekomendasi jenis antibiotik berdasarkan jenis tindakan operasi
[Sumber: SIGN, 2008]
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
47
Pasien J mendapatkan klindamisin yang bersifat bakteriostatik, karena
keterbatasan catatan status pasien, suhu tubuh, dan hasil lab maka pemberian
antibiotik golongan linkosinamid ini tidak dapat diketahui indikasinya dan tidak
dapat dikategorikan sebagai terapi untuk FN. Pasien K mendapat dua kali
peresepan antibiotik, pada peresepan pertama, di hari pertama didapatkan suhu
relatif tinggi, nilai ANC relatif rendah namun didapatkan bahwa pasien
mengalami gangguan saluran nafas sehingga diberikan seftazidim sebagai terapi
empiris untuk mengatasi FN kemudian keesokan harinya didapatkan pasien
suhunya meningkat dan diberikan sefiksim sebagai kombinasi dengan seftazidim.
Dinilai dari ketepatan indikasi maka antibiotik ini dinilai sudah tepat untuk
diberikan untuk mengatasi FN namun berdasarkan pemilihan kombinasi antibiotik
dinilai tidak tepat karena seftazidim dan sefotaksim berada dalam satu golongan
dimana hal ini sangat bertentangan pada prinsip penggunaan kombinasi antibiotik
yang harus berbeda mekanisme kerja.
b.
Ketepatan dosis dan frekuensi
Perhitungan dosis pada anak-anak membutuhkan data berat badan dan
setelah dihitung pemberian dosis antibiotik banyak diantaranya yang tidak sesuai
dengan perhitungan. Namun hal ini tidak dapat langsung disimpulkan bahwa
pemberian antibiotik tidak tepat dosis karena biasanya pada perhitungan dosis
pediatri berdasarkan perkilogram berat badan ideal sesuai dengan usia dan
petunjuk yang ada dalam formularium profesi dokter anak. Bisa juga dikarenakan
adanya perbedaan referensi yang digunakan dalam penentuan dosis. Perbedaan
antara dosis sesuai perhitungan dan dosis yang diberikan pun rata-rata termasuk
underdose (dosis perhitungan lebih besar dibandingkan dosis yang diberikan)
sehingga secara umum ketidak sesuaian dosis tidak terkait toksisitas karena tidak
ada pemberian yang overdose. Untuk frekuensi pemberian dinilai sudah tepat
dimana golongan sefalosporin diberikan tiga kali sehari (kecuali pasien K yang
hanya diberikan pemberian sefiksim dua kali sehari) untuk memaksimalkan waktu
paparan (time-dependence).
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
48
Tabel 4.11. Catatan dosis pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama
Lymphoma
Pasien
Usia
Nama
Antibiotik
BB
Dosis
Dosis
Sesusai
Perhitungan
Dosis
Cara
Pemberian
H
5 th
Sefiksim
19
kg
8 mg/kg.hari
dibagi dalam
1-2 dosis
152 mg
2 x 100
mg =
200 mg
oral
500 mg
jam 9
saat
operasi
parenteral
3 x 125
mg
oral
-
3 x 150
mg
oral
75-150
mg/kg/hari
dalam 3 dosis
1342 - 2685
MG
3 x 250
mg =
750 mg
parenteral
8 mg/kg.hari
dibagi dalam
1-2 dosis
35.8 mg
2 x 50
mg =
100 mg
oral
75-150
mg/kg/hari
dalam 3 dosis
1342 - 2685
MG
3 x 250
mg
parenteral
Sefotaksim
I
50 mg/kg
7 th
Amoksisilin
J
14 th
Klindamisin
-
20-40
mg/kg/hari
dalam 3 dosis
8-20
mg/kg/hari
(hidroklorida)
Seftazidim
K
7.9 th
Sefiksim
17,9
Seftazidim
c.
Ketepatan durasi
Berdasarkan penatalaksanaan FN secara umum antibiotik diberikan
sampai diapatkan kondisi klinis pasien yang membaik biasanya sekitar 5-7 hari
dan dapat diteruskan sampai 10 hari sebelum dilakukan modifikasi terapi. Pada
pasien K dinilai durasi sudah relatif tepat. Pasien I untuk tujuan profilaksis dinilai
sudah tepat namun untuk tujuan empiris yaitu amoksisilin tidak dapat dinilai.
Pasien H dan J tidak dapat dinilai.
Tabel 4.12. Catatan durasi pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama
Lymphoma
Pasien
Usia
H
5 th
17 mei
I
7 th
13 mei
Mulai
Tanggal
Stop
Nama
Antibiotik
Durasi
Tidak teramati
Sefiksim
-
13 mei
Sefotaksim
1 hari
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
49
J
K
14 th
7.9 th
13 mei
Tidak teramati
Amoksisilin
-
15 mei
Tidak teramati
Klindamisin
-
9-Apr
16-Apr
Seftazidim
8 hari
10-Apr
19-Apr
Sefiksim Sirup
10 hari
5 mei
10 mei
Seftazidim
6 hari
4.5. Evaluasi Pemberian Antibiotik pada pasien Teratoma
a.
Ketepatan Indikasi & Pemilihan Antibiotik
Catatan pemberian antibiotik pada pasien rawat inap di ruang perawatan
anak yang diadiagnosis menderita teratoma dapat dilihat pada tabel 4.13.
berdasarkan data tersebut. maka dapat dilakukan analisis mengenai ketepatan
indikasi dan pemilihan antibiotik pasa pasien teratoma dinilai dari catatan status
pasien, nilai leukosit dan ANC, dan suhu tubuh pasien.
Tabel 4.13. Catatan pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama
teratoma
Pasien
G
Usia
11 th
o
Nama
Antibiotik
(Golongan)
Analisis
Status
Pasien
Tujuan
Pemberian
Tizos :
Ceftizoxime
(Sefalosporin
generasi III)
Tindakan :
craniotomi;
Jenis
operasi:
bersih,
efektif; ASA
score = 2
Profilaksis
Cefixime
(Sefalosporin
generasi III)
Perifer
hangat,
gangguan
pernafasan
Empiris
Suhu ( C)
Leukosit
(103/µL) &
ANC
(103/µL)
Kultur
Sebe
lum
Sesu
dah
Sebe
lum
Sesu
dah
36
36
4,66
&
1,77
6,57
&
4,66
-
4,10
&
1,56
Tidak
ditem
ukan
m.o.
di
darah
& urin
36,4
36
7,41
Pasien G mendapatkan terapi antibiotik sebagai profilaksis pre operasi
yaitu seftizoksim dilanjutkan terapi empiris post operasi yaitu sefiksim. Dari jenis
dan tipe operasi yang dilakukan yaitu bersih dan terencana dengan tindakan
kraniotomi, sesuai dengan penatalaksanaan maka pemberian antibiotik memang
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
50
direkomendasikan sebagai tindakan pencegahan terjadinya infeksi selama operasi.
Namun pada teorinya setelah itu tidak diperlukan pemberian antibiotik lagi jika
yakin keseluruhan proses operasi berlangsung secara steril. Atas dasar
pertimbangan ketika berlangsungnya operasi kesterilan lingkungan dan alat tidak
begitu terjamin maka pemberian antibiotik empiris diputuskan diberikan sebagai
tindakan pencegahan infeksi post operasi.
Pemilihan antibiotik profilaksis dinilai kurang tepat. Pemilihan antibiotik
untuk tujuan profilaksis diantaranya didasarkan atas, sesuai dengan sensitivitas
dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus bersangkutan, spektrum sempit
untuk mengurangi risiko resistensi bakteri, toksisitas rendah, tidak menimbulkan
reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi,bersifat bakterisidal, dan harga
terjangkau. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pedoman
Penggunaan Antibiotik secara Umum pada tahun 2011 antibiotik profilaksis yang
dianjurkan adalah golongan sefalosporin generasi I dan II. Sedangkan pemilihan
amoksisilin sebagai terapi empiris post operasi dinilai sudah tepat karena sefiksim
merupakan antibiotik golongan sefalosporin yaitu antibiotik dengan spectrum
luas.
Tabel 4.14. Rekomendasi pemberian antibiotik pada tindakan operasi kraniotomi
[Sumber: SIGN, 2008]
b.
Ketepatan Dosis dan Frekuensi
Perhitungan dosis pada anak-anak membutuhkan data berat badan dan
setelah dihitung pemberian dosis antibiotik ditemukan tidak sesuai dengan
perhitungan. Namun hal ini tidak dapat langsung disimpulkan bahwa pemberian
antibiotik tidak tepat dosis karena biasanya pada perhitungan dosis pediatri
berdasarkan perkilogram berat badan ideal sesuai dengan usia dan petunjuk yang
ada dalam formularium profesi dokter anak. Bisa juga dikarenakan adanya
perbedaan referensi yang digunakan dalam penentuan dosis. Perbedaan antara
dosis sesuai perhitungan dan dosis yang diberikan termasuk underdose (dosis
perhitungan lebih besar dibandingkan dosis yang diberikan) sehingga secara
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
51
umum ketidak sesuaian dosis tidak terkait toksisitas karena tidak ada pemberian
yang overdose. Untuk frekuensi pemberian dinilai sudah tepat.
Tabel 4.15. Catatan pemberian dosis antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama
teratoma
Pasien
Usia
Antibiotik
BB
Tizos :
Seftizoksim
G
11 th
27 kg
Sefiksim
c.
Dosis
Sesuai
Perhitung
an
Dosis
Cara
Pemberian
150
mg/kg
4050 mg
1 gram
pre
operasi
jam 08.00
(1 jam
sblm)
parenteral
8
mg/kg.
hari
dibagi
dalam
1-2
dosis
216 mg
2 x 100
mg = 200
mg
oral
Dosis
Ketepatan durasi
Berdasarkan data pada tabel 4.16 durasi pemberian antibiotik untuk tujuan
profilaksis dan empiris dinilai sudah tepat.
Tabel 4.16. Catatan pemberian durasi antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama
teratoma
Pasien
H
Usia
Mulai
Tanggal
Stop
Nama
Antibiotik
Durasi
20 Mar
20 Mar
Tizos :
Seftizoksim
1 hari
9 April
14 April
Sefiksim
6 hari
5 th
4.6. Evaluasi Pemberian Antibiotik pada pasien KNF
a.
Ketepatan indikasi dan pemilihan antibiotik
Catatan pemberian antibiotik pada pasien rawat inap di ruang perawatan
anak yang diadiagnosis menderita teratoma dapat dilihat pada tabel 4.17.
berdasarkan data tersebut. maka dapat dilakukan analisis mengenai ketepatan
indikasi dan pemilihan antibiotik pada pasien KNF dinilai dari catatan status
pasien, nilai leukosit dan ANC, dan suhu tubuh pasien.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
52
Tabel 4.17. Catatan pemberian antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama KNF
Pasien
L
Usia
16 th
Nama Antibiotik
(Golongan)
Seftriakson
(Sefalosporin
generasi III)
Analisis Status
Pasien
Keadaan
umum
sedang,
perifer
hangat; post
bedah
sinusitis
hidung THT,
tindakan
eksplorasi
NF; suhu dan
ANC normal
Tujuan
Pemberian
Empiris
Suhu (oC)
Leukosit (103/µL)
& ANC (103/µL)
Sebe
lum
Sesu
dah
Sebe
lum
Sesu
dah
36
-
9,12
-
Pasien L terapi antibiotik sebagai terapi empiris post operasi yaitu
seftriakson. Pada teorinya setelah post bedah tidak diperlukan pemberian
antibiotik lagi jika yakin keseluruhan proses tindakan berlangsung secara steril.
Atas dasar pertimbangan ketika berlangsungnya tindakan kesterilan lingkungan
dan alat tidak begitu terjamin maka pemberian antibiotik empiris diputuskan
diberikan sebagai tindakan pencegahan infeksi post operasi. Pemilihan seftriakson
sebagai terapi empiris post operasi bedah sinusitis dinilai sudah tepat karena
seftriakson merupakan antibiotik golongan sefalosporin yaitu antibiotik dengan
spektrum luas yang memliki indikasi sebagai terapi untuk infeksi saluran
pernafasan.
b.
Ketepatan Dosis
Perhitungan dosis pada anak-anak membutuhkan data berat badan dan
setelah dihitung pemberian dosis antibiotik ditemukan tidak sesuai dengan
perhitungan. Namun hal ini tidak dapat langsung disimpulkan bahwa pemberian
antibiotik tidak tepat dosis karena biasanya pada perhitungan dosis pediatri
berdasarkan perkilogram berat badan ideal sesuai dengan usia dan petunjuk yang
ada dalam formularium profesi dokter anak. Bisa juga dikarenakan adanya
perbedaan referensi yang digunakan dalam penentuan dosis. Perbedaan antara
dosis sesuai perhitungan dan dosis yang diberikan termasuk underdose (dosis
perhitungan lebih besar dibandingkan dosis yang diberikan) sehingga secara
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
53
umum ketidak sesuaian dosis tidak terkait toksisitas karena tidak ada pemberian
yang overdose. Untuk frekuensi pemberian dinilai sudah tepat.
Tabel 4.18. Catatan pemberian dosis antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama
KNF
Pasien
L
c.
Usia
16 th
Nama
Antibiotik
Seftriakson
(Sefalosporin
generasi III)
BB
Dosis
Dosis
Sesusai
Perhitungan
Dosis
Cara
Pemberian
37 kg
75-150
mg/kg/hari
dalam 2-3
dosis
2775 – 5550
mg
2x1
gram =
2 gram
Parenteral
Ketepatan durasi
Berdasarkan data pada tabel 4.18 durasi pemberian antibiotik untuk tujuan
empiris tidak dapat dinilai.
Tabel 4.19. Catatan pemberian durasi antibiotik pada pasien dengan diagnosis utama
KNF
Pasien
Usia
Tanggal
Mulai
Stop
Nama
Antibiotik
Durasi
L
16 th
14 mei
Seftriakson
-
Tidak teramati
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berikut adalah kesimpulan yang dapat diambil :
1. Pemberian antibiotik pada pasien rawat inap di Ruang Perawatan Anak secara
umum sudah cukup baik
a. Ditinjau dari ketepatan indikasi dan ketepatan durasi sudah baik
b. Ditinjau dari dosis dan pemilihan antibiotik masih kurang baik, hal ini
mungkin disebabkan adanya perbedaan guideline dalam menentukan
penatalaksanaan terapi.
2. Apoteker memegang perang penting dalam pemantauan pemberian antibiotik
terkait dengan ketepatan indikasi, pemilihan antibiotik, dosis, frekuensi, dan
durasi. Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi dapat menimbulkan
berbagai permasalahan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotik,
morbiditas dan mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap biaya
pengobatan pasien sehingga sangat penting untuk dilakukan pemantauan
pemberian antibiotik untuk menghindari hal-hal tersebut.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebaiknya terdapat
koordinator yang memayungi antara dokter dan apoteker sehingga dapat
dilakukan penyeragaman penggunaan referensi mengenai terapi pemberian
antibiotik sehingga memudahkan dalam berdiskusi mengenai pemantauan
pemberian antibiotik pada pasien.
54
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
American Pharmacist Association. (2007). Drug Information Handbook (17th ed.).
USA: Lexi-comp.
American Society of Health-System Pharmacists. (2011). AHFS Drug Essentials.
Bethesda, Maryland.
Badan Koordinasi Dan Kerjasama Nasional Hematologi-Onkologi Medik
Penyakit Dalam Indonesia. (2005). Panduan Tatalaksana Febril
Neutropeni/Demam
Neutropeni
Pada Pasien
Kanker.
Jakarta :
HOMPEDIN.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). (2008). IONI:
Informatorium obat nasional indonesia. Jakarta: Badan POM.
Boxer, Laurence., Dale, David C. (2002) Neutropenia : Cause and Consequences.
Seminars in Hematology Vol 39 No 2 page 75-81, Elsevier Sciences.
Bratzler, D.W., et al. (2013). Clinical practice guidelines for antimicrobial
prophylaxis in surgery. Am J Health-Sys Pharm (70), 195-283).
Corwin, J. Elizabeth. (2008). Handbook of Phatophysiology. Third Edition. USA
: Lippincott Williams & Wilkins.
Dipiro, J.T., et al. (2005). Pharmacotherapy Handbook. Sixth edition. USA : The
Mc. Graw Hill Company.
Gray, S.H., & Hawn, M, T. (2007). Prevention of surgical site infections. Hospital
Physician: Surgical patient care series, 41-51.
Hadinegoro, Sri Rezeki S. (2002). Demam pada Pasien Neutropenia. Sari
Pediatri, 3, 235-241.
Katzung, Bertram G. (2007). Basic & Clinical Pharmacology, Tenth Edition.
New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill.
Kee, J. L., & Hayes, E. R. (1996). Farmakologi: Pendekatan Proses
Keperawatan, 324. Dr. Peter Nugraha (Alih Bahasa). Jakarta: EGC.
Lulman, H., Mohr, K., Hein, L., Bieger, D. (2005). Color Atlas of Pharmacology.
New York: Thieme.
55
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 Tentang
Penggunaan Umum Penggunaan Antibiotik.
Mycek, Mary Julia, et al. (2000). Lippincott’s illustrated reviews: pharmacology,
(2nd ed.). USA: Lippincott Williams & Wilkins.
National Comprehensive Cancer Network. (2011). Practice Guidelines in
Oncology - Prevention and Treatment of Cancer-Related Infections.
http://www.nccn.org
Rini, Tri Anky., Aisyi, Mururul., Sari, Yuni. (2010). Karakteristik Leukemia
Limfoblastik Akut pada Anak di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” 20002008. Indonesian Journal of Cancer Vol. 4, No. 4. Jakarta : RS Kanker
Dharmais.
Scottish
Intecollegiate
Guidelines
Network
(SIGN).
(2008).
Antibiotic
prophylaxis in surgery: A national clinical guideline. UK: NHSScotland.
Sudewi, N.P., Tumbelaka, A.R., dan Windiastuti, E. Kejadian Demam
Neutropenia Pada Keganasan. Sari Pediatri, 8, 68-72
56
55
Laporan praktek…, Meidi Utami Puteri, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
Download