STUDI PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA SENI BATIK DI KOTA

advertisement
STUDI PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA
SENI BATIK DI KOTA SURAKARTA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
WAHYU AGUS KURNIAWATI AS
E 0006288
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberi pengaruh yang
besar terhadap masalah Hak Kekayaan Intelektual. Seiring perjalanan waktu,
ternyata pelanggaran-pelanggaran di bidang hak cipta semakin marak saja.
Beberapa kebudayaan Bangsa Indonesia bahkan diklaim oleh negara lain
misalnya Reog Ponorogo, Tari Pendet Bali dan lainnya. Hal ini memberikan suatu
pukulan yang keras bagi Indonesia untuk lebih memberikan perlindungan
terhadap Hak Kekayaan Intelektual, yang sebenarnya sejalan dengan Misi
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) yaitu memberikan
perlindungan hukum bagi karya-karya intelektual dan menggalakkan peningkatan
karya kreatif dengan menyelenggarakan sistem Hak Kekayaan Intelektual.
Penegakan hukum adalah faktor utama kesuksesan Hak Kekayaan Intelektual.
Banyak sekali produk-produk hukum mengenai Hak Kekayaan Intelektual
yang bermunculan seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun
2000 tentang Varietas Tanaman, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30
Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Undang-Undang tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah guna
3
melindungi Hak Kekayaan Intelektual itu sendiri, yang masing-masing
mempunyai spesifikasi perlindungan yang berbeda-beda.
Masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan konsep Hak Kekayaan
Intelektual yang ada sekarang ini, dikarenakan masyarakat Indonesia justru lebih
senang apabila kepemilikan Hak Kekayaan Intelektual mereka digunakan oleh
orang lain. Menurut mereka, orang-orang yang menggunakan tersebut menyukai
hasil karyanya sehingga ada suatu kepuasan tersendiri di dalam diri akan hal
tersebut. Hal ini tanpa mempertimbangkan pembayaran sebuah royalti atas
penggunaan barang tersebut. Apabila dibayangkan seseorang yang harus berjuang
dengan daya upaya menciptakan suatu barang dan setelah jadi ternyata
penciptanya tidak dapat menikmati hasil karyanya sebagai akibat adanya
pembajakan maka tentu saja hal itu sangat merugikannya.
Masyarakat kurang mengetahui konsep Hak Kekayaan Intelektual ini,
seperti yang dinyatakan Muhamad Djumhana bahwa pada umumnya masyarakat
kurang mengetahui benar mengenai Hak Kekayaan Intelektual. Bahkan, kalangan
pencipta seperti seniman, desainer, dan juga penemu serta pemilik merek itu
sendiri pun kurang mengetahui, apalagi mengenai kapan dan bagaimana harus
menegakkan atau mempertahankan hak tersebut.
Bila pun masyarakat telah
sedikit memahaminya namun pemahamannya masih rancu (Muhamad Djumhana,
2003:1).
Undang-undang mengenai hak cipta telah ada sejak tahun 1912, yaitu
berlakunya Auteurswet 1912, Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912 pada tanggal 23
September
1912.
Kemudian
pada
tahun
1913
pemerintah
Belanda
menandatangani Konvensi Bern (Perjanjian Internasional tentang Hak Cipta),
sehingga Indonesia dapat turut serta memberlakukan ketentuan-ketentuan dari
Konvensi Bern tersebut. Sumber hukum utama Hak Kekayaan Intelektual di
Indonesia dalam bidang hak cipta adalah berlakunya Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1982 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987,
kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997
yang diundangkan tanggal 17 Mei 1997, dan akhirnya yang terbaru ialah Undang-
4
Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang mulai berlaku tanggal 27
Juli 2003.
Hampir di seluruh daerah Indonesia memiliki kebudayaan batik yang
beragam dan memiliki khas sendiri-sendiri. Beragam suku bangsa kaya akan hasil
seni tradisional dengan nilai estetika yang tinggi seperti batik tradisional
Pekalongan, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Jambi, dll. Batik tulis Kota
Surakarta atau juga yang lebih dikenal dengan batik tulis Kota Solo merupakan
karya seni
tradisional yang harus memperoleh perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual khususnya hak cipta. Batik merupakan hasil budaya bangsa Indonesia
yang memiliki nilai budaya dan filosofi yang sangat tinggi sehingga jangan
sampai karya seni tradisional ini juga menjadi sasaran empuk pembajakan yang
secara
dapat menimbulkan suatu kerugian bagi penciptanya. Seiring dengan
meningkatnya kebutuhan perlindungan dan penghargaan terhadap hak cipta yang
pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka
Pasal 12 Ayat (1) huruf (i) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta menetapkan bahwa dalam undang-undang ini ciptaan yang dilindungi
adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang di dalamnya
mencakup seni batik.
Perkembangan bentuk dan fungsi batik tidak semata-mata untuk
kepentingan busana saja, tetapi dapat juga dipergunakan untuk elemen interior,
produk cinderamata, media ekspresi, bahkan merambah ke barang-barang mebel.
ciptaan batik pada awalnya merupakan suatu ciptaan khas bangsa Indonesia yang
dibuat secara konvensional. Batik mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan motif
maupun gambarnya yang menjadi alasan karya-karya seperti ini memperoleh
perlindungan. Termasuk pula di dalamnya pengertian seni batik yaitu karya
tradisional yang ada di berbagai daerah, misalnya saja seni songket, tenun ikat,
dan lain-lain yang terus dikembangkan.
Upaya melestarikan budaya batik ini sebenarnya oleh pemerintah telah
digalakan melalui berbagai cara untuk menempuhnya, antara lain dengan
mengharuskan pemakaian seragam bermotif batik bagi anak-anak sekolah maupun
Pegawai Negeri pada hari-hari tertentu. Usaha yang dilakukan pemerintah
5
mengenai keharusan berseragam batik itu walaupun bertujuan baik, namun
sebenarnya agak kurang mengena sebab batik yang dikenakan sebagai pakaian
seragam tersebut hampir selalu merupakan produk pabrik. Selain itu, pemerintah
juga mengupayakan pelestarian batik ini dengan memasukkan kurikulum batik di
sekolah-sekolah khususnya sekolah di Kota Surakarta.
Kota Solo sebagai salah satu barometer perbatikan di Indonesia, ternyata
memiliki kewajiban moral terhadap pelestarian dan pengembangan batik sebagai
seni sekaligus asset ekonomi bangsa apalagi setelah Organisasi Pendidikan,
Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada
tanggal 2 Oktober 2009 melegetimasikan batik sebagai warisan seni dan budaya
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Wali Kota Surakarta
ini mensosialisasikan penggalakan pelestarian dan pengembangan batik. Dari hal
ini Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga kota Solo akan memasukkan batik ke
dalam Kurikulum Muatan Lokal Batik yang diajarkan mulai jenjang SD sampai
SMA/SMK di kota Solo (Kuswilo, 2009: 39). Upaya untuk melestarikan seni
batik tidak cukup hanya demikian. Hal yang paling mendasar adalah upaya
memberikan penghargaan berupa perlindungan atas hasil karya intelektualnya
melalui melalui hak cipta. Hal ini penting karena dalam proses menghasilkan
suatu karya seni batik diperlukan sejumlah pengorbanan baik pikiran, tenaga,
biaya, dan waktu (Afrillyanna Purba, 2005:7).
Kota Surakarta yang dikenal dengan Solo Kota Budaya, salah satu
kebudayaan yang paling berkembang adalah dalam industri batik. Di Kota
Surakarta sendiri ada suatu daerah-daerah (kampung) yang sebagian besar
masyarakatnya merupakan perajin industri batik sampai akhirnya daerah tersebut
dijadikan sebagai kampung wisata batik yang sekarang dikenal dengan sebutan
Kampoeng Wisata Batik Koeman dan Kampoeng Wisata Batik Laweyan. Selain
kampung-kampung industri batik, Kota Surakarta juga mempunyai beberapa
perusahaan terkemuka yang bergerak dibidang produksi batik yang sudah dikenal
banyak kalangan.
Banyaknya industri batik yang berkembang di Kota Surakarta, pastinya
seimbang pula dengan berkembangnya ciptaan batik di Kota Surakarta. Apabila
6
tidak segera mendapatkan perlindungan, dalam hal ini perlindungan hak cipta
terhadap ciptaan batik, ditakutkan ciptaan tersebut akan semakin musnah dan bisa
saja diklaim oleh daerah lain atau orang-orang asing yang lebih mengerti tentang
adanya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual terhadap batik. Berdasar uraian di
atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan menyusunnya menjadi
sebuah skripsi dengan judul “STUDI PERLINDUNGAN HUKUM HAK
CIPTA SENI BATIK DI KOTA SURAKARTA’’.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian merupakan suatu hal yang
penting karena diperlukan untuk memberi kemudahan bagi penulis dalam
membatasi permasalahan yang ditelitinya, sehingga dapat mencapai tujuan dan
sasaran yang jelas serta memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan.
Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota
Surakarta?
2. Apakah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan perlindungan hukum hak
cipta seni batik di Kota Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian harus memiliki tujuan yang jelas agar tepat mengenai
sasaran yang dikehendaki dan dapat pula memberikan arah dalam pelaksanaan
penelitian tersebut. Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis melalui penelitian
ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik
di Kota Surakarta.
b. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan perlindungan
hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta.
7
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh data dan informasi secara jelas dan lengkap sebagai
bahan penyusunan skripsi sebagai prasyarat guna menyelesaikan studi
dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unversitas
Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dibidang
Hukum Perdata terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual pada umumnya
dan pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota
Surakarta pada khususnya.
c. Memberikan manfaat bagi penulis dan masyarakat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian
Dalam suatu penelitian pasti ada manfaat yang diharapkan dapat tercapai.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penulis berharap dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang
Hukum Perdata pada masalah Hak Kekayaan Intelektual pada umumnya dan
pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta pada
khususnya.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan atau sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak
terkait dengan masalah penelitian ini pada umumnya dan para pencipta
seni batik agar semakin berkembang.
b. Untuk memberikan pemikiran alternatif yang diharapkan dapat digunakan
sebagai
bahan
informasi
dalam
kaitannya
dengan
pelaksanaan
perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta.
c. Agar dapat meningkatkan pengetahuan tentang masalah-masalah dan
lingkup yang dikaji dalam penelitian ini.
E. Metode Penelitian
8
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang sangat penting bagi
pengembangan ilmu dan bagi pemecahan suatu masalah. Metodologi penelitian
merupakan cara utama untuk memperoleh data secara lengkap dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sehingga tujuan dari penelitian dapat
tercapai. Metodologi penelitian juga merupakan cara atau langkah sebagai
pedoman untuk memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang suatu gejala
atau merupakan suatu cara untuk memahami obyek yang menjadi sasaran dari
ilmu pengetahuan yang bersangkutan.
Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”;
namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan kemungkinankemungkinan, sebagai berikut:
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian.
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan.
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur
(Soerjono Soekanto, 2007 : 5).
Sesuai dengan tujuan penelitian sebagai suatu prasarat menyelesaikan
studi dalam meraih gelar Sarjana Hukum, maka penelitiannya merupakan
penelitian hukum. Penelitian hukum adalah suatu kegiatan, yang didasarklan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala tertentu, dengan jalan menganalisanya dengan
mengadakan pemeriksaan secara mendalam terhadap fakta hukum untuk
kemudian mengusahakan pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang
timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Dengan demikian dapat kita lihat
bahwa metedologi penelitian memanglah penting. Beberapa hal yang menyangkut
metode penelitian dalam penelitian ini diuraikan penulis sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian Hukum
Mengacu pada perumusan masalah, maka penelitian ini termasuk
dalam jenis metode penelitian hukum empiris atau sosiologis. “Pada penelitian
hukum empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder,
kemudian dilanjutkan pada data primer di lapangan, atau terhadap
masyarakat” (Soerjono Soekanto, 2007:52). Dalam hal ini, peneliti
9
memberikan gambaran dan menguraikan tentang studi perlindungan hukum
hak cipta seni batik di Kota Surakarta.
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh penulis bersifat deskriptif. Menurut
Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan
untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah terutama untuk
mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu dalam memperkuat
teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 2007 : 10).
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang digunakan oleh peneliti dengan
mendasarkan pada data-data yang dinyatakan oleh resonden secara tertulis
atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari
sebagai sesuatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 2007 : 250).
4. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Data adalah hasil dari penelitian, baik berupa fakta-fakta atau angkaangka yang dapat dijadikan bahan untuk dijadikan suatu sumber informasi,
sedangkan informasi adalah hasil pengolahan data yang dipakai untuk suatu
keperluan. Jenis dan sumber data yang dipergunakan penulis dalam penelitian
ini adalah :
a. Data Primer.
Data primer adalah data atau fakta atau keterangan yang diperoleh secara
langsung dari sumber pertama, atau melalui penelitian di lapangan, yaitu
berupa wawancara (interview). Dalam penelitian ini diperoleh dengan
melakukan wawancara dengan Kepala Bidang Perindustrian Dinas
10
Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta, Ketua Forum Pengembang
Kampoeng Wisata Batik Kaoeman, Ketua Forum Pengembang Kampoeng
Wisata Batik Laweyan, dan beberapa orang perwakilan pengusaha batik
yang ada di Kampoeng Wisata Batik Kaoeman dan Kampoeng Wisata
Batik Laweyan. Wawancara ini dilakukan oleh peneliti guna menunjang
penyajian dan analisis data.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data atau fakta atau keterangan yang digunakan oleh
seseorang yang secara tidak langsung dari lapangan. Data ini diperoleh
dari peraturan perundang-undangan, dokumen atau arsip, bahan pustaka,
laporan, internet, jurnal, makalah dan sebagainya yang terkait dengan
penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan teknik untuk mengumpulkan
data dari salah satu atau beberapa sumber data yang ditentukan untuk
memperoleh data-data primer dan sekunder yang lengkap dan relevan. Teknik
pengumpulan data tersebut adalah meliputi hal berikut :
a. Data Primer
1) Wawancara (interview)
Penulis terjun langsung ke lokasi penelitian dengan tujuan memperoleh
data yang valid dan lengkap dengan cara mengadakan wawancara.
Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan
informasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan
atau tanya jawab. Untuk mempermudah perolehan informasi, penulis
membuat panduan wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan dan
tersusun dalam bentuk interview guide.
Adapun dalam penentuan responden, dapat diperoleh dengan cara
pengambilan sampel dengan cara purposive sampling, dimana peneliti
cenderung memilih informant yang dianggap tahu dan dapat dipercaya
untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalahnya
11
secara dalam (HB. Sutopo, 1988 : 22). Penelitian selanjutnya
menggunakan snow ball sampling yaitu peneliti pertama-tama datang
pada seseorang yang menururt pengetahuannya dapat dipakai sebagai
“key informant”, tetapi setelah berbicara secara cukup, informant
tersebut menunjukkan subyek lain yang dipandang mengetahui lebih
banyak masalahnya sehingga peneliti menunjuknya sebagai informant
baru, dan demikian pula seterusnya berganti informant berikutnya
yang dianggap lebih dalam pula, sehingga data yang diperolehnya
semakin banyak, lengkap, dan mendalam (HB. Sutopo, 1988 : 22).
2) Observasi
Observasi merupakan pengamatan terhadap obyek yang diteliti.
Observasi pada penelitian ini dilakukan dengan pengamatan langsung
di lapangan. Jenis Observasi yang dipakai pada penelitian ini observasi
non partisipan dimana peneliti tidak berpartisipasi terhadap segala
kegiatan yang terdapat di tempat penelitian.
b. Data Sekunder
Teknik pengumpulan
data
sekunder
dengan menggunakan studi
kepustakaan, yaitu dengan mempelajari buku-buku literatur, peraturan
perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, hasil penelitian terdahulu,
dan bahan kepustakaan lain yang digunakan sebagai acuan penulis yang
tentunya berkaitan dengan masalah yang diteliti.
6. Teknik Analisis Data dan Model Analisis
Langkah yang dilakukan setelah memperoleh data adalah menganalisis
data tersebut. Analisis data mempunyai kedudukan penting dalam penelitian
guna mencapai tujuan penelitian. Data yang diperoleh tersebut akan diproses
dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga didapat suatu kesimpulan yang
merupakan hasil akhir dari penelitian.
Adapun model analisis yang digunakan penulis adalah analisa
kualitatif model interaktif (interactive model of analysis) yaitu dilakukan
dengan cara interaksi, baik antara komponennya, maupun dengan proses
12
pengumpulan data, dalam proses yang berbentuk siklus. Dalam bentuk ini,
peneliti tetap bergerak diantara tiga komponen analisis dengan proses
pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan data berlangsung. Sesudah
pengumpulan data berakhir, peneliti bergerak diantara tiga komponen
analisisnya dengan menggunakan waktu yang masih tersisa bagi penelitiannya
(H. B. Soetopo, 2002 : 94-95)
Untuk lebih jelasnya, tehnik analisa data kualitatif dengan model
interaktif dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Sajian Data
Penarikan
Kesimpulan
Bagan I : Interactive Model Of Analysis
Keterangan :
a. Reduksi Data
Dalam reduksi data peneliti diharuskan memeriksa semua data yang
diperoleh, apakah sudah lengkap, runtun atau masih diperlukan informasi
tambahan sebagai pelengkap dalam penyususnan nantinya. Setelah semua
data atau informsi sudah terkumpul lengkap, kemudian penulis melakukan
proses pemilihan/seleksi, pemfokusan dan penyederhanaan dari data-data
sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir penelitian dapat dilakukan.
b. Penyajian Data
Dengan penyajian data, peneliti akan mudah memahami apa yang sedang
terjadi dan apa yang harus dilakukan, lebih jauh menganalisa atau
mengambil tindakan yang berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari
penyajian data tersebut dalam bentuk narasi yang memungkinkan
13
kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data harus mengacu pada
rumusan masalah sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan
yang akan diteliti.
c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Dalam pengumpulan data peneliti harus sudah memahami arti berbagai hal
yang ditemui, dengan melakukan pencatatan-pencatatan, peraturanperaturan, pola-pola, pertanyaan-pertanyaan, atau konfigurasi-konfigurasi
yang mungkin, arahan sebab akibat dan berbagai proposisi kesimpulan
yang diverifikasi.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
Penulisan Hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam Penulisan Hukum, maka
penulis menyiapkan suatu sistematika dalam Penulisan Hukum ini. Adapun
sistematika Penulisan Hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang tiap-tiap bab
terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman
terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika Penulisan Hukum tersebut
adalah sebagai berikut:
BAB I
: Pendahuluan
Bab pertama ini, diuraikan mengenai latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
: Tinjauan Pustaka
Dalam bab ini, dimulai dari kerangka teori yang akan menguraikan
tentang teori-teori yang berhubungan dengan masalah yang akan
diteliti. Kerangka teori terdiri atas tinjauan tentang hak kekayaan
intelektual
yang meliputi uraian pengertian hak
kekayaan
intelektual, dasar teoritik pembenar atas perlindungan hak kekayaan
intelektual, prinsip hak kekayaan intelektual, hak kekayaan
14
intelektual sebagai bagian dari hukum benda, pemanfaatan hak
kekayaan intelektual, kemudian tinjauan tentang Hak Cipta yang
meliputi ketentuan hak cipta dalam sejarah dan ruang lingkup hak
cipta, yang terdiri dari : 1). istilah, hak-hak terkait, dan prinsipprinsip hak cipta, 2). obyek hak cipta, 3). sifat-sifat hak cipta, 4).
pendaftaran dan pembatalan hak cipta, 5). pengalihan hak cipta,
kemudian tinjauan tentang pengetahuan tradisional yang terdiri
dari pengertian dan ruang lingkup pengetahuan tradisional,
perlindungan hukum hak cipta atas folklore dan pengetahuan
tradisional, pentingnya perlindungan pengetahuan tradisional di
indonesia dan permasalahannya, tujuan perlindungan pengetahuan
tradisional, tinjauan tentang penegakan hukum hak cipta yang
meliputi penegakan hukum pada umumnya, dan penegakan hukum
hak cipta, dan kemudian tinjauan tentang batik yang meliputi
pengertian, perkembangan batik di Indonesia, macam batik dan
proses singkat pembuatan batik, serta batik tradisional di Kota
Surakarta. Setelah kerangka teori dilanjutkan dengan kerangka
pemikiran.
BAB III
: Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada bab ini, penulis menguraikan mengenai hasil penelitian yang
diperoleh di lapangan dan pembahasannya yang dihubungkan dengan
fakta dan data dari kepustakaan mengenai pelaksanaan perlindungan
hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta dan kendala dalam
pelaksanaan perlindungan terhadap seni batik di Kota Surakarta.
BAB IV
: Penutup
Pada bab ini, penulis menguraikan mengenai simpulan dan saran
terkait hasil penelitian yang telah dilakukan penulis.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1 Tinjauan tentang Hak Kekayaan Intelektual
a. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual
Istilah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan terjemahan
dari Intellectual Property Right yang dideskripsikan sebagai hak atas
kekayaan yang timbul karena kemampuan intelektual manusia. Istilah Hak
Kekayaan Intelektual bukanlah satu-satunya terjemahan dari kata
Intellectual Property Right. Beberapa terjemahan lainnya adalah Hak Atas
Kepemilikan Intelektual (HAKI), Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
“Dalam literatur hukum Anglo Saxon, istilah hukum tersebut terbagi
menjadi dua yakni: Hak Milik Intelektual dan Hak Kekayaan Intelektual.
Kata tersebut memang dapat diartikan sebagai kekayaan, dapat juga
sebagai milik” (Abulkadir Muhammad, 2001:1).
Perbedaan-perbedaan istilah tersebut sebenarnya hanya berbeda
dalam kata namun mempunyai makna yang sama, untuk memudahkan
dalam pengambilan istilah, maka penulis mengambil istilah Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) di mana pengambilan istilah ini sejalah dengan
ketentuan yang berlaku dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual.
Pendapat Dicky R. Munaf dalam buku Budi Agus Riswandi
menyatakan bahwa HKI merupakan hak yang berasal dari karya, karsa,
cipta manusia karena lahir dari kemampuan intelektualitas manusia dan
merupakan hasil kegiataan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia
yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya,
yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan
manusia juga mempunyai nilai ekonomis (Budi Agus Riswandi, 2009: 3).
16
“Secara substansi, pengertian Hak Kekayaan Intelektual dapat
dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan intelektual yang timbul dan lahir
karena kemampuan intelektual manusia” (Afrillyanna Purba, 2005:13).
HKI tersebut dapat dikatakan sebagai hak eksklusif, yakni hak yang
14
semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak
lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Hak
hukum di mana dengan hak hukum tersebut dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan hukum terhadap hasil kresi dan karya
intelektual manusia dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan
sastra yang mempunyai manfaat ekonomi.
b.
Dasar Teoritik Pembenaran atas Perlindungan Hak Kekayayaan Intelektual
Perlindungan HKI itu sangat penting, hal ini juga dibenarkan oleh
pendapat Soejono Dirjosisworo yang menyatakan penciptaan HKI
membutuhkan banyak waktu di samping bakat, pekerjaan, dan juga uang
untuk membiayainya. Di bidang kesusastraan, paten, merek dagang, juga
dalam teknologi baru
seperti perangkat lunak untuk komputer,
bioteknologi, dan chips sudah jelas bahwa perlindungan tertentu sangat
dibutuhkan. Apabila tidak ada perlindungan atas kreativitas intelektual
yang berlaku di bidang seni, industri, dan pengetahuan ini, maka tiap
orang dapat meniru dan membuat copy secara bebas serta memproduksi
tanpa batas (Soejono Dirjosisworo, 2000:3).
“Perlindungan HKI pada dasarnya didasarkan kepada beberapa
alasan pembenar. Alasan pembenar ini didasarkan pada suatu pendekatan
teoritik. Adapun beberapa alasan pembenar terhadap perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual adalah”:
1) Bahwa kepada pencipta di bidang ilmu pengetahuan seni dan sastra,
atau pun penemu di bidang teknologi baru baik berupa rahasia dagang,
hak cipta maupun paten, harus diberikan suatu penghargaan dan
pengakuan serta perlindungan hukum atas keberhasilan upayanya
dalam melahirkan karya baru itu.
17
2) Berbeda dalam rahasia dagang pada bidang HKI lain seperti halnya
paten pada dasarnya bersifat terbuka, artinya penemuannya harus
menguraikan atau membeberkan penemuannya dengan jelas dan
terinci sebagai salah satu syarat pendaftaran paten. Keadaan ini
potensial menimbulkan resiko karena orang lain dapat belajar atau
melaksanakan penemuan tersebut secara tanpa hak, oleh karena itu
sebagai imbalannya kepada penemu diberikan hak khusus (ekslusif)
untuk dalam jangka waktu tertentu melakukan ekspoitasi atas
penemuannya, sehingga setiap pelanggaran atas hal itu dapat dituntut
baik secara perdata maupun pidana.
3) Bahwa HKI yang merupakan hasil ciptaan atau penemuan bersifat
permulaan yang belum didaftarakan sebagai paten misalnya, membuka
kemungkinan kepada pihak lain untuk dapat mengetahui atau
mengembangkan lebih lanjut penemuan yang dihasilkan oleh penemu
tadi
secara
diam-diam.
Oleh
karenanya,
penemuan-penemuan
mendasar yang belum terdaftar atau dipublikasikan itu pun harus
dilindungi, meskipun belum dapat memperoleh perlindungan di bawah
hukum paten, hak cipta dan desain, tetapi dapat dikategorikan sebagai
rahasia dagang
(Budi Agus Riwandi, 2009: 4-5).
Dasar pembenar seperti yang telah diuraikan di atas semakin
mempertegas akan arti penting terhadap perlindungna HKI. Dengan
adanya perlindungan terhadap HKI, maka ada jaminan kepada masyarakat
untuk menghargai hak inisiatif dan reaksi serta memberikan perlindungan
akan hasil karya ciptanya. Semakin tinggi penghargaan negara terhadap
HKI, maka masa depan suatu bangsa juga akan lebih baik (Dewi
Sulistyaningsih, 2008: 3-4).
c. Prinsip Hak Kekayaan Intelektual
“Prinsip utama HKI, yaitu bahwa hasil kreasi dari pekerjaan
dengan memakai kemampuan intelektualnya tersebut, maka pribadi yang
18
menghasilkannya mendapatkan kepemilikannya berupa hak alamiah
(natural)” (Muhammad Djumhana, 2003: 24). Hal ini merupakan
keeksklusifan dari pencipta. Pada tingkatan paling tinggi dari hubungan
kepemilikan, hukum bertindak lebih jauh dan menjamin bagi setiap
manusia penguasaan dan penikmatan eksklusif atas benda atau ciptaannya
tersebut dengan bantuan negara, yakni melalui sistem HKI yang
berdasarkan prinsip-prinsip antara lain sebagai berikut:
1) Prinsip Keadilan (the principle of natural justice)
Wajar apabila para pencipta suatu karya cipta, atau orang yang dapat
membuahkan hasil dari kemampuan intelektualnya dapat memperoleh
imbalan. Imbalan disini dapat berupa imbalan materi maupun bukan
materi.
2) Prinsip Ekonomi (the economic argument)
Prinsip ini berkait erat dengan prinsip keadilan, setelah seseorang tadi
mendapatkan imbalan sangatlah wajar apabila hal tersebut digunakan
sebagai menunjang kehidupannya di dalam masyarakat sesuai dengan
sifat ekonomis manusia.
3) Prinsip Kebudayaan (the culture argument)
Karya manusia pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkan
hidup, selanjutnya dari karya itu akan timbul pula suatu gerak hidup
yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi. Dengan demikian
pertumbuhan dan perkembangan karya manusia sangat besar artinya
bagi peningkatan taraf kehidupan, peradapan, dan martabat manusia.
4) Prinsip Sosial (the social argument)
Pemberian perlindungan hukum dari negara tidak boleh semata-mata
digunakan untuk memenuhi kepentingan perseorangan, akan tetapi
harus memenuhi kepentingan seluruh masyarakat
(Afrillyanna Purba, 2005: 14).
d. Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Bagian dari Hukum benda
19
Apabila HKI kita telusuri sebenarnya merupakan salah satu bagian
dari benda, yaitu benda tidak berwujud (immateriil). Perlu kita ketahui
benda dalam kerangka hukum perdata dapat diklasifikasikan benda
berwujud yang telah ditentukan dalam Pasal 503 KUH Perdata dan benda
tidak berwujud yang telah ditentukan dalam Pasal 499 KUH Perdata yang
disebut hak. HKI ini merupakan suatu hak. Untuk itu perlu kita lihat
batasan benda yang ditemukan oleh Pasal 499 KUH Perdata (Abdulkadir
Muhammad, 2007; 3). “Apabila hak kebendaan tersebut dihubungkan
dengan Pasal 56 dengan Pasal 73 UUHC 2002, tampak sekali kalau hak
cipta itu bagian daripada hak kebendaan, yang merupakan hak mutlak
serta bersifat mengikuti ciptaannya, walaupun tidak mendapatkan
perlindungan hukum di negara lain” (Rahmadi Usman, 2003:81).
Pembenaran penggolongan hak tersebut ke dalam hukum harta
benda dapat dilihat dari hak kepemilikan hasil intelektual. Hak
kepemilikan ini sangat abstrak dibandingkan dengan hak kepemilikan
benda yang terlihat, tetapi hak-hak tersebut mendekati hak-hak benda, dan
juga kedua hak tersebut bersifat hak mutlak. Selanjutnya dapat
dianalogikan bahwa setelah benda yang tidak berwujud itu keluar dari
pikiran manusia, maka menjelma dalam suatu ciptaan ilmu pengetahuan,
seni, dan sastra. Hasil tersebut dapat dimanfaatkan dan di reproduksi yang
nantinya menjadi sumber keuntungan.
Pada dasarnya HKI dapat dikategorikan ke dalam dua bagian,
yaitu:
1) Hak Cipta, yang terdiri dari hak cipta dan hak yang berkaitan dengan
hak cipta.
2) Hak Kekayaan Perindustrian yang terdiri dari :
(a) Paten (patent)
(b) Merek Dagang (trade mark)
(c) Desain Industri (Industrial Design).
Bidang-bidang HKI yang telah diatur dalam hukum Indonesia meliputi:
Hak Cipta, Merek, Paten, Rahasia Dagang, Desain Tata Letak Sirkuit
20
Terpadu, Desain Produk Industri, dan Perlindungan Varietas Tanaman
(Alfriyanna Purba, 2005: 16).
“According to the World Intellectual Property Organization
(WIPO),intellectual property (IP) is a term that refers to“creations of the
mind:inventions,literary and artistic works, and symbols, names, images,
and
designs
used
in
commerce.
WIPO
divides
IP
into
two
categories:industrial property (patents, trademarks, and industrial
designs) and copyright (literary,artistic,creative,and aesthetic works)”
yang artinya menurut World Intellectual Property Organization (WIPO),
HKI adalah istilah yang mengacu pada “Kreasi pikiran: penemuan, sastra
dan karya artistik, dan simbol, nama, gambar, dan desain yang digunakan
dalam perdagangan. WIPO membagi HKI menjadi dua kategori: kekayaan
industri (paten, merek dagang, dan industri desain) dan hak cipta (Sastra,
seni, kreatif, dan estetika bekerja)” (Matthew Dames. 2009: 18).
e. Pemanfaatan Hak Kekayaan Intelektual
Pasal 570 KUH Perdata disebutkan Hak milik adalah hak untuk
menikmati kegunaaan sesuatu benda dengan leluasa dan untuk berbuat
bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak
bersalahan dengan Undang-undang, atau peraturan umum yang ditetapkan
oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak
mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya
itu dengan tidak
mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan
umum
berdasarkan
atas
ketentuan
Undang-undang
dan
dengan
pembayaran ganti rugi.
Ketentuan Pasal 570 KUH Perdata tersebut kita bisa menarik
kesimpulan bahwa setiap hak milik mempunyai unsur:
1) Kemampuan untuk menikmati atas benda atau hak yang menjadi objek
hak milik tersebut.
21
2) Kemampuan untuk mengawasinya atau menguasai benda yang
menjadi objek hak milik itu, yaitu misalnya untuk mengalihkan hak
milik itu kepada orang lain atau memusnahkannya.
Walaupun demikian, pengaturan hukum di sini memberikan pembatasan
kepada pemiliknya untuk menikmati maupun menguasai atas benda, atau
hak yang merupakan miliknya tersebut. Setiap pengaturan Hak Kekayaan
Intelektual selalu memuat pembatasan terhadap penguasaan atau
penggunaan tersebut, baik secara:
1) Batas-batas yang diadakan oleh peraturan perundang-undangan
Misalnya dalam perundang-undangan hak cipta; hak cipta hanya
berlaku terhadap ciptaan-ciptaan yang telah ditentukan dalam Undangundang dan tidak berlaku terhadap ciptaan diluar tersebut; hak cipta
dibatasi oleh masa berlakunya.
2) Batas-batas tata kesusilaan dan ketertiban umum
Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa HKI tidak boleh bertentangan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum termasuk pula penggunaan
tanda yang bertentangan dengan agama atau menyerupai nama Allah
dan Rasul-nya.
3) Pencabutan hak milik untuk kepentingan masyarakat, asal saja
pencabutan hak milik itu dilakukan berdasarkan Undang-undang dan
dengan pembayaran ganti rugi yang layak.
Perlindungan HKI yang kuat selain memberikan kepastian hukum,
juga memberikan manfaat yang dapat dirasakan dari segi politis, ekonomi,
sosial budaya, bahkan segi pertahanan keamanan pun bisa meraih manfaat
dari adanya perlindungan HKI ini. Secara garis besarnya kita dapat
melihat beberapa keuntungan dan manfaat yang dapat diharapkan dengan
adanya perlindungan HKI secara ekonomi, yaitu antara lain:
1) Perlindungan HKI yang kuat dapat memberikan dorongan untuk
meningkatkan landasan teknologi nasional guna memungkinkan
pengembangan teknologi yang lebih cepat lagi.
22
2) Pemberian perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual
pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim
yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta atau
menemukan sesuatu di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
3) Pemberian perlindungan hukum terhadap HKI bukan saja merupakan
pengakuan negara terhadap hasil karya dan karsa manusia, melainkan
juga merupakan penciptaan suasana yang sehat untuk menarik
penanaman
modal
asing,
serta
memperlancar
perdagangan
internasional.
2. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum Hak Cipta
a. Ketentuan Hak Cipta di Indonesia dalam Sejarah
Indonesia pertama kali mengenal hak cipta pada tahun 1912, yaitu
pada masa Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 131 dan 163 I.S., hukum
yang berlaku di Negeri Belanda yang juga diberlakukan di Indonesia
berdasarkan asas konkordansi. Undang-undang Hak Cipta saat itu adalah
Auterswet 1912, yang pada saat itu istilah yang digunakan adalah hak
pengarang/hak pencipta (author right) yang hanya menggambarkan hak
untuk menggandakan atau memperbanyak suatu karya cipta (Afrillyanna
Purba, 2005: 16).
“Auterwet 1912 ini sangat ketinggalan zaman, sehingga di dalam
praktik
akibatnya
mengalami
kejanggalan-kejanggalan,
dirasakan
merugikan kepentingan pihak-pihak yang hidupnya bergantung di bidang
hak cipta. Boleh dikata Autesswet 1912 ini tidak sesuai dengan keadaan
masyarakat kita. Sehingga dibutuhkan sekali untuk penggantian Undangundang hak cipta yang baru” (Rahmadi Usman, 2003: 57). Sejak Negeri
Belanda menandatangani naskah Konvensi Bern pada tanggal 1 April
1913, maka sebagai negara jajahannya, Indonesia diikutsertakan dalam
Konvensi tersebut sebagaimana disebutkan dalam Staatblad Tahun 1914
Nomor 797. Konvensi inilah yang kemudian berlaku di Negara Indonesia
23
sebagai jajahan Belanda dalam hubungannya dengan dunia internasional
khususnya mengenai hak pengarang (hak cipta).
Guna mempertegas perlindungan hak cipta dan menyempurnakan
hukum yang berlaku, maka telah beberapa kali diajukan Rancangan
Undang-undang baru tentang hak cipta yaitu pada tahun 1958, 1966, dan
1971, tetapi tidak berhasil menjadi Undang-undang Hak Cipta sendiri.
Pada tahun 1982 dikeluarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC 1982). Undang-undang ini
sekaligus mencabut Auterswet 1912 yang dimaksudkan untuk mendorong
dan melindungi penciptaan, menyebarluaskan hasil kebudayaan di bidang
ilmu, seni, dan sastra, serta mempercepat pertumbuhan pencerdasan
bangsa.
Undang-undang perlindungan atas pencipta ini dianggap kurang
memadai dibandingkan dengan negara lain. Selanjutnya pada tahun 1987,
UUHC 1882 yang disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1987 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun
1982
tentang
Hak
Cipta
(selanjutnya
disebut
UUHC
1987).
Penyempurnaan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan iklim yang lebih
baik bagi tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta di bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra.
Penyempurnaan berikutnya adalah pada tahun 1997 dengan
berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta
(selanjutnya disebut UUHC 1997). Penyempurnaan ini diperlukan
sehubungan perkembangan kehidupan yang berlangsung cepat, terutama di
bidang perekonomian tingkat nasional dan internasional yang menuntut
pemberian perlindungan yang lebih efektif terhadap hak cipta. Selain itu
juga karena penerimaan dan keikutsertaan Indonesia di dalam Persetujuan
TRIPs yang merupakan bagian dari Agreement establishing the World
Trade Organizatoin.
Akhirnya pada tahun 2002, Undang-undang Hak Cipta yang baru
telah diundangkan dengan mencabut dan menggantikan UUHC 1997.
24
Undang-undang ini memuat perubahan-perubahan yang disesuaikan
dengan TRIPs dan penyempurnaan beberapa hal yang perlu untuk
memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang hak cipta,
termasuk upaya untuk memajukan perkembangan karya intelektual yang
berasal dari keanekaragaman seni dan budaya tradisional Indonesia
(Afrillyanna Purba, 2005: 18). Undang-undang ini berlaku sampai
sekarang yakni Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
yang untuk selanjutnya Undang-undang ini dikenal dengan singkatan
UUHC 2002.
“Throughout its history, copyrightlaw and policy have been
created by and have served commercial interests. But this should be
neither surprising nor particularly controversial. Copyright began as a
privilege for publishers to protect their works from being copied without
proper authorization” yang artinya: Sepanjang sejarahnya, hukum hak
cipta dan kebijakannya telah dibuat oleh dan telah melayani komersial
kepentingan.
Tapi ini
harus
tidak
mengherankan atau
menjadi
kontroversial. Hak Cipta dimulai sebagai suatu kehormatan bagi penerbit
untuk melindungi karya mereka dari penjiplakan tanpa otorisasi yang tepat
(Matthew Dames. 2010: 18).
b.
Ruang Lingkup Hak Cipta
1) Istilah, Hak-Hak Terkait, dan Prinsip-Prinsip Hak Cipta
Sumber utama untuk mengetahui tentang hak cipta itu
merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum
positif hak cipta) yakni UUHC 2002 sebagaimana yang telah kita
ketahui sebelumnya. Dalam Undang-undang ini ditemukan pengertian
dari hak cipta itu sendiri, yakni dalam Pasal 1 ayat (1) “Hak cipta
adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan ijin
untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku“.
25
Unsur-unsur hak cipta dari definisi tersebut adalah sebagai
berikut:
a) Hak esklusif
Hak
yang
semata-mata
diperuntukkan bagi pemegangnya
sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak
tersebut tanpa izin pemegangnya.
b) Pencipta, sebagai mana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUHC 2002
Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersamasama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan
kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau
keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat
pribadi.
c) Pengumuman, sebagai mana diatur dalam Pasal 1 ayat (5) UUHC
2002:
Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan,
pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan
alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan
cara apa pun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau
dilihat orang lain.
d) Perbanyakan, sebagai mana diatur dalam Pasal 1 ayat (6) UUHC
2002:
Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu ciptaan, baik
secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial
dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak
sama,
termasuk mengalihwujudkan secara
permanen atau
temporer.
Berdasarkan pengertian di atas, maka hak cipta dapat
didefinisikan
sebagai
sebagai
suatu
hak
monopoli
untuk
26
memberbanyak atau mengumumkan ciptaan yang dimiliki oleh
pencipta
atau
implementasinya
pemegang
hak
cipta
lainnya
memperhatikan
pada
peraturan
yang
dalam
perUndang-
undangan yang berlaku.
Bila ditelusuri secara mendalam hak cipta ini dapat dibedakan
menjadi dua jenis hak, yakni hak moral dan hak ekonomi. Hak moral
adalah hak-hak yang melindungi kepentingan pribadi si pencipta.
Konsep hak moral ini berasal dari sistem hukum kontinental, yaitu
Prancis. Menurut konsep hukum kontinental; hak pengarang yang
terbagi menjadi hak ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang
bernilai ekonomi seperti uang, dan moral yang menyangkut
perlindungan atas reputasi si pencipta (Budi Agus Riswandi, 2004:3).
Hak ekonomi itu sendiri masih bersifat umum, sehingga hak
ekonomi tersebut meliputi:
a) Hak Reproduksi atau Penggandaan
Hak pencipta untuk menggandakan ciptaannya, dilakukan secara
tradisional maupun melalui peralatan modern. Hak reproduksi ini
juga mencakup perubahan bentuk ciptaan suatu ke ciptaan
lainnya, misalnya rekaman musik, pertunjukan drama, juga
pembuatan duplikasi dalam rekaman suara dan film. UUHC
menggunakan istilah hak perbanyakan.
b) Hak Adaptasi
Hak untuk mengadakan adaptasi, dapat berupa penerjemahan dari
bahasa satu ke bahasa yang lainnya, aransemen musik, dramatisasi
dari nondramatik, mengubah menjadi cerita fiksi dari karangan
nonfiksi, atau sebaliknya. Hak ini diatur dalam Konvensi Berne
maupun Konvensi Universal (Universal Copyright Convension)
c) Hak Distribusi
Hak distribusi adalah hak yang dimiliki pencipta untuk
menyebarkan
kepada
masyarakat
setiap
hasil
ciptaanya.
Penyebaran tersebut dapat berupa bentuk penjualan, penyewaan,
atau bentuk lain yang maksudnya agar ciptaan tersebut dikenal
27
oleh
masyarakat.
UUHC
menggunakan
istilah
hak
mengumumkan.
d) Hak Penampilan atau Performance Right
Hak untuk menyajikan kuliah, pidato, khotbah, baik melalui visual
atau apresiasi suara, dan tampilan lain tersebut. Setiap orang atau
badan yang menampilkan, atau mempertunjukan sesuatu karya
cipta, harus meminta izin dari si pemilik hak permorfing tersebut.
e) Hak Penyiaran atau Brodcasting Right
Hak untuk menyiarkan bentuknya berupa mentransmisikan suatu
ciptaan oleh peralatan kabel. Hak penyiaran ini contohnya
penyiaran ulang.
f) Hak Program Kabel
Hak
ini
hampir
menstrasmisikan
sama
melalui
dengan
kabel.
penyiaran
Badan
hanya
penyiaran
saja
televisi
mempunyai suatu studio tertentu, dari sana disiarkan programprogram melalui kabel kepada pesawat pelanggan.
g) Droit de Suite
Droit de Suite adalah hak penciptaan, hak penciptaan ini bukanlah
penciptaan bisa, namun penciptaan yang mempunyai sifat hak
kebendaan.
h) Hak Pinjam Masyarakat
Hak ini dimiliki oleh pencipta yang karyanya tersimpan di
perpustakaan, yaitu dia berhak atas suatu pembayaran dari pihak
tertentu karena karya yang diciptakannya sering dipinjam oleh
masyarakat dari perpustakaan milik pemerintah tersebut.
(Budi Agus Riswandi, 2005: 5-7).
Berdasar hal tersebut hak ekonomi dapat dimiliki oleh
pencipta satu atau lebih dari hak ekonomi tersebut. Hak-hak tersebut
juga dapat dimiliki oleh seseorang ataupun oleh badan hukum. Hal ini
seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 6 UUHC 2002:
28
Jika suatu ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang
diciptakan dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai Pencipta ialah
orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan
ini, atau dalam hal tidak ada orang tersebut, yang dianggap sebagai
Pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak
mengurangi Hak Cipta masing-masing atas bagiaan ciptaannya itu.
Tidak semua ciptaan mendapatkan hak cipta. Adapun ciptaan
yang dapat dilindungi harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar hak
cipta, yakni:
a) Hak cipta yang dilindungi adalah hak yang telah berwujud dan
asli. Hal ini yang melahirkan dua sub, yaitu:
(1) Suatu ciptaan harus memiliki keaslian (orisinil).
(2) Suatu ciptaan, mempunyai hak cipta jika ciptaan yang
bersangkutan diwujudkan dalam bentuk tertulis atau bentuk
material yang lain.
b) Hak cipta yang timbul dengan sendirinya (otomatis).
c) Suatu ciptaan tidak perlu diumumkan untuk memperoleh hak
cipta, karena baik ciptaan yang diumumkan atau tidak dapat
memperoleh hak cipta.
d) Hak cipta harus suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui
hukum yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari
penguasaan fisik suatu ciptaan
(Afrillyanna Purba. 2005: 22).
2) Obyek Hak Cipta
Obyek dari Hak Cipta itu sendiri telah diatur dalam Pasal 12
ayat (1) UUHC 2002 yang berbunyi sebagai berikut:
Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan
dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya
tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan
itu;
c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
29
d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan
pantomim;
f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni
ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni
terapan.
g. Arsitektur;
h. Peta
i. Seni batik;
j. Fotografi;
k. Sinematografi
l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya
lain dari hasil pengalihwujudan.
Ciptaan tersebut adalah penciptaan yang diketahui sedangkan
hak cipta atas ciptaan yang penciptanya tidak diketahui diatur dalam
Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UUHC 2002 yang menyatakan:
(1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah,
sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.
(2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan
rakyat yang menjadi milki bersama, seperti cerita, hikayat,
dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi,
tarian, kaligrafi dan karya seni lainnya.
UUHC
2002
selain
mengatur
apa
saja
yang
dapat
dikategorikan sebagai hak cipta, juga menentukan beberapa ciptaan
yang tidak dapat dilindungi, yang termuat dalam Pasal 13, antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.
Hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
Peraturan perUndang-undangan;
Pidato kenegaraan atau pidato Pejabat Pemerintah;
Putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
Keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis
lainnya.
3) Sifat-sifat Hak Cipta
ciptaan-ciptaan yang memiliki hak cipta tersebut, mempunyai
sifat-sifat sebagai berikut:
a) Hak cipta adalah hak khusus
Diartikan sebagai hak khusus karena hak cipta hanya diberikan
kepada pencipta atau pemilik/pemegang hak dan orang lain
30
dilarang menggunakannya kecuali atas izin pencipta selaku
pemiliki hak.
b) Hak cipta berkaitan dengan kepentingan umum
Hak cipta mempunyai hak khusus namun demikian ada batasanbatasan yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat yang
juga turut memanfaatkan ciptaan seseorang.
c) Hak cipta dapat beralih maupun dialihkan
Hal ini seperti yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UUHC 2002.
Pada intinya hak hipta dapat beralih atau dialihkan, baik
seluruhnya maupun sebagian karena: pewarisan, hibah, wasiat,
perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh
peraturan perUndang-undangan.
d) Hak cipta dapat dibagi atau diperinci
Berdasarkan praktik-praktik pelaksanaan hak cipta, maka hak
cipta dibatasi:
(1) Waktu, misalnya lama produksi suatu barang sekian tahun;
(2) Jumlah, misalnya jumlah produksi barang sekian unit dalam
satu tahun;
(3) Geografis, contohnya sampul kaset yang bertuliskan “For Sale
in Indonesia Only”.
(Suyud Margono dan Amir Angkasa, 2002: 20-21).
Ciptaan yang dapat dimasukkan dalam hak cipta, memiliki
sifat-sifat seperti yang dijelaskan tersebut, sedangkan ciptaan yang
tidak ada hak cipta nya tidak memiliki sifat-sifat tersebut.
4) Pendaftaran dan Pembatalan Hak Cipta
Sistem deklaratif adalah sistem yang dianut oleh UUHC 2002.
Artinya, pendaftaran itu tidak menerbitkan hak, tetapi hanya
memberikan anggapan bahwa pihak yang ciptaannya terdaftar itu
31
adalah pihak yang berhak atas Ciptaaan tersebut dan sebagai pemiliki
asli dari ciptaan terdaftar. Menurut sistem deklaratif, orang yang
pertama kali mendaftarkan ciptaan dianggap sebagai Pencipta yang
mempunyai hak cipta.
Fungsi pendafttaran hanya untuk memudahkan pembuktian
bahwa pihak yang mendaftarkan ciptaan dianggap sebagai pencipta
sampai dapat dibuktikan bahwa yang mendaftarkan ciptaan itu bukan
pencipta yang sebenarnya. Pendaftaran bukan suatu keharusan dan
bukan jaminan kepastian hukum atas ciptaan Terdaftar karena masih
dapat digugat oleh pihak yang berhak sebenarnya. Hal ini berbeda
dengan karya intelektual lain yang mempersyaratkan dalam perolehan
haknya melalui proses pendaftaran.
Pendaftaran hak cipta akan memberikan manfaat bagi si
pendaftar. Manfaatnya pendaftar tersebut dianggap sebagai pencipta,
sampai ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya di
pengadilan. Pendaftar menikmati perlindungan hukum sampai adanya
putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan
bahwa pihak lain (bukan pendaftar) yang menjadi pencipta. Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), atau melalui
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Ibu Kota
Propinsi. Adapun syarat-syarat yang perlu dilengkapi adalah sebagai
berikut:
a) Permohonan pendaftaran ciptaan diajukan dengan cara mengisi
formulir yang disediakan untuk itu dalam bahasa Indonesia dan
diketik rangkap 2.
b) Pemohon wajib melampirkan:
(1) Surat kuasa khusus, apabila permohonan diajukan melalui
kuasa;
(2) Contoh ciptaan dengan ketentuan yang telah ditentukan.
c) Salinan resmi akta pendirian badan hukum atau fotocopinya yang
dilegalisasi notaris, apabila pemohon badan hukum;
32
d) Fotocopy kartu tanda penduduk; dan
e) Membayar biaya pendaftaran.
Pembatalan terhadap ciptaan terdaftar diatur dalam UUHC
2002 yaitu dalam Pasal 42, menurut ketentuan Pasal tersebut, dalam
hal ciptaan didaftar menurut Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal
39, pihak lain menurut Pasal 2 berhak atas hak cipta dapat
mengajukan
gugatan
pembatalan
melalui
Pengadilan
Niaga.
Ketentuan Pasal 42 ini berkenaan dengan hubungan hukum yang
timbul karena Undang-undang, yaitu hubungan hukum antara
Pendaftar dan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
Pendaftar harus memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan UUHC
2002. Apabila pendaftar tidak mengetahui kewajibannya, pihak yang
berhak dapat mengajukan gugatan pembatalan kepada Pengadilan
Niaga yang berwenang terhadap hukum pendaftaran ciptaan itu. Tidak
memenuhi kewajiban Undang-undang adalah sebab, sedangkan
gugatan pembatalan adalah akibat.
5) Pengalihan Hak Cipta
Hak cipta sebagai benda bergerak yang immateriil merupakan
bagian dari kekayaan seseorang, maka hak cipta dapat beralih atau
dialihkan, baik seluruhnya ataupun sebagian. Cara beralih atau
mengalihkan hak cipta diatur dalam Pasal 3 UUHC 2002 ayat (2), hak
cipta adalah kekayaan intelektual yang dianggap sebagai benda
bergerak tidak berwujud. Sebagai benda kekayaan, secara hukum,
adapun dalam Pasal tersebut menyebutkan;
Hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun
sebagian kepada pihak lain karena:
a. Pewarisan
b. Hibah
c. Wasiat
d. Perjanjian Tertulis
e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perUndangundangan.
33
Hak cipta tidak dapat beralih atau dialihkan secara lisan, tetapi
harus dilakukan secara tertulis, baik dengan maupun tanpa akta
notaris. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundangundangan, misalnya pengalihan yang disebabkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hakim tetap.
Pengalihan hak cipta didasari oleh motif ekonomi, yaitu
keinginan untuk memperoleh manfaat ekonomi atau keuntungan
secara komersial. Pencipta mengalihkan hak cipta dengan tujuan
mendapatkan royalti, sedangkan penerima selaku pemegang hak cipta
bertujuan memperoleh keuntungan ekonomi dari penjualan ciptaan
yang dihasilkan dari hak cipta tersebut. Pengalihan hak cipta, menurut
ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUHC 2002, hak cipta suatu ciptaan telah
ada di tangan pencipta selama kepada pembeli ciptaan itu tidak
diserahkan seluruh hak cipta dari pencipta itu. Ketentuan ini
menegaskan berlakunya asas kemanunggalan hak cipta dengan
penciptanya.
Pengalihan hak apa pun dasarnya, apabila hak tersebut telah
didaftarkan, maka pengalihan hak tersebut dicatatkan dalam daftar
umum ciptaan. Pendaftaran dapat dimohonkan secara tertulis oleh
kedua belah pihak atau dari penerima hak. Pencatatan pengalihan hak
tersebut diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia (Muhamad Djumhana, 2003: 87).
3. Tinjauan tentang Pengetahuan Tradisional
a. Pengertian dan Ruang Lingkup Pengetahuan Pengetahuan Tradisional
Pengertian
yang
baku
mengenai
pengetahuan
(tradisional knowledge) sebenarnya tidak ada.
tradisional
Menurut WIPO,
pengetahuan tradisional merujuk pada berbagai pengetahuan yang sangat
luas, dan tidak terbatas merujuk pada suatu bidang tertentu, Pemisahan
pengetahuan tradisional dari pengetahuan yang lain dan membuatnya
34
sebagai “tradisional” adalah keterkaitannya dengan komunitas lokal
tertentu. Pengetahuan tradisional diciptakan, dipertahankan, digunakan
dan dilindungi dalam lingkaran tradisional. Istilah “tradisional” berarti
“diturunkan dari generasi ke generasi” dan dalam hal pengetahuan
tradisional biasanya merujuk pada pengetahuan yang diakumulasikan
masyarakat dalam proses pengamalan yang panjang dalam suatu lokasi
tertentu (Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi, 2008: 35).
Tidak banyak orang yang tahu dan tidak mudah untuk menjelaskan
dalam sebuah kalimat apa yang dimaksud dengan pengetahuan tradisional.
Perbedaan karakteristik dan bentuk-bentuk dari pengetahuan tradisional
antara tempat yang satu dengan yang lain, antara kebudayaan yang satu
dengan yang lain, tidak memungkinkan untuk dirangkum dalam sebuah
kalimat yang dapat diterima baik secara hukum ataupun teknis oleh
seluruh pihak. Hingga saat ini, terminologi pengetahuan tradisional yang
digunakan secara luas di seluruh dunia, merupakan salah satu upaya untuk
memudahkan dalam penyebutan mengenai suatu hal yang sama, yaitu
segala sesuatu yang terkait dengan bentuk-bentuk tradisional baik itu suatu
kegiatan ataupun hasil suatu karya yang biasanya didasarkan pada suatu
kebudayaan
tertentu
(http://www.lkht.net/index.php?option=com_
content&view=article&id=62:pengetahuan-tradisional&catid=1:hkitelematika&Itemid=37> [17 Maret 2010 pukul 14.00]).
Seringkali pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan yang
penting terhadap identitas dari suatu komunitas, jadi pengetahuan
tradisional sesungguhnya dihasilkan dan dipelihara secara turun-temurun
oleh penduduk asli atau suatu komunitas lokal di suatu negara. Kerajinan
pahat, kerajinan ukir, ataupun motif batik, hanya merupakan sebagian
kecil dari pengetahuan tradisional. Sebenarnya, banyak benda-benda atau
apa yang kita lakukan sehari-hari termasuk ke dalam pengetahuan
tradisional yang tidak kita sadari. Adapun ruang lingkup dari pengetahuan
tradional ini sangatlah banyak sekali.
Lingkup dan kategori-kategori pengetahuan tradisional mencakup
pengetahuan,
pertanian,
pengetahuan
ilmiah,
pengetahuan
teknis,
pengetahuan ekologis, pengetahuan medis (termasuk obat-obatan dan
tindakan medis yang terkait), pengetahuan yang terkait dengan
keanekaragaman hayati, ekspresi cerita rakyat dalam bentuk musik, tarian,
35
nyanyian, kerajianan tangan, desain, cerita-cerita dan karya seni, unsurunsur bahasa seperti: nama-nama, indikasi geografis, dan simbol-simbol,
serta benda-benda budaya yang dapat bergerak. Sedangkan yang tidak
termasuk dalam lingkup pengetahuan tradisional adalah item-item yang
tidak disebabkan oleh kegiatan intelektual dalam bidang-bidang industri,
ilmiah/pengetahuan, kesusastraan atau bidang artistik seperti fosil
manusia, bahasa secara umum, “warisan” dalam pengertian luas
(Afrillyanna Purba, 2005: 37-38).
b. Perlindungan Hukum Hak Cipta atas Folklore dan Pengetahuan
Tradisional
Perlindungan
hukum
yang
diberikan
untuk
folklore
dan
pengetahuan tradisional, dalam ketentuan UUHC 2002 secara tersirat telah
diatur. Pengaturan tersebut dalam Pasal 10 UUHC 2002 yang berjudul
“Hak cipta atas ciptaan yang penciptanya Tidak Diketahui”, menetapkan:
(1). Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan, prasejaarah,
sejarah, dan benda nasional lainnya.
(2). Negara memegang hak cipta atas Folklor dan hasil kebudayaan rakyat
yang menjadi miliki bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda,
babad, lagu, kerajianan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya
seni lainnya.
(3). Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut pada ayat
(2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu
mendapatkan izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 10 tersebut sebenarnya telah berupaya memberikan jalan
keluar dengan mengatakan bahwa negara “yang mewakili” kepentingan
rakyatnya (dalam hal ini; masyarakat tradisional di Indonesia) sebagai
pemegang hak cipta. Apabila pihak asing memanfaatkan karya budaya/
pengetahuan tradisionalnya tanpa mengindahkan kepentingan Indonesia
akan bermasalah dengan Negara Indonesia. Hal ini sebagai salah satu
bahwa pengetahuan tradisional telah dilindungi di Negara Indonesia.
36
Jangka waktu perlindungan tersebut ditetapkan pula dalam UUHC
2002 pada Pasal 31 ayat 1a “Hak cipta atas Folklore dan hasil kebudayaan
rakyat yang menjadi milik bersama, perlindungannya berlaku tanpa batas
waktu”. Pasal-Pasal ini merupakan Pasal-Pasal yang terdapat dalam
UUHC 2002 untuk melidungi folklore dan pengatahuan tradisional.
Ketentuan tersebut hanya diatur sebatas siapa pemegang hak dan
bagaimana bila orang asing akan memperbanyak atau mempergunakan
ciptaan yang haknya dipegang negara. Ketentuan tersebut belum secara
rinci mengatur tentang norma apabila ada pelanggaran yang dilakukan
oleh orang asing. Termasuk kesulitan dalam menentukan hukum acara
perdata dan pidana bagi orang asing di luar wilayah RI yang dianggap
melanggar ketentuan tersebut (Arif Syamsudin. 2008: 18).
c. Pentingnya Perlindungan Pengetahuan Tradisional di Indonesia dan
Permasalahannya
Topik pembahasan konsep pengetahuan tradisional (traditional
knowledge), sumber daya genetika (genetic resources), serta ekspresi
budaya lokal (expression of folklore). Negara-negara berkembang
termasuk Indonesia sangat prihatin terhadap hal ini, bahkan badan
internasional seperti WIPO (General Assemblies tahun 2000) telah
membentuk team untuk mempelajari dan mengembangkan ketiga bidang
di atas dalam kaitan dengan perlindungan karya intelektual. Beberapa
kasus populer misalnya menyangkut masalah penggunaan kunyit
(turmeric) sebagai obat (India) yang dipatenkan di AS, paten atas
Brotowali di Jepang atau juga ayahuasca di daerah Amazon, yang juga
dipatenkan di AS (A. Zen Umar Purba. 2002.: 1).
Berdasarkan hal tersebut secara tersirat menggambarkan bahwa
Pengetahuan tradisional itu menjadi sangat penting termasuk di Indonesia,
setidak-tidaknya karena tiga alasan yaitu: (1) adanya potensi keuntungan
ekonomis yang dihasilkan dari pemanfaatan pengetahuan tradidional, (2)
keadilan dalam sistem perdagangan dunia, dan (3) perlunya perlindungan
masyarakat lokal (Agus Sardjono, 2006: 2).
37
1). Alasan Pertama, Indonesia yang memiliki potensi sumber daya hayati
dan pengetahuan tradisional terkait, ternyata belum menikmatai secara
ekonomi atas hasil dari pemanfaatan sumber daya tersebut. Indonesia
yang Notabene merupakan “lumbung” dari keanekaragaman hayati
yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan obat justru tidak
menikmati keuntungan ekonomi dari kekayaan hayati tersebut.
2). Alasan kedua, dalam perdagangan internasional, khususnya yang
berkenaan dengan aspek Hak Kekayaan intelektual (HKI), Indonesia
berada di bawah tekanan
negara-negara
maju
karena
harus
melaksanakan TRIPs agreement sebagai salah satu kesepakatan di
dalam rezim World Trade Organisasion (WTO). Di sisi lain negaranegara maju enggan untuk mempertimbangkan kekayaan intelektual
masyarakat lokal dalam belum pengetahuan tradisional.
3). Alasan Ketiga, Pemerintah Indonesia perlu memberikan perlindungan
bagi hak masyarakat lokal berkenaan dengan pengetahuan tradisional
mereka mengingat masyarakat sendiri tidak menyadari bahwa
pengetahuan tradisional, antara lain di bidang obat-obatan memiliki
nilai ekonomis.
Pengetahuan tradisional memang penting untuk mendapatkan suatu
perlindungan hukum, namun dalam perkembangannya pengetahuan
tradisional ini juga membawa suatu yang dapat dibagi ke dalam dua
permasalahan
utama
yakni
perlindungan
yang
mempertahankan
pengetahuan tradisional atau ketentuan yang menjamin itu tidak akan
sukses diperoleh oleh HKI melalui ketentuan pengetahuan tradisional
yang konvensional dan perlindungan yang mempertahankan pengetahuan
tradisional akan sukses dengan menggunakan mekanisme hukum
tradisonal, dan HKI.
d. Tujuan Perlindungan Pengetahuan Tradisional
Karya cipta yang termasuk dalam pengetahuan tradisional ini
dipegang oleh negara. Apabila pengakuan terhadap suatu karya intelektual
38
maupun
perlindungan
terhadap
karya
tradisional
dianut
sistem
kepemilikan yang bersifat individu (private property) sebagaimana
karakter dari perlindungan HKI maka tentunya akan ditemukan kesulitankesulitan. Jadi sudahlah tepat perlindungan bagi karya yang telah ada lama
dan tidak diketahui penciptanya dijadikan sebagai kara pengetahuan
tradisional yang dipegang oleh Negara.
“Karya tersebut yang dimaksukan dalam pengetahuan tradisional
dapat bertujuan utama sebagai upaya pencegahan konflik berkepanjangan
dalam hal klaim hak kepemilikan yang dapat timbul di Indonesia yang
plural”(http://www.lkht.net/index.php?option=com_content&view=article
&id=72:perlindungan-hki-bagi-traditional-knowledge&catid=1:hkitelematika&Itemid=37>
[17
Maret
2010
pukul
14.30]).
Karya
pengetahuan traditional ini juga bertujuan untuk kesejahteraan bangsa
Indonesia, yaitu kearah negara yang akan memberdayakan atau
membangun masyarakatnya yang sebagian masih miskin, maupun
menerapkan cara hidup yang tradisional dalam kondisi modernisasi,
globalisasi yang sudah tak terbendung.
4. Tinjauan tentang Penegakan Hukum Hak Cipta
a. Penegakan Hukum pada Umumnya
“Manusia
bermasyarakat.
tidak
Dalam
mungkin
dapat
bermasyarakat
bertahan
diperlukan
hidup
keteraturan
tanpa
dan
ketertiban sebagai syarat fundamental. Bahwa keteraturan dan ketertiban
merupakan tujuan utama dari hukum, maka manusia dan hukum
merupakan pengertian yang tidak dapat dipisahkan” (Hendarman Supandi,
2008:1). Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsaat), bukan
merupakan negara yang berdasarkan kekuasaan (machstaat). Sejak awal
kemerdekaan, Negara Indonesia ini dikelola berdasarkan hukum. Semua
dalam kegiatan bermasyarakat, kegiatan berusaha, kegiatan berbangsa dan
kegiatan bernegara serta seluruh perbuatan hukum lainnya di negara ini
harus dilakukan dan tunduk kepada hukum positif yang berlaku dan setiap
39
pelanggaran terhadapnya haruslah dikenakan sanksi sesuai dengan hukum
yang berlaku pula.
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas
kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan
hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada
hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang
mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan
yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak
dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum
sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum
mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena
dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia.
Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problemproblem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in
action” bukan pada “law in the books” (Zudan Arif Fakrulloh. 2005:2223).
Suatu penegakan hukum, sesuai kerangka Friedmann, hukum harus
diartikan sebagai suatu isi hukum (content of law), tata laksana hukum
(structure of law) dan budaya hukum (culture of law).
Sehingga,
penegakan hukum tidak saja dilakukan melalui perundang-undangan,
namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan fasilitas hukum dan
juga yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan budaya
hukum
masyarakat
yang
kondusif
untuk
penegakan
hukum
(http://herususetyo.multiply.com/journal/item/9> [25 Maret 2010 pukul
19.15]).
Penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto sebenarnya terletak
pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi berfungsinya kaedah hukum dalam masyarakat yaitu:
1). Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada Undang-undang
saja.
2). Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3). Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4). Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan.
40
5). Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur
daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima
faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contohcontoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia (Soerjono
Soekanto, 1983: 6).
Faktor kebudayaan terkait dengan faktor masyarakat, di mana
faktor kebudayaan merupakan bagian atau sub sistem dari masyarakat.
Menurut Lawrence M. Friedman Sebagai suatu sistem maka hukum
mencakup struktur, subtansi, dan kebudayaan. Suatu sistem dalam
kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari
hukum yang berlaku, nilai-nilai mengenai apa yang dianggap baik
sehingga dianuti dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari. Adapun
nilai yang berperanan dalam hukum adalah nilai ketertiban dan nilai
ketentraman. Nilai inilah yang nantinya berpengaruh lebih pada penegakan
hukum (Soerjono Soekanto, 1983: 45).
b. Penegakan Hukum Hak Cipta
Disadari atau tidak, di Indonesia marak sekali terjadinya
pelanggaran-pelanggaran hak cipta mulai dari pembajakan buku,
pembajakan kaset, pembajakan software, peniruan motif batik dan
pelanggaran-pelanggaran hak cipta lainnya. Kemajuan teknologi yang kini
terus berkembang dirasakan turut mempermudah terjadinya pelanggaranpelanggaran hak cipta. Meskipun Indonesia telah mempunyai perangkat
hukum di bidang hak cipta yakni yang berlaku sampai saat ini UUHC
2002, akan tetapi rasanya penegakan hukum atas pelanggaran hak cipta ini
masih dirasakan sulit dicapai dan sepertinya permasalahan ini di Indonesia
akan tetap terjadi, serta sulit dituntaskan.
41
Penegakan
hukum
terletak
pada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhinya. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi
melalui UUHC 2002 yang mulai berlaku pada 29 Juli 2003 yang mengatur
segala sesuatu mengenai hak cipta sampai dengan sanksi dari pelanggaran
hak cipta. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum, penegak hukum merupakan golongan
panutan dalam masyarakat yang hendaknya mempunyai kemampuankemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. “Penegak hukum
di Indonesia terdiri dari Polisi, Jaksa, Hakim, dan advokat yang
kebanyakan akhir-akhir ini menjadi sorotan kurang professional, tidak
konsisten menjalankan etika profesi, dan gampang tergoda hal-hal yang
bersifat materi” (Otto Hasibuan, 2008: 252).
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
dalam hukum hak cipta ini. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu,
maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar.
Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup, dan seterusnya. Faktor ini dirasakan masih kurang,
salah satunya dibatasinya kantor yang melayani hak cipa pada Dirjen HKI
di Jakarta dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)
wilayah propinsi merupakan suatu hambatan tersendiri dalam penegakan
hukum, di mana para pencipta maupun pemegang hak cipta di kota yang
jauh dari kantor tersebut khususnya enggan untuk mendaftarkan
ciptaannya terkait dengan penambahan biaya transportasi pendaftaran.
Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan. Masyarakat di Indonesia cenderung lebih memilih
barang-barang yang bajakan karena sesuatu hal, misalnya saja barang
bajakan dilihat dari sisi ekonomi cenderung lebih murah bahkan terpaut
jauh dengan harga barang yang asli atau original, dan barang bajakan atau
misalnya kaset atau CD bajakan lebih mudah didapat karena hampir di
setiap daerah selalu ada pedagang bajakan.
42
Pemahaman masyarakat Indonesia terhadap hak cipta khususnya
dan HKI umumnya masih sangat rendah, terbukti bahwa kebanyakan
orang tidak merasa bersalah menjual maupun membeli produk hasil
bajakan. Penjualan buku bajakan, kaset atau CD bajakan mungkin banyak
yang sadar perbuatan dilarang hukum. Akan tetapi, tidak demikian halnya
dengan para pembeli. Langsung atau tidak langsung, banyaknya peminat
barang bajakan itulah yang membuat maraknya produksi dan penjualan
barang bajakan. Kalau saja masyarakat sadar nilai sebuah ciptaan sehingga
merasa bersalah jika membeli barang bajakan, hal itu sangat efektif
menekan bahkan mungkin menghentikan ekploitasi ciptaan orang lain oleh
orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri (Otto Hasibuan, 2008:
255).
Faktor kebudayaan di mana erat kaitannya masalah kultur
(kebudayaan) adalah masalah paradigma (cara pandang) masyarakat
terhadap kejahatan hak cipta itu sendiri. Realitas menunjukkan bahwa
masyarakat kita umumnya tidak memandang kejahatan hak cipta sebagai
kejahatan, berbeda dengan masyarakat memandang kejahatan pencurian.
Cara pandang masyarakat mengenai penegakan hukum hak cipta itu dirasa
sangat kurang, malahan seperti yang disebutkan diatas banyak orang yang
membeli barang bajakan. Masyarakat memandang bahwa kejahatan hak
cipta tidak terlalu buruk (Otto Hasibuan, 2008: 257-258).
Kelima faktor tersebut saling berkaitan karena merupakan esensi
dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas
penegakan hukum. Apabila kita lihat dari kenyataan faktor-faktor tersebut
penegakan hukum mengenai hak cipta ini masih rendah sekali, bahkan hal
tersebut menghambat penegakan hukum hak cipta di Indonesia.
5. Tinjauan tentang Batik
a. Pengertian
Pengertian batik menurut Santoso Doellah adalah sehelai wastra,
yakni sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan terutama juga
43
digunakan dalam matra tradisional beragam hias pola batik tertentu yang
pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam “lilin
batik” sebagai bahan perintang warna. Dengan demikian, suatu wastra
dapat disebut batik bila mengandung dua unsur pokok: teknik celup rintang
yang menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam
hias khas batik (Santosa Doellah, 2002: 10).
Seni batik pada dasarnya merupakan seni lukis dengan bahan kain,
canthing dan malam ‘sebangsa cairan lilin’. Canthing biasanya berbentuk
seperti mangkuk kecil dengan tangki (pegangan) terbuat dari kayu atau
bambu dan bermoncong satu atau lebih. Canthing yang bermoncong satu
untuk membuat garis, titik atau cerek, sedangkan canthing yang
bermoncong beberapa (dapat sampai tujuh) dipakai untuk membuat hiasan
berupa kumpulan titik-titik.
Kata batik berasal dari bahasa Jawa “ambatik” atau “a-mba-tik”
atau mbatik. Kata “mbat” disebut juga ngembat artinya melontarkan/
melempar, sedangkan “tik” berarti kecil, sehingga batik dapat diartikan
segala melontarkan titik berkali-kali pada sehelai kain. Keahlian tersebut
merupakan pengungkapan atau ekspresi ide-ide dan pemikiran estetika serta
penciptaan keindahan dalam menghias kain mori. “Pengertian batik yaitu
gambaran atau hiasan pada kain yang pengerjaannya melalui proses
penutupan dengan bahan lilin atau malam yang kemudian dicelup atau
diberi warna” (Moch Najib Imanullah dkk. 2005:1234). Sementara menurut
Hamzuri, batik diartikan sebagai lukisan atau gambar pada mori yang
dibuat dengan menggunakan alat bernama canting (Afrillyanna Purba,
2005: 45).
Pembuataannya batik dibutuhkan ketekunan, keuletan, kecermatan,
dan keahlian untuk menghasilkan sebuah motif batik yang beraneka ragam.
Motif yang dihasilkan tanpa corak khusus ragam hias batik yang sangat
dipengaruhi dan erat hubungannya dengan faktor-faktor seperti letak
geografis, alam sekitar, adat-istiadat, tradisis agama, kepercayaan, dan tata
44
penghidupan masyarakat daerah yang bersangkutan. Ekspresi dari
pembuatan batik inilah yang menyebabkan batik menjadi suatu seni.
b. Perkembangan Batik di Indonesia
Asal mula perkembangan batik di Indonesia banyak menimbulkan
perdebatan. Ada sebagian pihak yang menyetujui bahwa batik memang
berasal dari Indonesia, tetapi ada juga beberapa pihak yang tidak
menyetujuinya. Pihak yang setuju mengatakan bahwa batik di Indonesia
adalah suatu bentuk kesenian yang berdiri sendiri dan tidak ada hubungan
dengan batik yang berkembang di negara lain. Cara pembuatan maupun
corak-corak dan cara hiasan yang ada pada batik Indonesia tidak
mempunyai kemiripan dengan cara pembuatan batik asing. Sementara
pihak yang tidak setuju dengan pendapat bahwa batik berasal dari Indonesia
mengemukakan bahwa batik dibawa sejak nenek moyang kita ketika
melakukan perpindahan penduduk, atau mungkin juga diperkenalkan
kepada nenek moyang kita oleh kaum pendatang. Itulah sebabnya cara
pembuatan dan penghiasan batik tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi
juga ada di Thailand, India, Jepang, Srilangka, dan Malaysia (Afrillyanna
Purba, 2005: 46).
Terlepas dari kedua pendapat tersebut, sesungguhnya batik memiliki
latar belakang yang kuat dengan bangsa dan rakyat Indonesia dalam segala
bidang dan bentuk kebudayaan serta kehidupan sehari-hari. Batik di
Indoensia terus mengalami perubahan seiring dengan pengaruh dan
perkembangan zaman. Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan
perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah
Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada
masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan
Yogyakarta. Kesenian batik di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan
Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya.
Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia
dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII.
45
Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal
sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif
atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman.
Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan,
yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih
pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan
sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni
dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang
ini (http://www. batikmarkets.com/batik.php> [20 Februari 2010 pukul
16.00]).
Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk
pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia
zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja
dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh
karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian
batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya
masing-masing. Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat
dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah
tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya
hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang
digemari, baik wanita maupun pria. Bahkan kain putih yang dipergunakan
waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.
Batik Indonesia ternyata mampu mendorong semangat para seniman
batik untuk berkarya cipta sekaligus mampu menguatkan rasa “ikut
memiliki“ warisan budaya leluhur tersebut bagi berbagai suku bangsa di
Indonesia karena ragam hias pakaian adat mereka juga ikut tampil dalam
pola batik Indonesia. Pola-pola baru bermunculan, masing-masing dengan
ciri, gaya, dan warna yang tiada duanya (Santosa Doellah, 2002: 212).
Dinamika perkembangan batik mengalihkan perhatian konsumen
batik, masyarakat beralih ke tekstil motif batik, sedang kaum borjuis
Indonesia memakai kain batik halus (batik tulis) untuk keperluan acara
resmi maupun pesta-pesta resmi. Dinamika tersebut akan membawa batik
tulis (batik canting) ke singgasananya yang eksklusif (Dharsono. 2009:1).
46
c. Jenis Batik
Seperti yang dikatakan diatas bahwa batik dibedakan menjadi batik
tradisional dan batik modern, pembagian dari ke dua jenis tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Batik tulis
Batik tulis adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik
menggunakan tangan. Pembuatan batik jenis ini memakan waktu
kurang lebih 2-3 bulan. Pada batik tulis ini sukar sekali dijumpai pola
ulang yang dikerjakan persis sama, pasti ada selintas yang berbeda.
Hal ini bisa menjadi suatu kelebihan.
2) Batik Modern
a) Batik cap adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik
yang dibentuk dengan cap (biasanya terbuat dari tembaga). Proses
pembuatan batik jenis ini membutuhkan waktu yang singkat yakni
kurang lebih 2-3 hari. Kelemahan dari batik cap ini adalah motif
yang dibuat terbatas.
b) Batik Kombinasi, merupakan kombinasi antara tulis dan cap dibuat
dalam rangka mengurangi kelemahan-kelemahan yang terdapat
pada produk cap. Proses pembuatannya memerlukan persiapan yang
rumit terutama dalam penggabungan motif yang ditulis dan motif
capnya.
c) Tekstil Motif Batik, Kain batik jenis ini tumbuh dalam rangka
memenuhi kebutuhan batik yang cukup besar dan tidak dapat
dipenuhi secara industri batik biasa, sehingga diproduksi oleh
industri tekstil dengan menggunakan motif batik sebagai desain
tekstilnya.
(Alfrillyanna Purba, 2005 : 50-51).
d. Proses Pembuatan Batik Tradisional
47
Pembuatan batik Tradisional tidaklah mudah. Pembuatan batik
membutuhkan proses yang sangat panjang sekali. Proses membatik adalah
rangkaian aktifitas yang dilakukan dalam membuat batik, mulai dari
menyiapkan kain dasar (polos) sampai menjadi kain batik yang siap
digunakan sesuai keperluan. Proses pembuatan batik tersebut adalah
sebagai berikut:
1). Kemplong, kain dibasahi dan dipukuli dengan pemukul kayu supaya
lunak sehingga malam dapat menempel kuat dan rata. Adapun bahan
yang digunakan adalah primis, mori, promisima, sutera, atau bahan lain
yang terbuat dari bahan alam agar malam bisa melekat kuat.
2). Mola, adalah membuat pola ragam hias di atas kain putih (mori) dengan
pensil. Adapun caranya adalah ragam hias batik yang dibuat di atas
kertas tembus pandang diletakkan di atas meja kaca yang di bawahnya
diberi lampu. Kemudian, kain mori diletakkan di atas kertas yang telah
terpola itu sehingga tinggal menggambar motif batik sesuai dengan pola
batik di bawahnya dengan pensil.
3). Ngengreng, adalah membatik kontur menurut pola dasar ragam hiasnya.
Ngengreng dilakukan dengan menggunakan canting dan mengikuti
pola-pola yang digambarkan dengan pensil. Fungsinya adalah sebagai
dasar peletakan isen-isen yang merupakan ciri khas ragam hias batik.
4). Nembok, adalah proses menutup bidang yang mempunyai ukuran besar
atau bidang rata berupa blok-blok. Caranya dengan menutup bagian
yang telah dicolet agar tidak terkena warna saat pencelupan.
5). Nyolet, adalah teknik menghasilkan warna-warna tanpa melalui proses
pencelupan. Biasanya menghasilkan warna-warna mencolok seperti
merah, kuning, hijau, biru, oranya, dan ungu untuk mengimbangi warna
pencelupan yang cenderung berwarna pastel. Caranya dengan mewarnai
kain batik dengan zat warna dan kuas.
6). Malam, berfungsi sebagai penutup bagian dari kain agar tidak tertimpa
warna saat proses pewarnaan. Bahan terdiri dari campuran gondorukem,
“mata kucing”, paraffin, lilin lebah, dan lemak.
48
7). Mendel, adalah pewarnaan dengan zat warna alam yang terbuat dari
nila (indigo) yang biasanya dilakukan selama dua hari atau lebih untuk
menghasilkan warna yang lebih matang. Caranya ialah pohon tom
dipilah, diproses, dan diramu menjadi nila berupa cairan berwarna biru
tua. Teknik pencelupan dengan sistem ini mayoritas telah ditinggalkan
perajin dan beralih ke zat warna sintesis.
8). Ngerok, adalah mengelupas malam atau lilin yang menempel di kain
setelah mendel yang dilakukan dengan logam tipis tetapi tajam.
Tujuannya untuk pewarnaan selanjutnya pada bidang yang terkelupas
bisa terkena warna cokelat, sedangkan bidang biru akan menjadi hitam
karena percampuran warna cokelat dan biru.
9). Nyoga, adalah pewarnaan tradisional kedua setelah mendel dengan
menggunakan bahan baku beberapa kulit kayu yang menghasilkan
warna cokelat cemerlang. Kualitas warnanya dapat bertahan sampai
ratusan tahun. Perusahaan batik yang memakai soga sudah langka saat
ini.
10). Ngorod, adalah proses melepas malam yang telah digunakan untuk
membatik atau menutup permukaan kain supaya tidak terkena warna
dengan cara direbus. Tujuannya adalah selain kain cepat menjadi
bersih, ngorod juga digunakan sebagai proses finishing untuk
mematikan warna. Agar warna kain lebih matang dan tidak luntur,
perebusan saat nglorod diberi soda abu.
11). Angin-angin/pengeringan, meniriskan sisa zat warna yang berada di
dalam kain setelah dibilas dengan air dan kering tanpa terkena sinar
matahari. Biasanya dilakukan setelah pencelupan warna pertama dan
kedua untuk menghilangkan zat warna yang masih ada di dalam kain
basah
(Sultani. “Batik, Warisan Tradisional yang Mendunia”. Kompas, 20 Maret
2010).
e. Batik Tradisional di Kota Surakarta
49
Pewarisan budaya khususnya yang berkenaan dengan pewarisan
budaya batik ini, apa yang diperoleh dari generasi terdahulu akan
senantiasa mendapatkan sentuhan-sentuhan baru dari mana pun asal
gagasannya. Ide dari luar komunitas (masyarakat) dapat berkenaan dengan
desain, bahan maupun teknik, dan terhadap berbagai bentuk masukan dari
luar itu dapat dilakukan adopsi sepenuhnya atau dengan adaptasi dan
modifikasi
yang disesuaikan dengan
kebutuhan
setempat.
Proses
pembuatannya yang rumit dan terkadang disertai dengan serangkaian ritual
khusus, juga mengandung filosofi tinggi yang terungkap dari motifnya.
Batik di Kota Surakarta memiliki nilai filosofi, nilai inilah yang menjadi
pembeda dengan batik-batik di kota lain.
Para pencipta ragam hias batik pada zaman dahulu tidak hanya
menciptakan sesuatu yang hanya indah dipandang mata saja, tetapi mereka
juga memberi makna atau arti, yang erat hubungannya dengan falsafah
hidup yang mereka hayati. Mereka menciptakan sesuatu ragam hias dengan
pesan dan harapan yang tulus dan luhur semoga akan membawa kebaikan
serta kebahagiaan bagi si pemakai. Ini semua dilukiskan secara simbolis
Hal ini merupakan cirri khas ragam hias batik dari daerah Solo (Nian S.
Djoemana, 1986: 10).
Ragam hias di Kota Surakarta bersifat simbolis yang erat
hubungannya dengan falsafah hindu Jawa antara lain:
1) Sawat atau Lar, yang melambangkan mahkota atau penguasa tinggi
2) Meru melambangkan gunung atau tanah (bumi)
3) Naga melambangkan air, yang juga disebut tula atau banyu.
4) Burung melambangkan angin atau dunia atas.
Ragam hias ini nantinya akan tertuang pada motif-motif batik, yang juga
memiliki lambang atau makna didalamnya.
Perkembangan masa kini sebenarnya juga membawa suatu
perkembangan batik di Kota Surakarta. Perkembangan-perkembangan
tersebut dapat dilihat dari sisi cara pembuatan ataupun motifnya.
Perkembangan tersebut tidaklah mudah untuk membuat suatu motif baru,
perkembangan disini biasanya hanya suatu kreasi-kreasi dari batik yang
50
telah ada sebelumnya. Berdasarkan sejarahnya yang tidak dapat dipisahkan
dari budaya dan kehidupan sehari-sehari masyarakat, maka batik memiliki
kandungan makna filosofis tersendiri dalam setiap motifnya. Motif batik di
Kota Surakarta mengandung makna filosofis sebagai berikut :
1). Kedudukan sosial si pemakai
Motif batik yang ada hubungannya dengan kedudukan sosial seseorang
umpamanya, antara lain adalah batik dengan motif batik Parang Rusak
Barong, Sawat, dan Kawung. Batik dengan motif ini hanya boleh
dipakai oleh raja-raja beserta keluarga dekatnya. Motif ini merupakan
ragam hias larangan, karena hanya orang tertentu yang boleh
memakainya, namun dewasa ini motif larangan telah menjadi milik
masyarakat umum.
2). Pada kesempatan atau peristiwa mana kain batik ini dipakai atau
dipergunakan tergantung diri makna atau arti dan harapan yang
terkandung pada ragam hias tersebut.
a) Motif Sido Mukti, yang dipakai pengantin wanita dan pria pada
upacara perkawinan dinamakan Sawitan (pasangan). Sido berarti
terus-menerus, dan mukti berarti hidup dalam berkecukupan dan
kebahagiaan. Dapat disimpulkan bahwa motif ini melambangkan
harapan dan masa depan yang baik, penuh kebahagiaan yang kekal
untuk kedua mempelai dan juga sebagai lambing cinta yang
bersemi. Selain motif ini ada juga motif Sido Asih, Sido Mulyo, dan
Sido Luhur. Ada juga Motif Ratu Ratih dan Semen Rama, yang
melambangakan kesetiaan istri pada suami
b) Motif Truntum, yang dipakai oleh orang tua pengantin yang berarti
menuntun. Memiliki makna sebagai orang tua yang berniat akan
menuntun kedua mempelai memasuki hidup baru. Untuk motif ini
dikenal juga motif Sido Wirasat.
51
c) Motif Satria Manah, yang dipakai oleh wali pengantin pria ketika
meminang, yang memiliki filosofi satria memanah sudah tentu
selalu mengenai sasarannya, dengan harapan agar keluarga sang
wanita dapat menerimanya.
d) Motif Semen Rante, yang bisa dipakai pihak keluarga wanita yang
akan menyambut lamaran. Filosofi dari motif ini adalah lambing
ikatan yang kokoh dan kuat.
e) Motif Madu Bronto, motif batik yang diberikan pada saat seserahan
yang dapat diartikan asmara yang manis bagaikan madu.
f) Motif Parang Kusuma, motif batik yang digunakan wanita pada saat
pertunangan yang berarti bunga yang telah mekar, bisa juga
menggunakan parang cantle.
g) Motif Pamiluto, yang digunakan ibu pada saat anak perempuannya
bertunangan. Makna dari motif ini adalah harapan Ibu agar
pasangan dara dan pria tersebut tidak terpisahkan. Bisa juga
menggunakan motif Sekar Jagad.
h) Serta motif-motif lain.
(Nian S. Djoemana, 1986: 11-15).
Batik akan selalu menandai setiap peristiwa penting dalam
kehidupan
manusia
Jawa
sejak
lahir
hingga
ajal
tiba.
(http://www.javabatik.org/artikel_3.html> [21 Februari 2010 pukul
09.30]).
B. Kerangka Pemikiran
Pokok masalah ini adalah mengenai perlindungan hukum hak cipta
terhadap karya seni batik. Diawali dari adanya Obyek yang dilindungi oleh hak
cipta banyak sekali menurut Pasal 12 Undang-Undang nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta (UUHC 2002), salah satunya adalah Seni Batik. Obyek Hak
cipta itu sendiri tentunya ada suatu tujuan dari perlindungan hak cipta itu sendiri.
Adapun perlindungan hukum hak cipta itu memiliki tujuan yaitu untuk
52
mendapatkan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dan juga untuk memudahkan
pembuktian bila terjadi sengketa. Melihat dari studi yang peneliti lakukan, perlu
adanya suatu perlindungan terhadap pencipta seni batik.
Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta terhadap
karya seni batik tersebut dapat dilihat dari implementasi di Kota Surakarta itu
sendiri yang dapat dilihat dari dua sudut, yakni :
1. Bahwa pengusaha batik telah mengetahui bahwa batik telah dilindungi melalui
pengetahuan tradisional dan atau telah mendaftarkan karya cipta pribadinya.
2. Bahwa pengusaha batik belum mengetahui bahwa batik telah dilindungi
melalui pengetahuan tradisional dan belum mendaftarkan karya cipta
pribadinya.
Pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta di Kota Surakarta tersebut
belum tentu dapat berjalan lancar seperti yang diharapkan. Pelaksanaan
perlindungan hukum hak cipta terhadap karya seni batik di Kota Surakarta
pastinya menemukan suatu kendala-kendala. Dari kendala itu, nantinya dapat
ditemukan suatu solusi sebagai masukan untuk mewujudkan tujuan dari hak cipta
itu sendiri. Adapun untuk bagan kerangka pemikiran adalah sebagai berikut:
Perlindungan Hukum Hak
Cipta Karya Seni Batik
(Pasal 12 UUHC 2002)
ï‚· Telah Mengetahui
bahwa batik telah
dilindungi melalui
pengetahuan
tradisional
ï‚· Telah mendaftarkan
karya cipta
pribadinya.
Implementasi di Kota
Surakarta
ï‚· Belum Mengetahui
bahwa batik telah
dilindungi melalui
pengetahuan
tradisional
ï‚· Belum mendaftarkan
karya cipta
pribadinya.
Tujuan
ï‚· Mendapatkan hak
eksklusif atau
Pemegang hak Cipta
untuk mengumumkan
atau memperbanyak
Ciptaannya.
ï‚· Untuk memudahkan
pembuktian bila terjadi
sengketa.
53
Bagan II. Kerangka Pemikiran
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Perkembangan Batik Di Surakarta
1. Gambaran Umum Kota Surakarta
Surakarta sebuah kota di Jawa tengah yang masih lekat sekali dengan
budaya Jawa dengan slogan “Solo the Spirit of Java” yang diharapkan bisa
membangun citra Kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa. Tidak hanya
slogan tersebut yang bertebaran di Kota Surakarta, tapi juga julukan “Solo
Kutho Budoyo” bahkan “Solo Kota Batik”. Kota Surakarta memiliki luas
wilayah 44,04 Km2 terbagi menjadi 5 (lima) kecamatan. Kecamatan yang
mempunyai luas wilayah paling besar yaitu Kecamatan Banjarsari (14,81 km2)
sedangkan kecamatan yang mempunyai luas paling kecil yaitu Kecamatan
Serengan. Wilayah kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi
terdapat di Kecamatan Pasar Kliwon (915.418 jiwa/km2) dan terendah terdapat
pada Kecamatan Laweyan (10.127 jiwa/km2). Kecamatan-kecamatan ini
berbatasan langsung dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali
di sebelah utara, Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan, Kabupaten
Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar di sebelah barat dan timur. Posisi Kota
Surakarta berada pada jalur strategis lalu lintas ekonomi perdagangan maupun
kepariwisataan di antara Jogyakarta-Solo-Semarang (Joglo Semar)– SurabayaBali (http://regionalinvestment.com/sipid/id/displayprofil. php?ia=3372#> [20
Maret 2010 pukul 10.30]).
54
Kondisi ekonomi di Kota Surakarta pada sektor pertanian tidak bisa
berbicara banyak. Kebutuhan sektor ini harus bergantung pada daerah lain di
sekitarnya. Selanjutnya yang memberikan sumbangan terbesar adalah sektor
perdagangan, hotel dan restoran, ketiga adalah sektor bangunan, pada tahun
2008 ini masing-masing memberikan sumbangan sebersar 25,12%, dan
14,44%. Sektor pertambangan/penggalian dan pertanian merupakan sektor
yang memberikan sumbangan terkecil yakni hanya sebesar 0,04 % dan 0, 66
%.
52
Tabel 1. Struktur Ekonomi Surakarta
Tahun 2003-2008 Atas Dasar Harga
Berlaku (persen).
Tahun
No
Sektor
2003
2004
2005
2006
2007
2008
1.
Pertanian
0,07
0,07
0,06
0,06
0,06
0,06
2.
Pertambangan
0,05
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
3.
Industri
28,63
28,10
26,42
25,11
24,34
23,27
4.
Listrik, Gas & Air
2,63
2,70
2,59
2,69
2,69
2,57
5.
Bangunan
12,80
12,68
12,89
13,07
13,38
14,44
6.
Perdagangan,
22,67
22,96
23,82
24,35
24,78
25,12
Hotel & Restoran
7.
Komunikasi
10,79
10,83
11,52
11,78
11,61
11,20
8.
Keuangan
10,73
11,14
11,43
11,26
11,06
10,93
9.
Jasa-Jasa
11,62
11,48
11,23
11,64
12,04
12,38
100,00
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
TOTAL
Sumber : Produk Domestik Regional Bruto Kota Surakarta Tahun 2008
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Surakarta
Perkembangan pendapatan perkapita di Kota Surakarta atas dasar
harga berlaku, menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun. Pada
tahun
2000
pendapatan
per-kapita
masih
mencapai
angka
sebesar
5.336.870,05 rupiah, tahun 2008 pendapatan per-kapita ini mengalami
kenaikan yakni sudah menjadi 13.220.433, 14 rupiah atau naik sebesaar 12,63
persen dari tahun 2007. Permasalahan yang berkaitan dengan sosial yang
55
dihadapi Kota Surakarta adalah masalah mengenai perumahan, agama,
kriminal, bencana alam, dan sebagainya.
Kota Surakarta sebagai kota tua bekas ibukota Kerajaan Surakarta
Hadiningrat.
adiluhung
Kota
Surakarta
kaya
akan
peninggalan
budaya
yang
baik yang berujud artefak seperti bangunan cagar budaya,
Sosiofak seperti tradisi Sekaten dan Kirab Pusaka Kraton setiap satu
Syura maupun Metafak seperti laku spiritual berjaga malam (“lek-lekan”)
dan tradisi upacara daur hidup. Bahkan untuk beberapa unsur budaya
tertentu
seperti Bahasa
Jawa
telah
memperkaya
khasanah
bahasa
Indonesia, dan seni tari serta seni ngadisalira juga telah diapresiasi oleh
masyarakat Indonesia secara luas sehingga telah memberi andil besar
dalam pembentukan jati diri bangsa.
Kota Surakarta yang dulunya sebagai ibukota Kerajaan pastinya
pernah mengenal pembagian kalangan. Kalangan orang Jawa di Surakarta,
pembagian klasik seperti wong cilik (orang kecil) dan priyayi, masyarakat
Kota Surakarta tidak lagi menerapkan konsep ini dalam kehidupan masyarakat
sekarang. Orang Jawa di Kota Surakarta masih mengakui adanya lapisan
sosial keturunan ningrat di masa lampau, namun masyarakat tidak lagi
menempatkan kaum ningrat ini pada posisi sosial atas seperti sosial masa
lampau.
2. Perkembangan Industri Batik di Kota Surakarta
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Mangkunegaran
menjadikan Kota Surakarta sebagai poros sejarah, seni, budaya, yang memiliki
nilai jual. Nilai jual ini termanifestasi melalui bangunan kuno, tradisi kerajaan
yang terpelihara, dan karya seni yang menakjubkan, tatanan penduduk
setempat yang tidak lepas dari sentuhan-sentuhan kultural dan spiritual
keraton yang semakin menambah daya tarik. Kota Surakarta dikenal sebagai
salah satu inti Kebudayaan Jawa karena secara tradisional merupakan salah
satu pusat politik dan pengembangan Tradisi Jawa. Kemakmuran wilayah ini
sejak abad ke-19 mendorong berkembangnya berbagai literatur Berbahasa
56
Jawa, tarian, seni boga, busana, arsitektur, dan bermacam-macam ekspresi
budaya lainnya (http://id.wikipedia.org/wiki/Batik> [20 Februari 2010 pukul
16.00]). Salah satu tradisi yang berlangsung turun temurun dan semakin
mengangkat nama daerah ini adalah membatik.
Seni dan pembatikan di Kota Surakarta menjadikan daerah ini menjadi
salah satu pusat batik di Indonesia. Kota Surakarta bertekad terus menjaga dan
melestarikan budaya jawa. Kota Surakarta memang merupakan salah satu
tempat wisata batik terkenal di Indonesia. Batik itu sendiri adalah salah satu
produk kota dan telah menjadi Icon kota. Batik Kota Surakarta terkenal
dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam
batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap
banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah
terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan Sidomukti
dan Sidoluhur.
Tradisi membatik yang menjadi ciri khas Kota Surakarta sampai hari
ini masih diteruskan dari generasi ke generasi. Tidak heran kemasyuran Kota
Surakarta sebagai salah satu kota produsen batik sudah terkenal hingga ke
mancanegara hingga Australia, Canada, China, Colombia, Prancis, German,
Greece, Jepang, Korea, New Zeland, Singapore, Spanyol, Amerika Serikat.
Tabel 2. Ekspor Komoditi Batik Kota Surakarta Tahun 2009
NO
NAMA NEGARA
1
2
3
4
5
6
7
AUSTRALIA
CANADA
CHINA
COLOMBIA
FRANCE
GERMANY
GREECE
8
JAPAN
9
10
11
KOREA
NEW ZEALAND
SINGAPORE
VOLUME ( KG )
NILAI FOB ( US $ )
1,590.43
6,658.33
2,666.00
265.00
2,493.00
317.00
226.00
30,827.97
87,989.80
18,602.40
5,128.75
35,041.77
3,573.35
1,022.91
8.00
1,508.96
204.00
444.40
9,456.46
2,254.98
7,464.95
204,549.50
57
12
13
14
SPAIN
U. K
193.86
1,046.00
4,361.06
11,887.48
U. S. A
274,965.77
5,073,020.11
JUMLAH
300,534.25
5,487,233.99
Sumber : Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta
Sejarah batik di Kota Surakarta sangatlah panjang dan mempunyai
suatu perkembangan yang pesat. Perkembanghan industri batik di Surakarta
pada awalnya para pengrajin maupun pengusaha batik kebanyakan berasal dari
daerah Laweyan dan Kauman yang dikenal sebagai kampoeng wisata batik.
Mereka menjajakan dagangannya disekitar rumah-rumah mereka. Namun
lama-kelamaan tempat penjualannya berkembang menjadi sebuah komunitas
pengrajin dan tempat perdagangan.
Industri Batik merupakan salah satu komoditi unggulan di Kota
Surakarta. Batik telah lama menyatu pada keseharian hidup masyarakat Kota
Surakarta sejak jaman dahulu hingga sekarang. Sebagai Kota Budaya di mana
terdapat dua pusat kebudayaan yakni Kraton Kasunanan dan Kraton
Mangkunegaran yang mengawal keberlangsungan kebudayaan jawa, Kota
Surakarta tetap menjadi pusat industri batik di Jawa Tengah. Beberapa sentra
batik di Kecamatan Laweyan dan Kecamatan Pasar Kliwon menjadi bukti
bahwa industri ini semakin hari semakin eksis. Sentra-sentra industri batik ini
yang menjadi salah satu pendukung keberadaan Pasar Klewer sebagai pusat
perdagangan pakaian di Jawa Tengah bagian Selatan. (http://www.umkmSurakartaraya.com /node/993> [20 Maret 2010 pukul 10.30]).
Industri batik di Kota Surakarta yang kian pesat tersebut batik menjadi
satu di antara sumber pemasukan daerah. Bahkan, di saat krisis ekonomi
ataupun saat Kota Surakarta tercabik-cabik kerusuhan Mei 1998, industri batik
menjadi pilar penyelamat ekonomi. Sejauh ini, uang yang didulang dari
produk batik mencapai Rp 8 miliar per bulan yang didapat dari 160 industri
batik di Surakarta dengan 70 persen pasar domestik dan 30 persen ekspor.
Sebelum krisis ekonomi, sekitar 40 persen industri batik masih memfokuskan
diri
memproduksi
batik
tulis
(http://www.batiklaksmi.com/artikel%20
batik%2032.htm> [20 Maret 2010 pukul 10.30]).
58
Begitu perkembangan batik di Kota Surakarta tersebut tidak terlepas
juga dengan pasang surut, yang dapat kita lihat dari masa ke masa, adalah
sebagai berikut:
a. Setelah Proklamasi, perkembangan batik di sini sebenarnya menurun
dikarenakan
fungsi
keraton
berkurang
yang
berpengaruh
pada
perkembangan batik juga.
b. Tahun 1970-an, Batik mulai berkembang kembali namun batik yang
berkembang disini sebagai batik printing.
c. Tahun 1980-an, Batik makin berkembang dan pada saat itu batik yang
kebanyakan muncul adalah batik sutra.
d. Tahun 1990-an, Batik-batik dengan harga terjangkau dan murah
meningkatkan perkembangan batik yang cukup pesat.
e. Tahun 2000-an, Batik berkembang sangat pesat dimana tidak terlepas dari
rasa Nasionalisme masyarakat Indonesia setelah beberapa waktu banyak
sekali masalah pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual Indonesia yang
diakui oleh Negara Lain.
(Hasil Wawancara dengan Gunawan Setiawan, Ketua Forum Pengembang
Kampoeng Wisata Batik Kaoeman, 4 Maret 2010 10.00).
Pesatnya perkembangan batik di Kota Surakarta saat ini sangat
menggembirakan. Banyak sekali upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah
dalam perkembangan batik di Kota Surakarta ini, dan banyak segala pihak
yang merespon positif. Menurut dinas perindustrian dan perdagangan indutri
batik menjadi salah satu industri inti di Kota Surakarta dan industri batik ini
menjadi produk yang paling menonjol bagi Kota Surakarta. Kota Surakarta
memiliki banyak kawasan industri batik yang sebenarnya tersebar di Kota
Surakarta, namun yang terkenal dan terbanyak adalah Kampung Laweyan dan
Kauman, sehingga akhirnya ke dua daerah ini dijadikan sebagai Kampoeng
Wisata Batik.
Laweyan adalah salah satu sentral batik di Kota Surakarta. Laweyan
terletak di Kecamatan Laweyan yang terletak di daerah Jalan Dr. Radjiman.
Tentunya ada banyak sekali sejarah yang tertinggal di kampung ini hingga
59
menjadikannya sebagai icon batik Kota Surakarta. Batik merupakan hasil
karya seni tradisional yang banyak ditekuni masyarakat Laweyan. Sampai saat
ini ada 57 pengusaha batik yang berkembang di wilayah ini.
Batik di Laweyan telah berkembang sejak abad ke-19 dan waktu itu
kampung ini sudah dikenal sebagai kampung batik. Itulah sebabnya kampung
Laweyan pernah dikenal sebagai kampung juragan batik yang mencapai
kejayaannya di era tahun 70-an. Di sinilah tempat berdirinya Syarekat Dagang
Islam, asosiasi dagang pertama yang didirikan oleh para produsen dan
pedagang batik pribumi, pada tahun 1912. Di kawasan ini pula, mereka
memang menunjukkan kejayaannya dengan berlomba membangun rumah
besar yang mewah dengan arsitektur cantik dan unik yang menjadi daya
tariknya. Menelusuri lorong-lorong sempit di antara tembok tinggi rumahrumah kuno ini sangat mengasyikkan,seolah berjalan di antara monumen
sejarah kejayaan pedagang batik tempo dulu, tapi sayangnya satu per satu
bangunan kuno yang berarsitektur cantik, hancur digempur zaman, digantikan
ruko atau bangunan komersial baru yang arsitekturnya sama sekali tidak jelas
(http://solobatik.athost.net/sejarah.php> [20 Maret 2010 pukul 10.30]).
Selain Laweyan, Kauman juga merupakan sentra industri batik di Kota
Surakarta. Kampoeng Wisata Batik Kaoeman ini bersebelahan dengan Masjid
Agung tidak jauh dari Pasar Klewer tepatnya di Kelurahan Kauman,
Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Kelurahan ini berdiri di atas areal tanah
seluas 20.10 hektar. Untuk menjangkaunya harus melewati jalan-jalan sempit
yang diapit bangunan-bangunan Jawa kuno bergaya Eropa. Hingga saat ini
pengusaha di kampung ini berkembang menjadi 54 pengusaha batik.
Kampung Kauman berdiri setelah Pemerintahan Keraton Kartosuro
pindah ke Desa Solo yang kemudian berubah nama menjadi Kasunanan.
Sesuai namanya, Kauman merupakan tempat para kaum ulama tinggal. Pada
awalnya, motif batik yang dihasilkan para pengrajin berasal dari motif khas
keraton. Batik yang diproduksi masyarakat Kauman pada awalnya merupakan
batik-batik pesanan para abdi dalem kasunanan. Seiring berjalannya waktu,
motif batik pun berkembang. Batik yang dahulunya hanya didominasi warna
60
cokelat, merah, kuning dan hitam, kini mulai hadir beraneka warna, akhirnya
batik di Kampoeng Wisata Batik Kaoeman ini akhirnya diperdagangkan
secara umum. Kawasan ini sebenarnya tidak berdeda jauh dengan kawasan
Laweyan, namun sedikit perbedaannya bahwa di Kampoeng Wisata Batik
Kaoeman ini cenderung lebih modern dibandingkan dengan Kampoeng
Wisata Batik Laweyan. Hal ini dapat pula dipengaruhi karena kawasan
Kampoeng Wisata Batik Koeman lebih dekat dengan pusat kota, dengan kata
lain bahwa letaknya lebih strategis karena lebih dekat dengan keramaian kota
(http://solobatik.athost.net/batik_kauman.php> [20 Maret 2010 pukul 10.30]).
Dua kawasan tersebut telah dijadikan sebagai Kampoeng Wisata Batik,
dan masing-masing terus dikembangakan salah satunya oleh Forum
Pengembang Kampoengnya masing-masing khususnya dan pada umumnya
dibina dan dikembangkan seperti kawasan lain yakni oleh Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Kota Surakarta Sub Dinas Perindustrian. Banyaknya batik di
wilayah Kota Surakarta ini sudah selayaknya apabila mendapatkan upayaupaya perlidungan hukum.
B. Pelaksanaan Perlindungan Hukum Hak Cipta Seni Batik di Kota
Surakarta
1. Hasil Penelitian
Berdasar observasi penulis dalam penelitian yang dilakukan di Kota
Surakarta mengenai perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota
Surakarta, maka penulis mendapatkan informasi mengenai perkembangan
batik di Kota Surakarta dan wilayah-wilayah yang menjadi pusat batik di
Kota Surakarta. Setelah mendapatkan wilayah-wilayah tersebut, maka penulis
membatasi lokasi penelitian di wilayah pusat batik di Kota Surakarta dan
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta yang memiliki
kewenangan mengembangkan industri di Kota Surakarta. Hal
tersebut
61
dilakukan untuk mengetahui perkembangan batik di Kota Surakarta dan
mengetahui perlindungan hukum hak cipta di lokasi penelitian.
Kota Surakarta dikenal sebagai kota budaya, banyak sekali budayabudaya tradisional yang masih berkembang di Kota Surakarta, salah satunya
adalah batik. Di mana hasil dari observasi yang dilakukan penulis, maka
dapat diketahui bahwa di Kota Surakarta memiliki dua kampung yang
menjadi pusat batik di Kota Surakarta yang dijadikan sebagai Kampoeng
wisata batik. Pemerintah Kota Surakarta melalui Dinas Perindustrian dan
Perdagangan terus melakukan meningkatan-peningkatan industri batik di
Kota Surakarta.
Untuk melengkapi data di dalam penulisan hukum ini, maka penulis
mengadakan penelitian dengan jalan melakukan wawancara dengan Kepala
Bidang Perindustrian Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta
sebagai wakil pemerintah Kota Surakarta, terkait industri batik di Kota
Surakarta yang telah menjadi kewenangan dinas ini. Selain wawancara
tersebut, penulis juga melakukan wawancara dengan beberapa pengusaha
batik. Banyaknya pengusaha batik di Kota Surakarta, terbatasnya waktu,
biaya, dan tenaga, maka penulis hanya mengambil responden yang dianggap
dapat mewakilinya yakni beberapa pengusaha batik dan Ketua Forum
Pengembang Kampoeng Batik baik Laweyan maupun Kauman.
Pengusaha batik yang tersebar di Kota Surakarta dapat dikatakan
banyak sekali karena menurut data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kota Surakarta menyatakan bahwa Pengusaha Batik di Surakarta lebih
banyak dari pada pengusaha yang bergerak di bidang industri yang lain,
bahkan industri batik dijadikan sebagai salah satu industri inti di Surakarta.
Begitu pula menurut hasil penelitian bahwa batik di Surakarta banyak sekali
itupun masih ada yang belum terdaftar dalam dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kota Surakarta. Dari banyaknya batik di Surakarta itu ternyata
tidak semua memproduksi batik sendiri sebagai karya pribadi, namun hanya
ada beberapa saja. Pengusaha batik yang memproduksi batik sendiri dan
62
mempunyai karya cipta pribadi tidak mendaftarkan motif batiknya ke dalam
perlindungan hukum hak cipta.
Jumlah pengusaha batik di dua Kampoeng Wisata Batik tersebut
menunjukkan telah mencapai ratusan pengusaha batik yang masih bertahan
hingga saat ini. Di Kampoeng Wisata Batik Laweyan sendiri menurut data
terakhir dari Dinas perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta ada 57
pengusaha batik, sedangkan di Kampoeng Wisata Batik Kaoeman terdapat 54
pengusaha batik. Batik disini tergolong sebagai home industri.
Perusahaan batik yang ada di Kota Surakarta kebanyakan tergolong
perusahaan menengah ke
bawah,
meskipun demikian
tetap
harus
mendapatkan perhatian dan perlindungan dari pemerintah karena batik di
Kota Surakarta telah menjadi salah satu asset perekonomian di Kota
Surakarta sendiri. Batik mempunyai asset perekonomian yang tinggi dan
sangat potensial sekali serta memiliki prospek yang cerah ke depannya. Hal
ini dikarenakan bahwa produk batik di Kota Surakarta telah menjangkau
pemasaran ke berbagai negara di antaranya Australia, Canada, China,
Colombia, Prancis, German, Greece, Jepang, Korea, New Zeland, Singapore,
Spanyol, dan Amerika Serikat sehingga batik secara tidak langsung
mempunyai sumbangsih kepada pemerintah melalui sumbangan devisa
ataupun melalui pajak.
Perkembangan batik yang pesat ini akhirnya memunculkan suatu
campur tangan pemerintah dalam industri batik. Campur tangan tersebut
bukan dengan memberikan modal, namun membina kemampuan indutri agar
semakin meningkat dan dapat bersaing dengan industri batik yang lain.
Dalam rangka peningkatan batik di Kota Surakarta ini “langkah-langkah yang
diambil oleh dinas perindustrian dan perdagangan khususnya pada sub bagian
perindustrian
adalah
dengan
cara
mengadakan
beberapa
pelatihan,
memberikan peralatan dan promosi. Pelatihan disini misalnya dengan adanya
pelatihan manajemen, maupun pelatihan kewirausahaan. Dilakukannya
beberapa pameran batik baik di Kota Surakarta sampai dengan luar kota salah
satunya adalah pameran yang ditempatkan pada pusat batik nusantara di
63
Jakarta Thamrin City sebagai ajang promosi, juga memberikan peralatanperalatan kepada pengusaha batik. Selain hal tersebut yang paling penting
adalah memberikan perlindungan hukum” (Hasil wawancara dengan Sri
Wahyuni,
Kepala
Bidang
Perindustrian,
Dinas
Perindustrian
dan
Perdagangan Kota Surakarta, Senin 29 Maret 10.30).
Upaya pemerintah Kota Surakarta dalam perlindungan hukum secara
umum dan perlindungan hukum hak cipta pada khususnya terhadap seni batik
di Surakarta ini dilaksanakan dengan cara mendaftarkan motif-motif batik
Kota Surakarta ke Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI). Motif
tersebut diambil dari beberapa pengusaha batik di Kota Surakarta.
Kewenangan pendaftaran hak cipta sebenarnya melalui Ditjen HKI atau
melalui perwakilan di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)
tingkat propinsi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan di sini hanya
memberikan fasilitas pendaftaran hak cipta seni batik untuk diteruskan
kepada Ditjen HKI, adapun pengajuan pendaftaran ini pun atas nama Kota
Surakarta.
Upaya ini telah terlaksana beberapa waktu yang lalu, pemerintah
Kota Surakarta melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan melakukan
pendaftaran secara kolektif agar seni batik di Surakarta dapat didaftarakan
hak cipta ke Ditjen HKI. Dari pendafttaran tersebut pada tahap pertama yakni
pada tahun 2004 ada 214 motif batik dan tahap kedua pada tahun 2006 ada
200 motif batik. Motif tersebut didaftarkan pemerintah Kota Surakarta. Dari
hasil pendaftaran tersebut sebagian ditolak dengan alasan bahwa batik yang
didaftarkan tidak diketahui penciptanya atau dengan kata lain batik tersebut
merupakan batik sebagai hasil kebudayaan rakyat. Walaupun demikian masih
ada yang mendapatkan sertifikat Hak Cipta sebanyak 10 karya seni batik.
Hasil tersebut atas nama Kota Surakarta bukan sebagai kepemilikan pribadi
(Hasil wawancara dengan Sri Wahyuni, Kepala Bidang Perindustrian, Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta, Senin 29 Maret 10.30).
Walaupun demikian patut dibanggakan peran dari Pemerintah Kota Surakarta
dalam hal memberikan perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik di
64
Kota Surakarta dan ini semua juga tidak terlepas dari respon positif dari
semua pihak yang terkait dalam hal perbatikan di Surakarta serta masyarakat
sendiri.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada pengusaha batik
mengenai
perlindungan
hukum
hak
cipta.
Para
pengusaha
batik
membutuhkan suatu perlindungan, bahkan dari semua responden yang
diwawancarai penulis menyatakan bahwa batik perlu sekali untuk dilindungi
melalui hak cipta, bahkan menurut salah satu responden yakni Gunawan
Setiawan, sebagai Ketua Forum Pengembang Kampoeng Wisata Batik
Kaoeman pada 4 Maret 2010 pukul 10.00 mengungkapan: “Batik harus
dilindungi menurut hukum dan penting sekali perlindungan hukum tersebut
karena batik merupakan karya cipta”. Namun sayangnya masih banyak yang
belum memaknai hak cipta itu sendiri, sekalipun mereka membutuhkan suatu
perlindungan tapi mereka senang apabila motif batik mereka ditiru oranglain,
yang mereka jadikan patokan pastinya orang lain dapat menilai membedakan
keaslinya dengan kualitas yang ada bukan karena ciptaannya. Sekalipun
mereka mengatakan tidak apa-apa dijiplak oleh oranglain, mereka tidak mau
dijiplak oleh negara lain. Menurut wawancara dengan Ibu Siti Aminah dari
Batik Farel pada 4 Februari 2010 pukul 11.30, mengungkapkan: “Batik itu
perlu diberikan suatu perlindungan hukum agar tidak diakui oleh negara
lain”. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia yang cenderung sosial.
Hasil karya cipta manusia berupa batik tradisional ini cenderung
merupakan hasil karya suatu komunitas masyarakat tertentu dan jarang sekali
hasil karya individu (perorangan). Ini juga dikarenakan mereka cenderung
memegang teguh tatanan tradisional, yaitu bahwa seseorang yang ingin
sukses dalam hidupnya, ia harus dapat mencapai satu kesatuan hidup atau
rasa manunggal. Berdasarkan hasil wawancara pun, semua pengusaha batik
mengaku tidak pernah ada sengketa mengenai motif-motif batik. “Sadar
sendiri-sendiri”, tutur Ibu Siti Aminah dari Batik Farel pada 4 Februari 2010
pukul 11.30. Ada juga yang menyatakan bahwa: “belum pernah ada sengketa
mengenai motif batik, karena semua punya pemasaran sendiri-sendiri, dan
65
juga menurut pilihan konsumen saja”, tutur Bapak Adi dari Batik Yunani.
Responden mengetahui sekali bahwa batik merupakan karya seni turuntemurun yang dilindungi pemerintah melalui pengetahuan tradisional.
Beberapa pengusaha batik ada yang memiliki motif yang dibuatnya
sendiri, namun karena beberapa pertimbangan-pertimbangan terkait dengan
pendaftaran, mereka tidak mau mendaftarkan ciptaanya yang disebabkan oleh
beberapa hal. Anehnya walaupun mereka enggan mendaftarkan tapi mereka
juga merasa kecewa apabila motifnya tersebut ditiru atau dijiplak oleh pihak
lain. Pengaturan perlindungan hak cipta pada umumnya dan khususnya batik
memang tidak ada suatu kewajiban untuk mendaftarkan ciptaannya, tapi
alangkah lebih baik apabila didaftarkan untuk mempermudah proses
pembuktian apabila ada suatu permasalahan atau sengketa di kemudian hari.
Dalam kenyataannya di tempat penelitian yakni di Kota Surakarta, belum ada
yang mendaftarkan karya seni batiknya melalui karya cipta pribadi.
Masyarakat menyadari bahwa batik yang bukan merupakan hasil
motif pribadinya atau dengan kata lain motif batik sebagai pengetahuan
tradisional telah dilindungi oleh Pemerintah, bahkan batik di Indonesia telah
diakui sebagai pusaka dunia oleh United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization atau Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan
Kebudayaan PBB (UNESCO). Pengakuan ini secara tidak langsung juga
berdampak positif dalam perkembangan batik di Kota Surakarta.
2.
Pembahasan
Salah satu agenda penting dari WTO adalah Agreement on Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in
Counterfeit Goods. Kesepakatan ini akhirnya melahirkan TRIPs (Trade
Related Aspect of Intellectual Property Rights) yang bertujuan untuk
meningkatkan perlindungan di bidang HKI dari pembajakan atas suatu karya
kreatif dan inovatif seseorang/kelompok orang, baik di bidang sastra, seni,
teknologi dan karya ilmiah. Perlindungan mengandung arti pada bentuk
perlindungan hukum yang tertuang di dalam hukum hak cipta. Perlindungan
66
hukum terhadap hak cipta merupakan suatu sistem hukum yang terdiri dari
unsur-unsur sistem, dan menurut penelitian
kelima unsur tersebut telah
terpenuhi, yakni sebagai berikut:
a. Pertama, subyek perlindungan.
Subyek yang dimaksud adalah pihak pemilik atau pemegang hak cipta,
aparat penegak hukum, pejabat pendaftaran dan pelanggar hukum,
berdasarkan penelitian adalah sebagai berikut: pemilik atau pemegang hak
cipta yakni pengusaha batik itu sendiri, adanya aparat penegak hukum dari
pihak kepolisian sebagai tempat pengaduan, adanya pejabat pendaftar
yakni Ditjen HKI yang dapat melalui Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia
wilayah
propinsi
bahkan
di
lokasi
penelitian
untuk
mempermudah pendaftaran pemerintah Kota Surakarta melakukan
pendaftaran secara kolektif
b. Kedua, obyek perlindungan.
Obyek yang dimaksud adalah semua jenis hak cipta yang diatur dalam
undang-undang yakni dalam Pasal 12 ayat (1) UUHC 2002. Dalam kajian
yang diteliti penulis adalah seni batik, seni batik merupakan salah satu
obyek yang mendapatkan perlindungan hukum melalui hak cipta.
c. Ketiga, pendaftaran perlindungan.
Hak cipta yang dilindungi hanya yang sudah terdaftar dan dibuktikan pula
dengan adanya sertifikat pendaftaran, kecuali apabila undang-undang
mengatur lain. Berdasarkan penelitian ada motif-motif seni batik dapat
didaftarkan hak cipta nya.
d. Keempat, jangka waktu.
Jangka waktu adalah adanya hak cipta dilindungi oleh undang-undang hak
cipta, yakni selama hidup ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal
dunia. Dalam hal ini termasuk jangka waktu untuk obyek seni batik. Di
sisi lain seni batik yang masuk dalam pengetahuan tradisional juga
dilindungi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.
e. Kelima, tindakan hukum perlindungan.
67
Apabila terbukti terjadi pelanggaran hak cipta, maka pelanggar harus
dihukum, baik secara perdata maupun pidana. Dalam hal kasus
penjiplakan motif-motif sebenarnya ada, namun oleh pengusaha batik
dianggap sebagai hal yang wajar padahal seharusnya mendapatkan
perlindungan.
Berdasarkan pemenuhan unsur-unsur dari perlindungan hukum tersebut
sudah selayaknya apabila seni batik di Kota Surakarta ini mendapatkan
perlindungan hukum khususnya melalui hak cipta.
Obyek Hak Cipta yang dituangkan dalam UUHC 2002 dalam Pasal
12 ayat (1) UUHC 2002 yang berbunyi sebagai berikut:
alam Undang-Undang ini obyek dari hak cipta adalah ciptaan. Ciptaan yang
dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra,
yang mencakup:
m. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang
diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
n. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
o. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
p. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
q. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan
pantomim;
r. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan.
s. Arsitektur;
t. Peta
u. Seni batik;
v. Fotografi;
w. Sinematografi;
x. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari
hasil pengalihwujudan.
Berdasarkan UUHC 2002 seni batik merupakan salah satu obyek
yang bisa mendapatkan perlindungan hukum hak cipta. Perlindungan hukum
tersebut sebenarnya telah dimulai dalam UUHC 1987 hingga UUHC 2002.
Sekalipun seni batik di Indonesia telah mendapat perlindungan sejak UUHC
1987, namun hal ini tidak berarti bahwa para pencipta seni batik telah
memanfaatkan UUHC 2002 dalam upaya mendapatkan perlindungan bagi
hasil karya cipta batiknya. Di Kota Surakarta ini masih banyak pencipta seni
68
batik yang tidak mengetahui UUHC 2002, atau hanya pernah mendengar saja
yang nantinya mereka memberi definisi yang sangat sempit sekali. Hal ini
terjadi khususnya pada pengusaha batik di tingkat menengah ke bawah di
Kota Surakarta. Para Pengusaha Batik di Kota Surakarta ini kebanyakan
belum memahami betapa pentingnya hak cipta batik bagi mereka.
“Pengaturan perlindungan terhadap seni batik tradisional baru
terdapat pada UUHC 2002. Di dalam ketentuan yang baru ini, meskipun tidak
disebutkan secara tegas, namun perlindungan diberikan terhadap seni batik
yang dibuat secara tradisional. Tidak ada ketentuan bahwa seni batik itu
harus tradisional dan bukan tradisional” (Afrillyana Purba, 2005: 85-86).
Unsur yang ditekankan dalam UUHC 2002 adalah pembuatan seni batik
secara tradisional sehingga batik di sini dapat sebagai karya cipta pribadi
maupun batik sebagai pengetahuan tradisional.
Batik harus memperoleh perlindungan HKI dan khususnya melalui
Hak Cipta, karena batik merupakan hasil budaya bangsa Indonesia yang
memiliki nilai budaya dan filosofi yang sangat tinggi penemuan baru
pencipta bukan pekerjaan dalam waktu singkat, ia membutuhkan waktu lama
dan biaya besar sehingga wajar jika hasil cipta tersebut harus dilindungi
jangan sampai karya seni tradisional ini juga menjadi sasaran empuk
pembajakan, yang dapat menimbulkan suatu kerugian bagi Penciptanya,
begitu pula seni batik di Kota Surakarta.
Hasil ciptaan batik merupakan hasil setiap karya pencipta dalam
bentuk khas yang menguntungkan dari segi materil, moril dan reputasi
seseorang atau kelompok orang yang menghasilkan ciptaan berdasarkan kerja
keras melalui pengamatan, kajian dan penelitian secara terus menerus. Sudah
sewajarnya, hasil ciptaan batik harus dapat dilindungi hukum dari setiap
bentuk pelanggaran hak cipta. la sebenarnya merupakan suatu perbuatan
tidak terpuji dan tercela bahkan tidak bermoral oleh orang-orang tidak
bertanggungjawab yang melakukannya.
Prinsip perlindungan hak cipta sesuai dengan Pasal 2 UUHC 2002
yaitu menganut sistem deklaratif. Artinya, pendaftaran itu tidak menerbitkan
69
hak, tetapi hanya memberikan anggapan bahwa pihak yang Ciptaannya
terdaftar itu adalah pihak yang berhak atas Ciptaaan tersebut dan sebagai
pemilik asli dari Ciptaan terdaftar. Menurut sistem deklaratif, orang yang
pertama kali mendaftarkan ciptaan dianggap sebagai Pencipta yang
mempunyai Hak Cipta sehingga di sini perlindungan berlaku tidak didasarkan
pada prinsip pendaftaran dan persyaratan resmi yang diajukan oleh suatu
negara. Ciptaan yang diumumkan oleh penciptaanya secara otomatis
mendapatkan perlindungan hukum dari peraturan perundang-undangan di
bidang HKI melalui Hak Cipta itu sendiri, tetapi akan lebih baik apabila
ciptaan tersebut didaftrakan karena ciptaan yang didaftarkan dapat
menjadikan alat bukti secara autentik sehingga perlindungan hukum juga
dapat dirasakan secara nyata. Di Kota Surakarta hampir semua responden
dari pengusaha batik tidak mendafttarkan karya cipta seni batiknya, kecuali
yang mengikuti pendaftaran kolektif yang telah diupayakan pemerintah Kota
Surakarta.
Berdasarkan hal tersebut maka tidak salah apabila para pengusaha
batik di Kota Surakarta tidak mendaftarkan karya pribadinya ke dalam daftar
ciptaan di Ditjen HKI. Hal ini juga tidak mengurangi perlindungan hukum
yang seharusnya pengusaha batik di Kota Surakarta dapatkan karena memang
dalam pengaturan hak cipta di Indonesia tidak mengharuskan adanya suatu
pendaftaran. Perlindungan hak cipta seni batik terhadap karya pribadi
mungkin belum begitu terasa, karena di Kota Surakarta sendiri belum pernah
ada suatu perselisihan atau permasalahan yang menyangkut hak cipta batik
itu sendiri.
Bentuk perlindungan hukum sebuah karya cipta seni batik yang
diperoleh akibat dari pendaftaran hak cipta, antara lain sebagai berikut:
a. Pencipta maupun pemegang hak cipta seni batik akan mendapatkan
kepastian hukum mengenai hak cipta seni batik dalam arti mendapatkan
pengakuan hak atau ciptaannya bagi pencipta atau pemegang hak cipta
seni batik tersebut, kepastian hukum terhadap karya seni batik yang
70
didaftarakan bukan hanya menyangkut kepastian hukum terhadap karya
seni batik yang didaftarkan.
b. Memberikan kedudukan lebih kuat apabila terjadi sengketa daripada
pencipta atau pemegang hak yang tidak mendaftarakan hak ciptanya guna
mempermudah proses pembuktian apabila ada suatu permasalahan atau
sengketa. Hasil dari pendaftaran tersebut berupa sertifikat dari Ditjen
HKI. Sertifikat inilah yang nantinya dapat menyakinkan dan membantah
pihak lawan.
Apabila hak cipta tersebut didaftarkan oleh orang lain yang mendapatkan
pengalihan hak dari pencipta aslinya maka orang tersebut hanya memperoleh
hak ekonominya saja, sedangkan hak moral untuk diakui sebagai pencipta
asli tetap dipegang oleh pencipta aslinya walaupun tanpa adanya pendaftaran
hak cipta ke Ditjen HKI.
Ketentuan UUHC 2002 juga mengatur mengenai Hak Cipta atas
ciptaan yang penciptanya tidak diketahui, hal tersebut tercantum dalam Pasal
10 ayat 2. Penjelasan Pasal 10 ayat 2 UUHC 2002 ini menyatakan bahwa
dalam rangka melindungi folklore dan hasil kebudayaan rakyat lain,
Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta
tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin negara
Republik Indonesia sebagai pemegang hak cipta. Ketentuan ini dimaksudkan
untuk menghindari
tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai
kebudayaan tersebut.
Batik sebagai pengetahuan tradisional secara tidak langsung semakin
diakui seiring dengan pengakuan batik sebagai pusaka dunia oleh United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization atau Organisasi
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB atau yang lebih kita
kenal dengan UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009 kemarin. Pengakuan
UNESCO itu diberikan terutama karena penilaian terhadap keragaman motif
batik yang penuh makna filosofi mendalam. Di samping itu pemerintah dan
rakyat Indonesia juga dinilai telah melakukan berbagai langkah nyata untuk
lindungi dan melestarikan warisan budaya itu secara turun menurun
71
(http://www.detiknews.com/read/2009/09/07/181258/1198580/10/unescoakui-batik-milik-indonesia> [25 Maret 2010 pukul 19.30]). Secara tidak
langsung hal ini hampir sama dengan bahwa batik sebagai pengetahuan
tradisional telah diakui dunia, pengakuan UNESCO ini dapat dijadikan bukti
apabila nantinya ada pengklaiman batik oleh negara lain.
Pertimbangan dalam memberikan kebebasan menggunakan hak
ciptanya kepada pencipta atau pemegang hak cipta, undang-undang
menentukan pula adanya pembatasan terhadap penggunaan hak cipta itu.
Pembatasan ini dimaksudkan agar para pencipta dalam kegiatan kreatif dan
inovatifnya tidak melanggar norma-norrna atau asas kepatutan yang berlaku
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan dapat mewujudkan
keadilan dalam bermasyarakat. Untuk memperoleh keuntungan ekonomis
bagi para pencipta atau pemegang hak cipta guna dapat dinikmati oleh
masyarakat luas itu merupakan suatu kebebasan sehingga dibutuhkan suatu
pembatasan penggunaan hak cipta dapat dibagi dalam tiga hal yakni tidak
boleh melanggar kesusilaan dan ketertiban umum, tidak boleh melanggar
fungsi sosial hak cipta, dan pembatasan dalam hal pemberian lisensi yang
wajib.
Hakikatnya hak cipta batik ini sebenarnya memberikan perlindungan
bagi si pencipta untuk menikmati secara materiil jernih payahnya dari karya
cipta tersebut. Benda hasil karya cipta dianggap sebagai benda bergerak yang
dapat diperjualbelikan, diwariskan, dan dihibahkan. Batik yang termasuk
sebagai pengetahuan tradisional mendapatkan perlindungan agar karya cipta
seni batik milik Indonesia yang menjadi warisan budaya bangsa ini tidak
dimiliki/ditiru oleh negara lain. Seandainya negara lain ada yang ingin
meniru maka harus membayar royalti kepada pemerintah Negara Indonesia
yang nantinya dapat menjadi salah satu sumber devisa negara. Perlindungan
hukum hak cipta batik sebagai pengetahuan tradisional para pengusaha batik
di Kota Surakarta sudah mengetahuinya.
Bentuk perlindungan hukum melalui UUHC 2002 ini sendiri terdiri
dari dua bentuk, yakni perlindungan hukum preventif dan refresif.
72
a. Perlindungan hukum preventif adalah upaya-upaya pencegahan secara
hukum agar tidak terjadi pelanggaran hukum hak cipta atas batik,
sedangkan perlindungan hukum diartikan suatu tindakan hukum yang
dapat dilakukan untuk melindungi hak cipta atas batik yang sedang dan
atau telah dilanggar. Dalam hal perlindungan hukum preventif hak cipta
atas karya batik sebenarnya ada dua cara yang dapat dilakukan, yakni:
1). Melalui pendaftaran karya batik ke Direktorat Jenderal HKI di
Jakarta. Pendaftaran hak cipta disini yang akan diakhiri dengan
pemberian sertifikat hak cipta merupakan suatu alat pembuktian bila
ada sengketa hak cipta dikemudian hari. Di sinilah fungsi pendaftaran
hak cipta sebagai upaya perlindungan hukum preventif.
2). Lisensi merupakan instrumen kedua dalam memberikan perlindungan
hukum preventif hak cipta atas karya batik. Lisensi sendiri
mengandung arti izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau
pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan
dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkait lainnya
dengan persyaratan tertentu. Dengan memberikan lisensi ini maka
sangat jelas pemegang hak cipta tidak dirugikan.
b. Perlindungan hukum refresif hak cipta atas batik menurut UUHC 2002 ada
dua cara, yakni dengan gugatan atau tuntutan hukum. Gugatan disini
adalah gugatan dalam proses Perdata termasuk didalamnya Alternatif
Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase, sedangkan gugatan merupakan
tuntutan hukum dalam proses Pidana.
1). Dimuatnya hak-hak pencipta atau pemegang hak cipta untuk
mengajukan gugatan perdata ke pengadilan niaga dan apa yang dapat
dimintakan dalam gugatan (petitum) merupakan wujud perlindungan
hukum bagi pencipta atau pemegang hak cipta pada umumnya dan
khususnya terhadap hak cipta atas batik dari pelanggaran-pelanggaran
yang bersifat perdata terhadap hak cipta. Meskipun tanpa pengaturan
secara khusus, gugatan semacam itu dapat diajukan ke pengadilan
negeri dengan menggunakan Pasal 1365 KUHPer. Namun karena kini
73
telah ditentukan secara khusus maka sengketa perdata mengenai hak
cipta berdasarkan hukum hak cipta menjadi kewenangan pengadilan
niaga semata.
2). Dalam UUHC 2002 dimuat pula hukum pidana, baik hukum pidana
materiil maupun hukum pidana formil. Ada dua Pasal hukum pidana
materiil dan satu Pasal hukum pidana formil. Tindak Pidana hak cipta
ditempatkan dalam Pasal 72 yang terdiri atas sembilan rumusan yang
dimuat pada masing-masing ayat. Sementara itu, Pasal 73 memuat
tentang sistem penjatuhan pidana khususnya perampasan barang.
Tindak Pidana hak cipta dibentuk untuk melindungi kepentingan
hukum pencipta atas inspirasinya yang melahirkan hak cipta dari
perbuatan-perbuatan orang lain yang menyerang kepentingan hukum
yang timbul dari hak cipta. Khususnya melindungi kepentingan
hukum dalam hal kepemilikan dan menggunakan hak cipta oleh
pencipta atau pemegang hak cipta. Sementara hukum pidana formil
hanya ada satu Pasal, yakni Pasal 71 tentang Penyidikan.
Pada UUHC yang lama, suatu pelanggran hak cipta dikategorikan
sebagai “delik biasa” yang berarti bahwa penanganan terhadap pelanggaran
hak cipta dapat dilakukan oleh penyidik atau aparat penegak hukum tanpa
harus menunggu adanya pengaduan dari masyarakat atau pencipta/ pemegang
hak cipta. Berdasarkan sistem “delik biasa”, suatu kasus pelanggaran hak
cipta dapat segera ditangani oleh penyidik/aparat penegak hukum sehingga
kerugian yang timbul dapat dicegah seminimal mungkin. Namun demikian
dalam perkembangan selanjutnya, kategori delik pada UUHC yang baru
mengalami perubahan sehingga berdasarkan ketentuan UUHC 2002,
pelanggaran suatu hak cipta dikategorikan sebagai “delik aduan”
(Afrillayanna Purba, 2005: 88).
Delik aduan artinya, penyelidikan dan penyidikan oleh pihak
kepolisian bersama instansi terkait atau tuntutan sanksi pidana dapat
dilakukan oleh penuntut umum atas dasar pengaduan dari plhak-pihak yang
dirugikan, baik para pencipta, pemegang izin, warga masyarakat sebagai
konsumen ataupun negara sebagai penenima pajak. Delik aduan ini adalah
dalam bentuk delik aduan mutlak, yakni peristiwa pidana yang hanya dapat
dituntut bila ada pengaduan. Perubahan ini sebagai upaya pemerintah
74
mengajak masyarakat untuk menghargai dan menghormati HKI mengingat
masalah pelanggaran hak cipta telah menjadi bisnis ilegal yang merugikan
para pencipta dan pemasukan pajak/devisa negara di samping masyarakat
internasional menuding Indonesia sebagai “surga” bagi para pembajak.
Dalam UUHC 2002 pelaku pelanggaran hak cipta dapat dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah). Sebenarnya ketentuan pidana yang ditetapkan dalam
UUHC 2002 cukup sesuai apabila diterapkan pada para pelaku pelanggaran
hak cipta, khususnya pada karya seni batik. Adapun yang dapat dikategorikan
sebagai pelanggaran hak cipta snei batik adalah tindakan peniruan atau
penjiplakan motif. Apabila terjadi kasus pelanggaran hak cipta seni batik,
maka gugatan dapat diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga (afrillyanna
Purba, 2005: 98).
Permasalahan atau sengketa Hak Cipta mengenai seni batik ini jarang
sekali terjadi kasus pelanggaran hak cipta pada seni batik tradisional, bahkan
di lokasi penelitian tidak ada sengketa mengenai batik pelanggaran hak cipta
itu sendiri. Hal tersebut sebenarnya dikarenakan pemahaman hak cipta yang
masih rendah sehingga tindakan peniruan atau penjiplakan motif tidak
dianggap sebagai suatu tindak pidana melainkan dianggap sebagai suatu hal
yang biasa dan bukan merupakan pelanggaran. Mereka hanya berfikir bahwa
masyarakat dapat menilai melalui kualitas yang dicipta.
Perlindungan hal ini tentunya merupakan perlindungan hukum yang
diberikan terhadap batik sebagai karya cipta pribadi sedangkan perlindungan
hukum terhadap batik sebagai pengetahuan tradisional adalah agar warisan
budaya kita tidak dapat diklaim oleh negara lain, selain itu juga untuk
mendokumentasikan
warisan
budaya
tersebut
agar
memudahkan
pengidentifikasian komunitas mana yang berhak mengakuinya untuk
menghindari sengketa penguasaan atau pemilikan yang mungkin timbul di
antara individu atau kelompok masyarakat tertentu. Lebih jauh, bahwa
perlindungan hak cipta pada umumnya dan batik pada khususnya tersebut
tujuannya tidak lain adalah untuk kepentingan ekonomis yaitu kesejahteraan
75
masyarakat secara pribadi maupun kesejahteraan ekonomi Bangsa Indonesia
itu sendiri.
Jangka waktu yang diberikan oleh UUHC 2002 antara obyek yang
satu dengan yang lain memiliki jangka waktu perlindungan yang berbeda.
Perlindungan hak cipta batik ini diatur dalam Pasal 29 ayat 2 UUHC 2002
mengenai
batasan-batasan
jangka
waktu
perlindungannya.
Adapun
perlindungan tersebut selama hidup pencipta ditambah dengan 50 (lima
puluh) tahun setelah penciptanya meninggal dunia. Jangka waktu yang cukup
panjang ini dapat dikatakan telah memadai. Dianggap bahwa dalam jangka
waktu selama itu para pencipta/pembatik atau yang memegang hak ciptaan
tersebut telah dapat menikmati karya ciptaannya yakni dengan menikmati
manfaatnya secara ekonomi terhadap karya ciptaanya.
Jangka waktu perlindungan tersebut diberikan bagi seni batik yang
merupakan sebagai karya cipta pribadi sedangkan bagi seni batik sebagai
pengetahuan tradisional, misalnya motif-motif tradisional seperti Sido Mukti,
Truntum dan motif tradisional yang lain tidak memiliki jangka waktu
perlindungan. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa batik-batik tradisional
seperti itu diciptakan dan dihasilkan secara turun temurun oleh masyarakat
Indonesia sehingga diperkirakan perhitungan jangka waktu perlindungan atau
dapat dikatakan jangka waktu perlindungan untuk batik tersebut adalah tanpa
batas. Hal ini berarti bahwa negara menjadi wakil bagi seluruh masyarakat
Indonesia dalam menguasai kekayaan tradisional yang ada sehingga setiap
masyarakat Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk menciptakan
ataupun memanfaatkan secara bebas motif batik sebagai pengetahuan
tradisional tersebut.
Selama jangka waktu yang diberikan tersebut, para pencipta atau pun
yang memegang hak cipta atas seni batik ini dapat menikmati hak eksklusif.
Hak eksklusif tersebut menurut penjelasan UUHC 2002 adalah hak sematamata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang
boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Tentunya
penggunaan hak eksklusif tersebut digunakan secara wajar.
76
Perlindungan Hukum Hak Cipta terhadap batik di Kota Surakarta ini
dapat dikatakan belum maksimal. Hal ini dapat terlihat dari beberapa hal:
yang pertama, dimana para pengusaha batik sebenarnya telah mengetahui
bahwa batik telah dilindungi melalui pengetahuan tradisional, walaupun para
responden belum memahami konsep pengetahuan tradisional ini mereka
paling tidak mengerti bahwa batik ini merupakan warisan dari generasi ke
generasi yang harusnya di lindungi. Kedua, para pengusaha batik belum
mendaftarkan karya cipta pribadinya. Berdasarkan pendaftaran kolektif yang
dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta sendiri pun dapat dikatakan masih
belum maksimal. Dikatakan belum maksimal karena dari sekitar 415 motif
yang didatarkan secara kolektif dalam 2 tahap tersebut sebagaian besar motif
dari satu perusahaan batik, sehingga pendaftaran yang dilakukan kolektif
tersebut belum dapat dikatakan mewakili pendaftaran dari beberapa
pengusaha batik di Kota Surakarta.
Selama ini menunjukkan bahwa pada umumnya pengusaha batik
kurang mengetahui benar tentang HKI. Budaya timur berbeda dengan budaya
barat yang lebih individualis, yang sangat membutuhkan suatu perlindungan
terhadap karya seninya. Harusnya masyarakat Indonesia juga sadar betapa
pentingnya perlindungan karya seni yang diciptakannya mengingat segala
penciptaannya juga tidak mudah.
C. Kendala-kendala dalam Pelaksanaan Perlindungan Hukum Hak Cipta
Seni Batik di Kota Surakarta
1. Hasil Penelitian
Berdasar observasi penulis dalam penelitian yang dilakukan di Kota
Surakarta mengenai perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota
Surakarta dapat diketahui kendala-kendala yang timbul dalam penegakan
perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik di Kota Surakarta. Hasil
wawancara dengan beberapa pengusaha batik yang merupakan salah satu
77
subyek dalam hak cipta yang seharusnya mendapatkan perlindungan terhadap
hak cipta batik ini sebagian besar masih belum memahami pentingnya hak
cipta bagi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan oleh beberapa hal yang menjadi
alasan bagi mereka. Masalah prosedur yang mereka rasakan apabila para
pengusaha batik ini melakukan pendaftaran hak cipta terhadap seni batik yang
mereka miliki sendiri, padahal menurut Pemerintah Kota Surakarta melalui
Dinas
Perindustrian
dan
Perdagangan
“tidak
kurang-kurang
untuk
memberikan sosialisasi mengenai pendaftaran hak cipta seni batik ini ” (Hasil
wawancara dengan Sri Wahyuni, Kepala Bidang Perindustrian, Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta, Senin 9 Maret 01.00).
Beberapa kendala yang terjadi di Kota Surakarta ini sebenarnya juga
karena Pengaturan UUHC 2002 itu sendiri yakni menyangkut prinsip
deklaratifnya, yang tidak mewajibkan pendaftaran hak cipta. Hak cipta
dilindungi secara otomatis setelah pengumuman dilakukan pertama kali. Hal
ini juga memungkinkan munculnya perasaan yang enggan bagi pencipta
ataupun pemegang hak cipta untuk mendaftarkan karya ciptanya terutama
karya cipta seni batik di Kota Surakarta ini. Kendala yang timbul dalam
pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik di Kota
Surakarta tersebut merupakan kendala dalam hal batik sebagai karya cipta
pribadi terutama mengenai masalah pendaftarannya, yang seharusnya menjadi
hak para pengusaha batik namun justru tidak dimanfaatkan secara maksimal.
Berdasarkan hasil wawancara dari pengusaha batik yang memiliki
motif batik pribadi menurutnya: “Saya belum mendaftarkan motif batik saya
melalui hak cipta, karena pendaftaran hak cipta tersebut memakan waktu yang
lama dan biaya yang mahal, menurut manajemen keuangan mendingan
uangnya untuk menambah modal daripada mendaftarkan hak cipta yang
nantinya juga belum tentu mendapatkan sertifikasi” (Hasil Wawancara dengan
Gunawan Setiawan, Ketua Forum Pengembang Kampoeng Wisata Batik
Kaoeman, 4 Maret 2010 10.00). Hal ini juga disebutkan oleh Adi, dari Batik
Yunani pada 4 Februari 2010 pada pukul 10.00: “Belum mendaftarkan, karena
78
belum konsen ke pendaftaran hak cipta, karena saya masih mengandalkan sisi
provit terlebih dahulu dan pendaftaran hak cipta biayanya mahal”.
Beberapa hal tersebut merupakan kendala dalam pelaksanaan
perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta. Kendala tersebut
dapat diidentifikasi sebagai faktor internal dan eksternal. Faktor eksternalnya
adalah pemahaman pengusaha batik yang lemah terhadap subtansi UUHC
2002 misalnya mengenai tarif pendaftaran,
sehingga mereka
tidak
mendaftarkan karya cipta seni batik nya dan juga ditemukannya sikap masa
bodoh para pengusaha batik apabila ada suatu penjiplakan, Sedangkan faktor
internalnya adalah dari pengaturan UUHC 2002 itu sendiri. Perlindungan
hukum batik sebagai penegetahuan tradisional tidak ada kendala, apalagi dapat
kita ketahui bahwa batik kini telah ada pengakuan batik, bahwa batik sebagai
pusaka dunia.
2. Pembahasan
Pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik
memiliki manfaat yang besar bagi penciptanya. Walaupun memang tidak ada
suatu kewajiban untuk mendaftarkan ciptaannya namun alangkah baiknya jika
dilakukan suatu pendaftaran hak cipta atas seni batik agar memperoleh
perlindungan hukum yang pasti. Seperti kita contohkan jika terjadi suatu
sengketa, apabila telah didaftarkan maka pembuktian akan lebih mudah karena
pencipta dapat memberikan bukti otentik berupa tanda hak cipta itu sendiri.
Pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik di Kota
Surakarta khususnya, tidaklah mudah apalagi dalam bidang pendaftaran batik
sebagai karya cipta pribadi. Banyak sekali kendala-kendala yang dihadapi
dalam penegakan ini. Kendala-kendala tersebut dapat diidentifikasi dan atau
dilihat dari faktor internal maupun eksternal. Adapun faktor tersebut dapat
penulis jelaskan sebagai berikut:
a. Faktor Internal
79
Faktor internal adalah kendala-kendala yang muncul dari pihak
pengusaha batik di Kota Surakarta sendiri, adapun kendala-kendala
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Pemahaman yang lemah pengusaha batik di Kota Surakarta terhadap
substansi UUHC 2002
2) Adanya sikap masa bodoh atau membiarkan atas penjiplakan/peniruan
motif yang dimiliki para pengusaha batik itu sendiri dan sikap sosial
kebudayaan masyarakat di Kota Surakarta
Di antara pengusaha batik di Kota Surakarta
mempermasalahkan
pendaftaran
hak cipta
ataupun
itu tidak
upaya
untuk
melakukan tindakan sehubungan dengan penjiplakan dan peniruan motif
batik di antara mereka. Kasus peniruan atau penjiplakan motif yang terjadi
di kalangan pembatik dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan tidak perlu
dibesar-besarkan. Dapat kita lihat dalam penjualan-penjualan batik dalam
waktu tertentu motif yang dikeluarkan biasanya hampir mirip karena
merupakan trend pada saat itu. Hal ini terjadi karena masyarakat yang
kurang memahami hak cipta khususnya dan HKI umumnya.
Pandangan masyarakat pada umumnya dan masyarakat Kota
Surakarta pada khususnya yang senang apabila adanya suatu penjiplakan
motif batiknya, karena adanya pemikiran bahwa motif saya diminati
banyak orang itu yang pertama. Selanjutnya pemikiran pendek masyarakat
yakni yang penting mereka mendapatkan keuntungan/laba dari penjualan
ciptaannya tanpa memikirkan sisi yang lain, karena memang pembuatan
atau produksi dalam masa sekarang ini di Kota Surakarta saat ini
digunakan sebagai perdagangan untuk menyokong pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari pengusaha batik di Kota Surakarta ini dengan kata lain
sebagai mata pencahariannya.
Adanya kebiasaan yang berlaku umum di kalangan pembatik
(khususnya di kalangan pembatik pada tingkat menengah ke bawah) untuk
saling meniru atau menjiplak motif di antara sesama pengusaha batik
karena mereka selalu mengutaman motif-motif yang lagi trend di pasaran.
80
Sistem kebudayaan pun turut mendukung belum dimanfaatkannya UUHC
2002, dimana ciri khas sikap masyarakat Indonesia sikap toleransi dan
kebiasaan gotong-royong yang terdapat pada masyarakat, sehingga apabila
suatu motif yang telah dibuat kemudian ditiruan dijiplak oleh pihak lain,
maka pencipta motif tersebut justru akan merasa senang karena dapat
membantu orang lain. Budaya ini sangat terkait dengan salah satu faktor
yang mempengaruhi penegakan hukum yakni “masalah paradigma (cara
pandang) masyarakat terhadap kejahatan hak cipta itu sendiri” (Otto
Hasibuan, 2008: 257).
Hal ini memang menjadi alasan tersendiri di Indonesia, karena di
negara Indonesia khususnya Kota Surakarta yang masih memegang
tatanan budaya ini masih senang hidup secara bersama-sama ataupun
budaya gotong royong yang masih kental sekali. Hal ini berbeda dengan
kebudayaan negara lain Negara Barat terutama, yang lebih individualis
sehingga eksistensi hak cipta di negara sana memang benar-benar
dibutuhkan bagi pencipta. Walaupun seperti itu tidak dapat menyimpulkan
bahwa hak cipta itu tidak penting disini, karena ada juga batik-batik di
Kota Surakarta ini yang didaftarkan melalui Hak Cipta.
Adanya pengakuan beberapa masyarakat yang menganggap
mahalnya pendaftaran hak cipta, menurut penulis sebenarnya ini tidak
tepat. Menurut tarif pendaftaran hak cipta yang telah ditetapkan, tidaklah
mahal
apabila
dibandingkan
dengan
bentuk
perlindungan
yang
pencipta/pemegang hak cipta dapatkan. Menurut analisa penulis
kemahalan pendaftaran tersebut bukan terletak pada tarif pendaftaran
namun karena transportasi dan akomodasi yang mahal karena pendaftaran
dilakukan di Ditjen HKI Jakarta atau di Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia propinsi yang dirasa jauh dari Kota Surakarta sehingga
menambah beban dari pendaftaran.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang menjadi kendala berasal
dari luar pengusaha batik di Kota Surakarta itu sendiri. Adapun faktor
81
eksternal yang paling nampak adalah mengenai pengaturan UUHC 2002
ini sendiri yakni mengenai sifat deklaratif yang digunakan, dan juga
mengenai prosedur-prosedur menganai pendaftaran hak cipta.
Apabila kita lihat dari sisi UUHC 2002 sendiri, dengan sistem
pendaftaran yang bersifat deklaratif juga menjadi faktor pendukung para
pencipta seni batik tidak mendaftarkan hasil karya cipta batiknya. Hak
cipta timbul secara otomatis setelah ide pencipta dituangkan dalam suatu
karya cipta yang berwujud. Ini berarti bahwa suatu ciptaan, baik yang
terdaftar maupun tidak terdaftar, akan tetap dilindungi oleh UUHC 2002.
Pendaftaran tidak merupakan bukti pemilikan suatu Hak Cipta.
Pendaftaran Hak Cipta akan bermanfaat untuk membuktikan kebenaran
pihak yang dianggap sebagai pencipta yang sebenarnya apabila terjadi
sengketa kasus di pengadilan. Padahal dalam hal ini belum tentu ada suatu
sengketa.
Di samping itu, belum tersedia secara memadai sarana dan pra
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum hak cipta
terhadap seni batik di wilayah Kota Surakarta ini sendiri. Mengingat
pengusaha batik yang ada di Kota Surakarta ini sebagian besar pengusaha
kecil, sedangkan pendaftaran dilakukan di Ditjen HKI di Jakarta atau di
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia wilayah Propinsi Jawa
Tengah (Semarang) maka keadaan ini menjadi kendala juga bagi
pengusaha batik yang secara ekonomi berakibat menambah beban biaya
dalam pendaftarannya. Semuanya berkaitan erat dengan manajemen dari
perusahaan batik tersebut, karena batik di Kota Surakarta sekarang tidak
hanya digunakan untuk kepentingan tertentu melainkan untuk mencari
keuntungan dari perdagangan batik itu sendiri. Singkatnya
dapat
dikatakan bahwa sarana dan fasilitas pendaftaran hak cipta yang ada masih
kurang.
Atas dasar kondisi pelaksanaan hukum hak cipta di Kota Surakarta
yang memiliki kendala yang cukup kompleks baik menurut faktor secara
internal maupun eksternal, harusnya ada suatu langkah untuk memperkuat
82
budaya hukum pengusaha batik di Kota Surakarta agar UUHC 2002 dapat
dilaksanakan pelaksanaan hukum yang lebih efektif. Baik langkah untuk
menghadapi faktor internal maupun eksternal tersebut. Adapun langkahlangkah yang dapat dicapai menurut pemikiran penulis untuk mengatasi
hambatan tersebut secara umum adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengatasi hambatan dalam faktor internal, dapat:
1). Memberikan sosialisasi kepada para pengusaha Batik di Kota Surakarta
untuk meningkatkan kesadaran hukum dan arti pentingnya hak cipta
yang menjadi hak mereka yang selama ini tidak mereka rasakan, yakni
dengan cara menjabarkan yang lebih tegas dan luas mengenai HKI pada
umumnya dan hak cipta pada khususnya sehingga dapat memacu tekad
pengusaha batik di Kota Surakarta untuk mempercayai perangkat
hukum di Indonesia sehingga para kalangan pengusaha batik
berkeinginan untuk mendaftarkan karya cipta seni batiknya melalui hak
cipta.
2). Memberdayakan
pengusaha
batik
untuk
menunjang/mendukung
kebeberadaan dalam pelaksanaan UUHC 2002, kondisi ini dapat dipacu
dengan adanya bentuk penyadaran-penyadaran mengenai arti penting
pendaftaran hak cipta terhadap karya seni batiknya, dalam arti
mengenai perlindungan hukum yang didapatkannya serta keuntungan
atas pendaftaran hak ciptanya dan memberikan pengertian-pengertian
apabila tidak didaftarkannya karya cipta seni batiknya. Apabila para
pengusaha batik menyadari hal ini, maka dapat memacu pengusaha
batik untuk mendukung keberadaan dari UUHC 2002 ini sendiri.
Memberdayagunakan pengusaha batik ini dapat melibatkan Pemerintah
Kota dan Perguruan Tinggi yang ada agar lebih maksimal.
b. Untuk mengatasi hambatan dalam faktor eksternal, dapat:
Melakukan pembenahan-pembenahan di dalam pengaturan UUHC itu
sendiri, baik mengenai sifatnya maupun prosedur-prosedurnya, yang dapat
dilakukan dengan cara penyederhanaan birokrasi pendaftaran dengan
membuka kantor perwakilan di setiap kota dan instutisi peradilan niaga di
83
setiap pemerintah kota. Melalui hal ini, kemungkinan besar para
pengusaha batik dapat memperhitungkan kembali sisi keuntungan dan
kerugian antara biaya pendaftaran dan perlindungan yang mereka
dapatkan, yang nantinya dapat menjadi pemicu para pengusaha batik di
Kota Surakarta mendaftarkan karya cipta batiknya.
Apabila tercapai langkah-langkah ini, dimungkinkan kendala yang
terjadi baik kendala berupa faktor eksternal maupun kendala internal dapat
diminimkan dan nantinya dapat memaksimalkan pelaksanaan perlindungan
hukum di Kota Surakarta khususnya di bidang perlindungan hukum hak cipta.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis paparkan
pada bab sebelumnya yang mengacu pada rumusan masalah, maka penulis
menyimpulkan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik di Kota
Surakarta belum maksimal. Hal ini dikaitkan dengan beberapa pandangan para
pelaku usaha di bidang batik bahwa seni batik sebagai pengetahuan tradisional
mendapatkan perlindungan hak cipta yang dipegang oleh pemerintah, namun
di sisi lain ternyata batik sebagai karya cipta pribadi di Kota Surakarta ini
belum ada yang didaftarkan karena beberapa faktor. Pemerintah Kota
Surakarta melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan beserta segala pihak
yang terkait sebenarnya telah mengupayakan pendaftaran Hak Cipta Seni
Batik secara kolektif agar mendapatkan suatu perlindungan yang autentik atas
karya seni batik tersebut, dan itupun hanya mendapatkan 10 sertifikasi atas
nama Pemerintah Kota Surakarta. Sebenarnya perlindungan hukum hak cipta
84
seni batik ini didapatkan langsung pada saat diumumkan pertama kali, namun
demikian pendaftaran ini penting yang nantinya dijadikan sebagai pembuktian
autentik atas karya seni batik tersebut.
2. Kendala dalam pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik
di Surakarta adalah: pertama, faktor Internal adalah faktor-faktor yang muncul
dari pihak pengusaha batik di Kota Surakarta sendiri, adapun faktor-faktor
tersebut adalah pemahaman yang lemah pengusaha batik di Kota Surakarta
terhadap substansi UUHC 2002 dan adanya sikap masa bodoh atau
membiarkan atas penjiplakan/peniruan motif yang dimiliki para pengusaha
batik itu sendiri dan sikap sosial kebudayaan masyarakat di Kota Surakarta.
Kemudian faktor kedua, faktor eksternal adalah faktor-faktor yang menjadi
kendala berasal dari luar pengusaha batik di Kota Surakarta itu sendiri.
Adapun faktor eksternal yang paling nampak adalah mengenai pengaturan
UUHC 2002 ini sendiri yakni mengenai sifat deklaratif yang digunakan, dan
juga mengenai prosedur-prosedur menganai pendaftaran hak cipta.
B. Saran
Pada bagian terakhir ini, beberapa saran dengan harapan saran ini dapat
menjadi bahan pertimbangan bagi pihak yang terkait. Adapun saran tersebut
antara lain :
1. Dirjen HKI perlu lebih mendayagunakan tugas dan wewenangnya dengan cara
membuka kantor pelayanan di setiap perwakilan kota, untuk memudahkan
pendaftaran karena pendaftaran di Ibu Kota ataupun Ibu Kota Propinsi dirasa
masih terlalu jauh dan membutuhkan biaya yang lebih besar. Apabila tidak
dilakukan pembukaan kantor perwakilan maka para pengusaha batik masih
tetap enggan untuk mendaftarkan karya cipta batiknya, dikarenakan tempat
pendaftaran yang jauh sehingga membutuhkan biaya akomodasi yang relatif
tinggi dan hal tersebut menyebabkan beban pendaftaran yang semakin tinggi
pula.
85
2. Pemerintah Kota Surakarta perlu melakukan upaya dalam pengembangan
batik di Kota Surakarta ini melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota
Surakarta agar batik di Kota Surakarta semakin berkembang. Hal ini terkait
dengan pengakuan batik sebagai pusaka dunia oleh UNESCO. Apabila tidak
dilakukan upaya tersebut, maka batik di Indonesia pada umumnya dan batik di
Kota Surakarta pada khususnya ini dikhawatirkan akan semakin mengalami
kemunduran, dan bisa saja pengakuan tersebut dapat dicabut. Selain itu, dapat
pula melakukan sosialisasi mengenai pentingnya HKI pada umumnya dan hak
cipta pada khususnya, menjelaskan mengenai keuntungan pendaftaran, dari
hal ini dapat memacu para pengusaha batik untuk mendaftarkan ciptaannya ke
dalam perlindungan hukum hak cipta dan juga melakukan upaya pendaftaran
Hak Cipta secara kolektif seperti beberapa waktu yang lalu secara rutin, agar
batik terus berkembang dan perlindungan hukum hak cipta semakin dapat
dirasakan oleh segala pihak yang berhubungan dengan perbatikan.
3. Pengrajin Batik perlu mengubah pola pemikiran yang kurang tepat mengenai
hak cipta itu sendiri, sehingga para pengusaha batik merasakan betapa
pentingnya perlindungan hukum hak cipta terhadap karya cipta yang telah
diciptakannya dan akhirnya mendaftarkan karya cipta batiknya melalui hak
cipta. Pengusaha batik juga dapat merasakan arti pentingnya perlindungan
hukum hak cipta yang mereka dapatkan dengan cara mendaftarkan ciptaannya
sebagai upaya pencegahan adanya pelanggaran-pelanggaran hukum mengenai
hak cipta batik khususnya, karena dengan pendaftaran tersebut dapat dijadikan
sebagai bukti autentik bila nantinya terjadi suatu permasalahan. Jika pola
pemikiran para pengusaha batik tetap seperti ini maka tidak akan ada
kemajuan yang berarti dalam perlindungan hukum yang seharusnya mereka
terima.
4. Masyarakat perlu melestarikan karya cipta batik, terutama batik sebagai
pengetahuan tradisional yang dimiliki warga negara Indonesia agar tidak
diakui oleh negara lain dan masyarakat sebagai konsumen hendaknya
membeli/menggunakan karya cipta batik yang asli agar dapat mengurangi
kejahatan
berupa
penjiplakkan
atau
peniruan
motif
batik,
adanya
86
pemberdayaan masyarakat di bidang Hak Kekayaan intelektual yang
melibatkan Pemerintah Kota Surakarta dan Perguruan Tinggi agar masyarakat
Indonesia pada umumnya dan masyarakat Kota Surakarta pada khususnya
dapat menghargai karya cipta orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad. 2007. Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan
Intelektual. Bandung: PT. Citra Aditya.
Afrillyanna Purba. 2005. TRIPs-WTO & Hukum HKI Indonesia Kajian
Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta.
Agus Sardjono. 2006. Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional.
Bandung: Alumni.
Anonim. 2006. Kitab Undang-Undang HKI (Hak Kekayaan Intelektul). Bandung:
Fokus Media.
______.
Batik Tulis Surakarta Terancam Punah. http://www.batik
laksmi.com/artikel%20batik%2032.htm>. [20 Februari 2010 pukul
16.00].
______. Kampung Batik kauman. http://solobatik.athost.net/batik_kauman.php>
[20 Maret 2010 pukul 10.30].
______. Kampung Batik Laweyan. http://solobatik.athost.net/sejarah.php> [20
Maret 2010 pukul 10.30].
______. Sejarah Batik Indonesia. http://www.batikmarkets.com/batik.php> [3
Oktober 2009 pukul 17.00].
______. Produk Unggulan Kota Surakarta. http://www.umkmSurakartaraya.
com/node/993> [20 Februari 2010 pukul 16.00].
87
______. http://regionalinvestment.com/sipid/id/displayprofil.php?ia=3372#> [20
Maret 2010 pukul 10.30].
______. http://id.wikipedia.org/wiki/Batik> [20 Februari 2010 pukul 16.00].
Arif Syamsudin. 2008. “Antara Pelestarian dan Perlindungan Ekspresi Budaya
Tradisional/Pengetahuan Tradisional dan Perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual”. Media HKI, Vol. V No. 4.
A. Zen Umar Purba. 2002. “Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia”.
Makalah Disampaikan pada acara Orientasi Kepailitan bagi para Hakim
Agung, diselenggarakan oleh Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Jakarta 29
Januari 2002.
Budi Agus Riswandi. 2009. Hak Cipta Di Internet Aspek Hukum Dan
Permasalahannya Di Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press.
85
Dharsono. 2009. “Batik Karya agung Bangsa Indonesia”. Makalah. Disampaikan
pada Seminar Nasional Solo Membatik Dunia, pada tanggal 31 Oktober
2009 di Solo.
Dewi Sulistianingsih. 2008. “Arti Penting HKI Bagi Kehidupan Manusia”.
Pancadecta, Vol 2 No. 1.
HB. Sutopo. 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif Dasar-dasar Teoritis dan
Praktis. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
______. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif : Dalam Teori Terapannya dalam
Penelitian. Surakarta : Sebelas Maret University Press.
Hendarman Supandji. “Penegakkan Hukum dan Upaya Membangun Kepercayaan
Masyarakat pada sistem Hukum Nasional”. Makalah disampaikan pada
Seminar dan Temu Hukum Nasional IX dengan tema Membangun
Hukum Nasional yang Demokrasi dalam Tatanan Masyarakat yang
Berbudaya dan Cerdas Hukum, pada tanggal 20-22 November 2008 di
Hotel Haytt Regensi Yogyakarta.
Heru
Susetyo.
Penegakan
Hukum
yang
Menciptakan
Keadilan.
http://herususetyo.multiply.com/journal/item/9> [25 Maret 2010 pukul
19.15].
Luhur Hertanto. UNESCO Akui Batik Milik Indonesia.(http://www.detiknews.
com/read/2009/09/07/181258/1198580/10/unesco-akui-batik-milikindonesia> [25 Maret 2010 pukul 19.30]).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
88
Kuswilono. 2009. Kurikulum Muatan Lokal Batik, Mengapa Tidak?. Pesta Buku
Solo 2009 Buku Untuk Semua, semua Butuh Buku. Surakarta: Ikatan
Penerbit Indonesia Jawa Tengah.
Matthew Dames. “Intellectual Property Why Copyright Isn’t Property”.
Information Today. February 2009.
______. .”Intellectual Property Citizens Now Are Copyright Stakeholders”.
Information Today. February 2010.
Moch Najib Imanullah dkk. 2005. “Problematika Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
pada Kerajinan Batik Kayu”. Majalah Hukum Yustisia. Nomor 68.
Surakarta: Fakultas Hukum Unversitas Sebelas Maret.
Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi. 2008. Pengenalan HKI (Hak
Kekayaan Intelektual) Konsep Dasar Kekayaan Intelektual untuk
Pertumbuhan Inovasi. Jakarta: Indeks.
Muhammad Djumhana. 2003. Hal Milik Intelektual Sejarah, Teori dan
Prakteknya di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya.
Nian S. Djoemena. 1986. Ungkapan Sehelai Batik (Its Mystery and Meaning).
Jakarta: Djambatan.
Otto Hasibuan. 2008. Hak Cipta Di Indonesia Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu,
Neighbouring Rights, dan Collecting Society. Bandung: Alumni.
______.2008. “Perlindungan hak Cipta Di Era Digitalisasi Ditinjau Dari sudut
Legalitas Fokus Pembahasan Hak Cipta lagu. Media HKI, Vol. V No. 2.
Rahmadi Usman. 2003. Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan
Dimensi Hukumnya di Indonesia. Bandung: Alumni.
Ranggalawe Suryasaladin. Masalah Perlindungan Haki Bagi Traditional
Knowledge. http://www.lkht.net/index.php?option=com_content&view=
article&id=72:perlindungan-hki-bagi-traditionalknowledge&catid=1:
hki-telematika&Itemid=37> [17 Maret 2010 pukul 14.00].
Santoso Doellah. 2002. Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Solo: Danar
Hadi.
Seojono Dirjosisworo. 2000. Hukum Perusahaan Mengenai Hak Atas Kekayaan
Intelektual (Hak Cipta, Hak Paten, Hak Merek). Bandung: Mandar
Maju.
89
Soerjono Soekanto. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta: Raja grafindo Persada.
______. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.
Sthefanny Avonina. Apa yang dimaksud dengan Pengetahuan Tradisional?.
http://www.lkht.net/index.php?option=com_content&view=article&id=6
2:pengetahuan-tradisional&catid=1:hki-telematika&Itemid=37>
[17
Maret 2010 pukul 14.30].
Sultani. “Batik, Warisan Tradisional yang Mendunia”. Kompas, 20 Maret 2010.
Suryo
S Negoro. Meneropong "Makna Spiritual Batik Jawa".
http://www.javabatik.org/artikel_3.html> [18 Maret 2010 pukul 17.15].
Suyud Margono dan Amir Angkasa. 2002. Komersialisasi Aset intelektual Aspek
Hukum Bisnis. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
Zudan Arif Fakrulloh. 2005. “Penegakan Hukum sebagai Peluang Menciptakan
Keadilan”. Jurisprudence, Vol. 2, No. 1.
Download