BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kanker merupakan masalah kesehatan yang banyak terjadi di dunia. Satu
diantara 4 kematian di Amerika disebabkan karena kanker. Kanker kolorektal
merupakan salah satu dari empat jenis kanker yang paling sering terjadi dan
penyebab utama ketiga kematian terkait kanker di Amerika. Kanker kolorektal
meliputi kolon dan rektum (Siegel dkk., 2013; Medina dkk., 2011).
Etiologi kanker kolorektal bersifat kompleks meliputi faktor spesifik pasien,
lingkungan, dan faktor genetik. Umur memegang peranan yang sangat penting
karena lebih dari 90% pasien terdiagnosa kanker kolorektal pada usia lebih dari 50
tahun. Kurang lebih 20% kasus kanker kolorektal berhubungan dengan kelompok
famili yang sama. Faktor genetik pada kanker kolorektal termasuk sindrom yang
diturunkan yaitu Lynch syndrome dan familial adenomatous polyposis (Hemminki
dan Chen, 2004; Shah dan Slade, 2012).
Terapi
utama
kanker
kolorektal
meliputi
pembedahan,
radioterapi,
kemoterapi dan moleculare targeted therapy (inhibitor angiogenesis, epidermal
growth factor receptor inhibitors). Tujuan terapi pada kanker kolorektal
didasarkan atas stadium penyakit saat diagnosa. Kanker kolorektal stadium I, II
dan III berpotensi disembuhkan dengan eradikasi mikrometastasis yang mungkin
ada. Adjuvan terapi bertujuan untuk mengeradikasi mikrometastase. Berdasarkan
jumlah dan lokasi metastasis, 20-30% pasien kanker kolorektal dengan metastasis
dapat disembuhkan jika metastase yang ada dapat direseksi. Sebagian besar pasien
1
dengan stadium IV tidak dapat disembuhkan, dan terapi untuk kanker kolorektal
metastasis bersifat paliatif untuk mengurangi gejala, dan memperpanjang
kelangsungan hidup (DeVita dkk., 2011; Medina dkk., 2011).
Pada kanker kolorektal, pembedahan merupakan prosedur definitif untuk
menghilangkan massa kanker, radioterapi dapat meningkatkan kesembuhan
setelah reseksi bedah dan dapat mengurangi gejala dan komplikasi yang terkait
dengan penyakit lanjut. Kemoterapi digunakan sebagai adjuvan terapi atau terapi
kanker kolorektal pada stadium lanjut (Medina dkk., 2011).
Kemoterapi adjuvan merupakan terapi standar untuk pasien kanker kolorektal
stadium III sejak tahun 1990. Adanya keterlibatan kelenjar getah bening pada
pasien kanker kolorektal stadium III mengakibatkan tingginya angka rekurensi
dan angka kematian selama 5 tahun setelah reseksi bedah saja adalah 70%
bergantung pada jumlah kelenjar getah bening yang terlibat. Pada pasien tersebut,
pemberian kemoterapi adjuvan secara signifikan menurunkan resiko rekurensi dan
kematian serta merupakan standar perawatan (Panchal dkk., 2013; Libutti dkk.,
2008).
Selama lebih dari 40 tahun fluorourasil menjadi obat kemoterapi yang paling
banyak digunakan untuk terapi adjuvan kanker kolorektal, baik dalam terapi
tunggal ataupun kombinasi dengan kemoterapi lain. Hingga akhir tahun 1990,
standar kemoterapi adjuvan untuk pasien kanker kolorektal adalah dengan 5fluorourasil dan leukovorin. Obat baru seperti oksaliplatin dan kapesitabin
digunakan dalam kemoterapi kombinasi untuk terapi adjuvan pada kanker
kolorektal.
National
Comprehensive
Cancer
Network
(NCCN)
2
merekomendasikan penggunaan oksaliplatin sebagai kombinasi kemoterapi
adjuvan untuk kanker kolorektal stadium III sejak 2004, segera setelah
oksaliplatin disetujui oleh US Food and Drug Administration (FDA) (Kuebler
dkk., 2007; Panchal dkk., 2013).
Untuk pasien kanker kolorektal stadium III, National Comprehensive Cancer
Network (NCCN) 2013 merekomendasikan pemberian adjuvan kemoterapi selama
6 bulan setelah terapi primer dengan pembedahan. Terapi pilihan adalah FOLFOX
(fluorourasil, leukovorin, oksaliplatin) dan CapeOX (kapesitabin oksaliplatin).
Pada pasien dimana pemberian oksaliplatin tidak memungkinkan dapat digunakan
agen tunggal kapesitabin atau 5-FU/leukovorin (5-fluorourasil, leukovorin)
(NCCN, 2013).
Penggunaan kemoterapi pada pasien kanker kolorektal di Amerika bervariasi
yang disebutkan oleh Panchal dkk pada penelitiannya tahun 2003-2005 dimana
selain faktor umur dan ras, faktor lain yang mempengaruhi perbedaan regimen
kemoterapi adalah faktor perbedaan geografi khususnya untuk obat baru seperti
oksaliplatin. Di Indonesia, sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1455/Menkes/SK/X/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang formularium program
jaminan kesehatan masyarakat, oksaliplatin tidak masuk dalam formularium
tersebut dan pada formularium nasional tahun 2013 sesuai dengan Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 328/Menkes/IX/2013 dimana terdapat penambahan
banyak obat kemoterapi yang salah satunya adalah oksaliplatin dengan restriksi
penggunaan untuk pasien kanker kolorektal metastase dan untuk terapi adjuvan
stadium III (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
3
Sebagian besar terapi antikanker mempengaruhi sintesis DNA sehingga sel
yang berproliferasi dengan cepat
lebih sensitif terhadap efek toksik dari
kemoterapi. Beberapa efek samping yang umum terjadi pada pemberian terapi
antikanker yaitu mual muntah, mielosupresi, mukositis, alopesia, infertilitas dan
karsinogenesis. Penambahan oksaliplatin pada regimen kemoterapi kanker
kolorektal dihubungkan dengan peningkatan resiko terjadinya parestesia,
neutropenia dan toksisitas pada saluran cerna (mual, muntah, diare). Pemilihan
regimen kemoterapi pada pasien kanker kolorektal memerlukan penilaian khusus
untuk setiap pasien dengan memperhatikan kondisi umum pasien, adanya faktor
komorbiditas lain dan pilihan pasien yang didasarkan pada faktor gaya hidup.
Fluorourasil leukovorin digunakan pada pasien yang tidak dapat menerima
oksaliplatin atau mendapat terapi oral kapesitabin, misalnya pada pasien dengan
mengalami hand-foot syndrome (DeVita dkk., 2011; Medina dkk., 2011).
Pada pasien kanker kolorektal juga dilakukan pemeriksaan laboratorium CEA
(Carcino Embryonic Antigen). Walaupun nilai CEA bersifat insensitif dan
nonspesifik untuk digunakan sebagai skrining awal kanker kolorektal stadium
awal, CEA merupakan marker untuk monitoring respon terhadap terapi kanker
kolorektal, terutama jika konsentrasi CEA sebelum terapi mengalami peningkatan.
Pemeriksaan CEA berhubungan dengan prognostik sebelum operasi karena
berkorelasi dengan ukuran dan tingkat diferensiasi kanker. Peningkatan kadar
CEA sebelum operasi berkorelasi dengan rendahnya angka ketahanan hidup dan
dapat memprediksi kemungkinan rekurensi, terlepas dari stadium tumor saat
diagnosis (Kim dkk., 2013; Locker dkk., 2006; Wang dkk., 2001).
4
Penelitian mengenai penggunaan kemoterapi terus dikembangkan dengan
tujuan untuk mengetahui terapi yang paling optimal untuk penanganan kanker
kolorektal. Adanya panduan tatalaksana terapi pada pasien kanker kolorektal
merupakan acuan bagi para tenaga kesehatan untuk memberikan terapi pada
pasiennya, namun tidak menutup kemungkinan respon yang diberikan berbedabeda pada pasien dengan stadium yang sama. Terdapat beberapa regimen
kemoterapi yang disarankan sesuai dengan NCCN 2013 dimana regimen
kemoterapi fluorourasil leukovorin dan oksaliplatin serta kapesitabin oksaliplatin
merupakan regimen utama yang disarankan dan pemberian regimen lain dapat
dilakukan jika pemberian regimen tersebut tidak dapat diterima pasien. Perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui kemoterapi apa sajakah yang diberikan
pada pasien kanker kolorektal stadium III di rumah sakit serta efek samping yang
muncul setelah pemberian kemoterapi. Selain itu juga perlu untuk dilakukan
penelitian untuk mengetahui perubahan nilai CEA pada pemberian kemoterapi
khususnya pada pasien yang mengalami peningkatan pada nilai CEA awal.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian di atas timbul pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana pola pemberian regimen kemoterapi kepada pasien kanker
kolorektal stadium III di RSUD Dr. Moewardi?
2. Apakah efek samping yang muncul pada pemberian kemoterapi pasien
kanker kolorektal stadium III di RSUD Dr. Moewardi Surakarta?
3. Apakah terdapat perubahan nilai CEA pada pemberian kemoterapi pasien
kanker kolorektal stadium III di RSUD Dr. Moewardi Surakarta?
5
C. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang pola pemberian regimen kemoterapi dan efek samping yang
ditimbulkan serta perubahan nilai CEA pada pemberian kemoterapi pasien kanker
kolorektal di Indonesia belum banyak dilakukan. Beberapa penelitian mengenai
regimen kemoterapi kanker kolorektal dan perubahan nilai CEA pada pemberian
kemoterapi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Penelitian Efektivitas Kemoterapi Pada Pasien Kanker Kolorektal
Peneliti
Judul
Hasil Penelitian
Panchal dkk.,
2013
Geographic
Variation and
Sociodemographic
Disparity in the Use
of OxaliplatinContaining
Chemotherapy in
Patients With Stage
III Colon Cancer
Penelitian retrospektif pada 4106 pasien dengan
data dari Medicare untuk mengetahui variasi
geografi dan perbedaan sosiodemografi pada
penggunaan kemoterapi pasien kanker kolon
stadium III khususnya penggunaan oksaliplatin.
Hasil penelitian adalah hanya 49% pasien kanker
kolon stadium III yang menerima kemoterapi
dalam jangka waktu 3-6 bulan setelah pembedahan.
Pasien dengan usia 66-70 tahun lebih dari 78%
menerima kemoterapi dibandingkan pasien dengan
usia 80 tahun atau lebih. Pasien pada daerah
pedesaan lebih sedikit 42% menerima kemoterapi
adjuvan dengan oksaliplatin dibandingkan dengan
yang tinggal di kota besar.
Rexach dkk.,
2012
Differences in the
Therapeutic
Approach to
Colorectal Cancer in
Young and Elderly
Patients
Penelitian deskriptif retrospektif kohort pasien
dengan diagnosis kanker kolorektal dengan
membandingkan perbedaan antara kelompok
pasien muda (usia < 75 tahun) dan kelompok
pasien tua (usia > 75 tahun) dan faktor-faktor yang
mengakibatkan perbedaan terapi yang diterima
pasien. Hasil penelitian pada 503 pasien
menunjukkan pada kelompok pasien muda lebih
banyak menerima terapi dengan pembedahan,
radioterapi dan kemoterapi dibandingkan dengan
kelompok pasien tua. Pada pemantauan selama
36,5 bulan kelompok usia muda menunjukkan
angka harapan hidup yang lebih panjang
dibandingkan dengan pasien kelompok tua. Jika
dibandingkan dengan pasien pada kelompok muda,
pasien kanker kolorektal usia tua mendapat terapi
dibawah pasien pada kelompok usia muda terutama
disebabkan k arena usianya, bukan karena tipe
tumor atau adanya komorbiditas tertentu.
6
Peneliti
Judul
Hasil Penelitian
Capafons
dkk., 2010
Neoadjuvant
Chemotherapy Used
for Colorectal Liver
and Lung Metastasis
Resections
Penelitian deskriptif retrospektif pada pasien
dengan kanker kolorektal sejak tahun 2004 sampai
dengan 2007 untuk mengetahui persentase pasien
yang dapat menjalani reseksi dengan pembedahan
setelah pemberian kemoterapi neoadjuvan.
Hasilnya adalah dari 118 pasien yang didiagnosa
kanker kolorektal metastase terdapat 10 pasien
yang menjalani reseksi pada awal dan 108 pasien
yang belum menjalani reseksi dengan pembedahan
menerima kemoterapi neoadjuvan. Setelah
pemberian kemoterapi neoadjuvan, reseksi
metastase dapat dilakukan pada 19 pasien.
Kemoterapi neoadjuvan yang paling banyak
digunakan adalah regimen fluorourasil leukovorin
oksaliplatin (FOLFOX).
Wang dkk.,
2001
Carcinoembryonic
Antigen In
Monitoring Of
Response To
Systemic
Chemotherapy In
Patients With
Metastatic Colorectal
Cancer
Evaluasi hubungan antara perubahan pada hasil
pemeriksaan penunjang dengan perubahan pada
nilai Carcino Embryonic Antigen (CEA) untuk
mengetahui respon kemoterapi pasien kanker
kolorektal metastase. Penelitian restrospektif pada
136 pasien dengan kanker kolorektal metastatik
Empat puluh pasien menerima terapi oral tegafururacil (300 mg/m2/hari) ditambah asam folinat (60
mg/hari) selama 4 minggu dan diulangi setiap 5
minggu sebagai terapi awal. Sembilan puluh enam
pasien menerima injeksi intravena bolus 5fluorourasil (400 mg/m2) ditambah asam folinat
(20 mg/m2) atau injeksi intravena bolus 5fluorourasil (425 mg/m2) ditambah asam folinat
(20 mg/m2) selama 5 hari berturut-turut setiap
bulan. Pemeriksaan nilai CEA berguna untuk
monitoring respon kemoterapi jika pemeriksaan
dengan pencitraan tidak memadai. Nilai CEA dapat
berguna dalam prognosis pasien dengan kanker
kolorektal metastase yang menerima kemoterapi.
Aldulaymi,
dkk., 2010
Changes In Soluble
CEA And TIMP-1
Levels During
Adjuvant
Chemotherapy For
Stage
III
Colon
Cancer
Tiga puluh pasien kanker kolorektal stadium III
yang telah menjalani prosedur reseksi kuratif
menerima regimen fluorourasil leukovorin
oksaliplatin (FOLFOX6) yang telah dimodifikasi
sebanyak 10-12 siklus. Sampel darah diambil
sebelum dan setelah siklus pertama dan kedua dan
tiga bulan kemudian. Tidak terdapat perubahan
yang signifikan pada peningkatan nilai CEA
sementara TIMP-1 meningkat secara signifikan
setelah siklus kedua tetapi kembali normal 3 bulan
kemudian.
7
Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan, penelitian mengenai pola
pemberian regimen kemoterapi, efek samping dan perubahan nilai CEA pada
pemberian kemoterapi pasien kanker kolorektal stadium III di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta belum pernah dilakukan.
D. Kepentingan Penelitian
Tingginya angka kematian karena kanker kolorektal mengakibatkan
pentingnya memberikan terapi yang tepat untuk pasien. Untuk mengetahui terapi
yang tepat dengan efektivitas yang baik dan efek samping minimal, diperlukan
evaluasi terhadap terapi kanker kolorektal. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai pola pemberian regimen kemoterapi, efek
samping pemberian kemoterapi dan perubahan nilai CEA pada pemberian
kemoterapi pasien kanker kolorektal stadium III di RSUD Dr. Moewardi.
Pada akhirnya pengembangan dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan tambahan informasi dalam pemilihan regimen kemoterapi yang
memberikan efikasi terbaik dan efek samping terendah dalam penanganan kanker
kolorektal stadium III di Indonesia.
8
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui pola pemberian regimen kemoterapi pada pasien kanker
kolorektal di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
2. Mengetahui efek samping yang muncul pada pemberian kemoterapi pasien
kanker kolorektal stadium III di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
3. Mengetahui perubahan nilai CEA pada pemberian kemoterapi pasien
kanker kolorektal stadium III di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
9
Download