Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013

advertisement
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK PUISI AL-HIJA’
KARYA HASSAN BIN TSABIT
Muliani Setiawati, Siti Rohmah Soekarba
Program Studi Arab, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak
Sejak masa Jahiliyah, puisi adalah seni sastra yang penting bagi bangsa Arab. Sebagai salah satu bentuk
komunikasi yang paling banyak berperan, kegemaran mereka akan puisi besar sekali. Kedatangan Islam
memberikan beberapa perubahan dalam kesusasteraan Arab, seperti tema dan tujuan pembuatan puisi. Hassan
bin Tsabit merupakan salah satu penyair yang hidup di dua zaman; Jahiliyah dan Islam. Puisi al-hija’ adalah
salah satu karyanya yang pada masa Islam berbeda dengan masa Jahiliyah. Puisi ini tidak lagi ditujukan untuk
mencela, mengejek, atau menghina kabilah lain akan tetapi hanya digunakan untuk membalas ejekan dari orang
kafir yang mengganggu dakwah Nabi. Makalah ini dibuat untuk menjelaskan unsur intrisik dan ekstrinsik puisi
al-hija’ karya Hassan bin Tsabit dengan menggunakan metode studi literatur kepustakaan dan analisis struktural
terhadap puisi tersebut.
Kata kunci: Hassan bin Tsabit; al-Hija’; Puisi; Unsur Intrinsik; Unsur Ekstrinsik.
Abstract
In the period of Jahiliyah, poetry has been an important literature work for the Arabs. Poetry becomes one of the
communication forms since the Arabs strongly interested in it. The arrival of Islam provides some changes in the
Arabic literature, such as in the theme and the purpose of making poetry. Hassan bin Tsabit was a poet who lived
in two periods, Jahiliyah and Islam. Al-Hija’ poetry was one of his works in the Islamic period which is
difference from the Jahiliyah period. In the Islamic period, al-hija’ poetry was not any longer intended either to
critize or to insult other tribes, but to face the unbelievers who bother the prophet.This paper discusses both the
elements of intrinsic and extrinsic of al-hija’ poetry by Hassan bin Tsabit using literature method and structural
analysis.
Keywords: Hassan bin Tsabit; al-Hija’; Poetry; Intrinsic element; Extrinsic element.
Pendahuluan
Puisi adalah seni sastra yang menggambarkan kehidupan sebagaimana yang dirasakan oleh
sang penyair, yang dibangun dengan struktur, perasaan dan imajinasi. Puisi sebagai seni
klasik terdapat di berbagai bangsa, termasuk bangsa Arab. Bagi orang Arab, puisi adalah seni
sastra yang paling penting 1.
1
Maman Lesmana, Kritik Sastra Arab dan Islam (Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas
Indonesia, 2010), hlm. 87
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
Kesusastraan Arab mengenal periodisasi atau pembagian zaman. Dari sumber buku yang
berjudul “Al-Adab”, diterangkan bahwa periodisasi tersebut terbagi ke dalam 6 zaman.
Pertama zaman Jahiliyah, satu abad sebelum kedatangan Islam. Kedua zaman Islam, yaitu
sejak datangnya Islam hingga berakhirnya Khulafa al-Rasyidin. Lalu zaman Bani Umayyah
(40-132 H), zaman Bani Abbasiyah (132-652H), zaman pertengahan; Mamluk dan Turki
Usmani (berakhir saat kejatuhan Turki Usmani pada abad k-13 H), dan terakhir zaman
modern yaitu abad ke-13 H hingga sekarang2.
Sebelum lahirnya Islam, puisi telah dikenal sebagai salah satu bentuk komunikasi yang paling
banyak berperan. Dalam puisilah mereka mencatat kesan-kesan dan ringkasan pengalamannya
dalam kehidupan, mengungkapkan perasaan dan masalah-masalah pribadi mereka yang telah
lalu3. Kegemaran bangsa Arab terhadap puisi besar sekali. Islam mempunyai dua pendapat
tentang puisi, yang pertama suatu puisi akan dipandang terpuji oleh Islam jika puisi itu
digunakan dengan maksud dan cara yang baik. Sebaliknya jika puisi itu digunakan dengan
maksud yang tidak terpuji, Islam akan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak terhormat 4.
Dalam sejarah perkembangan Islam di zaman Nabi, puisi sangat berfungsi sekali untuk
mengadakan berbagai macam komunikasi. Nabi selalu memberikan penghargaan yang tinggi
kepada para penyair Islam, sehingga mereka selalu menempati tempat yang terdekat di sisi
Nabi. Jumlah tentara yang akan membela Islam dengan kekuatan senjata sangat banyak
jumlahnya sedangkan yang membela Islam dengan puisi sangat terbatas sekali, karena itu
Nabi memberi kepada para penyair segala macam penghargaan5.
Kedatangan Islam dan al-Qur‟an memberikan beberapa perubahan dalam kesusastraan Arab,
mulai dari tujuan pembuatan puisi, tema puisi, lafadz dan gaya bahasa yang digunakan dalam
puisi, wazan dan qafiyah6. Tidak ada penyair yang dapat menandingi al-Qur‟an, karena ia
dinilai sebagai karya sastra yang paling tinggi dari segi gaya bahasa dan keindahannya. Oleh
karena itu banyak penyair yang terpengaruh akan ketinggian dan keindahan sastra al-Qur‟an.
2
Males Sutiasumarga, Kesusastraan Arab, Asal Mula dan Perkembangannya (Jakarta: Zikrul Hakim, 2000),
hlm. 5
3
Lesmana, op.cit., hlm. 87
4
Wildana Wargadiata dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya (Malang: UIN-Malang Press, 2000),
hlm. 241
5
Ibid., hlm. 244
6
Ibid., hlm. 247-249
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
Allah dan Rasulullah tidak mengharamkan umatnya berpuisi, akan tetapi Islam menganjurkan
agar menjauhi bentuk-bentuk puisi yang merendahkan Islam7.
Keistimewaan puisi pada masa Islam menurut Ahmad al-Iskandary adalah mampu
mengarahkan mayoritas para penyair kepada apa yang sesuai dengan agama, di antaranya
dalam hal dakwah, amal saleh, anjuran untuk berjihad, meratapi kepergian syuhada, deskripsi
perang, dan berbangga dengan kemenangan. Selain itu, mayoritas para penyair juga
meninggalkan tujuan-tujuan yang bertentangan dengan ruh Islam, seperti berbangga-bangga
pada hal yang batil, mengejek kaum lain, deskripsi minuman keras, dan puisi cinta yang
vulgar 8.
Pada zaman Jahiliyah, para penyair membuat puisi dengan berbagai tema seperti: al-madah,
al-hija’, al-fakhru, al-hamasah, al-ghazal, al-i’tidzar, al-ritsa, dan al-washfu. Dengan
datangnya Islam, tema yang digunakan para penyair dalam membuat puisi tidak lagi sama
dengan tema zaman Jahiliyah seperti di atas, karena situasinya sudah berbeda 9.
Tema-tema zaman Jahiliyah ada juga yang masih dipakai pada zaman Islam, seperti:
1. Al-Washfu
( ‫) َوال ْص ُف‬. Tidak lagi mendeskripsikan tentang minuman keras, judi, tempat-
tempat minum, akan tetapi menggambarkan sesuatu yang tidak termasuk dalam kategori
yang diharamkan.
2. Al-Ghazal
(‫( ا َول َو ل‬. Bukan sisi negatif yang dideskripsikan namun dari segi akhlaknya yang
mulia.
3. Al-Fakhru )
‫( ا َول ْص ُف‬. Yang digambarkan bukan lagi membanggakan dirinya, kehebatan suku
maupun tentang keturunannya.
4. Al-Madah
5. Al-Hija’
)‫( ملَودَو ح‬. Bukan pujian yang berlebih-lebihan.
)‫( ِحل َوجاء‬. Bukan cemoohan yang jelek dan yang menyebarkan permusuhan dalam
masyarakat.
7
Ibid., hlm. 245
Ibid., hlm. 247
9
Sutiasumarga, op.cit., hlm. 48
8
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
6. Al-Ritsa )
‫( ا ِ َوَثء‬.
Ratapan terhadap para syuhada yang wafat dalam perjuangan
menyebarkan agama Islam10.
Selain tema-tema di atas, muncul tema baru pada zaman Islam yaitu tema dakwah Islam.
Tema ini dapat dibedakan lagi menjadi tema tentang: 1. Agama Islam, kaum muslimin, Nabi
Muhammad, para sahabat dan para khalifah, 2. Kemuliaan akhlak, jalan yang lurus,
kekuasaan Allah, menjauhkan diri dari sesuatu yang keji, 3. Mendorong untuk berjihad
melawan kaum musyrikin, mati syahid di jalan Allah, menang melawan musuh dan
penyebaran Islam, 4. Penggambaran tempat-tempat perang dan alat-alat perangnya11.
Hassan bin Tsabit adalah salah satu penyair yang hidup pada dua zaman, yaitu zaman
Jahiliyah dan Islam. Puisi-puisi Hassan bin Tsabit pada zaman Jahiliyah bertemakan almadah, al-fakhru, al-hija’, dan al-ghazal, sedangkan pada zaman Islam puisinya bertemakan
al-madah, al-hija’, al-ritsa, dan al-i’tidzar12. Telah diterangkan sebelumnya bahwa sejak
Islam, khususnya al-Qur‟an telah memberikan pengaruh yang berarti bagi kesusatraan Arab
masa itu. Perubahan tujuan dibuatnya puisi, tema yang dipakai, serta gaya bahasa dalam
penulisan puisi pada zaman Islam sangat dipengaruhi oleh al-Qur‟an. Hassan bin Tsabit yang
merupakan penyair pada zaman Islam tentunya juga terpengaruh oleh keindahan sastra alQur‟an. Untuk itulah penulis tertarik untuk mendalami puisi karya Hassan bin Tsabit yang
bertemakan al-hija’. Mengingat Hassan bin Tsabit sebelum datangnya Islam yaitu pada
zaman Jahiliyah juga telah banyak menulis puisi-puisi yang bertema al-hija’.
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan sebelumnya, penelitian ini akan
membahas tentang puisi al-hija’ karya Hassan bin Tsabit. Rumusan masalah dari pembahasan
tersebut adalah bagaimanakah analisis unsur intrinsik dalam puisi al-hija’ karya Hassan bin
Tsabit? Dan bagaimanakah analisis unsur ekstrinsik dalam puisi al-hija’ karya Hassan bin
Tsabit?
Tujuan dibuatnya artikel ini adalah untuk menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik
yang terkandung dalam puisi milik Hassan bin Tsabit yang bertemakan al-hija’. Metode
penelitian yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan metode kualitatif,
yaitu penulis mengumpulkan bahan-bahan dari buku-buku kajian sastra Arab. Kemudian
10
Ibid.
Ibid., hlm. 48-49
12
Ibid., hlm. 49
11
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
penulis melakukan analisis struktural terhadap objek yang diteliti yaitu puisi al-hija’ karya
Hassan bin Tsabit.
Unsur Intrinsik dan Unsur Ekstrinsik Puisi Karya Hassan bin Tsabit
Puisi al-Hija’ Hassan bin Tsabit
ِ ‫ َأ ِِّي َو َّب مل َو ْص َو ِل َو ِ ْص ُف ِ َولااِ ِ َّبال ِ ِّي َو‬,ِ‫ َوُفل ِ دُّد ملَودْص ح‬: ‫ِحل َوجا ُفء‬
/Al-hijā’u huwa diddu al-madhi, ayyi sabba al-mahjawwi, wa zikru sifātihi al-sayi’ati/
Al-hija’ adalah antonim dari al-madah yaitu mengutarakan sifat-sifat yang tidak bagus yang
dipujinya itu. Al-hija’ merupakan salah satu tema puisi yang sudah ada sejak zaman Jahiliyah
namun masih tetap populer dan ada pada zaman Islam. Pada zaman Jahiliyah, al-hija’ yaitu
tema puisi yang berisi tentang kebencian, kemarahan, atau ketidaksukaan penyair terhadap
seseorang atau suku lain. Penyair mencari-cari kelemahan atau kejelekan yang dimiliki oleh
orang atau suku lain yang tidak disukainya 13. Inti dari tema ini adalah cacian atau makian.
Sebelum datangnya Islam, tema al-hija’ cenderung menggunakan bahasa-bahasa cacian yang
kasar dan provokatif lalu setelah masa Islam datang Rasulullah melarang para penyair untuk
menggunakan kata-kata yang kurang pantas dalam puisi bertema al-hija’. Sehingga pada
zaman ini, puisi al-hija’ dibuat dengan bahasa yang baik dan sopan, dan kata-katanya tidak
menimbulkan permusuhan.
Berikut ini adalah puisi al-hija’ karya Hassan bin Tsabit:
‫َو َأ ْص َو ُف َو َّبل ٌف َو ِ ٌف َوَول ُفء‬
/fa anta mujawwafun nakhibun hawā‟/
‫َو َو ْصبدَو اَّب ِا َو ا َوا ُف َوا ِ َو ا ُفء‬
/wa abda al-dāri sādatuha al-imā‟/
‫َو ِ ْصدَو َّب ِا ِ َو اَو اَو َو ُفء‬
/wa „inda allāhi fī dzāka al-jazā‟/
‫َش ُف َومُك َو ْص ِ ُف َومُك ا ِلدَو ُفء‬
‫َو َو ُّد‬
/fa syarrukumā al-khairi kumā al-fidā‟/
13
‫َو َو َو ْص ِ ْص َو َو ُف ْصل َو َواا َو ِ ِّي‬
/alā abligh abā sufyāna annī/
ً‫ِ َو َّبا ُف ُفي ْصل ُفنَوا تَو َو ْصت َوك َو ْصبد‬
/bi anna suyūfunā tarākatka „abdan/
‫َو ْصَول َو ُف َو َّب دً َو َأ َو ْص ُف َو ْص ُف‬
/hajawta muhammadan fa ajabtu „anhu/
‫َو َو ْص ُف ل ُفو اَو ْصل َو َو ُف ِ ُف ُفل ٍؤ‬
/atahjūhu wa lasta lahu bi kufu‟/
Ibid., hlm. 35
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
‫َأ ِ ْص َو َّب ِا ِ ْصي َو ُفت ُف َوال َوا ُفء‬
‫َو ْصَول َو ُف َو َواااكً َو ًّ َوحنِ ْصيلًا‬
/amīna allāhi syimatuhu al-wafā‟/
/hajawta mubārakan barran ḥanīfan/
‫َو َو ْص َو ْص ُف ْصل َوا ُف ْصل ُفل َّب ِا ِ نْص ُف ْص‬
‫َو َو َو دَّب ُف ُف َو َو ْص ُف ُف ُفو َو َول ُفء‬
/wa yamaddaḥuhu wa yanshuruhu sawā‟/
/fa man yahjū rasūlu allāhi minkum/
‫ِا َو ْص ِ ُف َو َّب ٍؤد ِ ْصن ُف ْص َو َّبا ُفء‬
/li „ardhi muḥammadin minkum waqqā‟/
ِ ‫َو ِا َّبا َو ِ َو َو َو ُفِاو َو َو ْص‬
/fa inna abī wa wālidahu wa „ardī/
ِ ‫ِا َول ِاا َو ا ِا ٌف َو َو ْصي َو ِ ْص‬
‫َو َو ْص ِ َو ُفت َو ِّيِد ُفا ُفو ِّي ِا َو ُفء‬
/wa baḥrī lā tukaddiruhu al-dilā‟/
/lisānī shārimun lā „aiba fīhi/
Artinya :
1. Ketahuilah, sampaikanlah dariku kepada Abu Sofyan
Engkaulah penakut lagi pengecut
2. Kujadikan engkau menjadi budak lewat pedang kami
Dan tuannya adalah wanita hamba sahaya
3. Engkau hina Muhammad aku akan jawab hinaan itu
Allah sediakan bahasa untuk hinaan itu
4. Mengapa kau sanggup menghina Muhammad sedang engkau tak sepadan dengan dia
Keburukan kalian berdua hanya baik untuk kalian sebagai tebusan
5. Kau hina sosok yang penuh berkah dan kemuliaan
Semoga kepercayaan Allah bersifat amanah tak pernah ingkar janji
6. Siapa diantara kalian menghina Rasulullah
Memujinya serta menolongnya adalah sama
7. Sesungguhnya ayahku, kakekku, dan harga diriku sebagai benteng
Untuk harga diri muhammad dari hinaan kalian
8. Tidak ada aib dalam lidahku yang tajam ini
Lautanku tidak pernah keruh walau ditimba
Unsur Intrinsik Puisi al-Hija’ Karya Hassan bin Tsabit
1. Tema
Pada zaman Islam, Hassan bin Tsabit sangat terkenal dengan puisinya yang bertemakan almadah (pujian), akan tetapi ia juga memiliki puisi lain yang bertemakan al-hija’. Pada
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
masa ini Rasulullah menghimbau kepada seluruh penyair agar menggunakan kata-kata
yang halus dan sesuai dalam membuat sebuah puisi, oleh karena itu meskipun sebuah puisi
bertema al-hija’ bukan berarti harus dengan kata-kata yang kasar. Hal ini dibuktikan oleh
puisi karya Hassan bin Tsabit, bertema al-hija’ namun menggunakan bahasa yang baik dan
sopan. Hassan membuat puisi ini untuk membela Rasulullah dari hinaan Abu Sofyan.
Terlihat beberapa kata hinaan yang digunakan olehnya dalam puisi ini, yaitu:
‫َو َأ ْص َو ُف َو َّبل ٌف َو ِ ٌف َوَول ُفء‬
‫َو َو َو ْص ِ ْص َو َو ُف ْصل َو َواا َو ِ ِّي‬
/fa anta mujawwafun nakhibun hawā‟/
/alā abligh abā sufyāna annī/
Ketahuilah, sampaikanlah dariku kepada Abu Sofyan. Engkaulah penakut lagi pengecut
Pada bait pertama sudah jelas terlihat bahwa puisi ini ditujukan untuk Abu Sofyan. Hassan
menyatakan bahwa sebenarnya Abu Sofyan hanyalah orang yang penakut dan pengecut.
2. Emosi
Emosi merupakan sebuah ungkapan atau luapan perasaan seorang penyair yang kemudian
dituangkan dan menghasilkan sebuah karya seni atau karya satra dengan menggunakan
bahasa-bahasa yang tersirat maupun tersurat. Emosi yang terkandung dalam puisi ini
adalah perasaan marah karena Abu Sofyan telah berani menghina Rasulullah. Emosi
Hassan terlihat pada bait ke-3 dan ke-4, yaitu:
‫َو ِ ْصدَو َّب ِا ِ َو اَو اَو َو ُفء‬
/wa „inda allāhi fī dzāka al-jazā‟/
‫َو ْصَول َو ُف َو َّب دً َو َأ َو ْص ُف َو ْص ُف‬
/hajawta muḥammadan fa ajabtu „anhu/
Engkau hina Muhammad aku akan jawab hinaan itu. Allah sediakan bahasa untuk hinaan
itu
‫َش ُف َومُك َو ْص ِ ُف َومُك ا ِلدَو ُفء‬
‫َو َو ُّد‬
/fa syarrukumā al-khairi kumā al-fidā‟/
‫َو َو ْص ُف ل ُفو اَو ْصل َو َو ُف ِ ُف ُفل ٍؤ‬
/atahjūhu wa lasta lahu bi kufu‟/
Mengapa kau sanggup menghina Muhammad sedang engkau tak sepadan dengan dia.
Keburukan kalian berdua hanya baik untuk kalian sebagai tebusan
Dari kedua bait di atas, kita mengetahui bahwa Abu Sofyan telah menghina Nabi
Muhammad. Sudah sepantasnya sebagai penyair yang ditunjuk dan dipercayai oleh Nabi,
Hassan membalaskan hinaan tersebut dengan puisinya. Ia tidak habis pikir mengapa Abu
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
sofyan sanggup menghina orang yang paling dicintai Allah, padahal ia tidak sepadan
dengan Nabi.
3. Imajinasi
Imajinasi adalah sebuah kerja akal dalam mengembangkan suatu pemikiran yang lebih luas
dari apa yang pernah dilihat, dengar, dan dirasakan oleh manusia. Imajinasi merupakan
pemikiran atas perasaan jiwa pengarang. Dalam puisi ini Hassan menggambarkan
bagaimana imajinasinya saat ada orang yang menghina Rasulullah.
‫َو َو ْصبدَو اَّب ِا َو ا َوا ُف َوا ِ َو ا ُفء‬
/wa abda al-dāri sādatuha al-imā‟/
ً‫ِ َو َّبا ُف ُفي ْصل ُفنَوا تَو َو ْصت َوك َو ْصبد‬
/bi anna suyūfunā tarākatka „abdan/
Kujadikan engkau menjadi budak lewat pedang kami. Dan tuannya adalah wanita hamba
sahaya
‫َو ِ ْصدَو َّب ِا ِ َو اَو اَو َو ُفء‬
/wa „inda allāhi fī dzāka al-jazā‟/
‫َو ْصَول َو ُف َو َّب دً َو َأ َو ْص ُف َو ْص ُف‬
/hajawta muḥammadan fa ajabtu „anhu/
Engkau hina Muhammad aku akan jawab hinaan itu. Allah sediakan bahasa untuk hinaan
itu
‫َو َو ْص ِ َو تُف َو ِّيِد ُفا ُفو ِّي ِا َو ُفء‬
/wa baḥrī lā tukaddiruhu al-dilā‟/
ِ ‫ِا َول ِاا َو ا ِا ٌف َو َو ْصي َو ِ ْص‬
/lisānī shārimun lā „aiba fīhi/
Tidak ada aib dalam lidahku yang tajam ini. Lautanku tidak pernah keruh walau ditimba
Dalam imajinasinya ini, ia menjadikan Abu Sofyan sebagai seorang budak yang
bertuankan seorang wanita hamba sahaya. Baginya siapa saja yang berani menghina
Rasulullah, orang itu derajatnya sama seperti budak. Ia tidak takut pada siapa pun kepada
mereka yang menghina Rasulullah, karenanya ia berimajinasi bahwa Allah akan selalu
menyediakan bahasa (kata-kata) yang dapat digunakannya untuk membalas hinaan mereka
lewat puisinya. Ia juga menggambarkan bahwa dalam lidahnya yang tajam seperti saat
membalas hinaan Abu Sofyan, tidak ada aib baginya karena telah membela Rasulullah.
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
4. Gaya Bahasa
Secara umum, gaya bahasa atau majas adalah upaya untuk memanfaatkan kekayaan
bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri
bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan
baik secara lisan maupun tertulis. Secara khusus, majas dalam puisi diberdayakan untuk: 1.
Kenikmatan imajinatif, 2. Menghasilkan tambahan makna, 3. Menambah intensitas dan
menambah konkret sikap dan perasaan penyair, 4. Memperpadat ungkapan makna dalam
sajak.
Penyair yang baik adalah yang pandai menggunakan dan lihai memanfaatkan kekayaan
serta kekuatan bahasa syairnya secara maksimal sebagai sarana puitika, sehingga dapat
menghasilkan puisi yang baik. Puisi-puisi Hassan pada zaman Jahiliyah cukup keras, asing
bahasanya dan sukar. Setelah masuk Islam, puisinya menjadi halus, baik susunan atau artiartinya14. Sebagai salah satu penyair terbaik pada zamannya, tentunya ia juga
menggunakan gaya bahasa di dalam puisinya. Pada puisi al-hija’ ini, beberapa gaya bahasa
yang dipakai adalah:
Majas Perumpamaan
/fa inna abī wa wālidahu wa „ardī/
ِ ‫َو ِا َّبا َو ِ َو َو َو ُفِاو َو َو ْص‬
Sesungguhnya ayahku, kakekku, dan harga diriku sebagai benteng
Demi membela Rasulullah, Hassan bin Tsabit menjadikan harga dirinya, ayah serta
kakeknya sebagai benteng. Benteng yang dimaksud adalah sebagai pelindung dan pembela
Rasulullah.
Majas Hiperbola
/wa „inda allāhi fī dzāka al-jazā‟/
‫َو ِ ْصدَو َّب ِا ِ َو اَو اَو َو ُفء‬
Allah sediakan bahasa untuk hinaan itu
Majas hiperbola adalah majas yang menyatakan sesuatu dengan berlebih-lebihan. Kalimat
di atas merupakan kalimat yang berlebih-lebihan. Ia yakin bahwa Allah akan selalu
membantunya melalui kata-kata yang disediakan (diberikan) padanya melalui puisi untuk
melawan hinaan dari Abu Sofyan.
14
Wargadinata, op.cit., hlm. 255
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
/lisānī shārimun lā „aiba fīhi/
ِ ‫ِا َول ِاا َو ا ِا ٌف َو َو ْصي َو ِ ْص‬
Tidak ada aib dalam lidahku yang tajam ini
/wa baḥrī lā tukaddiruhu al-dilā‟/
‫َو َو ْص ِ َو تُف َو ِّيِد ُفا ُفو ِّي ِا َو ُفء‬
Lautanku tidak pernah keruh walau ditimba
Lidahnya yang tajam adalah balasan atas hinaan Abu Sofyan kepada Rasulullah. Ia merasa
tidak memiliki aib dalam kata-kata yang diucapkannya sebagai balasan hinaan. Lautanku
tidak pernah keruh walau ditimba, artinya tidak akan pernah habis kata-kata untuk
melawan Abu Sofyan dan untuk membela Rasulullah.
Majas Personifikasi
/amīna allāhi syimatuhu al-wafā‟/
‫َأ ِ ْص َو َّب ِا ِ ْصي َو ُفت ُف َوال َوا ُفء‬
Semoga kepercayaan Allah bersifat amanah tak pernah ingkar janji
Majas personifikasi adalah majas perbandingan yang menuliskan benda-benda mati
menjadi seolah-olah hidup, dapat berbuat, atau bergerak. Jika kita perhatikan, kepercayaan
adalah suatu kata benda (noun) dan tidak termasuk ke dalam benda hidup. Namun ia
menggambarkan kepercayaan seolah-olah seperti manusia yang tak pernah ingkar janji.
5. Bahar
Ilmu yang mempelajari pola-pola puisi Arab Klasik seperti tentang perubahan pola,
keistimewaannya dibandingkan dengan pola yang lain, benar atau tidaknya pola adalah
‘ilmu al-‘arūd. Setiap bait dalam puisi Arab Klasik dibagi menjadi dua syatr (bagian),
syatr pertama disebut al-sadr dan syatr kedua disebut al-‘ajz15.
2 ‫ط‬
1 ‫ط‬
(syatr)
(syatr)
‫ا‬
(al-„ajz)
‫ُف َو َّبل ٌف َو ِ ٌف َوَول ء‬
‫اَّب ِا َو ا َوا ُف َوا ِ َو ا ُفء‬
15
‫اصدا‬
‫َو َأ ْص َو‬
‫َو َو ْصبدَو‬
(al-sadr)
‫َو ْص ِ ْص َو َو ُف ْصل َو َواا َو ِ ِّي‬
ً‫ُف ُفي ْصل ُفنَوا تَو َو ْصت َوك َو ْصبد‬
Lesmana, op.cit., hlm. 91-92
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
‫َو َو‬
‫ِ َو َّبا‬
‫ِ َو اَو اَو َو ُفء‬
‫َو ْص ِ ُف َومُك ا ِلدَو ُفء‬
‫َو ِ ْصدَو َّب ِا‬
‫َش ُف َومُك‬
‫َو َو ُّد‬
‫َو َأ َو ْص ُف َو ْص ُف‬
‫َو َو ُف ِ ُف ُفل ٍؤ‬
‫َأ ِ ْص َو َّب ِا ِ ْصي َو ُفت ُف َوال َوا ُفء‬
ً‫َو ْصَول َو ُف َو َّب د‬
‫َو َو ْص ُف ل ُفو اَو ْصل‬
‫َو ْصَول َو ُف َو َواااكً َو ًّ َوحنِ ْصيلًا‬
‫َو َو ْص َو ْص ُف ْصل َوا ُف ْصل ُفل َّب ِا ِ نْص ُف ْص‬
ِ ‫َو ِا َّبا َو ِ َو َو َو ُفِاو َو َو ْص‬
‫َو َو َو دَّب ُف ُف َو َو ْص ُف ُف ُفو َو َول ُفء‬
‫ِا َو ْص ِ ُف َو َّب ٍؤد ِ نْص ُف ْص َو َّبا ُفء‬
‫َو َو ْص ِ َو تُف َو ِّيِد ُفا ُفو ِّي ِا َو ُفء‬
ِ ‫ِا َول ِاا َو ا ِا ٌف َو َو ْصي َو ِ ْص‬
Taf’īlat adalah potongan-potongan dalam bait puisi Arab Klasik yang bisa berupa
gabungan antara; 1. Kata + sebagian kata, atau 2. Sebagian kata+ kata. Dalam satu bait
pada dasarnya terdiri dari 6 taf’īlat atau 8 taf’īlat, tapi bisa juga lebih atau kurang16. Untuk
melihat bentuk taf’īlat pada puisi karya Hassan ini, dapat dilihat dari langkah-langkah
berikut:
1. Ubahlah tulisan pada bait puisi Arab Klasik menjadi al-kitābat al-‘arūdiyat, yaitu
tulisan yang berdasarkan pada pengucapan huruf. Apa yang diucapkan, itulah yang
ditulis17.
Sebagai contoh, kita gunakan bait ke-2:
ً‫ِ َو َّبا ُف ُفي ْصل ُفنَوا تَو َو ْصت َوك َو ْصبد‬
‫َو َو ْصبدَو اَّب ِا َو ا َوا ُف َوا ِ َو ا ُفء‬
/wa „abda d-dāri sādatuhāl imāu/
/ Bi`anna suyūfunā tarakatka „abdan/
diubah ke dalam al-kitābat al-‘arūdiyat menjadi:
‫بد اا ا اا ل اء‬
‫ا يل نا ت تك بدا‬
2. Setelah mengubah tulisan bait puisi Arab Klasik menjadi al-kitābat al-‘arūdiyat,
langkah selanjutnya adalah membuat al-‘isyārat (al-rumūz)-nya. Untuk huruf yang
mutaharrikat (hidup), rumusnya adalah dengan member tanda (/), sedangkan tanda (0)
adalah untuk huruf yang sakīnat (mati) 18.
‫بد اا ا اا ل اء‬
‫ا يل نا ت تك بدا‬
16
Ibid., hlm. 92
Ibid., hlm. 93
18
Ibid., hlm. 95
17
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
Kita ubah ke dalam al-‘ isyārat sehingga menjadi:
0/0// 0///0// 0///0//
0/0// 0///0// 0///0//
3. Kemudian masukkan al-‘ isyārat tersebut pada tulisan bait puisi Arab Klasik yang telah
diubah menjadi al-kitābat al-‘arūdiyat, sehingga menjadi sebuah taf’īlat19.
0/0// 0///0// 0///0//
0/0// 0///0// 0///0//
Pola taf’īlat yang sesuai dengan al-‘ isyārat di atas berbunyi:
‫ُف َولااَو َو ُف ْص ُف َولااَو َو ُف ْص َو ُف ْصلاُف ْص‬
‫ُف َولااَو َو ُف ْص ُف َولااَو َو ُف ْص َو ُف ْصلاُف ْص‬
/mufā‟alatun mufā‟alatun faūlun/
/mufā‟alatun mufā‟alatun faūlun/
Setelah semua langkah dilakukan, maka hasil yang didapat adalah puisi ini berbahar alwāfir.
6. Diksi
Pilihan kata yang digunakan oleh Hassan bin Tsabit dalam puisi al-hija’ ini sangatlah
tepat. Dapat dilihat dari cara ia merendahkan Abu Sofyan, kata-kata yang halus namun
penuh sindiran tertuang dalam puisinya. Sekalipun ini merupakan puisi bertema al-hija’
atau celaan, ia tetap menggunakan bahasa yang sangat halus pada puisinya. Contohnya
dalam penggunaan kalimat perintah seperti pada bait pertama berikut;
/alā abligh abā sufyāna annī/
‫ل َو ْص ِ ْص َو َو ُف ْصل َو َواا َو ِ ِّي‬
Ketahuilah, sampaikanlah dariku kepada Abu Sofyan
Dalam bahasa Arab khususnya di dalam ilmu balaghah ada beberapa tingkatan kehalusan
kata kerja perintah/ fi’lu al-amr
( ِ ‫) ِ ْص ُفل َأل ْص‬
berdasarkan tingkat bahasa yang paling halus,
yaitu :
a. Menggunakan rumus :
(fi‟lu al-mādhī)
ِ ‫ ِ ْص ُفل ملَوا‬/ (fi‟lu al-mudhāri’( ‫ ِ ْص ُفل مل ُف َو ا ِاع‬+ /‫ل‬
b. Menggunakan rumus : (fi‟lu al-mudhāri‟(
c. Menggunakan masdar (
19
‫ ِ ْص ُفل مل ُف َو ا ِاع‬+ ‫اَو ْص‬
‫) َو ْصصدَو ا‬
Ibid.
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
d. Menggunakan fi’lu al- amr (
‫) ِ ْص ُفل َأل ْص‬
Dari sedikit penjelasan di atas terlihat bahwa Hassan bin Tsabit dalam puisi al-hija’-nya
menggunakan tingkat bahasa untuk kata kerja perintah yang paling tinggi. Hal tersebut
menandakan bahwa sekalipun puisinya bertema al-hija’ atau celaan namun memiliki nilai
rasa yang positif karena menggunakan tingkat bahasa yang paling sopan, untuk lebih
jelasnya rumus tersebut jika diaplikasikan ke dalam puisi Hassan bin Tsabit adalah sebagai
berikut :
Rumus:
(fi‟lu al-mādhī)
ِ ‫ ِ ْص ُفل ملَوا‬/ (fi‟lu al-mudhāri‟( ‫ ِ ْص ُفل مل ُف َو ا ِاع‬+ /‫ل‬
Aplikasi dalam bait pertama
‫ َو ْص ِ ْص َو َو ُف ْصل َو َواا َو ِ ِّي‬+‫ل‬
7. Amanat
Amanat yang terdapat dalam puisi ini adalah bahwa tak seorang pun yang berhak mencela,
menghina dan mengganggu dakwah Nabi. Nabi Muhammad adalah orang yang paling
dicintai oleh Allah. Saat kita dihina oleh orang lain, sebaiknya membalasnya dengan katakata yang sopan. Adapun dalam mengkritik seseorang pun hendaknya kita tidak
menggunakan bahasa yang kasar.
Unsur Ekstrinsik Puisi al-Hija’ karya Hassan bin Tsabit
1. Sebab Pembuatan Puisi dan Hubungan dengan Masyarakat
Pada suatu hari datanglah tiga orang Quraisy menghina Nabi dan Islam. Mereka terdiri
dari Abdullah bin Ash, Abu Sofyan bin Harits bin Abdul Muthalib dan Amru‟u bin Ash.
Mereka belum masuk Islam dan berniat menghancurkan Islam, mereka datang untuk
melecehkan Nabi dengan jari-jari telunjuknya. Seorang sahabat Nabi menyuruh Ali bin
Abi Thalib untuk membalas hinaan tersebut. Ali berkata: “Kalaulah Rasulullah
mengizinkan, niscaya saya akan lakukan”.
Mendengar jawaban ini sahabat Rasul kemudian berkata: “Ya Rasul, izinkanlah Ali bin
Abi Thalib untuk menjawab orang yang telah menghina kita ini”. Rasul menjawab: “Tidak
ada padanya yang demikian itu”. Maksud perkataan Rasul ini adalah Ali bin Abi Thalib
bukanlah orang yang tepat untuk melakukan tugas tersebut. Sesudah itu Rasul berkata:
‫َو ا َو َو ُف ا َول ْصل َو َّب ِا ْص َو َو َو ُف ْص َوا ُف ْصل ُفل ِ ِِل َو ِ ِ ْص َأ ْصا َو ْص ُف ُف ْص ُفو ِ ِ َولااِ ِ ْص‬
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
/mā yamna‘u al-qauma al-lazīna nasarū rasūlu allāhi bisilāhihim `an yansurūhu
bilisānihim/. Artinya: “Apakah yang menghalangi suatu kaum yang telah menolong dan
membela Rasul dengan senjatanya, kiranya menolongnya pula dengan lidahnya”.
Maksud perkataan ini adalah, Rasul meminta dibela dengan senjata lisan sebagaimana
dibela dengan senjata tajam. Seorang penyair Jahiliyah yang telah memeluk agama Islam
hadir dalam peristiwa ini, dia adalah Hassan bin Tsabit, kemudian dia berkata kepada
Rasul: “Saya untuk itu, Ya Rasul”. Kemudian Rasul mempersilahkan dengan hormat dan
Hassan pun tampil ke depan dan berkata: “Kenapa Anda selancang itu mengejek
Rasulullah, padahal saya masuk golongannya”. Kemudian Hassan menyatakan maksud
perjuangannya di lapangan sastra ini kepada Rasul dengan berkata:
ِ ‫ِ ِ ِّيا َأ ْص َأ ُف َو ِ ْص ُف ْص َو َو ُفَول ِ ِّيال ْص َو ُف ِ َو ا َو جِ ْص‬
/‟innī as-aluka minhum kamatsalun al-syi‘ratu min al-‘ajīni/. Yang artinya adalah “Saya
akan pisahkan engkau dari mereka sebagaimana menarik rambut dari tepung”.
2. Biografi Hassan bin Tsabit
Hassan bin Tsabit merupakan penyair yang hidup pada dua zaman, yaitu zaman Jahiliyah
dan Islam. Nama lengkapnya adalah Abu Walid Hassan bin Tsabit al-Anshary20. Ia
dilahirkan dari kalangan keluarga berada dan terpandang dari keluarga al-Nazzar yang
merupakan bagian dari suku Kharaj.
Hassan bin Tsabit termasuk sahabat yang mempunyai kemampuan dalam bersyair.
Maklum saja kaumnya dikenal sebagai kaum yang punya cita rasa syair yang bagus.
Keluarga Hassan terkenal sebagai keluarga penyair, kakek dan ayahnya merupakan
penyair. Saudara perempuannya yang bernama Khawla dan Faria serta anak Hassan yang
bernama Layla dan Abdu al-Rahman juga merupakan seorang penyair dan pamannya,
Maslama, adalah seorang Khatib/orator di kerajaan Ghassan. Maka tidak mengherankan
jika kemudian dirinya mempunyai bakat itu.
Setelah Rasulullah berhijrah ke Madinah dan orang-orang Anshor masuk Islam, ia masuk
Islam bersama mereka dan membela agama dengan lisan sebagaimana kaumnya
20
Wargadinata, op.cit., hlm. 253
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
membelanya dengan pedang. Perkataannya yang mengandung hinaan dan kemarahan
terhadap musuh-musuh Nabi mempunyai pengaruh-pengaruh yang positif21.
Hassan bin Tsabit wafat pada tahun 660 M pada zaman Muawiyyah di kota Madinah, dan
pada masa akhir hidupnya ia menjadi lemah dan buta. Hassan hidup selama 120 tahun,
dalam kehidupannya ia menghabiskan separuh masa hidupnya setengah di zaman Jahiliyah
dan setengah pada zaman Islam. Kumpulan syairnya kini telah dicetak dan dipublikasikan
secara luas.
Penutup
Puisi al-hija’ karya Hassan bin Tsabit ini merupakan bukti bahwa terdapat perbedaan di
antara puisi tema al-hija’ pada zaman Jahiliyah dan zaman Islam. Kedatangan Islam ternyata
memberi pengaruh yang cukup besar, puisi Hassan yang semula cukup keras, asing bahasanya
dan sukar, kini menjadi halus, baik susunan atau arti-artinya. Puisi ini pun dibuatnya hanya
untuk membalas hinaan Abu Sofyan kepada Rasulullah.
Dari penelitian ini penulis menilai bahwa Hassan bin Tsabit adalah penyair yang pintar dalam
memilih diksi yang tepat dalam mengolah puisi al-hija’. Puisi ini mewakili emosi Hassan
terhadap Abu Sofyan. Seperti puisi Arab Klasik lainnya, puisi ini pun memiliki bahar. Bahar
yang sesuai dengan puisi ini adalah bahar al-wāfir, yang berbunyi: (mufā‟alatun mufā‟alatun
fa‟ūlun)
‫ ُف َولااَو َو ُف ْص ُف َولااَو َو ُف ْص َو ُف ْصلاُف ْص‬.
Daftar Acuan
Kamil, Sukron. 2009. Teori Kritik Sastra Arab. Jakarta: Rajawali Pers
Lesmana, Maman. 2010. Kritik Sastra Arab dan Islam. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya, Universitas Indonesia
Sutiasumarga, Males. 2000. Kesusastraan Arab Asal Mula dan Perkembangannya. Jakarta:
Zikrul Hakim
Wargadiata, Wildana dan Laily Fitriani. 2008. Sastra Arab dan Lintas Budaya. Malang: UINMalang Press
21
Ibid., hlm. 254
Unsur intrinsik ..., Muliani Setiawati, FIB UI, 2013
Download